Ceritasilat Novel Online

Hina Kelana 10

Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong Bagian 10


"Ha, jadi kau menganggap aku suka megal-megol" Awas, nanti kujewer kupingmu!" omel Leng-sian dengan manja.
Sejak tadi Gak-hujin diam saja, baru sekarang ia membuka suara, "Anak Sian, coba kau berikan pedangmu kepada Toasuko."
Leng-sian menurut, ia melolos pedangnya dan diberikan kepada Lenghou Tiong. Katanya, "Nah, ibu ingin melihat cara kau memainkan pedang dengan gaya megal-megol!"
"Hus!" sentak Gak-hujin. "Jangan kau gubris dia, anak Tiong. Coba kau pertunjukkan permainanmu waktu itu."
Lenghou Tiong maklum bahwa ibu-gurunya ingin tahu ilmu silat andalan Dian Pek-kong. Segera ia memberi hormat lebih dulu, katanya, "Baiklah, Tecu akan coba mainkan ilmu golok Dian Pek-kong itu, Sunio dan Suhu!"
Menurut peraturan Hoa-san-pay, bila kaum muda hendak "main" di depan kaum tua, maka harus permisi lebih dulu.
Sesudah Gak Put-kun mengangguk, mulailah Lenghou Tiong mengacungkan pedangnya. Sekonyong-konyong, tanpa ada suatu tanda lebih dulu, tahu-tahu pedangnya membacok beruntun-runtun tiga kali dengan secepat kilat sehingga mengeluarkan suara mendengung-dengung.
Para murid Hoa-san-pay sampai terkejut, beberapa murid wanita bahkan sampai menjerit kaget.
Dalam pada itu Lenghou Tiong telah memainkan pedangnya sedemikian cepatnya, tampaknya seperti kacau tak teratur, tapi dalam pandangan tokoh-tokoh seperti Gak Put-kun dan istrinya, setiap bacokan atau tebasan Lenghou Tiong itu dapat dilihat dengan jelas, serangan-serangannya jitu lagi ganas. Hanya sekejap saja Lenghou Tiong sudah lantas menarik kembali pedangnya dan berdiri tegak, lalu memberi hormat pula kepada guru dan ibu-gurunya.
Leng-sian rada kecewa, tanyanya, "Hanya begini saja sudah selesai?"
"Lebih cepat justru lebih bagus," ujar Gak-hujin. "Ke-13 jurus golok kilat ini setiap jurusnya membawa tiga-empat gerakan perubahan sehingga dalam sekejap ini dapat bermain lebih dari 40 gerakan, ilmu golok kilat ini benar-benar jarang ada bandingannya di dunia ini."
"Bila dimainkan oleh keparat Dian Pek-kong sendiri, kecepatannya dua-tiga kali lebih cepat lagi daripada Tecu," ujar Lenghou Tiong.
Gak-hujin saling pandang sekejap dengan Gak Put-kun, keduanya sama-sama merasa gegetun dan kagum akan ilmu golok kilat itu.
Tiba-tiba Gak-hujin melolos sebatang pedang dari pinggang seorang murid wanita dan berseru kepada Lenghou Tiong, "Gunakan golok kilat!"
Lenghou Tiong mengiakan dan "sret", ia gunakan pedang sebagai golok terus membacok ke arah Gak-hujin.
Tempat yang diarah oleh serangan ini aneh luar biasa. Kelihatannya pedang itu sudah meleset melampaui badan Gak-hujin, tapi mendadak ujung pedang bisa melengkung balik ke pinggang nyonya Gak itu.
Keruan Leng-sian terkejut, dia sampai menjerit, "Awas, Ibu!"
Namun dengan cepat Gak-hujin telah meloncat maju, tanpa peduli tusukan dari belakang itu, dia lantas balas menusuk dada Lenghou Tiong dengan tidak kalah cepatnya.
Kembali Leng-sian menjerit, "Awas, Toasuko!"
Lenghou Tiong ternyata juga tidak menangkis, sebaliknya ia balas membacok pula satu kali sambil berseru, "Dian Pek-kong jauh lebih cepat daripada ini, Sunio!"
"Sret-sret-sret", kembali Gak-hujin menusuk tiga kali pula dan Lenghou Tiong juga balas menyerang tiga kali. Makin lama makin cepat serang-menyerang kedua orang, yang digunakan selalu serangan berbahaya, tapi tiada seorang pun yang main menangkis, hanya menggunakan cara mengelak dan menyerang.
Dalam sekejap saja kedua orang sudah bergebrak 20 jurus lebih. Peng-ci sampai kesima menyaksikan pertarungan hebat itu. Pikirnya, "Tingkah laku Toasuko tampaknya angin-anginan, tapi ilmu silatnya sesungguhnya sedemikian lihai. Untuk selanjutnya aku harus giat berlatih supaya kelak tidak dipandang hina oleh orang lain."
Pada saat itulah sekonyong-konyong pedang Gak-hujin menusuk ke depan pula, sekali ini tepat mengancam di depan tenggorokan Lenghou Tiong sehingga tak sempat mengelak lagi.
Tapi Lenghou Tiong telah berkata, "Percuma, dia dapat menangkisnya."
"Baik!" seru Gak-hujin sambil tarik kembali pedangnya untuk mengulangi serangan-serangan lain pula.
Beberapa jurus kemudian, "sret", kembali ujung pedang nyonya Gak itu mengancam di depan tenggorokan Lenghou Tiong.
Namun pemuda itu tetap berkata, "Dia dapat menangkisnya!"
Dengan ucapan ini Lenghou Tiong hendak mengatakan bahwa dirinya memang tidak mampu mengelakkan serangan sang ibu-guru, tapi ilmu golok Dian Pek-kong yang jauh lebih cepat itu dapat menangkis serangan-serangan ibu-gurunya itu.
Segera kedua orang mengulangi pula, makin lama makin cepat. Sampai akhirnya Lenghou Tiong tidak sempat mengatakan "dia dapat menangkis" lagi, sebagai gantinya dia hanya menggeleng saja bila dia terancam oleh setiap gerakan Gak-hujin, dengan begitu maksudnya hendak mengatakan serangan ibu-gurunya itu tetap belum dapat mengalahkan Dian Pek-kong.
Permainan Gak-hujin bertambah semangat, mendadak ia membentak nyaring, sinar pedangnya gemerdep menyilaukan, sekeliling tubuh Lenghou Tiong seakan-akan berbungkuskan sinar perak.
Sekonyong-konyong nyonya Gak menusuk ke depan, tahu-tahu ulu hati Lenghou Tiong terancam, cepatnya benar-benar secepat kilat. Bahkan tertampak Gak-hujin terus sorong pedangnya ke depan sehingga tubuh Lenghou Tiong benar-benar kelihatan tertembus sebab gagang pedang Gak-hujin sampai mepet di dada anak muridnya itu.
"Ibu!" Leng-sian menjerit khawatir.
Tapi lantas terdengarlah suara "trang-tring" berulang-ulang, beberapa potong pedang kutung sepanjang beberapa senti telah jatuh semua di samping kaki Lenghou Tiong. Gak-hujin bergelak tertawa dan menarik kembali tangannya, ternyata pedangnya yang panjang tadi kini hanya tertinggal bagian gagang saja.
"Sumoay, sedemikian hebat tenaga dalammu, sampai aku pun tidak mengetahuinya," ujar Gak Put-kun dengan tertawa.
Meski mereka adalah suami istri, tapi asalnya mereka memang saudara seperguruan, maka panggilan yang sudah biasa itu tetap digunakan meski mereka sudah menikah dan sekarang pun sudah tua.
Maka dengan tersenyum Gak-hujin menjawab, "Ah, Suko terlalu memuji saja. Hanya sedikit kepandaian tak berarti saja kenapa mesti dipersoalkan."
Alangkah kejutnya Lenghou Tiong ketika melihat potongan-potongan pedang kutung yang berserakan itu. Baru sekarang dia tahu bahwa waktu ibu-gurunya menusukkan pedangnya tadi benar-benar telah mengerahkan segenap tenaga dalamnya. Akan tetapi begitu ujung pedang menyentuh bajunya, seketika ia memutar kembali tenaga dalam yang mahadahsyat itu, dari tenaga yang mendampar lurus ke depan itu berubah menjadi putaran kembali, maka seketika pedangnya tergetar patah menjadi beberapa potong. Sudah tentu cara menguasai Lwekangnya itu benar-benar sudah mencapai puncak kesempurnaannya.
Keruan tidak kepalang kagumnya Lenghou Tiong. Katanya dengan gegetun, "Dengan kepandaian Sunio ini, betapa pun cepat ilmu golok Dian Pek-kong itu juga tidak mampu menghindarkan diri dari serangan Sunio ini."
Melihat baju sang Toasuko itu penuh lubang di muka dan di belakang, seluruhnya adalah bekas tusukan pedang Gak-hujin, diam-diam Peng-ci membatin, "Di dunia ini ternyata ada ilmu pedang sehebat ini. Asal aku dapat mempelajari beberapa bagiannya saja sudah cukup untuk membalas sakit hati ayah-bundaku."
Lalu terpikir pula, "Jing-sia-pay dan Bok Ko-hong sama-sama mengincar Pi-sia-kiam-boh keluargaku, padahal Pi-sia-kiam-hoat kami itu kalau dibandingkan dengan ilmu pedang Sunio barusan ini bedanya seperti langit dan bumi."
Dalam pada itu Gak-hujin tampak sangat puas, katanya, "Anak Tiong, kau bilang seranganku yang terakhir tadi dapat membinasakan Dian Pek-kong. Maka hendaklah kau berlatih yang giat, biar kuajarkan jurus ilmu pedang tadi padamu."
"Banyak terima kasih, Sunio," sahut Lenghou Tiong.
"Aku juga ingin belajar, Ibu!" seru Leng-sian.
Gak-hujin menggeleng, katanya, "Lwekangmu belum cukup sempurna, jurus serangan tadi tak dapat kau pelajari dengan baik."
"Lwekang Toasuko juga selisih tidak jauh dengan Lwekangku, kalau dia dapat mengapa aku tidak?" ujar Leng-sian dengan penasaran.
Gak-hujin tersenyum tanpa bicara lagi.
Dengan manja Leng-sian lantas menarik tangan sang ayah dan berkata, "Ayah, harap engkau mengajarkan padaku sejurus ilmu pedang yang dapat mematahkan serangan itu, agar kelak aku tidak selalu dihina oleh Toasuheng."
"Ilmu pedang ibumu itu bernama 'pedang tunggal keluarga Ling tiada bandingan', di dunia ini tiada tandingannya, dari mana aku mampu menciptakan cara untuk mematahkannya?" ujar Gak Put-kun sambil menggeleng kepala dan tertawa.
"Kau membual apa?" omel Gak-hujin dengan tersenyum, "bila ucapanmu itu tersiar, bukankah akan ditertawai oleh sesama kawan Bu-lim?"
Jurus ilmu pedang tadi memang diciptakan oleh Gak-hujin secara mendadak dan menurut keadaan, di dalamnya mengandung intisari Lwekang dan ilmu pedang Hoa-san-pay yang paling murni, ditambah lagi kecekatan berpikir Gak-hujin yang tajam, maka jurus serangannya tadi memang amat lihai. Dan dengan sendirinya ilmu pedang baru itu belum ada sesuatu nama sebutan. Gak Put-kun cukup kenal watak sang istri yang tinggi hati, biarpun sudah menikah juga lebih suka orang memanggilnya sebagai "Ling-lihiap" (pendekar Ling) daripada disebut Gak-hujin (nyonya Gak). Artinya menghormati kepandaian yang sejati dan bukan karena mengandalkan nama suaminya yang termasyhur itu.
Walaupun mulutnya mengomeli sang suami, tapi sebenarnya dia merasa suka dengan nama ilmu pedangnya yang diberikan Gak Put-kun tadi.
Begitulah Gak Leng-sian lantas mengusik lagi, "Ayah, kapan-kapan engkau juga boleh ciptakan sepuluh jurus ilmu pedang keluarga Gak yang tiada tandingannya di kolong langit ini, lalu ajarkan padaku agar aku dapat melabrak Toasuko."
"Tidak bisa, kecerdikan ayahmu kalah jauh daripada ibumu, aku tidak mampu menciptakan apa-apa," sahut Put-kun dengan tertawa.
Tapi Leng-sian yang nakal itu lantas membisiki sang ayah, "Bukannya engkau tak mampu menciptakan, soalnya engkau takut bini, tidak berani menciptakan."
"Hus, ngaco-belo!" omel Put-kun dengan terbahak-bahak sambil mencubit perlahan pipi putrinya itu.
"Sudahlah, anak Sian, jangan usilan lagi," kata Gak-hujin. "Coba Tek-nau, aturlah meja sembahyangan agar Lim-sutemu dapat melakukan upacara sembahyang kepada para leluhur perguruan kita."
Tek-nau mengiakan terus pergi melaksanakan tugasnya. Tidak lama kemudian segala sesuatu sudah disiapkan dengan baik.
Gak Put-kun mendahului menuju ke ruangan sembahyang dengan diikuti Gak-hujin dan para muridnya termasuk Lim Peng-ci.
Setiba di ruangan itu, Peng-ci melihat suasana ruangan itu cukup angker, kedua sisi dinding masing-masing tergantung sebatang pedang kuno. Mungkin pedang-pedang itu adalah milik tokoh-tokoh angkatan tua di masa lampau. Diam-diam Peng-ci berpikir, "Nama Hoa-san-pay sedemikian termasyhur sekarang, dapat diduga pedang-pedang tinggalan para leluhur Hoa-san-pay itu entah sudah berapa banyak membinasakan kawanan penjahat."
Sementara itu Gak Put-kun sudah tekuk lutut lebih dulu di depan meja sembahyang dan menjura beberapa kali, lalu berdoa, "Tecu Gak Put-kun hari ini telah menerima Lim Peng-ci dari Hokciu sebagai murid, semoga arwah para Cosu (leluhur) suka memberi berkah, supaya Lim Peng-ci giat belajar, menjaga kehormatan diri sendiri, taat kepada tata tertib perguruan dan takkan meruntuhkan nama baik Hoa-san-pay kita."
Mendengar begitu, segera Peng-ci ikut berlutut dan menjura dengan khidmat.
Gak Put-kun lantas berdiri, lalu katanya dengan tegas, "Lim Peng-ci, hari ini kau telah diterima menjadi murid Hoa-san-pay, kau harus patuh kepada peraturan perguruan, bila melanggar tentu akan mendapat hukuman sesuai dengan perbuatanmu. Perguruan kita sudah terkenal selama beberapa ratus tahun, maka setiap murid wajib menjaga nama baik perguruan, kesemuanya hendaklah kau ingat-ingat betul."
"Ya, Tecu akan ingat dan taat kepada ajaran Suhu," sahut Peng-ci.
"Lenghou Tiong!" tiba-tiba Gak Put-kun berkata lagi, "coba kau uraikan tata tertib perguruan kita agar diketahui oleh Lim Peng-ci."
Lenghou Tiong mengiakan. Lalu berseru, "Lim-sute, hendaklah engkau dengarkan dengan baik. Pertama, dilarang mengkhianati perguruan dan mendurhakai orang tua. Kedua, dilarang menindas kaum lemah. Ketiga, dilarang main perempuan dan menggoda wanita baik-baik. Keempat, dilarang saling iri dengan sesama saudara seperguruan dan bunuh-membunuh. Kelima, dilarang mencuri dan tamak harta benda. Keenam, dilarang sombong dan menyalahi sesama kaum persilatan. Ketujuh, dilarang bergaul dengan kaum penjahat dan bersekongkol dengan kawanan iblis. Inilah tujuh larangan Hoa-san-pay kita yang harus ditaati bersama oleh segenap anak murid kita."
"Baik, Siaute akan patuh kepada ketujuh larangan perguruan tersebut dan tidak berani melanggarnya," sahut Peng-ci.
"Bagus, hanya sekian saja peraturan dari perguruan kita," ujar Gak Put-kun dengan tersenyum. "Hendaklah kau taat kepada ketujuh larangan itu, setiap saat harus ingat mengutamakan budi kebajikan, jadilah seorang kesatria sejati, dengan demikian dapatlah guru dan ibu-gurumu merasa senang."
Peng-ci mengiakan dan memberi hormat kepada guru dan ibu-guru serta para Suheng.
"Anak Peng, sekarang bolehlah kau urus penguburan layon kedua orang tuamu untuk memenuhi kewajibanmu sebagai putra orang, habis itu barulah nanti mulai belajar dasar-dasar ilmu silat perguruan kita," kata Gak Put-kun.
Dengan air mata bercucuran Peng-ci mengucapkan terima kasih.
Kemudian Gak Put-kun berpaling dan mengamat-amati Lenghou Tiong sejenak, lalu berkata, "Anak Tiong, kepergianmu kali ini telah melanggar berapa banyak dari tujuh larangan perguruan kita?"
Lenghou Tiong terkesiap. Ia tahu biasanya sang guru sangat sayang kepada anak muridnya, tapi bila ada yang melanggar undang-undang perguruan, maka pasti dihukum tanpa pandang bulu. Segera ia berlutut dan menjawab, "Tecu tahu sudah bersalah, karena tidak patuh kepada ajaran guru dan ibu-guru, maka telah melanggar larangan keenam. Di Cui-sian-lau Tecu telah membunuh Lo Jin-kiat dari Jing-sia-pay."
Gak Put-kun mendengus dengan wajah kereng.
"Ayah," tiba-tiba Leng-sian menimbrung, "kejadian itu adalah salahnya Lo Jin-kiat karena dia hendak menganiaya Toasuko pada saat dia sudah terluka parah sehabis bertempur mati-matian dengan Dian Pek-kong."
"Tidak perlu kau ikut campur urusan orang lain," kata Put-kun. "Peristiwa itu diawali ketika anak Tiong menendang jatuh kedua murid terkemuka dari Jing-sia-pay, kalau tidak ada percekcokan itu tentu Lo Jin-kiat takkan mengganggu anak Tiong di saat dia terluka parah."
"Tentang Toasuko menendang murid Jing-sia-pay itu, bukankah ayah sudah menghukum rangket kepada Toasuko, kesalahan yang sudah diberi hukuman mana boleh diperhitungkan kembali?" demikian kembali Leng-sian menyela lagi. "Apalagi Toasuko masih belum sembuh dari lukanya yang parah, janganlah ayah merangketnya lagi."
Gak Put-kun melotot sekali kepada putrinya itu, katanya dengan bengis, "Saat ini harus bicara tentang tata tertib perguruan kita. Kau juga murid Hoa-san-pay, kau dilarang sembarangan ikut bicara!"
Jarang Leng-sian diperlakukan oleh ayahnya dengan sikap begitu bengis. Keruan ia merasa penasaran dan hendak menangis.
Dalam keadaan biasa seumpama Gak Put-kun tidak ambil pusing padanya juga ibunya tentu akan menghiburnya dengan kata-kata membujuk. Tapi sekarang Gak Put-kun bertindak sebagai Ciangbunjin serta mengusut tentang pelanggaran undang-undang perguruan sendiri, maka segera ia bicara lagi kepada Lenghou Tiong, "Lo Jin-kiat telah menganiaya kau pada saat kau dalam keadaan payah, tapi kau pantang menyerah, ini adalah sikap seorang laki-laki sejati. Akan tetapi mengapa kau mengucapkan kata-kata yang tidak senonoh sehingga menyinggung nama baik Hing-san-pay, mengapa kau bilang 'asal melihat Nikoh pasti kalah judi' segala, katanya aku juga takut menjumpai Nikoh?"
Tiba-tiba Leng-sian tertawa geli. Tapi ia lantas diam lagi setelah dipelototi oleh sang ayah.
Maka terdengarlah Lenghou Tiong telah menjawab, "Tatkala itu yang dipikirkan Tecu adalah menyelamatkan Sumoay dari Hing-san-pay itu. Karena Tecu sadar bukan tandingan Dian Pek-kong dan tidak mampu menolong Sumoay dari Hing-san-pay itu, namun Sumoay itu malah tidak mau melarikan diri dan mau membela diriku. Untuk menyingkirkan dia dari tempat bahaya terpaksa Tecu sembarangan mengoceh, kata-kata demikian itu memang sangat menyinggung nama baik para Supek dan Susiok dari Hing-san-pay."
"Maksudmu hendak menyingkirkan Gi-lim Sutit dari tempat berbahaya, hal ini memang tidak salah, tapi segala apa boleh kau katakan, mengapa justru menggunakan ucapan yang tidak senonoh itu" Sekarang urusan ini sudah diketahui semua oleh Ngo-gak-kiam-pay, mereka tentu akan mengatakan kau bukan orang baik-baik dan anggap aku tak bisa mengajar murid."
Lenghou Tiong mengiakan dengan membungkuk dan mengaku salah.
Lalu Gak Put-kun meneruskan, "Kau mengeram di rumah pelacuran untuk merawat lukamu boleh dikata karena terpaksa. Tapi kau telah menyembunyikan Gi-lim Sutit dan iblis cilik dari Mo-kau itu di dalam selimut, lalu mengatakan kepada Ih-koancu dari Jing-sia-pay bahwa mereka adalah perempuan pelacur, hal ini membawa bahaya yang amat besar bilamana akalmu itu terbongkar, bukan saja nama baik Hoa-san-pay kita akan runtuh, bahkan nama baik Hing-san-pay yang bersejarah ratusan tahun itu pun akan ikut tercemar."
Lenghou Tiong sampai berkeringat dingin mendengarkan omelan sang guru, katanya dengan suara gemetar, "Kejadian itu memang mendebarkan hati bila Tecu pikirkan kembali. Kiranya Suhu sendiri pun telah mengetahui."
"Tentang kau dikirim ke Kun-giok-ih untuk merawat lukamu oleh gembong Mo-kau yang bernama Kik Yang itu baru kuketahui kemudian, tapi waktu kau suruh kedua anak dara itu sembunyi di kolong selimut, saat itu aku sudah berada di luar jendela," kata Put-kun.
"Untung Suhu telah mengetahui bahwa Tecu bukanlah orang yang berkelakuan tak senonoh," ujar Lenghou Tiong.
"Hm, jika benar-benar kau main gila di rumah pelacuran itu, tentu sudah lama kupenggal kepalamu, masakah kau dapat hidup sampai hari ini?" kata Gak Put-kun dengan kereng.
Lenghou Tiong mengiakan dengan kikuk-kikuk.
Air muka Gak Put-kun semakin kereng, selang sejenak baru dia menyambung pula, "Kau sudah tahu bahwa anak dara she Kik itu adalah orang Mo-kau, mengapa kau tidak lantas membunuhnya saja" Biarpun kakeknya telah menolong jiwamu, tapi cara demikian adalah akal licik biasa dari orang Mo-kau yang hendak memecah belah Ngo-gak-kiam-pay kita. Kau toh bukan orang tolol, masakah tidak tahu" Orang sengaja menolong jiwamu, tapi sebenarnya mengandung tipu muslihat yang mendalam. Coba lihat saja, betapa cerdik pandainya Lau Cing-hong, akhirnya dia juga masuk perangkap musuh sehingga dirinya sendiri binasa dan keluarganya hancur berantakan. Tipu muslihat Mo-kau yang keji itu telah kau saksikan sendiri. Namun sedari Oulam kita pulang ke Hoa-san sini, sepanjang jalan belum pernah kudengar kau mengeluarkan sepatah kata pun yang namanya mencela perbuatan Mo-kau. Anak Tiong, agaknya sesudah jiwamu ditolong orang, lalu dalam hal baik dan buruk kau pun mulai kabur membedakannya. Persoalan ini menyangkut kepentingan hari depanmu sendiri, hendaklah kau mempunyai pendirian yang tegas."
Lenghou Tiong menjadi terkenang kembali kepada paduan suara kecapi dan seruling yang dibunyikan Kik Yang dan Lau Cing-hong pada malam di pegunungan sunyi itu. Jika Kik Yang dikatakan mempunyai tipu muslihat tertentu dan sengaja membikin celaka, rasanya hal ini tidaklah mungkin.
Melihat air muka muridnya mengunjuk rasa sangsi, segera Gak Put-kun bertanya pula, "Anak Tiong, urusan ini bukan saja menyangkut kepentingan dirimu, bahkan juga menyangkut jaya runtuhnya Hoa-san-pay kita. Maka dari itu janganlah kau menyembunyikan sesuatu rahasia padaku. Aku hanya ingin tanya padamu, bila kau bertemu dengan orang Mo-kau, apakah kau akan memandangnya sebagai musuh dan membunuhnya tanpa ampun?"
Seketika Lenghou Tiong sukar menjawab, ia hanya memandangi sang guru dengan termangu-mangu. Dalam benaknya tiada henti-hentinya berputar suatu pikiran, "Kelak bila aku ketemu dengan orang Mo-kau, apakah tanpa tanya benar atau salah lantas kubunuh begitu saja?"
Sungguh ia tidak tahu cara bagaimana harus menjawab pertanyaan gurunya itu.
Gak Put-kun menatap sang murid sampai sekian lamanya dan tetap tidak mendapat jawaban, akhirnya ia menghela napas panjang dan berkata, "Rasanya percuma juga bila saat ini kau dipaksa menjawab pertanyaanku ini. Kepergianmu kali ini telah banyak merosotkan nama baik Hoa-san-pay kita, maka aku menghukum kau semadi menghadap tembok selama satu tahun, hendaklah kau memikirkan dan merenungkan kembali kejadian ini dari awal sampai akhir."
"Ya, Tecu menerima hukuman Suhu ini," sahut Lenghou Tiong sambil memberi hormat.
"Hah, menghadap tembok selama setahun?" Leng-sian menegas. "Lalu selama setahun ini setiap hari mesti menghadap tembok selama berapa jam?"
"Berapa jam apa" Harus setiap saat, dari pagi sampai malam, kecuali makan dan tidur, setiap waktu harus duduk menghadap tembok," sahut Put-kun.
"Wah, mana boleh jadi demikian" Apakah Toasuko takkan kesal setiap hari harus menghadapi tembok melulu?" ujar Leng-sian.
"Kesal apa?" omel Gak Put-kun. "Dahulu kakek-gurumu pernah bersalah dan dihukum menghadap tembok selama tiga setengah tahun di puncak Giok-li-hong ini tanpa boleh turun selangkah pun dari situ."
"O, kalau demikian hukuman Toasuko ini masih terhitung ringan?" kata Leng-sian sambil meleletkan lidah. "Padahal Toasuko mengatakan 'asal ketemu Nikoh pasti kalah judi' hanya timbul dari maksud baiknya hendak menyelamatkan orang dan bukan sengaja hendak memaki orang Hing-san-pay."
"Justru karena dia bermaksud baik, maka hukumannya cuma satu tahun," kata Put-kun. "Coba kalau maksudnya jahat, mustahil aku tidak cabut semua giginya dan potong lidahnya."
"Sudahlah, anak Sian, jangan ceriwis lagi," sela Gak-hujin. "Toasuko harus menghadapi tembok di puncak Giok-li-hong, untuk itu kau jangan pergi ke sana untuk mengganggunya. Kalau tidak, tentu maksud baik ayahmu agar Toasuko merenung kesalahannya akan sia-sia belaka."
"Tapi Toasuko kan kesepian bila aku dilarang menjenguknya dan mengajak mengobrol padanya," ujar Leng-sian. "Pula, selama setahun ini siapa lagi yang dapat mengiringi latihanku?"
"Jika kau mengajaknya mengobrol, lalu apa lagi artinya dia merenung kesalahannya dengan menghadapi tembok?" kata Gak-hujin. "Untuk latihanmu setiap Suhengmu dapat mengawani kau."
Begitulah, petangnya Lenghou Tiong lantas mohon diri kepada guru dan ibu-gurunya, dengan membawa pedang, dia lantas berangkat ke puncak tertinggi dari Giok-li-hong. Di puncak yang curam itu terdapat sebuah gua yang biasanya digunakan oleh pimpinan Hoa-san-pay untuk menghukum kurungan kepada murid-muridnya yang berdosa.
Di puncak tertinggi itu hanya batu-batu karang yang tandus, tiada sesuatu tumbuhan apa-apa, hanya sebuah gua melulu, lain tidak ada. Gua ini merupakan suatu tempat istimewa sebab pada umumnya pemandangan Hoa-san itu senantiasa menghijau permai.
Waktu Lenghou Tiong melangkah ke dalam gua, terlihat sepotong batu besar di dalam gua itu halus licin, rupanya batu itulah yang biasa digunakan sebagai tempat duduk bagi orang yang diharuskan menghadapi tembok dan merenungkan dosanya itu. Diam-diam Lenghou Tiong membatin, "Selama berapa ratus tahun entah betapa banyak tokoh Hoa-san-pay yang telah mencicipi rasanya hidup sendirian di dalam gua dan duduk di atas batu ini sehingga batu ini sampai kelimis licin. Sekarang Lenghou Tiong adalah murid yang paling ugal-ugalan dari Hoa-san-pay, adalah lebih daripada pantas bila aku pun diberi kesempatan untuk duduk di atas batu halus ini."
Lalu ia tepuk-tepuk batu besar itu sambil berkata, "Wahai batu, kau sudah kesepian sekian tahun, hari ini Lenghou Tiong akan menjadi kawanmu."
Hendaklah maklum bahwa perangai Gak Put-kun itu sangat ramah, sehingga jarang sekali ia mendamprat dan menghajar muridnya, bila muridnya berbuat suatu kesalahan paling-paling hanya diomeli atau dihukum rangket bokong. Tapi dihukum kurung seperti Lenghou Tiong sekarang hanya baru terjadi pertama kali ini.
Dengan duduk di atas batu besar itu, pandangan Lenghou Tiong hanya berjarak kira-kira setengah meter saja dari dinding batu gua. Bila matanya terpentang lantas terasa seakan-akan dinding batu itu hendak menindih ke arahnya. Segera ia pejamkan mata dan merenung petuah sang guru, "Kelak bilamana bertemu dengan orang Mo-kau, apakah tanpa tanya salah atau tidak salah lantas kulolos pedang dan membunuh mereka" Apakah di dalam Mo-kau benar-benar ada seorang baik" Tapi kalau dia memang orang baik-baik, mengapa dia masuk menjadi anggota Mo-kau" Andaikan karena tersesat, seharusnya dapat juga lantas keluar lagi. Dan kalau tidak mau keluar dari Mo-kau, itu berarti rela berkawan dengan kaum jahat dan membikin celaka manusia umumnya."
Bab 27. Menghadap Dinding Merenung Dosa
Seketika itu dalam benaknya timbul macam-macam adegan yang mengerikan dari apa yang pernah diceritakan oleh guru dan ibu-gurunya tentang kekejaman-kekejaman Mo-kau. Seperti terbunuhnya 23 anggota keluarga Uh-lokunsu di daerah Kangsay, mula-mula keluarga Uh-lokunsu dipantek hidup-hidup di batang pohon muka rumahnya dan akhirnya mati tak terurus. Ketua Liong-hong-to di Celam, Tio Ting, tatkala itu sedang merayakan perkawinan putranya, tapi mendadak diserbu orang-orang Mo-kau, kedua mempelai telah dipenggal kepalanya dan ditaruh di atas meja sembahyang, katanya adalah kado pemberian mereka.
Lalu teringat pula olehnya kejadian dua tahun yang lalu, dalam perjalanan ke Theciu, dia sendiri telah bertemu dengan seorang Sun-susiok dari Ko-san-pay yang kedua kaki dan kedua tangannya telah dikutungi semua oleh orang Mo-kau, bahkan kedua biji matanya juga dicukil keluar. Dalam keadaan sekarat itu Sun-susiok masih terus berteriak-teriak, "Mo-kau jahanam yang membinasakan aku, harus menuntut balas, harus menuntut balas!"
Walaupun waktu itu ada tokoh Ko-san-pay lain yang datang menolongnya, tapi keadaan Sun-susiok yang sedemikian parahnya itu sudah tentu sukar dihidupkan kembali.
Bila teringat kepada kedua mata Sun-susiok dari Ko-san-pay yang berlubang dan mengucurkan darah dengan derasnya itu, tanpa merasa Lenghou Tiong merinding ngeri. Pikirnya, "Sedemikian jahatnya perbuatan orang Mo-kau, sekarang Kik Yang telah menyelamatkan jiwaku, tentu dia pun tidak bermaksud baik. Suhu telah tanya padaku bila kelak bertemu dengan orang Mo-kau apakah akan membunuhnya tanpa ampun atau tidak. Pertanyaan ini masakah masih perlu diragukan lagi" Sudah tentu lolos pedang dan bunuh saja!"
Karena persoalan itu dapat dipecahkan, seketika pikirannya menjadi lapang. Ia bersiul panjang nyaring terus melompat mundur keluar gua. Waktu masih terapung di udara tubuhnya telah berputar satu kali untuk kemudian baru turun ke atas tanah. Sesudah itu barulah ia membuka matanya. Ternyata tempat di mana kakinya berpijak tepat di tepi jurang yang amat curam itu. Coba kalau lompatannya tadi sedikit lebih keras, tentu sekarang dia sudah terjerumus ke dalam jurang yang tak terkirakan dalamnya itu dan tubuhnya tentu akan hancur lebur.
Pada saat itulah mendadak di belakangnya ada orang bertepuk tangan dan bersorak, "Toasuko, hebat benar!"
Itulah suaranya Gak Leng-sian.
Keruan Lenghou Tiong sangat girang, cepat ia berpaling. Tampak Leng-sian dengan menjinjing sebuah keranjang sedang berdiri di situ dengan tertawa dan menyapa, "Toasuko, aku mengantarkan nasi untukmu."
Segera ia masuk ke dalam gua untuk meletakkan keranjang berisi daharan yang dibawanya itu, lalu duduklah dia di atas batu dan berkata, "Lompatanmu yang membalik dengan mata tertutup tadi sangat indah, biarlah aku pun coba-coba."
Sudah tentu Lenghou Tiong tahu permainan lompat demikian sangat berbahaya, dirinya tadi juga tanpa sengaja melakukan lompatan bahaya itu. Apalagi ilmu silat Leng-sian jauh lebih rendah, bila kurang tepat cara menguasai imbangan badan tentu akan terjerumus ke dalam jurang yang tak terkirakan dalamnya itu. Namun ia pun kenal watak si nona, bilamana sesuatu sudah menjadi keinginannya, maka sukarlah untuk mencegahnya. Maka ia pun tidak bicara apa-apa, hanya berdiri di tepi jurang untuk menjaga segala kemungkinan.
Sifat Leng-sian itu memang ingin menang, maka diam-diam ia mengumpulkan segenap tenaganya, kedua kaki memancal sekuatnya, tubuhnya lantas melayang mundur ke belakang dengan mata tertutup. Ia pun memutar tubuh di udara dengan enteng sekali, menyusul terus melayang turun ke depan.
Karena dia memang ingin lompatannya itu lebih jauh daripada sang Toasuko, maka tenaga yang dikerahkan juga cukup hebat. Ketika tubuhnya mulai menurun, tiba-tiba ia merasa takut dan cepat membuka mata. Keruan ia lantas menjerit demi di bawahnya tertampak jurang yang luar biasa dalamnya.
Namun Lenghou Tiong telah mengulurkan sebelah tangannya untuk memegangi tangan sang nona. Waktu turun kembali ke bawah, Leng-sian melihat dirinya berdiri hanya kira-kira belasan senti di tepi jurang. Ternyata tempat di mana ia berpijak itu memang lebih maju ke depan daripada Lenghou Tiong tadi.
"Toasuko, lihatlah, lompatanku lebih jauh daripadamu," seru Leng-sian sesudah tenang kembali dari rasa takutnya tadi.
Perlahan-lahan Lenghou Tiong menepuk bahu sang Sumoay, katanya dengan tertawa, "Permainan berbahaya begini lain kali jangan dilakukan lagi. Bila diketahui guru dan ibu-guru, tentu kau akan diomeli, bukan mustahil kau juga akan dihukum kurung menghadapi tembok selama satu tahun, tentu kau bisa runyam."
"Jika aku dihukum kurung di sini, maka kita berdua menjadi ada temannya dan boleh bermain sesukanya," ujar Leng-sian dengan tertawa.
Tergerak juga perasaan Lenghou Tiong mendengar kata-kata itu. Pikirnya, "Jika benar aku dapat tinggal selama setahun di gua terpencil ini bersama Siausumoay, maka hidupku tentu akan bahagia seperti hidup di kahyangan. Akan tetapi, ai, mana bisa jadi?"
Segera ia berkata, "Tapi kalau kau dikurung setahun di rumah saja, selangkah pun tidak boleh keluar, jika demikian tentu selama setahun juga kita tak bisa bertemu."
"Itu kan tidak adil," ujar Leng-sian. "Kau boleh dikurung di sini dan bebas bergerak, mengapa aku harus dikurung di rumah?"
Ketika terpikir bahwa ayah-ibunya pasti akan melarang dirinya siang-malam mengawani sang Suko di puncak terpencil ini, maka ia lantas membelokkan pokok pembicaraan, "Toasuko, sebenarnya ibu telah menugaskan Lak-kau-ji yang mengantarkan ransum padamu setiap hari. Tapi aku telah berkata kepada Lak-kau-ji, 'Laksuko, setiap hari kau harus merangkak naik-turun puncak setinggi itu, biarpun kau adalah monyet toh akan kepayahan juga. Kalau aku saja yang menggantikan tugasmu itu, dengan apa kau akan berterima kasih padaku"'
"Lak-kau-ji menjawab, 'Tugas yang diberikan ibu-guru padaku itu sebenarnya adalah untuk menggembleng diriku pula, maka sekali-kali aku tidak berani malas. Pula selamanya Toasuko sangat baik padaku, bila aku dapat mengantar ransum padanya sehingga setiap hari aku dapat bertemu dengan dia, maka aku akan merasa senang dan bukan merasa payah.'
"Coba, Toasuko, bukankah Lak-kau-ji itu sengaja main gila aku?"
"Tidak, apa yang dia katakan memang sesungguhnya," sahut Lenghou Tiong.
"Malahan Lak-kau-ji menganggap biasanya aku suka mengganggu dia bila dia sedang minta petunjuk ilmu silat padamu. Padahal bilakah aku pernah mengganggu dia, benar-benar ngaco-belo belaka si monyet itu," demikian sambung Leng-sian. "Dia mengatakan pula, 'Untuk selanjutnya selama setahun hanya aku saja yang dapat bertemu Toasuko dan kau tidak dapat bertemu dengan dia. Tentu aku akan menggunakan kesempatan baik ini untuk minta belajar pada Toasuko.'
"Iming-iming ini membikin aku mendongkol, tapi dia lantas tidak ambil pusing lagi padaku. Akhirnya ... akhirnya ...."
"Akhirnya kau melolos pedang dan mengancamnya bukan?" sela Lenghou Tiong dengan tertawa.
"Tidak, akhirnya aku telah menangis. Karena itulah barulah Lak-kau-ji mendekati aku dan mengalah membiarkan aku yang mengantar nasi untukmu," sambung Leng-sian.
Lenghou Tiong coba mengamat-amati wajah si nona, kedua matanya memang kelihatan agak merah bendul bekas menangis. Mau tak mau Lenghou Tiong merasa sangat terharu. Pikirnya, "Kiranya dia sedemikian baik padaku. Andaikan aku harus mati seratus atau seribu kali baginya juga aku rela."
Leng-sian lantas membuka keranjang yang dibawa datang tadi. Ia mengeluarkan dua piring sayuran, lalu mengeluarkan pula dua pasang mangkuk dan sumpit. Semuanya itu ditaruh di atas batu sekadar sebagai meja makan.
"Kenapa dua pasang sumpit dan mangkuk?" tanya Lenghou Tiong.
"Aku akan mengiringi kau makan," sahut Leng-sian dengan tertawa. "Lihatlah, apa ini?"
Lalu dari dalam keranjang dikeluarkannya sebuah botol arak kecil.
Kegemaran Lenghou Tiong memangnya adalah minum arak. Maka ia menjadi girang demi melihat nona itu membawakan arak baginya. Segera ia berbangkit dan memberi hormat, "Banyak terima kasih kepada Sumoay. Memangnya aku sedang berkhawatir selama setahun ini aku takkan dapat minum arak lagi."
Leng-sian lantas membuka tutup botol arak dan mengangsurkannya kepada Lenghou Tiong. Katanya dengan tertawa, "Tapi kau tidak boleh minum terlalu banyak, setiap hari aku hanya dapat menyelundupkan sebotol kecil ini saja, kalau lebih banyak tentu akan diketahui ibu."
Dengan perlahan Lenghou Tiong telah habiskan arak sebotol kecil itu. Habis itu baru makan nasi.
Menurut peraturan Hoa-san-pay, setiap murid yang dihukum kurungan di puncak "perenung dosa" itu dilarang makan barang berjiwa, maka petugas dapur yang menyediakan makanan bagi Lenghou Tiong itu juga cuma memberikan semangkuk sayur dan semangkuk tahu.
Walaupun makanan itu sangat sederhana, tapi mengingat dirinya sedang dahar bersama Toasuko, maka Leng-sian dapat makan dengan penuh rasa lezat.
Sesudah makan, untuk sekian lamanya Leng-sian mengajak mengobrol pula ke timur dan ke barat. Tampaknya hari sudah mulai gelap barulah dia berbenah dan pulang.
Sejak itu, setiap hari di waktu dekat magrib Leng-sian selalu mengantar nasi untuk Lenghou Tiong. Karena itu, walaupun hidup sendirian di puncak terpencil dan tandus itu, Lenghou Tiong tak merasakan kesepian.
Setiap pagi bangun tidur dia lantas duduk bersemadi dan berlatih Lwekang, lalu mengulangi ilmu silat, ilmu pedang ajaran gurunya, bahkan dia pun merenungkan kembali ilmu golok kilat andalan Dian Pek-kong itu dengan membandingkan jurus tunggal ajaran ibu-gurunya yang disebut "ilmu pedang tunggal keluarga Ling yang tiada bandingannya".
"Ling-si-it-kiam" atau ilmu pedang tunggal keluarga Ling meski cuma satu jurus saja, tapi jurus serangan itu merupakan intisari dari Lwekang dan ilmu pedang Hoa-san-pay yang paling murni.
Lenghou Tiong merasa taraf Lwekang dan ilmu pedangnya sendiri belum mencapai tingkatan setinggi ibu-gurunya, kalau memaksakan diri untuk melatihnya bukan mustahil akan membikin celaka dirinya sendiri malah. Sebab itulah setiap hari dia tambah giat berlatih ilmu silat perguruannya.
Dengan demikian, meski resminya dia dihukum kurung menghadapi tembok untuk merenungkan kesalahannya, tapi sebenarnya dia tidak pernah menghadap tembok, juga tidak merenungkan kesalahan. Kecuali menemani Leng-sian mengobrol bila nona itu datang di waktu magrib, waktu selebihnya dia gunakan meyakinkan ilmu silat melulu.
Begitulah sang tempo lalu dengan amat cepat, tanpa merasa tiga bulan sudah lewat. Hawa di puncak Hoa-san itu makin hari makin dingin. Pagi hari itu begitu bangun tidur Lenghou Tiong sudah disambut dengan tiupan angin yang keras, sampai siangnya bahkan lantas turun salju.
Melihat hujan salju yang cukup deras dan agaknya takkan reda dalam waktu dekat, Lenghou Tiong pikir jalanan di pegunungan itu tentu sangat licin dan sukar dilalui, rasanya Siausumoay tidak boleh mengantarkan nasi lagi dengan menghadapi bahaya. Namun dirinya berada di puncak yang terpencil itu, sudah tentu tidak dapat menyampaikan berita tentang cuaca yang buruk itu.
Karena itu perasaannya sangat gelisah. Ia berharap Suhu atau ibu-gurunya dapat mengetahui keadaan cuaca itu dan mencegah keberangkatan Sumoay cilik itu. Pikirnya, "Tentang Siausumoay setiap hari mengantar nasi untukku, mustahil guru dan ibu-guru tidak mengetahui, hanya saja mereka pura-pura tidak tahu dan membiarkannya. Tapi hari ini kalau dia naik ke sini lagi, khawatirnya dia kurang hati-hati dan terjerumus di tengah jalan, tentu akan sangat membahayakan jiwanya. Semoga ibu-guru akan melarang Siausumoay berangkat ke sini."
Begitulah dengan perasaan cemas ia menunggu sampai magrib, pandangannya senantiasa tertuju ke bawah puncak karang yang curam itu. Tertampak hari sudah mulai gelap, terang Leng-sian takkan datang. Diam-diam ia merasa lega, pikirnya, "Besok pagi tentu Laksute akan membawa ransum bagiku, biarlah aku harus menahan lapar semalaman, asalkan Siausumoay tidak sampai mengalami sesuatu apa."
Di luar dugaan, baru saja ia hendak masuk ke dalam gua untuk mengaso, tiba-tiba dari jalanan sana terdengarlah suara seruan Leng-sian, "Toasuko! Toasuko!"
Terkejut dan bergirang pula Lenghou Tiong. Cepat ia memburu ke tepi karang. Di bawah bunga salju yang bertaburan itu terlihat Leng-sian sedang mendatangi dengan langkah yang berat dan terpeleset ke kanan dan ke kiri lantaran jalanan yang licin.
Karena terikat oleh perintah sang guru, satu langkah pun Lenghou Tiong dilarang turun dari puncak karang itu. Maka terpaksa ia hanya menjulurkan tangan untuk menyambut kedatangan sang Sumoay. Ketika sebelah tangan Leng-sian sudah menyentuh tangannya itu barulah Lenghou Tiong menariknya ke atas.
Seluruh tubuh nona itu tertampak penuh salju, sampai rambutnya juga berubah putih semua tertutup bunga salju. Bahkan jidat sebelah kirinya kelihatan merah benjut dan sedikit lecet. "O, kau ... kau ...." kata Lenghou Tiong dengan khawatir.
Leng-sian tampak mewek-mewek seperti ingin menangis, katanya, "Aku jatuh terpeleset sehingga keranjang nasi yang kubawa jatuh ke dalam jurang. Malam ... malam ini terpaksa kau harus kelaparan."
Terima kasih dan terharu pula Lenghou Tiong. Ia gunakan lengan bajunya untuk mengusap luka di jidat si nona dan berkata, "Siausumoay, jalanan begini licin, seharusnya kau jangan datang kemari."
"Aku khawatir kau kelaparan, pula ... pula aku ingin melihat kau," sahut Leng-sian.
"Tapi kalau lantaran itu kau terjerumus ke dalam jurang, cara bagaimana aku harus bertanggung jawab kepada guru dan ibu-guru?" ujar Lenghou Tiong.
"Ai, mengapa kau begini cemas, bukankah aku baik-baik saja," kata Leng-sian dengan tersenyum. "Cuma sayang, aku memang tidak becus. Sudah hampir sampai di atas puncak barulah aku terpeleset sehingga bekal nasi dan botol arak ikut terjatuh semua ke dalam jurang."
"Asalkan kau selamat, biarpun sepuluh hari aku tidak makan juga tidak menjadi soal," kata Lenghou Tiong. "Siausumoay, hendaklah kau berjanji, untuk selanjutnya janganlah sekali-kali kau mengambil risiko sebesar ini bagiku. Jika kau sampai jatuh ke dalam jurang, tentu aku pun tak bisa tinggal hidup sendirian pula."
Kedua mata Leng-sian memancarkan sinar kebahagiaan yang tak terhingga. Katanya, "Toasuko, sebenarnya tidak perlu kau berbuat demikian, aku jatuh lantaran mengantar nasi untukmu, hal ini adalah karena aku sendiri yang kurang hati-hati, mengapa engkau merasa tidak enak hati?"
"Bukan begitu soalnya. Jikalau yang mengantar nasi ini adalah Laksute dan lantaran itu dia mengalami kecelakaan dan terjatuh ke dalam jurang, tentu aku tidak perlu mengiringi kematiannya itu."
"Bilamana aku yang mati, maka kau pasti takkan hidup sendirian?" Leng-sian menegas.
"Benar," sahut Lenghou Tiong. "Siausumoay, soalnya bukan karena kau mengantarkan nasi bagiku. Andaikan kau mengantar nasi bagi orang lain dan mengalami kecelakaan, maka aku pun pasti tidak ingin hidup pula."
Dengan erat Leng-sian memegangi kedua tangan sang Toasuko dengan perasaan bahagia tak terkatakan. Dengan suara lirih ia memanggil, "Toasuko."
Sungguh ingin sekali Lenghou Tiong akan peluk si nona. Tapi tidak berani. Kedua pasang mata saling tatap, kedua orang hanya saling pandang belaka tanpa bergerak.
Salju masih bertebaran dengan derasnya, lambat laun dan tanpa merasa sepasang muda-mudi itu telah terbungkus menjadi dua manusia salju.
Selang agak lama barulah Lenghou Tiong membuka suara, "Malam ini seorang diri kau tak boleh turun lagi ke bawah. Apakah guru dan ibu-guru mengetahui kau naik ke sini" Paling baik kalau beliau-beliau itu dapat mengirim orang untuk memapak engkau."
"Pagi tadi mendadak ayah menerima surat undangan Co-bengcu dari Ko-san, katanya ada urusan penting yang perlu dirundingkan, maka bersama ibu buru-buru mereka telah berangkat," tutur Leng-sian.
"Jika demikian, apakah tiada orang lain yang tahu kau naik ke sini?"
"Tidak, tidak ada. Jisuko, Samsuko, Sisuko dan Lak-kau-ji telah ikut berangkat bersama ayah-ibu, maka tiada orang lain yang tahu aku akan datang ke sini untuk menemui engkau. O, ya, hanya Lim Peng-ci si bocah itu saja yang melihat aku berangkat ke sini. Tapi aku sudah memperingatkan dia agar jangan banyak bicara, kalau tidak, besok juga akan kutempeleng dia."
"Waduh! Alangkah garangnya sebagai Suci!" goda Lenghou Tiong dengan tertawa.
"Sudah barang tentu!" sahut Leng-sian dengan tertawa. "Mumpung ada orang memanggil Suci padaku, kalau aku tidak kereng sedikit kan rugi" Tidak seperti kau, semua orang memanggil kau Toasuko, apanya yang diharapkan lagi?"
"Jika demikian, malam ini terang kau tidak bisa pulang. Terpaksa bermalam saja di sini, besok pagi-pagi baru turun ke bawah."
Segera ia gandeng anak dara itu ke dalam gua. Gua itu sangat sempit, hanya tiba cukup untuk meringkuk dua orang saja dan tiada banyak sisa tempat lagi. Kedua orang duduk berhadapan dan mengobrol sampai jauh malam. Sampai akhirnya mata Leng-sian terasa sangat sepat dan tanpa merasa tertidurlah dia.
Khawatir kalau anak dara itu masuk angin, Lenghou Tiong menanggalkan baju luar sendiri dan diselimutkan di atas badan Leng-sian. Pantulan cahaya salju yang putih kemilau itu remang-remang wajah si nona yang cantik itu dapatlah kelihatan. Diam-diam Lenghou Tiong membatin, "Sedemikian mendalam perhatian Sumoay kepadaku, sejak kini biarpun aku akan hancur lebur baginya juga aku rela."
Ia termenung-menung sendiri. Teringat dirinya sendiri yang yatim piatu sejak kecil, berkat perlindungan guru dan ibu-gurunya dapatlah dia dibesarkan, selama ini dirinya dianggap seperti putranya sendiri oleh guru dan ibu-gurunya itu. Sekarang dirinya adalah murid pertama Hoa-san-pay, bukan saja masuknya ke dalam perguruan memang paling dulu, bahkan dalam hal ilmu silat juga paling tinggi di antara sesama saudara seperguruan. Kelak dirinya sendiri pasti akan menerima waris dari gurunya dan mengetuai Hoa-san-pay. Sekarang Siausumoay sedemikian baik pula padaku, sungguh budi perguruan ini sukar untuk dibalas. Cuma saja sifatnya sendiri terlalu nakal dan sering membuat marah guru dan ibu-gurunya, untuk ini selanjutnya harus diperbaiki supaya tidak mengecewakan harapan guru dan ibu-guru, begitu pula kebaikan Siausumoay.
Sambil termangu-mangu memandangi rambut si nona yang indah, tiba-tiba terdengar nona itu berseru perlahan, "Bocah she Lim, kau tidak menurut pada pesanku ya" Sini, biar kuhajar kau!"
Lenghou Tiong melengak. Dilihatnya kedua mata si nona terpejam rapat, napasnya teratur, terang ucapan itu adalah igauan belaka. Ia merasa geli. Pikirnya, "Rupanya sesudah dipanggil Suci lalu dia suka berlagak garang. Selama ini Lim-sute pasti sudah kenyang disuruh ke sana dan diperintah ke sini. Makanya dalam mimpi ia pun tidak lupa mendamprat Lim-sute."
Dengan tenang Lenghou Tiong terus menjaga di samping si nona sehingga pagi, semalam suntuk ia sendiri tidak tidur.
Rupanya saking lelahnya, maka sampai hari sudah terang benderang barulah Leng-sian mendusin. Ketika melihat Lenghou Tiong sedang memandangi dirinya dengan tersenyum, si nona balas tersenyum sambil menguap. Katanya, "Toasuko pagi-pagi sekali sudah mendusin."
Lenghou Tiong tidak mengatakan semalaman tidak tidur, jawabnya dengan tertawa, "Apakah yang kau mimpikan semalam" Apakah Lim-sute telah dihajar olehmu?"
Untuk sejenak Leng-sian mengingat-ingat kembali. Lalu berkata dengan tertawa, "Tentu kau telah mendengar aku mengigau bukan" Lim Peng-ci si bocah itu memang kepala batu, selalu tidak mau tunduk kepada kata-kataku. Karena itu sampai-sampai di waktu tidur aku pun suka mendamprat dia."
"Apakah dia telah berbuat sesuatu kesalahan padamu?" tanya Lenghou Tiong dengan tertawa.
"Dalam mimpi aku telah suruh dia mengiringi aku berlatih pedang di tengah air terjun itu, tapi dia menolak dengan macam-macam alasan. Aku lantas menipu dia mendekati tepi air terjun, lalu kudorong dia hingga kecebur ke bawah."
"Wah, mana boleh begitu. Kalau terjadi apa-apa kan bisa celaka?" ujar Lenghou Tiong.
"Itu kan dalam mimpi dan bukan sungguh-sungguh, kenapa mesti khawatir?" kata Leng-sian. "Memangnya kau kira aku benar-benar begitu kejam dan membunuh orang?"
"Apa yang terpikir di siang hari bisa terjadi di dalam mimpi. Tentu di waktu siang kau teringat kepada Lim-sute, lalu di waktu malam kau pun mengimpikan dia."
"Ah, bocah itu benar-benar tidak becus," ujar Leng-sian. "Sejurus pengantar ilmu pedang perguruan kita saja belum selesai dilatih di dalam tiga bulan. Tapi kelihatannya begitu giat berlatih, siang berlatih, malam juga berlatih, sampai orang lain merasa dongkol melihat kelakuannya itu. Jika aku hendak membunuh dia masakah perlu berpikir segala" Sekali lolos pedang saja sudah dapat membereskan dia."
"Wah, alangkah garangnya?" goda Lenghou Tiong. "Selaku Suci, bila latihan sang Sute ada bagian-bagian yang salah, seharusnya kau mesti memberi petunjuk padanya, mana boleh sembarangan hendak membunuhnya malah" Selanjutnya kalau Suhu menerima murid lagi akan terhitung sebagai Sutemu pula. Kalau Suhu menerima seratus murid, lalu dalam waktu singkat saja kena dibunuh 99 orang olehmu, kan bisa runyam?"
Leng-sian terkikih-kikih geli sambil bersandar di dinding tembok. Katanya, "Benar juga, aku hanya boleh membunuh 99 orang saja, paling sedikit harus ada sisa seorang. Kalau tidak, siapa lagi yang akan memanggil Suci padaku?"
"Tapi kalau kau membunuh 99 orang Sutemu, sisanya yang satu orang itu pun pasti akan melarikan diri dan kau tetap tidak berhasil menjadi Suci," kata Lenghou Tiong dengan tertawa.
"Bila demikian halnya, maka ... maka kau yang akan kupaksa memanggil Suci padaku," kata Leng-sian sambil tertawa.
"Panggil Suci saja tidak menjadi soal, celakanya kalau aku pun akan kau bunuh, kan bisa runyam."
"Asal menurut kata-kataku tentu takkan kubunuh, jika bandel sudah pasti kubunuh," ujar Leng-sian.
"Baiklah, aku minta ampun, Siausumoay!" sahut Lenghou Tiong terbahak-bahak.
Dalam pada itu salju sudah berhenti. Khawatir kalau para Sute yang lain mengetahui menghilangnya Leng-sian dan mungkin timbul pendapat-pendapat yang tidak pantas, maka segera ia mendesak agar Leng-sian lekas pulang saja.
"Biarlah aku bermain di sini sampai petang nanti. Ayah-ibu tidak di rumah, aku benar-benar sangat kesepian," ujar Leng-sian dengan rasa berat.
"Sumoay yang baik, selama beberapa hari ini aku telah mendapatkan beberapa jurus Tiong-leng-kiam-hoat yang baru, biarlah nanti kalau aku sudah pulang akan kuajak kau berlatih di tengah air terjun itu," demikian Lenghou Tiong membujuk. Sesudah dibujuk lagi sekian lamanya barulah si nona mau turun dari puncak itu.
Petangnya yang mengantarkan nasi adalah Ko Kin-beng. Dia memberi tahu bahwa Leng-sian rupanya masuk angin atau demam sehingga terpaksa merebah di pembaringan. Tapi senantiasa nona itu terkenang kepada Toasuko, waktu Ko Kin-beng hendak berangkat nona itu telah pesan jangan lupa membawakan arak.
Lenghou Tiong terkejut mendengar berita itu. Ia tahu sakitnya si nona tentu disebabkan jatuhnya semalam. Sungguh kalau bisa ia ingin terbang pulang untuk menjenguk sang Sumoay.
Meski dia sudah lapar semalam sehari, tapi mangkuk yang berisi nasi itu hanya dipeganginya dengan termangu-mangu, satu suap saja sukar menelan rasanya.
Ko Kin-beng tahu Toasuko dan Siausumoaynya saling mencintai, bila mendengar nona itu jatuh sakit, sudah tentu Toasuko merasa cemas dan khawatir. Segera ia menghiburnya, "Toasuko, hendaklah jangan khawatir. Mungkin karena hujan salju kemarin, maka Siausumoay telah masuk angin. Kita adalah orang yang berlatih Lwekang, hanya penyakit ringan saja tentu tidak menjadi soal. Asal mengaso sehari dua hari tentu akan sembuh kembali."
Siapa duga penyakit Leng-sian itu telah membikin nona lincah itu terpaksa merebah di pembaringan selama belasan hari. Sampai Gak Put-kun dan istrinya sudah pulang dari Ko-san barulah nona itu disembuhkan dengan bantuan Lwekang sang ayah yang tinggi. Ketika nona itu naik lagi ke puncak untuk menjenguk Lenghou Tiong, sementara itu sudah lebih 20 hari berselang.
Berpisah selama itu, sudah tentu kedua muda-mudi itu merasa terharu dan bergirang.
Sesudah termangu-mangu saling pandang, tiba-tiba Leng-sian berseru kejut, "Toasuko, apakah engkau juga sakit" Mengapa engkau menjadi begini kurus?"
"Tidak, aku tidak sakit," sahut Lenghou Tiong sambil menggeleng. "Aku ... aku ...."
Mendadak Leng-sian paham duduknya perkara. Tak tertahan lagi ia menangis dan berkata dengan terputus-putus, "Ya, tentu ... tentu engkau khawatirkan diriku sehingga berubah begini kurus. O, Toasuko, sekarang aku sudah sehat kembali."
Sambil menggenggam tangan si nona Lenghou Tiong berkata dengan suara perlahan, "Selama ini siang dan malam aku selalu memandang ke arah jalanan, yang kuharapkan adalah saat-saat seperti sekarang ini. Berkat Thian Yang Mahakasih, akhirnya engkau datang juga."
"Tapi aku malah sering melihat dirimu," kata Leng-sian.
"Melihat aku" Aneh, di mana?" tanya Lenghou Tiong dengan heran.
"Ya, aku sering melihat engkau," sahut si nona. "Waktu sakit, asal kututup mataku, segera aku melihat engkau. Suatu hari badanku panas tak terkatakan, ibu mengatakan bahwa waktu itu aku terus mengigau dan terus bicara dengan kau. Toasuko, ibu sudah mengetahui beradanya diriku di sini pada malam itu."
Wajah Lenghou Tiong menjadi merah. "Dan apakah ibu-guru marah?" tanyanya dengan rada khawatir.
"Ibu tidak marah, hanya ... hanya ...." sampai di sini wajah si nona menjadi merah jengah dan tidak dapat meneruskan.
"Hanya apa?" "Ah, aku tak mau menerangkan."
Melihat sikap si nona yang kikuk-kikuk malu itu, perasaan Lenghou Tiong terguncang, lekas-lekas ia tenangkan diri lalu berkata, "Siausumoay, kau baru saja sembuh, seharusnya kau jangan naik ke sini pagi-pagi begini. Tentang keadaanmu yang mulai sembuh, setiap hari bila Gosute dan Laksute mengirim ransum padaku juga selalu mereka beri tahukan padaku."
"Jika demikian mengapa engkau menjadi kurus juga?" ujar Leng-sian.
Lenghou Tiong tertawa, sahutnya, "Sesudah kau sembuh segera aku pun akan gemuk kembali."
Sampai di sini mendadak angin dingin meniup tiba sehingga Leng-sian menggigil. Tatkala itu adalah permulaan musim dingin, di puncak yang tinggi itu tiada tetumbuhan yang dapat menahan angin, tentu saja suhu di puncak gunung itu sangat dingin. Cepat Lenghou Tiong berkata pula, "Siausumoay, badanmu belum kuat, penyakitmu tidak boleh kambuh lagi, sebaiknya kau lekas pulang saja. Lain hari bila hari cerah dan sang surya bersinar dengan gemilangnya barulah kau datang lagi untuk menjenguk aku."
"Tidak, aku tidak dingin," sahut Leng-sian. "Sekarang sudah musim dingin, kalau tidak turun salju, tentu angin bertiup dengan keras. Entah mesti tunggu sampai kapan baru hari akan cerah dan matahari keluar."
Lenghou Tiong menjadi cemas, katanya, "Tapi kalau kau sampai jatuh sakit lagi, tentu aku ... aku ...."
Melihat air muka Lenghou Tiong yang pucat kurus itu, diam-diam Leng-sian membatin, "Jika aku benar-benar sakit lagi, tentu dia akan ikut jatuh sakit juga. Bila demikian halnya tentu akan membikin kapiran dia di atas puncak terpencil ini."
Maka katanya kemudian, "Baiklah, aku akan lantas pulang. Hendaklah kau menjaga diri baik-baik, jangan banyak minum arak, makanlah sekenyangnya. Akan kukatakan kepada ayah bahwa badanmu lemah dan perlu diberi makanan yang lebih baik."
"Ah, tidak perlu," ujar Lenghou Tiong. "Selang beberapa hari lagi juga aku akan gemuk kembali. Adik yang baik, bolehlah kau pulang saja."
Dengan wajah bersemu merah dan rasa penuh arti si nona memandangi wajah sang Toasuko. Tanyanya kemudian, "Kau ... kau memanggil apa padaku?"
Lenghou Tiong menjadi rikuh, sahutnya, "O, aku memanggil tanpa pikir, harap Siausumoay jangan marah."
"Mengapa aku mesti marah" Aku justru senang jika kau memanggil demikian padaku," kata Leng-sian.
Perasaan Lenghou Tiong menjadi hangat, sungguh ia ingin terus memeluk si nona. Tapi lantas terpikir bahwa sang Sumoay adalah nona yang agung laksana dewi, mana boleh memperlakukannya secara kasar. Katanya dengan suara halus, "Siausumoay, kalau turun ke bawah nanti hendaklah berjalan dengan perlahan-lahan dan hati-hati, jangan nakal seperti biasanya. Bila lelah harus berhenti dan mengaso dulu."
Leng-sian mengiakan. Perlahan-lahan ia berjalan ke tepi puncak karang itu.
Mendengar langkah si nona mulai menjauh, mendadak Lenghou Tiong berpaling, terlihat Leng-sian masih berdiri di tepi karang dan sedang memandang kepadanya dengan termangu-mangu. Seketika sinar dua pasang mata saling menatap sampai agak lama barulah Lenghou Tiong membuka suara, "Berangkatlah, Siausumoay! Hati-hatilah di tengah jalan."
Si nona mengiakan, baru sekarang ia benar-benar turun dari puncak itu.
Seharian itu Lenghou Tiong merasakan hatinya sangat senang, rasa senang yang sebelumnya tak pernah dialaminya. Sambil duduk di atas batu besar itu, tanpa merasa tertawa riang. Mendadak ia bersiul panjang nyaring, suaranya menggema di angkasa dan berkumandang di lembah pegunungan itu.
Besok paginya kembali hujan salju lagi. Benar juga Leng-sian tidak datang lagi. Yang mengantarkan ransum bagi Lenghou Tiong adalah Lak-kau-ji. Dari sang Sute ini Lenghou Tiong mendapat tahu bahwa Leng-sian baik-baik saja, bahkan kesehatannya kian hari kian bertambah kuat. Sudah tentu Lenghou Tiong sangat girang.
Selang belasan hari lagi, datanglah Leng-sian dengan membawa sekeranjang bacang. Sesudah berhadapan si nona mengamat-amati sang Suko sejenak, lalu berkata dengan tersenyum, "Memang betul, kau benar-benar telah banyak lebih gemuk."
"Dan kau pun sudah pulih seluruhnya, Siausumoay," kata Lenghou Tiong demi tampak cahaya muka si nona yang kemerah-merahan itu. "Melihat keadaanmu ini, sungguh aku merasa sangat senang."
"Toasuko, sudah sekian lamanya aku tidak datang menjenguk engkau, apakah kau marah padaku?" tanya Leng-sian.
Lenghou Tiong hanya tertawa sambil menggeleng.
"Setiap hari sebenarnya aku merecoki ibu agar aku diperbolehkan mengantar nasi untukmu, akan tetapi ibu selalu melarang, katanya hawa sangat dingin, seakan-akan kalau aku naik ke sini tentu jiwaku akan terancam," kata Leng-sian. "Kujawab Toasuko siang dan malam tinggal di puncak setinggi itu, mengapa dia tidak apa-apa. Ibu bilang Lwekang Toasuko cukup tinggi, aku tak bisa dibandingkan dengan kau. Toasuko, ibu telah memuji Lwekangmu, apakah kau merasa senang?"
Lenghou Tiong mengangguk dengan tertawa. Katanya, "Aku sudah sangat merindukan guru dan ibu-guru, diharap selekasnya aku dapat bertemu dengan beliau-beliau itu."


Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kemarin seharian aku membantu ibu membungkus bacang, diam-diam aku berpikir alangkah baiknya kalau aku dapat membawa beberapa buah bacang untukmu. Tak terduga hari ini sebelum aku membuka mulut, tiba-tiba ibu sudah menyuruh aku membawakan sekeranjang bacang ini untukmu."
"O, ibu-guru benar-benar sangat baik terhadapku," kata Lenghou Tiong terharu.
"Bacang ini baru saja diangkat dari dapur, masih hangat-hangat, biarlah aku membuka dua buah untuk kau makan," kata Leng-sian sambil menjinjing keranjang bacang ke dalam gua. Lalu mulai membuka dua buah bacang yang terbungkus daun bambu itu.
Segera Lenghou Tiong mengendus bau sedap yang menimbulkan selera makan. Ketika si nona dengan tersenyum simpul mengangsurkan sebuah bacang padanya, tanpa bicara lagi segera ia mencaploknya sekali. Ternyata bacang itu tidak dibuat dari daging, tapi isinya adalah campuran jamur, kacang, tahu dan lain-lain sehingga rasanya tetap sangat lezat.
"Jamur itu adalah hasil petikanku, kemarin dulu aku dan Siau-lim-cu (si Lim cilik) pergi mencarinya ...."
"Siau-lim-cu?" Lenghou Tiong menegas.
"Ya," sahut Leng-sian dengan tertawa. "Ialah Lim-sute. Akhir-akhir ini aku selalu memanggil dia Siau-lim-cu. Setengah harian aku dan Siau-lim-cu memetik jamur itu, tapi hasilnya hanya setengah panci saja. Namun rasanya lumayan juga bukan?"
"Ya, memang enak sekali, sampai-sampai lidahku hampir-hampir ikut terkunyah," sahut Lenghou Tiong dengan tertawa. "Eh, Siausumoay, sekarang kau tidak maki-maki Lim-sute lagi?"
"Mengapa tidak?" sahut Leng-sian. "Asal dia tidak menurut kata-kataku tentu juga kudamprat dia. Cuma paling akhir ini dia sudah lebih baik, lebih penurut. Aku pun suka memuji dia, misalnya bila latihan pedangnya benar, aku lantas memujinya."
"O, kau yang mengajar ilmu pedang padanya?"
"Ya, karena logat Hokkiannya kurang dipahami para Suheng, sedangkan aku pernah berkunjung ke Hokkian, maka ayah lantas suruh aku memberi petunjuk-petunjuk padanya bila senggang," tutur Leng-sian. "Toasuko, karena aku dilarang naik ke sini untuk menjenguk kau, saking kesalnya dan iseng aku lantas mengajar beberapa jurus padanya. Baiknya Siau-lim-cu juga tidak terlalu bodoh, kemajuannya cukup pesat."
"Aha, kiranya Siausumoay telah merangkap menjadi guru, sudah tentu dia tidak berani membangkang pada perintahmu," kata Lenghou Tiong dengan tertawa.
Bab 28. Rahasia di Dalam Gua
"Juga tidak seluruhnya dia menurut padaku," ujar Leng-sian. "Misalnya kemarin aku suruh dia mengawani aku pergi menangkap ayam hutan, tapi dia menolak. Katanya dia masih harus berlatih lebih giat kedua jurus 'Pek-hong-koan-jit' dan 'Thian-jwan-to-kwa' yang masih belum masak terlatih."
Lenghou Tiong rada heran. Katanya, "Baru beberapa bulan dia berada di Hoa-san dan sekarang dia sudah berlatih sampai jurus-jurus 'Pek-hong-koan-jit' dan 'Thian-jwan-to-kwa' itu" Siausumoay, ilmu pedang Hoa-san-pay kita harus dipelajari menurut urut-urutannya dan tidak boleh terburu-buru ingin cepat."
"Kau jangan khawatir, masakah aku sembarangan mengajar padanya?" ujar Leng-sian. "Watak Siau-lim-cu memang kepala batu, siang berlatih, malam juga berlatih. Untuk bicara dengan dia saja selalu dia tidak betah, bicara sedikit saja sudah membelok kepada soal ilmu pedang lagi. Karena ketekunannya itu, ilmu pedang yang harus dilatih tiga tahun oleh orang lain baginya hanya setengah tahun saja sudah dikuasainya. Terkadang aku suruh dia mengiringi aku pergi bermain, selalu dia enggan-enggan kelihatannya."
Lenghou Tiong terdiam. Sekonyong-konyong ia merasa kesal tak terkatakan, bacang yang baru digigitnya dua kali itu hanya dipegang saja di tangannya.
"Toasuko," Leng-sian menegur sambil menarik lengan bajunya, "apakah kau keselak, kenapa tidak bicara?"
Lenghou Tiong terkesiap, cepat-cepat ia jejalkan sisa bacang itu ke dalam mulut. Penganan yang tadinya dirasakan sangat lezat itu mendadak sukar ditelannya.
Leng-sian tertawa terkikih-kikih, katanya sambil menuding sang Suko, "Jangan buru-buru, nanti gigimu ikut tertelan."
Dengan senyum getir sebisanya Lenghou Tiong telan sisa bacang itu ke dalam perut. Pikirnya, "Mengapa aku begini bodoh" Siausumoay memang suka bergerak, aku sendiri tidak dapat turun dari puncak ini, adalah jamak kalau Siausumoay lantas minta Lim-sute mengawani dia. Mengapa pikiranku begini sempit dan mengkhawatirkan urusan ini?"
Karena berpikir demikian, segera ia tenang kembali. Katanya dengan tertawa, "Rupanya bacang buatanmu ini jauh lebih lezat daripada bacang lain, maka gigi dan lidahku hampir-hampir ikut kumakan sendiri ke dalam perut."
Leng-sian terbahak-bahak tawa. Selang sejenak, ia berkata pula, "O, Toasuko yang harus dikasihani, sudah sekian lamanya kau hidup sendirian di puncak karang ini, pantas kau menjadi rakus terhadap makanan yang lezat."
Sesudah Leng-sian turun dari puncak situ, selang belasan hari pula baru nona itu naik lagi ke atas puncak. Sekali ini dia membawa sebuah keranjang kecil berisi buah kering, kacang dan lain sebagainya.
Selama belasan hari itu, Lenghou Tiong benar-benar sangat rindu kepada si nona. Selama itu yang mengantarkan ransum baginya adalah Liok Tay-yu. Bila Lenghou Tiong menanyakan tentang Siausumoaynya, selalu air muka Liok Tay-yu kelihatan aneh dan serbasusah menerangkan. Tentu saja Lenghou Tiong merasa curiga. Ia coba menanya dengan teliti, tapi tiada sesuatu keterangan memuaskan yang diperolehnya. Bilamana pertanyaan berbelit-belit, maka terpaksa Liok Tay-yu menjawab, "Keadaan Siausumoay sangat baik, mungkin Suhu melarang dia naik ke sini agar tidak mengganggu Toasuko."
Sekarang Siausumoay yang dirindukannya siang dan malam itu telah datang pula, sudah tentu Lenghou Tiong sangat girang. Dilihatnya wajah si nona merah bercahaya, jauh lebih cantik daripada sebelum jatuh sakit. Tiba-tiba timbul suatu pertanyaan dalam benak Lenghou Tiong, "Dia sudah segar bugar, mengapa selang sekian lamanya baru naik lagi ke atas puncak ini" Apakah benar-benar dilarang oleh guru atau ibu-guru?"
Waktu berhadapan dengan Lenghou Tiong, mendadak wajah Leng-sian menjadi merah. Katanya, "Toasuko, telah sekian lamanya aku tidak datang menjenguk engkau, apakah kau marah padaku?"
"Masakah aku marah padamu?" sahut Lenghou Tiong. "Tentu Suhu atau ibumu melarang kau naik ke sini, bukan?"
"Ya. Ayah mendesak aku berlatih sejurus ilmu pedang yang baru. Katanya perubahan ilmu pedang ini sangat ruwet. Bilamana aku datang ke sini tentu perhatianku akan terpecah."
"Ilmu pedang apakah itu?" tanya Lenghou Tiong.
"Coba kau terka."
"Apakah 'It-ji-hui-kiam'?"
Leng-sian menggeleng. "Bukan," sahutnya.
"Apakah 'Beng-beng-kiam-hoat'?"
"Salah, coba terka lagi."
"Ya, tentu adalah Siok-li-kiam-hoat, bukan?"
"Wah, itu kan ilmu pedang andalan ibu, aku tidak memenuhi syarat untuk melatihnya," kata Leng-sian sambil menjulurkan lidah. "Biarlah aku beri tahukan, yang kulatih adalah 19 jurus Giok-li-kiam-hoat!"
Lenghou Tiong rada terkejut, katanya, "Kau sudah mulai berlatih 19 jurus Giok-li-kiam" Ya, itu memang ilmu pedang yang sangat ruwet."
Giok-li-kiam-hoat yang disebut itu meski hanya 19 jurus saja, tapi perubahannya sangat ruwet, kalau tidak ingat dengan jelas setiap jurusnya, sukarlah untuk memainkannya dengan sempurna. Berdasarkan kemampuan Leng-sian sekarang rasanya toh masih belum sesuai untuk berlatih Giok-li-kiam-hoat itu.
Dahulu Lenghou Tiong dan Leng-sian serta para Sutenya yang lain juga pernah menyaksikan guru dan ibu-guru mereka saling gebrak dengan menggunakan ilmu pedang itu. Guru mereka telah menerjang dengan menggunakan 19 jurus Giok-li-kiam-hoat saja untuk melayani, dan ternyata tidak kalah tangguhnya biarpun harus menandingi belasan macam ilmu pedang dari aliran lain.
Tatkala itu mereka benar-benar takjub tak terhingga menyaksikan permainan ibu-gurunya itu. Segera Leng-sian merengek-rengek minta ibunya mengajarkan ilmu pedang itu. Tapi Gak-hujin berkata, "Usiamu masih terlalu muda, pertama, Lwekangmu belum kuat, kedua, ilmu pedang itu terlalu ruwet. Sedikitnya usiamu sudah lebih dari 20 tahun baru boleh melatih ilmu pedang ini. Pula Giok-li-kiam-hoat ini khusus digunakan untuk mematahkan setiap ilmu pedang dari golongan lain, kalau melulu para Suhengmu sendiri yang bergebrak dengan kau, akhirnya Giok-li-kiam ini akan berubah seakan-akan khusus ditujukan untuk mengalahkan Hoa-san-kiam-hoat saja. Jadi untuk melatihnya harus diiringi dengan ilmu pedang dari golongan lain. Untuk mana pengetahuan umum anak Tiong adalah sangat luas, dia paham berbagai ilmu pedang golongan lain, kelak bila dia ada waktu senggang dan kau pun sudah cukup umur, barulah kalian boleh sama-sama berlatih."
Kejadian itu sudah dua tahun yang lalu, selama itu hal mana tidak pernah disebut-sebut lagi. Tak terduga sekarang Leng-sian sudah mulai berlatih.
"Syukurlah kalau Suhu mempunyai hasrat untuk melatih kau setiap hari," ujar Lenghou Tiong kemudian.
Maklum, di antara tokoh-tokoh Hoa-san-pay sekarang kecuali Lenghou Tiong yang pengetahuan umum sangat luas dengan ilmu pedang dari berbagai golongan lain, hanya Gak Put-kun saja yang dapat melebihi muridnya ini. Maka kalau Leng-sian sudah mulai berlatih Giok-li-kiam, tentulah Gak Put-kun sendiri yang melatihnya.
Tapi wajah Leng-sian kembali merah, katanya, "Mana ayah ada tempo buat melatih diriku. Adalah Siau-lim-cu yang mengiringi latihanku setiap hari."
"O, Lim-sute maksudmu?" Lenghou Tiong menegas dengan heran. "Apakah dia juga paham sedemikian banyak ilmu pedang dari golongan lain?"
"Tidak, dia hanya paham semacam ilmu pedang dari keluarga Lim mereka sendiri yaitu Pi-sia-kiam-hoat," sahut Leng-sian dengan tertawa. "Kata ayah, meski daya serangan Pi-sia-kiam-hoat itu kurang kuat, tapi gerak perubahannya sangat aneh dan dapat dibuat bermain ilmu pedang lain. Maka untuk melatih Giok-li-kiam-hoat itu aku diperbolehkan memulai dengan iringan Pi-sia-kiam-hoat."
"O, kiranya demikian," kata Lenghou Tiong.
"Toasuko, apakah kau merasa kurang senang?" tanya Leng-sian tiba-tiba.
"Ah, tidak! Mengapa aku merasa kurang senang" Kau dapat meyakinkan ilmu pedang yang paling hebat dari perguruan kita, untuk ini aku justru merasa girang bagimu, masakah aku tidak senang malah?"
"Akan tetapi kulihat air mukamu mengunjuk rasa kurang senang."
Lenghou Tiong paksakan tertawa, katanya, "Ah, mana bisa! Eh, sudah sampai jurus keberapa kau meyakinkan Giok-li-kiam itu?"
Leng-sian tidak menjawab, selang agak lama baru berkata, "Eh, Toasuko, mestinya ibu akan menyuruh kau latihan bersama aku. Sekarang Siau-lim-cu yang mewakilkan kau, makanya kau tidak suka, bukan" Namun, Toasuko, lantaran kau belum boleh turun dari puncak ini, sedangkan aku tidak sabar menunggu dan ingin lekas-lekas berlatih ilmu pedang hebat itu, makanya aku tidak menunggu kau lagi."
"Hahaha, kembali kau bicara seperti anak kecil lagi," kata Lenghou Tiong dengan tertawa. "Kita adalah saudara seperguruan, siapa saja yang latihan bersama kau juga sama saja."
Setelah merandek sejenak, lalu katanya pula dengan tertawa, "Tapi aku tahu kau lebih suka latihan bersama Lim-sute daripada bersama aku."
Kembali air muka Leng-sian merah jengah, katanya, "Ngaco-belo! Kepandaian Siau-lim-cu kalau dibandingkan kau masih ketinggalan jauh, apa untungnya bila aku latihan bersama dia?"
Lenghou Tiong tertawa, pikirnya, "Ya, Lim-sute baru beberapa bulan saja masuk perguruan, betapa pun cerdik pandainya juga terbatas kemajuan yang diperolehnya."
Karena pikiran demikian, segera buyarlah rasa kesalnya tadi. Katanya pula dengan tertawa, "Mumpung kita berada di sini, biarlah aku menjajal beberapa jurus, ingin kulihat sampai berapa majunya latihanmu ke-19 jurus Giok-li-kiam itu?"
"Bagus!" Leng-sian berseru girang. "Kedatanganku hari ini justru ... justru ...."
"O, justru ingin memamerkan ilmu pedangmu yang baru kau latih ini bukan?" sela Lenghou Tiong dengan tertawa. "Baiklah, silakan mulai."
"Toasuko," kata Leng-sian sambil melolos pedang, "dalam hal ilmu pedang selamanya kau lebih kuat daripadaku, tapi bila aku sudah sempurna meyakinkan Giok-li-kiam, tentu kau takkan dapat mengalahkan lagi. Hayo, kenapa kau belum melolos pedang?"
"Tidak perlu buru-buru," ujar Lenghou Tiong dengan tertawa sambil tangan kiri bergerak ke samping, menyusul tangan kanan dengan cepat menusuk ke depan. Katanya, "Ini adalah Siong-hong-kiam-hoat dari Jing-sia-pay, jurus ini disebut Siong-to-ji-lui (daun Siong rontok bergemuruh)."
Telapak tangan kanan itu ternyata digunakan sebagai pedang terus menusuk bahu Leng-sian.
Cepat si nona miringkan tubuh seraya melangkah mundur, pedang segera ditangkiskan ke telapak tangan Lenghou Tiong sambil berseru, "Awas!"
"Jangan khawatir," ujar Lenghou Tiong. "Bila aku tak sanggup menangkis tentu aku akan melolos pedang."
"Kau berani melawan 19 jurus Giok-li-kiam dengan bertangan kosong saja?" tegur Leng-sian.
"Latihanmu sekarang belum sempurna, bilamana kelak kau sudah sempurna meyakinkannya tentu aku tidak berani lagi melawan dengan tangan kosong."
Dasar sifat Leng-sian memang suka menang, selama belasan hari ini telah tekun berlatih Giok-li-kiam dan dirasakannya sudah maju pesat, andaikan digunakan melawan jago Kangouw nomor satu rasanya juga takkan kalah. Siapa duga sekarang sang Toasuko berani memandang enteng padanya dan akan melawan ilmu pedangnya yang baru dan lihai itu dengan tangan kosong saja. Keruan si nona kurang senang. Katanya dengan muka bersungut, "Bila pedangku melukai kau, jangan kau marah padaku dan juga tak boleh lapor pada ayah-ibu lho!"
"Sudah tentu," sahut Lenghou Tiong. "Boleh kau serang menurut kemampuanmu, bila kau sungkan-sungkan malah akan kurang tampak kepandaianmu yang sejati."
Habis berkata, mendadak telapak tangan kiri terus membacok ke depan sambil berseru, "Awas!"
Leng-sian terkejut. "He, jadi tangan ... tangan kirimu juga digunakan sebagai pedang?" tegurnya.
Apabila serangan Lenghou Tiong barusan ini dilontarkan sungguh-sungguh, tentu Leng-sian sudah terluka. Tapi dia telah menahan tenaga serangannya, katanya dengan tertawa, "Di dalam Siong-hong-kiam-hoat dari Jing-sia-pay ini adalah suatu jurus yang disebut Hoan-jiu-kiam (ilmu pedang bertukar tangan), pedang yang digunakan terkadang di tangan kanan dan lain saat bisa berpindah ke tangan kiri sehingga musuh sukar menduganya."
Leng-sian terkesiap. "Hah, aneh benar ilmu pedang itu" Lihat seranganku!" bentaknya sambil balas menusuk.
Dari gaya serangan si nona yang luwes itu Lenghou Tiong dapat melihat jurus serangan itu adalah satu gerakan bagus dari Giok-li-kiam-hoat. Pujinya, "Hebat sekali serangan ini. Hanya kurang cepat!"
"Kurang cepat katamu" Bila lebih cepat lagi tentu sebelah bahumu sudah terpapas," omel Leng-sian.
"Boleh coba kau memapasnya!" ujar Lenghou Tiong dengan tertawa. Tangan kanannya tergenggam seperti pedang terus memotong ke lengan kiri si nona.
Diam-diam Leng-sian mendongkol karena dipandang enteng oleh Toasukonya. Ia putar pedangnya dengan kencang, ke-19 jurus Giok-li-kiam yang baru dilatihnya semua belasan hari itu telah dikeluarkan seluruhnya.
Tapi di antara ke-19 jurus itu yang betul-betul dapat diingat olehnya hanya sembilan jurus saja dan dari sembilan jurus ini yang benar-benar dapat digunakan dengan lancar juga cuma enam jurus saja. Namun melulu enam jurus saja sudah membawa daya tekanan yang mahadahsyat, di mana ujung pedangnya mengarah selalu memaksa Lenghou Tiong menjauhkan diri.
Terpaksa Lenghou Tiong mengitari si nona. Setiap kali menyerobot maju untuk menyerang, selalu dia terdesak mundur lagi oleh ilmu pedang si nona yang lihai itu. Suatu kali ketika dia buru-buru melompat mundur, tak terduga punggungnya telah tertumbuk pada suatu batu dinding yang menonjol sehingga terasa kesakitan.
Leng-sian sangat senang karena berada di atas angin. "Apakah kau belum mau melolos pedang?" tegurnya dengan tertawa.
"Belum, sebentar lagi!" sahut Lenghou Tiong. Ia pancing agar si nona mengeluarkan seluruh Giok-li-kiam-hoat sejurus demi sejurus.
Akan tetapi sesudah sekian lamanya, dilihatnya bolak-balik yang dimainkan Leng-sian melulu enam jurus saja. Maka pahamlah Lenghou Tiong apa sebabnya. Mendadak ia melangkah maju setindak, telapak tangannya lantas menebas sebagai pedang sambil membentak, "Awas, serangan maut ketiga dari Siong-hong-kiam-hoat!"
Melihat serangan dahsyat itu, lekas-lekas Leng-sian mengangkat pedang menangkis ke atas. Justru gerakan si nona ini memang sudah dalam perhitungan Lenghou Tiong, segera tangan yang lain menjulur ke depan dan jarinya menyelentik, "trang", dengan tepat batang pedang si nona kena diselentik.
Seketika genggaman tangan Leng-sian kesakitan sehingga tidak kuat memegang pedangnya, kontan senjatanya mencelat ke atas terus menyelonong jatuh ke dalam jurang.
Wajah Leng-sian pucat pasi dan memandangi Lenghou Tiong dengan terkesima, hanya bibir bawah tertampak digigit kencang-kencang.
Hati Lenghou Tiong berdebur-debur juga, pikirnya, "Wah, kenapa aku ini" Sudah belasan tahun aku mengiringi latihan Siausumoay, selamanya aku berlaku sungkan dan mengalah padanya, mengapa sekarang aku berbuat demikian, makin lama makin tak genah perbuatanku ini."
Tiba-tiba Leng-sian berpaling ke arah jurang dan berseru, "Pedang ... pedang itu!"
Kembali Lenghou Tiong terkesiap. Ia tahu pedang yang digunakan Siausumoaynya itu adalah pedang mestika yang disebut "Pik-cui-kiam" yang dihadiahkan sang Suhu padanya tatkala nona itu berulang tahun ke-18, sekarang pedang itu terjatuh ke dalam jurang yang sukar dijajaki dalamnya, terang sukar diketemukan kembali. Sekali ini dirinya benar-benar telah berbuat suatu kesalahan besar.
Melihat Lenghou Tiong berdiri dengan agak linglung, mendadak Leng-sian membanting kaki terus putar tubuh dan tinggal pergi.
"Siausumoay!" seru Lenghou Tiong.
Namun Leng-sian tidak menggubrisnya lagi, langsung ia turun dari puncak gunung itu. Lenghou Tiong memburu sampai tepi puncak dan bermaksud hendak mencegahnya, tapi sebelum tangan menyentuh lengan si nona, ia urungkan maksudnya itu. Dilihatnya si nona sudah lantas turun ke bawah tanpa menoleh.
Diam-diam Lenghou Tiong sangat masygul. Biasanya ia suka mengalah pada Sumoay cilik itu, mengapa tadi sekali selentik telah membuat pedangnya mencelat" Jangan-jangan ... jangan-jangan lantaran dia telah diajari Giok-li-kiam oleh ibu-guru, lalu aku merasa iri" Tapi, ah, tidak, tidak mungkin iri. Giok-li-kiam adalah ilmu pedang yang dipelajari oleh murid wanita Hoa-san-pay, bila kepandaiannya tambah tinggi, sudah tentu aku ikut girang. Ai, boleh jadi sudah terlalu lama aku dikurung sendirian di puncak terpencil ini sehingga watakku berubah keras. Semoga sedikit hari lagi Siausumoay akan naik lagi ke sini, biarlah aku akan memberi penjelasan dan minta maaf padanya.
Akan tetapi hari kedua, ketiga, dan keempat tetap tidak kelihatan bayangan si nona. Selama tiga malam Lenghou Tiong tidak bisa tidur nyenyak. Perasaannya bergolak, pikirannya kusut. Sudah dikarangnya banyak perkataan yang akan diutarakan kepada Siausumoaynya, namun si nona tetap tidak naik lagi ke atas puncak.
Selang 18 hari pula, akhirnya datang juga Leng-sian, tapi tidak sendirian, melainkan bersama Liok Tay-yu. Mestinya banyak sekali yang hendak dibicarakan Lenghou Tiong kepada Siausumoaynya, tapi lantaran ada Liok Tay-yu, maka sukar untuk diucapkan.
Sesudah makan, Liok Tay-yu dapat memahami perasaan Lenghou Tiong. Katanya, "Toasuko, Siausumoay, sudah lama kalian tidak bertemu, biarlah kalian mengobrol lebih lama, aku akan pulang saja lebih dulu."
"Eh, Lak-kau-ji, kau akan melarikan diri ya" Tidak bisa, datang bersama harus pergi bersama juga!" kata Leng-sian dengan tertawa sambil berbangkit.
"Siausumoay, aku memang ingin bicara dengan kau," kata Lenghou Tiong.
"Baiklah, Toasuko ingin bicara, Lak-kau-ji juga harus berdiri di situ, dengarkan petuah Toasuko!" kata si nona dengan tertawa.
"Tidak, aku bukan memberi petuah, tapi kau punya pedang itu ...."
"Hal itu sudah kukatakan kepada ibu bahwa tanpa sengaja pedangku telah jatuh ke dalam jurang dan sukar diketemukan, ibu tidak marah padaku, sebaliknya beliau menghibur dan berjanji akan memberikan pedang lain yang lebih bagus," ujar Leng-sian. "Sudahlah, Toasuko, kejadian yang sudah lalu itu buat apa dibicarakan lagi?"
Semakin si nona anggap soal sepele pada kejadian itu, semakin tidak enak bagi Lenghou Tiong. Katanya kemudian, "Sesudah aku lepas dari kurungan di sini, kelak pasti akan kucarikan sebatang pedang bagus untukmu."
"Sesama saudara seperguruan, apa artinya sebatang pedang saja?" kata Leng-sian dengan tersenyum. "Apalagi pedang itu akulah yang kurang hati-hati dan jatuh ke dalam jurang. Adalah salahku sendiri karena tidak becus, masakah aku menyalahkan orang lain. Biarlah kita menerima nasibnya sendiri-sendiri seperti sering dikatakan Siau-lim-cu padaku."
Kembali Lenghou Tiong merasa getir demi mendengar nama Siau-lim-cu disebut pula. Mendadak teringat olehnya. "Tempo hari waktu aku menjajal Giok-li-kiam-hoat yang dimainkan Siausumoay, mengapa aku menggunakan Siong-hong-kiam-hoat dari Jing-sia-pay untuk menandingi dia" Jangan-jangan timbul maksudku sengaja hendak merendahkan Pi-sia-kiam-hoat Lim-sute karena segenap anggota keluarganya telah diubrak-abrik dan menjadi korban keganasan orang-orang Jing-sia-pay" Jadi aku sengaja hendak mengolok-olok Lim-sute" Sebab apakah jiwaku menjadi begitu sempit?"
Segera terpikir pula olehnya, "Tempo hari waktu jiwaku terancam di bawah pukulan Ih Jong-hay, adalah berkat bantuan Lim-sute yang tidak kenal bahaya, dia telah menyindir Ih Jong-hay sehingga jago Jing-sia-pay itu urung membinasakan aku. Jadi sesungguhnya aku telah utang budi padanya. Mengapa sekarang aku malah mengolok-olok dia?"
Berpikir demikian, ia merasa malu sendiri. Katanya pula sambil menghela napas, "Pembawaan Lim-sute adalah sangat pintar, juga sangat giat, selama berapa bulan ini mendapat petunjuk dari Siausumoay, tentu kemajuannya sangat pesat. Cuma sayang untuk setahun lamanya aku tidak boleh turun dari sini, kalau tidak, tentu aku akan membantu latihannya sekadar membalas utang budiku padanya."
Leng-sian mengerut kening, tanyanya, "Siau-lim-cu itu berbudi padamu" Selamanya aku belum pernah mendengar hal ini."
"Sudah tentu dia sendiri takkan berkata kepada orang lain," ujar Lenghou Tiong. Lalu ia pun menceritakan kejadian dahulu itu.
"Pantas ayah suka memuji dia mempunyai jiwa kesatria sejati, kiranya dia pernah menolong kau dari ancaman bahaya," kata Leng-sian. Sampai di sini tiba-tiba ia tertawa dan menyambung pula, "Sebenarnya sukar untuk dipercaya bahwa hanya dengan sedikit kepandaiannya saja dia mampu menyelamatkan Toasuko dari Hoa-san-pay serta membela putri ketua Hoa-san-pay dan membunuh putra kesayangan ketua Jing-sia-pay. Sungguh siapa pun takkan menduga bahwa 'pendekar besar' yang suka membela keadilan itu ternyata hanya sekian saja kepandaiannya."
"Soal kepandaian dapatlah dilatih, tapi jiwanya yang luhur adalah pembawaan, di sinilah perbedaan antara orang baik dan jahat," kata Lenghou Tiong.
"Sering aku pun mendengar ayah dan ibu berkata demikian tentang diri Siau-lim-cu," kata Leng-sian dengan tersenyum. "Toasuko, ada suatu sifat yang sama di antara kau dan Siau-lim-cu."
"Sifat apa?" tanya Lenghou Tiong.
"Sifat angkuh, kalian berdua sama-sama angkuhnya," kata si nona dengan tertawa.
Mendadak Liok Tay-yu menyela, "Toasuko adalah pemimpin di antara para Suheng dan Sute, sudah sepantasnya mesti angkuh sedikit. Tapi bocah she Lim itu kutu macam apa" Berdasarkan apa dia main angkuh-angkuhan segala?"
Dari nadanya terang sekali dia sangat tidak suka kepada Lim Peng-ci.
Keruan Lenghou Tiong melengak. Tanyanya, "Lak-kau-ji, bilakah Lim-sute telah berbuat kesalahan padamu?"
"Dia sih tidak pernah bersalah apa-apa padaku, hanya saja para Suheng dan Sute tidak biasa melihat tingkah lakunya itu," kata Liok Tay-yu dengan marah-marah.
"He, ada apakah Laksuko ini" Kenapa kau selalu memusuhi Siau-lim-cu?" kata Leng-sian. "Dia adalah Sute, sebagai Suko mestinya kau tidak perlu bercekcok dengan dia."
"Asalkan dia berkelakuan baik-baik saja takkan menjadi soal, kalau tidak, orang she Liok inilah yang pertama-tama takkan mengampuni dia," kata Liok Tay-yu dengan menjengek.
"Sebenarnya kelakuannya apa yang kurang baik?" tanya Leng-sian.
"Dia ... dia ...." namun Lak-kau-ji tidak melanjutkan lagi.
"Sebenarnya apakah urusannya" Mengapa kau enggan menerangkan?" desak Leng-sian.
"Sudahlah, mudah-mudahan Lak-kau-ji yang salah mata dan keliru sangka," kata Liok Tay-yu.
Tiba-tiba muka Leng-sian bersemu merah dan tidak menanya lagi. Ia coba mengobrol urusan lain dengan Lenghou Tiong. Ketika Liok Tay-yu menyatakan hendak pulang, segera si nona ikut berangkat bersama.
Lenghou Tiong termenung-menung di tepi puncak menyaksikan menghilangnya kedua bayangan orang itu di balik bukit sana. Tiba-tiba dari arah lereng bukit berkumandang suara nyanyian Leng-sian yang nyaring merdu.
Karena sejak kecil dibesarkan bersama, maka sudah sering Lenghou Tiong mendengar Leng-sian bernyanyi. Tapi lagu yang dinyanyikannya sekarang ternyata belum pernah didengarnya. Biasanya yang dinyanyikan Leng-sian adalah lagu-lagu rakyat berpantun dari daerah Siamsay, tapi sekarang lagu itu kedengarannya sangat aneh, suaranya terdengar jelas, tapi entah apa artinya"
Diam-diam Lenghou Tiong berpikir, "Entah sejak kapan Siausumoay telah mempelajari lagu baru yang sangat merdu ini, lain kali bila dia naik lagi ke sini akan kuminta dia menyanyi pula."
Namun mendadak dadanya serasa digodam sekali dengan keras, tiba-tiba ia sadar, "Ah, itu adalah lagu rakyat daerah Hokkian. Pasti Lim-sute yang mengajarkan dia."
Malam itu perasaan Lenghou Tiong bergolak dengan hebat, betapa pun sukar pulas. Telinganya selalu mendenging-denging suara nyanyian Leng-sian yang halus merdu dengan lagunya yang tak dikenal itu.
Beberapa kali Lenghou Tiong mencela dirinya sendiri percuma saja sebagai seorang laki-laki sejati, hanya disebabkan sebuah lagu saja sudah kelabakan demikian. Walaupun tahu tak perlu memusingkan diri, tapi suara nyanyian si nona masih terus menggoda pikirannya. Saking pedihnya, mendadak ia angkat pedang dan membacok serabutan ke arah dinding batu. Mendadak suatu arus tenaga dahsyat membanjir keluar dari dalam perut, pedangnya menusuk cepat ke depan, gayanya dan kekuatannya ternyata adalah "pedang tunggal tiada bandingannya dari keluarga Ling" yang pernah diciptakan Gak-hujin itu. Terdengarlah suara "crat" sekali, tahu-tahu pedangnya menancap ke dalam dinding batu.
Lenghou Tiong sampai kaget sendiri. Ia merasa betapa pun kemajuan yang dicapainya selama beberapa bulan ini juga tidak mungkin mampu menusuk dinding batu sampai pedangnya menancap hingga dekat gagang. Untuk ini diperlukan tenaga dalam yang kuat, sekalipun guru dan ibu-gurunya juga belum tentu mampu.
Untuk sejenak Lenghou Tiong sampai kesima sendiri, waktu ia tarik kembali pedangnya, tiba-tiba tangannya merasakan bahwa dinding batu itu sesungguhnya sangat tipis, hanya beberapa senti tebalnya, di balik dinding batu sana adalah tempat luang.
Lenghou Tiong sangat heran, ia coba menusuk lagi dengan pedangnya, "pletak", tahu-tahu pedangnya patah menjadi dua. Kiranya tenaga yang digunakan sekali ini kurang kuat sehingga dinding yang beberapa senti tebalnya itu sukar ditembus lagi.
Segera ia keluar gua dan mengambil sepotong batu besar, sekuatnya ia hantamkan batu itu ke dinding. Sesudah dikepruk beberapa kali, bubuk batu rontok bertebaran. Dari suara benturan batu itu, sayup-sayup terdengar di balik dinding itu ada suara kumandang yang membalik, terang di belakang dinding itu ada tempat yang cukup luas.
Sekuatnya ia angkat batu dan mengepruk lagi beberapa kali. "Blang", mendadak dinding batu itu ambruk sebuah lubang, batu besar itu sampai jatuh di lantai sebelah dengan mengeluarkan suara gemuruh yang berkumandang tak berhenti. Bahkan batu itu masih terus menggelinding ke bawah. Kiranya di balik dinding sebelah sana adalah tanah yang miring menurun.
Sebenarnya perasaan Lenghou Tiong tadi sedang masygul, demi diketahui di balik gua itu ada "dunia lain", seketika segala pikirannya yang menyebalkan itu terbang ke awang-awang. Segera ia pergi mengambil batu untuk memukul dinding pula. Hanya menghantam beberapa kali lagi, sekarang lubang itu sudah sebesar kepala. Sesudah mengepruk lebih lebar sedikit, segera ia menyalakan obor dan menerobos lewat lubang itu. Ternyata di balik sana adalah sebuah lorong yang sempit. Waktu ia mengawasi bagian bawah, mendadak ia merinding. Ternyata tepat di sebelah kakinya sendiri menggeletak suatu rangka tengkorak.
Sama sekali tak terpikir olehnya bahwa di situ akan terdapat tengkorak yang menakutkan itu. Ia pikir jangan-jangan tempat ini adalah kuburan. Tapi mengapa tengkorak ini tidak berbaring sebagaimana mestinya, sebaliknya menggeletak dengan tengkurap. Melihat gelagatnya lorong yang sempit itu toh bukan jalan kuburan.
Waktu ia periksa tengkorak itu, pakaian yang terpakai itu sudah hancur menjadi debu, di samping tengkorak ada sepasang kapak besar yang mengilap tersorot oleh cahaya api obor. Ia coba angkat sebuah kapak itu, rasanya sangat berat, sedikitnya ada 40 kati lebih. Sekenanya ia coba ayun kapak itu ke arah dinding, "crat", tahu-tahu sepotong batu terkapak jatuh.
Kembali Lenghou Tiong terperanjat. Tak terduga kapak itu ternyata tajam luar biasa, ia pikir tentu senjata tinggalan seorang tokoh dunia persilatan angkatan tua. Ketika diperiksanya tempat bekas bacokan kapak itu ternyata sangat licin seperti pisau memotong tahu saja. Bahkan dilihatnya pula di sebelah lain juga penuh bekas-bekas bacokan kapak. Setelah merenung sejenak, mau tak mau ia terkesima.
Ia coba memeriksa ke bawah dengan penerangan obor, ternyata dinding sekitar lorong itu penuh bekas bacokan kapak. Keruan kejutnya tak terkirakan. Kiranya lorong itu adalah buatan orang yang kini telah menjadi tengkorak dengan bantuan kapaknya yang tajam itu. Ya, tentu karena suatu sebab orang itu telah terkurung di dalam perut gunung, terpaksa ia menggunakan kapak tajam itu untuk membuat jalan keluar. Akan tetapi sayang, ketika jaraknya dengan tempat gua hanya tinggal beberapa senti saja orang itu sudah kehabisan tenaga dan binasa. Ai, sungguh malang nasib orang itu. Demikian pikir Lenghou Tiong.
Setelah menyusur lorong itu sekian lamanya, ternyata masih belum mencapai ujung lorong. Mau tak mau Lenghou Tiong sangat kagum terhadap keuletan serta kesaktian orang yang membuat lorong dengan kapak itu.
Sesudah beberapa jauhnya lagi, tiba-tiba tertampak di bawah tanah ada dua rangka tengkorak lagi. Sebuah duduk bersandar dinding, sebuah lagi jatuh meringkuk. Melihat keadaan itu, Lenghou Tiong pikir orang yang terkurung di dalam perut gunung itu ternyata lebih dari satu orang. Ia merasa heran pula, sebab tempat itu adalah wilayah kekuasaan Hoa-san-pay, orang luar tidaklah mudah datang ke situ. Apa barangkali tengkorak-tengkorak itu adalah para tokoh angkatan tua dari Hoa-san-pay sendiri yang telah melanggar undang-undang perguruan sehingga dihukum kurung di situ"
Ia coba maju ke depan lagi. Mendadak dari sebelah kiri tertampak ada cahaya. Segera ia membelok ke kiri mengikuti jalanan lorong itu. Tiba-tiba di depannya kelihatan sebuah gua batu yang amat luas, sedikitnya cukup untuk berkumpul ribuan orang. Di ujung kiri atas gua itu ada sebuah lubang, dari situlah cahaya menembus masuk dari luar.
Sementara itu hari sudah pagi, walaupun sinar matahari belum keras, tapi keadaan di dalam gua itu sudah cukup jelas terlihat. Ternyata di tengah gua itu ada tujuh kerangka tengkorak, ada yang duduk, ada yang berbaring, di samping masing-masing tengkorak itu terdapat senjata-senjata. Di samping lima tengkorak adalah pedang, dua lainnya adalah senjata-senjata yang aneh bentuknya, yang sebuah seperti godam dan yang lain adalah gada segitiga dan penuh bergigi tajam.
Diam-diam Lenghou Tiong berpikir, "Orang-orang yang menggunakan kedua macam senjata aneh dan kapak tadi pasti bukan anak murid Hoa-san-pay, hanya kelima orang yang memakai pedang itulah adalah tokoh angkatan tua golongannya sendiri."
Ia coba ambil sebatang pedang. Ternyata lebih pendek daripada pedang biasa, namun badannya lebih lebar hampir sekali lipat, bobotnya juga sangat berat. Katanya di dalam hati, "Ini adalah pedang Thay-san-pay, kiranya pemakai senjata ini adalah Locianpwe dari Thay-san-pay."
Waktu diperiksanya lagi keempat pedang yang lain, yang sebatang lemas dan enteng, yaitu senjata dari Hing-san-pay. Sebatang pedang lagi bentuknya berlengkung-lengkung seperti keris, yakni satu di antara pedang yang biasa dipakai orang Heng-san-pay. Pedang yang lain lagi tampaknya tidak tajam, hanya ujungnya yang mengilap, itulah senjata yang suka digunakan tokoh Ko-san-pay. Pedang terakhir baik bentuknya maupun bobotnya terang adalah senjata yang biasa dipakai Hoa-san-pay sendiri.
Lenghou Tiong tambah heran, jadi kelima tokoh angkatan tua itu adalah dari Ngo-gak-kiam-pay, tapi mengapa bisa mati bersama di situ" Apa barangkali mereka bertempur dengan lima orang musuh dan akhirnya telah gugur bersama seluruhnya"
Ia coba memeriksa dinding-dinding gua itu dengan bantuan obor, maka tertampaklah di dinding sebelah kiri sana ada terukir enam belas huruf besar yang berbunyi: "Ngo-gak-kiam-pay rendah dan tidak tahu malu, bertanding kalah, mencelakai lawan secara pengecut." Huruf-huruf itu terang diukir dengan senjata yang sangat tajam sehingga dalamnya sampai dua-tiga senti di dinding batu itu. Selain itu masih ada huruf-huruf kecil yang lebih banyak, isinya semuanya mencaci maki dan mencemoohkan Ngo-gak-kiam-pay.
Diam-diam Lenghou Tiong mendongkol setelah membaca tulisan-tulisan itu, pikirnya, "Kiranya orang-orang ini telah ditawan dan dikurung di sini oleh Ngo-gak-kiam-pay kami. Saking gemasnya karena tak bisa berbuat apa-apa, mereka lantas mengukir tulisan di sini untuk memaki lawan. Perbuatan demikian inilah yang rendah dan pengecut."
Tapi lantas terpikir lagi, "Entah siapakah orang-orang ini" Bila mereka sudah bermusuhan dengan Ngo-gak-kiam-pay tentulah bukan manusia baik-baik. Cuma aneh, entah mengapa mereka masing-masing telah mati dengan diiringi seorang Cianpwe dari Ngo-gak-kiam-pay kami."
Ia coba memeriksa dinding itu pula, dilihatnya pula ada sebaris huruf yang berbunyi: "Hoan Siong dan Tio Ho mematahkan Hing-san-kiam-hoat di sini." Di sebelah tulisan ini adalah ukiran-ukiran orang-orangan yang sangat banyak, setiap dua orang-orangan menjadi satu kelompok, yang satu pakai pedang dan yang lain menggunakan kapak. Dari gaya ukiran orang-orangan itu teranglah orang yang berkapak itu sedang menghajar orang yang berpedang.
Waktu ia periksa lagi tulisan di sebelahnya, tiba-tiba ia menjadi gusar. Ternyata tulisan itu berbunyi: "Thio Seng-hong dan Thio Seng-in menghancurkan Hoa-san-kiam-hoat di sini."
Lenghou Tiong tidak rela ilmu pedang perguruannya dicemoohkan orang. Di dunia ini tokoh yang mampu melawan Hoa-san-kiam-hoat saja dapat dihitung dengan jari, apalagi hendak mengalahkannya, lebih-lebih mengatakan "telah menghancurkan Hoa-san-kiam-hoat", sungguh besar amat mulut si pembual itu.
Bab 29. Lelaki Sejati Tidak Sudi Minta Belas Kasihan Orang Lain
Dengan gusar ia lantas menggunakan pedang Thay-san-pay yang dijemputnya tadi dan membacok sekuatnya pada barisan huruf itu. "Trang", terdengar suara nyaring dengan percikan lelatu api. Sebuah huruf ukiran itu sampai terpapas sebagian. Dari bacokan itu pula segera dapat diketahui bahwa batu dinding itu keras luar biasa, untuk mengukir tulisan di atas dinding itu terang tidaklah mudah, tapi toh sudah dilakukan oleh Cianpwe-cianpwe almarhum itu, ini menandakan betapa hebat tenaga tokoh-tokoh angkatan tua itu.
Tiba-tiba dilihatnya pula di samping tulisan-tulisan itu adalah ukiran orang-orangan berpedang yang hanya terdiri dari beberapa goresan saja, namun dari gayanya jelas kelihatan adalah sejurus ilmu pedang Hoa-san-pay sendiri yang disebut "Yu-hong-lay-gi" (burung Hong datang menyembah). Di depannya adalah sebuah ukir-ukiran orang-orangan yang menggunakan sejenis senjata yang lurus seperti tombak atau toya. Ujung senjata itu lurus mengacung kepada ujung pedang lawannya, caranya sangat bodoh dan lucu.
Diam-diam Lenghou Tiong mencemoohkan. Masakah jurus serangan "Yu-hong-lay-gi" yang lihai dengan berbagai perubahan ikutan itu akan ditangkis dengan cara sebodoh itu.
Akan tetapi ketika dia teliti lebih jauh, terlihat gaya tubuh ukiran orang-orangan yang bersenjata seperti toya yang diacung lurus ke ujung pedang lawan itu agaknya siap dengan macam-macam perubahan yang aneh dan sukar diduga.
Sambil mengikuti lukisan yang hanya terdiri dari beberapa goresan itu, makin lama Lenghou Tiong makin heran. Ia tidak habis mengerti bahwa jurus "Yu-hong-lay-gi" yang mempunyai daya tekanan ikutan yang lihai itu dapat dipatahkan begitu saja hanya dengan sekali acungkan toya lawan. Pikir punya pikir, dari heran ia menjadi kagum dan akhirnya merasa khawatir pula.
Saking asyiknya ia termenung memandangi ukiran-ukiran itu sehingga lupa waktu, mendadak tangannya terasa sakit dan panas, kiranya api obor sudah menyala sampai pangkalnya dan tangannya terselomot. Cepat ia lemparkan sisa obor itu.
Sementara itu di dalam gua sudah sangat terang. Ia coba mengamat-amati ukiran bagian lain. Ternyata orang-orangan itu sekarang sedang memainkan sejurus "Jong-siong-eng-khik" (cemara tua menyambut tamu). Semangatnya seketika terbangkit. Jurus inilah yang dahulu telah dilatihnya berulang-ulang sampai sebulan lamanya sehingga akhirnya merupakan salah satu jurus serangan yang paling diandalkannya. Ada tiga kali ia menggunakan jurus itu dan setiap kali musuhnya selalu keok.
Ia coba melihat ukiran orang-orangan yang menggunakan toya itu. Ternyata toya yang dipegangnya ada lima batang yang mengarah lima tempat berbahaya lawannya. Keruan ia heran, mengapa satu orang menggunakan lima batang toya"
Tapi sesudah diperhatikan lebih jauh, tahulah dia bahwa sebenarnya yang digunakan hanya sebatang toya saja. Empat batang lain hanya gambaran bayangan toyanya yang digerakkan dengan cepat sekaligus mengarah lima tempat bahaya di tubuh lawannya. Ia terperanjat. Serangan yang sekaligus mengarah lima tempat ini cara bagaimana harus dilayani dengan jurus Jong-siong-eng-khik yang juga mengutamakan kecepatan itu, terang jurus ilmu pedang Hoa-san-pay yang lihai ini kembali dikalahkan lagi oleh permainan toya itu.
Begitulah, makin melihat gambar-gambar ukiran itu, makin cemas Lenghou Tiong. Ternyata semua jurus ilmu pedang perguruan yang paling lihai seluruhnya terlukis di situ. Celakanya setiap jurus serangan itu selalu kena dipatahkan oleh setiap gerakan toya lawan secara aneh, bahkan ukiran orang-orangan yang main toya itu tampaknya sangat kaku dan bodoh menggelikan, namun titik arah toya lawan itu benar-benar sukar diduga dan susah dielak.
Seketika itu kepercayaan Lenghou Tiong kepada ilmu silat Hoa-san-pay sendiri serasa lenyap semua. Ia merasa biarpun akhirnya berhasil mewariskan seluruh kepandaian gurunya, bila ketemu dengan orang yang memainkan toya seperti gambar ini, maka terang tiada jalan lain kecuali menyerah kalah. Jika demikian halnya, lalu apa gunanya belajar ilmu pedang lagi" Masakah Hoa-san-kiam-hoat benar-benar begini tak becus" Kalau melihat kerangka-kerangka tengkorak di dalam gua itu sedikitnya orang-orang itu sudah meninggal berapa puluh tahun yang lalu, mengapa selama itu Ngo-gak-kiam-pay toh masih tetap menjagoi dunia Kangouw dan belum pernah terdengar ilmu pedang salah satu golongan itu kena dikalahkan orang"
Sampai sekian lamanya Lenghou Tiong termenung-menung seperti patung di dalam gua itu, sampai akhirnya tiba-tiba terdengar suara orang berseru di luar sana, "Toasuko! Toasuko! Di manakah kau?"
Lenghou Tiong terkejut dan cepat-cepat menerobos kembali ke dalam gua sendiri. Didengarnya suara Liok Tay-yu sedang berteriak-teriak di tepi jurang sana. Segera ia melompat keluar dan memutar ke belakang sepotong batu cadas di sebelah samping sana, lalu menjawab, "Aku ada di sini! Ada urusan apakah, Laksute?"
Liok Tay-yu mendekatinya menurutkan arah suara, katanya girang, "Kiranya Toasuko lagi duduk di sini. Aku mengantarkan daharan untukmu. Aku menjadi khawatir ketika tidak tampak kau berada di dalam gua."
Kiranya sehari suntuk Lenghou Tiong terpesona oleh ukiran ilmu silat di dalam gua rahasia itu sehingga lupa daratan dan tahu-tahu sekarang sudah petang. Gua tempat Lenghou Tiong merenungkan dosanya itu sebenarnya tidak dalam, tapi Liok Tay-yu tidak berani sembarangan masuk, ia hanya melongok dari luar, ketika tidak tampak sang Suheng, ia lantas mencarinya di luar sehingga tentang lubang di dinding gua yang menembus lorong di bawah tanah itu tidak diketahui olehnya.
"Aku harus selalu di atas puncak sini, masakah boleh pergi ke mana-mana?" ujar Lenghou Tiong. Tiba-tiba ia berseru heran, "He, kenapakah mukamu itu?"
Kiranya di atas jidat sebelah kanan Lak-kau-ji itu ditempel koyok, bahkan darah tampak merembes keluar, terang baru saja terluka.
Maka Liok Tay-yu menjawab, "Ah, tak apa-apa. Pagi tadi dalam latihan aku kurang hati-hati sehingga tergores pedang."
Namun dari sikapnya yang dongkol dan penasaran itu, Lenghou Tiong menduga tentu ada persoalan lain. Ia coba menanya lagi, "Laksute, sebenarnya sebab apa terluka" Masakah aku pun hendak kau bohongi?"
"Toasuko," sahut Tay-yu dengan marah-marah, "bukanlah aku bohong padamu, aku hanya khawatir kau ikut marah, maka lebih baik tak kuceritakan."
"Siapakah yang melukai jidatmu itu?" tanya pula Lenghou Tiong lagi. Ia heran, sebab sesama saudara seperguruannya biasanya sangat akur satu sama lain, selamanya tak pernah terjadi perkelahian.
"Tadi pagi aku berlatih dengan Lim-sute," tutur Tay-yu. "Dia baru saja berhasil mempelajari jurus Yu-hong-lay-gi, karena sedikit lena sehingga jidatku dilukai olehnya."
"Ah, adalah soal biasa bila terjadi sedikit cedera di kala sesama Suheng dan Sute berlatih," ujar Lenghou Tiong. "Dan kenapa kau mesti marah" Mungkin Lim-sute belum matang latihannya sehingga tak dapat menguasai pedangnya, hendaklah kau memakluminya. Cuma kau sendiri pun agak gegabah. Jurus Yu-hong-lay-gi itu memang sangat hebat, mestinya kau harus melayani dia dengan hati-hati."
"Itu pun sudah kumaklumi, hanya saja aku tidak menyangka bahwa bo ... bocah she Lim itu baru beberapa bulan masuk perguruan sudah lantas dapat memainkan jurus Yu-hong-lay-gi itu. Padahal dulu sampai lima tahun aku belajar barulah Suhu mengajarkan jurus serangan itu padaku."
Lenghou Tiong melengak juga mendengar ucapan Liok Tay-yu yang penasaran itu. Memang betul, Lim Peng-ci baru beberapa bulan belajar dan tahu-tahu sudah mahir menggunakan jurus Yu-hong-lay-gi, kemajuan ini benar-benar teramat pesat. Padahal kalau tidak mempunyai bakat yang baik dan latihan dasar yang kuat, kemajuan yang terlalu pesat itu kelak malah akan membikin celaka dia sendiri. Entah mengapa sebegitu cepat Suhu mengajarkan jurus serangan lihai itu padanya"
Terdengar Liok Tay-yu sedang bercerita pula, "Waktu itu aku agak terkejut, sedikit lena saja lantas kena dilukai olehnya. Siapa tahu Siausumoay malah bertepuk tangan menyoraki, serunya, 'Nah, Lak-kau-ji, muridku saja kau tak bisa menang, selanjutnya kau jangan berlagak pahlawan lagi di hadapanku!'
"Sementara itu bocah she Lim itu merasa bersalah karena melukai aku, dia telah mendekati aku hendak membalut lukaku, tapi telah kutendang hingga terjungkal. Siausumoay lantas marah padaku, omelnya, 'Lak-kau-ji, dengan maksud baik orang hendak membalut lukamu, kenapa kau malah menendangnya. Kalau kalah jangan lantas marah!'
"Coba, Toasuko, kiranya jurus serangan itu adalah Siausumoay yang diam-diam mengajarkan kepada bocah she Lim itu."
Sesaat itu perasaan Lenghou Tiong terasa getir tak terkatakan. Ia tahu jurus Yu-hong-lay-gi itu sangat sukar dilatih, sekarang Siausumoay berhasil mengajarkannya kepada Lim-sute, terang tidak sedikit jerih payah yang dicurahkannya. Pantas sudah sekian lamanya nona itu tidak datang menjenguknya, kiranya setiap hari dia berada bersama Lim-sute.
Ia cukup kenal sifat Gak Leng-sian yang suka bergerak dan tidak sabaran mengerjakan hal-hal yang rumit. Gadis itu pun suka menang, maka untuk kepentingan sendiri dia masih mau tekun belajar ilmu pedang. Sebaliknya kalau suruh dia mengajar orang lain, terang dia pasti tidak sabaran. Tapi sekarang dia ternyata sudah mengajarkan jurus Yu-hong-lay-gi yang ruwet itu kepada Lim Peng-ci, maka dapat dibayangkan betapa suka dan besar perhatiannya kepada Sute itu.
Sejenak kemudian, sesudah perasaannya tenang kembali, barulah ia berkata pula, "Mengapa kau bisa berlatih pedang dengan Lim-sute?"
"Rupanya apa yang kukatakan padamu kemarin itu membikin Siausumoay kurang senang, waktu pulang, sepanjang jalan dia terus mengomel," tutur Tay-yu. "Pagi-pagi tadi aku lantas diseret olehnya agar latihan bersama. Sedikit pun aku tidak punya prasangka apa-apa, apa sih halangannya latihan bersama" Siapa duga diam-diam Siausumoay sudah mengajarkan beberapa jurus lihai kepada bocah she Lim itu, lantaran itulah aku telah kecundang."
Makin jelaslah bagi Lenghou Tiong persoalannya. Tentu hari-hari terakhir ini hubungan Gak Leng-sian dengan Lim Peng-ci semakin akrab, maka tidaklah heran bila Liok Tay-yu yang lebih akrab dengan dirinya telah membelanya dan suka menyindir dan mencari perkara kepada Lim Peng-ci.
"Tentunya kau sering mengomeli Lim-sute, bukan?" ia coba tanya.
"Pemuda yang hina dina begitu apakah tidak pantas dimaki?" sahut Tay-yu dengan mendongkol. "Dia juga takut padaku, bila aku mendamprat dia, selamanya dia tidak berani membalas. Bila bertemu dengan aku juga lekas menyingkir pergi. Sungguh tidak sangka bocah itu ternyata ... ternyata begitu keji. Hm, padahal betapa sih kepandaiannya" Kalau dia tidak dijagoi Siausumoay masakah dia mampu melukai aku?"
Pendekar Buta 7 Riwayat Lie Bouw Pek Karya Wang Du Lu Playboy Dari Nanking 14

Cari Blog Ini