Pendekar Binal Karya Khu Lung Bagian 10
Siau-hi-ji benar-benar sangat tertarik dan ingin tahu kertas itu mengandung rahasia apa, ia percaya kalau Kang Giok-long sedemikian menghargai rahasia itu, maka rahasia itu tentu luar biasa. Karena itu hatinya agak berdebar juga waktu membentang lipatan kertas itu.
Akan tetapi baru memandang sekejap saja ... benar-benar cuma pandang sekejap saja, mendadak ia tertawa terpingkal-pingkal.
Keruan mata Kang Giok-long mendelik, katanya, "Kau sangat gembira bukan?"
"Ya, aku sangat gembira," jawab Siau-hi-ji.
"Kau dapat melihat rahasia ini, pantas kalau kau gembira," ucap Kang Gioklong dengan geregetan. "Sebab selama hidupmu tidak mungkin dapat melihat sesuatu benda yang lebih berharga daripada kertas ini."
"Ya, ya, kertas ini memang sangat berharga," kata Siau-hi-ji, mendadak kertas itu dirobeknya hingga hancur.
Mungkin selama hidup Kang Giok-long tidak pernah terkejut sehebat sekarang ini. Mukanya berubah pucat sekali, katanya dengan gemetar, "Kau
... kau ... apa-apaan ini?"
"Kukira leluhurmu banyak berbuat bijak sehingga kau ditakdirkan bertemu dengan aku," kata Siau-hi-ji dengan tertawa.
"Sebab apa" Tahukah kau betapa nilai kertas ini?" tanya Kang Giok-long dengan suara serak.
"Sudah tentu kutahu," jawab Siau-hi-ji dengan adem ayem saja.
"Sudah tahu mengapa kau merobeknya" Memangnya kau gila?"
"Haha, bukan saja kutahu, bahkan sudah pernah melihatnya ... sebab aku sendiri pun pernah memiliki sehelai."
Kang Giok-long melengak dan menegas, "Kau ... kau sendiri pun pernah memiliki sehelai" Sehelai kertas serupa ini?"
"Ya, bahkan aku sudah pernah mengunjungi tempat harta karun yang dimaksud itu."
Kiranya kertas lipatan Kang Giok-long tadi serupa dengan kertas pemberian Thi Sim-lan kepada Siau-hi-ji tempo hari, yaitu peta harta karun yang telah banyak makan korban jiwa manusia itu.
Dengan sendirinya Kang Giok-long tidak tahu liku-liku itu, ia melenggong mendengarkan ucapan Siau-hi-ji tadi, ia menegas pula, "Kau ... kau pernah mendatangi tempat harta itu" Engkau tidak berdusta?"
"Untuk apa kudusta?"
Tiba-tiba napas Kang Giok-long tersengal-sengal, katanya, "Jadi ... jadi harta karun itu sudah jatuh di tanganmu" Kau simpan di mana sekarang?"
Sorot mata Siau-hi-ji gemerlap, jawabnya, "Beritahu dulu padaku dari mana kau mendapatkan peta harta karun itu, sesudah barulah kuceritakan padamu."
"Setelah kukatakan, engkau benar-benar akan memberitahukan juga padaku?" tanya Giok-long sambil meremas-remas tangan sendiri.
"Ya, jika aku tidak menepati janji, anggaplah aku ini kura-kura," jawab Siau-hi-ji.
"Peta pusaka ini kucuri dari kamar tulis ayahku."
"Dari mana pula ayahmu memperoleh peta ini?"
"Entah, aku tidak tahu, sungguh!"
Siau-hi-ji berpikir sejenak, katanya kemudian, "Ya, kabarnya ayahmu juga seorang tokoh ternama, bisa jadi peta ini adalah pemberian orang lain.
Sungguh tak disangka beliau mempunyai seorang putra baik, sampai barang ayah sendiri juga dicurinya. Putra baik demikian sungguh tidak banyak."
Sedikit pun muka Kang Giok-long tidak menjadi merah, bahkan ia menambahkan, "Itu belum apa-apa, aku ...."
"Demi harta karun ini, mungkin ayah pun tidak kau akui pula," tukas Siau-hi-ji.
"Lalu kau minggat dari rumah dan pergi hingga sampai di Go-bi-san, tak tahunya kau malah jatuh ke dalam cengkeraman Siau Mi-mi."
"Ya, agaknya memang nasibku lagi sial hingga kepergok olehnya, kalau tidak
...." "Untung kepergok dia, kalau tidak saat ini mungkin kau sudah mampus."
"Sebab apa?" tanya Giok-long.
"Untung juga ayahmu mempunyai anak mestika kesayangan seperti dirimu, kalau tidak beliau pasti juga akan tertipu."
"Tertipu?" Giok-long menegas dengan heran.
"Bicara terus terang, peta pusaka ini pada hakikatnya palsu belaka, satu peser pun tidak berharga. Orang yang menciptakan peta pusaka ini hanya bertujuan mengadu domba orang-orang yang serakah dan ingin mencari harta karun itu, supaya mereka saling bunuh membunuh."
Kang Giok-long benar-benar melenggong, sampai lama barulah dia bertanya pula, "Siapakah orang itu?"
"Aku pun tidak tahu siapa dia, tapi aku pasti akan menemukan dia," ucap Siau-hi-ji dengan gemas. "Tujuanku bukan untuk membela siapa-siapa, soalnya dia juga telah menipuku, maka aku harus membalasnya dengan setimpal."
"Pantas kau tanya dari mana kuperoleh peta ini, pantas aku ...."
Belum habis ucapannya tiba-tiba terdengar suara seruan orang berkumandang dari lorong sana, itulah suara Siau Mi-mi yang sedang memanggil mereka, "Kang Giok-long ... Kang Siau-hi-ji ... apakah kalian berdua telur busuk kecil berada di bawah?"
Ketakutan juga Siau-hi-ji dan Kang Giok-long sehingga kaki dan tangan terasa dingin.
"Tiada gunanya kalian tidak bersuara, aku sudah tahu kalian berada di bawah situ!" seru Siau Mi-mi pula sambil mengikik tawa.
"Mungkin ... mungkin dia cuma menggertak saja," ujar Kang Giok-long.
"Tidak, saat ini dia berteriak ke dalam jamban, kalau tidak kita takkan mendengar suaranya."
"Ai, gara-gara tutup jamban itu .... Sudah kuduga tutup jamban itu pasti akan mendatangkan penyakit."
"Perempuan itu sungguh lihai ...." ucap Siau-hi-ji dengan gegetun.
Dalam pada itu terdengar Siau Mi-mi berseru pula, "Kang Giok-long, sungguh anak berbakat istimewa sehingga mampu timbul pikiran untuk sembunyi di dalam jamban. Memangnya kau tidak takut bau?"
"Dengarkan, ia pun bilang kau berbakat istimewa," kata Siau-hi-ji dengan tertawa.
"Kau ... engkau masih bisa tertawa?"
"Mengapa aku tidak bisa tertawa?"
"Kau ... engkau tidak takut padanya?"
"Biarpun dia sangat lihai, asalkan kita tunggu saja di sini, beranikah dia masuk ke sini" Menurut wataknya, kukira ia pun tak betah berjaga di luar sana."
"Ya, betul juga. Dia berada di tempat terang dan kita berada di tempat gelap, dia pasti tidak berani mengambil risiko ini. Seumpama dia tunggu di luar, tentu juga tidak betah tunggu terlalu lama, maka kita akan ada kesempatan untuk lolos keluar."
Sementara itu suara Siau Mi-mi lagi berteriak, "Kedua telur busuk kecil, ayolah lekas keluar!"
"Kau sendiri telur busuk tua, masuklah kemari!" mendadak Siau-hi-ji balas berteriak.
"Kalian tidak mau keluar?"
"Mengapa tidak kau saja yang masuk ke sini?"
Siau Mi-mi terkekeh-kekeh, serunya, "Jadi kalian lebih suka mati oleh bau busuk di bawah situ?"
Siau-hi-ji bergelak tertawa, jawabnya, "Jangan khawatir, kami takkan mati oleh bau busuk, di sini sangat nyaman, ada sosis, ada arak, maukah kau turun kemari untuk minum bersamaku?"
"Kalian tidak takut bau, aku takut," ujar Siau Mi-mi. Setelah merandek sejenak, lalu ia menambahkan, "Apalagi aku pun tidak berharap kalian akan keluar."
"Betulkah begitu?" makin keras suara Siau-hi-ji.
"Bila kalian keluar, sekali aku mengamuk, bisa jadi kusembelih kalian, jika demikian kematian kalian menjadi terlalu enak, aku justru akan membuat kalian mati perlahan, sedikit demi sedikit."
Siau-hi-ji tetap tertawa, teriaknya, "Apakah kau mampu membuat kami ...."
Belum habis ucapannya, seketika ia tidak sanggup tertawa lagi.
"Telur busuk kecil, ayolah tertawa lagi, mengapa tidak tertawa?" terdengar suara Siau Mi-mi berolok-olok.
Air muka Kang Giok-long juga berubah pucat, keduanya berteriak berbareng,
"Nona Siau ... Bibi Siau ...." tapi tiada terdengar sesuatu suara lagi dari lorong sana.
Giok-long saling pandang dengan Siau-hi-ji, keduanya sama-sama pucat.
Segera terdengar suara gemuruh, menyusul lantas suara gemertak keras tak henti-hentinya.
"Habis sudah, tamat semuanya!" ucap Kang Giok-long dengan gemetar. Ia tahu lubang jamban sudah rusak dan disumbat oleh Siau Mi-mi.
"Keji, hati perempuan sungguh keji, memang sudah kuduga akan tindakannya ini," kata Siau -hi-ji.
"Sekarang tidak diperlukan sesuatu tutup lagi ...." ujar Kang Giok-long dengan menyengir.
Tapi mendadak semangat Siau-hi-ji bangkit kembali, serunya, "Meski lubang di atas telah disumbat, kita masih dapat menggali jalan keluar lain?"
"Tidak mungkin," ucap Giok-long. "Ketika membangun tempat ini dahulu, untuk menjaga kelembapan, seluruh permukaan lantai telah dilandasi dengan balok batu yang tebal."
Siau-hi-ji termenung sejenak, kemudian ia membuka Hiat-to Kang Giok-long yang ditutuknya itu, katanya dengan tersenyum getir, "Kukira kau toh takkan mengincar diriku lagi."
"Setengah bulan ... hanya setengah bulan saja kita akan mati kelaparan di sini," kata Kang Giok-long dengan kaku dan murung.
"Semangat sedikit, jangan sedih, paling tidak kita masih dapat hidup setengah bulan. Aku memang sudah pernah mati beberapa kali, waktu setengah bulan ini boleh dikatakan hidup ekstra," demikian Siau-hi-ji malah menghibur Kang Giok-long dengan menepuk bahunya sambil tergelak tertawa, tapi tertawa yang sumbang.
Mungkin sudah dua-tiga jam Kang Giok-long duduk termenung tanpa bergerak, entah apa yang sedang dipikirkannya, Siau-hi-ji telah membuka guci arak dan sudah sembilan kali memanggilnya, dan dia tetap tidak mendengarnya.
Maka Siau-hi-ji lantas minum arak sendirian. Meneguk sekali tertawa sekali, teguk lagi dan menarik napas panjang, lalu bergumam sendiri, "Seorang kalau tahu ajalnya sudah tiba dan tidak mau minum arak, maka orang itu pasti tolol."
Kang Giok-long hanya menarik napas tanpa menanggapinya.
"Kau takut mati" Saking takutnya hingga tidak mau bicara lagi?" tanya Siauhi-ji.
"Ya, benar, aku takut mati," jawab Kang Giok-long dengan ketus.
Siau-hi-ji meneguk araknya lagi, lalu berkata, "Memangnya kau sangka aku tidak takut mati?" Mendadak ia bergelak tertawa dan menyambung lagi,
"Hahaha, aku pun takut mati, orang yang tidak takut mati pasti orang tolol atau mungkin orang gila. Tapi kalau sudah jelas mesti mati, lalu apa dayamu?"
Sambil menenggak araknya semangkuk demi semangkuk, Siau-hi-ji mengoceh pula dengan tertawa, "Kutahu bagaimana perasaanmu sekarang, bagaimana rasanya orang menghadapi ajalnya, sudah beberapa kali kurasakan, akan tetapi aku tidak jadi mati" Aku pernah kelelap, pernah terbakar, pernah keracunan, pernah terjatuh, semuanya tidak jadi mematikan aku, tak terduga aku harus mati kelaparan. Cara mati demikian tidak pernah kubayangkan, kukira pasti sangat menarik, sangat bagus."
Memandangi Siau-hi-ji yang terus-menerus minum arak itu, muka Kang Gioklong yang pucat jadi kehijau-hijauan saking dongkolnya.
"Satu-satunya penyesalan adalah kita mati terlalu dini, mati terlalu muda,"
demikian Siau-hi-ji bergumam pula. "Kini aku benar-benar agak menyesal, tadi mestinya aku main cinta dulu dengan Siau Mi-mi. Ai, pemuda tidak main cinta, sia-sia menjadi manusia ...." Tiba-tiba ia bangkit, dengan langkah sempoyongan ia hendak mengambil sisa sosis pula.
"Kau mabuk," ucap Giok-long dengan dingin.
"Paling baik kalau mati mabuk, setan mabuk lebih baik daripada setan kelaparan ...."
Belum habis ucapan Siau-hi-ji, mendadak Kang Giok-long melompat maju, telapak tangannya terus memotong kuduknya. Gerakannya ringan serangannya cepat, sekaligus ia hendak membinasakan Siau-hi-ji.
Tapi ketika melihat cahaya lentera bergoyang, mendadak Siau-hi-ji membalik tubuh sehingga tepat sempat menangkis serangan Kang Giok-long itu. Kedua orang sama-sama tergetar mundur dan bersandar pada dinding tanah.
"Kau ... kau ingin membunuhku?" tanya Siau-hi-ji dengan mata terbelalak.
"Mengapa aku tidak membunuhmu?" jengek Giok-long.
"Dalam keadaan begini kau masih ingin membunuhku?"
"Betul, sedikit pun tidak salah."
"Kita toh bakal mati semua, mengapa kau ...."
"Ransum yang tersedia di sini mestinya cukup untuk sebulan, karena ketambahan dirimu, jadinya cuma cukup untuk setengah bulan saja. Setelah kubunuhmu tentu aku dapat hidup lebih lama setengah bulan."
"Hanya karena alasan ini" Hanya untuk hidup lebih lama setengah bulan?"
Siau-hi-ji menegas. "Memangnya kenapa" Setengah bukan kan cukup lama" Bisa hidup lebih lama satu hari kan juga lebih baik?"
"Demi untuk hidup lebih lama satu hari kau pun akan membunuhku.?"
"Jelas, demi hidup lebih lama satu jam juga dapat kubunuh dirimu."
Siau-hi-ji tersenyum getir, katanya, "Meski kutahu kau ini orang busuk, tapi sungguh tak terpikir olehku sedemikian kebusukanmu. Kalau bicara tentang kekejian hati, mungkin kau terhitung nomor satu di dunia."
"Kau sendiri nomor berapa?" tanya Giok-long.
"Dibandingkan dirimu, pada hakikatnya aku tidak masuk hitungan," belum habis ucapan Siau-hi-ji, secepat kilat sebelah tangannya menyambar ke muka seterunya.
Gua itu sedemikian sempit, tanpa melangkah maju juga tangannya dapat mencapai muka Kang Giok-long, apalagi Siau-hi-ji menggampar dengan cepat, mungkin juga sama sekali Kang Giok-long tidak menyangka akan diserang lawan, maka ia pun sama sekali tidak berkelit. Pendek kata, gamparan Siau-hi-ji itu dengan tepat mengenai sasarannya.
"Plak", seketika bengap sebelah pipi Kang Giok-long, kontan ia pun roboh terjungkal.
"Hehe, meski kelihatan kurus, tapi daging di pipimu tidaklah sedikit, kalau tidak terlihat jelas pukulanku ini mengenai mukamu, bisa jadi aku akan mengira menghantam pantat orang perempuan," demikian Siau-hi-ji berolok-olok.
"Kau ... kau mau apa?" teriak Kang Giok-long dengan suara serak sambil memegangi pipinya.
"Kalau tanganmu mampir di pipi seorang lelaki, apa kehendakmu" Untuk mencubitnya?" tanya Siau-hi-ji. "Plak", kembali tangannya membalik dan tepat mengenai muka lawan.
"Apakah ... apakah benar kau ...."
"Jika kau ingin membunuhku, masa aku tidak dapat membunuhmu?"
Muka Kang Giok-long yang bengap itu mirip perut ikan mati, merah melembung. Katanya dengan suara gemetar, "Toh kita bakal mati dalam waktu tidak lama lagi, untuk apa ... untuk apa kau ...."
"Kan sudah kau ingatkan padaku tadi, bila kubunuhmu, maka aku dapat hidup lebih lama setengah bulan."
"Ya, aku pantas ... pantas mampus ...." ucap Kang Giok-long sambil tertunduk. Tapi mendadak sekujur tubuhnya laksana sepotong balok terus menumbuk perut Siau-hi-ji, biarpun kepalanya tidak keras, tapi paling tidak terlebih keras daripada perut.
Sebelumnya Siau-hi-ji juga sudah waspada terhadap kaki dan tangan lawan licik itu, tapi bicara sejujurnya, sama sekali ia tidak memperhatikan kepala lawan yang kecil itu. Dan sekarang kepala yang kecil itu telah membuatnya meringis kesakitan. Kontan ia terseruduk dan bersandar ke dinding tanah, ia terus berjongkok sambil memegangi perutnya.
"Hm, sekarang tentu kau tahu siapa yang pantas mampus," jengek Kang Giok-long, berbareng sebelah kakinya menendang dagu Siau-hi-ji.
Saat itu Siau-hi-ji sedang merintih kesakitan seakan-akan tidak sanggup mengangkat kepalanya. Tapi ketika kaki lawan sudah berada di depan hidungnya, sekonyong-konyong tangan yang memegangi perut itu terjulur secepat kilat, laksana penjaga gawang menangkap bola yang akan menembus gawangnya, dengan cepat dan tepat ia pegang kaki Kang Gioklong, berbareng itu terus diputar ke samping.
Tanpa ampun Kang Giok-long menjerit kaget dan kesakitan, seluruh badan membalik ke bawah, "bluk", ia jatuh terjerembap seperti anjing menubruk najis, kontan hidungnya mengeluarkan darah merah.
Pada detik lain Siau-hi-ji sudah melompat berdiri di atas punggungnya sembari berkata dengan tertawa, "Nah, sekarang kita betul-betul tahu siapa yang bakal mampus."
Sambil tengkurap di tanah, Kang Giok-long mengeluh, "Sungguh ... sungguh aku tidak paham ...."
"Dalam hal apa kau tidak paham?"
"Perutmu keseruduk kepalaku, tapi ... tapi kau masih bertenaga penuh."
"Supaya kau maklum, bahwa kepandaianku memukul orang tidak seberapa tinggi, tapi kepandaianku tahan pukul tidaklah rendah. Jangankan dirimu, biarpun orang yang berpuluh kali lebih kuat daripadamu juga jangan harap dapat merobohkan diriku dengan sekali pukul."
"Baiklah, aku menyerah, sungguh aku menyerah padamu. Dalam segala hal kau memang lebih hebat daripadaku, tapi kutahu kau takkan membunuhku, sebab kalau kau ingin membunuhku sungguh-sungguh tentu tidak perlu menunggu sampai sekarang."
Bocah ini ternyata mulai memohon kasihan, mulai menjilat pantat pula. Tapi sedikit pun Siau-hi-ji tidak merasa senang, sebaliknya malah agak merinding.
Ia tahu seterunya itu sesungguhnya ingin sekali membinasakan dia, hanya saja sekarang seteru itu sama sekali tak berdaya, senjata tidak punya, apalagi punggungnya terinjak.
Dan di sinilah letak kebinalan Siau-hi-ji, sudah tahu jelas Kang Giok-long ingin membunuhnya, dia justru ingin menciptakan kesempatan itu baginya, ia ingin tahu dengan cara bagaimana seteru itu akan membunuhnya.
Ini sungguh hal yang menarik. Terhadap sesuatu yang menarik selamanya tak pernah disia-siakan oleh Siau-hi-ji, lebih-lebih di kala mengetahui hidupnya sudah tidak lama lagi akan tamat.
Begitulah Siau-hi-ji terus merenungkan hal yang menarik itu sehingga lupa daratan bahwa di bawah kakinya masih ada seorang Kang Giok-long. Pada saat itulah sekonyong-konyong Kang Giok-long mengangkat tubuhnya dengan sekuat-kuatnya sehingga Siau-hi-ji yang berdiri di atas itu ikut terangkat.
Kalau dalam keadaan biasa tentu hal itu tidak menjadi soal, tapi sekarang mereka berada di suatu gua yang sempit, orang jangkung hampir sukar untuk mengangkat kepala jika masuk gua ini. Karena itulah kepala Siau-hi-ji lantas tertumbuk langit-langit gua itu, "bluk", kontan ia pun roboh terjungkal.
Cukup lama juga Kang Giok-long baru sanggup merangkak bangun, tapi begitu bangun segera ia cekik leher Siau-hi-ji, katanya sambil menyeringai,
"Kutahu kau takkan membunuhku dengan sungguh-sungguh hati, tapi aku benar-benar ingin membunuhmu."
Siau-hi-ji tidak menjawab, rupanya ia jatuh pingsan.
Cekikan Kang Giok-long lantas mengendur, ia tidak ingin membunuh Siau-hi-ji dalam keadaan seteru itu pingsan, ia ingin menyaksikan Siau-hi-ji meronta-ronta dan menemui ajalnya dalam keadaan tak bisa bernapas. Tapi Siau-hi-ji justru belum lagi siuman.
Dengan sebelah tangannya Kang Giok-long angkat guci arak yang jatuh di samping sana, isi arak ia tuang ke atas kepala Siau-hi-ji. Dengan sendirinya isi guci itu tidak sampai tertuang habis, Siau-hi-ji justru menunggu tangan orang sedang dipakai keperluan lain, pada saat itulah mendadak ia balas menonjok tenggorokan orang.
Keruan Kang Giok-long menjerit kesakitan, tapi guci yang dipegangnya itu tidak lupa dipukulkan ke kepala Siau-hi-ji.
Namun Siau-hi-ji sudah memperhitungkan kemungkinan ini, cepat ia menggelinding ke samping, menyusul sebelah kakinya terus menendang selangkang Kang Giok-long, kontan Giok-long menjerit dan guci arak terlempar jatuh dan hancur.
Tubuh Kang Giok-long tampak meringkal udang seperti kering, tangan memegangi bagian vital itu, kaki terimpit kencang-kencang, napas pun terasa sesak.
Tendangan Siau-hi-ji ini sungguh lihai dan membuat "knock-out" seterunya, tapi tendangan ini pun tidak begitu gemilang, pada hakikatnya bukan jurus serangan yang wajar. Ya, sejak awal hingga akhir sesungguhnya mereka belum pernah bergebrak dengan menggunakan jurus serangan yang indah.
Tapi maklum juga, mereka berada dalam gua yang sempit, siapa pun tak dapat mengeluarkan jurus serangan bagus. Untunglah perkelahian mereka tidak untuk dipertontonkan dan memangnya juga tiada yang menonton.
Siau-hi-ji menjilat arak yang membasahi mukanya itu, lalu bergumam
"Sayang, sungguh sayang, arak enak ini kau buang begitu saja, kau harus dihukum denda minum air kencing tiga kendi."
Sementara itu Kang Giok-long masih meringkal di tanah sambil merintih.
Segera Siau-hi-ji menyeretnya bangun dan berkata, "Jangan pura-pura mampus, ayolah berdiri dan berkelahi lagi."
"Kau ... kau ingin berkelahi lagi?" tanya Kang Giok-long.
"Di sini selain cuma minum arak dan berkelahi, pekerjaan apalagi yang dapat kau kerjakan" Sekarang arak sudah habis, terpaksa hanya berkelahi saja,"
kata Siau-hi-ji dengan tertawa.
"Aku ... aku tidak sanggup lagi."
"Tidak boleh, harus!"
"Urusan apa pun pernah kudengar, tapi memaksa orang lain berkelahi, belum pernah kudengar."
"Tapi sekarang sudah kau dengar, bukan?"
"Engkau benar ... benar-benar ingin berkelahi pula?"
"Betul, sedikit pun tidak salah!"
Kang Giok-long menghela napas, katanya, "Baiklah, biarkan kuistirahat sebentar baru akan kulayanimu."
"Nah, agak pantas ucapanmu," kata Siau-hi-ji, lalu ia lepaskan seterunya itu, kedua orang lantas duduk berhadapan.
Muka Kang Giok-long yang putih itu sudah berubah loreng, sambil melototi Siau-hi-ji mendadak ia berkata, "Terkadang aku merasa sangsi kau ini sesungguhnya manusia atau bukan."
"Memangnya apa kalau bukan manusia?"
"Di dunia mana ada manusia macam dirimu ini?"
"Selain aku memang betul tiada keduanya lagi."
Kang Giok-long terus mendekap kepala dan tidak bicara pula, sedangkan Siau-hi-ji lantas berbaring, katanya, "Biar kutidur dulu, kalau kau sudah selesai istirahat hendaklah aku diberitahu."
Habis itu ia benar-benar memejamkan mata dan benar-benar seperti mau tidur. Dari sela-sela jarinya Kang Giok-long dapat mengintip, beberapa kali ia bermaksud menubruk maju untuk menyergap seteru itu secara mendadak, tapi akhirnya urung, sesungguhnya ia tidak berani, sudah kapok.
Walau di dalam hati sangat gusar, dendam dan benci, tapi wajahnya sedikit pun tidak menampilkan sesuatu perasaan, hampir tidak ada orang dapat membaca isi hatinya dari air mukanya.
Cahaya lentera tadi makin lama makin redup, makin guram. Sekonyong-konyong Siau-hi-ji melompat bangun dan berteriak, "Wah, celaka"!"
"Celaka apa" Keadaan kita sekarang memang sudah cukup celaka, masakah masih ada yang lebih celaka lagi?"
"Selagi tidur saja aku tahu, masa kau malah tidak tahu?"
"Aku tidak tidur, tapi sedang mimpi."
"Mimpi sekali bacok membinasakan aku, begitu bukan?"
"Mimpi menyembelih sepuluh ekor babi gemuk."
"Sudahlah, tidak perlu mimpi-mimpi lagi, biarpun betul ada sepuluh ekor babi juga tidak sempat kita makan."
Kang Giok-long berpikir sejenak, tanyanya kemudian dengan khawatir, "Jadi maksudmu ... maksudmu ...."
"Maksudku sebelum kita mati kelaparan lebih dulu kita akan mati pengap."
Kiranya lorong di bawah tanah itu telah disumbat dari atas oleh Siau Mi-mi, zat asam di dalam gua itu makin lama makin menipis sehingga lentera itu pun hampir padam. Maklumlah, api tak dapat menyala kalau hawa udara kurang zat asam.
Meski Siau-hi-ji sangat pintar, tapi teori zat asam itu tidak dipahaminya. Pada jamannya itu memang belum ada seorang pun yang tahu tentang teori itu, dia hanya merasakan napasnya mulai sesak, kelopak matanya terasa berat seperti orang mengantuk.
"Segalanya sudah kuperhitungkan, hanya hal ini saja tidak terpikir olehku,"
kata Kang Giok-long. "Setengah jam ... setengah jam ...." tanpa terasa gigi Kang Giok-long gemertuk.
Siau-hi-ji juga muram durja kehabisan akal, gumamnya, "Mati sesak napas ....
Ehm, entah bagaimana rasanya mati pengap."
"Menurut cerita orang," tukas Kang Giok-long, "mati sesak napas jauh lebih menderita daripada mati dengan cara lain. Sebelum mati orangnya bisa seperti gila, mungkin muka sendiri juga akan dicakar hingga luluh."
Dalam keadaan demikian ia masih dapat bercerita, soalnya ia merasa tidak adil kalau dia sendiri yang ketakutan, ia ingin membikin Siau-hi-ji juga ikut merasakan seramnya orang mati begitu.
Siau-hi-ji termenung sejenak, tiba-tiba ia tertawa dan berkata, "Bagus juga kalau begitu. Aku justru khawatir akan mati terlalu biasa, syukur kalau sekarang bisa mati dengan cara luar biasa. Betapa pun tidak banyak orang di dunia ini yang mati pengap begini."
Kang Giok-long juga termenung sejenak, katanya kemudian, "Tapi kukira tidak sedikit, bukankah orang-orang yang membangun istana di bawah tanah ini akhirnya juga terbunuh semua, bisa jadi mereka pun mati pengap seluruhnya."
Siau-hi-ji berkedip-kedip, katanya, "Sampai saat ini, tampaknya kau masih berusaha membuat aku marah. Memangnya begitu hebat bencimu padaku?"
"Hm," dengus Giok-long tanpa menjawab.
"Kau benci padaku lantaran dalam segala hal aku lebih kuat daripadamu, begitu bukan?"
"Mungkin kita memang dilahirkan sebagai musuh!" ucap Kang Giok-long.
Sama sekali tak disadarinya bahwa apa yang dikatakannya itu memang tidak salah sedikit pun.
Cahaya lentera semakin redup.
Sambil memandangi sumbu lentera yang semakin guram itu, Siau-hi-ji bergumam, "Arak, arak sialan dan kau yang celaka. Mestinya aku dapat minum lagi, dalam keadaan begini masakan ada urusan lain yang lebih baik daripada minum dan mabuk?"
Tanpa sengaja sorot matanya beralih ke tanah. Guci yang pecah berantakan itu masih berserakan di tanah. Arak yang bertumpah itu sudah hampir kering.
Tapi aneh, arak itu ternyata tidak merembes ke dalam tanah, tapi mengalir, sudah tentu tanah di situ tidak rata, jadi arak mengalir ke bagian tanah yang rendah ....
Seketika Siau-hi-ji melompat bangun, ia tuang pula seguci air minum ke tanah dan air itu pun mengalir ke tempat yang rendah.
"Hei, lih ... lihatlah!" seru Siau-hi-ji mendadak.
"Lihat ... apa yang perlu dilihat?" tak acuh ucap Kang Giok-long.
"Lihatlah air ini, airnya mengalir!"
"Dengan sendirinya air mesti mengalir, dengan sendirinya pula mengalir ke tempat yang rendah."
"Tapi ... lihatlah air mengalir ... mengalir semua ke sini dan tidak menggenang di situ," seru Siau-hi-ji pula sambil menuding sudut sana, karena tegangnya sampai ucapannya tergagap.
Mendadak mata Kang Giok-long juga terbelalak, tukasnya, "He, betul air itu tidak tergenang di situ."
"Kalau air tidak berhenti di sini berarti air terus mengalir keluar, dan kalau air mengalir keluar berarti di sana ada sebuah lubang, tapi tempat ini sudah berada di bawah tanah, masakan masih ada lubang yang dapat dialiri air?"
Habis itu Siau-hi-ji tidak bicara lagi, ia ambil sepotong pecahan guci dan mulai korek-korek tempat itu. Kang Giok-long menyaksikan dengan terkesima dan tangan rada gemetar. Soalnya napas kedua orang itu sudah semakin sesak.
Mendadak lentera yang redup itu padam, keadaan menjadi gelap gulita hingga jari sendiri pun tidak kelihatan. Kang Giok-long juga tidak tahu bagaimana hasil galian Siau-hi-ji. Hanya terdengar suara napas Siau-hi-ji yang megap-megap, ia sendiri pun terengah-engah.
"Blang", tiba-tiba terdengar suara keras, seperti suara pecahnya papan kayu.
Menyusul lantas terdengar teriakan Siau-hi-ji, "He, ada lubang, dapat kutemukan lubang di sini ... di luar sana ternyata tempat kosong!"
"Kau ... engkau tidak salah?" tanya Giok-long dengan terputus-putus.
"Api, mana korek api .... Demi Tuhan, jangan kau bilang tidak punya korek api!"
Tapi apa gunanya korek api" Mungkin Siau-hi-ji linglung ketika berucap begitu.
Akan tetapi korek api benar-benar telah dinyalakan dan Siau-hi-ji tidak nampak lagi, di sudut sana sudah bertambah satu lubang, angin semilir meniup dari situ dengan bau apek.
Napas Kang Giok-long terasa lancar, dengan girang ia lantas berseru, "Kang
... Kang-kongcu, Kang-heng."
"Aku berada di sini, lekas kemari, lekas!" itulah suara Siau-hi-ji di luar sana.
Suaranya penuh rasa kejut dan kegirangan.
Seperti tikus saja Kang Giok-long terus menyusup ke sana dengan cepat.
Lalu ia pun terkesima di situ.
Ternyata tempat itu adalah sebuah ruangan segi delapan, kedelapan sisi dinding itu terbuat dari logam yang berlainan, ada besi, ada baja, ada batu, bahkan ada satu sisi yang menyerupai emas.
Puji syukur ke hadirat Tuhan, sisi dinding dari mana mereka masuk itu ternyata dinding kayu. Kalau saja dinding itu bukan kayu, mungkin saat ini mereka sudah mati sesak.
Di ruangan segi delapan itu tidak ada meja, tidak ada kursi, sebab di bawah tanah, maka juga tidak ada galagasi atau debu kotoran, entah dari mana pula masuknya hawa udara.
Yang ada di ruangan itu hanya roda bergigi belaka, besar kecil dan berbagai bentuk roda itu, ada yang terbuat dari besi, dengan sendirinya juga ada yang terbuat dari emas.
Kang Giok-long hampir tidak percaya pada matanya sendiri, ia bergumam,
"O, Tuhan ... tempat apakah ini" Sumpah mampus tak pernah kupikir di sini masih ada ruangan begini, sedangkan tempat ini hanya terpisah oleh papan kayu saja dengan gua yang kugali itu."
Siau-hi-ji juga putar-putar di ruangan itu, kejut dan heran membuatnya bingung entah apa yang harus dilakukannya sekarang.
Tempat apakah ini" Untuk apakah roda-roda sebanyak itu"
Ia coba mengamat-amati kian kemari, tapi tak diketahuinya di mana letak kegaiban roda-roda itu, yang jelas roda bergigi itu satu sama lain berkaitan, entah berapa banyak biaya dan pikiran yang dikorbankan untuk membuat roda-roda begitu"
"Persetan, siapa yang tahu apa gunanya roda-roda ini," omel Siau-hi-ji dengan menyeringai.
Mendadak Kang Giok-long melompat ke sana, dengan lengan bajunya ia gosok-gosok dinding sekian lamanya, habis itu ia berteriak, "O, Tuhan, dinding ini terbuat dari emas."
"Dinding emas tidak mengherankan, yang aneh adalah tempat ini ternyata tembus hawa," kata Siau-hi-ji. "Kukira orang yang membangun tempat ini kalau bukan orang gila tentu mempunyai maksud tujuan tertentu."
"Maksud tujuan tentu apa?" tanya Kang Giok-long
"Ya, mungkin inilah rahasia terbesar yang kita temukan selama hidup ini,"
ucap Siau-hi-ji sambil menghela napas panjang, lalu ia pegang sebuah roda.
"Akan kau putar rodanya?" tanya Giok-long.
"Tahankah kau tanpa memutarnya?" kata Siau-hi-ji, ia memicingkan sebelah mata kepada Kang Giok-long, lalu menambahkan pula dengan tertawa, "Bisa jadi inilah pintu neraka, bila lalu roda ini berputar, mungkin kawanan setan akan terlepas semua."
"Boleh juga leluconmu ini, sungguh menggelikan leluconmu," ucap Kang Giok-long dengan mendongkol.
"Ciiit ... ciittt ...." roda itu mulai berputar, dinding batu itu mendadak bergeser dan terbukalah sebuah pintu.
"Haha, lihatlah pintu neraka benar-benar terbuka," seru Siau-hi-ji dengan tertawa. Padahal ia pun tahu entah betapa sumbang suara tertawanya.
Cepat Kang Giok-long merangkak balik ke gua tadi untuk mengambil lentera.
Dengan memegang geretan Siau-hi-ji jalan di depan, bau apek terus menyerang, bau busuk yang selama hidup tak pernah terendus oleh Siau-hi-ji.
Nyali kedua anak muda itu terhitung tabah juga. Akhirnya mereka masuk ke sana. Tapi apa yang mereka lihat di situ membuat bulu roma berdiri serentak.
Mayat, di ruangan itu penuh mayat.
Sebenarnya istilah "mayat" juga tidak tepat, di situ hanya penuh jerangkong atau tengkorak yang berpakaian.
Tanpa terasa Siau-hi-ji bersin dan baju jerangkong di depannya lantas berhamburan menjadi bubuk.
Ngeri juga Siau-hi-ji, katanya, "Orang-orang ini mungkin sudah mati berpuluh tahun yang lalu."
"Mereka ... mereka semuanya mati kelaparan," ucap Kang Giok-long. "Coba lihat bentuk mereka, mungkin mereka jadi hampir gila karena laparnya ketika mendekat ajalnya, lihatlah ... lihatlah tangan mereka."
Teringat dirinya hampir juga bernasib seperti jerangkong itu, Siau-hi-ji jadi mual, akhirnya ia muntah sungguh-sungguh sehingga arak dan sosis yang dimakannya tadi tertumpah keluar.
"Entah siapa orang-orang ini?" gumam Giok-long.
Setelah air kecut terakhir tertumpah keluar, dengan tergopoh-gopoh barulah Siau-hi-ji berkata, "Melihat pakaian mereka yang kasar ini, mungkin mereka adalah tukang kayu dan tukang batu yang membangun tempat ini."
"Mereka ini tentu serombongan orang tolol," ujar Giok-long.
"Orang tolol?" tukas Siau-hi-ji.
Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau bukan orang tolol, untuk apa mereka mau membangun tempat rahasia ini, kan setelah membangun tempat rahasia ini berarti hidup mereka pun berakhir?"
"Kau tidak menaruh kasihan terhadap orang-orang yang mati ngeri begini?"
tanya Siau-hi-ji. "Kalau aku mati, siapa yang akan merasa kasihan padaku?"
"Bagus, bagus, kau sungguh hebat. Belasan tahun kubelajar di pusatnya orang jahat, tapi tampaknya aku masih kalah dibandingkan dirimu, aku masih harus belajar padamu."
"Aneh juga, mengapa Siau ...." belum habis ucapan Kang Giok-long, tiba-tiba terdengar suara tindakan orang di bagian atas, suara tindakan itu terasa perlahan dan berat seperti orang menyeret sesuatu barang berat.
Sekujur badan Siau-hi-ji terasa merinding, biarpun dia adalah orang paling tabah, pada saat demikian mau tak mau ia pun merasa takut.
Tidak terkecuali, Kang Giok-long juga gemetar. Kendati keji hatinya, tapi nyalinya kecil, "trang", lentera tembaga yang dipegangnya sampai terjatuh.
Suara langkah orang itu berkumandang dari atas dan semakin dekat. Kaki dan tangan Siau-hi-ji serasa lemas, geretan api entah sudah jatuh sejak kapan sehingga keadaan gelap gulita sama sekali.
Suara tindakan orang yang berat itu tiba-tiba berhenti tepat di atas mereka.
Mendadak bagian atas itu merekah sebuah lubang, cahaya senja menembus masuk melalui lubang itu.
Siau-hi-ji dan Kang Giok-long sama menahan napas dan tak berani bergerak sedikit pun. Mereka dapat melihat sepasang kaki. Itulah kaki yang halus dengan sepatu bersulam. Ujung gaun di kaki itu berwarna hijau, bagian lebih atas kaki tidak kelihatan.
Kedua anak muda itu saling pandang sekejap dan hampir berseru berbareng,
"Siau Mi-mi!" Jelas itu bukan badan halus atau setan gendruwo, tapi ialah Siau Mi-mi, si tukang pikat mati orang tak ganti nyawa.
Terdengar Siau Mi-mi sedang bergumam, "Silakan kalian istirahat untuk selamanya di sini, tempat ini sangat tenang, cuma rada terlalu berimpitan ...."
di tengah suaranya itu, berturut-turut beberapa sosok tubuh lantas jatuh ke bawah.
Siau-hi-ji berdua terkejut, mereka mengira Siau Mi-mi sedang membunuh pula, tapi segera mereka tahu tubuh yang berjatuhan itu hanya mayat belaka, yaitu para pemuda linglung yang diaku sebagai selir Siau Mi-mi itu.
Segera terdengar pula Siau Mi-mi bergumam, "Selamat tinggal para kekasihku! Istirahatlah dengan tenang di sini, bisa jadi terkadang kalian akan terkenang olehku."
"Blang", lubang itu lantas tertutup dan suasana kembali menjadi gelap gulita.
Sampai lama sekali Siau-hi-ji dan Kang Giok-long menunggu dalam kegelapan, akhirnya mereka menghela napas lega.
"Kang Giok-long," ucap Siau-hi-ji dengan tertawa, "Mayat-mayat ini adalah orang yang kau bunuh itu, apakah kau tidak takut mereka akan menagih nyawa padamu?"
"Di waktu hidup saja tidak takut pada mereka, apalagi sudah mati," jawab Kang Giok-long.
Siau-hi-ji berhasil menemukan kembali geretan yang jatuh di samping kakinya, segera api menyala pula sehingga wajah Kang Giok-long kelihatan pucat seperti mayat.
"Katamu tidak takut, mengapa mukamu pucat begini?" tanya Siau-hi-ji dengan tertawa.
Tetapi mendadak Kang Giok-long menjemput lentera yang jatuh tadi terus melangkah keluar.
Cepat Siau-hi-ji menyusul keluar, betapa pun ia tidak ingin tertutup di sini oleh Kang Giok-long, sesungguhnya ia pun tidak ingin masuk lagi ke ruangan istimewa itu. Jelas demikian pula jalan pikiran Kang Giok-long, ini terbukti sekeluarnya dari ruangan itu, kontan ia muntah habis-habisan sehingga air kecut dalam perut tertumpah keluar.
Siau-hi-ji bergumam sendiri, "Memangnya sudah kuragukan tempat ini pasti bukan dibangun oleh Siau Mi-mi. Perempuan, huh, mana mungkin perempuan mampu mencapai hasil karya sehebat ini, sekarang terbukti keraguanku itu memang tidak keliru."
"Hm," Giok-long hanya mendengus saja.
"Mungkin waktu itu Siau Mi-mi sedang mujur hingga dapat ditemukan tempat di atas itu. Tapi ketika dia sampai di sini dan melihat kerangka jerangkong sebanyak ini, dia tidak berani menyelidiki lebih lanjut, ia tidak tahu bahwa apa yang dilihatnya ini hanya sebagian kecil saja dari istana di bawah ini, bahkan bagian yang lebih hebat masih berada di belakang." Setelah menghela napas panjang, lalu Siau-hi-ji menyambung pula, "Namun siapa pula yang membangun tempat ini" Siapakah gerangan yang mampu mencapai hasil karya setinggi ini?"
"Paling tidak pasti bukan dirimu," jengek Kang Giok-long.
Mendongkol juga Siau-hi-ji melihat sikap orang, ia mencibir dan berkata,
"Jangan lupa bahwa ilmu silatku jauh lebih kuat daripada ilmu silatmu dan setiap saat dapat kusembelih kau."
Mau tak mau Kang Giok-long menjadi jeri, ia menyurut mundur selangkah dan berkata, "Kau ... kau ...."
"Namun kau pun jangan khawatir, yang kuhendaki adalah cara bicaramu yang sopan sedikit," kata Siau-hi-ji dengan tertawa.
Kang Giok-long melenggong sejenak, akhirnya ia menunduk dan menjawab,
"Usiaku terlalu muda sehingga tidak tahu sopan santun, bilamana ada yang tidak berkenan di hatimu, hendaklah memaafkan diriku. Betapa pun dalam hatiku selalu menganggap engkau sebagai kakakku."
"Untung kau bukan adikku sungguh-sungguh," kata Siau-hi-ji. Dengan api geretannya ia lantas mengitari ruangan segi delapan itu sambil meraba dan mengetuk ke sana-sini, kemudian ia bergumam pula, "Dinding segi delapan ini hanya satu sisi saja terbuat dari bata tanah, tujuh sisi dinding yang lain kecuali dinding batu dan dinding kayu yang sudah diketahui, selebihnya adalah dinding emas, perak, tembaga, besi dan timah."
"Mereka membangun dinding segi delapan ini dengan bahan yang berlainan, tentu ada maksud tujuan tertentu," kata Kang Giok-long.
"Benar, tahukah kau maksud tujuannya?"
"Justru karena aku tidak tahu, maka ingin kuminta petunjuk Toako."
Siau-hi-ji melotot sejenak, katanya kemudian, "Coba dengarkan, ingin kuberitahukan dua hal padamu."
"Mohon Toako memberi wejangan," kata Gioklong.
"Pertama, selanjutnya jangan memanggil Toako (kakak) padaku, merinding rasanya bila mendengar panggilanmu ini," ucap Siau-hi-ji dengan melotot.
Terkesiap juga Kang Giok-long, segera ia tertunduk pula dan mengiakan.
"Dan kedua, selanjutnya kau pun jangan berlagak pilon. Kutahu kau adalah orang pintar, bahkan sangat pintar, jadi tiada gunanya berlagak bodoh."
Kembali Kang Giok-long mengiakan dan mengangguk.
"Nah, sekarang coba katakan apa maksud tujuan mereka membangun tempat ini menurut dugaanmu?"
"Entah betul tidak tebakanku ...." ucap Kang Giok-long dengan ragu-ragu,
"terutama cara mereka membangun delapan sisi dinding yang berlainan ini, pertama menandakan di balik kedelapan sisi dinding ini tersimpan benda-benda yang berlainan pula."
"Benar, dan yang kedua?"
"Kedua, jelas ada hubungannya dengan roda-roda putaran ini. Roda batu ini menguasai dinding batu, maka roda emas itu tentu juga menguasai dinding emas."
"Bagus, coba teruskan!" seru Siau-hi-ji.
"Dinding kayu itu adalah arah kedatangan kita, keadaannya tidak perlu dijelaskan lagi, di balik dinding batu itu adalah kuburan, maka juga tidak perlu diperbincangkan lagi. Mengenai dinding tanah ini, tampaknya memang benar-benar tanah, jadi tiada sesuatu yang menarik. Yang tertinggal kini adalah dinding emas, perak, tembaga, besi dan timah."
"Betul, di balik kelima dinding ini pasti ada permainannya," kata Siau-hi-ji sambil berkedip-kedip, lalu ia menambahkan, "Menurut pendapatmu, dinding mana yang akan kita coba lebih dulu."
"Emas," jawab Giok-long.
"Tepat," kata Siau-hi-ji dengan tertawa. "Sekali ini kau telah bicara dengan setulus hati, sesungguhnya aku pun telah berpikir akan mencoba dinding emas lebih dulu, padahal manusia mana di dunia ini yang tidak berpikir demikian?"
Ketika roda emas itu berputar, benar saja dinding emas itu mulai bergeser dan terlihatlah sebuah pintu, belum lagi mereka masuk ke sana mata mereka sudah disilaukan oleh cahaya kemilauan.
Di balik dinding emas itu ternyata penuh benda mestika, mutu menikam yang sukar dinilai jumlahnya, siapa pun tak pernah bermimpi akan harta pusaka sebanyak ini.
Seketika Kang Giok-long terkesima, wajahnya yang pucat itu tampak bersemu merah aneh, jarinya juga rada gemetar.
Sedangkan Siau-hi-ji hanya memandang sekejap saja ke arah harta pusaka itu, lalu ditatapnya muka Kang Giok-long yang terangsang itu.
"Kau suka bukan?" tanyanya dengan tersenyum.
"Aku ... aku ...." biji leher Kang Giok-long yang baru mulai tumbuh itu bergerak naik-turun, "Kupikir setiap orang di dunia ini pasti menyukai barang beginian."
"Jika kau suka, anggaplah semua ini milikmu," kata Siau-hi-ji.
Kang Giok-long meliriknya dengan kejut-kejut girang, tapi cepat ia menunduk pula dan berkata, "Harta pusaka ini ditemukan dulu olehmu, dengan sendirinya adalah milikmu, aku ... aku cukup diberi sebagian saja sudah sangat berterima kasih."
"Aku tidak mau," kata Siau-hi-ji.
"Engkau tidak mau?" tukas Kang Giok-long dengan kaget, tapi segera ia menunduk pula dan menambahkan, "Jiwaku saja atas hadiahmu, sekali pun kau tidak mau membagi padaku juga aku tidak menyesal."
"Haha, mungkin kau sangka aku mencoba hatimu dan berdusta padamu?"
"Aku ... aku tidak ...."
"Ketahuilah bahwa aku benar-benar tidak mau, sedikit pun tidak mau."
Mata Kang Giok-long terbelalak, tanyanya, "Seb ... sebab apa?".
"Barang-barang ini tidak ada gunanya bagiku," jawab Siau-hi-ji dengan tertawa. "Lapar tidak dapat dimakan, haus tidak dapat diminum, kalau dibawa hanya menjadi beban belaka, malahan senantiasa berkhawatir kalau dibegal orang, untuk apa aku memilikinya?"
Kang Giok-long jadi melenggong.
Siau-hi-ji tidak menggubrisnya, ia mengitari ruangan itu dan bergumam pula dengan gegetun, "Tempat ini pun buntu, jelas jalan keluarnya tidak terletak di sini."
Mendadak Kang Giok-long bergelak tertawa, tertawa keras.
"Ada apa" Kau melihat setan?" tanya Siau-hi-ji.
"Aku pun tidak menginginkan barang ini."
"O, sungguh aneh. Sebab apa?"
"Sedangkan soal kita dapat keluar dari sini dengan hidup atau tidak juga belum diketahui, untuk apa memikirkan barang begini?"
"Haha, tampaknya kau tidak terlalu bodoh dan masih bisa berpikir," seru Siauhi-ji sambil berkeplok tertawa. "Justru banyak orang yang lebih suka mengorbankan jiwa demi barang beginian, sungguh aku menyangsikan otak mereka itu apakah waras?"
Begitulah kemudian Siau-hi-ji memutar lagi roda tembaga, apa yang dilihatnya di dalam ruangan itu adalah berbagai bentuk senjata yang jumlahnya tak terhitung banyaknya, aneka macam senjata berat dan juga senjata rahasia. Banyak senjata yang dikenalnya, tapi lebih banyak senjata yang aneh dan tidak diketahui namanya. Mungkin segala macam senjata pembunuh di dunia ini terdapat di ruangan ini.
Sekenanya Siau-hi-ji melolos sebatang pedang, "trang", terdengar suara mendering dengan cahaya yang menyilaukan. Tanpa terasa ia berseru memuji, "Pedang bagus!"
"Biarpun pedang ini terhitung senjata tajam, tapi belum apa-apa kalau dibandingkan senjata yang lain," ujar Giok-long. Lalu ia mengambil semacam senjata dan berkata pula, "apakah kau kenal senjata ini?"
Senjata itu berbentuk kepala naga, ada tanduknya dan mulut terbuka sehingga kelihatan lidahnya.
"Tampaknya seperti Kim-liong-pian (ruyung naga emas)" kata Siau-hi-ji.
"Betul, ini memang Kim-liong-pian, tapi ruyung ini berbeda daripada ruyung umumnya."
"O, ya?" "Ruyung ini bernama Kiu-hian-sin-liong-pian (ruyung naga nawa sakti), senjata ini sekaligus mencakup sembilan daya-guna."
"Wah, sungguh menarik, coba ceritakan!"
"Sepanjang ruyung ini penuh sisik terbalik yang dapat dibuat membetot senjata musuh atau juga buat melengket senjata rahasia lawan, tanduk yang bercabang ini khusus mengatasi segala macam senjata lemas lawan, kalau lidah terjulur dapat digunakan untuk menutuk Hiat-to. Mulut naga yang terbuka itu dapat menggigit senjata musuh, selain itu sepasang naga itu adalah senjata rahasia yang dapat meletus, di mulut naga tersimpan pula tiga belas biji paku berbisa, asal lawan berdarah segera tutup napas. Dalam keadaan kepepet, batang ruyung yang penuh sisik itu pun dapat dihamburkan untuk menyerang musuh."
"Wah, benar-benar senjata bagus, senjata lihai!"
"Cuma sayang senjata macam begini, di seluruh jagat ini hanya ada dua buah saja. Entah mengapa yang sebuah ini dapat berada di sini."
"Dan di mana pula yang sebuah?"
"Senjata ini sudah lama menghilang di dunia Kangouw, yang sebuah lagi juga entah lenyap ke mana. Kalau saja yang sebuah itu muncul pula di dunia Kangouw, maka sukar dibayangkan betapa banyak akan mengambil korban."
"Sungguh tidak menyangka usiamu sebelia ini, tapi sudah sangat hafal terhadap senjata yang hebat itu," kata Siau-hi-ji dengan tertawa.
Tiba-tiba Kang Giok-long mengedip seakan-akan menyadari apa yang diucapkannya itu agak terlalu banyak, cepat ia menjawab, "Ah, aku pun dengar dari orang lain. Kau tahu ayahku sangat luas pergaulannya dan di antara sahabatnya tentu ada satu-dua orang yang serba tahu."
"Jika demikian, jadi kau dapat menggunakan senjata ini?" tanya Siau-hi-ji dengan tertawa hambar.
"A ... alangkah baiknya jika kudapat menggunakan senjata ini," jawab Gioklong dengan menyeringai. Seperti acuh tak acuh ia taruh kembali ruyung itu, padahal matanya terus mengincar gerak-gerik tangan Siau-hi-ji.
Siau-hi-ji tertawa-tawa saja seperti menaruh perhatian apa-apa, tapi pandangannya sebenarnya juga tidak pernah meninggalkan ruyung sakti yang dipegang Kang Giok-long.
Meski keduanya masih muda belia, tapi betapa licin jalan pikiran mereka biarpun dua puluh tujuh kakek berumur tujuh puluh tahun bergabung menjadi satu juga tiada melebihi salah satu di antara mereka.
"Kalau begitu, bila salah sebuah senjata yang terdapat di sini dikeluarkan pasti juga akan membikin geger dunia persilatan," ujar Siau-hi-ji. "Lebih-lebih ruyung sakti ini .... Ai, toh aku tidak mahir menggunakannya, biarlah kau ambil saja."
Tapi sebelum habis Siau-hi-ji berkata, lebih dulu Kang Giok-long sudah menyingkir ke sana, jawabnya dengan tertawa, "Senjata keji begitu, lebih baik tak kupakai."
"Padahal senjata adalah benda mati, yang hidup manusianya, asalkan manusianya kuat, senjata apa pun yang dipakainya juga sama saja, senjata begini memang sebaiknya jangan digunakan," kata Siau-hi-ji dengan tertawa.
Mendadak ia lolos sebilah pedang yang tajam, ia tabas ruyung beracun itu hingga terkutung menjadi berpuluh bagian.
Dengan sendirinya Kang Giok-long tetap tersenyum simpul dan berulang-ulang menyatakan setuju senjata keji itu dimusnahkan saja. Tapi berbareng ia lantas berpaling ke sana, matanya merah beringas, kalau bisa Siau-hi-ji hendak diganyangnya bulat-bulat.
Perlahan Siau-hi-ji meraba pedangnya, katanya dengan tertawa, "Sungguh pedang bagus, mestinya akan kubawa serta, tapi kupikir lebih baik tetap kutinggalkan di sini saja, bagi orang seperti diriku ini, biarpun bertangan kosong juga ...."
Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar Kang Giok-long menjerit, "He, lihat ini ...."
Kiranya di pojok sana tergeletak serangka jerangkong yang bersandar miring pada dinding. Pakaian pada jerangkong yang bersandar miring itu pun sudah hancur, kerangka tulang yang mestinya berwarna putih kelabu kini telah berubah menjadi kehitam-hitaman, di bawah kemilau sinar berbagai senjata itu tampaknya menjadi seram.
"Aneh, mengapa orang ini bisa mati di sini?" Mengapa dia tidak dibuang ke dalam kuburan tadi?" demikian Kang Giok-long bergumam sendiri.
"Orang yang dapat masuk ke kamar ini mungkin adalah tuan rumahnya,"
ucap Siau-hi-ji. "Tuan rumah di sini dengan sendirinya mutlak tokoh terkemuka dunia persilatan."
"Tapi tuan rumah mengapa bisa mati di sini?" demikian ia menambahkan pula dengan berkerut kening. "Siapakah yang membunuhnya" Kalau melihat caranya bersandar di situ jelas tiada tanda-tanda gerakan melawan, terang dia dibinasakan lawannya dengan sekali hantam."
"Bila melihat warna tulangnya, tampaknya dia mati keracunan," kata Gioklong.
"Benar," tukas Siau-hi-ji.
Sejenak kemudian, mendadak kedua orang berseru berbareng, "He, kiranya dia terkena senjata rahasia berbisa."
Kiranya mereka menemukan di antara ruas tulang jerangkong itu tertancap berpuluh-puluh jarum lembut, jarum perak sekecil itu ternyata dapat menembus kulit daging dan menancap di tulang.
"Lihai amat senjata rahasia ini dan luar biasa kejinya," kata Siau-hi-ji dengan ngeri.
"Entah sia ... siapa yang turun tangan sekeji ini," ucap Giok-long.
Siau-hi-ji memandangnya sekejap, katanya kemudian, "Tidak perlu kau ganti ucapan, tidak cuma kau yang kenal senjata rahasia ini, aku pun tahu."
"Ya, Tau-kut-coan-sim-ciam (jarum penembus tulang dan penancap hati) ini memang tidak malu sebagai senjata rahasia nomor satu di dunia," kata Kang Giok-long dengan menyengir. Mendadak sekilas dilihatnya di rak senjata sana ada sebuah bumbung kecil berwarna kuning kemilau, cepat ia menggunakan tubuhnya untuk mengalingi pandangan Siau-hi-ji, sembari berbatuk-batuk ia terus menggeser ke sana.
"Ah, jika kau terbatuk-batuk terus, aku bisa ketularan olehmu," kata Siau-hi-ji dengan tertawa. Habis itu ia benar-benar ikut terbatuk-batuk sehingga berjongkok.
Pada waktu Siau-hi-ji berjongkok itulah, secepat kilat tangan Kang Giok-long terus meraih bumbung kecil tadi. Tak diketahuinya bahwa pada saat yang sama Siau-hi-ji juga telah mengambil sesuatu benda dari tangan jerangkong itu terus disisipkan ke baju.
Yang diambil Siau-hi-ji itu hanya sepotong bambu dan tak diketahui apa gunanya, dia hanya merasakan benda yang tergenggam kencang di tangan orang mati, mustahil kalau benda itu tiada gunanya.
Kang Giok-long sendiri berusaha menahan rasa girangnya, ia pura-pura berkerut kening dan berkata, "Jika orang mati ini pemilik tempat ini, mengapa dia bisa diserang orang mati di sini" Apabila dia bukan tuan rumahnya, tentunya tiada alasan dia mati di sini."
"Ya, kalau dia bukan tuan rumahnya, pada hakikatnya dia tidak dapat masuk ke sini," Siau-hi-ji menambahkan. "Tampaknya di sini masih banyak tersimpan rahasia dan teka-teki yang belum tersingkap."
"Rahasia yang menakutkan," tukas Giok-long.
"Di dunia ini tidak ada rahasia yang menakutkan, semua rahasia di dunia cukup menarik," kata Siau-hi-ji dengan tertawa.
Begitulah mereka lantas keluar dari ruangan yang menakutkan dan juga menarik itu, mereka jalan berjajar sambil mengangkat tinggi-tinggi kedua tangan mereka yang memegangi lentera untuk membuktikan bahwa mereka tidak mengambil sesuatu benda yang berada di kamar itu.
Waktu mereka memutar lagi roda besi, cahaya lentera lantas menembus ke dalam kamar besi yang berhawa dingin.
Kang Giok-long melangkah masuk lebih dulu, baru saja ia memandang sekejap sekeliling, sekonyong-konyong ia menjerit dan mundur kembali, sikap kagetnya itu mengingatkan orang pada perempuan yang kaget melihat lelaki telanjang.
"Ada apalagi di dalam situ?" tanya Siau-hi-ji.
Dengan muka pucat Giok-long menjawab, "Pernahkah kau lihat jerangkong berdiri?"
"Jerangkong berdiri" Belum pernah lihat."
"Segera kau dapat melihatnya."
"Ehm, jerangkong berdiri, menarik juga!" ucap Siau-hi-ji dengan tertawa sambil melangkah masuk.
Tapi segera ia tidak jadi tertawa lagi. Ruangan besi sangat luas dan amat tinggi. Sekeliling kosong melompong tiada sesuatu barang pun, seorang kalau berdiri di situ akan merasa seperti berdiri di tengah lapangan yang luas.
Justru di tengah ruangan yang luas dan seram itulah terkontal-kantil berdiri dua kerangka jerangkong. Dua jerangkong yang putih dan saling rangkul dengan erat. Sudah tentu kulit daging kedua orang mati itu sudah hancur dan musnah, tapi kedua kerangka jerangkong itu masih berdiri saling rangkul.
Merinding juga Siau-hi-ji menyaksikan keadaan itu, tapi di mulut ia berkata dengan tertawa, "Mungkin mereka ini lelaki dan perempuan, bahwa menghadapi ajal mereka tetap berpelukan, dapat diduga hubungan mereka pasti sangat istimewa, bisa jadi mereka mati demi cinta."
"Kalau antara mereka ada hubungan istimewa, tentunya mereka tidak mati berdiri," kata Giok-long yang telah ikut masuk.
"Ah, hal ini tak terpikir olehku," ucap Siau-hi-ji dengan tertawa. "Ya, dalam hal ini kau memang lebih berpengalaman daripadaku. Tapi kalau kedua orang ini lelaki semua, sebab apa pula berpelukan?"
Sembari bicara ia pun mendekat ke sana, ia termenung di depan kedua jerangkong itu, kemudian ia menghela napas panjang dan berkata pula,
"Kedua orang ini ternyata lelaki semua."
"Sudah jelas engkau melihatnya?" tanya Kang Giok-long.
"Ehm," jawab Siau-hi-ji.
"Hubungan antara lelaki dan lelaki terkadang juga bisa mesra."
"Tapi hubungan kedua orang ini bukan saja tidak mesra, bahkan sangat buruk."
"Dari mana kau tahu?" tanya Giok-long.
"Lihat saja sendiri dan tentu kau akan tahu," jawab Siau-hi-ji.
Kiranya kedua kerangka jerangkong itu sebenarnya tidak berpelukan, tapi telapak tangan orang sebelah kiri langsung menusuk masuk ke dalam iga orang yang sebelah kanan, dengan tangan telanjang dapat menusuk ke dalam lambung lawannya, betapa hebat ilmu silatnya sungguh sukar dibayangkan. Akan tetapi rusuk sendiri juga patah tujuh atau delapan batang, tulang tenggorokannya juga kena diremas hancur oleh lawannya sehingga kepalanya terkulai di atas pundak lawan.
Jadi kedua orang ini saling melancarkan serangan maut dalam satu duel sengit dan akhirnya gugur bersama.
"Sungguh Eng-jiau-kang (ilmu cakar elang) yang lihai dan tenaga pukulan yang dahsyat," kata Kang Giok-long dengan kagum. "Tampaknya kedua orang ini adalah tokoh terkemuka dunia persilatan, entah mengapa bisa mati di sini."
Belum habis ucapannya, terdengarlah suara gemeresak, kedua kerangka jerangkong itu serentak ambruk dan berubah menjadi onggokan tulang.
Siau-hi-ji termenung sejenak, katanya, "Melihat kelihaian ilmu silat mereka, mungkin mereka pun salah satu tuan rumah di sini, mereka mengasingkan diri bersama di tempat rahasia begini, hubungan mereka tentu sangat karib, tapi mengapa mereka saling labrak mati-matian dan berakhir dengan gugur bersama." Sembari berkata ia menjemput pula dua macam barang dari onggokan tulang itu.
"Yang kuherankan adalah sebab apa tiada yang mengurus kematian kedua orang ini" Bahwa jerangkong mereka sampai tadi masih berdiri, ini menandakan kamar ini sudah berpuluh tahun tidak pernah dimasuki orang,"
ujar Kang Giok-long. "Betul juga," ucap Siau-hi-ji sambil menyimpan kedua barang yang ditemukannya tadi.
"Lalu, ke mana perginya orang-orang lain yang menghuni istana bawah tanah ini" Memangnya sudah mati semuanya?"
"Bukan saja mati semua, bahkan mati dalam waktu yang sama, kalau tidak, kerangka tulang mereka tentu takkan tertinggal sampai sekarang."
Baru sekarang mereka menemukan di ruangan longgar dan seram ini masih ada lima buah meja pendek, di atas meja ada alat-alat tulis dan buku.
"Tampaknya ruangan ini adalah kamar tulis, sungguh menarik," kata Siau-hi-ji.
"Bukan kamar tulis, kamar tulis tidak seluas ini," ujar Giok-long.
"Orang suka kamar yang besar, peduli apa kau?" kata Siau-hi-ji sambil melangkah ke sana. Ia membalik-balik iseng halaman buku yang terletak di meja itu. Mendadak air mukanya berubah hebat.
Melihat itu, cepat Kang Giok-long juga mendekat ke sana, ia pun membalik-balik halaman buku di meja lainnya. Hanya sebentar saja membaca isinya, seketika air mukanya juga berubah.
Buku-buku itu tersusun dari kain sutera yang halus, yang tercatat di situ ternyata adalah ajaran ilmu silat yang mahatinggi.
Meski ilmu silat Siau-hi-ji dan Kang Giok-long diperoleh dari guru yang ternama, tapi kini mereka pun merasa tercengang ketika mengetahui ilmu silat yang pernah mereka pelajari itu pada hakikatnya tidak ada artinya apabila dibandingkan dengan ilmu silat yang tercatat dalam buku itu. Buku sutera itu masih terpegang di tangan mereka dan terasa berat untuk dikembalikan ke tempat semula.
Sampai agak lama barulah Siau-hi-ji menarik napas panjang, katanya,
"Tahulah aku sekarang."
"Kau tahu apa?" tanya Giok-long sambil tetap memandangi buku yang dipegangnya itu.
"Di sini tentu ada lima orang top jago silat, mereka berlima berkumpul di ruangan ini untuk berlatih, dari hasil teori dan praktik mereka inilah segera mereka catat di meja pendek itu."
"Betul juga," Kata Giok-long. "Makanya ruangan ini sangat luas karena memang tempat latihan ilmu silat."
"Lima tokoh, yang sudah kita lihat baru tiga," ujar Siau-hi-ji. "Jika tidak keliru dugaanku, pada dua kamar yang lain pasti ada jenazah kedua orang lagi.
Marilah kita pergi."
Baru sekarang pandangan Kang Giok-long beralih dari buku yang dipegangnya itu dan menegas, "Pergi" Kau ... kau bilang pergi?"
"Ada apa" Masa mendadak kau tidak paham perkataanku?"
"Tapi ... tapi kitab pusaka ilmu silat ini" ...." tanya Kang Giok-long.
"Taruh saja di situ, toh mereka takkan lari," ucap Siau-hi-ji.
"Ba ... baiklah ... aku menurut saja," belum habis ucapannya, mendadak ia keluarkan bumbung warna emas yang ditemukannya di kamar senjata tadi, lalu menyambung pula dengan menyeringai, "Apakah engkau masih kenal barang ini?"
Siau-hi-ji seperti terkejut, jawabnya, "Tau-kut-coan-sim-ciam ...."
"Benar, tajam benar ingatanmu," kata Giok-long. "Sebenarnya barang ini baru akan kugunakan terhadapmu bila kita keluar dari sini. Tapi sekarang tak dapat kuampunimu lagi."
"Kau ... kau ingin membunuhku?"
"Kecuali kau mampu menghindari paku penembus tulang ini. Tapi kulihat kau tidak mempunyai kemampuan ini, di dunia ini memang tidak banyak yang memiliki kemampuan demikian."
"Jika kau bunuh diriku, apakah kau takkan kesepian tinggal sendirian di sini."
"Ilmu silat mahatinggi dan harta karun maha besar yang terdapat di sini kini sudah menjadi milikku seluruhnya, setelah kutemukan jalan keluarnya segera aku akan menjadi tokoh nomor satu di dunia, ya mahakaya, ya mahalihai, lalu apalagi yang perlu kutakuti?"
"Ah, baiklah jika begitu, silakan kau bunuh saja," ucap Siau-hi-ji sambil menghela napas.
"Kau tidak takut?" tanya Giok-long sambil menyeringai.
Mendadak Siau-hi-ji bergelak tertawa, katanya, "Kutakut" Hahahaha, apa yang perlu kutakuti" Bumbung jarum berbisa yang kau pegang itu kosong!"
"Kosong?" Giok-long menjadi pucat.
"Masakah tak kau pikirkan, apabila bumbung jarum itu tidak kosong, kenapa orang membuangnya di lantai. Jarum yang tersimpan di dalam bumbung itu sudah digunakan pemiliknya untuk membunuh lawannya, habis itu barulah dia buang bumbung kosong ini. Teori sederhana begini masakan tak terpikirkan olehmu?"
"Kau ... kau ...." suara Giok-long menjadi gemetar.
"Tadi kau pura-pura batuk untuk menjemput bumbung ini, jika aku tidak yakin bumbung ini kosong, mana bisa kubiarkan kau mengambilnya," setelah tertawa, lalu Siau-hi-ji menyambung pula, "Apalagi jarum ini sangat sukar cara pembuatannya, bumbung tanpa jarum sama dengan benda tak berguna."
Dahi Kang Giok-long tampak berkeringat, katanya dengan tergagap, "Bukan
... bukan maksudku hendak membunuhmu sungguh-sungguh, aku hanya ...
hanya ...." Mendadak "trang" sekali, bumbung yang dipegangnya itu jatuh ke lantai.
"Ya, ya, kutahu engkau hanya bercanda saja denganku," ucap Siau-hi-ji setengah mengejek.
"Sumpah mati, sejak awal mula kupandang engkau sebagai kakakku," kata Giok-long pula dengan sikap sungguh-sungguh, sedikit pun tidak malu.
"Memangnya, kau pandang diriku sebagai kakak, mana bisa kau membunuhku."
"Asalkan Toako tahu saja, maka legalah hati Siaute (adik)," kata Kang Gioklong.
"Dan sekarang, kau mau keluar bukan?"
Giok-long mengiakan dan terpaksa melangkah keluar dengan tertunduk.
Kini yang diputar Siau-hi-ji adalah roda timah. Dengan tertawa ia berkata,
"Kamar batu itu adalah kuburan, kamar besi dijadikan ruangan latihan, kamar emas tempat harta pusaka, kamar tembaga tempat senjata, semua itu memang masuk di akal. Dan apa isi kamar timah ini, dapatkah kau menerkanya?"
"Jangan-jangan kamar tidur?" ucap Giok-long sambil berkedip-kedip.
"Persetan! Masa tidur di kamar timah?" kata Siau-hi-ji sambil tertawa.
"Menurut pendapatmu, apa isi kamar ini?"
"Kukira ...." belum lanjut ucapan Siau-hi-ji, terlihatlah dinding timah telah mulai bergerak dan mendadak dari dalam menerjang keluar seekor singa sehingga Giok-long yang tepat berdiri di depan dinding itu hampir kena terkam. Keruan anak muda itu terkejut dan cepat melompat mundur.
Waktu diteliti, kiranya singa itu sudah tidak bernyawa lagi, bulunya masih utuh, tapi kulit dagingnya sudah tidak ada lagi, hanya tertinggal kerangka tulang berbalut kulit yang menakutkan itu saja.
"Singa itu tentu kelaparan setengah mati dan berusaha keluar, waktu mati dia masih berdiri bersandar pintu sehingga membuat kaget kita pula," kata Siauhi-ji.
"Sungguh tak tersangka bahwa tempat ini adalah kandang binatang buas,"
ucap Giok-long. "Mereka memelihara binatang buas di kamar ini, kukira pasti juga mempunyai maksud tujuan ...." sembari berkata begitu ia pun sudah melangkah masuk dan mendadak berseru pula, "Ah, kiranya begitu tujuannya."
Cepat Kang Giok-long ikut masuk ke situ, dilihatnya ruangan yang berwarna putih kelabu itu penuh bercahaya gemilapan menyilaukan mata. Dipandang dari jauh bisa jadi orang akan menyangka ruangan ini tersimpan harta pusaka pula. Tapi setelah diawasi barulah jelas bahwa harta pusaka yang beraneka warna itu tidak lain daripada berbagai benda jenis botol kecil yang bentuknya aneh dan berbeda-beda.
"Tentunya kau tahu apa isi botol-botol ini?" tanya Siau-hi-ji.
Giok-long menarik napas dingin, katanya, "Racun!"
"Benar, mereka memelihara singa ini untuk menjaga obat racun di sini."
"Tapi ... tapi siapakah yang mampu masuk ke sini" Pada hakikatnya mereka tidak perlu menjaganya."
"Yang mereka jaga justru kawan sendiri."
"Kawan sendiri?" Giok-long mengeret dahi.
"Ya, misalnya kau tinggal bersamaku setiap saat aku pun harus waspada kalau-kalau kau meracuni aku. Tapi dengan singa penjaga ini tentu sukar jika ingin masuk ke sini untuk mencuri racun, sebab pasti akan ketahuan kawan yang lain."
Habis itu, mendadak Siau-hi-ji berjongkok memandang lantai dan berseru,
"Ah, jenazah orang keempat ternyata betul berada di sini!"
Giok-long melihat Siau-hi-ji hanya menjemput sekerat tulang dari lantai.
Setelah berpikir ia pun berseru, "Hah ... jangan-jangan mayatnya telah menjadi isi ... isi perut singa?"
"Ya, mungkin sudah nasib bagi orang ini, bukan saja terbunuh di sini, bahkan mayatnya dimakan singa," ucap Siau-hi-ji dengan gegetun.
Lalu ia jemput pula dua kerat tulang, katanya sambil mengernyit kening,
"Tampaknya selain singa di sini masih ada serigala dan harimau."
"Serigala dan harimau" Di mana?"
"Kakap makan teri, yang lemah menjadi mangsa yang kuat. Tentunya lebih dulu kawanan binatang buas itu makan manusia, habis itu serigala dimakan harimau dan singa, lalu giliran harimau dimakan singa. Maklumlah, selera makan singa biasanya lahap dan tidak pandang bulu."
Sekonyong-konyong Kang Giok-long tertawa ngakak.
"Urusan apa membuatmu bergembira?" tanya Siau-hi-ji.
"Coba menoleh!" sahut Kang Giok-long dengan tertawa. Entah sejak kapan dia ternyata sudah memegang sesuatu benda kehitam-hitaman seperti bumbung bambu. Sambil tertawa ia berkata pula, "Sungguh mujur aku sehingga dapat menemukan mestika ini."
"Apa itu?" tanya Siau-hi-ji sambil berkedip.
"Kau tidak kenal benda ini" Sungguh dangkal pengetahuanmu" Dahulu jago pedang nomor satu di dunia Bu-tim Totiang juga tewas oleh barang-barang ini, supaya kautahu, inilah Ngo-tok-cui (air pancabisa) yang lihai, tubuh siapa saja asalkan kena setitik air ini, dalam waktu setengah jam saja sekujur badan pasti akan membusuk dan mati."
"Wah, jika begitu, bawalah ke sana agak jauh agar aku tidak kena," kata Siauhi-ji.
"Hm, kau berlagak pilon atau memang bodoh dan tidak paham?" jengek Kang Giok-long sambil menyeringai.
"Hah, masakah kau ... kau hendak membunuhku?" Siau-hi-ji garuk-garuk kepala yang tidak gatal.
"Sekali ini jangan harap kau mampu lolos lagi," ancam Giok-long. "Air berbisa ini baru saja sudah kucoba, asalkan tanganku sedikit bergerak, maka tamatlah riwayatmu."
"Apakah kau benar-benar harus membunuh diriku?" tanya Siau-hi-ji sambil tersenyum getir.
"Kalau tadi kau tidak banyak cincong dan membiarkan kubawa serta kitab pusaka ilmu silat itu, bisa jadi kau akan hidup lebih lama, tapi sekarang mau tak mau kau harus mati."
"Jangan lupa, mestinya aku dapat membunuh dirimu, tapi selama ini tidak kulakukan."
"Hm, itu kan salahmu sendiri, jangan menyesalkan diriku," jengek Kang Gioklong.
"Hah, bagus ...." seru Siau-hi-ji gegetun. Habis ini mendadak ia tertawa dan berkata, "Hahaha, coba lihat dulu apa yang kupegang ini."
Yang dipegangnya ternyata adalah bumbung jarum berbisa yang dibuang Kang Giok-long tadi.
Dengan sendirinya Kang Giok-long tertawa geli, ejeknya, "Hahaha, mungkin kau ketakutan sehingga otakmu miring, masa menggunakan bumbung kosong itu untuk menggertak orang."
"Kosong" Siapa bilang?" tanya Siau-hi-ji dengan terkikik.
"Kau ... kau sendiri tadi ...." Kang Giok-long jadi melenggong malah.
"Ya, memang benar tadi kubilang bumbung ini kosong, tapi itu tipu belaka.
Coba pikir, dalam keadaan begitu, kalau aku tidak menipumu, lalu apa jadinya?"
7 Jilid 7. Pendekar Binal Air muka Kang Giok-long berubah pucat, tapi ia menjengek, "Hm, sekarang kau hendak menipuku pula, bukan" Bumbung jarum itu jelas sudah terpakai
...."
Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Benar, sudah terpakai, tapi terpakai berapa kali"
"Berapa kali" Sudah tentu hanya sekali."
"Itu dia, di situlah letak kebodohanmu," Siau-hi-ji berolok-olok. "Tahukah kau bahwa karena cara pembuatan jarum berbisa ini memakan waktu lama, maka setiap pesawat bumbung ini diisi dengan tiga susun jarum. Dengan demikian bumbung ini sekaligus dapat digunakan tiga kali berturut-turut."
Seketika keringat dingin mengucur di muka Kang Giok-long, katanya dengan suara gemetar, "Habis apa ... apa kehendakmu?"
"Aku tidak menghendaki apa-apa, cukup kau pikir saja, apakah air berbisa yang kau pegang itu lebih cepat semprotnya atau jarum berbisa yang kubidikkan ini lebih cepat?"
Tangan Kang Giok-long mulai gemetar, jawabnya, "Kau ... kau jangan menipu aku lagi, kau tidak ... tidak tahu ...."
"Hm, aku tidak tahu?" jengek Siau-hi-ji. "Sejak kecil aku dibesarkan di Ok-jin-kok. Senjata berbisa macam apakah yang tidak kuketahui?"
Tubuh Kang Giok-long menjadi lemas, ucapnya dengan menyengir, "Ya, dengan sendirinya pengetahuan dan pengalaman Toako jauh lebih luas, mana Siaute dapat menandingi." Belum habis ucapannya, botol berisi air berbisa itu cepat-cepat dikembalikannya ke tempat semula.
"Hehehe, kalau aku tidak membunuhmu, tentunya salahku sendiri, begitu bukan?" demikian Siau-hi-ji mengulangi ejekan Kang Giok-long tadi.
"O, ma ... maaf Toako, usiaku terlalu muda sehingga sembarangan omong, harap Toako sukalah me ... memaafkan," kata Giok-long sembari menyurut mundur.
"Ai, memang anak pintar, tidak sedikit pengetahuanmu, cuma sayang dibandingkan aku masih terpaut sedikit," kata Siau-hi-ji dengan gegetun, perlahan jarinya menekan pesawat bumbung jarum.
"Klik", bumbung jarum itu berbunyi satu kali, sekujur badan Kang Giok-long terasa lemas dan hampir semaput karena takutnya. Tapi bumbung jarum berbisa itu ternyata tidak membidikkan sesuatu.
Dalam pada itu botol air berbisa tadi pun sudah diambil oleh Siau-hi-ji, katanya dengan bergelak tertawa, "Hahaha, supaya kau tahu bahwa bumbung ini memang kosong sungguh-sungguh. Sekali jepret jarum berbisa ini 130 biji, bumbung sekecil ini, mana bisa menyimpan tiga susun jarum sebanyak itu. Teori sederhana begini saja tak terpikir olehmu?"
Kang Giok-long menggerung sekali dan benar-benar jatuh pingsan. Bukan pingsan lantaran ketakutan tapi pingsan saking dongkolnya.
***** Minyak lentera tembaga itu sudah hampir kering, terpaksa Kang Giok-long merangkak balik ke gua yang digalinya itu untuk menambah minyak, ia pun mengambil sedikit ransum dan air minum, dengan munduk-munduk ia antar semua itu ke hadapan Siau-hi-ji. Setelah Siau-hi-ji kenyang makan barulah ia berani makan sisanya.
Kalau saja bapaknya melihat sikap Kang Giok-long itu, bisa jadi ayahnya akan mati melotot karena keki. Soalnya belum pernah Kang Giok-long berbuat sebakti itu kepada bapaknya.
Selesai makan, Siau-hi-ji mengusap mulut dan bergumam, "Kini tinggal sebuah kamar saja yang belum kita periksa. Kukira jalan keluarnya berada di situ."
Akhirnya ia memutar roda perak, di balik dinding perak itu ternyata lain daripada yang lain. Di sinilah letak istana di bawah tanah yang sebenarnya.
Beberapa kamar Siau Mi-mi terhitung indah dan mewah, tapi kalau dibandingkan kamar perak ini boleh dikatakan seperti rumah kampung berbanding gedung megah di kota.
Tepat di balik dinding perak itu adalah sebuah lorong, lantainya dilapisi permadani halus tebal, kedua sisi lorong itu ada enam daun pintu yang diberi berkerai mutiara.
Cahaya lampu menyinari kerai mutiara yang gemerlapan itu. Siau-hi-ji merasa seperti berada di Surgaloka. Tetapi sedikit pun ia tidak tertarik oleh keindahan hiasan itu, dia hanya bergumam, "Sungguh aneh, lima orang mengapa ada enam kamar" Orang keenam, mungkin juga tidak mahir ilmu silat, kalau tidak, mengapa meja pendek di sana cuma ada lima buah saja?"
Sembari berucap ia pun melangkah masuk ke kamar pertama. Kamar ini dipajang seperti kamar perempuan, di samping meja tertaruh bahan dan alat rias komplet. Di belakang tempat tidur bahkan ada sebuah Bhe-tang, yakni tong yang terbuat dari kayu untuk buang air.
Siau-hi-ji jadi tercengang sehingga matanya terbelalak, serunya, "He, kamar wanita" Jadi tuan rumah di sini seorang perempuan" Ah, mati pun aku tidak percaya."
Kelambu bersulam tampak setengah terjuntai. Waktu Siau-hi-ji menyingkap kelambu itu, di atas ranjang berbaring sesosok jerangkong, rambut dan tusuk kundai masih utuh tertinggal di atas bantal, jadi jelas memang seorang perempuan.
Siau-hi-ji berkerut kening, katanya sambil menoleh, "Beberapa kerangka jerangkong tadi lelaki atau perempuan, apakah kau memperhatikannya?"
"Lelaki, kalau perempuan tentu tulang pinggulnya lebih besar," jawab Gioklong.
"Dalam hal membedakan beginian kau memang ahli, itulah sebabnya aku tidak membunuh
"Bisa jadi orang keenam adalah perempuan."
"Betul," kata Siau-hi-ji.
Tetapi mereka ternyata salah duga semuanya. Kamar kedua tetap kamar orang perempuan, yang menggeletak di ranjang situ juga jerangkong perempuan. Kamar ketiga, keempat, semuanya juga begitu.
Siau-hi-ji menggeleng-geleng kepala, katanya, "Kiranya di sini tidak hanya ada lima orang atau enam orang, rupanya para tokoh Bu-lim ini datang ke sini dengan istri masing-masing. Mereka terbunuh sehingga istri mereka pun ikut menjadi korban."
"Tampaknya Hiat-to perempuan-perempuan ini tertutuk, habis itu baru mati kelaparan," ujar Giok-long.
"Tapi kukira orang yang menutuk mereka itu tiada maksud hendak membunuhnya."
"Namun mereka telah mati semua."
"Mungkin orang yang menyerang mereka itu bermaksud kembali lagi untuk membuka Hiat-to mereka, tapi entah mengapa ia sendiri pun terbunuh dan yang celaka adalah perempuan-perempuan ini."
"Jika begitu, mana orang yang membunuh mereka itu?"
Melongo juga Siau-hi-ji oleh pertanyaan itu, jawabnya kemudian, "Setan yang tahu."
Lalu ia masuk ke kamar kelima dan menyingkap kelambu pula sambil berkata, "Manusia memang aneh, sekalipun sudah tahu yang berbaring di ranjang ini adalah tulang belulang orang perempuan, toh dia tetap ingin membuka kelambu untuk melihatnya ...." Belum habis ucapannya segera ia tahu dugaan sendiri kembali salah lagi.
Di atas ranjang itu ada kerangka jerangkong, lelaki dan perempuan, yang lelaki tengkurap menindih di atas jerangkong perempuan, tulang punggungnya hancur terpukul, tampaknya sekali dihantam orang terus binasa. Agaknya sebelum terbunuh, kedua orang itu sedang main cinta.
"Inilah orang yang sedang lupa daratan dibuai asmara dan mendadak disergap orang," kata Giok-long. "Ai, orang yang menyerang ini sungguh keterlaluan."
Mereka menuju ke kamar keenam, baru saja Siau-hi-ji menyingkap kerai dan melongok sekejap ke dalam, seketika melongo terkesima.
Di bawah gemerlapnya cahaya lampu, seorang lelaki kekar bercambang berkopiah tampak duduk menghadap pintu, kedua tangannya memegang meja seperti orang hendak menubruk ke depan.
Waktu diteliti, terlihat alisnya tebal dan matanya melotot penuh hasrat membunuh, tertampak dari mata, mulut dan telinganya mengeluarkan darah, cuma noda darah itu sudah mengering, maka tidak terlihat jelas.
"Ah, kiranya orang ini juga sudah mati," ucap Siau-hi-ji.
"Dia pasti mati berbareng dengan kelima orang lainnya," ujar Kang Giok-long.
"Tetapi mayatnya mengapa masih utuh begini," kata Siau-hi-ji.
Giok-long memetik satu biji mutiara dari kerai pintu terus disambitkan ke tubuh lelaki godek itu, terdengar "tek" satu kali, mutiara itu terpental balik.
Tubuh orang itu ternyata keras sebagai batu.
"Jangan-jangan ini cuma patung kayu saja," kata Siau-hi-ji.
"Bukan patung, tapi manusia dan sudah mati," lalu Kang Giok-long langsung menuju ke tempat tidur sana dan menyingkap kelambunya.
Di atas ranjang juga menggeletak sesosok tubuh perempuan, perempuan yang mahacantik. Tubuh juga utuh seperti orang hidup, sedikit pun tidak rusak. Kalau air mukanya tidak pucat menghijau sungguh boleh dikatakan wanita cantik yang sukar dicari bandingnya.
Sesungguhnya selama hidup Kang Giok-long juga tidak pernah melihat perempuan secantik itu, walaupun tahu orang mati, tidak urung ia pun agak terkesima memandangnya.
"Di waktu hidupnya entah berapa banyak lelaki yang terpikat olehnya," ujar Siau-hi-ji dengan gegetun. "Kalau dibandingkan perempuan ini, Siau Mi-mi paling-paling hanya dapat angka lima."
"Sungguh tak tersangka di dunia ini ada wanita secantik ini," Kang Giok-long juga gegetun.
"Cuma sayang dia sudah mati sangat lama."
"Ya, sedikitnya ada beberapa puluh tahun."
"Sungguh aku tidak paham, mengapa jenazahnya tetap utuh."
"Cara mati kedua orang ini berbeda dengan yang lain, tampaknya mereka mati oleh sejenis racun yang sangat aneh, kadar racun ini dapat membuat mayat mereka tidak membusuk dan tetap utuh," kata Giok-long setelah berpikir sejenak. "Ai, tampaknya perempuan ini sangat sayang akan wajah cantik sendiri ... ya, memang juga pantas disayangi."
"Apakah maksudmu dia membunuh diri sendiri?" tanya Siau-hi-ji.
"Jika orang lain hendak membunuh dia, buat apa susah payah mencari racun yang begitu aneh."
"Ehm, masuk akal juga," kata Siau-hi-ji sambil mengangguk. "Cuma ...
bagaimana pula dengan lelaki cambang ini" Sudah mati berpuluh tahun orang ini masih begini gagah, waktu hidupnya tentu seorang tokoh pilihan."
"Mungkin dia adalah tuan rumah yang sesungguhnya," kata Giok-long.
"Betul, tampaknya dia memang mampu menciptakan hasil karya sehebat ini."
"Tetapi kalau kelima orang itu dibunuh olehnya, lalu cara bagaimana pula ia sendiri pun mati dan mengapa istrinya membunuh diri" Apa hubungannya dengan kelima orang itu" Untuk apa dia membuang tenaga dan biaya sebesar ini hanya untuk membangun istana di bawah tanah ini dan mengapa dia bersembunyi serahasia ini?"
"Pertanyaanmu ini membuat kepalaku menjadi pusing," kata Siau-hi-ji dengan tersenyum.
Meskipun kedua anak itu adalah manusia mahapintar, akan tetapi sampai pecah kepala mereka juga sukar memecahkan rahasia ini. Kendatipun kedua orang mempunyai empat mata, tapi siapa pun tidak melihat bahwa di samping bantal terdapat satu jilid buku kain sutra, jika mereka tidak melihat isi buku itu, maka selama hidup mereka jangan harap akan dapat memecahkan teka-teki istana bawah tanah ini.
Syukurlah akhirnya Siau-hi-ji dapat melihatnya. Cepat ia ambil buku itu dan membacanya dua-tiga halaman, mendadak ia berteriak, "Aha, ini dia ...
segala rahasianya berada di sini."
Buku itu penuh tertulis huruf-huruf kecil, gaya tulisannya yang lembut bagus itu jelas tulisan tangan orang perempuan.
Itulah kisah hidup perempuan mahacantik yang berbaring di ranjang itu, kisah yang asyik tapi juga tragis sehingga membuat orang sukar mempercayai pengalamannya itu.
Sebelum ajalnya perempuan cantik itu telah menyingkap seluruh rahasia yang menyangkut istana bawah tanah ini. Dengan sendirinya tulisannya bukan sengaja diperlihatkan kepada Siau-hi-ji, tapi ditujukan kepada siapa saja yang dapat melihatnya atau membacanya.
Perempuan itu hanya ingin membeberkan segenap isi hatinya sebelum ajalnya. Cuma waktu dia akan mati di sekitarnya sudah tiada manusia hidup lagi, terpaksa isi hatinya itu dituangkan dalam bentuk tulisan.
Menurut kisahnya, perempuan itu bernama Pui Leng-ki, berasal dari keluarga bahagia di daerah Kang-lam. Tapi ia sendiri ternyata tidak menikmati penghidupan yang bahagia.
Pada waktu berumur empat tahun ia ikut sang ibu menjenguk sanak keluarga di Sohciu, waktu mereka pulang, rumah mereka yang cukup megah itu telah berubah menjadi puing belaka. Berpuluh anggota keluarga mereka pun habis terbunuh.
Menghadapi musuh keji yang pasti akan babat rumput sampai akar-akarnya itu, terpaksa dia bersama ibunya memulai pelariannya, meski dia tidak menguraikan secara jelas kisah pelariannya ini, tapi dapat dibayangkan pasti mengalami pahit getir yang sukar dilukiskan.
Selama masa menderita itulah, akhirnya mereka dapat mengetahui nama musuhnya, yaitu Auyang Ting, "Tang-se-jin-kiat" (manusia ksatria jaman) Auyang Ting.
Musuh itu ternyata adalah pendekar besar yang paling termasyhur pada jaman itu, salah satu tokoh dunia silat yang paling tangguh dan seorang hartawan yang kaya raya. Dengan sendirinya juga salah seorang yang paling licin di dunia Kangouw.
Hidup sengsara mengembara kian kemari, meski mereka ibu dan anak juga memiliki sedikit ilmu silat, tapi untuk menuntut balas, ibaratnya telur membentur batu, jelas tidak mungkin tercapai. Dalam keadaan merana, akhirnya sang ibu jatuh sakit dan meninggal.
Tiga tahun kemudian, Pui Leng-ki akhirnya berhasil mendekati musuhnya karena dia telah diperistri oleh Auyang Ting. Terpaksa ia harus memperalat kecantikannya yang tiada taranya sebagai senjata untuk menuntut balas.
Tapi Auyang Ting ternyata mempunyai suatu kebiasaan aneh, yaitu tidak suka tidur bersama siapa pun, tanpa kecuali istrinya sendiri. Jadi sebagai istrinya ia pun tidak tahu sang suami itu suka tidur di mana"
"Tentu inilah Auyang Ting yang dimaksud," ucap Siau-hi-ji sambil memandang sekejap lelaki godek itu.
"Orang ini benar-benar tidak malu sebagai manusia ksatrianya jaman," kata Kang Giok-long dengan gegetun. "Biarpun Pui Leng-ki membencinya sampai ke tulang sumsumnya, tapi di bawah tulisannya tetap kelihatan rasa kagumnya kepada sang suami."
"Selekasnya kau pun akan menjadi Auyang Ting kedua, soal waktu saja,"
kata Siau-hi-ji. Kang Giok-long tidak berani menanggapinya, ia membelokkan pokok pembicaraannya dan berkata pula, "Sungguh aneh, kalau Auyang Ting cukup ternama dan berkedudukan, untuk apa dia membangun istana di bawah tanah ini" Urusan apa yang membuatnya bertekad mengeram di tempat yang terasing dari dunia luar ini?"
"Baca saja lebih lanjut tentu semuanya akan ketahuan," ujar Siau-hi-ji dan mereka pun membaca pula buku tadi ....
Menurut catatan Pui Leng-ki, demi membangun istana bawah tanah ini entah betapa banyak tenaga dan pikiran yang telah dicurahkan oleh Auyang Ting.
Sedikitnya tiga bulan dalam setahun Auyang Ting mengawasi sendiri pembangunan istana ini.
Sesudah istana ini selesai dibangun, entah dengan cara bagaimana Auyang Ting menipu datang lima tokoh ilmu silat yang paling terkemuka pada jaman itu, ia berhasil membujuk mereka agar bersama-sama menciptakan sejenis ilmu silat yang tiada taranya dan tiada bandingannya dengan alasan kalau ilmu silat ciptaan mereka itu diturunkan pada angkatan selanjutnya, maka nama mereka pasti akan terukir dengan harum sepanjang jaman.
"Meninggalkan nama harum sepanjang jaman", bujukan ini benar-benar mengetuk hati sanubari kelima tokoh itu, dengan gabungan daya cipta dan pengalaman mereka berlima, bersama-sama mereka lantas mencari dan menggali rahasia paling tinggi dari intisarinya ilmu silat. Tetapi sama sekali tak terpikir oleh mereka bahwa pada hari berhasilnya mereka juga merupakan hari ajal mereka.
Seterusnya Pui Leng-ki mencatat:
"Setelah pindah ke istana bawah tanah ini dia tidak tidur sendirian lagi, sebab sedikit pun dia tidak mencurigai diriku, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa aku adalah musuhnya. Meski aku sudah ada kesempatan untuk turun tangan, tapi sejauh itu belum kulakukan. Aku masih harus menunggu. Ingin kutunggu bila dia sudah mencapai puncak kejayaannya barulah akan kubinasakan dia.
"Karena namanya termasyhur, hidupnya mewah, dengan sendirinya banyak juga kawan yang suka menjilat dan menyanjungnya, hidupnya yang serba kecukupan ini seharusnya membuatnya puas. Akan tetapi dia ternyata masih mempunyai ambisi lain lagi, ia ingin memiliki kepandaian yang tertinggi, yang tiada tandingannya di kolong langit ini, yang nomor satu di dunia. Oleh sebab itulah dengan segala tipu daya ia telah menipu kedatangan kelima tokoh top dunia persilatan itu.
"Sungguh kasihan kelima tokoh yang di dunia Kangouw terkenal sebagai
'Thian-he-ngo-coat' (lima top di dunia) itu harus menjadi korban ambisi gilanya itu. Soalnya kelima orang itu masing-masing juga mempunyai kelemahan, mencengkeram titik kelemahan orang adalah kepandaiannya yang khas, apalagi tipu muslihatnya, soalnya Auyang Ting terkenal sebagai pendekar budiman, ksatria yang suka menolong.
"Begitulah Auyang Ting sudah mempunyai rencana membunuh kelima tokoh itu, meski aku tidak tahu bagaimana rencananya, tapi tipu keji Auyang Thing selamanya sangat sempurna, biarpun aku bermaksud membongkar muslihat kejinya itu, tapi sukar memperoleh buktinya, andaikan kubeberkan juga orang takkan percaya. Makanya aku tidak berani sembarangan bertindak, terpaksa aku hanya menunggu saatnya dia mencapai hasilnya saja.
"Kini sudah dekat dengan hari suksesnya yang ditunggu-tunggu itu, tampaknya dia akan menjadi manusia super yang belum pernah dicapai siapa pun juga selama ini. Dan kini yang sudah menunggunya adalah secangkir arak, arak beracun. Aku harus minum bersama dia ...."
Sampai di sini Siau-hi-ji menjadi terharu sehingga matanya basah, mendadak ia lemparkan buku itu dan berkata, "Untuk apa dia mencatat semua ini sehingga orang yang membacanya juga merasa sedih, sungguh membikin celaka orang saja .... Ai, perempuan, dasar perempuan!"
"Manusia super, ksatria terbesar sepanjang jaman ...." tiba-tiba Giok-long bergumam seperti orang linglung. "Tapi, ai, sayang, sungguh sayang!"
Sambil memandangi Auyang Ting yang sudah tak bernyawa itu, Siau-hi-ji berkata, "Setelah membunuh kelima tokoh itu dan selagi hendak minum arak bersama sang istri tercinta untuk merayakan hasil gemilangnya, tak tahunya arak bahagia yang diminum ternyata arak beracun .... Hah, sungguh lucu, sungguh menarik!"
"Pui Leng-ki itu pun orang yang luar biasa," ujar Kang Giok-long dengan gegetun. "Sebenarnya sudah cukup baginya bila dia berhasil menuntut balas, untuk apa dia mesti mati bersama musuhnya?"
"Kan sudah kukatakan sejak mula bahwa hati perempuan paling sukar diraba," ucap Siau-hi-ji menguap kemalasan. "Jika ada lelaki yang sengaja hendak menyelami jalan pikiran perempuan, maka orang itu kalau bukan orang tolol tentulah orang sinting."
Tiba-tiba Kang Giok-long menjemput kembali buku tadi dan membacanya pula, ia bergumam mengulang suatu kalimat di dalam buku itu, "Sedikit pun dia tidak menaruh curiga padaku .... Ai, dapat dibayangkan Auyang Ting itu pasti sangat mencintai istrinya, sebaliknya Pui Leng-ki pasti juga terguncang perasaannya setelah menjadi suami istri sekian lamanya. Tokoh ksatria begitu, biarpun dibenci perempuan juga tetap membuat kagum orang perempuan ...."
"Ah, dasar perempuan ...." gumam Siau-hi-ji.
"Namun Pui Leng-ki tetap bertekad membunuh Auyang Ting, setelah membunuhnya dia sendiri juga menderita, maka terpaksa ia ikut mati bersamanya, sebab ia merasa tidak sanggup hidup lagi sendirian," Giok-long menghela napas panjang, lalu menyambung pula, "Kisah Pui Leng-ki dengan Auyang Ting ini banyak miripnya dengan kisah Sesi dengan Go-ong (di jaman Cunciu), antara dendam dan kepentingan negara dengan cinta pribadi, pilih yang mana" Mungkin tak banyak orang yang mampu memecahkan soal ini dengan bijaksana."
Siau-hi-ji memandang Kang Giok-long dengan tak berkedip, mendadak ia tertawa dan berkata, "Terkadang aku heran, entah kau ini lelaki atau perempuan?"
Giok-long melengak, tapi cepat menjawab dengan tertawa, "Masa engkau tidak tahu aku lelaki atau perempuan?"
"Sudah tentu kau lelaki, tapi juga mirip perempuan," ujar Siau-hi-ji.
"Aku ... aku mirip perempuan?"
"Ya, terkadang hatimu keji dan tanganmu ganas, tidak kenal kawan tanpa peduli keluarga. Tapi ada kalanya kau pun berubah menjadi alim, berperasaan dan baik hati. Jarang lelaki yang berhati begitu, hanya hati perempuan saja yang dapat berubah sebanyak dan secepat itu," Siau-hi-ji bergelak tertawa, lalu menyambung pula, "Jika telingaku tidak mendengar sendiri kau dipanggil Siau-sik-kui (setan cilik penggemar perempuan) oleh Siau Mi-mi, bisa jadi aku akan mengira kau ini orang perempuan menyamar sebagai lelaki ...."
"Betul, aku dapat menjadi saksi baginya bahwa sekujur badannya, setiap senti, setiap mili, sepenuhnya adalah tubuh lelaki, sedikit pun tidak palsu!"
mendadak seorang menanggapi dengan tertawa genit.
Suara tertawa genit begitu jelas sudah sangat dikenal mereka, siapa lagi dia kalau bukan Siau Mi-mi.
Seketika ruas tulang Siau-hi-ji serasa terlepas semua, badan menjadi lemas lunglai, segera dirasakannya sepotong benda runcing dingin menempel di kuduknya.
"Jangan bergerak, sayang, jangan menoleh!" terdengar Siau Mi-mi berkata pula dengan suara lembut. Lalu ia memanggil Kang Giok-long yang ketakutan itu, "Kemarilah Giok-long .... Nah, beginilah, kau memang anak penurut.
Sekarang kau pun membalik ke sana, berdiri berjajar dengan dia."
Siau-hi-ji berharap Kang Giok-long jangan terlalu penurut, diharapkan dia melakukan sedikit pembangkangan, dengan demikian Siau-hi-ji akan sempat mengeluarkan air berbisa dari bajunya.
Akan tetapi Kang Giok-long yang sialan itu justru sangat penurut, dengan tunduk kepala dan tangan lurus ia menuruti semua perintah Siau Mimi, isyarat yang diberikan Siau-hi-ji dianggap sepi olehnya.
Diam-diam Siau-hi-ji mendongkol dan geregetan, tapi apa daya, kuduknya terancam pedang, biarpun mempunyai seribu satu upaya juga tak bisa berkutik. Namun dia juga tidak putus asa, ia tetap menantikan kesempatan baik, asalkan dia sempat mengeluarkan air berbisa itu atau bumbung jarum, maka Siau Mi-mi pasti dapat dibereskan.
Sungguh celaka tiga belas, yang dibereskan ternyata bukan Siau Mi-mi melainkan Siau-hi-ji sendiri. Tiba-tiba Siau Mi-mi menggagapi baju anak muda itu sehingga semua isi diambilnya.
"Wah, setan cilik, banyak juga barangmu, ada Tau-kut-ciam, ada Ngok-tok-cui, untung aku tidak lengah, kalau tidak pasti celakalah aku," kata Siau Mi-mi dengan tertawa.
"Yang celaka sekarang kan aku," ucap Siau-hi-ji sambil menghela napas.
"Juga tidak terlalu celaka, sementara ini belum akan kubunuhmu," kata Siau Mi-mi dengan tertawa dan mendadak ia tarik tangan kanan Siau-hi-ji dan tangan kiri Kang Giok-long, lalu menyambung pula, "Kalian adalah sahabat baik, silakan berjabat tangan ...."
Siau-hi-ji merasa tangan Kang Giok-long itu sedingin es dan gemetar serta penuh keringat dingin. Padahal tangannya sendiri juga begitu.
"Klik" mendadak tangan mereka itu telah bertambah dengan sebuah borgol yang hitam dan berat, tangan mereka terbelenggu menjadi satu.
Dengan tertawa nyaring lalu Siau Mi-mi berputar ke depan mereka, dengan kerlingan genit dan tertawa kenes ia memandangi kedua anak muda itu, katanya dengan suara lembut, "Sekarang kalian benar-benar sahabat karib sehidup semati, tiada satu pun yang meninggalkan yang lain."
"Sekarang aku justru berharap dia benar adalah perempuan," ujar Siau-hi-ji dengan menyengir.
"Sungguh aku suka padamu," kata Siau Mi-mi pula, "Dalam keadaan begini kau masih dapat berkelakar, rasanya di dunia ini tidak banyak orang macam dirimu. Sebenarnya, belenggu ini memang disediakan untuk seorang lelaki dan seorang perempuan."
Dia meraba-raba pipi Siau-hi-ji dengan penuh gairah, lalu berkata pula,
"Apakah kau tahu nama belenggu ini" Belenggu cinta, inilah namanya, kau harus tahu bahwa selamanya tiada orang yang mampu membuka belenggu cinta."
"Belenggu cinta?" Siau-hi-ji menegas dan gegetun, "Kenapa tidak dibelenggu bersamamu saja"!"
Tapi Siau Mi-mi lantas meraba-raba pipi Kang Giok-long pula, katanya dengan suara halus, "Sayangku, jangan takut, jangan gentar, jika tiada kau, tentu aku tidak tahu di bawah tanah sini masih ada tempat pesiar seindah ini.
Sungguh aku harus berterima kasih padamu."
"Cara ... cara bagaimana kau masuk ke sini?" tanya Giok-long.
"Kalian heran bukan?" Siau Mi-mi tertawa.
"Setan yang tidak heran," omel Siau-hi-ji.
"Anak-anak yang pintar, mengapa mendadak kalian berubah menjadi bodoh?" Siau Mi-mi berseloroh. "Pikirkanlah, kalian sedemikian baik padaku, mana aku tega membikin kalian mati pengap?"
"O, jadi ... jadi maksudmu ingin membunuh kami dengan tanganmu sendiri, begitu?" kata Giok-long.
"Sedikitnya aku kan harus menyaksikan kematian kalian barulah hatiku merasa lega," jawab Siau Mi-mi.
"Ah, aku ... aku salah," ucap Giok-long tertunduk.
"Kau memang salah," kata Siau Mi-mi. "Seharusnya kau pikirkan apabila aku tidak tahu jelas kalian berdua anak pintar ini masih hidup atau sudah mati, mana aku dapat makan dengan enak dan tidur dengan nyenyak?"
"Aku tidak paham ...." kata Siau-hi-ji.
"Tidak paham apa" Jelas kalian sembunyi di bawah tanah dan aku tidak tahu keadaan di bawah, jika kumasuk begitu saja mustahil aku takkan mampus dijebak kalian?" Siau Mi-mi menghela napas, lalu menyambung pula, "Cara kalian terhadapku tentu tidak sebaik caraku terhadap kalian."
"Kau memang baik, makanya sengaja kau bikin kami mati sesak," ucap Siauhi-ji.
"Kukira kalian belum tentu mati pengap, tapi sedikitnya akan membikin kalian lengah dan tidak berjaga-jaga lagi terhadap diriku," ujar Siau Mi-mi. "Kalian pasti mengira bila aku toh ingin mematikan kalian tentunya aku takkan masuk lagi ke bawah sini untuk melihat kalian. Betul tidak?"
"Tapi bisa jadi kami akan mati sesak," kata Siau-hi-ji.
"Jika kalian benar-benar mati sesak, kan aku juga perlu menguburkan kalian,"
kata Siau Mi-mi dengan tersenyum genit. "Memang begitulah sifatku, sekali berbuat tidak boleh tanggung-tanggung. Apalagi kalian adalah anak-anak kesayanganku."
"Sekarang baru kutahu, adalah malang bagi seorang yang tidak jadi mati pengap, apalagi bila dia disukai oleh perempuan, maka dia akan tambah sial,"
kata Siau-hi-ji. "Ucapanmu sungguh lucu, sungguh menggelikan," kata Siau Mi-mi dengan tertawa ngikik. "Lain kali akan kuberitahukan kepada siapa pun bahwa orang yang dibenci adalah bahagia dan mujur bila mati pengap."
Dengan lagak seperti terpingkal-pingkal hingga hampir tak dapat bernapas, lalu Siau Mi-mi melanjutkan pula, "Sungguh aku ingin tahu setelah orang mendengar ceritaku ini entah bagaimana perasaan dan mimik wajahnya, mungkin dia akan ... akan mengira aku ini orang gila."
"Haha, memangnya kau sangka kau orang waras?" kata Siau-hi-ji dengan tertawa.
Tampaknya ia sengaja memancing kemarahan Siau Mi-mi. Soalnya dia sudah kehabisan akal, ia tidak tahu apakah masih ada kesempatan untuk lolos.
Sebenarnya ia bukan orang yang mudah menyerah pada nasib, tapi kalau menurut keadaan sekarang, betapa pun ia sudah putus harapan sama sekali.
Makanya ia pikir harus membuat Siau Mi-mi marah, dengan begitu mungkin keadaan akan berubah.
Sialnya Siau Mi-mi sama sekali tidak naik pitam, hakikatnya ia tidak ambil pusing terhadap ocehan Siau-hi-ji, seluruh perhatiannya kini dicurahkan kepada barang-barang yang terdapat di kamar ini.
Ia mulai memeriksa dan menggeledah setiap pelosok kamar itu, betapa teliti cara memeriksanya dapat digambarkan seperti istri yang suka cemburu sedang menggeledah saku baju suaminya.
Tidak lama kemudian tiba-tiba wajahnya bercahaya, matanya juga bersinar.
Sebab akhirnya ia menemukan apa yang ingin dicarinya. Yaitu buku kain sutera kekuning-kuningan itu yang berisi intisari ilmu silat ciptaan bersama kelima top jago silat itu.
Dia pegang kencang-kencang buku itu dan dipeluknya dengan kegirangan, lalu diciumnya dengan mesra dan ditempelkannya ke pipi seperti seorang kekasih yang lagi main cinta. Dia tertawa, tertawa ngikik terus-menerus, lalu bergumam, "O, jantung hatiku, setelah kumiliki dikau, apa pula yang perlu kutakuti".... Eh, selanjutnya siapakah tokoh nomor satu di dunia" Tahukah kalian .... Dia bukan lain daripada diriku ini, nona Siau"
Sambil melototi kitab pusaka di tangan Siau Mi-mi, mata Kang Giok-long yang merah itu seakan-akan menyala.
Siau Mi-mi colek pipi Giok-long, katanya dengan terkikik, "Bicara sejujurnya aku harus berterima kasih juga kepada kalian. Jika tiada kalian, mana bisa aku menemukan si 'dia' ini?"
Dengan berlenggang menggiurkan ia membalik tubuh, gayanya seperti benar-benar lebih muda belasan tahun. Lalu ia berkata pula, "Kini, ayolah kalian jadi penunjuk jalanku, bawalah aku meninjau setiap tempat di sini, kukira barang-barang itu memang ditakdirkan bagiku, kalau aku tidak menerimanya bisa jadi kau akan kualat."
Padahal Siau Mi-mi sendiri juga tidak menyangka barang-barang yang
"ditakdirkan untuknya" ini berjumlah sebanyak ini, ia sampai tidak percaya pada matanya sendiri.
Dengan tertawa ia meraba setiap benda yang dilihatnya, ucapnya dengan suara lembut, "O, sayangku, tinggal di sini dan tunggulah aku, kini kalian telah menjadi milikku. Kuyakin kalian pasti gembira mempunyai majikan seperti diriku."
Setelah memeriksa setiap kamar rahasia itu, kemudian Siau Mi-mi memandangi Siau-hi-ji dan Kang Giok-long dengan genit, katanya, "Anak sayang, tahukah kalian mengapa sampai sekarang tidak kubunuh kalian?"
Siau-hi-ji memandang dinding kamar yang masih utuh itu seperti tak dengar apa yang dikatakan Siau Mi-mi, sedangkan wajah Kang Giok-long pucat pasi, sama sekali ia tidak sanggup bicara lagi.
"Terus terang, suruh berputar sendirian di tempat setan ini, betapa pun aku juga takut, sebab itulah, makanya kutahan kalian untuk menemani aku," ucap Siau Mi-mi pula.
Kang Giok-long menggigit bibir, mukanya bertambah pucat.
Siau Mi-mi memandang Siau-hi-ji sekejap, lalu. berkata pula. "Kini tugas kalian telah selesai, kalian sudah terikat menjadi satu, untuk menerobos keluar lagi melalui terowongan itu kukira juga sulit, maka lebih baik kalian tinggal saja di sini."
Bibir Kang Giok-long sampai pecah tergigit, air mata pun bercucuran.
"Jangan menangis, anak manis," bujuk Siau Mimi dengan suara mesra, "Aku takkan menyakiti kalian, takkan kusiksa kalian, pasti akan kubikin kalian mati dengan enak, betapa pun kalian juga telah berbuat baik bagiku, begitu kan?"
Mendadak Kang Giok-long bertekuk lutut dan berkata dengan suara gemetar,
"Kumohon ... mohon dengan sangat, ampunilah jiwaku, janganlah membunuhku, selama hidup kurela menjadi budakmu, apa pun kusanggup berbuat bagimu ...."
"Sangat menyesal, hanya urusan ini tak dapat kuterima permohonanmu,"
jawab Siau Mi-mi. "Selain itu, kalian menghendaki mati cara bagaimana bolehlah kalian pilih sendiri dan pasti akan kululuskan." Ia memandang sekejap pula ke arah Siau-hi-ji dan menambahkan lagi, "Kau dengar tidak, Siau-hi-ji?"
Akan tetapi Siau-hi-ji masih memandangi dinding tanah itu dan menjawab dengan tak acuh, "Ehm, apa?"
"Ada satu cara mati yang paling enak dan khas akan kusarankan bagi kalian, entah kalian dapat menerima atau tidak?" ucap Siau Mi-mi.
"Ehmm!" kembali Siau-hi-ji menjawab seperti orang linglung.
"Akan kugigit mati kalian, mau tidak?" tanya Siau Mi-mi, lalu tangannya yang putih mulus itu meraba-raba tenggorokan Siau-hi-ji dan menambahkan pula dengan tertawa genit, "Di sini, asalkan kugigit sekali di sini dan bereslah segalanya."
Tanpa berkedip Siau-hi-ji kembali bersuara "ehmmm" saja, matanya tetap memandang dinding tanah.
Mendongkol juga Siau Mi-mi, katanya sambil berkerut kening, "Apanya yang menarik pada dinding tanah itu" Sesungguhnya apa yang sedang kau pikirkan?"
"Aku toh bakal mati, berpikir apa pun tiada gunanya," ujar Siau-hi-ji sembari menghela napas.
"Aku jadi ingin tahu apa yang kau pikirkan?" kata Siau Mi-mi.
"Kini engkau telah menjadi majikanku, untuk apa ingin tahu jalan pikiranku?"
"Sebagai majikan memang tidak perlu, tapi sebagai wanita, aku ingin tahu jalan pikiranmu. Jangan lupa, kan aku ini perempuan?"
"Kukira lebih baik kau bunuh aku saja daripada bikin susah."
"Semakin kau tak mau omong, semakin aku ingin tahu," kata Siau Mi-mi.
Siau-hi-ji menghela napas, katanya, "Baiklah, kau ingin tahu, terpaksa kukatakan juga." Setelah merenung sejenak, lalu ia menyambung, "Kupikir kalau di balik setiap dinding itu ada benda-benda aneh, maka di balik dinding tanah ini tidak mungkin kosong, lalu apakah isinya?"
Mata Siau Mi-mi jadi terang, serunya, "Betul, apa isinya?" Matanya jelalatan mengawasi sekelilingnya, lalu bergumam pula, "Sayang dinding tanah ini tidak terdapat roda putarnya, entah cara bagaimana membuka dinding ini?"
"Meski tiada roda putarnya, tapi di atas situ kan ada gelangan yang belum ditarik," ucap Siau-hi-ji.
Siau Mi-mi mendongak, benar, di atas dinding memang ada sebuah gelang tembaga, serunya girang, "He, betul, lekas menariknya!"
Dengan lagak acuh tak acuh Siau-hi-ji melangkah maju, tapi di dalam hati sebenarnya sangat girang. Padahal ia pun tidak tahu apa yang berada di balik dinding tanah itu, namun biar bagaimanapun toh takkan membikin lebih buruk daripada keadaannya sekarang, paling-paling hanya mati saja, maka ia tidak peduli apakah di balik dinding sana tersembunyi gerombolan setan iblis sekalipun. Sebab yang rugi kan cuma Siau Mi-mi saja. Apalagi ia yakin Siau Mi-mi pasti akan tertipu, betapa pun lihainya Siau Mi-mi kan tetap perempuan, dan di dunia ini hampir tiada perempuan yang tidak sok ingin tahu.
Gelang tembaga itu tergantung rada tinggi, Siau-hi-ji sendiri tak dapat membuat gelang itu bergerak, tapi ketika Kang Giok-long ikut menariknya, seketika gelang tembaga itu tertarik turun.
Maka terdengarlah suara gemuruh yang keras laksana gugur gunung dahsyatnya, dinding tanah itu mendadak runtuh seluruhnya. Berbareng itu air bah terus melanda seperti dituangkan.
Siau Mi-mi menjadi kaget, wajah menjadi pucat. Seperti anak perempuan yang melihat seekor tikus, sekuatnya ia meloncat ke atas sebuah roda putar itu. Namun air bah itu sungguh dahsyat dan terlalu cepat melandanya, hanya sekejap saja roda putar itu pun kelelap.
Dalam keadaan demikian yang terpikir olehnya hanya berusaha lolos secepatnya, bahkan Siau-hi-ji dan Kang Giok-long juga tak dipedulikan lagi.
Akan tetapi satu-satunya jalan keluar, terowongan itu, kini juga sudah terendam air.
Supaya maklum bahwa tempat mereka berada sekarang ini sama tingginya dengan jamban yang merupakan lubang keluar masuk itu, maka air yang memenuhi terowongan itu tidak dapat tersalur.
Dengan sendirinya Siau-hi-ji dan Kang Giok-long kini juga terendam di dalam air, Kang Giok-long ternyata mahir berenang, dia dapat mengapungkan diri di permukaan air. Dia tersenyum tenang melihat Siau Mi-mi yang kelabakan itu, gumamnya, "Siluman perempuan ini ternyata tidak mahir berenang, bagus, sungguh bagus sekali."
Istana Kumala Putih 13 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Pukulan Si Kuda Binal 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama