Ceritasilat Novel Online

Anak Pendekar 5

Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 5


markas besar pasukan kerajaan yang menduduki Siau-kim-jwan
pasti mengutus beberapa barisan ronda mengadakan penggrebekan
ke desa-desa sekitarnya mengejar sisa-sisa pemberontak yang
masih bersembunyi. Di antara sekian banyak petugas mata-mata
yang dikirim ke desa-desa itu tidak sedikit perwira-perwira muda
usia yang berkedudukan agak rendah, sudah tentu mereka
berpakaian preman. Teng Tiong-ai menduga musuh takkan berani
datang seorang diri menolong Nyo Hoa, tapi umpama benar pemuda
ini seorang perwira muda, kepandaiannya juga terbatas, tak perlu
dia maju membantu, maka dia membentaknya suruh berhenti.
Nyo Hoa tahu kepandaian pemuda ini tinggi tapi dia pun tak tahu
asal-usulnya. Pikirnya, "Dia sudah tahu Beng Goan-cau adalah
musuhku, tadi juga dia sudah menampar aku, jelas dia tidak akan
membantu aku. Paling juga berpeluk tangan menonton di luar
arena, supaya aku saling labrak dengan kawanan cakar alap-alap ini
hingga gugur bersa-ma."
Ternyata dugaan kedua pihak meleset, pemuda itu tidak
berhenti, kedatangannya malah lebih cepat. Tampak tubuhnya
berkelebat, seperti burung seriti menyelinap ke hutan, dalam
sekejap dia sudah menerobos lapisan kepungan paling luar. Paderi
Tibet itu membentak, "Anak muda, kenapa tidak mengukur diri
sendiri, memangnya di sini setimpal kau ikut campur?"
"Apa iya?"jengek pemuda cakap itu dingin. Belum habis dia
bicara, "sret" tahu-tahu tangannya sudah memegang sebatang
ruyung lemas, kontan menyapu muka paderi Tibet.
Kungfu paderi Tibet ini tidak lemah, meski serangan tidak
terduga, masih sempat dia ayun tongkat besarnya menangkis. Tapi
sudah terlambat sedikit," terasa pergelangan tangan kesemutan,
didengarnya pemuda cakap itu membentak, "Menyingkir kau!"
Tongkat gelang sembilan paderi Tibet itu sudah tergulung ruyung
lemas lawan, demikian pula badannya yang kekar itu terbanting
terlentang. Kedua tosu Khong-tong-pay yang berada di lapisan luar baru
sadar bahwa pemuda ini adalah musuh tangguh, lekas mereka
menyerbu dengan serangan gabungan pedang mereka. Berpadu
bentakan mereka, "Anak bagus kau ingin mampus biar kuantar
arwahmu ke neraka!" "Apa iya?" kembali pemuda cakap menyeringai dingin dengan
nada yang sama, tongkat besar paderi Tibet yang tergulung di
ujung ruyungnya mendadak dia ayun ke depan. Panjang tongkat itu
ada setombak lebih, dilontarkan dengan tenaga kuat lagi, mana
kedua tosu itu mampu menyingkir" "Trang", pedang di tangan tosu
sebelah kiri terbentur jatuh. Kepandaian tosu sebelah kanan lebih
tinggi, lekas dia merendahkan badan, pedang menuding ke atas
serta menyampuk kc luar hingga tongkat itu berputar ke arah lain.
Padahal kedua tosu Khong-tong-pay ini mahir memainkan ilmu
pedang yang ganjil, tak nyana belum sempat melancarkan
serangan, permainan pedang mereka sudah dipatahkan oleh si
pemuda. Salah satu pedang mereka jatuh, gabungan permainan
ilmu pedang mereka tak bisa dilancarkan.
Mendapat angin, pemuda cakap itu ternyata tidak memberi
peluang lagi, ruyungnya dimainkan secepat baling-baling, maka
terdengarlah suara "plak plok" nyaring, wajah tosu yang kehilangan
pedangnya dihiasi dua jalur sabetan ruyung. Tosu yang masih
bersenjata itu lebih mengenaskan lagi, tulang lututnya terketuk
pecah, sakitnya tak tertahan. Meski masih memegang pedang, lekas
dia menjatuhkan diri terus menggelinding ke bawah lereng sana,
khawatir setelah lututnya terluka kalau tidak lekas melarikan diri
lebih dulu celaka kalau nanti tidak sempat lolos.
Tongkat sembilan gelang yang diputar ke arahnya, kebetulan
mencelat tinggi jatuh ke tengah gelanggang. Lekas Thian-thay
Siangjin angkat tongkatnya dengan jurus Ki-hwe-1 iau-thian (Angkat
obor menerangi langit), tongkat besar itu dia sampuk pula terbang
ke udara, sembilan gelangnya gemerantang di udara, terus melesat
terbang puluhan tombak melayang jatuh ke dalam lembah.
Pemuda cakap itu membatin, "Paderi asing ini tidak boleh
dipandang enteng." Tubuhnya berkelebat dan menyelinap,
setangkas ular merayap selicin belut menerobos, cepat sekali dia
sudah berhasil menyelinap ke dalam kepungan lapisan dalam.
Tangan bergerak ruyung bekerja, Lama sebelah kiri diserang. Lekas
Lama itu mengelak sambil mengubah langkah berkelit balas
menyerang, namun permainan ru-yung lemas pemuda cakap seperti
kilat menyambar, mendadak berputar menyabet ke arah Lama
sebelah kanan. Lekas Lama itu juga mengelak dan menggeser
langkah, sambil berkelit dia pun balas menyerang. Maka
terdengarlah suara nyaring beradunya benda berat, ternyata dua
tongkat si Lama saling bentur sendiri. Celakanya, kedua Lama itu
pun bertumbukan juga hingga jatuh bergulingan ke lereng gunung.
Pemuda cakap ini masih muda, ternyata dia pun seorang ahli silat
seperti halnya Nyo Hoa. Dia sudah meneliti permainan kedua Lama
ini dan sudah menentukan arah yang akan ditempuh, dia pun
sengaja memancing dengan sabetan ruyung, bila lawan berkelit dan
keduanya pun pasti akan saling tubruk sendiri.
Keruan Thian-thay Siangjin gusar bukan main, bentaknya, "Anak
sundal, berani melukai muridku!"
Pemuda cakap tertawa, katanya, "Aku malah akan melukai kau
pula, nah perhatikan." Segera dia lancarkan jurus Yang-koan-ai-liu
dari permainan ruyung lemasnya yang lihay. Ruyungnya itu
dibuatnya melingkar-lingkar seperti tali laso hendak menjerat kepala
Thian-thay Siangjin. Thian-thay Siangjin membentak, "Keparat, jangan menghina.?"
Tongkat diayunkan menderu, ruyung si pemuda berhasil
disampoknya pergi. Tapi ruyung lemas tidak termakan oleh
sambaran tongkat besarnya. Thian-thay Siangjin harus banyak
menguras tenaga, namun juga hanya mampu bertahan saja.
Dua lapis kepungan kocar-kacir, sudah tentu merupakan
keringanan bagi Nyo Hoa, kini dia bisa lebih mengkonsentrasikan
dirinya menghadapi tiga musuh di lapis dalam, walau belum bisa
menang, namun permainan sudah makin lancar dan wajar. "Sret"
mendadak dia menusuk hingga Teng Tiong-ai dipaksa mundur
selangkah, maka tangan kirinya sempat melayang enteng memukul
ke arah Thian-thay Siangjin dari jarak jauh. Walau di tengah
pertempuran sengit, namun pukulan Bik-khong-ciang ini mampu
membikin Thian-thay Siangjin gelagapan. Betapa sebat dan lincah
gerak-gerik pemuda cakap itu, mumpung ada kesempatan tiba-tiba
dia menyelinap masuk, ruyung lemas sudah membelit pinggang,
mendadak dia menghardik, "Pergi!" Meminjam tenaga mengerahkan
tenaga, tubuh Thian-thay Siangjin yang besar kekar itu ternyata
terangkat ke udara, sekali sendai lagi tubuhnya melayang jatuh ke
bawah lereng sana. Kini tinggal tiga jago kosen di lapisan terakhir. Teng Tiong-ai
harus memainkan sepasang potlotnya untuk menandingi ruyung
lemasnya. Dinilai kepandaian sejari, sebetulnya Teng Tiong-ai lebih
unggul dari pemuda ini, namun kedatangan pemuda ini telah
berhasil mengobrak-abrik barisan mereka, mau tidak mau Teng
Tiong-ai agak jeri menghadapinya.
Teng Tiong-ai mendesak maju, ruyung lemas si pemuda hampir
saja tergencet oleh sepasang potlotnya. Mendadak pemuda cakap
itu membentak, "Kau ahli tiam-hiat, memangnya aku bukan ahli?"
Tiba-tiba dia tarik ruyungnya dari jepitan po-tlot lawan terus
disendai mengencang dan lurus menotok Gan-ih-hiat di bawah
ketiak orang. Teng Tiong-ai berseru, "Bagus, baiklah aku bertanding ilmu tiamhiat
dengan kau" Sebagai jago totok yang kosen begitu potiot kiri
menyontek ujung ruyung, berbareng potiot kanan sudah
menyelonong ke Hian-ki-hiat di dada pemuda cakap.
Pemuda cakap balas membentak, "Kungfu tidak terbatas pada
satu sumber, hanya ahli dalam satu bidang mana boleh diagulkan
sebagai jago kosen?" Sebat sekali dia berputar, mendadak
ruyungnya menggulung miring, kadang-kadang melingkar seperti
bundaran mendadak lurus kencang seperti potiot lawan. Dalam
belasan jurus berulang kali dia sudah mengubah beberapa jenis
gerakan berbeda. Bukan saja permainan ruyungnya aneh dan
banyak variasi, setiap saat bila perlu, dia pun bisa gunakan ruyung
lemas itu sebagai boan-koan-pit untuk menotok Hiatto,
permainannya juga jauh di luar dugaan lawan.
"Bukan jago kosen juga dapat mengalahkan kau," demikian Teng
Tiong-ai balas mengolok, namun permainan ruyung pemuda cakap
memang selincah naga bermain di udara, indah menakjubkan susah
diraba dan dijajaki. Lama kelamaan rasa takut menghantui dirinya,
maka gebrakan selanjutnya dia tidak berani pandang enteng
lawannya ini. Dalam adu keuletan itu, pemuda cakap melancarkan Lian-hoansampian (Tiga pecut berantai) disusul Wi-hong-sau-liu (Angin lesus
menyapu pohon). "Ser, ser, ser" di tengah deru sambaran angin
kencang, ruyungnya mcnciptakan gugusan lurus bayangan ruyung
menyapu tiga kali ke arah Teng Tiong-ai. Melihat serangan cukup
kencang Teng Tiong-ai tidak berani melawan secara keras, lekas dia
kerahkan tenaga pinggang, tubuhnya melambung ke udara setinggi
satu tombak, kedua potlotnya menindih silang ke bawah.
Tujuan pemuda cakap memang ingin merebut kesempatan yang
sekejap ini, membebaskan diri dari rangsakan balasan Teng Tiongai.
Begitu potlot Teng Tiong-ai mengincar tempat kosong, cepat
sekali bagai angin puyuh kencangnya, pemuda cakap sudah
menubruk maju dari lubang yang terbuka ini. "Sret", ruyungnya
menyerang Gun-goan-cu Gun-goan-cu termasuk jago kosen dari Bu-tong-pay saat ini,
sudah tentu dia tidak mudah dibokong. Dalam detik yang berbahaya
itu, mendadak dia menekuk pinggang seperti lazimnya petani yang
bercocok tanam di sawah, sebat sekali badannya mendadak ke
bawah seraya melancarkan jurus So-cin-pak-kiam (So Gin
memanggul pedang) membela diri sekaligus balas menyerang.
Di tengah sambaran ruyung dan berkelebatnya sinar pedang,
terdengar seorang menjerit ngeri, darah seketika membasahi muka,
sebuah telinga ternyata telah lepas oleh petikan ruyung lemas
pemuda cakap. Yang terluka ternyata adalah sute Gun-goan-cu.
Pemuda cakap itu-memang cerdik dan banyak akal, sengaja dia
menggempur di timur tapi bersuara di barat. Dia juga tahu kalau
Gun-goan-cu tidak mudah dibokong, namun dalam sedetik waktu
Gun-goan-cu menurunkan badan, ru-yungnya menyambar lewat di
atas punggung orang, tempo dimanfaatkan secara tepat, Gun-goancu
tidak terluka, dirinya pun sempat mengegos dari tusukan pedang
lawan, namun ruyungnya masih terus menyambar ke sana dan
sekali sendai ujung ruyungnya melingkar bundar terus memetik
sebuah telinga sute Gun-goan-cu.
Bahwa serangannya berhasil, pemuda cakap lantas tertawa
dingin, "Kau bantu aku sekali pukulan, maka kubalas sekali sabetan
ruyung, siapa pun tidak berhutang kepada siapa." Ucapannya
ditujukan kepada Nyo Hoa. Tadi sekali pukul Nyo Hoa menghajar
Thian-thay Siangjin hingga pemuda cakap berhasil melilitnya dan
dibuang ke bawah lereng. Kini pemuda cakap melukai sute Gungoancu dengan ruyungnya sekaligus membantu Nyo Hoa
membobol barisan pedang Bu-tong-pay yang tangguh. Habis
mengucapkan beberapa patah kata pemuda cakap berputar,
menyongsong Gun-goan-cu yang baru saja menginjak bumi.
Beberapa patah perkataan pemuda cakap itu bukan saja
membikin TengTiong-ai keheranan, Nyo Hoa juga hanya bisa
menyengir tawa. Teng Tiong-ai heran karena dari nada bicara si
pemuda dapat dia simpulkan kalau pemuda cakap ini tidak kenal
Nyo Hoa, jadi orang luar. Sementara Nyo Hoa tertawa getir dalam
hati maka dia membatin, "Ternyata meski kau membantu aku
menggebah musuh, ternyata dalam hati kau masih membenciku.
Kau sudah membantu aku sebesar ini, justru tidak sudi menerima
ban tuanku yang tidak berati, jelas kau tidak sudi anggap aku
sebagai kawan." Dengan bekal Nyo Hoa sebetulnya dia sudah dapat mengalahkan
barisan pedang Gun-goan-cu dengan sute-nya, ditambah sambaran
ruyung pemuda cakap, maka kemenangan dicapai lebih cepat
Setelah telinganya dipetik, meski bukan luka parah, namun sakitnya
juga cukup membuat sute Gun-goan-cu tersiksa hingga pikirannya
takut. Pedang kilat Nyo Hoa membobol pertahanan mereka, maka
sute Gun-goan-cu .memutar tubuh terus lari.
"Kena!" menyusul Nyo Hoa menusuk pula sekali, yang
diserangnya adalah Gun-goan-cu. Lekas Gun-goan-cu menangkis
dengan pedang melintang, sepuluh bagian tenaga dikerahkan,
tujuannya hendak adu jiwa dengan Nyo Hoa. Tak nyana Nyo Hoa
sudah menduga akan tindakan ini, sedikit mengegos dia luputkan
diri dari pedang lawan. "Plak" tamparan tangannya mengenai
punggung tangan Gun-goan-cu hingga pedangnya terlepas jatuh.
Tampak sinar putih berkelebat, kontan Gun-goan-cu menjerit ngeri,
seperti juga sute-nya tadi, wajahnya berlepotan darah, sambil
mendekap muka dia lari sipat kuping. Ternyata luka-luka yang
dideritanya lebih parah lagi dari sang sute, mata kirinya buta
tertusuk pedang Nyo Hoa. Bahwa Gun-goan-cu suheng-te melarikan diri, mana Teng Tiongai
masih berani bertempur, sudah tentu dia pun angkat langkah
seribu. Si-ceng, Si-to dan Ngo-koan sudah berantakan, ada yang
mati ada yang lari, maka pertempuran sengit ini pun berakhir begitu
saja, suasana kembali hening tenang, tinggal Nyo Hoa dan pemuda
cakap saja yang masih berada di atas bukit
Dingin tatapan mata pemuda cakap mimiknya kelihatan aneh.
Nyo Hoa masukkan pedang ke dalam serangka lalu maju memberi
hormat, katanya, "Siaute Nyo Hoa, banyak terima kasih akan
pertolongan heng-tay (saudara), maaf bila aku kurang sopan,
mohon tanya siapakah she dan nama besar saudara?"
Pemuda cakap berkata dingin, "Kau dan aku bukan teman
sehaluan, kenapa harus memperkenalkan diri segala?"
Nyo Hoa seperti kebentur paku, katanya menyengir kecut "Kau
telah menolong jiwaku, kan pantas kalau aku menghaturkan terima
kasih." "Hm, kau kira aku sengaja kemari menolong kau?"
"Entah apa maksudmu, kenyataan kau sudah membantu aku."
"Jikalau kau tidak pernah melakukan kebaikan untuk rakyat jelata
di daerah ini, memangnya aku sudi membantu kau?"
"Yang benar aku tidak pernah berbuat baik, cuma dua hari yang
lalu aku sedikit membantu keluarga pemburu itu. Tapi mereka
banyak membantu aku."
"Kami tegas membedakan budi dan dendam, keluarga pemburu
itu adalah temanku, kau menolong mereka suami istri, maka hari ini
aku menolongmu. Jadi bukan untuk kau, tapi hanya membalas budi
mereka akan kebaikanmu. Sekarang kebaikanmu telah ku lunasi,
siapa pun tidak berhutang kepada siapa. Kau tidak usah berterima
kasih kepadaku, aku pun tidak perlu terima kasih kepada kau."
Habis bicara dia terus berlalu.
Lekas Nyo Hoa memburu ke depan orang, teriaknya, "Tunggu
sebentar saudara." Mendelik pemuda itu, katanya dingin, "Kau melarang aku pergi,
memangnya ingin mencoba aku?"
"Mana berani siaute membalas kebaikan dengan perbuatan


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kasar, aku hanya ingin mohon sedikit bantuanmu."
Berkerut alis si pemuda, katanya, "Dinilai budi pertolonganmu
kepada suami istri pemburu itu, ban tuanku kepadamu hari ini masih
belum setimpal, tapi kau bukan orang sehaluanku, tak bisa aku
menerima permintaanmu. Tapi coba kau katakan dulu, soal apa?"
"Apakah saudara juga dari laskar rakyat?"
Berdiri alis si pemuda, katanya, "Kalau betul kenapa?"
"Siaute juga sedang mencari laskar rakyat, entah saudara sudi
memberi petunjuk?" "O, maksudmu kau minta aku menjelaskan di mana laskar rakyat
kini menyembunyikan diri?"
"Ah, agaknya kau masih curiga dan tidak percaya kalau aku
bukan cakar alap-alap."
"Mari bicara blak-blakan saja, apakah kau masih bertekad hendak
membunuh Beng Goan-cau?"
"Itu soal lain"."
"Betul atau tidak?" sentak si pemuda. "Coba jelaskan dulu"
Akhirnya Nyo Hoa naik pitam, pikirnya, "Tidak mau menjelaskan
ya sudah, kenapa main bentak." Tapi lekas sekali benaknya berpikir,
jelek-jelek pemuda ini sudah memberi bantuan kepadanya, maka
terpaksa dia bersabar, katanya, "Betul, dengan Beng Goan-cau aku
memang ada persoalan yang harus diselesaikan. Kalau lantaran hal
ini kau juga memusuhiku aku pun tak bisa banyak omong. Tapi aku
boleh bersumpah kepada bumi dan langit, aku mencari laskar rakyat
bukan bermaksud jahat. Kalau kau tidak mau percaya, aku pun tak
berani mohon bantuanmu." Segera dia putar rubuh melangkah
pergi. Kini ganti si pemuda yang memburu, bentaknya, "Berhenti.?"
"Ada petunjuk apa?" tawar suara Nyo Hoa, hatinya panas.
"Untuk apa kau mencari laskar rakyat?"
"Leng Thiat-jiau dan Siau Ci-wan thauling dari laskar rakyat
adalah teman baik guruku." Heran dan tertarik si pemuda, katanya,
"Siapa gurumu" "
"Aku punya tiga guru, toa-suhu PokThian-tiau sudah meninggal,
ji-suhu Toan Siu-si, sam-suhu Tan Khu-seng. Setahun yang lalu
mereka mengalami musibah, mati hidupnya sampai sekarang susah
diramalkan. Ji-suhu pernah berpesan kepadaku bahwa beliau punya
hubungan baik dengan pemimpin laskar rakyat di Siau-kim-j wan,
yaitu Leng Thiat-jiau dan Siau Ci-wan tayhiap, bila perlu suruh aku
pergi membantunya." Apa yang dijelaskan ini memang betul. Tapi
Toan Siu-si juga punya teman baik di dalam laskar rakyat itu, teman
baiknya itu bukan lain adalah Beng Goan-cau, cuma Nyo Hoa tidak
enak menjelaskan. Tampak kendor sikap si pemuda katanya, "Jadi kau ini murid
Toan Siu-si. Nama cianpwe ini pernah aku mendengar orang
membicarakan." Nyo Hoa girang, katanya, "Jadi kau mau memberi tahu
kepadaku?" Tiba-tiba si pemuda bertanya pula, "Toan Siu-si adalah gurumu,
lalu Nyo Bok pernah apa dengan kau?"
Nyo Hoa tidak menyangka orang akan mengajukan pertanyaan
langsung yang tidak suka ia menjawabnya, karuan dia melenggong,
akhirnya dia menjawab getir, "Dia bukan apa-apaku."
"Lalu kenapa kau membiarkan dia lari?"
Makin terkejut hati Nyo Hoa,
pikirnya, "Apakah dia sembunyi di tempat ini serta mencuri
dengar percakapanku dengan ayah?"1
Melihat Nyo Hoa kaget, pemuda itu tampak senang, katanya
lebih lanjut, "Jangan kau mungkir, aku saksikan sendiri Nyo Bok
berlari turun dari gunung ini. Kungfunya jelas bukan tandinganmu,
jikalau kau tidak sengaja melepas dia pergi, memangnya dia bisa
lolos?" Nyo Hoa menghela napas, ujarnya, "Betul. Memang aku sengaja
membebaskan dia. Aku punya rahasia pribadi, jangan kau mendesak
aku." "Memangnya kau kira aku ingin tahu urusan pribadimu?" jengek
si pemuda. "Kau ingin membunuh Beng Goan-cau, apakah ini juga
menyangkut urusan pribadi?"
"Betul," desis Nyo Hoa kertak gigi, "tapi hal ini tiada sangkut
pautnya dengan laskar rakyat."
Pemuda cakap mengejek sinis, "Kau telah berbuat baik untuk
rak-yat jelata, maka aku balas membantu kau. Tapi perbuatan baik,
perbuatan mulia yang pernah dilakukan Beng tayhiap lebih banyak
lagi, mana kau boleh membunuhnya" Nyo Bok sebaliknya adalah
cakar alap-alap, peduli dia pernah apa dengan kau, yang terang
tidak pantas kau melindungi orang jahat dan memutar balik
persoalan." Tergerak hati Nyo Hoa mendengar protesnya, tapi mungkinkah
ganjalan hatinya semudah ini ter-lampias" Dalam waktu singkat ini
otaknya bekerja, akhirnya dia berkata dengan jengkel, "Umpama
salah juga aku tidak akan mengubah tekadku, paling setelah aku
membunuh Beng Goan-cau, aku pun akan bunuh diri mengiringi
kematian-nya." "Lebih parah kesalahanmu. Mana boleh dalam sehari sekaligus
mati dua orang yang berguna. Hm, sia-sia kau memiliki kungfu
setinggi ini, ternyata jiwamu begini sempit"
Kalut pikiran Nyo Hoa, tanpa sadar dia berteriak kalap, "Jangan
kau urus aku, kau tidak tahu, tidak tahu"."
"Baiklah, terserah bagaimana kau senang berbuat, aku tidak akan
urus." Namun segera dia menambahkan dengan tawa dingin,
"Kungfumu memang tinggi, tapi aku yakin kau belum mampu
membunuh Beng Goan-cau. Biar kuberi tahu kepadamu. Sekarang
dia berada dalam laskar rakyat, mungkin berada di Jik-tat-bok hutan
belantara di propinsi Jinghay, boleh kau ke sana mencarinya."
"Kau mau ke mana?" teriak Nyo Hoa.
"Kau takut aku memberi kabar kepada Beng Goan-cau" Hm,
jangan kau meremehkan Beng tayhiap, kau kira dia takut bila kau
menuntut balas kepadanya?"
"Bukan begitu maksudku?"
Setelah ditampar dan kini dicaci maki oleh pemuda cakap ini,
entah kenapa bukan saja dia tidak marah, malah tumbuh rasa
simpati kepada si pemuda. Dan simpati ini bukan lantaran orang
pernah menolong jiwanya. "Memangnya apa maksudmu?"
"Ah, urung kukatakan, bisa tambah parah salah pahammu
kepadaku." Ternyata Nyo Hoa bermaksud seperjalanan dengan si
pemuda. Bahwa pemuda ini juga anggota laskar rakyat, bila tugas
rahasianya di Siau-kim-j wan sudah selesai, pasti dia akan kembali
ke kesatuannya. Tapi mengingat salah paham si pemuda
terhadapnya makin mendalam, sementara segan dia memberi
penjelasan, jelas orang takkan mau seperjalanan dengan dirinya.
Maka Nyo Hoa batalkan niatnya, omongan yang sudah hampir
dilontarkan ditelannya kembali.
Sudah tentu si pemuda menjadi tertarik, sesaat dia menatap Nyo
Hoa lekat-lekat, katanya kemudian, "Coba jelaskan saja. Aku tidak
akan salahkan kau." Diam-diam Nyo Hoa tertawakan dirinya yang keburu nafsu,
pikirnya, "Dia sedang jengkel karena aku memusuhi Beng Goan-cau,
aku justru minta dia membawaku ke tempat tinggal Beng Goan-cau,
apakah keinginanku ini tidak terlalu ganjil" Ah, aku memang terlalu
hijau. Salah-salah aku bisa dicaci maki olehnya, dimaki juga tidak
jadi soal, celaka kalau dia salah sangka aku punya maksud jahat
terhadapnya." "Eh, bocah segede kau ini kenapa juga malu-malu kucing seperti
nona manis. Hayolah bicara blak-blakan."
Makin risih Nyo Hoa dibuatnya, segera dia menundukkan kepala,
katanya, "Terus terang aku tidak bermaksud jelek, aku hanya inginingin
bersahabat dengan kau."
Tiba-tiba merah muka si pemuda, katanya, "Kenapa kau ingin
bersahabat dengan aku?"
"Karena kau baik terhadapku."
Si pemuda menarik muka, katanya, "Sudah kukatakan tadi, sikap
baikku kepadamu adalah karena kau telah menolong keluarga
pemburu itu." "Aku tahu. Tapi sikapku ini juga bukan lantaran kau pernah
menolong aku, baru aku merasa perlu berbaik hati terhadapmu."
Semakin jengah selebar muka si pemuda, katanya, "Aku
menampar mukamu, kau malah anggap aku baik terhadapmu?"
Sampai di sini tiba-tiba dia cekikikan geli sendiri.
Sungguh tak terduga oleh pemuda cakap, setelah Nyo Hoa
diolok-olok malah bersikap sungguh-sungguh, katanya tulus, "Betul.
Aku tahu kau menamparku karena ingin aku baik. Sayang aku
punya kesulitan yang tak bisa kujelaskan. Tapi aku amat berterima
kasih dan haru akan kebaikanmu."
"Kau tahu siapa aku?" "Tidak," sahut Nyo Hoa pendek. Dalam hati
dia membatin, "Siapa she dan namamu toh belum kau beri tahu
kepadaku, bagaimana aku berani tanya asal-usulmu?"
"Kau tidak tahu aku siapa, aku pun tidak tahu kau siapa. Kau
hanya menduga bahwa aku orang baik. Kalau sebaliknya aku orang
jahat?" "Aku tahu kau pasti orang baik." Pemuda cakap geleng
kepala, kembali dia tertawa cekikikan.
Mendelu hati Nyo Hoa, katanya, "Aku bicara setulus hati, kenapa
kau tertawa?" Pemuda cakap bersikap serius, "Kutertawakan kau terlalu
gampang percaya kepada orang, kelak kau bisa dirugikan. Kau
harus tahu memang tidak sedikit orang baik di dunia ini, tapi
manusia jahat yang kelihatan berwajah vvelas asih juga tidak sedikit
Nyo Bok umpamanya. Duapuluh tahun yang lampau dia pernah
dianggap kaum pendekar, sungguh kasihan Hun lihiap Hun Ci-lo
pernah tertipu olehnya sehingga hidup merana dan sengsara
seumur hidup." Menyinggung ayah bundanya, sedih hati Nyo Hoa, pikirnya, "Dari
nadanya, agaknya dia tahu urusan keluargaku. Apakah dahulu ibu
terpaksa menikah dengan ayah" Atau benar karena tertipu?" Lalu
dia berpikir pula, "Bocah ini kenal Beng Goan-cau, tidak heran kalau
tahu tentang keluargaku. Umpama benar ayah bukan orang baik,
tapi dia bermusuhan dengan Bcng Goan-cau, tidak heran kalau di
luar sering tersiar berita angin yang menista dirinya." Harus
dimaklumi meski Nyo Hoa amat jengkel dan membenci Nyo Bok
namun dia masih sangka Nyo Bok adalah ayah kandungnya. Sebagai
anak, meski tahu ayahnya bersalah apa pun, hatinya akan kesal bila
mendengar orang lain membicarakan kejelekan ayahnya di
hadapannya sendiri. Dan karena itu, semula Nyo Hoa ingin mencari
tahu tentang masa hidup ibunya dulu, terpaksa dia batalkan
niatnya. Pemuda itu berkata lebih lanjut, "Dan lagi kau mau percaya
kepadaku, aku sebaliknya belum percaya kepadamu."
"Aku tahu," getir suara Nyo Hoa. "Salah pahammu kepadaku,
terus terang aku tak mampu menghapusnya. Baiklah, anggap aku
yang salah omong, kalau kau memandang hina diriku, aku pun tidak
berani berpikir muluk-muluk. Biarlah kita tempuh perjalanan masingmasing."
Tiba-tiba pemuda itu tertawa getir katanya, "Siapa bilang aku
memandang hina dirimu" Kalau aku memandang hina kau,
memangnya aku sudi bicara panjang lebar seperti ini" Tapi, ya, aku
memang agak curiga kepadamu, semoga sepak terjangmu
selanjurnya dapat menghapus kesan burukku terhadapmu."
Gundah dan risau hati Nyo Hoa, maka sikapnya menjadi dingin.
"Aku tetap akan mencari perhitungan dengan Beng Goan-cau,
tekadku ini tidak boleh ditawar lagi, maka tindakanku jelas tidak
akan dapat menghapus kesanmu terhadapku."
Pemuda itu masih tertawa, katanya, "Tiada sesuatu yang abadi
dalam dunia ini, kejadian sering terjadi di luar dugaan manusia,
seperti apa yang pernah kau bilang, sesama manusia bukan
mustahil akan timbul kesalahpahaman. Tapi dunia seluas ini,
dendam permusuhan yang tidak menyangkut urusan besar kurasa
tidak perlu dijadikan ganjalan hati. Betul tidak?"
Apa boleh buat terpaksa Nyo Hoa berkata, "Terima kasih atas
kata-kata mutiaramu."
"Baiklah, semoga kau dapat mengerti maksud baikku. Waktuku
sudah banyak terbuang, aku harus lekas pulang. Setelah
pertarungan hari ini musuh pasti tidak akan membebaskan dirimu,
kau seorang diri, meski kungfumu tinggi setiap langkahmu
selanjurnya juga perlu hati-hati. Jikalau persoalanmu sudah kau
selesaikan, kuanjurkan lebih baik kau lekas meninggalkan tempat
ini." Betapa besar perhatiannya terunjuk pada mimik muka dan
nada perkataannya. Akhirnya pemuda itu pergi. Nyo Hoa berdiri
mendelong mengawasi bayangan punggungnya lenyap di balik
hutan. Hembusan angin menyentuh lamunannya, pikirnya, "Orang ini
memang aneh, dia tidak mau bersahabat, namun begitu besar
perhatiannya terhadapku. Sebentar memakiku kejam, lain waktu
membujuk dan menghiburku. Omong punya omong entah kenapa
mendadak mukanya berubah jengah, sungguh membingungkan."
Sampai di sini tanpa terasa dia tertawa geli sendiri. "Dia bilang aku
seperti nona manis, kurasa kau justru lebih mirip nona pingitan."
Sejak kecil Nyo Hoa mendapat kasih sayang dan asuhan tiga
gurunya, tapi sebesar ini dia belum pernah punya seorang teman,
karena itu setelah dia berhadapan dengan pemuda cakap ini, tanpa
terasa timbul rasa ingin bersahabat dan punya teman. Lantaran itu
pula sehingga sikapnya tadi kelihatan masih hijau, tahu bahwa
orang mungkin salah paham, namun tak kuasa dia membendung
rasa ingin bersahabat dan seperjalanan dengan si pemuda, untung
hal ini urung dia kemukakan.
Bayangan pemuda cakap sudah tidak kelihatan, terasa hampa
hati Nyo Hoa, "Persoalan yang kuhadapi sudah cukup merisaukan,
seorang yang kutemukan di tengah perjalanan, aku pun tidak tahu
asal-usulnya, kenapa aku susah-susah memikirkan dia?" Pelan-pelan
dia turun gunung. Pancaran terakhir sinar surya masih kelihatan mencorong di ufuk
barat, hari sudah menjelang petang. Burung-burung kembali ke
sarangnya, banyak yang terbang lewat di atas kepalanya "Burungburung
terbang bebas di angkasa, betapa riang gembira. Kenapa
aku justru dirundung banyak persoalan yang menyusahkan hati"
Em, ya, apa yang dikatakan memang benar dunia tidak selebar
daun kelor kenapa aku harus berpikiran sempit, bila lapang dada,
pasti perasaannya longgar." Teringat apa yang dikatakan si pemuda,
tanpa terasa Nyo Hoa tertawa geli sendiri.
Dia berhenti di pinggir sebuah sungai kecil, sorot matanya
tertarik pada ikan yang berenang di dalam air, dalam hati
membatin, "Eh, di sini juga ada kiong-hu (ikan busur)" Seketika
wajahnya tersenyum riang, seriang bertemu dengan kenalan lama.
Ternyata ikan busur banyak terdapat di Ni-hay di negeri Tayli,
sejenis ikan yang punya sifat aneh. Ikan biasanya senang berenang
mengikuti arus air, hanya ikan busur ini yang justru suka berenang
melawan arus, selamanya tidak pernah membalik. Nyo Hoa bersama
gurunya pernah tinggal di Jong-san, sering ikan busur ini berenang
melawan arus dari Ni-hay, menyusuri delapanbelas aliran cabangnya
mencapai puncak Jong-san. Bila tak mampu maju lebih jauh terus
menekuk badan melenting maju dari permukaan air, biarlah
menanjak dan arus deras, tetap tidak mau bertolak balik. Itulah


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebabnya kenapa dia dinamakan ikan busur.
Bahwa di puncak Siau-kim-jwan Nyo Hoa juga menemukan ikan
busur, seketika hatinya amat tenang tapi juga rawan, pikirnya,
"Sakit hati toa-suhu belum terbalas, mati hidup ji-suhu dan samsuhu
susah diramalkan. Cita-cita ibu juga harus aku sendiri yang
menunaikan, umpama aku menghadapi persoalan yang
menyulitkan, tidak sepantasnya aku bersikap sehambar dan lesu
seperti ini." Burung terbang, ikan melompat menyadarkan pikiran,
tiba-tiba Nyo Hoa menghembuskan napas menghilangkan kekesalan
hatinya, semangatnya pun menyala.
"Dunia seluas ini, harus mendar-ma baktikan tenagaku untuk
berbuat bajik bagi umat manusia. lapi persoalan keluargaku dengan
Beng Goan-cau tetap akan kubereskan, jikalau kuketahui dia
memang bisul jahat di dalam laskar rakyat, aku pasti akan
membunuhnya." Dengan perasaan serba bertentangan, Nyo Hoa
melangkah ke dunianya yang baru.
---ooodwooo--- Bulan sembilan musim rontok, rumput subur di luar perbatasan
sudah mengering. Belum lama dia meninggalkan Siau-kim-jwan
yang sejuk hangat laksana musim semi, kini dia sudah berada di
dataran tinggi propinsi Jing-hay, di sini cuaca buruk sudah tiba,
hawa dingin meresap tulang.
Di dataran tinggi yang berkepanjangan itulah seorang pemuda
berusia delapan belas tahun sedang berjalan seorang diri melawan
amukan angin dan taburan salju. Pemuda ini adalah Nyo Hoa, dari
Siau-kim-jwan dia menempuh perjalanan ke barat laut, melewati
propinsi Kam-siok memasuki Giok-bun-kwan dan tiba di Jing-hay.
Padang rumput di luar perbatasan sudah kering kerontang tapi di
atas Giok-jiu-san ini pemandangan gunung kelihatan masih begitu
indah permai. Itulah keindahan yang megah. Menghadapi keindahan
alam dan kebesarannya, Nyo Hoa " menghela napas dan memuji
dalam hati, "Ciok-lin (Hutan Batu) di mana aku tinggal dulu, sudah
merupakan keajaiban dunia, tapi setiba aku di dataran tinggi di luar
perbatasan ini, baru aku sadar betul, betapa besar dan luasnya
mayapada ini." Tengah Nyo Hoa merasa takjub menghadapi keindahan alam nan
permai ini, mendadak didengarnya kelinting kuda, waktu dia
menoleh, dilihatnya dua perwira sedang men-congklang kudanya
berlari ke arahnya. Jalan pegunungan amat jelek, perwira di depan
sedang mengayun cambuk membedal kudanya, dari kejauhan dia
sudah mencaci, "Bocah goblok, memangnya ingin mampus, hayo
lekas menyingkir." Kecepatan lari kuda memang luar biasa, meski
dijalan pegunungan rusak, belum habis dia memaki, kudanya sudah
tiba di depan Nyo Hoa, kontan dia ayun pecutnya menyabet kepala
Nyo Hoa. Karuan Nyo Hoa naik pitam, tidak berkelit juga tidak menyingkir,
sekalian dia maju ke tengah jalan, bila cambuk menyabet tiba dia
hendak menariknya supaya jatuh dari punggung kuda. Tak nyana
tiba-tiba terasa angin menyambar keras, kedua ekor kuda itu
ternyata melompat tinggi satu tombak melampaui kepala Nyo Hoa.
Ternyata kedua kuda ini sudah terlatih baik sebagai kuda perang,
tanpa dikendalikan penunggangnya, segera dia melompati
penghalang di depannya. Perwira yang mengayun pecut hampir saja terjungkal jatuh,
karuan dia marah dan memaki, "Bocah keparat, ingin rasanya aku
putar balik menghajarnya."
Perwira yang di belakang tertawa, katanya, "Kenapa kau
berurusan dengan bocah gunung, urusan dinas kita harus lekas
diselesaikan." "Memangnya bocah gunung kau kira bodoh, aku justru merasa
sikapnya agak ganjil."
"Apanya yang kau anggap ganjil?"
"Aku membentaknya, bukan saja tidak menyingkir malah
mencegat jalan. Memangnya dia berani pertaruhkan jiwa raganya
berkelakar dengan maut?"
"Kuda berlari kencang hampir menumbuknya, mungkin saking
kaget dan takut dia melenggong tak mampu bergerak. Ah, kenapa
kau susah-susah memeras otak untuk bocah gunung. Hayolah cepat
berjalan." Perwira di depan agaknya masih curiga, temannya yang di
belakang berkata pula, "Melihat cuaca, sebentar bakal turun hujan
salju. Sebelum mentari terbenam kalau kita belum melewati Hekhoukiu kemungkinan hujan salju akan menutup gunung." Karena
bujukan temannya maka perwira di depan itu urung balik menghajar
Nyo Hoa. Dalam hati Nyo Hoa tertawa dingin, "Kalau kau kembali, malah
kebetulan bagiku." Belum jauh dia berjalan, tiba-tiba didengarnya
pula derap lari kuda yang ramai, ada delapan kuda berlari kencang.
Nyo Hoa kira barisan perwira pula yang datang, pikirnya, "Kalau
kalian tidak mengusik aku, aku sebaliknya ingin memberi tahu akan
kelihayan-ku." Waktu dia berpaling, dilihatnya bendera dari sebuah piaukiok
berkibar ditiup angin, seorang penunggang kuda membawa bendera
itu berjalan paling depan. Mungkin tahu daerah pegunungan ini
tiada kawanan rampok, maka pembuka jalan ini tidak tarik suara
seperti biasanya. Panji besar yang berkibar itu bergambar seekor
burung elang yang gagah, di bawahnya berderet empat huruf
berbunyi "Tin-wan Piaukiok"
Nyo Hoa membatin, "Kiranya rombongan pengawal barang,
setahuku Tin-wan Piaukiok mempunyai nama baik dan cukup tenar
di dunia persilatan."
Tin-wan Piaukiok adalah perusahaan ekspedisi terbesar di
Pakkhia, Cong-piauthau Han Wi-bu memiliki kungfu yang tinggi,
dengan sebatang galah dan panji besarnya itu dia mondar-mandir di
selatan dan utara sungai besar, belum pernah mengalami kegagalan
dalam usahanya, kebesaran nama Tin-wan Piaukiok memang cukup
menggetarkan empat penjuru. Bagaimana asal-usul dari Tin-wan
piaukiok dari ji-suhu-nya Toan Siu-si Nyo Hoa pernah mendengar
ceritanya. Yang berjalan di tengah adalah empat orang, setiap orang
menuntun seekor keledai, setiap keledai membawa delapan peti di
punggungnya, hingga pelananya lebih tinggi dari ukuran para
penuntunnya. Entah apa isi muatan keledai itu, tampak keledaikeledai
itu keberatan berjalan naik ke atas gunung.
Dua piausu tampak berjalan di belakang, kudanya dijalankan
pelan-pelan. Nyo Hoa berpikir, "Han Wi-u apakah ada di antara
kedua orang ini?" Namun lekas dia sudah tertawa geli sendiri,
pikirnya, "Sebagai cong-piauthau, mana mungkin dia mau tampil
sendiri." Tahu Tin-wan Piaukiok memiliki nama baik, maka Nyo Hoa
menyingkir ke pinggir. Melihat Nyo Hoa seorang diri menempuh
perjalanan di pegunungan yang sepi, kedua piausu itu tampak
keheranan, salah seorang segera bertanya, "Saudara cilik, hendak
ke mana kau?" "Mau cari famili di Jik-tat-bok," sahut Nyo Hoa.
Piausu itu melengak, katanya, "Maaf kalau aku bertanya lagi, apa
kerja familimu di Jik-tat-bok?"
"Dia punya peternakan. Aku disuruh ke sana bantu mengurus
kuda," sahut Nyo Hoa.
"Apakah kau tidak takut kedinginan, salju tebal di sana, jalan
pegunungan amat sukar."
"Ya, demi sesuap nasi, apa boleh buat" Tidak tahan juga harus
tahan, apalagi anak miskin seperti aku, jalan pegunungan yang
paling sukar juga sering kulalui. Mumpung musim dingin sudah di
ambang mata, maka aku harus cepat-cepat tiba di Jik-tat-bok, kalau
bumi sudah tertutup salju perjalanan tentu lebih sukar lagi."
"Memang. Tapi melihat cuaca, dalam beberapa hari ini pasti
datang hujan salju, bukan mustahil terjadi pula gugur gunung
menyumbat perjalanan. Bila senja mendatang kau belum melewati
lekuk gunung di sebelah depan itu, kuanjurkan lebih baik kau
singgah saja di rumah petani atau pemburu, minta menginap
beberapa hari." "Terima kasih atas petunjukmu."
"Saudara cilik kau kedinginan tidak?" tanya sang piausu tiba-tiba.
Seragam perwira yang dipakai Nyo Hoa sudah dicopot dan
dibuang, yang dipakainya sekarang hanyalah pakaian tipis yang
sudah sobek sebagian. "Anak keluarga miskin seperti diriku sudah
biasa menahan lapar dan kedinginan."
Piausu itu menjadi iba, sejenak berpikir lalu berkata kepada
piausu di sampingnya, "Ciok-lote, perawakanmu hampir sama
dengan dia, boleh kau berikan seperangkat pakaian kapasmu
kepadanya." Piausu she Ciok mengiakan lalu menurunkan buntalan serta
mengeluarkan satu setel pakaian kapas tebal langsung diangsurkan
kepada Nyo Hoa Nyo Hoa berkata, "Aku bukan sanak kadang kalian, mana boleh
menerima barang kalian."
Piausu itu tertawa lebar, katanya, "Di empat penjuru lautan
semua adalah saudara, kenapa harus pernah kenal atau sanak
kadang segala" Seperangkat pakaian juga tiada artinya, silakan kau
pakai saja."." Piausu she Ciok ikut menimbrung dengan tertawa, "Han-congpiauthau
suruh kau menerima, maka terimalah jangan sungkan.
Ketahuilah, Han-cong-piauthau kami paling suka bersahabat, kalau
kau menampik kebaikannya, hatinya bisa tidak tenang malah."
Nyo Hoa kaget, katanya tersendat, "Dia, dia inikah Han-congpiauthau?"
Han Wi-bu tatap Nyo Hoa sejenak. Piausu she Ciok segera tanya,
"Jadi kau tahu Han-cong-piauthau kami" Apa kau pernah
mendengar orang membicarakan dia?"
Nyo Hoa geleng-geleng, katanya, "Aku dibesarkan di tengah
pegunungan, orang-orang dari kota besar mana pernah aku tahu"
Cuma aku kira, cong-piauthau tentu seorang besar bukan?"
Han Wi-bu tampak tertawa geli, rasa curiganya lenyap seketika,
katanya dengan tertawa, "Aku mana boleh dianggap orang besar,
aku ini orang yang mencari hidup di bawah tajamnya senjata."
Setelah rombongan Tin-wan Piaukiok melampaui dirinya, Nyo
Hoa pasang telinga, sayup-sayup dia mendengar Han Wi-bu
berkata, "Pemuda ini ternyata cukup menyenangkan."
Piausu she Ciok bertanya, "Apakah dia patut dicurigai?"
"Sukar aku melihatnya. Bahwa dia anak miskin tapi tidak mau
pemberian orang lain kurasa dia bukan anak miskin sembarangan."
Kalau kedua piausu ini membicarakan Nyo Hoa, sebaliknya Nyo
Hoa juga merasa heran akan barang-barang kawalan Han Wi-bu.
Maklum Tin-wan Piaukiok adalah perusahaan ekspedisi terbesar
di kota raja, di dalam seluruh negeri terhitung salah satu piaukiok
yang punya pengaruh besar pula. Sebagai cong-piauthau dari
perusahaan ekspedisi yang berkedudukan tinggi, ternyata Han Wibu
memerlukan diri untuk ikut mengawal barang, hal ini jarang
terjadi dan sekaligus membuktikan barang yang dikawal ini tentu
mempunyai arti besar. Pengalaman Nyo Hoa memang masih cetek, namun dari gurunya
dia sering mendengar cerita tentang dunia pengawalan, sedikit
banyak dia tahu seluk-beluk kalangan piaukiok. Bahwa congpiauthau
sendiri dipaksa menampilkan diri ikut mengawal barang,
pastilah barang yang dikawal itu teramat besar artinya, kalau tidak
mau dikata sebagai barang gelap. Barang gelap yang dimaksud
umumnya adalah barang-barang yang gampang dibawa tapi punya
nilai yang sukar diukur, umpamanya berlian, mutiara, obat-obatan
sejenis ho-siau-oh yang sudah ribuan tahun atau sebangsa jinsom.
Tapi barang kawalan mereka kali ini dimuat di punggung empat
keledai, jumlahnya ada puluhan peti, barang-barang seberat itu,
sepantasnya adalah barang-barang umum, nilainya juga pasti
terbatas, kenapa cong-piauthau sendiri pun harus ikut mengawal"
Apalagi rombongan piausu ini mengibarkan bendera, menggunakan
pembuka jalan lagi, kalau barang kawalannya merupakan barang
gelap sepantasnya juga harus mengerahkan banyak tenaga, tapi
kenyataan rombongan piaukiok ini hanya beberapa orang saja. Jadi
satu dengan yang lain terasa serba bertentangan. Cong-piauthau
hanya mengawal empat keledai yang membawa barang hanya
dengan beberapa piausu, apakah ini tidak merendahkan derajatnya
sebagai cong-piauthau yang terkenal di kota raja"
Satu hal lagi, dinilai situasi dan kondisi masa itu, bagi pedagang
besar, hartawan kaya atau tuan tanah, kebanyakan berdiam di
daerah timur selatan yang tanahnya subur rakyatnya hidup makmur,
propinsi daerah barat laut ini penduduknya banyak orang miskin,
tanah gersang, perdagangan pun sepi. Maka perusahaan ekspedisi
besar jarang mau menerima kiriman barang yang ditujukan ke
daerah barat laut. Umpama ada dan terpaksa harus diterima juga
jarang cong-piauthau-nya sendiri yang harus turun tangan.
Nyo Hoa berpikir, "Dari Pakkhia mengirim barang ke Jinghay
seberat itu, jarak sejauh ini jalan pegunungan rusak dan jelek lagi,
jelas merupakan kiriman yang merugikan dipandang dari waktu dan
biaya. Han Wi-bu adalah tokoh besar nomor satu dari kalangan
piaukiok di kota raja kenapa dia sudi merendahkan derajat
mengawal sendiri barang-barang ini?"
Rombongan piaukiok itu sudah meninggalkan Nyo Hoa di
belakang, saat itu sudah memasuki sebuah lekuk gunung, karena
beban teramat berat, maka kawanan keledai itu sering ngambek
dan jalannya pelan. Setiba mereka di lereng gunung seberang dari
kejauhan Nyo Hoa masih sayup-sayup mendengar suara mereka.
Saat mana sang surya sudah doyong ke barat, angin dingin mulai
menghembus dari puncak gunung, menderu dengan suaranya yang
menggiriskan. Secara mendadak cuaca berubah. Mega mendung
angin pun menghembus kencang, debu pasir beterbangan. Walau
Nyo Hoa memiliki kungfu tinggi di sini dia merasa sukar beranjak
meski maju setapak langkah pula.
Bunyi geledek menggelegar di kejauhan, karuan Nyo Hoa kaget,
pikirnya, "Cuaca memang sering berubah mendadak, celaka bila
turun hujan lebat." Tengah dia berpikir dan kebingungan, didengarnya Han Wi-bu
yang sudah berada di lereng seberang berteriak, "Adik cilik, lekas
lari ke tempat yang tinggi, cari tempat dan sembunyi, kita terhadang
oleh salju gugur." Nyo Hoa belum tahu apa itu salju gugur dan betapa dahsyatnya,
namun mendengar suara Han Wi-bu bernada gugup dan panik,
maka dia pun mendapat firasat jelek. Nyo Hoa angkat kaki,
dilihatnya lereng gunung di seberang sana mendadak mengepul
asap dan buih-buih hitam, itulah reaksi dari lapisan salju yang retak
oleh getaran keras. Dalam sekejap, lereng di mana tadi dia berpijak
telah ditelan asap putih yang mengepul hingga seluruh bukit
berubah seperti kawah gunung berapi.
Sementara itu gumpalan-gumpalan salju dari puncak gunung
mulai berjatuhan, salju sebesar gajah tampak bergerak
menggelinding dari pelan makin keras dan cepat suaranya yang
gemuruh laksana ledakan guntur.
Begitu dahsyat salju gugur ini, kekuatannya sungguh bukan
kepalang, pohon besar pun diterjangnya sampai tumbang dan
hanyut terbawa arus kepingan salju, batu-batu gunung, pohon
tanah dan lain sebagai-nya seperti dituang dari atas, merupakan
arus dahsyat yang tak bisa dibendung oleh apa pun, makin lama


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

makin besar dan luas arena yang diterjang arus besar itu.
Nyo Hoa mendekam di belakang sebuah batu, terasa kepingan
salju, batu, pasir dan pepohonan laksana amukan badai, meledak
dan gugur melewati atas kepalanya. Gemuruh suaranya bergema di
angkasa, menggetar lembah pegunungan, seolah-olah dunia mulai
kiamat. Padahal salju gugur ini terjadi di seberang puncak sana, walau
tidak sampai melanda ke daerah mereka di sebelah sini bahayanya
juga tidak begitu besar, lapi kapan Nyo Hoa pernah melihat salju
gugur sedahsyat ini, kini mendadak menghadapi kedahsyatan alam
yang sedang mengamuk, sungguh tegang dan berdebar jantung
Nyo Hoa. Di kala dia menonton dengan pandangan terkesima, mendadak
didengarnya seorang berteriak minta tolong, jeritan panik dan takut
manusia ini, seketika menarik perhatian Nyo Hoa, kontan dia
melompat berdiri dari tempat sembunyinya.
Jeritan ngeri tadi membakar jiwa ksatria Nyo Hoa. Sebetulnya dia
sendiri dalam keadaan takut dan panik, entah dari mana datangnya
keberanian, yang terpikir dalam benaknya sekarang hanyalah
berusaha menolong sesama manusia, hingga keselamatan jiwa
sendiri tidak dipikir lagi.
Dilihatnya seekor keledai sudah terguling jatuh ke sebuah lereng,
orang yang menuntun keledai itu pun ikut terguling jatuh, tak
mampu merangkak bangun. Keledainya mati karena kepalanya
pecah tertumbuk batu sementara penuntunnya itu patah tulang
betisnya. Arus masih terus bergulung-gulung menerjang ke bawah, walau
penuntun keledai itu tidak kena terjang secara langsung tapi bila dia
terseret turun lagi, kemungkinan bisa ditelan oleh arus dahsyat yang
mengalir terus ke bawah lembah. Padahal letak penuntun keledai itu
masih berjarak seratusan langkah dari tempat Nyo Hoa, ingin Nyo
Hoa menolong juga tidak keburu lagi.
Mendadak dilihatnya Han Wi-bu sudah menubruk turun, sekali
raih dia pegang sebelah kaki penuntun keledai itu serta menariknya
secara tiba-tiba, sekalian dia menyendat ke atas seraya membentak,
"Ciok-heng, awas sambutlah!" Piausu she Ciok segera membuka
kedua tangan, penuntun keledai itu berhasil dipeluknya, namun
lekas dia pun berteriak, "Cong-piauthau, lekas kau naik kemari.?"
Lega hati Nyo Hoa, kaget namun girang pula, pikirnya, "Han Wibu
memang tidak bernama kosong, gaya permainan yang
diperlihatkan barusan jelas aku tidak mampu melakukan." Maklum
cara Han Wi-bu menolong penuntun keledai tadi hanya
mengandalkan kekuatan pegangannya serta dilempar ke atas dalam
ketinggian belasan tombak, kalau dia tidak memiliki lwekang
tangguh tak mungkin dia bisa menggunakan Tay-lik-eng-jiau-kang.
Baru saja Nyo Hoa mengucap syukur akan keselamatan penuntun
keledai, tak nyana bahaya masih juga mengintip jiwa Han Wi-bu.
Ternyata piausu she Ciok itu juga melihat bahaya maka dia suruh
Han Wi-bu lekas ke atas. Tak nyana Han Wi-bu tidak terima
anjurannya, setelah menolong penuntun keledai dia masih berusaha
menolong barang-barang kawalan.
Keledainya sudah mati, belasan peti-peti di atas punggungnya
juga jatuh berserakan di lereng. Ada beberapa peti malah kelihatan
melorot turun karena letak lereng itu miring cukup curam.
"Jangan khawatir, sebentar lagi," sahut Han Wi-bu. Sembari
bicara kembali badannya meluncur ke bawah, waktu kakinya
menyentuh bumi kebetulan dia berada di depan peti-peti yang
melorot ke bawah, maka kedua tangannya bekerja cepat, satu
persatu dia raih peti-peti itu langsung dilempar ke atas. Kejadian
berlangsung begitu cepat, arus yang terdiri dari kepingan es, batu,
pasir, dan pepohonan itu sudah melanda tiba hampir menerjang
dirinya. Karuan piausu she Ciok itu amat kaget dan gugup. "Congpiauthau,
jiwa lebih penting, barang-barang hilang tidak jadi soal,
pemiliknya tentu juga mau memaafkan kita."
"Betul, jiwa manusia lebih penting," seru Han Wi-bu kereng, "tapi
dapat menyelamatkan satu peti berarti menolong lebih banyak jiwa
manusia, memangnya kau tidak tahu?"
"Aku tahu, tapi kau?" suara piausu she Ciok lebih panik.
"Baiklah, ini yang terakhir. Sebentar aku ke atas," ujar Han Wi
bu. Tak nyana belum dia habis bicara, arus besar itu sudah melanda
lebih dulu. Baru saja Han Wi-bu melempar peti terakhir, tiba-tiba sebuah
batu yang menggelinding turun menumbuk dadanya. Han Wi-bu
menggen-tak kedua lengan sambil melompat minggir beberapa
langkah, namun demikian dia kalah cepat dari terjangan arus besar
itu, namun masih untung dia tidak di pusat arus besarnya, tapi toh
badannya sudah terseret turun tak bisa dikendalikan lagi.
Setelah terhuyung beberapa saat akhirnya dia pun terpeleset,
badannya terguling lebih ke bawah. Sementara arus besar itu
hanyut di sebelah badannya. Tapi arus itu makin besar dan meluas.
Jikalau dia tidak lekas menyingkir, akhirnya juga pasti ditelannya.
Padahal dia sudah kehilangan banyak tenaga, dalam keadaan lemas,
tak mampu menguasai diri lagi.
Karuan piausu she Ciok menjerit ngeri dan berdiri terbelalak. Arus
besar sudah menelan setengah lereng gunung, jalan tembus atas
dan bawah" sudah terpotong. Kalau Han Wi-bu tidak mampu
merangkak ke atas, piausu she Ciok juga tidak mampu turun
menolongnya. Han Wi-bu sendiri juga sudah merasa ajalnya di depan mata,
mendadak terasa sebatang kayu menyentuh badannya, seseorang
berteriak; "Cong-piauthau, lekas pegang kencang"." Ternyata
dahan pohon sebesar lengan telah diulur melintang di sebelah
atasnya. Ternyata arah Han Wi-bu terseret turun oleh arus
kebetulan adalah arah Nyo Hoa berlari naik, pada detik-detik yang
berbahaya itu Nyo Hoa mematahkan dahan pohon dan kebetulan
sempat menolong jiwanya. Di ambang pintu maut, sudah tentu Han
Wi-bu tidak sia-siakan kesempatan hidup, dengan kencang dia
pegang dahan pohon, sementara dengan sekuat tenaga Nyo Hoa
menariknya ke atas. Pada saat italah arus besar telah menelan
tempat di mana dia tadi berdiri.
Nyo Hoa masih tetap menariknya ke tempat yang lebih tinggi,
setelah dirasa selamat Han Wi-bu menghela napas, katanya dengan
penuh semangat, "Saudara cilik, banyak terima kasih akan
pertolonganmu." "Cong-piauthau, bukankah tadi kau bilang di empat penjuru
lautan semua adalah saudara" Kau memberi seperangkat pakaian
kapas, aku toh belum sempat mengucapkan terima kasih padamu."
Sejenak Han Wi-bu menatapnya, terasa pemuda ini seperti
memiliki sesuatu yang ganjil, katanya, "Adik cilik dengan menempuh
bahaya kau menolong aku, tahukah kau mungkin kau bisa
terjerumus pula bersamaku?"
"Cong-piauthau, dirimu kujadikan teladan, kau berani menolong
orang lain tanpa hiraukan keselamatan sendiri kenapa aku tidak
boleh mencontoh perbuatanmu?"
Han Wi-bu tergelak-gelak, katanya, "Ucapan bagus. Adik cilik,
kau memang menyenangkan."
Salju gugur hanya berlangsung beberapa kejap saja, lekas sekali
sudah reda, arus besar itu pun sudah memenuhi lembah. Tampak di
sana sini celah-celah retakan tanah, batu-batu gunung sebesar
kerbau, pepohonan yang tumbang berserakan mencegat jalan.
Menyaksikan betapa dahsyat kekuatan perusak dari salju gugur
ini, jantung Nyo Hoa masih berdebar, katanya, "Syukur tiada yang
jadi korban di antara kita, salju gugur memang mengerikan."
Han Wi-bu tertawa, katanya, "Padahal salju gugur kali ini belum
seberapa. Puluhan tahun yang lalu pernah terjadi salju gugur juga di
puncak Himalaya, bukit-bukit salju sebesar rumah berjatuhan hingga
suaranya terdengar ratusan li jauhnya, puluhan li di sekitar kejadian,
manusia dan hewan tiada yang selamat, semua tertimbun hiduphidup,
itu lebih dahsyat dan mengerikan lagi."
Nyo Hoa meleletkan lidah dan merinding mendengar cerita Han
Wi-bu. "Adik cilik," kata Han Wi-bu tiba-tiba, "kapan kau pernah latihan
kungfu?" Nyo Hoa sudah menduga suatu ketika orang pasti tanya hal ini,
maka jawaban yang sudah dirangkai sebelumnya segera dikatakan,
"Kapan aku pernah latihan kungfu, soalnya sejak kecil aku sudah
biasa berburu binatang di pegunungan, hingga tenaga kaki
tanganku lebih kuat dari orang biasa." Setelah berbohong diamdiam
hatinya agak menyesal, pikirnya, "Han-cong-piau-thau adalah
orang baik, seharusnya aku tidak pantas membohongi dia. Tapi
kalau aku berterus terang pandai main silat, pasti dia akan tanya
siapa guruku dan lain-lain persoalan tetek bengek, akhirnya siapa
diriku pun tak bisa dirahasiakan lagi. Apalagi ji-suhu sudah
bermusuhan dengan kerajaan, mana boleh aku menjelaskan
kepadanya. Bahwa Tin-wan Piaukiok bisa angkat nama di kota raja,
pasti dia punya kenalan di kalangan pemerintahan. Apa yang
dikatakan pemuda cakap itu memang benar, jangan gampang
percaya kepada orang lain."
"Siapa namamu adik cilik?" tanya Han Wi-bu.
Nyo Hoa berpikir, "Diriku adalah kambing kecil yang baru keluar
kandang, yakin dia tidak pernah mendengar namaku," maka
sejujurnya dia beri tahu nama aslinya.
Han Wi-bu berkata, "Adik cilik, tenagamu sungguh kuat sekali,
apakah keluargamu memang pemburu" Tinggal di mana?"
"Aku tinggal di Siau-kim-jwan, tapi sudah lama aku tidak punya
rumah." Mendengar Siau-kim-jwan, kelihatan Han Wi-bu kaget, katanya,
"Bukankah Siau-kim-jwan baru saja mengalami huru-hara, tahun
lalu kabarnya telah direbut dan diduduki pasukan kerajaan?"
"Aku anak keluarga miskin yang tinggal di atas gunung, apa yang
kuketahui tentang dunia ramai tidak banyak. Tapi sebelum pasukan
kerajaan berkuasa di sana kehidupan kami tenteram dan sentosa,
yang bertani bekerja di sawah ladang, para pemburu boleh
memburu binatang apa saja yang ditemukan, setiap keluarga hidup
tenteram sejahtera Setelah pasukan kerajaan datang, setiap lelaki
kecuali masih bocah dan orang tua jompo diseret untuk kerja paksa,
setiap keluarga ditarik pajak, mereka bertindak keji melebihi
kawanan rampok, suasana menjadi kacau dan geger. Karena di sana
aku tak bisa hidup tenang, terpaksa aku nekad turun gunung dan
mencari nafkah di tempat lain saja." Nyo Hoa berani mengarang
cerita bohongnya ini, karena dia pernah berada di Siau-kim-jwan,
secara langsung mengikuti penderitaan rakyat jelata di sana, maka
tak perlu khawatir Han Wi-bu tahu akan bualannya. Di samping dia
pun ingin tahu bagaimana sikap Han Wi-bu terhadap laskar rakyat.
"Siau-kim-jwan memang tanah yang baik, belasan tahun lalu aku
pun pernah ke sana. Waktu itu Leng Thiat-jiau dan Siau Ci-wan
kedua tayhiap itu belum mendirikan pangkalan di sana Apa kau tahu
kedua pimpinan besar itu?" Kalau Nyo Hoa memancing dia, ternyata
dia balas memancing Nyo Hoa.
"Pernah kudengar nama mereka, sayang belum pernah
melihatnya. Han-cong-piauthau apa kau kenal mereka?"
"Sayang sekali aku pun belum pernah melihat mereka. Tentang
nama mereka sudah tentu sudah lama aku pun mengaguminya."
"Setelah aku meninggalkan Siau-kim-jwan, baru tahu orangorang
luar daerah menganggap mereka sebagai kepala rampok.
Sebaliknya penduduk miskin setempat justru tiada yang pandang
mereka sebagai orang jahat. Han-cong-piauthau, kau banyak
pengalaman, menurut pendapatmu, orang macam apakah mereka
sebenarnya?" "Dengan mereka aku tidak punya hubungan, tak berani aku
memberi komentar," demikian jawab Han Wi-bu. "Kalau bicara
secara umumnya di kalangan Kangouw, mereka boleh disebut orang
gagah." Lega hati Nyo Hoa, pikirnya, "Sebagai cong-piauthau
sepantasnya dia mengikat hubungan secara luas dengan golongan
hitam atau aliran putih, sudah tentu tidak berani menentang hukum,
namun dari nada bicaranya, sedikit banyak dia bersimpati terhadap
laskar rakyat." Han Wi-bu cukup kenyang makan asam garam kehidupan, tujuan
Nyo Hoa mau memancing sikap dan keterangan, tidak disadarinya
telah menunjukkan kelemahannya sendiri. Dalam hati Han Wi-bu
berpikir, "Anak miskin dari keluarga biasa yang hidup di atas
gunung, mana mungkin bisa bicara seperti ini" Agaknya pemuda ini
punya sedikit asal-usul." Maka dia bertanya pula, "Tadi kau bilang
sudah lama tidak punya rumah, lalu di mana ayah ibumu?"
"Sejak kecil orang tuaku sudah meninggal, seorang paman di
sebelah, tetangga yang baik hati, sudi merawat dan mengasuhku
hingga tumbuh dewasa sampai sekarang." Dalam hati dia sudah
anggap ayahnya sudah mati, maka hatinya menjadi haru, tanpa
terasa kedua matanya merah berlinang airmata.
"Ai, sungguh kasihan. Apa kau mau ikut aku kerja di piaukiok?"
tanya Han Wi-bu. "Kulihat kau cekatan dan lincah, berbakat untuk
meyakinkan kungfu. Bila kudidik selama beberapa tahun, pasti kau
kelak bisa menjadi seorang piausu."
Ajakannya ini sudah secara langsung memberi petunjuk kepada
Nyo Hoa, bahwa dia ada maksud mengangkat Nyo Hoa menjadi
murid. Kalau orang lain, punya kesempatan menjadi murid dari
cong-piauthau dari perusahaan terbesar nomor satu di kota raja,
siapa tidak akan berjingkrak girang dan segera menyembah
kepadanya" Tak nyana Nyo Hoa justru berkata, "Terima kasih atas kebaikan
cong-piauthau yang sudi membimbingku, sayang aku sudah berjanji
dengan sanak kadang, terpaksa maksud baikmu tidak bisa
kuterima." Han Wi-bu tampak kecewa, katanya, "Apa betul kau mau ke Jiktatbok?" Nyo Hoa mengiakan sambil mengangguk.
"Baiklah, kalau begitu kau boleh seperjalanan dengan kami."
Tatkala itu hujan salju sudah reda, jalanan menuju ke atas
gunung juga sudah tembus, piausu she Ciok saat itu juga sedang
memanggil-manggil, "Cong-piauthau."
"Aku tidak apa-apa," seru Han Wi-bu, "sebentar aku naik." Lalu
dia berpaling kepada Nyo Hoa dan berkata, "Setelah salju gugur
jalan pegunungan teramat licin, hati-hati ikutilah jejakku."
Beberapa bagian tenaga Han Wi-bu sudah pulih. Nyo Hoa
mengikuti di belakangnya, melihat langkah orang masih ringan dan
cekatan, menginjak salju tidak mengeluarkan suara, diam-diam dia
memuji dalam hati. Pikirnya, "Jikalau aku, setelah mengalami
kejadian ini mungkin selangkah juga susah berjalan."
Arus besar itu memang sudah mengalir ke dalam lembah namun
lereng bukit ini juga masih ditaburi kepingan es dan tanah serta
pepohonan, bila kurang hati-hati, sekali terpeleset salah-salah bisa
jatuh ke jurang. Nyo Hoa berada di belakangnya, Han Wi-bu
melompati sebuah selokan yang lebarnya beberapa kaki, katanya,
"Lihat jelas tempat kakiku berpijak," Di seberang selokan karena
arus basah baru saja lewat, permukaannya masih tergenang sisasisa
air. Begitu Nyo Hoa ikut melompat, tiba-tiba kakinya terpeleset,
tempat kakinya berpijak ternyata tiada tempat yang kokoh, baru


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja dia mau mengembangkan ginkang, dengan daya lompatannya
tadi sekalian dia hendak melesat ke depan melewati sekeping salju
yang terapung, dilihatnya Han Wi-bu sudah membalik badan sambil
berteriak, "He, kenapa kau tidak berhati-hati."
Tergerak hati Nyo Hoa, pikirnya, "Apa dia berniat mencoba aku,
apakah aku pandai menggunakan ginkang." Lekas dia pura-pura
terpeleset terus jatuh. Namun sigap sekali mendadak Han Wi-bu
berputar secepat angin lesus, tubuhnya telah disambar dan
dipapahnya. Dugaan Nyo Hoa memang benar, Han Wi-bu sengaja menginjak
pecah lapisan es di permukaan air, sekaligus mengendorkan posisi
batu di bawahnya, tujuannya untuk mencoba sampai di mana taraf
kepandaian Nyo Hoa. Tapi kali ini dia kena dikelabui oleh Nyo Hoa
Dalam hati, diam-diam dia menyesal pikirnya, "Pemuda ini sudah
menolong jiwaku, umpama betul dia mengelabui aku pura-pura
tidak pandai kungfu, aku juga tidak pantas mencobanya."
Melihat cong-piauthau mereka selamat tidak kurang sesuatu
bersama Nyo Hoa, orang-orang piaukiok di samping senang dan
kaget, mereka pun merasa heran. Piausu she Ciok berkata dengan
tertawa, "Adik cilik, tadi kau tidak lari ke tempat tinggi malah turun
ke tempat rendah, terus terang hariku khawatir setengah mati.
Untunglah kau memang dilindungi Yang Maha Kuasa sehingga
terhindar dari bencana ini." Ternyata dia hanya melihat Nyo Hoa
memburu ke arah Han Wi-bu yang mengalami musibah, di tengah
hamburan salju dan batu, sementara arus besar masih menerjang,
dia tidak menyaksikan cara bagaimana Nyo Hoa telah menolong
cong-piauthau mereka. Maka Han Wi-bu bergelak tawa, katanya, "Lo-ciok, kenapa
persoalan justru kau putar balik."
Ciok piausu melenggong, tanyanya, "Lalu bagaimana
kejadiannya?" Han Wi-bu tertawa, katanya, "Kalau bukan adik cilik ini yang
menolong aku, pasti aku sudah tertimbun hidup-hidup oleh
longsoran salju." Sudah tentu orang banyak kaget dan heran pula, siapa pun tidak
sangka pemuda yang berpakaian butut ini ternyata mampu
menolong jiwa cong-piauthau mereka, kalau bukan Han Wi-bu
sendiri yang bicara, pasti mereka tidak mau percaya.
"Tio-toasiok," kata Han Wi-bu, "bagaimana luka-lukamu?" Orang
she Tio ini adalah penuntun keledai yang dia tolong tadi.
"Untung hanya terkilir sedikit tulang betisku, barusan Ciok piausu
telah membetulkan tulang, mengurut urat dan membubuhi obat,
sekarang sudah lebih baik. Sayang keledai itu mati, obat-obatan
ini"." Ada belasan peti yang dibawa oleh keledai yang mati. Waktu
jatuh ke lereng bukit, tidak sedikit di antara peti-peti itu yang rusak,
di tempat itu mereka tidak sukar mencari kayu, sibuk sebentar,
dengan mudah mereka telah menambal dan memperbaiki peti-peti
yang rusak itu. Baru sekarang Nyo Hoa sadar, pikirnya, "Tak heran Han Wi-bu
berani mempertaruhkan jiwa untuk menolong peti-peti itu, ternyata
isinya obat-obatan untuk menolong orang sakit." Sikapnya lebih
hormat lantaran kagum. Han Wi-bu tertawa, katanya, "Setelah mengalami salju gugur ini,
kita hanya kehilangan seekor keledai, ini boleh dianggap beruntung
di tengah bencana. Tio-toasiok, kau tidak usah khawatir. Puluhan
peti ini kita boleh membagi rata untuk memanggulnya secara
bergiliran, setelah keluar dari mulut gunung, nanti kita beli lagi
seekor keledai, cuma lukamu"."
"Lukaku tidak jadi soal," penuntun keledai itu tersipu-sipu.
"Walau tidak apa-apa, selanjutnya kau tidak boleh ikut dalam
perjalanan ini," ujar Han Wi-bu.
"Betul," kata Ciok piausu, "kau harus cari tempat supaya Tiotoasiok
bisa beristirahat merawat luka-lukanya, tapi di tengah
pegunungan ini"."
"Di atas gunung sebelah depan ada sebuah kuil Lama dari sekte
Pek-kau (Agama putih), aku kenal Lama yang memimpin kuil itu."
Ciok piausu kegirangan, katanya, "Kiranya Lama dari Pek-kau
sungguh kebetulan." "Memang," ucap Han Wi-bu pula, "umpama aku tidak kenal baik
dengan Lama yang jadi pimpinan kuil itu, bila kita jelaskan duduk
perkaranya pasti dia mau menerima kehadiran Tio-toasiok di sana."
"Setelah salju longsor ini, besok baru bisa kita melanjutkan
perjalanan," demikian kata Ciok piausu.
"Kalau di atas gunung ada kuil Lama, baiknya malam ini kita
semua menginap di sana saja."
"Begitulah maksudku, walau kuil Lama kecil, namun beberapa
orang kita ini masih cukup tidur berhimpitan. Adik cilik, ikutlah
bersama kami, kami anggap kau orang sendiri, selanjutnya harap
kau tidak sungkan lagi terhadap kami."
Nyo Hoa memanggul dua peti, katanya tertawa, "Cong-piauthau,
kalau kau anggap aku orang sendiri, maka kau pun tak usah
sungkan terhadapku."
Terpaksa Han Wi-bu membiarkan Nyo Hoa memanggul dua peti
itu. Piausu itu bernama Ciok Kian-ciang, pembantu utama yang
dipercaya oleh Han Wi-bu, orangnya supel berhati baik, katanya,
"Nyo-lote, seorang lelaki harus pandai membawa diri dan
menyesuaikan keadaan, bahwa kau sudah sebatang kara, daripada
jauh-jauh pergi mencari sanak kadangmu, lebih baik kau bekerja
bersama kami saja Di bawah asuhan cong-piauthau, yakin kau akan
belajar kungfunya yang bagus."
Nyo Hoa tetap menjawab dengan alasan yang sama atas
pertanyaan Han Wi-bu tadi. Sudah barang tentu Ciok Kian-ciang
agak kecewa juga, katanya, "Lote, bila kau tidak menemukan
familimu, kembalilah mencari kami. Oh, ya, di mana familimu itu
mendirikan peternakan, boleh kau beri tahu kami" Biarlah aku yang
mencarimu saja." "Aku hanya tahu dia berada di Jik-tat-bok dan mempunyai
peternakan, sesampai di sana aku harus tanya orang baru akan
dapat menemukan alamatnya."
"O, jadi familimu punya peternakan di Jit-tat-bok, itu lebih
kebetulan, barang-barang yang kami kawal ini memang harus lewat
Jit-tat-bok," demikian ucap Ciok Kian-ciang, reaksinya seperti Han
Wi-bu tadi, setelah tahu Nyo Hoa mau pergi ke Jit-tat-bok sikapnya
kelihatan sedikit kaget dan curiga. Dalam pembicaraan selanjurnya
terasa dia lebih hati-hati.
Mau tidak mau Nyo Hoa juga bingung dan bimbang. "Apakah
mereka sudah tahu bahwa laskar rakyat dari Siau-kim-jwan sudah
hijrah ke pegunungan Jit-tat-bok?"
Maka Ciok Kian-ciang mengalihkan pembicaraan, tanyanya, "Kuil
Lama itu masih jauhkah?" "Tidak jauh. Setelah melampaui lekuk
gunung di depan itu, dari kejauhan sudah kelihatan," demikian ujar
Han Wi-bu. Ciok Kian-ciang tertawa, katanya, "Cong-piauthau,
pergaulanmu sungguh luas, belum pernah aku tahu bahwa kau ada
hubungan kental dengan Lama dari Pek-kau, tak heran?" sampai di
sini seperti dia sadar di sampingnya ada Nyo Hoa, soal-soal rahasia
tidak boleh dibicarakan. Han Wi-bu bergelak tawa, katanya, "Maksudmu tak heran kali ini
kita dapat menerima kawalan pengiriman obat-obatan ini bukan?" "
Sikap Ciok Kian-ciang tampak rikuh dan menyengir, terpaksa dia
mengiakan, seperti tidak sengaja dia melirik kepada Nyo Hoa.
Bahwasanya Nyo Hoa tidak tahu bahwa agama yang dipeluk oleh
para Lama ada terbagi beberapa cabang, di antaranya seperti Pekkau,
selama ini dia hanya tahu Lama yang ada di Tibet hanya
memeluk Ang-kau (Agama merah) dan Ui-kau (Agama kuning).
Tatkala itu kekuatan Ui-kau paling besar dan berkuasa di segala
lapisan masyarakat. Dalai Lama dan Pancen Lama juga termasuk Uikau.
Di luar tahunya bahwa kecuali Ang-kau dan Ui-kau masih ada
juga Pek-kau. Sebetulnya dia ingin tanya Han Wi-bu, namun terasa
sikap Han Wi-bu dan Ciok Kian-ciang terhadapnya seperti agak
bimbang dan curiga, maka dia urungkan niatnya.
Han Wi-bu seperti meraba jalan pikiran Nyo Hoa, katanya dengan
tertawa, "Lote, mungkin kau belum tahu di antara agama yang
dipeluk para Lama di sini, masih ada Pek-kau bukan" Sepanjang
jalan ini kita bisa ngobrol, biarlah kujelaskan kepadamu."
Lekas Nyo Hoa berkata, "Kalau ada sesuatu yang kurang enak
dibicarakan, kurasa tak usah kau menjelaskan kepadaku."
Han Wi-bu tertawa, katanya, "Lote, kita sudah orang sendiri, ada
soal apa yang tidak leluasa dibicarakan?" Dalam hati dia berpikir,
"Pemuda ini memang sederhana dan jenaka. Aku yakin dia pasti
punya asal-usul, tapi peduli bagaimana asal-usulnya yang jelas aku
boleh percaya kepadanya."
Setelah tertawa lebar Han Wi-bu berkata lebih lanjut, "Aliran Pekkau
sebetulnya berdiri lebih dulu dari Ang-kau dan Ui-kau. Ang-kau
berkuasa dijamin dinasti Goan. Belakangan Cong-gi-pa berdiri
mengubah La-ma-kau, saat itulah mulai berdirinya Ui-kau, lambat
laun kekuatan Ang-kau dioper ke tangan Ui-kau, Pek-kau-akhirnya
tersingkir sesudah Ang-kau dan Ui-kau makin kuat. Akhirnya, kirakira
seratus tahun yang lalu, Pek-kau tidak mampu bercokol lagi di
Tibet, terpaksa mereka hijrah ke Jinghay dan di sana mereka
membangun To-lun-si, berafiliasi pada kekuasaan raja Ok-khek-cobeng,
hingga bertahan sampai sekarang. Umat mereka jelas tidak
lebih banyak dari umat Ui-kau, tapi Ok-khek-co-beng adalah raja
kecil yang paling berkuasa di propinsi Jinghay, seluruhnya ada
tigabelas suku minoritas di bawah pimpinannya. Sehingga para
Lama dari Ui-kau di Tibet tidak berani mencari setori kepada
mereka, demikian pula pihak kerajaan juga berusaha merangkul
mereka." "Pemimpin tertinggi dari Pek-kau sekarang adalah Khong-ciokbengong seorang yang punya ambisi besar dan berpandangan
jauh, selama ini dia bisa bekerja sama dan rukun dengan Ok-khekcobeng, cita-citanya adalah meningkatkan gengsi dan kedudukan
Pek-kau pada taraf kejayaannya dulu."
Setelah menjelaskan sejarah Pek-kau, lebih lanjut Han Wi-bu
berkata, "Permulaan tahun ini, di daerah kekuasaan Ok-khek-cobeng
terjangkit semacam penyakit menular, penduduk yang
terserang penyakit ini cukup banyak. Terus terang, obat-obat yang
kami kawal ini akan kami kirim ke Ong-khek-co-beng. Untuk ke
Ong-khek-co-beng harus lewat Jik-tat-bok maka kita bisa
seperjalanan, cuma aku tidak bisa temani kau mencari familimu."
Sambil bicara tanpa terasa mereka sudah melewati lekuk gunung
dan membelok ke sana, tampak tak jauh di sebelah depan kuil Lama
yang dimaksud itu, besarnya tidak lebih seperti rumah petani
umumnya, pagar temboknya sudah runtuh dan bolong-bolong.
Ciok Kian-ciang tampak sedikit kecewa, katanya, "Usia bangunan
kuil itu agaknya cukup tua kalau nada satu abad juga pasti ada
delapan-puluh tahun. Setelah terjadi satyu gugur ternyata kuil ini
tetap berdiri sungguh merupakan suatu keajaiban."
"Itulah salah satu kuil yang dibangun paling awal saat Pck-kau
berdiri di Jinghay. Walau keadaannya sudah bobrok, tapi Sama
Hoatsu yang jadi pimpinan kuil Lama itu seorang ramah dan supel,
malah dia pun pandai bicara bahasa Han kita;"
Betul juga, waktu rombongan mereka tiba di depan kuil, Sama
Hoatsu bersama seorang Lama kecil sudah menunggu di depan kuil
dengan sikap ramah dan hormat. Sama Hoatsu adalah seorang
kakek berusia enampuluhan bertubuh kurus kuyu. Lama kecil itu
pun bermuka pucat kuning kurus lencir, usianya kira-kira sepadan
dengan Nyo Hoa. Melihat rombongan mereka, Sama Hoatsu tampak gembira,
katanya tertawa, "Kukira kalian adalah rombongan pedagang yang
terhambat jalan karena terjadi salju gugur, ternyata kau congpiauthau
yang pimpin rombongannya sendiri."
Han Wi-bu berkata, "Memang sengaja aku hendak menyambangi
kawan lama. Tahukah kau kami akan pergi ke Hwe-hud (Budha
hidup) kalian sana?"
"Hal itu sudah kutahu, tapi tidak nyana kalian datang sendiri ini.
Em, salju gugur tadi"." Dia pun perhatikan peti-peti yang dipanggul
serta penuntun keledai yang berjalan terseok-seok.
Han Wi-bu tergelak-gelak, katanya, "Berkat lindungan Thian,
hanya seekor keledai yang jadi korban. Tapi Tio-toako ini terjatuh
dan terkilir tulang betisnya, terpaksa harus minta bantuanmu."
"Dari jauh kalian tidak kenal lelah, tidak takut menderita,
menempuh perjalanan hujan angin mengantar obat-obatan untuk
kami, kenapa main sungkan pula kepadaku" Jangan khawatir, bila
kalian kembali, kutanggung tulang betis toako ini yang terkilir pasti
sudah sembuh. Silakan masuk."
Kuil Lama ini hanya punya sebuah kamar tamu. Sama Hoatsu
suruh Lama kecil membimbing penuntun keledai masuk ke kamar
istirahat serta mengganti obat dan membalurnya pula. Sementara
orang banyak berkumpul di ruang pemujaan duduk di lantai dalam
sebuah lingkaran. Sama Hoatsu membuka suara lebih dulu, "Tempatnya kecil,
terpaksa kalian duduk di lantai saling berhimpitan sedikit. Kalian
lapar?" "Kami membawa ransum, di jalan sudah makan. Lapar sih tidak,
syukur kalau ada arak."
"Benar, minum arak bisa menghilangkan rasa dingin. Kebetulan
aku masih punya simpanan seguci arak susu kuda yang kubawa dari
To-lun-si dan seguci lagi arak anggur. Kalian boleh minum
sepuasnya." Setelah tenggak semangkok arak, Ciok Kian-ciang berkata,
"Aneh, tadi badan rasanya penat sekarang rasa ngantuk sedikit pun
tidak." Han Wi-bu tertawa, ujarnya, "Terlalu lelah malah tidak bisa tidur,
sekarang baru kau tahu?"
Ciok Kian-ciang tertawa, katanya, "Kukira karena minum arak
segar dan nikmat ini. Cong-piauthau, setiap ada arak minumku tidak
takaran, takaran minum arakmu lebih besar dari aku, silakan
tambah semangkok lagi. Cuaca seburuk ini, kurasa besok juga
belum tentu bisa berangkat"
Han Wi-bu berkata, "Adik cilik, marilah jangan sungkan, kau
minum juga, arak susu kuda hanya ada di propinsi Jinghay dan
Tibet, di tempat lain kau tak akan bisa merasakan. Arak anggurnya
rasanya juga sedap."
Seperti diketahui, sam-suhu Ny o Hoa, Tan Khu-seng, juga
penggemar arak, maka Nyo Hoa juga suka minum. Arak susu kuda
rasanya agak asam dan getir, bagi yang suka minum dianggap
enak, namun Nyo Hoa tidak cocok, tidak memenuhi selera, maka
Han Wi-bu mengiringinya minum dua cawan arak anggur. Arak
anggur kwalitas nomor satu rasanya memang luar biasa, siapa pun
pasti senang minum arak anggur, tapi setelah masuk perut baru
alkohol bekerja, bagi yang tidak kuat sebentar saja pasti mabuk.
Nyo Hoa memang biasa minum arak, tapi perutnya kosong, maka
hanya beberapa cawan saja dia sudah mulai linglung.
Tiba-tiba terdengar derap kuda mendatangi dan berhenti di
depan kuil. Baru saja Nyo Hoa merasa heran, hari sudah petang dari
mana ada tamu yang mau menginap. Begitu dia angkat kepala,
tampak dua perwira melangkah lebar memasuki kuil Lama ini.
Kedua perwira inilah yang siang tadi bersua di tengah jalan.
Han Wi-bu segera berteriak, "Haya, Ma-tayjin, Ciu-tayjin, angin


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apa yang menghembus kalian kemari?" Kedua perwira ini yang satu
bernama Ma Gun, temannya bernama Ciu Jan. Ma Gun adalah wakil
komandan Gi-lim-kun, sementara Ciu Jan adalah perwira tinggi
dalam kalangan Gi-lim-kun.
Ma Gun tertawa getir, katanya, "Memang benar, kami sedang
dihembus angin salju hingga sampai di sini. Cong-piauthau, kenapa
kau sendiri juga ikut mengawal barang?"
"Barang kawalan ke daerah Jinghay dan Tibet belum pernah
perusahaan kami mengerjakan, khawatir terjadi sesuatu yang tidak
diinginkan, terpaksa aku temani para saudara mengadu nasib.
Tayjin berdua kenapa jauh-jauh berada di tempat ini?"
"Kami sih makan gaji kerajaan, harus patuh pada urusan dinas.
adanya perintah dari yang berkuasa, terpaksa jauh-jauh kemari
menjual jiwa," demikian ujar Ma Gun.
Setelah saling basa-basi, kedua belah pihak merasa mcndclu. Han
Wi-bu adalah cong-piauthau dari perusahaan ekspedisi nomor satu
di Pakkhia, ternyata dia sendiri harus menampilkan diri ikut
mengawal barang, hal ini jelas sudah menimbulkan rasa curiga Ma
Gun. Sebaliknya sebagai wakil komandan Gi-lim-kun, mendadak Ma
Gun muncul di kuil bobrok ini, mau tidak mau Han Wi-bu juga
merasa kaget dan heran, pilarnya, "Semoga mereka bukan hendak
pergi ke Jik-tat-bok."
Meski kedua pihak sama-sama merasa curiga, namun tiada yang
enak buka suara. Maklum merupakan pantangan bagi siapa saja
yang tanya kepada rombongan piaukiok, barang apa yang mereka
kawal dan ke mana tujuannya. Dengan alasan yang sama, Han Wibu
juga tidak enak tanya kepada Ma Gun, untuk urusan dinas apa
mereka sampai berada di daerah minus ini. Tapi secara tidak
sengaja ia telah mencetuskan sedikit rahasia pihaknya, katanya,
"Syukur kami terhindar dari salju gugur tadi Semula kami hitung
sebelum petang sudah akan berada di luar mulut gulung dan
menginap di kota Kiang-bun. Tak nyana salju gugur terjadi di depan
gunung, mulut gunung di belakang juga ikut tersumbat salju."
Kiang-bun adalah salah satu kota yang terletak di sebelah depan,
pergi ke Jik-tat-bok harus lewat kota ini.
Han Wi-bu mengerutkan kening, katanya, "Gelagatnya memang
berbahaya, salju menutup gunung, syukur kalau cuaca besok cerah,
salju akan segera lumer, besok lusa kita akan bisa melanjutkan
perjalanan. Kalau beberapa hari lagi mendung dan selalu turun
hujan, entah kapan kita baru bisa meninggalkan tempat ini.
"Sejak tadi Ciu Jan tidak bicara, kini mendadak mendengus,
katanya, "Wah kebetulan, ternyata setan cilik ini juga sembunyi di
sini. Locu (bapak) memangnya ingin membuang penasaran
kepadamu." Han Wi-bu kaget, walau dia angkat kepala dilihatnya Ciu Jan
sedang menuding Nyo Hoa dan memaki sambil mendelik, "Setan
cilik, hayo lekas menggelinding keluar."
Ternyata Nyo Hoa sembunyi di belakang tumpukan peti obatobatan,
namun Ciu Jan akhirnya melihat kehadirannya juga.
Lekas Han Wi-bu tampil bicara, "Entah dalam hal apa bocah ini
berbuat salah terhadap Ciu-tayjin, sudilah Ciu-tayjin pandang
mukaku, ampunilah kesalahannya."
Dengan seksama Ciu Jan awasi Nyo Hoa, katanya, "Lho" Apakah
setan cilik ini orang kalian?"" Sungguh dia tidak percaya bahwa
pemuda berpakaian butut ini ternyata punya hubungan dengan Tinwan
Piaukiok yang terkenal. Han Wi-bu unjuk tawa lebar, katanya, "Saudara cilik ini adalah
penunjuk jalan kami."
"Han-cong-piauthau," kata Ma Gun, "sebelum ini apa kau kenal
dia?" "Bocah ini penduduk pegunungan ini, mana pernah aku
mengenalnya?" sahut Han Wi-bu. "Jalan pegunungan di sini
memang berbahaya, sebagian penduduk pegunungan sini bekerja
sebagai penunjuk jalan, apa boleh buat terpaksa kami memberi
upah kepada bocah miskin ini."
Ciu Jan berkata, "Jadi kau pun tidak tahu asal-usulnya. Kukira dia
tidak mirip anak miskin kebanyakan."
Mau tidak mau Han Wi-bu agak kaget, maklum dia omong
kosong bagi Nyo Hoa, padahal dia sendiri juga tidak tahu asal-usul
Nyo Hoa Jikalau di hadapan kedua perwira ini Nyo Hoa
menunjukkan sikap yang mencurigakan. Dan kenyataan Nyo Hoa
bukan bocah sembarangan, dalam hati dia pun sudah bersiap-siap.
Pikirnya, "Bila dia juga orang yang berpihak kepada laskar rakyat di
Siau-kim-jwan dan asal-usulnya terusut oleh kedua perwira ini,
tanggung jawabku sungguh teramat berat."
Ciu Jan berkata pula, "Siang tadi kami lewat jalan pegunungan
yang sempit, kami sedang keprak kuda, ternyata dia berani
mengadang di tengah jalan, mungkin sudah bosan hidup, celaka
adalah kuda kami malah yang ketakutan hingga hampir terperosok."
Setelah tahu duduk persoalannya, lega hati Han Wi-bu, katanya
tertawa," Ciu-tayjin, dalam hal ini jangan kau salahkan dia, bocah ini
dilahirkan di atas gunung, kapan pernah melihat kuda segagah
tung-ganganmu, apalagi berlari sekencang itu, bukan dia tidak tahu
takut, tapi justru ketakutan malah."
Ciu Jan berkata, "Kalau dia benar adalah penunjuk jalan kalian,
kenapa waktu itu dia berjalan sendirian?"
Han Wi-bu menjelaskan dengan tertawa, "Ciu-tayjin, ada yang
tidak kau ketahui. Barisan keledai kami membawa banyak barang,
berat lagi, berjalan di pegunungan yang terjal cukup berbahaya,
maka aku memerlukan penunjuk jalan yang memeriksa sepanjang
jalan yang akan kami lalui sejauh sepuluh li, setelah dia kembali
memberi laporan baru rombongan kami berangkat Khawatirnya bila
bertemu dengan salju gugur, celakalah kalau terpendam hiduphidup.
Namun meskipun kami sudah berlaku hati-hati, seekor
keledai kami mati dan seorang patah kaki."
Keterangan Han Wi-bi masuk akal dan beralasan, ada bukti dan
saksi, maka Ma dan Ciu setengah percaya. Han Wi-bu berkata pula,
"Bocah pikun, kau bikin kaget kuda kedua tayjin ini, hayo kemari,
lekas beri hormat dan minta maaf."
Apa boleh buat, Nyo Hoa maju membungkuk-bungkuk serta
mohon maaf. Tapi dalam hati dia mengumpat, "Akan datang suatu
ketika, kalian akan kubikin bertekuk lutut dan menyembah
kepadaku." Ma Gun tertawa, katanya, "Baiklah memandang muka Han-congpiauthau
yang mohon pengampunanmu, kali ini kami tidak akan cari
perkara kepada bocah bodoh ini."
Maka Han Wi-bu suguhkan masing-masing secawan arak,
katanya, "Inilah arak anggur bikinan pemimpin kuil ini, orang she
Han suguhkan kepada tayjin berdua, silakan cicipi."
Setelah minum arak, sikap Ciu Jan kelihatan lebih cerewet, dia
ajak Han Wi-bu ngobrol panjang lebar, akhirnya dia berkata, "Hancongpiauthau, bukan kami terlalu curiga. Di Siau-kim-jwan
belakangan ini terjadi suatu peristiwa kecil, beberapa jago kosen
terjungkal di tangan seorang pemuda berusia delapan-belas tahun.
Bocah- itu ternyata berani menyaru jadi perwira tinggi dari pasukan
Gi-lim-kun kami." "O, ada kejadian itu" Kapan?" tanya Han Wi-bu.
"Ya, belum lama berselang. Jikalau kami tidak diutus ke Siau-kimjwan
untuk mengusut perkara ini,
aku pun tak berani percaya bahwa kejadian ini kenyataan," ucap
Ciu Jan. "Orang macam apa dan dari pihak manakah bocah itu" Apa tayjin
sudah tahu?" Ma Gun geleng-geleng, katanya, "Bocah itu mengaku she Nyo,
sayang tiada yang tahu siapa namanya."
Tergerak hati Han Wi-bu. "Apakah pemuda gagah itu jauh di
ujung langit, dekat di depan mata, yaitu pemuda di depan mataku
ini" Untung aku tidak menyebut namanya barusan."
Nyo Hoa juga sedang berpikir, "Untung kedua pembesar anjing
ini hanya tahu she tidak tahu namaku, kalau dia membeber di
hadapan orang banyak, tentu rahasiaku terbongkar." Seperti
diketahui, mengira Han Wi-bu tidak pernah mendengar namanya, di
waktu memperkenalkan diri Nyo Hoa menyebut nama aslinya.
Ciok Kian-ciang menimbrung, "Entah perkara apa yang dilakukan
bocah itu, sudilah kiranya tayjin menjelaskan?"
"Kita kan kawan lama, kenapa tidak leluasa?" demikian ucap Ciu
Jan. "Perkara itu pun sudah menjadi rahasia umum di Siau-kimjwan.
Tapi bicara soal perkara ini, mau tidak mau mendongkol
hatiku. Ada seorang sejawat kami bernama Li Tay-yong, dia
bertugas mengirim surat dinas ke Siau-kim-jwan, ternyata di tengah
jalan dia lenyap tak karuan jejaknya. Tak lama setelah Li Tay-yong
lenyap, muncul seorang perwira muda dari Gi-lim-kun di Siau-kimjwan,
pemuda tiruan itulah yang muncul dengan seragam lengkap
dan tanda pangkat tulen. Jadi bisa diduga bahwa Li Tay-yong pasti
sudah dibunuh olehnya."
Han Wi-bu pura-pura kaget, katanya, "Bukankah Li Tay-yong
adalah orang yang diangkat langung oleh Pakkiong tayjin dahulu"
Waktu di kota raja pernah aku1 berkenalan dengan dia Menurut apa
yang kuketahui, kungfunya sungguh tangguh."
"Orang yang punya kungfu lebih tinggi dari Li Tay-yong juga ada
yang kecundang oleh pemuda itu," demikian ucap Ma Gun. "Cuiciangkun yang berkuasa di Siau-kim-jwan sekarang punya anak
buah yang bergelar Si-ceng, Si-to dan Ngo-koan, tentunya kau juga
tahu?" "Pernah aku mendengar, cuma tak ingat siapa-siapa nama
mereka secara lengkap. Tapi pimpinan Si-ceng adalah Thian-thay
Siangjin, ketua Si-to adalah Gun-goan-cu, demikian pula tertua dari
Ngo-koan adalah Teng Tiong-ai."
"Kepandaian ketiga orang itu bagaimana menurut pendapatmu?"
tanya Ma Gun. "Thian-thay Siangjin adalah jago kosen dari agama para Lama,
Gun-goan-cu sudah memperoleh pelajaran mumi dari Bu-tong-kiamhoat,
sepasang boan-koan-pitTeng Tiong-ai mcrupakan kepandaian
tunggal di Bulim, sudah tentu mereka termasuk jago kosen kelas
wahid." "Akan tetapi bukan mereka bertiga, malah Si-ceng, Si-to dan
Ngo-koan semua kecundang oleh bocah she Nyo itu. Padahal bocah
itu hanya punya seorang pembantu yang sepadan usianya,
pembantunya itu datang agak terlambat setelah bocah she Nyo itu
melawan sendiri para musuhnya"
"Wah, kalau benar ada pemuda selihay itu sungguh sesuai
pepatah yang mengatakan gelombang sungai belakang mendorong
yang di depan, patah tumbuh Kilang berganti."
Jelas pepatah itu memuji pemuda gagah itu, setelah melontarkan
kata-kata, bara Han Wi-bu sadar telah salah omong, untung Ma dan
Ciu berdua tidak terlalu memperhatikan.
Setelah menghela napas Ma Gun berkata, "Memangnya" Wibawa
Gi-lim-kun boleh dikatakan tersapu bersih oleh bocah bergajul itu.
Tapi syukur juga kami tidak pernah berjumpa dengan dia terhitung
beruntung juga kami berdua."
Dalam hati Nyo Hoa tertawa geli, batinnya, "Aku duduk di depan
kalian, kalian berani bilang tidak bertemu." Tiba-tiba terasa Han Wibu
seperti melirik ke arahnya, Nyo Hoa lantas sadar, lekas dia
menunduk pura-pura ngantuk sambil menguap dan menggeliat
Ciu Jan mengerut alis, sikapnya tampak kurang senang karena
Nyo Hoa menguap, hingga seleranya minum arak terganggu, namun
dia tidak sudi berurusan dengan bocah seperti Nyo Hoa, maka dia
menyambung keterangan Ma Gun, "Kami diutus untuk manyelidiki
perkara itu serta mengusut asal-usul pemuda yang menyaru perwira
Gi-lim-kun itu. Setiba di Siau-kim-jwan, baru kami tahu di sana
terjadi banyak peristiwa yang mengejutkan. Tapi bocah itu bersama
temannya sudah kabur entah ke mana. lak lama kemudian kami
menerima surat kilat Hay-congling, kami dimutasikan ke Lhasa,
terpaksa kami meninggalkan Siau-kim-jwan."
Giliran Ma Gun mengerutkan kening, katanya sambil
mengedipkan mata kepada Ciu Jan, "Lo-ciu, terlalu banyak kau
minum arak" Jangan minum lagi." Secara tidak langsung dia
memberi peringatan kepada Ciu Jan jangan sembarang
membocorkan urusan dinas.
Sikap Ciu Jan kelihatan runyam, pikirnya, "Apa salahnya mereka
tabu tujuan kita ke Lhasa" Jelasnya hal ini kan untuk mengelabui
mata orang belaka." Ternyata ada tujuan lain dalam perjalanan
mereka kali ini, mengantar kado ke Lhasa hanyalah alasan belaka.
Tapi Ma Gun berkedudukan lebih tinggi dari Ciu Jan, maka Ciu Jan
segera mengiakan. Seperti Nyo Hoa, segera dia pura-pura mengantuk dan menguap
sambil menggeliat. "Ciu-tayjin, silakan istirahat," ujar Han Wi-bu yang pengalaman,
"besok kita ngobrol lagi."
Sama Hoatsu segera menimbrung, "Sungguh kurang enak, tay-jin
berdua berkunjung ke tempat kami, tapi tiada kamar untuk tayjin
istirahat Kalau tayjin tidak merasa kotor, kamar semadiku"."
"Taysu tak usah sungkan," tukas Ma Gun, "biar kami melepas
lelah di sini saja" Karena kedua perwira ini sudah menyatakan mau tidur, orang
lain tahu diri, mereka tidak enak melanjutkan ngobrol, maka malang
melintang mereka pun merebahkan diri. Ruang pemujaan yang
semula ramai, dalam sekejap menjadi hening.
Di tengah keheningan malam itulah, di luar mendadak terdengar
suara, "Tut" tut?" bunyi tanduk kerbau yang ditiup orang,
menyusul puluhan kuda yang dilarikan kencang dibedal mendatangi.
Han Wi-bu, Ma Gun, Ciu Jan dan lain-lain berjingkrak bangun.
Maka terdengar seorang berteriak di luar pintu, "Orang lain boleh
tidak usah turut campur, kami hanya merampas barang kawalan."
Nyo Hoa kaget, pikirnya, "Suara orang ini sudah amat kukenal."
Waktu dia angkat kepala, tampak seorang lelaki setengah umur
bermuka burik bersama seorang lelaki kepala gundul berusia
limapuluhan melangkah masuk bersama.
Sekilas Nyo Hoa melongo, pikirnya, "Aneh, entah di mana aku
pernah melihat lelaki burikan ini?" Tapi seingarnya orang-orang
yang pernah dikenalnya tiada yang bermuka burik.
Begitu masuk kuil si burik lantas berdiri dengan kedua kaki
terpentang lebar, kedua telapak tangannya terletak di atas kedua
lutut, telapak tangan tegak menghadap ke luar, itulah gaya
pelindung dari gerakan Kim-kong-liok-yang-jiu warisan keluarga
Nyo, bersiaga menjaga sergapan musuh secara mendadak. Setelah
berdiri dan pasang gaya, si burik segera tertawa, katanya, "Hancongpiauthau, kau tidak akan menduga di tempat ini bertemu
dengan orang she Bun bukan?"
Mendengar dia menyebut "she Bun", seketika Nyo Hoa ingat "O,
kiranya dia toa-suko." Si burik ini memang bukan lain adalah murid
Nyo Bok yang tertua bernama Bun Seng-liong.
Bun Seng-liong sebetulnya pemuda gagah dan cakap, tiga hari
setelah Nyo Bok pura-pura mati, sebelum layonnya dikubur,
terjadilah suatu peristiwa, saat itulah Bun Seng-liong cidera dan
selanjutnya menjadi burik, (baca Kelana Buana)
Bun Seng-liong muncul secara mendadak, Han Wi-bu pun
meleng-gong, lekas dia berdiri dan berkata dengan tertawa, "Kukira
siapa, kiranya Bun-toako. Bun-toako, kelakarmu ini apa tidak
keterlaluan?"

Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa berkelakar dengan kau?" jengek Bun Seng-liong, "Biarlah
bicara blak-blakan saja, barang-barang kawalanmu itu harus kau
serahkan kepada kami, nanti aku mohon keringanan dari Siangthocu
supaya kalian pulang tanpa cidera. Kalau tidak, hehe,
terpaksa kami menggunakan kekerasan."
Ciok Kian-ciang mendadak berdiri, bentaknya, "Bun Seng-liong,
apa betul kau hendak merampas barang kawalan kami?"
"Memangnya kau kira aku pura-pura" Lalu untuk apa aku
membawa sekian banyak orang" Mereka sudah kusiapkan untuk
mengangkut obat-obatan yang dikawal Tin-wan Piau-kiok."
Han Wi-bu kaget, pikirnya, "Aneh, dari mana dia bisa tahu sejelas
ini, bahwa yang kukawal adalah obat-obatan" Siapa pula orang she
Siang ini?" Sebetulnya bagaimana kepandaian Bun Seng-liong,
hakikatnya Han Wi-bu tidak memandang sebelah mata kepadanya.
Tapi laki-laki pelontos yang datang bersama dia itu, mau tidak mau
Han Wi-bu harus hati-hati menghadapinya.
Sepasang bola mata lelaki ini mencorong terang, kedua Tayyangniat pun menonjol besar, berdiri tegak sekokoh gunung
Setenang lautan. Sebagai ahli silat, sekali pandang juga Han Wi-bu
dapat melihat bahwa kepandaiannya tidak boleh diremehkan. Sejak
masuk, belum pernah dia bersuara, sikapnya kaku angker.
Kalau Han Wi-bu memperhatikan lelaki pelontos, sebaliknya Nyo
Hoa memperhatikan Bun Seng-liong. Dalam hari dia merasa heran,
pikirnya, "Bukankah dahulu toa-suko juga anggota Tin-wan Piaukiok"
Kenapa sekarang dia berbal i k mau merampas barang Tinwan
Piaukiok" Masih segar dalam ingatan Nyo Hoa, pada hari penguburan
ayahnya dulu, Bun Seng-liong juga keburu datang dari kota raja.
"Dari nada bicaranya, entah sejak kapan dia sudah meninggalkan
piaukiok. Meski demikian hubungan pegawai dan majikan dengan
Han-cong-piauthau masih terjalin baik, kenapa justru dia mau
merampas barang-barang kawalan?"
Terdengar Ci ok Kian-ciang menuding serta memaki, "Bun Sengliong,
jelek-jelek kau pernah menjadi pegawai Tin-wan Piaukiok
beberapa tahun, dengan kebesaran nama piaukiok kita, kau pernah
malang melintang di Kangouw, angkat derajat dan nama, persoalan
pribadimu dengan Han-cong-piauthau anggap saja tidak pernah
terjadi, tapi piau-kiok tidak sedikit memberi keuntungan bagimu,
kenapa hari ini kau berbalik merampas barang yang dikawal sendiri
oleh cong-piauthau" Hm, hm, bukan aku takut menghadapimu, aku
menyesal bahwa otakmu ternyata sudah tidak beres lagi."
Berubah air muka Bun Seng-liong, beruntun dia terkekeh dingin
tiga kali, katanya, "Ciok Kian-ciang, karena kau menyinggung Tinwan
Piaukiok, semakin besar keinginanku membuat perhitungan
dengan kalian. Kau bilang aku mendapat keuntungan dari piaukiok,
memang beberapa tahun permulaan memang demikian, tapi kapan
orang she Bun pernah melakukan sesuatu yang merugikan piaukiok"
Tolong tanya Han-cong-piauthau, kesalahan apa yang pernah
kulakukan, kenapa dua ;tslhun kemudian setelah kau menjabat
cong-piauthau, kau memecat aku?"
Maka jelas bagi Nyo Hoa bahwa Bun Seng-liong dipecat oleh Han
Wi-bu dari Tin-wan Piaukiok. Hari ini alasannya merampas barang
kawalan tujuan sebenarnya adalah membalas sakit han" pribadi.
Han Wi-bu tertawa dingin, katanya, "Tin-wan Piaukiok seumpama
air dangkal tak mungkin bisa memelihara ikan besar, kau
mempunyai ambisi besar, mana berani aku merendahkan derajatmu
untuk menjadi piausu seumur hidup" Bahwa aku menyilakan kau
mencari nafkah yang berpenghasilan lebih tinggi juga untuk
menyempurnakan keinginan dan cita-citamu."
Ternyata selama Bun Seng-liong berada di Tin-wan Piaukiok
secara diam-diam dia berintrik dengan Nyo Bok, gurunya, mengatur
muslihat untuk merebut kedudukan dan kekuasaan di Tin-wan
Piaukiok. Mereka berani berintrik karena secara sembunyi-sembunyi
Pakkiong Bong yang dahulu menjadi komandan tertinggi pasukan
Gi-Iim-kun menjadi tulang punggung mereka, tujuannya sudah
tentu menguasai Tin-wan Piaukiok, perusahaan ekspedisi terbesar
nomor satu di kota raja ini. Belakangan muslihat mereka diketahui
Han Wi-bu, maka sebelum mereka sempat bertindak, Han Wi-bu
sudah memecat Bun Seng-liong.
Tapi Nyo Bok waktu itu adalah orang yang terpandang juga di
kalangan Gi-lim-kun, bila Tin-wan Piaukiok masih ingin bercokol di
kota raja, maka sedikit banyak Han Wi-bu masih memberi muka
kepadanya. Itulah alasan dan sebabnya Han Wi-bU hanya memecat
Bun Seng-liong secara terhormat, namun borok ini tak enak dia
korek di hadapan orang banyak.
Bun Seng-liong tertawa dingin, jengeknya, "Cong-piauthau, tak
usah kau meminta aku. Secara blak-blakan saja, bukankah kau
anggap kcpandaianku tidak becus" Tidak setimpal lagi menjadi
piausu perusahaan besarmu?"
Tawar suara Han Wi-bu, "Tak pernah aku punya maksud
demikian, kalau kau mencurigai diriku, terserah." Bagi pendengaran
orang lain, pernyataan Han Wi-bu itu penjelasan yang ditujukan
kepadanya, tapi bagi pendengaran Bun Seng-liong, dia anggap Han
Wi-bu sudah mengakui tuduhannya.
"Bagus," seru Bun Seng-liong gusar. "Kau anggap aku tidak
setimpal menjadi piausu perusahaanmu, hari ini biar aku merampas
barang kawalan kalian."
"Orang she Bun, berapa tinggi kepandaianmu, berani kurang ajar
di hadapan cong-piauthau. Boleh kau katakan caranya, biar aku
melayani-mu," demikian tantang Ciok Kian-ciang.
"Ya, orang she Bun juga tahu diri, aku memang bukan tandingan
Han-cong-piauthau. Tapi gunung tinggi, ada yang lebih tinggi.
Jangan kira pihak kami semua bukan tandingannya. Baiklah
sekarang boleh kita mulai, kalian maju dua orang, pihak kami pun
maju dua orang, jadi dua babak. Kaulah lawanku. Perlu kutegaskan
babak pendahuluan hanya sebagai cara ekstra, penandingan tulen
adalah antara cong-piauthau melawan temanku ini."
"Begitu pun boleh, marilah babak ekstra kita maju lebih dulu,"
seru Ciok Kian-ciang, "saudara-saudara tolong minggir lebih jauh."
"Nanti dulu," tiba-tiba Han Wi-bu mengulap tangan. Dia bertindak
menurut aturan kalangan piaukiok, terhadap musuh bersikap sopan
dulu kalau terpaksa, baru menggunakan kekerasan. Katanya,
"Saudara ini aku belum kenal, aku mohon tanya siapa nama
besarnya?" Sejak tadi laki-laki pclontos ini tidak bersuara, baru sekarang dia
bicara, "Cayhe Siang Thi-hong."
"Siang Thi-hong?" dalam hati Han Wi-bu memikirkan nama
orang, "belum pernah aku mendengar nama ini," demikian pikirnya.
Lalu bertanya, "Selama ini di mana Siang-thocu berpangkalan"
Entah kesalahan apa pula yang pernah kulakukan kepadamu harap
suka jelaskan." "Kau tidak pernah berbuat salah terhadapku, tak usah kau
menarik rasa simpatiku," demikian ucap Siang Thi-hong.
Maksudnya, pe-rampasnya merampas barang kawalan, tiada
kompromi. Kapan Han Wi-bu pernah dipermainkan dan diremehkan seperti
hari ini" lapi sebagai seorang yang punya kedudukan dan berjiwa
luhur, meski hati berang, lahirnya tetap biasa, katanya, "Agaknya
Siang-thocu ingin angkat nama lebih besar, terpaksa orang she Han
harus tampil untuk menyambut tantangan. Nah, iang-thocu maju
lebih dulu, atau besar she Bun ini yang akan tampil?"
"Nanti dulu!" tiba-tiba Siang Thi-hong berseru.
"Ada persoalan apa pula Siang-thocu?" tanya Han Wi-bu.
"Perlu aku menyampaikan beberapa patah kata lebih dulu kepada
kedua tayjin ini," kata Siang Thi-hong.
Sejak kawanan begal ini memasuki kuil dan adu mulut dengan
Han Wi-bu, Ma Gun dan Ciu Jan berpeluk tangan tidak buka suara
sepatah kata pun. Sekarang baru Ma Gun berkata dengan tertawa,
"Siang-thocu, kita baru pertama kali ini bertemu, Bun-lote ini adalah
kenalan lama. Dia mau membuat perhitungan lama dengan Hancongpiauthau, . kami orang luar tidak berani turut campur, congpiauthau
kau pun jangan salah paham anggap aku jadi penonton
saja. Tin-wan Piaukiok kalian sudah terkenal, jikalau kami ikut
campur, salah-salah merusak nama baik kalian malah."
"Memangnya kami juga tidak berani minta bantuan tayjin
berdua," segera Han Wi-bu memberi tanggapan. Dalam hati amat
berang, "Yang jelas kau sengaja bermuka-muka di hadapan murid
Nyo Bok yang tertua ini, memangnya kami juga tidak perlu bantuan
kalian." Siang Thi-hong berpaling ke sana lalu menjura kepada Ma Gun,
katanya, "Terima kasih, tayjin memang berpandangan luas, kami
tidak dipandang sebagai begal umumnya, lapi mumpung tayjin juga
hadir di sini, kurasa perlu aku bicarakan dulu persoalan ini biar
jelas." Agaknya Ma Gun tidak ingin terlibat dalam kesulitan, katanya,
"Sudah kukatakan, pihak mana pun aku tidak akan membantu,
urusan kalian boleh silakan dibereskan sendiri, kenapa harus
memberi penjelasan segala."
"Tayjin harus maklum, cayhe dilahirkan dari kalangan begal,
manusia kasar dari pegunungan, tapi selalu berpikir untuk
mencurahkan tenaga kami demi kepentingan kera-jaan. Bahwa hari
ini kami merampas barang kawalan, sebetulnya bukan rampas
sembarang rampas. Pertama, memang untuk melampiaskan
dendam Bun-lote. Kedua, yang lebih penting, kami juga ingin
menyampaikan kado kepada pihak keraja-an." Bahwa merampas
atau membegal barang orang lain dikatakan sebagai kado kepada
pihak yang berkuasa, jelas kedengarannya agak menusuk telinga.
Secara tidak langsung perkataannya itu dimaksud bahwa pihak
kerajaan justru adalah kepala begal yang selalu harus menerima
upeti dari anak buahnya. Karuan berubah air muka Ma Gun, bentaknya, "Apa maksud
perkataanmu?" Siang Thi-hong menyengir tawa, katanya, "Harap tayjin tidak
salah paham, biar kujelaskan. Apakah tayjin tahu barang apa yang
dikawal oleh Han-cong-piauthau?"
Tergerak hati Ma Gun, namun dia pura-pura membesi muka,
katanya, "Asal barang yang dikawalnya itu tidak melanggar hukum,
memangnya aku sudi turut campur?"
Kalem Siang Thi-hong berkata "Tapi untuk urusan yang satu ini,
tayjin mau tidak mau harus ikut campur. Karena dia memang
melanggar hukum" Diam-diam Han Wi-bu terkejut, bentaknya, "Omong kosong. Tinwan
Piaukiok didirikan di kota raja, usaha kami selama puluhan
tahun halal, hubungan luas dan resmi, siapa yang tidak tahu akan
kebersihan nama kami" Kalau kami mengawal barang secara
terang-terangan, memangnya hukum apa yang kami langgar?"
Ma Gun batuk-batuk, katanya, "Merk emas Tin-wan Piaukiok
sudah tentu amat kupercaya. Tapi emas mumi tidak takut dibakar,
biarkan dia buka suara, kau tidak keberatan bukan?"
Han Wi-bu tahu Ma Gun sudah mulai curiga, dirinya pun tidak
bisa mencegah orang bicara, terpaksa dia berkata, "Boleh saja,
silakan katakan, memangnya aku takut kau fitnah dan masuk
perangkapmu?" Siang Thi-hong berkata, "Baiklah, di hadapan kalian yang
bersangkutan aku pun tidak akan membual, boleh kau berterus
terang kepada kedua tayjfn ini, barang apa yang kau kawal, dan
milik siapa barang-barang itu?"
"Keterangan boleh kuberitahukan kepada kedua tayjin, tapi tidak
di hadapanmu," jengek Han Wi-bu.
"Han-cong-piauthau," ucap Ma Gun, "jangan kau banyak curiga,
yang jelas aku tidak akan berat sebelah dan percaya satu pihak
belaka Tapi berilah kesempatan dia bicara, betul tidak?" Katanya
tidak berat sebelah, tapi sikapnya ini sudah jelas menjajarkan Tinwan
Piaukiok dan kawanan begal. Karuan Han Wi-bu amat gusar,
tapi hanya mendelik tak berani banyak mulut
Siang Thi-hong tampak senang dan bangga, katanya, "Tolong
tanya apakah barang kawalanmu ini akan kau angkut lewat Jik-tatbok?"
"Memangnya kenapa kalau lewat Jik-tat-bok?" jengek Han Wi-bu.
"Kawanan pemberontak dari Siau-kim-jwan sekarang justru
bersarang di pegunungan Jik-tat-bok, obat-obatan yang- kau kawal
ini bukankah hendak kau kirim untuk perbekalan mereka?"
Tuduhan ini sungguh amat mengejutkan. Tapi anehnya Ma Gun
tidak kelihatan kaget atau heran, katanya tersenyum, "Kau punya
bukti apa atas tuduhanmu" Jangan asal tuduh sembarang tuduh."
"Harap tayjin periksa," ucap iang Thi-hong. "Dia punya hu-ungan
dengan pihak pemberontak,
sudah tentu bukti-bukti amat dirahasiakan dan pantang terjatuh
ke tangan orang lain. Tapi tayjin boleh pikir, bila mereka tidak
melakukan kerja yang melanggar hukum, apakah perlu congpiauthau
dari Tin-wan Piaukiok sendiri yang harus mengawal obatobatan
itu" Hehe, malah aku juga tahu dia punya hubungan kental
dengan Beng Goan-cau, salah satu pentolan pemberontak dari Siaukimjwan." Diam-diam Han Wi-bu amat kaget, tak habis herannya
bagaimana rahasia ini bisa diketahui oleh orang luar yang tiada
sangkut pautnya. Ma Gun bertanya, "Dari mana kau tahu?"
"Hal ini aku berani jadi saksi," segera Bun Seng-liong tampil ke
depan. "Sepuluh tahun yang lalu Beng Goan-cau pernah menyamar
dan muncul di dalam Tin-wan Piaukiok, belakangan baru aku tahu
akan dirinya" Untung Han Wi-bu amat tabah dan sebelumnya juga sudah siap
diri, untuk menghadapi Bun Seng-liong dia tidak perlu gentar, maka
dia menjengek dingin, "Ya, setelah kau kupecat dari Tin-wan
Piaukiok tidak heran kalau kau memfitnah aku. Jikalau betul apa
yang kau katakan, kenapa urusan yang terjadi sepuluh tahun yang
lalu baru sekarang kau bongkar?"
"Setelah peristiwa itu terjadi baru kau mengusirku dari piaukiok,
dikota raja aku sudah tak bisa bercokol lagi, lalu kepada siapa aku
harus membongkar rahasia ini" Apalagi waktu itu aku tidak bisa
membekuk Beng Goan-cau, mulut bicara tanpa bukti, apakah orang
lain mau percaya kepadaku?"
"Syukur kalau kau tahu mulut bicara tanpa bukti tak boleh
dipercaya," jengek Han Wi-bu pula
"Hm," Siang Thi-hong mendengus. "Han-cong-piauthau, jangan
memutar balik persoalan. Kalau Bun Seng-liong berkisah tentang
kejadian sepuluh tahun yang lalu, aku justru bicara tentang kejadian
di depan mata. Bukankah barang kawalanmu ini milik Leng Thiatjiau
dan Beng Goan-cau?" Han Wi-bu gelak tertawa, katanya, "Untung aku juga punya
seorang saksi." "Siapa?" bentak Siang Thi-hong.
"Jauh di langit dekat di mata," ujar Han Wi-bu, "yaitu Sama
Hoatsu ketua kuil Lama ini."
"Omitohud," Sama Hoatsu bersabda, sementara jari-jarinya
bergerak menghitung tasbih. "Sicu ini memang salah terka, Hancongpiauthau bisa penasaran. Obat-obatan ini adalah milik hoatong
agama kita yang diserahkan kepada Han-cong-piauthau untuk
mengawalnya. Beberapa bulan ini daerah Ok-khek-co-beng diserang
penyakit menular banyak orang jatuh korban, maka bahan obat ini


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

amat diperlukan." "Karena Sama Hoatsu sudah bicara, biarlah aku pun
menjelaskan," demikian ujar Han Wi-bu. "Mengawal barang milik
hoat-ong dari Pek-kau, mana boleh orang she Han tidak bekerja
sepenuh hati" Umpama bakal menimbulkan kecurigaan juga
terpaksa harus tampil sendiri."
Pergi ke Ok-khek-co-beng memang harus lewat Jik-tat-bok, hal
ini juga diketahui oleh Ma Gun dan Ciu Jan. Ma Gun berpikir, "Pekkau
memang lemah, tapi pihak kerajaan sedang berusaha
merangkulnya. Pek-kau dijadikan tulang punggungnya, aku jadi
rikuh untuk bertindak kepadanya."
Bun Seng-liong menimbrung, "Siapa tahu kalau sebagian obatobatan
itu kau bagikan kepada pihak pemberontak yang bersarang
di Jik-tat-bok itu?"
Han Wi-bu menarik muka, katanya mendengus dingin, "Orang
she Bun, sebetulnya aku tidak merasa perlu kau harus percaya, tapi
boleh kau ikut dalam rombongan kami, aku berjanji menjamin
keselamatanmu, biar engkau sendiri yang membuktikan
kebenaranku." Sudah tentu Bun Seng-liong tidak berani seperjalanan dengan
Han Wi-bu ke Jit-tat-bok. Umpama Han Wi-bu berjanji tidak akan
mengusik dirinya, tapi dia takut di tengah jalan kepergok Beng
Goan-cau dan celaka kalau sampai terbunuh olehnya Segera dia
bersikap angkuh, katanya, "Kuda bagus tidak makan rumput
murahan, siapa sudi menjadi pembantumu" Hm, hm, terus terang
orang she Bun sekarang tiada tempo melakukan kerjaan kasar ini."
"Tutup bacotmu, bedebah," Ciok Kian-ciang kontan memakinya.
Ma Gun berkata, "Persoalan tanpa bukti sukar aku mengambil
keputusan, lebih baik kita bicarakan urusan di depan mata, jangan
nge-lantur ke persoalan tetek bengek lagi." Lahirnya dia membantu
pihak Han Wi-bu padahal maksud sebenarnya mendesak kawanan
begal segera bertindak sesuai maksud kedatangannya.
"Ucapan Ma-tayjin memang betul," ucap Siang Thi-hong,
"maksudku hanya supaya tayjin berdua tahu persolannya dan
memaklumi maksud baikku."
"Baik, aku sudah mengerti," ujar Ma Gun, "aku tetap pada
pendirianku, pihak mana pun aku tidak berpihak."
Bun Seng-liong segera membentak, "Nah, Siang-thocu sudah
menjelaskan persoalan, kini tiada cara lain untuk menyelesaikan
persoalan ini kecuali ditentukan dalam adu silat Nah, orang she Ciok
silakan maju." "Bun Seng-liong," bentak Ciok Kian-ciang. "Kelihatannya kau
segalak harimau dan sewenang-wenang, memangnya aku takut
kepadamu?" Nyo Hoa berpikir dalam hati, "Nah, kukira Bun Seng-liong hanya
sedikit sesat saja, ternyata dia sudah menjadi antek kerajaan. H m,
kenapa aku masih tetap mengaku sebagai toa-suko?" Meski Bun
Seng-liong tidak mengaku secara terang-terangan, tapi dari sikap
dan tutur katanya sudah membuktikan bahwa sekarang dia sudah
menjadi cakar alap-alap kerajaan."
Waktu masih bekerja di piaukiok memang Bun Seng-liong tidak
akur dengan Ciok Kian-ciang, kini bertemu di tengah arena, maka
Bun Seng-liong menyerang dengan ganas dan sengit. Ternyata Ciok
Kian-ciang juga tidak kenal kasihan.
Tampak Bun Seng-liong melangkah gesit mengitari gelanggang,
dalam sekejap empat penjuru kelihatan bayangan pukulan telapak
tangannya. Kim-kong-liok-yang-jiu warisan keluarga Nyo memang
lihay permainannya, di samping cepat, di dalam tipu tersembunyi
tipu, gerakan ditambah variasi pula, setiap kali pukul satu gerakan
mengandung enam gerak perubahan yang mematikan dan
menakjubkan. Umumnya dalam permainan ilmu pukulan, Satu jurus
dapat melancarkan dua gerakan sudah teramat sukar, apalagi satu
jurus enam gerakan, lebih jarang terlihat maka perbawa pukulan ini
tidak kalah tangguh dibanding Ciok Kian-ciang yang dari Siau-Iimpay.
Bila berhadapan dengan musuh yang bertaraf setingkat, ilmu
pukulan keluarga Nyo ini ternyata sering membawa keuntungan.
Permainan Bun Seng-liong jelas belum setaraf Nyo Bok, gurunya,
namun juga sudah mencapai taraf yang cukup memadai. Ciok Kianciang
memusatkan perhatian, dalam gebrak belasan jurus
permulaan, ternyata dia kerepotan dicecar.
Ciok Kian-ciang ahli dalam permainan bian-ciang, Pukulan Kapas
yang lunak, pukulannya dapat meremukkan batu jadi bubuk.
Lwekang-nya masih di atas Bun Seng-liong, tapi permainan
pukulannya kurang variasi dan kalah aneh dibanding Bun Sengliong.
Persekutuan Pedang Sakti 8 Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto Iblis Sungai Telaga 32

Cari Blog Ini