Ceritasilat Novel Online

Bergelut Dalam Kemelut Takhta 2

Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi Bagian 2


Dengan tembok bata merah tebal mengelilingi keraton, tidak memungkinkan orang bisa masuk ke dalam lingkungan istana, yang pintu 101 Setiap sudut istana, Pancaksara yang di kemudian hari diduga menggunakan nama Prapanca, atau Prapanca yang diduga nama aslinya adalah Pancaksara menggambarkan denah istana dengan segala bentuk bangunannya, tercantum dalam Negarakertagama pupuh 8 sampai 12.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 43
utamanya berada di sebelah barat menghadap ke lapangan luas yang disebut Purawaktra. Membelah lapangan yang luas, mengalir sebuah sungai yang tidak memungkinkan siapa pun melintas kecuali melalui sebuah jembatan yang padanya melekat penjagaan. Sungai buatan itu ditaburi ikan tombro yang dalam bulan atau waktu tertentu akan dipanen, tetapi beberapa prajurit sering memanfaatkan waktu luangnya untuk mengayunkan joran. Ikan bernasib sial akan menggelepar di ujung kail, apalagi bila yang diayunkan adalah jala. Di antara para prajurit bahkan ada yang tidak perlu merasa segan membakar ikan itu di bawah deretan pohon tanjung yang sangat rindang. Suara seruling yang ditiup oleh seorang prajurit menjadikan tempat itu sungguh sejuk menyenangkan.
Di tepi benteng yang melingkar, ditanami pohon bramastana berderet-deret memanjang. Deret pohon yang tumbuh dengan daun-daun dan sulur-sulur akar yang lebat itu menjadi sarang burung kuntul yang selalu kembali ke pohon itu pada siang hari, sementara malam hari entah mengembara sampai di ujung dunia belahan mana. Di bawah pohon bramastana itulah tempat berteduh para perwira yang melakukan giliran meronda ataupun menjaga paseban. Siang hari yang terik para prajurit bahkan memanfaatkan tempat itu untuk tidur-tiduran, atau berlatih ngembat watang.102 Ada pula yang memanfaatkan untuk mengasah ilmu kanuragan.103 Dari tempat itu, apabila arah pandang ditujukan ke sisi utara dari pusat istana, di sana sebuah gapura dengan pintu terbuat dari besi menyaring siapa pun yang akan melintas.
Alun-alun istana membujur dari utara ke selatan. Pintu masuk ke pura istana terletak di tengah alun-alun. Di sisi timur dari pintu besi terletak sebuah panggung tinggi dengan lantai berlapis batu putih mengilat, yang merupakan rumah pertama dalam deretan gedung-gedung yang berimpit membujur ke selatan. Di depan gedung itu terdapat jalan yang membatasi dan membelah alun-alun dan gedung-gedung di lingkungan istana. Apabila dari panggung pandangan mata di tujukan ke selatan, tidak jauh dari tempat itu terletak bangunan megah yang 102 Ngembat watang, Jawa, membidik anak panah 103 Ilmu kanuragan, Jawa, ilmu kesaktian, ilmu bela diri 44
Gajah Mada disebut Balai Prajurit104 yang dimanfaatkan untuk bermusyawarah para menteri, para perwira, para pendeta dari tiga aliran agama, para pembantu raja, para kepala wilayah dan kepala desa, baik yang berasal dari ibukota maupun dari luar yang secara berkala melakukan pertemuan di bulan Caitra.
Apabila dari Balai Prajurit dilangkahkan kaki ke utara akan bertemu dengan kolam yang amat luas dan besar yang disebut Segaran105 yang belum sempurna pembuatannya, siang malam ratusan dan bahkan ribuan tenaga dikerahkan untuk mengeduk tanah. Demikian lebar dan panjang kolam itu menyebabkan beberapa korban nyawa tenggelam telah terjadi beberapa kali, di antaranya bahkan para prajurit yang berlatih menyelam.
Bila perjalanan ke utara diteruskan akan bertemu dengan sebuah pintu gerbang yang disebut Candi Waringin Lawang. Disebut demikian karena berupa lawang atau pintu berjumlah dua buah yang terletak berimpitan dengan pohon beringin. Pintu gerbang ini dibuat dari susunan bata merah. Pada jarak beberapa jengkal perjalanan arah ke utara lagi akan bertemu dengan candi berpenampilan gemuk yang disebut Candi Brahu.
Di sebelah timur Balai Prajurit atau balai pertemuan adalah rumah korban yang menjulang bertiga-tiga mengelilingi kuil Siwa yang tinggi.
Di sebelah selatannya adalah gedung bersusun tempat tinggal para Wipra, 106 sementara ke arah barat dari kediaman para Wipra membentang halaman luas dan berkaki tinggi. Berdampingan dengan kuil Siwa serasa gambaran hidup dengan rukun adalah gedung Buddha dengan atap bertingkat tiga, puncak bangunan penuh dengan ukiran. Bangkit bulu kuduk Pancaksara memerhatikan puncak bangunan itu di keremangan malam, apalagi dari arah mana pun mulai dialunkan tembang mantra puja doa menurut tata cara dan agama berbeda-beda dalam mengiring keberangkatan Sri Jayanegara memasuki kehidupan lain setelah kehidupan di dunia.
104 Balai Prajurit , tempat yang semula berupa reruntuhan dan hanya menyisakan umpak landasan tiang itu dipugar oleh TNI, terletak lebih kurang satu kilometer ke arah selatan dari situs Tambak Segaran.
105 Segaran, dalam kunjungan yang secara langsung penulis lakukan, kolam ini sangat luas dengan panjang lebih dari satu kilometar, dengan lebar lebih dari lima ratus meter, berdinding bata khusus.
106 Wipra, penulis masih belum mengetahui artinya Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 45
Di sebelah selatan balai pertemuan atau Balai Prajurit adalah Bale Agung Manguntur yang juga disebut Bale Tatag Rambat atau Balairung dengan berlatar lapangan luas di belakangnya. Bangunan inilah yang disebut sebagai bangunan utama wilayah istana yang juga diberi nama lain keraton yang berarti tempat tinggal ratu, atau juga disebut kedaton.
Dari wujudnya Tatag Rambat Bale Manguntur merupakan bangunan yang paling megah di antara seluruh bangunan yang ada. Bangunan besar dan luas ini didukung oleh lebih dari sepuluh pilar untuk menyangga atap genting pilihan yang dilabur dengan warna cokelat mengilat.
Tepat di tengah-tengan Balai Manguntur terdapat rumah-rumahan kecil yang diberi nama Balai Witana. Bangunan kecil ini digunakan sebagai tempat duduk raja saat menggelar pasewakan agung.107 Dari dalam Balai Witana, raja bisa melihat semua yang hadir dengan leluasa, sebaliknya siapa pun yang hadir di pasewakan tidak akan bisa melihat raja, kecuali ketika raja akan masuk atau keluar dari balai itu. Akan tetapi, dalam tata kramanya ketika hal itu terjadi, tidak ada orang diperkenankan menengadahkan kepala, semua harus menunduk.
Di depan Balai Witana atau dari tempat itu arah pandang menuju utara yang hanya berjarak puluhan langkah kaki saja adalah tempat panangkilan,108 tempat duduk para pujangga dan menteri. Di bagian timur menghadap ke Balai Witana adalah tempat berkumpul para pendeta Siwa dan Buddha ketika mengikuti pasewakan agung.
Di arah selatan dari Balai Witana dengan tersekat pintu-pintu adalah paseban yang diatur sangat rapi, menyenangkan di pandangan mata. Dari tempat itu manakala tatapan mata diarahkan ke selatan, di sana tampak ruas jalan dari timur ke barat, jalan itu nantinya akan bertemu dengan jalan dari arah utara ke selatan. Persilangan jalan itu merupakan simpang empat di bagian selatan alun-alun. Di sepanjang jalan dari timur ke barat, di kanan dan kirinya berjajar rumah-rumah megah dengan deretan pohon tanjung membelah ruas jalan timur barat. Tanaman hias ditata rapi di kiri dan kanan jalan dan akan tampak indah di musim penghujan. Namun, 107 Pasewakan agung, Jawa, sidang atau pertemuan besar 108 Panangkilan, Jawa/Jawa Kuno, berasal dari kata tangkil, nangkil, berarti menghadap 46
Gajah Mada di musim kering semua tanaman hias itu amat meranggas. Istana Wilwatikta tidak seperti Istana Singasari yang berada di ketinggian dan berudara dingin menyengat. Letaknya yang berada di dataran rendah menyebabkan udara hangat di sepanjang hari, baik siang maupun malam.
Akan tetapi, tidak jarang kabut turun di musim penghujan karena tidak jauh di arah tenggara menjulang Gunung Anjasmoro. Dari istana pula lamat-lamat bisa dilihat dengan mata telanjang Gunung Welirang dan Gunung Arjuno yang puncak mereka selalu dikemuli halimun yang tebal.
Apabila mega itu menyingkir, puncak-puncak gunung itu akan menjadi tontonan yang sangat megah.
Apabila arah pandangan mata ditujukan ke sudut barat daya dari Istana Tatag Rambat Bale Manguntur sedikit jauh, di sana berdiri sebuah balai tempat berkumpul para prajurit dengan ukuran jauh lebih kecil dari Balai Prajurit. Tempat ini diperuntukkan para prajurit, khususnya mereka yang melaksanakan tugas pengamanan istana. Bangunan itu berhalaman luas, di tengahnya terdapat sebuah mandapa.109 Ratusan ekor burung merpati dibiarkan hidup dengan bebas dan menjadi klangenan segenap kerabat istana. Merpati itu dilindungi dengan sebuah aturan, siapa pun tidak boleh mengganggunya. Berani menangkap atau membunuh burung piaraan itu pelakunya akan berhadapan Kitab Kutaramanawa. Perlindungan terhadap satwa tidak sekadar jenis burung kesukaan raja, tetapi juga jenis-jenis binatang yang lain yang mulai sulit didapat di mana pun.
Dari arah mandapa berada, di sebelah selatan ruas jalan dari timur ke barat dan terletak di sebelah barat jalan dari ruas jalan utara ke selatan, di sebelah timur jalan terdapat sebuah paseban membujur dari utara ke selatan yang terhubungkan dengan pintu kedua dari istana. Arah pandang dari pintu tersebut akan tertuju pada halaman luas dan sangat rata bersebelahan dengan sebuah bangunan indah dan tinggi, itulah ruang tamu baginda yang dimanfaatkan untuk menerima siapa saja yang berniat melakukan seba.110
109 Mandapa, Jawa Kuno, tempat memelihara burung, mungkin maksudnya pagupon rumah burung dara.
110 Seba, Jawa, menghadap
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 47
Halaman dikelilingi banyak balai yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari kedaton, atapnya dibuat bertingkat-tingkat, berkelompok-kelompok dengan masing-masing memiliki pintunya sendiri-sendiri. Wilayah istana itu membentang ke timur sampai ke tembok benteng sebelah timur, ke arah selatan mencapai tembok benteng sebelah selatan. Sewilayah Majapahit tak ada yang bisa menandingi bangunan yang besar dan megah itu.
Bangunan istana bagian utara tepat berada di belakang paseban adalah tempat tinggal Sekar Kedaton Bre Kahuripan. Di tempat itulah nantinya apabila anak Raden Wijaya itu berumah tangga akan bertempat tinggal.
Semula Breh Kahuripan atau Sri Gitarja dan adiknya, Dyah Wiyat, tinggal bersama di lingkungan keputren dengan dilayani oleh para emban, tetapi manakala pada diri masing-masing telah melekat kedudukan pemangku wilayah Kahuripan dan Daha, apalagi di usia dewasa mereka telah siap melepas kedudukan perawan dengan siap menikahi calon suaminya masing-masing, mereka tak lagi selalu bersama dan harus tinggal di istana terpisah. Istana paling timur yang jauh dari pintu pertama adalah istana Sri Nata, Sang Prabu Jayanegara. Jika tatapan mata ditujukan ke arah selatan, di sana letak bangunan yang tak kalah megah dengan milik Sekar Kedaton Breh Kahuripan. Bangunan dengan pintu berikir memet yang dipahat oleh orang yang sangat ahli dan didatangkan dari wilayah pesisir utara itu adalah tempat tinggal yang disiapkan untuk Breh Daha atau Dyah Wiyat.
Betapa megah dan indah bangunan itu karena terbuat dari bahan-bahan pilihan. Pilar-pilar kayunya atau semua bagian dari tiang saka, belandar bahkan sampai pada usuk diraut dari kayu jati pilihan dengan perhitungan bangunan itu sanggup melewati waktu puluhan tahun, bahkan diharap bisa tembus lebih dari seratus tahun. Tiang saka diukir indah warna-warni, kakinya berasal dari bahan batu merah penuh pahatan ukir mengambil tokoh-tokoh pewayangan, atau tokoh yang pernah ada bahkan masih hidup. Bangunan itu berbeda-beda bentuk atapnya, pun demikian dengan bentuk wajahnya. Halaman tiga istana utama itu diatur rapi dengan sepanjang jalan ditanami pohon tanjung, kesara, dan cempaka. Melingkar-lingkar di halaman adalah tanaman bunga perdu 48
Gajah Mada dari jenis semak. Di sudut-sudut halaman tumbuh beberapa pohon talok dengan buah kecil-kecil. Jika matang warnanya merah dan menjadi alasan utama bagi bocah-bocah untuk memanjat dan memetiknya. Jangankan bocah-bocah, orang tua pun tak mau kalah menggapaikan tangannya untuk bisa memetik buah itu.
Di arah barat laut berdiri beberapa bangunan, di antaranya adalah kediaman para menteri sesepuh panangkil 111 yang hanyepuhi 112 siapa pun yang berkehendak menghadap Sri Naranata.113 Di arah selatannya adalah rumah-rumah para abdi dalem istana Dyah Wiyat. Sebaliknya, para emban tinggal di bangsal khusus yang disediakan untuk mereka yang melekat menjadi bagian tak terpisahkan dari istana. Demikian juga dengan kandang berisi kuda-kuda pilihan milik raja dan para Sekar Kedaton. Bangunan-bangunan para abdi dalem berada di antara dua ruas jalan, yaitu ruas jalan dari timur ke barat dan dari utara ke jurusan selatan.
Di luar benteng, Pancaksara memerhatikan dengan saksama semua bangunan, ruas jalan, dan sudut-sudut pintu gerbang dan memahat-kannya ke dalam benak untuk kelak sebagaimana telah direncanakannya, ia akan menuliskan semua itu di atas daun-daun rontal, dengan harapan siapa tahu kelak akan bermanfaat bagi anak keturunan.
Di sebelah timur benteng, Pancaksara mencatat tempat tinggal pemuka agama Siwa, Hyang Brahmaraja. Ujung timur selatan benteng berbatasan dengan istana adalah kediaman kepala mahkamah agung yang pada dirinya melekat gelar Darmadyaksa, yang diapit dua buah candi, sebelah timur candi Siwa sementara di sebelah baratnya adalah candi Buddha. Para pendeta Buddha dengan pemukanya, Sang Samenaka, menempati bagian selatan di luar benteng. Sementara itu, di bagian timur benteng terdapat sebidang tanah dengan sebuah rumah. Itulah anugerah yang diberikan oleh Jayanegara kepada Gajah Mada atas jasa-jasa yang diperbuatnya ketika melakukan penyelamatan Sang Prabu dari tangan-tangan makar Ra Kuti dan teman-temannya. Dalam angan-angannya, kelak ia akan membangun istananya di tempat itu.
111 Panangkil, Jawa Kuno, menghadap
112 Hanyepuhi, Jawa, menjadi sesepuh atau yang mengatur 113 Sri Naranata, Jawa, raja
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 49
Di sebelah barat benteng bagian utara adalah tempat tinggal para menteri dan punggawa parentah kraton.114 Di sebelah selatan adalah tempat tinggal sentanaraja 115 dan para kesatria. Di bagian luar adalah perkampungan penduduk yang cukup padat. Sawah membentang di sana sini yang apabila ditanami padi, warnanya seragam memberi kesan bagai hamparan babut permadani. Nyaris ke segenap sudut kiblat, pohon nyiur ada di mana-mana menjulang tinggi menggapai langit.
Pancaksara yang menghirup udara memenuhi semua sekat ruang di dadanya itu mendadak merasakan pedih. Kematian memang milik siapa saja. Kematian bisa menimpa siapa saja. Cerita kematian selalu meninggalkan kesedihan, tetapi kematian akibat pembunuhan akan meninggalkan jejak luka yang lebih dalam. Tidak sekadar menyedihkan, tetapi menyakitkan. Apalagi, manakala korbannya adalah seorang raja, sosok yang menjadi lambang negara ketiga setelah cihna dan panji gula kelapa.
Pancaksara yang menatap jauh ke barat, menandai mulai menyalanya sebuah titik api. Entah siapa orang berduka di seberang sana yang kehilangan akal, sampai rela membakar rumahnya itu.
5 Malam menukik kian tajam. Kesibukan dalam istana juga kian tajam. Semua orang, laki-laki dan perempuan telah meniatkan diri untuk tugur semalam suntuk. Beberapa orang perempuan, dipimpin oleh seorang perempuan tua menyiapkan sesaji terkait pemakaman Sri 114 Punggawa parentah kraton, Jawa, identik dengan pegawai pemerintahan atau pegawai negeri.
115 Sentanaraja, Jawa, sanak saudara raja, kerabat istana, nama ini hingga sekarang masih ada dan berubah menjadi nama sebuah desa.
50 Gajah Mada Baginda esok harinya. Bau kemenyan menyebar menyapa hidung siapa pun tanpa kecuali. Di beberapa tempat di sudut istana, beberapa orang prajurit masih terkesima dan serasa tak percaya pada apa yang terjadi.
Mereka duduk menggerombol di atas lincak panjang di bawah pohon sawo. Ada pula yang hanya diam termangu sambil mengelus-elus kumis, di sebelah orang yang mengelus-elus gagang tombak, senjata yang menjadi andalannya.
Angin berembus cukup kencang karena langit mulai mendung. Di beberapa tempat kilat muncrat disusul petir yang melecut gendang telinga dengan suaranya yang keras, menggelegar dan menyentak. Angin bahkan demikian kencang menyebabkan beberapa obor padam. Seorang prajurit menyalakan kembali obor itu, tetapi lagi-lagi prahara memadamkannya.
Untuk menjaga agar obor tidak mati, prajurit rendahan itu bahkan menempatkan diri untuk melindungi. Akan tetapi, angin yang beringas, yang menimbulkan suara menderit-derit di rumpun bambu justru menyebabkan perapian di tengah alun-alun menyala berkobar kian menjadi.
Tidak peduli pada asap tebal yang mengarah kepadanya, seseorang termangu diam, membeku bagai patung batu dengan tatapan mata terarah pada lubang pintu mandapa, yang tepat di tengah-tengahnya sepasang merpati saling menyentuhkan paruh. Orang yang menyendiri itu bahkan tak mengalihkan pandangan matanya meski asap yang lebih bergulung-gulung dari perapian mendatanginya. Asap itu bagai tidak mengganggunya, tidak menyebabkan pedih matanya, juga tak menyebabkan sesak napas. Apalagi, hanya seseorang yang datang mendekat dan mewartakan kehadirannya dengan batuk-batuk kecil, sama sekali tak mampu menarik perhatiannya.
Orang itu tetap mengarahkan perhatiannya pada apa yang dilakukan pasangan merpati yang sedang kasmaran dan sibuk meletupkan berahinya, tak peduli meski hari tengah malam, apalagi sekadar Jayanegara mangkat. Untunglah angin berubah arah, bergerak ke arah lain.
"Kau harus memanfaatkan kesempatan ini," orang yang datang itu langsung berbicara.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 51
Namun, orang yang diajak bicara tetap diam, tak menoleh, juga tak menjawab, pandangan matanya tetap tertuju ke pintu mandapa. Setelah memerhatikan beberapa jenak, orang yang datang itu ikut mengarahkan tatapan matanya yang kemudian jatuh di arah pandang yang sama, pasangan merpati yang bersibuk diri.
Orang itu tidak berniat tersenyum dan tidak menganggap kegiatan sepasang burung itu sebagai sesuatu yang lucu dan pantas memancing tawanya. Apa yang ia lakukan justru hal yang layak dipertanyakan. Orang itu mengambil sebutir batu yang dengan keras diarahkan ke mandapa.
Batu yang terbentur menyebabkan penghuninya terkejut. Pasangan merpati itu terbang menjauh hinggap di ujung pagar. Suara berisik itu juga mengagetkan beberapa orang yang sedang berkerumun di kejauhan.
Orang yang kebal asap itu akhirnya menoleh.
"Ada apa, Paman?" tanya orang itu.
Orang yang dipanggil dengan sebutan paman itu membiarkan waktu berlalu beberapa kejap dan lebih mendahulukan batuknya. Usia yang sudah di atas separuh abad menyebabkan daya tahannya tidak seperti dulu ketika masih muda. Asap perapian di tengah alun-alun itu menyebabkan batuknya terpingkal-pingkal.
"Kematian Tuanku Jayanegara," orang itu berbicara di sela batuknya.
"Semua orang menyesalinya, semua orang menangis dilibas duka nestapa, kesedihan cengeng yang sebenarnya tidak ada manfaatnya. Menurutku, justru sekaranglah waktunya kau berbicara. Sekarang waktunya kau membawakan peranmu. Jangan bilang Kudamerta bukan siapa-siapa.
Namun, berteriaklah, inilah aku, Raden Kudamerta! Selama ini kita bicara kemungkinan-kemungkinan, kita bicara seandainya dan seandainya. Yang seandainya itu mendadak berada di depan mata."
Kudamerta yang dibakar semangatnya mengalihkan pandangan matanya saat tidak menemukan jejak bayangan apa pun di pintu mandapa.
Perapian yang berkobar dengan lidahnya yang menjilat-jilat beberapa jenak justru mencuri perhatiannya. Api sesungguhnya menyimpan sebuah teka-teki, apakah sebenarnya api itu, tidak seorang pun yang bisa memberi jawaban dengan jelas dan tegas.
52 Gajah Mada "Kau bisa menjadi raja, Kudamerta. Manfaatkanlah kesempatan yang sangat langka ini. Mulai sekarang bermainlah dengan cantik. Untuk meraih gegayuhan 116 itu memerlukan pengorbanan. Untuk sebuah tujuan yang sangat kauyakini, kau bahkan harus menggunakan dan
membenarkan cara apa pun. Mulai menyusun rencana dari sekarang, kau bisa memanfaatkan hubunganmu dengan Tuan Putri," lanjut orang itu.
Kudamerta tidak tersenyum, bahkan amat sulit menebak apa yang ada di balik raut mukanya yang datar saja, bagai orang yang mengenakan topeng, sulit menebak raut muka macam apa yang berada di balik topeng itu, seperti bertopeng kelobot. Di balik kelobot masih terdapat kelobot, di baliknya masih ada kelobot lagi. Di balik topeng masih ada topeng, di balik tangis mungkin saja ada tawa, sebagaimana orang tertawa mungkin karena menyembunyikan tangisnya.
"Bersikaplah, Kudamerta," orang itu menekan.
Kudamerta berdiri dan meliukkan tubuh yang dilanjutkan dengan menekuk-nekuk jemarinya menumbuhkan suara seperti berpatahan.
"Paman Panji Wiradapa," Kudamerta menjawab, "siapa yang akan dipilih menggantikan Tuanku Baginda, kewenangannya bukan ada pada kemauanku. Siapa aku ini, Paman" Aku ini bukan siapa-siapa, aku ini sekadar buih."
Panji Wiradapa, lelaki itu membuang wajah atas nama rasa jengkelnya. Telah berulang kali Panji Wiradapa mengingatkan keponakannya yang bernasib mujur itu. Dengan memiliki hubungan khusus dengan Dyah Wiyat, berarti ia menggenggam sebuah peluang yang sangat lapang. Kalagemet Jayanegara nyatanya tidak memiliki permaisuri dan keturunan. Bila tiba saatnya Jayanegara turun takhta, peluang itu akan terbuka lebar untuknya karena dengan menjadi suami seorang ratu, bukankah itu berarti ia akan menjadi seorang raja"
Manakala Kudamerta berusaha jujur kepada diri sendiri, pertanyaan itu memang mengganggu. Pertanyaan itu sudah lama menggoda, jauh 116 Gegayuhan, Jawa, cita-cita, impian
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 53
ketika Sri Jayanegara masih hidup. Siapa sangka telah terjadi percepatan waktu, Jayanegara mati di usia muda dibunuh Rakrian Tanca.
Kematian raja itu tidak pelak memunculkan kemungkinankemungkinan atau pertanyaan-pertanyaan. Mendiang Raden Wijaya kini hanya memiliki dua keturunan dan dua-duanya perempuan. Seorang raja seyogianya bertulang kuat berbahu kukuh, namun bagaimana apabila dua-duanya berjenis perempuan yang tidak bertulang kuat berbahu kukuh, yang larinya tidak kencang dan langkahnya tidak lebar, yang setiap bulan sekali harus terganggu oleh kegiatan nggarapsari"117
Tentu, perempuan bukanlah alasan untuk tidak boleh menjadi raja.
Bukankah Putri Shima dari Kalingga yang termasyhur itu adalah perempuan. Shima bahkan mampu menegakkan undang-undang dengan begitu kukuhnya sampai-sampai biarpun adik sendiri harus kehilangan tangannya sebagai akibat dari perbuatannya.
Salah satu dari dua anak Raden Wijaya yang perempuan semua, apakah dia Sri Gitarja atau adiknya, Dyah Wiyat, yang akan diangkat menjadi ratu menggantikan kedudukan kakaknya. Kalau Sri Gitarja yang diangkat menjadi ratu maka beruntung Cakradara karena kekuasaan raja akan berada dalam genggamannya. Sebaliknya, bila adiknya, Dyah Wiyat, yang diangkat menjadi Rani Majapahit maka dirinya orang yang beruntung itu. Nama Kudamerta akan mencuat menjadi buah
pembicaraan di mana-mana.
"Aku tidak pernah bermimpi," Kudamerta menggumam bagai
tanpa sadar. Panji Wiradapa bangkit, bergeser menempatkan diri di depan Kudamerta.
"Kau harus bermimpi, Kudamerta," ucap Panji Wiradapa tegas, tetapi dalam nada bisik. "Kau harus menggantungkan angan-anganmu setinggi langit. Akan tetapi, tidak sekadar bermimpi, jauh lebih penting dari itu, kau harus berusaha dengan keras mewujudkan mimpi itu menjadi kenyataan. Kaupunya peluang itu, kau bisa menjadi raja, menjadi orang
1 17 Nggarapsari, Jawa, menstruasi 54
Gajah Mada terdepan. Kini saatnya, gunakan kesempatan yang terbuka jelas di depan matamu."
Kudamerta tetap diam, tidak menjawab. Orang yang dipanggil dengan sebutan Panji Wiradapa itu merasa punya alasan untuk jengkel melihat Kudamerta begitu lembek. Panji Wiradapa kembali akan buka mulut, tetapi terpaksa ia batalkan niatnya itu karena seseorang berlari mendekat. Kudamerta memberikan perhatian kepadanya.
"Ada apa?" tanya Kudamerta.
"Tuan Putri Ratu Gayatri memanggil," jawab orang itu, seorang prajurit yang menyandang pangkat rendahan saja.
Kudamerta bergegas bangkit. Sejenak ia memberikan raut wajah bimbangnya kepada Panji Wiradapa, tetapi langkah kakinya membawanya meninggalkan laki-laki berkumis melintang itu. Panji Wiradapa menghirup udara amat dalam, mengisi semua sudut dan lorong ruang di paru-parunya sambil menengadahkan kepala memandang langit sebelum selanjutnya memutuskan menempatkan diri menggantikan Kudamerta mengarahkan pandangan matanya ke mandapa. Di sana sepasang merpati merapatkan tubuh saling memberikan kehangatan dan indahnya cinta.
Bila berkaca pada brenggala, dahulu Panji Wiradapa pernah menggantungkan cita-citanya setinggi langit. Jabatan keprajuritannya kali ini hanyalah sebagai lurah prajurit, padahal Panji Wiradapa merasa dirinya pantas menjadi seorang patih, orang kedua setelah raja. Karena mimpi untuk menjadi orang penting itu ternyata tidak terwujud, cukuplah orang lain yang mewakilinya. Asal bisa melihat Raden Kudamerta menjadi raja maka puaslah rasanya. Ki Panji merasa cita-cita itu telah terwakili.
Pemimpi seperti itu tidaklah hanya dirinya. Panji Wiradapa tentu tak mungkin lupa, seorang pejabat di masa lalu yang dihukum mati oleh Jayanegara karena memiliki mimpi pula. Orang lain mungkin melihat, mimpi Mahapati atau Ramapati yang menyebabkan Sora terbunuh, yang menyebabkan Tuban diserbu, yang juga menyebabkan Lumajang diserang serta menempatkan Mahapatih Nambi berwajah pemberontak, padahal sebenarnya tidak. Yang dilakukan Mahapati ketika itu adalah Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 55
memfitnah untuk sebuah cita-cita. Kini, peluang untuk menggapai mimpi itu terlihat melalui Raden Kudamerta, pewaris kekuasaan Wengker dan Pamotan.
Kudamerta mengayun langkah lebar dan sudah tahu ke mana harus memenuhi panggilan Ratu Gayatri. Sebaliknya, prajurit berpangkat rendahan itu tidak mengikuti langkahnya. Rupanya ia juga menjalankan perintah yang sama untuk Cakradara. Di kaki candi Buddha, Cakradara duduk bersila dengan mata terpejam. Dalam semadi yang dilakukan tidak jauh dari pahoman, Cakradara masih terhenyak oleh kematian yang datang demikian mendadak itu. Hubungan secara pribadi yang terjalin cukup akrab dan pada saat-saat tertentu, mendiang Sri Baginda bahkan mengizinkan bersikap dan berbicara lepas tanpa beban, keadaan yang demikian yang menyebabkan Cakradara merasa sangat kehilangan oleh kematian Kalagemet.
Prajurit rendahan itu meragu melihat apa yang dilakukan Cakradara.
Namun, prajurit itu memutuskan menyentuh pundak lelaki muda dan tampan itu. Cakradara membuka mata. Dari tatapan matanya Cakradara seolah bertanya.
"Tuan Putri Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri memanggil Raden Cakradara," ucap prajurit itu setengah berbisik.
Cakradara kembali memejamkan mata menuntaskan doanya yang terpenggal. Perlahan Cakradara bangkit untuk memenuhi panggilan yang tak mungkin ia tolak itu. Manakala melintas di bawah halaman Tatag Rambat menuju wisma Maharani Gayatri, Cakradara sama sekali tidak menyadari seseorang mengikuti gerak kakinya dengan pandangan tidak berkedip dan isi dada yang mengombak. Orang itu Panji Wiradapa yang semula berniat membaur dengan para perwira yang duduk
menggerombol tidak jauh dari Balai Witana. Ia bergegas menghentikan langkah kaki dan menyembunyikan diri di bawah pohon tanjung, hal yang sebenarnya tidak perlu ia lakukan karena gelap malam menyembunyikannya. Bahkan dalam jarak lebih dari dua puluh lima langkah sulit untuk mengetahui siapa orang di depan sana meski tersiram cahaya obor sekalipun.
56 Gajah Mada Panji Wiradapa terus memerhatikan dan mengikuti gerak langkah Cakradara hingga lenyap dari pandangan mata. Sejenak sebelum melanjutkan langkah kakinya, Panji Wiradapa menyempatkan mengisi paru-parunya sampai penuh, melalui tarikan napas yang sangat panjang.
Membandingkan antara Cakradara dan Kudamerta, Panji Wiradapa memang tidak bisa menentukan siapa yang lebih unggul di antara mereka karena masing-masing memiliki keunggulan yang berbeda.
Cakradara memiliki tubuh yang tegap dan sangat gagah. Tubuhnya berotot dengan dada bidang, alisnya tebal. Dalam olah kanuragan Cakradara selalu mencuri perhatian siapa pun. Kemampuan kelahi menggunakan berbagai jenis senjata sulit ditandingi. Yang paling menonjol adalah kemampuannya ngembat watang. Sulit para prajurit memahami dengan cara bagaimana Cakradara mampu mengarahkan anak panahnya pada buah maja yang dilemparkan melayang di udara.
Demikian pula, terhadap anak panah yang melesat cepat, dengan kemampuan bidiknya yang tajam Cakradara dapat menggapainya dengan baik. Benturan anak panah yang dilepas untuk menjemput anak panah yang lain, kemampuan macam itu selalu dijemput dengan tepuk sorak gemuruh dari mereka yang menyaksikan.
Ketampanan Cakradara dan segala kelebihan yang dimilikinya menjadikan dirinya buah gunjing siapa pun, terutama para gadis. Nyaris tidak seorang pun gadis di Ibukota Majapahit yang tidak mengenal namanya dan semua berangan-angan menjadi pendamping hidupnya.
Namun, mimpi para gadis itu harus pupus karena Sri Gitarja gadis yang sangat beruntung itu atau bila dibalik Cakradara sungguh beruntung mampu mencuri perhatian anak gadis mendiang Raja Wijaya itu. Dengan demikian, akan membuka peluang bagi Cakradara untuk menjadi orang terpenting di bumi Wilwatikta.
Pesaing terdekat Cakradara memang hanya Kudamerta. Dengan usia sebaya, bentuk tubuh yang sangat mirip, tinggi dan gagah serta tampan, Kudamerta juga menjadi perhatian siapa pun atau gadis mana pun. Walaupun Kudamerta tak mungkin menyaingi Cakradara dalam olah panah ngembat watang, tetapi tak seorang pun yang mampu menandinginya dalam adu kecepatan berlari. Ketika digelar upacara Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 57
maleman118 yang dilakukan secara berkala di bulan Caitra, pada saat itu pula berbagai lomba ketangkasan digelar, di antaranya adalah adu balap lari, baik jarak pendek maupun jarak panjang. Selalu saja Kudamerta pemenangnya dan selalu saja Dyah Wiyat yang mendapat tugas mengalungkan untaian kembang untuk sang juara. Sebagaimana para gadis yang harus patah hati karena tak mungkin berangan-angan memiliki atau dimiliki Cakradara, demikian juga dengan Kudamerta. Kedekatannya dengan Dyah Wiyat memupus semua angan-angan para gadis itu.
Hubungan secara pribadi antara Kudamerta dan Cakradara terjalin dengan baik. Dalam banyak hal mereka sering bersama, satu dan lainnya saling menghormati dan menghargai. Apabila petang datang senja membayang, dua satria tampan itu sering berkuda menyusuri jalanan, saling membalap beradu cepat. Masing-masing memilliki kuda pilihan yang saling mengalahkan. Pada saat tertentu menempuh jarak tertentu, Cakradara yang mengendarai Mega Malang mampu melesat mengalahkan Kudamerta. Namun, di lain kesempatan Kudamerta yang membalapkan Burat Mawut melesat bagai kilat sulit dikejar.
Kuda kesayangan Cakradara yang bergelar Mega Malang sejatinya bukanlah kuda sembarangan. Tidak salah bila Mega Malang akan mengingatkan para prajurit Majapahit pada kuda Mega Lamat milik mendiang Ranggalawe. Sebenarnyalah dua ekor kuda itu memang memiliki hubungan secara langsung, Mega Malang adalah keturunan Nila Ambara yang juga disebut Mega Lamat. Sebaliknya, Kudamerta juga tak salah demikian bangga pada kudanya karena Burat Mawut adalah kuda keturunan Brahma Cikur, kuda yang pernah menjadi kebanggaan Mahapatih Nambi yang pernah digunakan bertempur ketika menyerbu Tuban. Brahma Cikur bahkan dimiliki Nambi sejak ia masih sangat muda, sepermainan dengan Raden Wijaya ketika Majapahit belum ada.
Penyelanggaraan pemerintahan ketika itu masih berada di Singasari.
Persaingan di antara mereka mungkin tidak timbul dengan
sendirinya, tetapi persaingan itu kini tumbuh dan mekar menjelma menjadi api dalam sekam. Raden Kudamerta yang mencoba ingkar 118 Maleman, Jawa, pesta pasar malam
58 Gajah Mada sejatinya tidak bisa menolak gemuruh suara hatinya yang tidak semata-mata karena pengaruh Panji Wiradapa. Dengan Sri Jayanegara mati terbunuh, dampar kencana menjadi kosong tidak ada yang mendudukinya.
Panji Wiradapa benar, dengan mengawini Dyah Wiyat maka terbuka lebar kesempatan baginya untuk menjadi orang yang disembah disuyuti.119
Namun, peluang Dyah Wiyat sebagai adik memang kalah dari Sri Gitarja yang terlahir lebih dulu. Akan tetapi, bukankah demi gegayuhan boleh menggunakan cara apa pun" Kalau ada penghalang merintang, bukankah penghalang itu harus disingkirkan"
Titik api dalam sekam itu juga mulai mletik di benak Cakradara.
Setidaknya hal itu mencuat ketika beberapa jenak sebelumnya Pakering Suramurda, pekatik 120 yang merangkap sebagai gamel,121 mengajaknya berbincang. Di mata orang banyak, Pakering Suramurda hanya seorang pekatik yang merangkap gamel, yang akan selalu menunduk penuh hormat dengan sikap tangan ngapurancang 122 di depan Cakradara. Namun, ketika hanya berdua, oleh alasan yang hanya pekatik itu yang tahu, Cakradara menaruh hormat demikian besar kepadanya. Sebaliknya, Pakering Suramurda tidak perlu harus ngapurancang di depannya.
"Paman memerlukanku?" bertanya Cakradara.
Terlihat sekali saat hanya berdua, betapa besar pengaruh Pakering Suramurda kepada Cakradara.
"Kamu membaca keadaan?" tanya lelaki bertubuh gempal itu.
"Keadaan apa yang Paman maksud?" balas Cakradara.
Pakering Suramurda melenguh, suaranya mirip lenguh salah satu kuda yang dirawatnya, yang terlontar itu sebagai ungkapan kejengkelannya.
"Peluang itu kini berada di tanganmu, kamu masih belum melihat?"
Cakradara tidak menjawab, ia memilih diam.
119 Disuyuti, Jawa, dihormati (ditakuti) orang banyak 120 Pekatik, Jawa, orang yang pekerjaannya merawat dan mengurusi kuda.
121 Gamel, Jawa, orang yang pekerjaannya mengurusi kandang kuda.
122 Ngapurancang, Jawa, sikap hormat dengan dua tangan saling genggam di perut.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 59
"Kamu harus pusatkan perhatianmu, Cakradara. Hubunganmu
dengan Sri Gitarja harus segera dituntaskan ke perkawinan. Sri Gitarja akan diangkat menjadi ratu, kamulah yang kewahyon,123 penggenggam kekuasaan yang sebenarnya. Sudah bisa dipastikan kamulah nanti yang bakal diangkat menjadi raja. Jangan sampai kesempatan yang telah berada dalam genggaman tanganmu itu terlepas. Sekali kesempatan itu lepas maka kau akan menyesal untuk selamanya."
Bila semula persoalan yang demikian tidak terpikir di benak Cakradara, lambat laun menjelma menjadi racun yang menyita ruang di benaknya, menyebabkan pemuda tampan itu harus memikirkannya. Tak mungkin menganggapnya tidak ada. Benar apa yang dikatakan gamel kuda itu, kekuasaan tertinggi atas pemerintahan Majapahit memang bisa berada dalam genggamannya, dan kekuasaan manakah yang lebih tinggi dibanding kekuasaan seorang raja" Tidak ada.
"Kaupaham dengan apa yang aku maksud, Cakradara?" tanya
pekatik kuda itu. Cakradara mengangguk, "Aku paham, Paman."
"Aku wajib mengingatkanmu, pesaing bisa menyerobot dari arah samping, atau muncul dari tempat yang sama sekali tidak terduga.
Firasatku mengatakan, sejak sekarang kau berada dalam bahaya karena pihak pesaing itu menganggap tempat dan kedudukanmu sekarang bisa menjadi batu sandungan mimpi mereka. Sejak sekarang berhati-hatilah.
Kewajibanku untuk mengamankan kepentinganmu jangan sampai ada yang mengganggu. Sejak dini aku melihat Raden Kudamerta telah mempersiapkan diri dan berupaya keras agar kekuasaan nanti jatuh ke tangannya. Menghadapi hal itu, Paman tak akan tinggal diam, Paman akan menghancurkan kekuataan itu. Paman akan menggerogoti sedikit demi sedikit dan bila perlu anak panah atau ayunan pisau akan diarahkan ke dadanya. Demi takhta dan kedudukan sebagai raja, kau harus bisa mengesampingkan hubungan pribadimu dengan Kudamerta. Janganlah kau merasa kehilangan kalau Raden Kudamerta nanti terbunuh. Untuk keperluan itu telah aku siagakan kekuatan untuk melakukannya."
123 Kewahyon, Jawa, dari kata dasar wahyu, berarti orang yang memperoleh anugerah wahyu.
60 Gajah Mada Cakradara tidak menjawab, namun mengangguk pendek. Hal
macam itulah yang membayangi Cakradara yang mangayunkan kakinya dengan gontai dan serasa tidak yakin dengan apa yang terjadi pada hari itu. Dengan dada dan kepala terasa penuh dan sesak, Cakradara siap menerima apa pun yang akan disampaikan Ratu Gayatri kepadanya.
Manakala Cakradara kemudian lenyap di balik dinding, adalah bersamaan waktu dengan sebuah peristiwa yang terjadi tak jauh dari tempatnya. Hanya beberapa jengkal langkah kaki saja darinya, di balik bayangan pohon asoka 124 yang tumbuh lebat dan bunganya sedang mekar, sebuah anak panah yang dilepas dari gendewa direntang melesat dan menggapai tenggorokan seseorang. Pelaku perbuatan itu segera melenting melenyapkan diri di balik dinding, sementara orang yang menjadi korbannya mendadak merasakan tenggorokannya amat nyeri.
Orang itu tidak bisa berteriak meletupkan kesakitan yang dideritanya, disusul kemudian ambruk dan berkelejotan. Mata orang yang menjadi korban pembunuhan gelap itu kemudian kehilangan cahayanya. Tempat peristiwa itu hanya beberapa jengkal di belakang Cakradara, tetapi sungguh Cakradara tidak menyadari.
Dengan berjalan mengendap-endap tanpa suara seperti layaknya kucing, pelaku perbuatan itu menemui orang yang berdiri dengan tenang yang tampaknya memang menunggu kedatangannya. Sebenarnya tempat itu tak jauh dari Balai Prajurit. Akan tetapi, karena terlindung oleh dua pohon bramastana berukuran sedang, apa yang terjadi di tempat itu tak ada yang mengetahui.
"Bagaimana?" tanya orang yang berdiri tenang itu. "Sudah kamu kerjakan?"
Orang yang ditanya yang tangannya masih memegang langkap, menjawab dengan tegas.
"Sudah aku kerjakan," jawabnya dengan napas sedikit agak tersengal dan pontang-panting orang itu berusaha menenangkan diri.
"Kamu yakin korbanmu sudah benar, kamu tidak salah orang?"
124 Asoka, Jawa/Jawa Kuno, nama lain bunga kamboja atau semboja, biasanya ditanam di kuburan.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 61
"Aku amat tahu siapa yang aku bunuh. Kuarahkan anak panahku tepat ke tenggorokannya."
Orang pertama yang rupanya berada pada pihak yang memberi perintah untuk melakukan pembunuhan itu terdiam. Cukup lama orang itu membeku sambil menatap bintang-bintang di langit, seperti mencari sesuatu di atas sana, sesuatu yang dicari itu tidak ditemukan.
"Bagus," ucapnya pendek setelah menoleh mengarahkan pandang kepada lawan bicaranya.
Pemegang langkap tersenyum, ia senang hasil pekerjaannya dipuji.
"Upahnya?" tanya orang yang baru saja membunuh itu.
Dengan amat tenang, orang yang memberi perintah mengeluarkan sebuah kampil 125 berwarna hitam. Ketika digoyang kampil itu memperdengarkan suara gemerincing, menandakan ada banyak uang dalam kantung itu. Dengan amat bernafsu pembunuh yang dibayar itu menerima upahnya. Untuk memastikan uang dalam kantung itu memang banyak, ia bergegas membuka dan meraba uang itu dengan tangannya.
Ada yang tidak disadari oleh pembunuh bayaran itu. Ada sesuatu yang kenyal melingkar di dalam kantung itu, yang punya tenaga untuk menggeliat dan mematuk. Menyatu dalam uang yang gemerincing, seekor ular berjenis weling, kecil saja dan hanya sepanjang dua kilan. Akan tetapi, siapa pun tahu ular weling adalah jenis ular yang sangat mematikan.
Tidak ada yang bisa menandingi kekuatan racun ular weling kecuali jenis ular sendok126 atau bandotan. Siapa pun yang dipatuk ular itu akan mendapatkan jaminan terbukanya pintu kematian.
Pembunuh bayaran itu terhenyak ketika sesuatu menyengat telapak tangannya, disusul rasa sakit yang datang sangat cepat, bergerak seiring dengan aliran darah dan menggerataki telapak tangannya. Rasa panas yang tajam dengan segera merambat ke arah pangkal lengan dan menyebar siap melumpuhkan syaraf dan menghancurkan butiran darahnya. Cepat dan pasti racun ular itu bekerja. Panas yang dirasakan 125 Kampil, Jawa, kantung tempat menyimpan uang 126 Ular sendok, Jawa, kobra
62 Gajah Mada oleh pembunuh gelap itu melebih air yang mendidih, bahkan melebihi jilatan lidah api dengan warna paling biru sekalipun.
"Apa yang kaulakukan?" bertanya pembunuh bayaran itu dengan suara parau dan bergetar lengkap dengan segala kepanikannya.
Pembunuh bayaran itu sangat sadar, ia tak mungkin selamat dari patukan ular weling yang keluar dari kampil dan merayap menjauh.
Kepanikan dan ketakutan yang terjadi memberi sumbangsih dalam mempercepat datangnya kematian, namun tanpa itu pun, racun ular weling memang sudah menjadi jaminan kematian pasti terjadi.
Orang yang memerintahkan pembunuhan itu tidak menjawab
pertanyaan itu dan hanya memerhatikan bagaimana gendewa yang dipegang orang yang sekarat itu terlepas, matanya melotot serasa akan lepas. Tahapan sekarat itu bahkan diperhatikan dan dihayatinya dengan baik. Berkali-kali orang itu melihat peristiwa macam itu, tetapi sekarat yang dialami orang tetap menjadi tontonan yang mendebarkan.
"Kenapa kaulakukan ini kepadaku?" tanya orang itu di sisa tenaganya.
Pertanyaan itu rupanya punya kemampuan mengusik.
"Untuk sebuah gegayuhan. Pada saatnya kelak, Rangsang Kumuda akan bisa dan berhasil menggapai cita-citanya," jawabnya.
Hanya dalam hitungan tak sampai sepenginang,127 kesakitan yang diderita oleh orang yang dipatuk ular itu berakhir. Napas yang tersisa berhenti setelah sebuah tarikan panjang. Sambil memerhatikan raut muka sekarat itu, orang yang memberi perintah pembunuhan itu mengambil kampil yang memang penuh berisi uang dan sebagian di antaranya uang emas yang besar nilainya.
Dengan melenggang seolah tidak terjadi apa-apa, orang yang menyebut nama Rangsang Kumuda itu mengayun kaki meninggalkan tempat itu.
127 Sepenginang, Jawa, waktu yang digunakan untuk makan sirih (kinang), maksudnya tidak terlampau lama.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 63
6 Suara burung gagak yang berteriak di wuwungan istana itu terasa sangat mengganggu, tetapi tak menggerakkan siapa pun untuk membungkam mulutnya. Gajah Mada yang melintas sambil mengarahkan pandangan matanya ke Segaran menyimaknya sebagaimana yang diyakini banyak orang, tak lebih dari sekadar membaca pertanda alam.
Membungkam mulut burung berbulu hitam itu jelas perbuatan bodoh yang tak ada gunanya. Dibungkam sekalipun Jayanegara telah telanjur tak mampu bernapas, tidak mungkin bangun lagi. Jauh di ujung benaknya, meski terganggu oleh suara yang tak nyaman itu, sama sekali tidak menggerakkan keinginan di hati Gajah Mada untuk menghentikan teriakan-teriakan tidak nyaman dan mengganggu telinga itu.
Suara tangis masih terdengar datang dari keputren. Seorang emban menangis sesenggukan atas nama rasa sangat kehilangannya. Kematian Sri Jayanegara serasa kiamat baginya. Emban-emban yang lain sudah berusaha menghibur dan menenangkan, tetapi emban yang satu ini rupanya menyimpan banyak cadangan air mata yang terus saja berleleran menyebabkan pupur beras di wajahnya menjadi berlepotan, matanya sembab menjadi sipit menyebabkan bola matanya tak kelihatan.
Berbeda terhadap suara burung gagak yang tidak seorang pun berkeinginan membungkamnya meski suaranya yang memekakkan telinga sangat mengganggu. Sebaliknya, terhadap suara emban itu, nyaris segenap prajurit yang menggerombol tak jauh dari tempat itu ingin menyumpal mulutnya dengan gumpalan kain. Tangis emban itu terlampau berlebihan dan berlepotan. Seorang prajurit akhirnya tergerak mendatanginya karena suara tangis itu tembus ke wisma para Ratu.
"Kalau tak mau diam, kubenamkan tombak ini ke mulutmu," ancam prajurit itu yang ternyata sangat mujarab.
Ancaman itu bagai obat yang menyadarkan emban cengeng itu untuk diam. Tersadar bahwa tangisnya terlampau berlepotan, dengan 64
Gajah Mada sekuat tenaga ia berusaha mengendalikan diri, namun upaya itu menyebabkan lehernya serasa tercekik.
"Di dalam para Ratu sedang berembuk masalah penting, tangismu sangat mengganggu, tahu?" tambah prajurit itu dengan nada bisik.
Amat gugup emban itu dan bergegas menutup mulutnya dengan tangan kanan dan kiri bergantian.
Sebenarnyalah empat Ibu Ratu dan Sri Gitarja serta Dyah Wiyat tengah berada di salah satu ruang istana. Satu-satunya orang yang diizinkan mengikuti pembicaraan hanyalah Mapatih Arya Tadah.
Pendapat orang kedua setelah raja itu sangat didengar, terutama dalam menentukan siapa yang akan menggantikan Sri Jayanegara, sebuah keputusan yang tidak sepele karena menyangkut masa depan negara setelah raja sebelumnya terbunuh.
Suasana ruangan itu sangat hening, dalam keadaan yang demikian senyap, bahkan suara benik 128 yang jatuh pun pasti akan terdengar.
"Siapa?" pertanyaan yang mengoyak senyap akhirnya keluar dari mulut Ratu Gayatri.
Ratu Gayatri tidak main-main dalam berserah diri menjadi biksuni.
Ketika masih mendampingi suaminya, Ratu Gayatri memiliki kecantikan paling menonjol dari para saudaranya. Ratu Gayatri memiliki rambut yang hitam, lebat, dan panjang sampai menyentuh betis. Akan tetapi, ketika telah bulat keputusannya menyerahkan diri pada agama yang dianutnya dengan menjadi biksuni, rambut yang panjang itu dibabat habis. Mata hatinya yang sejuk jelas terpancar dari tatapan matanya yang begitu bening, jernih yang menjadi gambaran kejernihan hatinya. Meski usianya telah berada di atas lima puluhan tahun, kecantikan Ratu Gayatri masih memancar bercahaya.
Ratu Tribhuaneswari yang semula menunduk mengangkat
kepalanya, suara yang keluar dari mulutnya amat tenang.
"Aku serahkan keputusan yang terbaik kepadamu," ucap janda Raden Wijaya yang rambutnya masih legam itu.
128 Benik, Jawa, kancing baju
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 65
"Mbakyu Ratu jangan begitu," jawab Ratu Gayatri. "Sebaiknya Mbakyu Ratu menunjuk, siapa yang seharusnya diangkat menjadi raja di Majapahit setelah Ananda Jayanegara tiada."
Ratu Tribhuaneswari tersenyum dan senyuman itulah jawabnya.
Anak kedua mendiang Raja Singasari terakhir itu telah bulat pada putusannya. Tribhuaneswari meyakini, masa depan Majapahit merupakan hal yang amat penting. Untuk menunjuk siapa yang akan menggantikan Jayanegara dibutuhkan kejernihan mata hati, dan itu hanya adiknya yang seorang biksuni yang memiliki. Ketajaman mata hati Ratu Gayatri tentu bisa mengintip jauh ke depan, ke sebuah masa yang masih berada di wilayah akan datang. Tribhuaneswari merasa siapa yang dipilih adiknya, tentulah ia orang yang terbaik, apalagi pilihan itu hanya berasal dari dua orang kakak beradik, antara Sri Gitarja dan adiknya, Dyah Wiyat. Sri Gitarja yang dipilih baik, demikian pula apabila Dyah Wiyat yang dipilih juga baik, dua-duanya anak keturunan Raden Wijaya, bukan orang luar yang di darahnya tidak mengalir wangsa Rajasa.
Ternyata bukan hanya Ratu Tribhuaneswari yang mempunyai
pendapat seperti itu. Ratu Pradnya Paramita yang duduk mematung dengan mata terpejam juga menyumbang pendapatnya tanpa membuka mata.
"Aku sependapat dengan Mbakyu Ratu Tribhuaneswari, sebaiknya Adi Ratu Biksuni yang mengambil keputusan. Apa pun keputusan yang akan kauambil, siapa yang akan kautunjuk menjadi ratu di bumi Majapahit ini, aku manut. Akan aku restui dan kupagari dengan doa dan japa mantra."
Ratu Gayatri menghirup tarikan napas amat berat. Ratu
Narendraduhita tersenyum, senyum itulah yang berbicara. Namun, Ibu Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri belum merasa puas. Keputusan kakaknya yang menyerahkan sepenuhnya kepada dirinya justru menjadi beban yang sangat berat.
"Kalau Mbakyu Ratu Narendraduhita bagaimana?" perempuan
berkepala gundul itu bertanya dengan suara sangat sejuk.
"Aku sependapat dengan Mbakyu Tribhuaneswari dan Adi Ratu Pradnya. Aku manut dengan apa pun keputusanmu, siapa pun yang 66
Gajah Mada akan kautunjuk aku merestui. Namun, ambillah keputusan yang amat bijaksana."
Ambillah keputusan yang sangat bijaksana! Setidaknya Ratu Narendraduhita memberikan rambu-rambu untuk jangan salah mengambil langkah. Peringatan yang seperti tidak bermuatan apa-apa itu justru membuat Ratu Gayatri merasa terbebani. Menunjuk siapa yang akan menjadi penguasa Majapahit bukan sekadar mengarahkan telunjuk tanpa beban perasaan sama sekali. Di antara pilihannya terdapat dua orang yang sama-sama disayanginya, bagaimana tidak, dua-duanya adalah anak keturunannya yang sama-sama terlahir dari gua garba- nya.129 Pada salah satu di antara mereka, ia tidak ingin membuat kecewa. Siapa yang dipilih" Sri Gitarja atau Dyah Wiyat" Kalau saja sepeninggal Jayanegara masih ada anak laki-laki. Namun, tak ada anak laki-laki itu. Sri Jayanegara sendiri tidak memiliki keturunan bahkan tak mengangkat seorang istri, apalagi permaisuri sehingga pemilihan pengganti Sri Jayanegara menjadi serumit itu.
Sri Gitarja sangat mungkin terpilih sebagai ratu karena dari calon yang ada, Sri Gitarja lebih tua. Akan tetapi, apabila dilihat dari sisi kemampuan, adiknya banyak memiliki kemampuaan yang tidak terduga.
Lebih tegar, lebih berwawasan luas, lebih jauh dalam memandang ke depan, dan lebih berwibawa. Kelemahan Sri Gitarja adalah karena ia sering sakit-sakitan, sebuah keadaan yang di masa silam sangat diirikan Dyah Wiyat, sebab hanya dengan sakit ia bisa bertemu dengan Rakrian Tanca kekasih hatinya.
Sementara dalam olah pikir, tidak jarang Dyah Wiyat melontarkan pendapat yang mengagetkan. Ini menjadi gambaran anak bungsu mendiang Raden Wijaya itu memiliki kecerdasan yang tak bisa diremehkan.
Ibu Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri mengarahkan pandangan matanya kepada Arya Tadah. Meski Patih Arya Tadah membalas pandangan mata itu, ia tidak membuka mulut. Arya Tadah pilih menempatkan diri menjadi pendengar yang baik. Arya Tadah merasa 129 Gua garba, Jawa, rahim, kandungan
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 67
harus menempatkan diri tak ubahnya sebuah gong, yang tidak berbunyi bila tidak ditabuh, tidak berbicara bila tidak dimintai pendapat. Arya Tadah merasa demikian tata kramanya.
Ratu Gayatri memandang wajah kedua anak gadisnya dengan
gumpalan pertanyaan yang membingungkan. Apa yang dihadapinya kali ini tak ubahnya makan buah malakama, buah perlambang pilihan yang membingungkan, pilihan yang sama-sama berat, ibarat dimakan buah itu maka bapak yang mati, apabila tidak dimakan akan menyebabkan ibu yang mati. Apabila mungkin, Ratu Gayatri ingin meniru apa yang pernah dilakukan Airlangga yang memutuskan membelah negara menjadi dua untuk dua anaknya, yang kemudian menjadi Panjalu dan Kadiri.
Namun, untuk sebuah keutuhan negara Ratu Gayatri tidak akan mengulang hal itu yang jelas merupakan kesalahan yang tak boleh terjadi.
Demikian juga ia tidak boleh mengulang kesalahan suaminya, Raden Wijaya, yang terpaksa memberikan separuh negara kepada Banyak Wide karena kalah janji sehingga Banyak Wide atau Aria Wiraraja menjadi raja sendiri dengan beribu kota di Lumajang, yang di sana pernah dibangun sebuah benteng dengan nama menggetarkan, Pajarakan, yang meninggalkan jejak kisah perang yang juga tak kalah menggetarkan.
Mengangkat Sri Gitarja menjadi ratu tentu akan melukai adiknya.
Demikian pula memilih Dyah Wiyat, pilihan itu akan melukai perasaan kakaknya. Apabila diurutkan dari siapa yang lebih tua maka kekuasaan menjadi ratu itu seharusnya jatuh ke tangan Sri Gitarja. Haruskah pemilihan ratu itu dilakukan dengan membutakan mata, dianggap seolah tak ada masalah, tak akan ada yang keberatan dan semua pihak akan menerima dengan ikhlas tanpa ada yang keberatan, padahal".
Bersandar dinding, Dyah Wiyat tersenyum berusaha menguatkan hati ibundanya untuk tidak ragu dalam mengambil keputusan. Bersihnya hati Dyah Wiyat, sebagai adik ia sadar betul bahwa kakaknyalah yang berhak mewarisi kedudukan yang ditinggalkan Jayanegara.
...padahal di belakang Sri Gitarja ada nama Cakradara dan di belakang Dyah Wiyat ada nama Kudamerta. Ratu Gayatri yakin dua anaknya tidak akan saling berebut, tetapi lelaki adalah makhluk yang memiliki keangkuhan diri dilandasi pula oleh naluri penonjolan jati diri.
68 Gajah Mada Dua nama lelaki di belakang dua anak gadisnya itulah yang justru dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak.
"Atau, jangan-jangan kekhawatiranku ini berlebihan," kata hati Ratu Gayatri.
Ratu Gayatri terpaksa menggali masa lalu, hal yang tidak pernah dibayangkan mengingat ia juga tidak membayangkan Jayanegara akan pralaya dengan begitu tiba-tiba, yang datangnya seperti turunnya hujan tanpa mendung. Atau, gelegar petir di kala langit begitu bersih. Di masa lalu, ketika negara masih berada di bawah naungan Singasari, leluhurnya, Ranggawuni anak Anusapati dan Mahisa Cempaka anak Mahisa Wonga Teleng bisa bekerja sama menggelar pemerintahan bersama, kenapa tidak" Kenapa yang demikian tidak dicoba" Negara bukanlah tanah warisan yang bisa dibelah dibagi untuk berapa orang yang mewarisinya.
Negara harus utuh, tidak boleh dibelah karena jauh ke depan keputusan yang demikian akan memecah belah persatuan dan kesatuan.
"Tidak baik memilih keduanya," kata hati Ratu Gayatri. "Di belakang Sri Gitarja ada Cakradara dan di belakang Dyah Wiyat ada Kudamerta.
Persaingan di antara mereka punya kemungkinan kuat menimbulkan terjadinya perselisihan. Oleh karena itu, harus dibatasi secara tegas. Aku harus memilih salah satu, Sri Gitarja atau Dyah Wiyat."
Ratu Gayatri akhirnya memang telah sampai pada pilihan salah satu di antara mereka. Ratu Gayatri mendadak menoleh kepada Arya Tadah.
Arya Tadah sedang menggerakkan kepala untuk menunduk.
"Paman Tadah," ucap Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri.
Arya Tadah yang berniat menunduk itu terkejut. Panggilan itu tepat terjadi ketika ia ikut memejamkan mata meniru apa yang dilakukan Ratu Pradnya Paramita. Bergegas Arya Tadah membuka mata. Bergegas pula Arya Tadah merapatkan tangan di depan dada dan membawa telapak tangan itu ke ujung hidung dalam sikap menyembah.
"Hamba, Tuan Putri," jawab Arya Tadah.
"Paman Arya Tadah telah ikut mendengar bagaimana keinginan dan pendapat para Mbakyu Ratu. Keputusan yang akan aku sampaikan ini nantinya merupakan pengejawantahan keinginan semua kerabat istana.


Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 69
Namun, barangkali Paman akan menambahi" Kalau ya, silakan, Paman.
Siapa menurut Paman yang harus mewarisi kedudukan anakku Jayanegara?"
Arya Tadah yang tua itu menghirup udara di ruangan itu melalui tarikan napas panjang sebelum berbicara. Arya Tadah kembali merapatkan kedua telapak tangannya yang ditarik dan dilekatkan ke dada, lalu secara perlahan dibawa ke ujung hidung. Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri tersenyum menerima sembah itu.
"Kalau menurut hamba pribadi, siapa pun di antara para Sekar Kedaton yang akan didudukkan menjadi ratu, hamba akan mengikuti keputusan itu. Siapakah yang akan menjadi ratu, sepenuhnya terserah pada keputusan para Tuan Putri. Negeri Kalingga di bawah Putri Shima menjadi brenggala 130 buat kita bahwa pemegang kuasa atas negeri tidaklah harus seorang raja."
Arya Tadah ternyata tidak memberikan pendapatnya, padahal Ratu Gayatri sangat ingin Patih Amangkubumi Majapahit itu menyebut sebuah nama untuk menjadi pembanding dengan nama yang telah tergenggam di telapak tangannya.
"Baiklah, Paman. Aku akan segera menyampaikan siapa yang akan aku tunjuk menjadi pengganti Anakmas Jayanegara. Apakah Cakradara dan Kudamerta sudah berada di luar?" bertanya Ratu Gayatri.
Pertanyaan itu bukan sekadar bertanya, namun sejatinya sebuah perintah bagi Patih Arya Tadah untuk keluar mempersilakan Cakradara dan Kudamerta masuk. Arya Tadah bergegas menyembah lalu beringsut mundur tanpa berani membelakangi para Ratu. Setelah berada pada jarak cukup, Arya Tadah kembali menyembah dan berbalik. Ketika pintu dibuka, benar Cakradara dan Kudamerta memang berada di luar pintu, namun pada saat bersamaan Gajah Mada juga terlihat bergegas mendekat.
"Silakan, Anakmas Cakradara dan Kudamerta," ucap Mahapatih Tadah.
130 Brenggala, Jawa, cermin
70 Gajah Mada Cakradara dan Kudamerta saling pandang dan menyempatkan
memerhatikan Gajah Mada yang melangkah mendekat. Setelah memberikan penghormatan kepada Mahapatih Arya Tadah, Cakradara dan Kudamerta memasuki pintu yang telah dibuka untuknya. Dengan beriringan dua pemuda gagah itu masuk ke dalam ruangan. Karena Gajah Mada tak termasuk orang yang dipanggil, Mahapatih Tadah segera menghadang kedatangan Patih Daha yang berbadan kekar dengan otot-otot melingkar itu.
"Sedang terjadi pembicaraan penting di dalam, sebaiknya kau jangan minta izin masuk," cegah Tadah.
Gajah Mada memandang Arya Tadah amat tajam.
"Pembicaraan mengenai apa, Paman Tadah?" balas Gajah Mada.
"Memutuskan siapa yang akan diangkat menjadi pucuk pimpinan negara ini."
Terkatup mulut Gajah Mada dengan raut muka yang amat jelas bisa dibaca.
"Aku wajib memberikan sumbang saranku, Paman," kata Gajah Mada.
Arya Tadah menggeleng. Pembicaraan yang terjadi di dalam berada di luar wilayah kewenangan Gajah Mada. Keinginan Gajah Mada menyampaikan sumbang saran itu bahkan terasa berlebihan siapa pun Gajah Mada, apalagi ia hanya seorang patih di wilayah Daha.
"Jangan, Gajah Mada," jawab Arya Tadah. "Kau berada di luar kewenangan pembicaraan itu."
Gajah Mada merasa jengkel. Gajah Mada merasa punya alasan untuk merasa jengkel. Itu sebabnya, wajahnya menebal.
"Paman, aku punya alasan penting untuk menyampaikan
pendapatku kepada para Ratu. Aku sangat memahami bila kehendakku ini dirasa berlebihan. Akan tetapi, bila pembicaraan itu menyangkat penunjukan siapa yang akan menggantikan Tuanku Jayanegara, suaraku wajib didengar."
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 71
Arya Tadah merasa jengkel.
"Bahkan aku, Gajah Mada," jawab Mapatih yang dengan jelas menampakkan rasa tidak senangnya, "aku yang Mahapatih di Majapahit, aku merasa tidak pantas dan tidak layak untuk mencampuri pembicaraan para Ratu. Tuan Putri Ratu Gayatri telah menanyai aku, meminta sumbang saranku atas siapa sebaiknya yang dipilih menjadi pengganti Anakmas Jayanegara, aku menolak dan menyerahkan sepenuhnya kepada para Ratu."
Namun, bukan Gajah Mada kalau terpangkas niatnya hanya oleh jawaban itu. Gajah Mada melangkah mundur membelakangi Arya Tadah untuk sejenak kemudian berbalik lagi.
"Dulu ketika terjadi makar yang dilakukan Ra Kuti, suaraku amat didengar. Manakala urusannya ada hubungannya dengan perebutan kekuasaan, suaraku sangat didengar. Dan sekarang, di luar sana titik api dalam bara sekam itu kembali menyala, bau perebutan kekuasaan dimulai lagi. Adakah Paman masih akan menghalangi aku menghadap para Ratu untuk menyampaikan pendapatku" Selama ini tugasku hanya sebagai pemadam kebakaran, orang lain yang bermain api akulah yang bertugas memadamkan kebakaran yang terjadi. Tak bisakah kali ini dibalik, suaraku didengar sebelum kebakaran yang sebenarnya terjadi?"
Segera mencuat sebelah alis Arya Tadah.
"Apa maksudmu?" tanya kakek tua itu. "Di luar sana ada titik api dalam bara sekam, apa maksudmu, Gajah Mada?"
Namun, belum lagi Gajah Mada menjelaskan apa yang dimaksud, Kudamerta yang semula sudah masuk ke dalam ruang itu keluar lagi.
"Paman," Kudamerta menyita perhatian, "Paman Mahapatih Arya Tadah dan Gajah Mada diminta menghadap."
Arya Tadah mengangguk. Jika para Ratu memang menghendaki, tentu tidak masalah Gajah Mada dilibatkan dalam pembicaraan yang terjadi. Gajah Mada dengan usianya yang masih muda dan tatapan matanya yang tajam dalam memandang jauh ke depan sangat mungkin mempunyai sumbang saran yang akan bermanfaat bagi kepentingan bangsa dan negara. Ke depan pula, Arya Tadah bahkan berangan-angan 72
Gajah Mada pemuda itu yang nantinya akan menggantikan kedudukannya menjadi Mahapatih Wilwatikta apabila ia sudah tidak mampu lagi ngemban 131
jabatan itu. Dengan waktu bersamaan, Gajah Mada dan Mahapatih
Amangkubumi Arya Tadah memberikan sembahnya. Gajah Mada menempatkan diri duduk bersila di belakang Cakradara dan Kudamerta yang juga bersila berdampingan, sementara Arya Tadah kembali menempatkan diri di tempat duduk semula. Para Ratu memerhatikan dengan cermat pembicaraan yang akan terjadi. Udara dingin yang dirasa menggigit menyebabkan Ratu Tribhuaneswari merasa membutuhkan selimut yang lebih tebal lagi. Udara dingin yang sama bagi Ratu Pradnya Paramita terasa sangat mengganggu. Beberapa kali Ratu Pradnya Paramita harus bersin-bersin.
Hening yang sangat senyap menggerataki ruangan itu. Bau
kemenyan yang menyengat dari pahoman atau perapian besar di tengah alun-alun mewarnai seisi ruang dengan amat pekat berbaur wangi kembang setaman, bau parutan batang cendana serta asap dupa. Hening bahkan mungkin dirasakan oleh para jin dan setan priprayangan 132 yang amat terpengaruh oleh perbawa pralaya yang terjadi. Perbawa pralaya itu bahkan mulai dikemuli oleh kabut yang mengalir lamat-lamat. Halimun mulai menyapa sudut-sudut pendapa. Balai Prajurit yang terletak di selatan Segaran bahkan dijelajahi kabut yang lebih tebal, cahaya obor yang dipasang berpendar.
Atas perintah Gajah Mada yang disalurkan ke segenap pasukan Bhayangkara yang mengemban tugas khusus mengamankan istana, penjagaan benar-benar ketat. Di luar pintu dijaga oleh empat prajurit bersenjata dengan sikap tegak siaga yang apabila dikiaskan tidak ubahnya patung batu yang disebut gopala. Di beberapa tempat dijaga prajurit yang berkeliling di puncak kesiagaannya.
"Gajah Mada." Gajah Mada yang disebut namanya segera membalas dengan
kembali bersikap sebagaimana seharusnya. Sigap Gajah Mada 131 Ngemban, Jawa, memangku
132 Priprayangan, Jawa, segala makhluk halus Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 73
merapatkan dua telapak tangannya dan membawanya melekat ke ujung hidung.
"Hamba, Tuan Putri Ratu Gayatri," jawabnya.
Ratu Gayatri tidak berkedip dalam arah tatapan matanya.
"Aku percayakan segala hal yang harus diambil dalam persiapan pemakaman Anakmas Prabu Jayanegara seutuhnya kepadamu. Ambil langkah apa pun, kuberikan kewenangan seluasnya kepadamu dalam melakukan itu. Selanjutnya, laporan apa yang hendak kauberikan kepadaku, Gajah Mada?"
Gajah Mada kembali merapatkan dua telapak tangannya.
"Hamba telah mengatur semuanya. Hamba telah menyalurkan
semua perintah dan semua pihak telah bekerja sesuai tugas masing-masing. Mohon Tuan Putri tidak perlu terganggu oleh masalah itu,"
jawabnya. Ratu Gayatri mengangguk dan mengalihkan pandangan matanya, kali ini pada wajah-wajah calon menantunya. Cakradara mempersiapkan diri menjawab apabila Ratu Gayatri akan bertanya, demikian pula dengan Kudamerta yang merasa perlu merapikan sikap duduknya. Namun, apa yang diucapkan Ratu Gayatri ternyata belum sampai pada Cakradara maupun Kudamerta. Kembali Ratu Gayatri menatap wajah Gajah Mada, pembicaraan masih terarah pada Patih Daha itu.
"Ada sebuah hal penting yang ingin aku tanyakan terlebih dulu, bagaimana penangananmu terhadap mayat Ra Tanca?" tanya Ratu Gayatri.
Gajah Mada benar-benar terperanjat. Pertanyaan macam itu sama sekali tidak diduganya. Gajah Mada sama sekali tidak mengira Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri akan bertanya bagaimana penanganan mayat Rakrian Tanca, orang yang telah melukai hati dan perasaan para Ratu bahkan kawula se-Majapahit. Gajah Mada segera bingung dalam mengambil pilihan jawaban paling tepat, jawaban manakah yang harus diberikan apabila menyangkut bagaimana membuat hati para Ratu yang terluka itu gembira.
74 Gajah Mada Rupanya sikap Ratu Gayatri amat berseberangan dengan sikap umum yang menghendaki jasad Ra Tanca dibuang saja ke Kali Brantas agar nantinya menjadi santapan buaya di mulut sungai menjelang laut lepas di daerah Panjalu, atau jika perlu mayat itu dibuang ke hutan supaya menjadi santapan harimau dan ular. Jika binatang-binatang itu tidak sudi memangsa mayatnya karena mungkin mengandung racun, bisa dipastikan mayatnya akan membusuk dan menjadi santapan cacing.
"Jika aku tak salah tebak," lanjut Ratu Gayatri, "penanganan terhadap jasad Ra Tanca berjalan tidak semestinya. Benar demikian, Gajah Mada."
"Hamba, Tuan Putri," jawab Gajah Mada tangkas. "Penanganan terhadap pemakaman Ra Tanca sudah berjalan semestinya. Jasad Ra Tanca sudah dikembalikan kepada keluarganya. Keluarganya itulah yang paling berhak menentukan bagaimana pemakaman Ra Tanca. Apabila keluarganya berniat mencandikan, keputusan itu sepenuhnya ada di tangan mereka. Sebaliknya, hamba mohon izin bertanya, apakah Tuan Putri akan mengizinkan Ra Tanca dicandikan?"
Jawaban Gajah Mada itu menyebabkan Ratu Gayatri terpaksa tersenyum dan para Ratu yang lain dengan segera mencuatkan alis.
Namun, dengan segera pula para Ratu itu ingat, yang suka bicara blak-blakan macam itu hanyalah Gajah Mada.
Yang tidak diduga oleh Gajah Mada adalah jawaban Ratu Gayatri.
"Kalau keluarganya berniat mencandikannya tentu tidak ada pihak mana pun yang berhak melarang mencandikan. Bukankah demikian yang benar, Gajah Mada?"
Gajah Mada terbungkam. Sama sekali tak diduganya ucapannya akan berbuah jawaban seperti itu. Gajah Mada segera ingat bahwa Ratu Gayatri itu seorang biksuni. Sebagai biksuni, Ratu Gayatri terbebas dari mata rantai dendam. Itulah sebabnya, cara pandang Ratu Gayatri tak seperti cara pandang orang pada umumnya. Bila mata rantai dendam dimanjakan, tentu segenap keluarga Ra Tanca, anak istrinya yang tidak tahu apa-apa harus ditumpas habis sampai tanpa sisa.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 75
Di tempat duduknya, Mahapatih Arya Tadah menyembunyikan
senyum dan nyaris geleng-geleng kepala. Soal pencandian, Mapatih Arya Tadah bahkan tidak pernah berpikir kelak kematiannya akan ditandai dengan pembuatan sebuah candi.
Di tempat masing-masing, Cakradara dan Kudamerta seperti patung beku. Tak terbaca perubahan apa pun di wajah mereka setelah mendengar apa yang dikatakan Gajah Mada. Apabila tatapan mata Sri Gitarja tertuju kepada wajah calon suaminya dengan menyembunyikan rasa gembira, sangat berbeda dengan adiknya. Tubuh Sri Jayanegara yang menggeliat setelah minum obat yang diberikan Ra Tanca, lalu tikaman keris yang diayunkan Gajah Mada ke tubuh Ra Tanca, rangkaian peristiwa yang terjadi itu melekat dan menjadi hantu abadi yang tak mungkin bisa dilupakan. Wajah Rakrian Tanca yang justru memenuhi benak gadis itu.
Bagi Dyah Wiyat, amat sulit memusatkan perhatiannya kepada Kudamerta. Kepada diri sendiri Sekar Kedaton Dyah Wiyat pernah berusaha jujur terhadap pertanyaan, sukakah ia kepada calon suami yang disodorkan kepadanya itu, cintakah ia kepada Kudamerta, jawabnya ternyata tidak. Sama sekali tidak ada perasaan macam itu.
Jauh waktu berlalu, Dyah Wiyat tahu melalui isyarat yang diterimanya bahwa lelaki yang pernah mengobati sakit demam yang dideritanya itu menyukainya. Dalam hatinya lalu muncul gejolak. Di usia enam belas tahun itulah untuk pertama kalinya permukaan hatinya disentuh orang, menyebabkan ia selalu terkenang dan memikirkan, menyebabkan tidurnya tidak pernah nyenyak, wajah Tanca selalu menyelinap dalam lamunan. Terhadap Kudamerta calon suaminya, ia merasa tak memiliki getar dahsyat seperti yang dirasakan ketika Ra Tanca memberikan isyarat cintanya, mengundang gemuruh bagai gelegak gunung di relung-relung kalbu. Sejak itu wajah Ra Tanca selalu membayang, angan-angannya mulai melambung, andaikata bersuamikan Ra Tanca, andaikata tak ada hambatan baginya untuk menjalin hubungan asmara dengan laki-laki tampan beralis tebal berkumis tipis itu, hidupnya tentu bahagia. Dyah Wiyat yang memejamkan mata tak mengikuti secara utuh pembicaraan yang terjadi antara ibunya dengan Gajah Mada.
"Satu lagi sebuah pekerjaan besar aku percayakan kepadamu untuk mengatur, Gajah Mada. Meski sebuah peristiwa besar, aku ingin 76
Gajah Mada dilaksanakan dengan cara sederhana. Malam ini juga aku satukan anakku Sri Gitarja dengan Cakradara dan anakku Dyah Wiyat dengan Kudamerta. Aku ingin perkawinan mereka dilakukan saat ini mumpung masih bisa ditunggui kakaknya."
Segenap orang dalam ruang itu kaget. Udara serasa bergetar, dua ekor cecak yang berlarian sejenak menghentikan tingkahnya.
Sebenarnyalah dalam pembicaraan sebelumnya masalah itu sama sekali tidak dibicarakan. Ratu Tribhuaneswari saling pandang dengan Ratu Pradnya Paramita, Ratu Narendraduhita memandang adiknya jelas-jelas dengan memperlihatkan raut muka tidak percaya.
Sri Gitarja tidak menampakkan perubahan apa pun di wajahnya, namun dalam hatinya menyembunyikan warna berbeda. Sri Gitarja merasa penungguan waktu yang sangat lama itu akhirnya sampai pula di tujuan. Berbeda dengan Sri Gitarja, Dyah Wiyat amat kaget dan terbaca jelas dari permukaan wajahnya. Dyah Wiyat langsung merasa tidak bahagia dengan keputusan itu. Ia merasa keputusan itu aneh, ada sebuah hal yang sulit ia mengerti, mengapa ia harus menerima keputusan itu tanpa hak untuk mempersoalkan. Dilatari warna perasaannya terhadap Kudamerta yang biasa-biasa saja, tidak meluap dan menggelegak seperti warna perasaannya kepada Ra Tanca, Dyah Wiyat merasa ada yang tidak pada tempatnya.
Cakradara tetap dalam sikapnya yang amat tenang. Sebagaimana Sri Gitarja, Cakradara telah siap jiwa, raga, lahir, dan batin manakala saatnya tiba. Di hari pralaya Jayanegara keputusan yang ditunggu-tunggu itu akhirnya datang. Namun, Cakradara menyembunyikan warna hatinya itu dengan sebaik-baiknya, raut mukanya datar-datar saja.
Di sebelahnya, Kudamerta menunduk. Wajah yang tiba-tiba
membayang dan memenuhi benaknya bukan wajah Dyah Wiyat.
Kudamerta juga tidak menyempatkan menengadah dan menoleh ke arah calon istrinya. Dengan mata terpejam seperti itu yang hadir justru wajah seorang lelaki tua yang kata-katanya selalu terngiang-ngiang di telinganya.
"Kau harus bermimpi, Kudamerta. Kau harus menggantungkan angan-angan setinggi langit. Akan tetapi, tidak sekadar bermimpi, jauh lebih penting dari itu kau harus berusaha dengan keras mewujudkan Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 77
mimpi itu menjadi kenyataan. Kaupunya peluang itu, kau bisa menjadi raja, menjadi orang terdepan. Kini saatnya, gunakan kesempatan yang terbuka jelas di depan matamu."
Wajah yang membayang dan demikian menyita perhatiannya itu adalah wajah Panji Wiradapa. Berbeda dengan Cakradara yang tetap tenang, sebaliknya Kudamerta tak bisa menyembunyikan gelisahnya akibat racun yang mulai menjalar di benaknya. Awalnya Kudamerta tidak pernah berpikir menjadi raja, namun sejak Panji Wiradapa meniupkan mantra-mantra pembuka gerbang nafsu, keinginan untuk menjadi orang utama di Majapahit itu menyeruak tumbuh dan mekar.
Apa yang disampaikan Ibu Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri itu juga tak kalah mengagetkan Mahapatih Arya Tadah. Arya Tadah mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan para Sekar Kedaton. Waktu mereka masih bayi, Arya Tadah ikut mengasuh dan menggendong mereka. Sekar Kedaton kembang istana Sri Gitarja dan Dyah Wiyat itu baginya tak ubahnya anak sendiri, kebahagiaan gadis-gadis itu dengan sendirinya adalah kebahagiannya. Maka, ketika tiba saatnya Ratu Gayatri memutuskan mengawinkan mereka, Arya Tadah merasa amat lega.
Sebuah beban yang selama ini mengganjal segera terbuang.
"Hamba, Tuan Putri," jawab Gajah Mada tenang. "Hamba akan melaksanakan semua hal yang terkait dengan kehendak Tuan Putri Ratu.
Hamba akan menyalurkan perintah untuk mempersiapkan adiupacara dengan sebaik-baiknya."
Gajah Mada yang sama sekali tak kaget mendengar keputusan itu memandang perintah itu sebagai perintah yang biasa saja. Akan tetapi, dalam melaksanakan tugas, Gajah Mada mempunyai sebuah keyakinan yang selalu dipegang teguh bahwa jangan sampai dalam menjalankan perintah tidak tuntas. Perintah harus dikerjakan dengan tuntas dan sempurna, pun jangan sampai terlihat bekas-bekasnya. Pekerjaan yang bisa diselesaikan hari ini harus diselesaikan hari ini, jangan sampai tertunda.
Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri kembali melanjutkan kata-katanya.
"Kepada anakku Sri Gitarja, atas nama negara aku anugerahkan gelar sebagai Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani, sedang kepada 78
Gajah Mada anakku Dyah Wiyat, aku beri gelar Rajadewi Maharajasa. Padamu Cakradara, mulai saat sekarang melekat gelar Cakreswara Sri Kerta-wardhana133 Prabu Singhasari, sedang padamu Kudamerta Breng Pamotan, aku anugerahkan abiseka Sri Wijaya Rajasa Sang Apanji Wahninghyun. Gunakan nama itu sesuai tempat dan waktunya, sedang nama gelar yang oleh negara dianugerahkan kepadamu adalah Bre Wengker Wijaya Rajasa Hyang Parameswara."
Rangkaian kata-kata yang disampaikan Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri tidak satu pun tercecer dan telah disimak dengan cermat dan saksama. Sri Gitarja memahatkan anugerah nama itu dalam lipatan benaknya. Jauh-jauh hari, Sri Gitarja memang sudah mendengar nama itulah yang akan dipakainya manakala telah bersuami. Demikian pula dengan Dyah Wiyat, jauh hari juga sudah tahu pada dirinya kelak akan melekat sebutan sebagai Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa.
Yang terkejut karena tak menyangka sebelumnya adalah Cakradara.
Dengan memperistri Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani padanya harus melekat nama yang seimbang, Sri Kertawardhana. Adakah makna atau isyarat khusus di balik nama yang diberikan Ratu Biksuni Gayatri padanya, juga pada nama Tribhuanatunggadewi yang diberikan kepada Sri Gitarja. Cakradara tak mungkin menanyakan makna itu, tetapi Cakradara berharap bisa menanyakan makna pemberian anugerah nama itu kepada pamannya, orang yang dalam sehari-hari hanya berpenampilan sebagai gamel atau pekatik, Pakering Suramurda.
Kudamerta lain lagi. Kudamerta juga bergegas memahatkan gelar nama dan abiseka itu baik-baik. Kepada dirinya melekat nama yang dari panjang kata-katanya bukan nama sembarangan, Bre Wengker Wijaya Rajasa Hyang Parameswara. Bre Wengker memang namanya sebagai pewaris penguasa Wengker, sebagaimana sebutan Bre Pamotan adalah karena ia menguasai Pamotan, namun sebutan tambahan Wijaya Rajasa 133 Sri Kertawardhana, gelar Cakradara berdasar catatan Pararaton, namun informasi ini diragukan oleh para ahli karena dalam Pararaton pula disebut Kertanegara adalah anak Cakradara yang tersirat dalam kalimat "Hana ta patutan Raden Cakradara anjeneng Ring Tumapel, bhiseka Sri Kertawardana".
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 79
Hyang Parameswara, adakah itu berarti ia yang bakal ditunjuk menjadi Raja Majapahit atas nama calon istrinya" Penganugerahan nama Rajasa untuk orang luar sungguh memiliki arti luar biasa karena hanya orang-orang yang berada di jalur garis keturunan Rajasa yang boleh menggunakan. Raden Wijaya menggunakan gelar Kertarajasa
Jayawardhana karena ia keturunan Ken Arok, Raja Singasari pertama yang menggunakan gelar Sri Ranggah Rajasa Batara Sang Amurwabumi.
Gajah Mada yang menyimak nama-nama itu mulai merasa gelisah.
Gajah Mada merasa penganugerahan nama-nama itu memang sarat isyarat, bukan nama-nama yang tidak punya makna.
Melihat Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri mengarahkan pandangan mata kepadanya, Gajah Mada segera merapatkan dua telapak tangannya.
"Gajah Mada," Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri menyebut nama Patih Daha itu dengan suara lirih, namun terdengar sangat jelas karena demikian hening ruangan itu.
"Hamba, Tuan Putri," jawab Gajah Mada.
"Selanjutnya aku perintahkan kepadamu untuk menyebar wara-wara kepada segenap khalayak ramai atas keputusan yang kami ambil, siapa yang menggantikan kedudukan Anakmas Sri Jayanegara."
Gajah Mada merapatkan telapak tangannya dan mengangkat
melekat ke ujung hidung. Gajah Mada melakukan itu sedikit lebih lama, menyebabkan Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri tercuri perhatiannya.
"Kau akan menyampaikan pendapatmu, Gajah Mada?" tanya
Gayatri, "Hamba, Tuan Putri," Gajah Mada menjawab. "Hamba mohon
perkenan untuk menyampaikan sumbang saran. Semoga Tuan Putri Ratu berkenan menerima."
Para Ratu saling pandang. Ratu Gayatri mengangkat tangannya memberikan sebuah isyarat agar Gajah Mada melanjutkan bicara.
Pandangan mata Sri Gitarja tak berkedip kepada sosok prajurit yang dikaguminya itu, demikian pula dengan Dyah Wiyat tidak mengalihkan 80
Gajah Mada perhatiannya. Cakradara dan Kudamerta yang duduk di depan Gajah Mada tidak mungkin menoleh ke belakang, yang bisa mereka lakukan hanya mendengar saja.
"Sebelumnya hamba mohon ampun, Tuan Putri Ratu. Hamba akan mendahului dengan sebuah pertanyaan, apakah benar para Tuan Putri Ratu telah mengambil keputusan, menunjuk siapa orang yang akan menjadi raja ataupun ratu yang baru menggantikan Tuanku Sri Jayanegara?"
Gajah Mada menurunkan dua telapak tangannya yang semula
menyembah. Pertanyaan itu memaksa Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri bertukar pandangan dengan para saudaranya.
"Benar, Patih Daha," Ratu Gayatri menjawab. "Kami semua telah berembuk, namun Mbakyu Ratu Tribhuaneswari menyerahkan
sepenuhnya kepadaku, demikian pula dengan Mbakyu Ratu
Narendraduhita dan Mbakyu Ratu Pradnya Paramita, beliau semua menyerahkan keputusan siapa yang akan ditunjuk menjadi penguasa negeri ini kepadaku. Atas wewenang yang kupegang itu, aku telah siapkan sebuah nama, siapa raja atau yang akan menggantikan Anakmas Prabu Jayanegara. Apa dengan pertanyaan yang kamu ajukan itu, kamu akan memberikan sumbang saran, siapa sebaiknya yang akan diangkat menjadi raja menggantikan Anakmas Jayanegara yang telah mangkat?"
Ruangan itu yang semula sangat hening menjadi bertambah hening.
Cahaya beberapa lampu ublik yang dipasang di sudut-sudut dinding mencoba menerangi raut muka Gajah Mada. Namun, amat sulit menebak apa isi benaknya. Cakradara dengan pesaingnya saling melirik. Kabut tipis yang semula lamat-lamat mulai menebal.
Yang kemudian menjadi gelisah justru Patih Amangkubumi Arya Tadah. Arya Tadah merasa sikap Patih Daha itu terlalu berlebihan. Arya Tadah merasa, setinggi apa pun derajat ataupun pangkat Gajah Mada sumbang suaranya belum pantas menjadi bahan pertimbangan para Ratu dalam mengambil keputusan. Apalagi bila mengingat pilihan yang tersedia hanya dua, tinggal memilih satu di antara Sri Gitarja atau Dyah Wiyat.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 81
"Apa saranmu, Gajah Mada?"
Gajah Mada merasakan desir tajam di dadanya, yang bertanya itu bukan lagi Ratu Gayatri, namun Ratu tertua, Sri Parameswari Dyah Dewi Tribhuaneswari.
"Hamba, Tuanku. Hamba mempunyai sebuah saran. Siapa pun yang akan para Tuan Putri Ratu tunjuk, mohon keputusan itu ditunda lebih dulu. Menurut pendapat hamba, para Tuan Putri Ratu masih memiliki waktu cukup lapang untuk mengambil keputusan yang menyangkut masa depan dan kepentingan Majapahit."
Gelegar suara meledak menyamai guntur serasa meledak di ruangan itu. Ratu Gayatri mencuatkan alis, demikian pula dengan Ratu Tribhuaneswari mengerutkan dahi pertanda benar-benar tercuri perhatiannya. Patih Arya Tadah tidak kalah heran, sebaliknya Raden Cakradara dan Kudamerta kebingungan karena tidak bisa menoleh ke belakang untuk melihat seperti apa raut muka Gajah Mada ketika mengutarakan isi hatinya. Di sudut ruang, Sri Gitarja dan Dyah Wiyat tidak bergeser perhatiannya dari wajah Gajah Mada.
"Jadi, bukan soal siapa orang yang aku tunjuk?"
"Hamba, Tuan Putri," jawab Gajah Mada dengan sigap. "Hamba hanya mohon agar para Tuan Putri berkenan menunda sampai hamba merasa yakin rasa penasaran hamba akan terjawab."
Ratu Gayatri menjadi amat heran.
"Kenapa, Patih Daha. Berilah aku alasan yang sesuai sebagai harga untuk menunda. Rasa penasaran terhadap apakah yang kaumaksud itu?"
Patih Daha kembali merapatkan kedua telapak tangannya dan memberikan sembahnya.
"Hamba, para Tuan Putri Ratu. Di luar telah terjadi pembunuhan.
Hamba harus menggelar penyelidikan untuk mengetahui apa yang terjadi, mengapa pembunuhan itu terjadi pada malam ini."
Wajah Ratu Gayatri menegang, namun tidak untuk waktu terlalu lama. Para Ratu yang lain amat memahami dan menerima permohonan 82
Gajah Mada yang memang masuk akal itu. Namun, Ratu Pradnya Paramita merasa perlu menguji.
"Apa salahnya jika Adi Ratu Gayatri tetap mengumumkan
sekarang?" tanya Ratu Pradnya Paramita.
"Hamba, Tuan Putri," jawab Gajah Mada dengan penuh keyakinan.
"Menurut hamba, pembunuhan yang terjadi itu merupakan sebuah pertanda kecil yang muncul ke permukaan. Kematian itu dialami oleh seorang prajurit di lingkungan istana dan terjadi ketika Sang Prabu baru saja mangkat. Hamba curiga tanda yang mungkin hanya berupa buih gelombang itu menyembunyikan persoalan yang besar. Oleh sebab itu, hamba mohon agar para Tuan Putri Ratu berkenan menunda."
Suasana menjadi hening. Mahapatih Amangkubumi Arya Tadah akhirnya bisa memahami, mengapa Gajah Mada memaksa menghadap para Ratu. Meski Arya Tadah amat penasaran, bobot rasa penasarannya tidak segelisah Kudamerta. Calon suami Dyah Wiyat itu mendadak merasa amat tidak tenang. Kakinya yang bersila mulai dirambati rasa kesemutan. Namun, Kudamerta terpaku beku di tempat duduknya.
Kecemasannya adalah apabila pamannya melakukan tindakan tidak terkendali karena Panji Wiradapa amat mungkin melakukan tindakan yang tidak terkendali, bahkan melakukan tindakan yang bisa berimbas bahaya tanpa seizinnya.
"Siapa yang terbunuh" Paman Panji Wiradapa melakukan tindakan apa?" Raden Kudamerta bertanya-tanya.
Kudamerta layak cemas karena ia sangat mengenal Panji Wiradapa yang amat sering melakukan tindakan mendadak tanpa melalui pertimbangan lebih dulu.
"Padahal, pucuk pimpinan istana tidak boleh mengalami keko-songan," Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri melanjutkan. "Bagaimana pendapatmu mengenai hal itu, Patih Daha Gajah Mada?"
Gajah Mada menengadah dan tanpa merasa sungkan memandang lurus wajah Ratu Gayatri.
"Menurut hamba, untuk sementara kekuasaan itu sebaiknya berada di tangan Tuan Putri Ratu Gayatri," jawab Gajah Mada.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 83
Sri Gitarja memandang Gajah Mada agak sedikit larut. Apa yang disampaikan Gajah Mada itu tak secuil pun yang membuat hatinya merasa tidak senang. Gajah Mada bukan prajurit sembarangan dan pandangan serta pendapatnya semata-mata adalah demi negaranya. Pun demikian dengan Dyah Wiyat yang memiliki hati demikian jernih. Dyah Wiyat sama sekali tidak memiliki keinginan menjadi seorang ratu yang disembah, persoalannya bukan karena kedudukan sebagai ratu. Namun, tanggung jawabnya yang demikian berat yang menyebabkan Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa begitu ikhlas andai kakaknyalah yang ditunjuk. Lagi pula, bukankah yang lebih tua yang harus didahulukan"
"Tegasnya, untuk sementara aku yang menjadi ratu?" tanya Ratu Gayatri.
"Hamba, Tuanku."
Ratu Gayatri mengarahkan pandangan matanya kepada Mapatih Arya Tadah. Arya Tadah bergegas merapatkan dua telapak tangan dalam sikap menyembah.
"Bagaimana menurut Paman?" tanya Ratu Gayatri.
Bagaimanapun Arya Tadah melihat, sampai pada Sri Gitarja dan adiknya tak ada masalah. Namun, tidak demikian dengan Cakradara dan Kudamerta yang samar-samar terbaca keinginan mereka menjadi pendamping ratu. Padahal, Cakradara dan Kudamerta masing-masing memiliki pendukung yang banyak jumlahnya. Rupanya usulan Gajah Mada itu sungguh bijaksana. Dengan ditundanya pengangkatan raja baru maka di rentang waktu yang ada akan bisa dimanfaatkan untuk menilai sosok macam apa Raden Cakradara dan Raden Kudamerta. Menjadi suami ratu dengan sendirinya akan menempatkan suaminya tak ubahnya raja.
"Hamba sependapat dengan usulan Patih Daha Gajah Mada, Tuan Putri Ratu. Dengan demikian, Tuan Putri Ratu akan memiliki kesempatan untuk menimbang lebih teliti dan memandang peralihan kekuasaan itu dengan lebih jelas."
Ratu Gayatri memejamkan mata. Di keheningan mata hatinya Ratu Gayatri bisa menerima pendapat itu.
84 Gajah Mada "Bagaimana dengan para Mbakyu Ratu?" Gayatri bertanya.
Ratu Tribhuaneswari yang semula mengarahkan tatapan matanya menggerataki raut muka Gajah Mada itu menoleh perlahan pada adiknya.
Ratu Tribhuaneswari segera memberikan senyumnya.
"Aku sependapat dengan Gajah Mada," jawabnya.
Ratu Narendraduhita segera menambahi, "Tak ada salahnya kau mengambil alih keadaan. Sampai pada suatu ketika kelak kau bisa menunjuk siapa yang pantas menduduki dampar."
Ratu Pradnya Paramita juga menyumbangkan senyum.
"Aku sependapat dengan Gajah Mada. Silakan Adi Gayatri yang duduk di atas dampar singgasana."
"Tetapi, aku seorang biksuni," jawab Gayatri.
"Justru dengan dipimpin oleh seorang biksuni yang terjauhkan dari putaran karma dan nafsu, negara akan menjadi tenteram, aman, dan damai. Adi Ratu Rajapatni tidak perlu cemas, bukankah ada Paman Arya Tadah dan Gajah Mada yang begitu perkasa yang akan membantu Adi Ratu?"
Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri terbungkam untuk waktu lama.
Setidaknya memang diperlukan waktu untuk mengambil keputusan menghadapi keadaan yang tidak terduga itu.
"Baiklah, aku terima usulan Gajah Mada yang didukung para Mbakyu Ratu dan Paman Patih Arya Tadah. Sampai ketika kita kelak melihat siapa yang pantas menduduki dampar istana, aku yang akan menempatinya lebih dulu."
Mendengar ucapan itu serentak Gajah Mada mengubah sikap
duduknya dari yang semula bersila, kali ini kaki kiri ditekuk bersandar tumit dengan kaki kanan menapak di tanah. Dengan sikap itulah Gajah Mada memberikan sembahnya, sembah yang diberikan kepada orang dalam kedudukan sebagai ratu pimpinan negara. Sikap yang dilakukan Gajah Mada dilakukan pula Cakradara dan Kudamerta. Arya Tadah tidak turun dari tempat duduknya, namun dengan santun pula Patih Amangkubumi itu merapatkan dua telapak tangannya dan membawanya ke ujung hidung.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 85
Sri Gitarja dan adiknya merasa tidak lagi berhadapan dengan ibunya, namun berhadapan dengan ratu penguasa Majapahit yang baru. Sri Gitarja dan Dyah Wiyat yang semula berdiri segera duduk bersimpuh sambil memberikan sembahnya dengan takzim.
"Gajah Mada," ucap Ratu Gayatri.
Gajah Mada yang kembali bersila segera memberikan sembahnya.
"Hamba, Tuan Putri," jawabnya.
"Lalu, siapa orang yang terbunuh malam ini?"
"Hamba, Tuan Putri. Orang yang terbunuh dalam sebuah
perkelahian masih kerabat Raden Kudamerta, namanya Ki Panji Wiradapa."
Kudamerta merasa pilar ruang itu bergoyang.
7 Mengombak wajah Raden Kudamerta memerhatikan mayat yang
masih bisa dikenalinya dari sisa pakaian dan pahatan timang 134 yang dikenakan orang yang tubuhnya terbakar hangus. Mayat itu juga bisa dikenali dari terompah kaki yang melekat. Raden Kudamerta yang tangannya menggenggam terasa dingin, namun panas di dadanya apabila menyambar daun-daun kering maka akan terbakar hangus daun-daun kering itu. Andai telur mentah berada di dalam genggaman tangannya maka akan matang mengeras telur itu.
134 Timang, Jawa, pengait ikat pinggang, gasper 86
Gajah Mada "Siapa yang melakukan perbuatan ini, Paman Panji Wiradapa?"
gumamnya. Isi dadanya membuncah menggelegak dan amat butuh penyaluran.
Namun, Panji Wiradapa telah telanjur beku menjadi mayat. Panji Wiradapa tidak mungkin menjawab pertanyaan itu. Sekujur tubuhnya yang menjadi sumber bau daging terbakar merangsang keinginan untuk muntah.
Raden Kudamerta Breng Pamotan yang baru saja mendapat
anugerah gelar Bre Wengker Wijaya Rajasa Hyang Parameswara mengedarkan pandangan matanya ke arah semua orang yang
menggerombol melingkar mengelilingi mayat pamannya, seolah bertanya apa yang telah terjadi. Perapian yang porak-poranda dan keadaan mayat yang hangus dengan lugas bercerita betapa kejam orang yang melakukan pembunuhan itu. Panji Wiradapa dilempar ke dalam api yang berkobar dalam keadaan masih hidup. Panji Wiradapa yang meronta kesakitan menyebabkan perapian porak-poranda. Api benar-benar telah menghanguskan tubuhnya menyebabkan seorang prajurit benar-benar muntah. Raden Kudamerta melirik prajurit itu yang dengan segera bergegas menjauh.
"Apa yang terjadi pada pamanku?" bertanya Kudamerta.
Pertanyaan yang dilontarkan Kudamerta itu terdengar amat jelas.
Pertanyaan yang tidak hanya mengusik para prajurit yang berkeliling bagaimana cara menjawabnya, tetapi seketika itu juga muncul rasa heran karena Kudamerta menyebut Panji Wiradapa sebagai pamannya. Padahal, selama ini Panji Wiradapa berada di bawah perintah Kudamerta. Di depan banyak orang Kudamerta acap membentaknya, namun kini dengan suara begitu serak dan bergetar Raden Kudamerta secara lugas mengutarakan rasa geram dan amarahnya, terlihat jelas betapa penting kedudukan Ki Panji bagi Raden Kudamerta.
Gajah Mada datang mendekat berusaha menenangkan Kudamerta.
"Percayakan kepadaku untuk menemukan siapa pembunuhnya,
Raden," kata Gajah Mada. "Sekarang silakan Raden kembali ke istana.
Untuk sementara, lupakan apa yang terjadi dan menimpa paman Raden.
Raden harus memusatkan perhatian ke upacara perkawinan yang harus Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 87
Raden jalani malam ini. Pusatkan pikiran Raden pada acara itu, jangan pikirkan masalah ini karena ada aku yang mewakili mengurusnya."
Raden Kudamerta tidak menjawab ucapan Gajah Mada. Pandangan matanya tertuju pada timang yang tergeletak dan pakaian yang dikenakan Panji Wiradapa yang dengan segera dipungut dan dibersihkannya. Wajah Kudamerta benar-benar menebal dan mengalami kesulitan untuk menerima peristiwa itu sebagai sebuah kenyataan. Ki Panji Wiradapa mungkin sosok yang menyebalkan karena orang itu memiliki banyak tuntutan yang merepotkan, yang sepak terjangnya sering menyudutkan dirinya serta membuatnya bingung. Namun, ketika Ki Panji Wiradapa itu kini terbunuh, bagaimana pun juga ada rasa tidak rela di permukaan hatinya.
"Baiklah," ucap Kudamerta dengan suara parau. "Aku percayakan kepadamu untuk menemukan pembunuhnya, Adi Gajah Mada."
Raden Kudamerta menyimpan timang itu dan membawa ayunan langkah kaki yang terasa sangat berat. Para prajurit yang melingkar menyaksikan apa yang terjadi segera menyibak memberi jalan untuk lewat. Raden Kudamerta tidak punya pilihan. Ia terpaksa menyerahkan penanganan apa yang terjadi itu kepada Gajah Mada karena ia harus menjalani persiapan perkawinan yang diselenggarakan beberapa saat lagi.
Peristiwa penting dalam perjalanan hidupnya yang mestinya membuatnya bahagia itu ternyata harus terganggu oleh sebuah peristiwa yang mengusik kemarahannya. Pusat perhatian kini tertuju kepada Gajah Mada.
"Siapa yang menyaksikan kejadian ini?" bertanya Gajah Mada.
"Dia yang melihat," terdengar jawaban seorang prajurit.
Gajah Mada memerhatikan arah telunjuk prajurit itu yang ditujukan kepada prajurit yang lain. Prajurit yang menjadi sasaran arah telunjuk berusaha menghindar, namun terlambat dari tangkapan mata Gajah Mada.
"Kamu, ke sini," panggil Gajah Mada.
88 Gajah Mada Prajurit yang berpangkat paling rendah di tataran keprajuritan itu merasa tak mungkin menghindar. Dengan agak ragu prajurit itu mendekat. Gajah Mada memiliki wibawa yang sangat besar,
menyebabkan prajurit itu merasa gugup, tangan kirinya bahkan agak buyutan.
"Siapa namamu?" tanya Gajah Mada.
"Wraha Kunjana, Kiai," jawab orang itu.
Dipanggil dengan sebutan Kiai ternyata menyebabkan Gajah Mada terdiam. Di antara beberapa prajurit ada yang tidak kuasa menahan tawa melihat untuk pertama kalinya Gajah Mada dipanggil Kiai.
"Kamu melihat apa yang terjadi, Wraha?" tanya Gajah Mada lebih tegas.
Prajurit berpangkat paling rendah itu terlihat gugup, namun dengan sekuat tenaga berusaha menguasai diri.
"Ketika aku datang, mereka sedang berkelahi. Kiai Panji Wiradapa berkelahi dengan orang yang tidak dikenal. Terjadi perkelahian dalam bentuk gulat dan saling membanting, celaka Kiai Panji Wiradapa yang tubuhnya kalah kuat dan kekar dari lawannya, ia berhasil diringkus lawannya dan dilemparkan ke dalam kobaran api."
Gajah Mada mengarahkan pandangan matanya ke kobaran api dari tumpukan kayu dalam jumlah cukup banyak sambil membayangkan betapa orang yang menjadi korban tentu mengalami kesakitan luar biasa.
Bila boleh memilih atas bagaimana cara kematian yang menimpa, apalagi apabila memang hanya mati pilihannya, tentu akan banyak orang yang memilih mati dengan cara lain, bukan mati terbakar. Mati mendadak oleh serangan jantung merupakan pilihan yang menyenangkan daripada mati terbakar.
"Kamu mengenal Panji Wiradapa?" tanya Gajah Mada.
"Ya," jawab prajurit itu.
"Tetapi, kamu tidak mengenal siapa lawan berkelahinya?"
tambahnya. Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 89
Prajurit itu menggeleng. "Aku tidak tahu dan waktunya cepat sekali. Orang itu melarikan diri ke sana."
Wraha Kunjana mengarahkan telunjuknya ke sebuah arah. Siapa pun yang lari ke sana akan terhadang oleh dinding yang tinggi. Adakah orang yang melakukan pembunuhan melompati dinding itu dengan cara memanjat salah satu pohon bramastana dan kemudian menyeberang ke luar dinding. Agaknya memang itulah yang dilakukan pelakunya.
"Bagaimana perawakan orang itu?" tanya Gajah Mada.
"Tidak jelas, Kiai," jawab prajurit itu lagi.
Gajah Mada memerhatikan orang itu dengan lebih cermat.
"Pakaian yang dikenakan, atau ciri-ciri khusus yang ia punya, gemuk atau kurus, tinggi atau pendek, apa pun yang kauingat," Gajah Mada menambah.
"Mengenai soal gemuk atau kurus, orang itu lebih gemuk daripada Ki Lurah Panji Wiradapa. Tingginya menurutku tak seberapa tinggi dan wajahnya tidak tampak jelas," jawab Wraha Kunjana.
Gajah Mada memerhatikan wajah orang yang melihat kejadian itu dengan tak berkedip dan bahkan cenderung melotot menyebabkan prajurit itu harus menyimpan arus cemas yang memaksa jantungnya mengayun berdebar-debar. Lewat tatapan mata itu seolah Gajah Mada sedang mengukur tingkat kejujurannya, adakah yang ia katakan benar-benar sesuai kenyataan. Gajah Mada mendadak merasa tidak ada guna berprasangka dan mengukur kejujuran orang itu. Keterangannya tentulah sama dan sesuai dengan keadaan yang dilihatnya. Namun, sikap Wraha Kunjana memang aneh. Ia tidak termasuk ke dalam mereka yang bertikai dalam persoalan itu. Namun, mengapa sikapnya demikian gugup"
Adakah sesuatu yang ia sembunyikan"
Gajah Mada akhirnya merasa tak ada manfaatnya memeras
keterangan apa pun dari mulut prajurit bernama babi itu karena bukankah wraha adalah nama lain dari babi sebagaimana taksaka adalah nama lain dari para ular atau kukila nama lain dari para burung.
90 Gajah Mada "Baiklah," kata Gajah Mada, "kamu boleh pergi, aku tak
membutuhkan kamu lagi."
Gajah Mada menebar pandang ke puluhan prajurit yang wajah-wajah mereka terlihat mengombak, masing-masing mewakili warna perasaan mereka. Sedikit agak ke sudut dua orang menepi dan berbicara dengan saling berbisik.


Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ternyata dugaanku benar," ucap orang pertama.
Prajurit di sebelahnya menoleh, "Dugaan apa yang kamu maksud?"
"Pada suatu hari," jawab prajurit pertama, "aku memergoki keganjilan. Kejadiannya lebih kurang tiga bulan yang lalu. Saat mereka hanya berdua, maksudku saat Raden Kudamerta hanya berdua dengan Ki Panji Wiradapa, aku bingung melihat Ki Panji Wiradapa memarahi Raden Kudamerta, aku tak habis mengerti dari mana ia memperoleh hak memarahi itu sementara dalam sikap kesehariannya aku melihat Raden Kudamerta yang sering membentaknya. Aku merasa yakin ada sesuatu yang disembunyikan oleh Ki Panji Wiradapa. Hubungan di antara mereka bersimpul teka-teki aneh."
Prajurit kedua termangu mencerna ucapan prajurit pertama.
"Padahal, pangkatnya jauh lebih rendah. Panji Wiradapa mendapat pangkat lurah prajurit baru saja. Belum terlalu lama. Seingatku belum setahun yang lalu."
"Itulah," jawab prajurit pertama. "Hal itu memunculkan rasa penasaran, siapa sebenarnya Ki Panji. Dalam hubungan apa ia terlihat begitu khusus di mata Raden Kudamerta. Mengapa ia begitu penting, setidaknya seseorang sampai harus membunuh?"
"Aku tidak tahu," jawab prajurit yang seorang lagi.
"Juga apa alasan pembunuhan itu, yang dilakukan tepat saat Majapahit sedang berkabung seperti ini?"
Jawaban yang dibutuhkan untuk pertanyaan itu menjadi sebuah pertanyaan yang menggantung bagai saat butuh terang di kegelapan malam yang tebal dan pekat. Apabila dirunut, kematian pada dasarnya Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 91
bukanlah peristiwa aneh. Kematian akan menimpa siapa saja dan kapan saja, termasuk tumbuhan dan binatang, semua akan mati. Kematian karena pembunuhan menjadi tak biasa karena terjadi atas campur tangan pembunuhnya dan itu bertentangan dengan rasa keadilan, sementara kematian yang menimpa Ki Panji Wiradapa amat mencuri perhatian karena terjadi bersamaan dengan kalangan istana sedang berkabung kehilangan rajanya yang juga mati akibat pembunuhan. Terjalin hubungan apakah di antara kedua pembunuhan itu"
Wanita Iblis 3 Senyuman Dewa Pedang Karya Khu Lung Pendekar Binal 4

Cari Blog Ini