Ceritasilat Novel Online

Maling Romantis 2

Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung Bagian 2


bersuara. Perempuan itu unjuk senyum lebar dan manis mesra, menatapnya pula
dengan pandangan menarik, jari-jari tangannya yang runcing halus pelanpelan
sudah merambati kancing bajunya di depan dada, satu-persatu dia
membuka pakaiannya. "Kau.... kau ini...." Thio-Siao-lim melenggong.
Lekas perempuan itu angkat jari di depan mulutnya, menyuruhnya jangan
bersuara, dengan gemulai pinggangnya meliuk gontai, pakaian ketat yang
membungkus tubuhnya seketika melorot jatuh ke bawah. Kecuali pakaian
hitam itu, bagian dalamnya kosong plontos tanpa secarik benang pun jua.
Cahaya rembulan seketika menyoroti seluruh badannya yang montok
telanjang laksana gading.
Serasa sesak napasnya Thio-Siau-lim, di saat ia terlongong, tiba-tiba
terasa badan yang padat kenyal, licin, dingin dan lembut laksana ular tahutahu
menyusup masuk ke dalam kemulnya.
Bau badannya mambawa harum sabun cendana yang semerbak, agaknya dia
baru saja mandi. Harum sabun yang wangi sedap baunya, tapi anehnya,
waktu bau wangi ini teruar dari badannya, cukup membuat nafsu birahi
seorang laki-laki sirna tanpa diketahui ke mana perginya.
Badannya yang licin dan berminyak bagai ular sudah membelit badan ThioSiau-lim. Thio-siau-lim menggumam melongo: "Tengah malam buta rata, memdadak
ada seorang gadis cantik membuka polos pakaiannya, menyusup ke dalam
kemul, cerita macam ini mungkin seorang pengarang cerita porno yang
paling brutal pun takkan bisa menuliskannya seperti ini?"
Gadis itu rebah di pinggir telinganya, katanya berbisik sambil cekikikan
geli: "Seorang laki-laki ketiban rejeki sebesar ini, memangnya masih belum
puas?" "Apa kau ini siluman rase" Atau setan?"
"Ya, memang aku ini siluman rase, aku hendak mencekikmu sampai mati."
Mendadak gemetar sekujur badan Thio-Siau-lim, katanya: "Bicara terus
terang, hatiku takut setengah mati!"
Gadis itu pelan-pelan mengelusnya, katanya tertawa genit: "Jangan takut,
seumpama rase menjadi siluman, dia tetap mempunyai ekor, coba kau raba
pinggangku, apa ada ekornya tidak?" ia tarik tangan orang.....
"La.....lu, siapa kau sebenarnya?"
"Leng-kongcu kuatir kau kesepian, sengaja mengutus aku ke mari untuk
menemani kau, sekarang kau boleh lega hatilah?"
"Leng-kongcu memang baik hati, kau tidak kalah baiknya, apa pun yang kau
inginkan pasti kuberikan."
"Aneh, biasanya Leng-kongcu bersikap dingin kaku, kenapa terhadap kau
sebaliknya" Memangnya....ada sesuatu permintaan apa-apa terhadapmu?"
"Em..." Gadis itu merapatkan badannya, reaksinya sungguh amat mendebarkan
jantung, katanya: "Orang baik, katakan kepadaku apakah yang sedang kau
rundingkan dengan dia?"
"Ai...." Meliuk-liuk pinggang si gadis, katannya berbisik: "Malam ini agaknya Lengkongcu
amat sibuk, apakah terjadi sesuatu"... Tiga orang Tiang-lo yang
bertempat tinggal di rumah Ciangbunjin itu kenapa tidak tampak
bayangannya?" Agaknya gadis itu jadi uring-uringan, katanya aleman sambil mendorong
dada orang: "Diajak bicara diam saja. Baik! Aku tidak mau hiraukan kau
lagi." "Sekarang bukan saatnya untuk bicara."
"Tapi sekarang kau harus...." belum lenyap suaranya, mendadak si gadis
rasakan seluruh badan kejang linu, kaki tangannya tak mampu bergerak
lagi. Baru sekarang dia betul-betul kaget, teriaknya tertawa: "Kau.... apa
yang kau lakukan?" Tiba-tiba Thio-Siau-lim bangun berduduk, katanya sambil berseri tawa
mengawasinya: "Kau beritahu aku dulu, siapa kau" Setelah itu baru
kejelaskan tentang diriku."
"Bukankah tadi sudah kuberitahu, Leng-kongcu yang suruh aku ke mari?"
"Orang yang diutus Leng-kongcu mana mungkin merambat turun dari atas
genteng." Biji mata yang indah itu kini menyorotkan rasa ketakutan. Serunya: "Kau....
jadi kau sudah melihatnya tadi?"
"Harus disayangkan, tak sengaja aku tadi melihatnya."
"Kau, kenapa tadi kau tidak bersuara?"
"Kau kan tidak suruh aku bicara" Apalagi aku hanya tidak senang
rahasiaku diselidiki orang, tetapi gadis jelita hendak buka baju telanjang
di hadapanku, memangnya amat kebetulan malah bagiku."
"Kau...... kau bangsat bangor ini," maki si gadis mendesis gusar.
"Sekarang, tibalah saatnya kau mengaku terus terang."
Gadis itu melototkan matanya, suaranya serak saking gusarnya: "Ingin
rasanya kubunuh kau!"
"Tidak mau bicara?"
Berkeriut gigi si gadis, "Kalau tidak kau bunuh aku, kelak pasti akan
menyesal." "Baik, kau tidak mau bicara, orang lain pasti bisa memaksamu bicara."
mendadak ia gulung tubuh orang dengan kemul kapas itu terus berteriakteriak
keras: "Tangkap maling.... tangkap mata-mata!"
Keruan pucat pias selembar muka si gadis, sungguh mimpi pun ia tidak
menyangka orang tega hati memperlakukan dirinya sekeji ini.
Serempak para laki-laki di luar pintu segera menerjang masuk, bentaknya
bersama, "Mana mata-matanya?"
Thio Siau-lim menunjuk gadis di atas ranjang itu, katanya, "Itu di sana!
Lekas bawa ke tempat Leng-kongcu untuk dikorek asal-usulnya."
Kaget dan girang para laki-laki itu, segera mereka menjinjing gulungan
selimut kapas itu beramai-ramai.
Badan si gadis tidak bisa bergerak, tapi mulutnya masih mencaci-maki,
"Kau binatang! Kau anjing! Kau... akan mati tanpa liang kubur!"
Perlahan-lahan Thio Siau-lim menggaruk hidungnya, katanya menggumam,
"Ada orang yang mengatakan aku ini hidung belang, aku masih bisa
menerimanya. Tapi kalau ada orang yang menganggap aku pikun, terpaksa
aku harus memberi hajaran padanya."
*** Liu-yap-to masih tergeletak di lantai, Thio Siau-lim pun menjemputnya
dan ditimang serta diawasi, katanya sambil mengerutkan kening, "Jadi
perempuan itu orang Thian-sing-pang, bagaimana mungkin orang Thiansingpang bisa berada di sini?"
Sesaat lamanya ia menerawang, lalu mengenakan pakaian dan menyelipkan
Liu-yap-to itu di pinggangnya, sedikit pundaknya terangkat, tahu-tahu
badannya sudah meluncur keluar dari lubang genteng.
Sesaat lamanya ia mendekam di atas genteng, setelah meneliti keadaan
sekelilingnya, mulutnya menggumam sendiri, "Dia datang dari sebelah
timur, jadi Thian-sing-pang berada di sebelah timur." Segera ia
kembangkan ginkangnya, melompat dari wuwungan ke wuwungan yang lain,
seakan mega mengambang di bawah kakinya, angin malam yang dingin
menghembus lewat membasahi mukanya.
Bentuk wuwungan rumah itu berbeda satu dengan yang lain, demikian pula
penghuni rumah-rumah di bawah, juga terdiri dari orang-orang yang
berlainan sifat dan kesenangannya, dengan aneka ragam kehidupannya pula,
namun siapa yang dapat membandingi keaneka-ragaman hidupnya"
Malam semakin larut, tabir malam makin pekat, suasana dalam rumahrumah
itu pun mulai terjatuh dalam kegelapan, kadang kala terdengar jerit
tangis orok yang terjaga di tengah malam, atau suara senda-gurau suamiisteri
yang sedang bemain cinta di atas ranjang.....
Kecuali suara riang gembira, ada kalanya terdengar juga suara caci-maki
dari mulut yang penasaran. Suara kucing menubruk tikus, suara ngorok
laki-laki gendut yang tidur nyenyak, serta suara dadu yang jatuh ke dalam
mangkuk dengan suara kelontang yang nyaring.
Di waktu malam, berjalan di atas wuwungan rumah orang merupakan suatu
kesenangan yang lain daripada yang lain, terasa keunggulan yang tidak
mungkin dibandingi orang lain, perasaan seperti inilah yang paling ia sukai.
Tiba-tiba dilihatnya cahaya lampu yang menyorot terang di pekarangan
depan sana, namun di tempat gelap di mana sorot lampu tidak mampu
mencapainya, seakan-akan tampak kemilau sinar golok dan bayangan orang
yang sedang mendekam di sana.
Mendadak Thio Siau-lim menghentikan larinya, gumamnya, "Mungkin di
sinilah tempatnya!" Sebat sekali ia menyembunyikan diri di balik wuwungan,
sesaat lamanya ia meneliti keadaan sekitarnya, dilihatnya seseorang
berjalan keluar dari dalam rumah, katanya setelah berludah, "Apa Samkohnio
sudah kembali?" Laki-laki tegap di tempat gelap di pojok sana segera menyahut, "Belum
kelihatan!" Orang itu menggeliat, katanya ragu-ragu, "Aneh, mungkin terjadi
sesuatu?" "Mengandalkan kecerdikan Sam-moay, kuyakin tidak akan terjadi apaapa."
Mendadak Thio Siau-lim melemparkan Liu-yap-to itu ke bawah seraya
membentak, "Sam-moay-mu sudah terjatuh ke tangan Pang kita, kalian
tunggu saja akibatnya!"
Dari dalam rumah beruntun melesat bayangan orang, laksana pedang yang
disambitkan. Ia mengenakan pakaian ketat warna hitam, tangannya
menggenggam sebatang pedang yang kemilau memancarkan cahaya hijau.
Melihat gerakan tubuh orang, kembali Thio Siau-lim dibuat terkejut,
batinnya, "Kepandaian orang ini agaknya lebih tinggi dari Chit-sing-toh-hun
Cou Yu-cin. Dari mana Thian-sing-pang mempunyai tokoh kosen
tersembunyi seperti dia ini?"
Seenteng daun, secepat kilat ia melesat pergi, bayangan hitam itu pun
mengejar dengan kencang dan ketat di belakangnya. Sengaja ia
memperlambat larinya sambil berpaling ke belakang.
Dilihatnya raut muka orang yang seperti mayat hidup, sepasang matanya
sipit laksana bintang kejora yang menyorot terang, sekilas pandang lebih
menakutkan dari kilauan pedangnya.
Baru saja Thio Siau-lim menghentikan langkahnya, laki-laki berbaju hitam
itu segera menyusul tiba, di mana pedangnya menari-nari beterbangan.
"Sret! Sret! Sret!", beruntun beberapa kali. Dalam sekejap ia sudah
menusuk tiga kali. Tiga tusukan pedang itu bukan saja cepat lagi tepat, sasaran yang dituju
pun tak lepas dari tempat-tempat mematikan di badan Thio Siau-lim. Ilmu
pedangnya memang belum boleh dikatakan sudah mencapai puncak
kesempurnaannya, namun serangannya ganas dan telengas, jarang ada
tandingan soal kekejiannya. Sorot matanya memancarkan kebencian,
kekejaman dan sinar buas seperti serigala kelaparan, seakan-akan
kesenangannya yang terbesar dalam hidup ini adalah membunuh orang,
tujuan hidupnya pun juga demi membunuh orang.
Gaya permainan pedangnya pun amat aneh, sikutnya ke atas, posisinya
seperti tidak pernah bergerak, kelihatannya ia cuma mengandalkan
kekuatan pergelangan tangannya untuk menusukkan pedang. Bila tiba
saatnya, selamanya tak pernah menyia-nyiakan sedikit pun tenaganya.
Melihat raut wajah orang yang seperti mayat hidup, menyaksikan gaya
serangan pedangnya yang aneh dan lucu, mendadak tergerak hati Thio
Siau-lim, teringat olehnya seseorang.
*** Dengan cepat dan cara yang aneh sekali, pergelangan tangan orang itu
bergerak dengan gesit dan enteng. Sinar pedang seperti percikan kembang
api, siapa pun tidak bisa melihat gerak perubahannya.
Sekilat pandang, beruntun ia menusuk tiga belas kali, sementara Thio
Siau-lim sudah melampaui empat wuwungan rumah, sinar pedang laksana
ular jahat yang membelit badannya, namun sejauh itu tidak berhasil
menyentuh ujung bajunya. Itulah gaya gerakan pedang yang lebih cepat dari sambaran kilat, namun
gerakan badan yang jauh lebih cepat pula dari kilat dipamerkan oleh Thio
Siau-lim. Waktu tusukan keempat belas dilancarkan, mendadak tersendat
dan berhenti satu kaki di depan tenggorokannya.
Gerak tusukan pedang itu boleh dikata teramat cepat lagi tepat, namun
berhentinya pun amat wajar dan enteng, badan pedang bergeser sedikit
pun tidak. Gerakan tubuh Thio Siau-lim yang meluncur secepat kilat pun
mendadak berhenti. Kedua orang berdiri berhadapan, seakan sama-sama
sudah membeku. Terpancar sorot aneh dari biji mata laki-laki baju hitam ini, katanya
tegas: "Kau bukan murid Cu-soa-bun." Lagu suaranya pun ganjil dan lain
daripada yang lain, dingin, rendah, berat, serak, pendek, kedengarannya
seperti bukan kata-kata yang keluar dari tenggorokan manusia, walaupun
suaranya rendah datar, namun membawa daya kekuatan yang menusuk
sanubari orang, sehingga orang sulit melupakan setiap patah kata yang
pernah dia ucapkan. Thio Siau-lim tertawa, katanya: "Dari mana kau tahu kalau aku bukan
murid Cu-soa-bun?" "Murid Cu-soa-bun tiada seorang pun yang bisa meluputkan diri dari tiga
belas tusukan pedangku."
"Sudah tentu kau pun bukan orang Thian-sing-pang."
"Tidak salah!" sahut laki-laki baju hitam itu.
Lenyap suaranya, pedangnya yang berhenti di tengah jalan mendadak
menusuk datang pula. Betapa cepat tusukan ini sungguh luar biasa. Begitu
pedangny amenusuk, jarang dapat dicari orang yang mampu meluputkan diri
dari tusukan pedang yang hanya berjarak satu kaki saja.
Tapi hebat memang kepandaian Thio Siau-lim. Sebelum pedang orang
bergerak, tahu-tahu ia sudah berkelebat mundur tiga kaki, walau orang
hendak menusuk tenggorokan Thio Siau-lim, sedikit pun ia tidak jadi
marah, malah katanya sambil tertawa: "Kalau kau toh bukan murid Thiansingpang, aku pun bukan murid Cu-soa-bun, kau dan aku boleh dikata
selamanya tidak saling kenal, kenapa kau harus membunuh aku?"
Ucapannya belum cukup tiga puluh kata, namun dilancarkan dengan cepat
sekali, tapi laki-laki baju hitam sudah menusukkan tiga puluh enam
serangan pedangnya pula, gaya serangannya lebih ganas dan lebih keji.
Biasanya dia tidak suka banyak bicara, karena sebelum ia bicara, pedang di
tangannya sudah memberikan jawaban yang cekak-aos. Mati! Itulah
jawaban yang biasa ia berikan kepada orang.
"ilmu pedang kilat, ilmu pedang yang ganas keji, memang tidak malu
dijuluki pedang cepat nomor satu dari Tionggoan.... hebat memang pedang
menyapu sukma tanpa bayangan, Setitik Merah dari Tionggoan."
Tiiada jawaban, setelah tiga puluh enam tusukan, tiga puluh enam tusukan
melanda pula mengancam tenggorokannya.
Selama itu Thio Siau-lim tidak pernah balas menyerang, mukanya
mengulum senyum simpul, katanya: "Kalau ingin pinjam tangan membunuh
orang, carilah It-tiam-ang (Setitik Merah).... kabar di Kangouw, asal ada
orang yang mau mengeluarkan harga tinggi, seumpama teman baik atau
darah daging sendiri pun kau akan membunuhnya, apa benar kabar yang
kudengar ini?" habis kata-katanya ini, tiga puluh enam tusukan pedang yang
ketiga kalinya sudah dilontarkan pula.
Kata Thio Siau-lim menghela napas: "Sudah lama kudengar perihal sepak
terjangmu, sayang kau tidak mau buka suara, sebetulnya ingin aku
mengobrol denganmu, bukankah mengobrol lebih nikmat dan aman daripada
mengayun golok mempertaruhkan jiwa menimbulkan banjir darah."
Pedang panjang It-tiam-ang mendadak berhenti pula, sorot matanya yang
tajam menyedot sukma orang kembali menatap Thio Siau-lim, mendadak ia
menyeringai tawa menunjukkan barisan giginya yang putih, katanya:
"Maling romantis suka menagih sukma, malam hari suka meninggalkan bau
harum... jadi kau ini Coh Liu-hiang!"
Kali ini ganti Thio Siau-lim yang melengak kaget, katanya tertawa geli:
"Siapa yang kau maksud Coh Liu-hiang itu?"
"Kecuali maling romantis Coh Liu-hiang yang mampu meluputkan diri dari
seratus empat puluh empat tusukan pedangku tanpa membalas, masih
tetap tersenyum lagi, kukira sukar dicari orang kedua di kolong langit ini."
"Terkaanmu memang benar," Thio Siau-lim tertawa besar. "Memang aku
tidak senang menggunakan kekerasan, bunuh-membunuh mengalirkan darah
merupakan perbuatan goblok manusia yang utama."


Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berkilat sorot mata It-tiam-ang, tanyanya: "Selamanya kau tidak pernah
membunuh orang?" "Kau tidak percaya?"
"Kau belum pernah membunuh orang, dari mana kau bisa tahu betapa
nikmatnya membunuh orang?"
"Selamanya kau belum pernah terbunuh, tentunya belum pernah
merasakan betapa derita jiwa seseorang yang dibunuh. Kalau seseorang
membangun kesenangan hati sendiri di atas kesengsaraan orang lain, orang
macam itu kukira tidak berguna lagi."
Kembali terpancar percikan api yang menyala dari biji mata It-tiam-ang.
Belum lagi ia bersuara, tiba-tiba terdengar seseorang membentak: "Ittiamang, hayo serang! Kenapa kau tidak turun tangan?"
Ternyata baru sekarang murid-murid Thian-sing-pang menyusul tiba,
empat-lima orang berdiri di atas wuwungan empat tombak jauhnya, hanya
seorang laki-laki kekar yang melompat maju berdiri lebih dekat, serunya
sambil banting kaki: "Kami keluar uang mengundangmu untuk membunuh,
bukan mengundangmu untuk putar bacot melulu."
It-tiam-ang melirik pun tidak ke arah orang itu, malah Thio Siau-lim yang
unjuk senyum, katanya: "Mengandalkan ilmu pedangnya yang hebat ini,
entah berapa uang perakmu untuk membeli sekali tusukan pedangnya?"
Laki-laki tegap berbaju sutera itu tertawa dingin, jengeknya: "Keluar dua
ketip perak saja sudah terlalu banyak. Orang suka mengagulkan bagaimana
lihaynya It-tiam-ang. Siapa tahu kiranya dia hanyalah seorang lemah yang
tidak berani bertindak."
Baru saja kata-kata "lemah" diucapkan, sinar pedang mendadak
berkelebat, belum lagi mengeluarkan suara jeritannya, laki-laki itu sudah
terjungkal jatuh. Thian-toh-hiat di tenggorokannya berlubang dalam
mengeluarkan setitik darah.
Cuma setitik darah segar.
Di bawah penerangan sinar bintang, tampak kulit daging mukanya
berkerut-kerut kejang, selebar mukanya dihiasi butiran keringat sebesar
biji kacang. Meski sudah kerahkan setaker tenaganya, suaranya tak
terdengar pula dari lehernya, namun terdengar deru napasnya yang ngosngosan
seperti binatang hendak disembelih.
It-tiam-ang, setitik merah yang teramat lihay, sampai membunuh orang
pun tak sudi mengeluarkan banyak tenaga, kebetulan telah menusuk
tempat yang mematikan, sekali tusuk kebetulan menamatkan jiwa orang,
setengah mili pun pedang itu tidak menusuknya lebih dalam.
Pelan-pelan ujung pedang It-tiam-ang terjulur turun ke bawah, di ujung
pedangnya pun terdapat setitik darah, dengan sinar sorot matanya
menatap titik darah itu, tanpa angkat kepala, katanya kalem: "Orang yang
hidup, tiada seorang pun yang bisa memakiku sebagai orang lemah."
Deru napas yang ngos-ngosan itu lama-kelamaan semakin lemah, raut muka
murid Thian-sing-pang itu sudah pucat tak berdarah lagi, akhirnya napas
pun berhenti. Kata Thio Siau-lim sambil menengadah dan menghela napas: "Bagus benar,
membunuh orang tanpa kelihatan darah, setitik merah di ujung pedang."
Pelan-pelan ia merogoh keluar secarik sapu tangan sutera putih, lalu
ditutupkan di atas muka laki-laki itu.
Baru sekarang para murid Thian-sing-pang berkaok mencaci-maki: "Ittiamang, kau biasanya mengutamakan keadilan dan kesetiaan, kenapa hari
ini......." It-tiam-ang segera menukas dengan kasar: "Aku hanya menjual pedang,
bukan orang. Siapa pun, bila menghina aku, maka dia harus mati!"
Murid-murid Thian-sing-pang banting kaki dan mendamprat: "Kita sewa
kau untuk membunuh orang, kenapa kau tidak berani turun tangan
kepadanya?" Sekilas It-tiam-ang melirik kepada Thio Siau-lim, katanya kalem: "Kalian
minta aku untuk menghadapi Cu-soa-bun saja, orang ini sebaliknya bukan
murid Cu-soa-bun." "Sret," pedang tersaung kembali ke dalam serangkanya, sigap sekali ia
melompat turun ke bawah terus tinggal pergi.
Sungguh gusar dan kaget murid-murid Thian-sing-pang, mendadak
seseorang membentak: "Orang inilah yang semalam sekongkol dengan Leng
Chiu-hun, orang ini pula yang tadi dicari oleh Sam-kohnio."
"Benar," sahut Thio Siau-lim. "Kalau sekarang kalian hnedak menyusul dia,
lekas kalian susul ke Kwi-gi-tong....." belum lenyap suaranya, tiba-tiba
tubuhnya telah berkelebat. Waktu para murid Thian-sing-pang menubruk
datang, bayangannya sudah jauh puluhan tombak.
Lima belas lentera yang terbuat dari tembaga, oleh tangan seorang ahli
disusun sedemikian rupa menyerupai bentuk budur, sebelah atapnya
ditutup oleh kap lampu yang terbuat dari tembaga bundar berlobanglobang
pula, maka sorot lampu terkumpul pada satu sasaran lobang
sehingga memancarkan cahaya terang yang menyolok mata.
Lampu yang berbentuk aneh ini sebetulnya ditaruh di atas meja judi yang
beralas kain beludru warna hijau, namun meja judi yang panjang, lebar dan
besar itu kini digunakan sebagai tempat kompres oleh Leng Chiu-hun.
Ternyata gadis yang digulung kemul kapas oleh Thio Siau-lim itu terikat
kencang di atas meja kompres itu. Sorot lampu yang terang itu tertuju ke
mukanya yang pucat dan cantik itu.
Kedua matanya melotot lebar, kelopak matanya membesar bundar,
semangatnya runtuh dan loyo seolah-olah dalam keadaan tidak sadar,
terdengar mulutnya sedang komat-kamit menggumam: "Aku she Sim,
bernama San-koh...., aku she Sim..... bernama San-koh..... aku murid Thiansingpang..... aku murid Thian-sing-pang...."
Leng Chiu-hun bercokol di atas kursi besar di pinggir meja judi itu,
mukanya kaku dan membeku, sedikit pun tidak menunjukkan perasaan,
cuma sorot matanya membayangkan senyum ejek yang keji.
Baru saja Thio Siau-lim melangkah masuk, segera ia menggeleng kepala
dan katanya sambil menghela napas: "Serigala betina yang licik ini agaknya
telah berubah menjadi domba yang j inak. Apa sekarang dia sudah mau
buka mulut?" Leng Chiu-hun tertawa tawar, ujarnya: "Perempuan yang lahirnya keras
dan kukuh, bahwasanya tekadnya melempem dan tak punya pendirian,
seseorang bila ingin perempuan menyimpan rahasianya, tentunya laki-laki
itu sudah pikun." "Urusan yang berbahaya seperti ini memang tidak cocok dilaksanakan oleh
kaum hawa, di dalam dapur atau di pinggir ranjang barulah tempat yang
cocok bagi mereka. Sayangnya perempuan yang pintar justru tidak paham
akan teori ini." "Thio-heng masih ingin bertanya apa kepadanya?" tanya Leng Chiu-hun
sambil tertawa sadis, matanya melirik kepada Thio Siau-lim, katanya pula:
"Seumpama sekarang kau bertanya dulu dia mempunyai berapa gendak,
pasti dia akan menjelaskannya."
Thio Siau-lim batuk-batuk kering, ia maju mendekat serta membungkuk
mengawasi Sim San-koh, katanya: "Apa kau masih kenal aku?"
Dengan lemah dan lesu Sim San-koh membuka kelopak matanya, mendadak
ia tertawa cekikikan, sahutnya: "Tentu aku masih kenal kau, kau adalah
seorang kekasihku, yang paling memberi kenikmatan kepadaku, tapi kau
adalah seorang bajingan, seekor binatang......"
Leng Chiu-hun tertawa terbahak-bahak, serunya: "Bisa dimaki sebagai
binatang oleh perempuan seperti ini, Thio-heng tentunya kau memang
seorang ahli yang jempolan dalam bidang itu. "Binatang" di mulut
perempuan ada kalanya mempunyai makna yang jauh lebih berarti."
Dengan tertawa kecut Thio Siau-lim meraba hidungnya, tanyanya pula:
"Kenapa kau hendak menyelidiki rahasiaku?"
Sim San-koh menjawab: "Karena gerak-gerikmu waktu mencari Leng Chiuhun
amat mencurigakan, entah rahasia apa yang sedang kalian rundingkan?"
"Memangnya sepak-terjangku ini ada sangkut-pautnya dengan fihak Thiansingpang kalian?" "Tentu ada sangkut-pautnya. Kali ini Thian-sing-pang meluruk ke Kilam,
tujuannya memang hendak mencari Cu-soa-bun. Leng Chiu-hun justru
seorang murid Cu-soa-bun yang mempunyai kekuasaan penting."
Leng Chiu-hun terkekeh tawa, selanya: "Cu-soa-bun biasanya tiada
bermusuhan dengan Thian-sing-pang, kenapa Thian-sing-pang hendak cari
gara-gara?" Sim San-koh menjelaskan: "Karena Thian-sing-pang Pangcu, Chit-sing-tohhun
Cou Yu-cin mendadak hilang. Sebelum berangkat, dia pernah berkata
hendak mencari Sat-jiu-suseng Sebun Jian dari Cu-soa-bun."
Berkilat mata Thio Siau-lim, tanyanya: "Tahukah kau untuk apa dia
mencari Sebun Jian?"
"Tidak tahu." "Apa Cou Yu-cin biasanya ada ikatan persahabatan dengan Sebun Jian?"
"Selamanya tiada hubungan sama sekali."
"Tahukah kau bahwa Sebun Jian sekarang sudah menghilang?"
"Tidak tahu." Semakin kencang kerut alis Thio Siau-lim, agaknya dia sedang memeras
otak memikirkan persoalan pelik ini.
Mendadak Leng Chiu-hun membentak bengis: "Peristiwa ngeri yang terjadi
di dalam perguruan kita, apa ada sangkut-pautnya dengan Thian-singpang?"
"Peristiwa berdarah apa" Sedikit pun aku tidak tahu."
Leng Chiu-hun mengerling ke arah Thio Siau-lim. Kata Thio Siau-lim:
"Sebelum Cou Yu-cin keluar pintu, apakah dia pernah menerima sepucuk
surat?" Sim San-koh berpikir sebentar, sahutnya: "Ya, tidak salah!"
Bersinar mata Thio Siau-lim, tanyanya, "Tahukah kau di mana surat itu
sekarang?" Kembali Sim San-koh berfikir, baru akhirnya menjawab, "Ciangbunjin
menyerahkannya pada Ji-suhengku."
"Siapa suhengmu?"
"Thian-jiang-sing Song Kang."
"Di mana dia sekarang?"
"Di di Jiciu mencari derma untuk membayar It-tiam-ang, malam ini dia
akan pulang." "Tionggoan It-tiam-ang?" seru Leng Chiu-hun terkejut dan tersirap
darahnya. "Apakah pembunuh bayaran yang berdarah dingin itu" Mengapa
Thian-sing-pang sudi membayar mahal padanya?"
Sim San-koh tertawa kaku, sahutnya, "Karena kami harus menghadapi Cusoabun. Jika terbukti kalian membunuh Ciangbunjin kami, maka tugasnya
adalah membunuh kalian satu per satu sampai habis."
Raut wajah Leng Chiu-hun yang pucat itu sudah memutih tak berdarah,
jari-jarinya yang runcing halus tak henti-hentinya menggosok gagang golok
di pinggangnya, tanyanya, "Berapa upah yang kalian berikan padanya?"
"Satu laksa tail untuk setiap kepala orang yang dibunuhnya, ditambah
seribu tail bila berhasil membunuhmu, Leng Chiu-hun, nilainya adalah lima
ribu tail." Leng Chiu-hun terloroh-loroh seperti orang sinting, katanya keras,
"Bagus, baru sekarang aku tahu jiwaku dinilai lebih mahal daripada orang
lain, tapi lima ribu tail bukanlah jumlah yang banyak, aku malah bisa
membayar dia selaksa tail.... dua laksa tail....."
"It-tiam-ang biasanya mengutamakan kesetiaan dan dapat dipercaya.
Kalau dia sudah menerima kontrak, biarpun kau berani membayar sepuluh
kali lipat dari upah yang kami berikan, dia tak akan sudi menerimanya."
Tawa Leng Chiu-hun tiba-tiba berhenti, jarinya menggenggam kencang
gagang goloknya, matanya tertuju keluar jendela, seakan takut It-tiamang
yang serba misterius dan menakutkan itu akan menerjang masuk.
Bab 7 Dengan linglung Sim San-koh tertawa memandang Thio Siau-lim, katanya,
"Sebetulnya siapa namamu" Sesungguhnya nama Thian-jiang-sing itu lebih
cocok digunakan olehmu. Ji-suhengku meski bergelar Thian-jiang-sing,
badannya tidak sekekar dan sekuat dirimu."
Thio Siau-lim mengulurkan jari menotok Hiat-to tidurnya, katanya
menggumam, "Anak perempuan tidak boleh banyak bicara. Kalau menjadi
perempuan cerewet, mungkin kau tidak akan laku kawin. Anak perempuan
yang tidak laku kawin, aku tidak sudi melihatnya. Di dunia ini kalau tiada
perempuan yang tidak laku kawin, persoalan buruk tentu tak akan sebanyak
ini." *** Sim San-koh akhirnya tertidur dengan nyenyak.
Mata Leng Chiu-hun masih menatap keluar jendela, tampak mulutnya
komat-kamit menggumam, "Tionggoan It-tiam-ang, sampai di manakah
kecepatan pedangnya" Benarkah dia sejahat dan keji seperti yang tersiar"
Memangnya dia benar-benar......"
"Leng-heng tak perlu banyak fikiran," tukas Thio Siau-lim. "Yang terang
segera kau akan berhadapan dengannya."
Tiba-tiba Leng Chiu-hun berjingkrak bangun seperti disengat kala,
tanyanya, "Segera dia akan datang?"
"Kalau dia ingin datang, tentunya sudah datang."
Jari-jari Leng Chiu-hun yang menggenggam gagang golok makin memutih
kencang, mendadak ia menggebrak meja, teriaknya keras, "Baik, biarkan
dia datang! Seumpama maling sakti Coh Liu-hiang yang datang juga belum
tentu aku gentar terhadapnya, mengapa aku harus jeri menghadapi
Tionggoan It-tiam-ang?"
Thio Siau-lim tersenyum simpul, "Apakah Coh Liu-hiang lebih menakutkan
daripada Tionggoan It-tiam-ang?"
"Di kolong langit ini, siapa pula yang lebih menakutkan daripada Coh Liuhiang?"
"Menurut apa yang kutahu, bahwasanya dia adalah seorang yang bijaksana,
bajik dan baik hatinya, mungkin di dunia ini tiada orang yang lebih baik
kecuali dia." "Sungguh menggelikan..... belum pernah kudengar kata-kata lucu yang
menggelikan seperti ini. Seumpama Coh Liu-hiang mendengar ucapanmu itu,
mungkin giginya akan copot saking gelinya."
Thio Siau-lim menghela nafas, katanya sambil tertawa getir, "Manusia
memang aneh, ada kalanya lebih percaya pada obrolan orang yang
berbohong dan tidak percaya pada omongan yang jujur."
Sekonyong-konyong genteng di atas ruang pendopo itu berderak.
Gelak tawa Leng Chiu-hun seketika sirap, seluruh badannya mengejang
tegang, badannya lalu melenting ke pinggir jendela, serunya lantang,
"Sahabat di luar, silakan masuk!"
Sementara Thio Siau-lim perlahan-lahan membuka pintu dan berjalan
keluar, katanya tertawa, "Kalau kalian ke mari hendak berkelahi, silakan
mencarinya. Jikalau ingin mengadu untung, aku malah mau melayani."
Di luar gelap gulita, hanya disinari bintang-bintang yang berkerlap-kerlip,
terlihat di atap rumah berjajar bayangan orang yang berkumpul menjadi
satu, sedang merundingkan sesuatu. Lalu melompat turun lima orang lakilaki,
seorang lagi masih tetap berdiri di pinggir atap sambil bergendong
tangan, sikapnya acuh seperti tidak terjadi apa-apa, namun sepasang
matanya laksana mata serigala yang memancarkan sinar terang di
kegelapan malam. Thio Siau-lim melihat jelas, orang itu adalah Tionggoan
It-tiam-ang. Salah seorang laki-laki yang turun lebih dulu berbaju kencang, mukanya
bercambang, ukuran badannya yang kurus kering tidak setimpal dengan
jenggot kasarnya. Di antara kelima orang itu, memang ginkangnya jauh
lebih tinggi. Begitu menginjak bumi, dengan tajam segera ia menatap Thio
Siau-lim, katanya bersoja, "Apakah tuan majikan rumah ini?" Terlihat
telapak tangannya terangkap di luar, tapi jari tengah dan jari manisnya
masing-masing mengenakan tiga cincin baja yang berwarna emas hitam.
Thio Siau-lim tertawa, sapanya, "Apakah tuan Thian-jiang-sing Song
Kang?" "Ya," sahut laki-laki berjenggot kasar itu.
Thio Siau-lim lalu menyingkir ke samping, katanya tertawa, "Tuan rumah
sudah menunggu di dalam, silakan!"
Leng Chiu-hun kembali duduk di atas kursi besar di pinggir meja judi itu.
Golok panjang berkilauan sudah terlolos, ujungnya mengancam tenggorokan
Sim San-koh. Dengan dingin ia menyambut kedatangan Song Kang, katanya
sinis, "Sungguh kebetulan kedatangan Song-jisiansing. Aku berhasil
menangkap seorang maling perempuan. Kalau Song-jisiansing ada minat,
silakan tampil ke depan untuk mengorek keterangannya bersamaku."
Song Kang berdiri membelakangi pintu, raut wajahnya yang bundar
membeku sudah mekar menjadi warna abu-abu, harus maju melabrak orang


Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ataukah bertindak menurut gelagat, sedikit pun ia tidak bisa mengambil
keputusan. Leng Chiu-hun terkekeh, serunya, "Song-jisiansing, apakah pakaianmu
terlalu sempit" Menahan nafas sampai mukamu merah padam begitu. Kau
harus mencari tukang jahit, bolehkah Cayhe kenalkan seorang tukang jahit
yang pandai pada Song-jisiansing?"
Murid-murid Thian-sing-pang menjadi beringas gusar, serempak mereka
menyerbu masuk. Tiba-tiba Song Kang membalikkan telapak tangannya, ia
pukul keluar pintu seorang yang menerjang paling depan hingga jungkir
balik. Seolah tidak terjadi apa-apa, lekas ia merangkap tangan dan berkata
dengan tawa yang dipaksakan, "Ini... kukira telah terjadi salah faham."
"Salah faham?" Leng Chiu-hun mengangkat alisnya.
"Orang yang terancam di bawah golok Leng-kongcu itu adalah Sumoay-ku."
"Wah, aku bertindak kurang hormat malah, kalau Sumoaymu mau
memberitahu asal-usulnya, mana berani Cayhe bertindak kurang ajar."
Mulut bicara sungkan, namun ujung goloknya tetap mengancam leher Sim
San-koh, sedikit pun tidak bermaksud membebaskan tawanannya.
Kelihatan betapa prihatin dan gugup Song Kang, katanya dengan tertawa
dipaksakan: "Kalau saudara sudi membebaskan Sumoayku, Thian-sing-pang
akan berterimakasih dan berhutang budi."
"Hubungan antara laki-perempuan, jika kelewat batas memang sukar
mengelabui mata orang lain," Leng Chiu-hun tertawa lebar.
Akhirnya berubah juga air muka Song Kang, bentaknya, "Apa katamu?"
"Aku berkata, demi Sumoaymu yang romantis ini, sampai suheng sendiri
sudah dilupakan," demikian olok Leng Chiu-hun.
Semakin merah padam raut muka Song Kang, katanya tersendat,
"Sumoayku.... Suhengku....."
Leng Chiu-hun mendadak berjingkrak berdiri, bentaknya bengis, "Seorang
laki-laki harus bicara terus terang. Biar aku jelaskan padamu, persetan
mati hidup Cou Yu-cin atau ke mana dia pergi, Cu-soa-bun tidak pernah
tahu-menahu. Tentang Sumoaymu ini... kau ingin membawanya pulang,
kukira tidak sedemikian gampang."
Song Kang mengepalkan tangannya, katanya gemetar, "Kau..... apa
keinginanmu?" "Kalau kau ingin perempuan ini pulang dalam keadaan hidup, kau harus
bersumpah dan melarang orang Thian-sing-pang selamanya memasuki
wilayah Kilam. Demikian juga dengan temanmu di atap itu, tentu kau pun
harus mengajaknya kembali."
Belum lenyap suaranya, tiba-tiba kesiur angin keras menyambar, sesosok
bayangan orang melesat masuk lewat jendela sebelah kiri terus terbang
keluar lewat jendela kanan. Kejadian itu berlangsung secepat kilat.
Terdengar suara "Tring!" yang nyaring, hampir saja golok di tangan Leng
Chiu-hun dijentik lepas oleh orang itu.
Waktu semua orang berpaling, tampak Setitik Merah dari Tionggoan
sudah berdiri di atap sebelah kanan. Tanpa bersuara, tindakannya itu
sudah memberi jawaban singkat dan paling gampang serta mudah difahami.
"Kalau aku ingin datang atau pergi, tiada seorang pun yang mampu
mengekang diriku." Keruan berubah muka Leng Chiu-hun. Dasar licik, segera dia berganti
sikap, katanya tertawa, "Asal saudara tidak mencampuri urusan ThianKoleksi
Kang Zusi sing-pang, sembarang waktu ingin berada di Kilam, murid-murid Cu-soa-bun
kami akan menyambutmu dengan pesta kebesaran."
Kini Song Kang tak tahan lagi, bentaknya, "It-tiam-ang, kau sudah
membunuh seorang murid kami, bukan hanya aku tidak mencari perhitungan
padamu, malah kumaki mereka, terhadap bapakku sendiri pun Song Kang
tidak pernah sesungkan ini. Tapi barusan kau jelas bisa membebaskan
Sam-moay, namun kau tidak turun tangan, kau....."
Setitik Merah menyahut dingin, "Selamanya aku hanya membunuh, tak
tahu cara bagaimana menolong orang."
Sorot matanya lebih dingin dari pisau tajam. Song Kang hanya melirik
sekilas, kata-kata selanjutnya seakan tersumbat di mulutnya. Beberapa
saat kemudian, barulah dia dapat berkata dengan tersendat, "Kalau
demikian.... mengapa kau tidak membunuhnya?"
"Aku membunuh orang tidak pernah dengan cara membokong, kau suruh
dia keluar, biar kubunuh dia untukmu."
"Cuma, sebelum Cayhe keluar, batok kepala Sumoaymu ini tentu sudah
berpisah dengan badan kasarnya," ancam Leng Chiu-hun menyeringai
dingin. Dengan mendongkol Song Kang membanting kaki, katanya serak, "Baiklah,
kuturuti keinginanmu. Sejak kini Thian-sing-pang tidak akan menginjak
daerah Kilam." Orang seperti Song Kang memang tiada duanya,
kedudukannya tinggi di Kangouw maupun di dalam Pang sendiri. Kalau ingin
hidup dan berkecimpung di kalangan Kangouw, setiap patah kata harus
sekokoh gunung, selamanya tidak boleh diubah.
Leng Chiu-hun mengunjuk tawa lebar, katanya, "Bila sudah demikian...."
Tiba-tiba seseorang menyeletuk sambil tertawa berseri, "Jangan kau lupa,
Leng-heng, aku pun punya bagian atas diri nona itu."
Sigap sekali Song Kang membalikkan badan, dilihatnya Thio Siau-lim
sedang melangkah masuk sambil tertawa lebar. Sepasang matanya seperti
menyemburkan api, bentaknya murka, "Kau ini barang apa" Mau ikut
campur?" "Aku bukan barang," ujar Thio Siau-lim tetap dengan tertawa. "Aku
manusia." Sambil menggerung Song Kang melontarkan kepalan, cincin di jarinya
seketika memancarkan sinar dingin, untuk membunuh orang segampang
membalikkan telapak tangan, namun di mana kepalannya melayang, tahutahu
hanya mengenai tempat kosong karena orang di depannya tiba-tiba
hilang. Waktu ia menoleh, dilihatnya Thio Siau-lim sedang cengar-cengir di bawah
emper rumah rumah sana, katanya, "Sudah Cayhe katakan, berkelahi aku
tidak suka." Sungguh gusar dan kaget Song Kang dibuatnya, beruntun ia memberi
tanda lambaian tangan pada It-tiam-ang, tapi It-tiam-ang seolah tidak
melihat, terpaksa Song Kang berseru, "Ang-heng, kau... memangnya belum
tiba saatnya kau bertindak?"
It-tiam-ang berpaling ke arah Thio Siau-lim sebentar, sahutnya, "Semua
manusia di kolong langit ini dapat kubunuh, tapi dia.... kau suruh orang lain
saja yang lebih lihai dariku!" Dari atap rumah ia melemparkan buntalan
uang perak, tanpa berpaling terus tinggal pergi.
Song Kang melongo dan menjublek di tempat, sungguh mimpi pun tak
terpikirkan olehnya Tionggoan It-tiam-ang yang membunuh manusia
seperti membabat rumput hari ini terbentur batu, ada orang yang tidak
mampu dan tidak mau dibunuhnya.
Thio Siau-lim berdiri diam sambil menggendong tangan, pakaiannya
melambai tertiup angin, katanya dengan tetap tersenyum, "Sebetulnya
syaratku jauh lebih gampang dari yang diajukan oleh Leng-kongcu."
Akhirnya Song Kang kewalahan dan membanting kaki, serunya, "Apa
keinginanmu" Lekas katakan!"
"Asal kau berikan surat Suhengmu yang diserahkan padamu sebelum dia
pergi, hanya kubaca sebentar, bukan saja segera kuantar Sumoaymu
keluar, malah akan kusewakan tandu dan kubunyikan petasan untuk
membuang hawa busuknya."
Keruan Song Kang melengak, katanya, "Jadi syaratmu hanya ingin melihat
surat itu?" "Ya, setelah kubaca, segera kukembalikan."
Lama Song Kang menepekur, lalu katanya perlahan, "Surat itu sudah
kubakar, tapi apa yang tertulis dalam surat itu, aku pernah membacanya,
entah ada sangkut-paut apa surat itu denganmu" Mengapa kau ingin
melihatnya?" "Tidak perlu kau tahu apa maksudku hendak membaca surat itu. Cuma aku
ingin tahu apakah kau tidak ingin Sumoaymu yang genit ini kembali ke
dalam pelukanmu?" Song Kang mempertimbangkan, sekilas ia mengawasi raut muka sang
Sumoay yang kelihatan pucat di bawah sorotan sinar lampu, seketika
bergolak darah dalam rongga dadanya. Tanpa menghiraukan segalanya,
segera ia berteriak keras, "Baik, akan kukatakan. Sebetulnya surat itu
tidak mengandung rahasia apa-apa, namun....." Mendadak mulutnya menjerit
seram, badannya pun tersungkur beberapa kaki dan roboh terjerembab.
Murid-murid Thian-sing-pang seketika terpekik kaget dan menjadi gaduh.
Sedikit pun tidak terlihat luka di atas badannya, namun sejalur darah
merembes keluar dari tulang punggung ruas ketujuh.
Berubah air muka Leng Chiu-hun, serunya, "Inilah orang kedua yang mati
lantaran surat itu. Thio-heng, kau...." Waktu ia berpaling, Thio Siau-lim
yang tadi berdiri di emper rumah itu sudah tidak kelihatan lagi
bayangannya. *** Waktu Song Kang roboh sambil melolong seram, di ujung tembok nan jauh
sana berkelebat sesosok bayangan hitam terus menghilang. Seorang pun
tidak ada yang melihatnya, tapi mana bisa lepas dari sepasang mata Thio
Siau-lim nan jeli. Sebat sekali badannya segera melambung tinggi beberapa tombak, terus
mengejar dengan kencang, siapa sangka bayangan hitam itu tahu-tahu
sudah puluhan tombak jauhnya. Betapa tinggi ginkangnya, kaum persilatan
sama mengetahui, namun ginkang bayangan hitam ini pun ternyata tidak
lemah. Dua sosok bayangan, satu di depan, yang lain mengejar di belakang,
melesat terbang di atas kota Kilam yang malam itu terasa panas kering,
laksana dua layang-layang yang terikat pada seutas benang. Sekejap saja
keduanya sudah melampaui tembok kota langsung menuju ke arah yang
jauh di mana diliputi kabut tebal yang pekat, tahu-tahu mereka sudah
sampai di pesisir Tay-bing-ouw, danau kenamaan yang amat indah dan
menakjubkan pemandangannya.
Lambat-laun Thio Siau-lim berhasil memperpendek jarak di antara
mereka, terang dalam sekejap ia akan dapat menyandak bayangan hitam
itu. Memang di kolong langit ini, perduli dia siapa, ginkangnya betapa pun
pasti satu tingkat lebih rendah dari ilmu mengentengkan tubuhnya.
"Sahabat, hentikan saja langkahmu," seru Thio Siau-lim tertawa. "Aku
berjanji tidak akan melukai seujung rambutmu. Tapi kalau kau ingin terjun
ke air, terang kau akan menderita malah."
Bayangan hitam itu bergelak tertawa seperti burung hantu, katanya, "Coh
Liu-hiang, akhirnya aku dapat mengetahuimu juga!" Di tengah suaranya,
tahu-tahu suatu benda meluncur di udara dan meledak menghamburkan
asap tebal berwarna ungu berbau aneh. Seketika seluruh badannya
tertelan dalam asap tebal itu, tak ketinggalan Thio Siau-lim sendiri pun
tertelan di dalamnya. Terasa asap tebal itu seperti sesuatu benda yang menindih seluruh badan
Thio Siau-lim, bukan saja pandangan mata menjadi kabur, gerak-geriknya
yang lincah pun menjadi sukar dikembangkan pula. Waktu ia berhasil
menerobos keluar dari kepungan kabut tebal itu sambil menahan nafas,
dirinya sudah berada di pinggir danau, bayangan itu pun sudah menghilang,
tampak air danau yang tenang itu beriak membundar lentur, semakin lebar
dan akhirnya sirna. Dengan mendelong Thio Siau-lim mengawasi riak air yang membundar
lentur itu, mulutnya menggumam, "Apakah itu Jinsut yang misterius dari
kalangan persilatan di Tang-ni (Jepang)" Mengapa belum pernah kudengar
kaum persilatan Tionggoan ada yang mahir menggunakan ilmu yang
mendekati aliran sesat ini?"
Menurut cerita orang kuno, Jinsut adalah semacam ilmu yang dapat
menghilangkan badan kasar sendiri secara tiba-tiba di hadapan musuh.
Untuk mempelajari ilmu ini hingga sempurna, orang harus putus hubungan
dengan cinta asmara, mempersembahkan jiwa raga sendiri sebagai taruhan
untuk mencapai pelajaran Jinsut yang paling tinggi. Betapa berat derita
dan sengsara dalam proses pelajaran ini, tak bisa dilakukan oleh
sembarang orang. Seumpama kaum persilatan di Tang-ni sendiri, tokoh
yang pandai menggunakan Jinsut ini dipandang sebagai tokoh misterius
laksana dedemit. Sesaat lamanya Thio Siau-lim menjublek di tempatnya, katanya sambil
tertawa kecut, "Orang ini pandai menggunakan Jinsut, memiliki ginkang
yang hebat pula, hari ini Coh Liu-hiang benar-benar terbentur batu, sayang
belum bisa kuketahui siapa dia sebenarnya."
Mendadak didengarnya seseorang berkata dengan dingin, "Coh Liu-hiang,
cabut senjatamu!" Suaranya serak-serak basah, berbareng sesosok
bayangan hitam lalu melangkah keluar dari tengah kabut di pinggir danau
itu, dia bukan lain Tionggoan It-tiam-ang.
"Mengapa kau pun berada di sini?" tanya Thio Siau-lim tertegun.
"Aku mengikuti jejakmu, sekarang baru bertemu di sini, tentunya kau tak
akan membuatku kecewa, bukan?"
Thio Siau-lim mengusap hidungnya, ujarnya, "Sejak tadi kau menguntitku"
Mengapa?" "Hanya untuk menghunjamkan pedangku ini ke tenggorokanmu."
Keruan Thio Siau-lim melengak, tanyanya, "Kau hendak membunuhku?"
"Mungkin akulah yang akan kau bunuh," sahut It-tiam-ang sinis.
"Kau tahu, selamanya aku tidak membunuh orang, apalagi kau?""
"Kau tidak membunuhku, biarlah aku yang membunuhmu."
"Tapi tadi kau sudah bilang tidak".."
"Aku tidak mau membunuhmu lantaran orang lain, aku ingin membunuhmu
lantaran aku sendiri."
"Mengapa?" "Bisa berduel dengan Coh Liu-hiang merupakan peristiwa yang
membesarkan hatiku."
Thio Siau-lim menggelengkan kepalanya, katanya sambil menggendong
tangan, "Sayang aku tiada berminat untuk berkelahi, maafkanlah."
"Kau mau tidak mau harus bertanding denganku!" bentak It-tiam-ang. Di
tengah alunan suaranya yang bergema di udara itu, sinar pedangnya
laksana bianglala menusuk, namun Thio Siau-lim tetap menggendong
tangan, tanpa bergerak sedikit pun, tahu-tahu sinar pedang sudah
berhenti setengah dim di depan lehernya.
Sinar pedang yang kemilau membuat kedua alisnya kelihatan memucat.
Kala menyilang di lehernya, tampak jakunnya tergetar diancam oleh sinar
pedang yang berhawa dingin, namun sikap dan air mukanya tetap tidak
berubah, semangatnya seolah terbuat dari besi baja. It-tiam-ang segera
mendorong ujung pedangnya setengah dim ke depan, ujung pedang sedikit
pun tidak bergeser dari sasarannya, pergelangan tangannya seakan
terbuat dari besi murni. Suaranya serak mengancam, "Kau kira aku tidak
berani membunuhmu?" Ujung pedang sudah hampir menempel di lehernya, namun sedikit pun
ketenangan Thio Siau-lim tidak tergoyahkan, katanya tertawa tawar,
"Sudah tentu bukannya kau tidak berani, cuma tak sudi."
"Aku bertekad hendak membunuhmu, mengapa tak sudi?"
"Membunuh dengan cara seperti ini, kesenangan apa pula yang dapat kau
peroleh?" Ujung pedang tiba-tiba bergetar, tangan It-tiam-ang yang sekokoh batu
ternyata sudah bergeming, bentaknya dengan suara parau, "Kau betulbetul
begitu yakin?" Mendadak pedangnya menusuk maju.
Dari kepala sampai kaki Thio Siau-lim tidak terlihat bergerak, walau ujung
pedang menyerempet lewat lehernya, tusukan pedang ini kemungkinan bisa
menembus tenggorokannya. Raut muka It-tiam-ang tetap dingin seperti es, namun kulit dagingnya
mulai berkerut mengejang, selebar mukanya tiba-tiba berkerut aneh,
katanya, "Kau". kau benar-benar tidak sudi bertarung denganku?"
Suaranya gemetar. "Sungguh mohon dimaafkan!" sahut Thio Siau-lim menghela nafas.
"Bagus!" seru It-tiam-ang menengadah seraya tertawa panjang. Nada
tawanya rawan dan pedih, pedang diputar balik terus menusuk ke arah
tenggorokannya sendiri. Sudah tentu perbuatan nekad It-tiam-ang ini amat mengejutkan Thio
Siau-lim, segera telapak tangannya menebas tegak hendak merampas
pedang orang, namun secepat kilat pergelangan tangan It-tiam-ang
bergerak lincah, ujung pedang tetap tertahan mengarah ke


Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tenggorokannya. Sementara itu Thio Siau-lim mulai mengembangkan ilmu
Khong-jiu-jip-pek-to, dengan keras berusaha hendak merebut senjata
orang. Di bawah penerangan cahaya bintang yang berkerlap-kerlip, tampak sinar
pedang berkelebatan, bayangan orang pun timbul tenggelam dengan
gerakan cepat dan gesit serta lincah sekali. Betapa pun kedua orang ini
sudah turun tangan, namun gerak-gerik keduanya sama cepat dan jauh
berbeda dari pertarungan adu silat umumnya, karena yang seorang
berusaha untuk bunuh diri, yang lain berusaha menolong dan menggagalkan
usaha orang untuk mencari jalan pendek.
Pertempuran semacam ini sungguh belum pernah terjadi sejak zaman
dahulu. Dalam sekejap saja puluhan jurus sudah berlalu. Mendadak
terdengar suara "Creng!", kumandang suara kecapi dari tengah danau.
Petikan demi petikan mengalun turun naik bergema di tengah udara nan
sunyi lengang, namun serasa mengandung suasana penasaran dan kebencian,
seumpama negara yang sedang menghadapi keruntuhan, rasa marah dan
cinta sukar terbendung, seolah-olah terhina dan tak terlampiaskan gejolak
hatinya. Begitu alunan suara kecapi berkumandang di udara, alam semesta serasa
diliputi rasa rawan yang dibakar oleh nafsu membunuh, bintang-bintang di
angkasa raya seakan redup dan tenggelam, panorama alam dan keindahan
danau Tay-bing-ouw menjadi kuncup dan tak berkesan pula.
Dasar watak dan hati Thio Siau-lim selalu lapang dan terbuka, seorang
yang jujur dan polos, tidak menjadi soal bagi dirinya ketika mendengar
alunan suara kecapi yang mengandung daya tarik yang luar biasa itu. Tapi
riwayat hidup It-tiam-ang berbeda jauh, sejak kecil ia hidup menderita
dan berkelana di Kangouw seraya mengecap kesengsaraan dan kenistaan.
Ia memang berhati keji, fikirannya pun sempit dan selalu dihinggapi oleh
rasa penasaran akan ketidakadilan, kalau tidak mana mungkin dia menjadi
seorang pembunuh bayaran, membunuh orang sebagai hobi.
Tatkala itu alunan suara harpa sudah berkumandang di telinganya,
seketika darah mendidih dan badan terasa panas membakar, ternyata ia
sukar mengendalikan diri lagi, mendadak ia bersuit panjang dan nyaring
sambil menengadah, pedangnya bergerak terbalik pula menusuk ke arah
Thio Siau-lim. Tusukan ini amat cepat dan ganas, tidak sempat Thio Siau-lim berpikir,
secara refleks badannya bergerak mengegos diri, cuaca memang remangremang,
namun jelas kelihatan sepasang matanya It-tiam-ang merah telah
berdarah, gerak-geriknya membabi-buta seperti kesetanan. Waktu
tusukan kedua It-tiam-ang dilancarkan, tak bisa lagi Thio siau-lim berkelit
pula, kalau dulu ia masih tetap bersikap tenang, tapi kini ia menghadapi
lawan yang betul-betul sudah kehilangan kesadarannya. Petikan harpa
semakin cepat, gerak sambaran pedang It-tiam-ang ikut menjadi cepat,
seolah-olah gerak-gerik dan jalan pikirannya sudah terkendali dan
dibelenggu oleh suara petikan harpa itu, sehingga ia tidak punya pedoman
dan kontrol atas dirinya sendiri lagi.
Keruan Thio Siau-lim tersirap darahnya, bukan ia kuatir pedang It-tiamang
akan melukai dirinya, adalah ia tahu kalau pertempuran cara seperti ini
berlangsung lebih lama lagi, It-tiam-ang pasti akan bisa melukai atau
membunuh dirinya. Cahaya pedang sudah menjadi tabir berkilat terang yang membungkus
seluruh badan Thio Siau-lim, sinar pedang yang merabu seperti gila ini
terang takkan dapat dikendalikan atau ditundukkan oleh siapa pun juga.
Thio Siau-lim mendadak berseru lantang: "Apa kau berani ikut aku ke
bawah?" di tengah gema suaranya, tiba-tiba badannya melambung tinggi
berjumpalitan di tengah udara terus terjun ke dalam danau.
Tanpa ragu-ragu sedikit pun, It-tiam-ang meniru perbuatannya ikut terjun
ke dalam air. Tapi di dalam air jauh berbeda dengan daratan, waktu ItKoleksi
Kang Zusi tiam-ang menusukkan pedangnya, paling-paling hanya menimbulkan riak
gelombang air yang berbuih, sukar dia melukai lawannya pula.
Bab 8 Keterangan: Bab 8 ini diambil dari jilid 4 Pendekar Pengejar Nyawa
dihttp://www.langka.info setelah mendapat ijin dari bung bagusetia
sebagai admin-nya. Kontributor (tukang ketik): ansari
---------------------------------Sebaliknya berada di dalam air Thio Siau-lim laksana naga bermain di
tengah lautan, gerak badannya segesit ikan selicin belut, cukup berkelebat
dan meliukkan badan, tahu-tahu ia sudah mencengkeram pergelangan
tangan It-tiam-ang serta menotok hiat-tonya. Setelah tidak berkutik, lalu
ia angkat badan orang serta dilemparkan ke pinggir danau, serunya
tertawa: "Ang-heng, walau sekarang kau sedikit menderita, tentunya jauh
lebih enak daripada kau menggila dan mampus jadinya."
Lalu ia putar badan dan selulup ke dalam air. Cepat sekali ia berenang
menuju ke arah datangnya suara harpa.
Kabut tebal mengembang di permukaan air, keadaan remang-remang, jauh
di tengah danausana berlabuh sebuah sampan kecil. Di atas sampan tunggal
ini duduk bersila seorang padri muda yang mengenakan jubah putih, jarijarinya
tengah memetik harpa, di tengah keremangan kabut tampak biji
matanya laksana bintang kejora yang bersinar menyala, bibir merah gigi
putih, raut mukanya lebih mirip dengan wajah perempuan cantik dibanding
kekasaran muka seorang laki-laki, namun tindak-tanduknya kelihatan lemah
lembut, wajar dan gagah, sifat-sifatnya ini perempuan siapa pun takkan
bisa menandinginya. Seluruh badannya selintas pandang seperti amat bersih, tiada debu
sedikit pun yang mengotori badannya, seolah-olah dia baru saja turun dari
khayangan di tengah angkasa yang berawan.
Coh Liu-hiang memandangnya dua kali, segera ia berseru dengan tertawa
sambil mengerut kening: "Kiranya dia, seharusnya aku sudah ingat sejak
tadi. Kecuali dia, siapa pula yang mampu memetik suara harpa sebaik itu...
celaka adalah aku yang hampir mati dari efek alunan suara harpanya tadi."
Ia menyelam maju dan baru melongokkan kepalanya dari permukaan air
setelah berada dekat di pinggir sampan, katanya: "Dalam hati Taysu
memangnya ada perasaan yang tidak bisa direlakan?"
Petikan harpa seketika kacau berantakan dan akhirnya berhenti. Padri itu
agaknya kaget, namun sikapnya tetap tenang dan tenteram. Sekilas ia
berpaling, segera unjuk senyum mekar, katanya: "Setiap kali Coh-heng
bertemu dengan Pinceng, apakah badanmu harus selalu basah kuyup
seperti ini?" Padri muda ini bukan lain adalah Biau-ceng Bu-hoa yang terkenal di seluruh
kolong langit. Tempo hari waktu dia menikmati petikan harpanya di atas
sampan di tengah lautan, kebetulan Coh Liu-hiang muncul dari dalam air
serta mengejutkan hatinya juga.
Cepat Thio Siau-lim melompat naik ke atas sampan, katanya melotot:
"Siapa itu Coh Liu-hiang?"
Bu-hoa tersenyum, ujarnya: "Kecuali Coh-heng, dalam kolong langit ini
siapa yang mampu sampai sedemikian dekatnya di samping Pinceng. Siapa
pula kecuali Coh-heng yang memahami makna alunan suara harpa,
menaklukkan sanubari orang."
Thio Siau-lim tergelak-gelak, "Kecuali Coh Liu-hiang, seluruh dunia siapa
pula yang mampu mengejutkan kau dari dalam air.... Bu-hoa, Bu-hoa,
namamu memang Bu-hoa (tiada kembang), namun tak terhitung kembangkembang
suci yang terbenam dalam sanubarimu."
Di tengah gelak tawanya, cepat ia meraih ke muka menanggalkan kedok
mukanya terus dilempar ke dalam air. Maka muncullah muka asli Coh Liuhiang
di tengah danau di atas sampan di bawah penerangan bintang-bintang
kecil di angkasa raya. Entah berapa banyak gadis yang tak bisa tidur bisa
melihat raut wajahnya ini.
