Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung Bagian 3
badan menjadi lemas tak mampu bergerak.
Siok-sim Taysu tersenyum, ujarnya: "Dari mana Sicu datang" Kenapa
tidak kembali ke tempat asal?"
Dengan hambar Coh Liu-hiang membalikkan badan, langsung beranjak
keluar, gumamnya: "Kalau Chiu Ling-siok sudah ajal, memangnya siapa yang
menulis surat itu" Memangnya orang lain yang memalsukan nama dan
tulisannya" Memangnya kematian Cou Yu-cin dan lain-lain hakikatnya tiada
sangkut pautnya dengan dia?"
Sampai sekarang dia belum bisa mendapatkan bukti yang nyata bahwa
surat-surat yang diterima oleh Cou Yu-cin berempat adalah tulisan Chiu
Ling-siok sendiri. Yang diketahui hanyalah bahwa Sebun Jian, Cou You-cin,
Ling Ciu-cu dan Ca Bok-hap berempat semasa hidupnya sama terpincut
kepada Chiu Ling-Siok. Dengan tertawa getir Coh Liu-hiang menggumam: "Tapi itu bukan alasan
untuk mengatakan bahwa mereka ajal lantaran dia. Sekarang, kalau Chiu
Ling-siok sudah lama meninggal, aku harus bekerja mulai dari permulaan
pula." Tatkala itu dia sudah keluar dari bilangan hutan Tho, beberapa langkah
kemudian tiba-tiba ia menghentikan langkah, serunya tertahan: "Tidak
benar! Urusan ini rada janggal!"
Secara cermat kembali ia menyelusuri liku-liku urusan dari semula serta
menganalisa kenyataan yang dihadapi, tiba-tiba ia bertepuk tangan,
ujarnya: "Siok-sim Taysu tak pernah keluar pintu, dari mana ia tahu aku
pernah pergi ke tempat Sun Hak-boh" Dari mana pula ia bisa tahu dan
memberitahu kepadaku bahwa lukisan itu sengaja hendak dihadiahkan
kepada orang lain?" Sebat sekali ia berlari balik menerjang masuk ke
dalam biara, tidak kelihatan bayangan orang di bawah pohon.
Suara mantra masih berkumandang. Waktu Coh Liu-hiang menerjang
masuk, para biarawati yang sedang sembahyang malam itu sama tersentak
kaget, dengan nanar mata Coh Liu-hiang menjelajah setiap raut muka
orang, tak dilihatnya biarawati yang berjubah hitam tadi, segera ia
bertanya dengan keras: "Di mana Siok-sim Taysu?"
Seorang biarawati tua menjawab dengan hambar: "Dalam biara kecil ini
tiada orang yang dipanggil Siok-sim!"
"Bukankah Siok-sim Taysu ketua dari Oh-i-am?"
"Biara kecil ini dinamakan Tho-i-am, Oh-i-am terletak di sebelah barat
kota, beberapa li lagi harus berputar ke sana."
Jadi biara kecil ini ternyata bukan Oh-i-am" Coh Liu-hiang melenggong,
katanya tergagap: "Tadi ada seorang suhu berjubah hitam yang berdiri di
bawah pohon sana, masa dia bukan salah seorang penghuni biara ini?"
Biarawati tua itu menatapnya dengan sorot aneh, seperti mengawasi
seorang linglung atau gila, katanya perlahan-lahan: "Seluruh penghuni biara
ini sekarang hadir di sini menyelesaikan sembahyang malam, masakah ada
orang di bawah pohon sana tadi?"
Coh Liu-hiang berlari-lari ke arah barat, diam-diam ia mengeluh: "Kenapa
aku begini ceroboh, kereta besar nan mewah itu mana mungkin sudi
menunggu penumpang di daerah miskin seperti itu" Terang memang dia
sedang menunggu aku, sehingga aku gampang terjebak olehnya. Tujuannya
terang supaya aku menyangka Chiu Ling-siok benar sudah mati dan
menjerumuskan aku ke jalan lain."
Tatkala itu hari sudah mulai petang, tempat itu sudah jauh dari kota, Coh
Liu-hiang mengembangkan ilmu mengentengkan tubuhnya, tak lama
kemudian dilihatnnya jauh di bawah kaki gunung di depan sana sebuah
bayangan tembok biara. Biara atau kuil yang bobrok dan sudah lama tak terurus lagi, setitik sinar
terang berkelap-kelip menyendiri di malam gelap, angin menghembus keras
menghamburkan dedaunan kering sehingga bunyi keresekan seolah-olah
bunyi langkah setan gentayangan yang sedang mencari mangsa. Serasa
berdiri bulu kuduk Coh Liu-hiang menghadapi suasana seram ini, seakanakan
setan gentayangan itu sedang meniup tengkuknya. Namun ia tidak
berhenti atau putar balik karenanya, seringan burung walet langsung ia
melesat ke arah titik sinar pelita itu.
Di pinggir dian kecil, duduk seorang biarawati (nikoh) jubah hitam sedang
termangu-mangu, jubahnya sudah banyak berlubang dan kucel, roman
mukanya kuning seperti malam, sikapnya linglung seperti orang kesurupan
setan. Coh Liu-hiang batuk-batuk kering, lalu tanyanya: "Apakah di sini Oh-iam?"
"Oh-i-am, sudah tentu Oh-i-am, siapa berani bilang tempat ini bukan Oh-iam?"
Tak terlihat sikap pura-pura oleh Coh Liu-hiang, tanyanya pula: "Apakah
Siok-sim Taysu ada?"
Biarawati itu berpikir sebentar, tiba-tiba ia terkikik geli, sahutnya: "Ada,
tentu ada, siapa bilang dia tiada?"
Biara bobrok yang aneh dan ganjil, biarawati yang misterius serta tawanya
yang lucu, tak tertahan Coh Liu-hiang pun merasa bergidik seram, katanya:
"Entah sudikah suhu bawa Cayhe menemui Siok-sim Taysu?"
Biarawati itu mendadak berdiri, katanya: "Mari ikut aku!" tangannya
terulur mengangkat dian, seperti api setan menyoroti kain gordin yang
sudah luntur warnanya, patung Budha yang sudah kotor dan bercat hitam.
Di mana-mana berserakan daun-daun kering, rumput liar tumbuh dengan
suburnya, ditambah dengan debu dan galagasi. Dengan kaki pincang, satu
tinggi yang lain rendah, biarawati itu membawanya melalui pekarangan yang
sudah menjadi semak belukar, tak terlihat bayangan seorang pun di dalam
Oh-i-am ini. Kalau ada, tentulah setan atau dedemit yang sedang mengintip
kedatangan mereka. Keadaan belakang jauh lebih gelap lagi, pohon di tengah pekarangan
tumbuh dengan daunnya nan lebar, di bawahnya adalah deretan kamarkamar
tempat tinggal, kamar yang paling tengah adalah sebuah ruangan
pemujaan. Angin malam menghembus daun jendela yang sudah bobrok
sehingga mengeluarkan suara keriat-keriut yang menakutkan, siapa pun
yang mendengar suara seperti itu di tengah malam buta rata di tempat
yang seram seperti itu pula tentulah jantungnya bisa mencelat keluar dari
rongga dada saking takutnya.
Tiba-tiba biarawati itu berpaling sambil unjuk seri tawa, katanya:
"Tunggulah sebentar."
Coh Liu-hiang mengawasi gelagasi yang memenuhi daun pintu, tak tertahan
ia bertanya: "Apakah Siok-sim Taysu sedang bersemedi?"
"Bersemedi, tentu sedang bersemedi, siapa bilang dia tidak sedang
semedi?" sahut biarawati itu tertawa sambil menyibak gelagasi terus
berjalan masuk. Terpaksa Coh Liu-hiang menunggu di luar pekarangan belukar. Di luar jadi
semakin gelap gulita, kokok beluk sedang memperdengarkan suaranya
seperti pekik setan yang kesusahan. Berdiri di bawah pohon, tak terasa
berdiri bulu roma Coh Liu-hiang.
Sesaat kemudian, terdengar biarawati itu bersuara dari ruang pemujaan:
"Suhu, ada orang menengok engkau, apa kau sudi menemuinya?"
Tak lama kemudian biarawati itu berjalan keluar sambil angkat dian di
tangannya, katanya: "Guruku mengangguk, silahkan kau masuk!"
"Terima kasih!" ujar Coh Liu-hiang berlega hati. Bagaimanapun juga dia
benar-benar berharap dapat bertemu muka dengan Siok-sim Taysu.
Dengan langkah lebar ia melangkah masuk, sinar dian menyorot masuk dari
belakangnya. "Siok-sim Taysu....Taysu," seruan Coh Liu-hiang tidak mendapat jawaban,
keadaan ruang pemujaan yang remang-remang berhawa dingin membuat
orang mengkirik. Coh Liu-hiang maju dua langkah pula, angin menghembus
masuk, tiba-tiba dilihatnya sesosok bayangan melayang di atas. Waktu ia
angkat kepala, mana ada bayangan manusia. Yang dilihat hanyalah
seperangkat tulang belulang manusia.
Tengkorak yang lengkap ini bergantung-gantung di atas belandar,
bergoyang gontai terhembus angin, bau apek dan amis merangsang hidung,
tak terasa Coh Liu-hiang sampai terlongong di tempatnya saking kagetnya.
Tiba-tiba didengarnya biarawati itu terloroh-loroh menggila di depan
pintu, teriaknya mencak-mencak sambil tepuk tangan: "Kau sudah
melihatnya... kau sudah melihatnya, kenapa kau tidak bicara?"
Tengkorak yang tergantung di atas itu ternyata adalah tulang-tulang
Siok-sim Taysu yang ingin ditemuinya. Ternyata orang sudah menggantung
bunuh diri, kulit dagingnya sudah menjadi jerangkong.
Biarawati gila itu ternyata tidak mengebumikan jenazahnya, orang malah
main tipu dan berkelakar dengan cara sekeji ini, terang biarawati ini
seorang gila yang berhati jahat dan punya tujuan jelek pula. Tawanya yang
menggila masih berkumandang, biarawati itu masih mencak-mencak dan
tepuk tangan, dian di tangannya sudah terbanting pecah. Karena sinar api
padam, hawa setan terasa lebih melingkupi sanubarinya.
Tak terasa berkeringat tapak tangan Coh Liu-hiang, setindak demi
setindak ia mundur ke arah pintu. Mendadak tengkorak di atas itu
menubruk ke arah Coh Liu-hiang. Saking kagetnya, serasa copot nyali Coh
Liu-hiang, hendak berkelit ingin mengulurkan tangan meraihnya pula. Tepat
pada saat itulah secarik sinar pedang secepat kilat menyelonong turun
menembusi tulang-tulang kerangka itu, menusuk dada Coh Liu-hiang.
Sungguh cepat dan keji benar tusukan pedang ini.
Hampir saja Coh Liu-hiang tidak mampu berkelit lagi, lekas ia menyedot
napas mendekukkan dada. "Cret", ujung pedang menggores koyak baju di
depan dadanya. Bersamaan dengan itu berbintik-bintik sinar hitam yang
sukar dipandang dengan mata telanjang di malam nan gelap langsung
memberondong ke tenggorokan dan beberapa Hiat-to penting di dadanya.
Sesosok bayangan hitam yang lain melambung tinggi ke arah belandar dan
"Blum!", atap rumah diterjang berlubang besar dan pecah berhamburan,
diiringi gelak tawa yang seram dan penuh dendam dan kedongkolan laksana
terbang melarikan diri. Begitu Coh Liu-hiang meluputkan diri dari tusukan pedang, ia sudah
menduga lawan pasti menyusuli dengan serangan lain yang lebih keji dan
mematikan, sambil mendekuk dada segera ia menjatuhkan diri
menggelundung di atas tanah.
Sinar hitam melesat lewat menyerempet mukanya. Sempat pula dilihatnya
bayangan hitam yang menjebol atap itu mengenakan pakaian serba hitam,
kecepatan gerak tubuhnya laksana setan terbang. Terang orang ini pula
yang tempo hari membunuh Thio-jiang-sing Song Kang dan menghilang
dengan jinsut di Tay-bing-ouw.
Setelah Coh Liu-hiang melompat bangun dan mengejar ke atas genteng,
bayangan orang yang misterius itu sudah tidak kelihatan lagi. Bintang
kelap-kelip di angkasa raya, angin menghembus sepoi-sepoi dingin. Berdiri
di atas genteng, keringat dingin tanpa terasa sudah membasahi sekujur
tubuhnya. Setelah melongo sekian lamanya, ia lompat turun pula ke
pelataran, dilihatnya biarawati gila tadi sedang berdiri mematung seperti
orang linglung tanpa bergerak, tak bersuara lagi.
Coh Liu-hiang hinggap di depannya, bentaknya bengis: "Siapa orang itu"
Apa kau sudah bersekongkol dengan dia?"
Di kegelapan malam, terlihat muka biarawati itu mengunjuk senyuman
aneh, mata dipicingkan, dengan genit mengerling kepada Coh Liu-hiang,
katanya cekikikan: "Dia... aku..." tawanya mendadak terputus, sekujur
badanpun tiba-tiba gemetar dan kejang , kontan ia terjengkang roboh,
terlihat beberapa titik darah mengalir keluar dari tenggorokan dan
dadanya. Ternyata senjata rahasia yang menyerang Coh Liu-hiang tadi melesat
keluar pintu dan semuanya mengenai badannya. Lekas Coh Liu-hiang
berjongkok memeriksa lukanya, terlihat darah segar yang mengalir keluar
sebentar saja berubah warna menjadi hijau mengkilap. Disusul lobang
panca inderanya sama melelehkan darah segar yang sama.
"Keji benar senjata rahasia ini," gumam Coh Liu-hiang merinding. "Kau...
kau pergilah dengan tenang!" Ia maklum, terkena senjata rahasia beracun
sejahat itu, siapa pun takkan mampu menyembuhkannya. Kalau reaksi
dirinya tadi sedikit terlambat, mungkin dirinya sekarang yang rebah
sekarat meregang jiwa. Dada biarawati itu masih rada hangat dan denyut jantungnya masih
terasa, mendadak ia membuka mata mengawasi Coh Liu-hiang, sorot
matanya berubah bening dan terang secara menakjubkan.
"Masih ada pesan apa yang hendak kau katakan?"
Bibir biarawati bergerak-gerak, akhirnya tercetus suara lemah dari
mulutnya: "Bu... bu..."
"Kau tiada pesan apa-apa, bukan?"
Muka biarawati itu mengunjuk rasa gelisah, keringat membasahi seluruh
kepalanya, tapi meskipun ia sudah mengerahkan seluruh sisa tenaganya,
tenggorokannya serasa tertutup dan tak mampu mengeluarkan suara lagi.
Akhirnya ia meninggal. Sebelum ajal pikirannya mendadak sadar dan
jernih, sebetulnya ia hendak memberi bahan penyelidikan yang amat
penting kepada Coh Liu-hiang, sayang Coh Liu-hiang tidak tahu.
Waktu Coh Liu-hiang keluar dari Oh-i-am, malam sudah larut, perasaannya
pun teramat berat, bahan penyelidikan yang terakhir di mana ia mempunyai
harapan besar, akhirnya terputus pula.
Batinnya: "Tak heran pembunuh itu tidak takut aku mencari datang ke
Oh-i-am, ternyata dia sudah tahu bahwa Siok-sim Taysu sudah mati. Kalau
tidak, waktu aku berada di luar jendela Sun Hak-boh dan berjaga-jaga
terhadap perbuatan kejinya, toh akhirnya dia tetap punya banyak
kesempatan untuk turun tangan kepadanya untuk menutup mulut Sun Hakboh."
"Jadi dia memang ingin meminjam mulut Sun Hak-boh untuk menyebut Ohiam lalu memalsukan Siok-sim Taysu dan memancingku ke jalan yang
keliru, siapa nyana aku berhasil membongkar tipu muslihatnya. Karena tipu
muslihat gagal, dia sudah memperhitungkan aku pasti akan meluruk ke Ohiam, maka dia sudah sembunyi di atas belandar lebih dulu. Waktu aku
kurang siaga, melemparkan tengkorak Siok-sim Taysu dan berkesempatan
turun tangan pula kepadaku."
"Walau kali ini dia gagal pula, namun rencana kerjanya sebetulnya memang
cukup cermat. Tindakannya jauh lebih jahat. Asal sedikit aku terlena, sulit
aku terhindar dari kekejian tangannya. Begitu besar dan keras tekadnya
merintangi aku melibatkan diri dalam persoalan rahasia ini, tanpa segansegan
membunuh jiwa beberapa orang pula, dapatlah disimpulkan bahwa
urusan yang menyangkut dirinya ini pasti teramat penting dan besar
artinya, pasti akan mengejutkan siapa pun juga."
Menempuh bahaya, sebetulnya bukan soal apa-apa baginya. Semakin
berbahaya urusan, dia malah semakin bergairah dan makin besar pula rasa
tertariknya. Mendadak ia menengadah dan tertawa besar, katanya: "Kau
dengarkan, perduli siapa pun kau, kalau hendak menggertak atau menakuti
aku, pastilah kau sedang bermimpi. Cepat atau lambat pasti aku akan
membongkar kedok rahasiamu, kau tidak akan lolos dari tanganku."
Alam belukar jauh dari jejak manusia, lawan misterius bagaikan setan itu
entah masih bersembunyi di sekitarnya atau tidak, entah mendengar
tantangannya ini atau tidak.
Setelah menghentikan tawanya, kembali Coh Liu-hiang tenggelam dalam
pikiran. "Sebetulnya apakah yang hendak diucapkan oleh biarawati itu
sebelum ajalnya" "Bu" yang dia maksudkan tentu tidak berarti "bukan?""
gumamnya, "Dilihat dari sorot matanya, tentu banyak omongan yang
hendak dia katakan, apakah dia maksudkan pembunuh itu she Bu?"
Waktu Coh Liu-hiang kembali ke kota, pasar malam sudah usai. Sungguh
penat dan lapar, namun langsung dia menuju ke Kwi-gi-tong.
Orang seperti Chiu Ling-siok tentunya perempuan yang cukup ternama,
orang yang mengawininya tentu terkenal juga. Murid Cu-soa-bun cukup
banyak dari segala tingkatan, pergaulan mereka pun amat luas, bukan
mustahil di antara orang-orang mereka ada yang tahu jejak perempuan itu.
Beberapa hari ini, mau tidak mau hatinya ikut gundah dan kurang tentram,
tidak pernah terpikir olehnya bahwa dirinya sendiri yang punya pandangan
dan pergaulan amat luas, kenapa sebelum ini belum pernah ia mendengar
nama Chiu Ling-siok dari mulut orang" Kalau dia sendiri tidak tahu menahu
tentang orang itu, orang lain mana mungkin bisa tahu"
Sekonyong-konyong didengarnya dentaman kaki kuda yang berlari di jalan
raya di belakangnya, disusul suara bentakan nyaring: "Minggir!"
Baru saja Coh Liu-hiang menyingkir ke pinggir jalan, seeokor kuda sudah
berkelebat lewat dari sampingnya. Kuda yang hitam dari kepala sampai
ekornya, tiada warna bulu lain kecuali warna hitam yang mengkilap, kilap
sinar itu mirip benar dengan cahaya kilauan mutiara hitam.
Mantel hitam di atas kuda melambai-lambai tertiup angin, memperlihatkan
Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pakaian ketat warna merah berapi, kuda dan penunggangnya cepat sekali
membedal lewat, hampir saja Coh Liu-hiang keterjang jatuh. Bukan saja
Coh Liu-hiang tidak jadi marah, malah dia berteriak terkejut memuji:
"Sungguh seekor kuda yang amat bagus!"
Seperti pula terhadap perempuan, menilai kuda merupakan keahlian Coh
Liu-hiang pula. Ada kalanya begitu dia melihat kuda bagus, hatinya jauh
lebih riang gembira dibanding dia melihat perempuan cantik.
Walau hanya sekilas dan dari arah belakang ia melihat bayangan kuda itu,
namun ia berani memastikan kuda itu pasti kuda pilihan yang jempolan dan
bukan mustahil kelahiran dari peranakan naga. Orang yang bisa
menunggang kuda seperti itu, tentulah dia pun bukan sembarangan tokoh.
"Siapa pula orang itu?" Coh Liu-hiang menggumam seorang diri. "Untuk apa
dia datang ke Kilam" Perempuan cantik ada kalanya menikah dengan suami
bodoh, namun kuda jempolan tak mungkin dimiliki oleh sembarangan orang
awam. Kalau kuda bagus memilih majikan, pandangannya jauh lebih tajam
daripada perempuan cantik memilih calon suaminya, paling tidak dia tidak
mudah dibujuk rayu kata-kata manis mulut laki-laki, tak mungkin pula
tergila-gila sampai jatuh semaput melihat banyaknya uang emas. Tapi bila
dia sudah memilih seseorang, jauh lebih setia daripada perempuan
terhadap suaminya," tanpa terasa Coh Liu-hiang tertawa geli sendiri.
Dia sembarang waktu selalu mencari kesempatan untuk menghibur hati
dan tertawa-tawa, sekaligus untuk mengendurkan urat syarafnya yang
selalu tegang beberapa hari ini. Itulah sikapnya sebagai manusia, mungkin
itu pula sebabnya kenapa dia selalu bisa hidup di kala menghadapi situasi
antara mati dan hidup. Urat syaraf seseorang bila terlalu tegang setiap
kali menghadapi bahaya, maka bagaimanapun dia akan kehilangan akal
sehatnya, entah cara bagaimana harus menghadapinya. Apalagi dia yakin
pandangannya pasti tidak salah, karena terhadap perempuan dan kuda,
boleh dikata dia mempunyai kewibawaan yang tidak pernah dimiliki oleh
orang lain. Belum lagi tiba Kwi-gi-tong, dari kejauhan Coh Liu-hiang sudah melihat
kuda hitam itu. Dia berdiri di bawah lampion yang tergantung di depan
pintu Kwi-gi-tong, kepalanya sedang bergoyang turun naik menengadah
sambil meringkik pendek. Tali kendalinya oleh si majikan tidak diikat pada tiang bendera, rupanya
tak kuatir kudanya itu bakal dicuri orang, beberapa orang tampak berdiri
berkeliling di kejauhan, tiada seorang pun yang mendekatinya.
Tapi ada seseorang yang lagi berjongkok sambil memeluk perut, mulut
merintih dan muka berkeringat sambil mengerut kesakitan. Coh Liu-hiang
menghampiri serta menepuk pundaknya, katanya: "Kawan kena disakiti,
ya?" "Kuda kurcaci ini galak sekali," sahut orang itu sambil meringis.
"Kembang elok banyak durinya, perempuan cantik seperti pula kuda,
pantang diganggu. Selanjutnya kau harus selalu ingat kata-kataku ini."
Karena ingin melihat siapa penunggang kuda ini, sembari bicara langsung ia
masuk ke dalam rumah. Waktu itu belum tengah malam, saatnya Kwi-gi-tong paling ramai
dikunjungi penjudi. Tapi walau sinar lilin terang benderang, namun di dalam
rumah sunyi senyap. Coh Liu-hiang mengerutkan kening, segera ia
menyingkap kerai terus melangkah masuk.
Tampak puluhan penjudi sama berdiri mepet ke tembok dengan muka
pucat ketakutan. Gadis-gadis cantik yang biasanya berlalu-lalang segesit
burung walet, kini sama berdiri di pinggir dengan badan gemetar.
Waktu ia jelajahkan pandangannya, para laki-laki pelindung tempat
perjudian sama rebah tak berkutik di atas lantai. Memang ada yang tak
mampu bergerak, tapi ada pula yang memang tak berani merangkak bangun.
Puluhan pasang mata sama menatap ke arah orang yang mengenakan mantel
hitam. Dengan tegar dia berdiri di depan meja bundar, membelakangi pintu, maka
Coh Liu-hiang hanya bisa melihat cambuk panjang di tangannya yang
bersinar kemilau, muka orang tidak bisa dilihatnya. Tapi rona muka Leng
Chiu-hun dapat dilihatnya jelas.
Muka Leng Chiu-hun seperti tidak berdarah, sorot matanya mengunjuk
rasa kaget, gugup dan jera, dengan tajam ia sedang menatap laki-laki
bermantel hitam di hadapannya.
Sunyi senyap, tiada suara apa pun di dalam ruang judi ini, saking
tegangnya jantung serasa hampir meledak, badan pun gemetar, begitu
hening serasa sesak napas dan mencekam hati, seumpama anak panah di
atas busur yang terpentang, hujan badai pun bakal menerjang tiba.
Tiada seorang pun yang memperhatikan Coh Liu-hiang masuk, Coh Liuhiang
pun tidak mengusik orang lain, cuma secara diam-diam ia melangkah
ke sana, lalu berdiri di pinggir dengan berdiam diri.
Dari samping sekarang dia dapat melihat muka orang bermantel hitam itu,
kiranya seorang pemuda. Mantel hitam itu membungkus badannya yang
ramping. berpakaian serba hitam ketat pula, sabuk hitam, sepatu kulit
kuda warna hitam, sarung tangan kulit sapi warna hitam, tangannya
menggenggam cambuk panjang warna hitam pula, hanya roman mukanya
yang kelihatan pucat, pucat yang menakutkan.
Dari samping jelas oleh Coh Liu-hiang hidungnya yang mancung, bibir nan
tipis terkatup rapat, menggambarkan kekerasan tekadnya, dingin dan kaku.
Alisnya lentik tegas ke atas, bulu-bulu alisnya yang hitam menaungi
sepasang mata yang melekuk dalam, seumpama telaga jernih yang tak
kelihatan dasarnya, tiada seorang pun yang dapat meraba jalan pikiran dan
maksud hatinya. Raut mukanya itu boleh dikata serba sempurna, pemuda ini boleh dikata
tiada satu pun cacat pada badannya, keadaan yang serba sempurna ini
sungguh membuat jeri nyali setiap hadirin.
Dengan menatap orang, agaknya Leng Chiu-hun sedang mempertimbangkan
jawaban apa yang akan dia lontarkan. Namun pemuda serba hitam ini
sedikit pun tidak kelihatan tergesa-gesa, hanya ia balas menatap orang
dengan dingin. Akhirnya berkata Leng Chiu-hun perlahan-lahan: "Kalau tuan
ingin berjudi, sudah tentu aku suka mengiringi. Tapi Cayhe mohon tanya
dulu siapa nama kebesaran tuan, tentunya tuan tidak sekikir itu untuk
memberitahu kepadaku, bukan?"
"Aku tidak punya nama!" sahut pemuda itu pendek. Lagu suaranya dingin,
tajam dan cekak aos, namun rada berlainan dibanding dengan Tionggoan
It-tiam-ang. Kedua lagu suara laksana pisau, cuma pisau Tionggoan Ittiamang sudah karatan, pisau pemuda ini justru bisa membikin putus
rambut yang disebul di atasnya. Nada suara It-tiam-ang bengis dan
menyeramkan, sementara kata-kata pemuda ini kasar, temberang dan
cekatan. "Kalau tuan tidak sudi memperkenalkan nama besarmu, mungkin....."
"Mungkin kenapa?"
"Menurut kebiasaan di sini, selamanya tidak berjudi dengan orang asing."
Leng Chiu-hun menatap sorot mata si pemuda, lalu tertawa kering dan
berkata: "Tapi tuan datang dari jauh, Cayhe tentu tidak akan membikin
tuan kecewa." "Itulah bagus."
"Entah judi apa yang tuan inginkan?"
"Biar judi dadu saja."
"Taruhannya....."
Sekali ulur si pemuda mengeluarkan sebentuk Giok-pit, tampak Giok-pit ini
mengeluarkan pancaran sinar hangat, tiada cacat sedikit pun. Sampai pun
Coh Liu-hiang selama hidupnya belum pernah melihat batu giok sesempurna
itu. Sudah tentu Leng Chiu-hun pun seorang ahli dalam menilai sesuatu
benda, seketika berkilat sorot matanya, namun mulutnya berkata tawar:
"Tuan pasang batu giok ini untuk mempertaruhkan apa?"
"Mempertaruhkan kau!"
Berubah air muka Leng Chiu-hun, serunya sambil tertawa besar:
"Bertaruh aku" Aku Leng Chiu-hun masa begitu berharga?"
"Kalau aku menang, maka kau harus ikut aku."
Seperti tenggorokannya mendadak diiris pisau, seketika berhenti tawa
Leng Chiu-hun, matanya mendelik ke arah batu giok di atas meja,
terpancar rasa tamak dan ingin mengangkanginya, lalu ia melirik ke arah
dadu di pinggiran sana, mendadak ia menjawab lantang: "Baik! Aku pasang
diriku!" Kata-kata ini seketika menimbulkan keributan di ruang judi yang hening
lelap tadi. Namun Coh Liu-hiang tahu bahwa Leng Chiu-hun berani
mempertaruhkan dirinya, tentu dalam permainan enam biji dadu ini dia
mempunyai cara atau kepandaian khas yang tidak mungkin dilakukan orang
lain, ia yakin dirinya pasti menang.
Tampak sebutir demi sebutir Leng Chiu-hun menjemput dadu itu serta
dimasukkan ke dalam porselen berbentuk seperti mangkuk, lalu
menutupnya pula dengan tatakan bundar, katanya pelan-pelan: "Cara judi
dengan dadu banyak macamnya, tuan....."
"Aku pasang yang terkecil. Jumlah titik yang paling kecil, itulah yang
menang." Leng Chiu-hun tersenyum, ujarnya: "Pasang besar atau kecil sama saja.
Tuan, silakan!" Baru saja ia hendak mendorong dadu itu kepada orang, si pemuda sudah
berkata: "Silakan kau dulu yang mengocok."
Leng Chiu-hun berpikir sebentar, lalu katanya: "Baik, setitik sama....."
"Setitik yang sama dianggap seri!" sambung si pemuda.
"Bagus!" seru Leng Chiu-hun. Begitu tangan terangkat, suara dadu dalam
mangkok berkumandang di dalam ruang judi yang sunyi itu.
Muka Leng Chiu-hun amat prihatin dan tegang, seluruh perhatiannya ia
tumplekkan pada mangkok yang dia kocok terus di pinggir telinganya, dadu
pun terus berbunyi dan berkerotokan di dalam mangkok, suaranya seolaholah
menyedot sukma setiap hadirin.
Saking tegang, serasa sesak napas setiap hadirin. "Brak!", tahu-tahu Leng
Chiu-hun sudah menggabrukkan mangkok porselen itu di atas meja.
Puluhan mata serempak menatap ke arah jari-jari tangannya yang putih
mulus, pelan-pelan tangannya mulai terangkat membuka tutup, maka
tampaklah enam dadu..... Kembali ruang judi digemparkan oleh suara ribut dan bisik-bisik para
hadirin. Keenam dadu itu ternyata adalah sama menunjukkan setitik
merah, seakan-akan seperti enam tetes darah merah di atas tutup tatakan
itu. Enam dadu berarti enam titik, jumlah yang tidak mungkin dikurangi
lagi, terang Leng Chiu-hun berada pada posisi yang tak mungkin kalah lagi.
Ujung mulutnya seketika mengunjuk senyuman bangga akan
kemenangannya. Coh Liu-hiang membatin: "Kepandaian Leng Chiu-hun mengocok dadu
memang hebat, entah dengan cara apa si pemuda bisa mengalahkan dia?"
Sedikit pun si pemuda tidak menjadi keder, sikapnya tetap dingin kaku,
katanya dingin: "Memang hebat."
"Tuan, silakan!" ujar Leng Chiu-hun.
"Baik!" sekonyong-konyong cambuk panjang di tangannya bagai ular hidup
meluncur ke depan seperti memagut. Keruan Leng Chiu-hun kaget, ia kira
orang hendak main kekerasan. Siapa tahu cambuk yang meluncur bagai
kilat itu tiba-tiba berhenti di atas dadu, ujung cambuknya dengan gesit
selincah ular hidup menggulung sebutir dadu, seperti mulut ular yang
memagut lalu dilepas pula. "Ser!" dadu itu seketika mencelat terbang
lempang ke depan sana dan "trap!", melesak masuk ke dalam dinding yang
dikapur halus, seluruh dadu itu terporot di atas dinding, yang kelihatan
hanya setitik warna merah. Bisa menggunakan lentikan tangan menimpuk
dadu terporot ke dalam dinding, hanya menunjukkan satu titik saja, sudah
bukan pekerjaan yang gampang, mungkin hanya ahli senjata rahasia kelas
atas saja yang mampu melakukannya. Si pemuda justru memerlukan
cambuk panjang enam kaki untuk membelit dadu lalu melempar, kekuatan
pergelangan tangan dan ketajaman matanya benar-benar hebat dan sukar
dibayangkan kehebatannya.
Tak tertahan seluruh hadirin sama berseru memuji. Di tengah suara
hiruk-pikuk kekaguman dan rasa heran itulah, dadu kedua kembali
tergulung. Dengan cara yang sama kembali ditimpukkan, dadu kedua ini
tepat melesak masuk mengenai dadu pertama, muka yang menghadap
keluar tetap sama, setitik merah pula. Begitulah cambuk itu bergerak
melingkar-lingkar turun naik beruntun menggulung sisa dadu yang lain,
dadu ketiga didorong dadu keempat dan dadu keempat didorong dadu
kelima dan seterusnya sampai keenam dadu semua dilempar ke dalam
dinding, yang kelihatan hanya satu titik merah yang rata dengan
permukaan dinding. Keruan terbelalak mata semua hadirin menyaksikan pertunjukkan yang
hebat dan menakjubkan ini.
Namun sikap si pemuda tak berubah, mimiknya tetap kaku, katanya pelanpelan:
"Enam dadu hanya satu titik, kau kalah!"
Pucat pias selembar muka Leng Chiu-hun, mendadak ia berteriak: "Tidak
masuk hitungan, cara seperti itu mana dapat masuk hitungan?"
"Kau hendak mungkir dan main curang?" baru sekarang si pemuda
menyeringai. Cambuk panjangnya kembali terayun terbang bagaikan ular beracun
menggulung kearah Leng Chiu-hun. Bagaimanapun juga Leng Chiu-hun bukan
seorang lemah, "sreng!" tahu-tahu pedangnya sudah terlolos keluar. Siapa
nyana cambuk ular itu seakan-akan bernyawa, tahu-tahu bisa menukik
berubah arah dan dengan kencang tahu-tahu sudah membelit senjata
lawan, sekali tarik dan sendal seketika gaman Leng Chiu-hun mencelat
terbang lepas dari cekalan tangannya. "Clep!" menancap di atas belandar,
gagang pedangnya bergoyang-goyang melambaikan kuncir benang
suteranya. Lebih celaka lagi raut mukanya yang pucat memutih itu tibatiba
sudah memetakan sejalur garis merah darah.
"Kau sudah kalah," jengek si pemuda. "Hayo ikut aku pergi!"
Saking kaget dan ketakutan, Leng Chiu-hun sampai berdiri menjublek
dengan badan lemas lunglai.
Tiba-tiba suara seseorang menyela dengan kalem: "Begitu asyik kalian
berjudi, tanganku jadi gatal, marilah biar aku ikut bertaruh!" suaranya
halus senyumnya tawar, siapa pula kalau bukan Coh Liu-hiang.
Waktu cambuk terayun menari-nari di tengah udara, mantel itu sedikit
terangkat dan tersingkap, sekilas terlihat oleh Coh Liu-hiang lapisan kain
merah bagian dalam mantel hitam itu tersulam seekor unta terbang.
Jikalau bukan lantaran unta terbang itu, mungkin Coh Liu-hiang tidak akan
sudi menampilkan diri. Semua hadirin sudah melongo dan ciut nyalinya oleh kepandaian silat si
pemuda, kini melihat ada orang yang masih berani hendak bertaruh
dengannya, semua sama melototkan mata mengawasi Coh Liu-hiang.
Sebaliknya Leng Chiu-hun merasa mendapat anugerah dewata yang
menolong kesusahannya, seketika mukanya berseri tawa lebar, katanya:
"Thio-heng ternyata ingin bertaruh juga, sungguh baik sekali, baik sekali"
Setenang lautan samudra, mantap dan teguh tekadnya, sepasang mata si
pemuda bagaikan tajamnya ujung pisau lekat-lekat menatap muka Coh Liuhiang.
Siapa pun bila ditatap oleh mata seperti itu mungkin arwahnya bisa
copot dari badan kasarnya.
Sebaliknya Coh Liu-hiang bersikap acuh tak acuh seperti tak terjadi apaapa,
katanya berseri tawa: "Tuan datang dari gurun pasir, bukan?"
Air muka si pemuda yang dingin dan kaku seketika berubah, tanyanya
mendesis: "Siapa kau?"
"Seperti tuan, aku pun sudah melupakan namaku."
"Kau hendak pasang judi" Baik! Judi apa?"
"Judi dadu, tetap judi dadu, tentunya jumlah sedikit yang menang!"
Reaksi para hadirin sungguh lucu mendengar kata-katanya ini. Mereka kira
orang ini sudah gila, enam dadu itu kini cuma menunjukkan satu titik,
memangnya dia bisa menang"
Agaknya si pemuda tertarik dan merasa senang, sorot matanya bercahaya,
tanyanya: "Taruhanmu....."
"Kalau tuan kalah, sudah tentu mainan batu jade ini menjadi milikku, Lengkongcu
pun tak usah ikut kau. Kecuali itu, ingin aku mengajukan beberapa
patah pertanyaan kepada tuan!"
Pertaruhan yang ringan dan murah saja, seketika terangkat alis si
pemuda, tanyanya: "Kalau kau yang kalah?"
"Kalau aku kalah, akan kujelaskan semua urusan yang ingin benar kau
ketahui itu." Berubah air muka si pemuda, "Dari mana kau bisa tahu hal apa yang ingin
Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kuketahui?" "Mungkin aku mengetahuinya."
Lain orang bila kalah taruhannya amat tinggi nilainya, sebaliknya kalau dia
sendiri yang kalah hanya kalah omongan saja, malah belum pasti dan baru
mungkin saja, pertaruhan seperti ini sungguh tidak adil, semua orang kira
si pemuda tentu tidak mau terima meski jelas dia bakal menang.
Tak nyana si pemuda berpikir sebentar, lalu berkata tandas: "Baik,
pertaruhan ini jadilah!"
"Aku tahu tuan pasti akan bertaruh!"
"Dadu sudah kutimpukkan, apa kau pun hendak menimpukkan sekali lagi
dengan cara yang sama?"
"Tidak perlulah!"
Terasa oleh semua orang bahwa otak orang ini memang tidak normal,
terlihat ia menghampiri meja judi lain dan mengambil enam butir dadu yang
lain. Dia genggamn keenam biji dadu itu dalam tapak tangan. Leng Chiu-hun
merasa seluruh jiwa raganya pun ikut tergenggam dalam tapak orang. Kalau
sikap Coh Liu-hiang biasa dan wajar, sebaliknya seluruh badan Leng Chiuhun
sudah dibasahi keringat dingin. Tak tertahan ia berseru
memperingatkan: "Thio-heng, jangan kau lupa, pihak lawan sudah melempar
setitik angka saja."
"Aku tahu," ujar Coh Liu-hiang tawar. Segera sebelah tangannya terayum
melemparkan sebiji dadu. Semua orang mengira dia hendak meniru
perbuatan si pemuda, tapi paling-paling dia hanya bisa mendapat angka
sebanding dengan lawan, paling-paling tidak terkalahkan, namun toh tidak
akan menang. Tapi takjub dan heran pula semua hadirin dibuatnya, karena
biji dadu itu meluncur amat lambat dan aneh sekali. Kalau si pemuda
menimpuk dengan ujung cambuknya, sebaliknya ia melontar dengan tangan,
betapa besar perbedaan antara pertunjukan kepandaian ini, kenapa pula
Coh Liu-hiang harus mempertunjukkan kejelekan diri sendiri, namun
setelah melihat dadu yang ditimpukkan itu bergerak lambat di tengah
udara seperti terikat benang dan ditarik pelan dalam satu garis datar,
sungguh semua orang sama tak mengerti, kenapa dadu itu tidak bisa
membelok atau jatuh. Semua orang memang tidak tahu betapa besar pengerahan Lwekang untuk
menggerakkan timpukan dadu sekecil itu dengan gerakan lambat yang
lempang itu, namun mereka maklum bahwa lambat itu jauh lebih sukar
daripada cepat. Tatkala dadu kedua di tangan Coh Liu-hiang sudah melesat keluar,
luncurannya rada cepat sedikit mengejar dadu pertama dan "Tras!" dadu
pertama ternyata ditubruk pecah hancur. Luncuran biji dadu ketiga lebih
cepat sedikit lagi, mengejar biji dadu kedua dan "Tras!" sekali lagi dadu
kedua pun terpukul hancur. Begitulah satu per satu Coh Liu-hiang
menjentikkan dadunya, biji keempat menghancurkan biji ketiga, biji kelima
menghancurkan biji keempat dan seterusnya. Biji kelima amat cepat dan
besar, setelah menghancurkan biji keempat terus meluncur menumbuk
tembok dan terpental balik, kebetulan kebentur dengan biji keenam yang
melesat tiba, kedua biji terakhir ini saling bentur di tengah udara dan
hancur bersama. Enam biji dadu sama hancur menjadi bubuk berhamburan di atas lantai,
dan anehnya bubuk dadu itu akhirnya bertumpuk di dalam bidang yang
sama sehingga menumpuk tinggi. Sudah tentu semua hadirin dibikin
melongo keheranan seakan-akan sedang melihat permainan sulap layaknya.
Coh Liu-hiang menepuk-nepuk tangan, katanya tertawa: "Daduku hancur,
setitik pun tiada lagi, tentunya tuan yang kalah."
Tak tahan lagi, akhirnya Leng Chiu-hun berjingkrak kegirangan, serunya
sambil bertepuk tangan: "Benar, enam dadu setitik pun tiada lagi, bagus,
bagus sekali!" Seketika pucat muka si pemuda, cara yang digunakan Coh Liu-hiang
memang baik dan mengambil keuntungan melulu, namun cara permainannya
benar-benar merupakan kepandaian asli dan tulen, sedikit pun tak mungkin
secara kebetulan. Apalagi cara yang ia gunakan untuk mengalahkan Leng
Chiu-hun juga sama dengan cara nakal-nakalan, mana bisa ia mengatakan
kelicikan orang lain" Saat mana mimik wajahnya mirip benar dengan
keadaan Leng Chiu-hun waktu kalah tadi, mau mungkir pun tak bisa lagi.
Biasanya dia sering mempermainkan orang sesuka dan seriang hatinya, tak
nyana hari ini dia ketemu batunya dan balas dipermainkan orang secara
konyol. Tampak biji matanya yang cekung setenang air laut yang dalam dan
mantap kini berubah seperti mega di ujung langit berubah berulang kali
terhembus angin lalu dengan bentuk warna-warni. Sorot matanya yang
semula dingin kini memperlihatkan perasaan.
Coh Liu-hiang merasa heran melihat perubahan ini, batinnya: "Kalau
matanya itu tumbuh di atas badan perempuan, maka perempuan ini pasti
cantik molek, cukup sekali mengerling laki-laki pasti akan rela berkorban
demi dirinya. Sayang sepasang mata yang indah ini dimiliki oleh laki-laki,
tumbuh di tempat yang tidak benar."
Sesaat lamanya si pemuda baju hitam menjublek, mendadak cambuk
panjangnya terayun dan mengamuk seperti orang kesurupan melecuti
orang-orang yang menonton di pinggiran. Dalam sekejap saja puluhan orang
kena dihajar babak belur, beramai-ramai mereka berteriak kesakitan dan
berebut lari keluar menyelamatkan diri. Si pemuda masih terus
mengayunkan cambuk lemasnya, bentaknya bengis: "Pergi! Semua
menggelundung pergi! Satu pun tak boleh tinggal di sini!"
Suara hiruk-pikuk membuat suasana ruang judi menjadi gaduh, jerit
tangis para gadis-gadis pelayan yang berjatuhan dan saling berhimpitan
terdengar menyayatkan hati, malah ada yang berlari keluar sambil
merangkak. Keruan berubah air muka Leng Chiu-hun, bentaknya gusar:
"Orang-orang itu tidak mengusikmu, kenapa kau lampiaskan......"
"Kau pun lekas menggelundung keluar!" damprat si pemuda baju hitam,
"Menggelundung ke luar!"
Darah segar setetes demi setetes mengucur keluar dari muka Leng Chiuhun,
namun mengusapnya pun tidak, dengan melotot ia pandang si pemuda,
jengeknya dingin: "Kalau kau tidak mau mengaku kalah di hadapan orang
banyak, tentu aku boleh keluar, namun......."
"Tar!" kembali mukanya kena lecutan cambuk, tapi ia tetap berdiri di
tempatnya tanpa bergeming, katanya pula pelan-pelan: "Asal kau ingat,
akan datang suatu ketika aku orang she Leng pasti akan menuntut balas
berlipat ganda kepadamu."
Kembali cambuk si pemuda terayun, hardiknya: "Cambuk keempat!"
Leng Chiu-hun membanting kaki, sambil kertak gigi ia pun melangkah
keluar. Tatkala itu seluruh ruangan sudah kosong melompong, tidak kelihatan
bayangan orang lain kecuali Coh Liu-hiang dan si pemuda baju hitam.
Agaknya rasa gusar dan penasaran si pemuda masih belum terlampiaskan,
kembali ia bikin hancur segala perabotan dan gambar lukisan atau pajangan
apa saja di atas dinding.
Coh Liu-hiang tetap berdiri di pinggir meja. Sambil tersenyum ia
mengawasi ulah orang yang mengamuk itu, katanya: "Sekarang semua orang
sudah menyingkir, kau boleh mengaku kalah, bukan?"
Pelan-pelan terjulur lemas dan menjuntai ke lantai cambuk panjang si
pemuda baju hitam, tampak pundaknya turun naik, lambat laun napasnya
mulai normal kembali, dengan suara rendah tertahan akhirnya ia bersuara:
"Apa yang ingin kau tanyakan" Lekas katakan!"
Sebentar Coh Liu-hiang termenung, katanya: "Surat yang diterima ayahmu
sebelum beliau masuk ke pedalaman, apakah pernah kau melihatnya" Entah
apa sebenarnya yang tertulis di atas surat itu?"
Sigap sekali mendadak si pemuda membalikkan badan, sorot matanya
setajam pisau menatap muka Coh Liu-hiang, serunya bengis: "Dari mana kau
tahu siapa ayahku" Cara bagaimana kau tahu beliau masuk ke pedalaman"
Bagaimana pula kau bisa tahu sebelum ke pedalaman beliau pernah
menerima sepucuk surat?"
"Jangan kau lupa, sekarang akulah yang berhak bertanya kepadamu!"
"Pertanyaan sudah kau ajukan, sekarang akulah yang sedang bertanya
kepadamu." "Pertanyaanku belum kau jawab, kenapa kau malah balas bertanya
kepadaku?" "Aku hanya menerima pertanyaanmu, toh tidak berjanji hendak menjawab
pertanyaanmu." Coh Liu-hiang melenggong, katanya tertawa: "Selama ini ingin aku melihat
siapakah orang yang paling tidak pegang aturan di dunia ini, baru hari ini
aku benar-benar kebentur."
"Pertanyaan sudah kau ajukan, mainan itu boleh kau ambil, orang she Leng
pun sudah kulepas pergi, pertaruhan antara kita sudah impas dan lunas,
kini tiba saatnya kau menjawab pertanyaanku!"
Kata-kata ini diucapkan seperti petasan meledak, cepat dan gugup, seolaholah
sebelumnya memang sudah dia rencanakan dalam hati, sungguh Coh
Liu-hiang tidak pernah menduga pemuda dingin dan angkuh ini ternyata
bisa main licin dan licik, ujarnya sambil tertawa getir: "Kalau aku tidak
menjawab pertanyaanmu?"
Hanya sepatah kata jawaban si pemuda: "Mati!"
"Kalau aku tidak mau mati?"
Sungguh lucu dan tepat sekali pertanyaan ini. Sejak kecil dan sebesar itu,
belum pernah si pemuda menghadapi seseorang dengan sikap yang seperti
itu. Sorot matanya yang dingin membeku itu tiba-tiba memancarkan
ledakan kembang api, desisnya sadis: "Kalau bukan kau yang mampus, biar
aku yang mati!" belum lenyap gema suaranya, cambuk panjangnya mendadak
menyabet tiba. Jalur cambuk panjangnya itu seakan-akan membuat banyak lingkaranlingkaran
besar kecil yang tidak terhitung banyaknya, setiap lingkaran
cambuknya itu agaknya hampir menjerat leher Coh Liu-hiang. Bahwasanya
satu pun tiada yang berhasil menjerat.
Seenteng asap mengambang, tahu-tahu Coh Liu-hiang sudah berada di
belakang si pemuda, katanya mengolok: "Jika aku tidak membiarkan kau
cari kematian?" Sekali raih si pemuda menanggalkan mantel terus dikebutkan, mantel
hitam yang lebar itu seketika berkembang dan menungkup ke arah kepala
Coh Liu-hiang seperti segumpal awan, di antara berkelebatnya bayangan
hitam tampak terselip tujuh titik sinar bintang dingin. Agaknya si pemuda
sudah murka betul-betul, serangannya tidak mengenal kasihan lagi. Begitu
tangan kiri menarik mantel, Chit-sing-ciam yang tersembunyi di gagang
cambuknya pun berbareng merangsek tiba.
Serangan kombinasi ini dinamakan Hun-te-hwi-siang (Bintang Terbang di
Bawah Mega), ternyata salah satu ilmu tunggal Tay-mo-sin-liong yang
pernah malang melintang di kolong langit, entah berapa banyak tokohtokoh
silat kenamaan yang menemui ajalnya oleh serangan hebat ini.
Tujuh bintik sinar bintang tertelan di bawah gumpalan mega hitam, siapa
pun jangan harap bisa melihatnya jelas. Di saat ia mendengar angin
sambaran senjata rahasia musuh, untuk berkelit pun sudah terlambat.
Mimpi pun Coh Liu-hiang tidak mengira pemuda ini pun membekal
kepandaian tinggi dan ilmu yang sekeji ini, kesiur senjata rahasia yang
menerjang di udara tahu-tahu sudah melesat tiba di depan dada. Kalau dia
harus berkelit, terang tak sempat lagi. Dalam seribu kesibukannya, lekas ia
menyedot dada melekukkan kulit daging, secepat anak panah ia
menjatuhkan badan terus menggelundung mundur.
Luncuran tujuh titik bintang itu sendiri pun secepat kilat, namun Coh Liuhiang
mundur lebih cepat dari luncuran senjata rahasia itu, tahu-tahu
mundur mepet ke dinding, tenaga luncuran senjata rahasia itu pun sudah
kendor dan jauh lebih lemah. Mendadak ia mengulurkan tangannya, seperti
menangkap nyamuk, ketujuh bintik bintang hitam itu kena ditangkap
olehnya. Seketika si pemuda bergetar berdiri dengan terkesima, teriaknya
tak tertahan: "Gerakan badan yang teramat cepat, sungguh hebat ilmu
Hun-kong-coh-ing (menangkap bayangan membagi cahaya) itu."
Di tengah suara bentakannya, beruntun ia menyerang dengan lecutan
cambuknya tujuh kali. Ilmu cambuk orang lain biasanya laksana hujan
badai, namun lingkaran cambuknya ini justru serapat dan seketat mega
mendung sebelum hujan turun, sebelum bayu menghembus layu.
Kalau gerak lingkaran cambuk orang entah menyapu miring atau menyodok
maju, tapi lingkaran ini justru menggulung datang dari berbagai arah,
lingkaran besar membelit hingga lingkaran kecil, di dalam lingkaran kecil
masih ada lingkaran lebih kecil lagi, di luar lingkaran besar masih ada
lingkaran yang lebih besar pula.
Sekilas pandang seperti ada ribuan lingkaran bayangan cambuk yang
berterbangan di tengah udara berlapis bertumpuk, ada yang akan menjirat
tangan ada yang akan menjirat kepala, kalau orang biasa tidak bergebrak
sama dia hanya melihat bayangan lingkaran cambuknya yang tak terhitung
banyaknya itu, mungkin sudah pusing kepala dan jatuh semaput.
Umpamanya Coh Liu-hiang sendiri selama hidupnya belum pernah
menghadapi lingkaran-lingkaran aneh seperti itu, namun ia insaf asal satu
di antara sekian banyak lingkaran itu menjirat anggota badannya tentu
akibatnya amat fatal. Tapi lingkaran besar kecil sekian banyaknya sungguh
sulit diraba lingkaran mana yang tulen atau lingkaran yang ini cuma
serangan pura-pura belaka. Lingkaran yang berisi atau kosong campur
aduk. Secepat kilat sambung menyambung menggulung dirinya, untuk
memunahkannya sesulit memanjat ke langit.
Sembari berkelit Coh Liu-hiang peras otaknya mencari akal, tiba-tiba
dilihatnya di atas meja judi terdapat sebuah bumbung yang berisi
batangan bambu kecil panjang satu kaki, batang-batang bambu ini biasanya
digunanakan untuk mempermudah dalam pembayaran para penjudi dengan
nilai-nilai uang yang tidak sama menurut waris dan panjangnya.
Sekali berkelebat dan berjumpalitan sejauh empat tombak, dengan mudah
Coh Liu-hiang sudah meraih batang bambu kecil itu, waktu cambuk
melingkar datang pula mendadak ia timpukkan sebatang bambu ke dalam
lingkaran cambuk. Terdengar "pletek!" kisaran lingkaran cambuk itu dibikin
lambat, namun batangan bambu itu patah menjadi dua.
Begitu lingkaran cambuk mematahkan batangan bambu, bayangan
lingkaranpun sirna, namun begitu si pemuda kembali menggentak
cambuknya, lingkaran-lingkaran yang tak terhitung banyaknya kembali
menggulung tiba. Lingkaran demi lingkaran menerjang datang, batangan
bambu di tangan Coh Liu-hiang pun sebatang demi sebatang ditimpukkan,
setiap batang bambu tepat sekali masuk di tengah-tengah lingkaran
cambuk. Maka terdengarlah suara "pletak-pletok" seperti ledakan poyah,
tampak lingkaran cambuk satu demi satu menghilang, batangan bambupun
patah satu per satu. Suara seperti itu enak didengar, namun keadaan pertunjukkannya jauh
lebih mengasyikkan. Kalau dikatakan ilmu cambuk si pemuda boleh menjagoi
seluruh dunia, cara Coh Liu-hiang memusnahkannyapun tiada bandingannya
di kolong langit. Maklum begitu ujung cambuk melingkar, kekuatannya sudah terhimpun
penuh dan tinggal dimanfaatkan saja, begitu menyentuh sesuatu benda lain
atau mendapat perlawanan tenaga luar lainnya kekuatan yang terhimpun itu
mau tak mau harus tersalurkan, oleh karena itu begitu batangan bambu
tertimpuk masuk maka kekuatan lingkaran cambuk itu pasti menggulungnya
sampai patah, setelah batangan bambu dipatahkan kekuatan lingkaran
cambuk itupun punah, dengan sendirinya lingkaran itupun sirnalah.
Gampang sekali untuk menerangkan teori ini, namun di saat menghadapi
musuh dan bergebrak seru seperti sekarang ini, untuk menjelaskan teori
ini, sungguh amat sukar dan tak mungkin dilakukan.
Memang Coh Liu-hiang seorang genius, seorang berbakat untuk
mempelajari ilmu silat. Bukan saja setiap ilmu silat yang dia pelajari pasti
dapat diyakinkan dengan sempurna, malah pengalaman dan kecerdikan
otaknya dalam menghadapi segala bentuk perubahan serangan musuh pun
teramat luas, jauh melebihi orang lain. Banyak ilmu silat yang jelas takkan
mungkin dapat dia pecahkan, begitu dia sendiri sudah menghadapinya
dalam praktek, sekilas saja secara refleks pasti dapat dia pikirkan cara
pemecahannya. Maka sering terjadi seorang yang sebetulnya membekal
ilmu silat yang lebih tinggi dari dia, setelah bergebrak malah kena
dikalahkan olehnya. Meski dia kalah dengan keheranan dan secara aneh
seperti tidak masuk akal, namun semakin aneh maka semakin mereka
tunduk lahir batin. Memang di situlah letak salah satu cacat hati manusia.
Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kepandaian Hwi-hoang-tan-goat, Heng-sing-pou-hi (cincin terbang
menjerat rembulan, awan berkembang mentata hujan) si pemuda baju
hitam biasanya malang melintang di gurun pasir, selamanya belum pernah
mendapat tandingan setimpal, tak nyana secara kenyataan dia menghadapi
cara pemecahan yang aneh dan menakjubkan.
Lama-kelamaan hatinya menjadi gugup dan gelisah, cambuk diputarnya
semakin kencang, maka lingkaran pun semakin banyak. Semakin banyak
lingkaran, batangan bambu yang ditimpukkan pun semakin banyak juga,
sebentar saja batangan bambu di tangan Coh Liu-hiang terang akan habis.
Sudah tentu si pemuda baju hitam diam-diam girang, batinnya: "Setelah
batangan bambumu habis kau gunakan, akan kulihat apa pula yang bisa kau
lakukan?" Tengah pikirannya bekerja, dilihatnya setelah Coh Liu-hiang menimpukkan
batangan bambu di tangan kanan, lingkaran cambuknya mematahkan
batangan bambu itu. Begitu lingkaran lenyap, daya kerja lingkaran cambuk
yang lain sudah tentu rada tertahan dan menjadi kendor. Ternyata Coh
Liu-hiang tidak menyia-nyiakan kesempatan paling baik ini, dengan gerakan
Hun-kong-cou-ing, kembali ia raup batangan bambu yang sama patah
berserakan di lantai itu, dari satu kini menjadi dua, jumlahnya semakin
banyak dan takkan putus bahkan yang diperlukan.
Gelisah dan gusar pula si pemuda baju hitam, lingkarannya tiba-tiba di kiri
lain kejap sudah di kanan, dari depan lalu berkisar ke belakang, saking
dongkolnya malah ada lingkaran cambuknya yang tidak menjirat ke arah
Coh Liu-hiang. Tapi walau lingkaran cambuk itu menjurus ke arah satu
sudut mana saja, asal tangan Coh Liu-hiang bergerak, batangan bambunya
dengan tepat pasti masuk ke tengah lingkaran cambuknya.
Dasar pembawaan watak si pemuda ini pun keras kepala dan kukuh,
semakin lihay cara pemunahan lawan, semakin dia nekad dan berjuang matimatian,
tidak mau dia gunakan permainan ilmu cambuk lainnya.
Akhirnya tak tertahan Coh Liu-hiang tertawa geli, serunya: "Apa belum
puas kau membuat lingkaran-lingkaran sebanyak ini?"
"Selamanya tidak akan percuma lingkaran yang kubuat ini!" sahut si
pemuda sambil mengertakkan gigi.
"Sampai kapan kau hendak menjerat orang dengan lingkaran cambukmu?"
"Sampai kau terjerat mampus!"
"Kalau selamanya aku tidak bisa mati?"
"Selama itu pula aku berusaha menjerat lehermu."
Coh Liu-hiang melengak, katanya kewalahan: "Watak dan kemauan tuan
ternyata tidak ubahnya seperti kerbau dungu!"
"Kalau kau tidak sabar menghadapi lingkaran cambukku, lekaslah
menggelinding pergi."
"Bagus, sungguh menyenangkan kata-katamu, sampai aku pun......."
Di tengah percakapan, lingkaran cambuk tetap bergulung-gulung tiba
hendak menjirat badannya, batangan bambu tetap ditimpukkan,
memunahkannya. Sampai pada kata-katanya terakhir, tangan Coh Liu-hiang
masih menggenggam sepuluhan batang-batang bambu, sekaligus tiba-tiba
ia timpukkan bersama, namun tiada satu batang pun meluncur ke arah
lingkaran. Pertempuran-pertempuran tokoh-tokoh silat tingkat tinggi,
mana boleh lena atau meleng" Saking kegirangan, tahu-tahu ujung cambuk
si pemuda sudah menjerat leher Coh Liu-hiang, begitu ujung cambuknya
melilit, "plok" tahu-tahu muka Coh Liu-hiang berbekas sejalur goresan
darah. Meski kena sedikitpun Coh Liu-hiang tidak menjadi gugup, bagai
seekor ular atau belut dengan licin dan gesit sekali badannya berputar
dengan mudah ia sudah membebaskan diri sekaligus ia jengkangkan
badannya ke belakang terus melesat mundur dengan badan menengadah ke
atas, tahu-tahu sudah mundur mepet tembok.
Bab 10 Keterangan: Diambil dari jilid 6 Pendekar Pengejar Nyawa
dihttp://www.langka.info atas ijin bung Bagusetia sebagai admin-nya.
Kontributor: bpranoto, sikasep, budiwibowo, mtv2006
---------------------------------------------------"Masih kau ingin lari?" jengek si pemuda baju hitam. Karena berhasil,
mana ia mau mengampuni lawannya, lingkaran cambuknya kembali
menggulung tiba. Tepat pada saat itulah, sekonyong-konyong selarik sinar pedang laksana
kilat melesat masuk dari luar jendela. Sementara cambuk panjang sudah
bergulung-gulung menjadi lingkaran, tentunya ujung cambuknya tak
kelihatan lagi, namun pedang itu justru tepat dan persis sekali menutul di
ujung cambuk, kekuatan gubatan cambuk yang melingkar seketika punah
dan menjadi lemas. Kalau cambuk panjang itu diumpamakan ular, maka
tutulan pedang itu telah sekali menusuk pada tempat kelemahan si ular,
yaitu tujuh dim di bawah lehernya.
Kaget, gusar dan heran pula si pemuda baju hitam, bentaknya: "Siapa?"
Belum lenyap suaranya, sesosok tubuh orang tahu-tahu sudah melayang
masuk lewat jendela, hinggap di hadapannya.
Orang ini juga mengenakan pakaian serba hitam, membungkus perawakan
badan yang kurus dan kencang dan kekar, seperti macan kumbang yang
baru saja menerobos keluar dari dalam hutan, seluruh badannya diliputi
kekuatan luar biasa. Tapi seraut wajahnya kelihatan abu-abu kaku seperti
mayat, tidak memperlihatkan perasaan hatinya. Terutama sepasang
matanya tajam dingin menatap orang, siapa pun dalam pandangannya
laksana seekor ikan yang sudah pasrah nasib untuk disembelih olehnya.
Walau si pemuda tidak tahu bahwa orang yang dihadapi ini adalah
pembunuh nomor wahid di Tionggoan, it-tiam-ang, namun karena pandangan
sorot matanya, terasa badan menjadi risi dan gatal, lekas dia mendengus
ke arah Coh Liu-hiang, jengeknya dingin: "Ternyata kau sudah
menyembunyikan pembantu."
Coh Liu-hiang hanya meraba-raba bekas luka di mukanya, tersenyum tanpa
bersuara. Terdengar si pemuda baju hitam mencemooh lagi: "Setelah kalah
mengundang bala bantuan, memangnya tokoh-tokoh Bulim di Tionggoan
begini tak becus dan tak tahu malu?"
It-tiam-ang mendadak menyeringai dingin, jengeknya: "Kau kira dia sudah
kalah?" Si pemuda terloroh dingin, sambil meludah ujarnya: "Kena sekali
lecutanku, memangnya aku yang malah kalah?"
It-tiam-ang mengerling kepadanya sekali lagi, sorot pandangannya seperti
menghina dan tak pandang mata. Mendadak ia melangkah maju,
menggunakan pedang di tangannya, ia menjungkit beberapa batangan
bambu yang terputus-putus.
Si pemuda baju hitam tidak tahu permainan apa yang sedang orang
lakukan, katanya dingin: "Jadi kau pun ingin menjajal seperti perbuatannya
tadi?" demikian tantangnya.
"Kau periksa dulu, baru buka mulutmu." Sekali gerak dan ayun pedangnya,
batangan bambu itu sama terbang ke depan, namun daya luncurannya tidak
cepat. Tak tahan si pemuda ulur tangan menyambut, dilihatnya batangan bambu
tetap tidak berubah bentuknya, cuma di setiap batangan bambu itu
masing-masing menancap bintik-bintik bintang yang bersinar gelap dingin.
It-tiam-ang balas mencemooh: "Lantaran bintik-bintik bintang inilah dia
terkena lecutan cambukmu, kalau tidak masakah sekarang kau masih
hidup?" "Kau.... maksudmu demi menolong jiwaku, maka dia......."
"Kalau dia tidak berusaha memukul jatuh senjata rahasia itu, seujung
bajunya pun jangan harap kau bisa menyentuhnya!"
Bergetar badan si pemuda, batangan bambu di tangannya sama
berjatuhan, rona mukanya berubah hijau, lalu merah dan akhirnya putih,
pelan-pelan sorot matanya beralih ke arah Coh Liu-hiang, katanya gemetar:
"Kau.... tadi kau... ke... kenapa tidak kau katakan?"
"Kan belum tentu senjata rahasia itu mengincar dirimu."
"Senjata rahasia ini disambitkan dari arah belakangku, sudah tentu
sasarannya adalah aku."
"Terkena sekali lecutanmu juga tidak menjadi soal, kenapa aku harus
banyak mulut sehingga kau pedih hati?"
Si pemuda berdiri mematung, sekian lama ia menjublek di tempatnya,
matanya yang bundar besar itu mulai berlinang air mata, cuma sedapat
mungkin ia menahan tetesan air matanya.
Sengaja Coh Liu-hiang tidak mengawasinya, katanya tertawa: "Ang-heng,
apakah kau melihat siapa orang yang membokong dengan senjata rahasia
itu?" Sahut It-tiam-ang dingin: "Kalau aku melihatnya, memangnya kubiarkan
dia pergi?" "Aku tahu gerak-gerik orang itu laksana setan, namun sulit memang
melihat jelas siapakah dia sebetulnya. Di dalam Bulim di Tionggoan
sebetulnya tidak banyak tokoh-tokoh lihay seperti dia itu."
"Aku tahu siapa dia," mendadak si pemuda menyeletuk bicara.
"Kau tahu?" Coh Liu-hiang tersirap. "Siapa dia?"
Si pemuda tidak bicara lagi, tangannya merogoh kantong mengeluarkan
sepucuk sampul surat, katanya: "Inilah surat yang ingin kau lihat, ambillah."
"Terima kasih, terima kasih!" betapa girangnya hati Coh Liu-hiang.
Si pemuda meletakkan sampul surat itu di atas meja, tanpa berpaling lagi
ia tinggal pergi. Waktu tiba di luar pintu, kepala tertunduk dan setetes air
mata jatuh di atas tanah.
Bebeapa malam dan beberapa hari sudah Coh Liu-hiang mengimpikan untuk
mendapatkan surat itu dengan susah payah, tak nyana surat yang diharapharapkan
itu kini berada di hadapannya, sungguh girang sekali hatinya.
Jantungnya berdebar-debar, baru saja ia ulurkan tangan hendak
menjemput surat itu, tiba-tiba sinar pedang berkelebat menyontek sampul
surat itu. Tak urung berubah air muka Coh Liu-hiang, katanya sambil tertawa getir:
"Apa Ang-heng sedang berkelakar denganku?"
It-tiam-ang meraih sampul surat itu dari ujung pedangnya, sahutnya
dingin: "Kalau kau menginginkan surat ini, kalahkan dulu pedang di tanganku
ini." "Sudah kukatakan aku tidak mau berkelahi denganmu, kenapa kau selalu
mendesakku?" "Kalau kau sudah bergebrak dengan pemuda itu, kenapa tidak sudi
berkelahi denganku?"
"Umpama ingin berkelahi, biarlah aku membaca surat itu dulu."
"Setelah bergebrak, kalau aku mati, boleh kau ambil surat ini. Kalau kau
yang mati, surat ini akan kukubur bersama jazadmu."
"Baru saja watak kerbau dungu pergi, kini aku berhadapan dengan watak
sapi," sekonyong-konyong laksana kilat cepatnya badannya melesat
terbang, tangan kiri mencolok biji mata It-tiam-ang, sementara tangan
kanan merebut sampul surat itu.
Cukup memutar setengah lingkaran badannya, pedang It-tiam-ang sudah
menusuk tiga kali pada tiga sasaran yang berlainan. Selicin belut Coh Liuhiang
membungkukkan badan, tahu-tahu badannya menerobos lewat dari
bawah sinar pedang, tangan kirinya setengah tergenggam menjojoh
lambung It-tiam-ang, tangan kanan tetap bergerak merebut sampul surat
itu. Dia bergerak cepat mendesak maju, betapa berbahaya gerakan
tubuhnya, betapa cepat dan tangkas sekali cara permainannya, sungguh
sukar dilukiskan dengan kata-kata.
Menghadapi lawan tangguh, seketika bangkit semangat It-tiam-ang,
permainan pedangnya dikembangkan semakin cepat, lebih ganas dan
berbahaya. Tampak sinar pedang berkelebat pergi datang amat cepatnya, menjadi
tabir cahaya terang, sebentar pedang berubah laksana puluhan batang
pedang, ratusan dan ribuan. Setiap batang pedang yang berkilauan itu
tidak lepas dari incaran ke tempat mematikan di tubuh Coh Liu-hiang, yang
dicecar terutama tenggorokannya.
Namun gerak-gerik Coh Liu-hiang gesit, keras dan secepat angin lesus
berpusar, tujuannya hanya ingin merebut sampul surat di tangan It-tiamang.
It-tiam-ang mengerutkan kening, ternyata ia masukkan sampul surat
itu ke dalam kantongnya. Dengan baju bagian dada sedikit tersingkap ke kanan, tangan kiri baru
saja hendak memasukkan sampul surat itu ke dalam saku bajunya sebelah
kanan, mau tidak mau gerakan pedang di tangan kanannya rada terganggu
dan pancaran sinar pedang yang rapat dan ketat itu mau tidak mau menjadi
sedikit terbuka. Tibalah saatnya sekarang bagi Coh Liu-hiang
memperlihatkan kehebatan kepandaiannya. Mendadak badannya menerjang
masuk, tangan kiri mengunci jalan permainan pedang It-tiam-ang,
sementara tangan kanan mmegang pergelangan tangan It-tiam-ang yang
memegang surat. Dalam sekejap mata, beruntun ia merubah tujuh macam
gerakan tangan. Karena tangan kanan terkunci dan tak berkutik lagi, It-tiam-ang mundur
berulang-ulang, sebaliknya Coh Liu-hiang seperti bayangan mengikuti
wujudnya, dia melibat terus sehingga orang mati kutu, tahu-tahu
pergelangan tangan terasa linu kejang, ternyata urat nadinya telah
tergencet oleh jari-jari Coh Liu-hiang.
Saking girangnya, baru saja Coh Liu-hiang hendak merebut sampul surat
itu, siapa tahu mendadak It-tiam-ang menjentikkan jarinya, seketika surat
itu melayang jauh ke depan sana. Sudah tentu perubahan yang tak terduga
ini membuat Coh Liu-hiang kaget, sebat sekali ia melejit memburu ke arah
sampul surat itu serta meraihnya, setitik sinar kemilau kembali berkelebat
membabat tiba. Betapa pun sinar pedang itu jauh lebih cepat dari gerakan
orang, tahu-tahu sampul surat itu sudah tertusuk di ujung pedang.
Baru saja ia tarik pedang dan hendak meraih sampul surat itu, sekonyongkonyong
Coh Liu-hiang melejit ke tengah udara dan mendadak pula
berjumpalitan ke belakang, tangkas sekali tiba-tiba kedua tapak tangannya
menepuk, tahu-tahu sampul surat dan ujung pedang kena tergencet di
antara kedua tapak tangannya. Perbuatan ini sudah tentu jauh lebih hebat,
lihay dan menakjubkan. Gerakan pedang It-tiam-ang beruntun berubah tujuh variaasi, namun
gerak tubuh Coh Liu-hiang pun berubah tujuh kali, seluruh badannya
seenteng daun pohon, bergelantungan di ujung pedang seperti bendera
yang melambai mengikuti gerakan pedang lawan.
Tapi dalam keadaan seperti itu, sungguh ia tidak berani menjemput sampul
surat itu, karena sedikit ia mengendorkan gencetan tapak tangannya,
pedang tajam yang bergerak melebihi kilat mungkin bakal menembus
dadanya. It-tiam-ang tidak putus asa, badannya bergerak teramat cepat dan gesit
sekali, namun bagaimana pun ia bergerak dengan berbagai variasi, jangan
harap ia bisa melempar Coh Liu-hiang dari ujung pedangnya. Malah terasa
pedangnya semakin bertambah berat, kekuatan tenaga yang dia kerahkan
pun harus berlipat ganda, tanpa terasa sekujur badan sudah mandi
keringat. Sampai akhirnya pedangnya sudah tak mampu bergerak lagi, terpaksa ia
acungkan miring ke atas udara, berat badan Coh Liu-hiang serasa ribuan
kati, menindih ke atas badannya.
Begitulah, yang satu di udara, yang lain bercokol di tanah, kedua pihak
saling bertahan. Kalau pedang itu bukan terbuat dari baja murni pilihan,
pedang sakti yang tiada bandingnya, mungkin sejak tadi sudah patah
menjadi dua. Mendadak It-tiam-ang menghardik keras, sekuat tenaga ia menggentak
naik pedangnya, mendadak badan pun melambung tinggi ke tengah udara,
dari ketinggian ia putar ujung pedangnya ke bawah, terus dihunjamkan ke
bumi. Kalau ujung pedang menukik turun dan menusuk ke bawah, sudah
tentu tidak mungkin pula mempertahankan diri di ujung pedang lawan.
Maka terdengarlah: "Pletak!", Coh Liu-hiang terbang miring dua tombak
terjatuh di atas tanah, kedua tapak tangannya masih menggencet ujung
pedang dan sampul surat itu. Tapi pedang sakti yang terbuat dari baja
murni hasil gemblengan seorang ahli pencipta pedang, biasanya dipandang
lebih berharga dari jiwa It-tiam-ang sendiri, akhirnya patah menjadi dua
potong. Pucat pasi muka It-tiam-ang, suaranya gemetar: "Bagus, memang ilmu silat
hebat, ginkang yang tinggi dan gerakan badan yang indah!"
Coh Liu-hiang tersenyum, ujarnya: "Ah, Ang-heng hanya memuji saja!"
Belum habis kata-katanya, seri tawanya mendadak menjadi kaku membeku.
"Tang!" kutungan ujung pedang di tangannya patah, sedang sampul surat
Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu pun rontok berhamburan seperti abu beterbangan, kebetulan angin
menghembus masuk dari jendela, seketika cuilan kertas surat itu
terhembus hilang terbawa angin.
Ternyata waktu kedua orang mengadu kekuatan tenaga dalam tadi,
lwekang masing-masing disalurkan bergelombang untuk saling
mempertahankan diri, jangan kata hanya kertas surat saja, seumpama
papan besi atau lembaran baja pun takkan tahan.
It-tiam-ang tertegun, serunya tergagap: "Ini.... ini......"
Coh Liu-hiang menghela napas, katanya tertawa getir: "Mungkin memang
sudah suratan takdirku, aku tidak diijinkan melihat surat ini."
It-tiam-ang melongo sesaat lagi, katanya: "Su....surat itu apa sangat
penting?" sebenarnya ia tahu pertanyaannya berkelebihan, kalau surat itu
tidak penting dan besar artinya, memangnya buat apa Coh Liu-hiang harus
berusaha merebutnya dengan mempertaruhkan jiwa, memangnya kenapa
pula sekian banyak yang mati lantaran surat itu.
Coh Liu-hiang malah bergelak tertawa, serunya: "Itu pun tak apa-apa,
sebaliknya aku membikin pedangmu kutung, seharusnya aku minta maaf
kepadamu!' Sesaat lamanya It-tiam-ang berdiam diri, katanya sambil mendongak:
"Selama hidup ini bila aku mencarimu lagi untuk berkelahi, pedang inilah
contohnya." "Trap!", kutungan pedang di tangannya tahu-tahu sudah menancap di atas
belandar. Pada saat itulah tiba-tiba terlihat sesosok bayangan orang meluncur
masuk, ternyata pemuda baju hitam tadi itulah. Setelah surat tadi hancur,
terpaksa Coh Liu-hiang harus mencarinya pula, tak nyana orang telah
kembali pula, keruan ia berteriak kegirangan: "Kebetulan kedatangan tuan,
ada urusan Cayhe hendak mohon petunjukmu."
Siapa tahu si pemuda baju hitam seakan-akan tidak mendengar seruannya,
selebar mukanya menunjukkan rasa gugup dan kuatir. Sambil celingukan
kian ke mari, tiba-tiba ia lari ke sana dan menyelinap masuk ke belakang
kerai jendela. Kwi-gi-tong ini dipajang serba mewah dan istimewa, di depan setiap
jendela dipasang gantungan kerai warna abu-abu yang tebal, mungkin
lantaran perjudian di sini diadakan setiap malam hari, supaya sinar lampu
tidak menyorot keluar. Waktu itu hari masih pagi, maka kerai jendela belum ditarik, jadi masih
tergulung di samping. Pemuda baju hitam bertubuh kurus tinggi. Kalau dia
sembunyi di sana, tentu jejaknya takkan ditemukan lagi.
Sekilas Coh Liu-hiang dan It-tiam-ang saling pandang, hati masing-masing
merasa heran dan tak habis mengerti. Kenapa setelah pergi, si pemuda
putar balik" Kenapa pula sedemikian gugup" Wataknya keras berhati tinggi
dan angkuh lagi, memangnya siapa orangnya yang dapat menakuti dirinya
sehingga perlu menyembunyikan diri"
Tak lama kemudian, dari kejauhan beruntun terdengar suitan bambu,
suaranya melengking tinggi dan pendek, sahut-menyahut, dalam sekejap
saja tahu-tahu sudah berada di sekeliling rumah judi itu. Disusul bau amis
yang terbawa angin merangsang hidung. Dari luar pintu melata masuk dua
puluhan ular beraneka warna, berukuran besar kecil tak merata.
Coh Liu-hiang mengerutkan kening, sekali lompat ia naik ke atas meja judi
dan duduk bersimpuh. It-tiam-ang mengerutkan alis, dia malah melambung tinggi duduk di atas
belandar, kutungan pedangnya ia cabut terus dilemparkan ke bawah,
seekor ular yang paling besar kontak terpantek di atas lantai.
Ternyata kekuatan ular itu amat besar, mungkin karena kesakitan,
lidahnya menjulur keluar masuk, badannya menggelepar-gelepar amat
kerasnya, berdentam di atas lantai, sampai ubin batu yang keras itu pecah
dan retak. Tapi tenaga lemparan It-tiam-ang amat keras dan besar,
kutungan pedangnya itu ternyata amblas sampai gagangnya. Meski ular
beracun itu meronta dan menggelepar sekuat tenaganya, betapa pun ia
tidak kuasa membebaskan diri. Sementara ular-ular beracun yang lain
terus main terjang, ada yang menggigit ekornya, ada yang menggigit
badannya, sekejap saja seluruh kulit dagingnya sudah terisap habis sama
sekali. Rasanya mual dan heran pula It-tiam-ang yang duduk di atas belandar,
katanya: "Ular-ular ini rada ganjil, dari manakah datangnya?"
Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya: "Mungkin Ang-heng sudah mencari
kesulitan sendiri." Belum habis kata-katanya, dari luar pintu sudah
beranjak masuk tiga orang.
Laki-laki yang di tengah bertubuh tegap, pakaian yang dipakainya penuh
tambalan, sudah tambalan ditambal lagi entah berapa kali tambalan
sehingga kelihatannya tebal namun dicucinya dengan bersih. Walau pakaian
yang dipakainya pakaian pengemis, namun sorot matanya bercahaya,
memancarkan kilat hijau bengis, sikapnya amat garang dan pongah, seolaholah
tidak pandang sebelah mata kepada siapa pun jua.
Dua orang lain di belakangnya juga berpakaian serba tambalan, raut
mukanya buas dan di atas punggung masing-masing menggemblok tujuhdelapan
karung goni, terang mereka adalah murid-murid Kaypang yang
berkedudukan paling tinggi.
Tata-tertib Kaypang biasanya amat keras dan ketat dalam mengawasi
setiap tindak-tanduk murid-muridnya, tingkatan satu sama lain dipandang
dan dipatuhi dengan hormat. Pengemis tinggi besar ini tanpa memikul satu
karung goni pun, paling hanyalah murid kecil yang belum masuk jadi anggota
Kaypang. Tapi dari sorot mata dan sikap kedua murid Kaypang berkarung
tujuh-delapan itu, kelihatannya malah takut dan segan serta menghormat
kepada laki-laki ini. Bagi pandangan seorang yang kenyang pengalaman
kangouw, sekali pandang saja sudah terasa keadaan aneh dan ganjil ini.
Lebih aneh lagi pengemis ini bermuka buas, bengis dan sadis, malah sudah
sudah tergembleng dalam kehidupan melarat dan rudin, sering luntanglantung
dalam Bulim, entah dari sudut atau posisi mana kita menilainya,
seharusnya kulit dagingnya hitam dan kasar. Tapi sekujur badannya justru
berkulit putih halus laksana batu jade yang paling sempurna, seperti kulit
perawan pingitan yang tidak pernah keluar rumah dan merawat badannya
dengan baik sampai mengkilap.
Coh Liu-hiang menghela napas pula, gumamnya: "Kesulitan memang sudah
tiba!" Pengemis tinggi kekar itu menjelajahkan pandangan matanya yang
berkilauan bengis berbentuk segitiga, akhirnya dengan mendelik ia tatap
Coh Liu-hiang, katanya gusar: "Keparat, berani kau membunuh ular sakti
dari Pun-pang, memangnya sudah bosan hidup?"
Baru saja It-tiam-ang hendak menjawab, Coh Liu-hiang sudah keburu
berkata: "Pun-pang" Pun-pang yang tuan maksudkan, entah Pang yang
mana?" Pengemis besar jahat itu menyeringai sadis, bentaknya: "Keparat,
memangnya kau picak" Masakah murid-murid Kaypang tidak kau lihat
tegas?" "Murid Kaypang sudah tentu dapat kubedakan, cuma puluhan tahun yang
lalu tuan sudah diusir dari Kaypang, kenapa hari ini masih berani kau
mengagulkan diri sebagai murid Kaypang?"
Berubah air muka pengemis bertubuh besar itu, mulutnya terpentang
lebar terloroh-loroh sambil menengadah, serunya: "Tak nyana kau bocah
pupuk bawang ini pun tahu akan asal-usul tuan besarmu."
"Kalau aku tidak tahu, memangnya siapa yang akan tahu asal-usulmu"
Semula kau she Pek, karena perbuatan jahatmu kelewat batas, kulit
badanmu kau rawat sedemikian bersihnya, maka kawan-kawan di Kangouw
sama memanggilmu sebagai Pek-giok-mo-kay, kau masih merasa bangga dan
mengagulkan diri Huruf terakhir dari predikatmu semula lalu kau buang,
mengubah nama sendiri menjadi Pek-giok-mo saja." Sehafal mengisahkan
asal-usul keluarga sendiri, Coh Liu-hiang membeberkan asal-usul si
pengemis bengis ini. Bentak Pek-giok-mo dengan beringas: "Bagus sekali, masih ada apa pula?"
"Sepuluhan tahun yang lalu, watak kebinatanganmu mendadak kumat,
sekaligus kau perkosa dan bunuh tujuh belas perawan tingting di Hou-khu,
Sohciu. Saking marahnya, Jin-lopangcu berkeputusan menghukum mati
dirimu sesuai dengan dosa-dosamu, ternyata kau cukup pintar dan tahu
diri, siang-siang kau sudah lari dan sembunyi, karena tidak berhasil
membekukmu, terpaksa dia mengumumkan pengusiranmu dari anggota
Kaypang." "Benar, benar sekali," Pek-giok-mo menyeringai sadis. "Cuma sekarang Jinlothau
sudah mampus, Pangcu baru tidak sekolot dan sepicik dia. Dia tahu
kalau kita hendak angkat diri dan mengembang-luaskan kekuasaan, dia
perlu bantuan sepasang tanganku ini. Meski Locu tidak sudi menelan
pengalaman pahit yang lalu, namun melihat maksud baiknya, terpaksa aku
turuti saja kemauannya."
Perbuatan kotor dan hina di masa lalu yang dia lakukan dikorek dan
dibeberkan di hadapan umum, bukan saja dia tidak merasa sedih dan
marah, malah bersikap senang dan bangga. Jikalau manusia ini bukannya
sudah terlalu bejat, masakah dia bertebal muka dan tidak tahu malu"
Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya: "Biasanya Lamkiong Ling
mengutamakan welas-asih dan bajik serta bijaksana, namun apa yang dia
lakukan untuk hal ini kukira kurang bijaksana dan kurang cermat."
Belum lagi Pek-giok-mo buka suara, murid-murid Kaypang tujuh kantong
itu sudah sama-sama membentak dengan bengis: "Putusan dan anugerah
Pangcu kita, siapa yang berani sembarangan mengkritiknya di dunia ini?"
"Orang lain tidak berani, mungkin hanya aku yang berani."
"Kau terhitung barang apa?" damprat murid Kaypang yang lain.
"Di mana-mana kenapa ada orang bertanya aku ini barang apa" Jelas aku
bukan barang, aku ini manusia, malah kalau dipandang mata mungkin rada
tampan dan gagah, masakah hanya sedikit perbedaan ini kalian tidak tahu?"
Pek-giok-mo menyeringai dingin, jengeknya: "Kalau begitu aku ingin tahu
siapakah orang ini, berani bicara begini congkak di hadapanku, memangnya
sudah bosan hidup?" Coh Liu-hiang bersikap kalem, ia anggap kata-kata orang sebagai kentut
belaka, ujarnya tersenyum: "Siapa bilang aku bosan hidup" Justru aku
sedang hidup senang dan bergairah, arak baik di dunia ini cukup kuminum
seumur hidup, apalagi ada seorang teman seperti Lamkiong Ling yang
sering mengundang makan-minum."
Berubah muka murid-murid Kaypang kantong tujuh, tanyanya: "Kau kenal
dengan Lamkiong Pangcu kita?"
"Walau aku ingin berkata tidak kenal, apa boleh buat, selama hidup ini aku
paling pantang membual."
Mata sipit segitiga Pek-giok-mo kembali mengamat-amatinya dari atas ke
bawah, seakan-akan dia ingin tahu apakah orang sedang mengagulkan diri
belaka, sebaliknya seorang murid kantong tujuh menyeletuk dingin: "Bukan
mustahil dia sedang mengulur waktu menunggu bantuan sehingga bocah
keparat itu berkesempatan lari."
"Mampukah bocah keparat itu lolos, sebelumnya aku sudah pendam
seorang pembunuh yang akan menggorok lehernya, jangan harap seorang
pun di ruangan ini bisa hidup!" demikian Pek-giok-mo menyeringai seram.
Coh Liu-hiang tersenyum, ujarnya: "Kalau Lamkiong Ling melihat sikap
bicaramu sekasar ini terhadapku, mungkin dia bisa marah-marah."
Pek-giok-mo terloroh-loroh, "Kalau demikian, biarlah aku membuatnya
marah sekalian." Kembali mulutnya mengeluarkan suitan bambu, dua puluh
ekor ular itu kembali angkat kepala pentang mulut dan menjulurkan
lidahnya, serempak mereka menerjang ke arah Coh Liu-hiang.
Coh Liu-hiang tertawa besar, serunya: "Walau biasanya aku tidak suka
membunuh orang, tapi membunuh ular-ular jahat seperti ini selamanya aku
tidak pakai pantangan." Di tengah gelak tawanya, ular-ular itu sudah
melesat terbang menerjang ke arah dirinya. It-tiam-ang yang berada di
atas belandar memang ingin menonton permainannya, namun melihat
kehebatan ular-ular itu, mau tidak mau ia merasa kuatir juga.
Baru sekarang Coh Liu-hiang turun tangan, cepat sekali kedua tangannya
bekerja, sekali raih ia pencet tujuh dim di bawah kepala ular terus
dibanting ke lantai, ular itu tak bisa bergerak lagi. Begitulah, seperti orang
sedang bermain sulap saja, kalau tangan kiri memencet tangan kanan
melempar. Begitulah, kanan kiri ganti-berganti memencet dan melempar,
setiap pencet tujuh dim di bawah leher, dan begitu dilempar melayanglah
si ular itu. Dalam sekejap saja dua puluhan ekor ular besar kecil yang
galak-galak itu sudah dia lempar semua, tiada satu pun yang ketinggalan
hidup. Betapa telak cengkeraman dan persis tenaga pencetannya, serta
kecekatan gerak tangannya sungguh amat menakjubkan. Sampai pun Ittiamang yang biasanya mengagulkan kecepatan gerak pedangnya mau tidak
mau merasa takjub dan melongo.
Mengawasi bangkai-bangkai ular itu, Coh Liu-hiang malah menghela napas,
gumamnya: "Musim semi sudah dekat, saat paling tepat untuk menikmati
sop ular. Sayang Song Thiam-ji tak berada di sini, kalau tidak dia bisa
memasakkan hidangan lezat bagiku."
Otot di atas kepala Pek-giok-mo merongkol keluar, sorot matanya hampir
menyemburkan bara api. Maklumlah, kawanan ular itu merupakan
piaraannya selama puluhan tahun yang sudah menghabiskan jerih-payahnya
untuk mencari di lembah pegunungan dan di rawa-rawa, lalu diberi makan
berbagai macam obat-obatan serta dilatihnya pula dengan susah-payah.
Setelah berhasil, ia pikir hendak malang-melintang di kalangan Kangouw
mengandalkan binatang berbisa ini, siapa tahu orang cukup menggerakkan
tangan pergi-datang, ular-ular piaraannya kena dibunuh semuanya, malah
hendak dibuat sop ular segala. Saking murka, sesaat Pek-giok-mo
menjublek di tempatnya, seluruh tulang-tulang di badannya mendadak
berbunyi gemeretak, dengan gigi berkeriut ia tatap Coh Liu-hiang, setapak
demi setapak ia mendesak maju.
"Eh, eh, aneh, kenapa dalam perutmu seperti ada orang mengocok dadu"
Tapi kulihat tampangmu yang buas menyebalkan ini, dadu yang kau lempar
tentulah berjumlah satu dua tiga." Mulut Coh Liu-hiang mengejek tawa
namun ia pun tahu kepandaian Pek-giok-mo tidak boleh dipandang ringan,
apalagi sekarang orangnya sudah menghimpun seluruh kekuatannya, sekali
turun tangan tentu bukan kepalang dahsyatnya.
Dengan waspada matanya mengawasi tangan Pek-giok-mo, tampak tapak
tangan Pek-giok-mo yang putih halus itu kini samar-samar seperti
mengepulkan hawa hijau. Tiba-tiba It-tiam-ang berseru memperingatkan: "Tapak tangannya
beracun, hati-hatilah kau!"
"Jangan kau kuatir," sahut Coh Liu-hiang. "Rasanya takkan bisa
membinasakan aku." Pek-giok-mo menyeringai, desisnya: "Siapa bilang tak bisa
membinasakanmu?" Di saat perang tanding bakal berlangsung itulah, sekonyong-konyong
seorang berseru mencegah: "Tahan!"
Di tengah bergeraknya bayangan orang, di tengah sinar redup, satu orang
melangkah cepat ke dalam ruangan, tampak orang itu beralis lancip tegak,
berbadan kekar tegap dengan dada lapang, pakaiannya seperangkat jubah
hijau, namun terdapat dua-tiga tambalan juga.
Walau raut mukanya tampan dan mengulum senyum, tapi tanpa marah
sudah menunjukkan wibawanya. Di tengah alisnya lapat-lapat menunjukkan
perbawa yang menciutkan nyali orang yang dihadapinya, sikapnya tenang
dan mantap, tidak patut dimiliki orang yang baru berusia seperti dirinya
ini. Melihat kedatangan orang ini, murid-murid Kaypang itu segera
menyurut mundur dan berdiri tegak menundukkan kepala, tanpa berani
bersuara pula, sampai Pek-giok-mo pun mundur ke samping, kedua
tangannya diluruskan turun.
Belum pernah It-tiam-ang melihat orang ini, namun ia bisa meraba pasti
dia adalah Liong-thau Pangcu Lamkiong Ling, pejabat Pangcu Kaypang yang
baru. Coh Liu-hiang tertawa lebar, serunya: "Kebetulan kau datang, Lamkiongheng.
Kalau barusan aku keburu menjadi santapan ular-ular jahat itu, kelak
tentu kau kehilangan teman untuk minum arak."
Lamkiong Ling merangkap tangan menjura, katanya: "Untung Siaute masih
keburu datang, kalau tidak ketiga muridku yang buta melek ini mungkin
sudah menjadi sop manusia bikinan Coh-heng sendiri."
"Kau sudah menjadi Pangcu, kenapa omongan menjadi tidak genah itu?"
"Bicara dengan orang seperti kau, Coh-heng, kalau pakai urusan sopansantun
Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
segala, memangnya kelak Coh-heng sudi menjadi teman minum
arakku" Tapi bagaimana pun perbuatan kasar murid-murid Pang kita,
sukalah kalian memaafkan." Mendadak ia menarik muka keren lalu berputar
menghadapi ketiga murid Kaypang berkantung tujuh itu, dampratnya
bengis: "Usia kalian tidak kecil lagi, kenapa bekerja begini ceroboh, tidak
tanya dulu siapa yang kau hadapi, lantas berani turun tangan, memangnya
kalian sudah lupa tata-tertib Pang kita?"
Lagaknya kata-kata ini tidak ditujukan kepada Pek-giok-mo, namun jelas
dampratan ini menyangkut diri Pek-giok-mo pula. Pek-giok-mo tertawatawa,
ujarnya: "Pangcu tak usah menuding Hwesio memakinya kepala
gundul, mereka sih belum turun tangan, akulah yang sudah bertindak."
Lamkiong Ling membalik menghadapinya, katanya dengan nada berat:
"Kalau begitu ingin Puncoh bertanya kepada Pek-susiok, kenapa tidak tanya
lebih dulu lantas sembarangan turun tangan, memangnya Pek-susiok ingin
keluar lagi dari Pang kita?"
Meski ia hargai Pek-giok-mo sebagai 'Susiok', tapi pengemis galak dari
Sohciu ini seketika mengkeret dan tertunduk karena ditatap begitu rupa,
senyum tawanya sirna, katanya meringis: "Kita sedang mengejar bocah
keparat itu, melihat...... mereka berada di sini, tentulah kami sangka
merekalah yang menyembunyikan bocah keparat itu!"
"Sudahkah tanya kepada mereka berdua?" desak Lamkiong Ling.
"Tidak..... belum!"
Lamkiong Ling gusar, dampratnya: "Kalau belum kau tanya, dari mana kau
tahu kalau mereka yang menyembunyikan orang" Orang itu jahat dan amat
berbahaya, siapa pun takkan memberi ampun kepadanya, memangnya kedua
orang ini sudi melindunginya?"
Tertunduk dalam kepala Pek-giok-mo, tak berani bercuit lagi.
Lamkiong Ling tertawa dingin, katanya lebih lanjut: "Apalagi Tionggoan Ittiamang dan Maling Romantis Coh Liu-hiang berada di sini, siapakah
manusia di kolong langit ini yang ke mari, pastilah harus sopan-santun dan
kenal adat, mengandal apa pula kalian berani bertingkah dan begitu pongah
di sini?" Memang tidak malu Lamkiong Ling seusia itu sudah menjabat Pangcu dari
suatu perserikatan pengemis terbesar di seluruh kolong langit, beberapa
patah kata-katanya yang sederhana bukan saja memaki dan menyalahkan
terhadap murid-murid Kaypang sendiri, sekaligus ia memperkenalkan asalusul
Coh Liu-hiang dan It-tiam-ang. Walau dia mendamprat anak-buahnya
sendiri, namun sedikit pun tidak menurunkan derajat dan pamor pihak
Kaypang mereka. Lebih penting lagi dengan mulutnya ia menggambarkan pemuda baju hitam
itu sebagai durjana jahat yang berdosa besar, maksudnya supaya Coh Liuhiang
dan It-tiam-ang tidak melindunginya lagi.
Sebaliknya Coh Liu-hiang diam-diam sedang heran, "Pemuda itu dari gurun
pasir nan jauh, mana mungkin baru saja memasuki Tionggoan lantas
melakukan sesuatu terhadap murid-murid Kaypang, malah naga-naganya
perbuatan itu tidak kepalang tanggung."
Setelah tahu orang yang mereka hadapi adalah Maling Romantis Coh Liuhiang
yang terkenal di seluruh jagad ini, seketika murid-murid Kaypang itu
melongo terkesima. Pek-giok-mo tertawa lebar menengadah: "Kiranya tuan ini adalah Coh Liuhiang.
Aku Pek-giok-mo hari ini kecundang di tangan Maling Romantis,
tidak perlu dibuat malu. Kini Pangcu sudah berada di sini, tidak perlu aku
banyak ribut lagi...... selamat bertemu di lain kesempatan!" dengan penuh
kebencian ia pelototi Coh Liu-hiang, lalu tinggal pergi tanpa menoleh lagi.
Pelan-pelan Lamkiong Ling menghela napas, ujarnya: "Walau belakangan ini
sepak-terjang orang ini sudah berubah, namun jiwa dan wataknya masih
sempit dan kasar, tindak-tanduknya masih berangasan, maka harap Cohheng
tidak berkecil hati."
"Kalau orang lain tidak menyalahkan aku saja sudah puas hatiku, masakah
aku harus salahkan orang lain?"
"Tak nyana Coh-heng dan Ang-heng berdua bisa berada di sini, biasanya
memang Siaute tak pernah menetap lama di kota ini, namun sering datang
ke mari, bolehlah terhitung sebagai tuan rumah juga, sebentar kuharap
kalian suka iringi aku minum sepuasnya."
Selanjutnya ia tidak singgung pula soal si pemuda baju hitam tadi.
Sudah tentu Coh Liu-hiang pun kebenaran malah, katanya tertawa besar:
"Setahun penuh kalian selalu minta sedekah sesuap nasi, apakah juga minta
arak kepada orang" Baik, peduli dari mana arak kalian dapatkan, ada orang
traktir aku makan-minum, selamanya aku tidak buang kesempatan baik ini.
Ang-heng, jangan kau buang kesempatan baik ini, maklumlah arak yang tak
usah keluar duit, rasanya memang jauh berlainan sekali."
It-tiam-ang tetap bercokol di atas belandar tidak mau turun, sahutnya
dingin: "Selamanya aku tidak pernah minum arak."
"Wah, hidangan lezat yang menimbulkan selera, masakah disia-siakan"
Memangnya kau tidak merasa lapar?"
"Arak bikin tangan gemetar, hati lemah, untuk membunuh orang jadi
kurang cepat." Coh Liu-hiang menghela napas, "Kalau lantaran untuk membunuh orang
lantas pantang minum arak, boleh dikata seperti kuatir mencret-mencret
lantas tak mau makan nasi, bukan saja pikiran brutal malah boleh dikata
tidak kenal kasihan terhadap mulut dan perut sendiri. Ang-heng, kau......"
Mendadak dilihatnya dua murid Kaypang muncul dari pintu belakang, terus
menjura kepada Lamkiong Ling, kata orang yang di sebelah kiri: "Rumah
belakang sudah kami periksa dengan para Tianglo, namun tak terlihat jejak
orang jahat itu." Berputar biji mata Lamkiong Ling, katanya sambil soja kepada Coh Liuhiang:
"Kalau demikian, harap Coh-heng suka menyerahkan orang itu
kepada kami." Coh Liu-hiang berkedip-kedip, tanyanya: "Siapakah orang yang kau
katakan?" "Terus terang Siaute sendiri belum jelas asal-usulnya, cuma gerakgeriknya
enteng dan gesit, ilmu silatnya tinggi. Dua hari yang lalu di Tiokoantin pernah melukai puluhan murid-murid Pang kami, mencuri beberapa
benda penting kami pula, tadi melukai Song-huhoat lagi, maka Pang kami
sekali-kali tidak akan melepaskannya demikian saja."
"O..... ada orang demikian" Kejadian begitu?"
"Apa benar Coh-heng tidak tahu akan orang ini?" tanya Lamkiong Ling
kereng. "Seumpama aku mengincar sesuatu milik orang lain, takkan bekerja di atas
kepala orang-orang Kaypang kalian."
"Begitu lebih baik ........." ujar Lamkiong Ling tersenyum. Membarengi katakatanya,
sekonyong-konyong dari lengan bajunya melesat terbang dua
batang pedang pendek. Kedua batang pedang pendek Lamkiong Ling ini
sekaligus bisa digunakan sebagai penotok jalan darah seperti Boan-koanpit
atau Hun-cui-coh dan delapan macam senjata tajam lainnya. "Jit-gipatbak, ki-liong-cap-sha-cek" memang boleh dibilang sebagai kepandaian
tunggal yang tiada bandingannya di dalam bulim, sampai pun kepandaian
silat Jin-lopangcu, eks Pangcu terdahulu yang sudah ajal pun, agaknya
masih setingkat lebih rendah.
Dua batang pedang pendeknya melesat seperti kilat menyambar, langsung
menerjang kerai jendela dari kain beludru sebelah bawahnya. It-tiam-ang
duduk di atas memandang ke bawah, jelas sekali pandangannya, dilihatnya
di bawah kain kerai yang menjuntai turun itu terdapat ujung sepatu kulit
hitam yang menonjol keluar.
"Blus! Crap!" kedua batang pedang pendek itu tembus masuk ke dalam
sepatu panjang berat itu, seolah-olah memantek kedua sepatu itu di atas
lantai. Senyuman lebar Lamkiong Ling masih terkulum pada ujung mulutnya,
katanya pelan-pelan: "Sampai pada detik ini, tuan masih tidak mau keluar?"
Kain gordin itu tetap tak bergerak dan tak terdengar reaksi apa-apa.
Sekaligus Lamkiong Ling melirik kepada Coh Liu-hiang, dilihatnya sikap Coh
Liu-hiang tenang-tenang saja seperti apa pun tak diketahui olehnya,
akhirnya Lamkiong Ling menjengek tawa dingin: "Baiklah!"
Sedikit ia ulapkan tangan, kedua murid Kaypang yang barusan masuk
segera meloloskan golok di pinggang, menerjang ke depan dengan langkah
lebar, golok terayun membacok bersama ke arah kerai jendela.
Walau sifat It-tiam-ang kaku dingin dan tak berperasaan, tak urung
berdetak juga jantungnya. Seumpama pemuda baju hitam itu ayal, paling
tidak kedua kakinya pasti cacat atau terkutung.
Di mana golok-golok itu menyambar, kerai jendela pun melayang
berjatuhan, namun tak terlihat darah muncrat. Jendelanya terbuka, angin
menghembus masuk, sehingga kerai bagian atas yang masih tergantung
terhembus bergoyang-goyang, namun tak terlihat bayangan manusia,
ternyata kedua sepatu hitam panjang di belakang kerai itu kosong
melompong tanpa diketahui ke mana si pemakainya.
Coh Liu-hiang tertawa besar, katanya: "Kerai sebagus itu dibacok kutung
menjadi dua, sepasang sepatu kulit kerbau semahal ini dilubangi dua
tusukan pedang, Lamkiong-heng tidak merasa sayang?"
Sedikit berubah air muka Lamkiong Ling, katanya dingin: "Kerai putus bisa
dijahit kembali, sepatu bolong bisa ditambal. Kalau orangnya merat, muridmurid
Kaypang kami pun bisa mengejarnya."
Murid berkantung delapan itu berubah mukanya, selanya: "Memangnya
bangsat itu lari dengan berkaki telanjang?"
"Siapa yang tugas jaga di luar jendela?" tanya Lamkiong Ling dengan
kereng. "Para saudara dari Thiam-koh-bio di Kilan," sahut murid kantong delapan
itu. "Bawa mereka dan serahkan kepada Kongsun-huhoat," bentak Lamkiong
Ling. "Jatuhi hukuman sesuai peraturan rumah tangga."
"Baik!" sahut murid kantong delapan sambil menjura. Sebat sekali
badannya menerobos keluar melalui jendela, lalu terdengar suara hardikan
di luar jendela. Lamkiong Ling putar badan sambil unjuk tawa dipaksa kepada Coh Liuhiang,
katanya bersoja: "Siaute masih ada urusan, hari ini biarlah kita
berpisah dulu." "Baru saja kau membangkitkan selera minumku, memangnya kenapa
tergesa-gesa mau pergi?" Coh Liu-hiang coba menahannya.
"Ketagihan arak Coh Liu-hiang, di kolong langit ini siapa yang bisa selalu
melunasinya" Dalam dua hari mendatang Siaute pasti mengundangmu.
Harap Ang-heng ini pun jangan menolak undanganku."
Di mana tangannya terangkat dan sedikit sentak, kedua pedang pendek itu
mencelat naik terus terbang kembali ke tangannya. Ternyata pada gagang
kedua pedang terikat seutas rantai lembut yang terbuat dari platina.
Dengan terburu-buru Lamkiong Ling mengundurkan diri, maka terdengar
pula suara ribut-ribut di luar jendela, suara suitan saling bersahut-sahutan
pula, semakin lama makin menjauh dan akhirnya tak terdengar pula.
Berkata Coh Liu-hiang dengan prihatin: "Lamkiong Ling memang seorang
berbakat dan seorang pemimpin yang lihay, di bawah kekuasaannya
Kaypang ternyata sehari demi sehari semakin kuat dan kokoh..... mungkin
memang rada terlalu kuat."
Baru sekarang It-tiam-ang melompat turun, biji matanya jelalatan,
katanya: "Menurutmu, apakah pemuda tadi benar sudah pergi?"
Coh Liu-hiang tertawa: "Memangnya jendela di sini hanya satu?"
Terdengar seseorang berkata dengan dingin: "Cuma sayang Lamkiong Ling
itu tidak berpandangan setajam Coh Liu-hiang." Sembari bicara, tahu-tahu
pemuda baju hitam tadi sudah nongol keluar dari daun jendela yang lain,
kaus kakinya yang putih bersih kelihatan berlepotan debu.
Baru sekarang It-tiam-ang sadar bahwa sepatu kulitnya memang sengaja
ditonjolkan keluar sedikit, orang membuka sepatu dan lolos keluar jendela,
lalu dari bawah emperan merayap ke jendela yang lain serta
menyembunyikan diri di belakang kain gordin jendela yang lain. Semuda ini
usia pemuda itu, namun kecerdikannya luar biasa, dapat dia gunakan titik
lemah dari watak manusia untuk mengambil keuntungan. Tepat sekali
perhitungannya bahwa Lamkiong Ling pasti menyangka dirinya sudah
melarikan diri, maka dia segan memeriksa tempat yang lain.
Tampak si pemuda baju hitam menghampiri ke depan Coh Liu-hiang.
Sesaat lamanya ia melotot kepadanya, lalu mendadak berkata dengan
keras, "Lamkiong Ling itu adalah teman baikmu, aku sebaliknya belum
pernah kenal atau bertemu denganmu, kau tidak bantu dia malah
membantu aku, sebenarnya apa maksudmu?"
Rasa curiga si pemuda ternyata sedemikian tebal. Orang lain
membantunya, bukan saja tidak terunjuk rasa terima kasihnya, malah dia
curiga orang ada gejala-gejala yang tidak menguntungkan dirinya.
"Aku bantu kau dan tidak bantu dia karena dia seorang pengemis yang
rudin sekali, sebaliknya kau ini punya uang, maka perlu aku menjilat
pantatmu." Sesaat lamanya si pemuda masih melotot kepada Coh Liu-hiang, akhirnya
ujung mulutnya mengulum senyum, namun ia tahan sehingga dirinya tidak
tertawa, katanya tetap dingin: "Meski kau sudah bantu aku, sekali-kali aku
tak sudi menerima budi kebaikanmu ini."
Coh Liu-hiang juga menahan tawa, ujarnya: "Siapa yang bantu kau" Apa
perlu orang lain membantumu" Apalagi orang-orang seperti murid-murid
Kaypang itu masalah terpandang dalam matamu?"
"Kau kira aku takut kepada mereka?" damprat si pemuda gusar.
"Sudah tentu kau tidak takut. Kalau kau sembunyi di belakang jendela, tak
lebih hanya ingin mempermainkan mereka saja."
Saking marahnya, merah padam muka si pemuda, kakinya melangkah
mendekat seraya membentak bengis: "Jangan kau kira lantaran sudah
membantuku, lantas boleh sembarangan mengejek dan mempermainkan
aku, aku......" belum habis kata-katanya, tiba-tiba ia mencelat setinggitingginya.
Kiranya tanpa ia sadari kakinya yang telanjang itu menginjak
bangkai ular, saking kaget dan jijiknya ia mencelat naik ke atas meja,
hampir saja ia menubruk ke dalam pelukan Coh Liu-hiang.
Coh Liu-hiang tertawa besar, katanya: "Kau ini orang gagah yang tidak
takut langit dan bumi, kiranya hanya takut kepada ular." Baru sekarang
pula ia sadari sikap gugup dan ketakutan si p emuda yang berlari kembali
tadi lantaran takut dikejar ular, jadi bukan karena takut menghadapi
kepandaian murid-murid Kaypang. Pemuda kaku dingin ini takut ular,
sungguh membuat orang sukar percaya.
Merah muka si pemuda, katanya dengan napas memburu: "Bukan aku takut,
aku hanya jijik... sesuatu yang lunak dan licin berbau lagi, aku amat
membencinya, memangnya kau kira hal itu menggelikan?"
"Tidak, tidak menggelikan!" ujar Coh Liu-hiang mengeraskan muka. "Kalau
setiap perempuan takut ular, kenapa laki-laki tidak boleh takut" Kenapa
laki-laki harus sedikit rada takut terhadap barang-barang seperti ini?"
Mendengar kata-katanya ini, sorot mata It-tiam-ang yang dingin kaku itu
mengunjuk rasa geli yang tertahan, sebaliknya selebar muka si pemuda
merah jengah. Pada saat itulah, terdengar seseorang menjengek dingin: "Maling romantis
yang terkenal di seluruh dunia ternyata bukan saja pandai berkelakar, dia
pun pintar membual."
Entah kapan seseorang berdiri menggelendot di depan pintu, dia bukan
lain Pek-giok-mo adanya, tangannya menjinjing kantong kain abu-abu, entah
apa isinya" Keruan berubah air muka si pemuda baju hitam, lahirnya Coh
Liu-hiang bersikap tenang namun jantungnya berdebar keras, katanya
tawar: "Bukankah tadi dia tak berada di sini?"
"Pangcu kami sudah memperhitungkan pasti dia masih berada di sini," Pekgiokmo menyeringai dingin. "Cuma memberi muka kepada kau si Maling
Romantis ini, maka sementara dia menyingkir pergi. Kini setelah dia
undurkan diri, kau...."
Pemuda baju hitam tiba-tiba berkata lantang: "Tidak usah kalian pandang
mukanya, aku tiada sangkut-pautnya dengan dia."
"Kalau demikian, kau mau keluar sendiri, atau tunggu kami yang meluruk
masuk?" Tanpa menunggu orang habis bicara, pemuda baju hitam itu sudah
melompat terbang keluar jendela, disusul terdengar suara bentakan dan
keluhan, lalu terdengar pula derap langkah ramai saling kejar dan tak lama
kemudian menghilang. "Kalian punya pangcu seperti Lamkiong Ling, benar-benar mendapat rejeki
setinggi gunung. Pemuda itu berbuat salah terhadap Lamkiong Ling,
memang sebal dan setimpal memperoleh ganjarannya!"
Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yang berbuat salah terhadap aku, Pek-giok-mo, belum tentu dia bernasib
baik." Mendadak Pek-giok-mo mengeluarkan senjata warna hitam legam
dengan bentuk yang aneh dari dalam kantongnya, bentaknya: "Jembatan
jangan disamakan dengan jalan, meski kau kenal baik dengan Lamkiong Ling,
Pek-giok-mo sebaliknya tidak kenal siapa kau, kau berbuat salah
terhadapku terhitung hari kematianmu sudah tiba hari ini."
"Kenapa banyak orang yang ingin aku mati, kalau aku mati apa sih
manfaatnya bagi kalian?" kata Coh Liu-hiang angkat pundak.
"Banyak sekali manfaatnya!" Pek-giok-mo menyeringai sadis. Tiba-tiba
gaman aneh di tangannya teracung ke depan. It-tiam-ang mandah berpeluk
tangan menonton saja, dilihatnya senjata itu mirip ganco atau gantolan,
seperti cakar, bagian gagangnya diberi gelangan untuk melindungi jari-jari
tangan sendiri dengan batangan berwarna hitam seperti Long-gee-pang,
penuh ditumbuhi duri-duri bengkok ke belakang, sementara ujung paling
depan adalah cakar-cakar setan yang dapat dikembang dan ditarik
mingkup, jari-jari cakarnya hitam mengkilap, terang sudah dilumuri racun
jahat. Selama It-tiam-ang malang-melintang di Kang-ouw, sudah ratusan kali
gebrak dengan berbagai musuh, namun belum pernah dilihatnya senjata
seaneh ini, dia pun tak mengerti manfaat atau kegunaan daripada senjata
aneh macam ini. Bagi setiap tokoh silat adalah jamak setiap melihat semacam senjata aneh
yang baru seperti pula anak kecil yang melihat barang mainan baru,
tertarik dan merasa aneh pula. Demikian pula It-tiam-ang tidak
ketinggalan mempunyai rasa yang sama. Dia pun ingin melihat bahwasanya
gaman seaneh ini punya permainan jurus-jurus yang aneh pula, ingin pula
dia melihat cara bagaimana Coh Liu-hiang memunahkan kepandaian lawan.
Terdengar Coh Liu-hiang berkata: "Alat mainan untuk menangkap ularmu
ini juga hendak kau gunakan untuk menghadapi manusia?"
Pek-giok-mo terloroh-loroh, serunya: "Jit-hun-gi-jian-ku ini bukan saja
bisa menangkap ular, juga bisa mencengkeram sukmamu, biar hari ini kau
coba jajal." Sambil berkata, beruntun dia sudah melancarkan tujuhdelapan
jurus serangan, memang jurus permainannya aneh dan lucu, lihay
lagi, tiba-tiba menutul enteng mendadak menyerampang keras, adakalanya
dimainkan lincah mengandung perubahan yang aneh-aneh, tapi mendadak
menyerang dengan kekuatan besar untuk merobohkan musuh.
Pengemis buas dari Kosoh ini ternyata memang sudah tekun berlatih
menggembleng ilmu permainan senjatanya yang luar biasa ini, tipu-tipu
serangan yang lemas dan keras saling berganti dengan leluasa dan cepat
ini, sungguh sukar dihadapi oleh siapa pun, tapi kalau dia sendiri belum bisa
mengendalikan kekuatan dari permainannya sendiri, betapa pun dia takkan
mampu melancarkan tipu-tipu yang luar biasa seperti itu.
Gerak badan Coh Liu-hiang berubah dan berubah lagi, agaknya memang
ingin melihat sampai di mana dan berapa hebatnya permainan lawan. Betapa
pun hebat dan gencar perubahan serangan Jit-gi-jian lawan, dalam waktu
dekat ia mandah berkelit saja tanpa balas menyerang.
Maklumlah hobinya memang bermain silat, hobinya ini boleh dikata jauh
melebihi orang lain. Melihat sebuah senjata berbentuk aneh, rasa
tertariknya puluhan kali lipat melebihi It-tiam-ang. Di seluruh kolong
langit ini, entah berapa banyak senjata-senjata aneh yang pernah
dilihatnya, bukan saja pernah melihat, dia pun sudah bisa mematahkan
cara-cara serangan lawan, kini mendadak ia kebentur dengan Jit-gi-gian
yang lain dari yang lain pula, sudah tentu ia tidak mau melepaskan
kesempatan untuk menjajalnya. Sebelum dia paham seluruh permainan Jitgigian serta tipu-tipu perubahannya, boleh dikata dia enggan turun tangan
serta menghentikan serangan Pek-giok-mo. Tapi karena keisengannya ini,
beberapa kali ia menghadapi serangan berbahaya musuh yang hampir saja
menamatkan jiwanya. Namun ada kalanya sengaja ia tunjuk titik kelemahan
diri sendiri, memancing serangan lawan memperlihatkan jurus-jurus
tunggalnya. Cakar-cakar berbisa yang mengkilap itu, beberapa kali sudah
menyerempet kain pakaiannya, sampai pun It-tiam-ang ikut kaget dan
mengucurkan keringat dingin.
Karena dapat mendesak lawan dan berada di atas angin, lebih bergairah
dan bersemangat Pek-giok-mo, tipu demi tipu mematikan dari jurus-jurus
tunggal ilmu Jit-gi-jiannya dia kembangkan tak habis-habisnya. Coh Liuhiang
didesak dan dirabanya sampai berulang-ulang.
Mendadak Coh Liu-hiang malah bergelak tertawa: "Kiranya permainan Jitgijian-mu ini paling hanya begini saja. Untuk menangkap ular memang bisa
kau gunakan, hendak menangkap orang masih jauh sekali!"
Pek-giok-mo membentak: "Jurus permainan Jit-gi-jianku ini selama
hidupmu jangan harap kau bisa melihatnya dengan sempurna." Pengemis
buas yang licik dan licin ini agaknya dapat meraba maksud tujuan Coh Liuhiang.
Dia tahu, sebelum Coh Liu-hiang melihat seluruh jurus-jurus tipu
permainan Jit-gi-jiannya ini, dia takkan turun tangan balas menyerang.
Kata-katanya ini memang hendak menyudutkan Coh Liu-hiang. Kalau Coh
Liu-hiang tidak balas menyerang, maka dengan lebih leluasa dia bisa
melancarkan tipu-tipu keji ilmu Jit-gi-jiannya. Apalagi Jit-gi-jian yang dia
yakinkan ini masih mempunyai tipu-tipu keji yang dahsyat dan lihay yang
masih belum sempat dia kembangkan, tujuannya adalah hendak
menyudutkan Coh Liu-hiang pada posisi yang kepepet dan tak mungkin bisa
berbuat banyak, barulah saat itu sekali serang dia bikin Coh Liu-hiang
mampus oleh cengkraman cakar senjatanya yang beracun.
Jelas Coh Liu-hiang tahu akan hal ini namun dia justru membakar hati
orang dan memancingnya: "Sejak tadi kau sudah kehabisan akal dan hampir
putus asa, aku tak percaya kau ini punya kemampuan lain apa lagi." Sembari
bicara kakinya menyurut mundur ke sudut yang mematikan ke pojok
ruangan. Memang nyalinya teramat besar, tanpa ragu-ragu ia gunakan
jiwanya sendiri sebagai pertaruhan hanya untuk melihat gerak perubahan
dari ilmu Jit-gi-jian keseluruhannya serta variasi perubahannya.
Sungguh pertaruhannya teramat besar It-tiam ang tidak habis pikir
bahwa dalam dunia ini ada orang yang menggunakan pertaruhan jiwa
sebagai permainan bercanda belaka, ia tak tahu membedakan apakah ini
perbuatan bodoh atau pintar"
Memancing ikan, memang permainan orang-orang pintar, tapi kalau diri
sendiri dijadikan umpan untuk mengail ikan bolehlah diartikan terbalik
bahwa ikanlah yang berbalik memancing dirinya.
Coh Liu-hiang sedang menunggu kesempatan supaya Pek-giok mo
terpancing, demikian pula Pek-giok mo sedang menunggu Coh Liu-hiang
terkait. Begitu Coh Liu-hiang sendiri mundur ke sudut yang mematikan,
tiba-tiba Pek-giok-mo menyeringai tawa, serunya: "Jurus-jurus hebat
mematikan Lohu akan kau lihat setelah kau sudah ajal."
Dalam sekejap saja dia sudah menyerang lagi tujuh jurus, satu persatu
bisa dihindari oleh Coh Liu hiang dengan mudah tampak Jit-gi-jian musuh
mendadak meluncur lempang dari tengah, menyerang ke mukanya. Coh Liu
hiang mengkeretkan badan mundur satu kaki, dia sudah perhitungkan tepat
posisi kedatangan Jit-gi-jian jelas takan bisa mencapai dirinya, serunya
tertawa besar: "Kalau kau tidak........"
Baru sampai di sini kata-katanya, tiba-tiba didengarnya "Sret!", cakar
setan yang hitam legam terkembang itu tiba-tiba melenting copot dari
badannya terus mencengkeram ke dadanya. Ternyata pada batang Jit-gijian
ini di dalamnya ada dipasang pegas yang mempunyai daya pental yang
amat keras, cukup asal Pek goik mo menekan tombol di gagang yang
dipegangnya, jari-jari cakar setan itu lantas mencelat keluar
mencengkeram ke arah sasarannya.
Jari-jari cakar setan ini disambung oleh seutas rantai lembut empat kaki
panjangnya, maka Jit-gi-jian yang semula hanya panjang tiga kaki enam
dim, mendadak berobah sepanjang tujuh kaki enam dim, jarak yang semula
tak bisa dicapai kini dengan mudah dicapainya.
Kini Coh Liu hiang sudah tidak mungkin bisa mundur lagi. Ia insyaf, asal
kulit badannya sedikit tergores atau lecet oleh jari-jari cakar setan lawan,
maka jiwanya takan hidup lebih dari satu jam.
Sebagai tokoh kosen yang berkepandaian silat tinggi, dengan seksama Ittiamang menonton pertempuran ini, sudah tentu ia jauh lebih terang dari
orang yang sedang bertempur sendiri. Begitu dia melihat serangan Pek
giok mo terakhir ini, serta merta ia menghela napas. Posisi Coh Liu hiang
terang sudah kepepet dan tidak mungkin mundur pula, untuk berkelit lagi
pun tiada peluang pula. Kalau jari-jari cakar setan ini tidak dilumuri racun,
mungkin dengan gerakan Hun-kong-coh-ing (menyibak cahaya menangkap
bayangan) dia bisa menangkap cakar setan lawan, tapi jari-jari cakar setan
ini amat beracun, boleh dikata disentuh pun cukup membahayakan jiwa
orang. Mau tidak mau Coh Liu hiang menjadi kaget pula, namun meski hati
mencelos ia tidak menjadi gugup karenanya, di saat-saat menghadapi
bahaya antara mati dan hidup, toh terpikir juga oleh otaknya yang cerdik
cara untuk mematahkan serangan mematikan ini.
Tampak pundaknya sedikit bergerak, tahu-tahu tangannya sudah mencekal
sesuatu, kebetulan cakar setan sudah menyelonong tiba di depan dadanya,
secara refleks langsung ia angsurkan benda dalam cekalannya masuk ke
tengah jari-jari cakar setan itu.
"Trap!", jari-jari cakar setan segera mengatup kencang dan ditarik
mundur pula, benda yang tercengkeram di dalam jari-jari cakarnya yang
hitam legam itu dibanting pun takkan terlepas, setelah ditegasi kiranya
hanyalah segulung gambar lukisan.
Maklumlah, sesuai dengan julukan Maling Romantis, betapa cepat gerakan
tangan Coh Liu-hiang tiada bandingannya di seluruh kolong langit, kalau dia
ingin sesuatu dari kantong dalam baju orang segampang dia membalikkan
tapak tangannya sendiri, apalagi merogoh keluar barang miliknya sendiri.
Oleh karena itu maka dalam saat yang kritis di saat jiwanya terancam
elmaut itulah ia merogoh keluar gulungan gambar itu serta disesapkan ke
tengah jari-jari cakar setan. Betapa cepat daya luncuran cengkeraman
cakar setan itu, kalau orang lain yang menghadapi, belum lagi gulungan
gambar dirogoh keluar mungkin dadanya sudah berlobang besar dan
jantungnya tersedot keluar.
Meskipun gulungan gambar itu amat penting artinya, namun menghadapi
saat saat penentuan mati hidup jiwanya sendiri, betapa pun tingginya nilai
sesuatu benda miliknya , bolehlah dibuang atau dikorbankan untuk
menebus jiwanya. Mimpi pun Pek-giok-mo tidak pernah terpikir akan akal licik lawan, sekali
serangannya luput seketika berubah air mukanya, sebat sekali ia sudah
Naga Dari Selatan 14 Lencana Pembunuh Naga Karya Khu Lung Kemelut Di Majapahit 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama