Ceritasilat Novel Online

Pedang Kiri Pedang Kanan 9

Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L Bagian 9


Nah. lekas menggelinding masuk kemari dan menyembah
kepada gurumu!"
Thio Yan-coan menjadi ragu2: "Ini ....ini. . . ."
Untung baginya, Gi-lim lantas berkata: "Tidak, aku tidak mau disembah oleh dia, akupun tidak mau melihat dia, dia
... .dia bukan muridku."
"Nah, kau dengar sendiri, Fifi," cepat Thio Yan-coan menukas. "Dia tidak menghendaki murid seperti diriku, maka tidak perlu lagi aku menyembah padanya."
"Baik, kuampuni kau," kata Fifi dengan tertawa.
"Sekarang dengarkan, tadi waktu kudatang kemari, ada dua cecunguk secara diam2 mengikuti kami, lekas kau pergi
membereskan mereka. Aku dan gurumu akan tidur disini,
kau harus berjaga di luar, siapapun dilarang mengganggu
kami dan besok aku tidak jadi melapor kepada Yaya."
Tampaknya Thio Yan-coan sangat takut kepada Yaya
atau kakek anak dara itu, terpaksa ia menjawab: "Baiklah, cuma kau harus pegang janji, jangan lagi berdusta dan
membikm celaka diriku."
"Aku kan bukan lelaki sejati, apa yang sudah kukatakan boleh kutepati dan juga boleh kutarik kembali," kata Fifi dengan tertawa.
Mendadak Thio Yau-coan membentak keras: "Bangsat.
berani amat kalian!"
Menyusul terdengarlah suara gemerantang diatas rumah,
dua macam senjata jatuh di atas genting, menyusul seorang menjerit ngeri, lalu terdengar pula suara orang berlari pergi secepat terbang.
"Sudah terbunuh satu, bangsat dari Hong-hoa-wan.
seorang lagi kabur," kata Thio Yan-coan.
"Sungguh tidak becus, kenapa sampai bisa kabur?" omel Fifi.
"Orang itu tak boleh kubunuh, dia. . . dia Nikoh dari Siong-san-pay." jawab Thio Yan-coan.
"O, kiranya paman gurumu, dengan sendirinya tidak
boleh kau bunuh," goda Fifi dengan tertawa.
Sebaliknya Gi-lim menjadi terkejut, tanyanya dengan
suara tertahan: "Jadi Suciku", Wah, bagaimana baiknya ini?"
"Sekarang juga kita menjenguk orang yang terluka itu,"
kata Fifi, "Jika kau kuatir dimarahi gurumu, sebentar lagi boleh kita pulang kesana."
Diam-diam Gi-lim membatin: "Sudah telanjur datang,
biarlah kulihat orang itu, entah siapa dia?"
Fifi tertawa dan mendekati tempat tidur besar itu, dia
mendorong dinding, segera sebuah sayap pintu terbuka
pelahan. Kiranya pada dinding itu ada pintu rahasianya.
Setelah menggapai Gi-lim, Fifi lantas mendahului masuk
kesana. Gi-lim merasa rumah pelacuran ini penuh misterius,
terpaksa ia tabahkan hati dan ikut musuk. Di balik pintu adalah sebuah kamar pula. tapi tanpa penerangan.
Berkat cahaya lilin kamar sebelah samar2 terlihat kamar
ini sangat kecil, juga ada sebuah tempat tidur dengan
kelambu terurai rapat, agaknya ada orang tidur di situ.
Hanya melangkah masuk ketepi pintu saja, lalu Gi-lim
berhenti. "Cici, harap kau bubuhi lukanya dengan Thian-hiangtoan-siok-ciau yang kau bawa," pinta Fifi,
Gi-lim ragu2, katanja: "Apakah. . . apakah benar dia mengetahui dimana beradanya jenazah Sau-toako?"
"Mungkin tahu, bisa jadi tidak tahu, akupun tak dapat memastikan," jawab Fifi.
"Tadi .... tadi kau bilang dia tahu?" Gi-lim menjadi cemas.
"Aku kan bukan lelaki sejati, apa yang kukatakan boleh kutepati dan boleh tidak. Jika kau mau mencobanya boleh
kau obati lukanya sekarang. Kalau tidak, boleh kau angkat kaki, siapapun takkan merintangimu."
Mau-tak-mau Gi-lim berpikir: "Apapun juga, demi
menemukan jenazah Sau-toako biarpun sangat tipis
harapannya juga harus kucoba."
Setelah pikirannya mantap, segera ia berkata: "Baik, akan kuobati dirinya" Segera ia keluar kekamar sebelah dan mengambil tatakan lilin serta dibawa kedepan tempat tidur di kamar bagian dalam ini. Disingkapnya kain kelambunya, tertampaklah seorang tidur telentang, mukanya tertutup
oleh sehelai sapu tangan hijau tipis, mengikuti pernapasannya, kain sapu tangan itupun ber-getar2.
Rada tenteram hati Gi-lim, karena tidak melihat wajah
orang. ia menoleh dan tanya Fifi: "Dimana lukanya?"
"Di dada," jawab Fifi. "Cukup dalam lukanya hampir saja melukai jantungnya."
Pelahan Gi-lim membuka selimut tipis yang menutup
tubuh orang itu. dilihatnya orang itu bertelanjang dada, benarlah di bagian dada ada sebuah luka lebar, darah sudah berhenti mengalir, tapi luka cukup dalam, jelas sangat
berbahaya. Sedapatnya Gi-lim menenangkan diri, pikirnya: "Betapapun harus kuselamatkan jiwanya."
Ia serahkan tatakan lilin agar dipegang Fifi, dengan
pelahan ia merabai sekitar luka orang itu, ia tutuk tiga Hiat-to yang beranngkutan.
"Hiat-to penghenti darah sudah tertutuk, kalau tidak manabisa hidup sampai sekarang," bisik Fifi dengan suara tertahan.
Gi-lim mengangguk. Dilihatnya Hiat-to sekitar itu
memang benar sudah tertutuk dengan baik. Maka pelahan
ia angkat kapas yang menyumbat luka itu. Siapa tahu,
begitu kapas diambil, seketika darah segar mengucur keluar lagi.
Syukur Gi-lim sudah belajar cara memberi pertolongan
pertama, cepat tangan kiri menekan bagian luka, tangan
kanan lantas memoles luka dengan salep yang dibawanya,
kemudian ditutup pula dengan kapas.
Salep Thian-hiang-toan-siok-ko adalah obat luka mujarab
Siong-san-pay yang terkenal. Begitu dibubuhkan pada luka itu, hanya sekejap saja darah lantas berhenti.
Pernapasan orang luka ini kedengaran berkempaskempis, entah dapat diselamatkan atau tidak. padahal
tujuan kedatangan Gi-lim ingin menanyakan jenazah Sau
Peng-lam. Karena itu ia lantas berkata: "Enghiong yang terhormat ini, ada sesuatu ingin kutanya padamu, mohon
Enghiong sudi memberi keterangan."
Terdengar orang itu bersuara tertahan. Mendadak Fifi
bergeliat, tatakan lilin yang dipegangnya menjadi miring, api lilin lantas padam, keadaan didalam kamar menjadi
gelap gulita. "Ai, padam!" seru Fifi.
Gi-lim menjadi gugup, pikirnya. "Tempat kotor ini
mestinya tidak boleh didatangi Cut-keh-lang seperti diriku
ini. Biarlah lekas kutanya keterangan Toako, lalu kutinggal pergi dengan segera."
Maka ia ciba bertanya pula: "Enghiong ini apakah
keadaanmu agak lebih baik?"
Kembali orang itu mendengus tertahan dan tidak
menjawab. "Dia lagi demam," kaia Fifi. "Boleh kau raba dahinya, panasnya luar biasa."
Belum lagi Gi-lim menjawab, tahu2 tangan kanannya
sudah dipegang Fifi dan ditaruh diatas jidat orang itu.
Sementara itu sapu tangan yang menutupi mukanya
ternyata sudah disingkirkan oleh Fifi.
Gi-lim merasa tangannya seperti memegang bara,
panasnya luar biasa, tanpa terasa timbul rasa kasihannya, katanya: "Aku juga bawa obat dalam dan harus
kuminumkan dia. Fifi. hendaklah lilin kau pasang lagi."
"Baiklah, kau tunggu disini, kupergi mencari api" kata Fifi.
Gi-lim menjadi gugup karena akan ditinggal pergi, cepat
ia menarik lengan baju anak dara itu dan berkata: "Tidak, jangan pergi kau."
Fifi tertawa pelahan, katanya; "Jika begitu keluarkanlah obatmu."
Segera Gi-lim meraba keluar sebuah botol porselen kecil
dan menuang tiga biji pil. katanya; "Ini obatnya, boleh kau minumkan padanya."
"Dalam kegelapan begini, jangan sampai obatmu terjatuh hilang," ujar Fifi. "Jiwa manusia maha penting dan tidak boleh dibuat main2. Cici yang baik, biarlah aku saja yang menunggu disini, kau pergi mencari api."
Bahwa Gi-lim disuruh keluyuran ditengah rumah
pelacuran begini, sudah tentu ia tidak berani, cepat ia
menjawab: "O, tidak, aku tidak mau!"
"Menolong orang hendaknya jangan kepalang tanggung," kata Fifi. "Cici yang baik, boleh kau jejalkan obat ke dalam mulutnya dan suapi dia minum beberapa
cegukan teh, kan beres semuanya. Dalam kegelapan begini, dia takkan melihat siapa kau, kenapa takut" Nah, inilah
cangkir teh. pegang yang betul, jangan sampai tumpah."
Pelahan Gi-lim menjulurkan tangannya dan menerima
cangkir itu, sejenak ia ragu2, pikirnya: "Suhu sering memberi petua, Cut-keh-lang harus mengutamakan welas-asih, menolong jiwa satu orang melebihi bangun budur
(candi) tujuh tingkat. Seumpama orang ini tidak dapat
memberitahu dimana beradanya jenazah Sau-toako, tapi
jiwanya jelas terancam bahaya, kan harus kutolong dia "
Segera ia meraba pelahan muka orarg itu, setelah tahu
persis mulutnya, ia jejalkan tiga biji pil "Pek-hun-wan"
(empedu beruang Pek-hun-am).
Agaknya orang itupun belum kehilangan kesadarannya,
ia membuka mulut dan menelan pil itu, ketika Gi-lim
mendekatkan cangkir kemulutnya, iapun minum beberapa
ceguk dan bersuara samar2, seperti menyatakan terima
kasih. "Enghiong ini," demikian ucap Gi-lim pula, "Engkau terluka parah, seharusnya istirahat dengan tenang. Cuma
ada suatu urusan penting harus kutanyakan padamu, Ada
seorang Sau-tayhiap dicelakai orang, jenazahnya . . . ."
Orang itu bersuara seperti terkesiap, jawabnya dengan
suara lemah: "Kau. . .. .kau tanya Sau Peng-lam ...."
"Betul, apakah engkau mengetabui dimana beradanya
jenazah Sau Peng-lam yang baik itu?" tanya Gi-lim pula.
Samar2 orang itu menjawab: "Je .... jenazah apa
maksudmu?"
"Ya, jenazah. jenazah Sau-tayhiap itulah?"
Orang itu omong sesuatu dengan samar2, suaranya
sangat lemah sehingga tidak terdengar.
Gi-lim mengulangi lagi pertanyaannya dan mendekatkan
telinga kemuka orang itu. didengarnya napas orang itu agak memburu, seperti ingin bicara, tapi sukar bersuara.
Tiba- Gi-lim ingat bekerjanya obat Pek-hun-him-tan-wan
sangat keras, orang yang sudah diberi minum obat itu
seringkali harus pulas sampai setengah harian, itulah saat2
penting bekerjanya obat, dalam keadaan demikian tentu
tidaklah layak dia bertanya terus menerus.
Dasar hati Gi-lim memang welas-asih, ia menghela
napas pelahan dan menarik diri dari dalam kelambu, ia
geser sebuah kursi dan berduduk didepan tempat tidur.
katanya lirih: "Biarlah kutanyai dia nanti kalau dia sudah agak lebih segar."
"Cici, jiwa orang ini tak beralangan bukan?" tanya Fifi.
"Semoga dia dapat sembuh," jawab Gi-lim.
"Cuma luka di dadanya memang sangat parah, Fifi,
sesungguhnya dia. . . .siapa dia ini?"
Fifi tidak menjawabnya, selang sejenak baru berkata:
"Menurut pandangan kakekku, segala urusan duniawi tak dapat kau kesampingkan, katanya kau tidak pantas menjadi Nikoh."
"Kakekmu kenal aku?" Gi-lim menegas dengan heran.
"dari. . .darimana dia mengetahui aku tak dapat
mengesampingkan urusan orang hidup?"
"Kemarin, waktu makan di Cui-sian-lau. aku bersama
kakek telah menyaksikan kalian bertempur dengan Thio
Yan coan."
"Ahhh!" Gi-lim bersuara terkejut. "Kiranya orang yang bersama kau itulah kakekmu?"
"Ya, kemarin kami sengaja menyamar sehingga si telur busuk Thio Yan-coan itu tak dapat mengenali kami," tutur Fifi dengan tertawa, "Dia paling takut kepada kakek, jika dia tahu kakek hadir disitu, mungkin pagi2 dia sudah kabur se-jauh2nya."
Gi-lim berpikir: "Jika begitu, Waktu itu kalau kakekmu mau unjuk muka tentu dapat membuat Yan-coan lari
ketakutan dan Sau-toako juga tidak perlu mati konyol."
Namun sebagai orang yang alim, kata2 yang menyesali
orang lain tidak nanti diucapkannya.
Tapi Fifi seperti tahu isi hatinya, katanya: "Dalam hati tentu kau menyesali kakekku karena tidak mau menghalau
pergi Thio Yan-coan melainkan cuma menyaksikan
kejadian itu sehingga Sau-toako tewas di tangan orang she Thio itu."
-ooo0dw0ooo- Jilid 17 Gi-lim tidak biasa berdusta, hatinya menjadi pedih,
ucapnya dengan tersendat: "Akulah yang salah, jika tempo hari aku tidak cuci tangan ditepi kali, tentu aku takkan kepergok Thio Yan-coan dan ditawan dan tentu pula takkan
membikin susah Sau-toako, mana. . . .mana berani kusesali kakekmu?"
"Baiklah jika kau tidak menyesali beliau, kakek memang tidak suka orang menyesali dia," kata Fi-yan. "Waktu itu Yaya bilang hendak melihat tindak-tanduk Thio Yan-coan
apakah benar2 sudah sedemikian busuknya sehingga sukar
diobati, ingin tahu apakah dia akan ingkar janji atau tidak jika kalah. Akhirnya. hihihi, Cici. . . ." sampai di sini mendadak ia tertawa, lalu menyambung pula: "Sau-toakomu itupun pintar putar lidah, dia bilang bertempur
dengan berduduk dia jago nomor dua didunia, kakek
menjadi rada percaya kepada ocehannya, bahkan mengira
dia benar2 menguasai semacam ilmu pedang yang
dilatihnya sembari berak malahan juga percaya Thio Yancoan takkan mampu mengalahkan dia. Hihi."
Dalam kegelapan Gi-lim tidak dapat melihat air muka
anak dara itu, tapi dapat dibayangkan Fifi pasti gembira, semakin riang tertawa Fifi, semakin pedih pula hatinya.
"Kemudian Thio Yan-coan telah melarikan diri," tutur Fifi lebih lanjut "Kakek bilang orang she Thio itu memang brengsek, sudah berjanji akan mengangkat kau sebagai guru bila dia kalah, nyatanya dia ingkar janji,"
"Sau-toako hanya menggunakan akal saja dan tidak
benar2 mengalahkan dia," ujar Gi-lim.
"Cici, hatimu sungguh baik," kata Fifi. "Thio Yan-coan itu telah mengganggu kau sedemikian rupa, tapi kau masih juga membelanya. Sesudah Sau-toako tertusuk mati, lalu
kau pondong jenazahnya berkeliaran tanpa tujuan, kakek
lantas berkata: 'Nikoh cilik ini bisa jadi akan gila karena kematian Sau Peng-lam itu, coba kita kuntit dia.'
"Begitulah kami lantas menguntil di belakangmu,
melihat caramu yang merasa berat meninggalkan jenazah
itu, Kakek berkata pula padaku: 'Coba lihat, Fifi, NiKoh cilik itu sedemikian sedihnya, apabila bocah she Sau itu tidak mati, si Nikoh cilik tak dapat tidak harus piara rambut kembali dan menjadi isterinya."
Muka Gi-lim menjadi merah, dalam kegelapan ia merasa
telinga dan lehernya serasa panas, tiba2 Fifi bertanya: "Cici, apa betul ucapan kakek itu?"
"Aku .... aku merasa tidak tenteram karena telah
mengakibatkan kematian orang, sungguh akupun ingin mati
saja untuk menggantikan Sau-toako agar dia bisa hidup
kembali," jawab Gi-lim dengan sungguh2 dan tersendat
"Biarpun aku .... aku harus masuk neraka dan takkan menjelma kembali juga aku rela."
Pada saat itulah orang ditempat tidur itu mengeluh
pelahan satu kali.
Dengan girang Gi-lim berseru: "Ha, dia ....dia sudah siuman Fifi, tanya kepadanya apakah dia sudah agak
baikan?" "Kenapa harus aku yang bertanya" Memangnya kau
sendiri tidak punya mulut?" ujar Fifi.
Gi-lim ragu2 sejenak, akhirnya ia mendekati tempat
tidur, dari balik kelambu ia bertanya: "Enghiong ini, apakah engkau . . . ." Belum habis ucapannya, terdengar orang itu mengeluh pelahan pula, suaranya sangat menderita.
Diam2 Gi-lim berpikir: "Saat ini dia sedang menderita kesakitan, mana boleh kuganggu dia lagi."
Selang sejenak, terdengar napas orang itu mulai teratur, agaknya obat yang diminumkannya telah bekerja sehingga
si sakit dapat pulas.
"Cici, mengapa kau rela mati bagi Sau Peng-lam"
Apakah kau benar2 suka padanya?" tanya Fifi dengan suara pelahan.
"O. tidak, bukan begitu maksudku," jawab Gi-lim. "Aku ini Cut-keh-lang (orang beragama, sudah meninggalkan
rumah), janganlah kau gunakan kata2 yang bisa membikin
kotor pada Hudco (Buddha). Sau-toako tidak pernah kenal
padaku, tapi dia mati demi menolong diriku. Sungguh aku
merasa sangat ....sangat tidak enak. . . ."
"Jika dia dapat hidup kembali, apakah akan kau lakukan apapun baginya?" tanya Fifi.
"Ya, biarpun aku akan mati seribu kali juga aku tidak menyesal," jawab Gi-lim,
Mendadak Fifi berteriak: "Nah Sau-toako, kau dengar sendiri, Gi-lim Cici bilang. . . ."
"Jangan kau bercanda, Fifi!"
Tapi Kik Fi-yan tidak menghiraukan dan melanjutkan
seruannya: "Dia bilang asalkan kau tidak mati, maka segala apapun akan disanggupinya."
Dari nada si anak dara yang terdengar sungguh-sungguh
dan tiada tanda2 bergurau itu, seketika hati Gi-lim menjadi bingung dan berdetak keras, ucapnya dengan ter-patah2:
"Kau , . kau..."
Se-konyong2, 'crit-crit', pandangan menjadi terang, Fifi telah menyalakan api dan menyulut lilin lalu menyingkap
kelambu lalu menggapai Gi-lim dengan tertawa.
Pelahan Gi-lim mendekati tempat tidur, mendadak
kepala terasa pusing, tubuh terus ambruk ke belakang.
Untung Fifi keburu menahan punggungnya hingga tidak


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampai roboh, kata anak dara itu dengan tertawa: "Kutahu kau pasti akan terkejut Cici, coba kau lihat, siapa dia?"
"Dia. . .dia. . . ." Gi-lim tidsk sanggup melanjutkan, uaranya sangat lemah, kerongkongannya serasa tersumbat.
Kiranya orang yang berbaring ditempat tidur ini taklaintak-bukan ialah Sau Peng-lam adanya.
Dengan erat Gi-lim mencengkeram lengan Fi?fi
tanyanva dengan suara gemetar: "Dia . . . .dia tidak mati?"
"Sekarang dia memang tidak mati, tapi kalau obatmu
tidak manjur, bisa jadi dia akan mati," jawab Fi-yan dengan tertawa.
"Tidak, dia pasti takkan mati. . .takkan mati. . . O, dia tidak mati!" ratap Gi-lim, saking kejut dan girangnya mendadak ia menangis.
"He, dia tidak mati, mengapa kau malah menangis?" kata Fifi.
Kedua kaki Gi-lim terasa lemas, ia tidak tahan lagi, ia
terkulai dilantai dan menangis tersedu-sedan, katanya: "O, betapa senang hatiku. . . .Fifi, sungguh aku harus berterima kasih kepadamu. Kiranya .... kiranya kau yang menolong
.... menolong Sau-toako."
"Kau sendiri yang menolongnya, mana aku mampu
menolong dia, aku kan tidak punya obat mujarab," ujar Fifi.
Mendadak Gi-lim paham duduknya perkara, ia
berbangkit, ia pegang tangan Fifi dan berkata: "Ya, kutahu.
kakekmu yang menyelamatkan dia."
Pada saat itulah ditempat ketinggian diluar sana
mendadak ada orang berteriak: "Gi-lim, Gi-lim!" Jelas itulah suara Ting-yat Suthay.
Gi-lim terkejut, belum lagi ia menjawab. serentak Kik Fi-yan meniup padam lilin dan sebelah tangan mendekap
mulut Gi-lim sambil membisikinya: "Jangan bersuara, ingat, tempat apakah ini!"
Seketika Gi-lim menjadi bingung, ia tahu dirinya berada
di rumah pelacuran, keadaannya memang serba salah, tapi
jelas2 suara panggilan gurunya terdengar tanpa dijawabnya, selama hidupnya boleh dikatakan baru terjadi sekali ini.
Terdengar Ting-yai berteriak pula: "Thio Yan-coan,
menggelinding keluar sini!"
Tiba2 diruangan depan sana berkumandang suara gelak
tertawa orang, lalu berkata: "Apakah disitu Ting-yat Suthay dari Pek-hun-am, Siong-san-pay" Sepantasnya Wanpwe
keluar menjumpai Suthay, cuma sayang, saat ini bebarapa
pacarku yang cantik sedang mengerumuni diriku sehingga
tidak sempat keluar, harap dimaafkan jika aku kurang
sopan! Hahahaha!"
Habis itu beberapa perempuan lantas tertawa cekakak
dan cekikik, suaranya genit, jelas suara perempuan Pelacur dirumah maksiat ini.
Lalu terdengar seorang pelacur berkata dengan suara
yang di-bikin2: "Ai, sayangku, jangan peduli dia. Ehh, cium lagi sekali! Uhhh, sedaap! Hihih'!"
Begitulah suara beberapa pelacur itu makin omong
makin cabul dan makin mesra", jelas sengaja hendak
membikin kheki Ting-yat Suthay.
Dengan gusar Ting-yat membentak pula: "Thio Yancoan, jika tidak mau keluar, pasti kucincang tubuhmu
hingga beribu potong!"
"Wah, tak usah ya!" jawab Thio Yan-coan dengan tertawa "Kalau aku tidak keluar akan kau-cincang menjadi
ribuan potong, kukira bila kukeluar juga akan kau cincang diriku menjadi ratusan potong. Sama2 dicincang, lebih baik aku tidak keluar saja. Eh, Ting-yat Suthay, tempat beginian tidaklah pantas didatangi Cut-keh-lang seperti kau ini,
kukira lebih baik lekas kau pulang saja. Muridmu tidak
berada di sini, dia adalah seorang Siau-suhu yang taat pada agamanya, manabisa ia datang kemari" Kan aneh jika kau
mencarinya disini?"
"Nyalakan api, bakar!" teriak Ting-yat dengan murka.
"Bakar saja sarang anjing ini, coba lihat dia akan keluar atau tidak?"
"Ting yat Suthay," seru Thio Yan-coan dengan tertawa
"tempat ini sangat terkenal di kota Cu-joan ini, namanya Kun-giok-ih' (rumah si cantik), memang tidak menjadi soal jika kau bakar, tapi di dunia Kangouw pasti segera akan
tersiar berita hangat bahwa rumah bunga jalanan di kota
Cu-joan telah dibakar oleh Ting-yat Suthay dari Siong-san-pay Tentu orang akan bertanya untuk apakah Ting-yat
Suthay yang terkenal saleh itu datang ke tempat begituan"
Lalu orang akan menjawab bahwa tujuan Suthay hendak
mencari muridnya. Tentu pula orang akan heran, mengapa
anak murid Pek-hun-am yang suci itu bisa berada di Kungiok-ih dan pasti akan ramailah orang memperbincangkan
kejadian ini. Jadinya paati akan sangat merugikan nama
baik Siong-san-pay kalian. Maka ingin kukatakan terus
terang padamu, aku Ban-li-tok-heng Thio Yan-coan tidak
gentar pada langit dan tidak takut pada bumi, dikolong
langit ini aku cuma takut kepada muridmu seorang. Bila
melihat dia, lekas2 aku angkat kaki menghindarinya, mana kuberani mengganggu dia?"
Diam2 Ting-yat berpikir apa yang diuraikan Thio Yancoan ini memang tidak salah, tapi menurut laporan
muridnya tadi, katanya dengan jelas2 dilihatnva Gi-lim
masuk kerumah berlampu merah ini, masakah laporan itu
tidak betul"
Begitulah saking gusarnya Ting-yat menginjak keras2
sehingga genting sama pecah, tapi tak dapat bertindak apa2.
Tiba2 suara seorang mendengus diujung rumah seberang
sana dan bertanya: "Thio Yan-coan, muridku Pang Ci-ki apakah kau yang membunuhnya?"
Jelas itulah suara
Ciamtay Cu-ih, Hong-hoa wancu.
"Eh, maaf, maaf, sampai2 Hong-hoa-wancu juga
berkunjung kemari! Wah, selanjutnya Kun giok-ih di Cujoan pasti akan termashur ke seluruh jagat ini, usahanya pasti akan bertambah maju dan banjir tamu," demikian jawab Thio Yan-coan "Tadi memang kubunuh seorang
secunguk, tapi permainan goloknya terlalu tidak becus,
gayanya memang mirip2 Kungfu Tang-wan, mengenai
namanya apakah Pang Ci-ki atau bukan, aku sendiri tidak
tahu dan tidak sempat tanya."
"Baik!" ucap Ciamtay Cu-ih.
Habis itu, "siuut', mendadak sesosok
bayangan menerobos masuk kedalam ruangan, lalu terdengar suara
"blang-blung" dan gemerincingnya senjata beradu, nyata Ciamtay Cu-ih dan Thio Yan-coan sudah bergebrak
didalam kamar. Berdiri diatas rumah dan mendengar suara benturan
senjata kedua orang itu, diam2 Ting-yat harus merasa
kagum, pikirnya: Keparat Thio Yan-coan itu memang
mempungai Kungfu sejati, dia sanggup bertempur secepat
kilat dan dapat menandingi Hong-hoa-wancu dengan sama
kuatnya." Mendadak terdengar suara "blang" yang keras, suara benturan senjata segera berhenti. Tangan Gi-lim yang
menggenggam tangan Fifi penuh keringat dingin. Entah
pertempuran kedua itu telah dimenangkan siapa"
Menurut akal, beberapa kali Thio Yan-coan hendak
mengganggunya, seharusnya dia berharap Ciamtay Cu-ih
yang menang. Tapi aneh, dalam hati ia justeru berharap
Ciamtay Cu-ih akan dikalahkan Thio yan-coan. Akan lebih
baik jika Ciamtay Cu-ih terus lari pergi setelah kalah, juga gurunya bisa lekas pergi, dengan demikian Sau Peng-lam
dapat merawat lukanya dengan tenang.
Maklumlah, keadaan Sau Peng-lam saat ini cukup
gawat, bilamana Ciamtay Cu-ih menerjang tiba dan
membikin ribut, kalau luka Peng-lam kambuh lagi, maka
pasti akan binasa.
Dalam pada itu terdengar suara Thio Yan-coan bergema
dikejauhan: "Ciamtay-wancu, kamar itu terlalu sempit, gerak-gerik kurang leluasa, marilah kita bertempur 300 jurus lagi ditempat yang lapang sana untuk menentukan siapa
yang lebih lihay. Jika kau menang, biarlah si Melati yang cantik manis ini akan kuserahkan padamu, sebaliknya bila kau kalah, maka si Melati adalah bagianku."
Di bilik ucapannya itu se-olah2 hendak bilang sebabnya
Ciamlay Cu-ih bertempur dengan dia adalah karena berebut perempuan, demi mendapatkan salah seorang pelacur
"Kun-giok-ih" yang bernama si Melati.
Bagi Thio Yan-coan yang namanya memang terkenal
busuk tentu saja bukan soal, dia sudah biasa masuk keluar rumah maksiat seperti orang masuk restoran, sedikitpun
tidak. mengherankan. Akan tetapi Ciamtay Cu-ih adalah
seorang guru besar suatu perguruan ternama. mana boleh
disejajarkan dengan bergajul semacam Thio Yan-coan ini"
Waktu bertarung didalam kamar tadi, hanya dalam
sekejap saja mereka sudah bergebrak lima puluhan jurus,
permainan golok Thio Yan-coan ternyata sangat lihay,
menyerang atau berjaga sangat teratur. Menurut peikiraan Ciamtay Cu-ih, ilmu silat lawan jelas tidak di bawah
dirinya, apabila harus bertempur lagi 300 jurus, betapapun ia tidak yakin akan menang.
Karena itulah ia tidak menanggapi tantangan Thio Yancoan tadi, seketika suasana menjadi sunyi senyap.
Gi-lim seakan- dapat mendengar suara detak jantung
sendiri, ia mendekatkan kepalanya ketepi telinga Fifi dan bertanya dengan suara tertahan: "Apakah mereka akan masuk ke sini?"
Padahal umur Fifi jauh lebih muda dari padanya, dalam
keadaan genting itu Gi-lim merasa kehilangan akal dan
tidak tahu apa yang harus dilakukannya, ia seperti berubah menjadi anak kecil yang tidak paham apapun, Fifi tidak
menjawabnya, tapi lantas mendekap mulutnya.
Maka terdengarlah Wi Kay-hou sedang berkata:
"Ciamtay-wancu, kejahatan keparat Thio Yan-coan sudah kelewat takaran, biarlah kita bereskan dia lain hari saja dan tidak perlu ter-buru2. Rumah pelacuran ini sangat
menjijikkan, sudah lama ada niatku hendak menumpasnya,
sekarang menjadi kebetulan. Tay-lian, Oh-gi, be-ramai2
kalian masuk kesana dan periksu seluruhnya, satu orangpun tidak boleh lolos."
Murid keluarga Wi, yaitu Hiang Tay-lian dan Bi Oh-gi,
berbareng mengiakan. Menyusul Ting-yat juga cepat
memberi perintah kepada anak muridnya agar mengepung
rapat sekeliling rumah maksiat ini.
Sebagai Nikoh, tidak leluasa bagi mereka berterobosan di rumah pelacuran, sekarang Wi Kay-hou bersama muridnya
tampil untuk menggeledahnya, tentu saja kebetulan bagi
Ting-yat Suthay.
Gi-lim menjadi kelabakan, didengarnya suara bentakan
anak murid keluarga Wi sedang mengobrak-abrik rumah
pelacuran itu, mereka memeriksa satu kamar demi satu
kamar, Wi-kay-hou dam Ciamtay Cu-ih mengawasi
disamping. Terdengar jerit tangis orang, agaknya Okui atau germo
serta pembantunya telah dihajar oleh rombongan Hiang
Tay-lian. Ditambah lagi anak murid Tang-wan yang ingin
melampiaskan kematian temannya yang dibunuh Thio Yancoan itu, mereka pun ikut beraksi, semua alat perabot
rumah pelacuran itu telah dihancurkan mereka.
Terdengar rombongan Hiang Tay-lian sudah mulai
memeriksa kamar2 samping, sebentar lagi pasti akan
sampai dikamar tempat persembunyinya. saking cemasnya
hampir saja Gi-lim jatuh kelengar, Pikirnya: "Suhu datang hendak menyelamatkan diriku, tapi aku tidak bersuara,
sebaliknya mengeram di kamar rumah pelacuran bersama
seorang lelaki. Meski dia terluka parah, tapi bila orang2
Thay-san-pay dan Hong-hoa-wan itu membanjir tiba dan
mempergoki dirinya, biarpun aku punya seribu mulut juga
sukar memberi penjelasan dan mencuci bersih diriku. Jika nama baik Siong-san-pay sampai tercemar, cara bagaimana
aku harus bertanggung-jawab terhadap Suhu dan para
Suci?" Karena merasa berdosa dan putus asa, mendadak ia
hendak membenturkan kepalanya di dinding untuk
membunuh diri. Syukur Fifi keburu menariknya sambil membentak
dengan suara tertahan: "Jangan! Marilah kita menerjang keluar!"
Tapi mendadak terdengar suara 'kresak kresek', tahu2
Sau Peng-lam telah berbangkit dan berduduk di tempat
tidur, ucapnya dengan pelahan:' Nyalakan lilin!"
"Untuk apa"!" tanya Fifi.
"Kubilang nyalakan lilin!" kata Peng-lam pula, suaranya kereng.
Fifi tidak tanya lagi, ia mengetik api dan menyulut lilin.
Di bawah cahaya lilin Gi-lim dapat melihat muka Sau
Peng-lam yang pucat pasi seperti mayat itu, tanpa terasa ia menjerit pelahan.
Tiba2 Sau Peng-lam menunjuk mantelnya yang tertaruh
diujung tempat tidur dan berkata: "Sampirkan mantel itu pada tubuhku!"
Dengan gemetar Gi-lim melaksanakan permintaan Sau
Peng-lam itu. Peng-lam memegangi dada baju mantel itu untuk
menutupi luka dan noda darah dibagian dada, lalu berkata:
"Lekas kalian berbaring ditempat tidur."
Kik fi-yan mengikik-tawa, katanya: "Hah, permainan
menarik" Segera ia menarik Gi-lim dan menyusup ke dalam selimut.
Dalam pada itu orang2 diluar sudah melihat cahaya lilin
di kamar ini, terdengar beberapa orang berseru: "Coba periksa kamar itu!"
Serentak membanjirlah orang2 itu
kearah sini. Sekuatnya Sau Peng-lam melangkah maju dan merapatkan daun pintu serta dipalang sekalian, lalu ia
berpaling dan memandang ketempat tidur, segera ia
mendekati ranjang itu dan menyingkap kelambu, katanya:
"Semuanya menyusup kedalam selimut!"
"Kau .... kau jangan bergerak, hati2 dengar lukamu . . . ."
kata Gi-lim. Tapi Peng-lam lantas mendorong kepala Gi-lim kedalam
selimut, sebaliknya rambut Fi-yan yang panjang itu
ditariknya keluar dan dilebarkan diatas bantal.
Karena mendorong dan menarik ini, Peng-lam merasa
darah mengucur keluar lagi dari lukanya. Kakinya terasa
lemas, ia berduduk ditepi ranjang.
Sementara itu orang2 tadi sudah datang, ada yang
sedang menggedor pintu dan ada yang berteriak: "Hayo buka pintu, bangsat!"
Menyusul lantas terdengar suara "blang" yang keras, pintu kamar telah didobrak hingga terpentang, beberapa
orang menerjang masuk sekaligus. Dan orang yang paling
depan adalah murid Tang-wan yaitu Ji Ci-eng dan Ci Cihiong, sesudah isrirahat di Thay-an kemarin dan merasa
mulai sehat, segera mereka menyusul kesini untuk
bergabung dengan gurunya.
Mereka menjadi kaget demi mengetahui siapa yang
berada di dalam kamar ini, teriak mereka: "He, kau Sau . . .
. Sau Peng-lam!. . . ."
Mungkin karena pernah didepak hingga mencelat,
mereka menjadi kapok dan kuatir tertendang lagi, serentak mereka menyurut mundur, suara merekapun terasa
gemetar. Hiang Tay-lian dan Bi Oh-gi tidak kenal Sau Peng-lam,
tapi mereka mendengar cerita Gi-lim, katanya Sau Penglam sudah dibunuh Lo Ci-kiat. Kini Ci-eng dan Ci-hiong
berteriak nama Sau Peng-lam, mereka terkesiap dan tanpa
terasa melompat mundur juga, Semuanya terbelalak
memandangi Peng-lam.
Pelahan Peng-lam berdiri, ucapnya: "Kalian....kalian sebanyak ini. . . ."
"Sau Peng-lam," potong Ci-hiong, "kiranya....kiranya kau tidak mati. . . ."
"Hm, masa begitu gampang mati?" jengek Peng-lam.
Segera Ciamtay Cu-ih memburu maju, serunya: "Jadi
kau inilah Sau Peng-lam" Bagus, bagus sekali!"
Peng-lam memandangnya sekejap tanpa menjawab.
"Apa yang kau lakukan dirumah pelacuran ini"! tanya Ciamtay Cu-ih.
"Hahahaha!" Peng-lam bergelak tertawa. "Ini namanya sudah tahu sengaja tanya. Memangnya kerja apa orang
berada di rumah pelacuran?"
"Biasanya peraturan perguruan Soh-hok-han di Huiciu terkenal sangat keras, sebagai murid tertua Lam-han,
ahliwaris Kun cu-kiam Sau-siansing, kabarnya kau pun
pernah mengangkat guru kepada Tong-thian Totiang dari
Bu-tong, seorang tokoh muda yang mengemban tugas suci
dua aliran besar didunia persilatan, tapi sekarang


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diketemukan mengeram dirumah pelacuran, sungguh lucu
dan menggelikan!" demikian Ciamtay Cu-ih ber-olok2.
"Bagaimana peraturan Lam-han dan Bu-tong semua itu
adalah urusan kami dan tidak perlu orang lain ikut
merisaukannya," jawab Peng-lam.
Ciamtay Cu-ih cukup berpengalaman, melihat air muka
Peng-lam pucat dan badan gemetar, jelas tanda terluka
parah, ia menjadi sangsi ada sesuatu yang tidak beres. Tiba2
terpikir olehnya: "Nikoh cilik dari Siong-san-pay itu bilang bocah ini telah dibinasakan Ci-kiat, kenyataannya bocah ini belum mati, jelas Nikoh cilik itu sengaja berdusta. Dari cara
bicaranya yang menyebut Sau-toako dengan mesra, bisa
jadi mereka berdua sudah ada hubungan pribadi yang
intim." Lalu terpikir pula olehnya: "Orang jelas melihat Nikon cilik itu masuk kerumah pelacuran ini, tapi sekarang
jejaknya menghilang tanpa bekas. mungkin sekali disembunyikan oleh bocah she Sau ini. Hm Ngo-tay-lianbeng mereka suka mengaku sebagai Beng-bun-cing-pay dan
memandang hina Hong-hoa-wan kami, maka sekarang aku
harus berusaha menemukan Nikoh Cilik itu disini, dengan
demikian bukan cuma Lam-han dan Siong-san-pay saja
yang malu, bahkan Ngo-tay-lian-beng juga akan tercorengmoreng mukanya sehingga tidak berani omong besar lagi
didunia Kangouw."
Segera ia memandang seluruh kamar itu, ternyata tiada
seorang lainpun, ia pikir mungkin Nikoh cilik itu
disembunyikan diatas tempat tidur, segera ia berseru: "Ci-eng, coba singkap kelambunya, besar kemungkinan ada
tontonan menarik di tempat tidur itu."
Ci-eng mengiakan dan melangkah maju. Tapi dia pernah
dikerjai Sau Peng-lam, tanpa terasa ia memandang Penglam sekejap dengan ragu2.
"Apakah kau sudah bosan hidup?" kata Peng-lam.
Ci-eng merandek, tapi mengingatt Suhu berjaga
dibelakang, rasa jerinya lantas hilang. "Sret", segera ia melolos pedangnya.
"Mau apa kau?" tanya Peng-lam kepada Ciamtay Cu-ih.
"Siong-san-pay kehilangan seorang murid perempuan,
ada orang melihat dia masuk kerumah bordil ini, maka
kami harus mencarinya," jawab Ciamtay Cu-ih.
"Urusan dalam Ngo-tay-lian-beng masa perlu orang
lautan sana seperti dirimu ini untuk ikut campur?" jengek Peng-lam.
"Pokoknya urusan hari ini harus kuselidiki hingga jelas."
kata Ciamtay Cu-ih tegas. "Ci-eng, kerjakan!"
Sambil mengiakan segera Ci-eng menjulurkan pedangnya
untuk menyingkap kelambu.
Saat itu Gi-lim dan Fifi saling rangkul bersembunyi
didalam selimut, semua percakapan Sau Peng-lam dengan
Ciamtay Cu-ih itu dapat didengar mereka dengan jelas,
diam2 mereka mengeluh bisa celaka jika mereka sampai
dipergoki bersembunyi disitu, tubuh mereka menjadi
gemetar. Waktu Ci-eng menyingkap kelambu, sungguh takut
mereka tak terhingga. Serentak pandangan semua orang
tertuju keatas ranjang, tertampaklah di dalam selimut
bersulam indah itu memang ada orangnya, tapi dibantal
jelas pula kelihatan rambut panjang terurai, selimut
bersulam itu kelihatan bergetar, nyata orang yang sembunyi disitu sangat ketakutan.
Ciamtay Cu-ih merasa kecewa demi nampak rambut
panjang yang terurai di atas bantal itu, jelas orang yang bersembunyi ini bukan Nikoh cilik yang berkepala gundul.
Rupanya Sau Peng-lam ini memang benar lagi tidur dengan
pelacur. Sau Peng-lam lantas mendengus.: "Ciamtay-wancu,
konon ilmu yang kau latih adalah Tong-cu-kang (ilmu dasar kanak2),
selama hidupmu belum pernah melihat perempuan yang telanjang bulat, jelas kau pun tidak berani masuk rumah bordil dan main perempuan. Sekarang
mumpung ada kesempatan, kenapa tidak suruh muridmu
menyingkap selimut agar kau bisa bertambah pengalaman?"
Ucapan Peng-lam ini sebenarnya sangat berbahaya,
hanya gertak sambel belaka. Cuma ia yakin sebagai seorang guru-besar suatu aliran termashur, tentu Ciamtay Cu-ih
menjaga gengsi dan tidak berani sengaja memandang
seorang perempuan jalang yang telanjang didepan orang
sebanyak ini. Betul juga, Ciamtay Cu-ih menjadi gusar dan
membentak: "Omong kosong! Kentut belaka!" "Berbareng sebelah tangannya lantas memotong kedepan
Peng-lam mengegos kesamping, tapi lantaran dia terluka
parah, gerak geriknya kurang leluasa pukulan Ciamtay Cuih inipun sangat lihay, karena sampukan angin pukulan
yang dahsyat itu, ia jatuh terguling ditempat tidur, tapi sekuatnya ia bangkit kembali, namun darah segar lantas
tersembur keluar dari mulutnya.
Segera Ciamtay Cu-ih bermaksud menghantam lagi.
mendadak diluar jendela ada orang berteriak memaki: "Hai, tua menganiaya muda, tidak tahu malu"!"
Belum lagi kata2 terakhir "malu" itu lenyap serentak Ciamtay Cu-ih memutar balik tangannya dan menghantam
keluar jendela, menyusul ia melayang keluar.
Dibawah cahaya lilin yang menvorot keluar dari kamar,
dilihatnya seorang bungkuk bermuka buruk sedang h^edak
lari kepojok halaman sana, "Berhenti!" bentak Ciamtay Cu h dengan suara menggelegar.
Si bungkuk itu tak-lain-tak-bukan adalah samaran Soat
Peng-say. Tadi setelah menghadapi Ciamtay Cu-ih di tempat Wi
Kay-hou, pada waktu Kik Fi-yan muncul dan menjadi pusat
perhatian orang banyak, kesempattan itu lantas digunakan Peng-say untuk mengeluyur keluar. Baru saja sampai di
serambi, tahu-tahu Soat Ko-hong melayang tiba dan
menepuk pelahan punggungnya yang dibuat bungkuk itu
sambil menegur: "He, bungkuk palsu, kenapa kau menyaru orang bungkuk" Memangnya apa paedabnya menjadi orang
bungkuk" Sebab apa pula kau mengaku sebagai anak
muridku?" Peng-say tahu tabiat orang ini agak aneh, ilmu silatnya
juga sangat tinggi, apabila jawabannya kurang tepat, bisa jadi akan mendatangkan kematian. Tapi diruangan besar
tadi dirinya telah menyebutnya sebagai "Soat-tayhiap" yang budiman dan suka menolong kaum lemah, jadi tidak
berbuat sesuatu yang merugikan dia, asalkan dirinya tetap bersikap demikian, rasanya orang tiada alasan buat marah.
Maka Peng-say lantas menjawab: "Soalnya Wanpwe
sering nmndengar cerita orang bahwa Soat-tayhiap sangat
disegani orang dan suka menolong orang yang kepepet,
sebab itulah tanpa sadar Wanpwe lantas menyamar seperti
bentuk Soat-tayhiap, untuk kelancanganku ini mohon
dimaafkan."
"Hahaha. kau bilang aku ini suka menolong orang, suka rmmbantu yang lemah dan memberantas yang jahat, semua
itu ngaco-belo belaka, seru Soat Ko-hong dengan gelak
tertawa. Sudah tentu dia tahu ucapan Peng-say itu hanya bualan
belaka. Tapi di dunia ini manusia mana yang tidak suka
diumpak dan dipuji" Begitu pula orang Kangouw, semakin
tinggi ilmu silatnya, semakin ingin mendapatkan nama.
Sebenarnya di dunia persilatan Soat Ko-hong tidak
disukai orang, seumpama ada yang bicara langsung dengan
dia, paling2 juga cuma memuji ilmu silatnya yang tinggi
dengan pengalamannya yang luas, tapi tidak pernah orang
memuji tindak-tanduknya yang luhur budi apa segala.
Tentu saja ia senang mendapat pujian Peng-say, ia
mengamati anak muda itu sejenak, lalu berkata: "Siapa namamu" Murid perguruan mana?"
"Wanpwe kebetulan juga she Soat, jadi bukan sengaja memalsukan she jang sama dengan Cianpwe." jawab Peng-say.
"Hm, tidak sengaja apa" Jelas kau hendak menggunakan nama Yaya untuk menggertak dan menipu orang," jengek Soat Ko-hong. "Padahal Ciamtay Cu-ih itu adalah seorang tokoh sakti dunia persilatan saat ini, dengan satu jari saja dia sanggup membinasakan kau, tapi kau berani bersikap
kasar padanya. H m, besar juga nyalimu!"
Bila mendengar nama Ciamtay Cu-ih, seketika Peng-say
jadi kheki, segera ia berteriak: "Selama Wanpwe masih bernapas, pasti akan kubunuh jahanam ini dengan tanganku sendiri!"
Soat Ko-hong merasa heran. tanyanya: "Memangnya
Ciamyay Cu-ih ada permusuhan apa dengan kau?"
Peng-say ragu2 sejenak, ia pikir kalau
melulu mengandalkan tenaga sendiri jelas sukar menyelamatkan
adiK Leng, apa salahnya jika sekalian kusembah dia lagi
dan mohon pertolongannya"
Segera ia berlutut dan menyembah beberapa kali,
tuturnya: "Adik perempuan Wanpwe jatuh di bawah
cengkeraman jahanam itu, maka kumohon dengan sangat
sudilah kiranya Cianpwe bantu menolongnya."
Soat Ko-hong berkerut kening dan menggeleng berulang2, katanya; "Pekerjaan yang tidak mendatangkan untung, selamanya tidak mau dilakukan si bungkuk she
Soat. Siapakah adik perempuanmu" Apa manfaatnya
setelah kuselamatkan dia?"
Sampai disini percakapan mereka, tiba-tiba terdengan
disamping pintu sana ada orang berseru dengan suara
tertahan: "Lekas laporkan kepada Suhu bahwa kembali seorang murid Tang-wan terbunuh, seorang murid Siong-san-pay juga terluka dan sempat lari pulang."
Maka Soat Ko-hong tidak tanya lebih lanjut, ia berkata:
"Urusanmu boleh kita bicarakan lagi nanti, di depan mata ada tontonan menarik. jika kau ingin tambah pengalaman
boleh ikut pergi melihatnya."
Peng-say pikir asalkan masih berada disamping si
bungkuk ini, tentu masih ada kesempatan untuk mohon
bantuannya. Maka ia lantas menjawab: "Baik, kemana
Cianpwe pergi, kesana pula Wanpwe akan ikut."
"Supaya kau tdak kecewa, biarlah kita bicara dimuka, bahwa urusan apapun harus menguntungkan barulah akan
kulakukan, jika kau cuma menyanjung puji dimulut saja
dan menghendaki kakek keluar tenaga bagimu, maka
urusan ini jangan kau sebut lagi." demikian kata Soat Ko-hong.
Tentu saja Peng-say melenggong dan tidak tahu
bagaimana jawabnya.
Mendadak Soat Ko-hong berkata- "Mereka sudah
berangkat, hayolah ikut padaku!" "Serentak Peng-say merasa pergelangan tangan kanan terpegang kencang, tahu2
tubuhnya sudah terapung terus dilarikan sepanjang jalan
kota. Setiba di rumah pelacuran "Kun-giok-ih" itu, Soat Ko-hong membisiki Peng-say agar jangan bersuara. Mereka
bersembunyi dibalik pohon dan mengintai gerak-gerik orang di dalam rumah itu.
Di tempat sembunyinya mereka dapat mendengar
dengan jelas pertarungan antara Thio Yan-coan dan
Ciamtay Cu-ih, lalu Wi Kay-hou dan anak buahnya
mengobrak-abrik Kun-giok-ih, kemudian Sau Peng-lam
unjuk diri. Ketika Ciamtay Cu-ih hendak menyerang Sau Peng-lam
pula, Peng-say tidak tahan, ia lantas berteriak: "Tua menganiaya muda, tidak tahu malu."
Setelah bersuara barulah Peng say menyadari kecerobohannya segera ia putar tubuh dan hendak
sembunyi, tak terduga gerakan Ciamtay Cu-ih terlalu cepat baginya, begitu membentak: "Berhenti", serentak angin pukulan juga mengurung seluruh tubuh anak muda itu,
apabila tenaga pukulan dikerahkan sepenuhnya, bukan
mustahil isi perut Soat Peng-say akan hancur dan tulang
patah. Tapi demi melihat siapa anak muda itu, Ciam-tay Cu-ih
menjadi jeri terhadap Soat Ko-hong dan urung mengerahkan tenaga pukulannya.
"Hm, kiranya kau"!" jengeknya, sorot matanya tertuju ke arah Soat Ko-hong yang berdiri di Sana dan berkata pula:
"Soat-tocu, berulang kali kau hasut anak muda ini merecoki diriku, sebenarnya apa maksudmu?"
Soat Ko-hong ter-bahak2, "Bocah ini mengaku sebagai anak-cucuku, padahal aku tidak pernah kenal dia. Dia she Soat sendiri, apa sangkut pautnya dengan diriku yang juga she Soat" Ciamtay-wancu, bukanlah si bungkuk takut
padamu, soalnya aku tidak ingin menjadi tameng bagi
seorang anak muda keroco begini, Menjadi tameng harus
ada untungnya, bila pekerjaan tanpa menghasilnya,
betapapun si bungkuk tidak sudi melakukannya."
Ciamtay Cu-ih bergirang oleh keterangan Soat Ko-hong
itu, cepat ia berkata: "Jika benar orang ini tiada sangkut pautnya dengan Soat-heng, baiklah, akupun tidak perlu
sungkan2 lagi padamu."
Selagi ia menghimpun tenaga untuk menyerang pula,
tiba-tiba didalam jendela ada orang menjengek: "Hm, tua menganiaya muda, tidak tahu malu!"
Ciamtay Cu-ih menoleh, dilihatnya seorang berdiri di
balik jendela, siapa lagi kalau bukan Sau Penq-lam.
Tidak kepalang murka Ciamtay Cu-ih karena disindir
Sana sini. Tapi "tua menganiaya yang muda, tidak tahu malu", kata2 ini memang tepat mengenai sasarannya,
padahal iimu silat kedua orang di depannya ini jauh di
bawahnya, untuk membunuhnya boleh dikatakan terlalu
mudah baginya. Namun tuduhan "Tua menganiaya muda"
memang sukar dielakkan, dan kalau benar orang tua
menganiaya anak muda, jelas perbuatan ini "tidak kenal malu" Sebaliknya kalau dia mengampuni mereka secara begini saja, rasanya iapun penasaran.
Maka ia lantas mendengus dan berkata kepada Sau Penglam: "Urusanmu biarlah kelak kubereskan dengan gurumu."
" Lalu ia berpaling dan berkata kepada Soat Peng-say:
"Siaucu (anak kecil. coba katakan, kau ini murid perguruan aliran mana?"
"Bangrat!" kontan Peng-say mendamperat. "Kau telah menculik adik Leng, sekarang kau malah menanyai diriku?"
Ciamtay Cu-ih menjadi heran dan bingung, pikirnya:
"Aneh, bilakah pernah kuculik adik Leng-mu segala"
Sedangkan kenal kau saja tidak?"
Tapi didepan orang banyak ia merasa tidak enak untuk
bertanya, ia coba menoleh dan berkata kepada muridnya:
"Ci-eng, binasakan bocah ini, kemudian tangkap Sau Peng-lam."
Kalau muridnya yang disuruh maju, dengan sendirinya
tak dapat lagi dikatakan "tua mengaiaya muda", Ci-eng mengiakan, segera ia melolos pedang dan melompat
maju. Peng-say juga akan melolos pedangnya, tapi baru saja
tangannya bergerak, tahu2 golok melengkung Ci-eng sudah
menyambar tiba dan mengancam didepan dadanya.
Tanpa pikir Peng-say berteriak: "Ciamtay Cu-ih, aku dan Soat Koh . . . ."
Ciamtay Cu-ih terkejut demi mendengar Peng-say
menyebut nama "Soat Koh". Cepat tangan kirinya memukul sehingga golok Ci-eng tergetar kesamping dan
menyambar lewat di sisi tubuh Peng-say. "Kau bilang apa?" tanya Ciamtay Cu-ih.
"Kubilang sekalipun hari ini aku Soat Peng-say harus mati juga berharga karena akupun telah membunuh
anakmu!" jawab Peng-say nyaring.
"Apa . . . .apa katamu" Jadi . . . jadi kau inilah salah seorang pembunuh anakku?" tanya Ciamtay Cu-ih.
Peng-say sudah nekat, ia tahu tiada gunanya menutupi
rahasia dirinya lagi, biarlah mati secara terang2an saja.
Maka koyok yang menghiasi mukanya segera dibuangnya,
"bret", ia menarik baju luarnya dan membuang semua ganjel punggungnya, seketika ia berdiri tegak lurus, mana lagi ada si bungkuk bermuka buruk segala, kini ia sudah


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali sebagai pemuda yang gagah.
"Betul, aku inilah salah seorang pembunuh anakmu,"
demikian ia berteriak lantang "Puteramu menculik gadis orang, aku dan Soat Koh yang membunuhnya. Jika kau
ingin menuntut balas bagi anakmu. boleh kau bunuh saja
diriku. Tapi kau telah menculik adik Leng, kemana kau
sembunyikan dia" Hendaklah kau tahu, kematian anakmu
tiada sangkut pautnya dengan adik Leng, masa karena
kematian anakmu itu lantas kau hendak paksa adik Leng
menjanda selama hidup?"
"Kurangajar!" damperat Ciamtay Cu-ih. "Pantas tempo hari tidak kutemukan kau, kiranya kau mencampurkan
dirimu di tengah anak murid Lam-han sehingga aku tertipu.
Sekarang ingin kutanya padamu, dimana Soat Koh" Ilmu
pedang gabungan kalian yang digunakan membunuh
anakku apakah.... apakah ajaran Sau Kim-leng?"
Sebenarnya ia hendak tanya "apakah Siang-liu-kiamhoat", tapi kuatir pertanyaannya ini akan menimbulkan hasrat Soat Ko-hong untuk memiliki ilmu pedang ini, lalu Soat Peng-say akan dijadikan sandera lagi. jika demikian urusan tentu akan bertambah panjang.
Nama Siang-liu-kiam-hoat didengarnya dari Ciamtay
Boh-ko sebelum mengembuskan napasnya yang terakhir.
yaitu ketika Ciamtay Cu-ih baru turun dari kapalnya dan
melihat anaknya terkapar di dermaga, pada detik terakhir itulah Ciamtay Boh-ko sempat memberitahu kepada
ayahnya bahwa dia dilukai oleh gabungan dua pedang yang
disebut Siang-liu-kiam-hoat.
Tadinya Ciamtay Cu-ih mengira perempuan yang
membunuh anaknya itu memakai dua pedang sekaligus,
gabungan sepasang pedang itulah yang disebut Siang-hukiam-hoat Padahal sudah lama ia-pun mengincar ilmu
pedang maha sakti itu, sebab itulah dia bertekad akan
mencari perempuan yang bernama Soat Koh itu sehingga
terhadap pembantu pembunuh yang lain tidak begitu
diperhatikannya.
Tapi kemudian lantas teringat pula olehnya ucapan Sau
Ceng-in dahulu bahwa Siang-liu-kiam-hoat
sukar diyakinkan oleh seseorang terkecuali orang itu memang
jenius dan tekun berlatih selama berpuluh tahun. Apabila dilatih dua orang, masing2 berlatih setengah bagian,
hasilnya memang bolehlah, tapi juga sukar mencapai
puncaknya. Sekarang kematian anaknya itu menurut keterangan kuli
pelabuhan akibat dikerubut seorang perempuan dibantu
seorang lelaki. Jelas pesan Ciam-tay Boh-ko sebelum ajal itu tentang gabungan dua pedang, maksudnya gabungan
permainan pedang dua orang yang terdiri dari laki2 dan
perempuan. Sebab kalau Soat Koh seorang mahir memainkan Siang-liukiam-hoat tentu cukup kuat untuk membunuh anaknya,
untuk apa mesti dibantu pula oleh seorang lelaki"
Sebab itulah dia memastikan orang yang membunuh
anaknya itu terdiri dari sepasang lelaki dan perempuan yang masing2 mahir memainkan setengah bagian Siang-liu-kiam-hoat, untuk mendapatkan ilmu pedang sakti itu, tidak
cukup melulu mencari Soat Koh saja dan harus pula
menemukan si lelaki itu.
Tapi kemanakah mencarinya" Soat Koh sudah diketahui
namanya, Kiau Lo-kiat juga sudah menjelaskan bentuk
wajahnya, rasanya masih dapat ditemukan. Sedangkan
lelaki itu tidak jelas namanya dan juga tak diketahui bentuk Wajahnya, lalu cara bagaimana akan mencarinya"
Diluar dugaan, tanpa dicari malah orangnya sudah
mengaku sendiri sebagai salah seorang pembunuh anaknya.
Keruan ia kegirangan. lebih2 setelah mengetabui ilmu silat Soat Peng-say hampir tidak ada artinya, tapi bersama Soat Koh dapat membunuh anaknya, jelas hal ini disebabkan
jasa gabungan kedua pedang dari Siang-liu-kiam-hoat.
Ia pikir setelah satu tertangkap, yang lain tentu tidak sulit untuk ditawan pula. Asalkan kedua orang sudah tertangkap semua, maka Siang-liu-kiam-hoat secara lengkap berarti
akan diperolehnya pula. Terdorong oleh hasrat ingin
memiliki ilmu pedang maha sakti itulah, lebih dulu ia lantas tanya Soat Peng-say dimana beradanya Soat Koh.
Begitulah dengan ketus Peng-say lantas menjawab: "Hm, kau kira ilmu pedang yang kami gunakan untuk membunuh
puteramu itu adalah ajaran Sau Kim-leng" Hah. kau salah
besar! Memangnya kau kira sebelum meninggal ibu Sau
Kim-leng akan memberitahukan kunci ilmu pedang Siangliu-kiam-hoat kepada anak perempuannya" Haha, biar
kukatakan sejujurnya kepadamu, ibu Sau Kim-leng juga
tidak paham Siang-liu-kiam-hoat, jadi tidak ada gunanya
sama sekali biarpun kau culik adik Leng."
Dia kuatir Ciamtay Cu-ih akan kecewa, lalu membunuh
Cin Yak-leng, maka sejauh ini dia belum berani
membongkar rahasia penyamaran Cin Yak-leng. Ia
bermaksud mengalihkan persoalannya kepada dirinya
sendiri agar Ciamtay Cu-ih merasa tidak bermanfaat
membawa pulang "Sau Kim-leng", dan kalau Cin Yak-leng sudah lolos dari cengkeraman maut, andaikan dirinya harus mati mengganti nyawa Ciamtay Boh-ko juga terasa
berharga. Sekarang iapun paham maksud tujuan Ciamtay Cu-ih
menyuruh Ciamtay Boh-ko membawa pulang Sau Kim-leng
kelautan timur, tidaklah masuk diakal puteranya sendiri
disuruh mengawini puteri kandungnya sendiri pula. Jadi
jelas pasti ada tujuan lain.
Sesungguhnya Ciamtay Cu-ih memang tiada maksud
menyuruh puteranya sendiri berbuat sebiadab itu, soalnya dia mengira nyonya Sau Ceng-in pasti tahu rahasia Siang-liu-kiam-hoat. Kalau Sau Ceng-in sudah mati. di dunia ini
hanya Sau-hujin saja satu2nya orang yang tahu ilmu pedang maha sakti itu.
Sebab itulah ketika Sau-hujin mencari suaminya ke
lautan timur, dengan obat bius dia berhasil mengerjai Sau-hujin, lebih dulu ia menodai kesucian Sau-hujin, lalu
dengan berbagai cara bujuk rayu untuk memikat nyonya
Sau, ia mengira dengan jerih payahnya itu. setelah nyonya Sau mau menjadi isterinya, maka rahasia Siang-liu-kiam
hoat nanti juga akan diberitahukan kepadanya.
Untuk menutupi maksud busuknya itu, sejauh itu ia
tidak pernah menyinggung tentang Siang-liu-kiam-hoat
segala. yang diperlihatkan hanya kemesraanya sebagai
tanda bahwa sebabnya dia menodai tubuh Sau-hujin adalah
karena dia jatuh cinta kepada kecantikannya.
Padahal waktu itu usia Sau-hujin sudah lebih 30 tahun,
sakalipun cantik juga sudah tergolong setengah baya.
Sebaliknya Ciamtay Cu-ih adalah penguasa suatu pulau,
biarpun di rumahnya sudah ada sekian isteri dan sekian selir seperti hidup raja-raja di Tionggoan, tapi banyak juga
haram yang jauh lebih cantik daripada Sau-hujin.
Jadi cintanya kepada Sau-hujin hanya bertujuan
mengorek rahasia Siang-liu-kiam-hoat. Di luar dugaan,
hasil dari cinta itu akhirnya Sau-hujin hamil dan
melahirkan anak perempuan.
Dengan demikian Ciamtay Cu-ih tambah yakin Sauhujin pasti akan setia kepadanya, soal rahasia Siang-liu-kiam-hoat akhirnya pasti akan diceritakan padanya. Sebab itulah pengawasannya terterhadap nyonya Sau itupun mulai kendur.
Tak tersangka meski Sau-hujin telah melahirkan puteri
baginya, dia masih tetap dendam kepada Ciamtay Cu-ih
yang telah menodai dia. Secara diam2 iapun berusaha
mengatur jalan untuk kabur, terutama pada saat
pengawasan Ciamtay Cu-ih sudah mulai kendur. Akhirnya,
pada suatu hari Sau-hujin sengaja mencekoki arak Ciamtay Cu-ih hingga mabuk, lalu ditikamnya dan lari pulang ke
Tionggoan dengan membawa anak perempuannya.
Cuma sayang, tikaman Sau-hujin itu tidak membinasakan Ciamtay Cu-ih melainkan cuma terluka
parah saja dan mengalami kelumpuhan.
Kelumpuhan itu berlangsung belasan tahun, tapi selama
belasan tahun itu Ciamtay Cu-ih juga tidak melupakan
rahasia Siang-liu-kiam-hoat. Walaupun didapat kabar
bahwa Sau-hujin sudah meninggal, tapi ia yakin anak
perempuannya pasti diwarisi rahasia ilmu pedang sakti itu, ia berharap akan mendapatkan ilmu pedang itu melalui diri anak perempuannya.
Tapi lantas terpikir lagi setelah anak perempuannya
mendapat didikan Sau-hujin, mungkin anak itupun tidak
condong kepada dirinya, tentu juga serupa sang ibu dan
dendam padanya. Maka agar harapannya bisa terkabul ia
perlu mencari suatu akal supaya anak perempuan itu mau
membeberkan dengan sukarela rahasia Siang-liu-kiam-hoat.
Karena itulah dia lantas pakai alasan ada kebiasaan di
negeri kepulauan sana dan menyurub Ciamtay Boh-ko ke
Tionggoan untuk membawa pulang Siu Kim-leng, ia
sengaja menyuruh anak dara itu kawin dengan kakaknya
sendiri, dalam keadaan takut, bila si nona mohon jangan
dikawinkan dengan kakaknya, maka Sau Kim-leng akan
dipaksa membeberkan rahasia Sinng-liu-kiam-hoat sebagai
imbalannya. Kemudian Ciamtay Boh ko keburu mati terbunuh, tapi
Ciamtay Cu-ih tetap tidak lupa menakuti anak perempuan
kandung sendiri dengan sengaja hendaK menyuruh dia
menjanda selama hidup. Dengan demikian bila Sau Kimleng dibawa pulang ke Tang-hay dan nanti mohon
diampuni agar tidak menjanda atau boleh juga pulang ke
Tionggoan untuk kawin lagi dengan orang lain, permintaan inipun akan diluluskan asalkan si nona membeberkan
rahasia Siang-liu-kiam-hoat.
Begitulah, hanya demi memperoleh rahasia Siang-liukiam-hoat, segala akal dari jalan licik dan kotor digunakan Ciamtay Cu-ih, sampai2 anak sendiripun tidak segan
dikorbankan. Dari sini pula dapat diketahui betapa tinggi nilai dan menariknya Siang-liu-kiam-hoat bagi tokoh kelas Wahid seperti dia ini.
Dan karena tujuan Ciamtay Cu-ih hanya pada Siang-liukiam-hoat, menculik Sau Kim-leng pulang ke Tang hay
hanya sebagai alasan belaka. Kini melihat Soat Peng-say
membela si nona yang disangkanya sebagai Sau Kim-leng
dengan mati2an, ia lantas bertanya: "Apakah kau suka kepada Sau Kim-leng" Baik juga, asal kau ikut aku pulang ke Tang-hay, maka dia takkan kusuruh menjanda bagi
anakku yang mati itu, malahan akan kuberi kebebasan
kepadanya disana."
Setelah mengikuti pembicaraan mereka, Sau Peng-lam
dapat meraba maksud tujuan Ciamtay Cu-ih, sambil
bersandar diambang jendela ia berseru: "Soat-locianpwe, keluarga Sau dari Pak-cay ada sejurus Siang-liu-kiam-hoat, barang siapa memperolehnya akan tiada tandingannya di
kolong langit ini. Tampaknya Ciamtay-wancu menjadi
merah matanya dan mengiccar ilmu pedang itu, makanya
dia sengaja menculik satu2nya keturunan keluarga Sau,
tujuannya jelas ingin mengorek kunci ilmu pedang sakti itu, tapi.
. . ." Bicara sampai disini ia tidak tahan lagi, kerongkongan
terasa anyir dan darah hampir tersembur lagi, sekuatnya ia
bertahan dan melangkah mundur dengan sempoyongan,
akhirnya ia jatuh terduduk ditepi rajang.
Tapi segera teringat olehnya Gi-lim masih tersembunyi
didalam selimut, orang adalah Cut-keh-lang yang suci
bersih, mana boleh dirinya berduduk ditepi tempat
tidurnya. Cepat ia bermaksud berdiri lagi, tapi terasa tidak bertenaga,
Dalam pada itu, setelah Soat Ko-hong mendengar
keterangan tentang Siang-liu-kiam-hoat milik keluarga Sau dari Pak-cay, barang siapa memperolehnya akan tiada
tandingannya didunia, sungguh berita ini membuatnya
terkesiap, padahal selama ini belum pernah didengarnya
Siang-liu-kiam-hoat
itu milik keluarga Sau, yang didengarnya cuma berita "Siang-liu-kiam-hoat nomor satu di dunia!
Ia pikir tanpa angin tidak nanti menimbulkan
gelombang, kalau bisa terjadi apa yang dilihatnya sekarang tentu pula ada sebab-musababnya.
Anak muda yang menyamar sebagai bungkuk ini jelas
tidak seberapa ilmu silatnya, tapi dia bergabung dengan
seorang perempuan yang bernama Soat Koh dan dapat
membunuh putera Ciamtay Cu-ih dengan Siang-liu-kiamhoat, ini menandakan ilmu pedang itu memang luar biasa.
Kesempatan ini tidak boleh di-sia2kan, asalkan dapat
mengatasi anak muda ini, perempuan yang bernama Soat
Koh itu pasti akan dapat ditemukan melalui keterangannya nanti.
Pribadi Soat Ko-hong sebenarnya tidak tergolong jahat,
cuma wataknya tamak, suka mencari keuntungan. Kini
melihat pada diri Soat Peng-say dapat ditarik manfaat, tentu saja kesempatan ini tidak dilewatkan begitu saja.
Tatkala mana Ciamtay Cu-ih telah menjulurkan tangan
kirinya untuk meraih pundak kanan Soat Peng-say terus
ditarik kesana. Cepat Soat Ko-hong membentak: "Nanti dulu!"
Berbareng iapun melayang maju dan pundak kiri Soat
Peng-say lantas dipegangnya.
Jangan mengira dia seorang bungkuk gemuk dan gerakgeriknya seperti kurang leluasa, ternyata dia dapat bertindak cepat luar biasa, jaraknya dengan Soat Peng-say mestinya cukup jauh, tapi hanya sekali melayang saja dia sudah
sampai di belakangnya dan begitu tangan meraih pundak
arak muda itu segera ditariknya kebelakang.
Padahal saat itu pundak kanan Peng-say sudah lebih
dulu dicengkeram tangan Ciamtay Cu-ih dan terasa seperti dijepit oleh tangan yang kuat, tanpa kuasa ia terseret
kedepan. Tapi mendadak dari belakang pundak kirinya
dicengkeram pula oleh tangan lain serta dibetot kebelakang.
Karena ditarik dan dibetot kedepan dan kebelakang, karuan ruas tulang Peng-say se-akan2 memereteli, hampir saja ia jatuh kelengar saking sakitnya.
Melihat Soat Ko-hong telah ikut turun tangan, Ciamtay
Cu-ih tahu bila tarikannya tidak dihentikan. yang menjadi korban pasti Soat Peng-say, bisa jadi tubuh anak muda itu akan terobek menjadi dua keping. Maka cepat ia ayun golok melengkung
ditangan lain dan membacok sambil membentak: "Lepas tangan, Soat-heng!"
Cepat Soat Ko-hong juga mengayun tangannya, "trang", golok Ciamtay Cu-ih tertangkis, tangan si bungkuk ternyata sudah bertambah dengan sebuah roda yang bercahaya emas
kemilau. Roda ini terus berputar, sekeliling roda terpasang delapan pisau kecil.
Tangan Ciamtay Cu-ih tergetar kaku, ia tahu tenaga
dalam lawan sangat hebat, segera ia putar goloknya dengan kencang, hanya sekejap saja ia sudah membacok delapan
kali, serunya: "Soat-heng, tiada permusuhan apapun, untuk apa moeti bertengkar lantaran bocah ini?"
Soat Ko-hong memutar rodanya, pisau kecil pada
rodanya itu dapat menangkis semua serangan Ciamtay Cuih. ia menjawab: Ciamtay-wancu, di depan orang banyak
tadi bocah ini sudah menyembah dan memanggil kakek
padaku, hal ini didengar dan disaksikan orang banyak.
Meski Cayhe dengan Ciamtay-wancu tiada permusuhan
apapun, tapi seorang yang telah memanggil kakek padaku
mana boleh kubiarkan dibekuk dan dibunuh olehmu, jika
seorang kakek tidak dapat membela cucunya. selanjutnya
siapa lagi yang mau memanggil kakek padaku?"
Sembari bicara kedua orang terus saling gebrak, suara
nyaring beradunya senjata terus mendering, pertarungan
makin lama makin cepat.
"Soat-heng," kata Ciamtay Cu-ih dengan gusar, "orang ini telah membunuh putera kandungku, dendam ini mana
boleh kubiarkan begitu saja?"
Soat Ko-hong bergelak tertawa, katanya: "Baik, demi kehormatan Ciamiay-wancu, bolehlah kubalaskan sakit
hatimu. Marilah, silakan Ciamtay-heng menarik kesana dan aku pun akan menarik kesini. Satu-dua-tiga, biar kita betot bocah ini menjad dua potong."
Habis bicara, segera ia berteriak pula: "Satu, dua, tiga!"
" Berbareng ia terus menarik sekuatnya, seketika ruas
tulang seluruh tubuh Soat Peng-say se-akan2 retak.
Ciamtay Cu-ih terkesiap, pikirnya: "Wah, jika aku tidak lepas tangan, bocah ini tentu akan mati terobek menjadi
dua."

Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Baginya soal menuntut balas adalah urusan kecil, urusan
Siang-liu-kiam-hoat jauh lebih penting. Jika Siang-liu-kiam-boh belum diperoleh, betapapun ia tidak mau mencelakai
Soat Peng-say. Maka ia lantas lepas tangan dan Soat Pengsay lantas terbetot kesana oleh Soat Ko-hong.
"Hahahaha" Terima kasih?" seru Soat Ko-hong dengan tertawa. "Ciamtay-wancu benar2 sahabat sejati dan baik hati. Demi menghormati si bungkuk, sampai sakit hati
kematian anak tidak kau-balas lagi. Sungguh orang yang
mengutamakan setia kawan seperti dirimu ini boleh
dikatakan tiada bandingannya."
"Asal Soat-heng tahu saja," ujar Ciamtay Cu-ih dengan dingin "Hanya sekali ini saja aku mengalah dan tiada kedua kalinya."
Soat Ko hong tertawa, jawabnya: "Ah, janganlah
Ciamtay-wancu berkata demikian, mengingat keluhuran
budi Ciamtay-wancu, bisa jadi akan terulang lagi kedua
kalinya." Ciamtay Cu-ih mendengus, ia memberi tanda kepada
anak muridnya dan berseru: "Hayo kita pergi!" " Bersama anak muridnya segera mereka mengundurkan diri.
Dalam pada itu, karena ingin cepat menemukan Gi-lim,
sejak tadi Ting-yat Suthay sudah menggeledah ke arah lain bersama kawanan Nikoh Siong-san-pay.
Wi Kay-hou lantas berkata kepada anak muridnya:
"Setiap tamu yang datang ke Cu-joan sini, keamanan
mereka adalah tanggung-jawab kita. Jika Siausuhu Siongsan-pay itu menghilang, betapapun kita harus menemukannya."
Segera ia pimpin rombongannya mencari ke jurusan lain.
Dalam sekejap saja di Kun-giok-ih itu hanya tersisa Soat Ko-hong dan Soat Peng-say saja.
Dengan cengar-cengir Soat Ko-hong lantas berkata
kepada Peng-say: "Hihi, kau ternyala tidak bungkuk, sebaliknya ganteng dan cakap. Eh. Siau-cu, kaupun tidak
perlu lagi panggil kakek padaku, si bungkuk penujui kau, bagaimana kalau kuterima kau sebagai muridku?"
Peng-say sudah merasakan betapa sakitnya ketika dibetot
ke kanan dan ke kiri oleh mereka tadi, ruas tulang sekujur badan serasa hendak rontok, rasa sakit itu sampai sekarang pun belum lenyap.
Kini si bungkuk menyatakan hendak menerimanya
sebagai murid, mau-tak-mau ia berpikir: "Ilmu silat si bungkuk ini berpuluh kali lebih tinggi daripada gurunya, Ciamtay
Cu-ih juga agak jeri padanya. untuk menyelamatkan adik Leng dari cengkeraman Ciamtay Cuih terpaksa harus ku-angkat guru padanya dan minta
bantuannya. Akan tetapi tadi dia menyaksikan murid Tangwan hendak menbunuhku dan sama sekali tidak
menggubris, dia baru turun tangan menyelamatkan diriku
setelah mendengar Siang-liu-kiam-hoat. Sekarang dia
menyatakan sendiri hendak menerima diriku sebagai murid, jelas maksud tujuannya tidak baik."
Melihat anak muda itu diam saja dan tampak ragu2,
segera Soat Ko-hong menambahkan: "Ilmu silat dan nama kebesaran Say-pak-beng-to sudah kau saksikan sendiri,
sampai saat ini akupun belum pernah menerima murid. Di
dunia ini bukanlah tiada anak yang baik, soalnya tidak
mencocoki seleraku. Sekarang si bungkuk penujui kau,
asalkan kau berguru padaku, seluruh kepandaian si
bungkuk akan diajarkan kepadamu. Tatkala mana
jangankan anak buah Tang-wan bukan lagi tandinganmu,
asalkan kau berlatih dengan tekun, dalam waktu tidak lama lagi kau pun dapat mengalahkan Ciamtay Cu-ih. Nah,
Siaucu (anak kecil), mengapa tidak lekas kau menyembah
kepada gurumu?"
Semakin bersemangat si bungkuk hendak menerima
Peng-say sebagai murid, semakin besar pula rasa curiga
anak muda itu. Pikirnya: "Jika dia benar2 suka kepadaku, kenapa tadi dia mencengkeram pundakku sekuat itu dan
tanpa kenal ampun" Jelas tujuannya karena hendak
memperoleh Siang-liu-kiam-hoat, maka dia merampas
diriku dari cengkeraman Ciamtay Cu-ih. Orang yang
berhati keji dan culas begini, bila kujadi muridnya,
seterusnya mungkin aku akan terjeblos lebih dalam ke
neraka. Di tengah Ngo-tay-lian-beng tidak kurang tokoh
ternama dan berilmu tinggi, untuk belajar ilmu sakti harus kucari tokoh2 angkatan tua dari kelima aliran besar itu, betapapun tinggi ilmu silat si bungkuk ini se-kali2 tidak boleh kuangkat dia sebagai guru."
Melihat Peng-say masih ragu dan tidak menanggapi
kehendaknya, rasa gusar Soat Koh-hong mulai timbul.
Padahal di dunia Kangouw entah berapa banyak orang
yang ingin mengangkat guru padanya, bahkan dengan
macam2 daya upaya berusaha menjadi murid akuannya
saja tidak mudah. Sekarang dengan sukarela si bungkuk
mau menerimanya sebagai murid, tapi Peng-say berbalik
jual mahal. Coba kalau bukan lantaran Siang-liu-kiam-hoat, bisa jadi sejak tadi si bungkuk sudah membinasakan dia.
-ooo0dw0ooo- Jilid 18 Namun Soat Ko-hong memang pintar menyimpan
perasaannya, meski didalam hati sangat mendongkol,
lahirnya dia tetap tertawa, katanya pula: "Bagaimana"
Memangnya kau anggap ilmu silat si bungkuk tidak
berharga untuk menjadi gurumu?"
Sekilas Peng-say melihat air muka si bungkuk
mengunjuk rasa marah, hanya sekejap saja kelihatan
beringas menakutkan, tanpa terasa Peng-say ber-gidik.
Akan tetapi rasa gusar Soat Ko-hong itu cuma timbul
sekilas saja lantas lenyap pula, segera wajahnya kembali tertawa ramah-tamah.
Seketika Peng-say merasakan bahaya yang mungkin
timbul, apabila dirinya tidak mengangkat guru padanya,
bisa jadi si bungkuk akan murka dan segera akan
membunuhnya. Terpaksa ia berkata. anda sudi menerima
driku sungguh Wanpwe merasa sangat beterima-kasih.
Cuma Wanpwe sudah punya guru. jika ingin mengangkat
guru baru seyogianya minta izin lebih dulu pada guru
pertama. Ini kan peraturan Bu-lim yang sama2 kita
ketahui." Soat Ko-hong mengangguk. katanya: "Betul ucapanmu.
Cuma sedikit kepandaianmu ini hakikatnya tidak dapat
disebut sebagai Kungfu sejati. Kukira kepandaian gurumu
pasti juga terbatas. Untung bagimu hasratku timbul secara mendadak dan mau mererima kau sebagai murid.
selewatnya saat ini. belum tentu aku berminat lagi.
Kesempatan ini hanja bisa ditemukan secaraa kebetulan
dan tidak dapat diminta. Kelihataanya kau cerdik. mengapa sekarang jadi bodoh" Akan lebih baik kau menyembah dan
mengangkat guru lebih dulu padaku, biarlah nanti
kubicarakan lagi dengan gurumu, kukira iapun takkan
keberatan."
Tergerak pikiran Peng-say, katanya: "Soat-tayhiap, saat ini Piaumoayku berada dalam cengkeraman orang Tang-wan. keadaannya sangat berbahaya. Kumohon Soat-tayhiap
suka menolongnja lebih dulu, untuk itu Wanpwe tentu
sangat berterima kasih dan apa pesan Soat-tayhiap nanti
pasti akan kuturuti."
"Apa katamu?" teriak Soat Ko-hong dengan gusar. "Kau berani tawar-menawar denganku" Memangnya apamu yang
hebat sehingga kakek harus menerima kau sebagai murid"
Hm, kau berani memeras padaku, sungguh kurang-ajar!"
Peng-say terus berlutut dan berkata: "Aku cuma paham sebagian
Siang-liu-kiam-hoat,
sekalipun Soat-tayhiap menerimaku sebagai murid juga tiada gunanya. Tapi
Piaumoayku paham Kiam-hoat itu secara lengkap, asalkan
Soat-tayhiap dapat menolongnya barulah maksud Ciamtay
Cu-ih akan mendapatkan Siang-liu-kiam-hoat secara
lengkap itu akan dapat digagalkan."
Demi menolong Cin Yak-leng, Peng-say tidak segan2
untuk berdusta, segera ia menambahkan pula: "Bila
Ciamtay Cu-ih berhasil mendapatkan Siang-liu-kiam-hoat
secara lengkap, bisa jadi ilmu silatnya akan melampaui
Soat-tayhiap, tatkala mana mungkin Soat-tayhiap yang
terpaksa harus menghindari dia, kan susah jadinya?"
"Kentut, omong kosong!" damperat Soat Ko-hong "Jika benar
Siang-liu-kiam-hoat
begitu hebat, mengapa Piaumoaymu sampai tertangkap oleh Ciam?tay Cu-ih" Kan
dia paham Siang-liu-kiam-hoat secara lengkap" Kalau dia
paham secara lengkap, kan nomor satu didunia" Kenapa
Ciamtay Cu-ih mampu menawannya?"
Meski dia bicara demikian, tapi bila teringat didepan
umum Ciamtay Cu-ih telah mau mengalah padanya, musuh
pembunuh anaknya tidak dirobeknya menjadi dua, sakit
hati kematian anaknya juga tidak dituntut, jelas ini pasti ada sebabnya. Padahal orang semacam Ciamtay Cu-ih masa
dapat tertipu dengan mudah" Agaknya Siang-liu-kiam-hoat
itu betul2 kitab wasiat ilmu silat yang sangat berharga, keterangan bocah ini memang juga beralasan mungkin ilmu
pedang Piaumoaynya belum terlatih dengan sempurna,
makanya tertawan Ciamtay Cu-ih,
Dilihatnya Soat Peng-say hanya berlutut saja belum
menyembah, segera Soat Ko-hong berkata-"Hayolah
menyembah, asalkan menyembah tiga kali, maka jadilah
kau muridku. Bila sanak keluarga murid ada kesukaran.
mana bisa sang guru tidak ikut prihatin. Ciamtay Cu-ih
menangkap Piaumoay
muridku, bila kuminta dia membebas-orangnya kan cukup kuat alasannya. Masa dia
berani menolak?"
Lantaran ter-buru2 ingin menyelamatkan Cin Yak-leng,
mau-tak-mau Peng-say berpikir pula: "Adik Leng berada di cengkereman bangsat tua Ciamtay Cu-ih, bila asal-usulnya diketahui, tentu jiwanya akan terancam bahaya Apapun
juga harus cepat kubebaskan dia dari cengkeraman maut.
Sekarang biarlah kurendahkan diriku dan mengangkat guru
padanya, asalkan adik Leng sudah diselamatkan, urusan
apapun tidak menjadi soal bagiku."
Karena pikiran ini, segera ia henduk menyembah.
Sebaliknya karena kuatir anak muda itu akan berubah
pikiran, Soat Ko-hong juga lantas pegang kuduk Peng-say
terus ditekan ke bawah, maksudnya supaya anak muda itu
lekas menyembah.
Mestinya Peng-say akan menyembah, tapi lantaran
ditekan begitu, seketika timbul antipatinya. Otomatis ia tegakkan leher dan tidak sudi dipaksa.
Soat Ko-hong menjadi gusar, katanya: "Sialan! Kenapa kau tidak menyembah?" "Daya tekannya bertambah kuat.
Dasar Soat Peng-say memang keras kepala dan juga
tinggi hati, semakin dipaksa semakin berontak. Sebenarnya dirinya sudah bertekad akan merendahkan diri dan mau
menyembah kepada Soat Ko-hong demi menolong Cin
Yak-leng, tapi lantaran ditekan dipaksa, hal ini berbalik menimbulkan watak Peng-say yang keras itu. Segera ia
berteriak: "Jika kau berjanji akan menolong adik Leng, segera kusembah dan angkat guru padamu. Kalau tidak.
betapapun aku tidak mau menyembah padamu."
"Hah, tidak mau?" seru Soat Ko-hong. "Apa betul kau tidak mau" Baik, kita lihat saja apakah kau benar-benar
tidak mau?"
Segera ia tambah tenaga pula dan menekan sekuatnya.
Peng-say sudah menegakkan pinggang dan bermaksud
berbangkit. Tapi sekali Soat Ko-hong mengerahkan tenaga, seketika kepalanya terasa seperti ditindih batu beribu kati beratnya. mana sanggup berdiri lagi"
Namun begitu kedua tangannya tetap menyanggah tanah
dan melawan sekuatnya. Ketika Soat Ko-hong menambah
sebagian tenaganya lagi, terasalah tulang leher Pcng-say berkeriutan se-akan2 patah.
Soat Ko-hong ter-bahak2, serunya: "Hahaha! Bagaimana sekarang, menyembah tidak" Bila kutekan lagi. seketika
tulang lehermu bisa patah!"
Sungguh luar biasa tenaga Soat Ko-hong, Peng-say tidak
sanggup bertahan, sedikit demi sedikit kepalanya semakin menunduk ke bawah, tinggal belasan senti saja keningnya
akan menyentuh tanah.
Mendadak Peng-say berteriak "Aku tidak mau menyembah!"
"Tidak mau"!" jengek Soat Ko-hong, ia tahan terlebih kuat sehingga batok kepala Peng-say tertekan lagi beberapa senti ke bawah.
Pada saat itulah, se-konyong2
Peng-say merasa punggungnya hangat seperti disaluri semacam hawa yang
lunak, hawa hangat itu terus menyalur kedalam tubuhnya,
mendadak daya tekan pada kepalanya latntas kendur,
begitu kedua tangannya menyanggah tanah, dapatlah dia
mengangkat tubuhnya ke atas.
Kejadian ini tidak saja diluar dugaan Peng-say, bahkan
Soat Ko-hong juga terkejut. Sekilas pikir segera ia tahu tenaga dalam yang hangat dan mendesak lepas daya
tekanannya kepada Soat Peng-say itu adalah "Siu-ciau-kang", ilmu Lwekang termashur Soh-hok-han dari Hu-ciu.
Meski datangnya tenaga lunak itu terlalu mendadak dan
tidak diketahui se-belumnya sehingga Peng-say sempat
mengangkat tubuhnya, namun Sin ciu-kang itu jelas sangat murni, tenaga yang hangat lunak itu terasa masih terus
mengalir tiada hentinya.
Setelah terkejut segera Soat Ko-hong memegang lagi
kuduk Soat Peng-say, sekali ini bahkan digunakan tenaga
"Cu-hong-jian-kin-lat", tenaga seribu semacam tenaga dalam yang lunak keras. Tapi begitu tenaga sakti andalan Soat Ko-hong menyentuh kepala Peng-say, terasa ubun
kepala anak muda itu timbul lagi tenaga sakti Sin-ciau-kang.
kedua tenaga bergetar, seketika Soat Ko-hong tangannya
kesemutan, dadapun terasa sakit.
Cepat ia melangkah mundur sambil tertawa, "Aha, Sauheng, mengapa kau bersembunyi dikaki tembok dan
menggoda si bungkuk?"
Benar juga, dari balik tembok sana seorang bergelak
tertawa, seorang Siansing (orang terpelajar) berbaju hijau
dengan dandanan sederhana membawa kipas lempit
melangkah keluar, dengan tertawa ia menyapa: "To-heng (kakak bungkuk) sekian tahun tidak bertemu, tampaknya
kau gagah dan lebih tangkas. Selamat, selamat!"
Yang muncul ini ternyata benar Kun-cu-kiam Cenghong, si pedang ksatria sejati, ketua Lam-han.
Biasanya Soat Ko-hong memang rada jeri terhadap Sau
Ceng-hong, apalagi sekarang dia
kepergok sedang menganiaya seorang anak muda, tentu saja si bungkuk tersipu2. Tapi dasar licik dan licin tidak tahu malu, dengan cengar-cengir Soat Ko-hong lantas menjawab: "Sau-heng, makin lama kau tambah muda, sungguh si bungkuk ingin
berguru padamu untuk belajar ilmu 'Jay-im-poh- yang'(memetik sari Im untuk menambal Yang)"
"Hus, makin lama makin tidak genah kau ini," omel Sau Ceng-hong "Kenalan lama bertemu lagi, bukannya kau
bicara urusan kekeluargaan, sebaliknya kau mengoceh hal2
yang bukan2. Mana ku-paham ilmu dari golongan sesat
begituan?"
"Haha, siapapun tidak percaya bila kau bilang tidak paham ilmu tambal sulam begitu," kata Soat Ko-hong
dengan tertawa "Buktinya usiamu sudah 60-70 tahun, tapi mendadak kembali muda, tampaknya seperti cucu si


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bungkuk saja."
Dalam pada itu Peng-say sudah melompat bangun ketika
Soat Ko-hong mengendurkan tangannya tadi. Dilihatnya
Susing ini berjenggot panjang lima jalur, mukanya putih
bersih, kereng berwibawa.
Seketika timbul rasa hormat dalam hati Peng-say, ia tahu orang inilah yang menolongnya tadi, hawa hangat yang
tersalur ke punggungnya tadi berasal dari orang ini. Hatinya
tergerak pula demi mendengar Soat Ko-hong memanggil
orang ini dengan sebutan "Sau-heng".
"Jangan2 tokoh yang mirip dewa ini adalah Sau-siansing.
ketua Lam-han yang selama beberapa ini selalu menjadi
buah tutur orang banyak?" demikian pikir Peng-say. "Tapi usianya tampaknya 40-an, jelas tidak cocok jika dipandang darj umurnya. Menurut cerita Suhu, bilamana Lwekang
seorang sudah terlatih sempurna, khasiatnya memang
membikin panjang umur, bahkan membuat awet muda.
Tampaknya Sau-siansing ini menguasai ilmu ini."
Karena itulah rasa kagumnya terhadap tokoh baru
muncul ini takluk benar2.
Dilihatnya Sau Ceng-hong lagi tersenyum dan berkata,
"Soat-heng, baru bertemu kau sudah bicara yang bukan2.
Anak muda ini kelihatan berjiwa pendekar dan seorang
yang punya pendirian teguh, jelas bahan yang sukar dicari, pantas Soat-heng penujui dia. Apa yang terjadi atas dirinya ini adalah dia berusaha menyelamatkan keturunan saudara
sepupuku. Uutuk ini sungguh aku tak dapat tinggal diam,
maka kuharap Soat-heng suka mengingat akan diriku dan
sudi melepaskan dia."
"Hanya sedikit kemampuan bocah ini masa ia sesuai
untuk menyelamatkan puteri Sau Ceng-in dari cengkeraman
Ciamtay Cu-ih" Hm, sungguh tidak tahu diri, tiada ubahnya seperti telur diadu dengan batu!" jengek Soat Ko-hong.
"Sesama orang Kangouw, setiap orang wajib memberi
bantuan bilamana orang lain ada kesukaran," kata Sau Ceng-hong. "Menolong dengan kekerasan atau menolong dengan ucapan, asalkan tujuannya memang betul2 untuk
menolong, maka tinggi rendahnya ilmu silat tidaklah
menjadi soal. Soat-heng, jika kau bertekad mengambil dia sebagai murid, akan lebih baik jika menyuruh anak muda
ini melapor dulu kepada gurunya yang lama, habis itu baru
masuk keperguruanmu, bukankah cara ini sama2 baiknya
bagi semua pihak?"
Soat Ko-hong menyadari bilamana Sau Ceng-hong
sudah ikut campur urusan ini, maka sukarlah baginya untuk berbuat sesukanya, ia lantas meng-geleng dan berkata:
"Hanya terdorong oleh hasrat yang timbul mendadak, maka si bungkuk mau menerimanya sebagai murid. Tapi sekarang
seleraku sudah hilang, biarpun bocah ini menyembah seribu kali padaku juga aku tidak sudi menerimanya."
Habis berkata, "plok", mendadak ia depak Soat Peng-say sehingga anak muda itu terpental dan jatuh terguling.
Tindakan ini benar2 di luar dugaan Sau Ceng-hong,
sebelumnya juga sama sekali tiada tanda si bungkuk hendak mendepak Soat Peng-say. Ketika hal itu terjadi, ia tidak keburu mencegahnya dan Peng-say telah terpental.
Tendangan Soat Ko-hong itu memang cepat lagi aneh
gerakannya, untung setelah terpental Peng-say melompat
bangun, agaknya tidak terluka.
"Soat-heng, mengapa kau berpikiran seperti anak kecil"
Kubilang kau inilah yang telah kembali menjadi muda,"
kata Sau Ceng-hong.
"Bocah ini telah membikin dongkol padaku, tidak
kutendang dia satu kali rasanya penasaran." ucap Soat Ko-hong.
"Mengapa Soat-heng tidak hidup aman tenteram di utara sana, tapi jauh2 datang ke Tionggoan sini, barangkali ada urusan penting?" tanya Ceng-hong.
"Aku memang ingin mencari kedua adik perempuanku,"
tutur Ko-hong "Mereka tidak betah berdiam di daerah dingin, diam2 mereka telah lari kembali ke Tionggoan sini dan sudah 30 tahun tidak pernah pulang. Sau-heng
menjagoi wilayah ini dan mempunyai hubungan erat
dengan Bu-tong, tentu kabar berita kalian cukup cepat dan luas, apakah kalian pernah mendengar berita tentang kedua adik perempuanku itu?"
Air muka Sau Ceng-hong rada berubah, ia berdehem.
lalu berkata: "0, ti . . . .tidak, adik perempuanmu masa bisa datang ke Tionggoan sini?"
"Hm, masa aku berdusta?" jawab Soat Ko-hong "Jika bukan lantaran mencari adik perempuanku, tidak nanti
kudatang ke-sini. Baiklah, kalau kaupun tidak tahu kabar-berita adik perempuanku, biarlah kumohon diri saja, Hehe, tak tersangka Lam-han yang termashur juga mengincar
Siang-liu-kiam-hoat, kukira maksud tujuanmu menolong
bocah ini adalah . . . hehe. lebih baik tidak kukatakan lagi
..." Sembiri bicara ia terus memberi hormat dan
mengundurkan diri.
"Apa katamu Soat-heng?" teriak Sau Ceng-hong sambil memburu maju, seketika air mukanya berubah menjadi
pucat ke-ungu2an, namun warna ungu itu hanya timbul
sekilas saja dan segera lenyap, dalam sekejap mukanya
sudah kembali putih bersih seperti semula.
Melihat perubahan air muka itu. hati Soat Ko-hong
terkesiap. Pikirnya: "Inilah Ci-he-kang (ilmu cahaya ungu) dari Bu-tong-pay. Konon Ci-he-kang ini adalah lwekangnya semua jenis Lwekang. sebab itulah juga disebut rajanya
Lwekang. Kabarnya Bu-tong-pay sendiri belum penah
seorang pun yang berhasil meyakinkannya. Tak tersangka
Sao Ceng-hong ternyata memiliki kemampuan setinggi ini
dan berhasil meyakinkan ilmu Bu-tong-pay ini."
Diam2 Soat Ko-hong bertambah jeri terhadap Cenghong, tapi sedapatnya ia bersikap tenang, ia tetap cengar-cengir, katanya; "Akupun tidak tahu Siang-liu-kiam-hoat itu
ilmu pedang macam apa, yang jelas Ciamtay Cu-ih
berusaha mati2an untuk memperolehnya, maka aku cuma
sekadar menyinggungnya, untuk itu janganlah Sau-heng
menaruh perhatian,?" Habis berkata ia terus melangkah pergi.
Melihat bayangan si bungkuk menghilang dikegelapan
sana, Sau-Ceng-hong menghela napas, katanya, "Orang berbakat baik dan sukar dicari didunia persilatan ini justeru tidak mau belajar baik. sungguh sayang."
Tiba2 Peng-say melangkah maju dan menyapa: "Saucianpwe, mendiang ibuku Soat Kun-hoa menyuruh
Wanpwe mengembalikan sesuatu kepadamu."
Air muka Sau Ceng hong berubah hebat, cepat ia
menegas: "Apa katamu" Mendiang ibumu Soat Kun-hoa"
Dia . . . .dia sudah meninggal?"
Peng-say mengangguk.-jawabnya: "Ya, ibu sudah
meninggal pada waktu Wanpwe berumur sepuluh tahun."
Mata Sau Ceng-hong kelihatan basah dan hampir
mencucurkan air mata, agaknya dia kuatir dilihat Peng-say, cepat ia membalik tubuh dan berkata dengan suara agak
tersendat: "Dia suruh kau mengembalikan barang apa
kepadaku?"
Sudah tentu Peng-say merasa heran, ia tidak tahu apa
sebabnya tokoh utama Lam-han ini menjadi berduka demi
mendengar berita ibunya meninggal dunia.
Didengarnya Sau Ceng-bong telah memberi penjelasan:
"Aku mempunyai hubungan yang sangat akrab dengan
ibumu, karena mendengar berita duka secara mendadak
sehingga sikapku agak kurang sopan. Eh, apakah kau tahu
si bungkuk tadi adalah pamanmu, dia kakak ibumu."
"Ahh, Wanpwe tidak tahu," Peng-say berseru kaget dan menggeleng. "Ibu tidak pernah bercerita pengalamannya di masa lampau, sampai siapa ayahku juga tidak pernah
diberitahukan kepadaku Beliau hanya meninggalkan pesan
agar pada usiaku sudah genap 20 tahun, hendaklah
kukembalikan se-jilid Sung-jing-pit-lok
kepada Sau- cianpwe." "Adakah dia meningalkan pesan lain?" tanya Sau Ceng-hong dengan terharu.
"Ibu menyuruh . . . .menyuruh ..."
"Apakah dia menyuruh kau mengangkat guru padaku?"
mendadak Sau Ceng-hong memotong. Sekarang ia sudah
dapat menguasai perasaan dukanya dan dapat menanyai
Peng-say dengan ramah tamah.
Peng-say terkejut, sebab memang begitulah pesan ibunya.
"Dari . . .dari mana Cianpwe mendapat tahu." ia menegas.
"Dahulu pada waktu ibumu mengandung, tatkala mana
ayahmu telah meninggal, sebab. . . ,sebab itulah ibumu
tidak menjelaskan padamu siapa Ayahmu, , , . .ayahmu
adalah sahabat-karibku, maka.. . .maka sebelum kau lahir aku telah berjanji akan. . . .akan menerima kau sebagai
muridku. . . ."
Mendengar ucapan Sau Ceng-hong yang serba tergagap
ini, Peng-say mengira orang terlalu berduka atas
meninggalnya kawan baik. Diam2 ia menghargai rasa setia
kawan sang paman ini dan tidak menaruh curiga apapun.
Setelah menenangkan diri, kemudian Sau Ceng-hong
bertutur pula: "Waktu itu ibumu juga setuju, kemudian dia lantas pindah jauh ke tempat lain. Sebelum berangkat telah kuberikan kitab Siang-jing-pit-lok ini, kupesan bila kau sudah mulai besar, hendaklah mulai berlatih ilmu dasar
yang tercantum di kitab ini, yakni Lwekang yang biasanya dilatih oleh setiap anak murid Bu-tong-pay. Hendaklah kau maklum, asalnya Bu-tong, Lam-han, dan Pak-cay adalah
satu keluarga. Soalnya pada tiga angkatan yang lebih dalulu telah terjadi perpecahan. Waktu itu dua murid Bu-tong-pay she Sau dari keluarga perman tamat belajar dan
meninggalkan Bu-tong-san, tapi mereka mendapatkan
penemuan mujijat, mereka berhasil memupuk namanya
masing2 didunia persilatan. Meski hal itu bukan tujuan
mereka yang sebenarnya, tapi lantaran ilmu silat mereka
memang maha tinggi dan melebihi anak murid Bu-tongpay, maka tanpa terasa jadilah mereka tokoh2 yang
menonjol dan mendirikan perguruannya sendiri. Namun
anak murid keluarga Sau tidak pernah lupa kepada
sumbernya, mereka tetap menggunakan Lwekang Bu-tongpay sebagai dasar, setiap angkatan murid keluarga Sau pasti ada seorang yang diharuskan berguru kepada ketua Bu-tong-pay Seperti Sau Peng-lam, meski dia tidak pernah
belajar silat kepada ketua Bu-tong-pay sekarang, yaitu
Tong-thian suheng, tapi setiap orang persilatan di dunia ini tahu Peng-lam adalah murid Bu-tong. Apa yang dilakukan
ini hanya untuk menunjukkan bahwa Lam-han kami tidak
pernah putus dengan Bu-tong-pay. Maka, kalau kuterima
kau sebagai murid, peraturan inipun tidak dikecualikan, kau pun diharuskan berlatih dasar Lwekang menurut kitab
Siang-jing-pit-lok dari Bu-tong-pay ini. Aku sudah berpesan kepada ibumu agar setelah usiamu genap 20, boleh kau
gatang mencari padaku untuk belajar lebih lanjut, dengan demikian, karena dasar Lwekangmu sudah kuat, pelajaran
selanjutnya menjadi lebih-mudah. Karena hal ini memang
sudah kujanjikan dengan ibumu. maka kutahu kedatanganmu inipun hendak mengangkat guru padaku
sesuai pesan ibumu."
"Tapi ibu hanya menyuruh Wanpwe berguru kepada
Cianpwe, mengenai sebelum lahir Wanpwe sudah diterima
sebagai murid oleh Cianpwe tidak pernah dengar dari ibu, seb ... sebab itulah sebelum ini Wanpwe telah berguru
kepada orang lain. . . ."
"Ini tidak menjadi soal," ucap Sau Ceng-hong dengan tertawa. "Setiap orang boleh saja belajar berbagai macam kepandaian, asalkan mendapat izin mengangkat beberapa
orang guru juga boleh, Meski sebelumnya aku tidak
memberi izin padamu, tapi orang tidak tahu tidaklah
berdosa, aku tidak menyalahkan kau. Sekarang lekas kau
melakukan upacara pengangkatan guru padaku."
"Tapi . . . tapi untuk mengangkat guru padamu, sekarang
. . . .sekarang kan harus minta izin dulu kepada guruku
yang pertama ..." ucap Peng-say dengan ter-gegap2.
Sau Ceng-hong tidak marah, sebaliknya ia sangat senang,
ia mengangguk dan berkata: "Bagus, bagus sekali! Sungguh anak yang baik! Manusia memang tidak boleh lupa kepada
asalnya. Tidaklah sia2 ajaran ibumu. Baiklah, biar begini saja, akan kuterima kau sebagai murid cadangan. Nanti
setelah kau lapor kepada gurumu barulah mengadakan
upacara pengangkatan guru secara resmi."
Peng-say sangat girang, cepat ia berlutut dan menyembah
tiga kali. Mulai saat ini dia sudah diakui sebagai murid Sau Ceng-hong.
"Dan dimana Siang-jing-pik-lok itu?" tanya Sau Ceng-hong setelah membangunkan Peng-say.
"Berada pada adik Leng," jawab Peng-say. "Suhu, marilah kita menyelamatkan adik Leng."
"Kutahu, kau jangan kuatir," kata Ceng-hong.
Selagi Peng-say hendak menjelaskan tentang Cin Yakleng bukanlah Sau Kim-leng, dilihatnya Sau Ceng-hong
telah berpaling dan memanggil; "Lo-kiat. A-hoat, Hiang-ji, keluarlah semua!"
Maka dari balik tembok sana segera muncul serombongan orang, yaitu anak murid Lam-han.
Kiranya sejak tadi mereka sudah berada disitu, tapi Sau
Ceng-hong menyuruh mereka bersembunyi dibalik tembok,
sesudah Soat Ko-hong pergi barulah mereka disuruh
muncul. Sedapatnya Sau Ceng-hong tidak ingin membikin
malu si bungkuk di depan orang banyak.
Kiau Lo-kiat dan lain2 sangat gembira, katanya:
"Selamat Suhu telah berhasil mendapatkan seorang Sute yang mempunyai hari depan yang gilang gemilang."
Dengan senang Sau Ceng-hong berkata: "Peng-say
beberapa Suhengmu ini sudah pernah kau lihat. Mereka
lapor padaku, berkat perlindunganmu sehingga ketika
mereka tertutuk oleh Ciamtay Cu-ih dan ditinggal pergi
menggeletak ditengah jalan tidak sampai diinjak2 orang
atau dicelakai musuh. Mereka sama berterima kasih atas
tindakanmu tempo hari itu. Sekarang silakan kalian
berkenalan secara reami."
Kiau Lo-kiat, si kakek kecil adalah Jisuko atau kakak
guru kedua, lelaki yang bertubuh tinggi besar adalah
Samsuko Nio Hoat, yang berdandan seperti kuli adalah
Sisuko Si Tay-cu. yang selalu membawa swipoa adalah
Gosuko Ko Kin-beng, Lak-suko ialah si kera, Kang Ciau-lin Semuanya adalah tokoh2 yang sukar dilupakan bilamana
sudah pernah melihat mereka.
Selain itu masih ada Jitsuko To Kun, Patsuko Lo Engpek, kedua ini masih muda belia, tapi juga lebih tua setahun dua tahun daripada Soat Peng-say.
Satu persatu Peng-say memberi hormat kepada para
Suheng itu. Mendadak dibelakang Sau Ceng-hong ada orang
mengikik tawa dan berkata dengan suara nyaring: "Kohtia (paman), lalu aku ini terhitung Suci atau Sumoay?"
"Usiamu lebih muda daripada Peng-say, sudah tentu
Sumoay," jawab Ceng-hong dengan tertawa'
"Toasuko juga lebih muda daripada Jisuko, mengapa
Jisuko malah menyebut Suheng kepada Toasuko yang jauh
lebih muda itu?" kata Leng Hiang.
"Soalnya Toa-sukomu masuk perguruan lebih dulu
daripada Lo-kiat," jawab Sau Ceng-hong,
"Jika begitu aku kan jauh lebih dulu masuk perguruan daripada dia"." kata Leng Hiang dengan tertawa sambil menuding Peng-say. "Seharusnya dia panggil Suci padaku."
Ceng-hong menggeleng, tuturnya dengan tertawa;
"Selagi dia masih dalam kandungan ibunya secara lisan
sudah kuterima dia sebagai murid. Maka kalau bicara
tentang dulu dan belakangnya masuk perguruan. kau lebih2
harus memanggil Suheng padanya."
"Wah, sialan!" gerundel Leng Hiang. 'Kukira akan ada orang memanggil Suci padaku, siapa tahu tetap menjadi
Siausumoay. Tampaknya nasibku ini memang harus
menjadi Siausumoay selama hidup dan tak bisa berubah
lagi." Banyolan ini membuat semua orang bergelak tertawa.
Leng Hiang lantas menyambung pula: "Kohtia, Toasuko bersembunyi ditempat ini untuk merawat lukanya. sekarang dia kena satu pukiulan pula oleh si bangsat tua Ciamtay Cu-ih, keadaannya mungkin sangat berbahaya, lekas diperiksa."
Sau Ceng-hong berkerut kening sambil menggeleng,
katanya: "Kin-beng, Tay-cu, coba kalian menggotong keluar Toasuko "
Ko Kin-beng dan Si Tay-cu mengiakan berbareng dan
segera melompat masuk kedalam kamar. Tapi segera
terdengar pula seruan mereka: "Suhu, Toasuko tidak
terdapat disini. Di. . .didalam kamar tidak ada orang."
Menyusul keadaan didalam kamar lantas terang, mereka
telah menyalakan lilin.
Tambah kencang Sau Ceng-hong berkerut kening. Dia
tidak suka masuk ke tempat pelacuran yang kotor ini, maka ia lantas berkata pula kepada Kiau Lo-kiat: "Coba kau periksa ke dalam."
Kiau Lo-kiat mengiakan dan mendekati jendela.
"Akupun ikut." seru Leng Hiang.
Cepat Ceng-hong menarik tangan si nona dan berkata:
"Jangan sembrono. tidak boleh kau masuk ke tempat
begini." Hampir menangis Leng Hiang siking cemasnya, katanya:


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Akan tetapi Toa-suko ter. . .terluka parah, mungkin ....
mungkin jiwanya terancam . . . ."
"Jangan kuatir," kata Ceng-hongg dengan pelahan, "Dia sudah dibubuh obat luka siong-san-pay, tidak akan mati,"
Kejut dan girang Leng Hiang, katanya; "Kohtio dari ....
darimana kau tahu?"
"Ssst, jangan banyak omong!" desis Ceng-hong.
00- 0d0w0- 00 Kiranya pikiran Sau Peng-lam masih cukup sadar meski
terluka parah, ia dapat mendengarkan pembicaraan antara
Soat Ko-hong dengan Ciamtay Cu-ih. Sesudah mereka
pergi, lalu didengarnya pula kedatangan sang ayah angkat dan juga gurunya, yaitu Sau Ceng-hong.
Peng-lam tidak takut kepada siapapun, satu2-nya orang
yang ditakuti di dunia ini ialah ayah angkatnya. Maka
ketika mendengar sang ayah angkat sedang bicara dengan
Soat Ko-hong, segera hatinya kebat-kebit, ia tidak tahu cara bagaimana dirinya akan dihukum oleh ayah angkatnya
gara2 perbuatannya ini, seketika ia menjadi lupa rasa
sakitnya, cepat ia memberosot keluar dari selimut dan
mendesis kepada Gi-lim berdua "Wah, celaka, ayah
angkatku datang, lekas kita lari."
Dengan sempoyongan ia lantas menyelinap keluar kamar
dengan merambat dinding.
Cepat Fifi menarik Gi-lim dan ikut lari keluar.
Dilihatnya jalan Sau Peng-lam ter-huyung2, berdiri saja
hampir tidak kuat. Cepat mereka memburu maju dan
memayangnya dari kanan dan kiri.
Sekuatnya Peng-iam merahan rasa sakit dan berjalan ke
depan, setelah lewat satu serambi panjang, ia pikir betapa tajam mata-telinga sang ayah angkat, begitu keluar pasti akan ketahuan. Dilihatnya di sebelah kanan ada sebuah
kamar besar, tanpa pikir ia terus melangkah masuk kesitu, katanya: "Tutup. . . ,tutup pintu dan jendelanya."
Cepat Fifi melaksanakan permintaan itu. Peng-lam tidak
tahan lagi, ia terus merebahkan diri di tempat tidur dengan napas ter-engah2.
Ketiga orang diam saja. selang agak lama barulah
terdengar suara Sau Ceng-hong di kejauhan- "Dia sudah tidak berada disini, marilah kita pergi!"'
Peng-lam menghela napas lega. Selang sejenak pula,
tiba2 terdengar suara orang datang dengan langkah berjinjit2 disertai suara panggilan yang setengah tertahan;
"Toasuko. . . Toasuko ....." jelas itulah suara Kang Ciau-lin, si kera.
Rupanya dia masih menguatirkan keselamatan Sau
Peng-lam, setelah Suhu dan para Suhengnya pergi, diam2 ia putar balik sendiri untuk mencari.
Diam2 Peng-lam merasa terharu, ia anggap betapa pun
Lak-sute ini memang berbudi luhur. Segera ia bermaksud
bersuara menjawab pangggilan Kang Ciau-lin itu, tapi
mendadak serasa kelambu tempat tidur itu ber-gerak2,
agaknya Gi-lim menjadi gemetar demi mendengar suara
orang. "Apabila aku bersuara, tentu nama baik Siau- suhu ini akan tercemar," demikian pikir Peng-lam. Maka dia urung menjawab. Didengarnya Kang Ciau-lin berjalan lewat
diluar jendela masih terus memanggil "Toasuko", akhirnya semakin jauh dan tidak terdengar lagi suaranya.
"Hei, Sau Peng-lam, apakah kau akan mati?" tiba2 Fifi bertanya.
"Mana bisa aku mati?" jawab Peng-lam, "Kalau aku mati, kan bisa bikin malu nama baik Siong-san-pay dan aku pun merasa berdosa kepada mereka."
"Aneh, sebab apa?" tanya Fifi heran.
"Obat mujarab Siong-san-pay telah dibubuhkan pada
lukaku dan juga telah kuminum, kalau tak dapat
menyembuhkan diriku, kan aku ini terlalu berdosa kepada .
. . kepada Siau-suhu dari Siong-san-pay ini?"
Diam2 Gi-lim sangat kagum terhadap kegagahan Sau
Peng-lam, dalam keadaan terluka parah begitu masih
sanggup bergurau.
"Sau-toako," katanya kemudian, "Ciamtay-wancu telah memukul Kau satu kali, coba kuperiksa lukamu."
Segera Peng-lam hendak bangun berduduk. Cepat Fifi
mencegahnya: "Sudahlah, jangan sungkan, boleh tetap rebah saja."
Peng-lam memang merasakan sekujur badan tak
bertenaga lagi dan tidak sanggup berduduk, terpaksa ia
tetap berbaring di tempat tidur.
Melihat baju Peng-lam penuh berlepotan darah, Gi-lim
tidak menghiraukan lagi adat kolot yang melarang
perempuan berdekatan dengan lelaki. Pelahan ia membuka
baju luar Peng-lam, ia mengambil sepotong handuk dan
membersihkan darah pada lukanya. lalu mengeluarkan
salep untuk memolesi luka Peng-lam.
"Obat yang sukar dicari ini apakah tidak terbuang sia2
dihamburkan pada tubuhku?" kata Peng-lam dengan
tertawa. "Sau-toako terluka demi membela diriku, jangankan
cuma sedikit obat yang tak berarti ini, sekalipun . . .
sekalipun. . . ." sampai di sini, Gi-lim merasa sukar untuk melanjutkan. setelah gelagapan, kemudian ia menyambung:
"Sampai Suhu juga memuji keluhuran budimu dan
kegagahanmu, lantaran itu Suhu ribut mulut dengan
Ciamtay-wancu."
"Memuji sih tidak perlu. asalkan tidak me-maki2 diriku saja aku sudah bersyukur," ujar Peng-lam dengan tertawa.
"Mana . . . mana bisa Suhu memaki kau?" kata Gi-lim.
"Sau-toako, kau harus istirahat sedikitnya 12 jam, asalkan lukamu tidak kambuh lagi tentu tidaklah menjadi soal."
Tiba2 Fifi berkata: "Enci Gi-lim, hendaklah kau tinggal disini untuk menjaga kemungkinan datangnya orang jahat.
Kakek sedang menunggu diriku. aku harus kembali kesana
untuk menemui kakek."
"Eh, jangan!" seru Gi-lim gugup. "Mana, boleh aku ditinggalkan sendirian disini?"
"Bukankah Sau Peng-lam juga berada disini masa kau
bilang sendirian?" ujar Fifi dengan tertawa. Habis berkata ia terus melangkah pergi.
Keruan Gi-lim kelabakan. cepat ia melompat kesana dan
menarik lengan anak dara itu. Karena gugupnya, yang
digunakan adalah Kim-na-jiu-hoat atau ilmu memegang
dan menangkap Siong-san-pay.
"Kau .. , kau jangan pergi," seru Gi-lim sambil mencengkeram lengan Fifi.
"Wah, apakah kau ingin berkelahi denganku?" goda Fifi dengan tertawa.
Muka Gi-lim menjadi merah dan cepat lepaskan
tangannya, ia memohon: "Adik yang baik,hendaklah kau temani aku disini."
"Baik. baik," sahut Fifi "Akan kutemani kau disini, Sau Peng-lam kan orang baik2, mengapa kau takut padanya?"
Lega hati Gi-lim, katanya; "Maaf, adik yang baik,
cengkeramanku tadi menyakitkan kau tidak?"
"Aku sih tidak sakit, yang kesakitan tampaknya Sau
Peng-lam." kata Fifi.
Gi-lim menjadi kuatir, ia mendekaii tempat tidur dan
menyingkap kelambu, dilihatnya Sau Peng-lam memejamkan mata, agaknya sudah terpulas. Ia mencoba
memeriksa pernapasan hidungnva. terasa napasnya rata.
Tiba2 terdengar Fifi nengikik tawa disusul dengan suara
terbukanya daun jendela. Cepat Gi-lim berpaling, anak dara itu ternyata sudah melayang keluar dengan cepat sekali dan sukar lagi disusul.
Gi-lim menjadi kelabakan, seketika ia merasa bingung, Ia mendekati tempat tidur pula dan berkata "Sau toako ....
Sau-toako, dia . . . .dia sudah pergi "
Tapi waktu itu obat telah bekerja sehingga SiU Peng-lam
sama sekali tidak sadar dan tidak dapat menjawab.
Gi-lim menjadi gemetar dan nerasa takut. Sejenak
kemudian barulah ia menutup kembali daun jendela Ia
merasa kakinya menjadi lemas dan jatuh terduduk dikursi
depan jendela, pikirnya: "Sebaiknya lekas kupergi saja dari sini. Bila Sau-touko mendusin dan mengajak bicara padaku, lalu bagaimana?"
Tapi lantas terpikir pula olehnya: "Begini parah lukanya, biarpun anak kecil juga dapat membinasakan dia. Mana
boleh kutinggal pergi tanpa menghiraukan keselamatannya?"
Dalam kegelapan didengarnya di kejauhan ada suara
anjing menyalak, selain itu suasana sunyi sepi, penghuni rumah pelacuran ini sudah kabur seluruhnya, di dunia ini rasanya tiada orang lain lagi kecuali Sau Peng-lam diatas tempat tidur itu.
Gi-lim berduduk di kursi itu dan tidak berani bergerak,
sampai lama sekali, terdengar suara ayam berkokok sahut
menyahut, agaknya fajar sudah hampir menyingsing. Ia
menjadi gelisah pula, pikirnya: "Wah, bila pagi tiba, tentu ada orang datang, lalu bagaimana baiknya?"
Sejak kecil Gi-lim sudah Jut-keh atau keluar rumah
meninggalkan keluarga, cukur rambut dan menjadi Nikoh,
selama ini berada dalam pengawasan Ting-yat dengan ketat, boleh dikatakan tiada sedikitpun pengalaman orang hidup.
Sekarang selain merasa cemas dan gelisah hampir tidak
tahu apa yang mesti dilakukannya.
Tengah bingung itulah, tiba2 terdengar suara orang
berjalan, ada tiga atau empat orang sedang kemari dari gang sana. Suasana sunyi senyap, maka langkah orang itu dapat terdengar dengan sangat jelas.
Setiba di depan Kun-giok-ih, mendadak orang2 itu
berhenti, seorang diantaranya berkata: "Coba kalian berdua menggeledah sebelah timur dan kalian berdua mameriksa
sebelah barat. Jika ketemu Sau Peng-lam, harus ditangkap hidup2. Dia terluka parah, tidak nanti sanggup melawan."
Dari suaranya Gi-lim tahu ialah Ji Ci-eng, murid Tangwan. Ia menjadi kuatir. Ia pikir Sau-toako telah membunuh Suheng mereka, yaitu Lo Ci-kiat, jelas kedatangan
rombongan Ji Ci-eng ini atas perintah guru mereka untuk
mencari Sau-toako dan bermaksud membunuhnya untuk
membalaskan sakit hati kematian Lo Ci-kiat.
Saking kuatir dan tegangnya, tak terpikir lagi olehnya
soal lelaki dan perempuan segala. segera ia memondong
Sau Peng-lam dan diam2 dibawa keluar. Untung hanya
empat murid Tang-wan yang datang, untuk sementara ini
mereka takkan menggeledah sampai di tempat sembunyi
mereka ini, maka dapatlah dia mengeluyur keluar rumah
pelacuran itu tanpa diketahui rombongan Ji Ci-eng.
Tapi Gi-lim masih kuatir akan dikejar mereka, maka dia
terus membawa lari Sau Peng-lam tanpa membedakan arah.
Waktu itu cuaca sudah remang2, fajar sudah tiba, lagi
dijalanan masih sepi. Seorang Nikoh jelita membawa lari
seorang lelaki tidak sampai menimbulkan kegemparan.
Tapi iapun berkuatir ditengah jalan akan dilihat orang.
maka begitu keluar kota ia terus berlari ke daerah
pegunungan yang sepi. Ketika hari sudah terang benderang, sampailah dia di tepi sebuah air terjun yang jarang
didatangi orang. Ia merasa lemas kakinya dan tidak sangsup berjalan lagi, Ia menaruh Sau Peng-lam di atas tanah, ia sendiri lantas duduk terkulai dengan napas ter-engah2,
Selama itu Sau Peng-lam belum lagi mendusin, Gi-lim
juga tidak berani membuatnya terkejut, ia tahu bila Penglam dapat tidur nyenyak 12 jam penuh dan lukanya bisa
rapat kembali, maka keselamatannya tak menjadi soal lagi.
Sejak kemarin malam hingga sekarang Gi-lim dan Penglam sama2 tidak tidur barang sejenakpun. Tentu saja Gi-lim juga lelah luar biasa, maka hanya sebentar dia berduduk
disitu, tanpa terasa iapun terpulas.
Sekali tidur lantas tak ingat apa2 lagi dan berlangsung
hingga sehari semalam, sampai esok hari berikutnya
barulah Gi-lim mendusin lebih dulu, dilihatnya Sau PeDglam masih belum mendusin, diam2 ia merasa senang. Ia
pikir setelah tidur 12 jam tanpa bergerak, tentu lukanya sudah rapat kembali.
Saat itu sang surya baru terbit, terlihat tempat dimana
dirinya dan Peng-lam berada terletak di bawah tebing
disamping air terjun, bukan saja sinar matahari tak dapat mencapai tempat ini, muncratnya air terjun juga tak dapat masuk ke tempat teduh itu. Pantas mereka tidur sehari
semalam tanpa terganggu oleh air hujan, padahal semalam
telah turun hujan dengan cukup lebat.
Tertampak pepohonan sekitar air terjun itu terguyur
bersih oleh air hujan, suasana sekerang terasa segar dan serba baru. Gi-lim menenangkan diri, ia merasa perut
sangat lapar, timbul pikirannya akan mencari buah2an
untuk tangsal perut.
Dilihatnya dikejauhan sana ada ladang semangka.
Segera ia berlari kesana. Selagi ia hendak memetik
semangka, tiba2 teringat olehnya mencuri semangka kaum
petani adalah perbuatan yang berdosa. Tapi bila teringat sebentar lagi Sau-toako akan mendusin, pemuda itu sehari semalam tidak pernah makan-minum apapun, tentu juga
akan merasa sangat kelaparan, mungkinkah dia tahan
mengingat ia baru sembuh dari terluka parah"
"Demi Sau-toako, betapapun dosa yang kulakukan juga tidak perlu menyesal, hanya mencuri beberapa buah
semangka, biarlah kutanggung dosa ini," demikian pikir Gi-lim.
Tanpa ragu lagi ia lantas memetik dua biji semangka
yang besar dan tua terus dibawa kembali kesana.
Ia memotong sebuah semangka itu, terendus bau harum,
tanpa terasa ia menelan air liur. Tapi dia tidak makan
sendirian, ia pikir: "Biarlah kalau Sau-toako mendusin baru dimakan bersama."
Tunggu punya tunggu, sampai beberapa jam lagi masih
juga Sau Peng-lam belum mendusin. Sedangkan Gi-lim
bertekad akan menunggu mendusinnya Sau Peng-lam baru
mereka akan makan semangka bersama. Padahal perut Gilim sudah keroncongan, duduk saja hampir tidak kuat
saking laparnya. . ..
o "odOwo" o
Untuk sementara kita tinggalkan Gi-lim yang sedang
menunggu mendusinnya Sau Peng-lam untuk makan
semangka bersama.
Hari ini adalah hari upacara Wi Kay-hou akan "Kimbun-se-jiu", mencuci tangan dibaskom emas sebagai tanda akan mengundurkan diri dari dunia persilatan.
Upacara Kim-bun-se-jiu demikian jarang terjadi didunia
persilatan Tamu2 undangan yang sudah tiba hampir dua
ribu orang, sejak pagi2 tetamu sudah berkumpul diruangan pendopo untuk mengikuti berlangsungnya upacara.
Pada saat itulah, se-konyong2 diluar pendopo ada orang
berteriak: "Ada titah Sri Baginda!" Semua orang melengak, mereka sama heran mengapa mendadak ada titah raja
datang kerumah jago silat"
Hendaklah maklum, di dunia persilatan umumnya
kecuali orang yang membuka Piaukiok atau perusahaan
pengawalan, atau jago silat yang dibayar untuk menjadi
pengawal keluarga pembesar, biasanva mereka tidak suka
berhubungan dengan pihak pemerintah. Jadi titah raja
lebih2 tidak mungkin tertuju kepada orang persilatan.
Para hadirin mengira titah raja itu kesasar ke alamat
yang salah. Tak terduga, ketika mendengar datangnya titah raja, ber-gegas2 Wi Kay-hou berlari keluar dari dalam dan berlutut di depan pintu untuk menyambut datangnya titah
raja tersebut. Segera kelihatan seorang pambesar dengan dua pengawal
masuk keruangan pendopo. pembesar itu membuka
sepotong kain sulaman warna kuning, lalu dibacanya:
"Atas prakarsa Gubernur Santung. Wi Kay-hou, penduduk Cu-joan, atas keputusan Sri Baginda dianugrah. menjadi
Camciang (perwira pengawal) di gebernuran Santung. Demikian titah ini supaya diteruskan kepada yang bersangkutan"
Segera Wi Kay-hou menyembah dan mengucapkan
terima kasih atas anugrah raja tersebut.
Pembesar itupun lantas mengucapkan selamat kepada
Wi Kay-hou. Sudah tentu tuan rumah ber-seri2 dan
menyilakan pembesar itu duduk dan makan minum.
Sesudah beramah-tamah sejenak, kemudian pembesar
itupun mohon diri,
Setelah mengantar kepergian pembesar gubernuran itu,
dengan gembira ria Wi Kay-hou masuk lagi ke ruangan
besar dan mempersilakan para tamunya berduduk kembali.
Meski para tamu undangan ini bukan orang dari
kalangan hitam dan juga bukan kaum pemberontak, tapi
semuanya cukup punya nama didunia persilatan, kebanyakan adalah tokoh yang tinggi hati dan tidak
memandang sebelah mata terhadap kaum pembesar.
Sekarang mereka menyaksikan Wi Kay-hou munduk2
kepada pembesar negeri dan mencari pangkat, hanya diberi jabatan sebagai perwira pengawal yang hampir tiada artinya itu lantas kelihatan terima kasih tak terhingga, sikapnya yang munduk2 dan rendah itu membuat jago2 yang hadir
ini sama merasa risi, bahkan sebagian orang lantas
memperlihatkan rasa hina terhadap tuan rumah ini.
Tetamu yang agak berumur sama berpikir: "Melihat


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gelagatnya, pangkat Wi Kay-hou ini diperoleh dengan cara menyogok,
entah berapa ribu tahil perak telah dikeluarkannya untuk mendapatkan jabatan Camciang ini.
Padahal Wi Kay-hou dikenal cukup jujur dan tahu harga
diri, mengapa setelah tua berbalik kemaruk kepada pangkat segala?"
Dalam pada itu Wi Kay-hou lantas memberi hormat
kepada para hadirin serta minta semua orang berduduk.
Tapi tiada seorangpun yang berani menduduki kursi utama, kursi utama di tengah lantas dibiarkan tetap kosong.
Disebelah kirinya berduduk jago tua she He dari Liok-hap-bun Sisi kanan berduduk wakil Pangcu dari Kay-pang, yaitu Thio Kim-go.
Pribadi Thio Kim-go tidak ada sesuatu yang luar biasa,
cuma lantaran Kay-pang adalah organisasi yang terbesar di dunia Konguow, siapapun mengalah dan menghormati dia.
Sesudah para hadirin menempati kursi masing2, para
pelayan mulai menyuguhkun arak, lalu Hiang Tay-lian
mengeluarkan sebuah meja kecil, di meja beralaskan sehelai kain sutera bersulam.
Bi Oh-gi juga membawa sebuah baskom emas yang
bulatan tengahnya sebesar setengah meter. ditaruh di atas meja. Baskom emas berisi air jernih.
Di luar pintu segera terdengar bende ditabuh tiga kali,
Renjana Pendekar 6 Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Pendekar Panji Sakti 21

Cari Blog Ini