Ceritasilat Novel Online

Kembalinya Pendekar Rajawali 19

Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung Bagian 19


Dasar watak Li Bok-chiu memang kejam dan keji, di samping itu perasaannya sebenarnya juga mudah terguncang, dari tanya jawab dan sikap si pandai besi dan Thia Eng dapatlah diterka sembilan bagian hubungan antara kedua orang itu.
Dilihatnya si pandai besi menghela napas panjang, air matapun bercucuran dan menetes pada lempengan besi yang membara itu sehingga terdengar suara mendesis terbakarnya butiran air.
Melihat keadaan itu, perasaan Li Bok-chiu ikut terharu juga, Tapi dalam sekejap saja pikirannya sudah berubah dan kembali pada wataknya yang kejam, ia pikir pihak lawan telah bertambah lagi seorang pembantu, tapi pandai besi ini cacad, betapapun kepandaiannya juga terbatas.
Begitulah Li Bok-chiu lantas menjengek "Hm.
, Pang Bik-hong, selamat atas pertemuan kalian sesama saudara seperguruan !" Memang betul pandai besi tua she Pang ini adalah murid terkecil Ui Yok-su yang bernama Pang Bik-hong.
Dahulu Tan Hian-hong dan Bwe Ciau-hong melarikan diri dari Tho-hoa-to dengan menggondol Kiu-im-sin-keng, tentu saja Ui Yok-su sangat murka, akibatnya semua muridnya terkena getahnya, ia patahkan kaki para muridnya itu dan mengusir mereka dari Tho-hoa-to.
Ki Leng-hong dan Liok Seng-hong dipatahkan kedua kakinya, tapi Ui Yok-su paling sayang kepada murid terkecil yaitu Pang Bik-hong, maka hanya kaki kiri saja yang dipatahkannya walaupun begitu Pang Bik-hong tidak menjadi sakit hati kepada sang guru, ia merasa utang budi karena jiwanya juga diselamatkan oleh gurunya itu, maka ia tidak dendam terhadap apa yang dilakukan sang guru kepadanya itu, hanya saking berdukanya ia lantas mengasingkan diri ke pedesaan ini dan sudah lebih 30 tahun tinggal di sini sebagai pandai besi, sama sekali ia tidak berhubungan lagi dengan orang Kangouw meskipun ilmu silatnya tak pernah dilakukannya.
Sebab itulah Liok Seng-hong dan kakak seperguruannya yang lain mengira dia sudah meninggal Tak tersangka hari ini dia dapat bertemu dengan Thia Eng dan mendengar berita tentang sang guru, saking terharunya air matanya lantas bercucuran.
Sudah tentu Nyo Ko dan Liok Bu-siang kegirangan demi mengetahui si pandai besi she Pang ini adalah Suhengnya Thia Eng, mereka yakin anak murid Ui Yok-su pasti bukan jago lemah dan itu berarti pihaknya telah bertambah bala bantuan.
Tapi Li Bok-chiu telah menjengek pula: "Hm, gurumu sudah mengusir kau, tapi kau masih terkenang padanya, sungguh aneh, pokoknya begini, ketiga bocah ini akan kubunuh, sebaiknya kau jangan ikut campur.
" ---------------- gambar -----------Dengan bertopang pada tongkat besi dan berlangkah pincang, Pang Bik-hong ayun palu melawan serangan ilmu kebut Li Bok-chiu yang lihay.
-------------------------------------"Meski aku pernah belajar silat, tapi selama hidupku tak pernah berkelahi dengan siapapun, apalagi aku sudah cacat kaki, untuk berkelahi juga tidak dapat," ujar Pang Bik-hong, si pandai besi tua.
"Ya, memang begitulah, tidak perlu jiwamu ikut dikorbankan," kata Li Bok-chiu.
"Tidak," tiba2 Pang Bik-hong menggeleng kepala, "betapapun kau tak boleh mengganggu seujung rambut Sumoayku, beberapa orang ini adalah teman Sumoayku, kaupun tidak boleh mengganggu mereka.
" Screntak timbul napsu keganasan Li Bok-chiu, jengeknya: "Hehe, jika begitu kalian berempat boleh maju saja seluruhnya !" - Habis berkata ia lantas berdiri dan siap menghadapi pertempuran.
Namun Pang Bik-hong tetap tenang saja menggembleng besinya, dengan pelahan ia berkata: "Sudah lebih 30 tahun kutinggalkan perguruan, ilmu silatku sudah lama kulupakan, sekarang aku harus mengingat-ingatnya dahulu dan mengatur seperlunya.
" Li Bok-chiu bergelak tertawa, katanya: "Sekian lamanya aku malang melintang di dunia ini, belum pernah kulihat orang macam kau, di medan perang baru mengasah tombak, Pang Bik-hong, apa betul selama hidupmu belum pernah bergebrak dengan orang?" "Selamanya aku tak pernah bersalah kepada siapapun, orang memukul atau memaki aku juga kubiarkan saja, dengan sendirinya takkan terjadi perkelahian," kata Pang Bik-hong.
"Hehe, anak murid Ui-losia benar-benar tak becus semua dan memalukan," ejek Li Bok-chiu.
"Li-totiang," kata Pang Bik-hong, "kuharap engkau jangan mengolok-olok guruku.
" "Hahaha, sudah lama orang tak mengakui kau sebagai murid, tapi kau masih terus menyebutnya guru ini dan itu, memangnya kau tidak malu?" jengek Li Bok-chiu pula.
Sambil menggembleng besinya, Pang Bik-hong menjawab: "Selama hidupku penuh derita, di dunia ini hanya Suhu saja sanak kadangku, jika aku tidak mengenangkan dan menghormati beliau, habis siapa yang harus kupikirkan lagi" Eh, Siau su-moay, apakah Suhu baik-baik saja?" "Beliau sangat baik," jawab Thia Eng.
Seketika air muka Pang Bik-hong tampak mengunjuk rasa girang.
sementara itu besi yang di-gemblengnya itu sudah membeku, pandai besi tua itu menanggamnya pula untuk dibakar lagi ke dalam tungku.
Tapi lantaran pikirannya sedang melayang, maka yang disodorkan ke dalam tungku ternyata bukan besi yang sedang digembleng melainkan palu besar yang dipegangnya itu.
Maka Li Bok-chiu tertawa mengejek puIa: "Pang Bik-hong, boleh kau pikirkan kembali kepandaian ajaran gurumu dan tidak perlu bingung.
" Pang Bik-hong tidak menanggapinya, ia memandangi api tungku dengan terkesima, selang sejenak kembali ia memasukkan pula tongkatnya ke dalam tungku.
"He, jangan keliru, itulah tongkatmu !" seru Nyo Ko dan Liok Bu-siang.
Tapi Pang Bik-hong tetap tidak menjawab dan tetap menatapi api tungku.
Aneh juga, tongkatnya ternyata tidak terbakar di dalam tungku, sebaliknya lama-lama berubah merah membara, kiranya tongkatnya adalah tongkat besi.
Selang tak Iama palu besar tadi juga terbakar hingga merah, tapi tangannya yang memegangi palu dan tongkat itu ternyata tidak merasakan panasnya besi yang membara itu.
Baru sekarang Li Bok-chiu mulai waspada, ia menyadari pandai besi tua ini tidak boleh diremehkan, kuatir kalau orang mendadak melancarkan serangan dan masuk perangkapnya, segera Li Bok-chiu melompat keluar rumah dan berseru: "Pang Bik-hong, keluar sini!" Sekali lompat Pang Bik-hong segera menyusul keluar rumah, gerak-geriknya ternyata sangat cepat sedikitpun tidak kelihatan tanda-tanda sebagai seorang cacat, Tongkatnya yang merah membara itu ditancapkannya di tanah, lalu berkata: "Li-to-tiang, kuharap jangan kau memaki guruku lagi juga jangan membikin susah sumoayku, sudilah engkau mengampuni pandai besi tua macam diriku ini!" Sungguh heran Li Bok-chiu oleh sikap Pang Bik-hong ini, masakah sudah maju di medan perang malah minta ampun kepada lawan, Segera iapun menjawab: "Aku boleh mengampuni jiwamu, kalau kau takut sebaiknya jangan ikut campur urusanku ini.
" "Jika begitu silakan kau membunuh diriku dahulu !" jawab Pang Bik-hong dengan mengertak gigi, tubuhnya tampak gemetar, agaknya disamping takut juga pantang mundur.
Li Bok-chiu angkat kebutnya terus menyabet kepala lawan, Tapi Pang Bik-hong mengelak ke samping dengan gaya yang indah, lantaran tangan gemetar, ia ternyata tidak berani balas rnenyerang, Berturut tiga kali Li Bok-chiu menyerangnya dan Pang Bik-hong selalu menghindarkan diri dengan gerakan yang indah dan gesit, tapi tetap tidak berani balas menyerang.
Sementara itu Nyo Ko bertiga ikut keluar dan menonton di samping, mereka mencari kesempatan untuk maju membantu bila perlu.
Serangan, Li Bok-chiu semakin gencar, tapi Pang Bik-hong memang belum pernah bertempur dengan orang, ditambah wataknya memang ranah, betapapun serangannya tidak dapat dilontarkan.
Melihat gelagat jelek, Nyo Ko pikir untuk memancing semangat tempur tokoh yang berkepandaian tinggi ini tiada jalan lain kecuali membuatnya marah, karena itu ia sengaja berteriak: "Li Bok-chiu, mengapa kau memaki Tho-hoat-tocu manusia rendah, orang yang tidak berbudi dan tidak tahu diri?" Sudah tentu Li Bok-chiu sangat penasaran karena merasa tidak pernah berkata begitu.
Namun ia tidak menanggapi ocehan Nyo Ko itu, sebaliknya serangannya bertambah gencar.
Segera Nyo Ko berseru pula: "Li Bok-chiu, kau menuduh Thoa-hoa-tocu suka berzinah dengan isteri orang dan sering memperkosa anak perempuan orang, memangnya kau pernah menyaksikannya sendiri" Kau memaki beliau suka mengkhianati kawan dan menjual teman, apakah betul tuduhanmu itu?" Sudah tentu Thia Eng merasa bingung, sebaliknya Pang Bik-hong mengira apa yang dikatakan Nyo Ko betul terjadi, ia menjadi murka terhadap Li Bok-chiu, serentak timbul keberaniannya palu dan tongkat bekerja sekaligus terus menghantam ke arah Li Bok-chiu dengan membawa hawa panas.
Li Bok-chiu tak berani menyambut serangan hebat ini, cepat ia melompat ke samping dan mencari peluang untuk balas menyerang.
Segera Nyo Ko berseru pula: "Li Bok-chiu, kau memaki Tho-hoa-tocu sebagai manusia tidak tahu malu, kulihat kau sendiri yang tidak kenal malu !" Makin gusar Pang Bik-hong, palu dan tongkatnya terus menghantam musuh dengan tangkas luar biasa, semula dia rada kaku memainkan kedua macam senjatanya itu, tapi lambat-laun dia mulai biasa dengan permainan ilmu silatnya.
Kalau bicara tentang keuletan, sebenarnya selisih kedua orang tidak jauh, tapi Li Bok-chiu sudah lama malang melintang di dunia Kangouw: entah sudah berapa banyak pertempuran yang di-alaminya, pengetahuan dan pengalamannya entah berapa kali lebih banyak daripada Pang Bik-hong, apalagi Pang Bik-hong cacat sebelah kaki, lama-2 tentu kewalahan dan kalah.
Benar saja, setelah rasa murka Pang Bik-hong rada mereda, semangat tempurnya menjadi kendur, lambat-laun ia mulai terdesak di bawah angin.
Tentu saja Li Bok-chiu sangat girang, mendadak kebutnya menyabet ke dada lawan, Cepat Pang Bik-hong menangkis dengan palu, tapi ujung kebut terus memutar dan melilit ujung palu.
Sebenarnya gerakan kebut itu adalah kepandaian khas Li Bok-chiu yang biasanya sangat lihay untuk merampas senjata musuh, asal ujung kebut sudah melilit terus dibetot maka senjata lawan pasti akan terlepas dari cekalan.
. Tak terduga mendadak terdengar suara mencicit disertai kepulan asap yang berbau sangit, ternyata ujung kebutnya telah hangus terbakar, jadinya Li Bok-chiu tidak berhasil merampas senjata lawan, sebaliknya kehilangan senjatanya sendiri.
Namun Li Bok-chiu tidak menjadi bingung dan gugup, ia buang tangkai kebutnya yang sudah gundul itu, kini dia menggunakan ilmu pukulan andalannya, yaitu Ngo-tok-sin-ciang, pukulan sakti panca-bisa.
Meski ilmu pukulannya yang berbisa lima macam itu sangat lihay, tapi untuk menggunakannya larus dilakukan dari jarak dekat, sedangkan lawannya sekarang bersenjatakan palu dan tongkat yang panjang serta diputar sedemikian kencangnya, tertampaklah di antara dua sosok bayangan orang itu mengepulkan asap pula.
Kiranya jubah pertapaan Li Bok-chiu telah bersentuhan dengan palu dan tongkat yang membara dan sebagian demi sebagian terbakar, Keruaa tidak kepalang gusar Li Bok-chiu, sudah jelas dirinya pasti menang, tapi justeru kewalahan dalam hal senjata, betapapun ia merasa penasaran dan bertekad akan menghantam pandai besi tua itu dengan suatu pukulan maut untuk melampiaskan rasa gemasnya.
Untuk pertama kalinya Pang Bik-hong bertempur dengan orang, jika begitu maju lantas kalah, tentu semangat tempurnya akan semakin surut, tapi sekarang dia berada di atas angin, tongkat dan palunya dimainkan sedemikian lihaynya sehingga tiada peluang bagi Li Bok-chiu untuk memukulnya, sebaliknya Li Bok-chiu sendiri beberapa kali hampir termakan oleh palunya, kalau tidak cepat berkelit tentu tangannya sudah terbakar hangus.
Sejenak kemudian, tiba2 Pang Bik-hong berseru : "Sudahlah, berhenti, aku tidak mau bertempur lagi dengan kau ! Macam apa keadaanmu ini!" Habis itu ia terus melompat mundur.
Li Bok-chiu tertegun, ketika angin meniup tiba, baju yang dipakainya sepotong demi sepotong terbang terbawa angin, ternyata bajunya telah berlubang di sana sini kelihatan jelas kulit dagingnya di bagian lengan, pundak dan dada.
Padahal tubuh Li Bok-chiu masih suci bersih, masih tubuh perawan, keruan ia menjadi malu sekali baru saja ia hendak melarikan diri mendadak dekat bokong terasa silir dingin, kiranya sepotong kain baju bagian itu robek pula terbawa angin.
Melihat keadaan orang yang runyam dan konyol itu, cepat Nyo Ko tanggalkan baju sendiri terus dilemparkan sekuatnya ke punggung Li Bok-chiu, Begitu kuat baju Nyo Ko itu melayang ke depan sehingga mirip seorang yang mendadak mendekap Li Bok-chiu dari belakang.
Cepat Li Bok-chiu memasukkan tangannya pada lengan baju itu dan mengencangkannya dengan tali pinggang, Dalam keadaan demikian, biarpun selama hidupnya sudah banyak mengalami pertempuran besar, tidak urung ia menjadi serba salah, mukanya sebentar pucat dan sebentar merah, pikirannya: "Jika kulanjutkan pertarungan ini, sebentar baju ini akan terbakar lagi, Biarlah pil pahit ini kutelan saja sekarang, kelak akan kucari kesempatan untuk menurut balas.
" Ia lantas mengangguk kepada Nyo Ko sebagai tanda terima kasih atas pemberian bajunya, lalu ia berpaling dan berkata kepada Pang Bik-hong: "Caramu menggunakan senjata aneh ini ternyata sesuai benar dengan jalan pikiran Ui-losia yang eksentrik itu, Coba katakan terus terang menurut perasaanmu jika bertarung dengan kepandaian sejati, dapatkah kau mengalahkan aku" Anak Ui-losia kalau bertempur satu lawan satu dengan aku, apakah di antaranya bisa mengalahkan aku?" Pada dasarnya Pang Bik-hong adalah orang yang jujur dan polos, maka dengan terus terang ia menjawab: "Ya, jikalau kau tidak kehilangan senjata andalanmu, lama-lama kau pasti akan mengalahkan aku.
" "Asal kau tahu saja" ujar Li Bok-chiu dengan angkuh.
"Dan apa yang kutulis tadi bahwa anak murid Tho-hoa-to kebanyakan memang tidak becus menjadi tepat kan?" Pang Bik-hong berpikir sejenak, lalu berkata : "Tidak, anggapanmu itu tidak betul.
Kalau saja keempat suhengku berada di sini, salah seorang di antaranya pasti lebih kuat dari padamu.
Tidak perlu Tan-suheng atau Ki-suheng yang lihay, hanya Bwe-suci saja yang sesama kaum wanita seperti kau, betapapun kau tak dapat mengalahkan dia.
" "Hm, orang sudah mati tak dapat dibuktikan, apa gunanya dibicarakan" jengek Li Bok-chiu.
"Yang jelas kepandaian Ui-losia juga cuma begini saja, tadinya aku bermaksud menguji kepandaian puterinya yaitu Kwe-hujin, tapi sekarang kukira tidak perlu lagi.
" - Habis berkata ia terus hendak melangkah pergi "Nanti dulu!" tiba-tiba Nyo Ko berseru.
"Ada apa?" jawab Li Bok-chiu dengan kurang senang.
"Kau bilang kepandaian Tho-hoa-tocu hanya begini saja, ucapanmu ini salah besar," kata Nyo Ko.
"Pernah kudengar dari beliau bahwa dia punya Giok-siau-kiam-hoat (permainkan seruling sebagai ilmu pedang) sudah cukup untuk mematahkan permainan kebutmu.
" Lalu ia ambil sepotong besi dan menggores-gores di atas tanah sambil memberi penjelasan misalnya Li Bok-chiu menyerang begini segera akan ditangkis dengan begitu terus disusul dengan serangan balasan begini dan seterusnya, dan dalam keadaan kepepet akhirnya kau harus membuang kebutmu dan menyerah kalah.
Lebih jauh Nyo Ko berkata: "Bicara tentang Ngo-tok-ciang-hoat andailanmu, Tho-hoa-tocu sudah siap menghadapi seranganmu - dengan kuku jarinya yang cukup panjang, setiap seranganmu akan "dipatahkan, jika pukulanmu tetap diteruskannya, segera beliau menggunakan tenaga jari sakti, dengan kuku tajam akan menyelentik telapak tanganmu dan bila kena, seketika tanganmu akan lumpuh, sedangkan beliau dapat segera memotong kukunya dan terhindarlah dari penjalaran panca-bisa pukulanmu itu.
" Keterangan Nyo Ko itu membuat wajah Li Bok-chiu sebentar pucat sebentar merah padam, sebab setiap kata pemuda itu memang masuk di akal dan memang tepat benar untuk menghadapi serangannya.
Kemudian Nyo Ko menambahkan: "Tho-hoa-tocu sangat gusar akan ucapanmu yang kurangajar, cuma beliau adalah seorang tokoh maha besar dan tidak sudi bergebrak sendiri dengan kau, beliau telah mengajarkan semua kepandaian tadi kepadaku dan suruh aku membereskan kau, tapi mengingat kau dan guruku ada hubungan saudara seperguruan maka aku telah membeberkan kelihayan Tho-hoa-tocu kepadamu agar kelak bila kau bertemu dengan anak muridnya ada lebih baik menghindari saja sejauhnya," Li Bok-chiu termangu sejenak, akhirnya ia berkata dengan lesu: "Sudahlah!" - Segera ia memutar tubuh dan melangkah pergi, dalam sekejap saja sudah menghilang di balik bukit sana.
Diam-diam Pang Bik-hong bersyukur melihat musuh lihay itu sudah pergi, Padahal meski Ui Yok-su telah mengajarkan ilmunya kepada Nyo Ko, untuk bisa digunakan secara tepat dan mengalahkan musuh, sedikitnya Nyo Ko perlu berlatih setahun dua tahun, Tapi Li Bok-chiu ternyata gentar dan takluk benar-benar lahir batin atas uraian Nyo Ko tadi, sejak itu ia tidak berani lagi mengeluarkan kata-kata menghina terhadap Ui Yok-su.
Dengan kepergian Li Bok-chiu, rasanya yang paling girang adalah Liok Bu-siang, maklumlah nona itu sudah lama berada di bawah pengaruh iblis itu, mendengar suaranya saja ketakutan jangankan lagi berhadapan dengan dia.
Maka dia tidak habis kagum akan kecerdikan Nyo Ko, berulang ia memuji "si tolol" itu.
Selagi mereka hendak masuk lagi ke dalam bengkel si pandai besi mendadak terdengar suara gemuruhnya orang banyak disertai suara derapan lari kuda yang riuh.
Thia Eng terkejut Cepat Nyo Ko berkata: "Coba kupergi melihatnya!" - Segera ia mencemplak ke atas kudanya dan dilarikan ke sana, setelah membelok ke balik bukit sana dan beberapa li kemudian sampailah dia di jalan raya, Tertampak debu mengepul panji berkibaran, kiranya pasukan Mongol sedang bergerak ke arah selatan.
Selamanya Nyo Ko belum pernah menyaksikan gerakan pasukan sebanyak itu, ia menjadi terkesima.
Tiba-tiba dua perajurit Mongol menyentaknya sambil menerjang ke arahnya : "Hei, kau lihat apa?" Cepat Nyo Ko memutar kudanya dan kabur, kedua perajurit itu segera pentang busur dan melepaskan anak panah, Tapi sekali meraup ke beIakang, dengan mudah saja dua batang anak panah itu sudah kena ditangkap Nyo Ko, ia merasa sam-beran anak panah itu cukup kuat, kalau saja dirinya tidak mahir ilmu silat tentu sudah mati tertembus kedua panah itu.
Melihat Nyo Ko mampu menangkap panah mereka, kedua perajurit itu menjadi jeri terhadap kelihayan Nyo Ko, mereka menahan kuda dan memutar balik ke sana.
Nyo Ko lantas kembali ke bengkel si pandai besi dan menuturkan apa yang dilihatnya itu.
"Pasukan besar Mongol ternyata benar bergerak ke selatan, maka rakyat jelata bangsa Han kita kembali akan menderita," kata Pang Bik-hong dengan gegetun.
"Ya, ketangkasan menunggang kuda dan memanah pasukan Mongol memang sukar dilawan oleh pasukan Song, malapetaka yang bakal menimpa sungguh hebat," ujar Nyo Ko.
Pang Bik-hong berkata pula: "Nyo-kongcu muda usia, mengapa tidak pulang ke selatan untuk ikut berjuang melawan serbuan musuh?" Nyo Ko melenggong sejenak jawabnya kemudian : "Tidak, aku harus ke utara untuk mencari Kokoh, Begitu kuat pasukan Mongol, hanya tenagaku seorang apa gunanya?" "Tenaga seorang memang kecil, tapi kalau tenaga orang banyak bergabung kan menjadi kuat," kata Pang Bik-hong.
"Apabila setiap orang berpendirian seperti Nyo-kongcu, lalu siapa lagi yang mau berjuang demi bangsa dan tanah air?" Walaupun merasa ucapan orang tidak salah, tapi Nyo Ko tetap merasa lebih penting mencari Siao-liong-li dahulu.
Sejak kecil ia hidup terlunta-lunta di daerah Kanglam dan sudah kenyang derita siksaan kaum penguasa, ia merasa meski orang Mongol tampak kejam dan jahat, tapi kaisar Song juga belum tentu manusia baik dan tidak perlu jual tenaga baginya.
Karena itu ia hanya tersenyum saja dan tidak menanggapi ucapan Pang Bik-hong tadi.
Sctelah meringkaskan barang bawaannya dan dipanggul, lalu Pang Bik-hong berkata kepada Thia Eng: "Sumoay, kelak bila bertemu dengan Suhu, harap kau suka menyampaikan kepada beliau bahwa murid Pang Bik-hong tidak pernah melupakan ajaran beliau, Kini aku akan menyusup ke tengah pasukan Mongol, betapapun aku harus membinasakan satu-dua panglimanya yang telah menyerbu tanah air kita ini.
" Habis berkata ia terus melangkah pergi tanpa berpaling.
Seperginya Pang Bik-hong, mereka bertiga masuk lagi ke dalam bengkel dan melihat Sah Koh terkulai di lantai, mereka kaget dan cepat menggotongnya ke atas pembaringan Kelihatan muka Sah Koh merah padam, kedua matanya melotot tak bersinar, jelas racun pukulan sakti Li Bik-chiu telah bekerja pula.
Cepat Thia Eng memberi minum obat lagi dan Nyo Ko mengurut Hiat-tonya.
Sah Koh terbeliak memandangi pemuda itu, mendadak air mukanya mengunjuk rasa ketakutan dan berteriak: "Saudara Nyo, jangan kau minta ganti nyvwa padaku, bukan aku yang mencelakai kau.
. . " "Jangan takut, Suci," bujuk Thia Eng dengan suara halus, "dia takkan.
. . " Nyo Ko pikir selagi pikiran Sah Koh dalam keadaan linglung, kesempatan ini dapat digunakan untuk memaksanya memberi keterangan Maka cepat ia cengkeram pergelangan tangan Sah Koh dan membentak dengan bengis: "Jika bukan kau, habis siapa yang mencelakai diriku" Hayo lekas mengaku jika tidak ingin kucekik mati kau untuk mengganti jiwaku!" Dengan suara gemetar Sah Koh memohon "Jangan, saudara Nyo, jangan, bukan aku!" "Kau tetap tidak mau mengaku?" bentak Nyo Ko pula dengan gusar "Baik, biar kucekik mampus kau!" Berbareng sebelah tangannya lantas mencengkeram tenggorokan Sah Koh sehingga perempuan itu menjerit ketakutan.
Sudah tentu Thia Eng dan Liok Bu-siang sadar tahu maksud tujuan Nyo Ko, mereka sama mencegahnya dan meminta jangan merecoki Sah Koh.
Tapi Nyo Ko tidak menggubris dan menambahi tenaga cekikannya, dengan lebih beringas ia membentak pula : "Aku adalah setan saudara Nyo, aku mati penasaran, tahukan kau?" "Ya, ya, aku tahu," jawab Sah Koh dengan gemetar "Setelah kau mati, burung gagak memakan dagingmu.
" Perasaan Nyo Ko seperti disayat sembilu, tadinya ia cuma mengira ayahnya mati secara tak wajar, siapa tahu sesudah mati mayatnya tidak terkubur pula dengan baik, bahkan menjadi mangsa burung gagak, maka ia tambah murka, dengan suara keras ia membentak pula: "Hayo lekas katakan, siapa yang membunuh diriku ?" Dengan suara serak Sah Koh menjawab : "Kau sendiri memukul Kokoh, pada badan Kokoh ada jarum berbisa, lalu kau mati.
" Duduk perkara kematian Nyo Khong dahulu terjadi secara kebetulan saja, Semula Auyang Hong menggunakan racun ular membinasakan Lam Hi-jin (salah seorang Kanglam-jit-koay dan guru Kwe Cing), waktu Lam Hi-jin hampir mati, secara tak sadar ia menghantam pundak Ui Yong satu kali sehingga darah beracun dari tangannya itu tertinggal di atas "baju landak" yang dipakai Ui Yong, hal ini sama sekali diluar tahu Ui Yong sendiri.
Maka kemudian ketika Nyo Khong juga menghantam pundak Ui Yong di suatu kelenteng di kota Kah-hin, kebetulan tempat hantamannya itu adalah bagian tempat yang dihantam Lam Hi-jin.
Sebab itulah Nyo Khong mati keracunan oleh "duri baju landak!" berbisa yang dipakai Ui Yong itu.
Begitulah Nyo Ko berteriak menanya pula "Kokoh" Siapa itu Kokoh?" Karena cekikan Nyo Ko yang tambah kencang, hampir saja Sah Koh tidak dapat bernapas dan hampir kelenger, dengan suara lemah ia menja-javvab : ?"Kokoh ya Kokoh," "Kokoh she apa" Siapa namanya ?" desak Nyo Ko.
"Aku. . . aku tak tahu, kau le. . . lepaskan aku!" jawab Sah Koh dengan serak.
Melihat gelagat tidak enak, Liok Bu-siang bermaksud menarik tangan Nyo Ko.
Tapi kini keadaan Nyo Ko menyerupai orang yang kehilangan akal sehat, sekuatnya ia mengipatkan tangannya, keruan Bu-siang tak tahan, ia terlempar ke belakang dan tertumbuk pada dinding dengan rasa sakit tidak kepalang.
Melihat Nyo Ko yang biasanya ramah tamah itu kini berubah seperti orang gila, Thia Eng menjadi ketakutan hingga kaki dan tangan terasa lemas.
Nyo Ko pikir kalau sekarang tak dapat mengetahui nama pembunuh ayah, tentu dirinya bisa mati penasaran Maka berulang ia tanya pula .
"Siapa Kokohmu" Dia she Ki atau she Bwe?" - ia pikir Sah Koh adalah putri Ki Leng-hong, tentu Kokohnya (bibinya) juga she Ki, bisa jadi adalah Bwe Ciau-hong yang dimaksudkan Maklumlah, Kwe Cing dan Isterinya memperlakukan dia seperti anaknya sendiri sejak kecil betapapun Nyo Ko tak berani membayangkan bahwa yang membinasakan ayahnya itu adalah Ui Yong adanya.
Begitulah Sah Koh meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Nyo Ko.
tapi karena Hiat-to bagian pergelangan tangan juga terpegang pemuda itu, terpaksa ia tidak mampu berkutik hanya berseru dengan suara serak: "Kau minta ganti jiwa kepada Kokoh saja dan jangan mengganggu diriku.
" "Kokoh berada di mana?" tanya Nyo Ko pula, "Entahlah, waktu aku dan Suhu berangkat, dia dan lakinya masih tinggal di pulau sana," jawab Sah Koh.
Mendengar keterangan yang cukup berarti ini, seketika hati Nyo Ko tergetar hebat dengan suara gemetar ia coba menegas : "Kokoh memanggil Suhumu dengan sebutan apa?" "Sudah tentu ayah, apa lagi?" jawab Sah Koh.
Serentak air muka Thia Eng dan Liok Bu-siang juga berubah demi mendengar keterangan itu.
Kuatir salah, Nyo Ko coba mengulangi lagi pertanyaannya : "Jadi laki Kokohmu itu bernama Kwe Cing?" "Ya, masakah kau tidak tahu?" jawab Sah Koh sambil memancal-mancalkan kakinya dan mendadak berteriak : "Tolong! ToIong!" Kacau rasanya benak Nyo Ko, sejak kecil ia hidup sebatangkara, seketika terbayang kembali kisah deritanya di masa lalu, ia pikir kalau ayahnya tidak dibunuh orang, tentu ibunya tidak perlu hidup sengsara dengan menangkap ular dan dengan sendirinya juga takkan mati tergigit ular berbisa, tentu pula dirinya juga tidak perlu hidup merana.
