Ceritasilat Novel Online

Rajawali Emas 13

Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 13


"Siluman....!" "Iblis...,!" "Setan! Lebih baik pergi."
"Lari....!" teriak Kang Houw yang tak dapat menahan rasa takutnya lagi.
Berserabutan mereka lari. Ada yang mencoba untuk menengok, akan tetapi begitu menengok dia menjadi makin ketakutan sampai jatuh bangun ketika lari.
Pemuda itu berdiri bengong. Bulu tengkuknya meremang dan otomatis ia pun menengok ke belakangnya. Mana siluman atau iblis yang ditakuti mereka" Ia memandang ke sana ke mari, akhirnya memandang Kun Hong yang berdiri tersenyum-senyum saja.
"Kenapa... kenapa mereka itu....?" pemuda itu berkata dengan suara perlahan, masih belum lenyap keheranannya, melihat peristiwa yang luar biasa anehnya itu.
"Kenapa lagi kalau tidak takut kepadamu, orang berkepala tiga berlengan enam?" jawab Kun Hong, nadanya mengejek. Pemuda itu matanya berkilat, marah. "Jangan main-main kau!"
"Eh, siapa main-main" Bukankah mereka bilang kau berkepala tiga berlengan enam" Apakah tidak senang berkepala tiga berlengan enam?"
"Siapa sudi jadi tontonan orang!"
"Kan bagus jadi tontonan orang, tinggal masuk pasar pukul tambur mengumpulkan uang."
"Eh, kutu buku busuk! Jangan kau mempermainkan aku, ya?"
"Siapa yang mempermainkan" Aku sama sekali tidak ingin mempermainkan orang, apalagi mengandalkan kepandaian. Ah, aku tidak berkepandaian apa-apa."
Pemuda ini merasa dirinya disindir, tangannya dlangkat hendak menampar, akan tetapi ditahannya kembali.
Kun Hong melangkah maju, mukanya merah sekali saking marahnya. Ia maklum apa artinya gerakan tangan seperti seorang dewasa menggertak anak kecil yang hendak ditempilingnya itu. "Kau mau pukul lagi" Boleh, pukullah.
Memang kau manusia sombong, manja dan mengandalkan kepandaian, bisanya cuma pukul orang. Huh!"
Mata pemuda itu makin membara. "Siapa sombong" Kau sendiri yang sombong, kutu buku! Orang macam kau ini berani memaki-maki Tan-pek-hu!
Kau berlagak pintar, memberi nasihat Tan-pek-hu. Sudah patut kalau kutampar. Aku tidak menyesal menamparmu dahulu itu."
Dada Kun Hong terasa panas hendak meledak. "Kau memang anak jahat.
Heran aku mengapa Thai-san-pai mempunyai murid begini jahat."
"Pemuda itu tiba-tiba membentak, "He, kenapa kau mengintai aku" Mengapa kau mengikuti aku?"
"Setan, siapa mengintai" Siapa mengikuti" Aku hendak ke Thai-san, apa urusannya dengan kau?" Kun Hong diam-diam merasa heran sekali mengapa setelah berhadapan dengan pemuda ini, ia tidak dapat menguasai diri lagi dan menjadi pemarah. Dan ia tidak tahu pula mengapa ia marah-marah, mungkin sebal karena melihat sikap pemuda itu terhadapnya demikian sombong dan memandang rendah.
"Kau hendak ke Thai-san" Mau apa ke sana" Apakah mau mengaco seperti sembilan ekor tikus tadi?"
"Jangan menyangka yang bukan-bukan. Aku datang hendak mengunjungi Paman Tan Beng San, menyampaikan hormatku dan salam dari Ayah. Ketua Thai-san-pai adalah sahabat yang amat baik dari Ayah, seperti saudara saja, masa aku hendak mengacau, bagaimana caranya" Aku tidak becus apa-apa."
Pemuda itu tersenyum, agak berkurang marahnya. "Kau anak siapa, sih"
Gampang saja mengaku-aku sahabat Ketua Thai-san-pai."
Mengkal benar hati Kun Hong. Bocah ini terlalu sekali, terlalu memandang rendah kepadanya. Ia segera menjawab, "Jelek-jelek aku ini adalah orang Hoa-san-pai."
Pemuda itu mendengus, "Siapa tidak tahu" Dua orang gadis itu keponakanmu, kalau mereka anak Hoa-san-pai, kau pun tentu orang Hoa-san-pai. Anehnya kau tidak belajar silat malah belajar menjadi kutu buku dan menjadi sombong."
"Tidak sesombong engkau! Padahal kau hanyalah anak murid Thai-san-pai biasa saja, walaupun kepandaianmu tinggi. Hemm, hendak kulihat nanti apa kata Paman Tan Beng San kalau mendengar tentang sepak-terjang muridnya seperti kau ini!
Pemuda itu nampak terkejut, terbelalak memandang Kun Hong. "Heee! Apa kau mau mengadu kepada... Ketua Thai-san-pai tentang aku" Siapa sih kau berani berbuat begitu" Siapa ayahmu?"
"Ayah hanyalah Ketua Hoa-san-pai."
Pemuda itu kelihatan makin kaget. Ia tidak menyembunyikan kekagetanhya ketika bertanya, "Apa" Kau... kau anak dari... Kwa Tin Siong Lo-enghiong, yang berjuluk Hoa-san It-kiam, ketua dari Hoa-san-pai?"
Kun Hong merasa dadanya mengembung. Mungkin kalau orang lain yang bersikap begini, ia akan merendahkan diri, lahir batin. Akan tetapi terhadap pemuda ini, benar-benar sikapnya membuat ia merasa bangga. "Betul, Kwa Tin Siong adalah ayahku, karena itu aku hendak menjumpai Paman Tan Beng San di Thai-san."
Pemuda itu makin panik. "Jadi kau... kau hendak mengadukan aku kepada...
kepada pamanmu itu?"
"Hemm, kau maksud gurumu" Bukankah kau ini anak murid Thai-san-pai dan kau menjadi murid Paman Tan Beng San?"
"Betul," suara pemuda itu sekarang terdengar perlahan dan lemah, mukanya menunduk. "Kau akan mengadu kepada Suhu tentang apa?"
"Tentang apa" Tentang kesombonganmu, tentang sikapmu terhadap aku, tentang...." Tanpa terasa Kun Hong mengusap kedua pipinya, seakan-akan masih terasa gaplokan pada pipinya. Pemuda itu mengangkat muka memandang.
"Ah, kau mau mengadukan bahwa aku telah menampar pipimu?"
"Hemmm, mungkin juga. Dan tentang kesombonganmu tidak mau membagi kamar, tentang sikapmu yang takabur. Tak patut kau menjadi murid seorang pendekar perkasa seperti Paman Tan Beng San."
"Apakah kau pernah bertemu dengan dia?"
"Belum, akan tetapi kalau Paman mendengar bahwa aku anak Kwa Tin Siong, kiraku dia akan percaya."
Hening sejenak, pemuda itu duduk di atas rumput, tangannya mencabuti rumput, nampak bingung sehingga diam-diam Kun Hong tersenyum dan puas.
Rasakan kau sekarang anak manja. Kau ketakutan sekarang! Kemudian pemuda itu mengangkat mukanya memandang Kun Hong, berkata perlahan dan dengan memohon,
"Kuharap kau tidak akan menceritakan hal begini kepada Suhu!"
Kun Hong tersenyum mengejek kepalanya dikedikkan, bukan main girang hatinya akan kemenangan ini.
"Mengapa tidak" Orang seperti kau ini patut diberi hajaran, biar kulihat nanti betapa Paman Tan Beng San akan memaki, mungkin memukulmu. Ha-ha-ha!"
Kun Hong membereskan bungkusan, siap untuk melanjutkan perjalanan.
"Kakak yang baik..., jangan kau adukan aku...."
Makin girang hati Kun Hong. Ia mencibirkan bibirnya, membuang muka seperti orang tak peduli. Namun aneh sekali, dadanya berdebar saking girangnya.
Huh, baru sekarang kau menyebutku kakak yang baik, pikirnya. Heran bukan main akan dirinya sendiri. Kenapa sekarang kebenciannya terhadap pemuda itu lenyap seperti awan tipis dihembus angin" Akan tetapi mulutnya hanya mendengus,
"Huhh....!" "Kakak yang baik, aku... aku minta maaf kepadamu. Kalau kau suka, nih...
kau boleh tampar pipiku sebagai pembalasan...."
Kun Hong menoleh dan melihat pemuda itu mengajukan mukanya, memberikan pipinya yang putih halus itu untuk ditampar. Kembali ia menjadi heran. Kalau tadinya ia ingin sekali menampar muka bocah ini, sekarang mendadak ia menjadi tidak tega dan penyesalan serta permohonan maaf bocah ini sudah lebih dari cukup, sudah menebus sakit hatinya, habislah yang sudah-sudah, tak teringat lagi.
"Aku bukan orang yang suka menampar muka orang!" Ia masih memaksa diri berkata ketus,
Pemuda itu memandang penuh pertanyaan. "Jadi... kau masih hendak melaporkan aku....?"
"Hemmm...." Kun Hong pura-pura merasa ragu, akan tetapi agaknya sinar matanya yang sudah terang dan sama sekali tidak mengandung kemarahan itu dapat dilihat oleh pemuda tadi, buktinya dengan jelas tampak muka yang tampan itu menjadi berseri.
"Twako (Kakak) yang baik, kau benar-benar sudi memaafkan aku" Tidak mendendam lagi?"
"Hemmm, aku bukanlah orang yang suka menaruh dendam dan tentang maaf, eh... sebetulnya, eh... tidak ada apa-apa yang harus dimaafkan." Kun Hong memaki dirinya sendiri. Mengapa hati ini begini lemah" Hemm, keenakan benar bocah ini!
Pemuda itu dengan girang lalu menyambar tangan Kun Hong, akan tetapi segera dilepaskannya kembali, seperti sikap seorang anak kecil yang kegirangan akan tetapi malu-malu. "Ah, Twako yang baik, terima kasih. Kau.
tentu takkan melaporkan aku kepada... Suhu, bukan?"
Mau tak mau tertawa juga Kun Hong, biarpun tertawa ditahan. Sikap bocah ini mengingatkan ia akan sikap Li Eng. Hemm, setelah dilihat dari dekat, pemuda ini benar-benar masih bocah. Heran sekali, sedemikian tinggi ilmu silatnya.
"Tidak, siapa hendak melapor" Aku bukan seorang yang panjang mulut."
"Aduh, terima kasih. Kau berjanji?"
"Janji!" "Sumpah?" Kun Hong cemberut. "Janji seorang laki-laki lebih berharga dari nyawa. Selama hidup aku tak pernah bersumpah!"
"Ah, Twako, harap jangan marah. Aku percaya kepadamu!" Tiba-tiba ia melompat ke atas dan kelihatan girang sekali, wajahnya berseri-seri, matanya yang amat tajam itu bersinar-sinar. Kun Hong melongo. Bukan main tampannya anak ini, pikirnya. Tak mungkin orang bisa benci kepadanya. Akan tetapi kenapa sebelum ini ia amat benci, ya amat membencinya sehingga suka ia memukulnya" Ia benar-benar tidak mengerti.
"Eh, kau tadi bilang siapa namamu, Twako?"
"Aku tidak pernah bilang siapa namaku."
"Ah, ya. Aku yang lupa. Siapa sih namamu, Twako" Kau tentu she Kwa, dan namamu siapa?"
"Hemm, kau lebih muda. Kau harus memperkenalkan lebih dulu." Pemuda itu tertawa. Makin tampan wajahnya kalau tertawa. "Namaku Cui Bi. Nah, sekarang katakan, siapa namamu, Twako?"
"Namaku Kun Hong."
"Kwa Kun Hong. Hemm, kalau begitu kau kupanggil Hong-ko (Kakak Hong)."
Sejenak mereka diam. Nama pemuda itu tidak menarik perhatian Kun Hong, yang tertarik oleh gerak-gerik pemuda yang lincah jenaka dan gembira ini.
"Hong-ko, kedua orang keponakanmu itu lenyap. Ke manakah mereka?"
"Siapa tahu mereka di mana" Yang menculik mereka adalah Song-bun-kwi, aku mendengar sendiri iblis itu mengaku di depan para pengawal istana.
Karena itu aku hendak minta pertolongan Paman Tan Beng San untuk menolong mereka."
Pemuda itu nampak terkejut sekali. "Song-bun-kwi...." Ah, sudah kuduga....!
Celaka, dia itu lihai sekali... apakah kau betul-betul telah bertemu dengan Song-bun-kwi?"
"Siapa membohong padamu" Aku melihat sendiri Song-bun-kwi mengaku di depan para pengawal istana, di tempat kediaman Ngo-lian-kauw, kemudian Song-bun-kwi dikeroyok oleh para pengawal, dibantu oleh Toat-beng Yok-mo dan Ngo-lian-kauwcu. Song-bun-kwi lari menyeret aku, lalu ia bertemu dengan iblis yang bernama Siauw-ong-kwi, mereka bertempur dan aku lari lalu...
bertemu dengan kau."
Cui Bi pemuda itu menggeleng-geleng kepala, nampak keheranan sekali.
"Aneh, benar, Hong-ko. Kau putera Ketua Hoa-san-pai, tapi tidak pandai silat.
Kau tidak pandai silat, akan tetapi bertemu dengan tokoh-tokoh jahat seperti Song-bun-kwi, Toat-beng Yok-mo, Ngo-lian-kauwcu dan lain-lain. Hebat!"
Pemuda ini menggeleng-geleng kepalanya dan mulutnya tiada hentinya mengeluarkan bunyi "ck-ck-ck" tanda bahwa ia benar-benar keheranan.
Kun Hong tiada hentinya memandangi wajah pemuda ini, makin dipandang makin ia kagum. Pemuda ini benar-benar tampan dan lincah. Ah, alangkah cocoknya dengan Li Eng!
"Hong-ko, apakah selama ini kau melakukan perjalanan dengan dua orang keponakanmu itu" Siapa sih mereka itu" Siapa nama mereka" Aku ingin sekali berkenalan dengan mereka."
Kembali terasa tidak enak di hati Kun Hong. Teringat ia akan sikap pemuda ini yang agaknya mata keranjang! Hemm, perlu diperkenalkan agar pemuda ini tahu anak siapa mereka itu sehingga tidak akan berani main-main.
"Yang seorang bernama Kui Li Eng, anak Paman Kui Lok dan Bibi Thio Bwee.
Seorang lagi bernama Thio Hui Cu, anak Paman Thio Ki dan Bibi Lee Giok."
Wajah Cui Bi makin berseri, "Kau maksudkan Bibi Lee Giok" Bukankah itu bibi guruku, murid dari Sukong Cia Hui Gan?"
"Betul, karena itu kau tidak boleh main-main."
Cui Bi mengerling dan memainkan bibirnya, setengah tersenyum ketika ia berkata, agaknya sengaja memanas hati, "Hong-ko, apakah... apakah mereka itu... eh, cantik jelita?"
Merah wajah Kun Hong dan kembali hatinya tak sedap rasanya. Ia memandang tajam dan membentak, "Kau tanya-tanya mau apa sih?"
Cui Bi tertawa. "Ah, tanya saja apa salahnya" Hong-ko, kau mengadakan perjalanan bertiga saja dengan mereka. Hemmm, senang sekali, ya?"
"Kau bilang apa?"" Kun Hong mendelik marah.
"Hissss, jangan marah, Twako. Aku hanya main-main. Kok gampang sekali marah. Pemarah benar kau, ya?"
"Siapa suruh kau bercakap-cakap tidak karuan?"
"Twako, bukanlah menggirangkan hati kalau mendengar bahwa aku mempunyai saudara-saudara seperguruan" Mareka itu, apalagi... Nona Hui Cu.
itu, terhitung masih saudara seperguruanku karena ia pun cucu murid dari kakek guruku, bukan" Nah, sudah sepatutnya kalau aku ingin mendengar tentang diri rnereka. Katakanlah, apakah mereka itu cantik" Bagairnana kepandaian mereka?"
Diam-diam Kun Hong harus membenarkan kata-kata ini. Pula, bocah masih sebegini kecil, masih kekanak-kanakan, masa mempunyai pikiran yang bukan-bukan"
"Tunggu saja, kalau kau sudah bertemu dengan Li Eng. Hemmm, pasti kau takkan bisa bicara main-main. Kau akan kalah bicara dengan dia."
"Cantik benarkah dia?"
"Cantik, seperti bidadari, seperti... Seperti bunga mawar hutan."
Cui Bi tertawa geli. "Aha, kiranya kau amat romantis, Twako. Pandai mengambil perumpamaan. Mengapa kau bilang dia seperti bunga mawar hutan?"
Merah wajah Kun Hong. Bocah ini benar-benar menggemaskan, kadang-kadang kalah ia bicara dengannya, selalu kena goda. Benar-benar harus bertemu dengan Li Eng, baru tahu rasa kau, pikirnya.
"Dia tidak hanya cantik, tapi jenaka, gembira, lincah dan pandai bicara, sifat-sifat liar menarik yang ada pada bunga mawar hutan."
"Aih-aih... hebat sekali. Dan kepandaiannya?"
"Wah, jangan tanya tentang kepandaiannya. Ilmu silatnya hebat sekali. Dialah satu-satunya orang yang paling pandai tentang ilmu silat Hoa-san-pai pada saat ini."
Cui Bi melengak, suaranya tidak main-main lagi ketika bertanya, "Aneh sekali, Twako. Bukankah ayahmu yang terpandai?"
bagian 70 Kun Hong menggeleng kepala. "Bukan, yang terpandai adalah ayah bunda Li Eng itulah. Mereka telah bertemu dengan Sukong Lian Ti Tojin yang telah memiliki dan mewarisi ilmu silat Hoa-san-pai yang aseli dan mengangkat mereka sebagai murid. Li Eng mewarisinya dari ayah bundanya. Lihainya bukan main. Kau akan kalah segala-galanya dengan dia."
Aneh benar. Pemuda itu kelihatan penasaran. "Hemm, hemm... ingin aku bertemu dengannya dan mencoba-coba!" Ketlka ia menoleh dan bertemu pandang dengan Kun Hong yang memandang tajam penuh selidik, ia tersenyum lagi, lenyap wajah bersungguh-sungguh tadi dan ia bertanya,
"Dan bagaimana dengan... Nona Hui Cu, saudara seperguruanku itu" Apakah dia juga cantik dan pandai" Seperti... bunga apakah dia?"
"Dia" Hemm, dia seperti bunga seruni, alim pendiam, serius dan pandangannya jauh, pikirannya luas dan cerdik. Tentang ilmu silat, dia kalah oleh Li Eng, akan tetapi dia pun lihai karena selain menerima pelajaran ilmu silat Hoa-sai-pai, dia pun mempelajari ilmu pedang dari ibunya."
"Hee, kalau begitu ilmu pedangnya tentu sama dengan ilmu pedang Subo (Ibu Guru). Wah-wah-wah, dan kau selama ini melakukan perjalanan dengan dua orang bidadari" Hemm, kau pamannya, tapi masih begini muda... agaknya kau dan mereka tidak banyak selisih usianya, bukan?"
"Hush, kau bicara apa" Aku bukan laki-laki seperti kau!"
"Betulkah?" Cui Bi mengerling dengan sikap menggoda dan tidak percaya.
"Sudahlah. Hatiku gelisah mengingat nasib mereka, kau hanya bicara main-main saja."
Agaknya pemuda itu baru ingat akan hal ini. "Ah, betul juga. Hayo kita cepat-cepat pergi ke Thai-san menjumpai Suhu, kalau Suhu turun tangan, jangankan baru Song-bun-kwi, biar ada sepuluh Song-bun-kwi tak perlu takut lagi!"
Mereka lalu berjalan meninggalkan tempat itu, diam-diam Kun Hong mendapat kesan aneh akan diri pemuda di sampingnya ini. Sombong, sudah jelas.
Ucapan terakhir tentang suhunya saja amat sombong. Binal, seperti kuda liar.
Gembira dan jenaka, hampir sama dengan Li Eng. Kadang-kadang mendatangkan rasa suka, kadang-kadang menimbulkan kegemasan yang luar biasa. Pemuda aneh, pikirnya. Akan tetapi Pamannya Tan Beng San itu, kabarnya adalah seorang Raja Pedang, seorang sakti. Seorang sakti tentu aneh dan tidak mengherankan kalau muridnya pun aneh. Hanya saja, masih begini muda....!
Mereka berhenti istirahat di sebuah hutan. Hari itu amat terik. Sudah tiga hari mereka melakukan perjalanan dan selalu bermalam di hutan. Malam tadi tak dapat tidur karena banyak sekali nyamuk di hutan itu. Karena kurang tidur, hari ini baru berjalan setengah hari saja mereka sudah lelah dan beristirahat di situ. Namun kegembiraan dan kejenakaan Cui Bi banyak menolong menggembirakan suasana. Pandai benar pemuda ini bicara, ada saja yang dipercakapkan. Pandai pula dia memancing-mancing sehingga banyak Kun Hong bercerita tentang dirinya, walaupun ia berhasil menyembunyikan segala kepandaian silat yang pernah dipelajarinya.
Tentu saja Kun Hong tak dapat menyembunyikan kenyataan bahwa sedikit banyak ia mengerti ilmu silat. "Aku hanya mempelajari teorinya, tidak suka mempelajari prakteknya. Ayah tidak membolehkan," demikian katanya.
"Hong-ko, betul-betulkah kau sama sekali tidak bisa mainkan ilmu silat?"
sambil duduk mengaso di bawah pohon yang teduh, pemuda itu bertanya.
Kun Hong hanya menggeleng kepala, menguap dan menyandarkan tubuhnya pada batang pohon, mencoba untuk tidur. Melihat kawannya ini lelah benar, Cui Bi tidak mau mengganggu lebih jauh dan ia pun menyandarkan tubuhnya pada batang pohon yang berdekatan.
Angin semilir menggerakkan daun-daun pohon menimbulkan suara yang berirama dan mendatangkan hawa yang nyaman, membuat kedua orang muda itu terkantuk-kantuk dan tidur ayam. Mendadak terdengar suara keras,
"Nah, inilah mereka!"
Kun Hong dan Cui Bi terkejut dan membuka mata. Tiba-tiba melayang sebuah benda di dekat kedua orang muda itu, terdengar ledakan keras dan asap tebal memenuhi tempat itu.
"Celaka, Hong-ko... awas...." terdengar suara Cui Bi dan selanjutnya sunyi.
Kun Hong mencium bau yang amat harum menyengat hidung, cepat ia menekan hawa murni dari pusar ke atas mendorong keluar asap yang sedikit memasuki dadanya, kemudian dengan pengerahan tenaga murni ini ia dapat menahan napas dan terhuyung-huyung menghampiri Cui Bi. Dilihatnya Cui Bi bergerak lemah, merangkak hendak pergi dari daerah berasap. Melihat keadaan pemuda itu, Kun Hong cepat menangkap tangannya dan diseret, dibawa lari ke tempat bersih. Untung bahwa asap itu sebentar saja lenyap, terbawa angin yang bertiup agak kencang. Akan tetapi dengan lemas Cui Bi menjatuhkan tubuhnya di atas tanah ketika Kun Hong melepaskan tangannya.
Kun Hong tidak apa-apa, dan ia amat kuatir melihat keadaan Cui Bi yang agaknya jatuh pingsan itu. Ia berdiri dan menoleh ke belakang. Alangkah kagetnya ketika ia melihat tiga orang berdiri di situ. Seorang adalah Kang Houw, orang tertua dari Lam-thian Si-houw yang gemuk pendek bermuka kanak-kanak, orang ke dua adalah seorang hwesio tinggi kurus berkepala gundul licin dan beralis tebal sampai hampir menutupi kedua matanya, dan orang ke tiga adalah.... Toat-beng Yok-mo sendiri!
Kun Hong menjadi gelisah dan gugup. Jelas bahwa kedatangan tiga orang ini tidak akan mendatangkan kebaikan, buktinya datang-datang mereka menyerang dengan obat peledak dengan racun memabukkan, sehingga Cui Bi yang boleh ia harapkan akan dapat melawan mereka ini sekarang pingsan dan tidak berdaya. Tentu saja Kun Hong tidak tahu bahwa Cui Bi hanya sebentar saja nanar. llmu Iwee-kang pemuda ini juga sudah tinggi sekali, maka sebentar saja ia dapat mendorong asap beracun itu dari tubuhnya, keluar dan ia sudah tidak apa-apa lagi. Hanya tadi karena keheranan melihat Kun Hong juga tidak apa-apa dan bahkan dapat menolongnya, timbul keinginan hati pemuda ini untuk mencoba Kun Hong yang berkali-kali menyatakan tidak ada kepandaian. Ia sengaja pura-pura pingsan sambil diam-diam siap sedia melindungi Kun Hong. Ingin ia melihat bagaimana Kun Hong akan menghadapi tiga orang lawan berat ini.
"Susiok, (Paman Guru), inilah pemuda Thai-san-pai itu. Lebih baik kubinasakan saja agar jangan berkepanjangan!" Kata Si Muka Kanak-kanak kepada hwesio itu. Tertegun hati Kun Hong mendengar bahwa hwesio itu masih paman guru Kang Houw. Murid keponakannya saja sudah demikian lihai, apalagi paman gurunya. Dan di situ masih ada Toat-beng Yok-mo yang dia ketahui bagaimana jahat wataknya. Namun melihat bahwa paman gurunya itu adalah seorang pendeta Buddha, timbul harapannya.
"Jangan main bunuh!" Kun Hong berseru sambil mengangkat tangannya ke atas. "Lo-suhu, katakanlah kepada murid keponakanmu itu bahwa membunuh dilarang dalam agama."
Akan tetapi hwesio itu tersenyum menyeringai memperiihatkan deretan gigi kuning, malah mengangguk ke arah Kang Houw. Si Gendut ini lalu meloloskan sabuk yang merupakan cambuk senjatanya, melompat ke arah Cui Bi.
"He, tidak boleh kau membunuh dia! Selama aku masih hidup dan berada di sini, tidak boleh kau, membunuh orang! Lo-suhu, kau seorang hwesio bukankah membunuh orang itu bertentangan keras dengan pelajaran agamamu?"
Melihat dengan nekat Kun Hong menghadangnya, Kang Houw menjadi marah.
"Kau ini kutu busuk jembel, mau apa petentang-petenteng" Lebih baik kau kubunuh lebih dulu agar jangan banyak rewel!"
''Hemm, Kang Houw, alangkah jahat kau! Apa kau kira aku takut kepadamu"
Lihat baik-baik, aku Kwa Kun Hong berjanji takkan lari dan sanggup menerima pukulanmu seratus kali. Bagaimana" Kalau aku lari atau mampus sebelum kaupukul seratus kali, barulah kau boleh mengganggu temanku ini."
Diam-diam Cui Bi memaki pemuda yang dianggapnya tolol dan gila itu.
Andaikata berkepandaian juga, mana dapat menahan pukulan seorang ahli Iwee-kang sampai seratus kali" Kalau saja tidak ingat bahwa pemuda itu berbuat demikian, penuh keberanian dan pengorbanan, untuk melindunginya, tentu ia sudah meloncat bangun dan memaki kebodohannya. Diam-diam pemuda ini mengintai dan siap untuk menolong kalau Kun Hong terancam bahaya. Ia tidak segera turun tangan karena ingin benar ia melihat apa yang akan dilakukan Kun Hong selanjutnya sebagai akibat dari tantangan yang tak masuk di akal terhadap Kang Houw yang lihai itu.
Orang she Kang itu tertawa bergelak sampai tubuhnya yang gendut itu bergerak-gerak semua. "Ha-ha-ha! Betulkah janjimu ini" Aku akan menggebukmu dengan cambukku ini seratus kali dan kau takkan lari dan menerima begitu saja?"
"Siapa akan membohongimu" Kau boleh menggebuk. terus-menerus sampai seratus kali jangan berhenti."
"Bagus, kalau kau mampus, dagingmu akan hancur lebur, tak usah ribut dikubur lagi. Kalau sampai seratus kali kau benar-benar tidak apa-apa, biarlah aku Kang Houw mengaku kalah dan berlutut seratus kali kepadamu. Ha-ha-ha!"
"Mulailah, dan hitung baik-baik!" kata Kun Hong, suaranya tiba-tiba berubah aneh seperti suara yang datang dari angkasa, bergema kuat membuat Toat-beng Yok-mo dan hwesio itu saling pandang dan nampak kaget, bahkan Cui Bi juga terkejut sekali mendengar suara ini. Ia teringat bahwa ketika pemuda itu mula-mula muncul di hutan tiga hari yang lalu, juga pernah bersuara seperti itu.
"Awas, lihat cambuk. Satuuu....!" Disusul bunyi "tarrr!" keras sekali. Cui Bi sudah siap melompat, akan tetapi alangkah herannya ketika ia melihat Kun Hong betul-betul, tidak bergeming dari tempatnya dan anehnya... cambuk itu bukan digebukkan kepada kepala Kun Hong, melainkan kepada sebuah batu besar di sebelah kiri pemuda itu.
"Duaa... tarrrt! Kang Houw mencambuk lagi, kelihatannya penasaran dan marah sekali. Debu-debu batu beterbangan terkena hantaman cambuk yang digerakkan tenaga Iwee-kang raksasa itu. "Tigaaa... tarrr!"
Kang Houw mencambuk terus sambil menghitung, peluh membasahi jidatnya sedangkan Kun Hong enak-enak berdiri, bahkan dengan tenang ia meninggalkan tempat itu, berjalan menghampiri Toat-beng Yok-mo dan hwesio itu yang berdiri terlongo-longo menyaksikan peristiwa luar biasa ini. Cui Bi lupa akan peranannya berpura-pura pingsan tadi, ia bangun dan duduk bengong menyaksikan betapa Kang Houw menggebuki batu sambil menghitung-terus!
"Yok-mo, kau juga mencari aku mau apakah?" Kun Hoing bertanya tenang-tenang saja kepada Yok-mo.
Sejenak kakek ini bingung, memandang kepada Kun Hong lalu menoleh kepada Kang Houw, sampai lama berganti-ganti ia memandang. Kemudian ia terbatuk-batuk dan berkata, "Orang muda yang aneh, aku datang hendak bertanya apakah kau telah membaca habis tiga buah kitabku yang kau kembalikan itu?"
"Tentu saja! Bukankah dahulu kau sendiri yang memberi ijin kepadaku untuk membacanya?" jawab Kun Hong sewajarnya, karena memang ia tidak membohong.
"Hemm, kalau begitu kau harus mampus. Tak seorang pun boleh mempelajari ilmuku."
"Nanti dulu, Yok-mo. Mampus ya mampus, biarlah aku bicara dulu dengan Losuhu ini. Lo-suhu, kau sebagai paman dari Kang Houw, apakah kau juga bermaksud membunuh aku?"
Hwesio itu nampak bingung. Sudah beberapa kali pemuda ini menyindirnya tentang pelajaran Agama Buddha. Memang, pada waktu itu banyak penjahat yang mencukur rambut masuk menjadi hwesio agar terbebas dari pengejaran yang berwajib. Juga selain ini, dengan menjadi hwesio mereka lebih leluasa melakukan kejahatan sambil memperdalam ilmu silat yang banyak dimiliki para hwesio. Hwesio ini adalah seorang di antara mereka itu.
"Pinceng (aku) datang untuk menangkap pemuda Thai-san-pai itu, tidak ada urusan denganmu. Lebih baik kau lekas pergi dari sini, jangan mencampuri urusan pinceng."
"Hemm, enak saja kau bicara, Lo-suhu. Sebetulnya, biarpun kau berjubah hwesio dan kepala gundul, namun isi hatimu tiada bedanya dengan orang sebangsa Kang Houw. Sebetulnya aku tidak sudi melayani orang palsu seperti engkau, juga aku tidak sudi berurusan dengan Yok-mo yang wataknya plin-plan ini. Akan tetapi karena kalian sudah datang, yang seorang hendak membunuh aku, seorang lagi hendak membunuh temanku. Padahal termanku itu tak dapat melawan dan akulah yang melindunginya. Nah, kalian berdua majulah berbareng, kalau malu seorang demi seorang, aku tidak sudi melayani, seorang saja kurang berharga bagiku. Hayo, majulah kalau memang berani, melawan aku!" Setelah berkata demikian, Kun Hong mencabut pedang Ang-hong-kiam dari balik bajunya.
Cui Bi diam-diam memperhatikan dan ingin sekali ia melihat apakah betul-betul Kun Hong seorang ahli pedang seperti yang ia sangka. Akan tetapi hampir saja ia terkekeh geli melihat cara Kun Hong memegang pedang, seperti seorang pemotong kambing memegang golok penyembelihan atau seperti seorang tukang mencacah bakso memegang goloknya. Juga Yok-mo dan hwesio itu saling pandang dengan ragu-ragu. Gilakah pemuda ini"
"Hayo maju, boleh kalian rasai ilmu pedangku! Lihat, pedang pusaka ini akan membereskan kalian dengan mudah saja. Ha-ha!"
"Bocah edan, apakah kau betul-betul sudah bosan hidup?" Hwesio itu membentak.
"Kun Hong, kau pernah menggendongku. Kalau kau suka minta ampun dan bersumpah takkan mengingat lagi isi kitab-kitabku, biarlah kuampuni jiwamu dan hanya mengambil sepuluh buah jari tanganmu agar kau tidak melanggar janji," kata Toat-beng Yok-mo.
Bergidik Kun Hong. Benar-benar dua orang ini iblis-iblis yang tak patut disebut manusia lagi. Ia menyimpan kembali pedangnya dengan hati-hati. Lalu ia menepuk kedua telapak tangannya. "Hemm, kalau aku menggunakan pedang, tentu darah kalian tercecer dan akan menjadi sialan bagiku kalau sampai terkena darah kalian berdua. Hanya aku akan membagi-bagi tempilingan kepadamu, majulah dua ekor iblis tua!"
Toat-beng Yok-mo adalah tokoh besar yang jarang bandingannya, juga hwesio itu yang bernama Tok Kak Hwesio, merupakan tokoh besar yang lihai sekali ilmunya, apalagi ilmunya Kauw-jiauw-kang (Cengkeraman Tangan Monyet) sukar sekali dilawan, biar oleh lawan bersenjata sekalipun. Sekarang bocah yang lagaknya seperti orang berotak miring ini menantang mereka berdua maju bersama. Alangkah gilanya. Penghinaan yang tiada taranya.
"Yok-mo, bukan kita akan mengeroyok, tapi marilah kita berlumba, siapa yang lebih dulu mematahkan batang leher bocah ini, dialah yang menang!"
"Heh-heh-heh, bagus, Tok Kak Hwe-sio, mari mulai!"
Dua orang kakek itu menubruk ke depan, seperti orang-orang menubruk swike (Katak Hijau) saja, berlumba. Akan tetapi tiba-tiba pemuda itu lenyap dari depan mereka. Keduanya bingung dan Kun Hong sudah tertawa di belakang mereka.
"He, aku di sini!"
Keduanya membalik dan secepat kilat menerjang maju, mempergunakan pukulan-pukulan yang mematikan. Diam-diam Cui Bi menonton dengan mata terbelalak. Sekali lagi ia melihat Kun Hong. terhuyung-huyung ke samping, kedua lengan berkembang, tubuh berputaran dengan pantat ditarik-tarik ke atas seperti lagak burung hendak terbang. Lucu sekali gerakannya, akan tetapi anehnya, sekali lagi serangan kedua orang tokoh besar itu mengenai angin!
"Hayo serang terus... serang terus, aku membalas, awas. Heeiiiitt, ayaaa...
awas, kanan... kiri... muka... belakang....!"
Cui Bi sekarang bangun berdiri. Bukan hanya matanya yang terbuka lebar melotot, malah mulutnya yang kecil itu juga terbuka lebar-lebar. Ia berdiri seperti patung saking herannya. Ia melihat Kun Hong berjalan melenggang tenang dan enak sekali keluar dari kalangan pertempuran dan dua orang jago tua itu kini saling serang dengan hebatnya!
"Eh, kau berdiri dengan mulut terbuka lebar seperti itu, bagaimana kalau ada lalat masuk?"
Buru-buru Cui Bi menutup mulutnya dan ia seperti baru sadar dari mimpi.
Saking heran dan bingungnya, ia merasa bulu tengkuknya berdiri dan ia menurut saja ketika Kun Hong menarik tangannya dan mengajaknya lari dari tempat itu.
Sekali lagi ia menengok dan memandang tajam. Gila betul! Apakah dia sudah gila sehingga pandang matanya kacau" Ataukah mereka bertiga itu yang gila"
Ia masih melihat Kang Houw menggebukl batu yang sudah setengah hancur sambil menghitung, "Lima puluh empat... tarrr!" dan melihat Yok-mo bersama hwesio itu terengah-engah dan mati-matian saling gebuk, saling jotos! Sekall lagi ia mengkirik, lalu tak menoleh lagi, menurut saja diseret oleh Kun Hong.
Hari telah mulai gelap ketika keduanya berhenti dan memasuki sebuah kuil kosong di luar sebuah kampung kecil. Dengan napas terengah-engah, aneh sekali, bukan karena lelah melainkan saking ngeri dan seremnya, Cui Bi menjatuhkan diri di atas lantai yang kasar dan kotor, memandang Kun Hong.
"Eh, kenapa kau memandangku begini rupa" Laote (Adik), kulihat kau tadi sudah berdiri. Kau tidak pingsan lagi, kenapa kau tidak segera mempergunakan kepandaianmu memberi hajaran kepada mereka?" tanya Kun Hong, diam-diam merasa tidak enak karena ilmu yang ia pergunakan itu membuat pemuda ini terheran-heran dan ia sibuk mencari alasan untuk menyembunyikan kepandaiannya.
"Hong-ko... apa yang kau lakukan tadi" Mimpikah aku" Bagaimana mereka itu bisa... bisa...."
"Bisa apa?" "Bisa begitu... ah, ngeri aku melihatnya. Apakah tiba-tiba Kang Houw itu sudah menjadi gila, memukuli batu seperti itu" Dan kenapa pula Yok-mo malah bertempur sendiri dengan hwesio itu?"
"Ha-ha-ha, apanya yang aneh" Laote, agaknya kau tadi pingsan, kau tidak mendengar jelas percakapan kami. Aku menantang dia supaya mencambuki batu seratus kali, kalau batu itu dapat habis aku mengaku kalah. Adapun Yok-mo dan hwesio itu, mereka berkelahi karena berebutan untuk membunuh aku.
Mereka tidak mau saling mengalah, hendak berlumba untuk membunuhku.
Memang untungku, juga untungmu, bisa terlepas dari tangan orang-orang jahat itu."
Cui Bi memandang tajam, tentu saja ia tidak dapat mempercayai keterangan ini. Akan tetapi kalau tidak begitu, habis apa sebabnya terjadi peristiwa yang begitu aneh" Ia benar-benar tidak mengerti.
"Hong-ko, apakah benar-benar kau tidak pandai bersilat" Apakah kau bukannya tengah berpura-pura padahal kau telah mewarisi semua kepandaian ayahmu?"
Kun Hong tersenyum. "Laote, sudah kuceritakan bahwa Ayah tidak suka aku belajar silat, bagaimana aku bisa mewarisi kepandaiannya" Tentu saja aku tahu banyak tentang Hoa-san Kun-hoat karena aku telah membaca semua kitab-kitabnya."
Cui Bi benar-benar tidak mengerti bagaimana orang bisa membaca kitab pelajaran ilmu silat tanpa melatihnya. Apa gunanya" Dan pemuda ini... benar-benar mengherankan. Dikatakan pandai silat, gerakan-gerakannya tadi ketika berhadapan dengan lawan begitu kaku dan kacau, jelas membayangkan bahwa ia memang tidak pandai bersilat. Akan tetapi, dikatakan tak pandai, mengapa sikapnya demikian tabah dan berani, malah dapat menyelamatkan diri dari ancaman tokoh-tokoh seperti Song-bun-kwi, Toat-beng Yok-mo, dan yang lain-lain secara begitu aneh!
Malam hari itu mereka bermalam di dalam kuil kosong, memilih tempat yang agak bersih di sebelah belakang. Cui Bi mengeluarkan roti kering yang dibelinya di dalam dusun yang mereka lewati tadi, lalu membaginya dengan Kun Hong. Mereka makan roti kering dan minum air dari sumur yang berada di belakang kuil, Kemudian mereka merebahkan diri, Cui Bi di atas meja sembahyang yang sudah tidak ada isinya apa-apa lagi, Kun Hong menemukan bangku panjang dan berbaring di situ.
Malam itu tidak terjadi sesuatu yang penting. Akan tetapi pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dua orang muda itu mendengar suara orang di depan kuil. Kun Hong dan Cui Bi saling pandang ketika mendengar suara seorang laki-laki, suara yang keras dan nyaring penuh nada mengejek,
"Heeei, semalam suntuk kau nekat berjalan terus setelah pagi malah berhenti!
Agaknya sudah tidak waras otakmu!"
Terdengar jawaban, nyaring, akan tetapi ketus, "Tutup mulut! Kau tawananku, ingatkah" Aku hendak berbuat apa yang kusuka, kau tak berhak membuka mulut mencampuri urusanku, mengerti?"
Kun Hong mendengar suara ini seketika berseri wajahnya. Ia hendak menyerbu keluar, Cui Bi yang melihat gerakannya, cepat menangkap lengan tangan Kun Hong dan menaruh telunjuk pada bibirnya, minta temannya itu supaya jangan berisik.
"Dia itu... dia itu Li Eng...." bisik Kun Hong dekat telinga Cui Bi, akan tetapi segera ia menjauhkan mukanya dan bergidik karena mencium bau harum dari sekitar telinga itu. Alangkah pesoleknya laki-laki ini, memakai minyak segala!
Cui Bi nampak terkejut, akan tetapi ia tetap memberi isyarat supaya temannya tidak membuat gaduh dan mereka akan mengintai dulu. Berindap-indap mereka keluar dan mengintai ke ruangan depan. Kun Hong menuruti kehendak temannya karena ia pun lalu ingat bahwa mungkin Li Eng datang bersama musuh-musuh tangguh, juga ia ingin tahu siapakah laki-laki yang bicara dengan Li Eng itu.
bagian 71 Betul juga dugaan Kun Hong, Memang yang datang sepagi itu di kuil ini adalah Li Eng dan tawanannya. Seperti telah kita ketahui, karena mempergunakan kesempatan selagi Kong Bu, pemuda yang menawannya itu berusaha menyedot keluar racun dari luka di kakinya, Li Eng memukul roboh Kong Bu dan balas menawannya. Tentu saja Li Eng tidak sudi memanggul tubuh Kong Bu yang sengaja membalasnya dengan sikap ketus dan melawan, sehingga terpaksa gadis ini yang sudah membelenggu kaki Kong Bu, lalu mengikatnya dengan akar dan menyeretnya sepanjang jalan!
Li Eng cukup cerdik untuk mengambil jalan yang sunyi melalui hutan-hutan dan gunung-gunung. Sewaktu-waktu kalau terpaksa melalui dusun-dusun, ia berhenti dan melanjutkan perjalanan di waktw malan. Ia tidak mau dijadikan tontonan karena tentu saja mereka menjadi perhatian orang. Mana ada seorang gadis melakukan perjalanan dengan menyeret seorang laki-laki yang terbelenggu"
Demikianlah, pagi hari itu ia tiba di kuil tua. Semalam suntuk ia telah berjalan sambil menyeret tubuh Kong Bu, lelahnya dan ngantuknya bukan main, maka ia lalu berhenti dan mengambil keputusan untuk beristirahat dan tidur di kuil tua ini. Tentu saja ia sama sekali tidak penah mengira bahwa pamannya berada di belakang kuil dan bahwa sekarang "Paman Hong" itu sedang mengintainya.
Jalan masuk ke dalam kuil itu melalui anak tangga, lumayan juga tingginya, ada satu setengah meter.
"Hayo bangkit, kita masuk ke kuil! Tak mau aku orang yang lewat di depan ini mellhat kita." Li Eng membentak sambil menarik-narik ujung tali akar yang kuat itu.
Kong Bu masih rebah telentang diatas tanah. Pemuda ini sudah tidak karuan lagi macamnya. Mukanya kotor penuh debu, rambutnya awut-awutan dan pakaiannya di bagian punggung sudah habis, robek-robek ketika tubuhnya terseret. Akan tetapi hebatnya, tiada sedikit pun kulit tubuhnya yang rusak biarpun gadis itu menyeretnya sepanjang hari.
Mendengar perintah Li Eng, Kong Bu tersenyum dan memandang dengan mata bersinar-sinar penuh ejekan, "Memang aku ingin sekali orang-orang melihat kita. Biar mereka melihat dengan mata kepala sendiri betapa liar dan buasnya gadis murid Hoa-san-pai. Ha, kau benar-benar hendak mempropagandakan kebusukan Hoa-san-pai di depan umum. Seorang gadis menyeret-nyeret tawanannya seperti seekor binatang, di dunia ini mana ada keganasan melebihi ini" Huh, anak murid Hoa-san-pai, memang betul kata-kata Kakek.
Anak murid Hoa-san-pait terutama yang perempuan, jahat seperti siluman."
"Tutup mulutmu!" Li Eng memekik marah. "Kau yang jahat, kau yang seperti iblis, kau yang palsu, Setelah menjadi tawananku, kau sengaja tidak mau menurut, tidak mau jalan mengikuti, Habis kalau tidak menyeretmu bagaimana aku bisa membawamu ke Thai-san" Dasar kau licik dan jahat."
"Itulah kalau dasarnya jahat. Ketika aku menawanmu, kau kugendong ke mana-mana, sekarang setelah kau berbalik menawan aku, kau seret-seret!"
"Cihhh, tak bermalu! Masa aku harus menggendongmu" Puuhhh! Hayo naik, masuk ke kuil."
"Tidak sudi!" Kong Bu menjawab, tetap tersenyum mengejek, tersenyum lebar sehingga deretan giginya yang putih rata dan kuat itu tampak berkilat di atas dagunya yang membayangkan kekerasan hati yang luar biasa.
"Kepala batu!" seru Li Eng dan sekali ia membetot ujung tali akar itu, tubuh Kong Bu melayang melewati anak tangga, ke dalam kuil. Akan tetapi ketika tubuh itu turun ke atas lantai kuil, seperti sehelai daun kering saja, sama sekali tidak terbanting keras.
Diam-diam Cui Bi yang mengintai bersama Kun Hong, terkejut dan kagum sekali melihat ini. Cara gadis cantik jelita ini membetot tali membuat tubuh pemuda itu melayang ke dalam kuil, membuktikan kehebatan Iwee-kang Si Gadis dan hanya seorang ahli silat tinggi saja yang dapat melakukan hal itu. Di lain pihak tubuh pemuda itu turun seperti sehelai daun kering, hal ini membuktikan pula kehebatan gin-kang dari Si Pemuda. Jelas dalam pandang mata Cui Bi bahwa sepasang muda-mudi yang bermusuhan ini adalah orang-orang yang memiliki kepandaian hebat!
Sementara itu, Kun Hong yang sejak tadi mengerutkan keningnya, tak dapat menahan kemarahannya lagi melihat "keponakannya" memperlakukan seorang tawanan seperti itu. Tanpa dapat dicegah lagi oleh Cui Bi, ia melompat keluar sambil berseru,
"Eng-ji, benar-benar kelakuanmu sekali ini tidak patut!"
Li Eng menengok kaget, wajahnya lalu berseri dan matanya bersinar-sinar.
Tanpa terasa ia melepaskan ujung tali dan lari menubruk Kun Hong,
"Paman Hong....! Gadis itu memegang kedua lengan Kun Hong, meloncat-loncat seperti anak kecil diberi permen. "Aduh, Paman Kun Hong... siapa mimpi bertemu dengan kau di sini?"
Kun Hong mengerutkan keningnya, menggeleng-geleng kepala dan berkata, suaranya tenang akan tetapi berpengaruh sekali.
"Li Eng, sebelum kita bicara lebih dulu kau harus lepaskan belenggu dia itu!" Ia menuding ke arah Kong Bu yang memandang pertemuan itu dengan mata tajam akan tetapi ia tidak mengerti siapa adanya pemuda yang pakaiannya seperti anak sekolah akan tetapi sudah butut, sikapnya lemah lembut dan dipanggil paman oleh Li Eng ini.
"Aih, mana bisa, Paman Hong! Dia ini adalah cucu dari iblis tua Song-bun-kwi yang telah menawan aku dan Enci Hui Cu. Enci Hui Cu dirampas pula olel orang lain entah siapa, sedangkan aku oleh iblis tua Song-bun-kwi diserahkan kepada... iblis muda ini. Baiknya aku dapat... eh...."
"... menipu, berlaku curang dan membalas susu dengan air tuba," Kong Bu menyambung.
"Diam kau, setan alas!" Li Eng memaki.
"Li Eng, segala urusan dapat didamaikan, kesukaran dapat diatasi, pertikaian dapat dirundingkan. Tak patut kau memperlakukan seorang manusia seperti ini. Hayo, kaubuka ikatan tangannya."
"Tapi... tapi dia berbahaya sekali, Paman Hong. Kalau dia terlepas, mungkin...
aku... belum tentu dapat menguasainya. Dia lihai dan kejam sekali, seperti binatang buas...."
Sementara itu, Kun Hong memandangi wajah Kong Bu dengan penuh perhatian dan dengan tajam sekali. Serasa ia mengenal wajah ini, akan tetapi entah di mana. Tak mungkin wajah segagah dan setampan ini dihuni watak yang rendah. "Kau lepaskan, aku yang tanggung." Li Eng adalah seorang gadis yang manja dan selalu ingin menang sendiri.
Akan tetapi semenjak bertemu dengan Kun Hong, ia menjadi penurut dan lenyaplah segala kekerasannya. Baginya serasa tak mungkin ia membantah perintah pamannya yang muda ini. Setelah menarik napas berulang-ulang, ia melangkah maju, mencabut pedangnya dan sekali tabas ia hendak memutuskan belenggu pada kedua tangan Kong Bu. Akan tetapi tiba-tiba ia melompat ke belakang tidak melanjutkan babatannya, matanya memandang dengan terbelalak dan wajahnya berubah. Kiranya Kong Bu sambil tertawa sudah memberontak, menggerakan kedua tangannya dan... Belenggu akar pohon itu seketika putus-putus!
Dengan gerakan ringan sekali Kong Bu meloncat bangun, berdiri dengan baju bagian belakang hancur sehingga punggungnya yang kuat itu tampak nyata berlumur debu. Pemuda ini dengan berdiri tegak memandang kepada Li Eng dengan mata memancarkan sinar penuh ejekan. Gadis itu merah seluruh mukanya, hatinya mengkal bukan main. Kiranya pemuda itu kalau mau, dalam perjalanan mereka itu dapat melepaskan belenggunya. Kiranya, pemuda itu membiarkan dirinya ditawan, hanya untuk menggodanya.
"Setan kau!" desisnya dan pedangnya berkelebat hendak menyerang. "Eng-ji, jangan!" Kun Hong membentak dan... gadis itu dengan lemas menurunkan kembali pedangnya.
"Dia... dia musuh kita, Paman Hong. Dia menghina Hoa-san-pai, hendak kuseret dia ke depan Sukong (Kakek Guru) agar dihukum!"
Kun Hong bukanlah seorang bodoh. Biarpun ia kelihatan tak suka menonjolkan diri, namun sesungguhnya dia seorang yang cerdas dan cerdik. Dia pun dapat menduga bahwa pemuda yang gagah di depannya itu tertawan oleh Li Eng hanya pura-pura menyerah saja. Gin-kang yang didemonstrasikan tadi, juga tenaga memutuskan tali, akar yang amat kuat, cukup membuat ia dapat menduga bahwa kepandaian pemuda ini tidak di bawah tingkat Li Eng.
"Sahabat, harap kau maafkan kalau keponakanku ini melakukan kekerasan terhadap dirimu. Aku percaya kau cukup jantan untuk menyudahi perselisihan dengan seorang gadis, keponakanku ini. Kau boleh meninggalkan kami dan kuharap kau suka memberi tahu mengapa kakekmu Song-bun-kwi menawan dua orang keponakanku dan ke mana pula perginya keponakanku yang seorang lagi."
Kalau tadi perhatian Kong Bu hanya tertuju kepada Li Eng untuk menggodanya, sekarang ia memandang kepada pemuda yang mengaku paman dari Li Eng ini. Dan ia tertegun. Mata itu. Terang bukan mata biasa, begitu tajam menusuk jantung, penuh wibawa dan kekuasaan. Dan kata-kata yang halus itu! Diam-diam ia kagum, akan tetapi mendengar pertanyaan terakhir ini, ia tertawa!
"Sahabat, kakekku membenci semua anak murid Hoa-san-pai, memang beralasan. Ibuku mati karena anak murid perempuan Hoa-san-pai. Kakek menawan dua orang murid Hoa-san-pai, yang seorang dirampas oleh orang lain, entah siapa. Seorang lagi diserahkan kepadaku.
Aku tawan keponakanmu ini, aku malah sudah melemparnya kepada anjing-anjing hutan untuk dimakan, Akan tetapi aku menolongnya dan sepanjang jalan aku memanggulnya. Kemudian aku tertipu, tertawan olehnya. Dia menyeret-nyeret aku sepanjang jalan. Balas-membalas sudah punah, sudah lunas untuk sementara ini. Tidak ada yang harus dimaafkan dan memaafkan.
Kita sudah seri. Aku tidak menyalahkan siapa-siapa, juga tidak, mau disalahkan."
Kun Hong mengerutkan kening. Begitu melihat dan mendengar omongan pemuda ini, ia dapat meraba isi hati orang, dapat menaksirkan watak orang.
Pemuda ini berjiwa gagah, jujur dan sama sekali tidak jahat. Hanya keras hati, dan aneh. Ia menggeleng kepala.
"Apakah yang menyebabkan kematian ibumu itu seorang di antara kedua keponakanku ini?" tanyanya, menegur.
"Bukan! Akan tetapi mereka pun anak murid perempuan Hoa-san-pai."
"Hemmm, kau teracun oleh nafsu dendam kakekmu, sahabat. Seorang anak murid Hoa-san-pai membuatmu penasaran, apakah oleh karena itu kau harus memusuhi semua orang Hoa-san-pai" Kalau begitu pendirianmu, apakah kalau ada seorang petani menyakiti hatimu, kau lalu memusuhi seluruh petani di permukaan bumi ini" Lagi, kalau kau disakiti hatimu oleh seorang manusia, apakah kau pun akan memusuhi seluruh manusia di jagat ini?"
"Ngaco!" Kong Bu membentak. "Itu lain lagi!"
"Bukan ngaco, apa bedanya" Kalau ada anak murid Hoa-san-pai yang bersalah, belum tentu semua anak murid Hoa-san-pai juga bersalah, sama halnya kalau ada seorang petani bersalah belum tentu seluruh petani harus bersalah, atau kalau ada seorang manusia bersalah, tidak semestinya kita menyalahkan seluruh umat manusia. Apalagi kalau diingat bahwa menyalahkan orang lain sama mudahnya dengan membalikkan telapak tangan, setiap orang pun bisa melakukannya. Cobalah tengok diri sendiri dan mencari kesalahan sendiri, kalau bias berbuat begitu barulah terhitung seorang gagah sejati."
Kong Bu termenung, memandang aneh, lalu menggaruk-garuk kepalanya. Ia membalikkan tubuh, berkata, "Sudahlah, aku pergi!" Sambil mengerling ke arah Li Eng ia berkata, "Sampai berjumpa lagi."
"Apa?" Li Eng menyerang ketus. "Sekali lagi berjumpa, kalau tidak ada Paman Hong aku ingin bertempur seribu jurus denganmu sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa!"


Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kong Bu tertawa mengejek, "Bagus, boleh sekali. Akan kunanti saat itu."
Kemudian ia meloncat jauh dan berlari cepat, sebentar saja lenyap di sebuah tikungan jalan.
Kun Hong menarik napas panjang, berbalik memandang Li Eng yang masih merah kedua pipinya. "Kenapa kau begitu membencinya, Li Eng?"
"Aku benci padanya! Benci... benci setengah mati! Dia kurang ajar sekali, Paman. Dia bilang semua murid Hoa-san-pai adalah orang jahat dan hina. Dia tidak memandang sebelah mata kepadaku!" Suara gadis ini makin parau seakan-akan ia hendak menangis, saking gemas dan mendongkolnya.
Kun Hong tersenyum. "Benci atau cinta itu sama saja...."
"Hisss! Kau bilang apa, Paman....?""
Li Eng berseru sambil memandang dengan kedua matanya terbelalak. Indah sekali sepasang mata itu dan Kun Hong harus mengakui dalam hatinya bahwa yang paling indah di antara anggauta tubuh keponakannya ini adalah matanya yang seperti bintang itulah. Ia kagum sejenak, lalu menyambung sambil tersenyum,
"Baik cinta maupun benci hanyalah merupakan pencetusan perasaan yang dipengaruhi oleh keadaan, berdasarkan sifat keakuan (egoisme) yans sudah menjadi watak dasar setiap manusia. Siapa yang menguntungkan dan menyenangkan diupah rasa cinta, sebaliknya siapa yang merugikan dan tidak menyenangkan diupah rasa benci. Karena itu, kalau hari ini kita membenci seseorang, bukan tak mungkin esok hari kita mencintanya."
"Apa....?" Merah sekali kedua pipi Li Eng, menambah kecantikannya. "Kau mau bilang aku akan mencinta... dia....?"
Kun Hong mengangkat tangan seperti hendak menangkis tamparan. Andaikata ia bukan paman Li Eng, agaknya gadis ini akan menamparnya. "Bukan kau...
bukan kau... aku hanya bicara menurutkan renungan, semua orang bisa saja mengalami hal ini dan... heee, mana dia?"
"Dia siapa?" Li Eng menengok ke kanan kiri belakang.
"Dia tadi di dalam bersamaku. Heee, Bi-te (Adik Bi)... keluarlah!" Kun Hong memanggil-manggil, malah segera masuk ke dalam mencari-cari. Namun orang yang dicarinya, Cui Bi, tidak nampak mata hidungnya lagi. Dan di belakang pintu, pada tiang kayu yang keras di mana mereka berdua tadi bersembunyi dan mengintai, terdapat tuiisan, ditulis dengan tekanan jari tangan pada kayu yang keras itu.
"Hong-ko, aku pergi dulu, sampai jumpa pula."
"Siapakah dia itu, Paman Hong?" tanya Li Eng tertarik setelah ia ikut membaca tulisan ini. "Hebat juga Iwee-kangnya!"
Kun Hong menarik napas panjang lalu tersenyum, sinar matanya berseri karena ia teringat akan persamaan watak antara Li Eng dan pemuda itu.
"Dia anak murid Thai-san-pai, ilmu silatnya lihai. Ah, sayang ia pergi. Aku tidak tahu mengapa ia buru-buru pergi, aku ingin sekali memperkenalkan dia kepadarmu Eng-ji. Biarlah, kelak kita pasti akan bertemu juga dengan dia.
Sekarang lebih baik kita lekas-lekas pergi ke Thai-san, banyak hal kita jumpai di jalan yang ada hubungannya dengan Thai-san-pai, agar kita dapat memberi tahu kepada Paman Tan Beng San dan di sana dapat bersiap-siap menghadapi maksud orang-orang jahat."
"Baiklah, Paman Hong. Sayang, kalau aku ingat kepada Cici Hui Cu...." Li Eng nampak gelisah dan berduka.
"Jangan kuatir. Orang yang tidak melakukan kejahatan pasti akan dilindungi oleh Tuhan Yang Maha Adil. Semoga saja kita akan dapat bertemu dengan Hui Cu dan aku seperti mendapat firasat bahwa kita akan berjumpa dengan dia di Thai-san juga."
Berangkatlah dua orang muda itu dan aneh sekali, baik Li Eng maupun Kun Hong melakukan perjalanan dengan wajah, muram. Mereka itu seperti hendak memberi kesan kepada masing-masing bahwa mereka murung memikirkan Hui Cu, padahal keduanya merasai sesuatu yang kosong di dalam dada, yang diam-diam hendak mereka bantah sendiri bahwa hal itu bukan dikarenakan perpisahan mereka dengan orang-orang yang mereka "benci" dan yang membikin mengkal hati mereka selama ini.
Kong Bu berlari cepat keluar masuk hutan. Bayangan Li Eng terbayang-bayang di pelupuk mata, tak mau lenyap biarpun ia berusaha mengusirnya. Ah, anak murid Hoa-san-pai, mengapa harus diingat-ingatnya" Tapi senyumnya, sinar mata yang indah itu... ah! Tiba-tiba ia berhenti merenung memandangi daun-daun di depannya. Hatinya serasa kosong, sunyi. Aneh sekali, sekelilingnya tampak sunyi tak berarti, alangkah bedanya dengan perasaan ketika ia masih diseret-seret tadi. Ia menepuk kepala sendiri. "Bodoh kau! Dia benci dan tak suka kepadamu, kau musuhnya, kenapa dipikir-pikir" Tolol celaka!" Dan ia lalu lari lagi cepat-cepat.
Mendadak ia melihat bayangan berkelebat di sebelahnya dari terdengar suara orang berseru,
"Sahabat, berhenti dulu!"
Kong Bu tidak lari secepat ia bisa, akan tetapi cukup cepat sehingga gerakan bayangan yang menyusulnya itu cukup membuat ia terkejut dan maklum bahwa orang ini memiliki ilmu lari yang hebat juga. Ia berhenti dan memandang. Seorang pemuda, masih amat muda, tampan sekali, berdiri di depannya. Mata yang tajam memandangnya penuh selidik. Pakaian pemuda ini amat indah dan rapi, kuku-kuku tangannya terpelihara baik-baik, segalanya begitu bersih sedangkan dia sendiri begini kotor. Kong Bu menghela napas.
"Kau siapa dan mau apa menahan perjalananku?" tanyanya, suaranya penuh kecurigaan dan ketidaksenangan. Memang hatinya sedang risau, sedang tak senang karena ia tidak puas dengan keadaan hatinya sendiri.
"Apakah Song-bun-kwi itu kakekmu?" pemuda tampan yang bukan lain adalah Cui Bi itu bertanya.
"Tak perlu aku sembunyikan hal itu. Benar, Song-bun-kwi adalah kakekku. Kau siapa dan mau apa?"
"Dan orang tuamu... apakah mendiang ibumu bernama Kwee Bi Goat dan ayahmu bernama Tan Beng San?" Pemuda tampan itu bertanya terus tanpa mempedulikan pertanyaan Kong Bu.
Kong Bu terkejut sekali. "Bagaimana kau bisa tahu?"
"Tak peduli bagaimana aku bisa tahu.
Cucu Song-bun-kwi, cabutlah pedangmu, hendak kulihat sampai di mana kelihaian cucu dari Song-bun-kwi!" setelah berkata demikian, Cui Bi menggerakkan tangan kanannya dan "srattt!" pedangnya telah berada di tangan.
Kong Bu membelalakkan matanya, membusungkan dadanya yang bidang.
"Sombong kau! Tanpa sebab kau menantangku, kau kira aku takut kepadamu?" Dengan marah ia pun lalu mencabut pedangnya. Diam-diam ia bersyukur bahwa Li Eng gadis liar itu tidak merampas pedangnya ketika gadis itu menawannya.
bagian 72 Cui Bi tersenyum mengejek, "Hendak kukenal dengan ilmu pedangmu. Lihat pedangku!" Tanpa banyak rewel lagi pemuda tampan ini lalu menggerakkan pedangnya menusuk.
Melihat datangnya tusukan yang cepat dan kuat seperti kilat menyambar, Kong Bu terkejut. Itulah gerakan yang hebat dan ia tidak berani memandang ringan. Cepat ditangkisnya sepenuh tenaga.
"Trangggg!" Bunga api berpijar dan Cui Bi merasa tangannya tergetar. Diam-diam ia memuji tenaga dari pemuda gagah itu. Akan tetapi ia tidak memberi hati dan segera bersilat pedang dengan amat cepat dan indahnya. Kong Bu kagum sekali. Amat indah gerakan-gerakan ilmu pedang ini, lagipula cepat dan berbahaya. Ujung pedang itu berkembang menjadi banyak, dan setiap bayangan ujung pedang mengarah jalan darah yang penting. Ia pun berseru keras dan tanpa ragu-ragu lagi lalu mainkan ilmu pedang yang paling ia andalkan, yaitu warisan dari kakeknya, Ilmu Pedang Yang-sin Kiam-hoat.
Sampai mengaung-ngaung suara pedangnya memecah udara, menimbulkan angin di sekeliling tubuhnya, pedangnya berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang hendak menelan lawan.
"Yang-sin Kiam-hoat! Bagus, keluarkan semua kepandaianmu!" seru Cui Bi sambil menangkis dan balas menyerang tak kalah hebatnya. Sekali lagi Kong Bu terkejut. Pemuda tampan itu tidak hanya segera mengenal ilmu pedangnya yang jarang dikenal orang-orang kang-ouw itu, bahkan sekaligus dapat mengimbanginya, agaknya mengenal pula jurus-jurus Yang-sin Kiam-hoat.
Heran benar, semuda ini sudah begitu lihai, siapa dia" Namun pikiran ini tidak lama mengganggunya karena ia harus mencurahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi lawan yang benar-benar berat ini.
Begitu cepat gerakan kedua orang muda itu sehingga tubuh mereka lenyap terbungkus gulungan pedang mereka yang saling membelit. Makin lama Kong Bu makin terheran-heran. Tidak saja semua jurus Yang-sin Kiam-sut yang ia mainkan itu dapat dihindarkan oleh lawan, malah setiap jurusnya tertindih oleh tangkisan Yang-sin Kiam-sut juga yang disusul serangan jurus-jurus yang asing baginya, tapi merupakan kebalikan dari Yang-sin Kiam-sut. Sama sekali ia tidak pernah mimpi bahwa pemuda tampan ini ternyata memiliki Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam-sut, jadi artinya kalau ia hanya mengenal setengahnya, pemuda itu telah mengenal selengkapnya! Tentu saja ia kalah angin dan segera terdesak hebat.
Namun, Kong Bu adalah seorang anak gemblengan yang semenjak kecil sudah digembleng secara hebat oleh Song-bun kwi. Tidak hanya Yang-sin Kiam-hoat yang ia warisi, melainkan semua kepandaian kakeknya yang banyak sekali macamnya. Selain ini, dalam hal tenaga, ternyata Kong Bu lebih menang setingkat sehingga mengandalkan kesemuanya ini, ia masih dapat mempertahankan diri dan sengaja ia hendak mengadu pedang untuk memukul jatuh pedang lawan.
Siapa kira, pemuda tampan itu walaupun usianya lebih muda darinya, ternyata memiliki kecerdikan tinggi. Buktinya, pemuda tampan itu sama sekali tidak mau mengadu pedang karena agaknya maklum bahwa tenaganya kalah besar.
Ia mengandalkan kegesitan di samping kelihaian llmu pedangnya untuk terus mendesak hebat.
Yang membuat Kong Bu terheran-heran, setelah tiga ratus jurus lebih mereka bertempur, mulailah ia merasa bahwa andaikata pemuda tampan itu menghendaki, ia tentu sudah terkena sasaran pedang lawan. Anehnya, pemuda tampan itu agaknya tidak bertempur sungguh-sungguh, atau setidaknya, tidak mempunyai maksud buruk untuk merobohkannya, lebih tepat disebut menguji kepandaiannya. Hal ini malah mendatangkan rasa penasaran di hatinya karena ia merasa terhina dan dipermainkan. Sambil mengeluarkan lengking meninggi seperti orang menjerit menangis, Kong Bu memutar pedangnya dan melakukan tekanan-tekanan dengan serangan maut!
"Wah, ganas... ganas...!" Cui Bi berseru karena ia merasa tergetar jantungnya mendengar lengking yang dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khi-kang dan Iwee-kang ini. Ia harus mengempos semangat dan hawa murni di tubuhnya agar jangan terpengaruh.
Memang hebat sekali Kong Bu. Setelah mengeluarkah lengking yang aneh ini, tenaga serangannya seakan-akan menjadi jauh lebih kuat dan biarpun tadi ia sudah terdesak hebat terkurung oleh ilmu pedang lawan yang amat luar biasa itu, sekarang ia dapat mengimbangi lagi permainan lawan, Cui Bi merasa betapa dalam jarak satu meter jauhnya, pedang lawannya itu sudah mengeluarkan tenaga pukulan yang kuat!
Lima ratus jurus telah lewat, dan kedua orang muda itu sudah mulai berkeringat. Tiba-tiba Cui Bi membentak nyaring, pedangnya berkelebat dengan gerakan bergelombang, sukar sekali ditangkis dan tahu-tahu sudah menyambar ke arah pusar Kong Bu. Kong Bu berseru keras saking kagetnya, melihat betapa pedang lawan yang sedianya sudah menusuk lambung itu tiba-tiba menyeleweng dan "bret!" ujung bajunya yang terbabat putus. Saking kagetnya melihat pedang itu tadi hendak menusuk lambungnya, ia mengerahkan seluruh tenaga, menangkis dari bawah ke atas dan, "tranggg!"
Cui Bi menjerit lirih, pedangnya terlepas dari pegangan, melayang ke atas.
Bagaikan seekor burung walet, pemuda tampah ini sudah meloncat ke atas dan di lain detik pedangnya yang "terbang" tadi sudah ditangkapnya kembali.
Kini mereka berhadapan, saling pandang, pedang melintang di tangan. Diam-diam Kong Bu harus mengakui dalam hatinya bahwa ia sudah kalah. Bahwa lawannya telah memperlihatkan kelebihannya dan sekaligus membuktikan bahwa lawan ini tidak bermaksud jahat. Kalau demikian halnya tentu ia telah roboh dengan pusar tertusuk pedang.
Cui Bi memandang tajam, matanya bersinar-sinar wajahnya berseri-seri, lalu ia menyimpan kembali pedangnya. "Kau... kau hebat, patut menjadi putera Raja Pedang di Thai-san!" katanya.
Merah sekali wajah Kong Bu. Ia pun menyarungkan pedangnya, menarik napas panjang beberapa kali. "Lebarnya dunia tak dapat diukur, dalamnya lautan sukar dijajaki, kepandaian manusia sukar dibatasi. Sahabat aku benar-benar takluk kepadamu, belum pernah seumur hidupku aku bertemu dengan tandingan seperti kau. Siapakah kau dan apa maksudmu menahanku dan mengajakku main-main seperti ini?"
"Kau... kau puteranya... kenapa kau memusuhi orang-prang Hoa-san-pai, dan.... dan kenapa kau tidak mencari ayahmu..." Cui Bi berkata perlahan, suaranya gemetar.
Kong Bu terheran. Ia menduga-duga siapa adanya pemuda aneh ini. Akan tetapi ia tidak dapat mengirakannya.
"Untuk apa kau bertanya-tanya" Apa pedulimu dengan urusanku?"
"Ada hubungannya erat sekali dan aku ingin sekali tahu. Ah... agaknya kau tidak berani mengaku," Cui Bi menarik napas panjang. Memang ia cerdik.
Begitu bertemu ia sudah dapat menduga bahwa pemuda gagah ini tentu memiliki jiwa gagah juga, dan biasanya orang yang menghargai kegagahan, paling pantang kalau disebut "tidak berani". Maka sengaja ia mengatakan demikian untuk membakar hati orang. Akalnya berhasil baik. Kong Bu menjadi merah mukanya, matanya terbelalak mendelik dan suaranya menggeledek,
"Siapa tidak berani" Bocah, jangan kau sombong. Biarpun harus kuakui bahwa kepandaianmu hebat sekali, namun aku belum mampus ditanganmu dan sewaktu-waktu takkan mundur menghadapi kau atau siapapun juga. Kau bilang aku tidak berani mengaku" Baik dengarlah! Ibuku meninggal karena seorang anak perempuan Hoa-san-pai, karena itulah maka semua perempuan murid Hoa-san-pai kumusuhi! Nah, tahukah kau sekarang?"
"Hemm, kau tentu maksudkan perempuan Hoa-san-pai bernama Kwa Hong itu, bukan" Sayangnya kau ngawur dan membabi buta, sampai-sampai dua orang gadis yang tidak ikut apa-apa kau ganggu juga. Hemm, kau tersesat.
Kenapa kau tidak mencari ayahmu di Thai-san?"
Kong Bu tercengang. Bagaimana bocah ini mengetahui segalanya" Ingin ia balas bertanya, akan tetapi karena tidak mau dianggap "tidak berani" ia mengaku, "Ayahku Tan Beng San di Thai-san adalah seorang laki-laki yang telah menghancurkan penghidupan mendiang ibuku. Dia tergila-gila kepada perempuan Hoa-san-pai siluman betina itu. Mengapa aku harus mencarinya"
Huh, aku malah ingin bertemu untuk menantangnya bertempur, untuk membalaskan sakit hati ibuku!"
Tiba-tiba Cui Bi membentak marah, "Jangan mengacau! Kau agaknya sudah dirusak oleh kebohongan dan fitnahan-fitnahan Song-bun-kwi. Kau menurutkan nafsu yang dikobarkan oleh kakekmu yang jahat itu. Kau mau tahu duduknya perkara yang betul" Nah dengarlah aku bercerita." Cui Bi lalu duduk di atas sebuah akar pohon yang menonjol keluar dari pohon. Kong Bu tidak peduli, tetap berdiri dan memandang penuh curiga. Bocah ini tahu banyak sekali, entah apa kehendaknya, akan tetapi karena ingin tahu ia diam saja, mendengarkan.
"Kau tidak adil sekali menyumpah dan memaki ayahmu sendiri. Dia seorang pendekar besar, seorang gagah perkasa, seorang berbudi mulia yang nasibnya buruk, patut dikasihani. Akan tetapi kau puteranya, kau malah memaki-makinya dan hendak menantangnya. Cih, memualkan perutku! Kau mau mendengar kenyataan" Nah, dengarlah. Tan Beng San sama sekali tidak tergila-gila kepada perempuan Hoa-san-pai, atau kepada perempuan yang manapun juga, kecuali kepada Kwee Bi Goat, mendiang ibumu. Biarpun kakekmu telah memperlakukannya dengan jahat, tetap saja, dia mencinta Kwee-Bi-Goat dengan sepenuh jiwa raganya. Memang tak dapat disangkal bahwa Tan Beng San pernah mengadakan hubungan dengan Kwa Hong, akan tetapi hal itu terjadl sebelum ia menjadi suami ibumu, pula hal itu terjadi karena muslihat musuh, karena keracunan dan dalam keadaan tidak sadar.
Biarpun sudah terjadi hal itu, dia menolak menjadi suami Kwa Hong dan tetap mencari ibumu lalu menikah dengan ibumu atas dasar saling cinta yang suci murni...."
Cui Bi berhenti sebentar dan Kong Bu sudah menjadi begitu tertarik sehingga tanpa terasa lagi ia pun duduk di atas batu, di depan pemuda tampan itu.
Belum pernah ia mendengar cerita tentang ayah bundanya sejelas ini.
Biasanya kakeknya hanya mengatakan secara singkat bahwa ayahnya telah tergila-gila wanita lain sehingga ibunya mati karena duka.
Melihat perhatian Kong Bu itu, Cui Bi melanjutkan ceritanya penuh semangat, matanya berapi-api, kedua pipinya merah.
"Lalu terjadinya malapetaka menimpa, Kwa Hong ternyata telah mengandung dari perhubungan yang berlangsung di luar kesadaran Tan Beng San itu. Malah Kwa Hong yang tak tahu malu itu mengunjungi ibumu di Min-san, dan melahirkan anaknya di sana. Hal itu terjadi ketika kakekmu sedang merantau dan ayahmu, Tan Beng San itu, sedang sibuk membantu perjuangan. Setelah Kwa Hong pergi bersama anaknya, ibumu menjadi berduka sekali, maklum hati wanita, penuh sakit hati, penuh iri dan cemburu, merasa bahwa cinta kasihnya yang mendalam itu dicemarkan. Dan... saking tak kuasa menahan kesedihan hatinya, ia meninggal dunia setelah melahirkan kau...."
Sampai di sini suara Cui Bi terdengar serak. Jelas membayangkan keharuan hatinya. Kong Bu nerasa dadanya sesak, sedu-sedan naik ke kerongkongannya, akan tetapi ia menguatkan hati, menggigit bibir, hanya kedua matanya saja yang menjadi merah, sikapnya menakutkan. "Kau tahu bagaimana keadaan ayahmu ketika ia rendengar tentang kematian isterinya yang tercinta itu" Dia menjadi... menjadi gila...." kembali suara itu parau dan lirih, dan Cui Bi terpaksa berhenti karena terbatuk-batuk, agaknya menahan keharuan hatinya.
"Gi... gila....?"" Kong Bu sempat bertanya di antara sedu-sedan yang naik lagi ke kerongkongannya. "Ya, gila, atau hilang ingatan. Pada waktu itu... hemm, di antara dia dan... Cia Li Cu...." Isterinya yang sekarang?" "Ya, di antara mereka itu terjalin persahabatan yang amat erat, namun jangan salah artikan.
Tan Beng San tetap tidak dapat mencinta lain orang kecuali isterinya, ini terbukti ketika mendengar kematian isterinya. Melihat hal ini, Cia Li Cu amat terharu dan harus diakui Cia Li Cu mencintanya sepenuh jiwa. Ia hendak menghibur pendekar ini dan apa yang terjadi" palam pandangan Tan Beng San yang sudah hilang ingatan itu, Li Cu kelihatan seperti ibumu yang sudah meninggal dan seterusnya menganggap bahwa Cia Li Cu adalah Kwee Bi Goat!"
"Ahh...." Kong Bu menahan napas, amat tertarik dia dan keharuan bergumul di hatinya.
"Cia Li Cu, puteri Raja Pedang Tanpa Tanding Cia Hui Gan, demi cintanya mengorbankan nama baiknya, malah nekat menantang ayahnya, memelihara Tan Beng San dengan hati hancur karena melihat orang yang dicintanya itu menganggapnya sebagai wanita lain. Adakah pengorbanan lebih besar dari ini"
Adakah cinta kasih yang lebih besar dari ini?" Cui Bi nampak bangga. Kong Bu mulai bingung. Kalau betul begini jalan ceritanya, ah ayahnya tidak bersalah, malah patut dikasihani.
"Nah, kau tahu, sampai sekarang pun Cia Li Cu yang kini sudah menjadi isteri sah dari Tan Beng San yang akhirnya mendapatkan kembali ingatannya dan mengawini Cia Li Cu, sama sekali tidak ada hati yang memusuhi mendiang Kwe Bi Goat ibumu, apalagi kau sebagai putera suaminya yang semenjak kecil dibawa lari oleh kakekmu. Kau dicari-cari oleh ayahmu, tapi tidak bertemu dan kakekmu hendak mengadu kau dengan ayahmu sendiri."
Kong Bu menundukkan mukanya, mukanya merah sekali dan ia berusaha menahan sedu-sedan yang sudah hampir meledak di dadanya. "Ibu....
Ayah...." bisiknya, keadaannya mengharukan sekali. Pemuda itu teringat betapa ia tidak pernah melihat ibunya yang sudah mati, juga tidak pernah melihat ayahnya yang harus diakui amat mendatangkan rasa rindu di hatinya.
Namun bujukan-bujukan kakeknya membuat ia membenci ayahnya yang disangkanya menyeleweng dan menyakiti hati ibunya. Siapakah yang benar"
Cerita kakeknya ataukah cerita orang ini" Siapakah orang ini" Apakah dia tidak berbohong" Ia cepat mengangkat kepala memandang dan kagetlah dia, pemuda tampan di depannya itu memandang kepadanya dengan mata merah, air mata membanjir di kedua pipinya, dan bibirnya yang gemetar itu dikatupkan menahan isak tangis! Wajah Kong Bu pucat sekali, mukanya membayangkan hati yang hancur dan seorang yang bagaimanapun keras hatinya sekalipun tentu akan kasihan melihatnya pada saat itu.
Makin deras air mata mengalir sepanjang pipi Cui Bi dan tiba-tiba pemuda tampan ini memegang kedua tangan Kong Bu, bibirnya berbisik perlahan dan menggetar,
"Aduh..., kasihan sekali kau... Koko..."
Kong Bu tersentak kaget dan balas memegang tangan pemuda itu. "Kau... kau siapakah....?" Tentu saja ia heran dan kaget mendengar pemuda itu memanggilnya koko (kakak).
Dengan lengan bajunya pemuda tampan itu mengusap air matanya di kedua pipinya sebelum menjawab, akan tetapi air matanya mengalir terus.
"Aku... aku adalah adik tirimu.... aku... aku anak dari ayahmu dan ibuku adalah Cia Li Cu...."
Kong Bu merenggutkan tangannya terlepas, meloncat mundur sambil berdiri dan berseru, suaranya keras sekali, "Bohong! Kau penipu bohong! Sudah sering aku mendengar bahwa... Ayah dan Cia Li Cu hanya mempunyai seorang anak tunggal, seorang anak perempuan... bagaimana kau ini....?"
Cui Bi sudah berdiri pula, air matanya masih membasahi kedua pipinya.
"Koko, tidak tahukah kau bahwa aku....?" Ia menggosok kedua anak telinganya sehingga tampak lubang anak telinga yang tadinya ditutup semacam bedak, dibukanya penutup kepala sehingga terurailah rambutnya yang panjang dan halus berombak.
Muka Kong Bu makin pucat. "Kau... kau seorang gadis....?"
"Koko, tak dapatkah melihat bahwa ilmu pedangku adalah warisan Ayah dan Ibu" Koko, Ayah banyak menderita kalau memikirkan kau, kau amat dirindukan Ayah... juga Ibu, percayalah, Ibu sama sekali tidak menganggap kau sebagai orang lain, demikian pula aku... kau sebagai kakakku sendiri...."
Tak dapat tertahan lagi, air mata yang sejak tadi sudah menekan di kedua mata Kong Bu, kini berlinang jatuh menetes, pemuda itu menutupkan kedua tangan di depan muka untuk menyembunyikan tangis, namun air mata yang tak banyak itu menetes keluar dari celah-celah jari tangannya dan sedu-sedan yang ditahan-tahannya membuat kedua pundaknya yang bidang itu bergerak-gerak.
"Koko...." suara halus itu dekat sekali karena gadis itu sudah mendekatinya.
Kong Bu menurunkan kedua tangan, melihat wajah yang memandang penuh iba, penuh permohonan agar diakui sebagai saudara, dengan air mata membasahi pipi.
"Moi-moi (adik perempuan)...." Kong Bu memeluk dan mendekap kepala gadis itu ke dadanya, kepalanya berdongak dan kedua matanya meram, air matanya bertetesan ke atas rambut Cui Bi. "Ibu... semoga kau mengampuni anakmu...."
Sampai beberapa lama dua orang muda seayah ini saling peluk dan bertangisan. Akhirnya keduanya dapat menguasai hati masing-masing dan dengan agak malu-malu mereka melepaskan pelukan dan saling pandang.
Setelah keharuan mereda, mereka saling memandang kagum dan perlahan-lahan tersembullah senyum di bibir Cui Bi yang ternyata adalah seorang gadis yang amat cantik jelita itu.
"Koko, alangkah bahagianya hatiku. Ayah dan Ibu setiap hari menangis kalau mengingat kau. Mereka amat berkuatir kalau-kalau hatimu sudah diracuni, kuatir kalau-kalau kau akan datang dan mengganggu Ayah Ibu sebagai musuh besar. Syukur bahwa kau ternyata memiliki jiwa ksatria, seperti yang diharapkan ayah karena kata Ayah, ibumu pun seorang yang berbudi halus."
"Aku pun bahagia sekali dapat bertemu dengan kau, Moi-moi. Ah, alangkah bodohku...." ia menghela napas panjang. "Aku memang tahu akan watak Kakek yang keras dan aneh... tapi diam-diam aku sudah tidak cocok. Baiknya aku bertemu dengan kau dan insyaf. Ah, kalau tidak... bagaimana mungkin aku dapat menjual lagak memamerkan kebodohanku di depan ibumu, sedangkan terhadap kau saja aku sudah kalah jauh?"
Cui Bi tertawa dan memegang tangan kanan kakaknya. "Iiih, kau memang pandai merendah. Siapa bilang kau akan kalah jauh" Hemmm, sedangkan kau belum menerima apa-apa dari Ayah saja, sudah setengah mampus aku melawanmu, apalagi kalau kau sudah menerima warisan dari ayah, pendeknya aku bukan apa-apa bagimu."
"Moi-moi, kau manis sekali, ah, alangkah bangga hatiku mempunyai adik seperti kau!" Kong Bu meraba dagu gadis itu dengan hati penuh kasih sayang.
Cui Bi melengos, manja. "Ah, bisa saja kau, siapa tidak tahu bahwa aku jelek"
Kaulah yang gagah perkasa, benar-benar Ayah akan menari kegirangan kalau nanti melihatmu. Eh, Koko, bagaimana kita ini" Kakak beradik tidak saling mengetahui namanya!" Keduanya berpandangan lalu tertawa bergelak!
bagian 73 Memang, dua orang ini adalah keturunan orang sakti dan aneh, maka watak mereka juga aneh. Lebih-lebih jiwa muda mereka membuat mereka mudah merasa gembira.
"Namaku Kong Bu, Tan Kong Bu. Namamu siapa, adikku yang manis?"
"Aku Cui Bi, Tan Cui Bi."
"Bi-moi, kenapa kau menyamar sebagai seorang pemuda" Ha, hampir saja aku kena terpedaya olehmu. Benar-benar tidak dapat diduga bahwa kau seorang gadis yang manis, pandai benar kau menyamar sebagai seorang pemuda tampan dan ganteng lagi pesolek. Sampai-sampai lubang daun telingamu dapat kau tutupi dengan baik, tidak kentara sama sekali."
Heran sekali Kong Bu melihat wajah adiknya yang tadinya berseri-seri itu tiba-tiba menjadi muram. "Menyamar sebagai pria sudah biasa kulakukan, Ko-ko, dan dalam hal ini Ayah dan Ibu memberi nasihat-nasihatnya. Memang kalau aku melakukan perjalanan di dunia kang-ouw, lebih leluasa kalau menyamar sebagai seorang laki-laki. Akan tetapi kali ini... ah, tidak apa aku berterus terang, bukankah kau kakakku sendiri" Dan siapa tahu, kau akan dapat membantu aku meringankan penderitaan yang amat membingungkan hatiku ini, Bu-ko."
"Eh, semuda ini, segembira ini dapat menderita kesusahan" Ada apakah, Bi-moi" Apa yang kau susahkan" Tentu saja aku siap sedia menolongmu." Gadis ini menarik tangan kakaknya, diajak duduk di tempat yang teduh. Lalu menarik napas panjang, kelihatan berduka."
"Kau tidak tahu, Bu-ko. Kali ini aku bukan melakukan perjalanan untuk bersenang-senang seperti biasa, melainkan ... aku telah lari dari Thai-san, pergi meninggalkan rumah tanpa pamit!"
"Heee?" Kenapa kau dimarahi ayah ibumu?"
"Bukan, bukan mereka yang marah melainkan akulah yang marah kepada mereka."
"Aaiiih, kenapa kau ini" Tak baik marah-marah kepada orang tua, durhaka kau nanti,"
"Panjang ceritanya, Bu-ko. Tapi biarlah kusingkat saja. Kau tahu, Koko, selama aku berada di Thai-san bersama orang tuaku, entah sudah berapa belas kali, mungkin puluhan kali selama dua tahun ini, orang tuaku menerima lamaran orang atas diriku." Gadis yang masih berpakaian pria itu merah sekali wajahnya.
"Mengapa kau tertawa-tawa?" tanyanya, cemberut.
"Ha-ha-ha, kau gadis cantik jelita dan manis, usiamu juga tentu ada tujuh belas tahun, apa anehnya menerima banyak lamaran" Aku sendiri andaikata bukan kakakmu, mau melamar. Ha-ha-ha!"
"Iihh, ceriwis kau!" Wajah itu makin merah. "Jangan mentertawakan aku, Ko-ko, hatiku benar-benar baru resah, nih!"
"Ya sudahlah, kau teruskan ceritamu."
"Ayah dan Ibu sudah merasa jengkel karena aku selalu menolak keras kalau ada pinangan orang. Akhirnya, Ayah dan Ibu menerima baik pinangan putera Ketua Kun-lun-pai, katanya puteranya seorang she Bun yang menjadi Ketua Kun-lun-pai dan yang menjadi sahabat baik Ayah. Malah menurut cerita Tan-pek-hu di kota raja yang dahulunya adalah tokoh Pek-lian-pai yang terkenal dalam perjuangan, orang she Bun itu adalah keturunan pendekar besar dari Kun-lun-pai sedangkan isterinya adalah keturunan dari patriot pemimpin Pek-lian-pai, she Thio." "Waduh, kiong-hi... kiong-hi (selamat, selamat), adikk....!"
"Selamat hidungmu!" Cui Bi memotong dan melerok, mulutnya cemberut marah. "Orang berkeluh-kesah, berduka dan bingung, kok diberi selamat.
Bukankah kau ini malah memperolok aku, Ko-ko" Bagus benar ya menjadi kakak orang begini kejam!"
"Lho-lho-lho, nanti dulu, jangan marah-marah tidak karuan. Orang muda she Bun itu dilihat dari keturunannya, baik dari ayah maupun dari ibunya, benar-benar hebat. Kalau ayah bundamu sudah menerima pinangan itu, bukankah berarti pemuda she Bun itu menjadi calon adik iparku" Tentu saja aku senang mempunyai calon adik ipar keturunan orang-orang ternama dan gagah begitu.
Apakah kau tidak senang menjadi... eh, anunya?"
Dengan gemas Cui Bi mengulur tangan mencubit lengan kakaknya sampai Kong Bu mengaduh-aduh kesakitan. "Kau nakal benar, Bu-ko. Benci aku kalau begini. Kau mau menolong adikmu atau tidak?"
"Tentu, tentu... tapi lepaskan dulu cubitanmu ah, pecah-pecah kulit lenganku nanti. Teruskanlah ceritamu, aku berjanji takkan menggodamu lagi." Kong Bu yang baru sekarang merasai kenikmatan bergurau dengan seorang yang mendatangkan rasa sayang, benar-benar gembira sekali, akan tetapi juga kuatir melihat betapa adiknya itu bersungguh-sungguh.
"Tentu saja aku menolak keras. Aku tidak sudi menikah apalagi dengan orang yang sama sekali belum pernah kulihat. Ayah dan Ibu marah-marah, aku pun marah dan akhirnya aku lari meninggalkan rumah tanpa pamit. Aku bersembunyi di rumah Pek-hu di kota raja. Nah, Bu-ko, sukakah kau menolongku kalau nanti kau bertemu dengan Ayah dan Ibu, kau bujuklah mereka supaya jangan memaksa aku menikah, supaya pinangan yang sudah diterima itu dibatalkan saja dan katakan bahwa aku masih kecil."
Mau tak mau Kong Bu menahan ketawanya. Senang dan sayang benar ia kepada adiknya yang lucu ini. "Usiamu berapa sih, Moi-moi."
"Kata Ayah, hanya selisih dua tahun denganmu."
"Nah, kalau begitu sudah tujuh belas tahun. Mana bisa dibilang masih kecil?"
"Kau menggoda lagi. Mau tidak membantuku?"
"Ya, baik... baik... biar kelak aku membujuk orang tuamu."
Cui Bi memegang tangan kakaknya dan ditarik bangun, menari-nari seperti orang yang kegirangan sekali. "Terima kasih, terima kasih... wah, aku percaya Ayah pasti akan meluluskan permintaanmu, kau seorang anak yang disayang, dan baru saja bertemu. Eh, Bu-ko, kau nakal sekali, ya" Gadis Hoa-san-pai yang cantik manis itu, hemmm, kau pura-pura kena ditawan. Hemmm, senang sekali, ya" Hi-hik, kau pembohong besar. Katanya benci perempuan murid Hoa-san-pai, akan tetapi yang satu ini, aku berani bertaruh potong kepala bebek bahwa kau suka kepadanya!"
Kong Bu merenggut lepas tangannya, melotot. "Gila kau! Jangan main-main, ya" Siapa suka perempuan galak seperti setan itu?"
"Galak-galak tetapi manis, seperti setan tapi menarik hati, bukan begitu" Ah, Koko, aku tidak boleh kau bohongi, ya" Biarlah aku berjanji, kelak kalau kau benar-benar mau menolongku sehingga ikatanku dengan pemuda Ku-lun-pai itu dapat dibatalkan, aku akan membalas budimu. Aku akan menjadi perantara, akan kubujuk Ayah agar supaya pergi mengajukan pinangan ke Hoa-san!"
"Hush, jangan ngaco!" Kong Bu mendelik dan membentak-bentak, akan tetapi ia sendiri merasa aneh mengapa jantungnya jadi berdebar begini macam" "Bi-moi, aku heran sekali kenapa kau dapat melihat kedatanganku di kuil dengan... ehm, gadis Hoa-san-pai itu" Kulihat tadi yang berada di kuil hanyalah seorang pemuda Hoa-san-pai yang bijaksana dan halus budi, seorang pemuda lemah akan tetapi bicaranya menusuk perasaan benar, tepat dan bijaksana. Katanya dia adalah paman dari gadis Hoa-san-pai itu." "Ah, kau maksudkan Hong-ko?" "Eh, Hong-ko siapa" Kau kenal dia?" Cui Bi tersenyum.
"Seorang kutu buku, tapi dia itu putera tunggal Ketua Hoa-san-pai, pandai ilmu surat tidak pandai ilmu silat. Memang dia orang luar biasa.Tentu saja aku kenal dia, malah berhari-hari aku melakukan perjalanan bersama dia."
"Hee....?" "Jangan memandang seperti itu. Ih, pikiranmu agaknya penuh dengan dugaan yang bukan-bukan dan fitnah-fitnah keji. Sampai sekarang dia menganggap aku sebagai laote (adik laki-laki)." Cui Bi tertawa geli dan Kong Bu juga tertawa. "Sudahlah, mari kita cepat-cepat ke Thai-san, Bu-ko. Kalau bersamamu aku berani pulang. Akan tetapi karena Ayah hendak merayakan pendirian perkumpuian Thai-san-pai, lebih baik kita melihat-lihat di kaki Gunung Thai-san dan menyelidiki kalau-kalau ada orang jahat hendak datang mengacau. Kau tahu, sudah terlalu banyak Ayah membasmi golongan-golongan jahat sehingga dapat diduga bahwa akan banyak musuh datang mengacau dan berusaha menggagalkan pendirian Thai-san-pai. Sudah menjadi kewajiban kita untuk membantu Ayah."
Kong Bu hanya mengangguk-angguk dan berangkatlah dua orang kakak beradik ini. Mereka sengaja menguji kepandaian masing-masing dan berlari cepat. Alangkah kagum hati mereka karena dalam kemahiran ilmu lari cepat ini mereka berimbang. Cui Bi menang ringan tubuhnya dan menang gesit gerakannya, namun ia kalah napas melawan kakak tirinya itu.
*** "Apa kaubilang, Li Eng" Jadi pemuda gagah tadi sakit hati terhadap Hoa-sanpai" Mengapa demikian?" tanya Kun Hong.
'Dia cucu Song-bun-kwi dan Song-bun-kwi agaknya benci sekali kepada Hoa-san-pai karena... Hmmm, apakah kau belum mendengar tentang... Enci (Kakak Perempuan) tirimu, Paman Hong?"
"Enci tiri. Mano aku mempunyai Enci tiri" Ayah dan Ibu tak pernah bercerita tentang itu!"
Sebetulnya Li Eng juga takkan berani lancang bercerita, akan tetapi keterangan Kun Hong ini malah membangkitkan keinginan hatinya untuk menyampaikan rahasia itu. Ia sendiri merasa heran mengapa orang tidak menceritakan hal Kwa Hong kepada pamannya ini.
"Paman Hong, dahulu sebelum ayahmu menikah dengan ibumu yang menjadi sumoi sendiri dari ayahmu, ayahmu telah mempunyai seorang anak perempuan bernama Kwa Hong. Nah, Bibi Kwa Hong inilah yang menimbulkan permusuhan hebat di mana-mana, karena sepak terjangnya yang.... hemm, malah orang tuaku sendiri pun mendendam sakit hati kepada Bibi Kwa Hong yang betul-betul seperti iblis wanita itu."
"Li Eng, yang betul kau bicara. Kalau memang betul dia itu kakak tiriku berarti dia itu masih bibimu. Bagaimana kau bisa bicara tentang bibimu sendiri?"
"Ah, ternyata kau tidak tahu apa-apa, Paman Hong. Nah kaudengarlah aku bercerita, tapi jangan tersinggung, ya" Aku hanya menceritakan apa yang kudengar dari Ayah dan Ibu. Ingatkah dahulu ketika kau bercerita kepada aku dan Enci Hui Cu tentang burung rajawali emas dan kami bertanya kepadamu tentang dia, siluman betina" Nah, yang kami maksud dahulu itu bukan lain adalah Kwa Hong, encimu itulah!"
"Hemm, kau benar-benar kurang ajar. Kalau benar aku mempunyai kakak perempuan berarti dia bibimu."
"Memang betul, akan tetapi bibi macam bagaimana. Kau dengarlah!" Li Eng lalu menceritakan tentang Kwa Hong, betapa wanita ini karena jebakan musuh, mengadakan hubungan dengan Tan Beng San dan betapa wanita ini lalu berubah seperti Siluman, naik burung rajawali emas dan mengacau ke mana-mana. Malah Kwa Hong hampir membunuh ayah bunda Li Eng, mengusirnya dan menduduki Hoa-san-pai sebagai ketua. Ia menceritakan pula mengapa Song-bun-kwi mendendam, yaitu dalam hubungannya dengan puterinya, Kwee Bi Goat yang menjadi nyonya Tan Beng San kemudian meninggal dunia karena berduka.
"Dia jahat sekali, Paman Hong. Dia seperti iblis betina, naik burung rajawali menyebar maut di mana-mana. Entah bagaimana, menurut Ayah dan Ibu, kepandaiannya hebat sekali sampai-sampai Sucouw Lian Bu Tojin, guru ayahmu, juga tewas di tangannya. Dia telah menyakitkan hati isteri Paman Tan Beng San sehingga tak kuat menahan dan tewas setelah melahirkan...
heeiii! Tentu dia orangnya!" Tiba-tiba Li Eng meloncat berdiri dan termenung.
"Dia siapa" Apa maksudmu?" tanya Kun Hong. Li Eng menepuk-nepuk pahanya. "Siapa lagi kalau bukan dia! Pemuda itu, cucu Song-bun-kwi, si keparat itu, siapa lagi kalau bukan putera Kwee Bi Goat, putera Paman Tan Beng San."
"Apa?" Pemuda gagah perkasa tadi putera Paman Tan Beng San yang lahir dari Bibi Kwee Bi Goat itu?" Kun Hong tertarik sekali akan cerita tadi dan diam-diam ia merasa menyesal bukan main bahwa semua hal yang sekarang menimbulkan permusuhan hebat itu adalah gara-gara kakak perempuannya, Kwa Hong. Tahulah ia sekarang mengapa ayahnya begitu keras kepadanya, melarang dia berlatih ilmu silat. Kiranya di sini letak rahasianya. Ayahnya sudah kapok, tidak ingin melihat anaknya rusak lagi karena kepandaian silat!
Wajahnya menjadi muram. "Ah, nasib Ayah yang buruk... ah, ingin aku bertemu dengan Enci Kwa Hong, ingin kunasihatkan kepadanya agar minta ampun kepada ayah, kepada semua orang yang pernah disakiti hatinya."
"Hemmm, aku sangsi apakah dia akan mau... haiii, di sana ada orang bertempur?" Li Eng menunjuk ke depan dan ketika Kun Hong memandang, benar saja ia melihat seorang pemuda dengan hebatnya bertempur dikeroyok oleh dua orang lawannya. Cepat ia mengikuti Li Eng yang sudah lari lebih dulu ke tempat pertempuran itu.
"Enci Hui Cu....!" Di lain saat Li Eng sudah berpelukan dengan Hui Cu.
"Eng-moi....!" Paman Hong....!" Saking girangnya, Hui Cu menangis dalam rangkulan Li Eng. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa dua orang itu berada dalam keadaan selamat, malah dapat bertemu dengannya di situ.
Mereka tak dapat bicara banyak karena perhatian mereka kembaii tertuju kepada pertempuran hebat yang masih berlangsung. Hebat sekali pemuda itu, akan tetapi kedua orang pengeroyoknya pun luar biasa, yaitu seorang nenek tua sekali dan seorang wanita tua yang masih berwajah cantik. Siapakah mereka ini" Pemuda itu bukan lain adalah Sin Lee, adapun pengeroyokannya adalah Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li!
"Adik Eng.... lekas, kaubantulah dia...." kata Hui Cu kepada Li Eng. "Aku... aku sendiri terluka...."
Kun Hong yang tadinya bengong karena menyaksikan sesuatu yang membuat ia terheran-heran yaitu gerakan pemuda gagah yang dikeroyok itu. Ilmu silat pemuda itu! Bukankah gerakan kaki itu mirip benar dengan Kim-tiauw-kun"
Kaki yang meloncat-loncat itu, kedua lengan yang dikembangkan seperti sayap burung. Ah, biarpun menyimpang dari aselinya, namun tak salah lagi, pemuda itu tentu pernah mempelajari Kim-tiauw-kun. Inilah yang membuat ia bengong dan membuat ia lengah, tidak melihat bahwa Hui Cu telah terluka. Sekarang mendengar ucapan ini, cepat ia memandang dan berseru, "Ah, Hui Cu. Kau terluka dengan senjata beracun!" Cepat ia memegang tangan kiri gadis itu dan menariknya dekat, tanpa ragu-ragu lagi ia merobek lengan baju bagian atas dan benar saja, di balik lengan baju yang sudah sedikit robek dan berdarah itu tampak kulit pangkal lengan dekat pundak hitam membengkak!
Li Eng mengeluarkan seruan tertahan, namun ia segera bertanya, "Enci, ia siapakah dan kenapa harus dibantu?"
"Lekas... dua orang itu, Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li, amat jahat dan lihai. Tolong bantulah dia... dia itu... eh, dia penolongku."
Tak usah diperintah dua kali, mendengar bahwa pemuda gagah itu adalah penolong Hui Cu, apalagi mendengar bahwa nenek buruk rupa saking tuanya itu adalah Hek-hwa Kui-bo dan wanita tua yang cantik itu Kim-thouw Thian-li, Li Eng cepat mencabut pedang dan menyerbu ke dalam kalangan pertempuran sambil berseru,
"Bagus sekali! Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li, sudah lama aku mendengar nama kalian yang busuk, lihat, aku Kui Li Eng dari Hoa-san-pai datang menagih hutang-hutangmu kepada Hoa-san-pai!" Memang gadis ini sudah mendengar dari ayah bundanya tentang kejahatan dua orang tokoh ini, terutama tentang perbuatan Kim-thouw Thian-li yang dulu banyak berbuat jahat terhadap Hoa-san-pai (baca cerita Raja Pedang).
Hek-hwa Kui-bo dan muridnya kaget sekali melihat serbuan seorang gadis cantik yang mengaku sebagai murid Hoa-san-pai itu. Tadinya mendengar suara Li Eng, mereka tidak pandang sebelah mata, karena apa sih kepandaian seorang anak murid Hoa-san-pai yang masih begitu muda" Akan tetapi begitu pedang di tangan Li Eng berkelebat, mereka menjadi terkejut sekali.
Menghadapi pemuda ini saja, biarpun mereka berhasil mendesak dengan keroyokan mereka, namun tidak mudah untuk merobohkannya. Apalagi sekarang muncul seorang gadis yang demikian ganas ilmu pedangnya.
"Kau bereskan anak iblis ini, biar kubunuh gadis liar ini!" kata Hek-hwa Kui-bo kepada muridnya. Ia percaya bahwa Kim-thouw Thian-li akan dapat menahan Si Pemuda sedangkan ia akan cepat-cepat membunuh gadis itu sebelum dua orang muda yang lain itu dapat membantu.
Akan tetapi, bicara memang mudah. Kepandaian Sin Lee hebat sekali dan kini menghadapi Kim-thouw Thian-li seorang diri saja, segera keadaan berubah hebat. Kalau tadi Sin Lee terdesak, hal itu tidaklah amat mengherankan karena Hek-hwa Kui-bo adalah seorang tokoh yang memiliki kepandaian tinggi, setingkat dengan tokoh-tokoh besar seperti Song-bun-kwi dan yang lain-lain, apalagi nenek ini mengandalkan ilmu pedangnya yang sakti, yaitu Im-sin Kiam-hoat. Lebih-lebih karena nenek ini dibantu oleh muridnya yang hampir sama lihainya, Kim-thouw Thian-li ketua dari Ngo-lian-kauw. Betapapun lihainya Sin Lee, ia terdesak hebat juga oleh dua orang pengeroyoknya itu.
Kim-touw Thian-li hebat permainan goloknya yang dibantu sehelai selampai merah yang mengandung racun. Gurunya, Hek-hwa Kui-bo juga menggunakan dua senjata, yaitu sebatang pedang dan sehelai. saputangan beraneka warna yang lebih jahat lagi racunnya.
Juga Hek-hwa Kui-bo kecele kalau tadi ia memandang rendah gadis muda belia yang cantik murid Hoa-san-pai ini. Sejak dahulu Hek-hwa Kui-bo memandang rendah kepada Hoa-san-pai, sama sekali ia tidak tahu bahwa telah terjadi perubahan besar di Hoa-san-pai. Hoa-san-pai sekarang jauh bedanya dengan Hoa-san-pai dua puluh tahun yang lalu. Setelah Kui Lok dan isterinya, Thio Bwee, dua orang anak murid Hoa-san-pai ini mewarisi ilmu silat Hoa-san-pai aseli dari Lian Ti Tojin, yang sekarang diwarisi pula oleh Kui Li Eng, hebatlah ilmu silat Hoa-san-pai itu. Baru sekarang Hek-hwa Kui-bo mendapat kenyataan bahwa sama sekali salah memandang rendah golongan lain. Begitu ia mulai serang-menyerang dengan Li Eng, nenek itu kaget dan terpaksa segera mengeluarkan ilmu pedangnya yang ampuh, Im-sin Kiam-hoat dibantu permainan saputangan aneka warna yang mengeluarkan bau yang memuakkan. Li Eng harus mengerahkan seluruh kepandaiannya dan menjaga diri dari pengaruh racun itu dengan hawa murni. Beberapa kali selama perjalanannya bertemu dengan orang-orang sakti membuat Li Eng berhati-hati kali ini.
Sementara itu, setelah memeriksa sebentar, Kun Hong berkata, "Hui Cu, jahat benar orang yang melepas Hwa-tok-ciam (Jarum Racun Bunga) ini. Jarum yang halus itu masih berada di lenganmu. Kau diamlah, kendurkan semua urat dilengan kananmu!" Hui Cu memandang pamannya dengan keheranan, akan tetapi mentaati permintaan ini.
Kun Hong lalu menggunakan jari telunjuknya menotok beberapa jalan darah dipundak dan siku dan seketika gadis itu merasa lengannya lumpuh!
"Diam saja, sakit sedikit, hendak kuambil keluar jarum itu," kata Kun Hong dan pemuda ini segera memijit-mijit lengan yang luka itu. Tak lama kemudian tersembullah ujung jarum dari luka itu. Hui Cu menggigit bibir menahan sakit dan sekali lagi memencet, jarum itu keluar dari luka, jarum yang amat lembut, sebesar ujung rambut.
"Nah, sekarang tidak berbahaya lagi, tunggu kita kelak mencari obat untuk menyembuhkannya sama sekali. Biar kukeluarkan sebagian darah yang teracun." Ia mengurut lengan itu dari atas ke bawah dan dari luka itu keluarlah darah menghitam. Setelah itu ia membebaskan totokannya.
"Aih, Paman Hong. Tidak kusangka... kau begini pandai...." Hui Cu berkata, penuh kekaguman.
"Pandai apa" Hanya sedikit ilmu pengobatan yang kuketahui dari membaca kitab-kitab Yok-mo. Lihat, Li Eng dan penolongmu itu masih bertempur hebat."
Keduanya lalu memandang ke arah pertempuran. Ternyata Sin Lee kini dapat mendesak Kim-thouw Thian-li dengan hebatnya. Pedang pemuda ini amat kuat dan aneh gerakannya dan sekali lagi Kun Hong tertegun karena ia mengenal ilmu pedang ini yang mengandung inti Ilmu Silat Kim-tiau-kun. Akan tetapi sifatnya sudah berubah, ganas dan merupakan tangan maut mengintai korban.
"Ah, ganas... ganas...." katanya penuh kekuatiran.
Ia makin terheran-heran ketika mengenal bahwa inti sari Ilmu Silat Kim-tiauw-kun yang dimainkan pemuda itu bercampuran dengan ilmu pedang Hoa-sanpai sehingga merupakan ilmu silat kombinasi yang tidak menyerupai Hoa-san Kiam-hoat maupun Kim-tiauw-kun lagi.
Desakan-desakan Sin Lee terhadap Kim-thouw Thian-li makin hebat. Wanita itu benar-benar merasa kewalahan menghadapi serangan-serangan yang banyak memakai gerak-gerak tipu ini. Mulailah ia ketakutan ketika pundaknya tercium ujung pedang lawannya. Hebat serangan Sin Lee. Mula-mula pedangnya menyambar ke arah pusar, ketika Kim-thouw Thian-li menangkis sambil mengebutkan sabuk merah ke arah muka Sin Lee, pemuda ini mengibaskan tangan kiri menangkis dengan hawa pukulannya, melanjutkan dengan tusukan pedang yang diputar-putar di depan muka wanita itu. Kim-thouw Thian-li menjadi silau matanya dan cepat-cepat menarik pedang untuk menangkis lagi. Siapa kira, serangan ini hanya pancingan belaka agar ia mengangkat pedangnya karena tahu-tahu pemuda itu mengirim pukulan keras ke arah ulu hati, menggunakan tangan kiri yang diputar-putar lebih dulu.
Kim-thouw Thian-li mengeluarkan jeritan kaget karena hawa pukulan tangan kiri dari pemuda itu mendatangkan angin dingin yang luar biasa, membuat tubuhnya menggigil dan lemas. Cepat-cepat wanita itu mengerahkan Iwee-kangnya sambil membanting tubuh ke kanan untuk menghindarkan diri dari pukulan dahsyat itu, namun ujung pedang Sin Lee sudah menyambar datang memenggal leher!
"Celaka!" Kim-thouw Thian-li menggerakkan kepalanya menjauh, namun pundaknya masih saja tercium ujung pedang, bajunya robek berikut kulit pundak dan sedikit dagingnya.
bagian 74 Mulailah ia menjadi gentar apalagi ketika Sin Lee terus menerus mendesaknya dengan serangan pedang yang gencar diselingi pukulannya yang dahsyat itu.
Kun Hong yang menyaksikan pukulan dengan tangan lebih dulu diputar-putar ini, menjadi bingung. Di dalam Kim-tiauw-kun tidak ada pukulan macam itu.
Memang, ilmu pukulan ini adalah ilmu dari kaum sesat, yang hanya dipergunakan oleh golongan hitam. Inilah ilmu pukulan Jing-tok-ciang (Pukulan Racun Hijau) yang Sin Lee warisi dari ibunya dan di lain pihak Kwa Hong ibunya itu dahulu menerimanya dari Koai Atong. Dahsyat sekali Jing-tok-ciang ini karena baru angin pukulannya saja sudah mengandung hawa luar biasa yang dapat mematikan lawan.
Dengan marah sekali Kim-thouw, Thian-li mengebutkan sabuk merahnya sambil berseru nyaring. Debu kemerahan menyambar ke arah Sin Lee. Inilah racun berbahaya yang keluar dari dalam sabuk itu, yang dipergunakan Ketua Ngo-lian-kauw hanya kalau menghadapi lawan tangguh. Debu merah ini berbau harum sekali, begitu harumnya sampai dapat merampas ingatan dan semangat orang! Namun sudah banyak Sin Lee mendengar tentang Ketua Ngo-lian-kauw ini dari ibunya, dan sudah tahu pula ia apa artinya debu merah ini. Ia tidak berani memandang rendah, terdengar ia melengking tinggi dan tubuhnya meloncat ke atas dengan kedua tangan dikembangkan. Hebatnya dari udara ia bisa melakukan gerakan menerjang ke depan bawah sambil memutar dari kiri sehingga tidak bertemu dengan awan debu merah.
Pedangnya dikerjakan cepat dan tangan kirinya juga diputar-putar, siap melakukan pukulan.
Kim-thouw Thian li terhasil menangkis pedang Sin Lee, namun sebuah pukulan Jing-tok-ciang yang tak tersangka-sangka datangnya, mengenai pundak kirinya. Perlahan saja pukulan itu namun ketika jari-jari tangan pemuda itu menyentuh pundaknya, wanita ini memekik keras dan terhuyung-huyung lalu roboh! Dengan sekuat tenaga ia menghimpun hawa Im-sin-kang di tubuhnya untuk melawan pukulan yang membuat seluruh isi dadanya dan pada saat itu Sin Lee sudah tidak mau memberi hati lagi, menerjang dengan pedang diputar lalu ditusukkan seperti lagak seekor burung mematuk mangsanya.
"Heee, jangan bunuh orang....!" Kun Hong sudah sampai di situ dan menyelinap di antara sinar pedang Sin Lee, Hui Cu kaget sekali dan hendak menarik tangan pamannya ketika ia melihat pamannya dengan gerakan tidak karuan dan kacau menubruk Sin Lee, akan tetapi secara aneh sambarannya meleset dan tubuh Kun Hong terus menyerbu ke depan. Hui Cu hampir menjerit karena kuatir kalau-kalau pamannya itu yang tidak pandai silat terkena senjata Sin Lee. Akan tetapi ia melihat Sin Lee mencelat mundur sambil berseru, " kau?"
Kuatir kalau-kalau Sin Lee akan menyerang Kun Hong, Hui Cu segera lari menghampiri dan berkata, "Jangan... dia adalah pamanku."
Sin Lee tertegun. Tadi ia terpaksa harus menarik kembali pedangnya dan mencelat ke belakang karena pemuda aneh itu yang menyelinap masuk telah memasang dua jari tangannya memapaki tangannya yang memegang pedang sehingga kalau ia meneruskan tusukannya kepada Kim-thouw Thian-li, sudah tentu pergelangan tangannya akan tertotok dan pedangnya akan terlepas.
Heran ia bagaimana paman dari Hui Cu dapat mengenal kelemahan pergerakannya tadi" Dan sama sekali ia tidak pernah mengira bahwa "paman"
ini masih seorang muda sebaya dia!
"Dia... dia pamanmu yang bernama Kun Hong itu?" tanyanya memandang ke arah Kun Hong yang menghampiri Kim-thouw Thian-li yang sudah duduk bersila mengerahkan Iwee-kang untuk melawan hawa dingin yang menyerang isi dadanya.
"Ya, maklumlah dia... dia paling anti bunuh membunuh, karena itu maka tadi mencegah kau membunuh Kim-thouw Thian-li...."
"Kau... tidak apa-apa?" tanya Sin Lee memandang penuh perhatian.
"Tidak, Paman Hong sudah mengobatiku, tak kusangka dia pandai. Saudara Tiauw, kau tolong bantulah adik Li Eng melawan Hek-hwa Kui-bo."
Pada saat itu pertempuran antara Li Eng dan Hek-hwa Kui-bo masih berjalan seru sekali. Akan tetapi betapapun lihainya Li Eng, menghadapi tokoh sakti ini ia terdesak juga apalagi pedang nenek itu menyambar-nyambar ganas dengan ilmu pedangnya Im-sin Kiam-sut. Mendengar permintaan Hui Cu, Sin Lee segera melompat dan menerjang nenek itu dengan pedangnya.
"Iblis tua, kau mampuslah!" Pedangnya menyambar-nyambar seperti kilat dan Hek-hwa Kwi-bo terpaksa mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi pengeroyokan dua orang muda yang berkepandaian tinggi itu. Li Eng diam-diam merasa lega bahwa ia mendapat bantuan seorang yang begini kuat. Diam-diam ia membandingkan pemuda ini dengan cucu Song-bun-kwi.
Ada persamaan wajah dan bentuk badan antara kedua pemuda ini, hanya cucu Song-bgn-kwi itu lebih kekar dan lebih tampan dalam pandangannya. Juga dalam ilmu kepandaian, keduanya sama-sama hebat.
Kun Hong menghampiri Kim-thouw Thian-li yang duduk bersila. Wajah wanita itu muram, mengandung cahaya kehijauan yang aneh. Kun Hong tahu bahwa wanita ini telah terluka berat, luka dalam yang mengandung hawa pukulan beracun. Ia pernah bertemu dengan Ketua Ngo-lian-kauw ini dan ia dapat menduga bahwa orang ini bukanlah orang baik-baik, akan tetapi hatinya yang penuh welas asih membuat ia berkasihan melihat orang itu terluka dan bermaksud untuk mengobatinya.
"Kauwcu, kau terluka hebat" dan tanpa ragu-ragu ia memegang pergelangan tangan kiri wanita tua itu. Beberapa detik ia memeriksa keadaan orang melalui ketukan jalan darahnya, dan ia kaget sekali.
"Kauwcu, kau terkena racun hawa pukulan yang mengandung daya Im-kang.
Jangan kerahkan tenaga keluar, jangan pula melawan dari dalam. Aku akan berusaha menolongmu." Setelah berkata demikian, Kun Hong menotok ke bagian pundak dan mengurut bagian punggung.
Kim-thouw Thian-li membuka matanya, kaget bukan main melihat bahwa orang yang bicara hendak menolongnya adalah orang Hoa-san-pai yang pernah datang ke tempatnya kemudian dibawa pergi Song-bun-kwi. Orang ini terang pihak musuh, mana ia percaya hendak mengobatinya" Tentu hendak menipunya dan hendak mencelakainya. Ia cepat mengangkat tangan mengirim pukulan keras.
"Eh, jangan kerahkan tenaga, berbahaya Kun Hong berseru namun terlambat, tubuhnya mencelat dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya! "Paman Hong... kau... kau tidak apa- apa?" Hui Cu mendekati, melupakan lukanya sendiri dan ia terheran-heran melihat pamannya ini merangkak bangun, sama sekali tidak terluka, hanya keningnya yang bertumbukan dengan batu ketika ia terlempar tadi agak benjol setengah telur besarnya. Pemuda ini menggeleng kepala dan memandang ke arah Kim-thouw Thian-li, lalu menarik napas panjang.
"Kehendak Thian tak dapat diubah... dia seperti membunuh diri...."
Hui Cu tidak mengerti dan menengok ke arah Ketua Ngo-lian-kauw dan...
ternyata wanita itu telah rebah telentang dengan wajah kehijauan. Ketika ia mendekati, ternyata bahwa Kim-thouw Thian-li telah tewas! Diam-diam Hui Cu girang sekali, karena ia benci wanita Ketua Ngo-lian-kauw yang terkenal jahat dan yang dahulu sudah banyak membikin susah orang-orang tua di Hoa-sanpai.
Hek-hwa Kui-bo benar-benar hebat sekali. Nenek ini usianya sudah amat tua, mukanya sudah penuh keriput dan matanya cekung seperti mata tengkorak.
Dilihat begitu saja, ia merupakan seorang nenek yang sudah mendekati lubang kubur. Namun dalam pertempuran dia benar-benar seperti iblis betina, tenaga Iwee-kangnya masih mengatasi kedua orang muda yang mengeroyoknya itu, juga ilmu pedangnya yang berdasarkan ilmu sakti Im-sin Kiam-sut bercampur dengan ratusan macam gerakan ilmu silat yang dimilikinya, membuat dua orang pengeroyoknya itu harus mengerahkan seluruh kepandaian untuk menekannya. Kali ini nenek ini benar-benar menghadapi lawan berat. Sin Lee adalah putera Kwa Hong yang sudah mewarisi kepandaian ibunya yang luar biasa, kepandaian campuran antara ilmu silat Hoa-san-pai, Ilmu Silat Jing-tok-ciang ditambah lagi ilmu silat yang dipelajari oleh Kwa Hong dari rajawali emas. Adapun Kui Li Eng memiliki ilmu siiat Hoa-san-pai yang aseli, yang tadinya merupakan rahasia bagi Hoa-san-pai sendiri sebelum ayah bundanya bertemu dengan Lian Ti Tojin. Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-hoat yang aseli ini berlipat kali lebih lihai dari ilmu pedang Hoa-san-pai yang dimiliki oleh tokoh-tokoh Hoa-san-pai lainnya.
Pendekar Lembah Naga 26 Pendekar Setia Pendekar Kembar Bagian Ii Karya Gan K L Pertikaian Tokoh Tokoh Persilatan 2

Cari Blog Ini