Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto Bagian 21
Inilah bedanya dengan gerakan-gerakan yang dilakukan Ratu Ayu.
Pada Ratu Ayu, gerakan yang sama bisa tertuju ke arah bagian lawan yang bisa langsung mematikan atau membuat cacat. Bukan gerakan untuk mengamankan diri, sebagaimana diyakini ketika pertama kali diciptakan.
Perbedaan inilah yang menyebabkan adanya pembedaan yang tajam antara aliran sesat dan aliran yang murni.
Karena inti yang sesungguh-sungguhnya bukan hanya perbedaan apakah tendangan dan pukulan mengarah ke ulu hati atau kaki, melainkan berasal dari niatan bertarung. Untuk keselamatan diri, atau untuk menghancurkan lawan.
Halayudha bisa memuji tinggi, karena Ki Dalang menguasai gerakan tangan, mudra, yang lebih murni. Sehingga rangkaian yang lain, Abhaya Mudra atau Memenangkan Diri dengan Bertahan, Dhyana Mudra atau Gerakan Tangan untuk Mengumpulkan dan Mengerahkan Tenaga, ataupun serangan Dharmacakra Mudra yang memutar tenaga dalam lawan, memindahkan tenaga menyerang lawan menjadi tenaga bertahan, seperti halnya menggerakkan roda. Yang atas menjadi bawah, dan sebaliknya.
Ataupun serangan Witarka Mudra, yang memecah serangan lawan menjadi tidak berarti.
Rangkaian yang sangat tepat untuk menghadapi Ratu Ayu.
Untuk meredam habis kehebatan Ratu Turkana!
Siapa Melawan Siapa PUJIAN yang tepat untuk strategi yang tepat.
Selama ini terpateri dalam benak para pendekar, bahwa Ratu Ayu mempunyai simpanan ilmu silat yang sulit dikalahkan. Pemunculan
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
pertama yang menggetarkan di pasewakan Keraton, ataupun jauh-jauh hari dengan para prajuritnya, menempatkannya pada posisi teratas.
Akan tetapi pada pemunculan kali ini, bisa menemukan lawan yang kuat.
Justru dari angkatan muda yang boleh dikata belum pernah terdengar namanya. Atau dari seorang dalang yang tampaknya biasa-biasa.
Meskipun sebenarnya tidak sesederhana itu.
Ki Dalang Memeling sesungguhnya bukan tokoh yang biasa-biasa.
Ditempa dengan pengalaman hidup yang kuat dan dahsyat, dilandasi kemauan tinggi untuk selalu melatih ilmu silatnya. Ditambah lagi, sedikit-banyak Ki Dalang Memeling mengenali pola permainan Ratu Ayu.
Sehingga bisa langsung menggebrak.
Ini yang membedakan siapa lebih unggul dari siapa. Karena dalam pertarungan, bukan hanya pameran keunggulan atau penguasaan jurus saja. Melainkan juga memainkan jurus yang mana dalam menghadapi jurus apa.
Kekuatan utama Ki Dalang bukan hanya karena memainkan gerakan tangan dari Jalan Buddha. Melainkan juga dari senjata andalannya yang berupa mudgara. Senjata berbentuk palu yang tumpul dan berat itu sebenarnya tak seimbang dengan pedang tipis panjang yang tajam. Dari segi permainan, pedang lebih luwes untuk dipakai menyerang.
Sebaliknya mudgara tampak memberatkan untuk bertahan, dan menguras tenaga terlalu banyak kalau dipakai menyerang.
Namun dengan memakai kekuatan tenaga sendal pancing, keadaan menjadi imbang. Setiap kali menempel, menyentuh, serta-merta ditarik kembali untuk diteruskan dengan gendaman yang berbeda.
Untuk ini, Halayudha juga menilai keunggulan Ki Dalang. Pengerahan tenaga sendal pancing, bukanlah sesuatu yang luar biasa. Prinsip dasar pengerahan tenaga sendal pancing boleh dikatakan dipakai semua pesilat. Bahwa dalam memukul lawan, tangan yang menyentuh secepat mungkin ditarik kembali. Karena dengan demikian tenaga membalik tidak akan mengenai diri di penyerang.
Yang dipujikan adalah Ki Dalang menggunakan taktik itu untuk menghadapi Ratu Ayu, yang memang mengandalkan gerakan kaku dan terpatah-patah.
Enam jurus berikutnya, Ratu Ayu hanya bisa bertahan, tanpa bisa mendekat ke arah Putri Tunggadewi yang kini sepenuhnya berada dalam perlindungan Angon Kertawardhana.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Menjajal pesta puncak yang akan datang, saya jadi ingin meramaikan keroyokan ini."
Kiai Sambartaka mengatakan dirinya siap terjun ke medan pertarungan. Hanya karena kedudukannya sebagai tokoh kelas tinggi yang membuatnya perlu memberitahukan, dan tidak langsung terjun dalam keroyokan.
Bisa dipastikan jika Kiai Sambartaka terjun, akan mengundang lawan yang terus memuncak.
Ini bisa diartikan bahwa pesta sudah dimulai.
Yang masih mengganjal dalam benak Halayudha ialah, siapa sebenarnya yang tengah bertarung sekarang ini dan melawan kekuatan yang mana"
Dengan mudah terbaca bahwa Ratu Ayu berada di pihak Kiai Sambartaka. Dua-duanya tokoh dari mancanegara. Akan tetapi siapa yang berdiri di belakangnya sekarang ini"
Benarkah Raja merestui gebrakan mereka"
Itu dari sisi Ratu Ayu. Sementara dari sisi para pangeran muda juga masih mengandung teka-teki. Siapa yang akan membela mereka"
Kalau dipertimbangkan secara masak-masak, terjunnya para pangeran muda yang disusul Ki Dalang Memeling lebih disebabkan karena upaya membebaskan Putri Tunggadewi. Bukan karena menghantam suatu gerakan atau kekuatan yang mencoba kraman.
Ini berbeda dari apa yang dilakukan Bango Tontong. Senopati yang dipercaya ini begitu muncul sudah membawa umbul-umbul dan bahkan cincin Raja. Yang menandainya sebagai utusan resmi yang mempunyai kekuasaan tertentu dan istimewa.
Berarti memang ingin melindas habis para Senopati Utama. Dan kalau melihat Ratu Ayu segera muncul menghabisinya, bisa dikatakan Bango Tontong berpihak kepada mereka.
Apa itu juga berarti kelompok Ratu Ayu berada dalam restu Raja"
Begitu banyak pertanyaan yang masih menggantung, terutama karena selama ini Raja sendiri seakan menunggu kekuatan mana yang lebih unggul.
Bagi Halayudha, sisa pertanyaan akan menjadi jelas jika segera mengetahui kemunculan Upasara Wulung. Jika Upasara, seperti juga Ratu Ayu, ditambah dengan Gemuka, kekuatan mereka tak akan mungkin diimbangi.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Halayudha tidak yakin apakah dengan mengerahkan para prajurit sekarang ini bisa menahan pembantaian habis-habisan.
"Untuk apa membawa putri yang penyakitnya tak bisa disembuhkan?"
Kembali ucapan Kiai Sambartaka bagai sambaran kilat yang menyadarkan semua orang. Nyai Demang yang melihat Putri Tunggadewi sejak pertama dan menemukan kelainan, makin yakin bahwa Putri Tunggadewi berada dalam pengaruh kekuatan lain.
Yang kalau ucapan Kiai Sambartaka benar, Kiai Sambartaka pun tak mengetahui sebabnya.
Pikiran Nyai Demang sama dengan jalan pikiran Halayudha. Yang segera menyembah hormat dan membawa Putri Tunggadewi ke pinggir.
Yang dibawa hanya mengikuti, tanpa memberikan reaksi.
Dengan gerakan cepat, Halayudha menyentuh beberapa nadi inti di tubuh Putri Tunggadewi. Untuk memastikan apakah ada nadi atau jalan darah yang tertotok.
Hasilnya membuat Halayudha menggigit bibirnya lebih keras.
Tak ada satu pun nadi Putri Tunggadewi yang terganggu.
Juga ketika berusaha membaui pernapasan, Halayudha tak menemukan adanya pengaruh jamu dan jampi tertentu. Udara yang diembuskan dari pernapasan Putri Tunggadewi wajar.
Halayudha menggerakkan tangannya secara terbuka. Menggetar. Dan meraba seluruh tubuh Putri Tunggadewi dalam jarak kurang dari sekilan, sejengkal, satu rentangan jari tangan.
Mulai dari ubun-ubun hingga ke telapak kaki.
Tiga kali. Itulah cara untuk mengetahui seseorang yang terkena aji sirep, ajian untuk mempengaruhi seseorang sehingga tidak sadar.
Hasilnya sama, tak ada pengaruh dari luar.
Setidaknya yang bisa terbaca oleh Halayudha.
Hal ini bisa disebut ganjil tapi juga tidak.
Disebut ganjil, karena jelas kondisi Putri Tunggadewi tidak dalam keadaan wajar. Halayudha menguasai ilmu soal nadi dan mengetahui banyak mengenai jampi-jampi dari aliran sesat. Sehingga hanya kekuatan yang luar biasa yang mampu lolos dari pengawasan Halayudha.
Disebut tidak ganjil, karena memang itulah kenyataannya. Putri Tunggadewi seperti tidak menderita penyakit apa-apa, kecuali ada yang
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
membeku di pulung ati, di dapur susu, yang letaknya di antara lekukan buah dada.
Di bagian pulung ati getaran tangan Halayudha seperti membentur tenaga yang beku.
Seperti diketahui, pulung ati dalam dunia persilatan mempunyai arti yang penting, walau tidak berhubungan langsung dengan pengerahan tenaga dalam, yang memang berawal dari bagian yang lebih bawah, di sekitar pusar.
Pulung bisa bermakna ganda. Di satu pihak berarti bintang bahagia, kemuliaan karena Dewa. Tapi juga bisa berarti kematian, karena
"diambil" Dewa.
Seorang jago silat tidak terlalu mengistimewakan wilayah pulung ati.
Kalaupun perlu dilindungi, seperti bagian tubuh lain yang juga perlu dilindungi.
Akan tetapi pada beberapa orang biasa, pulung ati diartikan sebagai pusat perasaan, pusat rasa yang mempengaruhi pikiran dan emosinya.
Mengingat Putri Tunggadewi bukan jago silat dan tidak berlatih secara khusus, agaknya kemungkinan yang terakhir yang lebih tepat.
Hanya saja, Halayudha tak bisa menentukan apa penyebabnya dan bagaimana penyembuhannya.
Kiai Sambartaka sejak tadi mengikuti gerakan tangan Halayudha dan berusaha memperhatikan dengan sangat cermat. Apalagi ketika getaran tangan Halayudha tertahan lebih lama di tengah dada!
Rasa ingin tahunya sedemikian besar, karenanya sedikit tertahan untuk maju ke medan pertarungan.
Sesaat saja. Akan tetapi yang sesaat itu berbicara banyak. Karena Kiai Sambartaka, yang merasa dirinya lebih menguasai aji sirep untuk mempengaruhi orang atau binatang, seperti menemukan jalan buntu.
Ini baru diketahui kemudian ketika dirinya sudah bergabung dengan Gemuka, yang kemudian menculik kedua putri. Secara samar, Gemuka mengemukakan kepadanya, bahwa Putri Tunggadewi sedang menderita gering yang tak diketahui.
Ini menarik bagi Kiai Sambartaka, karena selama ini Gemuka selalu membuktikan diri berhasil menjawab segala peristiwa. Ternyata Gemuka pun tidak berhasil.
Blong, Sukma Tanpa Theg KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
GEMUKA saat itu hanya memberi pendapat yang samar.
"Lihat dia, Kiai. "Itu mungkin kekuatan sukma sejati yang terbalik. Yaitu bukan menemukan theg, melainkan menjadi blong"
Kiai Sambartaka merasa tertantang untuk memperlihatkan keunggulannya. Kalau sekali ini bisa mengalahkan Gemuka, bukan tidak mungkin dirinya bisa menemukan sela-sela yang lain.
Dengan menyusup, Kiai Sambartaka masuk ke tempat penahanan kedua putri. Dan menemukan bahwa Putri Tunggadewi maupun Rajadewi seperti tidak menderita penyakit tertentu.
Juga ketika Kiai Sambartaka mengerahkan segenap kekuatan, semua ilmu yang dimiliki.
Tak ada yang aneh. Tak ada yang ganjil. Selain tindakannya. Putri Tunggadewi, lebih dari Putri Rajadewi, seolah tidak menginjak tanah kenyataan. Dituntun ke kiri, bergerak ke kiri, dituntun ke kanan, bergerak ke kanan. Disuruh mengambil sirih, akan bergerak dengan sepenuh hati.
Kiai Sambartaka benar-benar tak mampu menembus.
Ini pula yang menyebabkan ketika bertemu kembali dengan Gemuka di kamar penyimpanan senjata pusaka, ia menerima kalimat Gemuka dengan muka panas.
"Aku tahu niatmu menunjukkan kelebihan ilmu padaku gagal.
"Kiai, kamu pun tak mengerti sebabnya?"
"Guncangan kejiwaan.
"Roh batin Putri Tunggadewi terguncang hebat. Sedemikian hebatnya sehingga kesadarannya tak ada lagi. Sehingga blong-bolong, bleng-kosong.
"Sebabnya tak lain dan tak bukan karena Putri Tunggadewi harus melayani Raja Jayanegara yang masih saudara satu ayah."
"Tidak. "Di kaputren sebelum aku ambil, keadaannya sudah seperti itu. Kalau kemudian melayani Raja atau tidak, sama saja. Tanpa perasaan, tanpa kesadaran sama sekali.
"Itulah blong."
"Gemuka, kenapa kamu mengaitkan itu dengan sukma sejati?"
"Karena aku lebih hebat dari kamu.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Semua kekuatan yang tak dikenali, kita sebut saja kekuatan sukma sejati. Kekuatan yang bukan berawal dari tenaga dalam maupun tenaga luar.
"Aku lebih tahu dari kamu, karena aku mengetahui sumber utama kekuatan sukma sejati berawal dari theg. Adalah bukan tidak mungkin Putri Tunggadewi menempuh cara yang berbalik dari theg, menjadikan dirinya blong.
"Dengan disadari atau tidak."
"Terlalu gampang mengandaikan seperti itu."
"Kamu tak mampu mengandaikan begitu."
"Gemuka..." "Kiai! "Kamu yang mendengarkan aku. Karena aku lebih pantas didengarkan. Kamu menerima, dan akan bertambah hebat, walau tetap tak akan bisa mengimbangi aku.
"Selama ini yang kutahu melatih tenaga sukma sejati adalah Upasara Wulung dan Mahapatih. Yang lainnya tak cukup berarti.
"Maka jalan terbaik, kirimkan Tunggadewi ke Upasara agar bisa diluruskan. Kalau benar begitu, kita sudah menguasai sukma sejati.
"Aku, bukan kita. "Aku mengetahui kekuatan theg dan blong."
Itulah yang kemudian terjadi. Putri Tunggadewi muncul di depan khalayak umum.
Hanya kemudian, bukan jawaban dari Upasara yang terjadi, melainkan lebih banyak yang menggunakan Putri Tunggadewi untuk kepentingan masing-masing. Termasuk Halayudha, dan kemudian Nyai Demang, atau juga Ratu Ayu.
Yang berloncatan dalam benak Kiai Sambartaka adalah pertanyaan, apa yang menyebabkan Putri Tunggadewi berada dalam keadaan blong, dan bagaimana membongkar pertanyaan serta sekaligus jawaban di balik semua itu.
Selalu menemui jalan buntu.
Makanya perhatiannya terserap penuh saat Halayudha berusaha menyembuhkan.
Justru karena Halayudha juga menemukan ada sesuatu yang tak beres di pulung ati.
Halayudha mengusap wajahnya, menghela napas.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tuan Putri, silakan beristirahat sejenak...."
Putri Tunggadewi mengikuti arah yang ditunjuk Halayudha. Menuju sisi luar pendapa.
Sehingga lebih mudah menyelamatkan diri jika suasana kemelut merambat. Apalagi kini para prajurit kawal pribadi telah mengelilingi.
Kalau saja Putri Tunggadewi mau meninggalkan pendapa.
Tapi tidak. Putri Tunggadewi duduk bersimpuh di pinggir pendapa, seolah sedang menghadap Raja.
Sementara pertarungan masih terus berlangsung. Ketika para pangeran muda, bersama Ki Dalang Memeling, masih terus berkutat dengan Ratu Ayu
Meskipun beberapa kali merebut keunggulan, Ki Dalang tak bisa memaksakan kemenangan. Karena Ratu Ayu masih tetap ganas, dan bisa membalas dengan beberapa serangan yang berbahaya.
Terutama ketika Ratu Ayu mulai mencecar Pangeran Muda Wengker, yang terasa sekali bernafsu segera menyelesaikan pertarungan. Justru karena itu, gerakan kaki dan loncatannya beberapa kali tersikat oleh Ratu Ayu.
Langkah jong yang perkasa.
Yang meloncati satu orang untuk menebas yang lain. Ditambah dengan pedang panjang yang membuat lawan tak berani merangsek, ruangan pendapa seakan menjadi pameran kekuatan Ratu Ayu.
"Awas!" Teriakan Ki Dalang Memeling terlambat.
Tubuh Ratu Ayu telah melesat.
Ke arah Putri Tunggadewi.
Pangeran Muda yang berusaha menerjang maju malah kena sodokan siku yang membuat tubuhnya terbanting ke kiri. Sementara Ki Dalang Memeling tertegun. Karena loncatan Ratu Ayu sangat cepat. Satu-satunya jalan ialah melemparkan palu. Akan tetapi bahayanya terlalu besar, karena kalau Ratu Ayu menyampok keras, bisa-bisa arahnya melenceng ke Putri Tunggadewi.
Yang justru bergerak cepat adalah Angon Kertawardhana. Tubuhnya melesat ke tengah, menghadang langsung.
Sabetan pedang dielakkan pendek, kedua tangannya terulur maju meremas bagian dada.
Tak ada lagi pilihan lain!
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tak ada kesempatan menghindari sabetan dan memilih serangan yang lebih sopan. Terdengar suara tarikan napas pendek, dan darah muncrat ke lantai.
Pundak Angon Kertawardhana tertoreh.
Walaupun hanya tersentuh sabetan angin, akan tetapi menimbulkan luka cukup dalam.
Ratu Ayu menggerakkan pergelangan tangannya.
Pedang panjangnya yang tadinya menuding langit sehabis menebas, kembali membeset dengan tusukan lurus. Angon Kertawardhana yang masih berdiri dengan sempoyongan melihat datangnya bahaya tanpa menyingkir.
Karena melindungi Putri Tunggadewi.
Akan tetapi Pangeran Anom tidak membiarkan begitu saja. Ketika tadi Ratu Ayu meloncat, tubuhnya ikut bergerak. Hanya saja karena kekuatan tenaga Banyu Mili tidak bisa sepenuhnya mengikuti daya tarik Ratu Ayu, ia tak bisa bergerak cepat. Sehingga Angon terlukai. Akan tetapi ketika pedang itu menuding langit, tubuh Pangeran Anom sudah berada di belakang Ratu Ayu.
Yang langsung menggulung.
Benar-benar menggulung, karena kedua tangan Pangeran Anom menekuk leher Ratu Ayu, menekan ke bawah sekuat tenaga, untuk diputar dengan jurus Dharmacakra Mudra atau Gerakan Memutar Roda Dharma.
Hebat akibatnya. Kepala Ratu Ayu tertekan ke bawah, tubuhnya melingkar, dan kemudian terbesot seolah kena isapan air yang melontarkannya ke luar pendapa!
Kiai Sambartaka melayang, menangkap tubuh Ratu Ayu, dan berputar di tengah udara untuk akhirnya berdiri di tengah pendapa.
Berdampingan. Selain Gendhuk Tri, Halayudha juga mengetahui bagaimana Pangeran Anom dalam satu gerakan bisa menekuk tubuh Ratu. Kekuatan utama Kitab Air adalah menggunakan sifat-sifat air. Banyu Mili atau Air Mengalir memang bukan kekuatan yang mengandalkan kecepatan, akan tetapi terutama sekali datangnya tenaga yang tak diketahui oleh lawan.
Seperti bergeraknya air merembes.
Tanpa suara. Itu pula sebabnya Ratu Ayu tak menduga ada serangan dari belakang.
Karena tak mendengar suara angin.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tahu-tahu kepalanya ditekuk dengan tekanan yang tinggi. Sebelum tenaga dalam terkerahkan untuk menangkis dengan sendirinya, kuda-kudanya telah goyah.
Tanpa bisa dikuasai lagi tubuhnya terlempar.
Dan bisa berbahaya, karena Ratu Ayu masih menggenggam Galih Kangkam. Yang kalau tidak dikuasai bisa menusuk tubuhnya. Tapi Kiai Sambartaka memperlihatkan kelas yang sesungguhnya.
Pesta dan Perang MELAYANG, sambil menangkap orang yang terlempar, bukan gerakan yang mengagumkan. Akan tetapi Kiai Sambartaka memperlihatkan secara luar biasa.
Menangkap tubuh Ratu Ayu yang menggenggam pedang, lalu berputar di tengah udara tanpa menjejak tanah lebih dulu atau memakai pijakan lain, dan kemudian sekali bisa hinggap dengan gagah.
Siap menghadapi serangan.
Siap menyerang. Karena dengan merentangkan kedua lengannya lebar-lebar, puluhan ular kobra merayap keluar dari pakaian yang dikenakan. Meleletkan lidah.
Siap dilempar. Halayudha mengangkat tangannya.
Semua prajurit bersiaga. Pendapa berubah menjadi medan pertarungan yang sesungguhnya.
Udara dingin sudah tak terasa lagi. Kini semua berada dalam keadaan siap tempur.
Mendadak perhatian terpecah. Dari luar regol terdengar suara nyaring, tinggi, dan gedubrakan keras.
Ketika Gendhuk Tri menoleh ke arah regol, hampir tak percaya apa yang dilihat. Di bawah penerangan obor yang dibawa para prajurit, seekor gajah besar mendobrak regol.
Hingga pintunya somplak. Gajah besar yang bagian kepalanya dihiasi dengan ratna manikam, dengan kain sutra. Di bagian punggung ada kursi dengan payung pelindung. Meskipun tengah malam.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Serentak dengan itu seluruh prajurit yang ada, termasuk Halayudha, menunduk, bersila, dan menyembah.
Raja Jayanegara! Gigi Nyai Demang berkerotan.
Bahwa Raja menunggangi gajah sebagai kebesarannya, bukan sesuatu yang luar biasa. Akan tetapi di tengah malam Raja mengendarai gajah menuju dalem senopaten, baru luar biasa dan tak masuk akal.
Lebih mengejutkan lagi karena di belakangnya masih ada seekor gajah lagi. Yang sedikit lebih kecil, yang belalainya bergoyangan.
Di atas punggungnya juga ada kursi kecil dengan payung yang lebih kecil.
Permaisuri Praba Raga Karana!
Yang tampak tenang, memandangi sekeliling, menerima penghormatan dengan dagu sedikit terangkat ke atas.
Halayudha mendengar suara para prajurit yang mengatur barisan untuk menjaga Raja. Hatinya bercekat, karena tidak mengetahui apa yang akan disabdakan.
Sesuatu yang lain dari dugaan semua orang!
Raja bisa muncul dengan tindakan yang mengejutkan. Seperti malam ini, dengan mengendarai gajah.
"Pesta belum lagi mulai, tapi kegembiraan telah terjadi.
"Menyenangkan, bukan?"
Suara Raja yang ditujukan kepada Permaisuri Praba terdengar jelas karena keadaan sekitar menjadi hening.
Ini yang sedikit-banyak menjengkelkan Halayudha. Dalam situasi perang yang memuncak, Raja malah berbicara soal lain.
Halayudha menyembah dalam.
"Mohon petunjuk Raja sesembahan...."
"Ingsun ingin melihat pesta yang menyenangkan. Tak perlu petunjuk, karena di tempat yang tinggi Ingsun bisa melihat semuanya lebih jelas.
"Bukan begitu, permaisuriku?"
Permaisuri Praba menyembah.
Perhatian yang tertuju dan menghormat kepada Raja mendadak pecah. Kiai Sambartaka mengentakkan tangannya dan puluhan ular melayang ke segala penjuru. Para prajurit yang masih bersila menjerit kaget.
Suasana berubah gaduh seketika.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ketiga Pangeran Anom dan Ki Dalang Memeling segera melindungi Putri Tunggadewi. Akan tetapi Kiai Sambartaka ternyata tidak berhenti hanya dengan melontarkan ular kobra yang makin lama makin banyak, seperti keluar dari sarang dalam tubuhnya.
Kiai Sambartaka menyambar siapa saja yang ada di dekatnya, untuk diangkat dan dibanting.
Ratu Ayu bahkan langsung menusuk ke arah Halayudha dan menyabet Senopati Yuyu yang terpaksa menggelundungkan tubuhnya ke luar pendapa, jatuh ke bawah.
Gendhuk Tri tak bisa menahan diri lagi.
Dengan satu putaran, tubuhnya melesat maju. Kedua tangannya bergerak cepat. Mengamankan prajurit yang diterbangkan Kiai Sambartaka, sekaligus berusaha menahan. Nyai Demang pun tak ketinggalan.
Pendapa dan ruangan dalem menyatu sebagai medan pertarungan yang kurang seimbang. Karena Kiai Sambartaka dan Ratu Ayu seakan merajalela sendirian.
Pedang di tangan Ratu Ayu benar-benar garang. Tak menyisakan jeritan sama sekali. Karena demikian tajam dan terkuasai permainannya.
Halayudha yang menjadi sasaran utama sedikit-banyak menjadi repot, karena Kiai Sambartaka dengan puluhan ular kobra juga menyerang langsung ke arahnya.
Repot karena tidak terlalu siap. Perhatiannya masih tersita menanti dawuh, perintah, dan sekaligus petunjuk Raja, ketika Ratu Ayu dan Kiai Sambartaka melakukan serangan habis-habisan.
Segala apa yang menghalangi langsung disabet putus Ratu Ayu atau ditekuk Kiai Sambartaka.
Sangat ganas dan beringas.
Bahkan cecaran kepada Halayudha membuat mahapatih yang sakti ini menghindar dua-tiga langkah ke belakang. Ratu Ayu dan Kiai Sambartaka tak memberi kesempatan untuk menyusun kekuatan.
Langsung menerjang maju. Ratu Ayu kelihatan memusatkan seluruh kemampuannya. Tubuhnya bergerak, mengeluarkan warna-warni, seperti menyebarkan cahaya di setiap sudut. Matanya menatap kosong tanpa perasaan, sementara pedangnya terus berkelebat.
Halayudha yang mampu menginjak kepala ular kobra kali ini benar-benar sangat repot. Pukulan geledek Kiai Sambartaka terus mengurungnya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tak ada jalan mundur. Tapi bukan Halayudha kalau bisa dikalahkan begitu saja. Pada situasi yang terdesak, kakinya berhasil menyongkel mayat Bango Tontong. Begitu terangkat ke atas, Halayudha mendorong maju, sementara tubuhnya melayang ke arah langit-langit pendapa, untuk memperbaiki posisi.
Yang terjadi kemudian adalah pemandangan yang meremangkan bulu kuduk.
Belasan ular kobra langsung menancap ke tubuh Bango Tontong.
Yang lebih membuat bergidik adalah ayunan pedang Ratu Ayu. Dalam satu gerakan, pergelangan tangannya menebas dan menetas beberapa kali.
Tubuh Bango Tontong terpotong-terpotong.
Terlepas kepala, kaki, tangan, kaki, dan bahkan isi perutnya seperti tersentak semuanya! Bahkan ular kobra yang melintang di bagian tubuh itu ikut terpotong.
Memerindingkan bulu kuduk karena potongan itu terlempar ke berbagai arah, masih mengucurkan darah. Sebagian membasahi wajah Ratu Ayu yang kini menyibakkan rambutnya yang juga basah oleh cipratan darah,
Tubuh Bango Tontong berkeping-keping.
Ketiga Pangeran Anom yang menjaga Putri Tunggadewi, dan juga Ki Dalang Memeling, berusaha melindungi lebih rapat.
Akan tetapi Putri Tunggadewi justru berdiri.
Meminggirkan tubuh Angon Kertawardhana dan Pangeran Anom.
"Kakang... jangan, Kakang...
"Jangan, Kakang Singanada... Jangan..."
Suaranya seperti mendesis lembut. Tapi keinginannya mendesak untuk maju seperti tak tertahankan.
"Jangan, Paman Upasara tak menghendaki..."
Suaranya tertelan keributan yang mendadak makin meninggi dan serentak sekaligus. Karena Ratu Ayu justru memapak maju, dan dengan kekuatan penuh menusuk ke arah Putri Tunggadewi. Ki Dalang Memeling yang berusaha menahan, terlempar dengan pukulan tangan kiri. Sementara dua kaki Ratu Ayu bisa menyeruak masuk ke dada Angon Kertawardhana dan Pangeran Muda yang tercongkel serta menabrak tubuh Pangeran Anom.
Langkah dan kekuatan jurus-jurus Buddha Wanita menikam semua yang menghalangi. Keras, kuat, ganas, dan menerjang.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Sementara Putri Tunggadewi sendiri seperti tak memedulikan bahaya, tetap melangkah menuju potongan tubuh Bango Tontong! Menyongsong tebasan Ratu Ayu!
Kangkam Galih tergetar. Membalikkan sinar obor yang remang, berkilat menyilaukan.
Hanya saja tertahan sebentar, tergetar.
Karena ada satu tenaga yang menggoyangkan.
Sesaat. Karena kemudian menebas ke bawah.
Hanya saja sekali ini bukan tergetar, tetapi terlepas.
Melayang ke arah lantai. Ratu Ayu merasakan tangannya ngilu tak tertahankan. Namun tangan kirinya yang bebas masih bisa meraup pedang tipis hitam, tepat di gagangnya, dan sekali lagi dipakai untuk menebas.
Sekali lagi pedang yang sudah dicekal itu terlepas.
Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pindah ke tangan lain. "Paman Upasara..."
Tubuh Putri Tunggadewi tersentak keras, bergoyang, sebelum ambruk dalam rangkulan Upasara Wulung.
Potengan Tubuh UPASARA WULUNG! Ya, pandangan Gendhuk Tri tak salah lagi. Yang mendesak maju adalah Upasara Wulung. Yang tampak sekilas seperti kurus, dengan rambut yang terurai di kiri-kanan, menutupi telinganya.
Halayudha melihat bahwa Upasara mempertaruhkan keselamatannya dengan melibatkan diri. Akibatnya ikatan rambutnya terlepas. Tidak begitu jelas, apakah karena sabetan Kangkam Galih atau hanya tersentuh ujung pedang.
Halayudha bisa melihat jelas karena tubuhnya melayang dari atas.
Dan kini bisa berada di bagian yang sedikit longgar untuk mempersiapkan diri.
Kejadian beruntun yang desak-mendesak.
Ditambah lagi dengan kesiuran angin yang luar biasa kencang, menyebabkan puluhan obor padam, lalu disusul suara gedubrakan yang
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
keras, seakan seluruh bangunan rumah roboh seketika terkena guncangan gempa.
Memang sesungguhnya dalem senopaten roboh.
Bukan karena gempa. Melainkan karena gerakan yang sangat kuat mengguncangkan dan melabrak tiang utama di pendapa, keempat-empatnya, hingga terlepas dari pondamen.
Runtuhnya atap pendapa menimbulkan suara gedubrakan yang keras dan memenuhi telinga manakala disusul bagian yang menghubungkan dengan dalem, juga roboh.
Genteng sirap dan kayu-kayuan beterbangan bersama dengan batu bata yang hancur menebarkan debu dan rontokan.
Ternyata masih disusul gedubrakan yang lain.
Seluruh bangunan senopaten Yuyu rata dengan tanah.
Terdengar tawa yang keras, memekakkan telinga.
"Aku suka kamu mau ketemu denganku.
"Upasara Wulung, namaku Gemuka!"
Tanpa penjelasan itu pun, Gendhuk Tri bisa menduga. Tokoh yang mampu menendang roboh tiang pendapa dengan sekali sentuh, serta secara beruntun, pastilah tokoh yang benar-benar sakti. Apalagi dengan sekali bergerak tangannya, kakinya, mampu membuat keonaran, sehingga seluruh bangunan hancur, rontok, dan lepas rangkaiannya.
Kemampuan bergerak yang demikian tinggi, seolah seluruh lapangan dikuasai suara yang berasal dari berbagai penjuru, mempertegas keunggulan.
Dengan padamnya obor, suasana menjadi gelap dan agak kacau.
Bukan oleh rintihan prajurit yang terkena jatuhan kayu, melainkan karena dengan demikian semua menjadi terbuka.
Para Senopati Utama, Eyang Puspamurti dan kedua muridnya, serta Jabung Krewes dan para prajurit jadi ketahuan.
Dan waspada, karena belum mengetahui apa yang bakal terjadi.
Nyai Demang mengatur pernapasan dan memusatkan kekuatan untuk berjaga sepenuhnya. Demikian juga Gendhuk Tri yang menyilangkan kedua tangan di depan dada.
Telinganya mendengar suara panggilan Pangeran Anom, akan tetapi Gendhuk Tri lebih memusatkan perhatian kalau-kalau ada gerakan aneh lagi.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dugaannya keliru. Karena yang terlihat kemudian adalah barisan prajurit yang membawa obor, disertai genderang yang ditabuh bertalu-talu. Umbul-umbul Keraton dinaikkan tinggi-tinggi.
Keadaan menjadi lebih terang.
Meskipun sebenarnya tanah juga mulai terang oleh cahaya surya.
Bagian pendapa dan dalem telah rontok seluruhnya, kecuali bagian yang paling belakang. Di pendapa, Upasara Wulung masih merangkul Putri Tunggadewi yang sepenuhnya berada dalam bopongannya.
Halayudha berada di sebelah kanan, berseberangan dengan Gendhuk Tri dan Nyai Demang.
Di depannya, Kiai Sambartaka menyilangkan tangan sambil berdiri gagah. Sementara Ratu Ayu Azeri Baijani berdiri tegak dengan dua tangan menggenggam erat Kangkam Galih.
Di bagian belakang dalem, berkumpul kelompok Jabung Krewes dengan para prajuritnya.
"Paman Upasara..."
"Seorang ksatria menghendaki jalan ksatria.
"Kematian seorang ksatria adalah pilihan sukma sejati."
Gendhuk Tri menjadi limbung.
"Apakah... apakah... Apakah..."
Upasara Wulung mengangguk perlahan.
Perlahan sekali. Tangan kirinya menggenggam tangan Gendhuk Tri. Menarik tubuh Gendhuk Tri ke tubuhnya. Merapatkan.
Upasara mencium sudut mata Gendhuk Tri yang basah.
Sunyi. Baru kemudian sekali Upasara Wulung melepaskan genggaman Gendhuk Tri. Tangannya mengusap wajah Putri Tunggadewi, kemudian menyembah dan menyerahkan tubuh Putri Tunggadewi yang terkulai layu ke arah Nyai Demang.
Nyai Demang menerima dengan tergopoh. Secara spontan, tangannya memeriksa tubuh Putri Tunggadewi. Dan merasa tenang karena tidak menemukan sesuatu yang luar biasa.
Putri Tunggadewi seperti terlelap tidur karena kelelahan yang melampaui batas ketegangan pikirannya.
Gendhuk Tri bersila di kaki Upasara.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Upasara berdiri tegak. "Aku Gemuka. "Pesta puncak dimulai sekarang. Kamu siap, Upasara?"
Dada Upasara yang tampak kurus tetap teratur membesar dan mengecil. Pandangannya sedikit pun tak berubah.
Tak bereaksi. Tidak juga Gendhuk Tri yang bersemadi dengan khusyuk.
Nyai Demang yang cerdas dan bisa menghubungkan peristiwa yang satu dengan yang lain, hanya bisa meraba dan menduga apa yang sesungguhnya terjadi.
Pertama diawali ketika Ratu Ayu me-moteng-moteng tubuh Bango Tontong menjadi beberapa bagian. Kemudian Putri Tunggadewi seperti tersedot oleh kekuatan itu dan maju.
Ketika Ratu Ayu menebas. Saat itu Upasara menampilkan diri.
Kalimat yang bisa dijadikan petunjuk hanyalah sebutan nama Kakang Singanada, dan Paman Upasara tidak menghendaki. Kemudian sekali adalah pertanyaan Gendhuk Tri yang belum jelas, karena hanya mengatakan apakah, apakah, apakah, tanpa keterangan yang lain. Yang kemudian menyebabkan Gendhuk Tri bersemadi.
Dalam keseluruhan peristiwa yang dialami, baik oleh dirinya sendiri maupun lewat penuturan, Nyai Demang boleh dikatakan menemukan gambaran yang menyeluruh.
Sehingga sedikit-banyak bisa merangkaikan.
Yang berawal dari tindakan Gendhuk Tri bersama Pangeran Anom yang terpaksa memotong kaki Maha Singanada. Senopati seberang dari Caban itu kemudian perlu meninggalkan mereka berdua.
Sebenarnya kisah itulah yang mulai dialami oleh Tunggadewi, Rajadewi, serta Permaisuri Rajapatni yang merawat tubuh Upasara yang terluka parah oleh pukulan Halayudha serta tusukan keris pusaka milik Senopati Agung Brahma.
Seperti diketahui ketiganya menyembunyikan secara diam-diam dan tak mengetahui bagaimana merawat selain berdoa. Karena tubuh Upasara tak menimbulkan reaksi apa-apa.
Saat itu, Maha Singanada yang tengah keluyuran dengan hati pedih di Keraton bertemu dengan ketiganya secara tak sengaja.
Putri Tunggadewi bisa bercerita lengkap karena dialah yang pertama kali melihat, dan menduga yang datang adalah Paman Upasara.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Paman... Oh, bukan Paman."
"Namaku Maha Singanada.
"Itu tak penting benar.
"Karena aku sudah tak ada gunanya lagi. Kakiku sudah hilang. Tapi bukan itu sebabnya aku merasa tak ada artinya. Aku memang dilahirkan dengan kehinaan atas Keraton Singasari yang terberat.
"Semakin aku dikenal, semakin jelas betapa noda dan dosa itu diciptakan.
"Tetapi kalian bisa membuat aku mempunyai guna dan hidupku penuh makna. Untuk terakhir kalinya."
Maha Singanada berusaha duduk dengan susah.
"Aku tahu kalian adalah putri Keraton. Satunya lagi Permaisuri Rajapatni.
"Yang kalian rawat adalah Upasara Wulung.
"Yang pasti akan dicari untuk dimatikan.
"Biarlah aku yang menggantikan.
"Dengan demikian, aku masih bisa menyelamatkan Upasara Wulung, kalau nyawaku bisa memaksa Dewa untuk tidak mencabutnya."
Putri Tunggadewi memandang bingung.
"Lakukan, Permaisuri.
"Aku yang menghendaki."
"Saya tak mengerti maksud Senopati."
"Tubuh dan perawakanku mirip Upasara. Sedemikian miripnya sehingga Gendhuk Tri bisa terpikat olehku. Kalau tubuhku yang mengganti tubuh Upasara, rasanya tak ada yang mengetahui. Kalaupun ada, Upasara sudah bisa selamat.
"Selama tubuhku terpoteng, tak akan mudah diketahui."
"Saya tak mengerti kenapa Senopati Maha Singanada melakukan hal ini."
"Aku ingin berbuat sesuatu untuk kebesaran Keraton.
"Sehingga dosa ibu dan bapakku tertebus."
"Kenapa kamu pilih Kakangmas Upasara?"
Maha Singanada meringis. Menahan rasa sakit dan kebanggaan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bukan Pesan, Bukan Titipan, Asmara
TANPA meringis pun, bagi Putri Tunggadewi sikap Maha Singanada termasuk tidak biasa. Tata kramanya, terutama dalam bertutur kata, jumpalitan, akan tetapi penampilannya tidak mengesankan kasar.
Bahkan sebaliknya. "Aku memilih menggantikan Upasara Wulung karena ia lelaki sejati.
Ksatria yang baik, mulia, dan mengabdi kepada manusia.
"Aku memilih menggantikan Upasara Wulung karena aku tidak mempunyai harapan lagi. Aku akan mati dalam waktu tidak lama, dan tak ada yang bisa kulakukan.
"Sekarang ini kesempatan bagiku."
"Saya tak bisa melakukan."
"Tak ada yang tak bisa.
"Permaisuri bisa memotong tubuh saya. Tangan, kaki, kepala, dan bagian yang lain. Kemudian menguburkan seolah tubuh Upasara Wulung, sementara Upasara Wulung bisa tersembunyi dengan aman untuk sementara."
"Saya tak bisa. "Saya belum pernah..."
"Baik kalau begitu, aku akan melakukan sendiri. Bagian terakhir kamu yang melakukan.
"Apakah di sini ada pedang atau keris?"
Maha Singanada sendiri yang mencari, menemukan, dan meyakinkan diri bahwa senjata itu cukup tajam.
"Senopati Singanada..."
"Ada apa lagi?"
"Jangan kamu lakukan itu."
"Aku akan melakukan juga, Permaisuri Rajapatni.
"Ini semua kemauanku."
"Apakah kamu sudah berpikir?"
"Sudah." "Sudah mempertimbangkan?"
"Sudah." "Tak ada lagi yang memberatimu?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tidak." "Apakah kekasihmu..."
"Gendhuk Tri namanya.
"Ia gadis yang baik. Yang mulia dan sakti.
"Aku akan berbahagia kalau ia mendampingi Upasara suatu saat nanti. Rasanya aku ingin menitipkan kata-kata ini. Tapi tak ada gunanya. Aku juga ingin meninggalkan pesan. Tapi tak ada gunanya.
"Asmara dan kehidupan adalah yang paling indah untuk dititipi pesan dan keinginan.
"Asmara dengan tata krama seperti itu hanya akan menjerat diri.
Seperti yang Permaisuri Rajapatni alami.
"Tapi itu baik. "Bagi jagat ini."
Maha Singanada menyiapkan pedangnya.
"Karena kalian tidak tegaan, aku akan memutus kaki sebelah, lalu tangan, dan kalian yang menyelesaikan leher serta tangan satunya."
"Kakang Maha..."
Maha Singanada menoleh ke arah Tunggadewi.
"Apa?" "Paman Upasara tidak akan menyukai cara Kakang."
"Tak apa. "Kenapa harus mengikuti kemauan dia"
"Aku berhak atas cara kematianku sendiri.
"Kenapa begini panjang upacara dan pertanyaan hanya untuk kematian yang sekejap?"
Tunggadewi menjerit tanpa suara.
Terempas tanpa bisa apa-apa.
Maha Singanada benar-benar mengayunkan pedangnya ke arah kaki.
Dengan sepenuh tenaga. Dalam satu tarikan keras pedang diayunkan lagi ke tangan kirinya yang diangsurkan. Dan kemudian memenggal kepalanya.
Darah yang muncrat, teriakan aduhan, bagian tubuh yang terpotong, belum pernah dilihat dan dialami Tunggadewi. Jiwanya terguncang, kekuatan batinnya ambrol. Seekor nyamuk yang menggigit tubuhnya bisa menimbulkan iba bila diceblek. Seekor anak angsa yang kedinginan, seekor kucing yang terinjak ekornya, sebatang pohon yang
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
meranggas, bisa membuatnya gelisah dan terganggu untuk waktu yang lama. Seekor ikan hias di taman yang terseret arus menyebabkan dirinya tak bisa makan dan tidur selama beberapa pekan.
Apalagi kejadian seperti ini.
Yang sangat mendadak, sangat menghancurkan sistem nilai dan akal budinya.
Tunggadewi tak mengerti bagaimana kisah berikutnya. Ia hanya merasa tubuh Maha Singanada menggelepar, berkelojotan, di mana-mana darah, karena agaknya sabetan ke leher tidak sempurna.
Tunggadewi tak sadar apakah Permaisuri Rajapatni yang melanjutkan atau tangannya sendiri, atau Rajadewi, atau ketiganya. Tak ingat bagaimana mulainya, dan bagaimana akhirnya.
Telinganya hanya mendengar suara, dan suara itu akan dituruti begitu saja. Seperti saat ia membawa tubuh Upasara Wulung, menggotong, menyeret, membawa ke gua bawah Keraton.
Mengumpulkan potongan tubuh Maha Singanada, menunggui sementara tokoh-tokoh lain melihat, dan akhirnya ia ikut menyaksikan penguburan di halaman bagian belakang yang merupakan kebun di kaputren.
Sejak saat itu Tunggadewi tak sepenuhnya mengetahui apa yang terjadi. Bayangan tubuh yang terpotong begitu lengket dan tak bisa terusir.
Satu-satunya yang setengah sadar bisa dilakukan ialah bila mendengar suara, ia bisa mengikuti. Bisa menjawab, tapi tak mengetahui bagaimana semua kejadian itu berlangsung.
Seluruh nadi sarafnya menjadi sangat tegang.
Dan baru bisa melepas semuanya ketika menyaksikan tubuh Bango Tontong yang terpotong-potong. Kesadarannya seperti dikuakkan lagi.
Hanya saja kemampuan dan daya tubuhnya tak kuat menghadapi guncangan.
Nyai Demang tak bisa menyelami seperti apa yang sesungguhnya terjadi. Akan tetapi mengetahui bahwa sekarang ini justru Putri Tunggadewi berada dalam keadaan yang paling waras. Akan segera pulih kembali dalam waktu dekat. Hanya karena tidak mengetahui harus dipasrahkan kepada siapa untuk merawat, Nyai Demang masih menelentangkan di bagian bawah pendapa.
Halayudha mencoba mendekat dan merasakan bahwa pulung ati Putri Tunggadewi membalas getaran tangannya.
Kiai Sambartaka yang mengawasi sejak tadi melirik ke arah Gemuka.
"Upasara bisa menyembuhkan hanya dengan bisikan."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Itu bukan urusanku.
"Aku akan berpesta."
Suara itu mendengung dari pelbagai penjuru. Kadang seolah dari regol, kadang dari atas punggung gajah.
Upasara tidak segera menanggapi.
Tangannya menyentuh pundak Gendhuk Tri, seakan memberi isyarat lembut.
Gendhuk Tri telah menyelesaikan semadinya, mengucapkan doa bagi arwah Maha Singanada.
Ujung matanya masih basah.
Tapi wajahnya kelihatan dingin.
Pangeran Anom yang mendesak maju hanya mendapat tatapan sesaat.
"Wanita tua sesat, lihat siapa yang masih kebal kulitnya untuk menerima pedang ini."
Ratu Ayu mumbul ke atas, lalu dari atas meluncur lurus dengan kepala ke bawah. Kangkam Galih menghunjam lurus ke batok kepala Gendhuk Tri.
"Kembalikan pusaka Paman Galih."
Kalimat Upasara pendek. Tangan kanannya bergerak ke atas. Satu sedotan tenaga yang sangat besar membetot dan melencengkan arah pedang. Bahkan kemudian bisa terlepas.
Tergenggam ujungnya oleh tangan Upasara!
Hebat. Tapi Ratu Ayu yang meluncur turun tidak membiarkan begitu saja.
Betotan tenaga yang mengakibatkan ngilu tangannya memang membuatnya kaget seperti tadi. Namun cepat sekali pedang direbut kembali. Ditarik dengan perkasa, bersamaan dengan tubuhnya yang melorot turun.
Ujung pedang dinaikkan, seakan menyodet wajah Upasara.
Dan berhasil. Berhasil mengungkit ke atas, karena jepitan Upasara lepas.
Tangan kanan yang melepaskan jepitan itu balik memegang pergelangan tangan Ratu Ayu. Memencet keras, sehingga Kangkam Galih kembali mumbul ke atas. Dengan satu tangan yang lain, Upasara berhasil menggenggam gagangnya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Namun tangan Ratu Ayu yang bebas menyundul dari bawah.
Kangkam Galih kembali mumbul ke atas.
Dalam satu tarikan napas, Kangkam Galih beberapa kali berpindah tangan. Bergantian antara Upasara dan Ratu Ayu. Dan semua berjalan dalam waktu cepat sekali.
Sebenarnya ketika Upasara baru saja masuk ke pendapa, hal yang sama telah terjadi. Akan tetapi sekarang ini menjadi sangat jelas, karena Kangkam Galih tegak lurus dengan langit. Sehingga naik-turunnya terlihat jelas.
Demikian juga tangan yang bersambaran.
Setiap kali Ratu Ayu berhasil memegang, tangannya kena pencet sebelum sempat mempergunakan. Sebaliknya, kalau Upasara bisa menguasai, Ratu Ayu juga bisa mengambil alih.
Bukan Perpisahan Asmara KEJADIAN yang berlangsung di tengah ruangan itu juga terlihat dari tempat Eyang Puspamurti. Hanya kali ini tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Lebih banyak menghela napas dan berdecak.
Sementara Ratu Ayu terus merebut, kakinya mulai menggasak Upasara. Setiap kali Upasara harus menghindari injakan dan terjangan.
Pemandangan yang aneh. Aneh dan menarik. Kedua orang itu berdiri tegak tanpa mengubah letak kaki, akan tetapi saling mengangkat kaki, menekuk, merendah, dan di atasnya Kangkam Galih masih naik-turun.
Nyai Demang menarik udara keras.
Bersama dengan itu, tangan Upasara yang menggenggam pedang menyentil ke atas, sementara tubuhnya yang tetap tegak tak bergerak.
Kedua tangannya mendorong tubuh Ratu Ayu. Seperti dorongan lembut, akan tetapi cukup membuat Ratu Ayu tertekuk, karena kakinya saling mengait sendiri.
Tubuhnya terbanting ke lantai.
Andai terus jatuh. Karena ada bayangan yang menyangga dan menggandeng untuk bangkit kembali.
Nyai Demang menduga bahwa Upasara yang melakukan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Nyatanya bukan. Upasara berada satu tindak lebih jauh. Memegang Kangkam Galih, dalam posisi seperti mengiris lantai.
Yang berada di sebelah Ratu Ayu adalah Gemuka.
"Aku Gemuka." Tanpa terasa Nyai Demang menggigil.
Cahaya pagi telah mulai menerangi sehingga sosok gagah dan tegap yang terbalut jubah bulu gedombrongan warna putih terlihat jelas.
Banyak alasan yang membuat Nyai Demang menggigil.
Pertama, kekaguman pada apa yang diperlihatkan Gemuka. Dengan tubuh yang tegap, gede, dan berjubah longgar, bisa melesat cepat dan tepat dari suatu tempat yang tak diketahui di mana tadinya berada.
Itu saja sudah membuatnya kagum.
Berarti nama besar yang membakar, yang selama ini dikuatirkan Halayudha, tidak dilebihkan sedikit pun.
Kedua, yang membuat Nyai Demang menggigil adalah sikap Upasara Wulung. Kelihatan sangat dingin, membeku, tapi tidak mencerminkan permusuhan atau meninggalkan bekas-bekas tertentu.
Baik saat berebutan pedang maupun saat mendorong Ratu Ayu.
Rasanya Upasara yang dikenalnya selama ini tak mungkin bersikap seperti itu!
Nyai Demang merasa dirinya sangat mengenal Upasara. Bahkan sejak Upasara masih belia dan pertama kali mengenal asmara. Sampai perkembangannya yang kemudian mengenal dan jatuh asmara kepada Gayatri, pertautannya dengan Gendhuk Tri, dan pernikahannya dengan Ratu Ayu.
Meskipun jelas menunjukkan perbedaan, tapi tidak seperti sekarang ini.
Bisa dingin tanpa emosi. Tanpa dendam, tanpa sayang, tanpa bekas, seolah menghadapi seseorang yang sama sekali tak mempunyai kesan apa-apa dalam hidupnya.
Padahal berhubungan dengan Ratu Ayu.
Ratu Ayu dari Turkana, di mana Upasara diangkat sebagai Raja Turkana!
Bahwa pasangan suami-istri bisa menunjukkan hubungan yang beku, Nyai Demang cukup kenyang mengenali. Atau bahkan saat-saat terakhir Gendhuk Tri masih menunjukkan emosi tinggi dari rasa ingin tahunya mengenai Upasara, masih bisa dibenarkan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tetapi sekarang ini! Benarkah ini Upasara yang dikenalnya"
Upasara yang lingsem, malu hati, kalau disinggung mengenai Permaisuri Rajapatni, Upasara yang merah mukanya kalau diajak berbicara mengenai wanita, Upasara yang menurut Gendhuk Tri menunjukkan kenakalan kala di pulau terasing"
Setajam dan setipis apa pun jalan pikiran Nyai Demang, tak mampu menerobos kejadian yang dialami Upasara. Bahkan memperkirakan pun rasanya sadar akan kemungkinan keliru.
Akan tetapi Upasara sadar sepenuhnya.
Sejak mengalami keguncangan batin setelah pertemuannya dengan Permaisuri Tribhuana, Upasara justru seperti menemukan jalan yang lapang.
Apa yang memberati hatinya tak terasa lagi sebagai beban.
Itu terjadi saat Upasara mencoba memusatkan pikiran dan mengerahkan sukma sejati. Ada semacam pembicaraan yang rasanya bisa dilakukan dengan Permaisuri Rajapatni secara langsung.
"Kakangmas, saya tahu Kakangmas akan datang."
"Ya, Yayimas Permaisuri."
"Selama ini saya memberati Kakangmas."
"Saya juga begitu."
"Akhirnya kita mengerti."
"Saling mengerti, Yayimas."
"Ini bukan perpisahan asmara, Kakangmas."
"Ini pertemuan, Yayimas."
"Pertemuan sesungguhnya.
"Pertemuan sejati."
"Saya minta pamit."
Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tak ada pamit, Kakangmas."
"Yayimas biar tenang."
"Menjadi resi, bisa menjadi ksatria.
"Apa bedanya" "Saya tidak pamit. "Kita telah bersama, Kakangmas."
"Ya, Yayimas. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Saya selalu menganggap Yayimas lebih tahu."
"Di gua saya bertapa, tapi juga mengembara bersama Kakangmas. Di luar Kakangmas mengembara, tapi juga bersama saya bersemadi."
"Terima kasih, Yayimas."
"Jangan ucapkan itu, Kakangmas."
"Ya." "Ya..." "Y..." "Y..." "Y..." "Y..." "..." "..." "..." "..." "." ?" ?" Upasara seperti mengalami kejernihan.
Dan ketika mencoba melatih kembali kekuatan sukma sejati, tak ada lagi bayangan, tak ada lagi percakapan, tak ada lagi gua, tak ada lagi apa-apa.
Tak ada lagi tanda. Itu yang terjadi ketika Upasara meninggalkan benteng Keraton bagian luar. Dan merasa sendiri menjadi sangat tenang ketika bertemu dengan Ratu Ayu yang menyembah kakinya, dan mengajaknya untuk berdiam di kediaman yang disediakan Raja.
Dengan sangat tenang Upasara mengikuti Ratu Ayu, dan mendengarkan kisah yang dituturkan seakan tanpa berhenti. Bahwa kini dirinya mulai berlatih keras dengan bantuan Kiai Sambartaka serta Gemuka yang akan mengadakan puncak pesta di Keraton.
"Raja Turkana sesembahanku.
"Apakah permaisurimu bicara terlalu banyak?"
"Katakan apa yang akan kamu katakan, Ratu."
"Raja Turkana yang perkasa.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Permaisurimu mengembara separuh jagat untuk menemukan Raja Turkana. Kita berdua dipertemukan dan dijodohkan oleh Dewa. Apakah Raja Turkana menyesali?"
"Tak ada yang perlu disesali, Ratu Ayu."
"Apakah Raja Turkana bersedia memenuhi undangan Raja Jayanegara?"
"Kita akan datang. "Tidak untuk memenuhi undangan.
"Kita datang karena harus datang."
"Raja Turkana..."
"Rasanya perlu saya jelaskan, Ratu Ayu.
"Saya bukan Raja Turkana. Selama ini saya telah mempermainkan perasaan saya sendiri. Dan itu tidak baik."
Upasara Wulung berdiri. Tidak menghela napas. Tidak diberati perasaan tertentu.
"Ratu Ayu..." "Jangan sebut namaku, kalau kamu mengemohiku.
"Aku hargai keterusteranganmu, kejujuranmu yang dungu.
"Upasara, dengar baik-baik.
"Apakah selama ini aku pernah berbuat jahat padamu" Apakah aku memberati dan membebanimu" Apakah aku menuntut suatu perlakuan yang istimewa darimu"
"Tak pernah. "Tak akan pernah. "Apakah kewajibanmu sebagai Raja Turkana kamu penuhi"
"Sedikit pun tidak. "Tapi aku tak menuntut. Tak mempertanyakan. Tak meminta.
"Apa saja bisa kamu lakukan. Aku tak pernah mengurangi, menghalangi. Kuabdikan diriku untukmu.
"Tahukah kamu hal itu, Upasara?"
Paser Bumi KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
UPASARA mengubah kakinya. Sebelah kiri tetap tegak, sebelah kanan tertarik mundur. Tangan kanannya menggenggam Kangkam Galih.
Rambutnya terurai, beriapan terkena siliran angin pagi yang lembut.
Gemuka mengangkangkan kakinya. Jubahnya berjumbai.
"Raja Tanah Jawa. "Pesta bisa dimulai sekarang. Saudara Muda Pangeran Sang Hiang, Putra Mahkota Keraton Tartar Penguasa Jagat, telah datang."
Gemuka membungkukkan tubuh.
Dari sisi timur, melayang sesosok tubuh yang perkasa. Wajahnya tidak terlihat karena memunggungi arah sinar. Rambut yang dikepang panjang bergoyang, mengilat, memes, lembut, lemas, dan tebal.
Gendhuk Tri memiringkan kepalanya.
Benar. Yang muncul adalah Pangeran Hiang yang tampak kurus, dan lebih pucat daripada ketika bertemu dulu.
Pangeran Hiang balas membungkukkan tubuh sambil merangkapkan tangan sejajar dengan kepala.
Nyai Demang berbisik perlahan ke arah Upasara dan Gendhuk Tri, menerjemahkan pembicaraan.
"Mereka saling menanyakan kabar. Gemuka menanyakan bagaimana dengan Putri... entah siapa namanya. Yang dijawab dengan: meniti aliran bengawan.
"Gemuka mengatakan ini saat pesta puncak terjadi. Pangeran Hiang mengatakan bahwa di sini ada saudara angkatnya yang bernama Upasara Wulung dan Jagattri. Gemuka menjawab bahwa semua itu harus dihilangkan. Karena saat kemenangan sudah di depan mata, tak bisa diurungkan.
"'Ingat, Saudara Muda, kekeliruanmu, kekeliruan semua panglima kita karena soal seperti ini. Dan aku terbukti menang. Maka jangan pedulikan siapa pun, kecuali kemenangan yang akan kita bawa ke puncak takhta.' "
Gemuka melihat ke arah Nyai Demang.
"Terima kasih, Saudara Muda tidak perlu kalimatmu.
"Bersiaplah, aku ingin segera meratakan tanah ini."
Pangeran Hiang maju setindak, membungkuk ke arah Upasara dan Gendhuk Tri.
"Maaf, Pangeran Upasara..."
Wajahnya berubah ketika melihat Gendhuk Tri. Ada desakan ingin mengetahui apa yang terjadi dengan Putri Koreyea, tetapi impitan waktu
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
amat mendesak. Mendesak karena Gemuka selama ini sudah membuktikan berhasil menguasai, dibandingkan dengan rombongan Pangeran Hiang yang gagal total.
Sementara itu tanpa diduga Mada meloncat dari dalam menuju ke bagian samping pendapa. Dengan bertolak pinggang, suaranya mengguntur keras sekali.
"Para prajurit pengabdi setia Keraton. Semuanya, munduuur! Menjaga Raja!"
Jabung Krewes sama sekali tidak menyangka bahwa dalam situasi genting, Mada berani tampil ke depan. Untuk segera memutuskan apa yang dianggap menentukan.
Nyatanya begitu. Dengan munculnya tokoh-tokoh sakti serta kemungkinan terjadi perang habis-habisan, yang paling pokok dilindungi adalah Raja dan Permaisuri Praba. Dengan memusatkan pertahanan di sekitar Raja, Mada juga mengurangi kemungkinan jatuhnya korban sia-sia. Karena untuk sekadar mengeroyok Gemuka, Pangeran Hiang, Kiai Sambartaka, dan Ratu Ayu seperti menyediakan diri untuk ditebas.
Dalam penilaian Jabung Krewes, apa yang dilakukan Mada bisa dilakukan siapa pun juga. Yang menonjol ialah bahwa Mada lebih dulu bertindak tanpa keraguan sedikit pun.
"Tanah Jawa, hari ini kami akan meratakan keangkuhanmu. Dengan pimpinan Putra Mahkota Keraton Tartar yang tak terkalahkan, dengan dukungan Keraton Turkana dan Hindia, terimalah kekalahanmu."
Genggaman tangan Gemuka terbuka.
Dari tangannya melesat beberapa senjata. Upasara, Gendhuk Tri, Ki Dalang Memeling, serta Halayudha hampir bersamaan melayang ke udara.
Upasara memutar Kangkam Galih untuk menyampok.
Akan tetapi senjata yang berupa panah kecil bersayap itu sebagian melaju kencang, sebagian balik ke tangan Gemuka begitu tersentuh senjata lawan.
Balik ke tangan Gemuka dan dibidikkan kembali.
Memutar. Para prajurit kawal yang mengangkat perisai dan berusaha melindungi Raja agak sia-sia. Karena sebatang paser melesat, dan amblas ke dalam kepala gajah yang ditunggangi Raja.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tanpa ampun lagi gajah melorot jatuh dan Raja terlempar dari punggung. Dengan menggerakkan tubuh, Raja Jayanegara berusaha melayang turun dengan selamat.
Saat itu Kiai Sambartaka menggertak keras dan dari tangannya kembali muncul puluhan ular berbisa.
Gendhuk Tri telah melihat sendiri betapa perahu Siung Naga Bermahkota memiliki peralatan dan perlengkapan yang serba menakjubkan. Makanya segera menyadari bahwa rangkaian serangan Gemuka bisa susul-menyusul.
"Itu yang disebut Paser Bumi," sentak Nyai Demang sambil menggertak maju dan memayungi dirinya dengan selendang.
Pertarungan yang tidak seimbang.
Hanya Gemuka yang turun tangan, semua lawan dibuat kelabakan dengan serangan senjata rahasia Paser Bumi! Karena semua sibuk menjaga diri.
Dan kalaupun bisa menyampok, paser itu akan kembali ke tangan Gemuka untuk disambitkan kembali.
Sayap di sisi paser itu yang menyebabkannya bisa berbelok.
Tak bisa diremehkan. Karena gajah yang begitu besar dan perkasa langsung menekuk lututnya, ambruk. Dan kemudian mengamuk, menabrak kiri-kanan.
Termasuk menginjak para prajurit, menabrak gajah yang ditunggangi Permaisuri Praba. Yang tubuhnya terlempar dan jatuh ke tanah tanpa bisa bangun lagi.
Tepat di antara kedua bola matanya tertancap paser.
Korban utama telah jatuh!
Eyang Puspamurti mengeluarkan pekik geram. Dengan menggoyangkan tubuh, sasaran pertama adalah menyambar ular kobra Kiai Sambartaka dan dibalikkan arahnya kepada Gemuka.
Gemuka sendiri tampak tidak memedulikan serangan yang datang. Ia sedang melancarkan serangan beruntun dengan Paser Bumi yang menerjang ke segala penjuru.
Seperti tidak teratur, tetapi tampak setiap kali ada yang terkena, persis di antara dua biji mata.
Yang masih berdiri ragu hanya Pangeran Hiang.
Karena Ratu Ayu pun telah meneriakkan kata-kata yang tak dimengerti telinga lain, dan langsung menerjang ke arah Raja. Ki Dalang Memeling segera mengejar.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Adalah di luar dugaan bahwa Halayudha segera menerjang maju ke arah Gemuka. Dengan tangan kosong, Halayudha menerjang maju.
Paser yang menuju ke arahnya tidak disampok, tidak ditangkis. Hanya diegoskan. Dengan sedikit menggerakkan tubuhnya, sehingga seperti penari yang memamerkan kelenturan tubuh.
Gendhuk Tri menangkap apa yang dimaksudkan Halayudha. Dengan mempergunakan irama serbuan paser, Gendhuk Tri justru bisa bergerak lebih cepat mendekat.
Pangeran Hiang yang masih berdiri ragu akhirnya terseret ke dalam pertarungan. Kedua tangannya mengeluarkan kipas di tangan kiri dan roda bergigi di tangan kanan. Dengan sekali sentak, roda bergigi menyambar siapa pun yang mendekat.
"Aku suka itu."
Suara Eyang Puspamurti tinggi melengking. Dengan jurus yang sama dan diulang, Eyang Puspamurti mencoba kipas Pangeran Hiang.
Kini seluruhnya terlibat dalam pertarungan.
Upasara Wulung menggerung keras.
Kangkam Galih kini berada di tangan kiri. Terentang lurus melebar.
Wajahnya berubah seram. Tubuhnya bergetar dari ujung kaki hingga ujung rambut.
Getarannya sedemikian kuat, sehingga lantai pendapa seperti ikut berderak.
Semua prajurit seperti melihat pemandangan yang ganjil.
Upasara Wulung seperti masih berada di tempatnya, berdiri dan bergetar, tapi dari tubuhnya keluar Upasara lain yang menyerbu ke arah Gemuka.
Satu lagi ke arah Kiai Sambartaka.
Seakan ada tiga Upasara yang masing-masing bisa dilihat jelas.
"Sukma sejati. "Mahamanusia..."
Eyang Puspamurti mengikuti gerakan Upasara Wulung. Berdiri teguh dan menggerakkan tubuhnya.
Prajurit Melangkahi Titir
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
APA yang terjadi di bekas rumah tinggal Senopati Yuyu yang berubah menjadi ajang peperangan menyerap perhatian semua orang tanpa kecuali.
Benar-benar suatu pertarungan yang terjadi secara serentak di berbagai tempat dengan berbagai musuh yang ilmunya sangat berbeda satu dengan yang lain, akan tetapi menyimpan keganasan maut yang sama.
Meskipun demikian, Senopati Jabung Krewes menemukan sesuatu yang lain. Yang mungkin tidak dirasakan oleh senopati lainnya. Bahkan tidak disadari bahwa suatu kejadian sangat penting telah berlangsung.
Dalam pandangan Jabung Krewes, sesuatu yang terjadi itu adalah apa yang dilakukan oleh Mada.
Sebagai prajurit, Mada bukanlah prajurit yang mempunyai derajat dan pangkat yang istimewa. Kalau ada yang membedakan dengan prajurit lainnya, karena ia ditugaskan dalam Keraton. Jabung Krewes-lah yang menariknya, mengangkat, dan memberi kedudukan.
Akan tetapi tetap saja seorang prajurit, seperti Kwowogen dan Puspamurti.
Dalam tata krama keprajuritan, Mada, Kwowogen, Puspamurti, atau prajurit yang lainnya hanya mengenal satu kata, yaitu sendika dawuh, atau nun inggih, yang artinya adalah mengiya dan menjalankan tugas.
Tidak ada kata tidak, tidak ada kesempatan mengutarakan pendapat.
Juga kecil kemungkinannya melakukan tanya-jawab.
Tata krama dalam keprajuritan memang keras, atau bahkan sangat keras. Derajat dan pangkat sangat terasa sekali perbedaannya. Kalau ada atasan yang lebih tinggi, seorang prajurit hanya bisa menunduk.
Satu-satunya kata yang keluar dari mulutnya hanyalah: sendika dawuh.
Maka apa yang dilakukan Mada adalah luar biasa.
Mada bukan senopati, bukan adipati, bukan pemimpin, bukan apa-apa. Tapi dengan berteriak keras, Mada mengambil peran kepemimpinan untuk memerintahkan prajurit lain, semuanya saja, menjaga Raja.
Ini berarti melangkahi tata aturan yang ada!
Dalam keadaan yang paling berbahaya sekalipun, Mada hanya bisa menyampaikan pandangan kepada atasannya langsung. Dalam hal ini Senopati Jabung Krewes.
Akan tetapi Mada melakukan pemotongan keras tata krama dan tata aturan keprajuritan, sesuatu yang merupakan dosa terbesar seorang prajurit. Karena itu berarti mengingkari sumpah keprajuritan yang intinya kesetiaan menjalankan tugas.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Yang paling terkena adalah Senopati Jabung Krewes, yang menjadi atasan langsung.
Pelanggaran kasar dan besar yang dilakukan Mada bisa dimasukkan ke dalam kejahatan nglangkahi titir. Hukuman yang paling ringan dari kejahatan ini adalah pembuangan seumur hidup dari pergaulan masyarakat. Karena dianggap manusia yang tidak mempunyai hati nurani. Seorang prajurit yang ingkar pada tata krama, pada kesetiaan, dianggap dan diperlakukan sebagai bukan manusia.
Nglangkahi titir arti harfiahnya adalah melangkahi titir. Titir adalah bunyi kentongan menandai adanya kejahatan besar, di mana anak kentongan dipukulkan secepat dan sesering mungkin.
Dalam undang-undang keprajuritan, seorang prajurit dibenarkan untuk nglangkahi titir. Dibenarkan untuk melewati tata krama, atau tata aturan dalam masyarakat. Sebelum atau ketika ada kentongan titir berbunyi, kalau mengetahui ada bahaya, bisa langsung bertindak.
Menyerbu ke dalam rumah seorang penduduk misalnya, tanpa perlu meminta izin lebih dulu.
Hal ini dibenarkan. Tapi tidak dalam keprajuritan, antara sesama prajurit. Apalagi melangkahi wewenang atasan yang lebih tinggi. Itu sama dengan mbalela atau memberontak!
Dalam aturan keprajuritan, itulah kesalahan utama Mada.
Lepas dari apa yang dilakukan Mada benar atau tidak, tepat atau tidak, tindakan yang dilakukan tetap saja dinilai salah. Jika Senopati Jabung Krewes saat itu menjatuhkan hukuman mati yang dilaksanakan seketika, dianggap benar dan sah.
Prajurit yang diperintahkan untuk melaksanakan hukuman juga tak boleh ragu sedikit pun. Setiap keraguan akan menempatkan pada posisi yang sama.
Gigi dan geraham Jabung Krewes berkomat-kamit seakan tengah mengunyah sesuatu yang ingin dilumatkan dengan segera.
Apa yang dilakukan Mada memang menggetarkan hatinya.
Menggugah dasar kemanusiaannya.
Menyentuh nilai keprajuritannya.
Mada memperlihatkan sikap yang berbeda dari prajurit yang lain.
Ketika huru-hara menyita perhatian, ketika pemimpin keprajuritan saling mencari pembenaran diri, terutama di antara senopati-senopati, Mada tak mengindahkan itu semua. Ia bergerak, bertindak, tanpa perhitungan untung-rugi untuk dirinya sendiri.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Adalah mustahil Mada tak mengetahui bahwa tindakannya ini bisa menyebabkannya dihukum. Tapi itu semua tak mengerem sedikit pun kemauannya.
Bahkan Mada tidak hanya berhenti dalam satu perintah.
Rambutnya yang digelung ke atas tampak bergoyang, ketika ia berdiri di pundak dua prajurit.
"Amankan Putri Tunggadewi.
"Antar Putri ke kaputren. Sebagian prajurit berjaga di Keraton. Yang lain berjaga-jaga. Jangan terpancing ke medan pertarungan.
"Jawab!" "Sendika dawuh...."
Teriakan mengguntur bersamaan sebagai jawaban. Para prajurit segera bergerak. Sebagian besar mundur, menuju Keraton. Beberapa di antaranya langsung memanggul dengan hormat Putri Tunggadewi.
Nyai Demang yang menjaga Tunggadewi bahkan tidak melakukan gerakan mencegah sama sekali.
Mada meloncat turun. Para prajurit yang berada di sekitarnya memandang hormat.
"Kwowogen, singkirkan bangkai gajah. Rumat dengan baik Permaisuri Praba.
"Yang lain, siagakan senjata kalian. Hari ini Keraton minta bukti kesetiaan kalian.
"Eyang Puspamurti, tak ada yang perlu ditunggu lagi."
Mada meloncat ke tengah gelanggang.
Dalam arti di barisan terdepan para prajurit. Keris yang selama ini tersimpan di bagian belakang, dicabut dari sarungnya. Dengan keris terhunus, Mada berada dalam keadaan siap tempur.
Senopati Jabung Krewes menghela napas panjang.
Tak salah sedikit pun suara hatinya yang tertangkap. Ada sinar mencorong dari tubuh Mada. Sinar keras, yang menandai jiwanya, kemauannya yang tak terbendung.
Dengan satu entakan keras, tubuh Mada seakan menghantam Pangeran Hiang!
Benar-benar menghantamkan diri, karena tubuh Mada menubruk keras begitu saja dari arah depan.
Bahwa Mada memilih Pangeran Hiang, bisa dimengerti. Karena Gemuka maupun Kiai Sambartaka tengah melayani bayangan tubuh
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Upasara Wulung yang memecah diri. Dengan menggabung ke arah Eyang Puspamurti, Mada melipatkan serangan perlawanan.
Pangeran Hiang hanya berdeham kecil. Tubuhnya berputar, dan pakaiannya yang gedombrangan mengembang. Kesiuran anginnya sangat keras menyampok Eyang Puspamurti maupun Mada. Eyang Puspamurti yang tengah merebut kipas jadi urung. Tubuhnya bergoyang, mengibaskan datangnya serangan. Berbeda dengan Mada yang menubruk secara langsung.
Terkena entakan pakaian, Mada terbanting.
Gedebuk! Menimbulkan suara keras. "Bagus." Teriakan Eyang Puspamurti terdengar jelas. Agak mengherankan bagi yang tidak mengetahui. Tapi segera bisa diketahui. Bahwa jatuhnya Mada memang benar-benar terjatuh, semua jago silat bisa mengetahui.
Karena benturan tenaga dalam Pangeran Hiang membatu bagai tembok keras.
Tetapi bahwa dengan terjatuh Mada masih mampu meraih ujung pakaian, dan kemudian tubuhnya melayang, itu termasuk luar biasa.
Karena Mada memakai tenaga ngatut, tenaga yang mengikuti arah putaran, mengikuti kemauan tenaga Pangeran Hiang yang melontarkan.
Tubuh Mada melayang. Kedua tangan dan kedua kakinya terentang seolah hilang keseimbangan. Padahal justru ketika itulah Mada membuat dirinya kosong, membebaskan pengaruh entakan Pangeran Hiang.
Pada tarikan napas berikutnya, Mada mampu menguasai diri, dan bisa mengarahkan perlawanan.
Ketika itulah Pangeran Hiang mengembangkan kipasnya, dengan gerakan keras membabat.
Eyang Puspamurti yang bersiap sedia pun terbalik tubuhnya, seperti kena gebah. Napasnya terengah-engah, antara menahan dan mengikuti gempuran Pangeran Hiang.
Menahan tapi dadanya terasa sesak dan panas, mengikuti itu berarti terlempar ke luar pendapa.
Dan saat itu jika Mada kembali menyerang, tubuhnya akan mengalami nasib yang sama. Mengetahui situasi yang tidak menguntungkan, di mana Pangeran Hiang seakan bisa membaca gerakan Mada, Kwowogen yang lebih dulu bergerak maju.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Memapak serangan! Ngeli Tanpa Keli KWOWOGEN bukannya tidak menyadari bahaya dengan menerjunkan diri, langsung memapak serangan Pangeran Hiang. Bahwa dengan beberapa gebrakan saja Pangeran Hiang mampu membuat Eyang Puspamurti jungkir-balik, Kwowogen sadar bahwa dirinya tak akan bisa bertahan lebih dari lima jurus.
Akan tetapi, pertimbangan itu tak muncul dalam dirinya mengingat Mada bisa berada dalam keadaan yang lebih berbahaya.
Karena Mada terbebas dari tekanan pertama, begitu bisa membebaskan diri pasti akan menggempur.
Nyatanya begitu. Meskipun berbeda arahnya.
Tubuh Mada tidak mengarah kembali ke Pangeran Hiang, melainkan ke arah Ratu Ayu yang dengan perkasa bisa menyudutkan Ki Dalang Memeling.
Gerakan yang tidak indah, tapi penuh mengandung tenaga besar.
Ki Dalang Memeling merasa tertolong jiwanya dengan datangnya Mada. Karena Ratu Ayu terpaksa menarik kembali loncatannya yang sudah mengepung total wilayah pertarungan dengan Ki Dalang.
"Ikut arus tidak berarti hanyut."
Yang mengeluarkan suara adalah Halayudha. Di tengah kerepotan mencoba mendekati Gemuka, Halayudha masih bisa mengeluarkan pujian. Kalimat yang sama yang diucapkan Gendhuk Tri dalam hati.
Seperti diketahui saat itu Gendhuk Tri juga sedang merangsek Gemuka. Ketika Halayudha mendekati Gemuka yang memainkan Paser Bumi, Gendhuk Tri segera bisa membaca tenaga yang dipergunakan Halayudha.
Yaitu tidak dengan menyampok Paser Bumi yang bisa berbalik lagi, melainkan mengikuti getaran, menyatukan irama dengan tenaga dalamnya. Sehingga Paser Bumi tidak mengenainya, juga tidak bakal mengenai orang lain.
Ini berintikan tenaga air.
Gendhuk Tri sangat cepat memahami karena ilmu yang berasal dari Kitab Air memang mengajarkan itu. Bahwa Halayudha mampu lebih
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
dulu memecahkan perlawanan Paser Bumi dengan gerakan air, karena Halayudha juga mempelajari secara mendalam.
Yang di luar dugaan adalah Mada.
Yang ternyata juga menggunakan tenaga air.
Gerakannya menunjukkan bahwa Mada mampu mempraktekkan putaran tenaga dalam yang disebut ngeli tanpa keli atau menghanyut tanpa berarti terseret arus.
Seperti halnya semua ilmu silat, inti utamanya adalah pengerahan dan pengaturan tenaga dalam. Hanya pada ajaran Kitab Air yang lebih mendasar adalah menyeimbangkan antara kekuatan yang menyerang dengan kekuatan yang dimiliki. Semakin keras dan kuat serbuan lawan, semakin dibutuhkan kemampuan untuk menahan. Dalam menahan diri ini, sebisanya menggunakan tenaga lawan.
Dalam artian wadak, Kitab Air mengajarkan bahwa kalau tak kuat melawan arus, lebih baik mengikuti ke mana arus itu membawa.
Menghanyut. Membiarkan diri hanyut tanpa kehilangan penguasaan diri.
Tinggal menunggu saat yang tepat untuk melawan arus.
Kalau itu dilakukan oleh Gendhuk Tri, atau Halayudha, atau Pendeta dari Syangka, bukan sesuatu yang mencengangkan. Akan tetapi bahwa Mada bisa melakukan dengan baik, itu perlu pujian tersendiri. Apalagi dalam gebrakan yang pertama tadi, ketika melabrak Pangeran Hiang, Mada seperti memperlihatkan penguasaan tenaga keras.
Dan dalam satu kebutan, mampu mengubah menjadi tenaga yang lembut, yang menahan diri, dengan mengikuti dan memakai tenaga lawan.
Kalau Gendhuk Tri dan Halayudha sedikit bertanya dalam hati dan memuji, itu bisa dimengerti. Akan tetapi bagi Eyang Puspamurti, itu bukan sesuatu yang luar biasa.
Karena Mada dan Kwowogen tidak mempelajari dari awal. Tidak melalui Kitab Bumi lebih dulu, melainkan langsung diajari dari Kidung Pamungkas. Yang mengajarkan dasar-dasar yang sama meskipun tidak secara langsung.
Sehingga perubahan tenaga keras dan lembut bisa menjelma dengan sendirinya.
Yang berada dalam bahaya justru Kwowogen.
Kipas yang terbuka di tangan Pangeran Hiang justru seakan siap meratakan wajah Kwowogen.
Dalam arti sebenarnya. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Karena kipas sakti yang dimainkan dengan tenaga dalam itu sanggup meratakan bebatuan hingga licin. Apalagi wajah manusia yang terdiri atas darah dan daging serta tulang!
Kwowogen hanya bisa memutar tubuh, dengan membelakangi kipas.
Sambil mengempos tenaga sekuatnya untuk meloncat balik.
Lagi-lagi gerakan yang sia-sia.
Karena sebenarnya tidak perlu.
Kalau yang pertama tadi sebenarnya tidak perlu menyerbu ke arah Pangeran Hiang karena toh Mada tidak berada dalam bahaya, hal itu terulang kembali. Kali ini tak perlu menghindar.
Karena begitu kipas Pangeran Hiang bergerak, bayangan tubuh Upasara menebas masuk. Tudingan Kangkam Galih langsung mengiris tengah kipas.
Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pangeran Hiang menutup kipas, dan dengan tenaga penuh menekuk pergelangan tangannya. Kipasnya yang tertutup membentur ke arah pergelangan tangan Upasara Wulung yang menggenggam pedang.
Hebat. Dengan menggertak maju, Pangeran Hiang seperti memapak datangnya Kangkam Galih. Sambil mencuri peluang kecil untuk mematahkan tangan Upasara Wulung.
Hebat. Upasara Wulung menunjukkan dirinya lebih hebat. Karena serangan Pangeran Hiang yang selintas seperti menemui sasaran itu seakan-akan mengenai angin.
Jelas-jelas kipasnya bisa menotok tangan Upasara Wulung.
Tapi jelas-jelas tak ada apa-apanya.
Justru karena Upasara Wulung seakan belum bergerak dari tempatnya semula!
Pangeran Hiang seperti melawan bayangan!
Upasara Wulung masih berada di tempat semula. Bayangannya masih menggempur Kiai Sambartaka, masih menghadapi Gemuka, dan kini sekaligus menghadapi Pangeran Hiang.
Tak kurang dari Gemuka untuk pertama kalinya mengeluarkan suara pujian.
"Raja Tanah Jawa, kamu punya ksatria sakti.
"Aku suka." KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dengan mengeluarkan teriakan pujian, Gemuka sekaligus juga menunjukkan keunggulan dirinya. Karena walaupun dikeroyok bersama oleh Gendhuk Tri dan Halayudha, masih bisa memperhatikan yang lain.
Berada di pinggir pendapa, Jabung Krewes segera bisa melihat bahwa dalam sekejap bisa dibedakan mana yang unggulan utama dan mana yang menentukan.
Dalam pertarungan yang terjadi sekarang ini, tampak jelas Gemuka sejak pemunculan pertama seakan tak tertandingi. Selalu menunjukkan diri satu tingkat di atas yang lain. Bahkan Halayudha dan Gendhuk Tri belum bisa menyentuh tubuhnya.
Baru kemudian dengan pemunculan Upasara Wulung, keadaannya berimbang. Upasara Wulung mampu memecah dirinya dalam berbagai tempat pertarungan!
Dari sisi lain, Jabung Krewes bisa memperhitungkan bahwa Gemuka dan Upasara Wulung boleh dikatakan seimbang keunggulannya. Sulit dipastikan siapa yang bakal keluar sebagai pemenang.
Itu pun pasti melalui pertarungan yang sangat ketat.
Yang sedikit merisaukan Jabung Krewes adalah kenyataan bahwa lawan memiliki tokoh-tokoh yang kelewat tangguh. Dilihat selintas saja, Pangeran Hiang tak kalah sakti dibandingkan Gemuka. Bahkan pada beberapa bagian serangannya lebih berbahaya.
Di samping itu masih ada Kiai Sambartaka yang berselimutkan ular kobra sakti. Dan juga Ratu Ayu Azeri Baijani yang sangat telengas.
Boleh dikatakan rangkaian serbuan yang diperhitungkan secara teliti oleh Gemuka.
Sementara kalau diperhitungkan, dari pihak Keraton hanya diwakili Halayudha. Mahapatih sendiri sudah langsung turun ke gelanggang.
Dibantu oleh tiga prajurit, Puspamurti, Mada, serta Kwowogen.
Ketiga pangeran yang ada tampak masih jauh untuk menandingi lawan.
Di antara para ksatria, yang tampak mampu mengimbangi hanyalah Gendhuk Tri. Karena Ki Dalang Memeling, meskipun berusaha sekuat tenaga dan bersedia mempertaruhkan nyawanya, masih tidak mampu bertahan. Nyai Demang juga masih bertahan di belakang.
Keunggulan pada pihaknya hanyalah jumlah prajurit yang banyak.
Akan tetapi... Jabung Krewes tak mau tenggelam dalam berbagai pertimbangan yang hanya mengulur waktu.
Kepalanya menyapu seluruh pendapa.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Para senopati semuanya, tanpa kecuali, Keraton sedang diserang raja seberang. Tak ada alasan kita menunggu satu per satu..."
Senopati Jabung Krewes mendului maju.
Didampingi Senopati Yuyu.
Diiringi prajurit dan senopati yang lain.
Telunjuk tangan kanan Senopati Jabung Krewes menuding ke arah Kiai Sambartaka. Serentak dengan itu, puluhan prajurit mengurung dan serentak pula menusukkan senjatanya. Pedang, keris, tombak, loncatan dengan teriakan bergema bersamaan.
Kini, perang total terjadi.
Kalarupa Kalawasa GEBRAKAN para senopati terasa memanaskan suasana peperangan.
Serta-merta terasakan sentakan yang memanas.
Akan tetapi, Nyai Demang justru menjadi kebat-kebit hatinya. Naluri dan perhitungannya mengisyaratkan bahwa terlibatnya para senopati justru lebih mengundang bahaya.
Di antara mereka yang sekarang bertarung, Nyai Demang boleh dikatakan berada di urutan paling bawah. Akan tetapi pengetahuannya yang luas, menempatkannya pada urutan terbalik.
Barangkali tidak terlalu berlebihan kalau disebutkan bahwa Nyai Demang-lah yang bisa membaca semua kekuatan lawan maupun kawan. Apalagi lawan utama yang berasal dari negeri Tartar, boleh jadi dasar-dasarnya sangat dikenali.
Perhitungannya sebenarnya sangat sederhana. Dengan merangseknya para senopati, pihak lawan terpaksa mengerahkan seluruh kemampuannya. Dan jika ini terjadi, bisa lebih berbahaya mengingat sekarang ini pun sudah terasakan berat sebelah.
Memang itu yang terjadi. Kalau tadinya Pangeran Hiang masih kelihatan ragu, kini menggertak maju. Tubuhnya berputar, dua kepang rambutnya menyampok kiri-kanan, dan tangan kanannya terulur ke tengah udara.
Terdengar bunyi mendesing, seiring dengan melesatnya roda bergerigi yang sejak tadi hanya digenggam. Mendesing ke tengah udara, dan turun menyambar ke kiri-kanan.
Yang mengejutkan ialah bahwa roda bergerigi ini bergerak cepat, mengeluarkan desingan yang membingungkan. Satu roda bisa memecah
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
diri menjadi dua, kemudian tiga, dan bergabung lagi. Gigi-gigi yang melingkari siap mematuk siapa pun.
Eyang Puspamurti dibuat jungkir-balik karenanya. Ia yang menjadi sasaran utama. Dua kali meloncat mundur, hanya membuatnya meringis.
Karena sebagian kulit kepala berikut rambutnya terkelupas.
Kulit kepalanya terlihat bagai ditebas tandas oleh gigi roda.
Sepersekian rambut lebih tajam, bisa berarti tulang tengkorak Eyang Puspamurti yang terkena.
"Awasi Kalarupa Kalawasa...."
Nyai Demang sepenuhnya berada di tengah pertarungan tanpa melawan siapa-siapa. Ia berdiri di tengah, mengawasi sekitar.
Apa yang dikatakan tidak sepenuhnya tepat dan disadari, akan tetapi Nyai Demang memang berusaha memusatkan seluruh kemampuan batinnya untuk menangkis kekuatan yang menyerang di sekelilingnya.
Dengan menyebut Kalarupa, Nyai Demang mengisyaratkan bahwa roda bergerigi yang dipergunakan Pangeran Hiang adalah berupa serangan raksasa kecil, yang dalam dunia pewayangan berupa senjata yang giginya sangat berbahaya. Dengan kata lain, Nyai Demang mengisyaratkan bahwa yang harus lebih diperhatikan adalah gerakan gigi, bukan desiran angin atau rodanya.
Inilah pemecahan yang diperoleh Nyai Demang.
Untuk sementara. Dengan menambahkan Kalawasa, Nyai Demang menitikberatkan bahwa serangan gigi roda atau taring roda ini sangat berbahaya.
Kalawasa bisa berarti maut, bisa berarti kematian yang sangat cepat.
Berarti sekali kena patuk taring, lawan pasti binasa!
Perhitungan yang jeli. Perhitungan yang tajam sekali.
Karena terbukti sebagian kulit kepala Eyang Puspamurti terkelupas.
Perhitungan yang tepat. Seperti tadi Nyai Demang menyebut panah Gemuka dengan sebutan Paser Bumi, di mana dengan segera Halayudha bisa menemukan jalan keluar untuk membebaskan diri. Yang segera terbaca dan diikuti oleh Gendhuk Tri.
Perhitungan yang jitu. Akan tetapi tetap sebagai perhitungan belaka. Karena di dalam medan pertarungan, yang bakal keluar sebagai pemenang belum tentu seperti
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
yang diperhitungkan di dalam kepala. Melainkan ditentukan para pelaku yang bertarung.
Karena kini Pangeran Hiang mulai menindih lawan-lawannya. Kipas di tangan kirinya lebih leluasa, karena lawan menjadi jeri dengan roda bergerigi. Empat putaran tubuh, membuat medan tempatnya bertarung menjadi longgar, karena tak ada yang mendekat.
Satu-satunya yang bisa menahan lajunya untuk sementara adalah bayangan Upasara Wulung, yang seolah memindahkan bayangan tubuhnya. Dengan gerak lambat seperti terlihat jelas, bayangan tubuh Upasara mengangsur maju. Pedang Galih menyabet, menangkis, membelah kipas, dan berusaha menepis sambaran roda.
Tapi lagi-lagi Pangeran Hiang mampu menghindar.
Lebih dari itu, ia mampu menarik bayangan tubuh Upasara Wulung lebih mendekat ke arahnya, dan pada saat itu kipasnya menetak pergelangan tangan Upasara Wulung.
Seperti gerakan sebelumnya.
Dan mengenai! Nyai Demang bisa melihat sendiri.
Sungguh gawat. Sungguh gawat akibatnya. Karena meskipun bayangan tubuh Upasara masih bisa terbagi ke empat tujuan yang berbeda, tampak sabetan dan pegangan pedangnya jadi melemah.
Yang paling bersorak ternyata Ratu Ayu.
Kembali ia memekikkan kata keras yang tak dimengerti. Tubuhnya meloncat, berubah menjadi warna-warni dan menerjang ke arah bayangan tubuh Upasara Wulung.
Hebat gerakannya. Gesit terkamannya. Karena dengan Lompatan Jong, Ratu Ayu Azeri mengejar ke mana pun bayangan tubuh Upasara bergerak. Baik ketika ke arah Pangeran Hiang, ke arah Gemuka, maupun yang mengarah kepada Kiai Sambartaka.
Kalaupun secara wadak tubuh Upasara Wulung tetap berada di tempatnya, bayangan tubuhnya mulai dikejar. Dilingkungi, dikepung, dan diterkam.
Ki Dalang Memeling berusaha mencegat, akan tetapi justru terkena tendangan. Sebelum menyadari apa yang terjadi, tubuhnya terlempar tinggi ke tengah udara.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gendhuk Tri yang menyambar ke udara untuk menyelamatkan diri Ki Dalang Memeling menjadi lebih runyam. Karena Gemuka mengeluarkan teriakan keras disertai tawa yang panjang.
"Mati satu!" Terdengar teriakan mengerikan.
Satu tubuh berkelojotan di tengah udara, mencipratkan darah, sebelum ambruk di tengah pendapa. Darah segar mengaliri rambutnya yang panjang. Yang terdengar merayap adalah rintihannya.
Nyai Demang gemetar bibirnya.
Tak percaya apa yang dilihatnya.
Tak bisa menahan getaran hatinya. Sehingga tubuhnya bergoyang-goyang.
Untuk beberapa saat pertarungan terhenti.
Berbeda dengan saat gajah Raja yang terjatuh atau ketika Permaisuri Praba terkena Paser Bumi, kali ini mendadak seperti terhenti seketika.
Yang menyusul kemudian adalah bunyi denting kecil.
Menggelinding di pendapa.
Itu adalah tusuk konde milik Putri Koreyea yang dibawa Gendhuk Tri.
Yang ketika ada serangan mendadak dari Gemuka yang memelintir habis tubuh Gendhuk Tri, terlempar dari simpanannya dalam setagen, pengikat kain.
Saking cepatnya putaran Gemuka.
Benar-benar putaran maut.
Akan tetapi kalau diperhatikan benar-benar, yang merintih di tengah pendapa bukan Gendhuk Tri. Gendhuk Tri masih berdiri utuh, hanya seluruh kain, rambut, setagen, dan selendangnya letaknya tak beraturan.
Gendhuk Tri masih berdiri gagah, bahkan dalam keadaan melindungi Ki Dalang Memeling yang terbaring di sebelahnya.
Kedua pundaknya terangkat ke atas, kedua telapak tangannya mencengkeram bagai cakar garuda. Wajahnya keras, matanya menjadi sangat galak.
Sesungguhnya yang menyelamatkan Gendhuk Tri adalah cundhuk sanggul milik Putri Koreyea. Tanpa sengaja, ketika ia melayang tadi, kakinya sempat ditangkap Gemuka. Dan diputar terbalik dengan putaran bumi. Dengan tenaga yang penuh, tubuh Gendhuk Tri berputar keras bagai gasing.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Pada saat itulah cundhuk pemberian Putri Koreyea terjatuh. Yang sangat dikenali Gemuka.
Juga oleh Pangeran Hiang.
Karena keduanya berhenti, seolah pertarungan terhenti.
Bahwa jiwanya tertolong karena pemberian Putri Koreyea, Gendhuk Tri sendiri menyadari sepenuhnya.
Ketika melihat Ki Dalang Memeling, yang adalah calon mertuanya, berada dalam bahaya, Gendhuk Tri tak memedulikan keselamatan dirinya. Ia langsung menjejakkan kakinya melayang. Tak tahunya Gemuka yang dihadapi jauh lebih sebat, jauh lebih gesit, dan bisa bergerak cepat sekali. Sekali raup, dua kaki Gendhuk Tri bisa ditangkap dan diputar!
Itu sebabnya Gemuka berteriak "mati satu". Sebab, siapa pun lawan yang terpegang dalam kedudukan seperti itu, ibarat kata nyawa pun sudah berada di ujung bibir. Kalau Gemuka membanting ke tanah, bisa-bisa tubuh Gendhuk Tri berputar menembus tanah pendapa. Yang berarti semua tulang tubuhnya akan remuk melingkari lantai pendapa.
Ini makin cepat lagi, karena Gendhuk Tri tak kuasa melawan. Ketika kakinya terpegang, secara spontan reaksi tenaga dalam Gendhuk Tri adalah melawan, menahan. Akan tetapi segera disadari tak mampu.
Dirinya bisa muntah darah kalau menahan.
Perpisahan Tanpa Asmara SEHINGGA satu-satunya jalan bagi Gendhuk Tri hanyalah mengikuti arah putaran tenaga Gemuka. Dengan mempergunakan tenaga air yang mengikuti tenaga lawan.
Namun kemudian disesali. Karena cara ini justru akan mempercepat kematiannya!
Satu pelajaran yang kelewat mahal.
Satu perhitungan yang keliru.
Dengan ngeli tanpa keli, menghanyut tanpa terbawa arus, Gendhuk Tri beberapa kali berhasil menyelamatkan diri. Namun kali ini perhitungannya keliru.
Karena ternyata Gemuka mempunyai tenaga dalam yang sangat dahsyat. Sedemikian kuatnya sehingga ketika ngeli pun hanyut terbawa arus.
Itu sebabnya putarannya makin kencang.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gendhuk Tri menyadari kekeliruannya, akan tetapi tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan memejamkan mata untuk menerima kematian pun rasanya sudah terlambat.
Hanya karena Gemuka kaget, dan secara sengaja tenaga putarannya dihentikan, Gendhuk Tri bisa selamat. Bisa melayang turun, di sebelah Ki Dalang Memeling.
Sebagai ksatria sejati, langsung sudah bersiap untuk kembali bertarung.
Pangeran Hiang menunduk maju. Tangannya gemetar mengambil cundhuk milik Putri Koreyea yang terletak di samping tubuh Ratu Ayu yang tangannya masih meraba-raba seolah mencari pegangan.
Memang yang menjerit dan rebah itu adalah Ratu Ayu.
Itu sesungguhnya yang membuat Nyai Demang tak bisa menahan getaran tubuhnya.
Karena tidak menyangka. Tidak menyangka bahwa Upasara Wulung bisa berbuat seperti itu.
Nyai Demang sepenuhnya bisa mengerti bahwa dalam pertarungan ketat dan mati-hidup ini, sedikit kesalahan saja bisa mengakibatkan kematian atau kekalahan yang mengerikan. Hal yang bisa terjadi juga pada Gendhuk Tri saat dibebaskan dari putaran Gemuka tadi.
Demikian juga halnya dengan Ratu Ayu.
Ketika dengan nekat dan berani Ratu Ayu berloncatan mengejar bayangan tubuh Upasara Wulung, tak terhindarkan kemungkinan salah satu bisa celaka.
Dan Ratu Ayu yang menderita.
Nyai Demang tak menyangka bahwa Upasara bakal melukai Ratu Ayu.
Kalaupun tadi sudah melihat tanda dan gejala bahwa Upasara Wulung bisa bersikap tenang dan biasa sekali menghadapi Ratu Ayu; ternyata sikap itu tetap sama ketika Ratu Ayu terjerembap ke lantai pendapa.
Upasara tetap tegak di tempatnya semula.
Dengan tangan kanan terbuka, memegang Kangkam Galih yang ujungnya berwarna merah.
Bagaimana perubahan sikap Upasara Wulung memang tak terpahami oleh Nyai Demang.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Hanya Upasara dan Ratu Ayu sendiri yang mengetahui, yang merasakan betapa getirnya saat-saat di mana Ratu Ayu menggugat Upasara Wulung.
Semua terjadi sebelum "pesta pertarungan" terjadi. Di mana dengan suara lantang Ratu Ayu menuding dan meneriaki Upasara dalam nada tinggi melengking.
"Apakah kewajibanmu sebagai Raja Turkana kamu penuhi"
"Sedikit pun tidak. "Tapi aku tak menuntut. Tak mempertanyakan. Tak meminta.
"Apa saja bisa kamu lakukan. Aku tak pernah mengurangi, menghalangimu. Kuabdikan diriku untukmu.
"Tahukah kamu, Upasara?"
Suara Ratu Ayu berdering, mengulangi, makin tinggi nadanya. "Kamu keliru, Ratu Ayu.
"Aku adalah Upasara Wulung, bukan Raja Turkana.
"Tak ada kewajibanmu. Tak ada kewajibanku.
"Tak ada pengabdian. Tak ada penilaian siapa memberati siapa."
"Itu yang kamu teriakkan, setelah seluruh jagat mengetahui aku, Ratu Ayu Bawah Langit, menjadi permaisurimu"
"Betapa dungu, betapa jahat, betapa gilanya kaum lelaki yang tak tahu tata krama sedikit pun."
"Aku bukan Raja Turkana.
"Sebab itu semua tuduhan tidak berlaku, Ratu Ayu."
"Begitu mudahkah kamu memutuskan asmara kita?"
"Asmara itu tak pernah ada.
"Tidak akan pernah ada.
"Ratu Ayu, kamu menipu dirimu sendiri dengan ilmu ayu yang kamu miliki. Seolah kamu masih tetap yang paling ayu.
"Tetapi bukan itu yang menyebabkan kita berpisah.
"Kita berpisah karena sesungguhnya kita tak pernah bertemu.
"Itulah kenyataannya."
Bagi Ratu Ayu penolakan Upasara Wulung adalah kehancuran semua impiannya, semua topeng yang selama ini dikenakan, semua kebanggaan dan keunggulan yang bersarang dalam jiwanya.
Sedemikian sempurnanya, sehingga Ratu Ayu menganggap itulah sesungguhnya yang terjadi.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Sampai kemudian Upasara menelanjangi dirinya.
Mengelupas kulit tubuhnya, membiarkan dirinya tanpa pelindung suatu apa.
Maka kalau Nyai Demang atau Gendhuk Tri kemudian melihat Ratu Ayu seolah bertambah tua, bertambah ganas, karena memang sesungguhnya begitu.
Karena kekuatan yang selama ini dipertahankan mulai goyah.
Karena sebenarnya ini tak berbeda jauh dari apa yang dialami Eyang Kebo Berune. Yang mampu mempertahankan diri dari kematian, akan tetapi secara tiba-tiba di saat terakhir tubuhnya membusuk dan mencair. Tak juga berbeda jauh dari apa yang dialami oleh Eyang Puspamurti. Yang mendadak seolah berubah menjadi sangat tua.
Yang berbeda adalah penerimaan masing-masing.
Kebo Berune berusaha mempertahankan mati-matian, sehingga menumpang hidup pada Nyai Demang. Sementara Eyang Puspamurti menerima dengan kepasrahan, atau malah bahagia. Sedangkan Ratu Ayu menjadi murka dan bersekutu dengan Gemuka.
Pangeran Hiang memandang cundhuk di tangannya.
"Adik Jagattri, apakah Putri Koreyea benar sudah tiada?"
Suaranya terdengar memelas.
Gendhuk Tri mengangguk. Suasana menjadi hening. Yang merasa mendapat kesempatan ialah Kiai Sambartaka!
Begitu pertarungan berhenti mendadak, Kiai Sambartaka yang paling lega. Karena tidak menghadapi lawan. Sejak tadi ia hanya direpotkan menghadapi bayangan Upasara Wulung. Seolah hanya menghadapi sepertiga Upasara Wulung.
Dan tak bisa menang! Ini pengalaman kesekian dikalahkan Upasara Wulung. Dalam pertarungan habis-habisan yang lebih hebat dari sekarang ini, yaitu ketika terjadi pertarungan di Trowulan, Kiai Sambartaka juga mengalami kekalahan. Hanya karena kecurangannya ia bisa membebaskan diri.
Semenjak itu ia berusaha menyembunyikan diri, menyempurnakan ilmunya dengan cara apa saja. Baik dengan bergaul bersama pendeta Syangka, ataupun dengan Gemuka.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Itu semua karena dendam yang telah berakar dan setiap saat membakar. Sebagai pemimpin pendeta di tlatah Hindia, Kiai Sambartaka selalu terseok-seok dan kalah.
Kini adalah kesempatan besar.
Biar bagaimanapun, dirinya adalah jago kelas satu di negerinya. Tak mempunyai lawan. Akan sangat memalukan kalau dirinya pulang dengan tangan hampa, tanpa pernah membawa kemenangan.
Pada saat semua perhatian terpecah ke arah lain, Kiai Sambartaka bergerak.
Cepat. Sangat cepat. Sangat cepat dan ganas. Seluruh persediaan ular kobra dalam tubuhnya memancar. Kedua tangannya terulur sempurna, dengan mengempos seluruh kekuatannya.
Hebat. Sasaran yang dituju adalah Upasara Wulung.
Yang berada agak di depannya. Sehingga tak menyangka akan datangnya serangan mendadak seperti sekarang ini!
Sehingga terlambat membalas.
Atau menghindar. Karena siapa pun yang berada di pendapa, tak menyangka bahwa Kiai Sambartaka akan mengambil langkah yang begitu busuk.
Walaupun sebenarnya sudah diketahui bahwa kemungkinan itu bisa terjadi padanya.
Walau sebenarnya tak bisa dikatakan sepenuhnya busuk. Karena pertarungan masih terjadi. Hanya mendadak saja terhenti.
Akan tetapi semua pertimbangan itu tak perlu bagi Kiai Sambartaka.
Gemeretak dendam untuk menghancurkan dan mengalahkan ksatria lelananging jagat menjadi taruhan utama.
Sebab itulah tujuan utama datang ke tanah Jawa!
Serangan mendadak seperti yang dilakukan dengan sepenuh kekuatan ini mampu membuat Eyang Sepuh yang moksa terlihat, dan terluka, hingga bibirnya mengalirkan darah.
Kalaupun Upasara Wulung lebih sakti, belum tentu bisa menghindar atau mengurangi akibatnya. Gendhuk Tri berada di tempat yang agak jauh. Nyai Demang tak akan menduga. Kalaupun menduga tak bisa berbuat apa-apa.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Perhitungan yang matang. Gelombang Banjir Bandang SESUNGGUHNYA tidak tepat benar kalau dikatakan bahwa seluruh pendapa tidak menduga.
Karena di sana ada Halayudha.
Meskipun kini secara resmi menduduki jabatan dan kepangkatan mahapatih, akan tetapi Halayudha tetap Halayudha. Tak berubah seujung rambut pun.
Sewaktu pertarungan terhenti mendadak, Halayudha sudah memasang kuda-kuda dan menghimpun seluruh tenaganya. Pada saat lawan lengah, Halayudha siap menghunjamkan pukulan bagian dari rangkaian Banjir Bandang Segara Asat. Rangkaian pukulan yang membawanya ke ambang maut.
Karena sifat ganas telengas pukulan ini adalah mengadu tenaga dalam sepenuhnya. Kalau Halayudha lebih unggul, tenaga lawan yang akan terisap menjadi miliknya. Akan tetapi jika kalah, hanya ada satu kemungkinan bagi Halayudha. Seluruh tenaga dalamnya akan musnah tersedot. Meskipun itu belum berarti terbetot menjadi tenaga dalam lawan. Kecuali kalau tenaga dalam lawan mempunyai sumber yang sama.
Pada saat itu Halayudha sebenarnya mengincar Gemuka.
Tokoh yang kelewat sakti dan mempunyai banyak senjata unggulan ini, dalam perhitungan Halayudha belum tentu lebih unggul di atasnya dalam soal mengadu tenaga dalam. Apalagi dalam keadaan tidak sepenuhnya siap.
Paling tidak ada beberapa bagian yang tak bisa dikerahkan sepenuhnya.
Ini berarti keunggulan baginya.
Dan bisa dibayangkan kalau tujuh persepuluh tenaga dalam Gemuka bisa berpindah ke dalam dirinya. Sama dengan mempelajari sepanjang hidupnya!
Kalau ini terjadi, rasanya di jagat ini tak ada lagi yang akan mampu mengungguli tenaga dalamnya.
Itu perhitungan Halayudha yang segera dilaksanakan.
Hanya karena Kiai Sambartaka bergerak lebih dulu sepersekian kejap, tenaga pukulan Halayudha berbalik ke arah Kiai Sambartaka.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kejadian yang berlangsung dalam sekejapan ini mempunyai makna yang dalam.
Pada satu pihak, para prajurit dan senopati Keraton mengakui bahwa sang mahapatih sangat berani dan cekatan luar biasa. Di saat semua masih tergugu, Halayudha sudah mampu bergerak keras.
Pada pihak lain, Kiai Sambartaka tak menduga sama sekali bahwa gempurannya yang sepenuh tenaga kepada Upasara Wulung akan menemui jegalan di tengah jalan. Karena ia lebih dulu melayangkan gempuran, ketahuan belangnya.
Pada pihak yang lain lagi, Halayudha tak menduga bahwa Kiai Sambartaka, Kiai Kiamat, yang harus dihadapi!
Semula ia akan membokong Gemuka. Kalau saja ia mengetahui Kiai Sambartaka berniat menggempur Upasara, Halayudha lebih suka meneriakkan keterkejutan. Karena yang diarah toh bukan dirinya. Dan yang sama pentingnya, Kiai Sambartaka juga mempunyai dasar pengerahan tenaga dalam yang sama. Mengingat Kiai Sambartaka juga mempelajari Kitab Air dari aliran Syangka.
Inilah hebat. Semuanya berlangsung dalam sekelebat.
Siapa pun yang bergerak menggempur lebih dulu dan yang kemudian, dengan sendirinya akan berbenturan. Karena tenaga menerjang masing-masing akan menemukan gema dan benturan dari tenaga yang menghambur ke luar juga.
Tak terhindarkan lagi. Bagai gelombang badai, kedua tangan Halayudha mencengkeram ke depan, menabrak tubuh Kiai Sambartaka yang juga mengeram keras sekali bagai angin beliung. Kedua tangannya terbuka, menabrak dada Halayudha.
Terdengar benturan yang dahsyat. Tubuh Halayudha berputar, terpuntir keras, sempoyongan. Semua tenaganya terkuras habis, membentur tenaga dalam Kiai Sambartaka, sehingga lunglai tanpa tenaga lagi.
Demikian juga sebaliknya.
Tubuh Kiai Sambartaka melilit, bergoyangan, sementara sisa-sisa ular kobra dalam tubuhnya jatuh lemas bagai seutas tali tambang. Tak sempat berkelojotan lagi.
Dilihat sepintas, benturan yang dahsyat itu disebabkan karena keduanya memiliki tenaga dalam yang setakar. Sehingga tenaga keduanya terkuras habis.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Akan tetapi Halayudha memiliki simpanan yang lain. Mahapatih yang perkasa dan selalu giat berlatih dari berbagai ilmu ini memiliki keunggulan tersendiri.
Kalau dalam ajaran yang dipraktekkan kemudian oleh Ugrawe masih murni bersumber kepada Kitab Bumi, pada Halayudha mempunyai kembangan kematangan yang lain. Halayudha juga mempelajari Kitab Air, di samping beberapa cara melatih dari negeri Jepun maupun Cina.
Itulah sebabnya meskipun seluruh tenaganya terkuras, dalam seketika masih bisa mengerahkan tenaga simpanan yang berikutnya.
Meskipun tinggal ampasnya, masih mengeluarkan bunyi kesiuran yang tajam.
Membabat ke arah Kiai Sambartaka.
Yang tak menyangka sama sekali. Kedua tangannya terangkat sia-sia.
Karena gelombang tenaga Halayudha, gelombang tenaga banjir bandang yang menghancurkan, menyergap lebih dulu. Menghantam tepat di ulu hati.
Kiai Sambartaka mengeluarkan jerit kesakitan, berputar dan terdorong mundur ke luar pendapa!
Seluruh tubuhnya mengalirkan darah hitam berbau busuk.
Walaupun unggul, sebenarnya gempuran Halayudha tak sepenuhnya tepat. Karena kalau separuh atau sepertiga tenaga yang semula dimiliki masih ada, tubuh Kiai Sambartaka bakal remuk tak bisa dipisahkan mana tulang mana daging.
Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan menggempur keras, Halayudha sendiri kehilangan keseimbangan, sehingga tubuhnya ngeloyor ke arah Kiai Sambartaka.
Gelombang dan daya sedot tenaga seperti ini bisa dimengerti dengan baik oleh Gendhuk Tri. Justru karena sepenuhnya menguasai Kitab Air, gelombang yang menyurut pun menyeret tubuh Halayudha! Ke arah sumber yang digempur, yaitu Kiai Sambartaka! Gerak gelombang ini bisa diumpamakan gelombang besar yang menyerbu pantai menghantam karang. Kekerasan tenaga yang demikian besar akan membalikkan, dan menyebabkan air surut kembali ke tengah laut.
Ketika gelombang kedua menyapu, gelombang yang sama terseret kembali ke pantai atau karang.
Inilah nasib yang dialami Halayudha sekarang ini.
Tubuhnya, tenaga dalamnya, tak bisa dikuasai lagi. Sehingga seakan memasrahkan diri masuk ke dalam pelukan Kiai Sambartaka.
Yang meskipun seluruh lubang tubuhnya memancarkan bau amis darah berwarna hitam beracun, masih tetap bisa berdiri kukuh. Kedua
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
tangannya mekar, mengeluarkan cengkeraman yang siap memeluk dan menubruk Halayudha.
Dalam lima atau enam langkah yang sangat cepat.
Kalau dalam gempuran gelombang pertama boleh dikatakan sama-sama menderita, Halayudha menjadi unggul dalam gelombang gempuran kedua. Akan tetapi akibatnya justru keadaan Kiai Sambartaka yang lebih unggul. Karena pada saat-saat terakhir, justru Kiai Sambartaka yang akan melakukan serangan pamungkas.
Kalaupun keduanya sudah hancur-hancuran, kelojotan napas terakhir Kiai Sambartaka akan mengantarkan maut lebih dulu.
Inilah yang terjadi. Inilah yang bisa terjadi.
Enam langkah tubuh Halayudha mendekat.
Lima langkah. Empat, tiga, dua. Berlalu dalam waktu cepat sekali, seolah benar-benar terseret masuk ke dalam pelukan Kiai Sambartaka. Yang menyeringai buas mengerikan, matanya melotot, lehernya tegang kaku, kepalanya miring ke arah belakang.
Satu langkah. Hegk! Halayudha masuk ke dalam rangkulan Kiai Sambartaka.
Keduanya ambruk. Bersamaan. Berangkulan. Mencium tanah.
Hanya kemudian terlihat jelas bahwa di punggung Kiai Sambartaka menancap keris yang masuk amblas hingga ke gagangnya!
Kwowogen berdiri dengan gagah. Kedua tangannya masih terkepal, gerahamnya beradu, dan urat di pipi serta lehernya sangat kejang.
Kwowogen melakukan tindakan pada saat yang tepat.
Sewaktu Kiai Sambartaka dan Halayudha beradu gelombang tenaga dalam sepenuhnya dan tubuhnya terlempar ke luar pendapa yang sudah tak berbekas, ia berdiri di depan deretan prajurit.
Kwowogen berada dekat dengan Kiai Sambartaka.
Dengan gerakan sangat cepat, Kwowogen meraup keris di pinggangnya dan dengan sepenuh tenaga diamblaskan ke punggung Kiai Sambartaka.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Yang saat itu tengah meregang nyawa, mengerahkan sisa kekuatan terakhir!
Kekuatannya habis untuk menahan tembusan keris Kwowogen.
Yang kemudian dengan satu tendangan ringan, membuat tubuh Kiai Sambartaka terputar di tengah udara. Mencipratkan bau amis dan darah hitam membasahi prajurit-prajurit yang bersiaga.
Dengan menyembah cepat, Kwowogen menarik kembali tubuh Halayudha.
Kwowogen bukan sekadar menarik, akan tetapi juga menyalurkan tenaga dalamnya, sebisanya untuk mengembalikan semangat batin Halayudha. Yang segera menyadari, dan mengerahkan tenaganya secara perlahan sambil memusatkan pikiran dan kata batinnya.
Gemuka mengangkat tangannya.
Pesta Belum Usai TERKEPAL. Seakan meninju langit.
"Raja Tanah Jawa. "Pesta belum usai. Masih ada Gemuka di sini.
"Saudara Muda, ini memang tugas kita, ksatria sejati dari Tartar."
Suaranya tetap gagah, berwibawa, menyimpan tenaga yang penuh.
Dilihat sekelebatan memang bisa dinilai pihak mana yang unggul.
Memang Ratu Ayu Turkana kini merintih di lantai pendapa, sementara Kiai Sambartaka telah berubah menjadi berbau bacin, bau yang memuakkan. Sedangkan pihak Keraton, selain ketiga pangeran anom yang terluka, Mahapatih Halayudha yang tersisih, hanya Ki Dalang Memeling yang jatuh sebagai korban.
Akan tetapi itu tidak berarti banyak. Karena pusat kekuatan justru berada pada Gemuka dan Pangeran Hiang.
Pangeran Hiang mundur setindak.
"Adik Jagattri, benarkah penyakit Putri Koreyea tak tersembuhkan"
Adakah kalimatnya yang terakhir?"
Tak ada jawaban seketika.
"Cundhuk itu diberikan kepada Adik Jagattri. Itu berarti kepercayaan yang tiada akhir. Apakah..."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Nyai Demang membasahi bibirnya sebelum mengucapkan kalimat yang hanya bisa dimengerti Pangeran Hiang serta Gemuka. Kalaupun Gendhuk Tri mengerti hanya beberapa patah kata.
Nyai Demang berbuat nekat.
Ia selama ini hanya mendengar kisah yang dituturkan Gendhuk Tri secara lamat-lamat, secara samar-samar. Akan tetapi itu cukup bagi Nyai Demang untuk menyusunnya sebagai satu pengertian.
Walau Gendhuk Tri tak pernah menceritakan sebab-musabab penyakit Putri Koreyea secara jelas, Nyai Demang sudah bisa menduga.
Dan dugaan itu dibalikkan!
Karena sekarang ini Nyai Demang mengatakan dengan suara yang tajam dan jelas.
"Pangeran Sang Hiang, untuk apa bertanya kepada Jagattri kalau Pangeran Sang Hiang bisa bertanya kepada Saudara Tua?"
"Maksud..." "Apa yang menyebabkan Putri Koreyea menderita raga hancur, bisa ditanyakan kepada sumber penyebabnya."
"Nyai Demang, apa maksudmu?" teriakan Gemuka terdengar gusar.
"Kalian bersaudara. Kalian bisa saling mengerti dan bisa menduga, meskipun pikiran tak sampai. Kalau bukan Pangeran Sang Hiang, pastilah kamu, Gemuka, yang menyebabkan.
"Karena selama ini Putri Koreyea tak berhubungan, tak bersentuhan dengan orang lain. Tidak juga dengan lalat atau nyamuk."
"Gerrrrhghg!" "Gemuka, kamu belum tentu bisa membungkam kami semua.
Kalaupun bisa, kamu belum tentu bisa membungkam suara hatimu sendiri."
Sengatan-sengatan kalimat Nyai Demang sangat tajam menikam dan meninggalkan bisa.
Karena Pangeran Hiang seakan terguncang. Terguncang dalam tanda tanya, yang agaknya masuk akal. Bahwa tak ada penyebab lain selain mereka berdua. Karena selama ini istrinya tak berhubungan dengan manusia lain. Tidak juga dengan Barisan Api yang selalu bersama dalam satu perahu.
Dugaan setengah pertanyaan dan sepertiga kecurigaan ini karena sesungguhnya Pangeran Hiang tidak mengetahui riyawat penyakit istrinya.
Yang memang memilih membungkam.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Sebaliknya, tubuh Gemuka seakan mendidih dibakar kemurkaan. Dia merasa dirinya paling sadar, paling memperhitungkan kekuatan ksatria tanah Jawa yang tak bisa diukur kekuatannya dari sekadar apa yang dilihat dan dijajal.
Itu disadari sekali, karena panglima perang yang paling ternama, karena pendeta yang paling kesohor dari Tartar, selalu pulang dengan tangan hampa.
Itu pula yang membuatnya berpisah dari rombongan Pangeran Hiang!
Gemuka memperhitungkan luar-dalam, lahir dan batin. Dan mengatasi sendiri, dengan menyusup ke dalam Keraton, menguasai Raja dan siap membumiratakan.
Dan ia luar biasa geram, karena Nyai Demang yang dikenalnya masih bisa menyusupkan bibit permusuhan. Dengan kemampuannya berbahasa Tartar, dengan mengambil saat yang tepat.
Gemuka makin gusar. Asap putih berkepul dari tubuhnya makin lama makin padat, makin keras.
"Nyai Demang... Ulang tuduhanmu.
"Aku yang menyebabkan Putri Koreyea sakit?"
"Saya tidak bilang begitu, Gemuka.
"Saya katakan, Pangeran Sang Hiang bisa menanyakan kepadamu.
Karena selama ini kalian berdua yang mungkin menyebabkan Putri Koreyea remuk raganya.
"Kalau itu disebabkan oleh kutukan pada diri Pangeran Sang Hiang, rasanya ia tak perlu bertanya kepadamu."
Satu lagi tikaman tajam berbisa.
Tepat mengena. Karena asap tubuh Gemuka makin tebal. Kini warnanya setengah abu-abu.
Dengan melontarkan pertanyaan seperti itu, seakan hanya ada dua kemungkinan yang menjadi penyebab penyakit Putri Koreyea. Kalau bukan Pangeran Sang Hiang, pasti Gemuka.
Kalau Pangeran Sang Hiang tidak merasa melakukan, siapa lagi"
"Tanah Jawa, tanah sangat busuk, amis, dan mengerikan.
"Aku, Gemuka, kalau tak bisa meratakan dengan tanah, akan ikut rata dengan kalian."
Tinju terkepal Gemuka ditarik ke bawah.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Mbakyu Demang, sudahlah.
"Biar saya yang menghadapi."
Suara Upasara Wulung terdengar tetap ulem, lembut dan enak didengar. Seolah Upasara tahu apa yang dibicarakan Nyai Demang.
Sekalipun menunjukkan bahwa kini adalah tanggung jawabnya untuk menghadapi Gemuka maupun Pangeran Hiang.
Gemuka menatap ke arah Upasara Wulung.
"Tanah Jawa busuk. "Masih ada ksatria seperti kamu."
Upasara menghela napas. Kakinya tetap tak bergerak. Tangan kanannya tetap memegang Kangkam Galih dalam posisi membuka.
Wanita Iblis 2 Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui Keris Pusaka Sang Megatantra 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama