Ceritasilat Novel Online

Kisah Membunuh Naga 10

Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong Bagian 10


Pada esokan harinya, meskipun duduk dikereta. Lian Ciu memerintahkan supaya kusir menyingkap semua tirai, sehingga ia dapat mengamat amati keadaan diseputarnya. Sesudah meninggalkan Tay pong tiam beberapa li dari sebelah timur kelihatan mengejar tiga penunggang kuda yang kemudian mengintildebelakang kereta dalam jarak belasan tombak.
Sesudah berjalan lagi beberapa li, disebelah depan menunggu empat penunggang kuda. Begitu lekas rombongan Lian Ciu lewat, mereka segera mengikuti dari belakang. Beberapa lama kemudian, jumlah
"pengiring" bertambah lagi empat orang.
Kusir kereta jadi ketakutan. "Tuan, apakah mereka penjahat?" Ia tanya Cui San dengan suara perlahan.
"Jangan takut," jawab Ngohiap. "Mereka bukan mau merampas uang"
Kira kira tengah hari, jumlah yang mengikuti bertambah lagi dengan enam orang. Pakaian mereka beraneka warna, ada yang mewah dan ada yang buruk.
Mereka semua membekal senjata dan mengikuti tanpa mengeluarkan sepatah suara. Dilihat dari potongan badan mereka yang kecil, mungkin sekali mereka penduduk Tiongkok Selatan. Sesudah lewat tengah bari, jumlah mereka bertambah lagi dengan duapuluh satu orang. Beberapa antaranya yang bernyali besar, mendekati kereta sampai jarak kira-kira tiga tombak. Lian Ciu sendiri terus duduk sambil meramkan mata, seolah-olah tidak memperhatikan mereka.
Diwaktu magrib, dari sebelah depan mendatangi dua penunggang kuda, yang satu seorang tua dengan jenggotnya yang panjang, sedang yang lain seorang wanita muda yang berparas cantik. Si kakek bertangan kosong, tapi wanita itu bersenjatakan sepasang golok. Begitu tiba didepan kereta, mereka segera menghadang ditengah jalan.
Cui San naik darahnya. Sambil mengangkat tangan ia berkata: "Bu-tong Jie Jie dan Thio ngo numpang lewat dijalanan ini. Dapatkah kami menanya she dan nama tuan yang mulia?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Orang tua itu bersenyum. "Dimana Cia Sun?" tanyanya. "Jika kau sudi memberitahukan, kami pasti tidak akan mengganggu murid2 Bu tong."
"Dalam hal ini, aku lebih dulu ingin meminta petunjuk Insu," jawab Cui San.
"Jie Jie terluka, Thio Ngo sebatang kara." kata si tua. "Dengan sendirian, kau bukan tandingan kami."
Seraya berkata begitu, ia meraba pinggangnya dan mengeluarkan sepasang Poan koan pit (Senjata yang menyerupai pit, pena Tionghoa), Senjata itu agak berbeda dengan yang biasa, karena ujungnya berbentuk kepala ular.
Cui San bergelar Gin kauw Tiat hoa dan salah sebuah senjatanya ialah Poan koan pit. Maka itu dapat dikatakan ia mengenal semua jago yang menggunakan Poan koan pit. Begitu melihat senjata si kakek, ia terkejut.
Waktu masih belajar silat, gurunya pernah cerita, banwa dinegeri Ko lee (Korea) terdapat sebuah pay yang menggunakan Poan koan pit berujung kepala ular. Silat partai itu berbeda dengan silat Tiam hiat (menotok jalan darah) yang di gunakan oleh ahli-ahli silat Tionggoan yang menggunakan poan koan pit.
Silat partai itu katanya licin dan telengas. Partai tersebut dinamakan Sin liong pay (Partai Naga malaikat), sedang salah seorang tokohnya she Coan, tapi Thio Sam Hong sendiri tak tahu namanya.
Mengingat itu, ia lantas saja menyoja seraya berkata: "Bukankah Cianpwee dari Sin liong pay di Ko lee" Bolehkah aku mendapat tahu nama besar dari Coan Looy cu?"
Orang tua itu, yang bernama Coan Kian Lam, bukan lain daripada Ciangbunjin dari Sin Liong pay.
Dengan memberi hadiah besar, Pangcu Sam kang pang di Lang lam telah mengundangnya dari negeri Ko lee. Ia sebenarnya ingin merahasiakan dirinya, tapi diluar dugaan, begitu bertemu Cui San, rahasianya terbuka.
Sambil mengebas kedua pitnya, ia menjawab : "Loohu Coan Kian Lam "
"Sin liong pay dan Rimba persilatan dari wilayah Tionggoan belum pernah berhubungan." kata Cui San "Bolehkah aku mendapat tahu, apa kesalahan Bu tong pay terhadad Coan Loo eng hiong ."
"Loohu dan tuan memang tidak mempunyai permusuhan apapun jua." kata si tua, "Kami, orang Ko lee, juga tahu bahwa di Tionggoan terdapat Bu tong pay dengan tujuh pendekarnya yaug selalu melakukan perbuatan-perbaatan muila. Loohu hanya ingin mengajukan satu pertanyaan dimana tempat persembunyiannya Cia Sun"
Biarpun cukup sopan, perkataannya sangat mendesak. Disamping itu, begitu lekas ia mengebas kedua senjatanya, orang-orang yang berkumpul di belakang kereta lantas saja berpencaran dan mengurung dari sebelah kejauhan. Maka itu, jadilah terang, bahwa jika mereka tidak mendapat jawaban memuaskan, satu pertempuran tidak dapat dielak kan lagi.
"Bagaimana jika aku menolak untuk menjawab?" tanya Cui San
"Thio Ngohiap memiliki kepandaian tinggi, sehingga biarpun berjumlah besar, kami tentu tidak dapat menahan kau," kata sikakek. "Tapi Jie Jiehiap telah luka dan isterimu sedang sakit. Dengan menggunakan kesempatan pada waktu orang berada dalam bahaya, kami akan menahan mereka berdua. Jika mau, Ngohiap boleh berlalu sekarang." Ia bicara dalam bahasa Tionghoa yang tidak lancar dan nadanya tajam, sehingga suaranya sangat menusuk kuping.
Mendengar kata-kata 'menggunakan kesempatan pada watu orang berada dalam bahaya' kata-kata yang sangat tidak mengenal malu, Cui San lantas saja berkata: "baik, Kalau begitu, tak bisa lain daripada aku meminta pelajaran dari Coan Loo enghiong. Tapi bagaimana, jika Coan Loo enghiong menjadi pihak yang kalah dalam pertempuran?"
"Jika aku kalah, kawan-kawanku akan mengerubuti kamu." jawabnya.
Cui San mengerti, tak guna bicara lagi. Tujuan satu satunya adalah coba membekuk Coan Kian Lam, supaya kawan-kawannya tidak berani menyerang. Ia segera melompat turun dari tunggangannya dan waktu kedua kakinya hinggap diatas bumi, tangan kirinya sudah mencekal gaetan perak yang berkepala harimau, sedang tangan kanannya memegang Poan koan pit.
"Kau tamu, maka aku mengundang kau menyerang lebih dulu," kata Ngohiap.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
(Bersambung Jilid 16) BU KIE Karya : CHING YUNG Terjemahan: Bu Beng Tjoe Jilid 16 Coan Kian Lam juga sudah turun dari kuda nya dan sambil mengebas kedua senjatanya, ia melompat kesamping Cui San.
"Hari ini aku dan So So bertempur demi kepentingan Gie heng," pikir Cui San. "Sebagai saudara angkat, hal itu hal yang wajar. Tapi Jie ko belum pernah mengenal Gie heng, sehingga tidaklah pantas jika ia menerima hinaan karena gara-gara Gie heng." Memikir begitu, ia lantas saja mengambil suatu keputusan.
Sesaat itu, si tua sudah menotok dengan pit nya dan Cui San lalu menangkis dengan hanya menggunakan dua bagian tenaganya. Begitu kedua senjata kebentrok, badan Thio ngohiap kelihatan bergoyang goyang. Kian Lam jadi girang bukan main. Ia tak nyana pendekar Bu tong yang begitu di sohorkan, sedemikian 'empuk'. Ia segera bertekad untuk merubuhkan Ngohiap dalam pertempuran satu lawan satu supaya dalam segebrakan saja, namanya bisa naik tinggi dalam Rimba Persilatan diwilayah Tionggoan.
Sambil membela diri, Cui San memperhatikan ilmu silat musuh. la mendapat kenyataan si kakek gesit dan licin gerakannya dan caranya menotok jalan darah berbeda dengan ilmu totokan Tionggoan.
Sesudah bertempur beberapa lama, Cui San mengetahui bahwa Poan koan pit musuh yang di cekel ditangan hanya menotok jalanan jalanan darah dibagian punggung dari Leng thay hiat kebawah, sedang Poan koan pit yang disebelah kanan menotok jalanan jalanan darah dibagian pinggang dan lutut seperti Ngo kie hiat, Wie to hiat, Kie kauw biat dan lain lain,
"Suhu pernah mengatakan, bahwa walaupun lihay, Tiamhiat dari San liong pay tidak usah ditakuti,"
pikirnya. "Hari ini baru aku melihat buktinya," Sesudah dapat meraba ilmu silat musuh, pembelaan diri jadi makin sederhana, karena ia hanya perlu menjaga jalanan-jalanan darah tertentu yang dicecer dengan totokan totokan.
Sesudah lewat lagi beberapa jurus, sambil membentak keras, cepat bagaikan kilat, Cui San menyerang dengan Coretan huruf "Liong" (naga) dengan gaetannya "Srt!" Ginkauw menggores jalan darah Hong say biat dilutut kanan si tua.
Seraya mengeluarkan teriakan kesakitan, Kian Lam berlutut. Seperti arus kilat, dengan menggunakan coretan huruf "Hong" (tajam ), Ngohiap monotok belasan jalanan darah, yaitu jalanan-jalanan darah yang biasa jadi bulan bulanan sikakek sendiri.
"Sudahlah! Sudahlah!" mengeluh Kian Lam. "Andaikata dia patung, aku masih tak mampu menotok belasan jalanan darahnya dalam tempo sekejap mata. Celaka sungguh! Aku bahkan masih belum pantas untuk menjadi muridnya!"
Seraya menempelkan Ginkauw di leher Kian Lam, Cui San membentak: "Tuan tuan, mundurlah!
Sesudah Coan Loo eng hiong mengantar kami sampai dikaki Bu tong san, aku akan membuka jalanan darahnya dan mengembalikannya kepada kalian!" Ia merasa pasti, bahwa orang orang yang mengepung akan segera mundur.
Tapi diluar dugaan, si wanita muda mengangkat sepasang goloknya dan berteriak: "Serbu!"
"Tahan !" bantak Ngohiap. "Maju setindak lagi kakek ini akan menjadi mayat !"
Wanita itu tertawa dingin. "Serbu!" teriaknya pula. Ia mengeprak kuda dan menerjang, sedikitpun tidak menghiraukan nasib Coan Kian Lam.
Wanita itu adalah salah seorang Tocu dari Sam kang pang dan tujuan mereka ialah menawan, Jie Lian Ciu dan So So untuk memaksa Cui San memberitahukan tempat sembunyinya Cia Sun. Coan Kian Lam seorang luar yang hanya menjadi tamu, sehingga mati hidupnya tidak begitu dihiraukan.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Cui San kaget bukan kepalang. Ia mengerti, bahwa tak ada gunanya membunuh si kakek. Sesaat itu, tujuh delapan orang sudah mengurung kereta So So, delapan sembilan musuh mengepung kereta Lian Ciu, sedang ia sendiri dikurung oleh si wanita bersama enam tujuh orang.
Selagi ia kebingungan, tiba-tiba Lian Ciu berteriak dengan suara nyaring: "Liok tee, beres kan Orang-orang itu!"
Cui San tercengang. Apa kakaknya tengah menggunakan siasat "kota kosong?"
Sekonyong- konyong ditengah udara terdengar siulan yang panjang dan nyaring. "Ngoko! Setengah mati aku memikir kau!" teriak seorang. Hampir berbareng dari atas sebuah pohon besar melompat turun satu bayangan manusia yang lantas saja menerjang sambil memutar pedang. Orang itu memang bukan lain dari pada In Lie Heng.
Hati Cui San meluap dengan kegirangan, "Liok tee !" serunya.
Beberapa orang dari Sam kam pang segera menceggat Lie Heng. Pedang Bu tong Liokhiap berkelebata kelebat dibarengi dengan suara jatuhnya sejumlah senjata, karena setiap kali pedang berkelebat ujungnya menggores jalanan darah Sin bun hiat, dipergelangan tangan musuh.
Wanita itu gusar tak kapalang dan membentak: "Siapa kau ?" Ia tak dapat bicara terus, sebab kedua goloknya hampir berbareng jatuh di tanah.
"Ilmu Sin bun Sip sam kiam yang digubah Suhu sudah sempurna!" teriak Cui San kegirangan.
Sin bun Sip sam kiam atau "Tiga belas jurus pedang Sin bun" terdiri dari tiga belas macam jurus yang berbeda beda gerakannya, tapi setiap jurus mengarah jalanan darah Sin bun Hiat dipergelangan tangan lawan. Pada sepuluh tahun berselang, waktu Cui San berada di Bu tong san, Thio Sam Hong pernah mengutarakan niatnya untuk menggubah ilmu pedang tersebut. Tapi, karena adanya berbagai kesukaran, pada waktu itu sang guru belum berhasil mencapai maksudnya. Sekarang Cui San dapat melihat kelihayan Sin bun Sip sam kiam.
Melihat gelagat tidak baik, wanita itu berseru "Angin keras! Mundur!" Semua kawannya tantas saja kabur lintang pukang, beberapa antaranya malah tidak keburu menunggang kuda.
Sementara itu, Cui San sudah membuka jalanan darah Coan Kian Lam yang tertotok. Ia menjemput kedua Poan koan pit pecundangnya dan menyelipkannya dipinggang si kakek. Dengan kemalu maluan, si tua buru-buru berlalu.
Sesudah memasukkan pedang kedalam sarung sambil mencekal tangan kakak seperguruannya, Lie Heng berkata: "Ngoko, aku sungguh menderita dalam memikiri nasibmu!"
Sang kakak tertawa. "Liok tee, kau sudah besar sekali," katanya. Waktu mereka berpisahan, In Lie Heng baru berusia delapan belas tahun. Selang sepuluh tahun. adik yang tadinya kurus kecil itu sudah berubah menjadi pemuda jangkung yang tampan parasnya.
Sambil menuntun tangan Lie Heng, Cui San mengajak adik itu menemui isterinya. So So yang tengah menderita sakit yang tidak enteng manggut manggutkan kepala seraya bersenyum, "Lioktee!" katanya dengan suara perlahan.
"Bagus!" kata Lie Hang. "Ngoso juga she In. Aku bukan saja mendapat enso, tapi juga memperoleh kakak."
"Jieko sungguh lihay," kata Cui San. "Aku tak mimpi kau bersembunyi dipohon, tapi ia sudah mengetahuinya."
Lie Heng lantas saja menuturkan cara bagaimana ia bisa datang kesitu untuk menyambut kakaknya.
Ternyata, pada waktu Siehiap Thio Siong Kee turun gunung untuk membeli barang guna perayaan ulang tahun gurunya, ia telah bertemu dengan dua orang Kangouw yang sikapnya sangat mencurigakan.
la curiga lalu menguntit mereka. Dengan mendengari pembicaraan mereka, ia tahu, bahwa Cui San sudah pulang dan sudah mempersatukan diri dengan Lian Ciu. Disamping itu, ia juga tahu, bahwa Sam kang-pang dan Ngo hong to ingin mencegat kedua saudara itu untuk menanyakan tempat sembunyinya Cia Sun.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Cepat-cepat ia pulang ke Bu tong san, tapi di tempat gurunya ia hanya bertemu dengan In Lie Heng seorang. Mereka segera turun gunung untuk menyambut kedua saudara itu. Sedikitpun mereka tidak merasa kuatir. Mereka menganggap, bahwa orang dari partai-partai kecil tidak akan bisa berbuat banyak terhadap Lian Ciu dan Cui San. Tapi karena mereka ingin sekali bertemu dengan Cui San selekas mungkin, maka mereka berjalan dengan secepat-cepatnya, mereka tak tahu tentang terlukanya Lian Ciu, sebab kedua orang kangouw itu sama sekali tidak membicarakannya.
Ditengah perjalanan Siong Kee mengusir orang pandai dari Ngo hong to, sedang tugas menghajar orang orang Sam kang pang diserahkan kepada In Lie Heng.
Lian Ciu menghela napas. "Kalau Sietee tidek berwaspada, mungkin sekali hari ini Bu tong pay ambruk namanya." katanya.
"Benar," menyambungi Cui San dengan suara jengah. "Siauwtee sendiri pasti tak akan dapat melindungi Jieko. Hai! Sesudah meninggalkan rumah perguruan sepuluh tahun lamanya kepandaian Siauwtee sungguh-sungguh kacek terlalu jauh dari saudara."
"Janganlah Ngoko berkata begitu," kata Lie Heng seraya tertawa. "Barusan Ngoko telah memperlihatkan pukulan yang sangat lihay waktu merobohkan si tua bangka dari Ko lee kok. Sesudah kau pulang, Suhu pasti akan menurunkan berbagai ilmu kepadamu. Mengenai Sin bun Sip sam kiam, sekarang juga siauw tee bersedia untuk memberi penjelasan kepadamu."
Malam itu, mareka menginap disebuah rumah penginapan di Sian Jan touw. In Lie Heng minta tidur bersama sama Cui San. Permintaan itu disambut dengan rasa girang oleh sang kakak, yang juga merasa sangat kangen dengan adiknya itu.
Dalam runtunan Bu tong Cit hiap, Boh Seng Kok yang berusia paling muda. Tapi walaupun berusia lebib muda, lagak lagu Boh Seng Kok lebih tua dari pada Lie Heng. Semenjak dulu, Cui San sangat mencintai Lie Heng yang usianya tidak kacek seberapa dengannya dan mereka berdua biasa bergaul rapat sekali.
"Ngotee sudah mempunyai isteri," kata Lian Ciu sambil tertawa. "Jangan kau mempersarnakan dia seperti pada sepuluh tahun yang lalu. Ngotee, pulangmu sungguh kebetulan. Sesudah minum arak panjang umur dari Sohu, kau akan segera minum arak kegirangan (arak pesta pernikahan) dari Lioktee."
Cui San girang tak kepalang. Ia menepuk nepuk tangan dan tertawa terbahak-bahak. "Bagus ! Sungguh bagus. Siapa pengantin perempuannya?" tanyanya.
Paras muka si adik lantas saja berubah merah.
"Mutiara (puteri) dari Kim pian Kie Loo eng hiong di Hian yang," kata Lian Ciu.
"Bagus! Kalau Lioktee natal, Kim pian (cambuk emas) akan menghantam kepalamu." katanya sambil tertawa geli.
Lian Ciu bersenyum, tapi pada mukanya berkelebat sehelai sinar suram. "Kie Kouwnio menggunakan pedang..." katanya. "Kuharap diantara wanita-wanita bertopeng yang mencegat kita di tengah sungai, tidak terdapat Kie Kouwnio."
Cui San kagat. "Kalau begitu ia murid Go bie?" tanyanya.
Lian Ciu mengangguk seraya berkata "Waktu kita bertempur dipinggir sungai, semua anggauta rombongan Go bie berkepandaian biasa saja sehingga tak mungkin Kie Kouwnio turut serta dalam rombongan itu. Jika ia berada disitu untuk kepentingan Ngo teehu, aku bisa berdosa terhadap Liok teehu dan orang bisa mengatakan aku memilih kasih. Ngotee, Liok teehu kita berparas cantik, berkepandaian tinggi dan sebagai murid dari sebuah partai yang tersohor, ia benar-benar merupakan pasangan yang setimpal dengan adik kita ...."
Mendadak ia berhenti bicara, karena tiba-tiba ia ingat bahwa In So So adalah puteri seorang pemimpin
'agama' yang sesat, sehingga dengan memuji nona Kie, seperti juga mengejek isterinya Cui San. Selagi mencari perkataan untuk memperbaiki kesalahannya, sekonyong-konyong datang seorang pelayan yang lantas saja berkata: "Jie ya, ada beberapa orang, yang mengaku sebagai sahabatmu, datang berkunjung "
"Siapa?" tanya Lian Ciu.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Mereka memperkenalkan diri sebagai murid murid Ngo-hong-to" jawab sipelayan. "Jumlahnya enam orang."
Lian Ciu bertiga terkejut. Apakah Siong Kee yang bertanggung jawab untuk mengusir orang orang Ngo-hong-to, mendapat kecelakaan"
"Aku akan menemui mereka," kata Cui San yang kuatir keselamatan Lian Ciu yang masih belum sembuh dari lukanya.
"Undang mereka masuk," kata Jiehiap kepada si pelayan.
Beberapa lama kemudian, masuklah enam pria dan seorang wanita. Cui San dan Lie Heng berdiri disamping Lian Ciu siap sedia untuk menghadapi segala kemungkinan. Tapi tamu-tamu itu kelihatan berduka tercampur malu dan merekapun tidak membekal senjata.
Begitu masuk, seorang yang rupanya menjadi pemimpin dan yang berusia kira-kira empat puluh tahun, merangkap kedua tangannya dan berkata dengan sikap hormat: "Apakah kalian Jie Jiehiap, Thio Ngohiap dan In Liok hiap dari Bu-tong-pay" Aku, Ben Ceng Hooey, murid Ngo-hong-to memberi hormat."
Lian Ciu bertiga lantas sajs membalas hormat. "Beng Loosu, selamat bertemu," kata Lian Ciu. "Kalian duduklah."
Beng Ceng Huy tidak lantas berduduk, tapi berkata pula: "Partai kami yang berkedudukan di Ho tong, propinsi San see, hanialah sebuah partai kecil yang tidak ada artinya. Sudah lama kami mendengar nama besarnya Thio Cinjin dan Bu tong Cit hiap, hanya sebegitu jauh, kami belum mendapat kesetempatan untuk bertemu muka. Hari ini kami tiba dikaki Bu tong san. Menurut pantas, kami haruslah naik gunung untuk menemui Thio Cinjin. Tapi mendengar, bahwa beliau sudah berusia seratus tahun dan selalu hidup dengan mengasingkan diri, kami orang-orang kasar tidak berani mengganggu ketenteraman beliau. Kalau nanti sudah pulang kegunung kami mengharap Sam wie suka memberitahukan beliau, bahwa murid-murid Ngo hong to memberi selamat dan berdoa agar beliau dikurniani dengan rejeki dan umur panjang oleh Tuhan Yang Maha kuasa."
Mendengar pemberian selamat kepada gurunya, Lian Ciu yang duduk diatas pembaringan batu sebab lukanya belum sembuh, buru-buru memegang pundak In Lie Heng dan turun dari pembaringan.
"Terima kasih atas pemberian selamat dan doa itu," katanya seraya membungkuk.
"Sehagai penduduk kampung. kami seperti kodok di dalam sumur," kata pula Beng Ceng Huy. "Kami tak tahu bagaimana luasnya langit dan lebarnya bumi. Dengan berani mati, kami datang ketempat kalian.
Tapi dengan jiwa yang sangat besar, para pendekar Bu tong berbalik menolong kami, untuk itu kami berterima kasih tidak habisnya. Kedatangan kami pertama untuk menghaturkan terima kasih yang tak terhingga. Kedua untuk meminta maaf dan kami memohon agar Sam wie tidak mencatat kedosaan kami"
Sehabis berkata begitu, Beng Ceng Huy kelihatan bingung, seolah-olah merasa takut untuk bicara terus.
"Beng Loosu boleh bicara saja tanpa ragu ragu," kata Lian Ciu dengan manis.
"Terlebih dulu aku memohon janji Jiehiap, bahwa Bu tong pay tak akan menggusari kami, supaya kami bisa memberi laporan kepada suhu," katanya.
Lian Ciu tersenyum. "Apakah kunjungan kalian untuk menyelidiki tempat bersembunyinya Kim mo Say ong Cia Sun?" tanyanya. "Kedosaan apa yang telah diperbuat Cia Sun terhadap partai kalian?"
"Saudaraku, Beng Ceng Jin, telah binasa dalam tangan Cia Sun !" jawabnya.
Lian Ciu kaget. "Oleh karena adanya kesukaran yang tidak dapat diatasi kami tidak bisa memberitahukan kalian mengenai tempatnya Cia Sun," katanya. "Tentang soal menggusari kalian, baik lah jangan disebut-sebut lagi. Kalau nanti kalian pulang dan bertemu dengan Ouw Loo yacu, katakanlah, bahwa Jie Jie, Thio Ngo dan In Liok menanyakan kesehatan beliau."
"Kalau begitu, kami ingin meminta diri," kata Beng Ceng Huy. "Di hari kemudian, andaikata Bu tong pay memerlukan tenaga kami, biarpun Ngo hong to bertenaga sangat kecil, murid-murid Ngo hong to pasti tak akan menolak tugas sebagai pesuruh."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sehabis berkata begitu ia mengangkat kedua tangan, diturut oleh kelima kawannya, dan kemudian meninggalkan kamar itu.
Baru berjalan beberapa tindak, yang wanita mendadak memutar badan dan lalu berlutut dilantai, "Aku yang rendah sudah bisa mempertahankan kesucian diri berkat pertolongan para pendekar Bu tong,"
katanya dengan suara perlahan. "Selama hidup, aku tak akan melupakan budi yang sangat besar ini."
Biarpun sangat kepingin tahu duduknya persoalan, tapi mendengar perkataan "kesucian diri." Lian Ciu bertiga tidak berani menanya lebih jelas. Sesudah berlutut beberapa kali, ia lalu berjalan keluar untuk menyusul rombongannya.
Beberapa saat sesudah rombongan Ngo hong to berlalu, tirai mendadak tersingkap dibarengi dengan masuknya seorang yang segera menubruk dan memeluk Cui San.
"Sieko!" teriak Cui San, bagaikan kalap bahna girangnya.
Orang itu ialah Siehiap Thio Siong Kee. Sesudah berpelukan beberapa lama, Cui San berkata: "Sieko, kau sungguh pintar dan berakal budi. Kau sudah berhasil mengubah sikap orang orang Ngo-hong-to dari lawan menjadi kawan."
"Ah! itulah sudah terjadi karena kebetulan saja", sang kakak merendahkan diri.
Siong Kee lantas saja menuturkan latar belakang kejadian itu.
Wanita cantik itu seorang she Ouw, puteri kedua dari Ciangbunjin Ngo-hong-to. Suaminya ialah Beng Ceng Huy. Kali ini, kedua suami isteri bersama empat orang Sutee dan Sutit telah datang di Ouwpak untuk menyelidiki Cia Sun. Ditengah jalan mereka bertemu dengan Tocu Sam-kang-pang yang memberitahukan, Cui San dari Bu-tong pay mengetahui dimana adanya Kim mo Say-ong. Ouw-sie lantas saja mengusulkan untuk membekuk Cui San guna memaksakan pengakuan.
Beng Ceng Seng biasanya sangat takut isteri, tapi kali itu ia menolak. la mengatakan, bahwa murid Butong-pay lihay luar biasa, dan jalan yang paling baik ialah menanyakan dengan memakai peradatan.
Kalau tidak diluluskan, coba mencari daya upaya lain. Ouw-sie kukuh pada pendapatnya, ia mengatakan, bahwa jika Cui San sudah pulang ke Bu-tong-san, mereka tak akan dapat menangkapnya lagi.
Karena tidak sependapat, kedua suami isteri itu lantas saja bercekcok, sedang kawan-kawannya yang lain tidak berani campur mulut.
Ouw-sie jadi sangat gusar "Setan nyali tikus!" teriaknya. "Kan usul itu untuk membalas sakit hati saudaramu, bukan untuk kepentinganku. Hmmm! Kapan kau begitu takut terhadap murid-murid Bu tong!
Andai kata dia Thio Cui San memberitahukan tempat sembunyinya Cia Sun, apakah kau mempunyai nyali untuk mencari musuhmu. Menikah dengan manusia nyali tikus benar-benar celaka besar!"
Beng Ceng Huy tidak berani bertengkar lagi, tapi ia tetap tidak menyetujui usul isterinya untuk menggunakan song-han-yo (obat pulas) guna membekuk Cui San dan So So. Dalam gusarnya, malam itu, selagi suaminya pulas, ia menghilang.
Nyonya muda itu pergi dengan niatan membekuk Cui San dan So So supaya ia bias mengejek suaminya. Diluar dugaan, gerak geriknya diketahui oleh seorang Tocu dari Sam kang pang. Melihat kecantikan Ouw Sie, Tocu itu mendapat pikiran jahat dan lalu menguntit, sehingga akhirnya, bukan Cui San dan So So yang kena Bong han yo, tapi, Ouw Sie sendiri.
Siong Kee yang terus mengintip gerak-gerik keenam orang Ngo hong to, itu, lalu memberi pertolongan. Sesudah dihajar dan diperingati keras, ia mengusir Tocu Sam kang pang itu. Pada Ouw sie, Siong Kee tidak memperkenalkan nama. Ia hanya mengatakan, bahwa ia adalah murid Bu tong Pay.
Dengan malu besar, Ouw sie kembali kepada suaminya dan menceritakan segala apa yang sudah terjadit. Dengan demikian, Bu tong pay berbalik menjadi tuan penolong.
Sesudah berdamai, mereka segera mengunjungi Lian Ciu bertiga untuk menghaturkan terima kasih dam meminta maaf. Supaya Ouw sie tidak terlalu jengah, sesudah mereka berlalu, barulah Siong Kee muncul.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Menghajar Tocu Sam kang pang itu memang bukan pekerjaan sukar," kata Cui San. "Tapi tindakan Sieko yang selamanya memberi kesempatan kepada orang-orang yang berdosa, sangat sesuai dengan pendirian Suhu."
Siong Kee tertawa. "Sesudah sepuluh tahun tak bertemu, begitu bertemu Ngotee menghadiahkan topi tinggi kepadaku." katanya.
Malam itu keempat saudara seperguruan tidur disatu pembaringan dan mereka beromong-omong terus sampai pagi.
Meskipun pintar dan berakal budi, Stong Kee tidak dapat menebak siapa adanya orang yang menyamar seperti serdadu Goan, menculik Bu Kie dan melukakan Lian Ciu.
Pada esok paginya sesudah Siong Kee menemui So So, mereka lalu meneruskan perjalanan. Sesudah menginap lagi semalaman ditengah jalan, barulah mereka mulai mendekati Bu tong san.
Sesudah berpisahan sepuluh tahun. Cui San kembali kegunung itu yang menjadi tempat tinggalnya sedari kecil. Mengingat bahwa ia akan segera bertemu dengan guru dan saudara-saudaranya, biar pun isteri sakit dan anak hilang, kegirangannya melebihi rasa dukanya.
Setibanya diatas gunung mereka melihat delapan ekor kuda tertambat didepan kuil.
"Ada tamu," kata Siong Kee. "Kita masuk saja dari pintu samping."
Sambil menuntun isterinya, Cui San beramai masuk dari pintu samping. Melihat kembalinya Ngohiap, segenap penghuni kuil dari imam sampai pesuruh jadi girang bukan main. Begitu masuk, Cui San segera ingin menemui gurunya, tapi kacung yang merawat sang guru memberitahukan bahwa Thio Sam Hong masih menutup diri. Karena itu, ia hanya bisa berlutut didepan kamar sang guru.
Sesudah itu, ia pergi kekamar Jie Thay Giam. Kacung yang menjaga Jie Samhiap berkata: "Samsu siok pules. Apakah mau dibanguni?"
Cui San menggoyangkan tangannya dan masuk kedalam kamar dengan indap-indap. Dengan hati tersayat, ia mengawasi kakak seperguruannya yang pucat dan perok mukanya, dengan kulit membungkus tulang. Keangkeran dan kegagahannya sepuluh tahun berselang sudah tak kelihatan lagi bayangan bayangannya. Mengingat pengalamannya yang dulu, bagaimana pada waktu baru naik gunung, ia telah menerima banyak pelajaran dari kakak itu, air mata Cui San lantas saja mengucur deras.
Sesudah mengawasi beberapa saat, sambil mendekap muka ia berjalan keluar. "Mana Toasupeh dan Citsusiok?" tanyanya kepada si kacung.
"Lagi menemani tamu di toathia (ruang besar)," jawabnya.
Ia lalu pergi keruangan belakang untuk menunggu Toasuko dan Citsuteenya. Tapi sesudah menunggu agak lama, kedua saudara itu belum juga muncul. Kepada seorang toojin yang membawa teh, ia menanya:
"Siapa tamu itu?"
"Kelihatannya seperti orang dari Piauwkiok," jawabnya.
Sesaat kemudian, In Lie Heng yang masih sangat kangen pada saudaranya menyusul keruangan belakang dan Cui San lantas saja menanyakan asal usul tamu itu.
"Tiga orang Cong piauw tauw," jawab si adik. "Yang satu Kie Thian Pioe, Congpiauwtauw Houw-po-Piauwkiok di Kim leng, yang satu lagi In Ho Congpiauwtauw Chin-yang-Piauwkiok di Thaygoan, yang ketiga Kiong Kioe Kee, Congpiauwtauw Yan-in-Piauwkiok dikota raja."
Cui San terkejut. "Perlu apa mereka datang kemari?" tanyanya. Ia tahu, bahwa dalam kalangan Piauwkiok diwilayah Tionggoan, ketiga Piauw kiok itulah yang mempunyai nama paling besar.
In Lie Heng tertawa. "Mungkin sekali ada piauw yang kena dirampok dan si perampok sangat lihay sehingga mereka minta pertolongan Toasuko," jawabnya.
"Ngoko, selama beberapa tahun ini. Toasuko makin mulia sepak terjangnya. Kalau di Kong ouw terjadi sesuatu, mereka lantas pada datang menemui Toasuko."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Toako memarg berhati mulia seperti Budha." kata Cui San "la tak pernah merasa bosan untuk menolong sesama manusia. Hai! Sesudah berpisahan sepuluh tahun, apa Toasuko tampak banyak lebih tua?"
Sesudah berkata begitu, hatinya seperti dibetot dan ia tidak bisa menunggu lebih lama lagi. "Lioik tee,"
katanya, "mari kita pergi kebelakang sekosol supaya aku bisa segera melihat wajah Toako dan Cit tee."
Indap-indap ia masuk ke toa thia dan mengintip dari belakang sekosol. Song Wan Kiauw dan Boh Seng Kok yang sedang duduk dikursi tuan rumah tengah bicara dengan tamu tamunya. Wan Kiauw mengenakan Jubah iman, parasnya tenang, tiada banyak bedanya seperti dulu hari, hanya rambut dibawah kundainya sudah berawarna abu abu."
Toako itu sebenarnya bukan seorang tosu, tapi karena sang guru seorang tosu dan juga sebab ia menetap didalain kuil, maka kalau berada di kuil, ia kebanyakan mengenakan jubah imam dan barulah menukar pakaian biasa bila turun gunung.
Tubuh Boh Seng Kok jauh lebih jangkung dan besar daripada sepuluh tahun berselang. Meskipun masih berusia muda, mukanya penuh brewok, sehingga ia kelihatannya lebih tua daripada Cui San.
Tiba tiba terdengar suara Boh Seng Kok yang keras: "Toasukoku tidak pernah menjusta, perkataannya satu - satu. dua - dua. Apakah kalian masih tidak percaya?"
Cui San kaget. Adat Sutee itu yang berangasan ternyata belum berubah. Mengapa ia bergusar"
la lalu mengawasi ketiga tamu itu. Mereka semua berusia kurang lebih lima puluh tahun. Yang satu kelihatan angker dan garang, yang satunya lagi jangkung kurus, sedang yang ketiga yang duduk dikursi paling buncit kelihatannya seperti orang sakit. Dibelakang mereka berdiri lima orang lain, mungkin murid murid mereka.
"Kami tentu tidak bisa menyangsikan perkataan Song Toahiap," kata sijangkung kurus. "Tapi apakah kami boleh mendapat tahu, kapan Thio Ngohiap akan pulang?"
Mendengar perkataan Thio Ngohiap, Cui San terkesiap. "Apa mereka datang untuk menyelidiki Gieheng?" tanyanya di dalam hati.
Sementara itu, Boh Seng Kok sudah menjawab: "Biarpun kami bertujuh berkepandaian sangat rendah, tapi dalam hal menolong sesama manusia kami selalu tidak mau ketinggalan. Kawan kawan dikalangan Kangouw telah menghadiahkan kami dengan julukan Bu tong cit hiap. Kami sebenarnya merasa malu mendapat julukan itu. Akan tetapi, sesudah terlanjur menerimanya kami lebih berhatii hati setiap tindakan kami. Thio Ngoko seorang yang halus budi pekertinya baik adatnya dan seorang yang bun bu coan cay.
Maka itu, omong kosong jika Ngoko dituduh membunuh keluarga Liong bun Piauw kiok."
Sekarang baru Cui San tahu maksud kedatangan tamu-tamu itu.
Nama besar Bu tong Cit hiap memang sudah dikenal dalam Rimba Persilatan," kata orang yang sikapnya garang, "Boh Cit hiap tak usah mengagulkan diri!"
Mendengar perkataan yang menusuk itu, Seng kok segera berkata: "Apa sebenarnya keinginan Kie Cong piauw tauw. Kau boleh bicara saja terang-terangan "
Orang itu, Kie Thian Pioe, lantas saja berkata dengan suara gusar: "Aku tidak menyangsikan, bahwa Bu tong Cit hiap omong satu-satu, omong dua-dua. Tapi, apakah pendeta suci dari Siauw lim sie berjusta"
Dengan mata sendiri, pendeta Siauw lim telah menyaksikan cara bagaimana keluarga Liong bun Piauw kiok tetah binasa oleh Thio Ngo hiap...." Perkataan "hiap" diucapkan dengan suara luar biasa nyaringnya dan nadanya mengejek.
Bukan main gusarnya In Lie Heng. Selagi ia mau melompat keluar untuk menghadapi piauwsu itu, Cui San mencekal tangannya dan mengawasinya dengan sorot mata berduka.
Si-adik tidak berani membantah. la kagum akan kesabaran kakak seperguruannya.
Dengan mata berapi, Seng Kok berkata: "Ngoko sekarang belum pulang, Boh Seng Kok dan Cui San mati hidup bersama-sama."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Boh Seng Kok bangun berdiri. "Urusannya adalah urusanku. Jika Sam wie ingin cari Cui San carilah aku. Sam wie memastikan bahwa Ngoko sesudah membunuh keluarga Liong bun Piauwkiok! Baiklah, pembunuhan itu sama juga telah dilakukan olehku sendiri. Kalau mau membalas sakit hati, balaslah kepadaku, Boh Seng Kok adalah Thio Cui San, Thio Cui San adalab Boh Seng Kok. Dalam kepintaran dan kepandaian, aku tak nempel dengan saudaraku yang kelima itu. Maka boleh dikatakan, untung besar kau bertemu dengan aku."
Kie Thian Pioe juga meluap darahnya. Ia melompat bangun seraya membentak: "Kalau tujuan kami benar untuk mengacau di Bu tong san, orang sedunia akan mentertawai kami sebagai manusia-manusia yang tak tahu diri. Akan tetapi, sakit hatinya keluarga Touw Tay Kim sehingga sekarang belum terbalas.
Hal itu tak dapat ditelan oleh kami. Waktu naik kegunung, karena menghargai Thio Cinjin, kami tidak berani membekal senjata. Sekarang biarlah aku menerima kebinasaan dibawah kaki dan tangan Boh Cit hiap." Sehabis berkata begitu, dengan tindakan lebar ia berjalan ketengah ruangan.
Melihat pertempuran akan segera terjadi, Song Wan Kiauw yang sedari, tadi terus membungkam, mencekal tangan adiknya seraya berkata: "Dari tempat jauh kalian datang kemari dengan membawa tuduhan bahwa Ngotee telah membunuh keluarga Liong bun Piauwkiok. Untung juga, tak lama lagi Ngotee akan pulang. Maka itu, menurut pendapatku, sebaiknya kalian menunggu sampai Ngotee kembali dan menanyakan soal-soal itu kepadanya sendiri."
Tamu yang seperti orang sakit, pemimpin Yan in Piauwkiok Kiang Kioe Kee yang berakal budi, lantas saja berkata: "Kie Congpiauwtauw, sabar. Duduklah dulu. Memang juga, sebelum Thio Ngohiap pulang, urusan ini sukar mendapat penyelesaian yang memuaskan. Sebaiknya kita sekarang menemui Thio Cinjin untuk meminta jawaban. Beliau adalah gunung Thay san atau bintang Pak tauw dari Rimba Persilatan dan dihormati oleh segenap orang gagah. Maka itu, tak mungkin beliau melindungi diri murid sendiri tanpa melihat siapa yang benar siapa yang salah,"
Perkataan itu yang diucapkan secara sopan, lihay bukan main dan Boh Seng Kok tentu saja mengerti maksudnya. "Guruku sedang menutup diri dan sampai sekarang belum keluar " katanya. "Disamping itu, selama beberapa tahun ini, segala urusan selalu diurus oleh Toa suko dan kecuali orang yang sangat kenamaan dalam Rimba Persilatan, Suhu boleh dikatakan tidak pernah menerima tamu." Dengan berkata begitu, Boh Cit hap mau mengatakan, bahwa ketiga Congpiauw tauw tersebut belum cukup tinggi kedudukannya untuk berjumpa dengan Thio Sam Hong.
Tamu yang bertubuh jangkung kurus, yaitu In Ho dari Chin-yang piauwkiok, tertawa dingin: "Urusan-urusan dalam dunia memang sering terjadi secara kebetulan," katanya: "Secara kebetulan, kedatangan kami terjadi pada saat Thio Cinjin sedang menutup diri. Tapi soal tujuh puluh jiwa lebih dari keluarga Liong bun Piauwkiok sukar dielakkan dengan alasan menutup diri."
Dengan perkataan yang sangat berat itu, buru-buru Kiong Kioe Kee mengedipkan matanya.
Boh Seng Kok gusar tak kepalang. "Kau mau mengatakan, bahwa guruku menutup diri karena merasa jeri terhadap kamu?" bentaknya. In Ho tidak menjawab, ia hanya tertawa dingin.
Biarpun sabar, hinaan terhadap gurunya yang sangat dihormati umum, sangat mendongkolkan hati Song Wan Kiauw. Selama banyak tahun, belum pernah ada orang berani mengucapkan kata kata kurang ajar untuk alamat Thio Sam Hong di hadapan Bu tong Cit hiap. Maka itu, ia segera berkata dengan suara perlahan.
"Sam wie adalah tamu kami dan kami tidak berlaku kurang sopan. Marilah kami mengantar kalian keluar dari kuil ini."
Seraya berkata begitu, ia mengebas dengan tangan jubahnya dan ........loh! tiga cangkir teh yang berada di hadapan Kie Thian Pioe, In Ho dan Kiong Kioe Kee serentak terbang dan kemudian perlahan-lahan turun di hadapan Wan Kiauw.
ltulah pertunjukan Lweekang yang dahsyat luar biasa. Begitu Wan Kiauw mengebas, Kie Thian Pioe bertiga merasa dada mereka menyesak, tapi sejenak kemudian, rasa sesak itu menghilang. Paras muka ketiga orang itu berubah pucat bagaikan kertas. Mereka tahu bahwa jika mau Song Toahiap dengan mudah dapat mengambil jiwa mereka seperti orang membalik telapak tangannya sendiri.
Antara mereka, Kie Thian Pioe lah yang paling polos. Sambil merangkap kedua tangannya ia berkata:
"Terima kasih atas belas kasihan Song Toahiap. Kami minta permisi!"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Wan Kiauw dan Seng Kok mengantar tamunya sampai diluar kuil.
"Cukuplah, kalian tak usah mengantar lebih jauh lagi," kata Kie Thian Pioe.
"Kami menghaturkan banyak terima kasih atas kunjungan kalian," kata Wan Kiauw. "Dilain hari, kami akan balas mengunjungi pianwkiok kalian di kotaraja, Thay goan dan Kim leng."
"Itulah kehormatan yang kami tidak berani menerima." sahut Kie Thian Pioe.
Selagi mereka meagucapkan kata kata sungkan, tiba tiba datang orang setengah tua yang bertubuh kecil. "Sietee, berkenalanlah dengan ketiga sahabat ini." kata Wan Kiauw.
Sesudah diperkenalkan sambil tertawa Thio Siong Kee berkata: "Sungguh kebetulan Samwie datang di sini. Aku justru ingin menyerahkan beberapa rupa barang." la merogoh sakunya mengeluarkan tiga bungkusan kecil yang lalu di bagikan kepada ketiga tamu itu.
"Barang apa ini?" tanya Kie Thian Pioe.
"Jangan buka disini," kata Siong Kee. "Sesudah turun gunung, barulah kalian boleh membukanya."
Sesudah ketiga tamu itu berlalu, Boh Seng Kok berkata dengan tergesa-gesa: "Sieko. Mana Ngo ko"
Apa ia sudah pulang?"
"Pergilah kau menemui Ngotee," kata Siong Kee seraya bersenyum. "Aku dan Toako akan menunggu kembalinya ketiga piauwsu itu."
"Kembalinya ketiga piauwsu?" menegas Seng Kok dengan heran. "Mengapa begitu ?" Tapi, sebab ia ingin lekas-lekas bertemu dengan Cui San tanpa menunggu jawaban, ia lantas masuk dengan berlari-lari.
Benar saja, baru Boh Cithiap masuk kedalam, Kie Thian Pioe bertiga sudah kembali dengan terburu-buru dan begitu berhadapan dengan Wan Kiauw dan Siong Kee, mereka berlutut. Wan Kiauw dan Siong Kee membalas hormat dan membangunkan ketiga orang itu.
"Kemuliaan para pendekar Bu tong baru sekarang diketahui aku, si orang she In." Kata In Ho.
"Barusan aku telah mengeluarkan kata-kata yang menghina Thio Cinjin dan aku sungguh lebih hina dari pada anjing atau babi."
Sehabis berkata begitu, ia menggapelok mukanya sendiri belasan kali, sehingga jadi bengkak dan matang biru.
"In Congpiauwtiauw adalah seorang laki-laki gagah yang mempunyai cita-cita besar," kata Siong Kee.
"Cita-cita untuk merampas pulang, sungai dan gunung (negara) dari tangan penjajah, mendapat sokongan sepenuhnya dan segenap orang gagah diseluruh negeri. Bantuan sekecil itu yang diberikan kami adalah selayaknya saja. Perlu apa In Congpiauwtauw berlaku sampai begitu rupa?"
"Jiwa seluruh keluargaku telah ditolong oleh Cu hiap (para pendekar)," kata pula In Ho.
"Selama lima tahun, aku seperti orang mimpi. Untuk kedosaanku, aku harap beliau suka menghajar aku, supaya hatiku jadi lebih enak."
Siong Kee tertawa. "Urusan yang sudah lewat sebaiknya jangan disebut-sebut lagi," katanya. "Andai kata Suhu sendiri mendengar perkataan In Congpiauwtauw yang sangat mulia, beliaupun tak merasa tersinggung," Tapi In Ho yang masih merasa sangat malu, terus mencaci dirinya sendiri.
Song Wan Kiauw yang tidak mengerti duduknya persoalan, hanya mengeluarkan perkataan-perkataan merendahkan diri. Selain In Ho, Kie Thian Pioe dan Kiong Kioe Kee juga tak hentinya menghaturkan terima kasih. Menurut penglihatan Wan Kiauw, Siong Kee bersikap sangat manis dan hangat terhadap In Ho, tapi terhadap Kie dan Kiong Congpiauwtauw, ia bersikap sedang-sedang saja. Mereka bertiga memohon permisi untuk memberi hormat didepan kamar Thio Sam Hong dan menghaturkan maaf kepada Beh Sang Kok, tapi permintaan itu semua ditolak dengan manis oleh Wan Kiauw berdua.
Sesudah ketiga orang itu berlalu, Siong Kee berkata seraya menghela napas: "Biarpun mereka merasa sama sekali tidak menyebutkan soal Liong bun Piauwkiok. Dengan lain perkataan, budi tinggal budi, tapi urusan itu masih belum beres."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Baru saja Wan Kiauw ingin meminta penjelasan, Cui San sudah muncul sambil berlari-lari. Begitu berhadapan dengan kakaknya, ia berlutut seraya berkata "Toako ....."
Song Wan Kiauw halus budi pekertinya. Walaupun terhadap adik seperguruannya, apa pula dalam keadaannya ini, seperti sekarang selagi hatinya berdebaran, ia tidak dapat melupakan akal budinya itu, maka ia membalas hormat sambil berlutut juga. la pun berkata "Ngo tee, oh akhirnya kau pulang juga !"
"Ya, Toako," menyahut adik seperguruannya yang nomor lima itu.
Cui San lantas menuturkan hal ikhwalnya semenjak perpisahan mereka.
Boh Seng Kok yang tidak sabaran, menyelak: "Ngoko, ketiga piauwsu itu sangat kurang ajar, mereka tetap menuduh kaulah yang membinasakan seantero keluarga Liong bun Piauw kiok di Lim an, kenapa kau berlaku demikian sabar dan tidak hendak pergi menghajar adat kepada mereka ?"
Mendengar itu, Cui San menghela napas, romannyn sangat berduka.
"Tentang soal, itu berliku-liku duduknya, tidak dapat dituturkan dengan sepatah dua patah kata,"
katanya. "Tunggu saja sampai Sha-ko sudah mendusin, nanti aku menjelaskan semua. Bahkan aku masih hendak memohon saudara-saudara membantu memikirkan suatu daya yang sempurna."
"Jangan kuatir, Ngoko," berkata In Lie Hang. "Tidak layak perbuatannya Liong bun Piauw kiok yang mengantarkan Sha-ko pulang dalam keadaan bercacad seumur hidupnya! Andai kata benar Ngoko telah membinasakan seluruh keluarga nya, itulah disebabkan kecintaan terhadap saudara sendiri. karena kemurkaanmu pada satu saat...."
"Liok tee, kau ngaco !" bentak Lian Ciu. "kalau Suhu mendengar kata-katamu ini, pastilah kau bakal dikurung selama tiga bulan! Membinasakan seantero keluarga, tua dan muda, itu artinya memusnahkan satu rumah tangga, perbuatan demikian itu mana dapat kita lakukan ?"
Kelima orang itu lantas mengawasi Thio Cui San, roman siapa tampak sangat berduka.
"Keluarga Liong bun Piauw kiok itu, seorang pun tidak ada yang kubunuh," berkata Cui Sani selang sesaat. "Aku tidak berani melupakan ajaran Suhu dan tidak berani juga menyeret-nyeret semua saudara."
Mendengar ini lega hati mereka. Tadinya mereka menyangsikan saudara seperguruan ini. Mereka tidak percaya saudara mereka melakukan perbuatan sangat terlengas itu. Tetapi pihak Siauw lim menuduh pasti pembunuhan itu dilakukan Cui San dan mereka itu mengatakan melihatnya dengan mata kepala sendiri, sedang ketika piauwsu tadi datang, Cui San tidak mangajukan dirinya untuk menyangkal atau menegur mereka toh bercuriga.
Tapi sekarang, sesudah mendengar pernyataan Cui San, hati mereka lega. Mereka lantas berpikir. "Di dalam urusan ini tentu ada kesulitannya, akan tetapi tidak apalah asal jangan dia yang melakukan pembunuhan. Biar bagian apapun jua, akhirnya pasti soal itu akan dapat dibikin terang dan didamaikan."
Kemudian Boh Seng Kok menanyakan tentang ketiga piauwsu itu.
"Diantara mereka bertiga, in Ho yang omongnya kasar adalah yang perlakuannya paling baik," kata Siong Kee, "diwilayah Shoa say dan Siam say, dia sangat tersohor, Diam-diam dia telah berserikat dengan orang-orang gagah dikedua propinsi itu, dengan tujuan untuk merobohkan kerajaan Goan."
"Itulah bagus!" berseru Song Wan Kiauw berlima.
"Tidak disangka dia sedemikian bersemangat," kata Boh Seng Kok dengan rasa kagum, "dia harus dihormati dan dipuji Sieko, kau jangan bicara terus dulu, kau tunggu sampai aku sudah kembali." Setelah berkata begitu, ia pergi keluar sambil berlari lari.
Thio Siong Kee benar-benar berhenti menutur, sebaliknya ia menanyakan Cui San tentang pulau Peng hwee to.
Cui San lantas bercerita tentang si kera putih yang cerdik luar biasa, sehingga keempat saudaranya menjadi heran dan kagum.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Sebenarnya kami berniat membawa pulang kera itu," kata Cui San pula. "Sesudah berlayar berapa hari, ia agaknya tidak biasa dengan hawa udara yang hangat, mendadak dia menerjun ke air, dan berenang kearah utara, mungkin dia niat pulang kepulau Peng hwee to."
"Sayang, sayang," kata In Lie Heng.
"Kera sedemikian kecil, tetapi begitu kuat, itulah hebat," kata Wan Kiauw.
"Mungkin kera itu bukan bangsa kera asli," Cui San mengutarakan dugaannya, "Mungkin dia berjenis tersendiri disebabkan terlahirnya di pulau yang hawa udaranya sangat luar biasa. "
Wan Kiauw mengangguk. "Mungkin," katanya. "Ditanah pegunungan dan rimba-rimba kitapun terdapat binatang binatang yang istimewa."
Selagi mereka bicara, Boh Seng Kok kembali dengan berlari-lari. "Aku telah menyusul In Piauw su untuk menghaturkan maaf dan aku telah memujinya sebagai seorang laki-laki sejati!" katanya.
Senang saudara-saudaranya mendengar keterangan itu. Mereka memang telah menduga kemana perginya saudara itu barusan. Sebagai seorang jujur, Boh Seng Kok tak menghiraukan perjalanan maafnya itu, sebab kalau tidak, ia bakal tidak dapat tidur tenang.
"Cit tee," kata In Lie Hang, "penuturan Sieko ditunda sebab musti menantikan kau, tetapi ceritanya Ngoko tentang si kera cerdik lebih menarik hati Iagi."
"Oh, begitu?" Seng Kok berjingkrak.
Siong Kee menyelak "Rencananya In Ho itu sudah diatur rapi..."
"Sieko maaf," Seng Kok memotong, "tunggu sebentar!...."


Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dasar Cit tee!" Cui San tertawa yang terpaksa mengulangi ceritanya tentang si kera putih.
"Benar benar aneh, benar-benar aneh!" seru Seng Kok. "Nah, Sieko giliranmu!"
Siong Kee bersenyum, ia berkata: "Rencana In Ho itu sudah rapi, dia tinggal menanti harinya untuk bergerak ditiga tempat ialah Thay goan, Thay tong dan Hun yang. Siapa tahu, diantara kawan serikat mereka, ada seorang pengkhianatnya. Tiga hari sebelum bergerak, dia telah pergi membuka rahasia kepada pihak Mongolia sambil menyerahkan juga daftar nama-nama rancana gerakan In Ho itu."
"Ah, itulah hebat!" seru Seng Kok.
"Tapi disana telah terjadi sesuatu yang kebetulan." kata Siong Kee tertawa. "Ketika itu aku berada di Thay goan, maksudku mencari Tiekoan Thay goan untuk mengajar adat kepada nya. Pada tengah malam itu, aku mendapatkan si Tiekoan asyik berbicara dengan si pengkhianat, merundingkan cara untuk membeber rahasia itu kepada kaizar serta daya untuk mengirim tentara guna menyapu bersih kawanan pencinta negara itu. Tanpa ayal lagi, aku melompat masuk dari jendela. Aku bunuh Tiekoan dan si pengkhianat, kemudian aku merampas daftar nama-nama rencana kerja itu yang terus dibawa pulang olehku ke Selatan. Di pihak In Ho, orang bingung dan berkuatir sekali karena lenyapnya daftar dan rencana mereka. Mereka mengerti, bahwa selain kuatir mereka akan gagal, juga mereka serta keluarga mereka terancam bahaya kemusnahan. Mereka lantas bekerja mengirim orang untuk memberi kisikan, agar keluarga mereka pada pergi mengumpatkan diri. Celakanya, tindakan inipun mendapat halangan, yaitu pintu kota telah ditutup dan pesuruh-pesuruh ini tidak dapat keluar dari kota."
"Besoknya pagi kekuatiran mereka ditambah dengan tersiarnya berita pembunuhan atas diri Tie koan, pembunuhan mana sangat menggemparkan, sebab pembesar negeri mengambil tindakan menutup pintu kota sambil berbareng melakukan penggledahan luas untuk mencari dan membekuk si pembunuh gelap.
In Ho semua bagaikan rombongan semut di atas kwali panas. Mereka terutama berkuatir akan keselamatan semua kawan mereka dikedua propinsi. Untuk beberapa hari mereka hidup seperti tersiksa.
Selama itu tidak terjadi sesuatu dan sipembunuh Tiekoanpun tidak kedapatan. Akhirnya, urusan menjadi reda. Ketika mereka mengetahui bahwa sipangkhianatpun terbunuh di dalam kantor Tiakoan, mereka menduga ada pertolongan tersembunyi untuk pihak mereka. Mereka tidak tahu siapa penolong itu.
Merekapun sama sekali tidak menduga aku"
"Jadi yang tadi kau serahkan pada In Ho itu ialah daftar nama-nama dan rencananya itu?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Benar." jawabnya.
"Bagaimana dengan Kiong Kioe Kee ?" Lie Heng tanya pula. "Bagaimana Sie ko membahtu dia ?"
"Kioo Kee cukup-tinggi ilmu silatnya, hanya dalam hal sifat, ia tidak dapat disamakan dengan In Ho,"
menyahuti Siong Kee, "Pada enam tahun dulu ia mengantar piauw ke propinsi Inlam. Setibanya di Kun beng is diminta bantuannya membawa barang barang permata untuk Pakkhia, harganya semua enampuluh laksa tail. Ia mesti membawanya secara diam-diam. Tiba di propinsi Kang say, is mendapat susah, ialah ditepi telaga Po yang ouw, ia dicegat dan dikepung oleh tiga anggauta Poyang Soa gie, empat orang gagah dari Po yang ouw, dan piauwnya dirampas. Meskipun dia menjual harta bendanya semua, tidak nanti Kioe Kee dapat mengganti kerugian. Inipun mengenai nama baik dari Yan in Piauw kiok yang sangat kesohor untuk wilayah utara. Karena kejadian itu, pasti perusahaan Piauw kioknya bakal roboh.
Selagi berada dirumah penginapan, saking putus asa, ia nekad hendak menghabiskan jiwanya sendiri. Po yang Su gie bukan orang Rimba Hijau, mengapa mereka merampas piauw itu" Ini pun ada sebabnya.
Saudara meraka yang tertua lagi mendapat susah, saudara itu dikurung dalam penjara di kota Lam Ciang, setiap waktu bisa menjalankan hukumannya, hukuman mati. Dua kali Su gie coba menolong. Mereka membongkar penjara, dua kalinya gagal. Akhirnya mereka terpaksa mencari uang, untuk menyogok pembesar-pembesar di Lam ciang itu, cukup asal hukuman kakak mereka diperenteng. Aku mendapat tahu perkara mereka itu, aku tahu juga bahwa Po yang Su gie orang baik-baik. Aku lantas bekerja uptuk menolong kakak mereka, supaya piauwnya Kioe Kee dikembalikan kepada piauwsu itu. Wajah Kioe Kee memuakkan dan cara bicaranya juga tidak menyenangkan, tetapi ia belum pernah melakukan sesuatu kejahatan dan iapun tidak pernah mengganggu rakyat, maka aku pikir, ada baiknya juga aku menolong jiwanya. Hanya dalam menolong dia, aku meminta Po yang Su gie jangan menyebut nyebut namaku.
Piauw itu dipulangkan, melainkan bungkusan sulamannya yang aku tahan. Dan barusan aku memberikan pulang bungkusan itu, maka kau tentulah telah mengerti sendiri." i Lian Ciu mengangguk angguk.
"Bagus perbuatanmu itu, Sie tee." ia memuji. "Kiang Kioe Kee itu dapat dimaklumkan dan Po yang Su gie juga tak ada celaannya."
"Eh, Sieko," tanya Seng Kok. "Barang apa itu yang kau serahkan pada Kie Thian Pioe?"
"itulah sembilan biji Toan hun Gouwkong piauw," jawabnya.
Jawaban ini membuat lima saudara itu terperanjat. Untuk dunia Kang ouw, piauw itu ialah semacam senjata rahasia yang kesohor sekali. Itulah senjata yang membikin naik namanya Gouw It Beng dari Liang Ciu.
"Mengena piauw itu, aku bertindak dengan terlalu berbesar hati," Siong Kee mengakui. "Kalau sekarang aku mengingatnya, aku merasa bersyukur sekali bahwa aku telah lolos dari marabahaya. Ketika itu Kie Thian Poe mengantar piauw lewat dikota Tong kwan, diluar tahunya ia berbuat keliru terhadap satu muridnya Gouw It Beng. Dalam pertempuran, Thian Pioe merobohkan dan melukakan parah murid orang itu. Setelah kejadian, baru Thian Pioe menginsyafi bahwa ia telah menerbitkan onar. Maka lekas-lekas ia menyelesaikan tugas nya sebab ia ingin segera pulang ke Kim leng guna mengumpul kawan yang bersedia menghadapi It Beng itu. Ia baru sampai di Lok yang, ketika di sana ia dicandak It Beng. Maka tarjadilah janji ,akan bertarung besoknya di luar pintu barat kota Lok yang "
"Gouw It Beng lihay, tak ada disebawahan kita, bagaimana Kie Thian Pioe dapat menandingi dia ?"
tanya In Lie Heng. "Memang. Thian Pioe sendiri merasa bahwa ia tidak unggulan melawan musuhnya, maka itu ia minta bantuannya persaudaraan Kiauw dikota Lok yang itu," Siong Kee menerangkan. "Atas permintaan itu, pihak parsaudaraan Kiauw menjawab: Kau bukan tahu sendiri, Kie Toako, kami bukan lawan Gouw It Beng. Bukankan kau hanya menghendaki kami membantu memberikan suara saja" Baiklah, besok pagi kami pasti datang diluar kota barat itu !"
"Persaudaraan Kiauw pandai menggunakan senjata rahasia, dengan Thian Pioe dibantu meteka, artinya tiga lawan satu, mungkin It Beng dapat dilawan bingga berimbang kekuatannya," berkata Seng Kok.
"Bagaimana dengan Gouw It Beng, apakan ia mempunyai kawan atau tidak ?"
"It Beng tidak punya kawan," kata Siong Kee. "Yang aneh ialah dua saudara Kiauw itu. Pagi pagi sekali besoknya Thian Pioe telah pergi kerumah mereka, terutama untuk memastikan cara menghaadapi It Beng Ketika tiba, ia bertemu dengan penjaga pintu yang berkata: Toaya dan Jieya mempuayai urusan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
yang penting yang mendadak, mereka telah pergi ke Tongciu. Aku dipesan untuk memberitahukan Kie Looya agar Looya tidak usah menantikannya. Mendengar itu, Thian Pioe kaget dan mendongkol bukan main. Beberapa tahun yang lalu, tempo dua saudara Kiauw itu nampak kesukaran di Kanglam, Thian Pioe telah membantunya, tetapi sekarang, mulut mereka manis, kaki mereka ngacir. Thian Pioe menginsyafi bahaya, tetapi ia tidak mau salah janji, dari itu ia kembali kehotelnya untuk menulis pesan terakhirnya.
Sesudah memesan seperlunya kepada sekalian pembantunya, seorang diri ia pergi keluar pintu kota barat."
"Semua kejadian itu tidak lolos dari mataku," Siong Kee melanjutkan setelah berhenti sejenak. "Aku sudah lantas pergi keluar pintu kota itu, Disana aku bercokol dibawah sebuah pohon. Sengaja aku menyamar sebagai seorang pengemis. Aku melihat It Beng dan Thian Pioe datang saling susul, terus mereka bertempur. Baru beberapa jurus. It Beng telah habis sabar, ia lantas menyerang dengan sebatang piauwnya yang liehay. Thian Pioe putus asa, ia meraimkan matanya menanti kebinasaan. Disaat itu aku melompat maju. Aku menanggapi piauw maut itu. It Brng kaget, heran dan gusar. Ia lantas saja menegur aku dan menanya aku orang dari partay Pengemis atau bukan. Aku tertawa saja, tidak menjawab: Dalam gusar dan penasarannya, delapan kali beruntun ia menyerang aku dengan sepasang senjata rahasia nya itu, yang semua aku tanggapi dengan berhasil. Dia benar-henar lihay. Sedang aku, aku tidak berani menanggapi dengan menggunakan ilmu silat kita. Aku takut ia mengenali aku. Begitulah aku berpura pura pincang sebelah kakiku dan mati tanganku yang kanan, aku menggunakan saja tangan kiri, dan ilmu yang digunakan olehku ialah ilmu silat Siauw lim pay. Semua senjata itu aku bekap, hampir telapakan tanganku terluka piauw yang ke tujuh. Dia lantas membentak, menanyakan aku muridnya Siauw lim sie yang mana. Aku tetap membungkam dan berlagak tuli. Aku bicara ah an uh uh saja. It Beng mengerti bahwa ia tidak akan sanggup melawan aku, ia lantas ngeloyor pergi dengan mendongkol. Setibanya di Liangcu, di rumahnya, seterusnya ia menutup pintu, selama beberapa tahun ini ia tidak pernah muncul lagi dalam dunia Kang ouw."
Seng Kok jujur dan polos, ia tidak mengerti sikapnya kakak seperguruan itu yang menolong Kioe Kee dan menentang It Beng. Thio Cui San sebaliknya tahu, bahwa dengan itu Siong Kee hendak meredakan permusuhan yang disebabkan pembunuhan keluarga Liong bun Piauw kiok. Houw po Piauw kiok adalah piauwkiok paling ternama uptuk Kang Lam. Untuk wilayah Utara ialah Yan in Piauwkiok, dan di Barat daya yaitu Chin yang Piauw kiok. Dengan terjadinya pembunuhan pada keluarga Liong bun Piauwkiok itu, dua yang lainnya tentulah bakal turun tangan, maka Song Kee diam-diam menumpuk perbuatan baik atau budi, yang diaturnya sedemikian rupa hingga orang tidak akan menyangka bahwa itulah usaha berencana.
"Sieko," kata Cui San akhirnya sambil menangis sesenggukan, "kita berada diantara saudara sendiri, tidak usah aku menghaturkan terima kasih lagi padamu. Semua itu ialah sembrononya iparmu, yang bertindak menuruti hawa amarahnya hingga mendatangkan bahaya besar."
Sampai disitu, tanpa tedeng aling aling, Cui San menuturkan perbuatan isterinya, So So yang menyamar menjadi ia dan sudah menyatroni dan membunuh keluarga Liong bun Piauwkiok di waktu malam. Kemudian ia menambahkan: "Sieko, bagaimana urusan ini dapat diselesaikan di kemudian hari"
Aku memohon pikiranmu."
Thio Siong Kee berdiam untuk berpikir. "Aku pikir dalam urusan ini perlu kita mengundang Suhu turun gunung, supaya Suhu yang
memberi petunjuk," katanya. "Perkara telah terjadi, orang yang sudah mati tidak dapat hidup kembali, sedang Tee hu sudah menginsyafi kesalahan nya dan mengubahnya. Ia sekarang bukan lagi si wanita pembunuh yang telengas. Maka itu, perlu kita mengerti maksudnya pepatah kuno: tahu bersalah dan dapat mengubahnya, itulah paling baik. Kau lihat, Toako bukankah ini benar?"
Song Wan Kiauw, yang ditanya itu, berdiam saja. Soal itu menyangkut perkara jiwanya beberapa puluh orang. Itulah perkara sangat besar, ia
ragu-ragu "Tidak salah." Jie Lian Ciu menalangi kakak seperguruannya. Ia mengangguk.
Ketika In Lie Heng mendengar suaranya kakak she Jie ini, bukan main luga hatinya. la memang paling jeri terhadap ini kakak seperguruan
yang nomor dua, yang saking jujurnya, membenci perbuatan jahat seperti dia membenci musuhnya yang dalam segala pertimbangan tidak mengenal urusan peribadi. Tadinya ia berkuatir untuk So So, isterinya Cui San itu, iparnya. Siapa nyana, demikian singkat dan bijaksana putusannya Jieko itu.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Benar", ia lantas turut bicara. "Kalau nanti ada orang luar yang menanyakan, Ngoko, kau jawab saja bahwa bukan kau yang membunuh mereka itu. Kau bukan mendusta, sebab memang bukan kau yang membunuhnya,"
Song Wan Kiauw melotot terhadap adik seperguruan ini, katanya: "Dengan menyangkal begitu, mana hati Ngotee bisa tenang" Kita menamakan diri kita orang-orang gagah mulia. Apakah kita bisa merasakan tenteram ?"
"Habis bagaimana ?" tanya Lie Heng;
"Menurut pikiranku, kita harus berbuat begini", berkata sang Toako. "Paling dulu kita menanti sampai selesai perayaan ulang tahun Suhu. Setelah itu kita pergi mencari anaknya Ngotee. Habis itu pada rapat besar di Hong ho lauw kita membereskan urusannya Kim mo Say ong Cia Sun. Lalu sesudah itu, kita berenam saudara dibantu oleh Ngo tee hu, berangkat ke Kang lam. Di dalam tempo tiga tahun, kita masing-masing harus melakukan perbuatan-perbuatan baik sebanyak sepuluh macam "
"Akur! Akur!" Thio Siong Kee berseru menepuk-nepuk tangan. "Liong bun Piauwkiok kematian tujuh puluh jiwa, kita bertujuh melakukan masing-masing sepuluh rupa kebaikan. Asal kita semua bisa menolong seratus sampai duaratus orang yang bersengsara atau terfitnah, maka dengan itu dapatlah kita menebus jiwanya tujuh puluh orang yang mati kecewa itu!"
"Pikiran Toako sangat sempurna," Jie Lian Ciu memuji. "Aku percaya suhu pun akan menyetujuinya.
Kalau tidak demikian, untuk tujuhpuluh jiwa itu, Teehu mengganti dengan satu jiwanya. Apakah artinya penggantian satu jiwa itu ?"
Cui San girang berbareng terharu.
"Nanti aku bicara padanya!" katanya. Ia maksudkan isterinya. Lantas ia lari masuk kedalam untuk menuturkan semua itu kepada So So.
Mendengar keterangan suamiana, So So menjadi bersemangat. Ia percaya lihaynya enam jago Bu tong pay itu, maka ia percaya juga yang Bu kie, anaknya, bakal dapat dicari. Ia memangnya bukan sakit berat, ia hanya bersusah hati. Sekarang ia terbuka hatinya, dan sakitnya lalu berkurang setiap hari.
===========================
Lewat beberapa hari maka tibalah Sie gwee Cap pee, tanggal delapan bulan keempat. Tanpa, bersangsi lagi, Thio Sam Hong membuka pintu kuilnya. Besok adalah hari ulang tahunnya yang ke seratus, murid-muridnya pasti bakal datang untuk merayakannya. Sebenarnya, sesudah Jie Thay Giam terluka bercacad dan Thio Cui San lenyap, ia sangat berduka. Tetapi, bahwa ia telah bisa memasuki usia seratus tahun, adalah hal yang tak dapat dilewatkan dengan begitu saja. Selain itu, ia juga yakin, bahwa lima silatr Thay kek Sin kang sudah mencapai kesempurnaannya, itu artinya, di dalam ilmu silat, ia telah membuat suatu jasa yang tak kurang daripada jasanya Tatmo Couwsu dari Siauw-lim-sie.
Pagi pagi Thio Sam Hong membuka kedua daun pintu kamarnya. Untuk herannya, orang yang pertama ia lihat bukan lain daripada Thio Cui San, muridnya yang telah hilang sepuluh tahun. Ia mengucek matanya, kuatir nanti keliru melihat.
Cui San sendiri sudah lantas menuju untuk menubruk gurunya itu.
"Suhu !" serunya sambil menangis sesenggukan. Saking terharunya, ia lupa berlutut untuk menjalankan kehormatan.
Song Wan Kiauw berlima lantas turut maju. "Selamat, Suhu !" berseru mereka. "Saudara yang kelima sudah pulang!"
Thio Sam Hong sudah berumur seratus tahun, itu artinya ia telah belajar silat dan melatihnya selama delapan puluh tahun. Ppengalamannya luas dan hatinya sudah terbuka. Akan tetapi dengan ketujuh murid muridnya ini ia bergaul sangat erat, seperti ayah dan anaknya.Mmaka begitu melihat Cui San, tak tahan ia akan rasa terharunya. Ia pun memeluk erat erat dan air matanya mengucur turun.
Segera setelah itu, keenam murid itu melayani guru mereka menyisir rambut, mencuci muka dan mulut serta berdandan, kemudian mereka duduk memasang omong. Cui San tidak berani omong perihal segala
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
apa yang dapat memusingkan kepala, maka ia menuturkan saja mengenai pulau Peng hwee to, tentang yang indah dan menarik hati, juga perihal ia sudah menikah.
(Bersambung jilid 17) BU KIE Karya : CHING YUNG Terjemahan: Bu Beng Tjoe Jilid 17 Girang guru itu mengetahui muridnya sudah beristeri. "Mana isterimu itu?" katanya. "Lekas ajak ia menemui aku!"
Cui San lantas saja berlutut didepan gurunya.
"Suhu, muridmu bernyali besar," katanya. "Untuk menikah, dia tidak memberitahukan terlebih dulu kepada Suhu... "
Sang guru mengurut kumisnya dan tertawa.
"Kau berada di pulau Peng hwee to selama sepuluh tahun dan tidak dapat pulang, apakah kau mesti menanti sepuluh tahun dan sesudah memberitahukan aku baru kau menikah?" katanya. "Ngaco, ngaco!
Lekas bangun, tidak usah kau memohon maaf. Mana Thio Sam Hong mempunyai murid yang tidak tahu aturan!"
Tetapi Cui San tetap berlutut.
"Tapi muridmu beristerikan orang yang asal usulnya sesat," katanya pula. "Dia ..... dialah gadisnya In Kauwcu dari Peh bie kauw ....."
Kembali guru itu mengurut kumisnya.
"Apakah halangannya itu?" katanya sambil bersenyum. "Asal kelakuan isterimu tidak ada celaannya, sudah cukup! Atau umpama kata pribadinya tidak baik, setelah dia naik kegunung kita, apakah dia tidak dapat dididik untuk menjadi baik" Pula, apa artinya Peh bie kauw" Cui San, yang terutama untuk menjadi manusia ialah jangan cupat pandangan ! Jangan kita menganggap, sebab diri kita dari golongan sejati lantas kita memandang enteng kepada lain orang! Dua huruf sejati dan sesat itu, sulit untuk dibedakannya. Murid golongan sejati juga, kalau hatinya tidak lurus, ia menjadi sesat, dan murid pihak sesat, apabila hatinya benar, dia dapat menjadi seorang kuncu!"
Bukan main girangnya Cui San. la tidak menyangka ganjalan hatinya selama sepuluh tahun itu, yang sangat menguatirkannya sekarang buyar dalam sedetik dengan kata-kata bijaksana gurunya.
Maka ia lantas berbangkit dengan wajahnya riang gembira.
"Mertuamu itu. In Kouwcu, adalah sahabatku," kata sang guru kemudian. "Aku mengagumi ilmu silatnya. Dialah seorang laki-laki yang luar biasa. Walaupun sifatnya agak sesat, dia bukan seorang buruk.
Maka kami dapat menjadi sahabat satu dengan yang lain."
Kembali kata-kata ini melegakan hati Cui San. Wan Kiauw dan yang lainnyapun berpikir: "Sungguh Suhu sangat mencintai muridnya yang ke lima ini hingga sekalipun mertuanya, siraja iblis, dia senang menjadikannya sahabatnya."
Selagi guru dan murid-muridnya itu berbicara, seorang kacung masuk untuk menyampaikan kabar. "In Kauwcu dari Peh bie kauw mengirim orang membawa hadiah untuk Ngo susiok!"
"Mertuamu mengirim bingkisan!" berkata Thio Sam Hong sambil tertawa "Cui san, pergi kau sambut tamu!"
"Baik suhu !" jawab murid itu.
"Nanti aku ikut bersama !" kata In Lie Heng.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Thio Siong Kee tertawa dan berkata: "Yang mengirim bingkisan bukannya Kim pian Kie Loo enghiong. Buat apa kau repot tidak keruan?"
Mukanya Lie Heng menjadi merah tetapi ia diam saja, terus ia mengikuti Cui San.
Di toa thia, ruang depan, terlibat dua orang yang usianya sudah lanjut. Mereka berdandan sebagai bujang tetapi pakaian mereka rapi. Begitu mereka melihat Cui San, mereka maju beberapa tindak untuk memberi hormat sambil berlutut seraya berkata: "Thio Kouwya baik ! Terimalah horrnat kami In Bu Hok dan In Bu Lok!"
Cui san membalas hormat kedua orang itu dengan mengangguk.
"Silahkan koankee bangun," katanya (Koankee itu kuasa rumah). Meski begitu, ia heran dan berkata di dalam hatinya: "Nama mereka ini aneh. Orang biasa memakai nama Pang An dan lain-lain sebagainya untuk bujang. Kenapa mereka memakai nama Bu Hok dan Bu Lok yang berarti tidak punya rejeki dan tidak jaya?"
Ia memandang kedua pegawai mertuanya itu, dimana terlihat olehnya pada muka In Bu Hok ada tapak bacokan golok yang panjang, dari jidat kanan turun kebawah, mengenai hidung dan bibir kiri, sedang In Bu Lok bekas diserang cacar. Terang wajah mereka buruk sekali. Usia mereka masing-masing sudah lima puluh tahuh lebih.
"Apa kedua mertuaku baik ?" tanya Cui San. "Setelah ada ketikanya, bersama nonamu aku akan pergi menjenguknya. Tidak disangka, sekarang kedua orang tua itu telah mendahului mengirim bingkisan.
Bagaimana aku dapat menerimanya" Kamu baru datang dari tempat yang jauh, silahkan duduk dan minum teh."
Bu Hok dan Bu Lok tidak berani duduk. Mereka hanya menyerahkan daftar barang- barang bawaannya itu. Sikapnya sangat menghormat. Kata mereka: "Looya dan Thay thay kami mengatakan agar ini sedikit barang sukalah kouwya menerimanya tanpa dibuat tertawaan."
Mereka itu menyebut kouwya, atau baba mantu.
"Terima kasih!" berkata Cui San yang lantas membeber daftar itu, melihat mana, ia terperanjat. Ia mendapatkan belasan helai daftar dengan huruf air emas yang menyebutkan nama namanya dua ratus rupa barang yang menjadi hadiah itu, umpamanya sepasang singa-singaan kemala, sepasang burung hong batu hijau, alat tulis dari bulu serigala serta bak dan bakhinya yang istimewa. Rupanya Peh bie Kauwcu mengetahui mantunya mengerti ilmu sastra, maka ia mengirim perabot tulis yang berhanga mahal itu.
Yang lainnya tarnyata rupa pakaian, kopia, rupa-rupa perhiasan dan lain lainnya, yang lengkap sekali.
Selama itu Bu Hok telah pergi keluar untuk kembali bersama sepuluh tukang pikul yang memikul barang-barang itu.
Cui San ragu-ragu. "Aku biasa hidup melarat dan sederhana, untuk apa semua barang mewah ini?" pikirnya. "Tapi mertuaku mengirimnya dari tempat demikian jauh. Kalau aku menampik, aku jadi berlaku tidak hormat"
Maka terpaksa ia menerimanya. Sekali lagi ia mengucapkan terima kasih.
"Nona kamu habis melakukan perjalanan jauh, kesehatannya sedikit tenganggu," katanya kepada kedua pesuruh itu. "Maka itu, koankee, lebih baik kamu berdiam dulu disini untuk beberapa hari, nanti baru kamu menemui nona kamu itu,"
"Looya dan Thay thay sangat kangen kepada Kouwnio. Mereka mengharuskan kami pulang hari ini juga untuk menyampaikan balasan kabar," kata Bu Hok. "Kalau Kouwnio kurang sehat, kami hanya memohon untuk bertemu saja sebentar guna menghaturkan hormat kami, habis ltu kami segera berangkat pulang."
"Kalau begitu, harap tunggu sebentar," berkata Cui San. Ia lantas masuk, untuk menemui isterinya, guna menyampaikan warta girang.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
So So girang sekali lekas lekas ia menyisir rambutnya dan berdandan, lalu ia pergi keruang samping untuk menemui kedua pegawai ayahnya itu. Ia menanyakan kesehatan orang tua serta kakaknya, setelah mana, ia minta mereka dahar dan minum dulu.
Bu Hok dan Bu Lok lantas meminta diri untuk segera berangkat pulang.
Sesaat Cui San bersangsi ataukah kedua pesuruh itu harus diberi persen, tapi ia tak punya uang.
Biarpun semua uang di gunung itu dikumpulkan masih belum cukup untuk menhadiahkan mereka berdua.
Dasar polos, sembari tertawa, ia berkata: "Nona kalian menikah dengan orang miskin yang tidak bisa memberi persen pada kalian, harap kalian maklum saja!"
Bu Hok dan Bu Lok merendahkan diri.
"Tidak apa," kata mereka. "Kamipun tidak berani menerima. Malah kami bersyukur selalu telah dapat melihat wajahnya Bu tong Ngohiap!"
"Mereka bicara rapi sekali, mereka tentu mengerti baik ilmu surat," pikir Cui San selagi ia mengantar orang sampai dipintu. "Cukup Kouw ya. Kami hanya mengharap Kouwya dan Kouwnio lekas datang menjenguk agar Looya dan Thaythay tidak terlalu lama mengharap harap. Semua anggauta kami juga mengharap sekali dapat melihat wajah Kouwya!"
Atas itu, Cui San melainkan bersenyum.
"Ah! hampir aku lupa!" kata In Bu Lok tiba-tiba. "Hal ini perlu disampaikan kepada Kouwya. Dalam perjalanan kemari, dirumah penginapan di Siangyang kami bertemu dengan tiga piauwsioe, sambil berbicara mereka itu menyebut nyebut nama Kouwnio...."
"Oh begitu!" Kata Cuy San. "Apakah kata mereka?"
"Kata yang seorang," berkata Bu Lok "Meskipun Bu tong Cit hiap telah melepas budi besar terhadap kita, akan tetapi soal jiwanya tujuh puluh lebih orang-orang Liong bun Piauw kiok tidak dapat dibikin habis secara begini saja. Bicara lebih jauh mereka mengatakan, biarpun mereka tak dapat memperhatikan lagi urusan itu tetapi mereka hendak pergi pada Sin Chio Tin Pat hong Tam Loolonghiong di kota Kay hong untuk minta biarlah jago tua itu sendiri yang berurusan dengan Kouwya."
Mendengar itu, Cui San hanya mengangguk. Ia tidak mengatakan suatu apa.
In Bu Lok merogo sakunya, mengeluarkan tiga batang bendera kecil berbentuk segitiga. Sembari mengangsurkan itu kepada Cui San dengan kedua tangannya, ia berkata pula: "Oleh karena mendengar ketiga piauwsu itu bernyali demikian besar, berani membentur kepalan batu, maka urusan ini kami telah mengalihkan kepada Peh bie kauw."
Cui San terkejut melihat ketiga bendera tiga itu. Yang pertama bersulamkan harimau galak, kepalanya dimiringkan, mulutnya dipentang lebar, dan tubuhnya lagi nongkrong. Itulah benderanya Houw po Piauwkiok. Bendera yang kedua bergambar sulaman seekor burung ho putih lagi terbang ditengah udara, itulah benderanya Chin Yang Piauwkiok, sebab burung itu diartikan in Ho, ketua piauwkiok itu. Bendera yang ketiga yang disulam juga, sulamannya merupakan sembiIan ekor burung walet (yan). Terang itulah bendera Yan In Piauwkiok, sebab disitu ada huruf yan itu, yang berarti "walet" sedang "sembilan" walet, bilangan "sembilan" (kioe) diambil dari namanya Kiong Kioe Kee.
"Kenapa kau mengambil bendera mereka itu?" ia tanya dengan heran.
"Kouwya toh baba mantunya Peh bie kauw!" menyahut In Bu Lok. "Dan Kie Thian Pioe dan Kiong Kioe Kee ketiga orang itu makhluk-makhluk macam apa" Mereka tahu bahwa mereka hutang budi kepada Bu tong Cit hiap, kenapa mereka masih mau pergi kepada Sin chio Tin pat hong, si tua bangka she Tam di Kay hong itu" Agar si tua bangka datang berurusan dengan Kouw ya" Bukankah itu terlalu tidak pantas" Sebenarnya Looya dan Thay thay hanya menugaskan kepada kami untuk mengantar hadiah kepada Kouwya, tetapi setelah dapat mendengar kata kata ketiga orang piauwsu itu yang kurang ajar....."
"Sebenarnya mereka tidak kurang ajar..." kata Cui San.
"Benar, sebab Kouwya sangat bijaksana dan pemurah," kata Bu Hok, "Tetapi kami yang tidak dapat menahan sabar sudah lantas membereskan mereka semuanya dan mengambil sekalian bendera mereka ini....."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Thio Cui San terkejut. Ia tahu Kie Thian Pioe bertiga adalah Piauwsee piauwsu kenamaan. Meskipun mereka itu bukan orang Rimba Persilatan nomor satu, mereka mempunyai masing masing kepandaian sendiri sendiri. Kenapa dua orang sebawahan In Thian Ceng ini memandang mereka enteng sekali"
Umpama In Noe Hok ngoceh saja, toh bendera ketiga piauwkiok itu telah berada ditangan mereka berdua. Bukankah jangan kata mengambilnya dengan berterang, dengan jalan mencuripun sukar" Maka itu, apa mungkin mereka merobohkan tiga Piauwsu itu dengan obat atau hio pulas"
"Bagaimana caranya bendera ini diambil dari tangan mereka?" akhirnya ia tanya.
"Ketika itu Jie tee Bu Lok menantang mereka", Bu Hok memberikan keterangan. "Tempat yang dipilih ialah pintu luar kota selatan. Mereka bertiga, kamipun bertiga."
"Pertaruhan kita ialah jikalau mereka yang kalah, mereka mesti menyerahkan bendera mereka dengan mereka mesti mengutungkan sebelah tangan sendiri serta untuk selanjutnya tidak dapat mereka menaruh kaki, sekalipun satu tindak di wilayah propinsi Ouw pak."
Cui San jadi bertambah heran. Hebat pertaruhan itu. Ia jadi semakin tidak berani memandang enteng kepada kedua Koankee itu.
"Bagaimana kemudian jadinya?" ia tanya pula.
"Kemudian tidak ada apa apa yang aneh" kata Bu Hok. "Mereka itu menyerahkan bendera mereka serta masing-masing menabas kutung lengan mereka yang kanan seraya mengatakan untuk seumur hidupnya mereka tidak akan menginjak pula wilayah Ouw pak."
Diam-diam giris hatinya Cui San. Pikirnya: "Benar-benar telengas orang-orang Peh bie kauw itu..."
Bu Hok berkata pula: "Seandainya Kouwya menganggap turun tangan kami terlalu enteng, sekarang juga kami pergi menyusul mereka, untuk mengambil kepala mereka!"
"Bukannya enteng, bahkan berat!" berkata Cui San cepat-cepat.
"Kamipun berpikir," kata Bu Hok pula. "kami datang untuk mengantar hadiah kepada Kouwya. Itu artinya girang dibalik girang, maka jikalau kami mengambil jiwa orang, itulah berarti alamat tidak baik."
"Benar, kamu memikir sempurna sekali," Cui San memuji. "Barusan kamu menyebut kamu datang bertiga, mana dia satu lagi?"
"Dialah saudara kami, In Bu Sioe," menyahut Bu Hok.
"Sesudah mengusir ketiga piauwsu itu, kami berdua lantas berangkat kemari menjeguk kouwya, sedang saudaraku itu terus berangkat ke Kayhong. Kami kuatir situa bangka she Tam nanti keburu mendapat kabar dan lantas datang untuk banyak rewel. Ya, Bu Sioe meminta kami mewakilkan menyampaikan hormatnya kepada Kouwya."
Habis berkata, koankee itu berlutut dan mengangguk untuk memberi hormat.
Cui San membalas dengan menjura. Ia merendah dan berkata bahwa tidak dapat ia menerima kehormatan itu.
Di dalam hatinya, baba mantunya Peh bie Kauwcu lantas memikirkan jago tua Tam Sui Lay, yang oleh dua saudara Bu ini menamakan "si tua bangka she Tam". Ia bergelar Sin Chio Tin Pat Hong, artinya ia jago ilmu silat yang menggetarkan delapan penjuru negara. Ia tahu orang itu telah menjagoi selama empatputuh tahun. Dengan perginya In Bu Sioe seorang diri, ia berkuatir. Siapapun yang akan terluka diantara mereka berdua, hatinya tidak senang.
"Sudah lama aku mendengar nama Tam Sui Lay," katanya. "Ia seorang Kuncu. Maka Jiewie tolong kamu lekas pergi menyusul ke Kayhong, untuk minta toako Bu Sioe... Bukan! Untuk berbicara dengan Sui Lay.
Jikalau mereka berdua sama-sama besikap keras dan jadi bentrok, itulah tidak bagus."
"Jangan Kouwya merasa kuatir", berkata Bu Lok dengan tawar. "Tua bangka she Tam itu tidak nanti berani melawan Shatee Bu Sioe. Jikalau Shatee memberitahukan dia untuk jangan usilan, pasti dia akan mendengar kata."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Begitu?" tanya Cui San bersangsi. Ia pikir mungkin Tam Suy Lay sendiri sudah tua dan dapat berlaku sabar, tetapi bagaimana dengan orang orang di dalam rumahnya" Sedikitnya Sui Lay mempunyai duapuluh murid yang sudah lihay, mana mereka jeri terhadap Bu Sioe"
Bu Hok dapat melihat roman ragu ragu dari baba mantu majikannya. Ia berkata: "Pada duapuluh tahun yang lalu, tua bangka she Tam itu ialah pecundangnya Bu Sioe. Juga ada sesuatu yang penting yang berada ditangan kami. Maka Kouwya jangan kuatir. Harap Kouwya tetap baik!" tambahnya dan bersama saudaranya ia lantas memberi hormat untuk meminta diri dan berangkat pergi.
Cui San membiarkan mereka itu berlalu. Tangannya masih memegang ketiga helai bendera piauwkiok.
Pikirannya bekerja. Tadinya ia memikir untuk minta dua orang itu pergi mendengar dengar halnya Bu Kie, anaknya, tetapi berat untuk ia mengatakannya. Ia kuatir merusak nama kakaknya yang nomor dua.
Maka diakhirnya, dengan ayal-ayalan ia kembali kekamarnya.
In So So duduk menyender diatas pembaringan sambil memeriksa daftar barang-barang bingkisan ayah dan ibunya. Disamping itu, ia berduka dan berkuatir untuk Bu Kie yang dibawa lari musuh.
Sekarang ini entah bagaimana nasib anak itu. Ketika ia melihat suaminya masuk, ia heran melihat roman suaminya itu tidak tenang.
"Kenapa eh ?" tanyanya.
"Sebenarnya Bu Hok, Bu Lok dan Bu Sioe itu orang macam apa?" sang suami balik menanya.
Sudah 10 tahun So So menikah dengan Cui San. Ia tahu suami itu tidak menyukai Peh bie kauw, kumpulan agama yang dipimpin ayahnya. Dari itu, mengenai agamanya itu serta rumah tangganya, tidak mau ia membicarakannya, sedang suaminyapun tidak pernah menanyakannya. Maka itu, heran juga ia mendengar pertanyaan suaminya ini. Tapi ia menjawab: "Mereka bertiga, pada duapuluh tahun yang sudah adalah penjahat-penjahat besar yang telah malang melintang diwilayah barat daya. Pada suatu hari mereka kena dikepung serombongan jago, sampai mereka tidak berdaya untuk melawan atau melolos kan diri. Kebetulan ayahku lewat di situ dan melihatnya. Senang ayah melihat keberanian mereka yang tidak sudi menyerah kalah. Maka ayah lantas mengulurkan tangan, menolong mereka. Lantaran itu, mereka jadi sangat bersyukur dan mereka bersumpah bahwa seumurnya mereka rela menjadi hamba-hamba ayah.
Mereka membuang she dan nama mereka. Mereka memakai nama yang sekarang: In Bu Hok, Bu Lok dan Bu Sioe. Sejak kecil aku berlaku baik kepada mereka, tidak berani aku memandang rendah. Mereka tidak diperlakukan sebagai bujang-bujang biasa. Ibu pernah memberitahukan aku, mengenai kepandaian mereka. Walaupun ahli silat yang kenamaan belum tentu gampang-gampang dapat menandingi mereka"
"Begitu!" kata Cui San yang terus menuturkan cerita Bu Kok tentang bertempuran dengan ketiga piauwsu itu, yang benderanya dirampas serta bagaimana ketiga piauwsu itu mengutungi lengannya sendiri.
Mendengar itu, In So So mengerutkan alis.
"Dengan berbuat begitu, mereka sebenarnya bermaksud baik," kata si isteri. "Aku tidak menyangka bahwa kelakuan orang-orang yang menyebut diri dari kalangan sejati, mirip dengan orang kaum sesat.
Ngoko, urusan ini dapat menambah kepusingan untukmu. Ah, aku tidak tahu bagaimana baiknya ini diatur....."
Ia berhenti sejenak, untuk kemudian menambahkan: "Biarlah nanti setelah Bu Kie dapat dicari, kita balik lagi ke Peng Hwee to ...."
Belum lagi Cui San menanggapi kata-kata isterinya itu, diluar terdengar suara berisik dari In Lie Heng yang berseru: "Ngoko, Mari lekas! Kau ambil pit besar. Lekas kau menulis lian dan lain lainnya!" Kata-katanya itu lantas disusul dengan: "Ngo so, jangan kau menyesalkan aku yang mengajak Ngo ko keluar!
Siapa suruh dia dijuluki Ginkauw Tiat hoa?"
Maka keluarlah Cui San, untuk selanjutnya lohor itu bekerja berenam, mengepalai saudara-saudaranya menghias kuil mereka, terutama untuk memajang banyak lian pilihan Song Wan Kiauw yang ditulis oleh Cui San. (peep: lian = ?"")
Besoknya pagi-pagi, Wan Kiauw semua berdandan rapi dengan pakaian baru mereka. Disaat mereka hendak memayang Jie Thay Giam, untuk diajak pergi keluar memberi selamat kepada guru mereka, tiba-tiba datang satu tootong, yaitu kacung imam, yang membawa sehelai karcis nama.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Song Wan Kiauw yang menyambuti, tetapi mata Thio Siong Kee yang liehay sudah lantas membaca tulisan diatasnya, bunyinya: "Ho Thay Ciong yang muda dari Kun lun san beserta sekalian muridnya memberi selamat kepada Thio Cinjin. Semoga panjang umur sebagai gunung Selatan!" Maka heranlah ia dan lantas ia berkata: "Ketua dari Kun lun pay datang sendiri memberi hormat kepada Suho! Ia datang dari tempat jauh selaksa ialah suatu pemberian muka terang yang tak kecil!"
Wan Kiau pun berkata: "Tetamu kita ini bukan tetamu sembarangan, harus kita minta Su hu sendiri yang menyambutnya!" Maka ia lantas lari masuk guna memberitahukan gurunya.
"Ciangbunjin dari Kun lun pay Ini kabarnya belum pernah datang ke Tionggoan. Maka luar biasa yang ia mendapat tahu hari ulang tahunku," berkata sang guru, yang lantas memimpin keenam muridnya melakukan penyambutan.
Ho Thay Ciong mengenakan jubah kuning, romannya ramah dan agung, agaknya tepat ia menjadi ketua sebuah partai persilatan. Ia diiringi deIapan muridnya antaranya terdapat See hoa cu serta Wie Su Nio.
Thio Sam Hong menyambut sambil menjura dan lantas menghaturkan terima kasihnya. Song Wan Kiauw berenam memberi hormat sambil berlutut.
Ho Thay Ciong membalas hormatnya tuan rumah, sedang hormatnya Wan Kiauw beramai di balas dengan setengah kehormatan. "Nama Bu tong Liok hiap tersohor sekali, maka itu hormatmu itu tidak dapat aku menerimanya," katanya.
Tetamu itu lalu diundang keruang tengah, dimana ia dipersilahkan duduk dan disuguhkan teh.
Belum lama, satu tootong datang pula dengan selembar karcis nama. Ketika Wan Kiauw menerimanya, ternyata itulah kartu nama dari rombongan Khong tong pay.
Di dalam kalangan persilatan masa itu, Siauw lim pay yang namanya paling tersohor, Kun lun pay dan Go bie pay yang kedua, baru Khong Tong pay. Maka itu, kedudukannya orang Khong tong pay ini seimbang dengan Song Wan Kiauw. Akan tetapi Thio Sam Hong manis budi, ia berbangkit seraya berkata kepada tetamunya: "Ada tetamu dari Khong tong pay, hendak aku menyambutnya, dari itu minta sudilah Ho looyoe menanti sebentar."
Ho Thay Ciong mengangguk, akan tetapi di dalam hatinya ia berkata: "Yang datang hanya orang Khong tong pay, cukup kalau mereka disambut saja oleh seorang murid....."
Tidak lama muncullah Khong tong Ngo loo bersama muridnya. Ho Thay Ciong menemui mereka itu tanpa berbangkit, ia melainkan membungkuk sambil berduduk.
Tidak lama pula datanglah lain-lain tetamu, Seperti dari partai Sin kun bun, Hay see pay, Kie keng pang, Bu san pay dan lainnya. Maka repotlah Wan Kiauw dan saudara-saudaranya. Mereka ini bermaksud bersuka-ria bersama gurunya saja. Siapa tahu telah datang demikian banyak tetamu.
Thio Sam Hong juga tidak gemar ramai-ramai. Ketika ia berulangtahun usia tujuhpuluh, delapan puluh dan sembilan puluh, ia telah memesan murid muridnya untuk jangan memberitahukan itu pada banyak orang. Maka ia tidak menyangka kali ini ia kedatangan begitu banyak tetamu, sehingga tidaklah heran, kursipun sampai kekurangan hingga terpaksa Wan Kiauw beramai menggunakan batu-batu bundar sebagai gantinya.
Semua ketua partai dapat duduk dikursi, tetapi murid murid mereka terpaksa duduk dibatu bundar itu.
Untuk minum teh juga, cawan kehabisan dan sebagai gantinya dipakai mangkok nasi.
Selagi Thio Siong Kee dan Thio Cui San beara dikamar sebelah timur, sang kakak menanya adik seperguruannya: "Ngo tee, apakah kau dapat melihat sesuatu?"
"Agaknya mereka telah berdamai Iebih dulu," berkata Cui San. "Lihatlah sikap mereka di waktu mereka baru bertemu satu pada yang lain. Beberapa orang tampaknya heran tetapi terang itulah berpura-pura belaka."
"Kau benar. Mereka ini bukannya bersungguh hati datang untuk memberi selamat kepada Suhu," kata Siong Kee kemudian.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Memberi selamat hanya alasan. Yang benar mereka datang untuk menegur!" Kata Cui San.
"Bukan, bukan menegur." kita Siong Kee. "Perkara jiwa keluarga Liong bun Piauw kiok tidak nanti dapat mengundang Ho Thay Ciong dari Kun lun pay."
"Habis apakah itu untuk urusannya Kim mo Say ong Cia Sun ?" tanya Cui San.
Siong Kee tertawa dingin.
"Hmm! Mereka memandang terlalu enteng pada Bu tong pay!" katanya. "Walauputn mereka mengandalkan jumlah yang banyak untuk memperoleh kemenangan, apakah mereka menyangka murid-murid Bu tong pay dapat menjual sahabatnya" Ngo tee, meski Cia Sun itu jahat tak berampun, tidak nanti saudaramu membuka mulut untuk memberitahukan hal dia."
"Sieko benar. Sekarang bagaimana kita harus bertindak ?"
Siong Kee berdiam untuk berpikir. "Sekarang ini kita berhati-hati saja," sahutnya. "Cukup asal kita bersatu padu, Bu tong Cit hiap sudah kenyang menghadapi badai dan gelombang dahsyat, dari itu mana kita jeri terhadap mereka ini?"
Siong Kee tetap menyebut Bu tong Cit hiap, tujuh jago dari Bu tong pay, walaupun Jie Thay Giam telah bercacad. Ia tidak ingin gurunya sampai turun tangan, terutama sebab guru itu lagi merayakan ulang tahunnya yang keseratus. la menghibur saudaranya itu meski ia merasa urusan sulit sekali.
Selanjutnya, Wan Kiauw bertiga Jie Lian Ciu dan In Lie Heng yang melayani tetamu-tetamu di toathia, ruang besar. Mereka merasa semakin pasti bahwa sikap sekalian tetamu itu luar biasa.
Selagi orang berbicara, kembali ada kacung yang masuk dengan wartanya: 'Murid kepala dari Go bie pay, Ceng hian Su thay, datang bersama lima Sutee dan Sumaynya untuk memberi selamat kepada Su couw !"
Mendengar warta itu, Wan Kiauw dan Lian Ciu bersenyum. Keduanya memandang Lie Heng. Justeru itu Boh Seng Kok pun tampak masuk bersama sembilan tetamunya yang baru tiba, sedang Thio Siong Kee dan Thio Cui San baru muncul dari dalam. Mereka ini juga mendengar warta itu, mereka turut memandang Lie Heng sambil bersenyum.
Saudara she In ini menjadi merah mukanya, likat sikapnya. Tapi tanpa memperhatikan itu, Cui-San menarik tangannya Su tee itu, untuk diajak keluar sambil tertawa, ia kata: "Mari, mari... Mari kita menyambut tetamu!"
Diluar terlihat Ceng hian Su Thay tengah menanti bersama lima adik seperguruannnya. Bhiksuni itu berusia empatpuluh lebih, tubuhnya tinggi dan besar, romannya gagah. Ia seorang wanita, tetapi tubuhnya lebih tinggi daripada kebanyakan pria. Dari lima saudara seperguruannya, satu adalah seorang pria kurus, usia tigapuluh tahun, dua yang wanita, satu antaranya ialah Ceng hie Su thay, yang Cui San pernah ketemukan di dalam perahu ditengah laut. Dua wanita lainnya, yang satu ialah nona umur kurang lebih duapuluh tahun, yang mulutnya senantiasa tersungging senyuman, dan yang lainnya berkulit halus, tubuhnya jangkung, romannya cantik. Dia ini, terus menunduk kan kepala dan tangannya selalu membuat main ujung bajunya. Sebab ialah Nona Kie yang menjadi tunangannya In Lie Heng.
Bersama Lie Heng, Cui San menyambut tetamu dari Go bie san yang mereka pimpin masuk ke dalam.
Selama itu, Lie Heng tidak berani mengawasi Siauw Hu, tunangannya. Hanya setibanya dipaseban, selagi yang lainnya sudah berada disebelah depan, baru ia berpaling, justeru si nona pun melirik kearahnya.
Dengan begitu bentroklah sinar mata mereka.
Adik seperguruan Siauw Hu melihat langak su cienya ini, dia berdehem, sehingga kedua muda mudi itu menjadi kemalu-maluan, keduanya lantas berpaling kelain arah. Sumoay itu tertawa geli dan berkata:
"Suci, lihat, In Suko lebih pemaluan dari padamu!"
Hati Siong Kee lega juga karena datangnya rombongan Go Bie pay. Ia percaya, kalau sampai terjadi sesuatu, Ceng hian Su thay tentu bakal membantu pihaknya, mengingat Nona Kie tunangannya Lie Heng.
Sedang tetamu datang begitu banyak, pihak Giok hie koan tidak bersiap siaga. Mana bisa di adakan perjamuan besar" Maka juga pihak imam ini hanya bisa menyuguhkan masing-masing tetamu semangkok nasi putih campur sayur tauwhu dan kwacay.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Wan Kiauw berulang ulang minta maaf karena dia tidak dapat menjamu semua tetamunya lebih dari pada itu. Sebaliknya kawanan tetamu itu sembari dahar mereka saban-saban memandang ke arah luar seperti juga mereka lagi menantikan orang.
Diam diam Song Wan Kiauw dan saudara saudaranya memperhatikan gerak gerik mereka. Semua ciang bun jin atau Pangcu tidak ada yang membekal senjara, tetapi banyak murid mereka membawa senjata. Hanya murid-murid Go bie pay, Kun loan pay dan Khong tong pay yang bertangan kosong.
Bu tong pay belum lama didirikan, di kaki gunung belum dipasang "Kay Kiam Giam", yaitu batu tanda untuk meletakkan pedang. Dengan "pedang" diartikan pelbagai macam senjata tajam. Karena itu, meskipun ada yang membawa pedang naik kegunung dan termasuk perbuatan kurang pantas, sekalian tetamu itu tidak dapat dilarang kedatangannya. Tuan rumah sendiripun tidak dapat menegur. Cuma di dalam hati merasa tidak puas. Kata Wan Kiauw di dalam hatinya: "Kalian datang untuk memberi selamat pada guruku, mengapa kalian diam-diam membekal senjata?"
Ada lagi yang tidak memuaskan pihak Bu tong pay, yang membikin terlebih nyata bahwa tetamu-tetamu itu mengandung sesuatu maksud. Pelbagai bingkisan yang dibawa oleh mereka, mieshoa dan lainnya, semua barang pembelian sambil lalu disusun di kaki gunung Bu tong san, semua dibeli secara kesusu. Bingkisan semacam itu tidak saja tidak tepat untuk Thio Sam Hong, juga tidak sesuai dengan derajatnya pelbagai tetamu golongan ketua itu. Melainkan bingkisan Go bie pay yang tepat, ialah enam belas perabot kumala berikut sepotong jubah warna merah yang sekalian disulamkan seratus huruf "Sioe"
(umur) pelbagai model. Thio Sam Hong girang sekali. Ia mengucapkan terima kasih. Ia memuji kepandaian menyulam itu.
Murid murid Go bie pay bukan hanya pandai silat, katanya.
Selagi gurunya itu berkata kata, Siong Kee terus berpikir: "Entah semua orang ini masih menantikan siapa lagi.... Suhu tidak gemar akan keramaian. Maka juga sahabat-sahabat Bu tong pay tidak ada yang diundang. Kalau tidak, tidaklah kita menjadi mencil semacam ini hingga kita tidak mempunyai bala bantuan....."
Thio Sam Hong biasa merantau. Tujuh murid nya juga banyak perbuatan baiknya. Jikalau melepas undangan mendatanglah banyak sahabat yang liehay.
Jie Lian Ciu, yang berpikir seperti Siong Kee, berbisik pada adik seperguruannya itu: "Kita sudah pikir sehabis ulang tahun Suhu, akan melepas undangan guna rapat orang gagah di Lauw teng Hong ho lauw, siapa tahu karena kita berayal, sekarang kita mengalami kegagalan ini."
Ia bermaksud di dalam rapat itu memberi ketika kepada Thio Cui San untuk menjelaskan, bahwa Cui San tidak menjual sahabat agar dia bebas, atau kalau ada yang mendesaknya, pihaknya mungkin memperoleh simpati dan bantuan dari banyak hadirin lainnya. Diluar dugaan, pihak "musuh" telah mendahului, sekarang mereka meluruk datang.
"Sekarang kita cuma dapat berkelahi mati-matian," berbisik Siong Kee kemudian.
Diantara Bu tong Cit hiap, Siong Kee yang paling pandai berpikir. Setiap ada kesulitan, saban-saban ialah yang memperoleh pikiran baik. Maka itu, mendengar suaranya Sutee ini, Jie Lian Ciu kata di dalam hatinya: "Sampaipun Sutee tidak berdaya, rupanya enam murid Bu tong pay harus mengucurkan darahnya diatas gunungnya ini."
Coba orang berkelahi satu demi satu, hanya Thie khiem Siang seng Ho Thay Ciong yang dapat menandingi Bu tong Liok hiap. Tetapi orang pasti akan mengepung, itu artinya bukan satu lawan duapuluh tetapi satu lawan empatpuluh.
Siong Kee menarik ujung baju Lian Ciu untuk diajak kebelakang ruang. Ia kata pada kakaknya yang nomor dua itu: "Kalau sebentar pembicaraan memuncak kesuasana buruk, kita mesti menantang satu lawan satu. Syukur kalau siasat kita ini kesampaian. Kalau tidak, terang mereka bakal main keroyok ...."
Lian Ciu mengangguk. "Dalam kesulitan ini, paling perlu kita menolong Shatee," katanya. "Kita mesti jaga hingga ia tidak terjatuh kedalam tangan musuh, supaya ia tidak menderita pula, baik bathin maupun lahir. Tugas ini aku serahkan padamu. Ngo teehu telah sembuh tetapi ia belum pulih benar kesehatannya, maka itu kau mintalah Ngotee yang melindunginya. Untuk menyambut, tugasnya terjatuh padaku dan Toako berempat."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Siong Kee mengangguk. "baik," katanya. Ia berdiam sejenak, lantas ia berkata pula: "Mungkin ada jalan untuk kita lolos dari bahaya..."
"Apakah itu, Sutee" Biar kita mesti menerjang bahaya dulu, tidak apa."
"Aku memikir untuk menggunakan siasat, ialah kita berenam masing-masing meyerbu satu lawan"
Siang Kee mengutarakan pikirannya. "Di dalam satu jurus, kita mesti berhasil membekuk musuh itu agar musuh lainnya menjadi jeri dan tidak berani mendesak kita..."
Lian Ciu ragu ragu: " Yang lainnya tetntulah bakalan mengepung kita. Juga umpamanya kita berhasil, masih ...."
"Dalam saat berbahaya begini, jangan pikir banyak banyak," kata Siong Kee. "Kita gunakan saja jurus cengkeraman naga Liong jiauw Ciat hu ciu!"
"Hari ini hari ulang tahun Suhu," kata Lian Ciu, "artinya hari ini hari baik. Apakah tidak terlalu telengas untuk menggunakan jurus itu?"
Jago Bu tong yang nomor dua itu bersangsi oleh kerena ia mengenal baik jurusnya itu, semacam jurus Kim na Cui hoat atau menangkap tangan sedang Liong jiauw Ciat hoat ciu itu berarti "kuku naga memutuskan." Itulah jurus paling lihay dalam Bu tong pay. Ketika Lian Ciu berhasil dengan jurus itu, ia masih kurang puas. Sebahnya ialah kalau musuh lihay, masih dapat meloloskan tangannya dari tangkapan, maka dengan kecerdikannya, ia mengolahnya. Dan ia berhasil menambah itu, menciptakan duabelas jurus hubungannya.
Dalam memilih murid, Thio Sam Hong memperhatikan juga kecerdasan setiap murid. Maka itu murid-muridnya dapat menggunakan otak mereka, dimana perlu mereka bisa mengubah ilmu silat yang diajarkan gurunya untuk disempurnakan. Ketika Lian Ciu berhasil dengan ciptaannya, ia menjalankan itu didepan gurunya. Sang guru cuma mengangguk, tidak mengiakan juga tidak menolak. Melihat sikap guru itu Lima Ciu tahu rupanya masih ada cacad dalam ciptaannya itu, ia lantas meyakinkan terus. Selang beberapa bulan, kembali ia mempertunjukkannya didepan gurunya. Kali ini Thio Sam Hong menghela napas dan berkata:"Lian Ciu, ciptaanmu ini jauh lebih lihay dari pada jurus yang aku ajarkan, hanya sambaranmu pata pinggang tidak peduli siapa yang menjadi korban, dia bakal terluka di dalam hingga putus daya turunannya. Apakah kau menganggap ajaranku, yaitu ilmu silat sejati masih kurang, hingga kau menghendaki jurus yang membikin, hanya dengan satu serangan, lawan lantas tidak berkutik pula?"
Mendengar perunturan itu. Lian Cu mengeluaran keringat dingin, ia bergidik seorang diri.
Seberapa hari selewat itu, Thio Sam Hong mengumpulkan ketujuh muridnya dan bicara kepada mereka tentang ciptaan Lian Ciu itu, kemudian dia menambahkan: "Ciptaan Lian Ciu yang menjadi duabelas jurus berkat ketekunannya adalah suatu ilmu pukulan yang istimewa. Kalau ilmu itu dibuang karena kata-kataku satu orang, itulah sayang, maka itu kamu pergilah belajar pada Lian Ciu, untuk mempelajari itu, supaya masing-masing bisa menggunakannya. Aku melainkan hendak memesan, kecuali kalau bertemu saat mati hidup, janganlah itu sembarang dipakai. Sekarang di bawah nama Liong Jiauw itu, aku menambahkan dua huruf 'Ciat hu', yang berarti 'menutup pintu'. Ingatlah kamu, akibatnya serangan pukulan ini dapat membuat musuh putus turunannya, jadi inilah jurus yang mematikan!"
Semua murid itu menerima baik pesanan guru mereka. Maka yang enam lantas belajar pada Lian Ciu.
Mereka telah meyakinkan ilmu itu, tetapi mereka belum pernah menggunakannya, sebab mereka taat kepada pesan guru mereka. Adalah sekarang ini, karena keadaan sangat berbahaya, Siong Kee mengajukan pikirannya itu yang membuat si orang she Jie ragu-ragu.
"Memang dengan terkena serangan kita, lawan bakal putus turunannya," kata Siong Kee kemudian.
"tetapi kita masih mempunyai jalan lain. Ialah kita mencari lawan dalam dirinya seorang pendeta imam, atau kalau tidak, kita hajar lawan-lawan yang usianya sudah tujuh atau delapanpuluh tahun.
Mendengar itu, Lian Ciu tertawa. "Sungguh cerdik kau, Sutee!" Ia memuji. "Memang pendeta atau imam tidak bakal mempunyai anak!"
Sampai disitu, mereka sudah mencapai persetujuan, maka keduanya lantas mencari empat saudara yang lainnya, untuk mengisik, supaya mereka masing-masing menghadapi satu lawan yang tangguh atau kenamaan. Tanda untuk turun tangan, ialah kalau Thio Siong Kee sudah berseru.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Jie Lian Ciu sendiri sudah lantas memilih bakal mangsanya yaitu anggauta paling tua dari Khong tong Ngo too, sedang Thio Cui San mengincar See hoa cu dari Kun lun pay.


Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Habis orang bersantap, semua mangkuk, sumpit dan cawan lantas dibenahkan. Setelah itu Thio Siong Kee, dengan suaranya yang terang dan lancar, lalu berpidato. Dia kata: '"Cianpwee serta para sahabat!
Hari ini hari peringatan ulang tahun guru kami memasuki usia seratus tahun. Atas kunjungan Cianpwee dan sahabat sekalian, kami sangat bersyukur, hanya kami mohon dimaafkan untuk pelayanan yang tidak sempurna ini. Sebenarnya guru kami hendak mengundang para Cianpwee dan sahabat untuk pertemuan di Hong ho lauw, untuk minum bersama hingga puas, dari itu pelayanan bari ini biarlah diperbaiki kelak, dikemudian hari."
"Hari inipun saudara seperguruan kami, Thio Cui San, baru saja kembali dari perjalanan jauh yang memakan waktu sepuluh tahun. Dia belum sempat menuturkan kepada guru kami tentang parjalanan dan pengalamannya itu. Inilah di sebabkan pesta ulang tahun guru kami ini. Maka itu, kalau umpama dalam suasana begini kita berbicarakan tentang budi atau permusuhan kaum Rimba Persilatan, itulah tidak dapat, itulah juga alamat tidak bagus."
"Dengan begitu maksud para Cianpwee dan sahabat datang memberi selamat lantas dengan sendirinya berubah menjadi hal yang tidak-tidak. Maksud baik itu berubah menjadi masud buruk. Oleh karena itu, tuan-tuan, setelah tuan tuan datang ke Bu tong pai, mari aku yang rendah mengundang tuan-tuan melihat-lihat gunung ini bagian depan dan belakangnya."
Hebat siasatnya Siong Kee. Pertama-tama ia telah lantas menyumbat mulut orang. Dengan itu ia mau mengatakan, orang pastilah bermaksud bermusuh jika hendak membicarakan urusan Cia Sun dan Liong bun Piauw kiok. Sebab hari itu, hari pesta ulang tahun, adalah hari baik.
Sekalian tetamu itu mendaki gunung Bu tong san untuk bicara, untuk mendesak menanyakan dimana adanya Kim mo Say ong Cia Sun. Tapi nama Bu tong pay angker sekali. Tidak ada yang berani memulai.
Siapa yang mengajukan diri, berarti dialah yang mengundang permusuhan. Sebaliknya, untuk segera menyerang sendiri juga tidak ada yang berani memulai. Itupun berarti, siapa maju paling dulu, ada harapan dialah yang celaka paling dulu juga. Maka itu tidak ada yang mau menjadi musuh Bu tong pay serta tidak sudi juga menjadi korban pertama. Mereka itu saling mengawasi satu pada yang lain.
Dengan sendirinya suasana menjadi tegang tidak keruan junterungannya.
Akibatnya See hoa cu dari Kun lun pay berbangkit untuk bicara. Ia bukannya menerima undangan Siong Kee, hanya berkata nyaring: "Thio Sie hiap, tidak usah kau mengatakan sesuatu yang artinya lain.
Kita terang-terang tidak melakukan apa apa yang gelap. Kita mau bicara dengan mementang jendela lebar-lebar! Kali ini kami datang kemari dengan maksud, pertama tama ialah untuk memberi selamat kepada Thio Cinjin. Yang kedua yaitu guna mencari tahu tentang dimana beradanya Cia Sun sekarang ini."
Boh Seng Kok sudah lama sekali menahan hatinya. Mendengar perkataannya Sea hoa cu, ia tidak dapat pula menguasai dirinya.
"Bagus! Kiranya begitu!" katanya dengan tertawa dingin. "Tidak heran ! Tidak heran."
See hoa cu mendelik. "Apa yang tidak heran ?" tanyanya bengis.
Dengan nyaring Seng Kok berkata: "Tidak heran sebab mulanya aku menyangka tuan-tuan datang kemari untuk memberi selamat kepada guru. Tetapi ditubuh kamu masing-matsng disembunyikan senjata tajam. Mulanya aku heran sekali, di dalam hatiku aku bertanya tanya apakah tuan-tuan hendak menghadiahkan senjata tajam kepada guruku" Sekarang barulah terang duduknya hal! Kiranya bingkisan ini bingkisan macam begini!"
See hoa cu menjadi mendongkol sekali. Ia menepuk-nepuk tubuhnya, terus ia meloloskan jubahnya.
"Bok Cit hiap lihatlah biar terang!" ia berseru. "Kau masih muda sekall, jangan kau menyembur orang dengan darah! Lihatlah tubuhku ini! Siapakah yang menyembunyikan senjata tajam?"
"Bagus! Memang tidak ada!" berkata Seng Kok dengan tertawa. Dengan sebat, dengan jari tangannya ia sodok dua orang yang berada disamping, Ketika ia menarik, putuslah tali baju dua orang itu, karena mana dengan menerbitkan suara nyaring berisik jatuhlah dua batang golok pendek yang berkilauan.
Mereka benar telah menyembunyikan senjata disebelah dalam bajunya itu.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Menyaksikan itu, banyak hadirin yang air mukanya menjadi berubah.
"Benar!" See hoa cu berseru. Sekarang ini ia tidak main pernik lagi. "Thio Ngo hiap jikalau kau tidak menunjukkan kami dimana adanya Cia Sun, maka entah kita bakal menggerakkan golok atau pedang!"
Thio Siong Kee tengah menantikan ketika untuk mengasi dengar seruan. Ia melihat ketikanya itu telah sampai. Hanya disaat itu hendak membuka mulutnya, tiba-tiba terdengar suara pujian "Omie too hud!"
Duri Bunga Ju 8 Pedang Bengis Sutra Merah ( Tan Ceng In) Karya See Yan Tjin Djin Kelelawar Hijau 12

Cari Blog Ini