Bila teringat pula kebaikan Kwe Cing dan Ui Yong waktu dirinya tinggal di Tho-hoa-to dahulu, sungguh sukar dipercaya bahwa musuh pembunuh ayah itu adalah paman dan bibi itu.
Karena gejolak perasaannya itti, cengkeramannya menjadi kendur, Sah Koh berteriak satu kali terus melompat bangun.
Cepat Thia Eng mendekati Nyo Ko dan menghiburnya: "Suci memang tidak waras pikirannya hal ini kaupun tahu, maka apa yang dikatakannya itu janganlah kau percaya.
" walaupun begitu katanya, namun dalam hati ia percaya penuh apa yang diucapkan Sah Koh pasti benar adanya.
Ia lihat air muka Nyo Ko sangat sedih dan seperti tidak mendengar apa yang dikatakannya itu.
Setelah termenung sejenak, mendadak Nyo Ko melompat keluar rumah dan mencemplak ke atas kudanya yang kurus itu terus dilarikan dengan cepat.
Dari belakang sayup-sayup terdengar seruan Thia Eng dan Liok Bu-siang, tapi tak digubris lagi oleh Nyo Ko, yang terpikir oleh pemuda itu hanya: "Aku harus menuntut balas! Aku harus menuntut balas !" Sekaligus ia larikan kudanya sampai ratusan li jauhnya, ketika tiba-tiba merasa bibir rada perih dan sakit, ia coba merabanya dan ternyata penuh darah.
Kiranya saking sedih dan gusarnya, tanpa sadar ia menggigit bibir sendiri hingga pecah dan berdarah.
Dasarnya Nyo Ko memang benci kepada kehidupan yang dianggapnya tidak adil ini, kini dirasakan dunia ini palsu belaka dan tiada seorangpun yang baik, Bahwa bibi Kwe memang tidak begitu baik padaku, ini sudah jelas, tapi paman Kwe, paman Kwe.
. . Maklumlah, selama ini dia sangat kagum dan menghormat kepada Kwe Cing, ia merasa ilmu silat dan kepribadian paman Kwe itu sungguh lain daripada yang lain, lebih-lebih sang paman yang begitu baik hati padanya, tapi sekarang ia merasa tertipu habis-habisan.
Saking berdukanya ia menjadi lemas, ia turun dari kuda dan duduk di tepi jalan, ia menangis tergerung sambil mendekap kepala.
Sekali sudah menangis, maka sukar dibendung lagi air matanya seakan-akan segala duka derita manusia hidup ini seluruhnya berada dalam tangisnya itu.
Sebenarnya Nyo Ko belum pernah melihat muka ayahnya dan juga belum pernah mendengar kisah hidup sang ayah, tapi sejak kecil ia mengkhayalkan sang ayah yang gagah ksatria itu, dalam lubuk hatinya ia merasa sang ayah adalah manusia yang paling baik, yang paling sempurna di dunia ini.
Sudah tentu ia tidak tahu bahwa semasa hidup ayahnya adalah manusia yang kotor dan rendah, seorang pengkhianat terhadap bangsa dan negara.
Begitulah Nyo Ko terus menangis sampai sekian lamanya, ketika tiba-tiba mendengar suara derapan kaki kuda, tertampak dari utara mendatangi tiga empat penunggang kuda, dari dandanannya jelas adalah Busu bangsa Mongol.
Busu paling depan memegang tumbak, pada ujung tombaknya menusuk seorang bayi berumur dua tahunan, jadi seperti sujen satai dan dianggapnya seperti permainan yang menarik.
Agaknya bayi itu belum mati terbukti masih mengeluarkan suara tangisan yang lemah, Tapi busu Mongol itu malah bergelak tertawa gembira.
Ketika melihat Nyo Ko merintangi jalan lalu mereka, segera seorang di antaranya membentak.
"Hayo, minggir !" - Berbareng tumbaknya terus menusuk ke arah Nyo Ko.
Memangnya Nyo Ko keki dan tak terlampiaskan segera ia pegang ujung tumbak musuh terus dibetot, menyusul sebelah tangannya terus menampar, kontan Busu yang terberosot dari kudanya itu mencelat beberapa meter jauhnya dan mati dengan batok kepala pecah berantakan.
Keruan Busu yang lain menjadi ketakutan melihat ketangkasan Nyo Ko, mereka menjerit kaget terus memutar kuda dan kabur seperti diuber setan "Plok", bayi yang tersujen di ujung tumbak seorang Busu tadi terjatuh di tepi jalan.
Cepat Nyo Ko memondongnya, ia lihat bayi itu adalah anak bangsa Han, gemuk lagi putih, tampaknya sangat menarik, Tapi ujung tumbak Busu tadi telah menembus perutnya, walaupun seketika belum mati, tapi tidak mungkin juga disembuhkan.
Bayi itu masih dapat mengeluarkan suara tangisan lemah sambil memanggil "ibu" dengan suara lirih, Nyo Ko sendiri lagi berduka, ia bertambah sedih dan kasihan kepada bayi yang sedang sekarat itu, kembali air matanya bercucuran.
Melihat bayi itu dalam keadaan menderita, terpaksa ia pukul bayi itu dengan pelahan untuk menewas-kannya, Lalu ia gunakan tumbak Busu Mnngol tadi untuk menggali tanah, maksudnya hendak mengubur jenazah bayi itu.
Tapi baru sebentar ia menggali, mendadak terdengar suara gemuruh di kejauhan sana disertai debu mengepul tinggi, di tengah suara terompet, pasukan besar Mongol tampak menerjang tiba dengan cepat.
Lekas Nyo Ko jinjing tombaknya dan mencemplak ke atas kudanya, meski kurus, tapi kudanya itu adalah kuda perang yang sudah berpengalaman.
Maka sekali meringkik segera kuda itu menerjang ke tengah pasukan Mongol Tumbak Nyo Ko bekerja cepat, sekaligus ia membinasakan beberapa perajurit musuh, tapi pasukan Mongol membanjir tak terhitung jumlahnya, terpaksa Nyo Ko membelokkan kudanya dan kabur ke tempat sepi.
Dari belakang ia dihujani anak panah, namun semuanya dapat disampuk jatuh oleh tumbaknya.
Kuda kurus itu dapat berlari cepat sekali hanya sekejap saja sudah meninggalkan kejaran musuh, tapi kuda itu masih terus lari secepat terbang di ladang belukar, Tak lama haripun mulai gelap, Nyo Ko menahan kudanya dan coba memandang jauh sekelilingnya, tertampak semak belukar tumbuk melebihi batas lutut, puncak gunung dikelilingi kabut tebal di kejauhan, suasana sunyi senyap, bahkan suara burungpun tak terdengar.
Nyo Ko turun dari kudanya sambil masih memondong bayi yang sudah tak bernyawa tadi, ia pikir: "Kedua orang tua anak ini tentu sangat sayang padanya, tapi tumbak Busu Mongol itu telah membinasakan bayi tak berdosa ini.
Bayi ini kini sudah mati dan tak merasakan apa-apa lagi, tinggal kedua orang tuanya yang berduka dan merana, Melihat keganasan musuh, serbuan pasukan Mongol ke selatan sekali ini entah betapa banyak korban yang akan ditimbulkannya?" Makin dipikir makin susah hati Nyo Ko, kemudian ia menggali liang di tepi pohon untuk mengubur bayi itu.
Habis itu ia menjadi teringat kepada ucapan Sah Koh tentang kematian ayahnya, bayi ini mati, tapi ada yang menguburnya, sebaliknya kematian ayahku harus diakhiri di dalam perut burung gagak, Kalian sudah membunuhnya dan mengapa tidak menguburnya puIa" Ai, kalian sungguh amat kejam ! Karena berlari seharian, Nyo Ko melihat kudanya sudah lelah, apalagi ke sananya mungkin juga sukar mendapatkan tempat pondok, terpaksa harus mencari tempat bermalam seadanya, ia kuatir di semak belukar ini akan diganggu oleh ular berbisa atau binatang buas, maka ia lantas mengeluarkan seutas tali, kedua ujung tali diikat pada dua batang pohon, ia menirukan cara tidur Siao-liong-li dengan berbaring di atas tali yang terbentang itu.
Sampai tengah malam, tiba-tiba Nyo Ko mengendus bau langu, menyusul terdengarlah suara raungan di sana sini, Nyo Ko terkejut, cepat ia memandang ke arah suara meraung itu, Kebetulan malam ini gelap gulita, syukur dia sudah biasa bertempat tinggal di kuburan kuno yang gelap itu, sudah biasa pula ia memandang sesuatu dalam keadaan gelap.
Maka dapatlah diketahui ada empat lentera kecil yang mendekatnya dengan pelahan.
Waktu ia menegas pula, kiranya empat lentera kecil itu adalah sorot mata dua ekor harimau kumbang.
Kedua ekor harimau kumbang itu hitam mulus dengan badan langsing dan panjang, jelas bukan harimau daerah Tionggoan yang pernah dilihatnya.
Kedua ekor mariraau itu sambil berjalan sambil mengendus-endus, sampai di tempat kuburan bayi, mendadak cakar kedua harimau itu menggaruk-garuk dengan cepat.
Nyo Ko menjadi gusar, pikiranya hendak melompat turun untuk mengusir harimau itu, ceIakanya tidak membawa senjata, tumbak rampasan dari Busu Mongol itu sudah dibuangnya tadi.
Tampaknya kedua ekor kucing raksasa sangat tangkas dan buas, jika menempurnya dengan bertangan kosong mungkin diri sendiri tak terhindar dari luka parah.
Selagi sangsi, tiba-tiba terdengar di sebelah barat sana ada suara "blang" yang keras, sejenak kemudian suara "blang" itu terdengar lagi satu kali.
Waktu Nyo Ko memandang ke sana, seketika ia tertegun dan hampir tak percaya kepada matanya sendiri.
Ternyata yang dilihatnya adalah sebuah peti mati, anehnya peti mati itu dapat bergerak dan melompat-lompat, makin lama makin dekat Bahwa peti mati dapat bergerak sendiri benar-benar aneh bin ajaib, Nyo Ko sampai terkesima berbaring di atas talinya sambil menahan napas.
Setelah melompat-lompat lagi beberapa kali,, kemudian peti mati itu berhenti di bawah sebatang pohon besar Tampaknya kedua ekor harimau kumbang itu menjadi heran juga melihat peti mati, mereka terus lari ke sana dan mengelilingi peti mati sambil mengeluarkan suara endusan dari hidung.
Salah seekor harimau itu coba menggaruk tutup peti mati dengan cakarnya yang tajam.
Pada saat itulah mendadak tutup peti mati bisa menjeplak sendiri, dari dalam peti melompat keluar sesosok mayat kering yang tinggi kurus, sekali kakinya menendang dengan kaku, kontan harimau kumbang di depannya jatuh terguIing.
Harimau yang lain segera menubruk maju hendak menggigit mayat hidup itu, tapi kuduk harimau malah kena dicengkeram oleh mayat hidup itu dan terlempar hingga jauh.
Melihat betapa hebat kekuatan mayat hidup itu, Nyo Ko terkejut hingga mandi keringat dingin.
Meski sudah kecundang, tapi kedua harimau kumbang itu tidak menyerah mentah-mentah, walaupun tak berani menerjang maju lagi, tapi keduanya mendekam di kejauhan sambil meraung geram.
Tiba-tiba dari lembah gunung sana timbul suara seram laksana bunyi burung hantu, sesosok bayangan hitam menggelinding tiba laksana gumpalan asap, Kedua ekor harimau kumbang lantas memapaki gumpalan asap itu dan berdiri di sampingnya dengan tingkah laku yang sangat jinak seperti anjing terhadap majikannya.
Sesudah gumpalan asap hitam itu tidak bergerak lagi barulah kelihatan dengan jelas, kiranya adalah seorang kakek pendek dengan baju hitam mulus, kulit badannya juga hitam kelam serta janggut yang hitam lebat, di atas pundaknya menghinggap seekor burung kondor besar dengan kepala botak, warna burung kondor itupun hitam mulus, Terdengar kakek hitam pendek itu membuka suara: "Siau-siang-cu, mengapa kau memukuli kucing piaraanku" Kata pribahasa: pukul anjing juga mesti mengingat majikannya, Tindakanmu tadi bukankah terlalu ?" Tinggi badan kakek itu hanya satu meteran, walaupun tubuhnya cebol, tapi suaranya ternyata nyaring seperti bunyi guntur sehingga anak telinga Nyo Ko pun tergetar.
Terdengar mayat hidup tadi mendengus dan menjawab dengan suara lemah: "Saudara Singh, kucingmu kan tidak sampai kulukai" Baiklah kuminta maaf padamu !" Sembari berkata iapun memberi hormat.
Kini barulah Nyo Ko dapat melihat dengan jelas, kiranya mayat hidup itu sebenarnya adalah manusia, cuma gerak-geriknya lurus kaku, mukanya pucat seperti kertas, pula muncul dari dalam peti mati maka Nyo Ko salah menyangkanya sebagai mayat hidup.
Kalau melihat gerak tendangan serta cengkeramannya tadi, dua ekor harimau kumbang dianggapnya seperti dua ekor kucing saja, jelas kepandaiannya itu adalah tokoh dunia persilatan kelas satu.
Kedua orang sama-sama menyebut harimau-kumbang sebagai "kucing", si kakek cebol berwatak keras berangasan, sebaliknya si- mayat hidup jangkung bersikap tenang, sungguh suatu perbandingan yang menyolok dan aneh.
Terdengar si kakek cebol berkata pula: "Siau-siang-cu, bagaimana dengan urusannya Kim-Iun Hoat-ong?" Mendengar nama "Kim-lun Hoat-ong" disebut, mau-tak-mau Nyo Ko sangat tertarik dan menaruh perhatian sepenuhnya.
Maka terdengar Siau-siang-cu mendengus satu kali, lalu berduduk di atas peti mati dan berkata: "Seorang diri dia berebut pengaruh dengan jago silat Tionggoan dan telah mengalami kekalahan besar.
" Kakek cebol itu terbahak-bahak, suaranya menggetar pohon, burung hantu di atas pundaknya juga mengeluarkan suara yang seram.
Habis tertawa barulah kakek cebol itu berkata : "Aku Nimo Singh datang dari negeri Thian-tiok (lndia sekarang) yang jauh di barat sana, tapi sampai di sini ternyata telah didahului oleh Kim-lun Hoat-ong, dia sudah diangkat sebagai Koksu (imam negara) kerajaan Mongol Hm, hm, padahal berdasarkan kepandaiannya apakah dia sesuai untuk disebut sebagai "nomor satu?"" Dengan nada mengejek Siau-siang-cu menanggapi "Memangnya, di dunia ini selain engkau saudara Singh, siapa lagi yang sesuai dianugerahi gelar itu?" Nimo Singh bergelak tertawa gembira, Siau-siang-cu juga terkekeh beberapa kali, tapi jelas nadanya mengejek.
Nimo Singh berkata lagi : "Siau-siang-cu, kau tinggal di Ouwlam, mengapa kau tidak berebut gelar itu padanya ?" Siau-siang-cu menjawab: "Waktu pangeran Kubilai mengirim undangan padaku, ketika itu aku sedang berlatih Siu-bok-tiang-sing-kang (ilmu hidup abadi) dan tidak sempat hadir, jadinya kedudukan itu dapat diambil Kim-lun Hoat-ong dengan mudah.
" "Dan kini ilmu saktimu itu tentu sudah selesai kau latih, mengapa kau tidak mengukur tenaga dengan dia" Apakah kau takut kepada roda emas Hwesio besar itu?" ejek Nimo Singh.
"Kenapa takut kepada Hwesio?" jawab Siau-siang-cu, "soalnya kepandaianku belum memadai, kan begitu ?" Kembali Nimo Singh bergelak terrawa, tapi mendadak ia merasa ucapan orang bernada mengejek dengan gusar ia lantas berkata: "Siau-siang-cu, kau pandang rendah diriku.
bukan" Baik, akan kucoba betapa lihaynya kau punya Siu-bok-tiang-sing-kang?" Sekali bilang mau coba, tanpa tawar-tawar lagi segera ia mencobanya, mendadak segulung asap menerjang ke depan.
. Tapi biarpun perawakan Siau-siang-cu kelihatan kaku, gerak-geriknya ternyata gesit dan cepat luar biasa, cepat ia angkat peti matinya terus mengepruk.
Terdengarlah suara "blang" yang keras, kedua orang sama melompat mundur, kedua ekor harimau kumbang dan burung hantu sama meraung dan menguak sehingga menambah seramnya suasana.
Setelah benturan tadi, kedua orang sama merasakan kepandaian lawan memang lihay, Nimo Singh berkata: "Hebat sekali kepandaianmu Siau-siang-cu," Siau-siang-cu tertawa dingin pula dan menjawab : "Ah, aku yang mengaku kalah.
Apakah namanya ilmu kepandaianmu itu?" "lnilah Sakya-hiat-kang (ilmu sakti Sakya melempar gajah)," jawab Nimo Singh "Ya, saudara Singh berasal dari negeri Tat-Ipo Loco (Budha Dharma), pantas memiliki ilmu sakti itu," ujar Siau-siang-cu.
Dari jarak jauh kedua orang lantas saling memberi hormat Habis itu mendadak Nimo Singh berlari cepat ke sana, dalam sekejap saja bayangannya sudah menghilang di kegelapan, kedua ekor harimau kumbang tadi juga lantas menyusul pergi.
Siau-siang-cu juga lantas melompat ke dalam peti matinya dan peti mati itu kembali berjingkrak-jingkrak menggeser sendiri ke arah berlawanan.
Tanpa sengaja Nyo Ko telah menyaksikan adegan aneh itu, diam-diam ia mengakui bahwa jagat raya yang luas ini benar-benar terdapat orang-orang maha sakti dan hal-hal yang ajaib.
Coba kalau dirinya tidak berbaring tinggi di atas tali, tentu jejaknya sudah ketahuan kedua orang aneh tadi dan bukan mustahil jiwanya sudah melayang.
Sukar baginya untuk tidur lagi, ia coba merenungkan gaya ilmu silat kedua orang tadi, ia merasa ilmu mereka itu sama anehnya, tapi sangat lihay.
Sampai lama sekali Nyo Ko merenung, akhirnya ia pejamkan mata untuk menghimpun semangat.
Tak lama, tiba-tiba terdengar kudanya meringkik sekali.
Kuda itu sangat cerdik, ketika kedua ekor harimau kumbang tadi datang, karena mengendus bau binatang buas itu, maka kuda kuda itu mendahului menyingkir jauh, kini mendadak meringkik, tentu terjadi sesuatu pula di sekitar situ.
Dari balik semak rumput Nyo Ko coba merunduk maju ke sana, sementara itu sudah fajar hari sudah mulai remang-remang, Nyo Ko melihat di kejauhan ada seorang sedang melompat tinggi ke atas, sebelah tangannya menjulur untuk memetik buah-buahan.
sesudah dekat, Nyo Ko mengenal orang itu adalah Darba, murid Kim-lun Hoat-ong.
Setiap lompatan Darba hanya dapat memetik satu buah, rupanya ia menjadi tidak sabar, akhirnya ia gunakan lengannya untuk menghantam batang pohon, seketika pohon buah itu patah dan rebah, maka dapatlah Darba memetik buahnya dengan mudah dan cepat.
Nyo Ko pikir barangkali Kim-lun Hoat-ong juga berada di sekitar situ, sebenarnya dia tiada permusuhan dengan Hoat-ong, kini setelah jelas diketahui Kwe Cing dan Ui Yong adalah musul pembunuh ayahnya, ia menjadi menyesal tempo hari telah membantu kedua orang itu menempur Kim-lun Hoat-ong.
Diam-diam Nyo Ko lantas menguntit di belakang Darba, ia lihat orang berlari secepat terbang menuju lereng bukit sana, Nyo Ko tahu ilmu silat Darba sangat hebat, maka ia tidak berani terlalu dekat, hanya menguntit dari kejauhan saja.
Tertampak Darba masuk ke tengah hutan dan makin menanjak ke atas, akhirnya sampai puncak tertinggi pegunungan itu.
Di atas puncak gunung itu terdapat sebuah gubuk kecil yang tak berdinding, Kelihatan Kim-lun Hoat-ong sedang duduk bersemadi.
Darba menaruh semua buah yang dipetiknya tadi di lantai gubuk itu, lalu mengundurkan diri.
Ketika berpaling dan mendadak dilihatnya Nyo Ko sedang mendatanginya, seketika air mukanya berubah dan berseru: "Hei, Toasuheng, apakah engkau hendak membikin susah Suhu?" Berbareng itu ia terus menerjang maju dan menarik baju Nyo Ko.
Sebenarnya ilmu silat Darba terlebih kuat daripada Nyo Ko, tapi lantaran sang guru dalam keadaan semadi dan tidak boleh diganggu, apabila sampai terganggu, seketika jiwa bisa melayang, saking gugupnya ia menjadi linglung dan cara menyerangnya menjadi melanggar peraturan dasar ilmu silat, keruan ia berbalik kena dipegang oleh Nyo Ko terus disengkelit sehingga dia terbanting jatuh.
Menurur jalan pikiran Darba, ia percaya Nyo Ko adalah inkarnasi Suhengnya, apalagi sekarang ia terbanting jatuh, setelah berguling di tanah segera ia merangkak bangun dan berlari pula ke depan Nyo Ko.
Semula Nyo Ko menyangka orang hendak menyerangnya lagi, maka cepat ia melangkah mundur dan siap balas menyerang, Siapa duga mendadak Darba terus tekuk lutut dan menyembah padanya sambil memohon: "O, Toasuheng, harap engkau suka mengingat kebaikan Suhu di masa lampau, kini Suhu terluka parah dan sedang mengadakan penyembuhan diri, jika engkau mengejutkan beliau tentu bisa.
. . " sampai di sini Darba tidak sanggup melanjutkan lagi karena tenggorokan serasa tersumbat dan air matapun bercucuran Meski Nyo Ko tidak paham bahasa Tibet yang diucapkan Darba, tapi dari sikapnya dan suaranya, pula Kim-lun Hoat-ong tampak pucat, maka dapatlah dia memahami apa artinya itu, cepat ia membangunkan Darba dan berkata: "Aku takkan mencelakai gurumu, jangan kuatir.
" Melihat sikap Nyo Ko yang ramah itu, Darba menjadi girang, meski berbeda bahasa, namun rasa permusuhan telah lenyap kini.
Pada saat itulah Kim-lun Hoat-ong tampak membuka matanya, melihat Nyo Ko, ia menjadi melenggong, Tadi dia tekun bersemadi sehingga tidak mendengar apa yang dipercakapkan antara Darba dan Nyo Ko, kini mendadak nampak musuh sudah berada di depan mata, maka sambil menghela napas iapun berkata: "Percumalah kepandaian yang kulatih berpuluh tahun ini, siapa nyana hari ini aku harus tewas di Tionggoan sini.
" Kiranya Kim-lun Hoat-ong terluka parah oleh hantaman batu besar itu hingga isi perutnya terluka dalam, ia pasang gubuk dan merawat luka di atas gunung ini, tak terduga Nyo Ko mendadak bisa muncul di sini, maka ia mengira dirinya pasti celaka.
Siapa tahu Nyo Ko malah memberi hormat padanya dan menyapa: "Kedatanganku ini bukan untuk memusuhi Hoat-ong, hendaklah jangan kuatir.
" Hoat-ong menggeleng kepala, baru mau bicara lagi, mendadak dada terasa kesakitan, cepat ia pejamkan mata dan mengatur pernapasan.
Melihat keadaan orang, Nyo Ko mengulurkan tangan kanan dan menempel Ci-yang-hiat di punggung Hoat-ong.
Darba kaget, cepat ia ayun kepalan hendak menyerang Nyo Ko, Tapi Nyo Ko sempat menggoyangi tangan kiri dan mengedipinya.
Ketika nampak keadaan sang guru tiada perubahan apapun, sebaliknya tampak tersenyum simpul, maka kepalan yang sudah diangkat itu tak jadi dipukulkan.
Dalam pada itu Nyo Ko telah mengerahkan tenaga dalam sehingga suatu arus hawa hangat mengalir ke berbagai Hiat-to di tubuh Kim-lun Hoat-ong.
Karena pikirannya tidak perlu kuatir lagi segera Kim-lun Hoat-ong memusatkan segenap kekuatannya untuk melancarkan aliran darahnya serta membenarkan luka dalamnya, Tidak terlalu Iama rasa sakitnya sudah mulai lenyap, wajahnya telah bersemu merah.
Ia membuka mata dan mengangguk kepada Nyo Ko sebagai tanda terima kasih.
Setelah dibantu Nyo Ko sekian lama, Kim-lun Hoat-ong merasa hawa murni di dalam tubuh telah berputar dengan cepat dan lancar.
Nyo Ko merasakan perputaran dan arah aliran hawa murni di dalam tubuh Hoat-ong itu ternyata sama sekali berbeda dengan Lwekang aliran Coan- cin-pay, bahkan juga tidak sama dengan lwekang terbalik ajaran Auyang Hong.
Yang jelas Lwekang Hoat-ong ini juga teratur dengan baik walaupun perputarannya terkadang berubah ke kanan dan ke kiri secara tak menentu.
ia tahu ini adalah aliran ilmu tersendiri dari Tibet, diam-diam iapun mengingatnya dengan baik, hanya saja bagaimana caranya berlatih belum diketahui Nyo Ko, apalagi untuk berlatih sampai tingkatan Kim-lun Hoat-ong tentu tak dapat dicapai dalam waktu singkat.
BegituIah kemudian Kim-lun Hoat-ong memberi hormat kepada Nyo Ko dan bertanya: "Nyo-siauhiap, mengapa engkau tiba-tiba datang membantu aku?" Nyo Ko lantas menceritakan bahwa baru saja ia mengetahui pembunuh ayahnya ternyata adalah Kwe Cing dan Ui Yong, maka kini bertekad akan menuntut balas, secara tidak sengaja tadi dia menguntit Darba sehingga akhirnya bertemu di sini.
"Syahdu ! Syahdu ! Kiranya Nyo-siauhiap sendiri dibebani dendam kesumat begitu," sabda Kim-lun Hoat-ong.
"Namun Kwe-tayhiap dan isterinya itu berilmu silat maha tinggi, bagi Nyo-siauhiap kiranya tidaklah mudah untuk menuntut balas.
" "Jika perlu, biarlah kami ayah dan anak mati semua di tangannya," ujar Nyo Ko setelah terdiam sejenak "Betapapun maksud tujuanmu untuk mengukur tenaga dengan tokoh persilatan di Tionggoan sini belum terhenti, namun dengan tenagaku sendiri jelas tak sanggup melawan mereka yang berjumlah banyak, aku juga ingin mengundang tokoh persilatan dari negeri lain untuk membantu pihak kami, dengan begitu kita akan dapat mengukur tenaga dengan jago silat Tionggoan dengan sama banyak dan adil Untuk ini apakah engkau bermaksud membantu pihak kami?" Mestinya Nyo Ko ingin menerima tawaran itu, tapi segera teringat olehnya kekejaman perajurit Mongol, segera ia menjawab: "Aku tak dapat membantu pihak MongoI.
" "Tapi jika engkau ingin membunuh Kwe Cing dan isterinya dengan tenagamu sendiri terang maha sulit," kata Hoat-ong.
Untuk sejenak Nyo Ko berpikir, katanya kemudian: "Baik, akan kubantu kau merebut kedudukan Bu-lim Beng-cu, tapi kau harus membantu aku menuntut balas.
" "Baik," jawab Hoat-ong sambil mengulurkan tangan "Kata-kata seorang lelaki sejati harus ditepati, Marilah kita berjanji dengan bertepuk tangan.
" Segera kedua orang saling tepuk tangan tiga kali sebagai sumpah setia berserikat.
Lalu Nyo Ko berkata pula: "Aku cuma berjanji membantu kau berebut kedudukan Bu-Iirn-bengcu saja, bahwa kau akan membantu orang Mongol menyerang ke selatan dan melakukan kekejaman dan kejahatan, untuk itu aku tak dapat memberi bantuan.
" "Setiap orang mempunyai cita-cita sendiri dan tak dapat dipaksakan," kata Hoat-ong dengan tertawa.
"Saudara Nyo, gaya ilmu silatmu terdiri dari berbagai aliran, ingin kukatakan terus terang, bahwasanya memahami berbagai ilmu memang tiada jeleknya, tapi terlalu banyak menjadi tidak murni.
Dalam ilmu apa yang paling kau andalkan dan dari aliran mana" Dengan kepandaian apa kau hendak menempuh Kwe Cing dan istrinya untuk membalas sakit hatimu?" Pertanyaan ini membikin Nyo Ko bungkam dan sukar memberi jawaban.
Selama hidupnya memang banyak pengalaman aneh yang ditemuinya, wataknya juga suka menerima kepandaian apa saja asalkan bisa dipelajarinya, ilmu silat Coan-cin-pay, kepandaian Auyang Hong, Giok-li-sim-keng dari Ko-bong-pay, Kiu-im-cin-keng, ajaran Ui Yok-su dan Ang Chit-kong tak terhitung banyaknya ilmu yang telah dipeIajarinya.
Tapi setiap ilmu itu sangat luas dan dalam, biarpun dia mempelajarinya dengan segenap kepintarannya juga sukar mencapai tingkatan yang sempurna, dia hanya ambil sini sebagian dan petik sana sebagian pula, belum ada sejenis ilmu itu yang benar-benar dilatihnya hingga mencapai tingkat kelas satu.
Dengan memiliki kepandaian yang beraneka macam itu, kalau ketemu jago kelas dua memang cukup untuk membikin musuhnya itu kewalahan dan bingung, tapi kalau kebentur tokoh kelas tinggi segera kelemahannya kelihatan dan menyolok perbedaannya.
Begitulah Nyo Ko menunduk merenungkan-apa yang dikatakan Kim-lun Hoat-ong itu, ia merasa ucapan orang memang benar dan tepat mengenai kelemahan ilmu silat yang telah dipelajarinya itu, Bahwa Ang Chit-kong, Ui Yok-su, Auyang Hong, Kim-lun Hoat-ong dan tokoh terkemuka lain, dapat termashur, dan menonjol semuanya adalah karena mereka hanya meyakinkan ilmu perguruannya sendiri, jadi untuk mencapai tingkatan sempurna tidaklah perlu serakah dalam jumlah, tapi yang penting adalah kadar kepandaian itu sendiri.
Ia pikir sudah sekian banyak ilmu yang kupahami dan semuanya serba lihay, lalu ilmu manakah yang harus kupelajari secara khas" Kalau menuruti arah pikiran, sudah tentu dirinya harus melulu meyakini Giok-li-sim-keng dari Ko-bong-pay, apalagi kalau dirinya sudah bertekad akan hidup berdampingan selamanya di dalam kuburan kuno bersama Siao-tiong-li.
Tapi bila teringat betapa bagusnya Pak-kau-pang-hoat ajaran Ang Chit-kong, atau betapa indahnya Giok Siau-kiam-hoat ajaran Ui Yok-su, kalau semuanya itu dikesampingkan kan juga sayang" Apalagi Ha-mo-kang ajaran Auyang-Hong atau berbagai ilmu sakti dari kitab Kiu-im- cin-keng, ilmu yang sangat diidamkan jago silat siapapun, kini dirinya dapat mempelajarinya, masakah malah ditinggalkan begitu saja " Saking kesalnya ia keluar gubuk itu dan berjalan mondar-mandir dengan bersedekap-tangan, sejenak kemudian mendadak timbul suatu pikiran dalam benaknya: "Ya, mengapa aku tidak menggunakan intisari semua ilmu yang kupahami ini untuk menjadikannya suatu aliran tersendiri" setiap ilmu silat di dunia ini adalah ciptaan manusia, kalau orang lain dapat menciptakannya, mengapa aku tidak?" Berpikir sampai di sini, mendadak pikirannya terbuka, jalan terbentang terang di depan matanya.
Begitulah ia mulai memeras otak, dari pagi berpikir sampai lohor dan sampai jauh malam pula tanpa makan dan minum, Berbagai aliran ilmu silat terbayang bergantian dalam benaknya dan seakan-akan saling bertempur.
Ia pernah menyaksikan pertandingan antara Ang Chit-kong dan Auyang Hong secara lisan, ia sendiripun pernah menggertak lari Li Bok-chiu hanya dengan uraian mulut saja.
Kini pertarungan berbagai aliran ilmu silat dalam benaknya itu ternyata jauh lebih dahsyat dan sengit daripada pertandingan lisan.


Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitulah bayangan pertarungan antara berbagai aliran silat terus berkecamuk di dalam benaknya sampai akhirnya tanpa terasa kaki dan tangannya juga ikut bergerak.
Semula masih dapat dibedakan jurus ini berasal dari ajaran Ang Chit kong dan jurus lain dipelajari dari Auyang Hong, tapi lama-Iama menjadi kacau balau dan tak tahan lagi, mendadak ia jatuh terjungkal dan pingsan.
Dari jauh Darba mengikuti gerak-gerik Nyo Ko yang linglung dan kemudian main silat sendiri seperti orang gila, akhirnya pemuda itu mendadak jatuh, ia menjadi kaget dan memburu maju hendak menolongnya.
Tapi Kim-lun Hoat-ong telah mencegahnya dengan tertawa: "Jangan kau ganggu dia, Sayang kecerdasanmu kurang sehingga kau tidak memahami persoalannya.
" Nyo Ko tidur setengah malam, esoknya setelah bangun kembali ia memeras otak pula, dalam tujuh hari ia jatuh pingsan lima kali tapi gerak tangan dan kakinya semakin lihay, telapak tangan mampu mematahkan pohon dan kaki sanggup menerbangkan batu.
Sampai hari kedelapan, gerakan Nyo Ko sudah mulai pelahan, dari dahsyat berubah menjadi lemas, sekali pukul pada batang pohon, sehelai daun juga tidak bergoyang, tahu-tahu pohon itu patah.
Tahulah Nyo Ko bahwa ilmu silat ciptaannya telah jadi, sungguh girangnya tidak alang kepalang, segera ia duduk bersila dan mulai merenungkan kembali semua jurus ilmu silat ciptaannya itu dari awal sampai akhir, ia merasa semuanya terlebur menjadi satu dalam pemikirannya, baru sekarang dia tahu perbedaan antara kekuatan batin dan tenaga luar, antara kebagusan Pak-kau-pang-hoat dan Giok-siau-kiam-hoat, sesungguhnya semua itu "Bhinneka Tunggal Ika", berbeda-beda, tapi satu, Kemudian ia berbangkit pelahan dan memandang jauh di atas puncak gunung itu, perutnya terasa sangat lapar, tanpa pikir ia makan sekenyangnya buah-buahan yang dikumpulkan Darba.
"Selamat, saudara Nyo atas berhasilnya ilmu silat ciptaanmu," kata Kim-iun Hoat-ong dengan tertawa sambil berbangkit dan memberi hormat dengan merangkap kedua telapak tangannya di depan dada.
Berbareng itu serangkum angin dahsyat terus menyambar ke arah Nyo Ko.
Nyo Ko terkejut dan cepat gunakan tangannya untuk menyampuk angin pukulan lawan ke samping, Tapi begitu tenaga pukulan kedua pihak saling kontak, segera Kim-lun Hoat-ong tarik kembali tenaga pukulannya.
Hanya benturan ringan tenaga pukulan tadi Kim-lun Hoat-ong sudah dapat menarik kesimpulan bahwa hasil renungan Nyo Ko selama delapan hari ternyata luar biasa hebatnya.
Tahu bahwa orang cuma menguji kepandaian-nya, Nyo Ko tertawa dan berkata: "Akupun mengucapkan selamat padamu, kini kau sudah sehat kembali" Bahwa seorang kalau sudah "jadi", apakah jadi kaya, atau jadi pintar, dengan sendirinya sikap dan wibawanya segera berubah, Begitu juga dalam hal ilmu silat, karena kini Nyo Ko adalah pendiri suatu aliran tersendiri meski usianya masih muda belia, namun wibawa dan sikapnya sudah jauh berbeda daripada delapan hari sebelumnya.
Diam-diam Kim-lun Hoat-ong merasa syukur dan merasa akan banyak memetik hasilnya dengan bersekutu dan mendapat bantuan anak muda ini, Maka ia lantas berkata: "Saudara Nyo, marilah kuperkenalkan seorang kepadamu, Orang ini mempunyai pengetahuan yg luar biasa dan berbakat tinggi, bijaksana lagi berbudi kutanggung engkau juga akan kagum kepadanya setelah menemuinya.
" "Siapakah dia?" tanya Nyo Ko.
"Kubilai, pangeran Mongol," jawab Hoat-ong.
"Dia adalah cucu Jengis Khan, putera keempat pangeran Tule.
" Karena pernah menyaksikan keganasan tentara Mongol, maka Nyo Ko merasa benci kepada orang Mongol, ia menjawab: "Aku ingin selekasnya dapat membunuh musuh untuk menuntut balas.
Maka tak perlulah kiranya pertemuan dengan pangeran MongoI itu.
" "Aku sudah berjanji akan membantu kau, janji ini pasti akan kupegang teguh," ujar Hoat-ong dengan tertawa, "Tapi aku adalah orang undangan pangeran Kubilai, aku perlu memberi lapor sekadarnya kepada beliau.
Perkemahannya terletak tidak jauh dari sini sehari saja cukup untuk mencapainya.
" Nyo Ko merasa sendirian pasti bukan tandingan Kwe Cing dan Ui Yong, karena memerlukan bantuan orang, terpaksa Nyo Ko menurut dan ikut Kim-lun Hoat-ong.
Adalah kebiasaan orang Mongol bertempat tinggal dalam kemah adat ini tak dapat dilenyapkan meski mereka berhasil menyerbu ke Tiongkok dan menduduki kota, mereka tetap tidak biasa bertempat tinggal di dalam rumah bertembok.
Sebab itulah Kubilai juga tinggal di dalam kemahnya.
Kim-lun Hoat-ong adalah Koksu utama kerajaan Mongol, dengan sendirinya dia sangat dihormati dan disegani melihat kedatangannya cepat penjaga melapor kepada sang pangeran.
Sambil berendeng maju, Kim-lun Hoat-ong dan Nyo Ko melangkah masuk ke dalam kemah pangeran Kubilai.
Di dalam kemah itu ternyata sangat sederhana, kecuali luasnya satu kali lipat daripada kemah orang Mongol biasa, lebih dari itu tiada kelihatan tanda-tanda sesuatu yang mewah.
Seorang pemuda berusia 25-26 tahun dengan dandanan orang terpelajar sedang membaca kitab.
Melihat Hoat-ong berdua datang, cepat pemuda itu berbangkit menyambut dan berkata dengan tertawa: "Sudah, beberapa hari tidak bertemu dengan Koksu, rasaku menjadi kesal.
" "Ongya, ini kuperkenalkan seorang kesatria muda padamu," kata Hoat-ong.
"Saudara Nyo ini adalah seorang ksatria yang sukar ada bandingannya.
" Mendengar sapa menyapa itu, Nyo Ko terkejut.
Tadinya ia mengira sebagai cucu Jengis Khan dan saudara raja Mongol yang bertahta sekarang, tentulah pangeran Kubilai itu pasti gagah berwibawa dan kereng, siapa tahu yang dihadapinya sekarang adalah seorang pemuda pelajar yang berdandan sebagai bangsa Han dan bicara dalam bahasa Han pula.
Kubilai mengawasi Nyo Ko sejenak, lalu sebelah tangannya menggandeng Nyo Ko dan tangan lain menarik Kim-Iun Hoat-ong serta berseru kepada anak buahnya: "Lekas ambilkan arak, aku ingin minum bersama saudara ini.
" Segera anak buahnya menghaturkan tiga buah mangkuk besar serta dituangi arak khas Mongol, arak susu kuda.
Sekali tenggak Kubilai habiskan semangkuk penuh, Hoat-ong juga keringkan isi mangkuknya.
Nyo Ko sendiri biasanya jarang minum arak, kini melihat tuan rumah sangat simpatik, ia merasa tidak enak untuk menolak, segera iapun habiskan isi mangkuknya, ia merasa arak itu sangat keras dan pedas, tapi mengandung rasa pahit dan kecut pula.
"Bagaimana rasanya arak ini, saudara cilik?" tanya Kubilai dengan tertawa.
"Arak ini mempunyai rasa pahit, pedas, kecut dan sepat, di dalamnya terasa perih puIa, rasanya tidak enak, tapi inilah arak minuman seorang lelaki sejati," jawab Nyo Ko cepat.
Kubilai sangat girang, berulang ia berseru kepada anak buahnya agar menuangkan arak pula dan ketiga orangpun masing-masing menghabiskan tiga mangkuk.
Berkat tenaga dalamnya yang kuat, sedikitpun Nyo Ko tidak memperlihatkan tanda mabuk meski sudah habiskan arak keras itu cukup banyak.
Dengan gembira Kubilai tanya kepada Kim-lun Hoat-ong : "Koksu, dari manakah engkau mendapatkan bakat muda sebagus ini" Sungguh beruntung bagi Mongol Raya kita.
" Secara ringkas Kim-lun Hoat-ong lantas menceritakan,asal usul Nyo Ko, nadanya bahkan sengaja meninggikan derajat anak muda itu seolah-olah menganggap Nyo Ko sebagai tokoh dunia persilatan di Tionggoan.
Jika orang lain tentu takkan percaya terhadap cerita Hoat-ong itu mengingat usia Nyo Ko jelas masih sangat muda, Tapi Kubilai sendiri sejak kecil sudah terkenal sebagai anak ajaib, pintar luar biasa dan bijaksana, apalagi iapun percaya penuh kepada Hoat-ong, maka ia menjadi kegirangan dan segera memerintahkan diadakan perjamuan, katanya kepada Hoat-ong dan Nyo Ko: "Sebentar akan kuperkenalkan kalian kepada beberapa orang kosen.
" Kubilai sudah lama tinggal di daerah Tiong-goan dan mengagumi kebudayaan Tiongkok, hidupnya sehari-hari senantiasa bergaul dengan kaum terpelajar iapun mengumpulkan jago silat, dari berbagai penjuru dan menghimpun kaum cendekiawan sebagai staf untuk membincangkan rencana penyerbuan ke Tiongkok "selatan.
BegituIah tidak seberapa lama meja perjamuan sudah siap dengan hidangan campuran Mongol dan Han.
Kubilai memberi perintah pula kepada anak buahnya: "Undanglah beberapa tuan di Ciau-hian-koan (Wisma Ksatria) itu hadir ke sini.
" Setelah anak buahnya mengiakan dan pergi, Kubilai berkata pula: "Beberapa hari di Ciau-hian-koan telah berkumpul beberapa tamu yang memiliki kepandaian kosen, semuanya sangat menyenangkan hatiku, tapi tetap belum dapat memadai kepandaian Koksu dan saudara Nyo yang serba bisa.
"Habis berkata ia tertawa terbahak-bahak.
Tidak lama penjaga memberi lapor tamu undangan telah datang, Waktu tirai kemari tersingkap, masuklah empat orang.
Nyo Ko terkejut ketika mengenali orang yang berjalan paling depan itu kaku sebagai mayat dan di sebelahnya adalah seorang cebol hitam, siapa lagi kalau bukan Siau-siang-cu dan Nimo Singh yang dipergokinya di lembah gunung tengah malam itu.
Dua orang lagi yang masuk belakangan juga mempunyai potongan yang aneh, seorang tinggi besar, tingginya lebih 2 meter, tangan kasar dan kaki besar, sungguh seorang raksasa tulen, cuma air mukanya tampak ketolol-tololan, pandangan matanya kaku buram, mirip orang tidak waras, seorang lagi berhidung besar, Iekuk matanya dalam, rambutnya keriting dan janggutnya merah keemasan, jelas seorang golongan Arab, justeru memakai pakaian bangsa Han yang perlente memakai kalung mutiara segala, malahan pakai gelang jamrud lagi.
Dandanannya gemilapan dan lagaknya kebanci-bancian.
Kubilai menyilakan semua orang berduduk, lalu memperkenalkan mereka satu per satu, Kira-nya si raksasa tadi adalah suku Hwe di daerah Sin-kiang, sejak kecil memiliki tenaga besar dan sanggup membinasakan singa atau harimau dengan bertangan kosong.
Kemudian bertemu pula dengan orang kosen dan mendapatkan pelajaran ilmu silat yang kasar, cuma tenaganya memang maha kuat, meski ilmu silatnya tidak tinggi, kalau berkelahi tampaknya menjadi dahsyat sekali.
Sedangkan orang keturunan Arab itu adalah saudagar Persia dan sudah tiga turunan tinggal di Tiongkok sebagai pedagang batu permata, namanya juga menggunakan nama bangsa Han, yakni In Kik-si, dia memiliki ilmu silat gaya Persia yang aneh, ditambah lagi waktu dia berkeliling mencari barang dagangan, sering dia berbincang ilmu silat dengan jago silat Tiongkok, dari hasil tukar pikiran itu dipelajarinya lagi secara mendalam hingga akhirnya dia mengkombinasikan ilmu silat dari dua negeri, dapat diciptakannya suatu aliran silat tersendiri.
Ia mendengar Kubilai sedang mencari jago silat maka iapun datang melamar.
Begitulah Nimo Singh dan Siau-siang-cu saling pandang dengan tertawa penuh arti, mereka melirik ke arah Kim-lun Hoat-ong dengan sikap yang tidak mau tunduk, Ketika melihat Nyo Ko masih muda belia itu, mereka mengira anak muda ini adalah anak cucu murid Kim-lun Hoat-ong, maka sama sekali tidak memperhatikannya.
Setelah suguhan arak berulang tiga kali, Nimo Singh yang berwatak berangasan itu tidak sabar lagi, segera ia berteriak: "Ongya, kerajaan MongoI Raya makmur jaya, ksatria di dunia ini semuanya berkumpul di sini, kalau Hwesio besar ini dianugerahi dengan gelar Koksu nomor satu, tentu ilmu silatnya tiada bandingannya, untuk itu kami justeru ingin tahu akan kesaktiannya sekadar menambah pengalaman kami.
" Kubilai tersenyum dan tidak menanggapi segera Siau-siang-cu menyambung: "Saudara Nimo Singh ini datang dari negeri Thian-tiok (lndia), sedangkan ilmu silat di Tibet berasal dari negeri Thian-tiok, apakah mungkin anak didik lebih mahir dari sang guru, aku menjadi ragu dan ingin tahu pula.
" Ucapan Siau-siang-cu itu jelas bernada mengadu domba, ia memang berharap agar Nimo Singh dapat bertempur dulu dengan Kim-lun Hoat-ong, dengan begitu dirinya nanti tinggal menarik keuntungannya saja, walaupun nadanya rada memihak Nimo Singh, tapi sesungguhnya dia berharap keduanya bertarung mati-matian.
Melihat air muka Siau-siang-cu pucat bersemu hijau, Kim-lun Hoat-ong yakin orang ini pasti memiliki Lwekang yg tinggi bukan mustahil diantara empat orang dia ini adalah lawan yang terkuat, Sekilas dilihatnya In Kik-si hanya tertawa saja, sejak tadi dengan lagak saudagar yang cuma mementingkan duit belaka, tampaknya sama sekali tidak mengerti ilmu silat, tapi justeru orang yang macam begini malahan tidak boleh dipandang enteng.
Maka Kim-lun Hoat-ong lantas berkata dengan tersenyum: "Bahwa diriku diangkat sebagai Kok-su, semua ini adalah berkat budi kebaikan Sri Baginda serta Paduka Pangeran, sebenarnya aku mana berani menerimanya.
" "Jika tidak berani menerima, kan seharusnya kau memberikan pangkat itu kepada orang lain," ujar Siau-siang-cu sambil melirik ke arah Nimo Singh.
Hoat-ong angkat sumpitnya menyupit sepotong besar daging sampi rebus, lalu berkata dengan tertawa: "Potongan daging ini paling besar di piring ini, sesungguhnya akupun tidak ingin memakannya, hanya saja sumpitku secara kebetulan mencomotnya, dalam agama Budha disebut "ada jodoh" Sekiranya tuan yang hadir di sini ada yang berminat makan daging ini, kusilahkan menyumpitnya saja.
" Habis berkata Hoat-ong tetap pegang sumpitnya yang menjepit potongan daging itu dan berhenti di atas piring sambil menunggu reaksi orang lain.
Si raksasa Be Kong-co paling polos orangnya, pikirannya terlalu sederhana dan tidak tahu kelicikan manusia umumnya, ia tidak tahu bahwa ucapan Kim-lun Hoat-ong itu bercabang makna.
Katanya saja sepotong daging, tapi yang dimaksudkan sebenarnya adalah kedudukan Koksu nomor satu yang ingin diperebutkan Nimo Singh itu.
Dasar Be Kong-co memang lugu, tanpa pikir ia menjulurkan sumpitnya untuk menjepit potongan daging disumpit Hoat-ong itu, tapi baru saja ujung sumpitnya hampir menempel daging, sekonyong-konyong ujung sebuah sumpit yang dipegang Kim-lun Hoat-ong itu, menyerong keluar dan membentur sumpitnya.
Seketika Be Kong-co merasakan tangannya tergetar sakit, sumpitnya terlepas dari cekalan dan jatuh di atas meja.
Semua orang saling memandang dengan melongo kaget, mereka kagum betapa lihaynya tenaga dalam Hoat-ong.
Tapi Be Kong-co sendiri ternyata belum menyadari apa yang terjadi itu, dia jemput kembali sumpitnya dan sekali ini dipegang sekencangnya agar tidak tergetar jatuh pula, lalu sumpit dijulurkan untuk berebut daging lagi.
Kembali ujung sumpit Hoat-ong menyerong keluar, tapi sekali ini pegangan Be Kong-co sungguh kencang dan tak dapat tergetar jatuh sumpitnya, yang terdengar adalah suara "krek" sekali, sepasang sumpitnya telah patah menjadi empat seperti ditabas pisau, kedua bagian yang patah itu jatuh semua di atas meja.
Be Kong-co menjadi gusar malah, ia meraung terus hendak menubruk maju untuk melabrak Kim-lun Hoat-ong.
Namun Kubilai keburu mencegahnya dan berkata dengan tertawa: "Harap Be-cong-su jangan marah, kalau mau bertanding silat boleh nanti saja setelah dahar.
" Meski orangnya kasar, tapi Be Kong-co ternyata takut kepada sang pangeran, dia kembali berduduk, katanya dengan mendongkol sambil tuding Hoat-ong: "Kau menggunakan ilmu siluman apa sehingga alat makanku terpatahkan?" Kim-lun Hoat-ong hanya tersenyum saja tanpa menjawab, sumpitnya tetap terjulur di atas meja dengan daging yang tersumpit itu.
Semula Nimo Singh meremehkan Kim-lun Hoat-ong, tapi kini ia tak berani memandang enteng lagi padanya setelah melihat Lwekang orang yang hebat itu.
Sebagai orang Thian-tiok, cara makannya tidak memakai sumpit, tapi pakai tangan belaka, segera ia berkata: "Be-heng tak mampu menyumpit daging ini, serahkan saja padaku.
" Mendadak kelima jarinya terus mencengkeram daging yang disumpit Hoat-ong itu.
Akan tetapi secepat kilat Kim-lun Hoat-ong tetap menyerongkan sebuah ujung sumpit, hanya sedikit bergetar saja sekaligus ia mengincar beberapa Hiat-to pada jari tangan Nimo Singh.
Namun Nimo Singh juga bukan jago rendahan, tangannya membalik terus memotong pergelangan tangan lawan.
Tangan Hoat-ong tidak bergerak, hanya sumpitnya yang diputar balik dan tetap bergetar beberapa kali, Segera Nimo Singh merasa ujung sumpit lawan hampir menyentuh urat nadi tangannya, cepat ia menarik kembali tangannya, Dalam pada itu sumpit Kim-lun Hoat-ong juga telah membalik lagi dan tetap dapat menyapit potongan daging tadi.
Nyo Ko dan lain-lain dapat menyaksikan bahwa hanya sekejap itu saja sebenarnya antara Kim-lun Hoat-ong dan Nimo Singh sudah saling gebrak beberapa jurus, gerakan sumpit Hoat-ong sangat cepat, tapi cara Nimo Singh bergerak dan menarik tangannya juga cepat luar biasa, itulah pertarungan antara jago silat kelas satu.
Dengan nada dingin Siau-siang-co berseru memuji, sedangkan Kubilai hanya tahu kedua orang itu telah saling uji kepandaian dengan ilmu silat yang tinggi, tapi ilmu apa yang dikeluarkan mereka tak dapat diketahuinya, Be Kong-cu juga melongo bingung mengikuti pertarungan aneh itu.
Kini giliran In Kik-si, dengan tertawa ia berkata: "Ah, saudara-saudara ini mengapa sungkan-sungkan terhadap daharan lezat ini, kau tak mau makan, akupun tak mau makan, kan sebentar semua menjadi dingin.
" Sambil berkata iapun menjulurkan sumpitnya dengan pelahan, gelang tangannya yang jamrud bersentuhan dengan gelang emas hingga menerbitkan suara gemerincing nyaring, Belum lagi sumpitnya menyentuh daging, Hoat-ong sudah merasakan sumpitnya tergetar oleh tenaga dalam In Kik-si.
Tapi Hoat-ong malah terus menyurung sumpitnya ke depan agar dagingnya kena disumpit In-Kik-si, berbareng itu suatu arus tenaga dalam yang maha kuat disalurkan dan menggempur lengan lawan.
Dalam hati In Kik-si berteriak celaka, kalau saja tenaga dalam dapat menggempur sampai di dadanya, maka dirinya pasti akan terluka parah, Terpaksa ia mengerahkan segenap tenaga untuk balas menggempur.
Tak terduga tenaga dalam Hoat-ong itu setelah dikerahkan secara mendadak ditarik kembali pula, karena itu daging yang sudah tersumpit oleh In Kik-si itu menjadi tertolak kembali oleh gempuran balik tenaganya sehingga dapat dicapit pula oleh sumpit Hoat-ong.
"Haha, ternyata In-heng juga sungkan dan tidak sudi makan daging ini," kata Hoat-ong dengan tertawa.
Nyata Hoat-ong telah mengalahkan In Kik-si dengan akal In Kik-si juga sangat tinggi hati setelah kena diakali, terpaksa ia mundur teratur, apa lagi kalau bergebrak pula dirinya juga belum tentu dapat menang, ia pikir lain kali saja kalau ada kesempatan akan kucoba lagi Hwesio ini.
Kemudian ia menyumpit sepotong daging yang agak kecilan dan dimakan, katanya dengan tertawa: "Selama hidupku hanya duit saja yang menarik daging sampi yang terlalu banyak gemuknya akupun tak suka, biarlah kumakan daging yang kecilan saja.
" Diam-diam Kim-lun Hoat-ong juga mengakui kelihayan orang Persi ini dengan gayanya yang luwes, kalau mesti bertempur sungguh merupakan lawan yang tangguh, talu ia berpaling kepada Siau-siang-cu dan berkata: "Jika Siau-heng juga tidak sudi, terpaksa kumakan sendiri " Berbareng ia sedikit tarik mundur sumpitnya.
Kiranya Hoat-ong yakin Siau-siang-cu adalah lawan paling kuat di antara empat orang yang dihadapinya sekarang, bahwa alasannya mau makan sendiri sebenarnya dia sengaja menarik mundur tangannya, dengan demikian daya tahannya akan bertambah - kuat, sebaliknya jarak lawan menjadi tambah jauh dan dengan sendirinya pihak lawan harus lebih banyak mengeluarkan tenaga apabila mau menyerang.
Sudah tentu Siau-siang-cu mengetahui maksud tujuan orang, ia hanya mendengus saja, pelahan ia angkat sumpitnya, tapi mendadak secepat kilat bergerak ke depan dan tepat mencapit potongan daging itu terus ditarik, karena itu jarak mundurnya tangan Hoat-ong tadi kena diseret maju lagi ke posisi semula.
Meski sebelumnya Hoat-ong mengetahui tenaga dalam lawan ini sangat lihay, tapi tak menduga bahwa gerakannya bisa bergitu cepat, maka cepat iapun balas menarik.
Karena kedua orang sama2 mengerahkan tenaga dalam, seketika terjadilah saling betot dan saling tahan, hanya sekejap saja tiga gebrakan sudah terjadi dan potongan daging itu masih tersumpit oleh dua pasang sumpit.
Kubilai tidak paham betapa bagusnya ilmu silat kelas wahid, ia mengira kedua orang hanya saling berebut daging rebus saja, padahal kedua orang sudah saling gebrak beberapa jurus seperti pertarungan di medan tempur.
Di tengah saling uji kepandaian beberapa orang itu, sejak tadi Nyo Ko hanya menyaksikan saja dengan tersenyum, ia pikir orang kosen di dunia ini sungguh sukar dihitung banyaknya, terutama kepandaian kedua orang yang sukar dibedakan kalah dan menang sekarang ini, pada saat itulah tiba2 dari jauh berkumandang suara seorang: "Kwe Cing! Adik Kwe Cing dimana kau " Lekas keluar! Hai, Kwe Cing, bocah she Kwe, dimana kau?" Suara itu semula terdengar berkumandang dari sebelah timur dan sekejap kemudian kedengaran ada beberapa li jauhnya, seperti suara seorang, lalu disusul dengan suara orang kedua, cuma logatnya jelas berasal dari seorang yang sama, malahan dari timur ke barat dan dari barat ke timur suara itu terus menerus bergema tanpa berhenti maka dapat dibayangkan betapa cepat gerak tubuh orang itu sungguh jarang ada bandingannya.
Selagi semua orang saling pandang dengan melenggong, sementara itu Kim-lun Hoat-ong dan Siau-siang-cu masih saling ngotot.
Padahal daging rebus itu mana mampu menahan tenaga tarikan dua jago kelas satu itu, tapi nyatanya daging itu masih tetap ulet dan tidak putus.
Kiranya teramat cepat pergantian tenaga Kim-lun Hoat-ong dan Siau-siang-cu, begitu saling tarik segera pula saling sodok, tapi lantaran gerakan kedua orang sama cepatnya dan sama kuat pula, maka daging itu tidak lebih hanya sebagai perantara penyaluran tenaga saja sehingga tidak hancur.
Nyo Ko dapat melihat keadaan itu, ia tunggu ketika kedua orang sedang saling betot dan daging itu tertarik hingga memanjang, mendadak ia angkat sumpitnya dan memotong daging itu, dua batang sumpit memotong daging itu menjadi tiga bagian, pada saat yang tepat ia jepit potongan daging bagian tengah, sedangkan Hoat-ong dan Siau-siang-cu masing-masing mendapatkan potongan daging ujung kanan dan kiri.
Cara turun tangan Nyo Ko ini tidak mengutamakan kekuatan tenaga dalam melainkan unggul dalam hal kejituan dan kecepatan, ia dapat menggunakan tempo yang paling tepat.
BegituIah ketiga orang saling pandang dengan tertawa dan baru saja mereka hendak memakan daging pada sumpit masing-masing, se-konyong2 tirai kemah tersingkap dan bayangan seorang berkelebat mendadak seorang mengulurkan tangan dan sekaligus-dapat merampas potongan daging pada sumpit Nyo Ko bertiga, lalu dimakan dengan lahapnya.
Orang itu terduduk bersimpuh di atas permadani di dalam kemah dan makan dengan mikmatnya, sama sekali tidak pandang sebelah mata pada orang lain yang berada di situ.
Kejadian ini membikin semua orang terkejut dan serentak berdiri Bayangkan saja, betapa lihaynya ilmu silat Kim-lun Hoat-ong, Siau-siang-cu dan Iain-lain, Nyo Ko kinipun sudah termasuk barisan tokoh kelas satu, tapi orang itu sekaligus dapat merampas daging mereka tanpa bisa mengelak sedikit.
Waktu Nyo Ko mengawasi kiranya orang itu adalah seorang kakek berambut dan berjenggot putih, tapi mukanya merah bercahaya dan tersenyum simpul menyenangkan, betapa usianya sukar untuk diterka.
Penjaga kemah ternyata tidak mampu merintangi kakek itu, para pengawal itu serentak membentak: "Tangkap pengacau !" Berbareng empat tumbak terus menusuk ke dada kakek itu.
Tapi kakek itu cuma menggunakan tangan kirinya dan sekaligus ujung keempat tumbak sudah terpegang olehnya, Lalu katanya kepada Nyo Ko: "Eh, adik cilik, ambilkan lagi daging sampi, perutku lapar sekali.
" Sudah tentu keempat pengawal Mongol itu sangat penasaran, sekuatnya mereka membetot tumbak yang dipegang si kakek, tapi sedikitpun tak bergeming meski muka mereka merah padam dan otot hijau menonjol di dahi mereka.
Nyo Ko sangat tertarik akan kepandaian kakek aneh itu, tanpapikir ia angkat piring yang berisi daging rebus itu terus, dilemparkan ke sana sambil berkata : "lni, silahkan makan!" Dengan tangan kanan saja kakek itu menahan pantat piring yang menyambar tiba itu, mendadak sepotong daging di atas piring itu melompat-ke atas dan masuk mulut si kakek.
Kubilai sangat tertarik dan bersorak gembira, disangkanya kakek itu mahir main sulapan, sedangkan Kim-lun Hoat-ong dan lain-lain dapat melihat Lwekang orang tua itu kuat luar biasa, bahwa potongan daging itu dapat melompat sendiri jelas karena getaran tenaga tangannya yang menyanggah piring itu.
Hebatnya daging yang melonjak ke atas itu hanya sepotong saja dan potongan daging yang lain tidak bergerak sedikitpun ketepatan tenaga inilah yang luar biasa dan tak dapat ditiru orang lain, Mau-tak-mau semua orang merasa kagum dan segan pula.
Tertampak kakek itu terus makan dengan Iahapnya, baru potongan daging pertama dilalap, segera sepotong daging yang lain melompat lagi dari piring dan masuk mulut si kakek.
Hanya sekejap saja daging seisi piring itu sudah tersapu bersih.
Ketika tangan kanan si kakek bergerak, piring kosong yang dipegangnya itu terus melayang ke atas dan berputar satu kali, lalu menyamber ke arah Nyo Ko dan In Kik-si.
Karena sudah tahu kakek itu memiliki ilmu gaib dan kuatir terdapat sesuatu pada piring itu, Nyo Ko dan In Kik-si tak berani menangkap piring itu, mereka sama mengegos ke samping.
Karena itu piring kosong itu terus menyamber lewat dan turun ke permukaan meja, tepat membentur piring lain yang berisi daging kambing panggang, piring kosong tadi berhenti di atas meja, sebaliknya piring yang berisi daging kambing panggang terus terbang menuju si kakek.
Tampaknya si kakek sangat senang, ia bergelak tertawa, seperti cara tadi setelah piring berisi daging kambing dipegangnya, kembali sepotong demi sepotong daging kambing itu melompat masuk mulutnya dan tidak lama telah dilalap habis.
Dalam keadaan begitu, yang paling konyol tentulah keempat pengawal Moegol tadi tumbak mereka terpegang si kakek, mereka membetot se-kuatnya dan tak dapat terlepas, untuk melepaskan senjata merekapun tidak berani Maklumlah disiplin tentara Mongol sangat keras, membuang senjata di medan perang hukumannya mati, apalagi keempat orang itu bertugas sebagai pengawal sang Pangeran, terpaksa mereka mengerahkan segenap tenaga untuk menarik sekuatnya.
Kakek itu ternyata sangat nakal, semakin ke empat orang itu kelabakan, semakin senang dia.
Mendadak ia berseru : "Bim-salabim! Dua orang menyembah padaku, dua lagi terjengkang ! Satu-dua-tiga !" Selesai "tiga" diucapkan, berbareng tangannya sedikit bergerak, kontan ujung keempat tumbak patah semua, Tapi tenaga yang dikeluarkan jari tangannya ternyata berbeda, dua batang tumbak ditolak ke sana, sebaliknya dua tumbak yang kiri di-betot, maka terdengarlah suara mengaduh kesakitan keempat orang Mongol itu, yang dua orang jatuh tiarap seperti orang menyembah, dua lagi jatuh terjengkang ke belakang.
Habis itu si kakek bertepuk tangan dan menyanyikan lagu kanak-kanak, yaitu lagu yang umumnya didendangkan orang tua untuk menghibur anak kecil yang menangis karena jatuh.
Tiba-tiba Siau-sang-cu teringat kepada satu orang, cepat ia bertanya: "Apakah Cianpwe she Ciu?" Kakek itu terbahak-bahak, jawabnya: "Ya, kau kenal padaku ?" Tanpa ayal Siau-siang-cu" berbangkit dan memberi hormat, katanya: "Kiranya Lo-wan-tong Ciu Pek-thong, Ciu-locianpwe yang tiba," Kim-lun Hoat-ong dan Nimo Singh baru pertama kali ini datang di Tionggoan, mereka belum kenal siapa itu Ciu Pek-thong, mereka hanya merasa ilmu silat si kakek she Ciu ini tinggi luar biasa dan sukar diukur, tapi tingkah lakunya jenaka dan nakal pula, pantas berju!uk "Lo-wang-tong", (si nakal tua).
. Karena itu rasa permusuhan mereka jadi lantas berkurang, malahan mereka sama tersenyum geli oleh julukan orang yang lucu itu.
Segera Kim-lum Hoat-ong berkata: "Maafkan keteledoranku yang tidak kenal orang kosen dari dunia persilatan Bagaimana kalau silakan duduk saja di sini.
Ongya sedang mencari orang pandai, kini orang kosen berada di sini, tentu Ongya merasa sangat gembira.
" Kubilai juga memberi salam dan berkata: "Benar, silakan Ciu-losiansing berduduk, ada banyak persoalan yang kurang jelas perlu kuminta petunjuk padamu.
" Tapi Ciu Pek-thong menggeleng kepala, jawabnya: "Tidak, aku sudah kenyang dan tidak ingin makan lagi, Di mana Kwe Cing" Apakah dia berada di sini?" Hati Nyo Ko tergetar mendengar nama Kwe Cing disebut, dengan dingin ia tanya: "Ada urusan apa kau mencari dia?" Dasar watak Ciu Pek-thong memang kocak dan kekanak-kanakan, dia paling suka bergaul dengan anak kecil, melihat Nyo Ko berusia paling muda diantara orang yang hadir di situ, hal ini sudah membuatnya suka lebih dahulu, kini mendengar pula Nyo Ko menyebutnya dengan kata "kau" dan tidak pakai "Locianpwe" dan "Ciu-siansing" segala, ini membuatnya lebih-lebih senang.
Maka cepat Ciu Pek-thong menjawab: "Kwe Cing adalah saudara angkatku, apakah kau kenal dia" Sejak kecil dia suka bergaul dengan orang Mongol, maka begitu melihat orang Mongol di sini segera kumenerobos ke sini untuk mencarinya.
" "Ada urusan apa kau mencari Kwe Cing?" tanya Nyo Ko pula sambil mengerut kening.
Ciu Pek-thong memang orang polos dah tidak bisa berpikir, mana dia tahu urusan apa yang harus dirahasiakan atau tidak, tanpa ragu ia terus menjawab: "Dia telah kirim berita padaku agar aku menghadiri Eng-hiong-yan (perjamuan ksatria).
" Jauh-jauh aku berangkat ke sana, di tengah jalan aku mampir dan pesiar sehingga terlambat datang beberapa hari, mereka ternyata sudah bubar, sungguh mengecewakan.
" "Apakah mereka tidak meninggalkan surat untukmu?" ujar Nyo Ko.
Mendadak Ciu Pek-thong mendelik dan berkata: "Mengapa kau hanya bertanya melulu " sebenarnya kau kenal Kwe Cing tidak?" "Mengapa aku tidak kenal ?" jawab Nyo Ko.
"Nyonya Kwe bernama Ui Yong, betul tidak" Anak perempuan mereka bernama Kwe Hu, ya bukan ?" Tapi Ciu Pek-thong mendadak menggoyangkan tangannya dan berseru dengan tertawa: "Salah, salah ! Si budak Ui Yong sendiri juga seorang anak perempuan kecil, mana mereka mempunyai anak perempuan segala ?" Nyo Ko melengak bingung, tapi ia lantas paham persoalannya, segera ia tanya pula: "Sudah berapa tahun kau tidak bertemu dengan mereka suami-isteri?" Ciu Pek-thong tidak lantas menjawab, ia tekuk jarinya satu demi satu, sepuluh jari secara rata di-hitungnya ulang dua kali, lalu berkata: "Sudah ada 20 tahun.
" "Nah, masakah sudah 20 tahun dia masih anak perempuan kecil ?" kata Nyo Ko dengan tertawa.
Ciu Pek-thong tertawa ngakak sambil garuk2 kepala, lalu berkata: "Ya, ya, kau yang benar, kau yang benar ! Apakah anak perempuan mereka itu pun cakap ?" "Suka anak perempuan mereka itu lebih banyak mirip nyonya Kwe dan sedikit saja memper Kwe Cing, nah, cakap tidak menurut pendapatmu ?" tanya Nyo Ko.
"Hahahaha! Bagus kalau begitu !" kata Ciu Pek-thong dengan tertawa, "Anak perempuan kalau beralis tebal dan bermata besar serta bermuka hitam seperti saudaraku Kwe Cing itu, dengan sendirinya bukan cakap lagi namahya.
" Nyo Ko tahu kini Ciu Pek-thong tidak ragu lagi, tapi untuk memperkuat kepercayaannya kembali ia menambahkan: "Ayah Ui Yong, yaitu Tho-hoa-tocu Ui Yok-su, kakak Yok-su ada hubungan persaudaraan denganku, apakah kau kenal dia ?" Berganti Ciu Pek-thong melengak heran sekarang, ia pikir masakah anak muda ini berani mengaku bersaudara dengan Ui-losia, lantas apa kedudukan orang muda ini" Segera ia bertanya pada Nyo Ko: "siapakah gurumu ?" "Kepandaian guruku teramat hebat, jika kukatakan bisa jadi kau mati ketakutan," jawab Nyo Ko.
"Masakah aku dapat ditakut-takuti?" ujar Ciu Pek-thong dengan tertawa, Berbareng tangannya bergerak, piring kosong bekas wadah daging kambing tadi terus melayang ke arah Nyo Ko dengan maha dahsyat.
Sebenarnya Nyo Ko tidak tahu asal-usul aliran perguruan orang kosen macam Ciu Pek-thong ini, samberan piring "kosong yang keras itu sebenarnya tak berani ditangkapnya, tapi ketika melihat gaya Ciu Pek-thong itu ternyata berasal dari aliran Coan-cin-pay, padahal ilmu silat Coan-cin-pay baginya boleh dikatakan sudah apal di luar kepala, maka.
tanpa pikir ia hanya gunakan jari telunjuk tangan kiri, ia tunggu ketika piring kosong itu melayang tiba, dengan cepat dan tepat jarinya menyanggah pantat piring, seketika laju piring itu terhenti terus berputar pada ujung jarinya.
Kejadian ini sungguh membikin Ciu Pek-thong sangat gembira, malahan Kim-lun Hoat-ong, Nimo Singh dan Iain-Iain juga melengak.
Lebih-lebih Siau-siang-cu, semula ia lihat pakaian Nyo Ko kotor dan robek, usianya muda pula, maka ia tidak pandang sebelah mata padanya, tapi sekarang mau-tak-mau ia harus berubah sikap, ia heran siapakah dan dari manakah pemuda lihay ini" Di sebelah sana Ciu Pek-thong telah berseru memuji beberapa kali kepada Nyo Ko, malahan ia pun dapat melihat gaya permainan jari Nyo Ko itu adalah gaya aliran Coan-cin-pay, maka ia lantas tanya : "Apakah kau kenal Ma Giok dan Khu Ju-ki?" "Kedua hidung kerbau itu masakah aku tak kenal?" jawab Nyo Ko tak acuh.
Ciu Pek-thong tambah kegirangan.
Maklumlah, meski dia terhitung, tokoh tertua Coan-cin-pai, tapi lantaran dia tak dapat mematuhi peraturan agama, maka selama ini dia tak pernah menjadi Tojin.
Mendiang Ong Tiong-yang, yaitu cakal bakal Coan-cin-kau yang juga Suhengnya, kenal watak Ciu Pek-thang yang polos dan suka bertindak menuruti jalan pikiran sendiri kalau saja dipaksa menjauhi dunia ramai dan memeluk agama dan menjadi Tojin, tentu kuil Tiong-yang-kiong akan tambah kacau dibuatnya.
Sebab itulah Ciu Pek-thong tidak diharuskan menjadi Tosu dan hal ini pun cuma berlaku atas diri Lo-wan-tong saja.
Walau Kwe Cing, Nyo Khong dan Nyo Ko juga belajar ilmu silat Coan-cin-pay, tapi mereka bukanlah anak murid Coan-cin-pay, kedudukan mereka berbeda dengan Ciu Pek-Thong.
Meski antara Ciu Pek-thong dan Khu Ju-ki, Ma Giok dan lainnya tiada persengketaan apapun, dia hanya menganggap mereka itu terlalu kaku dan terikat oleh macam-macam peraturan dan pantangan, maka dalam hati dia merasa cocok.
Selama hidupnya kecuali sang Suheng, yaitu Ong Tiong-yang, yang paling dihormati dan dikagumi adalah Kiu-ci-sin-kay Ang Chit-kong, si pengemis sakti berjari sembilan.
Selain itu iapun rada cocok dengan kelatahan Ui-Yok-su dan kejahilan Ui Yong.
Kini mendengar Nyo Ko menyebut Khu Ju-ki, Ma Giok dan lainnya sebagai "hidung kerbau (kata olok-oIok kepada kaum Tosu), kata-kata ini ternyata sangat cocok bagi pendengaran Ciu Pek-thong, segera ia tanya pula: "Dan bagaimana dengan Hek Tay-thong?" Mendengar nama "Hek Tay-thong", seketika Nyo Ko menjadi gusar dan memaki: "Hm, hidung kerbau ini paling brengsek, pada suatu hari pasti akan kerjai dia, agar dia tahu rasa.
" Ciu Pek-thong menjadi semakin tertarik, cepat ia tanya: "Cara bagaimana akan kau kerjai dia dan apa rasanya ?" "Akan kuringkus dia, kuikat tangan dan kaki-nya, lalu kurendam dia di kembangan kakus seharian," kata Nyo Ko.
Tidak kepalang senangnya Ciu Pek-thong, ia berbisik dengan suara tertahan: "Sst, nanti kalau dia sudah kubekuk, jangan kau rendam dia dahulu, beri kabar dulu kepadaku agar aku dapat mengintipnya secara diam-diam.
" Sebenarnya tiada maksud buruknya terhadap Hek Tay-thong, hanya watak Ciu Pek-thong memang suka pada permainan yang kocak, orang lain berbuat nakal dan onar, hal ini terasa sangat cocok dengan kegemarannya, maka iapun ingin ikut ambil bagian.
Dengan tertawa Nyo Ko lantas menjawab: "Baiklah, kuingat akan pesanmu, Tapi mengapa kau harus mengintip secara diam-diam, apakah kau takut pada kawanan hidung kerbau dari Coan-cin-kau?" Ciu Pek-thong menghela napas dan menjawab: "Aku kan paman gurunya Hek Tay-thong itu!" Ucapan ini membikin Nyo Ko bersuara kaget.
Lalu Ciu Pek-thong menyambung lagi: "Bila dia melihat diriku, tentu dia akan minta tolong padaku.
Dalam keadaan begitu, jika aku tidak menolongnya akan terasa tidak enak, sebaliknya kalau kutolong dia, pertunjukan menarik akan gagal kulihat.
" Diam-diam Nyo Ko pikir ilmu silat orang ini sangat tinggi meski wataknya polos dan lugu, apa pun juga dia adalah orang Coan-cin-pay, jelas tidak mungkin mengajaknya memusuhi Kwe Cing, maka jalan paling baik adalah berusaha membinasakan dia saja.
Sebenarnya pembawaan Nyo Ko tidaklah jahat, soalnya dia tak pernah melupakan sakit hati kematian ayahnya, untuk mencapai tujuan menuntut balas, segala cara dapat diIakukannya.
Sudah tentu Ciu Pek-thong tidak tahu Nyo Ko sudah berpikir jahat padanya, ia malah tanya lagi: "He, kapan kau akan menangkap si Hek Tay-thong itu?" "Sekarang juga aku akan berangkat, kau ingin lihat keramaian, bolehlah kau ikut saja padaku," kata Nyo Ko.
Dengan girang Ciu Pek-thong lantas berbangkit tapi mendadak ia berduduk pula dengan Iesu, katanya: "Ai, tidak bisa jadi, aku harus pergi ke Siang-yang.
" "Masakah menarik kota Siangyang" Kukira janganlah kau pergi ke sana," ujar Nyo Ko.
"Adik Kwe meninggalkan surat bagiku, katanya pasukan Mongol telah menyerbu ke selatan dan pasti akan menyerang Siangyang," tutur Ciu Pek-thong.
"Dia telah memimpin semua pahlawan ke Siang-yang, akupun diminta ke sana untuk membantunya, sepanjang jalan kucari dia dan tidak ketemu, terpaksa kususul ke Siangyang saja.
" Kubilai saling pandang sekejap dengan Kim-lun Hoat-ong, mereka sama pikir: "Adanya bala bantuan para pahlawan yang dipimpin Kwe Cing itu, mungkin Siangyang sukar diduduki.
" Bicara sampai di sirii, tiba-tiba masuklah seorang Hwesio setengah umur, dari tingkah laku dan wajahnya jelas Hwesio ini adalah seorang terpelajar.
Dia mendekati Kubilai, lalu kedua orang bicara dengan suara tertahan.
Kiranya Hwesio ini adalah bangsa Han, namanya Cu-cong, terhitung seorang stafnya Kubilai.
Aslinya Cu-cong bernama Lau An, menurut catatan sejarah, Lau An adalah seorang pintar dan serba tahu, karena itu dia sangat disayang oleh Kubilai.
Dari penjaga Lau An mendapat laporan bahwa di kemah Kubilai ada orang kosen, maka lebih dulu ia telah mengatur penjagaan seperlunya di luar kemah, habis itu barulah masuk menghadap Kubilai.
Ciu Pek-thong tepuk-tepuk perutnya yang rada gendut, katanya: "Eh, Hwesio, kau menyingkir dulu, aku lagi bicara dengan adik cilik itu.
Hai, saudara cilik, siapa namamu?" "Aku she Nyo bernama Ko.
" jawab Nyo Ko. "Sebenarnya siapa gurumu?" tanya Ciu Pek-thong pula.
"Guruku seorang perempuan cantik, ilmu silatnya maha sakti tapi namanya tak boleh diketahui orang luar," jawab Nyo Ko.
Ciu Pek-thong merinding mendengar perempuan cantik, ia teringat kepada kekasihnya dahulu, Eng Koh, seketika ia tak berani tanya lagi ia berbangkit dan mengebut debu di tubuhnya, maka berhamburanlah debu memenuhi kemana2 Cu-cong bersin dua-tiga kali karena debu yang mengepul itu, Ciu Pek-thong tambah gembira, lengan bajunya mengebut semakin keras, mendadak ia bergelak tertawa dan berkata : "Aku mau pergi!" Berbareng empat potong ujung tumbak patah tadi terus disambitkan ke arah Siau-siang-cu, Nimo Singh, In Kik-si dan Be Kong-co.
Terdengar suara mendesing menyambernya ke empat ujung tumbak itu, karena jaraknya sangat dekat, dalam sekejap saja ujung tumbak itu sudah menyamber sampai di depan mata keempat orang sasarannya.
Siau-siang-cu berempat terkejut, mereka merasa sukar untuk mengelak, terpaksa mereka mengerahkan tenaga dalam dan menangkap ujung tumbak Siapa tahu keempat tangan mereka itu ternyata menangkap angin, "plok", tahu-tahu keempat ujung tumbak itu menancap di atas tanah.
Kiranya tenaga sambitan Ciu Pek-thong itu sangat spesial, begitu disambitkan segera disertai tenaga tarikan, maka ketika ujung tumbak menyamber, sampai di depan sasarannya, mendadak terus ganti arah dan membelok ke bawah dan menancap di atas tanah.
Be Kong-co adalah seorang lugu, sekali tangkap tidak kena, ia malah merasa geli dan bergelak tertawa, serunya: "Hei, jenggot putih, sungguh hebat permainan sulapmu !".
. Tapi Siau-siang-cu bertiga menjadi tidak kepalang kagetnya, tanpa terasa air muka mereka berubah hebat.
Bayangkan saja, ujung tombak itu tidak berhasil mereka tangkap, tapi sempat berganti arah, maka pada detik itu sesungguhnya jiwa sendiri sudah tergenggam di tangan lawan, kalau saja ujung tombak itu bukan menancap di tanah, tapi menyamber ke perut mereka, apakah jiwa mereka dapat diselamatkan " Karena berhasil mempermainkan keempat orang itu, Ciu Pek-thong sangat senang, baru saja dia mau keluar kemah, tiba2 Cu-cong berseru : "Eh, Ciu-losiansing, kesaktianmu sungguh jarang ada di dunia ini.
Biarlah kuberi selamat padamu dengan suguhan secawan arak ini!" Berbareng ia terus menyodorkan secawan arak yang sudah disiapkan ke hadapan Ciu Pek-thong.
Tanpa pikir Ciu Pek-thong terima suguhan itu dan sekali tenggak habislah isi cawan itu.
Kembali Cu-cong menghaturkan satu cawan arak dan berkata: "Sekarang aku mewakili Ongya menyuguh engkau satu cawan," Segera Ciu Pek-thong menghabiskan lagi arak itu, baru saja Cu-cong hendak menyuguh lagi cawan ketiga, se-konyong2 Ciu Pek-thong berteriak: "Haya, celaka ! Perutku mules, aku mau berak !" - Berbareng itu ia terus berjongkok sambil membuka kolor celana terus hendak memberak di tengah kemah.
Dengan menahan rasa gelinya Kim-lun Hoat-ong membentak untuk mencegah perbuatan Ciu Pek-thong yang tidak senonoh itu.
--------- Keterangan gambar --------Dengan menggunakan sumpit masing2 Siau-siang-ca adu betot daging melawan Kim-lun Hoat-ong.
Dalam waktu sekejap mereka sudah beradu kekuatan tiga babak.
------------------------------------Ciu Pek-thong tampak melengak sejenak, habis itu berteriak pula: "He, muIesnya perut ini tidak beres, rasanya bukan kebelet mau berak !" Nyo Ko memandang sekejap ke arah Cu-cong, pahamlah dia duduknya perkara, ia tahu Hwesio itulah menaruh racun di dalam arak yang disuguhkan kepada Ciu Pek-thong, tapi ia merasa tidak tega bila orang tua yang polos dan jenaka itu sampai mati keracunan, baru saja dia mau memperingatkan agar Kubilai ditawan untuk memaksa Cu-cong memberikan obat penawar racun, mendadak didengarnya Ciu Pek-thong berseru pula: "Ah, salah, salah ! Kiranya arak beracun yang kuminum terlalu sedikit, lantaran itulah perut menjadi mules, Hei, Hwesio, lekas, tuangkan lagi tiga cawan arak beracun !" Keruan semua orang saling pandang dengan bingung, sedangkan Cu-cong menjadi ketakutan kalau-kalau Ciu Pek-thong mendadak ngamuk sebelum ajalnya, mana dia berani mendekatinya, jangankan disuruh memberi arak lagi.
Karena itu Ciu Pek-thong lantas maju mendekati meja, cepat Kim-lun Hoat-ong mengadang di depan Kubilai untuk melindunginya.
Tapi Ciu Pek-thong ternyata tidak bermaksud menyerang, dengan sebelah tangan memegangi celana yang kedodoran, tangan lain terus angkat poci yang berisi arak teracun, sekaligus ia tenggak habis seluruh isi poci itu, satu tetespun tidak tersisa.
Di tengah rasa bingung dan kaget semua orang, Ciu Pek-thong malah tertawa ter-bahak2, katanya: "Nah, beginilah baru segar rasanya," Perut terlalu banyak barang kotor dan beracun, harus serang racun dengan racun !" - Habis itu mendadak mulutnya terbuka, suatu arus arak terus menyembur ke arah Cu-cong.
Cepat Kim-Iun Hoat-ong samber meja di sebelahnya untuk menangkis, arak berbisa itu tepat menyerempet di muka meja dan muncrat ke mana-mana.
Sambil bergelak tertawa Ciu Pek-thong melangkah pergi, sampai di depan kemah, mendadak timbul lagi pikirannya yang jahil, ia tarik tali kemah dan dibetot sekuatnya, kontan tiang penyanggah kemah itu patah, seketika kemah besar yang terbuat dari kulit itu ambruk, Kubilai, Kim-lun Hoat-ong, Nyo Ko dan lainnya terkurung semua di bawah.
Ciu Pek-thong kegirangan, ia melompat ke atas kemah ambruk itu dan berlari-lari kian kemari beberapa kali sehingga semua orang yang terkurung di bawah kemah itu seluruhnya terinjak olehnya.
Dari bawah kemah Kim-Iun Hoat-ong melontarkan suatu pukulan dan tepat mengenai telapak kaki Ciu Pek-thong, karena tidak tersangka-sangka, Ciu Pek-thong terpental dan berjumpalitan di udara sambil berteriak: "Haha, menarik, menarik!" Lalu pergilah dia tanpa pamit ! Waktu Kim-Iun Hoat-ong dan lainnya merangkak keluar dengan melindungi Kubilai, para pangawal juga cepat memasang kemah baru, sementara itu Ciu Pek-thong sudah menghilang.
Hoat-ong dan lainnya sama minta maaf kepada Kubilai atas kelalaian mereka yang kurang cermat mengawal sang pangeran, Namun Kubilai cukup bijaksana, sedikitpun ia tidak menyalahkan mereka, hanya berulang ia memuji kelihayan Ciu Pek-thong, dan menyesal karena tak dapat menarik orang kosen begini ke pihaknya.
Dengan sendirinya Kim-lun Hoat-ong dan lainnya merasa iri dan malu pula.
Kemudian perjamuan diperbarui, Kubilai berkata: "Sudah sekian kali pasukan Mongol menggempur Siangyang, tapi tak berhasil.
Kabarnya para pahlawan Tionggoan sama berkumpul dan bertahan di sana, sekarang Ciu Pek-Thong ini pergi ke sana, lagi untuk membantu, sungguh sulit urusan ini, entah kalian mempunyai akal bagus tidak?" Nimo Singh berwatak berangasan segera ia mendahului buka suara: "Meski ilmu silat tua bangka she Ciu itu sangat tinggi, tapi kepandaian kita juga tidak rendah, Harap saja Ongya melancarkan serangan sekuatnya, biarlah kita menghadapi mereka, perajurit lawan perajurit, panglima lawan panglima, biarpun di Tionggoan banyak pahlawan, tapi benua barat juga banyak jagoan.
" "Meski betul juga ucapanmu, tapi segala sesuatu harus ditimbang secara masak," kata Kubilai.
"untuk memenangkan suatu pertempuran kita harus dapat menilai kekuatan lawan dan kekuatan sendiri.
" Bicara sampai di sini, tiba-tiba di luar kemah ada orang berteriak: "Sudah kukatakan aku tak mau pergi, mengapa kalian terus memaksa saja, sekali kubilang tidak mau ya tetap tidak mau.
" Dari suaranya itu jelas dialah Ciu Pek-thong.
Entah mengapa sudah pergi dia datang lagi dan sedang bicara dengan siapa" Tentu saja semua orang sangat tertarik dan lari keluar kemah untuk melihat apa yang terjadi, tapi sebelum Kubilai memberi tanda, tiada seorangpun yang berani meninggalkan tempat duduknya.
Rupanya Kubilai tahu pikiran mereka, katanya dengan tertawa: "Marilah kita melihatnya, entah sedang bertengkar dengan siapa si orang tua nakal itu?" Waktu mereka keluar kemah, tertampaklah Ciu Pek-thong berdiri jauh di tanah lapang sebelah barat sana, ada empat orang lagi yang berdiri mengelilinginya dalam posisi mengepung, hanya sebelah timur saja yang terluang, Sambil mengepal dan ngotot, berulang Ciu Pek-thong hanya menyatakan: "Tidak mau ! Tidak mau!" Nyo Ko menjadi heran, kalau saja orang tua nakal itu bilang tak mau pergi, siapa lagi yang mampu memaksanya dan perlu ribut mulut begitu "!" Waktu mengawasi keempat orang itu, ternyata semuanya berseragam jubah hijau model kuno, jelas bukan pakaian model pada jaman itu, tiga di antaranya lelaki memakai kopiah besar, seorang lagi perempuan muda.
Keempat orang bersikap tenang dan ramah, Terdengar lelaki yang berdiri di sebelah utara berkata: "Kami tidak ingin membikin susah padamu, soalnya engkau telah mengobrak-abrik tempat kami, menjungkirkan tungku, mematahkan lengci (sejenis rumput obat), merusak kitab pusaka dan lainnya yang merusak, kalau engkau tidak menjelaskan sendiri duduknya perkara kepada guru kami, apabila diketahui guru kami sungguh kami tidak berani menanggung hukuman yang akan dijatuhkan beliau.
" "Kau dapat mengatakan semua itu adalah perbuatan seorang hutan yang kebetulan menerobos ke situ, kan segala urusan menjadi beres ?" ujar Ciu Pek-thong dengan tertawa seperti anak kecil.
"Jadi tuan sudah pasti tak mau ikut pergi "!" tanya lelaki kekar tadi.
Ciu Pek-thong hanya menggeleng kepala saja.
Mendadak lelaki itu menuding ke belakang Ciu Pek-thong dan berseru: "He, siapa itu?" - Dan begitu Ciu Pek-thong menoleh, cepat lelaki itu beri tanda kepada kawan-kawannya, serentak keempat orang membentangkan sebuah jaring hijau terus menutup ke atas kepala Ciu Pek-thong.
Gerakan keempat orang itu sudah terlatih, caranya aneh pula, biarpun ilmu silat Ciu Pek-thong maha sakti, sekali terkurung oleh jaring ikan, seketika ia menjadi kelabakan dan tak berdaya " Dengan cepat keempat orang itu lantas meringkus tubuh Ciu Pek-thong dengan tali jaring, setelah kencang, dua lelaki itu lantas memanggulnya, perempuan muda dan lelaki satunya lagi mengawal dari samping, mereka terus berlari.
Kejadian ini sungguh aneh dan langkah keempat orang itu secepat terbang.
Gaya Ginkang mereka ternyata belum pernah dikenal.
Segera Nyo Ko memburu dan berseru: "He, kalian hendak membawanya ke mana?" Akan tetapi keempat orang itu tidak menggubrisnya dan tetap berlari ke depan, Karena tertarik, Nyo ko terus mengejar.
Hoat-ong dan lainnya juga menyusuInya.
Beberapa li kemudian, sampailah ditepi sebuah sungai tertampak Ciu Pek-thong digotong ke atas sebuah perahu terus didayung pergi oleh keempat orang itu.
Cepat Nyo Ko dan lainnya mencari sebuah perahu dan memburu dengan kencang, Arus sungai itu ternyata berliku-liku, setelah memutar beberapa tikungan, mendadak kehilangan jejak perahu tadi Nimo Singh melompat ke atas tebing, seperti kera gesitnya ia merangkak ke atas, dari situ ia memandang sekelilingnya, Dilihatnya perahu kecil yang ditumpangi keempat orang berseragam hijau tadi sedang menyusuri sebuah sungai yang sangat sempit, sungai kecil itu adalah cabang sungai tadi, ujung sungai kecil yang bertemu dengan muara sungai besaran itu tertutup oleh semak pohon yang lebat, kalau tidak dipandang dari ketinggian siapa pun takkan mengetahui di balik lembah pegunungan itu ternyata masih ada "dunia" lain.
Riwayat Lie Bouw Pek 14 Keris Maut Karya Kho Ping Hoo Patung Emas Kaki Tunggal 1

Cari Blog Ini