Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 18
berpakaian pendeta dan bernama Cekel Wisangkoro!
Kiranya kakek itu seorang yang amat sakti. Hatinya penuh
kekhawatiran, apalagi ketika ia melirik dan melihat betapa
suaminya kini telah kena diringkus oleh kedua lengan
Gagak Kroda yang amat kuat. Suaminya meronta-ronta
namun tak dapat terlepas. Tentu suaminya dikalahkan
karena pengeroyokan Gagak Kroda dan Gagak Dwipa
selagi dia terdesak sinar hitam itu. Karena kini ia
mengerahkan perhatian kepada suaminya, ketika tiba-tiba
sinar hitam kembali menyambar, Setyaningsih agak
terlambat melompat dan pundaknya kena diserempet
tongkat ular, membuat wanita ini terhuyung. Dan pada saat
itu Gagak Dwipa sudah melompat maju dan mengirim
tusukan dengan pedangnya ke arah dada Setyaningsih,
tusukan yang agaknya sukar untuk dapat ia hindarkan
dalam keadaan terhuyung seperti itu.
Pada saat yang amat gawat bagi keselamatan Pangeran
Panji Sigit dan Setyaningsih itu, tiba-tiba terdengar pekik
melengking tinggi yang hampir sama dengan pekik
Setyaningsih akan tetapi jauh lebih kuat dan sebuah lengan
yang halus melayang, menampar ke arah kepala Gagak
Dwipa. Angin pukulannya. amat kuat sehingga Gagak
Dwipa terkejut bukan main. Namun bekas pimpinan Gagak
Serayu ini cepat menarik kembali pedangnya yang tadi
menusuk Setyaningsih dan terus ia babatkan ke atas
menangkis lengan halus itu.
"Krakkk!" Pedang itu patah menjadi tiga potong bertemu
dengan tangan Pusporini yang mengandung tenaga mujijat
Pethit Nogo, bahkan tangan itu masih dapat mendorong
pundak Gagak Dwip yang terpental ke belakang.
Setyaningsih hanya sekelebatan saja melihat datangnya
seorang wanita cantik yang menolongnya, akan tetapi pada
saat itu perhatiannya terpusat kepada suaminya, maka
tubuhnya berkelebat ke depan dan tangannya menampar ke
arah Gagak Kroda yang masih mendekap tubuh suaminya
yang tak mampu bergerak. Gagak Kroda yang maklum
akan keampuhan pukulan Setyaningsih, yang tadi membuat
dadanya terasa seperti pecah, cepat melepaskan dekapannya
dan menjatuhkan diri ke belakang lalu bergulingan men
jauh sehingga ia terbebas daripada pukulan maut.
Dua orang saudara Gagak itu benar-benar amat kuat.
Mereka sudah bangkit lagi dan bersiap-siap. Akan tetapi
pada saat itu, dua orang wanita yang sama muda sama
cantik rupawan, akan tetapi sama-sama ganas dan penuh
kemarahan telah menerjang mereka dan keduanya
mengeluarkan pekik-pekik melengking yang dahsyat. Gagak
Kroda menjadi pucat ketika ia melihat Setyaningsih
menerjangnya dengan tamparan-tamparan sakti, dan ia
berusaha mengelak dan menangkis sambil terhuyung
mundur. Di lain fihak, Gagak Dwipa juga merasa ngeri
ketika melihat wanita muda yang cantik dan berkulit hitam
manis itu sambil tersenyum-senyum manis sekali menerjangnya dengan tamparan yang seolah-olah menghembuskan api kawah Gunung Bromo! Yang
membuat kedua orang raksasa ini merasa ngeri adalah
pekik-pekik melengking yang keluar dari mulut mereka.
Kedua orang tokoh Serayu ini mundur-mundur dan wajah
mereka membayangkan ketakutan hebat.
Cekel Wisangkoro yang melihat para pembantunya
terdesak dan terancam, segera berkelebat maju dengan
tongkat hitamnya, akan tetapi pada saat itu, berkelebat
bayangan orang dan seorang pemuda tampan gagah perkasa
yang datang bersama wanita cantik itu telah berdiri
menghadapinya sambil tersenyum-senyum.
"Pendeta palsu, dua orang kawanmu itu adalah laki-laki
raksasa yang melawan dua orang wanita muda,
sesungguhnya mereka itu sudah tak tahu malu sekali. Masa
masih akan kaubantu lagi" Engkau ini pendeta dukun lepus
sungguh tak tahu malu!"
Cekel Wisangkoro adalah murid Wasi Bagaspati yang
amat sakti, tentu saja menjadi marah dan tidak memandang
sebelah mata kepada pemuda ini. Ia menyeringai,
memperlihatkan mulut ompong dan berkata,
"Hemm, biarlah kubunuh engkau lebih dulu sebelum
menundukkan dua orang wanita galak itu!" Sambil berkata
demikian, Cekel Wisangkoro berteriak keras dan tongkatnya menyambar, berubah menjadi sinar hitam yang
amat kuat dan cepat gerakannya. Akan tetapi Joko
Pramono, pemuda itu, dengan mudah mengelak sambil
mengejek, "Luput! Engkau ini pendeta manakah"Rambutmu sudah
penuh uban akan tetapi kaubiarkan panjang terurai dan
mengkilap oleh minyak, tanda bahwa pada lahirnya engkau
sudah tua bangka, akan tetapi hatimu masih ingin bersolek!
Badanmu kurus kering seperti cecak mati pada usia tua,
akan tetapi mukamu menyinarkan nafsu duniawi, jubahmu
kuning berhiaskan benang emas akan tetapi kakimu
telanjang, tanda bahwa engkau suka akan kemuliaan dan
kemewahan akan tetapi tidak tahu akan tata susila seorang
pendeta! Bicaramu seperti pribumi akan tetapi hidungmu
seperti kakatua, tanda bahwa engkau bukanlah orang tanah
Jawa. Eh, dukun lepus, engkau siapa dan orang mana?"
Muka kakek itu memang kemerahan, akan tetapi
sekarang menjadi lebih merah karena marah. "Bocah
bermulut lancang! Mampuslah di tangan Cekel Wisangkoro!" bentaknya sambil menyerang kembali,
menusukkan tongkatnya ke arah tenggorokan Joko
Pramono. Namun kembali pemuda ini miringkan tubuh
dan dari samping tangannya menangkis.
"Plakk!" Cekel Wisangkoro terkejut bukan main dan
mengeluarkan teriakan nyaring karena tongkatnya itu
terpukul miring dan telapak tangannya menjadi perih. Hal
ini hanya menandakan bahwa pemuda itu memiliki hawa sakti yang luar biasa kuatnya. Sungguh sukar dipercaya bahwa seorang pemuda yang usianya paling banyak dua puluh dua tahun itu dapat menangkis tongkatnya sampai miring! "Heh keparat, rasakan kesaktiankul" katanya dan kini ia memutar tongkatnya sepertI kitiran
sehingga tongkat Itu berubah menjadi sinar hitam yang
bergulung-gulung dan membentuk lingkaran lebar. Dari
dalam lingkaran ini menyambar keluar hawa pukulan yang
mengandung daya ampuh dan berbau amis, tanda bahwa
pukulan ini adalah aji kesaktian yang mengandung hawa
beracun! "Dukun keji!!" Joko Pramono berseru keras sekali dan
tubuh pemuda ini agak merendah, setengah berjongkok,
kemudian ia mendorongkan kedua tangannya ke depan.
Itulah aji pukulan Cantuko Sakti yang menjadi ilmunya
yang khas! Bukan main dahsyatnya dorongan ini dan Joko
Pramono memperguna-kannya karena makIum bahwa
lawannya tak boleh dipandang ringan.
"Auuggghhhh ............ !" Tubuh pendeta itu terlempar ke
belakang seperti disambar angin puyuh. Biarpun ia
berusaha untuk memperta-hankan diri dengan tongkat yang
ia dorong-dorongkan ke tanah, tetap saja ia terjengkang dan
dari mulutnya menyembur darah segar! Cekel WIsangkoro
yang sudah banyak pengalaman-nya itu maklum bahwa ia
berhadapan dengan seorang pemuda yang benar-benar luar
biasa, maka cepat ia merogoh sakunya dan ............
melarikan diri secepat kedua kakinya mampu meloncat!
"Dukun lepus hendak lari ke mana?" Joko Pramono
meloncat pula melakukan pengejaran.
Pangeran Panji Sigit yang menonton sepak terjang Joko
Pramono, menjadi kagum bukan main. Akan tetapi kini
pemuda perkasa itu mengejar si pendeta yang melarikan
diri, maka kembali ia memperhatikan sepak terjang
isterinya dan wanita muda itu yang tadi membuatnya
bengong terlongong. Dua orang wanita itu seperti dua
orang kembar, sama-sama tangkas dan dahsyat, sama-sama
mengeluarkan pekik, dan pukulan-pukulan mereka adalah
Aji Pethit Nogo yang sudah ia kenal gerakannya. Akan
tetapi ia dapat menilai bahwa hawa pukulan Aji Pethit
Nogo wanita hitam manis itu jauh lebih kuat daripada
isterinya. Ia melihat betapa dua orang kakek itu kini
melakukan perlawanan hanya untuk mempertahankan
nyawa. Beberapa kali mereka terpelanting hanya terkena
hawa pukulan Pethit Nogo, bergulingan dan berusaha lari.
Namun selalu lawannya telah menantinya untuk menyambut dengan pukulan lain.
Gagak Kroda sudah tak dapat tahan lagi menghadapi
desakan-desakan Setyaningsih. Ia hendak melarikan diri,
namun Setyaningsih yang marah sekali melihat betapa
suaminya tadi terancam bahaya di tangan kakek ini,
menyambutnya dengan nukulan-pukulan dahsyat. Ketika
untuk kesekian kalinya Gagak Kroda berusa menangkap
tangan wanita itu untuk digelutnya, untuk dihancurkan
dengan kedua lengannya yang kuat, Setyaningsih sengaja
membiarkan pergelangan tangan kirinya ditangkap. Pangeran Panji Sigit menahan teriakan kaget melihat
isterinya dapat ditangkap lengannya, akan tetap pada saat
itu terdengar suara "prakk"!' disusul robohnya tubuh Gagak
Kroda yan pecah kepalanya terkena tamparan tangan kanan
Setyaningsih! "Prakkk!" Pada detik berikutnya, Gagak Dwipa juga
roboh dengan kepala remuk terkena tamparan tangan
Pusporini. Kiranya tadi Setyaningsih sengaja membiarkan
tangan kirinya tertangkap lawan sehingga ia dapat
kesempatan untuk melancarkan tamparan Pethit Nogo dari
dekat yang akibatnya memecahkan kepala Gagak Kroda.
Adapun Pusporini agaknya hendak menjaga perasaan
saudaranya sehingga ia sengaja "menanti" dan baru
menurunkan tangan maut kepada Gagak Dwipa setelah
Setyaningsih berhasil merobohkan lawannya.
"Bagus sekali! Kalian telah berhasil! Sayang dukun lepus
itu tak dapat tertangkap. Ia menghilang menggunakan asap
hitam, si keparat!" Ucapan ini keluar dari mulut Joko
Pramono yang sudah tiba kembali dengan tangan kosong.
Tadi ia mengejar Cekel Wisangkoro, akan tetapi tiba-tiba
kakek pendeta itu membanting beberapa buah benda yang
meledak dan menimbulkan asap hitam tebal sehingga Joko
Pramono yang khawatir kalau-kalau asap hitam itu
beracun, cepat menghindar dan setelah asap membuyar, ia
telah kehilangan jejak pendeta itu.
Akan tetapi hanya Pangeran Panji Sigit yang
memandang dan memperhatikannya, karena. Pusporini dan
Setyaningsih yang kini berdiri saling pandang dan merasa
seperti dalam mimpi, dengan wajah penuh keharuan dan air
mata menitik turun melalui pipi mereka yang masih
kemerahan karena pertempuran tadi, tidak memperhatikan
hal lain di sekeliling mereka.
"Yunda Setyaningsih............ !"
"Dinda Pusporini............!"
Dua orang wanita muda itu berlari maju dan saling
menubruk, berpelukan dan menangis penuh kebahagiaan
dan keharuan. Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono
hanya berdiri memandang. Mereka ini dapat merasakan
keharuan yang menguasai kedua orang wanita yang mereka
cinta itu, maka mereka hanya menonton saja, bahkan Joko
Pramono yang biasanya gembira itu pun tak berani
membuka mulut. Setelah keharuan mereka mereda, dua
orang wanita itu lalu melepaskan rangkulan, saling
berpandangan dengan mulut tersenyum akan tetapi mata
masih berlinang air mata. Barulah Joko Pramono membuka
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mulut dengan suara gembira.
"Pusporini, apakah engkau sudah lupa kepadaku"
Mengapa aku tidak diperkenalkan?"
Mereka semua tersenyum. Ucapan Joko Pramono yang
mengandung kegembiraan itu sekaligus membuyarkan
keharuan yang mencekam dan menimbulkan kegembiraan
yang timbul dari kebahagiaan perempuan itu.
"Ayunda Setyaningsih, dia ini adalah ............ saudara
seperguruanku, namanya Joko Pramono. Sebetulnya bukan
orang lain karena dia adalah keponakan mendiang Ki
Adibroto ayah Ayunda Ayu Candra."
"Oohh ............ "' Setyaningsih terkejut juga akan tetapi
melihat betapa pandang mata pemuda tampan itu periang
dan sama sekali tidak membayangkan permusuhan, hatinya
menjadi lega. Tentu saja Setyaningsih sudah tahu akan
riwayat keluarganya dan tahu bahwa di antara keluarganya
dan keluarga Ayu Candra pernah terjadi pertentangan yang
hebat (baca Badai Laut Selatan).
"Engkau sudah tahu, dia ini Ayunda Setyaningsih, kakak
tiriku, adik kandung Ayunda Endang Patibroto." Pusporini
melanjutkan perkenalannya kepada Joko Pramono yang
segera menjura dengan hormat kepada Setyaningsih.
"Dan ini adalah suamiku, Pangeran Panji Sigit dari
Jenggala," Setyaningsih memperkenalkan suaminya kepada
dua orang muda itu, kemudian sambil menoleh kepada
suaminya ia berkata, "Kakangmas, ini adalah adikku
Pusporini yang sering kuceritakan, sungguh tak terduga
dapat kita jumpai di sini, malah, bersama saudara
seperguruannya menjadi penolong kita."
Sebagai orang-orang yang mengerti akan tata susila, Joko
Pramono dan Pusporini berlutut dengan hormat dan
hendak menghaturkan sembah, akan tetapi Pangeran Panji
Sigit cepat-cepat membangunkan mereka dan berkata,
"Ah, harap jangan banyak menggunakan peradatan. Kita
adalah orang-orang sendiri, keluarga sendiri. Bahkan kami
berdua yang merasa bersyukur dan berteima kasih kepada
andika yang telah menyelamatkan nyawa kami daripada
ancaman bahaya maut." Kemudian memandang ke
sekelilingnya. Gagak Kroda dan Gagak Dwipa telah
menjadi mayat, dan bukan hanya dua orang itu saja,
bahkan tujuh orang perajurit pengawal yang tadi ia
robohkan bersama isterinya telah tewas. Ia menghela napas
dan berkata, "Mari kita mencari tempat yang bersih dan di
sana kita bercakap-cakap."
Mereka berempat meninggalkan tempat yang mengerikan karena penuh mayat orang itu, memasuki
hutan dan berhenti di bagian hutan yang bersih dan teduh,
juga sinar bulan dapat menerangi tempat itu karena pohonpohonnya tidaklah amat rapat. Mereka berempat duduk di
atas akar-akar pohon, kemudian dengan gembira mereka
bercakap-cakap menuturkan riwayat masing-masing. Sebetulnya yang bicara hanya dua orang wanita itu yang
menceritakan pengalaman masing-masing semenjak mereka
berpisah, sepuluh tahun yang lalu ketika Setyaningsih
diajak pergi meninggalkan Selopenangkep oleh Endang
Patibroto. Ketika Setyaningsih menceritakan keadaan
keluarga mereka, apalagi ketika menceritakan betapa ibu
Pusporini, yaitu Roro Luhito, tewas di tangan musuh yang
mengepung Selopenangkep, Pusporini menjerit lirih dan
terguling pingsan! Tiga orang itu menjadi terharu dan sibuk. Sambil
menangis Setyaningsih memeluk tubuh Pusporini, mengguncang-guncangnya dan memanggil-manggil namanya. Pangeran Panji Sigit hanya menarik napas
panjang dan berdiam diri karena ia maklum bahwa dalam
keadaan seperti itu dia tidak dapat berdaya. Joko Pramono
merasa kasihan sekali kepada gadis yang dicintanya, maka
ia berjongkok dan berbisik kepada Setyaningsih,
"Perkenankanlah saya menyadarkannya. Setyaningsih
maklum akan kesaktian pemuda teman adik tirinya itu,
maka ia lalu melepaskan Pusporini lalu mundur. Bersama
suaminya ia melihat Joko Pramono menyentuh punggung
Pusporini, menekannya dan menempelkan telapa tangan
kini ke ubun-ubun gadis itu. Pusporini mengeluarkan
rintihan perlahan lalu membuka matanya dan bangkit
duduk. Begitu melihat Joko Pramono, lalu tersedu dan
merangkul, mulutnya menjerit lirih,
"Ibu ............ Ah, Joko Pramono ............ ibuku ............
ibuku ............ "
Joko Pramono terharu, mengelus rambut kepala gadis
yang dicintanya itu. Dalam keadaan berduka seperti itu,
Pusporini tanpa disadarinya jelas memperlihatkan perasaan
hatinya kepada Joko Pramono sehingga Setyaningsih dan
Pangeran Panji Sigit memaklumi keadaan dua orang muda
itu dan mereka hanya saling pandang penuh rasa haru.
Setelah sadar kembali, Pusporini cepat melepaskan
pelukannya dan mukanya menjadi merah. Setyaningsih
cepat memegang tangannya dan berkata,
"Adikku yang baik, teguhkanlah hatimu. Ibuku dan
ibumu telah gugur dalam perang, gugur sebagai kusuma
bangsa, sebagai wanita-wanita berjiwa satria yang gagah
perkasa. Kita patut merasa bangga dan kita harus
mencontoh mereka. Musuh-musuh yang menewaskan ibuibu kita adalah musuh-musuh kita yang sekarang juga."
Pusporini mengangguk. Dengan kekuatan batinnya ia
sudah dapat mengatasi kedukaannya dan dengan tenang ia
mendengarkan cerita Setyaningsih lebih Ianjut tentang
keadaan keluarganya. "Sekarang Kakangmas Tejolaksono telah menjadi patih
muda di Panjalu dan tinggal di kota raja bersama Ayunda
Ayu Candra. Mereka hanya berdua saja di sana karena
sampai sekarang, Bagus Seta belum juga pulang ............ "
Setyaningsih menarik napas panjang mengingat akan nasib
buruk Tejolaksono. "Untung bahwa belum lama ini Ayunda
Endang Patibroto juga datang ke Panjalu dan sekarang telah
bersatu dengan Rakanda Patih Tejolaksono."
Pusporini menjadi girang mendengar ini, wajahnya
mulai berseri kembali. "Syukurlah. Hanya sayang bahwa
Bagus Seta masih belum juga pulang. Ke mana sajakah
perginya bocah itu?"
"Menurut penuturan rakanda patih Bagus Seta diambil
murid oleh seorang maha sakti yang berjuluk Bhagawan
Ekadenta, entah dibawa pergi ke mana oleh gurunya itu."
Mendengar ini, Pusporini dan Joko Pramono saling
pandang sejenak karena mereka teringat akan pesan guru
mereka bahwa kelak mereka akan membantu seorang
pemuda sakti mandraguna. Jangan-jangan Bagus Seta anak
yang disebut-sebut guru mereka itu!
"Selanjutnya bagaimana, Yunda?" Pusporini kembali
menghadapi Setyaningsih yang kini mulai menceritakan
pengalamannya semenjak ia meninggalkan Selopenangkep.
Ketika mendengar bahwa Endang Patibroto melahirkan
seorang anak perempuan, Pusporini girang sekali.
"Wah, sekarang sudah berapa usianya keponakanku itu"
Siapa namanya?" "Namanya Retna Wilis dan sekarang usianya sudah lebih
sepuluh tahun. Akan tetapi ............ ah, sungguh
menyedihkan kalau diingat nasib Rakanda Patih Tejolaksono. Bagus Seta belum pulang dan tidak diketahui
berada di mana, sedangkan puterinya yang belum pernah
dilihatnya itu, Retna Wilis keponakan kita ..... "
"Mengapa dia" Mengapa ...... ?" Pusporini bertanya
penuh kekhawatiran. "Dia baru-baru ini terculik oleh Nini Bumigarba ............
" "Apa ............ " Terculik" Dari tangan Ayunda Endang
Patibroto" Sungguh mengherankan! Siapa berani melakukan hal itu" Siapakah itu Nini Bumigarba?"
Pusporini terkejut, heran, dan marah sekali mendengar ada
orang berani menculik puteri ayundanya yang demikian
sakti mandraguna! "Aku pun hanya mendengar penuturan Ayunda Endang
Patibroto. Penculiknya bukan manusia biasa. Yang
bernama Nini Bumigarba itu memiliki kesaktian yang tidak
lumrah manusia. Jangankan Ayunda Endang Patibroto
yang sama sekali tidak mampu melawannya, bahkan Eyang
Datujiwa yang sakti mandraguna dan sudah menjadi guru
Retna Wilis sekali pun tidak mampu melawannya, bahkan
tewas di tangan Nini Bumigarba yang menggiriskan itu."
Pusporini dan Joko Pramono terkejut sekali. Mereka itu
melongo ketika mendengarkan penuturan Setyaningsih
tentang kehebatan Nini Bumigarba, dan diam-diam mereka
ikut prihatin dan marah sekali.
"Kami berdua sedang bertugas menyelidiki ke mana
dibawanya Retna Wilis oleh Nini Bumigarba, namun
semua penyelidikan kami tidak ada hasilnya. Nenek itu
seperti lenyap ditelan bumi," kata Pangeran Panji Sigh
setelah isterinya menuturkan tentang pasukan rahasia yang
dibentuk dan dipimpin oleh Pangeran Darmokusumo
sendiri, bersama Patih Tejolaksono. "Karena itu, tidak ada
jalan lain bagiku untuk kembali ke Jenggala, menghadap
ramanda prabu dan kurasa di Istana aku akan dapat
mendengar tentang Nini Bumigarba yang melarikan Retna
Wilis. Dalam perjalanan ke Jenggala, kami bertemu dengan
Gagak Dwipa dan Gagak Kroda sehingga hampir saja kami
tertimpa malapetaka."
"Akan tetapi hal itu sama saja seperti menyerahkan diri
ke tangan musuh!" Joko Pramono berseru. "Paduka sudah
dikenal oleh semua orang dan agaknya kini para perajurit
dan petugas Jenggala telah dikuasai oleh mereka yang
mencengkeram Jenggala dan yang memusuhi Paduka.
Sebaiknya, kami berdua saja yang pergi menyelidik ke sana
karena kami tidak dikenal."
"Benar sekali apa yang dikatakan Joko Pramono.
Ayunda Setyaningsih dan Rakanda Pangeran lebih baik
jangan memasuki Jenggala karena hal itu akan berbahaya
sekali." kata pula Pusporini. Akan tetapi Setyaningsih tidak
menjawab, hanya menoleh kepada suaminya dan menanti
jawaban dan keputusan dari mulut suaminya.
Pangeran Panji Sigit tersenyum akan tetapi menggelengkan kepalanya, menarik napas panjang dan
berkata, "Sungguh tepat pendapat Adimas Joko Pramono.
Akan tetapi, aku ingin bertanya pendapat Adimas Joko
Pramono. Bagaimana andaikata Adimas yang menjadi aku,
melihat ramanda prabu di Jenggala dicengkeram pengaruh
jahat, terancam keselamatan beliau oleh anasir-anasir yang
menguasai kerajaan" Apa yang akan Adimas lakukan"
Apakah hanya akan memandang dari jauh saja?"
Joko Pramono menghela napas panjang dan mengangguk maklum. "Maaf bukan sekali-kali saya tadi
tidak percaya akan jiwa kepahlawanan Paduka, melainkan
tadi saya hanya berpikir tentang bahaya-bahaya yang
mengancam Paduka. Tentu saja, kalau saya menjadi
Paduka, saya akan mendekati sang prabu dan akan
membelanya dengan seluruh jiwa raga saya, sesuai dengan
tugas dharma bakti seorang satria terhadap negaranya."
Pangeran muda itu tertawa dan memandang Joko
Pramono dengan sinar mata kagum.
"Sudah kuduga, takkan ada bedanya antara orang-orang
yang menjunjung tinggi dharma bakti sebagai seorang
manusia yang tahu akan kebesaran dan keadilan, yang tahu
akan tugas-tugas kewajibannya sebagai seorang manusia,
tugas di dalam mengisi hidup yang tak lama ini. Karena
persamaan pendapat ini, maka makin yakinlah hatiku
bahwa aku bersama isteriku harus kembali ke Jenggala, apa
pun yang akan kami hadapi kelak. Tugaskulah untuk
membela beliau, tugasku pula untuk mengingatkan beliau
akan kelalaian dan kekhilafan beliau. Setyaningsih, isteriku,
beranikah engkau mengunjungi istana Jenggala di mana
banyak menanti musuh-musuh berilmu tinggi untuk
mencelakakan kIta?" Setyaningsih memandang suaminya dengan pandang
mata mesra dan wajah berseri.
"Sudah menjadi tugas mutlak seorang isteri untuk
mengabdi suaminya, mengikuti suaminya ke mana pun juga
junjungannya itu pergi. Tiada kesenangan dunia yang akan
dapat menyelewengkan
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kesetiaannya, tiada pula kesengsaraan yang akan dapat membuat ia meninggalkan
sisi suaminya!" Pangeran muda itu tertawa terbahak, makin girang dan
besar hatinya. "Tepat sekali. Engkau Setyaningsih
(Kesetiaan Kaslh) bukan hanya nama belaka, namun
menjadi watak lahir batin!"
Pusporini dan Joko Pramono melihat dan mendengar
dengan hati penuh rasa kagum dan terharu. Pusporini
memeluk kakak tirinya dan berkata,
"Betapa aku dapat membiarkan Ayunda pergi bersama
Rakanda Pangeran menghadapi bahaya hebat di Jenggala"
Tidak, Ayunda, aku tidak dapat berdiam diri saja. Aku akan
menemanimu dan membantumu mencari jejak Nini
Bumigarba yang melarikan Retna Wills!"
"Benar sekali! Aku pun siap membantu dan biarlah
hamba menjadi pembantu Paduka, Rakanda Pangeran!"
kata pula Joko Pramono dengan sikap gagah.
Pangeran Panji Sigit girang bukan main dan memegang
pundak pemuda perkasa itu. "Hati kami menjadi lebih
mantap, lebih besar dan tabah dengan bantuan kalian
berdua yang sakti mandraguna. Sungguh bahagia hatiku
dapat menjadi suami seorang seperti Adinda Setyaningsih
yang memiliki keluarga gagah perkasa, dan ............ aku
yakin bahwa engkau pun akan menjadi keluarga kami
............ Adimas Joko Pramono!"
Wajah pemuda itu menjadi merah akan tetapi lebih
merah lagi kedua pipi Pusporini ketika ia bertemu pandang
dengan Joko Pramono. Melihat ini, Pageran Panji Sigit
tertawa bergelak dan Setyaningsih ikut tertawa sambil
merangkul pundak adik tirinya.
Dengan semangat tinggi dan hati besar, empat orang
muda perkasa ini lalu melanjutkan perjalanan mereka
menuju ke Kota Raja Jenggaia, menentang bahaya yang
mereka tahu sedang menantinya di kora raja itu, bagaikan
mulut lebar seorang raksasa yang siap untuk mencaplok
mereka! Ketika empat orang muda ini memasuki kota raja, semua
mata memandang mereka penuh takjub dan keheranan.
Akan tetapi masih banyak pula rakyat yang mengenal
Pangeran Panji Sigit dan tak lama kemudian terdengar
teriakan-teriakan girang mereka dan setelah beberapa orang
penduduk tua menjatuhkan, diri berlutut di pinggir jalan,
semua orang lalu berlutut menyembah dan berderet-deret di
sepanjang jalan yang mereka lalui.
"Gusti Pangeran Panji Sigit datang ?"!"
"Gusti Pangeran yang kita cinta telah kembali ............ !"
Teriakan-teriakan ini cepat sekali sampai ke istana
mendahului mereka sehingga mengejutkan hati Pangeran
Kukutan yang mendengar akan datangnya adik tirinya itu.
Kalau Pangeran Kukutan terkejut dan khawatir, adalah
Suminten yang cepat bangkit dari tempat duduknya dengan
muka merah padam. Wanita itu telah menjadi seorang
wanita yang masak, berusia kurang lebih dua puluh tujuh
tahun, bertubuh padat yang tertutup pakaian yang serba
indah dan ketat, wajahnya manis dan terutama sekali
sepasang matanya membayangkan kecerdikan dan wibawa,
dengan kerling tajam mengiris jantung, dan mulutnya yang
membayangkan hamba nafsu berahi, bibir yang dapat
bergerak-gerak menantang. Begitu mendengar disebutnya
nama Pangeran Panji Sigit, di dalam pandang matanya
timbul api gairah yang menyala-nyala, dadanya yang
membusung itu agak herombak dan ia cepat memerintahkan abdinya untuk memanggil Pangeran
Kukutan. Kemudian ia mengundurkan memasuki ruangan
belakang, sebuah ruangan rahasia yang khusus ia
pergunakan untuk mengadakan pertemuan rahasia dengan
sekutu-sekutunya, tempat yang rahasia dan aman daripada
gangguan orang luar yang tidak dikehendaki kehadirannya.
Di sinilah ia menanti kedatangan pembantunya yang paling
setia, juga kekasihnya yang terdekat di antara sekian
banyaknya pria-pria muda yang menjadi kekasihnya, atau
lebih tepat menjadi alat-alat permainannya menurutkan
hawa nafsu. Wanita ini duduk termenung, menanti
kedatangan Pangeran Kukutan dengan mata setengah
dipejamkan, suatu kebiasaan jika wanita itu sedang
memutar otaknya mencari siasat.
Tak lama kemudian, daun pintu didorong dari luar dan
masuklah Pangeran Kukutan yang langsung menghampiri
wanita yang masih duduk menyandarkan punggung dan
lehernya ke sandaran kursinya. Pangeran yang sudah biasa
memasuki ruangan ini, yakin bahwa ruangan itu
merupakan tempat yang aman, tak perlu menutupkan daun
pintu karena takkan ada seorang pun manusia berani
mengintai atau mendengarkan, dan di sekeliling tempat itu
telah terjaga kuat sekali oleh pengawal-pengawal pilihannya. Ia langsung menghampiri Suminten yang untuk
kesekian kalinya ia terpesona menyaksikan wanita ini
duduk dengan kepala menengadah, mukanya yang cantik
itu tampak nyata, mata yang berbulu lentik setengah
terkatup, mulut yang manis itu setengah terbuka sehingga di
antara sepasang bibir yang penuh, merah dan merupakan
sumber kehangatan nafsu itu tampaklah ujung deretan gigi
hampir menjepit ujung lidah yang kecil merah, tampak
sebagian rongga mulut yang merah gelap. Biarpun
Pangeran Kukutan itu bukan seorang laki-laki alim, bahkan
sebaliknya dia seorang pria yang selalu mengejar dan
mendapatkan wanita-wanita cantik mempergunakan kekuasaan, kedudukan, dan ketampanannya, namun setiap
kali bertemu dengan Suminten, selalu gelora darahnya
dipanaskan nafsu berahi. "Duhai, Adinda Suminten ............ alangkah cantik jelita
engkau ............ ! Siang hari engkau memanggilku, apakah
tidak dapat menahan lagI ............ ?" Ia membungkuk dan
mencium bibir ternganga itu. Suminten baru sadar dari
lamunannya, dan sejenak ia membiarkan pria yang menjadi
pembantunya itu menikmati ciumannya. Akan tetapi ketika
tangan pangeran itu mulai menggerayang, ia cepat
memegang tangan itu, merenggutkan dirinya secara halus
dan berkata lirih, "Duduklah, Pangeran. Aku memanggilmu karena urusan
penting. Bukan saatnya untuk bermain cinta."
Sesuatu dalam suara wanita yang sudah amat dikenalnya
ini membuat Pangeran Kukutan cepat melangkah mundur.
Seluruh gairah nafsunya lenyap seperti asap dihembus,
angin. Ia maklum bahwa dalam keadaan seperti itu,
Suminten mempunyai persoalan pelik yang harus ia
tanggapi dengan kepala dingin dan dengan penuh
kesungguhan. Akan tetapi dia pun dapat menduga bahwa
tentu wanita yang amat cerdik ini yang sesungguhnya telah
mengangkat dirinya menjadi pangeran mahkota, calon raja,
yang sesungguhnya merupakan pucuk pimpinan dalam
persekutuan mereka yang kini telah menjadi kuat sekali,
mencengkeram serluruh Jenggala dalam kekuasaan mereka,. telah mendengar akan munculnya Pangeran Panji
Sigit di kota raja. "Pangeran, apakah engkau sudah mendengar akan
munculnya ancaman bagi ketenteraman kita?"
Pangeran Kukutan tersenyum. "Apakah engkau maksudkan munculnya Panji Sigit dan tiga orang temannya
di kota raja?" Suminten mengangguk dan mengerutkan alisnya yang
kecil panjang menghitam. "Pangeran, mengapa engkau memandang rendah dan
menganggap hal ini sepele saja" Bukankah kemarin dulu
engkau sendiri yang melaporkan akan kedatangan Paman
Cekel Wisangkoro yang menceritakan betapa anak buahnya
tewas oleh kesaktian Pangeran Panji Sigit dan terutama tiga
orang temannya itu?"
"Harap tenangkan hatimu, Diajeng. Telah kuselidiki dan
dengar dari Paman Cekel Wisangkoro bahwa Panji Sigit
datang bersama isterinya yang bernama Setyaningsih dan
dua orang muda laki-laki dan wanita yang tak dikenal.
Memang, menurut penuturan Paman Cekel Wisangkoro,
laki-laki dan wanita yang tak dikenal itu memiliki
kepandaian yang lumayan sehingga Paman Cekel sendiri
terdesak, akan tetapi hal ini tak perlu dikhawatirkan. Kami
sudah siap sedia dan Paman Cekel Wisangkoro telah
mendatangkan bantuan orang-orang sakti dan aku tanggung
bahwa sebelum Panji Sigit dan teman-temannya sempat
menghadap ramanda prabu, mereka berempat sudah akan
menjadi mayat yang tak dikenal orang lain di mana
kuburnya. Ha-ha-hal Aku hanya mengharap agar engkau
dapat menahan ramanda prabu supaya tidak berkesempatan
mendengar akan munculnya Panji Sigit, apalagi menemuinya." Tiba-tiba Suminten menepukkan telapak tangannya pada
lengan kursinya dan berseru marah, "Bodoh sekali rencana
itu!" Pangeran Kulkutan berubah air mukanya. Ia maklum
betapa bahayanya kalau wanita yang cumbu rayunya dapat
membuat ia lupa akan segala itu sedang marah. Cepat ia
bertanya, "Apakah yang salah" Harap suka cepat memberi
tahu agar aku dapat mengatur."
"Engkau merencanakan untuk menggunakan kekerasan
membunuh mereka sebelum mereka bertemu sang prabu"
Dengan demiklan. rakyat yang telah mengetahui kedatangan Pangeran Panji Sigit akan menjadi curiga!
Alangkah bodohnya! Tidak! Hal ini, kemunculannya ini
tentu merupakan siasat dari tokoh-tokoh Panjalu dan kalau
kita menggunakan kekerasan membunuhnya, tentu akan
mereka pergunakan untuk mengusik hati sang prabu
sehingga timbul kebenciannya kepada kita. Engkau tahu
betapa besar kasih sayang sang prabu kepada Pangeran
Panji Sigit!" "Apa salahnya kalau ramanda prabu mengetahuinya"
Keadaan ramanda prabu suda:h sedemikian lemahnya,
tinggal menggencet sedikit saja tentu mati"
"Ah, engkau temyata masih dikuasai hatimu yang penuh
rencana kekerasan. Apakah yang menjadikan kita berhasil
sampai begini jauh kalau bukan karena siasat halusku" Dan
kini hendak kau rusak dengan siasat yang kasar dan liar
seperti siasat orang-orang hutan?"
Pangeran Kukutan menunduk. "Baiklah, saya akan
melakukan segala petunjukmu. Sekarang bagaimana
baiknya untuk menghadapi Panji Sigit dan teman-temannya
Itu?" "Siasat lawan yang halus harus kita balas dengan siasat
lebih halus lagi. Kalau memang Panji Sigit dan temantemannya itu memiliki kedigdayaan, mengapa kita tidak
bersiasat untuk memperalat mereka demi keuntungan kita"
Mendekatlah, dan dengarkan baik-baik rencana siasatku,
kemudian rundingkan masak masak dengan para sakti yang
membantu kita............ "
Dengan penuh gairah Pangeran Kukutan melangkah
maju, lalu berlutut dekat kursi wanita itu agar mulut wanita
itu yang berbisik-bisik dapat mendekat, telinganya.
Terdengar bisikan-bisikan lirih dan hawa mulut itu meniupniup telinganya. Kalau saja urusan itu tidak amat penting,
tentu Pangeran Kukutan sudah lupa diri karena tidak dapat
menahan gelora hatinya. Akan tetapi ia melawan desakan
nafsu ini dan mendengarkan penuh perhatian. Sampai
beberapa lama ia di ruangan itu tidak terdengar apa-apa lagi
kecuali suara berbisik-bisik yang keluar dari mulut
Suminten dan didengar oleh Pangeran Kukutan yang
kadang-kadang mengangguk-angguk dengan sinar mata
penuh kekaguman. Sementara itu, dua pasang orang muda yang memasuki
kota raja, Pangeran Panji Sigit, Setyaningsih, Joko
Pramono dan Pusporini, sibuk menerima sambutan
penduduk yang memberi hormat kepada Pangeran Panji
Sigit. Sambil tersenyum-senyum sang pangeran terpaksa
memperlambat langkahnya, bahkan kadang-kadang
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berhenti untuk menyapa seorang dua orang penduduk tua
yang telah dikenalnya. Akhirnya, mereka berempat ini
dapat juga sampai di Istana, akan tetapi setibanya di pintu gerbang istana setelah melewati alun-alun yang lebar, mereka terpaksa berhenti di depan ujung tombak para penjaga pintu gerbang luar. "Tidak ada orang yang boleh melalui pintu gerbang ini tanpa izin! Andika berempat telah mendapat izin siapakah hendak memasuki daerah istana?" bentak seorang di antara para penjaga itu.
Pangeran Panji Sigit menahan kemarahannya. Dia
melangkah maju dan memandang mereka dengan sinar
mata tajam, kemudian berkata,
"Benarkah ucapan tadi keluar dari mulut penjaga pintu
gerbang luar istana Jenggala" Ataukah kalian ini perajurit
penjaga yang palsu" Karena kalau perajurit - perajurit
Jenggala pasti akan mengenal Pangeran Panji Sigit!"
Memang, semua penjaga dan pengawal istana kini telah
diganti oleh orang-orang kepercayaan Pangeran Kukutan
dan Ki Patih Warutama. Semua petugas lama telah
dienyahkan dan diganti orang-orang baru. Karena sebagian
besar di antara penjaga dan pengawal baru adalah orangorang luar, maka tentu saja mereka ini tidak mengenal
Pangeran Panji Sigit. Para penjaga itu terkejut dan saling pandang, ragu-ragu
menghadapi pemuda tampan yang memandang mereka
penuh wibawa itu. Pada saat itu, terdengar bentakan,
"Eh, para penjaga tolol! Tidak lekas membuka pintu
gerbang untuk junjungan kalian Pangeran Panji Sigit"
Kalian benar-benar minta dihukum picis!"
Para penjaga itu menjadi pucat wajahnya karena yang
membentak dan menegur mereka itu adalah Pangeran
Kukutan sendiri! Pintu gerbang segera dibuka dan Pangeran
Kukutan menyam-but adik tirinya dengan penuh kegembiraan. "Duhai Adinda Pangeran ............ , betapa besar rasa
bahagia di hatiku mende-ngar sorak-sorai rakyat yang
mengabarkan akan kemba-limu! Ah, betapa Adinda telah
menyusahkan hati seluruh keluarga istana karena kepergian
Adinda tanpa sebab dan tanpa pamit ............ !" Sambil
berkata demikian, Pangeran Kukutan merangkul pundak
adik tirinya itu dengan wajah berseri-seri.
Pusporini dan Joko Pramono saling bertukar pandang.
Kelirukah cerita yang mereka dengar dari Pangeran Panji
Sigit tentang Pangeran Kukutan yang dikatakannya berhati
palsu" Ketika pangeran itu muncul, tadi Panji Sigit telah
membisikkan bahwa itulah Pangeran Kukutan yang kini
menjadi putera mahkota. Ataukah cerita Pangeran Panji
Sigit hanya merupakan fitnah yang timbul dari hati yang iri"
Buktinya, kini Pangeran Kukutan yang tampan dan
kelihatan gagah itu menyambut adiknya dengan sikap
begitu riang. Tampak oleh mereka betapa jauh bedanya
wajah kedua orang pangeran putera Raja Jenggala itu.
"Adinda Panji Sigit, mengapa tidak mengabarkan lebih
dulu kalau hendak pulang" Tentu akan kami sambut dengan
pesta! Ah, sekarang pun belum terlambat. Kepulangan
Adinda akan kita rayakan dengan pesta yang meriah!"
"Terima kasih, Kakanda Pangeran, akan keramahan
Kakanda. Akan tetapi tidak perlu kiranya diadakan
penyambutan dengan pesta. Saya pulang hanya untuk
menghadap kanjeng rama, untuk memperkenalkan isteri
saya dan untuk mendekati beliau yang sudah sepuh."
"Garwamu (isterimu)" Ah ............ betapa menggembirakan! Yang manakah garwamu, Adinda?"
Pangeran Kukutan berseru girang sambil memandang
berganti-ganti kepada Pusporini dan Setyaningsih. Kalau
Joko Pramono menganggap pangeran itu amat ramah dan
sikapnya wajar, adalah kedua orang wanita ini yang dapat
menangkap pandang mata penuh gairah menyinar dari
balik wajah berseri itu. Pandang mata yang seolah-olah
dapat menelanjangi pakaian mereka! Adapun Pangeran
Kukutan yang memandang' dua orang wanita muda itu,
diam-diam menelan ludah dan mengilar karena sukar
baginya memilih mana yang lebih denok dan jelita di antara
kedua orang wanita itu. Yang seorang ayu kuning dan yang
ke dua hitam manis, namun keduannya memiliki daya
penarik yang khas! Dia hanya pura-pura saja tidak tahu
karena sesungguhnya, pandang mata yang sudah berpengalaman sebagai seorang pelahap wanita itu sekilas
pandang saja sudah mengenal mana gadis yang bersuami
dan mana yang belum. Pangeran Panji Sigit tidak heran menyaksikan penyambutan manis dari Pangeran Kukutan karena dia
sudah mngenal kepalsuan kakak tirinya ini. Akan tetapi,
sungguh di luar dugaan bahwa kakak tirinya akan bersikap
semanis itu, padahal tadinya ia mengira bahwa tentu dia
akan disambut dengan ujung senjata. Betapapun juga,
karena mengenal watak Pangeran Kukutan, ia tetap
waspada dan menduga bahwa tentu ada maksud-maksud
tersembunyi di balik penyambutan manis ini. Terpaksa ia
pun lalu memperkenalkan Setyaningsih.
"Dia inilah isteriku, Kakanda Pangeran. Namanya
Setyaningsih dan dia adalah adik kandung Ayunda Endang
Patibroto ............ "
"Apa ............ ?"" Sepasang mata yang maniknya agak
kebiruan itu membelalak. Pangeran Kukutan memiliki
manik mata yang agak kebiruan dan hal ini bagi sebagian
besar wanita yang bertemu dengannya menjadi sebuah daya
penarik yang kuat, sebaliknya bagi yang mengerti, warna itu
menjadi tanda akan watak seorang pria yang gila wanita.
Diam-diam Pangeran Kukutan terkejut dan gentar karena
dia sesungguhnya tidak tahu bahwa isterl Pangeran Panji
Sigit adalah adik kandung Endang Patibroto. Meremang
bulu tengkuknya kalau ia teringat akan isteri mendiang
Pangeran Panjirawit Itu! "Adik kandung Ayunda Endang
Patibroto isteri mendiang Kakanda Pangeran Panjirawit
yang sakti mandraguna" Ah, betapa menggirangkan hal ini
............ !" Ia cepat-cepat membungkuk untuk membalas
penghormatan Setyaningsih, dan pada saat itu hanya dia
sendiri yang tahu bahwa hatinya tldaklah segirang ucapan
mulutnya. "Dinda Pusporini ini pun adik tiri Ayunda Endang
Patibroto, sedangkan Adimas Joko Pramono ini adalah
sahabat baiknya tunggal guru." Pangeran Panji Sigit
memperkenalkan dua orang pemuda itu dan sejenak
pandang mata Pangeran Kukutan menatap kedua orang
muda itu penuh selidik. Hemm, pikirnya. Jadi mereka
berdua inikah yang oleh Cekel Wisangkoro dikatakan
sebagai dua orang muda yang amat sakti" Kelihatanny tidak
seberapa. "Marilah, Adinda Pangeran, marilah beristirahat di
tempatku. Sudah kusediakan kamar-kamar untuk kalian
berempat. Tentu Adinda lelah karena perjalanan jauh dan
perlu istirahat." Mereka berlima lalu memasuki halaman istana yang
lebar. "Kakanda, saya ingin segera pergi menghadap
kanjeng rama. Sudah amat rindu hati saya karena lama
tidak menghadap ............ "
"Ah, sayang sekali, Dimas. Kanjeng rama kini sudah
sepuh dan kesehatan beliau banyak mundur. Kanjeng rama
banyak beristirahat dan kalau tidak beliau kehendaki, siapa
pun juga dilarang mengganggu. Akan tetapi, tentu saja aku
akan segera menyampaikan berita kedatangan Adinda ini
melalui ibunda selir. Ketahuilah bahwa kini kanjeng rama
tidak suka diganggu oleh siapa juga kecuali Ibunda selir,
satu-satunya orang yang diperkenankan memasuki kamar
peraduannya tanpa izin. Hanya ibunda selir saja yang kini
siang malam melayani dan merawat kanjeng rama."
Diam-diam hati Pangeran Panji Sigit tertusuk karena ia
dapat menduga bahwa tentu Suminten itulah yang
dimaksudkan ibunda selir. Dia pun tahu bahwa sebetulnya
keadaan ramandanya seperti seorang tawanan sungguhpun
hal ini tidak diketahui oleh siapa pun juga, oleh
ramandanya pun tidak. Akan tetapi ia tidak mau
memperlihatkan pengetahuannya ini dan bertanya,
"Ah, sampai begitu memelas keadaan rama" Ibunda selir
yang manakah yang begitu setia dan baik hati terhadap
kanjeng rama?" "Siapa lagi kalau bukan ibunda selir Suminten, Dimas
Pangeran. Kiranya saya tidak berlebihan kalau mengatakan,
seperti diketahui oleh semua orang, bahwa kalau tidak
mendapat perawatan yang amat baik dari ibunda selir
............ ah ............ , entah bagaimana jadinya dengan kanjeng rama
............ ! Sudahlah, mari kita beristirahat di sana dan kita
dapat bercengkerama seenaknya."
"Akan tetapi, mendengar keadaa kanjeng rama, saya
makin tak kuat bertahan lama-lama untuk segera
menghadap.", "Jangan khawatir, sebentar akan kusampaikan kepada
ibunda selir agar dilaporkan kedatangan dan kehendak
Adinda itu kepada kanjeng rama prabu."
Demikianlah Pangeran Kukutan mulai menjalankan
siasat yang telah direncanakan oleh Suminten. Empat orang
muda itu diterima dengan sambutan ramah, ditempatkan di
gedung tempat tinggal Pangeran Kukutan sendiri karena
keadaan di istana telah mengalami banyak perombakan
sehingga tempat yang dahulu ditinggali Pangeran Panji Sigit
telah lenyap pula. Mereka dijamu dengan hidanganhidangan lezat dan dihibur dengan pertunjukan tari-tarian
dan tembang-tembang yang dilakukan para seniwati pilihan
di Jenggala. Sementara itu, Suminten juga tidak tinggal
diam, melainkan melaksanakan bagiannya dalam siasat itu.
Suminten mengunjungi sang prabu di dalam kamarnya,
seperti biasanya merayu raja tua ini dan untuk kesekian
kalinya sang prabu terbuai mabuk dalam pelukan wanita ini
yang merupakan tempat ia menikmati hidup terakhir,
tempat ia mencurahkan kasih sayangnya dan sumber satusatunya yang dapat menghibur segala duka nestapa dan
kekosongan usia tua.. Berkat rayuan-rayuan Suminten, sang
prabu yang tua itu seolah-olah menjadi boneka yang
semata-mata hidup untuk mengabdi nafsu berahinya
terhadap Suminten, tidak ada kemauan dan semangat
sedikit pun juga untuk memikirkan hal-hal lain, siang
malam hanya terlena dalam buaian cinta nafsu yang tak
kunjung padam, yang sengaja selalu dikobarkan dan
dinyalakan oleh Suminten. Sedemikian hebat pengaruh
nafsu ini bagaikan api bernyala-nyala selalu karena
mendapat makanan bahan bakar berupa tubuh Suminten
dan sikapnya yang merayu mesra, sehingga sudah berbulanbulan sang prabu tidak lagi mau memperdulikan urusan
lain, bahkan jarang keluar dari dalam kamarnya yang
seolah-olah disulap berubah menjadi surga dunia oleh
Suminten! Setelah untuk kesekian kalinya sang prabu terlena
mabuk, penuh kepuasan dan kenikmatan, rebah berbantal
paha. selir yang dicintanya itu, seperti seorang pemadatan
kekenyangan menghisap madat, dalam keadaan setengah
sadar setengah pulas, Suminten membelai rambut penuh
ubah yang panjang terurai itu sambil berkata manis,
"Gusti junjungan hamba, Paduka yang menjadi sumber
kebahagiaan hamba, ada sebuah berita yang amat
menyenangkan dan hamba yakin Paduka tentu akan
gembira sekali mendengar berita yang hamba bawa ini
............ " Kedua lengan raja tua itu merangkul pinggang yang
ramping dan dengan mata terpejam mukanya dibenamkan
ke perut, "Tidak ada berita lebih bahagia daripada
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kehadiranmu di dekatku, Suminten ............ "
Suminten tersenyum. "Ah, Paduka selalu melimpahkan
cinta kasih Paduka kepada hamba dengan perbuatan dan
kata-kata, untuk itu hamba berterima kasih dan bersyukur
kepada para dewata. Akan tetapi berita ini benar-benar akan
menambah kebahagiaan di hati Paduka, yaitu bahwa putera
kita Pangeran Panji Sigit telah pulang ............"
Sepasang mata tua itu dan wajah yang keriputan berseri.
Sang prabu bangkit perlahan dari paha selirnya. "Benarkah"
Di mana dia ............ Puteraku Panji Sigit, di mana dia"
Suruh dia datang menghadap ............ "
"Nah, bukankah Paduka men jadi bahagia sekali?"
"Benar! Terima kasih, Suminten. Memang berita ini
amat menggembirakan ............ "
"Akan tetapi, sebelum puteranda pangeran diminta
menghadap, hendaknya Paduka mengerti pula akan hal-hal
yang tidak menyedapkan hati ............ "
"Apakah maksudmu?"
"Sebelum pulang, dia telah menghadap ............ sang ratu
............ " "Hemmm ............ "
"Bukan itu saja, malah baru saja dia pulang dari
Panjalu." "Hemm ............ , kalau begitu, mengapa"
"Apa salahnya . dia menghadap rakanda prabu di
Panjalu?" "Bukan itu persoalannya. Akan tetapi ............ agaknya
dia telah mendengarkan banyak bisik-bisik fitnah tentang
Paduka,tentang hamba ............ dan agaknya dia pulang
membawa hati yang penasaran dan dendam. Hamba
sungguh tidak menghendaki puteranda Pangeran Panji Sigit
memusuhi kita, Gusti, karena hamba tahu betapa sayang
hati Paduka terhadapnya. Karena itu ............ , sebaiknya
kalau Paduka melarang dia bicara tentang masa lampau,
bahkan memberi kedudukan kepadanya, memerintahkan
dia menjadi pembantu puteranda Pangeran Kukutan untuk
menjaga ketenteraman kerajaan Paduka yang memang
sudah menjadi kewajibannya."
Raja tua itu mengangguk-angguk. "Tidak aneh kalau dia
yang masih muda itu dapat terpengaruh. Dan ucapanmu
memang tepat sekali. Seorang muda harus diberi tugas
kewajiban sehingga tertanam jiwa setia dan patuh akan
perintah." "Ada yang menggembirakan lagi akan :etapi juga
mengkhawatirkan ............ " "Apa lagi?"
"Dia pulang dengan ............ isterinya"
"Isterinya" Dia sudah beristeri" Wahh ............ akan
tetapi hal ini menggembirakan, mengapa mengkhawatirkan?" "Karena isterinya adalah adik kandung Endang
Patibroto...." -ooo0dw0ooo- Jilid XXXIII "HAA............?"" Sang prabu benar-benar terkejut dan
tidak tahu apakah dia harus bergirang ataukah berkhawatir.
"Paduka tentu masih ingat akan kematian Pangeran
Panjirawit, tentu dapat menyelami perasaan Endang
Patibroto yang teringat akan kematian suaminya di tangan
Paduka .............. dan .............. isteri Pangeran Panji Sigit
adalah adik kandung Endang Patibroto, maka tidak akan
terlalu aneh kalau dia pun mempunyal perasaan tidak
manis terhadap Jenggala. Karena ini, hamba harap Paduka
dapat berhati-hati dan jangan terlalu percaya akan kata-kata
mereka sebelum kelak terbukti bahwa mereka ini benarbenar mempunyai niat hati yang bersih terhadap kerajaan
Paduka." Sang .prabu mengangguk-angguk dan merasa kagum
akan keluasan pandangan selirnya ini yang selalu
mendahulukan kepentingan kerajaan dan kepentingan dia
sebagal rajanya. "Jangan khawatir. Suruh dia menghadap"
Sama sekali raja yang tua dan pikun ini tidak tahu betapa
sesungguhnya bukan Endang Patibroto yang menaruh
dendam atas kematian Pangeran Panjirawit karena wanita
perkasa itu sudah melihat kenyataan dart sebab-sebab
kematian suaminya adalah akibat fitnah yang dilakukan.
oleh kaki tangan Blambangan. Tidak tahu bahwa
sebetulnya Sumintenlah yang menaruh dendam itu!
Pangeran Panjirawit adalah pria pertama yang dirindukan
hati Suminten ketika wanita itu masih seorang perawan
dahulu, cinta yang mulus. Karena kematian itu, Sumin- ten
menaruh dendam kepada Sang Prabu Jenggala sendiri yang
menyebabkan kematian pangeran itu, dan menaruh dendam
kepada Endang Patibroto yang memonopoli cinta kasih
Pangeran Panjirawit. Demikianlah, raja yang tua ini pun tidak membantah
ketika ia menerima kedatangan putera yang dikasihinya itu
dalam ruangan yang dihadiri pula oleh Suminten, Pangeran
Kukutan, dan Ki Patih Warutama! Sang prabu memandang
dengan wajah berseri ketika Pangeran Panji Sigit datang
menghadap bersama Setyaningsih, Pusporini, dan Joko
Pramono. Pandang matanya melekat pada wajah puteranya, dan kepada tiga orang lain yang berlutut dan
menyembah, ia hanya memandang sekilas saja.
"Kanjeng Rama, hamba Panji Sigit menghaturkan
sembah sujud ..... "
"Sigit, Puteraku .............. , kenapa lama benar kau pergi"
Ke mana saja engkau pergi?"
Mendengar suara ramandanya yang gemetar, melihat
wajah yang tua dan pucat, hati Pangeran Panji Sigit seperti
disayat. "Hamba pergi merantau, mencari pengalaman?"?" "Puteraku wong bagus, majulah Panji Sigit, mendekatIah
ke sini ............."
Pangeran Panji Sigit bergerak maju sampai di depan
ramandanya. Sang prabu menyentuh rambut puteranya,
kemudian rasa girang dan haru menyelimuti hatinya
sehingga raja tua itu membungkuk dan merangkul. Panji
Sigit tak dapat menahan keharuannya dan ia memeluk kaki
ramandanya, menitikkan air mata dan berkata lirih,
"Kanjeng Rama .............. apakah yang telah terjadi"
Hamba mendengar hal-hal yang amat hebat terjadi di sin!
........ dan ........... dan ........"
"Husssshhh .............. jangan menyebut-nyebut tentang
itu, Puteraku. Engkau tidak tahu betapa banyaknya orangorang yang kelihatan setia namun sesungguhnya berhati
palsu. Masih untung bahwa sampai sekarang ramandamu
dapat mengalahkan mereka semua. Engkau tidak boleh
mendengarkan bisikan-bisikan fitnah yang bukan-bukan,
Puteraku. Percayalah bahwa semua yang terjadi di sini
adalah sudah seadil-adilnya dan semestinya. Memang
sepintas lalu kelihatan hebat, akan tetapi engkau belum tahu
betapa sukar menjenguk isi hati manusia ?"?"
Pangeran Panji Sigit mengerling ke arah Suminten yang
duduk anteng di sebelah kiri sang prabu. Wanita itu
kelihatan makin cantik jelita, dengan tubuh yang matang
menggairahkan. Timbul rasa muak dan benci di hati Panji
Sigit, akan tetapi ia hanya mundur dan berkata,
"Paduka benar, Kanjeng Rama. Sukar sekali menjenguk
isi hati manusia. Orang yang kelihatan sebaik-baiknya, yang
di luarnya manis budi dan menyenangkan, belum tentu
memiliki hati yang beriktikad baik terhadap kita. Karena
itu, sebaiknya Kanjeng Rama juga jangan terlalu mudah
menjatuhkan kepercayaan kepada seseorang .......... "
"Waduh, Adimas Pangeran! Masa benar demikian"
Kurasa harus melihat orangnya! Seperti aku ini terhadapmu, Dimas, apakah Andika juga mempunyai
anggapan bahwa mungkin hatiku terhadapmu palsu?" Tibatiba Pangeran Kukutan mencela sambil tersenyum.
Panji Sigit mengerling ke arah kakak tirinya itu, pandang
matanya tajam menusuk. "Biarpun saudara, tetap saja kita
tidak dapat saling menjenguk isi hati masing-masing,
Rakanda Pangeran. Hanya diri sendiri dan Hyang Maha
Agung sajalah yang mengetahui akan isi hati sendiri!"
Sang prabu tersenyum. "Cukup kiranya tentang filsafat
dan prasangka yang bukan-bukan. Kita di antara keluarga
sendiri. Eh, Panji Sigit, aku mendengar bahwa engkau
pulang bersama isterimu. Mana dia" Mana mantuku?"
Setyaningsih menyembah, "Hamba Setyaningsih menghaturkan sembah bakti kepada Paduka, Gusti?"."
"Engkaukah isterinya" Wah, cantik jelita dan gagah
perkasa ......... aku mendengar bahwa engkau adik kandung
mantuku Endang Patibroto. Betulkah?"
"Sesungguhnyalah, Gusti?"?"
"Setyaningsih, engkau mantuku, jangan menyebut gusti
kepadaku. Aku ramandamu juga! Panji Sigit, senang sekali
hatiku melihat isterimu. Mulai sekarang, jangan engkau
pergi-pergi lagi meninggalkan Jenggala. Engkau sudah
dewasa, sudah beristeri, seharusnya tinggal di sini dan
melakukan tugasmu sebagai seorang pangeran, membantu
kakakmu Pangeran Kukutan demi ketenteraman Jenggala.
Aku sudah tua, kalau bukan putera-puteraku seperti
Kukutan dan engkau yang mewakili aku memegang kendali
pemerintahan, habis siapa lagi?" Bukankah benar begitu,
Patih?" Semua mata memandang kepada Ki Path Warutama
yang duduk di sebelah kiri dan yang sejak tadi seperti
halnya Suminten, duduk dengan anteng dan penuh hormat
sebagai seorang ponggawa yang baik. Ki Patih Warutama
dengan tenang menyembah, sedikit pun tidak memperlihatkan reaksi terhadap pandang mata penuh
selidik dari empat orang muda itu, kemudian terdengar
suaranya yang tenang dan penuh pengertian,
"Tiada seujung rambut pun selisihnya kebenaran
wawasan dan sabda Paduka yang amat bijaksana, Gusti!
Seorang pangeran muda sudah seyogyanya memperluas
pengalaman dan mengejar ilmu dalam tapa brata, akan
tetapi semua itu dilakukan dengan cita-cita agar kelak
semua ilmunya dapat dipergunakan untuk berdharma bakti
kepada orang tua dan negara! Hamba merasa girang sekali
mendengar bahwa Gusti Pangeran Panji Sigit membantu
tugas Gusti Pangeran Mahkota, ada pun hamba hanya siap
untuk melayani dan membantu."
"Ha-ha-ha-ha, kau lihat sendiri, Panji Sigit. Bukankah
patihku ini hebat" Engkau akan senang sekali mendapat
bantuan seorang yang setia, cerdik pandai, dan memiliki
kesaktlan yang amat hebat seperti Ki Patih Warutama ini."
Pandang mata Panji Sigit bertemu dengan pandang mata
Warutama dan pangeran muda ini tertegun. Alangkah
hebatnya orang ini! alangkah berbahayanya. Sudah jelas
baginya bahwa orang yang menjadi patih ramandanya ini
adalah penjahat busuk yang pernah menyelundup ke Wilis
dan yang pernah menculik Retna Wilis bersama dua orang
kawannya yang mengerikan, yaitu Ni Dewi Nilamanik dan
Ki Kolohangkoro. Kalau dahulu tidak ada gurunya, Ki
Datujiwayang menolong dan merampas kembali Retna
Wilis, tentu anak ayundanya itu telah dibawa pergi. Patih
ini adalah seorang jahat, dan tentu saja tahu bahwa dia
mengenalnya. Akan tetapi patih itu masih bersIkap begitu
tenang seolah-olah merasa belum pernah bertemu
sebelumnya! Alangkah beraninya! Namun, apa yang dapat
ia lakukan" Dia berada di sarang harimau, sungguhpun hal
ini aneh kalau diingat bahwa dia berada di istana
ramandanya sendiri! Pula, urusan penculikan Retna Wilis
adalah urusan pribadi yang tidak ada sangku-pautnya
dengan ramandanya, maka tentu saja tidak perlu baginya
untuk membeberkan persoalan itu di depan ramandanya.
Sungguhpun ia mempunyai keyakinan bahwa Nini
Bumigarba yang kini berhasil menculik Retna Wilis dan
membunuh Ki Datujiwa itu tentulah mempunyai hubungan
dengan Patih Warutama, namun tentu saja ia tidak dapat
menanyakannya begitu saja. Adanya Ki Patih Warutama di
istana itu, di samping Pangeran Kukutan dan Suminten,
membuat Pangeran Panji Sigit menjadi lebih hati-hati lagi.
Untuk beberapa detik lamanya, perasaan yang sama
mengaduk hati Pangeran Panji Sigit, Joko Pramono,
Setyaningsih, dan Pusporini kagum. Pantas saja kalau
Warutama dapat menyelundup dan menjadi patih. Orang
itu amat cerdik dan berbahaya melebihi seekor ular welang!
Hanya ada dua kemungkinan. Ki Patih Warutama ini
seorang cerdik yang amat berbahaya kalau benar apa yang
diceritakan oleh Ki Wiraman, atau sebaliknya, dia seorang
yang gagah perkasa dan bijaksana kalau cerita Ki Wiraman
itu tidak betul. Terhadap orang seperti ini, mereka harus
berhati-hati sekali.
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hamba merasa girang sekali bahwa Paduka telah
mendapatkan seorang patih yang pandai dan bijaksana,
Kanjeng Rama. Semoga dengan adanya Paman Patih ini,
kerajaan Paduka akan terbebas daripada orang-orang
munafik yang hanya di luarnya saja baik namun di sebelah
dalam dadanya mengandung niat yang laknat, seperti ularular berkedok domba."
Sambil berkata demikian, dengan pandang mata tajam
penuh selidik Pangeran Panji Sigit memandang wajah ki
patih itu. Namun tusukan yang terkandung dalam ucapan ini
agaknya sama sekali tidak dirasai oleh Ki Patih Warutama.
Wajah yang sudah matang dan masih tampan menarik itu
tetap tenang dan bersih, seperti wajah orang yang tidak
mempunyai dosa apa-apa, bahkan mulut itu tersenyum dan
pandang matanya tenang lembut. "Harap Paduka jangan
khawatir, Gusti Pangeran. Hamba akan membela Jenggala
dengan taruhan jiwa raga hamba sebagai imbalan atas
kebijaksanaan dan segala anugerah yang telah dilimpahkan
oleh Gusti Sinuwun kepada hamba."
Kalau saja Pangeran Panji Sigit belum pernah
mendengar cerita ratu, dan Joko Pramono belum
mendengar cerita Ki Wiraman, tentu mereka itu akan dapat
terbujuk oleh sikap dan kata-kata patih ini. Hanya
Setyaningsih dan Pusporini dengan perasaan wanitanya
dapat menangkap sifat-sifat yang jauh lebih buas dan keji
terhadap wanita dalam pribadi patih ini, dibandingkan
dengan Pangeran Kukutan. Ketampanan dan kematangan
sifat jantan ki patih ini benar-benar membuat mereka
berdebar dan penuh kengerian, juga menimbulkan
kemuakan yang mendatangkan benci tanpa sebab.
"Kanjeng Rama, perkenankan hamba memperkenalkan
dua orang sahabat yang datang menghadap bersama
hamba. Gadis ini bukan orang lain, melainkan adik tiri
Diajeng Setyaningsih, bernama Pusporini. Adapun sahabat
ini bernama Joko Pramono, saudara seperguruan Adinda
Pusporini. Hamba mohon agar mereka ini diperkenankan
tinggal di sini dan diberi tugas pekerjaan membantu
hamba." "Ah, gadis yang cantik dan pemuda yang perkasa. Tentu
saja boleh, Puteraku, dan biarlah tentang tugas mereka ini
kuserahkan kepada Patih Warutama yang akan mengaturnya." Setelah bercakap-cakap sebentar dan Pangeran Panji
Sigit menceritakan pengalamannya semenjak meninggalkan
istana tanpa menyinggung-nyinggung persoalan yang
didengarnya tentang Jenggala, pertemuan dibubarkan dan
selanjutnya, Pangeran Panji Sigit dan isterinya mendapat
tempat tinggal di lingkungan istana, adapun Joko Pramono
dan Pusporini untuk sementara tinggal di padepokan tamu
istana sehingga mereka berempat sewaktu-waktu dapat
mengadakan pertemuan karena tempat mereka itu hanya
terpisah oleh taman sari yang luas dan indah. Tanpa mereka
sangka sama sekali, semua ini telah direncanakan oleh
Suminten yang menghendaki empat orang itu dekat
dengannya, tidak saja untuk pelaksanaan siasatnya, akan
tetapi juga agar lebih mudah kaki tangannya mengadakan
pengawasan. Dengan hati-hati sekali empat orang muda yang sudah
berhasil menyelundup dan diterima di istana Jenggala itu
berusaha untuk menyelidiki keadaan Nini Bumigarba.
Namun ternyata sama sekali tidak berhasil. Bahkan ketika
Pangeran Panji Sigit mendapat kesempatan menyinggung
nama ini di depan sang prabu, ramandanya juga
mengerutkan alisnya dan menyatakan tidak mengenal nama
itu. sama sekali. Juga Ki Patih Warutama menyatakan tidak
mengenal nama itu. Hanya Pangeran Kukutan ketika
ditanya oleh Pangeran Panji Sigit, membelalakkan matanya
dan berkata, "Aku hanya pernah mendengar nama itu, nama seorang
nenek yang sakti mandraguna seperti dewi katon, tiada
lawannya di dunia ini. Akan tetapi aku belum pernah
melihatnya dan tentu saja tidak tahu di mana tempat
tinggalnya." Pangeran Panji Sigit menjadi bingung dan gelisah,
karena agaknya tidak ada harapan untuk mencari
keterangan tentang Nini Bumigarba yang telah menculik
Retna Wilis. Di samping menyelidiki tentang Nini
Bumigarba, tentu saja mereka juga menyelidiki tentang
keadaan Kerajaan Jenggala dan apa yang mereka dapatkan
membuat Pangeran Panji Sigit menarik napas panjang
berkali-kali dengan hati penuh duka dan gelisah. Ternyata
bahwa para ponggawa yang setia dari ramandanya, kalau
tidak "hilang" tanpa bekas tentu telah berubah seratus
prosen dan kini menjadi kaki tangan Pangeran Kukutan.
Para ponggawa yang dahulunya setia kepada ramandanya,
kini telah habis. Yang jiwanya gagah perkasa dan satria
sejati, sudah hilang atau tewas secara aneh dalam
pertempuran-pertempuran. Adapun mereka yang kini
menjadi kaki tangan Pangeran Kukutan dan menduduki
tempat-tempat penting, adalah orang-orang baru dari luar
daerah, atau mereka yang dahulunya setia akan tetapi
berjiwa plin-plan yang menunjukkan pribadi orang-orang
yang rendah budi, yang tidak segan-segan dan malu-malu
menjadi penjilat demi untuk kesenangan diri pribadi.
Orang-orang seperti inilah yang paling berbahaya.
Akan tetapi, diam-diam Pangeran Panji Sigit menjadi
girang melihat bahwa betapapun juga masih ada di antara
mereka yang benar-benar masih setia kepada ramandanya,
dan bukan merupakan kaki tangan Pangeran Kukutan,
sungguh-pun mereka ini menentang Pangeran Kukutan dan
Ki Patih Warutama di dalam hati mereka saja karena sama
sekali tidak berdaya. Di antara mereka yang setia ini,
Pangeran Panji Sigit mengenal Ki Pawitra, guru seni tari
yang sudah tua. Ketika bertemu dengan Joko Pramono dan
Pusporini dan mendengar cerita murid-murid Sang Resi
Mahesapati ini tentang Ki Wiraman dan Widawati, betapa
dahulu Widawati diselamatkan ketika seluruh keluarga Ki
Patih Brotomenggala dibasmi, yaitu dilarikan oleh Ki Mitra
yang menjadi juru taman keluarga guru seni tari itu, hati
Pangeran Panji Sigit menjadi girang sekali.
"Bagus kalau begitu!" kata Pangeran Panji Sigit kepada
Joko Pramono, didengarkan pula oleh Setyaningsih dan
Pusporini. "Kita harus dapat menghubungi Ki Mitra dan
mungkin dari teman-teman setia Ki Pawitra kita akan dapat
mengetahui keadaan sesungguhnya dari Jenggala, bahkan
siapa tahu di antara mereka ada yang dapat mengetahui di
mana adanya Nini Bunigraba dan tahu pula sebetulnya
golongan manakah yang secara rahasia membantu
persekutuan Suminten dan Warutamal"
Memang patut dikagumi kegigihan dan kebesaran
semangat juang empat orang muda ini yang seakan-akan
telah memasuki gua harimau. Akan tetapi patut dikasihani
pula mereka karena mereka tidak tahu bahwa sebenarnya
mereka telah terperosok ke dalam lubang jebakan yang
diatur oleh Suminten yang cerdik licin. Mereka berempat
sama sekali tidak tahu bahwa tempat mereka berunding,
yaitu di ruangan tempat tinggal Pangeran Panji Sigit, telah
dipasangi lubang-lubang rahasia di mana dipasang kaki
tangan Suminten yang tugasnya hanya bersembunyi dan
mendengarkan semua percakapan empat orang itu yang
dilakukan di ruangan itu. Bahkan semua percakapan antara
Pangeran Panji Sigit dan isterinya di dalam kamar pun tidak
ada yang terlepas dari telinga kaki tangan itu yang selalu
bersembunyi dan mendengarkan! Mereka tidak pernah
mimpi bahwa Suminten telah mengetahui semua rahasia,
rencana dan langkah-langkah yang akan mereka ambil, dan
bahwa pedang malapetaka telah tergantung di atas kepala
mereka. Pada malam hari itu juga, seorang kakek datang menghadap Pangeran Panji Sigit, dilaporkan oleh seorang penjaga. Ketika tiba di depan pangeran itu, kakek itu cepat menjatuhkan diri berlutut dan menyembah, kemudian menengok kanan kin dan berbisik, "Gusti Pangeran .............. hamba Ki .............. Mitra, mohon bicara .............. "
Pangeran Panji Sigit terkejut dan memandang penuh
perhatian. Kakek ini usianya sudah enam puluh tahunan,
pakaiannya seder-hana seperti pakaian pelayan, sikapnya
cerdik. Cepat pangeran itu memberi isyarat kepada Ki Mitra
untuk mengikutinya. Setyaningsih yang berada di dalam,
menjadi heran melihat suaminya menuntun masuk seorang
kakek yang tidak ia kenal. Sebelum ia membuka mulut
bertanya, Pangeran Panji Sigit sudah mendahuluinya
memperkenalkan, "Diajeng, dia inilah Ki Mitra yang kita bicarakan
kemarin." "Ahh, kebetulan sekali. Akan tetapi, apakah yang kau
kehendaki, paman" Mengapa engkau datang mencari gusti
pangeran?" Pertanyaan ini mencerminkan kecerdikan dan
kewaspadaan Setyaningsih.
KI Mitra yang melihat bahwa dia telah berada di sebelah
dalam dan tidak akan terlihat orang lain, sudah
menjatuhkan diri bersila kembali, kemudian berkata dengan
sikap penuh hormat, "Hamba dahulu melarikan cucu puteri mendiang ,gusti
patih yang malang, dan setelah berhasil menyerahkan puteri
itu kepada Ki Wiraman, hamba segera pulang ke sini dan
tetap bekerja sebagai juru taman di rumah guru seni tari.
Hamba yang banyak melihat dan mendengar keadaan di
kota raja umumnya dan di istana khususnya, yang
bersumpah di dalam hati untuk bersetia kepada gusti
sinuwun sampai mati, tentu saja hamba dapat meIasa
bahwa Paduka Gusti Pangeran Panji Sigit sependapat
dengan hamba dan karena itu hamba memberanikan diri
lancang menghadap Paduka. Mamba siap melakukan segala
perintah Paduka, Gusti."
"Bagus sekali kalau begitu!" Pangeran muda itu berseru
girang. "Mari kau ikut bersamaku ke taman sari, Paman
Mitra." "Mengapa tidak bicara di sini saja, Gusti?"
"Hush, jangan membantah. Kau tidak tahu, di sini pun
mungkin tidak aman. Aku mulai curiga karena tadi aku
mendapatkan lubang-lubang di dinding kamar itu dan
mungkIn telingaku salah dengar, akan tetapi aku seperti
mendengar napas orang di balik dinding. Mari kita bicara di
taman sari. Di tempat terbuka itu takkan mungkin ada yang
mengintai atau mendengarkan pembicaraan kita. Engkau
adalah seorang abdi ponggawa istana, dan kenalanku di
luar istana amat banyaknya sehingga tidak akan
mengherankan hati orang kalau engkau menghadap dan
bercakap-cakap denganku di taman sari, apalagi karena
engkau adalah seorang ahli juru taman."
"Baiklah, Gusti."
Keluarlah suami isteri muda itu diikuti si juru taman tua
dan mereka berjalan ke taman sari seenaknya sambil
bercakap-cakap, menuding-nuding ke arah pelbagai tanaman sehingga kelihatan dari jauh seperti bercakapcakap tentang tanaman. Padahal Pangeran Panji Sigit
bertanya tentang keadaan di Jenggala.
"Bagaimana pendapatmu tentang peristiwa yang menimpa keluarga Paman Patih Brotomenggala, Paman?"
Sambil menuding ke arah sekumpulan kembang menur,
Pangeran Panji Sigit bertanya dan mereka berhenti di depan
kelompok kem-bang menur itu. Ki Mitra menjawab,
"Peristiwa itu patut disesalkan, Gusti. Hamba sendiri
masih merasa heran mengapa gusti patih yang semenjak
dahulu terkenal setia itu tiba-tiba saja dapat melakukan hal
yang amat keji itu, berusaha hendak membunuh gusti
sinuwun." Pangeran Panji Sigit menghela napas. Kakek juru taman
ini tentu saja banyak melihat dan mendengar, akan tetapi
tentu saja tidak dapat mengetahui rahasia apa yang
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mungkin tersembunyi di balik semua peristiwa mengerikan
yang terjadi dl Jenggala.
"Bagaimana dengan dibuangnya Ibu Ratu?"
"Wah, tentang itu .............. , Paduka tentu dapat
memaklumi perasaan wanita-anita yang bersaing dan
bertentangan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa
terdapat perang dingin antara gusti ratu dan gusti selir muda
sehingga tentu saja keduanya. berusaha saling menjatuhkan.
Paduka tentu mengerti pula betapa kejamnya hati yang
sudah dipenuhi oleh cemburu dan iri hati sehingga mungkin
saja kalau gusti ratu menjadi lupa sehingga menjatuhkan
fitnah. Justeru pertentangan antara kedua wanita itulah
yang menimbulkan perpecahan sehingga timbul dua fihak."
Setyaningsih mengerutkan keningnya, akan tetapi
Pangeran Panji Sigit hanya menarik napas panjang. Seorang
juru taman seperti Ki Mitra ini boleh jadi memiliki
kesetiaan besar sehingga untuk membela junjungannya
bersedia mengorbankan nyawa, bahkan sudah berjasa
menyelundupkan cucu puteri Ki Patih Brotomenggala dari
kota raja. Akan tetapi mana mungkin dapat berpemandangan luas dan dapat mengerti akan persoalanpersoalan yang pelik dan penuh rahasia yang menimpa
istana" "Begin!, Ki Mitra. Yang penting sekarang, engkau ini
setia kepada fihak mana" Kepada siapa?"
"Tentu saja kepada gusti sinuwun dan kepada Paduka
Gusti Pangeran. Paduka boleh memerintahkan tugas apa
saja dan hamba akan melaksanakannya dengan taruhan
nyawa!" Makin yakin hati Pangeran Panji Sigit bahwa kakek ini
hanyalah seorang pelaksana yang setia, akan tetapi hanya
terbatas pada tugas-tugas yang kasar dan ringan saja.
Betapapun juga, kesetiaan seorang dipercaya yang bodoh
dan jujur seperti ini boleh
"Baiklah, Ki Mitra. Engkau tentu mehgenal atau tahu
akan ponggawa-ponggawa baru yang telah diangkat oleh
paman patih dan rakanda pangeran mahkota, ,yang
kabarnya memiliki kesaktian hebat."
"Tentu saja, Gusti. Hamba mendengar berita bahwa gusti
patih sendiri memiliki ilmu kesaktian yang tidak lumrah
manusia. Ketika gusti sinuwun dahulu diserang perampok,
dengan tangan kosong saja gusti patih merobohkan mereka
semua. Kemudian, ketika kota raja diserang angin taufan,
nyaris bagian kiri istana hancur tertimpa pohon beringin
yang roboh tumbang oleh angin, gusti patih pula yang
membuktikan kesaktiannya yang luar biasa dengan
menahan batang pohon raksasa itu dan mendorongnya
sehingga pohon itu roboh di bagian lain, tidak menimpa
bangunan istana! Tentu masih banyak ponggawa yang
sakti, sungguhpun tidak sehebat gusti patih, seperti
misalnya Gusti Tumenggung Wirokeling, Gusti Tumenggung Sosrogali dan masih banyak lagi yang hamba
tidak ketahui sampai di mana kedigdayaan mereka. Akan
tetapi yang jelas, para ponggawa sekarang ini terdiri dari
orang sakti yang dapat dikumpulkan oleh gusti patih dan
gusti pangeran mahkota."
"Ki Mitra, pernahkah kau mendengar akan nama Nini
Bumigarba?" Kakek itu kelihatan terkejut. "Pernah; Gusti dan .......
huhh, masih meremang bulu tengkuk hamba kalau
mendengar nama itu. Hamba mendengar berita angin di
antara para ponggawa yang dahulu pernah bercakap-cakap
sambll menonton latihan seni tari para puteri istana di
tempat kediaman majikan hamba. Kabarnya pada suatu
malam Jum'at, manusia sakti seperti dewi yang berjuluk
Nini Bumigarba, atau juga bewi Sarilangking itu, yang
pandai menghilang, muncul dan menemui gusti patih yang
kabarnya masih menjadi buyut muridnya ........:
"Betulkah itu?" Pangeran Panji Sigit terkejut dan girang.
"Entahlah, Gusti. Hanya kabarnya, kedatangan nenek
sakti itu adalah untuk ;mengusir dan melenyapkan hawa
siluman yang kabarnya mengotorkan angkasa di atas kota
raja." "Tahukah engkau, di mana tempat tinggal nenek itu?"
Ki Mitra menggeleng kepalanya. "Hamba rasa tidak ada
seorang pun yang tahu. Kabarnya, kalau tidak dikehendaki
tak seorang pun dapat melihatnya karena dia pandai
menghilang atau terbang ke angkasa ..............
Pangeran Panji Sigit kecewa. "Kiranya cukuplah,
Paman. Engkau kembalilah ke tempat kerjamu. Sewaktuwaktu kalau aku memerlukanmu, akan kupanggil engkau."
Ki Mitra menyembah. "Hamba siap melaksanakan segala
perintah Paduka. Andaikata Paduka hendak mengirim
berita-berita rahasia ke Panjalu atau ke mana saja, hamba
sanggup melaksanakannya."
"Baiklah, akan tetapi untuk sekarang belum ada tugas
untukmu. Pergilah." Setelah kakek itu pergi, Pangeran Panji Sigit saling
pandang dengan isterinya dan pangeran itu menarik napas
panjang, agaknya merasa kecewa akan keteranganketerangan yang ia dapat dari Ki Mitra. Isterinya maklum
akan isi hati suaminya, maka segera mendekati dan berkata
halus, "Memang tidak mudah menyelidiki keadaan seorang
nenek yang sifatnya tidak seperti manusia biasa Kakanda.
Akan tetapi hal ini memerlukan kesabaran besar sekali. Kita
tahu bahwa dia adalah di fihak musuh, dan saya kira, dia
pun sudah tahu akan keadaan kita. Karena dia selalu
menyembunyikan diri, maka sebaliknya kita menanti
sampai dia dan kaki tangannya turun tangan terhadap kita.
Nah, di saat itulah, pasti musuhimusuh kita takkan mampu
menyembunyikan diri lagi."
Pangeran muda itu mengangguk-angguk, lalu merangkul
pinggang isterinya yang ramping dan mengajaknya masuk
ke dalam kamar mereka. "Engkau benar, dan memang kita
harus berani menghadapi bahaya. Mereka itu ternyata amat
pandai dan halus, biarpun mereka telah berhasil menguasai
kerajaan dan menancapkan kuku-kuku mereka di manamana, mengganti para ponggawa dengan orang-orang
mereka, namun pada lahirnya tidak tampak sedikit pun
kesalahan mereka, bahkan kelihatannya seolah-olah mereka
itu merupakan abdi-abdi yang amat setia dan baik dari
kanjeng rama!" Dan memang tepat sekali pendapat Pangeran Panji Sigit.
Akan tetapi pangeran ini pun hanya tahu satu tidak tahu
banyak hal lain, hanya melihat belangnya kulit harimau
saja, tidak melihat seluruh tubuh, kepala dan ekornya! Dia
sama sekali tidak pernah menduga bahwa bahaya hebat
bukan disebabkan semata karena pengkhianatan beberapa
gelintir manusia yang menginginkan kedudukan. Sama
sekali bukan! Melainkan diatur dan dikemudikan secara
halus dan pandai oleh dua orang tokoh dari Sriwijaya dan
Cola, yaitu Sang Biku Janapati utusan Sriwijaya yang halus
dan sakti mandraguna, dan Sang Wasi Bagaspati yang kasar
dan amat cerdik panda! lagi sakti. Mereka berdua inillah,
dibantu oleh orang-orang sakti yang menjadi kaki tangan
mereka, yang sebetulnya mengemudikan segala macam
peristiwa yang terjadi di Jenggala, dengan mempergunakan
kesempatan baik selagi di situ terdapat seorang seperti
Suminten, dan muncul pula seorang seperti Warutama dan
seorang seperti Pangeran Kukutan. Dan di atas dari semua
pembantu-pembantu ini, kedua orang pendeta dari
Sriwijaya dan Cola itu masih mempunyai seorang yang
mereka andalkan, yang memiliki kesaktian yang amat
hebat, jauh melampaui kesaktian mereka sendiri, yaitu Nini
Bumigarba. Mereka maklum bahwa ada orang-orang sakti
bermunculan dan berusaha menentang mereka membela
Jenggala, dan bahwa di antara lawan-lawan saktI itu
terdapat seorang yang amat mereka segani dan takuti, yaitu
Sang Bhagawan Ekadenta atau Sang Sakti Jitendrya, juga
Sang Bhagawan Sirnasarira. Maka mereka berdua lalu
mohon bantuan Nini Bumigarba untuk mengimbangi fihak
lawan. Pangeran Panji Sigit tidak mengetahuI akan hal ini
semua, hanya mengira bahwa semua itu digerakkan oleh
Suminten dan Pangeran Kukutan yang menginginkan
kedudukan dan kekuasaan, dibantu oleh Warutama yang ia
anggap seorang petualang yang haus kedudukan dan
kemuliaan. Adapun orang-orang sakti seperti Nini
'Bumigarba itulah menjadi tokoh-tokoh undangan semua.
Pangeran Panji Sigit, Setyanringsih, Joko Pramono, dan
Pusporini sama sekali tidak menduga bahwa semenjak
mereka menginjakkan kaki di bumi Jenggala mereka telah
memasuki perangkap yang sengaja diatur oleh Suminten
secara cerdik sekali. Suminten yang begitu melihat
Pangeran Panji Sigit menghadap, melihat wajah tampan
yang serupa benar dengan wajah pria yang pertama kali
dipujanya, yaitu mendiang Pangeran PanjIrawit, hatinya
seperti diremas dan cinta kasihnya cinta kasih lama yang
tadinya hampir terpendam kini tergali kembali dan makin
menggelora. Juga ketlka melihat Joko Pramono yang selain
tampan gagah juga membayangkan kejantanan yang kuat,
watak gila prianya bangklt dan nafsu berahinya berkobar.
Biarpun empat orang muda itu tinggal di istana, hidup
mewah dan serba kecukupan, terhormat dan terjaga, namun
mereka ini sesungguhnya merupakan tawanan-tawanan
yang setiap saat dapat di jadikan korban keganasan iblisiblis yang berkuasa di Jenggala pada waktu itu!
==mch-dw== Penuturan tentang Nini Bumigarba yang didengar oleh
Pangeran Panji Sigit dan isterinya dari mulut Ki Mitra
bukan semata-mata bohong. Memang sesungguhnyalah,
biarpun pernah Biku Janapati dan Wasi Bagaspati mohon
pertolongan nenek sakti mandraguna ini untuk menghadapi
Ki Tunggaljiwa dan hampir saja nenek ini dapat membunuh
Ki Tunggaljiwa dan Tejolaksono kalau tidak ditolong oleh
Sang Bhagawan Ekadenda, namun Nini Bumigarba tidak
mengikatkan dirinya secara langsung dengan kedua orang
pendeta itu. Nini Bumigarba tidak mau terikat, apalagi
setelah ia melihat betapa di fihak musuh terdapat kakek
sakti Bhagawan Ekadenta! Karena itu, tak seorang pun di
antara para anak buah kedua orang pendeta itu tahu di
mana adanya Nini Bumigarba yang bagi manusia biasa
seolah-olah merupakan dewa atau iblis! Hanya Biku
Janapati dan Wasi Bagaspati, dua orang manusia yang telah
mencapai tingkat tinggi sekali ilmunya, yang mengetahui di
mana adanya Nini Bumigarba, akan tetapi mereka pun
tidak berani memberitahukan kepada orang lain. Mereka
mendapat janji dari Nini Bumigarba bahwa nenek itu akan
muncul dan menandingi Bhagawan Ekadenda jika kakek itu
mencampuri urusan kerajaan!
"Kalian tak usah khawatir," demikian pesan nenek itu
kepada Biku Janapati dan Wasi Bagaspati, "semenjak
dahulu aku tidak suka kepada Mataram dan keturunannya.
Semenjak dahulu Ekadenta membantu Mataram! Akan
tetapi sudah ada perjanjian pribadi antara dia dan aku
bahwa kami berdua tidak akan mencampuri secara
langsung urusan kerajaan. Dia tidak akan membantu
Mataram dan aku tidak akan memusuhi Mataram! Kalau
dia berani muncul dan langsung membantu Mearam,
percayalah, aku akan slap menandinginya. sampai napas
terakhir! Kulihat dia mempunyai murid yang baik, tentu
muridnya yang akan maju. Karena itu, aku pun harus
mencari seorang murid yang baik pula. Dalam segala
macam hal, aku tidak mau kalah oleh Ekadenta!"
Biarpun mereka berdua orang-orang sakti mandraguna,
Biku Janapati dan Wasi Bagaspati tidak tahu rahasia apa
yang tersembunyl di balik kebencian nenek ini terhadap
kakek sakti Bhagawan Ekadenta. Namun mereka menjadi
girang karena Bhagawan Ekadenta saja yang mereka takuti.
Karena itu, perbualan Nini Bumigarba di puncak Wilis,
yaitu menculik Retna Wilis dan karena perbuatan ini
terpaksa bertanding dengan Ki Datujiwa dan membunuh
kakek sakti itu, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya
dengan urusan kerajaan, tidak ada sangkut-pautnya dengan
urusan pribadi, baik terhadap Endang Patibroto maupun
terhadap Tejolaksono. Nenek sakti ini menculik Retna
Wilis karena dia suka kepada anak ini yang dianggapnya
merupakan calon murid terbaik yang penah dilihatnya. Dia
sedang mencari murid untuk menandingi murId Bhagawan
Ekadenta, maka melihat Retna Wilis dia menjadi girang
sekali dan merasa yakin bahwa kalau digembleng anak ini
akan menjadi orang yang tiada tandingan di dunia ini, biar
murid Bhagawan Ekadenta sekali pun!
Siapakah sebenarnya nenek yang amat luar biasa
kesaktiannya ini" Untuk mengenalnya, kita membuka
lembaran riwayatnya secara singkat. Nini Bumigarba ini
sekarang usianya sudah amat banyak, sukar untuk
diketahui, mungkin seratus tahun lebih, mungkin juga dua
ratus tahun! Dahulu dia merupakan seorang puteri cantik
jelita dan sakti mandraguna dari kerajaan kecil Umbul-tirta
yang bergabung dengan Kerajaan Wengker menentang
Kerajaan Mataram. Namanya sebagai puteri cantik adalah
Dewi Sari-tanking, selain cantik jelita, juga memiliki
kesaktian yang tiada tandingnya di waktu itu. Akan tetapi,
karena pasukan kerajaan-kerajaan kecil itu tidak mampu
menandingi barisan-barisan besar Mataram, kedua kerajaan
itu selalu terpukul mundur. Kemudian, muncullah seorang
ksatria perkasa dan tampan di fihak Mataram, seorang
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kelana yang memakai nama Joko Ekadenta. Ksatria inilah
yang dapat menentang dan menandingi kesaktian Dewi
Sarilangking sehingga puteri ini tidak saja kalah dalam
bertanding, juga jatuh hatinya terhadap ksatria yang tampan
dan perkasa itu. Namun, Joko Ekadenta yang dapat
meneropong keadaan puteri itu melihat sifat-sifat yang tidak
baik sehingga biarpun dia sebagai seorang pria juga amat
kagum dan jatuh hati terhadap Dewi Sarilangking, namun
dia "mundur" dan tidak mau melayani cinta kasih puteri itu.
Hal ini merubah cinta kasih Dewi Sarilangking menjadi
kebencian sehingga ia selalu mencari gara-gara untuk dapat
bertanding melawan Joko Ekadenta yang selalu pula
diakhiri dengan kekalahan di fihaknya. Satu-satunya bukti
bahwa Ekadenta masih mencintanya adalah kenyataan
bahwa dalam setiap pertandingan, kalau Dewi Sarilangking
menyerang dengan sungguh-sungguh dan dengan serangan
maut, namun sebaliknya Ekadenta selalu merobohkannya
dengan hati-hati agar tidak melukainya.
Setelah Dewi Sarilangking dapat dikalahkan dan
menemui tandingannya, Kerajaan Umbul-tirta yang kecil
itu dengan mudah dapat ditaklukkan oleh Mataram. Dewi
Sarilangking mengumpat caci dan mengutuk Joko Ekadenta
karena kehancuran kerajaan ayahnya Semua keluarganya
terbasmi dalam perang, hanya dia sendiri, berkat
kesaktiannya, dapat menyelamatkan diri dan menghilang
untuk bertapa dan memperdalam ilmunya. Joko Ekadenta
juga maklum bahwa semenjak itu, dia menanam bibit
pertnusuhan yang hebat dan akan selalu terancam oleh
Dewi Sarilangking, yang membencinya karena dua hal,
pertama karena dia menolak cinta kasihnya atau tidak suka
menyambung pertalian cinta yang ada di antara mereka, ke
dua karena Joko Ekadenta membantu Mataram memukul
kerajaannya. Karena maklum akan hal ini, Joko Ekadenta
tidak mau kalah, juga pergi mengasingkan diri, bertapa dan
mengejar ilmu kesaktian sebagai bekal untuk melindungi
diri terhadap ancaman Dewi Sarilangking.
Kekhawatirannya terbukti. Ke mana pun dia bertapa,
selalu Dewi Sarilangking dapat mencarinya dan entah
berapa puluh kali selama belasan tahun wanita itu selalu
berusaha untuk membunuhnya dalam pertandinganpertandingan yang amat dahsyat. Akan tetapi selalu
Ekadenta dapat mengalahkan puteri itu dan selalu
membujuknya agar menyudahi permusuhan mereka.
Namun Sarilangking tetap berkeras kepala dan setiap
dikalahkan, bertapa dan menggembleng diri lagI untuk
kelak dipakai dalam pertandingan lanjutan! Melihat ini,
Ekadenta mengalah dan pergi ke barat, melintasi lautan dan
merantau sampai ke Pegunungan Himalaya di mana ia
memperdalam ilmunya dan juga terutama sekali untuk
menjauhkan diri dari Sarilangking!
Dewi Sarilangking yang makin sakti mandraguna itu
kehilangan musuhnya dan dia lalu menggunakan ilmunya
untuk membantu Kerajaan Wengker, bahkan kemudian dia
menjadi guru dari Dewi Mayangsari yang menjadi
permaisuri di Wengker, permaisuri Sang Prabu Boko, Raja
Kerajaan Wengker yang sakti sekali itu!
Demikianlah sedikit riwayat Dewi Sarilangking yang
kemudian dikenal dengan julukan Nini Bumigarba, menjadi
seorang nenek yang amat hebat, seorang wanita yang tidak
pernah menikah, akan tetapi biarpun sudah menjadi nenek
tua renta, ia masih mendendam kepada Ekadenta yang kini
pun sudah menjadi seorang kakek tua sekali yang amat
sakti, yaitu Sang Bhagawan Ekadenta atau juga disebut
Sang Sakti Jitendrya atau Sang Bhagawan Sirnasarira.
Sebagaimana telah diceritakan di bagian depan, ketika Nini
Bumigarba yang memenuhi permintaan bantuan Biku
Janapati dan Wasi Bagaspati, datang menyerang Ki
Tunggaljiwa, nenek sakti ini tidak berhasil membunuh Ki
Tunggaljiwa dan Bagus Seta karena muncul secara tiba-tiba
kakek sakti yang menjadi musuhnya semenjak muda
sehIngga terpaksa nenek ini melarikan diri. Kemudian Nini
Bumigarba pergi mencari murid untuk menandingi murid
kakek itu kelak dan di puncak Wilis dia berhasil menculik
Retna Wilis setelah membunuh Ki Datujiwa.
Mungkin tanpa disadari oleh Endang Patibroto sendiri,
wataknya yang aneh dan keras, suka akan kesaktian,
menurun kepada puterinya. Biarpun menyaksikan dengan
mata sendiri betapa Nini Bumigarba telah membunuh
gurunya, Ki Datujiwa, namun Retna Wilis malah menjadi
kagum dan suka sekali menjadi murid nenek itu! Hal ini
bukan sekali-kali karena Retna Wilis tidak menyayang
gurunya itu, melainkan karena dalam anggapan anak ini,
pertandingan antara gurunya dan nenek itu adalah
pertandingan adu kesaktian yang adil sehingga kalau
gurunya kalah dan tewas dalam pertandingan itu, sudahlah
sewajarnya. Bahkan ia merasa gembira sekali, biarpun ia
harus meninggalkan ibunya, karena ketika ia dipondong
dan dibawa lari nenek itu, ibunya sendiri menyatakan
dengan suara yang jelas bahwa ibunya rela dia menjadi
murid Nini Bumigarba. Pula, ketika ia dibawa lari, ia
merasa seolah-olah dibawa terbang, demikian cepatnya
nenek itu melarikannya. Nini Bumigarba melakukan perjalanan yang amat cepat
sampai tiga hari lamanya dan baru berhenti setelah tiba di
tepi Laut Selatan! Pantai Laut Selatan di daerah ini sunyi
tak tampak seorang pun manusia dalam jarak puluhan
kilometer. Pantai itu sendiri merupakan lautan pasir dan
memang oleh penduduk di pedalaman, daerah yang
merupakan daerah tandus ini disebut Segoro Wedi (Lautan
Pasir). Adapun di pantai, gunung-gunung karang menjulang
tinggi, seolah-olah merupakan perisai yang menentang
amukan badai Laut Selatan sehingga air tidak sampai
meluap dan merendam seluruh Nusa Jawa! Sunyi dan tidak
subur seperti neraka, penuh dengan bahaya dan
menyeramkan. Bahkan binatang-binatang darat tak tampak
di daerah yang tandus ini, burung-burung pun tidak
tampak, kecuali burung laut yang memang hidup dari ikanikan laut. Mahluk-mahluk hidup yang tampak di daerah ini
hanyalah binatang pantai yang kecil seperti undur-undur,
kepompong, kepiting, dan yang besar-besar hanyalah kurakura laut yang kadang-kadang mendarat di pantai penuh
pasir untuk bertelur. Kura-kura laut yang amat besar-besar,
sedemikian besarnya sehingga takkan dapat terpikul oleh
empat orang dan sedemikian kuatnya sehingga dua tiga
orang dewasa saja yang menduduki punggungnya masih
akan terangkut olehnya. Sunyi sekali di situ, sunyi dari suara-suara yang biasa
terdengar di darat. Akan tetapi sedetik pun tak pernah
berhenti dari suara bising ombak laut bertanding kekuatan
melawan batu-batu karang yang menggunung di pantai,
suaranya berdeburan, berkerosakan, seperti air mendidih,
kadang-kadang bergelegar seperti halilintar mengamuk.
Ketika Nini Bumigarba menurunkan Retna Wilis dari pondongannya dan gadis cilik ini berdiri memandang ke arah laut bergelombang, nenek ini melirik dan tersenyum gembira menyaksikan betapa wajah muridnya itu berseri, pandang mata yang tajam itu bersinar- sinar penuh kekaguman memandang air laut yang bergelora. Nenek itu kagum melihat betapa muridnya itu setelah melakukan perjalanan lama
yang amat melelahkan, tidak tampak kehilangan semangatnya dan senang hatinya melihat muridnya tidak
kecewa menyaksikan daerah yang akan menjadi tempat
tinggalnya. "Retna Wilis, bagaimana pendapatmu dengan tempat
ini" Engkau dan aku akan tinggal di daerah ini dan di sini
engkau akan kugembleng dengan kesaktian sehingga kelak
engkau akan menjadi seorang muda yang sakti tanpa
tanding!" Tanpa menoleh dari laut yang bergelombang, -anak itu
menjawab, "Aku senang sekali tinggal di sini, Eyang."
Nini Bumigarba tertawa, hatinya senang disebut eyang
dan ia makin suka melihat sikap yang polos itu, tidak
menjilat-jilat, tidak takut, melainkan sikap sewajarnya
mencerminkan watak yang keras hati, angkuh, dan tidak
mau merendahkan diri. Inilah calon muridnya yang cocok.
Kalau saja ia dahulu di waktu mudanya memiliki watak
seperti ini, angkuh dan tidak mau merendahkan tentu ia
akan hidup bahagla. Akan tetapi dia telah menjatuhkan
hatinya kepada Ekadenta yang mengaklbatkan hldupnya
penuh dengan kekecewaan, merana dan sengsara!
"Muridku bocah manis. Kenapa engkau suka tinggal di
sini" Mengapa tempat ini yang amat sunyi dan tandus
menyenangkan hatimu?"
"Aku senang, Eyang. Aku kagum menyaksikan
kedahsyatan laut dan ombaknya yang setinggi gunung!
Betapa dahsyatnya, betapa ganasnya, dan betapa kuatnyal
Dan aku terpesona menyaksikan batu-batu karang
menggunung. Betapa tenang menerima hantaman ombak
yang begitu ganas, dan betapa kokoh kuatnya! Sungguh
hebat dan besar laut dan gunung karang, dan betapa
kecilnya kita ini!" "Heh-he-he-he-he! Tepat sekali pendapatmu, muridku.
Dan engkau akan kugem-bleng agar kelak engkau dapat
memiliki kedahsyatan dan keganasan gelombang laut kidul,
memiliki keterangan yang dingin dan daya tahan yang
kokoh kuat dari gunung-gunung karang! Ha-ha-ha!"
Demikianlah, tanpa diketahui oleh seorang manusia pun,
Nini Bumigarba yang telah mendapatkan seorang murid
yang mencocoki hatinya, mulai menggembleng Retna Wilis
dengan pelbagai ilmu dan aji kesaktian di pantai laut kidul
yang sunyi itu. Ternyata Retna Wilis amat suka tinggal di
tempat ini. Selama hidupnya anak ini belum pernah melihat
laut, semenjak lahir selalu berada di puncak Gunung Wilis.
Kini, sekali berhadapan dengan laut dan gunung karang, ia
terpesona dan menerima kesan yang menggetarkan jiwanya.
Ia merasa seolah-olah lautan luas itu hidup, seolah-olah
dapat melihat dewa-dewa penjaga laut yang perkasa, dapat
melihat dewa-dewa penjaga gunung karang yang maha sakti
dan ia ingin sekali dapat menjadi seperti mereka. Karena
itu, ia tekun sekali belajar ilmu, mentaati segala perintah
gurunya dan tidak ada perintah yang terlampau berat
baginya. Seringkali ia menerlma latihan-latihan bertapa
yang amat berat dari gurunya. Latihan bersamadhi duduk di
atas pasir di tepi pantai sampai kalau air laut sedang pasang,
ombak yang datang menenggelamkan tubuhnya dan
kadang-kadang pasir itu sampai membenamnya sepinggang
lebih. Namun, sedetik pun ia tidak pernah undur, tidak
pernah meragu karena selain ia merasa yakin bahwa
perintah gurunya itu demi untuk memperkuat dirinya,
jasmani dan rohani, juga ia yakin bahwa gurunya tidak
akan membiarkan dia mati dalam berlatih! Kadang-kadang
sampai dua hari dua malam ia "dibiarkan" saja oleh
gurunya dalam keadaan seperti itu sehingga tubuhnya
serasa membeku dan seolah-olah telah berubah menjadi
batu karang sendiri yang kuat dan kokoh dalam menerima
terjangan ombak! Ada kalanya Ia diharuskan bersamadhi di
atas batu karang menerima gempuran gelombang, tak
pernah berhenti tertimpa hujan dari air yang pecah
berhamburan menghantam karang. Setiap detik ia terancam
bahaya, terhempaskan dari atas karang dan kalau hal ini
terjadi, tentu tubuhnya akan diangkat oleh gelombang dan
dibanting hancur ke atas batu-batu karang! Namun, Retna
Wilis tetap mentaati semua perintah gurunya dan
keyakinan ini memang bukan membuta karena sesungguhnya, setiap saat Nini Bumigarba menjaga
murldnya dengan wajah berseri penuh kegembiraan dan
kebanggaanl Kalau matahari sedang teriknya, dan pantai pasir itu
seolah-olah terbakar mengeluarkan uap dari bawah, Retna
Wilis diharuskan bersamadhi di atas pasir yang panas
sekali. Di bawah tubuhnya, pasir panas dan uap dari bawah
itu seolah-olah memanggang tubuhnya, adapun dari atas,
sinar matahari secara langsung menimpa tubuhnya
sehingga kalau habis berlatih seperti ini, kulit tubuhnya
menjadi gosong dan menghitam!
"Muridku, Retna Wilts yang tersayang," kata Nini
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bumigarba setelah setahun lebih muridnya digembleng
menghimpun kekuatan dengan cara bersamadhi yang anehaneh dan amat sukar. "Engkau mulai dapat menerima inti
tenaga sakti yang timbul dari gelombang lautan dan
ketenangan batu karang yang mengandung hawa dingin.
Secara langsung engkau dapat menahan hawa dingin yang
timbul dari, latihan melawan ombak laut. Sebaliknya,
berlatih di atas pasir panas di bawah terik matahari, engkau
dapat menerima inti tenaga sakti dari matahari dan dari uap
bumi. Latihan-latihan itu berat, namun manfaatnya besar
sekali, muridku. Dengan dasar tenaga sakti yang kau terima
intinya dari kekuatan alam ini, kau akan dapat menghadapi
aji-aji pukulan lawan yang hanya mempunyai dasar dua itu
pula, dan engkau akan dapat kelak menerima latihanlatihan aji pukulan yang hebat-hebat. Tahukah engkau, ajiaji pukulan apa yang dimiliki ibumu dan yang telah
diajarkan atau diterangkan kepadamu?"
Retna Wilts mengangkat mukanya. Bocah ini usianya
baru sebelas dua belas tahun, dan baru setahun lebih berada
di situ, namun pandang matanya kini sudah jauh bedanya
dengan setahun yang lalu. Pandang matanya penuh
kesungguhan, sikapnya penuh ketenangan, tarikan bibirnya
penuh keangkuhan dan kepercayaan kepada diri sendiri,
sehingga ia telah memiliki himpunan sifat-sifat batu karang,
lautan, dan pasir panas di bawah timpaan sinar matahari!
"Biarpun aku belum banyak menerima pelajaran aji
pukulan dari ibu, akan tetapi menurut keterangan ibu, dia
memiliki aji pukulan ampuh seperti Pethit Nogo,
Wisangnolo, dan Gelap Musti, Eyang."
Nenek itu mengangguk-angguk. "Engkau telah menyaksikan dahulu ketika ibumu mencoba memukulku
sampai dua kali dan aku sama sekali tidak roboh, bahkan
ibumu yang terpental. Mengapa" Pertama ibumu menggunakan aji pukulan Pethit Nogo yang 'biarpun belum
kukenal, akan tetapi dapat kuketahui dasarnya, yaitu
dengan dasar hawa sakti yang panas. Tentu saja dengan
mudah aku dapat menerimanya karena inti tenaga sakti
panas di dalam tubuhku jauh lebih kuat, sehingga
pukulannya itu seperti setitik air memasuki jembangan
penuh air, amblas tidak terasa. Demikian pula dengan
pukulan ke dua. Pukulan ke dua ini kukenal baik, karena itu
adalah pukulan Wisangnolo yang didapatkan ibumu dari
gurunya, Si Mamangkoro! Heh-he-he! Tentu saja pukulan
itu tidak ada artinya bagiku karena aji itu adalah ciptaanku
sendiri! Nah, sekarang engkau mengerti betapa pentingnya
melatih diri dengan samadhi yang menghimpun hawa-hawa
murni untuk menciptakan tenaga sakti. Maka, kau belajar
dan berlatihlah terus dengan penuh ketekunan, setelah
engkau berhasil, baru aku akan menurunkan aji-aji pukulan
yang maha sakti." Retna Wilis mengangguk. "Aku mengerti, Eyang. Aku
tidak merasa puas sebelum dapat memiliki ketenangan dan
kekuatan dan daya tahan seperti gunung karang."
"Heh-he-he-he, jangan khawatir. Eng-_ kau akan
memiliki kedigdayaan seperti aku! Cuma satu hal yang
kupesanka agar engkau ingat-ingat betul, muridku; Semua
kesaktian itu akan musnah dan luntur hanya oleh satu hal
.............. " Retna Wilis mengerutkan keningnya. Alis itu hitam
panjang dan kecil, seperti dilukis saja menghias wajahnya
yang cantik jelita, yang kini mulai jelas tampak menurun
wajah ibunyal "Hemm, harusnya Eyang memberi tahu
kepadaku apa pantangan itu, karena hal itu penting sekali
agar jangan sampai aku melanggarnya di luar kesadaranku."
"Pantangannya adalah kelemahan batin yang tidak
mampu menolak perasaan hati sendiri."
"Mengapa menurutkan perasaan dapat memusnahkan
dan melunturkan kesaktianku, Eyang?"
"Perasaan hati yang dituruti amatlah berbahaya,
muridku. Di antaranya adalah rasa suka, duka, takut, malu,
dan marah. Manusia memang berperasaan dan di dalam
hidupnya diombang-ambingkan oleh perasaan ini sehingga
menjadi lemah dan menjadi hamba daripada perasaannya.sendiri. Terutama sekali perasaan cinta kasih
amatlah berbahaya dan segala kesaktlanmu akan tiada
gunanya sekali engkau dicengkeram oleh perasaan cinta ini.
Maka, engkau harus memperkuat, harus dapat mengekang
dan mengendalikan perasaanmu sendiri, kalau perlu engkau
boleh membunuh perasaanmu!"
Retna Wilis masih terlampau kecil untuk mengetahui
betapa tak mungkin ajaran ini dilaksanakan, kecuali kalau
dia akan merubah diri menjadi iblis yang tidak berperasaan
atau menjadi binatang. Akan tetapi karena dia hanya
mempunyai satu keyakinan, yaitu bahwa di dunia ini
gurunya inilah orang yang paling sakti mandraguna, paling
benar, ia lalu mengangguk dan mencatat semua ajaran itu di
dalam hatinya. "Lihatlah samudera luas, muridku! Betapa dahsyatnya,
betapa ganas dan garangnya, tak terlawan! Mengapa dia
begitu sakti" Karena dia tidak sudi menjadi hamba
perasaan, tidak mempunyai rasa sayang, atau takut, atau
kasihan, atau malu mau pun marah. Karena itu hebatnya
bukan kepalang. Dan lihatlah gunung karang. Dia pun tidak
berperasaan, maka demikian kokoh kuat menghadapi segala
macam terjangan, tak pernah mengeluh, tak perduli akan
keadaan di sekelilingnya. Karena itu ia tidak suka tidak
duka dan kokoh kuat!"
Pelajaran yang keluar dari mulut Nini Bumigarba ini
amatlah berbahaya bagi jiwa kanak-kanak yang sedang
berkembang. Memang sesungguhnya mengandung filsafat
yang amat tinggi, akan tetapi oleh karena keliru cara
mengajarnya dan memang cara nenek ini mengajar pamrih
dan juga terpengaruh oleh pengalaman-pengalaman pahit
getir di waktu mudanya, maka pelajaran ini tidak akan
memberi kebekuan terhadap duniawi dan kelembutan
dalam watak, melainkan akan menjadikan orang membeku
dan kehilangan perasaan peri kemanusiaan! Pelajaran
semacam ini dijatuhkan ke dalam hati Retna Wilis yang
pada dasarnya memang keras hati karena selama ini
terpengaruh watak dan sifat ibunya. Tentu saja amat
berbahaya bagi gadis itu sendiri yang tanpa disadarinya
telah digembleng oleh gurunya menjadi seorang yang selain
maha sakti seperti gurunya, dalam hal perasaan malah leblh
mengerikan daripada gurunya!
Namun Retna Wilis menjadi amat tekun belajar
semenjak menerima nasehat gurunya ini. Seringkali ia
bermenung sampai berjam-jam memandang laut yang
nengganas dan memandang batu karang yang kokoh kuat,
menerima gempuran air yang pecah sendiri menjadi atom.
Air laut bergerak terus, sedetik pun tak pernah berhenti.
Matahari dan bulan bergerak terus, kelihatan lambat namun
tak pernah berhenti sedetik pun dan karena gerakan yang
tiada hentinya ini maka waktu berlalu amat cepatnya, cepat
akan tetapi tidak terasa dan kelihatn lambat, seperti gerakan
bulan dan natahari. Seolah-olah baru kemarin dulu Retna
Wilis tinggal di pantai Teluk Prigi atau Segoro Wedi.
Seolah-olah baru beberapa hari ia datang di tempat itu
bersama gurunya. Padahal, telah lima tahun ia berada di
tempat itu dan kini Retna Wilis bukanlah bocah lagi,
melainkan telah menjadi seorang gadis remaja yang amat
elok wajah dan bentuk tubuhnya. Wajahnya cantik jelita,
ayu dan manis sekali, cemerlang karena bersih dan aseli,
kecantikan yang wajar dan liar, seperti kecantikan setangkai
bunga mawar hutan bermandi embun di antara duri-duri
meruncing, seperti keindahan seekor harimau betina muda
yang mengkilap bulunya, seperti keindahan ular yang
bermata tajam dan berlidah merah meruncing dengan
gerakannya yang lemas namun kuat, seperti Endang
Patibroto di waktu muda. Dia sendiri tidak tahu, karena
ibunya tak pernah menceritakannya, bahwa keadaannya
bersamaan dengan ibunya di waktu kecil. Ibunya, Endang
Patibroto, di waktu kecilnya pun digembleng menuntut
ilmu kesaktian di antara deburan ombak laut kidul dan batu
karang yang kokoh kuat. Hanya bedanya, kalau ibunya
digembleng oleh neneknya, dia digembleng oleh Nini
Bumigarba yang memiliki kesaktian yang jauh lebih tinggi
daripada ibunya dan neneknya, digembleng tidak hanya
dengan aji kesaktian, melainkan juga dengan ilmu
kebatinan yang aneh, yang membuat dia bagaikan membaja
lahir batinnya. Siapa pun orangnya yang berjumpa dengan Retna Wilis,
tentu akan terpesona dan tentu akan tergetar batinnya oleh
bermacam perasaan yang mengaduk hati. Ada rasa kagum
tentu, terutama bagi pria, menyaksikan wajah yang
demikian cantik jelita, rambut yang hitam halus dan
panjang dilepas bebas, digelung sederhana di atas kepala
agak ke belakang, sepasang daun telinga yang tersembul di
antara ombak-ombak rambut menghitam tampak tipis dan
indah lekukannya, lubang daun telinga yang kecil setiap
hari berganti hiasan, ada kalanya batu karang merah, atau
karang mengkilap, bahkan kadang-kadang bunga laut
kering atau ujung supit udang atau kepiting! Namun, apa
pun juga yang terselip dibawah daun telinga itu, selalu
menambahkan manis wajah yang hebat itu! Dahinya halus,
bagian atasnya terhias sinom (anak rambut) yang halus
melingkar-lingkar seperti puteri-puteri pemalu. Sepasang
alisnya menjelirit kecil panjang, kedua ujungnya agak ke
atas sehingga membayangkan keangkuhan, kelihatan
berlawanan sekali dengan sepasang mata yang lebar
memancarkan sinar bagaikan sepasang bintang di langit.
Mata ini yang amat mempesona, bening dan amat tajam
sinarnya, namun mengandung wibawa yang aneh,
kesungguhan dan penuh pengertian seperti hanya terdapat
dalam mata pendeta-pendeta yang sudah awas paningal.
Mata itu menyeramkan sinarnya, mengandung pengaruh
yang merupakan ancaman, akan tetapi keseraman yang
tersembunyi ini tertutup keindahan hiasan bulu mata yang
hitam, panjang melentik dan demikian lebat sehingga
sekeliling mata di mana bulu mata itu berakar kelihatan
garis hitam seolah-olah pinggir mata itu diberi coretan
hitam. Hidungnya kecil mancung, dan mulutnya merupakan imbangan keindahan matanya. Mulut itu manis
bentuknya, dengan sepasang bibir yang penuh menjendol,
ukurannya kecil akan tetapi sedemikian rupa sehingga
daging di bawah kulit tipis merah seolah-olah setiap saat
dapat pecah. Bentuknya seperti gendewa terpentang dan
amatlah sayang bahwa mulut semanis itu jarang sekali
tersenyum, apalagi tertawa, padahal kalau tersenyum tentu
akan membuat dunia menjadi lebih cerah! Karena bibir itu
selalu tertutup, maka deretan gigi yang putih bersih dan rapi
merupakan mutiara-mutiara terpendam yang jarang dapat
terlihat orang. Wajah yang seperti wajah dewi kahyangan
memiliki tubuh yang padat ramping dan semampai, berkulit
kuning halus dan karena sikap dan pembawaannya
mengandung daya kekuatan dahsyat, maka tubuh yang
indah ini menyembunyikan kegagahan di balik keluwesannya.. Sungguh alam telah bermurah hati sekali
kepada Retna Wilis yang dikaruniai jasmani sedemikian
indahnya! Takkan ada seorang manusia pun yang akan dapat
mengira bahwa di dalam tubuh yang denok ini tersembunyi
kesaktian yang amat dahsyat dan mengerikan! Selama lima
tahun tanpa mengenal lelah, secara tekun sekali menerima
gemblengan Nini Bumigarba, kini Retna Wilis merupakan
seorang gadis remaja yang, amat digdaya, sakti mandraguna dan di dalam tubuhnya terdapat aji-aji
kesaktian yang tidak lumrah manusia.
Dara remaja ini amat suka tinggal di pantai Teluk Prigi,
di darat bermain-main dengan kura-kura raksasa atau
berlatih aji kesaktian, kadang-kadang ia menanggalkan
seluruh pakaiannya, bertelanjang bulat menerjang ombak
Laut Selatan, menyelam dan berenang berkejaran dengan
ikan-ikan di laut sehingga kalau pada waktu itu ada yang
melihat tentu akan mengira bahwa dia adalah seorang peri
Segoro Kidul, atau puteri dari Ratu Roro Kidul sendiri!
Tubuhnya sedemikian penuh terisi hawa kesaktian sehingga
ikan-ikan hiu yang banyak berkeliaran di bawah ombak,
sama sekali tidak dapat mengganggunya, bahkan seringkali
diganggu Retna Wilis, dipegang ekornya dan dilontarkan
jauh ke atas permukaan air, dicengkeram sisinya dan
dipatahkan taringnya! Kalau menyaksikan muridnya seperti
itu, Nini Bumigarba tertawa terkekeh-kekeh dengan penuh
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kebanggaan dan kekaguman. Di waktu ia muda dahulu,
harus ia akui bahwa dia tidaklah sehebat muridnya ini.
Namun ada kalanya Retna Wilis memandang ke arah
utara, ke daratan di balik gunung karang di mana sayupsayup tampak gerombolan hutan di lereng Pegunungan
Seribu. Pada suatu hari yang cerah, selagi Nini Bumigarba
yang kini banyak menghabiskan waktunya untuk bersamadhi dan nenek itu kelihatan kini malas, Retna Wilis
tak dapat menahan keinginan hatinya dan seorang diri ia
lari ke utara dengan niat hendak melihat hutan di utara itu
dan mencari buah-buahan kelapa atau pisang. Dia
menggunakan kedua kakinya seperti orang biasa berlari,
namun hasil larinya sama sekali tak dapat dikatakan biasa!
Tubuhnya berkelebat cepat sukar diikuti pandangan mata,
dan lajunya melebihi larinya seekor kuda membalap.
Sebentar saja ia sudah tiba di dalam hutan yang tampak dari
Segoro Wedi. Setibanya di tempat yang penuh tumbuhtumbuhan dan pohon-pohon besar itu, Retna Wilis menjadi
gembira hatinya seperti seorang yang melihat benda-benda
indah yang tak pernah dillhatnya.
Jilid XXXIV IA MELOMPAT ke sini, lari ke sana, melayang ke atas
pohon-pohon, menyambit runtuh buah-buah kelapa,
nyambar buah-buah nangka dan menangkap seekor kelinci
gemuk. Ketika ia melemparkan semua buah dan kelinci yang
sudah ia bunuh itu ke atas tanah kemudian ia melompat
naik ke atas pohon sawo yang besar, memilih-milih sawo
yang sudah masak, tiba-tiba ia mendengar suara orang
bercakap-cakap. Retna Wilis yang berada di atas pohon itu
cepat memandang dan tampaklah olehnya empat orang
laki-laki berjalan mendatangi tempat itu. Mereka adalah
empat orang laki-laki yang bersikap gagah, yang tiga orang
berusia kurang lebih empat puluh tahun, yang seorang
masih muda, paling banyak dua puluh tujuh tahun usianya.
Mereka berjalan sambil bercakap-cakap dan ketika mereka
tiba di bawah pohon, Retna Wilis mendengar seorang di
antara mereka, yang menggantungkan sebuah penggada
besar di pinggangnya, berkata,
"Ki Warok Surobledug boleh dipercaya seratus prosen.
Dia seorang satria sejati yang pada waktu ini menjadi ketua
sekalian warok di Ponorogo. Dia boleh diajak berkawan
dalam membela Jenggala. Kalau tidak sekarang orangorang gagah bergerak untuk berdarma bhakti kepada
Jenggala, menunggu sampai kapan?"
Tiba-tiba orang yang termuda, seorang yang bertubuh
jangkung dan berwajah tampan menghentikan langkahnya,
memandang ke arah buah-buah dan bangkai kelinci sambil
berkata, "Ssttt ........... ada orang ..........."
Tiga orang kawannya berhenti juga. Tadi mereka asyik
bercakap-cakap sehingga tidak melihat buah-buahan itu.
Kini mereka menghentikan percakapan dan kesemuanya
berhenti di bawah pohon sawo, memandang ke kanan kiri.
Pemuda itu tiba-tiba menengadah lalu tertawa bergelak,
"Ha-ha-ha! Kiranya ada seekor monyet betina di atas
pohon!" Tiga orang kawannya memandang ke atas dan mereka
pun tertawa. "Jayus! Jangan bicara sembarangan!" bentak
laki-laki yang membawa penggada ketika ia melihat bahwa
Petualang Asmara 28 Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An Kisah Pendekar Bongkok 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama