Ceritasilat Novel Online

Kisah Membunuh Naga 13

Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong Bagian 13


Kalau aku menikam mata kanannya dan kau menikam mata kirinya, bukankah merupakan suatu hal yang sangat wajar " Mengapa kau merasa segan tidak mau turun tangan ?"
"Hati siauw moay lembek, tidak bisa turun tangan," jawabnya.
"Apa" Hatimu lembek ?" menyindir Teng Bin Kun.
"Suhu sering memuji kau sebagai murid yang ilmu pedangnya hebat dan adatnya keras. Sangat menyerupai adat suhu sehingga beliau mempunyai niatan untuk mengangkat kau sebagai akhliwarisnya.
Mana boleh hatimu lembek ?"
Apabila dua saudara bertengkar, maka hal itu akan sangat membingungkan orang-orang yang mendengarkannya, karena mereka tak mengetahui sebab musabab yang sebenarnya dari percekcokan antara keduanya. Sesudah mendengar perkataan Teng Bin Kun yang paling belakangan, barulah mereka bisa meraba-raba. Rupanya, Ciang bun jin Go Bie pay Biat coat Suthay sangat menyayang Kie Siauw Hu dan berniat untuk mengangkat murid itu menjadi ahli warisnya. Hal ini kelihatannya sudah menimbulkan rasa iri dalam hati Teng Bin Kun yang entah sudah memegang rahasia apa dari adik sepenguruannya sekarang ingin menghilangkan muka nona Kie di hadapan orang banyak.
Bu Kie yang menyaksikan kejadian itu dari tempat bersembunyinya, merasa gusar sekali. Ia ingat perlakuan nona Kie yang sangat baik terhadapnya pada hari itu, pada harian kedua orang tuanya membunuh diri. Ia bergusar dan berduka. Kalau dapat, ia ingin sekali menerjang keluar dan menggaplok muka si wanita she Teng yang tidak mengenal kasihan.
"Kie Sumoay, aku ingin mengajukan Iagi satu pertanyaan," kata Teng Bin Kun. "Pada tiga tahun berselang, Suhu telah mengumpulkan semua murid dipuncak Kim teng, dipuncak gunung Go bie san dengan maksud untuk mengajar ilmu pedang Bit kiam dan Coat kiam kepada semua saudara sepenguruan kita. Coba jawab. Kenapa kau tidak hadir dalam pertemuan besar itu" Mengapa beliau jadi begitu gusar sehingga beliau mematahkan pedangnya sendiri dan mengatakan bahwa dunia tidak akan mengenal lagi kedua ilmu pedang itu?"
"Ketika itu, siauwmoay tiba-tiba mendapat sakit berat di Kam ciu, sehingga tak bisa bangun,"
jawabnya. "Hal ini siauwmoay sudah memberitahukan kepada Suhu. Mengapa Suci menanyakan pedang itu?"
Teng Bin Kun tertawa dingin. "Hmm!" ia mengeluarkan suara dihidung. "Kau bisa memperdayai Suhu, tapi tak dapat mengabui aku. Aku masih ingin mengajukan sebuah pertanyaan. Tapi jika kau menikam mata si kepala gundul, pertanyaan itu tidak diajukan olehku."
Kie Siauw Hu menundukkan kepala. Ia berduka bukan main. "Suci," katanya dengan suara perlahan,
"apakah kau tidak ingat Iagi kecintaan antara sesama saudara sepenguruan?"
"Kau mau tikam atau tidak?" tanya sang kakak dengan bengis
"Suci, kau tak usah kuatir," kata nona Kie dangan suara memohon. "Andaikata aku mau di jadikan ahliwaris oleh Suhu, aku tentu akan menolak."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Bagus" bentak Tang Bin Kun dengan gusar. "Dengan berkata begitu, kau seperti juga mau mengatakan, bahwa aku menerima budimu yang besar. Cobalah kau unjuk. Dibagian mana yang aku kalah dari kau" Aku tidak perlu menerima budimu ! Tidak perlu kau mengalah! Eh! Katakan sekarang.
Kau mau tikam atau tidak?"
"Jika Siauwmoay bersalah, Suci boleh menegur atau menjatuhkan hukuman dan Siauwmoay akan menerimanya dengan segala senang hati," kata Siauw Hu. "Disini terdapat sahabat-sahabat dari lain partai, sehingga kumohon Suci jangan mendesak terlalu...." berkata sampai disitu, ia tidak dapat meneruskan perkataannya, karena air matanya sudah mulai mengucur.
Teng Bin Kun tertawa dingin. "Huh! Jangan kau berlagak sedih, sedang di dalam hati kau mencaci aku," ejeknya. "Pada tiga tahun yang lalu, apa benar-benar kau mendapat sakit di Lam ciu" Perkataan dapat memang tak salah, tapi bukan mendapat sakit, hanya mendapat anak !"
Mendengar kata-kata yang sehebat itu, Kie Siauw Hu mengeluarkan teriakan menyayat hati. Ia memutar badan dan terus kabur sekeras-kerasnya. Tapi Teng Bin Kun juga sudah menduga lebih dulu, lantas saja mengubar dan mencegatnya
"Sumoay, lebih baik kau tikam mata kiri pendeta siluman itu," katanya sambil mengibas pedang. "Jika kau tetap membantah, aku akan menanya siapa adanya ayah anak itu dan aku akan menanya, mengapa sebagai murid dari sebuah partai yang lurus bersih, kau melindungi seorang pendeta siluman dari agama Mokauw secara begitu mati-matian"
"Kau .... kau .... minggir!" bentak nona Kie dengan napas tersengal-sengal.
Sambil menudingkan pedang didada adik seperguruan itu, Teng Bin Kun membentak: "Jawab pertanyaanku: Dimana kau titip bayimu " Kau adalah tunangan In Lie heng, In Liokhiap, tapi mengapa kau melahirkan anak ?"
Kata kata itu, mengejutkan semua orang. Bahkan Bu Kie yang masih kecil juga merasa, bahwat Kie Siauw Hu telah dituduh melakukan perbuatan hebat yang menyinggung kehormatan In Lie Heng.
Paras muka nona Kie berubah pucat bagaikan kertas dan ia menerjang untuk coba meloloskan diri.
Diluar dugaannya, Teng Bin Kun membuktikan ancamannya. Dengan sekali menyodok, pedangnya amblas di lengan Siauw Hu, sehingga ujung pedang mengenakan tulang. Sambil menahan sakit, nona Kie terpaksa menghunus senjatanya dengan tangan kiri.
"Suci," katanya dengan suara parau, "jikalau kau mendesak terus, aku terpaksa akan berlaku kurang ajar."
Teng Bin Kun merasa, bahwa sesudah ia membuka rahasia si adik sepenguruan, tentu akan berusaha untuk membinasakannya guna menutup mulutnya. Maka itu, dengan mengetahui, bahwa bekal ilmu silatnya masih kalah dari Siauw Hu, dia segera mengambil suatu keputusan untuk turun tangan lebih dulu.
Sesudah menikam lengan si adik dalam serangan susulan, ia menusuk kempungan Siauw Hu.
Melihat Sucinya menyerang pula dengan pukulan yang membinasakan, sambil menahan sakit, nona Kie menangkis dengan pedang yang dicekal dalam tangan kirinya. Di lain saat mereka sudah bertempur seru dengan gerakan-gerakan yang luar biasa cepat.
Semua orang yang ada di situ adalah ahli-ahli silat yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi, karena semua sudah mendapat luka berat, mereka tak berdaya untuk memisahkannya. Diam-diam mereka merasa kagum akan lihaynya ilmu pedang Go bie pay, yang dikenal sebagai salah satu dari empat partai besar dalam Rimba Persilatan.
Kie Siauw Hu bertempur dengan lengan kanan terus mengucurkan darah.
(Bersambung Jiiid 22) BU KIE Karya : CHING YUNG Terjemahan: Bu Beng Tjoe Jilid 22 Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Beberapa kali Kie Siauw Hu menerjang dengan pukulan hebat, dalam usaha untuk mundurkan Sucinya supaya ia bisa melarikan diri, tapi usahanya selalu gagal. Ia gagal karena tidak biasa menggunakan pedang dengan tangan kiri dan juga karena, sesudah mengeluarkan banyak darah, tenaganya berkurang.
Untung juga, Teng Bin Kun selamanya merasa jerih terhadap adik seperguruannya, sehingga ia tidak berani terlalu mendesak. Ia berkelahi dengan hati-hati sekali sambil menunggu lelahnya Siauw Hu.
Memang juga, makin lama tindakan nona Kie jadi makin limbung dan gerakan-gerakannya makin lambat.
Sesudah lewat beberapa jurus lagi, lengan kanan Siauw Hu kembali tertikam dan darah mengucur makin deras.
"Kie Koauwnio!" tiba-tiba Pheng Eng Giok berteriak. "Tikamlah mataku! Kie Kouwnio, budimu yang sangat besar tak akan dapat dibalas oleb Pheng Eng Giok !"
Memang juga, rasa terima kasihnya Pheng Hweeshio tidak dapat dilukiskan lagi. Bahwa, dengan menempuh bahaya Siauw Hu melindungi seorang musuh, sudah merupakan suatu perbuatan yang sukar dilakukan.
Dan dalam usaha untuk melindungi musuh, ia telah dicaci dengan kata-kata yang menodakan nama baik seorang wanita, nama baik yang dipandang lebih penting daripada jiwa.
Tapi kalau sekarang Siauw Hu menurut perintah dan menusuk mata Pheng Hweesbio, Teng Bin Kun juga tak akan memberi ampun kepadanya. Kakak seperguruan itu mengerti bahwa kalau sekarang dia tidak membinasakan si adik seperguruan ia seperti juga menanam bibit penyakit untuk dikemudikan hari.
Teng Bin Kun menyerang Siauw Hu. Pheng Hweeshio yang melihat itu segera berteriak "Teng Bin Kun. kau sungguh manusia tak kenai malu! Tak heran jika orang Kang ouw memberi gelaran Tok chioe Bu yam kepadamu. Sekarang aku menyaksikan dengan mata sendiri, bahwa hatimu benar jahat seperti ular dan kalajengking. Huh ! Mukamu jelek seperti muka Bu yam! Jika semua wanita separti kau, semua lelaki dunia tentu buru-buru mencukur rambut !"
Sebenarnya, biarpun tidak bias disebut cantik, Teng Bin Kun bukan seorang wanita yang jelek. Pheng Hweeshio sudah sengaja mencaci begitu dan memberi gelaran "Tok chioe Bu yam" kepadanya untuk menolong Kie Siauw Hu. Ia tahu bahwa seorang wanita bisa mata gelap, jika disinggung kejelekan mukanya. Ia mengharap supaya dalam gusarnya, Teng Bin Kun membunuh ia sendiri dan Kie Siauw Hu bisa mendapat kesempatan untuk melarikan diri.
Tapi wanita she Teng itu ternyata bukan manusia tolol. Ia berpendapat, bahwa sesudah membinasakan adik seperguruannya, ia masih mempunyai banyak tempo untuk mengambil jiwa pendeta itu. Maka itulah, tanpa meladeni cacian orang, ia terus menyerang dengan hebat.
"Dalam dunia Kang ouw, siapakah yang tak tahu kesucian Kie Liehiap," teriak pula Pheng Hweeshio.
"Teng Bin Kun, sekarang aku mau membuka rahasiamu. Kaulah, manusia muka jelek, yang sebenarnya maui In Lie Heng ! Karena In Liokhiap tidak meladeni, kau memfitnah Kie Liehiap. Ha ha ha! Tulang pipimu begitu tinggi ! Mulutmu sebesar panci! Kulitmu kering dan kuning, sedang badanmu kurus jangkung seperti gala jemuran! Ha ha ha ! In Liokhiap yang begitu tampan mana mau mengambil kau sebagai isterinya" Kau sebenarnya harus lebih sering berkaca ...."
Meskipun pintar, Teng Bin Kun kalap juga. Mendengar sampai disitu, ia tidak dapat mempertahankan ketenangannya lagi. Ia melompat sambil mengayun pedang yang diturunkan kemulut Pheng Hweeshio.
Memang benar tulang pipi nona Teng agak tinggi, mulutnya agak besar, kulitnya agak hitam sedang badannya agak jangkung. Tapi kekurangan-kekurangan itu, yang tidak banyak, tidak terlihat nyata, jika tidak diperhatikan.
Tapi Pheng Hweeshio yang bermata tajam sudah bisa melihat itu semua dan ia lalu mengejek secara berlebih-lebihan. Apa yang membuat Teng Bin Kun kalap ialah disebut-sebutnya nama In Lie Heng, yang belum pernah dikenal olehnya.
Mendadak dari dalam hutan berkelebat satu bayangan manusia yang sambil membentak keras, mengadang didepan Pheng Hweeshio, sehingga pedang Teng Bin Kun yang tengah menyambar menancap tepat dilehernya. Hampir berbareng tangan orang itu menghantam dan "buk!" mengenakan dada Teng Bin Kun yang lantas saja terhuyung beberapa tindak dan mulutnya memuntahkan darah.
Pedang yang dilepaskan oleh nona Teng tetap menancap dileher orang itu yang rupanya sudah tak bisa hidup lebih lama lagi.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
See Leng coo maju dua tindak dan mengawasi orang itu. "Pek Kwie Sioe" teriaknya.
Orang itu memang Pek Kwie Sioe, Tancu dari Hian bu tan.
Sesudah terluka berat, ia mendapat tahu, bahwa untuk melindungi dirinya, Pheng Hweeshio telah dikepung oleh orang-orang Siauw lim, Kun loan, Go bie dan Hay see pay. Maka itu, dengan sekuat tenaga ia datang ketempat pertempuran dan menggantikan Hweeshio itu untuk menerima tikaman Teng Bin Kun. Tapi pukulannya yang terakhir masih hebat luar biasa, sehingga beberapa tulang rusuk Teng Bin Kun menjadi patah.
Sesudah menenteramkar hatinya. Kie Siauw Hu lalu merobek tangan bajunya untuk membalut luka di lengannya dan kemudian, dengan pedangnya, ia memutuskan tambang yang membelenggu kaki tangan Pheng Hweeshio. Sesudah itu, tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia memutar badan dan berjalan pergi.
"Kie Kouwnio, tahan!" seru si pendeta, "Terimalah hormatnya Pheng Hweeshio."
Buru-buru Kie Slauw Hu melompat kesamping untuk menolak pemberian hormat pendeta itu yang berlutut ditanah.
Begitu bangun berdiri si pendeta segera menjemput pedang See long cu dan berkata: "Manusia yang sudah merusak nama baik Kie Kouw nio tidak boleh dibiarkan hidup terus."
Seraya berkata begitu, ia mengayun pedang dan menikam tenggorokan Teng Bin Kun.
Bagaikan kilat nona Kie menangkis pedang itu. "Dia adalah kakak seperguruanku," katanya "Biarpun dia tidak menyintai aku, aku sendiri tak bisa tidak mengenal pribudi."
"Kalau sekarang tidak dibunuh, dibelakang hari dia bisa menyebabkan munculnya banyak kesukaran bagi Kie Kouwnio," kata si pendeta.
Air mata Siauw Hu lantas saja mengucur. "Aku seorang wanita yang bernasib paling buruk dalam dunia ini," katanya dengan suara sedih: "Biarlah, biarlah aku menyerahkan saja segala apa kepada nasib.
Pheng Suhu, jangan kau melukakan Su cieku!"
"Perintah Kie Lihiap sudah tentu tidak akan dilanggar olehku," kata Pheng Hweeshio sambil membungkuk.
"Suci, kuharap kau bisa menjaga diri baik baik" kata Kie Siauw Hu dengan suara perlahan-lahan kemudian, sesudah memasukkan pedangnya kedalam sarung, ia segera berlalu tanpa menengok lagi.
Sesudah nona Kie pergi jauh, Pheng Hweeshio segera berkata kepada See leng cu dan yang lain lain :
"Aku siorang she Pheng sebenarnya tidak mempunyai permusuhan apapun jua dengan kamu sekalian.
Akan tetapi, fitnah hebat yang dilontar kan oleh si perempuan she Teng telah didengar oleh kamu semua.
Kalau cerita ini sampai tersiar diluaran, bagaimana Kie Kouwnio bisa berdiri terus diatas bumi ini" Maka itu, tak bisa aku membiarkan kamu hidup terus. Hal ini sudah terjadi lantaran terpaksa dan aku harap kamu jangan menialahkan aku."
Sehabis berkata begitu, dengan beruntun ia menikam See leng cu, See ciat cu, seorang pendeta Siauw lim dan dua jago Hay see pay. Kemudian barulah ia menggores muka Teng Bin Kun dengan pedangnya, sehingga wanita she Teng itu menjadi kalap, tapi tidak bisa berbuat banyak, karena ia sudah terluka hebat.
"Bangsat gundut !" teriaknya. "Jangan kau menyiksa aku ! Bunuhlah !"
Pheng Hweeshio tertawa nyaring: "Aku tidak berani membunuh perempuan jelek yang kulitnya kering dan mulutnya lebar," ejeknya. "Kalau kau mampus aku kuatir begitu lekas rohmu masuk di akhirat, berlaksa laksa setan akan kabur kedunia sebab ketakutan. Akupun kuatir Giam Loo Ong berak-berak bahna kagetnya !"
Sehabis berkata begitu, ia tertawa nyaring dan melemparkan pedang ditanah dan sesudah menanggul mayat Pek Kwie Sioe, ia menangis keras akan kemudian berlalu dengan tindakan cepat.
Untuk beberapa lama Teng Bin Kun mengaso dengan napas tersengal-sengal. Kemudian deegan menggunakan sarung pedang sebagai tongkat, iapun berlalu dengan tindakan limbung.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Peristiwa yang hebat itu telah disaksikan semua oleh Siang Gie Cun dan Bu Kie. Sesudah Teng Bin Kun berlalu, barulah mereka menarik napas lega.
"Siang Toako," kata Bu Kie. "Kie Kouwnio adalah tunangan In Lioksiok. Perempuan she Teng itu mengatakan, mendapat anak. Siang Toako, bagaimana pendapatmu, apa benar atau tidak'?"
"Dia omong kosong, jangan dipercaya!" jawabnya.
"Benar!" kata Bu Kie. "Kalau bertemu In Liok siok, aku akan memberitahukan kekurang ajaran perempuan she Teng itu, supaya Lioksiok bisa menghajarnya."
"Jangan! Jangan !" cegah Gie Cun tergesa gesa. "Hal itu kau sekali-kali tidak boleh memberitahukan In Lioksiok. Kau mengerti!"
"mengapa?" tanya si bocah.
"Omongan-omongan yang tidak sedap itu tidak boleh diberitahukan kepada siapapun juga," jawabnya.
"Ingatlah. Kau tidak boleh bicara dengan siapapun juga."
Bu Kie mengangguk sambil mengawasi muka Gie Cun. Beberapa saat kemudian, ia berkata pula:
"Siang Toako, apa kau kuatir tuduhan Teng Bin Kun suatu kenyataan ?"
Gie Cun menghela napas. "Tak tahu," jawabnya.
Pada keesokan paginyaq jalanan darah Gie Cun yang tertotok terbuka sendirinya dan ia lalu mendukung Bu Kie, siap sedia untuk meneruskan perjalanan. Sambil mengawasi mayat mayat yang menggeletak ditanah, ia berkata di dalam hati: "Sesudah belasan tahun, Cia Sun menghilang, tapi karena gara-garanya, orang-orang Rimba Persilatan masih terus mengorbankan jiwa. Hai! Sampai kapan urusan ini baru menjadi beres ?"
Sesudah banyak mengasoh, sebagian tenaga Gie Cun pulih kembali. Rasa sakit dalam badannya banyak berkurang dan ia bisa berjalan terlebih cepat. Sesudah melalui beberapa li mereka bertemu jalanan raya. Gie Cun agak terkejut. "Ouw Su peh berdiam di tempat yang sepi. tapi mengapa aku bertemu dengan jalanan raya?" tanyanya di dalam hati. "Apa nyasar?"
Baru saja ia mau mencari penduduk dusun untuk menanyakan, tiba tiba terdengar suara tindakan kuda dan empat orang serdadu Mongol mengubar dari belakang. "Lekas jalan! Lekas jalan!" teriak mereka sambil mengacung acungkan senjata seolah olah menggebah binatang.
"Tak dinyana aku mesti mati di tempat ini," mengeluh Gie Cun. Karena lukanya, ilmu silatnya sudah musnah semua. Sekarang ia malah tidak dapat melawan seorang serdadu Mongol biasa.
Maka itu sambil menahan amarah, ia terpaksa berjalan terus.
Tak lama kemudian, mereka bertemu dengan sejumlah penduduk yang juga digiring oleh serdadu serdadu Mongol. Dalam hati mereka lantas saja muncul sedikit harapan. Sekarang ternyata, bahwa serdadu-serdadu itu sedang memperlihatkan kekejamannya terhadap rakyat jelata dan bukan mereka yang dijadikan bulan-bulanan.
Melihat bahaya, Bu Kie segera berbisik: "Siang Toako, lekas kau berlagak jatuh dan buang golokmu."
Gie Cun tersadar. Sesudah berjalan beberapa tindak lagi, ia pura-pura terpeleset dan menggulingkan diri dirumput sambil melepaskan golok yang disisipkan dipinggangnya. Sesudah itu, ia merangkak bangun dan berjalan lagi dengan napas tersengal sengal. Selagi ia lewat didepan seorang perwira Mongol, seorang Han yang jadi juru bahasa berteriak: "Bangsat! Kau sungguh tidak tahu adat. Lekas berlutut di hadapan Tayjin!"
Mengingat Ciu Cu Ong serumah tangga telah dibinasakan oleh tentara Mongol, darah Siang Gie Cun lantas saja naik tinggi dan biarpun mesti mati, ia tak sudi menekuk lutut. Ia jalan terus dengan berlagak tuli. Seorang serdadu Mongol mengudak dan menyapu kakinya sehingga ia jatuh terguling.
"She apa kau?" bentak si juru bahasa.
Sebelum Gie Cun sempat memberi jawaban, Bu Kie sudah mendahului berkata: "She Cia, dia kakakku"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Serdadu itu lalu menendang punggung Bu Kie seraya membentak: "Pergi!"
Bukan main gusarnya Gie Cun. Sambil merangkak bangun, ia bersumpah di dalam hati, bahwa sebegitu lama ia masih hidup, ia akan berusaha dengan seantero tenaganya untuk mengusir bangsa Mongol dari daerah Tionggoan. Dalam keadaan tidak berdaya, buru-buru ia mendukung pula Bu Kie dan berlalu cepat-cepat. Baru berjalan beberapa puluh tombak, tiba tiba mereka mendengar teriakan teriakan menyayat hati. Mereka menengok dan melihat puluhan rakyat sedang dibunuh oleh tentara Mongol.
Sepanjang sejarah, selama penjajahan kerajaan Goan (Mongol), rakyat banyak memberontak.
Belakangan, seorang pembesar tinggi Mongol telah mengeluarkan perintah untuk membunuh orang orang Han, yang she Thio, Ong, Lauw, Lie dan Tio. Semuanya lima she. Pada jaman itu, orang she Thio, Ong, Lauw dan Lie yang paling banyak terdapat di Tionggoan, sedang she Tio adalah she dari kaizar-kaizar Song. Maka itu, menurut jalan pikiran si pembesar Mongol, bangsa Han akan runtuh semangatnya jika orang-orang dari kelima she itu dibunuh. Untung juga, perintah yang sangat kejam itu cepat diketahui oleh kaizar Mongol yang segera mengeluarkan larangannya. Tapi sementara itu, banyak juga orang Han yang dibunuh mati.
Gie Cun tidak berani berdiam lama lama lagi dan lalu berjalan secepat cepatnya. Sesudah melalui beberapa mereka bertemu dengan seorang penjual kayu bakar dan mereka lalu menanyakan dimana letaknya Ouw tiap kok. Orang itu meng gelengkan kepala. Tapi Gie Cun segera mengetahui, bahwa Supehnya mesti berdiam disekitar tempat itu.
Dengan sabar ia lantas saja mencari-cari. Di sepanjang jalan mereka melihat ratusan macam bunga yang menghiasi daerah pegunungan itu. Tapi sesudah menyaksikan peristiwa yang menyedihkan itu, mereka tak punya kegembiraan Iagi untuk menikmati pemandangan alam yang sangat indah.
Sesudah membelok dibeberapa tikungan, disebelah depan menghadang sebuah tembok gunung dan jalanan putus disitu. Selagi mereka kebingungan, mendadak muncul beberapa ekor kupu-kupu yang terbang masuk kesebuah gerombolan pohon-pohon kembang.
"Tempat ini dinamakan Ouw tiap kok, atau Selat Kupu-kupu," kata Bu Kie. "Apa tidak baik kita mengikuti kupu-kupu itu?"
"Baiklah," kata Gie Cun yang lalu turut masuk kegerombolan pohon itu.
Sesudah melewati gerombolan pohon bunga, mereka bertemu dengan sebuah jalanan kecil yang tertutup rumput hijau. Setelah berjalan beberapa jauh, jumlah kupu kupu yang beterbangan disekitar situ jadi makin banyak. Hidung mereka mengendus harumnya bunga-bunga. Kembang-kembang yang tumbuh disekitar situ sangat berbeda dengan apa yang terlihat di tempat lain. Makin jauh mereka maju kupu-kupu makin tidak takut manusia. Mereka terbang mendekati seolah olah menyambut kedatangan tamu-tamu dan hinggap di kepala, dipundak, di lengan Gie Cun dan Bu Kie.
Gie Cun dan Bu Kie jadi bersemangat, karena mereka tahu, bahwa mereka sudah berada dalam selat Ouw tiap kok.
Lewat tengah hari, mereka melihat tujuh-delapan rumah gubuk dipinggir sebuah solokan yang airny?jernih. Didepan, dibelakang dan dikiri kanan setiap gubuk ada dikurung dengan kebun kembang yang terawat baik.
Gie Cun berlari-lari kedepan gubuk-gubuk itu dan berkata dengan suara menghormat: "Teecu Siang Gie Cun ingin berjumpa dengan Ouw Supeh."
Selang beberapa saat, dari sebuah gubuk keluar seorang kacung yang berkata: "Masuklah."
Sambil mendukung Bu Kie, Gie Cun segera bertindak masuk. Disatu sudut dari ruangan tengah kelihatan berdiri seorang lelaki setengah tua yang berparas agung. Ia ternyata sedang menilik seorang kacung yang lagi memasak obat. Seluruh ruangan itu penuh dengan macam-macam daun obat yang aneh aneh. Buru-buru Gie Cun menaruh Bu Kie diatas kursi dan lalu berlutut di hadapan orang itu,
"Ouw Supeh, Gie Cun memberi hormat," katanya.
Bu Kie mengawasi orang itu yang tentulah juga bukan lain daripada Tiap kok Ie sian Ouw Ceng Goe.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tabib malaikat itu manggut-manggutkan kepalanya dan berkata : "Urusan Ciu Cu Ong, aku sudah tahu. Itulah nasib. Mungkin sekali, rejeki Tatcu masih belum habis dan agama kita belum sampai waktunya untuk bisa memperoleh kemakmuran"
Sehabis berkata begitu, ia memegang nadi Gie Cun dan membuka baju pemuda itu. Sambil mengawasi dada si berewok, ia berkata: "Kau kena pukulan Ciat sim ciang dari Hoan ceng. Pada hakekatnya, pukulan itu tidak sukar di obati. Tapi sesudah terpukul, kau menggunakan terlalu banyak tenaga, sehingga hawa dingin menyerang jantungmu dan sebagai akibatnya, aku memerlukan agak lebih banyak tempo untuk menyembuhkannya." Sesudah memberi penjelasan, ia meraba-raba sekujur badan Gie Cun.
"Dengan siapa kau bertempur tadi malam?" tanya Ceng Goe secara tiba-tiba. "Dengan murid Bu tong pay?"
"Tidak," jawabnya.
Sang paman segera meraba-raba kedua paha Si brewok. Sekonyong-konyong paras mukanya berubah dan membentak: "Gie Cun! Tujuh delapan tahun kita tidak pernah bertemu muka. Sekali bertemu, kau coba memperdayai Supehmu. Sudahlah! Aku tidak bisa mengobati lukamu. Pergi!"
Gie Cun jadi bingung. "Ouw Supeh," katanya, "mana berani aku mendustai kau" Dengan sesungguhnya, sepanjang malam aku tidak pernah bertempur dengan siapapun jua. Tenagaku sudah habis semua. Andaikata aku ingin, akupun tidak bisa berkelahi!"
"Omong kosong!" bentak sang paman guru "Terang-terang, Hoan tiauw hiat dikedua pahamu telah ditotok orang. Dan totokan itu dilakukan dengan ilmu menotok dari Bu tong pay. Tempo nya ialah antara Cu sie dan Tio sie," (Cu sie antara jam 11 malam dan jam 1. Tio sie Antara jam 1 dan jam 3 pagi).
Mendadak si brewok tertawa. "Ah ! Kalau begitu, yang dimaksudkan Supeh ialah jalanan darah yang ditotok olehku sendiri," katanya. Dengan ringkas ia lalu menceritakan kejadian semalam.
Waktu Gie Cun menuturkan cara bagaimana ia sudah diabui Bu Kie, Ceng Goe melirik bocah itu dan waktu ia menceritakan cara bagaimana mata kanan Pheng Hweeshio telah ditusuk oleh Teng Bin Kun, sang paman guru menghela napas berulang ulang dan berkata: "Pheng Eng Giok Hweeshio adalah seorang gagah sejati dari agama kita. Biarpun kita tidak segolongan dengan dia, tapi kita harus mengaku, bahwa dia itu seorang manusia yang jarang terdapat dalam dunia ini. Kalau begitu ditusuk, ia bisa segera datang kepadaku, mungkin sekali mata kanannya tidak sampai menjadi buta. Tapi sekarang sudah tidak dapat diobati lagi."
Ia menengok kepada Bu Kie dan berkata pula: "Dari mana kau belajar ilmu Tiam Toat Bu tong pay?"
"Supeh." kata Gie Cun, "saudara kecil itu adalah putera Thio Ngohiap dari Bu tong pay."
Ouw Ceng Goe kaget dan paras makanya lantas saja berubah gusar. "Murid Bu tong pay?" la menegas,
"Perlu apa kau membawa dia kemari?"
Gie Cun lantas saja menuturkan cara bagaimans Thio Sam Hong telah menolong dia dan puteri Ciu Cu Ong waktu mereka diubar-ubar oleh kaki tangannya kaizar Goan disungai Han sui. Sesudah selesai bercerita, ia akhirnya berkata: "Sesudah menanggung budi yang begitu besar teecu memohon supaya Supeh suka membuat kecualian dan sudilah Supeh menolong jiwa saudara kecil ini."
Sang paman guru mengeluarkan suara dihidung, "Gie Cun, kau sungguh seorang yang royal dengan janji-janjimu," ejeknya. "Hem.... yang ditolong Thio Sam Hong adalah kau, bukan aku. Lagi kapan aku pernah membuat kecualian dalam kebiasaanku?"
Gie Cun segera berlutut dan manggutkan kepalanya berulang-ulang. "Supeh." katanya, "ayah saudara kecil itu adalah seorang laki-laki sejati yang lebih suka menggorok leher dari pada menjual sahabat. Dia sendiri, meskipun masih kecil, mempunyai jiwa seorang kesatria. Teeeoe menjamin, bahwa dia seorang baik."
"Apa" Orang baik?" Ceng Goe mengejek pula. "Ada berapa banyak orang baik dalam dunia" Kalau dia bukan murid Bu tong pay, masih tidak apa. Dia murid sebuah partai yang lurus bersih, mengapa dia harus meminta pertolongan dari agama sesat ?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Ibu saudara Thio adalah puteri Peh bie Eng ong In Kauwcu," kata Gie Cun. "Dengan demikian, dapatlah dikatakan, separuh badannya adalah dari agama kita."
Mendengar keterangan itu, hati Ouw Ceng Goe tergerak juga: "Oh, begitu. Kau bangunlah." kataanya,
"Dia putera In So So dari Peh bie kauw. Kalau begitu lain urusan." Ia lalu mendekati Bu Kie dan berkata dengan suara hangat. "Anak, aku selamanya mentaati peraturan bahwa aku tidak akan menolong orang orang dari partai lurus bersih. Ibumu adalah anggauta dari agama kita. Tapi sebelum mengobati, aku ingin kau berjanji, bahwa sesudah sembih, kau harus pulang ketempat kakekmu, yaitu Peh bie Eng ong ln Kauwcu, dan kau harus masuk kedalam agama Peh bie kauw. Dengan lain perkataan, kau harus meninggalkan partai Bu tong pay"
Sebelum Bu Kie menjawab, Gie Cun sudah mendahului. "Supeh, hal itu tidak bisa kejadian. Sebelum menyerahkan saudara Thio kepada Teecu, Thio Sam Hong Thio Cinjin sudah mengatakan terang terangan, bahwa kita tidak boleh memaksa dia masuk kedalam agama kita dan juga andaikata dia sembuh, Bu tong pay tidak menanggung budi dari agama kita"
Kedua mata Ouw Ceng Goe lantas saja mendelik dan darahnya naik, "Huh ! Manusia apa Thio Sam Hong !" bentaknya. "Dia begitu memandang rendah kepada kita, perlu apa kau membantu dia. Anak, bagaimana keputusanmu sendiri ?"
Bu Kie mengerti bahwa ia sedang menghadapi soal mati atau hidap. Sesudah kakek gurunya tidak berdaya untuk menolong harapan satu-satu nya ialah Ouw Ceng Goe. la tahu, kalau ia tidak dapat meluluskan apa yang diminta oleh Tiap kok Ie Sian, jiwanya pasti tak akan bisa ditolong lagi. Ia sendiri sebenarnya masih tak tahu apa kejelekan atau kebusukan "agama" sesat yang begitu di benci oleh sang kakek guru dan semua paman pamannya. Tapi karena ia sangat mencintai dan menghormati kakek gurunya, maka ia lantas saja mengambil keputusan, bahwa ia lebih baik mati dari pada melanggar pesanan orang tua itu.
Tanpa bersangsi lagi, dengan suara lantang ia menjawab. "Ouw Sinshe, ibuku ialah Hio cu dari Peh bie kauw dan aku pribadi menganggap bahwa Peb bie kauw adalah agama baik. Akan tetapi, sebab Thay suhu melarang aku masuk kedalam Mo kauw dan aku sendiri sudah menyanggupi, maka sebagai laki laki, tak dapat aku menarik pulang janjiku itu. Jika kau tak sudi mengobati aku, akupun tidak bisa berbuat apa apa. Kalau lantaran takut mati, aku menurut apa yang diminta olehmu, maka aku akan menjadi seorang manusia yang tidak mempunyai kepercayaan, dan dari pada jadi manusia semacam itu, lebih baik aku berpulang ke alam baka."
Ouw Ceng Goe mendongkol bukan main. "Gie Cun," katanya. "Bawa, dia pergi! Di dalam rumah Ouw Ceng Goe tidak boleh ada orang mati lantaran sakit."
Gie Cun jadi bingung. Ia mengenal benar adat Supehnya Jika ia telah berkata "tidak", perkataannya tidak bisa diubah lagi.
"Saudara kecil," katanya dengan suara membujuk. "Biarpun Mo kauw agak berbeda dengan partai-partai yang lurus bersih, akan tetapi, semenjak jaman kerajaan Tong sampai sekarang, dalam kalangan kami setiap turunan selalu muncul orang gagah sejati. Apa pula kakek luarmu adalah Kauwcu dari Peh bie kauw sedang ibumu sendiri Hio cu dari agama tersebut. Saudara kecil, luluskanlah permintaan Ouw Supeh. Di hari kemudian aku akan bertanggung jawab di hadapan Thio Cinjin."
"Baiklah," kata Bu Kie. "Siang Toako, ketuklah tulang punggungku yang kedelapan dan ketiga belas dengan kuku jarimu, ketuklah beberapa kali"
Gie Cun menjadi girang dan lalu melakukan apa yang diminta. Di luar dugaannya begitu kedua tulang punggungnya diketuk, si bocah lantas saja menggerakkan kedua kakinya. Ia bangun berdiri seraya berkata kepadanya "Siang Toako. Kau telah berbuat apa yang kau bisa. Dibelakang hari Thay Suhu tak bisa menyesalkan kau." Ia memutar badan dan berjalan keluar dengan tindakan lebar.
Si brewok kaget. "Mau kemana kau?" teriaknya.
"Kalau aku mati di Ouw tiap kok, bukankah nama Tiap kok Ie sian akan menjadi rusak?" jawabnya.
Sambil berkata begitu, ia kabur dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan.
Ouw Ceng Goe tertawa dingin. "Nama Kian sie Poet kioe Ouw Ceng Goe sudah kesohor di kolong langit." katanya. "Bukan baru satu orang yang roboh binasa diluar rumahnya." (Kian sie Poet kioe artinya Melihat kebinasaan tetap tidak menolong).
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tanpa menghiraukan perkataan Supehnya, Gie Cun segera mengubar. Mereka kedua duanya sama sama mendapat luka, tapi luka Cie Goan banyak lebih enteng dan tenaganya pun banyak lebih besar.
Maka itu, dalam beberapa saat saja ia sudah bisa menyandak Bu Kie yang lalu dipeluknya dan dibawa balik kerumah paman guruya.
Dengan kedua tangan belum bisa bergerak, si bocah tidak berdaya lagi.
"Ouw Supeh apa benar benar kau tidak mau menolong?" tanya Gie Cun dengan napas tersengal sengal.
"Apa kau tidak tahu, bahwa aku bergelar Kian sie Poet kioe?" Sang paman balas menanya. "Perlu apa kau melit melit?"
"Tapi apakah Supeh bersedia untuk mengobati luka di dalam tubuhku?" tanya pula Siang Gie Cun.
"Tentu." jawabnya.
"Bagus!" kata si brewok girang. "'Teecu telah berjanji kepada Thio Cinjin nntuk menolong saudara kecil ini. Sesudah memberi janji itu, tee cu tak mau orang-orang partai sana mengatakan bahwa murid-murid Mo kauw tidak boleh dipercaya. Maka itu, begini saja, Teecu tak usah di obati oleh Supeh, tapi teecu memohon supaya Supeh sudi mengobati saudara kecil dengan demikian, satu ditukar dengan satu dan Supeh tidak jadi rugi."
"Kau tahu bagaimana hebatnya Ciat sim ciang ?" tanya sang paman guru dengan paras sunguh-sungguh. "Sesudah kena pukulan itu, jika di dalam tempo tujuh hari, kau mendapat pertolongan seorang tabib kelas satu, maka lukamu akan menjadi sembuh. Sesudah lewat tujuh hari, hanya jiwamu yang dapat ditolong, sedang ilmu silatmu akan musna seanteronya. Sesudah lewat empat belas hari, tak satu tabibpun yang akan bisa menolong jiwamu."
"Ya, itulah karena meskipun melihat kebinasaan, Supeh tidak sudi menolong," jawabnya, "Teecu rela mati dan takkan merasa menyesal."
"Aku tak sudi ditolong olehmu!" teriak Bu Kie. "Tak sudi! Kau mengerti?" la menengok kearah siberewok dan berkata: "Siang Toako, apa kah kau rasa Bu Kie manusia rendah" Kau menukar jiwamu dengan jiwaku. Andaikan aku hidup, aku akan hidup menderita. Tak bisa ada kejadian begitu !"
Gie Cun adalah laki-laki tulen. Tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, ia membuka tali pinggangnya yang lalu digunakan untuk membelenggu kaki tangan Bu Kie dan kemudian mengikatkan kesebuah kursi.
"Lepas ! Lepas !" teriak bocah itu. "Kalau kau tidak lepas, aku akan mencaci."
Si berewok tidak menggubris.
"Kian sie Poet kioe Ouw Ceng Goe!" teriak Bu Kie. "Kau sungguh seperti kerbau tolol! Kau lebih rendah daripada binatang. Aku sedih, bahwa di dalam Mo kauw terdapat manusia yang tidak bersifat manusia. Dan kau masih begitu tak mengenal malu, kau masih ada muka untuk membujuk aku masuk kedalam agamamu. Entah dosa apa yang ditumpuk oleh delapan belas leluhurmu, sehingga pada akhirnya, mereka mendapat turunan seperti kau, manusia yang lebih rendah dari pada anjing dan babi !"
Sesudah selesai mengikat Bu Kie, Gie Cun segera berkata : "Ouw Supeh, saudara Thio, selamat tinggal! Aku sekarang ingin mencari tabib."
"Di seluruh propinsi An hui tidak terdapat tabib yang pandai," kata Ceng Goa. "Dan di dalam tujuh hari, belum tentu kau bisa keluar dari propinsi ini."
Si brewok tertawa terbahak-bahak. "Aku mempunyai Supeh melihat kebinasaan, tak sudi menolong,"
katanya. "Dan kau mempunyai Sutit (keponakan murid) yang tidak mengenal mampus." Seraya berkata begitu, dengar tindakan lebar ia berjalan keluar.
"Ouw Ceng Goe !" bentak Bu Kie. "Kalau kau tidak mengobati Siang Toako, satu hari kau pasti akan binasa di dalam tanganku ! Aku...aku.."
Ia tidak dapat meneruskan perkataannya, karena ia sudah pingsan.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Ceng Goe mengeluarkan suara dihidung. "Tak perlu kau mampus diluar rumahku," katanya seraya mengambil sebatang daun obat yang lain di timpukkan kearah Gie Cun. Batang daun obat itu menyambar bagaikan kilat dan mengenakan tepat dilutut si berewok, yang tanpa mengeluarkan suara, segera roboh terguling dan tidak bisa bangun lagi.
Memang aneh sungguh adat Ouw Ceng Cu. Kalau dia kata "tidak" tetap tidak, kalau dia "mau", dia tetap mau. Perkataan Bu Kie yang paling belakang, yakni aneaman "kalau kau tidak mengobati Siang Toako, satu hari kau pasti akan binasa di dalam tanganku", agak mengejutkan hatinya. Melihat kegagahan Bu Kie dan mengingat bahwa anak itu murid Thio Sam Hong, ia merasa bahwa ancaman itu bukan ancaman kosong. Ia seorang yang sangat berhati-hati. Sesudah memikir sejenak berkata dalam hatinya:
"Biarlah, kedua-duanya tidak ditolong olehku. Perduli apa jika di Ouw tiap kok bertambah dengan dua setan penasaran"
Sesudah menimpuk Gie Cun, ia segera membuka ikatan Bu Kie dan mencekal kedua pergelangan tangan anak itu untuk dilontarkan sejauh jauhnya keluar.
Mendadak Ceng Goe terkejut, karena denyutan nadi si bocah sangat luar biasa. Ia segera memeriksa lebih teliti dan rasa kagetnya bertambah tambah.
"Apakah bocah sekecil dia sudah bisa membuka Kie keng Pat meh" tanyanya dalam hati. "Puluhan tahun aku berlatih, tapi belum dapat aku membuka pembuluh darahku. Oh, aku tahu! Tak salah lagi, inilah akibat bantuan Thio Sam Hong. Dia rupanya sangat sayang bocah itu dan rela mengorbankan sebagian Lweekangnya."
Ia lalu membuka pakaian Bu Kie dan memeriksa seluruh badannya. Sesudah itu, ia menekan tantian, dada, embun-embunan dan hati si bocah. Akhirnya ia tertawa dingin seraya berkata : "Thio Sam Hong berlagak pintar, tapi dia jadi bodoh. Lantaran menyayang, dia mencelakakan cucu muridnya. Jikalau Kie keng Pat meh anak ini belum terbuka, jiwanya masih dapat ditolong. Tapi sekarang, racun dingin sudah buyar dan masuk ke dalam isi perutnya. Kecuali dewa, manusia biasa tak berdaya lagi. Huh huh! Kata orang, Bu tong Thio Sam Hong berkepandaian luar biasa tinggi. Tapi menurut penglihatanku, dia goblok berlapis dungu."
Beberaga saat kemudian, Bu Kie tersadar, dan melihat Ouw Ceng Goe sedang mengawasi api dapur obat dengan mata membelalak, sedangkan Siang Gie Cun masih juga menggeletak di jalanan berumput, diluar rumah. Keadaan begitu sunyi senyap untuk beberapa lama, tak seorangpun membuka mulut.
Ouw Ceng Goe adalah seorang tabib yang telah mencurahkan seluruh penghidupannya untuk mempelajari ilmu ketabiban. Kalau dia senang dengan mudah dia dapat menyembuhkan penyakit yang aneh-aneh. Oleh karena itu, ia mendapat gelaran "Ie sian," atau "Tabib Dewa."
Tapi, ia sekarang menghadapi racun yang sangat langka, yaitu racun dingin dari pukulan Hian beng Sin ciang. Apa yang lebih luar biasa lagi, ialah pembuluh darah dari orang yang terkena racun itu, terbuka semuanya, sehingga racun tersebut sudah masuk kedalam perutnya.
Sebagaimana diketahui, dalam dunia ini, orang orang sangat sukar mendapat lawan yang setimpal.
Seorang ahli catur jempoan sukar mendapat lawan yang seimbang. Jika menemui lawan begitu, ia bisa lupa makan dan lupa tidur. Seorang ahli hitung juga pasti tak akan menyerah kalah sebelum dapat memecahkan teka teki hitungan yang sulit. Hal yang sama sekarang dihadapi oleh Ouw Ceng Cu.
Penyakit Bu Kie merupakan tantangan baginya. Ia sungkan mengobati Bu Kie tapi tantangan itu terlalu hebat untuk bisa dielakkan dengan begitu saja.
Tanpa merasa, ia mengasah otak, Beberapa lama, ia mengasah otak, tanpa berbasil. Akhirnya dengan geregetan, ia berkata di dalam hatinya: "Baiklah. Lebih dulu aku akan menyembuhkan penyakitnya. Aku pasti bisa menyembuhkannya. Sesudah dia sembuh, masih banyak tempo untuk membinasakannya."
Sesudah memeras pikiran sejam lebih, ia mengeluarkan dua belas kepingan kecil tembaga dari sakunya. Sambil mengerahkan Lweekang, ia menancapkan kepingan-kepingan logam tembaga itu di Tiongkie hiat (sebelah bawah tantian), di Thian touw hiat (sebelah bawah leher), di Cian keng hiat (dipundak) dan dilain lain jalan darah disekujur badan Bu Kie. Sesudah kepingan tembaga itu ditancapkan, maka duabelas Keng siang meh terputus hubungannya dengan Kie keng Pat meh. Keng siang meh ialah hati, paru paru, nyali ginjal, usus besar, usus kecil dan lain lain, ialah dua belas macam isi perut dalam tubuh manusia.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sesudah Keng siang meh terputus hubungannya dengan Kie keng Pat meh, maka racun dingin yang sudah masuk kedalam isi perut Bu Kie tidak bisa naik lagi kepembuluh darah dan untuk sementara, tidak berbahaya lagi.
Sesudah membuka semua jalanan darah yang tertotok di kaki tangan Bu Kie, dengan menggunakan batang rumput Tin ngay, Ouw Ceng Goe lalu membakar In bun hiat dan Tiang hu hiat dipundak sibocah.
Kemudian, ia lalu membakar berbagai jalanan darah dari lengan sampai dijempol tangan, seperti Thian hu hiat, Hiap pek hiat, Cek tek hiat dan sebagainya. Setiap pembakaran disaban jalanan darah mengurangi racun dingin yang mengeram dalam isi perut Bu Kie. Tapi cara itu, yaitu menggunakan hawa panas untuk melawan hawa dingin, menimbulkan kesakitan luar biasa dan penderitaan Bu Kie lebih hebat dari pada waktu mengamuknya racun dingin itu.
Tanpa mengenal kasihan, si tabib malaikat membakar terus dengan batang Tin ngay yang menyala nyala. Sesudah selang beberapa lama, tubuh si bocah penuh dengan totol totolan hitam akibat pembakaran itu.
Bu Kie yang keras kepala sedikitpun sungkan memperlihatkan kelemahannya. Jangankan berterlak kesakitan, merintihpun tidak. Sebaliknya dari itu, ia masih bisa bicara dengan sang tabib sambil bersenyum senyum.
Meskipun tidak mengerti ilmu ketabiban, tetapi sesudah belajar ilmu Tiam hiat dari Cia sun, ia paham akan letaknya berbagai jalanan darah disekujur badan manusia. Maka itu, waktu Ouw Ceng Goe bicara tentang soal ketabiban sambil membakar jalanan darahnya, sedikit-sedikit ia masih bisa melayaninya, Kadang kadang berdasarkan pengetahuannya akan ilmu Tiam hiat, ia malah memberi tafsiran atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat. Hal ini menggembirakan sangat hati Tiap kok Ie sian.
Sebagaimana diketahui, ia hidup menyendiri disebuah selat yang terpencil dari dunia luar. Manusia yang mengawaninya hanya kacung kacung yang membantunya mencari daun obat atau memasak obat. Maka dapatlah dimengerti kalau sekarang kegembiraannya timbul sebab ia bisa bicara dengan seorang yang kelihatannya mengerti akan apa yang dibentangkan olehnya.
Setelah beberapa ratus jalanan darah yang bersangkut paut dengan Keng sian meh selesai di bakar, siang sudah berganti dengan malam. Tak lama kemudian, seorang kacung membawa nasi dan sayur yang lalu ditaruh diatas meja dan kemudian ia membawa juga barang santapan keluar rumah untuk diberikan kepada Siang Gie Cun yang masih terus menggeletak diatas rumput.
Malam itu si berewok tidur diudara terbuka. Waktu tiba temponya untuk mengaso, tanpa mengeluarkan sepatah kata, Bu Kie berjalan keluar rumah dan membaringkan dirinya diatas rumput, disamping Toako, sebagai tanda bahwa ia bersamaan nasib dengan si berewok.
Ouw Ceng Goe tidak memperdulikan, ia malah berlagak tidak melihat perbuatan Bu Kie. Tapi di dalam hati, diam-diam ia merasa heran dam kagum akan cara-caranya bocah cilik Itu.
Pada keesokan harinya, si tabib malaikat menggunakan tempo setengah hari untuk membakar "hiat"
dari Kie keng Pat meh. Keng siang meh adalah seperti sungai yang terus mengalir tak henti-hentinya, sedang Kie keng Pat meh seolah-olah telaga atau lautan yang menerima semua aliran itu. Maka itu, usaha untuk mengusir racun dingin yang berkumpul di Kie keng Pat meh banyak sukar daripada usaha mengusir racun itu dari Keng Pat meh.
Sesudah selesai membakar berbagal "hiat" dari Kie keng pat meh, Ceng Goe segera memerintahkan kacungnya memasak semacam ramuan obat yang kemudian lalu diberikan kepada Bu Kie. Obat itu dingin sifatnya dan dalam usaha babak kedua itu ia menggunakan dingin membasmi dingin. Sehabis makan obat itu, Bu Kie mengigil hebat, tapi sesudah serangan itu mereda, ia merasakan badannya banyak lebih baik, lebih nyaman dan lebih segar.
Di waktu lohor si tabib malaikat meneruskan usahanya dengan menusuk berbagai jalanan darah Bu Kie dengan mengunakan jarum emas. Selagi diobati dengan rupa rupa daya Bu Kie coba membujuk Ceng Goe, supaya dia suka mengobati Gie Cun, tapi orang aneh itu tidak meladeni dan hanya berkata: "Gelar Tiap kok ie sian untukku sebenarnya kurang tepat dan aku tidak menyuka julukan itu. Gelar Kian sie Poet kioe barulah menyenangkan hatiku."
Sambil berkata begitu, ia menusuk Ngo kit hiat, diantara pinggang dan paha dengan jarum emas nya.
Jalanan darah itu adalah tempat bertemunya Siauw yang dan Tay yang.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Tay meh dalam tubuh manusia merupakan pembuluh darah yang paling aneh," kata Bu Kie. "Ouw Sinshe, apa kau tahu bahwa ada beberapa orang yang tidak mempunyai Tay meh ?"
Ceng Goe kaget. "Omong kosong ! Tak bisa jadi!" bentaknya.
Memang benar, Bu Kie hanya bicara sembarangan. Tapi ia berkata pula. "Ouw Sinshe, dunia ini luas sekali dan di dalam dunia terdapat banyak yang aneh aneh. Apalagi menurut katanya orang, Tay meh sebenarnya tidak memegang peranan penting dalam tubuh manusia."
"Aku mengakui, bahwa Tay meh adalah pembuluh darah yang agak aneh," kata sitabib. "Tapi jutsa besar, jika orang mengatakan, babwa Tay meh tidak berguna besar. Dalam dunia terdapat banyak tabib tolol yang tidak mengerti kegunaan dan pentingnya Tay meh. Aku mempunyai sejilid Kitab Tay meh.
Kau bacalah sendiri,"
Ia segera masuk kedalam dan keluar lagi dengan membawa sejilid Buku tipis yang ditulis dengan tulisan tangannya sendiri, dan lalu menyerabkan kepada si bocah.
Bu Kie membuka halaman yang pertama, dimana tertulis seperti berikut: "Dua belas Keng siang meh dan Kie keng cit meh semua mengalir dari atas kebawah. Hanya Tay meh yang terletak di samping kempungan, mengalir dengan memutari pinggang, seperti juga sehelai ikatan pinggang. Dalam beberapa kitab pengobatan terdapat keterangan, bahwa Tay meh mempunyai empat hiat atau enam hiat. Itu semua salah. Tay meh sebenarnya mempunyai sepuluh hiat, dua di antaranya kadang kadang muncul, kadang kadang menghilang, sehingga sukar sekali dapat diraba"
Bu Kie membaca terus dengan teliti dan diam diam mengingat-ingat semua apa yang dibacanya.
Tiba-tiba ia teringat peristiwa Tan Yoe Liang yang coba mengabui kakek gurunya. Kitab Tay meh itu tidak seberapa banyak isinya dan apa yang tertulis di dalamnya ternyata sangat mudah dimengerti, sehingga jika dibandingkan dengan Kouw koat ilmu silat, kitab tersebut sepuluh kali lebih mudah dihafal.
Sesudah selesai membaca, si bocah lalu mengembalikan kitab itu kepada Ouw Ceng Gee. "Kitab itu sudah pernah dibaca olehku," katanya dengan suara tawar. Pada waktu berusia tigapuluh tahun, Thay suhu pernah menulis Cu hak Tay meh Jip bun Cian swee, yang bersamaan isinya dengan hubungan itu.
Entah Thay suhu yang menelad (peep: what is menelad?") keteranganmu atau kau yang menyontoh gubahan Thay suhu,"
Ouw Ceng Goe tercengang, akan kemudian marah besar. "Tahun ini aku baru berusia lima puluh satu tahun," katanya di dalam hati. "Kau mengatakan, bahwa Thio Sam Hong menulis buku itu waktu ia berusia tiga puluh tahun dan karena ia sekarang sudah berumur seratus tahun lebih, maka ia menulis itu pada tujuhpuluh tahun berselang. Dengan lain perkataan lagi, akulah yang sudah mencuri buah kalamnya Thio Sam Hong. Kurang ajar! Kitab Tay-meh itu adalah hasil jerih-pajahku dan belum pernah didapat oleh siapapun jua dalam dunia ini. Kurang ajar ! Kau mengatakan Cu hak Tay meh Jip bun Cian swee, sudah 'Cu hak', 'Jip bun', sudah 'Jip bun', 'Cian swee' lagi! Kunyuk kecil ini benar-benar kurang ajar!" (Cu hak, artinya pelajaran permulaan, Jip bun adalah pendahuluan, Cian swee berarti perundingan yang cetek, tidak mendalam).
Dalam gusarnya, ia menancapkan jarum emas dalam-dalam di pinggir jalanan darah, sehingga darah lantas saja keluar berketel ketel. Bu Kie kesakitan, hampir-hampir ia berteriak, tapi sambil menggigit bibir, ia menahan rasa sakit itu. "Kalau kau tidak percaya, biarlah aku menghafal Cu hak Tay meh Jip bun Cian swee itu, yang digubah oleh Thay Suhu," katanya dengan tenang.
"Baiklah !" bentak Ceng Goe. "Kalau salah sehuruf saja, tahu sendiri, aku akan segera mengambil jiwamu "
Selama di Pheng hwee to, semenjak berusia tima tahun, Bu Kie telah dipaksa menghafal Kouw koat ilmu silat oleh ayah angkatnya. Salah sedikit saja, ia digaplok oleh ayah angkat yang galak itu. Maka itulah, sesudah berlatih selama lima tahun, ia boleh dikatakan sudah menjadi ahli dalam ilmu menghafal.
Akan tetapi, mendengar ancaman Ouw Ceng Goe in keder juga. Ia yakin, bahwa orang aneh itu dapat membuktikan ancamannya. Diam diam ia merasa menyesal, bahwa ia berguyon guyon secara melampaui batas. Tapi sekarang ia sudah tidak bisa mundur lagi. Sambil mengempos semangat untuk mengumpulkan semua tenaga otak nya, ia mulai menghafal dengan suara nyaring :
"Duabelas Keng siang meh dan Kie keng Cit meh semua mengalir dari atas kebawah. Hanya Tay meh, yang terletak disamping kempungan, mengalir memutari pinggang, seperti sehelai ikatan pinggang..."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Makin lama, ia makin bersemangat dam akhirnya ia mendapat menyelesaikan hafalan itu dengan sempurna.
Bukan main kagetnya Ceng Goa. Untuk beberapa saat, ia mengawasi si bocah dengan mata membelalak. "Sungguh luar biasa" pikirnya. "Anak itu mempunyai bakat Kwee bak poet bong, Manusia yang seperti dia sukar dicari keduanya di dalam dunia," Kwee bak poet bong artinya begitu melihat tidak bisa lupa Iagi.). Ia tak tahu, bahwa dalam kuil Siauw lim sie terdapat Tan Yoe Liang yang kecerdasannya tidak berada di sebelah bawah Bu Kie.
Sesudah hilang kagetnya, tanpa merasa ia memuji: "Pintar! Kau sungguh pintar !" Sehabis berkata begitu, ia segera menusuk sepuluh "hiat" dari Tay meh Bu Kie dengan jarum emasnya.
Sehabis mengaso sebentar, Ceng Goe mendapat ingatan untuk mencoba lagi. "Disamping kitab Tay meh, aku memiliki kitab Cu ngo Ciam cie keng," katanya. "Coba kau lihat. Apakah Thio Sim Hong juga sudah pernah menggubah kitab yang seperti itu ?"
Ia segera masuk kedalam dan keluar lagi dengan membawa 12 jilid kitab tulisan tangan.
Bu Kie segera membalik-balik lembarannya. Setiap halamannya penuh huruf-huruf kecil yang menerangkan kedudukan jalanan darah, beratnya timbangan obat, waktu dan cetek dalamnya tusukan jarum emas. Semua diterangkan dengan jelas sekali, "Untuk membaca dua belas jilid sedikitnya memerlukan tempo tiga atau empat hari," pikirnya.
"Bagaimana aku dapat menghafal dalam tempo cepat" Biarlah aku coba saja mencari ilmu untuk mengobati luka Siang Toako." Dengan cepat ia membalik-balik lembaran kitab-kitab itu dengan hanya memperhatikan judulnya. Waktu memeriksa jilid kesembilan, dibagian Ciang siang Cie hoat (Cara mengobati luka pukulan telapak tangan), ia melihat petunjuk-petunjuk untuk mengobati luka Tiat see ciang, Tok ciang, Kay san ciang dan sebagainya. Waktu ia meneliti lagi sampai di halaman seratus delapanpuluh, barulah ia bertemu dengan cara pengobatan luka terkena pukulan Ciat sim ciang.
Ia jadi sangat girang. Ia lalu membaca dan mempelajari apa yang tertulis disitu. Ia mendapat kenyataan bahwa keterangan mengenai pukulan itu diberikan jelas sekali, tapi cara mengobatinya sangat sederhana dan ringkas. Mengenai itu hanya ditulis seperti berikut "Turun tangan mulai dari Cie kiong hiat, Tiong tseg hiat. Koan goan hiat dan Thian tie hiat. Sesudah itu, memberi obat dengan melihat perubahan Im yang dan Ngoheng, meninjau lima hawa udara yaitu: dingin, panas, kering, basah dan angin dan memperlihatkan lima perasaan girang, gusar, jengkel, banyak pikiran dan bersemangat dari si sakit."
Dalam ilmu pengobatan Tionghoa terdapat banyak perubahan dan tidak ada peraturan yang tentu.
Untuk mengobati serupa penyakit si tabib biasa memberi obat dengan memperhatikan hawa udara, siang atau malam, lelaki atau perempuan, besar atau keci dan sebagainya.
Sementara itu, sesudah membaca beberapa kali, Bu Kie berkata dalam hatinya: "Yang paling penting ialah coba menolong Siang Toako. Aku tidak boleh mengejek tabib malaikat ini."
Di bagian terakhir Ciang siang Cie hoat, ada tertulis Hian beng Sin ciang. Kehebatan pukulan itu diterangkan jelas, tapi dibagian cara pengobatan tertulis: "Tidak ada."
Ia lalu menutup kitab itu dan dengan sikap hormat menaruhnya diatas meja. "Dalam ilmu silat, Ouw Sinshe tidak dapat menandingi Tay suhu, tetapi di dalam ilmu ketabiban, Tay Su hu tidak bisa melawan Ouw Sinshe," katanya, "Cu ngo ciam cie keng luas dan dalam, Tay Suhu tak akan dapat menggubah kitab seperti itu. Akan tetapi, mengenai pengobatan pukulan telapak tangan, apa yang dipelajari Ouw Sinshe belum dapat melampaui pelajaran Tay Suhu."
Sehabis berkata begitu, ia segera menghafal Ciang Siang Cie hiat yang terdiri dari mengobati seratus lebih macam pukulan telapak tangan, dan dalam menghafal itu, tidak sehuruf pun yang salah atau ketinggalan. Akhirnya ia berkata: "Luka boanpwee akibat pukulan Hian beng Sin ciang tak dapat diobati oleh Tay suhu. Mungkin sekali Ouw Sinshepun tidak berdaya"
Ouw Ceng Goe tertawa dingin. "Tak usah kau memanaskan hatiku," katanya. "Kau saksikan saja sendiri apa benar aku tidak berdaya. Tapi sesudah aku menyembuhkan kau, belum tentu kau bisa hidup lama."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Walaupun Bu Kie pintar luar biasa, ia tidak mengerti maksud sebenarnya dari perkataan si tabib yang ingin membinasakannya sesudah menyembuhkannya, supaya sesuai dengan kebiasaannya, bahwa ia tidak pernah menolong orang yang diluar lingkungan "agama" sesat.
Dengan tujuan satu-satunya untuk menolong Siang Gie Cun. sibocah lantas saja berkata: "Ouw Sinshe, jika boanpwee tidak bisa hidup lama, boanpwee ingin sekali bisa membaca lagi kitab Cu ngo Ciam cie keng yang sangat luar biasa itu."


Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ouw Ceng Goe tidak lantas menjawab. Sesudah menimbang sejenak, ia menganggap tidak halangan jika ia meluluskan permintaan itu, sebab biar bagaimana juapun, bocah itu tidak akan bisa keluar dari Ouw tiap kok dengan masih bernyawa.
Ia mengangguk seraya berkata "Boleh, kau boleh membaca sesukamu."
Biarpun adatnya aneh, tidak dapat disangkat lagi bahwa Ouw Ceng Goe adalah salah seorang manusia luar biasa yang berkepandaian tinggi dan berpengetahuan luas. Hanya sesudah masuk kedalam "agama"
sesat, ia membenci manusia biasa dan lebih membenci lagi orang orang Rimba Persilatan yang menjadi anggauta dari partai-partai lurus bersih. Makin lama, adatnya jadi makin aneh dan ia hidup menyendiri di tempat yang terpencil. Tapi, sebagai manusia biasa kadang-kadang ia merasa manyesal, bahwa ia tidak mempunyai kawan untuk bersama-sama merundingkan atau mempelajari ilmu ketabiban dan iapun merasa sangat kesepian. Oleh sabab itu, maka kedatangan Bu Kie, yang sangat pintar dan yang kagum akan kepandaiannya, pada hakekatnya menyenangkan hatinya yang kosong sunyi.
Sesudah mendapat perkenan, siang malam Bu Kie mempelajari isi kitab-kitab Ceng Goe. Sering sering ia lupa makan dan lupa tidur. Ia bukan saja membaca belasan macam kitab yang ditulis oleh Ouw Ceng Goe sendiri, tapi juga banyak kitab lain, sepetti Oay Tee Lweekang, Hoa To, Lwee ciauw touw, Cian kim ek dan sebagainya. Tujuan si bocah yang sesungguhnya, tidak dapat ditebak oleh Ouw Ceng Gee yang menganggap, bahwa karena tidak mengerti kitab gubahannya sendiri, maka Bu Kie yang sungkan menanya secara langsung, sudah membongkar kitab-kitab ketabiban kuno untuk mencari penjelasannya.
Beberapa hari telah lewat. Selama beberapa hari itu, Bu Kie telah bisa menghafal banyak kitab, akan tetapi, ilmu pengobatan yang dalam dan luas mana bisa dipahamkannya dalam beberapa hari saja" Ia menghitung hitung dan ternyata ia sudah berdiam di Ouw tiap kok enam hari lamanya.
Ia jadi bingung. Menurut katanya Ouw Ceng Goe, jika di dalam tempo tujuh hari, Cie Cun bisa mendapat pertolongan tabib yang pandai, maka lukanya akan sembuh seanteronya. Jika lewat tujuh hari, andaikata bisa sembuh, ilmu silat Gie Cun akan musnah semuanya. Dan sekarang, si berewok sudah menggeletak diluar rumah enam hari enam malam lamanya. Apakah ia akan bisa menolong jiwa Siang Toako"
(Bersambung ke jilid 23) BU KIE Karya : CHING YUNG Terjemahan: Bu Beng Tjoe Jilid 23 Hari itu turun hujan besar dan Gie Cun separuh terendam di air, tapi sang paman guru tak menghiraukannya. Melihat begitu, Bu Kie mendongkol bukan main dan di dalam hati, ia mencaci si tabib malaikat yang berhati kejam.
Malamnya hujan turun makin besar. Kilat menyambar nyambar, diiringi guntur dan petir yang menggetarkan bumi. Bu Kie tak bisa mempertahankan diri lagi. Sambil mengertak gigi, ia berkata dalam hatinya. "Biarpun aku mesti membunuh Siang Toako, tak dapat aku mengawasi penderitaannya dengan berpeluk tangan." Dari laci obat Ouw Ceng Goe, ia segera mengambil delapan batang jarum emas dan lalu menghampiri Gie Cun.
"Siang Toako," katanya dengan suara parau, "Selama beberapa hari siauwtee telah mempelajari kitab-kitab Ouw Sinshe dan biarpun belum mengerti benar, tapi karena keadaan memaksa, siauwtee ingin coba menggunakan jarum untuk mengobati Toako. Andaikata terjadi kejadian yang tidak di harapkan, siauwteepun tidak bisa hidup sendirian dalam dunia ini."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Gie Cun tertawa terbabak bahak. "Saudara kecil jangan kau mengatakan begitu," katanya. "Lekas gunakan jarum itu. Kalau kau berhasil, Su peh akan merasa malu sekali. Andaikata aku mati, aku memang lebih suka mati daripada berendam dikobakan ini."
Dengan tangan gemetar Bu Kie mencari jalan darah Gie Cun dan kemudian menancapkan sebatang jarum emas di Koan goan hiat. Tapi, begitu ditacapkan, jarum itu bengkok dan tidak bisa masuk terus ke dalam daging.
Hal ini bisa dimengerti, karena bukan saja si bocah belum pemah menggunakan jarum tersebut, tapi jarum itupun lemas luar biasa, sehingga untuk memasukkannya ke dalam daging, orang harus menggunakan Lweekang yang tinggi. Bu Kie terpaksa mencabutnya lagi. Menurut biasa, jika jarum masuk tepat di jalanan darah, darah tidak keluar. Tapi sekarang, sebab si bocah menusuk salah, maka begitu jarum tercabut, darah Gio Cun lantas saja keluar berketel-ketel. Koan goan hiat yang terletak dikempungan manusia, merupakan salah satu "hiat" yang paling berbahaya. Melihat darah merembas keluar tak hentinya, Bu Kie jadi bingung.
Sekonyong-konyong di belakangnya terdengar suara orang tertawa berkakakan. Ia menengok dan melihat Ouw Ceng Goe yang berdiri sambil menggendong tangan, dengan paras muka berseri seri.
"Ouw Sinshe," kata Bu Kie dengan suara bingung. "Koan goan hiat Siang Toako mengeluarkan darah.
Bagaimana baiknya ?"
"Tentu saja aku tahu bagaimana baiknya," jawabnya. "Tapi perlu apa aku memberitahukan kau ?"
"Ouw Sinshe, mengapa kau begitu kejam?" kata Bu Kie dengan suara keras: "Begini saja. Satu jiwa ditukar dengan satu jiwa. Tolonglah Siang Toako. Sesudah kau menolong, aku akan segera binasa di hadapanmu."
"Kalau aku kata tidak, tetap tidak," kata Ceng Goe dengan suara tawar. "Aku hanya Kian sie Poet kioe Ouw Ceng Goe. Aku bukan Bu siang (setan yang biasa membetot jiwa orang). Kalau kau mampus, sedikitpun tiada sangkut pautnya dengan aku. Andaikata sepuluh Bu Kie mati, akupun tidak akan menolong satu Siang Gie Cun."
Bu Kie mengerti, tiada gunanya ia memohon mohon lagi. Ia tahu, bahwa ia tak akan bisa menggunakan jarum emas itu yang terlampau lemas. Mencari jarum baja atau jarum besi sudah tidak keburu lagi.
Sesudah memikir sejenak, buru buru ia mematahkan sebatang bambu. Dengan menggunakan pisau, ia membuat beberapa biting bambu dan kemudian, tanpa memikir lagi ia menancapkannya di Cie kiong, Siong tong, Kun goan dan Tian tie hiat.
Sesaat kemudian Gie Cun muntahkan darah hitam beberapa kali.
Bu Kie jadi bingung. Sesudah menusuk jalanan darah orang, ia tak tahu apa penyakitnya jadi lebih enteng atau lebih berat. Ia mengawasi muka Ouw Ceng Goe dan melihat, bahwa, meskipun sikapnya acuh tak acuh, paras muka sitabib malaikat menunjuk rasa kagum. Ia sekarang tabu, bahwa usahanya yang pertama telah berhasil dan hatinya girang.
Buru-buru ia masuk kedalam rumah dan sambil membaca beberapa kitab, ia mengasah otak untuk coba menulis surat obat. Ia tahu obat apa bisa digunakan untuk menyembuhkan penyakit apa, tapi ia belum pemah melihat macamnya obat itu dan juga tidak mengerti, berapa banyak si sakit barus diberikan.
Sesudah berpikir beberapa lama dengan nekat ia lalu menulis surat obat yang lalu diserahkan kepada sikacung tukang masak obat dengan berkata: "Masaklah obat ini"
Si kacung membawa surat obat itu kepada majikannya dan menanya, apakah ia boleh turut perintah Bu Kie. Ceng Goe mengeluarkan suara dihidung dan berkata pada dirinya sendiri: "Hmm ! Benar benar gila
!" Ia berpaling kepada kacungnya dan berkata: "Boleh. Masaklah obat menurut timbangannya. Kalau dia tidak mati, benar-benar rejekinya besar."
Bu Kie mongerti apa maksudnya perkataan itu.
Cepat-cepat ia merebut pulang surat obat itu, mengurangkan timbangannya dan kemudian baru menyerahkannya kembali kepada si kacung.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sesudah dimasak, Bu Kie membawa obat itu kepada Gie Cun dan berkata dengau air mata berlinang-linang: "Siang Toako, minumlah obat ini. Apa untung, apa celaka, siauwtee sendiri tak tahu"
"Bagus! Bagus!" kata siberewok sambil tertawa "Inilah yang dikatakan, tabib buta mengobati kuda picek." Sambil meramkan mata ia segera minum habis semangkok obat itu.
Malam itu Gie Cun menggelisah. Ia merasa perutnya seperti disayat pisau dan dari mulutnya terus mengeluarkan darah. Tanpa menghiraukan hujan dan hawa dingin, semalaman suntuk Bu Kie menemani sisakit. Pada esokan paginya, hujan berhenti dan darah yang dimuntahkan Gie Cun makin lama jadi makin sedikit. Warna darah juga berubah, dari hitam menjadi ungu, dari ungu berubah merah.
"Saudara kecil," kata Siang Gie Cun dengan girang. "Obatmu teryata tidak membinasakan manusia.
Aku merasa badanku banyak lebih enak, lebih nyaman."
"Bagaimana" Obat siauwtee boleh juga bukan?" kata sibocah sambil menyengir.
"Lebih dari boleh juga!" memuji Gie Cun. "Hanya obatmu mungkin terlalu keras, perutku seperti diiris-iris pisau."
"Ya, mungkin terlalu keras," kata Bu Kie dengan rasa jengah.
Sebenarnya, obat yang diberikan oleh Bu Kie kepada Gie Cun bukan hanya terlalu keras, tapi beberapa lipat kali terlalu keras. Kalau Gie Cun tidak mempunyai badan yang sangat kuat, siang siang ia sudah binasa.
Sesudah membersihkan badan, Ouw Ceng Goe berjalan keluar. Melihat paras muka Siang Gie Cun ia terkesiap. Ia tak nyana, bahwa Bu Kie benar-benar sudah berhasil menyembuhkan luka si borewok.
Sementara itu, sibocah sudah menulis surat obat untuk menguatkan badan dan lain menyerahkannya kepada sikacung untuk dimasak.
Ia memasukkan segala macam obat kuat, seperti Jinsom, Lok jiong, Souw ouw dan sebagainya. Dalam rumah Ouw Ceng Goe terdapat rupa rupa obat, dari yang paling murah sampai yang paling mahal harganya. Sesudah minum obat kuat enam tujuh hari beruntun, bukan saja kesehatannya, tapi kepandaian silat Gie Cun juga sudah pulih kembali.
Beberapa hari kemudian, ia berkata begini kepada Bu Kie: "Saudara kecil, lukaku sudah sembuh Sekarang saja kita berpisahan "
Selama kurang lebih sebulan Bu Kie telah berkawan dengan pemuda itu dan mereka berdua sama-sama merasakan banyak penderitaan. Mereka telah menjadi seperti saudara kandung dan dapatlah dimengerti, jika sibocah merasa sedih waktu mendengar perkataan sang kakak. Ia tak dapat mengeluarkan sepatah kata. Ia hanya mengangguk dengan air mata berlinang-linang.
"Saudara kecil, jangan kau bersusah hati," membujuk Gie Cun. "TIga bulan kemudian, aku akan kembali untuk menengokmu. Kalau racun dingin sudah diusir bersih dari badanmu, aku akan segera mengantarkan kau pulang ke Bu tong."
Ia masuk kedalam rumah dan berlutut di hadapan Ouw Ceng Goe. "Ouw Supeh," katanya, "sekarang teecu sudah sembuh sama sekali. Biarpun benar saudara Thio yang mengobati, akan tetapi, pengobatan itu diberikan berdasarkan petunjuk kitab kitab Ouw Supeh. Disamping itu, teecu juga telah menghabiskan banyak sekali obat-obatan Supeh yang berhanga mahal. Untuk itu semua, teecu hanya bisa menghaturkan banyak-banyak terima kasih."
Sang paman guru manggut manggutkan kepalanya. "Tak apa," katanya. "Lukamu memang sudah sembuh, hanya sayang, usiamu berkurang dengan tigapuluh tahun."
Gie Cun tidak mengerti. "Apa yang dimaksudkan Supeh ?" tanyanya,
"Dilihat dari kekuatan badanmu, paling sedikit kau bisa hidup sampai usia delapanpuluh tahun,"
menerangkan sang paman guru. "Tapi karena bocah itu membuat kesalahan dalam memberi obat dan membuat kesalahan pula waktu menusuk jalanan darahmu, maka, setiap kali bertemu delapan musim hujan angin, sekujur badanmu akan dirasakan sakit. Menurut taksiranku, kau hanya bisa berusia sampai lima puluh tahun."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Si berewok tertawa terbabak-bahak. "Ouw Su peh," katanya dengan suara lantang, "jika seorang laki-laki bisa menolong sesama manusia dan mengabdi kepada negara, berusia sampai empat puluh tahun saja kurasa sudah cukup. Jika seorang hidup tanpa tujuan, maka biarpun ia bisa berumur seratus tahun, hidupnya percuma saja."
Ceng Goe tidak mengatakan suatu apa, ia hanya mengangguk beberapa kali.
Bu Kie mengantar Gie Cun sampai dimulut selat Ouw tiap kok den kemudian mereka berpisahan sesudah memeras banyak air mata. Sambil mengawasi bayangan si barewok yang makin lama jadi makin jauh, Bu Kie bertekad untuk mempelajari ilmu pengobatan, supaya dibelakang hari ia dapat memulihkan usia Gie Cun, yang menurut katanya Ouw Ceng Goa, akan berkurang tigapuluh tahun.
Setiap hari dengan telaten, Ceng Goe menggunakan jarum emas dan memberi obat untuk mengusir semua racun dingin yang masih mengeram dalam tubuh sibocah. Sementara itu, diwaktu luang, Bu Kie tidak menyia-nyiakan tempo. Tanpa kenal capai, ia membaca dan mempelajari kitab kitab ketabiban. Jika ada bagian yang tidak dimengerti, ia memohon petunjuk dari Ouw Ceng Goe yang memberinya dengan segala senang hati. Perlahan-lahan tabib malaikat itu mulai merasa suka terhadap sibocah pintar itu. sekali hatinya terbuka, tanpa sangsi-sangsi, ia memberi segala pelajaran yang dimilikinya.
Kadang-kadang bocah itu mengajukan pertanyaan mengenai hal-hal yang belum pemah dipikir olehnya sendiri. Rasa kagum orang tua itu terhadap Bu Kie jadi makin besar.
Semula, ia berminat membinasakan Bu Kie begitu lekas lukanya sembuh. Tapi sekarang ia merasa, bahwa jika sibocah binasa, ia akan hidup kesepian. Maka itulah, waktu memberi obat, ia sengaja mengurangkan timbangannya untuk menunda penyembuhan dan penunda pula kebinasaan anak itu.
Sesudah lewat satu dua bulan, dengan rasa heran Ceng Goe mendapat kenyataan, bahwa sesudah menggunakan rupa-rupa cara, ia masih belum juga bisa mengusir racun dingin yang berkumpul di Sam cauw. Belasan hari ia memeras pikiran dan bekerja keras, tapi hasilnya nihil sehingga rambutnya bertambah uban. ( Samcouw -Hormon).
Pada suatu hari, sambil menghela napas ia berkata: "Ilmu silat Thay suhumu sangat tinggi, tapi dalam ilmu ketabiban, ia mencelakakan kau. Sesudah kau kena pukulan Hian beng Sin ciang, ia membuka Kie keng Pat mehmu. Betul-betul gila!"
"Bukan, bukan Thay suhu yang membuka pembuluh darahku,"membantah Bu Kie. Sesudah berkumpul dengan Ouw Ceng Goe beberapa bulan, ia merasa bahwa meskipun beradat aneh, tabib melaikat itu bukan manusia jahat. Maka itu, tanpa diminta, ia lantas saja meneceritakan riwayat hidupnya.
Ia juga menuturkan pengalamannya dikuil Siauw lim sie, ketika ia datang untuk belajar Siauw lim Kioe yang kang.
Sesudah menunduk beberapa saat, tiba-tiba saja Ceng Goe menepuk paha dan berkata: "Bu Kie, pendeta Siauw lim itu pasti dengan sengaja mencelakakan kau !"
Si bocah terkejut. "Aku belum pernah mengenalnya, ada perlu apa dia harus mencelakakan aku?"
tanyanya. "Hal........ hal ini sungguh aneh," kata pula Ceng Goa. "Coba kau ceritakan terlebih jelas semua pengalamanmu di Siauw sit san."
Bu Kie menurut dan lantas saja mengulang penuturannya secara lebib jelas.
Tiap kok Ie sian tampak berjalan mundar mandir sambil menggendong kedua tangannya. Sekonyong konyong ia berteriak: "Tidak bisa salah lagi. Pendeta itu memang sengaja mencelakakan kau. Thay suhumu tidak mengerti ilmu ketabiban dan juga ia adalah seorang yang sangat percaya segala manusia.
Maka itu, ia tidak bercuriga. Coba kau pikir, Goan tin adalah seorang yang mahir dalam ilmu Siauw lim Kioe yang kang dan ia juga bisa membantu kau dalam membuka Kie keng Pat mehmu. Dengan lain perkataan, ia sudah memiliki Lweekang sangat tinggi. Maka itu, begitu lekas kedua telapak tangannya menempel dengan telapak tanganmu, ia pasti tahu, bahwa dalam tubuhmu mengeram racun dingin. Tapi, ia malah sengaja membuka pembuluh darahmu. Apakah, dengan begitu, ia bukan sengaja mencelakakan kau?"
"Tapi, dari sebelum menobloskan tembok, ia memang sudah berniat untuk bantu membuka Kie keng pat mehku," kata Bu Kie. "Waktu ia belum tahu, bahwa aku kena pukulan Hian beng Sin ciang."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Ceng Goe geleng gelengkan kepalanya. "Sebab apa Goan tin mau mencelakakan kau, aku masih belum tahu," katanya. "Kau mengatakan, bahwa sebab belum pernah kenal satu sama lain, maka tak mungkin ia mencelakakan kau. Akan tetapi, kau harus ingat, bahwa kau sudah belajar Siauw Lim Kioe yang kang, yang mungkin dianggap olehnya sebagai miliknya sendiri. Hal ini sudah cukup untuk menimbulkan niatan membunuh kau di dalam hatinya"
"Menurut katanya Thay Suhu Siauw lim sie dan Bu tong adalah pemimpin dari partai partai yang lurus bersih" kata Bu Kie. "Menurut pendapatku biarpun dalam kuil Siauw lim sie terdapat orang orang yang berpemandangan sempit, akan tetapi, mereka pasti tidak akan bertindak secara begitu hina dina. Apa pula Thay suhu sendiri telah menyerahkan Thay kek Sip sam sit dan Bu tong kioe yang kang kepada mereka sebagai penukaran. Dalam hal ini pada hakekatnya pihak Siauw lim yang lebih untung."
Ouw Ceng Goe tertawa dingin. "Lurus bersih!", menegasnya. "Apakah ayah dan ibumu bukan didesak sehingga binasa oleh orang orang dari partai lurus bersih" Dengan menganggap, bahwa mereka putih bersih, mereka berlaku sangat kejam terhadap orang orang dari partai yang dianggapnya sesat. Padahal, orang orang partai lurus bersih belum tentu baik semuanya, sedang orang dari partai sesat belum tentu jahat seanteronya."
Kata kata itu menyentuh hati Bu Kie. Ia ingat, bahwa yang mendesak hebat sehingga mengakibatkan binasanya kedua orang tuanya, sebagian besar terdiri dari orang orang partai lurus bersih, seperti Siauw lim, Kun loan dan Khong tong pay. Bahkan paman pamannya dari Bu tong pay telah menyaksikan pembunuhan diri kedua orang tuanya dengan berpeluk tangan. Memang benar mereka berduka, akan tetapi, di dalam hati menganggap bahwa binasanya kedua orang tuanya adalah kebinasaan yang sepantasnya. Pendapat itu sudah lama sekali terkandung dalam lubuk hatinya, tapi sebegitu jauh, ia belum pernah berani mengatakan secara terang terangan. Sekarang, begitu mendengar perkataan Ouw Ceng Goe, ia menggigil dan menangis keras.
"Ya, dunia memang begitu," kata Ceng Goe dengan suara tawar. "Baru menemui satu soal saja, kau sudah menangis. Jika kau tidak mati hari ini, dihari kemudian kau bakal mengalami banyak sekali kejadian kejadian yang dapat mengucurkan air matamu.
Bu Kie buru buru menyusut air matanya: "Kau mengatakan, bahwa kau belum pernah melihat muka Goan tin," kata pula si tabib malaikat "Tapi bagimana kau tahu, bahwa dia tidak mengenal kau" Suara orang dapat diubah bahkan muka masih bisa diubah. Dia tidak mau menemui kau. Hal ini saja sudah menerbitkan kecurigaan. Kau mengatakan, bahwa tanpa sebab, seseorang pasti takkan mencelakakan kau.
Apa kau tahu pasti, bahwa aku tidak ingin membunuh kau" Biarlah aku berterus terang. Karena melihat penyakitmu sangat aneh, maka aku sudah mau berusaha untuk mengobati kau. Tapi berbareng dengan itu, akupun telah mengambil keputusan, bahwa begitu lekas kau sembuh, aku akan segera mengambil jiwamu!"
Bu Kie bergidik. Ia mengerti, bahwa apa yang dikatakan oleh si orang aneh tidak mudah dapat dirubah lagi. Ia menghela napas seraya berkata. "Racun dingin dalam tubuhku tak dapat diusir keluar lagi seanteronya. Tanpa kau turun tangan, aku akau mati sendiri. Hai! Manusia di dunia agaknya merasa senang jika melihat orang lain celaka atau mati. Bukankah orang yang belajar silat bertujuan untuk membunuh sesama manusia?"
Ouw Ceng Goe mendongak dan dengan mata membelakak ia mengawasi langit. Sesudah lewat kian lama, ia berkata dengan suara parau: "Di waktu masih muda aku mempelajari ilmu ketabiban dengan tekad untuk menolong sesama manusia. Akan tetapi, orang-orang yang ditolong berbalik mencelakakan aku. Aku pernah menolong jiwa seorang yang mendapat tujuhbelas lubang luka bacokan. Dia sebenarnya sudah mesti mati. Tiga hari tiga malam aku tidak tidur dan dengan seantero kepandaian, aku berhasil menyembuhkannya. Belakangan aku mengangkat saudara dengannya. Tak dinyana, ia akhimya membinasakan adik perempuanku, adik kandungku. Siapa dia" Dia sekarang seorang tokoh besar yang namanya besar pula dari sebuah partai lurus bersih."
Dengan rasa kasihan, Bu Kie mengawasi muka Ceng Goe yang diliputi dengan sinar kedukaan. "Kalau begitu ia mendapat gelaran Kian sie poet kioe karena ia telah mengalami kejadian hebat," katanya di dalam hati. Darahnya lantas saja meluap dan ia menanya: "Siapa adanya manusia binatang itu" Mengapa kau tidak cari padanya untuk membalas sakit hati?"
"Pada waktu mau meninggal dunia, "adikku telah memaksa aku bersumpah, bahwa aku tak akan coba membalas sakit hati," jawabnya, "Lebih gila lagi, ia minta aku berjanji bahwa kalau manusia itu berada dalam bahaya, aku mesti menolong. Dapat dimengerti jika aku menolak tuntutan itu. Tapi, sebelum aku meluluskan adikku tidak akan mati dengan mata meram. Hati Adikku....hatinya terlalu mulia. Akhirnya
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
aku tak dapat tidak meluluskan permintaannya yang paling penghabisan itu." Sehabis berkata begitu air matanya berlinang-linang.
Baru sekarang Bu Kie insyaf, bahwa Ouw Ceng Goe bukan manusia yang tak punya perasaan. Tak bisa salah, antara saudara angkatnya dan adik perempuannya mempunyai hubungan yang sangat erat, kalau bukan suami isteri, tentulah juga sepasang kecintaan.
Tiba-tiba Ceng Goe berkata dengan suara keras "Ingatlah apa yang dikatakan olehku, tak boleh kau menyebut-nyebut lagi di hadapanku. Jika kau membocorkan pembicaraan ini kepada orang lain, aku akan membuat kau hidup tidak, matipun tidak."
Bu Kie sebenarnya ingin menjawab dengan beberapa perkataan tajam, tapi ia segera mengurungkan niatnya, karena ia merasa bahwa pada hakekatnya Ouw Ceng Goe adalah seorang yang harus dikasihani.
"Baiklah, aku berjanji tak akan bicara lagi mengenai hal itu." katanya.
Tabib malaikat itu kemudian mengusap-ngusap rambut si bocah dan berkata sesudah menghela napas berulang-ulang: "Kasihan! Kasihan!" Sehabis berkata begitu, ia masuk keruang dalam.
Sesudah terjadi pembicaraan diatas, berulang kali Ceng Goe memeriksa tubuh Bu Kie dan siang malam is mengasah otak, tapi ia tidak mendapat jalan untuk membasmi racun dingin yang sudah masuk kedalam Sam ciauw. Ia sekarang yakin, bahwa biarpun ia berusaha sebisa bisa dengan menggunakan ilmu pengobatan yang paling tinggi, paling banyak ia bisa-bisa memperpanjang umur si bocah dengan beberapa tahun saja.
Sementara itu, karena berada dipergunungan yang sepi, Bu Kie merupakan seorang kawan yang sangat menyenangkan, maka diwaktu-waktu luang Ceng Goe memberi petunjuk dan pelajaran ilmu ketabiban kepada si bocah yang terus belajar dengan rajin dan tak mengenal capai.
Melihat kecerdasan bocah itu yang dalam tempo singkat sudah dapat memahami kitab-kitab Oey te Ha mo keng, See hong Cu beng tong Cie keng, Tay peng seng Hui hong dan sebagainya, Ceng Goe menghela napas seraya berkata: "Dengan kecerdasanmu, dibantu olehku sendiri, sebelum berusia duabelas tahun, kau sudah akan hisa merendengi Hoa To atau Pian Ciak. Hanya sayang ....sungguh sayang!"
Ia merasa sayang, karena dengan berusia pendek, semua kecerdasan dan kepandaian itu, tiada gunanya. Tapi Bu Kie mempunyai lain tujuan. Ia belajar ilmu ketabiban dengan tekad untuk memulihkan usia Siang Gie Cun yang menurut Ouw Ceng Goe, akan berkurang dengan tigapuluh tahun.
Hari berlalu laksana terbang dan tanpa terasa, dua tahun sudah berselang, Bu Kie sekarang sudah berusia empat belas tahun. Selama dua tabuh itu beberapa kali Gie Cun datang menengoknya. Ia memberitahukan, bahwa Thio Sam Hong memperkenankannya, untuk berdiam lebih lama di Ouw tiap kok, sampai racun dingin dalam tubuhnya dapat dibasmi seluruhnya. Ia juga menyampaikan warta bahwa makin lima orang Mongol jadi ganas, bahwa rakyat menderita dan permusuhan antara partai lurus bersih dan partai sesat makin menghebat dan jumlah manusia yang menjadi korban makin meningkat.
Setiap kali datang di Ouw tiap kok, Siang Gie Cun berdiam beberapa hari dan kemudian pergi lagi.
Pada kedatangannya yang terakhir, Bu Kie telah mendapat kemajuan pesat dalam pelajaran ilmu ketabiban. Ia memeriksa nadi Siang Gie Cun dan kemudian menulis obat yang lalu diberikan kepada si berewok dengan pesanan bahwa ia harus sering-sering minum obat itu. Gie Cun menghaturkan banyak terima kasih dan lalu memasukkan surat obat itu kedalam sakunya.
Kali ini, dalam kamar paman gurunya, Gie Cun beromong-omong dengan orang tua itu sehingga jauh malam. Malam itu dia tidak bisa tidur dan gelisah. Bu Kie merasa heran. Si berewok tidak begitu akur dengan paman gurunya. Mengapa ia bicara begitu lama" Bu Kie menduga, bahwa di dalam kalangan Mo kauw timbul gelombang dan sebab ia sendiri bukan anggauta "agama" itu, maka ia tidak mau menyelidiki.
Esok paginya, Gie Cun berpamitan dan Bu Kie mengantarnya sampai dimulut selat. "Saudara." kata si berewok waktu mereka berpisahan, "dalam beberapa hari ini seorang musuh yang sangat lihay akan menyateroni Ouw Supeh. Sebenarnya aku ingin mengajak kau pergi kelain tempat untuk sementara waktu, akan tetapi Ouw Supeh mengatakan, bahwa musuh itu tak akan bisa berbuat banyak. Ia mengatakan, aku tak usah takut. Tapi aku harap, kau suka berlaku hati-hati."
"Musuh siapa?" tanya Bu Kie.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Akupun tak tahu," jawabnya. "Aku mendengar Warta itu ditengah jalan dan buru-buru aku datang kemari untuk memberitahukan Ouw Supeh. Saudara, Ouw Supeh seorang pintar yang sangat berhati-hati.
Kalau ia mengatakan tak usah kuatir, ia tentu sudah mempunyai pegangan. Hanya aku yang masih berkuatir."
Melihat kecintaan si berewok terhadap dirinya, Bu Kie merasa sangat terharu dan sesudah beromong-omong lagi beberapa lama, mereka lalu berpisahan.
Sekembalinya dirumah Ceng Goe, ia melihat orang tua itu tenang"tenang saja. Beberapa kali ia coba menanya, tapi pertanyaan selalu diputuskan ditengah jalan.
Enam tujuh hari telah lewat dengan tenang. Malam itu, selagi Bu Kia membaca sejilid kitab obat, mendadak ia merasa kepalanya berat dan badannya lelah. Ia lantas saja naik kepembaringan. Esok harinya, ketika tersadar, ia merasa kepalanya sakit sekali. Ia segera pengi kebelakang untuk mengambil obat. Tapi, baru berjalan puluhan tindak, ia mendapat kenyataan, bahwa ia baru tersadar diwaktu lohor.
"Mengapa aku tidur begitu lama" Apa aku sakit?" tanyanya di dalam hati.
Ia segera memegang nadi, tapi ketukan nadi tidak mengunjuk hal yang luar biasa. ia jadi semakin kaget. Apakah racun dingin itu mengamuk dan ia sudah mendekati ajalnya"
Buru buru ia mencari Ouc Ceng Goe, tapi orang tua itu tidak kelihatan hidungnya. Selama beberapa hari ia selalu berkuatir dan sekarang karena orang tua itu tidak berada di dalam rumah, sambil berlari lari i apergi kekebun untuk mencarinya. Di kebun ia bertemu dengan seorang kacung yang sedang mencangkul tanah. "Mana Ouw Sinshe?" tanyanya.
"Apa ia tidak berada dikamarnya?" si kacung balas menanya. "Baru saja aku membawa teh. Ouw Sinshe memesan supaya ia tidak diganggu". Bu Kie tertawa. "Aku benar tolol." katanya di dalam hati dan lalu kembali kerumah.
Waktu tiba di depan kamar Ceng Goe, ia melihat pintu dikunci. Mengingat perkataan sikacung ia tidak berani mengetuk dan hanya batuk-batuk beberapa kali.
"Bu Kie," kata orang tua itu, "hari ini badanku kurang enak. Leherku sakit. Kau belajar saja sendiri."
"Baiklah," jawabnya. Sesaat kemudian, sebab kuatir penyakit orang tua itu lebih berat, ia berkata:
"SinShe, boleh kuperiksa lehermu?"
"Tak usah," Jawabnya dengan suara dalam. "Aku sendiri sudah memeriksa dari kaaa. Tak apa apa.
Aku sendiri sudah minum obat."
Malam itu, waktu kacung membawa nasi, Bu Kie turut masuk kekamar Ceng Goe. Ia melihat, bahwa muka orang tua itu yang rebah dipembaringan pucat pasi. Ia kaget. "Apakah semalam, selagi aku tidur, musuh sudah datang menyatroni?" tanyanya dalam hati. "Mungkin sekali, biarpun berhasil mengusirnya, Ouw Sinshe sendiri terluka berat."
Begitu melihat Bu Kie, Ceng Goe mengibas tangannya. "Pergi!" bentaknya. "Kau tahu aku sakit apa"
Sakit cacar." Si bocah mengawasi dan benar saja, tangan dan muka orang tua itu penuh dengan titik-titik hebat.
Kalau salah pengobatannya, orang bisa mati, atau sedikitnya bakal bermuka bopeng. Tapi mengingat Ceng Goe seorang tabib malaikat, ia tidak merasa kuatir. Hatinya lega sebab ia yakin, bahwa orang tua itu bukan dilukakan musuh.
"Kau dan si kacung tidak boleh masuk lagi kedalam kamarku," kata pula Ceng Goe. "Semua perabot makan, sesudah digunakan olehku, harus diseduh dengan air panas. Kau tidak boleh menggunakan itu....hm..." Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata lagi. "Bu Kie, begini saja. Menyingkirlah dari Ouw tiap kok untuk sementara waktu. kau boleh menumpang di salah sebuah rumah penduduk kira kira setengah bulan. Aku kuatir kau ketularan cacar!"
"Tidak!" kata si bocah. "Sinshe sedang sakit, kalau aku pergi, siapa yang harus merawatmu. Biar bagaimanapun jua, aku lebih mengenal ilmu pengobatan dari pada kedu akacung itu."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Tapi lebih baik kau menyingkir," kata orang tua itu. Ia membujuk beberapa kali, tapi si bocah tetap pada pendiriannya. Akhirnya Ceng Goe berkata: "Baiklah. Tapi biar bagaimanapun jua, aku melarang kau masuk lagi kekamarku"
Tiga hari telah lewat. Setiap pagi dan malam Bu Kie selalu menanyakan kesehatan orang tua itu dari luar kamar. Ia mendapat kenyataan bahwa biarpun suara Ceng Goe masih agak parau, tapi semangatnya sudah cukup baik dan nafsu makannyapun bertambah besar. Setiap kali, dari dalam kamar, Ceng Goe menyebutkan nama nama obat dan timbangannya yang harus dimasak untuknya oleh sikacung.
Pada hari keempat, diwaktu lohor, Bu Kie membaca bagian Su Kie Tauw sia Tay Lun (Perundingan mengenai peranan empat hawa dalam memperkuat semangat) dari Oey Tee Lwee keng (Kitab obat obatan dari Kaizar Oey Teng). Di bagian itu antara lain tertulis seperti berikut:
"Maka itulah, seorang pandai tidak mengobati penyakit, tapi menjaga supaya penyakit itu jangan sampai timbul. Ia tidak membereskan kekacauan, tapi menjaga jangan sampai kekacauan muncul. Inilah jalan yang paling baik. Kalau menunggu sampai penyakit timbul dan baru mengobatinya, sampai kekacauan muncul dan baru mengobatinya, sampai kekacauan muncul dan baru membereskannya, maka usaha itu adalah seperti menggali sumur sesudah haus atau membuat senjata sesudah menghadapi musuh.
Apakah itu bukan sudah terlambat ?"
Tanpa merasa, Bu Kie mengangguk beberapa kali. "Memang sudah terlambat, kalau menggali sumur sesudah haus dan membuat senjata sesudah berhadapan dengan musuh," katanya di dalam hati.
"Membereskan negara sesudah terbit kekacauan juga sudah terlambat. Biarpun andaikata keamanan dapat dipulihkan, akan tetapi negara tetap mendapat kerugian. Mengobati penyakit juga tiada bedanya. Lebih baik menjaga sebelum penyakit mengamuk dari pada mengobati sesudah penyakit itu menjadi berat," Ia ingat dibagian lain dari kitab tersebut terdapat kata kata seperti berikut:
"Seorang tabib yang pandai, paling senang mengobati kulit dan bulu, kemudian mengobati otot otot, lalu mengobati urat urat, dan akhirnya baru mengobati isi perut. Jika ia harus mengobati isi perut, maka kemungkinan sembuhnya si sakit hanya separuh separuh."
"Benar, memang benar apa yang dikatakan dalam kitab itu," pikir Bu Kie. "Seorang tabib pandai selalu mengobati pada waktu penyakit baru saja muncul. Kalau penyakit sudab masuk ke isi perut biar bagaimana pandaipun jua, ia tidak mempunyai pegangan lagi. Seperti aku, racun sudah masuk ke dalam isi perutku. Keadaanku sudah sembilan bagian mati dan hanya satu bagian hidup."
Selagi memikir begitu, tiba tiba terdengar suara tindakan kuda. Bu Kie buru buru menutup bukunya dan berbangkit. Ia bingung sebab kuatir kedatangan musuh. Sambil berlari lari ia pengi kekamar Ceng Goe. "Ouw Sinshe," katanya. "Kudengar suara tindakan bebrapa ekor kuda yang masuk ke selat ini.
Bagaimana baiknya?" Sebeleum orang tua itu keburu menjawab, kuda kuda itu yang ternyata bisa lari luar biasa cepatnya, sudah tiba didepan rumah.
"Sesama orang Rimba Persilatan mohon bertemu dengan Ie Sian Ouw Sinshe!" demikian terdengar teriakan seorang. "Kami ingin memohon belas kasih Ouw Sinshe untuk mengobati penyakit"
Mendengar itu, hati Bu Kie agak lega. Ia bertindak keluar dan melihat seorang bermuka hitam berdiri didepan pintu. Tangan orang itu menuntun tiga ekor kuda. Di punggung dua diantara hewan hewan itu kelihatan rebah dua orang yang pakaiannya berlepotan darah. Penunggang kuda itu sendiri berdiri dengan kepala dibalut dengan kain putih bernoda darah, sedang tangan kanannya dimasukkan dalam selembar kain yang diikatkan keleher. Di lihat dari romannya, iapun mendapat luka yang tidak enteng.
"Kedatangan kalian sungguh sangat tidak kebetulan," kata Bu Kie. "Ouw Sinshe sedang sakit dan tidak bisa bangun. Harap kalian suka cari lain tabib saja."
"Celaka!" kata orang itu dengan suara kaget. "Kami melalui perjalanan ratusan li dengan harapan bisa mendapat pertolongan Ie sian"
"Ouw Sinshe mendapat sakit cacar," Bu Kie menerangkan. "Dalam beberapa hari ini, keadaannya sangat buruk. Inilah suatu kenyataan dan aku tidak berjusta."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Orang itu menghela napas. "Kami bertiga adalah saudara seperguruan dan kami mendapat luka yang sangat berat," katanya dengan suara duka. "Kalau tidak ditolong Ie sian, kami pasti akan meninggal dunia.
Kuharap saudara suka melaporkan kepada Ouw Sinshe."
"Kalau begitu, bolehkah aku tahu she dan nama Toako yang mulia?" tanya Bu Kie.
"Nama kami tidak cukup berharga untuk disebut-sebut," jawabnya. "Tolong beritahukan saja bahwa murid-murid Sian-ie Ciang-bun dari Hoa San-pay memohon pertolongan." Sehabis berkata begitu, badannya bengoyang-goyang, paras mukanya jadi lebih pucat dan mulutnya agak terbuka seperti mau muntahkan darah.
Bu Kie melompat dan menotok beberapa jalan darah di dada dan punggung orang itu. Begitu tertotok, darah yang sudah meluap turun kembali dan orang itu merasa dadanya agak lega.
Melihat kepandaian si bocah, ia kelihatan kaget dan kagum.
Bu Kie segera masuk kedalam, "Sinshe," katanya. "di luar menunggu tiga orang yang mendapat luka berat dan minta pertolonganmu. Mereka mengatakan bahwa mereka adalah murid-murid dari Sian ie Ciang bun Hoa-san-pay."
Ouw Ceng Goe mengeluarkan suara "ih!" dan kemudian, ia berteriak dengan gusar: "Tidak! Tidak!
Usir mereka!" "Baiklah," kata Bu Kie yang dengan cepat lalu berjalan keluar.
"Ouw Sinshe tak bisa menemui kalian karena penyakitnya masih belum mendingan," kata Bu Kie.
"Harap kalian suka memaafkan."
Orang itu mengerutkan alis. Selagi ia mau memohon lagi, tiba-tiba salah seorang yang bertubuh kurus kecil dan rebah diatas punggung kuda mengangkat kepalanya dan mengayun tangannya. Hampir berbareng sehelai sinar emas menyambar dan serupa benda jatuh di atas meja di dalam rumah.
"Saudara, bawalah bunga emas itu kepada Kian sie poet kioe," kata si kurus. "Beritahukanlah bahwa kami bertiga telah dilukakan oleh majikan dari bunga emas itu. Dia akan segera mencari le sian sendiri.
Jika Kian sie Poet kioe suka mengobati kami, sesudah sembuh kami akan tetap berdiam disini untuk bantu melawan musuh. Biarpun kepandaian kami tidak berarti, tapi masih merupakan tiga tenaga bantuan"
Bu Kie menghampiri meja. Ia melihat, bahwa senjata rahasia itu menyerupai sekuntum bunga bwee yang terbuat dari pada emas tulen, dengan sari bunga dibuat dari perak putih, sehingga Kim hoa (bunga emas) itu indah sekali kelibatannya. Bu Kie mengulurkan tangan dan coba menjemputnya, tapi diluar dugaan bunga emas itu menancap dimeja dan ia tidak dapat mencabutnya lagi. Dengan mengunakan jepitan obat, barulah ia berhasil. "Orang kurus itu memiliki kepandaian yang cukup tinggi, tapi dia masih kena dilukakan oleh majikan bunga emas itu." pikirnya, "Siang Toako mengatakan bahwa seorang musuh akan menyatroni Ouw Sinshe. Mungkin sekali musuh Ouw Sinshe adalah orang itu." Sambil mambawa senjata rahasia tersebut, ia segrera masuk dan menyampaikan perkataan si kurus kepada Ouw Ceng Goe.
"Coba aku lihat," kata orang tua itu.
Bu Kie menolak pintu dan menyingkap tirai. Kamar itu sangat gelap. Seorang yang kena penyakit cacar memang takut dengan sinar terang, maka pintu dan jendela kamar itu ditutup dengan tirai. Ia melihat muka Ouw Ceng Goe ditutup dengan kain dan hanya kedua matanya yang bisa dilihat orang. Hati Bu Kie berdebaran. Bagaimana macamnya bisul bisul dimuka orang tua itu. Apa sesudah sembuh, dia bakal bopeng"
"Taruh bunga emas itu diatas meja dan lekas keluar," perintah si tabib malaikat.
Bu Kie menurut. "Mati hidup mereka bertiga tiada sangkut paut nya dengan aku," demikian terdengar suara Tiap kok ie sian, "Soal mati hidupku juga tak usah diributi mereka." "Ptak!", bunga emas itu terbang keluar sesudah menobloskan tirai dan kemudian jatuh ditanah.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Biarpun daun bunga dari senjata rahasia itu sangat tipis dan tajam, tapi karena tirai adalah lemas dan alot, maka dicobloskannya kain jang tebal itu mengejutkan Bu Kie. Selama berdiam dua tahun dirumah Tiap kok Ie sian, Bu Kie belum pernah melihat ilmu silat orang tua itu. Baru sekarang ia mendapat bukti, bahwa si tabib malaikat juga memiliki ilmu silat yang sangat tinggi.
Ia menjemput Kim hoa itu dan menghampiri lelaki yang kurus itu. Sambil menggelengkan kepala, ia berkata. "Sakitnya Ouw Sianshe sangat berat."
Mendadak dari sebelah kejauhan terdengar suara roda kereta yang tengah memasuki selat Ouw tiap kok. Perkataan Bu Kie terhenti dan semua orang memasang kuping.
Kereta itu cepat sekali jalannya, dan tak lama kemudian sudah berada diluar rumah. Dari dalam kereta keluarlah seorang pemuda yaug kuning kulit mukanya sambil melompat. Begitu turun ia mendukung seorang kakek yang gundul kepalanya "Apa Tiap kok Ie sian Ouw Sinshe ada?" tanyanya. "Murid Khong tong pay. . . ." Baru ia ber kata begitu, badannya bergoyang goyang dan ia lalu roboh bersama sama si kakek. Dua ekor kuda yang menarik kereta, yang mulutnya mengeluarkan busa, juga berlutut dengan berbareng. Rupanya kedua binatang itu kehabisan tenaga.
Melihat romannya dua orang itu, tanpa ditanya lagi ketahuanlah sudah bahwa mereka itu baru saja melakukan perjalanan cepat satu sampai dua ratus li tanpa beristirahat ditengah jalan. Sudah begitu Bu Kie pun mendengar di sebutnya "Murid murid Khong Tong pay", maka ingatlah ia akan halnya, diantara orang-orang yang memaksakan kematian ayah dan ibunya diatas gunung Bu tong san ada tianglo atau tertua dari partai itu. Ia melihat si orang tua kepala gundul lantang yang disebut Seng Ciu Ka Lam Kao Ciat. Orang tua ini tidak hadir di gunung ketika itu, akan tetapi mau ia menduga bahwa dia ini mestinya bukan manusia baik baik. Karena itu ingin ia menolak mereka itu atau ia segera melihat munculnya lagi empat atau lima orang ada yang dingkluk-dingkluk sambil memegangi tongkat, ada yang saling menuntun, dan semua mereka itu mempunyai luka-luka di tubuh mereka. Ia mengerutkan alisnya. Tidak menanti sampai mereka itu datang dekat, ia lantas berkata nyaring: "Ouw Sinshe kena penyakit cacar, karena dirinya sendiri belum tentu dapat ditolong, ia jadinya tidak dapat mengobati kalian, tuan-tuan!
Maka itu, silahkan tuan-tuan sekalian lekas mencari lain tabib saja supaya kamu tidak digagalkan luka luka kau" (Pep: this paragraph does not make any sense) Sementara itu, orang orang itu yang berjumlah berlima sudah datang dekat. Nyata mereka itn mengenakan pakaian yang bagus bagus, mereka mirip dengan saudagar saudagar besar, melainkan muka mereka semua pucat pasi, bagaikan kertas putih polos, sedikit juga tidak ada sinar darahnya. Ditubuh mereka tidak tampak tanda tanda bekas luka, dari itu teranglah sudah bahwa mereka mendapat luka-luka hebat di dalam.
Orang yang berjalan dimuka, yang tubuhnya jangkung dan gemuk, mengangguk terhadap Kan Ciat serta si pria kurus dan kecil, atas mana, mereka itu saling menyeringai.
Jadinya, tiga rombongan orang itu, semua kenal satu dengan lain.
Bu kie heran, tertarik rasa ingin tahunya.
"Apakah kamu semua terlukanya si pemilik bungga emas?" ia tanya.
"Benar." menjawab si gemuk, yang terus berpaling kepada Kan Ciat, untuk menanya: "Saudara Kan, apakah kau telah bertemu sama Ouw Sinshe?"
Kan Ciat nuenggeleng kepala, "Saudara Nio, mukamu lebih terang. Mungkin kau dapat mengundang Ouw Sinsbe," katanya
"Siapakah itu si pemilik bunga emas?" tanya Bu Kie menyelak. "Kenapa dia demikian galak?"
"Saudara kecil," berkata orang yang dipanggii saudara Nio oleh Kan Ciat tanpa dia menjawab pertanyaan si anak tanggung, "tolong kau menyampaikan kepada Ouw Sinshe bahwa aku si orang she Nio dari Toko Emas Goan Sang di Bu hu telah datang dari tempat yang jauh memohon berobat"
Si orang yang muntah darah hidup, yang tiba paling dulu, menduga Bu Kio muda sekali tetapi bukannya sembarangan orang, maka dia bertanya: "Saudara kecil, kau she apa" Apakah hubungan sama Ouw Sinshe?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Aku juga pasien dari Ouw Sinshe." Bu Kie menyahut. "Sudah dua tahun lebih Ouw Sinshe mengobati aku. Aku masih belum sembuh betul, Ouw Sinshe telah membilang, dia tidak dapat mengobati. Maka itu, sudah pasti dia tidak bakal mengobatinya. Karenanya, tidak ada gunanya untuk kamu berdiam lama-lama disini."
Selagi mereka berbicara, dengan beruntun kembali datang empat orang. Ada yang naik kereta, ada yang menunggang kuda, dan mereka ini juga datang untuk minta ditolong diobati, mereka memintanya dengan sangat.
Bu Kie menjadi heran sekali hingga ia berpikir. "Lembah Ouw tiap kok ini sepi luar biasa. Kecuali orang-orang partai agama sesat, orang Kang-ouw juga sedikit yang sekali mengetahuinya. Maka itu mereka ini ialah orang-orang Khong Tong pay dan lainnya, yang bukan kaum sesat. Kenapa mereka berbareng pada datang kemari untuk berobat" Pula, kenapa mereka juga terluka berbareng" Dan itu pemilik bunga emas, dia lihay sekali! Untuknya jikalau dia mau mengambil jiwa mereka ini, itulah bukan pekerjaan sulit. Kenapa dia justeru melukai orang orang ini hebat begini macam?"
Di antara semua orang itu, yang berjumlah empat belas, ada yang pandai bicara, ada yang diam saja, tetapi mereka semua bersatu hati tak mau mengangkat kaki walaupun mereka sudah ditolak. Ketika itu sudah magrib, mereka seperti memenuhi sebuah ruang.
Kacung tukang masak nasi sudah lantas menyajikan barang makanannya Bu Kie, dan Bu Kie tanpa sungkan lagi lantas berdahar seorang diri. Kemudian ia duduk menghadapi meja dan dengan terangnya pelita, ia membaca buku tentang ilmu ketabiban. Semua orang itu ia tidak ambil peduli. Ia telah berpikir.
"Aku telah dapat mempelajari ilmu tabib dari Ouw Sinshe, maka itu akupun boleh mempelajari ilmunya, melihat kematian tidak menolong."
Malam telah tiba. Malam itu sunyi sekali. Di dalam rumah gubuk itu tidak terdengar suara apa apa lagi kecuali suara Bu Me membalik balik halaman bukunya serta suara bernapas keras dari mereka yang terluka. Justeru suasana sedang sunyi sunyinya itu, dari luar gubuk terdengar tindakan kaki dari dua orang.
Bu Kie heran. Ia lantas_mengangkat kepalanya. Ia memasang kuping. Tindakan tadi perlahan, selagi mendekati, semakin perlahan terdengarnya. Terang orang lagi menghampirkan kerumah gubuk.
Tak lama, atau lantas terdengar suara yang halus tetapi terang. "Ibu, disana ada sinar api di dalam rumah. Kita sudah sampai!"
Didengar dari suaranya itu, orang itu mestinya seorang anak kecil.
"Anak, kau capai atau tidak?" lalu terdengar suara lain, lebih keras tetapi toh dari seorang wanita juga.
"Aku tidak capai." sahut si anak barusan. "Ibu jikalau tabib sudah mengobati kau, kau tentunya tidak sakit lagi."
Si wanita terdengar menjawab. "Ya... Tapi entahlah dia suka menolong atau tidak!"
Hati Bu Kie tergerak. "Ah, rasanya aku kenal baik suara ini ..." pikirnya. "Rupanya dia Nona Kie Siauw Hu."
"Pasti tabib akan mengobati ibu," kata pula si anak perempuan. "Jangan kuatir. Apakah nyeri ibu sudah mendingan?"
"Sedikit mendingan?" menyahut si nyonya yang dipanggil ibu itu. "Ah, anak yang bersengsara......"
Mendengar pula suara orang itu, Bu Kie tak sangsi lagi. Ia lantas lompat keambang pintu.
"Toh Kie Kouwkouw disana", ia menanya "Apakah kaupun terluka?"
Lalu dibawah terangnya sang Puteri Malam ia melihat seorang wanita yang sebelah tangannya menuntun seorang nona kecil, seorang anak perempuan juga. Wanita itu yang dipanggil Kouwkouw, atau bibi, benarlah Kie Siauw Hu adanya. Akan tetapi Siauw Hu tidak mengenalinya sebab ketika diatas gunung Bu tong san mereka bertemu, Bu Kie baru berumur sepuluh tahun, dan sekarang, sang waktu sudah lewat lima tahun.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Kau... kau... " tanyanya heran.
"Kouwkouw, kau telah tidak mengenali aku, bukan?" kata Bu Kie, "Aku Thio Bu Kie. Ketika dulu hari di Bu tong san ayah dan ibuku membunuh diri, aku melihat kau."
Siauw Hu berseru saking herannya. Inilah ia sama sekali tidak menyangka. Berbareng dengan itu, ia menjadi kaget sendirinya dan likat. Ia seorang nona yang belum menikah, membawa-bawa seorang anak perempuan.... Sekarang ia berhadapan dengan Bu Kie, keponakan dari In Lie Heng bakal suaminya itu.
Sebagai bocah tanggung, Bu Kie tentulah sulit untuk diberi penjeasan tentang keganjilan itu. Maka mukanya menjadi merah. Karena ia lagi terluka serta lukanya bukan enteng, kagetnya itu membuat tubuhnya terhuyung.
Anak perempuan itu, yang umurnya baru enam atau tujuh tahun, melihat ibunya mau jatuh, ia lantas menjambret tangannya, akan tetapi ia bertenaga lemah, ia dapat berbuat apa"
Bu Kie melihat Siauw Hu mau jatuh, karena mana si nona cilikpun bakal roboh juga, ia lantas menahan pundaknya bibi itu.
"Kouwkouw, silahkan masuk kedalam untuk beristirahat," ia mengundang. Ia berkata begitu ia toh memimpin orang masuk kedalam ruang. Karena ini, dengan pertolongan cahaya api, ia lantas melihat luka si bibi, luka dipundak kiri dan dibahu kanan, bekas golok atau pedang. Melihat darah yang menembus dari balutan, luka itu mestinya parah. Pula si nona merintih beberapa kali, tandanya hebat menahan rasa nyerinya.
Mendengar rintihan atau batuk-batuk si nona, Bu Kie mengerti hebatnya luka si bibi. Di dalam halnya ilmu ketabiban, sekarang ini Bu Kie telah dapat melawan sembarang "tabib kenamaan". Suara batuk itu menadakan si nona telah mendapat goncangan pada pinggiran peparunya yang kiri.
"Kouwkouw," katanya, "tangan kananmu telah bentrok sama tangan orang dan karena itu kau terluka pada bagian peparumu they im hie." Ia berkata begitu, tetapi tanpa menanti jawaban, ia lantas mengeluarkan tujuh batang jarum emas. Dengan itu, tanpa membukai baju si nona, ia menusuk ditujuh jalan darah in-bun dipundak, hoa kay di dada cie-tek dan lain-lain.
Kepandaian dari Bu Kie ini sekarang beda jauh dari waktu dulu hari ia mengobati Siang Gie Cun.
Selama dua tahun ia belajar dibawah pimpinan Tiap kok Ie sian Ouw Ceng Goe, ia sudah mendapat kemajuan pesat. Penghalang satu satunya ialah usianya yang masih terlalu muda. Jadi kalau dibandingkan dengan gurunya, ia masih ketinggalan jauh sekali. Hanya di dalam ilmu menusuk jalanan darah dengan jarum emas saja, ia sudah mendapatkan tujuh atau delapan bagiannya.
Kie Siauw Hu melihat anak tanggung itu mengambil jarum, ia tidak tahu apa perlunya itu, maka ia heran dan kagum ketika tahu-tahu dia telah ditusuk berulang-ulang secara demikian hebat dan tepat.
Begitu lekas sudah ditusuk, ia merasakan dadanya tidak terlalu sesak lagi.
"Anak yang baik!" Ia berseru dalam girangnya "Aku tidak sangka kau berada disini dan juga telah dapat mempelajari ilmu tabib begini sempurna!"
Siauw Hu lantas ingat kejadian di Bu tong san itu hari, ketika ia menghadapi Thio Cui San dan In So So, suami isteri itu, saling beegantian membunuh diri, hingga mayat mereka dipeluki Bu Kie. Ia merasa terharu sekali, ia berkasihan terhadap anak itu, maka ia telah membujuk dan menghiburinya seraya memberikan juga kalungnya yang terbuat daripada emas. Hanya ketika itu Bu Kie sudah menampik pemberian itu sebab dia lagi sangat berduka dan gusar, hingga dia memandang semua tetamu yang hadir disitu adalah musuh-musuh yang mendesak kebinasaan ayah dan ibunya. Atas penampikan itu, Siauw Hu jadi malu sekali, tetapi ia tidak dapat berbuat apa apa. Kemudian pikiran Bu Kie berubah. Inilah disebabkan ketika dia terlukakan serangam ilmu Hian beng Sin ciang, dia sudah ditolong mati matian oleh In Lie Heng, yang sudah mengorbankan banyak tenaga dalamnya. Perto1ongan itu dia ingat betul.
Dia merasa berhutang budi, Maka juga, karena mengingat budinya In Lie Heng dia menjadi ingat juga kebaikan Ki Siauw Hu dan untuk membalas budinya si paman guru, pantas dia memberikan kesan baik terhadap si tunangan si paman. Semakin usianya bertambah semakin dia dapat berpikir, membedakan yang benar dan yang salah. Dia juga ingat tempo dulu kala ,sekalian paman gurunya telah membicarkan persoalan minta Go bie pay bekerja sama menentang musuh. Jadi Go bie pay bukanlah musuh utama bahkan sama sekali bukanlah musuh Bu tong pay.
Pada dua tahun dulu, ketika Bu Kie bertemu sama Siang Gie Cun di diluar rimba, disana is menyaksikan Kie Siauw Hu menolongi Pheng Hweeshio. Perbuatan mulia nona itu membikin ia
Kisah Pedang Bersatu Padu 13 Memburu Iblis Lanjutan Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Pusaka Para Dewa 2

Cari Blog Ini