Ceritasilat Novel Online

Naga Jawa Negeri Di Atap Langit 16

Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma Bagian 16


mendapat gambaran melalui sosok-sosok yang terwujudkan oleh
garis-garis hijau kekuningan, sebagaimana dimungkinkan oleh
Ilmu Mendengar Semut Berbisik di Dalam Liang.
Ketika suara hujan itu berubah menjadi suara gerimis, kusaksikan
lengan kedua petarung itu bergerak sedikit, sangat sedikit, tetapi
kukira itulah tanda betapa keduanya siap saling menyerang.
Apakah kiranya yang mereka tunggu" Kukira mereka menunggu
lawan masing-masing teralihkan perhatiannya. Namun apakah
kiranya dalam keadaan seperti ini yang akan membuat kedua
petarung itu teralihkan perhatiannya" Jika kedua petarung itu
mendengarkan apa yang kudengarkan, tentu yang mereka dengar
adalah juga suara hujan! Tentu, ketika hujan menjadi gerimis, suaranya berubah. Pada titik
manakah masing-masing menganggap perhatian lawan teralihkan" Siapa yang menentukan titik lebih awal tentulah akan
lebih dulu menyerang. Dari hujan menjadi gerimis, keduanya
belum bergerak. Gerimis pun tidak berhenti sebagai gerimis,
melainkan berlanjut mereda dengan cepat, sehingga mendadak
1485 sunyi, bumi tanpa suara sama sekali. Pada titik itulah keduanya
berkelebat! Secepat kilat Harimau Perang mengayunkan kedua pedang
panjang melengkungnya saling menyilang ke dada Panah Wangi,
yang secepat pikiran menancapkan pedang jian ke jantung
Harimau Perang sampai tembus, lantas memutar tubuh ke
belakang dan menendang punggungnya. Nyawa Harimau Perang
boleh dianggap masih di tubuhnya ketika terlontar ke atas kolam,
dan pada titik tertinggi 50 bola api berekor panjang melesat dari 50
arah menyalakan tubuhnya.
Ketika tubuh yang menyala itu jatuh ke kolam, terdengar desis
seperti besi membara yang disiram air dengan bunyi yang sangat
amat kerasnya. Bahkan tubuh yang masih menyala dan berkobar
itu sempat pula menyalakan seluruh permukaan kolam sebelum
kembali gelap sebagaimana layaknya malam.
Sun Tzu berkata: kemarahan mencegah bahkan pemimpin terbesar dari berperan cerdas. 1486 kemurkaan dan gairah bukanlah pengganti bagi perencanaan berdarah dingin dalam penghancuran musuh 1 Jika ada saksi mata bagi pertarungan ini, maka ia tidak akan
menyaksikan apa pun, karena kejadiannya memang berlangsung
terlalu cepat, bahkan lebih cepat dari cepat!
Tiada lagi hujan. Tiada lagi gerimis. Hanya malam. Harimau
Perang terapung-apung di kolam seperti bongkahan arang
raksasa, dengan sebilah pedang jian tertancap menembusnya.
Panah Wangi yang terluka parah berada di pangkuanku. Luka
sabetan silang Harimau Perang, siapakah yang bisa menyembuhkannya" Dengan tenaga prana atau ki mungkin bisa kusembuhkan luka
dalam, tetapi tidak akan bisa menangkupkan kembali luka
menganga oleh sabetan pedang. Ini membutuhkan obat-obat
1487 ramuan seorang tabib yang dapat menghentikan pendarahan dan
menutup kembali luka. "Pendekar Tanpa Nama...," ujar Panah Wangi lemah, ''apakah
daku yang membunuhnya?"
"Pedangmu menembus jantungnya, tidak mungkin ia lolos, tapi
para padri pengawal Kaum Muhu tidak ingin ketinggalan," jawabku,
"Mereka ingin memastikan bahwa mereka juga telah menghukum
Harimau Perang.'' "Maafkan daku...."
"Tidak ada yang harus kumaafkan, Panah Wangi. Bahkan dirikulah
yang berutang bukan saja nyawa, melainkan juga wajah..."
"Ah, Pendekar....'' Panah Wangi meraba wajahku dengan tangan
yang sangat lemah. Kupegang tangannya. ''Dikau tidak akan mati," kataku sambil mengangkat dan
membopongnya, ''Di seluruh Chang'an, tak mungkin tidak ada
tabib yang tidak bisa mengobatimu."
1488 Aku pun berbalik, meski tanpa kepastian ke mana akan menuju,
kecuali bertanya kepada jaringan mata-mata tentara yang selama
ini telah membantu kami. Bukankah di tempat mereka diriku telah
dirawat oleh Tabib Pengganti Wajah" Kukira semestinya mereka
dapat menunjukkan pula ke mana luka parah Panah Wangi dapat
diatasi. Namun, setelah berbalik kusaksikan betapa diriku telah terkepung!
PANGERAN Song! Ia menunggang seekor kuda putih. Ia berbaju ringkas seperti
seorang pendekar yang siap bertarung. Hanya kuda Uighur pilihan,
dan 50 pengawal istana yang mengiringi dan kini mengepungku,
yang menunjukkan betapa dirinya adalah orang penting. Aku
belum lupa tindak-tanduk dan gerakannya yang serbahalus dan
lemah-lembut, juga dalam cara bertarungnya menghadapi Panah
Wangi di atas gelanggang di Istana Xingqing waktu itu. Apakah
hanya karena dirinya warga istana, maka segenap perilakunya
harus menjadi jauh lebih halus dari orang-orang biasa yang berada
di luar istana" Namun Pangeran Song, di atas kuda putih itu,
tampak seperti memiliki wibawa seorang putra mahkota.
1489 Apa yang sedang dilakukannya di sini" Aku tentu ingat telah
melihatnya ketika berkelebat ke tempat ini. Apakah ia memang
sedang mencari dan kemudian membuntuti Panah Wangi"
Agaknya ketentuan bahwa Harimau Perang dan Panah Wangi
hanya boleh diburu oleh Pasukan Hutan Bersayap agar tidak
terjadi bentrokan antara para petugas Dewan Peradilan Kerajaan
yang dipimpin Hakim Hou dengan pasukannya sendiri, cenderung
diabaikannya. Lagipula pasukan Pangeran Song memburu Panah
Wangi bukan untuk menangkap, melainkan meminta agar Panah
Wangi bersedia menjadi pengawal pribadinya.
"Pangeran Song...," kataku sambil menundukkan kepala sebagai
tanda menghormatinya. Dalam keadaan Panah Wangi yang luka parah seperti ini, aku
merasa lebih baik tidak bertentangan dengan siapa pun, karena
seperti akan membutuhkan pertolongan siapa saja yang bisa
membantu. Sekilas teringat Batu Naga yang telah dibawa ke
wilayah timur dan tentu aku tidak bisa mengharapkannya sebagai
keajaiban yang muncul sekarang.
"Pendekar Tanpa Nama," kudengar suara halus dari atas kuda,
''dirimu selalu tak luput disebut dalam berbagai perbincangan
tentang dunia persilatan. Sangat senang akhirnya bisa bertemu.
1490 Namun kini kumohon kebesaran hatimu untuk menyerahkan
Pendekar Panah Wangi yang luka-lukanya tampak sangat parah
itu, agar para tabib terbaik istana dapat segera menanganinya.
Tenaga Pendekar Panah Wangi pada masa depan sangat kami
butuhkan.'' Aku menatap Panah Wangi, ia sudah sangat lemah dan pucat.
Kukira aku tidak punya pilihan lain. Mata Panah Wangi bahkan
sudah terpejam sekarang. Aku tidak mengatakan sepatah kata. Hanya mengajukan tubuh
Panah Wangi ke depan. Mata Pangeran Song berkaca-kaca
melihat keadaan Panah Wangi. Luka tersayat akibat sabetan
saling menyilang itu tampak tidak tersembuhkan. Napas Panah
Wangi tinggal satu-satu. Pangeran Song melambaikan tangannya, dan berlarianlah empat
pengawal istana untuk menerima tubuh Panah Wangi.
"Jangan bergerak," kata Pangeran Song, "kita akan mendirikan
tenda di sini, dan tiada cara lain selain mendatangkan para tabib
istana itu kemari." 1491 Aku pun segera menjauhkan diri dan menyaksikan bagaimana
para pengawal itu bekerja. Kulihat ke sekeliling, 50 padri pengawal
Kaum Muhu itu telah mengundurkan ke balik malam.
Keempat pengawal yang menyangga tubuh Panah Wangi sungguh
tidak bergerak sampai sebuah tenda raksasa didatangkan dari
barak Pasukan Siasat Langit, dan didirikan melampaui kepala
mereka. Dalam waktu singkat, tidak kurang dari 12 tabib istana
yang juga sudah terbiasa disertakan dalam peperangan, sehingga
berpengalaman menangani luka sayatan senjata tajam, tiba
dengan segala peralatan dan bahan-bahan ramuan obat mereka.
Keunggulan para tabib sama sekali tidak kuragukan, tetapi luka
Panah Wangi yang parah kusadari sebetulnya mematikan.
Sabetan saling bersilang Harimau Perang tidak pernah membiarkan korbannya tetap hidup.
Seorang Buddha sebelum Gautama berkata: tubuh ini adalah malapetaka, siksaan, bahaya, penyakit,
anak panah dukacita, menakutkan sahaya;
mengamati bahaya ini akibat hawa nafsu,
biarlah seseorang berjalan sendirian seperti badak 1
1492 Tenggelam dalam malam yang kini langitnya bersih penuh bintang,
sambil menantikan berita tentang Panah Wangi di luar tenda, aku
berpikir tentang apalagi yang harus kulakukan.
Harimau Perang sudah mati, tetapi tugasku masih jauh dari
selesai, karena pembunuh Amrita ternyata bukanlah Harimau
Perang, melainkan duratmaka lain yang masih harus kukejar ke
Dunhuang. Namun rupanya aku pun tidak akan dapat segera
menuju Dunhuang, meskipun jika kesempatannya terbuka, antara
lain, karena kukira aku masih harus berurusan dengan Yang Mulia
Paduka Bayang-Bayang.. HARI menjelang pagi, ketika kulihat satu demi satu para tabib itu
keluar dari tenda dan pulang ke tempat masing-masing. Pangeran
Song keluar paling akhir, terlihat maupun tidak terlihat, selalu ada
pengawal di sekitarnya. Ia sudah menaiki kuda putihnya dan
bersiap kembali ke Istana Daming, ketika terlihat olehnya diriku
bersila di atas batu di kejauhan.
Ia bisa mengutus pengawalnya untuk memintaku datang, tetapi ia
membelokkan kudanya ke arahku, sehingga aku pun melenting
berdiri. Aku merasa agak kaku karena merasa asing dengan tata
cara kerajaan mana pun, tetapi ia memberi tanda bahwa diriku
1493 tidak perlu terlalu peduli dengan basa-basi. Setibanya di depanku
ia melompat turun, dan mencari batu untuk duduk.
"Pendekar Tanpa Nama duduk saja tanpa beban, karena sebagai
musafir merdeka dari dunia persilatan, Andika sebetulnya terbebas
dari ketatnya peraturan bagi warga kami, bahkan juga dari
peraturan dunia ini," katanya, ''Marilah kita bicara dengan setara."
Dunia persilatan, tempat kami bisa berkelebat, menghilang dan
muncul kembali seperti yang kami suka, tentu saja adalah dunia
yang begitu bebas dan merdeka, kecuali bahwa setiap kesalahan
dalam tarikan napas dan setiap gerak yang terkecil sekalipun
taruhannya adalah nyawa. Salah menatap dan memandang,
nyawa hilang; salah bergerak dan melangkah, nyawa hilang;
bahkan tidak melakukan apa pun, tetapi tanpa sengaja melepaskan kewaspadaan, nyawa bisa hilang.
Aku tidak mengucapkan sepatah kata, tetapi memperlihatkan sikap
mendengarkan, dan Pangeran Song pun menunjukkan sikap
bahwa dirinya mengerti betapa aku memang sedang mendengarkan. "Setiap kali teringat tentang diri Andika, wahai Pendekar Tanpa
Nama, dan Andika adalah perbincangan tiada hentinya di dunia
1494 persilatan, selalu terpikir untuk membicarakan suatu persoalan,
yang mungkin tidak terlalu penting bagi Andika, tetapi terlalu
penting bagi Negeri Atap Langit.
"Namun pertama kali biarlah Andika terima dahulu berita tentang
Pendekar Panah Wangi, bahwasanya nyawa pendekar dari Karluk
itu telah tertolong, meski masih perlu waktu baginya agar bisa pulih
kembali seperti semula. Mungkin bisa setahun lamanya, dan bekas
sayatan silang itu tidak akan pernah hilang kecuali dengan khasiat
Batu Naga yang rupa-rupanya sudah tidak terdapat lagi di
Chang'an. "Tenda besar ini akan terus terpasang di sini sampai para tabib
memberi izin untuk menggerakkan tubuh Panah Wangi, dan
selama itu seratus pengawal akan secara bergiliran berjaga.
Hanya para tabib dan para perawat yang dapat keluar masuk
dengan pemeriksaan ketat, tetapi bagi Andika, bahkan hari ini pun
dapat menengoknya, karena rupanya hanya Andika yang menjadi
orang terdekat Panah Wangi selama ini."
Pangeran Song berhenti sejenak, seperti mencoba membaca
wajahku. Aku menundukkan kepala, seperti mendengarkan
dengan khusuk dan menanti sambungan perbincangan, karena
aku memang tidak ingin dirinya membaca apa pun dari wajahku.
1495

Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Beginilah soalnya Pendekar Tanpa Nama, meski diri Andika
tampak tidak terlibat, tetapi para petugas rahasia kami mengerti
betapa sejumlah rahasia, baik masih sebagai rahasia maupun
bukan sebagai rahasia lagi, telah menjadi pengetahuan Andika.
Tentu kami ketahui pula bahwa Andika terikat tata kehormatan
pendekar untuk tidak mengungkap ataupun mengungkapkannya,
sehingga meskipun penasaran, kami tidak berminat memaksa.
"Namun dengan peluang pertemuan kita, baiklah kusampaikan
kepada Andika, Pendekar Tanpa Nama, bahwa Istana Daming
sedang mengalami ancaman mengerikan, dari sebuah persengkongkolan jahat yang sangat licin dan sulit dibongkar,
padahal..." Pangeran Song terus berbicara, tetapi aku sudah tahu isinya.
Sementara ia berbicara, terbayangkan olehku saling-silang di
Istana Daming antara berbagai kelompok yang memanfaatkan
berbagai jaringan, tetapi kemudian berbagai jaringan ini sendiri
persaling-silangannya sama sekali tidak sama dan sebangun
dengan persaling-silangan berbagai kelompok, yang masingmasingnya memiliki kepentingan dalam permainan kekuasaan itu.
Garis besarnya adalah antara kepentingan pemerintah yang
sehari-hari bekerja; sekelompok orang-orang kebiri yang dengan
meminjam tangan maharaja, tetapi dengan alasan belum jelas,
1496 bermaksud ikut menentukan jalannya pemerintahan itu; keluarga
istana yang terbelah antara pendukung Pangeran Li Song dan
Pangeran Li Yi, yang nyaris diangkat menjadi putra mahkota; dan
orang-orang dalam, termasuk putri-putri istana, pendukung
panglima wilayah mana pun yang memberontak, asal menggantikan kekuasaan Wangsa Tang.
Langit sedikit demi sedikit mulai berubah ketika Pangeran Song
memintaku membantunya dengan cara apa pun, karena mengira
diriku mengetahui suatu rahasia penting yang menentukan. Namun
yang berada dalam pikiranku hanyalah Panah Wangi...
AKU masih tinggal di Chang'an sampai akhir tahun 800, demi
kepentingan Panah Wangi yang kukira perlu ditemani dalam
penyembuhan luka-lukanya akibat pertarungan dengan Harimau
Perang. Luka sabetan pedang saling menyilang itu memang parah,
bukan hanya karena kedalamannya, melainkan karena Harimau
Perang agaknya telah merendam sepasang pedang melengkung
itu ke dalam ramuan racun.
Kiranya racun itulah yang telah membuat Panah Wangi sulit
berbicara, dan hanya setelah para tabib memeriksa sepasang
pedang Harimau Perang sajalah, maka dapat diketahui obat
penawar racun macam apa yang harus diramu untuknya.
1497 Pedang itu sendiri sebetulnya sudah tenggelam ke dalam kolam
yang cukup dalam bersama terceburnya Harimau Perang yang
menyala terbakar, sehingga para pengawal terpaksa menyelam
sampai ke dasar kolam untuk mengambilnya. Untunglah pedang
itu tidak ikut hangus dan racun yang terserap di dalamnya masih
bisa diperiksa. Kukira Panah Wangi beruntung dirawat oleh para
tabib terbaik di seluruh Chang'an.
Sang Buddha berkata: jangan percaya apa pun (hanya) karena sudah tertulis
jangan percaya apa pun (hanya) karena disebut suci
jangan percaya apa pun (hanya) karena orang lain mempercayainya tetapi percayailah hanya yang dikau sendiri pertimbangkan
sebagai benar 1 Selama Panah Wangi belum bisa bergerak dan belum bisa
berbicara, aku selalu berada di dekatnya, supaya ia merasa tenang
karena ada seseorang yang ia kenal bersamanya. Meskipun petak
di sudut paling barat laut dari Pasar Barat itu berada dalam
pengawalan ketat siang dan malam, sebagai bekas mata-mata
1498 tentara tentu Panah Wangi paham dirinya berada dalam
kedudukan rawan. Aku pun menyadari bahwa secara resmi Panah Wangi masih
seorang buronan. Bukan tidak mungkin Pasukan Hutan Bersayap
mengirim seorang penyusup untuk menculik atau membunuhnya,
bahkan Dewan Peradilan Kerajaan yang terlucuti haknya mengapa
tidak menyewa seorang pembunuh bayaran pula" Menembus
penjagaan tenda seperti ini, seorang penyusup bisa menggunakan
ilmu landak, yakni menggali lubang di suatu tempat dan menerobos
melalui bawah tanah untuk muncul lagi di dalam tenda. Seorang
penyusup yang berpengalaman dapat melakukannya dengan
kehalusan tingkat tinggi tanpa sedikit pun mengeluarkan suara.
Namun sekitar lima bulan kemudian, setelah Panah Wangi bisa
menggerakkan tubuh, bahkan berjalan perlahan-lahan, dan tenda
itu dibongkar, aku tidak merasa masih harus menemaninya lagi. Ini
bukan sekadar karena tempat perawatannya berpindah masuk ke
Istana Daming, melainkan karena secara tekun seseorang yang
lain telah berhasil menjadi teman baginya, yang tiada lain dan tiada
bukan adalah Pangeran Song adanya.
Maka aku pun kembali kepada diriku sendiri, kepada persoalanpersoalan yang belum kuselesaikan dan tertunda, yang harus
1499 kusisir kembali untuk mendapatkan kejernihan, persoalan manakah yang memang merupakan persoalanku, dan persoalan
manakah yang sebetulnya bukan merupakan persoalanku.
Pertama, ini tentu persoalanku, bahwa aku harus menyusul
pembunuh Amrita ke gua-gua Mogao di Dunhuang. Tentu aku
penasaran ingin mengetahui siapa pembunuh Amrita, yang
menurut Harimau Perang diriku akan langsung mengenalinya itu.
Kedua, tentang permintaan Pangeran Song yang, meskipun bukan
urusanku tetapi demi apa yang diterima Panah Wangi, membuatku
terpaksa memikirkannya, meski ketentuannya tidak berubah,
bahwa apa yang merupakan rahasia harus tetap tinggal sebagai
rahasia. Ini tidak mudah karena di samping rahasia yang kuketahui,
terdapatlah rahasia yang tidak kuketahui.
Ketiga, apa yang harus kulakukan dengan Yang Mulia Paduka
Bayang-Bayang" Dengan segala hormat, aku merasakan kehadirannya sebagai suatu bahaya, tetapi aku seperti tidak punya
alasan lain selain alasan dunia persilatan untuk menempurnya,
yakni menguji kemampuan ilmu silatku sendiri!
Apakah ini tidak terlalu jumawa" Namun yang kupikir sekarang
hanyalah bahaya ilmunya bagi setiap orang, ketika telah
1500 kusaksikan bagaimana ia bisa mencabut nyawa siapa pun setiap
kali ia menghendakinya, bahkan pula nyawa ribuan orang dengan
seketika, hanya demi menciptakan ketakutan manusia terhadap
kekuasaannya. Dengan kenyataan bahwa aku masih berada di Chang'an,
tampaknya urusan ruwet antarmanusia dalam permainan kekuasaan itulah yang harus kuuraikan sebisanya, sejauh itu bisa
membantu Pangeran Song, meski dengan sedih kuakui itu sama
sekali tidak mudah. Tiada lain dan tiada bukan karena ini
menyangkut urusan orang-orang kebiri!
RAHASIA-rahasia yang kuketahui tanpa kukehendaki memang
terbagi dua. Pertama adalah rahasia yang sudah kuketahui isinya, seperti
rahasia yang disampaikan oleh pengantar surat di jalur cepat.
Itulah rahasia yang diminta agar disampaikan kepada Panglima
Pertahanan Kota, yang setelah mengetahui rahasianya lantas
memintaku untuk menyampaikannya kepada Perdana Menteri
Zheng Yuqing. Aku belum melupakan perjalanan berdarah yang ditempuh rahasia
itu untuk bisa sampai ke Chang'an, berapa orang pengantar surat
1501 tewas akibat berperan sebagai pengelabu yang sebetulnya tidak
membawa rahasia, bahkan pembawa rahasia dalam ingatannya itu
pun tiada luput dari pembantaian lawan, sehingga menitipkannya
secara lisan kepadaku. Pada gilirannya diriku pun terpaksa
membantai begitu banyak orang yang berusaha merebut atau
menghalangiku, meninggalkan jejak berdarah yang panjang.
Begitu mahalnya suatu rahasia!
Untuk jenis rahasia ini, meski kuketahui isinya, aku tidak dapat
mengungkapnya karena memang rahasia.
Kedua adalah rahasia yang tidak kuketahui isinya, tetapi kuketahui
keberadaannya, sehingga justru ingin mengungkapnya seperti
dengan rahasia negara yang dibagi tiga di antara tiga orang kebiri
malang yang disebut Si Tupai, Si Cerpelai, dan Si Musang itu.
Baru sekaranglah aku berpikir agak lebih baik tentang cara
membongkar rahasia negara tersebut.
Pertama, jika disebut kata negara, maka aku tidak harus
menafsirkannya sebagai sesuatu yang berhubungan dengan
peraturan resmi pemerintah misalnya, melainkan suatu atau
sejumlah kelompok dalam permainan kekuasaan di luar pemerintahan, yang berkepentingan dengan suatu keadaan
1502 tertentu, jika tidak di Negeri Atap Langit, setidaknya di Istana
Daming. Mengingat berlangsungnya pengejaran terhadap orangorang kebiri ini membawa hawa pembunuhan, maka dapat
dikatakan bahwa keadaan tertentu itu berusaha dicapai dengan
cara yang tidak sah. Kedua, disebutkan bahwa tiga orang kebiri malang ini seharusnya
bertemu dalam pelarian, untuk menggabungkan sepertiga bagian
rahasia masing-masing, tetapi ketiganya tewas sebelum sempat
bertemu, juga dengan cara masing-masing. Si Cerpelai terpotongpotong tubuhnya dan dimasukkan ke dalam karung, Si Tupai
terbunuh oleh racun orang-orang Kalakuta, dan Si Musang mati
bunuh diri di Kampung Jembatan Gantung. Ketiganya jelas belum
mengetahui apa isi rahasia tersebut.
Ketiga, dengan demikian, rahasia ini sebetulnya bukan rahasia lagi
bagi sebagian besar orang dalam jaringan, tetapi begitu merembes
keluar dari jaringan segera dianggap kebocoran yang harus cepat
diatasi, yakni dengan cara meniadakan para pemilik pengetahuan
keterangan-keterangan terpisah itu, yang berarti juga membunuhnya. Namun bukanlah mereka bertiga, melainkan
seseorang atau pihak lain lagi dalam jaringan yang menjadi
pembocor, dengan membagi rahasia itu menjadi tiga, tetapi yang
tentunya dengan suatu cara telah terpergok.
1503 Kiranya itulah yang membuat Si Musang dipotong lidahnya, agar
tidak membocorkan rahasia, tetapi dibiarkan tetap hidup agar
masih bisa menunjukkan siapa yang membocorkannya. Namun
ketika bahkan ketiganya sudah mati, ternyata aku masih berpikir
tentang apa yang diketahui mereka masing-masing dan berharap
bisa menggabungkannya. Padahal, setelah pertama-tama masih
berpikir tentang mencari siapa pembocornya, begitu lambat diriku
sampai kepada gagasan bahwa jika ada satu pembocor, yang
mengetahui rahasia itu tentu cukup banyak!
Sun Tzu berkata: setiap orang mempunyai tempat
dan setiap orang memiliki nilainya
cara melihat ini mengizinkan
penggunaan cerdas petugas-petugas rahasia.
sebagian besar keterangan didapat dari petugas rahasia ganda 1
Langit merah ketika aku tiba di depan pintu rumah Ibu Pao.
Bersediakah kiranya ia menemuiku" Kami belum pernah bertemu
1504 lagi semenjak pertemuan yang dulu itu, ketika ia kemudian
menghubungkan diriku dengan Putri Anggrek Merah.
Aku berada di depan sebuah wafang atau rumah beratap genting
yang letaknya agak terpencil di dalam sebuah petak permukiman
yang rumah-rumahnya tergabung membentuk petak-petak kecil di
dalamnya. Rumah itu tampak sesuai dengan keberadaan Ibu Pao
yang hidup sendiri, sering pergi sehari penuh sampai jauh malam
atau bahkan berhari-hari, tetapi juga untuk menerima tamu-tamu
penting yang tidak ingin urusannya diketahui oleh orang lain. Aku
berdiri di depan pintu dengan dua buah jendela tanpa daun,
memanggil-manggil penghuninya.
"Selamat sore Ibu Pao! Selamat sore! Adakah orang di rumah?"
Pintunya tertutup, tetapi terdapat sedikit celah, seperti ada orang
di dalam rumah, sehingga kudorong saja. Pintunya pun membuka.
"Ibu Pao" Selamat s...."
Aku tidak dapat meneruskan kata-kataku karena dari dalam rumah
melesat sebuah pisau terbang langsung ke arah jantungku!


Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

DENGAN gerakan lebih cepat dari kilat, aku menghindar ke
samping, dan dalam kecepatan seperti itu pisau terbang tersebut
1505 tampak melayang cukup lambat, begitu lambat, bahkan terlalu
lambat, sehingga aku bisa seperti memungutnya. Kujepit pisau
terbang itu dari bawah dengan jari telunjuk dan jari tengah secara
hati-hati, karena belum mengetahuinya beracun atau tidak.
Tampak pelan bagiku yang bergerak dengan kecepatan melebihi
kilat, tetapi bukan alang-kepalang gaibnya bagi pelempar pisau
terbang itu. Seorang gadis remaja berbusana serba ringkas tampak memandangku dengan mata terbelalak. Ungkapan wajahnya
serbamurni, seolah-olah tadi tidak bermaksud membunuhku.
"Ah! Sihir! Bagaimana caranya Kakak menangkap pisau itu?"
Dia hampir membunuhku, tapi dia bertanya caraku menangkap
pisau itu! "Adik kecil! Janganlah main-main dengan senjata seperti ini! Kalau
pisau ini menancap di dada Kakak dan Kakak mati, apakah Adik
tidak menyesal?" Kini ia menjadi galak. Kedua tangannya masing-masing sudah
memegang pisau terbang. "Kalau mati" Memang itu maksudku! Kakak harus mati!"
1506 "Harus mati" Apa sebabnya?"
"Kakak menculik nenek! Kembalikan nenek sekarang!"
Sekarang kilat menyambar kepalaku! Ibu Pao diculik!
"Kapan diculik" Siapa yang menculik?"
"Baru saja! Apakah Kakak bukan salah satu dari mereka"!"
"Letakkan dulu pisau-pisau itu. Kakak bukan musuhmu. Tunjukkan
arahnya, akan kurebut kembali nenekmu itu!"
Sepintas tadi kulihat bercak darah di lantai, dan wajah gadis remaja
itu ternyata lebam. Jadi ia berhasil menancapkan salah satu pisau
terbangnya, tetapi salah satu penculik itu mungkin pula sempat
memukul jatuh atau membantingnya.
Gadis remaja yang masih kekanak-kanakan tapi mahir melontarkan pisau terbang itu menunjuk ke suatu arah, dan aku
pun berkelebat mengikuti jejak para penculik ini melalui udara. Ya,
bahkan udara pun dapat menunjukkan jejak manusia, sejauh
manusia dapat membaca jejak-jejak di udara itu!
Langit sore mulai memerah dan angin musim panas terasa kering,
ketika aku melesat dan melenting dari atap rumah yang satu ke
1507 atap rumah yang lain di Kotaraja Chang'an, memburu para
penculik Ibu Pao. Sejenak kemudian terlihatlah bayang-bayang
hitam para penculik di kejauhan, juga melenting dari atap ke atap
sambil membopong tubuh Ibu Pao, yang kemungkinan besar
sudah ditotok jalan darahnya sehingga dari jauh tampak lemas
tidak berdaya. Apakah yang mereka kehendaki dari Ibu Pao" Dari pihak manakah
mereka dan apakah kepentingannya" Untuk beberapa saat aku
ragu, karena tergoda dengan gagasan untuk mengikuti saja
mereka sampai ke tempat asalnya, dan baru setelah itu
membebaskan Ibu Pao. Namun serentak dengan teringatnya aku
kepada gadis remaja yang gagah berani tetapi telah dianiaya itu,
berkelebatlah aku langsung ke tengah gerombolan penculik, yang
tampak seperti merasa aman dan nyaman dengan perbuatan
jahatnya tersebut. Namun para penculik itu jelas bukanlah sekadar penjahat
kambuhan. Aku belum sampai mendekati mereka ketika salah
seorang dari mereka berbalik mendadak, langsung melayang dan
meluncur ke arahku dengan pedang jian lurus terhunus. Aku pun
melenting jungkir balik ke atas, hanya untuk turun kembali dengan
Jurus Elang Emas Menyambar Salmon. Dengan segera kami pun
lenyap menjadi cahaya berkelebatan, untuk sebentar, karena
1508 kutinggalkan manusia yang wajahnya tersembunyi dalam keremangan itu dalam keadaan menggelinding di atas genting
tanpa nyawa lagi. Aku memang membawa sebilah pisau terbang yang kutangkap
ketika dilemparkan gadis kecil itu ke arah jantungku, tetapi aku
tidak menggunakannya. Dalam beberapa sentuhan telapak kaki
dari wuwungan ke wuwungan, lima penculik yang di dalam
kerudungnya tiada berwajah itu segera tersusul, dan penculik
pertama yang berhasil kupegang leher bajunya segera kutarik dan
kubuang sejauh 100 li. Penculik kedua yang menyadari kawannya hilang segera berbalik
menyerangku dengan jarum-jarum beracun sambil meluncur ke
arahku dengan pedang terhunus. Gegabah! Dengan lambaian
tangan kiri, angin pukulanku membuat jarum-jarum beracun itu
berbalik dengan sama kencangnya. Ketika pedangnya sibuk
menyampok jarum-jarum beracunnya sendiri, aku telah menjejak
punggungnya dengan tumitku sambil terus mengejar yang lain.
Sempat kulihat ia jatuh meluncur dan menimpa sebuah kedai!
KEGEMPARAN di bawah karena sesosok tubuh jatuh dari atas dan
menimpa atap tidak dapat kuikuti karena pengejaran dan
1509 pertarungan yang berlangsung dari wuwungan ke wuwungan ini
meliputi wilayah yang sangat luas, ibarat kata seluruh wilayah
udara Kotaraja Chang'an selama masih ada rumah-rumah dan
gedung beratap genting. Jika kediaman Ibu Pao tadi terletak di
petak-petak permukiman yang terletak di barat daya, bentrokan
pertama berlangsung di barat laut, dan bentrokan kedua dan ketiga
tepat di tengah-tengah atau di pusat kota, maka kini diriku sudah
mendekati mereka lagi yang sedang berkelebat, melesat, dan
melenting-lenting di sisi timur.
Segera dapat kubaca bahwa mereka kini juga ingin menghilangkan
jejak, karena tidak boleh diketahui tentunya dari mana mereka
berasal. Namun arah yang mereka tuju ketika pertama kali
kupergoki, yakni ke arah barat laut, jelas menuju ke arah Taman
Terlarang. Ini tidak menegaskan apa pun, karena meski di satu
pihak merupakan tempat yang diperuntukkan hanya bagi keluarga
maharaja, tetapi telah kuketahui dan kualami bagaimana orangorang kebiri bercokol di tempat itu. Jadi aku masih harus
memastikannya dari salah satu penculik ini, tentu, selama aku
masih ingin tahu, karena saat ini perhatianku hanyalah keselamatan dan pembebasan Ibu Pao!
Penculik itu berjumlah enam orang. Ketiadaan wajahnya di dalam
kerudung, yang hanya memperlihatkan kekosongan hitam,
1510 menunjukkan keberadaan mereka sebagai perkumpulan rahasia
yang disewa. Tiga orang sudah kujatuhkan, sedangkan tiga orang
lagi sekarang melejit dan melenting-lenting ke arah selatan.
Menuju ke manakah mereka" Namun aku sudah tidak terlalu peduli
lagi. Aku menjejak udara dan berkelebat cepat. Ketiganya bahkan
tidak menyadari aku sudah berada dekat sekali di atas mereka.
Dua penculik berada di kiri dan kanan dari penculik yang
membopong Ibu Pao. Satu di antaranya dengan pisau terbang
masih menancap di sela tulang panggul dan masih menetesneteskan darah. Tentu dialah yang telah menganiaya gadis remaja
cucu Ibu Pao. Setidaknya gadis itu memanggil Ibu Pao sebagai
nenek. Aku tidak mau peduli apakah luka-lukanya masih menetesneteskan darah. Tangan kiriku segera meraih leher baju di
belakang tengkuknya, dan langsung membuangnya ke belakang
sejauh 100 li. Pada saat yang sama, penculik yang di sebelah kanan ternyata
sudah berada di samping kananku, dan siap membacokkan
kelewang. Namun bagaimanakah caranya melebihi kecepatanku,
yang dapat mencapai kecepatan yang lebih cepat dari cepat itu"
Kelewangnya belum terayun turun ketika kutendang dadanya dan
terpental, juga sampai 100 li.
1511 Adapun yang tengah langsung kutotok tanpa perlu menyentuhnya,
sehingga melayang jatuh seperti selembar baju, tetapi dengan Ibu
Pao yang sudah berpindah ke tanganku. Kulihat penculik itu
meluncur masuk ke dalam sumur. Sungguh aku tidak ingin tahu
bagaimana nasibnya. Mozi berkata: seandainya kita berusaha menetapkan sebab kekacauan,
kita akan menemukannya terletak pada kehendak atas kesetaraan cinta 1
Ibu Pao masih berada dalam boponganku ketika membuka mata
setelah kubebaskan dari totokan. Langit masih merah dan angin
bertiup kencang ketika kubawa ia melenting-lenting dari atap
rumah yang satu ke atap rumah yang lain. Chang'an pada akhir
hari tidaklah bisa lebih meriah lagi ketika meski langit menggelap,
kota di bawah justru bermandi cahaya, meski hanya sampai saatsaat larangan keluar rumah memudarkannya.
"Pendekar Tanpa Nama....," katanya setelah membuka mata,
"sudah lama sekali dikau tidak menjumpaiku, tetapi kudengar
selalu sepak terjangmu. Daku ikut bersedih atas semua hal buruk
1512 yang terjadi pada dirimu dan kawan-kawanmu, tetapi daku juga
kehilangan sobat-sobat terbaik. Apakah Persik Kecil selamat?"
Persik Kecil" Cucunya itukah"
"Cucumu" Dia selamat!"
"Persik Kecil bukan cucuku, tapi serumah denganku, syukurlah
kalau dia selamat." "Bukan cucumu" Lantas siapa dia?"
"Sudahlah," kata Ibu Pao, "panjang ceritanya."
Seberapa panjang" Namun aku pun tidak ingin bertanya lagi.
Sekarang aku hanya ingin segera membawanya pulang kepada
Persik Kecil yang sangat mengkhawatirkannya.
"Chang'an indah dari atas ya," kata Ibu Pao.
Maka karena sudah berada di wilayah selatan, kubawa ia
melenting dan membubung ke atas Pagoda Angsa Liar, melewati
lapisan demi lapisan cahaya jingga yang membuatnya merasa
sedang menembus nirvana...
1513 TUJUANKU mencari Ibu Pao sebetulnya hanya satu, yakni ingin
memeriksa apakah dirinya mengetahui kelengkapan rahasia
negara, yang terbagi di antara tiga orang kebiri malang itu, dan
ternyata Ibu Pao mengetahuinya. Ternyata pula Ibu Pao bersedia
memberitahukannya kepadaku.
Sekarang aku mengerti mengapa rahasia itu dianggap harus tetap
tinggal sebagai rahasia, dan siapa pun yang berkemungkinan
mengungkapnya, meski tiada tahu-menahu mengenai isi rahasia
itu sendiri, harus dibunuh. Jadi baik tiga orang kebiri malang itu,
dan siapa pun yang telah membocorkan rahasia itu keluar dalam
tiga bagian tersebut, kemungkinan besar sudah mati, demi
terjaganya suatu rahasia yang kelak akan menjelma nyata,
menjadi kenyataan yang bukan lagi merupakan rahasia tanpa
harus dibocorkan pula. "Dikau boleh menunjuknya, ketika sudah terungkap dengan
sendirinya," ujar Ibu Pao. "Sebelum itu dikau adalah penyimpan
rahasia yang terikat untuk tidak menghancurkan dan membunuh
rahasia itu sendiri. "Bandingkanlah dirimu dengan penyimpan rahasia takdir. Tidak
mungkinlah memberitahukan kepada seseorang perihal takdirnya
bukan" Takdir itu hanya bisa dan boleh diketahui setelah terjadi.
1514 Mengungkapkannya sama dengan meletakkan diri di depan mesin
penghancur dunia itu sendiri."
Aku mengangguk-angguk. Jadi sejumlah manusia menempatkan
diri sebagai penentu sekaligus bagian dari takdir! Siapakah kiranya
di dunia ini manusia yang bisa menentukan takdir sekaligus
ditentukan oleh takdir itu sendiri"
"Apakah ini tentang Pangeran Song?"
Ibu Pao hanya tersenyum, lantas menyampaikan segala sesuatu
yang perlu kuketahui, yang bukan merupakan rahasia pada
Pangeran Song. Putra mahkota yang mencintai seni dan sangat menghormati gurugurunya itu, sehingga bahkan sebagai pangeran, ia tidak
menghalangi dirinya untuk membungkuk, dalam tugasnya seharihari sangat dekat dengan dua nama, yakni Wang Pi, seorang
pelukis aksara nan piawai; dan Wang Shuwen, seorang pemain
Go. Wang Shuwen memberi saran kepada Pangeran Song atau Li
Song agar jangan memancing kecurigaan Maharaja Dezong lebih
jauh, sejak dituduhnya Putri Gao, mertua Li Song, melakukan
guna-guna terhadap maharaja. Adapun caranya, Li Song
1515 dianjurkan tidak menggugat daftar pembelanjaan istana oleh
orang-orang kebiri, yang membayar dengan nilai rendah atau tidak
membayar sama sekali. Jika dilakukan, disebutnya maharaja akan
mencurigai putra mahkota berusaha menarik kecintaan orang
banyak, de?ngan mengorbankan maharaja.
Atas anjuran Wang Shuwen pula, Li Song mengumpulkan para
pejabat muda yang dianggap mampu menjadi pejabat penting atau
panglima pada masa depan, seperti Wei Zhiyi, Lu Chun, L? Wen,
Li Jingjian, Han Ye, Han Tai, Chen Jian, Liu Zongyuan, Liu Yuxi,
Ling Zhun, dan Cheng Yi, sebagai persiapan untuk naik tahta pada
masa depan. Mereka ini bagaikan pemerintah bayangan.
Keberadaan mereka dalam pemerintahan Wangsa Tang mengundang pencibiran para pejabat kebiri penting dalam masa
kekuasaan Maharaja Dezong seperti Ju Wenzhen, Liu Guangqi,
dan Xue Yingzhen. Namun dalam lingkaran Pangeran Song,


Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebetulnya terdapat pula orang kebiri Li Zhongyan. Tidak kurang
menjadi masalah adalah kehadiran Selir Niu dalam lingkaran
Pangeran Song. 1 "Kedudukan permainan kekuasaan seperti inikah yang membentuk
rahasia itu?" Ibu Pao mengangguk. 1516 "Tidakkah segala sesuatu bisa diperkirakan dari kedudukan itu,
sehingga tidak perlu ahli nujum, yang sebetulnya hanyalah para
penipu?" "Jika dikau cukup terpelajar tentu bisa memperkirakannya,
mengapa tidak" Namun bahkan yang amat terpelajar sekalipun
tidak akan berani dan tidak akan merasa perlu memastikannya,
meski mengerahkan segala daya terbaik demi perkiraanperkiraannya."
"Jadi mengapakah para penggubah, pemilik, dan pembentuk
rahasia, yang setiap pembocornya akan dibunuh itu, justru
menciptakan kepastian-kepastian seperti mengadakan takdir?"
Ibu Pao tersenyum mencibir, dan menjawab sambil mengangkat
telunjuknya. "Kehendak," katanya, "kehendak untuk memiliki dan menguasai
dunia." Mozi berkata: orang besar tidak terikat
untuk membuat kata-katanya dipercaya
1517 atau membuat tindakannya berlaku.
ia berpihak kepada kebajikan
tidak ada lain 2 Semua pengetahuan itulah yang kusampaikan kepada Pangeran
Song, termasuk tentang rahasia, tetapi bukan isi rahasia itu sendiri.
Kami berdua menunggang unta berbulu tebal dalam perjalanan
tetirah ke wilayah di sebelah utara Chang'an. Kami berjalan
perlahan hanya berdua saja, tetapi dalam jarak dua li di belakang
kami, 500 prajurit pasukan berkuda mengikuti.
Pangeran Song menatap pemandangan di hadapannya. Padang
tundra terbentang dibatasi gunung-gemunung berlapis salju.
Kubaca wajahnya. Ia terlalu terpelajar untuk tidak mengerti.
"PENYEBAR teluh telah dikau bunuh, tetapi tiada orang lain yang
lebih bisa menggunakan tangan orang lain, selain Yang Mulia
Paduka Bayang-Bayang..."
Itulah kata-kata Peri yang Baik dari Danau Qinghai, bhiksuni yang
tidak berkepala gundul tetapi berambut terurai panjang dan
serbaputih warnanya, yang tewas oleh Jurus Tanpa Bentuk dalam
1518 pertarungan kami, di tempat persinggahan pada salah satu dari
lima sungai yang melintang antara Sha dan Chang'an.
Tangan orang lain itu adalah tangan penyebar teluh. Korbannya
begitu banyak, ribuan jumlahnya, bergelimpangan di jalanan dan
mengambang di sungai. Begitu banyak sehingga tersangkutsangkut di antara perahu-perahu dan semak-semak tiada bisa
bergerak, sehingga Peri yang Baik dari Danau Qinghai itu
menerbangkannya ke langit tanpa bisa kuketahui ke manakah
kiranya dan bagaimana caranya mayat-mayat itu akan berjatuhan.
Namun saat itu pun, meski kemarahanku sampai ke ubun-ubun,
aku masih berpikir bahwa Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang
adalah manusia yang paling sulit dicari. Saat itu aku masih
menafsirkan Ilmu Pemisahan Suara dan Ilmu Pemecahan Suara
secara terbatas, yakni dari sudut pandang pemahaman suara itu
saja. Baru setelah mempelajari Ilmu Silat Aliran Shannan, dan Ilmu
Pemindahan Tubuh maupun Ilmu Pemecahan Tubuh dari Anggrek
Putih, maka aku dapat menafsirkannya dari sudut pandang tubuh
yang mengeluarkan suara itu.
Ilmu itu bukanlah tentang suara, melainkan tentang tubuh, dan jika
setelah menguasainya Panah Wangi dapat memburu ke mana pun
Harimau Perang pergi, demikian pula diriku dapat menyusuri jejak
1519 Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang ke mana pun ia menuju dan
seberapa banyak pula ia memecah dirinya. Apakah ia menjadi
sepuluh, seratus, atau seribu, di tempat mana pun aku dapat
menyusul dan membunuhnya.
Adapun yang tidak mudah adalah menentukan yang manakah di
antara kembarannya yang banyak itu adalah Yang Mulia Paduka
Bayang-Bayang yang sesungguhnya. Jika aku dapat menemukan
Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang yang sejati, asli, dan tiada
terkembarkan, yang hanya darah dan hanya daging, dan menusuk
jantungnya, maka seluruh bayang-bayang lain akan memudar
untuk mengikuti dan melebur ke dalam roh Yang Mulia Paduka
Bayang-Bayang yang sedang melebur pula ke dalam roh dunia ini.
Jika hal ini tidak dapat dilakukan, maka aku harus menghabisi dulu
seluruh bayang-bayang yang lain itu, apakah jumlahnya seribu,
beribu-ribu, ataukah selaksa dan berlaksa-laksa, semuanya harus
dibunuh, habis tuntas tanpa sisa. Apakah ratusan ribu Yang Mulia
Paduka Bayang-Bayang itu berkumpul di satu tempat, apakah itu
di suatu lapangan di dalam kota, di suatu lembah atau padang luas
di luar kota, ataukah tersebar merayapi dan mendaki dindingdinding jurang yang terjal di mana pun adanya, apakah itu di
Shannan, Jiannan, Lingnan, Jiangnan, Huainan, Henan, Hebei,
1520 Guannei, sama saja, satu per satu maupun serentak, tetap harus
dibunuh. Jika itu dapat dan telah dilakukan, maka barulah dapat diketahui
betapa sisa satu manusia yang berwujud Yang Mulia Paduka
Bayang-Bayang itulah yang asli sejati, yang berdarah, berdaging,
dan barangkali atau seharusnya berhati, dapat dan semestinyalah
bisa dibunuh. Namun ini semua menjadi mustahil, manakala adalah suatu
kenyataan pula betapa setiap kali Yang Mulia Paduka BayangBayang akan bisa tetap memecah diri, memecah diri, dan
memecah diri lagi, menjadi berapa orang pun sesuka hatinya, dan
semuanya harus diulang dari awal lagi!
Apakah Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang tidak bisa mati" Tentu
bisa, selama aku bisa menemukan aslinya, yang bersama atau
tidak bersama-sama, harus tetap dibunuh, tetapi bagaimana cara
menemukannya" Jika mengetahui kemungkinan betapa seseorang yang berilmu sama, bahkan barangkali melebihinya,
sedang mencari, melacak, dan memburu dirinya, kukira tidak
mungkin Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang akan membiarkan
dirinya ditemukan dengan mudah.
1521 Mungkinkah memancing Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang
seperti memancing Harimau Perang"
Sun Tzu berkata: jalan tercepat mungkin bukan yang terpendek. medan tersulit untuk diatasi
mungkin bukan yang paling merugikan. 1
Aku menemui kembali Perdana Menteri Zheng Yuqing untuk
menjalankan siasatku ini. Meskipun baginya serba-serbi dunia
persilatan tidak bisa diterima dengan akal, selama Yang Mulia
Paduka Bayang-Bayang yang pasukannya pernah mengepung
dan menderitakan Chang'an berbulan-bulan bisa dilumpuhkan,
hidup atau mati, ia menyatakan setuju.
PERDANA Menteri Zheng Yuqing kuperlukan supaya dapat
berbicara kepada Ketua Dewan Peradilan Kerajaan Hakim Hou
agar bersedia meminjamkan atau melepaskan Anggrek Putih yang
akan kugunakan untuk memancing Yang Mulia Paduka BayangBayang. Bahwa diriku cenderung meminta kepada Perdana
Menteri Zheng Yuqing, dan bukan kepada Pangeran Song, tentu
1522 karena perebutan hak hukum atas Panah Wangi telah membuat
hubungan kedua pihak itu sangat buruk. Betapapun jika dulu
Anggrek Putih ditahan sebagai sandera atas masih berkeliarannya
Harimau Perang, ternyata kedudukan yang sama dapat berlaku
bagi Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang.
Memang hanya Anggrek Putih yang bisa menjadi alasan bagi Yang
Mulia Paduka Bayang-Bayang untuk berhubungan kembali dengan
dunia, tiada lain dan tiada bukan karena Anggrek Putih tidak
pernah berhenti menjadi wahana penurunan ilmu dari Guru Besar
Ilmu Silat Aliran Shannan, yang selama ini merupakan andalan
bagi keberdayaan ilmu silatnya, agar tetap bertahan pada tingkat
dewa. Suatu wahana yang telah beberapa lama terceraikan dari
dirinya, semula karena Harimau Perang yang menculik Anggrek
Putih dari Shannan tapi berhasil digagalkannya mencuri ilmu;
kemudian oleh diriku dan Panah Wangi, yang ternyata bisa
membaca lukisan tak utuh karena ingatan yang diacaknya. Ini tentu
jauh lebih mengkhawatirkannya.
Maka kuharap rencanaku bisa berjalan lancar. Untunglah Hakim
Hou ternyata bukan hanya setuju untuk meminjamkan atau
melepas Anggrek Putih untuk sementara, melainkan membebaskannya! 1523 Sun Tzu berkata: panglima perang melihat masa depan;
petani hanya melihat masa kini,
dan para pengeluh hanya melihat masa lalu. 1
Angin bertiup kencang di atas Sungai Yangzi. Matahari siang hari
tegak lurus di atas ubun-ubun. Ini suatu hari yang biasa pada
musim panas di wilayah Shannan. Perahu nelayan, rakit
penyeberangan, perahu penumpang, tampak hilir mudik di
sepanjang sungai yang luasnya bagiku sungguh mencengangkan.
Pada permukaan sungai itu cahaya tergenang menyilaukan,
mengertap-ertap seperti berlian, di sela bayang-bayang hitam
orang bercaping, melempar jala, atau sekadar memancing. Namun
memancing menjadi bukan sekadar ketika pancing menyendal,
ikan menggelepar, dan pemancingnya tentu saja sibuk memasang
umpan baru pada kail yang masih berdarah...
Kuharap akan tampak biasa pula bahwa Anggrek Putih ingin
pulang ke Shannan, ke tempat tinggalnya di pinggiran Kota
Chengdu. Sengaja kuminta dan kubuat agar Anggrek Putih tidak
membawa alat-alat gambarnya, karena kutahu Ilmu Silat Aliran
Shannan itu akan terus mengalir turun ke dalam kepalanya.
1524 Dengan tidak tersalurnya jurus-jurus itu menjadi gambar, maka
gambar-gambar itu akan bermain di kepala Anggrek Putih,
meskipun jika ia tidak memikirkannya.
Dari hari ke hari jurus-jurus mengalir terus tanpa putus, sehingga
kepala Anggrek Putih tentulah menjadi tempat penyimpanan Ilmu
Silat Aliran Shannan terbaik, baik di Shannan maupun di Negeri
Atap Langit. Siapa pun yang mampu dengan suatu cara
menyerapnya langsung dari kepala Anggek Putih, memindahkannya ke kepalanya sendiri, niscaya juga mendapat
yang terbaik. Di perahu kusiapkan pancingku. Aku memang menyamar sebagai
orang yang memancing, tetapi umpanku bukanlah cacing
melainkan isi kepala gadis bisu tuli itu. Kukira tidak ada umpan lain
yang lebih baik selain Ilmu Silat Aliran Shannan itu sendiri, yang
bisa memancing Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang setidaknya
melakukan sesuatu untuk mendapatkannya. Saat itulah, artinya, ia
sudah terpancing. Namun itu belum terjadi. Dari pagi kami masih menunggu, samasama memancing dan mengenakan caping, masing-masing di atas
perahu sampan dengan jarak berjauhan. Sambil menunggu aku
1525 bertanya-tanya dalam hati, seperti apakah kiranya Yang Mulia
Paduka Bayang-Bayang itu.
Saat itulah ia mengambil kesempatannya. Dari balik kilauan
cahaya, sesosok bayangan berkelebat di atas permukaan sungai,
begitu cepat sehingga tidak terlihat, menuju ke arah Anggrek Putih
yang duduk tenang-tenang memunggungi di atas perahu.
Aku bisa bergerak lebih cepat, tapi aku diam saja, karena tahu itu
hanyalah gerak tipu. Jika kutanggapi akan ada sesuatu yang
dilakukannya. Bayangan itu memudar begitu menyentuh Anggrek Putih. Begitu
berlangsung sampai tujuh kali. Pada kelebat ke delapan, tentu
dianggapnya tidak akan ada yang menanggapi. Ia tampak siap
menotok dan menculik Anggrek Putih.
Namun aku sudah bertukar tubuh dengan Anggrek Putih. Ia
terkecoh! Tubuh Anggrek Putih yang isinya adalah diriku tanpa berbalik
menyabetkan pukulan Telapak Darah. Terdengar suara tubuhnya
tercebur di air. 1526 Aku berbalik, dan tertegun melihat sosok yang masih mengambang itu. Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang ternyata seorang katai!
PANAH Wangi berwajah muram, sangat muram, bagaikan tiada
lagi yang bisa lebih muram. Ia menatapku dengan mata sendu.
Tidak ada orang lain di ruangan atas ini. Hanya Panah Wangi dan
aku. Dari sini terlihat hamparan keramaian Kotaraja Chang'an,
yang meskipun gemerlapan dalam senja, tidaklah terlalu memberi
kegembiraan kepada hati kami yang gundah, karena kami tidak
melihat apa pun selain saling menduga dalam tatapan.
"Mengapa dikau harus pergi, Pendekar Tanpa Nama" Mengapa
tidak tinggal saja di sini?"
Di dalam gedung besar milik Pangeran Song ini, Panah Wangi
tidak lagi berbusana ringkas, sebagaimana biasanya busana
seorang pendekar pengelana, melainkan seperti putri istana yang
selalu dilayani, dan memang tidak akan pergi ke mana pun. Namun
Panah Wangi masih berada di sana karena luka-lukanya yang


Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

parah akibat pertarungan dengan Harimau Perang, meski sudah
mendekati kepulihan seperti semula.
1527 Masih tinggal di gedung Pangeran Song, tetapi tidak lagi di Istana
Daming, artinya Panah Wangi mempunyai hubungan dengan putra
mahkota itu. Aku tidak merasa perlu mempertanyakan atau
mengucapkan apa pun. Panah Wangi memang pernah mengungkapkan perasaannya kepadaku, seperti juga diriku bukan
tidak pernah mengungkapkannya, tetapi kukira kami tidak pernah
saling menegaskan betapa hubungan kami bisa lebih dari itu.
Aku hanya merasa sudah waktunya untuk pergi. Memang tidak
pernah terbayangkan diriku akan meninggalkan Chang'an tanpa
Panah Wangi, tetapi kukira segala sesuatu di dunia ini cepat atau
lambat memang akan berubah. Begitu dengan cuaca, begitu pula
dengan cinta. Tidak ada yang perlu disesali.
"Sudah waktunya aku pergi," akhirnya terucap juga kalimat itu.
Mata Panah Wangi langsung basah. Ia membalikkan tubuhnya,
menjauh, tapi langsung kembali lagi dan memelukku.
"Jangan pergi! Jangan pergi!"
Air matanya tumpah ruah. Panah Wangi mengerti diriku tidak bisa
ditahan lagi. Tubuhnya berguncang. Tidak ada lagi yang bisa
kulakukan selain memeluknya, dengan hati yang berdarah.
1528 Pepatah Negeri Atap Langit mengatakan: cinta itu jarang seperti teratai kembar pada satu tangkai 1 Begitulah akhirnya harus kutinggalkan juga Chang'an dengan
segala kekayaan peradaban dan hiruk-pikuk manusianya. Kota
tempat begitu banyak orang datang dari wilayah-wilayah yang jauh
untuk meraih impian-impiannya. Apakah itu impian untuk menjadi
kaya dan berkuasa, ataukah sekadar menyelamatkan hidupnya
sendiri saja. Chang'an adalah kota yang penuh dengan berbagai
upacara dan perayaan yang bermandikan cahaya, setiap kali
berlangsung pesta kembang api yang menyalakan angkasa, dan
pada masa damai pertunjukan sandiwara rakyat, tari-tarian, dan
arak-arakan dengan bunyi-bunyian yang seru mengalir bagaikan
tiada habisnya. Dengan sedih harus kutinggalkan pemandangan mengesankan
dari kota yang menampung pendatang, pedagang, utusan,
maupun pengembara dari berbagai penjuru dunia, yang telah
membuat jalanannya semarak oleh warna-warni dan aneka rupa
busana yang dikenakan manusia berbagai bangsa. Warna kulit,
1529 rambut, corak wajah, bahkan warna bola mata beragam, dengan
bahasa yang lebih-lebih lagi beragam-ragam, beredar dan
terdengar di mana-mana, baik di pasar, kedai, penginapan dan
rumah-rumah persinggahan yang terdapat di berbagai sudut kota
dua juta manusia itu, membuat Chang'an menjadi kotaraya dalam
segala makna. Masih kutuntun kuda cokelat Uighur pemberian Pangeran Song
sepanjang jalan ke arah Gerbang Jinguang, pintu gerbang kota
yang harus kulalui ketika meninggalkan Chang'an menuju wilayah
barat. Hatiku terkesiap melewati Pasar Barat dengan kedai dan
harum masakannya yang menggugah selera. Aku tahu betapa
akan kurindukan segala tukang cerita dengan dongeng- dongengnya yang memukau, perbincangan hangat tentang agama
dan filsafat dengan para pembicara bersemangat maupun bual
sehari-hari dalam canda dan tawa berderai-derai karena pengaruh
arak yang wangi. Memandang ke sekeliling untuk terakhir kalinya,
bagaikan ingin kuserap segenap dunia dan kehidupan Kotaraja
Chang'an ke dalam diriku yang selalu sendiri.
Layung senja semburat di langit bagaikan menyambutku, setelah
aku melewati Gerbang Jinguang pada tembok perbentengan di sisi
barat, berpapasan dengan kafilah unta dari Jalur Sutera yang baru
saja mendapat izin masuk. Aku menaiki kudaku dan menoleh ke
1530 belakang untuk terakhir kalinya. Pintu gerbang itu sudah akan
ditutup, tetapi aku memang tidak kembali lagi.
Segera kupacu kudaku ke arah matahari terbenam, mengawali
perjalanan malam menuju Dunhuang demi suatu tujuan yang
belum juga kutuntaskan. Aku masih harus
mencari dan menemukan pembunuh Amrita, dan membuatnya bertanggung
jawab atas kejahatannya, yakni membunuh dari belakang.
Angin bertiup semakin kencang ketika aku melaju ke arah padang
terbentang. Aku belum tahu saat itu bahwa Panah Wangi ternyata
berada di gardu penjagaan di atas Gerbang Jinguang. Menatap
kepergianku dengan mata berkaca-kaca, melihatku melaju,
semakin lama semakin jauh, sampai menjadi titik dan akhirnya
menghilang... YAVABHUMIPALA, juga disebut Javadvipa, pada bulan Margasirsa, tahun 872. Aku sedang menuliskan hari terakhirku di Chang'an pada
pertengahan tahun 800 itu, berusaha keras mengingat dengan rinci
peristiwa yang berlangsung 72 tahun lalu, ketika sesosok
bayangan berkelebat dari pohon ke pohon di hadapanku.
1531 Apakah aku harus mengejarnya" Dari saat ke saat dunia persilatan
penuh bayangan berkelebat, dan tentu bukan dunia persilatan
namanya jika tiada bayangan berkelebat yang memungkinkan
kehidupan menjadi tamat. Namun dengan hidupku yang sudah 101 tahun, dan sejak kecil
diasuh oleh Sepasang Naga dari Celah Kledung yang hidup di
dalam dunia persilatan, artinya telah terbukti aku selalu beruntung,
dan jika tidak dianggap beruntung tentu harus berarti mampu
mengatasi ancaman segala bayangan berkelebat itu.
Mengejar atau tidak mengejar, menyerang atau diserang, dengan
kecepatan yang tidak bisa tidak setidaknya mendekati lebih cepat
dari cepat, segala bahaya tiadalah hanya bisa ditepis, melainkan
diriku pun tiada kurangnya menjadi ancaman itu sendiri.
Adapun jika dirikulah yang menjadi ancaman itu, dengan segala
hormat, jika tidak sedang dilanda kejenuhan menamatkan riwayat
hidup sesama manusia, maka ancaman itu pun tiada lebih dan
tiada kurang menjadi kenyataan. Sudah tentu peranan menghilangkan nyawa ini tidaklah membahagiakan diriku, tetapi
kehidupan dunia persilatan tidaklah memberi banyak pilihan selain
membunuh atau dibunuh. Kebijakan untuk tidak pernah menyerang tampaknya saja merupakan pilihan terbaik, tetapi jika
1532 tidak terbunuh adalah bagian dari pilihan, maka semakin tinggi
daya penyerangannya, semakin kecil kemungkinan terhindarnya,
semakin besar pula kemungkinan membunuh sebagai satusatunya cara bertahan.
Dalam gerak serangan secepat pikiran, sulit sekali menarik kembali
serangan seusai penghindaran. Terlalu sering terjadi nyawa
penyerangku langsung hilang pada saat pertama kali membuka
serangan. Tidak kuingkari betapa Jurus Tanpa Bentuk, yang
mampu menanggapi serangan tanpa diperintahkan otak, memberikan banyak sumbangan. Apakah kiranya ini merupakan
kebersalahan" Bayangan itu berkelebat lagi di dalam hutan di depan pondokku,
tetapi sungguh mati diriku sedang tidak berselera. Aku baru saja
menyelesaikan bagian terakhir dari riwayatku di Chang'an, dan apa
yang kualami saat itu bagaikan hidup kembali dengan segala
perasaan yang mengharubiru di dalam dadaku. Sebagai penulis
yang berusaha membongkar segala sesuatu yang tersembunyi di
balik kabut sejarah, pada titik ini diriku mengalami kesulitan untuk
mengambil jarak. Betapa tidak jika memang diriku sendiri yang kuceritakan itu"
Sudah setahun lebih, bahkan kukira hampir dua tahun, aku menulis
1533 tanpa putus dengan semangat pembongkaran. Mencari tahu
apakah kiranya yang menjadi perkara, sehingga diriku sebagai
orang tua yang sudah mengundurkan diri ke dalam gua selama 25
tahun lamanya harus ditangkap oleh para hamba wet Kerajaan
Mataram sebagai suatu rajadanda atau hukum raja"
Tidak dapat kuabaikan betapa para guptagati atau mata-mata
maupun kadatuan gudha pariraksa atau pengawal rahasia istana,
dengan tekun dan tanpa mengenal putus asa akan terus
melacakku. Namun tidak cukup para hamba wet, pencarian diriku telah
diumumkan dan untuk itu ditawarkan hadiah pula jika dapat
menangkapku, hidup atau mati. Sepuluh ribu keping emas! Suatu
jumlah yang bahkan sebuah kerajaan pun tidak mungkin
memilikinya, tetapi yang lebih dari cukup untuk mengecoh bukan
hanya para pembunuh bayaran, pemburu hadiah, dan kemudian
pencuri kitab untuk dijual kembali, melainkan juga para pendekar
yang membutuhkan uang! Daun-daun berguguran dalam hembusan angin musim dari laut
selatan, begitu kencangnya angin itu sehingga dedaunan kering di
bawah pohon-pohon kembali diterbangkan. Aku menghela napas
panjang untuk sebagian ternyata hatiku masih tertinggal di
1534 Chang'an, dan begitu terlambat kusadari betapa hati seorang tua
berumur 101 tahun ternyata tidak berbeda jauh dengan hati
seorang muda berumur 29 tahun. Aku sudah tua, air mataku
mengering, tetapi segala usaha mengingat dan mencatat Chang'an
membuat hatiku kembali basah oleh segala perasaan kehilangan.
Elang Merah dan Yan Zi Si Walet, kedua pendekar perkasa itu
tewas dengan cara yang begitu mengenaskan, sehingga bahkan
sampai hari ini rasanya begitu sulit bagiku untuk memaafkan diriku
sendiri. Hidupnya kembali pengalaman batinku di Chang'an itu
membuat perasaanku menjadi rawan.
Namun aku tetap waspada terhadap bayangan berkelebat itu. Aku
masih berada di dunia persilatan.
MEGA-MEGA tersibak melingkar tepat di atas Kamulan Bhumisambhara pada tahun 794 Saka, ketika di Celah Kledung,
lelaki 101 tahun yang disebut Pandyakira Tan Pangaran itu
mengangkat alat tulis yang disebut tanah 1 dari lembaran karas 2,
yang sejak lama dari saat ke saat telah ditulisinya. Dari aksara ke
aksara, dari kata ke kata, dari kalimat ke kalimat, mengalir riwayat
sejauh yang bisa diingatnya. Adegan demi adegan, peristiwa demi
peristiwa, membentuk lorong waktu tempat segala sesuatu yang
dirasakannya, suka maupun duka, seperti kembali sepenuhnya.
1535 Ia menatap langit dan menghela napas panjang.
"Kitab Nagabumi ini masih jauh dari selesai...," desisnya.
Ia tidak tahu apakah kitab itu akan pernah selesai seperti yang
dibayangkannya, karena waktu yang setiap saat bisa merenggutnya, bukan saja karena usianya yang berada pada
tahun-tahun terakhir daya hidup manusia, tetapi juga karena terlalu
banyak manusia yang ingin mengakhiri kehidupannya secara
paksa. Demikianlah, meski kematian sudi diterimanya, jika saat yang
menentukan itu akhirnya akan tiba juga, pembunuhan tetap
ditolaknya. Maka tahun-tahun terakhir hidupnya seakan-akan
menjadi perlombaan kecepatan yang tiada kunjung usai, antara
kecepatan maut merenggut jiwanya dan kecepatan dirinya
mengingat, menggali, membongkar, dan menuliskan riwayat
hidupnya sendiri demi suatu jawab atas pertanyaan: mengapa
dirinya sebagai orang yang teramat tua harus ditangkap hiduphidup ataupun mati.
Tiada akan terlalu lama Pandyakira Tan Pangaran yang tua itu bisa
menghela napas, lantas menghembuskannya, karena memang
harus segera kembali kepada tanah dan karasnya, kembali ke
1536 dalam ketekunan sepanjang siang dan malam, dari aksara demi
aksara, menguak makna peristiwa

Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

demi peristiwa, untuk memecahkan selubung rahasia di ujung hidupnya, selalu dalam
ancaman bayangan-bayangan berkelebat yang bermaksud menyibak berombak-ombak membentuk membunuhnya. Mega-mega masih lingkaran putih pada piringan langit biru di atas Kamulan
Bhumisambhara, seolah-olah puncak stupa itu telah menudingnya
dengan suatu pancaran daya, yang tidak cukup hanya menyibak
awan menjadi lingkaran, tetapi meluncur terus tegak lurus
menembus tabir-tabir angkasa menuju ruang semesta raya.
Bumi masih juga berputar dan beredar. Para penguasa Wangsa
Sailendra naik dan turun silih berganti, sejak Bhanu, Wisnu atau
Dharmatungga, Indra atau Samaratungga yang menikah dengan
Tara, Pramodawardhani atau Sri Kahulunan yang menikah dengan
Pikatan, maupun Balaputra yang kalah perang dengan Pikatan itu.
Mereka semua sudah lenyap dan tinggal nama dalam prasasti 3.
Wangsa Sailendra tiada lagi.
Tidak ada yang mengetahui apakah kiranya isi benak Rakai
Kayuwangi yang sudah 17 tahun bertahta, dan tampaknya untuk
waktu yang lama belum akan memiliki penantang atas 1537 kekuasaannya 4, tetapi Kerajaan Mataram tidaklah begitu terpencil
seperti tampaknya. Kapal-kapal Srivijaya yang berlabuh di pantai utara Javadvipa
hampir selalu menurunkan para pengembara, apakah itu bhiksupengembara dari Negeri Atap Langit, pendeta-pengembara dari
Jambudvipa, pedagang-pengembara maupun kaum pelarian yang
lebih beragam lagi asalnya, Lanka, An Nam, Campa, dan Persia,
yang akan membawa warta dan pengetahuan dari negeri-negeri
yang jauh. Sebagian dari mereka akan melanjutkan perjalanannya dengan
menyusuri sungai sampai ke pedalaman, dan menyaksikan betapa
di ujung selatan dunia ini terdapat juga bukan sekadar peradaban,
ketika mengetahui terdapatnya pengungkapan budaya SivaBuddha. Mereka mengenal Siva dan Mahayana sebagai keyakinan
yang sungguh berbeda, dan mereka tercengang dengan kemungkinan betapa suatu bentuk kebudayaan dapat menjajarkan
ungkapan, tanpa mengeruhkan keyakinannya.
Pada gilirannya kapal-kapal Srivijaya itu juga akan membawa
warga Mataram yang bersemangat tinggi meninggalkan Javadvipa
untuk mengembara. Seperti juga yang telah dialami Pandyakira
Tan Pangaran atau Pendekar Tanpa Nama pada masa mudanya,
1538 mereka juga akan takjub dengan segala pesona yang dilahirkan
keberagaman budaya berbagai bangsa, dan sadar betapa tiada
berguna bahkan berbahaya pikiran yang sebaliknya bagi dunia.
Demikianlah, seperti doa semesta bagi manusia, sementara kapalkapal
Srivijaya membelah gelombang di perairan antara Samudradvipa dan Tanah Kambuja di bawah bulan purnama, dan
kafilah-kafilah unta yang mengarungi Jalur Sutera dari Chang'an
setelah berminggu-minggu masih melangkah di padang pasir
menuju Samarkand, pancaran daya dari puncak stupa Kamulan
Bhumisambhara itu berubah menjadi cahaya. Terpancar tegak
lurus menembus langit, semburat memenuhi ruang semesta...
Hanya yang berhati bersih bisa melihatnya.
(Episode "Naga Jawa" selesai)
1539 Kuda Besi 4 Pendekar Pedang Kail Emas Karya Liu Can Yang Pendekar Bayangan Malaikat 10

Cari Blog Ini