Ceritasilat Novel Online

Makam Bunga Mawar 1

Makam Bunga Mawar Karya Opa Bagian 1


JILID 1 Pendahuluan Dalam suatu lembah di gunung Bin-san, terdapat sebuah
makam. Sebagaimana lazimnya suatu makam, tentu terdapat
sebuah batu nisan dihadapannya. Begitu pun dengan makam
di lembah gunung Bin-san itu.
Bedanya, bentuk batu nisan makam itu tajam meruncing
bagaikan anak panah, di permukaan batu nisan itu juga tidak
terdapat tulisan nama penghuninya, melainkan sebaris tulisan
yang berbunyi: " CINTA SEJATI TIDAK AKAN LUNTUR"
Depan, belakang, kiri dan kanan makam, kecuali batu
nisan, terdapat tujuh buah tanaman pohon bunga mawar.
Tujuh pohon bunga mawar itu terdiri atas tujuh warna, ialah
warna-warna merah, kuning, biru, putih, hijau, merah dadu
dan ungu! Keganjilan lainnya ialah: Yang dikubur di dalam makam itu
bukanlah manusia, juga bukan binatang, melainkan setangkai
bunga mawar yang diletakkan di dalam sebuah kotak kecil
yang terbuat dari batu giok yang sangat indah warnanya.
Jangan pandang rendah makam aneh itu, meskipun letaknya
di suatu tempat yang tersembunyi dan sukar dikunjungi, tetapi
namanya jauh lebih terkenal daripada delapan partai besar
rimba persilatan pada masa itu.
Konon khabarnya muda-mudi dari rimba persilatan yang
saling berkasih-kasihan, asal cinta mereka itu suci, tetapi
terhalang oleh keadaan, atau dirintangi oleh keluarga salah
satu fihak, sehingga tidak tercapai cita-cita mereka untuk
kawin, boleh berusaha pergi berziarah ke makam bunga
mawar itu. Mereka harus berdua-duaan sujud serta membawa
bunga mawar sebagai antaran. Lalu membaca tulisan tulisan
yang terdapat di atas batu nisan itu, mereka nanti akan
mendapat restu, sehingga sepulangnya dari makam itu tentu
akan menjadi suami istri dan tidak akan mendapat rintangan
lagi. Tetapi pemuda-pemudi yang bersama-sama pergi
berkunjung kepada makam itu, setiba di puncak gunung
Hui- thaw-hong di Gunung Bin-san, akan menjumpai berbagai
rintangan yang tidak terduga duga, jarang yang sanggup
menghalau rintangan itu, hingga yang berhasil melewati
puncak gunung Hui-thao-hong dan menuju ke makam yang
letaknya di dalam lembah Kim-giok-kok, jumlahnya sedikit
sekali. Mengapa begitu " Ini merupakan suatu syarat yang sudah digariskan oleh
makam bunga mawar tersebut, seolah tidak mengijinkan
orang dengan mudah mencapai cita-citanya sebelum melalui
berbagai rintangan dan kesulitan, setelah mereka berhasil
lulus dari ujian yang berat itu barulah nanti akan mencicipi
buah hasilnya yang manis dan indah!
MUSIM SEMI telah berlalu, diganti dengan musim panas.
Malam, suasana sepi sunyi. Dengan tiba-tiba, pada malam
yang sepi sunyi itu, awan-awan gelap mulai menutupi
rembulan yang berada di atas langit, tak lama kemudian hujan
mulai turun, sehingga membasahi seluruh gunung Bin-san !
Angin meniup sangat santar, hujan semakin lama semakin
deras. Di antara hujan angin lebat itu sebentar-sebentar
diselingi oleh sinar kilat dan gegap suara geledek yang
berbunyi. Di dalam keadaan demikian, gunung Bin-san seolah-olah
dikejutkan oleh kemarahan Tuhan, sehingga membiarkan
sang malam yang gelap gulita meliputi seluruh gunung itu,
hanya suara geledek yang sebentar-sebentar memecahkan
kesunyian, dengan dibarengi oleh sinar kilat, yang sebentarsebentar mengungkap keadaan di gunung Bin-san.
Dalam suasana yang menyeramkan itu, di lembah Kimgiok-kok, di hadapan makam bunga mawar yang sudah lama
tak pernah dikunjungi oleh orang, malam itu terdengar suara
orang menghela napas panjang. Helaan napas itu meskipun
sangat pelahan, tetapi seolah-olah mengandung entah berapa
banyak kesedihan dan kedukaan.
Di waktu malam yang gelap sedemikian rupa dan hujan
begitu lebat, siapakah gerangan yang berkunjung ke hadapan
makam bunga mawar dengan diliputi kesedihan seperti itu "
Dengan tiba-tiba kembali suara geledek menyambar dan
sinar kilat berkelebat, kini tampaklah sekilas lintas, orang yang
berdiri di hadapan makam bunga mawar itu, ternyata adalah
seorang perempuan muda berbaju kuning yang memiliki
potongan tubuh sangat indah. Hujan lebat membasahi baju
perempuan itu, namun tidak menutupi potongan tubuhnya
yang indah. Sayang sekali sinar pelita itu hanya sepintas lalu
saja, hingga tidak tampak wajah perempuan itu yang
sebenarnya. Setelah sinar kilat yang sangat singkat itu berlalu, disusul
oleh keheningan untuk sementara, kemudian terdengar pula
suara geledek dan sinar berkeredepan kedua timbul lagi.
Tubuh perempuan muda yang indah itu tampak gemetaran,
kakinya digeser semakin dekat ke hadapan makam bunga
mawar yang sangat misteri itu, begitu berada di depan
makam, kedua tangannya dirangkapkan ke depan dadanya.
Pada waktu itu angin yang meniup kencang pelahan-lahan
mulai reda, begitupun hujan juga mulai kurang, tetapi, di
belakang makam bunga mawar yang gelap gulita keadaannya,
dengan tiba-tiba timbul suara berat:
"Nona yang berdiri di hadapan makam, harap jangan
dilanjutkan usahamu, ada dua syarat yang belum kau penuhi,
kau belum boleh minta restu di hadapan makam bunga mawar !"
Perempuan itu ketika mendengar suara tersebut
nampaknya tercengang, sinar matanya seolah-olah
menembusi kerudung mukanya, memandang ke belakang
makam yang masih gelap gulita. Suara orang dari belakang
makam terdengar pula: "Pertama, kau agaknya belum membawa bunga mawar
untuk dipersembahkan di hadapan makam. . . "
Perempuan itu kembali dikejutkan oleh ucapan tadi,
matanya kembali ditujukan ke belakang makam, tangan
kirinya dimasukkan ke dalam sakunya untuk mengeluarkan
setangkai bunga mawar yang sudah layu, bunga itu boleh
dikata sudah rontok semua, tangkainya juga sudah kering.
Suara orang yang terdengar dari belakang makam itu rupanya
belum memperhatikan gerakan perempuan tadi, hingga
meneruskan kata katanya dengan suara dalam:
"Kedua, barang siapa yang menghadap kepada makam
bunga mawar hendak minta restu, harus datang berdua-dua
dengan hati sujud dan cinta kasih yang murni, tetapi kau
datang dengan seorang diri. . . . . ."
Ucapan itu telah diputuskan dengan mendadak oleh suara
tertawa getir dari mulut perempuan muda itu, suara itu seolaholah mengandung kedukaan dan kesedihan yang hebat.
Orang yang berada di belakang makam bunga mawar
agaknya juga dibingungkan oleh suara tertawa getir yang
keluar dari mulut perempuan muda itu, sehingga ia bertanya
dengan terheran heran. "Kau tertawa demikian sedih, apakah maksud yang
sebenarnya?" Butiran air mata tiba-tiba mengalir turun dari sepasang
mata yang dikerudungi oleh kain sutera, tetapi tangan gadis itu
mulai membereskan rambutnya yang kusut tertimpa air hujan,
dam diam-diam membesut kering air mata yang mengalir
turun dari matanya, setelah itu ia balas menanya kepada
orang yang berada di belakang makam bunga mawar:
"Apakah kau dapat mewakili makam bunga mawar ini untuk
berbicara denganku?"
Dari tempat gelap terdengar suara orang berseru kaget,
kemudian disusul oleh jawabannya.
"Aku adalah duta bunga mawar yang ditugaskan untuk
menjaga makam ini, di samping juga mengurus persoalan
orang-orang yang meminta restu, semoga pemuda-pemudi
yang benar-benar saling menyinta, bisa hidup rukun sampai
hari tua! Bagaimana tidak dapat mewakili makam bunga
mawar untuk bicara denganmu" "
"Tiga tahun berselang, aku dengan kekasihku dengan
melalui berbagai rintangan yang berat telah datang kemari.
Kami telah mempersembahkan dua tangkai bunga mawar
segar, dan membaca tulisan-tulisan do'a yang terdapat di atas
batu nisan, minta restu makam ini supaya kami berdua dapat
mengelakkan segala rintangan yang ada agar bisa hidup
sebagai suami isteri sehingga tua . . . ."
Demikian terdengar ucapan dari perempuan muda tadi.
Orang yang berada di belakang makam, ketika mendengar
ucapan itu, lalu memotong:
"Duta bunga mawar yang bertugas menjaga makam ini,
semua berjumlah tiga orang, setiap tiga tahun bergiliran satu
kali, dahulu sewaktu kau datang kemari, waktu itu yang
bertugas menjaga di sini adalah duta bunga mawar nomor
dua, aku adalah duta nomor tiga. . ."
Perempuan itu, tidak menunggu sampai habis ucapan
orang di tempat gelap itu, kembali berkata:
"Tetapi keajaiban yang diberikan oleh makam bunga mawar
hanya nama kosong belaka, sebelum kami datang kemari,
satu sama lain sudah saling menyinta dan sudah saling
berjanji hendak sehidup semati, tetapi setelah kami datang
kemari untuk minta restu, sepulang dari sini, kekasihku itu
telah berubah hatinya, sumpah yang diucapkan dahulu telah
digilasnya, dan ia alihkan cinta kasihnya kepada perempuan
lain, sehingga aku kini jadi seorang perempuan yang hancur
luluh hatinya!" Orang yang berada di tempat gelap itu seolah-olah tidak
percaya atas ucapannya, lalu bertanya:
"Apakah yang kau ucapkan itu semuanya benar ?"
Perempuan itu kembali memperdengarkan suara tawanya
yang menyedihkan, lalu membuka kerudung di mukanya.
Saat itu hujan dan angin sudah berhenti awan di langit juga
sudah buyar, sinar rembulan mulai menerangi jagat lagi.
Kini tampaklah dengan nyata bahwa perempuan muda itu
wajahnya kira-kira baru dua-puluh dua atau tiga, mukanya
sebelah kanan putih cantik bagaikan bidadari tetapi sebelah
kirinya penuh dengan tanda hitam, sehingga dipandangnya
sangat buruk sekali. Perempuan itu kembali membuka kerudungnya kemudian
berkata sambil menghela napas panjang:
"Duta bunga mawar senantiasa mengharap semua orang
yang bercinta kasih bisa hidup rukun sehingga hari tua,
sekarang aku hendak minta keterangan darimu, kini aku telah
dibikin demikian rupa oleh kekasihku yang dahulu sama-sama
datang ke makam ini untuk minta restu, bukankah itu suatu hal
yang menghancurkan harapan dan hatiku" Maka malam ini di
waktu hujan angin lebat begini, aku datang kembali di
hadapan makam ini, maksudku ialah hendak menghancurkan
makam yang menipu orang ini supaya tidak akan membuat
celaka banyak orang yang datang kemari dengan penuh
harapan!" Sehabis berkata demikian, dua tangannya disingkapkan ke
depan dada dan menjura kepada makam itu, suatu kekuatan
tenaga dalam tampak menghembus keluar dan menggulung
kepada makam bunga mawar. Tetapi kekuatan tenaga dalam
yang menghembus keluar dari perempuan itu baru saja
hendak menyentuh makam, dari belakang makam, juga
menyambar angin dingin, angin itu meskipun nampaknya
biasa, tetapi mengandung kekuatan tenaga yang sangat
hebat, angin itu tidak mengganggu atau menyentuh
perempuan itu, akan tetapi sudah memunahkan kekuatan
tenaga perempuan itu yang hendak menghancurkan makam
bunga mawar. Perempuan itu juga merupakan salah seorang kuat dari
salah satu delapan partai besar yang berpengaruh dalam
rimba persilatan pada masa itu, selama berkecimpungan di
dunia Kang-ouw, ia belum pernah rnenemukan kepandaian
demikian aneh. Selagi ia masih berada dalam keheranan, duta bunga
mawar yang bersembunyi di belakang makam juga
mengeluarkan suara yang keheran-heranan:
"Kesaktian bunga mawar tidak mungkin tidak manjur,
bagaimana kau boleh merusak makam bunga mawar ini" Ilmu
pukulan tangan Pan-Sian-ciang yang kau gunakan tadi, sudah
mencapai ke taraf yang cukup tinggi, apakah kau adik
seperguruan ketua golongan Lo-hu-pay Peng-sim Sin-nie,
yang bernama Ca Bu Kao dan berjulukan Leng-po Giok-lie
itu?" Perempuan itu agaknya dikejutkan dan merasa kagum
terhadap duta bunga mawar, karena dari ilmu pukulannya
Pan-sian-ciang dapat mengetahui dirinya, dapat diduga
betapa luas pengetahuan duta itu.
"Dugaanmu benar, sekarang Ca Bu Kao telah menjadi
demikian rupa karena terlibat asmara, bukan saja diriku sudah
rusak, namun golongan Lo-hu-pay, juga turut mendapat malu,
mengapa kau masih mengagumi dan memuji-muji kesaktian
bunga mawar?" Perempuan itu kembali diliputi oleh perasaan sedih dan
marah, ia mengerahkan lagi kekuatan tenaga dalamnya.
Dengan mata memandang makam bunga mawar, ia
menggerakkan tangannya hendak menghancurkan lagi.
Duta bunga mawar yang menyaksikan keadaan itu, dari
tempat gelapnya berkata: "Ca Bu Kao, kau jangan berlaku gegabah dengan
mengandalkan kepandaianmu, karena itu berarti mencari
penyakit sendiri. Tunggu dulu sehingga aku menanyakan
sampai habis segala persoalan yang menimpa dirimu, jikalau
benar bahwa kesaktian makam bunga mawar itu tidak manjur,
maka makam ini akan kuhancurkan sendiri setelah
mengumpulkan tiga duta bunga mawar!"
Ling-po Giok-lie Ca Bu Kao yang sudah mengetahui bahwa
tiga duta bunga mawar itu memiliki kepandaian yang tinggi
sekali, ketika mendengar perkataan itu lalu membatalkan
maksudnya dan menjawab: "Kalau kau hendak tanya, tanyalah. Ca Bu Kuo akan
menjawab dengan sejujurnya."
"Pada tiga tahun berselang, dengan siapa kau datang
kemari meminta restu?""


Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ca Bu Kao bersangsi sejenak, kemudian menjawab dengan
suara pelahan: "Su-to Wie, yang mempunyai gelar Liong-hui Kiam-khek!"
Duta bunga mawar agaknya terkejut mendengar jawaban
itu, ia berkata: "Liong-hui Kiam-khek Su-to Wie adalah salah satu dari tiga
jago pedang golongan Tiam-cong yang termasuk delapan
partai besar rimba persilatan pada dewasa ini, golongan Tiamcong dan golongan Lo hu-pay, sudah lama sering bermusuhan.
Kau adalah adik seperguruan ketua golongan Lo-hu-pay, dengan cara
bagaimana bisa mengikat percintaan dengan salah seorang penting dari golongan
Tiam-cong-pay?" Ca Bu Kao menjawab dengan nada suara marah:
"Justru karena Su-to-Wie menyinta demikian dalam
terhadap diriku, sedangkan golongan Tiam-cong dan Lo-hu
satu sama lain saling bertentangan demikian hebat, maka
kami dari tempat ribuan pal jauhnya sengaja datang kemari
untuk minta restu di hadapan makam bunga mawar! Di luar
lembah Kim-giok-kok Su-to Wie telah memetik tiga tangkai
bunga mawar yang masih segar, kami masing-masing membawa setangkai dan
dipersembahkan di depan makam ini, yang setangkai
lagi oleh Su-to Wie ditancapkan di depan dadaku!"
Duta bunga mawar berkata sambil menghela napas pelahan:
"Kisah ini benar-benar sangat menarik, cukup membuat
orang mengucurkan airmata!"
Ca Bu Kao menggertak gigi, ia memesut airmata yang
mulai mengalir dari matanya, dan berkata dengan suara
gemas: "Apa yang kau kata memang benar, tetapi di balik
keindahan itu adalah kedukaan, akibatnya dari kesedihan itu
sungguh mengenaskan! Bunga mawar segar yang
ditancapkan di depan dadaku oleh Su-to Wie meskipun sudah
kering dan berubah warnanya, namun masih tetap kusimpan
baik-baik, sedangkan aku sendiri telah dirusak mukaku
olehnya hingga sedemikian rupa, dengan menggunakan obat
mukjizatnya!" Sehabis berkata, perempuan itu tidak dapat mengendalikan
perasaannya sendiri, badannya tampak gemetaran lagi,
dengan marah ia menghancurkan bunga mawar yang sudah
kering yang berada di tangan kirinya.
Hujan meskipun sudah berhenti, tetapi saat itu angin
gunung masih meniup kencang, hancuran bunga dari tangan
Ca Bu Kao telah tertiup olehnya dan bertebaran di depan
makam, sementara itu airmata yang keluar dari kelopak
matanya, terus mengalir tidak henti-hentinya hingga bajunya
yang sudah basah oleh air hujan, kini telah tertimpa lagi oleh
air matanya sendiri. Sementara itu Duta bunga mawar juga diam saja, hingga di
tempat makam itu kembali terbenam dalam kesunyian.
Ketika Ca Bu Kao melemparkan hancuran bunga mawar
yang terakhir, pandangan matanya ditujukan ke belakang
makam bunga mawar, kemudian bertanya dengan nada suara
dingin: "Duta bunga mawar, ucapanku sudah habis! Rembulan
yang sudah tinggal separoh, mungkin bisa bundar lagi, tetapi
bunga yang sudah layu tidak akan menjadi segar kembali.
Badanku kini sudah terjerumus hingga begini rupa, mengapa
aku harus mencelakakan orang lain lagi di kemudian hari"
Maka itu makam bunga mawar ini apakah akan kau hancurkan
sendiri, ataukah perlu oleh tanganku?"
Duta bunga mawar yang mendengar penuturan itu, kembali
diam. Lama sekali baru terdengar suara jawabannya yang
diucapkan lambat-lambat: "Tiga tahun yang lalu kau datang kemari untuk minta restu,
tetapi hasilnya bukan saja tidak manjur, sebaliknya malah
menyiksa dirimu, kalau begitu makam bunga mawar ini
sesungguhnya harus dihancurkan. Tetapi bolehkah sekiranya
niatmu ini kau tunda tiga tahun?"
"Aku minta padamu untuk menunda tiga tahun, maksudku
ialah hendak menyelidiki dulu urusanmu dengan Liong-hui
Kiam-khek itu, yang penting adalah sebab musabab dari
percekcokan ini, jikalau dahulu Su-to Wie sewaktu minta restu
di sini denganmu, sedikit pun tidak mengandung lain maksud,
itu benar-benar merupakan kesujudan hatinya. Tetapi
perbuatannya yang meninggalkan kau setengah jalan, apakah
tidak ada lain sebab" Jikalau benar tidak ada sebab lainnya,
maka pada hari tanggal seperti ini tiga tahun kemudian, oleh
kami tiga orang duta bunga mawar akan mengundang para
ketua dari delapan partai besar rimba persilatan, untuk
bersama-sama menghancurkan makam ini. Karena, tiga duta
bunga mawar selamanya ingin ada perdamaian yang abadi,
supaya semua kekasih yang ada di dunia bisa hidup rukun
selama-lamanya, kami bersumpah dengan hasrat ini akan
berusaha menyingkirkan segala kesulitan yang merintangi
atau menghalangi hubungan kekasihmu dengan Su-to Wie.
Kami juga mengharap supaya kau dapat melangsungkan
hidupmu dengannya di hadapan makam bunga mawar ini.
Selain daripada itu permusuhan antara golongan Lo-hu dan
Tiam-cong, juga diharap supaya bisa didamaikan lagi."
Ucapan duta bunga mawar itu benar-benar memberi
harapan bagi Ca Bu Kao, hingga wanita malang itu, yang
semula datang dengan hati marah, kini setelah mendengar
janji itu perasaan gusarnya perlahan-lahan telah lenyap
kembali. Tanpa dirasa, ia segera berlutut di hadapan makam
bunga mawar dan menjura dengan hati terbuka.
Duta bunga mawar tahu bahwa perbuatan itu adalah
karena tergugahnya hati nurani Ca Bu Kao yang tadi telah
dibikin gelap oleh perasaannya sendiri, maka ia membiarkan
perempuan itu berlutut dan bersujud di hadapan makam, ia
hanya berkata sambil menghela napas perlahan.
"Anak perempuan sifatnya memang suka kecantikan,
wajahmu telah dinodai oleh obat golongan Tiam-cong-pay,
mungkin kau juga tidak berani pulang ke rumahmu di gunung
Lo-hu-san, takut akan bertemu dengan sucimu."
Ca Bu Kao yang mendengar perkataan duta bunga mawar
itu segera menghela napas panjang, tetapi duta bunga mawar
kembali melanjutkan ucapannya, "Oleh karena itu, maka
usahaku yang pertama ialah hendak memulihkan wajahmu
lebih dahulu. . ." Ca Bu Kao perlahan-lahan bangkit dari depan makam
bunga mawar, lalu berkata sambil menggelengkan kepala dan
tertawa getir, "Obat berbisa buatan golongan Tiam-cong-pay merupakan
salah satu dari empat pusaka golongan itu. Obat itu
mengandung tujuh rupa racun berbisa yang sangat jahat,
menurut Siong-san Ing-siu Sai Han Kong, meskipun aku dapat
disembuhkan dengan obat mujarabnya, dan terhindar dari
kematian, tetapi bekas tanda luka di pipi kiriku harus
menggunakan getah buah lengci yang usianya sudah ribuan
tahun, dan biji buah teratai Swat-lian dari gunung Swat-san.
Dua rupa obat mujarab dari rimba persilatan ini harus
digabung menjadi satu untuk dibuat obat lagi. Kalau tidak
menggunakan dua rupa obat itu, wajahku tidak bisa pulih
seperti sedia-kala! Tetapi, dua rupa obat yang jarang terdapat
di dalam dunia ini, yang satu berada di tangan ketua Swatsan-pay Peng-pok Sin-kun yang selamanya tidak akur dengan
suciku Peng-sim Sin-nie, sedang yang lain berada di lautan
timur yang jarang mengadakan hubungan dengan dunia
luar. . ." Mendengar ucapan itu, duta bunga mawar lalu memotong,
"Kiranya kau sesudah terluka pernah minta obat kepada tabib
nomor satu pada dewasa ini Siong-san Ing-siu" Apa yang
dikatakan olehnya itu memang benar, dua rupa obat mukjizat
itu sesungguhnya memang sangat berharga, akan tetapi
susah sekali untuk mendapatkannya. Tetapi Peng-pok Sin-kun
di Toa-swat-san denganku masih ada sedikit hubungan,
sementara paderi It-pun Sin-ceng di Lautan timur, mungkin
aku masih bisa berusaha mendekatinya. Oleh karena aku
sudah berhasrat besar dalam membantu, bagaimanapun juga
aku akan berusaha terus untukmu. Nanti pada tanggal
sembilan bulan sembilan tahun ini, kau boleh pergi dan tunggu
aku di kediaman tabib Siong-san Ing-siu!"
Bukan kepalang girangnya Ca Bu Kao mendengar
keterangan itu, sehingga ia harus mengucapkan terima kasih
berulang-ulang, kemudian ia memutar tubuhnya dan sesaat
kemudian sudah menghilang ke dalam lembah Kim-giok-kok.
Duta bunga mawar yang sembunyi di belakang makam,
setelah berlalunya Ca Bu Kao, lalu menghela napas panjang,
dan hendak keluar dari tempat sembunyinya. Waktu itu sinar
rembulan agak suram, selagi orang yang sembunyi di
belakang makam itu hendak unjukkan mukanya, tiba-tiba
mulutnya mengeluarkan suara seruan tertahan, dan badannya
kembali disembunyikan, setelah itu lalu berkata kepada diri
sendiri dengan perasaan terheran-heran. "Bagaimana ada
orang datang lagi! Malam ini aku rasanya perlu melayani
banyak pendatang!" Benar saja, tak lama kemudian sesosok bayangan muncul
dari lembah Kim-giok-kok, kemudian dengan beberapa kali
lompatan bayangan itu sudah tiba di hadapan makam bunga
mawar. Ilmunya meringankan tubuh orang itu agaknya masih
kalah setingkat dengan ilmu meringankan tubuh Ca Bu Kao
yang belum lama berselang pergi dari hadapan makam itu,
akan tetapi juga masih terhitung seorang yang memiliki ilmu
meringankan tubuh yang cukup sempurna.
Orang yang baru datang itu berjalan lambat-lambat ke
dalam makam, di bawah sinar bintang dan rembulan yang
agak suram, tampak bahwa orang itu adalah seorang pemuda
berwajah tampan bertubuh tegap yang usianya baru kira-kira
delapan belas tahunan. Kedua tangan pemuda itu memegang
sekuntum bunga mawar warna ungu, dengan lakunya yang
sangat menghormat, ia persembahkan bunga itu di hadapan
makam, akan tetapi ia tidak bersujut, hanya mengangkat
tangan memberi hormat, matanya lalu ditujukan kepada batu
nisan di atas makam itu, setelah mana ia membaca tulisan di
atas batu nisan dengan suara yang amat pelahan.
Duta bunga mawar yang sembunyi di belakang makam,
lantas membuka suara, "Anak muda, jangan membaca tulisan
di atas batu nisan itu, karena mulai malam ini makam bunga
mawar untuk sementara tidak menerima tamu lagi. Selama
waktu tiga tahun tidak akan memberi restu kepada orang yang
datang bersujud." Mendengar suara itu pemuda itu terkejut, dengan mata
yang ditujukan ke belakang makam yang gelap, ia bertanya,
"Tuan siapa?""
"Aku adalah duta bunga mawar yang mengurus segala
persoalan mengenai makam bunga mawar ini!" Menjawab
duta bunga mawar. Mendengar jawaban itu pemuda itu tertawa dingin,
kemudian melanjutkan membaca kata-kata yang tertulis di
atas batu nisan itu. Duta bunga mawar ketika menyaksikan
pemuda itu sama sekali tidak menghiraukan ucapannya,
lantas bertanya dengan perasaan heran.
"Aku sudah beritahukan padamu, bahwa dalam waktu tiga
tahun, makam bunga mawar ini untuk sementara tidak akan
memberi restu kepada orang yang datang bersujud, mengapa
kau masih perlu membaca tulisan batu nisan itu?"
"Tentang akan ditutupnya untuk sementara makam bunga
mawar ini, apakah kau pernah memberi pengumuman kepada
rimba persilatan?" Demikian pemuda itu balas menanya
dengan nada suara dingin.
Duta bunga mawar itu tidak menduga anak muda itu akan
mengajukan pertanyaan demikian, maka terpaksa menjawab:
"Belum pernah."
"Apakah kau juga pernah pasang pemberitahuan di atas
puncak gunung Wie-thian-hong, dan di dalam lembah Kimgiok-kok ?"" Bertanya pula pemuda itu.
Duta bunga mawar diam saja tidak menjawab. Anak muda
itu berkata pula sambil tertawa:
"Oleh karena kau belum pernah memberi pengumuman
dan mengeluarkan pemberitahuan, dan aku sudah datang dari
tempat jauh, sudah tentu setelah mempersembahkan bunga
mawar segar di hadapan makam bunga mawar, serta
membaca petuah yang tertulis di atas batu nisan, kau harus
memberi restu kepadaku seperti apa yang tersiar didalam
rimba persilatan, kecuali jikalau kau mengaku sendiri bahwa
makam bunga mawar ini sudah tidak manjur lagi."
Duta bunga mawar hampir kewalahan menghadapi pemuda
yang pandai bicara dan sombong sikapnya itu, sehingga lama
sekali ia baru berkata lambat-lambat. "Walau demikian, kau
masih tetap tidak akan mendapatkan restu dari makam bunga
mawar! Sebab kau masih belum memenuhi syarat-syarat yang
ditetapkan oleh makam bunga mawar!"
"Aku sudah mempersembahkan bunga segar, dan aku
sudah membaca petuah di atas batu nisan . . . ." Berkata
pemuda itu heran. "Setiap orang yang minta restu kepada makam bunga
mawar, harus merupakan pasangan muda mudi orang-orang
rimba persilatan yang saling mencinta dengan sejujurnya . . ."
Pemuda itu tidak menunggu habis ucapan duta bunga
mawar, lalu mendongakkan kepala dan tertawa terbahakbahak. Duta bunga mawar benar-benar sangat repot menghadapi
pemuda itu, ia bertanya dengan suara dalam:
"Anak muda, kenapa kau ketawa?"
Mata pemuda itu memancarkan sinar aneh, ia bertanya
pula kepada duta bunga mawar:
"Hei, duta bunga mawar, kau berbicara soal aturan atau
tidak?" Duta bunga mawar sekarang tahulah sudah bahwa pemuda
itu sulit dihadapi, maka lalu berkata:
"Apakah kau menemukan pula kesalahanku?"
"Jikalau aku sudah mempunyai kekasih yang satu sama
lain sudah cinta, bukankah . . kita sudah mengikat janji atau. .
Untuk apa jauh-jauh aku datang kemari untuk. . . kepada
makam bunga mawar?" Kata-kata pemuda itu membuat duta bunga mawar yang
mendengarkannya tidak dapat membantah, tetapi juga merasa
lucu atas sikap pemuda itu, maka ia lantas bertanya sambil
tertawa: "Kalau kudengar dari ucapanmu ini, barangkali kau sudah


Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

punya pandangan gadis dalam matamu, akan tetapi gadis
yang kau cintai itu barangkali tidak membalas cintamu. Apa
bukan begitu anak muda ?"
Wajah pemuda itu tampak merah, ia berkata sambil;
menggelengkan kepala: "Aku memang benar suka padanya, tetapi aku masih belum
tahu, ia suka kepadaku atau tidak. Oleh karena itu maka aku
datang kemari untuk bersujut di hadapan makam bunga
mawar serta minta restunya!"
Kesan duta bunga mawar terhadap pemuda itu kini
pelahan-lahan mulai merasakan betapa masih kekanakkanakan sifatnya, maka lalu tertawa terbahak-bahak dan
bertanya: "Kalian berdua sudah berapa lama kenal " Siapakah nama
gadis itu " Dan, anak murid dari golongan mana ?"
Pemuda itu yang ditanya demikian pipinya kembali menjadi
merah, dan ia menjawab sambil menggelengkan kepala.
"Kita hanya satu kali saja bertemu muka, aku belum tahu
siapa namanya, juga tidak tahu dia dari golongan mana !"
Duta bunga mawar yang mendengar jawaban itu berulangulang memperdengarkan suara tertawa getirnya, diam-diam ia
berpikir bahwa malam itu ia telah menjumpai seorang wanita
dan seorang pria yang minta bantuan sangat aneh sekali.
Permintaan dari dua muda-mudi, barangkali akan membuat ia
harus memutar otak supaya tidak mencemarkan nama baik
makam bunga mawar yang selama ini banyak menolong
muda-mudi yang bercinta kasih.
Tetapi urusan itu sungguh aneh, juga semakin menarik
perhatian duta bunga mawar itu, maka ia bertanya pula
kepada pemuda itu. "Kau tidak tahu nama dan golongan gadis itu, tetapi kau
harus beritahukan namamu sendiri, dan nama suhumu !"
"Namaku Hee Thian Siang, sebaiknya kau bantu aku saja,
jangan menanyakan banyak-banyak soal yang lainnya! Sebab,
watak suhuku sangat aneh, tidak mengijinkan aku
memberitahukan kepada siapa pun juga. Pendeknya, aku
bukanlah murid dari salah satu delapan partai besar
kenamaan pada dewasa ini!"
Setelah mendengar jawaban demikian itu, sesungguhnya
menyulitkan aku! "Gadis itu, apakah ada keistimewaannya, baik mengenai
wajah atau bentuk tubuhnya atau dandanannya pakaian dan
senjatanya?" Pemuda itu berpikir sejenak, kemudian berkata sambil
menganggukkan kepala dan tertawa:
"Ada, ada, waktu itu, aku sedang berada di daerah
pegunungan Kiu-gi-san di daerah Ouwlam, dari jauh aku
melihat dia menunggang seekor kuda Ceng-ciong-ma, ia
mengenakan mantel warna hitam, sedang senjata yang
digunakan tidak dapat kulihat dengan tegas, karena terpisah
terlalu jauh. Tetapi kalau tidak salah, senjata itu jarang ada,
semacam pedang Go-ko-kiam."
Duta bunga mawar memperdengarkan suara seruan, dan
mulai berpikir. Hee Thian Siang berkata pula:
"Kudanya Ceng-ciong-ma itu larinya pesat sekali, ketika
aku hendak menghampiri, ia sudah lari jauh sekali. Yang
ditinggalkan di tempat itu hanya empat setan dari Kiu-yan
yang semuanya sudah pecah hancur batok kepala dan robek
dadanya." Kata-kata yang terakhir itu, tampaknya mengejutkan duta
bunga mawar, maka lalu bertanya:
"Dia dengan seorang diri ternyata sudah dapat
membinasakan empat setan dari Kiu-yan yang masing-masing
memiliki kepandaian cukup tinggi dan masing-masing
mempunyai senjata beracun yang sangat ganas."
Wajah Hee Thian Siang saat itu menunjukkan sikap
kagumnya, ia menjawab: "Ia melakukan pembunuhan itu bukan saja dengan sangat
mudah, bahkan dilakukannya cepat sekali! Aku yang waktu itu
berada di kaki gunung Kiu-gie-san, melihat ia dipegat oleh
empat setan itu, tetapi belum sempat aku memburunya, empat
setan itu sudah dikirim nyawanya ke akherat!"
Setelah mendengar keterangan itu, duta bunga mawar
diam-diam telah mengambil keputusan untuk menutup makam
bunga mawar untuk sementara, karena ia perlu turun tangan
sendiri, untuk menyelidiki persoalan yang menyangkut diri Suto Wie dan Ca Bu Kao, ia juga hendak mengurusi persoalan
Hee Thian Siang yang jatuh cinta sepihak kepada gadis yang
baru dilihatnya sepintas lalu saja, akan mencoba pengaruhnya
makam bunga mawar, manjur atau tidak.
Setelah mengambil keputusan itu, lalu berkata kepada Hee
Thian Siang; "Keinginanmu ini, meskipun sangat unik, tetapi
tampaknya masih dengan sejujurnya, maka aku mengadakan
pengecualian terhadapmu, dalam waktu tiga tahun, selama
makam bunga mawar ini akan ditutup untuk umum, aku akan
mencoba berusaha membantu keinginanmu!"
Hee Thian Siang yang mendengar ucapan itu tampaknya
sangat girang, sementara itu duta bunga mawar sudah
berkata lagi: "Tetapi di dalam dunia yang luas ini, hendak mencari
seorang gadis seperti apa yang kau sebutkan tadi, apalagi
harus menyingkirkan segala rintangan yang menghalangi
maksudmu supaya kalian bisa terangkap jodoh dan hidup
rukun, sesungguhnya bukanlah satu urusan yang mudah !"
"Aku tahu hal itu memang sulit, jikalau tidak sulit aku juga
tidak akan datang kemari untuk minta restu dari makam bunga
mawar ini!" "Keinginanmu ini mungkin tiga tahun kemudian baru akan
terbukti, tetapi mulai malam ini kau harus melakukan seperti
apa yang akan kukatakan nanti!"
"Aku meminta bantuanmu, sudah tentu akan mendengar
perintahmu ! Tetapi setelah batas tiga tahun itu habis, jikalau
keinginanku itu tidak bisa tercapai, maka janganlah kau
sesalkan kalau aku nanti akan membikin rata makam ini
dengan menggunakan sebutir bom peledak Kian thian Peklek!" Ketika duta bunga mawar itu mendengar ucapan demikian,
diam-diam mengeluh bahwa makam bunga mawar ini benarbenar akan mengalami kehancuran!
Ia lalu berkata: "Pantas saja kau bukan merupakan salah murid dari
delapan partai besar rimba persilatan pada dewasa ini, kiranya
kau adalah murid Pak-bin Sin-po Hong-poh Cui. Menurut apa
yang aku tahu, bom Kian-thian Pek-leknya Hong-poh Cui itu
juga memiliki nama sendiri yang dinamakan mutiara mati
meski pun hebat kekuatannya, tetapi bom itu jumlahnya hanya
tiga butir saja. Kau yang masih sangat muda sekali usiamu
dan masih berdarah panas, dengan memiliki senjata hebat itu,
sekali-kali jangan kau gunakan secara serampangan, bisabisa nanti akan menimbulkan bencana hebat !"
Berkata sampai di situ, tiba-tiba ia bertanya dengan suara
lantang: "Jikalau benar makam bunga mawar tidak menunjukkan
kemanjurannya pada tiga tahun kemudian, kau boleh
menggunakan senjata peledak itu untuk meratakan makam
bunga mawar ini. Tetapi bagaimana seandainya keinginanmu
itu nanti tercapai ?"
Hee Thian Siang berpikir sejenak, kemudian menjawab
dengan serius: "Pertanyaanmu ini memang benar. Jikalau makam bunga
mawar terbukti memang benar-benar manjur, nanti setelah
kau meninggal dunia aku dengan nona itu akan menggantikan
kedudukanmu sebagai duta bunga mawar, dengan
kepandaian yang ada, kami akan berusaha supaya bunga
tetap segar, rembulan tetap bundar dan semua kekasih yang
berkasih-kasihan bisa hidup rukun selama-lamanya!"
Jawaban itu ternyata telah membuat girang hati si duta
bunga mawar, hingga dari tempat persembunyiannya ia
mengeluarkan suara tertawa gembiranya.
Berhenti tertawa, ia melanjutkan kata-katanya:
"Sekarang aku minta kau melakukan dua pekerjaan.
Pertama, kau boleh membawa sebuah tanda lambangku
bunga mawar, kau pergi ke pulau Kura di lautan Timur, lalu
kau pergi menemui It-pun Sin-ceng, minta ia memberikan
padamu dua tetes getah buah lengci yang sudah ribuan tahun
umurnya. Kedua, setelah itu kau sekalian mencari pendekar
pemabokan Bu Ju yang jejaknya tidak menentu, tapi
pengalamannya yang sangat luas dalam dunia Kang-ouw
dewasa ini tidak ada keduanya. Setelah kau menemukan dia,
dia mungkin dapat memberi petunjuk yang berharga tentang
gadis yang kau lihat itu!"
Hee Thian Siang menganggukkan kepala sambil
tersenyum, sementara itu duta bunga mawar di tempat
sembunyinya yang gelap telah melemparkan padanya sebuah
benda seraya berkata; "Lambang bunga mawar
kepercayaanku ini kau harus simpan baik, jangan kau bikin
rusak atau hilang ! Setelah kau mendapatkan getahnya buah
lengci itu, tidak perduli kau berhasil menemukan pendekar
pemabokan atau tidak, dan berhasil menemukan jejak gadis
itu atau tidak, pada waktu tanggal sembilan bulan sembilan
tahun ini, kau harus datang ke tempat kediaman tabib
kenamaan Say Han Kong yang letaknya di gunung Siong-san
untuk mendengar beritaku lebih lanjut!"
Hee Thian Siang menyambut lambang bunga mawar yang
dilemparkan oleh duta bunga mawar, lambang itu ternyata
hanya selembar bunga mawar warna ungu yang terbuat
daripada batu giok ! Karena kata-kata duta bunga mawar tadi, ia jadi tahu
bahwa benda itu pasti sangat berharga dan sangat penting
sekali, maka dengan sangat hati-hati ia masukkan di dalam
sakunya, kemudian membengkokkan badan memberi hormat
kepada duta bunga mawar, setelah itu dengan menggunakan
ilmu meringankan tubuh, berjalan keluar dari lembah Kim-giokkok. Dalam perjalanan pulang itu, Hee Thian Siang telah
menjumpai pemandangan alam yang indah permai di daerah
pegunungan itu. Karena di waktu ia datang ke lembah tadi
justru hujan angin lebat, apalagi dalam hatinya ada urusan,
maka ia tidak ada pikiran untuk menikmati pemandangan alam
di tempat yang dilalui. Dan sekarang setelah ia berhasil
mendapatkan janjinya duta bunga mawar Yang hendak
membantu keinginannya, apalagi hujan angin juga sudah
berhenti, sudah tentu hatinya merasa lega, maka sepanjang
jalan itu ia dapat menikmati pemandangan alam yang sangat
indah dengan hati gembira.
Waktu itu meskipun permulaan musim panas, tetapi daerah
pegunungan sehabis hujan hawanya sangat sejuk.
Hee Thian Siang yang turun dari puncak gunung Huithauw-hong, di bawah suatu tempat yang sebelah kirinya
lereng gunung, yang sebelah kanan sebuah rimba kecil, pada
saat itu di tengah-tengah lereng gunung itu tiba-tiba terdengar
tiga kali suara ser-seran yang sangat pelahan sekali.
Gurunya Hee Thian Siang, Hong-poh Cui yang terkenal
sangat tinggi kepandaian ilmu silatnya, dan sangat aneh
wataknya, dalam rimba persilatan pada masa itu, merupakan
salah seorang yang paling susah didekati. Sehingga ketua dari
delapan partai besar perlu menasehati anak-anak muridnya,
jangan sampai menimbulkan onar atau menanam permusuhan
dengan nenek itu. Hee Thian Siang yang menjadi muridnya, meskipun baru
mendapat enam atau tujuh bagian kepandaiannya, tetapi
kepandaian yang dimiliki pada waktu itu sudah cukup
menempatkan dirinya menjadi salah seorang kuat dalam
rimba persilatan. Suara ser-seran yang masuk di telinganya
tadi, sudah cukup baginya untuk membedakan bahwa suara
itu adalah suara sambaran pedang, maka ia segera
mengelakkan diri dengan jalan lompat melesat sejauh delapan
kaki. Baru saja kakinya menginjak tanah, dari belakang dirinya
terdengar suara sambaran angin berulang-ulang ketika ia
berpaling dan melihat apa yang terjadi, di atas pohon cemara
tua, saat itu nampak berbaris menancap tiga bilah pedang
kecil yang tidak lebih satu kaki panjangnya, dan yang di
bagian gagangnya ada bulu berwarna emas.
Hee Thian Siang meski pun masih muda usianya, tetapi ia
pernah dengar tentang senjata rahasia istimewa dari berbagai
golongan rimba persilatan, maka begitu melihat pedang itu, ia
merasa terkejut dan berkata kepada diri sendiri.
"Pedang bulu emas dari golongan Tiam-cong dengan
beruntun dilepaskan sampai tiga, apakah orang yang datang
itu jago pedang ketiga dari tiga jago pedang Tiam-cong, yang
bernama Su-to Wie dengan julukannya Liong-hui Kiam-khek
?" Saat itu dari tebing tinggi di belakang dirinya melayang
turun sesosok bayangan orang dengan menggunakan ilmu
meringankan tubuh "Naga Sakti menyeberang lautan", dengan gayanya yang ringan
sekali melayang masuk ke dalam rimba
pohon cemara, bayangan orang itu mengeluarkan kata-kata
yang sangat pelahan: "Tempat ini belum terpisah dari puncak Hui-thauw-hong
hingga masih merupakan daerah terlarang makam bunga
mawar, tidaklah pantas kalau aku mengganggu ketenangan
tempat ini, maka aku akan menunggu padamu di luar rimba
ini." "Tiga jago pedang golongan Tiam-cong yang namanya
sangat kesohor ternyata juga masih takut kepada duta bunga
mawar . . ." Berkata Hee Thian Siang sambil tertawa dingin.
Belum lagi habis ucapannya, bayangan hitam itu sudah
menghilang ke dalam rimba pohon cemara. Thian Siang yang
sejak anak-anak sudah dipengaruhi adat aneh gurunya, maka
adatnya juga keras dan sombong, ia segera mengejarnya
tanpa menghiraukan tempat berbahaya atau tidak, dengan
cepat ia sudah mengikuti masuk ke dalam rimba itu.
Rimba pohon cemara itu, luasnya kira-kira setengah pal,
begitu keluar dari dalam rimba, benar saja, tampak olehnya
seorang yang mengenakan kerudung muka kain hitam,
dengan badannya yang tegap, di bawah sinar rembulan yang
remang-remang orang ini berdiri tegak sambil menyoren
pedang di tangannya. Hee Thian Siang meskipun beradat sombong dan tidak


Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mudah menyerah kepada siapa pun juga, tetapi karena ia tahu
bahwa tiga jago pedang golongan Tiam-cong, namanya
sangat terkenal dalam rimba persilatan, maka ia juga harus
berlaku hati-hati, dengan mengerahkan kekuatan tenaga
dalamnya pada kedua tangannya, ia berjalan keluar lambatlambat dari rimba itu. Orang yang mengenakan kerudung kain hitam itu, ketika
menyaksikan Hee Thian Siang yang masih muda belia
agaknya di luar dugaannya.
Tetapi ia juga dikejutkan oleh sikap sombong pemuda itu,
maka lalu bertanya sambil tertawa hambar:
"Kawan, dengan tanpa menghiraukan hujan lebat kau telah
masuk dalam pegunungan gunung Bin-san, dan turun dari
puncak gunung Hui-thauw-hong, apakah maksudmu datang
kemari" Apakah tadi kau pernah berkunjung ke makam bunga
mawar?" Melihat sikap jumawa jago pedang itu, Hee Thian Siang
menjawab dengan nada suara dingin ; "Kalau sudah ke
puncak gunung Hui-thauw-hong sudah tentu berkunjung ke
makam bunga mawar. Dan kalau sudah bersujud di hadapan
makam bunga mawar, sudah tentu minta restunya.
Pertanyaanmu tadi apakah bukan berlebih-lebihan?"
Dijawab demikian, orang berkerudung hitam itu terdiam.
Hee Thian Siang berkata pula:
"Kau ini bagaimana sih, pandai bertanya saja, tetapi tidak
mampu menjawab pertanyaan orang" Kau tadi mengancam
orang dengan menggunakan tiga bilah pedang bersayap,
apakah kau ini bukan Liong-hui Kiam Su-to Wie, salah
seorang dari tiga jago pedang golongan Tiam-cong ?"
Orang berkerudung hitam itu tertawa bangga kemudian
menghunus pedang dari atas punggungnya, pedang itu
memancarkan sinar berkilau dan mengeluarkan suara
mengaung. Hee Thian Siang yang menyaksikan itu mundur
setengah langkah, tangan kanannya dimasukkan ke dalam
lengan baju tangan kiri. Tak ia sangka bahwa orang berkerudung hitam yang sudah
menghunus pedang di tangan, ternyata tidak digunakan untuk
melakukan serangan, hanya menggunakan ujung pedang
untuk menyontek kain kerudung di mukanya, sehingga kain itu
terbang sejauh beberapa kaki.
Di balik kain kerudung hitam itu, tampak wajah seorang
laki-laki tampan gagah, berusia kira-kira tiga-puluhan, dan
yang paling menarik perhatian orang ialah tanda tahi-lalat
merah yang berada di tengah-tengah sepasang alisnya.
Pedang panjang berkilauan itu, dan tanda tahi lalat warna
merah serta wajahnya yang gagah dan tampan, merupakan
tanda khas Su-to Wie, yang di dalam rimba persilatan
mendapat julukan Liong-hui Kiam-khek.
Mata Hee Thian Siang memandang lama kepada Liong-hui
Kiam-khek Su-to Wie itu, masih tetap dengan sikapnya yang
jumawa, berkata dengan nada suara dingin:
"Mengapa kau tadi berlaku demikian " Seorang Liong-hui
kiam-khek saja apa artinya" Sekali pun ketuamu golongan
Tiam-cong-pay sendiri ada di sini, juga belum tentu aku takut!"
Dengan sinar mata yang tajam, Liong-hui Kiam-khek
mengawasi Hee Thian Siang, kemudian bertanya dengan
sikap menghina: "Sahabat, usiamu masih begini muda, tetapi ucapanmu
terlalu jumawa, kau sebetulnya bernama apa dan siapakah
gurumu?" Hee Thian Siang tertawa bergelak-gelak kemudian
menjawab: "Namaku Hee Thian Siang, tak termasuk seorang dari
golongan mana pun juga dalam rimba persilatan, juga sedikit
pun tidak ada permusuhan dengan golonganmu Tiam-congpay ! Jikalau kau tidak percaya kau boleh coba dengan
menggunakan pedang Cing-he-kiammu, untuk mengetahui
ilmu silatku atau gerak tipuku!"
Pedang di tangan Liong-hui Kiam-khek lambat-lambat
dimasukkan kembali ke dalam sarungnya, ia berkata sambil
menggeleng-gelengkan kepala:
"Tiga jago pedang dari golongan Tiam-cong, jikalau tidak
berhadapan dengan orang yang berimbang kedudukannya,
selamanya tidak akan menggunakan pedang . . . ."
Belum lagi habis ucapannya sepasang alis Hee Thian
Siang tampak berdiri, katanya dengan suara keras:
"Kau sendiri berkedudukan sebagai apa" Sudah berlaku
demikian tidak tahu malu, sekali pun kau tidak mau bertempur
denganku aku juga akan menempur kau! "
Dari balik tangan baju kirinya, terdengar suara kerincingan,
dari situ dikeluarkan sepasang gelangan bergigi, kecuali
giginya yang runcing, juga memancarkan sinarnya berkilauan,
benda itu agaknya sangat tajam, namun tidak ada apa-apanya
yang aneh. Liong-hui Kiam-khek Su-to Wie yang sudah menjelajahi
hampir seluruh dunia Kang-ouw ternyata masih belum dapat
mengenali nama dan bagaimana gunanya sepasang senjata
pergelangan itu. Seketika itu ia terperanjat dan lenyaplah
kesombongannya. Ia tahu bahwa pemuda bernama Hee Thian
Siang yang sekarang berada di hadapannya itu, mungkin
murid dari seorang rimba persilatan yang sudah
mengasingkan diri, dan bukan seorang sembarangan.
Sejenak dalam pikirannya bekerja, setelah itu ia berkata
sambil menggelengkan kepala dan tertawa:
"Saudara Hee tadi mengaku tidak ada permusuhan dengan
golonganku Tiam-cong-pay, kalau begitu mengapa kita harus
bertempur" Aku hanya hendak minta sedikit keterangan
darimu, apakah saudara tidak berkeberatan?"
Oleh karena perubahan Su-to Wie itu, hingga membuat
Hee Thian Siang sudah mengeluarkan senjatanya Sam-ciok
Kian-hoan, sesaat itu menjadi kesima, karena ia juga tidak
suka berlaku keterlaluan terhadap orang yang berlaku baik
terhadapnya, maka ia terpaksa menjawab sambil
mengerutkan alisnya: "Kau hendak menanya apa?"
"Saudara Hee tadi sudah berkunjung ke makam bunga
mawar, dengan demikian pasti sudah melalui lembah Kim-giok
kok, bolehkah aku menumpang tanya, apakah kau pernah
berjumpa dengan adik perguruan golongan Lo-hu pay, PengSim Sin-nie yang bernama Ling-po Giok-Lie Cu Bu Kao ?"
bertanya Liong-Hui Kiam-khek dengan ramah tamah.
"Orang yang keluar masuk ke makam bunga mawar, hanya
melalui jalan itu saja, tetapi aku yang keluar dari sana tadi
tidak pernah jumpa dengan Ling-po Giok-lie yang kau
maksudkan tadi," menjawab Hee Thian Siang sambil
menggelengkan kepala. Liong-hui Kiam-khek yang
mendengarkan keterangan pemuda itu matanya terus
menatap dirinya, agaknya sedang memikirkan keterangan
pemuda itu, betul atau bohong.
Hee Thian Siang yang memperhatikan sikap demikian,
matanya terbuka lebar dan bertanya dengan suara gusar.
"Apakah kau tidak percaya dengan keteranganku?"
Liong-hui Kiam-khek agaknya tidak senang terhadap sikap
dan kata-kata jumawa Hee Thian Siang tadi, tetapi ia masih
berusaha mengendalikan dirinya, sambil mengerutkan alis dan
menggoyangkan kepala ia berkata:
"Aku bukannya tidak percaya keteranganmu, tetapi menurut
laporan rahasia yang kuterima, budak hina itu dari tempat
yang jauh telah datang ke gunung Bin-san, apakah ia tidak
pergi bersujud ke hadapan makam bunga mawar?"
"Hei, Ling-po Giok-lie Ca Bu Kao orangnya seperti dengan
namanya, biasanya suka menyendiri, kecantikannya dan
nama baiknya terkenal di dalam rimba persilatan, mengapa
kau mengejarnya" Apakah kau ada maksud . . . "
Mata Su-to Wie dialihkan ke puncak gunung Hui-thauwhong di belakang rimba pohon cemara, agaknya
mengenangkan kembali masa yang sudah lalu, ia menghela
napas pelahan, dan berkata lambat:
"Tiga tahun berselang, aku dengan Ca Bu Kao pernah
datang kemari dengan bergandengan tangan, bersama-sama
bersujud di hadapan makam bunga mawar untuk meminta
restunya. ." Tidak menunggu habis ucapan Liong-hui Kiam-khek, Hee
Thian Siang sudah menyela:
"Kau dengannya kalau benar pernah berkasih-kasihan,
mengapa ucapanmu tadi. . ?"
Berkata sampai di situ dari dalam rimba tiba-tiba terdengar
suara merdu yang dibarengi dengan suara tertawanya yang
menggiurkan: "Saudara kecil, kau juga orang yang baru pulang dari
makam bunga mawar, adakah kau sudah lupa apa yang ditulis
di atas batu nisan itu " Apa yang dikatakan di dalam batu
nisan itu memang benar hanya dirubah saja sedikit sifatnya !
Kaum wanita memang mengutamakan kecantikan, wajah Ca
Bu Kao yang sudah cacat, perlu apa Su-to Wie hendak
berkasih-kasihan lagi dengannya " Apalagi . . . ."
Berkata sampai di situ, orangnya sudah berjalan keluar dari
dalam rimba, ia adalah seorang wanita muda berpakaian
merah yang usianya kira-kira dua-puluh lima tahun. Wanita itu
berjalan menghampiri dan kemudian berdiri di samping Lionghui Kiam-khek, sepasang matanya dengan lagaknya yang
sangat genit mengawasi dalam-dalam kepada Hee Thian
Siang, kemudian melanjutkan kata-katanya; "Apalagi golongan
Tiam-cong-pay dan Lo-hu-Pay ada permusuhan sangat
dalam, dua golongan itu setiap tujuh tahun pasti mengadakan
pertandingan satu kali, Su-to Wie yang merupakan salah
seorang dari tiga jago pedang golongan Tiam-cong-pay, sekali
pun ia jatuh cinta kepada Ca Bu Kao, juga tidak dapat
melenyapkan permusuhan dari kedua golongan itu!
Apalagi. . . . ." Hee Thian Siang yang tidak senang menyaksikan,
kegenitan wanita itu dalam hatinya merasa mual, setelah
mengeluarkan suara dari hidung ia bertanya:
"Sebentar-sebentar kau menggunakan istilah apa lagi dari
mana datangnya begitu banyak. . . "
Wanita muda itu melirik Su-to Wie sejenak dengan
sikapnya yang tetap genit memotong ucapan Hee Thian
Siang: "Apalagi ia sekarang sudah memiliki diriku!"
Hee Thian Siang semakin mual melihat sikap wanita genit
itu, dengan alis berdiri ia bertanya dengan suara dingin:
"Kau ini sebetulnya manusia apa?"
Liong-hui Kiam-khek mendengar pertanyaan Hee Thian
Siang yang sangat tidak enak itu wajahnya nampak sedikit
berubah, tetapi wanita itu, sedikit pun tidak ambil pusing, ia
hanya berseru: "Ya," lalu berkata sambil tertawa terkekeh-kekeh.
"Saudara kecil, kau ini orangnya sangat tampan dan gagah,
hingga menyenangkan bagi setiap orang yang kau hadapi,
tetapi mengapa bicaramu demikian ketus" Namaku di dalam
rimba persilatan, belum tentu di bawah Ca Bu Kao apakah kau
belum pernah dengar nama Tho-hwa Niocu Kie Liu Hiang dari
golongan Ki-lian pay ?"
Hee Thian Siang tidak menjawab pertanyaan itu,
sebaliknya matanya ditujukan kepada Liong-hui Kiam-khek
Su-to Wie, bibirnya nampak bergerak-gerak, sikap pemuda itu
terlalu tidak pandang mata terhadap jago pedang dari
golongan Tiam-cong, ia mendongakkan kepala dan tertawa
terbahak-bahak. Su-to Wie tahu bahwa orang seperti Hee Thian Siang itu
tidak mungkin mudah diajak bicara, tetapi ia terpaksa masih
bertanya sambil mengerutkan alisnya:
"Mengapa saudara tertawa ?"
Hee Thian Siang menghentikan tertawanya, dengan sinar
mata tajam ia memandang Su-to Wie dan berkata:
"Sebelum aku bertemu kau, aku kira bahwa orang yang
bernama Su-to Wie dengan julukannya Liong-hui Kiam-khek
itu, di dalam golongan Tiam-cong-pay, namanya paling baik,
sudah pasti adalah seorang pendekar yang gagah perkasa.
Siapa tahu bahwa nama itu tidak sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya, kau ternyata merupakan seorang yang tidak
dapat melepaskan keduniawian, bahkan dengan mudah kau
tergiur oleh paras cantik, sehingga rela hidup bersama dengan
perempuan genit yang namanya kurang harum di dalam
kalangan Kang-ouw!" Kata-kata itu sesungguhnya sangat menusuk hati Liong-hui
Kiam-khek, bukan saja membuat orang she Su-to itu sangat
sakit hati, sehingga timbul nafsunya hendak membunuh
pemuda itu, sekali pun orang yang bermuka tebal seperti Thohwa Niocu ketika mendengar ucapan itu juga merasa
tersinggung. Hee Thian Siang kembali berkata sambil tertawa tergelakgelak: "Su-to Wie, mengapa kau berlagak demikian, Hee Thian
Siang memang sudah kandung maksud hendak menempur
kalian tiga jago dari golongan Tiam-cong, mengapa kau tidak
menghunus pedangmu ?"
Liong-hui Kiam-khek Su-to Wie yang masih
mempertahankan kedudukannya berkata dengan nada suara
dingin: "Untuk memberi pelajaran kepada seorang bocah yang
masih ingusan, aku Su-to Wie masih belum perlu
menggunakan pedang."
Hee Thian Siang yang menampak Su-to Wie tidak mau
menghunus pedangnya lalu melemparkan senjata
pergelangannya bergigi sendiri, kepada sebuah pohon cemara
besar. Pergelangan bergigi yang disambitkan oleh Hee Thiun
Siang itu, hampir setengah masuk ke dalam pohon, dan
batang pohon itu juga menggetar daun-daunnya pada rontok.
Kehebatan tenaga dalam pemuda itu, agaknya jauh lebih
tinggi daripada Liong-hui Kiam-khek yang waktu sebelum
unjuk muka sudah melemparkan tiga bilah pedang
bersayapnya. Hee Thian Siang setelah melemparkan senjatanya, dengan
kedua tangan terbuka ia berkata dengan sombongnya:
"Su-to Wie, kau tidak mau menghunus pedang Cing-hekiammu, aku juga tidak akan menggunakan senjataku Samciok kiau-hoan. Dengan sepasang tangan kosong, aku
bersedia menyambut serangan tangan kosongmu dan yang


Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merupakan ilmu silat simpanan golongan Tiam-cong yang
dinamakan Hui-hoa-ciang !"
Su-to Wie yang menyaksikan Hee Thiun-Siang yang masih
sangat muda sekali, namun mempunyai pengetahuan sangat
luas tentang berbagai ilmu silat dan senjata, apalagi waktu itu
ia dapat menyebutkan dirinya yang memiliki ilmu silat tertinggi
dari golongan Tiam-cong-pay, maka diam-diam merasa heran.
Hee Thian Siang tahu bahwa orang she Su-to itu masih
mempertahankan kedudukannya, sudah tentu tidak mau
membuka serangannya lebih dahulu, maka ialah yang lebih
dulu membuka serangan menyerang Su-to Wie.
Su-to Wie yang menyaksikan gerak tipu serangan Hee
Thian Siang nampaknya sangat jumawa dan tidak pandang
mata dirinya sendiri yang sudah menjadi jago pedang dalam
rimba persilatan, diam-diam merasa marah. Ia lalu geser
kakinya setengah langkah, dengan kekuatan tenaga delapan
puluh persen, ia menyambuti serangan pemuda itu.
Pada waktu itu Tho-hwa Niocu sudah mundur ke samping,
sedang mulutnya terus menggumam sendiri menyebut senjata
yang dinamakan Sam-ciok-kiau-hoan tadi, ia seolah-olah
sedang berpikir keras untuk memikirkan nama senjata itu.
Sementara itu Hee Thian Siang yang mengadu tenaga
dengan Su-to Wie, kedua-duanya sama-sama merasakan
hebatnya lawan, mereka buru-buru lompat mundur, sedang
dalam hati masing-masing merasakan kekuatan kedua pihak.
Su-to Wie dikejutkan oleh pemuda yang sombong itu, yang
ternyata memiliki kekuatan tenaga yang cukup sempurna,
namun ia masih belum mengenali entah dia dari golongan
mana. Sedangkan Hee Thian Siang tahu dirinya dari golongan
Tiam-cong, dan saat itu ia diam-diam juga mengakui bahwa
orang she Su-to itu memang memiliki kekuatan tenaga cukup
hebat, karena dengan dirinya sendiri yang menggunakan
tenaga seratus persen masih belum dapat menjatuhkan
lawannya itu, dan kini terbukti bahwa latihannya sendiri masih
belum cukup sempurna. Maka sikap sombongnya perlahan-lahan lenyap, kini ia
terpaksa menggunakan gerak kakinya yang lincah untuk
melayani lawannya. Liong-hui Kiam-khek tertawa dingin, mulai lagi membuka
serangannya, dalam golongan Tiam-cong-pay, ilmu
pedangnya Hui-hong U-liu Kiam-hwat dan ilmu tangan kosong
Hui-hoa-ciang yang terdiri dari delapan jurus, di samping itu
masih ada beberapa rupa senjata rahasia yang luar biasa,
dengan senjata-senjata itulah untuk menghadapi lawanlawannya di rimba persilatan.
Sekarang ia yang sudah mengetahui betapa hebatnya
pemuda itu, tidak berani memandang rendah lawannya, maka
begitu membuka serangannya ia lantas menggunakan ilmu
silatnya Hui-hoa-ciang yang sudah terkenal ampuhnya.
Ilmu serangan tangan kosong yang dinamakan Hui-hoaciang itu, karena gerak tangan dan kakinya yang lincah dan
gesit, apalagi dimainkan oleh Liong-hui Kiam-khek yang
berbadan tegap dan berwajah tampan, nampak lebih hebat
gayanya. Kedua tangannya yang bergerak lincah dan gesit
telah berubah bagaikan bunga yang bertebaran, dalam waktu
sekejap saja sudah berhasil mengurung Hee Thian Siang
sehingga pemuda yarg sangat jumawa itu berada dalam
keadaan yang berbahaya dan terpaksa mundur berulangulang. Kini Hee Thian Siang baru tahu betapa ampuhnya ilmu
kepandaian dari golongan Tiam-cong-pay, maka lalu berseru
dengan pujiannya: "Ilmu tangan kosong Hui-hoa-ciang dari Tiam-cong-pay,
benar-benar bukan nama kosong belaka. Tetapi Hee Thian
Siang yang sudah lama mempunyai hasrat hendak
mempelajari ilmu-ilmu ampuh dari berbagai golongan, maka
ada lebih baik kalau kau pertunjukkan lagi ilmu pedangmu HuiHong U-Liu Kiam-hwat!"
Sehabis berkata demikian, kakinya menggeser ke kanan,
dengan beruntun ia memutar tiga kali, ternyata sudah berhasil
melepaskan dirinya dari kurungan tangan Liong-hui Kiamkhek. Percuma saja Su-to Wie yang merupakan salah satu jago
pedang dari golongan Tiam-cong-pay, hingga saat itu ia masih
belum berhasil mengenali gerak tipu apa dan dari golongan
mana yang digunakan oleh Hee Thian Siang.
Akan tetapi karena terdorong oleh semangat dari hawa
amarahnya yang sudah mulai berkobar, saat itu pikirannya
sudah mulai gelap, maka dengan sinar mata tajam ia berkata
kepada lawannya: "Sahabat she Hee, kepandaian ilmu silatmu benar-benar
luar biasa, sekali pun aku Su-to Wie menunjukkan
kepartaianku, barangkali juga belum dapat memuaskan
dirimu, sekarang cobalah kau sambuti serangan pedangku
Hui-hong U-liu Kiam-hwat!"
Sehabis berkata pedangnya digerakkan sehingga
mengeluarkan suara mengaung.
Hee Thian Siang juga bergerak melompat ke depan pohon
cemara, untuk mengambil senjatanya yang tadi dilampirkan
menancap ke batang pohon itu.
Selagi dua jago muda itu hendak mulai bertarung lagi
dengan senjata masing-masing, Tho-hwa Niocu yang sejak
tadi berdiri di samping dengan berpikir keras tiba-tiba berseru:
"Tahan! !" Setelah itu orangnya juga lompat melesat ke tengah-tengah
dua orang yang hendak bertarung, dengan sepasang matanya
yang jeli ia memandang Hee Thian Siang sejenak, kemudian
berkata sambil tertawa terbahak-bahak:
"Saudara kecil, aku sekarang sudah mengetahui siapa
gurumu, kau ternyata adalah murid kesayangan Pat-bin Sin-po
Hong-poh Cui. Belum lama berselang, kau sudah mencuri
sebutir senjata bomnya Kian-thian-pek-lek dan mengeluyur di
kalangan Kang-ouw. . ."
Begitu mendengar disebutnya nama Pak-bin Sin-po, Lionghui Kiam-khek lantas mengerutkan alisnya, apalagi setelah
mendengar bahwa Hee Thian Siang membawa senjata Kianthian-pek-lek yang terkenal paling ampuh dalam rimba
persilatan, maka ia semakin tidak berani menanam bibit
permusuhan lagi dengannya.
Namun demikian, karena hawa amarahnya belum padam,
maka pedang Cing-lie-kiam yang masih berada di tangannya,
ia merasa tidak enak untuk mengembalikan ke dalam
sarungnya. Hee Thian Siang yang mendengar ucapan Tho-hwa Niocu
tadi, ia mengatakan dirinya yang sudah mencuri senjata
peledak gurunya, sesaat itu mukanya menjadi merah, dalam
hatinya diam-diam merasa heran, dengan cara bagaimana
wanita itu mengetahui asal-usul dirinya"
Tho-hwa Niocu lalu melirik kepada Liong-hui Kiam-khek
dan berkata dengan pura-pura menyesali:
"Mengapa kau tidak simpan senjatamu" Kita telah bertemu
secara kebetulan dengan saudara kecil ini, oleh karena satu
sama lain tiada permusuhan apa-apa, pertandingan tadi
anggap saja sebagai pertandingan persahabatan, maka
sebaiknya kita sudahi saja. Apakah kau masih perlu bertarung
mati-matian dengan menggunakan senjata tajam?"
Liong-hui Kiam-khek telah menggunakan kesempatan itu
menyimpan lagi pedangnya, Tho-hwa Niocu kembali berkata
kepada Hee Thian Siang sambil tertawa:
"Saudara kecil, kau jangan kaget, aku tadi sebetulnya dari
senjatamu yang kau sebut sendiri sebagai Sam-ciok Kianhoan, barulah dapat menduga asal-usul dirimu! Aku juga
pernah dengar kata dari suhumu, oleh karena ia tidak tega kau
berkelana di dunia Kang-ouw seorang diri, pula merasa
khawatir kau yang belum mempunyai pengalaman dalam
dunia Kang-ouw, lalu menggunakan senjata Kian-thian-pek-lek
dengan sembarangan, maka ia bergegas hendak turun
gunung hendak mencari kau! " B
Berkata sampai di situ ia berhenti sejenak, dengan
sikapnya yang genit itu ia mengerling Hee Thian Siang
sebentar, kemudian berkata pula sambil tertawa:
"Sementara itu mengenai urusan kita malam ini, oleh
karena siapa pun tidak ada yang dirugikan, maka siapa pun
juga tidak perlu dibuat pikiran. Peribahasa kata, berjumpa
yang tiada terduga-duga, itulah yang dinamakan jodoh. Kita
satu sama lain, kelak di kemudian hari jika bertemu lagi di
kalangan Kang-ouw, atau saudara kecil kalau kebetulan lewat
di gunung Tiam-cong-san atau Kie-lian-san, Liong-hui Kiamkhek aku pasti akan menerima kedatanganmu dengan tangan
terbuka!" Sehabis berkata ia lalu berpaling dan berkata kepada
Liong-hui Kiam-khek: "Ca Bu Kao kalau memang belum pernah datang kemari,
perlu apa kau harus mencarinya kembali" Sebaliknya
undangan yang dikeluarkan oleh golongan Tiam-cong dan
Kie-lian, kau antarkan langsung ke gunung Lo-hu-san, undang
Peng-sim Sin-nie pada musim panas tahun depan, untuk
mengadakan pertemuan atau pertandingan di lembah
kematian di gunung Cong-lam-san!"
Liong-hui Kiam-khek yang seolah-olah tunduk terhadap
Tho-hwa Nio-cu, ketika mendengar ucapan itu,
memandangnya sejenak lalu bertanya sambil tersenyum:
"Apakah kita perlu berangkat sekarang juga dan tidak
berkunjung dulu ke makam bunga mawar untuk meminta
restunya?" "Aku dengan kau tokh sudah bersumpah dan berjanji
hendak sehidup semati, walaupun dunia kiamat. cintaku ini
tidak akan berubah. Oleh karena kita satu sama lain sudah
saling mengerti dan saling mencinta, perlu apa harus minta
restu lagi kepada makam bunga mawar?" menjawab Tho-hwa
Nio-cu sambil tertawa geli.
Sehabis mengucap demikian, ia menganggukkan kepala
kepada Hee Thian Siang, lantas berlalu sambil menggandeng
tangan Liong-hui Kiam-khek.
Hee Thian Siang mengawasi berlalunya sepasang insan
tadi sehingga memutar gunung, lalu berkata sendiri sambil
mengeluarkan suara dari hidung:
"Orang hina dina semacam kalian itu, bagaimana boleh
menginjak tanah suci makam bunga mawar?"
Belum lama berselang, seperginya Liong-hui Kiam-khek
dan Tho-hwa Nio-cu, dari puncak gunung Hui-thian-hong,
telah muncul dirinya Ling-po Giok-lie Ca Bu Kao.
Namun wanita ini kini sudah pucat pasi wajahnya, sambil
menggertak gigi dan menghela napas, ia hendak terjun ke
dalam jurang yang tinggi itu.
Ca Bu Kao yang masih dirundung malang, saat itu timbul
niatnya hendak bunuh diri, tetapi ketika mendengar perkataan
yang diucapkan oleh Hee Thian Siang tadi, ucapan itu seolaholah suatu kekuatan dari atas, telah memberi hiburan kepada
Ca Bu Kao yang sudah putus harapan. Sehingga niatnya
hendak bunuh diri waktu itu dibatalkan. Ia memutar tubuhnya
menghadap ke arah makam bunga mawar dan merangkapkan
kedua tangannya sambil mendoa. Karena kedatangan Hee
Thian Siang ke makam bunga mawar tadi, justru Ling-po Gioklie baru saja berlalu dari situ, hingga keduanya tidak sampai
bertemu muka. Sedangkan duta bunga mawar juga tidak
memberitahukan padanya, maka ia sama sekali tidak tahu
bahwa Ling-po Giok-lie Ca Bu Kao dengan Liong-hui Kiamkhek Su-to Wie pernah terjadi pertikaian dalam asmara.
Sekarang ia juga tidak menduga sama sekali bahwa
ucapannya yang tidak disengaja yang keluar dari mulutnya,
telah menyadarkan wanita itu sehingga membatalkan
maksudnya yang hendak bunuh diri terjun ke dalam jurang. Ia
masih seenaknya dengan menggunakan ilmunya meringankan
tubuh lari keluar dari gunung Bin-san hendak pergi ke lautan
timur seperti apa yang diberikan petunjuk oleh duta bunga
mawar. Hee Thian Siang yang mengingat dirinya sendiri, juga diamdiam merasa geli, karena ia sendiri dengan gadis berbaju
putih itu hanya melihatnya sepintas lalu saja. Namun potongan
tubuh yang indah, parasnya yang menggiurkan dan ilmu silat
yang sangat tinggi dari gadis itu telah berkesan sangat dalam
di dalam otaknya sehingga selalu memikirinya siang maupun
malam. Bayangan gadis itulah yang mendorongnya pergi
melakukan perjalanan ke gunung Bin-san, mau minta restu
kepada makam bunga mawar yang oleh orang-orang rimba
persilatan disohorkan sebagai tempat suci yang sudah banyak
membantu pemuda-pemudi yang saling mencinta mencapai
maksudnya menjadi suami isteri.
Meskipun ia sendiri masih menyangsikan apakah
maksudnya sendiri bisa terkabul atau tidak, namun dalam
perjalanannya itu, ia sudah mendapat banyak pengalaman
yang berharga. Tetapi menurut apa yang dikatakan oleh Tho-hwa Nio-cu
tadi, katanya gurunya sendiri hendak turun gunung mencari
dirinya, maka selanjutnya ia harus berlaku hati-hati, apabila
tidak terpaksa jangan sembarangan menggunakan ilmu silat
simpanan dan senjata rahasia tunggal, jangan sampai
diketahui oleh gurunya. Karena apabila diketemukan oleh
gurunya pasti akan dibawa pulang ke gunung lagi.
Duta bunga mawar pernah memberi petunjuk kepadanya,
bahwa pulau yang didiami It-pun Sin-ceng terletak di lautan
Timur dekat tiga selat di sungai Tiang-kang propinsi Ciat-kang.
Hee Thian Siang yang tertarik oleh pemandangan alam di
selat tiga, maka dari kota Ban-sian ia pergi ke kota Hong-ciat,
di situ ia hendak menumpang perahu menuju ke lautan timur.
Sepanjang jalan itu tidak ada hal-hal yang perlu dicatat.
Tapi setelah ia tiba di kota Hong-ciat, selagi hendak numpang
perahu, ternyata tidak terdapat sebuah perahu pun juga.
Dalam keadaan demikian, ia terpaksa berjalan mondar-mandir
di tepi sungai. Saat itu tampak olehnya seorang nelayan berambut putih
dengan tangan memegang jala berdiri di tepi sungai yang
airnya sangat deras, sedang matanya ditujukan ke air yang
berombak-ombak, kemudian melepaskan jalanya, tak lama
kemudian dalam jala itu sudah dipenuhi oleh ikan.
Cara menjala ikan seperti itu, baru pertama kali itu
disaksikan olehn ya. Ia yang tertarik oleh cara menjala orang
tua itu, sehingga melupakan tugasnya sendiri yang sedang


Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencari perahu, lalu berhenti di situ, berdiri di belakang
nelayan tua dengan penuh perhatian menyaksikan caranya
orang tua itu menjala ikan.
Nelayan tua itu telah berhasil mendapat lima belas ekor
ikan besar, nampaknya ia merasa puas dan menghentikan
jalanya, kemudian memutar tubuh dan berkata kepada Hee
Thian Siang sambil tertawa tergelak-gelak:
"Anak muda, karena kau sudah melihat setengah hari
caraku menjala, maka aku berikan kepadamu seekor ikan
segar untuk kau jadikan teman arak, sukakah kau
menerimanya?" Setelah berhadapan dengan nelayan tua itu Hee Thian
Siang baru dapat melihat orang tua itu meskipun usianya
sudah lanjut, namun semangatnya masih menyala-nyala, jelas
orang tua itu bukanlah orang sembarangan yang mungkin
sengaja menyembunyikan diri di kalangan nelayan.
Atas pertanyaan nelayan tua tadi, ia lalu menjawab sambil
tertawa dan memberi hormat:
"Bapa, kalau kau senang memberikan aku seekor ikan
segar, mengapa tidak sekalian memberikan araknya?"
Mendengar perkataan itu, kembali nelayan tua itu
memperhatikan Hee Thian Siang, kemudian berkata sambil
tertawa dan mengangguk-anggukkan kepala:
"Anak muda, kau suka berlaku terus terang, sesungguhnya
merupakan orang yang sangat baik! Semua ikanku ini, sudah
ada pemesannya, sekarang kuminta kau tunggu di sini
sebentar, setelah aku nanti mengantarkan ikan-ikanku ini, aku
nanti akan membelikan sedikit arak, kita boleh makan ikan dan
minum arak sambil menikmati hawa malam di tepi sungai ini!"
Hee Thian Siang menganggukkan kepala sambil
tersenyum, nelayan tua itu lalu membawa keranjangnya yang
penuh ikan, dengan sangat gembira berlalu sambil bernyanyinyanyi. Pada waktu itu matahari sudah mulai condong ke
barat, air ombak yang sedang pasang hampir merupakan
tembok tinggi yang bisa bergerak. Hee Thian Siang dengan
seorang diri berdiri di tepi sungai, diam-diam berpikir, sungai
Tiang-kang ini belum lagi memasuki selat, airnya sudah
demikian hebat, bagaimana keadaannya nanti kalau kita
sudah memasuki selat"
Sinar matahari di waktu senja, memang sangat indah
pemandangannya, tetapi pemandangan alam seindah itu tidak
lama, sebab sudah keburu diganti oleh kedatangannya sang
malam. Ketika malam tiba, di belakang dirinya terdengar suara
nelayan tua tadi, yang dibarengi dengan suara tertawanya.
"Anak muda, apakah air sungai yang mengalir deras ini
memberi kesan di dalam hatimu" Tetapi seperti apa yang
dikatakan oleh orang-orang: Ombak air sungai Tiang-kang
yang belakang mendiring yang depan, dalam dunia orang
yang baru menggantikan yang lama. Orang semuda seperti
kau ini justru seperti bulan yang baru muncul, memancarkan
sinarnya yang sangat indah. . "
Hee Thian Siang mengerti bahwa ucapan orang tua itu
mengandung filsafat dalam, ia lalu memutar tubuhnya dan
berkata sambil tertawa: "Semua air sungai yang mengalir ke timur, akhirnya toh
masuk ke dalam lautan. Manusia berapa lama hidup dalam
dunia " Seperti air dalam sungai, rembulan di atas langit,
masing-masing mempunyai suka dukanya sendiri. Ombak air
sungai Tiang-kang barangkali masih tidak sanggup menelan
semangat pendekar yang tulen, namun ia juga merupakan
saksi mati sepanjang masa atas banyak jiwa yang melayang
di dalam sungai ini, semata-mata karena berebut pengaruh
berebut nama dan kedudukan kosong!"
Nelayan tua yang mendengarkan ucapan Hee Thian Siang,
semangatnya terbangun. Ia meletakkan cawan di tangannya
dan berkata tertawa terbahak-bahak:
"Anak muda, dalam usiamu yang masih muda belia seperti
ini, kau sudah mempunyai pandangan yang sangat luas,
sesungguhnya jarang ada! Tetapi sebutanmu padaku yang
selalu menggunakan istilah bapak, seolah-olah menimbulkan
kesan bahwa aku ini sudah mendekati liang kubur! Maka
sebaiknya sebut namaku Kiong Lam saja. Dan Kau" Apakah
kau orang rimba persilatan yang hendak pergi ke gunung Busan ?" Mendengar ucapan terakhir nelayan tua yang menamakan
diri Kiong Lam itu, Hee Thian Siang tercengang, buru-buru
menyelanya sambil tertawa:
"Namaku Hee Thian Siang, meskipun mengerti sedikit ilmu
silat, juga terhitung salah seorang rimba persilatan, tetapi aku
masih belum tahu ada kejadian apa sebetulnya di atas gunung
Bu-san itu?" "Kalau kau tidak tahu urusan ini, itulah paling baik. Iblis
wanita itu sesungguhnya susah sekali dihadapi. Sampai pun
salah seorang dari golongan Bu-tong dan salah seorang dari
Siauw-lim, tidak berdaya menghadapinya, sehingga. . .
mengalami kematian di dalam air!"
Hee Thian Siang yang mendengarkan ucapan nelayan tua
itu, ia semakin merasa bahwa di dalam hal itu sesungguhnya
sangat menarik, maka lalu berkata:
"Bapa Kiong. . . ."
Baru saja mengeluarkan sepatah katanya, Kiong Lam
sudah menggoyang-goyangkan tangannya dan berkata sambil
tertawa: "Hee laote, aku tahu, kau yang masih muda gemar sekali
dengan keramaian, kau tentunya ingin mendengar kisah ini"
Tetapi kau harus hapuskan sebutan Bapa tadi, panggil saja
aku Kiong toako, itu sudah cukup!"
Hee Thian Siang memang sudah tahu bahwa orang tua
yang mengaku bernama Kiong Lam itu sesungguhnya bukan
orang sembarangan, maka ia menurut dan merubah
panggilannya, ia berkata sambil tertawa:
"Toako, siaute baru pertama kali ini menginjak kaki di
kalangan Kang-ouw, hingga pengalamanku sangat dangkal
sekali, oleh karena ada suatu urusan, aku harus pergi ke
lautan timur, tetapi di kota Hong-ciat ini aku tidak berhasil
menemukan sebuah perahu pun untuk membawa aku ke
sana, hingga aku tahu dalam hal ini pasti ada sebabnya!
Bolehkah kiranya toako menceritakan kisah yang menyangkut
diri iblis wanita dari gunung Bu-san itu sambil minum arak di
sini?" Kiong Lam menganggukkan kepala sambil tersenyum, ia
lalu membuat api untuk menggoreng ikan, setelah itu ia
membuka botol araknya, dengan Hee Thian Siang sama-sama
duduk di sebuah batu besar di tepi sungai, sembari minum ia
berkata sambil tertawa: "Gunung Bu-san yang mempunyai puncak dua belas itu
memang paling banyak kisahnya. Di puncak gunung Tiao-inhong, didiami oleh seorang iblis, meskipun kau baru pertama
menginjak dunia Kang-ouw, tetapi tentunya sudah pernah kau
mendengar nama Thian-gwa Ceng-mo, bukan?"
Hee Thian Siang berseru kaget dan bertanya:
"Ow! Thian-gwa Ceng-mo Tiong Sun Seng juga merupakan
orang yang paling susah dihadapi dari tiga orang yang paling
aneh dalam rimba persilatan dewasa ini! Ilmu silatnya luar
biasa anaknya, jejaknya tidak menentu, apakah dia berdiam di
puncak Tiao-in-hong gunung Bu-san ini?"
"Kata-katamu tadi memang tidak salah, Pak-bin Sin-po
Hong-poh Cui, Thian-gwa Ceng-mo Tiong Sun Seng dan
Hong-bin Ong-khek Ma Sing Ong, mereka bertiga disebut
sebagai orang yang paling susah dihadapi dalam rimba
persilatan dewasa ini! Sedangkan Tiong Sun Seng yang
sifatnya aneh dan jejaknya tidak menentu, ia juga merupakan
orang yang paling susah didekati di antara tiga orang aneh itu.
Tetapi orang yang jejaknya tidak menentu seperti dia itu,
dengan cara bagaimana bisa berdiam lama di gunung Busan" Di dalam puncak Tiao-in-hong ada berdiam seorang
murid wanita bernama Hwa Jie Swat, dengan julukannya Busan Sian-cu. Dengan Tiong Sun Seng merupakan setengah
murid dan setengah anak angkat."
Hee Thian Siang merasa tertarik oleh keterangan orang tua
itu, sekaligus ia dapat menghabiskan tiga cawan arak,
kemudian ia bertanya sambil tersenyum:
"Tiong Sun Seng meskipun susah dihadapi tetapi anak
muridnya belum tentu demikian hebat! Dengan cara
bagaimana Bu-san Sian-cu Hwa Jie Swat dapat menggunakan
pengaruhnya, sehingga perahu-perahu di sini menyingkir jauhjauh dan tidak bersedia menyeberangkan orang?"
Kiong Lam telah mendapat kenyataan bahwa pemuda itu
gemar minum arak, apalagi setelah mendengar keterangan
tentang diri Thian Gwa Ceng-mo agaknya tidak merasa takut,
maka ia tahu bahwa anak muda itu, pastilah bukan orang
sembarangan. Maka ia segera menjawab:
"Bagaimana pun jahatnya Hwa Jie Swat, juga tidak sampai
berani memutuskan hubungan perahu di sungai Tiang-kang
ini! Hanya pada hari-hari yang ditentukan, ialah pada setiap
tahun tanggal lima belas, enam belas, tujuh belas, bulan lima,
ada larangan yang dibuat olehnya, yang melarang semua
perahu berlayar melewati gunung Bu-san, barang siapa yang
berani berlayar akan mendapat kesusahan yang
memusingkan kepala!"
Hee Thian Siang waktu itu segera menghitung-hitung
harinya, memang benar malam itu justru tanggal lima belas
bulan lima, bulan di langit sedang bundarnya, maka lalu
berkata kepada Kiong Lam:
"Tolong Kiong toako berikan keterangan lebih jelas apabila
dalam waktu tiga hari yang ditentukan oleh Bu-san Sian-cu itu
seandainya ada perahu yang berani berlayar di bawahnya
gunung Bu-san akan mendapat kesulitan apa?"
"Hwa Jie Swat yang berdiam di puncak Tiao-in-hong jarang
sekali turun gunung hanya pada setiap tahun dan tiga hari
yang ia sudah tentukan, di malam bulan purnama ia pasti
turun gunung dan dengan seorang diri menggadangi puteri
malam di tepi sungai, jika menemukan orang rimba persilatan
yang berlayar di situ pasti diganggunya. Kadang-kadang
diajak bertanding ilmu silat, kadang-kadang juga mengajak
pertaruhan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
sulit dan aneh-aneh! Tanggal enam belas bulan lima tahun
yang lalu, Lie-tim-cu dari golongan Bu-tong dan Tiat-ciang
Gin-so Lok Kiu Siang dari golongan Siau-lim, sewaktu berlayar
melalui gunung Bu-san dan berjumpa dengan Hwa Jie Swat,
karena tidak berhasil memenangkan pertandingan dan
pertaruhan, dua-duanya harus terjun ke dalam air sungai,
karena merasa malu!"
Mendengar penuturan itu, sepasang alis Hee Thian Siang
berdiri, setelah berdiam sejenak kemudian berkata lambatlambat: "Hwa Jie Swat ini pasti pernah mengalami kegagalan dalam
asmara atau patah hati, jikalau tidak, tidaklah mungkin ia
sengaja mempersulit orang-orang rimba persilatan yang pada
hari-hari yang ditentukan itu lewat di gunung Bu-san! Jikalau
toako ada keberanian. . "
Tidak menunggu Hee Thian Siang menjelaskan maksudnya,
Kiong Lam sudah memotong sambil tertawa:
"Maksud Hee laote, apakah hendak mengajak aku
mengawani kau berlayar melalui gunung Bu-san, untuk
menjumpai Hwa Jie Swat?"
Baru saja Hee Thian Siang menganggukkan kepala, Kiong
Lam sudah berkata pula: "Kiong Lam sebetulnya tidak memiliki kepandaian apa-apa,
hanya kepandaian mengemudikan perahu dan menyelam di
dalam air, aku yakin masih boleh diandalkan. Karena aku
merasa senang bersahabat dengan pemuda seperti kau ini,
maka apa salahnya kalau aku mengiringi kehendakmu"
Jikalau ketemu dengan Hwa Jie Swat, aku hendak menonton
laote menghadapi Hwa Jie Swat. Seandainya tidak ketemu,
aku akan antar keluar kau dari selat See-leng-kiap!"
Mendengar ucapan itu, bukan kepalang girangnya Hee
Thian Siang, maka ia segera memberi hormat dan
mengucapkan terima kasih. Ketika ia bangkit dari tempat
duduknya, ia sengaja menyalurkan kekuatan tenaga dalamnya
kepada lengan di jubahnya dan ketika lengan jubah itu
menyentuh ujung batu, ujung batu itu lantas hancur. Kiong
Lam yang menyaksikan kejadian itu, lalu berkata sambil
tertawa terbahak-bahak: "Laotee tidak perlu menunjukkan kepandaianmu untuk
melegakan hatiku! Dari sikap dan keberanianmu, bagi orang
yang mempunyai sedikit pengalaman saja di dunia Kang-ouw,
begitu melihat sudah bisa mengetahui kalau kau bukan orang
dari golongan sembarangan! Mari sekarang kita pergi dulu ke
kediamanku untuk mempersiapkan perahuku, besok malam
kita sudah bisa tiba di bawah kaki gunung Bu-san. Tentang
kepandaian ilmu silat Hwa Jie Swat, mungkin masih mudah
kau hadapi, hanya pertanyaan-pertanyaannya yang anehaneh yang digunakan sebagai pertaruhan, yang paling susah
dihadapi. Maka laotee harus berhati-hati sedikit!"
Dalam hati Hee Thian Siang meski tidak dapat
membenarkan anggapan Kiong Lam, namun mulutnya masih
menyatakan terima kasihnya atas peringatan itu.
Setelah semua persiapan selesai, malam itu juga dua
kawan itu lalu menumpang sebuah perahu kecil berlayar
menuju ke timur. Nelayan tua Kiong Lam itu, sesungguhnya
merupakan seorang tukang perahu yang sangat pandai, ia
mengemudikan perahunya di atas air sungai yang ombaknya
keras itu dengan seenaknya, bahkan masih beromong-omong
dan tertawa-tawa. Kalau tiba di tempat yang indah pemandangan alamnya, ia
sengaja berhenti dan membiarkan perahunya berputaran
mengikuti arahnya air. Hee Thian Siang yang memang sangat pemberani dan
sifatnya yang gemar segala barang aneh, ketika menyaksikan
kepandaian Kiong Lam, mengemudikan perahu yang mahir
sekali, malah minta supaya mencari tempat yang airnya
mengalir paling deras, perahunya menerjang ombak bagaikan
terbang. Dengan tiba-tiba ia teringat kepada diri seorang jago dari
rimba persilatan yang mahir dalam air, maka lalu bertanya
kepada Kiong Lam: "Kiong toako, namamu Kiong Lam itu, jikalau dibalik, justru
menjadi Lam Kiong, dan kau juga pandai sekali mendayung


Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perahu, apakah kau bukannya Lam Kiong Phay, yang dalam
kalangan Kang-ouw mendapat julukan In-po Kun-siu dan yang
dahulu pernah menjagoi daerah telaga Tong-teng-ouw?"
Kiong Lam yang ditanya demikian secara mendadak,
semula tercengang, tetapi kemudian menjawab sambil tertawa
terbahak-bahak: "Hee laotee, pandangan matamu sesungguhnya sangat
tajam sekali. Dengan terus terang, In-po Kun-siu adalah
saudara tuaku, tetapi sudah lama meninggal. Namaku sendiri
sebetulnya Lam-kiong Hao, tetapi nama itu sudah lama tidak
kugunakan, maka sebaiknya kau sebut aku Kiong toako saja!"
Hee Thian Siang dapat merasakan bahwa suara tertawa
orang tua yang mengaku bernama Lam-kiong Haoi itu ada
mengandung kedukaan hebat, ia tahu bahwa jago-jago dunia
Kang-ouw seperti ini, tidak mungkin mengasingkan diri tanpa
sebab, dalam halnya orang tua itu pasti pernah mengalami
pukulan hebat atau kedukaan yang terlalu besar yang
menindih hatinya, maka lalu berkata:
"Bapak Lam-kiong, kau tadi berkata bahwa denganku kau
sudah anggap sebagai sahabat akrab, bagaimana kau yang
agaknya mempunyai kesusahan dalam hati, tidak mau
menceritakan terus terang kepadaku. . .?"
Lam-kiong Hauw agaknya teringat masa yang lampau, ia
mendongakkan kepala memandang tebing-tebing di kedua sisi
yang menjulang ke langit, setelah menenangkan pikirannya
lalu memotong ucapan Hee Thian Siang.
"Hee Laotee, aku tahu kau adalah seorang pendekar yang
berjiwa ksatria,. tetapi rahasia dalam hati Lam-kiong Hao,
untuk sementara aku tidak dapat menceritakan padamu,
Setahun kemudian kita nanti bisa bertemu muka lagi aku pasti
akan menceritakan padamu bahkan ada kemungkinan aku
akan minta bantuan tenagamu!"
Dengan tanpa dirasa, perahu itu sudah tiba di selat Buhiap, gumpalan-gumpalan air yang sudah beku menjadi es
telah tampak di bagian-bagian gunung Bu-san yang hijau.
Lam-kiong Hauw memperlambat lajunya perahu, berkata
kepada Hee Thian Siang sambil tertawa:
"Sekarang kita sudah melewati habis selat ini, dua tebing
yang menjulang ke langit ini adalah gunung Bu-san! Paling
banyak memutar tiga kali putaran lagi, Bu-san Sian-cu pasti
akan keluar!" Baru menutup mulutnya, di bagian tikungan sudah
terdengar samar-samar suara nyanyian yang dinyanyikan oleh
seorang perempuan. Hee Thian Siang yang mendengar
nyanyian itu lalu berkata sambil tertawa:
"Dia telah menyanyikan lagi dari syair-syair pujangga
ternama di zaman Siok, apakah murid dan anak angkat Thian
Gwa Ceng-mo ini seperti apa yang aku duga adalah . . . ?""
Berkata sampai di situ, perahu kecil itu mengikuti
mengalirnya air sungai, sesudah memutar di bawah kaki bukit,
di situ jauh-jauh sudah tampak seorang wanita berbaju putih,
berdiri di antara bukit-bukit itu, gaunnya yang berwarna putih
berkibar-kibar di tiup angin. Wanita itu mendongakkan kepala,
memandang bulan purnama, sedang mulutnya menyanyikan
lagu-lagu yang nadanya berubah dari semula.
Selagi suara nyanyian itu masih terdengar dalam telinga
dua orang itu, tiba-tiba berkelebat sinar emas, meluncur keluar
dari lengan baju wanita berbaju putih itu, sinar itu melesat dan
turun ke dalam sungai. Lam-kiong Hauw yang menyaksikan keadaan itu, alisnya
berdiri, sambil mengemudikan perahunya melalui air sungai
yang mengalir deras, perahu itu agak dimiringkan dan
didayung menuju ke tempat wanita itu berdiri, di samping itu ia
berkata kepada Hee Thian Siang:
"Hwa Jie Swat jika melihat ada perahu mendatangi, lalu
menggunakan tambang Kim-kau Tiang-sok, dilemparkan ke
tengah sungai, jikalau kita tidak keburu menepi, asal dia
menggunakan kekuatan tenaga dalamnya, begitu tambang itu
digerakkan, perahu kita akan terbalik, dan orangnya akan
tenggelam, akan tamatlah riwayat kita!"
Hee Thian Siang ketika mendengar keterangan Lam-kiong
Hauw telah mengetahui bahwa Bu-san Sian-cu itu agak
keterlaluan tindakannya, selagi hendak membuka mulut, di
hadapan matanya tampak berkelebat sinar terang, dan
kemudian meluncur pula seutas tali yang ujungnya diikat
sebuah benda yang tajam runcing, benda itu lalu menancap
ke kepala perahu. Lam-kiong Hauw tertawa terbahak-bahak, ia lalu
menghentikan dayungnya dan membiarkan Bu-san Sian-cu
menarik perahunya, hingga sebentar kemudian sudah
merapat dengan bahwa kaki gunung.
Hee Thian Siang yang berdiri di bagian kepala dengan
sinar mata yang tajam telah mengetahui bahwa Bu-san Siancu itu kira-kira usianya dua-puluh tujuh tahunan, bentuk
tubuhnya sedang, tetapi wajahnya meskipun cantik, namun
sikapnya agaknya sangat murung, di ujung matanya bahkan
memancarkan sinarnya yang agak buas.
Terpisah kira-kira dua tombak dengan pantai, Hee Thian
Siang dan Lam-kiong Hauw dua-duanya sudah lompat dari
perahunya. Hwe Jie Swat lalu menambat perahu itu dengan sebuah
batu besar, setelah itu sambil mengawasi Lam-kiong Hauw
berkata: "Tua bangka, bagus sekali ilmumu mendayung perahu, kau
agaknya kenal betul keadaan di selat ini, seharusnya kau
adalah penduduk di daerah tiga selat! Tetapi mengapa kau
berani melalui jalan di daerah yang terlarang ini" Apakah kau
tidak tahu peraturan yang sudah aku tetapkan?"
Lam-kiong Hauw tersenyum, ia menjawab sambil
mengurut-urut jenggotnya:
"Peraturan itu, adalah kau sendiri yang membuatnya,
apalagi kau membuat peraturan itu disebabkan karena dahulu
ada orang yang tidak menepati janji untuk datang ke tepi
sungai ini pada tanggal lima-belas hingga tujuh-belas bulan
lima, kau lalu melemparkan kemarahanmu kepada setiap
orang yang lewat di tempat ini, dengan demikian kau telah
membuat peraturan semacam itu, barang siapa yang melewati
selat ini pada setiap tahun pada hari dan bulan itu, kau lantas
anggap sebagai orang melanggar janjimu dan lantas merasa
benci. Perbuatan semacam itu semata-mata hanya perbuatan
untuk membalas dendam terhadap orang yang tidak menepati
janji kepadamu itu!"
Hwa Jie Swat agaknya terkejut oleh ucapan orang tua itu,
yang mengetahui keadaan dirinya, alisnya lalu berdiri,
matanya memancarkan sinar tajam, kemudian berkata lambatlambat: "Kalau kau sudah mengetahui sebab musabab aku
membuat peraturan ini, apakah kau sengaja datang kemari"
Mengapa kau tidak memberitahukan namamu?"
Hee Thian Siang yang merasa tidak senang menyaksikan
sikap sombong perempuan itu, lalu berkata dengan suara
lantang: "Aku bernama Hee Thian Siang, dan Tuan ini adalah toakoku Lam-kiong Hauw, aku merasa heran mendengar ucapanmu
tadi, tokh tidak mungkin daerah sungai Tiang-kang seluas ini
adalah milik pribadimu, sehingga kau dapat mengeluarkan
larangan seenaknya saja. Aku ada urusan perlu pergi ke
lautan timur, hingga minta Kiong toako mengantarkan aku
melalui selat ini, meskipun aku tahu bahwa kau akan
merintangi perjalananku, tetapi aku sudah bersedia untuk
menyambuti ilmu silatmu yang kau dapatkan dari Thian-gwa
Ceng-mo Tiong Sun Seng dan bersedia pula untuk menjawab
pertanyaan yang aneh-aneh itu, sedikit pun tidak ada niat
untuk melanggar dengan sengaja!"
Hwa Jie Swat dengan tenang mendengar ucapan Hee
Thian Siang, sinar matanya sebaliknya tidak begitu kejam lagi,
sikap yang sombong perlahan-lahan juga mulai menghilang
dan berubah ramah tamah dan berkata sambil tersenyum:
"Saudara kecil, kau pandai bicara dan berani sekali. Kau
ternyata tidak takut ilmu turunan Thian-gwa Ceng-mo dan
pertanyaan yang aneh-aneh, bolehkah kau memberitahukan
kepadaku, kau ini murid dari golongan mana?" "
Aku dengar kabar kau sengaja dan suka sekali mengajukan
pertanyaan yang aneh-aneh untuk menyusahkan orang yang
hendak lewat di sini, kau juga senang sekali mengadakan
taruhan dengan pertanyaanmu yang aneh-aneh itu. Apa
salahnya kalau aku sekarang mencoba bertaruh denganmu,
jika aku tidak dapat menjawab semua pertanyaanmu, aku
akan menjawab dengan jujurnya tentang guruku. Sebaliknya
apabila aku dapat menjawab dengan benar, maka kau harus
menyediakan arak dan barang hidangan untuk menjamu kita,
aku harap kau jangan terlalu pelit!"
Hwa Jie Swat kembali mengamat-amati pemuda yang
sangat berani itu, kemudian berkata sambil menganggukanggukkan kepala dan tertawa:
"Kau saudara kecil ini, sesungguhnya merupakan orang
yang paling menyenangkan dari orang-orang yang pernah
kujumpai pada beberapa tahun ini! Tidak perduli kau dapat
menjawab dengan tepat atau tidak pertanyaan yang kuajukan,
sudah seharusnya aku yang bertindak selaku tuan rumah
akan menjamu padamu!"
Sehabis berkata, ia lalu mendongakkan kepala dan
mengeluarkan siulan panjang. Hee Thian Siang tahu bahwa
perempuan itu sedang memanggil pelayannya untuk
menyediakan barang hidangan, maka segera menarik tangan
Lam-kiong Hauw dan duduk di atas batu, dengan tenang
menantikan pertanyaan yang akan diajukan oleh Hwa Jie Swat.
Hwa Jie Swat sehabis memanggil pelayannya lalu
membereskan rambutnya yang awut-awutan setelah itu ia
menunjuk rembulan di atas langit dan berkata kepada Hee
Thian Siang sambil tersenyum:
"Saudara kecil, pertanyaan pertama ini tidak besar artinya,
maka pertanyaanku juga tidak terlalu sulit, rembulan di atas
langit itu mengapa bisa suram, dan mengapa bisa terang"
Mengapa kadang-kadang bundar dan kadang-kadang hanya
setengah?" "Manusia ada suka dan dukanya, begitu pun dengan
rembulan, ada masa suram juga ada masa terang, ada
peribahasa pernah berkata: Jika ada cinta kasih, orang tidak
akan merasa tua, jika tidak ada kemasgulan, rembulan akan
tetap bundar! Pertanyaanmu yang pertama ini sesungguhnya
terlalu. . ." Belum lagi habis ucapannya, di bawah sinar rembulan tibatiba tampak berkelebat bayangan orang yang muncul dari
puncak gunung, dua bayangan orang itu adalah dua pelayan
wanita berbaju hijau, tangan mereka masing-masing
membawa rantang yang berisi barang hidangan.
Barang hidangan dan arak disediakan di atas batu,
kemudian memberi hormat kepada tuan rumah dan
tetamunya, setelah itu berdiri sambil meluruskan tangannya.
Hwa Jie Swat menuangkan araknya kepada Hee Thian
Siang dan Lam-kiong Hauw, setelah itu ia berkata sambil
tertawa: "Saudara kecil, kau jangan anggap pertanyaan tadi terlalu
mudah, kau harus tahu bahwa pertanyaan yang sulit-sulit
masih akan menyusul, sekarang pertaruhan apa dengan
pertanyaanku yang kedua?"
Hee Thian Siang telah dapat menyaksikan bahwa Hwa Jie
Swat yang menuangkan arak lebih dulu kepada Lam-kiong
Hauw, sikapnya sangat tenang, tetapi ketika menuangkan
arak kepada dirinya sendiri, sikapnya agak gemetar, pipinya
berubah merah, agaknya sedang mengerahkan kekuatan
tenaga dalamnya. Hwa Jie Swat diketahui oleh Hee Thian Siang sebagai
murid dan anak angkat Thian-gwa Ceng-mo Tiong Sun Seng,
sudah tentu ia tidak berani memandang ringan, maka diamdiam mengerahkan ilmu kepandaian perguruannya yang
dinamakan Kian-thian Khie-kang, dikerahkan kepada lengan
tangannya, dengan satu tangan menyambut cawan yang
disuguhkan oleh Hwa Jie Swat, sambil tertawa.
Begitu tangan menyambut cawan arak, Hee Thian Siang
segera dapat merasakan bahwa kekuatan tenaga dalam
perempuan itu terlalu kuat sekali, hingga ia sendiri hampir
tidak dapat tahan lama! Seketika itu wajahnya menjadi merah, selagi hendak
menambah kekuatan tenaga sendiri, Hwa Jie Swat tiba-tiba
menarik kembali kekuatan tenaga dalamnya, lalu berkata
sambil tersenyum ramah: "Saudara kecil, pertanyaanku yang pertama, meskipun
sudah kau jawab dengan betul, tetapi aku juga sudah
mengetahui asal-usul dirimu, kau adalah murid Pak-bin Sin-po
Hong-poh Cui!" Lam-kiong Hauw yang mendengar ucapan itu, bukan
kepalang terkejutnya, maka diam-diam merasa kagum atas
diri pemuda itu, pantas saja kalau ia tidak takut nama besar
Thian-gwa Ceng-mo Tiong Sun Seng, karena ia sendiri juga
merupakan murid salah seorang dari tiga orang yang terkenal
sangat sulit dilayani itu.
Hee Thian Siang yang sudah diketahui asal-usulnya oleh
Hwa Jie Swat, terpaksa menganggukkan kepala, ia berkata
kepadanya: "Pertaruhan pertama adalah aku yang usulkan, maka
pertaruhan yang kedua ini seharusnya kau yang menetapkan!"
"Saudara kecil, adat dan watakmu ini benar-benar mirip
dengan suhumu yang keras kepala, tetapi keras kepala
suhumu sangat menakutkan orang, sedangkan sifat keras
kepalamu sangat menyenangkan! Oleh karena Hwa Jie Swat
dahulu sudah pernah bersumpah, sebelum orang yang dahulu
mengingkari janji kepadaku itu datang memenuhi janjinya, aku
tidak akan berlalu dari gunung Bu-san ini. Maka pertanyaanku
kedua ini, aku kira kutetapkan demikian: Jikalau aku yang
menang, dalam waktu tiga tahun kau harus tolong aku
mencarikan orang yang mengingkari janjinya itu, minta ia
lekas datang untuk memenuhi janjinya. Jikalau kau yang
menang, aku nanti akan memberi hadiah sesuatu benda yang
sangat berguna bagimu!"
Hwa Jie Swat berkata pula sambil menunjuk rembulan.
"Saudara kecil, kau tadi menggunakan kata-kata dari
peribahasa dari rembulan yang akan terus bundar apabila
tidak ada kemasgulan. Sekarang aku hendak bertanya


Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepadamu, rembulan purnama yang cahayanya menyinari
seluruh jagat ini, bagaimana bisa masgul?"
Hee Thian Siang mengerti bahwa pertanyaan yang bersifat
khayalan ini tidak dapat dijawab dengan positif, harus
diimbangi dengan khayalan pula, yang penting, jawaban itu
harus mengenakan dengan jitu terhadap perasaan dan
persoalan yang menimpa diri gadis itu.
Maka ia berpikir dahulu, baru menjawab lambat-lambat:
"Aku teringat kepada dua bait syair pujangga Lie Siong Ing
yang bunyinya begini: "Siong-Go (Dewi Rembulan) seharusnya merasa menyesal
atas perbuatannya mencuri obat mujizat. Di bawah langit yang
biru, di atas laut yang luas, tiap malam hati tergoda." Demikian pun dengan
keadaanmu, perasaan dalam hatimu mungkin
sama, atau setidak-setidaknya mirip dengan Dewi Rembulan
itu." Jawaban Hee Thian Siang itu, benar saja telah
menggerakkan hati Hwa Jie Swat, dengan tiba-tiba ia
menundukkan kepala dan airmatanya mengucur deras sekali!
Lam-kiong Hauw merasa khawatir keadaan akan menjadi
runyam, maka lalu memperdengarkan suara batuk-batuknya,
selagi hendak membuka mulut, Hwa Jie Swat sudah memesut
airmatanya dengan menggunakan lengan bajunya, setelah itu
dari dalam badannya ia mengeluarkan segulung jala sutera
merah, benda itu diberikan kepada Hee Thian Siang seraya
berkata sambil tertawa getir:
"Saudara kecil, dalam babak kedua ini kembali aku
mengalami kekalahan, jala ini sekarang kuberikan kepadamu!"
Mata Hee Thian Siang ditujukan kepada benda halus warna
merah di tangan Hwa Jie Swat, sikapnya menunjukkan rasa
terkejut, sambil mengulurkan tangan menyambuti benda itu,
mulutnya bertanya sambil mengerutkan alis:
"Apakah ini bukan jala sutera merah darah yang dinamakan
pula dengan Jala Asmara itu?"
"Suhumu dengan Suhuku sama-sama terkenalnya, jala
sutera merah darah dan senjata peledak kian-thian pek-lek,
dua-duanya sama terkenalnya. Yang satu tergolong benda
lunak, dan yang lain tergolong benda keras. Dengan dua
benda itu kau gunakan sebagai bekal dalam dunia Kang-ouw,
sangat berguna sekali bagimu!" berkata Hwa Jie Swat sambil
menganggukkan kepala. Dalam keadaan yang sangat girang, Hee Thian Siang
menerima pemberian benda wasiat itu, kemudian berkata
kepada Hwa Jie Swat sambil tertawa:
"Sebagai manusia, kita harus bisa mengutamakan keadilan!
Tapi sebelum kita mengadakan pertaruhan yang pertama kali,
kau pernah mengucapkan bahwa dalam pertaruhan ini tidak
perduli menang atau kalah, kau akan berlaku sebagai tuan
rumah untuk menjamu kita! Jadi sekarang setelah pertaruhan
yang kedua ini berakhir, aku juga berjanji kepadamu, dalam
waktu tiga tahun, aku hendak mencarikan orang yang telah
mengingkari janji terhadapmu itu, aku akan minta padanya
supaya datang kemari untuk menepati janjinya, dengan ini
sebagai balasannya terhadap kebaikanmu kepada kami
berdua!" Hwa Ji Swat memandang Hee Thiang Siang sejenak, dari
sepasang matanya memancarkan sinar terharu, Hee Thian
Siang kembali bertanya padanya:
"Orang yang mengingkari janjimu itu, siapakah sebetulnya"
Sekarang kau seharusnya memberitahukan kepadaku."
Paras Hwa Ji Swat sebentar nampak merah, agaknya
merasa malu, jawabnya dengan suara gelagapan:
"Dia. . dia. . dia adalah orang yang dahulu tinggal di pulau Kura di lautan
timur, tetapi sekarang sudah melakukan
perjalanan ke seluruh dunia, entah di mana adanya, namanya
atau julukannya adalah It-pun Sin-ceng!"
Jawaban itu membuat terkejut dan terheran-heran kepada
Hee Thian Siang dan Lam-kiong Hauw sebab dari ucapan dan
sikap Hwa Ji Swat, mereka telah mengetahui dengan jelas,
bahwa di antara dua insan ini pasti pernah terjalin sesuatu
perhubungan yang intim sekali, tetapi kemudian terjadi sedikit
kericuhan, sungguh tak mereka duga bahwa laki-laki yang
dibuat idaman oleh Hwa Ji Swat itu adalah tokoh golongan
Budha yang memiliki kepandaian ilmu silat tinggi sekali.
*************************
HALAMAN 75 s/d 78 ROBEK *************************
sifat yang keras kepala, sifat demikian ini dikala berkelana
di dunia Kang-ouw kadang-kadang akan menemukan banyak
kesulitan, jala merah darah yang kuberikan kepadamu tadi,
dapat kau pergunakan untuk menjaga diri dan menyerang
lawan, besar sekali gunanya. Aku minta padamu agar
disimpan baik-baik, jangan sampai kau hilangkan!"
Hee Thian Siang mengucapkan terima-kasih kepadanya,
kemudian bersama Lam-kiong Hauw melompat ke dalam
perahunya, Hwa Ji Swat juga melepaskan tambang Kim-kaosuknya, setelah itu mereka berpisahan!
Lam-kiong Hauw mengajarkan Hee Thian Siang keluar dari
selat tiga, tibalah mereka di Kota Gi-ciang. Oleh karena ia
sendiri masih ada urusan penting, maka di kota itulah ia
berpisah dengan kawannya yang baru itu.
Hee Thian Siang yang usianya masih muda, sedikit banyak
senang sekali dengan segala urusan, oleh karena
persahabatannya dengan Lam-kiong Hauw yang demikian
akrab, maka ketika hendak berpisah, ia merasakan seperti
kehilangan. Dengan seorang diri ia berjalan dengan tindakan
limbung, masuklah ia ke sebuah rumah makan.
Oleh karena ia tiba di rumah makan itu waktunya masih
terlalu pagi, maka dalam rumah makan itu kecuali dia, lainnya
ada seorang tamu berbaju kuning sedang duduk minum
seorang diri. Orang itu mempunyai berewok dan jambang, wajahnya
sangat gagah, agaknya gemar sekali minum arak, sepasang
matanya bercahaya. Mata Hee Thian Siang yang sepintas lalu
berhadapan dengannya, diam-diam merasa terperanjat, sebab
orang itu adalah orang luar biasa di kalangan Kang-ouw. Ia
sendiri yang pernah mengalami kejadian aneh-aneh dalam
sepanjang perjalanan, apakah di kota Gi-ciang itu, kembali
akan menemukan suatu kejadian yang luar biasa"
Oleh karena semakin heran dalam hatinya, matanya
semakin tertarik oleh tamu berjambang itu, sehingga matanya
sebentar-sebentar ditujukan kepadanya. Dari mangkok kosong
yang tidak sedikit yang berada di atas meja lelaki berjambang
itu, ia dapat menduga betapa besar kekuatan minum arak
orang itu. Hati Hee Thian Siang seketika itu merasa tergerak, lalu
teringat pada pesan duta bunga mawar, tentang seorang
pendekar pemabukan Bo Bu Yu yang tidak menentu jejaknya,
maka dalam perjalanannya ke lautan timur itu ia harus
menaruh banyak perhatian terhadap orang-orang yang suka
minum. Oleh karena itu ia lantas mencurahkan perhatiannya
kepada tamu JILID 2 Orang brewok dan bercambang itu memang hebat sekali
kekuatan minumnya, apalagi karena wajahnya yang tak
seperti orang biasa, maka dalam pikirannya timbul
pertanyaan, mungkinkah orang itu pendekar pemabokan yang
sedang dicarinya " Ia semakin berpikir, wajah orang itu semakin mirip dengan
bayangan dalam otaknya, akhirnya oa tidak dapat
mengendalikan perasaannya sendiri lalu bangkit dari tempat
duduknya dan berjalan menghampiri orang itu. Sesaat itu
tampak olehnya bahwa disamping tangan tetamu berbaju
kuning itu, ada sebuah kipas yang terbuat dari bambu, maka
lalu menghampirinya dan berkata kepadanya: "Tuan ini sangat
menarik hati, terutama kipasmu ini, nampaknya sangat indah
sekali, bolehkah kiranya kupinjam sebentar untuk melihatnya
?" Tetamu brewok berbaju kuning itu mendelikkan matanya
yang aneh, kemudian baru berkata:
"Anak muda, kalau bicara, semakin terus terang semakin
baik. Kau hendak melihat kipasku, kan boleh ambil saja,
sikapmu begini ini sesungguhnya sangat menjemukan !"
Dalam waktu biasa Hee Thian Siang kala menghadapi
seseorang selamanya tidak suka terlalu merendahkan diri, hari
ini karena didalam hati memikirkan diri pendekar pemabokan,
dan orang itu dianggapnya adalah orang yang dicarinya, maka
ia sendiri yang biasanya jarang sekali minta pertolongan
terhadap prang, mau tak mau harus berlaku menghormat dan
merendahkan diri. Di luar dugaannya kelakuannya yang
merendah dan sopan itu ternyata membikin kecil dirinya, maka
setelah mendapat jawaban yang agak ketus itu lalu
mengambil kipasnya tanpa sungkan-sungkan lagi. Kipas itu
dibukanya, hendak melihat ada tanda pengenalnya atau tidak.
Di luar dugaannya, begitu kipas itu terbuka tulisan yang
terdapat di atas kertas itu membuatnya terkejut, hingga
seketika itu wajahnya lantas berubah! Kiranya kipas yang
terbuat dari kertas itu satu muka terdapat lukisan beberapa
pohon bambu, yang dilukis dengan sangat kuat dan indahnya,
dalam muka terdapat tulisan dengan gayanya yang kuat sekali
dan syairnya yang menarik hati.
Di tepian ujung kipas terdapat sebuah tanda cap merah,
tanda itu tertulis dengan huruf kecil Pendekar Pemabukan.
Hee Thian Siang tujukan matanya kepada tamu brewokan
itu, kemudian bertanya sambil tersenyum:
"Apakah locianpwee adalah pendekar pemabukan Bo Bu
Ju locianpwee ?" Tetamu brewokan berbaju kuning itu menjawab sambil
menggelengkan kepala: "Aku bukan Bo Bu Ju, dia sekarang
ini barangkali sedang enak-enak melakukan perjalanan entah
dimana, tetapi juga mungkin sedang repot karena banyak
musuh yang mencari dirinya !"
Hee Thian Siang semula masih mengira bahwa orang aneh
itu sengaja menyangkal, baru saja menunjuk tanda cap kecil
warna merah itu, orang brewokan itu sudah mendelikkan
matanya lagi dan berkata dengan nada suara dingin:
"Bocah, mengapa kau begitu ceriwis. Ini tokh bukan cap
tanda namaku, tanda lambangku itu hanya beberapa batang
bambu yang dilain muka itu !"
Hee Thian Siang kini baru tahu bahwa tulisan di atas kipas
itu meskipun tulisannya pendekar pemabokan Bo Bu Ju, tetapi
lukisan bambu dilain muka justru dilukis sendiri oleh laki-laki
brewok itu. Ketika ia membalikkan kipas dan melihatnya lagi, ternyata
di bawah lukisan itu terdapat cap huruf kecil, tulisan itu
berbunyi RAJIN MENGURUSI ORANG LAIN, di baris lainnya
maksudnya kira-kira SINTING TETAP SINTING.
Hee Thian Siang tidak mengerti apa maksudnya dua baris
huruf dan tanda-tanda itu " Oleh karena tadi ia mendengar
lelaki brewok itu mengatakan bahwa Pendekar Pemabokan
kini dalam keadaan bahaya, dengan penuh perhatian ia
bertanya lagi: "Aku yang rendah adalah Hee Thian Siang, aku
ingin minta keterangan lebih jelas kepada locianpwee,
dimanakah adanya Bo Bu Ju sekarang ini ?"
"Hm, Bo Bu-ju itu kecuali matanya yang lebar, perutnya
yang besar, gemar minum arak, suka bicara, selain daripada
itu tidak ada kepandaian lainnya lagi, apa maksudnya kau
mencari dia ?" "Kesatu, karena boanpwee sangat kagum kepada
orangnya, dan ingin minta sedikit keterangan. Kedua,
locianpwee itu adalah seorang pendekar angkatan tua di
kalangan Kang-ouw, oleh karena dalam keadaan bahaya,
sudah seharusnya kita berusaha untuk membantu kepadanya
supaya terhindar dari bahaya itu !"
Lelaki brewokan itu ketika mendengar ucapan Hee Thian
Siang, sepasang matanya mendadak memancarkan sinar
tajam, sebentar ia menatap wajah Hee Thian Siang, kemudian
berkata sambil tertawa terbahak-bahak: "Sedangkan aku
sendiri masih belum sanggup untuk membantunya, apakah
kau kira dapat membantu dia menyingkirkan bahaya ?"
Mendengar jawaban itu Hee Thian Siang mendapat kesan
bahwa kata-kata orang itu sangat jumawa sekali, juga sangat
memandang rendah terhadap dirinya, maka lalu berkata
sambil tertawa: "Dalam dunia yang luas ini, belum tentu selain locianpwee
sendiri, sudah tidak ada orang lain yang lebih
tinggi kepandaiannya !"
Lelaki brewokan itu ketika melihat sikap pemuda itu yang
agaknya tidak mau mengalah, lalu tertawa kemudian bertanya
sambil menepok kepalanya sendiri.
"Tahukan kau, diantara delapan partai besar rimba
persilatan pada dewasa ini, partai mana yang paling susah
dihadapi ?" Tanpa memikirkan lebih dahulu, Hee Thian Siang
menjawab dengan capat: "Pertanyaan locianpwee ini
sesungguhnya kurang tepat !"
Lelaki brewok itu kembali memancarkan sinar matanya
yang aneh, lalu menatap wajah Hee Thian Siang, kemudian
baru bertanya. "Kau bocah ini, sesungguhnya juga keras kepala, coba kau
sebutkan bagaimana pertanyaanku itu tidak tepat ?"
Hee Thian Siang pada waktu itu sifatnya yang sombong
dan keras kepala sudah kambuh lagi, saat itu lalu menjawab
sambil tertawa dingin: "Bagi seorang pendekar yang berjiwa
ksatria, yang diutamakan ialah soal keadilan dan kebenaran,
tidak seharusnya memikirkan kekuatan lawannya, mudah
dihadapi atau tidak ! Jikalau kita anggap tidak perlu dilakukan,
maka sekalipun kaum wanita dan anak anak, kita juga tidak
akan mengganggu, jikalau kita anggap perlu lakukan,
sekalipun kuat juga tidak perlu takut. . "
Belum lagi habis ucapannya, tiba-tiba lelaki brewok itu
tertawa tergelak gelak dan berkata: "Bocah, kesombonganmu
ini sesungguhnya sangat menyenangkan hatiku, kau
sebaliknya sudah memberi pelajaran kepadaku ! Tetapi kau
yang tidak mengetahui persoalannya, jangan bicarakan
dahulu. . " Hee Thain Siang juga tidak menunggu sampai habis
ucapan orang brewokan itu, lantas menyambungnya. "Bo Buju locianpwe sebetulnya ada permusuhan apa dengan orang "
Dimana sekarang menghadapi kesulitan " Locianpwe
sebaiknya berkata terus terang ?"


Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jikalau kau dapat minum habis sepoci arak di hadapanku
ini ,aku akan memberitahukan padamu dimana sekarang Bo
Bu-ju berada !" Berkata lelaki brewokan itu sambil tertawa dan
mengangukkan kepala. Hee Thian Siang melihat arak itu isinya barangkali hanya
tiga cawan saja, maka lalu tuangkan secawan penuh dan
diminum habis. Tidak ia duga bahwa sifat arak itu sesungguhnya keras
sekali, itu merupakan arak keras yang ia belum pernah minum
pada waktu sebelumnya, ditambah lagi karena menuruti
perasaan hati, hingga ia minum secara terburu buru tanpa
dipikir, apalagi ia tadi sudah banyak minum dengan Hwa Ji
sat, maka baru secawan masuk ke dalam perutnya, ia sudah
merasa seperti mabok ! Tetapi karena ingin sekali mengetahui
persoalan permusuhan pendekar pemabokan, maka ia
paksakan diri meminum habis tiga cawan arak itu.
Ketika cawan ketiga masuk ke dalam tenggorokannya,
kepalanya sudah dirasakan pening, ketika ia meletakkan
cawan diatas meja, matanya hanya terbuka lebar, karena
lelaki brewokan berbaju kuning tadi sudah menghilang seperti
setan, hanya tinggal kipasnya dan sepotong uang perak yang
masih ditinggalkan di atas meja !
Di belakang rumah minum itu, terdapat sebuah sungai, Hee
Thian Siang setelah diam sejenak ia tonjolkan kepala melalui
jendela, betul saja segera tampak olehnya lelaki brewokan
berbaju kuning tadi, bayangannya sudah berada di suatu
tempat sejarak tiga puluh tombak lebih bahkan agaknya
sedang melambaikan tangan terhadap dirinya.
Hee Thian Siang sejak meninggalkan gurunya secara diamdiam, belum pernah bertemu dengan orang rimba persilatan
yang pandai meringankan tubuh demikian hebat, sehingga
saat itu ia berdiri terpaku dengan sangat kagumnya. Ia tahu
bahwa sepotong uang perak itu, pasti ditinggalkan untuk
membayar araknya, sedangkan kipas itu tentunya ditinggalkan
untuk dirinya, maka kipas itu lalu diambilnya, kemudian juga
lompat melesat melalui lubang jendela itu, setelah itu ia
mengerahkan ilmunya peringankan tubuh, lari mengejar
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 3 Anak Harimau Karya Siau Siau Pertikaian Tokoh Tokoh Persilatan 3

Cari Blog Ini