Ceritasilat Novel Online

Kisah Membunuh Naga 27

Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong Bagian 27


Sesudah hilang kagetnya, Oe Bun Cek segera menyerang seperti orang kalap. Tinjunya menyambar-nyambar bagaikan hujan gerimis, berkelebat-kelebat seperti keredengan kilat. Sehingga ia seolah-olah mempunyai beberapa puluh tangan yang menyerang Bu Kie dengan dahsyatnya. Kecuali Beng Goat, semua orang yang berada dalam ruangan sam Ceng Tian rata-rata ahli silat kelas satu. Mereka kagum melihat serangan itu. Nama besar Pat Pie Sin Mo ternyata bukan nama kosong belaka.
Untuk mengangkat derajat Bu Tong Pay, Bu Kie hanya menggunakan pukulan-pukulan Thay Kek Kun. Dengan beruntung, ia mempergunakan Tan Pian disusul dengan Tee Chioe Siang Sit. Kemudian Pek Ho Liang Chie Dan Louw Sit Yauw Po. Selagi mengeluarkan Chioe Hie Pie Pee (jari-jari tangan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
memetik pie-pee semacam tetabuhan seperti gitar) tiba-tiba saja ia mendusin dan pada ketika itu, ia menyelami intisari daripada Thay Kek Kun yang pada hakekatnya mempunyai dasar yang bersamaan dengan Kian Kun Tay Li Ie Sin Kang. Dengan demikian, Chioe Hwie Pie Pee menyambar bagaikan mengalirnya air, dengan keindahan yang mengagumkan.
Pada detik itu, Oe Bun Cek merasa, bahwa bagian atas badannya sudah ditutup dengan tenaga pukulan lawan dan dia tidak dapat berkelit lagi. Dalam menghadapi bahaya, cepat-cepat ia mengerahkan tenaga di punggungnya untuk menerima pukulan Bu Kie dan dengan berbareng tinju kanannya disabetkan. Ia mau melawan keras dengan keras, supaya kedua belah pihak celaka bersama-sama.
Diluar dugaan, pada waktu belakangan Bu Kie mengubah gerakannya. Ia membuat sebuah lingkaran dengan kedua tangannya, seperti orang memeluk ". (alam semesta). Mendadak saja dari lingaran itu keluar semacam tenaga dahsyat, tenaga yang berputaran seperti pusar laut. Hampir berbareng, tubuh Oe Bun Cek berputar-putar tujuh delapan putaran laksana gangsing. Dengan ilmu Cian Kin Toei, ia berhasil menolong diri. Paras mukanya berubah merah padam, malu bercampur gusar.
"Sungguh lihai Thay Kek Kun dari Bu Tong Pay!" teriak Yo Siauw.
"Oe Bun Lao heng!" seru Ciu Tian sambil tertawa nyaring. "Lebih baik jika kau dinamakan si gangsing berlengan delapan." (gelar Oe Bun Cek Pat Pie Sin Mo " Iblis berlengan delapan)
"Apa salah orang berputaran?" menyambung In Ya Ong. "Liang San mempunyai Hek Soan Hong (si angin puyuh hitam). Angin puyuh mesti berputaran, bukan?"
Saling sahut, pentolan-pentolan Beng Kauw mengejek sepuas hati.
Sekarang Oe Bun Cek benar-benar kalap. Dari merah, paras mukanya berubah hijau. Dengan mengaum seperti harimau edan, ia menerjang. Cara menyerangnya berubah. Tangan kirinya menghantam dengan tinju atau telapak tangan. Tangan kanannya dengan menggunakan jari-jari tangan, menotok atau mencengkram.
Kisah Pembunuh Naga Jilid 49 Karya Chin Yung ================ Karena belum berlatih dalam Thay Kek Kun, Bu Kie lantas saja keteter. Beberapa saat kemudian terdengar suara "Bret!" dan tangan baju Bu Kie robek, kesambar jari tangan yang sangat luar biasa itu. Bu Kie terpaksa menggunakan ilmu mengentengkan badan. Oe Bun Cek mencaci dan mengubar. Tapi mana bisa ia mengubar Bu Kie" Sambil berlari-lari, Bu Kie berpikir, "Kalau aku terus kabur, bukankah aku kalah" Aku belum biasa dengan Thay Kek Kun, biarlah aku menyisipkan Kian Kun Tay Lo Ie."
Memikir begitu, ia memutar badan seraya memasang kuda-kuda dari Ya Ma Hun Cung, salah satu pukulan Thay Kek Kun, tapi tangan kirinya diam-diam bersiap-sedia untuk mengeluarkan gerakan Kian Kun Tay Lo Ie. Oe Bun Cek menubruk dan menusuk pundak Bu Kie dengan satu jari. Hampir berbareng, ia mengeluarkan kesakitan dan matanya berkunang-kunang, karena entah bagaimana jarinya berbalik menusuk lengan kirinya, sehingga lengan itu hampit tidak bisa diangkat lagi.
Yo Siauw tahu, bahwa Bu Kie bukan menggunakan Thay Kek Kun, tapi ia sengaja berteriak, "Lihai sungguh ilmu Thay Kek Kun!"
"Thay Kek Kun apa! Ilmu siluman!" teriak Oe Bun Cek dengan mulut berbusa. Secara nekat-nekatan ia mengirim tiga pukulan berantai, sehingga Bu Kie terpaksa melompat mundur. Dengan mata beringas, ia melompat mundur seraya menyodok dengan dua jari tangannya. Sekarang Bu Kie sudah bersiap sedia dengan Kian Kun Tay Lo Ie, bagaikan kilat ia menempel dan menarik tangan musuh. "Tok!" kedua jari tangan Oe Bun Cek amblas di tiang Sam Ceng Tian!
Semua orang kaget tercampur geli.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sesudah suara tertawa mereda. Mendadak terdengar bentakan Jie Thay Giam. "Tahan! Oe Bun Cek, kau menggunakan Kim Kong Cie dari Siauw Lim Pay, bukan?"
Bu Kie melompat mundur mendengar "Kim Kong Cie dari Siauw Lim Pay" ia segera ingat luka Jie Thay Giam dan In Lie Heng dan selama kurang lebih dua puluh tahun, orang-orang Bu Tong Pay menduga bahwa perbuatan itu dilakukan oleh orang Siauw Lim Pay. Mendengar bentakan Jie Thay Giam terdapat kemungkinan besar, bahwa si penyerang gelap itu adalah Pat Pie Sin Mo.
Sementara itu Oe Bun Cek sudah menjawab dengan suara dingin. "Kalau benar Kim Kong Cie, mau apa kau" Siapa suruh kau berkepala batu, tak mau memberitahukan kemana perginya To Liong To" Enakkah menjadi manusia bercacat selama dua puluh tahun?"
"Oe Bun Cek!" teriak Jie Thay Giam. "Terima kasih, bahwa hari ini segala apa sudah menjadi terang.
Kalua begitu, aku sudah dicelakai oleh Siauw Lim Pay dari See-Hek." Ia berhenti sejenak dan berkata pula dengan suara parau. "Hanya sayang" Hanya sayang Ngo Tee.. " Ia tak dapat meneruskan perkataannya, sedang air matanya mengucur dengan deras.
Sebagaimana diketahui, Thio Cui San membunuh diri sebab Jie Thay Giam dilukai oleh In So So dengan jarum emas. Sehingga ia tak ada muka untuk bertemu pula dengan kakak seperguruannya itu. Tapi sesudah melukai Jie Thay Giam, In So So telah minta bantuan Liong Bun Piauw Kiok untuk membawa pendekar itu pulang ke Bu Tong. Sebenarnya kalau itu hanya mendapat luka itu, luka dari jarum emas, sesudah diobati Jie Sam Hiap akan sembuh seluruhnya. Yang mengakibatkan kelumpuhan kaki tangannnya adalah pijitan Tay Lek Kim Kong Cie. Andaikata pada hari itu, orang yang berdosa dapat dicari, suami isteri Thio Cui San tentu tidak akan membunuh diri.
Mengingat begitu dan mengingat pula penderitaannya sendiri, Jie Thay Giam sedih bercampur gusar.
Dengan darah mendidih dan kedua mata yang seolah-olah mengeluarkan api, ia menatap wajah musuh besarnya itu.
Mendengar perkataan pamannya, Bu Kie lantas saja ingat cerita yang pernah dituturkan oleh mendiang ayahnya. Dahulu dalam kuil Siauw Lim Sie terdapat seorang Tauw Too (Hweesio yang piara rambut) yang bekerja di dapur dan yang karena sering dianiaya oleh pemilik dapur menjadi sakit hati dan lalu belajar silat secara diam-diam. Belakangan Tauw Too itu membinasakan Sioe Co (pemimpin) Tat Mo Tong, Kouw Tie Sian Su, dan lalu melarikan diri. Sesudah itu, di dalam Siauw Lim Sie timbul gelombang. Pentolannya pada Berebut kekuasaan. Akhirnya salah seorang pemimpin, yaitu Kouw Hui Sian Su pergi ke See Hek dan mendirikan lagi Siauw Lim Pay di daerah tersebut. (baca Kisah Pembunuh Naga Jilid 2 mulai halaman 67)
"Oe Bun Sie Cu sungguh kejam," kata Thio Sam Hong. "Kami sama sekali tidak pernah menduga, bahwa diantara ahli waris-ahli waris Kouw Hui Sian Su terdapat manusia seperti Sie Cu."
Oe Bun Cek menyeringai, "Kouw Hui!" katanya. "Huh huh! Manusia apa Kouw Hui?"
Thio Sam Hong lantas saja mendusin.
Sesudah Jie Thay Giam bercacad karena Kim Kong Cie, Bu Tong Pay lalu mengirim orang ke kuli Siauw Lim Sie untuk menanyakan. Hong Siauw Lim Sie menolak segala tuduhan dan menduga bahwa perbuatan itu dilakukan oleh salah seorang anggota Siauw Lim Pay cabang See Hek. Tetapi sesudah diselidiki dengan seksama, terdapat bukti bahwa cabang See Hek itu sudah lemah sekali. Murid-muridnya kebanyakan hanya mempelajari ajaran agama Buddha dan tidak mengenal ilmu silat. Sekarang mendengar jawaban Oe Bun Cek "manusia apa Kouw Hui" Thio Sam Hong segera menarik kesimpulan bahwa dia bukan murid Siauw Lim Pay cabang See Hek, tak mungkin dia mencaci Aoew Su-nya sendiri.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Maka itu ia lantas saja berkata. "Tak Heran! Tak Heran! Sie Cie tentulah ahli waris dari si Tauw Too pembantu dapur. Sie cu bukan saja sudah mempelajari ilmu silatnya, tapi juga sudah menelah kejamannya. Tak heran kalau Siauw Lim Pay rusak dalam tangan Sie Cu. Siapa itu Kong Siang" Apa dia saudara seperguruan Sie Cu?"
"Benar! Jawabnya. "Ia Suhengku, ia bukan Kong Siang, ia bernama Kang Siang. Thio cin jin, bagaimana kalau Pan Jiek Kim Kong Cie dari Kim Kong Bun kami dibandingkan dengan Ciang Hoat dari Bu Tong Pay?"
"Tidak nempil!" bentak Jie Thay Giam. "Batok kepalanya sudah dihancurkan oleh guruku."
Sambil berteriak, Oe Bun Cek menubruk. Dengan Jie Hong Sie Pit, Bu Kie merintangi serangan terhadap Jie Thay Giam. "Oe Bun Cek," bentaknya. "Lekas keluar Hek Giok Toan Siok Ko!" (Koyo Giok Hitam untuk menyambung tulang)
Oe Bun Cek terkesiap. "Bagaimana dia tahu" tanyanya di dalam hati. "Koyo penyambung tulang sangat dirahasiakan, walau murid biasa tak mungkit tahu adanya obat luar biasa itu."
Bu Kie mengenal nama obat itu dari kitab obat-obatan mendiang Ouw bahwa di daerah See Hek terdapat semacam ilmu silat Gwa Kee mungking cabang Siauw Lim Pay yang sangat aneh. Tulang manusia yang dipatahkan dengan ilmu itu hanya bisa diobati dengan Hek Giok Toan si Koyo, tapi cara membuat obat itu dengan sangat dirahasiakan dan tak diketahui oleh orang luar.
Mengingat itu, Bu Kie segera menyebutkannya untuk menjajal benar tidaknya catatan dalam kitab itu.
Benar saja paras muka Oe Bun Cek segera berubah dan ia tahu bahwa tebakannya tidak meleset.
"Anak kecil, cara bagaimana kau tahu nama obat itu?" tanyanya.
"Keluarkan!" bentak Bu Kie. Mengingat nasib kedua orang tuanya karena gara-gara manusia itu, darah Bu Kie mendidih dan ia tak mau banyak bicara.
Sementara itu, sesudah memikir sejenak, hati Oe Bun Cek jadi lebih besar. Tapi biarpun dalam gebrakan pertama, ia mendapat sedikit kesalahan, akan tetapi sesudah ia mengeluarkan Tay Lek Kim Kong Cie, Bu Kie tak berani melawan lagi dan hanya berlari-lari. Maka itu asal saja ia berhati-hati terhadap ilmu menempel dan menarik dari si Too tong, ia pasti akan memperoleh kemenangan, pikirnya. Memikir begitu, ia maju setindak seraya membentak. "Binatang kecil! Aku suka mengampuni jiwamu, jika kau berlutut tiga kali. Kalau tidak, lihatlah contoh si orang she Jie."
Alis Bu Kie berkerut. Ia bertekat untuk mendapatkan Hek Giok Toan Siokko, tapi ia belum mendapat jalan untuk memunahkan Tay Lek Kim Kong Cie. Kian Kun Tay Lo Ie memang bisa melukai dia, tapi tidak bisa memaksa dia mengeluarkan obat itu.
Selagi ia mengasah otak, tiba-tiba Thio Sam Hong menggapai seraya berkata, "anak, mari sini!"
"Baik, thay Suhu," jawabnya sambil menghampiri.
"Anak, kau dengarlah," kata guru besar itu. "Menggunakan maksud tidak menggunakan tenaga. Thay Kek Kun berputaran bundar tak putus-putusnya mendapat kesempatan mendapat kedudukan baik, sehingga akarnya lawan putus sendirinya. Setiap jurus, setiap pukulan, haruslah bersambung-sambung seperti sungai Tiang Kang, gelombang tak habis-habisnya." Sesudah memperhatikan cara berkelahinya Bu Kie, Thio Sam Hong sudah mendapat intisari dari pada Thay Kek Kun, tapi karena Bu Kie sudah memiliki ilmu yang tinggi, maka dalam menggunakan pukulan-pukulan Thay Kek Kun, ia masih belum bisa menyelamai maksud terpenting dari Thay Kek Kun, yaitu Wan Coan Poet Toan (berputaran tidak habis-habisnya)
Sebagai seorang yang cerdas, beberapa perkataan itu sudah cukup untuk menyadarkan Bu Kie.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Cepat!" teriak Oe Bun Cek. "Sesudah masuk ke gelanggang, mana bisa kau belajar?"
"Bisa! Kau sambutlah pukulan yang baru didapat olehku," katanya seraya memutar tubuh. Ia membuat sebuah lingkaran dengan tangan kanannya dan menghantam muka musuh. Itulah pukulan Ko Tam Ma dari Thay Kek Kun. Oe Bun Cek menyambut dengan babatan jari-jari tangannya yang berbentuk golok.
Bagaikan kilat Bu Kie mengubah gerakannya. Ia membuat lingkaran dengan kedua tangannya dalam pukulan Song Hong Koan Nyie. Kali ini terlihatlah lihainya ajaran Thio Sam Hong mengenai Wan Coan Poet Toan. Begitu ia mengerahkan tenaga, tubuh Oe Bun Cek terhuyung. Dengan saling susul Bu Kie segera membuat lingkaran-lingkaran. Lingkaran di kiri, lingkaran di kanan, lingkaran besar, lingkaran rata, lingkaran berdiri, lingkaran miring" setiap lingkaran meruapakan bola dunia.
Diserang begitu, Oe Bun Cek tak bisa mempertahankan diri lagi. Tubuhnya limbung, terhuyung kian kemari seperti orang mabuk arak. Tiba-tiba dengan nekat dia menyodok dengan lima jari tangannya. Bu Kie menyambut dengan Ia Chioe (tangan awan) tangan kiri tinggi, tangan kanan lebih rendah dan dengan sekali membuat lingkaran, ia sudah menggulung lengan musuh dalam lingkaran itu. Hampir berbareng, ia mengeluarkan tenaga Kioe Yang Sin Kang. "Krek krek krek"!" tulang lengan Oe Bun Cek hancur beberapa tempat.
Mengingat kekejaman musuh dan mengingat pula nasib kedua orang tuanya. Bu Kie turun tangan tanpa sungkan-sungkan. Dengan saling susul ia membuat lingkaran-lingkaran In Chioe diikuti suara patah atau hancurnya tulang setelah lengan kanan, lengan kiri, kemudian betis kiri dan betis kanan. Sambil mengeluarkan teriakan menyayat hati, Oe Bun Cek terguling. Seumur hidup Bu Kie belum pernah begitu gusar. Kalau bukan ingin mendapatkan Hek Giok Toan Siokko, ia tentu sudah mengambil jiwa musuh besar itu.
Salah seorang pengikut Tio Beng lantas saja memburu dan mendukung jago yang roboh itu, dibawa balik ke barisan sendiri.
Si botak A Jie melompat ke luar dan tanpa menegur lagi, ia menghantam dada Bu Kie. Sebelum telapak tangan musuh tiba, Bu Kie sudah merasai tindihan tenaga yang sangat berat, maka ia buru-buru mengeluarkan pukulan Sia Hwie Sit untuk menolaknya. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, A Jie menancapkan kedua kakinya di lantai dan mengirim pukulan berantai yang disertai Lwee Kang yang sangat dahsyat. Melihat pukulan dan usia musuh, Bu Kie menduga bahwa dia adalah kakak seperguruan Oe Bun Cek. Dia kalah gesit, tapi tenaganya lebih besar daripada Oe Bun Cek.
Dengan menggunakan Kouw Koat (teori) "menempel dan menarik" dari Thay Kek Kun. Bu Kie coba mendorong, tapi tenaga dalam musuh terlalu kuat. Bukan saja ia tidak berhasil, bahkan dia sendiri kena didorong dan terhuyung beberapa kali. Tiba-tiba semangat Bu Kie terbangun, "biarlah aku melawan Lwee Kang dengan Lwee Kang," katanya di dalam hati. "aku akan lihat Lwee Kang Siauw Lim atau Kioe Yang Sin Kang yang lebih lihai."
Sesaat itu, telapak tangan si botak kembali menyambar. Sambil mengerahkan Kioe Yang Sin Kang, Bu Kie memapaki dengan tangannya. Itulah keras melawan keras. Dengan mengeluarkan suara nyaring, kedua tangan kebentrok dan tubuh kedua lawan sama-sama bergoyang.
Thio Sam Hong terkejut, "dengan cara itu, siapa lebih kuat siapa menang dan bertentangan dengan teori Thay Kek Kun." Pikirnya. "kakek itu memiliki Lwee Kang luar biasa tinggi, yang jarang terlihat dalam rimba persilatan. Dalam gebrakan tadi, anak itu mungkin sudah menderita luka."
Tapi sebelum Thio Sam Hong sempat memikir jalan yang baik, tangan Bu Kie dan si botak sudah beradu lagi. Kali ini si kakek bergoyang-goyang, sedang badan Bu Kie tidak bergeming. Ia berdiri tegak dengan paras muka tenang.
Sekali lagi Thio Sam Hong kaget, tapi kaget tercampur heran dan girang.
Kioe Yang Sin Kang dan Lwee Kang Siauw Lim Pay bersumber satu, kedua-duanya digubah oleh Tat Mo Kauw Cu. Bila telah mencapai tingkat tinggi, kedua ilmu itu tidak ada perbedaannya. Tapi sebagaimana diketahui, pendiri partai Kim Kong Bun, Touw Too bagian dapur mendapat ilmunya dengan jalan mencuri bukan didapat dari seorang guru. Pukulan-pukulan yang bisa dilihat dengan mata memang mudah dicuri, tapi tenaga dalam yang harus dilatih dengan menjalankan hawa di dalam tubuh, tidak dapat dicuri dengan begitu saja. Maka itulah walaupun Gwa Kang (ilmu luar) Kim Kong Bun sangat lihai dan bersamaan dengan Gwa Kang Siauw Lim Pay yang tulen Lwee Kangnya masih kalah jauh.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
A Jie adalah seorang luar biasa dalam Kim Kong Bun. Ia memiliki tenaga yang sangat besar, pembawa dalam dirinya sendiri. Dengan menggunakan cara-cara sendiri, ia berlatih dan akhirnya mendapat Lwee Kang yang sangat kuat yang bahkan melampaui tenaga dalam Couw Sunya, si Touw Too bagian dapur.
Selama hidupnya ia jarang menemui lawan yang bisa menyambut tiga pukulannya. Sekarang ia ketemu batunya. Untuk pertama kali ia bertemu dengan seorang lawan yang dapat menindih tenaga dalamnya. Ia kaget bercampur gusar, ia segera menarik napas dalam-dalam dan dengan kedua tangan ia menghantam Bu Kie.
Tiba-tiba Bu Kie berteriak, In Liok Siok, lihatlah! Tit Jie akan balas sakit hati Liok siok."
Ternyata dengan diantar Yo Poet Hwi, Siauw Ciauw, dan yang lain-lain In Lie Heng yang digotong dalam sebuah tandu oleh dua orang anggota Beng Kauw sudah masuk ke dalam ruangan Sam Ceng Tian.
Dilain saat jago-jago Ngo Heng Kie pun tiba saling menyusul.
Seraya berteriak begitu, Bu Kie menangkis dengan tangan kanannya, "Dak!" si botak terhuyung tiga tindak, matanya melotot dan darahnya bergolak.
"In Liok Siok!" teriak pula Bu Kie. "apakah diantara penyerang terdapat manusia gundul itu?"
"Benar! Bahkan dia yang menjadi kepala." Jawabnya.
Sementara itu, si botak mengumpulkan tenaganya, sehingga tulang-tulangnya berkeretakan.
"Sebelum dia menyeberang, seranglah di tengah sungai!" seru Jie Thay Giam. Seruan itu berarti bahwa sebelum A Jie selesai menjalankan pernapasannya dalam mengumpulkan tenaga, Bu Kie harus menyerang lebih dahulu.
Bu Kie mengerti maksud sang paman. Iapun tahu, bahwa sesudah si botak mengumpulkan tenaga, dia bisa mengeluarkan tenaga dalam yang lebih hebat daripada tadi. "Baik!" jawabnya. Ia maju setindak, tapi tidak menyerang. Di dalam hati ia percaya penuh, bahwa Kioe Yang Sin Kang tak kalah dari Lwee Kang musuh. Semangatnya sudah terbangun dan ia bertekad untuk melayani secara ksatria, sesudah musuh selesai mengumpulkan tenaga.
Dilain detik, A Jie menghantam dengan kedua tangannya. Hebat sungguh tenaganya yang menindih bagaikan gunung roboh, Bu Kie menarik napas dalam-dalam dan Kioe Yang Sin Kang mengalir di dalam tubuhnya. Ia mengangkat kedua tangannya, satu mendorong, satu menyambut, melawan keras dengan keras pulan.
Hampir berbareng, A Jie mengeluarkan teriakan menyayat hati, badannya terbang bagai sebutir peluru, menyambar tembok dan" "brak!" tembok berlubang besar dan tubuh si botak terlempar ke luar dari lubang itu!
Semua orang tertegun, Tio Beng dan kawan-kawannya pucat, jago-jago Bu Tong dan Beng Kauw mengawasi dengan mata membelalak. Selama hidup belum pernah mereka menyaksikan pemandangan sehebat itu.
Sekonyong-konyong dari lubang tembok masuk seorang yang menenteng A Jie, dia lalu menaruhnya di lantai. Orang itu kate, gemuk tubuhnya, lucu mukanya tapi gerak-geriknya bukan lain daripada Gan Hoan. Ciang Kie Su Houw Touw Kie. Tulang tangan, dada, dan pundak si botak ternyata sudah remuk, terpukul tembok. Sesudah meletakkan A Jie, Gan Hoang menghampiri Bu Kie dan memberi hormat dengan membungkuk dalam. Sesudah itu, dengan gerakan menggelikan hati, ia keluar lagi dari lubang di tembok.
Sesudah si "Too Tong" merobohkan kedua jagonya. Tio Beng bercuriga dan melihat cara memberi hormatnya Gan Hoan, ia lantas saja mengenali Bu Kie. "Celaka sungguh!" ia mengeluh. "aku sungguh tak pernah menyangka bahwa si setan kecil sudah lebih dahulu berada di sini." Sesudah menetapkan hatinya, ia berkata dengan suara lemah lembut. "mengapa kau begitu rendah" Dengan menyamar sebagai seorang Too Tong kau memanggil orang luar sebagai "Thay Suhu, apa kau tak malu?"
Melihat dirinya sudah dikenali, Bu Kie lantas saja menjawab dengan suara lantan. "Mendiang ayahku Thio Cui San, adalah murid kelima dari Thay Suhu, aku memang harus memanggil Thay Suhu." Sehabis
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
berkata begitu, ia menghampir Thio Sam Hong dan berlutut. "anak Thio Bu Kie memberi hormat pada Thay Suhu dan Sam SuPeh," katanya dengan suara gemetar. "Karena keadaan anak tidak lebih dahulu memperkenalkan diri, untuk kekurang ajaran itu, anak memohon Thay Suhu dan Sam SuPeh sudi mengampuni."
Perasaan Thio Sam Hong dan Jie Thay Giam tak mungkin dilukiskan dengan kalam. Girang, kaget, heran, sedih, dan terharu mangaduk dalam dada mereka. Untuk beberapa saat kedua orang tua itu tak dapat mengeluarkan sepatah kata. Perlahan-lahan air mata turun dari mata mereka. Mimpi pun mereka tak pernah mimpi, bahwa pemuda yang telah merobohkan kedua jago Kim Kong Bun adalah si anak kurus kering, dia yang telah menghadapi kebinasaan.
Sesudah lampiaskan perasaannya dengan air mata, Thio Sam Hong berbangkit dan membangunkan cucu muridnya. "Anak" kau tidak mati." Katanya dengan suara parau, "Ah" Cui San mempunyai turunan" " ia berhenti sejenak dan tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak. Ia menengok kepada In Thian Ceng dan berteriak, "In Heng! Aku memberi selamat, bahwa kau mempunyai seorang cucu yang sangat baik."
"Thio Cinjin," jawabnya seraya tertawa lebar, "akupun memberi selamat, bahwa kau mempunyai seorang cucu murid yang begitu baik."
"Tua bangka bangsat!" caci Tio Beng. "Cucu baik!... cucu murid baik" A Toa, coba jajal ilmu pedangnya!"
"Baik!" jawab kakek bermuka sial itu. Ia menghunus Ie Thian Kiam yang mengeluarkan sinar menyilaukan mata.
"Pedang itu adalah milik Go Bie Pay," kata Bu Kie. "Mengapa sekarang berada dalam tanganmu?"
"Setan kecil, tau apa kau?" bentak si nona. "Si tua bangka Biat Coat telah mencuri Ie Thian Kiam dari rumahku. Sekarang pedang itu pulang kepada majikannya yang lama. Ada hubungan apa antara Ie Thian Kiam dan Go Bie Pay?"
Bu Kie yang tidak mengenal sejarah pedang mustika itu, tidak dapat membuka mulut lagi. "Tio Kouw Nio, berikanlah Hek Giok Toan Siok kepadaku," katanya dengan menyimpang, "sesudah Sam Supeh dan Liok Susiok sembuh, kita boleh bikin habis permusuhan ini."
"Bikin habis permusuhan ini?" menegas si nona dengan suara dingin. "Bagus! Apa kau tahu dimana adanya Kong Bun Kong Tie, Song Wan Kiauw dan yang lain-lain?"
Bu Kie menggelengkan kepala, "Tak tahu." Jawabnya. "Bolehkah Tio Kouw Nio memberi keterangan?"
"Perlu apa aku beritahu kau?" jawabnya. "Jika aku tidak mencincang padamu sampai menjadi berlaksa potong, tak dapat aku melampiaskan rasa penasaran untuk segala hinaan dalam penjara besi di Lek Lioe Chung." Sehabis berkata begitu, paras si nona bersemu dadu.
Mendengar perkataan hinaan dalam penjara besi di Lek Lioe Chung, paras muka Bu Kie pun lantas berubah merah. Pada hari itu, untuk menolong jiwa para pemimpin Bu Kie, karena terpaksa ia sudah mengitik telapak kaki Tio Beng. Ia sama sekali tidak berniat untuk menghina seorang wanita, tapi biar bagaimanapun jua perbuatan itu sangat melanggar kesopanan. Ia tidak pernah memberitahukan kejadian itu kepada siapapun jua dan kalau sampai diketahui orang, ia malu besar. Sebab tidak bisa membela diri di hadapan orang banyak, ia hanya berkata, "Tio Kouw Nio, bilanglah terus terang, kau suka menyerahkan Hek Giok Toan Siokko atau tidak?"
Biji mata Tio Beng memain dan ia berkata sambil tersenyum, "boleh kau bisa segera mendapatkan Hek Giok Toan Siokko apabila kau meluluskan permintaanku."
"Permintaan apa?"
"Sekarang belum dapat dipikir olehku."
"Kau tentu bakal mengajukan permintaan yang gila-gila. Apakah aku harus meluluskan juga manakala kau minta membunuh diri sendiri atau mengubah badan menjadi babi dan anjing."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Aku pasti tak akan minta kau membunuh diri atau minta kau menjadi babi dan anjing, hihihi"
andaikata kau mau, kaupun tak akan bisa melakukan itu."
"Sebutlah sekarang, apabila permintaanmu tidak melanggar kesatriaan dalam rimba persilatan dan bisa dilakukan olehku, aku akan meluluskannya."
Baru saja Tio Beng mau bicara lagi, tiba-tiba ia melihat sekuntum kembang mutiara pada kundai Siauw Ciauw dan kembang itu adalah miliknya sendiri yang dihadiahkan kepada Bu Kie. Tiba-tiba saja darahnya meluap. Sambil menggigit gigi, ia berpaling kepada A Toa dan berkata, "Putuskan kedua lengan bocah she Thio itu!"
"Baik,"jawabnya. Ia maju setindak menghunus Ie Thian Kiam dan berkata,
"Thio Kauw Cu, Cu jin memerintahkan aku memutuskan kedua lenganmu."
Alis Bu Kie berkerut. Ie Thian Kiam tajam luar biasa, tidak bisa dilawan dengan senjata apapun jua.
Jalan satu-satunya ialah coba merampas pedang mustika itu dengan tangan kosong dengan menggunakan ilmu Kian Kun Tay Lo Ie. Tapi kalau musuh memiliki ilmu yang tinggi, sekali kurang hati-hati, sekali tergores, ia bisa celaka. Maka itulah ia jadi agak bingung dan tak tahu apa yang harus diperbuatnya.
Sekonyong-konyong Thio Sam Hong memanggil, "Bu Kie, kau sudah paham Thay Kek Kun.
Disamping ilmu pukulan itu, akupun menggubah Thay Kek Kiam (Ilmu Pedang Thay Kek) "Mari! Aku akan mengajar ilmu pedang itu kepadamu supaya kau bisa melayani Sie cu itu."
"Terima kasih Thay Su Hu," kata Bu Kie. Ia berpaling kepada A Toa dan berkata pula, "cianpwee, aku tidak paham ilmu pedang, sesudah Suhu memberi pelajaran barulah aku melayani cianpwee."
Biarpun ia mempunyai pedang mustika, tapi sudah melihat kelihaian Bu Kie, A Toa masih merasa keder. Sekarang ia girang, ilmu pedang adalah serupa ilmu yang sangat sulit. Untuk mempergunakannya secara lancer, orang harus berlatih sepuluh dan dua puluh tahun. Begitu belajar, begitu memperguanakannya adalah hal yang tak mungkin. Maka itu, ia lantas saja manggutkan kepala dan berkata: "baiklah, aku menunggu di sini. Apa dua jam cukup?"
"Aku akan menurunkan pelajaran di sini," kata Thio Sam Hong. "Tak usah dua jam setengah jam sudah lebih dari cukup."
Kecuali Bu Kie, semua orang kaget. Mereka hampir tak percaya kuping sendiri. Andaikata benar Thay Kek Kiam Hoat pandai luar biasa, tetapi dengan mengajar di hadapan orang banyak dan musuh bisa menyaksikannya, rahasia pukulan-pukulan lihai tidak dapat dipertahankan lagi.
"Baiklah," kata A Toa. "Kalau begitu, sebaiknya aku keluar dari ruangan ini."
"Tak usah," kata Thio Sam Hong.
"Ilmu pedangku gubahan baru. Aku sendiri tak tahu apa dapat digunakan atau tidak. Tuan boleh turut menyaksikan dan kuminta tuan suka memberi petunjuk pada bagian-bagian yang kurang sempurna."
Sesaat itu, Yo Siauw mendadak ingat sesuatu, "Ah!" teriaknya, "Sekarang aku ingat, tuan adalah Giok Bin Sin Kiam tiang loo yang berkedudukan tinggi dalam Kay Pang! Mengapa tuan rela menjadi budaknya orang?" (Giok Bin Sin Kiam Sim " Malaikat pedang yang mukanya seperti batu pualam, tiang loo " tetua Kay Pang partai pengemis. Dalam Rajawali Sakti dan Pasangan Pendekar, Kay Pang dipimpin oleh Kioe Cie Sin Kay Ang Cit Kong)
Mendengar itu, jago-jago Beng Kauw terkesiap, "Bukankah kau sudah mati?" kata Ciu Tian.
"Bagaimana".. bagaimana kau bisa hidup lagi?"
A Toa menghela napas. "Aku manusia sisa mati." Katanya sambil menundukkan kepala. "Apa yang sudah lampau perlu apa disebutkan lagi" Telah lama aku sudah bukan tiang loo dari Kay Pang."
Orang-orang yang lebih tua mengetahui, bahwa Giok Bin Sin Kiam Phui Tong Peng dahulu menjadi kepala dari keempat tetua partai pengemis. Kelihaiannya dalam ilmu pedang telah menggetarkan dunia kang ouw dan disamping itu, ia pun terkenal sebagai pria yang sangat tampan, sepanjang warta, pada belasan tahun berselang, ia telah meninggal dunia karena sakit. Tentu saja munculnya di Sam Ceng tian sangat mengejutkan, lebih-lebih sebab mukanya berubah dan sekarang ia menjadi kaki tangan Tio Beng.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"aku merasa sangat girang, bahwa Thay Kek Kiam Hoat akan mendapat pelajaran dari Giok Bin Sin Kiam," kata Thio Sam Hong. "Bu Kie, apa kau mempunyai pedang?"
Siauw Ciauw segera menghampiri dan menyerahkan Ie Thian Kiam kayu yang diambil dari Lek Lio Chung. Thio Sam Hong menyambut pedang itu dan berkata sambil tersenyum: "pedang kayu" Apa kau kira aku akan menulis jimat atau mengusir hawa jahat?" Ia berbangkit dan memegang senjata itu di tangan kiri, perlahan-lahan ia membuat lingkaran. Ia mulai bersilat dengan gerakan sangat lambat " San Hoan To Goat, toa Kwie Chee Yan Cu Tiauw Cui, Co Lan Sauw, Yoe Lan Siauw dan sebagainya. Bu Kie mengawasi dengan mata tidak berkesiap tapi yang diperhatikannya bukan jurus pedang, hanya jiwa ilmu pedang itu bersambung-sambung.
Sesudah Thio Sam Hong selesai bersilat, tak seorangpun yang menepuk tangan. Mereka semua merasa heran. Apakah ilmu pedang itu yang lambat gerakannya dan tak menunjukkan keluar biasaan apapun jua dapat digunakan untuk melawan Giok Bin Sin Kiam" Tapi ada juga yang memikir lain. Mereka menduga, bahwa Thio Sam Hong sudah sengaja memperlambat gerak-geriknya, supaya dilihat oleh cucu muridnya.
"Anak apa kau sudah lihat terang?" tanya Thio Sam Hong.
"Cukup terang," jawab Bu Kie.
"Kau ingat semua?"
"Sudah lupa sebagian."
"Bagus, aku banyak membikin susah kepadamu. Sekarang kau harus memikiri sendiri."
Alis Bu Kie berkerut, suatu tanda ia sedang mengasah otak.
Beberapa saat kemudian, Thio Sam Hong bertanya lagi, "Bagaimana sekarang?"
"Sudah lupa sebagian besar." Jawabnya.
Celaka!" teriak Ciu Tian. "Makin lama makin banyak yang dilupakan. Thio cinjin, ilmu pedangmu sangat sulit tak dapat orang mengangkatnya dengan hanya sekali lihat, coba sekali lagi."
Thio Sam Hong tertawa, "Baiklah, aku akan bersilat sekali lagi." Katanya. Seperti tadi ia bersilat pula dengan gerakan perlahan. Sesudah beberapa jurus, semua penonton jadi makin heran sebab jurus-jurus yang diperlihatkan kali ini berbeda dengan jurus-jurus yang tadi.
"Gila! Betul-betul gila!" Teriak Ciu Tian.
Tapi guru besar itu tak meladeni si sembrono. Ia hanya senyum. "Anak," katanya kepada Bu Kie.
"Bagaimana sekarang?"
"Masih ada tiga jurus yang belum terlupa."
Thio Sam Hong balik kursinya, sedang Bu Kie jalan terputar di ruangan itu. Tiba-tiba ia mengangkat kepala dan dengan paras muka berseri-seri, ia berseru, "sekarang anak lupa semuanya! Lupa seluruhnya."
"Bagus!" kata sang Thay Suhu. "Sekarang kau boleh minta petunjuk Giok Bin Sin Kiam." Seraya berkata begitu, ia menyerahkan pedang kayu yang dipegangnya kepada Bu Kie.
Bu Kie seraya menghampiri Phui Tong Peng dan berkata seraya membungkuk. Phui Cian Pwee, silahkan."
Ciu Tian menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Hatinya penuh kekuatiran.
Bagaikan seekor kera, Phui Tong Peng melompat dan sambil berkata, "Maaf" ia menikam. Sinar hijau berkelebat disertai dengan suara "Srrt" hal ini membuktikan, bahwa ia memiliki Lwee Kang yang sangat kuat, sedikitnya tak kalah dengan A Jie.
Semua orang terkejut. Dengan Lwee Kang yang sehebat itu, jangankan ia menggunakan pedang mustika, sedang pedang biasapun sudah sukar dilawan. Meskipun ia sudah tidak memiliki Giok Bin
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
(muka tampan seperti batu pualam), tapi julukan Sin Kiam (pedang malaikat) sungguh bukan nama kosong.
Melihat serangan hebat itu, cepat Bu Kie membuat setengah lingkaran, menempelkan badan pedang kayu di badan Ie Thian Kiam, mengirim Lwee Kang, dan" Ie Thian Kiam tertekan ke bawah.
"Bagus!" puji Phui Tong Peng seraya membalik pedangnya dan menusuk pundak lawan. Bu Kie memutar senjata dan kedua lawan sama-sama melompat mundur. Ie Thian Kiam tergetar dan mengeluarkan suara "unggg" yang sangat nyaring.
Kedua pedang itu berbeda bagaikan langit dan bumi. Yang satu bersenjata mustika, yang lain hanya kayu belaka. Akan tetapi, karena bentrokan terjadi pada badan pedang, maka yang tajam tidak dapat berbuat banyak terhadap yang tumpul. Dengan memukul badan pedang maka boleh dikatakan Bu Kie sudah berhasil menangkap jiwa Thay Kek Kiam Hoat.
Tadi waktu memberikan pelajaran yang diturunkan Thio Sam Hong ialah "jiwa" atau "intisari" dari Thay Kek Kiam Hoat, tapi bukan "justru" ilmu pedang itu. Maka itulah, sesudah Bu Kie bisa menyelami intisari daripada ilmu pedang itu dan bisa menggunakan secara bebas, wajar dengan segala perubahan-perubahannya yang bermacam-macam. Dalam otak masih teringat sejuru dua dari apa yang dilihatnya, maka kelancaran itu akan terganggu. In Thian Ceng dan Yo Siauw mengerti prinsip tersebut, tapi Ciu Tian yang ilmunya masih agak cetek, sudah jadi kebingungan.
Suara bentrokan senjata makin lama makin gencar. Dengan jurus-jurus luar biasa, dengan Lwee Kang yang dahsyat dan dengan senjata mustika. Phui Tong Peng mengirim serangan-serangan berantai bagaikan hujan dan angina. Sinar hijau berkelebat-kelebat tak ada hentinya dan hawa dalam Sam Ceng Tian berubah dingin. Bu Kie melayani dengan hati-hati dan tenang. Dalam membela diri atau balas menyerang, pedang kayunya membuat lingkaran-lingkaran, lingkaran besar, dan kecil. Lingkara itu seolah-olah benang sutra yang berputar-putar dan untuk menggulung Ie Thian Kiam. Makin lama jumlah benang sutera jadi makin banyak. Sesudah bertempur dua ratus jurus lebih, kelincahan Ie Thian Kiam mulai berkurang. Phui Tong Peng merasa, bahwa berat pedang selalu bertambah, dari lima menjadi enam kati, tujuh, delapan," sepuluh" dua puluh"
Si kakek sekarang bangun, ia mengeluarkan keringat dingin. Tiga ratus jurus sudah lewat. Tapi ia belum juga bisa merampas pedang lawan yang terbuat dari pada kayu. Itulah kejadian yang belum pernah dialami. Pihak lawanm seperti juga melepaskan jala raksasa yang makin lama jadi makin kecil. Berulang kali Phui Tong Peng menukar ilmu pedang, tapi ita tetap tidak dapat kemajuan. Terus menerus Bu Kie membuat lingkaran-lingkaran di antara penonton, kecuali Thio Sam Hong seorang, tak satupun yang bisa melihat tegas apa dia sedang menyerang atau membela diri. Pada hakikatnya Thay Kek Kiam Hoat hanya terdiri daripada lingkaran-lingkaran besar, kecil, miring, berdiri rata dan sebagainya, sehingga jika orang ingin berbicara tentang "jurus" ilmu pedang itu hanya terdiri dari satu jurus lingkaran. Tapi dalam jurus tunggal itu terdapat perubahan-perubahan yang tiada habisnya.
Sekonyong-konyong Phui Tong Peng membentak keras, kumis atau alisnya berdiri dan Ie Thian Kiam menyambar dada Bu Kie. Itulah serangan yang disertai dengan seantero tenaga dalam. Bu Kie membalik senjata dan coba menangkis. Mendadak si kakek memutar sedikit pergelangan tangannya merampas dari samping. "Kres" pedang kayu itu putus enam dim dan Ie Thian Kiam meluncur terus ke dada Bu Kie.
Bu Kie terkesiap. Tapi dalam bahaya, ia tidak jadi bingung. Secepat kilat, telunjuk dan jari tengah tangan kirinya menjepit badan Ie Thian Kiam sedang tangan kanannya membabat lengan kanan musuh dengan pedang bunting. Biarpun kayu, tapi ia sebab membacok dengan tenaga Kioe Yang Sin Kang sampai hati untuk menyerang pula dan merampas pedang mustika itu.
Dengan tangan kiri mencekal Ie Thian Kiam Bu Kie seperti juga jepitan besi. Dalam keadaan begitu, jalan satu-satunya untuk menyelematkan lengan kanannya dari bacokan ialah melepaskan Ie Thian Kiam dan melompat mundur. "lepas!" bentak Bu Kie sambil menggigit gigi dengan nekat si kakek yang bandel membetot lagi. "Kres!" lengan itu terbabat putus dan terus meluncur jatuh!
Phui Tong Peng lebih suka mengorbankan lengan daripada kehilangan pedang.
Sebelum lengan yang jatuh itu menyentuh lantai, tangan kiri si kakek menjambretnya dan mengambil pedang Ie Thian Kiam yang masih terus dicengkram dengan jari-jari tangan dari lengan yang putus itu.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Melihat kegagahan orang tua itu, Bu Kie kaget bercampur kagum dan ia tak sampai hati untuk menyerang pula dan merampas pedang mustika itu. Phui Tong Peng menghampir Tio Beng dan seraya berkata membungkuk, "Cu Jin, Siauw Jin tak punya kemampuan dan rela menerima hukuman."
"Aku suruh kau putuskan kedua tangan bocah itu." Katanya dengan suara dingin.
Muka si kakek yang sudah pucat jadi lebih pucat lagi. "Baiklah." Katanya. Tangan kirinya mengayun Ie Thian Kiam yang dengan sekali berkelebat sudah memutuskan lengan kiri si kakek.
Dengan serentak semua orang mengeluarkan seruan tertahan.
Bu Kie gusar tak kepalang. Sambil menuding, ia membentak, "Tio Kouw Nio! Sungguh kejam kau!
Phui Sian Seng telah berbuat apa yang dia bisa. Tapi kau masih tak bisa memaafkannya."
"Kau, bukan aku yang memutuskan tangannya." Kata si nona dengan suara dingin. "Apa kau atau aku yang kejam?"
Bu Kie jadi kalap, "Kau". Kau" " teriaknya. Ia tidak bisa mendapatkan kata-kata yang tepat untuk melampiaskan kemarahannya.
Tapi Tio Beng tenang-tenang saja. "Budakku, tak perlu kau campur urusan orang lain," ia menengok kepada Thio Sam Hong dan berkata pula. "hari ini, dengan memandang muka Thio Kauw Cu, aku memberi ampun kepada Bu Tong Pay," ia mengibaskan tangan kirinya dan membentak. "Berangkat!"
beberapa orang sebawahannya segera mendukung Phui Tong Peng, A Jie, dan Oe Bun Cek dan kemudian beramai-ramai keluar dari Sam Tian Ceng.
"Tahan!" teriak Bu Kie "sebelum kamu tinggalkan Hek Giok Toan Siokko, jangan harap kamu bisa berlalu dari Bu Tong San!" dengan sekali melompat, tangannya menjambret Tio Beng. Tapi sebelum tangan itu menyentuh si nona, tiba-tiba ia merasa kesiuran angin yang menyambar dari kiri ke kanan.
Kedua serangan itu tidak ada suaranya. Tahu-tahu sudah tiba di hadapannya. Ia terkesiap, degnan kecepatan luar biasa ia membalik kedua tangannya dengan tangan kanan menyambut serangan yang datang dari sebelah kanan, tangan kiri menangkis pukulan yang menyambar dari sebelah kir. Begitu kedua tangannya kebentrok dengan tangan musuh, ia merasa tekanan Lwee Kang yang sangat kuat dan lebih hebat lagi, Lwee Kang itu dingin luar biasa. Tiba-tiba ia terkejut, hawa dingin itu sudah dikenalnya.
Aha! Hian Beng Sin Ciang yang dahulu hampir-hampir mengambil jiwanya!
Dalam kagetnya, Bu Kie segera mengerahkan Kioe Yang Sin Kang. Hampir berbareng, iga kiri dan kanannya ditepuk orang sehingga ia terhuyung beberapa tindak. Yang menepuknya adalah dua kakek yang bertubuh kurus jangkung. Selagi sebelah tangan mereka kebentrok dengan kedua tangan Bu Kie, sebelah tangan yang lainnya tanpa mengeluarkan suara sudah menyambar ke iga pemuda itu.
Seraya membentak keras, Yo Siauw dan Wie It Siauw melompat dan menyerang kakek itu. "Plak, plak!" kedua jago Beng Kauw itu juga terhuyung beberapa tindak, dada mereka menyesak dan hawa dingin meresap sampai ke tulang.
"Nama Beng Kauw sungguh besar, tapi kepandaiannya hanya sebegitu!" kata si kakek di sebelah kanan. Sehabis berkata begitu, dengan kawannya, ia melindungi Tio Beng keluar dari Sam Ceng Tian.
Sebab kuatir akan keselamatan Kauw Cu mereka, orang-orang Beng Kuaw tidak mengubar dan mereka lalu mengerumuni Bu Kie yang duduk di lantai dengan dipeluk oleh In Thian Ceng.
Semua orang kelihatan bingung. Sambil tersenyum, Bu Kie menggoyang-goyangkan tangannya supaya orang jangan berkuatir. Perlahan-lahan ia mengerahkan Kioe Yang Sin Kang untuk mengeluarkan racun dingin itu dari dalam tubuhnya. Selagi hawa dingin itu terdesak ke luar, beberapa orang yang Lwee Kangnya agak cetek, bergemetaran badannya. Tapi karena mencintai pemimpin mereka, tak seorangpun meninggalkan Bu Kie.
Beberapa saat kemudian, Bu Kie berkata, "Gwa kong dan saudara-saudara sekalian. Keadaanku tak apa-apa. Harap kalian jangan kuatir."
Mendengar Kauw Cu mereka bicara, semua orang merasa girang dan lantas mengundurkan diri.
Sementara itu, kelihatanlah di atas kepala Bu Kie terus menerus keluar semacam asap berwarna putih, sebagai tanda bahwa pemuda itu sedang mengerahkan Lwee Kang yang dahsyat.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Beberapa saat kemudian, ia membuka baju dan pada kedua iganya terlihat tapak tangan dengan warna kehitam-hitaman. Berkat khasiat Kioe Yang Sin Kang, warna hitam itu perlahan-lahan berubah menjadi ungu, dari ungu menjadi abu-abu yang akhirnya menghilang. Demikianlah, dalam waktu kira-kira setengah jam Bu Kie sudah berhasil mengusir seantero racun hitam Hian Beng Sin Ciang. Ia berbangkit dan berkata sambil tertawa, "Biarpun mesti menghadapi bahaya, kita sekarang sudah mengenal muka musuh."
Yo Siauw dan Wie It Siauw pun tidak terluput dari racun dingin. Tapi sebab pada waktu menangkis, mereka mengeluarkan seluruh Lwee Kang, maka racun itu hanya masuk sampai di pergelangan tangan dan tidak menembus ke isi perut. Maka itu, sesudah mereka bersemedi dan mengerahkan tenaga dalam beberapa lama, merekapun berhasil mengusir racun tersebut.
Beberapa saat kemudian, Gouw Kin Co, Ciang Kie Su Swie Kim Kie, melaporkan bahwa semua musuh sudah turun gunung.
Jie Thay Giam lantas saja memerintahkan Tie Kek Toojin menyediakan makanan untuk menjamu para anggota Beng Kauw. Selagi makan minum, Bu Kie menceritakan kepada Thay SuHu dan Sam SuPehnya segala sesuatu yang terjadi atas dirinya semenjak mereka berpisahan. Mendengar penuturan yang luar biasa itu, semua orang merasa kagum dan heran.
"Tahun itu, di ruangan ini juga aku telah beradu tangan dengan si kakek yang memiliki Hian Beng Sin Ciang itu," kata Thio Sam Hong. Pada waktu itu, ia menyamar sebagai perwira tentara mongol. Sampai sekarang, aku masih belum tahu dengan kakek yang mana aku beradu tangan. Kalau dipikir-pikir, aku harus merasa malu, karena sampai hari ini aku masih belum mampu meraba asal-usul kedua orang itu.
"Kitapun masih belum tahu siapa adanya wanita She Tio itu," menyambung Yo Siauw. "Dia pasti mempunyai orang-orang Seperti Hian Beng Jie Loo (dua kakek yang memiliki Hian Beng Sin Ciang) menakluk di bawah perintahnya."
"Kita sekarang menghadapi dua tugas yang harus segera diselesaikan," kata Bu Kie. "Pertama kita harus merampas Hek Goan Toan Siokko untuk mengobati luka Jie Sam SuPeh dan In Liok Siok. Kedua, kita harus segera menyelidiki dimana adanya Song Toa Peh dan yang lain-lain. Untuk menunaikan kedua tugas ini, kita harus mencari si wanita she Tio."
Jie Thay Giam tertawa getir, "Aku sudah bercacad selama kurang lebih dua puluh tahun, sehingga biarpun Hek Goan Toan Siokko bisa dirampas, kurasa cacad ini tak mungkin disembuhkan lagi."
Katanya. "Perhatian kita sekarang harus ditujukan kepada Toako, Liok Tee dan yang lain-lain.
"Kita harus bertindak cepat," kata Bu Kie pula. "Kuminta Yo Co Su, Wie Hok Ong, dan Swee Poet Tek Tay Su mengikut aku turun gunung untuk mengejar musuh. Dengan berpencaran, kelima Ciang Kie Hu Su (wakil pemimpin) dari lima bendera harus pergi ke Go Bie, Hwa San, Kun Lun, Khong Tong, dan Siauw Lim Sie di Hok Kian untuk mengadakan hubungan berbagai partai dan mengadakan penyelidikan.
Gwa Kong dan Koe Koe (Paman, In Ya Eng) pulang ke Kang Lim untuk mempersiapkan seluruh pasukan Peh Bie Kie. Tiat Koan Too Tiang dan Ciu Sian Seng, Pheng Thay Su dan Ciang Kie Su dari Ngo Heng Kie untuk sementara waktu berdiam di Bu Tong Pay guna memantu Thay Suhu Thio Cin Jin."
Demikianlah, dengan sikap wajar ia mengeluarkan perinta. Sedang In Thian Ceng, Yo Siauw, Wie It Siauw dan yang lain-lain menerimanya sambil membungkuk. Melihat begitu, bukan main girangnya Thio Sam Hong. Semula guru besar itu masih bersangsi, apakah cucu muridnya yang masih baru begitu muda bisa menguasai jago-jago Beng Kuaw.Sekarang dengan mata kepala sendiri ia menyaksikan bahwa In Thian Ceng dan yang lain-lain benar-benar mengakui Bu Kie sebagai pemimpin mereka yang mempunyai kekuasaan mutlak. "Kepandaiannya yang tinggi dan otaknya yang cerdas biarpun harus dikagumi di mataku tidaklah berharga terlalu besar." Kata Thio Sam Hong di dalam hati. "Tapi bahwa ia berhasil menaklukkan memedi-memedi Beng Kuaw dan Peh Bie Kie, hingga mereka sekarang balik ke jalanan lurus sungguh-sungguh satu kejadian yang menakjubkan. Ha!... Cui San ada turunannya" " memikir begitu, kedua mata guru besar itu mengembang air.
Bu Kie berempat cepat-cepat makan dan sesudah makan, mereka segera meminta diri dari Thio Sam Hong dan segera turun gunung untuk mengejar Tio Beng. In Thian Ceng dan para pemimpin Beng Kauw.
menghantar sampai di kaki gunung. Poet Hwi yang rupanya berat untuk segera berpisahan dengan ayahnya mengikuti terus dan sesudah melalui lagi kira-kira satu li, Yo Siauw berkata, "Poet Hwi, kau baliklah, rawatlah In Liok Siok sebaik-baiknya."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Baiklah," jawab si nona, mengawasi Bu Kie dan tiba-tiba paras mukanya berubah merah. "Bu Kie Koko," katanya dengan suara perlahan. "aku ingin bicara sepatah dua patah dengan kau."
Yo Siauw, Wie It Siauw, dan Swee Poet Tek tertawa dalam hati. Kedua orang muda itu sahabat lama dan dalam menghadapi perpisahan mereka mungkin ingin mengatakan sesuatu yang tak boleh didengar orang lain. Memikir begitu, mereka segera mempercepat tindakan dan meninggalkan Bu Kie dan Poet Hwi.
Sesudah kedua orang tua itu pergi jauh, sambil menarik tangan Bu Kie, si nona berkata, "Bu Kie koko, kemari," mereka menghadapi sebuah batu besar dan lalu berduduk di atasnya.
Jantung itu memukul keras. "aku dan dia pernah sama-sama melewati banyak bahaya besar.
Perhubungan antara aku dan dia bukan perhubungan biasa." Katanya di dalam hati. "Tapi sesudah perpisahan lama dan bertemu lagi sikapnya agak dingin, acuh tak acuh. Apakah yang dia sekarang mau sampaikan kepadaku?"
Sebelum bicara, paras muka si nona sudah berubah merah dan ia menundukkan kepala. Lama juga ia berdiam bagaikan patung. Akhirnya ia mendongak dan berkata, "Bu Kie koko, pada waktu ibu mau menutup mata, bukankah ia telah meminta supaya kau melihat-lihat aku?"
"Benar," jawabnya.
"Dengan melalui perjalanan berlaksa li, dari Tepi Hwai Ho sampai ke See Hek, kau telah berhasil menyerahkan aku kepada ayah. Dalam perjalanan itu, berulang kali kau mengalami penderitaan hebat dan menghadapi bahaya-bahaya besar. Budi yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata belaka. Sebegitu jauh aku hanya mengingat di dalam hati dan tidak pernah menyebutkannya di hadapanmu."
"Itu semua tak ada harga untuk disebutkan lagi," kata Bu Kie. "apabila aku tidak mengawani kau ke See Hek, aku tentu tidak mengalami kejadian-kejadian yang sangat kebetulan dan di waktu ini aku pasti sudah tidak berada di alam dunia."
"Tidak! Bu Kie koko, kau tak boleh mengatakan begitu," kata si nona sembil menggeleng-gelengkan kepala. "Kau seorang yang sangat mulia, dengan "restu Tuhan" segala bahaya akan berubah menjadi keselamatan. Bu Kie koko, sedari kecil aku sudah ditinggalkan ibu, ayah adalah seorang yang paling dekat denganku, tapi aku tidak bisa mengatakan kepadanya apa yang aku ingin katakana sekarang. Kau adalah Kauw Cu kami, akan tetapi, di dalam hati aku masih tetap memandang kau sebagai kakak kandungku. Hari itu, ketika kau datang di Kong Beng Teng dalam keadaan sehat, bukan main rasa girangku. Akan tetapi, aku merasa malu hati untuk menyatakan perasaan itu. Bu Kie koko, kau tidak gusar, bukan?"
"Tidak! Tentu saja aku tidak gusar," jawabnya.
Si nona menundukkan kepala dan berkata pula. "Terima kasih, kau sungguh mulia, Bu Kie koko, aku telah memperlakukan Siauw Ciauw secara kejam dan mungkin sekali kau mendongkol terhadap perlakuan itu. Hal itu terjadi karena aku selalu tidak dapat melupakan kebinasaan ibu yang sangat mengenaskan sehingga terhadap orang jahat, aku tidak main kasihan lagi. Belakangan sesudah melihat perlakuanmu terhadap Siauw Ciauw, aku tidak membencinya lagi."
Bu Kie tersenyum, "Siauw Ciauw beradat aneh, tapi kurasa dia bukan seorang jahat," katanya.
Ketika itu matahari sudah mulai menyelam ke barat dan musim rontok yang dingin mulai turun. Untuk beberapa saat mereka tidak berkata-kata. Tiba-tiba paras muka si nona berubah lagi, kulitnya yang putih bersemu dadu, kedua matanya mengeluarkan sinar kecintaan, sedang sikapnya seperti orang kemalu-maluan. "Bu Kie koko," katanya dengan suara hampir tidak kedengaran, bukankah ayah dan ibu berdosa terhadap In" Liok Siok?"
"Ah! Kejadian yang sudah lampau, tak perlu disebut-sebut lagi," kata Bu Kie.
"Tidak!" bantah si nona. "Bagi orang lain, kejadian itu memang kejadian yang sudah lama. Aku sendiri sekarang sudah berusia tujuh belas tahun. Tapi bagi In Liok Siok kejadian itu bkan kejadian lama.
Ia masih tidak bisa melupakan ibu. Waktu ia terluka berat dan berada dalam keadaan setengah sadar, sering-sering ia mencekal tanganku dan berkata Siauw Hu! Siauw Hu! Jangan tinggalkan aku, aku sudah menjadi manusia bercacat. Tapi aku memohon jangan tinggalkan aku".. jangan tinggalkan aku," ia bicara dengan suara parau dan kemudian air matanya mengalir turun di kedua pipinya."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Liok Siok mengatakan begitu, sebab ia berada dalam keadaan lupa ingat," kata Bu Kie dengan suara membujuk. "Kau tidak boleh menerima perkataan itu secara sungguh."
Poet Hwi menggelengkan kepala. "Kau salah," bantahnya. "Bukan begitu kau tidak tahu, tapi aku tahu.
Belakangan sesudah tersadar, ia mengawasi aku dengan sorot mata dan sikap yang tidak berbeda. Ia mau minta supaya aku kan dia, tapi ia merasa berat untuk membuka mulut."
Bu Kie menghela napas. Ia mengenal baik adat paman itu. Biarpun ilmu silatnya sangat tinggi, pada hakekatnya In Lie Heng berperasaan sangat halus. Dahulu waktu masih kecil, Bu Kie sering menyaksikan cara bagaimana paman itu mengucurkan air mata untuk urusan-urusan kecil. Kebinasaan Siauw Hu merupakan pukulan sangat hebat. Maka tidaklah heran meskipun sudah bercacat, Lie Heng masih tidak bisa melupakan tunangannya itu.
Sesudah termangu beberapa lama, Bu Kie berkata dengan suara serak. "Ya ".. kita tidak bisa berbuat banyak untuk menghibur hatinya. Jalan satu-satunya aku harus berusaha sekeras-kerasnya untuk merampas Hek Goan Toan Siokko guna mengobati Liok Siok san Sam Supeh."
"Makin lama melihat sikap In Liok Siok, hatiku merasa kasihan." Kata pula Poet Hwi. "Aku tidak dapat menghilangkan perasaan bahwa selama orang itu termasuk ayah dan ibu telah melakukan perbuatan yang tidak pantas terhadapnya. Bu Kie koko" " ia terdiam sejenak kemudian meneruskan perkataannya dengan suara hampir tak kedengaran, "aku" aku sudah berjanji dengan In Liok Siok, bahwa aku tak perduli ia sembuh atau tak sembuh, aku akan mengawaninya seumur hidup dan tidak akan berpisah lagi selama-lamanya!" sehabis berkata begitu, air mata mengucur deras, akan tetapi paras mukanya berubah terang. Itulah paras dari seorang yang dihinggapi rasa malu bercampur bangga.
Bu Kie terkejut. Ia tak pernah mimpi, bahwa Poet Hwi rela mengabdi kepada In Lie Heng seumur hidup. Untuk beberapa saat, dia mengawasi si nona dengan mata membelalak dan kemudian berkata dengan suara terputus-putus, "kau!..... kau".. "
"Secara tegas aku sudah berjanji dengannya, bahwa dalam penitisan ini, aku akan mengikutinya selama-lamanya," berkata pula Poet Hwi dengan suara yang tetap. "Walaupun seumur hidup ia bercacat, maka seumur hidup aku akan mendampinginya, melayaninya dan coba menghiburnya."
Bu Kie menghela napas dan sambil mengawasi si nona dengan alis berkerut, ia berkata, "tapi kau".. "
"Janjiku tak diberikan kepadanya secara tergesa-gesa," memutus Poet Hwi. "Di sepanjang jalan, aku merenungkan soal itu masak-masak. Bukan saja itu tidak berpisahan denganku, akupun tak bisa berpisahan dengannya. Kalau lukanya tak sembuh, aku tidak bisa hidup lebih lama di dalam dunia. Saban kali aku mendampinginya, ia selalu mengawasiku dengan sorot mata yang tak dapat dilukiskan pada saat itu. Bu Kie, dahulu, waktu masih kecil, aku selalu memberikan rahasia hatiku kepadamu. Kuingat karena tak punya uang untuk beli kembang gula, di tengah malam buta, aku mencuri sebuah tong jin (kembang gula yang berbentuk manusia) dan memberikannya kepadaku. Apa kau masih ingat?"
Disebutkannya kejadian yang lampau itu mengharukan sangat hatinya Bu Kie. Di depan matanya lantas saja terbayang pengalaman-pengalaman pada waktu ia bersama Poet Hwi, dengan bergandengan tangan, merantau ke wilayah barat. "Aku ingat," jawabnya sambil menundukkan kepala.
Seraya memegang tangan kakaknya, si nona berkata pula: "tapi aku tidak tega untuk makan gula itu yang akhirnya melumer karena hawa panas matahari. Aku sangat berduka dan menangis terus. Kau coba membujuk aku dan mengatakan, bahwa kau akan memberikan sebuah lagi. Tapi biar bagaimanapun jua, kau takkan mendapatkan tong jin yang sama seperti itu. Belakangan kau membeli tong jin yang lebih besar dan lebih bagus, tapi sebaliknya dari girang, aku menangis lagi. Waktu itu kau sangat jengkel dan mencaci aku yang dikatakan tidak dengar kata. Apa kau masih ingat?"
Bu Kie tersenyum. "Apa aku maki kau?" katanya. "Aku sudah lupa."
"adatku sangat kukuh," kata pula si nona. "In Liok Siok adalah tong jin pertama yang disukai olehku.
Aku menolak lain kembang gula. Bu Kie koko, sering-sering di tengah malam yang sunyi kuingat segala kebaikanmu. Beberapa kali kau sudah menolong jiwaku. Menurut pantas, aku harus mengabdi kepadamu seumur hidup. Akan tetapi, aku hanya bisa menganggap kau sebagai saudara kandung."
Kisah Pembunuh Naga Jilid 50 Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Karya Chin Yung ================ "Di dalam hati, aku menyintai dan menghormati kau sebagai seorang kakak. Tapi terhadap dia, aku mempunyai rasa kasihan dan rasa cinta yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Usianya banyak lebih tua dan tingkatannya pun lebih tinggi daripada aku. Di samping itu, ayah adalah seorang musuh besarnya" Kutahu bahwa dalam hal ini kau menghadapi kesukaran-kesukaran besar. Tapi.. tanpa memperdulikan apapun jua, aku membuka isi hatiku kepadamu." Sehabis berkata begitu, tiba-tiba ia berbangkit dan kabur secepatnya. Bu Kie berdiri bagaikan patung dan dengan hati berduka ia mengawasi si bayangan Poet Hwi yang lalu menghilang di lembah gunung. Lama ia berdiri di situ dengan air mata mengalir di kedua pipinya.
Sesudah kenyang menangis, barulah ia menyusul kawan-kawannya.
Melihat tanda-tanda bekas air mata di kedua belah pipi kauwcu mereka, Wie It Siauw dan Swee Poet Tek melirik Yo Siauw sambil bersenyum. Di dalam hati, mereka menduga bahwa tak lama lagi Ko Cosu bakal menjadi mertua Thio Kauwcu.
Sesudah berada dikaki gunung, Yo Siauw berkata. "Kauwcu, menurut pendapatku, Tio Kauwnio yang mempunyai banyak pengiring tidak akan berjalan sendiri. Maka itu usaha mencari dia tidaklah terlalu sukar. Sebaiknya kita sekarang mengejar dengan berpencaran, ke arah timur, selatan, barat dan utara dan besok tengah hari, kita berkumpul di Kok shia. Bagaimana pikiran kauwcu?"
"Aku setuju," jawabnya. "Aku akan mengambil jalan ke barat." Kok shia terletak di sebelah timur Bu tong san dan dengan mengejar ke jurusan barat, ia harus menempuh jarak lebih jauh daripada kawan-kawannya. "Hian beng Jie lo memiliki kepandaian yang tinggi," katanya pula. "Apabila Sam wie bertemu dengan mereka, menyingkirlah jika masih bisa menyingkir. Tak usah Sam wie bertempur dengan mereka." Ketiga jago itu mengiakan dan segera mengejar ke timur, selatan dan utara.
Jalanan ke barat adalah jalanan gunung, tapi dengan menggunakan ilmu ringan badan, Bu Kie tidak menemui kesukaran apapun jua. Dalam waktu satu jam lebih, ia sudah tiba di Sip yan tin. Sesudah makan semangkok mie di sebuah warung makan, ia menanya seorang pelayan, apakah dia pernah melihat sebuah joli dengan tirai sutera kuning.
"Lihat!" jawabnya. "Di samping joli ada tiga orang sakit yang digotong dalam tandu. Mereka lewat di sini kira-kira satu jam yang lalu menuju ke arah Oey liong tin!"
Bu Kie girang karena rombongan itu pasti tidak bisa berjalan cepat. Ia segera mengambil keputusan untuk menyelidiki di waktu malam. Ia segera pergi ke tempat sepi dan tidur di sebuah batu besar. Kirakira tengah malam, barulah ia menuju ke Oey liong tin.
Dengan melompati tembok ia masuk ke dalam kota. Jalanan sepi, tapi penerangan di sebuah penginapan yang besar kelihatan terang sekali. Ia melompat naik ke genteng dan dengan beberapa lompatan ia sudah berada di atas genteng sebuah rumah kecil yang berdampingan dengan rumah penginapan itu. Dengan matanya yang sangat jeli ia memandang ke sekitarnya.
Tiba-tiba ia melihat sebuah tenda di atas lapangan, di pinggir sungai di bagian luar kota. Di seputar tenda itu berkelebat-kelebat bayangan-bayangan manusia suatu tanda bahwa tenda tersebut dijaga keras.
"Apa Tio Kouw nio berada di tenda itu?" tanyanya di dalam hati. Muka dan bicaranya nona itu tidak berbeda dengan orang Han, tapi tempat tinggalnya dan makanannya mempunyai selera orang Mongol."
Tapi baru saja ia mau menghampiri tenda itu, dari jendela sebuah rumah penginapan tiba-tiba terdengar suara merintih. Bu Kie kaget. Ia melompat turun, mendekati jendela itu dan melongok ke dalam.


Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam kamar itu terdapat tiga ranjang dan di atas setiap ranjang berbaring satu orang. Yang kedua tidak kelihatan mukanya, tapi yang menghadap ke jendela bukan lain daripada Pat pie Sin mo Oe bun Cek. Ia merintih dengan perlahan, rintihan dari seorang yang menahan kesakitan hebat. Sedang kedua lengan dan kedua betisnya dibalut kain putih.
Mendadak Bu Kie ingat sesuatu. "Tulang kaki tangannya telah dihancurkan olehku dan sekarang sedang diobati dengan Hek giok Toansiok ko," pikirnya. "Kalau tidak merebut sekarang, mau tunggu kapan lagi?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Memikir begitu ia segera mendorong jendela dan melompat masuk. Seorang yang berada di dalam kamar itu berteriak dan meninju. Dengan tangan kirinya Bu Kie menangkap tinju yang menyambar, sedang tangan kanannya menotok ke jalan darah itu. Ia sekarang suatu mendapat kenyataan bahwa dua orang yang lain adalah si kakek botak A jie dan Giok bin Sin kiam Poei Tong pek. Orang yang ditotok olehnya mengenakan jubah panjang warna hijau dan tangannya memegang dua batang jarum emas. Tak bisa salah lagi dia seorang tabib yang sedang mengobati ketiga jago itu dengan penjaruman. Di atas meja terdapat sebuah botol yang berwarna hitam dan pinggir botol menggeletak beberapa gulung daun hio.
Bu Kie menjemput botol itu, membuka tutupnya dan mencium-cium. Ia mengendus bebauan yang pedas dan tajam.
Tiba-tiba Oe bun Cek berteriak, "Tolong!... ada orang merampas obat!...
Bagaikan kilat Bu Kie menotok A-hiat (hiat yang membuat orang jadi gagu) ketiga jago itu dan kemudian membuka balutan lengan Oe bun Cek. Ternyata lengan itu dilabur dengan lapisan koyo yang berwarna hitam. Karena mengenal kelicikan Tio Beng, sehingga nona itu mungkin menaruh obat palsu di dalam botol untuk menjebaknya, maka Bu Kie segera mengeruk koyo yang melekat di luka-luka Oe bun Cek dan si kakek botak. Ia menganggap bahwa andaikata di dalam botol itu berisi obat palsu, obat yang dilabur kedua jago itu tak mungkin palsu.
Sementara itu karena mendengar teriakan Oe bun Cek, orang-orang yang menjaga di luar sudah mulai menyerang. Pintu ditendang dan beberapa orang menerjang masuk. Tanpa menengoki Bu Kie menendang setiap musuh yang mendekatinya. Dalam sekejap ia sudah merobohkan enam orang. Sesaat kemudian ia sudah mengeruk habis koyo yang melekat di luka-luka Oe bun Cek dan A jie dan kemudian membungkusnya dengan kain pembalut.
Ia tidak berani berdiam lebih lama lagi, karena jika Hian beng Jie lo keburu datang, ia bakal berabe sekali. Dengan cepat ia masukkan botol hitam dan bungkusan koyo ke dalam sakunya dan kemudian melontarkan tubuh si tabib keluar jendela. "Plak!" tabib itu terpukul jatuh. Benar saja di luar bersembunyi musuh. Dengan menggunakan kesempatan itu, Bu Kie melompat keluar. Dua sinar golok menyambar.
Dengan menggunakan Kian kun Thay lo ie Sin kang, Bu Kie menyeret dengan tangan kanannya dan menarik dengan tangan kirinya, sehingga musuh yang di sebelah kiri membabat yang di sebelah kanan.
Sementara itu, ia sendiri kabur secepat-cepatnya.
Ia berlari-lari dengan hati bungah. Biarpun ia tidak dapat menyelidiki asal usul Tio Beng tapi didapatkannya Hek giok Toan Siok ko secara begitu mudah sudah merupakan hasil yang gilang gemilang.
Ia tidak mau membuang2 waktu pergi ke Kok shia guna menemui Yo Siauw dan yang lain-lain, tapi terus menuju ke Bu tong san. Setibanya di kuil, ia segera memerintahkan salah seorang anggota Ang sei kie pergi ke Kok shia untuk memberitahukan hal itu kepada Yo Siauw dan kawan2nya.
Mendengar Hek giok Toan siok ko telah dapat dirampas, Thio Sam Hong dan yang lain-lain tentu saja merasa sangat girang. Sesudah menuturkan cara bagaimana ia merebut koyo itu, Bu Kie segera membandingkan koyo kerokan dengan obat yang terisi di dalam botol hitam itu. Ternyata kedua-duanya tidak berbeda, di samping itu ia pun mendapat kenyataan bahwa botol obat dibuat daripada sepotong batu giok hitam yang jika dipegang mengeluarkan rasa hangat, sehingga botol itu saja mempunyai harga yang tidak bisa ditaksir berapa besarnya.
Sekarang ia tidak bersangsi lagi. Ia segera memerintahkan orang menggotong In Lie Heng ke kamar Jie Thay hiam dan merendengkan kedua mereka. Poet Hwie yang ikut masuk tidak berani kebentrok mata dari Bu Kie, tapi paras mukanya yang berseri-seri membuktikan bahwa ia merasa sangat berterima kasih.
Dahulu waktu mengantar dia ke See hek Bu Kie telah membuat pengorbanan besar, antaranya di Kun lun san mewakili dia minum arak beracun. Tapi bagi si nona, semua budi itu kalah besarnya seperti budi yang sekarang.
"Sam supeh," kata Bu Kie, "lukamu yang dahulu sudah rapat dan sembuh. Kalau sekarang mau diobati tit-jie harus mematahkan lagi tulang-tulang dan kemudian menyambungnya pula. Tit-jie harap Sam supeh suka menahan sakit untuk sementara waktu."
Di dalam hati Jie Thay Giam tidak percaya bahwa kelumpuhannya yang sudah berjalan kurang lebih duapuluh tahun masih dapat diobati. Tapi ia tak mau menolak, sebab ia merasa paling jeleknya obat itu tidak berhasil dan ia bercacat terus. Di samping itu iapun sungkan mengecewakan keponakannya yang sangat berbudi. "Bu Kie berusaha untuk menebus dosa kedua orang tuanya dan jika aku menolak, ia tentu tak enak hati," pikirnya. "Perduli apa sedikit rasa sakit." Ia seorang lelaki keras kepala yang tak suka banyak bicara. Ia hanya tersenyum dan berkata. "Bu Kie, kau boleh berbuat sesukamu."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sesudah meminta Poet Hwie keluar Bu Kie buka pakaian pamannya itu dan sehabis menotok jalan darah Hun sui hiat (jalan darah yang mengakibatkan pulas) ia segera mematahkan tulang-tulang di bagian yang dulu patah. Ia menyambung lagi tulang itu melabur koyo dan dibalut dengan jepitan papan tipis.
Mengobati In Lie Heng banyak lebih mudah karena waktu bertemu dengan sang paman di See hek ia sudah menyambung tulang yang patah secara sempurna sehingga sekarang tidak perlu dipatahkan lagi. Ia hanya perlu melabur koyo dan membalutnya.
Sesudah selesai barulah merasai letihnya. Ia segera memerintahkan kelima orang kie su Ngo heng kie untuk menjaga kedua pamannya secara bergilir lalu sehabis makan tengah hari, ia mengaso dalam kamarnya. Karena kantuk dan lelah tak lama kemudian ia tertidur.
Tiba-tiba lapat-lapat terdengar suara tindakan kaki dan seseorang berhenti di depan kamarnya. "Ada apa" Kauw cu sedang tidur?" bisik Siauw Ciauw yang menjaga di luar pintu. Jawab Goan Hoan, Ciang kie su Houw touw kie dengan suara perlahan, "In Lie hiap menderita kesakitan hebat dan sudah tiga kali pingsan."
Sebelum Gan Hoan bicara habis, Bu Kie sudah melompat keluar dan berlari pergi ke kamar Jie Thay Giam. In Lie Heng sedang pingsan. Kedua matanya mendelik dan Poet Hwie menangis sambil mendekap muka dengan kedua tangannya. Di ranjang lain, sambil menggertak gigi Jie Thay Giam menggelisah.
Tak kepalang kagetnya Bu Kie. Ia segera menotok beberapa hiat dan mengurut tubuh In Lie Heng untuk menyadarkannya. Sambil menengok kepada Jie Thay Giam ia bertanya, "Samsupeh, apa kesakitan terasa di bagian tubuh yang patah?"
"Benar, tapi itu masih tak apa," jawabnya. "Yang lebih hebat lagi, rasa sakit di dalam perut" seperti"
seperti digigit berlaksa kutu."
Bu Kie mencelos hatinya. "Kalau benar keterangan itu, sang paman sudah pasti kena racun hebat.
"Liok siok, apa yang dirasai Liok siok?" tanyanya kepada In Lie Heng yang sudah tersadar.
"Yang merah, yang ungu, yang hijau, kuning putih, biru" indah sungguh!" banyak sekali bola-bola kecil menari-nari" sungguh indah" lihatlah" lihatlah!... kau lihatlah."
"Ah!" teriak Bu Kie. Ia merasa seakan2 disambar halilintar, sehingga hampir-hampir ia jatuh pingsan.
Mengapa" Karena ia ingat keterangan dalam Tok keng (kitab tentang racun) dari Ong Lan Kauw, yang antara lain berbunyi seperti berikut.
Cit ciong Cit hoa ko dibuat daripada tujuh macam serangga dan tujuh macam bunga beracun. Orang yang kena racun itu lebih dahulu merasakan sakit di dalam perut, seperti digigit serangga. Kemudian, ia seperti melihat macam2 warna yang indah, seperti 7 macam bunga yang berterbangan kian kemari. Dari sekian banyak serangga dan bunga beracun, orang dapat memilih tujuh macam serangga dan tujuh macam bunga2 beracun untuk membuat Cit ciong Cit hoa ko. Yang paling hebat ialah empatpuluh sembilan macam campuran itu dengan perubahan2nya yang tak kurang dari enampuluh tiga macam. Racun koyo itu hanya dapat dipunahkan dengan menggunakan racun juga.
Keringat dingin membasahi baju Bu Kie. Ia tahu, bahwa ia sudah kena dijebak Tio Beng dan bahwa koyo di dalam botol itu bukan lain daripada Ciat ciong Ciat hoa ko. Mengingat kekejaman Tio Beng, ia bergidik. Dalam memasang jebakan, perempuan itu tidak merasa segan untuk melebur racun di tubuh kedua orang sebawahannya, untuk mengorbankan jiwa jago-jagonya yang berkepandaian tinggi.
Dengan cepat Bu Kie membuka kain pembalut dan dengan arak mencuci koyo racun yang melekat di kaki dan tangan kedua pamannya. Melihat paras muka pemuda itu, Poet Hwie tahu, bahwa sesuatu yang hebat telah terjadi. Tanpa malu-malu lagi, ia segera bantu mencuci kaki dan tangan In Lie Heng. Sesudah koyo bersih, ternyata warna hitam sudah masuk ke dalam daging dan tidak dapat dihilangkan lagi.
Bu Kie tidak berani sembarangan menggunakan obat. Ia hanya memberikan obat untuk menahan sakit dan menentramkan semangat kepada kedua pamannya. Sesudah itu, dengan tindakan limbung ia bertindak keluar dari kamar Jie Thay Giam. Rasa kaget, kuatir dan malu memenuhi dadanya. Tiba-tiba kedua lututnya lemas dan ia roboh sambil menangis.
Poet Hwie memburu. "Bu Kie koko! Bu Kie koko!" teriaknya dengan air mata bercucuran.
Aku sudah membunuh Sampeh dan Liok siok!..." katanya dengan suara putus harapan. Pada detik itu, ia sama sekali tidak melihat jalan untuk menolong jiwa kedua pamannya. Cit ciong Cit hoa ko dapat
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
dibuat menurut ratusan cara. Siapapun jua tak akan tahu serangga macam apa dan bunga apa yang digunakan dalam membuat koyo itu. Untuk memunahkan racun itu, orang harus menggunakan "racun melawan racun". Dengan demikian, sebelum orang tahu racun apa yang terdapat dalam koyo itu, ia tidak berdaya, sebab kalau salah menggunakan racun, maka si penderita pasti akan hilang jiwanya.
Dalam kedukaannya dan rasa menyesalnya yang sangat besar, tiba-tiba Bu Kie mengerti, mengapa dahulu ayahnya telah membunuh diri. Ia sekarang sudah berbuat kesalahan besar yang tidak bisa diperbaiki lagi. Seperti mendiang ayahnya, baginya pun hanya terdapat satu jalan. Jalan membunuh diri untuk menebus dosa. Perlahan-lahan ia bangun berdiri.
"Bu Kie koko, apa benar tak ada obat lagi?" tanya Poet Hwie dengan mata membelalak. "Bu Kie koko, mengapa kau tidak mau mencoba?"
Bu Kie menggeleng-gelengkan kepala.
"Oh, begitu?" kata si nona. Di luar dugaan dalam mengeluarkan perkataan itu, suara dan sikap Poet Hwie kelihatan tenang.
Mendadak jantung Bu Kie memukul keras. Ia ingat apa yang pernah dikatakan oleh si nona. Pada waktu membuka rahasia hatinya, antara lain Poet Hwie mengatakan, ?" kalau lukanya tak sembuh akupun tak bisa hidup lebih lama di dalam dunia." Ia sekarang tahu, bahwa ia bukan membunuh dua, tetapi tiga orang.
Dengan mata berkunang-kunang, ia berdiri bagaikan patung. Tiba2 Gouw Kin Co masuk dan berkata,
"Kauw cu, Tio Kouw nio berada di luar kuil dan minta bertemu dengan kau."
"Aku justru mau cari dia!" teriak Bu Kie. Ia mencabut pedang yang tergantung di pinggang Poet Hwie dan lalu menuju keluar pintu dengan tindakan lebar.
Siauw Ciauw mencabut kembang mutiara yang tertancap di kundainya dan sambil mengangsurkan perhiasan itu kepada Bu Kie, ia berkata, "Kong cu, pulangkan ini kepadanya."
Bu Kie mengawasi dan di dalam hati ia memuji sikap si nona. Tanpa mengatakan suatu apa, ia mengambil kembang itu.
Setibanya di luar, ia lihat Tio Beng berdiri sendirian dengan bibir tersungging senyuman, dengan disoroti sinar matahari sore, nona itu kelihatan lebih cantik lagi. Di belakangnya, dalam jarak belasan tombak, berdiri Hian beng Jie lo yang memegang tali les dari tiga ekor kuda.
Bu Kie melompat. Dengan sekali berkelebat tangan kirinya sudah mencekal kedua pergelangan tangan si nona, sedang pedangnya yang dipegang dengan tangan kanan, menuding dada musuh. "Keluarkan obat pemunah!" bentaknya.
Kata Tio Beng sambil tersenyum, "Kau pernah memaksaku, apa kini kau ingin memaksa lagi" Aku datang untuk menengok kau. Mengapa kau bersikap begitu garang terhadap seorang tamu?"
"Berikan obat pemunah kepadaku!" kata Bu Kie. "Jika tidak, aku tidak ingin hidup lebih lama lagi dan kaupun tak usah hidup lebih lama lagi".
Muka si nona bersemu dadu, "Fui!" katanya. "Kau mau mati, boleh mati. Kau sangkut paut apa denganku" Siapa mau mati bersama-sama kau?"
"Aku bukan berguyon," kata Bu Kie dengan mata melotot. "Apabila kau tidak menyerahkan obat pemunah, hari ini adalah hari matinya kau dan aku".
Dari kedua pergelangan tangannya yang dicengkeramkan Bu Kie, nona Tio dapat merasakan bergemetarnya tubuh pemuda itu. Iapun merasai sebuah benda keras di telapak tangan Bu Kie. "Pegang apa kau?" tanyanya.
"Kembangmu", jawabnya. "Nih, aku pulangkan!" Dengan sekali menggerakkan tangan kembang itu sudah menancap di kundai si nona dan kemudian, secepat kilat, tangan kirinya itu sudah mencengkeram pula pergelangan tangan Tio Beng.
"Mengapa kau pulangkan?" tanya nona Tio.
"Kau mempermainkan aku hebat sekali," jawabnya. "Ku tak sudi memegang segala milik kau".
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Apa benar?" menegas Tio Beng sambil tersenyum. "Tapi mengapa kau meminta obat dari aku?"
Ditanya begitu, Bu Kie jadi tertegun. Dalam mengadu lidah, ia selalu kalah. Mengingat bahwa Jie Thay Giam dan In Lie Heng akan segera meninggal dunia, bukan main rasa dukanya. Kedua matanya merah, hampir2 ia mengucurkan air mata. Andaikata ia bisa mendapatkan obat itu, ia rela untuk berlutut.
Tapi ia yakin, bahwa terhadap wanita yang kejam itu, takkan guna ia memohon-mohon.
Sementara itu, In Thian Ceng dan yang lain-lain sudah datang ke situ. Melihat tangan nona Tio dicekal Bu Kie dan Hian beng Jie lo berdiri di tempat jauh dengan sikap acuh tak acuh, merekapun segera berdiri di belakang Bu Kie dan menunggu perkembangan selanjutnya dengan hati berdebar debar.
Sesudah berdiam sejenak, nona Tio berkata pula, "Kau seorang kauwcu dari Beng kauw dan ilmu silatmu yang sangat tinggi menggetarkan dunia. Tapi mengapa baru saja menghadapi sebuah cengkeraman kecil, kau sudah bersikap kanak-kanak" Kau berteriak2 dan menangis2. Sungguh memalukan! Aku sekarang mau bicara sejujurnya. Sebab kau kena pukulan Hian beng Sin ciang, aku sengaja datang untuk menengok keadaanmu. Di luar dugaan, begitu bertemu dengan aku, kau berteriak-teriak. Lepaskan tanganku! Mau lepas atau tidak?"
Ditegur begitu, Bu Kie merasa sedikit jengah. Ia segera melepaskan cekalannya, sebab ia merasa bahwa biar bagaimanapun jua, nona itu tak akan bisa melarikan diri.
Sambil mengusap2 kundainya yang tertancap kembang mutiara, Tio Beng tertawa. "Tapi kau rupanya tidak terluka," katanya.
Bu Kie mengeluarkan suara di hidung. "Hm! Segala Hian beng Sin ciang belum tentu dapat melukai orang," katanya.
"Tapi bagaimana dengan Tay lek Kim kong cie" Dengan Cit ciong hoa ko?" tanya Tio Beng dengan nada mengejek.
"Benar2 Cit ciong Cit hoa ko!" kata Bu Kie dengan penuh kebencian.
Tiba-tiba nona Tio mengubah sikapnya. Sekarang ia berkata dengan suara sungguh-sungguh. "Thio Kauwcu, aku bersedia untuk menyerahkan Hek giok Toan sik ko kepadamu dan akupun bersedia untuk memberi obat pemunah Cit ciong Cit hoa ko kepadamu. Aku bersedia, asal saja kau suka meluluskan tiga permintaanku. Jika kau menggunakan kekerasan, kau dapat membunuh aku, tapi kau jangan harap bisa mendapat obat. Kalau kau coba memaksa aku dengan disiksa, aku bisa memberi obat palsu atau racun yang hebat."
Bu Kie girang, "Permintaan apa" Lekas bilang!" katanya cepat.
Sambil bersenyum, si nona menjawab. "Bukankah aku pernah mengatakan, bahwa begitu lekas aku dapat memikir tiga permintaan itu aku akan segera memberitahukan kepadamu" Kau hanya perlu mengatakan dan berjanji untuk tidak melanggar janji. Aku mesti tak akan minta kau menangkap rembulan di langit, tak akan minta kau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan Rimba Persilatan dan juga takkan minta kau membunuh diri sendiri."
Mendengar bahwa ia tak akan diminta untuk "melakukan sesuatu yang bertentangan dengan peraturan Rimba Persilatan" Bu Kie merasa lega. Ia lantas saja berkata dengan suara lantang, "Tio Kouwnio, asal saja kau benar-benar memberikan obat yang bisa menyembuhkan kedua pamanku, biarpun mesti masuk ke lautan api, aku tak akan menampik segala perintahmu."
Tio Beng tersenyum sambil mengangsurkan tangan ia berkata, "Baiklah! Marilah kita menepuk tangan sebagai sumpah. Aku akan segera memberikan obat yang diminta olehmu. Di belakang hari, sesudah Samsupeh dan Lioksusiokmu sudah sembuh, kau akan melakukan tiga permintaanku. Asal saja ketiga permintaanku itu tidak bertentangan dengan peraturan dalam Rimba Persilatan. Kau setuju?"
"Ya." Kata Bu Kie seraya mengulurkan tangannya dan menepuk tiga kali tangan si nona.
Sesudah itu, Tio Beng mencabut kembang mutiara yang tertancap di kundainya. "Sekarang kau harus menerima lagi hadiah ini!" katanya.
Sebab kuatir nona Tio marah dan menarik pulang janjinya, Bu Kie segera menyambuti perhiasan itu.
"Tapi kau tidak boleh memberikan lagi kembangku ini kepada budak yang cantik itu, kata Tio Beng.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Baiklah!" jawabnya.
Nona Tio tertawa dan mundur tiga tindak. "Obat akan segera diantarkan kepadamu," katanya. "Thio Kauwcu, sampai bertemu lagi!" Ia mengibaskan tangan baju, memutar tubuhnya yang langsing dan lantas berjalan pergi. Dengan sikap menghormat Hian beng Jie lo menyerahkan tunggangannya. Tio Beng melompat naik ke atas punggung tunggangannya dan tanpa menengok lagi, ia turun gunung.
Sesudah si nona dan dua pengiringnya membelok di satu tikungan, dari atas sebuah pohon tiba-tiba melompat turun seorang pria. Bu Kie mengenali, bahwa dia itu bukan lain daripada Cian Jie Pay, salah seorang dari Sin cian Pat hiong. "Majikanku mengirim sepucuk surat kepada Thio Kauwcu!" teriaknya sambil melepaskan anak panah.
Bu Kie menyambutnya dengan tangan kiri. Di ujung anak panah itu " yang mata panahnya sudah dicopotkan, terikat sepucuk surat yang dialamatkannya kepada "Thio Kauwcu pribadi".
Bu Kie segera merobek sampul dan surat itu berbunyi seperti berikut:
"Di lapisan kotak emas,
Koyo mustajab sudah tersimpan lama
Di lubang kembang mutiara
Terdapat surat obat Kedua barang itu sudah lama berada dalam tangan Tuan
Tapi mengapa Tuan begitu bersusah hati"
Karena Tuan tak sudi melihatnya
Dan menyerahkannya kepada seorang budak."
Membaca itu, Bu Kie kaget, girang dan malu. Tanpa menyia-nyiakan waktu, ia memperhatikan kembang mutiara itu dan coba memutar-mutar setiap mutiara yang tertera di atasnya. Benar juga salah sebuah dapat diputar, karena bagian bawahnya diperlengkapi dengan ulir (alur-alur berputar seperti pada sekrup). Bu Kie segera mencopotnya dan ia mendapat kenyataan, bahwa pada batang kembang yang terbuat daripada emas terdapat sebuah lubang. Di dalam lubang itu terisi benda yang berwarna putih.
Dengan jarum emas, ia mengorek keluar benda itu selembar kertas amat tipis dengan tulisan yang memberitahukan nama nama serangga dan kembang beracun yang digunakan dalam Cit ciong Cit hoa ko.
Di samping itu juga terdapat petunjuk cara bagaimana ia harus menolong orang yang kena racun koyo itu.
Petunjuk yang terakhir sebenarnya tak perlu diberikan. Begitu lekas mengetahui nama-nama serangga dan kembang yang digunakan, Bu Kie sendiri bisa mengobati. Sesudah melihat, bahwa petunjuk itu tidak menyimpang dari keharusan, ia jadi girang sekali. Ia sekarang tahu bahwa Tio Beng tidak main gila.
Buru-buru ia masuk ke dalam dan dengan dibantu oleh beberapa orang, ia segera membuat obat dan memakaikannya di kaki dan tangan kedua pamannya. Benar saja, dalam waktu kurang lebih satu jam, akibat mengamuknya racun sudah banyak mereda. Rasa sakit di perut dan warna-warna yang dilihat oleh Jie Thay Giam dan In Lie Heng mulai menghilang.
Sesudah itu Bu Kie mengambil kotak emas tempat penyimpanan kembang mutiara yang diberikan kepadanya oleh Tio Beng.
Sesudah meneliti beberapa lama, ia berhasil mendapatkan lapisan rahasia dalam kotak itu dan pada lapisan itu terdapat koyo yang berwarna hitam. Berbeda dengan koyo racun, koyo sangat harum baunya.
Tapi Bu Kie tak berani berlaku sembrono lagi. Ia menangkap seekor anjing, mematahkan satu kakinya dan kemudian mengobatinya dengan koyo itu. Pada keesokan harinya tulang yang patah sudah mulai menyambung.
Berselang tiga hari, racun yang mengeram dalam tubuh Jie Thay Giam dan In Lie Heng sudah terusir semua dan Bu Kie mulai mengobati dengan Hek giok Toan siok bo. Kali ini tidak terjadi sesuatu yang diluar dugaan. Koyo ini ternyata sangat mujarab. Kira-kira dua bulan kedua tangan In Lie Heng sudah bisa bergerak. Tapi Jie Thay Giam yang sudah lumpuh selama sepuluh tahun tidak bisa sembuh seperti sedia kala. Ia hanya bisa jalan perlahan-lahan dengan bantuan tongkat. Biar bagaimanapun jua, hal itu sudah merupakah perbaikan yang tidak diduga-duga.
Karena harus mengobati kedua pamannya, Bu Kie terpaksa berdiam lama di Bu tong san. Sementara itu para Ciang kie Hu oe dari Ngo heng kie sudah kembali dengan beruntun dan mereka membawa warta yang mengejutkan. Menurut mereka, rombongan2 Go bie, Hwa san, Khong tong dan Kun lun yang menyerang Beng kauw di See hek, belum pulang ke masing-masing tempatnya. Kalangan Kang ouw gempar. Orang-orang Rimba Persilatan percaya, bahwa sesudah membasmi rombongan keenam partai,
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Beng kauw akan segera menyatroni dan merampas berbagai partai persilatan. Menghilangnya pendeta2
kuil Siauw lim sie telah menerbitkan gelombang yang belum pernah dialami dalam Rimba Persilatan.
Masih untung para wakil pemimpin Ngo heng kie membawa surat Thio Sam Hong dan merekapun tak memperkenalkan diri sebagai anggota Beng kauw. Kalau bukan begitu mereka mungkin tak pulang.
Mereka selanjutnya menerangkan, bahwa pada waktu ini, berbagai partai, berbagai piauw hang dan kelompok kelompok perampok, baik yang di gunung maupun di air, semua siap sedia dan sangat waspada sebab mereka kuatir Beng kauw akan menyerang dengan tiba-tiba.
Beberapa hari kemudian, In Thian Ceng dan In Yo Ong yang pulang ke markas besar Peh bie kie sesudah Jie Thay Giam dan In Lie Heng mendapat obat juga sudah kembali di Bu tong san. Mereka melaporkan bahwa dalam Peh bie kie sudah dibuat perubahan-perubahan dan seluruh pasukan sekarang berada di bawah Beng kauw. Di samping itu merekapun memberitahukan bahwa jago-jago Rimba Persilatan di daerah tenggara sudah mulai bergerak dan membentuk pasukan-pasukan rakyat untuk menggulingkan pemerintah penjajah.
Pada waktu itu tentara Goan masih sangat kuat dan dengan cepat mereka menumpas pasukan-pasukan rakyat. Di samping kekuatan pemerintah Goan, perlawanan rakyat itupun mempunyai kelemahan, ialah mereka bergerak dengan sendiri-sendiri, satu sama lain tidak mengadakan hubungan atau perserikatan, sehingga dengan mudah mereka dapat dibasmi.
Malam itu di ruangan belakang Thio Sam Hong mengadakan perjamuan cia cay untuk In Thian Ceng dan puteranya. Selagi makan minum In Thian Ceng menceritakan sebab musabab dari kekalahan pemberontakan rakyat. Dalam setiap pergerakan anggota-anggota Beng kauw dan Peh bie kie (dahulu Peh bie kie kauw) selalu mengambil bagian dan banyak di antaranya telah ditangkap atau dibinasakan oleh tentara Goan.
"Menurut pandangan hati rakyat sekarang sudah berubah dan waktu ini adalah waktunya mengusir Tat-cu dan merampas pulang tanah air kita," kata Yo Siauw. Selama hidup mendiang Yo Kauwcu itu selalu memikiri persoalan ini, hanya sayang karena bermusuhan dengan berbagai partai persilatan, maka selama kurang lebih seratus tahun agama kita tidak bisa bergandengan tangan dengan orang-orang gagah di seluruh negeri untuk mengusir kaum penjajah. Atas berkah Tuhan sekarang, Thio Kauwcu memegang tampuk pimpinan. Permusuhan kita dengan berbagai partai sudah mulai berkurang. Kini tibalah waktunya untuk kita bersatu padu dalam melawan musuh."
"Yo Co su," kata Ciu Tian. "Apa yang dikatakan olehmu kedengarannya sangat tepat, tapi itu semua hanya omong kosong."
Yo Siauw tak jadi gusar. "Bagaimana pendapat Ciu heng?"
"Orang-orang Kang ouw semua mengatakan bahwa Beng kauw telah membunuh jago-jago dari enam partai..", jawabnya. "Begitu mendengar nama Beng kauw, begitu mereka naik darah. Mana bisa bersatu padu dalam melawan musuh" Kata-katamu enak sekali kedengarannya. Tapi bagaimana melakukannya?"
"Memang pada waktu ini kita memang masih mendapat nama jelek," kata Yo Siauw. "Bagi aku percaya, pada akhirnya segala apa akan jadi terang. Apabila dalam hal ini seorang yang berkedudukan begitu tinggi seperti Thio Cinjin bisa menjadi saksi."
Ciu Tian tertawa nyaring, "Andai kata kita benar sudah membunuh Song Wan Kiauw Biat coat, Ho Thay Ciong dan yang lain-lain, Thio Cin-jin yang berada di gunung ini sudah pasti takkan mengetahuinya," kata si sembrono. "Maka itu kesaksian Thio Cinjin tak bisa diterima sebagai bukti yang kuat."
Ciu Tian!" bentak Tiat koan Too jin, "Di hadapan Thio Cinjin dan Kauwcu tak dapat kau bicara yang gila-gila."
Disemprot begitu, Ciu Tian tak berani membuka mulut lagi.
"Apa yang dikatakan Ciu heng bukan tidak beralasan sama sekali" sela Pheng Eng Giok. "Menurut pikiran pin ceng sebaiknya kita segera mengadakan sebuah perhimpunan antara pemimpin Beng kauw.
Dalam perhimpunan kita mengumumkan keinginan Thio Kauwcu untuk memperbaiki hubungan dengan berbagai partai. Di samping itu, dalam pertemuan tersebut, kitapun dapat menyelidiki dimana adanya rombongan Song Thay-hiap, Biat coat Suthay dan lain-lain."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Menyelidiki dimana adanya Song Thay hiap bukan pekerjaan sukar," kata Ciu Tian. "Bahkan mudah sekali, kita tidak usah mengeluarkan tenaga."
Beberapa orang lantas saja menanya dengan bernafsu.
"Bagaimana?" "Lekas katakan!"
"Mengapa kau tak siang-siang memberitahukan kami?"
Dengan paras muka berseri-seri si sembrono menceguk cawannya dan kemudian berkata dengan suara nyaring, "Anak kunci berada dalam tangan Thio Kauwcu sendiri. Asal Thio Kauwcu mau membuka mulut, menanyakan Tio Kouwnio, segala apa akan menjadi terang. Aku merasa pasti, bahwa tidak dibunuh mereka pasti ditawan oleh nona tersebut."
Selama dua bulan lebih, Wie It Siauw, Peng Eng Giok dan Swee Poet Tek pernah turun gunung untuk menyelidiki jejak Tio Beng yang sesudah membuat perjanjian dengan Bu Kie sesudah menghilang tanpa bekas. Bukan saja nona itu, tapi orang2nya pun yang berjumlah tak sedikit tak ketahuan kemana perginya.
Para pemimpin Beng kauw hanya bisa menduga-duga bahwa nona Tio mempunyai hubungan dengan kaisar Goan. Di samping itu tak terdapat lain penerangan.
Maka itulah, mendengar jawaban Ciu Tian, beberapa orang lantas saja mengejek dan mengatakan bahwa pikiran si sembrono hanya omong kosong belaka. Meskipun tahu, bahwa nona Tio merupakan sumber keterangan. Tapi yang menjadi soal, kemana mereka harus mencari nona yang licin itu.
Ciu Tian tertawa, "Orang-orang seperti kalian tentu saja takkan bisa mencari nona itu," katanya. "Tapi Kauwcu kita tak usah mencarinya. Kauwcu kita masih hutang tiga pekerjaan yang belum dikerjakan. Apa kalian kira nona yang lihay akan membebaskan hutang dengan begitu saja" Huh huh!... Dia sangat cantik dan ayu. Tapi aku setiap kali kuingat namanya, badanku sudah bergemataran."
Semua orang tertawa, tapi mereka mengakui bahwa pendapat kawan itu memang sebuah kenyataan.
Bu Kie menghela napas, "Aku mengharap supaya lekas-lekas menyebutkan tiga permintaannya, supaya aku segera bisa membereskan hutang," katanya. "Siang malam aku selalu memikiri, permintaan apa yang akan diajukan olehnya. Pheng Thaysu, tadi kau mengusulkan supaya agama kita mengadakan sebuah perhimpunan besar antara para pemimpin. Bagaimana pendapat kalian?"
"Aku setuju," kata Yo Siauw. "Tapi dimana kita harus mengadakan perhimpunan tersebut?"
Sesudah memikir beberapa saat, Bu Kie berkata, "Dalam menduduki kursi sebagai wakil Kauwcu, aku sering sekali ingat dua orang yang telah melepas budi besar terhadapku. Yang satu Tiap kok Ie sian Ouw Ceng Goe Sianseng. Sungguh menyesal, orang tua itu telah binasa di tangan Kim hoa popo. Yang satu lagi, Siang Gie Cien Toko yang sekarang tak diketahui dimana adanya. Sebagai peringatan untuk kedua tuan penolong itu, kalau bisa, ku ingin perhimpunan kita diadakan di Ouw tiap kok di Hwaipak."
"Bagus2!" teriak Ciu Tian sambil menepuk2 tangan. "Dahulu Kian sie Pout kioe setiap hari bertengkar dengan aku. Sebagai manusia dia boleh juga. Melihat kebinasaan dia tak sudi menolong dan akhirnya dia sendiri binasa tanpa ditolong orang. Tapi biar bagaimanapun jua, Ciu Tian mau memberi hormat dengan berlutut di depan kuburannya.
Persetujuan dicapai dengan suara bulat. Kurang lebih tiga bulan lagi, pada Peh Swee Tiong Ciu (tanggal lima belas bulan delapan menurut penanggalan Imlek, yaitu pesta pertengahan musim rontok).
Beng Kauw akan mengadakan perhimpunan besar antara para pemimpinnya di seluruh negeri.
Pada keesokan paginya, sejumlah petugas dari Ngo heng-kie dan Peh bie-kie turun gunung untuk menyampaikan perintah Kauwcu kepada para pemimpin Bengkauw. Segenap para pemimpin Bengkauw, yang berkedudukan hin cu ke atas, harus sudah berada di Ouw tiap kok pada sebelum Pehgwee Cap go guna bertemu dengan Kauwcu baru dan merundingkan hal-hal penting mengenai agama mereka.
Sebab masih ada waktu tiga bulan dan juga sebab kuatir Jie Thay Giam dan In Lie Heng kumat lagi penyakitnya, maka Bu Kie tidak berani lantas meninggalkan Bu tong san. Sambil merawat kedua pamannya, dalam waktu-waktu luang, ia selalu meminta penjelasan-penjelasan mengenai Thay kek kun dari kakek gurunya. Sementara itu, Wie It Siauw, Pheng Eng Giok, Swee Poet Tek dan yang lain-lain terus berkelana di berbagai tempat untuk menyelidiki tempat sembunyinya Tio Beng.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Atas perintah Kauwcu, dengan apa boleh buat Yo Siauw berdiam terus di Bu tong san. Mengingat perbuatannya terhadap Kie Siauw Hu, ia selalu merasa malu terhadap In Lie Heng dan tidak berani sering-sering bertemu muka. Saban hari, ia kebanyakan menutup diri di dalam kamar dan membaca buku.
Tanpa urusan yang sangat penting, ia tak pernah keluar dari kamar itu.
Pada suatu lohor Bu Kie datang di kamar Yo Siauw untuk merundingkan soal-soal yang mau dibicarakan dalam perhimpunan besar. Sebagai seorang muda yang mendadak memikul beban sangat berat, ia sering merasa kuatir kalau-kalau ia tidak dapat menunaikan tugasnya itu. Yo Siauw adalah orang satu-satunya yang paham akan seluk beluk Beng kauw. Maka itulah ia meminta Yo Co su untuk mengawaninya di Bu tong san supaya setiap waktu ia bisa minta pikirannya.
Sesudah bicara beberapa lama, Bu Kie menjemput sejilid buku yang terletak di meja. Di kulit buku tertulis huruf-huruf yang berbunyi "Masuknya Beng kauw ke Tiongkok" dan di sebelah bawah dalam huruf-huruf kecil tertulis "Disusun oleh tee cu Kong beng Co su Yo Siauw".
Bu Kie menghela nafas. "Yo Co su" katanya, "kau seorang bun bu coan cay dan merupakan tiang dari agama kita".
"Terima kasih atas pujianmu Kauwcu," jawabnya sambil membungkuk.
Bu Kie membalik-balik lembaran buku itu yang mencatat sejarah Beng kauw. Menurut catatan itu, Beng kauw masuk ke Tiong Tauw (tanah tengah atau Tiongkok) pada tahun Yancay kesatu dari Bu Cek Thian dari kerajaan Tong yaitu pada waktu seorang Iran menghadap ratu dan menyerahkan Sam cong keng kitab pelajaran Beng kauw. Mulai waktu itu orang Tionghoa mempelajari kitab tersebut. Tahun tay lek ketiga (kerajaan Tong) bulan enam tanggal 29 di Lok yang Tiangan diberdirikan sebuah kuil Beng kauw yang diberi nama Tay in Kong beng sie, belakangan kuil-kuil seperti itu juga diberdirikan di Tay goan, Keng ciu, Yang ciu, Ang ciu, Wat ciu dan lain-lain kota penting. Pada tahun Hwee ciang ketiga Kaisar mengeluarkan perintah untuk membinasakan anggota-anggota Beng kauw semenjak itu pengaruh dan tenaga agama tersebut sangat berkurang. Karena dilarang, Beng kauw menjadi semacam agama rahasia yang selalu diuber-uber dan ditindas oleh pembesar-pembesar negeri. Nama Beng kauw yang aseli adalah Mo ni kauw, belakangan orang menukar perkataan "mo" dari "Moni" menjadi "mo" yang berarti "iblis", sehingga akhirnya agama itu diejek sebagai "Mo kauw" atau agama iblis.
Membaca sampai disitu, Bu Kie menghela napas panjang. "Yo Co su," katanya, "tujuan agama kita ialah menyingkirkan kejahatan dan menjalankan kebaikan. Pada hakekatnya agama yang kita pelajari itu, tidak banyak berbeda dengan Hud kauw dan Too kauw. Mengapa sedari jaman Tong sampai sekarang agama kita selalu ditindas?"
"Hud bertujuan untuk menyelamatkan mahluk," jawabnya. "Tapi pendeta2 Hud kauw adalah orang-orang beradat yang tak mau campur tangan dalam urusan dunia. Too kauw pun demikian. Di lain pihak, agama kita bergerak di antara rakyat jelata dan mengambil bagian dalam segala suka dan dukanya.
Penganut2 agama kita selalu membantu orang-orang yang mendapat kesukaran. Ada kalanya, pembesar yang rakus menindas rakyat. Terhadap pembesar-pembesar semacam itu agama kitapun tak segan-segan untuk memberi perlawanan, sehingga sebagai akibatnya, kita sering mesti kebentrok dengan kalangan pembesar".
Bu Kie manggut2-kan kepalanya. "Kalau begitu, agama kita baru benar2 bisa menjadi makmur, manakala kaisar dan pembesar-pembesar negeri waktu sekarang ini sudah tidak mau menindas rakyat dan jagoan2 serta hartawan-hartawan berpengaruh menghentikan segala tindakan yang sewenang-wenang,"
katanya. "Kauwcu benar!" teriak Yo Siauw sambil menepuk meja. "Itulah tujuan agama kita, negeri yang adil dan damai."
Bu Kie manggut-manggutkan kepalanya. "Yo Co su, apa bisa kita mengalami jaman itu?" tanyanya.
"Atas berkah Tuhan, semoga kita akan mengalami jaman yang diidam-idamkan itu," jawabnya.
Sesudah berdiam sejenak, ia berkata pula, "Biarpun ditindas, sampai kini masih berdiri. Pada kerajaan Lam-song (Song Selatan), tahun Siauw hin keempat, seorang pembesar bernama Ong Kie Ceng telah membereskan laporan mengenai urusan agama kita kepada kaisar. Jika mau, Kauwcu boleh membaca laporan itu." Seraya berkata begitu, ia membalik lembaran yang mencatat laporan itu mengangsurkan kepada Bu Kie.
Bu Kie segera membaca laporan itu berbunyi sebagai berikut.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Di Ciat kang dan Kang ouw terdapat kebiasaan cia cay (tidak makan makanan berjiwa) mengabdi kepada iblis. Sebelum jaman Phui Lap, larangan masih longgar dan jumlah orang yang mengabdi kepada iblis tidak begitu besar. Sesudah jaman Phui Lap, larangan semakin diperkeras, tapi jumlah iblis jadi makin besar.
Hamba dengar, sepak terjang kawanan iblis adalah sebagai berikut.
Dalam setiap kampungan, satu dua orang yang lebih licik dan cerdik menjadi kepala iblis. Mereka mencatat she dan nama2 penduduk yang kemudian dipersatukan ke dalam persekutuan iblis. Seorang pengikut iblis tidak makan makanan berjiwa. Kalau dia mendapat urusan atau kesukaran, maka kawan-kawan sekutunya akan membantu, baik dengan uang, maupun dengan tenaga atau jiwa.
Pada hakekatnya, tidak makan daging berarti mengirit ongkos dan dengan hidup irit, seseorang gampang merasa puas. Saling bantu membantu antara kawan-kawan berarti saling mencintai dan saling mencintai berarti setiap pekerjaan mudah diselesaikan dengan jalan gotong royong?" (Poei Lap yang disebutkan dalam buku itu adalah salah seorang Kauwcu Beng Kauw yang memberontak terhadap kerajaan Song di Ciat kang timur. Ia dikalahkan dan belakangan dibinasakan).
Membaca sampai disitu, Bu Kie berkata, "Biarpun Ong kie Ceng memusuhi Beng kauw, tapi ia mengakui bahwa penganut-penganut agama kita hidup irit dan sederhana dan saling menyintai." Sebab berkata begitu ia membaca pula.
?" sepanjang pengetahuan hamba mendiang kaisar pun selalu menganjurkan rakyat untuk saling mencintai dan bantu membantu. Hidup sederhana dan irit memang merupakan kebiasaan yang baik dari jaman dahulu. Hanya sayang banyak pembesar tidak bisa hidup sederhana sehingga pemimpin-pemimpin iblis bisa mendapat kesempatan untuk menghasut rakyat dan menerima pujian rakyat untuk persekutuan mereka.
Rakyat banyak yang bodoh. Mereka menganggap, bahwa jika mereka menuruti perkataan iblis dan mengabdi kepada iblis, mereka bisa mendapat keputusan dan segala rupa pekerjaan bisa diselesaikan dengan gotong royong. Dengan demikian mereka percaya segala apa yang dikatakan oleh pemimpin2
iblis dan dengan berlomba2 mereka masuk ke dalam persekutuan iblis. Itulah sebabnya, mengapa larangan makin diperkeras, kemajuan mereka makin sukar dibendung."
Bu Kie menengok kepada Yo Siauw dan berkata sambil tertawa, "Yo Co su, Ong Kie Ceng seorang jujur. Dia kata larangan makin diperkeras, kemajuan mereka makin sukar dibendung. Inilah pengakuan bahwa agama kita dicintai rakyat. Apa boleh kupinjam buku ini" Adalah kewajibanku untuk mempelajari usaha-usaha dan nasehat-nasehat para pemimpin kita yang sudah almarhum."
"Tentu saja boleh," jawabnya. "Aku justru ingin minta petunjuk Kauw cu."
Sambil memegang buku itu Bu Kie berkata pula. "Jiu samsupeh dan In Lioksiok sudah boleh dikatakan sembuh. Besok kita berangkat ke Ouw tiap kok. Di samping itu ada suatu hal yang kuinginkan menanyakan pikiran Yo Co su. Hal ini mengenai adik Poet Hwie."
Yo Siauw menduga Bu Kie melamar puterinya jadi girang sekali. "Jiwa Poet Hwie telah ditolong Kauwcu," katanya. "Kami berdua ayah dan anak ingin sekali membalas budi yang sangat besar itu.
Perintah apapun jua yang Kauwcu mau berikan aku pasti akan menurut dengan girang hati."
Bu Kie lantas saja menceritakan pengakuan Poet Hwie pada hari itu.
Yo Siauw kaget tak kepalang dan untuk beberapa saat ia tidak bisa mengeluarkan sepatah kata.
"Bahwa anakku dicintai In Liok hiap adalah kejadian yang sangat menggirangkan," kata ia akhirnya.
"Tapi usia mereka berbeda terlampau jauh dan angkatan merekapun tidak bersamaan In?" berkata sampai disitu ia tidak dapat meneruskan perkataannya.
"Usia In Liok siok belum cukup empat puluh. Ia sedang gagah2nya. Biarpun benar adik Poet Hwie memanggilnya dengan sebutan Siok-siok (paman, mereka tidak mempunyai hubungan dalam perguruan).
Mereka saling mencintai dengan setulus hati. Manakala pernikahan ini bisa terjadi, maka ganjelan yang dahulu lantas bisa disingkirkan. Menurut pendapatku inilah kejadian yang sungguh-sungguh boleh dibuat girang."
Yo Siauw seorang yang sangat terbuka. Sebab perbuatan terhadap Kie Siauw Hu, ia selalu merasa malu untuk bertemu muka dengan In Lie Heng. Sekarang mendengar perkataan Bu Kie di dalam hati ia mengakui, bahwa pernikahan itu bukan saja menebus dosa, tapi juga bisa menghilangkan segala ganjelan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
antara Beng kauw dan Bu tong pay. Memikir begitu ia lantas saja menyoja dan berkata, "Bahwa Kauwcu sudah sudi campur tangan untuk membereskan soal ini merupakan bukti bahwa Kauwcu sangat menyayangi kami. Untuk itu semua, terlebih dahulu aku menghaturkan banyak terima kasih."
Malamnya Bu Kie mengumumkan kabar girang itu. Semua orang turut bersyukur dan mereka menghaturkan selamat kepada In Lie Heng. Poet Hwie sendiri tidak berani menemui orang dan bersembunyi di dalam kamarnya. Thio Sam Hong dan Jie Thay Giam yang merasa kaget dan heran, belakangan turut bergirang. Waktu ditanya tentang tanggal pernikahannya, In Lie Heng menjawab,
"Sesudah Toa suko dan yang lain-lain pulang barulah kita menetapkan tanggal itu."
Pada keesokan harinya, bersama Yo Siauw dan In thian ceng, In Ya ong, Tiat koan toojin, Ciu Tian, Siauw Ciauw dan yang lain-lain, Bu Kie mohon berpamitan dengan Thio Sam Hong dan kedua pamannya untuk berangkat ke Hwaipak. Poet Hwie tidak mengikut sebab ia masih perlu merawat In Lie Heng.
Dalam perjalanan itu rombongan Bu Kie menyaksikan penderitaan rakyat yang sangat hebat. Daerah sepanjang pantai biasanya daerah yang kaya. Tapi apa yang dilihat mereka hanialah ladang-ladang yagn kosong kering dan kelaparan yang merajalela di mana-mana. Dengan ringkas dapat dikatakan, bahwa kemiskinan rakyat sudah sampai pada puncaknya.
Bu Kie dan kawan-kawannya merasa sangat berduka, tapi merekapun tahu, bahwa dengan adanya penderitaan itu kekuasaan Mongol di Tiongkok pasti tidak dapat dipertahankan dalam waktu lama.
Sekarang saja, orang-orang gagah di seluruh negeri sudah mulai bangkit untuk mengusir kaum penjajah itu.
Pada suatu hari mereka tiba di Kay pay kie yang terletak tak jauh dari Ouw tiap kok. Selagi enak berjalan, sekonyong2 mereka mendengar teriakan-teriakan dan belakangan ternyata bahwa teriakan itu keluar dari dua pasukan yang sedang bertempur. Bu Kie dan kawan2nya segera membedal kuda dan sesudah melewati sebuah hutan, mereka melihat kira-kira seribu serdadu Mongol sedang mengepung sebuah tangsi yang di atasnya berkibar bendera Bengkauw. Tangsi itu dipertahankan oleh anak buah yang berjumlah kecil yang perlahan-lahan mereka tak dapat mempertahankan diri lagi. Tapi biarpun dihujani anak panah, mereka tetap tidak mau menyerah. Tentara Goan berteriak-teriak.
"Pemberontak Mo kauw! Lekas menakluk!"
"Kalau menakluk, kalian mendapat ampun."
"Apa kamu mau mampus semua?"
Untuk beberapa saat, rombongan Bu Kie memperhatikan jalannya pertempuran.
"Kauwcu, apa kita sudah boleh menerjang musuh?" tanya Cu Tian.
"Baiklah!" jawabnya. "Lebih dahulu singkirkan pemimpin-pemimpin pasukan itu."
Di lain saat, Yo Siauw, In Thian Ceng, In Ya Ong, Tiat koan Toojin dan Ciu Tian sudah menerjang musuh. Dua orang Peh hu thio lantas saja roboh. Sesaat kemudian, Cian hu thio yang memimpin pasukan dibinasakan In Ya Ong. Karena kehilangan pemimpin, tentara Goan lantas saja kalut. Dilain pihak, melihat datangnya bala bantuan, orang-orang yang membela tangsi bersorak-sorai. Pintu tangsi terbuka dan seorang pria yang bertubuh tinggi besar dan bersenjata tombak menerjang keluar. Dalam sekejap ia sudah merobohkan sejumlah serdadu Goan.
Setiap kali tombak orang itu berkelebat, seorang serdadu Goan terjungkal. Melihat begitu, tentara Goan menjadi jeri. Mereka lari serabutan untuk menyingkirkan diri dari orang itu yang gagah dan angker bagaikan malaikat.
Para pemimpin Beng kauw dalam rombongan Bu Kie merasa kagum dan memuji orang gagah itu.
Tapi yang paling bergirang adalah Bu Kie sendiri karena ia sudah mengenali bahwa orang itu bukan lain daripada Siang Gie Cun yang selalu diingatnya siang dan malam. Hanya karena masih mesti bertempur, ia tak bisa segera menghampiri tuan penolong itu.
Sebab digencet dari depan dan belakang, tentara Goan mendapat kerusakan besar. Kurang lebih limaratus orang mati dan luka-luka. Sisanya tidak berani berperang terus dan lalu melarikan diri.
Sesudah musuh kabur, sambil tertawa terbahak-bahak Siang Gie Cun berseru, "Saudara-saudara dari manakah yang sudah memberi bantuan" Siang Gie Cun menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Siang Toako!" teriak Bu Kie. "Aduh! Siang malam siauwtee memikiri Toako," ia berlari lari dan memegang tangan kakak itu erat-erat.
Siang Gie Cun memberi hormat dengan membungkuk. "Saudara Kauwcu," katanya dengan suara gemetar. "Aku menjadi kakakmu dan juga menjadi orang sebawahanmu. Tak dapat aku mengatakan, betapa besar rasa girangku."
Ternyata Siang Gie Cun memegang tugas Hee koa dalam Kie bok kie. Pertempuran hebat di Kong beng teng yang berakhir dengan diangkatnya Bu Kie sebagai Kauwcu sudah diketahuinya dari Bun Cong Siong Ciang kie su Kie bok kie. Sudah beberapa hari, dengan sejumlah anggota Kie bok kie, ia berkemah disitu untuk menunggu kedatangan Bu Kie. Apa mau, sepasukan tentara Goan menyerang. Karena musuh berjumlah lebih besar, ia berlagak kalah dan memancing musuh untuk dibasmi.
Darah Dan Cinta Di Kota Medang 16 Ikat Pinggang Kemala Sabuk Kencana Karya Khu Lung Elang Terbang Di Dataran Luas 11

Cari Blog Ini