Ceritasilat Novel Online

Siluman Goa Tengkorak 2

Siluman Goa Tengkorak Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


pun." Dan tosu itupun lalu membalikkan tubuhnya dan turun kembali dari atas tebing. Setelah tosu itu lenyap di tikungan tebing yang curam itu, Thian Sin lalu berloncatan cepat sekali menghampiri guha-guha di sebelah kiri. Dia memeriksa guha-guha itu, dari guha pertama sampai lima buah guha banyaknya dan mendapatkan kenyataan bahwa guha ke tiga itu memang yang terbesar dan dalam. Dia lalu memasuki guha ke tiga ini, sebuah guha yang dalamnya tidak kurang dari duapuluh meter dan lebarnya ada empat meter. Guha ini merupakan ruangan yang cukup luas akan tetapi tentu saja tidak enak untuk dijadikan tempat tinggal karena lantainya terdiri dari batu-batu yang tidak rata dan bahkan makin mendalam makin menurun, merupakan lereng dan juga tajam-tajam seperti batu karang di lautan. Dengan amat waspada dan hati-hati sekali, Thian Sin memeriksa guha ini. Dipandang sepintas lalu saja, tidak mungkin ada yang bersembunyi di sini, karena walaupun guha itu merupakan tempat yang terasing akan tetapi sungguh amat tidak enak untuk dijadikan tempat tinggal. Akan tetapi Thian Sin memeriksa ruangan yang gelap itu dan tiba-tiba dia menemukan sebuah terowongan di sudut kanan, tempat yang paling gelap. Kalau tidak mendekat dan meraba, sukar untuk menemukan terowongan ini. Dia tidak segera masuk, melainkan memeriksa dengap seksama. Kalau memang tempat ini pernah diperiksa pasukan, tidak mungkin kalau pa-sukan tidak menemukan terowongan ini. Ketika dia memeriksa dengan meraba-raba di bagian ambang pintu terowongan jantungnya berdebar meraba papan besi di balik batu yang agaknya tadinya menutup terowongan itu. Jelaslah bahwa te-rowongan ini merupakan pintu rahasia yang belum lama dibuka orang. Kalau pintu itu dikembalikan di tempatnya, maka akan lenyap dan dinding di sudut itu akan lenyap dan dinding di balik batu itu ada terowongannya. Dan tentu saja, sedikitpun tidak orang yang nampaknya menjadi satu dengan dinding guha. Penemuan yang kebetulan saja" Ataukah umpan jebakan" Apapun juga, inikah jalan satusatunya, pikir Thian Sin dan aku akan mencari siluman itu sampai dapat! Setelah mengambil keputusan ini, dengan tabah Thian Sin lalu memasuki terowongan yang gelap itu. Terowongan itu cukup besar walaupun dia harus memasukinya dengan tubuh agak membungkuk. Akan tetapi ternyata lantainya lebih rata dari pada lantai di ruangan depan guha itu. Hal ini mendatangkan dugaan bahwa tempat ini memang sengaja dibuat orang. Ketika dia me-langkah maju dengan hati-hati di tempat yang re-mang-remang dan semakin gelap itu, kurang lebih duapuluh langkah, tiba-tiba terdengar suara keras di belakangnya! Thian Sin cepat membalikkan tubuhnya dan siap siaga menghadapi serangan, akan tetapi tidak terjadi sesuatu kepada dirinya. Suara keras itu diikuti kegelapan yang menelan dirinya dan tahulah Thian Sin bahwa ada alat rahasia menggerakkan batu yang kini menutup lubang terowongan! Dia menahan senyum dan tidak mau memperlihatkan kepanikan dengan kembali ke mulut terowongan mencoba membuka pintu itu. Tidak, biarpun dia telah terjebak, dia harus terus ke dalam dan menghadapi bahaya apapun juga! Maka Thian Sin dengan sikap tenang sekali melanjutkan perjalanannya, melalui jalan terowongan yang gelap itu, melaju terus dan mencurahkan seluruh panca inderanya untuk menghadapi kalau-kalau ada bahaya serangan dari sekelilingnya. Lantai terowongan itu tetap rata, bahkan kalau turun ada anak tangganya yang rapi. Terowongan itu berbelak-belok dan menurut perhitungan Thian Sin, jarak yang ditempuhnya semenjak dia memasuki terowongan tidak kurang dari satu li! Akan tetapi diapun maklum bahwa tempat itu masih berada di dalam daerah Guha Tengkorak, karena biarpun jauh, terowongan itu berlika-liku. Dengan merentangkan kedua lengahnya, dia dapat mengukur lebar sempitnya terowongan itu, juga tinggi rendahnya langitlangit karena dia harus selalu menjaga agar jangan sampai kepalanya terbentur batu karang yang bergantungan dari langit-langit. Ketika dia tiba di sebuah ruangan persegi empat, dia berhenti, meraba-raba dengan kedua tangannya karena dia merasa bahwa dia tiba di tempat yang lebih lebar dan luas. Dan tiba-tiba terdengar suara seperti besi bertemu dengan batu. Karena keadaan tetap gelap, Thian Sin tidak berani sembarangan bergerak, melainkan berdiri dan siap siaga untuk melindungi tubuhnya. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu pada dirinya, tidak ada serangan yang datang walaupun tadi dia merasakan ada sambaran angin dari benda-benda yang bergerak cepat dan kuat. Dan suara hiruk-pikuk tadipun sudah berhenti lagi. Thian Sin menduga bahwa tentu terjadi pergerakan yang merupakan jebakan seperti ketika pintu batu terowongan tadi menutup. Dengan hati-hati kakinya meraba-raba ke depan, demikian pula jari tangan kirinya sedangkan tangan kanannya siap siaga untuk menangkis atau menyerang. Dan kaki serta tangan kirinya itu menemukan kenyataan bahwa kini dirinya telah terkurung! Kanan dan kirinya adalah dinding batu yang dingin dan dan keras, sedangkan di sebelah depannya adalah dinding besi atau baja yang setebal lengan manusia. Dia telah terkurung! Mendadak tempat itu menjadi terang sekali dan ternyata ada bagian dinding di luar jeruji besi itu yang terbuka. Sebuah pintu besi tiba-tiba saja muncul dan terbuka dan dari situlah datangnya cahaya terang itu. Agaknya sinar matahari dapat memasuki tempat yang diduganya tentu berada di bawah tanah ini. Agak silau juga mata Thian Sin sehingga terpaksa memejamkan kedua matanya tanpa mengurangi kewaspadaannya dan kini dia menjaga diri dengan mengandalkan ketajaman pendengaran telinganya. Biarpun dia memejamkan kedua matanya, namun dia mengetahui dari pengaruh bahwa di luar jeruji besi itu terdapat sedikitnya sepuluh orang yang kesemuanya memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, terbukti dari gerakan kaki mereka yang gesit dan ringan ketika mereka itu datang mendekat. Ketika dia membuka kedua matanya, dia melihat bahwa di luar jeruji itu berdiri dua belas orang. Semua orang itu memakai jubah sutera putih dengan gambar tengkorak merah di dada mereka dan muka mereka semua memakai topeng tengkorak! Dengan sekilas pandang saja tahulah pemuda perkasa itu bahwa keadaannya sungguh terjepit dan tidak ada harapan baginya untuk dapat meloloskan diri mempergunakan kekerasan. Dia benar-benar berada di dalam bahaya, terjebak di dalam terowongan bawah tanah dan menghadapi banyak musuh yang agaknya tangguh juga. Akan tetapi, bukan watak Pendekar Sadis Ceng Thian Sin untuk berkecil hati dalam keadaan bagaimanapun juga. Dia berdiri di tengah ruangan itu, menghadapi dua belas orang siluman sambil tersenyum lebar. "Ha-ha, kiranya Siluman Guha Tongkorak yang disohorkan orang itu tiada lain, hanyalah sekumpulan tikus gunung yang hebatnya cuma mengandalkan lubang-lubang tikus jebakan dan pengeroyokan belaka!" Belasan pasang mata di balik topeng-topeng tengkorak itu mengeluarkan sinar berkilat tanda bahwa mereka marah mendengar ucapan ini yang amat merendahkan dan menghina mereka. Seorang dari mereka yang berdiri di pinggir, berkata, suaranya halus namun penuh mengandung ancaman. "Orang muda, engkau sudah tertawan dan nya-wamu berada di telapak tangan kami, akan tetapi masih berani bersikap berani dan menghina. Engkau sungguh seorang muda yang gagah perkasa akan tetapi juga bodoh dan bosan hidup. Siapapun orangnya yang berani lancang memasuki daerah kami tanpa ijin, tentu mati. Akan tetapi karena Sian-su (Guru Dewa) ingin bertemu dan bicara denganmu, maka engkau selamat. Sekarang menyerahlah untuk kami bawa menghadap Sian-su, siapa tahu engkau akan diampuni. Akan tetapi kalau engkau melawan, tentu nanti akan dibunuh. "Orang itu memberi isyarat dengan tangannya dan sepuluh orang temannya tiba-tiba mengeluarkan busur dan anak panah, menodongkan anak panah ke arah Thian Sin. Lain orang di antara mereka melangkah maju, dan jeruji besi itu tiba-tiba saja tertarik ke atas, tentu digerakkan oleh alat rahasia yang tersembunyi. Orang yang bicara itu sendiri sudah mengeluarkan sebatang pedang, agaknya mereka bersiap-siap menyerang kalau Thian Sin menggunakan kekerasan. Thian Sin tidak berpikir panjang untuk mengambil keputusan. Kalau dia menghendaki, kiranya dia akan mampu merobohkan dua belas orang ini dan lolos dari dalam kurungan pada saat kurungan itu dibuka. Akan tetapi dia tahu bahwa perbuatan ini tidaklah bijaksana. Mereka ini hanyalah anak buah saja dan dia perlu bertemu dan berhadapan muka dengan pemimpinnya, yang disebut Sian-su oleh orang yang bicara tadi. Diapun dapat menduga bahwa yang bicara itu adalah tosu yang mengantarnya ke tempat itu. Hal ini dapat dikenalnya dari kedudukan kepala orang itu yang agak miring ke kiri. Kepala yang agak miring ke kiri itu dicatatnya sebagai tanda atau ciri dari tosu yang mengantarnya dan orang bertopeng inipun kepalanya agak miring ke kiri! Dan andaikata dia bisa lolos dari sini, belum tentu dia akan dapat lolos dari terowongan ini. Mungkin banyak dipasang alat-alat jebakan yang berbahaya, dan dia sendiri belum tahu berapa banyaknya anak buah mereka dan sampai di mana kelihaian Sian-su mereka itu. Pula, dia ingin mengetahui sampai sedalamnya dan ingin menolong pula ibu dari dua orang anak. Kalau sekarang dia mengamuk, mungkin saja dia akan menggagalkan semua usahanya. "Kepala kalian ingin bicara denganku" Baiklah, akupun ingin bicara dengan dia!" katanya dan dia membiarkan saja orang bertopeng yang masuk ke dalam ruangan tahanan itu membelenggu kedua pergelangan tangannya ke belakang. Belenggu itu berupa rantai baja yang cukup kuat. Orang yang bertugas membelenggunya itu agaknya tahu akan tugasnya. Setelah membelenggu kedua pergelangan tangannya, dia lalu menggerakkan tangannya, menggunakan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya untuk monotok jalan darah tiong-cu-hiat di tengkuk Thian Sin. Pendekar Sadis melihat dia tahu akan hal ini, akan tetapi dia tidak bergerak dan pura-pura tidak tahu saja. "Tukk!" Dua jari tangan itu dengan tepat menotok bagian di mana terdapat jalan darah tiong-cuhiat dan biasanya, totokan di tempat ini akan membuat orang yang ditotoknya roboh pingsan. Akan tetapi, orang bertopeng itu mengeluarkan seruan kaget ketika dua jari tangannya bertemu dengan kulit yang membungkus daging lunak, agaknya tanpa urat darah di situ, lunak sekali membuat totokannya itu meleset seperti menotok agar-agar saja! Dan orang yang ditotoknya itu, sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda hendak pingsan, apa lagi pingsan, bahkan mengedipkan matapun tidak, seolah-olah totokannya tadi seperti seekor lalat yang hinggap saja! Tentu saja orang bertopeng itu bukan hanya terkejut, melainkan juga malu dan penasaran sekali. Kalau dia tidak memakai topeng, tentu akan nampak betapa wajahnya berobah merah bukan main. Karena merasa betapa kulit daging tawanan itu tadi melunak lembek sekali, dia menduga bahwa orang ini mungkin tidak memiliki kepandaian apa-apa, atau memiliki ilmu melembekkan daging sehingga jalan darah yang ditotok itu dapat meleset ke sana-sini kalau ditotok. Cepat dia menggerakkan lagi tangan kanannya dan kini dua jari tangannya itu menotok dengan pengerahan tenaga keras pulauntuk melawan tenaga lembek lawan. Sekali ini, dia memilih jalan darah di belakang pundak, yaitu jalan darah hong-hu-hiat. "Tukkk...!" Sekali ini, orang bertopeng itu tak dapat menahan teriakannya, teriakan kesakitan karena dua buah jari tangannya itu seperti akan patah-patah tulangnya. Totokannya dengan pengerahan tenaga tadi bertemu dengan kulit yang sedemikian kerasnya, seperti kulit baja tulen saja sehingga dua jari tangannya terasa nyeri bukan main. Kini orang kedua yang bertubuh tinggi besar itu menghampiri Thian Sin. Tiba-tiba dia mengeluarkan teriakan nyaring dan tangan kirinya sudah bergerak ke depan dan jari-jari tangannya sudah menotok ke arah dada Thian Sin. Gerakannya mantap dan kuat. Melihat gerakan ini, tahulah Thian Sin bahwa orang tinggi besar ini menggunakan Ilmu Totok Tiam-hwe-louw, yaitu ilmu totok dari perguruan Siauw-lim-pai! Seperti juga tadi, dia pura-pura tidak tahu akan tetapi diam-diam mengerahklan sin-kang ke arah dada yang ditotok. "Dukk!" Dan orang tinggi besar itupun meloncat ke belakang sambil menahan teriakannya karena jari tangannya bertemu dengan benda keras yang panas sekali! Beberapa orang lain maju dan menotok tubuh Thian Sin, mempergunakan bermacam cara, namun semuanya gagal. Dan Thian Sin sendiri menjadi terkejut. Orang-orang ini ternyata terdiri dari berbagai aliran perguruan silat, dan beberapa orang di antaranya adalah murid dari partai-partai bersih seperti Siauw-lim-pai dan Thian-san-pai. Tentu saja hal ini membuat dia merasa heran bukan main. "Hemm, orang muda, agaknya engkau memiliki Ilmu I-kiong-hoan-hiat (Memindahkan Jalan Darah). Akan tetapi di depan kami tiada gunanya engkau berlagak," kata orang pertama atau orang yang diduga oleh Thian Sin tentu tosu itu. Kini orang ini menggerakkan tangan menotok dengan cara aneh, yaitu tanpa memilih jalan darah. Thiant Sin tahu bahwa ini adalah Ilmu Totok Coat-meh-hoat dari Bu-tong-pai! Sekali ini Thian Sin ingin memperlihatkan kelihaiannya, juga ingin memberi pelajaran kepada orang yang memandang rendah kapadanya ini, maka begitu totokan tiba, dia sengaja melontarkan tenaga sin-kang dari tempat yang ditotok, "Dukkk!" Orang yang menotok itu mengaduh dan melangkah mundur, memegangi tangannya yang tadi menotok karena buku- buku tulang jari tangannya terasa remuk dan salah urat! Semnua orang bertopeng yang berada di situ siap dengan anak panah mereka. Thian Sin melihat hal ini dan diapun berkata, "Aku sudah membiarkan diriku dibelenggu, kenapa kalian masih menghinaku" Kalau aku tidak ingin bertemu dengan pimpinan kalian, apakah semudah ini kalian dapat membelengguku" Nah, tidak perlu main-main dengan totokan lagi, mari bawa aku kepada pimpinan kalian!" Sepasang mata di balik topeng itu memandang ragu dan agaknya kini mereka semua baru tahu bahwa tawanan muda itu sesungguhnya adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan bahwa sejak tadi telah mempermainkan mereka dengan membiarkan mereka menotoknya berganti-ganti! Pemimpin kelompok itu lalu memberi isyarat dan tanpa banyak cakap lagi Thian Sin lalu diiringkan keluar dari tempat itu. Seorang anggauta sebagai petunjuk jalan berjalan di depan, diikuti oleh Thian Sin yang dibelenggu kedua tangannya. Di belakang Thian Sin berjalan si pemimpin yang menodongkan pedangnya di tengkuk tawanan itu dan di belakangnya berbaris sepuluh orang anak buah yang menodongkan anak panah. Sementara itu, dari lampu-lampu yang dipa-sang di sepanjang lorong terowongan, maklumlah Thian Sin bahwa hari telah berganti malam. Jalan terowongan itu makin menaik dan dia melihat banyak sekali kamar-kamar di kanan kiri, ada yang kosong akan tetapi ada pula yang isi karena dia mendengar suara orang-orang, laki-laki dan wanita, dari dalam kamar-kamar itu. Akhirnya dia tiba di sebuah ruangan yang luas sekali dan melihat dindingnya yang dari batu dan langitlangitnya yang juga dari batu, dia menduga bahwa tentu dia masih berada di bawah tanah, biarpun tanah pegunungan kerena dia tentu telah mendaki cukup tinggi sekarang. Ruangan itu diterangi cahaya banyak lampu, dan di situ telah berkumpul banyak orang. Dengan pandang matanya, Thian Sin menyapu ruangan itu dan diam-diam dia merasa heran. Di situ berkumpul sedikitnya dua puluh lima orang, akan tetapi orang-orang biasa dan ra-ta-rata mereka berpakaian sebagai orang-orang hartawan, bahkan ada yang sikapnya seperti orang berpangkat, dan ada beberapa orang pula yang sikapnya seperti seorang ahli silat atau pendekar! Mereka semua memandang kepadanya dengan sinar mata orang memandang seorang penjahat atau seorang pengacau! Ada pula belasan orang lagi yang berpakaian seperti siluman tengkorak, berdiri dan berjaga di sekitar tempat itu. Di bela-kang ruangan itu terdapat anak tangga menuju ke atas, lebar dan lantainya ditutup permadani merah. Akan tetapi kini yang menjadi perhatian Thian Sin adalah seorang laki-laki yang memakai jubah sutera putih dengan gambar tengkorak darah di dadanya. Jubah yang serupa dengan yang dipakai oleh para anggautanya, akan tetapi ada perbedaan potongannya, karena yang dipakai orang ini agak longgar seperti jubah pendeta dengan lengan baju yang panjang dan lebar, dan kalau para anggauta itu mengenakan ikat pinggang putih, orang ini memiliki ikat pinggang yang keemasan. Topeng yang menutupi mukanya juga topeng tengkorak, akan tetapi kalau para anggauta itu topengnya nampak jelas, orang ini seolah-olah tidak bertopeng, melainkan mukanya memang muka tengkorak, kulit membungkus tulang belaka! Dan sepasang matanya mencorong menakutkan. Thian Sin dapat menduga bahwa orang ini menggunakan topeng dari kulit tipis, akan tetapi dia harus mengaku dalam hati bahwa orang ini merupakan lawan yang tidak boleh dipandang ringan karena dari pandang matanya itu berpancar kekuatan yang dia tahu kekuatan ilmu hitam atau sihir! Mereka yang mengiringkan Thian Sin kini berhenti dan Thian Sin dibiarkan berdiri di tengah ruangan. Pemuda ini berdiri tegak dengan kedua tangan dibelenggu ke belakang. Suasana dalam ruangan itu seperti sedang pesta atau menjamu tamu-tamu, dan agaknya perjamuan itu baru akan dimulai. Dia merasa betapa dia telah mengganggu sebuah perjamuan, karena dia melihat kemarahan dan kejengkelan pada wajah orang-orang yang hadir di situ. Tiba-tiba yang memakai jubah dan topeng siluman itu bangkit dari tempat duduknya dan ternyata tubuhnya cukup jangkung. "Ahh, kita telah kedatangan seorang tamu kehormatan! Cu-wi yang hadir hendaknya melihat baik-baik, bukankah benar bahwa tamu kita ini adalah Pendekar Sadis atau Sang Pangeran Ceng Thian Sin?" Thian Sin terkejut bukan main. Dia mengerling ke arah para hadirin dan melihat beberapa orang di antara mereka mengangguk-angguk membenarkan. Dia telah dikenal orang! Tentu mereka itu adalah orang-orang penting dan setelah kini dia memperhatikan mereka, dia melihat bahwa di antara mereka itu terdapat pembesar-pembesar yang pernah dilihatnya di kota raja! Diapun menanti dengan hati tegang, tidak dapat menduga dengan siapa dia sebenarnya berhadapan dan dengan perkumpulan macam apa pula. Siluman itu kini berkata langsung kepadanya, "Orang muda yang gagah, tidak kelirukah dugaan kami bahwa engkau adalah Pendekar Sadis Ceng Thian Sin?" Thian Sin merasa tidak perlu untuk menyembunyikan diri lagi maka diapun mengangguk. Kini terdengar para hadirin saling berbisik dan suasana menjadi tegang. Agaknya kenyataan yang telah diakui oleh orangnya bahwa tempat itu kedatangan Pendekar Sadis, merupakan hal yang mengejutkan mereka. Akan tetapi, siluman itu melangkah maju dan menjura. "Ah, selamat datang, Ceng-taihiap. Selamat datang! Hayo cepat lepaskan belenggunya dan kalian minta maaf!" katanya kepada dua belas orang yang tadi mengawal Thian Sin. "Tidak perlu repot-repot!" Thian Sin berkata dan sekali dia menggerakkan kedua lengannya yang terbelenggu di belakang tubuhnya, terdengar suara "krekk! krekkk!" dan belenggu rantai besi pada kedua tangan itu patah-patah dan runtuh ke atas lantai. Karena semua orang memandang dengan hati tegang dan suasana amat sunyinya, maka ketika belenggu itu jatuh ke atas lantai batu, terdengar suara nyaring berdenting. Siluman Tengkorak itu tertawa, suaranya terdengar lebih nyaring dari pada denting rantai belenggu. "Hebat, Ceng-taihiap memang hebat. Silahkan duduk!" "Terima kasih!" kata Thian Sin dan dia menerima bangku yang disodorkan oleh seorang di antara para anggauta Siluman Tengkorak, lalu duduk menghadapi ketua siluman yang sudah duduk pula itu. "Ingin sekali saya mendengar apa artinya semua ini. Mengapa penyambutan terhadap saya seperti ini?" Thian Sin mulai membuka kartunya, tentu saja dengan maksud untuk memancing pembukaan kartu lawan dan untuk melihat apa yang tersembunyi dalam hati pihak lawan. Siluman itu tersenyum dan wajahnya nampak menyeramkan. Kini Thin Sin merasa yakin bahwa orang itu memakai topeng terbuat dari pada kain atau karet tipis, tidak sehalus topeng yang pernah dipakai oleh Kim Hong ketika menyamar sebagai nenek Lam-sin, akan tetapi juga tidak sekasar yang dipakai para anak buah Siluman Tengkorak itu. "Pertanyaan itu sebenarnya harus dikembalikan kepadamu taihiap. Seingat kami, kami tidak pernah bersimpang jalan dengan Pendekar Sadis, akan tetapi taihiap telah mendatangi tempat kami dan melakukan penyelidikan. Dari pengamatan kami, kami hanya baru menduga saja bahwa taihiap adalah Pendekar Sadis, oleh karena itu karena taihiap telah memasuki daerah terlarang kami, terpaksa teman-teman kami telah menangkapmu. Setelah berada di sini dan kami yakin siapa adanya diri taihiap, tentu saja kami tidak berani mengambil sikap sebagai musuh. Nah, harap taihiap suka jelaskan, mengapa taihiap memasuki daerah kami" Mengapa taihiap mencampuri urusan kami?" Thian Sin mengangguk-angguk. "Sebelum saya memberi penjelasan dan menjawab pertanyaanpertanyaan itu, lebih dulu saya ingin mengetahui, dengan siapakah sebenarnya saya bicara?" "Perlukah hal itu taihiap tanyakan lagi" Kalau taihiap sudah datang menyelidiki tempat kami kiranya taihiap sudah dapat menduga siapa adanya saya." "Saya mendengar tentang nama Siluman Guha Tengkorak, akan tetapi juga mendengar anak buah Siluman Tengkorak menyebut Sian-su." "Siancai... siancai...! Apa yang taihiap dengar itu sudah cukup, dan terserah kepada taihiap." "Baiklah, sayapun akan menyebut Sian-su kepadamu. Terus terang saja, selama ini belum pernah saya mendengar tentang Siluman Guha Tengkorak dan hanya secara kebetulan saya melihat seorang bernama Kwee Siu tewas oleh seorang yang memakai pakaian dan topeng sebagai anggauta Siluman Guha Tengkorak. Saya belum pernah bertindak tanpa sebab. Saya mendengar dari mendiang Kwee Siu bahwa Siluman Guha Tengkorak telah membunuh Tujuh Pendekar Tai-goan. Karena itulah saya datang ke sini hendak bertemu dengan Siluman Guha Tengkorak dan bertanya mengapa tujuh orang pendekar itu dibunuh tanpa dosa?" "Ha-ha, sungguh pertanyaan ini terdengar lucu kalau keluar dari mulut Pendekar Sadis! Taihiap sendiri dinamakan Pendekar Sadis karena tindakan taihiap terhadap musuh-musuh taihiap jadi semua tindakan tentu ada sebabnya, bukan" Nah, demikian pula dengan tujuh orang itu. Mereka telah berani menentang kami, maka anehkah kalau mereka itu roboh dan tewas di tangan kami" Kami hanya membela diri, dan dalam perkelahian, wajarlah kalau kematian bagi yang kalah." "Memang, sebab melahirkan akibat dan akibat menjadi sebab lagi. Kalau Tujuh Pendekar Taigoan menentang dan melawan Sian-su dan para anggautanya, hal itu tentu ada sebabnya pula." "Dan sebabnya itu apa, taihiap?" "Ada seorang ibu muda keluarga Cia yang diculik orang dan suaminya, seorang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan, dibunuh. Apakah itu bukan merupakan suatu sebab yang cukup berat?" "Siancai... siancai! Cu-wi yang hadir tentu sudah mendengar fitnah-fitnah itu. Ceng-taihiap rupanya juga terkena pengaruh fitnah keji yang dilontarkan kepada kami. Taihiap, lihatlah orang-- orang terhormat yang hadir di sini! Kalau me-mang kami demikian jahatnya, apakah mereka itu akan sudi hadir di sini dan menjadi pengikut dan saudara sekepercayaan kami" Ketahuilah bahwa kami mengajak semua orang untuk menikmati hi-dup dan menjadi anggauta agama baru kami. Dan tentang ibu muda keluarga Cia itu... ah, sebaiknya taihiap menyaksikan sendiri. Kebetulan sekali kami sedang mengadakan pesta dan upacara peng-angkatan seorang anggauta wanita baru. Lebih baik taihiap menyaksikan sendiri dari pada mendengar fitnah dari mulut lain orang." Thian Sin tidak dapat membantah lagi. Siluman itu lalu mempersilahkan dengan suara lantang agar semua orang suka mengikutinya ke apa yang dinamakannya sebagai "Panggung Puncak Bahagia" dan semua orangpun berdiri dengan wajah gembira. "Saatnya telah hampir tiba, mari kita bersiap-siap menyambut turunnya Dewi Cinta dan mempersiapkan upacaranya." Demikian dia berkata dan menghampiri Thian Sin yang masih duduk. "Ceng-taihiap, engkau menjadi tamu kehormatan, silahkan mengikuti kami ke tempat upacara."- Thian Sin hanya mengangguk, lalu bangkit berdiri dan berjalan mengikuti siluman itu yang diiringkan pula oleh semua yang hadir. Para anggauta siluman menjaga di kanan kiri dan ada pula yang berada di depan dan belakang. Mereka itu rata-rata memiliki kepandaian tinggi dan gerakan kaki mereka hampir tidak menimbulkan suara. Semua orang kini mendaki anak tangga menuju ke atas yang bertilam permadani merah dan diam-diam Thian Sin memperhatikan kanan kiri. Dindingnya masih terbuat dari pada batu, akan tetapi kini dihias dengan kain-kain sutera, bahkan ada lukisan-lukisan kuno yang indah. Anak tangga itu memutar beberapa kali, seperti anak tangga yang menuju ke menara sebuah istana kuno. Akan tetapi setelah tiba di bagian teratas, Thian Sin terbelalak penuh kagum. Kalau tadi di kanan kiri anak tangga itu dihias dan diterangi dengan lampu-lampu beraneka warna, kini langit-langit terbuka dan yang menghias langit-langit adalah bintang-bintang yang sinarnya suram karena kalah oleh sinar bulan yang sudah naik tinggi! Bulan sepotong, akan tetapi karena langit bersih, maka cuaca cukup terang. Kiranya tempat upacara itu berada di atas puncak bukit yang dikelilingi puncak-puncak lain sehingga tidak akan nampak dari jauh, dan puncak itu merupakan tempat datar yang cukup luas, yang dikurung jurang-jurang amat dalamnya sehingga orang tidak akan mungkin menuruni atau naik puncak lewat jurang-jurang itu, kecuali lewat jalan rahasia terowongan! Luas puncak bukit datar itu tidak kurang dari dua puluh lima kaki tombak persegi, kurang lebih seribu lima ratus meter persegi dan karena terbuka, maka sinar bulan bintang atau matahari dari angkasa dapat menerangi seluruh tempat itu tanpa terhalang sesuatu. Tempat itu dihiasi pohon, akan tetapi di sekitar tepinya terdapat tanaman bunga-bunga indah, kemudian rumput-rumput hijau seperti permadani, dan di bagian tengahnya diberi rantai tembok yang halus mengkilap. Kursi-kursi berjajar di sebelah kiri dan ke tempat inilah Siluman Tengkorak membawa para tamu. Semua orang dipersilahkan duduk dan Thian Sin sendiri memperoleh tempat duduk kehormatan di sebelah kiri sang ketua atau mungkin juga sang pendeta karena sebutannya Sian-su. Thian Sin memperhatikan sekeliling. Sungguh merupakan tempat yang tersembunyi dan indah sekali. Tidak nampak dari dunia luar, terlindung dan tersembunyi. Di dekat tempat duduk sang pemimpin terdapat sebuah meja sembahyang. Di samping kiri terdapat sekelompok pemain musik yang pada saat itu memainkan alat musik mereka dengan lembut sehingga membuat suasana menjadi romantis dan syahdu. Di depan mereka terdapat lantai tembok yang halus itu dan di sana-sini, bahkan sampai ke lapangan-lapangan rumput, terdapat kasur-kasur kecil yang beraneka warna dengan selubung bersulam. Di tempat-tempat yang dipasang secara nyeni terdapat lampu-lampu dengan penutup warna-warni dan di sana-sini mengepul asap dupa wangi yang mendatangkan rasa nyaman dan menyenangkan. Di sebelah kanan, di tepi tempat itu, terdapat bangunan-bangunan kecil yang agaknya belum selesai dibangun, dan Thian Sin dapat menduga bahwa bangunan-bangunan kecil itu merupakan bangunan yang diperuntukkan para "dewa" seperti biasa dipergunakan untuk tempat arca atau patung yang dipuja orang dalam kuil-kuil. Akan tetapi yang hebat bukan main adalah kenyataan bahwa pondok-pondok itu kecil seperti pondok boneka itu terbuat dari pada emas terukir indah. Sukar dibayangkan betapa mahalnya membuat pondok-pondok pemujaan dewa-dewa seperti itu. Tiba-tiba suara musik yang tadinya lembut itu mulai berobah. Sang pemimpin mengangkat tangan kiri ke atas dan suara musik itu berobah menjadi makin keras dan penuh semangat. Dan bersama dengan perobahan suara musik ini, dari sebuah anak tangga kiri, agaknya menembus ke tempat yang lain lagi dari pada ruangan di mana Thian Sin diterima oleh siluman tadi, berlarilarian naik belasan orang wanita. Mereka, itu semua terdiri dari wanita-wanita yang muda dan cantik-cantik dan mereka memakai gaun panjang tipis yang membuat tubuh mereka nampak terbayang. Gaun dari kain sutera putih yang tembus pandang itu tertimpa sinar bulan dan lampulampu, menciptakan lekuk lengkung tubuh ditimpa bayangan-bayangan yang mengairahkan. Karena mereka adalah wanita-wanita muda, tentu saja tubuh mereka itu padat dan indah. Kaki mereka yang tidak bersepatu itu berlari-larian dan membuat gerakan berjungkit dalam langkahlangkah tarian. Rambut mereka yang hitam panjang terurai lepas ke belakang punggung dan kedua pundak, dihias bunga-bunga putih. Kedua tangan mereka menyangga baki-baki yang agaknya terbuat dari pada emas pula! Dengan gerakan lemah gemulai dan menggairahkan, lima belas orang penari wanita ini menari dan membuat gerakan berlarian kecil berputaran secara teratur menurut irama musik dan sambil menari mereka itu menggerak-gerakkan tubuh mereka dengan cara-cara yang menimbulkan pesona dan gairah, gerak-an pinggul yang memikat dan penuh nafsu, makin lama makin liar ketika musik itu makin nyaring dibunyikan para penabuhnya. Sejenak Thian Sin sendiri tertarik dan terpesona. Memang indah sekali. Suasananya demikian romantis, sinar bulan dan cahaya lampu-lampu beraneka warna itu, di udara terbuka yang demikian sejuk, dengan harumnya kembang-kembang beercampur wanginya dupa. Dan gadisgadis itu menjadi semakin cantik menarik karena tertimpa cahaya warna-warni yang redup, dan lekuk lengkung tubuh gempal di balik pakaian yang tembus pandang, suara musik yang merangsang! Akan tetapi pemuda ini segera dapat menguasai perasaannya dan diam-diam diapun mengerling ke arah para tamu. Dia tidak merasa heran melihat betapa para tamu pria itu semakin terangsang, pandang mata mereka itu berseri-seri penuh nafsu berahi, wajah mereka itu kemerahan, hidung kembang-kempis dan mulut tersenyum-senyum penuh gairah. Dari samping, nampak betapa sering kalamenjing mereka naik turun ketika mereka menelan ludah. Bahkan ada pula yang memandang dengan mata melotot, seolah-olah hendak menelan bulat-bulat dengan pandang matanya tubuh yang menggairahkan itu. Ada pula yang berpakaian sebagai ahli silat, nampak tenang saja, akan tetapi tangannya mengepal keras, tanda bahwa diapun terpesona dan berusaha untuk menekan perasaannya. Semua ini nampak oleh Thian Sin dan dia menemukan sebab yang merupakan daya tarik bagi mereka itu, ialah pemuasan berahi dan rangsangan yang agaknya disengaja disajikan kepada mereka oleh wanita-wanita cantik itu. Dan ketika dia mengerling ke arah siluman yang dipanggil Sian-su itu, dia melihat orang bertopeng inipun seperti dia, sedikit juga tidak memperhatikan lagi kepada para penari, melainkan memandang ke kanan kiri, memperhatikan wajah para tamu dengan senyum puas membayang pada topeng tengkoraknya. Setelah menari-nari beberapa kali putaran dan setiap berputar di dekat tempat duduk para tamu tercium bau harum winyak wangi dari tubuh mereka, Sian-su mengangkat tangan kirinya lagi dan inipun merupakan isyarat karena suara musik tiba-tiba menurun. Para wanita yang menari itupun memperhalus tarian mereka dan akhirnya mereka berkumpul menjadi suatu kelompok dan bersama-sama menjatuhkan diri berlutut di hadapan Sian-su! Siluman ini mengangguk-angguk dan tangannya bergerak seperti menebarkan sesuatu di udara dan... kelopak-kelopak bunga beterbangan dan melayang turun ke atas kepala lima belas orang penari yang ditundukkan dalam penghormatan mereka itu. Kelopak-kelopak bunga itu hinggap di atas rambut-rambut hitam itu, indah seperti kupu-kupu yang hinggap di atas bunga-bunga mekar. Thian Sin mengerutkan alisnya dan diam-diam dia tahu bahwa orang itu sungguh lihai, bukan saja ahli ilmu silat tinggi seperti yang telah diduganya, akan tetapi juga pandai mempergunakan kekuatan aihir untuk bermain sulap! Diapun cepat membuat tanggapan dengan sinar mata penuh kagum dan heran seperti yang diperlihatkan oleh wajah semua orang yang hadir. Kebetulan sekali siluman itu memandang kepadanya dan Thian Sin melihat dengan jelas betapa muka tengkorak itu tersenyum simpul, jelas kelihatan girang dan bangga sekali akan kepandaiannya, terutama sekali karena ilmu sihirnya dikagumi oleh seorang pendekar seperti Pendekar Sadis! Sekarang, lima belas orang penari itu bangkit berdiri, dengan gerakan lemah gemulai dan memikat merekapun berjalan menghampiri para tamu dengan baki di kedua tangan. Si Muka Tengkorak itu berkata sambil tersenyum kepada Thian Sin, "Maaf, taihiap, bukan kami mata duitan, akan tetapi karena kebutuhan untuk pembangunan perkumpulan agama kami membutuhkan banyak biaya dan para anggauta dan pengikut kami bermurah hati, maka acara sekarang ini adalah acara pemberian sumbangan suka rela yang dipungut oleh para gadis penari. Akan tetapi taihiap sebagai tamu kehormatan tentu saja tidak diharapkan untuk menyumbang..." "Ah, jangan sungkan, Sian-su. Akupun bersedia menyumbang, jangan khawatir!" Thian Sin lalu merogoh saku dalam bajunya dan mengeluarkan sebongkah kecil emas dan ketika seorang penari lewat di depannya, dia menaruh bongkahan emas yang sekepal besarnya itu di atas baki. Tentu saja penari itu terkejut bukan main, terbelalak melihat emas yang berat itu dan melempar senyum manis dan kerling mata penuh daya memikat. Semua tamu juga memandang heran dan mereka maklum betapa besarnya harga sumbangan yang diberikan oleh Pendekar Sadis. Akan tetapi, tentu saja mereka tidak tahu bahwa Pendekar Sadis adalah seorang yang kaya raya dan sebongkah emas itu tidak ada artinya sama sekali baginya! Melihat ini, siluman itu tertawa. "Siancai... taihiap sungguh dermawan. Terima kasih, taihiap. Abwee, simpan kerlingmu itu, jangan khawatir, engkau boleh melayani Ceng-kongcu malam nanti!" Gadis penari yang disebut A-bwee itu menahan senyum lalu berlari-lari ke arah tamu lain. Thian Sin memperhatikan ke sekelilingnya dan dia melihat betapa royalnya para tamu itu ketika menyerahkan sumbangan kepada para gadis penari, meletakkan sumbangan mereka di atas baki-baki yang disodorkan oleh para gadis itu. Diantara mereka bahkan ada yang mengajak para gadis itu bersendau-gurau dan berbisik-bisik lirih. Setelah selesai upacara sumbangan itu, para gadis itu lalu mengundurkan diri sambil berlari-larian menuju anak tangga yang letaknya di belakang, yaitu tem-pat dari mana mereka tadi naik. Musik masih di-mainkan dengan lembut, dan tak lama kemudian, nampak para gadis manis itu sudah kembali lagi dan kini baki-baki itu telah berganti isi, yaitu cawan-cawan dan guci-guci arak dan ada pula- yang membawa piring-piring terisi makanan. Sambil tersenyum-senyum para gadis itu menghidangkan arak dan makanan di atas meja para tamu, kemudian dengan sikap lemah gemulai dan tersenyum--senyum ramah mereka lalu menuangkan arak dari guci ke dalam cawan para tamu. Begitu arak di-tuangkan ke dalam cawan, tercium bau sedap arak yang baik dan tua. Kini bukan hanya lima belas orang gadis penari tadi yang menjadi pelayan, melainkan ditambah lagi oleh beberapa orang lain yang sama muda dan cantiknya sehingga jumlah mereka ada dua puluh lima orang. Setelah melihat betapa semua tamu menerima suguhan arak dan cawan mereka telah dipenuhi arak harum, Siluman Tengkorak yang juga sudah menerima suguhan secawan arak, lalu mengangkat cawan araknya ke atas dan berkata dengan suara ramah, "Cu-wi, silahkan minum untuk persahabatan kita yang kekal!" Semua orang mengangkat cawan arak masing-masing dan Thian Sin juga mengangkat cawan araknya, tetapi tidak memperlihatkan sikap curiga walaupun dia menduga bahwa tentu ada apa-apanya di dalam suguhan arak ini. Akan tetapi dia mengandalkan kekuatan sin-kangnya untuk melindungi tubuhnya apabila arak itu dicampuri racun. Pula, dia melihat sendiri bahwa arak untuknya itu dari satu guci dengan arak untuk para tamu lain, maka dia ikut minum tanpa curiga sama sekali. Begitu arak itu melalui mulut dan kerongkongannya, Thian Sin merasa bahwa arak itu memang lezat sekali dan ada sesuatu yang merupakan obat keras namun halus. Dia merasa yakin bahwa itu bukanlah racun, walaupun dia tahu bahwa tentu arak itu dicampuri semacam obat yang cukup keras. Beberapa lama kemudian setelah arak memasuki perutnya, barulah Thian Sin tahu bahwa arak itu mengandung obat perangsang yang membuat tubuhnya hangat dan pikirannya gembira. Setelah merasa yakin bahwa arak itu tidak mengandung racun, Thian Sin berani minum dengan hati tenang-. Dia melihat betapa para tamu itu sudah mulai ter-pengaruh arak, mereka tertawa-tawa gembira. Hidanganpun dikeluarkan dan musik kini mengiringi gadis-gadis yang datang dan menari-nari. Pakaian mereka merupakan gaun-gaun tipis warna-warni sehingga selain indah, juga amat menggairahkan karena pakaian-pakaian itu tembus pandang gerakan-gerakan mereka yang erotis membuat suasana menjadi semakin panas, ditambah pula pengaruh arak sehingga para tamu itu sudah ada yang mulai nakal dengan kata-kata dan tangan mereka, menggoda dan menowel para pelayan wanita yang muda dan cantik. Thian Sin melihat bahwa pelayan-pelayan itu agaknya juga sudah terpengaruh oleh sesuatu yang membuat mereka itu bersikap genit-genit dan berani, padahal sikap mereka itu gadis-gadis dari golongan baik-baik. Makin larut malam, suasana menjadi semakin panas. Thian Sin melihat betapa ada sudah beberapa orang di antara para tamu itu yang berani menarik lengan seorang pelayan dan mendudukkannya di atas pangkuan dan menciuminya begitu saja di depan orang hanyak! Agaknya siluman yang jadi ketua perkumpulan itu dapat melihat pula hal ini, maka diapun memberi isyarat dengan tangan diacungkan ke atas dan seorang di antara para anggaran siluman itu lalu membunyikan canang bertalu-talu. Mendengar ini, gadis-gadis pelayan itu melepaskan diri dan mundur, bahkan lalu menghilang bersama-sama para gadis penari. Siluman Tengkorak itu bangkit berdiri dan suaranya terdengar lantang namun lembut dan ramah. "Cu-wi yang terhormat, setelah diketahui malam hari yang suci ini akan dilakukan upacara pengangkatan seorang anggauta baru. Oleh karena itu, sebelum acara tarian bebas gembira untuk memuja dewa, terlebih dahulu akan dilakukan upacara pengangkatan murid atau anggauta baru itu. Harap cu-wi suka menjadi saksi." Semua tamu yang sudah makan kenyang itu kini duduk tenang dan Thian Sin sendiripun mengikuti perkembangan selanjutnya dengan penuh perhatian. Dia belum tahu di mana adanya ibu dari dua orang anak itu, akan tetapi dia sabar menanti sampai semua upacara selesai, baru dia akan mendesak siluman itu. Dia harus berhati-hati karena tempat ini sungguh amat berbahaya. Jumlah anak buah siluman ini kiranya tidak kurang dari dua puluh lima orang, belum dihitung gadis-gadis itu dan siapa tahu bahwa di antara para tamu itu terdapat orang-orang pandai yang agaknya tentu akan membantu siluman itu pula. Semua ini di tambah lagi dengan kenyataan bahwa dia berada di dalam sarang musuh yang berbahaya sekali dan yang agaknya penuh dengan perangkap-perangkap rahasia sehingga andaikata dia akan mampu meng-hadapi keroyokan begitu banyaknya orang, belum tentu dia mampu mengatasi semua alat--alat jebakan di tempat itu. Biarlah bersabar sambil mencari kesempatan baik untuk turun tangan sambil mengukur sampai dimana kekuatan pihak lawan. Siluman Tengkorak itu kemudian mengangkat tangan memberi isyarat dan musikpun dimainkan lagi dengan lagu yang lembut akan tetapi juga mengandung kekerasan di dalamnya, seperti dalam lagu puja-puji. Asap dupapun mengepul makin tinggi, semerbak baunya dan lampu--lampu diganti dengan lampu yang warnanya hijau sehingga cuaca menjadi redup. Kini nampak tujuh orang gadis naik ke tepat itu, bertelanjang kaki dan mengenakah pakaian yang begitu tipisnya sehingga pakaian itu seperti kabut saja yang menu-tupi tubuh mereka, membuat tubuh di balik pa-kaian itu nampak membayang. Mereka berjalan perlahan, penuh khidmat, dan mereka membawa bermacam-macam benda. Ada yang membawa se-ekor kelinci putih yang gemuk, ada yang memba-wa sebuah bokor emas, ada yang membawa guci arak dan ada pula yang membawa sebatang pedang kecil. Hebatnya, bokor, guci dan bahkan pedang kecil itu semua terbuat dari pada emas tulen! Tujuh orang gadis ini melangkah perlahan, dengan kepala tunduk, ke arah tempat duduk Siluman Tengkorak, lalu mereka berlutut dengan sikap menanti. Siluman itu lalu bangkit berdiri, melangkah maju dan gadis-gadis itu berlutut di sekelilingnya. Siluman itu lalu menagangkat kedua tangannya ke atas kepala dengan lengan dikembangkan, muka tengkorak itu tengadah lalu terdengar suaranya lantang dan mengandung getaran yang amat kuat sehingga diam-diam Thian Sin terkejut bukan main. Itulah tenaga khi-khang yang kuat bercampur dengan kekuatan mujijat ilmu sihir! "Yang Mulia Dewa Kematian, silahkan menjelma agar hamba sekalian dapat mengesahkan pengangkatan seorang pemuja baru untuk paduka...!" Suara itu bergema dan semua hadirin memandang dengan sikap hormat dan juga dengan hati tegang. Biarpun mereka yang hadir itu sudah beberapa kali menyaksikan peristiwa ini, namun selalu mereka merasakan ketegangan luar biasa karena pada saat itu mereka merasakan getaran aneh yang seolah-olah mengguncang jantung. Bahkan para pendekar yang hadir diamdiam harus mengakui bahwa sin-kang yang mereka kerahkan untuk menekan getaran itu jauh kalah kuat, membuat mereka merasa semakin kagum terhadap Sian-su! Thian Sin bersikap tenang, namun dengan mengerahkan tenaga dalam dan juga kekuatan sihirnya, dia mampu memandang lebih terang dan tahulah dia bahwa dengan kekuatan sihir yang kuat, orang itu telah mempengaruhi semua orang dengan halus tanpa mereka sadar bahwa mereka telah disihir melalui suara itu. Tiba-tiba terdengar suara ledakan keras dan nampak asap putih kebiruan mengepul tebal di tempat Siluman Tengkorak itu berdiri. Siluman itu lenyap terbungkus asap tebal dan musik masih dimainkan dengan lagu yang aneh tadi. Selagi asap masih mengepul tebal, nampaklah dua puluh orang lebih penari yang tadi, kini sudah berganti pakaian gaun tipis berwarna-warni. Me-reka berlari-lari ringan dan menari-nari, membuat lingkaran mengelilingi Sian-su yang masih terbungkus asap di tengah-tengah lingkaran tujuh orang gadis yang masih berlutut. Perlahan-lahan asap itu membuyar dan mulai nampak lagi tubuh orang itu, dan kini semua orang memandang dengan hormat, bahkan ada di antara para hadirin yang menjatuhkan diri ber-lutut memberi hormat. Thian Sin memandang ta-jam dan diapun terkejut melihat betapa wajah tengkorak itu kini mengeluarkan cahaya cemerlang! Orangnya masih yang tadi, tidak ada perobahan, yang berobah hanya wajah tengkorak itu yang mengeluarkan cahaya, sedangkan sepasang mata itupun kini bersinar-sinar mencorong lebih terang dari pada tadi. Thian Sin maklum bahwa ledakan dan asap tadi hanya merupakan hasil dari pada bahan ledakan saja, dan bahwa orang itu telah mempengaruhi pikiran dan semangat para hadirin dengan getaran suaranya. Akan tetapi, dia sendiri tidak tahu apa yang membuat wajah tengkorak atau topeng tipis itu menjadi cemerlang seperti itu. Dia tahu pula bahwa tentu semua yang hadir percaya bahwa kini Dewa Kematian telah menjelma dan memasuki tubuh Sian-su! Tentu saja kepercayaan seperti ini membuat mereka itu semua tunduk dan kagum. Seorang anggauta siluman mendekati Thian Sin dan dari kepalanya yang miring ke kiri itu Thian Sin dapat menduga bahwa orang ini tentulah tosu yang pertama kali memancingnya masuk ke tempat ini. "Taihiap, saya bertugas untuk memberi keterangan kepadamu sekiranya taihiap ingin mengetaui sesuatu." Thia Sin tersenyum dan merasa bahwa pertunjukan ini, selain untuk mempengaruhi para hadirin dan menarik kepercayaan mereka, juga sengaja diperlihatkan kepadanya! Maka diapun mengikuti permainan ini dan bertanya dengan suara dibuat bernada penuh keheranan, "Aku ingin tahu mengapa wajah Sian-su menjadi bercahaya seperti itu?" Dengan suara yang serius dan penuh hormat, siluman itu berbisik, "Taihiap, yang berdiri itu hanyalah tubuh Sian-su, akan tetapi sesungguhnya adalah Dewa Kematian yang memasuki dirinya." "Ahhh...!" Thian Sin pura-pura heran dan mengangguk-angguk. Kini dia melihat dua orang anggauta siluman naik dan menghampiri Sian-su. Siluman Tengkorak ini menggerakkan tangan kiri ke udara dan tahu-tahu dia telah memegang secawan arak! Lalu dipercikkan arak dari cawan itu kepada dua orang anggauta yang sudah belutut, mengenai kepala dan sebagian lehernya. Percikan cawan ini seolah-olah menjadi isyarat bagi mereka berdua dan mereka sudah mencabut sebatang pe-dang pendek dari pinggang, kemudian mulai menggurat leher dan pipinya dengan pedang itu. Darahpun muncrat dari luka-luka itu, akan tetapi kedua orang ini seperti tidak merasakan sesuatu, lalu menari-nari dengan aneh diiringi suara musik dan ditanggapi oleh para penari yang mengelilingi tempat itu dengan gerakan-gerakan pinggul yang memutar-mutar erotis. Dua orang itu lalu sibuk menuliskan huruf-huruf dengan darah mereka di atas potongan-potongan kain putih. Anggauta siluman yang duduk di dekat Thian Sin menerangkan tanpa diminta, "Itu adalah hui-hu yang ditulis dengan darah mereka dan menjadi jimat penolak iblis yang akan dibagi-bagikan kepada para tamu. Sekarang akan diadakan upacara injak bara api dan mandi minyak mendidih." Ternyata persiapannya untuk itu telah dikerjakan dengan amat cepatnya oleh para anggauta siluman dan sebentar saja telah terhampar bara api dari arang yang membara sepanjang tiga meter, dan tak jauh dari situ terdapat kuali besar penuh minyak yang dipanaskan sampai mendidih. Semua tamu yang duduknya cukup jauh dari tempat itu masih merasakan panasnya bara api itu. Setelah persiapannya selesai dan semua kain putih sudah ditulisi darah, dua orang anggauta perkumpulan siluman itu bangkit, menari-nari, masih menggores-goreskan pisau atau pedang kecil itu pada dada mereka yang telanjang, kemudian mereka menghampiri bara api dan berjalan dengan kaki telanjang di atas arang membara! Dua kali mereka jalan melintasi arang membara itu, kemudian keduanya menghampiri kuali yang penuh minyak mendidih dan mengoles-oleskan minyak mendidih itu pada tubuh mereka. Sungguh luar biasa sekali. Asap mengepul dari tubuh mereka, akan tetapi kulit mereka sama sekali tidak melepuh atau terbakar, bahkan luka-luka goresan yang tadinya berdarah itu menjadi sembuh dan pulih kembali, bahkan bekas goresan luka saja tidak ada lagi! Tontonan seperti ini bukanlah tontonan baru bagi orang-orang yang hadir, juga bagi Thian Sin, akan tetapi selalu masih amat menarik perhatian dan mendatangkan kengerian, membuat kepercayaan orang akan hal-hal yang aneh dan tidak mereka mengerti menjadi semakin tebal menyelinap ke dalam hati, dan membuat mereka lebih condong menerima ketahyulan dan membiarkan diri terpengaruh. Thian Sin pernah nonton beberapa kali pertunjukan dari para tangsin seperti itu, yang dilakukan di kuil-kuil sewaktu ada upacara atau pesta. Maka, dia tidak merasa heran walaupun dia tahu bahwa peristiwa itu sama sekali bukan hasil main sulap, melainkan akibat dari penyihiran diri sendiri melalui kepercayaan yang mutlak. Sudah menjadi kelemahan kita manusia pada umumnya untuk merasa tertarik kepada hal-hal yang aneh-aneh, peristiwa-peristiwa yang tak masuk akal dan penuh rahasia, keajaibankeajaiban dan kemujijatan-kemujijatan. Kita selalu merasa haus akan hal-hal yang baru, yang aneh, yang tidak kita mengerti. Kita begitu mendambakan hal-hal baru sehingga kita sudah melupakan hal-hal lain yang terjadi di sekeliling kita, yang kita anggap lapuk dan lama, tidak menarik lagi. Padahal segala macam keajaiban dan kemujijatan terjadi di sekitar kita, bahkan di dalam diri kita sendiri. Tumbuhnya setiap helai rambut di kepala dan bulu di kulit kita merupakan keajaiban dan kemujijatan yang besar, detik jantung kita yang mengatur peredaran darah di seluruh tubuh kita, kembang-kempisnya paru-paru kita yang menghidupkan, bekerjanya seluruh anggauta tubuh kita, panca indera kita, be-kerjanya otak kita yang membuat kita dapat bicara, mendengar, melihat dan berpikir. Bukankah semua itu merupakan sesuatu yang amat indah, sesuatu yang amat ajaib dan mujijat, di mana sepenuhnya terdapat suatu kekuatan gaib yang sungguh maha kuasa" Kemudian, segala yang nampak di luar diri kita. Gunung-gunung raksasa, tumbuh-tumbuhan dengan aneka warna, bunga, dan aneka rasa buahnya, segala mahluk hidup yang bergerak dengan segala macam bentuk, corak dan sifatnya, lalu awan berarak di angkasa, menciptakan hujan, hawa udara yang menghidupkan, sinar matahari, air, bumi, langit dan segala isi alam ini. Bukankah semua itu merupakan keajaiban yang amat hebat" Namun kita sudah tidak menghargai semua itu lagi, kita sudah buta akan keajaiban itu, kita menggapnya biasa saja sehingga melihat orang menginjak bara api saja kita kagum setengah mati! Padahal, apa sih anehnya menginjak bara api itu kalau dibandingkan dengan tumbuhnya sehelai rambut kepala atau kuku jari kita" Keajaiban atau sesuatu yang kita anggap aneh adalah karena kita belum mengerti. Karena tidak mengerti, tidak tahu bagaimana proses terjadinya, maka kita lalu menganggapnya aneh, ajaib dan menimbulkan khayal yang bukan-bukan. Akan tetapi, sekali orang sudah mengerti, hal yang tadinya dianggap ajaib itupun menjadi biasa dan terlupakan, tidak menarik lagi, seperti tidak menariknya melihat segala keajaiban yang terjadi sehari-hari di sekeliling kita. Kita memandang selalu jauh ke depan, mencari-cari yang baru. Kita ini mahkluk pembosan. Tertarik akan hal-hal baru memang merupakan suatu sifat yang baik, seperti kanak-kanak yang selalu ingin tahu. Akan tetapi sifat ini harus merupakan dorongan untuk menyelidiki sesuatu bukan menerima segala sesuatu begitu saja sehingga men-ciptakan watak tahyul. Ketahyulan adalah suatu kebodohan, menerima sesuatu dengan keyakinan padahal kita tidak mengerti, dan hal ini terjadi karena kita suka akan sensasi. Menerima sesuatu dengan kata "percaya" maupun dengan kata "tidak percaya" adalah perbuatan bodoh dan tidak bijak-sana, karena menerima sesuatu dengan kata seperti itu berarti bahwa kita belum atau tidak mengerti. Sebaiknya kalau kita menghadapi sesuatu yang tidak kita mengerti itu dengan waspada, membuka mata dan telinga, dan menyelami sendiri, menyelidiki sendiri sehingga kita mengerti. Karena kalau kita sudah mengerti, tidak ada lagi istilah percaya atau tidak percaya. "Taihiap, sekarang akan dimulai upacara pengangkatan murid wanita yang baru," kata pula anggauta siluman itu kepada Thian Sin ketika pertunjukan itu selesai dan tempat itu sudah dibersihkan kembali. Tiba-tiba musik berbunyi lebih nyaring dan nampaklah seorang wanita berjalan perlahan-lahan menaiki panggung atau puncak datar itu. Thian Sin memandang dan dia melihat bahwa wanita itu cantik dan biarpun mukanya agak pucat, namun muka itu sungguh mempunyai daya tarik yang kuat. Wajah dan tubuhnya menakjubkan bahwa wanita ini sudah masak, usianya tentu ada dua puluh tujuh tahun, rambutnya yang hitam terurai lepas itu amat tebal dan panjangnya sampai ke pinggul, kedua kakinya yang kecil telanjang dan ia memakai gaun yang sama tipisnya dengan gadis-gadis penari, gaun panjang menutupi kaki dan terseret ke atas lantai, warnanya putih bersih. Dipandang sepintas lalu wanita ini seperti seorang mempelai yang akan dipertemukan. Wanita itu berjalan perlahan, kemudian berhenti di depan Sian-su yang masih berdiri tegak dengan wajah bercahaya, dan wanita itu sejenak memandang wajah itu lalu mengeluh lirih dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Sian-su! "Itukah anggauta baru?" Thian Sin bertanya.- "Benar, taihiap, dan ia itulah wanita yang kau sebut-sebut ketika taihiap menghadap Sian-su." Thian Sin benar-benar terkejut sekali. "Apa" Kaumaksudkan ia ibu muda dari kedua orang anak itu" Ibu dari keluarga Cia yang terculik?" Thian Sin bangkit berdiri. "Jadi benarkah bahwa kalian telah menculiknya dan membawanya ke sini?" "Sabar dan tenanglah, taihiap," kata orang itu dan dengan sudut matanya, Thian Sin dapat melihat betapa para anggauta perkumpulan itu agaknya selalu memperhatikannya dan mereka telah siap untuk turun tangan apa bila nampak gejala bahwa dia akan memberontak. "Jangan menuduh yang bukan-bukan. Nanti setelah diadakan upacara sembahyang, selalu para tamu diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan sendiri kepada calon anggauta atau murid baru." "Hemm, jadi akupun boleh mengajukan pertanyaan langsung kepada wanita itu?" "Tentu saja boleh, akan tetapi nanti setelah upacara sembahyang." Thian Sin menahan dorongan hatinya yang membuatnya penasaran. Jadi benar, wanita itu, ibu dari dua orang bocah she Cia itu, telah berada di sini! Dan memakai gaun yang begitu tidak sopan sama sekali, gaun tipis tembus pandang tanpa ada sehelai kain penutup tubuh di balik itu! Padahal, suami wanita ini terbunuh, demikian pula enam orang pendekar lain. Ada apakah di balik semua ini" Tentu wanita itu berada dalam pengaruh sihir, pikirnya. Akan tetapi, ada peristiwa seperti itu yang amat keji dan jahat kalau dugaannya memang benar, mengapa para tamu yang terdiri dari orang-orang berpangkat dan para pendekar itu suka menjadi pengikut atau peminat" Apakah me-reka itupan tersihir oleh Sian-su itu" Dia harus menyelidikinya dan kalau benar seperti apa yang diduganya itu, dia harus menentang dan membas-minya! Akan tetapi, diapun bukan tidak tahu bahwa pihak lawan ini amat berbahaya dan kuat, maka dia harus bersikap hati-hati sekali. Kini Sian-su mengulur tangannya ke arah wanita itu yang segera menyambut uluran tangan itu dan wanita itupun bangkit berdiri, kemudian digandeng tangannya oleh Sian-su, berjalan menuju ke tepi dataran itu di mana terdapat pondok kecil untuk pemujaan dewa. Sian-su atau siluman itu lalu menerima sebongkok hio yang sudah dinyalakan dari seorang anggauta perkumpulan yang bertugas di situ. Dia lalu mengacungkan hio ke empat penjuru, dan membagi-bagi hio itu menjadi tujuh. Kini wanita itu lalu bersembahyang di depan tujuh pondok kecil, setiap kali selesai sembahyang sambil berlutut lalu menaruh hio di depan pondok, di tempat abu hio. Setelah selesai, ia dituntun oleh Sian-su dan setelah dilepaskan, wanita itu kembali menjatuhkan diri berlutut di depan Sian-su yang berdiri di depannya. Tujuh orang gadis yang tadi membawa kelinci dan bermacam barang itu selalu mengikuti mereka dari belakang dan kini mereka bertujuh juga berlutut mengelilingi Sian-su. Orang itu lalu mengangkat kedua tangan ke atas kepala dan mengeluarkan suara aneh, suara melengking dalam seperti bukan suara manusia dan ketika tangan kanannya melambai, tahu-tahu tangan itu telah memegang sebatang bunga yang diberikannya kepada wanita itu. Wanita itu menerima bunga, mencium bunga dengan khidmat, lalu menancapkan bunga itu di rambutnya yang tebal. Kemudian, kembali Sian-su mengangkat kedua tangan ke atas dan mengembangkan kedua lengannya. Terdengar suara ledakan disusul asap seperti tadi. Seperti juga tadi, asap itu menyelulubungi dirinya dan juga wanita itu sehingga tidak nampak, kemudian setelah asap membuyar, Sian-su masih berdiri seperti tadi, hanya kini cahaya pada wajahnya tidak lenyap. "Sang Dewa Kematian telah kembali ke asalnya," demikianlah si muka tengkorak yang menemani Thian Sin menerangkan hal yang memang telah dapat diduga oleh Thian Sin. Siluman Tengkorak atau Sian-su itu kini meng-hadapi para tamunya dan berkata dengan suara biasa, "Cu-wi yang mulia, seperti biasa, kalau ada yang ingin tahu, silahkan mengajukan pertanyaan kepada murid baru ini." Mendapatkan kesempatan ini, Thian Sin tidak dapat menahan kesabaran hatinya lagi. Dia lalu bangkit berdiri dan menghampiri Sian-su yang menyambutnya dengan sikap ramah. "Ah, Cengtaihiap suka memberi kehormatan kepada murid baru kami untuk mengajukan pertanyaan" Silahkan, silahkan, taihiap!" Thian Sin mengangguk dan semua tamu memandang dengan hati tertarik. Mereka semua adalah pengikut-pengikut yang setia dan penuh kepercayaan, maka kini mendengar bahwa Pendekar Sadis hendak mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tentu saja maksudnya menguji, mereka merasa tertarik. Mereka sendiripun tadinya ragu-ragu ter-hadap perkumpulan agama pemuja Dewa Kematian ini, akan tetapi setelah mereka menguji dan melihat hasil-hasil baiknya, mereka menaruh kepercayaan sepenuhnya. Siapa yang tidak suka menjadi pengikut" Selagi hidup dapat menikmati kesenangan yang amat luar biasa di tempat ini, dan selain itu, mereka semua telah menjadi pemuja Dewa Kematian sehingga telah menjadi "sahabat" baik dewa itu. Dengan demikian, mereka akan terjamin kelak kalau terpaksa harus menghadapi kematian karena dewanya telah menjadi sahabat baik mereka dan akan menurut wejangan Sian-su, karena menjadi sahabat baik, maka Dewa Kematian akan berlaku murah terhadap mereka dan akan dapat "memperpanjang" kehidupan mereka dan tidak cepat-cepat mencabut nyawa mereka. Janji-janji muluk yang selalu dipamerkan memang merupakan umpan yang amat menarik bagi manusia pada umumnya yang selalu mengejar kesenangan dan keenakan, di manapun dan kapanpun juga. Bahkan untuk mendapatkan janji-janji muluk ini, manusia tidak segan-segan untuk melakukan apa saja, bahkan kalau perlu menyiksa diri. Betapa banyaknya orang menyiksa diri dengan berpuasa dan betapa di tempat sunyi, penyiksaan diri karena di sana terdapat harapan atau janji bahwa mereka akan memperoleh ganjaran batin yang tentu saja menyenangkan" Bahkan untuk keadaan mereka sesudah mati sekalipun, selagi masih hidup manusia sudah hendak mengaturnya, se-mua itu demi memperoleh kepastian bahwa keadaannya kelak "di sana" akan enak, keenakan yang diukur dengan keadaan di waktu masih hidup. Wanita itu masih berlutut dan Thian Sin terpaksa juga berjongkok ketika menghampirinya dan hendak mengajukan pertanyaan. "Nyonya, bolehkah saya mengetahui namamu?" Wanita itu mengangkat muka memandang kepada Thian Sin dan diam-diam Thian Sin harus mengakui bahwa isteri Cia Kok Heng ini adalah seorang wanita yang cantik menarik dan manis sekali. Ketika dia memandang matanya, dia mendapatkan kenyataan bahwa memang benar wanita itu berada dalam keadaan tersihir atau setidaknya dalam keadaan tidak begitu sadar! Tentu saja dia menjadi marah. "Namaku Lu Sui Hwa..." jawab wanita denga sikap ramah dan senyum manis menghias bibirnya. Thian Sin lalu mengerahkan tenaga saktinya dan menggunakan kekuatan sihir untuk menyadarkan wanita itu sambil berkata, "Lu Sui Hwa, sadarlah engkau dan mulai saat ini pergunakan pikiranmu sendiri!" Dengan gerakan tangan, Thian Sin membuat gerakan jari tangan kiri di depan wajah wanita itu. Wanita itu segera terbelalak dan mengeluarkan seruan tertahan. "Ihhh...!" "Sui Hwa, tenanglah dan jawab semua pertanyaan Pendekar Sadis. Ingat, engkau berada dalam keadaan aman!" Tiba-tiba terdengar suara Sian-su yang lemah lembut. Ucapan itu membuat sepasang mata yang terbelalak itu menjadi suram dan wanita itu memandang kepada Thian Sin dengan penuh kecurigaan! Akan tetapi, Thian Sin melihat bahwa usahanya berhasil dan wanita itu kini benar-benar telah sadar. "Nyonya, kenalkah engkau kepada orang yang bernama Cia Kok Heng?" tanyanya dengan lantang. Akan tetapi, betapa heran hatinya ketika wanita itu menjawab dengan wajar, "Dia adalah suamiku." "Dan dua orang anak kecil, seorang anak laki-laki dan seorang wanita bernama Cia Liong dan Cia Ling?" Wajah itu menjadi pucat sekali, akan tetapi suaranya masih terdengar tenang dan lantang ketika menjawab, "Mereka adalah anak-anakku!" Thian Sin lalu bangkit berdiri dan suaranya lantang dan penuh wibawa ketika dia berkata lagi, "Nyonya Cia, engkau yang mempunyai suami dan dua orang anak, kenapa bisa berada di sini?" Suasana menjadi tegang. Semua tamu maklum bahwa Pendekar Sadis ini mencari-cari permusuhan, dan semua telinga ditujukan kepada wanita itu, menanti jawabannya. Thian Sin sudah bersiap siaga karena dia merasa yakin bahwa wanita ini tentu akan membuka rahasia Siluman Guha Tengkorak, bahwa ia telah diculik oleh mereka. "Aku memang meninggalkan mereka untuk menjadi pengikut Sian-su!" Jawaban ini tentu saja tidak disangka sama sekali oleh Thian Sin dan mukanya menjadi merah ketika dia mendengar suara ketawa tertahan di sana-sini. Dia menggunakan kekuatan sihirnya untuk "mencuci" wanita yang masih berlutut itu dari hawa atau pengaruh sihir yang mempengaruhi, akan tetapi mendapat kenyataan bahwa wanita itu tidak lagi dalam pengaruh sihir, melainkan menjawab dalam keadaan sadar! "Engkau sebagai seorang nyonya terhormat rela merendahkan diri, mengenakan pakaian seperti ini dan meninggalkan suami dan anak-anakmu?" Suara Thian Sin mengandung penasaran dan dia tahu bahwa pertanyaannya itu tentu akan menikam perasaan seorang ibu dan isteri yang terhormat. "Taihiap, pertanyaanmu itu sudah menyimpang dan merupakan penghinaan!" Terdengar Sian-su berkata halus dan Thian Sin menoleh. Dia melihat betapa pandang mata para tamu ditujukan kepadanya dengan penuh penasaran, dan wanita itupun menunduk dan menangis! "Sui Hwa, jawablah, apakah ada yang memaksamu menjadi pengikut kami dan menjadi pemuja Dewa Kematian?" tanya Sian-su dengan suara lantang. "Tidak ada, aku masuk atas kehendakku sendiri," jawab nyonya itu. "Dan engkau rela mengikuti semua upacara dan peraturan seperti yang sudah berlaku di sini?" "Aku rela." Sian-su berpaling kepada Thian Sin. "Ceng-taihiap sudah mendengar cukup, maka harap silahkan duduk dan menyaksikan upacara selanjutnya. Boleh saja orang luar merasa tidak setuju dengan cara-cara kami, akan tetapi jelas bahwa orang luar tidak berhak mencampuri." "Aku tidak ingin mencampuri, hanya ingin tahu keadaan yang sebenarnya," bantah Thian Sin. Akan tetapi, para anggauta perkumpulan itu sudah datang mengurung dan para tamu juga memandang marah. Melihat ini, Thian Sin menggerakkan pundaknya dan kembali ke tempat duduknya, mulai meragukan kebenaran tindakannya memasuki sarang berbahaya ini. Bagaimana kalau memang wanita itu adalah wanita tak bermalu yang rela meninggalkan suami dan anak-anak untuk menjadi pengikut perkumpulan yang cabul ini" Mungkin saja suaminya tidak rela melepaskan dan bersama kawan-kawannya yang merupakan Tujuh Pendekar Tai-goan mereka memusuhi perkumpulan ini akan tetapi mereka dikalahkan sehingga semua jatuh tewas. Kalau benar demikian keadaannya, maka persoalannya tentu saja menjadi lain sama sekali! Dengan termangu-mangu Thian Sin menyaksikan upacara yang mulai dilakukan oleh Sian-su. Siluman atau pendeta siluman ini mengambil ke-linci putih dari tangan seorang di antara tujuh orang gadis, lalu mengambil pedang emas. Dia mengangkat kelinci itu di depannya, tepat di atas kepala Lu Sui Hwa atau nyonya Cia Kok Heng, kemudian pisau atau pedang kecil dari emas itu dihunjamkan ke leher kelinci putih! Darah me-ngucucur keluar dari luka leher itu ketika pisau dicabut nampak jelas sekali menodai bulu putih bersih, kemudian darah itu mengucur jatuh ke atas kepala nyonya muda itu! Dari atas kepala, darah kelinci itu mengalir dan membasahi mukanya. Wa-nita itu tengadah dan nampak tersenyum bahagia sambil memejamkan matanya dan dari jauh Thian Sin dapat melihat bahwa wanita itu kembali telah berada dalam cengkeraman sihir. Akan tetapi karena tadi malam dalam keadaan sadar wanita itu telah mengaku bahwa ia melakukan semua itu atas kehendak hatinya sendiri dan secara suka rela, apa yang dapat dilakukannya" Dia hanya dapat memandang. Kini pendeta siluman itu membiarkan darah kelinci memasuki bokor emas yang dipegang oleh salah seorang gadis, sampai darah itu tidak menetes lagi dari leher kelinci. Tentu saja kelinci itu mati kehabisan darah. Akan tetapi, ketika pendeta siluman itu dengan bentakan nyaring melemparkan kelinci ke bawah, kelinci yang mandi darah itu menggerakkan tubuhnya dan lari cepat ke tebing dan menghilang di balik jurang! Thian Sin mengangguk-angguk. Memang pendeta ini seorang lawan yang tangguh, juga dalam ilmu sihirnya! Sang pendeta lalu menuangkan arak atau anggur dari dalam guci-guci emas ke dalam bokor, mencampur arak itu dengan darah kelinci. Kemudian musikpun dipukul dengan gencar penuh semangat, makin lama makin panas ketika pendeta itu, diwakili oleh tujuh orang penari, membagibagikan isi bokor ke dalam cawan arak para ta-mu! Thian Sin yang hendak diberi, menolak keras dengan menggeleng kepala dan mukanya menyatakan jijik. Kini semua penari, berikut tujuh orang gadis yang jumlahnya tidak kurang dari tigapuluh orang, menari semua, menurutkan irama musik yang makin lama semakin panas merangsang. Dan perla-han-lahan, Lu Sui Hwa juga menggerak-gerakkan tubuhnya dan bangkit berdiri sambil menari. Agaknya ia tidak pernah belajar menari, akan tetapi ia hanya menggerak-gerakkan kedua lengan dan pinggulnya, dan karena ia seorang wanita cantik yang memiliki bentuk tubuh yang indah, biarpun begitu tetap saja ia nampak amat menarik! Seorang pemuda yang tadinya duduk di bagian tamu, nam-paknya sudah mabok atau terseret oleh keadaan itu. Sambil tersenyum lebar dia maju menghampiri Sian-su yang memegang tangannya dan menariknya mendekati Sui Hwa. Mereka agaknya berkenalan dan Sui Hwa menyambutnya dengan senyum manis, kemudian pemuda yang kelihatan sudah mabok itu lalu merangkul dan menjilati darah yang menodai wajah Sui Hwa, dan keduanya menari-nari dan berpelukan! Para tamu mulai gembira, bersorak dan bertepuk tangan mengikuti irama musik. Agaknya setelah minum anggur bercampur darah tadi, mereka semua menjadi mabok berahi! Serentak mereka berdiri dan menari-nari, masing-masing memilih pasangan sendiri-sendiri di antara para penari dan terjadilah pemandangan yang hampir tidak dapat dipercaya oleh Thian Sin kalau dia tidak menyaksikannya sendiri! Orang-orang itu mungkin telah menjadi gila, pikirnya. Mereka menari ber-pasangpasangan, saling rangkul, saling belai dan saling cium, sedikitpun tidak merasa malu dan musikpun semakin riuh
rendah, keranjingan dan mereka semua seperti telah kerasukan iblis! Pendeta siluman itu sendiri sudah meraih pinggang seorang wanita muda sekali, yang cantik manis dan yang agaknya memang menjadi kekasihnya. Thian Sin tahu bahwa wanita muda ini adalah Thio Siang Ci, mempelai wanita di dusun Ban-ceng yang telah diculik pada malam pengantin! Diculik karena pendeta siluman itu sendiri yang tertarik dan tergila-gila kepada kembang dusun Ban-ceng ini. Juga Pendekar Sadis tidak tahu bahwa orang muda yang kini sudah bergumul sambil menari-nari itu adalah seorang pemuda bangsawan she Phang dari Taigoan yang telah lama tergila-gila kepada isteri Cia Kok Heng yang kini telah berada dalam pelukannya dan melayani hasrat hatinya dengan nafsu berahi bernyala-nyala itu. Sebetulnya, perkumpulan yang menamakan diri-nya perkumpulan agama Jit-sian-kauw ini secara diam-diam sudah lama bersarang di tempat itu. Perkumpulan ini dipimpin oleh orang yang hanya dikenal dengan sebutan Sian-su dan secara diam-diam pula telah diakui oleh banyak anggauta yang terdiri dari orang-orang penting di sekitar Tai-goan, bahkan ada pula yang dari kota raja. Secara resmi, agama ini mengadakan pelajaran-pelajaran agama yang diambil dari Agama Buddha Hinayana dan Agama To, dicampur dengan unsur dari agama kuno seperti Im-yangkauw dan lain-lain yang menjurus kepada pelajaran kebatinan yang mengejar hal-hal gaib. Di antara tujuh dewa yang dipuja oleh Jit-sian-kauw (Agama Tujuh Dewa) itu yang terutama sekali dan menjadi pusat dari pemujaan mereka adalah Dewa Kematian. Di bawah pimpinan Sian-su, para anggauta dituntun untuk memuja dewa ini yang dianggap dapat memberi usia panjang dan dapat mengatur nasib mereka kelak setelah mereka mati. Pemimpin yang disebut Sian-su itu adalah seorang yang selalu bersembunyi di balik topeng tengkorak sehingga belum pernah ada yang melihat atau mengenal wajah aselinya. Akan tetapi semua anggauta dan pengikut amat hormat dan taat kepadanya karena memang orang ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, bukan hanya dalam ilmu silat akan tetapi juga ilmu gaib. Sian-su ini dikabarkan memiliki kepandaian seperti dewa, dapat menghilang, dapat mendatangkan tujuh dewa yang dipuja-puja itu. Bukan itu saja, bahkan dalam upacara-upacara diadakan pesta yang oleh Sian-su dinamakan pesta pembebasan nafsu badaniah! Di dalam pesta seperti ini, mereka membiarkan diri hanyut dalam seretan gelombang nafsu berahi yang melanda mereka di mana mereka boleh melampiaskan nafsu berahi mereka sepuasnya dengan siapapun juga asal tidak ada unsur pemaksaan. Menurut ajaran Sian-su itu, nafsu itu akan meliar dan kalau diberi penyaluran sewajarnya tanpa ada perbuatan paksa, akhirnya nafsu itu akan habis sendiri kekuatannya dan tidak lagi mencengkeram jasmani kita sehingga jasmani kita cukup memenuhi syarat untuk menjadi jasmani yang bersih dan dihuni oleh jiwa yang bersih pula dan yang kelak akan diterima menjadi kesayangan Dewa Kematian. Tentu saja pelajaran yang diberikan ini merupakan pelajaran palsu yang amat berbahaya dan sama sekali tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Yang jelas dapat dinyatakan adalah bahwa nafsu keinginan dalam bentuk apapun juga timbul dari pada si aku yang ingin senang, dan nafsu ini bersifat seperti api yang apabila diberi hati, apabila dituruti akan seperti api yang diberi bahan bakar. Makin banyak diberi bahan bakar, makin bernyala dan makin menjadi, makin membesar dan tidak akan padam lagi. Mengendalikan nafsupun tidak akan ada gunanya. Mematikan nafsu dengan kekerasan kemauanpun percuma karena yang mematikan dengan kekerasan itu adalah kemauan si aku pula yang ingin senang, yang menganggap bahwa kalau dapat mematikan nafsu itu akan lebih senang dari pada kalau dikuasai nafsu. Sering kali terjadi konflik dalam batin sendiri. Di satu pihak keinginan atau nafsu itu timbul, di lain pihak keinginan untuk mematikanpun timbul. Konflik ini merupakan api dalam sekam yang nampaknya saja padam, namun sesungguhnya masih membara dan sewaktu-waktu akan dapat berkobar lagi kalau penutupnya kurang kuat atau terbuka. Nafsu itu sendiri merupakan enersi yang hebat. Nafsu itu sendiri amat penting bagi kehidupan. Hanya cara penggunaannya yang menentukan apakah ia merusak ataukah mendatangkan manfaat. Dan cara yang baik dan benar ini timbul dengan sendiri melalui kewaspadaan dan kesadaran dari pengamatan diri pribadi. Pengamatan diri pribadi akan menimbulkan kebijaksanaan dan dengan sendirinya timbul ketertiban yang tidak diatur lagi oleh si aku yang ingin senang. Pengamatan diri pibadi ini dapat terjadi setiap saat, yang berarti ada perhatian dan waspada sepenuhnya terhadap gerak-gerik kita, baik gerak-gerik hati, pikiran, kata-kata maupun perbuatan. Bukan mengamati sambil menilai karena penilaian itu juga merupakan hasil pekerjaan si aku! Jadi, kita harus sungguh-sungguh waspada akan segala kepalsuan yang terjadi setiap saat, bukan hanya kepalsuan yang terjadi di luar diri, melainkan terutama sekali kepalsuankepalsuan yang terjadi di dalam batin kita sendiri. Dengan umpan kesenangan dalam pemuasan nafsu berahi ini, Sian-su berhasil menarik minat banyak orang untuk menjadi pengikut perkumpulan agamanya. Tentu saja diapun memilih-milih orang, terutama sekali dipilih orang-orang yang berkedudukan, yaitu para bangsawan, hartawan, dan juga orang-orang yang memiliki ilmu silat atau yang menamakan diri mereka pendekarpendekar. Dan kerena sifat dari pesta-pesta agama ini, para pengikut itu sendiri merahasiakannya dari orang luar karena bagaimanapun juga, setiap orang manusia itu mempunyai naluri akan penyelewengannya sendiri dan merasa malu kalau penyelewengannya diketahui orang. Demi kesenangan yang telah mencandu, mereka itu dengan sendirinya memerangi perasaan salah ini dengan berbagai alasan pelajaran keagamaan seperti yang diajarkan oleh Sian-su. Hanya pada hari-hari tertentu saja mereka berdatangan ke tempat itu, dan hanya para anggauta inilah yang tahu jalannya, malalui jalan rahasia yang hanya terbuka untuk mereka, yaitu tempat pemujaan di tengah-tengah pegunungan yang tidak nampak dari luar dan hanya dapat dicapai malalui jalan terowongan rahasia itu. Sudah lebih dari dua tahun perkumpulan agama itu bersarang di situ, akan tetapi tidak ada yang mengetahuinya kecuali para anggauta atau pengikut. Para pengikut ini telah banyak menyerahkan uang sumbangan kepada perkumpulan, akan tetapi mereka tahu pula bahwa uang itu dipergunakan untuk memajukan perkumpulan dan terutama sekali untuk menyenangkan mereka. Pesta-pesta itu, dengan hidangan-hidangan yang lezat, membutuhkan uang. Juga untuk memelihara para anggauta atau murid-murid wanita yang cantik-cantik, muda dan pandai menari itupun membutuhkan uang. Apa lagi untuk membangun "istana" mereka yang berada di puncak bukit tersembunyi itu, membuat pondok-pondok untuk tujuh dewa, semua membutuhkan uang yang amat banyak. Karena itu mereka tidak merasa sayang untuk menyumbangkan harta benda. Tentu saja mereka yang sudah percaya penuh kepada kebjaksanaan Sian-su itu sama sekali tidak mau percaya akan desas-desus bahwa perkumpulan mereka itu melakukan kejahatankejahatan akhir-akhir- ini. Mereka menganggapnya sebagai kabar bohong dan fitnah belaka. Mereka tidak tahu bah-wa nafsu ketamakan orang yang mereka sebut Sian-su itu makin lama semakin menjadi dan untuk membuat pondok-pondok dan benda-benda dari emas tulen itu membutuhkan banyak sekali uang. Dan untuk memenuhinya, orang itu telah mempergunakan kepandaiannya sendiri dan kepandaian anak buahnya untuk melakukan pencurian-pencurian. Juga untuk memperlengkapi persediaan mereka akan wanita-wanita cantik, maka perkumpulan ini mulai pula melakukan penculikan-penculikan atas diri wanita-wanita muda dan cantik. Bahkan, tin-dakan Sian-su sudah sedemikian berani untuk memenuhi "pesanan" dari pemujanya, dan pada ma-lam hari itu dia telah memenuhi pesanan dari pemuda bangsawan Phang yang tergilagila kepada nyonya Cia Kok Heng! Akan tetapi, yang tahu akan hal ini hanyalah pemuda Phang itu dan Sian-su sendiri dan tentu saja untuk jasa ini pemuda Phang yang kaya raya itu tidak sayang untuk memberi hadiah sumbangan yang amat besar! Perkumpulan agama ini mempunyai anak buah yang tidak terlalu banyak, hanya kurang lebih empat puluh orang, terdiri dari berbagai golongan, akan tetapi rata-rata mereka memiliki ilmu silat yang lumayan. Mereka ini adalah anak buah dan juga murid-murid Sian-su yang memiliki dasar ilmu silat berbagai aliran. Tidak semua dari me-reka dari golongan penjahat, bahkan banyak pula yang terdiri dari orang baik-baik yang tertarik akan agama itu dan kemudian menjadi pengikut lalu diangkat menjadi murid dan anak buah. Se-perti juga Sian-su, setelah menjadi anak buah perkumpulan agama itu dalam melaksanakan tugas mereka semua menggunakan pakaian seragam dan juga topeng tengkorak. Mengapa mereka mempergunakan pakaian dan topeng tengkorak" Hal ini adalah untuk menyata-kan pujaan mereka terhadap Dewa Kematian. Tengkorak merupakan lambang kematian, dan kebetulan sekali mereka mendapatkan sarang di Guha Tengkorak yang sungguh merupakan tempat yang amat cocok untuk perkumpulan agama mereka. Anak buah perkumpulan itu telah disumpah setia terhadap Sian-su dan disamping sumpah ini yang diperkuat oleh kepercayaan mereka terhadap Dewa Kematian, juga mereka takut sekali terhadap Sian--su yang mereka tahu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Maka, mereka tahu bahwa berkhianat atau melanggar pantangan berarti kematian yang mengerikan bagi mereka, baik di tangan Sian-su ataupun juga di tangan Dewa Kematian yang tentu akan menyiksa mereka di alam baka! Sian-su yang berilmu tinggi itu dapat mencengkeram dan menguasai semua anak buah atau muridnya, juga menguasai semua wanita pelayan dan penari, menguasai para pengikut dengan menggunakan ilmu sihirnya dan ramu-ramuan obat pembius dan perangsang yang dicampurkannya dalam minuman. Perlahan-lahan namun pasti, pengaruhnya meluas dan anggautanya bertambah, para pengikutnya juga bertambah. Melihat betapa pesta itu berobah menjadi tempat pemuasan nafsu tanpa mengenal batas kesopanan lagi, bahkan di antara pasangan-pasangan yang menari-nari dan berpelukan sambil berciuman itu ada yang sambil tertawa-tawa sudah bergandengan tangan menuju ke sudut-sudut di mana terdapat kasur-kasur kecil dengan pakaian si wa-nita sudah tidak karuan lagi, Thian Sin menjadi muak. Dia sendiri adalah seorang pemuda yang romantis. Namun dia memandang hubungan antara pria dan wanita sebagai sesuatu yang indah, sesuatu yang merupakan pencurahan dari pada kasih yang bukan hanya merupakan pemuasan nafsu berahi belaka. Apa lagi kalau dilakukan secara demikian kasar, di depan orang banyak, tanpa sedikitpun memperdulikan kesusilaan dan sopan san-tun, tentu saja perasaannya tersingung dan dia menjadi tidak senang. "Taihiap, marilah... apakah taihiap tidak ingin bersenang-senang" Mari kulayani, taihiap... aku sengaja mengelak dari siapapun juga untuk melayanimu... "Tiba-tiba ada lengan kecil berkulit halus merangkulnya dan hidungnya mencium bau semerbak harum. Thian Sin menengok dan melihat bahwa yang merangkulnya adalah gadis yang tadi menerima sumbangannya. Pada saat itu hati Thian Sin sedang kesal dan murung, marah yang ditahan-tahan. Maka, sikap gadis ini membuatnya marah, apa lagi ketika gadis itu tanpa malu-malu lagi lalu menciumnya dan menarik--narik lengannya. "Pergilah!" bentaknya dan sekali dorong, gadis itu terpelanting dan jatuh sampai beberapa meter jauhnya. Diapun melihat betapa para anggauta perkumpulan itu, yang sejak tadi tidak ikut pesta melainkan berdiri dan berjaga, memandang kepadanya penuh perhatian dan begitu dia mendorong jatuh gadis itu, lima orang di antara me-reka segera berloncatan dan sudah mengurungnya. Thian Sin berdiri tegak dan bersikap tenang, mak-lum bahwa bagaimanapun juga akhirnya dia tidak akan dapat lolos dari pertempuran. "Ceng-taihiap, sebagai tamu, taihiap telah melangqar peraturan dan melakukan penghinaan terhadap murid-murid kami yang terkasih," terde-ngar suara Sian-su yang ternyata sudah berada pula di situ. Tangannya menunjuk ke arah gadis yang tadi jatuh, yang kini sudah berdiri dan memegangi siku tangan kirinya yang berdarah, kemudian gadis itu melangkah pergi dengan kepala menunduk. "Sian-su, aku memang muak melihat semua ini dan aku telah menolakya, habis kalian mau apa?" tanyanya sambil memandang kepada lima orang yang mengurungnya dan mengambil sikap menyerangnya itu. Dia melihat bahwa di antara lima orang ini terdapat tosu penghuni kuil itu yang dikenalnya dari kebiasaannya memiringkan kepala. "Siancai... agaknya taihiap hendak mengandalkan kepandaian menentang kami. Ataukah taihiap hendak meramaikan pesta ini dengan pertunjukan ilmu silat?" "Terserah apa yang hendak diartikan, akan tetapi yang jelas, aku akan pergi dari tempat kotor ini!" kata Thian Sin. Dia sudah membalikkan tubuhnya hendak pergi melalui anak tangga dari mana dia datang tadi, akan tetapi lima orang itu dengan sekali loncatan telah menghadang di depannya. "Ah nanti dulu, taihiap. Tidak semudah itu untuk pergi meninggalkan tempat ini tanpa seijin kami. Kalau taihiap hendak memperlihatkan ilmu silat, baiklah. Biar aku melihat sendiri sampai mana kehebatan ilmu Pendekar Sadis yang terkenal itu." Lalu dia memberi isyarat kepada lima orang itu dan berkata, "Tangkap dia!" Lima orang itu adalah lima orang pembantu utama dari Sian-su merupakan murid-murid kepala yang paling lihai di antara semua anggauta atau murid dan di antara lima orang ini memang terdapat tosu penghuni kuil yang tentu saja bukan bertapa di kuil itu melainkan bertugas sebagai penjaga dan pengintai. Biarpun ketua mereka memberi perintah lisan agar menangkap Pendekar Sadis, akan tetapi dari isyarat dengan tangan itu mereka maklum bahwa mereka disuruh membunuh musuh yang berbahaya ini. Maka, begitu tangan mereka bergerak, lima orang bertopeng siluman tengkorak itu sudah mencabut pedang mereka dari balik jubah di mana senjata mereka itu disembunyikan. Melihat ini, Thian Sin tersenyum. "Majulah, kalau kalian menghendaki demikian!" Dia masih berdiri tegak, tidak mau mengeluarkan pedang Gin-hwa-kiam yang tersembunyi di balik bajunya. Lima orang bertopeng tengkorak itu tiba-tiba menggerakkan pedang mereka dan mulailah mereka menyerang bergantian secara bertubi-tubi dan teratur. Pedang mereka berkelebatan menyilaukan mata tertimpa sinar lampu-lampu di sekeliling tempat itu dan setiap gerakan mereka itu selain cepat juga kuat sekali. Hal ini tentu saja diketahui Thian Sin dan pemuda inipun bersikap waspada, mempergunakan kecepatan tubuhnya untuk mengelak dan kadang-kadang dia menggunakan tangannya untuk menangkis. "Plak! Plakk!" Ketika tangan kirinya dengan gerakan cepat menangkis dua batang pedang, si pemegang pedang terhuyung mundur dan mereka terkejut sekali. Dengan tangan telanjang pemuda itu mampu menangkis pedang dengan kekuatan sedemikian dahsyat, maka hal ini saja sudah membuktikan betapa lihainya Pendekar Sadis. Sedangkan Sian-su sejak tadi nonton di pinggiran sambil merangkul pinggang ramping gadis yang tadi melayaninya. Beberapa kali dia mengangguk-angguk dan pandang matanya menjadi semakin kagum. Dari beberapa jurus saja tahulah dia bahwa Pendekar Sadis ini benar-benar amat lihai sekali. Alangkah baiknya dan betapa menguntungkan kalau dia bisa menariknya sebagai pembantu utamanya! Kini, yang menjadi pembantu utamanya adalah lima orang murid kepala ini, akan tetapi agaknya mereka ini tidak akan menang melawan Pendekar Sadis, walaupun mereka semua memegang pedang dan Pendekar Sadis hanya bertangan kosong saja. Pertandingan itu menarik perhatian mereka yang sedang berpesta. Akan tetapi, mereka yang tidak mengenal ilmu silat, para bangsawan dan hartawan yang sedang mabok berahi, tidak memperdulikan pertandingan itu dan melanjutkan kesenangan mereka, berpasang-pasangan dan melanjutkan permainan mereka di sudut-sudut ruangan yang luas itu menyendiri berduaan saja. Mereka yang mengenal ilmu silat, terutama para pengikut yang berasal dari golongan pendekar, menjadi tertarik dan biarpun mereka masih merangkul pinggang pasangan masing-masing, mereka mendekat dan menonton dengan penuh perhatian. Para anak buah perkumpulan itupun sudah mengurung tempat itu dan bersiap-siaga, bahkan ada sepuluh orang yang berderet dengan busur dan anak panah siap diluncurkan. Semua ini tidak terlepas dari pandang mata Thian Sin. Dia maklum bahwa dia akan mengha-dapi pengeroyokan dan karena dia belum tahu sampai di mana kelihaian Sian-su, juga para pendekar yang mabok berahi itu, maka keadaannya cukup berbahaya. Apa lagi dia berada di pusat tempat rahasia itu yang banyak mengandung perangkap-perangkap. Maka diapun tidak mau menjatuhkan tangan maut. Tepat seperti yang diduga oleh Sian-su, kini Thian Sin memperlihatkan ke-pandaiannya dan lima orang itu, walaupun semua-nya bersenjata, terdesak hebat. Setiap tangkisan itu membuat mereka terhuyung dan semua serangan mereka tidak ada gunanya sama sekali, kalau tidak terpental oleh tangan pemuda itu, tentu hanya mengenai tempat kosong saja, se-baliknya setiap tamparan tangan pemuda itu, baru angin pukulannya saja membuat mereka kewalahan. Tiba-tiba Thian Sin berteriak, "Pergilah kalian!" Dan kaki tangannya bergerak cepat sekali. Terdenqar suara berkerontangan dan nampak lima ba-tang pedang terlempar ke sana-sini sedangkan lima orang itupun terjengkang dan terpelanting ke kanan kiri! Mereka tidak terluka parah, akan tetapi senjata mereka terlepas dari tangan dan tubuh mereka terpelanting, ini sudah merupakan bukti cukup bahwa mereka telah kalah! Sian-su, pendeta siluman itu, kini melepaskan rangkulan dari pinggang ramping kekasihnya, dan sekali melompat dia sudah berhadapan dengan Thian Sin. "Siancai, siancai...! Pendekar Sadis memang benar tangguh, cukup pantas untuk menjadi lawan-ku! Mari kita main-main sebentar, taihiap!" Thian Sin melihat perobahan pada sikap para pengikut agama yang datang mendekat. Melihat betapa Sian-su sendiri yang maju, agaknya mereka-pun merasa penasaran dan di antara mereka bah-kan ada yang sudah melepaskan rangkulan mereka kepada gadis pasangan mereka masing-masing dan mereka bersikap mengancam. Akan tetapi pada saat itu, pendeta siluman itu sudah menerjangnya dengan pukulan yang cukup dahsyat. Sebelum tangannya tiba, sudah ada angin pukulan yang dahsyat menyambar dan ini saja menunjukkan bahwa pendeta siluman itu memiliki tenaga sin-kang yang kuat sekali. Thian Sin juga tidak mau main-main lagi dan dia sudah mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang untuk menangkis. Thian-te Sin-ciang (Tangan Sakti Langit Bumi) ini adalah penghimpunan sin-kang yang luar biasa kuatn-ya, yang membuat kedua tangan pemuda itu mampu menangkis senjata tajam tanpa terluka, me-rupakan satu di antara sekian banyak ilmu luar biasa yang dikuasainya. Kini, menghadapi lawan yang diketahuinya amat tangguh, Thian Sin tidak ragu-ragu lagi untuk mengeluarkan ilmunya ini untuk menandingi tenaga dalam lawannya. "Dukk!" Pertemuan dua tenaga sakti yang amat hebat itu terasa oleh semua orang yang menjadi penonton. Ada getaran hebat menyambar ke sekeliling tempat itu. Thian Sin sendiri merasa betapa tubuhnya terguncang yang memaksa dia melangkah mundur dua tindak, akan tetapi Siansu itu sendiri juga terhuyung ke belakang. "Hebat...!" Sian-su memuji, bukan pujian kosong karena dia benar-benar merasa kagum dan semakin besar keinginannya untuk dapat menarik pemuda sehebat ini sebagai sekutunya atau pembantunya. Tentu kedudukannya akan menjadi ma-kin kuat kalau dia dapat menarik pemuda ini menjadi sekutunya. Kini dia menyerang lagi dan dia mengerahkan gin-kangnya. Diam-diam Thian Sin terkejut bukan main. Kiranya siluman ini adalah seorang ahli gin-kang yang hebat! Kim Hong tentu tertarik sekali melihat ini, karena Kim Hong sendiri adalah orang ahli gin-kang yang sukar di-cari bandingnya. Dan agaknya, pendeta siluman ini benar-benar hebat sekali ilmunya meringankan tubuh sehingga tubuhnya berkelebatan sepert terbang saja. Thian Sin harus mengakui bahwa biarpun belum tentu siluman ini dapat menandingi Kim Hong dalam hal ilmu meringankan tubuh, namun dia sendiri masih kalah setingkat oleh pendeta siluman ini! Maka diapun lalu mainkan Ilmu Thai-kek Sin-kun, ilmu yang memiliki dasar amat kuat sehingga biarpun diserang dari jurusan manapun dengan kecepatan yang bagaimanapun, dengan ilmu ini dia dapat menjaga diri dan bahkan balas menyerang dengan tidak kalah hebatnya. Dengan ilmu silat ini, maka boleh dibilang kemenangan pendeta siluman itu dalam hal kecepatan dapat dipunahkan. Setelah lewat lima puluh jurus, agaknya pendeta siluman itu sudah puas dan kagum sekali. Dalam lima puluh jurus dia tidak mampu mengalahkan pemuda ini bahkan kalau dilanjutkan, belum tentu dia akan menang. Maka tiba-tiba dia mengeluarkan bentakan nyaring dan tangannya menampar ke arah kepala Thian Sin. Pemuda itu menangkisnya. "Plakk! Brettt...!" Ujung lengan baju Thian Sin terobek karena begitu tertangkis, pendeta si-luman itu merobah tangannya menjadi cengkeraman yang bergerak ke bawah mencengkeram pergelangan tangan Thian Sin, akan tetapi berkat tenaga Sin-ciang, cengkeraman itu meleset dan hanya merobek ujung lengan baju. "Ha-ha-ha, lengan bajumu robek, taihiap!" Sian-su berkata sambil mengangkat robekan itu ke atas dan memandang penuh rasa puas karena robekan lengan baju itu dapat dijadikan bukti bahwa dia telah menang setingkat. Akan tetapi, pandang mata Thian Sin ke arah jubahnya membuat dia menunduk dan melihat ke arah dadanya dan terkejutlah dia melihat betapa kain jubah di bagian dadanya berlubang dan kini robekan kain putih itu berada di tangan Thian Sin! Kalau saja tidak ada topeng tengkorak yang menutupi, tentu akan nampak wajah itu merah sekali. Saking merasa malu, pendeta siluman itu menjadi marah dan diapun sudah menyerang lagi dengan ganas. Thian Sin menyambutnya dengan tenang dan untuk kedua kalinya, ketika lengan mereka beradu, pendeta siluman itu terhuyung ke belakang sedangkan Thian Sin hanya terdorong mundur dua langkah saja. Hal ini membuat pendeta siluman itu mengambil keputusan untuk mempergunakan ilmu sihirnya. Dia berdiri tegak dan menggerakkan kedua tangan ke atas kepala, bertepuk tangan di atas kepalanya. Ketika kedua telapak tangan itu bertemu, terdengar suara seperti ledakan nyaring dan nampak asap mengepul dari kedua tangan itu. "Ceng Thian Sin, berani engkau melawanku" Lihat, siapakah sebenarnya aku" Aku adalah Thian-liong-ong (Raja Naga Langit)yang menjelma!" Memang hebat kekuatan sihir pendeta siluman itu. Biarpun sihirnya ditunjukkan kepada Thian Sin, akan tetapi semua orang yang berada di situ melihat betapa bentuk Sian-su kini telah berobah. Tubuhnya menjadi tinggi besar dan pakaiannya seperti pakaian raja, yang hebat adalah kepalanya karena kepala yang biasanya memakai topeng tengkorak itu kini berobah menjadi kepala naga! Benar-benar seperti gambar atau patung. Raja Naga Langit! Di antara mereka yang melihat ini segera menjatuhkan diri berlutut saking takutnya. Akan tetapi, Thian sin yang tadi merasa ada-nya kekuatan mujijat yang menyerang panca inderanya, cepat mengerahkan batin dan mempegunakan tenaga batin untuk melawan dan tentu saja dia sebagai orang yang pernah mempelajari ilmu sihir di Himalaya tidak terpengaruh setelah dia mengerahkan tenaga batinnya, dan bagi pandang matanya, pendeta siluman itu tetap sama saja dengan tadi! Ingin dia mentertawakan lawan dan menghinanya, mengatakan bahwa ilmu main sulap itu hanya dapat mengelabui kanak-kanak saja. Akan tetapi Thian Sin adalah seorang yang cerdik sekali. Dia tahu bahwa banyak orang yang tidak berdosa d tempat ini, yang menurut semua kehen-dak pendeta siluman ini karena kekuatan sihir atau mungkin juga obat dalam minuman. Mereka ini tidak berdosa dan sepatutnya kalau dibebaskan dari pengaruh pendeta siluman ini. Akan tetapi, kalau dia mempergunakan kekerasan, mungkin dia akan gagal. Dia sudah mengukur ilmu silat lawan itu yang benar-benar tangguh. Dia yakin tidak akan kalah terhadap Sian-su, akan tetapi kalau para pembantunya maju mengeroyok, juga kalau para pendekar yang menjadi pengikut agama itu ikut pula turun tangan, mungkin sekali dia akan celaka. Apa lagi kalau diingat bahwa dia belum berhasil membebaskan orang-orang yang tidak berdosa, juga bahwa dia masih berada di pusat sarang musuh yang berbahaya, maka kekerasan bukanlah jalan untuk mencapai kemenangan. Thian Sin lalu menunduk dan menjura seolah-olah memberi hormat kepada "dewa" itu, lalu berkata dengan suara membela diri, "Terpaksa saya harus melawan menghadapi siapapun juga kalau keselamatan dan nyawa saya terancam." "Ceng Thian Sin, siapa bilang bahwa nyawamu terancam" Sian-su bermaksud baik denganmu, berniat untuk mengajakmu bekerja sama!" berkata "Raja Naga Langit" itu dan bagi pendengaran semua orang kecuali Thian Sin, suara itupun berbeda dengan suara Sian-su. Kembali Thian Sin menjura dengan hormat. "Kalau benar demikian, tentu saja saya bersedia untuk berdamai dan bicara." "Bagus! Bagus sekali!" Manusia berkepala naga itu lalu bertepuk tangan, terdengar ledakan keras disusul asap mengepul dan ketika asap menghilang, di situ telah berdiri Sian-su dengan sikapnya yang tenang. "Ceng-taihiap, kami telah mendengar ucapanmu tadi dan kami merasa gembira sekali. Mari, silahkan duduk dan mari kita bicara dengan baik-baik." Dia mempersilahkan dan mengajak Thian Sin duduk kembali. Pesta dilanjutkan dan melihat betapa pemuda itu tidak suka menyaksikan adegan-adegan cabul di situ, Sian-su lalu mengajaknya menuruni anak tangga dan bicara di sebuah ruangan lain. Belasan orang anak buah Sian-su ikut pula mengawal, tentu dengan maksud untuk mengeroyok apa bila pemuda itu memberontak. Setelah mereka duduk, Sian-su lalu memberi "kuliah" kepada Thian Sin tentang pelajaran di dalam agamanya yang baru, yang bendak membebaskan manusia dari pada rasa takut akan kematian, dan menjanjikannya kesenangan setelah mati nanti, juga menceritakan bahwa semua kecabulan yang dilihat pemuda itu adalah suatu cara untuk menundukkan nafsu dengan jalan membiarkan nafsu-nafsu itu menggelora dan kemudian mati sendiri. Thian Sin mendengarkan dengan setengah hati saja, akan tetapi dia pura-pura tertarik sekali dan menanggapinya sambil mengangguk-angguk. "Kami memberikan kesenangan dunia akhirat kepada para pengikut kami," demikian pemimpin agama itu mengakhiri kuliah dan penjelasannya tentang agamanya. "Dan imbalan apakah yang harus diberikan oleh para pengikut?" -Thian Sin bertanya dengan sikap seolah-olah dia tertarik sekali untuk menjadi pengikut pula. "Siancai...! Untuk pekerjaan suci, kami tidak memiliki pamrih untuk kepentingan diri- sendiri. Kami tidak menuntut imbalan, kecuali kesetiaan. Kalu para pengikut hendak menyumbang demi kemajuan agama kita, dan untuk membuat pembangunan-pembangunan, hal itu adalah suka rela. Akan tetapi, walaupun kami tahu bahwa Ceng-taihiap adalah seorang yang kaya raya, buktinya melihat sumbanganmu tadi, namun kami bukan mengharapkan bantuan harta darimu." "Habis, bantuan apa?" "Bantuan kerja sama dalam bentuk tenaga dan kepandaian silat taihiap. Hendaknya taihiap ketahui bahwa usaha kami ini banyak mendapat tentangan dari agama-agama lain dan sudah sering kali kami mereka cari dan mereka bermaksud membasmi kami. Oleh karena itu, taihiap bukan kami anggap sebagai pengikut biasa, melainkan sekutu kami, sebagai seorang di antara kami dan kalau taihiap dapat memenuhi harapan kami ini, percayalah bahwa dengan segala kemampuanku, taihiap akan menjadi orang pertama sesudah aku untuk berkenalan secara langsung dengan Dewa Kematian." "Ahhh...!" Thian Sin pura-pura merasa girang sekali. "Aku akan girang sekali!" "Akan tetapi, untuk itu kami harus benar-benar dapat dipercaya kepadamu, dan ini ada syaratnya." "Syaratnya?" "Menurut pelaporan anak buah kita, ada lima orang pendekar dari agama lain yang sedang menyelidiki tempat kita ini. Mereka merupakan bahaya bagi kita, maka aku minta kepadamu untuk menghadapi mereka dan membasmi mereka. Sanggupkah engkau, Ceng-taihiap?" Thian Sin mengangkat muka dan memandang tajam, bertemu dengan pandang mata lawan yang penuh selidik. Dia berhadapan dengan orang yang cerdik pula. "Sian-su, aku masih dalam taraf percobaan, bagaimana engkau sudah begitu percaya kepadaku" Apakah engkau tidak khawatir kalau aku berkhianat setelah aku tiba di luar tempat ini?" Wajah di balik topeng tengkorak itu tertawa. "Apa boleh buat kami harus menghadapi resiko itu! Kalau taihiap benar-benar mau bekerja sama dengan kami, kami merasa beruntung sekali. Sebaliknya, andaikata taihiap berbalik pikir, kamipun tidak bisa berbuat apa-apa. Akan tetapi belum tentu taihiap akan mampu menemukan kembali tempat rahasia kami, dan di sini banyak terdapat perangkap-perangkap rahasia yang akan mampu membendung serbuan ratusan orang. Selain itu, andaikata mereka mampu menyerbu masuk, kamipun dapat saja setiap waktu meloloskan diri, pin-dah mencari tempat lain, membawa semua barang suci dan berharga, dan terpaksa kami harus meninggalkan para wanita itu dalam keadaan sempurna." Karena ada penekanan kata-kata aneh dalam kalimat terakhir, Thian Sin curiga. "Dalam keadaan sempurna bagaimana maksudmu?" Pendeta siluman itu menggerakkan pundak. "Yaahh, menyerahkan mereka kepada Dewa Kematian sebagai korban, apa lagi" Kami terpaksa, karena membawa mereka yang lemah untuk melarikan diri tidaklah mungkin, dan membiarkan mereka hidup-hidup tertawan musuh juga amat berbahaya bagi kami." "Engkau akan membunuh puluhan orang gadis itu?" Hampir Thian Sin berteriak. "Ahhhh, nanti dulu, taihiap. Bukan membunuh, melainkan mengorbankan mereka kepada Dewa Kematian. Mereka akan mendapatkan kesenangan di sana, dan Dewa Kematian akan berterima kasih sekali kepada kami..." Thian Sin tidak bertanya lagi. Dia maklum apa artinya itu. Wanita-wanita itu merupakan sandera! Dengan lain kata-kata pendeta siluman ini hendak menyatakan kepadanya bahwa apa bila dia berbalik pikir dan kelak mengakibatkan perkumpulan agama itu diserbu, wanita-wanita itu akan dibunuhnya. Tentu saja ini merupakan ancaman kepadanya agar dia tidak mengkhianati Sian-su, dan dia tahu bahwa ancaman itu bukan hanya ancaman kosong belaka! "Baiklah, Sian-su, aku akan membuktikan bahwa aku memang ingin bekerja sama karena aku mulai tertarik oleh agama baru ini." Thian Sin menjadi tamu terhormat di sarang perkumpulan agama Jit-sian-kauw itu, mendapat sebuah kamar yang indah dan mewah. Dia menolak ketika ditawari gadis untuk menemaninya, dan malam itu dia tidur nyenyak untuk melepaskan lelah dan mengumpulkan tenaga. Dia tahu bahwa semua gerak-geriknya diamati dan diintai, maka diapun tidak mau melakukan sesuatu yang mencurigakan. Pada keesokan harinya, diapun sama kali tidak tahu bahwa Kim Hong telah menyusulnya dan mencarinya, bahkan kemudian gadis itu terjebak dan tertawan di dalam sarang rahasia Jit-sian-kauw itu. Pada sore harinya dia diberi tahu oleh Sian-su bahwa lima orang yang memusuhi Jit-sian-kauw itu telah tiba di dekat puncak bukit. Mereka itu tidak menyelidiki dari bagian depan tebing Guha Tengkorak, melainkan dari belakang dan karena sarang Jit-sian-kauw itu terkurung jurang yang dalam, maka lima orang pendekar itu tidak tahu bahwa tempat yang mereka cari-cari itu sebetulnya sudah amat dekat, hanya terhalang jurang, yaitu di puncak yang dikelilingi jurang itu. Tidak mungkin menyeberangi jurang itu, dan tidak mungkin pula menuruni jurang yang demikian dalam dan curamnya. Mereka berkeliaran di daerah itu, memeriksa dan mencari-cari. Thian Sin melakukan pengintaian. Dia sendirian saja dan dia kini telah mengenakan pakaian dan topeng dari anggauta Jit-sian-kauw! Biarpun dia sendirian saja, namun dia mengerti bahwa Siansu dan kaki tangannya tentu membayanginya dan mungkin kini sedang mengintai pula dari tempat-tempat tersembunyi untuk mengikuti sepak terjangaya yang bertugas mengusir lima orang musuh perkumpulan ini. Akan tetapi jantung dalam dada Thian Sin berdebar tegang ketika dia mengenal siapa adanya tosu tua yang memimpin rombongan itu. Tosu berusia kurang lebih enam puluh tahun yang bertubuh tinggi kurus dan berpakaian jubah kuning, dengan pedang di punggung, wajahnya putih itu, bukan lain adalah Liang Hi Tojin, seorang tokoh tingkat dua dari partai persilatan Bu-tong-pai! Liang Hi Tojin ini adalah orang ke dua dari Bu-tong-pai, terkenal sebagai seorang pendekar yang sejak mudanya menjadi pembela keadilan dan kebenaran, seorang ahli pedang yang amat lihai. Dan agaknya, empat orang lainnya itu, yang nampakaya gagah perkasa, tentulah murid-murid keponakannya. Tentu rombongan dari Bu-tong-pai yang datang menyelidiki Jit-sian-kauw ini, bukan semata-mata karena perbedaan paham keagamaan, melainkan tentu karena orang-orang Bu-tong-pai itu mendengar akan kejahatan yang dilakukan Siluman Guha Tengkorak dan kini didorong oleh jiwa kependekaran mereka datang untuk menentang Jit-sian-kauw. Tentu saja Thian Sin merasa serba salah. Bagaimana mungkin dia memusuhi Liang Hi Tojin, seorang pendekar tua Bu-tong-pai yang telah dikenalnya dengan baik" Akan tetapi, kalau dia mengkhianati Sian-su, lalu bagaimana nasib kurang lebih tiga puluh orang wanita yang berada di dalam cengkeraman siluman-siluman itu di di luar kehendak mereka, karena mereka telah dikuasai oleh sihir dan obat bius" Kalau dia memperkenalkan diri mengajak lima orang pendekar Bu- tong-pai ini membalik dan memberontak, apakah dia akan mampu" Memasuki terowongan itu saja sudah merupakan bahaya yang besar dan sebelum mereka berhasil, siluman-siluman itu dapat melarikan diri dari jalan rahasia tersendiri dan meninggalkan puluhan wanita itu dalam keadaan tewas. Tidak, dia harus bersandiwara, menuruti kehendak Sian-su dan menanti saatnya yang baik dan tepat untuk memberi pukulan besar-besaran. Tosu tua tinggi kurus itu memang Liang Hi Tojin dari Bu-tong-pai, dan empat orang pria yang berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun, yang nampak gagah perkasa itu adalah murid keponakannya, yaitu murid Bu-tong-pai yang termasuk sebagai murid-murid kepala. Biarpun tingkat kepandaian mereka masih dua tingkat di bawah tingkat Liang Hi Tojin, namun mereka itu sudah dapat digolongkan pendekar-pendekar yang lihai pada masa itu. Mereka itu turun gunung untuk mengunjungi Louw Ciang Su di Tai-goan, akan tetapi mereka hanya melihat peti matinya saja! Tentu saja para tokoh Bu-tong-pai ini menjadi terkejut dan marah ketika mendengar bahwa Louw Ciang Su, sebagai seorang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan, telah tewas oleh Siluman Guha Tengkorak. Itulah sebabnya, mereka langsung melakukan penyelidikan ke daerah Guha Tengkorak dan karena mereka sudah mendengear bahwa pasukan keamanan dari Tai-goan dan para pendekar telah gagal ketika mencari siluman itu dari depan tebing Guha Tengkorak, mereka lalu melakukan penyelidikan dan pencarian dari belakang tebing. "Bagaimana mungkin ada manusia dapat bersembunyi di tempat seperti ini?" terdengar Liang Hi Tojin berkata kepada empat orang murid keponakannya setelah mereka melihat keadaan di belakang tebing Guha Tengkorak itu. "Bukit di depan itu merupakan puncak yang dikelilingi jurang yang tidak mungkin didatangi manusia." "Akan tetapi, susiok, teecu kira justeru karena sulitnya dicapai orang inilah maka merupakan tempat yang amat baik bagi penjahat untuk menyem-bunyikan diri," kata seorang murid keponakannya. "Tentu ada suatu rahasia yang dapat membawa orang menyeberang ke puncak bukit itu," kata murid kedua. "Siancai, siancai, siancai...! Kalau memang ada, tentu tidak akan mudah mencarinya di tempat se-luas ini." Thian Sin memuji ketelitian mereka. Memang tidak akan mudah. Dia sendiri tiba di belakang tebing ini melalui jalan rahasia yang rumit, yang merupakan "lubang tikus" dan menembus di lereng jurang, tertutup pohon-pohon dan semak-semak, di dekat tepi jurang. Dia tadi merayap di lereng jurang itu melalui akar-akar pohon dan kini mengintai di balik pohon besar. Karena merasa sudah waktunya untuk turun tangan dan agar jangan sampai menimbulkan kecurigaan pada Sian-su yang dia tahu tentu sedang mengamatinya, dia lalu keluar dari tempat sembunyinya dan berlompatan ke depan lima orang itu! Dapat dibayangkan betapa kagetnya lima orang gagah dari Bu-tong-pai ketika mereka melihat munculnya seorang berjubah putih dengan gambar tengkorak merah darah di dada dan memakai topeng tengkorak yang menyeramkan. "Siancai...! Inikah Siluman Guha Tengkorak yang telah membunuh Tujuh Pendekar Tai-goan itu?" Liang Hi Tojin bertanya dan empat orang murid Bu-tong-pai itu telah mencabut pedang masing-masing dari punggung mereka dengan gerakan yang cepat dan indah. Thian Sin tidak mengeluarkan suara. Apa yang dapat diucapkannya" Tugasnya hanyalah menge-nyahkan mereka, maka diapun lalu menerjang ke depan dan menyerang tosu tua itu dengan pukulan dari samping mengarah pelipisnya. Melihat pukulan yang mendatangkan angin pukulan dahsyat itu, tahulah tokoh Bu-tong-pai ini bahwa siluman itu memang lihai sekali. "Siancai sungguh siluman jahat sekali!" Dan diapun cepat meloncat mundur untuk mengelak sambil mencabut pedangnya. Empat orang muridnya sudah menerjang dengan pedangnya masing-masing dan Thian Sin segera dikurung dan dikeroyok. Permainan pedang Bu-tong Kiam-sut memang hebat dan berbahaya sekali. Sinar pedang bergulung-gulung dan menyambar-nyambar dari pelbagai jurusan, menggulungnya dan kalau Thian Sin tidak memiliki gin-kang yang hebat dan langkah-langkah ajaib dari Thai-kek Sin-kun, tentu dia akan terancam bahaya dikeroyok oleh mereka. Terutama sekali pedang di tangan Liang Hi Tojin amat lihainya. Pedang itu mengeluarkan suara berdesing-desing dan sinarnya berkilauan menyambar-nyambar. Thian Sin tidak berani mencabut Gin-hwa-kiamnya karena mungkin pedang itu akan dikenal oleh Liang Hi Tojin. Maka terpaksa diapun mengerahkan Thian-te Sin-ciang untuk kadang-kadang menangkis kalau elakan-elakannya kurang cukup untuk dapat menyelamatkan diri dari sambaran lima batang pedang itu. Liang Hi Tojin dan empat orang muridnya terkejut bukan main melihat betapa siluman itu menangkis pedang mereka dengan tangan kosong saja! Padahal, pedang mereka adalah pedang pilihan, terbuat dari baja yang amat keras dan baik. Tahulah mereka bahwa siluman ini benar-benar amat lihai sekali dan merekapun tidak merasa heran sekarang bahwa Tujuh Pendekar Tai-goan tewas di tangan siluman ini. Liang Hi Tojin menyerang makin hebat karena marah dan karena dia beranggapan bahwa siluman selihai dan sejahat ini harus dilenyapkan dari permukaan bumi agar rakyat terbebas dari pada ancaman malapetaka yang ganas dan jahat. Thian Sin merasa kewalahan juga. Kalau dia mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya seperti Thikhi-i-beng misalnya, sin-kang yang dapat menyedot tenaga lawan, atau Thian-te Sin-ciang atau Thai-kek Sin-kun, tentu kakek Bu-tong-pai itu akan mengenal ilmu-ilmu dari Lembah Naga dan Cin-ling-pai itu. Kalau dia menggunakan ilmu peninggalan mendiang ayah kandungnya, yaitu ilmu-ilmu pukulan yang dahsyat Hok-liang Sin-ciang atau Hok-te Sin-kun, akibatnya bisa berbahaya sekali dan belum tentu lima orang itu akan mampu menahannya. Padahal, tentu saja dia tidak ingin membunuh lima orang tokoh Bu-tong-pai ini. Maka dia hanya mempergunakan Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun, ilmu yang dipelajarinya dari kakek sakti Yap Kun Liong dan mengerahkan tenaga Thian--te Sin-ciang untuk menangkisi pedang-pedang itu. Dia menanti saat yang baik dan tepat untuk me-lakukan serangan terakhir seperti yang sudah di-rencanakannya ketika dia mengintai mereka tadi. Perlahan-lahan dia mundur ke belakang menuju ke bawah sebatang pohon yang daunnya lebar, sele-bar tangan dengan ujung runcing dan daun itu kaku pula, cukup baik dijadikan senjata. Tiba-tiba dia meloncat, mencabut beberapa helai daun dari ranting yang terendah dan begitu tubuhnya turun, dia menyambitkan daun-daun itu ke depan sambil membentak dengan suara nyaring, "Pergilah!" Berturut-turut tangannya bergerak, dengan pengerahan sin-kang yang amat kuat, lima helai daun itu seperti anak panah saja meluncur secepat kilat menuju ke arah lima orang lawannya. Terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan empat orang murid Bu-tong-pai itu melepaskan pedang mereka ketika sebatang daun menyambar dan menancap di pergelangan tangan kanan mereka sepert anak panah atau senjata piauw (pisau terbang) dengan kecepatan yang tak dapat dielakkan lagi. Sedangkan Liang Hi Tojin masih dapat menggunakan lengan kirinya menangkap daun yang menyambar pergelangan tangan kanannya itu, dan berbeda dengan empat daun yang lain, daun yang menyambar ke arah pergelangan tangan Liang Hi Tojin itu tidaklah begitu cepat dan kuat sehingga dengan mudah dapat ditangkap oleh tosu ini. Liang Hi Tojin memandang sekilas kepada daun di tangannya kemudian dia berkata, "Ambil pedang, mari kita pergi!" Empat orang murid itu cepat mengambil pedang masing-masing dengan tangan kiri, kemudian bersama tosu itu mereka berloncatan meninggalkan tempat itu. Thian Sin tertawa dan memandang sampai mereka lenyap di balik semak-semak. "Bagus, taihiap. Sungguh senang hatiku melihat engkau menghajar mereka, sayang tidak membunuh saja mereka itu agar kelak tidak mendatangkan penyakit." Thian Sin menoleh dan melihat pendeta siluman ketua Jit-sian-kauw telah berada di situ. Tentu saja dia tadi mendengar gerakannya, ketika orang ini muncul dengan ringan sekali akan tetapi dia pura-pura tidak tahu membiarkan orang itu merasa bangga bahwa gin-kangnya sedemikian hebatnya, terlalu hebat bagi Pendekar Sadis untuk dapat mengetahui kedatangannya. Kemudian dia menarik napas panjang dan berkata, "Sian-su, kalau mereka itu memusuhi kita, sudah cukup kalau kita hajar dan mereka akan jera untuk mengganggu kita lagi. Membunuh mereka, berarti hanya akan memperdalam permusuhan belaka, membuat kita semakin repot menghadapi usaha mereka untak balas dendam kelak." "Ha-ha-ha, engkau benar, taihiap. Ah, sungguh beruntung mempunyai seorang sahabat seperti engkau untuk bekerja sama," kata pula Sian-su dengan girang. Mereka lalu kembali ke sarang Jit-sian-kauw. Thian Sin merasa girang sekali bahwa dia dapat mengelabuhi pendeta siluman itu. Dia tadi telah melakukan siasatnya dengan baik sekali. Dia tahu bahwa biarpun di sana terdapat sekutunya yang paling baik, yaitu Kim Hong, akan tetapi belum tahu Kim Hong dapat mencari tempat rahasia- ini. Maka dia membutuhkan bantuan dan melihat lima orang Bu-tong-pai itu, dia melihat bantuan yang amat baik dan cukup kuat. Maka ketika dia mengintai tadi, diam-diam dia menggunakan sehelai daun untuk digurat-gurat dengan duri, membuat beberapa buah huruf di atas daun. Daun itu disimpannya dalam saku jubahnya dan ketika dia menyerang lima orang itu, daun yang ada huruf-hurufnya itu dia sambitkan ke arah Liang Hi Tojin dengan pengerahan tenaga yang sedikit saja. Untung bahwa tokoh Bu-tong-pai itu cukup cerdik untuk dapat melihat kejanggalan ini- dan menerima daun itu lalu mengajak empat orang murid keponakannya yang telah terluka pergelangan tangannya. Tulisan di atas daun itu berbunyi demikian : SIAP MENYERBU BERSAMA, TUNGGU BERITA. ANG LIAN TO (PULAU TERATAI MERAH). Dia sengaja memakai nama Ang-lian-to yang tentu akan dikenal oleh Liang Hi Tojin yang sudah mengenalnya dan tahu bahwa dia dan Kim Hong tinggal di sebuah pulau kosong yang bernama Ang-lian-to (Pulau Teratai Merah). Dan agaknya tosu itu memang mengenalnya, buktinya tosu itu mengajak empat orang muridnya untuk mundur. Padahal, sesuai dengan watak pendekarnya, sebelum dia sendiri roboh, tidak mungkin tosu itu akan melarikan diri dari pertempuran. Thian Sin merasa lega dan gembira, merasa bahwa dia telah berhasil mengelabui ketua Jit-sian-kauw. Akan tetapi, pendekar ini sama sekali tidak tahu bahwa di balik topeng tengkorak itu, Sian-su tersenyum-senyum dan mentertawakannya. Dia tidak tahu bahwa ada kejutan yang amat tidak menyenangkan baginya. iarpun dia melihat sendiri betapa Pendekar Sadis telah mengusir lima orang musuh itu dan melukai empat orang murid Bu-tong-pai dengan cara yang amat mengagumkan dan menggiriskan hatinya, yaitu hanya dengan mempergunakan daun, namun ketua Jit-sian-kauw itu belum yakin begitu saja. Dia masih belum mau percaya begitu saja. Dia masih belum yakin benar akan kesetiaan Thian Sin. Oleh karena itu, dia masih mempersiapkan suatu ujian yang amat berat bagi pemuda itu. Malam hari itu, ketika Thian Sin sudah merebahkan diri dan mencari akal untuk melihat kesempatan, tiba-tiba dia terbangun dengan kaget. Ada suara di telinganya, dekat sekali di telinganya, yang berbisik dengan suara dengan suara mengandung kekuatan mujijat. "Ceng Thian Sin, engkau telah berada dalam kekuasaan Sian-su. Engkau harus mentaati semua kehendaknya agar hatimu dapat merasa senang dan tenteram! Nah kau rebahlah, kau tidurlah, tidur yang nyenyak...!" Thian Sin yang sudah bangkit duduk itu perlahan-lahan merebahkan diri kembali, dan memejamkan matanya, lalu dia mengatur pernapasannya seperti orang tertidur. Tak lama kemudian, suara itu terdengar lagi, "Ceng Thian Sin, bangkitlah dan turunlah dari tempat tidurmu." Bagaikan patung hidup, Thian Sin lalu turun dari pembaringan. "Pergilah ke pintu kamar, bukakan daun pintu dan biarkan seorang sahabat masuk!" Thian Sin berjalan ke pintu dan membuka daun pintu. Di depan pintu itu telah berdiri seorang yang bertopeng tengkorak dan berjubah putih pakaian seragam para anggauta Jit-sian-kauw yang membawa sebuah baki terisi cawan arak. Thian Sin tidak tahu apakah orang ini sang ketua sendiri ataukah orang lain, akan tetapi dia percaya bahwa ketua itu tidak begitu ceroboh untuk membiarkan dirinya dekat dengan dia tanpa terlindung. Tentu ini hanya seorang anggauta biasa saja. "Taihiap, harap suka minum arak dalam cawan ini," kata orang itu sambil menyerahkan cawan arak. Thian Sin hendak menolaknya, akan tetapi dia segera teringat bahwa dia sedang berada da-lam keadaan "tersihir", maka diapun diam saja, hanya memandang dengan mata kosong dan ber-diri seperti patung. Suara itu lalu terdengar lagi, kini nadanya mengandung kelegaan hati, "Ceng Thian Sin, ambil cawan itu dan minum araknya sampai habis!" Kini Thian Sin mengambil cawan itu dan menempelkannya ke bibirnya. Dari baunya saja dia maklum bahwa arak itu dicampuri obat bius, akan tetapi tanpa ragu-ragu lagi dia lalu menuangkan araknya ke dalam mulut sampai habis. Akan tetapi lebih dulu dia menggunakan kekuatan sihir dalam pandang matanya kepada sepasang mata di balik topeng itu dan melihat mata itu sejenak tercengang lalu melembut, tanda bahwa dia telah berhasil menguasai orang itu yang ternyata hanyalah seorang anggauta biasa saja. Dengan kekuatan sihirnya dia membisikkan bahwa orang itu telah melihat dia minum arak itu sampai habis ditelannya. Padahal arak itu hanya disimpan di mulutnya saja. "Sekarang kembalilah ke tempat tidur dan rebahkan dirimu," bisik suara di dekat telinganya yang dia tahu adalah suara Sian-su yang menggunakan ilmu mengirim suara dari jauh menggunakan tenaga khi-kang yang amat kuat. Angauta itupun lalu membawa pergi cawan kosong dan menutupkan pintu kamar, sedangkan Thian Sin merebahkan dirinya di atas pembaringan, diamdiam membuang arak di mulutnya yang dimuntahkan di dalam tangannya dan dibuang di atas lantai di belakang pembarirngan. Hal ini dilakukannya dengan cepat lalu dia merasa yakin bahwa tidak ada mata orang lain yang mengikuti gerak-geriknya. "Ceng Thian Sin, mulai saat ini engkau akan selalu percaya sepenuhnya taat, hormat dan tunduk kepadaku, kepada Sian-su, ketua dari Jit-sian-kauw yang akan mendatangkan kesenangan dunia akhirat bagimu! Camkan ini, harus selalu setia dan taat kepada Sian-su!" Kalimat terakhir itu diulangi sampai belasan kali dengan kekuatan yang amat hebat sehingga Thian Sin harus mengerahkan tenaga sin-kang pula untuk melawannya agar jangan sampai terpengaruh.- Tentu saja pengalaman itu membuat Thian Sin tidak dapat tidur pulas. Dia harus bertindak cepat karena kalau terlalu lama, keadaannya bisa semakin berbahaya. Dia tidak tahu bahwa malam itu, Sian-su telah mempersiapkan percobaan terakhir kepadanya, percobaan yang teramat berat dan di sini Sian-su hendak mengambil kepastian apakah pendekar itu akan dianggap kawan ataukah lawan. Setelah merasa yakin bahwa dia tidak diamati, Thian Sin lalu turun dari pembaringannya dan dengan langkah seperti langkah kucing, sama sekali tidak menimbulkan suara, dia mendekati jendela lalu pintu kamarnya untuk mengintai keluar. Ada dua orang penjaga di luar, seorang di luar jendela dan seorang lagi di luar pintu. Dengan hati-hati dia membuka daun pintu. Anggauta Jit-sian-kauw itu memandang dan Thian Sin menggapai, berkata lirih, "Twako, ke sinilah, aku mau bicara penting..." Karena ketika memandang dan menggapai, juga ketika mengeluarkan kata-kata Thian Sin sudah mempergunakan kekuatan sihir melalui mata, gerakan tangan dan suaranya, penjaga itu biarpun ragu-ragu, tidak dapat menahan kakinya melangkah dan memasuki kamar. Secepat kilat tangan kanan Thian Sin bergerak dan tanpa mampu mengeluarkan suara atau melawan, penjaga itu terkulai lemas karena dia telah pingsan tertotok. Dengan hati--hati Thian Sin merebahkan orang itu di atas lantai kamarnya, kemudian dengan berindap-indap dia keluar dari pintu kamar, memutar dan meyergap penjaga yang duduk di luar jendela. "Apa... uhhh...!" Penjaga itu tadinya terkejut dan hendak melawan, namun dalam ke-adaan seperti itu Thian Sin telah menggunakan kepandaiannya, maka mana mungkin penjaga itu mampu melawannya. Diapun roboh pingsan sebe-lum sempat berteriak dan Thian Sin sudah memondong tubuhnya dan membawanya masuk ke dalam kamar, melepaskannya di atas lantai bersama penjaga pertama. Kemudian, dengan cepat Thian Sin menelikung kedua orang itu, diikatnya dengan tali ikat pinggang mereka sendiri, dijadikan satu dan mulut merekapun disumbat dengan kain baju mereka sendiri. Karena dia tahu bahwa dua orang itu memiliki kepandaian yang lumayan, maka dia mengikat kaki tangan mereka kuatkuat, juga menyumbat mulut mereka dan menalikan kain sumbatan itu melilit kepala, dan menambahkan totokan pada beberapa bagian tubuh mereka. Dia merasa yakin bahwa sebelum pagi hari, mereka tidak akan siuman dan andaikata sudah siuman sekalipun, mereka takkan mampu bergerak dan tidak dapat mengeluarkan suara. Setelah melakukan ini, dia lalu mendorong tubuh yang sudah menjadi satu itu ke bawah pembaringannya sehingga tidak nampak dari luar. Kemudian dia bersiap-siap untuk melakukan penyelidikan sendiri dan dengan gesit dia menyelinap keluar dari dalam kamarnya, menutupkan daun pintu kamar dan keluar. Dia sudah tahu di mana adanya kamar-kamar para wanita penari. Dia bermaksud mencari isteri mendiang Cia Kok Heng dan hendak menyelidiki keadaan wanita itu karena dia merasa yakin bahwa ada sesuatu yang memaksa wanita itu berbohong kepadanya ketika ditanyainya. Dan dia akan menggunakan kekuatan sihirnya membuyarkan kekuatan sihir yang mencengkeram para wanita penari dan mengorek rahasia kejahatan Siluman Guha Tengkorak dari mereka. Akan tetapi, baru saja dia keluar dari kamarnya, terdengar suara canang bertalu-talu dan disusul suara hiruk-pikuk kaki orang-orang berlarian. Than Sin terkejut dan cepat dia kembali ke dalam kamarnya, menyangka bahwa tentu perbuatannya ketahuan dan dia harus bersiap siaga menghadapi pengeroyokan kalau perlu. Dia mengintai dari balik jendela dan melihat para anggauta perkumpulan itu berlari-lari dari segala jurusan menuju ke bangunan besar yang menjadi tempat tinggal Sian-su. Tak lama kemudian, suara canang itupun berhenti dan nampaklah Sian-su bersama serombongan anggautanya melangkah lebar menuju ke kamarnya! Thian Sin menanti dengan jantung berdebar. Jelaslah bahwa perbuatannya telah ketahuan! Akan tetapi dia pura-pura tidur miring di atas pembaringannya, dengan seluruh urat ayaraf menegang, siap menerjang keluar, menghadap ke pintu dan menutupi mukanya dengan lengan tangan, mengintai dari bawah lengan. Dapat dibayangkan betapa tegangnya hati pendekar itu ketika pintu kamarnya perlahanlahan terbuka dari luar! Dia sampai merasa seolah-olah jantungnya hendak meloncat keluar dan suara detak jantungnya seperti suara tambur. Akan tetapi, suara Sian-su tidak terdengar marah, bahkan ramah sekali ketika berkata, "Cengtaihiap, bangunlah!" Thian Sin sudah merasakan perobahan dalam suara itu, suara yang sifatnya memerintah. Akan tetapi dia pura-pura tidak merasakan hal ini, dan diapun menurunkan lengannya, dan membuka mata. Dilihatnya bahwa mata itu tidak memancarkan kekuatan sihir, maka diapun mengerti bahwa sekali ini Sian-su hendak menghadapi dia dalam keadaan sadar. Bukankah semalam suara Sian-su telah menanamkan pesan kepadanya bahwa dia harus setia dan taat" Baiklah, dia akan bersikap taat. "Ah, Sian-su, malam-malam begini ada apakah" Aku mendengar suara canang dan mendengar suara kaki berlari-lari, setelah suara canang berhenti akupun tidur lagi." "Canang itu dipukul untuk mengumpulkan anggauta karena ada laporan dari pengamat di luar bahwa ada serombongan orang yang menyerbu tempat kita." Reaksi Thian Sin cepat dan wajar, kewajaran sikap seorang yang setia! Dia sudah meloncat turun dari pembaringan dan mengepal tinju. "Kita harus basmi mereka!" Dilihatnya betapa sepasang mata di balik topeng itu memancarkan sinar puas dan gembira melihat sikapnya ini, dan Sian-su berkata, "Tidak perlu tergesa-gesa. Mereka itu tidak akan mampu menemukan tempat kita, taihiap." "Siapakah mereka?" "Ha-ha, mereka itu adalah orang-orang dari Hong-kiam-pai yang dipimpin oleh Im Yang Tosu." Diam-diam Thian Sin terkejut. Dia mengenal Im Yang Tosu, tokoh dari Kun-lun-pai yang berkepandaian tinggi. "Apakah taihiap belum mengenal Hong-kiam-pang?" Thian Sin menggeleng kepalanya. "Hong-kiam-pang atau Hong-kiam-pai adalah perkumpulan silat yang mengutamakan ilmu pedang mereka, berpusat di kuil Thian-hong-bio di lembah Fen-ho di luar kota Tai-goan. Mereka dipimpin oleh Im Yang Tosu dan Bu Beng Tojin. Ha-ha, mereka berani memusuhi kita, akan tetapi biarlah, tak mungkin mereka dapat menemukan tempat kita ini. Cukup dengan beberapa orang pengamat saja untuk mengamati gerak-gerik mereka di luar tebing Guha Tengkorak, sedangkan kita akan melanjutkan pesta pengangkatan seorang anggauta atau murid baru." Thian Sin merasa tidak senang, akan tetapi tidak diperlihatkannya pada wajahnya yag tetap tenang. Sinar matanya ketika memandang kepada Sian-su penuh dengan kekaguman, kehormatan dan kesetiaan, sesuai seperti apa yang dikehendaki oleh pendeta siluman itu. "Murid baru wanita?" Pendeta siluman itu tertawa. "Benar, seorang murid baru yang istimewa, taihiap dan terus terang saja, belum pernah kita mempunyai anggauta wanita seperti ini." Thian Sin merasa agak heran dan juga timbul kecurigaannya, ada perasaan tidak enak menyelinap dalam hatinya. Dia mencoba untuk menduga-duga, akan tetapi tidak berhasil memecahkan teka-teki ini. Siapakah wanita yang dimaksudkan oleh pendeta siluman ini" Hampir dia menduga bahwa jangan-jangan yang dimaksudkan adalah Kim Hong. Akan tetapi dia membantah sendiri dugaannya ini. Kim Hong terlampau cantik untuk dapat terjebak. Memang besar kemungkinan Kim Hong menyelidiki dan memasuki sarang ini untuk mencari dan menolongnya, akan tetapi Kim Hong tentu maklum akan besarnya bahaya kalau membiarkan dirinya terjebak. Tidak, Kim Hong tidak mungkin membiarkan dirinya dijebak seperti dirinya. "Marilah, taihiap, mari kita menemani mereka yang sudah sejak tadi mulai dengan pesta malam ini. Ada seorang pengikut baru, seorang pembesar yang memiliki kedudukan penting di kota raja. Dari dialah kita dapat mengharapkan sumbangan yang besar untuk menyelesaikan bangunan pondok suci untuk tujuh dewa yang mulia. Untuk menghormati kehadirannya dan untuk meresmikan pengangkatan anggauta baru yang juga akan menjadi pilihanku sebagai murid terbaik dan tersayang, taihiap." Thian Sin mengikuti pendeta siluman itu naik ke dataran puncak bukit di mana telah berkumpul para pengikut yang kemarin malam pernah dilihat oleh Thian Sin. Dan di antara mereka kini terdapat seorang pria berpakaian mewah yang bermuka merah, usianya sudah enam puluh tahun akan tetapi sikapnya masih genit. Ada tiga orang pelayan wanita yang bergaun tipis melayani orang ini dan Thian Sin dapat menduga bahwa orang inilah yang disebut oleh Sian-su tadi sebagai pengikut baru yang terhormat, seorang bangsawan tinggi dari kota raja. Seperti juga kemarin malam, para penari wanita melakukan upacara dan Lu Sui Hwa atau isteri Cia Kok Heng kini ikut pula di antara para penari, nampak cantik dan agung, paling menarik di antara mereka walaupun mukanya agak pucat dan matanya sayu. Thian Sin masih menghadapi semua ini dengan tenang. Akan tetapi ketika tiba giliran anggauta atau murid baru itu mendaki anak tangga menuju ke dataran itu, tiba-tiba Thian Sin mengepal tinjunya dan wajahnya berobah pucat. Dia mengenal Kim Hong yang kini menghampiri Sian-su, Kim Hong yang mengenakan pakaian gaun tipis putih! Dengan mata terbelalak Thian Sin melihat betapa Kim Hong melangkah seperti boneka berjalan menghampiri Sian-su. Dia masih meragukan apakah Kim Hong tidak bersandiwara" Akan tetapi kemudian dia teringat bahwa biarpun Kim Hong memiliki kepandaian ilmu silat yang tidak mungkin kalah dibandingkan dengan pendeta siluman itu, namun kalau pendeta siluman itu mempergunakan ilmu sihir, tentu Kim Hong akan celaka. Dan agaknya kini gadis itu sudah berada di bawah pengaruh sihir. Agaknya untuk upacara ini, ketua Jit-sian-kauw itu menggunakan cara lain. Mungkin saja karena tadi sudah mengatakan untuk mengangkat anggauta baru itu menjadi pilihannya sebagai murid tersayang, maka kini upacaranyapun berbeda dengan yang sudah-sudah. Setelah Kim Hong menjatuhkan diri berlutut di depan ketua agama itu, Sian-su lalu memberkahi gadis itu dengan kedua tangannya di atas kepala Kim Hong, kemudian dengan gerakan halus membangunkan gadis itu, memegang tangannya dan menuntunnya ke dekat pondok-pondok emas kecil. Akan tetapi di situ sekarang telah dihamparkan sebuah kasur dan kini Sian-su membimbingnya dan menyuruhnya terlentang di atas kasur. Kim Hong melakukannya tanpa ragu sedikitpun dan tubuh yang menggairahkan itu, dengan terbungkus gaun yang tipis sekali, kini telah terlentang di atas kasur dengan kedua kaki lurus dan kedua lengan disilangkan di depan perut. Tujuh orang wanita yang membawa kelinci, pisau dan lain-lain telah maju berlutut dan Sian-su kini dengan gerakan perlahan seolah-olah hendak memperlihatkan pertunjukan yang amat menarik, mulai membukai kancing depan gaun itu! Dan memang pertunjukan itu amat menarik karena para tamu yang hadir menghentikan minum dan memandang dengan mata melotot dan pandang mata penuh nafsu! Kalau pada murid biasa, darah kelinci hanya dikucurkan di atas kepala, maka pada murid pilihan ini, darah kelinci akan dikucurkan di atas badan yang telanjang! Ketika kancing bagian atas membuka gaun dan memperlihatkan dada kekasihnya, Thian Sin sudah tidak dapat menahan dirinya lagi. Dengan teriakan melengking panjang dia meloncat ke tempat itu, lalu mengeluarkan bentakan yang penuh dengan kekuatan sihir untuk membuyarkan pengaruh sihir atas diri Kim Hong, "Kim Hong sadarlah! Engkau berada di tangan musuh-musuh kita!" Teriakan ini memang hebat bukan main dan seketika Kim Hong terbelalak dan sadar. Akan tetapi ia masih bingung dan kepalanya terasa pening sehingga ketika pada saat itu Sian-su menggerakkan tangan menotoknya dari jarak yang dekat, ia tidak mampu mengelak dan Kim Hong yang sudah bangkit duduk itu roboh kembali dalam keadaan tertotok. Sementara itu, para anak buah Jit-sian-kauw sudah menerjang Thian Sin. Memang semua perlakuan terhadap Kim Hong tadi disengaja oleh Sian-su dalam usahanya unuk menguji kesetiaan Thian Sin. Ujian terakkir yang tentu saja amat berat bagi Thain Sin dan pendeta siluman yang amat cerdik itu tahu bahwa andaikata Pendekar Sadis berpura-pura, maka kepurapuraannya itu tentu akan terbongkar kalau menghadapi kekasihnya terancam. Bagaimanapun juga, ketua Jit-sian-kauw ini masih sangsi dan merasa ragu-ragu apakah benar Pendekar Sadis dapat ditundukkannya dengan kekuatan sihir karena diapun sudah mendengar bahwa selain memiliki kepandaian silat yang amat tangguh, juga pendekar itu kabarnya memiliki kepandaian ilmu sihir pula. Kalau pendekar itu tetap taat dan setia kepadanya ketika melihat keadaan Kim Hong, maka dia dapat merasa yakin bahwa dia telah benar-benar dapat menguasai Thian Sin dan dapat menarik pendekar itu menjadi pembantunya yang amat menguntungkan. Dan kalau pendekar itu hanya pura-pura, maka tentu rahasianya akan tebongkar, dan untuk itu dia sudah mempersiapkan anak buahnya yang telah berjaga di situ sejak tadi, mengamati gerak-gerik Pendekar Sadis. Itulah sebabnya, ketika Thian Sin mengeluarkan suara melengking dan membentak, belasan anak buah Jit-sian-kauw telah menghadang dan mengoroyoknya, didahului oleh sambaran beberapa batang anak panah dari samping. Lima batang anak panah yang dilepas oleh pasukan anak panah dari samping itu disusul pula oleh lima batang yang lain. Akan tetapi, lima batang anak panah pertama itu runtuh semua ketika Thian Sin menggerakkan tangan kiri dengan mengerahkan sin-kang sehingga ada hawa pukulan menyambar dan meruntuhkan lima batang anak panah itu sebelum senjata itu menyentuh tubuhnya, kemudian, sambil meloncat ke depan, dia memapaki lima batang yang lain dan kedua tangannya menangkapi lima batang anak panah ini dan langsung melontarkannya ke arah lima orang anggauta pasukan panah itu. Terdengar teriakan-teriakan kasakitan ketika tiga orang di antara mereka itu roboh dengan dada tertusuk anak panah mereka sendiri, sedangkan dua orang yang lain mampu menghindarkan diri dengan elakan. Akan tetapi, belum sempat Thian Sin menerjang ke arah Sian-su, dia telah dikepung dan dikeroyok oleh belasan orang anak buah Jit-sian-kauw yang bertopeng tengkorak. Mereka semua telah mengeluarkan bermacam senjata dan menyerang dari semua jurusan dengan maksud membunuh karena Sian-su telah memberi isyarat untuk membunuh lawan yang amat tangguh ini, yang ternyata sama sekali tidak pernah terpengaruh oleh sihirnya dan yang ternyata hanya purapura saja menyerah itu. Kini Thian Sin benar-benar mengamuk! Melihat kekasihnya terancam penghinaan seperti itu, kemarahannya memuncak dan Pendekar Sadis mem-perlihatkan kelihaiannya. Dia tidak mau mengeluar-kan pedangnya, melainkan menyambut hujan senjata itu dengan kedua tangan kosong saja. Akan tetapi tangan kosong yang bagaimana! Seperti sepasang naga mengamuk saja kedua tangan Thian Sin itu ketika dia menghadapi pengeroyokan anak buah Jit-sian-kauw. Dia mengeluarkan semua ilmu yang dikuasainya untuk menghajar para anggauta Jit-sian-kauw itu. Biarpun mereka itu terdiri dari orang-orang yang berkepandaian tinggi, namun di tangan Pendekar Sadis mereka itu tiada bedanya seperti segerombolan anak-anak kecil saja. Seorang anggauta yang agaknya memiliki dasar ilmu silat Siauw-lim-pai, menggunakan sebatang toya. Ilmu toya Siauw-lim-pai terkenal kuat sekali, didasari dengan gerakan yang mengandung tenaga lwee-kang sehingga ujung toya itu tergetar dan kelihatan menjadi banyak. Dengan gerakan mantap dan penuh tenaga, sambil membentak nyaring, pemegang toya ini menusukkan toyanya ke arah dada Thian Sin. Akan tetapi karena ujung toya itu ter-getar sukarlah untuk diduga apakah benar dada yang diserang itu, ataukah tenggorokan atau pusar, atau juga lambung kanan kiri. Ada semua kemungkinan itu dan inilah lihainya permainan toya itu. Namun, Thian Sin menghadapinya dengan tenang saja, bahkan menanti sampai toya itu mencium tubuhnya dan ternyata ujung toya itu mendarat pada lambungnya yang kiri. Begitu ujung toya mencium bajunya di lambung, Thian Sin menggerakkan tangan kirinya yang dimiringkan dan yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang sepenuhnya itu, membacok ke bawah ke arah toya. "Krakkk!" Dan toya itu patah-patah menjadi tiga potong, kemudian sebelum pemegang toya yang merasa betapa telapak tangannya berdarah dan terkupas kulitnya itu sempat menguasai keadaannya, kaki Thian Sin sudah menendang orang dan orang itupun terlempar dan terbanting roboh, tidak mampu bangkit kembali. Thian Sin masih ingat bahwa besar sekali kemungkinannya para anggauta Jit-sian-kauw ini bergerak di bawah pengaruh sihir atau setidaknya juga kepercayaan yang membuta terha-dap Sian-su sehingga mereka itu tidak sadar bahwa mereka telah membantu seorang yang amat jahat. Mungkin sekali para anggauta ini adalah orang baikbaik yang telah terseret karena pandainya Sian-su mengambil hati dan menundukkan mereka. Karena itu, maka Pendekar Sadis ini masih merasa kasihan untuk membunuh mereka dan tendangannya tadipun terarah dan terkendalikan sehingga biarpun orang itu tidak mampu bangkit lagi, namun tidak menderita luka yang dapat merenggut nyawaya, hanya patah tulang dan salah urat saja. Anggauta yang memegang toya itu terkenal di antara kawan-kawannya sebagai satu di antara lima murid utama dari Sian-su, maka melihat dia dalam segebrakan saja roboh, para pengeroyok itu menjadi gentar. Akan tetapi merekapun menyerbu dengan berbareng, tidak lagi berani maju satu- satu. Thian Sin mengerling dengan ujung matanya dan melihat betapa Sian-su masih berdiri, dan hanya nonton pertempuran itu, sedangkan Kim Hong sudah rebah miring tak bergerak, dalam keadaan tertotok. Hatinya menjadi gelisah. Ingin dia cepat-cepat menyerang Sian-su dan menyelamatkan Kim Hong, apapun juga yang terjadi. Hal ini membuat dia menjadi semakin marah kepada para anggauta yang mengepungnya. Ketika dia melihat tosu penghuni kuil, yang dikenalnya dari kebiasaannya memiringkan muka, kemarahannya memuncak. Dia tidak memperhatikan serangan yang datang bagaikan hujan itu, melainkan memu
Sepasang Garuda Putih 9 Pedang Ular Merah Karya Kho Ping Hoo Naga Pembunuh 6

Cari Blog Ini