Ceritasilat Novel Online

Kaki Tiga Menjangan 14

Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung Bagian 14


mengalami berbagai peristiwa, Dia seperti sudah mati dan menjelma kembali...
Setibanya di jalan raya, Siau Po segera menyewa tiga joli kecil untuk membawa
mereka bertiga, Masing-masing naik ke dalam sebuah joli, Dia menyuruh tukang joli
membawanya ke jalan Tiang An barat Di sana mereka turun dan berganti dengan joti
lainnya, sekarang mereka baru menuju ke tempat cabang kantor Tian-te hwe
Setelah sampai dan turun dari joIi. Siau Po berkata kepada kedua nona itu.
"Rekan-rekan kalian dari Bhok onghu sejak kemarin sudah keluar dari kota ini.
Karena itu, aku harus berunding dulu dengan kawan-kawanku untuk mengambil
keputusan kemana kalian harus diantar."
Pada saat ini, sikap Siau Po sudah berubah, sekarang dia sudah menjadi Gi-cian siwi
hu cong koan (Pemimpin muda dari pengawal pribadi raja). Mendadak dia merasa
seperti orang dewasa, Apa lagi sekarang dia sedang menerima tugas penting dari raja,
Dia harus menyelidiki suatu urusan besar karena itu dia tidak bersikap sembarangan,
sedangkan saat itu gurunya masih ada di sana sehingga dia tidak berani banyak
tingkah. "Aku tidak berani berdiam di kotaraja ini lama-lama," kata Siau Po terus terang.
"Bagiku, mungkin pergi semakin jauh semakin baik, Aku harus menunggu sampai
thayhou mati dan keadaan aman, baru aku kembali lagi ke sini!"
"Kami mempunyai sahabat yang tinggal di dusun Cioki cung, wilayah Ho Pak," kata
Pui Ie. "Kalau kau tidak keberatan, seba... iknya kau ikut kami pergi ke sana untuk
menyingkirkan diri sementara, Bukankah ini merupakan jalan yang baik?"
"Baik, sih baik!" kata Kiam Peng sebelum orang memberikan jawabannya, "Kau
adalah penolong kami, jadi kau adalah orang sendiri, Bahkan dengan mengadakan
perjalanan bersama-sama, kita bisa bergembira!"
Kedua nona itu menatap Siau Po dengan sorot mata berharap, Kiam Peng
tampaknya bernafsu sekali, tapi sikap Pui Ie agak malu-malu.
Bukan main senangnya hati Siau Po dapat berjalan bersama kedua gadis cantik itu,
apalagi perjalanan yang jauh. Tetapi dia ingat akan tugasnya, Dia harus menanti
perintah raja dan terpaksa menolak ajakan kedua nona itu, Karena itu dia menjawab
dengan menggunakan alasan yang masuk akal.
"Aku telah berjanji kepada seorang sahabatku untuk melakukan sesuatu, Karena itu
aku tidak pergi bersama kalian ke dusun Cioki cung. Kalian sedang menyembuhkan
luka dan tidak dapat melakukan perjalanan jauh, karena itu, aku berpikir untuk meminta
pertolongan sahabatku yang dapat dipercaya untuk melindungi kalian sepanjang
perjalanan, sekarang mari kita singgah dulu di suatu tempat untuk bersantap dan
beristirahat. Kalau perlu nanti kita rundingkan kembali."
Kedua nona itu menyatakan persetujuannya. Siau Po langsung mengajak mereka ke
cabang markas Tian-te hwe.
Anggota Tian-te hwe yang berjaga di ujung lorong segera mengenali Siau Po dan
mengajaknya masuk, Di dalam, mereka disambut oleh Kho Ga tiau yang heran melihat
hiocunya membawa dua orang thay-kam bersamanya.
Siau Po mengerti perasaan rekannya itu. dia segera membisikkan.
"Kedua nona ini.... Yang satu ialah Putri dari Bhok onghu, sedangkan yang satu ini
adalah kakak seperguruannya, Aku baru saja menolong mereka meloloskan diri dari
istana." Gan Tiau segera mempersilahkan kedua nona itu duduk dan menyuguhkan air teh.
Kemudian dia menarik Siau Po ke samping dan berkata kepadan dengan nada berbisik:
"Tadi malam Cong tocu sudah meninggalkan kotaraja."
Mendengar berita itu, bukan main senangnya hati Siau Po. Hal ini berarti untuk waktu
agak ia dia tidak akan bertemu dengan gurunya, Dia paling takut bertemu dengan Tan
Kin-Iam, sang guru, dia juga tidak tahu, apabila bertemu dengan gurunya itu, haruskah
dia menceritakan tugas yang diberikan kaisar Kong Hi kepadanya.
Sekarang dia bebas, hatinya lega sekali, Tapi, di hadapan Gan Tiau sengaja dia
memperlihatkan sikap lain, Dia seakan kecewa dan menyesalkan hal itu, Dia
membanting-banting kakinya seraya berkata.
"Ah! Kenapa suhu begitu cepat meninggalkan kotaraja?"
"Cong tocu telah berpesan kepada sebawahanmu ini untuk memberitahukan hiocu,"
kata Gan Tiau, "Katanya Cong tocu telah menerima berita kilat dari Taiwan, karena itu,
mau tidak mau dia harus kembali kesana untuk mengurusnya, Cong tocu berharap,
dalam segala hal hiocu harus bertindak seksama dan pandai melihat situasi Cong tocu
juga mengatakan, seandainya hiocu tidak leluasa berdiam lagi di kotaraja, sebaiknya
hiocu pergi untuk sementara, Pesan lainnya ialah agar hiocu rajin berlatih silat,
sedangkan mengenai racun yang mengendap dalam tubuh hiocu, seandainya
bertambah parah, harap hiocu segera mengabarkan pada Cong tocu."
"Ya, aku mengerti," sahut Siau Po. "Suhu memang sangat prihatin terhadap ilmu silat
dan racun yang mengendap dalam tubuhku, Syukurlah aku mendapatkan seorang suhu
yang begitu baik." Ucapan Siau Po yang terakhir adalah kata-kata yang keluar dari hatinya yang paling
tulus, Bukankah dalam keadaan yang demikian genting, Ta Kin-lam juga masih
demikian memperhatikannya"
"Sebenarnya apa yang terjadi di Taiwan?" tany Siau Po kemudian.
"Katanya dalam keluarga The, terjadi perselisihan antara ibu dan anak, Malah
menyebabka terbunuhnya seorang menteri," kata Gan Tiau."Rupanya di sana terjadi
kekacauan di dalam, Cong tocu sangat dihormati, karena itu, dengan kembalinya beliau,
mudah-mudahan urusan bisa dijernihkan Hiocu tidak perlu khawatir Hoan toako, Ho
toako dan Hian Ceng tojin ikut dengan Cong tocu ke sana. sedangkan Ci samko dan
sebawahanmu ini disuruh menetap dulu di kotaraja untuk menerima titah dari hiocu."
Siau Po mengangguk. "Baiklah," katanya, "Sekarang tolong kau panggilkan Cisamko!"
Di dalam hatinya, diam-diam Siau Po berpikir.
"Kepandaian Ci samko tinggi sekali dan otaknya pun cerdas. Lagipula usianya sudah
lanjut dan banyak pengalamannya, Kalau dia disuruh mengantarkan kedua nona ini ke
dusun Cioki cung, pasti tepat sekali..."
Sedangkan mengenai urusan di Taiwan, dia berpikir juga,
"Di Taiwan juga terjadi perselisihan antara ibu dan anak, tidak berbeda keadaannya
dengan thayhou serta kaisar Kong Hi, namun entahlah kalau masalahnya...."
Seberlalunya Gan Tiau, Siau Po mengajak Kiam Peng dan Pui Ie makan mi. Baru
bersantap setengah mangkok, Bhok Kiam-peng tidak dapat menahan keinginan hatinya
untuk bertanya pada Siau Po.
"Benarkah kau tidak bisa ikut kami ke dusun Cioki cung?"
Siau Po tidak langsung menjawab. Matanya memperhatikan Pui Ie yang sedang
asyik makan mi. Meskipun sedang makan, gadis itu mengangkat wajahnya sehingga
pandangan mata mereka bertemu satu dengan lainnya, Siau Po dapat melihat bahwa
mata itu juga menyorotkan sinar berharap sebagaimana halnya mata Kiam Peng.
"Aih!" keluhnya dalam hati, "Mereka berharap aku dapat menemani, tapi bagaimana
mungkin" Tugasku ini penting sekali. Aku juga tidak dapat mengajak mereka, Keduanya
sedang terluka, bukankah akhirnya malah akan merepotkan aku" Lain kalau mereka
dalam keadaan sehat, Kecuali dapat membela diri apabila ada apa-apa, mereka juga
dapat memberikan bantuan kepadaku, sekarang justru aku yang harus melindungi
mereka berdua, Dan perjalanan bersama mereka pasti menarik perhatian umum!"
Karena itu, akhirnya dia menarik nafas panjang.
"Begini saja, setelah tugasku selesai, aku akan pergi ke dusun Cioki Cung untuk
menjenguk kalian. siapakah she dan nama kawanmu itu dan apa nama kampungnya?"
Pui Ie menundukkan kepalanya, Tangannya menyumpit mi, tapi dia tidak langsung
membawa ke mulutnya, dia hanya berkata dengan suara perlahan.
"Sahabat kami itu tinggal di dusun Cioki cung, di sebelah barat pasar. Dia membuka
sebuah perusahaan pengangkutan dengan keledai dan kuda, Dia mendapat julukan
Koay Ma Ti-sam atau si Kuda Cepat !"
"Koay Ma Ti-sam!" Siau Po mengulangi nama itu sekali lagi. "Baiklah, Nanti aku akan
menjenguk kalian." Dia memperlihatkan tampangnya yang berseri-seri dan bergurau
lagi sebagaimana biasanya, "Mana bisa aku meninggalkan sepasang istri tua dan muda
yang demikian cantik cantik bagai batu kumala yang indah?"
Kiam Peng tertawa. "Belum apa-apa, kau sudah mempermainkan lagi lidahmu yang tajam itu," katanya,
Dia tahu Siau Po hanya bergurau sehingga dia tidak merasa jengah atau malu.
Pui Ie juga tidak merasa jengah, malah dia berkata.
"Kalau kau benar-benar menganggap kami sahabat karib, setiap hari kami akan
mengharapkan kedatanganmu.... Sebaliknya, bila kau tidak memandang sebelah mata
kepada kami, lebih baik kau tidak usah datang."
Siau Po tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu. Dia menjadi tidak enak
sendiri lekas-lekas dia berkata.
"Baiklah! Baik! Kalian tidak suka bercanda, lain kali aku akan bersikap serius!"
Pui Ie senang mendengar janji itu.
"Bicara main-main tentu boleh saja, tapi harus ada batasnya," katanya sambil tertawa
manis, "Untuk bercanda, orang harus tahu waktu dan tempat yang tepat. Kau... kau...
apakah kau marah?" Hati Siau Po senang sekali, Dia berkata dengan penuh semangat
"Tidak! Sebaliknya, aku justru berharap kau tidak marah...."
Pui Ie tertawa. "Menghadapi orang sepertimu, siapa pun tidak bisa marah!"
Dengan demikian, suasana dalam ruangan itu menjadi ceria. Hubungan mereka pun
semakin akrab. Di wilayah utara, meskipun pagi hari, udara sudah dingin sekali, Begitu pula yang
dirasakan ketiga orang muda itu.
Siau Po menghirup kuah mi di mangkuknya, Dia seperti tidak sempat mengatakan
apa-apa lagi, Tepat pada saat itu, dari halaman luar terdengar suara langkah kaki berat
yang mendatangi Siau Po segera menoleh dan tampaklah Pat-pi Wan kau (Si kera
bertangan delapan) Ci Tian-coan masuk ke dalam ruangan.
Begitu sampai di depan Siau Po yang usianya jauh lebih muda, Tian Coan segera
menjura dalam-dalam memberi hormat, wajahnya berseri-seri dan dia menyapa dengan
ramah. "Apakah Nilo (tuan yang terhormat) dalam keadaan baik-baik saja?"
Tian Coan sudah tua dan banyak pengalaman Dia juga orang yang berhati-hati,
Melihat sang hiocu datang bersama dua orang yang tidak dikenal, ia tidak menyebutnya
sebagai ketua, tetapi menyapanya dengan panggilan Tuan yang terhormat
Siau Po merangkapkan tangannya membalas hormat dan berkata sambil tertawa
manis. "Ci toako, mari aku kenalkan kau dengan dua orang sahabatku, Yang ini nona Pui,
dan yang ini nona Bhok, Siau kuncu dari Bhok onghu. Mereka adalah murid-murid
berbakat dari Tiat-pwe cong liong Liu Tay-hong!" kemudian dia menoleh kepada kedua
nona itu, "Nona-nona, inilah Ci toako yang sudah kenal baik dengan guru kalian serta
Siau ongya.,." Dia khawatir kedua nona itu masih memendam atau penasaran,
karenanya dia segera menambahkan "Dulu memang terjadi kesa!ah-pahaman, tetapi
sekarang semuanya sudah beres."
Kedua belah pihak saling memberi hormat.
Setelah itu Siau Po berkata kepada Ci Tian-coan.
"Ci toako, kali ini aku hendak memohon bantuanmu...."
Sekarang Tian Coan percaya kedua nona itu sudah mengetahui siapa adanya Wi
Siau Po, karena itu dia langsung berkata,
"Wi hiocu, sebawahanmu akan mentaati apa pun perintahmu!"
Terkaan Tian Coan keliru, sebenarnya Kiam Peng dan Pui Ie belum tahu bahwa thaykam
yang menolong mereka adalah hiocu dari Tian-te hwe. Karena itu mereka merasa
heran mendengar orang tua yang sudah mempunyai nama itu memanggil Siau Po
dengan sebutan hiocu. Mereka segera menoleh dan memperhatikan Siau Po lekat-lekat
saking herannya. Siau Po mengerti kebingungan kedua nona itu, dia langsung tersenyum dan
menjelaskan. "Nona-nona, perlu kalian ketahui bahwa Gouw Lip-sin loyacu dan muridnya serta Lau
It-cou telah berkumpul kembali bersama Bhok siau ongya dan sudah meninggalkan
kotaraja ini. Kamilah yang mengatur semua itu."
"lya, betul," kata Ci Tian-coan menambahkan, "Bhok ongya kemarin sudah
meninggalkan kotaraja dan keadaannya baik-baik saja."
"Jadi kakak Lau It-cou juga bersama dengan toako sekarang?" tanya Kiam Peng
mewakili nona Pui yang kemalu-maluan.
"Benar," sahut Tian Coan. "Aku sendiri yang mengantarkan mereka keluar pintu kota,
tapi mereka berpencar menjadi dua kelompok Lau It-co berjalan bersama dengan Liu
loyacu." Pui Ie menundukkan kepalanya. Wajahnya merah padam.
Melihat sikap nona itu, Siau Po berkata dalam hatinya.
"Kau mendengar kabar tentang pacarmu yang berhasil meloloskan diri dengan
selamat, tentu saja kau kesenangan setengah mati.."
Tetapi, sebenarnya dugaan Siau Po keliru, Pu Ie justru merasa sedih dan bingung,
Dia berpikir dalam hati. "Aku sudah berjanji dengannya, bila dia berhasil menyelamatkan Lau suko, maka aku
bersedia menikah dengannya, Meskipun aku rela, tapi dia kan seorang thay-kam, mana
mungkin aku menikah dengannya" Dia juga masih terlalu muda, meskipu tingkahnya
berlebihan sekarang dia malah menjadi Wi hiocu entah apa."
Siau Po tidak memperdulikan pikiran nona itu, dia berkata lagi dengan cepat.
