Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pedang Dari Bu-tong 23

Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng Bagian 23


seratus persen tepat, paling tidak selisihpun tidak banyak.
"Jangan-jangan Beng-cu balik lagi?" perasaan hatinya terasa
hangat, selain terkejut diapun merasa girang.
Belum habis ingatan itu melintas, orang itu sudah melayang
turun persis dihadapannya bagaikan selembar daun kering.
Diluar dugaan, yang datang bukan Seebun-hujin melainkan
Tonghong Liang. Tampaknya Tonghong Liang jauh lebih terkejut lagi, setelah
tertegun sejenak serunya, "Bouw-Ciangbunjin, tidak kusangka akan
bertemu kau disini!"
"Aku pun tidak menyangka akan bertemu kau disini!" jawab Bubeng
Cinjin dingin, "tapi aku adalah Ciangbunjin Bu-tong-pay, jadi
aku tidak perlu memberi penjelasan kepadamu, kaulah yang harus
memberi penjelasan kepadaku!"
"Aku datang untuk mencari bibi dan Piaumoy aku tahu mereka
telah tiba di gunung Bu-tong."
"Tempat ini adalah kompleks pemakaman yang disediakan untuk
mengubur jenasah Bu-siang-suheng, yang menjaga kompleks
pemakaman ini adalah Tianglo kami, Put-ji!"
"Aku tahu, tapi aku tidak beranggapan telah salah masuk."
"Alasanmu?" "Murid Put-ji Totiang, Keng Giok-keng adalah sahabatku, aku
ingin mencari dia terlebih dulu lalu baru minta bantuannya untuk
menemukan bibiku." "Masih untung kalau kau tidak menyinggung masalah lagi, karena
telah kau singgung, aku jadi ingin bertanya, kau selalu berusaha
mendekati dan berusaha berkenalan dengan Keng Giok-keng,
sebenarnya apa maksud tujuanmu yang sebenarnya?"
"Karena cocok satu sama lain, aku ingin bersahabat dengannya,
masa aku ingin mencelakai Keng Giok-keng?" ujar Tonghong Liang.
"Enak saja kalau bicara, memang disangka aku tidak tahu" Kau
memang tidak ingin mencelakainya tapi ingin membohonginya,
menipu ilmu pedang Bu-tong-kiam-hoatkami!"
"Aku menyangkal dengan keras, memang betul aku pernah saling
berdiskusi tentang ilmu pedang. Tapi bicara soal Bu-tong-kiam-hoat,
aku justru dapat belajar darimu, meski bukan kau ajarkan secara
langsung, boleh dibilang aku adalah murid angkatan ke tiga?"
Dingin membeku selembar wajah Bu-beng Cinjin, dengusnya,
"Jangan kau sangka dengan mengetahui sedikit rahasia pribadiku
maka kau dapat mengancam diriku. Sewaktu kau membuat
keonaran tempo hari, aku telah mengampunimu satu kali, hmmm!
Kali ini aku tidak bisa mengampunimu lagi!"
Dari sorot matanya, Tonghong Liang dapat menangkap hawa
napsu membunuh yang menggidikkan hati, tanpa terasa pikirannya
tergerak, "Kalau hanya disebabkan aku mencuri naik ke bukit Butong,
dengan memandang wajah bibi, tidak seharusnya dia turun
tangan keji kepadaku. Jangan-jangan apa yang dikatakan Han Siang
memang benar, dialah pembunuh yang dicurigai telah menghabisi
nyawa pamanku dan bibiku sendiripun sama sekali tidak tahu akan
hal ini." Perlahan-lahan Bu-beng Cinjin mengangkat tangannya, dia
berencana akan membuat keputusan lain bila pemuda itu minta
ampun. Siapa tahu bukan saja Tonghong Liang tidak minta ampun,
sebaliknya berseru lantang, "Bouw Ciong-long, aku tahu cepat atau
lambat kau ingin membunuhku! Tempo hari hanya dikarenakan aku
menantang berduel secara terbuka, maka untuk menjaga reputasi,
kau sengaja mengampuniku. Sekarang kau telah menemukan alasan
yang tepat, kenapa belum juga turun tangan" Kau ingin menunggu
sampai kapan lagi?" Begitu ditantang, Bu-beng Cinjin malah menurunkan kembali
tangannya dan berkata, "Atas dasar apa kau menuduh aku sejak
lama sudah ingin membunuhmu?"
Tonghong Liang tidak menjawab, sinar matanya dialihkan ke arah
Put-ji Tojin. Bu-beng Cinjin sedikit agak ragu, ujarnya kemudian, "Ternyata
yang kau cari bukan muridnya, melainkan dia pribadi!"
"Kenapa" Kau takut?"
"Kau sangka aku yang telah membunuh gurunya yang pertama"
Hmm, kurangajar!" "Ji-ou Thayhiap Ho Ki-bu angkat nama berbareng dengan kau,
meski ilmu silatnya bukan tandinganmu, tapi dia adalah seorang
pendekar sejati. Sementara kau selalu berusaha menjadi
Ciangbunjin Bu-tong-pay, tentu saja kau tidak akan membiarkan dia
jadi sainganmu." "Analisa ini berdasarkan dugaanmu sendiri atau mendengar dari
orang lain?" "Kau ingin menipuku agar aku bicara terus terang" Hmm, aku
tidak bakalan termakan oleh tipuanmu. Hmm, kalau tidak ingin
orang lain tahu, kecuali kau tidak pernah melakukannya. Pernahkah
kau melakukan kasus pembunuhan itu, cepat atau lambat pasti ada
yang tahu." "Aku beritahu, Ho Ki-bu bukan mati di tanganku, mau percaya
atau tidak terserah kau. Tapi aku ingin bertanya, seandainya kasus
ini memang hasil perbuatanku, lalu apa sangkut pautnya dengan
dirimu" Mengapa kau yakin kalau sejak lama aku sudah ingin
membunuhmu?" "Perbuatan busuk yang pernah kau lakukan mungkin bukan
hanya satu kasus itu saja bukan?" jengek Tonghong Liang hambar.
"Oooh, rumor apa lagi yang kau dengar tentang aku?"
Tonghong Liang tertawa dingin.
"Kalau tidak kuucapkan mungkin saja kau belum tentu berani
membunuhku, tapi bila kukatakan, memang nya nyawaku masih
bisa diselamatkan?" "Kau keliru besar, mau bicara atau tidak hasilnya tetap sama
saja!" "Kau tetap akan membunuhku?"
"Mungkin akan membunuhmu, mungkin juga tidak, pokonya aku
telah mengambil keputusan. Mau bicara boleh, tidak bicara pun
tidak mengapa, toh tidak bakal akan mengubah keputusanku! Hmm,
apakah kau sudah lama yakin bahwa aku pasti akan membunuhmu?"
Separuh kata pertama masih bernada imbang antara membunuh
dan tidak, tapi ucapan terakhir jelas terlihat kalau keinginannya
untuk membunuh sangat besar.
Menyaksikan sinar matanya yang buas, diam-diam Tonghong
Liang terkesiap, cepat dia mundur selangkah sambil ujarnya, "Benar,
justru karena sudah lama aku yakin kau hendak membunuhku,
maka sebelum naik ke gunung Bu-tong kali ini, aku telah menulis
semua rahasiaku pada sepucuk surat dan menyerahkan surat itu ke
tangan piaumoy. Bila aku mati, surat ini baru boleh dibuka. Kecuali
kaupun tega sekalian menghabisi nyawa Seebun Yan, kalau tidak
kunasehati lebih baik berpikir-lah tiga kali sebelum bertindak."
Padahal hal ini hanya gertak sambal Tonghong Liang saja,
walaupun dia curiga Bouw Ciong-long lah yang telah membunuh
pamannya, bahkan bisa jadi kematian ayahnya pun terkait dengan
Bouw Ciong-long, tapi karena pertama dia tidak terlalu yakin, kedua
masalah ini menyangkut urusan yang lebih besar bahkan
menyangkut pula rahasia pribadi bibinya, maka dia tidak berani
memberitahukan hal ini kepada Seebun Yan.
Tapi sekarang, setelah dia melakukan pelacakan dan penyelidikan
dari berbagai pihak, meskipun kecurigaannya terhadap Bouw Cionglong
masih belum dapat dibuktikan, tapi paling tidak dia semakin
yakin akan dugaannya. Dia dapat merasakan, Bouw Ciong-long bukan hanya sekedar
bicara, terhadap dirinya dia sudah menaruh napsu untuk
membunuh. Sejak kecil dia sudah berkelana dalam dunia persilatan, telah
memupuk banyak pengalaman, perkataan orang yang dianggap
tidak bisa dipercaya, seringkali dalam "perasaan"nya dapat
dipercaya. Bouw Ciong-long sama sekali tidak memiliki alasan yang kuat
untuk menghabisi nyawanya, kecuali apa yang dicurigai merupakan
kenyataan. Sekarang dia hanya bisa berharap pada gertak sambalnya yang
terakhir. Sekalipun Bouw Ciong-long terhitung seorang jago kawakan yang
berpengalaman, tidak urung paras mukanya berubah juga setelah
mendengar kalau dia telah menyerahkan "rahasia" tersebut ke
tangan Seebun Yan. Tapi "ketidak wajaran" itupun hanya berlangsung sekejap, tidak
lama kemudian dia sudah pulih kembali seperti sedia kala, ujarnya
dingin, "Tonghong Liang, kali ini kau lagi-lagi membuat kesalahan!
Tahukah kau selama hidup aku paling tidak suka dipalak orang!"
Maksud dari perkataan itu, sebetulnya belum tentu aku ingin
membunuhmu, tapi sekarang mau tidak mau aku harus menghabisi
nyawamu. Tentu saja Tonghong Liang memahami maksudnya bahkan telah
membuat persiapan. Tiba-tiba dia mundur berapa langkah. Mundur,
mencabut pedang, melancarkan serangan.... berapa gerakan itu
dilakukan hampir bersamaan.
Tapi Bu-beng Cinjin yang menyerang dengan tangan kosong,
meski menyerang belakangan namun malah tiba lebih dahulu,
dengan jari menggantikan pedang, tiba-tiba dia menotok alis mata
Tonghong Liang. Di saat yang amat kritis tiba-tiba Tonghong Liang
menganggukkan kepala, mata pedang dengan membentuk garis
melingkar berbalik membabat pergelangan tangan lawan.
Inilah pertarungan adu nyawa, bila Bu-beng Cinjin menyerang
dengan sepenuh tenaga, mungkin dia masih dapat menghabisi
nyawanya, namun dengan kedudukan Bu-beng Cinjin saat ini, mana
mungkin dia bisa dilukai lawan dengan begitu saja"
Dalam waktu singkat puluhan jurus telah lewat, setiap totokan
yang dilancarkan Bu-beng Cinjin selalu disertai suara desingan angin
tajam, seolah seluruh angkasa telah dipenuhi hawa pedang yang
sedang menari. Namun dalam pandangan Tonghong Liang, ujung jari Bu-beng
Cinjin ibarat mata pedang yang tajam, hampir semuanya ditujukan
ke bagian tubuhnya yang mematikan, bukan saja gerak
serangannya hebat, bahkan perubahannya sama sekali tidak
terduga. Percuma saja dia menggunakan sebilah pedang mestika, bukan
saja tidak sanggup melancarkan serangan balasan, bahkan dia
dipaksa oleh tekanan dari Bu-beng Cinjin itu hingga hanya bisa
menangkis saja. Namun dalam pandangan Bu-beng Cinjin, hal ini merupakan
sesuatu yang lain. Tonghong Liang memang terperanjat, tapi rasa kaget Bu-beng
Cinjin jauh melebihi rasa kagetnya.
Ketika Tonghong Liang menantang berduel tempo hari, Bu-beng
Cinjin (waktu itu masih sebagai Tiong-ciu Thayhiap Bouw Cionglong)
hanya menggunakan tiga jurus sudah dapat menghajarnya
hingga kalah total, tapi sekarang sepuluh gebrakan sudah
terlampaui. Rupanya setelah Tonghong Liang berulang kali berlatih pedang
dengan Keng Giok-keng, pemahamannya terhadap ilmu pedang
aliran Bu-tong-pay mesti tidak sedalam Keng Giok-keng, namun dia
telah memperoleh kemajuan yang amat pesat, dia dapat menyelami
arti daripada ilmu pedang dan bisa membuat pandangan tanpa jurus
seakan terdapat jurus yang sebenarnya.
Bu-beng Cinjin sendiripun mempakan seorang jago yang sangat
mendalami ilmu pedang, berbicara soal Thay-kek-kiam-hoat belum
tentu dia kalah dari Tonghong Liang, bahkan besar kemungkinan
satu tingkat diatasnya. Setiap terlihat ada perubahan yang tidak terduga, dia selalu
berhasil menemukan cara untuk mengatasinya, walau begitu
kehebatan anak muda itu cukup membuatnya was-was, dalam
waktu singkat pelbagai ingatan melintas dalam benaknya, haruskah
membunuh dia" Atau jangan menghabisi nyawanya"
"Tidak sampai sepuluh tahun kemudian, kemungkinan besar ilmu
pedang yang dimiliki bocah ini sudah berada diatas kemampuanku,
bila aku tidak gunakan kesempatan ini untuk menghabisinya,
mungkin akan meninggalkan bibit bencana di kemudian hari!"
"Tidak, aku tidak boleh berbuat begitu! Sekalipun kesalah
pahaman sukar dihapus, aku tidak boleh membunuhnya hanya
karena khawatir dia bakal membalas dendam. Aku sebagai
Ciangbunjin Bu-tong-pay masa tidak punya kebijaksanaan
sedikitpun?" Pikiran positip dan negatip saling bertentangan dalam benaknya,
tapi begitu teringat statusnya sebagai Ciangbunjin Bu-tong-pay,
perasaan hatinya kembali tercekat, pikirnya, 'Kenapa aku begitu
pikun, sampai melupakan beban dari suheng yang diserahkan ke
pundakku"' Perlu diketahui, sejak generasi Hian Tin-cu, Sucouww dari
Tonghong Liang, mereka telah bertekad ingin merebut kemenangan
dari Bu-tong-pay, dia sebagai pewaris dari Bu-siang Cinjin, berarti
punya tanggung jawab untuk mempertahankan nama baik
perguruan agar tidak sampai runtuh di tangan orang.
"Tanggung jawabku sangat berat, sekalipun tidak kucabut
nyawanya, paling tidak harus kupunahkan ilmu silatnya!"
Tonghong Liang seperti dapat membaca jalan pikirannya,
sekulum senyuman dingin tersungging di ujung bibirnya.
Senyuman dingin ini seketika menimbulkan kembali perasaan
terhina di hati kecilnya, "Hmm, tanggung jawab apa" Kau hanya
julas karena ilmu pedangnya jauh lebih hebat darimu, kau hanya
takut nama besar jago pedang nomor satu direbut olehnya!"
Sementara dia masih ragu dan tidak bisa mengambil keputusan,
Keng Giok-keng sambil membopong kakaknya telah memasuki
kompleks pemakaman. Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Keng Giok-keng tidak
terlampau bagus, apalagi harus membopong seseorang, langkah
kakinya terdengar jauh lebih berat.
Bu-beng Cinjin adalah seorang jagoan tangguh, sekalipun
konsentrasinya agak buyar, namun pendengar annya tetap tajam,
dia segera dapat menangkap suara itu.
Waktu itu Keng Giok-keng sendiripun secara lamat-lamat telah
mendengar 'suara aneh" berkumandang dari balik kompleks
pemakaman. "Siapa?" Bu-beng Cinjin segera menegur.
Begitu mendengar suara itu, dengan perasaan lega Keng Giokkeng
segera menjawab, "Ciangbun-Cinjin, aku!"
Bu-beng Cinjin segera mengebaskan ujung bajunya mendesak
mundur Tonghong Liang, katanya, "Kau cepat pergi dari sini, jangan
biarkan aku berjumpa lagi denganmu di atas gunung Bu-tong!"
Yang digunakan adalah ilmu menyampaikan suara, ucapan itu
langsung masuk ke dalam telinga Tonghong Liang, jangan lagi Keng
Giok-keng masih berada di luar kompleks, biarpun berdiri di
sampingnya pun tidak bakalan mendengar ucapan tersebut.
Tonghong Liang sendiripun tidak ingin bertemu Keng Giok-keng
dalam suasana seperti ini, meminjam tenaga gulungan itu cepat dia


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menerobos keluar melalui jendela belakang, melompati dinding
tembok dan berlalu dari situ.
"Jangan berisik, Gihumu sedang tidur nyenyak, masuklah!"
Bu-beng Cinjin merasa agak tercengang ketika melihat dia
berjalan masuk sambil menggendong kakaknya.
"Secepat ini kau telah berhasil menyelamatkan cici mu?"
tanyanya keheranan. "Supek bisu tuli yang berhasil merebutnya dari tangan siluman
wanita Lebah hijau Siang Ngo-nio," jawab Keng Giok-keng.
"Supek bisu tuli?" kembali Bu-beng Cinjin merasa terperanjat.
"Benar, Tojin bisu tuli yang selama puluhan tahun pernah
melayani Sucouww almarhum semasa hidupnya."
"Aku tahu. Tapi tidak kuketahui kalau ilmu silatnya begitu bagus
dan hebat." "Tampaknya cici telah tertotok jalan darahnya oleh bajingan tua
she-Tong itu, tecu gagal membebaskannya, harap Ciangbunjin mau
bermurah hati dan membantu membebaskan dari totokan."
"Baik, baringkan dia disana, biar kucoba."
Sesudah memeriksanya sekejap, sekilas perasaan tercengang
bercampur bimbang terlintas di wajahnya, menyusul dia mencoba
membebaskan pengaruh totokan itu dengan satu kebasan.
Tapi Lan Sui-leng sama sekali tidak memberikan reaksinya, ketika
dicoba berapa kali lagi tanpa hasil, perasaan tercengang semakin
kentara di raut muka pendeta itu.
"Dari mana kau tahu kalau Tong Tiong-san yang menotok jalan
darahnya?" kembali Bu-beng Cinjin bertanya.
"Dia kabur bersama perempuan siluman itu sementara ciriku
tertinggal dalam keadaan tertotok jalan darahnya, Supek bisu tuli
pun tidak sanggup membebaskannya, aku percaya pasti bukan
perbuatan siluman wanita itu, Ciangbun-Cinjin, menurut kau...."
"Tidak mirip ilmu menotok jalan dari keluarga Tong di Suchuan,
jalan darah cirimu yang tersembunyi telah ditotok seseorang dengan
ilmu totokan yang berat."
"Jalan darah yang tersembunyi" terletak dibagian dalam isi perut,
Keng Giok-keng pernah mendengar soal ini dari Bu-siang Cinjin,
untuk bisa menotok jalan darah tersembunyi, seseorang harus
memiliki tenaga dalam tingkat tinggi, karena ilmu tersebut
merupakan sejenis ilmu menotok jalan darah yang paling susah
dipelajari. Bagi Keng Giok-keng, dia hanya pernah mendengar namun sama
sekali tidak pernah mempelajarinya.
Mengetahui kenyataan tersebut, Keng Giok-keng semakin
terkesiap, ujarnya, "Mungkinkah siluman wanita itu telah mengajak
serta jagoan lihay lainnya" Ciangbun-Cinjin, ciciku...."
"Aku sendiripun tidak dapat menebak perbuatan siapakah ini.
Tapi kau tidak usah kuatir, totokan jalan darah tersembunyi ini tidak
akan menyulitkan aku, hanya saja aku membutuhkan waktu yang
sedikit lebih lama."
Padahal dia sudah tahu siapakah yang telah menotok jalan darah
itu, hanya saja tidak ingin mengatakan kepada Keng Giok-keng.
Bu-beng Cinjin menempelkan telapak tangannya di atas jalan
darah Tay-wi-hiat di tulang belakang Lan Sui-leng, Tay-wi-hiat
merupakan salah satu kunci utama dari berkumpulnya nadi KengTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
meh, dengan menyalurkan hawa murninya Bu-beng Cinjin berharap
dapat menembusi jalan darah tersembunyinya yang tertotok.
Tidak selang beberapa saat kemudian, butiran keringat mulai
bercucuran membasahi jidat Lan Sui-leng, lambat laun paras
mukanya berubah menjadi merah dan akhirnya gadis itu membuka
matanya. Lan Sui-leng dapat melihat adiknya yang sedang berdiri
dihadapannya, menyusul kemudian melihat pula Ciangbun-Cinjin
serta Put-ji yang tertidur di atas ranjang.
"Kenapa aku bisa berada disini" Ini.... tempat ini...."
tanya Lan Sui-leng kebingungan.
"Aku yang membopongmu datang kemari," sahut Keng Giokkeng,
"dan aku pula yang minta tolong Ciangbunjin untuk
membebaskan jalan darahmu. Kejadian yang sesungguhnya akan
kuceritakan di kemudian hari saja, sekarang cepatlah berterima
kasih kepada Ciangbun-Cinjin!"
"Lebih baik kita bicarakan dulu masalah yang lebih penting, coba
ceritakan bagaimana Tojin bisu tuli menolongmu," tukas Bu-beng
Cinjin cepat. Lan Sui-leng seperti orang kebingungan, untuk sesaat dia tidak
mampu menjawab pertanyaan itu.
"Tidak perlu terburu-buru, coba pikirkan lagi dengan seksama."
"Aku bukannya tidak teringat, hanya merasa sedikit heran," kata
Lan Sui-leng. "Heran soal apa?"
"Waktu itu siluman wanita tersebut menggunakan aku sebagai
tameng, rasanya Supek bisu tuli melepaskan sebuah pukulan ke
tubuhku, tapi aku sama sekali tidak merasa kesakitan, kemudian
akupun tidak sadarkan diri."
"Aaah, itu mah ilmu menyalurkan tenaga dari balik benda!" seru
Keng Giok-keng. Dia tahu ilmu silat yang dimiliki Tojin bisu tuli sangat tinggi, akan
tetapi tidak mengira kalau kehebatan nya telah mencapai taraf
tersebut. Baru berbicara beberapa patah kata, Lan Sui-leng sudah
merasakan napasnya tersengkal-sengkal.
"Apakah kau pernah berlatih ilmu mengatur pernapasan?" tanya
Bu-beng Cinjin kemudian. Lan Sui-leng manggut-manggut.
"Kalau begitu aturlah pernapasanmu disini!" perintah Bu-beng
Cinjin, "lakukan semedimu satu putaran kecil, satu jam kemudian
tenaga dalam mu akan pulih kembali seperti sedia kala."
Kemudian kepada Keng Giok-keng dia berkata, "Ayah angkatmu
sudah melewati masa bahaya, sekarang nyawanya tidak perlu
dikhawatirkan lagi. Hanya saja dia masih butuh orang untuk
menjaganya, kedatanganmu tepat waktu, kalau begitu tugas
menjaga kuserahkan kepadamu."
Seusai berkata dia meninggalkan kompleks pemakaman dan
langsung berangkat menuju puncak Tian-ki-hong.
Di belakang batu Lo-kun-sik di puncak Tian-ki-hong terdapat
sebuah gua, batuan yang menutup mulut gua itu harus disingkirkan
lebih dulu untuk mengetahui keberadaan gua tadi. Hanya Tojin bisu
tuli seorang yang mengetahui keberadaan gua tadi, di dalam gua
inilah dia menyembunyikan Siang Ngo-nio.
Kini dia telah mempersiapkan segala sesuatunya secara rapi dan
sempurna, dengan sikap yang amat hormat Tojin bisu tuli itu berdiri
menanti di depan batu Lo-kun-sik.
Dia tahu, Bu-beng Cinjin pasti akan datang, tapi dia mulai
menunggu dengan perasaan sedikit gelisah.
Ternyata dugaannya tidak salah, akhirnya Bu-beng Cinjin muncul
juga di hadapannya. "Jiko, kau benar-benar manusia hebat yang tidak mau tampilkan
diri, maafkan Siaute punya mata tidak berbiji, biarlah aku memberi
hormat sebagai pertanda minta maaf!" ujar Bu-beng Cinjin sambil
menjura. "Tidak berani, aku hanya bisa menjadi jiko nya Tonghong Siau
serta Seebun Mu, kau adalah seorang Ciangbun-Cinjin, aku tidak
berani menerima panggilan-mu itu!" sahut Tojin bisu tuli sambil
balas menjura. Disaat kedua orang itu sama-sama menjura, terlihat tubuh Bubeng
Cinjin sedikit tergoyang, sedangkan jubah pendeta berwarna
biru yang dikenakan Tojin bisu tuli terlihat bergelombang bagaikan
permukaan telaga yang terhembus angin.
Dalam pertarungan yang dilakukan secara diam-diam, terlihat
kalau tenaga dalam yang dimiliki Bu-beng Cinjin jauh lebih
sempurna, sedang tenaga dalam dari Tojin bisu tuli jauh lebih
telengas, boleh dibilang masing-masing pihak memiliki kelebihan
sendiri. Tapi sekilas pandang, Bu-beng Cinjin nampak setingkat lebih
rendah dibandingkan lawannya.
"Aku tidak bisa membunuhmu, kaupun tidak mampu
membunuhku, apakah masih ingin dicoba lagi?" jengek Tojin bisu
tuli ketus. "Siaute sama sekali tidak bermaksud begitu, harap jiko jangan
banyak curiga." "Ooh, kalau begitu maksudmu menjajal ilmu silatku hanya ingin
membuktikan identitasku yang sebenarnya?"
"Benar," jawab Bu-beng Cinjin terus terang, "tapi kata menjajal
terlalu berat, aku tidak berani menerimanya. Ada satu hal lagi yang
belum kupahami, mohon jiko sudi memberi petunjuk."
"Kedudukanku sekarang hanya seorang tosu tingkat rendah
dalam kuil, silahkan Ciangbunjin memberi perintah!" suara Tojin bisu
tuli tetap hambar. "Dulu aku paling belakang bergabung dalam kelompok sehingga
tidak berjodoh untuk berkenalan dengan jiko, kalau memang jiko
menganggap diriku sebagai orang luar, Siaute pun tidak berani
kelewat memaksakan diri. Baik, kita tidak perlu ribut hanya
dikarenakan sebutan saja, karena usiamu lebih tua, baiklah aku
menyebutmu sebagai toheng saja. Hui-bun toheng, tolong tanya
apa maksud dan tujuanmu bersembunyi hampir tiga puluh tahun
lamanya di gunung Bu-tong dan berlagak bisu tuli?"
Ternyata Tojin bisu tuli adalah Loji dari kelompok Siau ngo-gi di
masa lampau, nama premannya adalah Ong Hui-bun.
Lotoa dari kelompok lima setiakawan ini adalah Jit-seng-kiam-kek
Kwik Tang-lay, Loji adalah dia, Losam adalah ayah Tonghong Liang,
Tonghong Siau, Losu adalah ayah Seebun Yan, Seebun Mu sedang
Lo-ngo adalah Hwee-ko Thaysu yang di kemudian hari hidup di
biara Siau-lim sebagai juru masak.
Diantara ke lima orang ini, meski Ong Hui-bun berada diurutan
ke dua, namun usianya yang paling tua. Dialah yang mula pertama
lenyap tidak berbekas. Setelah lenyapnya orang ini, Bu-beng Cinjin (saat itu masih
bernama Bouw Ciong-long) baru berkenalan dengan ke empat orang
jagoan lainnya. Terdengar Ong Hui-bun tertawa terbahak-bahak, "Hahahaha....
semenjak kedatanganku di Bu-tong puluhan tahun berselang, belum
pernah ada orang memanggilku dengan nama sebenarnya, terima
kasih Ciangbunjin telah menghadiahkan sebuah panggilan untukku."
"Itupun tidak lebih hanya mengembalikan dirimu ke wajah aslimu
yang sebenarnya." Jelas perkataan itu mengandung arti ganda, Ong Hui-bun bukan
orang bodoh, tentu saja dia paham akan maksudnya.
"Langit, bumi dan seisinya selalu berubah tidak menentu, hanya
kenyataan di depan mata merupakan sebuah yang nyata, buat apa
mesti menanyakan asal mula?" jawaban dari Ong Hui-bun seperti
orang sedang bersenandung, padahal jawaban itu merupakan kata
yang langsung mematahkan ucapan dari Bu-beng Cinjin tadi.
"Kalau begitu kau tidak bersedia menjawab pertanyaanku ini?"
desak Bu-beng Cinjin. "Pernah kah aku bertanya kepadamu, apa sebabnya ingin
menjadi Ciangbunjin dari Bu-tong-pay?"
"Baik, kalau begitu aku akan menanyakan persoalan di depan
mata, sudah puluhan tahun kau berlagak bisu tuli dan baru hari ini
memperlihatkan wajah aslimu. Aku rasa tindakanmu dengan
mengambil resiko terbongkarnya identitasmu bukan lantaran hanya
ingin menolong Lan Sui-leng bukan?"
"Betul, tujuannya adalah memancing kedatanganmu kemari."
"Kini aku sudah datang! Katakan saja."
"Bouw Ciong-long, aku minta kau melakukan satu hal!"
Dia tidak menghormatinya lagi dengan sebutan Ciangbun-Cinjin,
sebaliknya memanggil dengan nama preman, bahkan penggunaan
kata pun berubah dari "memohon" jadi "meminta", nada bicaranya
sangat kasar dan memaksakan kehendak.
"Itu mah tergantung soal apa yang kau maksudkan! " sahut Bubeng
Cinjin dingin. "Tentu saja perbuatan yang harus kau lakukan!"
"Seharusnya atau tidak, akulah yang menentukan," dengus Bubeng
Cinjin, "tidak ada salahnya kau katakan lebih dulu."
"Lusa adalah hari penguburan Bu-siang Cinjin, sampai saatnya
pasti ada banyak ketua partai besar, atau wakil dari tokoh pelbagai
tempat akan ikut menghadiri upacara penguburan tersebut, bahkan
pihak kerajaan pun akan mengirimkan utusannya untuk
menyampaikan penobatan gelar, bukan begitu?"
"Betul." "Oleh karena itu sekarang kau masih belum berhak
menggunakan gelar "Cinjin" dan hanya bisa memanggilmu dengan
nama preman. Bahkan di kemudian haripun aku tetap akan
memanggilmu sebagai Bu-beng Tojin dan bukan Bu-beng Cinjin!"
Bergetar keras perasaan hati Bu-beng Cinjin sesudah mendengar
perkataan itu, serunya, "Maksudmu aku tidak pantas menjadi
Ciangbun-jin Bu-tong-pay?"
Ternyata diantara para tosu Bu-tong-pay, hanya Ciangbunjin
seorang yang berhak disebut Cinjin, gelar Cinjin adalah anugera
gelar yang diberikan pihak kerajaan, nama itu baru sah
dipergunakan setelah dilaku kan upacara secara resmi dari
perwakilan kerajaan. "Aku tidak mengatakan kau berhak atau tidak," kata Ong Huibun,
"mau berhak atau tidak, pokoknya kau tidak bisa menjabat
sebagai Ciangbunjin Bu-tong-pay!"
Berbicara sampai disini, dia sengaja mempertinggi suaranya dan
melanjutkan, "Bouw Ciong-long, dengarkan baik-baik, seusai
upacara penguburan jenasah Bu-siang Cinjin dan sebelum kau
menerima gelar kehormatan dari pihak Kerajaan, aku perintahkan
kepadamu untuk menyerahkan posisi Ciangbunjin kepada Bu-liang
Tianglo dan mengumumkannya di hadapan para enghiong di kolong
langit!" "Kedudukan Ciangbunjin tidak dapat diserah terimakan secara
pribadi kepada siapa pun!"
"Aku tahu, sesaat sebelum meninggal dunia Bu-siang Cinjin telah
mewariskan kedudukan ini kepada-mu. Tapi selama upacara
peresmian belum dilakukan, kedudukan tersebut masih bisa dirubah.
Asal kau bicara pakai aturan, orang lain pasti akan memuji akan
kerendahan dan ketulusan hatimu. Bu-liang Tianglo adalah murid
Bu-tong-pay dengan usia paling tua, apakah kau tidak merasa
bahwa dia lebih berhak menjadi Ciangbunjin ketimbang kau?"
"Apa yang kau katakan sekarang, sejak dulu pernah kusampaikan
kepada Bu-siang suheng...."
"Aku tahu. Alasan Bu-siang Cinjin minta kau menerima
kedudukan itu lantaran usiamu masih muda dan lagi khawatir Buliang
Tianglo tidak mampu mengatasi pelbagai masalah. Padahal
meski usia Bu-liang sedikit tua, dia masih sanggup menghadapi
semua persoalan, hanya saja waktu itu dia enggan ribut
denganmu." "Apakah sekarang dia ingin menjadi Ciangbun-jin?" tanya Bubeng
Cinjin lagi. "Kau jangan menilai orang dengan kepicikanmu sendiri, bukan


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia yang berniat tapi semuanya ini merupakan keinginanku, lagi pula
aku masih ada maksud lain!"
"Baik, akan kudengarkan penjelasanmu."
"Bu-liang Tianglo pun hanya sementara jadi Ciangbunjin, karena
setelah beberapa waktu dia akan menyerahkan lagi kedudukan
Ciangbunjin ini kepada satu-satunya murid Bu-siang Cinjin, Put-ji
Tojin. Perkataan itupun akan dia sampaikan di hadapan para
enghiong disaat menerima kedudukan Ciangbunjin dari tanganmu."
Atau dengan perkataan lain, tampilnya Bu-liang Totiang sebagai
Ciangbunjin tidak lebih hanya sebagai batu loncatan.
Begitu mendengar semua penjelasan tersebut, pikiran Bu-beng
Cinjin pun menjadi terang benderang, pikirnya, 'Ternyata
kesemuanya ini merupakan rencana yang telah disusun rapi olehnya
serta Bu-liang, aku rasa belum tentu Put-ji tersangkut dalam
rencana busuk ini. Tapi seandainya rencana busuk mereka berhasil,
Put-ji pun hanya bisa menjadi ketua boneka yang disetir dan diatur
mereka dari belakang layar'
Tampaknya Ong Hui-bun dapat membaca suara hatinya, diapun
berkata lebih lanjut, "Dengan mengatur seperti ini, sesungguhnya
kami pun sedang menjaga nama baik Bu-siang Cinjin. Put-ji adalah
satu-satunya muridnya, usia dia lebih muda dari dirimu, hanya saat
ini kemampuan dan kepandaiannya masih kurang matang. Karena
itulah butuh Bu-liang Tianglo untuk menduduki jabatan tersebut
selama berapa tahun. Terus terang saja aku katakan, Bouw CiongTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
long, sebagai murid preman kini kau naik menjadi Ciangbunjin, hal
ini sudah sangat bertentangan dengan peraturan yang berlaku
turun-temurun, sekalipun keputusan ini merupakan keputusan dari
Bu-siang Cinjin yang melangggar kebiasaan. Bila kau bersedia
melakukan seperti apa yang kukatakan, mengundurkan diri dari
posisi ketua, bukan saja alasannya kuat bahkan bersamaan itu
semakin menunjukkan pula jiwa rendah hatimu!"
Bukan saja perkataan itu sangat memojokkan, bahkan sampai
"alasan" regenerasi pun telah dia persiapkan untuk Bu-beng Cinjin
secara baik dan rapi. "Terima kasih banyak atas kebaikan hatimu yang telah
memikirkan semuanya secara rapi," ujar Bu-beng Cinjin hambar,
"tapi bagaimana seandainya aku menampik?"
"Aku tidak akan memaksamu, tapi bila kau tidak bersedia, sampai
waktunya akan muncul seseorang yang mempunyai hubungan tidak
wajar dengan mu yang tampil di hadapan banyak orang secara tibatiba!"
"Siapa?" bentak Bu-beng Cinjin dengan perasaan tercekat.
"Kalau sudah tahu buat apa mesti pura-pura bertanya, siapa lagi,
tentu saja si Lebah hijau Siang Ngo-nio! Sampai saatnya dia akan
muncul di depan kuburan Bu-siang Cinjin dan kepada para tamu
yang ikut hadir dalam upacara penguburan ini dia akan
membeberkan hubungan kalian yang mesra dan hangat,
hehehehe.... seorang Ciangbunjin dari Bu-tong-pay ternyata punya hubungan
gelap dengan Siang Ngo-nio yang tersohor karena nama busuknya,
aku yakin kejadian tersebut pasti akan menjadi berita yang
menghebohkan dalam dunia persilatan!"
Bu-beng Cinjin tertawa dingin, jengeknya dengan angkuh,
"Selama hidup aku orang she-Bouw paling pantang diperas dan
dikompas orang, kau ingin membuka kedokku" Silahkan saja, aku
pun dapat membongkar kedokmu!"
Ong Hui-bun tertawa terbahak-bahak, "Hahaha.... kedok apa
yang akan kau ungkap"
Paling juga menuduh aku berlagak bisu tuli dan menyusup ke
dalam Bu-tong-pay" Setiap saat aku bisa mengarang berpuluh
macam alasan untuk menjelaskan persoalan ini. Mungkin aku akan
mengatakan sedang bersembunyi dari kejaran musuh, bisa juga
mengatakan karena kagum dengan Bu-siang Cinjin maka secara
sukarela datang melayaninya. Sekalipun kau tuduh tujuanku untuk
mencuri belajar ilmu silatpun, aku bisa memberikan bukti dan
jawaban yang membuatmu tidak berkutik."
Dia sudah puluhan tahun melayani Bu-siang Cinjin, andaikata dia
beralasan ilmu silat Bu-tong-pay yang dipelajarinya berasal dari
ajaran Bu-siang Cinjin, orang lain memang tidak bisa mencurigai
dirinya lagi. Sambil senyum tidak senyum kembali Ong Hui-bun melanjutkan,
"Hubungan gelapmu dengan si Lebah hijau Siang Ngo-nio mungkin
bukan hanya sekedar hubungan cinta biasa. Menurut apa yang
kutahu, dalam tengkorak kepala Ho Liang, pelayan tua dari keluarga
Ho ditemukan sebatang jarum lebah hijau milik Siang Ngo-nio.
Sebetulnya tulang tengkorak itu telah disembunyikan putramu, tapi
sayang tempat penyimpanannya dike-tahui seorang sahabatku, dan
sekarang sudah terjatuh ke tangan kami!"
Kini maksudnya sudah semakin jelas, bila Bu-beng enggan
bekerja sama, dia akan menuduhnya tersangkut dengan kasus
pembunuhan yang menimpa Ji-ou Thayhiap Ho Ki-bu.
Biarpun Bu-beng Cinjin sudah kenyang menghadapi masalah
dunia, tidak urung hatinya tercekat juga setelah mendengar
ancaman itu. Kembali Ong Hui-bun berkata dengan suara dalam, "Seorang
lelaki sejati akan tegas mengambil kepu-tusan, bagaimana dengan
tawaran transaksi ini?"
"Kau belum menjelaskan apa tawaranmu dengan permintaan
tersebut." "Asal kau bersedia menuruti perkataanku, pada saat upacara
penguburan jenasah Bu-siang Cinjin menyerahkan posisi
Ciangbunjin, aku pun akan menuruti keinginanmu untuk
menghukum Siang Ngo-nio."
Bu-beng Cinjin terbungkam dalam seribu basa, dia seakan
sedang mempertimbangkan usulan itu.
Ong Hui-bun melanjutkan kembali kata-katanya, "Mungkin perlu
kujelaskan lebih terperinci agar hatiku semakin tenteram. Bila kau
menghendaki dia hidup, secara diam-diam aku akan melepaskan
dirinya, tanggung orang lain tidak akan mengetahui rahasia kalian
berdua. Bila kau menginginkan kematiannya, aku pun bisa mewakili
mu untuk melakukan eksekusi. Bahkan aku pun bisa membuat Tong
Ji-sianseng tahu kalau akulah pelakunya, jadi jika dia ingin
membalas dendam, pembalasan tersebut tidak akan dialamatkan
pada dirimu." Bagi Bu-beng Cinjin, usulan tersebut memang memiliki daya tarik
yang besar, tampaknya dia mulai tertarik dan tergerak hatinya.
"Tidak sulit bila menginginkan aku menyerahkan kedudukan
Ciangbunjin, cuma aku masih ingin mengetahui satu hal lagi."
"Baik, katakan saja, apa yang ingin kau ketahui?"
"Apakah kau yang membunuh Bu-kek Tianglo?"
Ong Hui-bun tidak menyangka kalau dia akan secara blak-blakan
mengajukan pertanyaan itu, untuk sesaat dia jadi tertegun.
"Atas dasar apa kau menduga begitu?"
"Bu-kek Tianglo, Ting Hun-hok, Ho Ki-bu semuanya tewas karena
terkena pukulan aliran Bu-tong-pay, sementara waktu kita
kesampingkan dulu Ting Hun-hok dan Ho Ki-bu, setahuku tenaga
dalam yang dimiliki Bu-kek Tianglo amat sempurna, bahkan dia
hanya sedikit di bawah kemampuan Ciangbunjin Bu-siang Cinjin.
Kecuali kau, masih ada siapa lagi yang bisa membunuhnya dengan
memakai ilmu silat perguruan?"
Senyum tidak senyum Ong Hui-bun tergelak.
"Hahahaha.... tampaknya kau seperti melupakan sesuatu hal!"
"Melupakan apa?"
"Sejak datang ke Bu-tong-san, aku selalu melayani Bu-siang
Cinjin, selama tiga puluhan tahun belum pernah turun gunung satu
kali pun!" "Asalkan kau bisa mencari alasan yang tepat dan memperoleh ijin
dari Bu-siang Cinjin, biarpun meninggalkan gunung selama berapa
hari pun tidak mungkin akan menarik perhatian orang lain."
"Betul, aku tidak lebih hanya seorang Tojin bisu tuli yang setiap
hari hanya bertugas membuat air teh, menyapu, bersih-bersih dan
lain sebagainya, berkurangnya aku memang tidak akan menarik
perhatian orang. Tapi bila ucapan itu benar, bukankah sama artinya kau menuduh
aku bersekongkol dengan Bu-siang Cinjin?"
"Maksudku kau pernah menipu Bu-siang Cinjin!"
"Yang mati tidak bisa dimintai jadi saksi! Bila kau menuduhku
dengan cara begitu, aku pun bisa saja mengatakan kalau tuduhan
tersebut hanya khayalan mu pribadi!"
"Jadi kau telah mengakuinya?"
"Mengakui apa?"
"Mengakui kaulah pembunuh yang telah menghabisi nyawa Bukek
Tianglo, Ho Ki-bu serta Ting Hun-hok!"
"Kau sendiri yang mengatakan begitu, bukan aku!"
"Kalau bukan, kenapa kau tidak berani menyangkal secara
terang-terangan?" "Kini permintaanmu jauh lebih banyak daripada permintaanku
kepadamu. Jadi kalau aku tidak senang menjawab pertanyaanmu,
aku tidak akan menjawab!"
Saking jengkel dan mendongkolnya Bu-beng Cinjin dibuat
menangis tidak bisa tertawapun tidak dapat, siapa pun dapat
membedakan mana yang berat dan mana yang ringan dari
menyerahkan kedudukan Ciangbunjin dengan menyimpan rahasia
pribadi. Seharusnya pertanyaan itu diajukan terbalik. Namun bagi
mereka yang bersangkutan, hal ini dipandang lain.
Sambil tertawa dingin Ong Hui-bun mengancam lagi, "Bouw
Ciong-long, bila kau tidak ingin rusak nama, lebih baik jangan
mencari gara-gara!" Bu-beng Cinjin memutar otak berusaha mencari jalan keluar,
belum sempat menemukan sesuatu, mendadak dia mendengar ada
suara orang menjerit kaget dari kejauhan, bahkan suara itu mirip
sekali dengan suara putranya Bouw It-yu.
Sebetulnya Bu-beng Cinjin berniat menggunakan siasat mengulur
waktu, maka segera katanya, "Yang kau bicarakan adalah urusan
lusa, aku tidak perlu sekarang juga menjawab pertanyaan itu! Maaf,
aku masih ada urusan lain dan harus pergi dulu."
Ong Hui-bun sama sekali tidak menghalangi kepergiannya, hanya
dengan ilmu menyampaikan suara dia berkata dingin, "Aku yakin
kau tidak akan berani membangkang, terus terang saja aku
beritahu, bila kau tidak menurut, mungkin nyawa putra mu tidak
terjamin keselamatannya! Bouw It-yu melakukan pengejaran dengan ketat, ketika tiba di
gardu Ciu-meh-teng di puncak utara Tian-ki-hong, akhirnya dia
berhasil menyusul Seebun Yan.
"Benar-benar tidak kusangka kita adalah saudara seibu lain
ayah," kata Bouw It-yu sambil tertawa paksa.
Seebun Yan tidak kuasa menahan sedihnya, dia merebahkan diri
dalam pelukan pemuda itu sambil menangis terisak.
"Tidak kusangka ibu membohongi aku, sekarang aku harus
percaya kepada siapa" Sungguh tidak ada artinya hidup sebagai
manusia!" Dengan lembut Bouw It-yu membelai rambutnya, bujuknya, "Kau
jangan berpikiran begitu, tahukah kau, betapa gembira hatiku
karena mempunyai seorang adik cantik macam kau, apakah kau
tidak suka mempunyai seorang kakak seperti aku?"
"Aku tidak mengatakan kau tidak baik, tapi ayah-ku adalah orang
baik, ayahmu orang jahat! Dia tidak seharusnya merayu...."
"Persoalan ini tidak bisa dibahas dengan cara begitu," tukas
Bouw It-yu sambil tertawa getir, "mereka berdua sudah sejak
lama...." Melihat paras muka Seebun Yan tidak sedap dilihat, kata berikut
segera ditelannya kembali.
"Aku belum pernah bertemu ayahku, tapi aku tahu dia adalah
seorang Toa-enghiong. Akupun tidak tahu apa yang menyebabkan
kematiannya. Hmm, jangan jangan dia.... dia mati gara-gara
jengkel!" "Adik Yan, itu semua hanya dugaanmu. Padahal ibuku juga mati
gara-gara.... gara-gara jengkel dengan ibu.... aaai, tapi apakah aku
bisa menyalahkan mereka?"
Tanpa terasa Seebun Yan dibuat tertegun, sambil membelalakkan
matanya dia berseru, "Apa itu ini, ibu jauh lebih menyayangi kau
dari pada aku, kenapa kau begitu tidak tahu diri dan masih
mengumpatnya sebagai perempuan jahat?"
Ternyata sejak kecil Bouw It-yu telah menganggap ibu asuhnya
sebagai ibu kandung, dia bisa mengetahui ibu kandungnya pun baru
merupakan kejadian belum lama berselang, oleh karena kebiasaan
itulah tanpa terasa dia telah menganggap ibu tirinya sebagai ibu
kandung. Sewaktu mengatakan "ibuku pun mati gara-gara dijengkelkan
ibumu" tadi sebetulnya dia hanya bermaksud untuk membantah
tuduhan Seebun Yan yang menyalahkan ayahnya, sehingga untuk
sesaat dia tidak terpikirkan kalau ibunya tidak lain adalah ibu
Seebun Yan juga. Bouw It-yu tertawa geli, sesaat kemudian dia baru berkata, "Aku
hanya bermaksud untuk menguraikan kemelut dalam hatimu. Kau
harus tahu bahwa nasib kita berdua itu sama. Aku memang salah
bicara, tapi kaupun seharusnya mengerti, tiada anak yang
membenci orang tua sendiri. Kalau bukan begitu, kaupun tidak akan
menegur aku dengan cara begitu."
Tapi, Seebun Yan memang menggerutu karena tidak seharusnya
dia ditipu ibunya, tapi setelah Bouw It-yu menyinggung masalah ibu
tirinya, tanpa sadar diapun segera membelai kesalahan ibunya.
Maka begitu ditegur Bouw It-yu sekarang, dia pun tertawa geli
sendiri. Beberapa saat kemudian dengan nada sedih kembali dia berkata,
"Perkataanmu memang tidak salah, semua perbuatan yang telah
dilakukan angkatan tua kita, mau baik atau salah, kita memang ikut
tersangkut dan terseret oleh problem tersebut, tapi siapa yang
harus kita salahkan?"
Begitu mendengar perkataan itu, Bouw It-yu tahu, kendatipun
dimulut dia mengatakan "tidak bisa menyalahkan siapa pun" namun
simpul mati dalam hatinya tetap belum dapat terurai.
Betul saja, terdengar Seebun Yan berkata lebih lanjut, "Tapi
sekarang aku sudah mengerti, ternyata banyak kejadian di dunia ini
semuanya palsu. Bahkan begitu pula dengan semua perkataan yang
pernah dikatakan sanak atau orang yang kau cintai. Aaai.... ternyata
menjadi manusia itu sama sekali tidak berarti."
"Setiap orang tentu mempunyai masalah pribadi yang tidak
leluasa untuk disampaikan kepada pihak ke tiga, termasuk kepada
putra-putrinya sendiri. Ibu sebetulnya tidak membohongimu, dia
hanya berpendapat lebih baik kau tidak usah tahu daripada kau
mengetahui akan hal ini. Bagaimana pun juga, perasaan cintanya
kepadamu adalah cinta yang tulus dan murni!"
"Aku percaya. Tapi yang kumaksudkan bukan hanya terhadap ibu
saja." "Maksudmu Tonghong Liang?"
"Hmm, jangan kau singgung dia lagi!" tukas Seebun Yan sambil
cemberut. "Menurut pendapatku, dia masih tetap menyukaimu."
"Hmm, yang dia cintai itu Lan Sui-leng! Aku tahu, kedatangannya


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke gunung Bu-tong kali inipun dikarenakan Lan Sui-leng! Aku tidak
bakal pulang bersamanya, aku pun tidak perduli lagi dengannya!"
Bouw It-yu sendiripun tidak habis mengerti mengapa Tonghong
Liang harus mengambil resiko dengan naik lagi ke gunung Bu-tong,
tapi untuk menghibur adiknya, terpaksa dia berkata sambil tertawa,
"Kalau tidak pulang, memangnya dia mau tetap tinggal di gunung
Bu-tong" Sudahlah, jangan berpikir yang bukan-bukan, akan kucari
dirinya agar kau bisa bicara terus terang di hadapannya."
"Mau ke mana kau mencarinya?"
"Coba lihat, siapa yang datang?"
Pada saat itulah Seebun Yan mendengar suara seseorang sedang
menghela napas. Bagi Seebun Yan boleh dibilang pucuk dicinta ulam tiba, tanpa
perlu membuang banyak tenaga, dia berhasil juga menjumpai orang
yang dicari. Orang itu seolah baru muncul dari bawah tanah, tibatiba
saja sudah berdiri persis di hadapannya.
Perasaan hatinya saat ini sudah berbeda dengan perasaannya
ketika pertama kali naik gunung, dengan termangu dia awasi
Tonghong Liang, untuk sesaat dia tidak tahu apa yang harus
diucapkan. Begitu pula dengan Tonghong Liang, dia hanya menghela napas
panjang tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Sambil mendengus Bouw It-yu segera menegur, "Tonghong
Liang, coba tidak melihat di atas wajah adikku, aku benar-benar
ingin memberi pelajaran yang setimpal kepadamu!"
"Adikmu?" tanya Tonghong Liang agak tertegun.
Walaupun sudah lama dia mencurigai akan hal ini, tidak urung
hatinya tergoncang juga setelah mendengar pengakuan langsung
dari Bouw It-yu, pikirnya, 'Ternyata kabar burung yang beredar
selama ini memang terbukti benar. Kini tinggal membuktikan apakah
kabar burung yang lain pun terbukti benar juga'
Merah jengah selembar wajah Seebun Yan, buru-buru serunya,
"Piauko, kau tahu, aku belum pernah berbohong atas semua
persoalan yang kuhadapi. Sesampai di rumah nanti, aku pasti akan
menjelaskan semuanya."
"Pulang ke rumah?"
"Memangnya kau ingin tetap tinggal di gunung Bu-tong?" tanya
Bouw It-yu. "Ucapanmu tepat sekali, sejak saat ini aku tidak bakal naik lagi ke
gunung Bu-tong. Pergi, tentu saja aku harus pergi, tetapi...."
"Kalau memang harus pergi, masih ada tetapi apa lagi?" sela
Bouw It-yu. "Tidak usah dipaksa," kata Seebun Yan, "aku tahu dia memang
enggan melakukan perjalanan bersamaku!"
Tonghong Liang tertawa getir.
"Padahal aku sendiripun tidak tahu harus pulang ke mana,"
ujarnya. "Kau mungkin tidak tahu, tapi aku tahu. Kau ingin melakukan
perjalanan bersama Lan Sui-leng!" seru Seebun Yan keras, "kini
kedua orang tuanya telah meninggal, dia memang sedang butuh...."
"Kau keliru besar," tukas Tonghong Liang cepat, "dia masih
mempunyai sanak dan tidak butuh perawat-anku. Aku pun naik ke
gunung Bu-tong bukan lantaran dia!"
"Bukankah kau amat menyukainya?"
Kembali Tonghong Liang tertawa getir.
"Kau memang selalu senang menduga-duga. Terus terang saja
aku katakan, bila aku mencintainya, hal ini justru akan mencelakai
dirinya." "Kenapa" Kenapa kalau menyukainya malah justru akan
mencelakainya?" Seebun Yan tidak mengerti, namun dia sudah
merasa sangat puas setelah mendengar jawaban dari Piaukonya itu.
Sebab dia dapat menyimpul kan kendatipun Piaukonya "menyukai"
Lan Sui-leng, dia pun tidak bakal pergi bersama gadis itu.
Kalau memang begitu, mengapa wajah Piaukonya menunjukkan
rasa sedih dan pedih yang mendalam"
Seebun Yan tidak ingin mencari tahu sebabnya, tapi tanpa terasa
timbul perasaan kasihan terhadap Piaukonya ini.
"Piauko," ujarnya kemudian, "kehidupanmu diluar pasti kurang
bahagia, mari kita bersama-sama balik ke Pek-hoa-kok."
Akhirnya Tonghong Liang menjawab juga, "Baiklah, pulang
kemana pun toh sama saja bagiku."
Baru saja Seebun Yan merasa gembira, siapa tahu baru saja
selesai Tonghong Liang berbicara, mendadak terdengar seseorang
berseru dengan nada dingin, "Tidak sama!"
Seorang lelaki berusia lima puluh tahunan, mengenakan jas
hujan berwarna hitam dan berwajah kaku tanpa perubahan mimik
muka, tiba-tiba muncul di hadapan mereka semua.
"Suhu!" teriak Tonghong Liang dengan perasaan terperanjat.
Seebun Yan tahu kalau kakak misannya mempunyai seorang
guru yang mempunyai julukan "Rasul pedang", namun dia belum
pernah menjumpainya. Dasar watak seorang nona besar, begitu mendengar nada
ucapan orang itu seolah melarang muridnya pulang bersamanya,
sontak amarahnya meluap, dengan gusar teriaknya, "Apa
maksudmu mengatakan tidak sama?"
Lelaki itu sama sekali tidak menggubris, seolah-olah sama sekali
tidak mendengar perkataannya, sorot mata dan perhatiannyan
perlahan-lahan dialihkan dari wajah muridnya ke wajah Bouw It-yu.
Bouw It-yu tidak berani berayal, cepat dia menjura sambil
menyapa, "Apakah Cianpwee adalah Rasul pedang Siang Thianbeng?"
"Berbicara soal ilmu pedang, belum tentu aku bisa mengungguli
ayahmu. Julukan "Rasul pedang" tidak berani kuterima," kata Siang
Thian-beng dingin, "namun aku percaya, tidak sampai sepuluh
tahun kemudian pasti akan muncul seseorang yang pantas disebut
Rasul pedang!" Dia berpaling ke arah Tonghong Liang dan menambahkan,
"Apakah kau masih ingat, apa janjimu ketika mengangkat aku
sebagai gurumu?" "Aku berjanji akan mengangkat nama besar suhu dan melatih diri
menjadi jago pedang nomor wahid di kolong langit!"
Kembali Siang Thian-beng mendengus.
"Lantas kenapa sebelum latihanmu berhasil, kau hendak
melepaskan usahamu di tengah jalan?"
Kini Bouw It-yu baru tahu, ternyata harapan "Rasul pedang"
untuk masa depan tidak lain adalah muridnya, Tonghong Liang.
"Dahulu aku adalah seekor anak harimau yang tidak tahu rasa
takut, tapi kini aku telah kehilangan rasa percaya diri," sahut
Tonghong Liang cepat. "Hanya gara-gara kalah satu kali di tangan Bouw Ciong-long"
Bukankah kondisimu jauh lebih baik daripada pertarungan semula?"
Kembali Tonghong Liang tertawa getir.
"Kali ini kekalahanmu bukan lebih mengenaskan, tapi kekalahan
ini membuatku semakin menyesal dan malu. Aku sadar bahwa
sesungguhnya diriku tidak berguna."
Tentu saja Bouw It-yu mengerti apa yang dimaksud dengan
perkataan itu, pikirnya, Ternyata tujuannya mencuri belajar ilmu
pedang dari Keng Giok-keng memang bermaksud untuk menghadapi
ayahku. Untung dia masih tahu diri, tidak selatah dan sesumbar
gurunya' Terdengar Siang Thian-beng mendengus gusar.
"Baru kalah dua kali sudah putus asa" Memalukan!" umpatnya.
"Bukan hanya dikarenakan aku kalah di tangan Bouw Cionglong,"
sahut Tonghong Liang perlahan, "tapi aku mengerti bahwa
bakatku tidak seberapa...."
Sebetulnya dia ingin mengatakan, sekalipun berhasil
mengungguli Bouw Ciong-long pun tetap tidak mungkin baginya
menjadi jago pedang nomor wahid di kolong langit. Sebab bakat
yang dimiliki Keng Giok-keng jauh di atas bakatnya, bila sama-sama
berlatih sepuluh tahun lagi, keberhasilan yang dicapai Keng Giokkeng
pasti jauh di atas kemampuannya.
Hanya saja "kesimpulan" tersebut merupakan analisa dia pribadi,
dia sadar gurunya tidak mungkin akan percaya. Karena itulah
sampai saat ini dia enggan mengemukakan keluar.
Siang Thian-beng adalah seseorang yang tidak sabaran, benar
saja dia segera menukas, "Ooh.... jadi kau keberatan untuk
meninggalkan gadis cilik ini" Hmm, benar-benar tidak becus! Hanya
dikarenakan seorang budak ingusan, kau rela melepaskan cita-cita
mu yang setinggi langit?"
Semenjak tadi Seebun Yan sudah ingin mengumbar hawa
amarahnya, kontan saja dia mengumpat, "Jangan disangka karena
kau adalah guru Piauko ku, maka aku tidak berani memakimu! Kalau
kau sendiripun tidak becus, mana mungkin bisa mendidik murid
yang hebat" Piauko, menurut aku, lebih baik kau tinggalkan saja
guru macam begitu. Suruh ibu mengajari mu, dia pasti dapat
mendidikmu jauh lebih baik ketimbang dia!"
Siang Thian-beng segera mengebaskan ujung bajunya sambil
membentak, "Jangan merecoki muridku terus, dia tidak bakalan
mengawinimu sebagai istrinya!"
Kebasan itu sungguh kuat, desingan angin tajam membuat tubuh
Seebun Yan mundur sejauh enam, tujuh langkah, nyaris dia jatuh
terjerembab. Begitu mengebaskan bajunya, Siang Thian-beng segera menarik
tangan Tonghong Liang dan diajak berlalu dari situ.
Seebun Yan tidak terluka, tapi harga dirinya benar benar
tersinggung hebat. Sejak dilahirkan, belum pernah dia
"dipermalukan" seperti ini, tidak tahan lagi meledaklah isak
tangisnya. Mana dia tahu, sebetulnya Siang Thian-beng tidak berniat
mempermalukan dirinya. Ternyata dia ingin Tonghong Liang berlatih sejenis tenaga dalam
yang disebut Tongcu-kang (ilmu jejaka), ilmu tersebut tidak
mungkin dilatih oleh seorang lelaki yang pernah menikah.
Bila Tonghong Liang berhasil mempelajari ilmu jejaka, kemudian
dikombinasikan dengan ilmu pedangnya, maka ditambah bakatnya
yang bagus, tidak sulit baginya untuk mengorbit menjadi seorang
jagoan pedang yang tidak terkalahkan di kolong langit.
Baru saja Siang Thian-beng menarik Tonghong Liang untuk
beranjak pergi, Bouw It-yu telah menyusul tiba sembari
membentak, "Tonghong Liang, kau sudah bukan kanak-kanak,
seharusnya kau punya pendirianmu pribadi! Siang Thian-beng,
tempat ini adalah gunung Bu-tong, terlepas apa hubunganmu
dengan Tonghong Liang, hormatilah peraturan yang berlaku di
gunung Bu-tong!" Siang Thian-beng mendengus dingin, tukasnya, "Kau mempunyai
peraturanmu, akupun mempunyai peraturanku! Siapa ambil perduli
dengan segala peraturan bau yang berlaku di perguruan Bu-tongpay?"
Bukan hanya membantah, bahkan dia mulai melancarkan
serangan. Baru saja Bouw It-yu menyusul ke belakang tubuhnya, dia sudah
membalikkan tubuh sambil melancarkan sebuah cengkeraman.
Untung Bouw It-yu sudah membuat persiapan, sebuah tusukan
langsung diarahkan ke telapak tangan lawan.
Jurus serangan yang dia gunakan adalah Li-kwang-si-sik (Li
Kwang memanah batu) dari ilmu pedang Lian-huan-toh-beng-kiamhoat,
membungkuk pinggang, menggeser langkah, mencabut
pedang, melan carkan serangan, empat gerakan dilakukan dengan
waktu bersamaan, bukan hanya cepat bahkan amat ganas.
Bertarung dalam jarak yang sedemikian dekatnya, walaupun
Siang Thian-beng berhasil menghindari jurus pertamanya Li-Kwangsisik, belum tentu dapat menghindari jurus ke duanya Pek-hongkoanjit (bianglala putih menembusi sang surya).
Jurus yang pertama dapat menembus jalan darah Lau-kiong-hiat
pada telapak tangannya, sementara jurus serangan kedua dapat
menembus tulang Pi-pa-kut pada bahu lawan.
Baik Lau-kiong-hiat maupun tulang Pi-pa-kut, asal tertusuk
tembus maka betapapun hebatnya ilmu silat yang dimiliki, tetap
akan punah dan cacat seumur hidup.
Siapa tahu jurus pukulan yang digunakan Siang Thian-beng
sangat aneh, jari tengah diluruskan ke depan bagaikan paruh
burung elang dan langsung menutul urat nadi di tubuh Bouw It-yu.
Waktu itu Bouw It-yu baru saja mengubah jurus serangan Likwangsi-sik menjadi Pek-hong-koan-jit, tiba-tiba saja urat nadinya
terasa kesemutan, meski ujung pedangnya berhasil menyentuh
tubuh lawan namun sudah tidak ada kekuatan lagi untuk merobek
pakaian musuh, terlebih ingin "memanah batu" atau "menembusi
sang surya". "Traaaang...." pedang yang berada dalam genggaman Bouw Ityu
terlepas dan jatuh ke tanah, menyusul kemudian tubuhnya
ditangkap Siang Thian-beng dan diangkat ke tengah udara.
"Suhu...." teriak Tonghong Liang terperanjat.
Belum selesai dia berkata, Siang Thian-beng telah memutar
tubuh pemuda itu bagai gangsingan lalu melemparnya ke depan.
"Apa yang kau cemaskan?" dengus Siang Thian-beng. Dia segera
merangsek ke depan dan menarik tangan Tonghong Liang.
Tampaknya tubuh Bouw It-yu segera akan terlempar jatuh dari
puncak Tian-ki-hong, tiba-tiba terlihat Seebun-hujin meluncur
datang dengan kecepat-an tinggi lalu melayang turun ke bawah.
Terkejut bercampur girang buru-buru Seebun Yan berteriak,
"Ibu, cepat.... cepat tolong...."
Waktu itu diapun ikut menyerbu maju ke depan, kendatipun
sadar kalau tindakannya sudah terlambat.
Ketika Seebun-hujin meminta Tonghong Liang pergi mencari
putrinya, secara diam-diam dia mengikuti dari belakang. Ketika
melihat tubuh Bouw It-yu terjun ke bawah, dia yakin bisa
menangkapnya tepat saat, maka segera serunya, "Tidak usah
khawatir...." Siapa tahu meskipun tubuh Bouw It-yu dilempar ke arahnya
dengan kekuatan penuh, dalam perhitungannya tubuh pemuda itu
pasti akan dilemparkan ke hadapannya, siapa tahu tiba-tiba satu
kejadian diluar dugaan telah terjadi, tahu-tahu tubuh pemuda itu
terjatuh ke bawah di tengah jalan.
Hanya saja, kejadian yang di luar dugaan masih berada di
belakang. Baru saja tubuh Bouw It-yu menyentuh tanah, mendadak tubuh
itu mental lagi ke udara.
Rupanya lemparan yang dilakukan Siang Thian-beng dilakukan
dengan sebuah tehnik khusus, walau pun sekilas pandang tubuh
yang terlempar itu nampak meluncur cepat dan kuat, namun begitu
menyentuh tanah, ternyata kekuatannya sama sekali hilang, tubuh
pemuda itu seolah diletakkan orang dengan perlahan.
Buru-buru Seebun Yan menyusul tiba, sambil membimbing Bouw
It-yu bangun tanyanya cemas, "Kau.... kau tidak apa-apa bukan?"
Bouw It-yu seperti patung batu, untuk sesaat dia hanya berdiri
bengong tanpa berkata-kata.
Seebun Yan mengira jalan darahnya tertotok, kembali teriaknya,
"Ibu, cepat kau kemari...."
Seebun-hujin tidak menanggapi teriakan itu, paras mukanya
dingin membeku, bukannya berjalan ke arah Bouw It-yu, dia malah
menuju ke arah Siang Thian-beng.
Seebun Yan kebingungan, baru akan berteriak lagi, terdengar


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bouw It-yu menghembuskan napas panjang sambil berkata, "Aku
tidak apa-apa!" Ternyata barusan dia sedang membayangkan jurus pukulan yang
digunakan Siang Thian-beng, dia merasa pukulan itu seolah-olah
pernah dilihat sebelumnya.
Setelah dipikir sejenak, akhirnya dia teringat, rupanya jurus itu
bukan ilmu pukulan melainkan jurus ilmu pedang.
Ketika pertama kali naik ke gunung Bu-tong, Tonghong Liang
pernah menggunakan jurus pedang itu.
Jurus pedang itu bagaikan seekor burung elang yang terbang
berputar di angkasa, itulah salah satu jurus pamungkas dari Siang
Thian-beng yang disebut enam puluh empat jurus Hui-eng-hweesiankiam-hoat (ilmu pedang elang terbang berputar di angkasa).
Hanya saja kali ini Siang Thian-beng telah mengubah jurus
pedang itu jadi jurus pukulan, hal ini membuat perubahan yang
ditimbulkan semakin susah diduga.
Dalam hati Bouw It-yu kembali berpikir, "Tenaga keras yang
digunakan dalam ilmu pedang ini telah melebur hingga tingkatan
yang luar biasa, andaikata dia melebur pula tenaga lembek dari ilmu
pedang Thay-kek-kiam-hoat yang berhasil dicurinya hingga menyatu
dengan tenaga kerasnya, bukankah ilmu pedang yang dia miliki
menjadi lebih dahsyat" Saat itu, kemungkinan besar dia benar-benar
bisa menjagoi seluruh kolong langit."
Berpikir sampai disini, timbul perasaan menyesal di hati kecilnya,
dia menyesal karena tidak seharusnya membebaskan Tonghong
Liang dengan begitu saja.
"Jangan biarkan dia membawa pergi Tonghong Liang!" seru
Bouw It-yu kemudian. Seebun Yan tidak mengetahui kalau pemuda itu punya maksud
lain, segera teriaknya pula, "Ibu, dia memaksa mengajak pergi
Piauko, bahkan di abilang.... dia...."
"Semua pembicaraan kalian telah kudengar," tukas Seebun-hujin
perlahan. Selesai berkata dia berjalan menuju ke hadapan Siang
Thian-beng. "Aku tahu kau adalah gurunya Liang-ji, ilmu pedangmu hebat
juga, tapi untuk julukan Rasul pedang.... hmmm! Rasanya belum
pantas!" "Hmm, kau tahu apa?" jengek Siang Thian-beng sinis.
"Aku memang tidak tahu apa-apa," kata Seebun-hujin dingin,
"tapi ada satu hal yang kuketahui, perkataan putriku benar,
daripada kau yang mengajari ilmu silat kepada keponakanku,
mending aku sendiri yang mengajarinya."
"Apakah kau ingin menantang aku untuk berduel ilmu pedang?"
tantang Siang Thian-beng.
"Benar, bila kau mampu menangkan aku, akan kuijinkan kau
membawa pergi Tonghong Liang."
"Bibi...." teriak Tonghong Liang.
"Kau memilih bibimu atau gurumu?" tukas Seebun-hujin.
Tonghong Liang segera terbungkam, tidak berani menjawab.
"Bagus," kembali Seebun-hujin berkata, "manusia she-Siang, biar
kusaksikan sampai dimana kehebatan ilmu pedang seorang Rasul
pedang. Silahkan!" "Aku tidak sudi mencari keuntungan dari seorang perempuan!"
dengusSiang Thian-beng. Seebun-hujin mendengus pula, dia patahkan sebatang ranting
pohon lalu katanya lagi dengan nada dingin, "Kau boleh saja
memandang rendah kaum wanita, tapi aku lebih memandang
rendah manusia latah bernama kosong macam dirimu!"
Ranting pohon itu langsung menusuk ke depan disertai desingan
angin tajam. Dia menggunakan ranting pohon itu sebagai pengganti pedang,
begitu menggetarkan tangan secara beruntun dia lancarkan tiga
jurus serangan berantai mengancam jalan darah Hian-ki-hiat, Giokhenghiat serta Thian-jiak-hiat di dada lawan.
Siang Thian-beng miringkan tangan sambil membacok, jari
telunjuk dan jari tengahnya menjulur dan menyusut tiada hentinya
seperti hendak menotok jalan darah, padahal itulah ilmu pedang
tingkat tinggi yang hebat.
Di bawah sambaran angin pukulan yang dahsyat, ranting pohon
itu bergerak lincah dan ringan bagaikan ular perak di tengah ijuk,
biarpun tenaga pukulan dari Siang Thian-beng sangat kuat dan
ganas, ternyata tidak mampu mematahkan ranting pohonnya.
Begitulah, yang satu menggunakan ranting pohon sebagai
pedang, yang lain menggunakan tangan kosong sebagai pengganti
pedang, kedua belah pihak sama sama mengeluarkan segenap
kemampuan yang dimiliki untuk saling menjatuhkan.
Dalam waktu singkat lima puluh gebrakan sudah lewat,
mendadak Siang Thian-beng berpekik nyaring, tubuhnya
melambung ke udara, bagaikan elang lapar yang menerkam kelinci,
telapak tangannya secara ganas membabat ke bawah.
Cepat Seebun-hujin berputar bagaikan gangsing-an, ranting
pohonnya melepaskan puluhan lingkaran hawa pedang untuk
melindungi tubuh. Terkejut bercampur ngeri mencekam perasaan hati Seebun Yan,
tapi dia pun dapat melihat kalau kedua belah pihak sama-sama
telah menggunakan jurus pamungkas untuk menghancurkan
musuhnya. Mendadak tubuh kedua orang itu saling berpisah satu sama
lainnya. "Sayang, sungguh sayang!" terdengar Bouw It-yu berteriak
keras. Sejenak kemudian kembali dia memuji, "Ilmu pedang bagus!"
"Hmm, bocah dungu, apa yang kau pahami?" jengek Siang
Thian-beng sambil tertawa dingin, diiringi suara tertawanya yang
menyeramkan, kembali dia menerkam ke depan.
Seebun Yan tidak paham mengapa kakaknya berteriak "sayang",
tapi begitu mendengar dia memuji kehebatan ilmu pedang ibunya,
sedikit banyak lega juga hatinya.
Rupanya barusan Seebun-hujin telah menggunakan ilmu pedang
Thay-kek-kiam-hoat ajaran Bouw Ciong-long untuk memunahkan
serangan lawan, biarpun Siang Thian-beng menggunakan telapak
tangan sebagai pengganti pedang dan jurus serangan Hui-enghweesian-kiam-hoat yang digunakan jauh lebih ganas ketimbang
menggunakan senjata, namun setiap gerak melingkar yang
diciptakan Seebun-hujin dengan ranting nya selalu berhasil
memunahkan satu bagian kekuatan lawan.
Pada lingkaran pedang yang terakhir, asal ranting itu berubah
dari gerakan melingkar jadi gerakan lurus maka Dia dapat segera
menusuk mata lawannya. Tapi entah mengapa perubahan itu tidak diwujudkan bahkan
tubuh mereka berdua tiba-tiba saja berpisah.
Bouw It-yu sendiripun pernah mempelajari jurus pedang yang
dipergunakan Seebun-hujin, melihat itu segera pikirnya, 'Ternyata
jurus pedang ini bisa digunakan dengan demikian cepatnya! Tapi
apa sebabnya ibu tidak melakukan serangan mematikan"'
Bouw It-yu tidak tahu, rupanya guratan garis melingkar yang
terakhir diciptakan Seebun-hujin telah tergeser oleh pengaruh
tenaga pukulan lawan, sekalipun dia berhasil memunahkan
beberapa bagian tenaga tekanan musuh, akan tetapi pengaruh
kekuatan lawan membuat garis lingkaran yang terbentuk jadi lebih
melebar, dengan begitu jurus serangan pun dipaksa menjadi "tua"
sebelum saatnya. Apabila dalam keadaan begini dia tetap melanjutkan ancamannya
untuk menusuk biji mata musuh, maka dadanya akan terbabat lebih
duluan oleh pedang tangan lawan.
Di tengah pertempuran sengkit, Seebun-hujin semakin
memperketat serangannya dengan menciptakan lingkaran pedang
yang lebih rapat, sementara pukulan Siang Thian-beng menyambar
kian kemari semakin ganas, tanpa meninggalkan permukaan tanah,
tubuhnya telah menerjang ke muka bagaikan seekor elang ganas.
Tampaknya kedua belah pihak sudah mempersiapkan diri untuk
melancarkan gempuran terakhir.
Tonghong Liang merasakan hatinya bergetar keras, tiba-tiba
teriaknya, "Kalian tidak usah bertarung lagi, suhu, aku pergi
bersamamu!" Selesai berkata dia membalikkan tubuh dan segera beranjak
pergi dari situ. Tapi pada saat itulah ranting pedang Seebun-hujin telah
menusuk ke tubuh Siang Thian-beng.
Terdengar serentetan suara ledakan yang keras, ranting pohon
itu patah jadi enam bagian.
Siang Thian-beng mendengus tertahan, tanpa mengucapkan
sepatah kata pun dia mengejar ke bawah bukit dan meninggalkan
arena pertarungan. Dengan perasaan terkejut Seebun Yan menerjang ke depan,
teriaknya cemas, "Ibu, bagaimana keadaanmu?"
"Tidak masalah. Kerugian yang dia derita tidak lebih ringan dari
ku!" sahut Seebun-hujin.
Ternyata dalam jurus serangan yang terakhir, dia berhasil
menciptakan enam lubang tusukan kecil di pakaian yang dikenakan
Siang Thian-beng. Masih beruntung teriakan dari Tonghong Liang berkumandang
lebih dahulu sehingga mempengaruh semangat tempur mereka
berdua, kalau tidak, bukan hanya ranting pohon itu saja yang
terpatah jadi enam bagian, mungkin tulang rusuk Seebun-hujin akan
ikut patah. Sebaliknya bukan hanya pakaian Siang Thian-beng saja yang
berlubang, mungkin di atas tubuhnya telah bertambah dengan
enam lubang luka yang cukup parah.
Seebun Yan merasakan sebuah beban telah terbebas dari
hatinya, namun beban lain kembali mengganjal dalam benaknya.
"Ibu, Piauko telah dibawa pergi orang itu!" serunya.
Dari kejauhan lamat-lamat terdengar suara Siang Thian-beng
sedang berkata, "Boleh saja bila kau enggan pergi, siapa bilang kita
tidak boleh tetap tinggal di gunung Bu-tong?"
"Tidak suhu," terdengar Tonghong Liang menyahut, "lebih baik
kita tinggalkan tempat ini!"
Ucapan mereka berdua berkumandang karena terbawa angin,
hanya Seebun-hujin seorang yang dapat mendengar dengan jelas,
Bouw It-yu hanya mendengar setengah jelas sementara Seebun Yan
sama sekali tidak mendengar apa-apa.
Seebun-hujin menghela napas panjang, ujarnya kemudian, "Anak
Yu, kelihatannya dia tidak ingin menyusahkan ayahmu. Anak Yan,
kalau dia ingin pergi bersama gurunya, biarkan saja dia pergi sesuka
hati!" Bouw It-yu merasakan hatinya sangat kalut, dia awasi Seebunhujin
dengan wajah termangu. "Anak Yu, maafkan aku," kembali Seebun-hujin berkata lembut,
"aku tidak bisa berada bersamamu, aku harus pergi dari sini.
Ayahmu jauh lebih membutuhkan dirimu ketimbang aku, karena dia
harus menghadapi banyak persoalan yang susah dan pelik. Aku
tidak bisa membantu apa-apa, tampaknya aku hanya bisa berharap
padamu." Selesai berkata diapun menarik tangan putrinya dan berlalu dari
sana. Ketika bayangan ibunya sudah tidak nampak, dia seolah-olah
masih mendengar suara helaan napasnya yang pedih.
Mendadak timbul perasaan menyesal di hati Bouw It-yu, tanpa
terasa teriaknya, "Ibu, aku telah salah menuduhmu. Ternyata
semua nya ini bukan kesalahanmu!"
Semenjak tahu kalau Seebun-hujin adalah ibu kandungnya,
belum pernah dia memanggilnya dengan sebutan "ibu". Baru
pertama kali ini dia memanggil ibunya dengan penuh hangat,
panggilan yang muncul dari lubuk hatinya, sayang Seebun-hujin
sudah tidak mendengar. Sementara Bouw It-yu masih berdiri termangu, tiba-tiba
terdengar suara ayahnya berkata, "Anak Yu, tidak usah kelewat
sedih. Begitulah kehidupan manusia, terkadang harus berkumpul,
terkadang harus berpisah, kadang sedih, kadang gembira.
Semuanya itu tergantung pada jodoh."
Tahu-tahu Bouw Ciong-long telah muncul di hadapannya.
"Ayah, rupanya sejak tadi kau sudah datang."
"Benar, semua pembicaraan dengan ibumu telah kudengar. Anak
Yu, kau bersedia...."
"Ayah, seperti yang kau katakan, kumpul, pisah, sedih, gembira
semuanya tergantung apakah kau punya jodoh. Kau tidak usah
memohon kata maaf dari siapa pun, kedua orang ibuku sama-sama
baiknya, aku tidak akan dendam atau jengkel karena siapa pun."
"Aku senang dapat mendengar perkataanmu itu," ucap Bu-beng
Cinjin, "dimasa muda dulu, aku lebih kasar dan keras kepala
ketimbang dirimu. Aku lebih menuruti perasaanku. Tapi kau.... kau
jauh lebih tahu urusan daripada diriku dulu."
"Tapi ibu menyangka aku dapat membantu usahamu, aku
merasa malu dan menyesal sekali."
"Aku tahu, kau telah dibanting Siang Thian-beng, apalah artinya
kerugian semacam itu?"
"Ooh, ternyata sebelum ibu bertarung melawan orang itu, kau
sudah tiba disini, tapi mengapa...."
"Aku memang khusus kemari untuk melihat permainan
pedangnya, bila keadaan terdesak, tentu saja aku akan turun
tangan, tapi berhubung tidak ada keharusan begitu maka akupun
hanya menonton saja."
"Lantas bagaimana pendapatmu tentang ilmu pedangnya?"
Bu-beng Cinjin termenung berapa saat, kemudian baru katanya,
"Ternyata diluar langit masih ada langit, diluar manusia masih ada
manusia. Ungkapan tersebut ternyata tepat sekali."
"Memangnya ilmu pedang yang dimiliki Siang Thian-beng mampu
mengungguli dirimu?" tanya Bouw It-yu terperanjat.
"Sekarang memang masih belum mampu, tapi sukar dibilang di
kemudian hari. Yang kukatakan diluar manusia masih ada manusia
lain, manusia disini bukan dia."
"Maksudmu Tonghong Liang sepuluh tahun kemudian?"
"Itupun belum tentu Tonghong Liang. Tapi bila Tonghong Liang
bersedia menuruti perkataan gurunya, pulang dan berlatih sepuluh
tahun lagi, kemampuan ilmu pedangnya memang mampu
mengungguli ke-pandaianku."
"Benar, bila dia bisa menyarukan ilmu pedang Hui-eng-hweesiankiam-hoat dengan ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat,
kehebatannya memang menakutkan. Tapi sekalipun begitu, bukan
berarti dia mampu mengungguli ayah. Paling tidak dalam
kematangan ilmu pedang, dia belum bisa menandingi ayah."
Bu-beng Cinjin tertawa getir.
"Selewat sepuluh tahun, kau sangka aku masih bisa
mempertahankan reputasiku sekarang?"
"Tapi Tonghong Liang adalah kakak misan adik Yan, belum tentu
dia mau menuruti perintah gurunya untuk bermusuhan dengan
ayah." "Gelar jago pedang nomor wahid dikolong langit merupakan
godaan yang sangat besar bagi siapa pun, apalagi, apa kau tidak
mendengar perkataan yang disampaikan Siang Thian-beng


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepadanya, sepanjang hidup dia tidak mau muridnya menikah."
Tampaknya diapun tahu ilmu tenaga dalam macam apa yang
dilatih Siang Thian-beng, hanya saja kurang leluasa untuk
menjelaskan kepada putranya.
Kembali Bou w It-yu menghela napas, katanya, "Ibu mengira aku
dapat membantu usahamu, aku benar-benar merasa malu dan
menyesal." "Asal kau bersedia mendampingi ku, hal ini sudah merupakan
dukungan moral yang besar bagiku, akupun tidak ingin kau bisa
mengungguli Tonghong Liang pada sepuluh tahun mendatang. Kini
mungkin kau tidak paham, tapi dikemudian hari pasti mengerti,
padahal gelar jago pedang nomor wahid di kolong langit hanya bisa
diusahakan namun tidak bisa diharapkan!"
Bouw It-yu sendiripun seakan mengerti tapi seakan tidak paham,
sambil melompat bangun serunya, "Ayah, kau belum tua, jadi tidak
butuh sebuah tongkat penyangga, begitu juga dengan diriku,
akupun tidak ingin menjadi tongkat penyangga ayah!"
"Kau punya semangat, aku amat gembira," ujar Bu-beng Cinjin
perlahan, "biarpun sepuluh tahun lagi Tonghong Liang berhasil
melatih ilmu pedangnya, dia tetap tidak akan mampu menjatuhkan
Bu-tong-pay kami, saat itu pasti ada orang yang bisa mengungguli
dirinya!" "Maksudmu Keng Giok-keng?"
"Benar. Menurut pendapatku, tidak sampai sepuluh tahun, ilmu
pedangnya dapat mencapai nomor satu di kolong langit."
"Apakah ilmu pedangnya dipelajari dari kiam-boh warisan Busiang
Cinjin?" Bu-beng Cinjin segera berkerut kening, katanya, "Aku tidak
memahami maksudmu, untuk bisa melatih diri menjadi jago pedang
nomor wahid di kolong langit, selain dibutuhkan kesempatan,
diapun harus memiliki bakat alam yang hebat, hanya mengandalkan
berlatih ilmu pedang saja tidak cukup. Jadi kau tidak usah berupaya
untuk mendapatkan kiam-bohnya, atau memaksa dia menyerahkan
kitab rahasia tersebut."
Merah padam selembar wajah Bouw It-yu, buru-buru katanya,
"Sejujurnya aku pernah mempunyai pikiran untuk berbuat begitu,
tapi kalau memang ayah tidak ingin ananda berbuat demikian, tentu
saja ananda akan mentaati perintahmu."
Bu-beng Cinjin tidak langsung menjawab, dalam hati pikirnya,
'Padahal aku sendiripun pernah timbul niatan egois seperti itu,
jangan lagi kau.... ' Maka diapun berkata, "Baiklah, hari hampir terang tanah. Tamu
yang bakal datang hari ini pasti semakin banyak, cepatlah pulang
untuk beristirahat sejenak."
"Baik, untung Siang Thian-beng sudah pergi, aku khawatir besok
dia akan muncul lagi di saat upacara penguburan dan membuat
kekacauan." Bu-beng Cinjin hanya bisa tertawa getir di hati, "Kau mana tahu,
musuhku yang sebenarnya bukanlah SiangThian-beng!"
Ooo)*(ooO BAB XVII Pertarungan dalam pertemuan,
Pedang dari Bu-tong tampil cemerlang.
Ketika balik ke Ci-siau-kiong, hari sudah mendekati terang tanah,
tahu kalau dalam keadaan begini mustahil bisa tidur nyenyak, Bubeng
Cinjin pun duduk bersemedi mengatur pernapasan.
Sim-hoat tenaga dalam yang dia pelajari adalah tenaga dalam
aliran lurus, di hari biasa asal dia duduk bersemedi berapa saat
maka segera akan memasuki keadaan lupa diri.
Tapi hari ini pikiran dan perasaannya sangat kalut, bukan saja
tidak dapat menenangkan diri, sebaliknya pelbagai khayalan
terlintas di dalam benaknya.
Dia merasa seakan berada diantara awan dan air, seolah berada
dalam sebuah perahu bersama In Beng-cu (Seebun-hujin).
Sebentar kemudian dia merasa seperti tertidur di balik kelambu
sutera berwarna hijau dan menyaksikan Siang Ngo-nio dengan baju
dalamnya berwarna merah berbaring di sisinya.
Tiba-tiba dia menyaksikan Seebun Mu yang berlumuran darah
serta Tong Ji-sianseng yang mencak- mencak kegusaran sedang
menerkam ke arahnya, sementara Siang Ngo-nio yang cantik dan
genit, tiba-tiba berubah jadi setan perempuan yang berwajah
menyeram kan.... Untung saja nyawanya tidak sampai putus, karena suara genta
pagi dari Tokoan menyadarkan dia dari lamunan, akhirnya dia dapat
lolos dari alam khayalan.
Setelah mencoba mengatur pernapasan berulang kali, akhirnya
perasaannyapun lambat laun menjadi tenang kembali.
Pembesar yang diutus pihak kerajaan untuk menyerahkan
anugerah gelar "Cinjin" kepada Ciangbunjin telah tiba digunung Butong.
Ketika mendapat laporan, Bouw Ciong-long segera keluar
menyambut. Sambil melangkah maju ke depan, sapa Utusan kaisar itu,
"Saudara Bouw, masih kenali aku" Secara khusus aku telah
memohon kepada Baginda untuk melaksanakan tugas ini, sekalian
datang mengucapkan selamat kepadamu karena telah menjadi
Ciangbunjin Bu-tong-pay!"
"Ooh, rupanya saudara To, sungguh tidak disangka setelah
berpisah hampir sepuluh tahun, kita bertemu lagi disini. Konon di
kotaraja saudara To mendapat posisi yang makin lumayan, bahkan
telah menempati posisi wakil komandan pasukan Yu-lim-kun.
Seharusnya akulah yang musti menyampaikan selamat kepada
saudara To!" Utusan kaisar itu tertawa terbahak bahak.
"Hahahaha.... saudara Bouw, kau masih sama santainya seperti
dulu, hanya saja sekarang kau sudah menjadi Ciangbunjin, jadi aku
musti mengubah sebutan. Tio Hu-si, cepat maju untuk bertemu
dengan Ciangbun-Cinjin."
Wakil utusan Tio segera maju ke depan dan berkata, "CiangbunCinjin, walaupun antara kita berdua baru bertemu kali pertama,
namun belum lama berselang aku sempat bertemu dengan
kongcumu di kota Kim-leng."
Ternyata utusan kaisar itu bernama To Jian-sik, dia adalah wakil
komandan pasukan Yu-lim-kun, sedang wakil utusan bernama Tio
Thay-khong, diapun seorang pambesar militer berpangkat tinggi
dalam pasukan Yu-lim-kun.
"Terima kasih banyak atas sambutan Tio-thayjin selama putraku
berada di Kim-leng," sahut Bu-beng Cinjin, "hanya saja daya ingat
Tio-thayjin tampaknya sedikit kurang baik!"
"Persoalan mana yang dimaksud Ciangbun-Cinjin?" tanya Tio
Thay-khong. "Lima tahun berselang, ketika pinto merayakan ulang tahunku
yang ke lima puluh, rasanya kau pernah mampir di rumahku."
Tio Thay-khong segera tersenyum.
"Tidak kusangka ternyata Ciangbun-Cinjin bisa mengetahui
kejadian ini, sungguh membuat aku sangat terharu. Hanya saja
waktu itu aku hadir karena mengikuti rombongan hingga sejak awal
hingga akhir tidak peroleh kesempatan untuk berbincang dengan
Cinjin. Jadi rasanya belum bisa dihitung perkenalan secara resmi
bukan?" Ternyata sewaktu Bu-beng Cinjin masih disebut Tiong-ciu
Thayhiap Bouw Ciong-long, berhubung pergaulannya yang sangat
luas, maka sewaktu diadakan perayaan untuk memperingati ulang
tahunnya yang ke lima puluh, sangat banyak tamu agung dari
pelbagai daerah yang menghadiri perayaan itu, saking banyaknya
tamu yang datang, walaupun para tamu mengenali dirinya, namun
belum tentu dia mengenali setiap tamu yang datang.
Saat itu Tio Thay-khong belum memangku jabatan dalam
pasukan Yu-lim-kun, dalam dunia persilatan pun dia tidak memiliki
nama besar, jadi Bouw Ciong-long memang tidak mengenali dirinya.
Tapi sejak Bouw It-yu kembali dari kota Kim-leng dan
menyinggung tentang Tio Thay-khong, lagipula sewaktu Tio Thaykhong
datang menyampaikan selamat, kebetulan Bouw It-yu pula
yang mewakili ayahnya meladeni tamunya itu, Tak heran bila Bouw
Ciong-long pun ikut mengetahui akan kejadian tersebut.
Bu-beng Cinjin adalah seorang tokoh silat yang tangguh, dari
sorot mata Tio Thay-khong yang tajam serta jalan darah Thay-yanghiat
dikeningnya yang menonjol, dia segera tahu kalau orang ini
adalah seorang jago yang hebat tenaga dalamnya.
"Heran," diam-diam dia menegur diri sendiri, "mengapa waktu itu
aku tidak menaruh perhatian terhadap orang ini?"
Di samping itu timbul juga kecurigaan dalam hatinya, "Aku
dengan dia tidak saling mengenal, tiada pula hubungan apa pun,
kenapa waktu itu dia ikut hadir dalam perayaan ulang tahunku"
Kalau dibilang dia ingin menggunakan kesempatan ini untuk
berkenalan dengan orang kenamaan, kenapa pula dia hanya
berdiam diri tanpa banyak bicara?"
Ingatan lain segera muncul dalam hatinya, "Jangan-jangan
kedatangannya waktu itu pun mempunyai tujuan tertentu?"
Seorang utusan kaisar ternyata langsung menyambangi
Ciangbunjin di Ci-siau-kiong, hal ini menunjukkan rasa hormat pihak
kerajaan terhadap Bu-tong-pay, sekalipun begitu, itupun hanya
terbatas menjalankan tugas resmi saja.
Selesai berbincang-bincang, Bu-beng Cinjin menitahkan putranya
untuk mewakili dia menghantar tamu.
Keluar dari Ci-siau-kiong, tiba-tiba Tio Thay-khong berkata, "Aku
dengar kemarin kongcu berhasil membekuk seseorang yang
mencoba menyusup naik ke gunung Bu-tong?"
Peristiwa itu terjadi di depan Ci-siau-kiong dan dilihat banyak
orang, tentu saja Bouw It-yu tidak dapat merahasiakannya, maka
diapun menyahut, "Benar, memang ada kejadian ini. Tapi aku tidak
tahu siapakah orang itu."
"Aku tahu siapakah orang itu. Dia bernama Lian Heng,
keponakan dari keluarga Lian yang tersohor karena Su-pit-tiam-patmeh
(empat pit menotok delapan nadi). Konon dia tewas karena
dibokong orang, apakah kongcu telah menyelidiki senjata rahasia
apa yang mencabut nyawanya?"
Bouw It-yu tahu kalau masalah inipun tidak dapat
mengelabuhinya, kembali sahutnya, "Ada orang curiga kalau dia
terkena jarum Lebah hijau dari Siang Ngo-nio, padahal bukan...."
"Darimana tahu kalau itu bukan?"
"Sebab korban yang terkena racun jarum Lebah hijau akan tewas
dengan tubuh berwarna hijau, sedang Lian Heng tewas dengan
wajah bersemu hitam."
"Apakah berhasil mencabut keluar senjata rahasia dari dalam
tubuhnya?" "Tidak. Paling hanya sebatang jarum beracun yang sangat
lembut. Tidak jelas bagian tubuh mana yang terkena sambitan. Bila
harus melakukan otopsi dengan membedah seluruh bagian
jenasahnya, aku rasa cara itu kelewat sadis dan menyeramkan.
Waktu itu hadir pula seorang ahli ilmu beracun, Swan Lo-sianseng,
dia pun berpendapat Lian Heng bukan terkena jarum Lebah hijau,
jadi kesimpulan ini diambil berdasarkan analisanya."
"Yang kau maksudkan sebagai Lo-sianseng itu tentunya jagoan
nomor tiga soal ilmu beracun Swan Ji-cing bukan?"
Diantara "jago nomor tiga" dan "Ahli ilmu beracun" jelas
mempunyai perbedaan yang cukup besar.
Bouw It-yu terkesiap, tapi dia merasa tidak leluasa untuk meralat
perkataannya semula, terpaksa ujarnya, "Benar, apakah Tio-thayjin
berpendapat bahwa analisanya kurang tepat?"
Tio Thay-khong tidak menyangkal, beberapa saat kemudian
katanya, "Dimana jenasah Lian Heng" Apakah aku boleh
memeriksanya?" "Telah dikubur. Tapi bila Tio-thayjin tetap ingin memeriksa,
itupun tidak sulit, jenasahnya dikubur di tebing bukit di depan sana,
liang kuburnya tidak terlalu dalam."
Perlu diketahui, meskipun dia agak keberatan dan tidak ingin ada
orang membongkar kuburan Lian Heng untuk menyelidiki sebab
kematiannya. Namun dia pun merasa tidak kuasa untuk menampik
permintaan seorang utusan kaisar.
Tentu saja anggota Bu-tong-pay tidak akan mengubur jenasah
Lian Heng secara sembarangan, peti matinya tertanam di dalam
tanah yang gembur, maka dengan kekuatan Tio Thay-khong dan
Bouw It-yu, tidak lama kemudian peti mati itu sudah terangkat.
Setelah membuka penutup peti mati, seru Tio Thay-khong,
"Ternyata dugaanku tidak keliru, coba kau lihat!"
Tidak usah diingatkan pun Bouw It-yu sudah memperhatikan.
Tampak wajah Lian Heng dilapisi oleh warna hijau yang tebal,
meskipun warnanya tidak kelewat mencolok namun biarpun sudah
lewat sehari semalam. Warna hijau itu belum juga luntur, hal ini
menunjukkan kalau dia sudah keracunan hebat.
Dalam keadaan begini terpaksa Bouw It-yu berkata, "Kalau dilihat
dari gejalanya, bisa jadi dia memang terkena jarum Lebah hijau.
Tio-thayjin, darimana....
darimana kau bisa menduga ke situ?"
Tio Thay-khong tidak langsung menjawab pertanyaan itu,
sebaliknya malah berkata, "Dari sini bisa disimpulkan, bukan saja
Siang Ngo-nio pernah datang kemari, Tong-sianseng pun pernah
datangjuga!" Biarpun Bouw It-yu tahu kalau apa yang dikatakan memang
kenyataan, namun mau tidak mau dia harus sengaja bertanya, "Atas
dasar apa Tio-thayjin bisa berpendapat begitu?"
"Hanya Tong Ji-sianseng yang memiliki bubuk obat yang bisa
dalam waktu singkat merubah warna kulit orang yang keracunan,
bahkan sewaktu menggunakan obat itu, tidak akan diketahui siapa
pun. Mungkin hanya dia seorang yang bisa berbuat demikian!"
Melihat paras mukanya berubah, tergerak hati Bouw It-yu,
sengaja ujarnya lagi, "Siapa pun tahu kalau Siang Ngo-nio adalah
kekasih simpanan Tong Ji-sianseng, seandainya dia berusaha
menutupi perbuatan siluman wanita itupun hal tersebut tidak aneh."
"Aku kuatir bukan sesederhana untuk menutupi perbuatannya
saja!" "Lantas menurut pendapat Tio-thayjin...."
"Membunuh untuk menghilangkan saksi!"
"Membunuh untuk menghilangkan saksi?" ulang Bouw It-yu
terperanjat. "Kelihatannya baik Tong Ji-sianseng maupun Siang Ngo-nio
sama-sama tidak ingin membiarkan Lian Heng terjatuh ke tangan
kalian, sekalipun cara yang mereka gunakan berbeda, namun samasama
punya kekuatiran bila Lian Heng membocorkan rahasia
hubungannya dengan kedua orang itu."
Hanya sayang dia tidak menjelaskan "rahasia" apa yang
diduganya, karena itu Bouw It-yu pun tidak berani banyak bertanya.
Sekembali ke istana Ci-siau, Bouw It-yu segera melaporkan
semua kejadian kepada ayahnya.
Selesai mendengar penuturan dari anaknya, Bu-beng Cinjin
bertanya, "Anak Yu, kau pernah datang di Liauw-tong, apakah tahu
kalau disana terdapat sebuah perkumpulan yang disebut orang Heksahpang (perkumpulan Hiu hitam)?"
"Konon Hek-sah-pang adalah sebuah organisasi kaum
penyelundup garam, dulunya mereka hidup di daerah Kanglam,


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian lantaran tidak bisa tancapkan kaki lagi di Kanglam maka
ketua mereka Lo Kang-hong kabur menuju Liauw-tong dan
membangun partainya lagi disana. Ayah, mengapa secara tiba-tiba
kau tanyakan soal Hek-sah-pang?"
"Lian Heng adalah tangan kanan Lo Kang-hong, coba bayangkan
saja bila tidak ada becking yang kuat, memangnya mereka mampu
mendirikan perkumpulan di wilayah Liauw-tong?"
"Maksudmu mereka punya hubungan yang erat dengan orangorang
bangsa Boan?" "Dalam hal ini tidak perlu diragukan lagi, yang kucurigai mereka
telah memegang sesuatu rahasia besar dari Tong Ji-sianseng,
lantaran kuatir mereka membeberkan rahasia tersebut maka dia
turun tangan terlebih dulu untuk menghilangkan saksi."
Mendengar itu Bouw It-yu sangat terperanjat, serunya, "Kalau
begitu, bukankah antara Tong Ji-sianseng, Siang Ngo-nio dan Lian
Heng terjalin hubungan khusus, bahkan kemungkinan besar mereka
adalah satu kelompok?"
Bu-beng Cinjin tidak membenarkan pun tidak menyangkal,
katanya tiba-tiba, "Sudah, aku hendak bersemedi sebentar, pergilah
ke kompleks pemakaman dan hiburlah Put-ji. Semalam dia terluka
cukup parah, sekalian bawa dua butir Kiu-thian-keng-giok-wan dan
berikan kepadanya." Bouw It-yu merasa ucapan ayahnya sedikit membias, tanpa
terasa timbul perasaan curiga di hatinya.
"Jangan-jangan ayah masih menyembunyikan sesuatu
kepadaku?" demikian dia berpikir.
Tapi di luaran dia segera mengiakan, disusul bertanya lagi,
"Apakah ayah masih ada perintah lain?"
"Sudah tidak ada lagi. Aaaah, benar, sewaktu keluar nanti,
sekalian suruh mereka memanggil Hian-tong untuk segera bertemu
aku." Hian-tong adalah seorang Tojin yang mengurusi urusan
kebersihan dalam kuil Cing-siu-koan.
Bouw It-yu tidak salah menduga, ayahnya memang
merahasiakan sesuatu darinya.
Sejak Tojin bisu tuli menampakkan jati diri aslinya, Bu-beng
Cinjin sudah tahu kalau manusia berkerudung yang dijumpai Bouw
It-yu sewaktu di Liauw-tong tidak lain adalah dirinya.
Tapi semalam Tong Ji-sianseng lagi-lagi memberi kisikan
kepadanya, lalu Tojin bisu tuli sebenarnya seorang sahabat ataukah
musuh" Di samping itu ada satu hal lagi yang membuat Bu-beng Cinjin
tidak habis mengerti. Kenapa Tojin bisu tuli dapat meninggalkan Butong
selama satu bulanan tanpa diketahui siapa pun"
Ooo)*(ooO Dalam ruang kamar dirumah yang didirikan dalam kompleks
pemakaman, kini hanya tersisa Keng Giok-keng serta ayah
angkatnya Put-ji Tojin. Cicinya, Lan Sui-leng telah pulang rumah menjelang fajar tadi.
Put-ji seolah sedang bermimpi buruk, tiba-tiba Dia menjerit
keras, "Bukan aku.... bukan aku...."
Napasnya tersengkal dan memburu, otot hijau pada keningnya
pada merongkol semua. Buru-buru Keng Giok-keng menempelkan telapak tangannya
pada jalan darah Hong-hu-hiat dan membantunya menyalurkan
tenaga dalam, tidak lama kemudian Put-ji tersadar dari tidurnya.
Begitu membuka mata dan melihat Keng Giok-keng duduk
disisinya, dia seakan lupa kalau pemuda itu menjaganya terus
selama ini, seakan sadar tidak sadar teriaknya, "Percayalah padaku,
kau harus percaya padaku, bukan aku, bukan aku, bukan aku!"
"Gihu, tentu saja aku percaya padamu," jawab Keng Giok-keng
sambil menggelengkan kepalanya, "sejak semalam aku telah
percaya padamu. Cici pun telah berkata padaku, yang membunuh
ayah ibu asuhku adalah Tong Ji-sianseng, bukan kau!"
"Keng-ji, kau.... apa kau bilang?"
"Pembunuhnya bukan kau, aku sudah tahu!"
"Apa" Kau.... kau sudah tahu?"
Keng Giok-keng merasakan hatinya kecut bercampur sakit,
sahutnya, "Gihu, masa kau telah melupakan semua peristiwa yang
baru terjadi semalam" Betul, pada awalnya aku curiga kaulah
pembunuh ayah ibu asuhku, tapi kemudian semuanya telah menjadi
jelas." "Bukan peristiwa semalam yang kumaksudkan!"
"Aku tahu, kau telah salah membunuh ayahku," ucap Keng Giokkeng
dengan pedih, "tapi kini akupun tidak menyalahkan kau.
Sudahlah, tidak usah diungkit lagi!"
"Yang kumaksud pun bukan persoalan ini!" kembali Put-ji
menggeleng. Keng Giok-keng tertegun, tanyanya kemudian, "Lantas persoalan
apa yang kau maksudkan?"
Put-ji Tojin menghirup napas dalam dalam, kemudian sahutnya,
"Yang kumaksud adalah kasus pembunuhan atas kakek luarmu,
yaitu guruku sendiri, Ji-ou Thayhiap Ho Ki-bu!"
Keng Giok-keng tahu kasus pembunuhan ini merupakan sebuah
kasus yang maha besar, maka dia hanya berseru tertahan dan tidak
berani menyela. "Dalam kasus pembunuhan ini, ternyata sampai Ciangbun-Cinjin
pun menaruh curiga kalau akulah pembunuhnya!" ujar Put-ji Tojin
lebih lanjut. "Tidak, aku mengetahui maksud tujuan Ciangbun-Cinjin," sela
Keng Giok-keng cepat, "dia kuatir kau mengambil jalan pendek,
sehingga mengingatkan kepadamu bahwa tanggung jawab
menyingkap siapakah pembunuh yang sebenarnya berada
dipundakmu!" Semangat Put-ji nampak jauh lebih segar, diapun mengangguk.
"Aku tahu akan hal ini. Tapi terus terang saja, terhadap
Ciangbun-Cinjin pun aku tidak berani kelewat percaya. Aku hanya
bisa mempercayai dirimu seorang!"
"Baiklah, kalau begitu katakan saja kepadaku!"
"Ketika Ciangbun-Cinjin menanyakan kepadaku kejadian
sebenarnya waktu itu, ada satu hal sengaja aku rahasiakan.
Sesungguhnya ketika suhu terbunuh malam itu, aku pernah singgah
sebentar di rumah!" "Aaaah!" Keng Giok-keng menjerit tertahan, "lantas Gihu, apa
yang kau saksikan" Aku tetap yakin bukan kau pembunuhnya!"
"Terima kasih banyak," sekulum senyuman akhirnya tersungging
di bibirnya. Maka diapun mengisahkan semua yang dilihat dan di dengar
pada malam kejadian. "Sewaktu aku pulang ke rumah, kebetulan saat itu sang
pembunuh sedang melarikan diri. Sesaat sebelum menemui ajalnya
suhu sempat mengumpat, "Binatang!" aku turut mendengar
umpatan itu dengan jelas sekali."
Keng Giok-keng merasa hatinya tercekat, umpatan "binatang"
biasanya hanya digunakan seorang ayah yang sedang mengumpat
putranya, atau seorang guru sedang memaki muridnya!
Lantas siapakah pembunuh itu" Kalau bukan Gihu,
mungkinkah.... mungkinkah....
Tampaknya Put-ji Tojin seakan mengerti jalan pemikirannya,
ujarnya lagi, "Tidak heran kalau suhu memaki pembunuh itu sebagai
binatang, ternyata pembunuh yang melarikan diri itu memiliki raut
wajah yang pada hakekatnya mirip sekali dengan aku! Bahkan
bayangan punggungnya mirip sekali dengan ayahmu!"
Keng Giok-keng tertegun, lewat berapa saat kemudian dia baru
mendesah, "Aaah, ternyata ada kejadian seperti ini!"
Berbicara sampai disini, diatas wajah Put-ji kembali muncul
perasaan menderita dan tersiksa yang luar biasa, sambil memukul
dada sendiri serunya, "Aku memang pantas mati, suhu telah
memberi budi kebaikan yang tinggi bagai bukit kepadaku, tapi aku
tidak berani menampilkan diri untuk berduel melawan pembunuh
guruku. Waktu itu aku benar-benar ketakutan, saking takutnya
hingga bersembunyi di tempat kegelapan, jangan lagi melakukan
penyerangan, bernapas lebih keras pun tidak berani, aku kuatir
tempat persembunyianku ketahuan pembunuh itu."
"Pembunuh itu memiliki ilmu silat yang jauh lebih hebat
ketimbang dirimu, seandainya kau tampilkan diri waktu itu, paling
juga menghantar selembar nyawa dengan percuma."
"Aku bukan hanya takut mampus, akupun seorang siaujin yang
rendah dan tidak tahu malu. Dalam situasi yang demikian penting
dan kritis, aku hanya memikirkan keselamatan dan kepentingan
pribadi." Baru saja Keng Giok-keng hendak membujuknya agar tidak
kelewat menyalahkan diri sendiri, terdengar Put-ji Tojin telah
melanjutkan kata katanya, "Gerakan tubuh pembunuh itu sangat
cepat, dalam waktu singkat dia sudah kabur dengan melewati
dinding pekarangan, aku sempat mendengar suara langkah Ho
Liang yang berlari masuk ke dalam kamar tidur suhu, sebenarnya
saat itu seharusnya aku ikut masuk, tapi aku tidak berani
menampilkan diri karena khawatir suhu yang telah terluka parah
dan sekarat akan menganggap akulah sang pembunuh. Bisa jadi
kalau bertemu aku lagi, beliau akan mati karena jengkel dan marah.
Atau mungkin juga begitu bertemu dia akan langsung mencaci maki
diriku dan tidak memberi kesempatan untuk melakukan pembelaan.
Seandainya gara-gara itu beliau sampai mati, sudah jelas kecurigaan
itu akan ditimpakan atas namaku, sampai waktunya biar aku
mencebur ke dalam Huang-ho pun tidak bakalan bisa mencuci
bersih tuduhan itu."
Kini Keng Giok-keng baru tahu apa sebabnya Put-ji sangat
menyesali perbuatannya dan memaki diri sendiri, dia berpendapat
ayah angkatnya memang kelewat egois, kelewat kecil nyalinya,
memang tidak sepatutnya dia bersikap begitu.
Setelah tertawa getir kembali Put-ji berkata, "Keng-ji, aku telah
menceritakan semua rahasia hatiku yang paling memalukan
kepadamu, seandainya lantaran ini kau akan membunuhku pun aku
akan mati dengan pasrah! Aku memang selalu cemburu dan iri
kepada ayahmu, khususnya setelah dia merebut sumoy dari
tanganku, rasa benciku kepadanya nyaris merasuk sampai tulang
sumsum. Waktu itu, mungkin saja karena pandangan negatipku
terhadapnya, aku memang mencurigai pembunuh suhu adalah
ayahmu, aku pun "berharap" pembunuh itu benar-benar adalah
ayahmu!" Secara lamat-lamat Keng Giok-keng dapat merasakan "kata
bijaksana menjelang kematian seseorang", maka hiburnya
kemudian, "Peristiwa itupun sudah lewat banyak tahun, terlepas
apakah pikiranmu waktu itu salah atau benar, yang penting asal
mau mengakui kesalahan, hal ini sudah sangat baik. Seperti diriku,
sejak dilahirkan aku telah berhutang budi kepadamu, karenanya aku
tetap menganggap dirimu sebagai ayah angkatku, hanya saja...."
Put-ji Tojin segera menarik kembali senyuman yang menghiasi
bibirnya, buru-buru dia bertanya, "Hanya saja kenapa?"
"Hanya saja bila ingin mencurigai seseorang, paling tidak kau
harus mempunyai dasar pemikiran atau pertanda yang bisa
dibuktikan. Aku ingin tahu mengapa kau mencurigai ayahku."
"Tidak kau tanyakan pun aku tetap akan beritahu kepadamu,
tahukah kau apa sebabnya malam itu aku sempat pulang ke
rumah?" Sebelum Keng Giok-keng menjawab, dia telah menjelaskan lebih
jauh, "Karena baru saja aku mendapat sebuah kabar yang
mengatakan bahwa ayahmu telah menjadi mata-mata bangsa Boan
dan telah kembali dari luar perbatasan, bisa jadi besok sudah akan
tiba dirumah. Karena itulah aku buru-buru pulang ke rumah untuk
melaporkan kejadian ini kepada kakek luarmu."
"Darimana kau dapatkan kabar itu?"
Paras muka Put-ji Tojin yang semula hijau pucat tiba-tiba
berubah jadi merah jengah, jelas dia merasa malu sekali. Tapi
akhirnya dia menjawab juga, "Siang Ngo-nio yang beritahu
kepadaku. Antara aku dengan dia memang terjalin hubungan yang
tidak seharusnya terjadi. Aku tahu perbuatannya tidak benar, tapi
akupun tahu kalau pergaulan perempuan itu sangat luas, beritanya
sangat tajam dan cepat, aku.... maka akupun mengambil sikap lebih
baik percaya atas kebenaran berita itu daripada tidak
mempercayainya. Aaah, tadi aku bercerita sampai mana?"
"Kau bercerita mendengar suara langkah Ho Liang yang berlari
masuk ke dalam kamar tidur kakek luarku."
"Betul, pada saat itulah tiba-tiba Siang Ngo-nio muncul di
sampingku dan memberi tanda agar aku segera tinggalkan tempat
ini, maka aku pun seperti orang bodoh, mengikutinya pergi dari
sana. "Ketika tiba di tempat yang sepi, dia berkata, untuk menghindari
kecurigaan orang maka cara yang terbaik adalah pulang ke rumah
pada esok hari, pulang sambil berlagak seolah sama sekali tidak
mengetahui akan kejadian ini. Bahkan dia beritahu lagi akan sebuah
berita terbaru, dia yakin ayahmu adalah murid durhaka yang telah
membunuh guru." "Berita terbaru apa lagi?"
"Dia mengatakan kalau ayahmu menyimpan sepucuk surat dari
Huo Bu-tuo. Huo Bu-tuo adalah pengawal pribadi Nurhaci Khan dari
bangsa Boan yang kini telah menyusup ke kotaraja dan berencana
untuk menjabat pangkat tinggi sehingga bisa menjadi matamatanya
bangsa Boan. "Bila aku berhasil menggeledah surat itu dari saku ayahmu, maka
akan diperoleh tanda bukti atas semua kejahatannya."
"Darimana Siang Ngo-nio bisa memperoleh kabar sejelas itu?"
tidak tahan Keng Giok-keng bertanya.
Kembali Put-ji menghela napas panjang.
"Saat itu aku hanya ingin menghabisi nyawa ayahmu, selain itu
diapun enggan menjelaskan sumber berita itu, maka aku pun tidak
mendesaknya lebih jauh!"
"Aku pernah bersua dengan Huo Bu-tuo," kata Keng Giok-keng,
"kendatipun status dan kedudukannya sedikit agak rumit, namun dia
bukanlah mata-mata bangsa Boan. Hanya saja panjang sekali bila
harus diceritakan, di kemudian hari bila ada kesempatan akan
kuceritakan kepadamu. Gihu, aku ingin bertanya lagi, pernahkah
kau menaruh curiga bahwa Siang Ngo-nio adalah seorang matamata
bangsa Boan?" "Selewat kejadian pada malam itu, aku mulai menaruh curiga,"
Put-ji Tojin melanjutkan, "keesokan harinya, aku bersama Ho Liang
berhasil bertemu dengan kedua orang tuamu di gunung Boan-liongsan.
Ehmm, aku harus memberitahukan satu hal kepadamu, aku
bukan bermaksud membantah atau mencari alasan, waktu aku
bertarung melawan ayahmu, betul ayahmu memang terluka di
ujung pedangku, padahal ilmu pedang yang dia miliki masih jauh
diatas kemampuan-ku, kematian yang menimpanya dikarenakan dia
sudah terkena jarum beracun dari Siang Ngo-nio!"
"Dalam hal ini sejak lama aku telah menduganya," ucap Keng
Giok-keng sambil menggertak bibir.
Put-ji manggut-manggut, terusnya, "Surat itu tidak terjatuh ke
tanganku, meski aku memang pernah melihat dan membacanya.
Surat tadi ditemukan ibumu di dalam buntalan bajunya dan
diserahkan kepada ayahmu, kemudian setelah ayahmu meninggal,


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

entah mengapa surat itu hilang lenyap dengan begitu saja. Tapi
pada akhirnya aku berhasil membuktikan satu hal, ayahmu sudah
pasti bukan pembunuh yang menghabisi nyawa suhu!"
"Untunglah masalah ini sudah jelas!" bisik Keng Giok-keng sambil
menghembuskan napas lega.
"Sayang sekali yang jelas baru sedikit, masih banyak hal yang
tidak kupahami. Seingatku, belum pernah aku bermusuhan dengan
orang, aku tidak habis mengerti kenapa dia harus menyamar seperti
aku dan melimpahkan dosa ini kepadaku?"
"Aku rasa orang itu bukan berniat menfitnahmu, tapi ingin
mencelakai ayahku!" "Maksudmu sejak awal orang itu sudah tahu kalau aku
mempunyai penyakit hati terhadap ayahmu sehing-ga dia sengaja
berbuat begini, agar aku mencurigai ayahmu lah yang melakukan
pembunuhan itu?" Waktu itu Put-ji Tojin memang mempunyai perasaan curiga
seperti ini, karena itulah pada hari kedua dia "salah membunuh"
adik seperguruannya Keng King-si. Maka dia hanya membungkam
diri setelah mendengar ucapan itu.
Kembali Keng Giok-keng berkata, "Walaupun tidak sedikit orang
persilatan yang mengetahui ilmu menyaru muka, tapi yang paling
hebat dan sempurna penyamarannya adalah Tong Tiong-san si
bajingan tua itu serta Siang Ngo-nio yang telah memperoleh didikan
langsung darinya!" "Kau mencurigai Siang Ngo-nio?"
"Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Siang Ngo-nio sangat
lihay, baru saja pembunuh itu lenyap dari pandangan, dengan cepat
dia telah muncul lagi di sampingmu, apa tidak mungkin dia balik lagi
setelah pergi?" "Tapi orang itu bukan perempuan."
"Bagi seseorang yang pandai ilmu menyaru muka, tidak susah
bagi seorang wanita untuk menyamar jadi lelaki, seandainya
penyamarannya sempurna pun bukan sesuatu yang aneh!"
"Tidak benar," Put-ji tetap menggeleng.
"Kenapa tidak benar?"
"Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang itu sangat
istimewa, jauh berbeda dengan gerakan tubuh Siang Ngo-nio!"
Pengetahuan Keng Giok-keng tentang ilmu silat yang dimiliki
Siang Ngo-nio tentu saja tidak sepaham Put-ji Totiang, terpaksa dia
mempercayai ucapan itu. Kembali Put-ji melanjutkan katanya, "Selama delapan belas tahun
terakhir aku selalu gagal menebak siapa gerangan orang itu, hingga
kemarin malam aku baru berhasil mendapatkan sebuah penemuan
baru, tapi hingga kini akupun belum berani mengungkap
identitasnya." "Gihu, apa yang berhasil kau temukan?" buru-buru Keng Giokkeng
bertanya. "Semalam, sebelum kedatanganmu ada seseorang pernah
berkunjung kemari." "Siapa?" "Tonghong Liang!"
Keng Giok-keng tertegun, berapa saat kemudian serunya, "Oooh,
ternyata Tonghong-toako pernah berkunjung kemari. Mengapa dia
tidak menunggu aku?"
"Waah, kalau soal itu mah aku kurang tahu. Saat itu dia sedang
bertarung melawan Ciangbunjin, mungkin mereka mengira aku
masih tidak sadarkan diri, padahal aku telah mendusin. Begitu
Tonghong Liang mendengar suara teriakanmu dari luar, dia segera
meloncat tembok dan kabur. Agaknya Ciangbunjin pun setuju untuk
melepaskan dia pergi, maka dia tambahi dengan sebuah pukulan,
pukulan itu merupakan tenaga untuk menghantarnya pergi lebih
cepat." "Tapi apa hubungannya antara kejadian ini dengan peristiwa
yang terjadi delapan belas tahun berselang" Apakah kau sangka...."
Tampaknya Put-ji Tojin sedang memikirkan sesuatu, tiba-tiba
ujarnya, "Dahulu, walaupun aku pernah bertarung dengan
Tonghong Liang, tapi belum pernah melihat dia memper gunakan
ilmu meringankan tubuhnya."
"Kenapa dengan ilmu meringankan tubuhnya?"
"Gerakan tubuhnya sewaktu melompati pagar tembok persis
sama seperti gerakan tubuh sang pembunuh yang pernah
kusaksikan pada delapan belas tahun berselang!"
"Tonghong Liang adalah Piauko Seebun Yan, walaupun usianya
lebih tua dari Seebun Yan, namun paling banter juga baru mencapai
tiga puluh dua, tiga puluh tiga tahun, mana mungkin dia adalah
sang pembunuh?" "Pemuda yang lahir di daerah utara kelihatan tinggi besar meski
usianya baru empat, lima belas tahunan. Waktu itu ayahmu juga
paling baru berusia dua puluh tahunan. Lagipula bukankah
perawakan tubuh Tonghong Liang sedikit agak mirip dengan
perawakan tubuhmu?" Keng Giok-keng menggelengkan kepalanya berulang kali,
katanya, "Bagaimana pun juga aku tidak percaya seorang bocah
yang baru berusia empat, lima belas tahunan dapat melakukan
pembunuhan sekejam itu!"
"Akupun tidak berani memastikan kalau dialah pembunuhnya.
Tapi gerakan ilmu meringankan tubuhnya amat istimewa, sekalipun
sang pembunuh bukan dirinya, paling tidak pasti mempunyai
hubungan yang erat dengan dia."
Biarpun Keng Giok-keng masih muda, namun jalan pikirannya
cukup cermat dan teliti, katanya, "Dengan perkataan lain, yang
dimaksud mem punyai hubungan yang erat itu bisa saja orang yang
pernah mewariskan ilmu silat kepadanya. Kalau bukan ayahnya,
berarti dia adalah gurunya...."
"Kecuali kedua orang itu masih ada seorang lagi," tiba-tiba Put-ji
menyela. Keng Giok-keng tertegun. "Kau maksudkan bibinya, Seebun-hujin" Tidak benar, tidak
benar, pasti bukan dia!"
Put-ji tidak membantah, sebaliknya berkata lagi, "Bisa jadi
pembunuh itu adalah saudara seperguruannya, hanya sayang kita
semua belum mengetahui akan hal ini, anak Keng, kau.... kau...."
Tiba-tiba dia tidak mampu berbicara lagi.
"Gihu, kenapa kau?" teriak Keng Giok-keng. Tiba tiba dia
menjumpai darah segar menyembur keluar dari tenggorokannya.
Put-ji Tojin telah mati. Dia mati dibokong orang dan mati seketika
tanpa sempat meninggalkan pesan apa apa. Sekalipun tidak dapat
berbicara, sesaat sebelum meninggal jari tangannya sempat
dijulurkan keluar, menuding ke arah jendela.
"Betul," pikir Keng Giok-keng, "aku harus balaskan dendam
kematian gihu!" Tanpa berpikir panjang dia segera menerobos keluar melalui
jendela dan melakukan pengejaran.
Kompleks pemakaman itu dibangun di bawah tebing Ci-siauhong,
sewaktu menyusul keluar kompleks kuburan, terlihat sesosok
bayangan manusia sedang berlarian naik tebing. Jika dilihat dari
kemampuan ilmu meringankan tubuhnya, jelas kemampuan orang
itu masih diatasnya dan tidak mungkin berada dibawahnya.
Bayangan manusia itu berbelok di sebuah tebing, bukannya
berlari naik ke atas puncak Ci-siau-kiong sebaliknya malah berputar
menuju ke sebuah puncak bukit disisi Ci-siau-hong. Puncak gunung
itu belum pernah dijamah orang, keadaan medannya jauh lebih
berbahaya ketimbang Ci-siau-hong.
Keng Giok-keng tahu bahwa kemampuannya tidak mungkin bisa
menyusul orang itu, tapi dia bersikeras untuk tetap melakukan
pengejaran. Entah karena kehendak Thian atau kehendak orang itu, tiba-tiba
terjadi satu peristiwa aneh.
Entah mengapa, tiba-tiba orang itu menghentikan larinya,
memasang telinga dan seakan sedang mendengarkan sesuatu.
Dia berdiri membelakangi Keng Giok-keng sehingga pemuda itu
tidak dapat melihat perubahan mimik mukanya, tampak dia
berkelebat cepat lalu tubuhnya lenyap di belakang sebuah batuan
cadas. Di pandang dari kejauhan, batu raksasa itu seolah menyatu,
padahal merupakan dua batu yang berdiri sejajar, di antara dua
batu itu terdapat sebuah celah yang bisa digunakan untuk
menyembunyikan diri. Biarpun Keng Giok-keng tidak dapat menyaksikan mimik
mukanya, tapi dari gerak-gerik orang itu dapat diduga bahwa dia
telah menemukan jejak musuh, karena itu sengaja
menyembunyikan diri di tempat kegelapan sambil menunggu
kesempatan untuk melan-carkan gempuran.
Keng Giok-keng merasa sedikit keheranan, pikirnya, 'Bila dia
merasa ada orang yang menguntilnya, dengan bersembunyi
semacam ini jelas tidak mungkin dia bisa mengelabuhi tatapan mata
orang yang menguntil di belakangnya. Mungkinkah masih ada orang
lain yang bersembunyi di sekitarnya, atau mungkin dia hanya di
permainkan perasaan sendiri?"
Namun dalam keadaan begini Keng Giok-keng tidak sempat lagi
untuk berpikir panjang, dia segera mengerahkan seluruh
kemampuan ilmu meringankan tubuhnya dan menerjang ke arah
tempat persembunyian orang itu.
Ketika jaraknya mencapai tiga puluhan langkah, tiba-tiba
terdengar orang itu membentak nyaring, "Kena!"
Segenggam hancuran batu ditimpuk ke depan.
Tapi anehnya, segenggam batu yang pertama dilemparkan ke
arah depan, di antara hujan batu yang kencang, tidak terlihat
sesosok bayangan manusia pun yang muncul, baru pada lemparan
ke dua, dia menyambit ke arah Keng Giok-keng yang sementara itu
telah menerjang tiba. Keng Giok-keng memang sudah membuat persiapan, dengan
jurus "Hun-yong-hong-huan" (Awan berkumpul angin berputar),
gerakan pedangnya menciptakan lingkaran gelang yang rapat untuk
mementalkan semua hancuran batu itu.
"Triiing, traaang.... , triiiing, traaang...." bunyi dentingan
bagaikan permainan kecapi bergema memecahkan keheningan.
Kendatipun Keng Giok-keng berhasil menyapu runtuh bebatuan
yang terarah ke tubuhnya, tidak urung pergelangan tangannya
terasa linu dan kesemutan karena benturan itu.
Orang itu menghancurkan lebih dulu batu cadas menjadi
hancuran kerikil sebelum disambit ke arahnya, dari sini dapat
diketahui betapa sempurnanya tenaga dalam yang dimiliki orang itu.
Andaikata belakangan tenaga dalam yang dimiliki Keng Giok-keng
tidak mengalami kemajuan pesat, jangankan bertarung melawan
orang itu, cukup sambitan batu kerikil itupun mungkin sudah
membuat seluruh tubuhnya babak belur.
Mendadak orang itu sudah muncul tepat di hadapannya.
Di luar dugaan Keng Giok-keng, ternyata orang ini tidak lain
adalah manusia berkerudung yang pernah dijumpai di kota Uh-sahtin
tempo hari. Tampaknya manusia berkerudung itupun agak tertegun setelah
mengetahui yang muncul adalah Keng Giok-keng, setelah
mendengus, bentaknya, "Kau si bocah muda, mau apa datang
kemari" Cari mampus" Cepat menggelinding pergi dari sini!"
Suaranya kering dan tajam, amat menusuk pendengaran.
Hawa amarah dalam dada Keng Giok-keng seketika meluap,
bentaknya, "Ketika berada di luar perbatasan, kau telah mencelakai
Hwee-ko Thaysu hingga kehilangan nyawa, sekarang kaupun telah
mencelakai pula ayah angkatku. Hmm! Meski harus pertaruhkan
nyawa, aku akan mengajakmu beradu jiwa!"
Di tengah makian, sebuah tusukan langsung dilontarkan ke
depan. Dibalik tusukan ini terselip jurus pamungkas, kedahsyatan
dan ketelengasannya benar-benar luar biasa.
Ternyata manusia berkerudung itu sama sekali tidak menghindar
atau berkelit, dia bahkan berusaha merebut pedang lawan.
Tiba-tiba Keng Giok-keng mengubah gerak serangannya sambil
membabat miring ke samping, dalam dugaannya paling tidak dia
akan berhasil memapas kutung ke dua jari tangannya.
Siapa sangka ilmu tangan kosong yang dimiliki orang itu sungguh
luar biasa, dalam waktu singkat dia telah merubah serangannya
menjadi ilmu menotok jalan darah, empat jari tangannya menekuk,
hanya jari tengahnya digunakan untuk menotok jalan darah Kwangoanhiat di tubuh anak muda itu.
Pertarungan antara jago lihay, seringkali selisihnya hanya
sedetik, begitu ke empat jari tangannya ditekuk, secara kebetulan
sekali dia sudah menghindari tebasan pedang lawan. Namun jari
tengahnya tetap melanjutkan ancaman menotok urat nadi Keng
Giok-keng. Dalam situasi yang kritis, tiba-tiba Keng Giok-keng merendahkan
tubuhnya, ujung pedang dicongkel mengancam lambung lawan.
Semula manusia berkerudung itu menyangka jurus serangannya
sudah terlanjur tua, tidak nyana ternyata dia masih memiliki
kekuatan untuk berubah arah, dalam keadan seperti ini, bila
manusia berkerudung itu masih melanjutkan tekanannya, jelas
kedua belah pihak sama-sama akan terluka parah.
Terpaksa manusia berkerudung itu menarik dada dan
lambungnya ke belakang untuk menghindari dulu tusukan tersebut.
Pertarungan antara dua jago tangguh, selisihnya hanya dalam
Makam Asmara 2 Dewi Sungai Kuning Seri Huang Ho Sianli Karya Kho Ping Hoo Pendekar Penyebar Maut 10

Cari Blog Ini