Ceritasilat Novel Online

Ilmu Silat Pengejar Angin 3

Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa Bagian 3


Auwjang Siang Yong jang ia sangsikan bukanlah hudtim
sembarangan, Satmijagatze tak berani segera mentjobanja, maka
ketika serangan datang, ia tjuma berkelit kekanan, dari sini ia
sodorkan pedang bengkoknja diantara bulu2 hudtim, untuk
membabat lengan lawan. Auwjang Siang Yong menjusuli serangannja jang barusan tidak
memberi hasil; tidak ajal pula, tjuma dengan udjung hudtimnja
jang lantjip, iapun menangkis sendjata lawannja, untuk membuat
pedang bengkok terlepas dari tjekalannja.
Satmijagatze tjepat2 tarik pedang bengkoknja, untuk meloloskan
diri dari tangkisan itu jang dapat menotok djalan darahnja, sebab
mana ia berbalik mendahului, menjerang pendjagaan sang lawan
jang lowong, dada musuhlah jang mendjadi sasarannja.
Orang kate dari daratan tanah Tionggoan utara ini berkelit kekiri,
kemudian dengan sendjatanja, ia benturkan sendjatanja dengan
sendjata lawan, menjusul mana, serangannja diteruskan,
sendjatanja diluntjurkan, mengantjam kepala lawannja itu; untuk
ini ia gunakan tipu pukulannja Im jang koen.
Kebutan itu, jang tampaknja biasa sadja, sebenarnja
mengandung dua rupa serangan jang maha dahsjat. Dalam
serangan pertama, lembaran2 benang hudtim bergabung
mendjadi satu, dalam bentuk perkakas alat tulis Tionghoa, serta
menghantam dengan kandungan tenaga jang keras. Dan apabila
serangan ini gagal, benang2 itu seperti mempunjai alat akan
lantas terbuka untuk menusuk djalan djalan darah musuh dengan
tenaga Im-tjioe (tenaga lembek)
Kedua serangan ini hebat tak terkatakan, hingga kalau serangan
ini ditudjukan kepada seorang ahli silat jang tanggung2, maka
tjuma kematianlah jang akan dapat diterima orang itu.
Namun, orang jang diserang, bukanlah seorang ahli
sembarangan, jang kini dihadapinja adalah Satmijagatze, seorang
petualang. Dia, Satmijagatze, dalam menghadapi serangan
sehebat ini, sama sekali tidak mendjadi keder, malah
segemingpun ia tidak bergerak.
"Apakah benar2 kau dapat menahan seranganku?" Auwjang
Siang Yong membentak. Djustru ketika itu, lembaran2 benang
kebutan sudah terbuka dan tengah menjambar muka
Satmijagatze. Pada detik itu diam2 Auwjang Siang Yong
terperandjat djuga, iapun agak menjesali, karena kalau serangan
ini mengenai sasarannja, maka pastilah lawnnja akan binasa
ketika itu djuga. Dan ini berarti ia menanam bibit permusuhan
dengan orang2 dari pulau sembilan. Namun apa daja, ia tidak
dapat lagi mengendalikan serangannja.
Demikianlah, bagaikan kilat, ribuan benang2 itu menjambar.
Pada saat jang sangat berbahaja bagi keselamatan dirinja,
Satmijagatze, tiba2 membuka mulutnja dan meniup se-keras2nja,
sehingga disaat itu djuga, benag2 hudtim tersebut tersapu bujar.
Ternjata Satmijagatze telah menggunakan tenaga dalamnja jang
terdahsjat dari perguruannja da meniup se-keras2nja, hingga
mutlak serangan lawan mendjadi gagal.
Auwjang Siang Yong terkedjut sekali. Dengan sekali mengibas, ia
membaliki tangannja, tjepat sekali, ia membuat lembaran2
benang itu dengan berbareng berdiri serta seperti djarum2
tadjam, berbalik menjambar mengantjam tenggorokan dan kedua
bidji mata Satmijagatze. Pertempuran ini berlangsung seru sekali, hingga membuat
keempat orang jang rupa2nja dari golonga2 jang berlainan,
hatinja mendjadi semakin kuntjup. Sedang Lie Siang Tjoe tjuma
berdiri terpaku sadja bahna kagumnja.
Sementara itu, hampir pada detik jang sama, se-konjong2
berkelebat sinar terang serta dingin, diiringi teriakan
Satmijagatze, "Bagus! Sambutlah pembalasanku!"
Dengan kedua telapak tangannja Satmijagatze mentjekal keras
gagang sendjatanja, kemudian dengan mengeluarkan pekikan
jang memekakkan telinga, ia membabat kekanan, kiri, atas bawah
serta kemana sadja. Belum habis serangan jang pertama,
serangan kedua sudah menjusul. Demikianlah, selagi Auwjang
Siang Yong memikir untuk balas menjerang, serangan
Satmijagatze jang ketiga sudah menjambar pula.
"Bagus!" seru si orang kate sambil menggeser kakinja dan
dengan tak kalah gesitnja, Auwjang Siang Yong menjingkir kekiri
lawan, akan kemudian hudtimnja lagi2 dikerdjakan, kali ini dia
mengantjam seluruh djalan darah disekitar tubuh, dari leher
sampai ke udjung kaki. Untuk tolong diri, Satmijagatze pindahkan
badannja kekiri; sampai disini badannja dipendekkan, untuk
kemudian dengan tenaga lweekang jang dikerahkan keudjung
pedang bengkoknja, ia menjapu musuh dengan gerakannja Toie
tjoeng Bong goat, atau Buka Djendela Menengok Bulat. Dapatlah
dimengerti hebatnja sapuan ini jang dilakukan sambil mendak.
Melihat serangan lawan, jang dilakukan dengan tenaga jang
dikerahkan tidak kurang dari ribuan kati, si orang kate
keponakannja Auwjang Keng Liak mendjedjakkan kakinja untuk
kemudian badannja sudah diapungkan, mentjelat dengan tipu
Burung hoo Terdjang Langit; ia pun sudah menjingkirkan diri
kearah kiri. Si orang petualang dari pulau sembilan ini, ketika melihat
kegagalan serangannja dibalikkan, untuk kembali ia menjapu, kali
ini ia dapat membarengi selagi lawannja baru sadja
menantjapkan kakinja dimuka bumi. Ia masih tetap mendak,
hingga baginja tenaganja dapat dikerahkan se-leluasa2nja,
hingga dapat dibajangkan betapa hebat serangan ulangan ini.
Auwjang Siang Yong baharu taruh kakinja, ketikaia disambar
pula, tjepat2 mendahului tibanja serangan musuh kepalanja
dilengakkan keatas, untuk kemudian dengan kedua tangannja
diatjungkan keatas, kembali tubuhnja sudah mentjelat dengan
menggunakan ilmu simpanannja, dengan sepuluh djari memetjah
angin. Tjepat sekali, egitu serangan lewat diatas udara, dia
membalikkan tubuh dengan kepala dibawah, sedang tangannja
dengan kebutannja, ia mendesak sambil kirim totokannja
mengantjam batok kepala si orang dari pulau sembilan.
Oleh karena dibalas diserang, Satmijagatze tak dapat mengulangi
sapuannja untuk ketiga kalinja, malah sebaliknja dia harus
meluputkan diri, maka tjepat luar biasa terpaksa ia harus lompat
mundur, hingga kali ini, ketika si orang seh Auwjang sudah
pidjakkan kakinja dimuka bumi, keduanja pun sudah memisahkan
diri satu dengan lain. Sedang Satmijagatze, karena kuatir dirinja
didesak iapun putarkan pedang bengkoknja, hingga karenanja,
akibat dari putaran ini, angin men-deru2 sampai mendatangkan
rasa ngeri sedang pasir2 dan batu2 tertiup beterbangan hingga
tjepat2 Siang Tjoe harus berlindung dibalik sebuah pohon besar,
dan tanpa terasa pula ia sudah meleletkan lidah. Menjaksikan
gerakan lawan, Auwjang Siang Yong putarkan hudtimnja, untuk
tjegah supaja ia djangan kena didesak.
Keduanja sama2 merasa sangsi; hingga karena itu, mereka tidak
mau mengadu sendjata; keduanja menjegani masing2 sendjata
lawannja. Demikianlah pertempuran mereka, sebat lawan sebat, tipu lawan
tipu, mereka saling membalas menjerang. Kelihatannja mereka
berimbang benar. Satu kali, Auwjang Siang Yong tarik pulang
sendjatanja, dengan ia mundurkan kaki kanannja untuk terus
berputar tubuh, hingga setjara demikian ia dapat teruskan ajunan
hudtimnja, untuk kembali dipakai menjerang pada sasarannja,
kempolan atau paha lawan.
Untuk menghindarkan diri, Satmijagatze berkelit kekanan, dengan
sekali lompatan, sebat sekali ia bergerak lebih djauh, hingga ia
berada disamping kanan dan disebelah belakang tubuh sang
lawan. Tapi hudtim telah menjambar terus, sebab Auwjang Siang
Yong dengan tubuh diputarkan ia dapat bergerak leluasa.
Untuk mengelakkan antjaman ini, Satmijagatze dengan kedua
tangannja mentjekal keras sendjatanja. Dia menangkis dengan
tenaga lweekang jang tidak tanggun2 dikerahkan, untuk bentur
hudtim lawan, dilain pihak dengan mendjerit keras kaki kanannja
bekerdja dipakai menjerang dada si manusia kate. Demikianlah ia
telah melakukan dua gerakan berbareng : jakni menangkis dan
menjerang. Dalam serangan ini, dia telah menggunakan tipu Thay
peng Thian ie atau Burung Garuda Pentang Sajap.
Auwjang Siang Yong adalah seorang jang telah mempunjai
pengalaman dari dua puluh tahun, walaupun dia berada dalam
antjaman bahaja, tapi ia tidak mendjadi gugup. Lekas2 ia
turunkan sendjata hudtimnja untuk menghindarkan benturan dan
berbareng itu, dengan meneruskan turunnja hudtim sampai
mentjapai tanah, lalu dengan menggunakan tenaganja jang
dikerahkan pada hudtim, tubuhnja melesat keatas untuk
menghindarkan tendangan kaki si manusia dari pulau sembilan.
namun meski demikian oleh karena sangat tjepatnja gerakan
Satmijagatze, udjung hudtim tidak urung toh tersampok djuga
oleh pedang bengkok. Tapi dengan sikap Toei tjung Bong goat
atau Buka Djendela Memandang Bulan, Auwjang Siang Yong
dengan badan masih terapung diatas udara masih dapat
kumpulkan tenaganja ditangan, untuk pertahankan sendjatanja
itu. Maka setelah benturan tersebut tjepat bagaikan kilat,
genggamannja sudah dikasih melajang guna menggempur batok
kepala Satmijagatze. Begitulah pertempuran kedua orang ini, mereka sama sebab,
kuat serta saling balas dan tangkis. Auwjang Siang Yong
bergerak dengan menggunakan tipu dalam kekalahan mentjari
kemenangan. Dikatakan demikian karena benar2 kedudukan
orang kate jang tubuhnja masih berada diatas udara ini, walau
adalah seorang ahli ginkang, sedang terantjam bahaja.
Satmijagatze telah bergerak dengan dua gerakan, jakni tangan
serta kaki, akan tetapi ketika ia dibalas diserang, dengan masih
mempunjai kesebatan, dengan kedua tangannja dia angkat
pedang bengkoknja keatas untuk menangkis serangan hudtim
jang mengantjam dirinja. Kini benar2 ia tidak ragu2 pula untuk
melawan keras dengan keras mengadu sendjatanja dengan
hudtim sang lawan. Lie Siang Tjoe jang pengalamannja baharu beberapa bulan sadja
serta tjuma baru mempeladjari tudjuh bahagian dari ilmu
kepandaian ajahnja, selama kedua orang itu bertempur hebat dia
hanja berdiri terpaku sadja. Tidak demikian dengan keempat
orang jang walaupun semangatnja telah dibuat runtuh oleh
kehebatan ilmu silat Satmijagatze dan Auwjang Siang Yong,
namun tergolong dalam djagoan2 Kangouw kelas utama.
Keempat orang ini terkesiap melihat keberanian Satmijagatze,
karena disaat itu dapatlah dimengerti akan tenaga jang
dikerahkan Auwjang Siang Yong. Sebab pukulannja adalah
merupakan ajunan tenaga dari atas kebawah, sedangkan hudtim
adalah sendjata jang ringan jang dapat digerakkan dengan
leluasa. Sedang gerakan tjepat si manusia kate ini, djuga
dimaksudkan agar sang lawan kalah sebat.
Dalam keadaan jang sangat terantjam itu, Satmijagatze, si orang
dari pulau sembilan itu ternjata masih sempat memutar otaknja
untuk berlaku tjerdik. Demikianlah sebaliknja dia tantjap kuda2
untuk pertahankan gempuran musuh, ia djustru pindahkan kedua
kakinja untuk kemudian menggeser tubuh kesebelah kiri.
Dengan menerbitkan suara keras serta njaring, kedua sendjata
jang berlainan bentuknja beradu berbenturan.
Kesudahannja, hudtim terpental balik, karena meskipun benar
kedua pihak sama2 mengerahkan tenaga masing2 akan tetapi
seperti kita telah mengetahui Satmijagatze adalah murid seorang
ahli lweekang. Dan dengan kesudahan itu, njatalah kalau
Auwjang Siang Yong adalah dari pihak jang kalah, ini djuga Siang
Tjoe mengetahuinja. Tetapi manusia kate ini sedang sengit. Ia
turutkan sadja segala napsu hatinja. Ia tidak menjadari kalau
selain ia berdua dengan lawannja, disitu masih terdapat lima
orang lainnja jang menjaksikan pertempurannja dari awal sampai
saat ini. Tidak dipedulikannja tangannja jang barusan tergetar. Ia ingin
sangat untuk tjepat2 melakukan pembalasan, merubuhkan
lawannja. Guna lekas mentjari sesuatu jang dipesan pamannja.
Dengan menahan sakit, dengan tangan jang terluka itu, dia tjekal
pula keras2 hudtimnja, lalu dari arah kanan dia bergerak pula.
Selagi bergerak tubuhnja turut pula berputar sedikit. Sedang
untuk dapat mendekati lawan ia madjukan sedikit kaki kirinja.
Dilain pihak Satmijagatze setelah dia berhasil benturkan pedang
bengkoknja pada sendjata lawan, sebat sekali sudah menggeser
tubuhnja kekanan, akan terus dengan sikap Leehe Ta teng atau
Ikan Tambera Membalik Tubuh, ia melengak untuk lompat
berdjumpalitan. Setjara demikian lebih dahulu ia telah bersiap
sedia, untuk dapat melihat segala gerakan sang lawan. Ia tidak
berani pandang ringan orang kate itu, kalaupun dibabak pertama
dia telah berhasil melukakan telapak tangan kirinja. Demikianlah
ia dapat memperhatikan segala aksinja Auwjang Siang Yong.
Begitulah setelah melihat gerakan Auwjang Siang Yong lebih
djauh Satmijagatze putar kaki kanannja kekiri, setindak, hingga
dengan bergerak setjara demikian, ia pisahkan dirinja sedjauh
lima kaki dari sang lawan.
Namun meski musuhnja dapat ber-siap2 terlebih dahulu, dengan
sabetannja Auwjang Siang Yong masih dapat menjambarkan
hudtimnja dengan mengantjam pundak kanan dari sang lawan.
Kalau serangan ini dapat tepat mengenai sasarannja, dapatlah
dipastikan kebinasaan mendjadi bagian Satmijagatze.
Namun walaupun dia ini menjingkir, tidaklah ia menjingkir djauh2.
Malah sambil berseru : "Kau gerembengi aku untuk hak waris jang ditinggalkan oleh
nenek mojangku. Baik aku akan adu djiwa denganmu untuk
dikubur bersama ditempat ini!" Ia lintangkan pedangnja diatas
kepalanja. Ia tidak gunai tenaga besar, sebab itu hanjalah suatu
tangkisan sadja. Melainkan mengiringi itu tenaga lweekangnja
disalurkan penuh2 keseluruh kedua telapak tangannja.
Suara njaring mengaung bagaikan beradunja sebuah martil besar
jang dikerdjakan oleh penempa besi, setelah bentrokan dahsjat
itu terdjadi. Bunga api muntrjat berhamburan kesana kemari.
Sekali ini, tidak peduli ia adalah seorang ahli ginkang dan
memiliki tenaga jang jauh lebih besar tenaga orang biasa,
Auwjang Siang Yong tidak ungkulan pula tjekal hudtimnja terlebih
djauh. Karena barusan ia sudah merasa kesakitan pada telapak
tangannja, kekuatannja djadi hanja mengandalkan kepada kelima
djeridjinja. Kini itu tergempur pula, hingga tidak ampun pula
sendjatanja terlepas dari tjekalannja. Sebab ia merasakan
kesakitan jang tidak alang kepalang. Maka dengan menerbitkan
suara berkelonterangan, karena sendjata itu terbuat dari logam
djatuh terbanting. Dengan muka putjat sekali, bahkan menahan malu, Auwjang
Siang Yong berdiri terkesima. Akan kemudian berubah mendjadi
merah padam. Seluruh tangan kanannja pun masih dirasakan
amat sakit. Tubuhnja diputar untuk menghadap lawannja.
"Satmijagatze," berseru ia.
"Untuk lamanja sepuluh tahun aku berkutatan menuntut ilmu


Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dibawah penilikan pamanku, serta untuk dua puluh tahun aku
sudah berkenalan dalam dunia Kangouw, dan selama itu
belumlah pernah aku menemui tandingan. Namun tidak sangka
dalam perdjalananku ketanah barat ini untuk mentjari 'lukisan2',
aku terbentur dengan kau. Dasar mungkin memang bukan
djodohku, aku urungkan sadja niatku untuk memiliki 'lukisan2' itu,
karena hari ini ternjata aku kena dirobohkan olehmu. Maka
baiklah, aku anggap itu mungkin disebabkan kebisaanku
belumlah sempurna. Tapi dalam hal ini, sudilah kiranja djika kau,
pada sepuluh tahun jang akan datang nanti, turut mengundjungi
daerahku, disebelah utara sungai besar, untuk memperebutkan
gelar djago kelas satu bagi seluruh daratan Tiongkok. Harus kau
ketahui bahwa pada hari itu nanti, djuga akan datang Alilah,
Telumuju shindani Mongol, kedua naga Sutjoan Utara dan
Selatan jakni Liong kang hiap Tjioe Tjin Lie dan Tjoe Giok Liong
Tjhek Thoa Thong serta si pemilik pulau Tho Lioe to, Shia hiap
Gouw Bian Lie, serta mungkin djuga jang lain2nja. Dan hari itu
nanti aku akan mentjoba pula kehebatannja pedang bengkokmuu.
Nah sampai ketemu pula!"
Manusia kate itu terus rangkap kedua tangannja kepada lawannja
itu untuk kemudian memberi hormat, setelah itu berpaling kepada
Lie Siang Tjoe, untuk lantas ia pentang pula mulutnja :
"Anak muda, maafkan aku, kalau barusan aku telah tuduh kau
jang bukan2. Tapi kepandaian kau tadi sungguh benar2 membuat
aku kagum. Tidak pernah aku sangka kalau didalam dunia ini ada
orang semuda kau dapat memiliki kepandaian demikian tinggi.
Maka, pergiatlah latihanmu, dan nanti aku harap djuga akan
kedatanganmu. Sepuluh tahun bukanlah waktu jang singkat!"
Setelah ber-kata2 itu, ia kembali berpaling dan kali ini kepada
keempat orang lainnja, serta mengundangnja pula.
Setelah itu, segera orang kate itu putar tubuhnja, untuk bertindak
keluar meninggalkan daerah pegunungan itu, dan dalam
sekedjap dia pun telah menghilang di balik pohon2 jang rindang
sedang Satmijagatze setelah kepergian manusia itu, lalu dia pun
berdjalan menghampiri Siang Tjoe.
"Anak muda siapa namamu?" tanja dia.
"Siang Tjoe seh Lie," menerangkan pemuda kita, sambil
rangkapkan tangannja memberi hormat. Sementara itu keempat
orang2 jang semangatnja telah mendjadi kuntjup benar, segera
menghampiri Siang Tjoe dan Satmijagatze berdua. Ternjata
mereka adalah orang jang djuga keinginannja setudjuan dengan
Auwjang Siang Yong. Mereka adalah Tok gan (si mata tunggal)
Gouw Tjeng dari Bietjiu, Gin piauw si piauw perak Giok Seng
Toan seorang ahli menggunakan sendjata rahasia dari Sioetjiu
sedang dua jang lainnja adalah dua bersaudara Sin eng si garuda
sakti Kin Bian Lioe dan Kim pian (pian emas) Kin Bian Eng dari
Tin-pa. Mereka adalah ahli2 Kangouw jang usianja sudah hampir
mentjapai lima puluhan. Sedang kepandaiannja sudah boleh
dikatakan tinggi djuga. Keempat orang ini, setelah mengutjapkan selamat berpisah,
segera dengan mengambil djurusan mereka masing2,
meninggalkan tempat tersebut.
"Lo djin kee, untuk urusan apakah sampai-sampai kau bertempur
dengan manusia kate tadi?" tanja Siang Tjoe jang mendjadi
bersimpati kepada orang asing ini.
"Apakah jang dimaksud dengan 'lukisan' itu?"
"Siang Tjoe," sahut Satmijagatze jang langsung menjebut nama
pemuda kita. "Bukankah tempatnja disini untuk kita berbitjara. Apakah kau
mempunjai rumah disekitar sini, atau kau hanja seorang
pelantjongan sadja?"
Siang Tjoe geleng2kan kepalanja.
"Aku tidak mempunjai rumah disekitar sini, djuga bukanlah
seorang pelantjongan..."
"Habis, mengapakah sekarang kau berada ditempat ini?"
memotong Satmijagatze jang mendjadi heran.
"Aku datang kemari tidak hanja bersendirian, melainkan berdua."
"Berdua" Dimanakah dia sekarang?"
"Dia hilang entah kemana," sahut Siang Tjoe sambil
menundukkan kepalanja. "Ketika itu, baharu dua hari kemarin,
aku berdua dengan kawanku tengah menaiki pegunungan ini.
Tiba2 kami disergap oleh segerombolan beruang. Berseorang
diri, setelah aku berhasil singkirkan kawanku itu, aku bersihkan
binatang2 pegunungan ini ketjuali beberapa ekor jang kemudian
melarikan diri. Segera aku pun menghampiri guha dimana
temanku tadi kulemparkan, namun aku mendjadi kaget sekali
ketika ternjata baik didalam atau diluar guha dia tidak
kudapatkan. Karena penasaran, segera kutjari dia sampai
ditempat ini, sampai kedjadian aku bertempur dengan kedua
orang Tjeng hong pay dan orang asing itu."
Menerangkan sampai disini, barulah Siang Tjoe ingat kalau untuk
beberapa saat dia telah melupakan Sioe Lian-nja.
"Sajang sekali," menghibur orang dari pulau sembilan. "Siapakah
namanja kawanmu itu?"
"Dia seorang perempuan, bernama An Sioe Lian..." menerangkan
Siang Tjoe tanpa malu2 lagi.
"Lantas untuk keperluan apakah kau menaiki tanah pegunungan
ini?" tanja pula Satmijagatze sambil tertawa ketjil. "Apakah kalian
pengantin baru jang sedang berbulan madu..."
"Tidak Lo djin kee!" berteriak Siang Tjoe. Agak marah dia.
"Kami datang kemari hanja untuk mejakinkan segala ilmu silat
jang telah kami miliki!"
"Hai!" berseru Satmijagatze jang mendjadi tertjengang. "Ah aku
telah salah terka. Maafkan akan kata2ku tadi."
"Loo djin kee," berseru Siang Tjoe jang tidak meladeni kata2 si
orang asing. "Perkenankanlah aku permisi. Sebentar aku akan
balik pula kepadamu, aku hendak mentjari kawanku itu."
Lalu tanpa menunggu djawaban pula ia pun meninggalkannja.
Tapi baharu sadja dia ber-lari belum berapa djauh, tiba2 :
"Siang Tjoe! Tunggu sebentar, bolehkah aku membantumu?"
terdengar suara Satmijagatze berteriak.
Mendapat tawaran ini, Siang Tjoe berhenti sebentar. Berpikir.
Kemudian ia pun manggut2kan kepalanja sambil katanja : "Baik!"
Dan selandjutnja dengan dikawani orang asing berbudi tinggi ini,
ia pun mendjeladjahi hampir separuh pegunungan Than-ala-san.
Namun sampai hari telah mendjadi sore, mereka belum djuga
memperoleh hasil. Malah seorang lain pun mereka tidak
mendjumpainja. "Sioe Lian! Sioe Lian!" achirnja Siang Tjoe ber-teriak2, sebagai
seorang kalap. "Sioe Lian!" Namun, walau bagaimana pun, meski
sampai kering tenggorokannja, tetap ia tidak memperoleh hasil,
hingga achirnja bahna sedihnja ia menangis meng-gerung2
sampai2 pada satu ketika karena putus asa ia hendak
membenturkan kepalanja pada sebuah pohon.
"Siang Tjoe," menghibur Satmijagatze sambil memandang
tadjam. "Sudahlah, djangan bersedih hati djuga. Kau toh laki-laki"
Untuk apakah membunuh diri sedang mati-hidupnja kawanmu itu
belumlah ketahuan. Bagaimana terdjadinja, kalau kawanmu itu
masih hidup sedang kau sudah mati karena membunuh diri"
Apakah perbuatanmu tidak hanja mendjadi bahan tertawaan
sadja" Maka sudahlah, lebih baik mari ikut aku. Nanti akan
kuterangkan tentang suatu benda jang luar biasa."
"Barang apakah itu?" tanja Siang Tjoe. Hatinja agak terhibur oleh
kata2 kawan baru ini jang ia anggap memang beralasan djuga.
Sebab toh sakit hatinja belum terbalas.
"Bukanlah disini tempatnja untuk menerangkan," bilang
Satmijagatze. "Mari ikut aku!"
Maka sesaat kemudian kedua orang ini pun sudah tampak tengah
ber-lari2 menuruni gunung Thang-ala-san. Seperti disengadja,
Satmijagatze ber-lari dengan tidak pernah ia idjinkan si anak
muda dapat lewati dirinja. Hingga sia-sia sadja walau Siang Tjoe
empos tenaganja pada kedua belah kakinja. Tidak pernah ia
berhasil menjandaknja. Sesudah hari mendjadi malam sampailah kedua orang ini dikaki
gunung. "Gate Lo djin kee, kemana saja hendak kau bawa?" tanja Siang
Tjoe. Tak diperolehnja djawaban, melainkan ia terus dibawa ber-lari2
memasuki sebuah kampung dimana lantas muntjul belasan ekor
andjing jang lantas sambut mereka dengan mengeluarkan suara
sangat berisik. Beberapa Tjhungteng tampak keluar.
"Siapa?" mereka berseru dengan tegurannja. Agaknja mereka
tidak senang. "Mengapa memasuki kampung orang dengan ber-lari2, sampai
mengeluarkan suara berisik?"
"Inilah aku, si orang dari pulau sembilan, Satmijagatze!" orang
asing ini memberi djawaban.
Baharulah, setelah mendengar suara ini, kata2 amarah segera
mendjadi manis dan hormat. Malah seorang diantaranja
terdengar berkata : "Oh, kiranja tuan Satmi! Sungguh tidak pernah kami sangka..."
Beberapa tjhungteng ini lantas madju akan memberi hormat. Dua
diantaranja lantas masuk untuk melaporkan kedatangan tamu
jang rupanja telah mereka kenal baik kepada madjikan mereka.
Sedang selagi jang satu mengusir andjing, seorang kawannja
segera mengundang serta memimpin masuk.
Dimuka rumah jang tjukup besar, dua tuan rumah sudah lantas
keluar menjambut. Sikap kedua orang ini menghormat sekali.
Satmijagatze pun berlaku hormat pula kepada kedua orang ini.
"Inilah kawanku," memperkenalkan dia seraja tundjuk Siang Tjoe.
Siapa lantas madju untuk kemudian dengan sopan memberi
hormat kepada kedua tjhungtju itu jang lantas pimpin mereka
memasuki sebuah kamar tamu.
Kedua tuan rumah kurang lebih sudah mentjapai usia empat
puluh lebih. Jang satu mukanja pandjang kurus, matanja sipit.
Sedang satunja mempunjai muka hitam gemuk. Dengan matanja
jang bundar dan berkulit sangat hitam, dia mempunjai djemberos
jang kaku bagai kawat. Dia bertubuh kate kekar sebagai orang
jang mengerti silat. "Kedua tjhungtju itu adalah paman dan keponakan," Satmijagatze
perkenalkan kawan baru mudanja kepada kedua tuan rumah.
"Ini Kim say Oei Bian Lip dan ini Oey Hong Gan, ke-dua2nja
tersohor untuk daerah sekitar Thibet ini."
Siang Tjoe berlaku hormat pada tuan rumah. Namun diam2 dia
terkedjut serta mengagumi kawan barunja jang ternjata
mempunjai pergaulan sangat luas. Sedang sebaliknja kedua tuan
rumah ada sangat memperhatikan Siang Tjoe. Mereka tanja
Satmijagatze, sedjak kapan mempunjai kawan muda itu,
mengapa mereka belum pernah lihat dan djuga belum pernah
dengar. "Sebenarnja dia bukanlah kawan karibku," menerangkan
Satmijagatze. "Aku baru tadi mengenalnja. Aku hanja menjukai
tjita2nja jang tinggi..."
Orang asing ini tidak menghabiskan kata2nja. Melainkan matanja
melirik kepada Siang Tjoe. Akan kemudian sambil tertawa diapun
berkata : "Sekarang tolong sediakan dahulu barang hidangan.
Aku lapar. Sebentar kita akan bitjarakan pula soal ini per-lahan2."
Oey Bian Liep lantas menjuruh pembantunja untuk tjepat2
menjadjikan barang makanan.
Paman dan keponakan itu menjuguhi arak, tapi Satmijagatze
tidak biasa minum itu. Maka iapun menolaknja. Demikian djuga
dengan Siang Tjoe jang dari ketjil tidak dibiasakan ajahnja
minum2an keras. Ia djuga tidak turut minum.
"Ah, siauwtee, kau minumlah!" Oey Hong Gan mendesak.
"Diantara kita, djanganlah malu2."
"Terima kasih," menolak Siang Tjoe sambil berbangkit. Ia
menampik dengan sikap jang sangat hormat sekali.
"Sebenarnjalah, kalau aku belum pernah menengak air kata2..."
Hong Gan sudah angkat tjawannja, karenanja ia djadi kebogehan.
Sementara itu, Satmijagatze bertjerita. Bagaimana tadi kawan
tjiliknja, telah membuat kotjar-katjir pertahanan Tan Tjian Po
suami istri, serta membuat Kamala Phasja harus berkelahi
mati2an untuk menghadapi Lie Siang Tjoe.
Mendengar tjerita ini, tidak henti keponakan dan paman
memberikan pudjian kepada pemuda kita.
Kemudian kedua tuan rumah ini, dibuat mendjadi tidak henti2nja
memberikan pudjian, ketika Satmijagatze mentjeritakan
bagaimana tadi ia telah mengukur tenaga dengan keponakan
Auwjang Keng Liak, dan berhasil mengalahkannja setelah
bertempur setengah harian.
Ia mentjeritakan pula bagaimana Auwjang Siang Yong telah
menantang untuk mengadakan pibu lagi pada nanti disepuluh
tahun jang akan datang. Dalam hal ini, kedua keponakan dan paman menjatakan bersedia
untuk memberikan bantuan.
"Setelah mengarungi lautan luas selama delapan hari, pada kira2
tudjuh hari jang lalu aku pun mendarat di daratan Tionggoan ini.
Demikianlah atas perintah guruku aku langsung pergi kedaerah
Thibet untuk menaiki tanah pegunungan Than-ala-san guna
menjerapi dan kalau mungkin membawa pulang sebuah patung
emas jang menurut keterangan guruku adalah merupakan
peninggalan dari seorang pendiri ilmu silat pedang negeriku.
Siapa tahu salah paham telah terdjadi dengan Auwjang Siang
Yong hingga pertempuran pun tak dapat terelakkan pula."
Satmijagatze berbitjara dengan penuh semangat, kedua tuan
rumah sebaliknja mendjadi terkedjut dan heran.
"Satmi loosoe," kata Hong Gan. "Kau datang kedaerah Tionggoan
sini untuk keperluan sebuah patung emas?" ia menegasi.
Satmijagatze manggutkan kepalanja.
"Patung emas apakah itu" Mengapa aku belum pernah dengar"
tanja Bian Lip. "Salah paham bagaimana Loo djin kee?" menjelak Siang Tjoe
jang sedari tadi diam dan tundukkan kepalanja.
"Marilah kalian dengar mengenai perihal riwajat patung emas itu,
akan kutjeritakan pada kalian dengan se-djelas2nja dengan
harapan kalau kalian sudah mengetahuinja, mudah2an kalian
dapat mewakilkan aku untuk menghindarkan segala salah
paham, karena pada saat ini, dalam dunia Kangouw sedang
terdjadi persengketaan mengenai perebutan suatu tempat jang
ditinggalkan oleh seorang luar biasa. Mengenai hal ini dapat kau
meminta keterangan pada susiokmu," sambil berkata demikian
Satmijagatze menggunakan telundjuknja menundjuk Bian Lip.
"Menurut tjerita guruku Tzuzumi Agakura," Satmijagatze memulai
tjeritanja. "Pada kira2 dua ratus tahun jang lalu, pada hari ulang tahun
radjaku, beliau telah mendapat hadiah sebuah benda jang
seluruh terbuat dari emas murni. Benda itu berbentuk sebuah
patung. Jang memberikannja adalah seorang tjianpwee kami jang
telah berhasil mentjiptakan sedjenis ilmu silat jang kini dinegeri
kami, kami anut. Ketika itu radja kami jang telah berusia landjut


Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak mengetahui akan faedahnja dan rahasia apakah jang
terkandung dibalik keelokannja patung emas tersebut..."
"Apakah jang loo djin kee maksud, adalah patung emas jang
sekarang kau perlukan menjeberangi lautan luas?" memotong
Siang Tjoe. Satmijagatze manggutkan kepalanja.
Achirnja patung itu pun terdjatuh ketangan putera radja jang
ketika itu telah menggantikan ajahandanja. Ia pun amat
menjukainja." Satmi berhenti sebentar. Diteguknja teh-nja, untuk
kemudian bertjerita lagi.
"Djustru, pada tahun keempat setelah putera mahkota mendjadi
radja, tjianpwee kami jang menghadiahkan patung emas itu
kepada kaisar, karena penjakit tua telah meninggal dunia.
Siapa tahu, beberapa tahun kemudian, salah seorang muridnja,
mengeluarkan tjerita bahwa dibalik patung emas jang indah
tersebut terdapat tanda2 rahasia mengenai adanja suatu tempat,
dimana pada tempat itu terdapat sesuatu jang luar biasa sekali.
Dengan segera seluruh negeri kami mendjadi gempar, terutama
kaum pahlawan2nja. Mereka masing2 menggunakan
kepandaiannja untuk memasuki ruang istana kaisar. Hingga
achirnja walau pendjagaan sangat kuat, tidak urung dari tempat
penjimpanannja patung emas lenjap tanpa bekas..."
"Kemana hilangnja loosu?" tanja Bian Lip.
"Tidak ada jang tahu, sampai kemudian dua ratus tahun
berselang guruku memperoleh keterangan bahwa patung itu
terdapat didaerah Thibet ditanah pegunungan Thang-ala-san
sini." Satmijagatze bertjerita dengan roman muka tidak terdapat
tanda2 sesuatu jang disembunjikan, sedang kedua tuan rumah
sebaliknja sangat tertarik sekali. Lebih2 Siang Tjoe.
"Satmi loosu," kata Hong Gan. "Kau pergi hanja seorang diri.
Apakah tidak kesepian?"
"Kalau aku membawa-bawa kawan, aku kuatir nanti terdjadi
bentrokan dikalangan sendiri," kata orang dari pulau sembilan ini.
"Dan kukira, pastilah sudah ada orang2 dari pulau kami jang telah
mendahuluinja," ia menambahkan. Nadanja bergolak ketika
mengutjapkan kata2 ini. "Aku pertjaja Sat losu lah jang akan berhasil," Bian Lip bilang.
"Auwjang Keng Liak sudah tua, sedang keponakannja jang
sangat lihay sudah dikalahkan losu. Pula bukankah segala
djagoan2 dari negerimu adalah sebawahan gurumu?"
"Tapi aku tidak pandang rendah usia tua Auwjang Keng Liak,"
Satmijagatze berkata. "Memang aku tidak usah kuatir dengan segala djagoan2 dari
negeriku, tapi aku dengar selain Auwjang Siang Yong djuga
dalam soal perebutan tempat peninggalan jang tjianpwee kalian
tinggalkan, Butong Pay, Kongtong Pay serta Tjeng hong pay telah
turut tjampur tangan."
Sampai disini Siang Tjoe menundukkan kepalanja setelah dengar
orang me-njebut2 nama Tjeng hong pay. Ia teringat akan Sioe
Lian-nja jang telah lenjap entah kemana, kemudian ia mendjadi
geregetan ketika teringat akan kematian ajahnja, hingga achirnja
ia hendak lekas2 pamitan sadja pada tuan rumah, untuk tjepat2
mejakinkan segala lukisan2 jang mengandung rahasia ilmu silat
luar biasa, untuk dapat dengan segera membalaskan sakit hati
ajahnja. "Sesudah beberapa puluh tahun berpisah, baharu sekarang kita
dapat bertemu muka pula, malah dalam kundjungan malam ini
Satmi losu mem-bawa2 seorang kawan tjilik!" kata Bian Lip
sambil tertawa. "Saudara ketjil seh Lie ini sudah mempunjai
kepandaian jang luar biasa, aku pertjaja dikemudian hari dia akan
ternama. Eh adik Lie siapakah gurumu?"
Mendapat pertanjaan ini Siang Tjoe tidak memberikan
djawabannja. Melainkan dia tundukkan kepalanja, hingga
selandjutnja Bian Lip tidak berani pula untuk menanjakan melit2.
Hanja sampai disini ia geser pokok pembitjaraan.
"Satmi losu sedjak sepuluh tahun jang lalu, kau tidak pernah
datang2 pula kemari, hingga tidak mengetahui kalau aku oleh
Tuhan jang maha pengasih telah dikaruniakan seorang putri,
tentulah losu belum lihat dia... Bawalah adikmu itu keluar," ia
tambahkan kepada Hong Gan.
Sang keponakan lantas undurkan diri.
Siang Tjoe djuga ingin tengok roman tjhungtju gadis itu untuk
dibandingkan dengan Sioe Lian-nja.
Lekas sekali Hong Gan sudah keluar pula dan bersama dia ada
satu botjah perempuan. Pakaiannja mewah sekali, sedang
wadjahnja, walau pun masih anak2 sudah kelihatan tjantik sekali,
dengan mukanja potongan daun sirih, rambutnja dikuntjir
mendjadi dua tjabang. "Mari beri hormat pada Sat-Siok-hoe mu!" kata Bian Lip pada
anaknja. "Bukankah kau ingin dapatkan peladjaran jang
istimewa" Untuk itu, tak dapat tidak, kau harus angkat Siok-hoe
mu ini sebagai gurumu!"
Botjah ini memberi hormat, kemudian ajahnja perintah beri
hormat pula pada Siang Tjoe, namun anak ini diam sadja. Malah
dia mendjebirkan bibirnja serta awasi tamu tjilik itu.
Bian Lip kuatir kawan tetamunja itu gusar. Ia lekas berkata :
"Adikmu ini beradat dusun,itulah disebabkan dia belum pernah
keluar rumah, harap kau tidak djadi ketjil hati."
Siang Tjoe tertawa, ia tidak berkata apa-apa.
"Siapa namanja anakmu ini" Pastilah besarnja ia akan tjantik
sekali," memudji Satmijagatze.
"Apakah kau sudah adjarkan dia ilmu silat" Aku lihat memanglah
dia ada mempunjai bakat dalam hal itu."
"Ia kunamakan Hong In, memang seperti kau katakan, dia
mempunjai bakar jang luar biasa. Dia berotak tjerdas sekali,"
menerangkan Bian Lip. "Apa jang kuterangkan, sekali sadja
sudah tjukup dan aku telah didik dia sedjak ia berusia enam
tahun," menambahkan Bian Lip.
"Hanja anehnja,entah menuruni siapa, anakku ini paling
menggemari akan pakaian2 jang berwarna merah. Dalam
setahun, sekali pun belum pernah dia memakai badju lain warna!"
"Hebat sekali!" memudji Satmijagatze. "Mudah2an nanti,
disepuluh tahun jang akan datang dalam dunia Kangouw akan
muntjul seorang pendekar wanita berbadju merah..."
menambahkan ia setjara main-main dan sambil ter-tawa2.
"Hanja sajang peladjaran silat kaumku adalah peladjaran jang
membutuhkan tenaga luar biasa besarnja, sedang anakmu itu
adalah seorang perempuan, hingga sungguh tidak tjotjok kalau
dia aku ambil sebagai murid. Maka lebih baik djika dia kau bawa
pada salah satu naga dari Sutjoan. Sebab aku dengar Liong kang
hiap Tjioe Tjin Lie dan Tjoe giok liong Thjek Thoa Thong adalah
dua murid utama dari Boetong Pay dan Koenlun Pay, jang telah
saling bertukar pikiran. Dan kedua orang itu terkenal akan
kehalusan ilmu silatnja, lebih2 Tjioe Tjin Lie terkenal akan ilmu
silat menotok djalan darah jang disebut Sip tjie hiat atau ilmu
totok sepuluh djari, sedang ilmu tersebut tidak sembarang orang
dapat mejakininja..."
Bian Lip berdiam, untuk berpikir.
"Baik, terima kasih akan pengundjukanmu, aku akan kirim dia
pada orang2 tua itu buat beladjar lebih djauh," katanja. "Sebab
kalau dia tetap ikuti aku, dia tidak akan dapat kemadjuan."
"Kau pandai merendahkan diri!" menghibur Satmijagatze sambil
tertawa. Bian Lip tertawa djuga. Ia menjuruh anaknja duduk bersama.
"Lip-heng," tiba2 terdengar Satmijagatze memulai pembitjaraan
jang terhenti sebentar. "Aku harap kerelaan saudara untuk mentjeritakan sebab
musabab pertikaian mengenai perebutan suatu tempat rahasia
jang membuat sampai2 para Lo tjian pwee turut turun tangan."
"Hmm, apakah soal ini belum Sat loosoe mengetahuinja?" tanja
Bian Lip, sambil kemudian ia teguk araknja.
"Tahu sih tahu, hanja aku baharu mengetahui tjerita kulitnja
sadja," djawab Satmijagatze.
Sementara itu Hong Gan telah perintahkan dua orang
pembantunja untuk menukar semua barang2 hidangan jang telah
mendjadi dingin dengan jang baru serta masih hangat.
"Sebagaimana Sat loosoe jang tentunja telah mengetahui,
demikian Bian Lip memulai tjeritanja, sesaat kemudian setelah
kelima orang itu menghabiskan pula semua hidangan jang baru.
"Pada kira2 dua puluh tahun jang lalu, dunia Kangouw telah
digemparkan oleh adanja sebilah pedang jang ditinggalkan
seorang tjianpwee jang kepandaiannja tiada keduanja pula di
kolong langit ini. Ketika itu, pada dua puluh tahun jang lalu itu,
banjak sekali orang2 gagah saling mempertaruhkan djiwanja
untuk memperebutkan pedang tersebut hingga sampai2 Auwjang
Keng Liak dan salah satu naga Soetjoan menurut katanja turut
pula mengukur tenaganja. Kau tahu Sat Loosu, apakah
keistimewaan pedang tersebut maka sampai demikian hebat
diperebutkan?" "Ah, Lip heng ada2 sadja," kata Satmijagatze sambil tertawa.
"Aku toh adalah seorang dari penduduk pulau semblan, mengapa
kau tanjakan padaku mengenai keistimewaannja?"
"Sat Loosu, kau tidak mengetahuinja, tidak mendjadi apa. Aku
harap kau tidak mendjadi ketjil hati, harap maafkan pamanku ini,"
menghibur Hong Gan. "Mengenai keistimewaannja," melandjutkan pula Bian Lip, "pada
pedang itu menurut kata orang, diseluruh badannja terdapat
ukiran2 jang melukiskan gerakan2 ilmu silat jang ditjiptakan
seorang luar biasa jang meninggalkan pedang itu sendiri..."
"Demikian hebat?" njeletuk Siang Tjoe jang mendjadi terpesona
bahna kagumnja. "Siapakah nama orang luar biasa itu?" tanja Satmijagatze tidak
kurang pula kagumnja sambil dia ini masukkan sepotong bakpau
kedalam mulutnja. Bian Lip gojangkan kepalanja, kemudian dia pun berkata :
"Sebegitu djauh semua lapisan orang2 Kangouw bersitegang
memperebutkan benda pusaka tersebut, tidak seorang pun jang
tahu siapakah nama orang tua jang kepandaiannja tinggi itu,
hanja menurut kabar angin dia adalah seorang jang berhasil
mentjiptakan ilmu silat gubahan sendiri..."
"Apakah dia menamakannja?" potong Satmijagatze dan Siang
Tjoe hampir berbareng. "Dia namakan tjiptaannja ilmu dari partai pengedjar angin atau
Toei hong pay..." "Nama jang luar biasa sekali!" memudji Siang Tjoe, "tentulah ilmu
silatnja djuga luar biasa," menambahkan pula dia.
"Jah demikian djuga djalan anggapan kami dan semua orang2
gagah pada zaman itu, hanja..."
"Hanja mengapa saudara Bian?" tanja Siang Tjoe tjepat.
"Hanja sajang, pedang pusaka itu kemudian achirnja terdjatuh
ketangan seorang ahli Yoga bangsa India. Aku ingat betul, ketika
itu, Auwjang Keng Liak dan lain2nja tengah hebat bertempur satu
dengan lain hingga berkali-kali pedang pusaka itu berpindah
tangan. Sampai achirnja seperti tadi telah aku katakan pusaka
tersebut terdjatuh ketangan si orang India jang bernama Hek
Mahie..." "Djadi, Auwjang Keng Liak rubuh djatuh ditangan si orang India?"
tanja Satmijagatze. Kembali Bian Lip geleng2kan kepalanja. Dan berbitjara sampai
disini, air mukanja menundjukkan rasa dari penjesalan.
"Pada waktu mana, walaupun benar dia (jang dimaksudkan
Auwjang Keng Liak) belum sah untuk memegang gelar ahli kelas
utama, tapi kepandaiannja sudah luar biasa sekali. Djangankan
baharu satu Hek Mahie, meski sepuluh belumlah tentu dapat
menandinginja," ber-kata2 sampai disini orang dari usia empat
puluhan ini berhenti sebentar. Dengan sumpit dimasukkannja
sepotong kue phia kedalam mulutnja. Untuk kemudian dengan
mulut masih mengunjah, dengan bersemangat dia melandjutkan
tjeritanja : "Sat Loosu, Auwjang Keng Liak dan lain2 orang2 gagah dari
daratan Tionggoan ini sebenarnja bukanlah dikalahkan oleh ahli
Yoga itu, melainkan mereka telah kena tipu jang litjin sekali. Dan
latjurnja sampai sekarang ini, tiada seorang pun jang mengetahui
bagaimana si orang seh Hek mendjalankan penipuannja..."
"Apakah para orang2 gagah dari negerimu setelah pedang
tersebut terdjatuh ketangannja orang India jang berkepandaian
ilmu Yoga itu tinggal berpeluk tangan sadja?" tanja Satmijagatze.
Mendengar pertanjaan ini, kembali Bian Lip menggojangkan
kepalanja. "Untuk waktu lima tahun kami semua berusaha mentjari orang
India itu, hingga achirnja setelah ber-pajah2 dengan tiada
memperoleh hasil kami pun mendjadi putus asa hingga, diantara
kami, orang2 Kangouw dari tanah Tionggoan ini, banjak jang
beranggapan kalau Hek Mahie itu tengah menjembunjikan diri
mempeladjari rahasia2 ilmu silat jang menurut tjerita banjak
terlukis diseluruh badan pedang," ia berhenti sebentar, kembali
sepotong phia dimasukkan kedalam mulutnja, kemudian setelah
dia hirup teh-nja dia pun membuka pula pembitjaraannja :
"Namun setahun kemudian setelah lima tahun kami ber-susah2
tersiarlah tjerita angin jang berasal dari Thibet ini, bahwa katanja
pada pedang itu bukanlah terdapat lukisan2 peladjaran ilmu silat,
melainkan disitu terdapat ukiran2 jang berupa tulisan jang
menerangkan bahwa katanja pada gunugn Thang-ala-san ini
terdapat, entah kitab entah tempat pertapaan jang didalamnja
terkandung suatu rahasia ilmu silat hingga, beberapa tahun
kemudian dunia Kangouw kembali telah digemparkan dengan
berketjamuknja perkelahian satu sama lain saling bunuh, dan
dalam hal ini, orang2 gagah dari tingkatan jang sudah tua djuga
tidak mau ketinggalan..."
"Lip-heng," tiba2 Satmijagatze memotong. "Kau katakan tadi,
para orang2 gagah telah saling bunuh..."
Mendapat pertanjaan ini, Bian Lip manggut membenarkan.
"Apakah diantara orang2 gagah itu sudah ada jang dapat
menemukannja?" tanja orang dari pulau sembilan itu.
"Sat Loosu, pertanjaanmu ini memang beralasan djuga..."
mengakui Bian Lip. "Tapi menurut kabar2 jang sampai kini, kami
berdua dengar belum ada seorang djuga jang mendapatkannja.
Hanja, tjerita2 mengatakan bahwa tempat rahasia itu berada
dipuntjak dari gunung Thang ini mendjadi semakin santer hingga,
pernah terdjadi pada tahun jang lalu, pada kira2 dua ratus lie dari
rumahku ini terdjadi suatu perkelahian jang meminta korban kira2
delapan atau sembilan puluh orang gagah..."
demikianlah Bian Lip mengachiri tjeritanja.
"Lip-heng, siapakah diantaranja selain Auwjang Siang Yong
orang2 gagah dari tingkatan tua lainnja jang djuga turut terdjun
kedalam kantjah ini?" tanja Satmijagatze.
"Menurut apa jang kami berdua dengar, selain dari keponakannja
Auwjang Keng Liak, katanja salah satu naga Sutjoan dan salah
seorang murid Hek Mahie djuga telah turun tangan. Dan katanja,


Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

murid Hek Mahie jang telah turut ambil bagian, adalah seorang
Turki jang kepandaiannja sangat tinggi sekali."
"Dan dalam persengketaan ini, aku jang mempunjai urusan
sendiri telah ditjurigai oleh Auwjang Siang Yong, hingga ditantang
untuk mengundjungi daerahnja nanti, disepuluh tahun jang akan
datang!" kata Satmijagatze sambil tertawa.
Bian Lip tertawa djuga. Ia belesakkan pula sepotong bakpau
kedalam mulutnja untuk kemudian dikunjahnja. Setelah selesai
bersantap dan saling bertjerita, tuan rumah perintahkan dua
orang pembantunja sediakan sebuah kamar untuk kedua tamunja
bermalam. Keesokannja pagi2 kedua tuan rumah serta anak, memberikan
selamat djalan kepada kedua tetamu tersebut.
Sementara itu, sesudah meninggalkan kira2 sepuluh lie dari
rumah kedua paman dan keponakan itu, Satmijagatze berdua
pun kemudian mengambil selamat berpisah.
"Anak Siang Tjoe," bilang Satmijagatze kepada Siang Tjoe
sebelum keduanja mengambil djalan sendiri2. "Aku harap kau
benar2 mewudjudkan tjita2mu, dan nanti, kalau kau telah
mendjadi seorang dewasa, datanglah nanti kepulauku untuk nanti
kau kuudji dengan muridku Soen Siawdji."
Lie Siang Tjoe tertawa dia manggut2kan kepalanja, kemudian
tubuhnja diputar kekanan, dan sesaat kemudian diapun sudah
berada dilereng gunung jang menudju ke puntjak.
Sedang Satmijagatze menggerakkan kakinja kearah barat, ke
Thibet, untuk melandjutkan usahanja mentjari patung emas, jang
mana beberapa tahun kemudian setelah melakukan beberapa
pertempuran, dimana dia harus mempertaruhkan djiwanja,
diantaranja dengan orang2 dari pulaunja sendiri achirnja diapun
dengan selamat berhasil membawa pulang barang pusaka itu
untuk kemudian diserahkannja kepada gurunja.
***** Lie Siang Tjoe setelah melakukan pula pendakian beberapa
lama, ia pun beberapa saat kemudian telah berada pula
dipuntjaknja dari gunung Than-ala-san.
Disepandjang djalan, diatas puntjak gunung jang penuh dengan
hutan tjemara itu, tidak sedetik pun pikirannja melupakan An Sioe
Lian. Hingga achirnja karena rindunja, dia merasa se-olah2
disekelilingnja, dibalik pohon2 tjemara ia melihat An Sioe Lian
tengah menjembunjikan diri. Hingga achirnja seperti laku seorang
gila, dia menghampiri setiap pohon2 tersebut dan memutarinja
dengan tentunja ia memperoleh hasil jang sia2 belaka.
Ketika itu, hari pun telah naik tinggi. Matahari tepat berada di atas
kepala. Ber-djam2 sudah Siang Tjoe ber-putar2 mendjeladjahi
setiap pelosok hutan. Hingga achirnja dia masuki setiap lubang
guha, sampai2 ketika hari sudah hampir lohor, baharu ia tersadar
kalau dari pagi2 buta dia belum mengisi perutnja dengan sebutir
nasipun. Sekedjab, mengingat ini, perutnja berkerujukan meminta
makan. Lie Siang Tjoe segera menghampiri sebatang pohon. Lalu
dengan golok ketjilnja ia membatjok. Namun ketika batjokannja
tepat mengenai batang pohon tersebut, tiba2 ia merasakan
tangannja kesakitan hingga ia merasa ngilu sampai ketulangtulang sumsum. Sedjurus kemudian dengan menahan sakit,
kembali tangannja ia ajun dengan tenaga dua kali lebih besar dari
batjokan jang pertama tadi. Namun kembali pula ia dibuat
kesakitan karenanja. Malah kali ini ia merasakan otaknja seperti
tergetar. Sedang pohon tjemara gunung itu tetap tegak berdiri
tanpa sedikitpun bergeming.
Dibuat penasaran oleh ketangguhan pohon tersebut Siang Tjoe
mendjadi panas. Ia ajun pula goloknja, satu kali, dua kali, tiga...
peluh se-besar2 katjang kedelai penuh membasahi seluruh
mukanja, sedang giginja berkerotan menahan sakit... terus ia
membatjok, empat, lima... tapi pohon itu tetap berdiri dengan
sedikit pun tiada bundas bekas tanda2 batjokan, sampai2 ketika
pada batjokan jang kesebelas ia tidak tahan pula, karena banjak
tenaga jang ia hamburkan, achirnja ia djatuh pingsan dibawah
pohon tjemara gunung tersebut jang puntjaknja me-lambai2
seperti menertawakan. Setelah beberapa lama kemudian iapun telah sadar kembali.
Terbajang dimatanja bagaimana si orang dari pulau sembilan
dengan hanja tenaga sambarannja telah merubuhkan puntjak dari
pohon sebangsa tersebut dengan hanja menggunakan beberapa
belas ekor burung pemakan bangkai sebagai sendjata pelurunja,
hingga kekagumannja kepada orang setengah umur itu semakin
men-djadi2, dan ia merasakan betapa kepandaiannja masih djauh
rendah sekali. Ketika itu, tengah ia menundukkan kepala memikirkan sendjata
apakah jang harus digunakan untuk dipakai berburu, tiba2 ia
merasakan diatas kepalanja ada angin keras menjambar.
Mengira ada sendjata gelap, tjepat sekali dengan menggunakan
tipu ikan leehi meletik, tubuhnja dilengakkan meletik untuk
menghindarkan 'sendjata rahasia' itu. Namun ia kurang tjepat
atau dengan perkataan lain, 'sendjata rahasia' itu ada terlebih
tjepat dari gerakannja, demikianlah tidak ampun pula batok
kepalanja telah terhantam tepat.
Bagaikan disambar petir, ia merasakan kepalanja pusing sekali,
hingga dengan mengeluarkan tjatjian 'Kurang adjar!' iapun sudah
melesat kesamping dengan pedang sudah terhunus ditangan.
Namun setelah menantikan beberapa lama, ia tidak melihat
sesuatu gerakan jang mentjurigakan. Keadaan disitu tetap
tenang, tiada tanda2 adanja manusia atau binatang. Ia mendjadi
heran, dan iapun menjangka jang bukan2. Segera karena takut
kepada sendjata beratjun, kepalanja diraba untuk mentjabutnja. Ia
merasa pasti, bahwa kalau benar itu adalah sendjata rahasia,
setidak-tidaknja sendjata itu terbuat dari bahan logam jang
terberat. Namun ia mendjadi terperandjat sekali ketika
kenjataannja, bahwa benda itu bukanlah sendjata rahasia
ataupun potongan logam, melainkan... sepotong kaju jang
pandjang tidak lebih dari tiga intji!
"Ah!" tanpa terasa ia mengeluh, bahna heran. Dan iapun
menengadahkan kepalanja menengok keatas. Tapi djustru itu
kira2 dua tiga keping potongan kaju kembali gugur meluntjur
turun dari puntjak pohon. Tjepat sekali serta mantap tidak
melajang, kepingan2 itu dalam sekedjap sadja telah berada kira2
dua tumbak diatas kepalanja. Namun kali ini, Siang Tjoe melihat
datangnja 'serangan' dan iapun telah bersiap sedia, maka dengan
mudah sadja ia dapat mengelitnja dengan kepingan2 itu lewat
disisinja serta menghadjar tanah.
Hebat sekali tenaga sambaran itu hingga, kepingan2 masuk
melesak sedalam kira2 delapan-sembilan bagiannja.
Ia bingung, adakah diatas pohon itu ada bersembunji musuh
gelap, Siang Tjoe segera dengan menggunakan ilmu tjetjak,
melapay menaiki pohon itu. Sebentar sadja ia sudah mentjapai
puntjak. Karena kuatir dibokong, ia tjabut pedangnja untuk
dihunus. Demikianlah dengan pedang ditangan, mulutnja tidak
berhenti mentjatji maki. Namun ia tidak memperoleh djawaban,
malah ketika ia menengok kesisi kanannja, ia melihat pada suatu
dahan pohon jang besarnja sepelukan anak2 terdapat duri2 jang
djumlahnja banjak sekali. Bentuknja serupa benar dengan jang
tiga keping tadi menghadjar dirinja. Pandjang serta tumpulnja.
Segera ia mendekati dan mentjabut dua tiga antaranja. Ia
mendapat kenjataan kalau selain batang2 ketjil itu tumpul serta
mantap ternjata djuga duri2 itu mempunjai bentuk sebagai
sendjata rahasia jang biasa dipakai oleh ahli2 silat.
Kebetulan disaat itu, disaat ia tengah me-nimang2 duri2 pohon
tersebut, diatas kepalanja dengan menerbitkan suara
menggelepak-gelepak, tampak beberapa ekor burung pemakan
bangkai terbang lalu. "Ha! Makanan!" berteriak Siang Tjoe. Dan... tunai ia merasakan
perutnja kembali berkerujukan. Segera ditjabut pedangnja hendak
dilontarkannja kearah salah satu dari binatang2 bersajap itu. Tapi
dilain saat, dalam sedetik, pikirannja berubah. Tidak djadi ia
melontarkan sendjatanja melainkan tangan kirinja jang
menggenggam duri2 dari pohon tjemara, terajun, dan tiga batang
duri telah melesat kearah tiga ekor burung jang terbang disebelah
terbelakang. Ketjil tidak sampai empat intji duri2 itu. Tetapi
kenjataannja benda2 alam tersebut mempunjai gaja berat jang
istimewa sekali. Demikianlah sesaat kemudian diiringi dengan
gaokan2 kesakitan, maka tiga diantaranja sesaat sadja telah
melajang djatuh, dan setelah menggelepar-gelepar sebentar
diatas tanah, binatang2 itupun tidak bergerak lagi.
Sementara itu, Siang Tjoe setelah menjaksikan kehebatannja
duri2 itu mendjadi kegirangan.
Selandjutnja ia pun memeriksa dahan2 pohon jang lainnja,
ternjata hampir pada setiap dahan sampai ke-tjabang2nja penuh
ditumbuhi duri2 tumpul. Segera setelah mentjabuti pula beberapa
batang, ia lalu melapai turun.
Setibanja dibawah, ia menghampiri ketiga korbannja jang ternjata
sudah tidak bernjawa pula.
Dan dibawah pohon itu djuga, dengan menggunakan dua buah
batu api, dibuatnja sebuah unggun. Setelah berkobar besar, lalu
dibuluinja ketiga ekor burung. Kemudian setelah menambus salah
satu diantaranja dengan pedangnja. Dilain saat tambusan itupun
sudah terpanggang. Hingga achirnja sesudah menunggui beberapa lama ia pun sudah
tengah menggeragotinja. Sambil mengunjah pikirannja melajang
pada ketika beberapa bulan jang lalu ia dengan Sioe Lian di Iepin ber-sama2 makan daging kelintji.
Tanpa terasa seekor bulat telah dihabisinja, namun karena masih
merasa lapar segera kembali seekor burung dipanggangnja untuk
kemudian setelah matang dibereskannja pula. Baharulah kini
setelah menghabiskan dua ekor ia merasakan perutnja tidak lapar
pula, namun sebagai gantinja, hawa panas menjerang tubuhnja
dan dalam sedetik sadja ia sudah merasa kehausan. Lalu iapun
ber-lari2 mengelilingi hutan tjemara tersebut. Kebetulan setelah
mentjari beberapa lama, ia mendengar disebelah baratnja ada
mengggeritjik suara air. Untuk kegirangannja setelah ber-larian, ia mendapatkan
dihadapannja melintang sebatang anak sungai. Lupa ia untuk
memeriksa apakah air itu djernih atau kotor, tubuhnja
ditengkurapkan dan dengan menggunakan kedua belah telapak
tangannja, ia pun sudah memindah enam tjelegukan kedalam
perutnja. Untuk girangnja setelah minum ia merasakan tubuhnja
segar sekali. Perutnja tidak dirasakan panas pula.
Hanja buat kekagetannja, ia melihat tidak djauh dari tempat ia
rebahkan tubuhnja, dilihatnja setumpuk kain jang berbentuk
seperti pakaian. Lantas ia pun menghampirinja. Ia mendjadi kaget
sekali untuk beberapa lama berdiri mematung, ketika mendapat
kenjataan kalau kain itu adalah badju tebal jang pada beberapa
bulan berselang dihadiahkannja kepada An Sioe Lian, ketika
untuk pertama kalinja ia berkenalan di Soatang!
Beberapa lama kemudian setelah dapat menguasai dirinja,
dengan tangan bergemetar, didjumputnja pakaian itu. Hantjur
luluh hatinja ketika mendapatkan bahagian dalam dari pakaian
tersebut penuh dengan noda2 darah. Hampir2 disaat itu djuga ia
djatuh pingsan. Dengan tenaga jang hampir hilang separuh, ia mentjutjinja serta
dibuntalnja setelah bersih, akan kemudian ia pun sudah berada
didjalan jang menudju keguha dimana pada dua hari jang lalu ia
mendapatkannja. Disepandjang djalan tidak berhenti otaknja berpikir, ia heran
mengapa dalam hari2 belakangan ini ia selalu dilibat
pengalaman2 jang hebat2. Sore hari tibalah kembali ia diguhanja, setelah memeriksa ia
mendapat kenjataan 'tempat pusaka' itu tidak kurang suatu apa,
suatu tanda tidak seorang pun pernah sampai. Esoknja pagi2
ketika matahari baharu muntjul, ia pun menggali lubang jang
besarnja tjukup lebar, setelah merasa ukurannja tjukup, kemudian
pakaian jang pada beberapa hari berselang masih melekat
ditubuh Sioe Lian dikuburnja.
"Lian-djie," demikian dengan mulut kemak-kemik ia berkata.
"Ternjata kau berumur pendek. Setelah ajahmu dibinasakan
muridnja sendiri ternjata kau djuga sebelum dapat menunaikan
tugasmu telah ditimpa ini matjam kedjadian, dimana kau tentunja
telah mendjadi korban beruang2 keparat. Namun kau jang berada
dialam baka, aku harap berlega hati, Siang Tjoe mu pasti akan
mewakilkan kau untuk membalaskan sakit hati ini. Tunggulah,
aku akan menghabiskan semua beruang2 jang berada ditanah
pegunungan ini, Lian legakanlah hatimu..."
Setelah itu, tanpa terasa pula ia sudah menangis ter-sedu2. Berdjam2 tanpa seorang pun jang menghiburinja. Hingga setelah hari
sudah tidak pagi pula, setelah puas ia menangis, ia berhenti
sendirinja. Dan siang itu djuga ia kembali sudah mengelilingi pula seluruh
tanah pegunungan Thang-ala-san. Hanja sekali ini, bukanlah ia
mentjari Sioe Lian, melainkan hampir seluruh beruang2 jang
berada didaerah sekitar itu dihabiskannja. Hingga untuk ini, tiga
hari tiga malam ia menghabiskan waktunja. Untuk kemudian
baharulah dihari kelimanja, setelah beristirahat seharian dihari
keempat, iapun mulai membersihkan ruang guha.
Enam bulan kemudian iapun telah membersihkan hampir seluruh
ukiran2 jang banjak memenuhi ruang guha. Namun ketika hendak
mempeladjarinja ia mendjadi bingung karena ia tidak tahu harus
dari mana memulai. Ia bingung, gelisah dan achirnja putus asa ketika setelah berhari2 belum djuga dapat memetjahkan jang mana udjung serta
mana pangkalnja. Namun mudjur baginja pada suatu hari ketika ia berada dalam
kegelapan pikiran telah terdjadi suatu hal kebenaran.
Pemuda kita, Lie Siang Tjoe pergi menaiki gunung, untuk mentjari
makanan. Pikirannja tengah bimbang dan ragu. Hingga tanpa
disadari ia sudah sampai disamping gunung jang tjuram sekali.
Tengah asjik berdjalan, tiba2 kakinja terpeleset, hingga tidak
ampun pula, pegangannja terlepas, serta iapun terdjatuh.
Tembok gunung itu adalah djurang jang dalamnja kurang lebih
empat-puluh tumbak. ia kaget, tapi mudjur baginja, tubuhnja
tersangkut pada suatu tjabang pohon dimana kebenaran terdapat
sebuah guha kosong jang mulutnja kering berlumut. Disini ia pun
berpegangan pada mulut guha bahagian atas. Kemudian dengan
mendjatuhkan diri ia melompat turun.
Ketika ia sudah berada di mulut guha, tiba2 merasakan kedua
telapak tangannja sakit. Ia heran apabila pada kedau telapak
tangan tersebut ia dapatkan menantjap dua matjam benda jang
bentuknja luar biasa sekali, ketika ia tjoba mentjabutnja, ternjata
tidak dapat, karena benda itu menantjap keras sekali, dan
disamping itu, ia pun meringis karena akibat nantjapnja benda itu
ia merasakan kesakitan jang sangat hebat.
Diam2 ia merasa heran, karena ketika tadi terdjatuh, ia tidak
melihat barang seorang pun. Dengan masih merasa aneh, anak
muda ini kemudian dengan menggunakan giginja ia tjabut.
Keheranannja makin ber-tambah2 ketika ia mendapat kenjataan
selain dari darah merah jang sedikit keluar sedikit pun ia tidak
merasa sakit.

Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kedua potong sendjata rahasia itu pandjangnja masing2 dua
tjoen sembilan hun. Berbentuk kepala burung Hong dengan patuk
jang luar biasa tadjam. Seluruh bagian kepala burung Hong itu
berwarna hitam kelam. Kotor berlumut. Tapi bila ia kerik lumutnja,
terdapatlah sepotong benda mengkilap... emas!
"Pantas, timbangannja demikian berat, kiranja terbuat dari emas,"
kata Siang Tjoe seorang diri.
Didepan mulut guha, Siang Tjoe berdiri mendjublak. Tidak berani
ia lantjang2 memasuki, melainkan kedalam itu ia melongokkan
kepalanja. Ia tampak kabut, hingga sekali pun tanah tidak terlihat
tegas. Diam2 hatinja pun tertjekat. Ia mengawasi terus. Ia merasa
pasti, kalau pasti guha itu dalam sekali. Ia pun menduga-duga
apa tubuhnja dapat masuk kedalam guha itu... Siang Tjoe tak
mau mundur dengan begitu sadja. Ia bungkus sebelah tangannja,
lalu ia ulur kedalam guha. Ia duga itu tentu adalah sendjata
rahasia jang berbentuk kepala burung Hong. Ia mentjabuti semua
jang ternjata berdjumlah enam belas bidji. Ia ulur tangannja lebih
djauh, sampai hidungnja mengenai mulut guha. Ia tidak meraba
lain benda. Sampai disini ia berhenti meraba-raba.
"Heran!" berkata ia seorang diri, "apakah mungkin ditempat jang
lebih dalam masih terdapat lain2 benda?"
"Mari kutjoba-tjoba memasukinja," achirnja ia mengambil
keputusan. Dan sesaat kemudian ia pun sudah membuat sebuah obor dari
tumbuh2an kering jang banjak kedapatan disitu. Sedang untuk
menjalakannja, ia peroleh dengan djalan mem-bentur2kan dua
buah batu jang tjukup besar.
Apabila api sudah berkobar membakar obor, paling pertama ia
sodorkan obor rumput2an keringnja kedalam guha. Ia dapatkan
obor tidak padam, hal ini membuat ia girang. Maka segera, hati2
ia merajap masuk. Untuk mendjaga kemungkinan jang tidak
diinginkan, ia tjekal pedang ditangan kanannja sedang obor ia
pindahkan ketangan kiri. Ia harus djalan sambil merajap, setelah
kira2 sepuluh tumbak lebih, guha tersebut jang merupakan
terowongan mulai mendaki, ia madju terus, sampai kira2 sepuluh
tumbak lebih. Baharulah pada suatu tempat terbuka ia dapat
bangkit berdiri. Ia tidak takut. Malah madju terus. Sebentar sadja,
pemuda ini melihat suatu djalan membelok. Menghadapi ini ia
mendjadi semakin waspada. Ia madju sambil tjekal keras
pedangnja. Ketika telah melalui tiga tumbak, dihadapannja
terdapat berdiri sebuah kamar batu. Ia menghampiri mulut pintu,
segera dengan obornja ia menjuluhi kedalam.
Tiba2 ia terperandjat, hingga dalam sekedjab itu keringat dingin
keluar bertetes-tetes. Duduk diatas batu, ditengah-tengah kamar terdapat satu
rerongkong tengkorak manusia, lengkap dengan kepala, kaki dan
tangannja rebah diatas pangkuan.
Segera terbajang dihadapannja, ketika pada beberapa hari jang
lalu ia bersama dengan Sioe Lian djuga menghadapi adegan
serupa ini. Hanja bedanja, rerongkong jang tempo hari ia
temukan adalah sisa tengkorak dri Mie Ing Tiangloo, seorang
tetua Tjeng hong pay, ia ada bersama Sioe Lian. Tapi kini ia
hanja berseorang sadja. Hingga dengan sendirinja karena tidak
berkawan hatinja mendjadi terpukul keras. Siang Tjoe perhatikan
tulang2 manusia itu. Baru sadja memandang kesekitar kamar. Sjukurlah, disitu tidak
lagi terdapat pemandangan jang mengerikan.
Hanja berserakan diatas tanah dihadapan rerongkongan terdapat
belasan sendjata2 rahasia berkepala burung Hong. Disisi kanan
rerongkong terletak sebilah pedang. Sendjata itu bersinar-sinar
berkilauan ketika tertimpa tjahaja api obor. Ditembok kamar
terdapat sebaris gambar ukiran dari monjet jang lengkap. Hanja
sikapnja satu dengan lain berlainan. Ada jang tangannja diangkat,
dengan kedua kakinja berdongko. Guratannja seukiran benar
dengan gambar jang ia dapati tempo hari, hanja berbeda
gerakannja, dan lebih ruwet. Ia awasi semua gambar itu, ia
perhatikan, namun sebegitu djauh tak dapat ia memahaminja.
Pada udjung dari gambar ukiran jang terachir, dengan diukir
djuga, terdapat beberapa baris dari sembilan belas huruf.
Siang Tjoe dekati, lalu ia batja. Begini bunjinja :
"Angin mustika rahasia. Berlindung kepada jang berdjodoh.
Djangan penasaran siapa binasa memasuki pintuku."
Siang Tjoe tidak mengerti apakah arti surat itu, hanja melihat
rerongkong dan lukisan2 jang banjak berdjedjeran pada dinding,
pastilah rerongkong itu adalah rerongkong seorang tjianpwee,
orang tertua, maka seharusnjalah menghormatinja. Maka dari itu,
paling pertama ia gali lubang didekat pintu, untuk pendam
obornja. Agar ia tak usah pegangi terus obornja itu. Hingga
dengan demikian ia dapat bekerdja leluasa. Setelah selesai
baharulah ia hadapi rerongkong, jang ia duga tentulah
rerongkong seorang tjianpwee jang menjembunjikan diri. Hanja
entah siapa dia ini... namun tiba2 terlintas diotaknja akan tjerita
Bian Lip jang mengatakan bahwa dunia Kangouw pada achir2 ini
tengah digemparkan akan adanja suatu tempat jang didalamnja
terkandung sesuatu jang luar biasa. Dan bukankah ilmu silat jang
ditjiptakan orang luar biasa jang dikatakan Bian Lip itu bernama
ilmu silat pengedjar angin" Tidak mungkinkah kata2 Angin
mustika rahasia ada hubungannja dengan pengedjar angin"
"Djuga bukankah lukisan2 jang kudapatkan tempo hari djuga
adalah gambar2 jang memperlihatkan monjet jang sedang
bersilat" ia berpikir. "Kalau benar2 dia adanja setelah dia
meninggal, tanpa ada orang jang menguburnja sungguh harus
dikasihani..." Pemuda tanggung ini lantas djatuhkan diri didepan rerongkong
itu, untuk paykui. "Teetju bernama Lie Siang Tjoe," berkata ia dalam hatinja,
setelah manggut beberapa kali. "Dengan kebenaran sadja teetju
dapat menemui djenazah thayhiap ini. Hari ini ingin teetju kubur
tjenazah thayhiap. Harap selandjutnja thayhiap beristirahat
dengan tenang dan kekal..."
Baharu selesai Siang Tjoe hundjuk hormat itu, dari luar guha
tiba2 menghembus angin dingin, jang agaknja meniup dari dalam
djurang. Sampai hawa dinginnja membuat ia bergidik. Bulu
tengkuknja bagai terasa bangun berdiri. Sesudah itu, Siang Tjoe
mulai menggali lubang. Ia tadinja menduga, tanah didalam guha
itu keras, siapa tahu, begitu udjung pedangnja jang ia gunakan
sebagai alat patjul mengenai tanah, hatinja mendjadi lega. Tanah
itu ternjata sangat lunak. Hingga karena ini ia dapat bekerdja
dengan tjepat. Tiba2 terdengar satu kali suara membeletuk. Itulah tanda udjung
pedangnja mengenai sesuatu benda keras. Mungkin besi. Untuk
dapat kepastian, Siang Tjoe ambil obornja, untuk menjuluhinja
dekat2. Segera ia dapati selembar lempeng tembaga. Ia mematjul terus
tanah disekitar lempeng itu, dan achirnja dapat diangkat.
Dibawah lembaran tembaga itu ia dapatkan sebuah peti besi.
Besarnja tiga kaki persegi. Terdorong oleh perasaan ingin tahu,
Siang Tjoe keluarkan peti tembaga itu jang tingginja kira2 satu
setengah kaki. Berat peti itu tidak luar biasa, maka ia menduga
tentulah isinja tidak banjak.
Oleh karena tutup peti tidak terkuntji, dengan mudah Siang Tjoe
dapat membukanja. Ternjata dalam peti itu dangkal tidak sampai
setengah kaki, sedang di-tengah2nja berlubang sedalam kira2
seperempat kaki, heran Siang Tjoe melihat bentuk ini.
"Aneh!" pikir pemuda kita. "Peti besar tinggi, mengapa dalamnja
dangkal?" Didalam peti terletak sehelai sampul diatas mana terdapat
delapan huruf besar. Bunjinja "Boleh batja, siapa dapati surat."
Melihat demikian, Siang Tjoe djemput sampul itu, untuk dibuka
dan keluarkan isinja. Suratnja sudah kotor benar, dan berwarna
kuning kumal. Ia buka surat itu, kemudian dibatjanja.
"Mustika angin diwariskan kepada jang berdjodoh. Hanja siapa
mendapatkannja, kuburlah dahulu rerangkaku."
Bersama surat itu, terdapat sebuah sampul lain jang terlebih ketjil.
Diatasnja tertulis : "Tjara-tjara membuka peti serta mengubur rerangkaku."
Setelah membatja ini baharu Siang Tjoe tahu, peti itu ada
lapisannja. Diangkatnja peti itu untuk digojang2. Sekali ini, Siang
Tjoe merasa seperti ada apa2nja.
Didalam hatinja pemuda kita berkata :
"Aku hanja kasihan rerongkongnja jang terlantar serta tertarik
akan semua surat2nja jang selalu ada perkataan angin dan
ukir2annja jang melukiskan monjet. Maka aku kubur padanja,
sama sekali aku tidak ingin serakahi segala harta pusakanja."
Segera Siang Tjoe buka sampul jang bertuliskan :
"Bagaimana harus kubur tulang2ku."
Ia buka tutup sampul, dan keluarkan suratnja jang tertulis diatas
sehelai kertas putih : Setelah menggali lubang, tolong galikan lebih djauh, sedalam
empat kaki. Apabila memang kau bersungguh-sungguh hendak menguburku.
Disitu baharulah pendam aku.
Karena dengan aku bersemajam ditempat jang lebih dalam,
dapatlah aku bersemedi bebas dari segala gangguan segala
rajap dan semut." Setelah membatja Siang Tjoe berkata dalam hatinja : "Sebagai
orang dari tingkatan lebih muda, aku akan djalankan segala apa
jang lotjianpwee titahkan."
Dan dilain saat, ia angkat pula pedangnja, untuk menggali serta
mentjongkel lebih djauh. Namun kali ini ternjata tanah itu ketjampuran batu, tidak mudah
baginja untuk mentjongkel leluasa seperti tadi. Hingga tidak
peduli, walau dia telah terlatih, Siang Tjoe toh mandi air peluh.
Dan ketika ia menggali dalamnja hampir empat kaki, tiba2 udjung
pedangnja membentur pula suatu benda keras hingga suara
njaring pun terdengar. Karena pengalaman pertama tadi, walau ia merasa heran, Siang
Tjoe gali terus tanah itu. Sampai achirnja kembali ia dapati
sebuah peti besi. Hanja berbeda dengan jang pertama tadi, peti
ini ada terlebih ketjil, kira2 satu setengah kaki persegi.
"Benar2 kukoay sikap orang gagah luar biasa ini!" pikir ia. "Entah
simpanan apa lagi jang ada didalamnja."
Diangkatnja peti tersebut, jang dengan mudah dapat
membukanja. Kembali didalam situ, ia dapatkan sehelai kertas
jang ada tulisannja. Ia kaget hingga berkeringatan apabila ia
sudah batja bunjinja. Surat dari peti jang terlebih ketjil itu berbunji
sebagai berikut : "Hebat kau, anak djudjur. Terima kasih akan djasamu ini. Maka
sudah selajaknjalah aku balas kebaikanmu dengan memberikan
rahasia pemetjahan semua lukisan2 angin mustika jang kusimpan
di Utara 'kuburan'ku ini.
Apabila peti pertama tadi jang djauh lebih besar dari ini dibuka,
dari dalamnja akan menjambar keluar enam batang Kim hong tjui
(bor emas berkepala burung Hong) jang mengandung ratjun.
Surat dan peta jang kedapatan disitu pun palsu semuanja. Malah
ada rajunnja djuga. Semua iu hanjalah untuk menghukum serta
mengadjar adat kepada orang2 jang temaha dan djahat.
Pusaka aslinja berada didalam ini!!"
Siang Tjoe insaf. Ia tidak mau sia2kan waktu pula. Ia letakkan
kedua peti dipinggiran. Ia rapikan lubang galiannja itu, lalu
dengan sikap jang menghormat sekali, sesudah mana, ia uruk
dengan tanah. Atasnja diratakan, kemudian setelah selesai kembali ia bersodja
kui beberapa kali. Hingga disitu, selesailah ia sudah dengan
pekerdjaannja sebagai 'ahli waris', maka dengan panggul kedua
peti,mereka Siang Tjoe bertindak keluar. Langsung hingga
ditikungan. Ditempat ini, ia dapat lihat segala apa dengan djelas,
hingga hatinja mendjadi lega bukan main. Ia dapatkan mulut guha
tersusun batu. Agaknja orang luar biasa itu memang mengatur
demikian untuk mentjegah orang dapat memasukinja. Segera ia
singkirkan semua batu2 itu, hingga disitu dilain saat telah terbuka
satu terowongan jang tjukup lega. Ia buka guha ini agar besoklusa dengan bebas ia dapat mudah keluar-masuk.
Tak lama kemudian sampailah ia di mulut terowongan.
Sesampainja, ia mendjadi bingung dan baru menjadari kalau
sampainja ia ketempat itu adalah akibat dari terpeleset dan kini ia
sebenarnja berada di pinggiran dari sebuah djurang jang
berbentuk sumur. Ia melongok kebawah. Terkedjut sekali ia
ketika kenjataannja djurang itu dalam sekali, dan jang lebih hebat
ialah, pada dinding2 djurang tersebut tidak terdapat lain
pemandangan selain dari batu2 ketjil jang berdjarak paling dekat
sepuluh tumbak satu dengan lainnja, hingga tidaklah
memungkinkan untuk ia dapat melapay naik, walaupun ia
mengerti ilmu tjetjak merajap.
Karena bingung, tanpa terasa pegangannja pada kedua peti
kendur. Hingga tidak ampun pula kedua peti jang ditjekalnja
terbanting djatuh, dengan jang ketjil terdjatuh dekat kakinja,
sedang jang besar terlempar sedjauh kira2 dua tumbak dari
tempat ia berdiri. Hebat sekali terdjatuhnja peti jang terlebih besar itu, karena
terbuat dari besi seluruhnja serta besarnja jang mentjapai epat
kaki persegi, hingga menerbitkan suara berisik karena djusteru
terdjatuhnja menimpa sebuah batu.
Dan sebagai reaksi dari djatuhnja peti besi itu, ternjata tidak
berachir sampai disitu sadja. Demikianlah karena benturannja
dengan batu tadi, mendadak tutup peti mendjepelak terbuka!
Sampai menerbitkan suara. Dan bersamaan itu, tiba2 dari
dalamnja meleset keluar enam batang Kim hong tjui, tepat seperti
jang tertulis dalam surat is orang luar biasa. Akan kemudian peti
tersebut meledak hantjur.
"Luar biasa sekali!" berseru Siang Tjoe tanpa tertahan. "Agaknja
lotjianpwee ini, kuatiri orang djahat mengambil petinja," hingga
achirnja kepertjajaannja kepada kata2 jang tertulis disurat jang ia
dapat batja dalam peti lebih ketjil mendjadi berkurang. Ia kuatiri
pula kalau2 peti tersebut djuga mengandung sendjata rahasia.
Karena berpikir demikian per-lahan2 ia buka tutup peti. Ia ambil
pula sampulnja. Tiba2 ia mendjadi terkedjut sekali, ketika ternjata
pada sudut sampul itu terdapat dua huruf tulisan jang ketjil sekali.
"Bakarlah surat ini!"
Terpengaruh akan kata2 ini, segera Siang Tjoe balik masuk
kedalam lorong. Diambilnja obor jang ternjata masih berkobar
besar, lalu dengan meletakkan surat tersebut diatas tanah iapun
membakarnja. Sebentar sadja, kertas jang besarnja tidak lebih
dari satu kaki persegi itu terbakar habis dan sedetik itu djuga
telah berubah mendjadi abu. Hanja ia mendjadi terkedjut sekali
ketika dilihatnja dari balik kertas jang telah mendjadi abu itu,
perlahan-lahan timbul beberapa huruf jang berwarna putih.
Halus2 serta indah sekali.
"Luar biasa sekali!" seru Siang Tjoe seorang diri, lalu didekatinja
surat itu jang tertulis kira2 empat puluh sembilan huruf, serta
membatjanja :

Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Anak kini kau adalah muridku, maka selandjutnja, pergilah susuri
lamping gunung jang sebelah kanan, hingga achirnja kau akan
sampai pada pada djalan lamping jang buntu. Dan sebagai
gantinja, disitu kau akan dapati pula sebuah terowongan jang
ditutupi pohon rumput2an. Masukilah, hingga achirnja nanti kau
akan sampai pada sebuah guha, dimana pada tempat itu terdapat
lukisan2 peladjaran ilmu silat tjiptaan guruku Toei hong Tjoe Kek
Beng. Tjukup sekian dan sebagai jang terachir untuk dapat
membuka tutup peti, geserkan kuping peti kekanan sedikit.
Sekian, gurumu, murid tunggal
Toei hong Tjoe Kek Beng Tek Kwee kiesoe Dan bertepatan dengan itu, desiran angin menghembus hingga
sekedjab sadja abu kertas tertiup bujar. Sedang Siang Tjoe tidak
ajal lagi segera mendjatuhkan tubuhnja berlutut dihadapan mulut
terowongan. Kemudian dengan tangan menggendol peti iapun
menjusuri lamping tersebut menuruti petundjuk seperti jang
tertulis disurat jang terachir ia batja serta achirnja tiba ditempat
tudjuannja, hanja untuk keheranannja, ternjata guha itu adalah
guha jang tempo hari setjara kebenaran ia dapatkan. Guha
dimana terdapat banjak sekali gambar2 monjet serta 'kuburan'
Sioe Lian jang ia pernah disudut guha. Sedang ia semakin
merasa pasti kalau jang dimaksud Bian Lip dengan pentjipta
partai dari pengedjar angin adalah Toei hong Tjoe Kek Beng,
'Sutjouwnja!' Lalu menuruti petundjuk tulisan, Siang Tjoe membuka tutup peti
jang terbuka setelah ia geser kuping pegangannja, hingga dilain
saat, tutup peti itu sudah mendjeblak terbuka. Ia mendjadi
kegirangan sekali ketika benar2 didalam situ ia dapat dua djilid
kitab, sedang diats kedua kitab,ia dapatkan selembar surat jang
bertuliskan : "Dihaturkan kepada jang berdjodoh, tjutji tanganmu setiap selesai
membatjanja. Djangan uarkan peristiwa ini kepada siapa djuga!"
Membatja surat ini, tanpa terasa Siang Tjoe menghela napas.
"Sungguh luar biasa hati2nja dan pikirannja dalam sekali, orang
luar bias ini," memudji ia. "Agaknja ia kuatir benar kitab ini
terdjatuh ketangan orang djahat."
Selandjutnja, iapun djemput keduanja. Ia batja kata2 jang tertera
pada kitab jang terletak disebelah atas :
'TOEI HONG LWEE KANG' atau Kitab Peladjaran Ilmu Tenaga
Dalam Pengedjar Angin. Sedang pada kitab jang satunja, jang satu setengah kali lebih
tebal dari kitab pertama tadi, ia batja : 'PEMETJAHAN LUKISAN'.
Dengan 'Pemetjahan' pastilah dimaksudkan petundjuk2 jang
berhubungan dengan gambar2 jang banjak terukir disekeliling
dinding guha. Dengan masih menggunakan djeridji tangannja, Siang Tjoe balik
beberapa halaman dari kitab rahasia jang pertama tadi,
didalamnja ia dapatkan tulisan2 huruf ketjil, berikut beberapa
gambar dari djalan2 darah manusia. Sedjumlah gambar
memperlihatkan tjara2 orang berlatih napas.
"Ah! Tidak salah, tentu ini adalah tjara2nja peladjaran melatih
lweekang," kata Siang Tjoe dalam hati.
Kagum ia dibuatnja oleh tjontoh-tjontoh gambar tersebut.
Kemudian, Siang Tjoe buka kitab jang kedua. Pada kitab ini ia
tidak dapati gambar2, melainkan djelas tertulis tjara2 bagaimana
mempeladjari lukisan2. Setelah itu Siang Tjoe segera pergi mentjutji tangan, untuk
kemudian iapun sudah mengatur sebuah tempat sembahjang,
dan dilain saat dengan menggunakan segulung tanah ia sudah
bersembahjang dengan bersumpah bahwa ia mengakui Tek
Kwee kiesoe sebagai gurunja.
Kini ia merasa jakin dan pasti benar kalau jang dimaksud Bian Lip
dengan tempat luar biasa, tidak lain adalah guha jang kini sudah
mendjadi 'gurunja'. Diam-diam ia mengutjap sjukur kepada Tuhan jang maha adil
serta kemudian kepada marhum ajahnja jang telah memberikan
djalan untuknja. Dan keesokan harinja, iapun mulai dengan membalik lembaran
pertama dari kitab 'Pemetjahan lukisan'.
Ia mendjadi terkedjut sekali ketika pada halaman pertama itu ia
dapati lima deret tulisan jang mengandung kata2 hukum
pantangan, antaranja jang terpenting :
"Dilarang sembarangan melukai orang, ketjuali kepada seseorang
jang tertentu," satu jang lainnja :
"Dilarang sembarangan menguarkan tjerita akan adanja
peninggalan ini." Kemudian setelah berdjandji serta mengangkat sumpah mulailah
ia membalik halaman2 berikutnja, disitu djelas tertulis akan
bagian2 dan bagaimana mempeladjari lukisan2 monjet jang
ternjata adalah peladjaran ilmu silat gabungan dari ber-bagai2
tjabang. Antaranja ada djuga jang dari Siauw lim pay dimana
pada beberapa hari jang lalu setjara kebenaran Siang Tjoe
menemuinja ketika ia ber-sama2 Sioe Lian jang ia anggap sudah
berpulang sampai ditempat tersebut. Dan sedjak saat itu serta
hari2 berikutnja, pemuda kitapun dengan giat beladjar dan meniru
semua gerakan2 jang terlukis pada dinding guha, dengan
menggunakan kitab 'Pemetjahan Lukisan' sebagai pedoman.
Ternjata ia adalah benar2 pemuda jang berbakat, ulet dan radjin,
hingga beberapa tahun telah dilalui tanpa terasa.
Achirnja setelah lima tahun berdiam dalam guha itu, Siang Tjoe
pun telah mentjapai usia dua puluh tahun, dan iapun sekarang
telah mempunjai ilmu kepandaian jang boleh dianggap tjukup luar
biasa. Ia djuga sebelumnja telah memiliki ilmu silat jang tjukup tinggi
hingga selandjutnja karena ia tjukup tjerdas, iapun telah
menggabung ilmu silat jang ia dapati dari ajahnja dan ilmu silat
Toei hong ini. Tapi sebegitu djauh, karena lima tahun ia belum
pernah turun gunung, maka mengenai urusan dunia ia mendjadi
gelap sekali. Sebenarnja ingin ia lekas2 keluar guha, tapi karena
kuatir kepandaiannja belum tjukup, niatnja ia urungkan, hingga
dunia kangouw djuga tak tahu kalau pemuda kita telah
menemukan tempat luar biasa jang sampai saat mana masih
mendjadi buah persengketaan.
Pada suatu malam setelah setahun kemudian, dari permulaan
musim semi, setelah menelan beberapa piring nasi sebagaimana
biasa Siang Tjoe berlatih silat seorang diri. Kemudian setelah
puas ia duduk menghadapi api. Ia ambil kitab peladjaran ilmu
tenaga dalam, ia batja itu. Kira2 satu djam kemudian, selagi
hendak padamkan api, untuk tidur, mendadak kupingnja merasa
ada sesuatu benda melajang djatuh dari djarak sekira tiga-empat
puluh tumbak. Ia mendjadi bertjuriga, lalu karena kuatir, ia keluar
untuk memeriksa. Tapi sampai lama ia tetap tidak memperoleh
hasil, sekembalinja, ia lantas masuk tidur.
Kira2 tengah malam, Siang Tjoe mendusin dengan terkedjut. Ia
merasa pasti, disekitar guha itu pasti telah didatangi paling sedikit
dua orang asing. ia lantas berbangkit, akan duduk untuk pasang
kuping. Namun mendadak ia tjium harum wangi2an, hingga ia
terkedjut dan dalam hatinja berteriak : "Tjelaka!".
Segera ia tutup hidungnja serta menahan napas, ia lompat turun
seraja hunus pedangnja. Apa mau, kedua kakinja tiba2 hilang
tenaganja. Ia indjak tanah dengan tubuh ter-hujung2, hampir
sadja ia rubuh djatuh. Bersamaan itu, pintu terbuka dengan menerbitkan suara
bergeduberakan, hingga terpentang karena satu dupakan keras,
lalu satu bajangan melesat masuk. Menjusul mana, seberkas
sinar golok menjambar diri pemuda kita.
Siang Tjoe rasa kepalanja pusing sekali, akan tetapi ia masih
sadar, ia kuatkan hatinja, maka itu, dikala serangan datang, dapat
ia kelit dengan mengegoskan diri. Serta berbareng itu, ia balas
menjerang dengan pedangnja.
Bajangan itu putar tangannja untuk tangkis serangan lawan.
Menghadapi musuh jang kepandaiannja tjukup tinggi i, Siang Tjoe
tidak hendak memberi ketika. Ia menghindar serta menjerang
pula dengan pedangnja, hebat sekali serangan ini, hingga tidak
ampun pula ia telah berhasil melukai pundak orang asing
tersebut. Dia telah menggunakan tenaga jang besar sekali.
Penjerang itu mendjerit tertahan, kesakitan ia agaknja, sedang
tubuhnja mendjadi limbung, dari air mukanja, tertampak ia
merasa heran sekali, musuh jang masih berusia muda toh telah
terkena asap hio pulas" Mengapa masih dapat demikian gagah"
Disaat itu djuga sebenarnja tentu ia akan sudah rubuh akibat
tusukan pedang, djika tidak dua kawannja, jang menjusul masuk,
tahan tubuhnja. "Dia gagah?" kawan ini tanja.
Siang Tjoe tidak pedulikan kedua orang asing ini, ia hendak
memberi hadjaran pula, djika tidak se-konjong2 kepalanja
mendadak mendjadi pusing, serta dilain saat tidak ampun pula ia
rubuh pingsan. Entah berapa lama telah berlalu, waktu ia tersadar. Ia rasai
seluruh tubuhnja serasa lemas dan ngilu. Ketika ia tjoba geraki
tangan dan kakinja, ia mendjadi kaget sekali. Ternjata seluruh
tubuhnja telah diikat sematjam tambang jang tak memungkinkan
untuk ia dapat memutuskannja.
Ia menjesal sekali jang ia baharu hari ini mempeladjari kitab 'TOEI
HONG LWEE KANG'. Api dalam kabarnja berkobar terang. Ia lihat dua musuhnja
sedang asjik menggeledah kamarnja, peti pakaiannja habis
dikatjau orang2 tersebut.
"Tjelaka!" pikir ia, jang mendjadi mendongkol serta masgul dan
menjesal. Ia sesalkan dirinja jang tidak punja guna serta kurang
hati2 hingga orang dapat menjerbu masuk, dan dia malah kena
dirubuhkan.. bagaimana nanti ia dapat menuntut balas sakit hati
ajahnja" Tapi ia sadar, segera ia tutup pula kedua matanja, berpura-pura
masih belum mendusin dari pengaruh asap hio, hanja sedikit ia
buka matanja untuk mengawasi gerak-gerik orang.
Ia mendjadi terkedjut sekali, ketika melihat dua orang jang tadi
datangnja belakangan seperti ia mengenalinja. Berusia kurang
lebih lima puluh tahun, kulit mukanja kering kuning serta satu
sama lain berwadjah hampir serupa. Orang jang kedua, jang tadi
ia berhasil melukainja, adalah seorang pendeta, bertubuh besar
dan gemuk. "Tentu mereka adalah orang2 kangouw jang hendak mentjari
tempat luar biasa," pikir ia.
"Mengapa mereka dapat mengetahuinja serta datang kemari?"
Pendeta ini kosen sedang dua jang bermuka hampir sama dan
seperti ia mengenalnja djuga tidak lemah. Tidak salah lagi
mereka hendak mentjari kitab.
Sambil berpikir, Siang Tjoe tjoba kerahkan tenaganja untuk
putuskan tali pengikat tubuhnja. Hatinja mendjadi mendongkol
sekali serta ketjewa. Ternjata ketiga orang asing itu bukanlah orang2 kangouw biasa,
agaknja ketika Siang Tjoe masih dalam keadaan pingsan, mereka
telah totok salah satu djalan darah Siang Tjoe, hingga ketika ia
hendak gerakkan tubuhnja, ia merasakan malah urat2nja semakin
sakit. Maka achirnja ia diam sadja, untuk tjari daja lain.
Se-kongjong2 si pendeta berteriak kegirangan.
"Disini!" dia berseru.
Siang Tjoe mendjadi terkedjut sekali ketika melihat dari bawah
pembaringannja, pendeta itu menarik keluar peti besi jang ketjil.
Peti besi dimana kitab 'PEMETJAHAN LUKISAN' pada beberapa
hari jang lalu ia taruh. Kedua orang jang mukanja putjat kering menoleh, mereka inipun
tampaknja djadi kegirangan sekali.
Bertiga mereka lantas menghampiri medja, untuk kemudian bersama2 mereka buka tutup besi, untuk keluarkan isinja. Kitab
'PEMETJAHAN LUKISAN' tersebut.
Membatja kalimat tersebut, si kepala keledai tertawa berkakakan.
"Benar2 disini!" kata dia njaring. "Dji dan sha-ko, tidak ketjewalah
kita berpajah-pajah selama dua puluh tahun mentjari ini kita akan
mendjadi orang jang terlihay. Ha ha ha!"
Segera dia balik halaman2 kitab, didapatinja banjak sekali huruf2
halus jang merupakan keterangan peladjaran ilmu silat. Karena
gembiranja, kepalanja di-gojang2kan serta meng-garuk2 kepala
gundulnja jang entah benar2 gal entah tidak.
"Sampai mati djuga kau tidak akan dapat memetjahkannja tanpa
mengetahui tempat lukisan2nja," berkata Siang Tjoe dalam hati.
Mendadak salah seorang jang mukanja putjat kering berseru :
"Eh! Hendak lari?" seraja dia menundjuk Siang Tjoe.
Anak muda kita mendjadi terkedjut sekali, ia menduga orang telah
pergoki ia. Sipendeta jang pundaknja sudah terluka agaknja kaget. Ia
menoleh dengan segera. Se-konjong2 simuka putjat kuning, geraki tangannja, dan dalam
sedetik itu djuga sebatang pisau ketjil jang ber-kilau2an telah
bersarang dibebokong sikawan kepala keledai. Hebat sekali
menantjapnja sampai tembus sebatas gagang, sesudah mana,
dia lontjat minggir untuk kemudian bersama kawannja dia hunus
sendjatanja. Mereka bersikap hendak membela diri. Terutama
mukanja. Sipendeta kaget, dia menoleh, namun dia kemudian tertawa
meringis jang dingin sekali.
"Kita bertiga, adalah saudara seperguruan jang telah dua puluh
tahun mentjarinja. Sekarang setelah kita berhasil, lantas kalian
berdua saudara hendak kangkangi sendiri. Kalian malah turunkan
tangan djahat... Ha ha ha! Ha ha ha!"
Itulah suara tertawa jang dalam serta hebat sekali, sampai2 Siang
Tjoe pun bergidik. Pendeta itu gerakkan tangannja kebelakang, agaknja dia berniat
mentjabut pisau belati jang tertantjap dipunggungnja itu, namun
sebelum tangan ini berhasil mentjapainja, mendadak dia
mendjerit serta bersamaan itu dia pun lantas rubuh terguling.
Sebentar dia meregang djiwa, lalu seluruh tubuhnja diam tak
bergerak pula. Siang Tjoe kaget, mentjelos hatinja melihat ketelengasan orang
terhadap saudara seperguruan sendiri.
"Djika sekarang tidak aku habiskan djiwamu, apakah nanti kau
tidak maui diri kami" Hm!" demikian kedua orang jang mukanja
putjat kering perdengarkan suaranja. Agaknja mereka tjurigai
saudara seperguruan itu, maka mereka lantas turun tangan lebih
dahulu. Selesai itu, mereka dupak tubuh saudara seperguruan itu
bergantian... Kedua orang ini tidak memperhatikan Siang Tjoe jang sudah
tersadar lama, dua kali mereka perdengarkan tertawanja jang
seram. Lantas dia sentil sumbu lilin, untuk buang udjungnja.
Hingga sesaat itu djuga ruangan pun mendjadi terang benderang.
Mereka hampirkan medja, salah satu antaranja segera balik2
halaman kitab, lantas dia membatja. Suara batjaannja
menjatakan ia bergembira sekali serta puas. Tubuhnja sampai
ber-gerak2.

Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beberapa lembaran pula dibalik antaranja ada jang seperti
berlekatan. Segera orang asing jang seperti Siang Tjoe kenali
ulurkan lidahnja serta tempel djari tangannja diatas itu, untuk
kemudian dengan djeridji jang basah ia membalik-balik pula
halaman. Ia mentjolet pula ludah lidahnja sampai beberapa kali.
