Ceritasilat Novel Online

Bende Mataram 10

Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 10


Mendengar ujar itu, Sangaji lantas saja teringat pada empat bongkah daging yang dikantongi dari pendapa istana. Tanpa berbicara lagi, dia merogoh, sakunya dan menyerahkan empat potong daging goreng itu. Tapi sayang, daging goreng itu tidaklah sesegar tadi siang.
Titisari tertawa senang melihat Sangaji mengangsurkan oleh-oleh. Katanya,
"Darimana kau peroleh daging itu?"
"Tadi siang aku mengunjungi rumah si pemuda ningrat. Kuteringat padamu yang doyan makan, maka aku menyembunyikan beberapa potong daging untukmu. Tapi ... sepertinya tak dapat kau makan, karena tidaklah sesegar tadi. Biarlah kubuang."
"Jangan!" sahut Titisari. Terus saja ia menyambar empat potong daging goreng itu dan
digerumuti sambil duduk berjuntai di atas batu karang. Sangaji mengamat-amati sahabatnya itu.
Titisari sedang menggerumuti daging. Nampaknya sangat lezat baginya. Mendadak ia melihat gadis itu menangis tersedu-sedu. Ia terperanjat. Terdorong oleh hatinya yang penuh belas-kasih, lantas saja melompat mendekati.
"Mengapa kau menangis?"
"Bagaimana aku tak boleh menangis" Semenjak kanak-kanak, aku kehilangan ibu. Ayahku tak
pernah memperhatikan diriku. Dia hanya menekuni kepentingan diri sendiri. Kini aku bertemu dengan seorang yang begitu memperhatikan aku. Mengapa aku tak boleh menangis?"
Air mata gadis itu jelas sekali nampak mengalir sangat derasnya. Ia meraba dadanya dan
menarik sehelai sapu tangan putih bersih. Sangaji mengira, kalau dia akan mengusap air matanya.
Tak tahunya, sapu tangan itu dikembangkan di atas batu. Kemudian sisa daging goreng ditaruh di atasnya sambil berkata, "Biarlah kusimpannya. Esok pagi masih bisa kumakan ..."
"Buang saja! Besok aku beli yang baru!" sahut Sangaji, karena teringat keadaan sahabatnya yang dahulu nampak miskin.
"O, tidak! Tidak! Daging oleh-olehmu ini jauh berlainan rasanya daripada daging pembelian,"
bantah Titisari. Tiba-tiba saja dia tertawa riang.
Sangaji heran. Pikirnya, baru saja dia menangis begitu deras, mendadak bisa tertawa riang.
Inilah tabiat yang aneh. Tetapi ia tak menunjukkan rasa herannya.
"Eh, apa perlu kamu mengundangku?" Dengan mengalihkan perhatian. "Kau bilang ada sesuatu hal yang penting yang mau kaubicarakan."
"Bukankah pertemuan ini penting" Dengan memperkenalkan diriku, kamu takkan lagi
menyangka aku seorang laki-laki. Tetapi kamu tak boleh memanggilku adik kecil lagi, tapi Titisari.
Hai, apakah menurut pendapatmu tidak penting?"
Sangaji tersenyum mendengar lagak-Iagu-nya. Lantas berkata, "Kamu ini bisa bergurau juga.
Siapa mengira kamu sebenarnya seorang gadis begini cantik."
"Benarkah aku cantik?"
"He-e." Sangaji mengangguk.
"Kau bohong! Coba cantikku seperti apa?"
Sangaji berpikir sejurus.
"Seperti bidadari."
"Nah tuuuu... Sekarang ketahuan kebohonganmu," sahut Titisari sambil tertawa riang.
"Aku tidak bohong. Kamu benar-benar cantik jelita seperti bidadari."
"Betul" Kau pernah melihat bidadari?"
Sangaji terperanjat. Tak disangkanya, si gadis bisa membantah begitu. Memang mana ada
seorang yang. pernah hidup di dunia ini bertemu dengan bidadari. Istilah bidadari itu hanyalah terdapat dalam dongeng-dongeng warisan belaka. Tetapi ia masih mencoba.
"Biarpun aku tak pernah bertemu, tapi aku pernah mendengar dongeng tentang bidadari. Ibuku seringkali mendongeng tentang bidadari-bidadari kahyangan. Bidadari-bidadari itu sangat cantik.
Seseorang akan jatuh pingsan, apabila sekali melihat kecantikannya."
"Benarkah itu" Karena kau bilang, aku secantik bidadari, mengapa kamu tidak pingsan?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sangaji merah mukanya. Tatkala itu, angin laut menyapu rambut si gadis. Seketika itu juga terciumlah bau harum. Sangaji terkejut. Hatinya bergetaran. Lalu ia mempunyai perasaan yang belum pernah dialami.
"Aji ... eh biarlah aku memanggilmu Aji," kata Titisari. "Aku tahu, kamu seorang yang berhati mulia. Andaikata aku ini seorang pemuda melarat atau seorang gadis jelek, pasti sikapmu tak berubah. Kalau seseorang melihat diriku dalam pakaian begini bersih dan lantas tertambat, itulah lumrah. Tapi kamu tidak. Kamu pernah melihatku dalam pakaian seburuk-buruknya dan kotor, namun sikapmu tidak berubah. Kamu tetap menghargai. Untuk itu, perkenankan aku menyatakan rasa penghargaanku terhadapmu. Sekarang, aku akan menyanyikan sebuah lagu untukmu."
"Apakah tidak bisa esok hari saja?" potong Sangaji. "Sekarang ini, aku harus menemukan suatu ramuan obat untuk Aki."
Kemudian ia menuturkan riwayat pertemuannya dengan Panembahan Tirtomoyo sampai orang
tua itu terluka parah. Titisari mendengarkan dengan cermat. Kemudian dengan menarik napas dia berkata, "Pantas, kulihat kamu tadi begitu sibuk memasuki kampung dan dusun. Tak kuduga, kamu sedang mencari ramuan obat."
"Jadi kamu telah mengetahui kesibukanku tadi?"
"Mengapa tidak?"
"Kalau begitu ... kalau begitu ... bolehkah aku pinjam kudamu si Willem barang sebentar" Aku akan keluar kota untuk mencari obat. Orang-orang jahat di kadipaten itu agaknya telah merampas semua obat yang kita butuhkan."
Titisari menatap wajah Sangaji.
"Aji! Mengapa kau berkata begitu" Mengapa kau menggunakan istilah pinjam" Bukankah kuda
itu adalah kudamu sendiri" Akulah sebenarnya yang meminjam."
"Kuda itu telah kuberikan kepadamu."
"Apakah kau kira, aku benar-benar mau meminta kudamu" Sama sekali tidak. Aku hanya
menguji hatimu. Tentang obat itu, memang takkan kau peroleh di sekitar tempat ini..."
Sangaji menundukkan kepala. Hatinya bingung. Pikirannya pepat. Mendadak gadis itu berkata,
"Kamu mengharapkan bantuanku?"
Sangaji menegakkan kepala. Girang ia menyahut,
"Tentu! Tentu!"
"Nah panggillah namaku dulu. Titik!" Sangaji tergugu. Dan Titisari tertawa riang. Kesannya manis luar biasa.
"NAMAMU TITISARI. Mengapa aku harus memanggilmu Titik?" Sangaji minta penjelasan.
"Namaku yang lengkap berbunyi Endang Retno Titisari. Kamu boleh memanggil singkatan
namaku." "Mengapa?" Titisari menatap wajah Sangaji. Ia melihat kesan wajah si pemuda sangat sederhana. Tahulah dia, kalau Sangaji belum mempunyai pengalaman pergaulan dengan wanita. Diam-diam ia
bersyukur dalam hati. Lantas saja ia menggurui, "Tidak selamanya orang memanggil seseorang selengkap-lengkapnya. Umpamanya dia bernama Sri Kilatsih atau Mayangsari dan orang
memanggilnya Sri atau Sari. Orang bernama Kartamijaya atau Sangaji. Dan orang memanggilnya si Karta atau Aji. Mengapa terjadi demikian, tak tahulah aku. Barangkali manusia ini kerdil dengan waktu. Barangkali juga suatu ungkapan karsa manusia, ingin menelan semuanya secepatcepatnya."
"Tak mau aku menjadi seorang manusia yang terlalu tergesa-gesa karena nafsu," tukas Sangaji sungguh-sungguh.
"Aku mau memanggilmu Titisari. Bukankah kamu bernama Titisari" Bukan Titik atau Sari?"
Titisari tertawa. Ia senang mendapat kesan pribadi Sangaji yang begitu sederhana dan jujur.
"Baiklah. Kau boleh memanggil namaku sesuka hatimu. Kau boleh memanggil Titi. Boleh pula Sari atau Retno atau Endang. Pokoknya, aku sekarang mau menyanyi." Katanya memutuskan.
Setelah berkata demikian, Titisari kemudian menyanyikan lagu tembang. Bibirnya yang tipis bergerak lembut dan suaranya benar-benar merdu dan mengharukan.
Sangaji heran sampai terhenyak. Pikirnya, bocah ini aneh perangainya. Pikirannya bergerak cepat seperti arus air. Sebentar berbicara begini, lantas saja berubah. Mendadak saja terus
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyanyi tanpa mempedulikan pertimbangan orang lain. Tetapi ia senang mendengarkan lagu
Titisari. Meskipun ia tak mengenal lagu Jawa, namun ia bisa merasakan keindahannya oleh
keselarasan irama, nada dan suara.
"Tembang ini namanya Kinanti," tiba-tiba Titisari berkata. "Kamu mengenal bunyi bait-baitnya, tidak?"
"Aku bisa mendengarkan jelas kalimat-kalimatnya, tetapi terus terang saja aku kurang
mengerti," sahut Sangaji. "Kamu seakan-akan lagi menceritakan tentang seorang gadis anak raja Dwarawati yang lagi merindukan seorang kesatria pegunungan bernama Irawan. Siapakah nama gadis itu?"
Titisari tertawa. Menjawab tak ragu, "Namanya Titisari."
"Ah!" "Benar! Kau boleh minta penjelasan kepada sembarang orang yang mengenal cerita wayang.
Puteri raja Dwarawati itu bernama Titisari. Dia kelak kawin dengan seorang kesatria jantan yang lahir di pegunungan. Kesatria itu bernama Bambang Irawan."
Sangaji diam menimbang-nimbang. Sekonyong-konyong saja, hatinya bergoncang. Mau ia
menduga, kesatria pegunungan yang bernama Bambang Irawan itu, diumpamakan dirinya sendiri.
Karena pikiran itu, wajahnya terasa menjadi panas. Cepat-cepat ia melayangkan pandangnya ke arah laut untuk mengusir kesan yang bukan-bukan.
Titisari sendiri waktu itu lagi bercerita.
"Menurut Ayah, cerita itu menggambarkan angan sejarah kemanusiaan, agar orang tidak begitu membedakan antara golongan ningrat dan golongan rakyat secara berlebih-lebihan. Lihatlah, meskipun Titisari itu puteri seorang raja akhirnya dia kawin juga dengan seorang laki-laki dari pegunungan. Lihatlah pula contohnya pahlawan kita Untung Surapati.
Meskipun ayah-bunda Untung Surapati tak keruan asalnya, tapi dia bisa kawin dengan puteri Patih Nerangkusuma Raden Ayu Gusik Kusuma."
Sangaji pernah mendengar sejarah pahlawan Untung Surapati dari mulut Willem Erbefeld.
Karena itu hatinya cepat tertarik. Kesan hatinya yang bernada yang bukan-bukan, lambat-laun tersapu bersih dari perbendaharaan rasanya. Tetapi setelah mendengarkan cerita Titisari beberapa waktu lamanya, teringatlah dia kepada Panembahan Tirtomoyo.
"Titisari! Belum pernah aku pergi melintasi Jawa Tengah. Kota Pekalongan inipun belum
kukenal sudut-sudutnya. Tentang cerita Bambang Irawan dan Untung Surapati, tak dapatkah kau ceritakan di kemudian hari" Aku akan mendengarkan perlahan-lahan agar meresap dan merasuk dalam darah dagingku. Sekarang ini kita harus berdaya secepat mungkin untuk menemukan obat ramuan buat Panembahan Tirtomoyo."
"Mengapa tergesa-gesa" Ayam pun belum tidur lelap," sahut Titisari tak peduli. "Lebih baik kita menyewa sebuah perahu, lantas berlayar di atas lautan menikmati angin laut dan cerah alam.
Lihat, bulan bersinar cerah."
"Panembahan Tirtomoyo berkata, ia bisa tewas kalau aku tak berhasil menemukan obat ramuan yang dikehendaki dalam waktu dua belas jam," Sangaji mencoba menjelaskan.
"Tak usahlah kau cemas hati. Aku tanggung, kamu akan memperoleh obat itu."
Semenjak bertemu dan berkenalan dengan Titisari yang dulu menyamar sebagai seorang
pemuda, Sangaji sudah mengagumi kepandaian dan kecerdikannya. Kecuali itu ia menaruh
kepercayaan penuh padanya. Itulah sebabnya, begitu ia mendengar Titisari berkata dengan
sungguh-sungguh, hatinya menjadi lega. Katanya dalam hati, "aku percaya, dia pasti telah mendapat akal dan yakin benar bisa mendapatkan obat untuk Panembahan Tirtomoyo."
Mendapat keyakinan demikian, lantas saja dia melayani si cantik yang manja. Ternyata Titisari benar-benar mencari sampan untuk disewa dalam semalam suntuk. Kemudian ia memasuki
perkampungan memborong ikan-ikan laut bermacam jenis.
Dengan gembira ia memasaknya di tengah laut sambil berbicara tiada hentinya. Ia
mengisahkan cara menggantung si Setan Kobar, Cekatik gelar Simpit Ceker Bebek dan Maling.
Juga diterangkan bagaimana akalnya, ia mengganggu si Kartawirya ketika Sangaji sedang
bertempur melawan Sanjaya.
"Bagus!" seru Sangaji gembira. "Kamu dapat mempermain-mainkan beberapa jago begitu
gampang." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apa susahnya mempermain-mainkan mereka. Mereka sebangsa jago-jago konyol tidak
berharga," sahut Titisari gembira. Tangannya lantas berserabutan karena gembiranya.
Tak terasa bulan mulai condong ke barat. Hari telah melampaui larut malam. Gelombang laut kian terasa kuat. Dengan acuh tak acuh arusnya datang berdeburan melanda pantai. Tangan
Titisari tiba-tiba bergerak dan menggenggam tangan Sangaji erat-erat. Berkatalah dia setengah berbisik, "Mulai malam ini, tidak ada yang kutakuti lagi..."
"Takut" Apa yang kautakuti?" Sangaji heran.
"Ayahku seorang laki-laki kejam dan bengis. Tak sudi dia kuikuti. Kamu pasti mau kuikuti, bukan?"
"Tentu!" Sangaji menyahut cepat. Pandangnya sungguh-sungguh dan meyakinkan orang.
"Kamu tahu, hatiku begini gembira. Belum pernah aku mendapatkan kegembiraan hati seperti sekarang ini..."
Mendengar ucapan Sangaji yang bernada sungguh-sungguh, puaslah hati Titisari. Tanpa
mempedulikan tukang perahu lagi, ia menyandarkan tubuhnya ke dada Sangaji. Dan tangannya meremas kuat-kuat. Sangaji membiarkan dirinya direbahi tubuh si gadis. Tapi tatkala ia mencium harum wewangian dari rambut si gadis, hatinya mendadak jadi berdegupan. Ketika tangannya kena diremas kuat-kuat, jantungnya berdenyutan. Tetapi ajaib! Tanpa disadari sendiri, tangannya membalas meremas pula.
"Aji!" sekonyong-konyong Titisari berbisik. "Pernahkah kamu belajar melintasi lautan?"
Sangaji teringat kepada nasibnya dua belas tahun yang lalu, ketika dipaksa pergi berlayar bersama ibunya ke Jakarta dengan seorang laki-laki bernama Kodrat. Dua tahun yang lalu, diapun pernah berlayar melintasi lautan menuju Pulau Edam dengan Ki Tunjungbiru. Tetapi kalau
dikatakan berpesiar, tidaklah kena. Karena pengalaman melintasi lautan itu, terjadi dengan tak dikehendaki diri.
"Dua kali aku pernah berlayar di tengah lautan, tetapi karena terpaksa."
"Jika begitu, kamu belum pernah merasakan indahnya lautan?" tukas Titisari.
"Apa sih indahnya lautan?" Sangaji minta keterangan.
"Seperti malam ini. Apakah hatimu tak merasa gembira?"
Ditanya demikian, Sangaji terkejut. Memang hatinya sedang bergembira. Tetapi kalau dikatakan terjadi karena indahnya lautan, tidaklah kena. la merasa gembira oleh sesuatu perasaan aneh yang belum pernah dialaminya.
"Hai, apa hatimu tak merasa gembira?" Titisari mengulang pertanyaannya lagi sambil
menegakkan tubuh. Gugup Sangaji menjawab dengan anggukan kosong. "Aku gembira sekali. Benar-benar gembira
sampai terasa dalam dasar hati."
"Bagus! Itulah yang kuharapkan. Akupun bergembira pula. Hanya sayang, kita akan berpisah dengan lautan ini yang membuat hati kita mendapat suatu kegembiraan."
"Mengapa?" Sangaji terkejut. Ia mengira, Titisari hendak mengambil selamat berpisah.
"Bukankah sebentar lagi kita harus mencari obat. Nah, kau tahu sekarang ... orang-orang tua kerapkali pandai mengganggu kegembiraan hati orang-orang muda."
Sangaji tersentak. Diingatkan perkara Panembahan Tirtomoyo, ia jadi girang hati.
Cepat ia menyahut, "Ah! Ke mana kita harus mencari obat ramuan itu?"
"Apa kamu mengira, orang-orang yang ada di kabupaten Pekalongan merampas semua obatobatan yang kau butuhkan?"
"Kurasa begitu."
"Jika begitu, kita pergi ke kadipaten."
"Tak dapat kita pergi ke sana," tukas Sangaji cepat. "Kalau kita ke sana samalah halnya ular mencari gebuk!"
"Habis" Apa kamu sampai hati membiarkan Panembahan Tirtomoyo cacat seumur hidup"
Bukankah dia yang berani mengorbankan nyawa untuk melindungi dirimu" Jangan-jangan ... luka itu bisa membahayakan nyawanya, sehingga kamu hanya akan menemukan mayatnya belaka ..."
Tubuh Sangaji bergetaran. Jantungnya berdenyut. Semangatnya terbangun. Dengan mata
berkilatan ia berkata, "Aku akan pergi, meskipun harus mengantarkan nyawaku. Tetapi kuharap kamu jangan turut serta."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jangan turut serta" Mengapa?"
Sangaji terdiam. Memang ia tak mendapat alasan untuk memperkuat kata-katanya. Maka ia
menatap wajah Titisari dengan pandang menebak-nebak.
"Aji!" kata Titisari. "Aku tahu, kenapa kamu melarang ikut serta. Tetapi andaikata kau
mendapat bencana, apa kau kira aku akan dapat hidup seorang diri?"
Mendengar kata-kata si gadis, hati Sangaji jadi terharu.
Ingin ia memeluk karena girangnya. Untung waktu itu Titisari berkata lagi, "Aku kini
memanggilmu Aji. Biarlah begitu. Kelak kalau perlu aku akan memanggilmu dengan sebutan kakak atau kangmas. Bukankah usiamu lebih tua dari padaku?"
Sangaji tersenyum. Tanpa meladeni ucapan Titisari ia lantas berkata, "Ayo, kita pergi bersama."
Mereka lalu memberi perintah tukang perahu berlabuh. Begitu perahu menempel di tepi pantai, keduanya segera meloncat dan lari menuju ke kadipaten seperti sedang berlomba. Mereka
memasuki pekarangan dengan meloncati dinding.
"Hebat!" kata Titisari. "Kamu bisa bergerak begitu gesit dan ringan."
Sangaji merah mukanya mendapat pujian itu. Meskipun demikian, hatinya senang. Ia
menangkap pergelangan tangan Titisari dan dibawanya berendap di belakang gerombolan
tetanaman. Dengan hati-hati ia memasang pendengaran.
Tidak lama kemudian, terdengarlah derap langkah berbarengan. Mereka melongok serata tanah dan melihat dua orang penjaga sedang berjalan sambil tertawa berkakakkan.
"Kau tahu kenapa ndoromas Sanjaya mengurung gadis itu di rumah sebelah itu?" kata seorang di antara mereka. Yang lain lantas mendengus, "Ah, seperti kanak-kanak kemarin sore. Buat apa lagi, kalau bukan ..." ia tak meneruskan, tapi lantas tertawa panjang. "Memang perempuan itu amat cantik. Benar-benar cantik seperti seorang yang dilahirkan bidadari. Barangkali gadis itu cantik semenjak dalam kandungan ibunya."
"Hai ... berhati-hatilah! Janganlah kau memuji begitu terang-terangan. Sekiranya ndoromas Sanjaya mendengar bunyi pujianmu, bisa terjadi kakimu dikutungi sebelah ... Dasar kau buaya bangkotan!"
Mendengar percakapan mereka, Sangaji menduga-duga, "Siapakah gadis yang dikurung
Sanjaya di dalam rumah samping itu" Apa dia tunangan Sanjaya" Kalau benar-benar tunangan Sanjaya, pantas dia menolak kawin dengan Nuraini. Ah, kalau begitu Sanjaya tak dapat
dipersalahkan. Tapi mengapa tunangannya dikurung" Apakah Sanjaya dienggani gadis itu" Atau ...
atau ... Apakah ini yang dikatakan orang sedang dipingit?"
Kedua orang penjaga yang berjalan mendatang itu, kian mendekat. Yang berbicara pertama
kali membawa lentera dan yang kedua membawa sekeranjang makanan dan minuman. Yang
membawa keranjang makanan dan minuman berkata lagi sambil tertawa gelak,
"ndoromas Sanjaya memang aneh. Dia mengurung gadisnya, tapi takut pula gadisnya mati
kelaparan. Lihat! Sudah begini malam, masih saja beliau menyuruh mengantarkan seberkat
makanan." "Kalau tidak begitu, masakan beliau mempunyai harapan untuk merebut hati si gadis?" sahut yang membawa lentera. "Hanya saja memang harus kuakui pula, kalau selama hidupku belum
pernah aku melihat gadis secantik itu ..."
Mereka lantas lewat dengan berderapan. Suara tertawanya masih saja terdengar berisik.
"Aji," bisik Titisari, "Ayo kita lihat gadis cantik. Ingin aku melihat bagaimana gadis cantik itu ..."
"Buat apa" Lebih baik kita mencari obat," kata Sangaji.
"Aku ingin melihat si gadis cantik dulu. Bagaimana sih cantik itu?"
Sangaji heran. "Apa sih faedahnya melihat perempuan?"
"Bukan aku ingin melihat perempuan, tapi aku ingin melihat cantik," Titisari mendengus cepat.
Sangaji terhenyak. Sebagai seorang pemuda yang sederhana dan kurang pengalaman, tak
tahulah dia sifat khas seorang gadis. Kalau seorang gadis sudah sadar akan arti kecantikan dirinya, akan cepat tertarik jika mendengar kabar tentang kecantikan gadis lain. Hatinya belum lagi puas, sebelum melihat dan menaksir-naksir kecantikan gadis lain dengan kecantikan dirinya sendiri.
Sekiranya dirinya jauh lebih cantik daripada gadis lain, keinginannya malahan lebih besar untuk segera melihatnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kadipaten Pekalongan ternyata berhalaman luas sekali. Banyak sekali terdapat lika-liku jalan seolah-olah suatu jalanan rahasia dalam sebuah benteng militer. Mereka tiba di sebuah
pekarangan lebar. Di sana terdapat sebuah gedung gelap yang merupakan rumah samping.
Sebuah pohon mangga raksasa berdiri tegak melindungi atapnya. Itulah sebabnya, maka gedung itu nampak berahasia dan angker.
Kedua penjaga itu ternyata mengarah ke gedung tersebut. Seorang pelayan segera menyambut kedatangan mereka. Sebentar mereka berbicara kasak-kusuk dan tak lama kemudian pintu depan dibuka. Kedua penjaga lalu masuk.
Titisari ternyata seorang gadis yang cerdik. Cepat ia memungut sejumput kerikil dan
ditimpukkan ke lentera orang. Berbareng dengan padamnya lentera, secepat kilat ia menarik lengan Sangaji dan diajaknya melompat memasuki pintu. Si pelayan dan kedua penjaga tidak menyangka buruk. Mereka mengira, lentera kejatuhan bongkahan batu atap. Maka sambil
mendongak ke atap dan mengutuk kalang kabut, mereka lantas sibuk menyalakan. Mereka saling menolong, sehingga tubuhnya jadi membungkuk. Itulah sebabnya, mereka tak mengetahui sama sekali masuknya Titisari dan Sangaji yang dapat melesat begitu cepat dan tidak bersuara.
Titisari dan Sangaji cepat-cepat menyembunyikan diri dengan hati-hati pula. Mereka
menghadang masuknya dua orang penjaga di sudut tembok. Dalam gedung amat gelap, maka
mereka tak usah khawatir akan keper-gok.
Tatkala kedua penjaga memasuki gedung sambil membawa lentera, segera mereka menguntit
dengan berjingkit-jingkit. Ternyata gedung itu beruang. Hawanya dingin meresap tulang. Terasa pula angin luar menggerumiti kulit.
Tak lama kemudian, kedua penjaga itu membuka sebuah pintu dan nampaklah dua orang
tahanan yang disekap di dalam kamar. Samar-samar nampaklah mereka seperti laki-laki dan
perempuan. Salah seorang penjaga segera memasang lentera dan mengangkat tinggi-tinggi.
Lentera itu mirip seperti tongkat obor yang menyala gede. Sekarang nampaklah dengan jelas, siapakah mereka yang terkurung.
Sangaji terperanjat. Ternyata mereka adalah Mustapa dan Nuraini yang tadi siang dikabarkan meninggalkan penginapannya karena mendapat undangan seseorang yang tak dikenal. Mustapa
kelihatan sedang marah, sedang Nuraini duduk di sampingnya sambil menundukkan kepala.
"Nah"apa kabar" Bilanglah terus-terang, apakah pangeran itu senang pada anakku atau tidak"
Apa perlu memperlihatkan kekuasaannya sampai-sampai kami berdua mengalami siksaan dan
hinaan begini macam?"
"Siksaan" Hinaan?" Kedua penjaga itu menyahut hampir berbareng. Yang membawa makanan
lalu berkata keras, "Jika ndoromas Sanjaya bermaksud menyiksa kalian, masa begini larut malam memerintahkan kami berdua mengantarkan makanan" Dimanakah ada seorang tahanan mendapat
perlakuan begini manis, sekiranya kalian menganggap diri menjadi tahanan?"
Kata-kata penjaga itu masuk akal, sehingga Sangaji sendiri mulai sibuk menduga-duga.
"Sekiranya Sanjaya berniat menahan mereka, pastilah dia takkan memperlakukan mereka begini baik. Eh"lantas" ... Hm, sebenarnya Sanjaya senang kepada Nuraini atau tidak?"
Sangaji seorang pemuda yang jujur bersih dan sederhana. Otaknya yang sederhana tak dapat menebak kelicinan dan kelicikan hati seseorang, la mengira, kisah perjalanan hidup manusia dalam dunia ini berjalan secara wajar.
Terdengar Mustapa membentak, "Cuh! Kau kira macam apa aku ini, sampai tampangmu bisa
menipu kami" Kuakui, memang aku kurang waspada. Tapi jangan berharap, aku akan kena kalian jebak dalam perangkap. Majikanmu mengirimkan sekeranjang makanan pada larut malam. Coba
jawab, buat apa?" Didamprat demikian rupa, kedua penjaga itu saling memandang. Mereka terkejut atas
ucapannya sendiri, dikirimkan sekeranjang makanan di tengah malam membuktikan betapa
majikannya menaruh perhatian besar kepada mereka yang ditahan. Tak tahunya, kini Mustapa mengembalikan persoalan itu kepada mereka dengan tak terduga-duga. Mereka tak kuasa
memberi penjelasan mengapa majikannya memerintahkan mengirim sekeranjang makanan di
tengah malam. Sebagai seorang yang cukup umur tahulah mereka, sekeranjang makanan itu
mempunyai arti penting dalam suatu permainan tertentu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam pada itu, terdengarlah suara pelayan yang tadi berada di luar gedung. Dia berseru keras,
"ndoromas Sanjaya."
Sangaji dan Titisari terkejut. Cepat-cepat ia memipitkan diri ke dinding dan dengan hati-hati mencari tempat persembunyian yang agak terlindung.
Segera terdengarlah suara Sanjaya membentak kepada kedua penjaga.
"Kudengar Tuan Mustapa menyesali kamu, kenapa" Apakah kamu ingin kupatahkan batang
leher kalian sekaligus?"
Mendengar bentakan Sanjaya, kedua penjaga itu ketakutan sampai lentera yang dipegangnya
jadi bergoyangan. Mereka lalu menjawab, "Sama sekali hamba tak mengganggu sehelai
rambutnya pun." "Pergi!" Seperti berebutan, mereka berdua lari berserabutan keluar. Tetapi sampai di luar pintu, mereka saling pandang dan saling tertawa tanpa suara. Heran, Sangaji menyaksikan perangai mereka.
Sebagai seorang pemuda yang jujur bersih dan sederhana tak dapat ia mengerti macam
permainan demikian. Sebaliknya Titisari yang cerdik segera dapat menebak permainan itu. Terang sekali, pekerti mereka itu telah diatur sebelumnya, agar meredakan amarah Mustapa dan agar mendapat hati.
Dalam pada itu, Sanjaya lalu menghampiri Mustapa setelah melihat pintu telah tertutup rapat.
Kemudian berkata dengan suara merendah, "Paman, silakan duduk di atas bangku itu! Aku ingin menyampaikan sepatah dua patah kata. Pastilah Paman salah paham terhadapku."
"Apalagi yang hendak kau bicarakan?" bentak Mustapa garang. "Terang-terangan kamu telah
mengurung kami seperti pesakitan. Apa artinya ini?" Suara Mustapa terdengar gemetaran
menahan amarah. Dan Sanjaya menyahut dengan suara merendah dan luar biasa sabar,
"Maafkan aku. Sama sekali tidak ada maksudku mau menghina Paman atau sengaja
mengurung Paman sebagai pesakitan. Hati dan perasaanku pun tak enak menyaksikan keadaan
Paman. Karena itu dengarkan kata-kataku barang sebentar."
"Hm!" dengus Mustapa dengan mata melotot. "Kau boleh bergadang dan mengelabui anakanak ingusan, tapi jangan harapkan sesuatu dariku. Apa aku tak mengenal sifat-sifat dan perangai orang-orang ningrat yang pandai bermain pura-pura?"
Sanjaya mencoba meyakinkan, tapi setiap kali ia membuka mulut, Mustapa selalu menyekatnya dengan dampratan-dampratan keras pedas. Namun Sanjaya tak pernah memperlihatkan pandang
menyesal atau mendongkol. Dia bahkan tertawa manis luar biasa.
Nuraini rupanya mengetahui kesulitan Sanjaya, lalu dia menengahi, "Ayah! Coba dengar dulu apa yang mau dikatakan."
"Hm!"

Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sanjaya ternyata cerdik. Begitu mendengar suara Nuraini, lantas saja ia berkata, "Biarlah disaksikan dia juga. Malam ini aku berkata, kalau aku senang kepada puterimu."
Mendengar ucapan Sanjaya, Nuraini menundukkan kepala. Kedua pipinya memerah jambu. Dan
Titisari yang berada di dekat Sangaji mencubit siku si pemuda sampai hampir terjingkat.
"Tapi mengapa kamu mengurung kami?" bentak Mustapa.
"Inilah yang mau kuterangkan," kata Sanjaya sabar. "Seperti Paman ketahui, aku ini termasuk keluarga seorang pangeran yang mempunyai aturan-aturan tertentu dalam kalangan rumah
tangga. Jika orang mendengar kabar, kalau aku akan memperisterikan seorang gadis yang
kuketemukan di tengah jalan, alangkah akan menghebohkan. Barangkali tidak hanya ayahku
semata yang marah, tetapi Sri Sultan pun akan ikut berbicara."
"Hm! Masa begitu?"
"Pernahkah Paman mendengar kisah seorang laki-laki dari Jepara bernama Pranacitra"
Pranacitra dulu adalah seorang penyabung ayam yang berhasil memikat hati Rara Mendut, gadis pingitan Adipati Wiraguna. Dan apa akibatnya" Mereka berdua kena bunuh dan raja tidak
berusaha menghalang-halangi perlakuan buruk itu."
"Baik. Lantas sekarang kau mau apa?" Mustapa mulai bersabar. Agaknya ia dapat menerima
alasan Sanjaya yang berbicara begitu wajar dan masuk akal.
Wajah Sanjaya berubah cerah. Mulailah dia berbicara lagi meyakinkan si orang tua.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sekarang aku minta dengan sangat agar Paman berdiam beberapa hari dulu di sini, sampai
kami pulang ke Yogyakarta," katanya. "Seperti Paman ketahui, tempat tinggalku di daerah Bumi Gede. Aku sendiri bernama Sanjaya. Beberapa hari ini, kami semua berada di Pekalongan untuk menyelesaikan sesuatu urusan negara. Begitu kami mendapat penyelesaian, segera kami
berangkat pulang. Paman akan kubawa serta. Apa ini bukan suatu rencana yang baik" Sekalian Paman bisa merawat luka-luka Paman."
"Lantas?" "Untuk sementara Paman akan kutempatkan di suatu dusun atau di sebuah rumah pinggiran
untuk beberapa bulan lamanya. Setelah orang-orang mengetahui, Paman adalah termasuk
keluarga baik-baik yang menetap di sebuah kampung, aku kelak akan datang melamar. Dengan begitu, kita semua akan dapat menghindarkan sesuatu kesan yang buruk."
Mustapa diam menimbang-nimbang. Dahinya berkerinyit dan mencoba mencari kepu-tusan
secermat-cermatnya. Sanjaya agaknya tahu menduga gejolak benaknya. Ia kemudian berkata lagi,
"Peristiwa ini, kalau dibiarkan liar akan menyangkut kedudukan dan kehormatan ayahku. Seringkali aku menyalahi ayahku, karena aku memang nakal. Ayahku pernah juga ditegur Sri Sultan dan Gusti Patih. Maka kali ini, jika Sri Sultan mendengar warta tentang maksud perkawinanku yang berkesan liar, pasti akan digagalkan. Karena itu, kupinta dengan sangat agar Paman merahasiakan rencana dan perhubungan kita ini?"
Mendengar ucapan Sanjaya, Mustapa menegakkan kepala. Kembali ia bergusar. Meledak.
"Eh, kamu berbicara menuruti pertimbangan dan kemauanmu sendiri. Sekiranya kau telah
mengawini anakku, apakah harus main bersembunyi selama hidupnya?"
"Jangan keburu nafsu dulu, Paman! Tadi telah kukatakan, aku akan melamar gadismu setelah Paman menetap di suatu tempat tertentu. Mungkin pula, Ayah akan mengatur cara pelamaran
yang terhormat. Tapi, sementara ini, perhubungan dan rencana kita harus dirahasiakan benarbenar. Jika sampai bocor, akan gagallah semuanya ...
Wajah Mustapa berkerinyut.
"Telinga kiriku mau mendengar kata-katamu itu. Tapi yang kanan mana mau percaya penuh
semua keteranganmu. Aku ingin berbicara dengan ayah bundamu. Kalau kau segan pada ayahmu, nah panggillah ibumu. Ini perkara perkawinan. Perkawinan adalah suatu perkembangan hidup yang maha penting dan menentukan bagi seorang perempuan."
Sanjaya tersenyum. Menjawab sabar, "Ibuku tak dapat kuganggu pada tengah malam begini."
"Esok hari kan masih ada waktu?"
"Selama di Pekalongan ini, ibuku tak dapat diganggu. Dia sibuk melayani ayah dan tetamutetamu. Maafkan." "Kalau begitu, enyahlah dari sini. Biar kamu berbicara melambung setinggi langit tak bakal kudengarkan lagi," sahut Mustapa. la menyambar sebuah mangkok dan dilemparkan ke atap
hingga hancur berantakan.
Nuraini terkejut menyaksikan sikap ayahnya. Wajahnya berubah menjadi keruh. Nampak sekali hatinya jadi berduka. Maklumlah, semenjak ia bertanding melawan Pangeran Sanjaya, hatinya telah tertambat. Karena itu hatinya amat bersyukur, ketika mendengar kata-kata Sanjaya yang berjanji hendak melamar padanya dengan cara terhormat. Mendadak di luar dugaannya, ayahnya mengambil sikap bermusuhan.
Sanjaya sendiri tak mempedulikan sikap garang Mustapa. Dengan merendahkan diri ia
memunguti pecahan mangkok dan dikumpulkan menjadi seonggok.
"Dengan sangat menyesal, terpaksa aku tak dapat menemani Paman lebih lama lagi. Selamat
malam." Cepat ia mengundurkan diri dan berjalan meninggalkan kamar, la tak mempedulikan Mustapa
dan Nuraini lagi. Sangaji yang menyaksikan sikap Sanjaya, sibuk menimbang-nimbang. Pikirnya, Sanjaya sudah berbicara terus-terang dan wajar. Sebagai seorang anak ningrat dan hidup di dalam kalangan ningrat pasti mempunyai kesulitan-kesulitan tertentu. Sayang, Mustapa tak mau mengerti. Maka ia berkata dalam hati, baiklah kubujuknya dia ...
Mendapat pikiran demikian, segera ia hendak muncul dari persembunyiannya. Tapi tiba-tiba Titisari menarik lengannya dan diajaknya keluar mengikuti Sanjaya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Di luar gedung Sanjaya memanggil dua orang penjaganya.
"Apakah Ibu sudah beradu?"
"Belum. Tadi kulihat beliau mondar-mandir di dalam kamar," jawab seorang di antara mereka.
"Barangkali menunggu ndoromas."
Dengan berdiam diri, Sanjaya berjalan mengarah ke sebuah gedung yang berada di sisi gedung Kadipaten sebelah kanan. Sangaji dan Titisari terus menguntit dengan diam-diam.
Sanjaya menolak daun pintu rumah dan masuk ke dalam kamar. Dengan cepat pula Sangaji
dan Titisari lari ke jendela dan mengintip dari sela-sela jari-jari jendela. Mereka ingin melihat dan mendengarkan percakapan Sanjaya dan ibunya.
"Bu!" mereka mendengar Sanjaya memanggil ibunya.
Seorang wanita setengah umur keluar dari belakang kelambu dan datang menyambut Sanjaya.
Sangaji dan Titisari cepat-cepat beralih ke daun pintu dan mendekam di sana sambil menajamkan mata dan telinga. Mereka melihat ibu Sanjaya duduk di atas kursi kayu jati. Wajah ibu Sanjaya ternyata masih menarik. Kulitnya kuning langsat. Bentuk mukanya menyedapkan.
Di dalam kamar terang-benderang, sehingga Sangaji dan Titisari dapat melihat raut muka ibu Sanjaya sejelas-jelasnya. Ternyata di atas mulutnya tersembul sebuah tahi lalat-hitam cukup terang. Matanya menyala jernih. Bibirnya tipis dan rambutnya panjang hitam legam. Perawakan tubuhnya tinggi semampai dan padat. Pakaiannya sederhana dan kesannya tidak tinggi hati.
Umurnya kurang lebih empat puluh tahun.
"Ibu! Mengapa Ibu belum juga tidur?" kata Sanjaya sambil memegang pergelangan tangan
ibunya. Kemudian ia memelukkan tangan ibunya ke lehernya. Nampak sekali, betapa manja
Sanjaya terhadap ibunya. "Bukankah aku berada di sini" Mengapa Ibu bersedih hati" Lihatlah, aku tetap sehat tak kurang suatu apa ..."
"Di kota orang, kamu membuat kekacauan. Kalau sampai terdengar ayahmu, apa yang terjadi"
Apalagi kalau gurumu mendengar lagak-lagu dan perangaimu, ... kamu... kamu... ah, pastilah hebat akibatnya. Gurumu seorang yang berwatak berangasan. la tak takut kepada semua.
Meskipun kamu berusaha berlindung di belakang benteng kasultanan, dia tak peduli."
"Ibu! Tahukah Ibu, siapakah Pendeta yang datang dalam arena tadi siang?" Sanjaya
memotong. "Pendeta?" "Dia tadi kuundang pula hadir di pendapa kadipaten. Kuperkenalkan pula dia kepada tetamu-tetamu undangan Ayah."
"Siapa dia" Dan apa hubungannya dengan perbuatanmu tadi siang?"
"Dia datang melerai pergumulanku melawan si pemuda tolol. Dia bernama Panembahan
Tirtomoyo. Dia mengaku, kakak guruku ..."
"Ih," Ibu Sanjaya terkejut. "Sanjaya, hati-hatilah! Aku pernah melihat gurumu membunuh
beberapa orang tanpa mengejapkan mata, jika dia sedang marah. Benar-benar aku takut
kepadanya ..." Sanjaya menegakkan tubuhnya. Dengan heran ia minta penjelasan.
"Pernahkah guru membunuh orang" Kapan dan mengapa?"
Ibu Sanjaya tidak menjawab. Ia melemparkan pandang ke arah pintu dengan mata merenungrenung. Kemudian berkata pelahan, "Peristiwa itu sudah lama lampau ... lama sekali ... Kenapa gurumu membunuh orang, aku sudah lupa ..."
Sanjaya tak mendesak lagi. Kini ia bersikap gembira dan berkata penuh kekanak-kanakan.
"Ibu tahu kakak guruku mendesak padaku, agar menyelesaikan urusanku dengan si buntung
kaki. Aku berjanji hendak menyelesaikan dengan sebaik-baiknya, asal saja si buntung kaki mau diatur."
"Apakah kamu sudah membicarakan hal itu dengan ayahmu" Jika ayahmu telah mengizinkan,
alangkah akan baik jadinya," potong ibunya.
Sanjaya tertawa gelak. Menjawab cepat, "Ibu, Ibu memang berhati mulia dan lembut. Tapi
semenjak siang tadi telah kuperdayakan si buntung kaki dengan gadisnya. Aku berpura-pura mengundang mereka menghadiri pesta. Tak tahunya mereka kukerangkeng di gedung sebelah ini.
Nah, biarpun Panembahan Tirtomoyo menjelajah ke seluruh dunia, tak bakal dia dapat
menemukan mereka." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sangaji yang mengintip di luar pintu terkejut. Hatinya lantas saja menjadi mendongkol. Hatinya bergolak. Dengan geram ia berkata dalam hati, ah kukira kamu berbicara sungguh-sungguh
dengan Paman Mustapa. Tak tahunya, kamu sangat licin, licik dan jahat!
Ibu Sanjaya pun tak menyetujui akal licik puteranya. Ia menegor, "Kamu telah mempermainkan anak dara seseorang dan mengurungnya juga. Apa maksudmu" Nah, bebaskan mereka! Berilah
uang bekal agar bisa pulang ke kampung halamannya."
Sangaji sependapat dengan kata hati ibu Sanjaya. Pikirnya dalam hati, hati ibunya jauh lebih baik daripada anaknya. Pendapatnya benar-benar adil.
Tetapi Sanjaya seperti tak mendengarkan. Suara tertawanya dinaikkan.
"Ibu, Ibu belum tahu masalahnya. Orang seperti dia, tak membutuhkan uang dan tidak tahu
juga arti uang. Jika dia kulepaskan, dia bisa berbahaya. Mulutnya akan diumbar dan
mencanangkan kabar berita tak keruan juntrungnya perkara diriku. Kalau sampai terdengar guru, urusan bisa runyam."
"Habis" Apa kamu mau mengurung mereka seumur hidupnya?" potong ibunya. Tetapi Sanjaya
tetap saja tertawa. "Tadi telah kucoba membujuk ayah si gadis, agar mau berdiam di suatu tempat. Aku bilang, beberapa bulan lagi aku akan melamar anaknya. Nah, kalau dia mau mendengar kata-kataku,
biarlah gadisnya menunggu lamaranku sampai menjadi nenek-nenek."
Setelah berkata demikian, Sanjaya tertawa terbahak-bahak. Dan Sangaji yang berada di luar pintu, heran menyaksikan perangainya, la mendongkol berbareng terkejut. Ia mencoba
mengamat-amati Sanjaya. Pikirnya, benarkah dia Sanjaya kawanku sepermainanku dulu"
Makin lama hatinya makin mendongkol. Tiba-tiba saja, ia tak dapat lagi menguasai hatinya.
Serentak ia bangkit hendak menggempur daun pintu. Mendadak suatu tangan halus menangkap
pergelangan tangannya sambil berbisik. "Sabar Aji..."
Halus dan merdu suara itu. Ia terkejut dan melihat Titisari menyanggahnya dengan pandang manis luar biasa. Ia jadi sadar atas kecerobohannya. Cepat-cepat ia menguasai nafsunya yang hampir menyentak cepat. Kemudian mengintip lagi.
"Si kaki buntung itu benar-benar licin," kata Sanjaya. "Telah kucoba membujuknya, tetapi tetap saja dia bersitegang. Bahkan hampir-hampir aku kehilangan kesabaranku. Nah, biarkan dia
mengeram dalam kamar lembap itu. Kalau perlu sebulan dua bulan. Aku ingin tahu, akhir
permainannya ..." "Sanjaya!" tegor ibunya halus, "kulihat anak gadisnya manis, cantik dan cemerlang. Gerakgeriknya halus dan sopan. Menurut pendapatku, tidak ada celanya. Baiklah aku yang
membicarakan halnya dengan ayahmu. Percayalah, Ayah pasti akan mendengarkan tiap patah
kataku. Dengan begitu, persoalanmu akan bisa diselesaikan."
"Ih! Mengapa Ibu berbicara yartg bukan-bukan?" potong Sanjaya. "Ingat Bu, kita ini termasuk keluarga apa" Bagaimana aku bisa mengawini seorang gadis jalanan" Ayah sering berkata
kepadaku, aku akan dicarikan jodoh dengan keluarga ningrat yang sepadan dengan kedudukan Ayah. Ayah berjanji akan berusaha berbesan dengan Gusti Patih. Kalau mungkin salah seorang puteri Sultan. Sayang ... Ayah kini berlawanan dengan Sri Sultan. Sekiranya ..."
"Sekiranya apa?"
"Aku akan bisa menjadi salah seorang menantu Sultan."
Ibu Sanjaya menarik napas panjang. Tetapi ia tak berkata lagi. Matanya kemudian nampak
suram. Ia berduka mendengar kata-kata anaknya.
"O ya ..." Sanjaya mengalihkan pembicaraan. "Tadi kudengar, si tua buntung itu hendak
berbicara dengan Ibu. Jika sudah berbicara dengan Ibu, baru dia percaya pada semua
omonganku." "Bagus" Tetapi jangan harap, aku akan membantumu mempermain-mainkan dia. Tak baik
akibatnya." Sanjaya meloncat dari tempat duduk dan berjalan mondar-mandir sambil tertawa geli.
Sangaji dan Titisari mempunyai kesempatan untuk mengamati ibu Sanjaya lebih teliti lagi.
Perempuan itu benar-benar berhati mulia. Pandangannya jernih. Matanya cemerlang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Hidungnya tajam, suatu tanda kalau dia berhati tegas dan jujur. Tetapi mereka tak dapat
memastikan, apakah dia permaisuri Pangeran Bumi Gede atau salah seorang selirnya. Tetapi andaikata dia seorang selir, sikapnya yang agung dan hatinya yang mulia itu tak mengurangi kewibawaannya. Sekarang mereka mengamat-amati gerak-gerik San-jaya. Alangkah jauh berbeda.
Pemuda itu nampak licin, licik dan terlalu sadar akan kedudukannya. Memikirkan tentang
perangainya, tiba-tiba saja tubuh Sangaji bergemetaran. Agaknya hawa amarahnya meluap ketika teringat nasib Mustapa dan gadisnya yang terang-terangan sedang dipermain-mainkannya.
Titisari segera menekan pundak kawannya dan dibawanya menjauhi pintu. Bisiknya, "Ayo, kita mencari obat. Apa gunanya rnempedulikan dia."
Sangaji terkejut. Menjawab hampir gagap, "Tahukah kau di mana obat itu tersimpan?"
"Ayo, kita cari."
Sangaji kecewa. Hatinya ragu. Maklumlah, halaman kadipaten ini begitu luas dan banyak
gedungnya. Di manakah dia akan dapat menemukan obat ramuan yang dikehendaki Panembahan
Tirtomoyo. Tetapi ia tak sempat berpikir terlalu lama, Titisari telah menariknya pergi melintasi halaman.
Orang itu kini menjadi kaget dan ketakutan, karena tajam belati Titisari terasa digaritkan kelengannya.
Bulan waktu itu sedang terselimuti awan. Halaman kadipaten nampak semu dan samar-samar.
Cepat mereka mengarah ke sebuah gedung. Sekonyong-konyong mereka mendengar langkah
terantuk-antuk batu. Tak lama kemudian terdengarlah suara mengomel.
"Tamu! Tamu! Sampai berjenggot... ya sampai pun ubanan, masa orang-orang gede itu ingat
menaikkan pangkat... Ih!"
Cepat mereka meloncat ke belakang gerombol pohon kemuning dan bersembunyi. Selagi
Sangaji mau mengamat-amati laki-laki itu, mendadak saja Titisari meloncat menyongsong orang itu. Orang itu berdiri tegak tercengang-cengang. Ia tak berkutik sedikit pun. Matanya tajam mengawasi Titisari. Maklumlah, dia diancam sebuah belati.
"Siapa kau?" bentak si gadis.
Orang itu kini menjadi kaget dan ketakutan, karena tajam, belati Titisari terasa digaritkan ke lengannya. Segera ia menjelaskan, dia adalah salah seorang pegawai Pangeran Bumi Gede bagian keuangan.
"Bagus! Kamu menjadi pengurus umum, bukan?" kata Titisari.
Orang itu mengangguk. "Jika begitu, tentu kamu tahu di mana disimpannya obat-obatan untuk persediaan majikan dan tetamu undangan lainnya?"
"Memang majikanku membawa obat-obatan yang diperlukan. Bahkan semenjak tadi siang,
beliau memberi perintah menguras habis semua obat-obatan dalam kota ini untuk persediaan para tetamu. Dalam hari-hari belakangan ini, Pangeran Bumi Gede akan mempunyai tamu undangan
luar biasa banyaknya. Obat-obatan bermacam-macam ramuan sangat dibutuhkan."
"Bagus! Sekarang tunjukkan di mana obat-obatan itu disimpan!" potong Titisari garang.
"Majikan sendiri yang menyimpan. Aku ... aku ..."
"Majikan yang mana?"
"Majikan ya majikan!"
Titisari menangkap lengan orang itu dengan tangan kirinya, kemudian digencet ke belakang punggung sambil mengancamkan pisaunya.
"Kau bilang tidak?" gertaknya. "Sungguh mati, aku tak tahu ... di mana majikan menyimpan obat-obatan itu ..."
"Majikan yang mana?"
"Majikan ... majikan ... anak Pangeran Bumi Gede ... ndoromas ... ndoromas ..."
Titisari memuntir lengan orang itu, sampai merintih kesakitan, la tak berani berteriak, karena belati Titisari telah menempel urat lehernya.
"Kenapa kau tadi bilang majikan ya majikan ...?" bentak Titisari.
"Sungguh mati ... sungguh mati, aku tak tahu perkara obat-obatan itu ..." orang itu merintih ketakutan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Titisari tak mempedulikan penderitaan orang. Lengan yang telah dipuntir ke punggung,
disodokkan ke atas. Keruan saja terdengarlah suara gemeretak. Dan lengan orang itu patah sekaligus. Orang itu hampir saja berteriak, jika Titisari tidak cepat-cepat menyumbat mulutnya dengan saputangannya. Maka beberapa detik kemudian, orang itu rebah pingsan tak sadarkan diri.
Sangaji terperanjat. Sama sekali tak diduganya, kalau Titisari bisa berbuat sekejam itu. Tetapi ia tak berkata sepatah katapun juga. Ia hanya mengawasi dengan hati tercengang-cengang,
setelah rasa terkejutnya terkikis tipis.
Titisari tak membiarkan orang itu roboh pingsan lebih lama lagi. Segera ia menotok tulang iga-iganya. Ketika orang itu menggeliat sadar, cepat ia membangunkan. Kemudian terdengarlah
bentaknya, "Kau bisa berbicara yang benar tidak" Jika mungkir lagi, lenganmu yang sebelah akan kupatahkan juga."
Orang itu lantas saja menangis. Ia menjatuhkan diri dan bersimpuh di hadapan si gadis yang begitu cantik jelita tapi kejam.
"Dengan sebenarnya Nona ... sama sekali aku tak mengetahui sekelumit pun tentang obatobatan itu," ia merintih.
Titisari rupanya dapat mempercayai omongannya. Tetapi suaranya masih bengis.
"Berdiri! Dan sekarang pergilah menghadap majikanmu! Bilang, kamu tadi jatuh ke parit sampai lenganmu patah. Bilang juga, kamu telah berusaha mencari obat patah tulang di seluruh kota, tetapi tak berhasil karena tidak ada. Kamu pasti akan diberi obat itu."
Orang itu segera berdiri. Tatkala mau berjalan, tiba-tiba Titisari berkata, "Eh,"tunggu dulu."
Belum lagi orang itu menoleh, mendadak dadanya disodok sampai lontak darah.
"Nona ..." orang itu terengah-engah. "Apa dosaku ... apakah kesalahanku, hingga nona
menyiksaku tanpa perkara?"
"Bilang juga pada majikanmu ... dadamu perlu obat bubuk untuk mengobati luka dalam," kata Titisari tak mengindahkan.
Membentak, "Cepat pergi! Tapi awas! Jika kamu main gila, akan kupatahkan batang lehermu.
Aku akan mengikutimu sejarak empat langkah. Kaudengar?"
Orang itu mengangguk, la telah membuktikan, bagaimana gadis cantik itu bersungguhsungguh. Kalau ia berani berlaku sembrono, pasti nona itu akan membuktikan ucapannya tanpa ragu-ragu lagi. Itulah sebabnya ia memutar tubuhnya sambil terbatuk-batuk darah.
Selangkah demi selangkah, orang itu berjalan. Tubuhnya nampak bergemetaran. Kadangkadang ia sempoyongan. Tetapi Titisari benar-benar kejam, la dorong orang itu, sehingga mau tak mau harus memaksakan diri agar berjalan lebih cepat lagi.
Tatkala itu Sanjaya masih berbicara dengan ibunya, la heran melihat pegawai keuangan
ayahnya datang menghadap pada waktu larut malam.
"Hai, ada apa?" ia bertambah-tambah heran sewaktu melihat hambanya bermandikan peluh
dan nampak kesakitan. Orang itu menerangkan mengapa memberanikan diri menghadap padanya, seperti yang dipaksakan Titisari. Air matanya bercerocosan keluar, karena berusaha menahan sakit.
"Berilah dia obatnya!" sahut ibu Sanjaya penuh iba.
Sanjaya menaikkan alis. Dahinya berkerinyut.
"Semua persediaan obat untuk tetamu undangan disimpan Yuyu Rumpung, penasehat sang
Dewaresi. Pergilah menghadap padanya!"
"ndoromas! Bagaimana orang semacam hamba bisa mendapat obat daripadanya?"
Sanjaya diam menimbang-nimbang, kemudian menulis surat. Setelah surat itu diberikan pada hambanya, ia segera mau menutup pintu kamar. Agaknya dia tak senang diganggu oleh siapapun juga pada hari jauh malam.
Orang itu membungkuk-bungkuk hormat. Ingin ia menyembah beberapa kali, tapi lengannya
tak dapat digerakkan. Maka terpaksalah dia mengundurkan diri sambil menundukkan kepala.
"Terima kasih ... terima kasih, ndoromas."
"Pergilah kepadanya selekas mungkin, sebelum dia tidur," kata ibu Sanjaya. "Setelah sembuh, baru kamu boleh menghaturkan terima kasih."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Hamba Pangeran Bumi Gede segera berlalu dari gedung. Belum lagi melangkah sejauh sepuluh langkah, pundaknya telah ditempel
Titisari. Sekali lagi, sebilah belati mengancam punggungnya. Terdengar kemudian si gadis mengancam dengan setengah berbisik, "Cepatlah menghadap Yuyu Rumpung malam ini juga!"
Orang itu mencoba menguatkan diri. Baru beberapa langkah berjalan, tubuhnya terhuyung
hampir roboh, la merintih, tetapi Titisari segera mengancam lagi, "Sebelum kamu mendapat obat itu, jangan harap nyawamu selamat. Kau dengar?"
Bukan main kagetnya hamba Pangeran Bumi Gede itu. Dengan menggigit bibirnya, dipaksanya
kakinya berjalan selangkah demi selangkah. Dunia di depannya seolah berputar kontrang-kantring, tetapi ia menguatkan diri. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Wajahnya pucat lesi dan berkerinyut.
Ia berjalan memasuki lorong gedung yang merupakan jembatan penyambung antara gedung
dan gedung. Di sana terdapatlah banyak penjaga dan pelayan-pelayan yang selalu bersiap
menunggu perintah dan pekerjaan. Mereka heran melihat si pegawai keuangan berjalan tertatih-tatih dengan diiringkan seorang gadis cantik dan seorang pemuda. Menyangka bahwa mereka
termasuk tetamu undangan atau salah satu sanak keluarga tetamu undangan, maka mereka pun bersikap diam.
Setibanya di depan kamar Yuyu Rumpung, seorang pelayan segera menyambut dengan sikap
hormat. Tatkala ditanyakan dimanakah Yuyu Rumpung berada, pelayan itu menjawab dia lagi
menghadiri rapat rahasia di ruang depan dengan Pangeran Bumi Gede. Mendengar keterangan si pelayan, hamba Pangeran Bumi Gede itu nampak bergemetaran karena hampir kehabisan tenaga.
Sangaji menjadi iba menyaksikan penderitaannya. Segera ia datang menolong dan
membimbing tubuhnya yang benar-benar telah kehilangan tenaga.
Mereka lantas saja memasuki ruang depan. Dua orang penjaga segera menyongsong dan
menegor keras. "Berhenti! Siapa kamu?"
"Aku hendak menemui Tuan Yuyu Rumpung. Katakan aku Pengurus Istana," jawab hamba
Pangeran Bumi Gede seraya mengangsurkan surat Sanjaya. Melihat surat Sanjaya, dua penjaga itu mundur. Tapi tatkala melihat Sangaji dan Titisari segera mereka mau menegor. Hamba Pangeran Bumi Gede cepat-cepat memberi penjelasan, "Mereka keluarga tetamu undangan."
Titisari tetap bersikap tenang. Matanya yang tajam, dengan cepat mengenal siapa dua penjaga itu. Mereka adalah Setan Kobar dan Cekatik gelar Simpit Ceker Bebek. Sebaliknya mereka tak mengenal Titisari yang pernah menggantung diri mereka di atas pepohonan beberapa hari yang lalu di pinggiran kota Cirebon. Maklumlah, Titisari kini berdandan sebagai gadis. Tapi jika pandang mereka bertemu dengan Sangaji, mendadak saja mereka maju serentak terus mau menyerang.
Titisari berlaku cepat luar biasa. Belum lagi mereka bisa berbuat sesuatu, iga-iganya kena terhajar dua kali berturut-turut. Tanpa dapat berkutik, mereka kena dilemparkan ke tanah dan jatuh terkapar tak kuasa bangun.
Sangaji kagum menyaksikan kehebatan si gadis. Ia berada di dekat si gadis, namun tak melihat gerakannya yang begitu gesit dan cepat. Lantas saja teringatlah dia pada kejadian dulu di restoran Cirebon, ketika kawan-kawan Kartawirya kena dirobohkan begitu mendadak ketika mau mencuri kudanya. Diam-diam ia memuji di dalam hati, ah, hebat ilmu Titisari. Pastilah mereka dulu kena juga serangan Titisari yang begini cepat dan berbahaya. Eh, macam ilmu apa yang dimilikinya"
Sangaji adalah pemuda yang dibesarkan di kota besar yang jauh di daerah barat. Dia tak
mengenal macam ilmu-ilmu sakti yang terdapat di daerah Jawa Tengah. Sebenarnya Titisari lagi menggunakan suatu ilmu sakti yang terkenal dengan sebutan Aji Pangabaran. Aji Pangabaran adalah suatu ilmu rahasia, yang dapat digunakan untuk melenyapkan tenaga orang dengan sekali serang. Jika si pemilik Aji Pangabaran mempunyai Aji Munduri, akan celakalah orang yang
diserang. Tak ampun lagi akan bisa dirontokkan semua tulang rusuknya. Untung bagi dua hamba-sahaya sang Dewaresi itu. Agaknya Titisari hanya memiliki Aji Pangabaran dengan jurus-jurusnya yang khas, sehingga dengan demikian tidak membahayakan nyawanya.
"Ssst! Kau lagi memikirkan apa?" tegur Titisari sambil tertawa, manakala melihat temannya merenung-renung. la meloncat menghampiri Setan Kobar dan Cekatik gelar Simpit Ceker Bebek.
Kedua orang itu didepak bergulingan ke arah gerombolan tetanaman. Kemudian diringkus eratTiraikasih Website http://kangzusi.com/
erat dan mulutnya disumbat dengan robekan kain. Setelah itu ia mendorong maju tubuh hamba Pangeran Bumi Gede sambil berkata memerintah, "Masuk!"
Begitu hamba Pangeran Bumi Gede memasuki ruangan, ia sambar lengan Sangaji dan dibawa
melompat ke atas atap. Dengan hati-hati ia merayap mendekati penglari jendela dan mengintip dari sana.
Dalam ruangan kadipaten, nampak terang-benderang. Meja penuh hidangan dan kursi-kursi
penuh sesak dengan tetamu-tetamu undangan. Sangaji terperanjat dan ciut hatinya, tatkala melihat siapa mereka yang berada di dalam ruangan itu. Ternyata mereka adalah tetamu-tetamu tadi siang yang telah memperlihatkan kepandaiannya masing-masing.
Tepat di depan hidungnya, duduk sang Dewaresi yang didampingi Yuyu Rumpung. Orang tua
botak yang nampak kurang segar. Suatu bukti, benturan Panebahan Tirtomoyo masih
meninggalkan bekas dalam tubuhnya. Di sampingnya duduk lima belas orang sakti lainnya.
Abdulrasim dari Surabaya. Putut Tunggulnaga, Sawungrana, Glatikbiru, Wirya-dikun, Somakarti, Wongso Cldel, Joyokrowak, Orang-aring, Trunoceleng, Kejong Growong, Munding Kelana, Banyak Codet, Sintir Modar dan Gajah Banci. Dan di dekat seseorang yang berdandan mentereng
duduklah Mayarsewu dan Cocak Hijau.
Sangaji mengamat-amati orang yang berdandan mentereng. Nampak sekali orang itu besar
sekali perbawanya. Romannya cakap, matanya sipit, dan mulutnya senantiasa menyungging
senyum. Karena dia belum kenal siapakah dia, maka perhatiannya mengarah kepada Yuyu
Rumpung yang tadi siang mengadu kekuatan dengan Panembahan Tirtomoyo. Melihat orang


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begitu nampak kesakit-sakitan, ia berkata dalam hati, nah, rasakan ini. Mengapa kamu gegabah mencoba kekuatan Panembahan Tirtomoyo.
Tetapi teringat Panembahan Tirtomoyo menderita luka hebat pula, hatinya jadi getar juga.
Tatkala itu, hamba Pangeran Bumi Gede telah menyerahkan sepucuk surat Sanjaya kepada
Yuyu Rumpung. Orang tua botak itu mengamat-amati. Kemudian dengan tertatih-tatih ia berjalan menghadap orang yang berdandan mentereng. Dengan membungkuk hormat ia berkata minta
penjelasan, "Maaf, mengganggu sebentar. Apakah tulisan ini guratan tangan putra paduka?"
Ternyata orang yang berdandan mentereng itu, Pangeran Bumi Gede. la mengamat-amati surat Sanjaya dan mengangguk membenarkan.
"Berilah obat yang diminta!"
Yuyu Rumpung menoleh kepada seorang pemuda berdandan serba putih. Dia adalah salah
seorang anggota rombongan Banyumas.
"Pergilah ke kamarku dam ambillah beberapa obat," kata Yuyu Rumpung. la menulis namanama ramuan obat dan diberikan kepada pemuda itu. Lalu berkata lagi, "Berikan obat itu
kepadanya!" Pemuda itu mengangguk sambil menerima surat Yuyu Rumpung dan dengan memberi isyarat
kepada hamba Pangeran Bumi Gede, terus saja berjalan keluar ruang pertemuan.
Melihat hamba Pangeran Bumi Gede sudah berhasil menemui Yuyu Rumpung, Sangaji amat
gembira. Segera ia membisiki Titisari, "Yuk, kita ikuti mereka ...?"
Titisari tertawa perlahan sambil menggelengkan kepala. Rambutnya melajang berputar dan
ujungnya mengenai leher sampai ber-geridik karena geli.
Sangaji tak mau berbantahan dengan Titisari. Melihat Titisari enggan berangkat, lantas saja ia bergerak mau meloncat turun dari atap. Mendadak Titisari menangkap tangannya kuat-kuat.
Kemudian diulurkan perlahan-lahan ke bawah.
Sangaji sadar akan kekeliruannya. Ah" Aku sembrono. Bukankah mereka yang berada dalam
ruang pertemuan orang-orang sakti" Sekiranya tadi aku meloncat turun dengan begitu saja, masakan mereka takkan melihat aku.
Kewaspadaan dan sikap cermat itu, memberi pengalaman baru baginya. Jelas, ia kalah
berpengalaman dengan Titisari. Maka untuk kesekian kalinya, ia merasa takluk pada si gadis.
Hati-hati ia menguntit hamba Pangeran Bumi Gede yang berjalan sempoyongan di samping si
pemuda berbaju putih. Tatkala menoleh ke belakang mau menengok Titisari, ia terkejut. Ternyata Titisari belum berkisar dari tempatnya semula. Gadis itu masih saja mendekam di atas atap.
Bahkan perhatiannya kini nampak bersungguh-sungguh.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Titisari memang seorang gadis yang nakal dan berani. Begitu ia mendapat kesan tertentu
tentang pertemuan orang-orang sakti di ruang kadipaten, hatinya lantas tertarik. Segera ia mempertajam pendengarannya dan perhatiannya ditumpahkan penuh-penuh. Tatkala melihat
Sangaji berhenti mengawasi dirinya, dengan terpaksa ia memberi isyarat kepada kawannya itu agar berjalan terus. Dia sendiri mau tetap berada di tempatnya.
Kala itu, ia melihat seorang laki-laki kurus jangkung yang sudah berkeriputan mulai berbicara.
Suaranya agak parau, tapi tajam luar biasa. Dialah Cocak Hijau yang duduk di atas kursi di samping Pangeran Bumi Gede.
"Saudara-saudara, apa pendapat kalian mengenai keperkasaan Panembahan Tirtomoyo"
Kemudian bagaimana pendapat kalian, tentang munculnya orang itu di kota Pekalongan" Apakah dia secara kebetulan saja berada di Pekalongan atau mempunyai maksud tertentu?"
"Peduli apa dia datang dengan sengaja atau kebetulan di Pekalongan?" teriak seorang. "Dia telah berkenalan dengan gebukan Yuyu Rumpung. Jika tidak mampus, pastilah akan cacat sumur hidupnya."
Titisari lalu mengamat-amati orang itu. Ternyata dia adalah Abdulrasim jagoan dari Surabaya.
Orangnya berperawakan agak tinggi. Tubuhnya padat penuh otot-otot. Matanya tajam luar biasa dan gerak-geriknya gesit.
Tiba-tiba sang Dewaresi tertawa perlahan, tetapi getarannya memenuhi ruang pertemuan.
Kemudian berkata dengan kata-kata yang ditekankan agar berwibawa, "Belum pernah aku
melewati perbatasan Banyumas mengarah ke timur. Tetapi aku pernah mendengar kabar tentang kesaktian orang-orang yang bermukim di sekitar Gunung Lawu. Panembahan Tirtomoyo memang
terkenal namanya. Siapa yang tidak mengenal dia, sewaktu menjadi pembantu utamanya Raden Mas Said, Kanjeng Gusti Pangeran Mangkunegoro, kala bertempur sengit melawan kompeni dan Kanjeng Sultan Mangkubumi 1" Sekarang kita semua bisa melihat, menyaksikan dan membuktikan betapa perkasanya dia. Coba, ia kena pukulan Yuyu Rumpung, namun masih bisa tegak berdiri bahkan tersenyum manis."
"Siapa bilang?" potong Cocak Hijau. "Aku berani bertaruh, dia akan cacat seumur hidupnya."
"Itu betul?" sahut Abdulrasim. "Tinju Yuyu Rumpung bukan sembarang tinju. Sekali kena
gablokan Yuyu Rumpung, orang itu pasti tak dapat lagi mempertahankan napasnya untuk satu hari saja ..."
Yuyu Rumpung yang nampak kesakitan menyambung dengan suaranya yang keras parau.
"Hihihaaa ... Cocak Hijau dan Abdulrasim, benar-benar bisa menina-bobokkan orang. Aku dan dia masing-masing merasakan suatu penderitaan. Bagaimana kita bisa berbicara tentang menang dan kalah?"
"Tidak," Cocak Hijau menyahut. "Biar bagaimana, dia bakal bercacat. Sebaliknya kamu tidak."
"Betul! Kamu hanya membutuhkan beristirahat beberapa hari saja, lalu sehat kembali dan
bangun segar-bugar seperti raksasa menggeliat dari tidur lelap," Abdulrasim menguatkan.
Pangeran Bumi Gede yang selama itu memperhatikan pembicaraan mereka, segera menengahi,
la mengambil sikap bijaksana dengan mempersilakan mereka menikmati hidangan dan minuman.
Kemudian berkatalah dia dengan suara nyaring, halus dan meresapkan.
"Tuan-tuan telah memerlukan datang di kota ini, semata-mata oleh undangan kami. Untuk
perhatian ini, perkenankan kami mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan setinggitingginya. Kami tahu dan sadar, kedatangan Tuan-tuan bukan disebabkan oleh undangan kami semata, tetapi karena Tuan-tuan sadar akan kewajiban yang lain. Yakni, hendak berjuang
menuntut keadilan. Inilah keuntungan besar bagi Gusti Patih Danureja II. Hidup!"
Orang-orang yang mendengar kalimat tata penyambutan Pangeran Bumi Gede demikian
merendah dan penuh sopan, cepat-cepat bersikap merendah diri pula. Kegarangannya lantas saja pudar.
"Sang Dewaresi biasa hidup mulia di daerah Banyumas. Yuyu Rumpung seorang penasehat
sang Dewaresi yang jarang terdapat dalam pergaulan adalah juga seorang bijaksana." Kata
Pangeran Bumi Gede lagi, "Cocak Hijau, Manyarsewu, Abdulrasim dan pendekar-pendekar sakti lainnya bukanlah manusia lumrah. Tuan-tuan sekalian adalah raja-raja tak bermahkota di daerah Tuan-tuan masing-masing. Orang luar takkan mudah dapat bertemu dengan Tuan-tuan sekalian.
Meskipun demikian, tuan-tuan kini sudi melangkahkan kaki untuk saling bertemu dan berkenalan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
di dalam ruang sesempit ini. Bagaimana hati kami tidak akan bangga. Meskipun kami baru untuk pertama kali ini bertemu pandang dengan Tuan-tuan, tapi kami telah yakin akan kesanggupan Tuan-tuan sekalian. Tuan-tuan adalah golongan pejuang-pejuang keadilan. Semuanya bersedia membantu usaha kami. Inilah suatu keuntungan besar bagi kami dan negara."
Pangeran Bumi Gede lalu tertawa riang. Matanya berkilat-kilat. Terang sekali, ia bergembira sampai ke dasar hatinya.
"Jika paduka memberi perintah sesuatu kepada kami, kami tak bakal menolak. Itulah pasti,"
sahut Cocak Hijau. Yang lain-lain ikut pula mengamini. Kemudian terdengarlah Manyarsewu
menyambung, "Nah, berilah perintah! Kami akan bekerja. Hanya saja apa yang kami khawatirkan ialah, tenaga kami terlalu kerdil untuk dapat memenuhi perintah-perintah paduka. Karena itu kami mohon maaf sebesar-besarnya dan semoga paduka sudi melimpahkan doa restu." Sehabis berkata demikian, ia tertawa panjang dan kuat sampai tubuhnya bergoncang-goncang.
Mereka semua adalah pendekar-pendekar sakti yang memiliki kecakapan dan kesaktian masingmasing. Mereka belum saling mengenal, karena itu dalam hati mengharapkan suatu pekerjaan yang sulit dan besar agar mendapatkan nama. Sikapnya garang berwibawa untuk mencari muka.
Pangeran Bumi Gede menyambut pernyataan mereka dengan mengangkat cawan minuman
keras. Sambil mempersilakan meneguk, dia berkata, "Kami telah mengundang Tuan-tuan sekalian atas nama Gusti Patih Danurejo. Sudah barang tentu, kami menaruh kepercayaan besar terhadap Tuan-tuan sekalian. Kami berjanji tidak akan menyembunyikan atau merahasiakan sesuatu
pekerjaan yang bagaimana besar dan penting sekalipun. Semuanya akan kami beberkan di depan Tuan-tuan sekalian. Sebaliknya kami percaya kalau Tuan-tuan tak akan menceritakan kembali kepada orang lain tentang apa yang bakal Tuan-tuan dengar dan lihat. Dengan demikian akan menghindarkan fitnah-fitnah pihak-pihak tertentu ..."
Semua orang mengangguk berbareng. Mereka tahu apa maksud Pangeran Bumi Gede. Dengan
sungguh-sungguh ditekankan, mereka harus dapat merahasiakan sesuatu perkara besar dan
penting. "Apakah paduka ingin membeberkan suatu perkara rahasia yang penting mengenai negara?"
teriak Manyarsewu. Pangeran Bumi Gede memanggut sambil meneguk cawan minuman keras.
"Ah! Jika begitu, kami harap paduka tidak sangsi lagi menilai kami semua. Tenangkan hati paduka dan percayalah, kami setidak-tidaknya bukan kanak-kanak kemarin sore yang bisa menjual omongan sampai ngiler."
Pangeran Bumi Gede mendehem. Dengan tenang ia meletakkan cawannya. Kemudian
memperbaiki letak duduknya sambil menyiratkan pandang kepada sekalian yang hadir.
"Tuan-tuan! Dengarkan!..." ia berkata.
0oo0 14 WAYAN SUAGE MELIHAT SIKAP PANGERAN BUMI GEDE YANG sungguh-sungguh, semua yang hadir jadi
tegang. Titisari yang berada di atas atap ikut tegang pula. Rahasia apakah yang hendak
dibeberkan Pangeran Bumi Gede"
"Hari ini tanggal 26 Juli tahun 1804 Masehi," Pangeran Bumi Gede mulai, "Kami dan Tuan-tuan sekalian hidup dalam masa kerajaan yang terpecah menjadi dua. Kerajaan Surakarta dan
Yogyakarta. Tak usahlah kami berbicara panjang lebar, adanya dua kerajaan itu menjadi sumber pertengkaran terus-menerus tiada hentinya sampai akhir zaman. Tuan-tuan pun pasti mengetahui juga apa sebabnya. Karena di dunia ini tidak ada dua matahari muncul bersama di angkasa. Bila ada, yang satu harus lenyap. Bagaimana pendapat Tuan-tuan sekalian?"
Mereka yang hadir adalah sebangsa jagoan tukang-tukang pukul. Tak bisa mereka berpikir
yang bukan-bukan. Karena itu mereka membungkam seribu bahasa. Hanya sang Dewaresi
seorang yang tak dapat menebak ke mana arah tujuan Pangeran Bumi Gede. Meskipun demikian, belum berani dia membuka suara karena persoalan belum jelas.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sejarah zaman dahulu sudah memberi contoh berulang kali," kata Pangeran Bumi Gede lagi.
"Tatkala kerajaan Erlangga terpecah menjadi dua kerajaan, Jenggala dan Daha" maka dunia melahirkan seorang tokoh bernama Ken Arok. Dia mendirikan kerajaan tunggal bernama Singasari.
Ketika timbul lagi suatu persaingan"Jayakatwang"datanglah sang Wijaya menumbangkan dan
merombak apa yang sudah usang. Berdirilah kerajaan Majapahit yang aman sentosa. Dan tatkala Majapahit ditandingi oleh sebuah kerajaan Islam:"Bintara muncullah Sultan Hadiwijaya yang membangun kerajaan baru bernama Pajang. Begitulah sejarah sudah berkata kepada Tuan-tuan sekalian"bahwasanya di dalam satu negara takkan mungkin diperintah oleh dua orang raja.
Bahwasanya matahari yang tersembul di angkasa adalah tunggal tiada tandingannya. Inilah
hukum alam." Tiba-tiba Manyarsewu yang berangasan berteriak. "Apakah Pangeran Bumi Gede
mengumpulkan kami semua agar kami membantu paduka menggempur dua kerajaan Surakarta
dan Yogyakarta" Meskipun kami bukan sebangsa cecurut yang takut mati, tapi rasanya kami
semua akan mengecewakan harapan paduka. Apakah arti kami ini bila dibandingkan dengan
pahlawan-pahlawan dua kerajaan yang tak terhitung jumlahnya" Jangan lagi paduka berharap bisa membangun negara baru bersandarkan tenaga kami semua, mencoba menggempur salah sebuah
kerajaan itu pun takkan becus. Sebab kami ini bukan golongan serdadu yang pandai mengatur siasat dan memimpin pasukan. Lainlah halnya, kalau paduka hanya mengharapkan tenaga kami untuk menggarong atau merampok."
Mendengar teriakan Manyarsewu yang berbicara tanpa pembungkus, mau tak mau mereka
tertawa gelak, meskipun banyak di antaranya tidak menyetujui. Pangeran Bumi Gede bersikap tenang. Ia seolah-olah telah menduga akan mendapatkan teguran demikian. Dengan senyum ia berkata seraya membungkuk. "Ah! Mana berani kami memimpikan membangun sebuah kerajaan baru di siang hari bolong" Lagipula, apakah benar Tuan-tuan yang hadir ini bangsa perampok dan penggarong?"
Sekali pun kata-kata Pangeran Bumi Gede diucapkan dengan nada halus, tajamnya tak kurang dari tajam sebilah belati. Seketika itu juga, rasa harga diri yang lain bangun serentak. Tak mau mereka digolongkan sebangsa - perampok atau penggarong. Itulah sebabnya, pandang mereka
lantas saja melototi si sembrono, Manyarsewu.
Tetapi Pangeran Bumi Gede segera mengambil sikap bijaksana. Dengan meneguk cawan
minuman keras, ia berkata, "Tuan-tuan! Marilah kita kuras habis minuman yang telah disediakan tuan rumah. Apabila Tuan-tuan setuju, kami akan meneruskan berbicara."
"Berbicaralah! Berbicaralah!" terdengar suara anjuran serentak.
Mata Pangeran Bumi Gede berkilat-kilat. Yakinlah dia, bahwa semua yang hadir ada pada
pihaknya. Asal saja dia bisa membawa diri tak usah diragukan hasilnya. Tenaga mereka bisa diharapkan sepenuh-penuhnya. Maka dengan hati-hati ia berkata, "Tuan-tuan, maafkan kami apabila ada kesan kata-kata kami seolah-olah kami hendak memimpikan membangun sebuah
kerajaan baru. Sebenarnya bukan itu maksud kami."
"Berbicaralah sebebas-bebas Paduka!" teriak Cocak Hijau, "Tadi Paduka hendak membeberkan rahasia penting mengenai negara. Nah, kami belum mendengar."
Pangeran Bumi Gede tersenyum. Kemudian mulai, "Dua ratus lima puluh tahun yang lalu, lahirlah seorang perwira muda bernama Sutawijaya. Konon dikabarkan, dia adalah anak Lembu Peteng, Sultan Hadiwijaya yang dipungut sebagai anak-angkat Ki Ageng Pemanahan. Dia seorang manusia lumrah yang tak beda sekelumit pun dengan kita semua. Hanya saja, di kemudian hari dialah pendiri kerajaan Mataram. Lantas saja dia terkenal dengan gelar Panembahan Senopati.
Seluruh dunia memuji kegagahannya. Sepak terjangnya mengagumkan. Apa yang dijangkau tak
pernah gagal. Bintangnya terus menanjak dan menanjak amat cerah. Tuan-tuan, inilah soal yang hendak kami kemukakan."
"Apakah dia mempunyai rahasia besar yang patut kita bicarakan?" kata Manyarsewu memotong.
"Tergantung kepada cara berpikir Tuan-tuan sekalian," jawab Pangeran Bumi Gede cepat.
"Baiklah kami kemukakan beberapa soal. Seperti kata sejarah sendiri, dia mula-mula dikenal sebagai seorang pemuda tak guna. Penakut dan keperempuan-perempuan. Ketika dia dipilih
menjadi jago kerajaan Pajang untuk memusnahkan Arya Penangsang, sekujur badannya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
gemetaran. Bahkan dikabarkan, dia sampai menangis. Tetapi karena anjuran Ki Ageng
Pemanahan, tugas itu dilakukan juga. Demikianlah, maka dia memperoleh hadiah sebatang
tombak sakti bernama Kyai Pleret. Dan dengan Kyai Pleret itulah, dia berhasil membunuh Arya Penangsang yang sakti dan tangguh. Tuan-tuan, itulah tataran mula-mula dia dikenal sejarah. Dia dilantik menjadi hamba kerajaan dengan gelar Raden Ngabehi Lor ing Pasar. Kemudian bersahabat dengan putera mahkota Pangeran Benowo. Berontak melawan Sultan Hadiwijaya dan akhirnya
berhasil mendirikan kerajaan Mataram yang tak terkalahkan. Tuan-tuan, apakah Tuan-tuan tak merasakan sesuatu yang ganjil?"
"Ganjil?" mereka mengulang sepatah kata itu hampir berbareng. Kemudian mereka saling memandang dengan kepala menebak-nebak.
"Ya"ganjil! Benar-benar ganjil!" Pangeran Bumi Gede menguatkan. Kemudian memberi keterangan, "Marilah kita periksa lagi lebih cermat! Sutawijaya mula-mula dikenal sebagai seorang pemuda tiada guna. Menurut pantas, jangan lagi dia. Sekalipun Sultan Hadiwijaya sendiri takkan ungkulan bertanding melawan Arya Penangsang. Mengapa si bocah ingusan mendadak bisa
menang perang?" "Menurut sejarah, Arya Penangsang mati berdiri kena tusuk tombak Kyai Pleret!" sahut Manyarsewu.
"Benar. Tetapi apakah tumbangnya Arya Penangsang karena semata-mata oleh tuahnya
tombak Kyai Pleret" Apabila tombak Kyai Pleret benar-benar dapat mengatasi ketangguhan Arya Penangsang, mengapa Sultan Hadiwijaya tidak turun tangan sendiri" Baiklah, andaikata Sultan Hadiwijaya emoh turun tangan sendiri berhubung dengan kedudukannya, pastilah orang-orang sakti di Pajang bisa diminta bantuannya meminjam tenaga."
Persoalan ini belum pernah terlintas dalam benak mereka, sehingga mereka jadi terhenyak.
Lantas saja mereka sibuk menduga-duga hendak mengungkap teka-teki itu. Akhirnya Cocak Hijau berkata nyaring. "Barangkali Sutawijaya adalah satu-satunya orang sakti kala itu."
"Heh"Cocak Hijau! Bukankah tadi sudah dikatakan, kalau Sutawijaya adalah seorang pemuda yang mula-mula dikenal tidak memiliki suatu keistimewaan sedikit pun?" damprat Manyarsewu.
"Dia seorang pemuda tak berguna, kau dengar?"
Didamprat demikian, Cocak Hijau jadi kelabakan. Segera ia berpaling kepada Pangeran Bumi Gede. kemudian berkata, "Baiklah, mari kita akui, bahwa Sutawijaya seorang sakti. Tetapi apakah Sultan Hadiwijaya yang terkenal dengan nama Jaka Tingkir di waktu mudanya, kurang sakti"
Seperti Tuan-tuan ketahui, dia pernah ditusuk keris Setan Kobar. Tetapi baru saja, ujung keris Setan Kobar hendak menyentuh tubuhnya, mendadak saja si penusuk jatuh terkapar di tanah.
Apakah Ki Ageng Pemanahan kurang sakti" Apakah Ki Jurumartani kurang sakti" Mereka adalah tokoh-tokoh sakti pada zaman itu. Sebaliknya kesaktian Arya Penangsang sesungguhnya tidak terlawan. Bahkan mertuanya, Sunan Kudus segan pula kepadanya," ia berhenti mengesankan.
"Tuan-tuan yang hadir di sini, bukan pula orang-orang sembarangan. Taruh kata, Tuan-tuan hidup pada zaman itu. Kemudian salah seorang di antara Tuan-tuan kami beri tombak Kyai Pleret, sebagai senjata pamungkas, melawan Arya Penangsang. Sudahkah Tuan-tuan akan bisa menang"
Apakah tombak Kyai Pleret sudah bisa dibuat pegangan teguh" Tuan-tuan minta bantuan seratus ribu prajurit" Baiklah, kami berikan. Tetapi... andaikata hancurnya Arya Penangsang bisa ditentukan oleh jumlah prajurit, tentulah Sultan Hadiwijaya sudah pula mengambil tindakan demikian."
Orang-orang jadi tegang. Mereka dipaksa berpikir keras. Titisari yang berada di atas atap, ikut pula mencoba memecahkan teka-teki itu.
Tentang permusuhan antara Sultan Hadiwijaya dan Arya Penangsang, sudah lama ia mengenal
dari tutur-kata sejarah. Ayahnya sering memperbincangkan keperkasaan Arya Penangsang dengan kuda hitamnya bernama Gagakrimang. Kedua tokoh itu memiliki keistimewaan-keistimewaannya sendiri. Kerapkali mereka bentrok dan saling berbenturan. Masing-masing memiliki pusaka sakti.
Pusaka Arya Penangsang berwujud sebilah tombak bernama Kyai Pleret. Arya Penangsang pernah mencoba membunuh Sultan Hadiwijaya dengan keris Setan Kobar, tetapi gagal. Keris Setan Kobar yang pernah menghisap darah Sunan Prawoto, Pangeran Hadiri dan beberapa tokoh kerajaan
Bintara, ternyata tak mampu membunuh Sultan Hadiwijaya. Sebaliknya, sudah semenjak lama
Sultan Hadiwijaya berusaha menyingkirkan lawannya dari percaturan dunia. Usaha inipun sia-sia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
belaka. Andaikata tombak Kyai Pleret benar-benar merupakan senjata mutlak pemusnah kesaktian Arya Penangsang, mestinya Sultan Hadiwijaya sudah lama menyingkirkan lawannya. Mengapa
mesti menunggu lahirnya seorang pemuda bernama Sutawijaya" Mengapa Sutawijaya akhirnya
berhasil membunuh Arya Penangsang dengan tombak itu" Sesungguhnya, peristiwa tersebut
merupakan teka-teki besar. Dengan diketengahkan persoalan itu oleh Pangeran Bumi Gede, lantas saja jadi menarik hati.
"Tuan-tuan!" kata Pangeran Bumi Gede lagi. "Pernahkah Tuan-tuan mendengar dongeng pertemuan ajaib antara Sutawijaya dengan seorang aneh pada malam hari menjelang
pertempuran yang menentukan" Sudah tentu dongeng ini tidak pernah tertulis dalam sejarah.
Sebab baik si penulis sejarah, maupun Sutawijaya sendiri merahasiakan peristiwa pertemuan itu sebagai sesuatu hal yang dirahasiakan demi keselamatan negara."
Orang-orang menegakkan kepala dengan berdiam diri. Mereka menajamkan pendengaran dan
berusaha duduk tenang-tenang, agar tidak mengganggu pengucapan Pangeran Bumi Gede. Itulah sebabnya ruang kadipaten jadi sunyi-tegang. Titisari yang berada di atas mengendapkan diri. Hati-hati ia menguasai pernapasannya agar bebas dari pengamatan pendengaran mereka. Maklum,
sedikit ia berkutik pastilah mereka akan mengetahui kehadirannya ditengah kesunyian demikian.
"Malam menjelang pertempuran yang menentukan itu, diam-diam Sutawijaya keluar dari
perkemahan." Pangeran Bumi Gede mulai bercerita. "Ia bermaksud hendak minggat. Ya"
bagaimana dia mampu melawan kesaktian Arya Penangsang" Sedangkan para wali sendiri tidak ada yang berani menyanggupkan diri. Ketika itu, bulan tidak ada di langit. Malam jadi gelap-gulita.
Mendadak saja, dia dihampiri oleh sesosok bayangan serba hitam. Perawakan bayangan itu, tinggi besar. Tegap perkasa dan tangguh. Ia memberikan tiga buah pusaka dengan berdiam diri.
Kemudian membisiki sesuatu. Apakah yang dibisikkan, tidak ada seorang pun yang pernah hidup di dunia ini mengetahui bunyinya. Saat Sutawijaya bertanya siapakah dia"bayangan itu
menjawab, "Aku adalah Semono." Bayangan itu lantas melesat dan lenyap begitu saja seperti tertelan kabut."
"Semono?" Mereka berteriak hampir berbareng.
"Ya"Semono."
"Siapakah Semono itu?" Manyarsewu mendesak dengan bernafsu.
Pangeran Bumi Gede menaikkan pundak sambil menjawab, "Bagaimana aku harus
meneruskan" Orang yang hidup sezaman dengan Sutawijaya, tak mampu pula mengabarkan. Di
kemudian hari orang hanya mengenal nama Semono itu sebagai Pangeran Ganggeng atau
Pangeran Semono, karena tahta kerajaannya berada di negara Mono. Tetapi Pangeran Semono
hidup pada zaman ribuan tahun yang lalu. Meskipun demikian orang tidak menyangsikan."
"Kenapa?" "Karena ketiga pusaka yang diberikan kepada Sutawijaya itu cukup menjadi saksi."
"Pusaka apakah itu?" Manyarsewu kian bernafsu.
"Yang sebuah berwujud jaring, bernama, Jaka Korowelang. Yang kedua sebuah bende. Kelak terkenal dengan nama Bende Mataram. Dan yang ketiga sebilah keris, bernama Tunggulmanik.
Dengan bersenjata ketiga buah pusaka itulah, Sutawijaya bisa merajai seluruh kepulauan
Nusantara. Kelak ketiga pusaka itu diberikan kepada cucunya"Sultan Agung. Tapi sayang, pada pertengahan usia Sultan Agung, mendadak saja ketiga pusaka itu musna tak keruan beradanya."
Orang-orang yang mendengar kisah itu jadi ikut kecewa dan menyesali.
"Tentang asal mula ketiga pusaka itu dan nama Semono, pernah kudengar dongengnya."
Pangeran Bumi Gede meneruskan. "Begini, ribuan tahun yang lalu hiduplah seorang pangeran bernama Jayakusuma. Dia adalah adik kandung seorang raja yang memerintah negeri Jawa Timur.
Sebagai seorang pangeran, dia berkewajiban menghadap raja sekali seminggu. Ini suatu tanda, bahwa dia tetap berbakti terhadap raja dan negara. Mula-mula kewajiban itu dipenuhi. Tetapi kemudian terjadilah suatu perubahan. Sudah hampir satu tahun lamanya, dia mangkir. Raja jadi keheran-heranan. Segera dikirimlah suatu utusan untuk menyelidiki. Ternyata Pangeran
Jayakusuma sakit hati terhadap raja."
'Apakah yang menyebabkan Paduka sakit hati"' utusan raja minta penjelasan. 'Apakah Raja
kurang menaruh perhatian terhadap Paduka"'
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mula-mula Pangeran Jayakusuma enggan menceritakan. Tetapi setelah didesak berulang kali, akhirnya dia menerangkan sebab-musababnya. Sudah semenjak lama dia menaruh cinta kepada
bibinya sendiri bernama Endang Retno Dyan Sulasniwati. Cintanya berbalas juga. Hanya sayang, puteri itu adalah bibinya sendiri. Baik dia jadi bersedih hati. Kesedihan hatinya memuncak, ketika bibinya itu dipinang oleh putera Bhatara Loano"Sang Anden Loano. Kakaknya meluluskan. Dan semenjak itu Endang Retno Dyan Sulasniwati dikawinkan dengan Anden Loano dan dibawa pulang ke negeri Loano (sebelah utara Purworejo}. Karena sakit hati, Pangeran Jayakusuma mencari alasan untuk menyesali sikap kakaknya. Ia mencari kegemaran lain sebagai perintang hati. Pada suatu hari ia mendapat seekor burung gemak (nama burung seperti anak ayam) dan semenjak itu, sibuklah dia memelihara burungnya. Itulah sebabnya, tak dapat lagi ia memenuhi kewajiban.
Demikianlah"ketika penjelasan Pangeran Jayakusuma dihadapkan kepada raja, segera ia
dipanggil. Raja merasa diri terhina. Masa harga seorang raja jauh lebih rendah daripada seekor burung gemak. Pangeran Jayakusuma berkata, kalau burung gemaknya itu bukanlah sembarang
burung. Pernah suatu kali diadu bertanding melawan seekor harimau. Harimau . itu mati
dipatuknya. Raja kian marah. Dengan serta merta, ia menjatuhkan hukuman. Ketika mendengar penjelasan lagi tentang pekerti Pangeran Jayakusuma yang menaruh hati kepada bibinya, kemarahan raja tak terkendalikan lagi. Pangeran Jayakusuma diusir dari negeri.
Dengan membawa burung gemaknya, Pangeran Jayakusuma meninggalkan negeri. Adiknya
perempuan bernama Dewi Kusuma-ningsih yang amat kasih padanya, ikut menyertai ke mana
perginya. Demikianlah, maka mereka berdua merantau tanpa tujuan. Sepanjang jalan mereka
bertapa agar mendapat kesaktian-kesaktian ajaib. Mereka berhasil pula menciptakan berbagai ragam tata-berkelahi. Dan sebagai sendi pencaharian hidupnya, Pangeran Jayakusuma memper-sabungkan burung gemaknya yang tak terkalahkan.
Pada suatu hari sampailah mereka di sebelah selatan Bukit Jambu. Hari sangatlah terik dan sudah beberapa hari mereka tak melihat dusun dan pedesaan. Makan dan minumnya jadi tak
teratur. Bagi Pangeran Jayakusuma, penderitaan itu tidak mengusik hatinya. Maklumlah, dia sadar akan arti kepergiannya. Sebaliknya bagi Dewi Kusumaningsih, benar-benar merupakan siksaan lahir batin.
Karena menanggung haus tak tertahankan lagi, Dewi Kusumaningsih jatuh tersimpuh di atas
bumi, Pangeran Jayakusuma segera melesat hendak berusaha menemukan sebuah dusun. Tetapi
usahanya sia-sia belaka. Dengan bersusah hati, kembalilah dia mendapatkan adiknya. Kemudian"
untung-untungan"ia mencabut keris pusakanya bernama Panubiru dan ditancapkan ke tanah.
Tatkala ditarik, sekonyong-konyong menyemburlah sebuah mata air menanjak tinggi ke udara.
Oleh rasa terharu, ia meloncat-loncat gembira, sambil berseru "Dewi! Dewi! Hidup! Hidup!"
Adiknya segera diteguki air, lantas dia sendiri. Alangkah segar dan nikmat. Karena besarnya rasa terima kasih, ia lantas berkata, "Adikku! Apabila dikemudian hari tempat ini menjadi sebuah dusun atau desa, aku memberinya nama, Banyu Urip (sebelah utara Purworejo)."
Demikianlah"semenjak itu berdirilah sebuah desa bernama Banyu Urip. Pangeran Jayakusuma
sendiri bermukim di bawah rindang lima batang pohon jati. Kelak diberi nama, Jati Pandowo (Pandawa Lima).
Pada suatu hari ia mendengar kabar, bahwa tempat beradanya bibinya"Endang Retno Dyan
Sulasniwati"tak jauh dari padepokannya (tempat pertapaan). Bibinya ternyata masih setia
padanya. Meskipun ia telah dikawin sang perwira Anden Loano, tetap saja ia menolak untuk hidup sebagai suami-isteri. Berita itu sudah barang tentu menggembirakan dan mengharukan Pangeran Jayakusuma. Segera ia mau berangkat menjenguk ke Loano. Sayang, adiknya"Dewi
Kusumaningsih"selalu saja ingin menyertai. Maka dicarilah akal untuk membebaskan diri. Ia menemui seorang sakti bernama Kyai Manguyu. Ditantangnya bersabung dengan pertaruhan
adiknya perempuan. Kyai Manguyu menyanggupi, dengan kesaktiannya ia mencipta seekor burung gemak dari palu besi. Sebaliknya, Pangeran Jayakusuma tidak bersungguh-sungguh hendak
mencari kemenangan. Dalam hati ia berdoa, mudah-mudahan burung gemaknya dapat dikalahkan.
Dengan demikian ia akan menyerahkan adik perempuannya dengan terhormat.
Harapannya terkabul. Burung gemaknya yang bernama Kebrok dapat dikalahkan. Dengan
demikian, Dewi Kusumaningsih diserahkan kepada Kyai Manguyu sebagai isterinya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah berhasil menyerahkan adiknya kepada seorang terhormat, berangkatlah dia ke Loano.
la berhasil menemui kekasihnya dan bercumbu rayu layaknya sepasang suami-isteri. Permainan itu dilakukannya pada setiap malam. Ketika matahari mulai muncul di timur, cepat-cepat ia
meninggalkan Loano dan berangkat pulang ke Jati Pandowo.
Tetapi lambat-laun, sang perwira Anden Loano mengetahui permainan itu. Pada suatu malam
Pangeran Jayakusuma dihadang. Dan timbullah suatu pertarungan seru. Anden Loano tak dapat menandingi kesaktiannya. Segera ia lari ke Gunung Gede mengadu kepada ayahnya. Ayahnya
yang bernama Ki Buyut Singgela mencoba-coba mengadu kesaktian. Diapun tak dapat ungkulan.
Karena sedih, ia menceburkan diri ke dalam sungai. Niatnya hendak mati, daripada menanggung malu dan hina. Tetapi arus sungai membawa dia tersangkut pada boro (keranjang penangkap ikan yang dipasang dimalam hari) Kyai Bodo.
Ketika telah diketahui soalnya. Kyai Bodo membawanya menghadap kepada Kyai Ganggeng.
Dan Kyai Ganggeng membawanya pula menghadap seorang pangeran yang bertahta di Semono.
Mereka minta pertolongan.
Pangeran Semono berkenan menolongnya. Tetapi dia hanya mengirimkan salah seorang
abdinya bernama Lawa Hijau (Lawa Ijo) yang diberinya sebilah keris bernama Caranggesing. Keris inilah yang kelak di sebut orang keris Kyai Tunggulmanik. Di samping itu masih ada pula dua pusaka lainnya. Yakni, Jala Korowelang dan Bende Mataram.
Pertarungan antara Mapatih Lawa Hijau dan Pangeran Jayakusuma berlangsung sangat
sengitnya. Kedua-duanya sakti dan tidak ada yang kalah atau menang. Mereka bertempur sampai tujuh hari tujuh malam lamanya. Pada hari kedelapan, Mapatih Lawa Hijau terpaksa mengeluarkan ketiga pusakanya. Ketika Pangeran Jayakusuma melihat ketiga pusaka itu, keluarlah keringat dinginnya. Dengan sekuat tenaga, ia berusaha melarikan diri. la merubah diri menjadi seekor kelabang. Tetapi Lawa Hijau segera pula merubah diri menjadi seekor laba-laba raksasa. Sudah barang tentu Pangeran Jayakusuma heran dan terkejut. Sama sekali tak diduganya, kalau
lawannya sangat sakti. Cepat ia merubah diri pula menjadi seekor tikus. Mapatih Lawa Hijau merubah diri menjadi seekor kucing.
Melihat kesigapan lawan, gugup ia melarikan diri dan bersembunyi di dalam kendi pratala
(kendi air minum dari tanah). Mapatih Lawa Hijau segera menutup kendi itu rapat-rapat. Setelah itu, ia membawa tawanannya pulang menemui Kyai Ganggeng, Kyai Buyut Singgela dan Kyai
Bodo. Kyai Buyut sangat bergembira. Dengan menyatakan terima kasih, ia pulang ke Gunung
Gede dan menyerahkan soal itu kepada Kyai Ganggeng.
Kyai Ganggeng minta penjelasan kepada Mapatih Lawa Hijau cara dia menaklukkan Pangeran
Jayakusuma. Mapatih Lawa Hijau memperlihatkan ketiga pusakanya. Kyai Ganggeng kemudian
mengambil keris pusaka Caranggesing. Ia berniat hendak mencoba kesaktian Pangeran
Jayakusuma. Syukur bisa membunuhnya. Dengan demikian ia akan memperoleh nama dan jasa..
Tetapi Mapatih Lawa Hijau memperingatkan, kalau Pangeran Semono tidak mengizinkan
membunuh Pangeran Jayakusuma. Sayang, Kyai Ganggeng tidak mendengarkan. Dengan dada
menyala-nyala, ia membanting kendi pratala. Seketika itu juga, Pangeran Jayakusuma berdiri seperti batu karang di hadapannya. Kedua ksatria itu lantas saja bertarung gesing. Dan Pangeran Jayakusuma bersenjata keris kerajaan Majapahit, Kyai Panubiru.
Sekarang Kyai Ganggeng jadi terkejut. Sama sekali ia tak mengira, kalau Pangeran Jayakusuma benar-benar seorang ksatria sakti tak terlawan, la mencoba menusuk dan menikamkan keris
pusaka Caranggesing. Tetapi tidak ada selembar bulu roma Pangeran Jayakusuma yang bisa


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dirontokkan. "Ih! Pantas kamu berani maling seorang puteri. Kamu memang seorang jantan sejati. Tetapi, mengapa kamu bisa ditaklukkan Mapatih Lawa Hijau dengan keris Caranggesing" Padahal aku pun bersenjata keris Caranggesing juga."
Pangeran Jayakusuma tertawa sambil menungkas, "Apa kau bilang" Aku ditaklukkan Lawa Hijau" Sama sekali tidak! Aku ditawan, karena kena tipu-muslihat. Kalau kau tak percaya, boleh kalian berdua maju berbareng. Nah, tikamkan Caranggesing ke dadaku sampai kau jera."
Hm... benar-benar sombong ksatria ini, pikir Kyai Ganggeng. Kemudian berkata, "Yang sakti bukan hanya kamu seorang di dunia ini. Tikamkan keris pusakamu ke dadaku. Ingin aku
merasakan tuahnya keris pusakamu yang kauagul-agulkan (banggakan)."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pangeran Jayakusuma segera menikamkan keris Panubiru. Tetapi keris itupun tidak mempan.
Dengan demikian mereka berdua terus bertempur tak berketentuan. Akhirnya, kedua-duanya mati kehabisan napas.
Mapatih Lawa Hijau kemudian membawa Caranggesing kembali menghadap Pangeran Semono.
Dengan takzim Pangeran Semono mendengarkan kisah pertarungan antara Pangeran Jayakusuma
dengan Kyai Ganggeng. Akhirnya Pangeran Semono berkata, "Caranggesing dan Panubiru
sebenarnya adalah jodohnya. Sudah barang tentu, mereka yang menggunakan kedua pusaka itu takkan dapat merebut kemenangan. Sekarang kedua pusaka itu telah menemukan jodohnya.
Keduaduanya telah meninggal. Karena itu, ingat-ingatlah pesanku ini. Di kemudian hari, apabila aku telah mekrat (musnah) aku akan mewariskan kedua pusaka itu kepada siapa saja yang berhak mewarisi. Barangsiapa dapat memiliki kedua pusaka itu akan kusyahkan sebagai ahli waris tanah Jawa. Karena tanah Jawa adalah milikku. Bende Mataram dan Jala Korowelang akan pula ikut mengirimkan. Karena itu, pemiliknya akan sakti. Suaranya bagaikan guntur, kegesitannya melebihi kilat, kekuatannya melebihi tenaga raksasa. Dia adalah laksana matahari yang bersinar tunggal di atas persada bumi...." Pada zaman dahulu banyak diceritakan tentang musnahnya tokoh-tokoh sakti. Diantaranya Kyai Gede Senggala. Sedangkan Lawa Hijau dikabarkan tetap hidup sepanjang zaman."
Sampai di sini, Pangeran Bumi Gede berhenti bercerita. Dengan mata berkilat-kilat ia mencari kesan. Orang-orang terdiam seperti tersekap. Sang Dewaresi yang bisa berpikir lantas saja dapat menebak maksud Pangeran Bumi Gede. Diam-diam ia memuji kecerdikannya.
"Tanah Jawa (Bumi Jawa) adalah milikku, pesan Pangeran Semono kepada Mapatih Lawa
Hijau," kata Pangeran Bumi Gede mengesankan. "Orang tak berhak memperebutkan. Orang tak berhak pula saling berebut. Hanya kepada barangsiapa yang dapat mewarisi ketiga pusaka tanah Jawa, dialah yang berhak memiliki tanah Jawa sebagai ahli waris. Tahukah Tuan-tuan, di manakah ketiga pusaka kini berada?"
Mendengar pertanyaan itu, orang-orang mulai sadar. Lapat-lapat mereka mulai bisa menebak maksud Pangeran Bumi Gede. Masing-masing berpikir dalam hati, ah, kiranya dia mengundang orang-orang tertentu untuk diajaknya mencari jejak ketiga pusaka yang telah diciumnya... Tetapi apakah ketiga pusaka itu benar- benar ada di dunia ini"
Pangeran Bumi Gede berkata lagi, "Dengan ketiga pusaka itu, sejarah membuktikan kalau Sutawijaya bisa menumbangkan Arya Penangsang. Dengan ketiga pusaka itulah, mendadak saja Sutawijaya bisa mempunyai pribadi kuat, sehingga orang-orang rela bersujud dan mengabdi
padanya. Dengan ketiga pusaka itulah, dia berhasil menjadi pendiri kerajaan Mataram yang tak terkalahkan. Sebagai orang yang berbakti kepada leluhur, kerajaannya yang baru dinamakan Mataram: mengambil alih nama kerajaan Jawa pada zaman dahulu."
"Ketiga pusaka itu kemudian diwariskan kepada Sultan Agung yang kelak menjadi salah seorang raja yang angker dan keramat. Sayang"pada pertengahan usia"mendadak saja ketiga
pusaka itu hilang dari istana. Orang mengabarkan, kalau ketiga pusaka itu dicuri bupati Madura.
Ada pula yang mengatakan, ketiga pusaka itu jatuh ke tangan Belanda. Seorang bupati istana yang lagi bangkrut, berhasil mencurinya dan dijual kepada Gubernur Jendral Yan Pieters Zoon Coen. Benar tidaknya, siapakah yang dapat menerangkan. Tapi menilik gelagatnya, mirip juga.
Bukankah Sultan Agung bisa dikalahkan oleh Gubernur Jendral itu di medan perang Jawa Barat?"
"Bintang istana kerajaan Jawa lantas saja menjadi pudar. Terbitlah kekacauan di mana-mana.
Mula-mula pemberontakan Trunojoyo. Lantas peristiwa Pangeran Puger. Dia mendirikan kerajaan baru, Kartasura namanya. Lantas pemberontakan Tionghoa. Belum genap tiga turunan, pecahlah suatu persaingan baru. Kerajaan Yogyakarta berdiri bagaikan matahari kembar. Kini"kedua
kerajaan itu" menghadapi perpecahan Mangkunegoro. Dan di Yogyakarta... tahukah Tuan-tuan sepak-terjang Pangeran Notokusumo" Semuanya itu... ya semuanya itu, tidak akan terjadi, apabila salah seorang daripada raja-raja yang bertahta memiliki ketiga pusaka Pangeran Semono pemilik kerajaan Tanah Jawa."
Mendengar kata-kata Pangeran Bumi Gede, sang Dewaresi yang bisa berpikir benar-benar
kagum akan kecerdikan dan kelicikannya. Titisari yang berada di atas atap diam-diam ikut pula memuji. Pikirnya, hebat Pangeran ini! Dengan menitikberatkan pembicaraan pada kekeramatan ketiga pusaka sakti Pangeran Semono, orang-orang sudah bisa diajak mengambil kesimpulan,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bahwa raja-raja yang bertahta di Surakarta dan Yogyakarta adalah tidak syah. Tanpa
menyinggung persoalannya, lantas saja dan bisa menganjurkan bahwa segala bentuk
pemberontakan melawan raja adalah syah. Benar-benar mengagumkan! Jika kelak timbul
pemberontakan-pemberontakan liar, bukankah dia bisa memboncengkan kepentingan diri?"
"Tuan-tuan yang hadir di sini adalah golongan pejuang-pejuang keadilan. Semuanya akan bersedia mengorbankan kepentingan diri demi menuntut keadilan. Karena itu dengan tak segan-segan kami mengemukakan persoalan ini kepada Tuan-tuan sekalian," kata Pangeran Bumi Gede dengan pandang berkilat-kilat. "Perkenankan kami bertanya kepada Tuan-tuan, apabila negara terus berada dalam kekacauan, siapakah yang akan menjadi korban utama" Bukankah rakyat
jelata yang tak tahu apa arti negara dan pemerintahan?"
Tak setahunya sendiri, orang-orang mengangguk.
"Karena rakyat kini hidup miskin dan terombang-ambing oleh nafsu hati perseorangan, bukankah tidak ada jalan lain kecuali mengundang Tuan-tuan sekalian yang dilahirkan oleh alam sebagai tokoh-tokoh pejuang penegak keadilan?"
"Kami bukan golongan yang memimpin tahta kerajaan di siang hari bolong. Jika ada kesan demikian, sebenarnya adalah jalaran dari suatu perjuangan mencari dasar-dasar landasan penegak keadilan. Tuan-tuan yang hadir bukan orang-orang sembarangan yang bisa diperkuda tanpa
alasan tertentu. Tetapi Tuan-tuan adalah golongan warga-negara yang bisa diajak berbicara dan berpikir. Kini rakyat Tuan-tuan mengalami pancaroba. Kini negara dalam keadaan goyah. Karena soko-guru sejati tidak ada yang sedang berkuasa. Bila Tuan-tuan meragukan keterangan kami ini, nah pergilah menghadap raja. Tanyakan, mana ketiga pusaka tanah Jawa. Jika dia menjawab
tidak ada, tanyakan juga, mengapa dia lantas saja duduk di atas tahta kerajaan seolah-olah ahli waris yang syah" Harus Tuan-tuan ketahui, bahwa Sultan Hamengku Buwono II pada waktu ini berusaha mengangkat diri menjadi penguasa tunggal. Semuanya yang tidak mendengar kata
hatinya, disingkirkan. Anehnya, mengapa dia mendengarkan tiap-tiap kata isteri-isterinya" Kalau perempuan sudah mulai ikut berbicara dalam tata-pemerintahan, apakah yang dapat
disumbangkan?" "Sultan Hamengku Buwono II sedang berusaha mengembalikan tata pemerintahan seperti pada zaman Panembahan Senopati atau Sultan Agung. Mana bisa dia berbuat begitu" Kita semua akan dibentuk menjadi kawula Jawa Sejati, sedangkan dia tidak memiliki pusaka Tanah Jawa..."
"Pangeran Bumi Gede!" tiba-tiba Manyarsewu memotong. "Tak peduli siapa yang menjadi raja, tetapi apakah ketiga pusaka Tanah Jawa itu benar-benar pernah ada di dunia ini?"
"Di sini hadir pula yang mulia sang Dewaresi dan Tuan Pendekar Yuyu Rumpung. Sepuluh"
dua belas tahun yang lalu, kami pernah mendengar kabar, kalau sang Dewaresi pernah berhasil merampas ketiga pusaka Tanah Jawa itu dari Cirebon dan kemudian membawanya pulang. Tetapi, kami mendengar kabar kalau ketiga pusaka itu hilang di tengah jalan."
Mendengar keterangan Pangeran Bumi Gede, semua yang hadir mengarah kepada sang
Dewaresi. Pandang mata mereka lantas saja menjadi tegang. Setengah dari mereka mulai berpikir, ini hebat! Kalau sang Dewaresi benar-benar mengangkangi ketiga pusaka Tanah Jawa itu, apakah Pangeran Bumi Gede bermaksud mengajak kita beramai-ramai mengkerubut" Belum lagi mereka
mendapat ketegasan, sang Dewaresi nampak berdiri dengan sikap garang. Ia melemparkan
pandang tajam kepada Pangeran Bumi Gede. Kemudian berkata, "Kata-kata Paduka sepatah pun tidak ada yang salah. Memang benar, pusaka Tanah Jawa itu pernah kami miliki... dan hilang dirampas orang. Kebetulan sekali selama dua hari di sini, kami pernah melihat ilmu tata-berkelahi putera paduka. Tata-berkelahi itu mengingatkan kami kepada ketiga pusaka Tanah Jawa.
Perkenankan kami bertanya, di manakah itu pendeta gila Hajar Karang-pandan?"
Semua orang yang mendengar ucapan sang Dewaresi jadi keheranan. Untuk kesekian kalinya,
mereka dipaksa sibuk menduga-duga. Tatkala Pangeran Bumi Gede hendak menjawab,
sekonyong-konyong masuklah seorang laki-laki berpakaian serba putih. Dialah salah seorang anggota Banyumas yang diperintah Yuyu Rumpung mengantarkan si pegawai Pangeran Bumi
Gede mengambil ramuan obat.
Orang itu pucat lesi! Pipinya bengkak biru. Dengan napas terengah-engah ia menghadap Yuyu Rumpung, "Ma... ma... ma... maling! Awas... maling!"
0oo0 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
SANGAJ1 yang mengikuti si pegawai Pangeran Bumi Gede dan si pemuda berpakaian putih
untuk mengambil ramuan obat, kala itu telah meninggalkan gedung pertemuan. Jalan di halaman kadipaten ternyata berlika-liku. Penerangan tidak ada pula, sehingga ia harus mendekati si pegawai tak lebih dari selangkah. Ia meniru cara kerja Titisari. Dihunuslah belatinya dan diancamkan ke punggung si pegawai, karena khawatir dipermainkan.
Si pemuda berpakaian putih yang berjalan di depan telah sampai di sebuah kamar tempat
penyimpan obat-obatan. Ia mendorong pintu kamar, kemudian memasuki sambil menyalakan
obor. Ternyata di dalam kamar itu penuh dengan obat-obatan yang nampak berserakan di atas meja. Sangaji segera menyarungkan belatinya. Kini ia melayangkan pandang ke seluruh ruang kamar. Botol dan guci-guci tempat penyimpan obat berdiri berleret-leret pula di sepanjang dinding.
"Hm"pantas di Pekalongan tidak ada obat-obatan lagi. Jahanam-jahanam itu benar-benar telah menguras habis semua obat-obatan yang berada di dalam kota."
Si pemuda berpakaian putih rupanya mengerti perkara jenis ramuan obat. la menyontak lima macam ramuan obat-obatan dan kemudian diberikan kepada si pegawai istana setelah
membungkusnya rapih. Tetapi Sangaji tidak dapat menahan sabar lagi. Begitu ia melihat si pegawai istana menerima ramuan obat, segera disambarnya dan dimasukkan ke dalam saku. Orang itu tak mampu berkutik.
Meskipun demikian, ia cerdik. Pikirannya lantas saja bekerja.
Dengan sedikit membungkuk ia mempersilakan Sangaji berjalan mendahului bersama si
pemuda berpakaian putih. Dia sendiri memperlambat langkahnya. Tatkala si pemuda berpakaian putih dan Sangaji sudah berada di luar kamar, sekonyong-konyong ia meng-gabrukkan daun pintu sambil memadamkan obor. Pintu dengan cepat dikuncinya, lantas mulutnya bekerja.
"Awas! Maling! Maling!"
Si pemuda berpakaian putih, ternyata bukan seorang pemuda goblok. Memang dia murid Yuyu
Rumpung. Begitu mendengar teriak si pegawai istana, ia terkejut dan heran. Secepat kilat ia berputar dan menubruk Sangaji.
Sangaji sendiri kurang berwaspada. Ia terkejut dan mendongkol mendengar teriakan si pegawai istana. Dalam gusarnya ia menjadi terburu nafsu. Serentak ia berputar dan menubruk daun pintu.
Dengan sepenuh tenaga ia menghajar pintu. Hebat akibatnya. Daun pintu tergempur sampai
somplak. Penuh sengit ia menyerang si pegawai istana dan melampiaskan kegusarannya seperti banjir membobol bendungan. Si pegawai istana kena gempurannya dan roboh terpelanting tak berkutik lagi. Tetapi selagi ia mengumbar amarahnya, si pemuda berpakaian putih sudah berhasil merampas bungkusan ramuan obat dan dilemparkan asal terlempar saja.
Rasa dongkol Sangaji kian memuncak. Dengan mata berkilat-kilat ia berputar menyambar si
pemuda berpakaian putih. Tetapi si pemuda berpakaian putih, ternyata licin. Begitu berhasil merampas bungkusan ramuan obat, ia segera melarikan diri. Sudah barang tentu Sangaji tidak membiarkan dia bisa melarikan diri seenaknya. Tubuhnya lantas saja melesat mengejarnya.
Si pemuda berpakaian putih mendengar ke siur angin. Gugup ia mengendapkan tubuhnya
sambil memutar diri. Kemudian menyerang dengan sapuan kaki.
Sangaji bertambah mendongkol. Ia menyerang lebih sengit. Dua kali ia berhasil menggaplok muka si pemuda. Tapi si pemuda ternyata bandel. Masih saja dia berusaha menghindarkan diri sambil memberondong pukulan. Terpaksalah Sangaji melepaskan jurus ajaran Jaga Saradenta. Si pemuda kena disampok dan dipukulnya sampai terpental berjumpalitan. Ternyata ia roboh pingsan tak ingat batang hidungnya.
Segera Sangaji kembali memasuki kamar. Dengan meraba-raba ia mengumpulkan ramuan obat
menurut ingatannya sewaktu si pemuda berpakaian putih mengambil beberapa jenis ramuan.
Tatkala kakinya menyentuh tubuh si pegawai istana yang masih saja tak berkutik, darahnya meluap lagi. Dengan hati masih gregeten (gemas) ia mendupaknya keras hingga bergulingan.
Hatinya jadi puas. Segera ia bekerja. Tapi kini, ia jadi kebingungan.
"Eh... yang mana tadi?" ia mencoba mengingat-ingat. Karena sadar akan bahaya, ia segera mengambil keputusan cepat. Pikirnya, biar Aki sendiri nanti yang memilih jenis ramuannya.
Sekarang kuambil semuanya saja...
Memikir demikian, ia mengantongi semua ramuan obat yang tadi berada di depan si pemuda
berpakaian putih. Setelah itu, cepat-cepat ia keluar kamar. Mendadak saja, selagi ia berada di luar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sesosok bayangan berkelebat menubruk padanya. Belum lagi ia sadar apakah yang harus
dilakukan, kepalanya kena gempur, la terpelanting ke belakang dan tengkuknya menghantam
tiang dinding. Seketika itu juga, matanya berkunang-kunang. Napasnya sesak dan tubuhnya
sekonyong-konyong menjadi lemas tak berdaya. Ia jatuh pingsan...
Bayangan yang memukulnya tidak memperhatikannya. Dengan menggenggam perge-langan
tangan seorang perempuan, bayangan itu terus melesat pergi. Ternyata bayangan itu"Mustapa yang sedang melarikan diri dari kurungan. Ia berhasil membohongi penjaga. Dengan dalih minta dibebaskan dari kurungan karena hendak berbicara dengan Sanjaya, ia dapat menghampiri
penjaga dan memukulnya sampai pingsan. Kemudian dengan membimbing Nuraini, ia segera
melarikan diri. Mendadak saja selagi melintasi gedung tempat penyimpan obat-obatan terpapaslah dia dengan Sangaji. Mengira, kalau Sangaji adalah pula salah seorang penjaga yang sedang beronda, tanpa berpikir lagi lantas saja mengayunkan bogem mentahnya. Sangaji yang sama
sekali tidak menduga buruk, kena dipukulnya rebah. Setelah itu ia melompat dinding kadipaten dan lenyap di tengah malam.
Dan pada saat itu, si pemuda berpakaian putih telah pulih kesadarannya. Sekeliling dirinya gelap pekat. Mengira, bahwa si maling sudah kabur segera ia menguatkan diri. Lantas larilah dia memasuki gedung pertemuan menghadap Yuyu Rumpung.
Titisari terkejut mendengar kata-kata aduan si pemuda berpakaian putih. Tanpa berpikir
panjang lagi, segera ia menjejak atap gedung dan meloncat turun ke tanah. Gerak-geriknya gesit dan cekatan. Meskipun ia melompat dari tempat tinggi, namun tidak menimbulkan suara. Tetapi mereka yang berada di dalam gedung pertemuan bukan orang-orang sembarangan. Begitu ia
nampak berkelebat, Cocak Hijau tiba-tiba saja telah menghadang di depannya. Segera menegor,
"Siapa kau?" Titisari sadar akan bahaya. Ia tahu, di dalam kabupaten terdapat orang-orang sakti. Orang yang menghadang padanya bukan orang-orang sakti. Orang yang menghadang padanya bukan
Pendekar Panji Sakti 1 Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long Kehidupan Para Pendekar 4

Cari Blog Ini