Kata Bu-hoa: "Kedok muka yang sedemikian indah dan bagus kenapa Cohheng
buang ke dalam air?"
"Kedok muka ini sudah konangan oleh tiga orang, kenapa harus kupakai
lagi?" "Cara menyamar Coh-heng sungguh tiada bandingan di seluruh jagat.
Seumpama Pinceng tidak mengenali penyamaranmu, siapa pula yang punya
ketajaman mata dapat mengenali samaranmu?"
"Peduli bagaimana mereka membongkar kedok samaranku, yang terang
muka asliku sudah mereka ketahui. Kalau samaran muka seseorang sampai
dikenal oleh tiga orang, seumpama mukanya amat buruk pun lebih baik dia
kembali kepada muka aslinya saja."
"Entah siapa kedua tokoh yang lain itu?" tanya Bu-hoa.
"Orang pertama adalah 'Membunuh orang tiada darah, setitik darah di
ujung pedang'." Bu-hoa sedikit mengerutkan kening. Mendadak harpa tujuh senar di
pangkuannya ia buang ke dalam air juga.
"Harpamu paling tidak jauh lebih mahal daripada kedok mukaku tadi,
kenapa pula kau membuangnya ke dalam air?"
"Di sini kau menyinggung nama orang itu, berarti harpa itu sudah
tersentuh oleh bau anyirnya darah, selanjutnya pasti tidak akan bisa
mengumandangkan suara suci dan bersih," lalu ia pun mencuci kedua
tangannya di dalam air danau, dikeluarkannya secarik sapu tangan putih
untuk menyeka kering tangannya.
"Kau kira air danau ini bersih" Bukan mustahil di dalamnya ada......"
"Orang bisa membuat air kotor, sebaliknya air tidak akan mengotori
manusia. Mengalir pergi, datang yang baru, selamanya tidak akan kotor."
"Tak heran kau suka menjadi Hwesio, orang seperti kau kalau tidak
mencukur gundul jadi orang beribadat, mungkin kau tidak akan bisa hidup
di dalam dunia fana."
Bu-hoa tertawa tawar, tanyanya: "Memangnya siapakah orang kedua?"
"Orang kedua ini walau sudah tahu akan diriku, sebaliknya aku belum tahu
siapa dia. Yang kutahu bahwa ginkangnya amat tinggi, senjata rahasianya
amat keji, malah dia pun mahir menggunakan Jinsut!"
"Jinsut?" bergetar badan Bu-hoa.
"Kau paling paham akan segala sumber, tahukah kau apa ajaran Jinsut
pernah masuk ke Tionggoan?"
Bu-hoa berpikir sesaat lamanya, katanya kalem: "Aliran Jinsut asalmulanya
diajarkan dari Ih-ho (Arab), seumpama di daratan Tang-ni sana
sendiri ilmu ini termasuk kepandaian misterius yang amat disegani. Tapi
menurut pandangan Pinceng, kemampuan dan kesaktianmu bukan saja punya
taraf yang sejajar dan setanding, malah mungkin ada sedikit
melampauinya." "Kau mengagulkan aku, apa kau ingin supaya kelak bila bermain catur aku
sengaja mengalah kepadamu?"
"Ilmu silat di Tang-ni sebetulnya bersumber dari bangsa kita di jaman
dinasti Tong dulu, cuma mereka sedikit menambahi bumbu dan dirubah
serta direvisi dan terciptalah aliran lain yang tersendiri. Kaum persilatan
di Tang-ni sekarang yang paling terkenal adalah Liu-seng-jiu, It-to-liu dan
lain-lainnya. Aliran perguruan kebanyakan mereka mengutamakan
ketenangan mengatasi gerakan, bergerak belakangan mengatasi yang
duluan, bukankah mirip dan serasi dengan ajaran Lwekang murni dari aliran
bangsa kita" Tentang permainan ilmu pedang mereka yang ganas dan keji,
gampang dan murni, bukankah sesumber dengan ilmu golok yang
berkembang paling jaya dan lama pada dinasti Tong dulu?"
"Memang kau paham segala sumber ilmu, namun Jinsut itu......"
"Jinsut ilmu sihir, nama ini kedengarannya memang amat aneh dan
mengandung arti yang amat dalam, namun sebetulnya tidak lepas dari
ginkang, am-gi, obat bius dan ilmu rias diri yang dikombinasikan menjadi
satu, cuma sejak dilahirkan pembawaan mereka suka meniru, mempunyai
dasar semangat aneh yang lain dari yang lain. Setelah berhasil mempelajari
ilmu dari bangsa kita, bukan saja bisa meresapinya dan menyedot inti
sarinya, malah bisa pula memecah, menganalisa dan memperluas ajaran itu
seolah-olah menjadi dongeng aneh dan menakjubkan."
"Aku hanya bertanya, setelah mengalami godokan dan gemblengan dalam
proses perubahan ilmu yang mereka miliki serta akhirnya menjadi ilmu
yang dinamakan Jinsut itu, apakah ilmu itu pernah masuk ke dalam tanah
air kita" Adakah orang yang berhasil mempelajarinya?"
"Kabarnya dua puluh tahun yang lalu pernah datang seorang bangsa Arab
ahli sihir yang mendarat dan akhirnya dia menetap di daerah Binglam
selama tiga tahun. Kaum Bulim di daratan besar bila ada yang pandai
menggunakan Jinsut kukira pasti hasil ajaran dari orang Arab itu. Selama
tiga tahun dia menetap di sana, dan yang pasti bahwa dia adalah seorang
tokoh silat kenamaan di daerah Binglam sana."
"Binglam?" Coh Liu-hiang mengerutkan kening. "Apakah keturunan Tan dan
Lim, dua aliran Bulim terbesar di sana?"
"Cuaca malam seindah ini, kau malah mengajak aku membicarakan soal
duniawi, memangnya tidak menyia-nyiakan pemandangan seindah gambar
lukisan di malam ini?"
"Memangnya aku ini orang kasar dari dusun, apalagi pada saat sekarang,
kecuali persoalan-persoalan duniawi ini, segala macam urusan lain tiada
yang menarik perhatianku."
Mendadak ia berdiri, katanya sambil tertawa besar, "Kalau kau hendak
berkhotbah atau main catur, setelah persoalanku beres, tentu akan kucari
kau, dan lagi aku berjanji badanku tentu akan kering dan bersih."
"Baik, janji main catur ini jangan sekali-kali kau lupakan, lho!"
Kepala Coh Liu-hiang menongol keluar dari permukaan air, serunya keras:
"Siapa bila melupakan janji dengan Bu-hoa, tentu orang itu orang linglung."
Bu-hoa mengantar badan orang yang berlalu pergi segesit ikan, katanya
sambil tersenyum: "Dapat berkenalan dengan orang seperti dia, peduli
teman atau musuh, bolehlah terhitung suatu kejadian yang
menggembirakan." Coh Liu-hiang kembali ke daratan, ia jinjing badan It-tiam-ang dan
mencari sepucuk pohon tinggi besar, dicarinya dahan-dahan pohon yang
rimbun dedaunannya, di sana ia baringkan badan orang, lalu melompat
turun, serunya sambil mengulap tangan: "Biar sekarang kita berpisah,
setengah jam lagi kau akan siuman sendiri. Aku tahu kau pasti tidak suka
aku melihat keadaanmu yang serba runyam bila kau siuman nanti."
Langsung ia berlari-lari masuk ke kota, sepanjang jalan pulang pergi ia
putar otak, terasa sampai detik ini persoalan ini masih acak-acakan,
sedikit pun tak berhasil ia raba sumber persoalannya. Dia berkeputusan
untuk sementara tidak usah susah-susah putar otak memikirkan persoalan
ini, biarlah otaknya istirahat saja beberapa waktu.
Otak manusia memang aneh, kalau lama tidak dipakai pun bisa karatan,
sering dipakai dan melelahkan dia pun bisa menjadi linu dan kejang.
Waktu ia tiba di kota, sang surya sudah keluar dari peraduannya. Pagi
sudah menjelang, di jalan sudah kelihatan beberapa orang berlalu-lalang.
Baju Coh Liu-hiang sudah kering, ia membelok dua kali berputar dua kali,
tahu-tahu ia kembali ke Kwi-gi-tong. Mayat Song Kang tak kelihatan. Sim
San-koh dan murid-murid Thian-sing-pang sudah tidak kelihatan sama
sekali. Beberapa laki-laki berseragam hitam sedang memberesi keadaan yang
morat-marit. Melihat Coh Liu-hiang, beramai-ramai mereka membentak:
"Sekarang perjudian belum dibuka, datanglah nanti malam, kenapa
terburu-buru?" Coh Liu-hiang tertawa, ujarnya: "Aku hendak mencari Leng Chiu-hun."
"Kau terhitung barang apa," damprat laki-laki itu. "Berani kau langsung
memanggil nama Kongcu kami."
"Memang aku ini bukan barang apa-apa, namun tak lain adalah saudara
kenalan Leng Chiu-hun."
Beberapa laki-laki itu saling pandang, serempak mereka melempar sapu
terus berlari masuk ke dalam.
Tak lama kemudian, dengan langkah malas Leng Chiu-hun berjalan keluar,
air mukanya tampak lesu seperti kurang tidur, namun kedua biji matanya
berkilat terang, dari atas ke bawah dia amat-amati Coh Liu-hiang,
tanyanya dingin: "Siapa tuan ini" Seingatku belum pernah aku punya
saudara kenalan seperti kau ini."
Coh Liu-hiang sengaja celingukan ke sekelilingnya, lalu katanya
merendahkan suara: "Aku inilah Thio Siau-lim. Demi mengelabui mata
kuping orang, sengaja aku menyamar seperti ini."
Sekilas Leng Chiu-hun melengak, cepat sekali ia sudah menarik tangannya
sambil tertawa besar, serunya: "Kiranya kau Thio-jiko, aku memang pantas


Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mampus. Sudah sekian lamanya tak bertemu, sampai saudara sendiri pun
sudah kulupakan." Coh Liu-hiang tertawa geli, ia diam saja dirinya ditarik masuk ke dalam
sebuah kamar tidur yang dipajang amat indah, kelihatan kepala seorang
perempuan dengan rambutnya yang awut-awutan, sebuah tusuk konde
menggeletak di pinggir bantal.
Tiba-tiba Leng Chiu-hun menyingkap kemul, katanya dingin: "Tugasmu
sudah selesai, kenapa belum pergi juga?"
Tersipu-sipu perempuan itu merangkak bangun dan cepat-cepat
mengenakan pakaiannya terus berlari keluar dengan langkah sempoyongan.
Baru sekarang Leng Chiu-hun duduk sambil menatap Coh Liu-hiang,
katanya: "Tak nyana ilmu rias saudara ternyata begini lihay. Setelah
mengubah samaranmu sekarang, tentunya tidak sewajar dan leluasa
seperti semula. Kalau saudara menyamar lebih jelek sedikit, tentunya
sukar konangan. Caramu ini...... raut mukamu sedikit banyak tentu akan
menimbulkan perhatian orang."
Coh Liu-hiang mengelus hidung, katanya: "Apa Leng-heng ada melihat
sesuatu keganjilan atas samaranku?"
Hampir saja pecah perut Coh Liu-hiang saking menahan geli, namun
lahirnya tetap tenang-tenang saja, ujarnya: "Menyamar di waktu malam
gelap, bentuknya kurang sempurna, namun ya apa jadinyalah!"
Kembali Leng Chiu-hun meliriknya dua kali, katanya: "Sebetulnya sih cukup
baik, asal hidungmu sedikit rendah, matamu disipitkan, tentu lebih
sempurna." "Ya, ya, lain kali tentu akan kurubah," sahut Coh Liu-hiang menahan geli.
Sambil celingukan, katanya tiba-tiba: "Di mana Sim San-koh?"
"Aku tidak suka meniru cara saudara, tentunya sudah kulepas dia pulang.
Walau Thian-sing-pang tiada punya tokoh-tokoh yang menonjol, jelek-jelek
merupakan sindikat yang kenamaan juga, tentunya aku tidak suka mengikat
pertikaian-pertikaian terlalu mendalam dengan mereka."
"Memang betul demikian, entah saudara sudah mengutus anak buah untuk
memperhatikan gerak-gerik kaum persilatan di kota Kilam ini?"
"Aku sudah suruh orang mencari dengan seksama. 'Ngo-kui' bahwasanya
tidak berada di dalam kota, kecuali itu memang ada beberapa tokoh yang
cukup terkenal, namun mereka tiada sangkut-pautnya dengan urusan kita
ini." "Siapakah orang itu?"
"Dandanan orang itu aneh dan lucu, pedangnya sempit panjang, bukan lain
adalah tokoh dari Hay-lam-kiam-pay, dilihat dari tindak-tanduknya dia
orang kosen, kukira kalau bukan Ling Ciu-cu pasti Thian-ing-cu."
"Thian-ing-cu," seru Coh Liu-hiang berjingkrak bangun. "Di mana dia
sekarang?" "Kenapa saudara begini tegang?" tanya Leng Chiu-hun heran.
"Jangan tanya dulu, lekas katakan di mana dia sekarang, kalau terlambat
mungkin sudah kasep."
"Dia tidak menginap di biara atau di dalam kuil, namun bermalam di Inpinglau di selatan kota. Untuk apa saudara begini kesusu untuk menemui
dia?" Belum habis kata-katanya, Coh Liu-hiang sudah berlari keluar, gumamnya:
"Semoga kedatanganku belum terlambat. Semoga dia tidak menjadi korban
yang ketiga lantaran surat itu."
Areal bangunan In-ping-lau ini amat luas, tidak sedikit tamu-tamu luar
kota yang menginap di dalam hotel ini, namun orang beribadah hanya
Thian-ing-cu satu-satunya, seorang diri menempati sebuah kamar di
pekarangan samping yang kecil, menghadap ke arah matahari terbit. Cuma
saat mana orangnya sedang keluar.
Bagi seorang ahli seperti Coh Liu-hiang, setelah dia mencari tahu letak
kamarnya, dengan cepat ia sudah berada di pekarangan kecil itu,
menggunakan sebatang kawat baja dengan mudah ia membuka gembok dan
masuk ke dalam kamar. Nama besar Thian-ing-cu memang amat disegani, semua barang atau
perbekalan yang dia bawa tidak banyak, cuma sebuah buntalan kain kuning.
Dalam buntalan terdapat beberapa stel pakaian, dua pasang kaus kaki
panjang dan segulung buku dan kertas tulisan. Buku ini ia buntal di dalam
lempitan pakaian dalamnya, diikat pula dengan benang sutera. Kelihatannya
Thian-ing-cu amat memandangnya sangat berharga. Coh Liu-hiang berpikir:
"Surat misterius itu bukan mustahil disimpan di dalam buku ini?"
Coh Liu-hiang insyaf bahwa surat itu menyangkut peristiwa ini, dan
penting serta besar artinya bagi dirinya untuk mencari sumber
penyelidikan. Bukan mustahil merupakan kunci penjelasan rahasia peristiwa
ini, kalau tidak, tidak mungkin beberapa jiwa berkorban secara konyol
lantaran surat itu. Hati-hati Coh Liu-hiang membuka ikatan benang sutera itu. Benar juga, di
antara lembaran buku-buku itu melayang jatuh selembar sampul surat.
Betapa girang hatinya. Cepat ia jemput surat itu, di atas secarik kertas
merah jambon tertulis dua baris kata-kata yang bergaya indah dan
berseni, kelihatannya buah tangan seorang perempuan.
Kertas surat itu sudah telempit, membekas garis-garis luntur sehingga
menjadi kucel, terang sudah dibaca dan dilempit entah berapa kali, namun
tetap dipelihara dan disimpan dengan baik, dari sini dapatlah disimpulkan
bahwa penerima surat ini memandangnya amat berharga.
Isi surat itu rada mengambang dan pakai sindiran lagi, jelas penulisnya
mengharap penerima surat ini putuskan saja hubungan asmara, jangan
selalu pikir dan mengenang dirinya. Kalau dikatakan secara terang atau
cekak-aos, artinya adalah: "Aku tidak suka kepadamu, maka jangan kau
terlalu tergila-gila kepadaku."
Sudah tentu surat ini ditujukan kepada Thian-ing-cu, surat itu tertanda
'Ling-siok' dua huruf kecil, tentunya nama kecil perempuan itu.
Diam-diam Coh Liu-hiang menarik napas, batinnya: "Naga-naganya sebelum
menjadi orang beribadat Thian-ing-cu pernah mengalami patah hati. Bukan
mustahil lantaran kejadian itu dia mengorbankan masa depannya dan
menyucikan diri mengabdi kepada ajaran Thian. Sampai sekarang dia masih
bawa surat cinta ini, kiranya dia pun seorang romantis."
Tanpa sengaja ia mencuri lihat rahasia pribadi orang lain, dalam hati ia
amat menyesal, akhirnya ia toh tidak menemukan surat misterius itu, mau
tak mau hatinya merasa kecewa pula.
Buntalan kain kuning kembali pada posisi dan bentuknya semula, siapa pun
takkan bisa membedakan bahwa buntalan ini barusan pernah disentuh
orang. Waktu beranjak di jalan raya, Coh Liu-hiang menggumam sendiri: "Ke
manakah Thian-ing-cu" Dari tempat jauh dia meluruk ke mari, tentunya
hendak menyelidiki jejak Suhengnya Ling-ciu-cu. Kalau toh sudah berada di
Kilam, bukan mustahil dia akan mencari kabar ke Cu-soa-bun......" karena
pikirannya ini, segera ia menyetop sebuah kereta besar, terus dibedal
menuju ke Kwi-gi-tong. Dilihatnya Leng Chiu-hun sedang berdiri di ambang pintu sambil
menggendong tangan, agaknya barusan mengantar seorang tamu.
Begitu melihat Coh Liu-hiang, ia tertawa. Katanya, "Kau masih terlambat
juga." Lekas Coh Liu-hiang bertanya: "Barusan apakah Thian-ing-cu ke mari?"
"Ya, kau mencari dia, sebaliknya dia mencari aku! Anehnya, pihak Hay-lamkiampay pun kehilangan seseorang. Anehnya lagi dia tidak mencari tahu
kepada orang lain, justru mencariku. Hay-lam dan Kilam berjarak ribuan li,
pihak Hay-lam-pay kehilangan orang, bagaimana mungkin Cu-soa-bun bisa
tahu jejaknya?" "Tahukah kau, setelah meninggalkan tempat ini dia hendak ke mana?"
"Pulang ke In-ping-lau, aku sudah berjanji lewat lohor aku akan balas
berkunjung ke sana!"
Belum orang habis bicara, bayangan Coh Liu-hiang sudah tak kelihatan.
Kali ini ia sudah tahu jalannya, langsung ia memburu ke pekarangan kecil
itu. Jendela kamar itu sudah terbuka, seorang Tosu tinggi kurus yang
menggelung tinggi rambut kepalanya sedang duduk di sisi jendela menuang
air teh. Entah apa yang sedang dipikirkan, dari poci yang tertuang miring,
sedikit pun tidak kelihatan air teh mengalir keluar, namun orang agaknya
tidak sadar, tangannya masih menjinjing poci teh itu.
Coh Liu-hiang merasa lega, gumamnya pula: "Syukur aku tidak terlambat.
Kali ini betapa pun tidak akan kubiarkan orang lain membunuhnya lebih dulu
sebelum aku bertindak!"
Segera ia merangkap tangan bersoja ke dalam kamar, serunya: "Apakah
Thian-ing Totiang yang berada di dalam rumah?"
Begitu asyik Thian-ing-cu memeras otak, sehingga seruan yang demikian
keras pun tidak mengagetkan dirinya. Coh Llu-hiang geli, batinnya: "Tosu
romantis ini mungkin sedang mengenang perempuan bernama 'Ling-siok'
itu." Dengan langkah lebar ia mendekati jendela, katanya pula: "Kedatangan
cayhe ini demi suheng....." sampai di sini baru didapati bahwa poci itu sudah kosong,
air teh sudah mengalir habis membasahi selebar permukaan meja, malah
membasahi pakaiannya pula.
Cepat sekali otak Coh Liu-hiang bekerja. Dengan lirih ia tepuk pundak
orang, tak nyana dengan badan kaku orang roboh menggelundung ke lantai.
Setelah rebah di lantai, kaki tangannya tetap bergaya seperti duduknya
tadi, dengkul tertekuk tangan masih menjinjing poci teh itu.
Keruan bukan kepalang terkejutnya Coh Liu-hiang. Lekas ia melompat
masuk, kaki tangan Thian-ing-cu ternyata sudah kaku dingin, napasnya
sudah berhenti, dadanya berlepotan darah, ternyata setelah tertotok
jalan darahnya, lalu tertusuk mati oleh sebatang pedang di dadanya.
Ahli pedang yang kenamaan dari Hay-lam-pay ini ternyata terbunuh
secara menggelap dan tanpa disadari oleh sang korban sendiri. Pembunuh
itu menghunjamkan pedangnya dari dada tembus ke punggung, namun poci
teh di tangannya toh tidak terlepas jatuh. Betapa takkan mengejutkan
kepandaian si pembunuh itu!
Betapa hati Coh Liu-hiang takkan mencelos. Dengan cermat ia periksa
keadaan sekeliling kamar, namun tiada tanda mencurigakan yang dia
temukan, terang kepandaian pembunuh itu amat tinggi.
Sambil mengawasi jenazah Thian-ing-cu, Coh Liu-hiang berdoa dalam hati:
"Meski bukan aku yang membunuhmu, tapi kau mati lantaran aku. Kalau
orang itu tidak tahu aku hendak mencarimu, belum tentu dia membunuhmu.
Sayang sekali di waktu hidupmu kau sendiri memegang kunci rahasia yang
menyangkut persoalan ini, kau sendiri tidak tahu-menahu."
Sampai sekarang Cou Yu-cin, Sebun jian, Leng-ciu-cu, Ca Bok-hap
berempat mempunyai titik persamaan, yaitu mereka berempat pasti
pernah menerima sepucuk surat dan surat itu pasti ditulis oleh satu orang,
sumber penyelidikan inilah satu-satunya yang dikejar dan ingin diketahui
oleh Coh Liu-hiang. Untuk membongkar rahasia ini, dia harus tahu siapakah
penulis surat itu. Apa pula yang tertulis dalam surat itu"
Tepat tengah hari, cahaya matahari nan terik menyinari jalan raya yang
berlandaskan papan batu hijau itu sampai mengkilap.
Beranjak di jalan berbatu licin ini, walau air muka Coh Liu-hiang tidak
mengunjuk perasaan hatinya, namun hati kecilnya teramat kecewa hampir
putus asa. Surat-surat yang pernah diterima Cou Yu-cin, Sebun Jian, dan Ling-ciu-cu
boleh dikata sudah hilang. Song Kang, Nyo Siong dan Thian-ing-cu yang
punya hubungan erat dengan persoalan ini pun terbunuh untuk menutup
mulutnya, yang ketinggalan hanyalah pihak Ca Bok-hap, mungkin dari sana
masih ada sumber penyelidikan yang dapat ditemukan. Tapi waktu Ca Bokhap
keluar pintu, apakah dia meninggalkan surat itu" Seumpama dia
meninggalkan surat itu, kepada siapa dia serahkan surat itu" Seumpama
Coh Liu-hiang sudah tahu siapa orang itu, memangnya dia bisa menemukan
jejak orang itu yang berada di tengah gurun pasir yang tak terjelajah oleh
manusia" Coh Liu-hiang menarik napas. Ia belok ke jalan samping di mana ia
memasuki sebuah warung arak dan makan-minum sepuasnya. Kalau perut
laki-laki sudah dijejal, sesak dengan makanan enak yang memenuhi
seleranya, pikirannya pun menjadi terang dan jernih. Dari jendela yang
terpentang lebar, iseng-iseng Coh Liu-hiang melongok keluar dengan sorot
pandangan tertarik mengawasi orang-orang yang berlalu-lalang di jalanan.
Mendadak dilihatnya beberapa orang laki-laki sedang menuntun kuda
mengiringi seorang gadis berpakaian jubah ungu. Mereka membelok ke
arah sini dari jalan raya besar sana.
Beberapa laki-laki itu sudah tentu takkan menarik perhatian Coh Liu-iang,
namun gadis yang berdandan sebagai nyonya muda itulah yang membuat
matanya bersinar terang. Dia bukan lain adalah Sim San-koh.
Tampak muka bundar kwacinya itu bersungut-sungut. Sambil mengerut
alis, mimik mukanya seakan-akan uring-uringan dan selalu hendak mencari
gara-gara kepada orang lain, namun para laki-laki itu pun acuh tak acuh dan
berjalan goyang gontai tak bersemangat.
Thian-sing-pang yang biasanya malang-melintang dan ditakuti di daerah
Hoan-lam ini ternyata begini mengenaskan, sampai diusir orang dari kota
Kilam, betul-betul suatu kejadian yang amat memalukan dan merupakan
hinaan. Waktu tiba di bawah pohon gundul di ujung jalan sana, mereka berhenti.
Agaknya sedang merundingkan sesuatu. Laki-laki itu sama naik ke atas
kuda, teus dicemplak ke arah timur keluar kota, sementara seorang diri
Sim San-koh melanjutkan perjalanan ke arah barat, arah yang berlawanan.
Tergerak hati Coh Liu-hiang, terpikir sesuatu olehnya. Lekas ia lemparkan
sekeping uang di atas meja sebagai pembayaran makan-minumnya. Dengan
tergesa-gesa ia mengejar ke arah barat pula, maka dilihatnya potongan
badan yang langsing, montok dan menggiurkan itu sedang berlenggang di
depan sana. Dari kejauhan Coh Liu-hiang terus menguntit di belakangnya. Dengan puas
ia menikmati gaya sang gadis cantik yang berlenggang menggoyangkan
pinggul, siapa pun yang melihatnya dengan nyata pasti jantungnya berdebar
keras. Demikianlah, rasa kecewa dan putus asa Coh Liu-hiang tadi sudah
terlupakan sama sekali. Agaknya Sim San-koh tidak menyadari dan tidak tahu bila dirinya dikuntit
orang. Seumpama dia melihat Coh Liu-hiang, dia pun tidak akan
mengenalnya, karena Coh Liu-hiang sekarang bukan lagi Thio Siau-lim
dalam penyamarannya tadi.
Saban-saban Sim San-koh berhenti menanyakan sesuatu kepada orangorang
di pinggir jalan atau kepada pemilik toko dan penarik kereta, entah
apa yang sedang dicarinya.
Tujuannya ke luar kota, jalan yang dilaluinya pun semakin sempit, penuh
semak belukar dan jorok. Akhirnya dia menuju ke pojokan kota, di mana
merupakan tempat tinggal rakyat tingkat rendah yang miskin. Sudah tentu
Coh Liu-hiang teramat heran, sungguh ia tidak habis mengerti, siapakah
sebetulnya yang sedang dia cari.
Orang seperti Sim San-koh berada di daerah seperti itu, sudah tentu
kedatangannya menjadi perhatian orang banyak, ada beberapa bajingan
gelandangan malah saling tuding dan bersuit menggoda, agaknya mereka
sedang berdebat main nilai segala.
Tapi Sim San-koh tidak memperdulikan tingkah laku orang lain, seolaholah
acuh tak acuh dan tak mendengar ocehan kotor mereka. Kalau orang
mengawasi dirinya, dia pun balas melotot kepadanya, malah sering dia
bertanya ke sana ke sini pula. Orang yang dia cari dan ditanyakan
alamatnya itu agaknya sudah lama menetap di daerah ini, tidak sedikit yang
menuding suatu arah sambil menjelaskan. Tempat yang ditunjuk ternyata
adalah sebuah bukit kecil.
Di atas bukit kecil ini dibangun dua deret rumah gubuk, keduanya
dibangun dari papan-papan yang bersambung satu sama lainnya, bentuknya
tidak genah dan miring serta reot, terang di sini merupakan daerah miskin
yang dihuni oleh para gelandangan di pinggir kota Kilam.
Semakin heran dan tak mengerti Coh Liu-hiang dibuatnya.
"Di tempat seperti ini, adakah seseorang yang bisa dia temukan?"
Setelah tiba di bawah bukit, kembali Sim San-koh bertanya kepada
seorang perempuan yang berperut besar. Kali ini lapat-lapat Coh Liu-hiang
ada mendengar ia bertanya demikian: "Sun Hak-boh apakah tinggal di atas
sana" Yaitu siucay tukang gambar itulah?"
Nyonya berperut besar itu menggeleng-gelengkan kepala, sebagai jawaban
bahwa ia tidak tahu, namun seorang anak tanggung di sampingnya segera


Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berteriak: "Sun-siucay yang dikatakannya itu bukan lain adalah Sun-lothau
itulah." Baru sekarang nyonya itu tertawa, katanya; "Oh, jadi kau hendak mencari
Sun-lothau" Dia tinggal di rumah ketujuh di atas sana, di muka rumahnya
ada tergantung kerai berbentuk Pat-kwa, gampang sekali ditemukan."
Orang macam apa pula Sun-siucay itu" Kenapa Sim San-koh harus
menemukan dia" Mungkinkah ada tokoh-tokoh lihay yang menyembunyikan diri di daerah
miskin di pinggir kota Kilam ini"
Coh Liu-hiang berputar ke samping rumah nomor tujuh yang dimaksud.
Dari sebuah lobang jendela kecil yang terletak di samping rumah, ia
melongok ke dalam. Tampak seorang kakek ubanan yang berbadan bungkuk
sedang duduk di pinggir meja reot. Penerangan di dalam gubuk itu remangremang,
namun kentara jelas si orang tua ini hidup dalam kemelaratan,
seolah dia sudah tidak menaruh minat akan kehidupan manusia umumnya.
Dengan tenang ia duduk di tempatnya, seolah-olah sedang menunggu waktu
menjelang ajalnya saja. Kakek tua laksana sebatang lilin di tengah hamparan hujan badai ini,
memangnya kenapa bisa menimbulkan perhatian Sim San-koh" Sungguh
Coh Liu-hiang tidak habis mengerti. Waktu ia terheran-heran itulah Sim
San-koh sudah menyingkap kerai melangkah masuk. Sekilas ia
menjelajahkan pandangannya, lalu mengerutkan kening, katanya: "Apa kau
ini Sun Hak-boh, Sun-siucay?"
Roman muka si kakek tetap kaku tidak menunjukkan perubahan rasa
hatinya, katanya kaku: "Iya, aku memang Sun Hak-boh, tanya nasib dua
tail, soal jiwa satu tail."
Semakin dalam kerut alis Sim San-koh, katanya: "Yang kucari adalah guru
gambar Sun-siucay, bukan ahli nujum."
Sun Hak-boh menyahut tawar: "Aku inilah guru lukis Sun-siucay, namun
sejak dua puluh tahun yang lalu aku sudah mengalihkan objekku. Kalau nona
hendak bergambar, tentunya sudah terlambat dua puluh tahun."
Baru sekarang kerut alis Sim San-koh menjadi longgar, katanya: "Ganti
objek atau tidak bukan soal, asal kau betul adalah guru gambar dua puluh
tahun yang lalu, memang kaulah yang kucari-cari."
Sembari bicara, dari dalam lengan bajunya ia mengeluarkan gulungan
sebuah lukisan, terus dibeber di atas meja di depan Sun Hak-boh. Dengan
tajam ia menatap Sun Hak-boh, katanya dengan nada berat: "Kutanya kau,
apakah gambar lukisan ini hasil karyamu" Siapa pula orang yang kau
gambar ini?" Ingin Coh Liu-hiang ikut melihat gambar lukisan itu, sayang penerangan di
dalam rumah rada gelap, bayangan Sim San-koh justru menghalangi
gambar lukisan itu, maka nihillah niat hatinya.
Yang dapat dilihat adalah selebar muka Sun Hak-boh yang tetap pucat
kosong, sedikit pun ia tidak menunjukkan mimik mukanya, seperti tidak
berperasaan sama sekali. Seumpama seorang pikun, seolah-olah tinggal
raga kasarnya itulah yang masih bertahan tanpa sukma dan jiwa.
Hakekatnya sorot matanya tak pernah memandang ke arah gambar lukisan
itu. Dengan hambar dan pandangan kosong ia menatap lurus ke depan. Dari
pandangan hambar dan kosong itu, sepatah demi sepatah ia berkata: "Aku
tidak tahu siapa yang menggambar lukisan ini, dari mana pula aku bisa tahu
siapa yang digambar di dalam lukisan itu."
Sekali berdiri Sim San-koh menjinjing baju di depan dadanya, katanya
gusar: "Kenapa kau tidak tahu" Di atas gambar ini terang ada tanda tangan
namamu." "Lepaskan tanganmu, memangnya matamu picak, tidak melihat kalau aku ini
seorang buta?" Seperti mukanya mendadak ditampar orang, lekas Sim San-koh
melepaskan tangannya, teriaknya: "Kau... jadi apa pun kau tidak bisa
melihatnya lagi?" "Kalau mataku masih bisa melihat, memangnya kenapa aku harus
menyimpan alat lukisanku" Menggambar adalah jiwaku, sudah lama aku
kehilangan jiwa, yang duduk di sini bukan lain adalah seonggok mayat
belaka." Lama sekali Sim San-koh menjublek di tempatnya, pelan-pelan ia
menggulung pula gambar lukisan itu. Namun baru setengah saja, tiba-tiba
ia meletakkan kembali lukisan itu di atas meja, katanya keras: "Walau kau
tidak bisa melihat lukisan gambar ini, tapi mungkin kau masih ingat
kepadanya. Dia seorang perempuan cantik, masihkah kau ingat kapan kau
pernah melukis seorang perempuan cantik?"
"Sekarang walau aku ini seorang tua renta yang miskin dan picak, tapi dua
puluh tahun yang lalu, aku Sun Hak-boh adalah tokoh yang kenamaan."
Rona wajahnya nan hambar kosong itu secara aneh memancarkan cahaya
cemerlang yang sekejap saja, cahaya yang bangga seolah-olah
menghidupkan kembali jiwa dan sukmanya. Katanya lebih lanjut: "Dua puluh
tahun yang lalu, orang sering membandingkan aku sebagai Co Cut-hin,
seperti Go To-cu, entah putri-putri bangsawan dari kalangan apa pun dalam
dunia, sama berebut minta aku menggambarkan lukisan mereka. Entah
berapa banyak perempuan-perempuan cantik yang pernah kulukiskan....."
"Tapi yang satu ini jauh berlainan.... kau harus percaya kepadaku. Walau
berapa banyak perempuan jelita yang pernah kau lukis, melulu dia inilah
pasti tidak akan pernah kau lupakan. Peduli siapa pun, bila pernah melihat
raut wajahnya, selama hidupnya tentu tidak akan melupakannya."
Sun Hak-boh menepekur sebentar, mendadak ia bertanya: "Gambar
lukisan yang kau maksud apakah lebar dua kaki panjang tiga kaki" Apa
orang yang kulukis itu mengenakan pakaian hijau dengan pripit biru, di
bawah kakinya mendekam seekor kucing hitam......" entah kenapa nada
suaranya semakin gemetar dan akhirnya tak kuasa meneruskan katakatanya.
Sebaliknya Sim San-koh berjingkrak senang, katanya: "Tidak salah,
memang gambar itulah. Aku tahu kau pasti tidak akan melupakannya,
tentunya kau pun ingat siapakah perempuan cantik yang kau lukis ini?"
Kini sekujur badan Sun Hak-boh yang gemetar, rona wajahnya yang
hambar dan kosong kelihatan amat takut dan jeri, katanya dengan suara
serak: "Jadi dia yang kau tanyakan.... dia yang kau tanyakan.... aku.... aku
tidak ingat siapa dia.... aku tidak pernah mengenalnya."
Kedua tangannya berpegangan di tepi meja, meja sampai berkeriut keras
ikut gemetar. Dengan sempoyongan ia coba berdiri di atas kakinya, lalu
dengan terhuyung-huyung hendak lari ke luar pintu.
Cepat Sim San-koh menariknya, lalu menekannya duduk kembali di
kursinya semula, katanya bengis: "Kau pernah melihatnya, bukan" Kau pun
masih mengingatnya, bukan?"
"Nona, kumohon kau lepaskan aku saja..... Seorang tua miskin yang tidak
berguna seperti aku ini, di sini aku menunggu ajal dengan tenang, kenapa
kau harus memaksaku?"
"Sret!", Sim San-koh mencabut badik serta mengancam tenggorokannya,
ancamnya bengis: "Tidak kau katakan, biar kubunuh kau!"
Bergetar sekujur badan Sun Hak-boh, akhirnya ia berteriak keras: "Baik,
akan kukatakan, dia..... dia bukan manusia, dia adalah iblis perempuan!"
Mengintip sampai di sini, hati Coh Liu-hiang pun diliputi perasaan heran
dan tertarik akan persoalan ini. Siapakah perempuan di atas lukisan itu"
Apa pula sangkut-pautnya dengan Sim San-koh" Kedatangannya semula
hendak menyelidiki berita Suhengnya Cou Yu-cin, memangnya kenapa pula
tanpa kenal jerih-payah mencari seorang pelukis rudin yang sudah tua
renta ini dan dengan mengancam menanyakan asal-usul perempuan di atas
gambar lukisan itu" Memangnya perempuan itu punya sangkut-paut dengan suatu rahasia yang
menyebabkan Cou Yu-cin dan lain-lainnya menghilang"
Kini si pelukis mengatakan tidak mengenal perempuan itu setelah
berselang dua puluh tahun kemudian. Kenapa kelihatannya dia amat
menakutinya" Apa benar dia seorang iblis perempuan"
"Iblis perempuan?" terdengar Sim San-koh menjengek hidung.
"Perempuan secantik ini mana bisa dikatakan iblis perempuan?"
"Tidak salah, memang dia teramat cantik. Selama hidupku betapa banyak
perempuan cantik yang pernah kulihat, namun tiada seorang pun yang bisa
dibandingkan dengan dia. Kecantikan orang lain paling-paling bikin
pandanganmu kabur, namun kecantikannya bisa membikin kau gila, sehingga
kau rela mengorbankan segala milikmu termasuk jiwa ragamu sendiri. Tidak
banyak yang kau harapkan, cukup untuk dapat melihat senyum tawanya
belaka." Walaupun dia sedang melukiskan betapa cantiknya sang bidadari, namun
suaranya kedengaran sember dan bergetar ketakutan, seolah-olah memang
sering terjadi banyak korban yang ingin melihat senyum tawanya saja.
Diam-diam Coh Liu-hiang menghela napas, pikirnya: "Kalau terlalu ayu
memang ada kalanya bisa berubah menakutkan, namun selama hidupku ini
kenapa belum pernah aku berjumpa dengan perempuan cantik yang bisa
membuat hatiku takut?"
Sementara itu terdengar Sun Hak-boh sedang menutur lebih lanjut:
"Waktu aku melihatnya, sudah tentu aku pun amat kaget dan merasa lemas
sekujur badanku berhadapan dengan kecantikannya. Waktu itu aku belum
berupa buruk seperti sekarang, kalau tidak mau dikata sebagai pemuda
ganteng cakap, pernah beberapa gadis terkena penyakit rindu oleh karena
aku, namun aku anggap hal itu seperti sepele saja. Tapi dia..... di
hadapannya, seolah-olah berubah menjadi budaknya, ingin rasanya
kupersembahkan segala milikku kepadanya."
Sim San-koh mengangkat alis, katanya, "Apa benar di dunia ini ada
perempuan secantik itu?"
"Orang yang belum pernah melihat rupanya, memang sukar
mempercayainya. Lukisan itu, aku yakin karyaku ini cukup bernilai, namun
mana aku mampu melimpahkan mimik wajahnya nan asli memabukkan setiap
orang yang melihatnya, tindak-tanduknya...., boleh dikata aku hanya bisa
melukis seperseribu dari segala kesempurnaan dirinya."
"Dia mencarimu hanya untuk supaya kau lukis?"
"Ya. Setelah bertemu aku, lantas dia minta supaya dibuatkan empat
lembar lukisan dirinya. Aku menghabiskan waktu tiga bulan lamanya.
Kuperas segala daya cipta, keringat, keahlianku, akhirnya berhasil dengan
sukses." Mendadak terkulum senyuman bangga di ujung mulutnya, katanya kalem:
"Dalam tiga bulan ini setiap hari setiap saat aku berhadapan dengan dia.....
tiga bulan ini sungguh merupakan hari-hari bahagia selama hayatku, tapi
tiga bulan kemudian dia....." Sampai di sini, senyuman di ujung mulutnya
tiba-tiba sirna, roman mukanya kembali mengunjuk rasa takut yang tak
terperikan. Kembali sekujur badannya gemetar dan berkeringat dingin.
Tak tahan tertawa Sim San-koh: "Tiga bulan kemudian bagaimana?"
"Tiga.... tiga bulan kemudian, malam setelah aku menyelesaikan keempat
lembar lukisan itu, dia menyiapkan meja perjamuan. Dia sendiri yang
melayani aku makan-minum sehingga serasa arwahku terbang ke awangKoleksi
Kang Zusi awang. Karena dicekok arak terus-menerus, memangnya kondisi badanku
sudah teramat lelah setelah memeras keringat selama tiga bulan,
beberapa cangkir saja aku lantas jatuh mabuk. Waktu aku siuman, baru
aku tahu, dia..... dia....." kalamenjing di lehernya naik-turun menelan ludah,
sepatah demi sepatah kata-katanya keluar dari tenggorokannya yang
tersendat: "Ternyata kedua biji mataku sudah dia korek keluar dengan
kekerasan." Mendengar sampai di sini, Sim San-koh di dalam rumah dan Coh Liu-hiang
di luar sana sama berjingkrak kaget. Lama kemudian Sim San-koh baru
menarik napas panjang, katanya: "Kenapa dia berbuat demikian?"
Sun Hak-boh tertawa rawan, sahutnya: "Karena aku pernah melukis
dirinya, dia tidak suka aku melukis bagi perempuan lain lagi."
Biasanya Sim San-koh sering berlaku kejam membunuh orang tanpa
berkesip, tapi begitu mendengar kekejaman perempuan yang telengas ini,
tapak tangannya sampai berkeringat, gumamnya: "Iblis perempuan....
memang dia betul iblis perempuan."
"Sudah kukatakan dia adalah iblis perempuan. Siapa pun yang memilikinya,
pasti akan mengalami bencana. Nona, kau.... untuk apa kau cari dia" Gambar
lukisan ini cara bagaimana pula bisa terjatuh ke tanganmu?"
"Gambar lukisan ini adalah milik Toa-suhengku, Cou Yu-cin," sahut Sim
San-koh. Bersinar biji mata Coh Liu-hiang, batinnya: "Ternyata tebakanku tidak
meleset, perempuan itu ternyata ada hubungannya dengan Cou Yu-cin."
"Kalau demikian, kenapa tidak kau tanyakan asal-usulnya kepada
suhengmu?" tanya Sun Hak-boh.
"Toa-suhengku sudah menghilang."
"Menghilang"..... sebelum menghilang?"
"Dulu sudah tentu pernah kutanyakan, namun dia tidak mau menjelaskan."
"Kalau dia tidak mau menjelaskan, kenapa kau ingin tahu?"
Kata Sim San-koh penasaran, "Selama hidupnya Toa-suheng tidak mau
menikah lantaran perempuan ini. Kebahagiaan hidup suhengku boleh dikata
terkubur oleh perempuan ini. Setiap waktu, setiap saat, ia selalu
merindukannya sehingga lupa makan tidak bisa tidur. Sehari-hari selalu
dalam keadaan linglung dan suka mengigau. Selama sepuluh tahun tak
pernah kehidupannya berubah. Namun dia sebaliknya tidak pernah
menunjukkan perhatiannya kepada suhengku, apa yang dia berikan kepada
suhengku melulu penderitaan dan kesengsaraan belaka."
"Kau hendak menemui dia demi kebaikan Toa-suhengmu?"
"Ya!" ujar Sim San-koh kertak gigi dengan penuh kebencian. "Aku
membencinya!" "Kau membencinya lantaran kau sendiri pun mencintai suhengmu" Kalau
bukan lantaran dia, mungkin kau sudah menjadi bini Toa-suhengmu, benar
tidak?" laki-laki tua yang tidak punya mata ini ternyata dapat menembusi
relung hati orang lain. Sim San-koh serasa ditusuk jarum. Dengan lemas ia jatuh terduduk,
namun lekas ia bangkit kembali, katanya dengan suara ringan: "Aku
mencarinya ada sebab lainnya pula."
"Sebab apa?" "Suatu malam Toa-suheng pernah menerima sepucuk surat. Lalu dia
termenung menghadap gambar lukisan ini sampai pagi tanpa tidur. Hari
kedua, pagi-pagi benar dia lantas keluar pintu dan tak pernah kembali lagi."
"Tak pernah kembali sejak keluar pintu?"
"Ya, oleh karena itu kupikir menghilangnya Toa-suheng pasti ada sangkutpautnya
dengan perempuan ini. Bukan mustahil surat itu adalah buah
permainannya. Jikalau bisa menemukan dia, mungkin aku bisa menemukan
Toa-suheng pula." Lama Sun Hak-boh berdiam diri, lalu katanya pelan-pelan: "Aku tahu
namanya adalah Chiu Ling-siok."
Nama Chiu Ling-siok tidak membawa pengaruh apa-apa bagi Sim San-koh,
namun amat mengejutkan bagi Coh Liu-hiang yang mengintip di luar
jendela. Tiba-tiba dia teringat pada surat yang dia baca dalam buntalan
Thiang-ing-cu tempo hari, bukankah tanda tangan penulis surat itu adalah
Ling-siok juga" Jadi surat cinta itu ternyata bukan ditujukan kepada
Thiang-ing-cu, tapi ditujukan kepada Ling-ciu-cu. Setelah Ling-ciu-cu
menghilang, seperti pula Sim San-koh, Thian-ing-cu menaruh curiga kepada
penulis surat itu dan ingin mencari jejaknya pula. Karena kesimpulannya ini,
tanpa ragu-ragu, cepat Coh Liu-hiang menyelinap masuk lewat jendela.
Serasa kabur pandangan Sim San-koh, tahu-tahu di dalam bilik reot itu
sudah bertambah seseorang di hadapannya. Dengan kaget ia mundur mepet
ke dinding, bentaknya bengis: "Siapa kau?"
Coh Liu-hiang tersenyum simpul sambil mengawasi muka orang, ujarnya:
"Nona tidak perlu kaget. Seperti kedatangan nona, Cayhe pun sedang
menyelidiki jejak Chiu-hujin, Chiu Ling-siok itu."
Senyumannya sungguh mengandung tenaga gaib sehingga orang merasa
tenteram, terutama kekuatan yang dapat meredakan kekuatiran hati
perempuan. Ternyata Sim San-koh mulai tenang, tanyanya: "Untuk apa kau
mencari dia?" Dua kali lirikannya kemudian, segala kewaspadaan terhadap Coh Liu-hiang
sudah sirna tak berbekas, namun kedua biji matanya malah membelalak
besar. Coh Liu-hiang tahu tatapan mata orang tidak lebih hanya ingin
memperlihatkan keindahan matanya saja, jadi tiada rasa gusar atau
kekuatiran. Maka dengan tersendat-sendat, sengaja ia berkata, "Karena
Cayhe dengan Chiu Ling-siok juga...." Sampai di sini ia sudah melihat jelas
gambar lukisan yang dibeber di atas meja. Seketika mulutnya seperti


Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

disumbat, seketika ia berdiri menjublek.
Perempuan dalam lukisan ini alis matanya terang bersinar, sungguh seraut
wajah nan ayu, molek laksana hidup, memang bidadari di antara manusia,
gambar perempuan ini mirip benar dengan gambar yang pernah dilihatnya
di kamar Sebun Jian tempo hari. Kamar yang sederhana itu hanya diisi
selembar gambar lukisan perempuan ini, terang betapa rindu dan mendalam
kenangannya kepada perempuan ini, sampai sekarang dia hidup sebatang
kara tentunya karena perempuan ini pula. Sebaliknya Ling-ciu-cu terima
menjadi orang beribadah lantaran dia pula.
Sampai detik ini Coh Liu-hiang sudah tahu ada tiga laki-laki terpincutpincut
sampai lupa daratan dan terima hidup sebatang kara tidak kawin
selama hidup, mereka adalah Sebun Jian, Cou Yu-cin dan Ling-ciu-cu.
"Kau kenal dia?" tanya Sim San-koh menatapnya.
"Aku tidak mengenalnya, untung tidak kenal."
Sun Hak-boh berkata, "Aku tak perduli siapa kalian, kalian sama-sama
hendak mencari tahu jejaknya. Apa yang kuketahui sudah kuterangkan,
bolehlah kalian pergi."
"Di mana dia sekarang?" tanya Sim San-koh.
"Sejak malam itu, aku tidak pernah melihatnya lagi.... atau boleh dikatakan
aku tidak pernah mendengar suaranya lagi."
"Kau hanya memberitahu namanya saja, apa sih gunanya?" ujar Sim Sankoh
penasaran. "Apa yang kuketahui memang cuma sebanyak itu saja."
Tiba-tiba Coh Liu-hiang menyeletuk, "Katamu kau pernah menggambar
empat lembar lukisannya?"
"Ya, empat lembar."
"Apa kau tahu kenapa dia minta kau melukis empat lembar?"
"Waktu itu aku pun heran. Orang lain cukup minta satu lembar saja,
kenapa dia sendiri minta empat lembar" Waktu aku sudah menyelesaikan
gambar ketiga, akhirnya tak tertahan kutanyakan kepadanya."
"Adakah dia memberitahu kepadamu?" cepat Coh Liu-hiang bertanya.
"Dia memberitahu kepadaku.... karena dia hendak memberikan keempat
lembar lukisan itu kepada empat orang laki-laki. Dengan keempat laki-laki
itu pernah terjadi.... cinta asmara dan saat itu terpaksa dia harus putus
hubungan dengan mereka."
"Dia mencari pelukis ternama sepertimu ini, maksudnya supaya
kecantikannya kau lukiskan di atas kertas ini, lalu masing-masing ia bagikan
kepada empat laki-laki itu. Dengan demikian, meski ia putus hubungan
dengan mereka, mereka toh tidak akan melupakan dirinya. Ingin dia
membuat keempat laki-laki itu menderita dan merasa rindu setiap kali
melihat gambar lukisannya itu," demikian ujar Coh Liu-hiang.
"Perempuan kejam! Maksud tujuannya memang terlaksana. Setiap kali
Suhengku mengawasi lukisan ini, hatinya menderita serasa seperti diirisiris
sembilu." "Tiba pada titik persoalannya sekarang: kenapa dia harus putuskan
hubungannya dengan mereka?" ujar Coh Liu-hiang.
"Kalau seorang perempuan tanpa kenal kasihan dan tega hati memutuskan
hubungannya dengan laki-laki pujaannya, biasanya hanya satu sebab saja."
"Sebab apa?" tanya Coh Liu-hiang.
"Yaitu dia hendak menikah dengan laki-laki lain, laki-laki yang lebih
tampan, lebih baik dari keempat laki-laki itu."
"Benar, isi hati perempuan hanya bisa diraba dan diselami oleh
perempuan." "Laki-laki yang mengawininya itu, kalau tidak memegang kekuasaan besar,
pasti memiliki ilmu silat tinggi, atau mungkin mempunyai kekayaan harta
yang tak ternilai banyaknya."
Sim San-koh tersenyum mengawasi Coh Liu-hiang, lalu menambahkan:
"Tentunya mungkin pula laki-laki itu seperti kau yang punya senyuman
manis yang menarik sanubari setiap perempuan."
"Nona sekarang pun tergerak dan tertarik?"
Merah jengah muka Sim San-koh, namun matanya menatap lekat-lekat,
katanya sambil tertawa genit: "Untung tidak banyak laki-laki seperti kau
dalam dunia ini, harta karun pun belum tentu dipandang oleh dia, maka lakilaki
yang mengawininya itu pastilah tokoh Bulim yang punya kedudukan
tinggi dan nama besar! Asal kita bisa menemukan siapakah laki-laki itu,
tentu dapat menemukan dia."
"Bagus, persoalan ini memang makin menyempit, namun kaum persilatan di
Kangouw entah berapa banyak tokoh-tokoh kosen. Menurut
pemandanganku, lebih baik nona serahkan gambar lukisan ini kepadaku,
tunggu saja di rumah. Setelah aku berhasil mendapat berita yang nyata,
pasti akan kuberi kabar kepada nona."
Dengan pandangan genit Sim San-koh melangkah maju menjatuhkan diri di
atas badan orang, katanya sambil menatapnya: "Kenapa aku harus
menyerahkan kepadamu" Kenapa aku harus percaya kepadamu?"
Berputar biji mata Coh Liu-hiang, tiba-tiba ia membisiki beberapa patah
kata di pinggir telinga orang.
Seketika berubah air muka Sim San-koh, kaki tersurut dua langkah,
serunya gemetar: "Jadi kau.... kau.... setan jahat ini."
Membalikkan tubuh seperti orang kesurupan setan, segera ia angkat
langkah seribu. Pelan-pelan Coh Liu-hiang menghela napas lega. Segera ia gulung gambar
lukisan itu, lalu ia berdiri di depan meja. Tanpa berkedip ia mengawasi Sun
Hak-boh. Tatapan matanya yang tajam seolah-olah terasakan juga oleh
Sun Hak-boh yang buta ini. Dengan kurang tenteram, ia menggerakkan
badan di atas kursi, akhirnya ia berkata: "Kenapa kau tidak segera
berlalu?" "Aku sedang menunggu."
"Menunggu apa?"
"Menunggu keterangan yang masih kau rahasiakan mengenai si... dia itu."
Sesaat Sun Hak-boh terlongong, katanya sambil menghela napas, "Urusan
apa pun takkan bisa mengelabuimu, ya?"
"Aku tahu kau pasti membencinya, namun kau tidak suka ada orang yang
mencelakai dia. Tapi kalau kau tidak mau membeberkan terus terang apa
saja yang kau ketahui mengenai dirinya, mungkin dia benar-benar bakal
dibunuh orang." "Kenapa?" seru Sun Hak-boh kuatir dan berubah roman mukanya.
"Keempat laki-laki yang menerima gambar lukisan itu sekarang sudah mati
semua." "Sudah mati" Bagaimana bisa mati?"
"Walau sekarang aku belum tahu seluk-beluk kematian mereka, namun aku
sudah tahu mereka sama-sama pernah menerima sepucuk surat dari Chiu
Ling-siok dan akhirnya menemui ajalnya secara misterius setelah keluar
pintu." "Kau.... maksudmu Chiu Ling-siok yang mencelakai jiwa mereka?"
"Kalau Chiu Ling-siok ingin mereka menderita sakit rindu seumur hidupnya,
tentu takkan mencelakai jiwa mereka. Suratnya itu mungkin lantaran dia
menghadapi sesuatu kesukaran, minta mereka lekas datang membantu
kesulitannya." "Benar, bila seorang perempuan menghadapi kesukaran, yang diingatnya
tentulah laki-laki yang paling baik kepada dirinya, dan hanya orang-orang
itu pula yang berkorban dan suka berjuang setia bagi kepentingannya."
"Namun keempat orang itu sudah menemui ajalnya. Orang yang mencabut
jiwa mereka, beruntun mencabut jiwa orang lain pula, tujuannya hanyalah
untuk menutupi rahasia hubungannya dengan keempat orang itu, berusaha
supaya aku tidak melibatkan diri dalam persoalan rahasia ini. Dari sini
dapatlah disimpulkan, kesukaran yang dihadapi pasti belum tertanggulangi,
bukan mustahil sekarang dia dalam bahaya."
"Kalau toh persoalan ini begini berbahaya, kenapa kau harus melibatkan
diri dalam petualangan ini" Memangnya kau ingin menolong dia?"
"Kalau aku tidak tahu di mana sekarang dia berada, bagaimana bisa
menolongnya?" Sun Hak-boh menepekur sesaat lamanya, katanya pelan-pelan: "Tadi kalian
lupa menanyakan sesuatu kepadaku."
"Soal apa?" "Kau lupa bertanya kepadaku di tempat mana aku menggambar lukisannya."
"Betul, soal ini pun tentu ada hubungannya."
"Lima li ke luar kota terdapat sebuah Oh-i-am! Di sanalah aku membuat
lukisan itu. Pemimpin biara itu adalah Siok-sim Taysu, kenalan kentalnya.
Tentunya dia tahu di mana sekarang si dia berada."
"Masih ada lagi?" tanya Coh Liu-hiang.
Sun Hak-boh tertunduk tidak bersuara lagi.
Coh Liu-hiang menggulung gambar itu, terus tinggal pergi. Tapi mendadak
ia berputar pula dan katanya: "Walau mata sudah buta, namun hati tidak
buta. Dengan hati sebagai mata, memangnya kau tidak bisa melukis lagi....
Sun-heng, cobalah kau berpikir dengan cermat, harap jagalah dirimu baikbaik."
Sekilas Sun Hak-boh melengak, seketika alis dan biji matanya yang kosong
bergerak-gerak, serunya keras: "Terima kasih akan petunjukmu, harap
tanya siapakah nama besarmu?"
Waktu itu Coh Liu-hiang sudah pergi jauh.
Di tempat gelap di luar jendela, tiba-tiba terdengar jawaban dingin
seseorang: "Dia she Coh, bernama Liu-hiang."
Waktu Coh Liu-hiang tiba di bawah bukit, dilihatnya sebuah kereta
berenda hitam berhenti di depan sana. Kereta tunggangan yang paling
umum di kota Kilam untuk menempuh perjalanan jauh dengan cepat. Dirinya
memang tidak leluasa mengembangkan ginkang, maka Coh Liu-hiang
mendekat dan bertanya: "Apa kereta ini sedang menunggu orang?"
Kusir kereta bermuka bundar, sahutnya sambil berseri tawa: "Memang
sedang menunggumu, ayolah berangkat!"
"Tahukah kau ada sebuah Oh-i-am di luar kota?"
"Tepat bila kau mencari diriku untuk mengantarmu ke sana. Kemarin baru
saja aku mengantar bini sembahyang ke sana. Silakan naik kereta,
tanggung tidak akan kesasar."
Kereta berjalan dengan cepat, di dalam kereta Coh Liu-hiang mulai putar
otak memikirkan kembali persoalan ini, kini persoalan sudah dibikin ringkas
dan kuncinya terletak pada: apakah dia bisa menemukan jejak Chiu Lingsiok
saja. Yang diketahuinya sekarang tidak lebih hanyalah bahwa Sebun
Jian, Cou Yu-cin, Ling-ciu-cu dan Ca Bok-hap sama keluar pintu
lantaransurat undangan Chiu Ling-siok. Tapi kenapa Chiu Ling-siok
mengundang mereka" Apa benar hendak meminta bantuan mereka"
Perempuan seperti dia itu, kesulitan apa pula yang dia hadapi sehingga
harus meminta bantuan orang untuk mengatasinya"
Bab 9 Keterangan: Diambil dari jilid 5 Pendekar Pengejar Nyawa
dihttp://www.langka.info atas ijin bung Bagusetia sebagai admin-nya.
Kontributor: bpranoto ----------------------- Kereta berjalan cukup cepat, namun letak Oh-i-am memang tidak dekat,
untung Coh Liu-hiang pun sedang peras otak menerawang, sehingga dalam
perjalanan tidak menjadi gugup.
Akhirnya ia tersentak dari keasyikan berpikir waktu mendengar suara
kusir kereta, "Nah, Oh-i-am berada di dalam hutan di depansana , silakan
kau turun saja!" Di depansana adalah sebidang hutan Tho, di pinggir sungai terdapat
sebuah biara kecil, saat mana sudah menjelang malam, dari dalam biara
lapat-lapat terdengar suara mantra, agaknya para biarawati sedang
sembahyang malam. Biara dalam hutan Tho dengan pemandangan alam yang sejuk permai,
mamang Siok-sim Taysu itu adalah seorang cendikia, kalau tidak mana
mungkin bisa bersahabat kental dengan perempuan secantik Chiu Ling-siok.
Pintu besar biara terpentang lebar, Coh Liu-hiang langsung berjalan
masuk, pelita belum dipasang di dalam biara, suara mantra masih
terdengar halus tenang. Seorang biarawati berjubah hitam dengan
selubung putih sedang berdiri di bawah pohon di bawah terassana ,
agaknya sedang mengenang masa silam dan penuh duka cita. Sampai pada
keadaan ini, langkah Coh Liu-hiang mau tidak mau diperlambat. Dengan
berjinjit Coh Liu-hiang maju mendekat dan coba bertanya: "Apakah Sioksim
Taysu berada di dalam biara?"
Sekilas biarawati itu melirik kepadanya, lalu merangkap tangan di depan
dada, katanya: "Pin-ni adalah Siok-sim, entah Sicu datang dari mana"
Untuk apa ke mari?" "Sudah lama Taysu melepaskan diri dari duniawi, entah masih ingatkah
kepada teman lamamu Chiu Ling-siok?"
"Ingat berarti tidak ingat, tidak ingat itulah ingat, kenapa sicu bertanya"
Kenapa Pin-ni harus menjawab?"
"Setelah bicara berarti tidak omong, kalau tidak omong berarti sudah
bicara, kalau Taysu bersikukuh tidak mau bicara, bukankah mirip seperti
itu?" Terunjuk senyum di ujung mulut Siok-sim Taysu, katanya: "Sicu ternyata
tahu tentang ajaran Budha."
"Ya, tahu satu dua bait saja."
"Sicu sudah paham, kenapa pula Pin-ni harus menyelesaikan" Kalau Sicu
bisa datang ke mari tentu kau sudah dapat penjelasan Sun Hak-boh bahwa
gambar lukisan Chiu Ling-siok adalah untuk diberikan kepada orang lain
sebagai tanda kenangan?"
"Bagaimana kelanjutannya?"
"Ling-siok memang berjodoh dengan Budha. Setelah memutuskan tali
asmara yang membelenggu dirinya, sedikitpun tiada angan-angannya hidup
dalam duniawi. Dua puluh tahun yang lalu, dia mengucap sumpah dan Pn-ni
sendiri yang mencukur rambutnya menjadi biarawati."
"Jadi biarawati" ....sekarang...."
"Mengandalkan bakat dan kesadarannya, sudah tentu takkan lama hidup
menderita di alam duniawi."
"Dia.... apakah dia sudah meninggal?"
"Pergi datang, tanpa janggalan....Omitohud, siancay.... siancay...."
Akibat ini sungguh di luar dugaan Coh Liu-hiang, bagaimana pun tak pernah
dia pikirkan bahwa Chiu Ling-siok bukan menikah dengan orang lain, tapi
malah mencukur rambut menjadi biarawati, tak terduga pula orangnya
ternyata sudah meninggal.
Seketika ia menjublek dan terlongong di tempatnya, seolah-olah sekujur
Suling Emas Dan Naga Siluman 18 Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui Bentrok Rimba Persilatan 15

Cari Blog Ini