Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi Bagian 10
Gajah Mada tentu bisa ditandai karena merah yang muncul adalah karena darah.
Mayat-mayat yang mengapung dan puluhan anak buahnya yang terluka parah menjadi penyebab kemarahan pimpinan gerombolan Karang Watu.
"Keparat," Raden Panji Rukmamurti mengumpat.
Namun, Raden Panji Rukmamurti masih mampu mengendalikan
diri dengan baik dan tidak menjadi gugup melihat keadaan itu. Tindakan tegas dan kemampuan membakar semangat sungguh sangat diperlukan dalam keadaan itu. Menggunakan isyarat tertentu Panji Rukmamurti menyalurkan perintah-perintahnya.
Menunggu adalah pekerjaan yang membosankan. Ketika dua
kekuatan saling berhadapan dan masing-masing juga menunggu waktu maka menunggu tidak hanya pekerjaan yang membosankan, namun juga melelahkan urat syaraf sebab kedua belah pihak harus berada dalam kesiagaan tertinggi.
"Mereka menunggu siang," ucap Rukmamurti.
"Ya," jawab Mandrawa. "Mereka tidak punya keberanian untuk menyerang."
"Tidak apalah, kita berikan saja siang yang mereka butuhkan,"
Rukmamurti menambah. "Semua tetap waspada dan berada di tempat masing-masing. Jangan ada yang lengah. Aku mengantuk sekali dan kurang tidur, aku harus melanjutkan istirahat supaya besok bisa menjemput tamu-tamu itu dalam keadaan segar. Mandrawa yang akan mewakili aku memimpin pertahanan."
Dengan melenggang Panji Rukmamurti kembali. Sama sekali tidak ada beban cemas di hatinya. Meski lawan memiliki jumlah berlipat, jumlah itu nantinya bakal menyusut ketika mereka memaksa masuk karena demikian banyaknya jebakan yang dirancang khusus untuk menghadapi serbuan macam itu. Namun, bahwa tempat itu telah menjadi perhatian Majapahit, Panji Rukmamurti harus memikirkan langkah ke depan.
Setidaknya Karang Watu harus segera ditinggalkan. Bila Majapahit Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 461
mengirim seluruh kekuatan Jalapati misalnya, sekuat apa pun Karang Watu tak akan sanggup menghadapi.
Suasana sangat hening dan damai ketika Raden Panji Rukmamurti kembali ke tempat tinggalnya yang menjadi bagian tak terpisahkan dari pendapa. Pemuda tampan yang menyamarkan diri dengan menghitamkan wajahnya dalam berbentuk garis-garis itu menyempatkan memerhatikan tebing di belakang pendapa. Cahaya bulan yang terang menyapu permukaan tebing itu, memberi kesan menakutkan.
Raden Panji Rukmamurti yang memasuki bilik pribadinya
menyempatkan berhenti di depan pintu. Tatapan matanya yang tajam ditujukan kepada pengawal khusus yang bertugas menjaga keamanannya.
Berdiri tegak bagai tonggak kayu, pengawal khusus itu menjaga kiri dan kanan pintu. Wajah aslinya tidak jelas karena juga dihitamkan.
"Jaga diriku dengan baik," kata Panji Rukmamurti. "Siapa tahu orang-orang yang menyerbu itu ada yang berhasil menyusup sampai tempat ini. Aku melanjutkan tidurku."
Namun, dua orang pengawal itu memiliki jawaban yang tidak wajar.
"Mungkin kita tidak punya waktu untuk beristirahat, Raden."
"Kenapa?" tanya Panji Rukmamurti.
"Karena kita akan menempuh perjalanan dari sekarang juga."
Raden Panji Rukmamurti mengerutkan kening.
"Ke mana" Siapa kalian?"
"Raden kami tangkap dan harus ikut kami untuk mempertanggungjawabkan perbuatan Raden di hadapan Kutaramanawa."
Bila harus merasakan disengat tawon itulah saatnya. Atau, kalau harus merasa kejatuhan kelapa tepat mengenai kepala itulah pula saatnya.
Bisa juga seperti dipatuk ular bandotan yang bisanya sangat beracun, atau dikejutkan oleh gempa bumi yang datang dengan tiba-tiba membelah tanah tempat kakinya berpijak dan masih ditambah dengan petir yang meledak menggelegar memekakkan gendang telinga, yang terjadi di saat langit begitu benderang tanpa ada mendung.
462 Gajah Mada Raden Panji Rukmamurti bertambah bingung ketika tiba-tiba bermunculan orang-orang tidak dikenal yang sebagian melabur wajah dengan jelaga dan sebagian yang lain tidak. Orang-orang itu jelas bukan anak buahnya. Raden Panji Rukmamurti berdebar melihat adanya ciri-ciri khusus yang dimiliki orang-orang itu yang bisa ia kenal. Bentuk pedang melengkung dan endong penuh berisi anak panah di punggung.
"Siapa kalian?" tanya Panji Rukmamurti dengan suara bergetar tidak mampu menutupi rasa cemasnya.
"Kami Bhayangkara," jawab orang yang berdiri di depannya.
Panji Rukmamurti hanya bisa pasrah ketika orang-orang yang tak dikenal itu menelikung tangannya ke belakang dan mengikat tubuhnya menggunakan tali janget yang sangat kuat. Cara mengikat yang dilakukan juga menggunakan cara khusus yang tak memungkinkan adanya peluang untuk meloloskan diri. Jika ada monyet bingung terkena tulup 174 maka seperti itulah wajah Raden Panji Rukmamurti.
Tak jauh dari tempat itu, wajah Ra Kembar merah padam. Wajahnya tiba-tiba menebal melebihi kulit gajah yang paling tebal.
"Ini dia pahlawan yang ditunggu-tunggu kepulangannya itu."
Rakrian Kembar semula tidak mengenali siapa saja orang-orang yang berdiri di depannya karena semua wajah dihitamkan menggunakan jelaga. Namun, Kembar masih bisa mengenali suaranya. Orang yang baru berbicara itu adalah Bhayangkara Riung Samudra.
"Bagaimana, Ra Kembar" Upayamu menggulung Karang Watu
berhasil?" Ra Kembar merasa lebih baik bila dikelupas wajahnya. Setidaknya memang ada penyesalan dalam hatinya, namun apa mau dikata, nasi telah menjadi bubur. Apa yang terjadi telah telanjur dengan hasil berupa kotoran yang berlepotan di wajahnya.
Akan tetapi, orang-orang yang dikenalinya sebagai Bhayangkara Jayabaya, Riung Samudra, Panjang Sumprit, tidak memberikan perhatian kepadanya terlalu lama. Bhayangkara Jayabaya bertindak cekatan dengan 174 Tulup, Jawa, semacam anak panah
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 463
membebaskan Rakrian Kembar dari ikatan talinya, demikian juga dengan sepuluh anak buahnya yang tersisa.
"Berapa orang yang kaubawa?" tiba-tiba terdengar seseorang bertanya dari arah belakang.
Ra Kembar berbalik. "Lima puluh orang," jawab Ra Kembar dengan lidah kelu.
Sulit membaca bagaimana isi hati di balik wajah Bhayangkara Lembu Pulung yang telah dihitamkan itu. Lembu Pulung menebar pandang memerhatikan keadaan dengan saksama, menyusur tebing tinggi di belakang bangunan induk, menggerataki bangunan induk berbentuk pendapa dan bangsal panjang yang juga beratap rumbia. Lembu Pulung akhirnya menjatuhkan pandangan matanya ke halaman luas yang bisa dimanfaatkan untuk keperluan apa saja. Dengan luas dua kali lipat Tambak Segaran atau lebih, Karang Watu sanggup menampung prajurit sebesar Jalapati sekalipun. Ke depan Karang Watu bisa menjadi tempat yang berbahaya. Beruntunglah sepak terjang orang-orang Karang Watu itu keburu kamanungsan.
"Apa yang kita lakukan sekarang?" tanya Riung Samudra yang mendekat.
"Kita tinggalkan, pekerjaan sisanya biarlah dituntaskan oleh Ra Kembar yang akan dibantu oleh Haryo Teleng dan Suryo Manduro,"
Lembu Pulung menjawab. Jawaban itu mengagetkan Ra Kembar yang makin merasa tidak nyaman. Ra Kembar membayangkan, ke depan akan mengalami kesulitan besar, tak tahu apa yang harus dilakukan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada pimpinannya. Melangkah tanpa minta izin pimpinan, hal itu sudah merupakan kesalahan yang berat, apalagi kini terbukti terlalu besar korban jiwa yang jatuh sebagai akibat kecerobohan yang diperbuatnya. Ke depan pula namanya akan menjadi buah bibir. Siapa pun akan menertawakannya. Para gadis tak lagi mengaguminya, mereka akan menjadikannya sebagai bahan guyonan.
464 Gajah Mada "Ada satu pekerjaan lagi yang masih belum kita selesaikan," ucap Jayabaya.
Semua menunggu Jayabaya melanjutkan.
"Kita belum mendapatkan Rangsang Kumuda."
"Orang itu tidak ada. Aku sudah memperoleh keterangan itu. Kita tinggalkan tempat ini."
Menjadi lebih jelas bagi Ra Kembar manakala dari balik dinding, dari tempat-tempat yang terlindung bermunculan orang-orang yang masing-masing melakukan penyamaran sedemikian rupa sehingga sulit membedakan antara Bhayangkara dengan orang-orang Karang Watu sendiri. Ra Kembar sulit memahami bagaimana pasukan Bhayangkara bisa hadir di tempat itu tanpa ketahuan.
"Aku, aku bagaimana?" tanya Ra Kembar gugup.
Akan tetapi, para Bhayangkara tak memedulikannya. Dengan gesit pasukan khusus Bhayangkara menuntaskan pekerjaannya yang masih tersisa. Menggunakan batu titikan sebuah obor dinyalakan. Obor kecil adalah teman, namun api besar bisa jadi bencana. Demikianlah ketika api dilemparkan ke atap pendapa, bibit api menyala yang nantinya menjadi dahana berkobar siap meluluhlantakkan bangunan itu. Bibit api juga ditebar di atas bangsal. Sebagaimana di bangunan induk, bangsal panjang yang beratap rumbia juga mulai terbakar. Seorang Bhayangkara hanya membutuhkan satu ayunan pedang untuk menumbangkan bendera yang dikibarkan di halaman. Bendera dalam bentuk buah maja yang dibelit ular segera dilipat dan dibawa berlari menyusul teman yang lain.
Bhayangkara Jayabaya terhenti langkahnya ketika melihat sebuah bende menggantung.
Ra Kembar kebingungan. Nyalinya lenyap entah ke mana.
"Sembunyi," perintah Ra Kembar kepada anak buahnya.
Perintah itu segera diterjemahkan dengan baik. Sepuluh orang anak buahnya berlarian mencari tempat sembunyi. Ada yang melarikan diri sejauh-jauhnya, namun ada pula yang bersembunyi tidak jauh dari tempat Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 465
itu. Ra Kembar sendiri memilih di belakang sebuah batu besar sebagai tempat berlindungnya.
Sebenarnyalah api yang membakar bangunan pendapa dan bangsal di Karang Watu itu mengagetkan. Anak buah Raden Panji Rukmamurti yang melakukan baris pendhem terkejut.
"He, rumah kita terbakar, lihat itu."
Salah seorang dari mereka berteriak kaget.
"Waduh, apa artinya ini?" meledak yang lain.
Kekagetan melihat api yang berkobar membakar sarang mereka rupanya baru awal dari kekacauan yang kemudian terjadi. Suara bende yang dipukul dengan nada tertentu merupakan perintah untuk berkumpul, tetapi sejatinya isyarat itu palsu karena Bhayangkara Jayabaya yang memukul. Nada khusus itu diperolehnya dari mengorek mulut Raden Panji Rukmamurti.
Kepanikan yang luar biasa melanda Mandrawa, yang dengan amat kencang ia berlari. Perintah dari suara bende itu cukup jelas, kobaran api yang melahap sarang mereka juga cukup jelas maka tak ada alasan dari orang-orang yang baris pendhem di sepanjang tepian sungai itu yang tetap bertahan di tempatnya. Mandrawa punya alasan khusus mengapa ia amat mencemaskan Raden Panji Rukmamurti, itu sebabnya meski ia telah berlari kencang dirasa masih belum kencang juga. Mandrawa sangat takut bila kobaran api itu menjadi penyebab kematian pimpinannya.
Mandrawa terjatuh, namun segera bangkit lagi. Sekali lagi Mandrawa terjatuh, ia bangkit dan terus berlari.
Kebakaran yang terjadi itu juga mengagetkan Senopati Panji Suryo Manduro dan Haryo Teleng bersama segenap anak buahnya. Mereka melihat orang-orang di balik pagar yang bergerak. Orang-orang itu bahkan berlarian meninggalkan tempat.
"Ada apa itu?" tanya Panji Suryo Manduro. "Mengapa pula mereka berlarian seperti itu?"
"Apa pun yang terjadi di sana, inilah saatnya buat kita. Jadi, harus menunggu apa lagi?" jawab Haryo Teleng.
466 Gajah Mada Pendapat Haryo Teleng benar adanya. Karena sama sekali tak ada perlawanan ketika sungai itu diseberangi. Seseorang yang terperosok ke lubang jebakan menjadi peringatan bagi yang lain untuk berhati-hati.
Haryo Teleng dan Panji Suryo Manduro tak main-main dalam melakukan penyerbuan itu. Setelah mereka mencapai lapangan luas, sebuah gelar perang disiapkan dalam bentuk Diradameta. Ketika gelar perang berbentuk gajah siap mengamuk itu telah siap dengan sempurna, bisa diyakini akan lumat kekuatan yang mencoba menghadangnya.
Sangkakala yang ditiup dengan nada melengking panjang disambut dengan sorak-sorai mengagetkan Mandrawa. Juga mengagetkan segenap penghuni Karang Watu. Bumi bagai berderak ketika prajurit yang sempurna dalam siaga itu bergerak karena mereka berjalan sambil mengentakkan kaki ke tanah secara bersama berirama. Yang terjadi kemudian bagaikan gajah melawan pelanduk.
Malam yang telah berada di puncaknya bergerak menuju ke wilayah pagi, apa pun yang terjadi sang waktu tak pernah peduli. Waktu bersifat mutlak menggilas apa saja untuk berlalu, untuk melapuk dan membusuk menjadi onggokan masa silam. Tak ada yang abadi, semua berubah.
Yang muda menjadi tua, yang hijau lalu menguning.
Berubah, semua berubah, tak ada yang abadi. Jika ditanya apakah yang abadi, perubahan itu sendirilah yang bergerak secara abadi.
41 Pagi yang datang di hari berikutnya adalah pagi yang sumringah.
Burung dan bunga saling melengkapi di pagi itu. Burung prenjak amat riang menyuarakan kicau merdunya dengan terbang ke sana kemari.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 467
Burung prenjak bahkan berani terbang amat dekat dengan Raden Kudamerta yang sedang termangu. Tanaman semak perdu yang dijadikan tempat bermain para prenjak itu hanya berjarak beberapa depa dari kakinya. Akan halnya bunga, ia memang layak mengimbangi dengan keindahannya. Bunga bakung yang selalu menengok ke arah matahari boleh jadi tak menjanjikan bau wangi, tetapi amat sedap dipandang mata.
Lain lagi dengan bunga kantil dan bunga melati, bunga kantil dengan batang menjulang mewartakan bau wanginya terserah ke mana angin bergerak. Sebaliknya, bunga melati yang menyemak, ia merasa bangga dan terhormat karena Sekar Kedaton sering memetiknya dan menjadikannya penghias sanggul. Maka senyum Sekar Kedaton menjadi senyumnya, wangi melati di biliknya merupakan kemenangannya. Tidak ada kebanggaan melebihi menjadi melati, paling tidak dibanding nasib kembang telek-telekan yang juga tumbuh di taman. Apalagi, bunga bangkai atau kembang suweg yang tumbuh di dekat pagar, meski wujudnya menarik baunya busuk sekali. Atau bila prenjak itu, ia merasa prenjaklah yang terbaik di antara para burung. Gagak pemakan daging, sungguh binatang dengan perilaku yang menjijikkan.
Namun, bunga pagi tak menarik perhatian Raden Kudamerta.
Bayangan yang terjadi di malam sebelumnya justru menyita perhatian pangeran tampan yang selalu mencuri perhatian itu.
Raden Kudamerta duduk termangu di selasar istana sambil
memandang kuda-kuda yang dibiarkan merumput di alun-alun. Nyeri di dadanya masih terasa, apalagi semalam dengan keadaan masih belum sembuh, ia memaksakan diri hadir di Padas Payung. Apa yang ia saksikan di tempat itu mengubah cara pandangnya pada sosok Cakradara.
Dendamnya kepada pesaing itu agak mencair. Terkait pembunuhan-pembunuhan yang terjadi dan menimpa pamannya, juga melukai dadanya, Cakradara agaknya tidak bisa disalahkan.
Satu soal lagi yang juga mencuri perhatian Raden Kudamerta, siapa lagi kalau bukan Dyah Menur. Memikirkan Menur, Raden Kudamerta lemas dan lunglai. Rindu dendamnya kepada Dyah Menur tidak bisa ditahan lagi. Meski tahu Dyah Menur berada pada jarak dekat karena 468
Gajah Mada berada di lingkungan istana itu, Raden Kudamerta tidak tahu bagaimana cara untuk berbicara dengannya.
"Aku tidak bahagia dengan keadaan ini," Raden Kudamerta
mengeluh. "Aku benar-benar tersiksa. Apa salahnya aku membatalkan perkawinanku. Tak seharusnya aku silau oleh kedudukan sebagai suami seorang ratu."
Raden Kudamerta yang melamun itu terkejut manakala seorang emban datang mendekat membawa nampan. Tanpa banyak bicara dan bahkan melakukannya sambil menunduk, emban itu meletakkan minuman dan beberapa jenis buah-buahan ke atas meja. Emban itu melaksanakan tugasnya dengan menunduk, tak sekalipun ia menengadah memberi kesempatan Raden Kudamerta membaca raut mukanya. Raden Kudamertalah yang kemudian kebingungan.
Raden Kudamerta nyaris menyebut nama emban itu, tetapi beban yang demikian berat itu harus disembunyikan rapat-rapat. Mulutnya terkunci. Hasrat tak sekadar memanggil itu harus ditahan dengan sekuat tenaga karena Dyah Wiyat berada di ujung tempat itu pula sedang sibuk membaca kakawin tulisan seorang empu yang hidup pada masa Singasari.
Kesibukan yang harus ia lakukan selanjutnya adalah berusaha dengan sekuat tenaga mengikat jantungnya agar tidak bergerak liar.
"Silakan, Raden," emban itu mempersilakan.
Raden Kudamerta menelan ludah. Denyut jantungnya bagaikan akan berhenti. Tentu, karena emban itu istrinya!
Emban Sekar Tanjung atau Dyah Menur Hardiningsih sama saja.
Bahkan jika ia mengganti nama seribu kali sehari pun baginya tetap sama, istrinya. Dyah Menur yang telah memberi arti kebahagiaan sejati.
Sebaliknya, jika ada nama Dyah Menur, namun dia orang lain maka tidak ada gunanya. Demikian pula andai Sekar Kedaton Rajadewi Maharajasa mengganti nama menjadi Dyah Menur, tak berarti bisa hadir dengan rasa dan pesona yang sama seperti Dyah Menur istrinya.
Raden Kudamerta akan bangkit sambil mencari kesempatan untuk berbicara, tetapi sekali lagi dan sekali lagi peluang itu tertutup. Peluang Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 469
itu belum ia dapat. Bersandiwara dengan bersikap seolah tak saling mengenal, sungguh sangat berat dan menyakitkan.
Raden Kudamerta memerhatikan jejak langkah istrinya. Dyah Menur yang mendekat Sekar Kedaton Dyah Wiyat bersimpuh tak jauh dari Sekar Kedaton itu. Senyum Dyah Wiyat adalah senyum yang resik, senyum yang ramah tanpa merendahkan. Namun, dengan suka hati Dyah Menur menempatkan diri pada derajat lebih rendah. Ia rela untuk tidak berdiri sama tinggi. Ia ikhlas beringsut untuk mendekat atau menjauh meski perempuan di depannya itu, ia punya segumpal alasan untuk membencinya, bagaimana tidak, karena ia merebut suaminya.
"Hamba menghadap, Tuan Putri. Barangkali Tuan Putri berkenan memberi perintah kepada hamba."
Sekar Kedaton yang sedang larut pada kakawin yang dibacanya berbalik.
"Kamu bisa membaca, Sekar Tanjung?" tanya Sekar Kedaton.
Dyah Menur menggeleng untuk menutupi jati diri.
"Hamba tidak bisa membaca, Tuan Putri," jawabnya.
Dyah Wiyat sangat terpengaruh oleh jawaban itu. Bahkan ternyata untuk bisa membaca atau menulis ada yang tidak mendapat kesempatan menguasainya. Padahal, ada banyak hal yang dapat dipelajari dan diperbincangkan dari kitab yang dipegangnya.
"Kamu tidak bisa menulis?" ulang Dyah Wiyat.
"Hamba tidak bisa menulis. Waktu kecil tak ada orang yang mengajari hamba untuk menulis. Untuk nama hamba sendiri pun, hamba tak bisa."
Dyah Wiyat memutar tubuh ketika melihat suaminya memerhatikan.
Dyah Menur Hardiningsih merapatkan kedua telapak tangannya dalam sikap menyembah. Melalui sikapnya itu, Dyah Menur meminta perhatian.
"Hamba mohon izin menemani Emban Prabarasmi untuk
berbelanja ke pasar, Tuan Putri," kata Dyah Menur yang kini terbiasa dengan panggilan Tanjung.
470 Gajah Mada "Berbelanja?" ulang Dyah Wiyat.
"Hamba, Tuan Putri," jawab Dyah Menur.
Wajah Sekar Kedaton mendadak berbinar. Sebuah gagasan mletik di kepala.
"Bagus. Aku ikut," kata Dyah Wiyat.
Dyah Menur terkejut menghadapi kehendak Dyah Wiyat yang tak terduga itu. Namun, keinginan Sekar Kedaton tidak mungkin dicegah karena yang demikian telah menjadi sifatnya. Prabarasmi yang mendapat laporan segera menghubungi prajurit pengawal istana. Pimpinan pengawal yang sedang bertugas jaga segera menghadang.
"Ampun, Tuan Putri," prajurit itu menyembah.
"Ada apa, Lurah Hestiwiro?" balas Dyah Wiyat.
"Apakah benar Tuan Putri akan ke pasar?"
Rajadewi Maharajasa menarik napas sedikit agak larut. Baru saja keinginan itu terlontar, dalam waktu cepat para prajurit pengawal istana sudah tahu.
"Tidak bisakah aku dibebaskan sekejap saja?" tanya Sekar Kedaton.
"Tak boleh, Tuan Putri," jawab Hestiwiro. "Untuk sementara karena keadaan belum aman, Tuan Putri harus berada dalam pengawalan atau belum perlu pergi ke mana-mana. Tugas kami para prajurit adalah mengamankan Tuan Putri dan menjamin jangan sampai kejadian adanya orang berniat membunuh Tuan Putri terulang lagi. Beberapa hari yang lalu Sri Baginda terbunuh, lalu kejadian kiriman buah mangga dan ular.
Atas perintah Patih Daha Gajah Mada, kami harus mencegah jangan sampai Tuan Putri pergi."
"Itu sama saja dengan aku terpenjara."
Namun, Hestiwiro mempunyai jawaban yang tidak kalah tangkas,
"Itu lebih baik daripada Tuan Putri dibunuh orang."
Sekar Kedaton memandang Hestiwiro dengan tajam.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 471
"Jadi, kamu melarangku?"
"Hamba, Tuan Putri."
Sekar Kedaton Dyah Wiyat terpaksa harus mengalah setelah beberapa saat ia menimbang.
"Baiklah, kalau begitu aku batalkan," kata Dyah Wiyat.
Setelah menyembah, Prajurit Hestiwiro kembali ke penjagaan tempat ia dan beberapa temannya melaksanakan tugas mengamankan istana.
Dyah Wiyat berbalik. "Aku pinjam pakaianmu," ucap Sekar Kedaton.
Dyah Menur terkejut dan mengalami kesulitan mencerna permintaan itu.
"Pinjami aku pakaianmu, makin jelek makin baik."
"Maksud, Tuan Putri?" tanya Dyah Menur Sekar Tanjung.
"Kalau pengawal istana melarangku, ya sudah, tetapi saat ini aku benar-benar ingin berbelanja ke pasar. Dengan aku menyamar, tak seorang pun yang mengenal aku lagi. Ayolah."
Dyah Menur merasa ragu, "Pakaian hamba jelek, Tuan Putri."
"Tidak masalah. Justru makin jelek makin baik. Aku ingin kita ke pasar hanya berdua. Bahkan Emban Prabarasmi pun jangan sampai tahu."
Dyah Menur merasa tak punya pilihan lain. Dyah Menur tidak membutuhkan waktu terlalu lama untuk mengambil pakaian yang dikehendaki Sekar Kedaton Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa. Pada dasarnya Dyah Menur tak memiliki pakaian yang jelek. Sebagai istri Raden Kudamerta tercukupi semua kebutuhan Dyah Menur. Itu sebabnya, Dyah Menur terpaksa mengeluarkan pakaian kumal yang ia simpan secara khusus dan diperlakukan dengan cara khusus. Pakaian jelek itu justru kenangan yang tidak bisa dinilai. Pakaian jelek itulah satu-satunya pakaian peninggalan ibunya yang masih tersimpan. Bila rindu kepada ibunya, 472
Gajah Mada Dyah Menur mengeluarkan pakaian itu dan menciuminya. Pakaian itu meski kumal, punya kesanggupan memaksa Dyah Menur menangis.
"Silakan, Tuan Putri," Dyah Menur menyerahkan pakaian itu kepada Rajadewi Maharajasa.
Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa menahan tawa.
"Ini pakaianmu" Jelek sekali."
Dyah Menur tersenyum. "Hamba, Tuan Putri. Pakaian ini bukan milik hamba, tetapi milik mendiang ibu hamba. Ini pakaian paling jelek bila Tuan Putri berkenan."
Hanya berdua di dalam bilik dibantu Dyah Menur, Maharajasa berdandan menyamarkan diri. Meski telah mengenakan pakaian kumal tetap saja Dyah Wiyat terlihat sebagai dirinya. Wajahnya sangat mudah dikenali. Di permukaan air dalam jambangan yang dengan khusus digunakan untuk berkaca, Sekar Kedaton Dyah Wiyat memerhatikan bayangan wajahnya. Melihat jambangan itu, Dyah Wiyat tak mampu menyembunyikan senyum.
"Meski dengan dandanan begini, orang masih saja mengenaliku,"
kata Dyah Wiyat. "Menurut hamba, rambut Tuan Putri harus diacak sampai kumal.
Lalu, wajah Tuan Putri harus digelapkan," kata Dyah Menur.
Dyah Wiyat berbalik. "Kamu bisa membuatku seperti itu?" tanya Dyah Wiyat.
"Apabila Tuan Putri mengizinkan."
"Baik, lakukanlah."
Dyah Menur ternyata mampu membuktikan apa yang dikatakannya.
Menggunakan peralatan bersolek yang ada, di antaranya celak penghitam tepi mata dan memanfaatkan bunga pacar banyu maka berubah wajah Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 473
Dyah Wiyat menjadi sosok lain sama sekali. Dyah Wiyat berniat melihat bagaimana perubahan wajahnya di permukaan air dalam jambangan, namun Dyah Menur mencegah melakukan itu dan menyerahkan cermin.
"Apa ini?" "Cermin, Tuan Putri."
Sekar Kedaton terkejut. Benda bernama cermin ia sudah pernah mendengar ceritanya, tetapi belum pernah melihat wujudnya. Dengan benda itu Dyah Wiyat memerhatikan pantulan dirinya sendiri. Dyah Wiyat terbelalak karena seumur-umur, itulah untuk pertama kalinya ia bisa melihat wajahnya dengan amat jelas.
"Jagad Dewa Batara," desisnya.
"Kenapa, Tuan Putri?" tanya Dyah Menur.
"Benda ini, ini cermin bukan?"
"Benar, Tuan Putri."
Dyah Wiyat membolak-balik benda bernama cermin itu dengan segenap rasa takjub yang dimilikinya. Jawaban atas rasa penasarannya diperolehnya setelah sekian lama bertanya-tanya. Berkaca di permukaan air sebagaimana selama ini ia lakukan tidak memberi kepuasan hati.
Gambar yang dipantulkan bergelombang, apalagi bila permukaan air itu bergerak karena angin.
"Bukan main," desis Dyah Wiyat dengan rasa kagum. "Bagaimana kamu bisa memperoleh benda seperti ini?"
Dyah Menur merapatkan dua telapak tangannya, "Cermin itu pemberian mendiang suami hamba yang membeli dari orang
mancanagara yang berlayar di Laut Jawa."
Jawaban itu membuat Dyah Wiyat kaget.
"Mendiang suamimu" Jadi, kamu sudah bersuami?"
Dyah Menur menghela napas agak panjang.
474 Gajah Mada "Dan mati, Tuan Putri," Dyah Menur menyempurnakan.
Hening yang mengalir dimanfaatkan Dyah Wiyat Rajadewi
Maharajasa untuk melanjutkan rasa kagumnya terhadap benda bernama cermin itu. Bagi Dyah Wiyat, cermin benar-benar benda yang amat berharga, bahkan jauh lebih berharga dari emas atau perak. Di dalam hati segera muncul keinginannya untuk bisa memiliki benda itu. Ditukar dengan nilai berapa pun ia mau.
"Wajahku jelek," kata Dyah Wiyat tidak bisa menyembunyikan tawa renyahnya.
"Jika coreng-moreng di wajah Tuan Putri dibersihkan maka Tuan Putri akan menjadi cantik kembali," balas Dyah Menur.
"Boleh aku beli benda ini?" tanya Dyah Wiyat berbelok tiba-tiba.
"Tidak usah dibeli, Tuan Putri. Hamba persembahkan cermin itu untuk Tuan Putri."
Begitu senang Dyah Wiyat menerima hadiah itu yang menyebabkan tanpa keraguan Dyah Wiyat mendekap Dyah Menur dan memeluknya.
Dengan hati-hati benda bernama cermin itu kemudian disimpan dalam kotak kayu berukir dalam lemari yang di tempat itu pula Dyah Wiyat menyimpan berbagai perhiasan yang menjadi miliknya.
"Ayo, kita berangkat," kata Dyah Wiyat.
"Sebentar, Tuan Putri," kata Dyah Menur. "Hamba akan menambah warna hitam di gigi Tuan Putri."
Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa tertawa terkial ketika menggunakan warna hitam Dyah Menur mengubah tampilan giginya menjadi keropos.
"Aku benar-benar berubah. Kali ini aku yakin tak seorang pun yang mengenal aku," kata Dyah Wiyat sambil dengan amat takjub terus memandangi bayangannya di permukaan cermin.
Sungguh tak ada yang menyangka, bahkan prajurit yang menjaga pintu bagian belakang istana kiri tak menyangka. Mereka mengira dua Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 475
perempuan yang berkalung samir itu abdi dalem istana. Bila mereka tahu salah seorang dari perempuan itu Sekar Kedaton, boleh jadi mereka akan pingsan. Keamanan Sekar Kedaton adalah tanggung jawab mereka.
Gajah Mada yang menjalankan tugas sebagai panglima telah menekankan agar para prajurit benar-benar menjaga keselamatan Sekar Kedaton. Jika sampai Dyah Wiyat mengalami celaka atau ditimpa bencana maka para pengawal itu akan dijatuhi hukuman yang sangat berat.
Begitu ringan Dyah Wiyat mengayunkan kakinya dan begitu gembira hatinya. Pergi ke pasar bukanlah hal yang luar biasa bagi Dyah Wiyat. Ia telah melakukannya berulang kali, tetapi secara utuh tampil sebagai Dyah Wiyat yang dikawal dengan amat ketat. Kali ini ia punya peluang untuk berbuat sesuka hatinya karena tak seorang pun yang akan mengenalinya.
"Gila, kali ini aku benar-benar bahagia," lugas Dyah Wiyat meletupkan isi hatinya.
"Bukankah Tuan Putri saat ini sebenarnya sedang bahagia?"
Dyah Wiyat yang mengayun langkah lebar menyempatkan menoleh.
"Maksudmu?" "Menurut hamba, saat ini Tuan Putri sedang berbahagia. Tuan Putri menjadi seorang istri."
Dyah Menur terheran-heran melihat Dyah Wiyat menggeleng.
"Kenapa, Tuan Putri?" tanya Dyah Menur Sekar Tanjung.
"Aku tidak mencintainya. Satu-satunya yang aku suka dari suamiku hanyalah kemampuannya meniup seruling. Suamiku tidak jujur padaku, ia telah beristri."
Dyah Menur merasa jantungnya akan berhenti berdetak.
"Tetapi itu bukan salahnya, bukan salah Kakang Kudamerta. Aku tidak akan menyalahkan Kakang Kudamerta. Aku yang harus
menyalahkan diri sendiri karena... kamu bisa menyimpan rahasia?"
Dyah Menur mengangguk. 476 Gajah Mada "Ada lelaki lain yang kucintai, amat kucintai dan kepadanya aku berharap akan bisa merasakan indahnya hidup. Mimpi itu tidak bisa aku gapai karena dia adalah Ra Tanca. Ra Tanca sendiri sudah mati, dibunuh Gajah Mada karena Ra Tanca membunuh Kakang Prabu Jayanegara."
Dyah Menur lebih terperanjat lagi. Dengan pandangan mata secara langsung, Dyah Menur melihat mata Sekar Kedaton berkaca-kaca.
"Ternyata tak seperti yang aku duga," kata hati Dyah Menur.
Namun, dengan segera Dyah Wiyat mengubah diri menjadi riang lagi. Tidak dibiarkan duka itu menyelinap terlalu lama. Dyah Wiyat mengayun langkah sedikit lebih lebar. Semula Dyah Menur selalu menempatkan diri berjalan di belakangnya, namun Dyah Wiyat tak membiarkan Dyah Menur melakukan itu. Dyah Wiyat segera
menggandeng tangannya dan diajaknya berjalan bersebelahan. Dalam keakraban yang menjelma, Dyah Wiyat tak menganggap Sekar Tanjung sebagai abdi emban, tetapi lebih sebagai seorang sahabat karib.
"Ingat, di pasar kamu jangan memanggilku Tuan Putri. Juga jangan sekalipun menyembah. Kamu panggil aku Dewi."
"Hamba, Tuan Putri," jawab Dyah Menur.
Dyah Menur dan Rajadewi Maharajasa berhasil melintasi penjagaan tanpa menarik perhatian. Mereka lakukan itu sambil menahan napas, namun setelah lewat jarak cukup jauh, dengan bersama-sama tawa mereka meledak.
"Gila. Ini benar-benar gila," Dyah Wiyat meletup.
Dengan langkah amat ringan bahkan adakalanya dilakukan sambil berkejar-kejaran, Dyah Wiyat dan Menur mengayun langkah ke pasar daksina.175 Lewat ruas jalan yang sama tampak beberapa orang berjalan ke arah yang sama. Jalanan terlihat ramai oleh tak hanya orang yang berlalu lalang, tetapi juga oleh beberapa kereta kuda yang mencari penumpang.
175 Daksina, Jawa, selatan
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 477
Dyah Wiyat boleh jadi merasa yakin perubahan penampilannya tak ada yang mengenali dan memang tak lagi bisa dikenali. Akan tetapi, bila sejak keluar dari pintu ada orang yang membayang-bayangi perjalanan mereka justru karena Dyah Menur. Orang itu lelaki yang sudah bisa dibilang tua karena usianya telah berada di enam puluhan tahun.
Wajahnya tak terlihat dengan jelas karena mengenakan caping yang tenggelam menutupi sebagian wajahnya.
Dengan langkah kaki pincang, atau tepatnya dengan sengaja dibuat pincang orang itu berjalan mengikuti dari belakang sambil tangan kanannya menggerakkan tongkat seolah menuntun arah langkahnya.
Dyah Menur tetap tak sadar adanya bahaya yang mengintai. Lelaki bercaping itu berjalan makin dekat. Siapa pun orang itu, ia telah mencabut pisau tajam dan menggenggamnya menggunakan tangan kanan, sementara tongkat kayu penuntunnya pindah ke tangan kiri. Orang itu berencana memaksa Dyah Menur untuk mengikutinya dan apabila perempuan yang menjadi sasarannya itu tidak mau, tersedia pilihan lain, menenggelamkan pisau itu ke tubuh Dyah Menur.
Akan tetapi, betapa terkejut orang bercaping itu. Sebuah sentuhan pada lengan kanannya memaksanya menoleh.
"Kisanak, aku ada perlu denganmu," kata orang itu.
"Siapa kamu?" balas orang itu.
"Apakah Kisanak bernama Rangsang Kumuda?"
Orang yang disebut menggunakan nama Rangsang Kumuda itu
terkejut. "Aku bukan Rangsang Kumuda, kamu siapa?"
"Namaku Pradhabasu," jawab orang di depannya.
Nama Pradhabasu rupanya sebuah nama yang banyak dikenal.
"Bhayangkara Pradhabasu?"
Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya," jawab Pradhabasu.
478 Gajah Mada "Kamu mau apa?" tanya Rangsang Kumuda dengan gelisah.
"Kisanak ikut aku. Kau tidak bisa menolak karena ada cukup banyak anak buahku yang mengawasi Kisanak. Kaulihat orang yang berdiri di dekat kuda putih itu" Dia juga temanku. Jadi, kau tak bisa lari ke mana pun."
"Kau salah orang. Aku bukan Rangsang Kumuda."
Pradhabasu tersenyum. "Kau bukan Rangsang Kumuda. Baiklah, kalau kau memang bukan Rangsang Kumuda buktikan itu nanti di Balai Prajurit, di hadapan orang-orang yang memeriksa dirimu. Kalau kamu bisa membuktikan dirimu bersih, jangan khawatir pasti akan aku lepaskan."
Pradhabasu mungkin punya kehendaknya sendiri, namun orang yang diduga Rangsang Kumuda itu tidak mau dipaksa menyesuaikan diri dengan kehendak orang lain meskipun orang itu adalah Pradhabasu, mantan Bhayangkara yang menjadi buah bibir banyak orang. Juga meski Pradhabasu mengaku tak hanya sendiri di tempat itu, ada banyak prajurit Bhayangkara yang siap menangkap dirinya. Orang yang diduga Rangsang Kumuda yang telah menggenggam pisau segera mengayunkan senjatanya dengan arah menusuk langsung ke tubuh Pradhabasu.
Akan tetapi, Pradhabasu telah siaga dan memperkirakan hal itu akan terjadi. Bersamaan dengan orang bercaping itu mengayunkan tangan, pada saat yang sama Pradhabasu menggeliat menangkap lengannya dan menelikung ke belakang.
Orang yang diduga Rangsang Kumuda tidak mau ditangkap dan memberikan perlawanan. Akan tetapi, orang itu tidak mungkin melawan Pradhabasu yang lebih muda. Ibarat nafsu besar, namun tenaga kurang, perlawanan yang diberikan pun usai. Apa yang terjadi segera menjadi tontonan karena ada banyak orang di tempat itu.
Pucat pasi Dyah Menur yang ikut menyaksikan dan berhasil mengenali siapa orang yang sedang diikat tangannya menggunakan tali janget, juga mengenali siapa orang yang meringkus orang itu. Rajadewi Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 479
bingung melihat Pradhabasu tersenyum kepadanya. Namun, Dyah Wiyat segera sadar, senyum Pradhabasu diarahkan kepada Sekar Tanjung bukan kepada dirinya. Dyah Wiyat menjadi terheran-heran melihat Sekar Tanjung pucat pasi, telapak tangan yang dipegangnya terasa dingin.
"Kau, kenapa?" tanya Dyah Wiyat.
Namun, Dyah Menur Sekar Tanjung tidak menjawab.
Meski menjadi tontonan orang banyak, tak seorang pun yang bisa menebak apa yang baru terjadi. Orang-orang itu saling bertanya di antara mereka masing-masing, namun tak seorang pun bisa memberi jawaban yang benar.
Dengan cekatan mantan Bhayangkara Pradhabasu menyeret orang yang baru diringkus itu dan dibawa mendekat ke orang yang menunggunya. Dengan cekatan orang yang menunggu membantu menaikkan tubuh tawanan yang telah terikat itu ke atas kudanya. Kuda yang amat menyolok mata karena warnanya yang putih.
Dyah Wiyat mengenali orang itu, matanya terbelalak.
"Hah?" desisnya. "Tak mungkin dia."
Namun, kesempatan untuk meyakinkan bahwa orang kedua selain Pradhabasu itu benar sebagaimana yang ia duga segera berakhir karena ia telah memutar kuda dan membelakanginya.
"Akan kaubawa langsung ke Balai Prajurit?" bertanya Pradhabasu.
Penunggang kuda putih, namun tidak sedang berjubah putih itu menggeleng.
"Aku pinjam dulu," jawabnya. "Akan kuhajar dulu sampai
berantakan untuk mengorek keterangan dari mulutnya."
Pradhabasu tertawa sambil melambaikan tangan saat penunggang kuda putih itu membawa kudanya berderap ke arah selatan untuk kemudian menghilang karena membelok ke barat. Pradhabasu yang melambaikan tangan itu tiba-tiba berbalik dan masih melambaikan tangan. Dyah Wiyat yang membalas terkejut karena bukan pada dirinya 480
Gajah Mada lambaian tangan Pradhabasu itu ditujukan, tetapi kepada Sekar Tanjung yang sedang menemaninya. Pradhabasu berlari dan melompat ke atas kudanya. Sejenak setelah itu debu mengepul ditinggalkan kudanya yang melesat membawa Pradhabasu ke arah lain.
"Kau mengenal Pradhabasu?" bertanya Dyah Wiyat.
Dyah Menur Sekar Tanjung mengangguk.
"Siapa orang yang ditangkap tadi?" lanjut Dyah Wiyat.
Dyah Menur Sekar Tanjung tentu mengenali orang yang diringkus itu. Orang itulah yang selama ini menjadi mimpi buruknya. Orang itu yang menyebabkan hidup yang dijalaninya kacau, tak hanya kehilangan suami, tetapi hidupnya juga menderita.
"Aku tidak tahu."
Akan tetapi, kejutan berikutnya datang lagi. Orang-orang yang berbelanja di pasar berhamburan ke tepi jalan untuk melihat siapa yang lewat.
"Para Bhayangkara, dari mana mereka itu?" teriak seseorang.
Derap sekitar dua puluhan ekor kuda tentulah riuh sekali. Dari dandanannya atau dari umbul-umbul yang dibawa langsung bisa diketahui mereka orang-orang dari pasukan khusus Bhayangkara. Namun, yang membuat semua orang yang menonton terheran-heran adalah wajah segenap Bhayangkara itu dihitamkan dengan langes atau jelaga. Lambaian tangan penuh persahabatan yang diberikan para Bhayangkara itu berbalas, termasuk Dyah Wiyat dan Sekar Tanjung ikut membalas lambaian tangan itu. Yang paling menarik perhatian, di antara para Bhayangkara itu ada seekor kuda yang ditunggangi dua orang, salah seorang terikat tangannya di belakang. Orang itu pun wajahnya dihitamkan.
"Yang aku dengar dari prajurit, Gajah Mada memerintahkan kepada pasukan Bhayangkara untuk menggempur gerombolan penjahat di Karang Watu," Dyah Wiyat berbisik.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 481
Sekar Tanjung mengerutkan kening. Penyebutan nama Karang Watu menyita perhatiannya. Sekar Tanjung mengetahui nama itu, bahkan pernah dipaksa untuk ikut ke tempat itu.
"Akan dibawa ke mana tawanan itu, Tuan Putri?" bisik Sekar Tanjung.
"Bagaimana kalau kita batalkan rencana kita berbelanja. Kita bisa melakukan lain kali. Kita pergi ke Balai Prajurit untuk menyaksikan apa yang terjadi."
"Baik, aku sependapat, Tuan Putri," jawab Sekar Tanjung.
Jarak pasar daksina dan Balai Prajurit bukanlah jarak yang pendek dan pasti tidak secepat naik kuda. Dyah Wiyat segera melambaikan tangan kepada kusir kereta kuda yang datang mendekat mencari penumpang di pasar itu.
"Antar kami ke Balai Prajurit," kata Dyah Wiyat tanpa menawar.
Kereta kuda yang lazim disebut dokar atau andong itu melaju. Dyah Wiyat merasa tidak sabar ingin segera sampai ke tempat tujuan, namun ditahannya ketidaksabaran itu. Berhasil mendapatkan tumpangan kereta kuda itu masih jauh lebih bagus daripada berjalan kaki.
42 Balai Prajurit ramai sekali. Berita mengenai ditangkapnya pemimpin orang-orang yang berniat melakukan makar dengan cepat menyebar. Ketika melintas pasar daksina prajurit Bhayangkara yang membawa pulang pimpinan pemberontak yang tertangkap di Karang 482
Gajah Mada Watu maka dengan segera berita itu menyebar ke penjuru kota. Lebih-lebih ketika hari merambat siang tawanan dalam jumlah lebih banyak diangkut dengan kereta kuda menuju kotaraja di bawah pengawalan gabungan pasukan Jalapati dan Sapu Bayu. Menurut kabar, yang tertangkap sebenarnya lebih banyak lagi, namun masih menempuh perjalanan dengan berjalan kaki.
Gajah Mada sedang berada di Antawulan saat mendapat beberapa laporan dari Lembu Pulung. Bhayangkara Gagak Bongol yang memimpin kerja besar pencandian dan pengarcaan Jayanegara di beberapa tempat sekaligus ikut menyimak pembicaraan antara Gajah Mada dan lembu Pulung, termasuk Bhayangkara Gajah Geneng dan Macan Liwung yang datang menyusul. Dengan ringkas dan jelas Lembu Pulung menuturkan apa yang terjadi.
"Begitulah, Kakang. Dalam penyergapan itu kami berhasil
menangkap Raden Panji Rukmamurti yang menjadi pimpinan gerakan makar itu. Namun, tidak berhasil menangkap Rangsang Kumuda," kata Lembu Pulung.
"Tak apa. Rangsang Kumuda atau Pakering Suramurda sudah mati.
Semalam kami hampir berhasil menyergapnya hidup-hidup, tetapi ada orang tak dikenal yang mendahului melepas anak panah. Siapa pembunuhnya, gelap gulita. Terus, siapa Raden Panji Rukmamurti itu"
Bangsawan dari mana dia?"
Bhayangkara Lembu Pulung menggeleng.
"Aku belum berhasil mengorek keterangan dari orang itu, Kakang Gajah Mada. Ia lebih banyak membungkam mulut tak mau bicara sepatah kata pun. Namun, usianya memang masih muda, bahkan bisa dibilang belia."
Macan Liwung meminta perhatian.
"Ada sebuah keterangan yang ingin aku sampaikan, Kakang. Baru saja masuk sebuah laporan kepadaku. Pradhabasu menangkap orang yang diduga sebagai Rangsang Kumuda di pasar daksina."
Gajah Mada mencuatkan alis.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 483
"Rangsang Kumuda?"
"Ya," jawab Macan Liwung.
Gajah Mada terlihat berpikir keras menghubungkan berbagai keterangan yang telah diketahuinya.
"Kaumampir ke Bale Gringsing?"
Macan Liwung mengangguk. "Ya," jawabnya.
"Bagaimana keadaan Gajah Enggon?" lanjut Gajah Mada.
Berpikir Gajah Enggon, Bhayangkara Macan Liwung sungguh
merasa sangat prihatin. Cemas bakal kehilangan sahabat itu untuk selamanya makin mengental. Terlalu banyak suka dan duka yang dijalani bersama dengan Gajah Enggon, yang ke depan akan selalu membayangi keberhasilan Gajah Mada di banyak bidang.
"Tidak ada perubahan, Kakang," Macan Liwung menjawab. "Tadi aku sempat mampir dan melihatnya masih berbaring dengan ditunggui Nyai Lengger."
Lembu Pulung batuk menyela perhatian.
"Sebaiknya Kakang segera melakukan pemeriksaan orang-orang yang telah kita tangkap itu. Sidang untuk pemeriksaan mereka menurutku perlu diselenggarakan sekarang juga," kata Lembu Pulung.
Gajah Mada mengangguk. Gajah Mada yang duduk di atas bangku kayu segera bangkit menyempatkan memerhatikan geliat kerja keras yang sedang berlangsung. Semua orang tidak ada yang tidak bersimbah peluh, semua berkeringat, semua bekerja dengan riang gembira. Sang Prajaka terselip di antara lalu-lalang banyak orang. Bocah lasak anak angkat Bhayangkara Gagak Bongol sibuk dengan dunianya sendiri, dunia angan-angan yang di sana ia tidak peduli pada apa pun yang terjadi di sekitarnya.
Bila bocah itu memandang ke satu titik, petir sekalipun tidak akan menggeser arah pandangnya. Dengan penuh pengabdian terdorong oleh 484
Gajah Mada keinginan menebus salah yang diperbuatnya, Gagak Bongol mencu-rahkan kasih sayangnya kepada bocah itu.
"Bagaimana dengan bocah itu?" tanya Gajah Mada.
"Tak masalah," jawab Gagak Bongol. "Aku bisa mengatasi. Kini, akulah yang kesulitan melepas perhatianku kepada bocah itu."
Gajah Mada menepuk-nepuk pundak Gagak Bongol sebelum
berpamitan pergi meninggalkan Antawulan. Orang-orang yang bekerja keras di makam itu serentak melambaikan tangan ketika rombongan kuda itu berderap menuju Balai Prajurit.
43 Berita akan diselenggarakannya sidang untuk memeriksa para petualang yang berniat makar tersalur melalui udara yang bergetar oleh hantaman gada sebesar paha yang diayunkan ke bende Kiai Samudra.
Gelegar suaranya memekakkan telinga, apalagi suara bende itu masih disusul dengan suara genderang yang ditabuh berderap, ditambah paduan suara sangkakala yang saling melengkapi.
Balai prajurit penuh sesak dan berjejal-jejal. Berita ditangkapnya para petualang yang berangan-angan menjungkalkan Majapahit dan berniat mendirikan negara baru menggunakan lambang buah maja yang dibelit ular menyebar ke mana-mana. Berita itu juga mengisap orang-orang yang bekerja di Antawalan. Semua orang berdatangan untuk melihat, siapa sebenarnya orang yang bertanggung jawab terhadap pembunuhan beruntun yang terjadi bersamaan dengan waktu mang-Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 485
katnya Sang Prabu Jayanegara. Gagak Bongol yang memimpin kegiatan di Antawulan ikut terpancing rasa ingin tahunya dengan hadir pula di Balai Prajurit, ikut berdiri berdesak-desakan dengan penonton yang lain.
Bahkan berita yang sampai pula ke telinga Ibu Ratu Rajapatni mengusik dan memancingnya untuk datang ke Balai Prajurit. Dengan pengawalan yang sangat ketat Ibu Ratu datang dengan ditandu, bahkan datang lebih dulu dari rombongan Patih Daha Gajah Mada, yang disusul sejenak kemudian oleh Mapatih Empu Krewes yang datang dengan berjalan kaki tanpa pengawalan siapa pun. Arya Tadah menempatkan diri duduk di sebuah kursi yang disiapkan dengan tergesa-gesa oleh seorang prajurit, sementara untuk Ibu Ratu telah disiapkan dampar khusus dengan dipagari beberapa orang prajurit bersenjata lengkap. Para Ibu Ratu yang lain tidak tampak hadir.
Raden Kudamerta yang tergoda oleh rasa ingin tahu, berdiri di antara prajurit Bhayangkara yang duduk mengelompok, bahkan beberapa orang di antaranya masih dengan wajah yang dihitamkan jelaga. Jelaga dilulurkan pada wajah itu bahkan dirasa menggugah semangat. Para Bhayangkara merasa lebih sangar dan gagah dengan wujud seperti itu, meski sebenarnya orang-orang Karang Watu pemilik penampilan itu.
Melihat Raden Kudamerta serasa tidak lengkap karena tidak melihat istrinya. Meski dicari ke mana pun tak terlihat wajah Sekar Kedaton istana kiri. Semua orang lalu menduga, apa yang sedang berlangsung di Balai Prajurit itu mungkin tak menarik perhatian Dyah Wiyat, berbeda dengan kehadiran Sri Gitarja yang berdiri bersebelahan dengan suaminya.
Di antara para penonton yang berjejal, sejatinya terselip dua orang perempuan yang tidak menarik perhatian. Dua perempuan itu, seorang di antaranya jelek sekali wujudnya karena giginya tampak keropos dan hitam. Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa yang tidak sempat
membersihkan diri dan kembali berpakaian semestinya menyimak apa yang akan terjadi dengan penuh perhatian.
Sri Gitarja yang mempunyai nama lengkap Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani memang cantik luar biasa. Wajahnya yang agak pucat justru menjadi daya tarik yang kuat yang mengundang decak kagum 486
Gajah Mada siapa pun. Sebaliknya Raden Cakradara, betapa gagah dan tampan pangeran dari Singasari yang diambil menantu oleh Ratu Gayatri itu.
Dalam hati sebagian orang memuji keberuntungan Raden Cakradara yang beristri demikian cantik, sebaliknya banyak gadis yang merasa cemburu kepada Sri Gitarja yang telah menutup angan-angan mereka bisa memiliki cinta Raden Cakradara.
Prajurit Bhayangkara nyaris lengkap hadir di Balai Prajurit. Mereka duduk-duduk secara terpencar berbaur dengan para prajurit dari kesatuan lain. Haryo Teleng dan Panji Suryo Manduro yang memimpin langsung penyerbuan ke Karang Watu tak mau ketinggalan untuk mengikuti jalannya sidang pemeriksaan yang dipimpin langsung oleh Patih Daha Gajah Mada. Gajah Mada mencari-cari dengan menelusuri semua wajah, tetapi tidak tampak batang hidung Rakrian Kembar. Mungkin karena malu, atau mungkin Panji Suryo Manduro menjebloskannya langsung ke penjara menyebabkan Ra Kembar tak hadir dalam sidang yang sangat mencuri perhatian itu.
Akan tetapi, pusat perhatian tetap tertuju kepada pimpinan gerombolan orang-orang yang berencana makar. Menilik wujudnya yang langsing, pimpinan makar itu pasti masih muda dan boleh jadi berwajah tampan. Raden Panji Rukmamurti yang tak lagi bisa berbuat seenaknya sendiri duduk meringkuk paling depan dengan tangan dan kaki masih terikat. Bagaimana raut wajah pimpinan gerombolan itu masih belum jelas karena masih berlabur hitam jelaga. Lalu, di belakang Raden Panji Rukmamurti, seorang pendukungnya diperlakukan sangat khusus. Orang itu barangkali sangat berbahaya hingga diperlakukan khusus. Tidak hanya tangannya yang diikat, tetapi kakinya juga.
Gajah Mada akan memulai sidang untuk mengadili para petualang itu. Namun, perhatiannya tersita oleh derap kuda yang berpacu kencang.
Derap dua ekor kuda itu sungguh sangat kencang dan mencuri perhatian siapa pun. Gajah Mada harus menunda apa yang akan dikerjakannya karena kuda itu berwarna putih. Warna yang beberapa lama ini menyita perhatiannya, membakar rasa penasarannya. Apalagi, penunggang kuda itu menyamakan warna kudanya dengan mengenakan jubah berwarna Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 487
putih pula. Wajahnya tak terlihat karena tertutup oleh topeng dengan tiga lubang, dua untuk mata melihat dan satu lubang lagi untuk bernapas.
"Bagaskara Manjer Kawuryan," Gajah Mada berdesis.
Untuk selanjutnya, perhatian Gajah Mada tertuju pada kuda kedua di belakang kuda orang berjubah putih itu. Kuda itu membawa orang yang diikat dengan sangat kuat dan diletakkan dalam keadaan tertutup.
Bagaimana wajah orang yang menjadi tawanan itu harus menunggu sampai kain yang digunakan membungkus kepalanya dibuka.
Dua kuda yang datang itu langsung menerobos masuk menyibak orang-orang yang bergerombol. Menghadapi kemungkinan tak terduga, beberapa prajurit segera merentang anak panah mengarah kepada orang itu. Akan tetapi, Gajah Mada mengangkat tangan mencegahnya. Tanpa basa-basi, orang berjubah putih itu menurunkan barang bawaannya.
Tubuh terikat dengan kepala tertutup kain itu diturunkan di depan Patih Daha Gajah Mada.
Yang tidak diduga oleh siapa pun, orang berjubah putih itu menempatkan diri di tengah-tengah halaman pendapa dan bersimpuh untuk memberikan sembahnya kepada Ratu Gayatri. Ratu Gayatri mengangkat tangannya menerima penghormatan itu. Hening yang bergerak sungguh sangat senyap.
"Bagaskara Manjer Kawuryan," ucap Gajah Mada.
"Bagaskara Manjer Kawuryan," jawab orang berjubah putih itu.
Gajah Mada termangu. Gajah Mada berdebar karena merasa
mengenal suara itu, tetapi masih belum yakin.
"Apakah kamu akan tetap menutup wajahmu dengan topengmu
itu, Kisanak" Bagaimana jika aku meminta kau membuka topang supaya kita bisa berbicara secara lumrah. Rasanya aneh berbicara dengan orang mengenakan topeng. Rasanya seperti berbicara dengan hantu," Gajah Mada berbicara.
Kesatria berkuda putih yang menggunakan kalimat sandi Bagaskara Manjer Kawuryan itu memang membuat penasaran Gajah Mada. Rasa 488
Gajah Mada penasaran itu kini akan segera berakhir karena orang itu tidak keberatan dan berniat memenuhi permintaan itu. Dengan tidak perlu tergesa-gesa, kesatria berkuda putih itu membuka topengnya.
Maka betapa terperanjat semua orang. Bumi pun bergoyang. Pohon-pohon bergoyang. Tanah terbelah dan siapa pun terperosok ke dalam bumi yang terbelah. Bhayangkara Jayabaya tak mampu menahan diri untuk tak terpekik, demikian pula dengan Riung Samudra. Bahkan, Ratu Gayatri tak mampu menahan rasa kagetnya.
Di tempat duduknya, Arya Tadah nyaris kencing di celana. Akan tetapi, Patih Mangkubumi Arya Tadah amat menikmati tontonan yang mengejutkan itu.
"Kamu sudah siuman, Gajah Enggon?" Gajah Mada memecah
keheningan. Senopati Gajah Enggon, pimpinan pasukan Bhayangkara yang baru datang itu dengan segera mengumbar senyumnya dan melambaikan tangan kepada Bhayangkara anak buahnya yang menyambut lambaian itu dengan ingar-bingar. Para Bhayangkara dilibas rasa takjub dan bagai menyaksikan sebuah keajaiban. Setidaknya dalam dua hari semua sudah cemas memikirkan nasib Gajah Enggon yang pingsan, kecemasan itu bahkan sampai pada kemungkinan Gajah Enggon yang terkena hantaman batu di kepalanya tak akan siuman lagi, mati.
Bila ada yang tidak kaget melihat Gajah Enggon sudah siuman adalah Dyah Wiyat. Rasa terkejutnya telah lewat, terjadi beberapa saat sebelumnya di pasar daksina. Orang berkuda putih yang menunggu dan kemudian berbicara dengan Pradhabasu di pasar daksina adalah Gajah Enggon.
Bhayangkara Riung Samudra mengusap wajahnya, tangannya basah oleh air mata.
"Gajah Enggon!" tiba-tiba terdengar suara berteriak.
Gajah Enggon menoleh mencari-cari siapa orang yang berteriak itu.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 489
"Kau gila, Gajah Enggon. Akan kubunuh, kau."
Para Bhayangkara tertawa bergelak-gelak melihat Macan Liwung, orang yang melontarkan ancaman pembunuhan sambil mengacungkan pedang itu. Macan Liwung tak mampu menutupi matanya yang berleleran air mata.
Gajah Enggon yang dikira pingsan itu ternyata sudah lama siuman.
Bahkan Gajah Mada ikut terkecoh sampai berlepotan. Di tempatnya, Dyah Wiyat ikut tersenyum menikmati kegembiraan yang datangnya tiba-tiba dan tak terduga itu. Sementara itu, Raden Kudamerta belum bisa meredakan diri dari terbelalak. Di tempatnya berdiri, Raden Cakradara memegang tangan istrinya makin erat. Waktulah yang kemudian melarutkan keadaan itu.
"Jadi, kamu yang membunuh Ajar Langse?" bertanya Gajah Mada.
"Ya," jawab Gajah Enggon tegas. "Kubunuh Ajar Langse karena berencana membunuhku menggunakan racun. Ajar Langse akan melakukan itu atas kehendak Ra Kembar."
Gajah Mada makin memperlebar senyum. Gajah Mada benar-benar merasa senang melihat kehadiran Gajah Enggon kembali ke kancah pengabdian pada bangsa dan negaranya. Di tempatnya berdiri, Gagak Bongol yang memegang tangan Prajaka melambaikan tangan.
Patih Daha Gajah Mada lalu mengalihkan perhatiannya pada onggokan orang yang dibawa Gajah Enggon. Gajah Enggon bergegas mendahului membuka kain yang menutup wajah orang itu dan menghadapkan wajahnya kepada Gajah Mada. Boleh jadi Gajah Mada terkejut, namun ada seorang di antara yang hadir itu yang lebih terkejut.
Orang itu adalah Raden Kudamerta. Ia benar-benar terperanjat, hantaman palu alugora serasa menghajar dan membelah dadanya. Atau, ayunan batu sebesar kepalan menghajar keningnya.
"Siapa orang ini?" tanya Gajah Mada.
"Panji Wiradapa," jawab Gajah Enggon.
Sejengkal setelah Raden Kudamerta terbelalak, Gajah Mada terkejut.
Raden Kudamerta yang kaget bergegas mendekat untuk memastikan 490
Gajah Mada orang itu benar-benar Panji Wiradapa yang dikira telah mati. Raden Kudamerta mendadak merasa tengah dadanya nyeri, ulu hatinya bagai diremas. Beberapa jenak Raden Kudamerta bahkan mengalami kesulitan bernapas. Mata Raden Kudamerta melotot serasa mau lepas.
"Paman Panji Wiradapa" Apa arti semua ini, Paman?" meledak Kudamerta melalui pertanyaan yang dilengkapi mengguncang tangannya.
Namun, Panji Wiradapa tidak mampu membuka mulut. Panji
Wiradapa benar-benar pucat dan tak menyangka nasibnya akan berakhir buruk.
Adalah Ratu Gayatri yang tak mampu menahan diri. Hening
menyergap Balai Prajurit ketika Ratu Gayatri yang membalut tubuh dengan pakaian cara biksuni itu berdiri. Semua orang terkunci mulutnya, semua mulut menggelembung penuh rasa ingin tahu. Para prajurit yang bertugas mengawal Ratu Gayatri menempatkan diri mengawal di kiri, kanan, belakang, dan beberapa berjongkok membelakangi Ratu, amat siaga menjaga keamanannya.
"Jadi, dia Panji Wiradapa yang dikabarkan mati terbunuh?" tanya Ratu Gayatri.
Gajah Enggon menyembah. "Hamba, Tuan Putri," jawab Gajah Enggon. "Orang ini
menggunakan nama Panji Wiradapa yang bukan nama sebenarnya.
Karena di balik nama Panji Wiradapa ada nama Brama Rahbumi yang lenyap lebih dari sepuluh tahun bersamaan sejak Mahapati dihukum mati. Panji Wiradapa juga menggunakan nama lain Rangsang Kumuda.
Ini orangnya, dalang semua kekacauan itu."
Meski merupakan jawaban, namun jawaban itu masih menyisakan pertanyaan yang sulit untuk dipahami.
"Jika Panji Wiradapa adalah pendukung Raden Kudamerta," kali ini Mapatih Arya Tadah yang bangkit memecah keheningan, "mengapa ia mematikan diri sendiri, mengapa ia membunuhi pendukung Raden Kudamerta, bahkan berencana membunuh Raden Kudamerta melalui lemparan pisau itu."
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 491
Pertanyaan Mahapatih Mangkubumi Arya Tadah itulah sebenarnya yang akan dilontarkan Raden Kudamerta. Sungguh ulah pamannya itu tak bisa dinalar dan sulit diterima akal. Raden Kudamerta meraba dada kirinya yang masih terasa nyeri.
"Kenapa, Paman?" Raden Kudamerta menekan. "Kenapa Paman
melakukan semua itu" Kenapa Paman bahkan merencanakan
pembunuhan atas diriku" Untuk apa Paman lakukan semua itu?"
Panji Wiradapa tidak menjawab dan tak berniat menjawab. Adalah Raden Cakradara yang berdiri bersebelahan dengan istrinya merasa ulu hatinya nyeri sekali. Kini terbukti bukan pamannya yang yang bertanggung jawab atas pembunuhan-pembunuhan itu. Meski Pakering Suramurda memang menyimpan rencana jahat, agaknya semua rencana itu belum sempat dilaksanakan. Nasib buruk justru menimpa Pakering Suramurda, malam sebelumnya ia mati dihajar anak panah. Siapa orang yang melepas anak panah itu"
Sangat terganggu oleh pertanyaan itu, Raden Cakradara melepas genggaman tangan istrinya dan bergerak ke depan untuk bisa melihat lebih dekat wujud penjahat yang merupakan tangan kanan Ramapati itu.
"Kau bisa menjelaskan, Gajah Enggon?" tanya Gajah Mada.
"Kuwakili Panji Wiradapa untuk menjawab pertanyaan itu." Gajah Enggon menjawab. "Apa yang dilakukan Panji Wiradapa adalah sebuah fitnah untuk merusak nama Raden Cakradara. Satu per satu orang-orang Raden Kudamerta dibunuh. Orang pertama yang dimatikan adalah dirinya sendiri. Panji Wiradapa mati adalah rekayasa dengan mengorbankan orang lain. Orang itu didandani tidak ubahnya Panji Wiradapa, lalu dibunuh. Disusul oleh kematian berikutnya dan berikutnya yang semua adalah orang-orang Raden Kudamerta. Dengan pembunuhan-pembunuhan itu maka semua orang akan mengarahkan pandangan ke Raden Cakradara sebagai pelakunya. Dengan menghancurkan nama Raden Cakradara, orang ini berharap terbuka peluang bagi Raden Kudamerta untuk menjadi raja. Bila Raden Kudamerta menjadi raja, ia berharap ia yang akan duduk di dampar kepatihan."
492 Gajah Mada Raden Kudamerta merasa dadanya sesak, sementara Raden
Cakradara merasa ulu hatinya makin perih. Menjadi korban fitnah sungguh sangat menyakitkan.
"Tetapi, kenapa Paman Panji Wiradapa kemudian berencana membunuhku?" Raden Kudamerta bertanya langsung kepada Panji Wiradapa dengan amat kecewa.
Pertanyaan itu rupanya mengusik Panji Wiradapa. Orang itu berusaha bangkit untuk memberikan jawaban. Gajah Mada menolong Panji Wiradapa untuk berdiri.
"Aku tidak menyuruh Rubaya untuk membunuhmu, Raden,"
jawabnya. "Aku yakin Rubaya mampu melukaimu tanpa membunuhmu.
Tugas itu yang aku berikan kepada Rubaya. Rubaya mempunyai kemampuan bidik yang luar biasa. Jika aku minta untuk hanya melukai dan jangan sampai mengenai jantung, itulah yang dilakukan. Ia telah melaksanakan tugasnya dengan baik, hanya sayang ia tertangkap. Agar Rubaya tidak banyak bicara, kubunuh dia."
Raden Kudamerta remuk. Kegilaan Panji Wiradapa ternyata
bergerak terlalu jauh. Sebaliknya, betapa mendidih isi dada Raden Cakradara. Dengan napas tersengal Raden Cakradara menempatkan diri berdiri di depan Panji Wiradapa.
"Dan, kaukah yang semalam membunuh Paman Pakering
Suramurda?" Pembunuhan atas Pakering Suramurda yang terjadi di Padas Payung memang membuat Gajah Mada bertanya-tanya, siapa pelakunya. Gajah Mada ikut menunggu lelaki tua itu menjawab. Panji Wiradapa tiba-tiba tertawa terkekeh.
"Apa beda antara aku, Panji Wiradapa, dengan Pakering Suramurda, Raden?" jawab Panji Wiradapa. "Di belakang Raden Kudamerta ada aku yang berusaha keras menempatkan Raden Kudamerta untuk bisa menggapai gegayuhan- nya. Lalu, di belakangmu ada Pakering Suramurda Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 493
yang menyimpan cita-cita yang sama seperti aku. Apa akan kausembunyikan rencana-rencana pamanmu seolah tak pernah terjadi?"
Raden Cakradara terhenyak. Apa yang disampaikan Panji Wiradapa itu benar adanya dan tidak mungkin dibantah. Semalam di Padas Payung, Gajah Mada bahkan telah menyadap pembicaraan antara dirinya dengan pamannya dengan utuh dan langsung. Patih Daha telah tahu semuanya.
Gajah Mada berjalan mondar-mandir. Perhatiannya kini tertuju kepada Raden Panji Rukmamurti. Pimpinan rencana makar yang kandas sebelum berkembang itu membungkam mulut. Ia tidak berniat menjawab pertanyaan apa pun, bahkan andai disiksa dengan cara bagaimanapun.
"Siapa sebenarnya kamu?" tanya Gajah Mada.
Panji Rukmamurti benar-benar membungkam diri. Gajah Mada yang berjalan mengitarinya hanya dilirik. Saat Gajah Mada memandang wajahnya dari depan, Panji Rukmamurti membuang wajah.
"Tidak mau berbicara?" tanya Gajah Mada.
Gajah Mada terpancing kemarahannya, namun tidak mungkin ia lampiaskan di depan Ibu Ratu. Wajah Panji Rukmamurti yang dihitamkan itu juga menumbuhkan rasa penasaran. Wajah macam apa yang terlihat andai jelaga hitam itu dibersihkan.
"Ambil air dan klerak," tiba-tiba Gajah Mada menjatuhkan perintah.
"Aku ingin semua tahanan dilepas bajunya dan wajahnya dibersihkan dengan klerak. Aku ingin mereka dijemur sampai kering."
Beberapa orang Bhayangkara langsung bergerak untuk melaksanakan tugas. Namun, perintah itu ternyata mengagetkan Panji Rukmamurti yang mendadak cemas. Ancaman bagian manakah yang menyebabkan Raden Panji Rukmamurti gelisah itu"
"Aku akan bicara, aku akan mengaku siapa aku. Tetapi, jangan lepas bajuku," jawab Panji Rukmamurti dengan gugup.
Ucapan Panji Rukmamurti mengagetkan. Gajah Mada mengerutkan kening sambil berpikir keras. Gajah Mada termangu. Dengan mata 494
Gajah Mada setengah terpicing, Patih Daha Gajah Mada memerhatikan tawanan di depannya, memerhatikan dari kepala sampai ke ujung kakinya, memerhatikan bentuk kuku dan dadanya.
"Kamu perempuan rupanya?" tanya Gajah Mada.
"Ya," jawab Panji Rukmamurti dengan suara serak.
Walaupun lirih jawaban itu terdengar jelas.
Jawaban Panji Rukmamurti itu mengagetkan semua yang hadir, namun lebih khusus anak buahnya yang terkejut. Orang-orang yang selama ini menghimpun diri di Karang Watu itu menduga Raden Panji Rukmamurti seorang lelaki. Apalagi, suara yang dimilikinya bernada rendah seperi umumnya suara lelaki.
"Ternyata perempuan?" desis orang yang duduk di sebelah
Mandrawa. Mandrawa berusaha meronta, tetapi tidak mampu. Makin kuat Mandrawa bergerak, tali itu makin kuat meringkusnya. Karena diperlakukan berbeda dengan sendirinya Mandrawa mencuri perhatian tersendiri.
"Siapa sebenarnya kamu?" Gajah Mada mencecar.
"Aku, Nyai Tanca," jawab Panji Rukmamurti.
Hening yang sudah pekat bertambah kental. Kaget kembali
menyengat. Gajah Mada yang sama sekali tidak memiliki gambaran awal sampai geleng-geleng kepala. Tidak secuil pun Gajah Mada menduga, orang yang menjadi roh dari gerombolan itu ternyata Nyai Tanca. Gajah Mada merasa telah melupakan sebuah hal yang sangat penting, bahwa Nyai Tanca pastilah amat mendalami angan-angan dan gagasan suaminya, bahkan mewarisi kemampuan yang dimiliki Ra Tanca, di antara kemampuan itu bisa ilmu pengobatan dan bahkan kedekatannya dengan ular.
Ra Tanca ahli racun dengan menggunakan berbagai jenis ular.
Lambang yang digunakan buah maja yang dibelit ular.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 495
Dan ular itu". "Jadi, kamu yang mengirim ular dalam keranjang itu?" bertanya seseorang.
Seseorang itu tampil ke depan.
Sungguh Gajah Mada terkejut. Sangat terkejut malah. Membayangkan pun tak pernah. Akan tetapi, dengan segera Gajah Mada bisa mengenali orang itu adalah Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa. Patih Daha Gajahmada mengkucal-kucal mata, dengan terbelalak ia memastikan perempuan jelek dengan gigi hitam itu memang Dyah Wiyat adanya.
"Dyah Wiyat sedang bermain apa pula ini?" Gajah Mada mengeluh dalam hati.
Ratu Gayatri terperangah. Ratu Gayatri boleh jadi tak mengenali penampilan anaknya, tetapi tidak dengan suaranya. Suara Dyah Wiyat adalah suara yang amat ia kenali. Selebihnya, semua orang yang hadir tanpa kecuali sulit memahami bagaimana mungkin Sekar Kedaton malih rupa demikian jelek. Rambut yang tidak keruan, gigi yang tidak keruan, dan pakaian yang juga tak pantas dipakai seorang anak raja.
"Dyah Wiyat?" Sri Gitarja juga terkejut.
Sri Gitarja bergegas mendekati adiknya, memandanginya dari ujung kepala hingga ke ujung kakinya. Mata Sri Gitarja terbelalak tak percaya.
Empu Krewes yang semula duduk terlonjak berdiri. Kemunculan dan penampilan Dyah Wiyat hampir membuat otot-otot jantungnya putus.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Sri Gitarja.
"Aku sedang menyamar," jawab adiknya tegas.
Rupanya gerah di Balai Prajurit itu masih menyajikan kejutan yang siap akan mengguncang dada siapa pun. Tak seorang pun yang berani berbicara, tak seorang pun yang berkedip, semua mata memandang perempuan berpakaian kumal dengan gigi tampak keropos kehitam-hitaman yang ternyata Dyah Wiyat. Semua orang memang layak terkejut melihat perubahan wujud Dyah Wiyat yang terkenal kecantikannya, tiba-tiba kini Sekar Kedaton istana kiri itu muncul dengan wujud buruk sekali.
496 Gajah Mada Dyah Menur yang semula berdiri di sisi Dyah Wiyat tak menduga Sekar Kedaton akan bersikap seperti itu. Yang paling bingung adalah laki- laki yang semula berdiri bersebelahan dengan Dyah Wiyat. Orang itu kaget dan nyaris tidak percaya orang yang semula ia remehkan itu ternyata Sekar Kedaton.
Untung Dyah Wiyat segera memberikan penjelasan, apa yang dilakukan itu dalam niat menyamar.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Nyai Tanca. Kau yang
mengirim tiga ekor ular itu?"
Nyai Tanca mendengus. Setelah sekian lama memendam kebencian, kinilah saatnya menumpahkan kebencian itu. Bila jarak yang memisahkan cukup dekat maka dengan senang hati ia akan memuncratkan ludahnya kepada perempuan yang selama ini ia anggap sebagai pengganggu ketenteraman rumah tangganya. Gara-gara Dyah Wiyat, Rakrian Tanca tidak sepenuhnya mencintai dirinya.
"Perempuan tidak tahu malu. Pengganggu ketenteraman rumah tangga orang. Seharusnya kamu mati dipatuk ular itu," umpat Nyai Tanca yang mendadak liar itu.
Gajah Mada bertindak sigap. Apabila dibiarkan akan terjadi perang mulut yang bisa merusak nama keluarga istana. Beberapa Bhayangkara sigap membawa Nyai Ra Tanca dan langsung menggelandangnya ke pakunjaran.
"Bhayangkara Kendar Kendara!" teriak Nyai Tanca. "Kuminta janjimu yang akan sehidup semati mendampingiku. Ayo, kekasihku, susul aku ke pakunjaran."
Teriakan itu menyebabkan Patih Daha Gajah Mada mencuatkan alis. Namun, seorang tawanan yang meronta menarik perhatiannya. Di Karang Watu orang yang berbadan kekar itu dipanggil Mandrawa.
Rupanya nama itu bukan nama yang sebenarnya. Bhayangkara Kendar Kendara tergoda mengenakan topeng kepalsuan. Di balik namanya Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 497
sekarang ada nama yang lain, Mandrawa. Wajah yang dihitamkan menyembunyikan nama yang sebenarnya.
"Dia, Kendar Kendara?" tanya Gajah Mada.
"Ya," jawab Senopati Haryo Teleng. "Menurut pengakuannya, ia memperoleh tugas untuk mengamankan rumah Nyai Tanca. Akan tetapi, yang terjadi kemudian ia justru menempatkan diri menjadi kaki tangan Nyai Tanca."
Gajah Enggon mengepalkan tangannya. Namun, Gajah Enggon
yang kecewa itu harus menahan diri. Ia tidak boleh melampiaskan kemarahan di depan Ibu Ratu. Akan tetapi, tidak demikian dengan Bhayangkara Jayabaya. Dua kali ayunan tangan Jayabaya menghajar perut Kendar Kendara hingga terhenyak.
"Jebloskan dia ke penjara sampai membusuk," teriak Jayabaya.
Tuntas sudah, setidaknya demikian Gajah Mada merasa. Semua teka-teki kini telah ditemukan jawabnya. Kaitan rangkaian kejadian dengan masing-masing pelaku juga sudah jelas. Ke depan para pengadil mulai dari adyaksa sampai hakim yang harus menuntaskan sisanya.
Akan tetapi, ternyata masih belum bagi Ibu Ratu yang terganggu pertanyaan yang mengganjal hatinya. Persoalan itu telah menjadi desas-desus pembicaraan orang. Mumpung rakyat banyak sedang berkumpul di Balai Prajurit, Ratu Gayatri memanfaatkan kesempatan itu untuk melontarkan pertanyaannya.
"Aku minta waktu untuk bicara, Gajah Mada," kata Ibu Ratu.
Gajah Mada segera menyembah.
"Silakan, Tuan Putri," jawab Gajah Mada.
Ratu Rajapatni Gayatri menyebar pandangan matanya menyapu wajah semua yang hadir di pendapa dan halaman Balai Prajurit. Semua orang terpancing rasa ingin tahunya, persoalan apa kira-kira yang akan disampaikan Ratu Gayatri. Setelah menjelajah semua wajah, perhatian Ratu ternyata hinggap di wajah Raden Kudamerta.
498 Gajah Mada "Raden Kudamerta," kata Gayatri. "Mumpung rakyat banyak saat ini sedang berkumpul dan untuk meredam jangan sampai muncul desas-desus yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, aku ingin bertanya kepadamu, Raden, apakah benar ketika kukawinkan kau dengan Dyah Wiyat, kau telah beristri, yang dengan demikian telah kautempatkan Sekar Kedaton sebagai istri kedua?"
Pertanyaan yang diajukan dengan tidak terduga-duga itu menyebabkan Raden Kudamerta pucat pasi. Raden Kudamerta yang gugup menyempatkan memejamkan mata untuk meredam gejolak yang
terpancing mendadak itu. Pertanyaan itu tak hanya mengagetkan Raden Kudamerta, semua yang hadir di Balai Prajurit tanpa terkecuali terkejut.
Mereka yang sudah mendengar desas-desus terpancing rasa ingin tahunya, apalagi mereka yang baru mendengar tak kalah kaget.
Raden Kudamerta yang gelisah menengadah. Raden Kudamerta tidak dengan segera menjawab pertanyaan itu. Tidak bisa dihindari, semua pandangan mata sedang tertuju kepadanya. Namun, yang paling menusuk adalah pandangan mata Dyah Wiyat.
Tanpa setahu Raden Kudamerta, Dyah Menur ikut menunggu
jawaban apa yang akan diberikannya. Mendadak Dyah Menur merasa, jawaban itu sungguh sangat penting. Jawaban yang sedang ditunggu yang nantinya akan menjadi salah satu dari banyak pertimbangan dalam mengambil keputusan. Dyah Menur amat ingin tahu, apakah Raden Kudamerta benar-benar sosok yang layak dibanggakannya atau bukan.
Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hamba belum pernah mengawini siapa pun, Tuan Putri," jawab Kudamerta dengan suara amat tegas.
Jawaban itu menyentakkan Sekar Kedaton Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa. Jelas Raden Kudamerta menyampaikan hal yang sama sekali tidak benar. Gajah Mada juga terkejut karena Raden Kudamerta memberikan jawaban yang tak sesuai dengan kenyataan.
Namun, rupanya jawaban itu sudah cukup bagi Ibu Ratu yang tidak merasa perlu mengejar dengan pertanyaan yang lain. Patih Daha Gajah Mada yang berpikir keras kemudian tersenyum. Tiba-tiba saja Gajah Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 499
Mada sadar bahwa tak penting bagi Ibu Ratu, apakah Raden Kudamerta berbicara jujur atau tidak. Yang paling penting rupanya bagaimana Raden Kudamerta bersikap. Dengan jawaban itu berarti Raden Kudamerta harus menempatkan Maharajasa sebagai satu-satunya istri, tanpa ada perempuan lain sebagai istri yang lain. Jika istri pertama itu ada, berarti ia harus disingkirkan.
Gajah Mada teringat ketika meminta keterangan kepada Raden Kudamerta, masih ada bagian dari rangkaian cerita yang belum jelas, yaitu bagaimana kisah pertemuan Raden Kudamerta dengan Dyah Menur. Kini setelah secara resmi Raden Kudamerta memberikan jawaban seperti itu kepada Ratu Gayatri, dengan sendirinya bagian itu tidak perlu dikejar lagi. Untuk apa" Bukankah Raden Kudamerta belum pernah mengawini perempuan mana pun"
Bagi Dyah Menur Sekar Tanjung, jawaban suaminya telah
membimbingnya ke mana harus melangkah. Setidaknya untuk waktu yang panjang, Dyah Menur telah berusaha mengendapkan hati, melihat tak sekadar menggunakan matanya, tetapi juga mencoba menggunakan cara pandang lain, termasuk bagaimana cara pandang Raden Kudamerta.
Menggunakan cara pandang itu, Dyah Menur merasa amat maklum ketika Raden Kudamerta mengaku belum beristri.
Dyah Menur Sekar Tanjung telah siap untuk mengalah dan itulah yang akan dilakukan karena Raden Kudamerta hanya punya satu pilihan, menempatkan Sekar Kedaton sebagai istrinya. Artinya, itu sama halnya dengan tak mungkin menempatkan nama Dyah Menur Sekar Tanjung sebagai istri pertama. Bahkan, Raden Kudamerta harus menganggap nama Dyah Menur Hardiningsih itu tidak pernah ada.
Dyah Wiyat yang membalikkan badan kebingungan. Ke mana pun ia mencari, bayangan Sekar Tanjung tidak ditemukan.
500 Gajah Mada 44 Boleh dikata kepanikan Gagak Bongol dan kepanikan Dyah Wiyat di siang bolong itu jelas berbeda. Gagak Bongol mencari-cari dengan mata melotot hampir lepas dari kelopaknya, namun yang dicari tidak ditemukan. Gagak Bongol layak khawatir. Jika Sang Prajaka sampai hilang, Pradhabasu pasti tidak akan memaafkan.
"Kamu melihat Prajaka?" Gagak Bongol bertanya kepada salah seorang laki-laki yang ikut menyaksikan kesibukan yang terjadi di Balai Prajurit.
Orang itu menggeleng. Gagak Bongol yang panik berlarian mencari, namun yang dicari lenyap bagai dibawa hantu. Gagak Bongol berputar-putar sambil menyapu dengan tatapan matanya, namun Prajaka lenyap.
Benar-benar lenyap. "Ke mana bocah itu" Atau, jangan-jangan ada yang membawanya pergi dengan diam-diam. Kalau hilang bocah itu, Pradhabasu benar-benar akan membunuhku."
Balai Prajurit kembali sepi. Gagak Bongol seharusnya kembali ke Antawulan untuk memimpin kerja besar yang dipercayakan kepadanya.
Namun, hilangnya bocah lasak Sang Prajaka yang kini menjadi anak angkatnya menyebabkan Gagak Bongol harus mendahulukan
mencarinya. Beruntunglah Gagak Bongol karena Senopati Gajah Enggon mendatanginya dengan langkah lebar.
"Kamu kebingungan mencari apa?" tanya Gajah Enggon.
Betapa cemas Gagak Bongol, terbaca dari wajahnya.
"Aku kehilangan Sang Prajaka," jawabnya.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 501
Melihat Gagak Bongol bingung karena kehilangan tidak
menyebabkan Gajah Enggon ikut bingung. Senyumnya malah lebar.
Gagak Bongol mengerutkan dahi.
"Pradhabasu menitipkan ini untukmu," kata Gajah Enggon sambil menyerahkan lembaran rontal yang dipegangnya.
Betapa tegang Gagak Bongol dalam membaca surat itu.
"Aku sangat berterima kasih telah kaujaga anakku," Pradhabasu berkata di dalam surat yang ditulisnya. "Kini tiba saatnya aku meminta kembali Sang Prajaka. Untuk selanjutnya, mari kita lupakan apa yang terjadi di masa lalu."
Gagak Bongol langsung lunglai. Udara yang dihirup bagai belum mencukupi paru-parunya.
"Anak itu sudah diserahkan kepadaku dan aku mulai menyukainya.
Mengapa ia meminta kembali?" Gagak Bongol meledakkan isi dadanya.
Gajah Mada yang mendekat tidak memberi sumbangan pendapat apa pun.
"Sudahlah," kata Senopati Enggon. "Pradhabasu mungkin hanya sedang memberi pelajaran kepadamu. Jika Pradhabasu mengambil kembali anaknya, itu karena anak itu memang miliknya maka wajar kalau ia meminta kembali."
Gagak Bongol mengalami kesulitan untuk menerima keadaan itu.
Akan tetapi, bila Pradhabasu meminta kembali, mau apa" Dengan hati yang tak lagi penuh karena sebagian telah berongga, Gagak Bongol memacu kudanya kembali memimpin kerja besar pencandian dan pendarmaan Sang Prabu Jayanegara. Kerja besar yang butuh waktu beberapa hari itu harus dilanjutkan.
Sebaliknya, kepanikan Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa adalah kepanikan berbeda. Sejak apa yang terjadi di Balai Prajurit, Dyah Wiyat tidak melihat Emban Sekar Tanjung. Semula Maharajasa mengira Sekar 502
Gajah Mada Tanjung hanya mendahului pulang, namun rupanya sejak itu emban yang menyenangkan hatinya itu menghilang. Pergi ke mana Sekar Tanjung yang telah menghadiahi dirinya sebuah cermin, benda yang sangat berharga itu"
Prabarasmi tertunduk di depannya.
"Sebenarnya apa yang terjadi, Prabarasmi. Katakan kepadaku apa yang kamu ketahui. Ke mana Sekar Tanjung pergi?"
Prabarasmi yang menunduk itu menyembah.
"Sebelumnya hamba mohon ampun, Tuan Putri," jawab Emban
Prabarasmi, "Tak perlu minta maaf, bicara saja," jawab Dyah Wiyat.
"Sebelumnya izinkanlah hamba untuk menyampaikan bahwa Sekar Tanjung itu bukan nama yang sebenarnya. Emban Sekar Tanjung memiliki nama lain."
Dyah Wiyat mencuatkan alis. Sejenak setelah memejam, Sekar Kedaton Dyah Wiyat melek kembali.
"Siapa nama lain dari Sekar Tanjung itu?"
Emban Prabarasmi yang menyembah belum menurunkan
tangannya. "Nama yang sebenarnya Dyah Menur Hardiningsih."
Tidak ada perubahan apa pun di wajah Sekar Kedaton Dyah Wiyat.
Perubahan yang terjadi hanyalah pada sikapnya. Untuk beberapa lama Dyah Wiyat tidak berbicara, itulah perubahan yang terjadi. Akan tetapi, dengan sigap Sekar Kedaton istana kiri bangkit.
"Sekar Tanjung mengatakan kepadamu, ke mana ia pergi?"
Prabarasmi menggeleng, "Tidak, Tuan Putri."
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 503
"Tetapi, baru saja perginya?"
Prabarasmi kembali melekatkan dua telapak tangannya ke ujung hidung.
"Hamba melihatnya berjalan ke arah barat. Menurut hitungan hamba, mungkin telah mencapai luar pintu Purawaktra."
Dyah Wiyat merasa amat tak tenang yang diterjemahkan perasaan itu dengan berjalan mondar-mandir sambil menimbang-nimbang.
Manakala sebuah pilihan telah diambil dengan segera, Dyah Wiyat bersikap.
"Pergilah, tinggalkan aku sendiri," ucapnya.
Diusir dengan terang-terangan seperti itu mendorong Prabarasmi untuk segera beringsut pergi. Dyah Wiyat yang masuk ke dalam biliknya beberapa saat kemudian telah keluar lagi dengan dandanan berbeda.
Raden Kudamerta yang datang tertegun melihat penampilan istrinya.
Dengan berdandan seperti laki-laki, berarti Dyah Wiyat akan berkuda.
"Akan ke mana?" bertanya Raden Kudamerta.
Dyah Wiyat belum mampu menjawab dan berbicara dengan
suaminya karena masih terhalang oleh rasa canggung. Raden Kudamerta hanya bisa menghela tarikan napas berat. Beberapa hari setelah perkawinannya berjalan, masih tetap belum terbuka hubungan pembicaraan. Raden Kudamerta yang merasa penasaran mengikuti dari belakang dan memerhatikan apa yang akan dikerjakan Dyah Wiyat.
Dyah Wiyat berjalan bergegas menuju kandang kuda yang menyatu menjadi bagian tak terpisahkan dari istana. Adalah kebetulan tidak ada pekatik yang sedang berada di kandang. Dengan tergesa Dyah Wiyat membuka pintu dan mengeluarkan salah satu kuda yang menjadi klangenannya. Sejenak setelah itu terdengar suara kuda dipacu keluar halaman dan membelok ke jalan menuju arah Purawaktra. Para prajurit yang berjaga tak berprasangka apa pun terhadap siapa penunggang kuda itu. Demikian juga ketika Dyah Wiyat melintas pintu gerbang Purawaktra, 504
Gajah Mada tak seorang pun prajurit yang bertugas menjaga gerbang memerhatikan siapa yang duduk di atas pelana.
Nun jauh di barat setelah melintas Purawaktra, Dyah Wiyat akhirnya melihat dua orang yang berjalan kaki berdampingan. Dyah Wiyat yang akhirnya berhasil menandai orang itu benar Sekar Tanjung makin membalapkan kudanya.
Dyah Menur yang berjalan sambil menggendong anaknya berhenti.
Mantan Bhayangkara Pradhabasu yang menjadi teman seperjalanannya memindahkan Sang Prajaka dari yang semula dipanggul di atas pundak ke gendongan di punggungnya.
Pradhabasu membungkuk memberikan hormatnya. Dyah Wiyat
Rajadewi Maharajasa melompat turun dan berjalan mendekat untuk kemudian berdiri berhadap-hadapan.
"Kamu akan ke mana?" bertanya Dyah Wiyat.
Dyah Menur Sekar Tanjung tidak tahu bagaimana cara menjawab pertanyaan itu. Mulutnya terkunci. Apabila Dyah Menur mengira Sekar Kedaton akan marah ternyata dugaan itu salah. Maharajasa mendekat sambil memerhatikan bayi dalam pelukan Dyah Menur.
"Ini anakmu?" Dyah Menur mengangguk, "Hamba, Tuan Putri."
Dyah Wiyat memandang Dyah Menur dan Pradhabasu bergantian.
Perhatian selanjutnya kemudian lebih banyak ditujukan kepada Dyah Menur. Pradhabasu yang memerhatikan wajah Dyah Wiyat mampu menandai sikap damai tanpa permusuhan. Meskipun kini telah mengetahui adanya hubungan khusus antara suaminya dengan perempuan itu, hal itu tidak menjadi penyebab Sekar Kedaton murka.
"Mengapa harus pergi?" Dyah Wiyat mengeluh.
Dyah Menur dan Pradhabasu saling pandang. Dyah Menur masih terbungkam belum bisa memberi jawaban.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 505
"Kembalilah ke istana," ucap Rajadewi. "Marilah kita hidup bersama-sama untuk saling melengkapi. Kau mempunyai hak sebagai istri tua dan aku tidak akan merampas hak yang kaumiliki."
Dyah Menur memandang Dyah Wiyat dengan tatapan mata
berkaca-kaca. Ia sama sekali tidak menyangka Dyah Wiyat akan mampu bersikap seperti itu. Dugaan dan penilaian yang terbentuk seketika ambruk. Sekar Kedaton ternyata tidak seburuk yang ia sangka. Dengan lengan bajunya, Dyah Menur membasuh air matanya.
Dyah Wiyat mendekat dan menyentuh tangan Dyah Menur ketika perempuan itu menitikkan air mata.
"Hamba tidak paham dengan apa yang Tuan Putri katakan," ucapnya lirih.
Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa bergegas memeluk. Dyah Wiyat ternyata mampu menitikkan air mata. Sikap yang tidak diduga itu menyebabkan Pradhabasu bingung.
"Apa yang aku inginkan sudah jelas, Sekar Tanjung," kata Dyah Wiyat. "Aku sama sekali tidak keberatan suamiku memiliki istri lain selain diriku. Kembalilah ke istana dan marilah untuk selalu berdekatan denganku."
Tawaran itu sungguh menggoda. Namun, Dyah Menur bergeming bersikukuh dengan keputusannya.
Adalah Raden Kudamerta yang datang menyusul terheran-heran melihat dua orang perempuan yang masing-masing adalah istrinya itu saling berpelukan begitu kuat. Dyah Menur menangis sesenggukan di pelukan Maharajasa yang juga menangis sesenggukan. Dua perempuan itu membutuhkan waktu lebih lama untuk saling berbagi.
Bagaikan tercekik leher Sri Wijaya Rajasa Sang Apanji Wahninghyun.
Raden Kudamerta tidak mampu berbicara ketika melihat dua perempuan itu akhirnya saling melepas pelukan. Meski Dyah Wiyat Rajadewi 506
Gajah Mada Maharajasa telah meminta, Dyah Menur Hardiningsih memiliki alasan untuk bersikukuh dengan keputusan yang diambilnya. Dyah Menur sebenarnya punya kesempatan untuk melihat wajah kekasih hati yang dicintai, namun tidak diraihnya kesempatan itu.
Dyah Menur berbalik dengan memejamkan mata. Dyah Menur
Hardiningsih yang menggendong anaknya dan Pradhabasu yang juga menggendong anaknya, berjalan makin jauh dan makin jauh ke arah surya di langit barat. Dan sang waktu sebagaimana kodratnya akan mengantarkan ke mana pun mereka melangkah.
Sang waktu pula yang menggilas semua peristiwa menjadi masa lalu.176
Surakarta Hadiningrat, 22 Desember 2005
176 Sebagaimana kemudian tercatat dalam sejarah, sejak kematian Sri Jayanegara dibutuhkan waktu setahun untuk menunjuk siapa yang akan menjadi ratu. Gajah Mada bertindak bijaksana dengan menyarankan kepada Ratu Gayatri untuk mengangkat dua-duanya menjadi ratu menyelenggarakan pemerintahan bersama, sebagaimana dulu pemerintahan bersama itu pernah dilakukan kakak beradik Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 507
TENTANG PENULIS LANGIT KRESNA HARIADI (LKH),
lahir di Banyuwangi tahun 1959 pada posisi bungsu
dari sebuah keluarga besar dan satu-satunya dari
keluarga itu yang memilih dunia tulis-menulis
sebagai pelampiasan hobi, emosi, dan profesi,
membentang dari cerpen, novel, cerita bersambung
silat, artikel, skenario sinetron, dan drama radio.
Baginya, menulis adalah napas hidupnya. Menulis seperti orang memetik gitar, seperti penyanyi mendendangkan lagu, atau seperti perokok yang kecanduan. "Tidak boleh menulis boleh dibilang matilah saya." Itulah sebabnya, kegiatan menulis itu akhirnya bermetamorfosis dari yang semula hobi menjadi kebutuhan hidup. " Lha wong kalau tidak menulis tidak makan." Bila ada kegiatan di luar tulis-menulis yang juga ditekuni masih berada di wilayah seni, menjadi MC misalnya.
Dari sekian banyak karyanya, Gajah Mada, Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara " buku yang Anda pegang ini" terbilang yang paling melelahkan dalam menuangkannya. "Riset yang harus saya lakukan minta ampun, deh. Butuh waktu berbulan-bulan, dead line jadi molor ke mana-mana seperti permen karet. Penerbit yang telanjur mengontrak saya jantungan, he he!"
Setelah Balada Gimpul, buku pertamanya yang diterbitkan Balai Pustaka Jakarta, berturut-turut dengan kepala dinginnya (benar seperti 508
Gajah Mada artinya karena harus dikompres bila sudah mendidih, indikasinya pusing) lahir Kiamat Para Dukun diterbitkan oleh PT Era Intermedia, lalu Libby 1, Libby 2, De Castaz, Alivia, Serong, Melibas Sekat Pembatas, Antologi Manusia Laminating, yang masing-masing diterbitkan oleh Qalam Press. Gama Media juga menerbitkan salah satu karyanya yang senapas dengan karyanya yang lain, yang lahir atas keprihatinannya terhadap pembantaian dukun santet di kampung halamannya, Banyuwangi, lahirlah Kiamat Dukun Santet. Melalui koran yang terbit di Solo, Langit Kresna Hariadi menjadi dalang atas karya berupa cerita bersambung silatnya yang berjudul Beliung dari Timur.
Malu disebut tak tahu diri karena juga menulis novel remaja, padahal,
"Berpikir seperti remaja sulitnya minta ampun, dunia mereka aneh sekali," disiasatilah melalui menggunakan nama samaran Amurwa Pradnya Sang Indraswari, lahirlah karya yang menyimpang jauh dari pakem, berjudul Siapa Yang Nyuri Bibirku" Terbitan Diva Press.
Gajah Mada adalah buku pertamanya yang diterbitkan oleh Penerbit PT Tiga Serangkai yang lumayan mencuri perhatian dan mengundang apresiasi. Karena saran dari sana sini untuk melanjutkannya maka lahirlah Gajah Mada, Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara. Satu lagi karyanya berupa petunjuk praktis menulis buku berjudul Mengarang Ahh Gampang, juga diterbitkan oleh penerbit yang sama.
Berbarengan dengan datangnya tahun baru 2006, Langit Kresna Hariadi langsung ngebut menyiapkan sepak terjang Gajah Mada berikutnya. Setidaknya ke depan masih ada Perang Sadeng dan Perang Keta, masih ada Sumpah Palapa, masih ada Perang Bubat, masih ada Perang Paregrek. Imajinasinya yang liar siap berkelana di wilayah itu.
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 30 Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Sepasang Pendekar Daerah Perbatasan 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama