Ceritasilat Novel Online

Hina Kelana 9

Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong Bagian 9


Maka sambil tangan kiri mengangkat panji pancawarna ke atas, tangan kanan dengan pedang melintang di depan tenggorokan Hui Pin, segera Lau Cing-hong berseru, "Ting-suheng dan Liok-suheng, secara sembrono aku telah merampas panji pimpinan Ngo-gak kita, sesungguhnya aku pun tidak berani mengancam apa-apa kepada kalian, maksudku hanya ingin mohon pengertian kalian saja."
Ting Tiong saling pandang sekejap dengan Liok Pek. Pikir mereka, "Hui-sute telah jatuh di bawah cengkeramannya, terpaksa kita harus menurut kepada apa yang dia inginkan."
Segera Ting Tiong menjawab, "Apa yang hendak kau katakan lagi?"
"Mohon Ting-suheng berdua suka menyampaikan kepada Co-bengcu agar aku diperbolehkan mengasingkan diri bersama segenap anggota keluargaku, selanjutnya aku takkan ikut sesuatu urusan dalam Bu-lim lagi," demikian kata Lau Cing-hong. "Adapun hubunganku dengan Kik-toako juga terbatas sampai di sini saja, selanjutnya kami takkan bertemu pula, begitu pula dengan para sahabat yang hadir di sini ini. Aku akan membawa segenap keluargaku pergi jauh dari sini, selama hidup ini takkan menginjak kembali ke tanah Tionggoan sini."
Ting Tiong tampak ragu-ragu. Sahutnya kemudian, "Permintaanmu ini aku dan Liok-sute tidak berani mengambil keputusan sendiri, tapi harus dilaporkan dulu kepada Co-bengcu dan minta petunjuknya."
"Di sini sudah hadir juga para Ciangbun dari Thay-san-pay dan Hoa-san-pay, Hing-san-pay juga diwakili oleh Ting-yat Suthay, selain itu para kesatria yang terhormat juga boleh ikut menjadi saksi," ujar Lau Cing-hong sambil memandang sekeliling kepada para hadirin, lalu menyambung, "Untuk ini aku pun ingin mohon bantuan para sahabat agar suka mengingat rasa setia kawan, dapatlah kiranya menyelamatkan anggota keluargaku."
Ting-yat Suthay adalah seorang yang keras di luar tapi lunak di dalam. Meski wataknya berangasan, tapi hatinya sebenarnya welas asih. Dia yang membuka suara lebih dulu, "Cara demikian memang paling baik supaya tidak membuat susah kedua pihak. Ting-suheng, Liok-suheng, bolehlah kita menerima saja permintaan Lau-hiante ini. Dia sudah berjanji takkan bergaul dengan orang Mo-kau, juga akan jauh meninggalkan Tionggoan, itu berarti di dunia ini sudah tak terdapat lagi seorang Lau Cing-hong, buat apa kita mesti berkeras akan melakukan pembunuhan pula?"
Thian-bun Tojin juga mengangguk, "Ya, cara demikian juga ada baiknya. Bagaimana pendapatmu, Gak-hiante?"
"Jika Lau-hiante sudah menyatakan kesediaannya, sudah tentu kita dapat memercayainya," kata Gak Put-kun. "Marilah, biarlah kita ubah pertengkaran ini menjadi pertemuan yang menggembirakan. Lau-hiante, silakan kau melepaskan Hui-suheng, marilah kita minum bersama satu cawan perdamaian. Besok pagi-pagi kau boleh membawa anggota keluargamu dan meninggalkan Heng-san."
Tapi Liok Pek lantas menanggapi dengan suara dingin, "Jika ketua-ketua dari Thay-san dan Hoa-san-pay sudah bicara demikian, apalagi Ting-yat Suthay juga menyokongnya dengan kuat, masakah kami berani membantah kemauan orang banyak" Cuma saja Hui-sute kami saat ini berada di bawah ancaman Lau Cing-hong, jika kami lantas menerima permintaannya begini saja, kelak orang Kangouw tentu akan mengatakan Ko-san-pay terpaksa tunduk kepada Lau Cing-hong lantaran diancam dan tak berdaya. Jika hal ini tersiar, lalu ke mana muka Ko-san-pay harus disembunyikan?"
"Lau-sute kan minta kemurahan hati kepada Ko-san-pay dan bukannya mengancam, dari mana alasan untuk mengatakan Ko-san-pay terpaksa tunduk karena diancam?" ujar Ting-yat.
Liok Pek tidak membantah lagi, ia hanya mendengus. Lalu berseru, "Siap sedia, Tik Siu!"
Tik Siu, seorang murid Ko-san-pay yang berdiri di belakang putra sulung Lau Cing-hong lantas mengiakan sambil menyodorkan pedangnya sehingga menempel di punggung Lau-kongcu.
Lalu dengan suara dingin Liok Pek berkata pula, "Lau Cing-hong, jika ada sesuatu permintaanmu, bolehlah kau ikut kami ke Ko-san dan menemui Co-bengcu sendiri. Kami hanya bertindak berdasarkan perintah beliau dan tidak dapat mengambil keputusan apa-apa. Yang penting sekarang lekas kau kembalikan panji kebesaran itu dan melepaskan Hui-sute!"
Lau Cing-hong tersenyum pedih, katanya kepada putranya, "Nak, kau takut mati atau tidak?"
"Anak taat kepada kata-kata ayah, anak tidak takut!" sahut Lau-kongcu.
"Anak yang baik," kata Lau Cing-hong.
Mendadak Liok Pek membentak, "Bunuh saja!"
Segera Tik Siu mendorong pedangnya ke depan sehingga menembus punggung Lau-kongcu. Waktu pedang dicabut kembali, kontan Lau-kongcu jatuh tersungkur, darah segar muncrat keluar dari lubang lukanya.
Nyonya Lau menjerit sambil menubruk ke atas mayat putranya.
"Bunuh!" bentak pula Liok Pek.
Kembali Tik Siu mengayun pedangnya, sekali tusuk, punggung Lau-hujin tertembus pula.
Ting-yat Suthay menjadi gusar. "Binatang!" dampratnya sambil melontarkan pukulan ke arah Tik Siu.
Namun Ting Tiong keburu mengadang di depannya dan melontarkan pukulan juga. Kedua telapak tangan beradu. Rupanya tenaga Ting-yat kalah kuat, dia tergetar mundur dua-tiga tindak. Dada terasa sesak, darah hampir-hampir menyembur keluar dari mulutnya. Namun sedapat mungkin ia tahan sehingga darah itu tersurut kembali ke dalam perut.
"Maaf!" kata Ting Tiong sembari tersenyum.
Sebenarnya Ting-yat memang tidak mahir dalam hal tenaga pukulan, apalagi yang ia serang tadi adalah Tik Siu yang terhitung kaum muda sehingga dia tidak mengeluarkan tenaga sepenuhnya. Tak terduga Ting Tiong mendadak menyambut pukulannya itu dengan sepenuh tenaga. Keruan Ting-yat tidak keburu mengerahkan tenaga lagi ketika kedua tangan beradu sehingga dia kecundang. Saking gusarnya ia bermaksud menyerang pula. Tapi waktu coba mengerahkan tenaga, terasalah tenaga dalam sukar dikerahkan lagi, perut rasanya disayat-sayat. Ia tahu sudah terluka dalam dan tidak mungkin bertempur pula. Segera ia memberi tanda kepada anak muridnya sambil berseru dengan gusar, "Kita berangkat semua!"
Lalu dengan langkah lebar ia mendahului berjalan pergi. Para Nikoh beramai-ramai lantas mengikuti jejak Ting-yat.
"Bunuh pula!" tiba-tiba Liok Pek membentak lagi.
Segera dua murid Ko-san-pay menyorong pedang masing-masing yang memang sudah mengancam di punggung tawanannya, kontan dua murid Lau Cing-hong terbinasa lagi.
"Dengarkanlah para murid keluarga Lau!" seru Liok Pek, "jika kalian ingin hidup, lekas kalian berlutut dan minta ampun, kalian harus mencela perbuatan Lau Cing-hong yang salah. Dengan demikian kalian akan bebas dari kematian!"
"Bangsat keparat! Kalian jauh lebih ganas daripada orang-orang Mo-kau!" damprat putri Lau Cing-hong yang bernama Lau Jing.
"Bunuh!" bentak Liok Pek.
Tanpa bicara lagi Ban Tay-peng lantas angkat pedangnya terus membacok. Kontan tubuh Lau Jing tertebas menjadi dua dari bahu kanan menurun ke pinggang sebelah kiri.
Dalam pada itu murid-murid Ko-san-pay yang lain seperti Su Ting-tat dan lain-lain juga tidak tinggal diam. Satu per satu mereka pun membunuh murid-murid Heng-san-pay yang berada di dalam cengkeraman mereka tadi.
Melihat pembunuhan secara tak kenal ampun demikian, biarpun para hadirin yang hidupnya juga selalu bergelimangan di ujung senjata juga merasa ngeri. Ada beberapa orang tokoh angkatan tua mestinya bermaksud melerai, namun cara turun tangan jago-jago Ko-san-pay itu benar-benar teramat cepat. Baru sekejap saja di ruangan sidang itu mayat sudah bergelimpangan.
Bila diingat bahwa selamanya antara golongan yang baik dan yang jahat tidak pernah berdiri bersama, walaupun tindakan Ko-san-pay ini dirasakan agak terlalu ganas, namun tujuannya bukanlah menuntut balas kepada Lau Cing-hong, tapi adalah terhadap Mo-kau yang merupakan musuh bebuyutan, maka apa yang dilakukan orang-orang Ko-san-pay itu pun dapatlah dimengerti. Pula waktu itu Ko-san-pay sudah menguasai keadaan, sampai-sampai Ting-yat Suthay dari Hing-san-pay juga terpaksa tinggal pergi tanpa bisa berbuat apa-apa. Tokoh lain seperti Thian-bun Tojin, Gak Put-kun juga tinggal diam saja, dengan sendirinya orang luar lebih-lebih tidak berani ikut campur mengenai urusan dalam Ngo-gak-kiam-pay mereka itu.
Dalam pada itu, sesudah terjadi penyembelihan demikian, anak murid Lau Cing-hong sudah terbunuh semua dan hanya tinggal seorang putra kesayangan Lau Cing-hong yang paling kecil. Namanya Lau Kin.
Usia Lau Kin baru saja 15 tahun. Wajahnya cakap otaknya cerdas. Sebelumnya Liok Pek sudah menyelidiki keluarga Lau Cing-hong dengan jelas bahwa bocah ini paling disayang oleh ayahnya. Maka sekarang ia pun hendak menundukkan Lau Cing-hong melalui bocah itu. Segera ia berkata kepada Su Ting-tat, "Coba kau tanya bocah itu mau minta ampun atau tidak" Jika tidak, potong saja hidungnya, lalu daun kupingnya, kemudian cungkil biji matanya, biarkan dia tahu rasa."
Su Ting-tat mengiakan. Lalu berpaling kepada Lau Kin, tanyanya, "Hayo, kau mau minta ampun atau tidak!"
Wajah Lau Kin tampak pucat dan badannya gemetaran.
"Anak yang baik," kata Lau Cing-hong. "Kakak-kakakmu telah mati dengan gagah berani. Kalau mati biar mati, kenapa mesti takut?"
"Akan tetapi ... akan tetapi mereka ... mereka hen ... hendak memotong hidungku dan ... dan mencungkil mataku, Ayah ...." sahut Lau Kin dengan gemetar.
"Hahahaha!" Lau Cing-hong tertawa. "Keadaan sudah begini, masakah kau masih berharap akan diampuni oleh mereka?"
"Ayah, kau ... kau boleh me ... menyanggupi akan mem ... membunuh paman Kik ...."
"Kentut!" damprat Lau Cing-hong sebelum putranya bicara lebih lanjut. "Kau bilang apa, binatang?"
Dalam pada itu Su Ting-tat sengaja mengangkat pedangnya dan dibolak-balik di depan hidung Lau Kin sambil mengancam, "Lekas berlutut dan minta ampun, cah! Kalau tidak segera kupotong hidungmu! Satu ... dua ...."
Belum lagi dia mengucapkan "tiga", cepat sekali Lau Kin sudah tekuk lutut dan memohon, "Jang ... jangan membunuh aku ...."
"Hahahaha! Untuk mengampuni kau juga boleh asalkan kau mesti mencela kesalahan Lau Cing-hong di depan para kesatria yang hadir di sini," seru Liok Pek dengan tertawa.
Dengan ketakutan Lau Kin berpaling ke arah ayahnya, sinar matanya penuh rasa mohon dikasihani. Lau Cing-hong tetap tenang-tenang saja sejak tadi walaupun menyaksikan anak istrinya terbunuh. Tapi sekarang dia benar-benar sudah teramat gusar. Bentaknya, "Binatang cilik, apakah kau tidak punya perasaan" Lihatlah bagaimana keadaan ibumu dan kakak-kakakmu!"
Tapi bukannya menjadi tabah, sebaliknya Lau Kin tambah takut demi memandang jenazah ibu dan para kakaknya yang bergelimangan darah itu. Apalagi pedang Su Ting-tat masih terus berkelebatan di depan hidungnya. Segera ia memohon kepada Liok Pek, "Aku mohon ... mohon dengan sangat, sudilah kau meng ... mengampuni ayahku."
"Ayahmu telah bersekongkol dengan orang jahat dari Mo-kau, kau bilang betul tidak perbuatannya itu?" tanya Liok Pek.
"Ti ... tidak betul!" sahut Lau Kin dengan suara lemah.
"Orang demikian pantas dibunuh atau tidak?" tanya Liok Pek lagi.
Lau Kin tidak berani menjawab, kepalanya menunduk ke bawah.
"Bocah ini tidak mau bicara, boleh kau bunuh dia saja," kata Liok Pek.
Su Ting-tat mengiakan. Ia tahu apa yang dikatakan sang paman guru itu hanya untuk menggertak saja, maka ia pun pura-pura angkat pedangnya seperti akan menebas ke bawah.
Lau Kin menjadi ketakutan dan cepat-cepat menjawab, "Ya, pan ... pantas dibunuh!"
"Bagus!" kata Liok Pek dengan tertawa. "Sejak kini kau bukan lagi orang Heng-san-pay dan juga bukan putranya Lau Cing-hong. Aku mengampuni jiwamu."
Rupanya saking takutnya sehingga kedua kaki Lau Kin terasa lemas semua dan tidak kuat berbangkit.
Melihat tingkah laku bocah itu, para kesatria merasa gemas dan memandang hina padanya. Bahkan ada yang terus berpaling ke arah lain dan tidak sudi memandangnya.
Tiba-tiba Lau Cing-hong menghela napas panjang, katanya, "Orang she Liok, kaulah yang menang!"
Mendadak ia lemparkan panji pancawarna itu kepada Liok Pek, berbareng kaki kiri mendepak sehingga Hui Pin jatuh terguling. Lalu serunya pula, "Seorang she Lau sudah mengaku kalah, rasanya juga tidak perlu banyak menimbulkan korban lagi."
Segera ia palangkan pedang sendiri terus hendak menggorok leher untuk membunuh diri.
Pada saat itulah sekonyong-konyong dari atas emper rumah melayang turun sesosok bayangan hitam dengan gerakan secepat kilat. Sekali tangannya menjulur, tahu-tahu pergelangan tangan Lau Cing-hong sudah terpegang. Terdengar orang itu membentak, "Seorang laki-laki harus membalas dendam, untuk mana sepuluh tahun lagi juga belum terlambat. Pergi!"
Berbareng orang itu terus menyeret Lau Cing-hong dan berlari ke luar.
"Kik-toako!" seru Lau Cing-hong.
Kiranya orang berbaju hitam itu memang betul adalah Kik Yang, gembong Mo-kau yang lihai.
"Ya, jangan banyak bicara dulu!" sahut Kik Yang sambil mempercepat langkahnya.
Tapi baru beberapa tindak saja Ting Tiong, Liok Pek dan Hui Pin bertiga sudah lantas menyerang serentak. Enam tangan mereka telah memukul sekaligus ke punggung Kik Yang dan Lau Cing-hong berdua.
Kik Yang tahu lawan terlalu banyak, jika sampai terlibat dalam pertempuran tentu sukar lagi untuk meloloskan diri. Segera ia membentak kepada Lau Cing-hong, "Lekas lari!"
Sekuatnya ia mendorong Lau Cing-hong, berbareng ia himpun segenap tenaga ke bagian punggung untuk menahan pukulan Ting Tiong, Liok Pek dan Hui Pin bertiga. Tanpa ampun lagi, "blang", mencelatlah ia keluar dengan muntah darah. Namun dia masih sempat mengayun tangannya ke belakang, secomot jarum hitam bertaburan sebagai hujan menghambur ke arah musuh.
"Awas, Hek-hiat-sin-ciam!" seru Ting Tiong. Cepat ia sendiri berkelit ke samping.
Para kesatria menjadi kaget juga demi mendengar nama Hek-hiat-sin-ciam (jarum sakti darah hitam). Beramai-ramai mereka berusaha menghindarkan diri dari sasaran jarum berbisa yang lihai itu. Walaupun demikian tidak urung terdengar juga jeritan belasan orang yang sudah terkena jarum sakti itu.
Rupanya ruangan sidang itu terlalu penuh sesak dengan hadirin, datangnya hujan jarum hitam itu terlalu cepat juga sehingga tidak sedikit orang yang terkena jarum itu. Di tengah ribut-ribut itulah Kik Yang dan Lau Cing-hong sudah melarikan diri.
Kembali mengenai Lenghou Tiong yang terluka parah itu. Sesudah dibubuhi obat mujarab dari Hing-san-pay yang diberikan oleh Gi-lim, ditambah usianya yang muda dan tenaga kuat, Lwekangnya memang juga tinggi, maka sesudah sehari dua malam mengaso di tepi air terjun itu, lambat laun lukanya sudah dapat rapat kembali. Selama sehari dua malam itu, bila perutnya lapar selalu menggunakan semangka sebagai makanan.
Pernah juga Lenghou Tiong minta Gi-lim pergi berburu kelinci atau menangkap ikan untuk bahan makanan. Tapi betapa pun juga Gi-lim tidak mau. Dia adalah seorang Nikoh yang alim dan taat kepada agamanya, disuruh melanggar pantangan membunuh makhluk berjiwa sudah tentu dia tidak mau. Apalagi dia menganggap Lenghou Tiong yang sudah payah itu kini dapat diselamatkan adalah berkat lindungan Buddha, kalau bisa dia ingin bayar kaul untuk menyatakan terima kasihnya kepada Buddha.
Malam hari itu mereka duduk termenung sambil bersandarkan tebing, di udara banyak kunang-kunang yang berkelip-kelip terbang kian kemari.
Tiba-tiba Lenghou Tiong berkata, "Musim panas tahun yang lalu aku pernah menangkap beribu-ribu kunang-kunang itu, kumasukkan di dalam beberapa kantongan dan kugantung di dalam kamar. Sinarnya yang berkelip-kelip itu sungguh sangat menarik."
"Sumoaymu yang suruh kau tangkap kunang-kunang itu, bukan?" tanya Gi-lim.
"Kau sungguh pintar, sekali tebak lantas kena," sahut Lenghou Tiong. "Dari mana kau mendapat tahu Sumoay yang suruh aku menangkap kunang-kunang itu?"
"Watakmu tidak sabaran, juga kau bukan anak kecil, masakah kau sedemikian tekun mau menangkap beribu-ribu kunang-kunang untuk mainan?" ujar Gi-lim dengan tersenyum. Sesudah merandek sejenak, lalu ia tanya pula, "Digantung di dalam kamar untuk apa?"
"Sumoay bilang dengan sinar kunang-kunang yang berkelap-kelip itu menjadi mirip beribu-ribu bintang di langit," kata Lenghou Tiong dengan tertawa. "Cuma sayang, kunang-kunang itu pada esok paginya sudah mati semua."
"Hah" Beribu-ribu kunang-kunang itu telah mati semua" Wah, mengapa kalian ... kalian sedemikian ...."
"Sedemikian kejam bukan, katamu?" Lenghou Tiong memotong dengan tertawa. "Ai, kau memang berhati welas asih. Padahal tanpa diganggu juga dua-tiga hari kemudian kunang-kunang itu akan mati sendiri."
Gi-lim terdiam, sampai agak lama ia tidak tahu apa yang harus dibicarakan lagi.
Pada saat itulah tiba-tiba di angkasa sebelah kiri sana melayang lewat sebuah bintang beralih sehingga menimbulkan sejalur sinar yang panjang.
Kata Gi-lim, "Menurut cerita Enci Gi-ceng, bila ada orang melihat bintang jatuh, jika segera membuat satu ikatan di tali pinggang sendiri sambil memikirkan suatu nazar, maka nazarnya ini tentu akan terkabul. Apakah betul cerita demikian ini?"
"Entahlah, aku pun tak tahu," sahut Lenghou Tiong dengan tertawa. "Tapi tiada jeleknya kita coba-coba. Hayolah lekas siap. Mungkin tangan kita kalah cepat daripada melayangnya sinar bintang beralih itu."
Habis berkata ia terus pegang tali pinggangnya sendiri dan siap untuk membikin ikatan.
Gi-lim juga lantas memegang tali pinggang sendiri. Tapi ia terus memandangi langit dengan termenung-menung. Ia tidak tahu nazar apa yang diharapkannya. Ia coba memandang sekejap pada Lenghou Tiong. Mendadak mukanya bersemu merah dan lekas-lekas berpaling pula ke arah lain.
Pada saat itu mendadak ada bintang beralih lagi, jalur sinar bintang jatuh itu lebih panjang daripada tadi. "Itu dia, lekas mengikat tali pinggangmu!" seru Lenghou Tiong.
Akan tetapi pikiran Gi-lim terasa kusut. Dalam lubuk hatinya yang dalam lapat-lapat ia memang mempunyai suatu keinginan, suatu harapan. Akan tetapi harapan ini sesungguhnya tidak berani diharapkan olehnya, jangankan lagi dikemukakan sebagai suatu permohonan kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Seketika itu ia merasa takut tak terkatakan, tapi juga merasa girang dan bahagia tak terlukiskan.
Ia dengar Lenghou Tiong sedang bertanya pula, "Bagaimana, sudah kau pikirkan nazarmu belum?"
Diam-diam Gi-lim bertanya kepada dirinya sendiri, "Ya, nazar apa yang kuinginkan?"
Dalam pada itu sebuah bintang beralih kembali melayang lewat pula di angkasa raya yang luas. Tapi dia hanya mendongak menyaksikannya dengan termangu-mangu.
"Eh, mengapa kau tidak menyatakan nazarmu?" tanya Lenghou Tiong dengan tertawa. "Ah, biarpun tak kau katakan juga aku dapat menerkanya. Coba ya kukatakan?"
"Jangan kau katakan," cepat Gi-lim mencegah.
"Apa sih halangannya" Biar kutebak tiga kali saja, coba tepat atau tidak."
"Tidak, jangan kau katakan. Jika kau bilang begitu lagi segera kutinggal pergi!" seru Gi-lim sambil berbangkit berdiri.
"Hahaha!" Lenghou Tiong tertawa. "Baiklah, aku takkan mengatakan. Seumpama dalam batinmu ingin menjadi ketua Hing-san-pay kalian toh juga tidak perlu malu."
Gi-lim melengak, "Mengapa dia mengira aku ingin menjadi ketua Hing-san-pay" Padahal selamanya aku tak pernah berpikir demikian."
Tiba-tiba dari jauh terdengar suara "crang-cring", seperti suara orang memetik kecapi.
Lenghou Tiong saling pandang dengan Gi-lim, mereka sama-sama heran mengapa di tengah pegunungan sunyi demikian ada orang main musik.
Suara kecapi itu sangat enak didengar. Selang sejenak, tiba-tiba di tengah suara kecapi itu terseling pula beberapa kali suara seruling yang halus sehingga paduan suara kedua jenis alat musik itu semakin menarik. Terdengar pula suara kecapi dan seruling itu seakan-akan sedang sahut-menyahut, yang satu tanya dan yang lain menjawab. Berbareng suara itu pun makin mendekat.
Lenghou Tiong membisiki Gi-lim, "Suara musik ini sangat aneh. Mungkin takkan menguntungkan kita. Bila terjadi apa-apa, betapa pun juga kau janganlah bersuara."
Gi-lim mengangguk tanda mengerti.
Dalam pada itu suara kecapi terdengar semakin meninggi nadanya, sebaliknya suara seruling lantas rendah malah. Namun suara seruling yang rendah itu tidak terputus, hanya lirih dan sayup tertiup angin, bahkan makin mengikat sukma yang mendengar.
Tertampaklah dari balik batu gunung sana telah muncul tiga sosok bayangan orang. Waktu itu sang dewi malam kebetulan teraling-aling oleh gunung yang menjulang tinggi sehingga samar-samar saja. Hanya kelihatan dua orang di antaranya lebih tinggi dan seorang jauh lebih pendek. Yang tinggi itu adalah dua orang laki-laki dan yang pendek adalah wanita. Kedua orang laki-laki itu lantas duduk bersandarkan batu, yang seorang memetik kecapi dan yang lain meniup seruling. Wanita itu tampak berdiri di sebelah orang yang menabuh kecapi.
Lekas-lekas Lenghou Tiong mengerutkan kembali kepalanya, ia tidak berani mengintip lagi, khawatir kalau diketahui ketiga orang itu. Didengarnya paduan suara kecapi dan seruling itu sangat merdu dengan irama yang cocok satu sama lain.
Diam-diam Lenghou Tiong berpikir, "Suara air terjun di sebelah gunung ini sangat gemuruh, tapi toh tidak menghanyutkan suara kecapi dan seruling yang halus ini. Agaknya kedua orang yang membunyikan kecapi dan seruling ini memiliki Lwekang yang amat kuat."
Sejenak kemudian, tiba-tiba irama kecapi itu berubah keras dan cepat seperti lagu mars di medan perang. Terkadang diseling sekali dua kali suara yang melengking tinggi sehingga membikin hati yang mendengar ikut terguncang. Sebaliknya suara seruling itu tetap kalem dan halus saja.
Lewat sebentar pula, tiba-tiba irama kecapi juga berubah kalem, suara seruling terkadang tinggi dan terkadang rendah. Sekonyong-konyong suara kecapi dan seruling berubah serentak, seakan-akan ada beberapa orang sedang memetik kecapi dan meniup seruling berbareng.
Lenghou Tiong terheran-heran. "Mengapa mendadak datang orang sebanyak ini?"
Waktu ia mengintip pula ke sana, dilihatnya di samping batu itu tetap ketiga orang saja. Kiranya pemain kecapi dan seruling itulah yang luar biasa kepandaiannya sehingga suara musik mereka berubah sedemikian rupa seakan-akan beberapa orang memainkan sejenis alat musik sekaligus, tapi mengeluarkan nada yang berbeda-beda.
Rupanya suara kecapi dan seruling itu mempunyai daya pengaruh begitu besar sehingga Lenghou Tiong tidak bisa tenang lagi, darahnya terasa bergolak, tanpa merasa ia lantas hendak berbangkit.
Setelah mendengarkan pula sejenak, kembali suara kecapi dan seruling itu berubah. Sekarang irama seruling itu berubah menjadi nada dasar, sedangkan suara kecapi hanya sebagai pengiring saja, cuma suara kecapi makin lama makin tinggi.
Entah mengapa, suara seruling itu tiba-tiba menimbulkan semacam perasaan pilu pada Lenghou Tiong, apa sebabnya ia sendiri tidak tahu. Waktu ia melirik Gi-lim, tertampak Nikoh jelita itu bahkan sedang meneteskan air mata.
Sekonyong-konyong terdengar suara "cring" yang mengagetkan, senar kecapi telah putus beberapa jalur. Suara kecapi seketika berhenti, begitu pula suara seruling juga lantas lenyap. Suasana pegunungan itu kembali sunyi senyap, hanya sang dewi malam menghias di angkasa raya nan biru kelam.
Lalu terdengar suara seorang sedang berkata, "Lau-hiante, kalau hari ini kita harus tewas di sini, rupanya ini pun sudah takdir Ilahi. Hanya saja tadi aku tidak lekas-lekas turun tangan sehingga membikin segenap anggota keluargamu menjadi korban, sungguh aku merasa tidak enak hati."
"Kita adalah sahabat yang sama-sama kenal akan perasaan masing-masing, buat apa mesti omong tentang hal-hal demikian," sahut seorang yang lain.
Dari suaranya segera Gi-lim dapat mengenal siapa dia. Ia membisiki Lenghou Tiong, "Itulah Lau-susiok, Lau Cing-hong."
Karena mereka tidak tahu peristiwa berdarah yang terjadi di rumah Lau Cing-hong, maka mereka menjadi heran melihat malam-malam begini Lau Cing-hong datang ke tempat demikian. Lebih-lebih tentang "kita akan tewas hari ini" dan "segenap anggota keluargamu ikut menjadi korban" yang diucapkan kedua orang itu, sungguh membuat Lenghou Tiong dan Gi-lim merasa terperanjat dan bingung.
Dalam pada itu terdengar orang pertama tadi telah berkata pula, "Lau-hiante, dari suara serulingmu tadi, agaknya kau masih menyesal. Apa barangkali menyesali putramu si Lau Kin yang takut mati dan membikin malu nama baikmu itu?"
"Ya, dugaan Kik-toako memang tidak salah," sahut Lau Cing-hong. "Akulah yang salah karena biasanya terlalu memanjakan anak itu dan kurang memberi bimbingan. Sungguh tak terduga bocah itu ternyata tidak punya tulang dan berjiwa pengecut."
Orang pertama tadi memang betul adalah Kik Yang, itu gembong Mo-kau yang telah dapat menyelamatkan Lau Cing-hong. Katanya pula, "Berjiwa jantan atau pengecut, akhirnya toh mesti masuk liang kubur juga, apa sih bedanya" Sejak tadi aku sudah mengawasi di atas rumah dan seharusnya turun tangan secepatnya. Cuma aku menduga Lau-hiante mungkin tidak sudi membela diriku dengan risiko bermusuhan dengan Ngo-gak-kiam-pay sendiri, makanya aku tidak lantas turun tangan. Siapa duga Bengcu dari Ngo-gak-kiam-pay yang tersohor itu ternyata sedemikian keji caranya."
Untuk sejenak Lau Cing-hong termenung, kemudian menghela napas panjang dan berkata, "Orang seperti mereka itu masakah tahu betapa akrab dan luhurnya persahabatan kita melalui seni musik" Mereka menduga secara umum dan menyangka persahabatan kita pasti takkan menguntungkan para kesatria dari Ngo-gak-kiam-pay. Tapi, ya, tak dapat menyalahkan mereka juga kalau mereka kurang paham akan persahabatan kita. Kik-toako, apakah kau punya Tay-cui-hiat terluka sehingga urat jantungmu tergetar luka?"
"Betul," kata Kik Yang. "Tay-ko-yang-jiu dari Ko-san-pay memang benar sangat lihai, sama sekali tak terduga bahwa selain punggungku merasa gempuran mereka tadi, ternyata tenaga dalam mereka yang hebat itu masih menggetar urat jantungku juga sehingga putus. Tahu begini, secomot Hek-hiat-sin-ciam tadi tidak perlu kutaburkan lagi agar tidak banyak melukai orang tak berdosa."
Mendengar kata-kata "Hek-hiat-sin-ciam", hati Lenghou Tiong tergetar. Pikirnya, "Apa barangkali orang ini adalah gembong Mo-kau" Mengapa Lau-susiok bisa bersahabat dengan dia?"
Dalam pada itu terdengar Lau Cing-hong telah menjawab dengan tersenyum, "Orang tak berdosa ikut menjadi korban memang tidak perlu. Tapi lantaran itu kita berdua menjadi ada kesempatan untuk membawakan suatu lagu bersama, selanjutnya di dunia ini takkan terdapat lagi paduan suara kecapi dan seruling seperti kita ini."
"Benar," kata Kik Yang. "Dari zaman dahulu kala sampai kini boleh jadi tiada yang dapat membandingi lagu 'Siau-go-kangouw' (Hina Kelana) kita ini."
Dan sejenak kemudian tiba-tiba ia menghela napas pula.
Segera Lau Cing-hong bertanya, "Sebab apalagi Kik-toako menghela napas" Ah, tahulah aku, tentu engkau merasa khawatir bagi Fifi."
Hati Gi-lim tergerak, "Fifi" Apakah Fifi si dara cilik itu?"
Benar juga lantas terdengar suara Kik Fi-yan sedang berkata, "Kakek, harap engkau merawat luka bersama Lau-kongkong dengan tenang. Kelak biarlah kita mendatangi mereka, setiap jahanam Ko-san-pay itu kita bunuh habis-habisan untuk membalas sakit hati nenek dan para kakak keluarga Lau."
Pada saat itulah tiba-tiba dari balik batu pegunungan sana berkumandang suara orang tertawa panjang. Belum lenyap suara tertawa itu lantas tertampak muncul sesosok bayangan hitam. Dengan cepat sekali tahu-tahu seorang dengan pedang terhunus sudah berdiri di depan Kik Yang dan Lau Cing-hong. Kiranya adalah Hui Pin, yang berjuluk Ko-yang-jiu dari Ko-san-pay.
"Hehe, anak dara ingusan saja bersuara begitu besar," demikian Hui Pin lantas mengolok-olok. "Jago-jago Ko-san-pay hendak kau bunuh habis-habisan, memangnya di dunia ini ada urusan segampang itu?"
Mendadak Lau Cing-hong berbangkit, teriaknya dengan murka, "Hui Pin, kalian sudah membunuh segenap keluargaku, aku pun terkena pukulan yang dilontarkan kalian bertiga saudara seperguruan dan jiwaku juga tinggal tunggu ajalnya saja. Sekarang apalagi yang kau kehendaki?"
"Hahahaha! Anak dara ini tadi bilang hendak membunuh habis-habisan, maka kedatanganku ini adalah untuk membunuh habis-habisan," seru Hui Pin dengan bergelak tertawa.
Mendengar itu, diam-diam Gi-lim ikut khawatir. Ia membisiki Lenghou Tiong, "Fifi dan kakeknya adalah orang yang telah menolong jiwamu, kita harus mencari suatu akal yang dapat balas menolong mereka."
Sebelum Gi-lim membuka suara, Lenghou Tiong sendiri memang sedang menimbang-nimbang cara bagaimana untuk bisa menolong mereka itu untuk membalas budi kakek dan cucu perempuan yang pernah menyelamatkan jiwanya itu. Soalnya Hui Pin itu adalah tokoh terkemuka Ko-san-pay, seumpama dirinya sendiri tidak terluka juga bukan tandingannya, apalagi sekarang dirinya dalam keadaan lemah. Pula Kik Yang adalah gembong Mo-kau yang merupakan musuh bebuyutan dari Ngo-gak-kiam-pay, mana boleh dirinya sekarang berbalik membantunya malah" Sebab itulah ia merasa ragu-ragu dan serbasusah.
Dalam pada itu terdengar Lau Cing-hong sedang berkata, "Orang she Hui, kau pun terhitung seorang tokoh terhormat dari Beng-bun-cing-pay (perguruan ternama dan golongan baik). Sekarang Kik Yang dan Lau Cing-hong jatuh di tanganmu, mati pun kami tidak menyesal dibunuh olehmu. Tapi kau telah menganiaya pula seorang anak kecil, cara demikian terhitung perbuatan kesatria macam apa" Sudahlah, Fifi, boleh kau pergi saja dari sini."
"Tidak, aku akan mati bersama kakek dan Lau-kongkong, aku tidak mau hidup sendirian," sahut Fifi.
"Lekas pergi, lekas! Urusan orang tua tiada sangkut pautnya dengan anak kecil seperti kau," kata Lau Cing-hong.
"Tidak, aku tidak mau pergi!" sahut Fifi dengan tegas. "Sret", segera ia melolos keluar dua batang pedang pendek, sekali lompat ia sudah mengadang di depan Lau Cing-hong dan kakeknya.
Melihat anak dara itu melolos pedang, hal ini kebetulan malah bagi Hui Pin. Dengan tertawa ia lantas berkata, "Dara cilik ini katanya hendak membunuh habis orang-orang Ko-san-pay kami, sekarang dia benar-benar akan melaksanakan maksudnya itu. Memangnya orang she Hui ini harus terima saja disembelih olehnya atau mesti lari terbirit-birit?"
"Fifi, lekas pergi saja, lekas!" demikian Lau Cing-hong menarik tangan anak dara itu dengan khawatir.
Bab 24. Ketua Heng-san-pay, Bok-taysiansing
Namun keadaan Lau Cing-hong sendiri sudah sangat payah, dia telah terluka dalam karena getaran pukulan Tay-ko-yang-jiu dari tiga tokoh Ko-san-pay sekaligus, ditambah lagi tenaganya telah dicurahkan seluruhnya untuk melagukan "Hina Kelana" tadi, dia benar-benar telah lemas sehingga tangan yang digunakan untuk menarik lengan Fifi itu sedikit pun tidak bertenaga lagi.
Maka dengan enteng saja Fifi dapat meronta lepas dari cekalan Lau Cing-hong dan malah melangkah maju pula setindak. Tapi pada saat itulah mendadak sinar hijau berkelebat, pedang Hui Pin tahu-tahu sudah menusuk sampai di depan mukanya.
Cepat Fifi menangkis dengan pedang kiri, pedang di tangan kanan menyusul lantas balas menusuk.
Hui Pin mengekek tawa, berbareng pedangnya memutar ke atas terus menyampuk ke bawah sehingga pedang Fifi terpukul. Seketika lengan Fifi tergetar sehingga kesakitan, kontan pedangnya terlepas dari cekalan.
Waktu Hui Pin memutar dan menyungkit pula dengan pedangnya, "plak", kembali pedang Fifi yang lain tersampuk mencelat hingga beberapa meter jauhnya. Menyusul ujung pedang Hui Pin sudah mengancam di tenggorokannya.
"Kik-tianglo," kata Hui Pin dengan tertawa kepada Kik Yang, "aku akan membutakan dulu mata cucu perempuanmu ini kemudian memotong hidungnya, lalu mengiris daun telinganya pula ...."
Mendadak Fifi menjerit sekali sambil menubruk maju, ia sodorkan tenggorokan sendiri ke ujung pedang Hui Pin. Rupanya ia menjadi nekat, daripada tersiksa lebih baik lekas mati saja.
Namun Hui Pin sangat gesit, pedang sempat ditarik mundur sehingga tubuh Fifi menumbuk ke arahnya. Cepat ia gunakan tangan kiri untuk menutuk Hiat-to di bahu kanan dara itu sehingga Fifi roboh terjungkal dan tak bisa berkutik lagi.
"Hahaha! Kaum iblis Mo-kau sudah kelewat takaran berbuat kejahatan, ingin mati juga tidak boleh segampang ini," demikian Hui Pin terbahak-bahak. "Sekarang terimalah ganjaranmu. Biar kubutakan dulu mata kirimu ini!"
Habis berkata segera pedangnya terangkat dan hendak menusuk ke mata kiri Fifi.
"Nanti dulu!" mendadak terdengar suara bentakan orang dari belakang.
Keruan Hui Pin terkejut. Pikirnya, "Sungguh celaka! Mengapa orang sembunyi di belakangku, tapi sedikit pun aku tidak tahu?"
Dia tidak tahu bahwa Lenghou Tiong dan Gi-lim memang sudah berada di balik batu itu sejak tadi. Kalau tidak tentu sudah ketahuan bilamana ada orang yang baru datang.
Cepat ia berpaling sambil memutar pedang, siap untuk bertempur. Di bawah sinar bulan yang cukup terang, tertampak seorang pemuda telah berdiri di situ dengan kedua tangan bertolak pinggang, tapi mukanya pucat sebagai mayat.
"Siapa kau?" bentak Hui Pin.
"Siautit Lenghou Tiong dari Hoa-san menyampaikan salam hormat kepada Hui-susiok," sahut Lenghou Tiong sambil membungkukkan tubuh. Tapi rupanya dia masih lemas, maka sedikit bergerak saja sudah sempoyongan.
"Ya, sudahlah," sahut Hui Pin mengangguk. "Kiranya adalah murid pertama Gak-suheng. Apa yang kau kerjakan di sini?"
"Siautit dilukai orang Jing-sia-pay dan terpaksa merawat luka di sini sehingga terlambat memberi hormat kepada Hui-susiok, harap maaf," kata Lenghou Tiong.
"Hm, kedatanganmu ini sangat kebetulan," jengek Hui Pin. "Anak dara ini adalah iblis cilik dari Mo-kau yang harus kita tumpas habis-habisan. Jika aku yang turun tangan, rasanya kurang pantas karena angkatan tua beraninya terhadap anak kecil. Maka bolehlah kau saja yang membunuhnya."
Sambil bicara ia lantas menuding ke arah Kik Fi-yan.
Namun Lenghou Tiong telah menggeleng, jawabnya, "Kakek anak dara itu adalah sahabat karib Lau-susiok, kalau diurutkan dia juga lebih muda satu angkatan daripadaku. Jika Siautit membunuhnya tentu orang Kangouw juga akan menuduh aku orang tua menganiaya anak kecil, kalau tersiar, tentu akan merusak nama baikku. Pula, membikin susah anak kecil sesungguhnya juga bukan perbuatan kaum kesatria gagah. Perbuatan demikian sekali-kali tidak mungkin dilakukan oleh Hoa-san-pay kami."
Di balik kata-katanya itu jelas sekali Lenghou Tiong seakan-akan hendak menyatakan bahwa apa yang tidak mau diperbuat oleh Hoa-san-pay, jika hal itu toh dilakukan oleh Ko-san-pay, maka teranglah Ko-san-pay adalah golongan yang tak dapat dipuji.
Keruan kedua alis Hui Pin menegak, sorot matanya memancarkan sinar bengis, serunya, "Aha, kiranya diam-diam kau pun bersekongkol dengan iblis Mo-kau. Ya, benar, tadi Lau Cing-hong mengatakan iblis she Kik ini pernah menolong jiwamu. Sungguh tidak nyana bahwa anak murid Hoa-san-pay yang terhormat sebagai kau ini sekarang pun sudah mengekor kepada Mo-kau."
Berbareng pedangnya tampak bergerak-gerak, ujung pedang memantulkan sinar gemerdep seakan-akan segera akan menusuk ke arah Lenghou Tiong.
"Lenghou-hiantit," seru Lau Cing-hong, "urusan ini sedikit pun tidak ada sangkut pautnya dengan kau, janganlah kau ikut campur, lekas kau pergi saja agar tidak membikin sulit gurumu kelak."
Lenghou Tiong bergelak tertawa, jawabnya, "Lau-susiok, kita mengaku sebagai kaum pendekar, selamanya kita tidak dapat hidup berdampingan dengan kaum iblis pengganas, kalau sekarang perbuatan kita tidak ubahnya seperti kaum iblis, beraninya cuma dengan orang dalam keadaan payah, apakah perbuatan demikian dapat dikatakan sebagai pendekar" Hendak membunuh anak kecil yang tak berdosa, apakah perbuatan ini perbuatan seorang kesatria?"
"Perbuatan demikian juga tidak dilakukan oleh orang dari Mo-kau kami," sela Kik Yang. "Saudara Lenghou, sudahlah silakan engkau meninggalkan tempat ini saja. Ko-san-pay suka melakukan hal-hal begini boleh terserah padanya saja."
"Tidak, aku justru tak mau pergi, ingin kulihat tokoh terkemuka, kesatria besar, jago Ko-yang-jiu dari Ko-san-pay ini sampai di mana perbuatannya, apakah sesuai dengan namanya atau tidak," sahut Lenghou Tiong dengan tertawa.
Hui Pin menjadi murka, nafsu membunuhnya seketika timbul. Jengeknya dengan tertawa iblis, "Hm, kau kira dengan kata-katamu ini lantas dapat memaksa aku mengampuni ketiga iblis jahanam ini" Hehe, janganlah kau mimpi. Bagi orang she Hui membunuh tiga orang atau empat orang adalah sama saja."
Habis berkata ia lantas melangkah maju beberapa tindak.
Walaupun Lenghou Tiong tampak sempoyongan, berdirinya tidak tegak, tapi murid Hoa-san-pay itu terkenal sebagai murid kesayangan Kun-cu-kiam Gak Put-kun, ilmu silatnya sangat tinggi. Namun urusan sekarang menyangkut nama baik Ko-san-pay, jika Lenghou Tiong sampai lolos, bukan saja namanya sendiri nanti akan runtuh habis-habisan, bahkan di antara Hoa-san-pay dan Ko-san-pay juga pasti akan terjadi pertengkaran besar. Maka jalan satu-satunya sekarang harus membunuh Lenghou Tiong agar tidak menimbulkan bencana di kemudian hari. Demikian pikir Hui Pin.
Lenghou Tiong juga terkejut demi tampak sikap Hui Pin yang beringas itu. Diam-diam ia pun memikirkan tipu untuk melepaskan diri dari bahaya ini. Namun lahirnya dia tenang-tenang saja. Katanya, "Hui-susiok, apakah engkau bermaksud membunuh aku juga untuk melenyapkan saksi perbuatanmu yang kotor itu?"
"Haha, kau memang pintar sekali, ucapanmu ini memang tidak salah," sahut Hui Pin sambil mendesak maju pula.
Pada saat itulah sekonyong-konyong dari balik batu sana berkumandang suara seorang Nikoh jelita, "Hui-susiok, laut derita tidak ada ujungnya, berpaling kembali ada tepinya. Sekarang kau baru bermaksud melakukan kejahatan, tapi perbuatan yang nyata masih belum lagi kau laksanakan. Hendaklah kau dapat mengekang diri di tepi jurang, untuk mana masih belum terlambat."
Itulah suaranya Gi-lim. Sebenarnya Lenghou Tiong telah pesan dia sembunyi di belakang batu gunung itu supaya tidak dilihat orang. Tapi demi tampak keadaan Lenghou Tiong terancam bahaya, tanpa pikir lagi ia terus tampil ke muka dengan maksud memberi nasihat kepada Hui Pin untuk mengurungkan niatnya yang jahat.
Rupanya Hui pin juga terkejut ketika mendadak muncul lagi seorang. Tegurnya, "Apakah kau orang Hing-san-pay" Mengapa kau pun main sembunyi-sembunyi di situ?"
Wajah Gi-lim menjadi merah, sahutnya dengan tergagap-gagap, "Aku ... aku ...."
Waktu itu Fifi menggeletak tak bisa berkutik karena tertutuk Hiat-tonya, tapi dia masih dapat bersuara. Segera ia berseru, "Enci Gi-lim, aku memang sudah menduga engkau pasti berada bersama Lenghou-toako. Ternyata kau sudah menyembuhkan lukanya. Cuma sayang ... sayang kita sudah akan mati semua."
"Tidak bisa jadi," ujar Gi-lim sambil geleng kepala. "Hui-susiok adalah seorang pendekar, seorang kesatria ternama di dunia persilatan, mana bisa beliau membikin susah nona cilik seperti dirimu dan orang-orang terluka seperti Lau-susiok?"
"Hehe, apakah betul-betul dia adalah pendekar dan kesatria?" jengek Fifi.
"Ko-san-pay adalah Bengcu (ketua perserikatan) dari Ngo-gak-kiam-pay, pimpinan kaum pendekar di dunia Kangouw, segala apa yang diperbuatnya sudah tentu harus mengutamakan keadilan dan kebenaran," ujar Gi-lim.
Apa yang diucapkan Gi-lim itu adalah timbul dari lubuk hatinya yang tulus. Maklumlah, dia sama sekali tidak kenal kehidupan manusia, segala apa selalu berpikir dari sudut yang baik bagi orang lain.
Akan tetapi sekarang bagi pendengaran Hui Pin kata-katanya itu terasakan seperti sindiran belaka. Pikirnya, "Sekali mau berbuat harus jangan kepalang tanggung lagi. Hari ini bila ada seorang yang lolos dari sini dengan hidup, untuk seterusnya namaku pasti akan tercemar. Sekalipun yang kubunuh adalah iblis-iblis dari Mo-kau, tapi caraku membunuh mereka bukanlah perbuatan seorang kesatria sejati, tentu aku akan dipandang hina oleh orang Kangouw."
Setelah ambil keputusan demikian, segera ia acungkan pedangnya ke arah Gi-lim, katanya, "Dan kau sendiri kan tidak terluka, juga bukan nona cilik yang tak mahir ilmu silat, rasanya tidaklah salah bila aku pun membunuh kau."
Keruan Gi-lim terperanjat. Serunya, "Hah, ak ... aku" Meng ... mengapa engkau ingin membunuh aku?"
"Kau telah bersekongkol dengan iblis Mo-kau, saling sebut sebagai Cici-adik segala, terang kau pun sudah sepaham dengan kaum iblis ini, sudah tentu aku tak boleh mengampuni kau," sahut Hui Pin sambil mendesak maju, pedangnya terus menusuk.
Cepat Lenghou Tiong melompat maju mengadang di depan Gi-lim, serunya, "Lekas pergi, Sumoay, pergilah mengundang Suhumu agar datang kemari menolong kita!"
Padahal keadaan tempat itu sangat terpencil, tidaklah mungkin dalam waktu singkat dapat meminta bala bantuan, apalagi Ting-yat Suthay juga tidak diketahui berada di mana saat itu. Kata-katanya itu hanya dipakai sebagai alasan agar Gi-lim mau lekas pergi dari situ supaya jiwanya dapat diselamatkan.
Namun Hui Pin sudah lantas mulai melancarkan serangan, "sret-sret-sret", berulang-ulang ia menusuk dan menebas tiga kali sehingga Lenghou Tiong terdesak kelabakan.
Melihat itu segera Gi-lim lantas melolos pedangnya yang terkutung sebagian itu terus menyerang Hui Pin sambil berseru, "Lenghou-toako, engkau masih belum sembuh, lekas mundur saja!"
"Hahaha! Rupanya Nikoh cilik sudah penujui pemuda ganteng ini sehingga jiwanya sendiri pun tak terpikir lagi!" goda Hui Pin dengan tertawa. Mendadak pedangnya menebas ke depan. "Trang", Gi-lim menangkis. Kedua pedang beradu, tapi kontan pedang kutung Gi-lim itu terlepas dari cekalan dan mencelat jatuh. Tanpa berhenti di situ, Hui Pin lantas acungkan pedangnya ke depan, dada Gi-lim segera hendak ditusuknya.
Gerakan serangan yang sangat cepat lagi jitu ini termasuk salah satu kepandaian Ko-san-pay yang lihai. Maklumlah Hui Pin harus menghadapi lima orang lawan, meski hanya Gi-lim saja yang segar bugar dan yang lain-lain dalam keadaan payah, tapi ada lebih baik mengambil jalan yang selamat saja, siapa tahu kalau-kalau Nikoh jelita itu sampai lolos, tentu kelak akan menimbulkan banyak kesukaran. Sebab itulah sekali menyerang segera Hui Pin tidak kenal ampun kepada Gi-lim.
Segera Gi-lim bermaksud menghindar sambil menjerit kaget. Namun ujung pedang musuh tahu-tahu sudah menyambar ke depan ulu hatinya. Syukurlah pada saat itu Lenghou Tiong telah menubruk maju, jari kirinya terus mencolok mata Hui Pin.
Dalam keadaan begitu, bila pedang Hui Pin tetap menusuk ke depan, walaupun seketika Gi-lim dapat dibinasakan, tapi kedua biji matanya sendiri tentu juga akan menjadi korban. Terpaksa Hui Pin melompat mundur, berbareng itu pedangnya juga terus menyabet ke samping sehingga lengan kiri Lenghou Tiong tergores satu luka panjang.
Setelah berhasil menyelamatkan Gi-lim dengan pertaruhan jiwanya sendiri, napas Lenghou Tiong juga sudah tersengal-sengal, tubuhnya terhuyung-huyung lemas. Lekas-lekas Gi-lim memayangnya, katanya dengan suara cemas, "Biarlah dia membunuh kita bersama saja."
"Kau ... kau lekas lari ...." seru Lenghou Tiong dengan terengah-engah.
"Tolol, sampai sekarang masakah masih belum tahu akan isi hati orang?" kata Fifi dengan tertawa. "Dia ingin mati bersama dengan kau."
Belum habis ucapannya, dengan menyeringai buas Hui Pin telah mendesak maju pula dengan pedang terhunus.
Lenghou Tiong sendiri tidak habis mengerti mengapa Gi-lim ingin mati bersama dia, walaupun dirinya pernah menolong Nikoh jelita itu, tapi ia pun sudah balas menyelamatkan jiwanya. Hubungan mereka hanya sesama orang Ngo-gak-kiam-pay saja, walaupun mesti saling membantu sebagai orang Kangouw, tapi juga tidak perlu membela secara mati-matian. Sungguh Ting-yat Suthay adalah seorang tokoh yang hebat dan guru yang luhur.
Dalam pada itu Hui Pin sudah mendesak maju selangkah lagi, sinar pedangnya yang gemerdepan menyilaukan mata. Pada saat itulah tiba-tiba dari belakang pohon Siong sana berkumandang beberapa kali suara rebab yang halus dan berirama mengibakan hati.
Seketika hati Hui Pin tergetar, "Wah, Siau-siang-ya-uh Bok-taysiansing telah tiba!"
Suara rebab itu makin lama makin perlahan, nadanya semakin sedih. Tapi Bok-taysiansing, itu ketua Heng-san-pay, Suhengnya Lau Cing-hong, tetap tidak muncul.
"Apakah Bok-taysiansing itu" Mengapa tidak keluar saja untuk bertemu?" seru Hui Pin.
Mendadak suara rebab berhenti. Dari belakang pohon menyelinap keluar sesosok bayangan orang yang agak kurus.
Sudah lama juga Lenghou Tiong mendengar nama "Siau-siang-ya-uh" Bok-taysiansing yang termasyhur, tapi belum pernah bertemu muka. Sekarang di bawah sinar bulan dapatlah terlihat dengan jelas, ketua Heng-san-pay itu ternyata kurus kering seperti orang berpenyakit TBC yang sudah parah. Sungguh tak terduga olehnya bahwa tokoh persilatan yang terkenal itu ternyata mempunyai potongan tubuh seburuk itu.
Sambil membawa alat musiknya, yaitu rebab, Bok-taysiansing telah memberi hormat kepada Hui Pin dan menyapa, "Hui-suheng, baik-baikkah Co-bengcu?"
Melihat sikap Bok-taysiansing cukup ramah tamah, pula diketahui hubungannya dengan Lau Cing-hong biasanya kurang baik, segera Hui Pin menjawab, "Banyak terima kasih atas perhatian Bok-taysiansing, Suko kami baik-baik saja. Tokoh golongan kalian yang bernama Lau Cing-hong ini bergaul dengan iblis dari Mo-kau dan ada rencana busuk terhadap Ngo-gak-kiam-pay kita. Untuk itu menurut pendapat Bok-taysiansing cara bagaimana seharusnya diselesaikan?"
Dengan sikap dingin-dingin saja Bok-taysiansing mendekati Lau Cing-hong setindak sambil menjawab, "Harus dibunuh!"
Begitu selesai ucapannya itu, sekonyong-konyong sinar dingin berkelebat, tahu-tahu tangannya sudah memegang sebatang pedang yang tipis dan agak sempit, di mana sinar pedangnya menyambar, kontan ia terus menusuk dada Hui Pin.
Serangan kilat yang tak terduga-duga ini keruan membikin Hui Pin sangat terperanjat. Lekas-lekas ia melompat mundur, namun tidak urung dadanya juga sudah tergores luka sehingga bajunya ikut robek.
Dengan kejut dan gusar pula segera Hui Pin balas menyerang. Namun karena sudah didahului oleh Bok-taysiansing sehingga dia tetap di pihak terserang. Pedang ketua Heng-san-pay itu susul-menyusul menyambar pula ke arahnya sehingga dia berulang-ulang terpaksa harus menghindar mundur.
Kik Yang, Lau Cing-hong dan Lenghou Tiong adalah ahli pedang semua. Mereka menyaksikan ilmu pedang yang dimainkan Bok-taysiansing itu sedemikian hebat perubahannya dan sukar diraba. Sebagai saudara seperguruan yang sama-sama belajar selama puluhan tahun juga Lau Cing-hong tidak menduga ilmu pedang sang Suheng ternyata sedemikian saktinya.
Hanya dalam sekejap saja tertampaklah titik-titik darah bercipratan keluar melalui celah-celah sinar pedang. Hui Pin tampak berkelit ke sana dan menghindar kemari, sekuatnya menangkis dan bertahan, tapi selalu sukar melepaskan diri dari taburan sinar pedang Bok-taysiansing yang rapat itu. Titik-titik darahnya akhirnya berubah menjadi suatu lingkaran di sekeliling orang itu.
Sekonyong-konyong terdengar Hui Pin menjerit sekali sambil meloncat ke atas. Bok-taysiansing tampak menarik kembali pedangnya dan melangkah mundur, pedang dimasukkan kembali ke dalam rebabnya, lalu putar tubuh dan bertindak pergi. Lagu "Siau-siang-ya-uh" lantas bergema pula dengan iramanya yang menyayatkan hati, akhirnya lenyaplah ketua Heng-san-pay itu di tengah pepohonan Siong yang lebat.
Setelah meloncat ke atas, kemudian Hui Pin lantas jatuh terbanting ke atas tanah. Darah tampak menyembur keluar dari dadanya sebagai air mancur.
Kiranya dalam pertempuran tadi Hui Pin telah mengerahkan segenap tenaga dalamnya untuk bertahan. Ketika dadanya tertusuk pedang Bok-taysiansing, lantaran tenaga dalamnya masih bekerja dengan kuat sehingga darahnya terdesak menyemprot keluar melalui luka di dadanya itu.
Melihat keadaan yang mengerikan itu, Gi-lim sampai memegangi tangan Lenghou Tiong dengan hati berdebar-debar. Meski dia sudah lama belajar silat, tapi belum pernah dia menyaksikan orang terbunuh secara mengerikan demikian.
Dengan menggeletak bermandi darah, sedikit pun Hui Pin tidak dapat bergerak lagi, agaknya sudah binasa. Kik Yang berkata dengan menghela napas, "Lau-hiante, kau pernah mengatakan kalian bersaudara seperguruan tidak cocok satu sama lain, sungguh tak terduga pada saat kau terancam bahaya, Suhengmu itu telah sudi turun tangan menolong engkau."
"Ya, tingkah laku Suko memang sangat aneh dan sukar diduga orang," sahut Lau Cing-hong. "Pertentangan kami bukanlah lantaran karena aku kaya dan dia miskin, tapi watak kami masing-masing yang tidak cocok satu sama lain."
"Ilmu pedangnya begitu hebat, tapi irama rebabnya selalu bernada sedih memilukan, sungguh tidak sesuai sebagai seorang kesatria penegak keadilan," ujar Kik Yang.
"Benar, bila kudengar suara rebabnya, selalu aku ingin menjauhi dia," kata Lau Cing-hong. "Tapi bicara tentang ilmu pedang, harus diakui sedikit pun aku tidak bisa membandingi dia. Biasanya aku kurang menghormati dia, kalau dipikir-pikir sekarang sungguh aku merasa menyesal sekali."
Tiba-tiba Fifi berseru, "Kakek, tolong membukakan Hiat-toku, sudah waktunya kita pergi saja dari sini."
Kik Yang coba hendak berbangkit, tapi baru sedikit menegakkan tubuhnya kembali dia jatuh terduduk kembali. "Aku tidak sanggup!" katanya dengan lesu. Lalu ia berpaling kepada Lenghou Tiong. "Adik cilik, ada sesuatu permintaanku padamu, entah kau sudi menyanggupi atau tidak?"
"Dengan senang hati Wanpwe akan mengerjakan kehendak Locianpwe," sahut Lenghou Tiong.
Kik Yang memandang sekejap kepada Lau Cing-hong. Katanya kemudian, "Aku dan Lau-hiante telah keranjingan seni musik, dengan tenaga kami selama puluhan tahun, kami telah dapat menggubah sebuah lagu 'Hina Kelana' yang kami yakin belum pernah ada sejak dahulu kala hingga sekarang."
Sampai di sini ia berhenti sejenak, dari sakunya dikeluarkan sejilid buku kecil, lalu sambungnya, "Buku ini berisi catatan not kecapi dari lagu 'Hina Kelana', Lau-hiante sendiri mempunyai buku catatan not seruling. Maksudku ingin mohon adik cilik suka mengingat jerih payah kami selama ini dapatlah menyimpan buku-buku not kecapi dan seruling kami ini untuk mencari ahli waris yang tepat di kemudian hari."
Segera Lau Cing-hong juga mengeluarkan sejilid buku kecil yang serupa, katanya dengan tertawa, "Apabila lagu 'Hina Kelana' ini dapat berkembang di kemudian hari, maka mati pun kami akan merasa tenteram."
Dengan hormat Lenghou Tiong menerima kedua jilid buku itu dari kedua orang. Sahutnya, "Harap kalian jangan khawatir, Wanpwe tentu akan berusaha melaksanakan cita-cita kalian dengan sepenuh tenaga."
Semula Lenghou Tiong mengira Kik Yang ingin minta bantuannya mengerjakan sesuatu urusan yang sukar, tak tahunya hanya minta dia mencari orang yang gemar memetik kecapi dan meniup seruling, hal ini boleh dikata sangatlah gampang.
"Adik cilik, kau adalah murid dari golongan yang terpuji dan terhormat, mestinya aku tidak boleh membikin susah padamu, cuma soalnya sudah mendesak, terpaksa kami minta bantuanmu harap maafkan," kata Kik Yang. Lalu ia berpaling kepada Lau Cing-hong. "Saudaraku, kini bolehlah kita berangkat dengan lega."
"Benar," sahut Lau Cing-hong sambil menjulurkan tangannya.
Sambil tangan berpegangan tangan, kedua orang sama-sama bergelak tertawa, lalu menutup mata untuk selama-lamanya.
Lenghou Tiong terkejut, serunya, "Cianpwe, Locianpwe! Lau-susiok!"
Waktu ia periksa pernapasan mereka, ternyata kedua orang tua itu sudah wafat.
Melihat air muka Lenghou Tiong itu, segera Fifi tahu juga apa yang sudah terjadi, ia berteriak-teriak sambil menangis, "Kakek! Kakek! Apakah Kakek sudah meninggal?"
Gi-lim memeluknya dan coba hendak membuka Hiat-to si Fifi yang tertutuk itu. Tapi tenaga jago Ko-san-pay itu sangat hebat, kepandaian Gi-lim sendiri terbatas, maka seketika sukar juga untuk melancarkan jalan darahnya.
Lenghou Tiong jauh lebih berpengalaman dalam dunia Kangouw, segera ia berkata, "Sumoay cilik, marilah kita lekas mengubur jenazah mereka bertiga agar tidak terjadi hal-hal lain bila sebentar lagi ada orang mencari kemari. Tentang terbunuhnya Hui Pin oleh Bok-taysiansing janganlah sekali-kali sampai diketahui oleh orang lain."
Sampai di sini ia lantas tahan suaranya dan melanjutkan, "Bilamana kejadian ini sampai bocor, tentu Bok-taysiansing akan menuduh kita bertiga yang menyiarkannya dan itu berarti bencana bagi kita."
"Benar," kata Gi-lim. "Tapi kalau aku ditanya oleh Suhu, aku harus menerangkan atau tidak?"
"Siapa pun tidak boleh kau beri tahu," kata Lenghou Tiong. "Bila kau ceritakan, tentu akan celaka kalau Bok-taysiansing mencari gara-gara kepada gurumu."
Gi-lim sendiri menyaksikan betapa lihainya ilmu pedang Bok-taysiansing, tanpa merasa ia merinding. "Baiklah, takkan kukatakan kepada siapa pun juga," katanya kemudian.
Lenghou Tiong menjemput pedang tinggalan Hui Pin, segera ia menusuk mayat jago Ko-san-pay itu sehingga bertambah belasan lubang besar.


Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gi-lim merasa tidak sampai hati, katanya, "Toako, dia ... dia ... dia kan sudah mati, kenapa kau sedemikian benci padanya dan merusak jenazahnya?"
"Kau telah menyaksikan pedang Bok-taysiansing sangat tipis lagi sempit, seorang ahli sekali melihat luka Hui-susiok saja akan segera mengetahui siapa yang membunuhnya. Maksudku bukan hendak merusak jenazahnya, tapi adalah untuk mengacaukan tanda luka di tubuhnya ini supaya tidak dapat dikenali orang," demikian tutur Lenghou Tiong.
"Ai, urusan-urusan dunia Kangouw ini sungguh sukar untuk dibayangkan," demikian Gi-lim membatin. Ketika dilihatnya Lenghou Tiong mulai mengumpulkan batu-batu untuk menutupi jenazah Hui Pin, cepat ia berkata, "Sudahlah, engkau mengaso saja dahulu, biar aku yang mengerjakan."
Segera ia mengangkuti batu-batu itu dan diuruk perlahan-lahan ke atas tubuh Hui Pin yang sudah tak bernyawa itu.
Lenghou Tiong memang juga sudah lelah, lukanya terasa sakit pula. Ia lantas duduk bersandar batu sambil membalik-balik buku not kecapi pemberian Kik Yang tadi. Dilihatnya beberapa halaman bagian depan adalah catatan petunjuk-petunjuk tentang orang bersemadi dengan beberapa gambar badan manusia yang penuh garis-garis urat nadi, selanjutnya adalah petunjuk-petunjuk ilmu pukulan dan tutukan. Belasan halaman berikut barulah terdapat catatan mengenai pelajaran memetik kecapi. Sebagian belakang buku kecil itu adalah huruf-huruf aneh yang tidak dikenalnya.
Dalam hal kesusastraan memangnya pengetahuan Lenghou Tiong terbatas, ia tidak tahu bahwa not cara memetik kecapi itu memangnya terdiri dari huruf-huruf yang aneh bentuknya, maka disangkanya huruf-huruf itu adalah tulisan zaman purbakala yang sukar dipahami, tanpa pikir ia lantas masukkan kedua jilid buku kecil itu ke dalam bajunya.
"Sumoay cilik, bolehlah kau mengaso dahulu, sebentar lagi harap kau kubur pula jenazah Kik-tianglo dan Lau-susiok itu," katanya kemudian.
Gi-lim mengiakan. Sedangkan Fifi kembali menangis demi mendengar tentang jenazah sang kakek.
Melihat anak dara itu menangis dengan sedih, Gi-lim menjadi ikut-ikut meneteskan air mata.
Diam-diam Lenghou Tiong berpikir, "Untuk persahabatan, sampai-sampai Lau-susiok dan segenap anggota keluarganya ikut menjadi korban, walaupun sahabatnya adalah dari Mo-kau, tapi jiwa mereka yang luhur itu harus dipuji."
Baru berpikir sampai sini, tiba-tiba dilihatnya di arah barat laut sana ada berkelebatnya sinar hijau yang tampaknya sudah dikenalnya. Terang ada jago dari golongannya sendiri yang sedang bertempur dengan orang.
Keruan ia terkesiap. "Sumoay cilik, harap kau dan Fifi menunggu di sini, aku akan ke sana sebentar dan segera akan kembali," katanya kepada Gi-lim.
Gi-lim tidak melihat berkelebatnya sinar hijau tadi, disangkanya Lenghou Tiong hendak pergi buang air atau keperluan lain, maka ia lantas mengangguk.
Lenghou Tiong menyelipkan pedang tinggalan Hui Pin tadi ke tali pinggangnya, dengan bantuan ranting kayu sebagai tongkat, segera ia menuju ke arah berkelebatnya sinar hijau tadi dengan langkah cepat.
Tidak lama kemudian, sayup-sayup terdengarlah suara benturan senjata yang nyaring dan gencar, nyata pertempuran sedang berlangsung dengan sengit.
Diam-diam Lenghou Tiong heran, entah siapakah tokoh perguruannya sendiri yang sedang bertempur sehingga berlangsung sekian lamanya, terang sekali pihak lawan juga bukan jago sembarangan.
Sesudah dekat, perlahan-lahan ia merunduk ke depan, ia sembunyi di belakang sebatang pohon besar, lalu mengintip. Di bawah sinar bulan yang terang tertampaklah seorang terpelajar dengan bersenjatakan pedang sedang berdiri tenang di tengah lapangan. Itulah Gak Put-kun, guru Lenghou Tiong sendiri.
Dilihatnya pula ada seorang Tojin berbadan pendek kecil sedang berlari secepat terbang mengelilingi sang guru, pedang imam kerdil itu berulang-ulang menusuk dengan cepat, setiap lingkaran sedikitnya dia melancarkan belasan kali serangan. Ternyata imam kerdil itu adalah Ih Jong-hay, ketua Jing-sia-pay.
Mendadak dapat menyaksikan sang guru sedang bertempur dengan orang dan lawannya adalah ketua Jing-sia-pay, seketika Lenghou Tiong sangat tertarik dan bersemangat.
Kelihatan gurunya bersikap sangat tenang dan lamban, setiap kali pedang Ih Jong-hay menusuk tiba, selalu gurunya hanya menangkis seenaknya saja. Waktu Ih Jong-hay memutar ke belakangnya, sang guru tidak ikut memutar tubuh, tapi cuma mengayun pedang ke belakang untuk melindungi punggung sendiri. Semakin lama serangan Ih Jong-hay bertambah gencar, tapi Gak Put-kun tetap hanya bertahan saja tanpa balas menyerang.
Sungguh kagum Lenghou Tiong tak terkatakan. "Orang Bu-lim memberikan julukan 'Kun-cu-kiam' (pedang jantan) kepada Suhu, nyatanya beliau memang sangat halus dan sopan, biarpun sedang bertempur juga beliau bersikap tenang-tenang saja," demikian pikirnya.
Gak Put-kun memang jarang sekali bertanding dengan orang. Biasanya Lenghou Tiong hanya menyaksikan gurunya berlatih dengan ibu guru untuk memberi petunjuk kepada para muridnya, sudah tentu latihan demikian tak bisa dibandingkan dengan pertarungan sengit seperti apa yang terjadi sekarang.
Dilihatnya pula setiap serangan Ih Jong-hay, dari ujung pedangnya selalu menerbitkan suara mencicit, suatu tanda betapa hebat tenaganya. Diam-diam Lenghou Tiong terkesiap, "Selama ini aku suka memandang rendah ilmu silat Jing-sia-pay, siapa tahu imam kerdil ini ternyata begini lihai, biarpun aku dalam keadaan sehat juga sekali-kali bukan tandingannya. Lain kali kalau kepergok dia haruslah hati-hati atau sedapat mungkin harus menghindari kebentrok dengan dia."
Setelah mengikuti pula pertarungan sengit itu, tertampak Ih Jong-hay berputar semakin cepat sehingga akhirnya berubah menjadi segulungan bayangan hijau yang berkeliling di sekitar Gak Put-kun. Saking gencar pula beradunya kedua batang pedang sehingga suaranya tidak "trang-tring" lagi kedengarannya, tapi berubah menjadi suara mendering nyaring mengilukan.
Diam-diam Lenghou Tiong membatin bilamana serangan-serangan Ih Jong-hay itu diarahkan kepadanya, maka jangankan hendak melawan, satu kali saja mungkin dirinya tidak mampu menangkis dan bukan mustahil tubuhnya sendiri akan berwujud belasan lubang kena tusukan pedangnya yang gencar itu.
Ketika dilihatnya sang guru masih tetap bertahan dan tidak melancarkan serangan balasan, akhirnya Lenghou Tiong merasa khawatir juga, jangan-jangan sedikit lengah saja nanti gurunya akan kecundang di bawah pedang imam kerdil itu.
Sejenak kemudian, mendadak terdengar suara mendering yang panjang, Ih Jong-hay tampak mencelat ke belakang sampai beberapa meter jauhnya, tapi lantas berdiri tegak di tempatnya. Entah sejak kapan pedangnya sudah dimasukkan ke dalam sarungnya, dia berdiri diam saja seperti patung.
Lenghou Tiong terkejut. Waktu dia memandang sang guru, kelihatan Gak Put-kun juga sudah menyimpan kembali pedangnya dan juga berdiri di tempatnya tanpa membuka suara. Walaupun mata Lenghou Tiong cukup tajam, tapi ia pun tidak dapat membedakan siapakah yang menang dan kalah di dalam pertarungan sengit itu, juga tidak diketahuinya apakah salah seorang di antara mereka itu ada yang terluka atau tidak.
"Suhu!" tanpa merasa Lenghou Tiong berseru.
Belum lagi Gak Put-kun menjawab, terdengarlah Ih Jong-hay telah membuka suara, "Ilmu pedang Gak-heng benar-benar sakti, Siaute mengaku kalah. Baiklah, akan kuberi tahukan, Lim Cin-lam dan istrinya itu sekarang berada di Tho-te-bio (kelenteng Toapekong) di sebelah kiri gunung sana. Sampai berjumpa pula, Gak-heng!"
Habis berkata segera ia putar tubuh dan melangkah pergi.
Gak Put-kun berpaling kepada Lenghou Tiong, katanya, "Tiong-ji, lekas kau pergi ke kelenteng yang disebut itu untuk menjaga Lim Cin-lam, sebentar lagi aku akan menyusul ke sana."
Sembari bicara tokoh Hoa-san-pay itu pun lantas angkat kaki menguber ke arah Ih Jong-hay tadi.
Melihat gurunya sudah pergi jauh, Lenghou Tiong lantas kembali ke tempat sembunyinya tadi. Dilihatnya Gi-lim sudah selesai mengubur Kik Yang dan Lau Cing-hong, Nikoh jelita itu sedang asyik bicara dengan Fifi di bawah pohon. Melihat datangnya Lenghou Tiong, segera Gi-lim berbangkit.
"Sumoay cilik, Suhu barusan berada di sana, beliau menyuruh aku mengerjakan sesuatu. Maka bolehlah kau membawa Fifi pergi mencari Suhumu di kota Heng-san saja," kata Lenghou Tiong.
Gi-lim menjadi gugup juga demi mendengar datangnya Gak Put-kun, cepat ia menjawab, "Baiklah, Lenghou-toako. Harap engkau menjaga diri dengan baik-baik."
Lalu dengan rasa berat ia berangkat dengan menggandeng Fifi.
Setelah Gi-lim dan Fifi pergi, dengan bantuan tongkat Lenghou Tiong lantas berangkat ke sebelah kiri gunung sana. Tidak lama kemudian, benar juga tertampak sebuah kelenteng Toapekong. Khawatir kalau di dalam kelenteng itu ada musuh yang menjaga, segera Lenghou Tiong merunduk ke depan dengan perlahan. Sampai di pinggir kelenteng tiba-tiba terdengar di dalam ada suara orang.
Segera Lenghou Tiong berhenti. Terdengar di dalam kelenteng ada suara seorang tua sedang bicara, "Asalkan kau mengaku di mana adanya Pi-sia-kiam-boh itu, maka aku akan membantu kau untuk menuntut balas, akan kutumpas habis semua orang Jing-sia-pay."
Suara orang tua ini sudah dikenal oleh Lenghou Tiong ketika dia sembunyi di kamar rumah pelacuran "Kun-giok-ih" tempo hari, yaitu si bungkuk Bok Ko-hong.
Diam-diam Lenghou Tiong mengeluh. "Wah, ternyata aku telah didahului oleh Bok Ko-hong sehingga urusan ini akan tambah sulit dikerjakan. Sekali Lim Cin-lam dan istrinya jatuh ke dalam cengkeramannya tentu akan banyak menimbulkan kesukaran."
Lalu terdengar suara seorang laki-laki sedang menjawab, "Aku tidak tahu tentang Pi-sia-kiam-boh apa segala. Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim kami turun-temurun hanya diajarkan secara lisan saja, selamanya tidak pakai Kiam-boh."
Yang bicara itu dengan sendirinya adalah Lim Cin-lam, sang Congpiauthau dari Hok-wi-piaukiok. Sesudah merandek sejenak terdengar ia menyambung pula, "Kesediaan Cianpwe untuk membalaskan sakit hatiku sudah tentu aku merasa sangat berterima kasih. Cuma perbuatan Ih Jong-hay dari Jing-sia-pay yang jahat itu kelak pasti akan menerima ganjarannya, seumpama tidak dibunuh oleh Cianpwe, tentu juga akan binasa di tangan kesatria yang lain."
"Dengan demikian, jadi kau tetap tidak mau mengaku tentang Pi-sia-kiam-boh?" Bok Ko-hong menegas. "Apakah kau belum pernah dengar akan nama 'Say-pek-beng-tho' selama ini?"
Bab 25. Tewasnya Lin Cin-lam dan Istri
"Nama Bok-cianpwe telah mengguncangkan Kangouw, siapa yang tidak tahu, siapa yang tidak dengar?" sahut Lim Cin-lam.
"Bagus, bagus, bagus!" berulang-ulang Bok Ko-hong menyebut "bagus", lalu ia bergelak tertawa, katanya, "Haha, namaku mengguncangkan Kangouw, rasanya belumlah sehebat itu. Cuma cara turun tangan orang she Bok ini biasanya cukup ganas, selamanya aku tidak kenal belas kasihan, untuk ini tentunya kau pun sudah tahu."
Dengan angkuh Lim Cin-lam menjawab, "Bahwa Bok-cianpwe akan menggunakan kekerasan terhadap diriku, hal ini pun sudah kuduga sebelumnya. Jangankan keluarga Lim kami memang tidak ada Pi-sia-kiam-boh apa segala, andaikan ada juga takkan kukatakan lantaran digertak dan dipancing oleh siapa pun. Sesudah ditawan oleh orang Jing-sia-pay, setiap hari kami sudah kenyang disiksa. Biarpun ilmu silat kami rendah, tapi beberapa kerat tulangku ini masih cukup keras."
"Ya, ya, ya," kata Bok Ko-hong sambil manggut-manggut. "Kau menganggap tulangmu cukup keras, tahan disiksa, kuat dianiaya, itu berarti keluarga Lim kalian memang benar ada sejilid Pi-sia-kiam-boh yang betapa pun takkan kau katakan biarpun dipaksa cara bagaimana juga oleh imam kerdil dari Jing-sia-pay itu. Hm, kukira kau ini terlalu bodoh, Lim-congpiauthau, mengapa kau tidak mau menyerahkan Pi-sia-kiam-boh padaku" Padahal Kiam-boh itu tiada gunanya sedikit pun bagimu. Menurut perkiraanku ilmu pedang yang tertera di dalam Kiam-boh itu pun tiada artinya apabila kita menilai ilmu silatmu sendiri, sedangkan beberapa murid Jing-sia-pay saja kau tak mampu menandingi. Maka sebaiknya ilmu pedang keluargamu itu tak perlu dirahasiakan lagi segala."
"Memang betul," sahut Lim Cin-lam. "Jangankan memangnya aku tidak punya Pi-sia-kiam-boh apa segala, andaikan ada, mengapa Kiam-boh yang isinya cuma sedikit kepandaian yang tiada nilainya itu dapat menarik perhatian Bok-cianpwe" Sungguh aneh!"
"Aku kan cuma merasa heran dan ingin tahu saja," ujar Bok Ko-hong dengan tertawa. "Kulihat imam kerdil dari Jing-sia-pay itu sedemikian bernafsu mencari Kiam-boh itu dengan mengerahkan segenap begundal dari sarangnya, tampaknya di dalam hal ini tentu ada sesuatu yang menarik. Ya, boleh jadi makna ilmu pedang yang tercatat di dalam Kiam-boh itu terlalu tinggi, lantaran bakatmu kurang, otakmu bebal sehingga tidak mampu menyelaminya. Jika demikian bukankah sangat sayang karena nama baik leluhurmu telah ikut kau kubur begitu saja" Bukan mustahil sesudah kau perlihatkan Kiam-boh itu padaku, lalu akan kuberi petunjuk di mana letak intisari pelajaran ilmu pedangnya dan kelak namamu akan berkumandang harum pula di dunia Kangouw, bukankah ini akan sangat menguntungkan kau pula?"
"Maksud baik Bok-cianpwe itu biarlah kuterima di dalam hati saja," sahut Cin-lam dengan tersenyum getir. "Jika tidak percaya, boleh silakan kau menggeledah badanku, aku benar-benar tidak mempunyai Pi-sia-kiam-boh apa segala."
"Geledah sih tidak perlu, andaikan bisa ketemu di badanmu tentunya juga Kiam-boh itu sudah diambil oleh orang Jing-sia-pay yang telah menawan kau selama ini," kata Bok Ko-hong. "Lim-congpiauthau, aku merasa kau ini sangat bodoh, kau paham atau tidak?"
"Ya, Cayhe memang amat bodoh, tidak perlu diberi tahu Bok-cianpwe juga Cayhe sudah cukup paham akan dirinya sendiri," sahut Cin-lam.
Tapi Bok Ko-hong menggeleng-geleng malah, katanya, "Tidak, salah! Kau belum paham!" Tiba-tiba ia berpaling kepada nyonya Lim dan menyambung pula, "Boleh jadi Lim-hujin yang dapat memahami. Cinta kasih seorang ibu kepada putra kesayangannya biasanya melebihi sang ayah."
"Apa katamu" Kau maksudkan anakku si Peng-ci" Apa sangkut pautnya dengan urusan ini" Di ... di mana dia sekarang?" jerit Lim-hujin.
"Anak itu sangat pintar dan cerdik, begitu melihat dia aku lantas merasa suka," kata Bok Ko-hong. "Bocah itu ternyata bisa melihat gelagat juga, rupanya dia tahu kepandaianku cukup lihai, maka dia lantas minta menjadi muridku."
Apa yang diucapkan Bok Ko-hong itu dapat didengar dengan jelas oleh Lenghou Tiong di luar kelenteng, diam-diam ia mencaci maki tua bangka bungkuk yang tidak tahu malu itu, sudah memaksa dengan kekerasan dan tidak berhasil, sekarang mengoceh tak keruan untuk menipu Lim Cin-lam suami istri.
Namun sebagai seorang ayah yang cukup kenal watak putranya, Lim Cin-lam tahu sifat Peng-ci yang keras dan tentu tidak mau tekuk lutut di bawah ocehan si bungkuk, betapa pun tinggi kepandaian si bungkuk tidak nanti putranya itu sudi mengangkatnya sebagai guru. Tapi ia pura-pura menjawab, "O, kiranya anakku telah mengangkat Bok-cianpwe sebagai guru. Wah, jika begitu bocah itu benar-benar sangat besar rezekinya. Kami suami istri telah banyak dianiaya dan terluka parah, jiwa kami tinggal menanti ajal saja. Diharap Bok-cianpwe sukalah memanggilkan anak kami ke sini agar kami dapat bertemu untuk penghabisan kalinya sebelum kami mengembuskan napas terakhir."
"Kalian ingin didampingi anak di saat terakhir, hal ini adalah soal lumrah dan tidak sulit untuk dipenuhi," sahut Bok Ko-hong.
"Di manakah anak Peng kami?" tanya Lim-hujin. "Bok-cianpwe, kumohon dengan sangat, sudilah kau memanggilnya kemari. Budi kebaikanmu tentu takkan kami lupakan."
"Baik, segera aku akan pergi memanggilnya," sahut Bok Ko-hong. "Tapi selamanya orang she Bok tidak sudi disuruh orang secara percuma. Untuk memanggil putramu kemari adalah sangat mudah. Tapi kalian harus memberitahukan dulu di mana tersimpannya Pi-sia-kiam-boh itu."
Sebagai seorang yang sudah kenyang makan asam garam dunia Kangouw, sebagai seorang pemimpin Piaukiok termasyhur, sudah tentu Lim Cin-lam tahu si bungkuk tua itu hanya dusta belaka.
Maka dengan menghela napas ia berkata, "Rupanya Bok-cianpwe tetap tidak percaya kepada keteranganku. Padahal kalau betul-betul kami mempunyai Kiam-boh segala, tentu juga kami akan mohon Locianpwe menyampaikannya kepada putraku itu mengingat jiwa kami hanya tinggal sekejap lagi. Agaknya harapan kami untuk bisa bertemu muka dengan putra kami sukar untuk terkabul."
"Benar juga, makanya aku bilang kau ini sangat bodoh," ujar Bok Ko-hong. "Sebab apakah mati pun kau tidak mau mengatakan di mana Kiam-boh itu disimpan" Tentu karena kau ingin mempertahankan ilmu leluhur kalian itu. Akan tetapi kau lupa, bila kau sudah mati, keluarga Lim kalian hanya tinggal Peng-ci seorang saja. Bila dia juga mati, di dunia ini menjadi sia-sia terdapat sejilid Kiam-boh yang tiada gunanya lagi."
"Bagaimana dengan putraku" Dia ... dia baik-baik bukan?" seru Lim-hujin khawatir.
"Saat ini sudah tentu masih baik-baik," sahut Bok Ko-hong. "Asalkan kalian mengatakan di mana beradanya Kiam-boh itu, sesudah kuperoleh lantas kuserahkan kepada putramu. Bila dia kurang paham akan isinya, aku yang akan memberi petunjuk padanya agar tidak seperti Lim-congpiauthau sendiri yang tidak becus apa-apa meski memiliki sejilid Kiam-boh bagus."
Habis berkata, mendadak ia menghantam ke arah patung Toapekong yang terletak beberapa meter jauhnya. "Brak", kontan patung itu roboh terkena angin pukulannya yang dahsyat.
Lim-hujin tambah khawatir, serunya, "Kau ... kau telah mengapakan putraku?"
"Hahaha!" Bok Ko-hong tertawa. "Peng-ci adalah muridku, mati atau hidupnya sekarang tergantung padaku. Bila aku ingin membinasakan dia, sekali hantam saja kontan dia akan mampus."
Sembari bicara kembali ia menebas pula dengan telapak tangannya sehingga ujung meja sempal sebagian.
Selagi Lim-hujin hendak bertanya pula, cepat Cin-lam menyela, "Jangan banyak bicara lagi, istriku. Putra kita pasti tidak berada padanya. Kalau tidak, mustahil dia takkan menyeretnya ke sini untuk mengancam kita."
"Hahaha! Kubilang kau ini bodoh, nyatanya memang kelewat tolol!" seru Bok Ko-hong dengan tertawa. "Katakan saja putramu itu memang tidak berada padaku, tapi bila si bungkuk berniat membinasakan anakmu itu, apa sih susahnya bagiku" Sahabatku penuh tersebar di seluruh jagat, untuk membekuk putramu itu boleh dikata terlalu mudah."
Habis berkata, kembali ia menghantam pula sehingga sebuah meja hancur berkeping-keping.
Melihat begitu hebat tenaga pukulan si bungkuk, Lim-hujin tambah khawatir.
Namun Cin-lam sudah lantas bergelak tertawa, katanya, "Istriku, seumpama kita mengaku tentang Pi-sia-kiam-boh, maka hal pertama yang akan dilakukan bungkuk ini adalah mengambil Kiam-boh itu, hal kedua yang akan diperbuatnya adalah membunuh putra kita. Tapi kalau kita tidak mengaku apa-apa, demi untuk memperoleh Kiam-boh tentu si bungkuk ini akan tetap mempertahankan keselamatan anak Peng."
Karena dia sudah bertekad takkan menggubris tekanan Bok Ko-hong, maka secara terang-terangan ia menyebutnya sebagai si bungkuk tanpa sungkan-sungkan lagi.
Seketika Lim-hujin sadar juga, katanya, "Benar. Hai, bungkuk, bila perlu boleh kau membunuh kami saja."
Lenghou Tiong dapat membayangkan saat itu Bok Ko-hong pasti sudah sangat murka, kalau tidak lekas-lekas mencari akal untuk mengenyahkan dia, tentu jiwa Lim Cin-lam dan istrinya bisa celaka. Tanpa pikir lagi segera ia berseru, "Bok-cianpwe, murid Hoa-san-pay bernama Lenghou Tiong diperintahkan oleh Suhu untuk mengundang Bok-cianpwe agar suka keluar sebentar, ada urusan penting yang perlu dirundingkan."
Saat itu Bok Ko-hong memang sudah angkat sebelah tangannya dan siap menghantam Lim Cin-lam. Ia menjadi kaget ketika mendadak suara Lenghou Tiong bergema di luar kelenteng. Selama hidupnya jarang sekali Bok Ko-hong mengalah kepada orang lain. Tapi terhadap Gak Put-kun, ketua Hoa-san-pay, biasanya dia memang rada jeri, lebih-lebih sesudah merasakan betapa lihainya Gak Put-kun ketika kebentrok di luar rumah pelacuran Kun-giok-ih tempo hari, ia tambah gentar terhadap ketua Hoa-san-pay yang tampaknya lemah gemulai, tapi sesungguhnya memiliki Lwekang yang tak terkirakan dalamnya.
Perbuatannya menggertak dan mengancam Lim Cin-lam suami istri ini justru paling dibenci oleh Beng-bun-cing-pay, golongan baik seperti Hoa-san-pay dan lain-lain. Ia menduga besar kemungkinan sudah sejak tadi Gak Put-kun dan muridnya telah mengintip dan mendengarkan di luar kelenteng. Resminya Gak Put-kun minta dia keluar untuk berunding sesuatu, tapi sebenarnya adalah menyindir secara halus. Ia pikir daripada nanti telan pil pahit, adalah lebih baik angkat langkah seribu saja paling selamat. Maka ia lantas berseru, "Orang she Bok sendiri ada urusan penting dan tidak sempat memenuhi undangan gurumu. Harap kau sampaikan semoga gurumu kelak sudi pesiar ke daerah utara dan mampir di rumah orang she Bok!"
Habis berkata demikian, sekali loncat ia melayang ke pelataran tengah, lalu dengan perlahan ia melompat ke atas wuwungan, menyusul terus melayang ke belakang kelenteng. Ia khawatir kalau dicegat oleh Gak Put-kun, maka buru-buru melarikan diri.
Lenghou Tiong sangat girang mendengar si bungkuk sudah pergi. Pikirnya, "Kiranya bungkuk tua itu demikian takut kepada guruku. Padahal kalau dia benar-benar keluar dan main kekerasan padaku, tentu aku akan celaka."
Perlahan-lahan ia masuk ke dalam kelenteng yang gelap gulita itu. Samar-samar dilihatnya ada dua bayangan orang duduk saling bersandar di pojok sana. Segera ia memberi hormat dan berkata, "Siautit adalah murid Hoa-san-pay, Lenghou Tiong. Sekarang kami sudah ada hubungan saudara seperguruan dengan Peng-ci Sute, maka terimalah hormatku, Paman dan Bibi Lim."
"Tak perlu banyak adat, anak muda," sahut Cin-lam dengan girang. "Kami terluka parah dan tak dapat membalas hormat, harap maaf. Apakah anak Peng kami itu benar-benar telah diterima sebagai murid di bawah pimpinan Gak-tayhiap?"
Hendaklah maklum bahwa nama Gak Put-kun di dunia persilatan jauh lebih kumandang daripada Ih Jong-hay. Padahal Lim Cin-lam sendiri demi untuk mengikat persahabatan dengan Ih Jong-hay dari Jing-sia-pay setiap tahun mesti mengirim orang mengantar oleh-oleh dan menyampaikan salam hormat segala. Sebaliknya terhadap orang-orang Ngo-gak-kiam-pay seperti Gak Put-kun dan lain-lain, karena merasa tidak sesuai untuk bersahabat dengan mereka, maka Lim Cin-lam tidak berani coba-coba mengirim sumbangan dan oleh-oleh.
Sekarang disaksikannya pula Bok Ko-hong yang bengis dan garang itu, demi mendengar namanya Gak Put-kun, tanpa bicara lagi terus angkat langkah seribu alias kabur. Dengan sendirinya Cin-lam merasa sangat senang dan beruntung karena putranya dapat diterima sebagai murid Gak Put-kun.
Begitulah Lenghou Tiong telah menjawab, "Benar, Peng-ci Sute memang sudah diterima sebagai murid Suhuku. Semula si bungkuk Bok Ko-hong itu bermaksud memaksa putra paman itu agar mengangkat guru padanya, tapi Peng-ci Sute berkeras tidak mau. Ketika si bungkuk hendak membikin susah padanya, kebetulan Suhuku lewat di situ dan telah berhasil menolongnya. Dengan sangat putramu lantas mohon Suhu menerimanya sebagai murid. Melihat kesungguhan hatinya, pula memang berbakat baik, maka Suhu lantas menerimanya. Tadi Suhu baru saja bertanding dengan Ih Jong-hay dan telah menghajarnya sehingga mengaku kalah. Imam kerdil itu terpaksa mengaku tentang keadaan Paman dan Bibi yang tinggal di sini. Suhu memerintahkan Siautit datang kemari lebih dahulu, sebentar lagi Suhu dan Peng-ci Sute tentu dapat menyusul kemari."
Mendengar bahwa sebentar lagi akan dapat berjumpa dengan putranya, sungguh girang Lim-hujin tak terkatakan. Lim Cin-lam lantas berkata, "Semoga ... semoga anak Peng dapat segera datang, kalau tidak ... mungkin ... mungkin sudah tidak keburu lagi."
Melihat suara Lim Cin-lam sangat lemah, terang keadaannya sangat payah. Mestinya Lenghou Tiong dapat membantunya dengan menyalurkan tenaga murni untuk bertahan sampai datangnya sang guru. Tapi Lenghou Tiong sendiri juga terluka sehingga terpaksa tak berdaya apa-apa.
"Paman Lim," kata Lenghou Tiong, "hendaklah engkau jangan bicara. Sebentar lagi Suhu tentu dapat datang kemari. Beliau tentu dapat menyembuhkan kalian."
Lim Cin-lam tersenyum getir. Ia pejamkan mata sejenak. Kemudian berkata lagi dengan suara lemah, "Lenghou-hiantit, aku ... aku tidak ... tidak tahan lagi. Sung ... sungguh aku sangat girang karena anak ... anak Peng bisa menjadi murid Hoa-san-pay. Kumohon selanjutnya engkau ... engkau suka banyak memberi ... memberi petunjuk padanya."
"Hendaklah paman jangan khawatir," sahut Lenghou Tiong. "Sebagai saudara seperguruan, sudah tentu akan kupandang dia sebagai saudara sekandung sendiri. Apalagi sekarang Paman memberi pesan pula, sudah tentu akan lebih kuperhatikan diri Peng-ci Sute."
"Budi kebaikan Lenghou-siauhiap ini sungguh kami ... kami suami istri takkan melupakannya biarpun berada di alam baka nanti," sela Lim-hujin.
"Harap Paman dan Bibi mengaso saja dengan tenang, jangan bicara lagi," kata Lenghou Tiong.
Napas Lim Cin-lam sangat lemah dan memburu, katanya pula dengan terputus-putus, "Harap kau memberitahukan kepada putraku bahwa ... bahwa benda yang terdapat di ... di kamar bawah tanah di rumah Hokciu itu adalah ... adalah benda pusaka warisan leluhur keluarga Lim kita, maka ... maka benda itu harus ... harus dijaga sebaik-baiknya. Tapi ... menurut pesan leluhur kita bahwa setiap ... setiap anak cucu sendiri janganlah membuka dan memeriksa benda ... benda itu, kalau ... kalau melanggar pesan ini tentu akan ... akan mendatangkan bencana. Untuk ini diharap dia ... suka mengingatnya dengan baik."
"Baiklah, tentu akan kuteruskan pesan ini kepada Peng-ci Sute," kata Lenghou Tiong.
"Terima ... terima ...." belum lagi kata-kata "kasih" terucapkan ternyata napas Lim Cin-lam sudah berhenti dan meninggal dunia.
"Lenghou-siauhiap, harap engkau menyampaikan kepada putraku agar jangan melupakan sakit hati ayah-bundanya," seru Lim-hujin. Mendadak ia tumbukkan kepalanya ke pilar batu di dekatnya. Memangnya dia pun terluka parah, karena benturan kepalanya itu, seketika ia pun lantas binasa.
Lenghou Tiong menghela napas menyaksikan kejadian sedih itu. Pikirnya, "Ih Jong-hay dan Bok Ko-hong telah memaksa dia mengaku di mana beradanya Pi-sia-kiam-boh, tapi biarpun mati dia tetap tidak mau mengaku. Sampai saat ajalnya terpaksa ia minta aku menyampaikan pesannya itu kepada putranya. Tapi rupanya dia khawatir aku menggelapkan Kiam-boh yang merupakan pusaka keluarga Lim mereka, maka bicara tentang 'dilarang membuka dan memeriksa benda itu supaya tidak mendatangkan bencana' segala. Hehe, memangnya kau sangka Lenghou Tiong ini manusia apa sehingga mau mengincar benda milik keluarga Lim kalian" Sedangkan kepandaian Hoa-san-pay sendiri tidak dapat kupelajari seluruhnya selama hidup ini, masakah ada maksud untuk mengurus ilmu silat dari golongan lain" Lagi pula jika memang betul ilmu pedang keluarga Lim kalian ada sesuatu yang luar biasa, mengapa suami istri kalian mengalami nasib celaka begini?"
Begitulah ia lantas berduduk bersandar dinding untuk mengaso sendiri.
Selang tidak lama, terdengarlah suara Gak Put-kun berseru di luar kelenteng, "Anak Tiong, apakah kau berada di dalam?"
Cepat Lenghou Tiong bangkit dan berseru mengiakan. Tampak fajar sudah mulai menyingsing, Gak Put-kun sedang melangkah masuk ke dalam kelenteng.
"Mati?" tanya Gak Put-kun demi tampak jenazah Lim Cin-lam dan istrinya menggeletak tak berkutik.
"Ya," sahut Lenghou Tiong. Lalu ia pun menceritakan apa yang telah terjadi dan cara bagaimana dirinya telah menggertak lari Bok Ko-hong dengan nama sang guru serta pesan tinggalan Lim Cin-lam sebelum mengembuskan napas penghabisan.
"Dengan kematian Lim Cin-lam ini, nyata usaha Ih Jong-hay hendak mencari Pi-sia-kiam-boh telah mengalami kegagalan dan sia-sia belaka, sebaliknya dosa yang telah dia lakukan tidaklah kecil," ujar Gak Put-kun setelah merenung sejenak.
"Suhu, apakah si kerdil itu telah minta maaf padamu?" tanya Lenghou Tiong.
"Kepandaian lari Ih-koancu benar-benar sangat cepat, aku telah mengubernya sampai sekian lamanya, tapi tak dapat menyusulnya," sahut Gak Put-kun. "Nyata, dalam hal Ginkang memang Jing-sia-pay mereka lebih unggul daripada Hoa-san-pay kita."
Sebagai seorang kesatria sejati, kalau menang ya menang, kalau kalah ia pun mengaku kalah secara terang-terangan.
Lenghou Tiong tertawa, katanya, "Kepandaian Jing-sia-pay mereka yang mahir lari dengan pantat menghadap ke belakang memang jauh lebih tinggi daripada golongan lain."
Tiba-tiba Gak Put-kun menarik muka, semprotnya, "Tiong-ji, mulutmu selalu bicara tak genah, mana boleh menjadi teladan para Sute dan Sumoaymu?"
Seketika Lenghou Tiong kuncup. Sambil mengiakan ia berpaling dan meleletkan lidahnya.
"Hm, kau suka usilan dan senang cari gara-gara, sekali ini tentu kau sudah kenyang menderita, biar tahu rasa!" omel Gak Put-kun pula.
Lenghou Tiong menyengir dan tidak berani menjawab lagi.
Gak Put-kun lantas mengeluarkan sebuah mercon roket. Ia menuju ke pelataran kelenteng dan menyalakan mercon itu dan dilepaskan ke udara. Dengan suara yang mendesis-desis, mercon itu menjulang tinggi ke angkasa untuk kemudian meletus di udara. Api mercon berubah menjadi sebentuk pedang berwarna putih perak, sejenak kemudian kembang api bentuk pedang itu barulah perlahan-lahan jatuh ke bawah untuk kemudian berubah menjadi titik terang yang bertaburan di angkasa.
Kiranya kembang api ini adalah tanda pengenal ketua Hoa-san-pay, pedang perak itu melukiskan julukan Gak Put-kun sebagai "Kun-cu-kiam", si pedang jantan.
Tidak terlalu lama kemudian dari jauh lantas terdengar ada suara tindakan orang sedang datang menuju ke arah kelenteng sini.
"Ini adalah Kin-beng, langkahnya enteng, tapi kurang kuat," kata Gak Put-kun. "Di antara kalian kecepatan larinya terhitung paling tinggi, tapi tidak tahan jauh."
Benar juga, tidak lama kemudian tertampak Ko Kin-beng telah mendekat dengan membawa Swipoanya yang berbunyi keletak-keletik. Setiba di depan kelenteng ia lantas berseru, "Suhu, apakah engkau berada di dalam?"
"Ya, aku berada di sini!" sahut Put-kun.
Sesudah masuk ke dalam kelenteng, segera Ko Kin-beng memberi hormat sambil menyapa, "Suhu!"
Dan ketika melihat Lenghou Tiong juga berada di situ, ia menjadi girang dan berseru, "Toasuko, kiranya engkau baik-baik saja. Sungguh kami sangat mengkhawatirkan dirimu."
Lenghou Tiong terharu juga melihat rasa senang dan perhatian sang Sute terhadap dirinya. Sahutnya dengan tersenyum, "Ya, aku baik-baik saja. Berkat lindungan Thian, sekali ini aku tidak jadi mati."
Tengah bicara, sayup-sayup terdengar pula dari jauh ada suara orang mendatangi. Sekali ini ada dua orang.
"Siapakah mereka?" tanya Gak Put-kun.
"Yang satu langkahnya kuat, yang lain gesit, tentu adalah Jisute dan Laksute," ujar Lenghou Tiong.
Gak Put-kun mengangguk senang, katanya, "Tiong-ji, kau memang cerdik, sekali diberi petunjuk lantas tahu. Kapan-kapan bila kau sudah sesabar Tek-nau tentu aku pun akan dapat merasa puas."
Kedua orang yang datang itu memang betul adalah Lo Tek-nau dan Liok Tay-yu. Sebelum mereka masuk kelenteng, menyusul suara tindakan murid ketiga Nio Hoat dan murid keempat, Si Tay-cu juga sudah kedengaran. Selang sejenak kembali murid ketujuh To Kun, putri kesayangan Gak Put-kun sendiri, yaitu Gak Leng-sian, serta muridnya yang baru, Lim Peng-ci, juga sudah tiba semua.
Begitu melihat mayat ayah-bundanya, Peng-ci lantas menubruk dan mendekap di atas sosok tubuh tak bernyawa itu sambil menangis.
Melihat Peng-ci menangis dengan sedih, para saudara seperguruannya ikut merasa pilu.
Gak Leng-sian sendiri merasa sangat senang demi tampak Lenghou Tiong dalam keadaan sehat walafiat. Perlahan-lahan ia mendekatinya, ia menjawil lengan Toasuheng itu dan bertanya, "Kiranya engkau baik-baik saja, engkau tidak mati!"
"Ya, aku memang tidak mati!" sahut Lenghou Tiong.
"Ah, kiranya Nikoh cilik dari Hing-san-pay yang berdusta, saking khawatirnya sampai aku ... aku ...." mestinya ia hendak mengatakan "sampai aku pun tidak ingin hidup lagi". Tapi demi mengingat ayah dan para Suhengnya juga berada di situ, maka kata-kata yang mencerminkan isi hatinya saking khawatirnya itu urung diucapkannya. Bila teringat selama beberapa hari terakhirnya ini ia benar-benar sangat khawatir dan sedih, tanpa merasa air matanya lantas menetes.
Lenghou Tiong lantas berkata, "Sumoay dari Hing-san-pay itu sebenarnya tidak sengaja berdusta, tatkala itu dia memang menyangka aku benar-benar sudah mati."
Leng-sian menengadah dan memandang Lenghou Tiong dengan sorot matanya yang sayu basah. Dilihatnya wajah sang Suko putih pucat, diam-diam ia merasa kasihan. Katanya, "Toasuko, lukamu sekali ini tentu ... tentu tidak ringan. Engkau harus pulang ke gunung untuk mengaso."
Melihat Peng-ci masih terus menangis, Gak Put-kun berkata, "Anak Peng, janganlah menangis lagi, urus dulu layon ayah-bundamu lebih penting."
Peng-ci mengiakan sambil berbangkit. Tapi demi tampak wajah kedua orang tua yang penuh menunjukkan rasa derita itu, tanpa merasa air matanya bercucuran lagi. Katanya dengan parau, "O, Ayah dan Ibu, untuk penghabisan kalinya saja kita tidak sempat berjumpa pula, sampai tiada sepatah kata pun pesan kalian yang dapat kudengarkan."
"Lim-sute," tiba-tiba Lenghou Tiong menyela, "sebelum ayah-bundamu wafat, akulah yang menunggunya di sini. Beliau berdua telah minta aku menjaga dirimu, hal ini memang menjadi tugas kewajibanku. Selain itu ayahmu meninggalkan sesuatu pesan pula agar kusampaikan padamu."
"O, Toasuko, jadi ... jadi engkaulah yang telah mendampingi ayah-bundaku ketika mereka meninggal. Sungguh Siaute merasa terima kasih tak terhingga," kata Peng-ci dengan terharu.
"Rupanya Paman dan Bibi Lim tidak mau mengaku di mana disimpannya Pi-sia-kiam-boh sehingga para keparat dari Jing-sia-pay itu telah melakukan siksaan badan kepada mereka," kata Lenghou Tiong. "Sebagai seorang pemimpin suatu cabang persilatan ternyata sedemikian rendah perbuatan Ih Jong-hay, tentu dia akan dipandang hina oleh setiap kesatria di dunia ini."
"Sakit hati ini tak kubalas, maka Lim Peng-ci bukan manusia lagi," seru Peng-ci dengan mengertak gigi. Mendadak ia mengepal tinju terus menghantam pilar di sebelahnya.
Biarpun ilmu silat Peng-ci masih rendah, tapi saking bergolaknya perasaannya sehingga hantamannya itu cukup keras, debu pasir seketika berhamburan dari atap kelenteng tua itu.
"Lim-sute," Leng-sian ikut bicara, "urusan ini adalah gara-garaku, bila kau menuntut balas kelak, sebagai Sucimu tentu aku takkan tinggal diam."
"Banyak terima kasih, Suci," sahut Peng-ci.
Diam-diam Gak Put-kun menghela napas, pikirnya, "Hoa-san-pay selamanya memegang teguh pendirian: orang tidak mengganggu aku, aku pun tidak mengganggu orang. Maka dari itu biasanya Hoa-san-pay tidak punya permusuhan dengan berbagai golongan dunia persilatan. Tapi sejak kini orang-orang Hoa-san-pay tidak dapat hidup tenang lagi. Ai, sekali sudah ikut berkecimpung di dunia Kangouw, sukarlah untuk menjauhi persengketaan satu sama lain."
Seperti Lau Cing-hong, maksud tujuannya hendak mengundurkan diri dari Bu-lim, tapi akhirnya toh cita-citanya itu tidak terkabul, bahkan jiwanya malah melayang. Bila teringat kepada tokoh she Lau itu, tanpa merasa Gak Put-kun menjadi masygul.
"Siausumoay, Lim-sute," sela Lo Tek-nau, "urusan ini bukan salahnya siapa-siapa, tapi biang keladinya adalah Ih Jong-hay sendiri karena dia memang mengincar Pi-sia-kiam-boh milik keluarga Lim-sute. Tokoh angkatan tua Jing-sia-pay yang bernama Tiang-jing-cu dahulu pernah dikalahkan oleh leluhurnya Lim-sute dengan Pi-sia-kiam-hoat, dari situlah mulainya bibit bencana yang terjadi hari ini."
"Ya, benar," kata Gak Put-kun. "Orang Bu-lim biasanya memang sukar terhindar dari keinginan berebut menang dan unggul. Bila mendengar di mana ada kitab rahasia ilmu silat, tak peduli apakah berita itu benar atau tidak, tentu setiap orang berusaha mati-matian untuk mendapatkannya. Padahal tokoh-tokoh semacam Ih-koancu dan Bok Ko-hong mestinya tidak perlu mengincar Kiam-boh dari keluarga Lim kalian."
"Suhu, sesungguhnya di rumahku tiada Pi-sia-kiam-boh apa segala, ke-72 jurus ilmu pedang Pi-sia-kiam-hoat adalah ajaran dari ayah secara lisan. Seumpama betul ada Kiam-boh yang dimaksudkan, mustahil ayah tidak memberitahukan kepadaku yang merupakan putranya yang tunggal," demikian kata Peng-ci.
Gak Put-kun mengangguk. Katanya, "Ya, memangnya aku pun tidak percaya ada Pi-sia-kiam-boh apa segala, kalau ada, tentu Ih Jong-hay bukanlah tandingan ayahmu. Bukti ini bukankah sudah cukup menjelaskan segalanya?"
Lenghou Tiong lantas teringat kepada pesan peninggalan Lim Cin-lam, ia pikir Kiam-boh yang dimaksud itu pastilah ada. Segera ia berkata, "Lim-sute, menurut pesan ayahmu, katanya di rumah Hokciu ...."
Mendadak Gak Put-kun menyela, "Pesan ayahnya itu boleh kau beri tahukan kepada anak Peng di bawah empat mata saja, orang lain tidak perlu ikut mendengarkan."
Lenghou Tiong mengiakan. Lalu Put-kun berkata pula, "Tek-nau dan Kin-beng, kalian berdua boleh ke kota untuk membeli dua buah peti mati."
Begitulah, jenazah Lim Cin-lam dan istrinya itu baru dapat diselesaikan sampai petang harinya. Tek-nau telah mengupah beberapa orang kuli untuk menggotong peti-peti mati itu ke tepi sungai, rombongan mereka telah menyewa sebuah kapal terus berlayar ke hulu di arah barat.
Tidak seberapa hari sampailah mereka di bawah Giok-li-hong, puncak bidadari, pegunungan Hoa-san. Ko Kin-beng dan Liok Tay-yu mendahului pulang ke atas gunung untuk menyampaikan berita.
Hanya sebentar saja segenap murid-murid Hoa-san-pay yang lain berjumlah lebih 20 orang sudah sama menyambut ke bawah gunung. Di antara murid-murid Hoa-san-pay itu ada yang baru berusia 12-13 tahun, mereka lantas tanya ini dan itu begitu melihat Gak Leng-sian sudah pulang.
Satu per satu Lo Tek-nau memperkenalkan Peng-ci kepada mereka. Sesuai dengan peraturan Hoa-san-pay yang mengutamakan siapa lebih dulu masuk perguruan, maka biarpun murid terkecil yang bernama Su Ki yang baru berusia 12 tahun juga terhitung Suhengnya Peng-ci. Hanya Gak Leng-sian yang dikecualikan dari peraturan itu. Karena dia adalah putrinya Gak Put-kun dan tidak dapat diatur menurut baru atau lamanya menjadi murid Hoa-san-pay, terpaksa dibedakan menurut umur masing-masing. Yang lebih tua adalah Suhengnya dan yang lebih muda menjadi Sutenya.
Sebenarnya Leng-sian juga lebih muda daripada Peng-ci, tapi sekali ini dia berkeras ingin menjadi Suci. Karena Gak Put-kun tidak melarang keinginannya itu, maka Peng-ci lantas menyebutnya sebagai Suci.
Sesudah rombongan besar mereka sampai di atas puncak gunung, tertampaklah pepohonan rindang menghijau, suara burung berkicau. Bangunan-bangunan yang megah berderet-deret tersebar menurut tinggi rendahnya tanah pegunungan. Di tengah-tengah adalah sebuah gedung yang besar dengan dinding terkapur putih bersih. Seorang wanita cantik setengah umur tampak muncul. Secepat terbang Gak Leng-sian lantas berlari dan menubruk ke dalam pangkuan wanita itu sambil berseru, "Ibu, aku telah bertambah lagi seorang Sute!"
Sebelumnya Peng-ci sudah mendengar cerita dari para Suhengnya bahwa ibu-gurunya yang bernama Ling Tiong-cik sebenarnya adalah Sumoay sang guru sendiri. Ilmu pedangnya juga tidak di bawah sang suami. Maka cepat ia melangkah maju dan memberi hormat, "Terimalah hormat murid baru Lim Peng-ci, Sunio!"
Bab 26. Ilmu Pedang Tunggal Keluarga Ling yang Tiada Bandingannya
"Sudahlah, tidak perlu banyak adat lagi," kata Gak-hujin. Lalu ia berpaling kepada sang suami dengan tersenyum, "Setiap kali turun gunung tentu kau membawa pulang beberapa orang. Kali ini aku menduga sedikitnya kau akan terima tiga atau empat murid baru. Kenapa cuma satu orang saja?"
"Kau sering mengatakan satu yang baik lebih berguna daripada sepuluh yang jelek," sahut Gak Put-kun dengan tertawa. "Dan yang ini bagaimana menurut pandanganmu?"
"Kukira mukanya terlalu tampan, tidak pantas sebagai orang persilatan. Ada lebih tepat kalau dia belajar Su-si-ngo-keng (empat buku dan lima kitab) padamu saja, boleh jadi kelak dia akan lulus menjadi Conggoan (gelar kesusastraan)," demikian kata Gak-hujin dengan tertawa.
Wajah Peng-ci menjadi merah. Pikirnya, "Agaknya badanku yang lemah ini dipandang rendah oleh ibu-guru. Selanjutnya aku harus giat belajar agar tidak ketinggalan dari para Suheng."
Tiba-tiba Gak-hujin melirik Lenghou Tiong sekejap dan menegur, "Hm, kembali berkelahi lagi dengan orang ya" Tentu terluka bukan" Mengapa air mukamu begitu pucat?"
Selama dalam perjalanan luka Lenghou Tiong sebenarnya sudah sembuh, hanya air mukanya memang masih pucat. Sejak kecil ia dibesarkan oleh Gak-hujin, maka nyonya Gak itu menganggapnya seperti putranya sendiri, meski nadanya seperti mengomeli, tapi sebenarnya penuh perhatian.
Lenghou Tiong tersenyum dan menjawab, "Kesehatanku sudah hampir pulih kembali. Sekali ini memang hampir-hampir saja tidak dapat bertemu lagi dengan Sunio."
"Ya, supaya kau tahu di atas langit masih ada langit, di atas orang pandai masih ada yang lebih pandai. Apakah kau kalah dengan penasaran?" ujar Gak-hujin sambil melototi pula sekali.
"Golok Dian Pek-kong itu benar-benar sangat cepat sehingga murid tidak mampu menangkisnya, untuk mana justru ingin minta petunjuk kepada Sunio," kata Lenghou Tiong.
Nama Dian Pek-kong yang jahat memang sudah lama terkenal. Setiap orang tahu dia adalah maling cabul. Sekarang Gak-hujin mendengar Lenghou Tiong terluka karena bertempur dengan Dian Pek-kong, seketika air mukanya berubah ramah kembali. Katanya sambil mengangguk, "Kiranya kau bertempur dengan keparat seperti Dian Pek-kong, itulah sangat bagus. Kusangka kau telah cari gara-gara dan bikin onar lagi. Bagaimana ilmu goloknya yang cepat itu" Coba terangkan, biar kita mempelajarinya dengan baik supaya lain kali dapat melabraknya lagi."
Meski lemah lembut tampaknya nyonya Gak ini, tapi bila mendengar soal berkelahi seketika timbul lagi semangat kesatrianya di masa dahulu.
Gak Put-kun hanya tersenyum saja tanpa ikut bicara. Dalam perjalanan pulang memang beberapa kali Lenghou Tiong telah tanya padanya tentang cara bagaimana mematahkan ilmu golok Dian Pek-kong yang cepat itu. Namun Gak Put-kun sengaja tak mau mengatakan, biar sesudah tiba di rumah boleh Lenghou Tiong minta petunjuk kepada istrinya. Dan benar juga, begitu mendengar tentang ilmu golok yang cepat itu, seketika Gak-hujin sangat tertarik.
Sesudah masuk ke ruangan dalam, ramailah para murid Hoa-san-pay itu saling menanyakan keadaan masing-masing. Keenam murid wanita merasa sangat tertarik oleh cerita Gak Leng-sian tentang apa yang dilihatnya di kota Hokciu dan Heng-san. Sedangkan Liok Tay-yu asyik mengobrol kepada para Sutenya tentang pertarungan sengit antara Toasuko mereka melawan Dian Pek-kong, tentang terbunuhnya Lo Jin-kiat dari Jing-sia-pay. Sudah tentu apa yang terjadi itu sengaja dibumbu-bumbui oleh Liok Tay-yu sehingga seakan-akan bukan Toasuko mereka yang dikalahkan Dian Pek-kong, sebaliknya sepertinya Dian Pek-kong yang dihajar oleh Lenghou Tiong.
Gak-hujin sendiri duduk pada sebuah kursi di sudut sana dan sedang memerhatikan Lenghou Tiong memainkan ilmu golok kilat dari Dian Pek-kong itu. Rupanya ilmu golok itu memang sangat hebat dan sukar dibayangkan sebelumnya, diam-diam nyonya Gak kaget dan sangat heran.
Ketika Lenghou Tiong menggunakan tangan kanan dengan gaya membacok kian kemari sampai tiga belas kali, lalu menarik diri dan berhenti main, perlahan-lahan Gak-hujin menghela napas longgar. "Sungguh lihai!" pujinya sambil menggeleng kepala.
Sesudah merenung sejenak, kemudian nyonya Gak itu bertanya, "Ilmu golok Dian Pek-kong yang menyerang 13 kali secara berantai ini cara bagaimana dapat kau patahkan?"
"Dia punya ilmu golok ini memang mahasakti, pandangan Tecu sendiri sampai berkunang-kunang dan bingung, masakah mampu mematahkannya?" sahut Lenghou Tiong dengan tertawa.
"Benar," kata Gak-hujin. "Kukira biarpun tokoh kelas satu dari dunia persilatan zaman ini yang mampu menyelamatkan jiwa di bawah serangan kilat 13 kali ini, mungkin jumlahnya dapat dihitung dengan jari, apalagi bocah ingusan semacam kau. Tentu kau telah main licik dan dengan akal bulus dapat mengelabui keparat Dian Pek-kong itu."
Sejak kecil Lenghou Tiong sudah ikut keluarga Gak, maka wataknya dan kepandaiannya sudah tentu cukup dikenal oleh Gak-hujin.
Muka Lenghou Tiong menjadi merah, sahutnya dengan tersenyum, "Tecu memang mengeluh dan kelabakan ketika dia baru saja memainkan dua-tiga jurus ilmu goloknya itu. Tapi Tecu lantas bergelak tertawa. Untuk ini Dian Pek-kong menjadi melongo heran. Ia tanya, 'Apa yang kau tertawakan" Apakah kau kira mampu menangkis 13 kali serangan golokku ini"' Dengan tertawa Tecu telah menjawab, 'Kiranya Dian Pek-kong yang namanya termasyhur asalnya adalah murid buangan Hoa-san-pay kami. Sungguh tidak nyana, sungguh tak terduga. Ya, ya, tentulah disebabkan tingkah lakumu yang buruk, makanya kau telah diusir keluar dari golongan kami.'
"Dian Pek-kong menjadi marah-marah, katanya, 'Murid buangan Hoa-san-pay apa segala, kau ngaco-belo belaka. Ilmu silatku mempunyai gayanya sendiri, ada sangkut paut apa dengan Hoa-san-pay kalian"' Dengan tertawa Tecu menjawab, 'Kau punya ilmu golok ini meliputi 13 gerakan bukan" Aku sendiri pernah menyaksikan permainan ilmu golok ini dari ibu-guruku. Beliau telah menciptakan ilmu golok yang lemah gemulai ini di kala beliau lagi menyulam. Sungguh tidak nyana seorang laki-laki seperti dirimu juga dapat menirukan gayanya kaum wanita ....'" belum habis ucapannya, Leng-sian dan para Sumoaynya sudah lantas mengikik geli.
Gak Put-kun juga tersenyum sambil mengomel, "Ngaco! Ngaco belaka!"
Sedangkan Gak-hujin juga lantas menyemprotnya, "Kau sembarangan mengoceh tak keruan. Segala apa boleh kau katakan, mengapa ibu-gurumu ikut-ikut kau sebut?"
"Hendaklah Sunio maklum, Dian Pek-kong itu sangat sombong. Bila dia mendengar ilmu goloknya yang lihai itu kukatakan berasal dari ciptaan Sunio serta mempersamakan dia dengan kaum wanita, maka dia pasti akan membantah dan pasti tak jadi membunuh Tecu pada waktu itu. Dan benar juga, dia lantas memainkan pula ilmu goloknya dengan perlahan, setiap jurus selalu ia tanya, 'Apakah betul ini ciptaan ibu-gurumu"' Tecu sengaja diam saja untuk makin membikin panas hatinya, berbareng Tecu lantas ingat baik-baik setiap jurus permainannya itu. Akhirnya barulah Tecu berkata, 'Maaf, Dian-heng, boleh jadi Siaute salah sangka. Tampaknya ilmu golok Dian-heng ini mirip dengan ilmu pedang ciptaan ibu-guruku, tapi di dalamnya ternyata ada perbedaan-perbedaannya. Agaknya Dian-heng tidaklah mencuri belajar dari perguruanku.' Rupanya dia mengetahui maksud Tecu, dengan gusar ia berkata, 'Hm, karena kau tidak mampu melawan ilmu golokku ini, lantas kau mengoceh tak keruan untuk mengulur tempo, memangnya kau sangka aku bodoh dan tidak tahu tujuanmu" Pendek kata, Lenghou Tiong, kau sudah mengatakan Hoa-san-pay kalian juga punya ilmu golok yang sama, maka kau harus coba memainkan sekarang biar aku bertambah pengalaman juga.'
"Tecu lantas menjawab, 'Hoa-san-pay kami hanya menggunakan pedang dan tidak main golok. Ilmu pedang ciptaan ibu-guruku itu hanya diajarkan kepada murid wanita. Kita sebagai kaum laki-laki masakah ikut-ikut megal-megol memainkan ilmu pedang yang menertawakan itu"' Dengan gusar Dian Pek-kong berkata, 'Menertawakan atau tidak, pendek kata kau harus mengaku terus terang bahwa Hoa-san-pay sesungguhnya tak ada ilmu silat seperti ilmu golokku ini. Lenghou-heng, sebenarnya orang she Dian kagum kepada jiwa kesatriamu, seharusnya kau tidak ... tidak pantas sembarangan mengoceh mempermainkan aku.'"
"Siapa sudi dikagumi oleh manusia rendah macam dia itu?" sela Gak Leng-sian. "Memang seharusnya Toasuko mempermainkan dia biar kapok."
"Tapi waktu itu kurasa mau tidak mau aku harus memainkan beberapa jurus yang telah kukatakan itu," ujar Lenghou Tiong.
"Dan apakah kau benar-benar megal-megol menirukan gaya kaum wanita?" tanya Leng-sian dengan tertawa.
"Biasanya aku sudah sering melihat kau berlatih sehingga untuk menirukan megal-megol kaum wanita adalah tidak sukar bagiku," sahut Lenghou Tiong.
Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang 9 Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya 2

Cari Blog Ini