Ceritasilat Novel Online

Iblis Sungai Telaga 24

Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung Bagian 24


Semut". Perlahan tetapi toh sangat terang.
Pintu Pekarangan itu tertutup rapat pula selekasnya It
Hiong bertiga memasukinya, seperti juga itulah sebuah pintu
rahasia, tak ada suaranya sama sekli, seperti tadi terbuka
renggangnya. Mereka sekarang berada didalam halaman taman bunga
yang teratur rapi, ada gunung-gunungnya yang mungil.
Halaman itu penuh dengan daun rontok, seperti juga taman
sudah lama tanpa penghuninya. Hanya keadaannya tetap
menarik hati, suasananya tenang sekali. Disitu orang tak
merasa jeri, sebaliknya menaruh hormat.
Diatas tanah penuh daun itu tak tampak tapak kaki, maka
itu untuk berjalan lebih jauh, It Hiong menggunakan "Te In
Ciong", ilmu ringan tubuh "Tangga Mega:. Ia mencekal
tangannya Ya Bie dan mengangkatnya, buat dibawa lari
bersama. Jalanan disitu berliku-liku.
"Eh, mana So Hun Cian Li ?" tanya Ya Bie rada terkejut. Ia
melihat ke belakang dan tak nampak orang utannya.
It Hiong melihat kesekelilingnya. Binatang itu benar tak
terlihat. "Biarlah dia menanti diluar !" katanya, lalu jalan terus.
Selekasnya mereka melintasi bukit buatan itu, muda mudi
itu mendengar satu suara berkelisik di belakangnya. Lantas
mereka menoleh, atau mereka menyaksikan si orang utan
melesat lewat disisi mereka, terus binatang itu berdiri diatas
tangga di depan sebuah rumah, yang bagaikan menghadang
di depan mereka. Itulah sebuah rumah batu dan tangganya itu berbatu
marmer. So Hun Cian Li memekik, kaki tangannya digerak-geraki.
Agaknya dia girang sekali.
Ya Bie mengulapkan tangannya, melarang binatangnya
berisik. Selekasnya tiba di muka undakan tangga terakhir, It Hiong
menghadapi pintu sembari menjura, ia kata perlahan : "Tio It
Hiong bersama Ya Bie telah tiba dan memohon bertemu
dengan Sin Ni Locianpwe."
Bagaikan ada angin yang meniupnya, daun pintu lantas
terbuka, maka It Hiong segera bertindak masuk, diturut oleh
Ya Bie dan So Hun Cian Li.
Di dalam terdapat tiga buah kamar, yang satu terang, yang
dua gelap. Di tengah-tengah ada sebuah ruang kecil. Dinding
tengah tergantungkan sehelai tirai. Di depan itu, sebuah
perapian kuno kaki tiga, tubuh perapiannya terang mengkilau,
entah dari bahan apa terbuatnya. Dari dalam perapian
mengepul asap dupa yang harum.
Di sebelah kiri itu, diatas sebuah kursi kayu merah, terlihat
Hay Thian Sin Ni berduduk seorang diri. Di kanannya ada
para-para buku, meja tulis serta sebuah kursi. Jendela dan
meja bersih sekali, tak ada debunya. Di situ tak ada lainnya
orang lagi. Suasana sunyi dan nikmat, seperti diluar tadi. Apa
yang toh terdengar ialah ocehannya dua ekor burung diluar
rumah. Selekasnya dua orang itu berada didalam, dengan isyarat
tangannya, si nikouw kata : "Sengaja pinni mengundang Tio
sicu datang kemari supaya kau bertemu dengan Bu Lim
Cianpwe disini, agar kau mendapat petunjuk buat menghadapi
rombongan bajingan rimba persilatan nanti."
It Hiong dan Ya Bie memberi hormat, baru mereka
berduduk. Ia heran mendengar nikouw itu menyebut "Bu Lim
Cianpwe" yaitu orang tingkat tua dari rimba persilatan. Disitu
toh tidak ada orang lainnya.
"Boanpwe bersedia menerima petunjuk." katanya,
walaupun dia heran sekali. Matanya kembali melihat ke
sekitarnya. Hay Thian Sin Ni melihat sikapnya si anak muda, ia tidak
berkata apa-apa hanya berkata pula : "Bu Lim Cianpwe itu ada
hubungannya sangat erat dengan Tek Cio Totiang gurumu itu,
sicu. Hanya semenjak tiga puluh tahun dahulu ia menutup diri,
dia tak mau menemui orang pula, karena dia telah
berkeputusan buat hidup menyendiri di dalam kesunyiannya
kaum Kang Ouw golongan sesat itu, yang mudah saja main
bunuh, dia telah memikir lain. Bertambah hebat sepak
terjangnya kaum itu hingga dia tergerak hatinya dan
semangatnya. Dia lantas mengambil sikap mencoba untuk
menumpasnya ! Dia telah ketahui perbuatanmu melindungi
gunung Siong San, sicu, maka ia pikir kaulah seorang calon
yang tepat......." Berkata sampai disitu, Hay Thian Sin Ni berhenti, matanya
terus mengawasi ke tirai.
Melihat demikian, tahulah It Hiong bahwa si Bu Lim
Cianpwe, tertua rimba persilatan itu berada di belakang tirai
itu. Lantas dia berbangkit untuk menjura ke arah tirai sambil ia
kata hormat : "Tio It Hiong, murid Pay In Nia menghunjuk
hormat kepada Cianpwe serta bersedia menerima segala
petunjuk....." "Jangan memakai adat peradatan, Tio Laote !" terdengar
dari balik tirai itu suara perlahan tetapi jelas sekali. "Silakan
duduk ! Selama kau merantau, laote, pernah atau tidak kau
bertemu dengan seorang yang disebut Tok Mo ?"
It Hiong menurut, ia berduduk.
"Boanpwe ketahui tentang dia tetapi belum pernah melihat
orangnya." sahutnya. "Di dalam waktu satu malam, kelima
tertua dari Siauw Lim Sie menemui ajalnya disebabkan racun,
mungkin itulah hasil perbuatannya Tok Mo. Pula boanpwe
sendiri pernah pingsan dikarenakan boanpwe kena meraba
kertas lambang pembunuhannya, lambang yang berbunyi
Giok Lauw Kip Ciauw. Sejak boanpwe turun gunung, telah
boanpwe pergi ke pelbagai tempat propinsi Sucoan, Ouwlam,
Ouwpak dan Holam, tetapi tak pernah boanpwe berhasil
mencarinya....." "Pernah aku bertemu dengan Tok Mo dan malah pernah
juga bertempur dengannya !" tiba-tiba Ya Bie campur bicara.
Dibalik tirai itu terdengar tawa nyaring, disusul dengan
kata-kata ini : "Nona kecil, Tok Mo yang kau ketemukan itulah
Tok Mo palsu !" Kemudian kata itu ditambahkan kepada Hay
Thian Sin Ni : "Toasuhu, coba bilang, menurut kau, Tok Mo
masih hidup atau sudah mati ?"
Orang yang ditanya mengernyitkan dahinya.
"Sulit untuk mengatakannya." sahutnya. "Kalau kita melihat
kematiannya kelima tertua Siauw Lim Sie, tak mungkin itulah
perbuatannya si palsu Kim Lam It Tok atau Couw Kong Put Lo.
Mereka berdua pasti tak mempunyai kepandaian semacam
itu." Kembali si Bu Lim Cianpwe tertawa.
"Agaknya tak tepat kalau dikatakan Tok Mo muncul pula
dalam dunia Kang Ouw." katanya pula. "Tio Laote telah
mencari dia berputaran, tak mungkin dia menyabarkan diri
dan tak muncul ! Mungkinkah dia sudi terus menyembunyikan
kepalanya saja dan cuma menongolkan ekornya ?"
Setelah kata-kata itu, dari belakang tirai terdengar satu
suara perlahan, entah si Bu Lim Cianpwe melakukan apa.
Hay Thian Sin Ni tertawa dan kata : "Ketika dulu hari itu
dilakukan penyergapan kepada Tok Mo dilembah Peng Kok,
Losicu toh turut bersama menurunkan tangan, leh karena itu
kenapa Losicu tidak hendak melukiskan wajah dan potongan
tubuhnya dia itu, supaya sekarang Tio sicu dapat mendengar
dan mengetahuinya " Dengan demikian, selanjutnya Tio sicu
dapat berlaku berhati-hati terhadapnya."
Orang dibalik tirai itu menghela nafas perlahan.
"Dahulu hari itu telah tiga kali lohu pernah bertemu dengan
Tok Mo." katanya kemudian. Dia membahasakan diri lohu, si
orang tua. "Hanya selama itu belum pernah satu kali juga lohu
melihatnya berwajah atau berdandan serupa, bahkan senjata
dan gerak gerik silatnya pun berlainan ! Karena itu,
bagaimanakah lohu harus melukiskannya ?"
It Hiong merapatkan keningnya mendengar suaranya si Bu
Lim Cianpwe itu. Pikirnya : "Kenapa di dalam dunia ada
manusia jahat dan beracun yang licin itu ?" Kemudian ia kata :
"Locianpwe, baiklah locianpwe jangan memusingkan diri
memikirkan tentang dia. Selanjutnya, asal boanpwe
menemukannya, tak perduli si asli atau palsu, hendak
boanpwe membunuhnya saja ! Tidakkah itu paling sempurna
?" "Kakak Hiong, itu benar !" Ya Bie memuji.
Tapi Hay Thian Sin Ni memuji Sang Buddha.
"Jangan kau terlalu bengis, Tio Sicu." katanya. "Di dalam
segala hal, kita jangan melupakan Thian Yang Maha Kuasa !"
Jago yang tak dikenal itu campur bicara. Kata dia : "Lohu
sudah menyembunyikan diri tiga puluh tahun, belum dapat
lohu mencapai kesempurnaan, maka itu di dalam hal ini, lohu
menyetujui sikapnya Tio laote. Hanya, biar bagaimana, bengis
itu juga ada batasnya dan pada bengis harus ditambahkan
kecerdasan ! Oleh karenanya Tio laote, kau bertindaklah
dengan berhati-hati !"
"Terima kasih, locianpwe !" berkata It Hiong.
Tiba-tiba tirai itu bergerak keras bagaikan dipermainkan
badai, mendadak dari celah-celahnya meluncur keluar satu
sinar putih mengkilat, juga menyilaukan mata. Menyusul itu,
terdengar suaranya si jago rimba persilatan yang tidak dikenal
itu : "Tio laote, inilah sebutir mutiara Lee-cu, harap kau terima
sebagai bingkisan pertemuan kita ini. Sambutlah !"
Dengan perlahan, benda bercahaya itu bergerak ke arah It
Hiong, tapi tanpa merasa mengulur tangannya menyambuti,
hingga ia melihat tegas dan merasa, mutiara ada sebesar telur
burung merpati, tubuhnya bening, sinarnya memancar ke
empat penjuru. Hingga bisa dimengerti yang itulah mustika
adanya. Lekas-lekas dia berkata : "Locianpwe, hadiah sangat
berharga ini tak sanggup boanpwe menerimanya. Boanpwe
biasa hidup mengembara, mana dapat boanpwe membawabawa
mustika ini yang pasti akan menarik perhatian orang
banyak, terutama kaum sesat. Mungkin mutiara dapat
membahayakan keselamatanku sedangkan boanpwe
barangkali tak dapat menjaganya. Oleh karena itu, harap
locianpwe jangan kecil hati, harap locianpwe suka
menerimanya kembali......"
Lantas It Hiong menolakkan tangannya seraya melepaskan
cekalannya, atas mana mutiara itu bergerak kembali ke arah
tirai. Bu Lim Cianpwe itu tertawa berkakak.
"Tio Laote, sungguh kau muda dan gagah, hatimu putih
bersih !" berkata dia dengan kekaguman. "Tetapi laote, lohu
mengenalmu ! Kau bukanlah si kemaruk harta dunia ! Baik
laote ketahui, kalau mutiara ini mutiara belaka, tak nanti aku
menghadiahkannya kepadamu......"
Kata-kata itu dihentikan secara tiba-tiba. Ketika itu justru
dibuat pemikiran oleh It Hiong, yang memikirnya, "Oh, kiranya
mutiara ini ada faedahnya....... hanya entah khasiatnya dan
bagaimana cara menggunakannya ?" Tanpa merasa, ia
menoleh ke arah Hay Thian Sin Ni.
Nikouw itu mengangguk kepada si anak muda. Itulah
isyarat untuk anak muda itu menerimanya.
Selama itu, mutiara masih bagaikan mengambang saja di
muka celah-celah tirai, tak mau jatuh dan sinarnya terus
mencorong ke segala arah.
Menyaksikan itu, It Hiong menerka si jago tak dikenal
sengaja menahannya. Justru itu maka terdengarlah suaranya Bu Lim Cianpwe itu :
"Tio Laote, baiklah kau ketahui tentang mutiara Leecu ini !
Inilah mutiara berasal dari dalam karang laut cui-seng-giam di
laut utara Pak Hay dan karena besarnya, dapat dimengerti
yang umurnya pasti sudah diatas seribu tahun. Ini pula
mutiaranya naga hitam Lee Liong, yang meninggalkannya di
dalam karang disaat dia hendak menukar kulit dan entah
berapa banyak bulan harus lewat sebelumnya dia bercahaya
seperti sekarang ini. Mutiara ini berkhasiat antaranya guna
melemahkan pelbagai macam racun dan mengobati rupa-rupa
penyakit. Kalau mutiara ini dimasuki ke dalam mulut dan
dikemuh, di dalam satu jam dia bisa menghidupi orang yang
telah mati keracunan dan lainnya. Kau suka merantau laote,
kau lagi menjalankan tugas perikemanusiaan, sewaktu-waktu
kau bisa menghadapi bahaya keracunan, dari itu kalau kau
membawa mutiara di tubuhmu, pasti itu besar faedahnya.
Inilah untuk persiagaan saja, maka itu janganlah kau tampik !"
Menyusul kata-kata itu, mutiara kembali meluncur kepada
si anak muda. It Hiong menyambuti, kali ini untuk terus menyimpan
didalam sakunya. Ia berbangkit buat menjura, memberi
hormat sambil berkata : "Terima kasih, locianpwe ! Andiakata
cianpwe sudah tidak ada pesan lainnya, boanpwe memohon
diri !" Orang gagah tak dikenal itu tertawa.
"Saat pertapaanku juga akan berakhir, maka itu, laote,
persilakanlah !" katanya gembira. "Di dalam hal-hal lainnya,
kau dapat meminta pengajaran dari Hay Thian Sin Ni saja !"
Habis itu sunyilah ruang tersebut.
"Mari kita pergi !" kata Hay Thian Sin Ni kemudian. Ia
berbangkit dan bertindak mendahului.
It Hiong berdua Ya Bie mengikuti.
Tiba diluar taman, Hay Thian Sin Ni baru berkata pula :
"Tio sicu, apabila kau pergi ke Hek Sek San, kau harus
waspada terhadap Im Ciu It Mo, buat jala beracunnya yang
dinamakan Hoa Hiat Thian Lo, jala langit yang melumerkan
darah. Nah, sampai nanti di dalam pertemuan besar di In Bu
San, kita akan berjumpa pula !"
Kata-kata itu diakhiri dengan orangnya lompat ke sisi
mereka, ke dalam pepohonan lebat, hingga orang tak sempat
mengatakan sesuatu. "Mari kita pun pulang !" It Hiong mengajak Ya Bie.
Nona polos itu mengikuti. Setibanya di Kui Hiang Koan,
mereka beristirahat, setelah itu dimulailah perjalanan mereka
menuju ke gunung Hek Sek San. Hatinya It Hiong tak tenang.
Ia selalu ingat Kiauw In dan mengawatirkan kakak
seperguruan itu, yang pun menjadi kekasihnya, maka itu ia
melakukan perjalanan secepat bisa. Turutnya Ya Bie dan So
Hun Cian Li membuatnya tak dapat menggunakan ilmu ringan
tubuh Tangga Mega. Pasti nona itu dan orang utannya tak
sanggup menyusulnya.

Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

It Hiong pula pikir, Ya Bie harus diberitahukan bahwa
perjalanannya ini akan penuh dengan ancaman bencana. Di
sarangnya Im Ciu It Mo, pasti bisa akan ditemui dimanamana.
Satu kali, ia melirik nona itu. Ia mendapatkan selainnya
cantik, nona itu benar-benar polos, wajahnya sangat menarik
hati. "Inilah sulit" pikirnya kemudian. "Dia polos tetapi dia
berasal dari tempat kaum sesat. Siapa tahu kalau hatinya
mudah berubah " Kalau dia merasa dipersakiti, yaitu kalau aku
tinggalkan dia, mungkin dia bersakit hati. Inilah berbahaya.
Dia belum tahu apa-apa, sakit hati membuatnya sanggup
melakukan apa juga. Dia pula mudah disesatkan orang jahat.
Kalau dia menjadi sesat, itulah berbahaya. Tak mudah
menaklukan orang dengan kepandaian seperti dia....."
Anak muda kita tidak mencintai Ya Bie, walaupun nona itu
cantik manis. Ia hanya menyayangi. Ia pula menganggap, tak
dapat ia melepaskan nona itu, agar dia tak sampai terjatuh ke
dalam tangannya orang jahat. Maka ia mengambil keputusan,
sulit atau tidak, si nona dan orang utannya harus diajak
bersama ! "Adik Ya Bie" kemudian katanya kepada si nona. "kau
hendak mengikuti aku ke Hek Sek San, aku pikir lebih baik kau
menyamar menjadi pria. Inilah guna menjaga agar ditengah
jalan, kau tak usah menarik perhatian orang banyak. Kau
setujukah ?" Nona itu menatap si anak muda, matanya dibuka lebar.
Hanya sejenak, dia mengangguk.
Senang It Hiong. Syukur nona itu suka menurut.
Di kecamatan pertama, It Hiong singgah untuk membeli
pakaian buat Ya Bie dan So Hun Cian Li. Di dalam hotel, nona
itu berdandan hingga dia serupa sebagai seorang kacung. Si
orang utan juga berpakaian, mirip seorang bujang tua. Pula
selanjutnya, mereka berjalan dengan menunggang kuda,
hingga perjalanan dapat dilakukan dengan cepat tanpa si anak
muda memikirkan nona itu dan binatangnya.
Selang beberapa hari, tiba sudah mereka di Kho-tiam-cu,
sebuah dusun yang harus dilalui buat orang pergi ke Hek Sek
San. Karena sudah magrib, mereka mencari hotel. It Hiong
minta dua kamar, satu buat dia sendiri, yang satunya buat Ya
Bie dan So Hun Cian Li. Habis bersantap, It Hiong duduk seorang diri dikamarnya.
Kembali ia ingat Kiauw In, maka ia menyesal juga di Siauw
Lim Sie mereka jalan berpencaran hingga nona itu terjatuh
kedalam tangannya Im Ciu It Mo. Ia berpikir sambil matanya
mengawasi tajam Keng Hong Kiam, pedangnya yang
digantung di tembok. Dengan lewatnya sang waktu, tanpa merasa si anak muda
tidur kepulasan, hingga ia terasadar dengan terperanjat
apabila ia mendengar tanda waktu tiga kali yang
diperdengarkan dari tembok kota. Ketika ia membuka
matanya, sisa lilinnya masih menyala. Justru itu, mendadak
angin menghembus dari jendela, membuat sisa lilin padam
hingga kamar menjadi gelap seketika.
Menyusul itu ada angin bertiup perlahan, membawa bau
harus dari dupa, yang membuat otak pusing hingga orang
ingin tidur..... Sebagai orang yang telah berpengalaman, It Hiong tahu
apa artinya bau harum itu. Ada orang mau mencelakainya.
Lantas ia lompat turun dari pembaringannya, akan
menjambret pedangnya. Adalah niatnya, akan lompat keluar,
buat menyusul orang yang menyulut hio itu. Tiba-tiba
kepalanya pusing dan tubuhnya terhuyung mau jatuh. Ia
lekas-lekas menguatkan hati dan memusatkan pikirannya. Ia
lantas merogoh sakunya buat mengambil obat kay-yoh dari si
pendeta tua dari Bie Lek Sie atau tangannya mengeluarkan
Lee-cu yang didapat di Kui Hiang Koan.
Selekasnya keluar dari saku, mutiara itu lantas
mengeluarkan cahaya terang, menerangi seluruh ruang,
hingga segala apa tampak tegas, hingga tampak juga
semacam asap beterbangan.
Lekas-lekas It Hiong memasuki mutiara mustika itu
kedalam mulutnya. Lantas ia merasai hawa dingin. Seketika itu
juga, lenyap pusingnya dan tubuhnya tak terhuyung pula. Ia
menjadi girang sekali. Inilah yang pertama kali ia
membuktikan khasiatnya mutiara mustika itu. Selekasnya ia
menyimpan mutiara, dengan membawa pedangnya, ia lompat
keluar dari jendela, terus lompat naik ke tembok Pekarangan
hingga ia sempat melihat sesosok bayangan hitam kabur
keluar dusun. "Tak perlu aku susul dia" pikirnya. Ia merasa percuma,
orang tentu takkan kecandak sebab dia bisa menyembunyikan
dirinya. Ia pun tak kurang suatu apa.
Masih sekian lama It Hiong berdiri diatas tembok, disaat dia
mau lompat turun akan kembali ke kamar, tiba-tiba ia
mendengar suara yang terbawa angin : "Anak tolol ! Pedang
Keng Hong Kiam yang mengangkat nama toh lenyap !" Itulah
suara "Gie Gie Toan Im" saluran "Bahasa Semut".
Dua kali suara itu terdengar, lantas lenyap.
Anak muda kita heran sekali. Ia mengangkat dan melihat
pedangnya, terus ia menghunusnya. Ia bukan mendengar
suara nyaring seperti biasa, hanya suara dari besi biasa.
Pedang pula bukan bersinar menyilaukan amta, cuma
mengkilat sedikit saja. Maka bukan kepalang kagetnya ! Jadi
benar pedangnya telah orang curi dengan jalan ditukar !
"Aku toh pusing hanya sejenak........"pikirnya. "Kenapa aku
tidak mendengar apa-apa san orang dapat berlalu tanpa suara
" Kalau begitu, dia telah memiliki ilmu ringan tubuh yang
sangat sempurna.....Siapakah dia ?"
It Hiong berdiri menjublak diatas tempat itu. Kemudian ia
memikiri, menerka-nerka. Siapakah pencuri pedang itu "
Musuhkah " Dia dari golongan manakah " Kenapa pedangnya
dicuridengan ditukar " Apakah maksudnya si pencuri " Kenapa
ia dipancing mengubar " Ia bingung sekali. Sejenak itu,
pikirannya menjadi gelap.
Tengah si anak muda berdiam, ia melihat dua sosok tubuh
mendatangi cepa sekali ke arahnya. Ia lantas menyangka
kepada musuh. Tidak ayal lagi ia mendahului menyerang
dengan satu pukulan dari Han Long Hok Houw. Atau : "Kakak
Hiong, jangan ! Inilah aku !"
Kiranya itulah Ya Bie bersama So Hun Cian Li, yang datang
menyusul. Bagus kedua-duanya dapat berkelit dari serangan
dahsyat itu. Di saat lain, keduanya sudah berdiri di depan si
anak muda. "Malam-malam kau keluar, kakak Hiong ?" Ya Bie bertanya.
"Apakah ada musuh ?"
It Hiong menghela nafas. "Pedangku ada yang curi......." sahutnya perlahan, tanda
kemasgulannya. "Apa ?" tanya Ya Bie, kaget dan heran. "Pedang kakak
lenyap " Kemana kaburnya si pencuri ?"
It Hiong menggeleng kepala, terus ia menengadah langit.
Ia membiarkan sang angin menyampok-nyampok bajunya.
Ya Bie pun berdiam. Nona ini heran dan bingung.
"Adik Ya Bie, mari kita pulang." kemudian kata si pemuda
perlahan. Dan ia mendahului lompat turun dari tembok.
Ya Bie mengikuti. Tiba dikamarnya, It Hiong menyulut lilin. Ia memeriksa
seluruh kamarnya, tidak terlihat apa juga yang mencurigakan.
Ketika itu, asap pun telah buyar habis. Maka ia duduk
dikursinya, pikirannya kacau.
Ya Bie berduka menyaksikan orang bersusah hati itu.
Karena ia turut berdiam, kamar menjadi sangat sunyi.
Kesunyian segera diganggu So Hun Cian Li, yang masuk
belakangan. Dia muncul sambil berjingkrakan dan memekikmekik,
sedangkan sebelah tangannya memegangi sehelai kain.
Ya Bie segera mengambil kain dari tangan binatang
piaraannya itu. "Kakak Hiong, kau lihat apakah ini ?" katanya sambil
mengangsurkannya. It Hiong menyambuti, hingga ia lantas dapat membaca :
"Di atas sungai jernih berliku sembilan,
pedang mustika akan dikembalikan sebagai adanya."
Itulah sehelai cita tersulam, yang tersulamkan juga empat
buah huruf dengan benang sulamnya berwarna kuning muda.
Bunyinya surat ialah "Giok Lauw Kip Ciauw !"
Itulah lambang kematian !
Mulanya heran, It Hiong menjadi gusar, maka ia banting
kain itu ke lantai ! Ia kenali lambang kematian, yang pernah ia
lihat di Siauw Lim Sie. Itulah bukti ancaman dari Ie Tok Sinshe
atau Tok Mo. Itu pula keputusan kematian !
Ya Bie menjemput kain itu, untuk dilihat teliti.
"Kakak Hiong, kau melihat apakah yang mencurigakan ?"
tanyanya. "Ada racunnya !" It Hiong berteriak, kaget. "Lepaskan lekas
!" Ya Bie tertawa dan kata : "Setelah sesuatu lewat
ditangannya So Hun Cian Li, racun apapun sudah tidak ada
lagi !" Si nona bergembira sekali, tingkahnya jenaka.
It Hiong melongo mengawasi nona itu. Dia itu memang tak
keracunan. Lewat sesaat ia menarik nafas lega, hatinya
menjadi tenang. Ya Bie sementara itu mengutip perlahan berulang-ulang :
"Kiu Kiok Ceng Kee... Kiu Kiok Ceng Kee...." Itulah kata-kata
yang terjemahannya adalah "sungai jernih berliku sembilan"
atau "sungai dengan sembilan tikungan". Ya, ditempat
manakah adanya sungai itu "
Kemudian si nona mengawasi It Hiong, yang berduduk
menjublak saja. Kepalanya ditundukkan, sedangkan api lilin
bergoyang-goyang, cahayanya menyinari suaram wajah
pemuda itu. "Kakak Hiong." kemudia si nona bertanya. "Mungkinkah
pencuri pedang itu seorang sangat kosen dan kau kuatir tak
sanggup melawannya ?"
It Hiong menggeleng kepala. Ia tak menjawab.
Ya Bie mengawasi, ia heran.
Tiba-tiba It Hiong menyambar surat ditangan si nona,
untuk dibawa ke depan pelita, untuk diperiksa dengan teliti,
dibulak balik depan belakang dan atas bawahnya, kemudian
sembari meletakkan itu di meja, ia kata seorang diri : "Tok Mo
" Ya, Tok Mo ! Aku memang mau mencari dia, dia mendahului
datang ! Dia mencoba main gila terhadapku !"
Ya Bie mendengar kata-kata orang, dia menjadi bertambah
heran. "Benarkah Tok Mo si pencuri pedang ?" tanyanya. "Tok Mo
ini manusia siapakah yang menyaruh memalsukannya ?" Dia
menanya demikian sebab meski belum berpengalaman, telah
dua kali dia menemui Tok Mo palsu - Couw Kong Put Lo dan
Kin Lam It Tok ! Dia polos, mudah saja dia menerka pada Tok
Mo palsu lagi ! Suara si nona membuat It Hiong sadar bahwa benar
dikolong langit ini ada banyak Tok Mo palsu, yang suka
bergaya licik dan telengas. Hanya empat huruf "Giok Lauw Kip
Ciauw" membuatnya menerka kepada Tok Mo yang asli.
Sinarnya pun lain, yang dahulu hijau, dan ini muda, dan
dahulu beracun, ini tidak !
"Biarlah," pikirnya kemudian. "Dia yang palsu atau bukan,
aku toh harus mencari padanya ! Pedangku harus dicari dan
dirampas pulang !" Maka terus ia mengawasi Ya Bie dan
bertanya, "Adik, apakah katamu barusan " Bukankah kau
menanya dimana letaknya Kiu Kiok Ceng Kee ?"
"Ya" sahut si nona mengangguk.
It Hiong berfikir sebentar, lantas dia menjawab : "Kiu Kiok
Ceng Kee berada di proponsi Hokkian, diatas bukit, Bu In San,
jaraknya dari sini seribu lie lebih."
Ya Bie mengernyitkan keningnya. Ia berdiam untuk
berpikir. Hanya sejenak, ia mengangkat kepalanya, wajahnya
tampak berseri-seri saking ia bergirang.
"Aku mengerti sekarang !" kata ia. "Nah, mari kita lantas
berangkat menyusulnya ke Bu Ie San, siapa tahu ditengah
jalan dapat kita menyandaknya. Hanya entahlah, dia
mengambil jalan yang mana...."
Senang It Hiong memandang nona itu, sudah cantik, dia
manis sekali, terutama dia sangat polos, segalanya wajar. Tak
mau ia mengatakan bahwa pemikiran nona itu terlalu
sederhana, agar si nona tidak menjadi kecewa. Toh ia merasa
lucu sendirinya, hingga tak dapat ia mencegah tertawanya......
Ya Bie mementang mata mengawasi pemuda itu.
"Apakah keliru apa yang aku katakan barusan ?" tanyanya.
Dia heran. "Sebaliknya !" sahut si anak muda mengangguk.
Tiba-tiba wajahnya It Hiong suaram pula. Kembali ia ingat
Kiauw In yang berada ditangannya Im Ciu It Mo dan itulah
berbahaya. Kiauw In tak sadarkan diri, orang dapat berbuat
sesukanya terhadapnya.......
Di lain pihak, ia malu berbareng mendongkol sebab
hilangnya pedangnya. Ia boleh tak usah mengandalkan
pedang tetapi pedang itu hadiah dari ayahnya Giok Peng di
Lek Tiok Po. Maka itu, biar bagaimana, pedang itu harus dapat
dirampas pulang ! "Mana lebih dahulu " Membantu Kiauw In atau mencari
pedang ?" demikian ia pikir dalam kesangsian. Sulitnya, tanpa
pedang, tak dapat ia menggunakan ilmu "Gie Kiam Hui Heng",
jalan terbang bareng dengan pedang. Untuk menghadapi Im
Ciu It Mo, ia pula membutuhkan pedang. Terhadap lawan
lainnya, itulah lain. Ya Bie, yang berdiri di depan si anak muda, terus
mengawasi, hingga ia melihat air muka orang berubah-ubah
saking anak muda itu berpikir keras. Ia pun tidak berani
menanya apa-apa. Barulah It Hiong terkejut ketika percikan lilin meletik
menyambar ke tangannya. "Ah !" serunya. "kenapa aku jadi begini tolol " Orang toh
lebih penting daripada pedang !"
Maka ia lantas menepuk meja.
"Mari kita pergi ke Hek Sek San !" katanya keras.
Tepukan itu membuat pedang diatas meja berlempar jatuh
ke lantai. It Hiong segera menjemput itu.
Ya Bie heran. "Kakak Hiong...." katanya, "kau mau pergi dahulu ke Hek


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sek San, bukan " Jadinya kau mau membiarkan
pedangmu....." Alisnya si anak muda bangkit.
"Jiwanya Kakak Kiauw In lebih penting." bilangnya. "Dalam
segala hal kita harus dapat membedakan mana yang lebih
perlu !" Ya Bie mementang pula matanya, sinarnya memain, terus
dia mengangguk. "Kakak benar !" katanya kemudian. "Memang tak dapat
kakak membiarkan kekasihmu nanti tersiksa dan bercelaka,
tanpa kakak pergi menolongnya !"
Hebat si nona. Dia kenal asmara tetapi dia toh tetap polos.
Cuma, kalau ia memikirkan itu, sendirinya tubuhnya
menggigil...... Ya Bie menyinta, tak mau ia merampas kekasih lain orang
tetapi ia pun tak sudi kehilangan kekasihnya sendiri. Buat ia
cukup asal ia tak usah berpisah dari anak muda itu.......
"Kakak Hiong," katanya kemudian, "aku ingin supaya tetap
aku berada disisimu, agar aku dapat melakukan segala apa
untukmu ! Sudikah kau meluluskan aku ?"
Lagi-lagi si nona menatap mukanya si pemuda. Tak likat ia
mengawasi orang. It Hiong tak memikir banyak tentang kata-katanya nona
polos itu sebab pikirannya dipusatkan pada Kiauw In, soal
caranya menyerbu Hek Sek San guna membantu Kiauw In.
Bagaimana ia harus bertindak.
"Baik, adik !" sahutnya. "Bagus kau suka membantu aku !"
Bukan main senangnya Ya Bie mendengar suara itu.
"Mari kita lekas berangkat !" dia mengajak. "Fajar bakal
lekas tiba !" It Hiong melongok ke jendela. Memang fajar lagi
mendatangi. Terpaksa ia menggendol pedang palsu itu.
"Nah, mari kita berangkat !" ajaknya. Ia padamkan lilin dan
terus bertindak keluar. Ya Bie mengikuti. Dengan satu siulan, ia memanggil So Hun
Cian Li. Segera perjalanan dilakukan. It Hiong nampak mirip
puteranya seorang hartawan yang diikuti kacungnya.
Angin fajar bertiup halus, rembulan masih bersisa.
Sekeluarnya dari batas dusun, langsung mereka menuju ke
Hek Sek San. Mereka mendekati kaki gunung pada jam
delapan lewat, jaraknya tinggal tujun atau delapan lie lagi.
Justru itu diarah belakang mereka, mereka mendengar
suara kuda, yang makin lama terdengarnya makin keras,
pertanda bahwa orang cepat sekali datangnya, bahkan segera
juga mereka dilewati oleh empat penunggang kuda yang
tengan menuju ke Hek Sek San sebagai mereka sendiri. Empat
orang itu berdandan sebagai orang Kang Ouw dan yang kabur
di muka mirip seorang wanita. Menarik perhatian adalah dua
orang yang ditengah, sebab masing-masing menggendol
sebuah karung besar, melendung dan tinggi kira lima kaki.
Entah benda apa isinya itu!
Penunggang kuda paling belakang tampak tegas. Dia
berkepala besar dan berjenggotan. Mulanya dia mengawasi It
Hiong bertiga, sesudah lewat, masih dia menoleh satu kali,
dari mulutnya terdengar suara tertahan, "Oh !........."
Mereka itu kabur luar biasa cepat !
It Hiong merasa aneh, hingga timbul kecurigaannya, maka
ia memberi isyarat kepada Ya Bie, terus ia melarikan kudanya
buat menyusul, atas mana si nona dan orang utannya lantas
menyusul, untuk dapat menguntit.
Dari jalan besar, empat orang itu mengkol memasuki jalan
kecil, akan setelah beberapa tikungan menghilang disebuah
rimba. Jalan kecil itu bukan jalan umum, bala dan banyak durinya,
banyak batunya juga, suasananya belukar dan sunyi. Tidak
ada lain orang berlalu lintas disitu.
It Hiong memasang mata. Ia mendapat kenyataan jalan
kecil itu menjurus ke gunung, dan jalannya lugat-legot.
Puncak gunung tinggi umpama kata nempel pada mega.
Walaupun si anak muda tidak kenal tempat, tetapi dia
menerka bahwa ia sudah tiba didekat-dekat sarangnya Im Ciu
It Mo, hingga ia pun mau menerka yang empat orang tadi
menjadi murid-muridnya si bajingan.
It Hiong dan Ya Bie cepat dapat menyusul sampai di muka
rimba. Di situ So Hun Cian Li berPekik beberapa kali. Inilah
sebab banyak buah diatas pohon yang membuatnya mengilar.
Ia sampai berjingkrakan. Kiranya ke empat orang tadi bukan menghilang kedalam
rimba hanya mereka telah turun dari atas kudanya masingmasing.
Semua binatang itu ditambat dipohon. Mereka sendiri
duduk berkumpul. Kedua bungkusan mereka itu diletaki disisi
mereka. Mereka melihat tibanya It Hiong bertiga, semua
mengawasi terutama terhadap si anak muda. Mulanya agak
heran, mereka lekas mendapat pulang ketenangannya,
bahkan si pria yang berkepala besar bagaikan menyambuti itu
lantas menegur tawar, "Saudara Gak, dimatamu benar tidak
ada orang lain ! Kita telah bertemu disini, kenapa kau tidak
menyapa kami " Hm !"
Belum sempat It Hiong menjawab, si wanita sudah
menambahkan pria itu : "Kenapa kau mengatakan demikian,
Toako " Orang itu berkepandaian silat pedang Heng San Pay !
Apakah Toako mengira dapat Toako melawan dia "
Laginya......." "Toako" ialah kakak paling tua.
"Laginya apa ?" si Toako menyela dan matanya mencelak.
"Tampang jumawa binatang ini membuat orang sebal ! Nanti
aku coba-coba adatnya !" Dan ia bangkit berdiri untuk
menghampiri anak muda kita.
"Tahan, Toako !" seru si nona setelah dia melirik pergipulang
pada It Hiong. Pria itu menghentikan langkahnya. Agaknya dia jeri pada
wanita muda itu. Mendengar panggilan "saudara Gak" itu, tahulah It Hiong
yang orang telah salah menyangka padanya. Ia juga percaya
mereka itu ada kawan atau sebawahannya Im Ciu It Mo.
Inilah kebetulan. Mereka itu dapat diikuti terus sampai ke
sarangnya si bajingan. ia berpura tidak mendengar, ia ajak Ya
Bie dan So Hun Cian Li duduk dibawah sebuah pohon untuk
mereka mengeluarkan rangsum kering dan memakannya.
Si wanita, yang kepalanya dibungkus dengan pita hijau
bertindak menghampiri dengan perlahan-lahan, setelah datang
cukup dekat, dia mengawasi, terus dia memperdengarkan
suaranya : "Oh, kiranya seekor binatang."
Ya Bie tidak puas. "Apa katamu ?" tegurnya.
Wanita itu bersenyum ewah. Dia menengadah langit. Dia
bukannya menjawab, hanya dia kata seorang diri : "Seekor
binatang menyaru menjadi manusia, mana bisa dia
mengelabui sepasang mata nonamu ! Dan kau, kau sama
dengan aku, mengapa kau menyamar menjadi pria ?"
tegurnya kemudian. Parasnya Ya Bie menjadi merah. Ia malu kena dikenali.
Tapi ia menyangkal. "Ngaco belo !"tegurnya. "Kau mempunyai bukti apa ?"
Wanita itu tertawa sambil melirik.
"Mau bukti ?" katanya. Mendadak tangannya disampoki ke
arah So Hun Cian Li, anginnya keras sekali hingga kopiahnya
si orang utan terbang jatuh.
Wanita dan tiga orang kawannya tertawa berkakakan.
Sebaliknya Ya Bie, ia menjadi jengah dan mendongkol !
So Hun Cian Li juga tidak puas. Walaupun dia binatang, dia
mempunyai perasaan. Tak senang dia orang permainkan.
Matanya mencilak bengis dan tubuhnya berlompat secara tibatiba,
kedua tangannya diluncurkan guna menyambar wanita
itu yang dia arah rambut kepalanya. Dia bergerak dengan
gerakan "Bayangan Tonggeret Melewati Cabang Pohon",
gerakannya sangat cepat. Wanita berikat kepala hijau itu kaget sekali. Tahu-tahu ia
melihat satu sosok bayangan hitam berlompat kepadanya.
Segera ia berkelit. Masih ia terlambat sedikit. Ikat kepalanya
itu terasambar jatuh, tepat seperti ia menjatuhkan kopiahnya
si orang utan itu. Lantas ia berdiri diam sambil
menenteramkan hatinya. So Hun Cian Li lompat mundur pula, akan berduduk
kembali di bawah pohon. Tanpa ikat kepala, kusutlah rambut si wanita, apa pula itu
waktu ada angin bertiup hingga mukanya ketutupan. Terpaksa
ia menjeraput ujat kepalanya itu, untuk diambil pula. Dengan
sinar mata bengis, ia mengawasi si orang utan.
Si pria bermata gede dan berkepala harimau tutul menjadi
panas hatinya. "Tangkap mata-mata itu !" teriaknya, tangannya menuding
It Hiong. "Jahanam itu menyamar sebagai Gak Hong Kun !
Telah aku lihat tegas penyamarannya itu !"
It Hiong mendongkol yang ia dikatakan Hong Kun palsu
dan dituduh mata-mata, tetapi ia pun merasa lucu, hingga ia
bergusar bercampur geli dihati. Ia menahan sabar, ia terus
duduk bercokol saja sambil tetap membungkam.
"Hm !" si wanita pun memperdengarkan suara tawarnya.
"Lagak mereka bagaikan lagak setan ! Mereka telah
menyelundup ke wilayah Hek Sek San ini, memang, tak
mestinya mereka orang baik-baik !"
"Benar !" seru si kepala macan tutul. "Tak mungkin mereka
orang baik-baik !" Sekonyong-konyong saja dia lompat
mencelat pada It Hiong, tangannya diluncurkan guna dipakai
menjambak dada orang ! Dengan mudah It Hiong berkelit ke sini.
"Jika kami mau bertempur, sebutkan dahulu nama kamu !"
katanya sabar. Gagal cengkramannya, si macan tutul menyampok dengan
tangannya yang lain. Dia tak menghiraukan kata-kata orang.
Baru setelah menyampok itu, yang gagal pula, dia kata :
"Mustahil Gak Hong Kun tak tahu nama kami " Kaulah si Gak
Hong Kun palsu, maka juga kau bagaikan orang yang tanpa
dikompas sudah mengaku sendirinya !" Baru dia menutup
kata-katanya, atau dia melengak sejenak seraya terus
bertanya : "Kau...... kau....." Inilah sebab mendadak ia ingat
keterangan muridnya Im Ciu It Mo tentang Gak Hong Kun
tengah menyamar sebagai Tio It Hiong dan dia itu sudah
menerbitkan pelbagai keonaran, hingga karenanya, Gak Hong
Kun itu telah dipengaruhi Im Ciu It Mo, buat diperintah
mengacau terlebih jauh. Belakangan Im Ciu It Mo tahu Gak
Hong Kun adalah Tio It Hiong palsu akan tetapi sudah
terlanjur, dia membiarkannya saja, melainkan murid-muridnya
dipesan untuk menyimpan rahasia.
Si kepala macan tutul itu takut nanti membeberkan
rahasianya Im Ciu It Mo tentang It Hiong palsu itu, maka
selanjutnya dia membungkam.
Si wanita kawannya si macan tutul itu berpikir lain. Dia
bahkan kata nyaring : "Tak peduli dia siapa, bekuk saja ! Kita
bicara belakangan !" Dan dia menggantikan maju, untuk
segera menyerang dengan dua-dua tangannya sebab dia
menggunakan ilmu silat "Ngo Heng Ciang" pukulan tangan Lima Benda Utama (itulah kelima elemen, logam, kayu, air, api
dan tanah). It Hiong mendongkol kapan ia merasai sambaran angin
pedas dari wanita itu, maka ia menangkis dengan keras
diteruskan dengan serangan membalas "Hang Liong Hok
Houw Kun", guna memaksa orang mundur. Wanita itu bandel,
habis mundur, dia maju pula, bahkan dia berlaku telengas,
selanjutnya dia saban-saban mengincar nadi orang ! Dia
memiliki dua tangan yang lihai.
Heran It Hiong yang orang demikian lihai, umpama kata ia
terkurung kedua tangannya lawan, terpaksa ia melayaninya
dengan seksama. Orang cepat, ia gesit, orang merangsak, ia
mendesak. Selewatnya dua puluh jurus, ia menjadi habis
sabar. "Apakah kau masih tidak mau berhenti menyerang ?"
tanyanya. "apakah artinya pertempuran kita ini ?" ia menolak,
lalu mencelat mundur. Wanita itu tertawa dingin.
"Habis, kau mau bertempur dengan cara apa yang ada
artinya ?" tanyanya.
It Hiong menatap tajam. "Kita tidak kenal satu pada lain." katanya. "Kita juga tidak
bermusuhan ! Kenapa kita mesti bertempur secara membabi
buta begini ?" Wanita itu melengak. Pertanyaan itu benar sekali. Tapi
hanya sebentar, lantas dia memperdengarkan suara dinginnya
: "Hm ! Siapakah kau sebenarnya " Kenapa kau datang ke Hek
Sek San ini " Mau apa kau ?"
It Hiong tertawa. "Nona, apakah kau muridnya Im Ciu It Mo ?" ia tanya,
sebaliknya daripada menjawab.
"Su-moay !" memanggil si pria berkepala macan tutul, yang
matanya berputar. "Su-moay" ialah panggilan "adik
seperguruan". Si wanita menoleh dan melirik, terus dia tertawa.
"Jangan khawatir, Toasuko." sahutnya. "Toasuko" ialah
kakak perguruan yang paling tua. Ia lantas mengawasi It
Hiong dan bertanya, "Kau sebut dahulu namamu buat kami
dengar !" It Hiong menerka orang bangsa licik tetapi ia tidak takut.
"Aku Tio It Hiong !" sahutnya dengan sebenar-benarnya.
Bertepatan dengan suaranya si anak muda, di pihak sana
terdengar suara tertahan, lalau tampak dua orang pria yang
menjagai dua bungkusan besar pada roboh tak berdaya, dan
kedua bungkusannya itu telah dirampas Ya Bie dan So Hun
Cian Li yang membawanya lari ke luar rimba.
Si wanita dan pria kawannya kaget sekali, tanpa
menghiraukan kawannya yang roboh itu, mereka berlompat ke
luar rimba, untuk mengejar. Si wanita pun meninggalkan It
Hiong. Terpaksa, anak muda kita lari menyusul. Tiba di luar rimba,
ia mendapati Ya Bie berdua lari mendaki gunung, mereka itu
sudah terpisah sejauh seratus tombak lebih. Walaupun
membawa kantung besar, nona itu dan orang utannya dapat
lari sangat cepat. Si pria berkepala mirip kepala macan tutul berseru, dia


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengejar dengan keras. Sembari lari mengejar, si wanita berikat kepala hijau
melepaskan panah api empat atau lima kali, anak panah mana
meluncur ke udara hingga tampak seperti bunga api yang
sinarnya Biru. Melihat itu It Hiong menghela nafas, ia menghentikan
larinya. Ya Bie dan So Hun Cian Li di lain pihak lekas juga
lenyap diantara semak rumput tebal di pinggang gunung.
Si wanita pengejar masih saja berulang-ulang melepaskan
panah apinya, sebab rupanya itulah suatu pertanda untuk
kaumnya. Tiba-tiba It Hiong dua orang dari pihak lawan, yang tadi
kena dirobohkan. Ia pikir, mereka itu dapat diminta
keterangannya, atau mereka boleh dijadikan petunjuk jalan.
Maka ia lari kembali ke dalam rimba.
Hari tanpa terasa mulai gelap, maka di dalam rimba,
tujuannya sudah mulai suaram. Syukur masih ada sisa sinar
matahari, yang dapat menembus rimba. Maka itu, kedua
orang tadi tampak masih rebah tak berdaya, suaranya pun
tidak terdengar. It Hiong menghampiri dua orang itu, ia mengangkat saru
demi satu untuk diperiksa. Ia mendapati orang tak berdaya
disebabkan totokan. Lantas ia menotok, buat membikin orang
tak dapat berkutik, sesudah mana ia menotok pula,
membuatnya siuman. Dua orang itu mendusin denan lantas mengeluarkan nafas
dalam-dalam, matanya terus dibuka, akan tetapi lantaran
tubuhnya tak dapat bergerak, mereka cuma bisa mengawasi si
anak muda musuhnya itu........
"Kau mau apa ?" tanya mereka lewat sesaat. Sebab si anak
muda cuma menatapnya. It Hiong menunjuki sikap garang.
"Jika kamu menyayangi jiwa kamu, kamu bicaralah !"
katanya. "Satu pertanyaan aku ajukan, satu pertanyaan kamu
mesti jawab !" "Bagaimana kalau lo-cu tak menjawab ?" tanya yang satu.
Dia menyebut dirinya "lo-cu" artinya "aku si tua". Agaknya dia
pun mau bersikap keras. Kali ini It Hiong tertawa. Ia pun mengubah sikapnya.
"Apa yang hendak ditanyakannya olehku yang muda,"
sahutnya sabar, "ialah soal yang sangat biasa saja dan juga
sangat singkat !" Kedua orang itu merapatkan matanya. Agaknya tak sudi
mereka bicara. It Hiong menyambar lengan seseorang, tenaganya
dikerahkan. Segera orang itu bergemetar sekujur badannya,
sebab dia merasakan nyeri sekali. Wajahnya juga menunjuki
dia mencoba mempertahankan diri. Toh dia
memperdengarkan satu kali suara "Hm !"
It Hiong perkendor cekalannya. Ia memberi ketika akan
orang itu bernafas lega. "Saudara, kau mau bicara atau tidak ?" tanyanya, sabar.
Orang itu kembali memejamkan matanya, dadanya
dibesarkan, sedang dahinya mengucurkan peluhnya.
It Hiong mengawasi. Ia mendongkol berbareng mengagumi
keberanian orang. "Aku yang rendah ingin tanyakan," katanya pula, tetap
sabar, "jalan mana berdiamnya Im Ciu It Mo di dalam gunung
ini. Aku minta saudara jangan terus bersikap berkepala batu
sebab itu cuma kana membuatmu menderita saja !"
Orang itu tetap tidak mengambil mumat, dia tetap
membungkam. Terpaksa, habis juga sabarnya anak muda kita.
"Kau terlalu, sahabat !" katanya, dan ia perkeras
cekalannya. Kali ini ia membuat tulang orang berbunyi
meretak, hingga orang meringis dan peluh di dahinya turun
tetes demi tetes. Dengan paksakan diri, orang itu memperlihatkan tampang
gusar, matanya pun mendelik. Habis menggertak gigi, dia kata
keras : "Kau... kau..... mesti.... menjawab dahulu....aku !"
It Hiong menerka orang tak tahan menderita. Ia
mengendorkan pula cekalannya.
"Apa yang kau hendak tanyakan ?" tanyanya. "Sebutkanlah
!" Orang itu menatap beberapa detik.
"Kau jelaskan dahulu she dan namamu yang asli" katanya.
"Juga tentang dirimu ! Nanti baru aku pikir-pikir, dapat aku
menjawab pertanyaanmu atau tidak........"
It Hiong melengak. Itulah pertanyaan aneh. Ia pun merasa
mungkin barusan ia menerka keliru waktu ia menyangka orang
menyerah disebabkan tak sanggup menahan siksaan. Kiranya
orang tetap bernyali besar dan beradat keras.
"Aku she Tio dan namaku It Hiong." demikian ia menjawab
dengan suka mengalah. Tiba-tiba orang itu mengangkat kepalanya menengadah
langit dan tertawa nyaring.
"Orang licik !" serunya. "Orang licin !"
Sepasang alisnya It Hiong bangkit. Sejenak itu, dia
mendongkol. Orang tida percaya padanya sedang ia sudah
berlaku jujur. "Belum pernah aku mendusta !" katanya sengit, saking
gusar. "Apabila dalam hal she namaku ! Tak pernah aku
memalsukan diri ! Jika kau tetap main gila terhadapku, jangan
nanti kau menyesal !"
Orang itu berhenti tertawa, tetapi kedua matanya itu tetap
dipentang lebar-lebar. "Orang dengan nama Tio It Hiong !" katanya keras. "Orang
itu telah aku lihat sampai dua orang! Kaulah Tio It Hiong
muridnya siapa " Jangan kau menjawab sembarangan saja !"
It Hiong menganggap pertanyaan itu beralasan. Ia tahu
tentang adanya dua Tio It Hiong disebabkan penyamarannya
Gak Hong Kun, yang sifatnya -diluar dugaannya- berubah,
menjadi rendah, hingga namanya rusak karenanya. Karena ini,
ditanya orang itu, ia mengangguk.
"Bagus pertanyaanmu !" sahutnya. "Tepat ! Akulah Tio It
Hiong murid Pay In Nia ! Aku bukannya Tio It Hiong yang
palsu !" Orang itu mengawasi, terutama pedang di punggungnya si
anak muda. Lalu katanya : "Kalau benar kau Tio It Hiong dari
Pay In Nia, tolong kau perlihatkan dahulu pedangmu yang
kesohor itu, supaya itu menjadi bukti yang kuat ! Dapatkah ?"
Itu pula pertanyaan yang sangat beralasan, tetapi itu
membuat sulit pada It Hiong. Baru saja pedangnya kena orang
curi. Dapatkah ia membuka rahasia " Tidakkah itu sangat
memalukan " Maka juga ia menggigil seluruh tubuhnya, saking
menahan mendongkolnya, ia pun merasa hatinya nyeri
bagaikan ditusuk-tusuk. Tapi, tanpa memberi keterangan,
orang ini tentunya sukar mempercayainya. Maka itu ia berdiri
diam dengan likat. Orang itu mengawasi, hatinya menerka-nerka. Sampai ia
mau menyangka bahwa inilah Tio It Hiong palsu yang ketiga !
Karena ia tidak dapat menggerakkan tangan dan kakinya, ia
cuma bisa beberapa kali memperdengarkan ejekan "Hm ! Hm
!" dan tertawa dingin. Tapi itu sudah cukup membuat si anak
muda panas hati dan malu tak berdaya.........
It Hiong mencoba menguasai diri. Akhirnya dapat ia
mengambil keputusan buat tidak membuka rahasia tentang
tercurinya pedangnya itu. Maka ia kata : "Percuma kau
melihat Keng Hong Kiam ! Kau toh belum pernah melihatnya
dan tak tahu palsu atau tulennya ! Bagaimana kau bisa
mengenali dan membedakannya ?"
Pertanyaan ini membuat hati orang tergerak, hingga orang
ini nampak reda kemendongkolannya. Dia pula tampak
merasa heran juga. Dengan kurang tegas, dia kata kemudian,
"Selama di Lek Tiok Po, pernah aku menyaksikan sinarnya
Keng Hong Kiam. Hanya entah bagaimana bentuk aslinya......"
Mendengar suara itu, It Hiong menanya : "Kapan kau
pernah pergi ke Lek Tiok Po " Dimana pernah kau melihat
sinarnya Keng Hong Kiam ?"
Orang itu berdiam, tetapi terang ia tengah berpikir keras,
memikirkan pertanyaan anak muda kita. Lewat sesaat, dia
menjawab pertanyaan : "Dahulu hari itu, akulah bawahannya
Loyacu Pek Kiu Jie, oleh karena aku kemaruk sama harta dan
kedudukan lebih baik, aku terpincuk memasuki rombongan
Hek Sek San, hingga sekarang aku masuk dalam kalangan
kaum sesat, hingga aku mesti melakukan segala sesuatu yang
bertentangan dengan rasa peri-keadilan ! Ya, semuanya yang
aku lakukan, semua itu tidak serasi dengan tugas orang Kang
Ouw sejati........" Berkata begitu, orang itu menjadi lesu. Terang dia telah
menyesal. Kemudian dia menghela nafas dan melanjuti
berkata tanpa diminta pula. Katanya : "Selama di Hek Sek
San, yang pertama kali aku melihat Tio It Hiong ialah ketika
dia dibawa datang oleh Im Ciu It Mo waktu ia pulang.
Bersama dia ada seorang nona she Cio. Sifatnya muda mudi
itu bagaikan terpengaruh sesuatu yang menganggu atau
mengekang ingatannya, hingga mereka tak tampak wajar lagi.
Ketika itu aku belum tahu siapa si pemuda, hanya menerka
Tio It Hiong dari Pay In Nia. Belakangan aku ingat bahwa Tio
It Hiong ialah calon menantu dari Lek Tiok Po, yaitu
tunangannya nona Pek Giok Peng. Maka aku heran, kenapa
dia ada bersama nona Cio itu. Aku pula heran Tio It Hiong
yang kesohor gagah, yang sejak peristiwa di Siong San
namanya telah naik tinggi, kenapa dia kena dipengaruhi Im Ci
It Mo " Demikianlah aku bercuriga dan menduga-duga...."
It Hiong mendengari orang yang mengoceh bagaikan
tengah mengigau atau ngelamun itu. Tak ia memotong atau
menanya. Sementara itu, si puteri malam mulai menyinari rimba itu.
Dengan perantaraan sinar rembulan, tampak wajah orang itu
mirip wajahnya orang gagah. Hanya entahlah hatinya, dia
tengah memikirkan apa. Lewat sesaat, orang itu menambahkan : "Tak lama maka
tahulah aku bahwa pemuda itu bukannya Tio It Hiong, hanya
Gak Hong Kun dari Heng San Pay, yang menyaru menjadi Tio
It Hiong ! Yang aneh ialah binatang itu memakai bahan apa
maka dia dapat menyamar menjadi demikian sempurna !"
"Cukup !" It Hiong akhirnya menyela. "Tak usah kita
bicarakan lebih jauh soal itu. Cukup asal kau memberitahukan
aku dimana sarangnya Im Ciu It Mo."
Orang itu mengawasi, tampangnya sungguh-sungguh.
Katanya, "Sebelum kau membuktikan dirimu sebagai Tio It
Hiong sejati, sekalipun kau menghendaki jiwaku, tidak nanti
aku membuka mulutku."
It Hiong bingung. Kecuali Keng Hong Kiam, tidak ada jalan
lain buat membuktikan dirinya. Ia menjadi gusar karena orang
mengotot. Maka akhirnya ia kata bengis : "Kau terang sudah
lama berdiam di Lek Tiok Po, mustahil kau tidak mengenali
aku ?" "Tapi tak sukar buat orang mendatangi Lek Tiok Po !" kata
orang itu, tetap bersikeras. "Tak ada larangannya akan
mendatangi dusun itu, bukan " Sekarang mari aku tanya kau.
tahukah kau aturan di Lek Tiok Po " Tahukah kau namanya
loteng Nona Pek Giok Peng ?"
It Hiong menatap. Ia mendongkol tetapi ia menahan sabar.
"Apakah pertanyaanmu cuma ini dua macam ?" ia
menegaskan. Orang itu mengangguk. "Kalau demikian, kau dengarlah biar jelas !" kata si anak
muda, nyaring. "Siapa hendak berkunjung ke Lek Tiok Po,
ditempat satu lie di muka dusun itu orang sudah harus turun
dari kudanya. Dan loteng tempat kediamannya Nona Pek Giok
Peng ialah loteng Ciat Yan Lauw ! Nah, benar atau tidak
jawabanku ini ?" Orang itu mengangguk. "Tak salah !" bilangnya. "Namun...."
"Namun apa lagi ?" bentak It Hiong.
"Kedua pertanyaanku itu, Gak Hong Kun pun dapat
menjawabnya." sahut orang itu.
It Hiong mendongkol dan bingung. Orang sangat
membelar. Ia melihat si puteri malam yang dengan lekas
sudah mulai miring. Mungkin ketika itu sudah jam tiga. Ia lalu
memikirkan Ya Bie. Entah nona itu telah pergi atau berada
dimana. Maka ia pikir, baik ia tak usah membuang-buang
waktu lebih lama pula. Ia pula tidak berniat membinasakan
orang, yang ada satu laki-laki sejati. Diakhirnya ia menghela
nafas dan kata keras : "Dengan memandang kepada poocu
dari Lek Tiok Po, suka aku memberi ampun padamu ! Nah,
kau pergilah !" Pengusiran itu dibarengi dengan satu tepukan pada bahu
orang yang membuat orang itu bebas bebas dari totokannya
tadi, tetapi dia heran hingga dia berdiri menjublak. Dia
menarik nafas lega, bukannya dia kabur, dia justru melongo
mengawasi si anak muda. Tadinya dia menyangka bahwa
dialah sisa mati.... It Hiong tidak mau melayani lebih lama, bahkan tanpa
menoleh lagi, ia bertindak keluar dari rimba.
"Kakak Tio, tahan !" mendadak orang itu memanggil.
It Hiong mendengar akan tetapi ia berlagak tuli, ia jalan
terus tanpa berpaling. Orang itu menggerakkan kaki tangannya, juga tubuhnya,
habis itu dia lari menyusul.
"Kakak Hiong ! Kakak Hiong !" panggilnya berulang-ulang.
"Kakak Hiong, tunggu ! Tunggu, aku mau bicara !"
Terpaksa, It Hiong menghentikan langkahnya dan menoleh.
"Kau mau apa ?" ia tanya.
Habis menyusul dengan berlari keras, nafas orang itu
tersengal-sengal. "Apakah benar kau Tio It Hiong, hiapsu yang selama
hidupku aku kagumi ?" tanyanya terengah-engah.
It Hiong masih mendongkol ketika ia menjawab : "Terserah
pada kau, kau percaya aku atau tidak ! Buat apa kau menanya
melit- melit lagi ?"
"Aku percaya, ya, aku percaya...." kata orang itu kemudian.
Di depan It Hiong nafasnya masih memburu keras, hingga tak
dapat dia melanjuti kata-katanya.
It Hiong mengawasi. Biar bagaimana ia mengherani sikap
orang itu. "Kenapa kau jadi begini tergesa-gea ?" tanyanya. "Aku
menganggap bahwa aku tak perlu bicara lagi denganmu ! Kau


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pun tak perlu bicara pula denganku !"
Orang itu berdiri tegak. Nafasnya mulai reda.
"Aku ingin bicara dengan sebenar-benarnya" katanya
kemudian. "Terhadap sesama orang rimba persilatan, aku
ingin bicara secara jujur, supaya hati nuraniku tak kecewa....."
Sepasang alisnya It Hiong bangkit.
"Kau, kamu orang-orangnya Im Ciu It Mo, masihkah kau
mempunyai hati nurani ?" tegasnya. "Hati nurani, hati tulus
dan putih bersih, itulah yang disebut liangsim."
"Tio tayhiap, aku masih mempunyai hati nuraniku !" teriak
orang itu. "Inilah sebabnya kenapa aku lari menyusulmu !
Hendak aku memberitahukan kau tentang sarangnya Im Ciu It
Mo !" It Hiong menghela nafas. "Jadi kau tak kuatir bahwa akulah Tio It Hiong palsu ?"
tanyanya. Orang itu nampak jengah, tetapi hanya sejenak, dia
berwajah seperti biasa pula.
"Sekarang aku percaya kau, Tio tayhiap." sahutnya,
suaranya tetap. "Kau begini gagah dan jujur, kau tak mau
memaksa orang, kalau kau bukan Tio It Hiong asli, habis siapa
lagi ?" Dia mengangkat tangannya, menyusuti peluh di dahinya.
Terus dia menambahkan : "Menghadapi orang semacam kau,
taruh kata kau bukannya Tio It Hiong, aku pun ingin bicara
terus terang...." It Hiong menengadahi si puteri malam, ia bersikap tenang
dan membiarkan orang mengoceh sendirinya. Ia bagaikan tak
mendengar suara orang. Orang itu mendekati satu langkah. Lalu katanya, perlahan
sekali. "Sarangnya Im Ciu It Mo berada disebuah gua batu
diperutnya gunung Hek Sek San ini, letaknya di lembah Kian
Gee Kiap Kok......" Lembah itu berarti lembah sempit gigi anjing.......
Mendengar keterangan itu, It Hiong memutar tubuh cepat
sekali. "Apa katamu ?" ia tanya.
Orang itu, dengan sama perlahannya, mengulangi
keterangannya. It Hiong girang. "Untuk pergi ke sana, aku mesti mengambil jalan arah
mana ?" tanyanya kemudian. "Berapa jauhnya lembah itu dari
sini " Coba kau terangkan biar jelas !"
Orang itu menunjuk ke arah gunung, ke atasnya.
"Kalau tayhiap mendaki pinggang gunung itu,"sahutnya
seraya memberikan keterangannya, "terus tayhiap menuju ke
barat. Setelah melewati beberapa punggung puncak...."
Mendadak dia berhenti, It Hiong pun memasang telinganya.
Lantas samar-samar ia mendengar suara berdebarannya ujung
baju yang terasampok-sampok angin, suara itu tercampur
suaranya dedaunan. Suara itu pun segera didengar terang
oleh orang itu tetapi dia ini terus melanjuti keterangannya :
"Di barat itu ada sebuah lembah yang dalam, yang berada
dibawah jurang. Itulah lembah Kian Gee Kiap Kok itu.
Disitu......." Mendadak kata-kata orang terputus. Mendadak saja It
Hiong mencekal lengannya dan menariknya kaget, hingga
orang terhuyung berpindah ke belakangnya. Gerakan itu
diikuti dua sambaran cahaya putih mengkilat, yang lenyap
diantara rumput. "Siapa ?" tanya si anak muda nyaring.
Tidak ada jawaban. Sunyi disekitar mereka. Cuma angin
bertiup perlahan diantaranya pepohonan.
Hanya, didalam kesunyian itu, menyambar pula dua sinar
putih lainnya, habis mana, suasana sunyi kembali.
It Hiong mendongkol, dia menolak keras dengan tangan
kanannya, membuat sinar putih itu terasampok jatuh ke
samping, mengenai batu hingga bersuara nyaring dua kali.
Kiranya itulah dua batang senjata rahasia sam-leng-piauw.
Menyusul itu muncullah seorang tua dengan baju panjang
gerombongan, tangannya memegang tongkat bambu,
matanya bersinar bengis. Di belakang orang itu mengintil
seorang lain ialah salah seorang yang tadi Ya Bie totok
pingsan, jadi dialah kawan dari orang yang It Hiong lagi
mintakan keterangannya. Si orang tua segera menuding dengan tongkat bambunya
itu. "Kawanmu telah merampas dua kantong barangku, kemana
kaburnya dia ?" tegurnya.
Belum sempat It Hiong menjawab, atau orang di
belakangnya si orang tua menuding orang di belakangnya
anak muda kita, untuk menegur bengis : "Pengkhianat !
Kemarilah kau !" Dan dia segera menghunus goloknya.
Orang di belakangnya It Hiong itu tidak takut, ia pun
menghunus goloknya dan berlompat maju.
"Apakah kau sangka aku takut padamu ?" tantangnya.
It Hiong hendak mencegah, tetapi sudah terlambat.
Dua orang itu sama-sama menjadi orang-orangnya Im Ciu
It Mo akan tetapi ketika itu bukan lagi sebagai kawan, bahkan
mirip musuh besar. Mereka saling menyerang dengan hebat.
Kebetulan sekali, kepandaian mereka berimbang hingga
pertempuran menjadi seru sekali.
Si orang tua tak menghiraukan pertempuran itu, agaknya
dia tak bersangkut paut sedikit juga. Dia maju setindak pada
It Hiong, dia kata tawar : "Hm ! Barang lohu juga ada yang
berani ganggu! Sungguh bernyali besar !"
Dengan jumawa dia menyebut "lo-hu", aku si orang tua.
It Hiong sebaliknya. Dia sangat memperhatikan dua orang
yang lagi mengadu jiwa itu hingga sikap dan kata-katanya si
orang tua dia seprti tak melihat dan tak mendengarnya. Ia
memperhatikan orang yang tadi ia ajak bicara itu sebab ia
menganggap orang sebagai seorang laki-laki sejati. Orang toh
berani omong terus terang dan bersedia merubah perbuatan
sesatnya. Karenanya, ia kuatir orang itu nanti mendapat luka
andiakata dia kena dikalahkan kawannya yang galak itu.
Mereka itu bertempur hebat.
Si orang tua gusar sebab It Hiong tidak menghiraukannya.
"Kau dengar tidak kata-kata lohu ?" tegurnya keras.
Suaranya mendengung bagaikan genta besar hingga dapat
membuat orang kaget dan ketuliat !
It Hiong menoleh acuh tak acuh. Ia melirik si orang tua.
Tetapi ia membungkam. Ia berpaling pula akan mengawasi
dua orang yang lagi bertarung itu.
Habis sudah sabarnya si orang tua. Janggutnya yang mirip
janggut kambing gunung sampai bangkit berdiri, bergerakgerak
diantara seliwerannya sang angin. Dia tapinya tidak
segera mengumbar hawa amarahnya terhadap si anak muda,
dia cuma mengawasi, tampangnya bersangsi entah dia jeri
atau berkasihan...... Tongkat di tangan si orang tua menggetar, sebab
tangannya itu bergemetaran, mungkin disebabkan dia lagi
mengekang diri. It Hiong menonton dengan lama-lama nampak sinar
matanya sinar tak puas. Rupanya dia sebal menyaksikan
pertempuran berlarut-larut, hebat tetapi tanpa keputusan.
Mendadak si orang tua menghadapi orang yang lagi
berkelahi itu. "Masih kamu tidak mau berhenti ?" tegurnya, keren.
Dua orang itu mendengar teriakan, tetapi mereka
bertempur terus. Itulah saat mati-hidup bagi mereka, tidak
ada yang mau sudah saja hanya karena titah itu.
Sang waktu berjalan terus. Si puteri malam sudah mulai
doyong ke barat. Mungkin ketika itu sudah mendekati jam
lima. Angin bertiup keras dan hawa sangat dingin. Di kejauhan
bahkan beberapa kali terdengar mengaumnya sang raja hutan
! Si orang tua terperanjat mendengar suara harimau,
mukanya sampai menjadi pucat, hanya setelah itu, dia pun
bersiul lama, suaranya keras, hingga terdengar
kumandangnya. Itulah pertanda bahwa dia memiliki ilmu
tenaga dalam yang sempurna.
Selekasnya sirap siualannya itu, orang itu agaknya gusar. ia
mengibaskan tongkatnya, terus ia maju ke medan
pertempuran. Ia pun terus menyampok. Maka beruntun
terdengar dua kali suara berkontrang. Segera goloknya dua
orang kawan yang menjadi musuh satu dengan lain itu
terlepas dari cekalannya, masing-masing dan terpental jauh.
Yang hebat ialah telapakan tangan kanan mereka, yang tadi
memegang golok itu, pecah kulitnya dan mengeluarkan darah,
nyerinya bukan main. Keduanya lantas lompat mundur dan
bersama-sama, saling mendelong, mereka mengawasi orang
tua itu. "Kamu semua bukannya makhluk baik-baik !" bentak si
orang tua gusar. "Hampir lohu kena ditipu kamu berdua !"
It Hiong menyaksikan lihainya si orang tua, diam-diam ia
mengagumi di dalam hati. Tapi ia berdiam terus, memasang
mata sambil memasang telinga. Dia heran mendengar dua
orang itu dikatakan memperdayakan orang tua itu. Bukankah
mereka berdua orangnya Im Ciu It Mo " Entah dia ditipu
dalam urusan apa " Bukankah dia maksudkan dua kantung
besar yang dibawa kabur Ya Bie berdua "
Kembali terdengar derum harimau. Lagi-lagi si orang tua
tampak kaget. Justru dia kaget, justru dia terlihat makin
gusar. Kali ini kedua biji matanya mencorong bengis.
"Eh, apakah kamu berdua masih tidak mau bicara ?"
demikian tegurnya, garang. Dia juga menuding dengan
tongkat bambunya yang lihai itu. "Apakah benar-benar kamu
sudah bosan hidup lebih lama pula ?"
Kedua orang itu saling mengawasi, keduanya mendelong.
Mereka tetap menutup mulut.
Si orang tua terus menatap, sampai orang yang tadi datang
bersamanya Bisa juga berbicara. Kata dia : "Dengan
sebenarnya barang itu tadi telah kena dirampas di dalam
hutan dan yang merampas ialah konconya bocah ini !" Dia
menuding It Hiong. Orang tua itu gusar pula.
"Apakah katamu ?" tegurnya bengis. Dia gusar terusterusan.
"Konconya dia bukankah koncomu juga " Hm ! Tipu
daya licik Im Ciu It Mo telah dilakukan terhadap diriku si orang
tua !" Kiranya si orang tua menyangka It Hiong adalah Gak Hong
Kun "muridnya" Im Ciu It Mo. Karenanya, terhadap It Hiong
dia tidak lantas turun tangan, dia hanya melayani kedua orang
itu, yang berseragam hitam, sampai dia mendengar
keterangan si hitam yang mengiringinya tadi. Karena ini dia
menerka makin keras yang Im Ciu It Mo sudah menggunakan
akal, menugaskan dua orangnya menipu padanya dengan
melenyapkan dua bungkusan atau kantung besar itu.
Tegasnya dia menuduh barangnya dibawa kabur oleh dua
orang itu. Dua orang itu berdiri menjublak. Tak dapat mereka
membuat si orang tua mengerti akan duduknya hal, mereka
tidak dipercaya. Lewat sesaat maka si hitam bekas orang Lek Tiok Po, yang
setelah bertemu It Hiong ini hendak merubah cara hidupnya,
tidak berdiam saja. Dia memberi hormat pada orang tua itu
seraya berkata : "Harap lotiang bersabar, nanti aku pergi
mencarinya......" Begitu dia berkata, begitu dia memutar
tubuh, terus dia berlari pergi, hingga dilain detik, dia sudah
lenyap ditempat gelap. Melihat caranya orang berlalu itu, It Hiong menerka bahwa
orang hendak menggunakan ketika itu buat mengangkat kaki.
Ia lantas mengherani si orang tua, apa pula dia mau mencari
kedua kantung besar itu " Kenapa si orang tua sangat
menghargakannya " Tiba-tiba si anak muda kita ingat Ya Bie dan orang utannya.
Mereka sudah pergi sekian lama dan belum kembali ! Kemana
perginya mereka itu " Apakah mereka menemui sesuatu "
Karena ini, ingin ia menyusul, mencari mereka. Karenanya ia
memberi hormat pada si orang tua, terus ia pun pergi ! Ia
kabur turun gunung. Orang tua itu menyaksikan orang pergi saling susul,
berulang kali dia memperdengarkan ejekannya : "Hm ! Hm !"
Kemudian dia menunjuk murkanya pada si hitam, yang masih
berdiri menjublak. "Masih kau tidak mau pergi ?" bentaknya. Dan tongkatnya
dikasih bekerja. Orang itu memperdengarkan teriakan tertahan, tubuhnya
terus roboh untuk tak berkutik pula.
Masih si orang tua mencaci kalang kabutan. Rupanya dia
tetap sangat mendongkol. Entah sebab hilangnya kedua
kantung itu, atau dia merasa terhina karena sudah
diperdayakan Im Ciu It Mo........
Habis mencaci, orang tua itu mengangkat kepalanya,
dongak melihat langit. Aneh ! Dia tertawa dua kali, tawanya
keras dan nyaring dan lama ! Tawa itu mengalun tinggi,
bagaikan melayang-layang di tengah udara.......
Berhenti tawa itu, deruman harimau menyambungnya.
Seperti harimau itu menyambuti suara majikannya. Dan benar
saja, lekas tampak seekor raja hutan lari mendatangi. Harimau
itu besar sekali. Itulah macan loreng. Dia datang bersama
angin yang berbau engas. Tiba di depan si orang tua, dia
berdiri sambil menggoyang-goyang ekornya !
"Kemana mereka itu telah pergi ?" tanya si orang tua
kepada macan itu. "Apakah kau telah berhasil mencarinya ?"
Aneh si raja hutan. Dia mengerti kata-kata orang. Dia
mengangguk. Lantas dia memutar tubuh, buat berlari pergi.
Justru itu tubuh si orang tua pun mencelat, lompat akan
duduk bercokol diatas punggungnya, hingga dilain detik
mereka berdua kabur bersama !
It Hiong kagum menyaksikan jinak dan lulutnya raja hutan
itu. Sekarang kita melihat dahulu Ya Bie bersama So Hun Cian
Li, yang menyingkir dengan membawa dua buah bungkusan
besar itu. Mereka mendaki bukit. Sebenarnya Ya Bie tidak tahu
isinya karung. Dia berbuat begitu sebab dia sebab terhadap si
nona dengan ikat kepala hijau itu. Jadi dia mau melampiaskan
kemendongkolannya. Satu keinginannya yang lain ialah ia
berniat membekuk salah seorang dari mereka itu, guna
memaksa orang menunjuki dia sarangnya Im Ciu It Mo.


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si nona dan pria berkepala besar mirip kepala macan tutul
itu mengejar terus. Mereka mendongkol sekali. Orang lari
keras, mereka lari makin keras. Mereka ingin menyandak.
Mereka berlari-lari ke tengah atau pinggang puncak. Di situ
mereka menikung ke sebuah tikungan yang penuh dengan
rumput dan batu-batu sependirian manusia, hingga mudah
sekali akan bersembunyi disitu. Disitu pula tak ada jalan
tembusnya. Ya Bie sudah lantas membalik tubuh, akan mengawasi
orang-orang yang mengejarnya. Ia melihat orang mendatangi
semakin dekat. Tidak ada jalan lolos lagi andiakata musuh
menggeledah tempat itu. Sekira orang terpisah sepuluh
tombak lagi, mendadak ia menarik tubuhnya So Hun Cian Li
buat disuruh mendak, sambil ia berseru menggunakan ilmu
Hoan Kak Bie Cin. Terus dua potong batu besar dilemparkan
keluar tempat sembunyinya, hingga kedua batu itu tampak
seperti kedua kantung besar tadi !
"Hm, budak bau !" berseru si nona dengan ikat kepala
hijau, yang menyangka orang kabur dengan meninggalkan
barang rampasan. "Budak bau, kau masih tahu diri ! Tapi
awas kau ! Sebentar, setelah menerima barangku, akan aku
bereskan kau !" Kata-kata itu diucapkan berbareng dengan orangnya
berlompat kepada kedua batu yang merupakan dua kantung
besar itu. Ia tunduk, akan melihat. Tak ia mendapatkan
kantungnya. Ia heran, hingga ia menerka mungkin itu
ketutupan rumput.... Maka ia membowek rumput, hingga ular
dan tikus pada kaget dan lari serabutan. Tetap karung tak
ada, kecuali batu-batu besar.
Si pria membantu mencari berputaran tanpa hasil.
Jilid 53 Diam-diam Ya Bie tertawa di dalam hati. Dari tempatnya
berdiam, ia menonton lagak orang. Mereka itu bercapek, lelah
dan heran dan bingung dan penasaran juga ! Ia dan orang
utannya tak terlihat sebab mereka merupakan batu besar
yang diam bercokol saja. "Heran, su-moay !" kata si pria. "Telah kita mencari di
seluruh sini, mereka tak tampak, juga tidak kedua bungkusan
besar itu ! Apakah tadi kau melihatnya dengan nyata ?"
"Tak salah, suheng !" sahut si wanita, si adik seperguruan
(su-moay), sedangkan pria itu Toasuhengnya, kakak
seperguruannya. "Kau toh tahu gelaranku ! Jangan kata baru
sejarak lima tombak, sekalipun lima puluh tombak, orang tak
akan lolos dari mataku ! Tak percuma aku dijuluki Sin Gan Go
Bie -Alis Lentik Bermata Malaikat !-"
Pria itu tertawa. "Cuma malam ini Sin Gan Go Bie telah menjadi lamur !"
katanya. "Atau orang telah mempermainkannya !"
Wanita itu berdiam. Tiba-tiba saja ia ingat sesuatu. Lantas
ia menghampiri si pria sampai dekat sekali, untuk berbisik
ditelinganya : "Tak mungkinkah aku terkena Yam-gan-hoat,
ilmu sihir menutupi mata ?"
Pria itu memperlihatkan tampang heran.
"Mungkin....... mungkin.........." katanya ragu-ragu.
Wanita itu berpikir pula, atau tiba-tiba "Ya ! Ya !"serunya.
"Ya apa ?" tanya si pria, terperanjat.
"Aku rasanya ingat barusan," sahut si wanita. "Kedua
karung itu jatuh bagaikan bayangan, terus saja lenyap. Kalau
wanita itu membuangnya, dia dan binatangnya itu tak nanti
lolos dari mataku !"
Si pria tertawa. "Kalau begitu, mereka pasti bersembunyi disini !" katanya.
"Habis dimanakah sembunyinya mereka " Kita telah mencari
tanpa hasil...... Apakah mereka sempat bersembunyi di dekatdekat
sini ?" Wanita itu berseru tertahan, matanya celigukan. Tidak ada
orang didekatnya, tampak hanya rumput tebal dan tinggi serta
batu-batu besar dan kecil. Di balik batu, di dalam semak
rumput, mereka itu tak tampak !
"Celaka ! Sungguh celaka !" di pria mengoceh seorang diri
saking panas hatinya. "Habis, bagaimana dapat kita
membekuknya ?" Masih si wanita celingukan ke sekitarnya, tubuhnya turut
berputaran. Ia mementang lebar matanya, yang katanya
pandai ilmu SIn Gan Go Bie !
Tengah mereka itu berdua berdiam, tiba-tiba mereka
mendengar geraman harimau, disusul dengan siulan yang
panjang. "Suhu datang !" sru si pria. "Suhu" ialah guru - bapak guru
mereka. Si wanita berpikir keras.
"Suko, mari !" panggilnya. "Suko" ialah "kakak
seperguruan", mirip dengan Toa-suheng, kakak seperguruan
yang paling tua. Pria itu, yang kebetulan memisahkan diri dua-tiga tombak,
bertindak menghampiri. Setelah dia datang dekat, si nona
membetot baju orang, untuk terus membisikinya. Habis itu,
keduanya memisahkan diri.
Nona itu mempunyai akal yang busuk sekali. Kewalahan
mencari Ya Bie tanpa hasil, sedangkan ia masih penasaran
dan percaya orang masih bersembunyi di dekat-dekat situ, dia
memikir menggunakan api, guna membakar hutan rumput itu.
Demikian, habis membisiki kawannya, mereka lantas melepas
api. Hingga dilain saat, rumput itu terus menyala dan apinya
mulai berkobar. Kebetulan bagi mereka, angin gunung pun
tengah meniup keras. Orang utan paling takut pada api, apa pula ketika api mulai
menghampiri padanya. Dari jauh-jauh, hawa api sudah hangat
lalu panas, sedang asapnya mengepul berhembus-hembus.
Ya Bie pun mulai merasa panasnya api itu. Tak dapat
mereka bersembunyi lebih lama pula, apa pula So Hun Cian Li
sudah mulai berPekik-Pekik. Tidak ayal lagi, berbareng
punahnya ilmu sihir mereka, si nona menarik lengannya si
orang utan buat diajak berlompat ke tempat yang belum
dimakan api. Si wanita, yang selalu mementang mata, melihat
berlompatnya dua sosok tubuh. Dia girang sekali. Itu berarti
akalnya sudah memberi hasil. Lantas dialompat memapaki
bahkan dia terus menyerang !
"Perempuan berkepala pria, apakah kau masih memikir
buat lolos lagi ?" dia menegur bengis. Agaknya dia puas sekali.
Serangannya pun hebat, sebab dia menggunakan dua-dua
tangannya sambil terus diulangi setelah yang pertama gagal,
begitupun yang kedua ! Ya Bie berlompat sambil berkelit, ia rada lambat, walaupun
tubuhnya tak kena terhajar tetapi mukanya terasampok
anginnya hingga ia merasai kulit mukanya pedas. Hal itu
membuatnya gusar. Belum lagi ia melihat tegas siapa si
penyerang, ia sudah lantas meraba pinggangnya meloloskan
sabuk ular hijaunya. Si wanita penasaran, dia maju terus, dia menyerang pula,
atau dia kaget waktu dia melihat senjatanya lawan bersinar
mengkilat dan berkutik-kutik. Lekas-lekas dia menahan diri
seraya terus berkelit. Dia lompat mundur tiga tindak, lantas
dia mengawasi. So Hun Cian Li masih tetap mengenakan baju dan
celananya, pakaiannya seorang tua, hanya sekarang ini, ikat
kepalanya sudah lolos, hingga terlihat tegas muka
binatangnya. Ia telah dihadang si pria yang berkepala besar
seperti kepala macan tutul itu dan pria itu menyerang keras
sebab dia tak memandang mata pada seekor binatang.
Si orang utan tidak mau memberi hati. Dia tidak menangkis
atau berkelit, bahkan dia menyambuti tinju penyerang dengan
satu sambaran, guna menangkap tangan orang, sedang
tangan yang sebelah lagi, menjambak dada lawan itu !
Sebenarnya pria itu berkepandaian tidak rendah, kalau toh
dia kena terjambret itu, itulah disebabkan dia sembrono,
tadinya dia memandang tak mata pada si orang utan atau
mawas. Dia kaget hingga dia mundur terhuyung. Justru itu,
dia pun mesti menoleh ke arah kawannya yang lagi berkelahi
dengan si kacung - Ya Bie, yang menyamar menjadi pria itu.
Dia mendapati adik seperguruannya itu lagi berdiri diam
mengawasi lawannya, hingga dia menjadi heran. Biasanya sumoay
yang jumawa itu tak mudah memberi ampun kepada
lawan, maka aneh akan menyaksikan ia tak bertindak terus.....
"Mungkinkah ia gagal ?" pikirnya. Karenanya ia lantas
memandang Ya Bie. Ia mendapati nona dalam penyamaran itu
lagi berdiri sambil bersenyum, tangannya memegang seekor
ular hijau yang kecil, yang tubuhnya bergerak melingkarlingkar
dan tubuhnya itu berkilauan. Ular itu mempunyai mata
yang tajam dan lidah merah seperti darah dan lidahnya lagi
diulur memain ! Semua kejadian barusan terjadi dalam sekejap. Ialah habis
si wanita menyulut rumput, dan Ya Bie berdua lompat keluar
dan mereka segera diserang. Menyusul itu, api berkobar-kobar
dan dengan cepat merembet kesana kemari, hingga
cahayanya menjadi terang, hingga berempat mereka terlihat
nyata. Selagi api mulai mendekati mereka itu, terlihat diantara
rumput suatu sinar hijau berkilau, menyusul itu tak sedikit
bayangan hitam yang bergerak-gerak mengikuti angin, angin
mana pun menyiarkan bau baCin.
Si wanita dapat menguasai dirinya. Dia menghadapi Ya Bie
dan kata dingin : "Mana dia dua kantung kami yang kau bawa
lari tadi " Dimana kau sembunyikannya " Jika kau masih
menyayangi jiwa, lekas kau keluarkan dan bayar pulang
kepada kami !" "Lekas bicara !" si pria nimbrung, tak kurang galaknya.
"Dimana barang kami itu ?"
Parasnya Ya Bie menunjuki dia likat. Dia pun merasa,
merampas milik orang bukanlah perbuatan benar. Tapi ia tak
puas yang orang berlaku kasar sekali. Lalu ia pun ingat
dimana barang ditinggalkannya.
"Itu di sana !" sahutnya sambil ia menunjuk.
Si pria dan wanita menoleh ke arah ditunjuk itu. Mereka
melihat sinar hijau samar-samar serta sesuatu yang berbayang
hitam bergerak-gerak. "Celaka !" mendadak si wanita menjerit tajam.
"Celaka !" si pria pun menjerit sama. Bahkan dia ini terus
menghela nafas. Keduanya melongo mengawasi sinar hijau samar-samar itu
serta bayangan hitam yang seperti berlompatan dan dari situ
pun bertiup bau yang busuk, yang dapat membuat orang mual
hendak tumpah-tumpah. Ya Bie heran. Tak tahu ia barang apa itu. Ia hanya menerka
bahwa kedua orang itu pastilah orang-orang kaum sesat.
Justru itu si pria berpaling, untuk terus membentak :
"Budak bau, kau merusakkan dua kantung kami ! Bagaimana
kami harus bertanggung jawab terhadap guru kami ?"
Ya Bie tertawa, mulutnya dicibirkan.
"Kau aneh !" sahutnya. "Kamu sendiri yang melepas api
dan membakar barangmu itu ! Kenapa kamu menyalahkan
aku ?" Si wanita sebaliknya, gusar sekali. Matanya mendelik.
"Awas kau !" teriaknya. "Kalau tetap kau bicara seenaknya
saja, nanti nonamu membunuhmu !" Terus dia melirik kepada
si pria, guna mengasi isyarat, setelah mana keduanya
bergerak, mengambil sikap mengepung si nona. Karena
mereka cuma berdua, mereka berdiri di kiri dan kanan orang.
Tiba-tiba terasa deburan angin keras. Belum lagi kedua
orang itu menyerang si nona, atau seekor harimau loreng dan
besar sekali sudah tiba didekat mereka, sejarak tiga tombak.
Dari atas punggung binatang liar itu lantas lompat turun si
orang tua dan dia terus bertindak ke arah api.
"Suhu !" si wanita dan pria berseru dengan berbareng.
Orang tua itu mengawasi api, hidungnya dipakai menciumcium.
Api hampir padam tetapi cahaya hijaunya masih tampak
tipis-tipis. Bayangan hitam tadi sudah lenyap. Api pun, karena
tiupan angin, menjurus ke arah lain.
Akhirnya orang tua itu menoleh kepada Ya Bie, untuk
mengawasi tajam. "Hm !" dia bersuara dingin. "Apakah ini si bangsat yang
merampas kantung kita ?" Dia pun menuding.
"Benar dia !" menjawab si murid wanita.
Si orang tua maju dua langkah kepada nona kita. Dia
mengawasi dari atas ke bawah dan sebaliknya. Mendadak
wajahnya kelihatan suaram, matanya pun bercahaya sangat
bengis. "Siapa kamu ?" mendadak dia bertanya keras dan keren.
Ya Bie mengawasi tampang orang yag sangat bengis itu,
diam-diam ia merasa rada jeri.
"Aku Ya Bie dan ini So Hun Cian Li." ia menjawab, suaranya
sedikit bergetar. "Siapakah guru kamu ?" si orang tua tanya pula, sama
bengisnya. "Bicaralah sejujurnya !"
Ya Bie mempunyai sifat aneh. Ialah, ia paling senang kalau
orang menanyakan perihal gurunya. Demikian kali ini,
pertanyaannya si orang tua membuat lenyap rasa jerinya.
Sebaliknya, ia menjadi girang sekali. Hingga ia mendadak
seperti sudah lupa akan urusan itu. Ia menjadi girang sekali
hingga ia lantas tertawa.
"Guruku ialah Kip Hiat Hong Mo Touw Hwe Jie !" sahutnya
terus terang. "Kip Hiat Hong Mo dari Cianglo ciang ! Apakah
Lojinkee kenal guruku itu ?"
Sambil balik bertanya itu, ia membahasakan orang
Lojinkee, artinya orang tua yang dihormati.
Air mukanya si orang tua berubah selekasnya dia
mendengar nama Kip Hiat Hong Mo Touw Hwe Jie, hingga ia
menatap tajam, menyusul mana, wajahnya tak lagi sesuaram
dan sebengis tadi. Dia lantas berwajah ramah tamah. Perlahan
sekali terdengar suaranya, bagaikan orang mendumel.....
Orang tua ini bukan lain daripada Gwa To Sin Mo, jago dari
Houw Tauw Gay, jurang kepala harimau, dari gunung Tiam
Cong San. Sudah selama tiga puluh tahun dia memahamkan
ilmu sesat kaum kiri, yaitu Co To Pang-bun, hingga di dalam
ilmu sesat atau kepandaiannya itu, dia merupakan suatu
golongan tersendiri. Dia pandai menangkap segala macam
binatang berkaki dua atau berkaki empat, teristimewa dalam
hal menangkap ular. Pria dan wanita itu menjadi murid-murid
kesayangannya. Atas anjurannya Im Ciu It Mo, dia hendak


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuat jala hijau "Hoan Hiat Thian Lo - Jala Mencairkan
Darah". Maksud utamanya dibuat senjata rahasia itu ialah
guna membasmi semua jago pelbagai partai persilatan yang
tersohor. Buat banyak tahun, Sin Mo sudah menangkap dan
membinasakan banyak macam ular beracun yang dicampur
menjadi satu dengan lain-lain macam benda beracun, hingga
merupakan semacam pupur, yang ia taruh didalam dua
kantung besar itu. Racun itu mau diserahkan kepada Im Ciu It
Mo di Hek Sek San. Kedua muridnya itu yang diperintah
mengantarkannya dengan diikuti dua orang muridnya Im Ciu
It Mo sendiri. Dia sendiri masih hendak mengurus sesuatu,
maka dia pergi menunggang harimaunya. Secara kebetulan,
mereka berempat bertemu Ya Bie dan barangnya kena
dirampas si nona, sedangkan kedua muridnya Im Ciu It Mo itu
ditotok nona itu, hingga, kalau yang satu kena dibawa oleh It
Hiong, yang lainnya ketolongan oleh Sin Mo sendiri. Setelah
memperoleh keterangan dari muridnya It Mo itu, Sin Mo lantas
menyusul kedua muridnya. Bertemu sama It Hiong, ia
menyangka It Hiong adalah Hong Kun muridnya It Mo. Karena
ini, dia sampai mau menyangka It Mo hendak
memperdayakannya. Sekarang, menghadapi Ya Bie, baru dia
ketahui duduknya kejadian. Lantas dia menjadi serba salah.
Dia mengenal namanya Hong Mo dan jeri terhadapnya. Dia
pun segani ilmu Hoan Kek Bie Cin dari Hong Mo hingga tak
berani dia sembarang turun tangan terhadap Ya Bie. Demikian
dia membawa sikap sabar.......
Melihat sisa sinar hijau serta baunya barang yang terbakar,
Gwa To Sin Mo tahu yang dua karung racunnya sudah
terbakar habis. Dia pula melihat dua muridnya berdiam saja
terhadap Ya Bie. Mengertilah dia yang dua orang murid itu
pasti tak dapat berbuat sesuatu terhadap muridnya Hong Mo
itu. Dia sebenarnya sangat nyeri dihati dan gusar sekali.
Bubuk racunnya, yang dikumpulkan dan dibuat begitu lama
dengan susah payah, sekarang ludas didalam sekejap !
Menuruti hatinya, hendak dia membinasakan Ya Bie, tetapi dia
segani Kip Hiat Hong Mo.......
Selama keadaan sunyi diantara mereka kedua belah pihak,
mendadak kesitu datang seseorang lain, yang segera ternyata
Tio It Hiong adanya. Inilah sebab anak muda itu lagi menyusul
dan mencari Ya Bie berdua.
"Kakak Hiong ! Kakak Hiong !" Ya Bie berseru-seru dengan
kegirangan selekasnya ia melihat pemuda itu, bahkan
setibanya si anak muda, ia lompat menubruk hingga It Hiong
mesti merangkulnya supaya orang tidak sampai terjatuh. Nona
itu berkelakuan mirip bocah cilik, saking polosnya, dia tak
kenal malu atau likat. It Hiong mengusap-usap rambut orang, ia memperlakukan
dengan lemah lembut seperti juga nona itu adalah adiknya
sendiri. "Ada apakah ?" tanyanya kemudian, karena ia melihat sikap
aneh dari Gwa To Sin Mo dan pria dan wanita muridnya si
Bajingan dari Houw Tauw Gay. Perlahan-lahan, ia menolak
tubuh si nona. "Oh, kiranya kalian dari satu rombongan !" kemudian kata
Sin Mo, sesudah dia mengawasi orang sekian lama.
It Hiong tak puas menyaksikan lagak orang takabur.
"Kiranya kau juga rombongan Im Ciu It Mo ?" tanyanya
tawar. "Apa katamu ?" Sin Mo tegaskan.
Ya Bie yang bersender pada bahunya si anak muda,
seenaknya saja, menalangi si anak muda itu menjawab.
Katanya : "Kakak Hiong ku ini menanya kau, kau satu
gerombolan dengan Im Ciu It Mo atau tidak ?"
Gwa To Sin Mo gusar sekali, kedua matanya sampai
bersinar mencorong. "Kalau benar bagaimana ?" tanyanya, bengis. "Kalau tidak
benar, bagaimana ?" It Hiong tertawa dan mendahului si nona menjawab.
"Aku dengan kau, lotiang, tidak bermusuhan." katanya
sabar. "Adalah dengan murid-muridmu ini kami terlibat selama
satu malam...." Sin Mo membentak sambil menuding Ya Bie : "Kalau
bukannya budak itu merampas barangku, aku si tua, tak akan
aku memandang kau walaupun satu kali lirik saja !"
Si wanita dengan ikat kepala hijau campur bicara.
"Dia bukannya laki-laki !" dia memberitahukan gurunya.
"Dia seorang budak perempuan ! Suhu salah mata !" Dan dia
mencibir pada Ya Bie, agaknya dia memandang sangat
rendah. Dia menambahkan : "Wanita menyamar menjadi pria,
mana dia dapat menjadi orang baik-baik !"
Mendengar kata-kata orang, Ya Bie baru sadar bahwa ia
sedang menyamar. Ia tunduk melihat pakaiannya dan
mukanya menjadi merah. Hanya sejenak, mendadak ia
mengangkat kepalanya dan membentak : "Jika kembali kau
enteng mulut dan mengoceh tidak karuan, awas, di depan
gurumu ini nanti aku mengajar adat padamu !"
"Tutup bacotmu !" Sin Mo mewakili muridnya.
Hebat bentakan itu, telinga ketulian bagaikan mendengar
guntur. Dua-dua Ya Bie dan si wanita berikat kepala hijau
berdiam. Sejenak itu, mereka semua membungkam.
Sin Mo mengawasi ke satu arah, entah apa yang dia lagi
pikirkan. Diam-diam It Hiong berbisik pada Ya Bie : "Baik kau
kembalikan barang orang itu. Kalau kita berkata terus dengan
mereka, urusan kita sendiri bisa gagal karenanya....."
Mulutnya si nona dimonyongkan.
"Dia sendiri yang telah menyalakan api membakarnya...."
sahutnya. Mendengar demikian, It Hiong lantas berpaling kepada si
orang tua. "Lotiang," sapanya, "apabila sudah tidak ada pesan lain,
aku memohon diri !" Dan ia menarik tangannya Ya Bie, buat
diajak bertindak pergi. "Tahan dulu !" seru Gwa To Sin Mo, keren.
"Ada apa, lotiang ?" tanya It Hiong. Dia menghentikan
langkahnya dan menoleh. "Silakan bicara !"
Si kepala macan dan wanita berikat kepala hijau bertindak
maju, guna menghadang. Dengan satu gerakan tubuh pesat, Sin Mo maju mendekati.
Lantas dia menuding si muda mudi dan kata keras : "Kalian
telah merusak bahan obatku ! Tak mudah buat kalian berlalu
dari sini dengan masih hidup !"
"Nonamu tidak percaya kau !" bentak Ya Bie, menyela.
"Apakah kau sangka kau dapat menempur kakak Hiong ku ini
" Hm !" Sin Mo melirik nona jumawa itu.
"Kalian harus mengerti, lohu adalah orang yang mengerti
segala apa," kata dia. "Lohu dapat membedakan mana yang
benar mana yang salah !" Dia batuk-batuk. Terang dia
menahan hawa amarahnya. Kata dia pula : "Bukankah benar
barangku itu kau yang bawa lari dan yang membakar ialah
muridku ?" Mendengar orang bicara dari hal yang pantas, reda
kejumawaannya Ya Bie. "Kau benar, lotiang !" sahutnya.
"Walaupun demikian," kata pula si orang tua. "Siapa
merampas barangku maka kedua tangannya harus
dikutungkan !" Tiba-tiba saja dia berubah sikap pula dan
suaranya pun tegas sekali.
Ya Bie panas hati, hendak dia menegur atau It Hiong
mengutiknya. Maka ia terus berdiam, melainkan sinar matanya
serta wajahnya yang berubah menjadi suaram.
Sin Mo tertawa beberapa kali. Lalu kembali dia menjadi
sabar, suaranya menjadi ramah pula ketiak ia berkata : "Suka
aku memandang mukanya sahabat Touw si Kip Hiat Hong Mo
! Kali ini suka aku melanggar aturanku sendiri ! Aku memberi
ampun kepada sepasang lenganmu !"
It Hiong mengerti bahwa orang tengah menindak turun dari
tangga, ia lantas kata dengan tawar : "Lotiang, selesai
sudahkah kau bicara " Aku yang muda hendak melanjuti
perjalanan kami!" "Eh, nanti dulu !" kata Sin Mo, cepat. "Masih ada lagi !"
"Silahkan bicara !" kata It Hiong, terang dan jelas, bahkan
agak lantang. Ia mulai sebal akan lagak orang.
Sin Mo seperti tak menghiraukan itu. Dia justru tertawa.
"Beginilah tabiat anak muda, keras dan bandel !" katanya.
"Sama denganku semasa aku muda ! Sungguh itulah sifat
yang harus disayangi !"
"Lotiang !" kata It Hiong tak sabaran, "kalau ada bicara,
bicaralah. Kami perlu sekali hendak pergi ke Kian Gee Kiap
Kok dimana kami mempunyai urusan penting !"
"Baik, baik !" sahut si orang tua. "Lohu justru mau pergi ke
Kian Gee Kiap Kok itu ! Nah, mari kita pergi bersama !"
It Hiong heran hingga ia melengak.
"Kenapa lotiang mau pergi bersama kami ?" tanyanya.
Gwa To Sin Mo tertawa. "Bersama-sama kau, lohu hendak menemui Im Ciu It Mo !"
sahutnya terus terang. "Di depan dia itu hendak aku jelaskan
dan buktikan bahwa kedua kantung obat itu telah dirusak oleh
kalian ! Dengan begitu lohu hendak membuat bahwa lohu
tidak merusak kepercayaanku disebabkan salah janji !"
It Hiong takut orang terlalu licik dan ia nanti kena
diperdayakan. Tak sudi ia nanti kena perangkap. Maka ia
memberi hormat dan kata : "Aku yang muda masih hendak
mencari seorang kawanku, dari itu silakan lotiang berjalan
lebih dahulu ! Kita bertemu saja nanti di Kian Gee Kiap Kok !
Bagaimana ?" Alisnya si orang tua bangkit berdiri. Dia tertawa bergelak.
"Lohu bukan orang dari golongan ternama kaum rimba
persilatan yang lurus," kata dia, "walaupun demikian, dalam
dunia Kang Ouw, lohu mempunyai juga namaku sebagai lakilaki
! Tak nanti lohu menurunkan tangan hina dina terhadap
kalian kaum muda ! Apakah yang kau khawatirkan ?"
It Hiong jengah sebab rahasia hatinya dibeber orang tua
itu. Tapi ia kata, "Seorang bujang tuaku telah pergi entah
kemana, dari itu tidak dapat aku meninggalkan dia pergi tanpa
memperhatikannya......."
Masih si tua mengotot. "Aku si tua bermaksud baik !" demikian katanya. "Aku
khawatir kamu tidak tahu dimana letaknya Kian Gee Kiap Kok !
Karenanya lohu suka menemani kalian jalan bersama-sama !
Janganlah kita menyia-nyiakan waktu. Tapi baiklah, akan lohu
berdiam disini menantikanmu, pergi kau lekas mencari
orangmu itu !" Hatinya It Hiong tercekat juga, memang tak tahu dia
dimana letaknya lembah Gigi Anjing itu. Di lain pihak, dia
memikirkan So Hun Cian Li. Barusan itu si kera telah pergi
mengeleos entah kemana....
"Kakak Hiong," Ya Bie berbisik, "kau jeri pergi bersamanya
?" "Bukan begitu," sahut si anak muda. "Mana So Hun Cian Li
?" Ya Bie melihat kelilingnya. Ia tidak melihat binatang
piaraannya itu. Lantas dia bersiul nyaring beberapa kali.
Tiba-tiba muncullah sesosok tubuh yang mulanya tampak
sebagai sebuah batu besar. Itulah si orang utan.
Gwa To Sin Mo heran. Dia melihat seorang tua, tetapi
setelah diawasi, itulah seekor orang utan yang mengenakan
pakaian orang tua. Diam-diam hatinya bercekat. Heran seekor
orang utan dapat merubah diri dengan ilmu Hoan Kak Bie Cin.
Selekasnya menengok si orang utan, It Hiong mengajak,
"Lotiang, mari kita berangkat !"
Sin Mo mengangguk. Maka berangkatlah mereka dalam rupa satu rombongan.
Cahayanya matahari pagi masih lemah.
Lembah Kian Gee Kiap Kok itu berada di sebelah barat Hek
Sek San, mukanya terapit dengan dua batu karang besar
bagaikan dinding, renggangnya kecil sekali hingga cuma muat
satu orang berlalu lintas disitu. Jalanan itu, sudah sempit, juga
berliku-liku dan tidak rata, sebentar mendaki, sebentar mudun
ke bawah. Jalannya sendiri tak rata dengan batu koral sebesar
telur ayam. Bisa-bisa orang kesandung atau terpeleset. Jalan
sulit itu cuma sepuluh tombak lebih, habis itu, tampak jalanan
lebar setombak lebih dan tertumbuhkan banyak rumput.
Dinding kiri dan kanan tinggi dan lamping, licin, tanpa
pepohonan. Rumput pun tidak.
Kapan Gwa To Sin Mo, beramai tiba di mulut gua, hari
sudah mulai tengah hari. Diantara rombongan Sin Mo, cuma si
pria dengan kepala macan tutul itu yang pernah datang ke
guanya It Mo dan mengenalinya.
"Sudah sampai !" kata si kepala macan tutul itu, yang
berjalan di muka. Terus dia menghentikan tindakannya. Dia
mengangkat kepalanya, dongak melihat ke atas.
It Hiong semua dongak tetapi mereka tidak melihat mulut
gua. Semuanya heran. "Bo Pa, mana dia mulutnya gua ?" tanya Sin Mo, sang guru.
Bu Pa, si kepala macan tutul, menunjuk ke atas.
"Nanti, tecu memanggil !" katanya.
Bu Pa ini sebenarnya bergelar Tok Jiauw Bu Pa, si Macan
Tutul Berkabut Berkuku Beracun dan si wanita bernama In Go
gelar SIn Gan Go Bie, si Alis Lentik Bermata Sakti. Merekalah
muridnya Sin Mi. Lantas Bu Pa mengulur sebelah tangannya, menekan
sebuah ujung batu pada dinding gunung, hingga terdengar
beberapa kali suara nyaring tingtong, menyusul mana
terbukalah sebuah mulut gua yang kecil sekali, dari mana
segera terdengar suara orang : "Siapa ?"
"Bu Pa dari Houw Tauw Gay !" sahut Bu Pa.
"Tunggu sebentar !" kata pula suara di mulut lubang kecil
itu, sedangkan pintunya tertutup pula, hingga kembali tak
tampak bekas-bekasnya. Tak usah lama orang berdiri menanti.
"Silahkan masuk !" tiba-tiba terdengar suara mengundang.
Kali ini dinding bergerak dan bersuara, terus terbuka
sebuah pintu rahasia, bergeraknya sangat perlahan, besarnya
pintu lima kaki kira-kira, lebar dibawah, ciut diatas. Di sebelah
dalam tampak gelap, cuma terasa angin bertiup.


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pintu itu merupakan sebuah batu besar.
Bu Pa mengajak rombongannya bertindak masuk. Tanpa
bersuara, pintu rahasia itu lantas tertutup pula seperti
sediakala. Di belakang gua itu terdapat jalan pegunungan semacam
gang atau terowongan, di kiri dan kanannya, diatasnya, juga
terdapat batu, seperti dibawahnya, batu injakannya. Rupanya
itulah terowongan buatan manusia. Di atas tampak cahaya
suaram, yang membuat orang melihat jalanan dengan samarsamar.
Sembari jalan diam-diam It Hiong kata di dalam hati :
"Tanpa bersama Gwa To Sin Mo, tak nanti aku sanggup
mencari sarangnya Im Ciu It Mo ini. Itulah lembah, atau lebih
benar gua, yang sangat istimewa."
Berjalan tak lama, habis sudah terowongan itu dilewati,
maka mereka lantas berada di sebuah tempat terbuka, sebuah
lembah yang mirip mangkuk lebar, luasnya dua sampai tiga
puluh bahu sekitarnya. Di sekitar itu, semuanya dinding bukit
yang lamping, batunya hitam-hitam. Sinar matahari
menembusi uap. Dari suatu bagian dinding terdapat air
mengalir keluar, berupa sebuah sumber atau kali kecil,
merintangi lembah itu, nyeplos di sebuah liang diseberang,
atau hadapannya. Di atas kali kecil itu melintang sebuah
jembatan kayu, yang buatannya indah, hingga indah juga
pemandangan disitu. Menyeberangi kali itu terdapat semacam taman bunga
serta sebuah rumah batu dengan beberapa wuwungannya.
Tiba di muka rumah batu itu, selagi Bu Pa hendak memanggil
orang, atau mereka lantas mendengar tawa terkekeh yang
keluar dari dalam rumah dan kata-kata ini : "Sahabat Sin Mo,
kau telah datang ! Maaf, maaf, aku gagal menyambut siangsiang
!" Suara itu berhenti berbareng dengan terpentangnya daun
pintu, maka diambang pintu itu lantas tampak Im Ciu It Mo,
muncul dengan air muka berseri-seri, tangannya memegang
tongkatnya. "Wanita tua, kau sungkan sekali !" berkata Sin Mo, yang
pun tertawa. Dan ia bertindak memasuki rumah batu itu,
diturut murid-muridnya serta It Hiong dan Ya Bie bertiga.
Rumah batu itu katai tetapi ruang dalamnya lebar sekali.
Rupanya itulah perut gunung yang digali dibuat menjadi ruang
rumah. Dengan ramah It Mo mengundang para tetamunya
berduduk dan seorang kacung wanita yang kecil segera
datang dengan air teh dengan cangkirnya yang lima hijau dan
sebuah merah. Habis suguhan teh itu, Im Ciu It Mo tertawa dan kata manis
: "Aku membuat Sin Mo bercapek lelah datang sendiri
membawa baarng, pastilah barang-barang itu bukan
sembarang bahan ! Sahabatku, aku si perempuan tua, lebih
dahulu aku menghaturkan terima kasihku !"
It Mo telah menyuguhkan teh yang dicampuri racun,
maksudnya supaya ia memperoleh bahan obat atau racun
dengan gratis, sekalian ia hendak menguasai dirinya Sin Mo,
seperti dia telah mengekang Hong Kun dan Kiauw In.
Sin Mo, sebaliknya menghela nafas.
"Sayang, bahan obat itu telah hilang ditengah jalan......."
kata dia, lesu. It Mo heran, hingga air mukanya berubah. Inilah diluar
sangkaan ia. Sendirinya ia tertawa dingin.
"Bagaimana, sahabat Sin," ia lantas tanya. "Adakah ini akal
untuk memperdayakan bocah umur tiga tahun ?"
"Lohu tidak pernah bicara dusta, sahabatku !" kata Sin Mo,
sungguh-sungguh. Dia jengah tetapi dia penasaran sebab dia
tidak dipercaya. "Dengan sebenarnya bahan obat itu hilang
ditangannya ketiga orang itu !"
Dan dia menunjuk It Hiong bertiga Ya Bie dan So Hun Cian
Li. Im Ciu It Mo mengawasi It Hiong. Dia tertawa lebar.
"Dialah muridku si perempuan tua !" katanya. "Cara
bagaimana dia membuat obatmu hilang ?"
Mendadak Sin Mo menjadi gusar.
"Dia ini muridmu ?" tanyanya gusar.
It Mo mengangguk. "Buat apa disebutkan pula," sahutnya. "Dia bernama Gak
Hong Kun !" Gwa To Sin Mo penasaran dan mendongkol.
"Barangku itu dirampas mereka !" katanya keras. "Kalau
mereka benar muridmu, perempuan tua, kau pun harus
memberi keadilan padaku !"
"Memang barang itu dirampas mereka ini !" In Go turut
bicara seraya terus dia menuturkan duduknya kejadian.
Im Ciu It Mo putus asa berbareng murka sekali. Musnahnya
bahan obat itu membuat ia gagal membikin obat racunnya
yang lihai --Hoa Hiat Thian-lo itu. Dia gusar hingga tubuhnya
menggigil. Dengan tongkatnya, dia lantas menuding anak
muda kita. "Hong Kun, sudah gilakah kau ?" tegurnya, bengis.
It Hiong tahu yang orang telah keliru mengenali padanya.
Dia dikirakan Gak Hong Kun. Dia berdiam saja ditegur keras
itu. Dia cuma mengawasi wanita tua itu. Dengan berdiam saja
itu, dia jadi sama dengan gerak geriknya Hong Kun yang telah
dikasih makan obat Thay-siang Hoan Hun Tan.
It Mo tidak gusar yang "muridnya" itu berdiam saja. Dia
menyangka orang tolol karena pengaruh obatnya. Maka dia
kembali berpaling kepada Sin Mo. Dia menghendaki
mendapatkan obat yang baru. Dia pula tak bergusar pula pada
sahabat atau tamunya itu. Sebaliknya, dia tertawa.
"Beginilah memang kelakuannya muridku, otaknya mirip
orang tak beres," kata dia. "Dia telah membakar bahan obat
itu, biarlah, kali ini suka aku memberi ampun padanya."
Sin Mo tertawa dingin. "Tetapi, perempuan tua, bagaimana dengan janji kita ?"
tanyanya. "Janji itu berlaku atau tidak?"
It Mo berdiam sebentar, baru dia menjawab.
"Kenapa tak berlaku?" jawabnya, membaliki. "Namun,
sahabat Sin Mo, aku minta kau sukalah membawakan aku pula
obatmu itu." Gwa To Sin Mo menggeleng kepala.
"Perempuan tua, janganlah kau bicara secara mudah
begini." katanya. "Kalau lohu mesti mengumpul pula bahan
obat itu, sekalipun dalam waktu satu tahun, aku masih belum
tahu akan dapat mengumpulnya lengkap atau tidak....."
It Mo terkejut, parasnya pucat.
"Kalau begitu, mana itu keburu untuk tanggal harinya Bu
Lim Cit Cun ?" katanya, bingung. "Aku hendak membuat Hoa
Hiat Thianlo justru guna menjagoi di dalam rapat persilatan
besar itu !" "Itulah karena terpaksa," sahut Sin Mo wajar. "Aku tak
dapat berbuat apa-apa !"
Hatinya It Mo bercekat, terus wajahnya menjadi dingin.
"Sebenarnya itu ada hubungannya sangat besar denganmu
!" katanya kemudian. "Kau tahu air teh harum barusan ?"
Air teh yang disuguhkan itu, yang diminum Gwa To Sin Mo,
telah dicampurkan racun. Sin Mo dapat menerka dari lagu suara orang bahwa air teh
itu mesti telah diracunkan, bahwa ia dan kedua muridnya
sudah kena minum racun itu, tetapi dia sendiri adalah ahli
racun, dia tak menghiraukan itu. Maka itu, mendengar suara
orang, yang seperti mengancam secara diam-diam itu, dia
tenang-tenang saja. Bahkan dia tertawa dan kata : "Kiranya,
perempuan tua, kau telah main gila dengan air tehmu itu !
Kiranya perut lohu sudah keracunan ! Ha ha ha ha !"
Im Ciu It Mo berlaku tawar. Kata dia dingin : "Racun itu
ada banyak macamnya dan di depan kau, sahabat Sin Mo,
kalau aku menggunakan racun yang umum, aku bagaikan jual
lagak di depan ahli ! Tapi racun di dalam air tehku ini racun
lain macam ! Kau tahu, itulah racun serangga Toh-hoa-ciang
asal dari tanah Biauw-kiang !"
Jago Hek Sek San berhenti sebentar, selagi tamunya belum
mengatakan sesuatu, dengan tampang bangga, dia
menambahkan : "Racun Toh-hoa-ciang sangat jahat tetapi
masih ada obat untuk memunahkannya, cuma itu harus
dipunahkan oleh orang yang membuat racun itu sendiri, tidak
oleh orang lain. Sahabat Sin Mo, aku tahu kaulah seorang ahli
racun, karenanya tak usah aku si perempuan tua menjelaskan
lagi !" Kali ini Sin Mo kaget berbareng gusar sekali. Dia berdiri
menjublak bagaikan patung. Sebab dia menyesal yang dia
kurang berhati-hati hingga dia kalah licin dari sahabatnya yang
licik ini. Sedangkan kedua murid, Bu Pa dan In Go, mendengar
suaranya It Mo, mereka menjadi takut tak terhingga, tubuh
mereka menggigil ! Bukan main puasnya It Mo akan mengawasi ketiga orang
itu, guru dan murid-muridnya. Ia tertawa perlahan, tertawa
dingin atau mengejek. Kemudian ia berkata pula : "Sin Mo,
kita adalah orang-orang dari satu kalangan, sahabat-sahabat
baik ! Percaya aku si perempuan tua, tidak nanti aku
mencelakai kau, asal saja kau suka mendengar kataku !
Sekarang aku suka menjanjikan kau setiap kali kau melakukan
sesuatu padaku, setiap kali aku memberikan kau sedikit obat
pemunah racunku itu, nanti, sesudah kau menyelesaikan tiga
rupa Pekerjaan maka kau akan mendapatkan obat yang
terakhir yang membuatmu bebas dari racun dan menjadi
sehat walafiat seperti sedia kala !"
Sin Mo seorang berpengalaman, apa yang dikatakan It Mo
itu, tak sepatah kata yang dia jawab, sebaliknya dengan diamdiam,
dia mencoba mengerahkan tenaga dalamnya. Dia mau
mencoba mengusir racun yang maha dahsyat itu. Asal dia
berhasil, dia akan bebas dan tak nanti kena orang kekang dan
pengaruhkan. Begitulah mulanya jago tua ini merasai seluruh jalan
darahnya berjalan lurus, adalah apa yang dinamakan otot "Kie
Keng Pat Meh," yang rada tak wajar, agaknya lamban. Tapi ini
saja sudah cukup menginsafkan padanya bahwa racun musuh
nyata sudah bekerja dan tak lagi berdiam disuatu anggota
tubuhnya itu. Ia jadi berpikir keras. Tiba-tiba ia tertawa lebar
dan kata : "Lohu telah berusia lanjut, karenanya buat apa aku
takuti segala racun serangga " Lohu tidak membenci atau
bersakit hati terhadapmu, aku tidak penasaran, hanya itu aku
benci yang kau telah menurunkan tangan jahat kepada ini
anak-anak muda !' Im Ciu It Mo tertawa. "Sahabat Sin Mo !" katanya gembira. "Nyata kau terlalu
memandang ringan pada aku si perempuan tua ! Silahkan kau
tengok warnanya teh itu, dari situ kau akan ketahui sendiri !"
Memang, diantara enam cawan teh itu, lima berwarna hijau
dan yang satunya merah. Di situ ada tiga cawan, yang air
tehnya belum terminum. Itu artinya, It Hiong bertiga tidak
turut minum bersama, hingga mereka tak usah keracunan !
Mendengar keterangannya Im Ciu It Mo, In Go dan Bu Pa
beranggapan yang telah minum racun adalah Gwa To Sin Mo,
guru mereka sendiri, sebab itu adalah teh yang airnya merah.
Mereka kaget tetapi taklah kaget sebagai semula.
In Go licik, ia hendak mencari kepastian. Ia tertawa dan
kata pada Im Ciu It Mo : "Terima kasih locianpwe Im Ciu,
yang kau berkenan menaruh belas kasihan atas diriku......."
Im Ciu memperlihatkan tampang si tua agung-agungan. Dia
mengeluarkan suara ejekan dari hidungnya dan kata : "Kalian
bangsa orang muda dan dari tingkat rendah, mana aku si
orang memandang mata pada kalian ! Kalau aku berbuat
busuk terhadap kalian, bukankah orang bakal mentertawakan
aku ?" Selagi orang berkata jumawa itu, In Go pun turut tertawa,
hanya sembari tertawa diam-diam ia menggunakan kedua
tangannya untuk mengulapkannya perlahan, tetapi berbareng
dengan itu, segumpal jarumnya yang halus sekali, telah
terluncurkan ke mukanya si wanita tua, sembari berbuat
begitu, ia membarengi berkata : "Segala kepandaian tidak
berarti, pastilah locianpwe tidak menaruh di mata locianpwe !"
Hebat bokongan itu, Im Ciu It Mo bermata jeli dan cepat,
tetapi hampir dia kena terhajar. Satu kibasan tangan
kanannya membuat jarum beracun itu terkebut runtuh jatuh
ke tanah ! Akan tetapi In Go tidak berhenti dengan satu kali
menyerang saja, dia menyerang saling susul, segumpal demi
segumpal. Bahkan bukan si nona, malah Bu Pa turut turun
tangan bersama, hingga mereka menyerang bergantian
beruntun-runtun tak hentinya.
Gwa To Sin Mo menyaksikan penyerangan kedua muridnya
itu, yang membuat Im Ciu It Mo menjadi repot, ia puas
berbareng mendapat pikiran. Bukankah ia telah kena minum
racun yang sangat jahat itu " Tidakkah hal itu membuatnya
sangat bersakit hati " Maka juga, justru murid-muridnya
menyerang, dia turut menyerang juga ! Secara tiba-tiba dia
menggunakan pukulan kedua tangannya, Siang-wie-ciang !
Hebat serangannya Sin Mo ini, angin serangannya saja
telah membuat jarum-jarum yang runtuh berbalik menyerang
pula pada sasarannya tadi !
Dalam repotnya Im Ciu It Mo menggunakan dua-dua
tongkat dan tangan kosongnya menangkis setiap serangan
ketiga orang lawan itu, dan dia membuat jarum-jarum mundar
mandir diantara pelbagai serangan mereka kedua belah pihak.
Dia pun memiliki serangan yang dahsyat.
Dalam tenaga dalam, Im Ciu It Mo menang jauh dari pada
In Go dan Bu Pa, kalau toh dia menjadi repot, ialah mulanya
dia memandang tak mata pada mereka berdua, siapa
sebaliknya menyerang dengan semangat penuh, sebab
mereka hendak membantu guru mereka. Setiap serangan,
jarum yang menyambar terdiri dari lima sampai enam batang,
begitu pun jarumnya Bu Pa.
Biasanya jarum itu mengarah kerongkongan orang, siapa
terkena, dia jangan harap selamat lagi. Tapi Im Ciu It Mo
sangat lihai, dia menggunakan Tauw-lo thung, tongkatnya
yang lihai itu, secara lihai sekali. Di samping itu, ada
sampokan-sampokannya dengan tangan kirinya...........
Sampai di situ, Gwa To Sin Mo tidak menghiraukan pula
derajatnya. Dia turun tangan, membantui kedua muridnya
yang lihai itu. Dia mendesak hebat, saban-saban dia
menyampok balik semua jarum beracun itu yang dikembalikan
It Mo ! Dia bermaksud, kalau It Mo terkena jarum, hendak dia


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memaksa dia itu membuat perjanjian akan saling menukar
kay-yoh, yaitu obat pemunah racun masing-masing.
Demikian berempat mereka bertempur, satu melawan tiga,
atau tiga mengepung satu. Dan dua-dua pihak, karena
digunakannya jarum beracun, sama-sama memperhatikan
jarum itu saja. Pertempuran itu memberikan satu kesempatan baik bagi It
Hiong. Ia datang buat mencari Kiauw In. Sejak mulai
memasuki gua, ia selalu memasang mata, mengharap dapat
melihat bakal istrinya itu. Hanya, seperti telah diketahui,
selama itu ia selalu berpura-pura tolol, hingga ia mirip dengan
Gak Hong Kun, si It Hiong palsu yang dipengaruhkan obatnya
It Mo. Selama itu juga, diam-diam ia memperhatikan seluruh
ruang dan formasinya. Ia menerka-nerka dimana Kiauw In
dikurung. Mendengar It Mo halnya air teh dicampuri racun, di dalam
hati, anak muda kita ini terkejut. Syukur ia dan Ya Bie berdua
tidak minum air teh itu. Ia dapat bersabar sampai tiba saatnya
pertempuran disebabkan In Go habis sabar. Di saat In Go
menyerang dengan jarum dan It Mo menangkis, mengertilah
dia yang ketika baiknya pun telah tiba.
Begitulah selagi orang bertarung seru, diam-diam It Hiong
menarik Ya Bie, buat menyelinap ke pojok dimana terdapat
sebuah pintu batu. So Hun Cian Li cerdik, dia segera bergerak
mengikuti. Dengan demikian, bertiga mereka memasuki pintu
pojok itu dan menghilang di baliknya.
Empat orang yang lagi mengadu jiwa itu tidak sempat
melihat mereka bertiga. Pertempuran berjalan cepat tetapi saking serunya, sang
waktu berlalu dengan tak kurang cepatnya. Im Ciu It Mo
menjadi repot sekali. Dia nampak seperti kehabisan nafas.
Memangnya lukanya disebabkan melawan Pie Sie Siansu di
Gwan Sek Sie belum sembuh seluruhnya. Mungkin dia tak
akan bertahan lebih lama lagi.
Di lain pihak, Gwa To Sin Mo ingin pertempuran disudahi
dengan lekas. Dia seperti lupa yang dia telah kena minum
racun, dia berkelahi dengan keras sekali. Dia mendesak terusterusan.
Karenanya, diluar tahunya, dia menyebabkan
racunnya It Mo bekerja lebih cepat dari biasanya. Dengan
mengerahkan tenaga dalam terlalu keras, dia bagaikan
menyebabkan tubuhnya lebih cepat lelah dan lemah. Demikian
sudah terjadi, selagi hatinya ingin lekas-lekas merebut
kemenangan, selagi dia mendesak sekeras-kerasnya,
tenaganya berkurang sendirinya, hingga sendirinya pula
desakannya menjadi kendor.......
It Mo sendiri, kedudukannya tak menjadi lebih baik
walaupun Sin Mo sudah letih itu. Inilah karena ia sudah
menjadi lelah terlebih dahulu. Nafasnya menjadi tersengalsengal,
gerak-gerik tongkatnya menjadi lamban. Maka satu
kali telah terjadi, satu kali dia lambat menangkis, sebatang
jarum mampir dan nancap dibahunya. Mendadak saja dia
merasai nyeri yang sangat. Dengan begitu, ia jadi mendapat
luka diluar dan didalam. Ia insaf yang ia menghadapi bencana,
lantas ia mencoba mengerahkan tenaga dalamnya, guna
mencegah racun jarum menjalar ke lain bagian dari tubuhnya.
Berbareng dengan itu, segera ia memperdengarkan suaranya
yang nyaring dan tajam, guna memanggil murid-muridnya. Ia
merasa bahwa ia perlu memperoleh bantuan. Sedangkan
tadinya ia merasa sendiri saja ia akan sanggup bertahan.
Selekasnya It Mo berseru itu, selekasnya juga buyarlah
tenaga dalamnya, maka itu racun pun bekerja, menyerang ke
lain-lain bagian tubuhnya itu. Sekarang tak dapat ia bertahan
lama lagi, di dalam waktu satu detik, tubuhnya bergemetar
dan menggigil, segera robohlah ia !
In Go tertawa melihat orang roboh itu.
"Nah, lihatlah sekarang !" katanya mengejek. "Kau masih
menaruh mata pada kami atau tidak?"
Justru itu, racun di dalam tubuhnya Sin Mo pun bekerja
keras sekali, dia mulai tak dapat bertahan. Syukur untuk
dianya, ialah otaknya masih tetap jernih hingga dapat dia
berpikir. Selekasnya It Mo roboh, dia khawatir orang lantas
mati. Lantas dia mengeluarkan dua butir obat pulungnya.
"In Go, lekas jejalkan sebutir pil merah ke dalam mulutnya
!" Ia menitahkan muridnya yang wanita. "Ini obatnya !" Ketika
Legenda Kematian 6 Naga Naga Kecil Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall Pendekar Buta 13

Cari Blog Ini