Kemudian kitab dia berikan kepada saudaranja jang kemudian
djuga seperti saudaranja membalik-bali halaman kitab dengan
sebentar2 memasukkan djeridji telundjuknja kedalam mulut.
Siang Tjoe tetap mengintai, hingga tiba2 ia ingat, kalau kitab itu
mengandung ratjun. Dia duga, pastilah kedua bersaudara ini akan
keratjunan. Karena kagetnja, tanpa terasa ia perdengarkan suara
tertahan. Si muka putjat kuning dengar suara orang, ia menoleh dengan
segera, djustru Siang Tjoe sedang buka kedua matanja, maka
dapatlah ia lihat sinar mata jang seperti ketakutan dari si anak
muda. Segera ia berbangkit, dengan tindak dibuat-buat, dia
hampirkan tubuh sikepala gundul untuk tjabut pisau belati dari
punggung korban itu. Setelah mana ia dekati tiga tindak pada
Siang Tjoe. Terkedjut dia agaknja setelah mengenali pemuda
kita. "Ah! Kiranja kau, pentjuri tjilik jang dahulu berlagak dungu,"
berseru dia dengan nada bengis.
"Kita berdua sebenarnja tidak bermusuhan, akan tetapi hari ini tak
dapat aku mengampuni djiwamu!" menambahkan dia. Kedua
matanja bersinar berbau nafsu membunuh. Akan tetapi sambil
angkat pisaunja tinggi2 dia perdengarkan tertawa iblis. Sampai
tiga kali. "Djika aku segera bunuh kau, sampai menghadap Giam lo ong,
kau nanti belum tahu sebab musababnja." Dia berhenti sebentar.
Kemudian dengan sikap mengantjam dia melandjutinja.
"Baiklah, agar kau tidak mati penasaran, aku perkenalkan dahulu
diriku, Sin Eng. Kin Bian Lioe dari Tinpa..."
"Oh kiranja kau...!" berseru Siang Tjoe jang baru ingat kalau
kedua bersaudara itu adalah jang pada lima tahun berselang
telah dikuntjupkan njalinja oleh kelihayan Satmijagatze dan
Auwjang Siang Yong berdua.
"Hemmm, benarlah. Kau masih ingat. Itu Bagus! Dan agar kau
benar2 dapat mati meram, akan kuterangkan padamu dari partai
mana adanja aku. Aku adalah murid turunan keenam puluh satu
dari tingkatan ketiga partai Thian lam pay. Pihak kami dengan
Tek Kwee kiesoe adalah musuh turunan. Binatang itu telah
membunuh lima puluh satu suheng2ku serta keempat sutjouw..."
"Hebat sekali!" memotong Siang Tjoe.
"Ja, hebat sekali. Dia djuga telah memperkosa seorang sutjieku,
dan kemudian dia kabur kemari. Untuk belasan tahun lamanja
kami tjari dia, siapa tahu, warisannja telah terdjatuh ketanganmu.
Dimana tempo hari kau berlagak dungu. Botjah entah apa
hubungannja engkau dengan binatang Kiesoe keparat itu, tapi
jang pasti kau bukanlah manusia baik2 djuga. Maka djika aku
bunuh kau, tak nanti kau akan mendjadi penasaran, dan djika
umpamanja kau hendak menuntut balas, tuntutlah aku di Bietjiu
setelah nanti kau mendjadi hantu. Ha ha ha!"
Si putjat kuning jang memang ternjata adalah Kin Bian Lioe belum
selesai tutup mulutnja atau mendadak dia limbung, tubuhnja terhujung2 kearah tubuh Siang Tjoe. Anak muda ini kaget. Ia
menjadari, inilah saat mati-hidupnja. Maka dalam keadaan
berbahaja ini, ia kerahkan tenaganja sambil dia atur perdjalanan
napasnja dengan menuruti petundjuk2 seperti jang barusan ia
dapat batja dari kitab TOEI HONG LWEE KANG.
Untuk kegirangannja, ternjata dia berhasil. Segera disaat itu djuga
dia merasakan tubuhnja segera sekali. Bahkan lebih dari itu.
Tiba2 sadja ia merasakan tenaganja kumpul dikedua belah
tangannja. Dan... tes... tes... serta bersamaan dengan datangnja
tubuh lawan, ia sudah bebas dari segala totokan dan ikatan2.
Setelah mana dia berlompat madju, untuk mendahului menjerang.
Tiba2 orang jang mukanja putjat kuning, terdjengkang serta terus
rubuh sendirinja. Siang Tjoe terkesiap. Walau ia batal menjerang. Toh lantas ia
bersiap. Ia tjekal sisa tambangnja untuk digunakan sebagai
sendjata. Ia bertindak mendekati untuk menegasi.
Kin Bian Lioe kedjutkan kedua kakinja beberapa kali, serta
kemudian seluruh tubuhnja diam, tiada bergerak. Menjusul mana
dari kedua mata, hidung dan kuping serta terutama dari mulutnja,
segera keluar mengalir darah hidup jang sudah berwarna semu
biru. Maka teranglah sekarang, dia telah mati keratjunan. Ratjun
jang berbisa dari halaman-halaman kitab Tek Kwee kiesoe, jang
tadi ia gunakan djeridji tangannja sendiri mentjolet lidah dan buku.
Menjusul itu, lantas terdengar pula suara djeritan seseorang serta
menjusul itu terdengar suara bergedebukan. Ternjata saudaranja
jang bernama Kin Bian Eng djuga mengalami nasib serupa.
Segera Siang Tjoe loloskan semua libatan tambangnja, untuk
kemudian ia lari keluar, kekamar sebelah dimana lukisan2
ditempatkan. Lega hatinja ketika ia mendapat kenjataan, lukisan2
itu tidak kurang suatu apa. Agaknja ketiga orang2 Thian lam pay
ini memasuki guha dengan melalui djalan belakang.
Esoknja, ketiga majat ia bawa keluar untuk dikubur. Malamnja,
sedang beristirahat Siang Tjoe bergidik sendirinja, apabila
teringat olehnja akan pengalamannja semalam jang sangat
berbahaja itu. Ia ingat2 segala perkataan2 Kin Bian Lioe sebelum
adjal. Hingga achirnja ia sangsikan, apakah Tek Kwee kiesoe ini
seorang dari djalan jang terang atau sesat...
Hingga achirnja, karena pikirannja mendjadi kusut, sampai hari
djauh malam belum djuga ia dapat tidur. Ia bergelisahan terus
dengan pendiriannja mendjadi bimbang. Ia ingat, betapa, hampir
pada setiap surat peninggalan Tek Kwee kiesoe, orang tua itu
selalu menjinggung kata2 djahat jang dari kata2nja terang ia
sangat membentjinja hingga sedjak permulaan tahun ia
menemukan warisan2 orang luar biasa itu ia sudah beranggapan,
kalau orang tua itu tentulah ada seorang pendekar berhati
budiman. Namun kini tiba2 berkundjung keguhanja orang2 jang
mengaku orang2 Thian lam pay jang mengatakan kalau Tek
Kwee kiesoe adalah seorang bekas pendjahat, bahkan dari
perbuatannja memperkosa seorang perempuan sudah
menundjukkan bahwa orang tua berkepandaian luar biasa itu
adalah seorang jang bermartabat rendah. Ia bingung untuk
mengambil keputusan, apakah sesudahnja mengetahui akan
sifat2 sebenarnja dari guru tidak langsung ini, meneruskan
peladjarannja atau djangan. Namun ketika ia ingat betapa ketiga
orang tadi demikian inginkan peti besi, hatinja mendjadi bimbang.
Sebab terganggu oleh semua ini achirnja tanpa disadari ia turun
dari pembaringannja, serta seret keluar peti besi jang ia taruh
dikolong pembaringan. Ia ambil kitabnja jang pada beberapa hari
jang lalu ia simpan. Ia timang-timang. Satu waktu tangannja
sudah diulur ke berkobarnja api lilin. Agaknja ia hendak
membakarnja, namun entah mengapa tiba2 pikirannja berubah.
Disimpannja kembali kitab tersebut, lalu sebagai gantinja,
didjemputnja kitab 'Toei Hong Lwee Kang' jang ia sembunjikan
dibawah bantal kajunja. Ia balik2 itu. Diperhatikannja benar2
isinja, hingga achirnja ia merasa amat sajang untuk
merusakkannja dan ia pun sudah membalik sampai dihalaman
terachir. Tiba2 matanja terbentur dengan sekumpulan kata2. Dan
dengan mudah iapun dapat menjelami isinja, jakni kata2 jang
bukan mengandung isi peladjaran, melainkan kumpulan kata2
tjatatan jang menerangkan riwajat hidupnja Tek Kwee kiesoe.
Karena tertarik, lalu iapun membatjanja, terus diikutinja dari
permulaannja sampai tulisan terachir dimana tjoretannja semakin
mendekati achir semakin buruk.
Inilah antara lain kata2nja:
Hari itu adalah hari bergembira bagi kami sekeluarga. pagi2,
masih buta lagi. Aku sudah berada ditengah-tengah keluargaku.
Sembilan kakak2 perempuanku ada djuga bersama
disekelilingku. Semuanja bergembira. Lebih2 ibu jang ketika
sudah mengindjak usia 62 tahun, dengan duduk disisi ajah
sebentar2 beliau bersenjum kepadaku. Putera tunggalnja jang
ketika itu tengah merajakan hari ulang tahunnja kesembilan.
Kami adalah dari keluarga berada. Maka perajaanpun diadakan
setjara besar2an. Hampir seluruh tetangga2 kami undang,
sedang untuk mendjaga keamanan serta melajani kami, lima
puluh satu pembantu2 rumah tangga dikerahkan. Lebih2 lagi
untuk menambah keriaan hari ulang tahun itu, istimewa ajah telah
mengundang serombongan tukang wajang dari ibukota jang
ketika itu sangat termashur sekali buat daerah Tiongkok Selatan.
Hingga benar2 hari itu kami bergembira benar. Sedang tak lama
kemudian serombongan pengemis datang minta sedekah,
dimana atas perintah ajah, aku diwadjibkan memberikannja
masing2 dua puluh tjie. Mereka mengutjap sjukur serta setelah
mengutjapkan terima kasih mereka pun berlalu.
Benar2 hari itu adalah hari jang menjenangkan sekali bagiku dan
mereka - kaum pengemis - karena hari itu mereka boleh mengisi
perutnja sedapt mereka memasukinja.
Demikianlah saking gembiranja, tanpa kami rasai, hari pun telah
mendjelang malam. Dan tak lama kemudian, tamu2 bergiliran,
satu2 atau berombongan permisi pulang, hingga sebentar
kemudian ketika bintang2 menundjukkan pukul tiga ruangan pun
sudah sepi, hanja tinggal kami, beserta lima puluh satu
pembantu2 rumah tangga, sedang kedua 'kong dan 'mereka
sudah masuk tidur. Saat itu, ketika ajah sedang ber-tjakap2 dengan ibu, dan
kesembilan saudara2 perempuanku membantu djongos2
membereskan medja, tiba2 seluruh djendela2 menerbitkan suara
bergedubrakan serta menjusul itu, serombongan manusia2
bertopeng menerdjang masuk.
Serentak memasuki ruangan mereka mengubat-abit sendjata
mereka masing2, hingga keadaan pun segera mendjadi panik.
Lebih2 ibu jang sudah berusia tua dan tidak dapat menguasai
dirinja, telah djatuh pingsan disaat itu djuga jang segera dirubungi
oleh kesembilan saudara2 perempuan saja. Namun tiba2
manusia2 bertopeng itu jang berdjumlah tidak kurang dari dua
puluh menghadang dan bahkan menangkapi kesembilan
saudara2 ku itu jang tidak berdaja apa2. Mereka kurang adjar
sekali. Serentak itu tangan2 mereka telah melakukan hal2 diluar
batas kesopanan, hingga menerbitkan geram pada manusia
mana sadja jang memiliki sifat laki2 sedjati. Lantas lima puluh
satu para pembantu rumah tangga serta tjenteng2 jang
berkepandaian biasa sadja, madju untuk menghalangi niat
mereka, namun apa daja manusia2 bertopeng itu adalah orang2
jang sudah pasti berkepandaian ilmu silat jang tjukup tinggi.
Dalam sekedjap sadja dengan diiringi djeritan2 menjajatkan, satusatu pembantu rumah tangga kami berguguran, aku tjatat mereka
adalah sebagai pahlawan2 setia akan kewadjiban, hingga aku
jang menjaksikannja mendjadi giris sekali. Dan karena tidak
tahan, tanpa terasa pula aku telah djatuh pingsan..."
Membatja sampai disini, segera Siang Tjoe pun insjaf akan
alasan2nja mengapa sampai Tek Kwee kiesoe membunuh
sampai lima puluh lima orang2 Thian lam pay serta memperkosa
sembilan orang keluarga perempuannja...
"Tentulah ini adalah pembalasan...!" berkata Siang Tjoe seorang
diri, akan kemudian setelah merenung sebentar, iapun
melandjutinja. Entah berapa lama telah berlalu, ketika aku tersadar, aku melihat
betapa diatas lantai bergelimpangan bangkai2 manusia termasuk
kakak2ku dimana pakaian mereka kojak2 tidak karuan matjam,
terutama di... di... ah... tak dapat aku menulisnja dengan kata2.
Geram hatiku ketika itu benar2. Kuperiksa mereka, ternjata tiada
satu pun jang masih bernapas. Saudara2 ku itu telah mendahului
dengan tiada kehormatan pula...
"Terlalu!" berseru Siang Tjoe tiba2 dan segera ia pun berlutut
dihadapan buku tersebut sambil mulutnja komat-kamit minta maaf
jang barusan ia sudah menduga salah akan diri pribadi Tek Kwee
kiesoe. "Disaat itu djuga sebenarnja aku hendak membunuh diri,"
demikian ia melandjuti membatja, "kalau tidak dengan mendadak
kudengar suara ajah me-mangil2. Ah rupanja ajah belum adjal.
Segera aku pun menghampirinja. Disitulah disaat tarikan
napasnja jang terachir, beliau memberikan keterangan padaku
bahwa katanja, manusia2 bertopeng jang telah menghabiskan
hampir seluruh keluarga Tek itu adalah orang2 dari partai Thian
lam pay jang pada beberapa bulan jang lalu telah ditolak
permintaan sumbangannja oleh ajah, karena ajah mengetahui,
ketika itu anak2 murid Thian lam pay terkenal sebagai pendjudipendjudi besar. Agaknja karena penolakan ini mereka mendjadi
bersakit hati, dan datang menghantjurkan isi semua keluarga
kami. Beberapa saat kemudian ketika beliau - ajahku - hendak
Golok Bulan Sabit 9 Pahlawan Dan Kaisar Karya Zhang Fu Sepasang Naga Penakluk Iblis 4

Cari Blog Ini