Tujuh Pembunuh Qi Sha Shou Karya Gu Long Bagian 1
"Tujuh Pembunuh Qi Sha Shou Karya : GU LONG Bab I. Pertemuan orang aneh. Tangan Tu Jit diletakkan di atas meja, tangan itu ditutup
dengan sebuah topi caping yang sangat lebar. Tangan itu
tangan sebelah kiri. Tak seorang pun tahu mengapa dia menutupi tangan
sendiri dengan sebuah caping lebar.
Tentu saja Tu Jit bukan bertangan satu, tangan yang
sebelah kanannya menggenggam sepotong bakpao yang
sudah mengeras, perasaan hatinya juga sekeras bakpao itu,
bukan hanya kering, bahkan dingin, keras dan liat.
Padahal dia berada di sebuah rumah makan, rumah makan
Thian Hiang-lo. Diatas meja terdapat aneka macam sayur dan hidangan,
juga tersedia arak. Tapi dia sama sekali tidak menyentuhnya, jangan lagi
makan, setetes air teh pun tidak diteguknya, dia hanya
mengunyah bakpao keras yang dibawanya, pelan-pelan
menikmatinya. Tu Jit memang seorang lelaki yang teliti dan sangat
berhati-hati, dia enggan orang lain menemukan dirinya sudah
mati keracunan dalam rumah makan itu.
Senja.............sesaat menjelang senja.
Suasana di jalan raya sangat ramai, banyak orang berlalu
lalang, tiba tiba terlihat ada seekor kuda berlarian mendekat
dengan kecepatan tinggi, begitu cepat larinya hingga
menumbuk tiga orang, dua orang penjaja kaki lima dan
seorang pendorong kereta gerobak.
Si penunggang kuda itu mempunyai gerakan tubuh yang
lincah dan cekatan, sebilah golok panjang tersoren
dipinggangnya, setelah melirik sekejap papan nama ThianHiang-lo, tiba tiba dia melejit dari atas pelana kuda,
berjumpalitan beberapa kali di udara dan secepat anak panah
yang terlepas dari busurnya meluncur masuk ke dalam ruang
rumah makan. Segera terjadi kegaduhan di dalam rumah makan, tapi Tu
Jit tetap sama sekali tidak bergerak.
Lelaki kekar yang menggembol golok itu mencabut keluar
senjatanya, diantara kilatan cahaya yang menyilaukan mata,
tiba tiba dia menebas tangan kiri sendiri.
Dua biji jari tangan yang penuh berpelepotan darah segera
rontok ke atas meja., jari manis dan jari kelingking.
Butiran keringat sebesar kacang kedela jatuh bercucuran
membasahi wajah lelaki bergolok itu, katanya dengan suara
parau: "Apakah sudah cukup?"
Tu Jit tidak bergerak, buka suara pun tidak.
Lelaki bergolok itu menggigit bibirnya kencang kencang,
sekali iagi dia mengayunkan goloknya.
Tangan kirinya segera terpapas kutung dan tergeletak di
meja, ternyata dalam tebasan goloknya kali ini,dia telah
mengutungi lengan kiri sendiri.
"Sudah cukup belum?" kembali tanyanya.
Akhirnya Tu Jit berpaling juga, dia melirik kepada lelaki itu
sekejap lalu manggut manggut. "Pergi!" serunya.
Paras muka lelaki bergolok itu berkerut kencang lantaran
menahan rasa sakit yang bukan kepalang, setelah
menghembuskan napas panjang, bisiknya:
"Terima kasih!"
Tanpa membuang waktu lagi, dengan langkah
sempoyongan dia menerjang keluar dari rumah makan itu.
Ditinjau dari gerakan tubuh yang dimiliki lelaki kekar itu,
semestinya dia berilmu tinggi, gerak geriknya lincah dan
cekatan, tapi.... sehabis melirik ke arah topi lebar yang
menutupi tangan kiri Tu Jit mengapa dia rela mengutungi
lengan sendiri" Bahkan dia seperti merasa berterima kasih
sekali kepada lelaki itu"
Rahasia apa yang terdapat dibalik topi lebar itu"
Tak seorang pun yang tahu.
Senja.........kini senja benar-benar telah menjelang.
Kembali tampak dua orang berlarian masuk ke dalam
rumah makan dengan langkah tergesa gesa, dua orang itu
mengenakan baju mewah yang amat perlente, tampangnya
gagah dan penuh tenaga. Melihat kehadiran dua orang itu, semua yang hadir dalam
rumah makan serentak bangkit berdiri, mereka segera
membungkuk kan badan memberi hormat, rasa hormat dan
kagum terbesit di wajah setiap orang.
Dalam radius delapan li dari situ, tidak banyak orang yang
tidak mengenal "Kim-pian Gin-to" (ruyung emas golok perak)
Toan-Si siang-eng (dua jagoan dari keluarga Toan), terlebih
yang berani tidak menaruh hormat terhadap mereka, mungkin
sepuluh jari pun tak ada.
Dua bersaudara Toan sama sekali tak perduli dengan
sapaan orang orang itu, mereka pun tidak menyapa Tu Jit,
begitu tiba di depan meja, mereka singkap sedikit ujung topi
yang menutupi tangan kiri itu, tapi setelah melihat isinya, tiba
tiba paras muka mereka berubah jadi pucat pasi.
Dua orang Toan bersaudara itu saling bertukar pandangan
sekejap, kemudian terdengar Toan Ing berbisik:
"Tidak salah!" Sementara Toan Kiat dengan tangan lurus ke bawah dan
badannya mengbungkuk hormat katanya pelan: "Selamat
datang ruan, apakah ada perintah?"
Tu Jit tak bergerak, apalagi buka mulut.
Karena dia tak bergerak, Toan Ing dan Toan Kiat juga tak
berani berkutik, mereka hanya berdiri mematung
dihadapannya. Kembali ada dua orang muncul di dalam rumah makan,
mereka adalah "Siang-Bun-Kiam" (pedang pembawa
kematian) Pui Gwan dan "Thiat-Jiu-Bu-Tek" (kepalan baja
tanpa tandingan) Tiat Tiong-tat, seperti halnya dua
bersaudara dari keluarga Toan, setelah menyingkap topi dan
melirik isinya, mereka segera berdiri hormat sambil bertanya:
"Apakah ada perintah?"
Karena tak ada perintah, maka terpaksa mereka pun berdiri
menanti, selama dia tidak memberi perintah, tak seorang pun
di antara mereka berani berkutik.
Padahal mereka semua adalah jago jago dunia persilatan
yang berilmu tinggi dan bernama besar, tapi...... mengapa
mereka nampak begitu ketakutan setelah melirik ke balik topi
itu" Kenapa sikap mereka berubah begitu hormat dan
merendah" Mungkinkah dibalik topi itu tersembunyi suatu kekuatan
iblis yang sangat menakutkan"
Senja.............saat senja sudah lewat.
Lentera mulai disulut dalam ruangan rumah makan,
suasana di tempat itu mulai terang benderang.
Cahaya lentera memancar ke empat penjuru menyinari
wajah orang orang itu, wajah tiap orang basah oleh butiran
keringat, keringat dingin.
Tu Jit masih belum memberikan perintahnya kepada
mereka untuk melakukan sesuatu, semestinya mereka masih
rileks dan santai. Namun paras muka orang orang itu kelihatan amat tegang,
amat serius, seakan akan setiap saat akan menghadapi mara
bahaya yang bisa mencabut nyawa mereka.
Malam hari pun menjelang tiba, kilatan cahaya bintang
mulai bertaburan di angkasa.
Dari balik kegelapan malam yang mulai mencekam halaman
rumarl makan, mendadak bergema suara seruling bambu yang
sangat aneh, suara] itu tinggi melengking, tajam dan
menyeramkan, seperti ada setan iblis yang] sedang menangis,
sedang menjerit kesakitan.............
Paras muka Pui Gwan berubah makin pucat, mimik
mukanya mulai menyusut, mulai berkerut lantaran takut, ngeri
dan seram. Tu Jit sama sekali tidak bergerak.
Karena dia tak bergeming, orang lain pun tak berani
berkutik, jangan lagi kabur dari situ, menggerakkan badan pun
mereka tak berani. "Blaaammmm!" diiringi suara dentuman keras, tiba tiba
atap bangunan rumah itu roboh berantakan, muncul empat
buah lubang yang besar sekali di tempat itu.
Empat sosok bayangan manusia melayang turun dengan
kecepatan luar biasa, empat lelaki tinggi besar yang bertubuh
kekar dengan tinggi badani delapan depa, orang orang itu
bertelanjang dada, celana yang mereka! kenakan berwarna
merah darah dengan sebuah ikat pinggang berwarna kuning
emas melilit di pinggangnya, pada ikat pinggang itu tersoren
tiga belas batang golok lengkung yang aneh bentuknya,
gagang golok berwarna kuning emas dan memancarkan
cahaya yang menyilaukan. Jangan dilihat ke empat orang itu berperawakan tinggi
besar dan berati ternyata gerak tubuh mereka sangat enteng,
ketika melayang turun ke lantai ruangan, tubuh mereka
nampak begitu ringan seperti kapas yang jatuh ke tanah.
Begitu mencapai permukaan tanah, empat lelaki kekar itu
segera menyebarkan diri dan berjaga di empat penjuru sudut
ruangan. Paras muka mereka nampak sangat tegang, pancaran sinar
mata ngeri dan seram yang tak terlukis dengan kata
memancar keluar dari balik matanya.
Sementara perhatian semua orang sedang tertuju ke tubuh
empat lelaki kekar itu, tiba tiba di dalam ruang rumah makan
telah bertambah lagi dengan seseorang.
Orang ini mengenakan topi bermahkota emas di kepalanya,
jubah emas yang dikenakan sangat indah dan mewah, sebuah
ikat pinggang emas melilit di pinggangnya, pada pinggang itu
tersoren pula sebilah golok lengkung yang terbuat dari emas,
wajahnya putih bersih bagai susu, bulatl seperti bulan
purnama. Berbicara soal kehebatan ilmu silat, baik dua bersaudara
Toan maupun Pui Gwan, mereka terhitung jago jago yang
berilmu tinggi dengan ketajaman mata yang mengagumkan,
tapi anehnya, ternyata lak seorang pun diantara mereka yang
tahu, darimana orang itu munculkan iliii, melayang turun dari
atap ruangan" Atau menerobos masuk melalui d:iwi ji-ndela"
Namun, paling tidak ada satu hal yang mereka ketahui,
mereka mengenal siapakah jagoan ini.
Dia adalah seorang konglomerat nomor wahid dari Lamhay,
Kim-Koan-Ong (raja ermahkota emas) dari bukit HongKim-San (bukit emas) Ong-sun Bu-ki.
Kendatipun orang tak mengenal dia, cukup melihat
dandanan serta tingkah lakunya, mereka pasti bisa menduga
siapa gerangan orang tersebut.
Tu Jit tak bergeming, jangan lagi bergerak, berpaling untuk
memandang sekejap pun tidak.
Ong-sun Bu-ki berjalan mendekat, membungkukkan badan
dan mengintip sekejap ke ujung topi rumput itu, lalu sambil
menghembuskan napas panjang, katanya:"Aaah, tidak salah
lagi, ternyata memang kaui"
Raut mukanya yang semula tegang dan kaku seketika
mengendor, sekulum senyuman lega tersungging dibibirnya,
tiba tiba dia melepaskan ikat pinggang emasnya lalu membuka
sebuah, kancing diujung ikat pinggang tersebut, delapan belas
butir mutiara yang bersinar lembut seketika menggelinding
keluar dari balik ikat pinggang itu.
Ong-sun Bu-ki kumpulkan ke delapan belas butir mutiara
itu ke atas meja, kemudian sambil membungkukkan badan dia
memberi hormat, katanya dengan tersenyum:
"Apakah ini cukup?"
Tu Jit tidak bergerak, juga tak bersuara.
Sementara itu suara seruling bambu yang bergema dari
balik kegelapan makin lama semakin bertambah cepat
nadanya, bahkan makin lama semakin mendekat.
Senyuman yang tersungging diujung bibir Ong-sun Bu-ki
kelihatan semakin dipaksakan, dia lepaskan topi mahkota
emas yang dikenakan di kepalanya, diatas topi emas itu
bertaburkan delapan belas batang batu kemala hijau yang
amat bening. "Apakah ini sudah cukup?" kembali tanyanya sambil
meletakkan mahkota emas itu ke atas meja.
Tu Jit tidak bergerak, juga tak bersuara.
Sekali lagi Ong-sun Bu-ki lepaskan golok emas yang
tersoren dipinggangnya, cahaya golok itu amat tajam dan
menyilaukan mata. "Apakah sudah cukup?" kembali ia
bertanya. Tu Jit masih tak bergeming.
"Apa lagi yang kau minta?" tak tahan Ong-sun Bu-ki
bertanya dengan kening berkerut.
"Ibu jari tangan kananmu!" tiba tiba Tu Jit buka suara.
Jika ibu jari tangan kanannya kutung, maka tangan itu tak
bisa dipaka lagi untuk menggenggam golok, jangan lagi main
golok, menggunakai pisau terbang pun jangan harap.
Berubah hebat paras muka Ong-sun Bu-ki.
Sementara itu suara seruling bambu kedengaran makin
cepat nadanys juga semakin mendekat, ketika bergema dalam
telinga, suaranya amat tajar dan menyakitkan, bagaikan ada
beribu ribu batang jarum sedang menusu gendang telinga
kita. Ong-sun Bu-ki menggigit bibirnya kuat kuat, dia angkat
tang;ir kanannya dan menjulurkan ibu jarinya, kemudian
teriaknya keras: "Ambilkan golok!"
Lelaki kekar bertelanjang dada yang berdiri disudut
ruangan seketik; mencabut keluar goloknya, diantara kilatan
cahaya emas yang menyilaukar mata, sebilah golok lengkung
telah meluncur ke depan dan beipusing sati kali diatas lengan
tangan Ong-sun Bu-ki. Sebuah ibu jari yang berlumuran darah segera rontok ke
atas meja. Golok lengkung itu berputar satu lingkaran di udara,
kemudian dengar kecepatan tinggi meluncur balik ke tempat
semula. Paras muka Ong-sun Bu-ki berubah hijau membesi, sambil
menahan rasa sakit yang luar biasa, tanyanya:"Apakah sudah
Tujuh Pembunuh Qi Sha Shou Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cukup?" "Apa yang kau inginkan" Tanya Tu Jit tiba tiba sambil
angkat muka dan meliriknya sekejap.
"Membunuh seseorang!"
"Siapa yang ingin kau bunuh?"
"Kui-ong (raja setan)!"
"Yang To?" "Benar!" Mendengar nama orang itu, Pui Gwan, Tiat Tiong-tat
maupun dua bersaudara Toan segera merasakan hatinya
bergidik, tanpa sadar paras muka mereka ikut berubah
memucat. "Kui-ong" si raja setan Yang To memang sebuah nama
yang mengerikan, nama yang bisa membuat hati bergidik dan
sukma serasa melayang meninggalkan raganya.
Dalam pada itu, suara seruling bambu yang bergema
memecahkan keheningan telah berubah menjadi rendah,
berat, seperti suara seorang janda yang sedang meratap,
sedang menangis sedih karena ditinggal mati keluarganya,
suara itu mendatangkan perasaan gundah dan pedih bagi
siapapun yang mendengarkan.
"Padamkan semua lentera!" mendadak Ong-Sun Bu-Ki
menghardik. Empat orang lelaki kekar bertelanjang dada itu serentak
turun tangan, diantara kilatan cahaya emas dan deruan angin
tajam y;ing membelah angkasa, serentak semua lentera yang
ada dalam ruangan itu menjadi padam.
Suasana dalam ruangan seketika berubah menjadi gelap
gulita. Di tengah suasana kegelapan yang mencekam, mendadak
tampak puluhan buah lentera kembali bercahaya dari luar
ruangan, bukan saja cahaya lentera itu muncul dari halaman
luar, dari wuwungan rumah pun cahaya lencera muncul
bersamaan waktunya. Cahaya lentera berwarna hijau yang bergoyang terhembus
angin, persis seperti api api setan yang sedang gentayangan
di tengah udara. "Raja setan telah datang!" pekik Ong-sun Bu-ki dengan
perasaan takut. Ditengah hembusan angin malam yang terasa dingin dan
cahaya lentera berwarna hijau yang menyoroti wajah setiap
orang yang hadir disitu, terlihat semua jago yang hadir dalam
ruangan telah dibuat ketakutan setengah mati, wajah mereka
mengejang kencang lantaran rasa takut dan ngeri yang diluar
batas, mereka seakan-akan sedang menyaksikan datangnya
serombongan setan iblis dari dalam neraka.
Di tengah bergemanya suara seruling bambu yang tajam
memilukan hati, terdengar seseorang tertawa dingin dengan
suara yang menyeramkan: "Benar..........aku telah datang!"
Berbareng dengan berhembusnya angin dingin, sesosok
bayangan manusia telah muncul di dalam ruangan rumah
makan. Orang itu tinggi kurus bagai sebatang bambu, rambutnya
yang panjang dibiarkan terurai di pundak, wajahnya kuning
pucat seperti mayai hidup, jubah yang dikenakan berwarna
putih, kasar seperti karung goni.
Begitu kurus dan ringannya rubuh orang itu, seakan akan
dia memang terdorong masuk ke dalam ruangan karena
hembusan angin, begitu melayang turun ke lantai, badannya
bergoyang tiada hentinya bagaikan sebatang bambu yang
dimainkan angin. Dengan sorot mata yang hijau menyeramkan, dia awasi
wajah Ong-sun Bu-ki tanpa berkedip, kemudian katanya
diiringi suara tertawa yaii}-menyeramkan:"Sudah kukatakan,
kau pasti akan mampus!"
"Hmm, justru kau sendiri yang bakal mampus!" balas Ongsun
Bu-ki sambil tertawa dingin
"Aku?" jengek Yang To.
"Tidak seharusnya kau datang kemari, kini, setelah muncul
disini, maka saat ajalmu akan segera tiba!"
"Kau sanggup membunuhku?" kembali Yang To mengejek.
"Aku memang tak mampu" Ong-sun Bu-ki menggeleng.
"Lalu siapa yang mampu?"
"Dia!" Tu Jit masih belum bergeming, bukan saja tak bergerak,
paras mukanya juga tidak menunjukkan perubahan apapun.
Dengan sorot mata yang hijau menyeramkan, si raja setan
Yang T berpaling ke arah pemuda itu, setelah lama
menatapnya, dia menegur: "Kau mampu membunuhku?"
"'Benar!" jawaban itu teramat singkat.
Raja setan Yang To tertawa tergelak.
"Hahaha.... mau membunuh dengan apa" Dengan topi
capi bobrokmu itu?" ejeknya sinis.
Tu Jit tidak berbicara lagi, dia menggerakkan tangannya,
tangi kanan, pelan-pelan mengangkat topi caping yang
tergeletak di meja. Benda apa yang berada di bawah topi lebar itu"
Di bawah topi tak ada apa apa, hanya ada sebuah tangan.
Tangan sebelah kiri. Tangan yang mempunyai tujuh buah jari tangan.
Tangan itu kasar sekali bentuknya, selain kasar juga amat
besar seperti batu karang di pantai samudra yang sudah
beribu tahun terhempas ombak samudra.
Bagai tersengat listrik bertegangan tinggi, si raja setan
Yang To meloncat mundur jauh ke belakang, tiba tiba paras
mukanya memuca seperti bertemu dengan setan saja ia
menjerit tertahan: "Tujuh Pembunuh!"
Tu Jit tidak bergeming, juga tak bersuara.
"Aku kemari bukan mencarimu, lebih baik jangan kau
campuri urusai ini" seru Yang To kemudian.
"Sayang aku telah mencampurinya!"
"Kau mau apa?" "Pergilah dari sini!"
"Baik!" seru si raja setan Yang To kemudian sambil
menghentakkan kakinya ke tanah, "selama ada kau, aku akan
segera menyingkir" "Tinggalkan dulu batok kepalamu sebelum pergi!" tiba tiba
Tu Ji menambahkan. Berkerut alis mata Yang to, tiba tiba ia tertawa dingin.
"Batok kepalaku berada disini, mengapa tidak kau ambil
sendiri?" "Mengapa bukan kau yang menghantar kemari?" balas Tu
Jit. Raja setan Yang To tertawa nyaring, suara tertawanya
keras da; sangat menyeramkan.
Ditengah bergemanya suara tertawa, mendadak dia melejit
ke udara bagaikan sukma gentayangan yang melayang di
angkasa, dia menerjang Tu Jit sembari melancarkan sebuah
serangan maut. Belum lagi tubuhnya tiba dihadapan lawan, dua belas titik
cahaya tajam berwarna hijau telah meluncur ke muka dan
mengurung seluruh tubuh lawannya,
Tu Jit tak banyak bereaksi, dia hanya menggerakkan
tangan kanannya yang menggenggam topi lebar itu kemudian
meraupnya ke muka, tahu tahu cahaya hijau yang
mengancam tiba dari seluruh penjuru itu sudah lenyap tak
berbekas. Pada saat yang bersamaan, Yang To sudah tiba
dihadapannya, kali ini ditangannya telah bertambah dengan
sebilah pedang berwarna hijau, pedang itu langsung
ditusukkan ke tenggerokkan Tu Jit.
Tusukan pedang itu dipancarkan selagi dia masih di udara,
bukan saja yang terlihat hanya kilatan cahaya hijau, siapa pun
tak bisa menduga dari arah manakah tusukan itu akan
menyambar tiba. Tu Jit tidak berkelit, dia hanya menggerakkan tangannya
melancarkan sebuah cengkeraman.
Diantara kilatan cahaya hijau yang membelah bumi,
tampak sebuah tangan dengan tujuh jari tangannya yang
besar, panjang dan berwarna putih telah mencengkeram ke
udara dan membetotnya ke belakang.
Biarpun bayangan pedang berputar tiada putusnya,
cengkeraman tangan aneh itu pun tiada hentinya melakukan
perubahan, setelah mencengkeram sebanyak tujuh kali,
mendadak terdengar suara dentingan nyaring bergema di
udara, "Criiing!" tiba tiba cahaya pedang hilang lenyap dari
pandangan, tahu tahu pedang yang berada dalam genggaman
Yang To telah tinggal separuh.
Kembali cahaya pedang berkelebat lewat, kali ini cahaya itu
muncul dari tangan Tu Jit.
Kurungan pedang yang berada di tangah Tu Jit telah
melesat ke udara, tidak terlihat bagaimana gerakannya, tahu
tahu kurungan pedang itu sudah menancap tepat pada
tenggorokan Yang To. Tak ada yang bisa membayangkan kecepatan gerak
kurungan pedang itu, juga tak seorangpun sempat melihat
bentuk tangannya yang aneh itu dengan jelas.
Semua orang hanya mendengar jerit kesakitan yang
menyayatkan hati, menyusul kemudian tubuh Yang To roboh
bersimbah darah. Tak ada suara, juga tak bersinar.
Cahaya lentera di luar halaman rumah makan kini telah
hilang tak berbekas, suasana disekeliling tempat itu kembali
tercekam dalam kegelapan yang pekat.
Keheningan yang luar biasa bagai keheningan dalam
kemaiian, kegelapan yang pekat bagai kegelapan dalam alam
maut. Jangan lagi suara orang berbicara, dengus napas manusia
pun seolal olah sudah lenyap tak berbekas.
Entah berapa lama sudah berlalu dalam keheningan,
akhirnya terdengar Ong-sun Bu-ki berkata:"Terima kasih
banyak!" "Kau boleh pergi" kata Tu Jit, " jangan lupa bawa serta
mayat Yang To!" "Baik!" Disusul kemudian terdengar suara langkah kaki manusia
yang terbun buru meninggalkan ruangan.
Kembali Tu Jit berkata:"Kalian berempat juga boleh pergi,
tingga!kan senjata kalian sebelum pergi dari sini"
"Baik!" serentak empat orang itu menyahut dan meloloskan
senjatanya dan meletakkan ke atas meja. Sebuah ruyung,
sebilah golok ditambal sebilah pedang!
"Ingat!" kembali Tu Jit berkata, "bila lain kali berani
menghadapku sambil membawa senjata, kalian bakal
mampus!" Tak ada yang berani bersuara lagi, dengan mulut
membungkam ke empat orang itu segera ngeloyor pergi dari
situ. Dalam kegelapan malam kembali suasana dicekam dalam
keheningan......... entah berapa lama sudah lewat, tiba tiba
terlintas setitik cahaya api menerangi ruangan.
Cahaya api itu berasal dari tangan seseorang, orang ini
sudah sedai tadi duduk di sudut ruangan sambil minum arak
seorang diri, ketika tamu yang lain sudah pada pergi, dia
masih tetap menanti ditempat itu.
Dandanan orang ini sangat sederhana, dia adalah seorang
lelaki setengah umur yang kelihatan sangat ramah, senyuman
berseri selalu menghiasi wajahnya, waktu itu, dia sedang
mengawasi Tu Jit sambi tersenyum.
"Tujuh pembunuh, sebuah nama besar yang amat
mengagumkan!" pujinya.
Tu Jit tidak menggubris, juga tidak berpaling, dengan
menggunakan sebuah karung goni dia masukkan semua
senjata dan mestika yang ada di atas meja, kemudian pelan
pelan bangkit berdiri dan berjalan keluar dari ruangan.
"Tunggu sebentar" seru lelaki setengah umur itu tiba tiba.
"Siapa kau?" akhirnya Tu Jit berpaling juga.
"Cayhe bernama Go Put-ko"
"Hmm, kau juga ingin mampus?" seru Tu Jit sambil tertawa
dingin. "Bukan, aku hanya menjalankan tugas untuk
menyampaikan sebuah pesan "
"Pesan apa?" "Ada seseorang ingin berjumpa dengan Jit-ya, beliau
berharap Jit-ya mau berkunjung ke sana"
"Hmmm! Siapa pun ingin berjumpa denganku, dia harus
datang sendiri" tukas Tu Jit ketus.
"Tapi orang ini................."
"Orang inipun harus datang sendiri, beritahu kepadanya,
lebih baik datanglah dengan merangkak, kalau tidak, dia harus
pulang dengan merangkak"
Tanpa banyak bicara lagi dia turun dari tangga dan siap
keluar dari ruangan. Go Put-ko masih tersenyum. jawabnya:"Cayhe pasti akan
sampaikan perkataan dari Jit-ya ini kepada Liong Ngo kongcu"
Tiba tiba Tu Jit berhenti, sekali lagi dia menoleh, diatas
wajahnya yang kaku bagai batu karang kini mulai melintas
sedikit perubahan. "Liong Ngo" Kau maksudkan Liong Ngo dari Sam-siang?"
tanyanya. "Selain dia ada siapa lagi?" sahut Go Put-ko sambil
tersenyum. "Ada dimana dia sekarang?"
"Bulan tujuh tanggal lima belas, dia akan menanti di rumah
makan Thian-Hiang-lo kota Hang-ciu!"
Kembali perubahan aneh terlintas diwajah Tu Jit, tiba tiba
katanya: "Baik, aku akan datang!"
0-0-0 Tangan Kongsun Biau sama sekali tidak diletakkan di atas
meja. Tangannya sangat jarang dikeluarkan dari balik baju,
dia seperti tak ingin orang lain melihat tangannya. Apalagi
tangan kanan nya. Nada suara Kongsun Biau ketika berbicara selalu lirih dan
kecil, wajahnya amat bersahaja. Pakaian yang dikenakan juga
sederhana dan terbuat dari bahan murahan.
Sebab dia memang tak ingin menarik perhatian orang lain.
Tapi sekarang, dihadapannya justru duduk seseorang yang
amat menarik perhatian orang banyak, orang itu memakai
Tujuh Pembunuh Qi Sha Shou Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
baju yang terbuat dari bahan paling mahal dan paling mewah,
dijahit oleh tukang jahit kenamaan, jari tangannya dihiasi
dengan sebuah cincin kemala yang nilainya paling tidak
mencapai seribu tahil perak, topinya juga dihiasi dengan
sebuah mutiara yang lebih besar dari buah kelengkeng.
Selain itu, perawakan tubuh yang dimiliki orang itupun
cukup menarik perhatian orang banyak, dia kurus kering
tinggal kulit pembungkus tulang, bentuk kepalanya istimewa
kecilnya tapi justru memiliki sebuah hidung berbentuk paruh
betet yang besar sekali, tak heran kalau rekan rekannya
menyebut dia sebagai Oh si hidung gede, sebaliknya orang
yang bukan termasuk rekannya akan memanggil dia sebagai si
anjing gelandangan berhidung gede.
