Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pendekar Negeri Tayli 4

Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong Bagian 4


Saking kesakitan, Bok Wan-djing mendjerit sekali dan siuman kembali, tapi menjusul lantas pingsan lagi.
Dengan mati2an Toan Ki berusaha menutup luka sinona agar darah tidak mengutjur terus, namun darah jang merembes keluar bagai mata air itu benar2 susah ditjegah. Toan Ki mendjadi kewalahan, ia tjoba bubut sekenanja beberapa tumbuhan rumput disekitarnja dan dikunjah, kemudian dibubuhkan diatas luka Bok Wan-djing. Tapi sekali kena diterdjang darah, luluhan rumput itu lantas bujar.
Tiba2 Toan Ki ingat gadis itu adalah djago silat, boleh djadi ia sendiri membawa obat2 luka. Segera Toan Ki mentjoba rogoh saku sigadis itu. Se-konjong2 tangannja menjentuh sesuatu jang lemas litjin, dalam kagetnja tjepat ia tarik keluar tangannja.
Segera tertampaklah sinar emas berkilat, seekor ular ketjil merajap keluar. Kiranja adalah Kim-leng-tju. He, Kim-leng-tju, djangan kau gigit aku! seru Toan Ki kuatir.
Menurut djuga ular itu. Padahal Kim-leng-tju tidak paham perkataannja itu. Soalnja dibadan Toan Ki terdapat kotak kemala pemberian Tjiong Ling jang berisi barang anti ular berbisa itu. Setiap ular atau serangga beratjun, asal mentjium bau benda itu, pasti akan tunduk dan ketakutan.
Maka dengan ter-sipu2 Toan Ki masukan tangannja kesaku Bok Wan-djing lagi. Kali ini tidak menjentuh benda hidup pula, satu persatu ia keluarkan isi badju sigadis. Mula2 dikeluarkan sebuah sisir emas, lalu sebuah tjermin tembaga ketjil dan dua potong saputangan warna djambon, ketjuali itu ada pula tiga buah kotak atau dos ketjil.
Melihat barang2 jang biasanja dipakai anak gadis itu, Toan Ki tertegun sedjenak, baru teringat olehnja kelakuannja jang tidak sopan itu. Orang masih perawan sutji, masakan tangan sendiri gerajangan disaku orang.
Ia tjoba membuka kotak2 ketjil itu. Kotak pertama ternjata berisi Yantji (pemerah bibir) jang berbau harum; Kotak kedua berisi bubuk putih dan kotak ketiga bubuk warna kuning. Ia tjoba mengendusnja, bubuk putih itu tiada bau apa2, tapi bubuk kuning itu berbau pedas sangat keras hingga tak tertahan ia bersin. Pikirnja: Entah bubuk2 ini obat luka atau bukan, kalau ratjun, hingga salah pakai, kan tjelaka malah"
Segera ia pidjat2 tengkuk sinona, tidak lama, pelahan2 nona itu membuka matanja. Toan Ki sangat girang, tjepatnja tanjanja: Bok-kohnio, obat dalam kotak mana jang boleh dibubuhkan dilukamu"
Jang merah, sahut Bok Wan-djing singkat, lalu pedjamkan matanja lagi.
Ketika Toan Ki menanja pula, iapun tidak mau mendjawab.
Toan Ki mendjadi heran, sudah terang bubuk merah itu adalah Yantji, manabisa dipakai mengobati luka" Tapi orang mengatakan demikian, biarlah di-tjoba2 dulu daripada menggunakannja setjara ngawur.
Segera ia sobek sedikit badju ditempat luka sinona, ia bubuhi sedikit bubukan Yantji itu. Ketika djari tangan Toan Ki menjentuh luka Bok Wan-djing, nona itu dalam keadaan tak sadarkan diri toh rada kedjang kesakitan.
Djangan kuatir, biarlah darahmu ditjegah keluar lebih banjak, Toan Ki menghiburnja.
Aneh djuga, Yantji itu ternjata obat mudjarab benar, tjes-pleng, seketika darah berhenti mengutjur keluar. Selang sebentar, dari luka itu lantas merembes keluar air kuning berbusa. Melihat keanehan itu Toan Ki menggerundel sendiri: Obat luka djuga dibikin seperti Yantji, sungguh pikiran anak gadis susah diraba orang.
Setelah tjapek setengah hari, baru sekarang perasaan Toan Ki bisa tenang kembali. Ia dengar diseberang djurang sana suara berisik tadi sudah berhenti. Pikirnja: Djangan2 mereka benar2 mandjat kemari melalui bawah djurang" ~ Tjepat ia merajap ketepi djurang sana dan melongok kebawah. Astaga tjelaka 13, dugaannja ternjata benar, belasan orang diseberang djurang itu tadi sedang memberosot kebawah djurang dengan pelahan. Sekali pun djurang itu sangat dalam tentu djuga ada dasarnja, asal orang2 itu sudah mentjapai dasar djurang, tidak berapa djam lamanja pasti orang2 itu akan pandjat keatas djurang sebelah sini.
Toan Ki mendjadi bingung, pikirnja: Kalau musuh naik kemari, aku dan Bok-kohnio hanja bisa terima adjal sadja, bagaimana baiknja sekarang"
Walaupun takbisa silat, tapi menghadapi pilihan antara hidup dan mati, terpaksa ia berdaja sebisanja. la tjoba periksa sekitarnja, lebih dulu ia memondong Bok Wan-djing kebalik sebuah batu padas jang menondjol, lalu sibuk mengumpulkan batu ditepi djurang sana. Memangnja disitu banjak terdapat batu, maka tiada lama, sudah beratus potong batu2 disiapkan.
Setelah selesai tugasnja, ia lantas duduk disamping Bok Wan-djing untuk memulihkan semangat. Sepandjang malam ia tidak tidur, sesungguhnja ia sangat lelah sekali, sedikit pedjamkan mata, rasanja sudah akan terus pulas. Tapi insaf kalau musuh tidak lama bakal datang, manabisa ia berani tidur" Sajup2 ia mentjium bau wangi jang teruar dari badan Bok Wan-djing, pikirnja: Nona Bok ini berdjuluk 'Hiang-yok-djeh', sungguh djanggal djuga bau
harum demikian di-hubung2an dengan olok2 padanja sebagai setan kuntianak.
Tadi waktu mentjoba pernapasan hidung Bok Wan-djing, ia telah sedikit menjingkap kain kedok mukanja dibawah hidung, tatkala itu ia tidak perhatikan bagaimana bentuk mulut hidungnja, entah pesek, entah mantjung.
Tapi kini ia tidak berani sembarangan membuka kedok sigadis lagi untuk melihatnja lebih djelas. Bila di-ingat2 kembali, rasanja kulit muka nona itu sangat putih, ja, paling tidak, pasti tidak menakutkan.
Dalam keadaan tak sadarkan diri, kalau Toan Ki mau buka kedok sigadis, pasti takkan diketahui olehnja. Tapi Toan Ki merasa ragu2, ingin melihat mukanja, takut pula. Pikirnja dengan tak tetap: Tanpa sebab apa2 aku ikut2 menempuh bahaja dgn dia, tampaknja 9/10 bagian pasti akan gugur ber-sama2. Pabila sampai saat binasa aku masih belum melihat mukanja jang sebenarnja, bukankah penasaran sekali" ~ namun dalam hati ketjilnja ia berkuatir pula kalau2 muka sigadis benar2 sedjelek setan, sebab kalau tidak djelek, kenapa sepandjang masa selalu berkedok muka" Apalagi berdjuluk Hiang-yok-djeh, sikutianak harum, harumnja memang tulen, rasanja sedjelek setan djuga takkan palsu. Kalau melihat tindak-tanduknja jang ganas kedji, rasanja gadis itupun tidak berdjodoh dengan wadjah tjantik-molek. Karena itu, ia ambil keputusan takkan melihatnja.
Dalam keadaan ragu2 itu, achirnja Toan Ki terpulas saking letihnja.
Entah sudah berapa lamanja, mendadak ia terdjaga bangun dan berlari ketepi djurang. la lihat ada 5-6 laki2 diam2 sedang mandjat keatas djurang, Tjuma dinding djurang itu teramat tjuram, tidak mudah untuk mendak keatas, mereka hanja merajap dgn susah-pajah dengan berpegangan ojot tumbuhan2 ditebing djurang itu.
Diam2 Toan Ki bersjukur musuh belum sampai naik keatas, segera ia ambil sepotong batu dan disambitkan kebawah sambil berteriak: Djangan naik, kalau tidak, djangan salahkan aku main kasar!
Djarak orang2 itu masih berpuluh meter dari Toan Ki, untuk menjerang dengan sendjata resia terang tak sampai, maka demi mendengar antjaman Toan Ki itu, mereka berhenti sedjenak sambil mendongak, setelah ragu2
sebentar, kembali mereka merajap naik lagi dibawah lindungan batu2 padas jang menondjol disana-sini itu.
Menimpukan batu dari atas kebawah tidaklah susah, maka beruntun Toan Ki telah timpukan beberapa potong batu. Segera terdengarlah suara djeritan ngeri dua kali, dua orang diantaranja kena tertimpuk batu, dan djatuh tergelintjir kebawah djurang, terang mereka pasti akan hantjur lebur.
Sedjak ketjil Toan Ki melulu radjin mendjalankan ibadah agama, ilmu silat sadja tidak sudi dilatihnja. Kini untuk pertama kalinja membunuh orang, ia mendjadi ketakutan sendiri hingga putjat lesi. Semula ia hanja bermaksud menggertak sadja agar orang2 itu suka pergi, tak terduga dua orang telah terbinasa oleh batunja itu. la merasa tidak tenteram sekali, walaupun tahu bila orang berhasil mandjat keatas, dirinja dan Bok Wan-djing jang akan dibunuh oleh mereka.
Dalam pada itu, kuatir kalau diserang lagi dari atas, laki2 jang lain terus merajap balik kebawah. Ada satu diantaranja agak gugup hingga terpeleset dan djatuh kebawah djurang lagi.
Toan Ki terkesima sedjenak, kemudian ia kembali kesamping Bok Wan-djing, ia lihat gadis itu sudah berduduk sambil bersandar dibatu padas.
Kedjut dan girang sekali Toan Ki, tanjanja:
Kau............... kau sudah baik, nona Bok"
Bok Wan-djing tak mendjawabnja, dengan ter-mangu2 ia pandang pemuda itu, sorot matanja jang memantjar keluar dari balik kedoknja itu tampak bengis tak kenal ampun.
Rebahlah mengaso sadja, biarlah kutjarikan air minum untukmu, demikian Toan Ki menghiburnja.
Ada orang hendak mandjat kemari, bukan" tanja sigadis.
Tak tertahan lagi air mata Toan Ki ber-linang2, katanja dengan terguguk2: Ja, aku............ aku telah mem...... membunuh dua orang tanpa sengadja......... dan......... dan seorang pula djatuh binasa ketakutan.
Bok Wan-djing mendjadi heran melihat pemuda itu menangis, tanjanja: Lalu, kenapa"
O, Tuhan maha kasih, tan............ tanpa sebab aku telah membunuh orang, ti............ tidak ketjil dosaku ini! demikian Toan Ki meratap.
la merandek sedjenak, lalu menjambung lagi: Kalau ketiga orang itu punja anak-isteri dan orang tua dirumah, bila mendengar berita kematian mereka, tentu akan............ akan sangat sedih, O, sung............ sungguh aku berdosa......... aku berdosa!
Baru sekarang Bok Wan-djing paham sebab apa pemuda itu mewek, katanja dengan tertawa dingin: Hu, kau sendiri toh djuga punja anak isteri dan orang tua"
Orang tua sih aku punja, tapi isteri belum, sahut Toan Ki.
Sekilas Bok Wan-djing memantjarkan sinar mata jang aneh, tapi sorot mata aneh itu hanja sekedjap sadja lantas lenjap, segera kembali pula sinar matanja jang tadjam dan dingin itu, katanja: Dan kalau mereka berhasil mandjat kesini, mereka akan membunuh kau tidak" Membunuh aku tidak"
Ja, mungkin sekali mereka akan membunuh, sahut Toan Ki.
Hm, djadi kau lebih suka dibunuh daripada membunuh, ja" udjar Wan-djing.
Toan Ki merenung sedjenak, kemudian mendjawab: Djika...... djika melulu karena aku, pasti aku takkan membunuh orang. Tapi.................. tapi aku takbisa membiarkan kau dibunuh mereka.
Sebab apa" bentak Bok Wan-djing dengan bengis.
Kau pernah menolong aku, dengan sendirinja akupun ingin menolong kau, sahut Toan Ki.
Aku ingin tanja padamu, djika kau berdusta, segera panah didalam lengan badjuku ini akan mentjabut njawamu, kata sigadis pula sambil sedikit angkat tangannja mengintjar ketenggorokan Toan Ki.
Eh, sekian banjak orang jang kau bunuh, kiranja panahmu dibidikan dari dalam lengan badju, udjar Toan Ki.
Tolol, kau takut tidak padaku" tanja sigadis.
Kau toh takkan membunuh aku, kenapa aku takut"
Djika kau bikin marah aku, bukan mustahil nona akan membunuh kau, kata Wan-djing Djawablah pertanjaanku: kau telah melihat wadjahku atau tidak"
Tidak, sahut Toah Ki menggeleng kepala.
Benar2 tidak" sigadis menegas. Suaranja makin lama makin rendah, kedok didjidatnja itu tampak basah sebagian, agaknja terlalu keras memakai tenaga, maka keringat merembes keluar, namun suaranja masih tetap bengis.
Ja, buat apa aku berdusta, demikian sahut Toan Ki pula.
Diwaktu aku pingsan, kenapa kau tidak membuka kedokku"
Jang kupikirkan hanja mengobati luka dibahumu itu, maka tidak memikirkan hal itu, udjar Toan Ki.
Mendadak Bok Wan-djing ingat sesuatu, ia mendjadi gusar dan gugup, dengan napas ter-sengal2 ia berkata: Djadi............ djadi kau telah melihat............ melihat kulit badanku bagian bahu" Kau membubuhi obat diatas lukaku"
Ja, sahut Toan Ki dengan tertawa. Sungguh tidak njana bahwa Yantjimu itu ternjata begitu mandjur.
Tjoba kau kemari, pajang aku sebentar, pinta sigadis.
Baiklah, sahut Toan Ki. Memangnja kau tak perlu banjak bitjara, lebih baik mengaso dulu, nanti mentjari djalan buat menjelamatkan diri.
Sembari berkata, terus sadja Toan Ki mendekati sigadis. Tak tersangka, belum lagi tangannja memegang tangan sigadis, plok, tahu2 pipinja kena dipersen sekali gamparan. Begitu keras tempilingan itu hingga kepala Toan Ki pusing tudjuh keliling, tubuhnja ikut berputar.
Ken............ kenapa kau memukul aku" tanja Toan Ki sambil memegangi pipinja.
Bangsat kurangadjar, ternjata kau berani menjentuh badanku dan............ dan melihat bahuku...... saking gusarnja, terus sadja Bok Wan-djing djatuh pingsan lagi.
Dalam kedjutnja Toan Ki mendjadi lupa orang telah gampar pipinja, tjepat ia memburu madju untuk membangunkan sigadis. la lihat lukanja mengeluarkan darah lagi, rupanja waktu menampar Toan Ki tadi, gadis itu banjak mengeluarkan tenaga, maka lukanja jang mulai merapat itu mendjadi petjah pula.
Toan Ki mendjadi ragu2, sigadis telah marah2 karena kulit badannja dilihat orang, tapi kalau tak ditolong, mungkin djiwanja akan melajang karena terlalu banjak mengalirkan darah. Urusan sudah begini, terpaksa lakukan sebisanja, paling2 nanti dipersen lagi dua kali tamparan.
Demikian pikir Toan Ki.
Segera ia sobek kain badju sendiri untuk membersihkan darah disekitar luka sigadis, ia lihat kulit badan nona itu putih bersih laksana saldju ia tidak berani lama2 memandangnja, buru2 ia
poles sedikit Yantji tadi keatas luka.
Sekali ini Bok Wan-djing tjepat siuman, dengan sorot matanja jang bengis ia pelototi Toan Ki. Takut kalau digampar lagi, Toan Ki tidak berani dekat2 gadis itu.
Kembali kau......... kau............ karena merasa bahunja silir2
dingin, Bok Wan-djing tahu pemuda itu telah membubuhi obat diatas lukanja lagi.
Ja, terpaksa, aku......... aku takbisa tinggal diam, sahut Toan Ki sambil angkat pundak.
Saking gugupnja hingga napas Bok Wan-djing ter-sengal2, dalam keadaan lemas, ia mendjadi susah berbitjara.
Toan Ki mendengar disisi kiri sana ada suara gemertjiknja air, segera ia berlari kesana dan. mendapatkan sebuah selokan dengan air pegunungan jang djernih. Ia tjutji bersih kedua tangan sendiri, lain meraup air gunung itu untuk diminum beberapa tjeguk. Kemudian ia meraup air djernih itu kembali kesamping Bok Wan-djing, katanja: Bukalah mulutmu, minum air ini!
Setelah banjak mengeluarkan darah, memangnja mulut Bok Wan-djing serasa garing, segera ia singkap sebagian kain kedoknja hingga tertampak mulutnja.
Tatkala itu sudah lohor, diatas pegunungan itu terang-benderang. Toan Ki melihat dagu sigadis agak londjong, njata mukanja potongan daun sirih, kulit mukanja putih halus seperti bahunja, mulutnja jang ketjil mungil dengan bibir tipis, kedua larik giginja seputih mutiara dan radjin. Hati Toan Ki terguntjang: Dia...... sesungguhnja seorang gadis tjantik!
Sementara itu air telah merembes djatuh dari selah2 djari tangan Toan Ki, muka Bok Wan-djing penuh tertjiprat butir2 air hingga mirip rintik embun diatas bunga teratai dipagi hari.
Toan Ki terkesima sedjenak, ia tidak berani lama2 memandang, tjepat berpaling memandang kearah lain.
Lagi, ambilkan lagi! pinta sigadis sehabis minum air ditangan Toan Ki itu.
Ber-turut2 tiga kali Toan Ki meraupkan air gunung itu baru melenjapkan rasa dahaga sigadis.
Kemudian Toan Ki mengintai pula ketepi djurang, ia lihat diseberang sana masih tinggal beberapa orang dengan busur dan panah lagi mengawasi seberang sini. Ketika melongok pula kebawah djurang, ia tidak melihat ada orang mandjat keatas. Tapi dapat diduga musuh pasti takmau sudah, tentu sedang berusaha mentjari djalan untuk mengedjar kemari.
Tiba2 Toan Ki ingat ratjun Toan-djiong-san jang diminumnja dari Sikong Hian itu dalam beberapa harini pasti akan bekerdja djuga, andaikan musuh tidak mengedjar kemari dan mereka berdua tidak mati oleh luka dan ratjun masing2, tentu djuga akan mati kelaparan diatas bukit jang tandus itu.
Karena itu, dengan lesu.ToanKikembali kesamping Bok Wan-djing lagi, katanja: Sajang diatas gunung sini tiada tumbuh apa2, kalau ada, akan kupetik beberapa buah untuk melenjapkan kelaparanmu.
Sudahlah, apa gunanja banjak bitjara jang tidak2" sahut Bok Wan-djing.
Tjoba tjeritakan, bagaimana kau kenal anak dara keluarga Tjiong itu"
Kenapa bcrani sembarangan memalsukan aku untuk menolongnja"
Toan Ki mendjadi malu oleh pertanjaan itu, sahutaja: Memangnja aku tidak pantas menjamar dirimu untuk menolongnja. Soalnja karena terpaksa, maka harap kau djangan marah.
Bok Wan-djing hanja mendengusi sekali, tidak menjatakan marah, djuga tidak bilang tidak marah.
Maka bertjeritalah Toan Ki tjara bagaimana ia kenal Tjiong Ling di Kiam-oh-kiong tempo hari ketika dirinja dianiaja orang, dan gadis itu telah menolongnja.
Hm, kalau tidak bisa ilmu silat, kenapa kau banjak ikut tjampur urusan Kangouw" Apa barangkali kau sudah bosan hidup" djengek Bok Wan-djing selesai mendengarkan tjerita Toan Ki.
Urusan sudah ketelandjur begini, menjesal djuga tak berguna, udjar Toan Ki gegetun. Tjuma bikin nona ikut susah, aku merasa tidak enak sekali.
Kau bikin susah aku apa" kata sigadis. Permusuhanku dengan orang2 itu adalah aku sendiri jang berbuat. Sekalipun didunia ini tiada seorang kau, mereka djuga tetap akan mengerojok aku. Tapi, pabila tiada kau, aku mendjadi boleh takusah kuatir dan bisa.................. bisa membunuh se-puas2ku daripada mati konjol diatas karang tandus ini.
Ketika mengutjapkan kata2 boleh takusah kuatir, ia merandek sedjenak, ia merasa utjapan setjara terus terang menjatakan berkuatir atas diri pemuda itu rada2 kurang patut, maka ia mendjadi djengah. Sjukur ia berkedok hingga mimik wadjahnja tidak kelihatan. Pula loan Ki tidak memperhatikan nada utjapannja itu agak aneh, sebaliknja menjangka gadis itu bitjara dalam. Keadaan sedih, maka ia malah menghiburnja: Sudahlah, asal nona. Mengaso beberapa hari lagi hingga luka dibahumu sudah sembuh, lalu kita terdjang keluar, belum tentu musuh mampu menahan nona.
Hm, enak sadja kau bitjara, kata Bok Wan-djing dengan mendjengek, melulu itu Oh-pek-kiam Su An sadja aku hanja bisa bertempur sama kuat dengan dia, apalagi aku menderita luka................. ~ belum habis utjapannja, se-konjong2 dari seberang karang sana berkumandang suara suitan jang tadjam mengerikan hingga seluruh lembah gunung ikut mendenging2.
Mendengar suara suitan aneh itu, tak tertahan lagi Bok Wan-djing tergetar, katanja dengan suara gemetar: Dia............ dia telah datang!
~ segera tangan Toan Ki dipegangnja erat2.
Suara suitan itu masih terus mendengung hingga lama diangkasa pegunungan dan sahut menjahut dengan suara kumandang jang makin keras, hingga telinga Toan Ki se-akan2 pekak. la merasa tangan Bok Wan-djing gemetar tiada hentinja, tentu gadis itupun sangat ketakutan.
Sedjak Toan Ki kenal gadis itu, biarpun ditengah kerubutan musuh, gadis itu tetap bisa berlaku tenang, anggap musuh barang sepele sadja. Tapi kini, begitu suara suitan itu berbunjl, seketika Hiang-yok-djeh jang biasanja ditakuti orang itu, kini berbalik ketakutan sendiri, maka dapatlah dibajangkan betapa lihay orang jang datang itu.
Sampai lama sekali, pelahan2 suara suitan tadi barulah berhenti.
Siapa orang itu" tanja Toan Ki pelahan.
Sekali orang ini sudah datang, djiwaku pasti takbisa selamat lagi, udjar sigadis. Maka lebih baik kau tjari djalan buat lari sadja, djangan...... djangan urus aku lagi.
Nona Bok, rupanja kau terlalu menilai rendah orang she Toan ini, sahut Toan Ki tertawa, Masalah orang she Toan adalah manusia berkwalitet demikian"
Dengan sepasang matanja jang djeli itu, sigadis memandang ter-mangu2
sedjenak pada pemuda itu dengan penuh haru dan pilu, katanja kemudian dengan suara mesra: Guna apakah kau mesti ikut mati bersama aku"
Kau......... kau tidak mengetahui betapa ganasnja orang itu.
Sedjak kenal belum pernah Toan Ki mendengar gadis itu bitjara dengan suara demikian halusnja, ia merasa datangnja suara suitan tadi benar2
telah mengubah Hiang-yok-djek mendjadi seorang manusia lain, maka Toan Ki meudjadi girang malah, sahutnja dengan tersenjum: Nona Bok, aku senang sekali mendengar suara utjapanmu ini, dengan demikian, barulah benar2
seorang nona jang tjantik molek.
Hm, mendadak Bok Wan-djing mendjengek dan menanja dengan suara bengis: darimana kau tahu aku tjantik" Djadi kau telah melihat wadjahku, ja" ~
habis berkata, genggaman tangannja terus diperkeras hingga tangan Toan Ki seperti terdjepit tanggam, saling kesakitan, hampir2 pemuda itu mendjerit.
Aku tidak melihat wadjahmu, sahut Toan Ki kemudian dengan menghela napas, tapi ketika memberi air minum padamu, aku telah melihat sebagian mukamu, walaupun hanja sebagian sadja, namun sudah djelas kalau kau pasti seorang tjantik molek tiada taranja.
Betapapun ganasnja Bok Wan-djing, sekali wanita tetap wanita. Dan wanita mana didunia ini jg tidak suka akan pudjian" Apalagi dipudji berwadjah tjantik"
Maka sekali hati merasa senang, genggamannja lantas dikendorkan, katanja: Baiklah, lekas kau mentjari suatu tempat untuk bersembunji, tak peduli menjaksikan apa sadja, sekali2 djangan keluar. Sebentar lagi orang itu sudah akan naik kesini.
Toan Ki terperandjat, serunja: Ja, djangan sampai dia naik kesini!
segera ia belari ketepi djurang, tapi pandangannja mendjadi silau oleh berkelebataja ba]angan seorang berbadju kuning jang lagi me-lompat2
keatas karang dengan ketjepatan dan gesit luar biasa. Tebing karang itu sangat tjuram dan litjin, tapi orang itu dapat mendaki bagai ditanah datar sadja, djauh lebih gesit daripada bangsa kera.
Diam2 Toan Ki berkuatir, segera ia nienggembor: Hai, orang itu! Djangan kau naik lagi, djika tak menurut, awas akan kutimpuk kau dengan batu!
Orang itu menjambutnja dengan ter-bahak2, lompatannja keatas mendjadi lebih tjepat malah.
Melihat demikian lihaynja orang itu, Bok Wan-djing pun sedemikian takut padanja, Toan Ki pikir betapapun orang ini harus dirintangi keatas, tapi ia tdak ingin membunuh orang lagi, segera ia djemput sepotong batu dan ditimpukan kesamping orang itu.
Walaupun batu itu tidak terlalu besar, tapi ditimpukan dari atas, suaranja tjukup keras menakutkan djuga. Toan Ki terus berseru pula: Hai, kau sudah lihat tidak" Kalau kutimpukan kekepalamu, pasti djiwamu akan melajang! Maka lekas kau turun kebawah sadja!
Kau botjah ini rupanja sudah bosan hidup, berani main kurangandjar padaku! tiba2 orang itu tertawa dingin Suaranja tidak keras, tapi seutjap sekata dapat didengar Toan Ki semua.
Melihat orang sudah melompat naik lebih dekat lagi, keadaan sudah terpaksa, Toan Ki segera angkat dua potong batu terus ditimpukan keatas kepala orang itu sambil pedjamkan kedua matanja, ia tidak berani menjaksikan adegan ngeri atas nasib orang jang bakal tergelintjir kebawah djurang.
la dengar suara gedebukan batu2 jang menggelundung kebawah itu, menjusul terdengar pula suara menderu dua kali dibarengi suara tawa pandjang orang itu. Karuan Toan Ki heran, waktu membuka mata, ia lihat kedua potong batu tadi lagi melajang ketengah djurang, sebaliknja orang itu baik2 sadja tak kurang suatu apapun.
Sekali ini Toan Ki benar2 kuatir, lekas2 ia memberondongi orang itu dengan timpukan2 batu lagi. Tapi setiap batu melajang sampai diatas kepalanja, sekali lengan badju orang itu mengebut, batu ini lantas menjeleweng kesamping dan djatuh kedjurang, terkadang orang itu malah melompat naik lagi hingga timpukan batu mendjadi luput.
Dalam gugupnja, sekaligus Toan Ki telah berondongi orang itu dengan 30-40 potong batu. Namun orang itu sedikitpun tidak apa2, bahkan sedjengkalpun takbisa merintangi madjunja orang itu keatas.
Melihat gelagat bakal tjelaka, lekas2 Toan Ki berlari kembali kesamping Bok Wan-djing dan berkata dengan suara ter-putus: No......... nona Bok, orang itu sang........ sangat lihay, ma........... marilah kita lekas lari!
Sudah terlambat! sahut Bok Wan-djing dengan dingin.
Dan selagi Toan Ki hendak bitjara pula, se-konjong2 tubuhnja terasa didorong oleh suatu tenaga maha besar hingga mentjelat kedepan bagai terbang, bluk, achirnja ia terbanting didalam semak2 pohon hingga kepala pusing tudjuh keliling, hampir2 djatuh kelengar. Untung tanah situ banjak tumbuh pohon2 pendek, maka hanja mukanja sadja terbaret letjet sedikit, tapi tidak sampai terluka berat.
Dengan ter-sipu2 ia merangkak bangun, sementara itu tertampak orang berbadju kuning tadi sudah berdiri didepan Bok Wan-djing.
Kuatir kalau orang itu mentjelakai Bok Wan-djing, tjepat Toan Ki berlari madju dan menghadang di-tengah2 mereka sambil menanja: Siapakah engkau" Kenapa menganiaja orang tidak se-mena2"
Le....... lekas kau lari, djangan tinggal disini! seru Bok Wan-djing kuatir.
Hati Toan Ki ber-debar2 djuga, namun ia tenangkan diri sebisanja sambil memperhatikan pendatang itu. Ternjata buah kepala orang itu besarnja luar biasa, sebaliknja sepasang matanja bundar ketjil hingga mirip dua bidji kedelai menjelempit diatas semangka. Namun sinar matanja menjorot tadjam, ketika ia menatap Toan Ki, tanpa merasa pemuda itu bergidik.
Perawakan orang itu sih sedang sadja, berewoknja pendek kaku seperti sikat kawat, tapi usianja susah diduga. Kedua tangannja pandjang melampaui lutut, sedang djarinja pandjang lantjip mirip tjakar.
Waktu mula2 Toan Ki melihat orang itu, ia merasa wadjah orang sangat djelek. Tapi kini ternjata lain, makin dipandang, semakin terasa perawakan orang itu dan anggota2 badannja, bahkan dandanannja, semuanja sangat serasi dengan orangnja.
Kemarilah kau, berdiri disampingku! demikian kata Bok Wan-djing pula.
Tapi dia........ dia akan mentjelakai kau" udjar Toan Ki kuatir.
Hm, melulu lagakmu ini, apakah mampu kau menahan sekali hantam dari Lam-hay-gok-sin" djengek sigadis. Tapi mau-tak-mau ia terharu djuga demi nampak pemuda itu ingin melindunginja tanpa pikirkan keselamatan sendiri.
Benar djuga, pikir Toan Ki, kalau orang aneh ini hendak enjahkan dirinja memang tidak perlu susah2, maka ada lebih baik djangan bikin marah padanja. Segera ia berdiri kesamping Bok Wan-djing dan berkata pula: Apakah tuan jang berdjuluk Lam-hay-gok-sin" Dalam beberapa hari ini Tjayhe sudah banjak bertemu dengan berbagai Eng-hiong-Hohan, tapi ilmu silat tuan tampaknja adalah jang paling lihay. Aku telah timpuk engkau dengan berpuluh potong batu, tapi tiada sepotongpun jang mengenai kau.
Dasar watak manusia, siapa orangnja jang tidak suka dipudji dan diumpak" Begitu pula dengan Lam-hay-gok-sin atau simalaikat buaja dari laut selatan ini. Sifat Lam-hay-gok-sin ini biasanja kedjam tak kenal ampun, tapi demi mendengar Toan Ki memudji ilmu silatnja sangat lihay, ia mendjadi senang djuga. Ia mengekek tawa dua kali, lalu berkata: Kepandaianmu tidak berarti, tapi pandanganmu masih boleh djuga. Baiklah, kau enjahlah, Lotju ampuni djiwamu!
Girang Toan Ki tidak kepalang, sahutnja tjepat: Djika demikian, kau orang tua djuga ampuni Bok-kohnio sekalian!
Lam-hay-gok-sin itu tidak mendjawab, hanja sepasang matanja jang bundar ketjil itu mendelik, mendadak ia melangkah madju, sekali kebut, lengan badjunja membuat Toan Ki ter-hujung2 mundur beberapa tindak, lalu katanja dengan suara bengis: sekali berani kau melangkah madju, Lotju takkan ampuni djiwamu lagi!
Toan Ki pertjaja orang berani berkata tentu berani berbuat, ia pikir paling selamat biarlah aku melihat gelagat dulu disini. Maka ia tidak berani sembarangan bertindak lagi.
Dalam pada itu terdengar Lam-hay-gok-sin lagi berkata pada Bok Wan-djing: Kau inikah jang bernama Hiang-yok-djeh Bok Wan-djing"
Benar, sahut sigadis. Sudah lama kudengar nama besar Lam-hay-gok-sin Gah-loyatju, njata memang tidak bernama kosong. Siaulitju terluka parah, harap maaf kalau tak bisa memberi hormat pada engkau orang tua!
Mendengar itu, diam2 Toan Ki mendengus didalam hari: Hm, terhadap diriku kau garang melebihi setan, tak tahunja kau djuga seorang jang tjuma berani pada kaum lemah tapi djeri pada jang djahat. Melihat orang lebih galak dari kau, terus sadja kau panggil2 Loyatju!
Sementara itu terdengar Lam-hay-gok-sin lagi mendjengek: Ha, kabarnja kau mempunjai beberapa djurus djuga, kenapa bisa terluka parah"
Aku dikerojok Su An, Tjin Goan-tjun, Sin Si-nio dan Hui-Sian berempat, dua kepalanku takbisa lawan delapan tangan mereka, maka aku telah kena dilukai oleh gurdi badja Sin Si-nio.
Brengsek, sungguh tidak kenal malu, orang begitu banjak mengerubut seorang nona! kata Lam-hay-gok-sin dengan gusar.
Benar itu, memangnja kau orang tua lebih bidjaksana! segera Toan Ki menanggapi. Djangankan main kerojok, asal lelaki, memangnja djuga tidak pantas berkelahi dengan wanita. Tapi mereka djusteru mengerubuti seorang nona jang lemah, terhitung orang gagah matjam apakah itu" Kalau tjerita ini tersiar dikalangan Kangouw, bukankah akan dibuat buah tertawaan orang"
Lam-hay-gok-sin tidak mendjawab, hanja mengangguk sambil mendelik.
Diam2 Toan Ki bergirang: Aku telah kuntji dia dengan kata2, lalu mengumpaknja lagi setinggi langit, asalkan dapat terhindar dari kesulitan didepan mata ini.
Tapi ia dengar Lam-hay-gok-sin sedang menanja pula: Sun He-khek dibunuh oleh kau atau bukan"
Benar! sahut Bok Wan-djing.
Dia adalah murid kesajanganku, kau tahu tidak" tanja lagi simalaikat buaja dari laut selatan.
Mendengar itu, diam2 Toan Ki mengeluh: Wah, tjelaka! Bok kohnio telah membunuh murid kesajangannja, urusan ini mendjadi susah diselesaikan.
Ia dengar Bok Wan-djing lagi mendjawab: Waktu membunuhnja tidak tahu, beberapa hari kemudian baru tahu.
Kau takut padaku tidak" tanja Lam-hay-gok-sin.
Tidak! sahut sigadis tegas.
Lam-hay-gok-sin mendjadi murka, ia menggerung sekali hingga lembah gunung itu se-akan2 terguntjang. Kau berani tidak takut padaku, besar amat njalimu, ja" Pengaruh siapakah jang kau andalkan, ha"
Pengaruh engkaulah jang kuandalkan! sahut Bok Wan-djing dingin sadja.
Lam-hay-gok-sin melengak oleh djawaban itu, segera ia membentak: Ngatjo belo! Pengaruhku apa jang bisa kau andalkan"
Kau orang tua diagungkan didunia persilatan, kepandaianmu tiada bandingannja, manabisa kau bergebrak dengan seorang perempuan jang terluka parah! sahut sigadis.
Utjapan ini setengahnja mengandung umpakan, tapi memaksa Lam-hay-gok-sin tidak bisa berbuat apa2. Benar djuga, setelah tertegun sedjenak, malaikat buaja lautan selatan itu lantas terbahak2, katanja: Benar djuga utjapanmu itu. ~ habis ini, mendadak ia tarik muka lagi dan berkata: Harini biarlah aku tidak membunuh kau. Aku ingin tanja kepadamu: Kabarnja senantiasa kau memakai kedok, siapapun dilarang melihat wadjahmu. Kalau ada orang jang melihatnja, djika kau tidak bunuh dia, kau harus kawin padanja. Apakah betul kabar ini"
Toan Ki terperandjat oleh pertanjaan itu, ia lihat Bok Wan-djing telah memanggut sebagai djawaban, karuan ia tambah kedjut dan bersangsi.
Sebab apa kau mengadakan peraturan aneh itu" tanja Lam-hay-gok-sin.
Itu adalah sumpah berat jang telah kuutjapkan dihadapan Suhuku. sahut sinona. Djika tidak demikian, Suhu takkan mengadjarkan ilmu silat padaku.
Siapakah gurumu itu" tanja Gok-sin. Mengapa begitu aneh dan tidak kenal peradaban orang hidup.
Sahut Wan-djing dengan angkuh: Aku menghormati kau sebagai kaum Tjianpwe tapi kau gunakan kata2 tidak pantas untuk menghina guruku, itulah tidak patut.
Praak! mendadak Lam-hay-gok-sin menghantam sepotong batu padas disampingnja, seketika batu krikil berhamburan, muka Toan Ki kesakitan djuga tertjiprat oleh hantjuran batu kerikil itu. Diam2 ia terkesiap: Sedemikian lihay ilmu silat orang ini, sekali hantam bikin batu hantjur remuk, kalau badan manusia jang digendjot, apa mungkin masih bisa hidup"
~ Namun ketika dia memandang kearah Bok Wan-djing, ia lihat gadis itu bersikap dingin2 sadja, sedikitpun tidak gentar oleh ilmu silat Lam-hay-gok-sin jang tiada taranja itu.
Sementara itu, sesudah melototi Bok Wan-djing sedjenak, kemudian Lam-hay-gok-sin berkata lagi: Baik, anggap utjapanmu tadi memang benar. Maka sekarang aku ingin mohon tanja, siapakah gelaran gurumu jang terhormat itu"
Guruku bernama Bu-beng-khek (orang tak bernama), sahut Wan-djing.
Bu-beng-khek" demikian Lam-hay-gok-sin mengulangi nama itu sambil meng-ingat2 kembali. Tidak pernah kudengar nama itu!
Sudah tentu, rasanja kaupun takkan pernah mengenalnja, djengek Bok Wan-djing.
Se-konjong2 Lam-hay-gok-sin itu perkeras suaranja dan membentak: Kematian muridku Sun He-khek itu apakah disebabkan dia ingin melihat wadjahmu"
Untuk kenal sang murid tiada lebih daripada sang guru, sahut Bok Wan-djing dengan dingin. Sangat baik djika kau sudah kenal tabiat muridmu itu.
Memangnja Lam-hay-gok-sin tjukup kenal watak murid mestikanja itu adalah seorang badjul buntung, kalau mati oleh sebab perbuatannja itu memang djuga tidak perlu heran. Tjuma, menurut peraturan Lam-hay-pay mereka, selamanja satu-guru-satu-murid, dengan tewasnja Sun He-khek, itu berarti djerih-pajahnja mendidik murid selama berpuluh tahun itu ikut hanjut kelaut. Maka semakin dipikir semakin gusar, se-konjong2 ia berteriak sekali: Hauuuuuuh! Aku akan menuntut balas bagi muridku itu!
Melihat wadjah orang mendadak berubah beringas menakutkan, begitu murka agaknja hingga air mukanja ikut berubah se-akan2 merah hangus, Bok Wan-djing dan Toan Ki mendjadi djeri. Sungguh tak tersangka oleh mereka bahwa air muka seseorang bisa berubah begitu hebat dan tjepat.
Tjepat Toan Ki melangkah madju, tapi segera teringat akan antjaman orang tadi, kembali ia melangkah mundur, lalu berkata: Gak-lotjianpwe, bukankah kau tadi menjatakan takkan membunuh dia"
Tapi Lam-hay-gok-sin tak menggubris padanja, ia tanja Bok Wan-djing lagi: Dan muridku itu berhasil melihat wadjahmu tidak"
Tidak! sahut sigadis.
Bagus! seru Lam-hay-gok-sin. He-khek sibotjah itu matipun tentu tidak meram, biarlah aku mewakili dia melihat wadjahmu. Ingin kulihat apakah kau seburuk setan atau setjantik bidadari!
Kedjut Bok Wan-djing sungguh bukan buatan. la sudah bersumpah
.dihadapan sang guru, kalau sekarang Lam-hay-gok-sin itu memaksa melihat wadjahnja, sedang dirinja tak mampu membunuhnja, lalu, apakah harus kawin padanja" Dalam gugupnja, tjepat ia berkata: Kau adalah tokoh terkemuka dikalangan Bulim, manabisa berbuat serendah dan sekotor ini"
Hm, diantara Sam-sian-su-ok (tiga orang badjik dan empat orang djahat), aku adalah satu diantara Su-ok itu, kedjahatanku memangnja sudah terkenal di-mana2, takut apa lagi" sahut Lam-hay-gok-sin dengan tertawa dingin.
Selama hidup Lotju hanja kenal suatu aturan, jalah: tidak membunuh orang jang tidak mampu membalas, Ketjuali itu, tiada sesuatu kedjahatan lain jang tak kulakukan. Maka lebih baik kau menurut dan tanggalkan kedokmu sendiri, agar Lotju tidak perlu repot turun tangan lagi.
Kau benar2 harus............... harus melihatnja" sahut Bok Wan-djing dengan suara gemetar.
Djangan kau banjak tjintjong lagi, djika,terus rewel, sebentar tidak hanja kedokmu jang kubuka, bahkan antero pakaianmu bisa kulutjuti bulat2, antjam Lam-hay-gok-sin dengan bengis. Apakah kau tidak mendengar bahwa tahun jang lalu, dikota Khayhong, dalam semalam sadja Lotju telah memperkosa dan membunuh sembilan puteri keluarga pembesar dan bangsawan"
Bok Wan-djing insaf urusan harini pasti takbisa dihindarkan lagi, ia tjoba mengedipi Toan Ki dengan maksud mendesak pemuda itu lekas melarikan diri. Tapi Toan Ki hanja meng-geleng2 kepala sadja.
Lam-hay-gok-sin sudah tidak sabar lagi, berewoknja jg mirip sikat kawat itu mendjengket. Huk! sekali bersuara, terus sadja kelima djarinja jang mirip tjakar ajam itu terus mentjengkeram kedok Bok Wan-djing.
Tanpa pikir lagi Wan-djing tekan pesawat rahasianja, tiga batang panah ketjil sekaligus menjamber kedepan setjepat kilat dan semuanja tepat niengenai perut Lam-hay-gok-sin.
Tak terduga, blek-blek-blek tiga kali, ketiga panah itu djatuh semua ketanah. Sedikit Bok Wan-djing bergerak, kembali tiga panah berbisa melesat kedepan, jang dua batang mengarah dada Lam-hay-gok-sin, jang satu mengintjar mukanja.
Tapi- kedua batang panah jang mengenai dada Lam-hay-gok-sin itu tetap seperti membentur papan badja sadja, semuanja djatuh ketanah. Bedanja tjuma tidak menerbitkan suara tjrang-tjreng jang njaring, tapi hanja bersuara blak-blek jang aneh.
Sedang panah ketiga ketika hampir mentjapai sasarannja, tiba2 Lam-hay-gok-sin ulur dua djarinja dan mendjentik pelahan dibatang panah ketjil itu, kontan panah itu mentjelat entah kemana!
Hendaklah diketahui bahwa panah berbisa jang dibidikan Bok Wan-djing itu setjepat kilat, banjak djago2 pilihan telah tewas dibawah panahnja itu sebelum melihat bajangan panah itu, Sekalipun mata tjeli dan gesit, paling2 djuga tjuma melompat berkelit sadja. Tapi kini Lam-hay-gok-sin bukan sadja tidak mempan dipanah, bahkan sempat angkat djarinja mendjentik, sungguh selama hidup Bok Wan-djing belum pernah mengalami tokoh selihay ini, saking djerinja hampir2 njalinja petjah, tjepat ia berseru: Nanti dulu, djangan kau main kasar!
Lam-hay-gok-sin tertawa dingin, sahutnja: Menurut aturanku, aku hanja tidak membunuh orang jang tidak mampu membalas seranganku, tapi kau telah menjerang aku dengan enam batang panah, itu berarti kau telah mendahului menjerang aku. Mata aku akan melihat dulu matjam apa wadjahmu, kemudian mentjabut njawaku. Ini adalah salahmu sendiri jang bergebrak lebih dulu, djangan kau menjalahkan aku melanggar aturan.
Salah, salah! tiba2 Toan Ki menggembor.
Ada apa" tanja Lam-hay-gok-sin menoleh.
Menurut aturan Lotjianpwe, kau tidak membunuh orang jang tidak mampu membalas seranganmu bukan" Toan Ki menegas.
Benar! sahut Lam-hay-golt-sin dengan mata mendelik.
Ketetapan itu bisa diubah atau tidak" tanja Toan Ki.
Lam-hay-gok-sin mendjadi gusar, sahutnja: Sekali aturan Lotju sudah ditetapkan tidak bisa di-tawar2 lagi!
Tapi kalau ada jang mengubahnja, matjam apakah orang itu" desakToan Ki.
Orang itu adalah anak kura2 (anak germo) dan keturunan haram! sahut simalaikatbuaja dari laut selatan.
Bagus, bagus! seru Toan Ki. Tadi belum lagi kau menjerang Bok-kohnio, tapi dia telah memanah kau, itu bukan balas menjerang, tapi harus disebut menjerang lebih dulu. Djikalau kau menjerang dia, dalam keadaan terluka parah, pasti dia tidak mampu membalas sedikitpun. Sebab itulah, hanja bisa dikatakan dia mampu menjerang, tapi tidak mampu balas menjerang.
Pabila kau membunuh dia, itu berarti kau telah mengubah peraturanmu, dan kalau kau mengubah aturanmu sendiri, itu berarti kau anak kura2 dan keturunan haram!
Ternjata dalam keadaan kepepet, Toan Ki terus main pokrol bambu. Ia sengadja pantjing omongan Lam-hay-gok-sin untuk mendjebaknja, lalu berdebat dengan dia setjara pokrol2an.
Karuan Lam-hay-gok-sin menggerung murka bagai guntur kerasnja, sekali melompat, segera kedua tangan Toan Ki ditjekalnja sambil membentak: Kurangadjar! Kau berani memaki aku sebagai anak kura2 dan keturunan haram! ~ berbareng tangan lain diangkat terus hendak mnggablok keatas kepala pemuda itu.
Tapi dengan tenang Toan Ki masih mendjawab: Djika kau mengubah peraturanmu, tentunja kau harus mengaku sebagai anak kura2, tapi kalau tidak, tentu djuga bukan. Dan suka atau tidak engkau mendjadi anak kura2, semuanja tergantung pada engkau akan mengubah peraturanmu atau tidak.
Melihat pemuda itu begitu teguh pendiriannja, biarpun djiwanja terantjam, tapi sedikitpun tidak gentar, bahkan malah memaki orang anak kura2 terus menerus, Bok Wan-djing mendjadi kuatir Lam-hay-gok-sin pasti akan murka hingga sekali hantam, tentu kepala Toan Ki bisa remuk. Saking takutnja, air matanja bertjutjuran, ia berpaling kearah lain tidak tega menjaksikannja.
Tak terduga Lam-hay-gok-gin mendjadi kesima oleh karena debatan Toan Ki tadi, ia pikir, kalau sekali gablok kubinasakan dia, itu berarti membunuh seorang jang tak mampu membalas seranganku, dan bukankah aku benar2 akan mendjadi anak kura2 dan keturunan haram"
Karena itu, tangannja jang terangkat tadi pelahan2 diturunkan kembali, sebaliknja tangan lain jang mentjekal kedua tangan Toan Ki pelahan2
diperkeras sambil mata mendelik. Begitu kuat remasannja itu hingga Toan Ki kesakitan tidak kepalang, tulang tangannja sampai berkerutukan seakan2 patah, hampir2 ia djatuh semaput. Tapi dasar wataknja memang sangat bandel, walaupun dengan meringis, segera ia berseru; Aku tidak mampu membalas seranganmu, lekaslah kau membunuh aku sadja!
Huh, aku djusteru tidak mau masuk perangkapmu! Kau ingin aku mendjadi anak kura2 dan keturunan haram, ja" sahut Lam-hay-gok-sin. Habis berkata, tiba2 ia angkat tubuh pemuda itu dan dibanting ketanah. Karuan mata Toan Ki ber-kunang2, isi perutnja serasa djungkir balik hantjur luluh.
Aku tidak mau terperangkep! Aku takkan membunuh kalian dua setan tjilik ini! demikian Lam-hay-gok-sik berkomat-kamit sendiri. Mendadak ia membentak pada Bok Wan-djing: Buka kain kedokmu!
Wan-djing merasa air mata sendiri ber-linang2 dikedua pipi, tiba2
hatinja tergugah: Dahulu aku pernah menjatakan bahwa selama hidupku ini takkan menikah, ketjuali kalau aku menangis bagi laki2 itu! ~ Dan karena urusan sudah mendesak, tanpa pikir lagi segera ia memanggil Toan Ki: Kemarilah kau!
Dengan masih meringis2 kesakitan Toan Ki mendekati sigadis dan menanja: Ada apa"
Engkau adalah laki2 pertama didunia ini jang melihat wadjahku ini!
demikian Bok Wan-djing berbisik sambil berpaling kehadapan pemuda itu, lalu menjingkap kain kedoknja.
Seketika Toan Ki terguntjang se-akan2 kena aliran listrik. Ternjata apa jang dilihatnja itu adalah sebuah wadjah tjantik aju bagai bidadari, tjuma agak putih putjat, tentunja disebabkan selamanja gadis itu menutupi mukanja dengan kedok, djarang terkena tjahaja matahari. Kedua bibirnja jang tipis mungil itupun ke-putjat2an. Namun bagi Toan Ki, rasanja gadis itu mendjadi lebih harus dikasihani, lemah lembut, sama sekali tiada memper sebagal Hiang-yok-djeh jang membunuh orang tanpa berkesip.
Kemudian Bok Wan-djing menutupkan kedoknja lagi dan berkata pada Lam-hay-gok-sin: Nah, sekarang djika kau ingin melihat mukaku, kau harus minta idin dulu kepada suamiku.
He, kau sudah bersuami" Gok-sin menegas dengan heran. Siapakah suamimu itu"
Aku pernah bersumpah bahwa laki2 mana jang melihat wadjahku kalau aku tidak membunuh-dia, aku akan menikah padanja. sahut Wan-djing sambil menundjuk Toan Ki: Dan orang ini telah melihat wadjahku, aku tidak ingin membunuh dia, terpaksa aku mendjadi isterinja.
Lam-hay-gok-sin tertjengang, ia berpaling dan mengamat-amati Toan Ki Toan Ki merasai kedua mata orang; jang: besarnja mirip katjang kedelai itu sedang memandang dirinja, dimulai dari ujung rambut sampai kepangkal kaki, dan dari djari kaki kembali ke-ubun2, karuan Toan Ki mendjadi risih dan merinding pula, kuatir kalau orang mendjadi kalap, sekali hantam binasakan dirinja.
Siapa tahu mendadak terdengar mulut Lam-hay-gok-sin tiada hentinja ber-ketjek2 memudji, katanja: Tjk-tjk-tjk-tjk, bagus sekali, bagus sekali!
Tjoba kau menghadap kesini!
Toan Ki tidak berani membangkang, ia menurut dan berputar kehadapan orang.
Ehm, benar2 hebat, benar2 bagus! Sangat mirip aku, sangat mirip aku!
demikian kembali Lam-hay-gok-sin memudji.
Mendengar utjapan jang tak djelas udjung-pangkalnja itu, Bok Wan-djing dan Toan Ki mendjadi heran, pikir mereka: Ilmu silatmu memang benar tiada bandingannja, tapi rupamu djelek, bagian manakah jang mirip dengan Toan Ki jang tampan"
Tiba2 Lam-hay-gok-sin melompat kesamping Toan Ki, ia raba2 tulang kepala belakang pemuda itu, lalu pidjat2 tangan dan kakinja, kemudian meremas2 pula beberapa kali dipinggangnja.
Karuan Toan Ki merasa geli se-akan2 di-kili2 orang, hampir ia berteriak ketawa. Tapi ia dengar Lam-hay-gok-sin sedang ter-bahak2 dan berkata: Kau sangat mirip aku, ja, sangat mirip aku! ~ berbareng tangan Toan Ki digandengnja sambil berkata pula: Marilah ikut padaku!
Lotjianpwe suruh aku kemana" tanja Toan Ki dengan bingung.
Keistana Gok-sin-kiong dipulau Gok-to, dilautan selatan. sahut Gok-sin.
Aku telah terima kau sebagai murid, lekas kau mendjura padaku!
Hal ini sungguh diluar dugaan Toan Ki, karuan ia kelabakan: Ini.................. ini..............
Akan tetapi Lam-hay-gok-sin mana mau tahu ini atau itu, saking senangnja sampai ia ber-djingkrak2 se-akan2 orang putus lotere lima djuta. Lalu katanja: Tangan dan kakimu pandjang, tulang kepalamu bagian belakang menondjol keluar, tulang pinggang lemes, pintar dan tjerdik, aku jakin .bakatmu sangat baik, umurmu belum banjak lagi, benar2suatu bahan pilihan untuk beladjar silat. Lihatlah ini, bukankah tulang kepalaku ini sama seperti kau" ~ sembari berkata, ia terus membaliki tubuhnja.
Benar djuga, Toan Ki melihat tulang kepala belakang orang memang sangat mirip dengan dirinja. Buset! Djadi apa jang dimaksudkan sangat mirip aku tadi tidak lebih hanja disebabkan persamaan dari sekerat tulang kepala belakang sadja!
Dalam pada itu Lam-hay-gok-sin telah putar tubuh lagi, katanja dengan berseri2: Lam-hay-pay kita selamanja ada suatu peraturan, jalah setiap turunan hanja satu-guru-satu-murid, muridku jang sudah mati itu, Sun He-khek, tulang kepalanja tiada sebagus kau punja, kepandaiannja tiada dua bagian jang diterimanja dari peladjaranku kini dia sudah mati, biarlah, daripada sekarang bikin repot aku utk membunuhnja, agar aku bisa menerima kau sebagai murid.
Toan Ki bergidik oleh tjerita itu. Pikirnja, sifat orang ini sedemikian biadabnja, kalau ada orang jang dipenudjui olehnja, lantas murid sendiri akan dibunuh supaja bisa terima murid baru lagi. Kalau sekarang aku diterima sebagai murid, bukan mustahil kelakaku akan dibunuhnja djuga bila dia keternukan orang lain jang berbakat lebih bagus. Djangankan dirinja memang tidak sudi beladjar silat, sekalipun mau djuga tidak nanti mengangkat orang demikian sebagai guru.
Tapi Toan Ki djuga insaf bila setjara tegas menolaknja sekarang, seketika malapetaka pasti akan menimpa dirinja. Tengah ia bingung tak berdaja, se-konjong2 terdengar Lam-hay-gok-sin itu membentak: Kalian lagi berbuat apa sembunji2 disitu" Hajo, semuanja gelinding kemari!
Maka tertampaklah dari semak2 pohon sana muntjul tudjuh orang. Su An, Hui Sian, Tjin Goan-tjun termasuk diantaranja. Menjusul dari sebelah kiri sana djuga menongol dua orang, mereka adalah Tjo Tju-bok dan Siang-djing dari Bu-liang-kiam.
Kiranja sesudah Lam-hay-gok-sin naik keatas karang itu. Toan Ki tidak bisa menimpuk batu untuk merintangi mereka lagi, maka kesempatan itu telah digunakan orang2 itu untuk mandjat keatas. Empat orang lagi diantara rombongn Su An itu adalah Tjetju2 (gembong2) dari Hok-gu-tjeh, semuanja adalah djagoan terkenal dari kalangan Hek-to jang kerdjanja merampok dan membegal.
Meski orang2 itu bersembunji ditengah semak2 dengan menahan napas, namun mana bisa mengalabui telinga Lam-hay-gok-sin jang tadjam" Tapi dasar orang aneh itu lagi. senang karena memperoleh seorang murid berbakat bagus seperti Toan Ki, seketika ia tidak mendjadi marah, dengan masih ber-seri2 ia melototi Tjo Tju-bok dan lain2, lalu membentak: Ada apa kalian naik kesini" Apakah hendak menghaturkan selamat padaku karena menerima seorang murid bagus"
Dengan tabahkan diri, Djitjetju (gembong kedua) dari Hok-gu-tjeh jang bernama Tjok Thian-koat mendjawab: Kami ingin menangkap perempuan hina si Hiang-yok-djeh ini untuk membalaskan sakit hati saudara kami.


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tidak, tidak boleh! seru Gok-sin sambil gojang kepala. Hiang-yok-djeh adalah isterinja muridku, lekas enjah semua!
Karuan semua orang melongo heran sambil saling pandang.
Tidak, aku tak bisa mengangkat kau sebagai guru, sudah lama aku mempunjai Suhu, seru Toan Ki tiba2.
Lam-hay-gok-sin mendjadi gusar, bentaknja: Siapakah gurumu" Apakah kepandaiannja bisa lebih tinggi dariku"
Kepandaian guruku itu, kujakin sedikitpun kau tak bisa, sahut Toan Ki.
Tjoba, apakah kau paham intisari dari Kong-yang-thoan" Apa kau pernah beladjar ilmu Tjiong-ting-kah-kut segala"
Lam-hay-gok-sin garuk2 kepala, sebab dia memang tidak kenal apa itu, Kong-yang-thoan segala, bahkan dengarpun belum pernah.
Melihat wadjah orang mengudjuk bingung, diam2 Toan Ki geli, ia pikir ilmu silat orang ini sangat tinggi, tapi otaknja ternjata rada bebal.
Maka katanja lagi: Makanja, kebaikan Lotjianpwe biarlah kuterima dalam hati sadja, kelak aku akan mengundang guruku untuk tjoba2 bertanding dengan Lotjianpwe, pabila Lotjianpwe bisa menangkan guruku, barulah, aku akan mengangkat engkau sebagai Suhu.
Siapa Suhumu" Masakan aku djeri padanja" Hajo, tetapkan, kapan aku bertanding" teriak Gok-sin gusar.
Padahal apa jang diutjapkan Toan Ki itu hanja sekedar untuk mengulur waktu sadja, siapa duga orang benar2 minta diadakan perdjandjian bertanding.
Karuan ia tak bisa mendjawab.
Tengah bingung tak berdaja, tiba2 dari djauh sana terdengarlah suara kumandang suitan orang jang pandjang bagai auman naga, suara itu ber-gelombang2 tak ter-putus2 melintasi lereng2 gunung itu.
Kalau tadi Toan Ki merasa ngeri dan seram oleh suara suitan Lam-hay-gok-sin jang melengking tadjam itu, adalah suara suitan sekarang ini kedengarannja keras tapi tenang dan kuat mengguntjangkan lembah gunung, sedikitpun tidak kalah hebatnja daripada suara Lam-hay-gok-sin tadi.
Mendengar suara itu tiba2 Gok-sin tabok kepala sendiri sambil berseru: Aija, orang ini sudah tiba, aku tidak sempat banjak bitjara dengan kau lagi. Hajo, kapan gurumu akan Pi-bu (bertanding silat) dengan aku dan dimana tempatnja" Ajo, lekas katakan, lekas!
Aku.......... aku tidak enak me......... mewakili guruku mengadakan perdjandjian dengan engkau, sahut Toan Ki ter-gagap2. Apalagi bila sekali engkau sudah pergi, orang2 ini tentu akan membunuh kami berdua, lalu tjara begaimana aku......... aku bisa memberitahukan pada guruku" ~
sembari berkata, ia tuding2 Hui-sian dan lain2.
Mendengar itu, tanpa menoleh lagi, Lam-hay-gok-sin membaliki tangan kiri meraup kebelakang, seketika tangan Tjoh Thian-koat, itu Djitjetju dari Hok-gu-tjeh kena ditjekalnja, menjusul tangan kanan Gok-sing mendjodjoh pula kebelakang, tjrat, kelima djarinja menantjap masuk didada Tjoh Thian-koat, kontan terdengar djeritan ngeri gembong Hok-gu-tjeh itu.
Pabila kemudian tangan kanan Lam-hay-gok-sin ditarik kembali, ditengah tangannja jang berlumuran darah itu sudah memegang sebuah hati manusia.
Kedua kali gerakan Lam-hay-gok-sin itu tjepatnja bukan main, pertjuma sadja Tjoh Thian-koat memiliki kepandaian, sedikitpun ternjata takbisa dikeluarkan. Karuan semua orang jang menjaksikan itu ikut ternganga kesima.
Buah hati manusia tadi oleh Lam-hay-gok-sin segera dimasukan kemulutnja, kruk, ia gigit sepotong terus dikunjah dengan lezatnja bagai makan ketimun sadja.
Sungguh pedih dan gusar tidak kepalang ketiga Tjetju jang lain dari Hok-gu-tjeh. Berbareng mereka menggerung murka terus menubruk madju. Akan tetapi sama sekali Lam-hay-gok-sin tidak berpaling, bahkan mulutnja masih terus makan dengan enaknja, sedang kaki kanan mendepak tiga kali sekaligus kebelakang, Kontan tertampak tubuh ketiga Tjetju dari Hok-gu-tjeh itu mentjelat keudara dan djatuh kedalam djurang semua. Suara djeritan ngeri jang berkumandang diangkasa lembah pegunungan itu membuat Toan Ki merinding.
Menampak betapa ganas dan buasnja Lam-hay-gok-sin, ilmu silatnja sedemikian lihay pula, Hui-sian, Tjo Tju-bok dan lain2 mendjadi djeri dan mundur ketakutan.
Sambil mulutnja masih mengunjah sisa hati manusia tadi, setjara samar2
Lam-hay-gok-sin berseru pula: Lotju belum tjukup hanja memakan sebuah hati, aku masih...... masih inginkan jang kedua, siapa jang larinja paling lambat, dia itulah akan mendjadi mangsa Lotju.
Mendengar itu, takut Tjo Tju-bok, Siang-djing, Tjin Goan-tjun dan lain2
bukan buatan, hampir2 semangat mereka terbang ke-awang2, tjepatan sadja mereka berebut melarikan diri, begitu sampai ditepi djurang, tanpa pikir lagi mereka memberosot kebawah.
Hanja Oh-pek-kiam Su An sadja jang masih tinggal disitu dengan mata mendelik sambil menghunus pedang, katanja dengan gagah berani. Didunia ini ternjata ada manusia sekedjam dan seganas ini, sungguh melebihi binatang. Pabila aku Su An djuga takut mati dan melarikan diri, kemanakah mukaku harus ditaruh kalau berkelana dikangouw lagi" ~ Habis itu, ia sentil batang pedangnja hingga berbunji mendengung, bukannja mundur, bahkan ia melangkah madju terus membentak: Awas pedang! ~ tanpa bitjara lagi ia menusuk dada Lam-hay-gok-sin.
Dibawah sinar matahari jang terang-benderang itu, sinar pedang gemilapan menjilaukan mata, tapi Lam-hay-gok-sin anggap seperti tidak melihatnja sadja, ia masih asjik menikmati penganannja sendiri jang istimewa itu. Maka udjung pedang Su An itu tampaknja sudah akan menembus dadanja, segera Su An kerahkan tenaganja lebih kuat. Krak sekali, ternjata bukan dada Lam-hay-gok-sin jang tertembus, tapi pedangnja Su An jang patah mendjadi dua.
Sungguh luar biasa, tubuh Lam-hay-gok-sin itu ternjata kebal, tidak mempan sendjata. Meski pedang Su An itu bukan Pokiam atau pedang pusaka, tapi djuga tergolong sendjata pilihan jang sangat tadjam. Karuan ia kaget, tjepat ia melompat mundur sambil melolos pula pedangnja jang lain.
Pedang kedua ini hitam mulus wudjutnja, sedikitpun tidak mengeluarkan sinar mengkilap.
Apakah kau ini Oh-pek-kiam Su An" tiba2 Lam-hay-gok-sin menanja.
Benar, sahut Su An. Orang She Su harini tewas ditangan manusia buas seperti kau, kelak pasti ada orang jang menuntut balaskan. ~ Ia insaf ilmu sendiri terpaut sangat djauh dengan lawan itu, pasti bukan tandingan orang. Namun sedikitpun ia tidak gentar, ia sudah ambil keputusan, pabila achirnja tetap kalah, segera ia akan bunuh diri terdjun kebawah djurang daripada djatuh ditangan musuh dan dimakan hatinja.
Saat itu Lam-hay-gok-sin baru mendjedjalkan sisa hati manusia tadi kedalam mulutnja, lalu katanja: Oh-pek-kiam Su An, ehm, sudah lama Lotju mendengar namamu. Lam-hay-gok-sin djusteru paling suka memakan buah hati Enghiong-hohan (orang gagah dan kaum kestria), sebab lebih enak daripada manusia pengetjut jang tak berguna. Hahaha, tentu boleh djuga hati manusia Su An ini!
Habis berkata, se-konjong2 tubuhnja meletjit kedepan setjepat panah.
Segera Su An memapak dengan tusukan pedangnja ketenggorokan lawan. Tapi sedikit Lam-hay-gok-sin egos kepalanja tahu2 bahu Su An sudah kena ditjengkeramnja.
Seketika Su An merasa separoh tubuhnja kaku pegal, sepenuh sisa tenaga ia ketok batok kepala orang dengan gagang pedangnja, tak, bukannja kepala lawan jang petjah, tapi pedangnja jang hitam mulus itu jang terpental dan tangannja petjah oleh getaran itu.
Dalam kedjutnja Su An meronta sebisanja terus hendak menerdjun kebawah djurang, namun sekali lengannja sudah kena dipegang oleh Lam-hay-gok-sin, mana bisa terlepas begitu sadja.
Tengah keadaan berbahaja, tiba2 diangkasa raja berkumandang datang lagi suara suitan matjam naga berbunji, menjusul suara seorang telah berkata: Hiong-sin-ok-sat Gak-losam, apa kau takut" Maka tidak berani kemari"
Suara itu berkumandang dari djauh, tapi kedengarannja orang jang berkata itu seperti berada didekat situ.
Huh, selama hidup Gak-losam pernah gentar pada siapa sih" Segera kudatang kesitu! Lam-hay-gok-sin dengan keras. Sembari berkata, tangannja diangkat terus hendak mentjakar kedada Su An.
Dalam keadaan begitu, Su An hanja pedjamkan mata menunggu adjal sadja.
Untunglah mendadak Toan Ki berseru: Lotjianpwe, hati orang ini berbisa, djangan kau memakannja!
Lam-hay-gok-sin tertegun, tanjanja kemudian: Darimana kau tahu"
Kemarin dulu orang ini berani main gila pada Sin-long-pang, maka Sikong-pangtju telah tjekoki dia dengan Toan-djiong-san dan Hu-sim-tan (pil pembusuk hati), demikian Toan Ki sengadja mengotjeh. Dan kemarin dia bermusuhan lagi dengan Bok-kohnio hingga kena dipanah sekali oleh nona Bok dengan panahnja jang beratjun, mungkin saat ini ratjun sudah mulai merasuk kedalam hatinja. Apalagi pagi tadi dia kena digigit pula sekali oleh seekor ular emas ketjil.......
Apakah Kim-leng-tju" sela Lam-hay-gok-sin.
Benar, memang Kim-leng-tju! sahut Toan Ki sembari melepaskan Djin-lengtju dari pinggangnja, lalu menjambung: Lihat ini, Kim-leng-tju dan Djing-leng-tju selalu berada bersama. Bisa bintang ketjil ini teramat lihaynja, sekalipun Lotjianpwe punja Lwekang sangat tinggi dan tidak takut terkena ratjun, tapi hati orang ini tentunja siang2 sudah membusuk, tak enak untuk dimakan, djangan2 malah akan bikin sakit perut Lotjianpwe nanti!
Ada benarnja djuga pikir Lam-hay-gok-sin. Segera ia lemparkan Su An kesamping, lalu katanja pada Toan Ki: Kau botjah ini meski belum resmi mengangkat guru, tapi kau sudah mem punjai hati baik terhadap gurumu.
Se-konjong2 suara auman aneh tadi berdjangkit lagi dengan keras dan sahut menjahut bagai paduan suara ngaungan binatang buas dan benturan logam jang menjerikan perasaan dan memekakan telinga.
Tjepat Lam-hay-gok-sin mengeluarkan suaranja jang mirip hantu merintih, sekali melesat, tahu2 melompat turun kebawah djurang.
Kedjut dan girang Toan Ki, pikirnja: Mampus kau sekarang melompat kedalam djurang! ~ tjepat ia ber-lari2 melongok ketepi djurang, ia lihat si malaikat buaja dari laut selatan itu lagi berlompatan kebawah, sekali lompat lantas belasan tombak kebawah, tangannja terus menahan didinding djurang, habis itu tubuhnja menurun pula kebawah dan begitu seterusnja hingga achirnja bajangannja lenjap dibawah awan putih jang menutupi angkasa djurang itu.
Toan Ki melelet lidah oleh kepandaian Lam-hay-gok-sin jang susah dibajangkan itu. Ketika berpaling kembali, ia lihat Su An sudah djemput kembali pedang hitamnja dan dimasukkan kedalam sarung, lalu katanja sambil Kiongtjhiu dengan muka djengah: Harini berkat pertolongan Toan-heng, sungguh aku Su An takkan melupakan budi kebaikan ini.
Tjayhe hanja ngotjeh sekenanja, masih mengharapkan Su-heng djangan marah, sahut Toan Ki sambil membalas hormat.
Lam-hay-gok-sin Gak Djong-liong ini biasanja tinggal di Ban-gok-to (pulau berlaksa buaja) dilautan selatan, kali ini tiba-tiba datang ke Tionggoan, tentu tidak sendirian, mungkin masih banjak begundal jang dibawanja, kata Su An. Konon orang ini sekali omong pasti dilaksanakannja, maka sekali kalau dia sudah penudjui Toan-heng, tentu takkan sudahi begini sadja. Kedatangan Tjayhe untuk meretjoki Tjunhudjin (isterimu) sebenarnja adalah atas permintaan kawan sadja, maka selandjutnja tentu akan kuanggap selesai. Sekarang djuga biar Tjayhe menghantar Hianhudjeh (kalian suami-isteri) turun gunung untuk menghindari gangguan begundalnja Lam-hay-gok-sin.
Toan Ki mendjadi merah djengah mukanja mendengar orang berulang kali menjebut Hianhudjin dan Hianhudjeh, tjepat ia gojang2 tangan dan berkata dengan tak lantjar: Ti...... tidak..... bu..... bukan.......
Namun terdengar Bok Wan-djing telah buka suara dengan dingin: Su An, silahkan kau pergi sadjalah, Huh, keselamatanmu sendiri sadja takbisa didjaga, masih berlagak gagah perwira segala"
Merah padam Su An oleh olok2 itu, tanpa bitjara lagi ia putar tubuh dan tinggal pergi.
Nanti dulu, Su-heng! tjepat Toan Ki menahan.
Namun Su An sudah ngambek, ia berlari ketepi djurang dan memberosot turun.
Sekilas Toan Ki melihat dilereng gunung depan sana ada setitik benda kuning lagi bergerak dengan sangat tjepat. Waktu ditegaskan, kiranja adalah Lam-hay-gok-sin, hanja dalam sekedjap sadja, simalaikat buaja dari laut selatan itu sudah merajap sampai disana.
Toan Ki kembali kesamping Bok Wan-djing dan berkata: Apa jang dikatakan Su-heng itu bukannja tiada beralasan, buat apa kau mesti bikin menjesal dia"
Bok Wan-djing mendjadi gusar, sahutnja: Baru sadja mendjadi suamiku, kau lantas ingin memerintah aku, ja" Kalau kubunuh kau, paling2 akupun bunuh diri mengiringi kau, apanja jang perlu dibuat geger"
Toan Ki tertegun, katanja pula: Hal ini hanja untuk menipu Lam-hay-gok-sin itu karena keadaan genting tadi, kenapa dianggap sungguhan" Mana dapat aku mendjadi suami nona"
Apa katamu" seru Bok Wan-djing sambil berbangkit dengan ter-hujung2
memegangi dinding batu. Djadi kau tidak sudi padaku" Kau mentjela diriku, bukan"
Melihat nona itu sedemikian gusarnja, tjepat Toan Ki berkata lagi: Harap nona djaga kesehatanmu lebih penting, soal utjapan main2 tadi, buat apa kau pikirkan dalam hati"
Plok, mendadak Bok Wan-djing melangkah madju dan persen Toan Ki dengan sekali tempilingan. Tapi badannja terlalu lemas, sekali sempojongan, ia djatuh kepangkuan pemuda itu. Tjepat Toan Ki pun memeluknja agar tidak roboh.
Karena berada dalam pelukan pemuda itu, teringat pula dirinja sudah diaku sebagai isteri, Bok Wan-djing merasa badannja mendjadi hangat, rasa gusarnja ikut berkurang pula beberapa bagian. Lalu katanja: Lekas lepaskan aku!
Toan Ki dukung nona itu berduduk menjandar didinding batu, pikirnja: Perangainja memang sangat aneh, sesudah terluka parah, mungkin mendjadi lebih gandjil lagi wataknja. Kini terpaksa ku turuti dia, biar apa jang dia bilang, aku hanja menurut sadja, toh aku.......... Ia tjoba hitung2
dengan djari, djarak waktu bekerdjanja ratjun Toan-djiong-san sudah dekat, ia pikir walaupun ratjun itu tidak djadi kumat, rasanja sekali2
dirinja djuga takkan mampu turun dari gunung jang dilingkungi djurang2
tjuram itu dengan hidup. Maka dengan suara halus kemudian ia menghibur Bok Wan-djing: Sudahlah, djangan kau marah. Jang benar, marilah kita mentjari apa2 jang dapat kita makan.
Diatas bukit tandus begini, apa jang dapat kita makan" sahut Bok Wan-djing. Biarlah aku mengaso sebentar, kalau sudah tjukup kuat, aku gendong kau turun kegunung sadja.
Mana........ mana boleh, seru Toan Ki sambil gojang2 tangannja. Untuk djalan sendiri sadja kau belum kuat, mana dapat menggendong aku pula"
Kau lebih suka korbankan djiwa sendiri ketimbang mengingkari aku, kata Wan-djing. Maka aku, demi Longkun (suamiku), meskipun aku Bok Wan-djing biasanja membunuh orang tanpa berkesip djuga rela berkorban untuk sang suami.
Kata2nja itu diutjapkan dengan tegas dan pasti, tjuma tidak bisa mengutarakan perasaannja jang haru mesra itu, dengan sendirinja nadanja mendjadi kaku, agak tidak sesuai dengan rasa hatinja jang penuh tjinta kasih itu.
Maka djawablah Toan Ki: Banjak terima kasih, biarlah kau mengaso dulu, nanti kita bitjarakan lagi. ~ Tapi se-konjong2 perutnja terasa kesakitan, tak tertahan lagi ia mendjerit aduh!
Begitu sakit perutnja itu hingga mirip di-sajat2 oleh pisau, ususnja se-akan2 di-potong2. Dengan meringis Toan Ki menahan perutnja, keringatpun berbutir2 merembes2 keluar didjidatnja.
He, ken..... kenapakah kau" tanja Bok Wan-djing kuatir.
Sikong....... Sikong Hian dari Sin-long-pang telah..... telah tjekoki aku dengan Toan-djiong-san.......... demikian Toan Ki menutur dengan terputus2.
Karuan kedjut Bok Wan-djing bukan buatan, pikirnja: Kabarnja Sin-long-pang paling pandai menggunakan obat, djika Pangtju mereka sendiri jang memberi ratjun, mungkin susah ditolong lagi. ~ Ia lihat Toan Ki begitu kesakitan hingga megap2, hatinja sangat tidak tega, ia tarik pemuda itu berduduk disampingnja dan menghiburnja: Kuatkanlah perasaanmu! Sekarang sudah baikan belum"
Tapi saking kesakitan sampai mata Toan Ki se-akan2 ber-kunang2, maka dengan merintih2 ia berkata: Aduh, sakitnja! Ma..... makin lama main sakit!
Sigadis mengusap keringat Toan Ki dengan lengan badjunja, ketika melihat wadjah pemuda itu putjat pasi, hatinja mendjadi pilu dan air mata ber-linang2, katanja dengan ter-guguk2; Djang....... djangan kau mati begini sadja! ~ sembari berkata, ia terus tarik topengnja itu dan menempelkan pipi kanan sendiri kepipi kiri Toan Ki: Ja, Longkun, kau......... kau djangan mati!
Selama hidup Toan Ki belum pernah berdekatan dengan gadis djelita, apalagi kini setengah dirangkul Bok Wan-djing, pipi menempel pipi, terdengar pula rajuan Longkun, Longkun jang meresap, karuan semangat Toan Ki terombang-ambing ketengah awang2.
Kebetulan djuga saat itu sakit perutnja agak reda. Sudah tentu Toan Ki merasa berat untuk berpisah dari rangkulan sigadis, maka katanja: Selandjutnja kau djangan lagi memakai topeng, ja"
Djika kau minta begitu, pasti aku akan menurut, sahut Bok Wan-djing.
Dan sekarang perutmu sudah baikan belum"
Sudah agak baik, sahut Toan Ki. Tapi...........
Tapi apa" tanja Wan-djing.
Ta............. tapi kalau kau melepaskan aku, mungkin akan kesakitan lagi.
Tjis, djadi kau hanja pura2 sadja, omel sinona dengan muka merah sambil mendorong pergi Toan Ki.
Sebenarnja Toan Ki adalah seorang laki2 djudjur, karuan ia mendjadi malu djuga. Ia tidak tahu bahwa tjara bekerdjanja ratjun Toan-djong-san itu, mula2 agak lama baru berdjangkit kesakitan sekali, kemudian makin djangkit makin kerap hingga achirnja saking kesakitan tiada henti2nja, orangnja akan mati. Tapi ia salah sangka karena rajuan Bok Wan-djing tadi jang penuh kasih manisnja madu, perasaannja terguntjang, maka lupa sakit.
Sebaliknja Bok Wan-djing rada kenal sifat bekerdjanja ratjun itu, kalau pemuda itu kesakitan terus menerus malah masih bisa ditolong, tapi hanja kesakitan sebentar lantas berhenti, umumnja tentu terkena ratjun djahat jang susah disembuhkan, sipenderita pasti akan tersiksa mati-tidak-hidup-tidak, djauh lebih mengenaskan daripada mati. Dan ketika melihat pemuda itu mengundjuk rasa malu, ia mendjadi pilu pula, ia pegang tangan Toan Ki dan berkata pula: Kalau kau mati, Longkun, akupun tidak ingin hidup sendirian, biarlah kita berdua mendjadi suami-isteri dialam baka nanti.
Tapi Toan Ki tidak ingin gadis itu mati-setia baginja, katanja: Tidak, tidak! Kau harus membalaskan sakit hatiku dulu, kemudian setiap tahun sekali harus berziarah kekuburanku. Aku ingin kau bersembahjang dikuburanku selama berpuluh2 tahun, dengan demikian, barulah aku bisa tenteram dialam baka.
Aneh djuga kau ini, udjar Wan-djing. Sesudah mati, apa jang bisa dirasakan lagi" Aku datang berziarah atau tidak kekuburanmu, apa paedahnja bagimu"
Djika begitu, kau ikut mati bersama aku, lebih2 tiada berguna, sahut Toan Ki. O, betapa tjantiknja engkau, pabila setiap tahun kau sudi berziarah sekali kekuburanku, kalau aku mengetahui dialam baka, akan senang djuga hatiku melihat engkau. Tapi bila kau ikut mati bersama aku, kita sama2 akan mendjadi tulang-belulang belaka, tentu ini tidak bagus lagi untuk dilihat.
Mendengar dirinja dipudji, senang djuga hati Bok Wan-djing. Tapi segera terpikir pula olehnja, baru harini mendapatkan seorang suami jang di-idam2kan, sekedjap lagi orangnja sudah akan mati, tak tertahan lagi air matanja bertjutjuran.
Toan Ki rangkul pinggang sinona jang ramping itu, hatinja terguntjang pula ketika tangannja menjentuh badan jang halus lunak itu, tak tertahan lagi ia menunduk dan mengetjup sekali dibibir sigadis. Mendadak ia mengendus bau wangi semerbak. Ia tidak berani lama2 mentjium, tjepat mendongakan kepalanja kebelakang dan berkata: Orang menjebut kau Hiang-yok-djeh wanginja memang njata benar, tapi kalau dialam halus benar2 ada setan wangi sedemikian tjantiknja, mungkin setiap laki2 didjagat ini lebih suka membunuh diri mendjadi setan untuk memperoleh seorang setan wangi setjantik kau ini.
Setelah ditjium tadi, hati Bok wan-djing masih dak-dik-duk ber-debar2, pipi bersemu merah, mukanja jang tadinja ke-putjat2an itu mendjadi lebih tjantik molek. Katanja kemudian: Kau adalah laki2 satu2nja didunia ini jang pernah melihat wadjahku, setelah kau mati, aku lantas merusak mukaku agar tak dilihat lagi oleh laki2 kedua.
Sebenarnja Toan Ki hendak mentjegah maksudnja itu, tapi aneh djuga, timbul sematjam rasa tjemburu didalam hatinja, sesungguhnja iapun tidak ingin ada laki2 lain jang bisa melihat lagi wadjah tjantik sigadis itu, maka kata2 jang hampir diutjapkan itu urung dikeluarkan, sebaliknja terus menanja: Sebab apa dahulu kau bersumpah sekedji ini.
Kau sudah djadi suamiku, tiada halangan djuga kutjeritakan padamu, sahut Wan-djing. Aku sudah jatim-piatu, begitu lahir lantas dibuang orang ditepi djalan, beruntung guruku telah menolong diriku dan dengan susah-pajah aku dibesarkan serta diberi peladjaran ilmu silat setinggi sekarang ini. Kata guruku, setiap laki2 didunia ini memang berhati palsu, kalau melihat wadjahku, pasti aku akan digoda dan dipantjing hingga terdjerumus. Sebab itulah sedjak ketjil aku lantas diberinja kedok penutup muka. Sampai berumur 16 tahun, ketjuali guruku, aku tidak pernah melihat orang lain. Dua tahun jang lalu, Suhu perintahkan aku turun gunung untuk menjelesaikan sesuatu urusan........
Djadi tahun ini kau berusia 18 tahun" sela Toan Ki. Aku lebih tua dua tahun.
Wan-djing angguk2, katanja pula: Waktu turun gunung, Suhu suruh aku bersumpah: pabila ada orang melihat wadjahku, kalau aku tidak membunuh dia, harus aku kawin padanja. Dan bila orang itu tidak mau peristerikan aku atau sesudah nikah meninggalkan diriku, maka aku diharuskan membunuh sendiri manusia berhati palsu itu. Kalau aku tidak turut perintah Suhu ini, sekali diketahui Suhu, beliau lantas akan membunuh diri dihadapanku.
Toan Ki merinding mendengar sumpah aneh itu, pikirnja: Umumnja orang bersumpah tentu menjatakan bersedia dibunuh atau ditimpa malapetaka apa.
Tapi gurunja sebaliknja sebaliknja mengantjam hendak membunuh diri.
Sumpah demikian sekali2 tak boleh diingkari.
Betapa besar budi kebaikan Suhu padaku, mana bisa aku membangkang perintahnja itu" demikian Wan-djing melandjutkan. Apalagi pesannja itu adalah demi kebaikanku sendiri. Maka tanpa pikir lagi tatkala itu aku lantas menurut dan bersumpah. Selama dua tahun ini, tugas jang diberikan Suhu padaku itu masih belum terlaksana, sebaliknja aku telah mengikat permusuhan. Padahal orang2 jang tewas dibawah pedang dan panahku itu adalah salah mereka sendiri, mereka jang lebih dulu meretjoki aku hendak menjingkap kedok mukaku.
Toan Ki menghela napas, baru sekarang ia mengarti duduknja perkara, mengapa seorang gadis djelita begitu bisa mempunjai musuh sedemikian banjak.
Kenapa kau menghela napas" tanja Bok wan-djing.
Ja, mereka melihat kau selalu berada seorang diri, perawakan ramping menggiurkan, tapi djusteru sepandjang tahun memakai kedok muka, saking ingin tahu, tentu sadja mereka ingin melihat mukamu sebenarnja tjantik atau djelek, padahal belum pasti mereka mempunjai maksud djahat. Siapa tahu, karena sedikit kesalahan itu, djiwa mereka mesti melajang.
Bagiku, sudah pasti aku membunuh mereka, udjar Wan-djing. Kalau tidak, bukankah aku harus mendjadi isteri manusia2 jang mendjemukan itu" Tjuma akupun tidak menduga bahwa orang2 itu masih banjak mempunjai sanak-kadang. Satu kubunuh, lantas berekor dengan beberapa orang sobat-andainja datang mentjari perkara padaku Sampai achirnja, bahkan Hweshio dan Tosu djuga ikut2 mendjadi musuhku. Aku pernah tinggal beberapa bulan di Ban-djiat-kok, suami-isteri she Tjiong itu tjukup menghormati aku, tak terduga Tjiong-hudjin bisa memalsukan namaku, tjoba bikin marah orang tidak perbuatannja itu" ~ rupanja ia mendjadi letih banjak bitjara, ia pedjamkan mata mengumpulkan semangat sebentar, kemudian berkata pula: Semula aku mengira kaupun seperti laki2 lainnja, hanja manusia jang tidak kenal budi kebaikan. Siapa duga setelah kau berangkat memindjam Oh-bi-kui, kau masih lari kembali lagi untuk memberi kabar padaku. Inilah sungguh tidak mudah dilakukan setiap orang. Belakangan ketika Lam-hay-gok-sin ini mendesak terus, terpaksa aku membiarkan kau melihat wadjahku.
Berkata sampai disini, ia berpaling memandangi Toan Ki dengan sorot mata jang penuh kasih mesra. Karuan Toan Ki ber-debar2, pikirnja: Apa benar2 dia mendjadi tjinta padaku" ~ Segera iapun berkata: Sudahlah, keadaan tadi hanja terpaksa, soal sumpahmu itu boleh djuga takusah mesti ditaati.
Bok Wan-djing mendjadi gusar, Sumpah jang pernah kuutjapkan, manabisa diubah. katanja dengan bengis. Kalau kau tidak sudi memperisterikan aku, lekas kau katakan terus terang, biar sekali panah kubinasakan kau, agar aku tidak melanggar sumpahku.
Selagi Toan Ki hendak memberi pendjelasan lagi, se-konjong2 perutnja kesakitan pula, dengan kedua tangan menahan perut, ia me-rintih2.
Lekas katakan, kau mau memperisterikan aku tidak" tanja Bok Wan-djing lagi.
Per...... perutku sakit....... aduh! sakit sekali! kata Toan Ki.
Sebenarnja kau mau mendjadi suamiku tidak" Wan-djing mendesak terus.
Toan Ki pikir toh begini kesakitan, hidupnja tentu tidak lama lagi, buat apa pada sebelum mati mesti melukai hati seorang nona. Maka iapun memanggut dan berkata: Aku....... aku mau memperisterikan kau!
Sebenarnja Bok Wan-djing sudah siapkan panah beratjun ditangan, demi mendengar djawaban Toan Ki itu, seketika girangnja tak terkatakan, dengn senjum gembira ia terus merangkul pemuda itu dan berkata: O, suamiku jang baik, biarlah kupidjat perutmu.
Tidak, tidak! djawab Toan Ki tjepat. Kita masih belum menikah, laki2
dan perempuan ada perbatasannja, ini........ ini tidak boleh.
Tergerak pikiran Bok Wan-djing tiba2, katanja: Ja, tentu kau sudah kelaparan, maka sakitnja mendjadi lebih hebat. Biarlah kupotong sedikit daging keparat itu untuk dimakan kau. ~ Habis berkata, ia berbangkit dan merajap hendak mendekati majat Tjoh Thian-koat untuk memotong dagingnja.
Karuan kedjut Toan Ki tidak kepalang, seketika terlupalah sakit perutnja, tjepat ia menggembor: Djangan, djangan! Daging manusia mana boleh dimakan, biarpun mati djuga aku tidak mau makan!
Aneh, sebab apa tak boleh dimakan" tanja Wan-djing heran. Bukankah Lam-hay-gok-sin tadi sudah makan buah hatinja"
Lam-hay-gok-sin itu teramat kedjam dan ganas melebihi binatang, kita mana.......... mana boleh meniru dia"
Ketika tinggal bersama dengan Suhu digunung, sering kami makan daging harimau, daging mendjangan. Kalau menurut kau, tentunja tak boleh dimakan djuga" kata sigadis.
Daging2 binatang itu dengan sendirinja boleh dimakan, tapi daging manusia tak boleh dimakan! sahut Toan Ki.
Apa daging manusia beratjun"
Bukan beratjun, sahut Toan Ki. Tapi kita sama2 adalah manusia.Kau adalah manusia, akupun manusia, Tjoh Thian-koat itupun manusia.Manusia tak boleh makan manusia.
Sebab apa" tanja sigadis. Kulihat dikala kawanan serigala sedang lapar, mereka lantas makan serigala jang lain.
Makanja, sahut Toan Ki gegetun. Kalau manusia pun makan manusia, bukankah tiada ubahnja seperti serigala"
Sedjak ketjil Bok Wan-djing selalu berdampingan dengan sang guru, selamanja tidak pernah bergaul dengan orang ketiga, watak gurunja sangat aneh pula, biasanja tidak pernah bitjara tentang urusan keduniawian dengan dia. Sebab itulah, tentang sopan-santun dan peradaban manusia sedikitpun ia tidak paham. Kini mendengar Toan Ki bilang manusia tidak boleh makan manusia, ia mendjadi heran dan ragu2.
Kau sembarangan membunuh orang, itupun tidak benar. kata Toan Ki lagi.
Sebaliknja kalau orang lain ada kesukaran, kau harus membantunja. Dengan demikian barulah sesuai dengan tudjuan orang hidup.
Djika begitu, kalau aku ada kesukaran, orang lain apakah djuga akan membantu aku" kata sigadis. Tapi kenapa orang jang kudjumpai, ketjuali guruku, setiap orang selalu ingin membunuh aku, mentjelakai dan menghina aku, selamanja tiada jang baik2 padaku" Kalau harimau hendak menerkam dan memakan aku, lantas aku membunuhnja. Begitu pula orang2 itu, mereka hendak membunuh aku, dengan sendirinja akupun membunuh mereka, apa bedanja"
Pertanjaan ini benar2 membikin Toan Ki bungkam takbisa mendjawab, terpaksa ia berkata: Kiranja urusan peradaban sedikitpun kau tidak paham, kenapa gurumu membiarkan kau turun gunung begini sadja"
Suhu bilang kedua urusannja itu betapapun harus diselesaikan dan tidak bisa menunggu lagi. kata Wan-djing.
Dua urusan apakah itu, dapatkah kau mentjeritakan"
Kau adalah suamiku, dengan sendirinja boleh kutjeritakan, kalau orang lain tentu tidak. sahut Wan-djing. Suhu suruh aku turun gunung untuk membunuh dua orang.
Aai, sudahlah, sudahlah! tjepat Toan Ki menjela sambil tekap kedua telinganja. Bitjara kesana-kesini sedjak tadi, kalau bukan makan manusia, tentunja membunuh orang, auuuuh....... aduh....... ~ kiranja perutnja terasa kesakitan lagi hingga ia mendjerit pula.
Sigadis tjoba meng-urut2 perut Toan Ki dari luar badju. Se-konjong2
tangannja menjentuh sesuatu jang hangat2, didalamnja seperti ada barang jang ber-gerak2. Apakah ini" tanja sigadis terus merogoh keluar benda itu dari badju Toan Ki.
Kiranja itu adalah sebuah kotak kemala ketjil. Waktu diperhatikan, didalam kotak terdengar ada suara krok-krok.
Segera Wan-djing bermaksud membuka tutup kotak itu, tapi Toan Ki tjepat mentjegah: Djangan, nona Tjiong bilang tidak boleh buka kotak ini, Djing-leng-tju sangat takut pada benda ini, begitu dibuka, tentu dia akan lari.
Tjiong Ling bilang djangan dibuka, aku djusteru ingin membukanja, udjar Bok Wan-djing. Segera ia buka tutup kotak pelahan hingga tampak satu selah2 ketjil, waktu diintip dibawah sinar matahari, terlihatlah didalam kotak itu berisi sepasang katak ketjil jang antero badannja berwarna merah darah.
Begitu katak2 merah itu melihat tjahaja, mendadak terus bersuara wak-wak-wak beberapa kali, suaranja keras bagai menguaknja kerbau hingga telinga se-akan2 pekak dibuatnja.
Karuan Toan Ki dan Bok Wan-djing terkedjut, dan karena itu, hampir2
kotak jang dipegangi Bok Wan-djing itu terdjatuh ketanah. Sungguh tak tersangka olehnja bhw kedua katak seketjil itu bisa bersuara begitu keras, tjepatan sadja ia tutup kembali kotak itu. Dan karena kotak ditutup, suara katak itu lantas berhenti.
Eh, ja, ja, tahulah aku! tiba2 Bok Wan-djing berseru. Pernah kudengar tjerita guruku, katanja binatang ini bernama....... bernama........ ia ingat2 sedjenak, lalu menjambung....... bernama Tju-hap! Ja, benarlah, ini adalah Bong-koh-tju-hap (katak kerbau merah), adalah binatang anti segala djenis ular. Ja, ja, memang benar inilah dianja. Dan entah mengapa bisa berada pada Tjiong Ling......
He, lihatlah! tiba2 Toan Ki berseru.
Ternjata Djing-leng-tju jang melilit dipinggangnja itu tahu2 djatuh ketanah terus meringkuk dengan lemas, sedikitpun tidak berani bergerak.
Kim-leng-tju jang tadi sudah menjusup ke-semak2 rumput itu, kinipun merajap keluar dan mendekam dipinggir kaki Bok Wan-djing. Menjusul dari balik batu padas sanapun merajap keluar lagi beberapa ekor ular ketjil, semuanja meringkuk disitu tanpa bergerak sedikitpun se-akan2 lagi memberi sembah kepada kotak kemala.
Bok Wan-djing mendjadi girang, katanja: Ha, sepasang katak ketjil ini ternjata bisa memanggil ular, sungguh menarik sekali, marilah kita tjoba2
lagi! Djangan! tjepat Toan Ki mentjegah, demikian banjak ularnja, apakah tidak mendjemukan"
Kita memegang Tju-hap ini, betapapun banjak ular berbisa djuga kita tidak takut, udjar Wan-djing. Habis itu, kembali ia buka sedikit kotak kemala segera sepasang Bong-koh-tju-hap itu menguak lagi dengan ramainja.
Bagus djuga nama binatang ini, suaranja memang mirip banteng menguak, kata Toan Ki dengan tertawa geli.
Kau bilang apa" tanja Bok Wan-djing.
Kiranja suara Toan Ki itu masih kalah kerasnja daripada suara menguaknja katak2 itu, biarpun sigadis berada didepannja djuga tidak djelas mendengarnja.
Toan Ki hanja gojang2 tangannja sambil mendengarkan suara menguak katak2 itu jang semakin keras, bila diperhatikan, diantara suara wak-wak-wak katak2 itu terseling pula suara men-desis2.
Tiba2 Wan-djing menarik badju Toan Ki dan menundjuk kekiri. Pandangan Toan Ki mendjadi silau seketika, belasan ular jang beraneka warnanja gemilapan terkena sinar matahari sedang merajap tiba dengan tjepat sekali. Bahwasanja katak2 merah itu bisa memanggil ular memang sudah diduga oleh Toan Ki, tapi hanja dalam sekedjap itu bisa datang ular2
sebanjak itu, betapapun ia djuga terkedjut. Tjepat ia djemput dua potong batu untuk persiapan bila perlu.
Tidak lama, dari sebelah kanan datang pula segerombol ular dengan matjam2 warnanja, merah, kuning, hitam, putih, loreng dan sebagainja, jang besar sampai 2-3 meter, jang ketjil hanja belasan senti sadja. Sudah banjak Toan Ki melihat ular, tapi kalau digabungkan seluruhnja, rasanja tiada 1/10 bagian daripada djumlah jang dilihatnja sekarang.
Be-ribu2 ular itu merajap sampai didepan kedua muda-mudi itu, lalu mendekam ditanah tanpa bergerak, kepala mendjulur kebawah dengan djinak, sedikitpun tidak berani menegak sebagaimana biasanja kalau hendak memagut orang.
Dihadapi ular sebanjak itu dengan bau amis jang memuakan, tanpa terasa Bok -Wan-djing mendjadi djeri djuga, pikirnja: Tju-hap ini menguak terus, mungkin ular2 lain masih akan membandjir lagi. Untuk memanggil ular adalah gampang, hendak mengusirnja nanti mungkin susah. ~ maka tjepat ia tutup kembali kotak kemala itu.
Walaupun suara menguak katak2 merah itu sudah berhenti, tapi kawanan ular itu masih tidak bergerak. Aneh djuga, biarpun sebanjak itu ularnja, namun tiada seekor pun jang berani mendekati Toan Ki berdua dalam djarak lingkaran kira2 tiga meter.
Mari kita tjoba keluar sana! adjak Wan-djing sambil memajang Toan Ki.
Dan baru mereka melangkah satu tindak kedepan, beratus ekor ular didepan mereka lantas menjingkir kepinggir, biarpun ular jang paling besar dan menakutkan djuga mengeset mundur dengan djeri.
Waktu mereka melangkah beberapa tindak lagi, kembali kawanan ular itu menjingkir memberi djalan, Bok Wan-djing mendjadi girang, katanja: Menurut Suhuku, katanja Bong-koh-tju-hap ini adalah mustika adjaib dari alam semesta ini, beliau djuga tjuma mengenal namanja, tapi belum pernah melihat wudjutnja. ~ Habis berkata, tiba2 ia ingat sesuatu, segera tanjanja pada Toan Ki: Dan benda mestika sedemikian pentingnja, mengapa sidara Tjiong Ling itu bisa rela memberikannja padamu"
Melihat sinar mata sigadis menjorot aneh, tjepat Toan Ki mendjawab: Dia........ dia hanja memindjamkannja padaku. Ia bilang dengan membawa kotak ini, Djing-leng-tju akan turut pada perintahku. ~ Baru selesai ia berkata, se-konjong2 perutnja kesakitan lagi, begitu melilit sampai batu ditangannja terdjatuh ketanah, badannja gemetar dan sempojongan.
Lekas2 Bok Wan-djing memajangnja berduduk kesamping batu tadi. Saking menahan kesakitan, bibir Toan Ki sampai petjah2 digigit sendiri, lengan sigadis jang dipegangnja matang-biru karena di-remas2.
Sungguh kasih-sajang Bok Wan-djing susah dilukiskan, tiba2 ia ingat sesuatu, katanja: Longkun, perutmu makin lama semakin sakit, melihat gelagatnja banjak tjelaka daripada selamatnja.
Ja, aku......... aku tidak......... tidak tahan lagi. demikian Toan Ki me-rintih2. Lekas........ lekas engkau bunuh aku sadja.
Pernah aku mendengar dari Suhu, katanja ada ratjun sangat lihay jang takbisa ditolong. kata Wan-djing pula. Tapi kalau memakai ratjun lain untuk menggempur ratjun itu, hasilnja malah sangat mudjarab. Sekarang kau berani tidak menelan beberapa buah kepala ular berbisa"
Saat itu jang diharapkan Toan Ki jalah setjepat mungkin mati sadja, maka tanpa pikir lagi ia mendjawab: Segala apa boleh, lekas beri makan padaku!
Segera Bok Wan-djing mengeluarkan sebilah pisau terus memotong keleher seekor ular berbisa didepannja.
Walaupun disembelih terang2an, namun ular itu sedikitpun tak berani melawan. Maka dengan mudah sadja ber-turut2 Bok Wan-djing telah memotong tiga buah kepala ular berbisa jang berbentuk segi tiga, ia siapkan dibibir Toan Ki dan berkata: Ni, telanlah lekas!
Dengan pedjamkan mata, terus sadja Toan Ki telan mentah2 ketiga kepala ular itu.
Ketiga ular jang dipilih Bok Wan-djing itu semuanja adalah ular loreng2
jang paling berbisa. Maka dalam sekedjap sadja Toan Ki merasa perutnja bertambah melilit bagai di-putir2, ia tidak tahan lagi, ia ber-guling2
ditanah, achirnja hanja berkeledjatan sadja dengan napas senin-kemis.
Karuan Bok Wan-djing sangat terkedjut, tjepat ia periksa nadi pemuda itu, ia merasa mendenjutnja semakin lemah, ia tahu tjata pengobatannja bukan menolong, sebaliknja mempertjepat matinja sang suami. Saking pedihnja, air matanja bertjutjuran, ia rangkul leher Toan Ki dan meratap: O, Longkun, pasti aku akan mengiringi kepergianmu!
Toan Ki hanja gojang2 kepala sadja tak sanggup buka suara lagi.
Tiba2 pisau Bok Wan-djing tjepat bekerdja lagi, tiga buah kepala ular berbisa dipotongnja pula untuk ditelan sendiri. Tapi mulutnja terlalu sempit untuk dimasuki kepala ular. Maka pikirnja: Ratjun ular berada pada air liurnja, biarlah kumengisapnja sadja. ~ segera ia ketjup kepala ular itu dan mengisap ludahnja jang berbisa. Tapi baru sebuah kepala ular itu diisapnja ia sudah merasa mata ber-kunang2 dan kepala pusing, achirnja djatuh pingsan.
Melihat sigadis rela berkorban baginja, seketika tak keruan rasa hati Toan Ki, sungguh tak tersangka olehnja bahwa seorang iblis wanita jang biasanja membunuh orang tanpa berkedip itu bisa djatuh tjinta sedalam itu kepada dirinja. Segera ia meronta sekuatnja untuk merangkul Bok Wan-djing, ia merasa perutnja kesakitan pula, achirnja iapun tak sadarkan diri lagi.
Entah sudah lewat berapa lamanja, pelahan2 Toan Ki siuman, waktu membuka mata, ia mendjadi silau oleh tjahaja matahari, kembali ia pedjamkan lagi. Tapi terasa pangkuannja terangkul sesosok tubuh jang lunak hangat. Ia tjoba memusatkan pikiran dan membuka mata lagi untuk melihat, ternjata muka Bok Wan-djing jang putih putjat itu masih bersandar diatas dadanja. Ia membatin: Setelah kami berdua menudju achirat, ternjata masih berada bersama, suatu tanda bahwa tjerita tentang alam halus segala bukanlah dongengan belaka.
Tiba2 ia mendengar ditempat agak djauh sana ada suara orang lagi berkata: Djika binatang2 pandjang ini merintangi djalan kita, marilah kita menggunakan Am-gi!
Tapi seorang lain telah membentaknja: Djangan! Sin-kun suruh kita menawannja hidup2, kalau kau mentjelakai dia, apakah tidak takut dimarahi Sin-kun"
Waktu Toan Ki memandang kearah datangnja suara2 itu, ia lihat ada empat laki2 berbadju kuning lagi berdiri ditepi djurang situ, tangan mereka membawa tangkai kaju sedang me-nuding2 dirinja. Tampaknja sangat djeri pada ular2 jang merajap ditanah situ, maka tidak berani mendekatinja.
Ketika Toan Ki memandang lagi kesekelilingnja, ia lihat dirinja dilingkari kawanan ular jang lagi me-rajap2, tjahaja sang surja terang-benderang, suasana demikian tiada ubahnja seperti waktu dirinja mati itu, seketika pikirannja tergerak: He, djangan2 aku tidak djadi mati" ~ Segera ia merasa badan Bok Wan-djing jang berada dipangkuannja itu memang masih lunak2 hangat, napasnja mengeluarkan bau harum jang semerbak, njata, gadis itupun masih selamat tak kurang suatupun apa.
Saking girangnja, terus sadja Toan Ki ber-teriak2: Hura, aku belum mati, aku belum mati!
Keempat laki2 berbadju kuning itu memangnja sudah lama tunggu disitu, soalnja karena dirintangi kawanan ular, maka tidak berani mendekati.
Ketika mendadak mendengar teriakan Toan Ki, mereka mendjadi kaget djuga.
Dalam pada itu, dengan merengek sekali, Bok Wan-djing djuga sudah siuman, begitu membuka mata, segera ia menanja dengan pelahan: Longkun, apa kita sudah sampai diachirat!
Tidak, tidak, kau belum mati, akupun tidak mati! Sungguh adjaib sekali bukan" seru Toan Ki.
Sekarang belum mati, kalau ingin mati sebentar lagi masih belum telat!
bentak seorang laki2 badju kuning tadi. Hajo lekas kemari, Sin-kun panggil kau!
Sudah sekarat, kini dapat hidup kembali, tentu sadja girang Toan Ki tidak kepalang. Mana ia mau gubris gemboran orang itu" Segera ia berkata pula kepada Bok Wan-djing: Sungguh aneh bin adjaib, kita ternjata tidak djadi mati, bahkan sakit perutku djuga sudah sembuh. Tjaramu menjerang ratjun dengan ratjun itu ternjata sangat mandjur. Eh, lukamu sendiri sudah baik belum"
Ketika Wan-djing gerakan badannja, ia merasa luka dipunggungnja kesakitan lagi. Tapi hal mana tidak mengurangi rasa girangnja jang luar biasa, sahutnja dengan tertawa: Lukaku bukan keratjunan, maka ratjun ular ini tidak bisa menjembuhkan luka-luka ini. Ternjata kita berdua tidak mati oleh ratjun ular, tampaknja kita berdua djauh lebih lihay daripada ular berbisa!
Njata Toan Ki dan Bok Wan-djing jang tidak luas pengetahuannja itu tidak tahu, bahwa ratjun ular itu baru bisa mentjelakai orang apabila masuk kedalam darah melalui sesuatu luka. Tapi kalau dimakan kedalam perut, asal diantara mulut, lidah, tenggorokan dan usus tiada sesuatu luka, ratjun ular itu tiada berbahaja sama sekali. Sebab itulah, makanja bila orang dipagut ular berbisa, orang berani mengisap ratjun dari luka pagutan itu tanpa ikut keratjunan.
Kini setjara ngawur kedua muda-mudi itu sembarangan menelan kepala ular dan mengisap ratjun ular, sebaliknja malah membawa hasil jang diluar dugaan mereka.
Toan-djiong-san jang lihay itu benar2 lenjap digempur oleh ratjun tiga buah kepala ular jang dimakan Toan Ki itu. Tjuma mereka sudah tak sadarkan diri selama semalam suntuk, kini sudah mengindjak esok pagi hari kedua.
Sementara itu seorang laki2 badju kuning diantaranja jang berperawakan paling tinggi disana sedang membentaknja lagi: Hai, kedua botjah itu, lekas kalian kesini!
Pelahan2 Bok Wan-djing berbangkit dari pelukan Toan Ki, dengan wadjah jang masih bersenjum simpul, mendadak ia samber seekor ular ditanah terus dilemparkan kearah laki2 itu.
Karuan laki2 itu kaget, tjepat ia berkelit. Diluar dugaan, Bok Wan-djing menjamber dan menimpuk lagi ber-ulang2 dengan ular berbisa disekitarnja itu. Tentu sadja keempat laki2 itu kelabakan dihudjani ular sebanjak itu, sambil berteriak kaget diseling tjatji-maki, mereka menghindar kian-kemari sembari ajun tangkai kaju ditangan mereka untuk menjampok.
Begitu terlepas dari pengaruh Bong-koh-tju-hap, ular2 berbisa itu seketika bergerak dengan sebat sekali, dua ekor diantaranja jang berbuntut pandjang terus membelit hingga melilit diatas batang kaju jang disabetkan itu, menjusul terus meledjit madju untuk memagut. Seketika seorang badju kuning itu kena gigit mukanja dan tak terlepas lagi.
Sementara itu Bok Wan-djing masih terus melemparkan ular, karuan laki2
berbadju kuning itu semakin kelabakan, se-konjong2 terdengar djeritan ngeri laki2 jang bertubuh paling tinggi tadi saking gugupnja telah tergelintjir kedalam djurang.
Seorang lagi mendjadi kaget hingga lehernja kena digigit oleh ular berbisa jang lain. Rupanja ratjun ular ini teramat djahatnja, jang digigit adalah pembuluh darah besar dileher, kontan sadja laki2 itu menggeletak binasa.
Sisa seorang lagi bertubuh pendek ketjil, tapi gerak-geriknja sangat lintjah dan gesit. Belasan ular jang ditimpukkan Bok Wan-djing itu dapat dihindarkan semua. Tapi begitu ular2 itu djatuh ketanah, segera merajap dan menggigit pula kebagian kakinja.
Laki2 itu benar2 hebat djuga, ia bisa menghindar kian-kemari dengan tjekatan sekali, namun keadaannja makin lama djuga makin bahaja.
Lekas kau turun kebawah, djiwamu lantas diampuni! seru Toan Ki.
Sekali sudah turun tangan, tidak kenal ampun lagi! udjar Bok Wan-djing.
Berbareng empat ular dilemparkannja sekaligus.
Saat itu orang berbadju kuning itu lagi sibuk menghindar pagutan ular ditanah, ia sudah mundur sampai ditepi djurang, maka timpukan empat ular itu terang takbisa dihindarkannja. Mendadak serangkum angin keras menjampok dari belakang, seketika belasan ular disekitar laki2 itu kena tersapu djauh kedepan, menjusul sesosok bajangan kuning tampak melajang keatas karang, sekali dorong, laki2 badju kuning tadi kena disodok ketempat luang jang ditinggalkan kawanan ular itu. Orang jang baru melompat naik itu mengekek tawa tiga kali dan berdiri ditempatnja dengan mata djelilatan, siapa lagi dia kalau bukan Lam-hay-gok-sin.
Ketika laki2 badju kuning itu sudah bisa berdiri tegak dan melihat jang datang itu adalah malaikat buaja laut selatan, ia ketakutan setengah mati, ia hanja sanggup menjebut: Sin-kun! ~ pikirnja hendak berlutut, tapi saking ketakutan, badannja gemetar sedemikian rupa hingga serasa lumpuh, hendak berlututpun takbisa lagi.
Melihat Lam-hay-gok-sin datang kembali, seketika wadjah Toan Ki dan Wan-djing berubah semua.
Kusuruh kau tangkap botjah she Toan ini, kenapa sampai sekian lamanja masih belum dilakukan" kata Lam-hay-gok-sin pada laki2 badju kuning tadi.
Apa barangkali kau hendak merat ja "
Saking ketakutan, gigi laki2 itu sampai kerutukan, sahutnja dengan tak djelas: Ham........ hamba ti....... tidak....... ~ sampai disini, ia tidak sanggup lagi meneruskan saking gemetarnja.
Tiba2 Lam-hay-gok-sin sedikit bergerak, tidak djelas tjara bagaimana dia melangkah madju, tahu2 dada laki2 itu sudah didjambretnja terus diangkat, ia ter-kekeh2 iblis beberapa kali, mendadak tangan jang lain terus mendjambat rambut laki2 itu, sekali puntir, kriut, buah kepala laki2 itu telah dipuntir potol mentah2.
Kontan sadja darah segar muntjrat dengan derasnja hingga membasahi antero tubuh Lam-hay-gok-sin, tapi sedikitpun iblis aneh itu tidak ambil pusing, bahkan tampak sangat senang. Kepala andjing! damperatnja malah kepada kepala jang sudah potol itu, dan sekali lempar, kedua potong majat itu dilemparkannja kedjurang.
Mendadak ia hantamkan tangannja kedepan lagi, dimana angin pukulannja menjamber, kawanan ular terpaksa menjingkir djauh kepinggir. Dengan langkah lebar ia bertindak madju. Tjepat Bok Wan-djing menarik Toan Ki hendak menjingkir, tapi sudah terlambat. Tiba2 Lam-hay-gok-sin ulur tangan kiri kedepan, seketika lengannja se-akan2 mulur sekali lipat pandjangnja hingga badju tengkuk Bok Wan-djing kena didjambretnja terus diangkat keatas.
Toan Ki menjangka orang djuga hendak melemparkan sigadis kedjurang, dengan kuatir ia berteriak: Djangan, djangan! Boleh kau bunuh diriku sadja!
Terhadap kawanan ular jang masih penuh merajap disekitar situ, Lam-hay-gok-sin agak djeri djuga. Ketika tangannja menghantam pula, dibawah hamburan batu pasit, kembali belasan ular kena dibinasakan olehnja. Tiba2
ia melompat mundur ketepi djurang sambil mengangkat Bok Wan-djing, kaki kirinja terangkat tinggi2 keatas, hanja kaki kanan sadja jang berdiri ditepi djurang dengan gaja Kim-khe-tok-lip atau ajam emas berdiri dengan kaki tunggal, tubuhnja setengah terguntai2 se-akan2 setiap detik bisa terdjerumus kedjurang bersama sigadis.
Toan Ki tidak tahu kalau orang aneh itu lagi pamer kepandaiannja, ia kuatirkan djiwa Bok Wan-djing, tjepat ia ber-teriak2 lagi: Awas, hati2, djangan sampai terpeleset!
Sedikitpun Bok Wan-djing takbisa berkutik karena ditjengkeram oleh Lam-hay-gok-sin. Ia lihat Toan Ki berada ditengah kepungan ular, kawanan ular itu tampak me-rajap2 madju, tjepat ia lemparkan kotak kemala kepada pemuda itu sambil berseru: Awas, terimalah ini!
Dengan ter-sipu2 Toan Ki menangkap kotak itu dan sjukurlah dapat diterimanja dengan baik walaupun rada kerepotan. Dan begitu: Bong-koh-tju-hap itu berada ditangannja, serentak kawanan ular itu mendekam ditanah tak berani bergerak lagi.
Lotjianpwe, su........ sudilah kau melepaskan dia. demikian Toan Ki memohon.
Siantju, kau sangat mirip aku, mau-tidak-mau aku harus menerima kau sebagai murid. sahut Gok-sin. Tjuma menurut peraturan Lam-hay-pay kita, selamanja hanja murid jang memohon sang guru menerimanja, tidak pernah sang guru jang mohon si murid. Makanja aku akan menunggu kau dipuntjak bukit sana...... sembari berkata, ia tundjuk kearah puntjak paling tinggi jang penuh tertimbun saldju dikedjauhan sana. Lalu menjambung pula: Bila kau datang memohon aku menerima murid padamu, aku lantas mengampuni njawa binimu ini. Kalau tidak, ha, ha, kreeek .......... ~ ia sengadja memberi tjontoh tjara bagaimana akan memuntir patah kepalanja Bok Wan-djing.
Habis itu, mendadak ia berputar terus melompat kebawah, tangan kiri menahan dinding djurang terus memberosot turun sambil menggondol Bok Wan-djing dengan tjepat luar biasa, Tiap2 kali kalau meluntjurja kebawah agak terlalu tjepat, mendadak terasa tubuh kedua orang bisa mengerem sedetik untuk kemudian baru menurun lagi. Agaknja tangan Lam-hay-gok-sin jang menahan didinding djurang itu jang mengeremnja.
Dalam keadaan begitu, djangankan Bok Wan-djing sama sekali takbisa berkutik, sekalipun bisa djuga tidak berani sembarangan meronta selagi tubuh kedua orang terampung diudara. Sampai achirnja, gadis itu pedjamkan mata sekalian membiarkan dirinja dibawah turun.
Selang sebentar, terasa tubuhnja mendal sekali, njata mereka sudah sampai didataran djurang itu. Begitu mengindjak tanah, Lam-hay-gok-sin tidak lantas berhenti, tapi terus berlari lagi sambil mendjindjing Bok Wan-djing.
Perawakan Lam-hay-gok-sin hanja sedang sadja, sebaliknja perawakan Bok Wan-djing dikalangan wanita boleh dikata terhitung djangkung, kalau keduanja berdiri sedjadjar hampir sama tingginja. Tapi Lam-hay-gok-sin dapat mentjengkeram leher badju gadis itu bagai mendjindjing anak ketjil, sedikitpun tidak membuang tenaga.
Dengan gerakannja jang gesit tangkas itu, sebentar sadja Lam-hay-gok-sin sudah keluar dari dasar lembah jang penuh batu2 dan kabut itu. Segera ia mendaki pula kebukit didepannja, karena lereng bukit itu lebih miring, maka mendakinja lebih mudah.
Berada dibawah tjangkingan Lam-hay-gok-sin, diam2 Bok Wan-djing memikir: Aku masih mempunjai sisa lima batang panah berbisa, kalau saat ini aku menjerangnja, mungkin bisa gugur bersama. Tapi kemarin aku sudah memanah dia dan tidak mempan semuanja, Entah badannja benar2 kekal atau karena dia memakai badju lapis badja jang tak tembus sendjata"
Berpikir begitu, ia tjoba pelahan2 menjentuh punggung orang, tapi terasa lunak2 sadja tiada lapisan badja segala, hanja sadja kulit dagingnja djauh lebih keras daripada orang biasa, diam2 Wan-djing membatin pula: Tampaknja pembawaan orang ini memang luar biasa, ilmu silatnja aneh pula. Kalau aku sembarangan turun tangan, bila sampai dia murka, apa akibatnja susah dibajangkan.
Tiba2 terdengar Lain-hay-gok-sin mengekek tawa dan berkata: Hehe, apa kau hendak menusuk atau memanah aku" Hm, djangankan harap, aku takkan mati dibunuh dan takkan luka diserang. Kau adalah bininja muridku, sementara ini aku tidak bikin susah padamu. Tapi kalau dia tidak datang mengangkat guru padaku, hehe, tatkala mana ia bukan lagi muridku dan kaupun bukan bini muridku lagi. Setiap kali Lam-hay-gok-sin melihat nona tjantik, selamanja perkosa dulu bunuh belakang, sekali2 tidak main sungkan lagi.
Bok Wan-djing mengkirik oleh utjapan itu, sahutnja: Suamiku sedikitpun takbisa ilmu silat, diatas djurang setjuram itu, tjara bagalmana ia bisa turun" Tapi saking kuatirkan diriku, tentu dia akan mati2an datang kemari mengangkat guru padamu, kalau terpeleset, ia akan djatuh hantjur lebur kedalam djurang. Bila begitu, kau akan kehilangan seorang murid lagi.
Bahan bagus, kwalitet tinggi begitu, kemana kau bisa tjari lainnja"
Seketika Lam-hay-gok-sin berhenti, katanja: Benar djuga katamu. Aku tidak pikirkan bahwa Siautju itu takbisa turun gunung.
Se-konjong2 ia bersuit njaring, segera diatas bukit sebelah timur sana ada orang menjabut. Kata Lam-hay-gok-sin: Pergi keatas karang tandus itu, gendonglah botjah itu kepadaku, djangan mentjelakai djiwanja!
Kembali orang disebelah sana bersuara pandjang menjahut.
Diam2 Bok Wan-djing sangat tertjengang: Lam-hay-gok-sin ini hanja bitjara biasa sadja, dan suaranja lantas tersiar kelereng gunung jang djauh itu, kepandaian setinggi ini, biarpun guruku djuga tidak mampu menandinginja. Sebaliknja begundainja jang diatas bukit sana terpaksa harus menggembor baru bisa terdengar dari sini.
Selesai memberi perintah, Lam-hay-gok-sin mendjindjing Bok Wan-djing melandjutkan perdjalanan lagi. Diam2 Wan-djing rada lega, ia tahu sebelum Toan Ki datang, dirinja takkan berbahaja. Tjuma watak sang suami itu sangat kukuh, bila dia dipaksa angkat Lam-hay-gok-sin jang buas dan kedjam itu sebagai guru, mungkin biarpun mati djuga tidak sudi. Pikirnja pula: Terhadapku, rupanja ia tjuma timbul dari rasa membela keadilan sadja dan bukan karena tjinta-kasih suami-isteri, boleh djadi dia takkan sudi berkorban bagiku dengan mengangkat guru sedjahat ini. Ai, baik atau djelek aku harus melihatnja sekali lagi, asal dia masih selamat tak kurang apa2, tidak terdjatuh kedjurang, barulah aku merasa lega.
Berpikir sampai disini, diam2 ia kedjut. sendiri: He, kenapa aku mendjadi demikian memperhatikan dia dan mentjintainia sedalam ini" Wahai, Bok Wan-djing, tidak pernah begini selama hidupmu!
Tengah Bok Wan-djing terombang-ambing oleh pikirannja sendiri, sementara itu Lam-hay-gok-sin sudah membawanja keatas puntjak sana.
Tenaga Gok-sin ini benar2 kuat luar biasa, tanpa berhenti sedikitpun, ia masih terus melintasi empat bukit lagi, achirnja baru dia mentjapai puntjak tertinggi jang dikelilingi lereng2 bukit itu.
Begitu Lam-hay-gok-sin lepaskan Bok Wan-djing, terus sadja ia buka tjelana dan kentjing disitu. Sungguh gusar Bok Wan-djing tidak kepalang.


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

la pikir manusia ini benar2 kasar, rendah dan djahat tiada ubahnja seperti binatang. Tjepat ia menjingkir agak djauh serta memakai kedoknja lagi. la pikir wadjah sendiri jang tjantik manis ini kalau lebih banjak dipandang olehnja, bukan mustahil setiap waktu sifat kebinatangannja akan angot, tatkala mana soal bini murid apa segala tentu tak dipeduli lagi.
Selesai Lam-hay-gok-sin buang air, segera ia herkata: Ehm, bagus djuga kau memakai kedok lagi. Sebentar ada beberapa orang djahat akan datang, kesemuanja adalah manusia2 jang tidak kenal aturan, bila wadjahmu jang tjantik itu dilihat mereka, tentu akan berabe.
Aku adalah isteri murid kesajanganmu, masakah orang lain berani kurang-adjaran padaku" udjar Wan-djing.
Tapi beberapa keparat andjing ini terlalu djahat, terlalu buas! sahut Gok-sin sambil geleng2 kepala dan mengerut kening.
Aku tidak pertjaja, masakah didjagat ini masih ada orang jang lebih galak dan djahat daripada engkau" udjar Wan-djing dengan tertawa.
Mendadak Lam-hay gok-sin menabok paha sendiri, lalu berseru dengan marah2: Ja, memang tidak adil! Diantara Su-ok didjagat ini, urutan Lotju adalah nomor tiga. Sungguh tidak adil, aku harus berusaha mentjapai jang nomor satu!
Diam2 Bok Wan-djing berpikir: Nama Sam-sian-su-ok pemah aku mendengar dari Suhu. Ketika aku akan membunuh Sun He-khek, akupun pernah menanja djelas wadjah dan kelakuan gurunja, maka mengetahui begitu suara suitannja terdengar, segera Lam-hay-gok-sin akan muntjul. Tapi tidak tahu kalau menurut urutan Su-ok itu dia terhitung nomor tiga. Ternjata didunia ini masih ada jang djauh lebih djahat dari dia, sungguh susah untuk dimengerti.
Segera Bok Wan-djing menanja: Lalu, siapakah jang nomor satu dan nomor dua"
Buat apa kau tanja" bentak Gok-sin dengan mendelikan matanja jang sebesar kedelai itu. Apa kau bermaksud mengedjek aku" Djika kau anggap Lotju kurang djahat, segera kusembelih kau dulu, boleh djadi karena itu akan terus naik pangkat mendjadi nomor dua! habis berkata, braak, mendadak ia menghantam sebatang pohon Siong disampingnja. Seketika pohon itu patah bagian tengah dan ambruk dengan gemuruh.
Meski pohon Siong itu tidak terlalu besar, tapi paling sedikit djuga ada sebulatan mangkok besamja, tapi sekali hantam sudah dipatahkan olehnja, diam2 Bok Wan-djing melelet lidah, Pikirnja: Apa gunanja umpama dapat merebut sebutan djuara orang djahat diseluruh djagat ini" Tapi oleh orang ini dianggapnja sebagai suatu noda jang memalukan bila tidak bisa menduduki djuara itu, maka paling baik aku djangan meng-korek2 boroknja itu, supaja aku tidak telan pil pahit. Segera ia tidak buka suara lagi, tapi pedjamkan mata sambil bersandar dibatu padas untuk memulihkan semangat.
Kenapa kau bungkam" Dalam hati kau memandang hina padaku bukan" tiba2
Lam-hay-gok-sin berkata pula.
Tidak, sahut Wan-djing, Aku djusteru lagi berpikir kenapa sebutan orang djahat nomor satu diseluruh djagat ini bukan dimiliki olehmu, padahal soal kedjahatan dan kebuasan, sekalipun orang lain mungkin melebihi engkau, namun ilmu silatnja apa bisa lebih unggul darimu"
Mendadak Lam-hay-gok-sin meludah dgn marah2, katanja: Makanja kami harus mengulangi bertanding lagi untuk mengoreksi urutan masing2.
Melihat gelagatnja, Bok Wan-djing dapat menduga keempat orang djahat itu pasti sudah pernah bertanding, agar tidak membikin marah orang, ia pikir djangan menjinggungnja lagi, maka katanja: Gak-lotjianpwe, sebenarnja siapakah nama engkau orang tua" Dapatkah kau memberitahu agar kelak aku mudah memanggil engkau bila suamiku sudah mendjadi muridmu.
Aku bernama Gak............ Gak............ ah, keparat! mendadak Lam-hay-gok-sin memaki sebelum menjabutkan namanja sendiri: Namaku adalah pemberian ajahku, tapi namaku ini terlalu djelek, ajahku selamanja tidak berbuat sesuatu jang baik, benar2 andjing keparat!
Hampir2 Bok Wan-djing tertawa geli, pikirnja: Orang ini benar2 lebih durhaka daripada binatang, masakah ajah sendiri djuga ditjatji-maki. Dan kalau ajahmu andjing keparat, lalu engkau sendiri apa"
la lihat Lam-hay-gok-sin lagi mondar-mandir kian kembari, tampaknja merasa gopoh sekali. Tiba2 Wan-djing teringat pada Toan Ki, pikirnja: Entah sekarang dia sudah turun gunung dengan selamat tidak" Djika dirintangi kawanan ular, apakah orang suruhan Lam-hay-gok-sin itu bisa melintasi kepungan ular itu"
Kisah Pedang Bersatu Padu 16 Pertarungan Dikota Chang An Seri 2 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Wanita Gagah Perkasa 5

Cari Blog Ini