Ceritasilat Novel Online

Naga Sasra Dan Sabuk Inten 22

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Bagian 22


untuk menyelidiki keadaan pasukan lawan. Dari mereka,
pimpinan ronda mendapat laporan bahwa pasukan dari
Pamingit dan Gunung Tidur sudah tidak lagi berada di
perkemahan mereka. Agaknya mereka telah merasa, bahwa
meskipun mereka meneruskan pertempuran, namun
mereka pasti tidak akan berhasil. Karena itu, lebih baik
mereka menarik diri. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Karena laporan itulah, pasukan Gedangan tidak perlu lagi
mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan yang akan
datang. Meskipun tidak terdengar tanda-tanda bahaya, namun
Mahesa Jenar dan Arya Salaka, bangun pada saatnya. Pada
saat terang-terang tanah. Ketika mereka keluar dari ruang
tidur, mereka melihat beberapa orang telah berada di
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
halaman depan. Tetapi demikian Mahesa Jenar melihat
sikap mereka, segera Mahesa Jenar mengetahui bahwa
tidak ada lagi bahaya yang mengancam pedukuhan itu.
Setidak-tidaknya untuk waktu-waktu yang cukup untuk
menyembuhkan luka-luka yang diderita oleh laskar
Gedangan dalam pertempuran kemarin.
Meskipun demikian, Mahesa Jenar memerintahkan juga
laskar Gedangan bersiap untuk melakukan pembersihan
daerah yang kemarin dipergunakan sebagai ajang
pertempuran. Demikianlah sehari itu, yang dilakukan oleh orang-orang
Gedangan adalah bekerja keras, mengubur mayat-mayat
yang berserak-serakan, baik dari kawan sendiri maupun
dari lawan. Ketika matahari condong ke barat, selesailah pekerjaan
mereka. Mereka kini boleh kembali kepada keluarga
masing-masing, meskipun tetap untuk tidak meninggalkan
kewaspadaan. Beberapa orang secara bergilir masih harus
tetap berada di gardu-gardu penjagaan. Siang maupun
apabila nanti malam datang.
Dalam keadaan yang demikian terasalah, betapa akibat
pertempuran telah merampas kegembiraan seluruh penduduk Gedangan. Apalagi yang terpaksa melepaskan
salah seorang anggota keluarga mereka. Tetapi mereka
tidak dapat berbuat lain daripada menyerahkan beberapa
orang terbaik dari pedukuhan mereka sebagai tawur dalam
perjuangan mempertahankan hak dan ketenteraman hidup
mereka untuk seterusnya. Ketika pekerjaan mereka telah selesai seluruhnya,
barulah mereka dapat menarik nafas lega. Demikian juga
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis, Widuri dan Arya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Salaka. Mereka kini telah dapat berkumpul bercakap-cakap
dengan tenang. Namun agaknya Arya tidak begitu tertarik
duduk bercakap-cakap diantara mereka. Agaknya beberapa
masalah masih selalu mengganggunya. Karena itu ia minta
diri untuk berjalan-jalan menikmati cahaya matahari sore.
Selain Arya Salaka, ternyata Widuri pun lebih senang
berjalan-jalan dan berlari-lari diluar. Sehingga dengan
demikian, ia minta diri pula untuk ikut serta bersama Arya
Salaka bermain-main. Demikianlah mereka berdua berjalan menyusur jalanjalan pedukuhan sambil bercakap-cakap. Kadang-kadang
Widuri minta Arya Salaka berceritera tentang dirinya,
tentang pengalamannya dan tentang cita-citanya. Sebaliknya kadang-kadang ia bercerita tentang segala
sesuatu yang disenanginya. Tentang burung - burung yang
terbang bebas di udara. Tentang bunga-bunga yang mekar
di halaman. Dan kadang-kadang dengan penuh keingintahuan, Widuri menanyakan tentang daerah-daerah yang
jauh di seberang punggung-punggung bukit, daerah dimana
langit dan bumi seolah-olah berpadu dalam satu garis yang
membujur panjang sekali. Dalam percakapan yang asik itu Arya selalu berusaha
untuk menjawab sedapat-dapatnya. Diceriterakan apa yang
pernah dilihatnya dibalik pegunungan yang berjajar seperti
wayang di pakeliran. Diceriterakannya betapa di sana
tergelar pantai yang luas serta laut tanpa tepi. Betapa
nelayan di lautan bekerja keras untuk mencari kekayaan
yang tersimpan di dalam lautan.
Diam-diam Widuri menjadi kagum kepada anak muda itu.
Kagum akan pengalamannya yang luas, serta kagum akan
ketetapan hatinya memandang hari kemudian. Hari yang
bakal datang. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sebaliknya, Arya pun menjadi tertarik perhatiannya kepada
gadis itu. Dengan pertanyaan-pertanyaan ia dapat
mengetahui betapa banyak kemauan dan cita-cita yang
tersimpan didalam dadanya.
Demikianlah dengan tidak merasakan lelah, mereka
berjalan terus. Meskipun sejak pagi Arya Salaka telah
memeras keringat membantu orang-orang Gedangan
membuat lubang-lubang kubur. Namun dalam kesejukan angin senja, ia lebih senang
berjalan-jalan bersama Widuri daripada beristirahat dan
bercakap-cakap dengan orang-orang yang tidak sebayanya.
Karena itulah maka dengan tidak terasa, mereka telah
melewati ladang persawahan beberapa tonggak dari
pedukuhan. Bahkan mereka telah menyusur jalan-jalan
sempit yang membujur ke dalam daerah-daerah hutanhutan kecil. Jalan setapak yang selalu dilewati oleh orangorang yang pergi mencari kayu ke dalam hutan itu, tanpa
prasangka dan raga-ragu. Bahkan dengan wajah yang berseri-seri mereka
memandang ujung-ujung daun-daun muda yang bergoyang-goyang ditiup angin. Cahaya matahari yang
tersangkut di pucuk-pucuk dahan kayu tampak berkilaukilau dengan riangnya, seriang suara burung yang berkicau
mengantar datangnya senja. Selembar awan yang
menggantung di langit bergerak perlahan-lahan dihanyutkan angin dari selatan.
Ketika kemudian dari arah barat membayang warna
merah kekuning-kuningan, Widuri memejamkan matanya
sambil bergumam, "Layung..., layung senja, jangan kau
pancarkan penyakit ke mataku, pancarkan kepada anak
nakal di sampingku."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Arya Salaka tertawa mendengarnya, sahutnya, "Layunglayung senja selalu baik kepadaku. Karena itu aku tidak
pernah sakit mata." Kemudian Arya Salaka berdiri menatap
langit-langit yang berwarna merah itu, sambil seolah-olah
berkata kepadanya, "Layung..., layung senja yang baik.
Simpanlah segala macam penyakit. Berikanlah kepada kami
sejahtera dan sentosa."
"Tidak bisa," potong Widuri sambil tertawa. "Candhik ala
tidak bisa memberi sejahtera dan sentosa. Ia hanya punya
benih penyakit mata."
"Penyakit matapun tidak," sahut Arya Salaka.
Kemudian terdengarlah mereka tertawa bersama-sama.
Tetapi tiba-tiba suara tertawa itu terputus. Dari balik
semak-semak hutan yang tidak begitu lebat, mereka
mendengar suara berdesir. Telinga mereka yang sudah
terlatih baik segera dapat mengetahui bahwa suara itu
suara langkah orang. Karena itu mereka tidak bergurau lagi.
Perhatian mereka tertuju kepada telapak kaki yang
terdengar semakin lama semakin dekat. Bahkan suara
langkah itu sama sekali tidak tertahan-tahan, sehingga
mereka menduga bahwa orang yang datang itu sengaja
akan menjumpainya tanpa bersembunyi-sembunyi.
----------o-dwkz-0-arema-o---------SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
II Ketika mereka menoleh ke dalam semak-semak di
belakang mereka masih belum ada seseorangpun yang
tampak. Suara langkah itu masih berada di dalam semaksemak yang sudah mulai suram. Tiba-tiba dari balik daundaun yang lebat itu terdengar suara orang tertawa. Mirip
dengan ringkik kuda liar yang kehausan. Widuri bukanlah
seorang gadis penakut, namun mendengar suara tertawa
yang mengerikan itu ia bergeser setapak mendekati Arya
Salaka. Kecuali itu, sekaligus Arya Salaka dan Widuri dapat
mengetahui bahwa orang yang berada di dalam semaksemak itu tidaklah hanya seorang, tetapi sedikitnya dua
orang, yang tertawa bersama-sama.
Dalam pada itu perasaan Arya Salaka menjadi tidak enak.
Seolah-olah ia mendapat suatu firasat yang kurang baik.
Karena itu iapun segera bersiap-siap untuk menanti, apakah
yang bakal terjadi. Sesaat kemudian tampaklah daun-daun semak-semak itu
tersibak. Yang mula-mula tampak adalah tangan-tangan
kasar yang menyisihkan daun-daun yang lebat itu.
Kemudian muncullah di hadapan kedua anak muda itu dua
orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan, berwajah
runcing, dengan tepi mata yang terangkat tinggi. Demikian
mereka berdiri tegak di luar semak-semak, kembali
terdengar suara tertawa mereka yang mengerikan, seperti
ringkik kuda-kuda liar. Melihat kedua orang itu hati Arya Salaka berdebar-debar.
Ia sudah mengenal keduanya. Beberapa kali ia pernah
melihat. Bahkan sejak ia masih tinggal di Banyubiru. Dua
orang itu tidak lain sepasang Uling dari Rawa Pening,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dengan ikat pinggang yang lebar, bergambar dua ekor Uling
yang saling berlilitan. Kedua orang itu masih beberapa langkah lagi maju
mendekati A rya Salaka dan Endang Widuri.
Endang Widuri masih belum mengenal keduanya. Tetapi
dalam pertempuran yang terjadi kemarin, sepintas lalu ia
melihat kedua orang yang menyerang dari belakang itu,
dan kemudian dapat diusir oleh Mahesa Jenar. Dengan
demikian iapun segera merasa bahwa ia kini berhadapan
dengan dua orang lawan yang tangguh. Karena itu
bagaimanapun juga, Widuri harus memperhitungkan
kemampuan diri. Dirinya sendiri dan Arya Salaka, satusatunya kawan yang ada di tempat itu. Tetapi karena di
dalam tubuh Widuri mengalir darah keturunan Pengging,
maka ia tidak gentar menghadapi lawan yang bagaimanapun juga. Tetapi, yang justru menggoncangkan dadanya, bukanlah
kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapinya, apabila
ia benar-benar harus bertempur melawan sepasang Uling
itu. Dalam hal yang demikian, sedikit banyak ia telah
menerima latihan-latihan yang berat dari ayahnya. Setidaktidaknya ia akan dapat bertempur sambil menarik diri
mendekati pedukuhan Gedangan. Apalagi di dekatnya ada
Arya Salaka, meskipun ia masih belum dapat mengukur
kekuatan tenaga anak muda itu dibandingkan dengan
orang-orang yang tak dikenalnya itu. Tetapi yang lebih
mengerikan baginya adalah cara kedua orang itu
mengamat-amati dirinya. Seolah-olah tubuhnya itu bulatbulat akan ditelan mereka. Lebih-lebih lagi ketika tampak di
bibir kedua orang itu membayang senyum. Senyum yang
aneh. Tiba-tiba bulu kuduk Endang Widuri berdiri serentak,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
meskipun ia tidak tahu maksud yang terkandung dalam
senyuman yang aneh itu. Apalagi ketika kemudian terdengar salah seorang dari
mereka berkata, "Selamat bertemu putera Ki Ageng Gajah
Sora." Suara yang terdengar adalah suara yang serak
parau. Arya Salaka memandang kedua orang itu dengan
seksama. Ia sudah pasti bahwa hal yang tak diinginkan
akan terjadi. Maka dengan tidak melepaskan pandangannya
kepada sepasang Uling itu ia menjawab, "Selamat bertemu
sahabat. Adakah kau akan menyampaikan kabar tentang
daerahku...?" Terdengar Uling Putih tertawa berderai. "Ya... ya... Tuan
muda. Aku membawa kabar untuk Tuan. Ketahuilah bahwa
di daerah Tuan kini terjadi malapetaka yang hebat. Adik
Tuan, Sawung Sariti dengan leluasa dapat membunuh
setiap orang yang dikehendaki. Bahkan akhirnya Tuan
sendiri. Sesudah itu, tahukah Tuan apa yang akan terjadi..."
Banyubiru akan sepenuhnya jatuh ke tangan Sawung Sariti.
Tetapi itu bukanlah peristiwa yang terakhir yang terjadi atas
daerah Tuan itu. Sebab akhirnya Sawung Sariti, maupun
ayahnya Ki Ageng Lembu Sora itu akan mati juga. Kau ingin
tahu siapakah yang akan membunuhnya...?" Uling Putih
berhenti sejenak, seolah-olah ia menunggu kata-katanya itu


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meresap ke dalam dada Arya Salaka. Kemudian ia
meneruskan, "Yang membunuh mereka beserta para
pengikutnya adalah aku dan adikku. Uling Kuning."
Seterusnya kembali terdengar suara tertawa sepasang Uling
yang mengerikan itu. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dada Arya Salaka terguncang oleh kata-kata itu. Namun
ia tidak ingin segera bertindak, sebab ia tahu betapa
perkasanya kedua Uling itu.
Sesaat kemudian terdengar Uling itu berkata lagi, "Tetapi
Tuan muda, aku sudah terlalu lama menunggu. Sawung
Sariti tidak juga berhasil membunuh Tuan. Nah sekarang
aku akan menolong mempercepat rencana itu, supaya aku
lebih cepat menguasai daerah Banyubiru itu sebagai kepala
daerah perdikan yang dihormati, tidak sebagai sepasang
perampok seperti sekarang itu."
Jantung Arya Salaka terasa seperti diguncang-guncang
mendengar kata-kata Uling Putih itu. Karena itu dengan
suara gemetar karena marah ia menjawab, "Sepasang Uling
yang perkasa... aku adalah ahli waris yang sah atas daerah
itu. Dengan demikian aku tidak harus menuntut atas hak
saja, tetapi aku harus bertanggungjawab pula atas daerah
itu dengan menunaikan kewajiban-kewajibanku sebaikbaiknya. Salah satu dari kewajibanku adalah menyelamatkan daerah Banyubiru."
Mendengar jawaban Arya Salaka, Uling Kuning tertawa
keras-keras. Katanya, "Tuan adalah seorang yang mengagumkan. Seorang yang sudah terusir dari kedudukannya, namun masih merasa bertanggungjawab.
Tetapi Tuan tidak usah menunggu lama. Sebab sebentar
lagi Tuan harus sudah benar-benar melupakan impian Tuan
untuk kembali ke Banyubiru. Sesudah itu, jalan yang akan
kami lalui menjadi bertambah lapang. Apalagi sepeninggal
Kakang Sima Rodra suami istri, maka jalan ke Pamingit
telah terbuka pula." Kemudian terdengar Uling Putih
menyambung, "Apalagi dengan kedua keris Kyai Nagasasra
dan Kyai Sabuk Inten. Jangankan Banyubiru dan Pamingit.
Bahkan Demak pun akan dapat kami gulung."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Impian yang indah," sahut A rya Salaka, "Tetapi kau lupa
bahwa di Banyubiru ada Eyang Sora Dipayana. Seandainya
kau dapat membunuh aku dan kemudian Adi Sawung Sariti,
bahkan Paman Lembu Sora sekalipun, apa yang akan dapat
kau lakukan atas Eyang Sora Dipayana itu?"
Kembali terdengar Uling Putih tertawa. Jawabnya,
"Adakah kau mengira bahwa umur kakekmu itu akan dapat
mencapai puluhan tahun lagi" Kalau semuanya sudah dapat
aku bereskan, maka orang tua itu pasti akan mati kesedihan
dan putus asa. Kalau tidak, seandainya orang tua itu tidak
takut melihat kenyataan hari depannya yang patah, maka
aku pun dapat mempertemukannya dengan orang
sebayanya, yang datang ke Rawa Pening, khusus untuk
keperluan itu." "Gurumu...?" tanya Arya Salaka.
Kedua Uling itu mengangguk bersama-sama. Jawab Uling
Putih, "Ya, guruku Sura Sarunggi."
Arya Salaka mengerutkan keningnya. Agaknya Uling
Rawa Pening itu telah benar-benar menyusun kekuatan
untuk dapat sampai ke kedudukan yang diinginkan.
Dalam pada itu ia sudah tidak melihat kemungkinan lain
daripada menghadapi sepasang Uling itu dengan kekerasan.
Seperti juga Widuri yang selama ini berdiam diri
mendengarkan percakapannya dengan sepasang Uling itu,
maka iapun harus memperhitungkan kekuatan diri.
Untunglah bahwa Widuri telah memiliki bekal untuk
membela dirinya sendiri. Namun sekarang bagaimanakah
imbangan kekuatan dari mereka berdua dengan kekuatan
Uling itu sepasang..."
"Tuan muda..." tiba-tiba Uling Kuning masih meneruskan,
"Sepeninggal Tuan jangan Tuan cemaskan gadis Tuan itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Meskipun kami sudah tidak semuda Tuan, namun kami
akan berusaha untuk memeliharanya baik-baik."
Widuri menjadi muak mendengar perkataan itu. Apalagi
ketika kemudian disusul dengan suara tertawa mereka yang
mirip ringkik kuda yang sudah hampir gila. Namun Widuri
masih dapat menahan dirinya ia menyerahkan segenap
persoalan kepada Arya Salaka.
Namun Arya Salaka pun menjadi marah mendengar
perkataan-perkataan yang menyakitkan hati itu. Maka
dengan lantang iapun menjawab, "Sepasang Uling yang
baik. Terima kasih atas berita yang telah kau sampaikan
kepadaku. Dan terima kasih pula atas perhatianmu
terhadap diriku sehingga untuk seorang anak-anak, kau
berdua telah memberikan waktu yang cukup banyak serta
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tenaga yang besar sekali. Dengan demikian aku merasa
mendapat kehormatan dari sepasang orang perkasa.
Meskipun demikian sebaiknya kau mempertimbangkan
sekali lagi, apakah kau ingin meneruskan rencanamu itu,
ataukah lebih baik kau tetap menjadi perampok kecilkecilan yang bersarang di Rawa Pening."
Sepasang Uling itu terkejut mendengar jawaban Arya
Salaka. Sindiran itu sudah jelas bagi mereka, bahwa Arya
Salaka sama sekali tidak gentar menghadapinya. Meskipun
mereka telah memperhitungkan bahwa anak itu pasti tidak
akan menyerahkan lehernya begitu saja, namun mereka
sama sekali tidak menduga bahwa anak itu berani
merendahkannya. Karena itu dengan suara yang keras
parau Uling Putih menjawab, "Hati-hatilah kau berbicara
anak muda. Supaya aku tidak membiarkan kau menderita
pada saat ajalmu datang."
Arya Salaka sama sekali tidak mempedulikan ancaman
itu, jawabnya, "Sebaiknya kau kembali saja ke Rawa
Pening. Lebih baik kau menghadap Paman Lembu Sora dan
minta menjadi pekatiknya. Kau akan mendapat jaminan
seumur hidupmu. Kau tidak akan kelaparan."
"Tutup mulutmu!" bentak Uling Kuning sambil melangkah
maju. Ternyata darahnya agak lebih panas dari kakaknya.
"Berlututlah dan minta ampun, supaya kau tidak mengalami
siksaanku." Arya menatap mata Uling Kuning itu dengan penuh
kebencian. Dengan dada menengadah ia menjawab, "Maaf
Uling Kuning, aku tidak bisa berjongkok dan minta ampun.
Kalau kau telah biasa melakukan itu kau sajalah yang
berjongkok dan minta ampun."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Darah Uling Kuning maupun Uling Putih menjadi
mendidih karenanya. Tetapi pada saat Uling Kuning hampir
saja lupa diri dan meloncat menyerang, tiba-tiba
terpandanglah olehnya Endang Widuri. Karena itu tiba-tiba
ia mengurungkan serangannya. Bahkan kemudian ia
menoleh kepada Uling Putih sambil berkata, "Apakah yang
harus kita lakukan terhadap anak yang telah menghina
kebesaran nama Sepasang Uling dari Rawa Pening ini
Kakang?" Uling Putih yang telah marah itu menjawab, "Menyingkirlah, biar aku sayat kulit mukanya, dan akan aku
biarkan ia hidup sampai matahari terbit esok."
Ancaman itu sungguh mengerikan. Suatu siksaan yang
tiada taranya. Namun Arya Salaka sama sekali tidak gentar.
Ia masih berdiri dengan dada menengadah menghadapi
setiap kemungkinan. Juga kemungkinan untuk disayat kulit
wajahnya, dan dibiarkan hidup sampai besok.
Dalam pada itu Uling Kuning tersenyum di dalam hati.
Memang sebenarnya ia ingin menyerahkan Arya Salaka
kepada kakaknya. Sebab ia lebih tertarik untuk menangkap
gadis yang menjelang dewasa yang datang kepadanya
seolah-olah hadiah dari langit. Meskipun demikian ia masih
berpura-pura berkata, "Adakah Kakang perlu menanganinya
sendiri?" Uling Putih menjawab, "Biar puas hatiku, jangan kau ikut
campur." Uling Kuning mundur selangkah. Matanya dengan liar
merambat ke segenap bagian tubuh Endang Widuri. Tubuh
yang tepat pada usia kemekaran menjelang masa remaja.
Sementara itu Uling Putih telah siap. Dengan wajah yang
mengerikan ia melangkah maju. Selangkah demi selangkah.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tangannya yang panjang telah siap sepenuhnya untuk
merobek-robek kulit Arya Salaka.
Arya Salaka pun segera mempersiapkan dirinya. Ia harus
melawan Uling itu mati-matian. Sebab ia tahu betul, bahwa
sepasang Uling Rawa Pening adalah orang-orang yang
hampir seluruh hidupnya diwarnai oleh noda-noda yang
hitam kelam. Karena itu, Arya Salaka berpendapat bahwa ia
harus mencoba untuk dapat memusnahkannya. Tetapi ia
masih belum dapat mengukur, apakah ilmu yang selama ini
dipelajarinya akan cukup mampu untuk melawan Uling
Putih itu. Namun dalam pada itu, yang tergores didalam
hatinya, adalah perbuatan yang sebaik-baiknya sebagai
suatu pernyataan kebaktian yang tulus kepada sesama.
Tetapi yang masih sedikit mengganggu pikirannya adalah
Endang Widuri. Ia melihat suatu tanda-tanda yang
mencemaskan pada Uling Kuning. Ia melihat bagaimana
cara Uling Kuning itu memandang Endang Widuri. Karena
itu maka mau tidak mau ia merasa bertanggungjawab pula
atas keselamatan gadis itu.
Uling Putih kini sudah dekat berdiri di depannya. Giginya
gemeretak didalam mulutnya yang terkatub rapat. Tetapi
sesaat kemudian terdengar ia menggeram, "Tidak sia-sia
aku berdua tinggal untuk beberapa hari di sini. Sekarang
aku akan puas menghisap darahmu."
Arya Salaka tidak menjawab. Tetapi ia menarik kaki
kirinya setengah langkah surut.
Bersamaan dengan itu, Uling Putih meloncat dengan
garangnya menyerang dada Arya Salaka. Cepat Arya Salaka
menekuk lutut sambil membungkukkan tubuhnya. Sementara itu tangannya menyambar lambung lawannya
dengan gerak yang mendatar.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dalam pada itu Arya Salaka menjadi terkejut sendiri
dengan gerakannya. Sebab tiba-tiba ia merasa seolah-olah
ada tenaga kuat yang mendorong dari dalam. Tenaga yang
selama ini seolah-olah tersembunyi. Bahkan dalam
gerakannya itu, terasa benar bahwa segala sesuatu di
dalam tubuhnya telah berubah. Mungkin itulah yang
dimaksud dengan penyempurnaan tata nadi yang dilakukan
oleh orang berjubah abu-abu. Dan dengan demikian
geraknya menjadi cepat dan kuat.
Uling Putih terkejut melihat kecepatan gerak anak itu.
Bahkan ia terkejut pula ketika melihat tangan lawannya
menyambar lambung. Karena ia sama sekali tidak menduga
bahwa hal yang demikian akan terjadi, maka iapun kurang
mempersiapkan dirinya. Ia mengira bahwa anak itu hanya
dapat berloncat-loncatan sedikit. Ia tidak tahu bahwa Arya
Salaka dalam perkelahian seorang lawan seorang telah
dapat mengalahkan Sawung Sariti. Sebab Sawung Sariti
sendiri selalu mengatakan bahwa ia harus bertempur
menghadapi beberapa orang yang datang membantu Arya
Salaka. Dengan demikian Uling Putih itu tidak sempat
berbuat lain daripada membentur tangan Arya Salaka. Uling Putih menarik kaki kanannya, kemudian
memutar tubuhnya dan menghantam lengan lawannya itu
dengan kedua belah tangannya. Arya Salaka masih belum
dapat menguasai geraknya sendiri sebaik-baiknya. Sebab
sejak ia bertemu dengan laki-laki aneh yang berjubah abuabu serta menidurkannya di dalam semak-semak, ia belum
pernah mencoba tenaganya. Ini adalah yang pertama
kalinya ia dapat melihat akibat dari kejadian malam yang
mendebarkan itu. Karena itu ia tidak dapat menghindarkan
diri dari benturan yang terjadi. Benturan antara lengannya
dengan kedua tangan Uling Putih. Akibatnya diluar dugaan
Uling Putih dan Arya Salaka sendiri. Uling Putih yang pada
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dasarnya memandang rendah kepada lawannya, sengaja
tidak mengerahkan segenap kekuatannya. Sebab ia mengira
bahwa sebagian tenaganya saja ia akan mampu
mematahkan lengan anak yang dianggapnya terlalu
sombong itu. Tetapi yang terjadi sama sekali tidaklah demikian.
Tenaga tangan Arya ternyata besar sekali, sehingga Uling
Putih terdorong surut beberapa langkah, sedang Arya


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendiri tetap tidak bergeser dari tempatnya.
Mengalami peristiwa itu, dada Uling Putih seolah-olah
menyala karena hatinya yang panas. Disamping perasaan
heran yang tak habis-habisnya terhadap kekuatan tenaga
anak yang dianggapnya tidak lebih dari seekor kelinci yang
lemah itu, juga menggelora di dalam dadanya suatu
perasaan malu, marah, dendam dan nafsu bercampur baur.
Karena itu, maka segera ia mengerahkan segenap
perhatiannya untuk satu tujuan, membunuh dan menyayatnyayat putera kepala daerah Perdikan Banyubiru itu.
Demikianlah dengan garangnya ia menyerang kembali.
Serangan yang datang menggelombang dengan dahsyatnya. Arya Salaka pun kemudian melayaninya
dengan tangguhnya. Ia telah mewarisi hampir segenap
jenis unsur-unsur gerak dari perguruan Pengging, ditambah
dengan tata nadinya yang telah disempurnakan. Dengan
demikian anak muda itu seolah-olah dapat bertempur
seperti burung elang di udara, menyambar-nyambar
dengan garangnya. Tetapi kemudian ia mampu pula
bertempur laksana banteng yang tangguh kukuh, tenang
dan meyakinkan. Uling Kuning dan Endang Widuri berdiri terpaku
menyaksikan pertempuran itu. Pertempuran yang berjalan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dengan sengitnya. Yang sekali waktu berjalan cepat, tetapi
kemudian menjadi lambat, namun penuh dengan ketegangan yang mendebarkan.
Uling Kuning, yang mula-mula menjadi sangat gembira
ketika kakaknya bermaksud untuk membunuh Arya Salaka
dengan tangannya sendiri, karena dengan demikian ia
dapat berbuat leluasa atas gadis cantik itu, kemudian
terpaksa mengikuti pertempuran itu dengan seksama.
Bahkan kadang-kadang timbullah kecemasan di hatinya.
Sebab kadang-kadang ia melihat serangan Arya Salaka
seperti air yang mengalir dengan derasnya, melanda setiap
usaha yang akan merintanginya. Untunglah bahwa Uling
Putih adalah seorang yang penuh dengan pengalaman
bertempur. Dalam keadaan-keadaan yang sulit, ia masih
mampu untuk membebaskan dirinya. Namun dengan
demikian anggapannya terhadap Arya Salaka telah berubah.
Ia kemudian menganggap anak muda itu seorang lawan
yang berbahaya tak henti-hentinya, yang rasa-rasanya
datang dari segenap penjuru. Dalam keadaan yang
demikian Uling Putih harus memeras keringatnya untuk
dapat mencapai titik keseimbangan. Namun agaknya anak
muda itu benar-benar luar biasa. Meskipun Uling Putih telah
berusaha membentengi tubuhnya dengan gerakan-gerakan
yang cepat dan berubah-ubah, tetapi ia tidak bisa menutup
mata, atas suatu kenyataan bahwa dadanya menjadi
semakin sesak oleh pukulan-pukulan Arya Salaka, yang
meluncur seperti tatit menyambar tanpa dapat dihindari.
Bahkan beberapa kali, ia tidak dapat berhasil membebaskan
diri seluruhnya atas serangan-serangan kaki lawannya yang
masih sangat muda itu. Meskipun Uling Kuning melihat kenyataan itu, namun ia
terlalu mengagumi kakaknya, seperti ia mengagumi dirinya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sendiri yang seolah-olah tak seorangpun dari angkatan
sebayanya, apalagi anak-anak seperti Arya Salaka, akan
mampu mengalahkannya. Karena itu, ia tidak mengalami
sendiri tekanan-tekanan maut yang mendesing-desing di
telinga, ia tidak sedemikian mencemaskan keadaan Uling
Putih. Bahkan tiba-tiba ia teringat kepada kepentingannya
sendiri. Kepada gadis yang berdiri tak seberapa jauh
darinya. Dengan sudut matanya sekali lagi ia memandang Endang
Widuri yang masih asik melihat pertempuran antara Arya
Salaka dan Uling Putih. Dan sekali lagi dada Uling Kuning itu
bergetar. Kalau saja ia nanti berhasil membawa anak itu ke
Rawa Pening, pasti akan merupakan barang yang sangat
berharga di daerah yang tersekat dari pergaulan. Berbeda
dengan daerah Nusakambangan, pusat kerajaan Ular Laut
yang tampan, dimana terdapat berpuluh-puluh gadis
korbannya yang disimpan di sana. Berbeda pula dengan
cara hidup Sima Rodra muda dari Gunung Tidar. Yang
seolah-olah telah kehilangan tingkat tata pergaulan hidup
manusia yang wajar, dimana laki-laki dan perempuan
dibiarkan mengalami suatu penghidupan yang buas dalam
segala segi-seginya. Karena itu maka kemudian perlahan-lahan perhatiannya
berkisar dari titik pertempuran kepada Endang Widuri.
Bahkan kemudian iapun menggeser kakinya setapak demi
setapak ke arah gadis itu. Ia ingin menangkapnya di tempat
itu pula. Dengan demikian, kecuali ia akan mendapat
sesuatu yang dianggapnya permainan yang menyenangkan,
sekaligus ia dapat mempengaruhi perhatian Arya Salaka.
Dengan demikian secara tidak langsung ia sudah membantu
kakaknya. Sebab sedikit saja Arya Salaka lengah, maka
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kakaknya pasti akan dapat mempergunakan kesempatan itu
sebaik - baiknya. Ketika ia sudah mendapat keputusan bulat atas
rencananya itu. Uling Kuning tersenyum-senyum sendiri. Ia
memastikan bahwa rencana itu akan berhasil. Menangkap
Endang Widuri dan sekaligus menyebabkan Arya Salaka
binasa. Sementara itu, pertempuran berjalan semakin sengit.
Arya Salaka terpaksa mengakui ketangguhan lawannya.
Tahulah ia sekarang, mengapa ayahnya dahulu tidak
tergesa-gesa bertindak terhadap kedua orang yang
berbahaya itu. Pada waktu itu pasti ayahnya sedang
mempersiapkan segala kemungkinan serta perhitunganperhitungan yang masak. Ternyata kedua orang itu benarbenar luar biasa. Untunglah bahwa pada saat itu, ia telah
banyak menerima tuntunan langsung atau tidak langsung,
sehingga dengan demikian ia dapat melawan Uling Putih
dengan sebaik-baiknya. Bahkan kemudian ternyata bahwa
ia berhasil mendesaknya. Apalagi setelah ia mengalami
pijatan-pijatan di seluruh permukaan tubuhnya, terasa
sekali betapa ia bertambah segar, kuat dan lincah.
Tenaganya dapat melontar bebas tanpa sesuatu rintangan.
Uling Putih kemudian mengumpat-umpat di dalam hati.
Ia sama sekali tidak menduga bahwa Arya Salaka memiliki
keteguhan serta ketangguhan yang sedemikian besarnya.
Karena itu ia menjadi bertambah marah. Dikerahkannya
segenap ilmunya. Tetapi ia harus menghadapi suatu
kenyataan, bahwa setelah ia memeras diri, ia tetap tidak
mampu untuk menundukkan lawannya. Akhirnya ia menjadi
gelisah. Bahkan ia mengharap agar adiknya melihat
kesulitannya. Ia tidak dapat berteriak memintanya ikut
bertempur sebab ia masih memperhatikan harga dirinya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Namun apabila keadaan memaksa, ia tidak akan pedulikan
lagi, apalagi dengan demikian ia dianggap licik atau apapun.
Tetapi sebelum ia benar-benar minta adiknya menolongnya,
dalam sekilas ia melihat Uling Kuning perlahan-lahan
mendekati gadis kecil yang sedang asik melihat perkelahian
itu. Dalam pada itu timbulah suatu harapan padanya.
Mudah-mudahan gadis itu ditangkap oleh adiknya. Kalau
gadis itu kemudian menjerit, saatnya tiba, Arya Salaka pasti
akan lengah. Dan pada saat itu saat yang sebaik-baiknya
untuk menghancurkannya. Pada saat itu, malam telah turun perlahan-lahan. Warnawarna merah di langit telah lenyap disapu oleh warnawarna kelam. Bulan telah mulai menampakkan dirinya
kembali diantara taburan bintang-bintang. Awan yang tipis
bertebaran disana-sini menghias langit.
Perhatian Endang Widuri sebenarnya memang sedang
tertumpah pada perkelahian yang sengit antara Arya Salaka
melawan Uling Putih. Dengan keheran-heranan ia melihat
Arya Salaka melontarkan diri, membelit dan kemudian
meloncat dengan garangnya menghantam lawannya. Tetapi
ia mengerti pula bahwa Uling Putih pun mempunyai
kekuatan yang cukup untuk dapat mempertahankan dirinya.
Ia bergerak setapak-setapak, bergeser, meloncat dan
berputar untuk menjaga agar ia tetap dapat menghadapi
Arya Salaka yang seperti bayangan saja. Sekali muncul di
sana, kemudian muncul di tempat lain. Kalau saja lawannya
bukan orang yang cukup kuat, maka ia pasti akan menjadi
pening dan kebingungan. Semakin lama pertempuran itu menjadi semakin seru.
Arya Salaka semakin mendesak lawannya pula. Melihat
peristiwa itu Endang Widuri menjadi gembira, sehingga
gadis itu tersenyum-senyum sendiri. Bahkan ia kadangSH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kadang bergerak pula seperti anak-anak mendengar
gamelan. Sekali ia bergeser maju, sekali ke samping.
Bahkan kadang-kadang ia meremas-remas tangannya
sendiri dengan kuatnya. Tetapi ketika Uling Putih telah benar-benar terdesak,
tiba-tiba tangannya menarik tali yang membelit pinggangnya. Demikian tali yang besar itu terurai,
tampaklah bahwa sebenarnya yang membelit pinggangnya
itu adalah sebuah cemeti. Arya Salaka tertegun melihat
cambuk yang lemas di tangan Uling Putih. Ia tahu benar
bahwa cambuk itulah senjata andalannya. Dengan demikian
ia harus berhati-hati menghadapinya.
Ketika itulah Uling Putih itu menyerang dengan
garangnya. Cambuknya berdesing-desing dengan dahsyatnya. Sebuah sambaran mendatar mengarah ke dada
Arya Salaka. Dengan tangkasnya Arya membungkuk dalamdalam, serta dengan sekali berputar, kakinya menyambar
perut Uling Putih. Namun Uling Putih sempat menarik
dirinya setapak mundur. Bersamaan dengan itu, ia telah
sempat menarik cambuknya mendatar pula. Kali ini Arya
tidak dapat membungkuk lebih rendah lagi. Tetapi ia harus
meloncat mundur. Uling Putih tidak mau memberinya
kesempatan. Dengan loncatan yang panjang ia memburu
Arya sambil mengayunkan cambuknya sendhal pancing.
Arya yang mengetahui betapa bahaya yang mengancam
apabila ia sampai terkena pukulan itu, segera meloncat
kesamping. Ketika ujung cemeti itu berdesing disamping
telinganya, ia melontar dengan cepatnya maju dekat sekali
dengan lawannya. Dengan sekuat tenaganya ia menghantam dada lawannya. Uling Putih terkejut melihat
gerakan yang cepat dan tak terduga-duga itu. Dengan
tangan kirinya ia mencoba menahan tangan Arya, sedang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tangan kanan memutar cambuknya cepat-cepat untuk
menyerang dalam jarak yang pendek itu. Demikianlah
dengan kerasnya tangan Arya menghantam tangan kiri
Uling Putih yang mencoba melindungi dadanya. Pukulan itu
demikian kerasnya sehingga terdengarlah Uling Putih
mengaduh tertahan. Tangan kirinya ternyata tidak mampu
menahan tekanan tangan lawannya, sehingga bagaimanapun juga, terasa sesuatu mendesak dadanya.
Desakan itu demikian kuatnya, sehingga ia terlontar
mundur dan kemudian jatuh terguling. Tetapi dalam pada
itu, Uling Putih agaknya memang ahli memainkan
senjatanya. Meskipun pada saat itu Arya berdiri hampir
melekat tubuhnya, ujung cambuknya berhasil juga
menyentuh pundaknya, sehingga terasalah betapa nyerinya,
dan bahkan terasa bahwa kulitnya terkelupas.
Arya menyeringai menahan pedih. Tanpa disengaja
tangannya meraba tempat yang terluka itu. Terasa betapa
darahnya yang hangat mengalir. Dalam pada itu Uling Putih
segera melenting berdiri. Namun terasa betapa dadanya
semakin sesak. Dalam pada itu, baik Uling Putih maupun Arya Salaka
telah mencapai puncak kemarahannya. Mereka masingmasing telah merasakan betapa tubuh mereka telah
berhasil disakiti oleh lawannya. Maka terdengarlah Uling
Putih menggeram penuh dendam. Matanya yang menyala
merah menjadi semakin liar. Arya Salaka pun kemudian
menggigil karena kemarahan. Jantungnya berdebar keras,
sedang tangannya bergetaran, siap untuk menghancurkan
lawannya. Uling Putih yang telah dapat menguasai dirinya kembali,
segera melangkah maju. Ia telah melihat hasil serangannya
pada lengan lawannya. Dengan demikian ia menjadi sedikit
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berbesar hati. Mudah-mudahan luka ditangan Arya itu dapat
mempengaruhi keteguhan hatinya. Tetapi ia salah harap.
Karena luka itu Arya malah menjadi semakin garang.
Bahkan

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiba-tiba tangannya yang gemetar telah menggenggam pusaka kebesaran tanah perdikan Banyubiru, Kyai Bancak. Demikianlah pertempuran itu berkobar kembali. Cambuk
Uling Putih berputar seperti baling-baling. Bergulung-gulung
seolah-olah ingin melibas lawannya dan membenamkan
kedalamnya. Demikian dahsyatnya Uling Putih memainkan
senjatanya sehingga terdengarlah angin mendesing-desing
menggoyang daun-daun pepohonan di sekitarnya serta
merontokkan daun-daun kering yang sudah tidak mampu
lagi berpegangan di batang-batangnya lebih erat lagi.
Tetapi ia berhadapan dengan murid keturunan dari
perguruan Pengging yang telah mengalami pembajaan diri
yang luar biasa beratnya. Bahkan telah mendapat
pertolongan dari seorang ahli tata nadi memperbaiki letak
otot-otot serta syaraf-syarafnya. Sehingga Arya Salaka
dapat mempergunakan segenap tenaganya dalam lontaranlontaran kekuatan tanpa dipengaruhi oleh penggunaan
tenaga cadangan di dalam tubuhsendiri. Apalagi kini di
tangannya telah tergenggam tombak sipat kandel yang
dapat melipatgandakan kemampuannya melawan Uling
Putih itu. Dalam keremangan cahaya bulan, tampaklah gulungan
sinar keputih-putihan melingkar-lingkar mengerikan yang
seolah-olah sedang berusaha untuk melanda sinar yang
menyala kebiru-biruan. Itulah cahaya tombak Kyai Bancak.
Namun sinar yang kebiru-biruan itu selalu berhasil
menghindarkan dirinya, dan bahkan sekali-sekali dengan
dahsyatnya menyusup langsung ke pusat gulungan sinar
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
putih itu. Dengan demikian maka tampaklah betapa Arya
Salaka dapat mengimbangi lawannya dengan baik. Bahkan
kemudian Uling Putih terpaksa memeras keringat habishabisan untuk dapat mengimbangi permainan tombak
bertangkai pendek, sependek tangkai pedang, yang
digerakkan oleh tangan yang kokoh kuat dan terlatih baik.
Dengan demikian pertempuran itu menjadi semakin
sengit. Dan sejalan dengan itu perhatian Endang Widuri pun
menjadi semakin terikat. Ia menjadi semakin kagum atas
ketangkasan Arya Salaka. Kalau beberapa saat yang lalu, ia
pernah berlatih bersama-sama dengan anak muda itu,
maka sekarang dengan penuh keheranan ia melihat Arya
Salaka telah melangkah jauh kedepan. Pada waktu Arya
bertempur melawan Sawung Sariti pun, tenaganya masih
belum sedahsyat sekarang ini. Tetapi ia tidak tahu bahwa di
dalam tubuh Arya, baru saja terdapat beberapa perubahan
tata nadi yang sangat menguntungkannya.
Tetapi karena keasyikannya melihat pertempuran itulah
maka ia sama sekali tidak menduga bahwa Uling Kuning
telah menjadi semakin dekat, semakin dekat di belakangnya. Maka, tiba-tiba saja dirasanya sepasang tangan yang
kuat telah memegang kedua belah lengannya. Dengan
demikian Endang Widuri menjadi terkejut sekali, sehingga
tanpa disengaja ia memekik kecil.
Saat itulah yang memang ditunggu-tunggu oleh kedua
Uling bersaudara itu. Sebab dengan demikian mereka
mengharap Arya akan menjadi lengah. Dan apa yang
mereka harapkan itu benar-benar terjadi. Arya terkejut
mendengar suara Widuri. Tetapi ia tidak menjadi lengah
karenanya. Untuk dapat mengetahui keadaan gadis itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Arya Salak meloncat jauh-jauh ke belakang. Meskipun
demikian, karena perhatiannya sebagian terampas oleh
peristiwa lain, maka terasalah sebuah sengatan pedih di
pinggangnya. Ternyata sekali lagi Uling Putih berhasil
mengenainya dengan cambuknya yang sangat berbahaya.
Terdengarlah Arya berdesis menahan sakit. Meskipun
demikian ketika jaraknya telah menjadi agak jauh dari
lawannya, ia sempat juga memandang kearah Widuri yang
berdiri tidak begitu jauh dari titik perkelahian itu.
Tetapi yang terjadi kemudian, sama sekali tidak seperti
yang diharapkan oleh sepasang Uling dari Rawa Pening itu.
Luka di pinggang Arya itu ternyata telah membakar
semangat Arya lebih dahsyat lagi. Dengan menyeringai
menahan pedih, ia menggeram penuh kemarahan.
Meskipun demikian otaknya masih dapat bekerja dengan
baik. Ia tidak mau terlibat dalam pertempuran yang liar.
Uling Kuning, yang berhasil menangkap Widuri tanpa
diketahui sebelumnya, agaknya menjadi menyesal sekali.
Ketika ia memegang lengan gadis itu, ia terlalu berhati-hati,
seperti seorang yang memegang sebuah permainan ringkih,
sehingga ia takut kalau merusakkannya. Tetapi ia sama
sekali tidak menduga, bahwa gadis kecil itu tidak ubahnya
sebagai seekor lebah kuning yang manis namun sengatnya
sangat berbahaya. Demikian Endang Widuri merasa tangkapan pada
lengannya, ia menjadi sadar bahwa Uling Kuning telah
menyerangnya. Tetapi otaknya yang cerdas merasakan
betapa tangan Uling Kuning itu terlalu hati-hati meraba
kulitnya. Itulah sebabnya, maka dengan satu gerakan
merendah, sambil memutar tubuhnya setengah lingkaran,
kakinya dengan cepatnya telah berhasil mengenai perut
Uling Kuning bagian bawah. Uling Kuning sama sekali tidak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menduga bahwa hal yang demikian dapat terjadi, sehingga
ia sama sekali tidak bersiaga. Karena itu terdengarlah ia
mengaduh kesakitan. Bahkan kekuatan Endang Widuri
cukup melemparkannya beberapa langkah dan kemudian
membantingnya jatuh ke tanah.
Untunglah Uling Kuning telah mempunyai cukup
pengalaman. Dengan cepatnya ia meloncat berdiri dan
mencoba menghadapi setiap kemungkinan yang dapat
terjadi. Namun demikian, kaki gadis kecil, puteri Ki Kebo
Kanigara, yang telah dibekali dengan pengetahuan yang
cukup, terasa telah menggoncangkan isi perutnya. Perasaan
mual berputar-putar mengganggu sekali, seolah-olah isi
perutnya diaduk dengan hebatnya. Belum lagi Uling Kuning
benar-benar sadar atas apa yang terjadi, dilihatnya gadis
kecil itu melayang dengan lincahnya, menyerang seperti
semburan air hujan yang datang ke segenap bagian
tubuhnya. Uling Kuning terpaksa surut beberapa langkah.
Namun demikian ia mempunyai cukup kesempatan untuk
membentengi dirinya dengan tangkisan-tangkisan yang
rapat. Tetapi Endang Widuri cukup lincah dan cekatan
untuk membingungkannya. Ketika Arya Salaka melihat bahwa Endang Widuri
ternyata telah berhasil menolong dirinya sendiri, ia menjadi
berbesar hati. Ia percaya bahwa gadis itu akan mampu
untuk menahan serangan Uling Kuning dalam waktu yang
cukup lama. Ia mengharap bahwa keadaan akan
memungkinkannya untuk membantu. Apalagi ketika
dilihatnya Uling Kuning menjadi gelisah karena serangan
pertama kaki Widuri yang tepat mengenai bagian bawah
perutnya. Ternyata bahwa akibat dari serangan itu sangat
menguntungkan. Sebab untuk seterusnya tenaga Uling
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kuning sangat terpengaruh oleh perasaan muak dan sakit
yang melilit-lilit di dalam rongga perutnya.
Tetapi Arya tidak mempunyai kesempatan lebih lama lagi
untuk menilai pertempuran antara Widuri dan Uling Kuning.
Sebab pada saat itu Uling Putih telah menyerangnya pula,
bagaikan badai yang datang bergulung-gulung. Tetapi
agaknya badai itu menghantam gunung yang tegak dengan
perkasanya, serta tak setapakpun bergeser dari tempatnya.
Demikianlah di tempat yang sepi itu telah terjadi dua
lingkaran pertempuran. Uling Putih yang menyesal, bahwa
ia tak berhasil mempergunakan saat yang ditunggu-tunggu
menjadi semakin marah. Cambuknya berputar-putar
semakin cepat. Tetapi lawannya menjadi semakin garang
pula. Luka di lengan dan lambung A rya telah menambahnya
semakin teguh. Ujung tombaknya yang bercahaya kebirubiruan, mematuk-matuk ke segenap bagian tubuh lawan
seolah-olah menjadi beribu-ribu mata tombak yang datang
dari segala arah. Sejalan dengan itu, dada Uling Putih terasa menjadi
semakin sesak. Beberapa kali ia meloncat menjauhi
lawannya untuk mendapat kesempatan menarik nafas
dalam-dalam. Namun lawannya bukan pula seorang yang
tidak mengetahui keadaannya. Karena setiap ia berusaha
untuk mendapat kesempatan itu, A rya Salaka selalu dengan
garangnya mendesak maju. Kepada lawannya yang sangat
berbahaya itu, Arya sama sekali tidak mau memberi
kesempatan sama sekali. Bahkan kemudian, tiba-tiba ia
teringat pada suatu pagi yang cerah di Banyubiru. Pada
saat ia berhasil menangkap seekor Uling dari Rawa Pening.
Pada saat itu Mahesa Jenar berkata kepadanya, bahwa
bukan Uling seperti yang ditangkapnya itulah yang
berbahaya di daerah sekitar Rawa Pening, tetapi sepasang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Uling yang sekarang berhadapan melawannya itulah yang
dicemaskan. Diingatnya pada saat itu, ia seolah-olah
berjanji kepada Mahesa Jenar, bahwa sepasang Uling itu
pun kelak akan dibunuhnya. Sepasang Uling yang selalu
membayangi kekuasaan ayahnya di Banyubiru. Bahkan
telah berterus terang kepadanya, bahwa sepasang Uling
itupun sekarang sedang dalam perjuangan untuk dapat
merebut kedudukan ayahnya itu lewat segala macam lekukliku dan cara-cara yang licik. Karena itu, dada Arya Salaka
menjadi semakin menggelegak. Baginya tidak ada pilihan
lain daripada berusaha untuk memenuhi harapannya,
membinasakan sepasang Uling yang berhati hitam itu.
Dengan demikian, kebulatan tekadnya itu seolah-olah
telah mempengaruhi tenaganya. Ia seolah-olah telah
mendapat tenaga yang maha besar mengalir lewat
pembuluh-pembuluh darahnya ke segenap bagian tubuhnya. Karena itu, maka apa yang terjadi kemudian
sangat mengejutkan lawannya. Dengan penuh keyakinan di
dalam dadanya, Arya melanda lawannya seperti ombak
lautan yang digoncangkan badai. Dengan garangnya,
segulung demi segulung, berturut-turut menghantam
tebing, yang akhirnya akan runtuh berguguran. Demikianlah
Uling Putih akhirnya merasakan, bahwa tekanan serangan
Arya Salaka menjadi semakin dahsyat. Bahkan tiba-tiba
ketika ia sedang mati-matian mempertahankan dirinya,
terasa tangannya yang memegang cambuk itu bergetar.
Dan apa yang dilihatnya sangat mengejutkannya. Ternyata
ujung cambuknya telah terpotong oleh ketajaman tombak
Arya Salaka. Dengan demikian, Uling Putih menjadi cemas.
Satu-satunya senjata yang selama ini dibangga- banggakannya telah terpotong. Ia menjadi bertambah
cemas lagi ketika ia melirik ke arah adiknya. Dalam sekilas
Arya menyaksikan gadis itu dapat melawan Uling Kuning
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dengan baiknya setelah UlingKuning dikenainya lebih
dahulu. Dengan demikian ia tidak dapat mengharap Uling
Kuning akan dapat membantunya.
Tetapi Uling Putih adalah seorang yang berhati batu.
Meskipun pertempuan yang telah berlangsung itu
mengatakan kepadanya bahwa Arya Salaka bukanlah anakanak yang hanya dapat bermain loncat-loncatan, namun ia
telah bertekad untuk memenangkan pertempuran itu dan
membunuhnya. Karena itu ia menjadi semakin buas.
Geraknya semakin lama menjadi semakin liar. Dalam
keadan yang demikian itulah Arya benar-benar berusaha
menguasai keadaan. Ia bertempur dengan hati-hati. Ia
tidak saja mempergunakan tenaganya, tetapi ia memperhitungkan pula setiap keadaan dan kemungkinan.
Demikianlah, ketika bulan muda telah membenamkan
dirinya di balik punggung pegunungan, terdengarlah suatu
jeritan ngeri mengumandang membentur dinding-dinding
bukit. Jerit ngeri yang patah. Dan kemudian disusul dengan
suara tubuh yang jatuh terbanting.
Sesaat kemudian kembali malam terlempar ke dalam
suasana yang sepi, Arya Salaka tampak tegak berdiri
dengan tangan yang gemetar memegang Kiai Bancak yang
berlumuran darah. Darah Uling Putih yang kini terbaring tak
bernafas di hadapannya. Yang terdengar pada saat itu
hanya dengus nafas Arya Salaka yang melonjak-lonjak.
Tetapi Arya Salaka tidak mendapat kesempatan untuk
menyaksikan tubuh lawannya itu lebih lama lagi. Sebab
tiba-tiba ia melihat sebuah bayangan yang meloncat lari.


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Itulah Uling Kuning yang setelah tertegun sejenak bersama
lawannya, Endang Widuri, yang seperti terpesona, menjadi
sadar bahwa bahaya maut telah mengancamnya. Karena itu
ia akan berusaha untuk menghindarkan dirinya. Tetapi Arya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
telah melihat bayangannya. Dengan secepat kilat dikejarnya
Uling Kuning itu. Terhadap orang-orang yang demikian itu
Arya tidak dapat berbuat lain kecuali membinasakan. Itulah
sebabnya maka Arya sama sekali tidak mau lagi memberi
kesempatan kepada Uling Kuning untuk meloloskan diri.
Demikian pula Endang Widuri. Ia tidak mau pula
ketinggalan. Maka segera iapun berlari mengejar kedua
bayangan yang berlari berkejar-kejaran. Namun kedua
bayangan itu kemudian lenyap menyusup ke dalam semaksemak. Untuk seterusnya Endang Widuri kehilangan jejak.
Karena itu ia menjadi bingung. Ia tidak tahu kemana ia
harus pergi. Sedang jalan kembalipun tak diketahuinya
pula. Untuk beberapa saat Endang Widuri berdiri termangumangu. Tiba-tiba, ketika ia sedang mencari-cari jalan terdengarlah gemersik daun di belakangnya. Cepat ia
meloncat memutar tubuhnya, dan berdiri dengan teguhnya
diatas kedua kakinya yang renggang setengah langkah
serta tangannya yang disilangkan di muka dadanya, siap
untuk menghadapi setiap kemungkinan yang akan terjadi.
Dalam sepi malam, terdengar langkah itu semakin jelas.
Bahkan kemudian dilihatnya dalam gelap malam dua
bayangan yang berjalan dengan tetap ke arahnya.
Endang Widuri yang baru saja bertempur melawan Uling
Kuning, masih saja merasa dipengaruhi oleh suasana
perkelahian. Karena itu ia menyambut kedatangan dua
bayangan itu dengan sikap yang garang, siap untuk
bertempur. Tetapi kemudian ia terkejut ketika didengarnya
sebuah tawa yang lunak, yang sudah terlalu sering
didengarnya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Ayah...!" teriaknya sambil berlari menyambut kedatangan bayangan yang sudah semakin dekat.
"Apa yang kau kerjakan di sini?" tanya Kebo Kanigara.
"Berkelahi," jawab gadis itu.
"Hem... desis ayahnya. Aku memang sudah mengira.
Apalagi ketika aku jumpai sesosok mayat dibalik semaksemak di sebelah." "Kakang Arya telah membunuhnya," jawab Widuri.
Kebo Kanigara memandang wajah Mahesa Jenar,
kawannya berjalan dengan wajah yang berkerut. Ia ingin
mengetahui bagaimanakah pendapatnya mengenai muridnya. "Aku sudah menduga pula, bahwa anak itu akan
membunuhnya pada suatu saat. Dan sekarang hal itu sudah
dilakukannya," gumam Mahesa Jenar seperti kepada dirinya
sendiri. "Darimana ayah dan Paman Mahesa Jenar tahu bahwa
kami berada di sini?" tanya Widuri.
"Ketika hari sudah gelap, dan kau berdua tidak juga
datang, aku menjadi cemas. Seseorang telah melihat kau
berjalan ke arah ini sore tadi. Dan yang terakhir teriakan
seseorang, yang mungkin adalah teriakan Uling Putih pada
saat dadanya disobek oleh tombak Arya, telah menuntun
aku kemari. Tepat pada saat kami datang, kami melihat kau
berlari-lari. Karena itulah maka aku dapat menemukan kau
di sini," jawab ayahnya.
"Tetapi aku kehilangan jejak Kakang Arya Salaka," sahut
Widuri. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Marilah kita cari. Agaknya ia akan terlibat pula dalam
pertempuran melawan Uling Kuning. Padahal tenaganya
sudah jauh susut karena kelelahan," potong Mahesa Jenar.
Mereka tidak berkata-kata lagi. Tetapi segera mereka
melangkah menyibak daun-daun yang pekat, yang
menghadang di hadapan mereka. Dengan matanya yang
tajam, Mahesa Jenar dapat melihat bekas-bekas ranting
yang tersibak patah-patah oleh injakan dan sentuhan tubuh
Uling Kuning dan Arya Salaka, yang berkejar-kejaran.
Dengan demikian meskipun agak sulit dan perlahan-lahan,
Mahesa Jenar dapat mencari jejak mereka berdua.
Ternyata perjalanan itu cukup panjang. Ketika mereka
telah hampir tidak sabar lagi, tiba-tiba kaki mereka
menginjak tanah yang gembur basah. Semakin lama
semakin dalam. Dan sejalan dengan itu, semak-semaknya
pun menjadi bertambah tipis.
"Tanahnya mengandung air," desis Mahesa Jenar.
"Aku kira kita sampai ke rawa atau telaga," sahut Kebo
Kanigara. Dan apa yang mereka perkirakan adalah benar. Sesaat
kemudian mereka sampai ke daerah yang ditumbuhi
batang-batang ilalang, dan kemudian di hadapan mereka
terbentang telaga yang tidak terlampau luas. Agaknya Uling
Kuning berusaha melarikan diri dengan bersembunyi di
telaga itu. Ketika mereka sudah berdiri di tepi telaga, serta
melayangkan pandangan berkeliling, tiba-tiba terlihatlah
sesuatu yang bergerak-gerak di dalam telaga itu.
Demikian Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara melihat
bayangan itu, segera mereka mengerti bahwa yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bergerak-gerak itu pastilah Arya Salaka dan Uling Kuning
yang sedang bertempur di dalam air. Untuk sesaat Mahesa
Jenar tertegun. Ia menjadi cemas melihat pertempuran di
dalam air itu. Apalagi Kebo Kanigara. Sebab mereka tahu
bahwa hampir sepanjang hidupnya Uling Kuning berada di
sekitar tanah yang berawa-rawa, sehingga baginya, air
merupakan tempat berlindung yang terbaik.
Kemudian Widuri pun melihat perkelahian itu, namun
baginya tidaklah demikian jelas, apakah yang terjadi.
Sementara itu, Arya Salaka yang tidak mau melepaskan
Uling Kuning, terpaksa mengejarnya pula terjun ke dalam
telaga. Ia sadar bahwa Uling Kuning berharap, lewat telaga
itu ia akan mampu melepaskan dirinya. Atau kalau terpaksa
ia terlibat di dalam perkelahian, maka perkelahian di dalam
air akan banyak memberinya keuntungan. Dan apa yang
diharapkan itu terjadilah. Arya tidak peduli lagi apa yang
akan terjadi, meskipun ia terpaksa berkelahi di dalam air.
Demikianlah pertempuran itu berlangsung dengan
sengitnya. Disamping mereka harus berjuang untuk tidak
terbinasakan oleh lawan, mereka juga harus menjaga diri
mereka supaya tidak tenggelam.
Uling Kuning adalah seorang yang seolah-olah dapat
hidup di dalam air. Tangan dan kakinya benar-benar dapat
dipergunakan dengan baik seperti itik mempergunakan
sayap serta kakinya, atau binatang air mempergunakan
sirip-siripnya. Karena itu, ia dapat dengan lincahnya
bertempur. Namun sayang bahwa perasaan muak dan nyeri
di dalam perutnya tidak juga mau hilang. Apalagi yang
dihadapi adalah Arya Salaka. Uling Kuning tidak pernah
mimpi bahwa anak itu pernah hidup sebagai anak nelayan
di pantai Tegal Arang. Bahkan meskipun tidak begitu lama,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
namun Arya telah memiliki pengalaman yang cukup untuk
menaklukan air. Tidak hanya air setenang air telaga itu,
tetapi air yang sedang murka sekalipun. Arya Salaka pernah
terjun ke dalam gelombang yang ganas untuk menyelamatkan alat-alat penangkap ikannya bersama-sama
kawan-kawannya. Bahkan darah pelaut yang mengalir di
dalam tubuh ayahnya, ternyata mengalir pula di dalam
tubuhnya. Pada masa kanak-kanaknya ia telah berani
berkelahi dengan seekor uling yang cukup besar di dalam
rawa. Sedang pada saat ia menginjak dewasa, ia
menerjunkan diri dalam dunia kehidupan nelayan. Karena
itu, dengan tidak diduga oleh Uling Kuning, Arya Salaka pun
dengan dahsyatnya berhasil menyerang lawannya dari arah
yang membingungkan. Sekali-kali ia melenyapkan diri dari
permukaan air, kemudian muncullah ia di tempat yang tak
terduga-duga. Seandainya musuhnya bukan seorang yang
memang sejak kecil hidup bergulat dengan air, maka Arya
pasti akan dengan mudahnya dapat membinasakan. Tetapi
sekarang ia menemukan lawan yang seimbang.
Maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin
sengit. Air di sekitar tempat itu menjadi seolah-olah
mendidih. Buih-buih yang putih bergolak dengan hebatnya
diantara bayangan hitam yang timbul-tenggelam bersamasama. Bahkan kedua bayangan itu akhirnya seolah-olah
berpadu menjadi satu dan bergolak bukan main hebatnya.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara beserta Endang Widuri
yang berdiri di tepi telaga menjadi cemas. Apalagi ketika
tiba-tiba bayangan yang hitam itu lenyap seperti ditelan
putaran air yang melingkar-lingkar.
Mahesa Jenar kemudian menjadi tidak sabar lagi
menunggui saja di tepi telaga. Karena itu segera ia melepas
baju serta kainnya. Hanya dengan celana saja Mahesa Jenar
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
meloncat pula ke dalam air, dan berenang cepat-cepat ke
arah kedua bayangan itu tenggelam.
Sementara itu Arya berjuang mati-matian melawan maut.
Uling Kuning benar-benar tangguh bertempur di dalam air.
Tangannya benar-benar dapat melilit seperti seekor Uling
yang melilit korbannya. Untunglah bahwa Arya memiliki
tenaga raksasa, sehingga dengan pukulan-pukulan yang
keras, ia selalu dapat membebaskan diri dari belitan Uling
Kuning. Namun akhirnya usaha Uling Kuning itu berhasil.
Seperti gila ia tidak menghiraukan sama sekali pukulanpukulan terakhir yang dilontarkan oleh Arya Salaka yang
tenaganya semakin lama semakin kendor. Bahkan tiba-tiba
terasa sesuatu menjerat di lehernya. Ternyata Uling Kuning
telah berhasil mengurai cambuk lemasnya, dan berhasil
membelit leher Arya dengan senjatanya itu. Dengan
demikian seolah-olah nafas Arya menjadi tersumbat. Ia
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
meronta sekuat tenaga, namun tenaga Uling Kuning itu
semakin erat menarik belitan cambuknya pada leher Arya.
Dalam keadaan demikian Arya menjadi marah bukan buatan
dan mengamuk sejadi-jadinya. Dengan kakinya ia
menangkap tubuh Uling Kuning dan tidak mau melepaskannya lagi. Sedang kedua tangannya berusaha
untuk mencekik leher lawannya. Namun sayang ia tidak
berhasil. Meskipun demikian kakinya menjadi seperti
terkunci dan dengan kerasnya membelit perut lawannya.
Perasaan muak dan nyeri pada p erut Uling Kuning menjadi
semakin hebat. Dengan sekuat tenaga ia mencoba untuk
menahan perasaan itu. Sebab pada hematnya, sebentar lagi
Arya pasti sudah tidak akan dapat bernafas dan dengan
demikian ia akan bebas. Dalam keadaan yang demikian itulah mereka bersamasama berputar-putar dan akhirnya bersama-sama tenggelam. Bagi Arya tidak ada jalan lain kecuali mati
bersama-sama daripada mati seorang diri. Itulah sebabnya,
ketika terasa senjata Uling Kuning membelit lehernya
semakin keras, kakinya pun menjadi semakin keras
menekan perut lawannya itu, supaya Uling Kuning ikut serta
terseret ke dalam air. Sedang tangannya berusaha untuk
mengurangi tekanan lilitan cambuk di lehernya.
Tetapi dalam pada itu, tiba-tiba ia teringat bahwa pada
saat ia menerjunkan diri ke dalam air. Kiai Bancak telah
disarungkannya. Tepat pada saat-saat terakhir, dengan sisa
tenaga yang ada Arya menarik tombak pusaka kebesaran
Banyubiru, dan dengan sepenuh nafsu kemarahannya
ditekankan ujung tombak itu ke dalam perut lawannya.
Terdengarlah suara menggelegak sesaat. Setelah itu terasa
tarikan cambuk yang membelit lehernya menjadi semakin
kendor. Sadarlah Arya bahwa ia berhasil membunuh Uling
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kuning dengan tombaknya. Karena itu dilepaskannya
belitan kakinya, dan setelah air di sekitarnya dipenuhi
dengan merahnya darah, ia berusaha untuk berenang ke
permukaan air. Namun tenaganya sudah sedemikian
lemahnya. Bagaimanapun juga ia berusaha, tetapi pada
saat ia berhasil menegakkan kepalanya ke permukaan air
terasa bahwa matanya menjadi berkunang-kunang. Ketika
Arya mencoba memandang bintang-bintang

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang gemerlapan di langit, maka yang tampak seolah-olah
mendung yang tebal menggantung di udara. Hitam dan
kelam. Yang diingatnya pada saat terakhir adalah
menyarungkan tombaknya yang baginya sama harganya
dengan kepalanya, kembali ke dalam sarungnya. Sesudah
itu semuanya seperti lenyap dari ingatannya.
Ketika ia tersadar, terasa seolah-olah sebuah mimpi yang
indah membayang di hadapannya. Meskipun tubuhnya
masih terasa dingin oleh pakaiannya yang basah, namun
dilihatnya beberapa orang duduk di sekitarnya, pada
sebuah balai-balai besar. Sebuah lampu minyak yang
terang, menyala-nyala dengan riangnya, seolah-olah ikut
serta bergembira untuk keselamatan Arya Salaka.
Ketika ia sempat mengamat-amati wajah-wajah di
sekitarnya, tampaklah gurunya yang sedang merenunginya
dengan seksama. Kebo Kanigara, Rara Wilis, Widuri,
Wanamerta, Wiradapa dan beberapa orang lagi yang
dikenalnya sebagai orang-orang Gedangan.
Demikian ia mulai menggerakkan matanya, tampaklah
keriangan membersit di wajah-wajah mereka yang dengan
kecemasan menungguinya. Apalagi Mahesa Jenar. Dengan
tergopoh-gopoh ia bergerak maju dan dengan hati-hati
ditempelkannya kupingnya pada dada Arya untuk mendengarkan detak jantung anak itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Arya..." bisiknya.
Arya mencoba tersenyum, namun kulit wajahnya serasa
membeku. "Kakang Wiradapa..." kata Mahesa Jenar perlahan-lahan.
"Pinjamilah anak ini pakaian kering."
Dengan tergesa-gesa Wiradapa bangkit, dan sesaat
kemudian ia telah kembali dengan pakaian-pakaian kering.
Dengan kain panjang, tubuh Arya diselimuti rapat-rapat,
dan kemudian dilepaskannya pakaian-pakaiannya yang
basah. Sesaat kemudian terasa tubuhnya menjadi agak
hangat. Tetapi dalam pada itu, ingatannya masih belum
pulih benar. Ia masih belum mengerti dimana ia berada.
Dinding-dinding ruangan itu nampaknya masih kabur serta
dilapisi selaput yang buram.
Dengan susah payah akhirnya terdengar ia berdesis, "Di
manakah aku sekarang...?"
"Kau berada di Kelurahan Gedangan, Arya. Tenangkan
pikiranmu. Semuanya sudah selesai," sahut Mahesa Jenar.
"Uling Kuning...?" bisiknya perlahan.
"Ia tidak akan mengganggumu lagi," jawab Mahesa
Jenar. "Jadi, aku berhasil...?" sambungnya.
"Ya, kau berhasil," jawab Mahesa Jenar pula.
Arya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terdengarlah
ia bergumam, "Tuhan Maha Besar."
Yang mendengar gumaman Arya itu menjadi terharu.
Mereka semakin yakin bahwa anak itu tidak saja akan
menjadi seorang yang berjiwa besar, tetapi ia juga akan
menjadi seorang pemimpin yang saleh. Seorang pemimpin
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang akan membawa rakyatnya berjalan sepanjang jalan
Allah. Dalam usianya yang semuda itu, sudah tampaklah
sifat-sifat Arya Salaka yang cemerlang. Jauh dari
kesombongan dan nafsu membalas dendam. Cinta kepada
manusia dan kemanusiaan, serta memandang alam ini
dengan penuh cinta kasih pula.
Demikianlah setelah mengucapkan kata-kata itu hati A rya
menjadi tenteram. Tetapi bersamaan dengan perasaan itu,
tubuhnya mulai berasa betapa penat dan sakitnya. Tulangtulangnya serasa berderak-derak patah, serta sendisendinya seperti terlepas. Luka di lengan serta lambungnya
menjadi pedih sekali. Cambuk Uling itu telah menyobek
kulitnya. Disamping itu, lehernyapun terasa nyeri. bekasbekas cambuk Uling Kuning masih meninggalkan bekasbekas goresan merah. Meskipun demikian Arya Salaka
berusaha untuk melupakan semua sakit-sakit yang
dideritanya. Tetapi suatu pekerjaan yang berat, bahkan sangat berat
telah diselesaikan. Melenyapkan Uling Putih dan Uling
Kuning sekaligus. Kemudian tahulah ia, bahwa Mahesa
Jenar lah yang telah menolongnya, ketika ia pingsan di
tengah-tengah telaga, setelah ia berkelahi melawan Uling
Kuning. Gurunya itu datang tepat pada saatnya, yang
kemudian menyambarnya dan menariknya ke tepi. Kalau
saja Mahesa Jenar terlambat beberapa saat saja, mungkin
ia pun telah binasa seperti Uling Kuning.
Ketika orang-orang yang mengerumuninya mengetahui
bahwa keadaannya telah berangsur baik, maka satu demi
satu mereka meninggalkan tempat itu. Yang tinggal
kemudian hanya beberapa orang saja. Mahesa Jenar, Kebo
Kanigara, Rara Wilis, Widuri, Wanamerta dan Wiradapa.
Dengan pertolongan beberapa orang, Kebo Kanigara
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mendapatkan beberapa macam daun-daunan serta akarakar yang diperlukan untuk mengobati luka Arya. Untunglah
bahwa dalam beberapa hal Kebo Kanigara telah belajar
pada Panembahan Ismaya, sehingga dengan cekatan ia
dapat mengobati luka-luka itu.
Beberapa saat kemudian tampaklah keadaan Arya Salaka
berangsur baik. Bahkan kemudian ia sudah dapat tidur.
Dengan demikian ia dapat beristirahat lahir dan batin.
Demikianlah, untuk beberapa hari Arya perlu beristirahat
benar-benar untuk menyembuhkan luka-lukanya serta
memulihkan tenaganya. Sebab setelah ia bertempur matimatian, terasa seolah - olah tenaganya telah terhisap habis.
Dalam saat-saat itu, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
telah berusaha menjadikan orang-orang Gedangan lebih
masak lagi. Sebab untuk seterusnya tidaklah selalu Mahesa
Jenar, Arya Salaka dan Kebo Kanigara akan dapat berada di
tempat itu. Meskipun menurut perhitungan Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara, musuh tidak akan datang kembali.
Orang-orang yang berkepentingan langsung dengan daerah
Gedangan telah binasa. Sedangkan laskar Pamingit pun
menurut dugaan Mahesa Jenar tidak akan segera kembali.
Mereka pasti harus mempertimbangkan kekuatan yang ada
di daerah kecil ini. Mereka pada saat-saat yang lalu pasti
tidak akan menduga bahwa di daerah ini ada orang-orang
seperti Kebo Kanigara dan bahkan orang yang berjubah
abu-abu, yang tanpa diduga-duga datang menolong.
Setelah Arya sudah pulih kembali kesehatan serta
tenaganya, maka mulailah mereka mempertimbangkan apa
yang akan dilakukan seterusnya. Menurut pertimbangan
Kebo Kanigara, maka yang sebaik baiknya adalah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menghadap Panembahan Ismaya dan melaporkan apa yang
telah terjadi serta menyatakan keselamatan diri.
Demikianlah kemudian mereka terpaksa minta diri
kepada orang-orang Gedangan, setelah mereka mengalami
suka duka bersama, berjuang bersama. Tentu saja orangorang Gedangan menjadi kecewa atas perpisahan itu.
Tetapi perpisahan itu harus terjadi, sebagaimana matahari
akan tenggelam pada senja hari setelah sehari penuh
sinarnya memancari permukaan bumi. Demikianlah pula
setiap pertemuan pasti akan diikuti dengan perpisahan.
Cepat atau lambat. Karena tak ada sesuatu yang kekal di
muka bumi ini. Setiap kali selalu ada perubahan-perubahan
dan putaran-putaran peristiwa. Seperti berputarnya bola
bumi itu sendiri. Sekali sebagian wajahnya menjadi terang
benderang karena cahaya matahari tetapi sekali menjadi
gelap oleh bayangannya sendiri.
Kepada orang-orang Gedangan Mahesa Jenar mencoba
untuk menjelaskan hal itu. Kemudian katanya, "mengakhiri
karena itu selagi kita berada ditempat yang terang.
janganlah kita bersombong diri. Janganlah kita menganggap
bahwa di sana ada dunia yang gelap, yang hanya
diperuntukkan bagi mereka yang tidak berhak menikmati
terangnya sinar matari. Tetapi dalam keadaan demikian,
kita justru harus mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang
Maha Esa, bahwa kita masih berkesempatan untuk
memandang udara yang cerah. Sebab pada saat yang lain,
kitapun akan sampai pada daerah yang kelam. Pada saat
yang demikian kita harus berdoa, semoga Tuhan Yang
Maha Esa selalu menerangi hati kita menjelang masa depan
yang cerah." Akhirnya Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis, Arya
Salaka, Endang Widuri dan Wanamerta terpaksa dilepas
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pergi, meskipun dengan berat hati. Meskipun demikian,
mereka berkesempatan untuk mengadakan sekedar
selamatan perpisahan, meskipun sederhana.
Demikianlah ketika cerahnya matahari pagi sedang
memercik di atas dedaunan, berjalanlah sebuah rombongan
yang kecil meninggalkan desa Gedangan menuju ke
pebukitan Karang Tumaritis. Di sepanjang jalan tidaklah
banyak yang mereka percakapkan, sebab kepala mereka
masing-masing dipenuhi oleh kenangan-kenangan atas
peristiwa yang baru saja terjadi. Tetapi tidaklah demikian
dengan Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Selain kenangankenangan yang sekali-sekali membayang di dalam
ingatannya, mereka juga berangan-angan tentang masa
depan. Tentang Sawung Sariti beserta ayahnya Ki Ageng
Lembu Sora. Tentang daerah perdikan Banyubiru. Dan yang
tidak kalah pentingnya, tentang pusaka-pusaka Demak,
Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Dengan diketemukannya kedua keris itu, maka banyak hal yang
sekaligus dapat diurai. Sebab keadaan Ki Ageng Gajah Sora
pun sebagian tergantung pada keris-keris itu.
Yang juga terlintas di dalam otak Mahesa Jenar adalah
cara penyelesaian yang secepat-cepatnya mengenai
Banyubiru. Tidaklah sepantasnya kalau Arya Salaka masih
harus menyembunyikan diri terus-menerus. Karena itu bagi
Mahesa Jenar, sebaiknya Arya Salaka yang datang ke
Banyubiru, dan dengan berterus terang menyatakan diri
sebagai pengganti ayahnya, kepala daerah perdikan
Banyubiru. Tetapi pelaksanaan rencana itu haruslah diolah semasakmasaknya. Sebab setiap kesalahan akan dapat menimbulkan akibat yang sama sekali tidak diharapkan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Demikianlah rombongan kecil itu berjalan menyusur
jalan-jalan pegunungan dengan tenangnya. Sekali-kali
mereka harus meloncat-loncat di atas batu-batu padas. Dan
dengan demikian mereka telah mengejutkan burung-burung
liar yang sedang bertengger di atas karang-karang terjal
yang menjorok di tebing-tebing pegunungan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
III : HARI YANG CERAH Pada saat rombongan kecil, yang terdiri dari Kebo
Kanigara beserta putrinya Endang Widuri. Mahesa Jenar,
Rara Wilis, Arya Salaka dan Wanamerta sampai di
Padepokan Karang Tumaritis, mereka melihat Panembahan
Ismaya sedang duduk dikerumuni beberapa orang cantrik.
Agaknya Panembahan itu sedang bercakap-cakap atau
berceritera tentang suatu hal yang sangat menarik. Sebab
tidaklah lazim Panembahan Ismaya memberi wejangan dan
pelajaran dengan cara yang demikian.
Ketika salah seorang cantrik melihat kedatangan
rombongan itu, serta memberitahukan kepada Panembahan
Ismaya, maka dengan tergopoh-gopoh Panembahan tua itu
berdiri dan menyambut. Dipersilahkannya rombongan itu
duduk pula bersama-sama dengan para cantrik.
Yang pertama-tama ditanyakan adalah keselamatan
mereka yang baru saja datang menghadap.
Kebo Kanigara lah yang mewakili menjawab setiap
pertanyaan Panembahan Ismaya, serta menyampaikan
bakti mereka bersama-sama.
Panembahan Ismaya mendengarkan semua ceritera Kebo
Kanigara dengan penuh perhatian. Kata demi kata seolaholah dicernakan kembali didalam otaknya untuk dapat
menangkap saripatinya. "Syukurlah kalau kalian selamat," katanya kemudian,
namun wajahnya tampak muram.
"Karena pangestu Panembahan," jawab Kebo Kanigara.
"Sebenarnya aku telah mendengar apa yang terjadi di
Gedangan, dari tembang-rawat-rawat bakul sinambi wara.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Juga seorang cantrik yang sedang turun untuk menukarkan
hasil pertanian kami, mendengar pula ceritera tentang
pertempuran yang terjadi di Gedangan." Panembahan
Ismaya berhenti sejenak. Wajahnya yang muram itu
menatap dengan tajam ke arah mata Kebo Kanigara yang
kemudian menundukkan kepalanya. "Dan aku mendengar
pula..." sambung Panembahan Ismaya, "Bahwa pada kedua
belah pihak jatuh korban."
"Ya." jawab Kanigara pendek sambil masih menekurkan
kepalanya. "Dalam setiap perselisihan dan kekerasan akan jatuh
korban," sambung Panembahan Ismaya bergumam seperti
kepada dirinya sendiri. "Besar atau kecil, seperti apa yang
baru saja terjadi." Sekali lagi Panembahan tua itu berhenti,


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menelan ludahnya. Lalu kemudian ia berkata kepada salah
seorang cantrik, "Kenapa belum kalian sajikan minuman
untuk para tamu ini?"
Seorang cantrik segera berdiri dan pergi ke belakang
untuk menyiapkan minuman bagi rombongan yang memang
kehausan itu. Setelah mengucapkan kata-kata itu. Panembahan Ismaya
tidak meneruskan kata-katanya. Bahkan kemudian tampaklah ia menundukkan wajahnya. Agaknya ada
sesuatu yang menyumbat kerongkongannya.
Yang melihat hal itu, tak seorang pun yang berani
mengucapkan sepatah katapun. Meskipun hati mereka
diliputi oleh berbagai pertanyaan namun mulut mereka
terkatub rapat. Baru beberapa saat kemudian Panembahan tua itu
berkata, "Anak-anakku semua. Baru saja aku memperkatakan angger Arya Salaka. Aku dengar bahwa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
angger mengalami peristiwa yang hampir menyeretnya
kedalam kesulitan." Arya Salaka membungkukkan badannya, dan dengan
hormatnya ia menjawab, "Benar Panembahan. Tetapi
Tuhan yang Maha Murah telah membebaskan aku dari
cengkeraman maut." Panembahan Ismaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya lirih, "Angger, baru saja memperkatakan angger
dengan para cantrik. Peristiwa seperti apa yang terjadi atas
daerah Perdikan Banyubiru itu telah berulang kali terjadi.
Dalam lingkungan yang besar dan dalam lingkungan yang
lebih kecil. Pertentangan yang terjadi diantara keluarga
sendiri." Panembahan Ismaya berhenti sesaat, seolah-olah
hendak menunggu sampai kata-katanya meresap kedalam
otak bocah itu. Kemudian ia meneruskan, "Baru saja aku
berceritera kepada para cantrik. Ceritera tentang masamasa lalu, yang pernah aku dengar dari mulut ke mulut,
atau yang pernah aku baca dari lontar-lontar. Keretakan
demi keretakan, perselisihan demi perselisihan dan
pertempuran demi pertempuran telah berulang kali
menusuk jantung kita sendiri. Usaha yang telah dikerjakan
dengan bekerja keras dan penuh keprihatinan, akhirnya
dihancurkan oleh ketamakan dan pemanjaan nafsu."
"Kisah tentang kebesaran Baginda Erlangga di Jawa
Timur adalah satu diantaranya. Dengan susah payah
baginda Erlangga berusaha untuk membina persatuan dari
seluruh kerajaannya. Dibekali dengan sakit dan lapar.
Dengan mesu raga disepanjang bukit dan hutan. Sehingga
oleh Empu Kanwa Baginda dipersamakan dengan Arjuna
dalam Kakawin Arjunawiwaha. Tetapi yang kemudian
terpaksa membagi daerah yang dengan susah payah
disatukan itu menjadi dua. Itu sebenarnya bukanlah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
peristiwa yang paling menyedihkan didalam hidupnya.
Tetapi lebih daripada itu pewaris-pewarisnya ternyata telah
menyobek-nyobek dada sendiri. Terutama Janggala, yang
semakin lama menjadi semakin surut. Dan akhirnya lenyap
dari percaturan sejarah. Sedang Kediri agaknya masih dapat
bertahan lebih lama lagi. Namun negara ini pun mengalami
peristiwa yang sama. "Baginda Jayabaya terpaksa harus
berperang melawan kadang sendiri, yaitu Jayasaba. Tetapi
apa yang mereka dapatkan dari perselisihan-perselisihan
itu" Kediri pun semakin lama semakin surut. Dan hanyutlah
Kediri pada jaman Baginda Kertajaya, dilanda oleh kekuatan
yang tumbuh dari lingkungan yang tak dapat diketahui.
"Ken Arok, yang kemudian bergelar Rajasa Sang
Amurwabhumi. Tetapi kekuatan inipun kemudian terpecah
belah. Pertengkaran-pertengkaran timbul. Golongan yang
satu melawan golongan yang lain. Pengikut-pengikut
Anusapati dari darah Tunggul Ametung melawan golongan
Tohjaya dari darah Sang Amurwabhumi dengan isterinya
yang kedua Ken Umang. Juga mereka tidak mendapatkan
sesuatu dari pertengkaran ini kecuali kelemahan dan
mendorong diri sendiri ke tepi jurang keruntuhan. Ketika
golongan-golongan itu telah tidak lagi saling berdesakdesakan, datanglah Kertanegara. Tetapi tanpa disangkasangka, di dalam tubuh kekuasaan Kertanegara terdapatlah
Ardaraja, yang membantu kekuatan dari luar untuk
menghancurkan Singasari. Juga Singasari kemudian runtuh.
Setelah itu lahirlah Majapahit dengan megahnya. Kesatuan
dan persatuan dapat dibina dengan cucuran keringat Sang
Maha Patih Gajah Mada. Karena itulah Majapahit menjadi
mercusuar dari negara-negara yang terserak-serak dari
Gurun, Seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali,
Sunda, Palembang, Tumasik dan banyak daerah-daerah
lagi. Juga dengan negara-negara tetangga Syangka,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Darmanegari, Campa, Kamboja dan masih banyak lagi."
Sekali lagi Panembahan Ismaya berhenti untuk sesaat.
Arya mendengar ceritera Panembahan Ismaya itu dengan
penuh perhatian. Beberapa dari ceritera itu pernah
didengarnya dari gurunya. Namun kali ini rasa-rasanya
ceritera itu lebih meresap daripada yang pernah
didengarnya. "Tetapi" Panembahan Ismaya meneruskan, "Majapahit
pun kemudian menjadi surut. Sepeninggal Gajah Mada dan
Baginda Hayam Wuruk, Majapahit seolah-olah kehilangan
alas. Perang yang timbul diantara keluarga sendiri semakin
mempercepat kehancurannya. Perang Saudara yang
menyedihkan terjadi, ketika Blambangan tidak mau tunduk
lagi. Sebab Adipati Blambangan merasa berhak pula atas
tahta Majapahit. Akibat perang saudara yang disebut
Perang Paregreg inilah maka Majapahit benar-benar telah
menghancurkan dirinya sendiri. Sebab setelah itu Kerajaan
Besar yang telah mengalami perang saudara selama 5
tahun itu benar-benar telah lumpuh dan tidak mampu
mengembangkan sayapnya kembali. Raja-raja yang ada
kemudian sama sekali tidak berarti. Adipati-adipati dan
Bupati-bupati kemudian lebih senang memisahkan diri dan
mendirikan negara-negara kecil yang terpecah belah."
"Dalam pada itu, bangkitlah kemudian kerajaan Demak.
Nah, dalam hal ini anakmas Mahesa Jenar akan lebih
banyak tahu daripada aku. Namun satu hal yang sekarang
sangat mencemaskan. Kebesaran Demakpun agaknya
terganggu. Dua garis keturunan yang aku dengar sekarang
ini sedang dalam keadaan yang kurang menyenangkan.
Garis keturunan Sultan Trenggana dan garis keturunan
Sekar Seda Lepen." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Panembahan Ismaya mengakhiri ceriteranya. Pandangan
matanya yang lunak beredar dari wajah yang satu ke wajah
yang lain. Sedangkan mereka yang mendegarkan ceritera
itu, dengan cermatnya mengikuti setiap persoalan. Apalagi
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Mereka tidak mendengar
kisah itu sebagai kisah melulu. Kisah yang harus disesali
bahwa hal-hal yang menyedihkan itu telah terjadi. Tetapi
lebih daripada itu, masa yang lampau itu hendaknya
menjadi cermin atas masa datang perpecahan demi
perpecahan, perselisihan demi perselisihan antara keluarga
sendiri. Dan itu terjadi sekarang.
Ya, sekarang ini. Dan ini mengancam keselamatan kerajaan Demak.
Mahesa Jenar menundukkan wajahnya. Demikian pula
Kebo Kanigara sebagai seorang bangsawan cucu dari salah
seorang yang pernah merajai Majapahit, hatinya tersentuh
pula. Arya Salaka yang tidak mengerti terlalu jauh tentang
ceritera itu berusaha untuk menghubungkan dengan
peristiwa di daerahnya, Banyubiru. Setiap kali ia merasa,
bahwa memang hal yang serupa telah terjadi. Dalam
lingkungan yang kecil, Tanah Perdikan Banyubiru. Namun
demikian ia tidak tahu, bagaimana seharusnya ia
memecahkan masalah yang dihadapinya. Tetapi ia tidak
perlu bingung. Sebab nanti akan dapat menanyakan itu
kepada gurunya. Dalam keheningan itu tiba-tiba terdengar Panembahan
Ismaya berkata dengan nada yang berbeda, "Nah anakanak sekalian. Aku terlalu tergesa-gesa untuk berceritera,
sampai aku lupa bahwa kalian sedang lelah dan perlu
beristirahat. Karena itu, silahkan kalian membersihkan diri,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dan kemudian biarlah para cantrik melayani kalian makan
bersama. Akupun perlu beristirahat setelah terlalu lama
bermain-main dengan para cantrik."
Kemudian ditinggalkannya Kebo Kanigara beserta
rombongannya oleh Panembahan Ismaya untuk mengaso di
dalam sanggarnya. Demikianlah kemudian merekapun segera menempati
tempat mereka masing-masing seperti pada saat mereka
berada di tempat itu. Dan untuk waktu-waktu seterusnya,
kembalilah mereka menjadi bagian dari masyarakat kecil di
atas bukit Karang Tumaritis.
Kebo Kanigara kembali dalam kedudukannya sebagai
seorang Putut bersama Mahesa Jenar dan Arya Salaka, Wilis
dan Widuri pun kembali pula hidup diantara para Endang di
padukuhan itu. Tetapi dalam pada itu, ada yang selalu menyentuhnyentuh perasaan Mahesa Jenar. Ceritera Panembahan
Ismaya tentang keadaan Demak sekarang sangat menarik
perhatiannya. Ia selalu menghubung-hubungkan ceritera itu
dengan pusaka-pusaka Demak yang hilang. Yaitu Kyai
Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Apakah kalau pusaka itu diketemukan, dan kemudian
dimiliki oleh salah seorang dari garis keturunan itu, keadaan
lalu jadi tenang" Dalam pada itu tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada
orang yang berjubah abu-abu, yang pernah datang ke
Banyubiru dan mengambil kedua keris itu. Lebih daripada
itu. Mahesa Jenar teringat dengan gamblangnya seorang
yang berjubah abu-abu pula, yang dijumpainya di
perjalanannya pada saat ia sedang kehilangan akal. Pada
saat hatinya seolah-olah pecah karena hubungannya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dengan Rara Wilis yang pada saat itu diantarkan oleh
Sarayuda. Pada saat ia meninggalkan Arya Salaka di
perjalanan dan berusaha untuk melupakan anak itu. Pada
saat itu dijumpainya orang yang berjubah abu-abu itu.
Teringat dengan jelasnya orang itu berkata kepadanya,
ketika ia bertanya di mana kedua keris itu berada. Katanya,
"Mahesa Jenar, kedua keris itu berada di dalam kekerasan
hatimu serta usahamu". Lalu orang berjubah itu
meneruskan, "Hati-hatilah kelak kau memilih. Ada dua
keturunan yang merasa berhak memiliki keris itu.
Keturunan Trenggana dan Keturunan Sekar Seda Lepen.
Pilihlah siapa diantara mereka yang mengutamakan
kepentingan rakyat serta kesejahteraan negara. Kepadanya
keris itu kau serahkan."
Suara itu seolah-olah kini terngiang kembali dalam
telinganya. Suara orang yang berjubah abu-abu. Tiba-tiba
ia menghubungkan pesan orang berjubah abu-abu itu
dengan ceritera Panembahan Ismaya. Dua garis keturunan
yang diam-diam mengandung pertentangan, garis keturunan Sultan Trenggana dan garis keturunan Sekar
Seda Lepen. Hati Mahesa Jenar kemudian menjadi berdebar-debar.
Apakah hubungannya antara ceritera Panembahan Ismaya
dan orang yang berjubah abu-abu itu. Dan apakah
sebabnya maka orang yang berjubah abu-abu itu tiba-tiba
saja muncul di dalam pertempuran yang terjadi beberapa
saat yang lalu, ketika pasukannya sedang dalam keadaan
yang sangat berbahaya"
Persoalan-persoalan itu selalu melingkar-lingkar di dalam
relung dada Mahesa Jenar, bahkan kemudian telah
mendorongnya untuk menilai setiap keadaan paling
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kecilpun dalam usahanya untuk menemukan jawaban tekateki yang selalu mengganggu otaknya itu.
Malahan lebih daripada itu, ia sudah bertekad untuk
menemukan suatu kepastian, bahwa orang yang berjubah
abu-abu dan orang yang menamakan dirinya Panembahan
Ismaya pastilah ada tali yang menghubungkan mereka itu.
Dalam usahanya itu mula-mula Mahesa Jenar tidak ingin
berkata kepada seorangpun. Untuk sementara ia ingin
bekerja sendiri. Dihubung-hubungkannya semua yang
pernah dilihat dan didengarnya, yang pernah dialami dan
pernah dihayati selama ini. Meskipun dalam beberapa hari
kemudian tak ada sesuatu yang menjelaskan dugaannya,
namun dengan sabarnya ia bekerja terus. Sebab apabila hal
itu bisa dipecahkan, akan terbukalah beberapa masalah
sekaligus. Tetapi akhirnya kepada Kebo Kanigara, seorang yang
telah banyak memberi bantuan kepadanya dalam pencapaiannya atas taraf peresapan ilmunya lebih
sempurna lagi, Mahesa Jenar ternyata tidak dapat


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berahasia. Kepada Kebo Kanigara diceriterakannya semua
yang pernah dialami dan semua dugaan yang tersimpan di
dalam dadanya. Mendengar semuanya itu, Kanigara mengerutkan
keningnya tinggi-tinggi. Wajahnya berubah menjadi tegang.
Dan dengan hati-hati ia menjawab, "Mahesa Jenar,
meskipun aku telah agak lama tinggal di padepokan ini,
namun banyak hal yang tidak aku ketahui tentang
Panembahan Ismaya. Yang aku ketahui adalah, Panembahan Ismaya memang sering meninggalkan
padepokan ini. Seterusnya aku tidak tahu."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar dapat mempercayai kata-kata Kebo
Kanigara itu. Sebab orang yang berjubah abu-abu itu pasti
tidak menginginkan seorangpun mengetahui keadaan
sebenarnya. Dalam pada itu tiba-tiba Mahesa Jenar mendapatkan
suatu pikiran yang barangkali akan dapat memperjelas
persoalan. Dan ketika pikirannya itu disampaikan kepada
Kanigara, ia menjadi tersenyum dan menjawab, "Mahesa
Jenar, otakmu benar-benar terang. Dan beruntunglah
semua pengalaman yang pernah kau alami dapat kau
pergunakan sebaik-baiknya. Aku sependapat dengan
rencanamu, dan aku akan membantumu."
Kemudian bersepakatlah mereka untuk mencoba memecahkan teka-teki yang rumit itu. Kali ini mereka akan
menempuh jalan yang sedikit berbahaya. Namun apabila
jalan yang dilewatinya benar, akan terpecahkanlah
persoalan itu. Demikianlah pada suatu malam, Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara meninggalkan Padepokan Karang Tumaritis.
Kepada Rara Wilis dan Endang Widuri, mereka berpesan
bahwa mereka akan menempuh suatu perjalanan yang
agak panjang, untuk menyelesaikan banyak persoalan,
sehingga mereka tidak perlu ikut. Sedang kepada Arya
Salaka, dipesankan untuk menyampaikan kepergian mereka
besok pagi, langsung kepada Panembahan Ismaya, tidak
kepada orang lain. Juga tidak kepada Rara Wilis dan
Endang Widuri. Ketika pada pagi harinya Arya Salaka menyampaikan
pesan itu kepada Panembahan Ismaya, panembahan tua itu
tiba-tiba mengerutkan keningnya. Wajahnya berubah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
membayangkan kecemasan. Kepada Arya, ia bertanya,
"Arya... kapankah mereka berangkat?"
"Semalam Panembahan," jawab Arya.
"Kenapa mereka tidak mengatakan keperluannya itu
kepadaku?" "Kedua paman itu takut kalau Panembahan tidak
mengijinkan. Sebab Panembahan selalu tidak memperkenankan paman-paman itu untuk melakukan
kekerasan untuk mencapai maksudnya, apabila tidak
terpaksa sekali." Kembali Panembahan Ismaya mengerutkan keningnya.
Namun karena kebijaksanaannya, Arya tidak dapat mengerti
tanggapan apa yang menjalar dalam dada orang tua itu.
"Arya..." kata Panembahan pula, "Adakah pamanpamanmu itu yakin bahwa mereka akan menemukan apa
yang dicarinya?" "Ya Eyang... kedua paman itu yakin bahwa yang
dicarinya itu ada di sana," jawab Arya.
"Seharusnya mereka minta ijin dulu kepadaku,"
gumamnya, lalu katanya meneruskan, "Tetapi semuanya
sudah terlanjur. Kaulah sekarang yang harus menggantikan
kedua pamanmu menuntun para cantrik dan semua
penghuni padepokan ini."
Demikianlah Panembahan tua itu menyesali perbuatan
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Dalam hal ini, Arya
Salaka pun menjadi heran. Apakah salahnya kalau kedua
pamannya minta ijin lebih dulu" Kalau masalahnya benarbenar penting, apalagi menyangkut kedua keris pusaka
Demak itu, pasti Panembahan Ismaya akan mengijinkan.
Tetapi Arya Salaka tidak mau berpikir terlalu panjang. Kalau
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kedua pamannya itu berbuat demikian, pastilah ada hal
yang memaksa mereka melakukan itu.
Sementara itu Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar telah
jauh meninggalkan Padepokan Karang Tumaritis. Mereka
pergi ke arah timur dan kadang-kadang mereka mengarah
ke utara, dengan tujuan Banyubiru.
Perjalanan itu memang agak jauh. Lewat tanah-tanah
yang berbatu-batu tajam dan kadang-kadang mereka harus
mendaki lereng-lereng terjal. Untunglah bahwa sebelum
mereka menempuh perjalanan itu mereka sempat singgah
di Gedangan untuk mendapatkan dua ekor kuda yang baik.
Dengan kuda itulah mereka menempuh perjalanan.
Diiringi oleh derap kaki-kaki kuda mereka yang berirama
menyentuh batu-batu padas di bawah sinar matahari pagi,
setelah mereka beristirahat beberapa lama. Burung-burung
yang hinggap di batang-batang pohon liar memandang
kedua penunggang kuda itu dengan kagumnya. Seolah-olah
mereka sudah mengenalnya dengan baik, bahwa kedua
orang itu adalah dua orang perkasa yang sedang dalam
perjalanan yang berbahaya.
Namun demikian, wajah-wajah mereka itu tampak
betapa cerahnya secerah matahari pagi, yang memandang
jalan yang terbentang di hadapannya dengan penuh
keyakinan. Meskipun batu-batu padas menjorok menghadang perjalanan mereka, mereka sama sekali tidak
mempedulikannya. Demikianlah kuda-kuda itu berlari dengan kecepatan
sedang. Beberapa saat kemudian mereka menyusup hutanhutan yang tidak begitu lebat. Tetapi semakin mereka
menyusup ke jantung hutan itu, terasa bahwa hutan itu
menjadi semakin padat. Meskipun demikian perjalanan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mereka sama sekali tidak terganggu. Kuda-kuda mereka
pun seolah-olah terpengaruh oleh kebesaran tekad para
penunggangnya. Ketika matahari menjadi terik, seakan-akan ingin
membakar hutan itu. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
menghentikan perjalanan mereka, pada saat mereka
menjumpai air. Mereka segera membiarkan kuda-kuda
mereka minum, sedang mereka berduapun beristirahat
pula. Setelah puas, barulah mereka meneruskan perjalanan
kembali. Tujuan mereka yang sebenarnya bukanlah kota
Banyubiru. Banyubiru bagi Mahesa Jenar hanyalah
merupakan ancar-ancar ke arah tujuannya. Karena
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
beberapa orang Banyubiru telah mengenalnya, maka ia
sengaja memasuki kota itu, setelah malam menjadi gelap.
Dari Banyubiru, Mahesa Jenar menyusup ke utara. Melewati
hutan-hutan yang tidak begitu lebat untuk kemudian
membelok ke arah Timur. Mendaki lambung Bukit
Gajahmungkur dan seterusnya menyusur sepanjang
lerengnya ke utara. Pada sebuah puncak kecil dari bukit-bukit yang
merentang membujur ke utara itu Mahesa Jenar berhenti.
"Kakang Kanigara, di sini aku pernah berkelahi melawan
orang-orang dari golongan hitam hampir seluruhnya," kata
Mahesa Jenar. "Siapa saja?" tanya Kebo Kanigara.
"Sima Rodra muda suami istri, sepasang Uling, Lawa Idjo
dan Lembu Sora," jawab Mahesa Jenar.
"Jaka Soka...?" tanya Kanigara pula.
"Tidak. Ia sedang bertengkar dengan Lembu Sora saat
itu," jawab Mahesa Jenar pula.
"Dapatkah kau mengatasi keadaan?"
"Tidak. Aku hampir saja mati. Untunglah aku terperosok
ke dalam jurang karena pertolongan seseorang."
"Bagaimana ia menolongmu?"
"Ia adalah orang yang cukup sakti untuk meruntuhkan
tebing dimana pada saat itu aku sedang terdesak."
Kanigara tersenyum. Hebat juga orang yang telah
menolongnya itu. "Siapakah dia?"
"Dialah yang aku sebut-sebut bernama Radite."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
katanya, "Jadi... orang yang sebenarnya berhak menamakan diri Pasingsingan itukah?"
"Ya." Kemudian mereka terdiam untuk beberapa saat. Angin
malam berhembus perlahan mengusap wajah-wajah yang
segar itu. Kanigara memandang berkeliling. Di sebelah
Barat tampak berkilat-kilat memantulkan cahaya bulan,
permukaan air Rawa Pening yang tenang seperti kaca.
Sedikit ke arah barat tampaklah seperti gelombang hitam,
batang-batang padi yang bergerak-gerak tersentuh angin.
"Inikah daerah yang harus dipimpin oleh Arya Salaka
kelak?" tanya Kebo Kanigara.
"Ya. Membujur ke barat dan menjorok ke utara
sepanjang tepi Rawa Pening," jawab Mahesa Jenar.
Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya sekali lagi.
Memang Banyubiru adalah tanah yang patut diperebutkan.
Daerah yang subur dan memiliki sungai-sungai yang cukup,
sehingga sawah ladangnya tidak saja selalu tergantung
pada jatuhnya hujan. Sesaat kemudian kembali mereka meneruskan perjalanan. Ketika mereka sampai di sebuah hutan kecil,
mereka berhenti untuk melepaskan lelah.
Ketika matahari pagi mulai menerangi punggungpunggung bukit, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mulai
dengan perjalanannya kembali. Kuda-kuda mereka nampaknya menjadi segar dan berlari-lari dengan riangnya.
Hutan-hutan di daerah ini bukanlah merupakan hutan-hutan
yang lebat. Sebab hampir setiap hari daerah ini dirambah
oleh orang-orang yang mencari kayu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kaki-kaki kuda Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
terdengar berderap-derap dalam irama angin pagi. Debu
yang putih tipis mengepul-ngepul dilemparkan oleh kakikaki kuda itu. Tetapi sesaat kemudian telah lenyap
terhambur oleh hembusan angin.
Demikianlah mereka menempuh perjalanan pada hari
terakhir. Mereka mengharap bahwa malam nanti mereka
telah sampai pada arah yang harus mereka tuju.
Di daerah ini perjalanan mereka tidaklah dapat begitu
lancar. Karena Mahesa Jenar masih harus mengingat-ingat
jalan manakah yang pernah ditempuhnya dahulu. Sebab
baru sekali ia pernah ke tempat yang ditujunya sekarang.
Itu saja pada arah yang berlawanan. Untunglah bahwa
ketajaman ingatannya cukup terlatih untuk mengenal
daerah-daerah baru. Sebagai seorang prajurit, hal yang
sedemikian adalah sangat berguna.
Mereka sampai ke tempat tujuan ketika matahari masih
tampak tergantung di langit sebelah barat. Meskipun
sinarnya sudah tidak begitu kuat, namun pantulan cahaya
ujung-ujung dedaunan nampak berkilat-kilat. Alangkah
segarnya alam. Karena itu mereka masih harus beristirahat kembali
sambil menunggu matahari itu membenamkan diri, sebelum
mereka memasuki daerah yang disebut oleh penghuninya
Pudak Pungkuran. Demikianlah, sambil beristirahat mereka memperbincangkan apakah yang kira-kira akan terjadi.
Mereka mengharap bahwa mereka menempuh jalan yang
benar. Dalam pada itu merekapun masih harus menilai-nilai
diri. Terutama Mahesa Jenar. Apakah dalam tingkatannya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang sekarang ia sudah dapat menempatkan dirinya sejajar
dengan angkatan gurunya. "Mahesa Jenar..." kata Kebo Kanigara, "Menurut
pendapatku, kau benar-benar sudah mencapai tingkatan
ayah Pengging Sepuh. Bahkan andaikata ayah Pengging
Sepuh itu masih ada sekarang, belum tentu ayah dapat


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menang bertempur melawanmu. Sebab tenagamu masih
penuh, disamping pengalamanmu yang aneh-aneh yang
barangkali tidak terlalu banyak orang lain mengalami.
Kesenanganmu bersama muridmu mengamat-amati gerakgerik binatang adalah sangat berguna bagi ilmumu. Dan
bukankah kau telah pernah membuktikannya pula untuk
melawan Sima Rodra tua. Kekalahan Sima Rodra adalah
karena ia hanya mengagumi ketangkasan dan kekuatan
seekor harimau. Sedang kau tidak. Kau mengagumi
ketangkasan harimau tetapi kau mengagumi pula kelincahan seekor kijang, bahkan seekor kelinci sekalipun."
Mahesa Jenar tersenyum mendengar pujian itu.
Jawabnya, "Terima kasih Kakang. Dan bukankah itu berkat
hadirnya seorang Mahesa Jenar palsu di kaki bukit Karang
Tumaritis?" Kanigara tersenyum pula. "Aku hanya merupakan
lantaran supaya kau sudi sedikit membuang waktu untuk
mendalami ilmumu. Tidak saja berjalan dari satu daerah ke
daerah yang lain, meskipun kehadiranmu di daerah-daerah
itu ternyata sangat berguna pula."
Sementara itu langit telah bertambah buram. Dan sesaat
kemudian lenyaplah cahaya matahari yang terakhir.
Meskipun kemudian bulan muncul pula di langit, namun
sinarnya tidaklah terlalu cerah. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Pada saat yang demikian Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara meneruskan perjalanan mereka, memasuki sebuah
pedukuhan kecil yang masih belum banyak mengalami
perubahan seperti empat atau lima tahun yang lalu.
Ketika mereka sampai di depan sebuah rumah di ujung
pedukuhan kecil itu. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
segera meloncat turun dan kemudian menambatkan tali
kudanya pada sebatang pohon.
Mereka sama sekali tidak memperdulikan wajah-wajah
yang terheran-heran mengintip dari sela-sela daun pintu
hampir dari setiap rumah, ketika penduduk di pedukuhan
terpencil itu mendengar derap dua ekor kuda di jalan-jalan
mereka. Hal yang demikian adalah jarang sekali, bahkan
hampir belum pernah terjadi.
Ketika penghuni rumah di ujung jalan itu mendengar
langkah kuda di halaman, maka segera tampaklah ia
membuka pintu rumahnya. Sebuah wajah yang telah
meninggalkan usia pertengahan menjelang saat-saat senja
dalam edaran hidupnya, menjenguk keluar. Mula-mula
tampak keningnya berkerut. Lalu kemudian membayanginya
sebuah senyuman yang jernih.
Mahesa Jenar segera dapat mengenalnya. Wajah yang
ditandai oleh dahi yang lebar, bibir yang tebal, dan hidung
yang besar, serta rambut yang mulai memutih, namun dari
bawah dahinya memancarkan sinar matanya yang bersih
lembut. Ketika orang itu dengan tergopoh-gopoh datang
menyongsongnya, Mahesa Jenar membungkuk hormat serta
berkata, "Selamat malam Kiai. Mudah-mudahan kedatanganku tidak mengejutkan Kiai."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Tidak, tidak Angger. Aku senang kau sudi menjenguk
aku kembali," jawabnya.
Kemudian Mahesa Jenar memperkenalkan Kebo Kanigara
sebagai seorang Putut dari Padepokan Karang Tumaritis
dan bernama Putut Karang Jati.
"Marilah Angger berdua, marilah masuk," ajaknya.
Kemudian Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mengikuti
orang tua itu memasuki rumahnya. Belum lagi mereka mulai
dengan sebuah percakapan, tiba-tiba sebuah tubuh yang
tinggi kekurus-kurusan berkulit merah tembaga terbakar
oleh teriknya matahari, namun bermata terang seterang
bintang-bintang di langit, telah berdiri di muka pintu.
Dengan sebuah tawa yang memancar langsung dari
dadanya ia menyambut kedatangan Mahesa jenar. Katanya,
"Aku tidak mimpi apapun malam tadi, serta siang tadi
burung-burung prenjak tidak berkicau. Tetapi tiba-tiba
membayanglah teja di langit."
Mahesa Jenar tersenyum sambil membungkuk hormat
pula kepada orang itu. Demikian pula Kebo kanigara.
Melihat kedua orang itu, segera Kebo Kanigara mengetahui,
bahwa meskipun mereka berpakaian petani seperti
kebanyakan petani, namun kedua orang itu pasti bukanlah
sembarang petani. Karena itu segera ia dapat menebak,
bahwa kedua orang itulah yang oleh Mahesa Jenar
dimaksud bernama Paniling dan Darba, atau yang bernama
sebenarnya Radite dan Anggara.
"Ketika aku mendengar derap kuda," Darba meneruskan,
"aku bertanya-tanya dalam hati, siapakah orang yang
terperosok ke pedukuhan kecil ini" Tetapi beberapa orang
yang sempat mengintip dari celah-celah pintu berkata
kepadaku, bahwa orang berkuda itu menuju ke rumah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kakang Paniling. Karena itulah aku segera datang kemari.
Dan dugaanku benar. Bahwa pasti orang yang datang dari
jauhlah yang telah mengunjungi rumah ini."
"Demikianlah Paman..." jawab Mahesa Jenar. Dan
kepada Darba pun Mahesa Jenar memperkenalkan Putut
Karang Jati. Demikianlah mereka setelah masing-masing mengucapkan salam selamat, mulailah Paniling dan Darba
bertanya-tanya mengenai keadaan Mahesa Jenar selama ini
tanpa prasangka apapun. Namun Mahesa Jenar hanya
berusaha menjawab beberapa hal saja.
Sehingga, akhirnya Paniling dan Darba merasa bahwa
sikap Mahesa Jenar agaknya kurang wajar. Karena itu
kemudian Paniling bertanya "Angger, aku sangka kedatangan Angger mengandung suatu keperluan yang
penting, yang barangkali agak tergesa-gesa. Nah, angger.
Katakanlah. Kalau saja kami berdua dapat menolong
kesulitan angger, biarlah kami berusaha untuk menolongnya." Sesaat Mahesa Jenar menjadi ragu-ragu. Beberapa kali ia
memandang kepada Kebo Kanigara. Tetapi karena Kebo
Kanigara sedang menundukkan mukanya, merenungi lantai,
maka ia tidak melihatnya.
Akhirnya Mahesa Jenar memutuskan untuk melaksanakan rencananya. Meskipun dengan dada yang
berdebar-debar. Tetapi ia berdoa agar segala sesuatu dapat
berlangsung dengan baik. Maka kemudian berkatalah ia, "Paman berdua... benarlah
dugaan Paman. Aku datang dengan suatu keperluan yang
penting. Meskipun dengan berat hati, namun terpaksalah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
aku akan melakukan kewajibanku, kewajiban kepada
negara dan rakyat." Paniling dan Darba bersama-sama mengerutkan keningnya. Mereka menduga-duga, apakah yang akan
dilakukan oleh Mahesa Jenar berdasarkan atas kewajibannya kepada negara dan rakyat"
"Paman..." Mahesa Jenar meneruskan, "Setelah beberapa
tahun aku berkeliling hampir seluruh sudut negeri ini untuk
mencari kedua keris Demak yang lenyap seperti yang
pernah aku katakan dahulu, dan sama sekali aku tidak
menemukan jejaknya, maka berdasarkan pengamatanku,
atas seseorang yang mengambil keris itu langsung dari
Banyubiru, akhirnya aku berkesimpulan, bahwa tidak ada
orang lain yang demikian saktinya, melampaui kesaktian
Pasingsingan, serta berjubah abu-abu seperti Pasingsingan
pula, selain salah seorang dari kedua paman ini. Paman
Radite atau Paman Anggara."
Perkataan Mahesa Jenar yang diucapkan kata demi kata
dengan jelasnya itu, bagi Paniling dan Darba, seolah-olah
menggelegarnya berpuluh-puluh guntur bersama-sama
diatas kepala mereka. Sehingga dengan demikian, malahan
seolah-olah tidak sepatah katapun yang dapat mereka
tangkap dengan jelas. Karena itu dengan agak ragu-ragu
pada pendengarannya, Paniling bertanya, "Angger, apakah
yang Angger katakan itu?"
"Maafkanlah aku Paman," Mahesa Jenar menjelaskan,
"Bahwa aku akhirnya berkesimpulan. Keris -keris Kyai
Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten agaknya berada di tangan
paman salah seorang atau kedua-duanya."
Paniling dan Darba bersama-sama menarik nafas
panjang. Untunglah bahwa umur mereka yang telah lanjut,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menyebabkan mereka dapat mengendapkan setiap perasaan yang paling pedih sekalipun.
Dengan sareh terdengar Paniling menjawab, "Angger,
beberapa tahun yang lampau telah aku katakan, bahwa
akupun ikut merasa sedih atas lenyapnya kedua keris itu.
Tetapi orang yang berjubah abu-abu itu bukanlah salah
seorang diantara kami. Apakah pamrih kami dengan
menyimpan kedua keris itu..." Kami telah merasa
berbahagia hidup di padepokan ini bersama-sama dengan
para petani. Sebab mereka adalah orang-orang yang
berhati terbuka. Demikian yang dikatakan, demikian pulalah
yang dipikirkan. Di sini aku merasa bahwa hidup kami telah
penuh dengan arti." "Paman..." jawab Mahesa Jenar, "Sekali lagi aku mohon
maaf. Tetapi sayang Paman, bahwa aku tidak dapat
berkesimpulan lain daripada itu."
Darba menggeleng-gelengkan kepalanya. Dengan mata
yang suram ia berkata, "Bagaimana aku dapat menduga
yang demikian Angger. Kami sama sekali tidak melihat
adanya suatu keuntungan apapun dengan menyimpan
kedua keris itu. Sedang kami tahu, bahwa orang lain sangat
memerlukannya. Seandainya kedua keris itu ada pada kami,
maka dengan senang hati akan kami serahkan kepada
Angger Mahesa Jenar."
"Paman, aku tidak tahu siapakah yang berdiri di belakang
Paman. Aku juga tidak tahu, apakah Paman mempunyai
seorang calon untuk merebut tahta."
Kembali Paniling dan Darba terkejut bukan buatan.
Perlahan-lahan tanpa disadarinya mereka mengelus dada.
Katanya, "O... Ngger.... Jangan berpikiran demikian. Aku
berdua sama sekali tidak mempunyai seorang muridpun.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Juga kami berdua tidak mempunyai anak keturunan.
Apalagi membayangkan seseorang untuk menduduki tahta
kerajaan. Sungguh Ngger, mimpi pun aku tidak berani."
Mahesa Jenar tertawa dingin. Sahutnya, "Aku sudah
bertanya kepada lebih dari seratus orang. Semuanya
menjawab seperti jawaban Paman berdua itu. Apalagi
Paman berdua adalah dua orang sakti yang hampir tak ada
bandingnya di dunia ini."
Sekali lagi Paniling dan Darba menarik nafas dalamdalam. Terdengarlah Darba menjawab dengan nada sedih,
"Angger Rangga Tohjaya... Angger seharusnya bijaksana.
Seandainya kami berdua benar-benar sakti seperti apa yang
Angger sebutkan. Namun mustahillah bahwa kami berdua
akan dapat menguasai seluruh prajurit dan pengawal
kerajaan, meskipun kami menyimpan sipat kandel Demak.
Yaitu Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten."
Mahesa Jenar tertawa semakin keras. "Hampir setiap
anak kecilpun mengetahui, bahwa dengan berpegangan
pada kedua sipat kandel itu Paman berdua mengharapkan
seluruh istana akan tunduk dengan sendirinya tanpa
kekerasan." "Angger..." potong Paniling, "Pandanglah wajah-wajah
kami yang telah mulai berkeriput ini. Apakah terbayang
nafsu duniawi yang berlebih-lebihan" Kalau demikian maka
kami adalah orang-orang tua yang paling berdosa di dunia
ini. Kami yang telah bertekad untuk meninggalkan segala
nafsu duniawi dan berusaha untuk menenteramkan diri


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serta mendekatkan diri pada sesembahan kami yang
langgeng. Tuhan Yang Maha Besar."
Mahesa Jenar menggelengkan kepalanya. Dengan tajam
ia memandang Paniling dan Darba berganti -ganti. Lalu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
katanya dengan lantang, "Aku tidak percaya, bahwa kalian
sudah tidak mempunyai pamrih duniawi lagi. Dan
ketahuilah, bahwa pada wajah kalian memang terbayang
nafsu yang berlebih-lebihan."
Paniling dan Darba tersentak mendengar jawaban itu.
Beberapa saat wajah mereka menjadi tegang. Tetapi sesaat
kemudian wajah-wajah itu menjadi semakin sayu. Dengan
nada yang sedih terdengar Paniling menjawab, "Jadi,
adakah Angger Mahesa Jenar tetap pada pendirian Angger,
menyangka bahwa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten
ada pada kami...?" "Ya," jawab Mahesa Jenar tegas.
"Kalau demikian, lalu apakah yang akan Angger
lakukan?" lanjut Paniling.
"Serahkanlah keris-keris itu kepadaku." Suara Mahesa
Jenar menjadi semakin tegas.
"Sayang, kami tidak dapat melakukan karena tidak ada
yang dapat kami serahkan," jawab Paniling pula.
"Aku akan membuktikan bahwa keris itu berada di
tempat ini," potong Mahesa Jenar.
Paniling dan Darba menggeleng-gelengkan kepala. Untuk
beberapa lama mereka saling berpandangan. Sampai
akhirnya terdengarlah Paniling menjawab dengan suara
yang agak dalam, "Kalau Angger ingin membuktikan, kami
persilakan dengan senang hati."
Mahesa Jenar menjadi tidak sabar lagi. Ia ingin Paniling
dan Darba menjadi marah. Karena itu ia membentak seperti
membentak pesakitan, "Hai paman berdua, jangan coba
berputar-putar lagi. Aku dapat bertindak lunak. Tetapi aku
juga dapat berbuat kasar. Jangan membantah lagi.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Berdirilah dan tunjukkan kedua keris itu, di mana kau
sembunyikan." Dahi Paniling dan Darba menjadi bertambah berkerut.
Akhirnya dengan lemah terdengar Paniling menjawab,
"Angger... barangkali Angger benar. Bahwa aku telah
Kisah Para Penggetar Langit 9 Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An Eng Djiauw Ong 6

Cari Blog Ini