Ketajaman penciuman hidung besarnya memang setara
dengan ketajaman penciuman anjing, dia selalu dapat
mengendus bau yang tak mungkin bisa terendus hidung biasa.
Kali ini dia berhasil mengendus bau sebutir batu zamrud
yang sangat langka dan tak ternilai harganya.
Suara bisikannya saat ini sangat lirih, bibirnya nyaris
menempel diatas telinga Kongsun Biau, bisiknya:
"Sebelum kau saksikan sendiri batu zamrud itu, kau tak
akan bisa bayangkan betapa antik dan bernilainya benda itu"
"Aku tak pernah akan membayangkan benda semacam itu"
jawab Kongsun Biau sambil menarik muka.
"Aku tak pernah membaca buku" kembali Oh si hidung
gede berkata, "seandainya aku pingin membaca, aku lebih
suka memasang lentera, lentera minyak maupun lilin tak
mahal harganya" Kemudian dengan wajah masam dan sedih terusnya:
"Tapi.... mau tak mau aku harus mendapatkan benda itu,
kalau tidak, aku bakal mampus!"
"Itu mah urusanmu,apa pun yang kau inginkan, setiap saat
kau bisa mengambilnya" kata Kongsun Biau.
Oh si hidung gede tertawa getir:
"Kau toh tahu dengan jelas bahwa mustahil bagiku untuk
mengambilnya sendiri, tempat untuk menyimpan mestika itu
dilapisi lempeng baja disekeliling ruangannya, hanya kau
seorang yang bisa masuk ke situ, apalagi kunci gembok pada
lemari baja itu juga hanya kau seorang yang bisa
membukanya, selain kau, apa ada orang ke dua di dunia ini
yang sanggup mencuri benda mestika itu"
"Memang tak ada!"
"Bukankah kita berdua sudah bersahabat hampir dua puluh
tahun lamanya?" "Benar" "Apa kau rela menyaksikan aku mampus dibunuh orang?"
"Tidak rela!" "Kalau begitu kau harus membantu aku untuk mencuri
benda itu" Kongsun Biau termenung, sampai lama
kemudian ia baru mengeluarkan tangan kanannya dari balik
baju, kemudian katanya: "Sudah kau lihat bentuk tanganku
ini?" Tangan itu hanya memiliki dua buah jari tangan, jari
tengah, jari manis dan kelingking nya sudah ditebas orang
sampai kutung. "Tahukah kau mengapa kelingking ku bisa kutung?" tanya
Kongsun Biau kemudian. Oh si hidung gede menggeleng.
"Tiga tahun berselang" lanjut Kongsun Biau, "aku
memotong jari kelingkingku di hadapan orang tua dan istriku,
aku bersumpah tak akan mencuri lagi sejak hari itu"
Oh si hidung gede tidak menimpali, ia mendengarkan
dengan serius. Setelah menghela napas panjang, kembali Kongsun Biau
berkata: "Tapi, suatu hari aku teiah melihat ada delapan ekor kuda
yang terbuat dari batu kemala putih, tanganku mulai gatal
lagi, malam itu juga kucuri ke delapan ekor kuda kemala itu"
"Yaa, aku pernah melihat ke delapan ekor kuda kemala itu"
Oh si hidung gede manggut manggut,
"Orang tuaku dan biniku melihat juga, mereka tidak
mengatakan apa apa, keesokan harinya kulihat mereka telah
membenahi seluruh barang miliknya dan siap pindah dari
rumah, tampaknya mereka sudah tak ingin perdulikan aku
lagi" "Demi menahan mereka agar tidak pindah, maka kembali
kau kutungi jari manismu?" Sela Oh si hidung gede.
Kongsun Biau manggut manggut.
"Waktu itu aku benar benar telah mengambil keputusan
untuk tidak mencuri lagi, tapi......... dua tahun kemudian, lagi
lagi penyakit lamaku kambuh, yang kucuri waktu itu adalah sebuah sayur putih
yang terbuat dari zamrud, sejak melihat barang berharga itu,
siang malam aku selalu membayangkan, sampai berhari hari
lamanya tak tak bisa tidur nyenyak, akhirnya aku tak bisa
mengendalikan diri lagi, diam diam kucuri barang itu"
Setelah berhenti sejenak dan tertawa getir, tambahnya:
"Mencuri termasuk sejenis penyakit menular, jika seseorang
sudah mengidap penyakit macam ini, rasanya jauh lebih
menakutkan daripada terserang penyakit lepra!"
Oh si hidung gede tidak bicara, dia hanya menuangkan
arak ke dalam cawannya. Dengan nada sedih kembali Kongsun Biau berkata:
"Waktu itu, sebenarnya kondisi kesehatan ibuku sudah
amat jelek, ketika dia tahu kalau penyakit lamaku kambuh
lagi, dia marah dan teramat sedih hingga akhirnya mati secara
mengenaskan. Biniku sangat murka, tiba tiba dia gigit jari
tengahku hingga kutung jadi dua, bercampur darah yang
bercucuran, dia telan jari tanganku itu mentah mentah"
"Oleh sebab itu jari tangan yang kau miliki sekarang tinggal
dua?" sambung Oh si hidung gede.
Kongsun Biau menghela napas panjang, kembali dia
sembunyikan tangannya ke balik baju.
Oh si hidung gede segera berkata:"Biarpun tanganmu
hanya memiliki dua buah jari, namun bila dibandingkan
dengan tangan biasa yang berjari lengkap, kegesitan serta
kelincahan gerak tanganmu sepuluh kali lebih hebat, apa kau
tidak merasa sayang bila tidak digunakan lagi?"
"Kita sudah bersahabat hampir dua puluh tahun lamanya,
apalagi kau pernah menolong aku. Kini kau telah menanggung
hutang yang begitu banyak sehingga si pemilik uang minta
kau membayar semua hutangmu dengan menggunakan
barang mestika tersebut, sebab dia juga tahu, kau pasti akan
datang mencariku, bila kau tidak berhasil melaksanakan
keinginannya, maka dia akan mencabut nyawamu"
Setelah menghela napas panjang, katanya lagi:
"Semua yang kau alami telah kuketahui, tapi aku masih tak
bisa membantumu untuk pergi mencuri"
"Jadi kali ini keputusanmu sudah bulat?" Kongsun Biau
mengangguk. "Selain mencuri, pekerjaan apa pun pasti akan kulakukan
demi kau" "Baiklah" kata Oh si hidung gede tiba tiba sambil bangkit
berdiri, "mari kita segera berangkat"
"Ke mana?" "Aku tak akan suruh kau mencuri, tak menjadi soal bukan
kalau kita hanya berkunjung ke situ?"
Tembok pekarangan itu tingginya mencapai lima kaki
dengan lebar lima depa, diatas tembok banyak tumbuh
rerumputan liar. Tidak banyak orang bisa melampaui tembok pekarangan itu
secara mudah, namun hal ini sama sekali tidak menyulitkan
Kongsun Biau. "Kau betul bisa melampauinya" Tanya Oh si hidung gede.
"Lebih tinggi dua kaki pun tak jadi soal" jawab Kongsun
Biau tawar. "Ruang yang dipakai untuk menyimpan mestika itu disebut
gudang baja, karena itu selain pintu masuk yang dijaga
pengawal, sekeliling tempat ini tak ada penghuninya, karena
orang lain memang jangan harap bisa tembus ke dalam
ruangan" "Tempat itu apa benar benar dikelilingi lempengan baja
yang tebal?" tak tahan Kongsun Biau bertanya.
Oh si hidung gede mengangguk.
"Walaupun pada dinding ruangan terdapat jendela angin,
tapi lubang angin itu lebarnya Cuma satu depa dengan
panjang sembilan inci, paling banter hanya bisa menyusupkan
batok kepala kita" "ohh, itu mah sudah lebih dari cukup" tukas Kongsun Biau
sambil tertawa. Ilmu Sut-Kut-hoat (ilmu menyusut tulang) yang dia miliki
memang termasuk sebuah ilmu langka yang jarang terdapat
dalam dunia persilatan. "Setelah masuk, kau harus membuka sebuah lemari besi
baru dapat mengambil mestika itu" Oh si hidung gede
menerangkan, "kunci yang terpasang di lemari besi itu konon
dibuat oleh Jit-Jiau tongcu, dan satu satunya anak kunci yang
tersedia berada ditangan Lo thayya, tapi tak ada yang tahu dia
sembunyikan kunci itu di mana"
"Kunci buatan Jit-jiau tongcu bukan berarti kunci yang tak
bisa dibuka" kata Kongsun Biau tawar.
"Jadi kaii pernah membukanya?"
"Belum, tapi aku yakin tak ada kunci yang tak bisa di buka
dalam dunia ini" Oh si hidung gede memandangnya, tiba liba dia tertawa.
"Kau tidak percaya?" tanya Kongsun Biau penasaran.
"Aku percaya" Oh si hidung gede tertawa, "bahkan sangat
percaya, lebih baik kita segera berangkat"
Kemudian setelah menghela napas, lanjutnya:
"Aku kuatir, seandainya kau sampai emosi dan bersedia
mencuri untukku, tapi kenyataannya kemudian kau gagal
masuk ke rumah, gagal membuka kunci itu, kau pasti malu
untuk keluar dengan tangan hampa, nah, bukankah aku bakal
mencelakaimu?" Kongsun Biau tertawa dingin.
"Percuma kau panasi aku dengan perkataan tajam, aku tak
doyan dengan taktik macam begitu"
"Oh tidak, sama sekali tidak, aku tak bermaksud memanasi
hatimu, aku hanya membujukmu untuk segera berangkat"
"Tentu saja aku harus segera berangkat, memangnya aku
mesti berdiri semalam suntuk dalam lorong yang gelap lagi
becek ini?" Dia tertawa dingin, baru berjalan berapa langkah tiba tiba
dia berhenti lagi, kembali ujarnya:
"Tunggu aku disini, paling banter setengah jam aku sudah
balik" Belum selesai bicara dia sudah melesat sejauh dua kaki
lebih, dengan menempel pada dinding pekarangan, dia mulai
merambat naik bagai seekor cicak, lalu bayangan manusia
berkelebat diatas dinding, tahu tahu dia sudah lenyap dari
pandangan. Sekulum senyuman puas segera tersungging di ujung bibir
Oh si hidung gede, bagaimana pun, seorang sahabat karib
tentu mengetahui dengan jelas kelemahan yang dimiliki
sahabatnya. Puas kembali soal puas, yang pasti menanti adalah satu
pekerjaan yang amat menyiksa batin.
Sementara Oh si hidung gede sedang menanti dengan
perasaan gelisah, tiba tiba sesosok bayangan manusia kembali
melintas diatas dinding pekarangan, tahu tahu Kongsun Biau
sudah melayang turun bagai selembar daun kering.
"Berhasil kau ambil?" tanya Oh si hidung gede gembira
bercampur panik. Kongsun Biau tidak menjawab, dia tarik lengan rekannya
lalu kabur dari sita, setelah melalui berapa tikungan dia baru
berhenti di dalam sebuah lorong yang amat sempit dan amat
gelap. "Sudah kuduga, kau pasti gagal........." bisik Oh si hidung
gede kemudian sambil menghela napas.
Kongsun Biau melotot besar, tiba tiba dia buka mulut, yang
keluar bukan kata kata melainkan sebutir zamrud.
Sebutir zamrud yang memancarkan sinar tajam!
Cahaya zamrud yang lembut bagai sinar rembulan, berkilat
bagai cahaya bintang, membuat seluruh lorong yang gelap
berubah jadi terang benderang.
Merah padam wajah Oh si hidung gede saking gembira dan
emosinya, dia ambil zamrud itu dan disimpan ke dalam
sakunya, cahaya zamrud terlihat masih menembus keluar dari
balik pakaian, membiaskan cahaya biru yang mempersona.
"Bagus, sangat bagus!" mendadak terdengar seseorang
memuji sambi! tertawa, "kepandaian Kongsun Biau memang
luar biasa!" Tiba tiba muncul seseorang dari balik kegelapan, orang itu
adalah seorang lelaki setengah umur yang berparas lembut
dan bersahaja, sekulum senyuman selalu terhias di ujung
bibirnya. Berubah hebat paras muka Oh si hidung gede begitu
berjumpa dengan orang itu, dia segera maju menyambut, lalu
sambil mempersembahkan zamrud tersebut dengan ke dua
belah tangannya, dia tertawa paksa dan berkata:
"Untung barang yang kau kehendaki berhasil kudapat,
berarti semua hutang piutangku dengan sianseng bisa di
anggap lunas bukan?"
Ternyata orang ini adalah si pemilik hutang, tapi si pemilik
hutang itu tidak terburu napsu menagih hutangnya, bahkan
melirik sekejap ke zamrud itupun tidak.
Mungkinkah yang benar benar dia inginkan bukan zamrud
itu" Lalu, apa yang dia kehendaki"
"Cayhe bernama Go Put-ko" sambil tersenyum orang itu
berjalan menghampiri Kongsun Biau, "agar bisa menyaksikan
kehebatan ilmu mencuri yang Kongsun sianseng miliki, maka
sengaja cayhe siapkan rencana ini, soal uang yang dihutang,
itu Cuma jumlah yang kecil, tak usah dirisaukan"
"Sebenarnya apa mau mu?" tegur Kongsun Biau dengan
wajah membesi. "Seseorang secara khusus mengutus cayhe untuk
mengundang Kongsun sianseng, beliau ingin bertemu dengan
anda" "Sayang aku segan bertemu orang lain, aku selalu pemalu"
tampik Kongsun Biau dingin.
Tujuh Pembunuh Qi Sha Shou Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Go Put-ko tertawa. "Mungkin kau malu bersua orang lain, tapi siapa pun tak
akan malu bila bertemu Liong Ngo kongcu, dia belum pernah
memaksa orang lain melakukan pekerjaan yang menyusahkan
diri, pun tak pernah mengucapkan kata kata yang menyulitkan
orang lain" Waktu itu Kongsun Biau sudah siap berlalu, tiba tiba dia
berpaling seraya bertanya:"Liong Ngo kongcu" Kau
maksudkan Liong Ngo dari Sam-siang?"
"Memangnya di dunia ada Liong Ngo ke dua?" Go Put-ko
balik bertanya sambil tersenyum.
Suatu perubahan mimik muka yang sangat aneh muncul di
wajah Kongsun Biau, entah lagi terkejut" Atau gembira" Atau
merasa ngeri" "Liong Ngo kongcu ingin bertemu aku?"
"Sangat ingin!" Go Put-ko mengangguk.
"Tapi.....selama ini Liong Ngo Kongcu bagai naga sakti di
luar langit, belum pernah ada yang tahu jejaknya, mana
mungkin aku bisa bertemu dengannya?"
"Kau tak perlu susah susah mencarinya, datang saja ke
rumah makan Thian-Hiang-lo di kota Hang-ciu pada bulan
tujuh tanggal lima belas, dia menantimu disitu"
"Baik, aku akan datang!" tanpa berpikir panjang Kongsun
Biau segera menyanggupi. 0-0-0 Si Tiong mengulur tangannya, mencomot segenggam
kacang goreng. Kalau orang lain hanya bisa menggenggam tiga puluhan biji
kacang dalam sekali comotan, maka dia sanggup meraup
tujuh sampai delapan puluh biji dalam sekali comotan.
Tangan kanannya memang tiga kali lebih besar
dibandingkan tangan orang lain.
Di depan kaki lima penjual kacang tertera tulisan dengan
jelas: "Kacang Ngo-hiang, dua rence satu genggam"
Si Tiong lempar tiga puluh rence uang berarti bisa
mencomot lima belas genggam kacang, satu keranjang kacang
nyaris tercomol habis di tangannya dalam waktu singkat.
Nona cilik penjual kacang hampir menangis dibuatnya.
Si Tiong tertawa terbahak-bahak, sambil tertawa dia buang
semua kacang itu ke tanah lalu ngeloyor pergi tanpa
berpaling. Selama hidup dia paling benci makan kacang, tapi paling
suka melihat tampang sedih orang lain yang dipermainkan
olehnya Tampaknya setiap waktu setiap kesempatan, Dia selalu
dapat menciptakan akal dan cara untuk mempermainkan
orang, membuat orang lain tak bisa hidup dengan aman dan
tenteram. Di dalam kuil Hian-Biau-bio diatas bukit terdapat sebuah
hiolo tembaga seberat ribuan kati, konon beratnya benar
benar sampai ribuan kati, dengan kekuatan gabungan sepuluh
orang lelaki kekarpun jangan mimpi bisa menggotong benda
tersebut. Suatu pagi, ketika semua orang baru mendusin dari tidur,
tiba tiba mereka menjumpai hiolo tembaga itu sudah
berpindah ke tengah jalan raya, tentu saja hiolo tembaga itu
tak bisa berjalan sendiri pindah ke tempat itu.
Di kolong langit saat itu, bila benar-benar ada orang yang
bisa memindahkan hiolo tembaga itu, orang tersebut pastilah
Si Tiong. Maka semua orang pun berduyun duyun mencari Si Tiong.
Bila tengah jalan raya tersumbat oleh hiolo tembaga
seberat itu, tentu saja aliran lalu lintas jadi terhambat,
perdagangan di kota pun ikut terpengaruh.
Semua orang memohon kepada Si Tiong agar
memindahkan kembali hiolo tembaga itu ke tempat asal.
Sayang Si Tiong tidak menggubris.
Ketika semua orang makin panik dan gelisah hingga nyaris
menangis, Si Tiong baru muncul sambil tertawa terbahak
bahak, dengan menggunakan telapak tangannya yang
istimewa besarnya, dia tangkap hiolo tembaga itu, kemudian
sambil menghembuskan napas, hardiknya:
"Naik!" Hiolo tembaga seberat ribuan kati itu seketika terangkat ke
tengah udara hanya dengan menggunakan sebelah tangan.
Pada saat itulah, tiba tiba terdengar seseorang berseru dari
tengah kerumunan manusia:
"Si Tiong, Liong Ngo kongcu sedang mencari kau"
Si Tiong segera melempar kembali hiolo tembaga itu ke
tanah, kini biar ada orang matipun dia tak gubris. Baru
berjalan belasan langkah, tiba tiba ia berpaling sambil
bertanya:"Mana orangnya?"
"Bulan tujuh tanggal lima belas, beliau menantimu di kota
Hang-ciu, rumah makan Thian-Hiang-lo"
0-0-0 Bulan tujuh tanggal lima belas, buian purnama.
Rumah makan Thian-Hiang-lo di kota Hang-ciu masih
seperti sedia kala, sebelum tiba waktu makan malam, banyak
meja dan kursi sudah berada dalam keadaan penuh terisi.
Hanya saja, keadaan pada malam ini sedikit rada aneh,
tamu yang menempati meja kursi sebanyak puluhan dalam
rumah makan itu ternyata diisi orang orang asing yang datang
dari luar daerah, semua langganan lama yang sering
bersantap disitu, hampir semuanya tertahan di luar pintu.
Bahkan langganan paling utama dari rumah makan ThianHiang-lo, Be tauke, seorang hartawan kenamaan di kota
Hang-ciu pun tidak kebagian tempat duduk malam itu.
Paras muka Be tauke sudah berubah merah padam, dia
siap mengumbar amarahnya, jika Be Tauke sampai marah,
persoalan bukan main main lagi.
Lo ciangkwee rumah makan Thian-Hiang-lo buru buru
muncul menyambutnya, setelah memberi hormat dan minta
beribu ribu maaf, dia berjanji akan mengirim satu meja
hidangan yang paling baik, ditambah lima puluh ekor kepiting
bertelur yang baru diterimanya ke rumah tinggal Be tauke,
bahkan dia pun membisikkan sesuatu ke telinga Be tauke.
Begitu mendengar bisikan itu, Be tauke segera berkerut
kening, kemudian tanpa mengucapkan sepatah kata pun dia
ajak tamu tamunya ngeloyor pergi dari situ.
Baru saja lociangkwee menghembuskan napas lega, BansengKim-to (golok emas selaksa kemenangan) The Hongkang.
Seorang congpiautau dari perusahaan ekspedisi BanSeng-piaukiok dari kota Hang-ciu dengan membawa
serombongan piausu nya telah tiba dengan menunggang
kuda. The congpiautau tidak segampang Be Tauke mau
menerima semua alasan yang diajukan lociangkwee rumah
makan Thian-Hiang-lo, tukasnya:
"Aku tak mau tahu, tidak ada tempat pun harus disediakan
tempat!" Kemudian dia dorong lociangkwee itu ke samping dan siap
menerobos masuk ke dalam rumah makan.
Tiba tiba dari mulut anak tangga muncul dua orang,
mereka menghadang jalan lewat congpiautau itu.
Dua orang itu masih sangat muda, mereka mengenakan
baju hijau bercelana putiK, wajahnya bersih dan terhitung
ganteng, mereka tak memakai kopiah, rambutnya yang hitam
diikat dengan seutas tali pita.
Ternyata ada orang yang berani menghadang jalan lewat
The congpiautau" Piausu nomor wahid dari perusahaan ekspedisi Ban-Seng
Piaukiok, "Thiat-ciang" si telapak baja Sun Peng segera
menerjang ke muka, hardiknya: "Kalian pingin mampus?"
"Kami tak ingin mati!" jawab pemuda berbaju hijau itu
sambil tersenyum. "Kalau tak pingin mampus, cepat menyingkir, beri jalan
buat toaya sekalian masuk ke dalam"
"Toaya sekalian tak boleh naik ke atas" kembali pemuda
berbaju hijau itu berkata sambil tertawa.
Sun Peng sangat murka, hardiknya: "Kalian tahu siapakah
toaya sekalian?" "Tidak tahu" pemuda berbaju hijau itu masih tersenyum,
"yang kami ketahui adalah hari ini, biar itu toaya, tiongya
maupun siauya, lebih baik jangan naik ke atas"
"Kalau toaya sengaja mau naik, mau apa kalian?"
"Jika toaya memaksa naik selangkah saja ke atas anak
tangga, maka toaya hidup segera akan berubah jadi toaya
mampus" jawaban pemuda berbaju hijau itu sangat hambar.
Sun Peng sangat marah, dia menerjang ke muka, sebuah
pukulan dahsyat telah dilontarkan.
Ke lima jari tangannya pipih dan rata, ujung jarinya gundul
tapi mengeras, tampaknya ilmu pukulan Thiat-Sah-Ciang
(pukulan pasir besi) yang diyakininya sudah amat sempurna,
serangan yang dilancarkan juga luar biasa cepatnya.
Begitu pukulan dilancarkan, angin serangan yang kuat
setajam sebilah golok segera membabat tubuh lawan.
Pemuda berbaju hijau itu masih memandang sambil
tersenyum, tiba tiba dia turun tangan, dia langsung
mengancam pergelangan tangan lawan.
Jurus serangan yang digunakan Sun Peng kali ini hanya
serangan tipuan, sejak usia enam belas tahun dia sudah terjun
ke sungai telaga, dari pangkat seorang pesuruh dia berjuang
hingga mencapai kedudukan seorang piausu, bukan saja
berpengalaman menghadapi ratusan pertempuran,
kecepatannya berganti jurus pun sangat mengagumkan.
Cepat cepat dia tarik pergelangan tangannya ke bawah,
kemudian berbalik membabat lambung pemuda berbaju hijau
itu. Sayang perubahan jurus yang dilakukan pemuda berbaju
hijau itu jauh lebih cepat, baru saja tangannya membabat
keluar, dua jari tangan pemuda berbaju hijau itu sudah
menusuk tenggorokannya. "Kraaakk!" bagaikan sebilah pisau tajam, ke dua jari tangan
itu sudah menancap diatas tenggorokannya.
Biji mata Sun Peng mendelik seperti mau melompat keluar,
sekujur badannya mengejang keras kemudian roboh
terjengkang ke iantai, air mata, ingus , air liur, air kencing
serta kotorannya berbareng keluar dari tubuhnya, tidak
sempat menjerit kesakitan, dia sudah berangkat menuju ke
langit barat. Pelan pelan pemuda berbaju hijau itu mengeluarkan
sebuah sapu tangan putih dari sakunya, pelan pelan
membersihkan noda darah dari jari tangannya, jangankan
menghampiri mayat itu, melirik sekejap pun tidak.
Semua orang terkesiap, semua orang terkejut, tiba tiba
perut mereka terasa mual, begitu mual hingga mau muntah.
Mereka pernah membunuh orang, juga sering melihat
orang dibunuh, tapi sekarang, mereka tetap merasakan
perutnya mual, bahkan ada satu dua diantara mereka mulai
muntah........ Perlahan-lahan pemuda berbaju hijau itu melipat kembali
sapu tangannya, lalu dengan suara tawar katanya:"Sekarang
kalian masih belum mau pergi?"
Biarpun serangan yang dia lancarkan sangat menakutkan,
tapi bila mereka pergi begitu saja, mana mungkin Ban-Sengpiaukiok
bisa tancapkan kaki lagi di dalam dunia persilatan"
Kawanan piausu itu mulai bersiap siaga, malah ada dua
diantaranya siap melancarkan serangan.
Yang mereka makan selama ini memang nasi semacam ini,
nasi yang setiap saat setiap kesempatan harus siap beradu
jiwa. Tiba tiba The Hong-kang merentangkan tangannya
menghalangi jalan pergi dua orang itu.
Dia telah menemukan satu kejadian yang sangat aneh.
Biarpun tamu tamu asing yang datang hari ini terdiri dari
beragam jenis manusia, namun mereka mempunyai satu
kesamaan. Setiap orang tidak mengenakan kopiah, diatas rambut tiap
orang terikat sebuah pita berwarna perak.
Biarpun disini telah terjadi pembantaian berdarah, namun
tamu tamu di sebelah sana tak ada yang gubris, jangan lagi
menghampiri, berpaling untuk melirik sekejap pun tidak.
The Hong-kang berusaha menekan gejolak emosi di dalam
dadanya, dengan nada berat tegurnya:"Sahabat, siapa
namamu" Datang dari mana?"
Pemuda berbaju hijau itu tertawa.
"Kau tak perlu tahu tentang persoalan ini, kau cukup
mengetahui satu hal saja" katanya. "Soal apa?"
"Hari ini, sekalipun yang datang adalah para ciangbunjin
dari tujuh partai besar atau pangcu dari lima perkumpulan
utama, mereka hanya bisa berdiri di muka pintu, barang siapa
berani melangkah naik selangkah saja ke tangga ini, dia bakal
mampus!" "Kenapa?" berubah paras muka The Hong-kang.
"Sebab di loteng rumah makan sedang diselenggarakan
pesta, kecuali tiga orang tamu agung yang diundang, dia tak
ingin melihat orang lain"
"Siapa yang berada di loteng?" tak tahan The Hong-kang
bertanya. "Tidak seharusnya kau ajukan pertanyaan ini, semestinya
kau bisa menduga sendiri"
Tiba tiba paras muka The Hong-kang berubah pucat pias,
agak tertahan bisiknya:"Jangan jangan dia?"
"Betul, memang dia!" pemuda itu mengangguk.
The Hong-Kang menghentakkan kakinya berulang kali
dengan kesal, kemudian tanpa berpaling dia segera ngeloyor
pergi. Para piausu pun tidak banyak bicara, sambil menggotong
jenasah Sun Peng, mereka ikut pergi dari situ.
Setelah keluar dari rumah makan, baru kedengaran ada
yang berbisik: "Sebenarnya siapakah dia?"
The Hong-kang tidak langsung menjawab, dia menghela
napas panjang, lalu katanya:"Jejaknya sering berada di balik
awan, dialah jago nomor wahid di kolong langit"
0-0-0 Sekarang, dia sedang duduk dalam sebuah bilik mewah
diatas loteng, duduk di sebuah bangku yang lebar dan besar.
Wajahnya putih agak pucat, kurus kering bahkan agak layu,
Tujuh Pembunuh Qi Sha Shou Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sorot matanya memancarkan sinar keletihan yang tak terlukis
dengan kata. Bukan hanya letih, bahkan cenderung lemah berpenyakitan,
walaupun udara saat itu cukup panas, bangku yang diduduki
masih dilapisi sebuah kulit macan tutul yang sangat tebal,
kakinya juga diselimuti selembar mantel bulu dari Persia,
mantel itu entah dipintal dari bahan apa, berkilauan
memancarkan sinar perak. Paras mukanya tidak memancarkan cahaya, seolah olah dia
belum sembuh dari sakitnya yang sudah cukup lama, dia
seperti merasa bosan dengan kehidupan, merasa kehilangan
harapan dan rasa percaya diri terhadap nasib yang
dideritanya. Seorang kakek berambut perak, berwajah merah darah dan
angker bagai malaikat dari langit, berdiri hormat di
belakangnya. Kakek yang nampak sudah berusia lanjut itu
justru memancarkan tenaga kehidupan yang luar biasa,
garang bagaikan seekor singa, matanya juga memancarkan
sinar tajam yang berpengaruh dan membuat orang tak berani
pandang remeh kemampuannya.
Anehnya, kakek itu justru menaruh sikap yang sangat
hormat terhadap pemuda berpenyakitan itu.
Siapa pun yang pernah melihat sikap hormat yang
ditunjukkan orang ini, pasti tak akan percaya kalau dia adalah
seorang jago tangguh yang pernah memporak porandakan
tujuh propinsi di selatan enam propinsi di utara dengan
mengandalkan sebuah senjata penggordi seberat sembilan
puluh tiga kati. Bukan saja dia pernah mengalahkan para okpa dari rimba
hijau, hampir semua jago tangguh dalam dunia persilatan
pernah keok di tangannya, dia adalah Say-ong si raja singa
Lan Thian-bong. Selain dia, disitu hadir juga seorang lelaki setengah umur
yang mengenakan baju hijau bercelana putih, wajahnya kaku
macam orang bloon, rambutnya sudah mulai beruban. Saat itu
dia sedang menuangkan air teh untuk pemuda berpenyakitan
itu. Tindak tanduk serta gerak geriknya dilakukan sangat hati
hati, sangat teliti, seakan akan kuatir kalau melakukan
kesalahan walau sekecil apapun.
Air teh yang dituang dari sebuah teko nampak masih
mendidih, dengan dua tangannya dia angkat cawan itu,
periksa suhu air teh itu, ketika merasa panasnya sudah cukup
untuk diminum, dia baru persembahkan ke depan.
Pemuda penyakitan itu menerima cawan itu, dia hanya
meneguknya satu tegukan. Jari tangannya sangat panjang, tapi pucat seperti tak ada
aliran darah, bentuk jari tangan yang begitu halus dan lembut
seperti tak kuat menerima sebuah cawan pun.
Walau dia tampak lemah, tapi dialah jago nomor wahid di
kolong langit, Liong Ngo si naga ke lima.
Dalam ruangan itu tak ada orang lain, juga tak ada orang
lain datang ke situ. Setelah menghela napas panjang, Liong Ngo
berkata:"Sudah lima tahun aku tak pernah menunggu orang"
"Benar!" Lan Thian-bong mengiakan. "Tapi hari ini, aku sudah
menunggu hampir setengah jam" "Benar!"
"Tempo hari, kalau tidak salah aku pernah menunggu Tiat
Ji thayya" "Sekarang, dia sudah tak perlu menyusahkan orang
lain, harus menunggu lama lagi" sambung Lan Thian-bong.
Kembali Liong Ngo menghela napas.
"Yaa, dia mati sangat mengenaskan!"
Tak ada seorang pun akan menanti kedatangan seseorang
yang telah mampus. "Begitupun juga di kemudian hari, tak akan ada lagi orang
yang menunggu kedatangan Tu Jit sekalian" kembali Lan
Thian-bong berkata. "Itu mah urusan di kemudian hari!" tukas
Liong Ngo. "Jadi sekarang, mereka belum boleh mampus?"
"Yaa, tidak boleh"
"Apakah hanya mereka yang harus melakukan tugas itu?"
Liong Ngo manggut-manggut, dia seperti merasa sudah
terlalu banyak bicara, dan kelewat lelah. Dia memang
seseorang yang tak senang banyak bicara.
Bahkan dia tampaknya sudah segan mendengar lebih
banyak, karena dia tak buka suara, orang lain pun terpaksa
harus tutup mulut. Selapis bau harum bunga yang semerbak lamat lamat
menyelimuti seluruh ruangan, suasana di luar sana amat
tenang, walaupun dua puluhan meja makan sudah dipenuhi
orang, namun tak terdengar sepatah kata pun yang bergema
memecahkan keheningan. Kain tirai pintu yang nampak baru diganti dengan yang
baru tiba tiba disingkap orang, seorang pelayan berbaju biru
dengan kepala tertunduk, membawa sebuah baki yang berisi
sebuah mangkuk hijau berjalan masuk ke dalam ruangan.
"Keluar!" hardik Lan Thian-bong sambil berkerut kening.
Pelayan itu tidak keluar, katanya:
"Hamba datang untuk menghidangkan masakan"
"Siapa suruh kau menghidangkan masakan itu?" tegur Lan
Thian-bong semakin gusar, "tamu yang diundang toh belum
tiba" "Hamba rasa ke tiga orang tamu itu tak bakal datang" tiba
tiba pelayan itu tertawa.
Sorot mata Liong Ngo yang semula nampak letih tak
bertenaga, tiba tiba memancarkan sinar setajam sayatan
pisau, ditatapnya pelayan itu tanpa berkedip.
Pelayan itu mempunyai bentuk wajah yang bulat,
senyuman diujung bibirnya kelihatan sangat ramah, walaupun
di ujung matanya sudah nampak kerutan, namun sepasang
matanya masih kelihatan sangat muda, mengandung
kepolosan serta ketulusan yang murni bagai sorot mata
seorang bayi. Siapa pun yang nampak, pasti akan tahu bahwa dia adalah
seorang yang berhati lunak, bertabiat halus balikan pasti
seorang yang suka bersahabat dan suka bermain dengan anak
kecil. Perempuan yang dapat menikah dengan lelaki macam
begini, dia tak akan rugi, tak bakal menyesal.
Liong Ngo menatapnya tajam, sampai lama kemudian
pelan-pelan dia baru bertanya:
"Kau bilang mereka tak bakal datang?"
"Yaa, mereka tak bakal datang" pelayan itu manggutmanggut.
"Darimana kau bisa tahu?"
Pelayan itu tidak menjawab, dia letakkan baki berisi
mangkuk hijau itu ke atas meja, kemudian lambat lambat
membuka tutup mangkuk itu.
Tiba tiba sorot mata Liong Ngo berkerut, sekulum
senyuman yang sangat aneh tersungging diujung bibirnya,
katanya perlahan: "Sebuah hidangan yang lezat!"
"Bukan hanya lezat, hidangan ini mahal harganya" pelayan
itu ikut tersenyum. "Yaa, memang maha! harganya" Liong Ngo sangat setuju
dengan perkataannya. Hidangan itu tak bisa dimakan, isi dalam mangkuk itu
bukan ayam alas atau telapak beruang, juga bukan baikut
atau bangkai tikus, ternyata isinya adalah tiga potong tangan.
Tiga buah tangan manusia!
Ke tiga buah tangan itu diatur sangat rapi dalam mangkuk
hijau itu, sebuah tangan besar, dua tangan kecil, satu tangan
kiri dan dua tangan kanan.
Tangan yang besar, ukurannya tiga kali lebih besar dari
tangan orang dewasa, tangan yang sebelah kiri kelebihan dua
buah jari tangan, sedang tangan sebelah kanan justru
kehilangan tiga buah jari tangan.
Di dalam kolong langit saat ini, tak akan dijumpai isi
mangkuk hijau yang lebih mahal dan berharga daripada ke
tiga buah tangan itu. Sekalipun kau mengisi penuh mangkuk
tersebut dengan intan permata, nilainya masih kalah jauh.
Sebab dalam kenyataan, memang tak ada orang yang benar
benar bisa menilai betapa bernilai dan berharganya ke tiga
buah tangan itu. Tentu saja Liong Ngo sangat mengenali ke tiga buah
tangan itu, tak tahan ujarnya sambil menghela napas
panjang:"Kelihatannya mereka memang tak bakal datang"
"Tapi aku telah datang" pelayan itu menimpali sambil
tersenyum. "Kau?" "Mereka tak bisa datang, aku yang datangpun sama saja"
Kemudian setelah berhenti sejenak, tambahnya: "Mereka toh
bukan sahabatmu" "Aku tak punya teman" tukas Liong Ngo dingin, kembali
kelopak matanya terjulai turun, dia seperti amat lelah, amat
kesepian. Rupanya pelayan itu dapat memahami perasaan hatinya,
kembali dia berkata:"Kau bukan saja tak punya teman,
mungkin musuh besar pun tak punya"
"Tampaknya kau tidak bodoh!" puji Liong Ngo setelah
meliriknya sekejap. Pelayan itu tertawa. "Kau sengaja mengundang mereka, bukankah karena ada
sebuah tugas yang ingin mereka kerjakan?"
"Rupanya kau betul betul tidak tolol"
"Itulah sebabnya tak ada bedanya bila aku yang datang"
kembali pelayan itu tertawa, " sebab apa yang bisa mereka
kerjakan, aku pun dapat lakukan"
"Pekerjaan yang harus dilakukan mereka bertiga, bisa kau
kerjakan seorang diri?"
"Mengapa tidak?"
"Membelah cahaya menangkap bayangan, satu tangan
tujuh pembunuh" Liong Ngo mengawasi sekejap tangan kiri
yang ada dalam mangkuk, "tahukah kau berapa orang yang
telah dibunuh dengan tangan itu" Tahukah kau seberapa
cepat gerakannya ketika membunuh orang?"
"Tidak tahu" "Pencuri sakti bertangan seribu, tak ada lubang yang tak
tertembus" kembali sinar mata Liong Ngo dialihkan ke tangan
kanan yang kehilangan tiga jari tangan itu, "tahukah kau
dengan tangan tersebut sudah berapa banyak barang mestika
yang dia curi" Tahukah kau betapa cekatan dan gesitnya
gerak tangan ini?" "Tidak tahu" "Telapak sakti bersukma dahsyat, tenaga raksasa
berkekuatan ribuan kati" lagi lagi Liong Ngo memandang
tangan ke tiga, "tahukah kau kekuatan dahsyat yang dimiliki
tangan itu?" "Tidak tahu" Liong Ngo segera tertawa dingin.
"Kalau apa saja tidak kau ketahui, mana mungkin kau
sanggup melakukan pekerjaan mereka bertiga?"
"Aku hanya mengetahui satu hal"
"Katakan!" "Aku tahu tanganku masih berada ditanganku, sedang
tangan mereka bertiga sudah berada dalam mangkuk!" jawab
pelayan itu hambar. Mendadak Liong Ngo mendongakkan kepalanya, setelah
menatapnya tajam, ujarnya:
"Jadi lantaran " kau maka tangan mereka berpindah ke
dalam mangkuk?" Sekali lagi pelayan itu tertawa.
"Bila seseorang ingin menawarkan sesuatu, rasanya dia
mesti mengirim sedikit contoh lebih dulu kepada calon
pembeli" "Apa yang ingin kau jual kepadaku?" sorot mata Liong Ngo
berubah semakin tajam bagai belahan mata golok.
"Aku sendiri" "Siapa kau?" "Aku she-Liu, Liu dari kata pohon yangliu!" nama marga ini
tidak aneh, "aku bernama Liu Tiang-kay, Tiang dari kata
panjang dan Kay dari kata jalanan"
"Liu Tiang-kay (Liu si jalanan panjang)! Aneh benar nama
ini" gumam Liong Ngo.
"Banyak orang pernah bertanya, mengapa aku harus
menggunakan nama seaneh itu"
"Kenapa?" "Karena aku senang sekali dengan jalanan yang sangat
panjang" Sambil tersenyum kembali Liu Tiang-kay
melanjutkan: "Aku selalu berkhayal, seandainya aku adalah
sebuah jalanan yang panjang, bila dikedua sisi jalan ditanami
pohon yangliu, lalu banyak toko dan kios didirikan sepanjang
jalanan, tiap hari ada aneka ragam manusia lewat disisiku, ada
nona besar, ada nyonya muda, juga ada nenek tuek............"
Sinar matanya kembali diliputi lamunan seorang bocah
yang begitu polos, sebuah khayalan yang aneh tapi indah,
terusnya: "Tiap liari, aku akan menyaksikan orang orang itu hilir
mudik disampingku, ada yang cuma kongkow di bawah
rindangnya pohon yangliu, ada yang menjual atau membeli
barang di toko, kejadian itu pasti mengesankan, jauh lebih
mengesankan ketimbang jadi seorang manusia"
Liong Ngo tertawa, untuk pertama kalinya senyum gembira
terlintas diwajahnya, sambil tersenyum katanya:
"Kau memang seorang yang menarik"
Begitu selesai bicara, senyuman gembira itu mendadak
lenyap tak berbekas, serunya lagi dengan suara dingin:"Cepat
bunuh orang ini!" Lan Thian-bong berdiri mematung di belakang tubuhnya,
selama ini dia tak bicara pun tak bergerak, tapi begitu kata
"bunuh" muncul dari mulut, Lan Thian-bong sudah
melancarkan sebuah serangan.
Begitu turun tangan, dia seakan akan telah berubah jadi
seekor singa jantan, gerakan tubuhnya jauh lebih cepat
ketimbang terkaman singa jantan, lebih gesit dan lincah!
Baru saja tubuhnya berputar, dia sudah tiba di hadapan Liu
Tiang-kay, ke lima jari tangan kirinya yang menekuk bagai
cakar harimau, langsung menyambar dada Liu Tiang-kay.
Siapa pun dapat melihat, cengkeraman ini sanggup
merobek dadanya, jangan lagi dagingnya, bahkan jantung dan
paru paru nya pun bisa terbetot keluar.
Liu Tiang-kay memutar tubuhnya setengah lingkaran,
Tujuh Pembunuh Qi Sha Shou Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghindarkan diri dari cengkeraman maut itu. gerak
keiitannya dilakukan sangat cepat dan tak kalah gesitnya.
Siapa tahu rupanya Lan Thian-bong sudah perhitungkan
gerak menghindar lawannya ini, ke lima jari tangan kanannya
segera menyusul ke muka, dengan satu gerakan "tangan
golok", dia tebas badan lawan, yang diincar adalah nadi besar
di tengkuk sebelah kiri Liu Tiang-Kay.
Serangan ini bukan saja sangat mematikan, bahkan hampir
menutup seluruh jalan mundur dan jalan berkelit musuhnya.
Sejak berusia empat puluh tahun, belum pernah Say-ong si
raja singa Lan Thian-bong menggunakan lebih dari tiga jurus
untuk membunuh orang. Oleh sebab itu, untuk membunuh musuhnya kali ini, si raja
singa pun merasa tak perlu menggunakan lebih dari tiga jurus.
Dia memang tak perlu mengeluarkan jurus ke tiga, sebab
secara tiba tiba ia jumpai tangan Liu Tiang-kay sudah berada
dibawah ketiaknya, jika babatan tangan goloknya dilanjutkan
tebasannya, maka ketiaknya akan hancur duluan tersodok
tangan Liu Tiang-kay. Tulang ruas dibawah ketiak merupakan ruas yang sangat
lemah, padahal sodokan jari tangan Liu Tiang-kay begitu kuat
dan tajam bagai sodokan'tombak, seandainya ruas tulang itu
tersodok, bisa dipastikan tulang belulangnya akan hancur
berserakan. Dia tak mau ambil resiko, babatan tangan goloknya yang
sudah tiba di tengah jalan seketika dihentikan, pada saat
itulah tubuh Liu Tiang-kay sudah melayang keluar dari
ruangan. Lan Thian-bong tidak berusaha mengejar, karena waktu itu
Liong Ngo sudah memberi tanda menghalangi kepergiannya.
"Masuk!" serunya.
Ketika Liu Tiang-kay masuk kembali, Lan Thian-bong
kembali sudah berdiri mematung di belakang Liong Ngo,
sementara lelaki setengah umur berbaju hijau itu masih berdiri
jauh disudut ruangan, dia sama sekali tak bergerak.
"Kau bilang aku adalah seorang yang menarik, padahal tak
banyak orang menarik di dunia ini" Liu Tiang-kay tertawa
getir, " mengapa kau ingin membunuhku?"
"Kadangkala aku pun senang berbohong, tapi aku paling
benci mendengar orang lain berbohong" ujar Liong Ngo.
"Siapa sedang berbohong?"
"Kau!" Liu Tiang-kay tertawa tergelak.
"Hahaha.... adakalanya akupun suka mendengar kata kata
bohong, tapi belum pernah bicara bohong"
"Aku belum pernah mendengar nama Liu Tiang-kay, Liu si
jalanan panjang" "Aku memang bukan orang terkenal"
"Tu Jit, Kongsun Biau serta Si Tiong adalah orang orang
kenamaan, tapi kau telah menghancurkan karier mereka"
"Oleh karena itu kau anggap semestinya aku pun seseorang
yang terkenal?" "Itulah sebabnya aku anggap kau sedang berbohong"
Sekali lagi Liu Tiang-kay tertawa tergelak.
"Tahun ini aku baru berusia tiga puluh tahun, bila ingin jadi
orang kenamaan, tadi, aku sudah tergeletak mampus di
tanah" Liong Ngo mengamati wajahnya, senyuman mulai terlintas
dari sorot matanya, dia sudah memahami maksud perkataan
Liu Tiang-kay. Untuk menjadi terkenal memang dibutuhkan banyak tenaga
dan perjuangan, untuk berlatih silat, juga dibutuhkan banyak
tenaga dan perjuangan. Tidak banyak orang yang bisa
menyelesaikan kedua hal tersebut secara bersamaan.
Liu Tiang-kay bukan termasuk orang yang kelewat cerdas
dan pandai, maka dia hanya bisa memilih satu diantara dua
hal itu. Dia memilih berlatih ilmu silat lebih dulu, oleh sebab itu
meski tidak terkenal tapi dia masih hidup.
Tidak mudah untuk memahami maksud perkataannya, tapi
Liong Ngo mengerti, dia sangat paham, karena itulah dia
gunakan sebuah jari tangannya menuding ke arah bangku
yang berada di hadapannya.
"Duduk!" Memang tak banyak orang yang bisa duduk berhadapan
dengan Liong Ngo. Liu Tiang-kay tidak duduk, dia malah bertanya: "Kau tak
bermaksud membunuhku?"
"Orang yang menarik sudah tak banyak jumlahnya, orang
yang berguna semakin minim jumlahnya, kau bukan hanya
menarik, juga amat berguna"
"Oleh sebab itu kau sudah berminat untuk membeliku?"
lanjut Liu l'iang-kay sambil tertawa.
"Kau benar benar hendak menjual?"
"Aku adalah seorang yang tak punya nama, akupun tak
punya apa apa yang bisa dijual, padahal, bila usia seseorang
sudah melampaui tiga puluh tahun, paling tidak dia mulai
berpikir untuk hidup lebih rmyaman"
"Orang semacam kau punya banyak kesempatan untuk
terjual, mengapa kau harus datang mencariku?"
"Karena aku bukan orang bodoh, karena aku menginginkan
harga penawaran yang tinggi, karena aku tahu hanya kau
yang berani mengajukan tawaran tertinggi, karena......."
"Ke tiga alasan itu sudah lebih dari cukup!" tukas Liong
Ngo. "Tapi ke tiga alasan itu bukan alasan yang paling utama"
sambung Liu Tiang-kay. "Oya?" "Alasanku yang paling utama adalah bukan saja aku ingin
penawaran tertinggi, aku pun ingin melakukan pekerjaan
terbesar, siapapun orangnya, jika dia sampai mencari Tu Jit
bertiga untuk melakukan satu pekerjaan, pekerjaan tersebut
sudah pasti adalah sebuah pekerjaan besar"
Sekulum senyuman kembali tersungging diwajah Liong Ngo
yang pucat, kali ini dia angkat tangannya dan berkata sambil
tertawa: "Silahkan duduk"
Kali ini Liu Tiang-kay benar benar duduk. "Hidangkan arak!"
kembali Liong Ngo berseru.
-00dw00- Bab 2. Siasat menyiksa diri Cawan kuno nan antik, arak wangi berusia tiga puluh
tahun. Lelaki setengah umur berbaju hijau itu menuang empat
cawan arak. Sambil tersenyum Liong Ngo berkata:"Kau seorang diri
harus melakukan pekerjaan tiga orang, sudah sepantasnya
bila kau habiskan tiga cawan arak.
"Tentu saja" sahut Liu Tiang-kay, "arak ini arak bagus, arak
untuk tiga puluh orang pun akan kuhabiskan seorang diri"
Takaran minum yang dia miliki memang luar biasa, cara
meneguk pun luar biasa cepatnya.
Tak heran dia segera mabuk.
Orang yang paling gampang mabuk adalah orang yang
punya takaran minum hebat serta orang yang dapat minum
dengan cepat. Dalam waktu singkat dia sudah berubah seperti segumpal
lumpur, jatuh terperosok dari tempat duduknya.
Liong Ngo duduk disitu dengan tenang, mengawasinya,
seakan akan sedang memikirkan sesuatu.
Bau harum arak berhembus dalam ruangan, suasana diluar
bilik masih sangat tenang.....
Lewat lama kemudian, Liong Ngo baru berseru: "Tanya!"
Lan Thian-bong segera berjalan mendekat, dia cengkeram
rambut Liu Tiang-kay lalu menuang sisa arak di dalam poci ke
atas wajahnya. Kadangkala, arak justru dapat mendusinkan orang yang
sedang mabuk. Liu Tiang-kay segera membuka sepasang matanya,
mengawasi orang itu dengan sinar lesu.
"Kau bermarga apa" Siapa namamu?" bentak Lan Thianbong.
"Aku she-Liu, bernama Liu Tiang-kay" sewaktu bicara,
tampaknya Liu Tiang-kay memiliki lidah yang dua kali lebih
besar dari bentuk semula.
"Kau berasal dari mana?"
"Desa Yangliu-cung, kota Chilam"
"Belajar ilmu silat dari siapa?"
"Belajar sendiri" Liu Tiang-kay tertawa terkekeh-kekeh, "tak
ada yang pantas jadi guruku, aku memiliki kitab langit"
Ucapan tersebut tidak seratus persen igauan orang mabuk.
Dalam kolong langit memang banyak terdapat kitab kitab
rahasia ilmu silat yang sudah lama lenyap dari peredaran tapi
secara tiba tiba bisa ditemukan kembali.
"Ilmu silatmu baru berhasil kau yakini belakangan ini?"
kembali Lan Thian-bong bertanya.
"Aku sudah berlatih cukup cepat, aku bukan orang goblok"
"Siapa yang suruh kau datang kemari?"
"Aku sendiri, s ebetulnya a ku ingin membunuh Liong Ngo"
tiba tiba Liu Tiang-kay tertawa terbahak-bahak, "jika berhasil
membunuh Liong Ngo, aku akan menjadi orang paling
tersohor di kolong langit"
"Mengapa kau tidak turun tangan?"
"Aku tahu..........."
"Tahu kalau kau tak mampu membunuhnya?"
"Aku memang bukan orang bodoh" Liu Tiang-kay masih
tertawa, "biarpun hanya menempati posisi orang ke dua di
kolong langit, posisi itu sudah cukup bagus....... apalagi dia
persilahkan aku duduk, mengundang aku minum arak,
rupanya dia pun tahu kalau aku berkemampuan tinggi"
Lan Thian-bong ingin bertanya lagi, tapi Liong Ngo segera
memberi tanda: "Sudah cukup!" "Bagaimana orang ini?"
Rasa letih kembali muncul di wajah Liong Ngo, sahutnya
hambar: "Dia minum arak kelewat banyak"
Lan Thian-bong manggut-manggut, mendadak dia hantam
tulang rusuk Liu Tiang-kay keras-keras.
0-0-0 Cahaya bintang berkedip bagaikan kilauan permata,
rembulan yang bulat bersih bagaikan salju.
Tiba tiba Liu Tiang-kay sadar dari mabuknya karena rasa
sakit yang luar biasa, dia dapatkan tubuhnya sudah
tergantung diatas wuwungan rumah makan Thian-hiang-lo
bagaikan sebuah keleningan.
Angin malam di bulan ke tujuh, sudah terasa amat dingin.
Ketika angin malam berhembus diatas tubuhnya, dia
merasa amat sakit bagai disayat dengan mata golok tajam.
Pakaian yang dikenakan sudah robek dan hancur tak
berbentuk, bahkan tulang belulangnya juga terasa sakit
seperti hancur berantakan, darah masih meleleh dari
mulutnya, bercampur dengan liur getir, kecut lagi pahit.
Begitu juga dengan sekujur tubuhnya, bekas darah dan
muntahan membekas di seluruh badan, tampaknya dia sudah
dihajar orang secara keji, keadaannya sekarang tak ubahnya
seperti seekor anjing yang habis digebuk.
Lampu yang menerangi rumah makan Thian-hiang-lo, kini
sudah padam, pintu rumah makan pun sudah dalam keadaan
tertutup rapat dan terkunci.
Ke mana perginya Liong Ngo"
Tak ada yang tahu jejak Liong Ngo, selama ini memang tak
banyak yang tahu. Tak ada cahaya, tak ada manusia, tak ada suara......
Yang tertinggal sepanjang jalanan hanya sampah yang
berserakan, dilihat dalarn kegelapan malam, suasana disitu
amat jelek, amat bodoh dan amat berantakan, persis seperti
keadaan Liu Tiang-kay yang tergantung di atas wuwungan
rumah. Bila seseorang telah menghianati diri sendiri, tapi balasan
yang diperoleh justru hanya gebukan dan siksaan yang luar
biasa, dapat dibayangkan bagaimana perasaan hatinya saat
ini. Tiba tiba Liu Tiang-kay mengerahkan sisa kekuatan yang
dimilikinya dan mulai mengumpat:"Liong Ngo, kau jahanam
yang dipelihara anjing gembel, kau.........."
Semua kata makian, semua kata kasar yang pernah
tercatat dalam kamusnya telah dipergunakan untuk
mengumpat, suara umpatan juga sangat keras, apalagi di
tengah malam buta yang senyap, suara makian itu
menggaung hingga belasan lorong jauhnya dari tempat itu,
membuat setiap orang yang berada di radius situ dapat
mendengar dengan jelas. Dari kejauhan tiba tiba terdengar seseorang bertepuk
tangan sambil tertawa nyaring:
"Umpatan yang bagus, umpatan yang sangat memuaskan,
umpatan mu benar benar memuaskan hati"
Bersamaan waktu terdengar suara tertawa dan derap kaki
kuda bergema tiba, disusul kemudian tampak tiga ekor kuda
mun cul dari ujung jalan dan berlarian mendekat, kuda kuda
itu berhenti persis di bawah wuwungan rumah.
Orang yang duduk di kuda terdepan mendongakkan
kepalanya memandang Liu Tiang-kay sekejap, lalu ujarnya
sambil tertawa keras:"Sudah lama aku tak pernah mendengar
ada orang berani mengumpat manusia yang dipelihara anjing
itu, ayoh mengumpat lah terus, kau jangan berhenti
mengumpat" Orang itu mempunyai alis mata yang tajam bagai sebilah
pedang, mukanya penuh bercambang, dia kelihatan sangat
kasar, dibalik kekasarannya justru terdapat sepasang mata
yang bening, mata seorang cerdik.
"Kau senang mendengar aku mengumpat manusia yang
dipelihara anjing itu?" tanya Liu Tiang-kay sambil memandang
ke arahnya. Lelaki bercambang itu tertawa nyaring.
"Senang.....hahaba........senang setengah mati"
"Baik, lepaskan aku dulu, entar aku akan mengumpat lagi"
"Aku memang kemari untuk menolongmu"
"Oya?" "Begitu mendengar kabar tentang kau, aku segera menyu
sul kemari tanpa berhenti"
"Kenapa?" "Sebab aku tahu. kecuali aku, tak bakal ada orang ke dua
yang mampu menolong orang yang telah digantung Liong Ngo
Tujuh Pembunuh Qi Sha Shou Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di wuwungan rumah" jawaban lelaki bercambang itu
kedengaran sangat pongah.
"Kau kenal aku?"
"Dulu tidak, tapi mulai sekarang kau adalah sahabatku"
"Kenapa?" tak tahan Liu Yiang-kay bertanya.
"Sebab mulai sekarang kau sudah menjadi musuh besar
nya Liong Ngo, siapapun orangnya, asal dia sudah menjadi
musuh besarnya Liong Ngo berarti dia adalah sahabatku"
"Siapa kau?" "Mong Hui!" "Si pemberi sedekah bernyali baja Mong Hui?"
Kembali lelaki bercambang itu tertawa tergelak.
"Betul, aku adalah Mong Hui yang sudah tak mau nyawa
sendiri!" Selain orang yang sudah tak ambil perduli dengan nyawa
sendiri, siapa yang berani bermusuhan dengan Liong Ngo"
Liu Tiang-kay duduk terpaku disita, dia merasa badannya
persis seperti bakcang, seluruh badannya terikat kain, terikat
sangat kencang. Mong Hui duduk persis di hadapannya, setelah menga
matinya sekejap, tiba tiba dia acungkan jempolnya sambil
memuji: "Bagus, seorang lelaki sejati!"
"Orang yang sudah digebuki habis habisan juga terhitung
seorang lelaki sejati?" Liu Tiang-kay tertawa getir.
"Kau tak sampai mampus digebuki jahanam yang dipeliha
ra anjing gembel itu, kau pun masih bernyali untuk
mengumpat mereka habis habisan, kau layak disebut seorang
lelaki sejati!" Setelah mengepal tinjunya dan menggebrak meja keras
keras, kembali ujarnya dengan nada kesal:"Sudah seharusnya
ku cekik anjing anjing jahanam itu hingga mampus semua"
"Kenapa tidak kau lakukan?"
"Sebab aku tak mampu mengalahkan mereka" Mong Hui
menghela napas panjang. Liu Tiang-kay segera tertawa.
"Kau bukan Cuma bernyali, kau pun jujur dan berani
berterus terang" "Aku memang tak punya kemampuan apa
apa, tapi a ku punya nyali untuk bermusuhan dengan Liong
Ngo si anak jadah yang dipelihara anjing"
"Aku merasa heran......"
"Heran soal apa?"
"Kenapa dia tidak membunuhmu?"
Mong Hui tertawa dingin. "Sebab dia ingin tunjukkan kepada orang bagaimana kebe
saran jiwanya, ingin tunjukkan bahwa dia adalah seorang
tokoh be sar yang luar biasa, dia tak sudi berurusan dengan
manusia rendah macam aku, padahal dia sendiri tak lebih
Cuma anak jadah yang dipelihara anjing"
"Padahal dia pun bukan anak jadah yang dipelihara anjing,
sebab jadi anak jadah yang disusui anjing pun tak pantas"
"Hahaha.....betul! Tepat sekali!" Mong Hui tertawa terba
hak bahak, "cukup mendengar perkataanmu ini, aku mesti hormati kau
dengan tiga ratus cawan arak!"
Sambil tertawa tergelak, dia panggil orang untuk siapkan
arak, kemudian katanya lagi: "Rawatlah lukamu di sini, sudah
kusiapkan dua macam obat yang terbaik untukmu"
"Salah satunya adalah arak wangi?" sela Liu Tiang-kay.
Kembali Mong Hui tertawa terbahak-bahak.
"Tepat sekali, secawan arak yang betul betul wangi, untuk
siapa pun akan mendatangkan banyak keuntungan"
Dia memandang Liu Tiang-kay sekejap, tiba tiba kembali
dia gelengkan kepalanya berulang kali, katanya:"Berada dalam
keadaan seperti kau, hanya secawan arak saja tak akan
mendatangkan kebaikan apa apa, paling tidak kau mesti
menenggak tiga ratus cawan baru kelihatan manjurnya"
Liu Tiang-kay ikut tertawa.
"Selain arak masih ada semacam obat lagi, obat apa itu?"
Mong Hui tidak menjawab, dia memang tak perlu men jawab.
Dari luar pintu kamar sudah muncul orang yang memba wa
arak, enam orang gadis, enam orang gadis yang muda, cantik
dan lagi seksi. Berkilauan sinar mata Liu Tiang-kay.
Dia memang paling suka gadis cantik, dia tak mau menutup
nutupi kegemaran utamanya ini.
"Sekarang kau pasti mengerti bukan" seru Mong Hui
kemudian sambil tertawa nyaring, "seorang gadis yang
sempurna, buat siapa pun pasti akan mendatangkan banyak
keuntungan dan manfaat"
"Tapi bagi aku dalam keadaan seperti ini, seorang gadis
saja tak akan memberi banyak manfaat, paling tidak harus
ada enam orang gadis sekaligus"
Mong Hui memandangnya, tiba tiba ia menghela napas
panjang. "Aai, kau bukan Cuma berani bertenis terang, balikan
memang betul betul bernyali" katanya. "Oya?"
"Untuk menghadapi enam orang gadis sekaligus, mungkin
jauh lebih susah ketimbang harus menghadapi Liong Ngo"
Dalam satu hal, perkataan Mong Hui memang benar.
Buat Liu Tiang-kay, arak serta perempuan memang sama
sama mendatangkan banyak manfaat, kelihatannya luka yang
dia derita akan sembuh jauh lebih cepat dari apa yang
dibayangkan semula. Tapi dalam hal yang lain, perkataan Mong Hui salah besar.
Kalau Liu Tiang-kay disuruh menghadapi Liong Ngo, dia
memang masih kalah sedikit, tapi kalau disuruh menghadapi
perem puan perempuan itu, dialah jagonya.
Memang tidak banyak yang tahu kalau dia bukan Cuma
jagoan dalam hal ini, bahkan boleh dibilang dialah biangnya.
Sekarang Mong Hui sudah menjadi sahabat karibnya, saat
yang paling gembira buat mereka adalah sembari memeluk
gadis cantik dan minum arak, mereka bisa mencaci maki Liong
Ngo habis habisan. Bahkan mereka mempunyai banyak pendengar.
Semua orang yang hadir dan berada di tempat itu adalah
musuh musuh bebuyutan Liong Ngo, mereka yang pernah
menderita siksaan ditangan Liong Ngo, asal belum mampus
pasti diundang kemari oleh Mong Hui, dilayani dengan arak
paling harum dan perempuan paling cantik, kemudian setelah
diberi ongkos mereka dipersilahkan pergi.
Julukan "si Pemberi sedekah" diperoleh lantaran
perbuatannya ini, sementara julukan "bernyali baja" diperoleh
kare na dia sudah tak mau lagi nyawa sendiri..............hanya
orang yang sudah tak mau nyawa sendiri baru berani
bermusuhan dengan Liong Ngo.
Semakin banyak arak yang diminum, tentu saja umpatan
serta caci maki mereka semakin bersemangat.
Saat itu tengah malam sudah menjelang tiba, para
pendengar sudah lelah mendengarkan caci maki itu, tapi
mereka yang meng um pat justru makin lama semakin
bersemangat. Kini, dalam bilik tinggal mereka berdua, mereka sudah
menghabiskan arak yang biasa nya diminum puluhan orang.
Tiba tiba Liu Tiang-kay bertanya:"Kau juga pernah disiksa
oleh mereka?" "Tidak pernah" Mong Hui menggeleng.
"Kau punya dendam kesumat karena anakmu dibunuh atau
bini mu direbut olehnya?"
"Juga tak ada" "Lalu, mengapa kau amat membencinya?" Liu Tiang-kay
merasa keheranan. "Karena dia adalah anak jadah yang dipelihara anjing"
Liu Tiang-kay termenung beberapa saat, mendadak
ujamya: "Padahal dia belum termasuk anak jadah yang
dipelihara anjing" "Aku tahu, dia memang lebih rendah daripada di pelihara
anjing" Kembali Liu Tiang-kay termenung, tiba-tiba dia
tertawa, ujarnya: "Padahal dia masih jauh lebih hebat
ketimbang dipelihara anjing"
Mong Hui melotot besar, lama sekali dia awasi pemuda itu
dengan mata mendelik, akhirnya dengan terpaksa dia
menyetujui juga, sahutnya: "Mungkin memang sedikit lebih,
tapi sedikit sekali...."
"Paling tidak, dia lebih cerdik daripada seekor anjing"
"Di kolong langit, rasanya memang tak ada anjing yang
lebih cerdik daripada dirinya" kembali Mong Hui terpaksa
menyetujui. "Kalau orang semacam si Raja singa Lan Thian-bong saja
rela jadi budaknya, hal ini membuktikan bukan saja dia
berkemam puan tinggi, perlakuannya terhadap orang pun
sangat baik, kalau tidak, mana mungkin orang lain rela
menjual nyawa buatnya?"
"Apa perlakuannya terhadap kau tidak baik"
Liu Tiang-kay menghela napas panjang.'Tadahal kita tak
boleh terlalu salahkan dia, aku tak lebih Cuma seorang asing
yang sama sekali tak dikenalnya, dia tak kenal aku, darimana
dia bisa tahu kalau aku betul betul ingin melakukan pekerjaan
baginya?" Mendadak Mong Hui menggebrak meja sambil melompat
bangun, teriaknya penuh kegusaran:"Apa maksudmu" Dia
sudah menghajarmu habis habisan, mengapa kau malah
bicara membelai dia?"
"Aku hanya berpendapat, mungkin saja dia punya alasan
mengapa bersikap demikian kepadaku, tampaknya dia bukan
termasuk orang yang sama sekali tak pakai aturan"
Mong Hui tertawa dingin. "Jadi kau masih kepingin bertemu sekali lagi dengannya,
bertanya kepadanya mengapa kau dihajar habis habisan?"
teriaknya. "Benar, aku memang bermaksud demikian"
Dengan penuh rasa benci Mong Hui melotot ke arahnya,
tiba tiba teriaknya nyaring: "Enyah, enyah dari sini,
menggelinding lah lewat pintu belakang, makin cepat makin
baik..........." Liu Tiang-kay bangkit berdiri, berjalan keluar lewat pintu
belakang. Pintu itu amat sempit dan selama ini berada dalam keada
an terkunci, diluar pintu bukan halaman melainkan sebuah
ruang rahasia dengan tatanan perabot yang indah dan mahal,
dalam ruang rahasia tak ada pintu lain, bahkan jendela pun
tak nampak. Tapi dalam mangan itu terdapat manusia, dua orang
manusia. Liong Ngo sedang duduk bersandar diatas sebuah
pembaringan beralaskan kulit macan tutul, dia bersandar
sambil pejamkan mata, sementara lelaki setengah umur
berbaju hijau itu sedang menghangatkan arak diatas sebuah
tungku kecil, hanya Lan Thian-bong tidak nampak hadir disitu.
Begitu mendorong pintu, Liu Tiang-kay segera berjumpa
dengan mereka. Ia sama sekali tidak tertegun, tidak terhenyak, kejadian
yang sama sekali diluar dugaan ini tampaknya sudah terduga
olehnya. Liong Ngo membuka matanya, mengawasinya sekejap,
sekulum senyuman segera tersungging diujung bibirnya, tiba
tiba dia berkata: "Sekarang aku baru tahu, mengapa selama
ini kau tidak terkenal"
Liu Tiang-kay tidak menjawab, dia hanya mendengarkan.
Sambil tersenyum kembali Liong Ngo berkata:"Untuk
berlatih ilmu silat, kau harus mengeluarkan banyak pikiran dan
tenaga, apalagi untuk bermain wanita, pikiran dan tenagamu
semakin banyak terkuras, dalam dua hal ini kau sudah
melakukan dengan baik sekali, mana mungkin kau punya
waktu untuk melakukan pekerjaan lain?"
Tiba tiba Liu Tiang-kay ikut tertawa.
"Masih ada satu pekerjaan lagi yang bisa kulakukan dengan
sangat baik" katanya.
"Pekerjaan apa?"
"Minum arak!" "Takaran minum mu memang sangat banyak"
"Tapi aku tidak terlalu cepat mabuk"
"Oya?" "Arak yang kuminum hari ini jauh lebih banyak ketimbang
tempo hari, tapi hari ini aku sama sekali tidak mabuk"
Tiba tiba Liong Ngo tidak tertawa lagi, kembali sorot mata
setajam mata golok memancar keluar dari balik matanya, dia
awasi wajah pemuda itu dengan pandangan mengerikan.
Liu Tiang-kay berdiri tenang ditempat, ia sama sekali tidak
menghindari pandangan mata tajam itu.
"Duduk, silahkan duduk" tiba tiba Liong Ngo berkata lagi.
Liu Tiang-kay segera ambil tempat duduk.
"Kelihatannya aku sudah kelewat rendah memperhitung
kan kemampuanmu" kembali Liong Ngo berkata.
"Kau sama sekali tidak memandang rendah kemampuan ku,
kau hanya sedikit menaruh curiga kepadaku"
"Yaa, karena kau adalah seorang yang asing bagiku"
"Oleh sebab itu sudah seharusnya kau selidiki asal usulku
terlebih dulu, ingin membuktikan dulu apakah perkataanku
semuanya jujur dan sebenarnya?"
"Tampaknya kau memang tidak goblok!"
"Bila apa yang kukatakan tidak bohong, belum terlambat
bagimu bila ingin menggunakanku, sebaliknya bila aku sedang
berbohong, kau boleh habisi nyawaku, sebab bagaimana pun
juga selama ini aku toh selalu berada dalam cengkeramanmu"
"Oya?" "Mong Hui datang menolongku, tentu saja inipun hasil
rekayasamu, kedatangannya kelewat kebetulan" "Apa lagi
yang kau ketahui?" "Aku tahu, manusia macam kau pasti masih membutuh kan
beberapa orang manusia macam Mong Hui untuk berperan
sebagai musuh besarmu, hanya musuh besar yang bisa
melakukan pekerjaan bagimu, bahkan kadangkala jauh lebih
banyak tugas yang bisa mereka kerjakan ketimbang seorang
teman........ paling tidak, dia bisa menyelidiki dan mencari
tahu kabar berita yang selama hidup jangan harap bisa
diperoleh teman temanmu itu"
Liong Ngo menghela napas panjang.
"Tampaknya kau bukan saja tidak goblok, bahkan sangat
pintar" katanya. Liu Tiang-kay sama sekali tidak menyangkal.
"Jadi, sedari awal kau sudah mengetahui hubunganku
Tujuh Pembunuh Qi Sha Shou Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan Mong Hui, sudah memperhitungkan dengan tepat
bahwa aku bakal datang kemari?" kembali Liong Ngo
bertanya. "Kalau tidak, buat apa aku masih menunggu di sini?"
"Berarti, tempo hari kau hanya pura pura mabuk?"
"Sudah kukatakan, takaran minum arakku luar biasa"
"Tapi ada satu hal kau keliru besar" ucap Liong Ngo dingin.
"Kau berpendapat, tidak seharusnya aku beritahu semua
rahasia ini kepadamu hari ini?"
Liong Ngo manggut-manggut.
"Orang yang pintar bukan saja harus pandai berpura pura
mabuk, diapun harus pandai berlagak pilon, bila seseorang
mengeta hui terlalu banyak, hari kehidupannya pun akan
semakin sedikit" "Aku berani mengatakan semua itu kepadamu, tentu saja
dilandasi alasan yang sangat baik" Liu Tiang-kay tertawa.
"Katakan!" "Kau datang lagi mencariku, tentu saja karena kau telah
selidiki bahwa semua perkataanku tidak bohong, kau siap
menggunakan aku" "Lanjutkan!" "Kau minta Tu Jit bertiga melaksakan sebuah tugas,
pekerjaan itu pasti sebuah pekerjaan yang amat besar, sudah
barang tentu kau tak ingin seorang setan mabuk yang tolol
yang melaksanakan tugas ini"
"Berarti kau sengaja b icara b egini, karena kau ingin
membuktikan bahwa kaupun bisa bantu aku melaksanakan
tugas tersebut?" Liu Tiang-kay manggut-manggut.
"Bila usia seseorang telah mencapai tiga puluh tahun, bila
dia tak mampu melakukan beberapa pekerjaan besar yang
mengge larkan sungai telaga, mungkin dikemudian hari jangan
harap kau bisa peroleh kesempatan semacam ini lagi"
Liong Ngo kembali mengawasi wajahnya, sekulum se
nyuman sekali lagi tersungging diujung bibirnya yang pucat,
tiba tiba ia bertanya: "Apakah kau mau menemani aku minum berapa cawan
lagi?" 0-0-0 Arak kembali dihidangkan, arak yang sudah dihangatkan.
Sambil mengangkat cawan, pelan-pelan Liong Ngo
berkata:"Aku amat jarang minum arak, apalagi menghormati
orang lain dengan arak, tapi hari ini aku harus menghormati
kau dengan tiga cawan arak"
Sinar gembira dan rasa terharu yang amat sangat terpancar
keluar dari balik mata Liu Tiang-kay, ternyata Liong Ngo mau
meng hormatinya dengan tiga cawan arak, peristiwa ini benar
benar meru pakan satu kejadian langka yang tak
terbayangkan sebelumnya. Setelah meneguk habis isi cawannya, sambil tersenyum
kembali Liong Ngo berkata:
"Hari ini aku sangat gembira, aku percaya kau pasti
dapat melaksanakan pekerjaan itu dengan baik"
"Aku berjanji akan mengerahkan segenap kemampuan
yang kumiliki" "Pekerjaan itu bukan saja merupakan satu
pekerjaan besar, selain amat berbahaya, juga merupakan satu
tugas yang teramat rahasia" Tiba tiba paras mukanya berubah
amat serius, lanjutnya: "Waktu itu, aku bersikap demikian
kasar kepadamu, hal ini bukan lantaran aku menaruh curiga
kepadamu" Liu Tiang-kay mendengarkan, setiap kata setiap kalimat
didengarnya dengan sangat cermat.
"Aku tak bisa beritahu kepada setiap orang bahwa kau
sedang bekerja untukku, karena itu aku harus membuat satu
tindakan agar orang lain mengira kau sudah menjadi musuh
besarku, bahkan rasa bencimu kepadaku sudah merasuk ke
tulang sumsum" Inilah siasat menyiksa diri, siasat jitu yang pernah diguna
kan Ciu Gi untuk menaklukan Oey Kay dalam cerita SamKok.
Tentu saja Liu Tiang-kay mengerti, tapi ada satu hal yang
masih tidak dipahami, tanyanya:
"Apakah Lan Thian-bong juga tidak mengetahui persoalan
ini?" Liong Ngo manggut manggut.
"Semakin sedikit yang tahu pekerjaan ini, makin kecil resiko
dan bahaya yang kita hadapi, berarti kesempatan untuk
berhasil pun semakin besar"
Tiba tiba Liu Tiang-kay menyadari, ternyata orang yang
benar benar dipercaya Liong Ngo hanya dua orang........ lelaki
setengah umur berbaju hijau itu serta Mong Hui.
"Tempo hari kau toh pernah berkata, manusia macam aku
bukan saja tak punya sahabat, bahkan musuh besar pun tak
punya" kembali Liong Ngo berkata.
"Yaa, aku pernah berkata begitu"
"Padahal kau keliru" mimik muka Liong Ngo berubah sangat
aneh, "bukan saja aku punya teman, aku pun punya musuh
besar, bahkan punya bini"
"Siapakah mereka?" tergerak hati Liu Tiang-kay.
"Bukan mereka, tapi dia" Liu Tiang-kay tidak habis
mengerti. "Temanku, musuhku dan biniku adalah satu orang yang
sama" kembali Liong Ngo menerangkan.
Liu Tiang-kay semakin tak mengerti, tak tahan tanyanya:
"Siapakah dia?"
"Dia bernama Ciu Heng-po"
"Ciu-sui hujin (Nyonya air dimusim gugur)?"
"Kau juga kenal dia?"
"Rasanya tak ada orang persilatan yang tidak mengenali
dia" "Tapi kau pasti tak tahu bukan kalau dia sebenarnya adalah
biniku?" "Dimana dia sekarang?"
"Saat ini, walaupun kami sudah bukan suami istri, tampak
nya masih merupakan sahabat karib"
"Padahal...................."
Paras muka Liong Ngo yang pucat pasi berubah jadi hijau
membesi, selanya: "Padahal dia sudah sangat membenciku, dia kawin dengan
aku lantaran dia amat menbenciku!"
Liu Tiang-kay masih tak mengerti, tapi dia tak bertanya
lagi.......... Memang lebih baik orang tak banyak tahu tentang rahasia
yang dimiliki Liong Ngo apalagi rahasia semacam ini.
Liong Ngo bukan saja telah tutap mulut, dia bahkan sudah
pejamkan sepasang matanya.
Dia tak ingin bicara terlalu banyak, gejolak perasaannya
kelevvat besar, lewat lama kemudian pelan pelan dia baru
bertanya: "Kau pernah melihat aku turun tangan?"
"Belum pemah" "Tahukah kau sampai dimana kemampuan ilmu silatku?"
"Tidak tahu" Liong Ngo masih memejamkan matanya, pelan-pelan dia
ulurkan tangannya ke depan.
Tangan itu putih memucat, bahkan kelihatan sangat halus.
Gerak gerik nya juga sangat lambat, pelan pelan dia
cengkeram ke tengah udara.
Satu peristiwa aneh segera terjadi, bara arang yang sedang
membara dibawah tungku kecil itu, tiba tiba melayang ke
tengah udara kemudian meluncur ke dalam genggamannya.
Pelan pelan dia merapatkan genggaman tangannya, batu
bara berwarna merah membara itu segera tergenggam
kencang ditangannya. Ketika dia membuka kembali tangannya, bara api itu sudah
berubah jadi abu, abu yang sudah dingin.
Dengan suara hambar Liong Ngo berkata lagi:
"Aku tidak bermaksud mempamerkan kehebatan ilmu
silatku dihadapanmu, aku hanya ingin memberitahukan dua
hal kepadamu" Liu Tiang-kay tidak bertanya, dia tahu, Liong Ngo akan
menjelaskan sendiri kepadanya.
Benar saja, Liong Ngo kembali berkata:"Walaupun aku
mempunyai ilmu silat sehebat ini, tapi sayang aku tak bisa
turun tangan sendiri"
Kemudian setelah mengamati abu dingin dalam
genggamannya, kembali ia melanjutkan: "Hubungan
percintaan kami tak ubahnya seperti abu dingin ini, selama
hidup tak mungkin bisa membara kembali"
Kejadian ini benar benar merupakan sebuah peristiwa yang
sangat langka, sangat aneh dan sangat menarik, didalamnya
menyangkut dua orang manusia yang luar biasa.
Yang satu adalah lelaki paling hebat di kolong langit, yang
lain adalah perempuan paling misterius, paling cantik di kolong
langit. Biarpun pengetahuan serta pengalaman Liu Tiang-kay tidak
luas, namun dia sudah lama mendengar kisah yang
menyangkut perempuan itu.
Terlalu banyak kisah dan dongeng mengenai perempuan
ini. Kisah dan dongeng yang berhubungan dengannya, persis
seperti manusianya, penuh keindahan dan kemisteriusan.
Banyak jagoan tangguh dan orang gagah dalam dunia
persilatan yang ingin berjumpa dengannya, tapi selama hidup
tak seorangpun diantara mereka yang pemah bersua
dengannya. Oleh karena itulah banyak orang lebih suka menyebutnya
sebagai "Siang-si hujin" (Nyonya rindu), karena dia memang
mengundang rasa rindu banyak orang.
Siapapun tak ada yang menyangka, ternyata Nyonya rindu
adalah istri Liong Ngo. Hubungan mereka ternyata begitu misterius, begitu
aneh........ Kalau memang dia adalah bininya, sahabat karibnya,
mengapa dianggap menjadi musuh besarnya"
Semestinya mereka adalah sepasang suami istri yang
harmonis, yang laki ganteng yang perempuan cantik,
mengapa mereka harus berpisah"
Tentu saja dibalik semua ini terselubung satu kisah cerita
yang penuh liku liku, Liu Tiang-kay sangat berharap Liong Ngo
mau mengisahkan cerita percintaannya itu.
Sungguh patut disayangkan, cara Liong Ngo berbicara
ternyata persis seperti gerak gerik sehariannya, bagai seekor
naga sakti yang kelihatan kepalanya tak nampak ekornya.
Tiba tiba saja dia mengakhiri kisah cerita tersebut berganti
pokok pembicaraan, katanya hambar: "Kejadian itu
merupakan peristiwa lama yang sudah berlalu banyak tahun,
tak banyak orang di dunia ini yang tahu persoalan itu, aku
rasa kau pun tak perlu mengetahui terlalu banyak"
Liu Tiang-kay tidak memperlihatkan perasaan kecewanya,
dia memang termasuk orang yang sangat pintar
mengendalikan diri. "Kau hanya cukup mengetahui satu hal saja" kembali Liong
Ngo berkata. Liu Tiang-kay tidak menyela, dia hanya mendengarkan.
"Orang yang harus kau hadapi adalah dia, aku minta kau
datang ke tempat tinggalnya dan ambilkan semacam barang
untukku" "Maksudmu mengambil?"
"Aku tidak melarang kau mengatakan pergi mencuri" tukas
Liong Ngo dingin. Liu Tiang-kay menghembuskan napas panjang.
"Kalau begitu, paling tidak masih ada dua hal yang perlu
kuketahui" katanya. "Katakan saja" "Harus kucuri di mana" Dan apa yang mesti dicuri?"
"Mencuri sebuah kotak" Liong Ngo menjawab pertanyaan
terakhir lebih dahulu. Dia segera memberi tanda, lelaki setengah umur berbaju
hijau itu segera berjalan mendekat sambil membawa sebuah
kotak. Kotak itu tidak terlalu besar, terbuat dari emas murni,
diatas kotak terukir seeekor naga yang sangat indah, ukiran
itu terbuat dari batu kemala hijau.
"Curilah kotak yang bentuk dan ukurannya persis seperti
kotak ini" Liong Ngo menerangkan.
"Apa isi kotak itu?" tak tahan Liu Tiang-kay bertanya.
Liong Ngo agak ragu sejenak, tapi akhirnya ia menjelaskan:
"Sebetulnya kau tak perlu tahu, tapi tak ada salahnya
kuberitahukan kepadamu, isi kotak itu hanya sebotol obat"
"Hanya sebotol obat?" Liu Tiang-kay merasa sedikit diluar
dugaan. Liong Ngo mengangguk. "Bagiku, botol obat itu jauh lebih berharga daripada intan
permata atau batu manikam yang paling berharga pun di
kolong langit" Setelah memandang Liu Tiang-kay dengan sorot matanya
yang setajam mata golok, pelan pelan ia melanjutkan:
"Semestinya kau sudah tahu bukan, aku adalah seorang
yang sedang menderita sakit"
Tentu saja Liu Tiang-kay mengetahui hal ini.
Dia juga tahu, bila orang berpenyakitan ini menggerakkan
tangannya, maka berapa banyak pun orang tersehat dikolong
langit yang berada dihadapannya saat ini, mereka akan
mampus dalam waktu singkat.
Kembali Liong Ngo mengamati perubahan mimik muka
pemuda itu, tiba tiba katanya lagi sambil tertawa:"Aku tahu
apa yang sedang kau pikirkan, dalam kolong langit saat ini
memang terdapat banyak jenis orang sakit, aku, mungkin
termasuk orang sakit yang paling menakutkan, tapi seorang
yang sedang sakit tetap merupakan orang sakit"
Liu Tiang-kay sangsi sejenak, akhirnya dia bertanya:
"Apakah obat dalam botol itu dapat menyembuhkan
sakitmu?" "Tentunya kau pernah mendengar kisah cerita tentang Ho
Ie dan Siang Go si dewi rembulan?"
Ketika Ho Ie berhasil memanah sembilan buah matahari,
dia berangkat ke See-thian (langit barat) dan memohon Ongbo
mau menghadiahkan sebotol obat sakti panjang umur, tapi
obat tersebut kemudian dicuri oleh Dewi Siang Go dan
ditelannya. Walaupun kemudian dewi Siang Go panjang umur dan tak
bisa mati, namun yang diperoleh hanyalah kesepian yang
Tujuh Pembunuh Qi Sha Shou Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
abadi. Dewi Siang-go menyesal mengapa mencuri obat dewa itu,
sehingga akhirnya tiap malam dia selalu tampil sebagai bulan
purnama untuk menghibur hatinya yang lara.
"Kisah kami, persis seperti kisah mereka berdua" Liong Ngo
menjelaskan. Dia tidak melanjutkan kata katanya, tapi Liu Tiang-kay
sudah mengetahui dengan jelas.
Mungkin Liong Ngo dilahirkan sebagai orang yang
berpenyakitan, mungkin juga dia menderita Cau-hwee-jit-mo
lantaran melatih sejenis ilmu silat sehingga terkena sejenis
penyakit aneh yang susah disembuhkan, penyakit itu bagaikan
penyakit kanker saja selalu merongrongnya, selalu
menyiksanya sepanjang masa.
Suatu ketika, aldiirnya dia berhasil memperoleh sebotol
obat mestika yang dapat menyembuhkan penyakitnya, tapi
obat mujarab itu justru telah dicuri dan dilarikan istrinya.
Karena persoalan inilah, walaupun dalam hati dia sangat
membenci perempuan itu namun tak berani menyalahinya,
Misteri Kapal Layar Pancawarna 14 Putri Ular Putih Karya Zhang Hen Shui Anak Harimau 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama