Ceritasilat Novel Online

Hina Kelana 31

Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong Bagian 31


Muka Co Leng-tan menjadi merah, kata-kata Yim Ngo-heng ini memang tepat mengenai boroknya. Terpaksa ia menjawab, "Sudah tentu Cayhe tidak berani disejajarkan dengan ketua-ketua Siau-lim dan Bu-tong, tapi untuk melayani kau rasanya masih sanggup."
"Hahaha! Bila aku minta belajar kenal dengan ilmu pukulan Siau-lim-pay kalian boleh tidak, Hong-ting Taysu?" kata Yim Ngo-heng terhadap Hong-ting.
"Omitohud! Sudah lama Lolap tidak latihan, terang bukan tandingan Yim-sicu," sahut Hong-ting. "Cuma Lolap berharap dapat menahan Yim-sicu di sini, terpaksa beberapa kerat tulangku yang sudah lapuk ini kusiapkan buat menerima pukulanmu."
Meski Co Leng-tan menantang Yim Ngo-heng, tapi sesungguhnya ia tidak yakin akan dapat menang, ia cukup kenal "Gip-sing-tay-hoat" musuh yang lihai, meski sekarang dia sudah meyakinkan ilmu yang khusus dipakai melawan ilmu musuh itu, kalau tidak terpaksa ia pun tidak berani sembarangan mencobanya. Sekarang Yim Ngo-heng mengalihkan tantangannya kepada Hong-ting Taysu, sikap ini terang sengaja memandang hina padanya, namun di dalam hati Co Leng-tan berbalik senang. Pikirnya, "Memangnya aku khawatir jika kau terima tantanganku, lalu kau ajukan Hiang Bun-thian untuk menghadapi Tiong-hi Totiang, sedangkan anak perempuanmu kau suruh menempur Hong-ting Taysu. Dalam keadaan demikian bila Tiong-hi Totiang mengalami apa-apa, lalu aku tak bisa menangkan kau pula, tentu urusan bisa menjadi runyam."
Hendaklah maklum bahwa tokoh-tokoh puncak seperti Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Tojin hanya diketahui sangat hebat kepandaian masing-masing, tapi selama ini kebanyakan orang belum pernah menyaksikan sendiri sampai di mana lihainya mereka. Sebaliknya dahulu Hiang Bun-thian sudah pernah melabrak orang cing-pay serta anak buah Mo-kau, banyak jago-jago Ko-san-pay, Kun-lun-pay, dan lain-lain menjadi korban keganasannya waktu itu, yang berhasil lari kembali sama melaporkan peristiwa itu kepada perguruan masing-masing dengan gambaran yang menakutkan, maka Co Leng-tan rada kenal kelihaian Hiang Bun-thian.
Bilamana Yim Ngo-heng menggunakan tipu "prajurit diadu dengan jenderal", dia sengaja suruh putrinya melawan Hong-ting Taysu dan menyerah kalah, kemudian kalau Tiong-hi Tojin yang sudah tua itu juga dikalahkan Hiang Bun-thian yang lebih muda dan tangkas, maka pertarungan antara Co Leng-tan sendiri melawan Yim Ngo-heng menjadi sukar dipastikan. Sebab itulah Co Leng-tan merasa kebetulan ketika Hong-ting Taysu ditantang oleh Yim Ngo-heng, tanpa bicara lagi ia lantas melangkah ke pinggir.
"Silakan Hongtiang," kata Yim Ngo-heng kemudian sambil soja sebagai tanda pembukaan.
"Yim-sicu silakan buka serangan lebih dulu," sahut Hong-ting sambil rangkap tangan membalas hormat.
"Yang Cayhe mainkan adalah kepandaian ajaran murni Tiau-yang-sin-kau, sebaliknya yang akan Taysu mainkan adalah ilmu silat murni Siau-lim-pay. Babak pertandingan kita ini menjadi murni melawan murni," kata Yim Ngo-heng.
"Huh, ajaran murni apa" Tidak tahu malu!" mendadak Ih Jong-hay mengejek.
"Hongtiang Taysu, harap kau tunggu dulu, akan kubunuh dulu si cebol itu, kita bertempur sebentar lagi," kata Yim Ngo-heng kepada Hong-ting.
"Jangan! Terimalah pukulanku ini, Yim-sicu!" cepat Hong-ting berseru sambil melancarkan serangan pertama. Ia tahu watak Yim Ngo-heng yang berani berkata dan berani berbuat, bukan mustahil secepat kilat Ih Jong-hay akan terus dibunuh olehnya. Maka segera ia mendahului membuka serangan.
Pukulan Hong-ting tampaknya sangat enteng dan biasa, tapi sampai di tengah jalan mendadak pukulannya bergerak-gerak, satu tapak tangan berubah menjadi dua bayangan tangan, dua berubah menjadi empat dan berubah lagi menjadi delapan.
"Jian-jiu-ji-lay-ciang!" teriak Yim Ngo-heng mengenali ilmu pukulan "Buddha Seribu Tangan" itu. Ia tahu bila terlambat sekejap saja delapan tangan musuh akan terus berubah menjadi 16 tangan, lalu 32 tangan dan 64 tangan, dan begitu seterusnya. Maka cepat ia pun balas memukul ke bahu kanan Hong-ting.
Segera Hong-ting menarik kembali pukulannya, tangan lain bergantian menyerang dengan cara yang sama, bergoyang-goyang, satu berubah dua, dua berubah empat, dan seterusnya. Tapi Yim Ngo-heng lantas melompat ke atas, berturut-turut ia pun balas pukul dua kali.
Dari atas Lenghou Tiong mengikuti pertarungan itu, dilihatnya pukulan Hong-ting sukar diduga perubahannya setiap kali, belum lanjut pukulannya segera berubah beberapa kali. Sungguh ilmu pukulan mahaaneh yang belum pernah dilihatnya.
Sebaliknya ilmu pukulan Yim Ngo-heng sangat sederhana, tangannya hanya menjulur dan ditarik kembali secara biasa, tampaknya rada kaku. Tapi biarpun Hong-ting Taysu melancarkan pukulan-pukulan yang sukar dijajaki itu, namun setiap kali Yim Ngo-heng menyambut serangannya itu, tentu Hong-ting cepat ganti serangan lain. Tampaknya kedua orang sama kuat dan sama lihainya.
Dalam hal ilmu pukulan dan sebagainya Lenghou Tiong tidak begitu mahir, maka ia menjadi bingung menyaksikan ilmu pukulan kedua tokoh puncak dari dunia persilatan sekarang ini. Yang dia perhatikan hanyalah kalah menang kedua orang itu, maka ia terus mengikutinya dengan asyiknya.
Selang sebentar, tertampak Yim Ngo-heng menyodokkan kedua tangannya ke depan secara mendadak. Kontan Hong-ting Taysu terdesak mundur dua-tiga tindak berturut-turut. Lenghou Tiong terkesiap, hatinya menjerit, "Wah, celaka, tampaknya Hong-ting Taysu bisa kalah."
Tapi segera kelihatan padri tua itu memukulkan kedua tangannya ke kanan dan ke kiri, ke atas dan ke bawah, menyusul Yim Ngo-heng berbalik mundur selangkah dan mundur lagi.
Dalam hati Lenghou Tiong merasa bersyukur dan menghela napas lega. Tiba-tiba ia berpikir, "Aneh, kenapa aku menjadi khawatir ketika melihat Hong-ting Taysu mau kalah, sebaliknya merasa senang setelah dia bisa merebut kembali posisinya. Ya, betapa pun Hong-ting Taysu adalah padri saleh, sedangkan Yim-kaucu adalah gembong Mo-kau, hati nuraniku tetap bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk."
Tapi lantas terpikir lagi, "Namun bila Yim-kaucu kalah, Ing-ing tentu akan terkurung lagi selama sepuluh tahun di Siau-sit-san sini, hal ini pun bukan keinginanku."
Seketika ia menjadi bingung. Hanya dalam hati kecilnya terasa serbasusah. Karena tidak paham intisari ilmu pukulan Hong-ting Taysu dan Yim Ngo-heng yang luar biasa itu, perlahan-lahan ia alihkan pandangannya ke arah lain. Dilihatnya Ing-ing berdiri bersandar di sebuah tiang, tampaknya lemah gemulai, alisnya yang lentik rada terkerut seperti sedang sedih mengenai sesuatu urusan.
Serentak rasa kasihan Lenghou Tiong berkobar, ia pikir gadis selemah itu mana boleh terkurung lagi sepuluh tahun di sini, dia mana sanggup menerima penderitaan demikian" Padahal dia pernah berusaha menolong aku tanpa menghiraukan jiwanya sendiri.
Watak Lenghou Tiong memang penuh perasaan, teringat akan pengorbanan si nona untuk dirinya itu, jangankan Ing-ing hanya putri seorang kaucu dari Mo-kau, sekalipun dia adalah perempuan jahat yang terkutuk juga dirinya tak bisa mengingkari budi kebaikannya.
Dalam pada itu pandangan belasan orang di tengah ruangan itu sama terpusatkan ke tengah kalangan pertempuran yang hebat itu. Co Leng-tan merasa bersyukur Yim Ngo-heng telah memilih lawan Hong-ting Taysu, kalau babak pertama dirinya yang dipilih rasanya sukar menghadapi ilmu pukulan aneh gembong Mo-kau itu.
Sebaliknya Hiang Bun-thian juga sedang berpikir, "Ilmu silat Siau-lim-pay yang tersohor selama beratus-ratus tahun ternyata memang bukan omong kosong belaka. Bila aku harus menghadapi jago Siau-lim-pay, terpaksa aku harus mengadu tenaga dalam dengan dia, untuk bertanding ilmu pukulan terang aku tak bisa menang."
Di sebelah lain diam-diam Gak Put-kun, Thian-bun Tojin, dan lain-lain juga sama menilai ilmu pukulan kedua jago yang sedang bertempur itu dengan mengukur kepandaian sendiri-sendiri.
Sesudah sekian lamanya pertempuran sengit itu berlangsung, lambat laun Yim Ngo-heng merasa ilmu pukulan Hong-ting Taysu mulai kendur, diam-diam ia bergirang, pikirnya.
Segera ia pergencar serangannya, setelah beberapa kali memukul lagi, mendadak waktu menarik tangan kanan dirasakan nadi pergelangan rada kaku, tenaga dalam rada macet jalannya, sungguh kejutnya bukan buatan. Ia tahu itulah gangguan pada tenaga dalamnya sendiri yang disebabkan oleh lwekang lawan. Sungguh tak terduga olehnya bahwa Ih-kin-keng hwesio tua itu ternyata begini lihai, meski tenaga pukulan masing-masing tidak pernah beradu secara keras lawan keras, tapi tenaga dalam sendiri sudah terkekang olehnya.
Yim Ngo-heng sadar bilamana pertarungan diteruskan, bilamana tenaga dalam lawan mulai dikerahkan dengan hebat tentu dirinya akan kewalahan. Saat itu pukulan kiri Hong-ting sudah tiba, tanpa pikir Yim Ngo-heng menggertak sambil memapak dengan sebelah tangan pula, "plak", kedua tangan beradu, kedua orang sama-sama mundur setindak.
Terasa tenaga dalam hwesio tua itu sangat lunak, tapi luar biasa kuatnya. Meski Yim Ngo-heng sudah mengeluarkan "Gip-sing-tay-hoat" toh sedikit pun tak bisa menyedot tenaga lawan, keruan ia tambah kaget.
"Siancay, Siancay!" Hong-ting menyebut Buddha, menyusul tangan kanan menghantam lagi. Kembali Yim Ngo-heng memapak pukulan lawan.
Kedua tangan beradu lagi dan tubuh masing-masing sama tergeliat. Yim Ngo-heng merasa darah seluruh badan seakan-akan tersirap. Cepat ia melangkah mundur dua tindak, mendadak ia putar tubuh sambil mencengkeram dengan tangan kanan, tahu-tahu dada Ih Jong-hay kena terpegang, tangan kiri terus menabok ke batok kepala ketua Jing-sia-pay itu.
Serangan kilat yang amat aneh dan cepat luar biasa ini benar-benar di luar dugaan siapa pun juga. Sudah jelas Yim Ngo-heng kewalahan menghadapi pukulan-pukulan Hong-ting Taysu tadi, siapa duga mendadak ia ganti sasaran dan menyerang Ih Jong-hay.
Jelek-jelek Ih Jong-hay sebenarnya juga seorang tokoh silat, kalau terang-terangan berhadapan dengan Yim Ngo-heng, sekalipun dia pasti kalah, tapi tidak mungkin hanya satu gebrak saja lantas keok, apalagi tertangkap mentah-mentah.
Begitulah di tengah jerit kaget orang banyak, mendadak Hong-ting Taysu melompat tiba pula, sebagai burung terbang saja ia menubruk sambil memukul belakang kepala Yim Ngo-heng dengan kekuatan dua tangan. Ini adalah tipu "serang sini buat tolong sana" yang terkenal dalam ilmu silat, serangan lihai yang memaksa lawan harus menyelamatkan diri lebih dulu dan melepaskan tawanannya.
Melihat serangan Hong-ting Taysu yang dilancarkan secara kilat itu, semua orang tergerak hatinya dan amat kagum pada tindakannya yang cepat itu. Mereka tidak sempat bersorak memuji, tapi mereka tahu jiwa Ih Jong-hay dapatlah diselamatkan.
Dan memang betul juga Yim Ngo-heng terpaksa harus urungkan tabokannya ke atas kepala Ih Jong-hay tadi, tapi tidak digunakan menangkis serangan Hong-ting, sebaliknya ia mencengkeram "tan-tiong-hiat" di dada Hong-ting, menyusul tangan kanan ikut bekerja pula, dengan tepat ulu hati hwesio tua itu kena tertutuk.
Tanpa ampun lagi tubuh Hong-ting Taysu menjadi lemas dan roboh terkulai. Keruan semua orang terperanjat, beramai-ramai mereka lantas menerjang maju.
Segera Co Leng-tan mendahului menghantam ke punggung Yim Ngo-heng. Tapi Yim Ngo-heng sempat menangkis. Bentaknya, "Bagus, anggaplah ini babak kedua."
Co Leng-tan melancarkan serangan kilat, kadang-kadang menjotos, lain saat pakai telapak tangan, tiba-tiba menutuk dengan jari, mendadak mencengkeram pula, dalam sekejap saja ia sudah menggunakan belasan macam gelak tipu yang lihai.
Karena serangan kilat lawan ini, seketika Yim Ngo-heng hanya bisa bertahan saja dan tak mampu balas menyerang. Kiranya beberapa jurus serangannya yang terakhir sehingga dapat mengakali Hong-ting Taysu dan merobohkan padri itu, namun untuk mana terpaksa ia harus mengerahkan segenap tenaganya, kalau tidak masakah ketua Siau-lim-pay yang memiliki lwekang setinggi itu begitu gampang lantas kena dicengkeram "tan-tiong-hiat" di dada dan tertutuk roboh" Serangan-serangan ini boleh dikata merupakan taruhan terakhir bagi Yim Ngo-heng.
Betapa tajam pandangan Co Leng-tan, apa yang dilakukan Yim Ngo-heng itu ternyata tidak terluput dari penglihatannya, ia pikir inilah kesempatan yang susah dicari, maka tanpa pedulikan nanti akan dituduh sebagai pengecut yang menyerang orang secara bergiliran, cepat ia menerjang Yim Ngo-heng.
Hendaklah maklum bahwa kemenangan Yim Ngo-heng atas Hong-ting Taysu itu semata-mata juga karena akal licik saja. Ia sudah tahu benar bahwa lawannya berhati welas asih, maka ia memperhitungkan jika dirinya mendadak hendak membinasakan Ih Jong-hay, pertama orang-orang lain tidak keburu menolong ketua Jing-sia-pay itu karena jarak mereka agak jauh, kedua, mereka itu sama tidak menyukai pribadi Ih Jong-hay, tentu mereka tak mau ambil risiko buat menolong orang yang tidak disukai. Dalam keadaan demikian ia yakin hanya Hong-ting Taysu-lah yang akan menolong Ih Jong-hay.
Yim Ngo-heng juga sudah memperhitungkan cara ketua Siau-lim-pay itu menolong Ih Jong-hay tentulah akan menyerang dia, tapi dia justru tidak menangkis serangan Hong-ting itu, tapi berbalik mencengkeram dan menutuk hiat-to penting hwesio tua itu.
Bab 97. Pertarungan Tiga Babak
Cara Yim Ngo-heng ini sesungguhnya teramat berbahaya. Sebab kedua tangan Hong-ting yang menghantam belakang kepalanya itu tidak perlu kena dengan tepat, cukup angin pukulannya saja sudah bisa membikin otaknya menjadi kopyor. Namun di waktu Yim Ngo-heng menangkap Ih Jong-hay secara mendadak memang sudah mempertaruhkan jiwanya sendiri sebagai taruhan terakhir, yang dia pertaruhkan adalah hati welas asih padri saleh itu, jika pukulannya yang bisa bikin kepalanya pecah itu ternyata tidak ditangkis tentu dia akan menarik kembali tenaga pukulannya secara mendadak. Sebaliknya di kala itu tubuh Hong-ting tentu masih terapung di udara, pada saat menarik kembali tenaga pukulannya sebisa mungkin tentu bagian dada dan perut tak terjaga, maka sekali cengkeram dan sekali tusuk Yim Ngo-heng benar-benar berhasil merobohkan Hong-ting Taysu.
Namun demikian betapa dahsyatnya tenaga pukulan Hong-ting yang mendadak ditarik kembali itu toh masih kena menyambar batok kepala Yim Ngo-heng, seketika Yim Ngo-heng merasa kepalanya sakit seakan-akan pecah, napas terasa sesak dan mata berkunang-kunang pula....
Bahwa Yim Ngo-heng menang dengan cara licik telah dapat dilihat dengan jelas oleh orang-orang yang menyaksikan di luar gelanggang. Cepat Tiong-hi Tojin membangunkan Hong-ting Taysu dan membuka hiat-to yang tertutuk, katanya dengan gegetun, "Pikiran Hongtiang Suheng yang baik malah kena diakali oleh lawan secara licik."
"Omitohud!" ujar Hong-ting. "Pikiran Yim-sicu memang cerdik, adu akal dan tidak adu tenaga, sungguh Lolap sangat kagum dan mengaku kalah."
"Yim-kaucu memakai akal licik, kemenangannya tidak gemilang, caranya bukan perbuatan seorang laki-laki sejati," seru Gak Put-kun.
"Memangnya orang Tiau-yang-sin-kau kami ada laki-laki sejati?" sahut Hiang Bun-thian dengan tertawa. "Jika Yim-kaucu adalah laki-laki sejati tentunya sedari dulu sudah berkomplot dengan kau, buat apa pakai bertanding lagi sekarang?"
Gak Put-kun menjadi bungkam oleh debatan Hiang Bun-thian.
Dalam pada itu Yim Ngo-heng sedang melancarkan pukulannya dengan perlahan sambil bersandar pada tiang kayu di belakangnya, ia dapat menangkis setiap serangan Co Leng-tan.
Sebagai kepala perserikatan Ngo-gak-kiam-pay, biasanya Co Leng-tan sangat angkuh. Di waktu biasa tentu dia tidak mau menempur Yim Ngo-heng di kala lawannya itu baru saja bertempur melawan tokoh nomor satu dari Siau-lim-pay, sebab cara demikian tentu akan dianggap licik dan pengecut serta diejek orang. Tapi tadi caranya Yim Ngo-heng merobohkan Hong-ting Taysu juga memakai cara licik dan membikin marah tokoh-tokoh yang menyaksikan. Sekarang Co Leng-tan mendadak maju melabrak Yim Ngo-heng, hal ini malahan menimbulkan pujian orang karena setia kawannya.
Begitulah ketika Hiang Bun-thian melihat gerak-gerik Yim Ngo-heng rada lamban dan sukar mengganti napas di bawah berondongan serangan Co Leng-tan, cepat ia mendekati sang kaucu, katanya, "Co-tayciangbun, kau tahu malu tidak, masakan melawan orang yang habis bertempur" Biarlah aku saja yang melayani kau!"
"Sesudah kurobohkan orang she Yim baru kutempur kau, masakan aku takut padamu bertempur secara bergiliran?" sahut Co Leng-tan. Berbareng sebelah tangannya menghantam pula ke arah Yim Ngo-heng.
Sambil menangkis, hati Yim Ngo-heng menjadi panas juga oleh kata-kata Co Leng-tan itu. Katanya dengan nada dingin, "Hm, hanya sedikit kepandaianmu ini saja bisa merobohkan Yim Ngo-heng" Kau minggir saja, Hiang-hiante!"
Hiang Bun-thian kenal watak sang kaucu yang tinggi hati dan suka menang, ia tidak berani membangkang, terpaksa berkata, "Baiklah, biarlah aku menyingkir sementara. Tapi orang she Co ini terlalu pengecut dan tidak kenal malu, akan kutendang sekali pantatnya!"
Berbareng ia angkat sebelah kakinya buat menendang bokong Co Leng-tan.
"Apa kau akan main kerubut?" teriak Co Leng-tan dengan gusar sambil mengelak ke samping.
Tak terduga gerak kaki Hiang Bun-thian itu ternyata cuma pura-pura saja. Melihat Co Leng-tan tertipu, Hiang Bun-thian terbahak-bahak geli dan menjawab, "Hm, hanya anak haram yang sudi main kerubut!"
Lalu ia melompat mundur dan berdiri di sebelah Ing-ing.
Lantaran diledek oleh Hiang Bun-thian, serangan Co Leng-tan menjadi terhalang satu jurus. Kesempatan ini segera digunakan oleh Yim Ngo-heng untuk menarik napas panjang-panjang, seketika semangatnya terbangkit kembali. Kontan ia lantas balas menghantam tiga kali berturut-turut.
Sekuatnya Co Leng-tan mematahkan serangan Yim Ngo-heng itu, diam-diam ia terkesiap atas tenaga seteru lama yang jauh lebih hebat daripada dulu ini.
Pertarungan Co Leng-tan dan Yim Ngo-heng ini adalah ulangan dari pertandingan di masa dahulu. Yang satu adalah tokoh terkemuka dari golongan cing-pay, yang lain adalah gembong Mo-kau yang tiada bandingannya. Pertarungan di hadapan tokoh-tokoh tertinggi dunia persilatan sekarang ini benar-benar pertarungan yang menentukan. Karena itu mereka sangat mementingkan soal kemenangan, sama sekali berbeda daripada pertandingan Yim Ngo-heng melawan Hong-ting Taysu tadi yang dilangsungkan dengan ramah tamah. Sekarang keduanya sama-sama melancarkan serangan maut tanpa kenal ampun.
Makin lama semakin cepat pertarungan kedua orang itu, Lenghou Tiong sampai sukar membedakan siapa di antara mereka. Ia coba melirik ke arah Ing-ing, muka si nona yang putih bersih itu tiada menunjukkan sesuatu perasaan cemas atau khawatir, seakan-akan dia sangat yakin atas kemenangan sang ayah.
Rada lega hati Lenghou Tiong melihat sikap tenang Ing-ing itu. Ia coba memandang Hiang Bun-thian, tampak air mukanya sebentar lagi kelihatan dongkol dan kesal, seakan-akan jauh lebih gawat daripada dia sendiri yang bertempur.
"Pengalaman dan pengetahuan Hiang-toako dengan sendirinya jauh lebih luas daripada Ing-ing, melihat ketegangannya ini, mungkin sekali pertarungan Yim-siansing ini sukar mendapat kemenangan," demikian pikir Lenghou Tiong.
Waktu pandangannya beralih lagi ke sebelah sana, tertampak sang guru berdiri sejajar dengan ibu-gurunya, di sebelahnya adalah Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Tojin.
Di belakang mereka berdiri ketua Thay-san-pay Thian-bun Tojin dan ketua Heng-san-pay Bok-taysiansing. Sejak datang tadi sama sekali Bok-taysiansing tidak membuka suara sehingga Lenghou Tiong tidak tahu bahwa tokoh utama Heng-san-pay itu pun berada di Siau-lim-si.
Di sebelah lain tampak ketua Jing-sia-pay Ih Jong-hay berdiri sendirian di pojokan dengan memegang gagang pedang dan tampak merasa gusar sekali.
Orang yang berdiri di sebelah lain lagi adalah seorang pengemis tua, tentunya ketua Kay-pang yang bernama Kay Hong. Di sebelahnya ada pula seorang dengan perawakan yang gagah, tentunya dia adalah ketua Kun-lun-pay Cin-san-cu. Ketua Kun-lun-pay ini berjuluk "Kian-kun-it-kiam" atau Si Pedang Tunggal, tapi di punggungnya memanggul dua batang pedang.
Diam-diam Lenghou Tiong juga merasa tidak sopan dengan sembunyi di situ mendengarkan pembicaraan tokoh-tokoh terhormat itu. Kalau sampai ketahuan sungguh dirinya akan malu besar. Maka dia mengharap selekasnya Yim Ngo-heng akan menang satu babak lagi, dengan demikian dapatlah mereka bertiga pergi dengan bebas. Dan nanti kalau Hong-ting Taysu dan lain-lain sudah mengundurkan diri dari ruangan belakang itu segera dia akan lekas menyusul dan menemui Ing-ing.
Terpikir akan bicara berhadapan dengan Ing-ing, seketika dadanya terasa hangat. Pikirnya, "Apakah benar-benar seterusnya aku akan menjadi suami istri dengan Ing-ing" Bahwa dia sangat setia dan cinta padaku sudah tidak perlu disangsikan lagi. Akan tetapi aku... aku...."
Lapat-lapat ia merasa selama ini bilamana dia teringat kepada Ing-ing, maka yang terpikir adalah ingin membalas kebaikannya, akan membantunya lolos dari kurungan Siau-lim-pay, akan menyiarkan di dunia Kangouw bahwa dirinya yang jatuh hati kepada si nona dan bukan sebaliknya agar orang-orang Kangouw tidak mencemoohkan Ing-ing dan membuatnya malu. Anehnya setiap bayangan Ing-ing yang cantik itu timbul dalam benaknya, hatinya tidak merasakan kebahagiaan dan kemesraan, hal ini sama sekali berbeda bilamana dia terkenang kepada siausumoaynya, yaitu Gak Leng-sian, yang sangat dicintainya itu. Terhadap Ing-ing pada lubuk hatinya yang dalam seakan-akan ada rasa rada-rada takut.
Ketika dia bertemu dengan Ing-ing semula, senantiasa dia menyangkanya sebagai seorang nenek tua. Maka yang timbul dalam hatinya adalah rasa hormat. Kemudian dilihatnya cara si nona yang gapah tangan, membunuh orang dengan gampang, memerintah orang secara tegas, maka dari rasa hormatnya telah meresap pula tiga bagian rasa muak dan tiga bagian pula rasa takut. Rasa muak itu perlahan-lahan menjadi tawar sesudah mengetahui si nona jatuh hati padanya.
Kemudian diketahui si nona mengorbankan diri dan terkurung di Siau-lim-si, maka timbul rasa terima kasih Lenghou Tiong yang tak terhingga. Namun rasa terima kasih yang dalam itu tidak menimbulkan pikiran ingin berhubungan lebih akrab, yang diharapkan hanya membalas budi kebaikan si nona saja. Maka ketika mendengar Yim Ngo-heng mengatakan dia adalah calon menantunya, entah mengapa perasaannya menjadi serbasusah, sedikit pun tidak membuatnya merasa senang. Padahal bicara soal kecantikan sungguh Ing-ing jauh melebihi Gak Leng-sian, tapi semakin melihat kecantikan Ing-ing itu, semakin dirasakan jarak yang jauh di antara mereka berdua.
Hanya sekejap saja Lenghou Tiong memandang Ing-ing dan tidak berani memandangnya lagi, dilihatnya kedua tangan Hiang Bun-thian mengepal, kedua matanya melotot besar. Ketika Lenghou Tiong memandang ke sana lagi, ternyata Co Leng-tan sudah terpojok, sebaliknya Yim Ngo-heng masih terus melancarkan pukulan demi pukulan dengan dahsyat.
Tampaknya Co Leng-tan sudah kewalahan, tangkisannya lemah, serangannya selalu gagal, jelas lebih banyak bertahan daripada menyerang.
Sekonyong-konyong terdengar Yim Ngo-heng membentak, kedua tangannya menyodok sekaligus ke dada lawan. Lekas-lekas Co Leng-tan menyambut, empat tangan beradu, "blang", Co Leng-tan terdesak mundur dengan punggung menumbuk tembok sehingga debu pasir jatuh bertebaran dari atap.
Lenghou Tiong merasa badannya ikut terguncang, pigura besar yang dibuat sembunyi olehnya seakan-akan rontok ke bawah. Ia terkejut dan berpikir, "Sekali ini Co-supek tentu celaka. Mereka mengadu tenaga dalam, Yim-siansing menggunakan "Gip-sing-tay-hoat" untuk menyedot tenaga Co-supek, lama-kelamaan tentu beliau akan kalah."
Tapi lantas dilihatnya Co Leng-tan menarik kembali tangan kanan, hanya dengan sebelah tangan saja ia menahan kekuatan musuh, menyusul menggunakan dua jari tangan kanan menusuk ke arah Yim Ngo-heng.
Mendadak Yim Ngo-heng menjerit aneh dan lekas-lekas menghindar dengan melompat mundur. Segera Co Leng-tan menutuk lagi dengan jari tangan lain, berturut-turut ia menutuk tiga kali dan Yim Ngo-heng pun terdesak mundur tiga langkah.
Menyaksikan tiga kali serangan Co Leng-tan itu, Lenghou Tiong merasa heran, "Beberapa jurus serangan Co-supek ini sungguh aneh, entah ilmu pukulan apa?"
Tiba-tiba terdengar Hiang Bun-thian berseru lantang, "Bagus! Kiranya Pi-sia-kiam-boh telah jatuh di tangan Ko-san-pay."
Lenghou Tiong semakin heran, "Aneh, apakah yang digunakan Co-supek adalah Pi-sia-kiam-hoat" Padahal dia toh tidak pakai pedang?"
Setelah ditunjukkan oleh Hiang Bun-thian, segera Lenghou Tiong dapat mengikuti gerak serangan Co Leng-tan itu memang benar adalah jurus-jurus serangan ilmu pedang. Hanya saja caranya sama sekali berbeda daripada ilmu pedang umumnya, sebab tangan orang dapat bergerak sesukanya, bisa lempeng, bisa melengkung, karena itu serangannya mirip tusukan pedang, tapi mendadak bisa berubah menjadi pukulan dan sukar diraba.
Sebagai seorang ahli silat, begitu serangan lawan dilontarkan, segera Yim Ngo-heng sudah melihat letak keanehan ilmu silat lawan itu. Cuma dalam keadaan terdesak seketika sukar baginya untuk menemukan cara mematahkannya. Bilamana lawan terdiri dari dua orang yang memakai pedang dan yang seorang menyerang dengan tangan kosong akan lebih gampang dilayani, tapi sekarang tangan Co Leng-tan dimanfaatkan secara dwiguna, dipakai menusuk sebagai pedang, digunakan memukul dan menghantam sebagai tangan biasa menurut keinginannya.
Gabungan ilmu silat antara pedang dan pukulan seperti Co Leng-tan sekarang ini, sekalipun Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Totiang yang merupakan tokoh top persilatan juga merasa terheran-heran karena selamanya tidak pernah menyaksikan hal demikian. Mereka terkesiap, padahal Yim Ngo-heng terkenal dengan Gip-sing-tay-hoat yang mampu menyedot tenaga lawan, kenapa ketika empat tangan beradu tadi tampaknya Co Leng-tan tidak berkurang suatu apa pun. Apa mungkin lwekang pihak Ko-san-pay sudah kebal dan tidak takut kepada Gip-sing-tay-hoat" Demikian mereka tidak habis heran.
Jika para penonton terkesiap heran, sesungguhnya yang paling heran dan terkejut ialah Yim Ngo-heng. Teringat olehnya ketika bertarung dengan Co Leng-tan pada belasan tahun yang lalu, sebelum dirinya sempat menggunakan Gip-sing-tay-hoat pihak lawan sudah terdesak di bawah angin. Waktu itu ia sungkan menggunakan Gip-sing-tay-hoat sebab tanpa memakai ilmu itu pun musuh sudah kewalahan, pula pemakaian ilmu itu berarti sangat merugikan tenaga dalam sendiri yang terbuang, maka sedapat mungkin ia menghindari pemakaian Gip-sing-tay-hoat. Tapi ketika ratusan jurus kemudian dan tampaknya Co Leng-tan segera bisa dirobohkan, mendadak jantung sendiri terasa sakit dan tenaga sukar dikerahkan. Ia terkejut, ia tahu hal itu adalah akibat latihan Gip-sing-tay-hoat yang belum sempurna. Jika di waktu biasa tentu dia bisa lekas duduk semadi dan perlahan-lahan memunahkan rasa sakit itu. Tapi saat mana sedang menghadapi lawan tangguh, dari mana dia ada kesempatan merawat jantung yang sakit"
Selagi merasa cemas, tiba-tiba dilihatnya di belakang Co Leng-tan muncul dua orang, yang satu adalah sute Co Leng-tan sendiri, seorang lagi ialah ketua Thay-san-pay Thian-bun Tojin. Dengan cerdik Yim Ngo-heng lantas melompat keluar kalangan dan berseru dengan tertawa, "Haha, katanya kita satu lawan satu, tapi secara licik kau menyembunyikan pembantu. Hm, seorang laki-laki tidak sudi diakali, biarlah kita bertemu lagi lain kali, sekarang kakekmu tidak mau meladeni kau."
Sebaliknya Co Leng-tan juga sadar akan kepastian kekalahannya, sekarang pihak lawan mendadak mau menyudahi pertandingan, tentu saja hal ini sangat kebetulan. Maka ia pun tidak berani mengejek dengan kata-kata yang bisa menimbulkan marah lawan dan memancing pertarungan lebih jauh, ia hanya menjawab, "Salahmu sendiri, kenapa kau pun tidak membawa beberapa orang begundalmu?"
Yim Ngo-heng mendengus, lalu putar tubuh dan tinggal pergi. Begitulah pertarungan di masa dahulu itu telah diakhiri tanpa ada yang kalah atau menang, tapi dalam batin masing-masing sudah cukup menginsafi kelemahan ilmu silatnya sendiri-sendiri. Sejak itulah mereka sama-sama meyakinkan ilmu masing-masing dengan lebih tekun.
Lebih-lebih Yim Ngo-heng yang mengetahui penyakit Gip-sing-tay-hoat yang dilatihnya itu, dengan Gip-sing-tay-hoat dia dapat menyedot tenaga lawan, tapi tenaga lawan yang disedot itu berbeda-beda golongan dan tidak sama pula kekuatannya. Campuran macam-macam tenaga itu kalau tidak segera dipunahkan pada saat yang tepat, akibatnya tentu akan timbul pada saat-saat yang tak terduga dan akan melawan tenaga dalam yang dimilikinya sendiri. Dengan lwekang Yim Ngo-heng yang tinggi dengan gampang ia dapat mengatasi pengacauan tenaga dalam dari orang lain itu. Tapi adalah sangat berbahaya bila tenaga liar itu mendadak mengacau pada saat dia sedang menghadapi lawan tangguh sebagaimana waktu dia bertempur melawan Co Leng-tan itu.
Sebabnya dia terjebak oleh Tonghong Put-pay dahulu, pokok utamanya juga lantaran dia terlalu asyik berlatih untuk menemukan sesuatu cara mengatasi pengacauan lwekang liar yang sering bergolak di dalam tubuhnya itu, pada saat memusatkan pikiran itulah, seorang tokoh mahacerdik sebagai dia sampai lengah terhadap perangkap yang diatur oleh Tonghong Put-pay. Akibatnya dia harus mendekam selama sepuluh tahun di dasar Se-ouw. Tapi di situ pula dia berhasil menemukan cara memunahkan lwekang liar yang bergolak di dalam tubuh itu sehingga Gip-sing-tay-hoat takkan menimbulkan penyakit "senjata makan tuan" lagi.
Sekarang dia ketemu lagi dengan Co Leng-tan, pihak lawan menggunakan tangan sebagai pedang dan melancarkan ilmu silat aneh, ketika dengar teriakan Hiang Bun-thian, ternyata gerak ilmu pedang yang dimainkan Co Leng-tan adalah Pi-sia-kiam-hoat yang sudah lama lenyap dari dunia persilatan, maka sadarlah Yim Ngo-heng sukar mematahkan ilmu silat lawan itu. Segera ia mengeluarkan Gip-sing-tay-hoat dan mengadu pukulan dengan lawan, tak terduga begitu ia bekerja untuk menyedot tenaga lawan ternyata pihak lawan tidak punya kekuatan apa-apa, sedikit pun tak bertenaga. Keruan kejutnya tak terkatakan, hal ini benar-benar tak pernah dijumpainya, bahkan tak pernah terpikir olehnya.
Setelah beberapa kali menggunakan Gip-sing-tay-hoat dan tetap tak bisa menyedot tenaga lawan, ia tidak berani menggunakan ilmu itu lagi, segera ia gunakan pukulan silat untuk menghujani pukulan-pukulan dahsyat kepada lawan. Terpaksa Co Leng-tan ganti siasat dengan bertahan saja.
Setelah berlangsung beberapa puluh jurus lagi, ketika Yim Ngo-heng melancarkan suatu pukulan tapak tangan, cepat Co Leng-tan menangkis dengan tangan kiri, sedang tangan kanan bergaya sebagai pedang terus menusuk ke iga kiri lawan.
Melihat gerak tusukan lawan sangat ganas, Yim Ngo-heng menimbang-nimbang dalam hati, apa mungkin seranganmu ini tidak bertenaga pula" Maka ia hanya sedikit miringkan tubuh, seperti menghindar, tapi sebenarnya sengaja memberi peluang agar tusukan lawan itu kena sasarannya.
Dengan demikian Yim Ngo-heng sengaja berikan peluang di bagian dadanya, tapi Gip-sing-tay-hoat sudah dikerahkan pada bagian itu dengan perhitungan, "Bila tusukan jarimu ini tak bertenaga, kan percuma saja seranganmu ini, sebaliknya kalau mengerahkan tenaga, maka sekaligus tenagamu pasti akan kusedot habis."
Pertarungan di antara dua tokoh silat hanya ditentukan dalam gerak sekilas saja, sedikit dadanya memberi peluang, "cret", kontan tusukan tapak tangan Co Leng-tan sudah mencapai sasarannya, dua jarinya telah tepat menikam pada thian-ti-hiat di bagian dada Yim Ngo-heng itu.
Para penonton sama berseru kaget. Terlihat jari Co Leng-tan rada merandek di atas dada Yim Ngo-heng yang tertutuk itu. Tanpa ayal Yim Ngo-heng telah mengerahkan Gip-sing-tay-hoat. Benar juga tenaga dalam Co Leng-tan lantas bocor, hanya sejenak saja tenaga dalam itu sudah membanjir bagai tanggul yang bobol terus tersedot oleh Yim Ngo-heng melalui thian-ti-hiat.
Dalam keadaan demikian ternyata Co Leng-tan tidak menjadi kaget atau khawatir, sebaliknya ia girang di dalam hati, bahkan ia kerahkan tenaganya.
Begitu pula Yim Ngo-heng merasa girang, ia menyedot semakin kuat, terasa tenaga dalam lawan makin membanjir, tapi mendadak badan Yim Ngo-heng tergeliat, dari pusarnya tiba-tiba suatu arus hawa dingin menerjang ke atas, seketika kaki dan tangan tak bisa berkutik, seluruh urat nadi serasa mogok dan tak bekerja lagi.
Pada saat itulah perlahan-lahan Co Leng-tan menarik kembali tangannya dan selangkah demi selangkah menyingkir ke pinggir sambil menatap Yim Ngo-heng tanpa bicara.
Waktu semua orang memandang Yim Ngo-heng, tertampak badannya rada gemetar, tangan dan kakinya kaku tak bergerak, keadaannya mirip orang yang tertutuk hiat-to tertentu.
"Ayah!" teriak Ing-ing sambil menubruk maju dan memegang badan sang ayah, terasa lengan ayahnya dingin luar biasa, cepat ia menoleh dan memanggil, "Hiang-sioksiok!"
Segera Hiang Bun-thian memburu maju, ia urut-urut beberapa kali di bagian dada Yim Ngo-heng, habis itu barulah Yim Ngo-heng bisa bersuara dan lancar kembali pernapasannya.
"Hm, bagus, bagus!" kata Yim Ngo-heng dengan muka merah padam. "Tak terpikir olehku akan langkahmu ini. Marilah kita ulangi lagi!"
Tapi Co Leng-tan tidak menjawab, dia hanya menggeleng perlahan saja.
"Kalah-menang sudah jelas, mau ulangi apa lagi?" ujar Gak Put-kun. "Bukankah thian-ti-hiat Yim-siansing tadi sudah tertutuk oleh Co-ciangbun?"
"Cis!" jengek Yim Ngo-heng dengan gusar. "Ya, memang benar. Aku sendiri yang tertipu, baiklah babak ini anggap aku yang kalah."
Kiranya tipu serangan Co Leng-tan tadi benar-benar sangat berbahaya dan dilakukan dengan untung-untungan. Ia telah mengerahkan seluruh "Han-giok-cin-gi" (Hawa Murni Mahadingin) yang dilatihnya selama belasan tahun ini dan sengaja dibiarkan disedot oleh Yim Ngo-heng, bahkan sengaja lawan menguras seluruh tenaga mahadingin itu ke dalam hiat-to. Memangnya lwekang kedua ini selisih tidak terlalu jauh, ketika mendadak tenaga sebanyak itu meresap ke dalam tubuh Yim Ngo-heng, pula tenaga itu mahadingin, maka dalam sekejap sekujur badan Yim Ngo-heng menjadi kaku terbeku. Pada detik Gip-sing-tay-hoat lawan itu mogok itulah Co Leng-tan lantas kerahkan tenaga dalamnya lagi dan menutup hiat-to lawan. Namun demikian lwekang Co Leng-tan sendiri juga sudah terkuras habis, untuk memulihkan kekuatannya sedikitnya juga perlu waktu dua-tiga bulan lagi.
Segera Hiang Bun-thian dapat melihat kelemahan Co Leng-tan itu, katanya, "Tadi Co-ciangbun sudah menyatakan akan melayani aku bila mengalahkan Yim-kaucu. Sekarang silakan mulai saja."
Keadaan Co Leng-tan yang payah itu sudah tentu diketahui pula oleh Hong-ting Taysu, Tiong-hi Tojin, dan lain-lain, mereka tahu bila kedua orang benar-benar bertarung lagi, maka pasti Co Leng-tan akan kalah, bahkan cukup beberapa gebrakan saja Hiang Bun-thian dapat membinasakan Co Leng-tan. Tapi tadi Co Leng-tan memang pernah mengatakan demikian, kan berarti dia pengecut bila tidak terima tantangan Hiang Bun-thian itu.
Selagi semua orang serbaingin-tahu, tiba-tiba Gak Put-kun menyela, "Sejak mula kita sudah sepakat mengadakan tiga babak pertandingan, siapa jago-jago yang akan diajukan tergantung kepada pilihan pihak masing-masing dan tidak boleh main tunjuk oleh pihak lawan. Hal ini Yim-kaucu sendiri sudah setuju bukan" Bila Yim-kaucu benar seorang kesatria sejati, apakah mau mengingkari persetujuan ini?"
"Gak-siansing memang pintar bicara dan pandai berdebat, sungguh aku sangat kagum," kata Hiang Bun-thian. "Tapi kau masih terlalu jauh untuk bisa disebut sebagai "laki-laki sejati". Caramu mendebat seperti pokrol bambu lebih mirip seorang pengecut yang tidak pegang janji."
"Laki-laki sejati atau pengecut kan tergantung kepada orangnya," sahut Gak Put-kun. "Di mata kaum laki-laki sejati tentunya berbeda cara penilaiannya daripada pandangan kaum pengecut."
Di sini mereka berdebat, tapi di sebelah sana Co Leng-tan bersandar pada tiang dalam keadaan lemah, untuk berdiri saja sukar, jangankan bertempur lagi.
Ketua Bu-tong-pay Tiong-hi Tojin lantas tampil ke muka, katanya, "Sudah lama Hiang-cosu terkenal dengan julukan "Thian-ong-lo-cu" (Datuk Maharaja), tentunya mempunyai kemahiran yang lain daripada yang lain. Sebelum aku mengasingkan diri pada waktu tidak lama lagi bisa lebih dulu menjadi lawan "Thian-ong-lo-cu", sungguh hal ini merupakan kehormatan terbesar bagiku."
Sebagai ketua Bu-tong-pay yang termasyhur, dengan ucapannya terhadap Hiang Bun-thian ini benar-benar dia telah menunjukkan penghargaan yang tinggi terhadap lawannya itu.
Karena itu menjadi sukar bagi Hiang Bun-thian untuk menolak tantangan halus itu. Katanya, "Hormat lebih baik menurut. Sudah lama kukagumi "Thay-kek-kiam-hoat" Bu-tong-pay, terpaksa aku harus mengiringi Tiong-hi Totiang untuk beberapa gebrak."
Habis berkata ia terus mengangkat kepalan sebagai tanda hormat sambil melangkah mundur beberapa tindak.
Tiong-hi Totiang membalas hormat. Kedua orang berdiri berhadapan dan saling menatap dengan tajam, tapi kedua orang tidak lantas melolos senjata.
Tiba-tiba Yim Ngo-heng berseru, "Nanti dulu! Silakan mundur dulu, Hiang-hiante!"
Habis itu ia lantas mengeluarkan pedangnya sendiri.
Keruan semua orang terperanjat melihat Yim Ngo-heng menghunus pedangnya. Mereka sangsi apakah benar Yim Ngo-heng berani menempur Tiong-hi Tojin lagi, padahal dia sudah bertanding dua babak sebelumnya.
Co Leng-tan lebih-lebih terkejut, tadi thian-ti-hiat lawan telah dibanjiri hawa dingin yang dilatihnya selama belasan tahun, untuk itu sekalipun dewa sakti juga perlu waktu beberapa hari baru bisa memulihkan tenaganya. Tapi mengapa hanya sebentar saja Yim Ngo-heng sudah kuat dan siap bertempur lagi"
Padahal saat itu di dalam perut Yim Ngo-heng terasa sakit seperti ditusuk-tusuk oleh berpuluh-puluh pisau, untuk bicara saja sangat dipaksakan jangankan lagi bertempur.
Tiong-hi Tojin berkata dengan tersenyum, "Apakah Yim-kaucu bermaksud memberi petunjuk padaku" Cuma, kurasa terlalu tidak adil dan sangat menguntungkan aku jika Yim-kaucu lagi yang maju pada babak ketiga ini."
"Cayhe telah bertempur dua babak, jika bergebrak lagi dengan Totiang kan berarti terlalu memandang rendah kepada ilmu pedang Bu-tong-pay yang termasyhur, betapa pun takabur Cayhe juga tidak sedemikian rupa," kata Yim Ngo-heng. "Soalnya Tiong-hi Totiang adalah tenaga baru dari pihak kalian, maka di pihak kami juga perlu diajukan seorang tenaga baru. Nah, adik cilik Lenghou Tiong, silakan turun kemari!"
Kata-kata ini benar-benar membikin kaget semua orang dan serentak ikut memandang ke arah yang dituju oleh sinar mata Yim Ngo-heng.
Lenghou Tiong terkejut juga dan serbasusah seketika. Ia pikir toh tidak bisa menyembunyikan diri lagi, terpaksa ia melompat ke bawah. Lebih dulu ia menyembah kepada Hong-ting Taysu dan berkata, "Secara sembrono aku telah menyusup ke kuil agung ini, mohon Taysu memberi maaf."
"Hahahaha, kiranya kau," kata Hong-ting sambil tertawa. "Kudengar pernapasanmu sangat perlahan dan merata, benar-benar ilmu pernapasan yang hebat, memangnya aku sedang heran tokoh kosen manakah yang telah berkunjung ke sini, tak tahunya adalah kau. Silakan bangun, jangan memakai peradatan setinggi ini."
"Kiranya dia sudah mengetahui aku bersembunyi di balik pigura itu," pikir Lenghou Tiong.
"Lenghou Tiong," tiba-tiba ketua Kay-pang, Kay Hong berseru, "coba lihat tulisan apakah ini?"
Lenghou Tiong berbangkit dan memandang kepada tiang yang ditunjuk, ternyata di atas tiang kayu itu terukir tiga baris tulisan, baris pertama tertulis: "Di balik pigura ada orang". Lalu baris kedua tertulis: "Akan kuseret dia keluar". Baris ketiga tertulis: "Nanti dulu. Lwekang orang ini seperti cing juga seperti sia, entah lawan atau lawan".
Setiap huruf itu melekuk cukup dalam dan tampaknya masih baru, terang diukir dengan tenaga jari oleh Hong-ting Taysu dan Kay Hong.
Kagum dan kejut Lenghou Tiong, pikirnya, "Dari pernapasanku yang perlahan saja Hong-ting Taysu sudah mampu membedakan asal usul ilmu lwekangku, sungguh seorang tokoh sakti."
Bab 98. Ketua Hoa-san-pay yang Tidak Tahu Malu
Segera ia pun bicara lagi, "Mohon para Cianpwe sudi memberi maaf bilamana aku tidak sejak tadi turun memberi hormat, sebab merasa berdosa."
"Kau merasa berdosa, hendak mencuri apakah kau datang ke Siau-lim-si sini?" tanya Kay Hong.
"Lantaran kudengar Yim-siocia ditahan di sini, maka maksudku hendak memapaknya pulang," sahut Lenghou Tiong.
"Haha, kiranya kedatanganmu ini hendak mencuri bini," kata Kay Hong dengan tertawa.
"Aku sudah utang budi kepada Yim-siocia, biarpun hancur lebur badanku juga rela baginya," ujar Lenghou Tiong.
"Sayang, sungguh sayang," kata Kay Hong dengan menghela napas. "Seorang muda baik-baik dan punya hari depan gemilang ternyata menjadi korban wanita. Bila kau tidak terjerumus, kelak jabatan ketua Hoa-san-pay masakah bisa lari dari tanganmu?"
"Hm, hanya ketua Hoa-san-pay saja kenapa mesti diherankan?" tiba-tiba Yim Ngo-heng menyela. "Kelak kalau aku sudah pulang ke dunia nirwana, jabatan ketua Tiau-yang-sin-kau kami ini masakah bisa lari dari tangan menantu kesayanganku ini?"
Lenghou Tiong terkejut katanya dengan suara gemetar, "O, ti... tidak... ti...."
"Sudahlah, tidak perlu banyak bicara lagi," kata Yim Ngo-heng dengan tertawa. "Nah, Anak Tiong, boleh kau coba belajar kenal ilmu pedang sakti ketua Bu-tong-pay ini. Hendaklah kau hati-hati."
Dia menyebut Lenghou Tiong sebagai "Anak Tiong", tampaknya dia benar-benar sudah menganggapnya sebagai menantu. Keruan Lenghou Tiong serbakikuk.
Lenghou Tiong coba menimbang suasana sekitarnya, masing-masing pihak sementara itu sudah menang satu babak, jadi babak ketiga inilah yang menentukan Ing-ing bisa diselamatkan atau tidak. Ia sudah pernah bertanding pedang dengan Tiong-hi Totiang dan dapat mengalahkannya, maka untuk menolong Ing-ing mau tak mau dirinya harus maju.
Segera ia putar ke arah Tiong-hi Tojin dan menyembah beberapa kali padanya. Tiong-hi terkejut dan cepat membangunkannya dan berkata, "Kenapa Adik cilik memakai kehormatan setinggi ini?"
"Hatiku tidak tenteram karena harus minta pengajaran kepada Totiang yang sangat kuhormati," sahut Lenghou Tiong.
"Ah, kau ini terlalu banyak adat," ujar Tiong-hi sambil tertawa.
Waktu Lenghou Tiong berbangkit, Yim Ngo-heng lantas menyodorkan pedang kepadanya. Lenghou Tiong menerima pedang itu, lalu siap berdiri di sudut kiri dengan ujung pedang mengarah ke bawah.
Tiong-hi Totiang memandangnya sekejap, lalu berpaling dan memandang jauh ke angkasa luar dan termenung-menung sambil menimbang-nimbang akan ilmu pedang Lenghou Tiong yang telah dikenalnya tempo hari.
Melihat Tiong-hi termenung-menung dan tidak siap bertanding, semua orang menjadi heran, tadi tiada seorang pun yang berani menegur.
Agak lama kemudian, tiba-tiba Tiong-hi menghela napas panjang, lalu berkata, "Pertandingan babak ini tidak perlu dilangsungkan, kalian berempat boleh turun gunung saja."
Keruan semua orang terperanjat mendengar ucapannya ini. "Apa artinya ucapanmu ini, Totiang?" tanya Kay Hong.
"Aku tidak menemukan cara mematahkan ilmu pedangnya, maka babak ini aku mengaku kalah saja," sahut Tiong-hi.
"Tapi kalian kan belum bertanding?" ujar Kay Hong terheran-heran.
"Setengah bulan yang lalu di kaki Bu-tong-san sudah pernah kucoba lebih tiga ratus jurus dengannya, waktu itu aku kalah. Maka kalau bertanding lagi sekarang tetap aku tak bisa menang."
"Benarkah telah terjadi demikian?" tanya Hong-ting dan lain-lain.
"Ya, adik cilik Lenghou Tiong sudah mendapat ajaran ilmu pedang Hong Jing-yang, Hong-locianpwe, maka sekali-kali aku bukan tandingannya," sahut Tiong-hi, lalu ia pun mengundurkan diri ke pinggir.
"Jiwa kesatria Tiong-hi Totiang sungguh membikin aku sangat kagum. Mestinya aku cuma kagum separuh saja kepadamu, tapi sekarang telah bertambah menjadi kagum tiga per empat," kata Yim Ngo-heng. Lalu ia memberi hormat kepada Hong-ting dan menyambung, "Hongtiang Taysu sampai berjumpa pula lain kali."
Lenghou Tiong mendekati Gak Put-kun dan istrinya, ia berlutut dan menyembah.
"Aku tak berani terima," kata Gak Put-kun dengan sikap dingin. Sebaliknya Gak-hujin menjadi pilu, air matanya berlinang-linang.
"Marilah kita pergi," kata Yim Ngo-heng sembari sebelah tangan menggandeng Ing-ing sebelah tangan lain menggandeng Lenghou Tiong.
Kay Hong, Thian-bun Tojin, dan lain-lain menyadari kepandaian mereka tidak lebih tinggi daripada Tiong-hi Tojin, kalau Tiong-hi saja mengaku bukan tandingan Lenghou Tiong, sudah tentu mereka tidak berani mencari penyakit walaupun merasa sangsi.
Saat itu Yim Ngo-heng sudah mau melangkah keluar, tiba-tiba Gak Put-kun membentak, "Nanti dulu!"
"Ada apa?" tanpa Yim Ngo-heng sambil menoleh.
"Tiong-hi Totiang tidak sudi berurusan dengan manusia rendah, maka babak ketiga toh belum pernah terjadi," kata Gak Put-kun. "Nah, majulah Lenghou Tiong, biar aku yang melayani kau."
Sungguh kejut Lenghou Tiong tak terkatakan sehingga badannya gemetar, sahutnya dengan tergagap-gagap, "Suhu, aku... aku...."
Namun sikap Gak Put-kun biasa saja, katanya, "Katanya kau mendapat ajaran tokoh angkatan tua perguruan sendiri, Hong-susiok, ilmu pedangmu sudah mencapai intisari Hoa-san-pay yang tiada taranya, tampaknya aku bukan lagi tandinganmu. Meski kau sudah dipecat dari perguruan, tapi petualanganmu di dunia Kangouw masih tetap menggunakan ilmu pedang perguruan kita. Memangnya aku yang salah mengajar sehingga para sahabat dari cing-pay ikut kepala pusing bagi murid murtad seperti kau ini. Maka kalau sekarang aku tidak turun tangan, masakah mesti minta orang lain yang menanggung tugas berat ini" Pendek kata, bila hari ini aku tidak membinasakan kau, biar kau saja yang membunuh diriku."
Ucapan Gak Put-kun itu makin lama makin bengis, akhirnya ia terus lolos pedang dan membentak, "Nah, kau dan aku sudah putus hubungan sebagai murid dan guru. Lekas keluarkan pedangmu!"
"Tecu tidak berani!" sahut Lenghou Tiong sambil mundur selangkah.
"Sret", Gak Put-kun terus mendahului menusuk lurus ke depan, itulah jurus "Jong-siong-ging-khik", itulah salah satu jurus Hoa-san-kiam-hoat yang lihai.
Cepat Lenghou Tiong mengelak ke samping dan tetap tidak mengeluarkan pedangnya. Berturut-turut Gak Put-kun menusuk lagi dua kali dan tetap dihindarkan oleh Lenghou Tiong.
"Kau sudah mengalah tiga jurus padaku dan boleh dianggap sebagai menghormati aku sebagai bekas gurumu, sekarang lekas lolos pedangmu!" kata Put-kun.
Yim Ngo-heng juga berseru, "Tiong-ji, jika kau tidak balas menyerang, apakah jiwamu sengaja kau korbankan di sini?"
"Baik," sahut Lenghou Tiong sambil melolos pedangnya.
Dengan senjata di tangan pikiran Lenghou Tiong menjadi lebih mantap. Ia tahu kalau melulu mengandalkan ilmu pedangnya saja sekali-kali sang suhu tidak mampu membunuhnya, sebaliknya dirinya juga tidak nanti mengganggu seujung rambut pun gurunya itu. Tapi pertandingan ini harus dimenangkan oleh sang suhu saja atau mesti mengalahkan dia" Bila dirinya mengalah, maka akibatnya Yim Ngo-heng, Hiang Bun-thian, dan Ing-ing harus menderita terkurung sepuluh tahun di Siau-sit-san sini. Sebaliknya kalau tidak mengalah akan berarti membikin malu gurunya itu di hadapan orang banyak, padahal budi kebaikan sang guru dan ibu-gurunya yang telah mendidik dan membesarkannya selama ini belum pernah dibalasnya.
Persoalan mahasulit ini benar-benar membuatnya bingung dan sukar memilih. Dalam keadaan bimbang itulah ia sudah diserang beberapa jurus lagi oleh Gak Put-kun. Tapi Lenghou Tiong hanya menangkis dengan ilmu pedang ajaran sang guru dahulu. Maklumlah "Tokko-kiu-kiam" tidak boleh dibuat main-main, setiap jurusnya selalu mengincar tempat mematikan musuh, sebab itu ia tidak berani sembarangan menggunakan. Sejak dia meyakinkan Tokko-kiu-kiam, pengetahuannya boleh dikata mencapai puncaknya, biarpun cuma Hoa-san-kiam-hoat yang dimainkan, namun tenaga yang timbul dari pedangnya sudah tentu lain daripada dahulu. Meski berulang-ulang Gak Put-kun menyerang dengan segala kemahirannya masih tetap tak bisa menembus penjagaan Lenghou Tiong.
Para penonton itu tergolong jago kelas wahid semua, melihat cara bertempur Lenghou Tiong itu mereka lantas tahu anak muda itu sengaja mengalah dan tidak menempur Gak Put-kun dengan sesungguh hati.
Yim Ngo-heng saling pandang dengan Hiang Bun-thian dan sorot matanya memancarkan rasa khawatir. Sebab mereka sama-sama teringat kepada kejadian di Bwe-cheng di tepi danau Hangciu tempo dulu. Waktu itu Yim Ngo-heng mengajak Lenghou Tiong masuk Tiau-yang-sin-kau dan menjadikan kedudukan Kong-beng-yusu baginya, kedudukan itu berarti ahli waris kaucu di kemudian hari. Juga disanggupi akan mengajarkan ilmu caranya memunahkan tenaga balik yang timbul dari Gip-sing-tay-hoat. Namun semua janji itu ternyata tidak mengguncangkan iman anak muda itu, ini memperlihatkan betapa setianya kepada perguruannya sendiri. Sekarang dilihatnya lagi betapa sikap menghormat anak muda itu kepada bekas gurunya, hakikatnya biar tertusuk mati oleh bekas sang guru itu pun takkan membuatnya menyesal, apalagi melancarkan serangan balasan, terang tiada harapan buat menang.
Sesungguhnya Yim Ngo-heng dan Hiang Bun-thian adalah tokoh-tokoh yang cerdik pandai, tapi melihat situasi yang berbahaya itu ternyata mati kutu juga dan tak berdaya. Soalnya sekarang bukan kepandaian Lenghou Tiong lebih rendah daripada lawannya, lagi urusan itu menyangkut kekeluargaan. Kalau berdasarkan watak Lenghou Tiong pasti dia tak mau mengalahkan sang guru, lebih-lebih tidak mau membikin malu sang guru di hadapan orang lain. Begitu Yim Ngo-heng dan Hiang Bun-thian kembali saling pandang dengan bingung. Sorot mata mereka hanya saling bertanya, "Apa daya?"
Tiba-tiba Yim Ngo-heng berpaling dan membisiki Ing-ing, "Coba kau berdiri di sebelah depan sana."
Ing-ing tahu maksud sang ayah yang mengkhawatirkan Lenghou Tiong lebih berat kepada budi perguruan dan sengaja mengalah kepada Gak Put-kun, dirinya disuruh berdiri di depan sana maksudnya agar Lenghou Tiong dapat melihatnya, sehingga teringat kepada kebaikannya, lalu bertempur dengan sungguh-sungguh dan mencapai kemenangan.
Maka Ing-ing hanya mengiakan perlahan, tapi tidak melangkah.
Sebentar kemudian Yim Ngo-heng melihat Lenghou Tiong terus main mundur dan tetap tidak mau balas menyerang, keruan ia tambah gelisah dan kembali membisiki Ing-ing, "Lekas ke depan sana!"
Tapi Ing-ing tetap tidak melangkah ke sana, bahkan menjawab saja tidak. Menurut jalan pikiran si nona, "Bagaimana perasaanku kepadamu (Lenghou Tiong) tentunya sudah kau (Lenghou Tiong) ketahui. Bila hatimu memberatkan diriku dan bertekad menyelamatkan aku, tentu kau akan mengalahkan lawanmu. Tapi kalau kau lebih berat pada pihak gurumu, sekalipun aku menarik-narik lengan bajumu dan memohon-mohon belas kasihanmu juga tak berguna. Maka buat apa aku mesti berdiri di depanmu sana untuk mengingatkan kau?"
Sifat Ing-ing juga angkuh, tinggi hati, ia merasa tak berharga sama sekali bila untuk menyelamatkan dirinya mesti meminta-minta dan mengingatkan kebaikannya kepada Lenghou Tiong.
Dalam pada itu Lenghou Tiong masih terus menangkis setiap serangan gurunya. Kalau ia mau balas menyerang sejak tadi Gak Put-kun sudah pasti keok. Sudah tentu Gak Put-kun juga tahu Lenghou Tiong sengaja tidak mau balas menyerang, maka ia pun tidak perlu pikir buat menjaga diri, sebaliknya terus melancarkan serangan-serangan maut.
Melihat serangan-serangan lihai Gak Put-kun itu tetap tak bisa mengenai sasarannya, sebaliknya Lenghou Tiong hanya menangkis dengan seenaknya saja, setiap serangan lawan selalu dipatahkan secara gampang, makin lama makin kagum semua orang terhadap anak muda itu.
Lama-lama Gak Put-kun menjadi kelabakan sendiri. Mendadak ia sadar bila pertempuran yang bertele-tele itu diteruskan, nanti yang mendapat nama baik justru adalah bangsat cilik ini, sebab penonton-penonton yang merupakan tokoh-tokoh kelas wahid ini tentu sudah melihat bahwa bangsat cilik ini sengaja mengalah padaku, sebaliknya aku masih terus menyerang dengan ngotot, ketua Hoa-san-pay macam apakah ini" Jelas bangsat cilik ini sengaja hendak membikin aku kewalahan sendiri dan terpaksa menyerah kalah. Berpikir sampai di sini Gak Put-kun menjadi nekat. Ia kumpulkan segenap tenaganya, Ci-he-sin-kang dikerahkan kepada pedangnya, sekuatnya ia terus menebas kepala Lenghou Tiong.
Cepat Lenghou Tiong mengegos ke samping sehingga tebasan Gak Put-kun itu meleset, tapi segera Gak Put-kun putar balik pedangnya terus menyabet ke pinggang lawan. Sekali loncat dapatlah Lenghou Tiong melangkahi pedang yang menyambar tiba itu. Mendadak Gak Put-kun putar lagi pedangnya, secepat kilat ia tusuk punggung Lenghou Tiong, perubahan serangan yang cepat luar biasa ini tampaknya sukar dielakkan oleh anak muda itu, apalagi dia masih terapung di atas.
Semua orang sampai menjerit khawatir. Memang untuk menghindar atau menangkis pun tidak keburu lagi. Tapi sekonyong-konyong Lenghou Tiong menjulurkan pedangnya ke depan sehingga menempel batang tiang di depannya sana, dengan tenaga loncatan ini dapatlah dia melayang ke belakang tiang sana. "Cret", tusukan Gak Put-kun menjadi mengenai tiang kayu itu sampai tembus. Ujung pedang hanya selisih beberapa senti saja dengan badan Lenghou Tiong.
Kembali semua orang berteriak riuh. Teriakan ini bernada merasa syukur dan kagum terhadap Lenghou Tiong, kagum atas kepandaiannya dan bersyukur karena dia terhindar dari serangan maut itu. Bahkan Gak-hujin, Thian-bun Tojin, dan lain-lain juga punya perasaan demikian.
Betapa dongkol dan gusarnya Gak Put-kun tak terkatakan, berturut-turut ia melancarkan "Tiga Jurus Ilmu Pedang Pencabut Nyawa" yang merupakan ilmu pedang sekte Kiam-cong Hoa-san-pay mereka, tapi Lenghou Tiong, sebaliknya para penonton malahan bersimpati pula kepada anak muda itu.
Dahulu setelah perang saudara antara Khi-cong (sekte lwekang) dan Kiam-cong (sekte pedang) dalam Hoa-san-pay mereka berakhir dengan pihak Kiam-cong ditumpas oleh pihak Khi-cong, kemudian Gak Put-kun dan tokoh-tokoh Hoa-san-pay yang lain sama menimbang kembali ilmu pedang sakti yang diyakinkan pihak Kiam-cong, di antaranya adalah "Tiga Jurus Pencabut Nyawa" itu.
Maka Gak-hujin menjadi terkejut melihat sang suami mendadak mengeluarkan tiga jurus ilmu pedang maut itu. Pikirnya, "Dia adalah murid pihak Khi-cong, mengapa mendadak menggunakan ilmu pedang pihak Kiam-cong" Kalau hal ini diketahui orang luar tentu akan dihina dan diejek. Ai, sebabnya dia menggunakan tiga jurus itu tentunya juga lantaran terpaksa. Padahal sudah jelas dia bukanlah tandingan Tiong-ji, buat apa mesti ngotot terus?"
Sebenarnya ada maksud Gak-hujin hendak maju memisah, tapi urusannya sekarang tidak sederhana, bukan melulu menyangkut kepentingan Hoa-san-pay sendiri, maka ia menjadi serbasusah dan sedih.
Ketika itu Gak Put-kun telah mencabut kembali pedangnya yang menancap tiang tadi. Tapi Lenghou Tiong tetap berdiri di balik tiang dan tidak putar keluar. Gak Put-kun berharap anak muda itu akan terus sembunyi di balik tiang dan tidak menempurnya lagi sebagai tanda takut padanya, dengan demikian kehormatannya dapat ditegakkan.
Begitulah kedua orang saling memandang berhadapan, dengan rendah hati Lenghou Tiong berkata, "Suhu, Tecu bukan tandinganmu. Kita tak usah meneruskan pertandingan ini."
Gak Put-kun hanya mendengus dan tidak menjawab.
Yim Ngo-heng juga lantas bicara, "Pertarungan mereka berdua sukar ditentukan siapa yang menang dan kalah. Bahwasanya Lenghou Tiong sengaja mengalah kepada gurunya, setiap orang asalkan bukan orang buta tentu dapat melihatnya. Nah, Hongtiang Taysu, maukah pertandingan tiga babak ini kita anggap seri saja. Lohu bersedia minta maaf kepadamu, lalu kita menyudahi pertikaian ini dan kami akan angkat kaki."
Mendengar ucapan Yim Ngo-heng ini, diam-diam Gak-hujin merasa senang dan lega. Padahal sudah jelas mereka berada di pihak pemenang, namun ucapan Yim-kaucu itu dapat dianggap mau mengalah, cara menyudahi pertarungan ini benar-benar paling baik. Demikian pikir Gak-hujin.
"Omitohud!" kata Hong-ting Taysu. "Usul Yim-kaucu yang bijaksana itu sudah tentu aku sependa...."
Belum selesai kata-kata "sependapat" diucapkan, tiba-tiba Co Leng-tan menyela, "Lalu keempat orang ini apa mesti kita biarkan mereka pergi begitu saja" Dan selanjutnya Gak-suheng masih terhitung ketua Hoa-san-pay tidak?"
"Hal ini...." belum lanjut kata-kata Hong-ting, tiba-tiba "sret", Gak Put-kun memutar ke belakang tiang dan mulai menyerang pula.
Dengan gesit Lenghou Tiong mengegos. Maka beberapa gebrakan saja kembali mereka sudah berada di tengah kalangan lagi. Segera Gak Put-kun melancarkan serangan-serangan kilat, tapi selalu dapat dihindar atau ditangkis oleh Lenghou Tiong dengan mudah. Pertarungan bertele-tele kembali berlangsung pula.
Diam-diam Yim Ngo-heng sangat mendongkol. Pikirnya, "Jika tua bangka she Gak ini tetap bermuka tebal dan terus ngotot secara demikian, maka jelas dia takkan kalah, sebaliknya kalau Tiong-ji sedikit meleng saja tentu akan celaka. Kalau pertempuran diteruskan tentu menguntungkan orang she Gak. Maka aku harus mengolok-oloknya dengan kata-kata menusuk, supaya dia tahu malu."
Segera ia berkata kepada Hiang Bun-thian, "Eh, Hiang-hiante, kedatangan kita ke Siau-lim-si ini benar-benar banyak bertambah pengalaman."
"Benar," jawab Hiang Bun-thian. "Di sini telah berkumpul tokoh-tokoh bu-lim dari tingkat puncak...."
"Satu di antaranya benar-benar tokoh mahahebat," sambung Yim Ngo-heng.
"Siapakah beliau?" tanya Hiang Bun-thian.
"Orang ini telah berhasil meyakinkan sejenis ilmu sakti yang luar biasa," kata Ngo-heng.
"Ilmu sakti apakah itu?" tanya Bun-thian.
"Ilmu sakti orang ini disebut Kim-bian-tok, Tiat-bin-bwe-sin-kang (kulit muka besi)!" jawab Ngo-heng.
"Wah, sungguh hebat!" ujar Bun-thian. "Selamanya hamba cuma dengar adanya ilmu kebal Kim-ciong-tok dan Tiat-poh-sam, tapi tidak pernah dengar tentang Kim-bian-tok dan Tiat-bin-bwe segala. Entah ilmu sakti demikian ini berasal dari aliran mana?"
"Kim-ciong-tok dan Tiat-poh-sam adalah ilmu kebal yang tidak mempan senjata pada seluruh badan, tapi ilmu sakti Tiat-bin-bwe orang ini khusus kebal pada kulit muka karena memang kulit mukanya setebal badak," kata Yim Ngo-heng. "Tentang asal usul ilmu sakti ini sungguh luar biasa, dia adalah ciptaan Gak Put-kun, Gak-siansing, itu ketua Hoa-san-pay yang termasyhur di dunia Kangouw pada masa ini."
"Wah, jika demikian, sejak kini Gak-siansing pasti akan lebih terkenal dan lebih termasyhur di seluruh jagat, namanya akan tetap terkumandang abadi sepanjang masa," kata Bun-thian.
"Itu sudah tentu," sambung Yim Ngo-heng. "Hidup Gak-siansing! Hidup Hoa-san-pay!"
Begitulah seperti dagelan saja mereka terus tanya-jawab untuk mengolok-olok Gak Put-kun. Keruan muka Gak-hujin merah padam. Sebaliknya Gak Put-kun seperti tidak tahu dan tidak dengar saja, ia masih terus melancarkan serangan kepada Lenghou Tiong.
Tiba-tiba Gak Put-kun menusuk, ketika Lenghou Tiong mengelak ke kiri, mendadak Gak Put-kun menoleh sambil memutar balik ujung pedangnya terus menusuk pula. Inilah suatu jurus ilmu pedang Hoa-san-pay yang terkenal dengan nama "Long-cu-hwe-tau" (Si Anak Hilang Berpaling Kembali).
Waktu Lenghou Tiong menangkis, cepat Gak Put-kun putar pedangnya lagi dan menebas dari atas ke bawah, yaitu jurus "Jong-siong-ging-khik" (Pohon Siong Tua Menyambut Tamu). Jurus ini sudah pernah dilihat Lenghou Tiong pada macam-macam jurus serangan dari berbagai aliran yang terukir di dinding gua di puncak Hoa-san dahulu. Maka dengan gampang saja pedangnya bergerak, ia menangkis sesuai dengan gaya ukiran di dinding gua itu.
Yim Ngo-heng dan Hiang Bun-thian sama bersuara heran dari mana anak muda itu pun paham menggunakan jurus demikian"
Tiba-tiba Gak Put-kun ganti diurus serangan, "sret-sret" dua tusukan telah membikin Lenghou Tiong terkesiap dan terpaksa mundur dua tindak dengan wajah merah jengah dan berseru, "Suhu!"
Gak Put-kun mendengus dan kembali menusuk lagi. Kembali Lenghou Tiong mundur satu tindak.
Melihat kelakuan Lenghou Tiong yang kikuk dan serbasusah, semua orang menjadi heran, "Serangan-serangan gurunya itu hanya biasa saja, kenapa pemuda itu berbalik merasa jeri dan tidak mampu menangkis?"
Mereka tidak tahu bahwa ketiga jurus serangan Gak Put-kun terakhir itu adalah ilmu pedang ciptaan Lenghou Tiong dan Gak Leng-sian di waktu latihan bersama dahulu, yaitu yang diberi nama "Tiong-leng-kiam-hoat", singkatan dari nama kedua muda-mudi itu.
Terciptanya ilmu pedang gabungan itu sebenarnya cuma terdorong oleh hubungan baik mereka berdua yang masih kekanak-kanakan, mereka pikir Tiong-leng-kiam-hoat itu kelak hanya mereka berdua saja yang mampu memainkan, maka di kala menggunakan ilmu pedang itu dalam lubuk hati mereka selalu timbul rasa bahagia yang tak terkatakan. Sudah tentu mereka tidak berani menceritakan rahasia kepada para saudara seperguruan, lebih-lebih tidak berani dikatakan kepada Gak Put-kun.
Siapa duga mendadak Gak Put-kun telah memainkan tiga jurus ilmu pedang itu pada saat demikian, keruan Lenghou Tiong menjadi serbarunyam, merasa malu dan berduka pula. Padahal hubungannya dengan sumoay sudah putus, sekarang sang guru sengaja mengeluarkan tiga jurus ilmu pedang itu agar dia tersinggung perasaannya dan berduka sehingga pikirannya menjadi kacau. "Ya, kalau mau bunuh aku biarlah kau bunuh saja!" demikian katanya di dalam hati.
Sesaat itu Lenghou Tiong merasa daripada hidup merana di dunia ini ada lebih baik mati saja dan habis perkara.
Menyusul Gak Put-kun menusuk lagi dengan satu jurus Hoa-san-kiam-hoat yang disebut "Long-giok-ji-siau" (Long-giok Meniup Seruling), habis itu satu jurus lagi "Siau-su-seng-liong" (Siau-su Menunggang Naga).
Kedua jurus itu mengungkap suatu dongeng kuno tentang percintaan antara si gadis Long-giok dan jejaka Siau-su. Si gadis sangat gemar meniup seruling, si jejaka sangat mahir meniup seruling, dia datang dengan menunggang naga dan mengajar seni musik itu kepada si gadis, akhirnya dia dipungut mantu oleh orang tua si gadis dan keduanya sama-sama naik surga.
Kini Gak Put-kun mengeluarkan lagi jurus serangan itu sehingga pikiran Lenghou Tiong menjadi kacau. Ia menangkis sebisanya sambil berpikir, "Kenapa suhu menggunakan jurus ini" Apakah dia sengaja hendak membikin kacau pikiranku, kemudian membunuh aku?"
Dilihatnya Gak Put-kun lantas menyerang lagi dengan tiga jurus Tiong-leng-kiam-hoat, lalu sejurus "Long-cu-hwe-tau" dan sejurus "Jong-siong-ging-khik", kemudian tiga jurus Tiong-leng-kiam-hoat lagi, menyusul jurus-jurus "Long-giok-ji-siau" dan "Siau-su-seng-liong", dan begitu seterusnya diselang-seling dan berulang kembali.
Semula Lenghou Tiong merasa bingung, tapi kemudian ia menjadi paham, rupanya sang guru sengaja menyadarkan dia dengan ilmu pedangnya itu, maksudnya supaya dia berpaling kembali ke jalan yang benar, maka dia masih akan disambut dengan baik ke dalam Hoa-san-pay. Bahkan dengan Tiong-leng-kiam-hoat itu jelas sang guru memberi isyarat bahwa beliau akan menjadikan siausumoay sebagai istrinya.
Masuk kembali ke Hoa-san-pay dan memperistrikan siausumoaynya adalah cita-cita yang selalu diharapkannya. Merasa paham akan maksud yang terkandung dalam jurus-jurus serangan sang guru itu, seketika hati Lenghou Tiong kegirangan dan dengan sendirinya wajahnya lantas berseri-seri.
Tapi kembali Gak Put-kun menyerang lagi dengan jurus-jurus tadi dengan lebih gencar. Mendadak Lenghou Tiong sadar, "Suhu suruh aku berpaling kembali ke jalan yang benar, sudah tentu maksudnya suruh aku membuang senjata dan mengaku kalah, dengan demikian aku baru bisa diterima kembali ke dalam Hoa-san-pay. Apa yang kuharapkan lagi bilamana aku bisa kembali ke Hoa-san-pay dan menikah dengan siausumoay" Akan tetapi, lantas bagaimana dengan Ing-ing, Yim-kaucu, dan Hiang-toako" Bila pertandingan ini aku kalah, mereka bertiga harus tinggal di Siau-sit-san sini, bukan mustahil jiwa mereka pun akan melayang. Yang kupikir hanya kesenangan dan kebahagiaanku sendiri dengan mengorbankan orang-orang yang telah berbudi baik kepadaku, apakah perbuatanku ini pantas?"
Terpikir sampai di sini, tanpa terasa keringat dingin membasahi punggungnya, pandangannya terasa kabur juga, sekilas hanya kelihatan pedang Gak Put-kun berkelebat dan kembali menyerangnya pula dengan jurus "Si Gadis Long-giok Meniup Seruling".
Hati Lenghou Tiong terkutik lagi, pikirnya, "Waktu mula-mula kenal Ing-ing maksudku hendak belajar memetik kecapi padanya. Dia sangat menyukai lagu "Hina Kelana" yang dibawakan dengan seruling dan kecapi. Kemudian dia mengajarkan aku lagu "Jing-sim-ciu". Bila kelak aku sudah mahir memetik kecapi, lalu bersama dia membawakan lagi "Hina Kelana", bukankah dia yang akan meniup serulingnya" Padahal siausumoay tidak pernah memikirkan diriku, sebaliknya aku selalu terkenang padanya, malahan terhadap Ing-ing yang rela berkorban bagiku justru aku tidak memikirkannya, manusia tak berperasaan di dunia ini rasanya tiada yang lebih rendah daripada diriku."
Begitulah seketika yang terpikir olehnya adalah, "Betapa pun juga aku tidak boleh mengingkari kebaikan Ing-ing."
Dalam keadaan samar-samar itu mendadak terdengar "creng" satu kali, sebatang pedang telah jatuh ke tanah, terdengar pula teriakan orang banyak di samping.
Tubuh Lenghou Tiong terhuyung ke belakang, ketika dia pentang mata, dilihatnya Gak Put-kun juga sedang melompat mundur dengan wajah gusar, pergelangan kanannya tampak mengucurkan darah. Waktu Lenghou Tiong memeriksa pedangnya sendiri, ujung pedang itu memang berlepotan darah segar.
Keruan ia terkejut. Baru sekarang ia menyadari ketika pikirannya kacau tadi dan menangkis serangan Gak Put-kun sekenanya, tanpa terasa ia telah mengeluarkan "Tokko-kiam-hoat" sehingga pergelangan tangan Gak Put-kun tertusuk.


Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cepat Lenghou Tiong membuang senjatanya, ia mendekat dan berlutut di depan Gak Put-kun, katanya, "Suhu, dosa Tecu pantas dihukum mati."
Mendadak Gak Put-kun angkat sebelah kakinya, dengan tepat dada Lenghou Tiong kena ditendang. Betapa hebat tenaga tendangan itu, kontan tubuh Lenghou Tiong mencelat ke atas dengan darah segar menyembur keluar dari mulutnya. Seketika pandangan Lenghou Tiong menjadi gelap, dengan kaku ia terbanting ke bawah. Namun ia sudah tidak tahu sakit lagi, ia sudah tidak sadar.
Entah lewat berapa lamanya, ketika merasa badannya rada dingin, perlahan-lahan Lenghou Tiong membuka mata, terasa sinar api menyilaukan, kembali ia pejamkan mata lagi.
Terdengar Ing-ing berseru gembira, "Ayah, dia... dia sudah siuman."
Tapi tidak terdengar suara jawaban Yim Ngo-heng.
Ketika Lenghou Tiong membuka mata lagi, dilihatnya sepasang mata Ing-ing yang jeli sedang menatap kesima kepadanya, wajahnya penuh rasa girang dan bersyukur. Segera Lenghou Tiong bermaksud bangun, tapi Ing-ing telah mencegahnya dan berkata, "Jangan bangun, mengasolah sebentar lagi."
Lenghou Tiong memandang sekitarnya, ternyata dirinya berada di dalam sebuah gua, di luar gua menyala suatu gundukan api unggun. Baru sekarang ia ingat pertandingannya dengan sang guru dan tertendang satu kali. Segera ia tanya, "Di manakah suhu dan sunioku?"
"Masakah kau masih memanggil suhu padanya?" ujar Ing-ing. "Di dunia ini mungkin cuma ada seorang suhu yang tidak tahu malu seperti dia. Kau terus mengalah padanya, tapi dia tetap tidak tahu diri sehingga akhirnya sukar diselesaikan, malahan dia masih tega menendang kau. Syukur juga tulang kakinya tergetar patah."
"Hah, tulang kaki suhuku patah?" seru Lenghou Tiong kaget.
"Masih untung dia tidak tergetar mati," sahut Ing-ing tertawa. "Kata ayah, lantaran kau belum bisa menggunakan Gip-sing-tay-hoat, bila tidak tentu kau takkan terluka."
"Jadi aku telah melukai pergelangan suhu, lalu menggetar patah tulang kakinya, ai, aku ini...." demikian Lenghou Tiong menggumam.
"Apakah kau menyesal?" tanya Ing-ing.
"Perbuatanku benar-benar tidak pantas," sahut Lenghou Tiong. "Dahulu kalau suhu dan sunio tidak merawat dan membesarkan aku, bukan mustahil aku sudah mati sejak dulu. Aku telah membalas budi dengan badi, sungguh lebih rendah daripada binatang."
"Berulang kali dia bermaksud membunuh kau, masakah kau tidak tahu" Kau telah mengalah padanya sedemikian rupa dan boleh dikata sudah membalas budi kebaikannya. Orang macam kau ke mana pun takkan mati. Seumpama keluarga Gak tidak memiara kau, biarpun kau menjadi pengemis juga takkan mati kelaparan. Dia sudah mengusir kau dari Hoa-san-pay, hubungan antara guru dan murid sudah lama putus, buat apa lagi kau memikirkan dia?"
Sampai di sini Ing-ing menahan suaranya dan menyambung lagi, "Engkoh Tiong, demi diriku kau terpaksa berlawanan dengan suhu dan suniomu, sungguh hatiku merasa...." tiba-tiba ia tidak meneruskan melainkan terus tertunduk dengan kedua pipi bersemu merah jengah.
Sejak kenal Ing-ing, yang timbul dalam hati Lenghou Tiong melulu rasa hormat dan takut pada wibawa si nona. Kini melihat Ing-ing menunjukkan sikap kikuk dan malu-malu kucing sebagaimana anak gadis umumnya, wajah si nona yang tersorot oleh sinar api unggun menjadi tambah cantik luar biasa. Seketika perasaan Lenghou Tiong terguncang, ia mengulur tangan untuk memegangi tangan kiri si nona, tapi sampai sekian lamanya ia hanya bisa menghela napas saja, ia tidak tahu apa yang harus diucapkannya.
"Kenapa kau menghela napas?" tanya Ing-ing dengan suara halus. "Apakah kau menyesal karena berkenalan dengan aku?"
"Tidak, tidak!" sahut Lenghou Tiong cepat. "Mana bisa aku menyesal" Demi diriku kau rela mengorbankan jiwamu di Siau-lim-si, selanjutnya biarpun badanku han... hancur lebur juga tidak cukup untuk membalas budimu."
"Kenapa kau bicara begini?" kata Ing-ing sambil menatap tajam. "Jadi sampai detik ini dalam hatimu masih tetap anggap aku sebagai orang luar."
Terasa malu juga dalam hati kecil Lenghou Tiong, memang selama ini dia merasa masih terpisah oleh sesuatu dengan Ing-ing. Segera ia berkata, "Ya, akulah yang salah omong. Sejak kini aku akan berbaik kepadamu dengan sesungguh hati."
Sorot mata Ing-ing memancarkan rasa bahagia, katanya, "Engkoh Tiong, apakah ucapanmu ini sungguh-sungguh atau cuma buat bohongi aku?"
"Jika aku membohongi kau, biarlah aku mati disambar geledek," sahut Lenghou Tiong.
Perlahan-lahan Ing-ing menggenggam tangan Lenghou Tiong dengan kencang, ia merasa sejak lahir sampai sekarang detik inilah paling berharga. Sekujur badan terasa hangat, ia berharap keadaan demikian akan kekal abadi sepanjang masa.
Selang agak lama barulah ia membuka suara, "Orang persilatan seperti kita mungkin ditakdirkan akan mati dengan cara kurang baik. Kelak kalau kau ingkar janji padaku, aku pun tidak menginginkan kau mati disambar geledek, tapi aku lebih suka... lebih suka menusuk mati kau dengan pedangku sendiri."
Bab 99. Empat Manusia Salju
Tergetar hati Lenghou Tiong, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa si nona akan bicara demikian, ia tercengang sejenak, katanya kemudian dengan tertawa, "Memangnya jiwaku ini diselamatkan oleh kau dan sejak itu sudah menjadi milikmu. Maka setiap saat bila kau mau ambil boleh kau laksanakan saja."
"Semua orang mengatakan kau adalah pemuda bangor, nyatanya kata-katamu memang nakal. Entah mengapa, aku justru menyukai pemuda bangor seperti kau."
"Bilakah aku pernah berbuat bangor padamu" Karena kau berkata demikian, aku menjadi mau berbuat bangor padamu."
Mendadak Ing-ing meloncat mundur, katanya dengan muka cemberut, "Aku menyukai kau, tapi kita harus pakai aturan. Jika kau anggap aku sebagai perempuan murahan, maka salahlah pandanganmu."
"Mana aku berani anggap kau sebagai perempuan murahan?" sahut Lenghou Tiong. "Kau adalah seorang nenek agung yang melarang aku berpaling memandang padamu."
Ing-ing tertawa, ia teringat pada permulaan berkenalan dengar Lenghou Tiong memang pemuda itu selalu memanggil "nenek" padanya dengan penuh hormat. Dengan tertawa geli ia lantas duduk kembali dalam jarak rada jauh.
"Kau melarang aku nakal padamu, biarlah selanjutnya aku tetap memanggil nenek saja padamu," kata Lenghou Tiong dengan tertawa.
"Baik, cucu manis," sahut Ing-ing tertawa geli.
"Nenek, aku...."
"Sudahlah, jangan panggil nenek lagi, nanti saja kalau 60 tahun lagi baru boleh panggil demikian."
"Jika dipanggil mulai sekarang sampai 60 tahun lagi, maka tidak sia-sia hidupku ini," ujar Lenghou Tiong.
Terguncang juga perasaan Ing-ing. Ia pikir kalau betul bisa hidup bersanding pemuda itu selama 60 tahun, maka bahagialah hidupnya.
Dari sebelah samping Lenghou Tiong melihat hidung si nona yang mancung, alisnya panjang, mukanya sangat halus. Pikirnya, "Nona secantik ini kenapa ditakuti dan dihormati oleh tokoh-tokoh Kangouw yang kasar-kasar itu, pula rela berbuat apa pun baginya?"
Mestinya ia bermaksud tanya si nona, tapi urung.
"Kau ingin bicara apa, silakan berkata saja," ujar Ing-ing.
"Selama ini aku tidak habis heran, mengapa Lo Thau-cu, Coh Jian-jiu, dan lain sedemikian takut kepadamu?"
"Ya, aku tahu bila persoalan ini tidak kujelaskan tentu hatimu tetap tidak tenteram. Mungkin dalam batinmu akan mengira aku adalah jin atau siluman."
"Tidak, tidak, aku anggap kau sebagai malaikat dewata yang berilmu mahasakti."
"Dasar mulutmu memang suka omong tak keruan, pantas orang mengatakan kau pemuda nakal."
"Jika kau anggap mulutku nakal, biarlah selamanya kau menanak nasi dan masak sayur yang enak-enak untuk menyumbat mulutku saja."
"Aku tidak pintar masak, panggang kodok saja sampai hangus."
Lenghou Tiong menjadi teringat kepada waktu memanggang kodok di tepi kali tempo dahulu. Ia merasa saat ini seakan-akan kembali pada suasana masa lampau itu.
Begitulah kedua muda-mudi itu saling pandang penuh arti, sampai agak lama mereka terdiam. Sejenak pula barulah Ing-ing bicara lagi, "Ayahku sebenarnya adalah Kaucu Tiau-yang-sin-kau, hal ini sudah diketahui olehmu. Kemudian ayah telah masuk perangkap Tonghong Put-pay yang licik itu dan disekap di tempat yang dirahasiakan. Tonghong Put-pay berdusta, katanya ayah meninggal di tempat yang jauh dan meninggalkan pesan agar dia menjabat kaucu baru.
"Waktu itu usiaku masih terlalu muda, Tonghong Put-pay juga teramat cerdik dan licin, apa yang dia lakukan sama sekali tidak mencurigakan aku. Untuk mengelabui orang luar, Tonghong Put-pay sengaja memperlakukan aku dengan sangat baik, apa yang kukatakan selalu dia laksanakan. Sebab itulah kedudukanku di dalam agama kami sangat diagungkan."
"Apakah orang-orang Kangouw itu semuanya anggota Tiau-yang-sin-kau kalian?" tanya Lenghou Tiong.
"Tidak seluruhnya menjadi anggota, hanya mereka selamanya di bawah pengaruh kami, sebagian besar pimpinan mereka pun sudah makan Sam-si-nau-sin-tan (Pil Pengganggu Saraf) kami."
Lenghou Tiong mendengus mendengar nama obat itu.
"Sesudah makan obat itu," sambung Ing-ing, "setiap tahun satu kali mereka harus makan obat penawarnya, kalau tidak mereka tentu akan mati konyol bila racun yang terkandung dalam obat itu mulai bekerja. Tonghong Put-pay memperlakukan orang-orang Kangouw itu secara sangat bengis, sedikit tidak menyenangkan dia lantas tidak diberinya obat penawar. Selalu aku yang mesti mintakan ampun bagi mereka dan memintakan obat penawarnya."
"O, kiranya demikian, jadi kau adalah penyelamat jiwa mereka," ujar Lenghou Tiong.
"Sebenarnya juga bukan penyelamat apa-apa, soalnya mereka menyembah-nyembah dan minta-minta padaku, terpaksa aku tidak tega dan tak bisa tinggal diam. Lama-lama aku menjadi bosan karena selalu meminta pengampunan kepada Tonghong Put-pay, musim semi tahun lalu aku suruh keponakan Lik-tiok-ong mengiringi aku keluar pesiar, tak terduga aku malah menemui kejadian aneh. Tak peduli ke mana aku pergi selalu jejakku diketahui orang, selalu masih ada orang yang datang minta pertolongan padaku untuk mohon obat penawar. Semula aku sangat heran, sebab ke mana aku pergi tak kukatakan kepada siapa-siapa melainkan Tonghong Put-pay saja yang tahu. Maka, pastilah Tonghong Put-pay sendiri yang telah membocorkan jejakku yang sangat dirahasiakan. Rupanya itu pun akalnya yang licin, dia sengaja membiarkan orang luar mendapat kesan seakan-akan dia sangat menghormati aku dan segan padaku. Dengan demikian tentu tiada seorang pun yang menyangsikan kedudukannya itu adalah hasil "kudeta" secara keji.
"Sudah tentu beribu orang yang datang ke Siau-lim-si ini tidak semua pernah minum obat penawar yang kumintakan. Tapi bila salah seorang pimpinan mereka pernah terima bantuanku, tentu anak buahnya merasa utang budi juga padaku. Pula kedatangan mereka ke Siau-sit-san ini juga belum tentu demi diriku, besar kemungkinan mereka datang atas panggilan Lenghou-tayhiap, mereka tidak berani mangkir."
"Wah, baru setengah hari kau bergaul dengan aku sudah mahir putar lidah," kata Lenghou Tiong.
Ing-ing mengikik tawa riang. Selama hidupnya di dalam Tiau-yang-sin-kau hanya menghadapi puji sanjung belaka, siapa pun tidak berani membangkang perintahnya, lebih-lebih tiada seorang pun yang berani bergurau padanya. Sekarang Lenghou Tiong bisa membanyol padanya, tentu saja sangat menggembirakan hatinya.
Selang sejenak Ing-ing berkata lagi dengan tersenyum, "Kau pimpin orang sebanyak itu datang ke sini memapak aku, sudah tentu aku sangat senang. Tadinya orang-orang Kangouw itu suka merasani diriku, katanya aku jatuh hati padamu, sebaliknya kau adalah pemuda romantis yang suka main cinta di sembarang tempat, hakikatnya tidak menaruh perhatian padaku..." sampai di sini suaranya menjadi perlahan, katanya pula dengan perasaan hampa, "tapi setelah geger-geger ini, sedikitnya kau telah mengembalikan kehormatanku bagi pandangan mereka itu. Seumpama aku mati juga takkan... takkan menanggung sangkaan jelek lagi."
"Kau yang membawa aku ke Siau-lim-si dan minta pengobatan bagiku, waktu itu aku benar-benar tidak mengetahui sama sekali. Kemudian aku terkurung di bawah Danau Se-ouw, setelah lepas dan mengetahui duduknya perkara, lalu datang memapak dikau, namun engkau sudah cukup banyak menderita."
"Sebenarnya aku pun tidak menderita kesukaran apa-apa selama dikurung di belakang gunung Siau-lim-si. Aku disekap sendirian di suatu rumah batu, setiap sepuluh hari tentu datang seorang hwesio tua mengantarkan perbekalan bagiku. Selain itu aku tidak pernah melihat siapa-siapa lagi. Sampai akhirnya Ting-sian dan Ting-yat Suthay datang ke Siau-lim-si, aku telah dikeluarkan untuk menemui mereka, di situ aku baru mengetahui ketua Siau-lim-si itu hakikatnya tidak pernah mengajarkan Ih-kin-keng padamu, juga tidak pernah mengobati penyakitmu. Aku menjadi marah demi mengetahui aku tertipu, aku mencaci maki hwesio tua Siau-lim-si itu. Ting-sian Suthay lantas menghibur aku, katanya kau sehat walafiat, katanya pula engkau yang suruh kedua suthay itu datang ke Siau-lim-si buat memintakan pembebasanku."
"Sesudah mendengar demikian barulah kau tidak mencaci maki dia lagi?" tanya Lenghou Tiong.
"Ketua Siau-lim-si itu hanya tersenyum saja meski aku telah mencaci maki dia. Katanya, "Lisicu, waktu itu Lolap berjanji akan mengajarkan Ih-kin-keng kepada Lenghou-siauhiap untuk memunahkan macam-macam hawa murni yang mengacau di dalam tubuhnya itu, apabila Lenghou-siauhiap mau masuk Siau-lim-si dan dapat kuterima sebagai muridku. Namun Lenghou-siauhiap menolak anjuranku itu, maka aku pun tidak dapat memaksa dia. Pula waktu kau memanggul dia ke sini, tatkala itu keadaannya sangat payah, tapi ketika dia meninggalkan pegunungan ini, biarpun penyakitnya belum sembuh, namun sudah bisa berjalan seperti biasa, untuk mana sedikit-banyak Siau-lim-si juga berjasa baginya."
"Kupikir ucapannya juga benar, aku lantas berkata, "Habis kenapa kau menahan aku di sini" Bukankah kau sengaja menipu aku?""
"Ya, memangnya dia tidak pantas mendustai kau," ujar Lenghou Tiong.
"Tapi ada juga alasannya yang masuk akal. Hwesio tua itu mengatakan bahwa aku ditahan di Siau-lim-si justru dia berharap akan dapat melenyapkan rasa congkakku. Huh, benar-benar ngaco-belo belaka," Aku lantas menjawab, "Kau sudah begini tua, tapi suka mengakali anak kecil seperti kami, kau tahu malu tidak?"
"Hwesio tua itu tertawa dan berkata, "Waktu itu kau sendiri yang rela berkorban bagi keselamatan Lenghou-siauhiap. Meski kami tidak jadi menyembuhkan Lenghou-siauhiap, tapi jiwamu juga tidak kami ganggu. Sekarang mengingat kehormatan Ting-sian dan Ting-yat Suthay, bolehlah kau pergi dari sini."
"Begitulah aku lantas dibebaskan dan turun gunung bersama kedua tokoh Hing-san-pay itu. Di bawah gunung kami ketemu Ban-li-tok-heng Dian Pek-kong, dia memberi tahu bahwa kau sedang dalam perjalanan bersama ribuan orang akan memapak aku ke Siau-lim-si.
"Kedua suthay menjadi khawatir dan tak bisa tinggal diam, segera mereka menyusul lagi ke atas gunung dengan maksud mencari kau untuk menghindarkan pertumpahan darah kedua pihak. Tak terduga maksud luhur kedua suthay yang berkepandaian tinggi itu justru bisa tewas di dalam Siau-lim-si."
Habis berkata Ing-ing menghela napas panjang penuh penyesalan.
"Ya, entah siapakah yang menurunkan tangan keji kepada beliau-beliau itu," kata Lenghou Tiong gegetun. "Pada tubuh kedua suthay itu tiada tanda-tanda luka, cara bagaimana tewasnya juga tidak diketahui."
"Tanda luka jelas ada, siapa yang bilang tidak ada?" sahut Ing-ing. "Ketika ayah, Hiang-sioksiok, dan aku melihat jenazah kedua suthay itu menggeletak di dalam Siau-lim-si, aku telah coba membuka baju mereka dan memeriksa badannya, kulihat bagian ulu hati masing-masing ada suatu titik merah bekas tusukan jarum. Jelas mereka tewas tertusuk oleh jarum berbisa."
"Hahhh!" Lenghou Tiong melonjak kaget. "Jarum berbisa" Di dunia persilatan sekarang siapakah yang memakai jarum berbisa?"
"Ayah dan Hiang-sioksiok yang berpengalaman luas juga tidak tahu. Menurut ayah, katanya itu bukan jarum berbisa, tapi adalah sejenis senjata yang ditusukkan kepada bagian fatal sehingga korbannya mati seketika. Cuma tusukan kepada ulu hati Ting-sian Suthay itu rada menceng sedikit."
"Benar. Waktu aku menemukan Ting-sian Suthay, beliau belum meninggal. Jika tusukan jarum itu mengarah ulu hati, maka jelas bukan serangan gelap, tapi pertarungan berhadapan. Tentunya pembunuh kedua suthay itu pasti orang kosen yang mahalihai."
"Ya, ayahku pun berkata demikian. Dengan sedikit data-data itu rasanya takkan sulit menemukan pembunuhnya kelak."
Mendadak Lenghou Tiong menggaplok dinding gua, katanya, "Ing-ing, selama kita masih bernapas, kita harus menuntut balas bagi kedua suthay yang baik hati itu."
"Benar," sahut Ing-ing mantap.
Sambil duduk bersandar dinding gua, Lenghou Tiong merasa kaki dan tangannya dapat bergerak leluasa, dada juga tidak merasa sakit, ia menjadi heran, katanya, "Aneh, aku telah ditendang begitu keras oleh suhuku, kenapa seperti tidak terluka apa-apa dadaku."
"Kata ayah kau telah mempelajari Gip-sing-tay-hoat-nya, dalam badanmu sudah tidak sedikit menyedot tenaga dalam orang lain. Maka kekuatan lwekangmu sesungguhnya sudah beberapa kali lebih kuat daripada gurumu. Tatkala itu kau sampai muntah darah, soalnya kau tidak mau mengerahkan tenaga untuk melawan tendangan gurumu. Namun lwekangmu yang mahakuat itu telah melindungi tubuhnya sehingga lukamu teramat ringan. Setelah ayah mengurut-urut tubuhmu, sementara ini kesehatanmu sudah pulih kembali. Cuma patahnya tulang kaki gurumu itu sebaliknya adalah kejadian aneh. Sudah setengah hari ayah memikirkan hal itu dan tetap tidak tahu sebab musababnya."
"Kekuatan lwekangku yang menggetar kembali tendangan suhu itu sehingga mematahkan tulang kakinya, kenapa hal ini mesti diherankan?" ujar Lenghou Tiong.
"Bukan begitu halnya," sahut Ing-ing. "Kata ayah, tenaga dalam berasal dari orang lain itu harus bisa digunakan dengan lancar barulah bisa dipakai menyerang lawan. Tapi tetap kalah setingkat bila dibandingkan lwekang yang berhasil diyakinkan oleh dirimu sendiri."
"Kiranya demikian," kata Lenghou Tiong. Karena tidak paham persoalannya, maka ia pun tidak mau banyak pikir lagi. Ia hanya merasa tidak enak karena telah membikin patah tulang kaki sang guru. Pikirnya, "Lantaran diriku siausumoay sampai dilukai oleh Gi-ho Sumoay. Sekarang bukan saja suhu juga terluka, bahkan aku telah membuatnya malu di depan orang banyak. Dosaku ini betapa pun sukar ditebus lagi."
Untuk sekian lamanya mereka terdiam, suasana sunyi, hanya terkadang terdengar suara letikan kayu api yang terbakar di luar gua itu. Tertampak salju bertebaran dengan lebatnya, jauh lebih lebat daripada hujan salju di atas Siau-sit-san kemarin.
Dalam keadaan sunyi senyap itu, tiba-tiba Lenghou Tiong mendengar di sebelah barat gua sana ada suara orang bernapas dengan berat. Segera ia pasang telinga buat mendengarkan lebih cermat.
Lwekang Ing-ing tidak setinggi Lenghou Tiong, ia tidak dapat mendengar suara itu, tapi melihat gerak-gerik pemuda itu ia lantas tanya, "Kau mendengar suara apa?"
"Seperti orang bernapas, entah siapa yang datang," sahut Lenghou Tiong. "Di mana ayahmu?"
"Ayah dan Hiang-sioksiok bilang mau jalan-jalan keluar," kata Ing-ing dengan wajah merah. Ia tahu maksud ayahnya mengatakan begitu adalah sengaja memberi kesempatan padanya agar bisa bicara lebih asyik dan mesra melipur perasaan rindu selama berpisah ini.
Sementara itu Lenghou Tiong mendengar lagi suara orang bernapas, katanya segera, "Marilah kita keluar melihatnya."
Mereka keluar gua, terlihat bekas kaki Yim Ngo-heng dan Hiang Bun-thian sudah hampir lenyap tertutup oleh salju.
"Dari situlah datangnya suara napas orang itu," kata Lenghou Tiong sambil menunjuk ke arah bekas-bekas kaki. Segera mereka mengikuti jejak kaki itu, kira-kira satu-dua li jauhnya, setelah membelok suatu lintasan bukit, mendadak di tanah salju sana kelihatan Yim Ngo-heng dan Hiang Bun-thian berdiri sejajar tanpa bergerak.
Mereka terkejut dan cepat memburu ke sana. "Ayah!" seru Ing-ing, segera ia pegang sebelah tangan Yim Ngo-heng.
Tak terduga, begitu menempel tangan sang ayah, seketika seluruh badan Ing-ing tergetar, terasa suatu arus hawa mahadingin menyalur tiba dari tangan ayahnya sehingga dia kedinginan.
"Ayah, kau... kau kenapa...." belum habis ucapannya badan sudah gemetar, gigi berkertukan. Tapi ia lantas paham duduknya perkara, tentu keadaan ayahnya itu adalah akibat tutukan maut Co Leng-tan dan sekarang Hiang Bun-thian sedang membantu sang ayah melawan serangan hawa dingin dengan segenap lwekangnya.
Mula-mula Lenghou Tiong juga tidak paham, dilihatnya wajah Yim Ngo-heng dan Hiang Bun-thian sangat prihatin, menyusul Yim Ngo-heng bernapas lagi beberapa kali dengan berat, baru sekarang ia tahu suara napas yang didengarnya tadi kiranya berasal dari Yim Ngo-heng.
Ketika dilihatnya badan Ing-ing juga menggigil kedinginan, tanpa pikir ia lantas pegang tangan si nona. Sekejap saja hawa dingin itu pun menyusup ke dalam tubuhnya. Seketika pahamlah Lenghou Tiong bahwa Yim Ngo-heng telah terserang oleh hawa dingin musuh dan sekarang sedang mengerahkan tenaga untuk membuyarkan hawa dingin itu. Segera ia menggunakan cara yang pernah dipelajari dari ilmu yang terukir di atas papan besi di penjara bawah Se-ouw dahulu itu, perlahan-lahan ia membuyarkan hawa dingin yang menyusup ke dalam tubuhnya.
Mendapat bantuan Lenghou Tiong itu, seketika hati Yim Ngo-heng merasa lega. Maklumlah, biarpun lwekang Hiang Bun-thian dan Ing-ing cukup tinggi, tapi tidaklah sama dengan lwekang yang diyakinkan Yim Ngo-heng, mereka hanya bisa membantu lawan hawa dingin dengan lwekang, tapi tak bisa membuyarkan hawa dinginnya. Dengan bantuan Lenghou Tiong yang tepat itu, sedikit demi sedikit Lenghou Tiong menarik "Han-giok-cin-gi" yang dicurahkan Co Leng-tan ke tubuh Yim Ngo-heng itu, lalu dibuyarkan keluar sehingga racun dingin yang mengeram di tubuh Yim Ngo-heng semakin berkurang.
Begitulah mereka berempat tangan bergandengan tangan berdiri kaku di tanah salju itu seperti patung, bunga salju masih terus turun dengan lebatnya sehingga lambat laun dari kepala sampai kaki mereka tertutup semua oleh salju.
Sambil mengerahkan tenaga Lenghou Tiong merasa heran pula kenapa bunga salju yang menimpa mukanya tidak mencair" Sebaliknya malah terus menempel dan membeku dan makin tebal.
Ia tidak tahu bahwa "Han-giok-cin-gi" yang diyakinkan Co Leng-tan itu sangat lihai, hawa dingin yang dipancarkan itu jauh lebih dingin daripada salju. Kini kulit badan mereka berempat sudah sedingin es, hanya dalam badan saja yang masih hangat. Sebab itulah bunga salju yang menimpa mereka tidak mencair, sebaliknya makin tertimbun dan makin keras.
Selang agak lama, cuaca mulai terang, tapi salju masih turun dengan lebatnya. Lenghou Tiong khawatir badan Ing-ing yang lemah itu tidak tahan serangan hawa dingin dalam waktu lama, tapi ia merasa racun dingin di tubuh Yim Ngo-heng itu belum terkuras bersih, meski suara napasnya yang berat sudah tidak terdengar lagi, entah boleh berhenti tidak pertolongannya itu, kalau berhenti apakah akan terjadi akibat lain tidak"
Karena ragu-ragu, terpaksa ia meneruskan bantuan lwekangnya kepada Yim Ngo-heng. Syukurlah dari tapak tangan Ing-ing yang digenggamnya itu dapat dirasakan badan si nona sudah tidak menggigil lagi, dapat pula dirasakan denyut nadi di tapak si nona.
Dalam keadaan terbungkus oleh salju yang tebal, bagian mata juga terlapis salju beberapa senti tebalnya, lapat-lapat Lenghou Tiong cuma bisa merasakan cuaca sudah terang, tapi tak bisa melihat apa-apa.
Tanpa menghiraukan urusan lain Lenghou Tiong terus mengerahkan tenaganya, ia berharap selekasnya racun dingin di tubuh Yim Ngo-heng akan dapat dipunahkan seluruhnya.
Entah berapa lama lagi, tiba-tiba dari jurusan timur laut yang jauh sana terdengar suara derapan kaki kuda dan makin lama makin mendekat. Kemudian terdengar jelas yang datang ada dua penunggang kuda, yang satu di depan dan yang lain di belakang. Menyusul lantas terdengar seruan seorang, "Sumoay, Sumoay, dengarkan aku dulu!"
Meski kedua telinga juga tertutup oleh salju tebal, tapi dapat didengarnya dengan jelas bahwa suara itu bukan lain adalah suara bekas gurunya, yaitu Gak Put-kun.
Terdengar suara berdetak-detak kaki kuda yang tidak berhenti, lalu suara Gak Put-kun berseru lagi, "Kau tidak paham seluk-beluknya lantas uring-uringan, hendaklah kau dengarkan ceritaku dulu."
Lalu terdengar Gak-hujin berseru, "Aku merasa kesal sendiri, peduli apa dengan urusanmu" Apa lagi yang perlu diceritakan?"
Dari suara seruan mereka serta suara kaki kuda, terang Gak-hujin berada di depan dan disusul oleh Gak Put-kun dari belakang.
Lenghou Tiong menjadi heran, pikirnya, "Perangai sunio biasanya sangat halus dan tidak pernah ribut mulut dengan suhu, entah apa sebabnya sekali ini suhu telah membikin marah padanya?"
Terdengar kuda tunggangan Gak-hujin semakin mendekat, mendadak terdengar dia bersuara heran, menyusul kudanya meringkik panjang, mungkin karena mendadak dia menahan tali kendali sehingga kudanya berhenti mendadak dengan kedua kaki depan terangkat.
Selang sejenak Gak Put-kun telah menyusul tiba, katanya, "Di tanah pegunungan ini ternyata ada orang menimbun empat orang-orangan salju. Sumoay, bagus dan mirip sekali orang-orang salju itu, bukan?"
Gak-hujin hanya mendengus saja tanpa menjawab. Mungkin rasa marahnya belum reda, tapi jelas ia pun sangat tertarik oleh empat orang-orangan salju yang dikatakan itu.
Baru saja Lenghou Tiong merasa heran dari manakah di tanah pegunungan luas ini ada empat orang-orangan salju, tapi segera ia menjadi paham, "Ya, kami berempat tertimbun salju sedemikian tebalnya sehingga suhu dan sunio menyangka kami sebagai orang-orangan salju."
Lalu terdengar Gak Put-kun berkata, "Di sini tiada tanda-tanda bekas kaki, kukira orang-orangan salju ini sudah dibuat beberapa hari yang lalu. Sumoay, bukankah tiga di antaranya seperti lelaki dan satu perempuan?"
"Tampaknya hampir sama saja, masakah ada perbedaannya?" ujar Gak-hujin, lalu ia membentak kudanya hendak dilarikan.
Cepat Gak Put-kun menahan tali kendali kuda istrinya dan berkata, "Sumoay, kenapa kau terburu-buru" Di sini tiada orang lain, marilah kita berunding secara panjang."
"Terburu-buru apa, aku hanya mau pulang ke Hoa-san, kau suka mengekor kepada Co Leng-tan boleh pergi sendiri saja ke Ko-san," sahut Gak-hujin.
"Siapa bilang aku mau mengekor Co Leng-tan" Sebagai ketua Hoa-san-pay yang terhormat buat apa aku mesti tunduk kepada Ko-san-pay?"
"Itulah, justru aku tidak paham mengapa sebagai ketua Hoa-san-pay kau justru mau tunduk kepada Co Leng-tan dan terima perintahnya" Sekalipun dia adalah bengcu dari Ngo-gak-kiam-pay, tapi juga tidak boleh mencampuri urusan dalam Hoa-san-pay kita. Bila kelima golongan dilebur menjadi satu, lalu nama Hoa-san-pay dapatkah dipertahankan lagi di dunia persilatan" Dahulu waktu suhu menyerahkan jabatan ciangbun kepadamu, pesan apa saja yang beliau tinggalkan kepadamu"!"
"Suhu menghendaki aku mengembangkan kejayaan Hoa-san-pay," sahut Gak Put-kun.
"Nah, itu dia. Sekarang bila kau menggabungkan Hoa-san-pay ke dalam Ko-san-pay, cara bagaimana kau akan bertanggung jawab kepada mendiang guru kita" Biarpun kecil Hoa-san-pay harus berdiri sendiri daripada bersandar kepada orang lain."
Gak Put-kun menghela napas, katanya, "Sumoay, menurut pendapatmu, bagaimana kepandaian Ting-sian dan Ting-yat Suthay dari Hing-san-pay jika dibandingkan kita?"
"Tidak pernah bertanding, tapi kukira juga sembabat. Buat apa kau tanya soal ini?"
"Aku pun berpendapat demikian. Kedua suthay itu tewas di Siau-lim-si, jelas Co Leng-tan yang membunuh mereka," kata Put-kun.
Mendengar sampai di sini, hati Lenghou Tiong tergetar. Memangnya ia pun mencurigai Co Leng-tan yang membunuh pimpinan-pimpinan Hing-san-pay itu, orang lain rasanya juga tidak memiliki kepandaian setinggi itu.
"Lantas bagaimana jika itu perbuatan Co Leng-tan" Bila kau ada bukti nyata, seharusnya kau undang seluruh kesatria sejagat dan sama-sama mendatangi Co Leng-tan untuk membalas sakit hati kedua suthay."
Kembali Gak Put-kun menghela napas, katanya, "Pertama memang tidak ada bukti. Kedua, kekuatan kita tak bisa melawannya."
"Mengapa tidak bisa melawannya" Kita dapat menampilkan Hong-ting Taysu dari Siau-lim-si dan Tiong-hi dari Bu-tong-pay, apakah Co Leng-tan berani?"
"Tapi sebelum beliau-beliau itu dapat kita undang, kukhawatir kita suami istri sudah mengalami nasib seperti kedua suthay itu," ujar Put-kun menghela napas.
"Kau maksudkan kita akan dibunuh juga oleh Co Leng-tan" Hm, sebagai orang persilatan masakah kita harus takut menghadapi risiko demikian" Kalau takut ini dan takut itu, cara bagaimana kau akan berkecimpung di dunia Kangouw?"
Alangkah kagumnya Lenghou Tiong terhadap sang ibu-guru itu. Pikirnya, "Biarpun kaum wanita, tapi jiwa kesatria sunio harus dipuji."
"Kita tidak takut mati, tapi apa faedahnya pengorbanan kita?" ujar Put-kun. "Kalau Co Leng-tan membunuh kita secara menggelap, kita mati dengan tidak terang seluk-beluknya, akhirnya dia toh tetap mendirikan Ngo-gak-kiam-pay-nya, bukan mustahil dia malah akan menjatuhkan sesuatu fitnah keji atas diri kita."
Gak-hujin terdiam. Gak Put-kun lantas menyambung pula, "Bila kita mati, maka anak murid Hoa-san-pay tentu juga akan menjadi mangsa empuk Co Leng-tan, masakah mereka sanggup melawannya" Pendek kata, betapa pun kita harus memikirkan diri Leng-sian."
Gak-hujin berdehem perlahan, agaknya hatinya terpengaruh juga oleh kata-kata sang suami. Selang sejenak baru berkata, "Seumpama sementara ini kita tidak perlu membongkar tipu muslihat Co Leng-tan, tapi kenapa kau malah memberikan Pi-sia-kiam-boh milik keluarga Peng-ci kepada orang she Co itu" Bukankah itu berarti membantu kejahatannya sehingga mirip harimau tumbuh sayap?"
"Itu pun merupakan rencanaku dalam jangka panjang," kata Gak Put-kun. "Jika aku tidak memberikan kitab pusaka yang menjadi impian setiap orang bu-lim, tentu sukar membikin dia percaya akan kesungguhan hatiku untuk bekerja sama dengan dia. Semakin dia tidak menaruh curiga padaku, semakin bebaslah tindak tanduk kita. Nanti kalau waktunya sudah masak barulah kita membongkar kedoknya dan bersama para kesatria seluruh jagat membinasakan dia."
Pada saat itulah mendadak Lenghou Tiong merasa kepalanya tergetar seperti ditabok oleh tangan orang, keruan ia terkejut, "Wah, celaka, mungkin penyamaran kami ini ketahuan mereka. Selagi racun dingin Yim-kaucu belum punah sama sekali, apa yang harus kulakukan jika suhu dan sunio menyerang aku?"
Ia merasa tenaga dalam yang tersalur dari tangan Ing-ing juga tergetar beberapa kali, diduganya tentu perasaan Yim Ngo-heng juga tidak tenteram. Tapi sesudah kepalanya ditabok orang, lalu tiada sesuatu kejadian lagi.
Terdengar Gak-hujin bicara pula, "Kemarin waktu kau bertanding dengan Tiong-ji, berulang-ulang kau telah memainkan jurus-jurus Long-cu-hwe-tau, Jong-siong-ging-khik, dan sebagainya, apa artinya itu?"
"Hehe, meski kelakuan bangsat cilik itu tidak senonoh, betapa pun dia adalah anak yang kita piara sejak kecil, rasanya sayang jika melihat dia sampai tersesat, maka bila dia mau berpaling kembali ke jalan yang benar, aku pun bersedia menerima dia kembali ke dalam Hoa-san-pay."
"Bahkan maksudmu akan menjodohkan Anak Sian kepadanya, bukan?" tanya Gak-hujin.
"Ya, memang," sahut Gak Put-kun.
"Isyarat yang kau berikan waktu itu hanya sebagai siasat saja atau memang benar-benar berniat begitu?" tanya pula Gak-hujin.
Gak Put-kun terdiam. Segera Lenghou Tiong merasa kepalanya diketok-ketok perlahan lagi oleh orang. Maka tahulah dia pasti sembari berpikir Gak Put-kun menggunakan tangannya menabok-nabok perlahan di atas kepala orang-orangan salju, jadi penyamaran Lenghou Tiong berempat belum lagi diketahui olehnya.
Sejenak baru terdengar Gak Put-kun menjawab, "Seorang laki-laki harus pegang janji, sekali aku sudah menyanggupi dia tentu tidak boleh ingkar janji."
"Dia sangat kesengsem kepada perempuan siluman Mo-kau itu, masakah kau tidak tahu?" ujar Gak-hujin.
"Tidak, terhadap perempuan siluman Mo-kau itu dia hanya segan dan takut, kesengsem sih belum tentu," ujar Put-kun. "Masakah kau tidak dapat membedakan bagaimana sikap biasanya terhadap Anak Sian daripada terhadap perempuan siluman itu?"
"Sudah tentu aku dapat melihatnya. Jadi kau yakin dia masih belum melupakan Anak Sian?"
"Bukan saja tidak lupa, bahkan boleh dikata sangat rindu," kata Gak Put-kun. "Tidakkah kau menyaksikan betapa senangnya dia waktu mengetahui arti dari jurus-jurus seranganku itu?"
"Justru karena itu, maka kau telah menggunakan Anak Sian sebagai umpan untuk memancing dia agar sengaja mengalah padamu, bukan?"
Meski kupingnya tertutup oleh salju, tapi dapat pula Lenghou Tiong mendengar kata-kata sang sunio yang bernada marah dan menyindir itu. Padahal nada demikian selamanya tak pernah diucapkan oleh sang sunio terhadap suaminya. Betapa pun ibu guru itu selalu menghormati kedudukan sang suami sebagai ketua suatu aliran persilatan yang disegani. Tapi sekarang dia sampai mengucapkan kata-kata bernada menyindir, hal ini menandakan betapa tidak senang hatinya terhadap sang suami.
Terdengar Gak Put-kun menghela napas panjang, katanya, "Sampai kau pun tidak paham maksud tujuanku, apalagi orang luar. Padahal bukan untuk kepentingan diriku pribadi, tapi adalah demi kehormatan Hoa-san-pay kita. Jika aku dapat menyadarkan Lenghou Tiong sehingga dia masuk kembali Hoa-san-pay, maka ini berarti satu usaha empat keuntungan, suatu kejadian yang sangat bagus."
"Satu usaha empat keuntungan apa?" tanya Gak-hujin.
"Seperti kau mengetahui, entah dari mana mendadak Lenghou Tiong mendapat ajaran ilmu pedang ajaib dari Hong-susiok. Jika dia kembali ke dalam Hoa-san-pay, itu berarti wibawa Hoa-san-pay kita akan tambah cemerlang, ini adalah keuntungan pertama. Dengan demikian tipu muslihat Co Leng-tan akan mencaplok Hoa-san-pay tentu sukar terlaksana, bahkan Thay-san-pay, Heng-san-pay, dan Hing-san-pay juga bisa diselamatkan, ini adalah keuntungan kedua. Jika dia masuk kembali Hoa-san-pay, itu berarti pihak cing-pay kita bertambah suatu jago kelas wahid, sebaliknya pihak sia-pay akan menjadi lemah kehilangan seorang pembantu yang diandalkan, ini adalah keuntungan ketiga. Betul tidak, Sumoay?"
Agaknya Gak-hujin merasa tertarik juga oleh uraian sang suami itu, lalu ia bertanya, "Dan keuntungan yang keempat?"
"Keuntungan keempat ini lebih meyakinkan lagi. Tiong-ji adalah kita yang membesarkan, kita sendiri tidak punya putra, selama ini kita anggap dia sebagai putra kandung kira sendiri. Bahwa dia tersesat ke jalan yang tidak baik sesungguhnya aku pun sangat sedih. Usiaku sudah lanjut, apa artinya nama kosong bagiku di dunia fana ini" Asalkan dia bisa kembali ke jalan yang baik, sekeluarga kita dapat berkumpul kembali dengan bahagia, bukankah ini suatu peristiwa yang menggembirakan?"
Mendengar sampai di sini, alangkah terharunya Lenghou Tiong sehingga air matanya berlinang-linang di kelopak matanya, hampir-hampir ia berteriak, "Suhu, Sunio!"
Syukur terasa olehnya tangan Ing-ing yang digenggamnya itu rada tergetar sehingga seruannya itu urung dikeluarkan.
Kemelut Kerajaan Mancu 5 Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Pedang Kayu Cendana 1

Cari Blog Ini