"Kedua nona itu sempat berhadapan dengan para siwi istana sehingga keduaduanya
terluka, sekarang mereka ingin pergi ke dusun Cioki cung di mana tinggal salah
seorang sahabat mereka, Aku berpikir untuk memohon bantuan Ci toako agar sudi
mengantarkan sampai tujuan dengan selamat."
"Urusan itu mudah!" sahut Tian Coan, "Malah aku merasa senang sekali hiocu
memilih aku yang menjalankan tugas ini. Sebawahanmu ini merasa menyesal terhadap
apa yang pernah terjadi antara sebawahanmu dengan keluarga Bhok, Bukankah Siau
ongya telah menolong aku" Aku merasa bersyukur sekaligus malu, karena itu aku
senang sekali menerima tugas ini. Aku harap aku dapat mengantar kedua nona ini
sampai di tujuan tanpa kurang sesuatu apa pun. Dengan demikian perasaanku menjadi
agak lega...." Bhok Kiam-peng memperhatikan Ci Tian-coan. Dia melihat orangnya sudah tua dan
tubuhnya juga kecil kurus, punggungnya agak membungkuk. Dia jadi mempunyai
dugaan bahwa orang ini pasti roboh tertiup angin yang rada kencang saja, mengapa
orang tua semacam ini diberi tugas mengantarkan mereka berdua" Bisa jadi nanti
bukan mereka berdua yang dilindungi malah mereka berdualah yang harus melindungi
si tua bangka itu." Justru karena Siau Po mengatakan bahwa dia tidak dapat turut serta, Kiam Peng
menjadi tidak puas, Hal ini tersirat jelas pada wajahnya.
Sebaliknya Pui Ie tidak memperlihatkan reaksi apa pun. Dia hanya berkata.
"Ci toako, kami benar-benar tidak berani merepotkan dirimu," katanya merendah
"Bagi kami, sudah lebih dari cukup apabila disediakan sebuah kereta yang besar agar
dapat melanjutkan perjalanan. Luka kami sudah tidak terlalu mengkhawatirkan..."
Ci Tian-coan tertawa. "Nona Pui, tak usah nona sungkan-sungkan!" katanya, "Hiocu sudah menitahkan aku
dan aku harus menjalankan tugasku sebaik-baiknya, Nona berdua sangat gagah,
sebetulnya kalian tidak memerlukan pelayanan kami yang mungkin menjemukan
Lagipula aku sudah tua, tidak pantas dikatakan mengantarkan, tapi setidaknya aku
cukup berguna untuk disuruh-suruh. Aku bisa mencarikan penginapan untuk
beristirahat, menyewakan kereta, membelikan barang-barang yang dibutuhkan Aku
senang dalam melakukan semua itu. Dengan ikutnya aku si orang tua, nona berdua
tidak perlu capekkan diri melakukan sendiri pekerjaan kasar apa pun."
Mendengar ucapan si orang tua yang ramah itu, Pui dan Kiam Peng sadar mereka
tidak enak untuk menolak terus, Akhirnya Pui Ie berkata.
"Ci loyacu sangat baik hati, entah bagaimana kami dapat membalasnya kelak?"
Kembali Tian Coan tertawa,
"Apanya yang harus dibalas?" sahutnya ramah, "Bicara terus terang, nona berdua,
kekaguman aku si orang tua terhadap hiocu kami yang satu ini tidak pernah
habishabisnya, jangan nona-nona memandang remeh terhadap usianya yang masih muda,
kenyataannya banyak yang dapat dilakukannya, Kemarin hiocu telah membantu aku
melegakan dadaku yang sesak ini, dan di saat aku sedang berpikir bagaimana caranya
untuk membalas budi, tahu-tahu begitu kebetulan aku mendapat tugas ini.
"Nona berdua, meskipun kalian tidak sudi diantar olehku, aku bisa tahu diri. Nanti aku
akan berangkat terlebih dahulu agar dapat berjalan di depan kalian dan si orang tua ini
bisa mengatur segalanya, seandainya bertemu gunung, aku akan membuat jalannya,
bertemu sungai, aku akan membangun jembatannya, dengan demikian tanpa kesulitan
nona-nona berdua bisa tiba di dusun Cioki cung, jangan kata mengantar nona berdua
sampai dusun itu, yang hanya makan waktu beberapa hari, sekalipun harus
mengantarkan sampai ke Inlam, aku juga akan menjalankannya dan baru berhenti
apabila kaitan sudah sampai di tujuan"
Kiam Peng tertarik juga mendengar kata-kata Tian Coan wajahnya memang tidak
enak dilihat, tapi orang tua ini berani dan bicaranya polos, Kiam Peng jadi suka
berbicara dengan nya. "Dalam urusan apakah kemarin dia membuat dada loyacu jadi lega?" tanyanya,
"Ke... marin kan dia ada dalam istana?"
"Persoalannya begini..." sahut Tian Coan sambil tertawa, "Di bawah pemerintahan
Go Sam-kui dari propinsi Inlam ada seorang pembesar anjing bernama Yo It-hong. Dia
telah menangkap aku si orang tua. Di tempat tahanannya aku dimaki-maki seenak
perutnya dan disiksa secara bergantian. Hampir saja selembar jiwaku yang tua ini
melayang, Untung kakakmu, Bhok siau ongya telah mengirim orang untuk menolong


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku. Pada waktu itu Wi hiocu berjanji akan menyuruh orang menghajar kaki pembesar
anjing itu sampai patah,."
Kebetulan putra Go Sam-kui datang ke kota-raja dengan membawa banyak
pengikutnya, Ter-masuk Yo It-hong. sebelumnya dia pernah makan hantamanku,
karena itu dia menjadi tidak puas, tapi dia tidak dapat menemukan aku karena tidak
tahu di mana aku berada, Beberapa hari yang lalu, ternyata datanglah bintang gelap
yang menimpaku. Ketika aku berada di toko obat di sebelah barat kota, dia menculikku,
Tentu saja dengan mengandalkan orang-orangnya yang banyak dan saat itu aku masih
dalam keadaan terluka. Setelah ditolong oleh Bhok siau ongya, aku terus mencari jalan
untuk membalaskan sakit hatiku, Sampai sekian jauh belum datang juga kesempatan
itu. Eh, tida tahunya kemarin aku bertemu dengan seorang sahabat yang menjadi tabib
khusus patah tulang.Dialah yang memberitahukan padaku bahwa orang-orang Peng Si
ong menggotong seorang pembesar negeri yang terluka, Dia seperti diarak ke setiap
tabib di kota, Anehnya, meskipun telah mendatangi tiga puluhan tabib, tidak ada
seorang pun yang bersedia mengobatinya.
Dia dibiarkan kesakitan orang-orang yang menggotongnya menjelaskan bahwa
pembesar anjing yang luka itu bernama Yo It-hong dan lukanya itu didapatkan karena
baru saja dihajar oleh puteranya pengkhianat Go Sam-kui, yakni Go Eng-him dengan
toya, Katanya pembesar anjing itu dibiarkan menderita selama tujuh hari tujuh malam
baru akan diobati!" Bagian 28 Kiam Peng dan Pui Ie merasa heran. Hal itu benar-benar aneh bagi mereka, Untuk
apa pembesar itu diarak ke setiap tabib kalau bukan untuk diobati"
"Apa arti perbuatan orang-orang yang menggotongnya itu?" tanya kedua nona itu
kepada Siau Po. Orang yang ditanya tertawa,
"Yo It-hong, pembesar anjing itu telah bersalah kepada Ci toako," sahutnya,
"Perbuatannya sungguh keterlaluan sekarang dia harus diberi pelajaran agar tahu rasa
dan menderita!" "Lalu, mengapa dia digotong kesana kemari oleh anjing Peng Si ong" Apakah
sengaja dilakukan agar dilihat oleh orang banyak?"
Siau Po tertawa. "Go Eng-him, si bocah busuk itu melakukan hal tersebut supaya aku mendengarnya,"
sahutnya, "Aku yang menyuruh dia menghajar kaki pembesar anjing itu dan ternyata dia
telah melakukannya dengan baik."
Kiam Peng semakin heran. "Lalu, mengapa Go Eng-him harus mendengar kata-katamu?" tanyanya kembali.
Kembali Siau Po tertawa. "Aku hanya mengoceh sembarangan di hadapannya untuk mengelabuinya,"
sahutnya, "Rupanya dia percaya dengan ocehanku."
"Tadinya aku ingin membunuh pembesar anjing itu, tapi setelah dipikir-pikir, aku
membatalkannya. Dia toh sudah diarak kesana kemari dalam keadaan terluka, Kakinya
yang patah itu tidak boleh diobati dulu. Kalau dia langsung dibunuh begitu saja, tentu
terlalu enak baginya. Karena itulah aku membiarkannya, Kemarin sore aku melihatnya
sendiri. Menurut pandanganku meskipun masih hidup, tapi nyawanya tinggal satu dua
bagian saja, Kedua kaki celananya digulung ke atas sampai ke paha, Kakinya yang
terluka pun sudah membengkak dan biru matang. Aku yakin paling-paling dia bisa
bertahan beberapa hari lagi Nah, nona-nona berdua, coba kalian pikir, apakah aku tidak
merasa puas melihat kenyataan itu?"
Kedua nona itu tersenyum, Demikian pula dengan Siau Po.
Tidak lama kemudian muncul Kho Gan-tiau yang melaporkan bahwa dia sudah
mencarikan dua buah kereta besar dan sekarang sudah menunggu di depan pintu, Dia
termasuk seorang anggota penting dalam perkumpulan Tian-te hwe, tetapi menurut
peraturan partai itu, dia tidak boleh sembarangan diperkenalkan dengan orang, itulah
sebabnya dia tidak diajak kenal dengan kedua nona itu, Tian-te hwe bertujuan
menentang pemerintahan Boan, karena itu anggota-anggotanya dianggap tidak perlu
terlalu menonjolkan diri.
Menerima laporan itu, Siau Po berpikir dalam hati.
"Dalam buntalanku sudah terkumpul enam jilid kitab Si Cap ji cin-keng. Apa
faedahnya kitab-kitab itu" Aku sama sekali tidak tahu, Mengapa orang lain selalu
menginginkannya, sampai-sampai menempuh jalan mencuri bahkan mengorbankan
jiwa orang lain" Di balik semua ini, pasti ada sebabnya, Karena itu, aku harus menjaga
baik-baik agar kitab ini jangan sampai hilang."
Hanya sejenak Siau Po berpikir Kemudian dia mendapat akal, Dia menggapaikan
tangannya kepada Kho Gan-tiau.
"Kho toako," bisiknya, "Selama di istana aku mempunyai seorang sahabat yang telah
dibunuh oleh para siwi. Karena dia merupakan sahabat karibku, maka aku menyimpan
tulang belulangnya, Ada niatku untuk menguburnya baik-baik. Karena itu, tolong kau
beli sebuah peti mati yang bagus untuk menempatkan abunya."
Orang she Kho itu menerima perintah itu dengan mengangguk Ketika mengundurkan
diri, dia berpikir. "Sahabat hiocu itu pasti seorang gisu yang menentang kerajaan Boan, karena itu aku
harus mencari peti mati dengan kayu pilihan dari Liu Ciu."
Gan Tiau cerdas juga pandai bekerja, Dia diberikan uang sebesar lima ratus tail
perak, tapi masih bersisa tiga puluh tail lebih. Kecuali peti mati, dia juga membeli
pakaian, guci, semen, kertas, lengpay dan lain-lainnya. Menuruti pesan sang hiocu dia
juga membeli pakaian serta sepatu untuk Pui Ie dan Kiam Peng, Tidak lupa pula ia
membeli ransum kering untuk perbekalan dalam perjalanan.
Sampai sekembalinya Kho Gan-tiau, Siau Po, Kiam Peng dan Pui Ie mendapat
kesempatan tidur selama kurang lebih dua jam. Siau Po yang pertama-tama mengganti
pakaian, dia tidak berdandan sebagai seorang thay-kam lagi. Dia sendiri yang
mengurus penyimpanan kitab-kitabnya, Mula-mula dia membungkus keenam kitab itu
dengan kertas yang berlapis-lapis, kemudian dimasukkannya ke dalam guci lalu
dipenuhi dengan abu gosok.
Paling bagus kalau peti mati ini aku isi denga kerangka manusia," pikirnya dalam hati
"Seandai nya ada orang yang curiga, dan membuka tutup pe mati ini, mereka tidak akan
ragu 1agi. Tapi, dalaim waktu yang singkat, kemana aku harus mencar kerangka
manusia atau mayat yang utuh" Di mana aku harus mencari orang jahat yang patut
dibunuh" Ketika akan keluar dari kamarnya dengan membawa guci, Siau Po membasahi matanya
dengan air. Dia muncul dengan tampang sedih, Peti mati diletakkan di ruangan
belakang dan memang tempat itulah tujuannya, Dia memasukkan guci berisi "abu
jenasah. Setelah selesai, dia menjatuhkan dirinya berlutut untuk memberikan
penghormatan yang terakhir kepada "sahabat'nya itu. Dia melakukannya sambil
menangis pilu. Di ruang itu telah berkumpul Ci Tian-coan, Kho Gan-tiau juga kedua nona dari
keluarga Bhok, Tidak ada seorang pun dari mereka yang menaruh kecurigaan Bahkan
semuanya ikut memberikan penghormatan terakhir.
Siau Po pernah melihat upacara sembahyang di rumah keluarga Pek, maka dia pun
menirunya, Dia berlutut di depan keempat orang itu dan menghaturkan terima kasih.
"Hiocu, siapakah nama sahabatmu itu?" tanya Kho Gan-Tiau. "Nama dan she dia
harus ditulis dengan jelas."
"Dia... dia.,." kata Siau Po pura-pura menangis, padahal dia bingung karena belum
memikirkan nama sahabatnya itu. Dia... she Hay bernama Kui Tong."
Siau Po memang cerdas sekali, Dalam waktu yang singkat dia bisa memikirkan
sebuah nama yang diambilnya dari nama Hay thayhu, Siau Kui cu, dan Sui Tong, Dia
berpikir dalam hati. "Aku telah membunuh kalian bertiga dan sekarang aku bersembahyang untuk arwah
kalian. Uang ini boleh kalian gunakan di dalam alam baka, Tapi arwah kalian tidak boleh
mengganggu aku, ya!" Kiam Peng melihat Siau Po menangis dengan sedih. Dia segera
menghibur. "Bangsa Tatcu telah membunuh para gisu dan sahabat kita, Suatu hari pasti akan
tiba saatnya kita membalaskan sakit hati mereka, Dan sakit hati gisu ini pun akan
terbalaskan!" Abu jenasah palsu itu disebut "gisu" panggilan yang luar biasa hormatnya, Karena
"gisu" berarti "Patriot pecinta negara"
"Memang bangsa Tatcu harus dibasmi!" kata Siau Po dengan nada sengit "Kalau
tidak, arwah para gisu tidak akan tenang dan sakit hatinya tidak terlampiaskan!"
Selesai upacara sembahyang, semua orang berdiam untuk beristirahat. Kemudian
mereka mengucapkan selamat berpisah kepada Kho Gan-tiau untuk melanjutkan
perjalanan. "Biar aku antar kalian barang selintasan," kata Siau Po kepada kedua nona dari
keluarga Bhok itu." Tentu saja Kiam Peng dan Pui Ie menjadi gembira mendengarnya.
Kedua nona itu duduk dalam satu kereta, sedangkan Ci Tian-coan dan Siau Po
duduk dalam keretanya masing-masing, Kereta itu keluar dari pintu timur dan menuju
arah timur juga, Setelah lewat beberapa li, baru mereka mengambil arah selatan.
Kurang lebih menempuh perjalanan sejauh delapan li, Tian Coan menyuruh keretakereta
itu dihentikan Kemudian dia berkata kepada Siau Po:
"Ada pepatah yang mengatakan mengantar sahabat sejauh seribu li". Tapi meskipun
demikian, akhirnya toh harus berpisah juga, Begitu pula dengan kita. sekarang hari
sudah siang, Mari kita singgah untuk minum teh, setelah itu kita melanjutkan perjalanan
masing-masing." Siau Po setuju, mereka mampir di sebuah kedai teh yang letaknya di pinggir jalan
Ketiga sais kereta juga diajak serta, mereka duduk bertiga di meja lain.
Ci Tian-coan tahu diri. Dia menerka kedua nona itu tentu ada apa-apanya dengan
hiocu perkumpulan mereka. Mungkin ada sesuatu yang ingin mereka bicarakan.
Dengan mencari alasan, dia mengundurkan diri, Dia berdiri memangku tangan dan
menyaksikan pemandangan alam di luar kedai.
"Kui.. Kui.,." kata Kiam Peng membuka mulut, tapi dia segera mengganti katakatanya,
"Oh, bukan, bukan. sebenarnya kau she Wi bukan" Dan kau juga seorang...
entah hiocu apa?" Siau Po tertawa. "Aku she Wi dan namaku Siau Po," katanya terus terang, "Di tempat ini aku adalah
seorang hiocu dari Ceng-bok tong yang merupakan bagian dari Tian-te hwe. sekarang
aku tidak dapat berbohong lebih lama lagi."
"Oh!" seru nona Bhok heran. Kemudian dia menarik nafas panjang.
"Mengapa kau menarik nafas?" tanya Siau Po.
"Kau adalah seorang hiocu bagian Ceng-bok tong dari Tian-te hwe," kata si nona,
"Tetapi... mengapa kau menjadi thay-kam dalam istana Boan" Bukankah hal itu...."
Pui Ie menduga Kiam Peng akan mengatakan bukankah hal itu sayang sekali?"
Untuk mence-gahnya, dia segera menukas, Dia tidak ingin Siau Po menjadi tidak enak
hati. "Kalau seorang yang berjiwa gagah dan bersemangat patriot sudi bekerja untuk
negaranya," katanya, "Dia tidak akan memperdulikan jalan apa pun. walaupun hal itu
menentang sanubarinya sendiri, dia tetap akan menjalankannya. Kita justru harus
menghormati orang seperti itu!"
Nona Pui menduga Siau Po mendapat tugas dari perkumpulannya untuk menyelinap
ke dalam istana kerajaan Ceng untuk menjadi mata-mata. Demi keberhasilannya, dia
rela menjadi thay-kam, pengorbanan semacam itu baginya besar sekali!
Siau Po dapat menerka isi hati kedua nona itu. Dia tersenyum. Dalam hatinya dia
bertanya pada dirinya sendiri
"Apakah sebaiknya aku menjelaskan bahwa aku bukan seorang thay-kam asli?"
Tepat pada saat hiocu ini sedang berpikir keras, tiba-tiba dia dikejutkan suara
bentakan Ci Tian-coan. "Hm! Sahabat yang baik! Apakah sampai detik ini kau masih tidak mau
memperlihatkan dirimu?" Teguran itu ditujukan pada salah seorang sais kereta yang
duduk di sampingnya. Tangannya segera meluncur untuk menepuk bahu orang itu.
Tapi tepukannya itu gagal, karena si sais berhasil memiringkan bahunya dengan
gesit sekali. Tangan kiri Tian Coan segera meluncur lagi untuk menghajar pinggang kiri
orang itu. Ternyata sais atau kusir itu memang lihay sekali Dia menangkis sambil menggeser
tubuhnya sehingga terbebas dari serangan itu.
Tian Coan merasa penasaran, sikut kanannya menyusul ke arah belakang leher si
kusir. Tukang kereta itu memang hebat Dia mengelakkan bagian belakang lehernya sambil
membalas dengan meluncurkan tangan kanannya ke wajah penyerangnya.
Menyaksikan hal itu, Tian Coan mencelat mundur Dia merasa heran sekaligus
kagum. Kelihayan orang itu benar-benar di luar dugaannya, Apalagi selama
mengelakkan diri maupun menyerang. Kusir itu tetap duduk di atas kereta, Bukankah
kepandaiannya sendiri cukup tinggi dan serangannya selalu membahayakan"
Dari tiga jurus yang sudah berlangsung, kentara jelas Ci Tian-coan yang keteter, dia
menjadi tercekat hatinya sekaligus gusar, Bukankah dia mendapat tugas untuk
mengantar kedua nona dari keluarga Bhok dan keselamatan mereka harus terjamin"
Tapi sekarang, baru menempuh perjalanan sebentar saja, dia telah menemui rintangan
hebat!. Untung saja dia keburu mencurigai kusir itu. jangan kata tiba di dusun Cioki
cung, mereka sekarang baru terpisah dari kotaraja sejauh belasan li.
"Tentunya dia jago dari istana!" pikir Ci Tian-coan dalam hati. Tentunya dia mendapat
tugas melakukan penangkapan...."
Mengingat demikian, lekas-lekas Ci Tian-coan memberi isyarat kepada Siau Po
bertiga yang perhatiannya sudah tertarik, Dia ingin mereka bertiga menyingkir terlebih
dahulu agar dia bisa leluasa menghadapi kusir itu.
Siau Po bertiga terdiri dari orang-orang gagah. Meskipun Pui Ie sedang terluka dan
tidak dapat berkelahi, namun ketiganya sudah menghunus senjata masing-masing serta
menerjang ke depan untuk mengepung kusir itu.
Sang kusir meloncat turun dari kereta dan duduk di atas tanah. sekarang dia
menoleh ke arah Ci Tian-coan dan sembari tertawa manis dia berkata:
"Sungguh tajam mata Pat-pi Wan Kau!" suaranya kecil, tapi agak melengking.
Siau Po berempat memperhatikan kusir itu, Mereka melihat wajahnya agak tembem
seperti bengkak, kulitnya kuning, pipi dan dahinya kotor, pakaiannya juga dekil Sulit
menaksir berapa kira-kira usianya.
Tian Coan heran mendengar orang itu bisa menyebut julukannya, Dia segera
merangkapkan sepasang tangannya menjura,
"Tuan, siapa Anda?" tanyanya, "Mengapa tuan menyamar menjadi kusir kereta dan
mempermainkan aku si orang tua?"
Sampai waktu itu, barulah si kusir berdiri kembali Dia bangun perlahan-lahan dan
sambil tertawa dia berkata.
"Mempermainkan" Aku yang rendah benar-benar tidak berani! Aku yang rendah
adalah sahabatnya Wi hiocu! Aku mendengar kabar Wi hiocu sudah meninggalkan
kotaraja, karena itu aku datang untuk mengantarkan."
Siau Po mengawasi orang itu, Kemudian dia menggelengkan kepalanya.
"Maafkan..." katanya, "Kenyataannya... aku tidak kenal dengan tuan."
Kusir itu kembali tertawa.
"Kita berdua telah menghadapi musuh tangguh tadi malam," katanya, "Hiocu yang
baik, masa kau begitu pelupa?"
Siau Po terkejut. "Oh!" serunya, "Rupanya kau To...." Siau Po segera menyimpan pisau belatinya, Dia
menghambur ke depan untuk meraih tangan kusir itu.
Rupanya kusir itu merupakan samaran dari To kionggo, Dia memoles wajahnya
sedemikian rupa sehingga tidak mudah dikenali
"Aku khawatir hiocu mendapat rintangan di tengah jalan dari bangsa Tatcu, dan aku
menyamar dengan niat mengantarkan kau barang selintasan!" kata orang she To itu
menjelaskan. Kemudian tampak dia menarik nafas panjang, "Di luar dugaanku, mata Ci loyacu
begitu tajam sehingga tidak dapat aku mengelabuinya!"
Ci Tian-coan memperhatikan kedua orang itu. Hatinya menjadi lega dan sekaligus
malu, Rupanya kusir itu adalah penyamaran sahabatnya sang hiocu, Dia juga menjadi
jengah mengetahui kepandaian orang begitu tinggi, bahkan sepuluh kali lipat dari
dirinya sendiri. "Aih! Kalau dia benar-benar seorang musuh, pasti kami berempat sulit meloloskan
diri dari maut," pikirnya dengan hati jeri.
Membawa pikiran demikian, Ci Tian-coan segera memberi hormat Sambil tertawa dia
berkata. "Tuan, sungguh aku merasa kagum dengan kelihayanmu! Dan kau, Wi hiocu, rejeki
dan jodohmu sungguh bagus, di mana-mana kau mendapatkan kawan yang hebat!"
To kionggo tertawa. "Ci toako hanya memuji," katanya, "Tidak sanggup aku menerimanya, tapi aku
mohon tanya, kelemahan apakah yang Ci toako lihat sehingga samaranku ini bisa
ketahuan?" "Dalam hal dandanan, aku tidak menemukan kelemahan apa pun," sahut Ci Tiancoan.
"Tetapi kecurigaanku timbul sejak keberangkatan tadi. Aku heran menyaksikan
gerakan tanganmu ketika mengendalikan kuda dan menggunakan cambuk, Gerakan
tanganmu tidak mirip dengan kusir lainnya, Aku lihat cambukmu meluncur lurus, tapi
lenganmu tidak bergetar sebagaimana biasanya orang sedang mengayunkan cambuk.
Ketika cambuk itu ditarik kembali, tanganmu juga tidak menekuk sebagaimana
umumnya, Kalau aku tidak keliru, gerakan lengan itu dinamakan Kim-liong Ciong ho
(Naga emas menerobos sungai) suatu ilmu tenaga dalam yang istimewa, Setahuku, di
antara para kusir di kotaraja, tidak banyak yang menguasai ilmu tenaga dalam
semacam itu." Mendengar kata-katanya, Siau Po dan kedua nona dari keluarga Bhok tertawa,
Demikian pula To kionggo dan Ci Tian-coan sendiri Mereka merasa orang she Ci ini


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benar-benar teliti juga cerdas, Sampai gerakan tangan orang mengayunkan cambuk
pun dia perhatikan, sehingga dapat terlihat perbedaannya dari kusir-kusir lain.
Setelah tertawa, Tian Coan berkata.
"Aku yang rendah benar-benar tidak mempunyai mata, seharusnya aku tidak boleh
sembarangan turun tangan sehingga perbuatanku menjadi kurang hormat, sayangnya
aku si tua bangka ini sungguh tidak tahu diri dan sudah berlaku lancang."
"Jangan berkata demikian, Ci toako," kata To kionggo, "Tidak berani aku
menerimanya, Sebaliknya, aku sangat mengagumimu karena kau berani bertanggung
jawab melindungi Wi hiocu sekalian."
"Terima kasih, tuan. Pujian mu terlalu tinggi, Tuan, bolehkah aku tahu she dan
namamu yang muIia?" "Sahabatku ini she To," Siau Po mendahului memberi jawaban "Dengan aku sudah
seperti saudara sehidup semati!"
"Tidak salah," kata To kionggo membenarkan "Kamilah sahabat sehidup semati! Wi
hiocu telah menolong selembar nyawaku!"
"Oh, cianpwe! janganlah cianpwe berkata demikian," ujar Siau Po cepat, "Yang
benar, kita berdua telah bekerja sama dengan baik bertarung dan membunuh seorang
telur busuk yang maha besar."
To kionggo tersenyum. "Saudara Wi, Ci toako, nona Pui dan nona Bhok, sampai di sini saja kita berpisah!"
Habis berkata, dia memberi hormat dan lompat naik ke keretanya,
"To... To toako!" panggil Siau Po gugup, To toako kau hendak kemana.
To toako tersenyum "Dari mana aku datang, kesanalah aku akan pergi!" sahutnya.
Siau Po mengangguk "Baik!" katanya, "Sampai jumpa!"
To kionggo hanya tersenyum. Dia langsung melarikan keretanya. Siau Po dan rekanrekannya
hanya mengawasi kepergian orang itu. Hati mereka merasa kagum sekali.
"Ci loyacu, benarkah kepandaian orang itu tinggi sekali?" tanya Kiam Peng yang
masih penasaran. "Kepandaiannya lebih hebat sepuluh kali lipat daripadaku," sahut Tian Coan,
Terangterangan dia mengakui kehebatan lawannya tadi. "Apalagi sebagai seorang wanita,
lebih-lebih luar biasa!"
"Apa?" tanya Kiam Peng yang saking herannya sampai tertegun untuk sesaat, "Dia
wanita?" "lya," sahut Ci Tian-coan. "Ketika dia melompat naik ke atas kereta, gerakan
tubuhnya begitu gesit dan lincah serta menarik untuk dilihat!"
"Sebenarnya, aku juga mendengar suaranya tajam, tidak mirip dengan suara lakilaki,"
kata Kiam Peng pula, "Wi toako, dia... apakah wajahnya yang asli... cantik?"
"Empat puluh tahun yang lalu, kemungkinan dia cantik dan lucu," sahut Siau Po. Tapi
kalau di bandingkan dengan engkau, empat puluh tahun kemudian kau akan tetap
cantik seperti sekarang. Bukannya cemburu atau malu, Kiam Peng malah tertawa geli.
"Ah!" serunya, "Mengapa kau membanding bandingkan aku dengannya" Rupanya
dia sudah tua!" "Memang betul, mestinya usia wanita ini tidak muda lagi," kata Tian Coan ikut
memberikan komentar, "llmu Kim-liong ciong ho yang dimilikinya pasti sudah dilatih
lebih dari tiga puluh tahun, kala tidak, mana mungkin begitu lihay?"
Sementara itu, hati Siau Po sedih sekali, baru saja dia berpisah dengan To kionggo,
sekarang di harus berpisah lagi dengan Kiam Peng dan Pui Ie. Dua orang nona yang
cantik dan manis, Selanjutnya dia akan sendirian. Entah mengapa, tiba-tiba saja dia
menjadi takut. Di istana, meskipun thayhou sangat membencinya, tapi dia sudah terbiasa dengan
tempat itu, lagipula banyak orang yang di kenalnya, Dibantu dengan kecerdasannya, dia
selalu bisa terhindar dari marabahaya, Tapi sekarang Dia harus pergi ke gunung Ngo
Tay san yang masih asing baginya, sedangkan tugasnya penting serta berat, Seumur
hidupnya, dia juga belum pernah menempuh perjalanan sejauh itu seorang diri. Pada
dasarnya dia memang masih seorang bocah cilik.
Ci Tian-coan mengira sang hiocu akan kembali ke istana, karena itu dia berkata:
"Wi hiocu, hari sudah senja, Cepat kau puIang, Nanti sebentar lagi pintu kota akan
ditutup!" "lya," sahut Siau Po.
Pui Ie menyerahkan sebuah buntalan kepada si thay-kam cilik.
"lni bajumu, kau saja yang memakainya!" katanya.
"Tidak!" tolak Siau Po, "Lebih baik kau yang memakai!"
"Kami diantar oleh Ci loyacu," kata Pui Ie. "Tentu tidak ada apa pun yang terjadi pada
diri kami, mengapa kau masih merasa berat dan khawatir?"
Terpaksa Siau Po mengulurkan tangannya menyambut buntalan itu, Dia tidak
mengatakan apa-apa, hatinya bingung sekali.
Tian Coan segera mempersilahkan kedua nona itu naik ke atas kereta. Kemudian dia
duduk di samping pak kusir, Begitu dia memberi isyarat, kereta itu langsung dijalankan
menuju selatan. Siau Po berdiri terpaku di pinggir jalan, matanya menatap ke arah kereta yang
sedang melaju tanpa berkedip sedikit pun. Dia melihat kedua nona itu melongokkan
kepalanya dan melambaikan ta-ngannya, Tidak lama kemudian, kereta itu pun lenyap
dari pandangan Setelah melaju kurang lebih tiga puluh tombak, jalan di sana membelok
dan pemandangan pun terhalang oleh pohon Yang Liu yang rimbun.
Akhirnya, Siau Po pun naik ke atas keretanya sendiri Dia menyuruh kusir itu
menjalankan keretanya menuju barat, bukan kembali ke kota Peking.
Kusir itu bingung sehingga dia memandang Siau Po dengan tertegun, Siau Po
mengeluarkan uang sebanyak sepuluh tail dan disodorkannya kepada kusir kereta itu.
"lni uang sebanyak sepuluh taiI. Cukup untuk sewa kereta selama tiga hari bukan?"
Bukan main senangnya hati kusir itu.
"SepuIuh tail cukup untuk menyewa kereta ini selama satu bulan. Baiklah, kongcu ya,
aku yang rendah akan melayanimu. Kongcu mau berjalan atau minta berhenti, harap
diperintahkan saja."
Berbeda dengan semula, kusir itu memanggil Siau Po dengan sebutan kongcu ya
yakni tuan muda dari kalangan atas.
Siau Po tidak mengatakan apa-apa, dia hanya tersenyum,
Malam itu dia singgah di sebuah dusun yang letaknya kurang lebih dua puluh li dari
kota Peking, Dia memilih sebuah penginapan kecil, Di dalam kamar, dengan bantuan
cahaya lilin, dia membuka, buntalan yang diberikan oleh Pui Ie. Dikeluarkannya baju
mustika berwarna hitam itu, kemudian dikenakannya sebagai pakaian dalam lalu ia
berangkat tidur. Besok paginya, Siau Po terjaga dari tidur, dia terkejut setengah mati. Kepalanya
terasa berdenyut-denyut dan matanya berat sekali. Untuk sekian lama dia tidak
sanggup membuka matanya, Yang lebih celaka, seluruh tubuhnya justru terasa lemas
seakan tidak mempunyai tenaga sedikit pun. Dia merasa dirinya seperti sedang
bermimpi buruk, Dia ingin membuka mulutnya untuk berteriak, tetapi tidak ada sedikit
pun suara yang keluar Akhirnya, ketika dia mulai bisa membuka matanya, hatinya
langsung tercekat Dia melihat ada tiga sosok mayat menggeletak di depan tempat
tidurnya. Saking kagetnya, Siau Po diam terpaku, Setelah agak sadar, dia mencoba
menenangkan diri. Dipaksakannya otaknya untuk berpikir. Dia berusaha bergerak dan
bangun, sekarang dia melihat di dalam kamarnya sudah bertambah satu orang lainnya.
Orang hidup, Dan saat itu sedang duduk memperhatikannya sambil tersenyum simpul!
"Oh!" serunya terkejut sekaligus gembira, "Kau rupanya!"
Orang itu tertawa. "lya!" sahutnya, "Kau baru terjaga?"
Rupanya orang itu bukan lain dari To kionggo!
Dalam sekejap saja, hati Siau Po jauh lebih lega.
"To cici!" katanya, "To... ie ie... apa sebetulnya yang telah terjadi?"
To kionggo tidak langsung menjawab, Dia menunjuk ke arah tiga mayat yang
menggeletak di atas lantai,
"Coba kau lihat! Siapa mereka?"
Siau Po mencoba turun dari tempat tidur, tapi baru saja dia menginjakkan kaki ke
lantai, kedua lututnya terasa lemas dan dia jatuh terduduk. Dengan berusaha sekuat
tenaga akhirnya dia bisa berdiri juga, punggungnya bersandar pada tiang tempat tidur,
Dia memperhatikan ketiga orang yang sudah menjadi mayat itu. Tidak ada satu pun
yang dikenalinya. "Bibi To, kau telah menolong jiwaku?" tanyanya sambil mengawasi wanita itu.
To kionggo balas menatapnya lekat-lekat
"Sebenarnya kau memanggil aku kakak atau bibi?" tanyanya tertawa, "Ayo, jangan
memanggil tidak menentu!"
Siau Po ikut tertawa. "Kau.,, kau adalah bibi To!" sahutnya kemudian.
To kionggo tertawa lagi. Lalu dia berkata:
"Kau melakukan perjalanan seorang diri, lain kali kalau makan atau minum, kau
harus hati-hati. Coba kau jalan bersama-sama Pat-pi Wan Kau, tentu tidak ada yang
perlu kau khawatirkan."
"Jadi tadi malam aku telah diracuni orang dengan Bong Hoan-yok?" tanya Siau Po.
"Kurang lebih begitulah!" sahut To kionggo tertawa.
"Mungkin obat itu dicampur ke dalam air teh," sahut Siau Po. Ketika aku minum,
memang aku rasa ada sedikit beda, ada sari asam dan manisnya."
Sembari berkata, bocah itu mengangkat teko teh. Dia ingat, tadi malam isi teko itu
masih setengah, tapi sekarang sudah kosong, tidak ada isinya setetes pun.
"Oh" jadi ini sebuah penginapan gelap?" tanyanya.
"Tadinya sih penginapan bersih, sejak kau datang kemari, langsung saja berubah
menjadi penginapan gelap!" kata To kionggo menjelaskan.
Siau Po meraba kepalanya yang masih terasa nyeri.
"Aku benar-benar tidak mengerti!" katanya.
"Tidak lama setelah kau masuk ke dalam penginapan ini," kata To kionggo kembali,
"Segera ada orang yang menyusul kemari dan membekuk pemilik penginapan ini.
Mereka terdiri dari sepasang suami istri dan seorang pelayan Salah seorang penjahat
itu langsung menyamar sebagai pelayan dengan mengganti pakaiannya lalu menyeduh
teh dan membawakannya untukmu. Aku melihat kau berganti pakaian, tapi sampai lama
kau hanya berdiam diri, entah apa yang sedang kau pikirkan Aku berlalu sebentar
dengan pikiran sesaat lagi aku akan kembali, Tidak tahunya kau sudah minum teh yang
mengandung obat bius itu, Untung saja yang dicampurkannya bukan racun."
Wajah Siau Po jadi merah padam Dia merasa malu dan jengah, Dia menyesal
bertindak kurang hati-hati dan ceroboh sehingga berhasil dikerjai orang, Tadi malam,
ketika'mengenakan baju mustikanya, dia ingat baju itu pernah dikenakan nona Pui yang
cantik dan manis. Dulu nona itu sangat membencinya, tapi sekarang sikapnya baik sekali. Mengingat
dia mengenakan pakaian yang baru dikenakan gadis itu, dia menjadi tidak enak, Dia
juga malu mengetahui To kionggo melihatnya berganti pakaian tadi malam. Memang
usianya sudah lanjut, tapi To kionggo masih seorang nona, sebab dia belum menikah.
To kionggo melanjutkan keterangannya, "Setelah kita berpisah kemarin, aku
langsung kembali ke istana, Aku heran sekali mendapatkan keadaan di istana sunyi
senyap dan tidak ada perkabungan bagi thayhou, Cepat-cepat aku mengganti pakaian
kemudian pergi ke Cu-leng kiong, Sejak dari luar keraton, keadaan biasa-biasa saja.
Segera aku memperoleh kepastian bahwa thayhou belum mati, itu suatu hal yang buruk
bagi kita. Mulanya aku pikir, asal thayhou mati, kita berdua bisa berdiam terus di
istana. sekarang ternyata dia masih hidup, hal ini berarti mau atau tidak kita harus
meninggalkan istana, Terutama aku harus memperingatkan kepadamu, agar kau jangan
kembali ke istana, karena perbuatan itu berarti kau mengantar nyawamu sendiri!"
Siau Po yang cerdik pura-pura terkejut "Oh!" serunya, "Ternyata si nenek sihir belum
mati" Wah! Berbahaya sekali!" Dalam hati sebetulnya dia tidak enak karena mendustai
wanita ini. Dia berkata dalam hati, Aku meninggalkan istana dengan tergesa-gesa,
karena itu aku lupa memberitahukan urusan itu!"
"Setelah mendapat keterangan bahwa thayhou belum mati, aku segera membalikkan
tubuh untuk pergi, Tapi, tiba-tiba aku melihat tiga orang siwi keluar dari Cu-leng
kiong. Tindak-tanduk mereka mencurigakan sekali. Aku menduga thayhou mengirim mereka
untuk menangkap aku, Namun setelah aku ikuti, ternyata mereka tidak menuju ke
kamarku, sayangnya aku tidak sempat mengikuti lebih jauh. Cepat-cepat aku kembali
ke kamar untuk berkemas dan meloloskan diri dari samping dapur Gisian pong!"
"Rupanya bibi menyamar sebagai petugas dapur," kata Siau Po. Di sana memang
banyak sekali pekerjaan Seperti membelah kayu, menggotong arak, memotong ayam,
mencuci sayur-mayur dan sebagainya, semuanya dilakukan oleh pegawai rendahan,
sehingga tidak banyak orang yang memperhatikan mereka.
To kionggo melanjutkan kata-katanya.
"Begitu aku keluar dari istana, aku segera melihat ketiga orang siwi itu, mereka
sudah mengganti pakaian dan pergi dengan menunggang kuda, Hal ini membuktikan
bahwa mereka akan menempuh perjalanan jauh...."
"Oh!" seru Siau Po sambil menendang salah satu mayat tersebut "Jadi mereka inilah
ketiga saudara baik hati yang membuka penginapan gelap ini?"
To kionggo tertawa. "Karena itu kau harus mengucapkan terima kasih kepada mereka," katanya, "Kalau
bukan mereka yang memimpin jalan, bagaimana mungkin aku bisa menemukanmu"
Siapa yang menyangka kau akan memutar arah ke barat" Mereka ini justru menuju ke
barat sepanjang perjalanan mereka selalu menanyakan tentang seorang bocah laki-Iaki
berusia kurang lebih lima atau enam belas tahunan yang melakukan perjalanan seorang
diri. Karena itulah aku menduga mereka mendapat tugas untu menangkapmu Mereka
tiba di sini ketika magrib dan aku berhasil mengejar mereka tepat waktunya."
Siau Po merasa terharu sekali.
"Kalau bibi tidak datang menolongiku, kemungkinan sampai di alam baka pun aku
tidak bisa menjawab pertanyaan Raja akherat mengenai kematianku," sahutnya
bersyukur "Kalau aku ditanya kan tentang cara kematianku, aku sendiri akan
terbingung-bingung!"
To kionggo tersenyum, Senang hatinya berbicara dengan bocah ini. Sudah berapa
puluh tahun dia mengeram di dalam istana, jarang dia berbicar secara akrab dengan
orang lain. Bocah ini sungguh menarik, Mendengar kata-katanya, To kionggo sampai
tertawa geli, "Pasti Raja akherat akan berkata: "Bawa dia pergi dan hajar lagi!"
Siau Po juga tertawa. "Memangnya tidak?" katanya, "Pasti raja akherat akan marah, Pasti dia tidak sudi di
dalam nerakanya ada setan yang asal-usulnya tidak jelas, Dia juga tidak mau mengurus
hantu yang kematiannya tidak karuan!"
Lagi-lagi To kionggo dan Siau Po tertawa.
"Bibi To, apa yang terjadi kemudian?" tanya Siau Po.
"Aku mencuri dengar pembicaraan mereka di dapur di mana mereka berkumpul.
Tentu saja setelah membuat pemilik rumah penginapan dan pelayannya tidak berdaya,
Menurut mereka, thayhou menitahkan kau hidup atau mati, sebaiknya ditangkap hiduphidup,
tapi kalau terpaksa bunuh saja. Kalau kau sudah mati, semua barang milikmu
harus dibawa pulang dan diserahkan kepada thayhou, Tidak boleh ada yang kurang!
Katanya kau mencuri kitab suci milik thayhou, kitab yang biasa digunakan untuk
membaca doa bagi Sang Buddha, Nah, adikku, benarkah kau mencuri kitab suci milik
thayhou" Apakah Cong tocu yang menitahkan kepadamu?"
Sembari bertanya, To kionggo menatap Siau Po lekat-lekat
"Aih! Tidak salah lagi!" pikirnya, "Dayang ini pernah menggeledah kamar thayhou,
tentu dia mencari kitab Si Cap Ji cing-keng.,." Siau Po sadar dia tidak boleh
membiarkan To kionggo menunggu lama untuk jawabannya, Dia memperlihatkan
tampang terkejut dan balik bertanya,
"Apa" Kitab Buddha apa" Cong tocu kami tidak memuja dewi Pousat dan kami tidak
pernah melihatnya membaca doa!"
To kionggo percaya dengan keterangannya, Wanita itu memang gagah, tapi dia
kalah cerdas dengan Siau Po. Di dalam istana kenalannya cukup banyak, tapi
sahabatnya hampir tidak ada. Dia hanya kenal baik dua dayang tua lainnya, Dia juga
mendapat kenyataan bahwa thay-kam ini cerdas dan polos. Diam-diam dia berpikir
dalam hati. "Aku telah menolongnya dan tentu saja dia bersyukur sekali kepadaku, Mustahil dia
berbohong, LagipuIa, aku telah memeriksa buntalan nya.."
Karena itu dia menganggukkan kepalanya dan berkata,
"Aku melihat mereka membuka buntalanmu dan memeriksa isinya, mereka
mendapatkan dua jilid kitab ilmu silat, tampaknya mereka merasa bimbang dan tidak
bisa memastikan apakah itu kitab yang dimaksudkan ibu suri!"
"Oh!" teriak Siau Po. Dia memang terkejut, taa terus menjalankan sandiwaranya,
"Kitab ilmu silat itu merupakan tulisan guruku, celakalah kalau sampai diambil oleh
mereka." To kionggo tersenyum "Jangan khawatir!" katanya, "Kitab itu masih ada dalam buntalanmu Sebaliknya,
mereka justru keblinger melihat uangmu yang begitu banyak, Bahkan mereka sudah
berdamai untuk membagi hasil dan menyembunyikannya. Aku jadi marah sekali, saat
itu juga aku langsung masuk dan membereskan mereka, sekarang soal kitab agama
Buddha itu, Aku yakin kitab itu penting sekali artinya, Aku juga tidak percaya kalau
kau menyerahkannya kepada Ci loyacu atau kedua nona yang pergi ke dusun Cioki cung,
Karena ketiga musuh itu sudah mati dan kau tidak kurang suatu apa pun, menggunakan


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

waktu saat kau beristirahat aku langsung menyusul Ci loyacu, Aku pergi dengan
menunggang kuda. untung saja aku berhasil menyusul mereka yang sedang beristirahat
dalam sebuah penginapan. Mula-mula aku berpikir untuk melakukan penyelidikan
secara diam-diam Tapi nyatanya Pat pi Wan Kau memang lihay sekali. Baru saja aku
naik ke atas genteng, dia sudah tahu, terpaksa sekali lagi kita bertempur...."
"Dia kan bukan tandinganmu!" kata Siau Po.
"Sebenarnya aku tidak berminat melakukan kesalahan terhadap pihak Tian-te hwe,
tapi kali ini aku benar-benar terpaksa," sahut To kionggo dengan nada penuh
penyesalan "Setelah bertarung beberapa saat, aku berhasil merobohkannya, kemudian
baru aku beri penjelasan dan memohon agar dia tidak salah mengerti atas apa yang
kulakukan serta sudi memberi maaf. Karena itu pula, aku harap kalau kau bertemu
dengannya, tolong kau jelaskan sekali lagi dan minta agar dia jangan mendendam
terhadapku Aku berbuat begitu saking terpaksa, Aku telah memeriksa buntalan mereka
bertiga, aku juga menggeledah seluruh kamar, tapi aku tidak berhasil mendapatkan apa
pun. Dan ketika aku akan meninggalkan penginapan tersebut, aku melihat seorang dari
dunia kangouw yang gerak-geriknya mencurigakan. Dia sedang mendekam di
wuwungan atap kamar Ci loyacu, Dari gerak-geriknya itu pula, aku mempunyai
keyakinan kepandaiannya tidak seberapa tinggi dan Ci loyacu bertiga tentu sanggup
menghadapinya, Maka dari itu, aku segera meninggalkan mereka dan kembali ke sini."
Siau Po memperlihatkan tampang sedih dan menyesal
"Kalau demikian, akulah yang benar-benar tolol!" katanya, "Kau telah melakukan
banyak hal untukku, tapi aku tetap tidak tahu!"
To kionggo berdiam diri sekian lama. Tampaknya dia sedang merenung.
"Adik," katanya kemudian "Kau sudah cukup lama tinggal di dalam istana, apakah
kau pernah mendengar soal kitab Si Cap Ji cin-keng?"
"Kalau aku tidak salah, ibu suri dan Sri Baginda sangat menghargai kitab agama
Buddha itu, Tapi dalam pandanganku, apa gunanya" Buktinya thayhou begitu kejam
dan jahat, Biarpun dia membaca kitab suci laksaan kali, tidak mungkin Dewi pousat
akan melindunginya!"
Tanpa memberi kesempatan kepada Siau Po untuk melanjutkan kata-katanya, To
kionggo segera menukas. "lbu suri dan Sri Baginda sangat memperhatikan kitab itu" Apa saja yang pernah
mereka katakan?" "Sri Baginda pernah menitahkan aku ikut dengan So tayjin untuk menggeledah
tempat tinggal Go Pay. Aku dipesan mencari dua buah kitab entah Si... Keng... apa.
Kalau tidak salah memang ada huruf Cap dan Ji...." Mendengar keterangan itu, To
kionggo semakin bersemangat.
"Benar!" serunya, "ltulah kitab Si Cap Ji Cin-keng, Lalu, apakah kau berhasil
mendapatkannya?" Dalam hal berbohong, Siau Po memang jagonya. walaupun usianya masih muda,
tetapi ketika di Yangciu, pengalamannya sudah banyak, karena dia dibesarkan di
tempat pelesiran yang setiap hari penuh dengan kepura-puraan dan kebohongan.
Dia tahu, kalau dia bohong secara keseluruhan, orang bisa curiga, Karena itu,
kebohongannya harus dicampur dengan sedikit kebenaran Dengan demikian orang
tidak akan ragu atau bimbang mengambil keputusan. Karena itu dia langsung
menjawab. "Sayang aku buta huruf, sehingga tidak tahu kitab itu Si Cap Ji cin-keng atau Ngo
Cap cin-keng. Akhirnya kitab itu memang berhasil ditemukan oleh So tayjin, kemudian
aku membawa dan menyerahkannya kepada ibu suri. Bukan main senangnya hati
perempuan hina itu! Aku dihadiahkan kue-kue dan kembang gula, juga manisan. Oh!
Dasar nenek sihir! Dianggapnya aku seorang bocah cilik sehingga tidak perlu diperseni
uang, Kalau tahu dia sepelit itu, dari semula saja kubuang kitab itu ke dalam perapian
di dapur Gisian pong!" "Oh, tidak! Tidak! Kitab itu jangan dibakar!" seru To kionggo saking tegangnya
sehingga lupa apa yang diceritakan Siau Po sudah lama berlalunya.
"Aku tahu!" sahut Siau Po. "Ketika Sri Baginda menanyakan kitab itu pada So tayjin,
aku langsung mengerti bahwa kitab itu penting sekali!"
To kionggo merenung sejenak.
"Kalau begitu," katanya kemudian. "Paling sedikit thayhou mempunyai tiga jilid kitab
yang sama...." "Empat!" sahut Siau Po.
"Apa" Empat?" tanya To kionggo terkejut "Bagaimana kau bisa tahu?"
"Sebenarnya thayhou sendiri sudah memiliki satu," kata Siau Po menjelaskan "Ketika
aku membawakan dua jilid yang didapatkan dari gedung Go Pay, dia meletakkannya di
atas meja dan berdampingan dengan yang satu itu, jadi saat itu jumlahnya ada tiga,
Kemarin malam, ketika aku bersembunyi di kolong tempat tidur, aku mendengar
pembicaraannya dengan si dayang palsu, Kitab yang keempat ada di rumah salah
seorang pangeran dan thayhou sedang menitahkan Sui Tong, congkoan dari barisan
pengawalnya untuk mengambilnya."
"Kalau begitu, benar saja thayhou memiliki empat jilid kitab tersebut," kata To
kionggo, "Bisa jadi... lima atau enam jilid... dia berdiri dan berjalan beberapa
tindak, Matanya menatap Siau Po lekat-lekat "Adik, malam itu kau bersembunyi di kolong
tempat tidur thayhou, apa sebetulnya yang sedang kau lakukan?"
"Bibi To, biar aku katakan terus terang ke-padamu!" sahut sang bocah. "Tapi aku
harap jangan kau katakan lagi kepada orang lain, kalau rahasia ini sampai bocor, aku
akan terancam bahaya, Tentu kau maklum, aku bisa dibunuh oleh guruku!"
Bagian 29 "Kalau urusan itu menyangkut rahasia Tian-te hwe, lebih baik tidak perlu kau
katakan!" kata To kionggo.
"Tapi.,." sahut Siau Po. "Kau orang baik-baik, aku rasa tidak ada halangannya
memberitahukan kepadamu, Thian-te hwe kami sudah membuat perjanjian dengan
pihak Bhok onghu, kami akan bekerja sama tapi untuk itu kami harus berlomba, Siapa
yang lebih dulu berhasil menumpas Go Sam-kui, maka pihak yang satu harus tunduk
pada perintah pihak yang berhasil itu. Karena itulah Suhu menyuruh aku menyelundup
dalam istana untuk mencari berita rahasia yang bisa menjatuhkan Go Sam-kui. Dengan
demikian Bhok onghu akan tunduk pada Tian-te hwe. Karena itulah aku selalu mencuri
dengar pembicaraan ibu suri!"
"Oh, begitu!" kata si dayang. "Bagiku sendiri, tidak perduli pihak mana pun yang
berhasil menjatuhkan Go Sam-kui, tetap merupakan hal yang menggembirakan!"
Tapi, bibi To," kata Siau Po dengan suara memohon. "Kau harus membantu kami,
jangan kau membantu pihak Bhok onghu!"
To kionggo ragu-ragu, tapi akhirnya dia berkata.
"Sebetulnya aku tidak bermaksud berpihak kepada siapa pun, tapi, baiklah, kalau
ada kesempatan aku membantu pihakmu!"
"Terima kasih, bibi! Terima kasih!" kata Siau Po gembira sekali
To kionggo menarik nafas panjang, "Sayang sekali kita tidak dapat kembali ke istana
lagi, Kalau tidak, tentu kita bisa bekerja sama dan saling membantu!" katanya.
"Tapi," tukas Siau Po. "Sri Baginda sangat menyayangi aku. Kalau aku kembali
secara diam-diam, aku percaya beliau tidak akan memberitahukan kepada thayhou,
LagipuIa, seranganmu terhadap thayhou cukup berat, meskipun sekarang belum mati,
entah bagaimana keadaannya, belum tentu lukanya bisa disembuhkan..."
Sepasang alis To kionggo langsung berkerut mendengar ucapan Siau Po.
"Benar, adik. Apa yang kau katakan memang benar!" katanya, "Sekarang, adikku,
ada sesuatu yang ingin kubicarakan.... Aku harap kau bersedia membantu aku mencuri
beberapa jilid kitab Si Cap Ji cin-keng itu!"
Siau Po pura-pura berpikir
"Seandainya umur thayhou tidak panjang, tentu kitab-kitab itu akan dimasukkan ke
dalam peti matinya apabila beliau wafat!" katanya setelah lewat sejenak.
"Tidak, tidak mungkin!" kata To kionggo yakin, "Aku hanya khawatir didahului oleh
Sin Liong kaucu yang cerdik itu. Kalau hal ini sampai terjadi, celaka!"
Siau Po heran mendengar disebutnya nama Sin Liong kaucu yang berarti ketua atau
pemimpin dari sebuah perkumpulan bernama Naga sakti, Baru pertama kali ini dia
mendengarnya. "Siapa dia?" tanya Siau Po.
To kionggo tidak menjawab, dia hanya berjalan mondar-mandir di dalam kamar
Ketika dia melihat fajar mulai menyingsing di luar jendela, dia segera membalikkan
tubuhnya dan menatap Siau Po.
"Kita tidak dapat bicara terlalu banyak di sini, mungkin saja dinding di sini ada
telinganya, Mari kita pergi!"
Selesai berkata, To kionggo segera membungkukkan tubuhnya dan memondong dua
sosok mayat yang tergeletak di atas lantai untuk dinaikkan ke atas kereta yang ada di
depan penginapan tersebut.
Siau Po mengikuti perbuatannya, Dia menggotong mayat yang ketiga, Untung saja
ketiga siwi itu mati karena totokan, jadi ditubuh mereka tidak terdapat bekas luka dan
tidak ada setetes noda darah pun yang ketinggalan.
Di luar penginapan, To kionggo berkata.
"Pemilik penginapan beserta pelayannya ditotok oleh ketiga siwi ini. Sampai
waktunya jalan darah mereka akan bebas sendiri, mari kita pergi!"
Siau Po setuju, Dia menganggukkan kepalanya, Keduanya melompat naik ke atas
kereta. Mereka duduk berdampingan di depan Si dayang yang mengendalikan tali kuda,
Kereta segera dilarikan ke arah barat.
Setelah lewat tujuh delapan li, hari sudah terang sekali, Di sisi jalan terdapat banyak
kuburan tua. To kionggo melemparkan ketiga sosok mayat siwi itu, kemudian dia
menindihnya dengan batu-batu besar dan naik lagi ke atas kereta serta menjalankannya
kembali. "Sekarang, sembari menjalankan kereta, kita dapat berbicara dengan tenang,"
katanya kemudian "Kita tidak perlu khawatir ada orang yang mendengarnya."
Siau Po tertawa. "Bagaimana kalau ada orang yang bersembunyi di kolong kereta?" tanyanya.
To kionggo terkejut "Kau benar!" katanya kagum "Ternyata kau lebih teliti daripada aku!"
Dia langsung mengayunkan cambuknya berkali-kali ke bawah kereta sehingga
terdengar suaranya yang nyaring dan berisik, tetapi tidak ada reaksi apa pun dari
bawah kereta, Hal ini membuktikan bahwa tidak ada orang yang bersembunyi di sana.
Jalanan yang mereka lalui adalah jalan raya, tapi keadaannya sunyi sekali.
"Kau pernah menolong jiwaku dan aku juga pernah menolong jiwamu," kata To
kionggo kemudian "Dengan demikian kita telah menjadi sahabat sehidup semati, Hari
depan kita masih panjang, masih banyak kesempatan bagi kita untuk saling membantu,
Adik kecil, usiamu masih muda sekali, sebenarnya pantas bagi aku untuk menjadi
ibumu, Aku bersyukur kau mau memanggilku bibi, Tapi aku mempunyai usul, entah kau
setuju tidak, Bagaimana kalau aku menjadi bibimu yang sah" Aku akan mengakui kau
sebagai keponakanku!"
"Bagus!" sahut Siau Po. Dia berpikir dalam hati. "Tidak ada salahnya menjadi
keponakan perempuan ini, aku toh sudah memanggilnya bibi!" kemudian dia
menambahkan "Tapi ada satu hal yang menjadi masalah. Kalau kau sudah tahu,
mungkin kau tidak sudi lagi menganggap aku sebagai keponakan mu...."
To kionggo menatapnya lekat-lekat Dia merasa agak heran,
"Apa itu?" tanyanya.
"Aku tidak mempunyai ayah," sahut Siau Po terus terang, "Lebih dari itu, ibuku tinggal
di rumah pelesiran menjadi perempuan penghibur."
To kionggo tertegun saking herannya, Tetapi sesaat kemudian dia tertawa, wajahnya
berseri-seri. "Keponakanku yang baik, hal itu bukan persoalan!" katanya. "Seorang enghiong tidak
perlu mengkhawatirkan asal-usu!nya yang rendah. Bukankah Beng thaycou, leluhur
kerajaan Beng kita tadinya juga seorang bikhu, bahkan pernah menjadi gelandangan"
Anak, urusan seperti ini pun tidak kau sembunyikan dari ku. Hal ini menandakan
kejujuran hatimu, Baiklah! Aku juga tidak akan merahasiakan siapa diriku.."
Mendengar ucapan wanita itu, Siau Po berpikir dalam hati.
"lbuku memang seorang pelacur Mau Sip-pat toako juga sudah tahu, tapi dia pun
tidak mengatakan apa-apa. Bukankah urusan ini tidak mungkin disembunyikan untuk
selamanya" Untuk apa aku menutupinya" Lebih baik aku bersikap terus terang!"
Membawa pikiran demikian, segera dia melompat turun dari kereta, kemudian
menjatuhkan diri berlutut di depan To kionggo sambil menjura dan menganggukkan
kepalanya. "Bibi, harap bibi sudi menerima hormat Wi Siau-po, keponakanmu ini!"
Menyaksikan hal itu, bukan main terharunya hati To kionggo Sudah berapa puluh
tahun dia mengeram dalam istana tanpa sanak atau orang yang dekat dengannya
sehingga dia merasa kesepian. Hatinya langsung tergerak mendapat perlakuan
sedemikian rupa dari si bocah. Dia langsung melompat turun dari kereta dan
membangunkan Siau Po. "Oh, keponakanku yang baik! Anak, mulai detik ini, aku mempunyai seseorang yang
dekat denganku!" Tak sanggup To kionggo melanjutkan kata-katanya, air matanya langsung mengucur
dengan deras. Lewat sesaat, dia baru tertawa, Hatinya senang sekali.
"Anak, kau lihat sendiri, benar-benar memalukan Tanpa karu-karuan bibimu
menangis. Setelah itu keduanya melompat ke atas kereta lagi, To kionggo duduk dengan tangan
kanan memegang tali kendati kereta dan tangan kirinya menggenggam tangan Siau Po
erat-erat. Perlahan-lahan, kereta itu pun dijalankan.
"Anak," setelah sekian lama, terdengar dayang itu berkata kembali "Aku she To,
nama lengkapku Hong Eng. Aku masuk ke dalam istana sejak berusia dua belas tahun
dan di tahun kedua aku mulai melayani Tiang kongcu...."
"Tiang kongcu?" tanya Siau Po menegaskan "Benar!" sahut To kionggo, "Pada waktu
Sri Baginda Cong Ceng meninggalkan istana, dengan satu tebasan dia mengutungkan
lengan Tiang kong-cu. Ketika itu aku menyaksikannya dengan mata kepala sendiri Aku
langsung menghambur ke arah tuan putri untuk menolongnya, justru pada saat itulah
Sri Baginda mengayunkan goloknya kembali dan tepat mengenai punggungku Aku pun
roboh dan pingsan, Ketika akhirnya aku tersadar kembali, aku tidak melihat Tiang
kongcu lagi, Keadaan di istana sudah kacau balau, Tidak ada orang yang
memperdulikan diriku, Tidak lama kemudian muncullah pengkhianat yang menyerbu
istana, Setelah itu datang bangsa Tatcu yang mengusir pengkhianat itu dan akhirnya
bangsa Boan yang memerinta negara ini, Yah... urusan itu sudah terjadi lama sekali...."
"Oh, rupanya bibi masuk ke dalam istana semenjak Sri Baginda Cong Ceng dari
dinasti Beng masih memegang tampuk pemerintahan!" kata Sia Po dengan pandangan
kagum. "Benar, anak!" sahut To kionggo.
"Tapi.,." kata Siau Po. "Bukahkah Tiang kongcu itu puteri Sri Baginda Cong Ceng"
Mengapa raja membacok anaknya sendiri?"
To kionggo menarik nafas panjang.
"Memang Tiang kongcu putrinya sendiri, bahkan raja sangat menyayanginya," sahut
To kionggo, "Tapi karena kotaraja sudah terjatuh ke tangan musuh dan sudah
menduduki istana, Sri Baginda Cong Ceng ingin mengorbankan dirinya, Dia tidak
sanggup membela diri lagi, namun tidak rela putrinya terjatuh ke tangan musuh, Karena
itulah, beliau mengambil jalan pendek dengan maksud membunuh Tiang kongcu!"
"Oh, begitu.,." kata Siau Po. "Bukankah belakangan Sri Baginda Cong Ceng mati
menggantung diri di bukit Bwe San?"
"Di kemudian hari, memang berita itulah yang kudengar Bangsa Tatcu bisa masuk ke
Tionggoan karena ada Go Sam-kui yang membukakan pintu setelah pengkhianat
penyerbu berhasil diusir Setelah bangsa Boan menduduki istana, di antara para dayang
dan thay-kam yang masih ada hanya tinggal beberapa orang saja, Yang lainnya dipecat
karena diragukan kesetiaannya, sedangkan aku sendiri masih kecil, juga terluka, Aku
dibiarkan berbaring dalam sebuah kamar yang remang-remang, Singkat-nya, tiga tahun
kemudian aku baru bertemu dengan guruku."
"Bibi, ilmu silat bibi tinggi sekali, tentunya guru bibi luar biasa lihaynya!" kata
Siau Po. "Tentang kepandaian, tidak bisa dipastikan Di dalam negeri kita ini, entah ada berapa
banyak tokoh-tokoh berilmu tinggi. Guruku itu juga menerima perintah dari gurunya lagi
untuk menyelundup ke dalam istana dan menyamar sebagai dayang!"
Sembari berkata, To kionggo mengayunkan cambuknya lebih keras agar kereta
berjalan lebih cepat. Tujuan guruku masuk ke dalam istana adalah untuk mencari ke delapan perangkat
kitab Si Cap Ji cin-keng," katanya menjelaskan lebih jauh.
"Jadi... kitab itu terdiri dari delapan perangkat?"
"Benar, Bangsa Boan Ciu terdiri dari Pat ki (delapan bendera), Warna kuning, putih,
merah dan biru disebut Suki (empat bendera) dan ada ia Siang suki (Empat bendera
bersulam), Setiap Ki Ciu (Pemimpin bendera) mengepalai satu bagian atau kelompok,
semuanya terdiri dari delapan kelompok dan otomatis kitabnya juga ada delapan."
"Aku mengerti sekarang," kata Siau Po, "Aku pernah melihat kitab milik thayhou serta
dua jilid lainnya yang disita dari rumah Go Pay, Semua kita itu berlainan warnanya. Ada
yang bertali putih, ada pula yang bersulam tepian merah."
"Tentang tali atau sulamannya yang warnanya berbeda-beda, aku tidak tahu," kata
To kionggo, "Aku sendiri belum pernah melihatnya."
Sementara itu, Siau Po berpikir.
"Aku telah memiliki enam jilid kitab itu, berarti masih kurang dua jilid Iagi, Entah
apa keistimewaan kitab itu" Tentunya bibi To mengetahui rahasia itu. Aku harus mencari
akal untuk menanyakannya, Tapi harus tanpa dicurigai atau diketahui maksudku yang
sebenarnya...." Karena itu dia segera berlagak pilon dan berkata:


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh, rupanya nenek guru memuja pousat dan Sang Buddha! Kitab dari istana itu
tentu luar biasa sekali, kemungkinan hurufnya ditulis dengan air emas!"
"Bukan!" sahut To kionggo, "Keponakanku yang baik, biarlah aku memberitahukan
kepadamu, Tapi ini merupakan sebuah rahasia besar jangan sekali-sekali kau
membocorkannya... Ada baiknya kita mengangkat sumpah."
Siau Po menurut Dia segera mengucapkan sumpah. Baginya bersumpah merupakan
makanan sehari-hari, Sekarang bersumpah, besok dia sudah melupakannya, Dia juga
tidak sudi memberitahukan bahwa dia sudah mempunyai enam jilid kitab Si Cap Ji cinkeng,
Terpaksa dia berbohong, sekalipun terhadap bibi yang menyayanginya itu.
Beginilah bunyi sumpahnya: "Raja Langit dan Ratu Bumi, kalau tecu, Wi Siau-po,
membocorkan rahasia kitab Si Cap Ji cin-keng, biarlah tecu disambar geledek atau
ditikam ribuan kali dan mati tersiksa seperti kakak seperguruannya si kura-kura
thayhou, malah lebih menderita sepuluh kali lipat!"
To kionggo tertawa. "Sumpah ini cara yang baru dan aneh!" katanya, "Nah! Ketika bangsa Tatcu
menyerbu masuk wilayah perbatasan, dia mengakui secara terang-terangan bahwa dia
akan menyerbu lebih dalam sehingga berhasil merampas kerajaan Beng yang maha
besar, sebenarnya jumlah mereka kecil dan mulanya mereka sudah merasa puas dapat
menduduki tanah perbatasan, itulah sebabnya mula-mula mereka hanya main rampas
dan merampok harta benda untuk dibawa ke Kwan gwa. (Luar perbatasan), Tatkala itu,
yang berkuasa dalam pemerintahan Ceng adalah pangeran Sit Cin ong, pamannya
kaisar Sun Ti. Dialah yang mengatur tempat persembunyian harta rampasan itu.
Tempat penyimpanannya sangat rahasia sekali dan dia membuat petanya yang terbagi
menjadi delapan bagian, Setiap Ki cu (pemimpin bendera) dari Pat ki (delapan bendera)
masing-masing menyimpan satu helai."
"Oh! Aku mengerti sekarang!" seru Siau Po yang tiba-tiba berdiri namun terjungkal
jatuh kembali karena dia lupa kalau kereta sedang bergerak "Tentunya gambar peta itu
disimpan dalam delapa jilid kitab Si Cap Ji cin-keng."
"Rasanya memang demikian, tapi hal yang sebenarnya hanya diketahui oleh setiap
Ki cu dari Pat ki," kata To kionggo, "Jangan kata kita bangsa Han, mungkin
pangeranpangeran dan menteri-menteri bangsa Boanciu sendiri jarang yang mengetahuinya,
Menurut penuturan guruku, gunung di mana harta karun itu disimpan disebut Liong meh
(nadi naga)-nya bangsa itu, Menurutnya pula, bangsa Tatcu berhasil menduduki
Tionggoan karena mengandalkan "nadi naga" itu...."
"Sebenarnya, apa artinya Liong meh?" tanya Siau Po.
"Liong meh itu artinya hampir sama dengan Hongsui, atau kedudukan tanah yang
bagus, untuk membangun rumah, pemakaman dan sebagainya," kata To kionggo
menjelaskan "Leluhur bangsa Tatcu dimakamkan di gunung itu, dan menurut orang
pandai, anak cucunya akan bangkit, makmur dan berhasil menduduki Tionggoan,
Guruku mengatakan apabila kita bisa memutuskan nadi naga itu, kemudian kita gali dan
bongkar kuburan leluhur bangsa Tatcu itu, bukan saja raja bangsa itu tidak bisa
memegang kekuasaan lagi, bahkan seluruhnya akan terbinasa di tangan kita, Demikian
pentingnya gunung itu sehingga nenek guru serta guruku sudah berusaha mencarinya
selama puluhan tahun. Katanya, rahasia gunung itu ada dalam kitab Si Cap Ji cinkeng."
"Bibi," Siau Po masih kurang mengerti "Kalau memang hal itu merupakan rahasia
besar bangsa Tatcu, bagaimana nenek guru serta guru bibi bisa mengetahuinya?"
"Terlalu panjang untuk menceritakannya," kata To kionggo, "Perlu diketahui bahwa
nenek guruku adalah seorang bocah perempuan bangsa Han yang diculik seorang Ki
cu dari bendera biru sulam bangsa Boan. Mereka merasa bingung karena mereka
mendapatkan kenyataan Tionggoan begitu luas, rakyatnya banyak dan tanahnya indah.
Mereka senang sekaligus khawatir Banyak hari-hari yang mereka lewati dengan
mengadakan rapat untuk membicarakan tindakan mereka selanjutnya, dalam rapat itu
tidak jarang mereka bertengkar karena berselisih pendapat."
"Mengapa?" "Di antara mereka ada beberapa yang mengajukan usul untuk merebut Tionggoan,
tapi ada sebagian yang bimbang dan cemas, Hal ini disebabkan saking banyaknya
penduduk bangsa Han. Apabila bangsa Han memberontak ibarat seratus orang
melawan satu. Mana mungkin orang-orang dari Bendera itu dapat melawannya" Dalam
rapat, ada pula yang mengusulkan melakukan perampokan habis-habisan dan
membawa hasilnya ke asal mereka. Akhirnya Sit Ceng ong yang mengambil keputusan
Dia menyatakan untuk menggunakan cara "Sambil menyelam minum air", yakni
merampas sekaligus menduduki Tionggoan, seandainya rakyat Han memberontak,
mereka bisa mundur keluar dari Sanhay kwan, tanah mereka sendiri."
"Kalau begitu," kata Siau Po. "Sejak dulu kala bangsa Tatcu sudah agak takut
menghadapi bangsa Han kita!"
Yang dimaksud dengan bangsa Tatcu ialah bangsa Boanciu (Mancu), Dan Boan
Ceng merupakan panggilan untuk kerajaan Ceng. sedangkan bangsa Han adalah
bangsa Cina asli, penduduk yang dilahirkan di Tionggoan, Bangsa Cina terdiri dari
berbagai suku, termasuk suku Mongolia, Suku Mongolia tinggal di Mongol, sebab pada
saat itu Mongol luar sudah terpisah dari daratan Cina (Kalau zaman sekarang kita
katakan sudah merdeka dan membangun negara sendiri). Meskipun suku Mongol dan
Boanciu pernah menyerbu serta merampas negara Tionggoan dan bahkan menduduki
nya, tapi akhirnya mereka sendiri terpengaruh oleh budaya Han dan semua menjadi
bangsa Cina pada akhirnya.
To kionggo melanjutkan ceritanya.
"Bagaimana tidak takut" Bahkan sampai sekarang mereka masih juga merasa takut,
Kecacatan kita justru karena kita tidak bersatu padu, kita terpecah belah, Nah,
keponakanku, raja Tatcu sangat menyayangimu dan menyukaimu. Kau harus mencari
jalan untuk mendapatkan kitab Si Cap Ji cin-keng itu. Kalau kau berhasil, kita bisa
mencari harta karun itu dan digunakan untuk biaya perbekalan pasukan perang dan
merobohkan kerajaan Ceng, Dengan demikian kita bisa membangun kembali kerajaan
Beng kita." Siau Po mengangguk walaupun perhatiannya tidak tertarik sama sekali tentang
memutuskan nadi naga atau memberontak melawan pemerintah Ceng, Yang membuat
perhatiannya tertarik, justru harta karun yang disimpan dalam gunung itu. Semangatnya
jadi terbangun membayangkan hal itu.
"Bibi," tanya Siau Po. "Benarkah rahasia letak gunung Liong meh itu ada dalam kitab
Si Cap Ji cin-keng?"
"Mengenai pertanyaanmu itu, aku hanya dapat memberi penjelasan begini," kata To
kionggo, "Menurut keterangan nenek guruku, setelah mengadakan rapat selama
beberapa hari berturut-turut, Sit Ceng-ing pulang ke istananya dengan membawa
sebuah buntalan yang disimpannya dengan hati-hati sekali, Pada suatu hari, setelah
minum arak sampai mabuk, Sit Ceng ong berkata kepada istri mudanya, apabila dia
wafat nanti, buntalan itu harus diserahkan kepada putera istri mudanya itu dan jangan
sekali-sekali diserahkan kepada putra Toa hokcin (istri tua).
Tentu saja istri mudanya itu menjadi tidak senang. Apa gunanya beberapa jilid kitab
agama Buddha" Demikian pikirnya, Tapi Sit Ceng ong menjelaskan bahwa beberapa
kitab itu justru merupakan titik penting dalam kehidupan Pat ki mereka, itulah sebabnya
kitab-kitab itu lebih berharga dari apa pun.
Secara ringkas pangeran itu menjelaskan lebih jauh tentang riwayat kitab itu, pada
saat itulah nenek guruku mencuri dengar pembicaraan mereka dari luar jendela
sehingga dia mengetahui betapa pentingnya kitab itu.
Ketika itu ilmu silat nenekku sudah tinggi sekali dan guruku juga sudah beberapa
tahun belajar dengannya, Karena itulah nenek guruku menyuruh guruku masuk ke
dalam istana dan menyamar sebagai dayang, Tidak lama setelah guruku masuk ke
dalam istana, keluarlah peraturan baru yang melarang keras para thay-kam dan para
dayang sembarangan keluar masuk istana.
Dengan demikian, guruku itu bahkan belum pernah melihat wajah, itulah sebabnya
beliau mendapat kesulitan untuk mencari kitab tersebut. Mula-mula guruku senang
kepadaku ketika aku menceritakan pengalamanku bersama Tiang kongcu, akhirnya
beliau menerima aku sebagai murid dan mengajarkan ilmu silat kepadaku."
"Pantaslah thayhou bertekad mendapatkan kitab-kitab itu," kata Siau Po. "Dia orang
Boanciu, jadi tidak mungkin dia memutuskan nadi naga itu, Tentu dia hanya berminat
pada harta karun yang tersimpan di dalamnya, Yang aneh, dia kan ibu suri! Apa yang
diinginkannya pasti dapat dimilikinya Mengapa dia masih menginginkan harta itu?"
"Mungkin di dalam gunung itu ada sesuatu yang aneh," kata To kionggo, Tentang hal
itu, nenekku juga tidak tahu apa-apa. Kemudian nenek guruku itu berusaha mencuri
kitab dari tangan Sit Ceng ong, sungguh malang ia kepergok dan terkepung. Dalam
pertempuran dia kehabisan tenaga dan dibunuh oleh musuh. Tidak lama kemudian,
guruku di istana juga jatuh sakit dan menutup mata, sebelum menghembuskan nafas
terakhir, guruku berpesan bahwa bila aku bekerja seorang diri, tentu sulit bagi diriku,
sebaiknya aku mengambil seorang murid yang dapat kuandalkan Dengan demikian,
turun temurun kitab itu jangan dilupakan, dan harus berusaha terus sampai
mendapatkannya!" "Benar!" Siau Po jadi semakin bersemangat "Kalau rahasia itu lenyap, lenyap pula
harta yang demikian banyaknya! Sungguh harus disayangkan!" To Hong-eng
tersenyum. "Hilang harta tidak menjadi masalah," katanya, "Yang penting, ialah jangan sampai
bangsa Tatcu menduduki negara kita untuk selama-Iamanya. inilah yang membuat kami
bangsa Han jadi penasaran!"
"Kata-kata bibi memang benar!" sahut Siau Po, tapi dalam hatinya dia justru berpikir
"Katanya harta itu jumlahnya besar sekali. Kalau harta itu tidak ditemukan dan
digunakan, barulah merupakan penyesalan!"
Siau Po masih muda sekati, dia juga buta huruf, Jadi pandangan hidupnya lain
dengan orang banyak Sekian lama dia tinggal di istana, dia banyak melihat dan
mendengar Tentang keganasan bangsa Boanciu yang membunuh rakyat Han dan
merampas wilayah Tionggoan, Dia hanya mendengarnya dari cerita, semua itu tidak
dialaminya sendiri. Sebaliknya, selama berada dalam istana kerajaan Ceng, kecuali thayhou yang
sangat membencinya, semua orang memperlakukannya dengan baik dan hormat
Bahkan kaisar Kong Hi sendiri memandangnya bagai saudara, Dengan kata lain, dia
tidak melihat atau merasakan kejahatan bangsa Boanciu.
Para pembesar tinggi dan menteri-menteri mungkin memandang padanya karena dia
adalah orang kesayangan raja, tapi biar bagaimana dia merasakan keramahan mereka,
Soal permusuhan dan dendam negara, merupakan urusan yang tidak menarik baginya .
To kionggo tidak tahu apa yang dipikirkan Siau Po, atau apa yang akan ia lakukan.
"Selama tinggal di dalam istana bertahun-tahun, aku tidak pernah mempunyai murid.
Banyak dayang muda yang aku lihat, tapi biasanya mereka bodoh, tidak cerdas dan
genit Apa yang mereka harapkan hanya disuka dan disayang oleh raja, malah ada yang
berkhayal akan diangkat menjadi selir itulah sebabnya pernah timbul rasa khawatir
dalam hati ini bahwa sampai akhir hidup aku tidak akan mendapat seorang murid pun.
Dengan demikian, bila aku mati, rahasia ini akan ikut masuk dalam kuburanku dan
bangsa Tatcu akan kekal menguasai Tionggoan, Kalau hal ini sampai terjadi, bagi
nenek guru dan guruku di alam baka, aku merupakan orang yang paling berdosa,
Arwah mereka tidak akan tenang untuk selamanya! Keponakanku, di luar dugaan, kita
dapat bertemu, Hal inilah yang membuat hatiku lega dan gembira!"
"Aku juga gembira, bibi! Meskipun aku tidak begitu tertarik dengan urusan kitab itu,"
sahut Siau Po. "Kenapa kau merasa gembira?"
"Karena aku pun tidak mempunyai orang yang dekat denganku," sahut Siau Po.
"Memang ibuku masih hidup, tapi sifat kami berlainan dan jarak antara kami juga jauh
sekali, Masih ada guruku, tapi beliau sangat sibuk sehingga sukar menemuinya, Tapi,
sekarang aku mempunyai orang yang dekat denganku, yaitu bibi, Tentu saja aku
merasa gembira sekali."
Senang sekali hati To kionggo mendengar ucapan keponakannya yang pandai bicara
ini. Bibirnya menyunggingkan seulas senyuman.
"Sejak kecil aku tinggal di istana, meskipun aku mempunyai guru yang mengajarkan
aku ilmu silat tapi mengenai urusan dunia kangouw, boleh bilang pengetahuanku sedikit
sekali," katanya, "Tadi aku melihat ada dua buah kitab dalam bungkusanmu isinya ilmu
silat, tapi alirannya berbeda dan agak bertentangan Apakah itu ajaran dari gurumu?"
Siau Po menggelengkan kepalanya. "Bukan dua-duanya," sahutnya, "Yang satu
memang kitab yang diberikan oleh guruku, tapi yang satu lagi milik Hay kongkong, si
kura-kura tua!" "Siapakah gurumu?" tanya To Hong-eng.
"Guruku merupakan Cong tocu dari Tian-te hwe," sahut Siau Po terus terang. "Beliau
she Tan dan namanya Kin Lam."
Nama Tan Kin-lam sudah terkenal sekali, tapi bagi To Hong-eng yang separuh
hidupnya dilewatkan dalam istana, baru pertama kali inilah dia mendengarnya.
"Kalau gurumu adalah seorang ketua dari perkumpulan Tian-te hwe, ilmunya pasti
tinggi sekali !" "Memang! Tapi, sayangnya aku belum lama mengikutinya," sahut Siau Po. "Masih
banyak pelajarannya yang belum aku pahami dan setiap kali kami bertemu, waktunya
selalu terlalu singkat Bagaimana kalau bibi To mengajarkan aku beberapa jurus ilmu?"
To Hong-eng tampak bimbang.
"Kalau asalnya kau belum pernah belajar ilmu silat, tentu aku akan mengajarkannya,"
kata To kionggo, "Bahkan aku bisa mengangkat kau sebagai murid. Tapi kau sudah
mempunyai guru, aku khawatir aliran ilmu kami berbeda, hal itu malah akan
membahayakan kesehatanmu. Coba kau bilang, bagaimana ilmu silat gurumu kalau
dibandingkan dengan kepandaianku" Siapa yang lebih hebat?"
Siau Po hanya berpura-pura saja meminta To Hong-eng mengajarinya ilmu silat, dia
hanya ingin membuat hati wanita itu menjadi senang, Coba kalau sang bibi mau
mengajarkannya, tentu dia akan mencari berbagai alasan untuk menolaknya, Karena
dia sadar, dengan mempelajari ilmu silat di bawah bimbingan bibinya itu, pasti gagailah
dia berangkat ke Ngo Tay san.
Siau Po memang senang sekali berpesiar kemana-mana. Dengan demikian
berkuranglah minatnya pada ilmu silat, waktunya juga tidak terbagi.
"Bibi," katanya kemudian. "Di hadapan bibi, aku tidak berani berbohong...."
"Anak kecil memang tidak boleh berbohong," sahut To kionggo,
"Urusannya begini," kata Siau Po. "Pernah aku menyaksikan guruku bertarung
melawan seseoran yang kepandaiannya tinggi sekali, Dalam tiga jurus saja, lawannya
itu sudah tidak berkutik, Karena itu aku.,, rasa bibi bukan tandingannya... guruku
itu.,., To Hong-eng tersenyum "Benar!" katanya, "Aku percaya bahwa aku masih kalah jauh. Ketika melawan lakilaki
yang menyamar sebagai dayang dalam kamar thayhou tempo hari, kalau kau tidak
membantu aku menyerangnya dari belakang, mungkin sekarang sudah tamat wayat
hidupku! Gurumu itu, tidak mungkin begitu tidak berguna seperti diriku!"
"Tapi, dayang palsu itu memang lihay sekali" kata Siau Po. "Setiap kali mengingat
dia, sampai sekarang aku masih takut...."
To kionggo menatap Siau Po dalam-dalam, kemudian dia menarik nafas panjang.
"Anak, ilmu silatmu sekarang masih rendah sekali, Kau harus banyak berlatih
Dengan kepandaianmu ini, untuk menjadi thay-kam memang sudah cukup, malah
mungkin berlebihan Tapi bila kau melakukan perjalanan di dunia kangouw, masih jauh
dari kurang, Kau tidak ada bedanya dengan orang yang tidak mengerti ilmu silat sama
sekali..." Wajah Siau Po jadi merah padam mendengar ucapan bibinya yang hebat itu.
"lya.,." sahutnya lirih, Dalam hatinya dia justru menggerutu "Memang kepandaianku
belum berarti, tapi aku tidak mengerti mengapa dikatakan sama dengan orang yang
tidak mengerti ilmu silat sama sekali?"
"Kalau kau tidak mengerti ilmu silat sama sekali, mungkin malah lebih baik daripada
kepalang tanggung seperti sekarang ini," kata To kionggo. "Sebab musuh tidak akan
sembarangan membunuh orang yang tidak berdaya, Tapi kalau kau mengerti, pasti
musuh akan berjaga-jaga terhadap dirimu. Sekali mereka turun tangan, pasti tidak akan
bermurah hati, Nah, kalau begitu bukankah kau menghadapi ancaman bahaya yang
lebih besar?" "Andaikata kita singgah di penginapan gelap dan bertemu dengan penjahat kelas teri,
bagaimana?" tanya Siau Po.
Hong Eng terdiam. Dia tidak langsung menjawab, Setelah merenung sejenak, dia
baru menganggukkan kepalanya,
"Kau benar! Di dalam dunia kangouw, memang lebih banyak orang yang
kepandaiannya tidak berarti ketimbang yang benar-benar lihay!"
To Hong-eng tampaknya gelisah terus, Kemudian dia menunjuk ke arah sebuah
pohon besar di sebelah depan.
"Mari kita istirahat di sana! Nanti kita baru melanjutkan perjalanan kembali," katanya,
"Kuda kita juga perlu makan rumput!" Dia menjalankan keretanya ke bawah pohon itu
kemudian dihentikan di sana.
Keduanya melompat turun dari kereta dan duduk berdampingan, kembali Hong Eng
berdiam diri, tampaknya dia sedang memikirkan sesuatu.
Siau Po juga diam saja, Dia heran melihat sikap bibinya sehingga ia bertanya-tanya
dalam hati, apa kiranya yang menyebabkan wanita itu gelisah terus.
Lewat beberapa saat, tiba-tiba dia bertanya.
"Apakah dia berbicara?"
Siau Po semakin bingung. Dia tidak mengertii apa maksud pertanyaan itu sehingga
dia menoleh kepada bibinya, Untuk sesaat mereka jadi saling pandang, sedangkan
yang mengajukan pertanyaan juga tidak memberikan penjelasan apa-apa.
"Apakah kau mendengar dia berbicara?" tanya To Hong-eng kembali setelah mereka
tertegun sesaat, "Apakah kau melihat gerakan bibirnya?"
Mata Siau Po masih memandang terpaku, Dari heran, hatinya mulai merasa takut.
Sikap bibinya aneh sekali Mungkinkah dia terpengaruh roh jahat"


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bibi kok jadi aneh?" pikirnya kemudian "Apakah dia terkena pengaruh jahat atau
melihat hantu?" Saking bingungnya, dia langsung bertanya. "Bibi, apakah kau melihat
seseorang?" "Siapa?" sang bibi malah balik bertanya, "Itu... si dayang palsu... laki-laki yang
menyamar sebagai perempuan...."
Tanpa dapat ditahan lagi, rasa takut melanda hati Siau Po.
"Apakah kau melihat dayang palsu itu?" tanyanya dengan suara bergetar Matanya
celingak-celinguk kesana kemari, kemudian kembali menatap bibinya, "Di mana dia?"
Mendapat pertanyaan itu, To Hong-eng seperti tersentak sadar sikapnya mirip orang
yang baru terbangun dari mimpi. Dia langsung tersenyum.
"Aku menanyakan engkau tentang kejadian malam itu ketika berada di kamar tidur
thayhou," katanya menjelaskan "Ketika aku bertarung dengannya, apakah kau pernah
melihatnya membuka mulut atau berbicara?"
Siau Po menarik nafas lega.
"Oh! Rupanya bibi menanyakan peristiwa malam itu?" sahutnya, "Bibf menanyakan
apakah dia bersuara atau tidak" Aku tidak mendengarnya."
Hong Eng berdiam diri kembali, Kemudian dia menggeleng-gelengkan kepalanya,
"llmu silatku terpaut jauh dengannya, Untuk menghadapi aku, tidak perlu dia
menggunakan ilmu gaib," katanya.
Siau Po semakin bingung. "Sudahlah, bibi, Tidak usah bibi pikirkan lagi tentang dia.,." kata Siau Po. "Bukankah
kita sudah berhasil membunuhnya" Dia tidak akan hidup kembali!"
"Ya... orang itu sudah kita bunuh dan tidak bisa hidup kembali!" kata To kionggo
mengulangi Tampaknya dia ingin membuat hatinya lega, tapi kenyataannya gagah. Dia
tetap terlihat gelisah dan khawatir walaupun dia berusaha menutupinya.
"Oh, bibi To..." kata Siau Po dalam hatinya, "Kau begitu gagah, tapi takut setan, Baru
bunuh satu orang saja, kau sudah gelisah tidak karuan, Kenapa sejak tadi kau terus
termangu-mangu" Lagipula, aku yang membunuh dayang palsu itu, bukan kau! Kau
memang berusaha membunuh thayhou, tapi nyatanya kau gagal, Sampai sekarang dia
masi hidup!" "Kalau seseorang sudah mati, dia sudah tidak berarti lagi, bukan?" tiba-tiba To Hongeng
ber tanya kembali, "Betul!" sahut Siau Po. "Meskipun dia sudah jadi setan, kita juga tidak perlu takut!"
"Apa sih setan?" kata Hong Eng. "Aku hanya mengkhawatirkan muridnya Sin-Liong
kaucu itu. Dia... bukankah thayhou menyebutnya suheng" Tidak! Kalau melihat
gerakTiraikasih website http://cerita-silat.co.cc/
geriknya, dia tidak mirip dengan orang yang sedang bersilat. Ya, bukan! Apakah benar
ketika bertarung denganku, mulutnya tidak bergerak-gerak" Benar atau tidak?"
Pertanyaan Hong Eng seakan diajukan pada dirinya sendiri suaranya bergetar
Tampaknya dia ingin mendapat kepastian dari Siau Po agar dugaannya tidak keliru.
Sebaliknya dengan Siau Po, kepandaiannya memang masih rendah, dia tidak
mengetahui ilmu apakah yang digunakan dayang palsu itu ketika menghadapi bibinya
ini. Ketika memberi jawaban, suaranya sengaja diperkeras.
"Jangan khawatir, bibi," katanya, "Mengenai pertanyaan bibi, aku bisa membenarkan.
Memang cara berkelahi orang itu aneh sekali, Ketika bertarung dengan bibi,
gerakgeriknya tidak mirip orang yang mengerahkan ilmu silat. Dia juga tidak mengucapkan
sepatah kata pun. Bibi, sebetulnya benda apakah Sin Liong kaucu itu?"
Bocah ini memang luar biasa sekali, Kalau bicara, dia tidak pernah memikirkan katakata
yang baik atau tidak, tidak perduli apakah ucapannya aneh atau tidak bagi orang
yang mendengarnya, Tapi kadang-kadang, dia bisa juga bicara sopan dan penuh
hormat. "Anak, kau belum tahu siapa itu Sin Liong kaucu!" kata To kionggo, "Kepandaiannya
tinggi dan bermacam ragam. Baik ilmu silat maupun ilmu gaib semua dikuasainya
dengan baik, Oh, anak... sekalipun di belakangnya, kau tidak boleh sembarangan
bicara! Dengan kata lain, jangan sekali-sekali berbuat kesalahan terhadapnya, Kaucu
ini mempunyai banyak murid dan juga cucu murid. Sumber beritanya luas dan gosip
apa pun cepat sampai ke telinganya, Kalau dia sampai mendengar kata-katamu tadi,
hidupmu akan segera menjadi kenangan masa lalu!"
Siau Po merasa heran, Mengapa wanita segagah ini bisa demikian takut terhadap
seorang kepala sekte agama yang diberi nama Naga Sakti" Mengapa selain bicara,
matanya juga melirik kesana kemari" Dia seakan khawatir kaucu itu ada di
belakangnya. "Benarkah Sin Liong kaucu itu demikian lihay?" tanya Siau Po saking penasarannya,
"Mungkinkan kekuasaannya melebihi seorang raja?"
"Kekuasaannya sih tidak melebihi seorang raja," sahut To kionggo, "Tetapi
pengaruhnya lebih luas dan selalu tepat. Bersalah terhadap raja, orang masih bisa
melarikan diri jauh-jauh atau bersembunyi. Dengan demikian belum tentu kena dibekuk
tapi kalau bersalah terhadap Sin Liong kaucu, meskipun kau lari sampai ke ujung dunia,
tetap saja tidak bisa melepaskan diri dari maut!"
"Kalau demikian, sudah tentu Sin-liong kaucu lebih banyak anggota dan
kekuasaannya lebih besar dari Tian-te hwe kami!"
"Secara keseluruhannya bukan begitu, anak," kata To kionggo, "Tujuan Sin-liong kau
juga berbeda dengan cita-cita Tian-te hwe. Tian-te hwe ingin menghancurkan kerajaan
Boan untuk membangun kembali kerajaan Beng, Cita-cita itu luhur dan suci serta
dihargai oleh orang banyak, jauh sekali bedanya dengan Sin-Liong kau!"
"Bukankah bibi tadi bermaksud mengatakan bahwa setiap orang dunia kangouw
pasti merasa takut terhadap Sin-Liong kau?" tanya Siau Po setengah memaksa.
To Hong-eng merenung sejenak sebelum menjawab. "Sebenarnya mengenai urusan
dunia kangouw, pengetahuanku terlalu sedikit," sahutnya kemudian "Apa yang aku
ketahui, kebanyakan hanya mendengar dari guruku saja. Dan setahuku, nenek guruku
yang demikian lihay saja, terpaksa menelan pil pahit dengan dikalahkan oleh Sin-Liong
kaucu!" "Kurang ajar!" teriak Siau Po emosi, "Kalau begitu, Sin Liong kaucu adalah musuh
kita, mengapa kita harus takut kepada nya ?"
To Hong-eng menggelengkan kepalanya.
"Menurut keterangan guruku," katanya dengan perlahan dan sabar "Kepandaian Sin
Liong kaucu itu memang luar biasa sekali, di dalamnya terkandung banyak perubahan
yang tidak terduga. Apalagi dia juga lihay dalam ilmu gaib, Mereka pandai membaca
mantra dan bila hal itu dilakukan ketika berhadapan dengan musuh, maka lawannya itu
akan terpengaruh dan hatinya terguncang serta takut Sebaliknya, mereka sendiri akan
semakin kuat dan gagah, Ketika nenek guru berusaha mencuri kitab Si Cap Ji cin-keng,
beliau tertangkap basah dan bertarung melawan salah satu murid Sin Liong kaucu,
Mula-mula nenek guru sudah menang di atas angin, namun tiba-tiba mulut orang itu
berkomat kamit membaca mantra dan serangan-serangan nenek guru pun jadi semakin
mengendur. Dalam satu kesempatan, perutnya sempat terhajar oleh musuh yang mana
mengakibatkan kematiannya. sebenarnya pada saat itu guruku mendampingi nenek
guru sehingga dia dapat menyaksikan segalanya dengan jelas.
Guruku gusar sekali melihat kenyataan tersebut Tanpa berpikir panjang lagi dia
menerjang ke depan dengan niat membalaskan sakit hati nenek guruku itu, Tapi tibatiba
saja lututnya menjadi lemas dan pikirannya berubah, beliau malah menyembah dan
menyerah kalah, Setiap kali memikirkan hal itu, guru merasa malu sekali dan juga takut
Karena itulah beliau berpesan, jangan sekali-sekali aku bertarung dengan orang-orang
dari Sin Liong kau sebab berbahaya sekali!"
Siau Po masih penasaran, Diam-diam dia ber pikir dalam hati.
"Gurumu seorang wanita, tentu saja nyalinya kecil sekali, Dasar perempuan! Mudah
merasa takut lalu tunduk dan menyerah kalah! --- Kemudian dia bertanya. "Bibi, apa
yang dijampi oleh musuh nenek guru itu" Apakah guru bibi mendengarnya?"
"Beliau tidak mendengarnya," sahut To Hong-eng. "Mengenai dayang palsu itu, aku
curiga dia adalah murid Sin Liong kaucu. itulah aku bertanya kcpadamu, apakah
mulutnya bergerak-gerak ketika bertarung melawan aku?"
"Oh, begitu rupanya!" kata Siau Po yang kemudian segera mengingat kejadian
malam itu. sesaat dia merenung, akhirnya dia menjawab, "Tidak, bibi, Aku tidak melihat
atau mendengar apa-apa. Apakah bibi mendengarnya?"
"Kepandaian dayang palsu itu jauh lebih tinggi daripadaku," sahut To Hong-eng. "Aku
kesibukan melayaninya sehingga tidak memperhatikan apakah mulutnya bergerakgerak
atau tidak, Beberapa kali aku menyerangnya dengan jurus mematikan, tetapi baru
dimulai hatiku sudah merasa sangsi dan takut Aku merasa kepandaian lawan terlalu
tinggi dan aku tidak sebanding dengannya, Rasanya ingin sekali menekuk lutut dan
menyerah saja. Mendapat pikiran seperti itu, gerak-gerikku jadi lamban dan otomatis
seranganku selalu gagal di tengah jalan. Belakangan aku menduga bahwa dayang
palsu itu pandai membaca mantera mempengaruhi lawan, Tapi aneh! ilmunya toh lebih
tinggi daripada aku, mengapa dia harus menggunakan ilmu gaib?"
Siau Po mengangguk. "Bibi," katanya, "Bolehkah bibi memberitahukan kepadaku, sejak mempelajari ilmu
silat, seringkah bibi menghadapi lawan" Apakah bibi pernah membunuh orang" Kalau
pernah, berapa orang lawan yang pernah bibi bunuh sebelumnya?"
To Hong-eng menggelengkan kepalanya.
"Selama ini aku belum pernah bertarung dengan siapa pun, apalagi membunuh
orang?" sahutnya. "Sedangkan waktu itu saja aku melakukannya saking terpaksa,
karena harus membela diri!"
"Kalau begitu, inilah sebab kegelisahan bibi!" kata Siau Po. "Sebaiknya lain kali bibi
bunuh lagi beberapa orang jahat agar bibi terbiasa dan tidak perlu khawatir dan waswas
seperti sekarang ini!"
Bagian 30 "Mungkin ucapanmu benar, nak," sahut To kionggo, "Tapi, kalau keadaan tidak
terpaksa lagi, sebetulnya aku tidak suka berkelahi dengan orang, apalagi
membunuhnya. Aku hanya ingin hidup dalam ketenangan serta kedamaian. Cita-citaku
sekarang hanya ingin mendapatkan kitab Si Cap Ji cin-keng agar dapat merusak nadi
naga bangsa Boan agar tidak menjajah kita terus menerus, Hanya itu saja, hatiku sudah
merasa puas!" Di dalam hatinya, Siau Po justru menertawakannya.
"Oh, bibiku yang baik, enak saja kau bicara!, Gara-gara mencari kitab itu, entah
sudah berapa nyawa yang dikorbankan. Kau kira kitab itu bisa didapatkan dengan
mudah?" Pada saat itu To Hong-eng sedang menyamar wajahnya dipoles sedemikian rupa
sehingga tidak terlihat mimik perubahan apa-apa, hanya sinar matanya yang
menyorotkan sinar kekhawatiran.
"Bibi, ada baiknya bibi masuk saja menjadi anggota Tian-te hwe?" kata Siau Po
kemudian. Dalam hatinya dia berpikir, jumlah anggota Tian-te hwe banyak sekali,
sehingga bibinya tidak perlu merasa takut
Hong Eng merasa heran dan menatap Siau Po lekat-lekat
"Mengapa kau menyuruh aku masuk menjadi anggota perkumpulanmu?" tanyanya.
"Tujuan Tian-te hwe ialah hendak menumbangkan pemerintah Boanciu serta
membangun kembali kerajaan Beng," katanya, "Jadi sejalan dengan cita-cita bibi
sendiri" "lya, tujuan itu memang baik sekali, tapi sebaiknya urusan ini kita bicarakan kelak
saja, sekarang aku akan pulang ke kotaraja, Bagaimana dengan kau sendiri" Kau akan
kemana?" Siau Po merasa heran mendengar ucapan wanita itu.
"Bibi akan kembali ke kotaraja?" tanyanya, "Apakah bibi tidak takut terhadap ibu
suri?" To kionggo menarik nafas panjang.
"Sejak kecil aku sudah tinggal di istana dan terus sampai sekarang ini," sahutnya,
"Karena itu, setelah kupikirkan bolak-balik, sebaiknya aku tetap di sana saja, Dengan
berdiam di dalam istana, aku tidak pernah merasa takut, sedangkan di luar aku tidak
mempunyai kenalan dan buta sama sekali dengan seluk-beluknya, istana sangat besar,
banyak tempat bagiku untuk bersembunyi ibu suri tidak mungkin menemukan aku."
"Baiklah," kata Siau Po. "Bibi kembali saja ke istana, kalau ada kesempatan, aku
akan menjenguk bibi di sana. sekarang aku sedang menjalankan tugas yang
diperintahkan oleh guruku!"
Karena urusan yang dikatakan Siau Po menyangkut perkumpulan Tian-te hwe, To
kionggo merasa tidak enak untuk menanyakannya.
"Kelak bila kau datang ke istana, bagaimana kau akan menemui aku?" tanyanya.
Siau Po memberikan jawaban tanpa berpikir lagi.
"Kalau aku kembali ke istana, aku akan menancapkan sebatang kayu di dekat
tumpukan batu tempat pembakaran sampah, kayu itu berukir seekor burung kecil. Kalau
bibi melihatnya, tentu bibi akan tahu kalau aku sudah pulang, Malam harinya aku akan
datang ke tempat itu menunggu bibi!"
To Hong-eng menganggukkan kepalanya.
"Bagus! Demikianlah perjanjian kita!" serunya, "Anak yang baik, dunia kangouw
penuh dengan marabahaya, kau harus berhati-hati dalam melakukan hal apa pun!"
Siau Po menganggukkan kepalanya dengan perasaan terharu.
"Terima kasih, bibi To," katanya, "Pesan bibi akan senantiasa aku perhatikan
Demikian pula dengan bibi sendiri, Bibi harus berhati-hati, Si perempuan hina itu kejam
dan jahat sekali, Hatinya beracun Berjaga-jagalah agar bibi jangan sampai terjatuh ke
tangannya!" Kembali To kionggo mengangguk Dia bersyukur sekali mendapatkan seorang
keponakan yang begitu baik dan menyayanginya.
Sampai di situ, mereka naik kembali ke atas kereta untuk melanjutkan perjalanan.
Setelah menempuh beberapa li, kereta dihentikan dan Siau Po pun melompat turun Dia
menyewa kereta sendiri untuk meneruskan misi yang diembannya. Tujuannya ke arah
barat, sedangkan Hong Eng ke sebelah timur.
Beberapa kali Siau Po menolehkan kepalanya menatap kepergian wanita itu. Dalam
hatinya dia berkata: "Dia bukan bibi asliku, tapi dia baik sekali kepadaku!"
Dalam perjalanan, Siau Po berusaha tidur sebentar Ketika dia tersadar, dia
mendapatkan hari sudah senja. Tepat pada saat itu, dia mendengar derap kaki kuda.
Dia melongokkan kepalanya dan melihat seorang penunggang kuda sedang berusaha
mengejar keretanya, Tiba-tiba terdengar suara sapaannya.
"Hai kusir! Apakah penumpangmu seorang bocah cilik?"
Hampir saja Siau Po melonjak bangun saking terkejutnya, Untung saja dia segera
mengenali suara Lau It-cou. Tanpa memberi kesempatan kepada si kusir untuk
menjawab, dia langsung berteriak.
"Lau toako! Apakah Lau toako mencari aku?"
Ketika itu, seluruh tubuh Lau It-cou bermandi keringat wajahnya kotor oleh debu.
Ketika mengenali si bocah, dia berteriak dengan suara nyaring.
"Bagus! Akhirnya aku berhasil juga menemukan engkau!" kemudian dia melarikan
kudanya lebih cepat lagi dan akhirnya menghadang ke depan kereta, Sekali lagi
terdengar suara teriakannya, "Cepat kau menggelinding dari keretamu itu!"
Hati Siau Po tercekat Dia melihat sikap Lau It-cou lain dengan biasanya, Caranya itu
tidak bersahabat sama sekali bahkan terselip rasa permusuhan
"Eh, Lau toako!" tanya Siau Po. "Apa salahku" Mengapa kau marah-marah?"
It Cou tidak menjawab, cambuknya mengayunkan ke depan dan mengenai kepala
kuda yang menarik kereta itu, Binatang tersebut kesakitan dan meringkik nyaring
kemudian menghentak-hentakkan sepasang kaki depannya sehingga kereta itu
terjungkir ke belakang serta membuat si kusir terjengkang!
Bukan main mendongkolnya hati si kusir,
"Hai! teriaknya, "Tengah hari bolong bertemu setan" Kenapa tidak juntrungan
menyerang kereta orang?"
Tampaknya It Cou sedang marah sekali, "Memang aku kejam! Memang aku jahat!
Kau mau apa?" teriaknya berulang-ulang.
Kusir kereta itu mati kutu, Dia tengkurap terus di atas tanah agar tidak menjadi
sasaran cambuk Lau It-cou, tapi pemuda itu sedang kesal dan penasaran Dan mencaci
maki kalang kabut, Cambuk di tangannya terus diayunkan sehingga akhirnya tubuh
kusir kereta itu terlilit dan dihentakkan keras-keras, serangannya ini hebat sekali,
Bukan hanya pakaian kusir itu saja yang koyak, bahkan dagingnya juga pecah dan darah pun
bercucuran. Siau Po heran sekali sampai-sampai dia jadi tertegun.
"Sudah pasti dia mencari aku!" katanya dalam hati. "Aku bukan tandingannya,
Setelah menghajar kusir kereta itu, dia pasti akan mencari aku. Oh! Kalau hal itu
sampai terjadi, bahaya sekali!"
Berkat kecerdikannya, dia segera mengeluarkan pisau belatinya yang tajam.. Diamdiam
dia menusuk pantat kuda itu sehingga kesakitan dan lari sekencang-kencangnya.
Melihat kereta itu kabur, Lau It-cou segera meninggalkan si kusir yang membuatnya
kesal dan lari menyusul kereta sambil berulangkali mengayunkan cambuk ke bagian
belakang kuda tunggangannya.
"Bocah!" teriak Lau It-cou. "Kalau kau laki-laki, jangan lari!"
Kereta masih terus melaju, Siau Po melongokkan kepalanya.
"Bocah yang baik!" sahutnya menggoda, dia meniru logat suara Lau It-cou. "Kalau
kau seorang laki-laki, jangan mengejar aku!"
Bocah ini memang jenaka, Orang menyuruhnya jangan lari, dia malah meneriaki agar
orang jangan mengejarnya!
It Cou gusar sekali, Dia mencambuki kudanya keras-keras sehingga binatang itu
kesakitan dan semakin cepat larinya, Gerakan kereta sudah terhitung cepat, tapi tentu
kalah dengan kuda tunggangan Lau It-cou. Dalam sekejap mata kereta yang ditumpangi
Siau Po sudah tersusul.

Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siau Po bingung juga. Dia ingin menyambit orang dengan pisau belatinya, tapi tidak
yakin akan berhasil. Hatinya juga menjadi berat mengingat Pui Ie. Bukankah si nona
cantik itu pacarnya Lau It-cou" Mana mungkin dia sampai hati mencelakai kekasih hati
gadis pujaannya" Sebaliknya, kalau sampai gagal, dia menyayangkan pisau
mustikanya itu.... Tidak ada jalan lain bagi Siau Po. Dia meng-hentakkan tali laso kudanya agar kereta
di jalankan lebih kencang lagi.
Tiba-tiba Siau Po merasakan sambaran angin dan tahu-tahu dia kesakitan. Ujung
cambuk Lau It-cou mengibas pipinya.
Rupanya jarak Lau It-cou sudah dekat sekali Begitu cambuknya digerakkan,
luncurannya tepat mengenai sasaran, meskipun hanya pipi lawannya!
Walaupun sudah berusaha mengelakkan diri, Siau Po tetap merasakan pipinya nyeri
dan panas, Dia menahan rasa sakitnya, Sambil menunduk matanya melirik keluar
Kuda Lau It-cou sudah hampir menempel dengan keretanya, Tentu dengan mudah
pemuda itu bisa meloncat ke atas keretanya dan hal itu berbahaya sekali, Dia harus
mencegahnya, Bocah kita memang cerdas sekali, Dia segera merogo sakunya dan mengeluarkan
Pendekar Buta 8 Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 2

Cari Blog Ini