Tujuh Pembunuh Qi Sha Shou Karya Gu Long Bagian 4
lelah, rasa sedih yang mendalam memang cepat membuat
seseorang cepat lelah. Entah dia sedih lantaran kecewa, ataukah sedih lantaran
rasa rindu yang mendalam"
Tiba tiba Liu Tiang-kay bertanya:"Lagi lagi kau lupa
menanyakan satu hal kepadaku"
"Pikiranku lagi kalut, katakan saja" Liong Ngo tertawa getir.
"Ketika melaksanakan pekerjaaan ini untukmu, bukankah
hanya ke empat orang yang ada dalam bilik ini yang tahu
rahasia ini?" "Betul" "Lantas, darimana Nyonya rindu bisa mengetahui rahasia
ini?" Mendadak sepasang mata Liong Ngo terbelalak lebar, sinar
mata setajam mata pisau langsung dialihkan ke wajah Mong
Hui dan menatapnya tanpa berkedip.
Pucat pias wajah Mong Hui saking kagetnya.
"Ketika kau menghajarku hingga terluka, orang lain
mengira aku pasti akan membenci mu hingga merasuk ke
tulang sumsum, tapi Mong Hui tahu rahasia dibalik semuanya
ini" ujar Liu Tiang-kay menerangkan.
"Bukan Mong Hui, pasti bukan dia" tiba tiba Liong Ngo
menggeleng. "Kenapa?" "Ada Liong Ngo baru ada Mong Hui, dia bisa seperti hari ini
semuanya lantaran aku, kematianku tak akan mendatangkan
keuntungan apa apa baginya"
Liu Tiang-kay termenung dan berpikir sejenak, akhirnya dia
pun manggut manggut: "Aku percaya. Semestinya dia tahu,
dikolong langit saat ini tak akan ditemukan Liong Ngo ke dua"
Tiba tiba Mong Hui jatuhkan diri berlutut, sewaktu berlutut,
air mata telah bercucuran membasahi wajahnya.
Air mata tersebut merupakan air mata terharu, dia terharu
karena Liong Ngo begitu menaruh kepercayaan kepadanya.
"Kalau bukan Mong Hui, lalu siapa?" pelan pelan Liu Tiangkay
melanjutkan. Liong Ngo tidak menjawab, sementara dia pun tak perlu
bertanya lagi. Sorot mata mereka berdua kini sudah dialihkan
ke wajah lelaki setengah umur berbaju hijau itu, mereka
menatapnya tanpa berkedip.
-ooo0d0w0ooo- Cahaya api dibawah tungku sudah melemah, arak dalam
teko masih terasa hangat.
Lelaki setengah umur berbaju hijau itu sedang menuang
arak dari teko tembaga ke dalam poci arak tangannya masih
tetap tenang, tak setetes arak pun yang tertumpah keluar.
Paras mukanya tetap hambar, sama sekali tak tampak
perubahan mimik mukanya. Begitu tenangnya orang itu, sampai Liu Tiang-kay sendiri
puri merasa, sepanjang hidupnya belum pernah dia jumpai
orang setenang dan sehambar ini
Bagaimana pun juga, dia harus menaruh rasa kagum
terhadap orang ini Ketika Liong Ngo menatap wajahnya, mimik mukanya
kelihatan berubah jadi amat sedih, dia merasa sedih karena
rasa sayang dan kecewanya terhadap orang itu.
Terdengar Liu Tiang-kay menghela napas panjang,
katanya:"Sebetulnya aku tak ingin menaruh curiga kepadamu,
sayang aku sudah tak punya pilihan lain"
Lelaki setengah umur berbaju hijau itu meletakkan poci
arak ke meja, dia tetap membungkam, melirik sekejap pun
tidak. Kembali Liu Tiang-kay berkata:"Sayang orang yang
mengetahui rahasia ini selain Liong Ngo, Mong Hui dan aku,
adalah kau" Lelaki setengah umur itu seolah-olah tidak mendengar apa
yang dia ucapkan, dia tetap menjalankan tugasnya,
memeriksa suhu arak lalu menuang arak dalam teko ke cawan
yang tersedia. Tak setetes arak pun yang tumpah dari dalam cawan. Liu
Tiang-kay berkata lagi:"Kusir kereta itu juga tahu kalau aku
sedang bekerja untuk Liong Ngo, dia tahu karena orang itu
adalah orang kepercayaanmu, mungkin saja rahasia ini bisa
diketahui Nyonya rindu karena lewat dia, sebab kau setiap
saat setiap waktu harus berada disisi Liong Ngo, kau tak akan
mempunyai kesempatan untuk bekerja sendiri" Dua cawan
arak telah dipenuhi isinya.
Lelaki setengah umur berbaju hijau itu masih tidak
menunjukkan perubahan apapun, dengan tenang dia letakkan
poci arak ke meja. "Hari itu, secara tiba tiba kau muncul diluar rumah petani"
kembali Liu Tiang-kay berkata, "hal ini sengaja kau lakukan
karena kau memang ingin membunuhnya untuk membungkam
mulut orang itu, maka kau selalu mengawasi gerak geriknya,
kebetulan kau peroleh alasan yang kuat, maka kusir itu segera
kau bungkam mulutnya untuk selamanya"
Lelaki setengah umur itu masih tetap membungkam, dia
seolah olah merasa tak sudi untuk mendebat atau
menyangkal. "Oleh karena itu, setelah kupikir bolak balik, rasanya selain
kau yang bocorkan rahasia ini, tak akan ada orang lainnya"
Liu Tiang-kaj berhenti sejenak untuk menghela napas
panjang, kemudian lanjutnya:"Yang sama sekali tak kusangka
adalah manusia macam kau kenapa begitu tega menghianati
teman sendiri?" "Dia tak punya teman" tiba tiba Liong Ngo menyela.
"Bukankah kau adalah temannya?"
"Bukan" "Tuan penolongnya?"
"Juga bukan" "Kalau semuanya bukan, kenapa dia selalu mengikutimu
macam seorang budak rendah?" tanya Liu Tiang-kay tidak
habis mengerti. "Tahukah kau, siapa dia?"
"Aku tidak pasti"
"Tak ada salahnya kau utarakan"
"Dulu, ada seorang enghiong muda yang luar biasa, ketika
usia 9 tahun dia mulai bunuh orang, usia 16 tahun nama
besarnya sudah menggetarkan dunia persilatan, baru berusia
20-an tahun sudah diangkat menjadi cianbungjin partai
Khong-tong-pay, sebuah partai besar diantara tujuh partai
besar lainnya, memiliki ilmu golok yang tiada tandingan hingga
disebut orang Thian-he-Tee-it-to (Golok nomor wahid di
kolong langit)!" "Dugaanku tidak keliru, dia memang Chin Liat-hoa"
"Tapi sekarang, dia kelihatan sudah banyak berubah" ucap
Liu Tiang-kay sambil menghembuskan napas panjang.
"Ooh, kau tak habis mengerti kenapa seorang enghiong
yang jaman dulu amat tersohor dan amat hebat kepandaian
silatnya, sekarang berubah macam seorang budak rendah
yang selalu mengintilku?"
"Bukan Cuma aku yang tak mengerti, mungkin hampir
semua anggota persilatan tidak akan mengerti"
"Di kolong langit pun terdapat sejenis manusia yang dapat
membuat dia berubah jadi begini"
"Jenis manusia apa?"
"Musuh besar, musuh besarnya"
"Kau adalah musuh besarnya?" Liu Tiang-kay melengak.
Liong Ngo manggut-manggut. Liu Tiang-kay semakin tak
habis mengerti. "Selama hidup, dia pernah tiga kali menderita kekalahan
dan semuanya kalah ditanganku, maka dia pun bersumpah
hendak membunuhku, tapi rupanya dia pun tahu selama hidup
tak ada harapan lagi baginya untuk mengungguli aku"
"Karena kau masih muda dan sedang berada di masa jaya,
sementara ilmu silatnya sudah melampaui masa puncak?"
"Betui" Liong Ngo membenarkan, "selain itu, ketika tiga kali
kuungguli kemampuannya, aku telah menggunakan tiga jenis
ilmu silat yang berbeda satu dengan lainnya, karena itu dia
gagal meraba asal usul ilmu silatku"
"Kecuali dia siang malam bisa mengikutimu, selidiki tingkah
lakumu kemudian mencari akal untuk menemukan tilik
kelemahanmu, kalau tidak, sepanjang hidup dia akan
kehilangan kesempatan untuk mengungguli dirimu?"
"Betul!" "Dan kau pun setuju mengijikan dia mengikuti
disampingmu?" Liong Ngo tertawa.
"Kejadian semacam ini kuanggap sebagai satu tantangan
yang sangat merangsang dan sangat menegangkan, tak ada
kejadian lain yang lebih menegangkan daripada keputusanku
ini, kau tahu, kejadian yang menegangkan justru merupakan
sebuan kegembiraan dan kenikmatan yang luar biasa"
Kecuali jiwanya terancam, memang tak banyak kejadian di
dunia ini yang bisa membuat Liong Ngo tegang dan
terangsang. Kembali Liong Ngo berkata:
"Tapi, aku pun punya syarat"
"Syaratmu, dia harus jadi budakmu, jadi pelayanmu?"
Sekali lagi Liong Ngo manggut manggut sambil tertawa.
"Siapa yang bisa memaksa Chin Liat-hoa jadi seorang
budak" Bukankah kejadian ini susah dibayangkan dengan akal
sehat?" "Maka dari itu, kau anggap peristiwa inipun merupakan
sebuah peristiwa yang menyenangkan, menggembirakan
hatimu?" "Tentu saja, apalagi sebelum dia yakin bisa mengungguliku,
dia pasti akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk
melindungi keselamatanku, karena dia tak ingin melihat aku
mati ditangan orang lain"
Liu Tiang-kay menghela napas panjang.
"Tapi, bagaimana pun juga, kau tidak seharusnya
membiarkan dia tahu rahasia ini"
'Tak ada rahasia yang sengaja kututup tutupi, karena aku
percaya dia, dia bukan orang rendah yang suka membongkar
rahasia pribadi orang lain"
Memang tak banyak manusia di dunia ini yang bisa percaya
seratus persen terhadap sahabatnya, apalagi percaya penuh
dengan seorang musuh besarnya" Benar-benar sebuah
kejadian yang mustahil. "Hai, Liong Ngo memang tak malu disebut Liong Ngo" puji
Liu Tiang-kay sambil menghela napas, "sayang sekali kau
telah salah melihat orang kali ini"
Liong Ngo ikut menghela napas, katanya sambil tertawa
getir: "Tiap orang memang mustahil tak pernah salah,
mungkin selama ini aku menilai dia kelewat tinggi dan menilai
kau terlalu rendah" "Tampaknya dia pun menilai aku terlalu rendah" sambung
Liu Tiang-kay sambil tertawa hambar.
"Kecuali aku, dia memang tak pernah pandang sebelah
mata pun terhadap orang lain di dunia ini"
Mendadak Chin Liat-hoa mendongakkan kepalanya, meski
wajahnya tidak menunjukkan perubahan apapun namun sorot
matanya memancarkan cahaya tajam yang menggidikkan hati,
sepatah demi sepatah kata ujarnya:
"Kau percaya dengan perkataan orang ini?"
"Mau tak mau aku harus percaya"
"Bagus, bagus sekali"
"Jadi kau sudah siap sedia untuk turun tangan?"
"Aku sudah mengamatimu secara seksama selama empat
tahun, setiap gerak gerik, setiap sepak terjangmu tak ada
yang lolos dari pantauanku" ucap Chin Liat-hoa perlahan.
"Aku tahu" "Kau memang seseorang yang sukar ditembus, karena kau
jarang memberi kesempatan kepada orang lain, kau sangat
jarang bergerak" "Tidak bergerak bukan berarti lumpuh, begitu bergerak
akan mengejutkan orang, tenang bagai bukit karang, gerak
bagai meteor di angkasa"
Chin Liat-hoa berdiri tenang disitu, dia pun berdiri tegak
bagai sebuah bukit karang, ujarnya pelan:
"Semasa muda dulu aku memang kelewat mencolok,
kepandaian silatku juga sudah lewat masa puncaknya, apabila
aku gagal mengunggulimu sekarang, kesempatan dikemudian
hari memang semakin kecil"
"Maka kau bersiap siap untuk turun tangan sekarang?"
"Benar" "Bagus, bagus sekali"
"Pertarungan kali ini merupakan pertarungan kita yang ke
empat rasanya juga merupakan pertarungan yang terakhir,
bisa empat kali bertarung melawan Liong Ngo, terlepas siapa
menang siapa kalah, rasanya aku pun bisa mati dengan mata
meram!" Liong Ngo menghela napas panjang:"Sebetulnya aku tak
bermaksud membunuhmu, tapi kali ini......"
"Jika kali ini aku menderita kekalahan lagi, aku pun segan
untuk hidup lebih lanjut" tukas Chin Liat-hoa perlahan.
"Bagus, ambillah golokmu sekarang!"
"Setiap perubahan ilmu golokku sudah kau ketahui sejelas
jari tangan sendiri, memakai golok bukan berarti aku bisa
rnengunggulimu" "Lantas kau hendak memakai apa?"
"Hampir semua benda yang berada ditanganku bukankah
bisa kuubah menjadi senjata pembunuh?" kata Chin Liat-hoa
hambar. Liong Ngo tertawa keras. "Hahahaha..... bisa bertarung empat kali melawanmu, hal
inipun merupakan satu kejadian yang membanggakan!"
Tiba tiba suara tertawanya terhenti di tengah jalan.
Menyusui kemudian suasana dalam bilik pun berubah sunyi
senyap, sedemikian heningnya sehingga dengus napas setiap
orang dapat terdengar sangat jelas.
Angin masih berhembus sepoi diluar jendela, menggoyang
tangkai bunga seruni dan kuncup bunga yang siap mekar,
bunga seruni tak berisik sementara kuncup bunga seolah olah
sedang menghela napas. Dalam suasana yang sejuk menjelang pertengahan musim
gugur ini, langit seolah olah berubah jadi dingin membeku
bagai tertimpa badai salju di musim dingin yang menggidik.
Chin Liat-hoa menatap Liong Ngo tanpa berkedip, kelopak
Tujuh Pembunuh Qi Sha Shou Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
matanya menyusut, otot hijau pada keningnya pada menonjol
keluar, kelihatan jelas kalau ia sudah menghimpun segenap
kekuatan yang dimilikinya untuk melancarkan serangan
penentuan. Siapapun dapat melihat, asal dia turun tangan maka
serangan tersebut pasti sangat dahsyat dan mengerikan.
Diluar dugaan, dia sama sekali tidak menggunakan
kekuatan dahsyatnya, dengan dua jari tangannya yang
menjepit sebatang sumpit, dia tusuk beberapa bagian tubuh
Liong Ngo dengan satu gerakan sederhana.
Tenaga serangan yang dipersiapkan luar biasa dahsyatnya,
tapi jurus serangan yang digunakan ternyata begitu lemah dan
lembut, bahkan tenaga untuk merobek selembar kertas pun
tak ada. Namun paras muka Liong Ngo telah berubah amat serius,
sentilan sumpit yang nampak sangat ringan itu, dalam
pandangan matanya justru jauh lebih berat daripada sebuah
bukit Thay-san. Dia pun segera menjepit sebatang sumpit dan balas
melakukan beberapa tutulan ke udara.
Ke dua orang itu saling berhadapan hanya dipisahkan
sebuah meja, malah Liong Ngo sama sekali tidak bangkit
berdiri, dia masih tetap duduk di posisi semula.
Dalam waktu singkat sumpit ditangan ke dua orang itu
sudah saling menutul di angkasa, walaupun perubahan
gerakan dilakukan sangat cepat, namun tingkah laku mereka
berdua tak ubahnya seperti anak anak yang sedang bermain.
Liu Tiang-kay bukan orang bodoh, tentu saja dia tahu,
semua gerakan itu bukan permainan kanak kanak.
Kehebatan dan kecepatan gerak perubahan jurus ke dua
sumpit itu sulit dilukiskan dengan kata, seakan akan sebuah
gulungan ombak di samudra yang susul menyusul, dibalik
setiap perubahan seakan akan mengandung beribu perubahan
lain, setiap kali menusuk selalu mengandung kekuatan yang
sanggup membelah emas. Dalam pandangan orang lain, pertarungan ini sama sekali
tidak menarik dan tidak tegang, namun bagi Liu Tiang-kay,
pertarungan im sangat mendebarkan hatinya, dia ikut merasa
tegang dan bergidik. Ilmu golok yang dimiliki Chin Liat-hoa memang tak malu
disebut Thian-he-Te-It-to, golok sakti nomor wahid di kolong
langit. Liong Ngo sendiri pun tak malu disebut manusia aneh yang
jarang dijumpai dalam seratus tahun terakhir, kehebatan ilmu
silatnya boleh dibilang tiada ke duanya di kolong langit.
Mendadak, dua batang sumpit yang sedang bergerak
secepat kilat itu menempel satu dengan lainnya.
Paras muka ke dua orang itu berubah makin serius, tak
sampai seperminum teh kemudian butiran peluh sebesar
kacang kedele telah jatuh bercucuran membasahi jidat
mereka. Tiba tiba Liu Tiang-kay menjumpai pembaringan yang
diduduki Liong Ngo sudah terperosok ke bawah, begitu juga
dengan sepasang kaki Chin Liat-hoa.
Jelas ke dua orang im sama-sama sudah mengerahkan
segenap tenaga yang dimiliki, tak seorang pun bisa bayangkan
betapa menakutkan dan mengerikannya kekuatan semacam
itu. Yang aneh justru pada sepasang sumpit mereka yang
saling menempel, sumpit bambu yang seharusnya mudah
patah itu, saat ini justru telah berubah jadi sangat lembek dan
lunak. Tak selang berapa saat kemudian, sumpit yang berada
dalam genggaman Chin Liat-hoa tiba tiba melengkung ke
bawah, sementara peluh yang bercucuran membasahi jidatnya
bertambah deras, tak lama kemudian dia lepas tangan,
sekujur tubuhnya jatuh terpental ke belakang, "blaam!" diiringi
suara benturan keras, badannya menumbuk diatas dinding
ruangan. Dinding itu terbuat dari batu bata yang keras, tapi sekarang
tak mampu menahan tumbukan badannya, dinding itu segera
jebol dan muncul sebuah lubang yang amat besar.
Ketika tubuhnya roboh terjungkal, kucuran darah segar
segera menyembur keluar dari mulutnya, bahkan dengus
napas pun seakan-akan ikut terhenti.
Liong Ngo sendiri roboh diatas pembaringannya, sepasang
matanya terpejam rapat, paras mukanya pucat pias bagai
mayat, saking lelah dan lemahnya dia sampai tak sanggup
mengucapkan sepatah kata pun.
Pada saat inilah Liu Tiang-kay turun tangan dengan
kecepatan luar biasa. Cakar tangannya menyambar ke udara lalu bergerak ke
bawah dengan kecepatan tinggi, bagai sambaran petir dia
cengkeram pergelangan tangan Liong Ngo.
Berubah hebat paras muka Liong Ngo, namun dia sama
sekali tidak membuka matanya.
Mong Hui tampak terhenyak, baru saja dia akan menerjang
masuk ke dalam bilik melalui lubang diatas dinding ruangan,
tiba tiba dari luar muncul seseorang dan langsung melepaskan
sebuah pukulan tinju yang-membuat tubuhnya kontan roboh
terjungkal. Si singa jantan Lan Thian-bong.
Ternyata orang yang meninju Mong Hui hingga roboh
adalah Lan Thian-bong. Paras muka Liong Ngo putih memucat, begitu pucatnya
seperti sama sekali tak ada aliran darah.
Liu Tiang-kay bukan saja telah cengkeram urat nadi pada
pergelangan tangannya, secepat kilat dia pun sudah menotok
tiga belas buah jalan darah di tubuhnya.
Liong Ngo masih pejamkan matanya, tiba tiba dia berkata
sambil menghela napas panjang:"Ternyata aku bukan saja
kelewat pandang rendah dirimu, aku pun telah salah menilai
watakmu" "Tak ada manusia yang bisa terhindar dari kesalahan,
apalagi kau pun manusia" sahut Liu Tiang-kay hambar.
"Apakah aku pun telah salah menuduh Chin Liat-hoa?"
"Mungkin itulah kesalahanmu yang terbesar"
"Kau sudah tahu siapakah dia, juga tahu dia tak akan
membiarkan aku terjatuh ke tangan orang lain, karena itu bila
ingin menangkapku, kau harus gunakan kekuatanku untuk
singkirkan dirinya terlebih dulu"
"Terus terang, aku memang agak segan berhadapan
dengannya, tapi yang paling kusegani sesungguhnya adalah
kau sendiri" "Karena itu kau pun menggunakan kekuatannya untuk
menghabisi kekuatanku terlebih dulu?"
"Bila dua ekor bangau saling berebut, nelayan lah yang
paling diuntungkan, siasat yang kugunakan memang siasat
satu batu dua burung"
"Racun yang berada dalam obat itu juga hasil karya mu?"
kembali Liong Ngo bertanya. "Tidak! aku tak ingin diperalat orang lain, terlebih tak ingin
menjadi alatnya Ciu Heng-po, aku akan menggunakan
sepasang tanganku sendiri untuk menangkap hidup hidup kau
si naga sakti" "Apakah kau adalah anak buah Ciu Heng-po?"
"Bukan" "Diantara kita ada dendam kesumat?"
"Tidak ada" "Lalu apa sebabnya kau lakukan hal ini?"
"Aku mendapat pesan dari Oh Lip, Oh lo tay-ya untuk
menangkap kau dalam keadaan hidup hidup, agar berapa
kasus pencurian dan perampokan bisa segera terungkap"
"Kasus kriminil apa yang telah kulakukan?"
"Seharusnya kau lebih jelas daripada aku"
Liong Ngo menghela napas, bukan saja dia sudah
pejamkan sepasang matanya, dia pun menutup rapat
mulutnya. "Bukan baru satu dua hari ini para opas dari enam puluh
tiga propinsi baik di utara maupun selatan sungai besar ingin
menangkapmu, apa lacur semua orang tahu bahwa
menangkapmu bukan satu pekerjaan yang mudah, termasuk
aku sendiri pun tidak yakin bisa berhasil, oleh karena itu aku
harus membuat kau percaya dulu seratus persen kepadaku.
Itulah sebabnya barusan aku turun tangan menolongmu"
"Perkataanmu sudah lebih dari cukup" tukas Liong Ngo
ketus. "Kau tak ingin dengarkan lebih lanjut?"
Liong Ngo tidak menjawab, dia hanya tertawa dingin.
"Kelihatannya kau sudah malas memandangku lagi?" kata
Liu Tiang-kay setengah mengejek.
"Yang tak ingin dilihat bukan kau, tapi aku" tiba tiba Lan
Thian-bong menyela. "Betul" sahut Liong Ngo, "memandang manusia rendah
yang lupa budi dan tak ingat kebaikan orang macam kau
hanya akan mengotori sepasang mata ku saja"
"Kau keliru besar" Lan Thian-bong menghela napas
panjang, "aku turun tangan terhadapmu bukan lantaran lupa
budi atau lupa kebaikan orang, tapi ingin menegakkan
keadilan dan kebenaran dengan mengorbankan orang
terdekat" "Kau pun anak buah Oh Lip?" tak tahan Liong Ngo
bertanya. Lan Thian-bong manggut manggut, kepada Liu Tiang-kay
serunya:"Apakah kau pun tidak menyangka?"
Liu Tiang-kay memang sama sekali tak menyangka.
"Tapi aku sudah tahu asal usulmu sejak awal" sambung Lan
Thian-bong lagi. "Sejak awal kau sudah tahu?" Liu Tiang-kay menegaskan.
"Sebelum kedatanganmu, Oh Lip sudah berpesan untuk baik
baik menjagamu" "Kau memang menjaga ku kelewat baik" Liu Tiang-kay
tertawa getir. Lan Thian-bong menghela napas panjang, ujarnya:
"Tempo hari, aku memang kelewat keras menghajarmu,
tapi aku sendiripun terpaksa harus berbuat begitu, sebab aku
tak boleh membiarkan dia menaruh curiga, aku yakin kau pasti
bisa memahami kesulitanku bukan?"
"Tentu saja aku mengerti"
"Aku tahu, kau pasti tak akan salahkan aku" kata Lan
Thian-bong lagi sambil tertawa.
"Aku tak pernah salahkan kau"
Sambil tersenyum dia ulurkan tangannya dan berkata lebih
lanjut: "Kita semua berasal dari satu keluarga, apalagi sama sama
demi urusan dinas, sekalipun gebukanmu lebih keras lagi juga
tak menjadi soal, kita masih tetap bersahabat"
"Hahaha.... bagus, bagus sekali, aku suka berteman
dengan manusia macam kau" sahut Lan Thian-bong sambil
tertawa tergelak. Sambil tertawa dia ulurkan tangannya juga untuk
berjabatan tangan dengan Liu Tiang-kay, tapi suara
tertawanya tiba tiba berhenti setengah jalan, paras mukanya
mengejang keras, dia sudah mendengar suara tulang belulang
yang sedang remuk. Hanya didalam waktu singkat, Liu Tiang-kay telah
mematahkan pergelangan tangannya dan meninju persis
diatas batang hidungnya. Semuanya ini dapat berlangsung dengan lancar bukan saja
karena dia sama sekali tak waspada, hal ini juga disebabkan
gerak serangan yang digunakan Liu Tiang-kay kelewat cepat
dan kelewat hebat. Begitu batang hidungnya tertonjok telak, kakek tua bagai
singa jantan ini segera roboh terjengkang ke atas tanah.
Liu Tiang-kay tidak berhenti sampai disitu saja, kembali
kepalan tinju nya menghantam dada serta sepasang bahunya
secara bertubi tubi, dengan senyum dikulum katanya:
"Kau menghajarku, aku tak salahkan kau, sekarang aku
menghajar dirimu, seharusnya kau pun tak menyalahkan aku
bukan" Sekalipun hajaranku kali ini jauh lebih berat daripada
pukulanmu tempo hari, aku tahu, kau pun pasti tak masuk kan
ke dalam hati" Lan Thian-bong sudah tak mampu buka suara lagi.
Dia mesti menggertak gigi kuat kuat agar tak sampai
menjerit kesakitan, ketika dia menghajar Liu Tiang-kay tempo
hari, anak muda itupun tak pernah berteriak kesakitan apalagi
minta ampun. Sepasang mata Liong Ngo meski masih terpejam rapat,
sekulum senyuman telah menghiasi ujung bibirnya.
Dia bukan saja sahabat karib Lan Thian-bong, juga
terhitung tuan penolong Lan Thian-bong, tapi kenyataannya,
Lan Thian-bong telah menghianatinya.
Orang yang lupa budi, membalas air susu dengan air tuba,
sudah sepantasnya memperoleh hukuman yang setimpal.
Sekarang Lan Thian-bong telah mendapatkan hukumannya
yang setimpal. Setiap kepalan tinju Liu Tiang-kay yang menghajar tubuh
Lan Thian-bong, seolah olah merupakan kepalan tinju dari
Liong Ngo. Yang terdengar dalam ruangan itu hanya dengusan napas
yang tersengkal sengkal. Ketika Liu Tiang-kay menghentikan hajarannya, Lan Thianbong
sudah bukan merupakan singa jantan lagi, dia sudah
dihajar macam seekor anjing gelandangan.
"Orang yang berhutang kepadaku, kini sudah kutagih
lunas" ujar Liu Tiang-kay kemudian sambil mengelus tinju nya,
sinar aneh memancar dari balik matanya, "sekarang giliran
aku membayar hutang"
"Kau berhutang kepada siapa?" tiba tiba Liong Ngo
bertanya. "Tak mungkin manusia bisa hidup seorang diri di dunia ini,
selama manusia masih hidup, dia pasti pernah menerima budi
kebaikan orang lain"
"Oya?" "Begitu juga dengan dirimu, kau pun butuh makan, butuh
orang lain menanamkan padi untukmu, ketika kau lahir, orang
lain juga yang membantu menerima badanmu, bila tak ada
budi kebaikan orang lain, tak mungkin kau bisa hidup hingga
hari ini, bahkan mungkin hanya hidup saru hari pun tak
Tujuh Pembunuh Qi Sha Shou Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sanggup" "Oleh karena itu setiap orang pasti pernah berhutang?"
sambung Liong Ngo. Liu Tiang-kay manggut manggut.
"Kau mampu membayar semua hutang itu?"
"Tentu saja sulit untuk membayar lunas semua hutang
tersebut, tapi, asal kau bisa melakukan beberapa perbuatan
baik bagi orang lain sepanjang kau masih hidup di dunia ini,
kau sudah dianggap telah membayar hutang hutang itu"
Liong Ngo tidak menjawab, dia hanya tertawa dingin.
Tiba tiba Liu Tiang-kay bertanyar "Tahukah kau, sudah
berapa lama Oh Lip ingin bertemu dengan dirimu?"
"Aku pun bukan satu dua hari ini pingin bertemu
dengannya" tukas Liong Ngo sambil tertawa dingin.
Liu Tiang-kay menghela napas panjang, tiba tiba
ujarnya:"Kalian berdua memang sama sama merupakan orang
yang paling susah dijumpai, memang bukan pekerjaan yang
gampang untuk mempertemukan kalian berdua"
Kembali dia menghela napas panjang.
Dalam hati kecilnya, memang terdapat banyak masalah
yang membuatnya masgul dan murung.
Sekali lagi Liong Ngo pejamkan matanya sambil menghela
napas panjang, katanya: "Sejak awal sudah kuperhitungkan, cepat atau lambat
akhirnya kami pasti akan bertemu juga, tapi aku tidak mengira
kami akan berjumpa dalam situasi seperti ini"
"Memang banyak kejadian yang sama sekali tak terduga di
dunia ini" sela Liu Tiang-kay.
Kemudian sambil menarik bangun Liong Ngo, katanya lebih
jauh: "Tentunya kau pun tak mengira bukan akan terjadi
peristiwa seperti saat ini" Yaa, sebab kau memang bukan Naga sakti yang
sebenarnya, kau sendiri pun tak lebih hanya seorang manusia
biasa" -ooo0d0w0ooo- Bab VII. Tangan kosong menangkap naga.
Oh Lip tentu saja seorang manusia.
Tapi, dia pun termasuk seorang manusia luar biasa, dalam
sejarah hidupnya, dia memang sudah banyak sekali
melakukan pekerjaan yang sangat luar biasa.
Ketika awal kemunculannya dalam dunia persilatan, banyak
orang memanggilnya si "Rase".
Tapi, selain memiliki kecerdikan dan kelicikan bagaikan
seekor rase, dia pun memiliki kesabaran seekor unta, keuletan
seekor kerbau, kegesitan seekor burung elang, kelincahan
burung merpati dan ketajaman mata golok.
Sayang sekali, kini dia sudah tua.
Ketajaman matanya sudah sangat mundur, otot tubuhnya
sudah mengendor, reaksinya semakin lamban, bahkan
mengidap sakit rhematik yang amat parah, sudah banyak
tahun dia berbaring sakit, kemampuannya untuk berdiri pun
sudah amat berkurang. Untungnya, hingga kini dia masih tetap dihormati dan
disanjung orang banyak. Gedung utama yang kuno dan antik, lebar lagi tinggi, meski
sudah ketinggalan jaman namun masih mengandung hawa
seram dan suasana angker yang sulit dilukiskan dengan kata.
Meja kursi pun sudah ketinggalan jaman, warna catnya
sudah memudar, ketika ada angin berhembus masuk,
rontokan debu dan kotoran ikut berguguran dari atas
wuwungan rumah, mengotori tubuh para tetamu.
Saat ini masih ada angin yang berhembus.
Liu Tiang-kay bantu membersihkan noda kotoran dari
tubuh Liong Ngo. Terdengar Liong Ngo bergumam:"Tempat ini kotor sekali,
sudah waktunya untuk bersih bersih"
"Aku tak perduli" sahut Liu Tiang-kay sambil tertawa, "ada
sementara orang memang sudah ditakdirkan untuk hidup dan
bergelindingan diantara pasir dan debu"
"Kau termasuk manusia jenis ini?"
Liu Tiang-kay manggut-manggut.
"Tapi kau berbeda, Oh loya juga berbeda" katanya.
"Kenapa kau selalu menggunakan aku sebagai
perbandingan?" tegur Liong Ngo dengan nada ketus.
"Karena kalian berdua memang berasal dari satu aliran,
satu jenis, sejak dilahirkan sudah berada jauh diatas sana"
Liong Ngo tidak bicara lagi, ia tutup mulutnya rapat rapat.
Suasana di dalam ruang gedung kembali pulih dalam
keheningan, yang terdengar hanya suara angin yang bertiup
diatas kertas jendela, suaranya mirip daun kering yang rontok
ke lantai. Saat ini musim gugur telah berakhir, sudah tiba saatnya
musin hujan salju. "Loya-cu ada?" "Ada" yang membukakan pintu juga seorang kakek,
"tunggulah sejenak di ruang utama, aku segera memberi
laporan" Kakek itu rambutnya telah beruban, wajahnya penuh bekas
luka bacokan, hal ini menunjukkan dulu dia pastilah salah satu
rekan Oh Lip ketika masih malang melintang dalam sungai
telaga. Tak heran cara bicaranya sangat kasar dan tak sungkan,
tapi Liu Tiang-kay memaklumi, dia pun menunggu di ruang
utama, menunggu lama sekali.
Ke mana perginya Oh Gwat-ji"
Semestinya gadis itu tahu kalau Liu Tiang-kay telah datang,
mengapa ia masih belum menampakkan diri"
Liu Tiang-kay tidak bertanya, juga tak dijumpai orang yang
bisa ditanya. Dia sudah dua kali berkunjung ke situ, tapi selama
kunjungannya yang dua kali, dia hanya bertemu dengan tiga
orang.............. Oh Lip, Oh Gwat-ji dan kakek si pembuka
pintu itu. Tapi jika kau anggap tempat ini bisa dikunjungi dan
ditinggalkan seenak sendiri, dugaanmu itu keliru besar,
bahkan keliru setengah mati.
Arti "setengah mati" adalah benar-benar bisa membuat kau
kehilangan nyawa. Sudah puluhan tahun lamanya Oh lo-yacu malang
melintang di sungai telaga, tak sedikit jumlah jagoan dan
orang gagah golongan hitam yang pecundang ditangannya.
Musuh besar yang menginginkan nyawa nya juga tak
sedikit jumlahnya, diantara mereka, banyak sekali yang
pernah datang ke situ dan mencoba mencari balas.
Sayangnya, orang yang pernah datang ke situ tak seorang
pun diantara mereka yang berhasil keluar dalam keadaan
hidup. Rembulan lambat laun semakin tenggelam di ufuk barat,
suasana di dalam ruang utama pun semakin gelap.
Oh Lo-yacu belum juga menampakkan diri.
Liong Ngo tak bisa menahan diri lagi, jengeknya sembari
tertawa dingin: "Hmm, tampaknya orang itu pandai sekali jual lagak"
"Orang yang pandai berlagak memang bukan hanya kau
seorang" sambung Liu Tiang-kay hambar.
Setelah tertawa, kembali terusnya:
"Apalagi bila aku jadi kau, aku pasti tak ingin terburu buru
bertemu dengan nya" "Dia juga tak terburu buru ingin bertemu denganku?"
"Dia memang tak perlu terhuni napsu"
"Karena aku sudah menjadi ikan dalam perangkap?"
"Tapi dalam pandangannya, kau masih tetap bagaikan
seekor naga beracun"
"Oya?" "Dia adalah seorang yang teliti dan sangat berhati-hati,
sebelum segalanya menjadi jelas, mustahil dia akan muncul
disini untuk bertemu dengan naga beracun macam kau"
"Kenapa?" "Dia harus yakin dulu apakah si naga beracun betul-betul
sudah berubah jadi seekor ikan dalam jaring, selain im, dia
pun harus tahu apakah ikan dalam jaring ini masih bermanfaat
baginya atau tidak" "Dia harus bertanya pada siapa?"
"Siapa yang paling memahami kau, siapa yang paling jelas
tentang masalah ini?"
"Lan Thian-bong maksudmu?"
Liu Tiang-kay tidak menjawab, dia hanya tersenyum.
"Dia juga kemari?" kembali Liong Ngo bertanya.
"Aku rasa dia baru saja tiba di sini"
Pada saat itulah terdengar seseorang dengan suara yang
parau tua berkata seraya tertawa:"Maaf sekali, kalian harus
menunggu agak lama" 0-0-0 Dalam ruang utama yang panjang lagi lebar, terdapat pintu
yang ditutup dengan kain tebal, ruangan im terbagi menjadi
lima bagian. Liu Tiang-kay berada diluar pintu lapis pertama, sementara
suara itu muncul dari pintu lapisan terakhir.
Seorang kakek kurus kering yang berwajah layu dan kusut,
dengan mengenakan mantel yang terbuat dari bulu rase,
duduk di sebuah bangku besar yang beroda dan bisa
didorong. Orang yang mendorong bangku itu adalah pelayan tua
yang membukakan pintu tadi didampingi Lan Thian-bong.
Hampir pada saat yang bersamaan, tiba tiba terdengar
suara "kraakk!" yang amat nyaring, dari atas empat buah
pintu itu berbareng muncul empat buah terali besi yang
sangat besar dan kuat, yang memisahkan antara Oh lo-yacu
dengan Liu Tiang-kay. Terali besi itu besarnya selengan bayi, begitu besar, kasar
dan kuat, walaupun ada beribu ribu prajurit sekalipun rasanya
sulit untuk menjebol terali besi itu dalam waktu singkat.
Liu Tiang-kay sama sekali tidak heran atau tercengang, dia
sudah pernah mengalami hal semacam ini ketika datang untuk
pertama kalinya, yang merasa diluar dugaan justru Liong Ngo.
Sekarang dia baru percaya, Oh Lip memang seorang yang
sangat berhati hati dan teliti, kehati-hatiannya jauh diatas
siapa pun di dunia ini. Dalam pada itu Liu Tiang-kay telah bangkit berdiri, sambil
tersenyum membungkukkan badan memberi hormat.
"Lo-yacu, baik baikkah anda?"
Sepasang mata Oh Lip bertambah sipit ketika tertawa,
sahutnya:"Aku sangat baik, kaupun baik, semua orang baik
baik" Kemudian sambil berpaling ke arah Liong Ngo,
tambahnya:"Hukum langit memang sukar ditembus, aku tahu,
cepat atau lambat dia bakal mengalami nasib seperti ini"
Kemudian sambil tersenyum ke arah Liu Tiang-kay, ujarnya
lagi:"Aku pun tidak salah menilai kau, aku tahu, kau tak akan
membuat aku kecewa" Liu Tiang-kay tertawa, kepada Lan Thian-bong
katanya:"Sudah kau laporkan semua kejadian kepada loyacu?"
Sambil meraba bekas luka di wajahnya, Lan Thian-bong
tertawa getir:"Seandainya kau turun tangan lebih berat sedikit
saja, mungkin tenaga untuk bicara pun sudah tak kumiliki"
Oh Lip tertawa keras. "Hahahah...... sekarang kalian berdua sudah seri, lebih baik
masing-masing jangan mengingatnya lagi di dalam hati"
Kemudian sambil mengidapkan tangannya memberi tanda,
dia berpaling dan perintahnya:"Singkirkan semua barang
barang itu" Yang dimaksud "semua barang" tak lain adalah ke empat
pintu berterali besi itu.
Sementara kakek bercodet itu masih sangsi, dengan kening
berkerut Oh Lip telah berkata Iagi:"Lebih baik kau ingat baikbaik,
mulai saat ini Liu toaya sudah menjadi saudara sendiri,
diantara saudara tidak seharusnya dihalangi oleh benda apa
pun" Tiba tiba Liong Ngo tertawa dingin, ejeknya:"Sepasang
saudara yang sangat tepat, seekor budak anjing plus seekor
rase tua'" Oh Lip sama sekali tak berubah muka, dia masih berkata
sambil tersenyum:'"Lebih baik kau pun ingat baik baik, selama
persaudaraan kami masih hidup, hanya manusia macam kalian
yang bakal mampus satu per satu"
Pintu terali besi telah dibuka.
Tiba tiba Oh Lip berkata Iagi:"Serahkan barang itu kepada
Liu toaya, lalu seret kemari naga beracun itu, aku ingin lihat
manusia macam apakah dia"
Kakek bercodet itu segera berjalan mendekat sambil
membawa sebuah buntalan kain, isi buntalan itu tak lebih
hanya satu stel pakaian berwarna biru.
Pakaian itu tak lain adalah pakaian yang dikenakan Oh
Gwat-ji ketika bermain cinta dengan Liu Tiang-kay malam itu,
dari atas pakaian lamat lamat masih terendus bau harum
tubuhnya. "Pakaian itu sengaja ditinggalkan olehnya sebelum pergi
dari sini, dia minta benda itu diserahkan kepadamu" Oh Lip
menerangkan. "Dia...... dia pergi ke mana?" Liu Tiang-kay merasa hatinya
seolah-olah tenggelam. Sekilas perasaan sedih dan duka yang mendalam menghiasi
wajah Oh Lip yang layu, sahutnya:"Sebuah tempat yang bakal
didatangi setiap orang, sebuah tempat yang bisa didatangi
tapi tak akan ditinggalkan untuk selamanya"
Setelah berhenti sejenak, kembali terusnya dengan suara
pedih: "Rembulan ada kalanya redup dan tak bersinar,
manusia pun kadang gembira kadang sedih, kadang
berkumpul kadang harus berpisah, kau masih muda, kau
harus bisa memandang lebih terbuka soal ini"
Liu Tiang-kay merasakan sekujur tubuhnya jadi kaku,
mengejang keras. Apakah Oh Gwat-ji benar-benar telah mati"
Setiap saat, setiap kesempatan, dia selalu berpesan
kepadanya agar berusaha mempertahankan hidup, mengapa
dia sendiri malah mati"
Mengapa dia mati secara mendadak, mengapa mati secepat
itu" Liu Tiang-kay tidak percaya, dia tak pernah mau percaya.
Tujuh Pembunuh Qi Sha Shou Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi kenyataan memaksa dia mau tak mau harus percaya.
Oh Lip kembali menghela napas, dia kelihatan lebih tua,
lebih layu, terusnya:"Sejak kecil dia sudah mengidap satu
penyakit ganas yang belum ada obatnya, dia sadar, setiap
waktu setiap saat dia bisa berangkat ke langit barat, maka
selama ini dia rahasiakan urusan tersebut, mengapa dia
enggan kawin denganmu" Tak lain karena dia kuatir kau
teramat sedih" Liu Tiang-kay tidak bergerak, tidak buka suara.
Dia bukan seorang pemuda yang kelewat emosional, tak
mungkin baginya untuk menangis tersedu-sedu atau tertawa
terbahak bahak, kini dia hanya berdiri termangu, seolah-olah
telah berubah jadi manusia batu.
Sementara itu Lan Thian-bong menghela napas panjang,
tiba tiba ujarnya:"Belum pernah aku bujuk orang untuk minum
arak, tapi sekarang................" sambil membawa poci arak dia
berjalan mendekat, kemudian terusnya, "sekarang kau
memang butuh dua cawan arak"
Arak itu masih hangat. Jelas dia memang sengaja
mempersiapkannya untuk Liu Tiang-kay.
Bila perasaan hati seseorang sedang hancur berantakan,
selain minum arak, hiburan apa lagi yang bisa
mententeramkan perasaannya"
Namun, setelah minum arak, apa pula yang bisa diperbuat"
Ketika air kata kata mengalir ke dalam usus yang murung,
bukankah akan berubah juga menjadi air mata kerinduan"
Bagaimana pula bila tak diminum"
Bisa minum arak sepuas puasnya, paling tidak bisa
membuat diri jadi mabuk, jadi hilang kesadarannya, dan
keadaan pasti jauh lebih enakan.
Akhirnya Liu Tiang-kay terima juga poci arak itu, sahurnya
sambil tertawa paksa:"Mari, kau temani aku minum secawan!"
"Aku tidak minum" tampik Lan Thian-bong.
Suara tertawanya kedengaran agak dipaksakan juga,
lanjutnya:"Darah yang keluar dari mulutku belum mengering,
aku tak boleh minum biar hanya setetespun"
"Tidak mau pun tetap harus minum" paksa Liu Tiang-kay
lagi sambil tertawa. Lan Thian-bong tertegun. "Tidak maupun tetap harus minum", perkataan apa im"
Diluar dugaan, ternyata Liu Tiang-kay masih ada tindakan
berikut yang sama sekali diluar dugaannya.
Sambil mengangkat poci arak itu, dia langsung menuang
isinya ke dalam mulut Lan Thian-bong.
Berubah hebat paras muka singa jantan ini.
Begitu juga dengan kakek bercodet itu, paras mukanya
nampak berubah sangat hebat.
Hanya Oh Lip yang sama sekali tidak menunjukkan
perubahan, tiba tiba dia ayunkan tangannya, tiga buah titik
cahaya tajam secepat petir menyambar ke tubuh Liong Ngo.
Jalan darah ditubuh Liong Ngo sudah tertotok, tadi dia
diseret masuk oleh kakek bercodet itu macam seekor bangkai
ikan yang tak berkutik. Tapi, ketika tiga titik cahaya tajam itu mengancam ke
tubuhnya, tiba tiba dia melejit ke tengah udara dengan
kecepatan tinggi. Lompatan itu sangat cepat dan hebat, tak ubahnya
bagaikan seekor naga sakti yang sedang bermain di angkasa.
Oh Lip yang dingin bagai bunga salju, tenang bagai batu
karang itu mau tak mau ikut berubah hebat paras mukanya.
"Triing!" bunga api memancar ke empat penjuru, senjata
rahasia yang dia lancarkan semuanya menancap di atas ubin
lantai yang terbuat dari batu hijau.
Menyusul kemudian, kembali terdengar suara dentingan
nyaring, "Triing!", Lan Thian-bong telah melepaskan sebuah
pukulan tinju ke depan, bukan wajah Liu Tiang-kay yang
terhajar, tahu tahu dia hancurkan poci arak itu.
Tak ampun isi poci arak itu segera menyembur ke empat
penjuru, membasahi wajahnya, membasahi pula sepasang
matanya. Bagaikan terkena senjata rahasia yang paling menakutkan,
tiba tiba dia menjerit kesakitan, sambil meraung bagai
binatang yang terluka dia tutupi sepasang matanya dengan
dua belah tangannya lalu berlarian keluar dari ruangan itu.
Apakah arak dalam poci itu adalah arak beracun"
Semua tugas yang diberikan Oh Lip telah diselesaikan Liu
Tiang-kay dengan sempurna, mengapa Oh Lip justru
perintahkan orang untuk meracuninya hingga mati"
Liong Ngo yang jelas sudah ditangkap Liu Tiang-kay dan
sama sekali tak mampu berkutik, mengapa secara tiba tiba
bisa melejit ke udara, bahkan gerakan tubuhnya jauh lebih
hebat dari seekor naga sakti"
-oo0d-0-w0oo- Tak ada angin. Awan kelabu yang kelam dan gelap di luar jendela
menggumpal dan sama sekali tak bergerak, sekilas pandang,
bentuknya persis seperti sebuah lukisan tinta yang kusam.
Raung kesakitan yang memilukan hati juga telah berhenti.
Baru saja Lan Thian-bong menerjang keluar dari ruangan,
dia sudah roboh diatas batuan, kakek yang berperawakan
tinggi besar lagi tegap itu dalam waktu sekejap telah roboh
tak berkutik di lantai. Memandang hingga tubuhnya roboh tak bergerak Liu
Tiang-kay baru memalingkan kepalanya, sementara tubuh
Liong Ngo baru saja melayang turun ke bawah.
Oh Lip masih belum berkutik, dia masih duduk di kursi
dorongnya tanpa bergerak, paras mukanya telah pulih kembali
dalam ketenangan, terdengar ia bergumam lirih:
"Tujuh langkah, dia hanya mampu lari tujuh langkah"
"Arak beracun yang sangat lihay!" Liu Tiang-kay menghela
napas pula. "Arak beracun itu hasil racikanku sendiri" Oh Lip
menerangkan. "Khusus diracik untuk disuguhkan kepadaku?"
Oh Lip manggut manggut:"Oleh karena itu kau seharusnya
menyesal" "Menyesal?" "Arak itu lumayan rasanya" bisik Oh Lip perlahan, dari balik
matanya tiba tiba terpancar keluar perasaan sayang yang
amat besar, "Lan Thian-bong belum berhak untuk minum arak
semacam itu" "Oya?" "Selama ini dia memang tak pernah jadi orang baik, dia tak
pantas menerima kematian semacam ini"
"Tapi mati tetap mati........"
"Mati pun ada banyak macamnya" tukas Oh Lip.
"Kematiannya termasuk yang mana?"
"Kematian yang amat menyenangkan"
"Apakah lantaran dia mati dalam waktu singkat?" Oh Lip
manggut manggut. "Semakin cepat maut datang menjemput, semakin
berkurang penderitaan yang harus dirasakan, hanya orang
baik yang pantas dan berhak menerima kematian semacam
ini" dia dongakkan kepalanya menatap wajah Liu Tiang-kay,
tiba tiba sekulum senyuman yang aneh tersungging diujung
bibirnya, pelan pelan dia melanjutkan:"Selama ini aku selalu
menganggap kau adalah orang baik, itulah sebabnya secara
khusus aku racikkan arak beracun itu untukmu"
"Wah, kalau begitu tampaknya aku harus mengucapkan
banyak terima kasih kepadamu" kata Liu Tiang-kay sambil
tertawa. "Yaa, kau memang seharusnya berterima kasih kepadaku"
"Tapi sayang kau telah melupakan sesuatu"
"Melupakan apa?"
"Agaknya kau lupa bertanya dulu kepadaku, apakah aku
ingin cepat cepat mati atau tidak?"
"Ketika ingin membunuh seseorang, aku ,tak pernah
bertanya dulu apakah dia pingin mati, aku hanya perhatikan
patutkah dia mati" "Ehmmm, sangat masuk diakal" puji Liu Tiang-kay sambil
menghela napas panjang. "Maka dari itu, semestinya kau sudah mampus sekarang"
"Aku belum mampus, atau mungkin lantaran aku bukan
orang baik?" "Yaa, tampaknya memang begitu" Oh Lip ikut tertawa, "jika
aku orang baik, tak bakal aku bisa menduga kalau kau ingin
membunuhku" "Aku memang ingin bertanya kepadamu, darimana kau bisa
menduga sampai ke situ?"
"Sejak awal aku sudah menduga sampai ke situ"
"Oya?" "Sejak awal aku sudah curiga, perampok ulung yang
sesungguhnya bukan Liong Ngo melainkan kau"
"Oya?" "Sebab semua kasus pencurian dan perampokan terjadi
setelah kau mengundurkan diri, Liong Ngo tak perlu takut
kepadamu, jika dia ingin melakukan tindak kriminal, dia tak
perlu melakukannya setelah menunggu kau mengundurkan
diri dari jabatan" "Kelihatannya alasan ini masih belum cukup"
"Setiap kasus dilakukan sangat bersih tanpa meninggalkan
sedikit jejak pun, hanya seorang ahli yang bisa melakukan
pekerjaan sebersih ini"
"Liong Ngo bukan seseorang yang sangat ahli?"
"Tidak, dia bukan"
"Atas dasar apa kau berkesimpulan begitu?"
"Karena aku sendiripun seorang ahli, aku bisa melihatnya"
"Kau yakin tidak keliru?"
"Tidak mungkin keliru, itulah sebabnya aku pergi mencari
bukti" "Maka kau pergi mencari Liong Ngo?" sela Oh Lip.
Liu Tiang-kay manggut manggut.
"Aku berbuat begitu tentu saja agar kau menaruh
kepercayaan kepadaku, agar kewaspadaanmu terhadapku
semakin mengendor, kalau tidak, mana mungkin aku bisa
mendekatimu?" Setelah tertawa hambar, kembali terusnya:
"Bila aku tidak menangkap Liong Ngo dan membawanya
menghadapmu, bagaimana mungkin kau bisa perintahkan
orang untuk menarik kembali semua terali besi penyekat itu?"
Oh Lip menghela napas panjang.
"Dahulu, tampaknya aku telah salah menilaimu, kau
memang tidak termasuk seorang manusia baik baik"
"Tapi aku tak pernah salah menilai dirimu"
Oh Lip kembali tertawa, namun sorot matanya sudah tidak
memancarkan niat untuk tertawa.
"Manusia macam apa aku ini?" tanyanya, "kau sungguh
dapat melihatnya dengan pasti?"
"Dengan kecerdikan dan ketelitianmu, semestinya tak
gampang untuk menangkap manusia macam kau, sayangnya
ambisimu kelewat besar"
Oh Lip hanya mendengarkan, dia tidak memberi komentar.
Liu Tiang-kay berkata lebih lanjut:"Ketika awal melakukan
tindak kriminal, mungkin kau ingin cepat cuci tangan dan
sudahi kebiasaan tersebut, tapi sayang, sejak dimulai kau
sudah tak mampu mengendalikan diri, kau tak sanggup
perintahkan sendiri untuk berhenti, karena kau memang
selamanya tak kenal arti kepuasan"
Oh Lip menatap tajam wajahnya, dua butir kelopak
matanya seakan akan telah berubah jadi dua butiran salju
yang membeku. Liu Tiang-kay melanjutkan:"Oleh karena itu tindak kriminal
yang kau lakukan makin hari semakin besar, makin lama
semakin banyak, kau sendiripun sadar, gejala macam begini
sangat membahayakan posisimu, sekalipun kau sudah
mengundurkan diri, telah hidup terpencil mengasingkan diri,
tapi cepat atau lambat semua kasus ini pasti akan merembet
ke kepala sendiri" Tampaknya dia merasa sedikit terenyuh, terusnya:"Bila
seseorang pernah makan sesuap nasi dari uang negara,
selama hidup jangan harap kau bisa lolos dari urusan negara"
"Itulah sebabnya aku harus mencari seseorang sebagai
kambing hitam untuk memikul semua dosa itu, dengan begitu
aku baru bisa cuci tangan dari semua tanggung jawab itu"
sambung Oh Lip. "Yaa, karena kaupun tahu, hidupmu baru aman sentosa
jika semua kasus ini sudah terbongkar dan terkuak"
"Kelihatannya kau memang seorang yang sangat ahli" ejek
Oh Lip sambil tersenyum. "Tapi ada satu hal yang tidak kupahami, kenapa kau harus
pilih Liong Ngo sebagai kambing hitammu?"
"Kau tidak mengerti?"
"Bukankah lebih gampang mencari orang lain sebagai
kambing hitam ketimbang mencari Liong Ngo?"
Oh Lip memandang Liong Ngo sekejap, sementara itu Liong
Ngo sudah duduk, dia memilih sebuah bangku yang paling
enak dan paling nyaman untuk duduk.
Paras mukanya masih tenang dan tenteram, seakan akan
kasus tersebut sama sekali tak ada sangkut paut dengan
dirinya. Kembali Oh Lip menghela napas, katanya:"Aku memang
tidak seharusnya pilih dia, kelihatannya orang ini tidak
gampang untuk dihadapi"
"Tapi kau harus pilih dia" sela Liu Tiang-kay.
"Kenapa?" "Karena dalam kasus ini kau tak bisa ambil keputusan
sendiri" "Oya?" "Kau masih punya seorang rekan, dan rekanmu sangat
berkeinginan untuk menghabisi nyawa Liong Ngo"
"Sejak kapan kau berpendapat begitu?"
"Setelah mengunjungi Nyonya Rindu, aku baru
berpendapat demikian"
"Maksudmu rekanku itu adalah Ciu Heng-po?" Liu Tiang-kay
manggut-manggut. "Tidak seharusnya dia tahu kalau aku hendak mencarinya,
tapi dia seperti sudah membuat persiapan sejak awal, bahkan
sudah menanti kedatanganku"
"Kau curiga aku yang beritahu kepadanya?"
"Tentu saja, karena orang yang tahu rencana ini selain aku
Tujuh Pembunuh Qi Sha Shou Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hanya Liong Ngo, Chin Liat-hoa dan Oh Gwat-ji"
"Ehmm, tentu saja kau tak akan beritahu kepadanya" kata
Oh Lip. "Liong Ngo dan Chin Liat-hoa juga tak mungkin"
Oh Lip tidak menjawab, tapi dia harus mengakui.
"Oleh sebab itu setelah kupikir bolak balik, Ciu Heng-po
bisa tahu rahasia ini karena hanya ada satu
penjelasan.......karena dia memang satu komplotan dengan
kalian" Setelah tertawa lebar, terusnya:"Apalagi meski kau tak
pandai berhitung, tapi enam tambah satu mestinya tujuh
orang, hitung hitungan semacam ini mestinya tak akan
menyulitkan aku bukan?"
Oh Lip berkerut kening, tampaknya dia tak mengerti
maksud perkataan itu. Liu Tiang-kay segera menjelaskan:"Aku sudah tahu, di luar
gua rahasia milik Ciu Heng-po ada tujuh orang jagoan yang
berjaga disitu, tapi Oh Gwat-ji hanya beritahu nama enam
orang, sewaktu dalam rumah makan di bukit Say-soat-san,
orang yang kujumpai pun hanya enam orang"
"Yang kau jumpai tentunya Tong Kim, Tam It-hui, si
Pengait sukma Tio tua, Tiat hwesio, si anjing gila Li serta si
wadam?" "Betul" Liu Tiang-kay mengangguk, "karena itulah aku
selalu keheranan, ke mana perginya yang seorang lagi?"
"Sekarang kau sudah mengerti?"
"Setelah kupikir berulang kali, rasanya hanya ada satu
penjelasan" "Apa penjelasanmu?"
"Dia tak pernah mengungkap nama orang ke tujuh karena
aku kenal dengan orang itu"
"Siapakah orang itu?"
"Kalau bukan Ong Lam, tentunya Oh Gwat-ji sendiri"
Ong Lam adalah orang yang berperan sebagai suami Oh
Gwat-ji sewaktu di rumah pertanian, yaitu si petani yang
kemaruk harta tapi takut mati itu.
"Tentu saja aku tahu Ong Lam bukan orang desa
sungguhan, aku pun tahu dia bukan opas sungguhan"
"Kau mengetahui asal usulnya?"
"Justru karena tidak tahu maka aku baru curiga"
Kembali Oh Lip menghela napas panjang.
"Jalan pikiranmu sungguh cermat dan teliti, jauh lebih
cermat ketimbang aku" pujinya.
"Jadi kau pun ada yang tidak dipahami?"
"Banyak sekali"
"Kalau begitu tanyakan"
"Kau tidak sungguhan menguasahi Liong Ngo?"
"Kau sendiri pernah berkata, dia bukan seorang manusia
yang gampang dihadapi"
"Dia juga tidak sungguhan membunuh Chin Liat-hoa?"
"Chin Liat-hoa adalah sahabat karibnya dan satu satunya
sahabat yang paling setia kepadanya, tak akan ada yang tega
membunuh seorang sahabat macam dia"
"Berarti kalian sengaja berakting untuk memainkan
sandiwara ini agar ditonton Lan Thian-bong?"
"Sejak awal sudah kuduga, disisi Liong Ngo pasti ada mata
mata yang sengaja kau selundupkan ke situ"
"Maka kau sengaja membiarkan Lan Thian-bong pulang
duluan agar melaporkan kejadian tersebut kepadaku?"
"Hajaranku yang keras sebetulnya bukan untuk balas
dendam, aku sengaja berbuat begitu agar kau percaya
kepadaku" "Aku sama sekali tak menyangka, ternyata kau bekerja
sama dengan Liong Ngo memainkan sandiwara tersebut" seru
Oh Lip sambil tertawa getir.
"Masih ada yang tidak kau pahami?"
"Setelah bertemu Ciu Heng-po, apakah kau belum pernah
bertemu lagi dengannya?"
"Belum" "Lalu kapan kalian rundingkan rencana ini?"
Tiba tiba Liu Tiang-kay tertawa tergelak.
"Tahukah kau, kenapa aku bikin gusar Khong Lan-kun
hingga dia pergi dengan marah?" tanyanya. Oh Lip
menggeleng. "Karena aku sengaja menginginkan dia pergi sambil
membawa kotak kosong itu" Liu Tiang-kay menjelaskan.
"Rahasia apa dibalik kotak kosong itu?"
"Tidak ada rahasia apa apa, Cuma sebuah buku skenario
untuk memainkan sandiwara ini"
"Skenario sandiwara ini?"
"Sudah kuduga Khong Lan-kun pasti akan serahkan kotak
kosong itu kepada Liong Ngo, akupun yakin dia pasti akan
mengikuti skenarioku untuk mengimbangi aku bermain dalam
sandiwara ini" Setelah tersenyum, kembali ujarnya:"kau memang tak
salah menilai dia. akupun tidak, hanya saja ada kemungkinan
orang itu jauh lebih cerdik dari apa yang kita bayangkan,
bahkan jauh lebih baik membawakan perannya dalam
sandiwara ini" "Tampaknya kau sudah melupakan peran aktor lain yang
tak kalah hebatnya" tiba tiba Liong Ngo menyela.
"Yaa betul, peran Chin Liat-hoa dalam sandiwara inipun
sangat hebat" sambung Liu Tiang-kay sambil tertawa.
"Tapi dia selalu merasa kuatir"
"Kuatir rencana ku bakal gagal?"
Liong Ngo mengangguk membenarkan.
"Tapi nyatanya peran kalian dalam sandiwara ini sangat
hidup" puji Liu Tiang-kay.
"Itu disebabkan hanya dia seorang yang kuatir"
"Kau tidak kuatir?" Liong Ngo tertawa.
"Temanku memang tak banyak, tapi aku jarang salah
menilai seseorang" sahutnya.
"Menurut kau, manusia macam apa Oh Lip ini?"
"Penyakitnya yang terutama bukan berhati rakus"
"Lalu apa?" "Berhati busuk!"
"Wah, tampaknya penilaianmu jauh lebih tepat ketimbang
aku" Setelah menghela napas, Liu Tiang-kay berpaling ke arah
Oh Lip dan berkata lebih lanjut:"Jika kau tidak terburu buru
ingin membunuh kami, mungkin sampai sekarang pun aku
belum yakin kaulah orang yang sedang kucari"
"Sekarang sudah yakin?"
"Tidak diragukan lagi"
"Kelihatannya kau kelupaan satu hal"
"Soal apa?" "Perampok itu bisa meloncat keatas penglari rumah, bisa
berlarian di wuwungan rumah, bahkan bisa masuk keluar
rumah keluarga kerajaan dengan leiuasa, sebaliknya aku
hanya seorang cacad yang lumpuh sepatuh badannya"
Liu Tiang-kay segera tertawa.
"Kau tidak percaya?" kembali Oh Lip berseru.
"Bila kau jadi aku, kau percaya?"
Oh Lip memandangnya sekejap, lalu memandang pula
Liong Ngo. tiba tiba ia tertawa tergelak:"Hahaha.... yaa, jika
aku jadi kalian, akupun tak percaya"
Ketika tertawa kali ini, sorot matanya mengandung niat
untuk tertawa, tertawa yang membawa kelicikan seekor rase,
kekejian seekor kalajengking beracun.
Tiba tiba dia berpaling dan bertanya kepada kakek bercodet
itu: "Kau percaya?"
"Aku percaya!" "Bukankah sepasang kakiku sudah kaku, hilang kontrol dan
sama sekali cacad?" "Benar" "Mana golokmu?"
"Golok ada disini"
Tanpa perubahan mimik muka kakek bercodet itu
mencabut keluar dua bilah golok dari sakunya, golok itu tidak
panjang tapi tajamnya luar biasa.
"Cepat tidak golokmu" Kembali Oh Lip bertanya sambil
tersenyum. "Cepat sekali" "Bila ditusukkan keatas kakiku?"
"Kau tak akan kesakitan"
"Kenapa?" "Karena kakimu sudah lumpuh, sudah cacad"
"Benarkah itu?"
"Akan kucoba" Wajahnya masih tidak menunjukkan perubahan apapun,
mendadak dia turun tangan, diantara kilatan cahaya golok,
dua bilah golok pendek itu sudali menancap diatas kaki Oh
Lip, mata golok sepanjang satu depa tiga inci menancap
dalam pahanya hingga tinggal gagangnya.
Darah segar jatuh bercucuran dari mulut luka, tapi
senyuman masih menghiasi wajah Oh Lip, katanya:"Aah,
ternyata memang benar, aku sama sekali tidak merasa sakit"
Kakek bercodet itu menundukkan kepalanya, otot dan
kerutan wajahnya nampak mengejang keras, sambil
menggertak gigi katanya sepatah demi sepatah:"Tentu saja
semuanya benar, aku memang sangat percaya"
Sambil tersenyum Oh Lip mendongakkan kepalanya, sambil
memandang Liu Tiang-kay dan Liong Ngo
tegurnya:"Bagaimana dengan kalian" Sekarang kalian percaya
bukan?" Tak ada yang menjawab, tak ada yang bisa menjawab.
Kembali angin berhembus masuk melalui daun jendela,
membawa baui harum bunga yang semerbak.
Tiba tiba Liong Ngo menghela napas panjang, gumam
nya:"Kemungkinan besar malam ini akan turun hujan"
Pelan pelan dia bangkit berdiri, membersihkan debu dari
pakaiannya dan tanpa berpaling berjalan keluar dari ruangan
gedung. Melihat dia berjalan keluar dari ruangan, tiba tiba Liu Tiangkay
ikul menghela napas, gumamnya pula:"Yaa, kemungkinan
besar malam ini akan turun hujan"
Dia pun berjalan keluar dari ruangan, tiba didepan pintu,
tak tahan ia berpaling sambil berseru:"Aku tak ingin
kehujanan, tampaknya aku pun harus pergi dari sini"
Oh Lip tersenyum. "Akupun tak ingin melihat kau kehujanan, biarpun kau
bukan orana baik, rasanya kaupun tidak terlalu jahat"
"Tapi ada satu hal aku ingin bertanya lagi kepadamu"
"Tanyakan" "Kau punya nama, punya kedudukan, banyak orang
menghormatimu! hidupmu sudah tergolong tenteram, jauh
lebih nyaman dan tenteram ketimbang kebanyakan orang
lainnya" "Aku peroleh semuanya itu dari jerih payahku selama
banyak tahun" "Aku tahu" setelah menghela napas, terusnya, "justru
karena tahu maka aku jadi tak mengerti"
"Mengerti apa?"
"Setelah berjuang dan bersusah payah banyak tahun, kau
baru peroleh semuanya seperti hari ini, Kini kau memiliki
segalanya, kaupun sudah termasuk orang sesepuh, tapi
mengapa masih harus melakukan perbuatan macam ini?"
Oh Lip tidak langsung menjawab, dia termenung dan
berpikir sampai lama sekali, kemudian baru
jawabnya:"Sebetulnya akupun tidak mengerti, kenapa
seseorang yang usianya makin sepuh justru dia semakin
kemaruk harta" Memangnya dia ingin membawa semua uang
dan harta kekayaannyu ke dalam liang kubur?"
"Sekarang kau sudah mengerti?"
Pelan pelan Oh Lip mengangguk.
"Sekarang aku baru mengerti, orang semakin tua semakin
kemaruk harta karena hanya orang tua yang bisa menembusi
semua masalah, hanya orang tua yang tahu, barang yang ada
di dunia ini tak ada yang lebih penting daripada harta
kekayaan" "Aku masih belum mengerti"
Oh Lip tertawa. "Jika kau sudah hidup seusia ku, kau pasti akan paham
teori ini" katanya. Liu Tiang-kay ragu sesaat, akhirnya dia berjalan keluar dari
ruangan, tiba di luar pintu, tak tahan dia berpaling lagi seraya
bertanya:"Ke mana perginya Gwat-ji?"
"Kau ingin bertemu dengannya?"
Liu Tiang-kay manggut manggut:"Perduli dia masih hidup
atau sudah mati, aku ingin sekali dapat bertemu sekali lagi
dengannya" Oh Lip pejamkan matanya, sahurnya hambar:"Sayang
sekali, baik dia hidup atau sudah mati, kau tak akan bertemu
lagi dengannya" Kembali angin berhembus lewat, lamat lamat membawa air
hujan yang lembut. Oh Lip membuka matanya, mengawasi golok yang
menancap diatas pahanya, mendadak wajahnya mengejang
keras, berkerut menahan rasa sakit yang tak terhingga.
Air hujan terasa dingin, dingin sekali.
"Musim gugur sudah berakhir, hari hari berikut tentu makin
lama semakin dingin" gumam Oh Lip dengan suara lirih, tiba
tiba dia cabut keluar golok itu dari kakinya.
-ooo0dw00kz00ooo- Bab VIII. Hukum langit. Air hujan terasa dingin, serat air sangat lembut.
Serat hujan yang lembut lagi panjang melayang turun
diatas pohon waru tepat ditengah halaman, menyumbat daun
waru dipohon tersebut, menyumbat pula perasaan murung
dan masgul dalam hati manusia.
Liong Ngo sudah menyeberangi serambi panjang tapi tidak
berjalan keluar dari situ, dia paling benci basah kuyup oleh air
hujan. Liu Tiang-kay telah menyusul tepat di belakang tubuhnya.
Dia tahu, tapi tak berbicara, Liu Tiang-kay ikut membungkam.
Dalam suasana keheningan mereka berdua berdiri di ujung
lorong panjang itu, mengawasi air hujan yang membasahi
pohon waru di tengah halaman, entah berapa lama sudah
lewat.................. "Oh Lip memang seorang lelaki yang tega" tiba tiba Liong
Tujuh Pembunuh Qi Sha Shou Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ngo menghela napas, "bukan saja dia tega terhadap orang
lain, tega juga terhadap diri sendiri"
"Mungkin hal ini disebabkan dia tahu sudah tak ada jalan
keluar lain" Liu Tiang-kay menanggapi dengan hambar.
"Justru karena sudah tak ada jalan keluar, maka kau
bersedia lepaskan dia?"
"Aku pun termasuk seorang lelaki yang tega"
"Tidak, kau bukan" Liu Tiang-kay sedang tertawa,
tertawanya bukan terhitung tertawa yang gembira.
"Paling tidak kau masih mengijinkan dia untuk pertahankan
nama baik nya" kata Liong Ngo sambil berpaling
mengawasinya. "Yaa, karena nama baiknya bukan diperoleh dari mencuri,
dahulu dia pernah berjuang dan bersusah payah selama
banyak tahun" "Dapat kulihat"
"Apalagi diantara aku dan dia secara pribadi tak punya
ikatan dendam atau permusuhan, aku tak ingin
menghancurkan masa depan orang itu"
"Tapi kau tak pernah paksa dia untuk serahkan diri, bahkan
kau tidak memintanya untuk menyerahkan semua hasil
jarahannya" "Aku tidak melakukan karena tidak perlu"
'Tidak perlu?" "Dia bukan orang bodoh, sekalipun tidak kupaksa,
semestinya dia harus memberi sebuah pertanggungan jawab
kepadaku" "Maka kau masih menunggu disini, menunggu dia
selesaikan sendiri persoalan ini?"
Liu Tiang-kay tidak menyangkal.
"Maka hingga kini kasus tersebut belum tuntas?" kembali
Liong Ngo berkata. "Yaa, belum tuntas"
Liong Ngo termenung sesaat, tiba tiba tanyanya
lagi:"Seandainya dia serahkan hasil jarahannya, bila dia
bersedia selesaikan sendiri semua persoalan yang ada, apakah
kau akan menganggap kasus ini telah tuntas?"
"Belum bisa" "Kenapa?" "Seharusnya kau pun tahu kenapa"
Liong Ngo berpaling, menerawang awan mendung
dikejauhan, lama kemudian dia baru bertanya: "Kau bersedia
membebaskan Ciu Heng-po?"
"Tidak bisa" Tiba tiba paras mukanya berubah amat serius, dengan
nada sungguh sungguh lanjutnya: "Hukum dan keadilan tak
boleh dirusak oleh siapa pun, bila seseorang telah melanggar
aturan, telah melakukan kejahatan, dia wajib meneritua
ganjaran, dia patut dihukum"
Sekali lagi Liong Ngo berpaling, menatapnya lekat lekat,
sesaat kemudian tegurnya: "Sebenarnya siapa kau" Mengapa
harus mengungkap kasus ini hingga tuntas?"
Liu Tiang-kay tidak langsung menjawab, dia pun
termenung beberapa saat, setelah itu baru katanya:
"Paling tidak aku berbuat demikian bukan demi
kepentingan pribadi"
"Lalu demi siapa?" sekali lagi Liong Ngo mengulang
pertanyaannya, "siapakah kau sebenarnya?"
Liu Tiang-kay tidak menjawab, dia tutup mulut.
Kembali Liong Ngo mendesak:"Tentu saja kau bukan jenis
manusia seperti yang kau katakan, kau tak ingin menghianati
diri sendiri dan tak akan menghianati diri sendiri"
Liu Tiang-kay tidak menyangkal.
"Baik aku maupun Oh Lip pernah selidiki asal usulmu secara
cermat, tapi kami tidak temukan kebohongan apa apa dari
pengakuanmu" "Karena itu kau tidak mengerti?"
"Yaa, aku benar benar tak habis mengerti"
Tiba tiba Liu Tiang-kay tertawa tergelak. Katanya: "Hanya
ada satu cara bila kau jumpai masalah yang tidak mengerti"
"Cara apa?" "Kalau tidak mengerti yaa tak usah dipikirkan, paling tidak
jangan kau pikirkan untuk sementara waktu"
"Selanjutnya?" "Tak ada rahasia yang dapat disitupan selamanya, suatu
ketika rahasia itu pasti akan terungkap, asal kau sabar
menanti, cepat atau lambat kau pasti akan tahu"
Liong Ngo pun tutup mulutnya dan tidak bertanya lagi.
Mungkin saja dia tak bisa menghilangkan pikiran tersebut,
tapi paling tidak dia bisa tak usah bertanya.
Hujan rintik masih membasahi jagat, senja sudah semakin
kelam. Tiba tiba terdengar suara langkah kaki yang berat bergema
dari ujung lorong panjang itu.
Seseorang dengan membawa sebuah lentera kertas pelan
pelan berjalan keluar dari sudut lorong yang gelap.
Cahaya lentera menyinari rambutnya yang telah beruban,
menerangi pula wajahnya, dia adalah pelayan setia Oh Lip
yang penuh bercodet itu. Paras mukanya masih hambar, tidak menunjukkan
perubahan apapun. Sudah lama dia belajar menyembunyikan semua rasa sedih
dan dukanya di dalam hati.
"Kalian berdua belum pergi?"
"Belum" Kakek beruban itu mengangguk perlahan,
gumamnya:"Tentu saja kalian berdua belum pergi, tapi loyacu
sudah pergi!" "Dia sudah pergi?"
Sambil memandang rintikan hujan yang masih membasahi
halaman luar, kakek itu mengangguk:"Perubahan cuaca sukar
diramalkan, rejeki bencana seseorang sukar diduga, aku tak
mengira dia orang tua bisa jatuh sakit dan tak pernah bangun
kembali" "Ia mati lantaran sakit?"
Kembali kakek itu mengangguk.
"Penyakit rhematiknya sudah merasuk ke dalam tulang,
sejak dulu dia sudah seorang cacad, bukan pekerjaan yang
gampang baginya untuk bisa hidup sampai hari ini"
Walaupun tiada perubahan mituik mukanya, namun sorot
mata yang terpancar keluar kelihatan sangat aneh, entah dia
sedang bersedih hati lantaran kematian Oh Lip atau sedang
memohon kepada Liu Tiang-kay agar tidak membocorkan
rahasia orang tua itu. Liu Tiang-kay memandangnya sekejap, akhirnya dia
mengangguk juga, sahutnya: "Yaa, dia pasti mati lantaran
sakit, aku pun sudah tahu kalau dia menderita sakit parah"
Perasaan terharu dan teritua kasih yang tak terhingga
memancar keluar dari mata kakek itu, ujarnya setelah
menghela napas:"Teritua kasih banyak, ternyata kau memang
orang baik, loya-cu tidak salah menilai dirimu"
Sembari menghela napas panjang pelan pelan dia berjalan
lewat dihadapan Liu Tiang-kay dan keluar dari serambi itu.
"Mau ke mana kau?" tak tahan Liu Tiang-kay menegur.
"Mengabarkan berita kematian loya-cu"
"Mengabarkan ke mana?"
"Ke tempat tinggal nyonya Ciu" tiba tiba nada suara kakek
itu penuh mengandung rasa benci dan dendam yang
mendalam, "seandainya bukan lantaran dia, loya-cu tak akan
sakit separah ini, sekarang loya-cu telah berangkat ke langit
barat, tentu saja aku harus menyampaikan berita duka ini
kepadanya" Berkilat sepasang mata Liu Tiang-kay, segera
tanyanya:"Apakah dia akan datang kemari untuk melayat?"
"Dia pasti datang" sepatah demi sepatah kakek itu
menandaskan, "dia tak boleh tidak datang"
Hujan diluar serambi panjang makin lebat dan deras.
Dengan langkah sangat lamban kakek itu berjalan keluar,
tangannya menenteng sebuah lentera kertas, dalam waktu
singkat lentera itu basah kuyup oleh air hujan, api pun ikut
padam. Tapi dia seolah olah tidak merasa, dia masih berjalan
menuju ke balik kegelapan sambil menenteng lentera yang
sudah padam itu. Kegelapan malam semakin mencekam dan menyelituuti
seluruh jagad, malam sudah makin kelam.......
Hingga bayangan kurus kering itu lenyap dari pandangan
mata, Liong Ngo baru menghela napas seraya berkata:"Bila
dugaanmu kali inipun tidak meleset, Oh Lip pasti tak akan
membuat kau kecewa" Liu Tiang-kay ikut menghela napas.
"Tapi aku masih tidak mengerti, kenapa Ciu Heng-po pasti
akan muncul disini?" kata Liong Ngo kembali.
"Aku sendiripun tidak mengerti"
"Karena itu kau tak mau berpikir ke situ?"
Tiba tiba Liu Tiang-kay tertawa, ujamya:"Sebab aku
percaya, persoalan apapun yang ada di dunia, cepat atau
lambat akhirnya pasti akan terungkap juga"
Dia membalikkan badan mengamati wajah Liong Ngo,
mendadak ujarnya lagi:"Ada sepatah kata, kuanjurkan kau
jangan pernah melupakannya selama hidup"
"Perkataan apa?"
"Hukum langit itu sangat luas, tak ada yang bisa lolos dari
hukum itu" Sorot matanya nampak berkilat dibalik kegelapan,
lanjumya:"Barang siapa berani berbuat dosa, jangan harap
bisa lolos dari hukum langit!"
-ooo0d-0-w0ooo- Senja. Tiap hari tentu ada senja, tapi tak akan muncul senja yang
sama di hari yang berbeda.
Seperti juga tiap orang baka! mati, mati pun banyak
jenisnya, ada yang mati sebagai pahlawan dan terhormat, ada
pula yang mati sebagai orang biasa atau bahkan mati dengan
tercela. Bagi Oh Lip, paling tidak dia tak perlu mati dengan tercela.
Banyak sekali orang yang datang melayat, banyak diantara
mereka adalah sahabat almarhum, ada pula yang datang
karena kagum dengan nama besarnya, diantara mereka hanya
satu yang tak nampak. Nyonya rindu belum muncul.
Liu Tiang-kay merasa tak perlu panik, dia sama sekali tak
gelisah, bahkan bertanya pun tidak.
Ketika Liong Ngo pergi dari situ, diapun tidak berusaha
menghalangi, dia tahu Liong Ngo pasti akan pergi dari situ,
seperti dia tahu Ciu Heng-po pasti akan muncul di situ.
.....................Daripada menambah kegundahan hati
setelah berjumpa, lebih baik sama sekali tak bertemu.
Setelah tahu Ciu Heng-po bakal muncul, bagaimana
mungkin Liong Ngo tidak segera berlalu"
Dia menghantar Liong Ngo hingga ke ujung jalan, sebelum
berpisah pesannya dengan suara tawar:"Aku pasti akan
datang mencarituu!" "Kapan?" tak tahan Liong Ngo bertanya, "kapan kau akan
datang mencariku?" 'Tentu saja sewaktu kau sedang minum arak" sahut Liu
Tiang-kay sambil tertawa.
Liong Ngo ikut tertawa. "Aku sering minum arak di rumah makan Thian-hiang-lo"
katanya. Ruang layon berada persis di tengah gedung utama yang
kuno tapi sangat luas itu.
Saat itu, Liu Tiang-kay pun tidak kelihatan sudah ngeloyor
ke mana, dalam ruang layon hanya ada kakek berambut uban
serta dua bocah laki dan bocah perempuan yang terbuat dari
kertas, menjaga disisi layon Oh Lip.
Kini malam sudah semakin larut.
Cahaya lentera yang redup menyinari wajah si kakek yang
letih dan layu itu, membuat ia nampak seperti orang orangan
kertas. Kain putih menghiasi empat pintu utama yang menembus
ke gedung utama, dibelakang kain putih itu berserakan kapal
kapalan, kereta kertas serta tumpukan uang emas dan perak
yang membukit. Itulah benda benda yang dipersipkan untuk dibakar pada
Malam ke tiga dan malam ke tujuh.
Di tengah hembusan angin malam yang menggoyangkan
cahaya lentera, tiba tiba terlihat sesosok bayangan manusia
melayang masuk ke dalam ruangan.
Orang itu adalah seorang Ya-heng-jin (orang berjalan
malam) yang mengenakan pakaian blaco tanda berkabung,
tapi dibalik kain berkabung yang dikenakan, jelas terlihat
pakaian ya-heng-ie berwarna hitam melekat di tubuhnya.
Kakek beruban itu angkat kepalanya dan memandang
orang itu sekejap, ketika dia berlutut, si kakek ikut berlutut,
ketika dia menyembah, si kakek pun ikut menyembah.
Bagaimana pun juga, Oh Lip termasuk seorang tokoh
termashur di dalam dunia persilatan, sebagai orang persilatan
memang tak jarang muncul tokoh tokoh persilatan yang
datang melayat di tengah malam buta.
Kejadian semacam ini bukan satu kejadian aneh, tidak
berharga untuk diherankan, dan tak berharga untuk
ditanyakan. Tapi orang berjalan malam itu justru sedang bertanya:"Oh
Loya-cu benar benar sudah meninggal?"
Kakek beruban itu mengangguk.
"Berapa hari berselang, dia masih nampak sehat dan segar,
mengapa tiba tiba bisa meninggal?" kembali orang itu
bertanya "Perubahan cuaca saja sukar diramalkan, apalagi nasib
manusia" sahut kakek itu sedih, "peristiwa semacam ini
memang tak ada yang bisa menduga sebelumnya"
"Apa yang menyebabkan kematiannya?" kembali orang itu
bertanya, tampaknya dia sangat perhatikan sebab kematian
Oh Lip. "Mati karena sakit" sahut si kakek, "dia memang sudah
lama mengidap sakit parah"
Akhirnya orang berjalan malam itu menghela napas
panjang, katanya:"Yaa, aku pun sudah lama sekali tak pernah
bertemu dengan dia orang tua, apakah aku boleh melihatnya
untuk terakhir kali?"
Tujuh Pembunuh Qi Sha Shou Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sayang kau datang terlambat"
"Bolehkah aku melihat wajahnya untuk terakhir kali?"
kembali orang itu mendesak.
"Tidak boleh" tolak kakek itu tegas, "mungkin orang lain
boleh, tapi bagi kau tidak boleh"
"Kenapa aku tak boleh?" kelihatannya orang berjalan
malam itu tercengang dan tidak habis mengerti.
"Karena dia tak kenal dirimu!"
"Darimana kau tahu kalau dia tak kenal aku?" orang itu
makin tercengang. "Karena aku pun tidak kenali kau" jawaban si kakek amat
ketus. "Semua yang dia kenal, kaupun pasti kenal?" Kembali
kakek beruban itu mengangguk.
Sambil menarik wajah, orang itu mengancam: "Kalau aku
memaksa untuk melihatnya?"
"Aku tahu, bagituu, melihat atau tidak bukan persoalan
karena kau tidak harus melihatnya, yang pingin melihat dia
bukan kau!" "Kau tahu siapa orang itu?" orang berbaju hitam itu
mengernyitkan dahinya. Kembali kakek berambut putih itu mengangguk, tiba tiba
jengeknya sambil tertawa dingin:"Aku hanya mengherankan
sesuatu" "Soal apa?" "Jika Ciu hujin tidak percaya dia orang tua benar benar
sudah mati, kalau toh ingin melihat wajah terakhirnya, kenapa
tidak datang sendiri" Kenapa dia mesti mengutus seorang
pencuri dan manusia dungu macam kau untuk datang
mengusik ketenangan arwahnya?"
Berubah hebat paras muka si pejalan malam itu, tangannya
segera merogoh ke dalam saku dan mengenakan sebuah
sarung tangan kulit menjangan yang khusus digunakan untuk
melepaskan senjata rahasia beracun.
Kakek berambut uban itu tidak menggubris, melirik sekejap
pun tidak. Sambil tertawa seram orang pejalan malam itu
menjengek:"Sekalipun hanya bandit kecil, aku masih sanggup
untuk mencabut nyawa anjingmu!"
Agaknya dia sudah bersiap sedia melancarkan serangan.
Pada saat itulah, tiba tiba terdengar seseorang
menghardik:"Tutup mulut anjingmu dan segera menggelinding
keluar, cepat enyah dari sini!"
Suara itu amat merdu, demikian merdunya seolah olah
suara bidadari yang turun dari kahyangan.
Tidak nampak orang ke tiga muncul di ruang layon, siapa
pun tak ada yang tahu berada dimanakah si pembicara itu.
Kakek berambut putih itu sama sekali tak nampak terkejut,
paras mukanya tetap hambar tanpa perubahan, katanya
dingin:"Akhirnya kau muncul juga, aku tahu, kau pasti akan
datang" 0-0-0 Selangkah demi selangkah si pejalan malam mundur dari
tempat itu, keluar dari ruang layon.
Kini, dalam ruang gedung yang begitu luas tinggal kakek
berambut putih seorang, yang menemaninya saat ini hanya
lampu lentera yang memancarkan sinar redup.
"Oh Gi!" terdengar suara merdu itu berkata lagi, "setelah
tahu kehadirannya atas suruhanku, mengapa kau tidak ijinkan
dia untuk melihat wajah terakhir loya-cu?"
"Karena dia belum pantas!" jawaban Oh Gi masih tetap
seperti jawaban semula. "Bagaimana dengan aku" Pantas tidak?"
"Sejak awal loya-cu sudah menduga, kau tak akan percaya
atas kematian nya" "Oya?" "Maka diapun berpesan, peti mati ini baru boleh dipaku
setelah kau datang kemari"
"Jadi diapun ingin bersua untuk terakhir kalinya denganku?"
perempuan itu tertawa. Suara tertawanya merdu, indah tapi menyeramkan.
Ditengah suara tertawa yang merdu, kereta kertas yang
berdiri disisi ruangan itu mendadak hancur berkeping keping,
seakan akan terbakar oleh jilatan api yang tak terlihat.
Hancuran kertas beterbangan di seluruh ruang layon,
bagaikan berpuluh puluh ekor kupu kupu yang beterbangan di
angkasa. Ditengah tarian kupu kupu itu, tampak sesosok bayangan
manusia melayang turun dengan sangat indahnya, bagaikan
sekuntum bunga putih yang tiba tiba mekar.
Perempuan itu mengenakan jubah panjang berwarna putih
salju, wajahnya ditutup dengan selembar cadar tipis berwarna
putih pula, dia muncul bagaikan sebuah bianglala putih, dalam
sekejap mata sudah melayang turun persis di hadapan Oh Gi.
Paras muka Oh Gi masih belum berubah, dia tidak
menunjukkan perubahan apapun............ dia tahu, Siang-si
hujin, si nyonya rindu pasti akan datang.
Dia sudah tahu sejak awal, dia sudah menunggunya sejak
tadi. "Sekarang, aku boleh melihat wajah terakhir loya-cu?"
"Tentu saja boleh" jawaban Oh Gi tetap hambar, "siapa
tahu dia orang tua pun benar benar ingin bertemu denganmu"
Betul juga, peti mati itu belum dipaku.
Oh Lip berbaring tenang dalam peti mati, dia kelihatan jauh
lebih tenang dan tenteram ketitubang semasa masih hidupnya
dulu. Dia tenteram, karena dia tahu tak akan ada manusia mana
pun di dunia ini yang bisa memaksanya melakukan perbuatan
yang tidak dikehendaki olehnya.
Akhirnya Siang-si hujin menghela napas panjang, gumam
nya:"Ternyata dia betul betul sudah mendahului kita semua!"
"Aku rasa kau tak pernah memintanya untuk
menunggumu" "Yaa, karena aku tahu, orang mati tak akan bisa pergi
dengan membawa sesuatu"
"Dia memang pergi tanpa membawa apa apa"
"Kalau memang tak membawa apa apa, semestinya
ditinggalkan untuk diserahkan kepadaku"
"Tentu saja harus kuserahkan, tentu harus kuberikan
kepadamu" "Di mana?" "Di sini!" "Kenapa tidak kulihat?"
"Karena apa yang kau janjikan kepadanya juga belum kau
bawa kemari" "Sekalipun kubawa, dia juga tak akan melihatnya"
"Aku bisa melihat!"
"Sayang aku tak pernah janji apa apa denganmu, Oh Gwatji
juga bukan putrimu!"
Oh Gi segera tutup mulut dan tidak bicara lagi.
"Mana barang itu?" kembali Siang-si hujin menegur.
"Ada disini" "Aku masih belum melihatnya"
"Karena akupun belum melihat Oh Gwat-ji!"
"Mungkin selama hidup kau tak akan melihatnya lagi"
jengek Siang-si hujin sambil tertawa dingin.
Oh Gi balas tertawa dingin, sahutnya:"Kalau begitu selama
hidup kaupun jangan harap bisa melihat barang barang itu"
"Tapi paling tidak aku dapat melihat sesuatu"
"Oya?" "Paling tidak aku bisa melihat bagaimana batok kepalamu
menggelinding ke tanah, lepas dari tubuhmu"
"Sayang sekali batok kepalaku sama sekali tak ada
harganya" "Kadangkala aku pun menginginkan sesuatu barang yang
sama sekali tak ada nilainya" .
"Kalau begitu ambillah setiap saat"
Tiba tiba Siang-si hujin tertawa, katanya:"Padahal kaupun
tahu, aku tak akan biarkan kau mampus"
"Oya?" "Asal kau masih bisa bernapas, akupun masih punya cara
untuk memaksamu bicara jujur"
Tiba tiba jari tangannya disentil ke depan berulang kali. Oh
Gi tidak menghindar, bergerak pun tidak.
Tapi ada sebuah tangan yang lain telah bergerak tiba,
secepat kilat menyambut datangnya serangan itu.
Padahal dalam ruang layon itu tidak hadir orang ke tiga,
dari mana munculnya tangan tersebut" Apakah tangan itu
muncul dari dalam peti mati"
Tak ada tangan yang muncul dari dalam peti mati. Tangan
itu bukan tangan orang mati, tapi tangan orang orangan dari
kertas. Orang-orangan itu segera hancur berkeping, hancuran
kertas beterbangan di udara bagaikan kupu kupu yang sedang
menari. "Sudah lama aku menunggu kedatanganmu!" ditengah
hamburan kupu kupu yang beterbangan, tiba tiba muncul
selembar wajah yang sedang tertawa.
Liu Tiang-kay sedang tertawa.
Namun dibalik tertawanya, sekilas tampak perasaan sedih
dan duka yang tak terlukiskan dengan kata.
Rupanya hembusan angin pukulan yang dia lancarkan telah
mengibarkan kain cadar yang menutupi wajah Siang-si hujin,
akhirnya dia dapat melihat wajah Siang-si hujin yang
sebenarnya. Mimpi pun dia tak mengira, perempuan misterius yang
amat menyeramkan ini ternyata tak lain adalah Oh Gwat-ji.
-ooo0d-0-w0ooo- Sambil berselimutkan mantel binatang Liong Ngo berbaring
diatas pembaringannya, sambil memandang ranting kering
diluar jendela, dia bergumam seorang diri:"Aneh, mengapa
hingga sekarang belum juga turun salju?"
Tak ada yang menjawab pertanyaan itu, dia pun tidak
berharap orang lain memberikan jawabannya.
Selama ini Chin Liat-hoa memang amat jarang berbicara.
..................Bila seseorang mulai punya kebiasaan bicara
sendiri, hal ini menandakan kalau dia bertambah tua.
Tiba tiba Liong Ngo teringat akan perkataan itu, tapi dia
lupa siapa yang pernah berkata begitu kepadanya.
"Mungkinkah aku benar benar bertambah tua?"
Dengan lembut dia coba membelai kerutan diujung
matanya, perasaan sepi yang tak terlukiskan dengan kata
mendadak menyelituuti perasaan hatinya.
Chin Liat-hoa sedang menyiapkan arak hangat untuknya.
Dia jarang minum, tapi belakangan hampir setiap hari dia
harus meneguk dua cawan arak.
..................kapan kau akan datang menjumpaiku"
..................saat kau sedang minum arak.
Suara langkah kaki yang sangat ringan bergema dari luar
bilik, seorang pelayan berbaju hijau bertopi kecil berjalan
masuk sambil membawa sebuah mangkuk kuah.
Liong Ngo tidak berpaling, tiba tiba tegurnya sambil
tertawa:"Kali ini, apakah isi mangkuk itu juga tiga buah
telapak tangan?" Ternyata Liu Tiang-kay benar benar teiah muncul.
Dia pun sedang tersenyum, tersenyum sambil membuka
penutup mangkuk itu: "Kali ini isinya hanya sebuah tangan,
tangan kiri" Isi mangkuk itu adalah sebuah telapak tangan beruang,
telapak beruang yang sudah dipersiapkan koki atas pesanan
Liong Ngo dan di situ hampir semalaman.
Kehangatan arak pun sudah pas dengan suhu yang
diharapkan. "Sudah kuduga, kau pasti akan datang" Liong Ngo tertawa
tergelak, "kedatanganmu tepat pada waktunya"
Chin Liat-hoa telah memenuhi cawan kosong dengan arak
wangi, hanya dua cawan arak.
"Kau tidak minum?" tak tahan Liu Tiang-kay menegur.
Chin Liat-hoa tidak menjawab, dia hanya menggeleng.
Dia hanya memandang Liu Tiang-kay sekejap kemudian
berpaling lagi ke arah lain, paras mukanya sama sekali tidak
menunjukkan perubahan Sementara itu Liu Tiang-kay masih mengawasinya, tiba tiba
dia terbayang kembali dengan wajah Oh Gi yang kusut dan
layu rambutnya yang telah beruban.
Seperti juga tiap kali melihat Oh Gi, tanpa sadar dia pun
kemudian membayangkan wajah Chin Liat-hoa. . .
Mungkinkah hal ini dikarenakan mereka berasal dan jenis
manusia yang sama " Siapapun jangan harap bisa menebak
jalan pikiran mereka dan perubahan pada mimik wajahnya "
Kini apa pula yang sedang dibayangkan oleh Liu Tiang-kay"
Dia masih tertawa, namun tertawa itu amat sendu, persis
suasana sendu yang menyelimuti udara di luar jendela sana.
"Inilah cuaca yang paling cocok untuk minum arak"
Sambil tersenyum Liong Ngo berpaling, sahutnya:"Itulah
sebabnya aku khusus siapkan dua guci arak wangi untuk kita
nikmati" Liu Tiang-kay sekali teguk menghabiskan isinya:"Ehmm
betul-betul arak wangi"
Sewaktu duduk, senyuman diwajahnya telah berubah lebih
riang, arak yang wangi memang selalu membuat perasaan
hati lebih lega dan segar
"Kau baru tiba?" dengan nada selidik Liong Ngo bertanya
"Ehrnm!" "Ku kira kau sudah datang sejak berapa hari berselang"
"Aku......aku datang agak lambat"
"Biar lebih lambat pun jauh lebih baik ketimbang tidak
datang" Ngo sambil tertawa,
Liu Tiang-kay termenung, lama sekali ia membungkam
"Kau keliru" tiba tiba ujarnya, "kadangkala tidak datang
jauh lebih baik ketimbang datang"
Yang dimaksud jelas bukan diri sendiri.
"Siapa yang kau maksud?" tegur Liong Ngo.
"Seharusnya kau tahu siapa yang kumaksud" kata Liu
Tiang-kay setelah menghabiskan secawan arak lagi.
"Dia benar benar telah datang?"
"Ehmm" "Kau telah melihatnya?"
"Ehm!" "Kau kenal dia?"
"Ehmm!"
Tujuh Pembunuh Qi Sha Shou Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jangan-jangan dia adalah Oh Gwat-ji yang pernah kau
ceritakan?" "Tentu saja dia bukan Oh Gwat-ji yang sesungguhnya"
sahut Liu Tiang-kay sambil menghabiskan cawan arak yang ke
lima. "Kau malah belum pernah bertemu dengan Oh Gwat-ji yang
sesungguhnya ?" tanya Liong-ngo
Liu Tiang-kay manggut-manggut, dia teguk habis cawan
arak ke enam. "Berarti sejak awal dia sudah menawa Oh Gwat-ji yang asli,
kemudian menggunakan Oh Gwat-ji untuk memaksa Oh Lip
melakukan kehendaknya, setelah itu dengan menyamar
sebagai Oh Gwat-ji dia menipumu ?"kata Liong Ngo.
Lou Tiang-kay meneguk habis cawan arak yang ke tujuh,
mendadak tanyanya : "Kau ingin tahu bagaimana akhir kisah
perempuan ini ?" "Tidak, aku tidak ingin tahu "
Diapun ikut tertawa, tawanya jauh lebih redup, jauh lebih
gelap ketimbang cuaca diluar ruangan.
"Sedari dulu aku sudah tahu manusia macam apakah
perempuan itu" "Tapi kau tak tahu bagaimana akhir kisah perempuan ini"
"Aku tak perlu tahu, perempuan macam apakah dia pasti
akan memperoleh akhir kisah yang sama"
Setelah tertawa paksa, lanjutnya:"Hukum langit itu maha
luas, siapa pun jangan harap bisa meloloskan diri. Aku belum
melupakan perkataan itu"
Liu Tiang-kay ingin tertawa, tapi dia tak tertawa, sepoci
arak diteguknya hingga ludas.
Liong Ngo meneguk juga satu cawan arak, tiba tiba
katanya lagi:"Hingga kini aku belum bisa menduga manusia
macam apakah si kakek tua itu"
"Maksudmu Oh Gi?"
Liong Ngo mengangguk. "Semula, aku bahkan curiga dialah Oh Lip yang
sesungguhnya" "Oya?" "Aku malah curiga, jangan jangan mereka berdua
semuanya adalah Oh Lip"
"Aku tidak mengerti"
"Kau pernah dengar dalam dunia persilatan pernah ada
jagoan yang disebut orang Ouyang bersaudara?"
"Aku pernah dengar"
"Ouyang bersaudara bukan terdiri dari dua orang
bersaudara, tapi orang itu memang bernama Ouyang hengte
(Ouyang bersaudara)"
"Aku tahu" "Jika Ouyang bersaudara hanya satu orang yang sama,
tentu saja Oh Lip pun kemungkinan besar adalah dua orang"
Akhirnya Liu Tiang-kay memahami maksud perkataannya.
"Pernah kau berpikir kemungkinan semacam ini?" kembali
Liong Ngo bertanya. "Tidak, aku tak pernah berpikir begitu, karena hubungan
antar manusia memang sulit dipahami oleh pihak ke tiga"
Tanpa terasa dia melirik sekejap ke arah Chin Liathoa.................
bukankah hubungan Chin Liat-hoa dengan
Liong Ngo termasuk sebuah hubungan yang sangat unik"
Setelah menghela napas katanya lagi:"Bagaimana pun,
rahasia semacam ini memang sulit bagi kita orang awam
untuk memahaminya!" "Kenapa?" "Karena Oh Gi sendiri juga tak pernah keluar dari ruang
layon dalam keadaan hidup"
..............Oh Gi sendiri "juga" tidak.
Apakah kata tersebut masih mengandung maksud lain"
Apakah masih ada orang lain "juga" mati dalam ruang layon
itu" Apakah hanya Liu Tiang-kay seorang yang keluar dari
ruang layon itu dalam keadaan hidup"
Liong Ngo tidak bertanya, dia tak ingin bertanya, juga tak
tega untuk bertanya. "Bagaimana pun, akhirnya kasus ini benar benar telah
tuntas" dia penuhi cawan arak dihadapannya, lalu memenuhi
juga cawan arak Liu Tiang-kay.
Liu Tiang-kay segera meneguk habis isi cawannya, lalu
ujarnya:"Sesungguhnya, aku sendiri pun tak pernah
menyangka kalau kasus ini bisa selesai seperti ini"
"Apa bayanganmu semula" Apakah kau masih menaruh
curiga kepadaku?" Liu Tiang-kay tidak menyangkal: "Kau memang seorang
manusia yang patut dicurigai" katanya
"Kenapa?" "Karena sampai sekarang, aku masih belum dapat
menembusi asal usulmu"
"Kau sendiri" Siapa yang bisa menembusi asal usulmu?"
Liong Ngo tertawa lebar, "aku sendiripun selalu merasa
keheranan, kenapa sampai Oh Lip sendiripun tak berhasil
mengetahui asal usulmu yang sesungguhnya"
"Hal ini dikarenakan aku memang tak memiliki asal usul
yang luar biasa" seru Liu Tiang-kay sambil tertawa.
Liong Ngo menatapnya tajam tajam, sepatah demi sepatah
kata ujarnya: "Sekarang, dapatkah kau beritahu kepadaku,.
Siapa kau sebenarnya?"
"Kau maupun Oh Lip pernah datang ke kota kecil itu untuk
menyelidiki asal usulku"
"Tapi kami gagal menemukan apa apa"
"Tentu saja kalian tak akan menemukan apa apa" Liu
Tiang-kay tersenyum, "karena aku memang dilahirkan di kota
kecil itu, kehidupanku sehari hari pun sangat sederhana dan
bersahaja" "Dan sekarang?"
"Sekarang pun aku tak lebih hanya seorang opas kecil di
kota kecil itu" Liong Ngo tertegun. "Manusia macam kau hanya menjadi seorang opas di kota
kecil?" tegasnya. Liu Tiang-kay manggut manggut.
"Tentu saja kalian gagal mengetahui asal usulku, karena
kalian tak pernah mengira kalau aku hanya seorang opas"
Tak tertahan Liong Ngo menghela napas panjang, bisiknya
sambil tertawa getir:"Yaa, aku memang tak pernah menduga
ke situ" "Kalian bisa bertemu denganku karena secara kebetulan
atasan mengutusku untuk menyelidiki kasus ini, kalau tidak,
mungkin selama hidup kalian tak bakal tahu kalau di dunia ini
terdapat manusia macam aku"
"Perkataan mu jujur?"
"Kau tidak percaya?"
"Aku percaya, tapi ada satu hal aku masih belum mengerti"
"Apa yang tak kau pahami?"
"Manusia macam kau, kenapa hanya bekerja sebagai
seorang opas?" "Karena aku selalu hanya melakukan pekerjaan yang
kuinginkan!" "Jadi sejak kecil kau memang berangan-angan ingin jadi
seorang opas?" Liu Tiang-kay mengangguk.
Sambil tertawa getir kembali Liong Ngo berkata:"Ada
sementara orang ingin jadi seorang pahlawan, ada orang lain
ingin menjadi pembesar tinggi, ada yang ingin punya nama
besar, ada pula yang ingin punya duit banyak, orang macam
begitu sudah banyak kujumpai"
"Tapi kau belum pernah menjumpai orang yang hanya
berangan-angan menjadi seorang opas" sambung Liu Tiangkay.
"Yaa, memang tak banyak manusia macam kau"
"Di dunia ini sudah terlalu banyak orang jadi pahlawan, jadi
pembesar, jadi orang gagah, jadi sudah sepantasnya kalau
ada orang macam aku yang bersedia dan rela melakukan
pekerjaan yang tak ingin dilakukan orang lain"
Dia tersenyum, tiba tiba senyumannya berubah amat riang,
tambahnya: "Bagaimana pun juga, opas juga butuh orang. Jadi apa
salahnya kalau aku pun melakukan pekerjaan yang ingin
kulakukan, sebab hanya orang semacam ini yang akan hidup
bahagia, hidup gembira dan selalu merasa puas"
====TAMAT==== Bandung 14 nopember 2005 Salam SEE YAN TJIN DJIN Pendekar Remaja 5 Pendekar Super Sakti Serial Bu Kek Siansu 7 Karya Kho Ping Hoo Pertemuan Di Kotaraja 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama