Dewa Linglung 24 Jeratan Ilmu Iblis Bagian 1
SATU GADIS ITU DUDUK DI HADAPAN LAKI-LAKI
TUA ITU dengan kepala menunduk, dan wajah sebentar pucat sebentar merah.
Sementara hatinya
berdebar tak menentu. Yang jelas perasaan takutlah yang menghantuinya, hingga
tak terasa tengkuknya dibasahi oleh keringat dingin.
Ternyata sikap gadis itu tak luput dari tatapan mata laki-laki tua itu, seperti
telah mengetahui isi hatinya dia berkata.
"MANISARI...! Tahukah kau apa maksudku
aku menyuruhmu datang menghadapku hari ini?"
Gadis ini menggeleng seraya menyahut.
"Murid tidak mengetahui, Guru..."
Si kakek perdengarkan suara tertawa terkekeh. Kemudian mengulangi pertanyaannya.
"Maksudku apakah kau mengetahui apa tujuanmu datang ke tempat ini?" Si gadis
tampaknya agak heran mendengar pertanyaan itu. Dia mengangkat wajahnya seraya menatap pada
sang Guru. "Tentu saja kedatanganku untuk berguru,
mengapa Guru menanyakan hal itu?" tanyanya tak
mengerti. Laki-laki tua itu manggut-manggutkan kepala.
"Bagus, kalau kau mengetahui maksud dan
tujuanmu. Baiklah, kini yang akan kutanyakan
adalah, apakah kau sudah mantap pendirianmu
untuk menuntut ilmu serta mematuhi setiap persyaratan yang dibebankan di atas pundakmu?"
"Demi tercapainya tujuanku, aku bersedia
memenuhi syarat apapun yang dibebankan di atas
pundakku..." menyahut si gadis dengan suara
mantap. "Bagus! Nah kini yang kutanyakan, sudah
berapa lama kau berada di tempat ini?"
"Sudah lebih dari satu bulan, Guru..." sahut
Manisari. Kembali si kakek manggut-manggutkan kepala. Lalu berkata.
"Dalam lubang sumur JALATUNDA ini ada
empat buah goa, seperti yang kau lihat dan ketahui. Kau tak usah mengkhawatirkan
nasib dua gadis kawan mu. Mereka telah menempati goa kedua dan ketiga, karena mereka telah
datang terlebih dulu dari kau. Dan... hari ini adalah saatnya
kau pindah ke goa kedua. Sedangkan kedua gadis
kawan seperguruanmu berturut-turut dua hari
yang lalu sudah pindah ke goa ketiga dan ke empat!"
Manisari tertegun sejenak, kemudian bertanya.
"Sampai berapa lama kami menuntut ilmu,
Guru" Apakah sampai melewati goa ke empat baru
selesai?" WIKU AMPYANG manggut-manggutkan kepala. "Benar! setiap goa harus dilalui dengan
bertapa selama empat puluh hari empat puluh malam. Dan jatah makanan akan selalu
berubah setiap pindah ke goa baru. Hal itu tak perlu kau ketahui dan makanan apa
yang bakal kau makan
untuk menangsal perutmu nanti kau akan mengetahui sendiri!"
Keringat dingin tampak menetes didahi gadis ini. Selama empat puluh hari empat
puluh malam dia duduk bersila di lubang goa kesatu saja
rasanya sudah tidak tahan. Dia hanya dibolehkan
bersantap sehari dua kali. Itupun hanya merupakan dua gumpal nasi putih, dan
sekendi air untuk
menangsal perut. Dan semakin lama tentu bukan
semakin mudah setelah beberapa kali berpindah
goa. Lamunan gadis ini lenyap, ketika laki-laki
tua itu berkata.
"Untuk memasuki goa kedua harus dengan
syarat yang cukup berat, dan harus dijalani dengan ikhlas seperti dua gadis
seperguruanmu SARITI dan LELANI!"
"Apakah syarat itu, Guru?" tanya Manisari
dengan kerenyitkan kening.
"Hm, mandilah yang bersih dan temui aku
selewat senja diruangan goa kamarku!" kata lakilaki tua ini seraya bangkit
berdiri, dan bagaikan
tak percaya gadis itu melihat tubuh si kakek lenyap menembus dinding batu goa
lenyap tak berbekas.
Manisari melangkah keluar goa dengan terpekur menunduk. Ada rasa bimbang
dihatinya untuk meneruskan berguru pada kakek bernama
WIKU AMPYANG itu. Tapi keragu-raguan itu seketika lenyap ketika teringat akan
dendamnya pada orang yang sangat dibencinya.
"Tidak! Aku harus tetap berguru sampai selesai!" berkata Manisari dalam hati. Dan setengah
berlari dia menuju ke mata air.
Hari telah berangsur senja ketika dia menanggalkan pakaiannya dibalik batu.
Kemudian membasahi tubuhnya dengan air pancuran.
Sambil membersihkan tubuh dia berkata
dalam hati. "Ah, sungguh hebat ilmu Wiku Ampyang. Seandainya aku memiliki ilmu
sedemikian rupa, tentu dengan mudah aku dapat melakukan
apa saja tanpa seorangpun melihatku..."
Tapi seketika wajahnya berubah memerah
dan terasa panas ketika dia membayangkan bukankah saat itu gurunya dengan mudah
dapat melihat dirinya dalam keadaan tak berpakaian tanpa
sepengetahuannya"
"Apakah maksud guru menyuruhku membersihkan tubuh, dan menghadap nya selepas
senja" Ah... aku selalu berperasangka buruk saja. Jelas persyaratan itu aku tak
mengetahui kalau belum berhadapan dengannya!"
Manisari cepat-cepat mengenakan pakaian,
lalu merapikan rambutnya. Tak lama dia sudah
meninggalkan mata air. Langkahnya agak lambat
ketika dari jauh telah terlihat cahaya dari pintu
kamar Wiku Ampyang. Disisi pintu kamar gadis ini
tegak berdiri seperti ragu untuk melangkah masuk.
"Heheh...heh.. apa yang kau ragukan muridku" Ketahuilah! keragu-raguan hanya
akan menghambat tujuan dan cita-citamu. Masuklah!
Dan bersihkan hati dari pikiran-pikiran kotor. Luruskan tekad dan siap untuk
melakukan syarat
apapun yang dibebankan di atas pundakmu!" terdengar suara dari dalam ruangan
kamar goa Wiku Ampyang. Gadis ini mendadak seperti mendapat keberanian. Kata-kata Wiku Ampyang telah
membangkitkan semangatnya untuk siap menjalankan perintah apapun harus
dikerjakan. Bukankah dua gadis kawan seperguruannya telah sanggup mengerjakannya" Diapun
cepat melangkah masuk...
Tertataplah oleh Manisari, Wiku Ampyang
duduk bersila di atas pembaringan bertilamkan
kulit harimau. Diatas meja dekat pembaringan
tampak sebuah tengkorak kepala manusia dan
bermacam tulang lainnya tergantung dinding batu
goa. Belasan ikat akar-akaran berbau harum yang
menyengat serta sebuah tempat pedupaan dari
kuningan terletak disudut meja.
"Duduklah!" kata laki-laki tua itu sambil
mengelus jenggotnya. Sebelah tangannya menjulur
menunjuk pada sebuah bangku batu tak jauh dari
pembaringan ditengah ruangan. Manisari melangkah mendekati bangku batu.
"Duduklah dengan bersila...!" kata Wiku
Ampyang sambil turun dari pembaringan, lalu
menghampiri meja. Lengannya menjumput tempat
pedupaan. Sementara Manisari segera turutkan
perintah sang guru dengan duduk bersila di atas
bangku batu. Wiku Ampyang masukkan rempah-rempah
ke dalam tempat pedupaan, lalu membakarnya.
Tak lama asap pedupaan yang menimbulkan bau
harum segera tercium dalam ruangan kamar itu.
Manisari duduk bersila sambil memejamkan
matanya. Bau asap pedupaan itu benar-benar menyesakkan pernapasan, tapi mau tak
mau gadis itu harus tetap duduk bersila tak berani menggerakkan tangan untuk menutupi
hidungnya. Cuma
sekali gadis ini menahan napas.
'Tetaplah duduk demikian, dan kosongkan
pikiran. Bersihkan hati dari sesuatu yang bakal
menghambat masuknya ilmu yang akan kumasukkan ke dalam bathinmu..." kata Wiku
Ampyang sambil duduk kembali di atas pembaringan. Sepasang matanya terus menatap ke arah
sang gadis itu, sebentar terkatup sebentar terbuka. Sementara lengannya terus mengelus
jenggotnya yang panjang sejengkal.
Manisari segera konsentrasikan diri untuk
mengikuti petunjuk Wiku Ampyang. Entah beberapa saat lamanya diapun berhasil
mengosongkan pikiran dan mulai merasa nyaman dengan duduk
bersila demikian.
Di saat itulah telinganya seperti mendengar
suara perintah orang tua itu.
"Kini bukalah matamu...!"
Perlahan-lahan Manisari membuka kelopak
matanya. Aneh! dia tak melihat orang tua itu berada dihadapannya. Tapi
telinganya kembali mendengar suara yang membisik ditelinganya.
"Dan kini... bukalah semua pakaianmu...!"
Lagi suatu hal yang aneh. Karena tampaknya Manisari tak dapat menolak apa yang
diperintahkan gurunya. Cepat dia bangkit berdiri, lalu
membuka pakaian penutup tubuhnya satu persatu. Hawa malam yang dingin didasar
sumur Jalatunda itu menyentuh kulitnya. Manisari merasakan ada sesuatu yang
menjulur dan menelusuri
lekuk-liku tubuhnya. Sentuhan-sentuhan aneh itu
membuat dia merasakan sesuatu yang membangkitkan berahi hingga sekujur tubuhnya
mencucurkan keringat. Tanpa terasa mulutnya mengeluarkan suara, desahan-desahan.
Darahnya terasa
mengalir lebih cepat, dan pancaran mata gadis ini
mulai meredup. Hawa rangsangan tampak semakin kuat mencengkeram si gadis. Kini
sesuatu yang sangat menyeramkan dalam pandangan mata
orang biasa akan melihat sesosok mahkluk menyerupai seekor ular bertubuh manusia
menjelma di hadapan gadis itu.
Akan tetapi dara ini seperti tak merasa takut, bahkan dengan gelora berahi yang
menggebugebu, dia bergelinjangan dalam pelukan makhluk
itu, sementara jilatan-jilatan lidah mahkluk berkepala ular itu pada lehernya
membuat gelora berahinya semakin memuncak.
Manisari pejamkan mata ketika makhluk
itu memondongnya, dan meletakkannya di atas
pembaringan bertilam kulit harimau. Dan apa
yang terjadi selanjutnya adalah sukar untuk diceritakan, karena gadis itu kini
tenggelam dalam berahi yang membawanya kepuncak relung paling
dalam yang direguknya dengan kepuasan menggebu-gebu...
DUA RUMAH KAYU BERATAP DAUN KELAPA itu
masih dicekam oleh suara isak tangis seorang wanita yang tampaknya masih belum
bisa menghilangkan kesedihan hatinya. Perempuan berambut
kusut masai ini membenamkan mukanya pada
kedua lengannya yang basah oleh air mata.
Seorang laki-laki kira-kira berusia empat
puluhan tahun, tampak mondar-mandir diruang
depan membiarkan wanita itu tenggelam dalam
isak dengan menelungkup dibalai-balai bambu.
Tampak keningnya bergaris-garis karena kerutan
kulit yang mulai mengendur.
Suara isak tangis wanita itu tampak mulai
membuat dia mulai bosan mendengarnya.
Sesaat dia menatap pada wanita yang masih
menelungkupkan wajahnya itu, kemudian menghampiri. Agak lama dia berdiri
memperhatikan pundak perempuan itu yang bergerak-gerak dalam
isak tangisnya.
"Sudahlah adikku...! Aku akan mencoba ke
Kadipaten menemui Adipati KAYOMAN! Walau bagaimanapun kau adalah bekas
isterinya. Peristiwa
hilangnya MANISARI akan kuberitahukan pada
Adipati. Hm, siapa tahu anakmu berada disana..."
Wanita itu mengangkat mukanya. Tampak
sepasang matanya basah oleh air mata. Wajahnya
tampak sembab karena terlalu banyak menangis.
Sesaat lamanya dia menatap laki-laki itu.
"Tapi, kakang... Aku khawatir kau akan
menemui kesulitan, karena selama ini kau telah
dicap sebagai orang buronan Kerajaan! Janganjangan hal ini adalah suatu
perangkap agar kau
muncul di Kota Raja..." berkata wanita ini.
"Hm, kalau memang aku akan ditangkap,
biarlah mereka menangkapku. Akan tetapi sebelumnya aku akan membongkar kejahatan
Adipati Kayoman yang telah memfitnahku! Apakah karena
BARONG ALAS adalah bekas seorang sahabatku
maka aku dituduh telah turut bersekongkol dalam
perampokan harta benda Kerajaan pada sepuluh
tahun yang silam itu?" sahut laki-laki ini dengan
wajah berubah merah padam.
"Tapi, kakang.... ketentuan berada ditangan
orang-orang yang berkuasa. Kita ini rakyat jelata!
Bukankah kau sendiri telah lama menyadari hal
itu" sanggah perempuan itu sambil bangkit berdiri.
Laki-laki ini sejenak terdiam membisu. Tapi
tampak dadanya turun naik seperti menahan gejolak amarah yang lama tersimpan.
Namun tak lama dia kembali berkata.
"Memang aku pernah mengatakan demikian, adikku...! Tapi apakah aku akan terus
mandah saja dicap sebagai seorang penjahat hingga
sampai akhir hayatku" Kemudian aku akan mati
dengan membawa kecemaran dalam keluarga kita"
Tidak, adikku...! Sudah saatnya aku muncul di Kota Raja! Aku akan langsung
menghadap Ki Patih
HARYO TUNGGAL untuk menyerahkan surat yang
akan membongkar semua rahasia Adipati Kayoman!" Perempuan ini tampak kerenyitkan
Dewa Linglung 24 Jeratan Ilmu Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keningnya. "Surat apa yang kau serahkan itu?" tanyanya heran.
"Surat yang ditulis oleh BARONG ALAS
mengenai keterlibatan Adipati Kayoman dalam
perkara perampokan harta benda Kerajaan!" sahut
laki-laki ini. Tampak wajah wanita ini berubah kaget. Sepasang matanya
membelalak lebar menatap
laki-laki itu. "Kakang BALAWA... benarkah apa yang kau
katakan" Bukankah kudengar Barong Alas telah
tertangkap dan telah dihukum gantung di Kadipaten tiga tahun yang lalu?" berkata
wanita ini. "Haha... mungkin benar bila kau mendengar
beritanya. Tapi pada kenyataannya Barong Alas
sampai saat ini masih hidup, walau keadaannya
dalam keadaan tanpa daksa. Dia telah mengalami
siksaan setengah mati setengah hidup akibat perbuatan Adipati KAYOMAN!
Dia tak mungkin bisa bicara, karena lidahnya telah dipotong. Yang lebih
mengenaskan adalah urat-urat kakinya telah diputuskan. Aku menolongnya dari
siksaan dua pengawal suruhannya.
Mengapa aku menolongnya" Karena aku perlu keterangan dari Barong Alas. Sebabnya
adalah karena aku dituduh telah terlibat dalam peristiwa perampokan itu.
Adipati Kayoman sengaja tak membunuhnya, karena merasa kasihan memandang dia
telah turut membantu dalam usaha licik yang mengikut
sertakan tenaganya. Tujuan Adipati adalah untuk
menutup rahasia! Tapi... dia keliru besar! Walau
Barong Alas tak bisa bicara, namun dia masih bisa
menulis dengan tangannya. Dan... dua pengawal
itu mana berani melapor pada Adipati kalau yang
sudah siap dilemparkan kedalam jurang itu telah
ditolong oleh ku tanpa mengetahui siapa yang telah menolongnya, karena aku dalam
penyamaran. Selanjutnya Adipati Kayoman sendiri melapor pada
Baginda Raja bahwa Barong Alas telah dihukum
gantung sesuai perintah!"
Apa yang dituturkan sang kakak membuat
wanita bernama RESMINI ini terpaku dengan mata
menatap Balawa. Selang sesaat dia berkata.
"Apakah kau yakin Gusti Patih akan percaya pada surat itu?"
"Percaya atau tidak itu urusan nanti. Yang
penting aku akan menunjukkan surat itu padanya. Kalau perlu akan kutunjukkan
dimana adanya Barong Alas yang masih hidup untuk saksi
hidup!" sahut Balawa tegas.
"Jadi kau tak pergi ke Kadipaten, kakang...?"
"Aku akan datang dengan menyamar saja,
mencari berita dari para pengawal Kadipaten di
sudut-sudut Kota Raja mengenai ada atau tidaknya anakmu Manisari disana...."
kata Balawa setelah terdiam sejenak.
"Terserahlah dengan keputusanmu, aku tak
dapat menghalang-halangi. Tapi kuharap kau berhati-hati!" Wanita ini menghela
napas. Tampaknya dia sudah tak dapat lagi menahan sang kakak yang sudah bertekad dengan
keputusannya. Akan tetapi diam-diam dalam hati dia
mengeluh. Karena bukanlah suatu hal yang mudah untuk melakukan hal itu.
Balawa memang berhak membersihkan
nama baiknya. Dia seorang laki-laki yang punya
martabat dan harga diri. Tapi bagi dirinya yang
lemah, hal itu cuma bisa disimpan dalam hati. Baginya yang penting adalah
keselamatan diri. Dan
hal itu tak mungkin terjadi pada diri Balawa.
Wanita ini terpekur menundukkan kepala.
Pada ingatannya terlintas kebahagiaan ketika masih hidup bersama suaminya
PANJIRONO. Walau Panjirono cuma menjabat seorang
prajurit biasa di Kadipaten, tapi cukuplah bagi
Resmini untuk hidup sederhana bersama anak
dan suaminya. Panjirono masuk dalam laskar Kadipaten ketika usia Manisari baru
menjelang dua tahun. Rupanya adipati Kayoman sangat baik hati
mengetahui keadaan prajuritnya yang satu itu.
Panjirono sering pulang dengan membawa oleholeh dari sang Adipati, sejak
diketahui Panjirono
mempunyai seorang isteri cantik dan seorang bocah perempuan yang mungil.
Kebanyakan para
prajuritnya adalah masih jejaka dan belum mempunyai isteri.
Ternyata kebahagiaan mereka terenggut, ketika Resmini mendengar berita suaminya
tewas dalam menjalankan tugas diwilayah utara.
Sejak itu Resmini hidup dalam nestapa. Untunglah Adipati Kayoman sering
membantunya mengirim uang dan bahan makanan melalui utusannya. Suatu hal yang tak disangkasangka oleh Resmini, ternyata Adipati Kayoman mengingini dirinya untuk menjadi isterinya yang kedua.
Resmini saat itu tengah berduka dan baru
berjalan empat puluh hari sepeninggal kematian
suaminya. Namun dia tak dapat menolak lamaran
Adipati untuk mempersuntingnya. Resmilah dia
menjadi isteri kedua Adipati Kayoman. Namun
rumah tangga dengan Adipati itu cuma berjalan tiga tahun. Resmini diceraikan
oleh Adipati Kayoman. Alasannya karena kakak kandung Resmini
terlibat perampokan harta benda Kerajaan. Karena
khawatir menjatuhkan martabat Ke Adipatiannya,
maka Adipati Kayoman menceraikan istri keduanya itu.
*** Ketika Resmini minta diri untuk kembali
pulang ke desanya dengan harapan yang tipis,
BALAWA cuma mengantarnya sampai kepintu
pondok. "Tak usah kau merisaukan anakmu,
adikku...! Aku akan suruh kawan-kawanku untuk
juga mencari jejaknya!" kata Balawa.
Resmini hanya mengangguk, lalu bergegas
melangkah pergi meninggalkan halaman pondok
tempat berdiam kakaknya dikaki gunung disudut
desa terpencil itu.
BALAWA masih berdiri diteras depan pondoknya. Matanya memandang jauh kedepan
seperti membayangkan masa-masa mendatang yang
akan dilaluinya. Perlahan-lahan tampak senyumnya mengembang diantara kedua belah
bibirnya. Terdengar suaranya menggumam diantara kesenyapan yang mencengkam disekitar tempat sepi
itu. "Hm... Untuk mencapai sesuatu yang mahal
harus memerlukan pengorbanan besar. Aku telah
memulai langkah baru untuk tujuan dan citacitaku. Aku kasihan pada Resmini yang
menderita, karena diceraikan suaminya. Untuk sementara
terpaksa aku harus menutup rahasia. Terpaksa
aku mengorbankan MANISARI untuk mencapai tujuanku. Adipati keparat itu akan
merasakan kehidupan yang lebih sengsara kelak sebagai pembalasan dendamku! Satusatunya harapanku adalah
pada WIKU AMPYANG! Tiga bulan mendatang kukira aku sudah mendapat berita bagus
mengenai hasil yang di terapkan pada Manisari. Dan aku bisa mempergunakan tenaga bocah
perempuan itu untuk mencapai tujuanku..."
Mengingat hari-hari mendatang yang bakal
dijalani, Balawa tertawa menyeringai. Kemudian
beranjak masuk kedalam ruangan kamarnya. Tak
lama telah keluar lagi dengan berpakaian ringkas.
Sebuah keris di sembunyikan dibalik bajunya. Keris yang tak pernah tinggal dan
selalu dibawanya
kalau dia pergi.
Saat berikutnya Balawa telah melangkah ke
luar pondok, dan setelah mulutnya berkematkemit seperti membaca mantera seperti
kebiasaannya lalu kaki kirinya dijejakkan tiga kali ke
tanah. Tak lama tubuhnya telah berkelebat cepat
menyusup masuk kedalam hutan.
TIGA BULAN KETIGA MUSIM PENGHUJAN
TELAH TIBA... Di saat waktu hampir tengah hari, tampak
seorang penunggang kuda memasuki sebuah desa
disebelah selatan Kota Raja. Penunggang kuda hitam itu seorang laki-laki gagah
berpakaian warna
biru gelap. Pada pinggangnya tampak sebuah pedang bersarung bagus. Gagang
pedangnya tersembul disebelah kiri pinggang.
Langit agak mendung, dan gerimis turun
rincik-rincik. Pemuda berpakaian serba biru dengan ikat pinggang warna kuning
itu hentikan kudanya didepan sebuah kedai. Setelah memandang
sesaat ke arah pintu kedai diapun melompat turun.
Seorang laki-laki setengah umur agak gemuk bergegas keluar. Wajahnya tampak
sunggingkan senyuman ketika melihat siapa yang datang.
"Gusti Anom SURA BANGA...! Ah, selamat
datang..." katanya seraya menjura dalam-dalam
dengan membungkukkan tubuhnya. Seorang lakilaki berbaju putih gombrong tongolkan
kepala dari pintu kedai. Saat itu si laki-laki gemuk melihatnya.
"Eh, kacung! Cepat kau bahwa kuda ini ke
samping. Kemudian bersihkan meja untuk tetamu...!" teriak si laki-laki gemuk
sambil menggapaikan tangan.
"Baik! Baik, paman...!" sahut pemuda berambut gondrong itu sambil melangkah
keluar pin- tu. Kemudian membawa kuda pemuda gagah berpakaian serba biru itu ke samping
kedai untuk diikat disitu.
"Mari...! Mari, Gusti Anom, silahkan masuk!" kata si laki-laki gemuk
mempersilahkan tamunya dengan sikap sangat hormat.
Diam-diam si kacung melirik. Dalam hati
dia berkata. "Hm, siapakah tetamu gagah ini" Dalam satu hari ini tampaknya banyak pengunjung
kedai. Kalau tadi yang datang adalah tiga laki-laki berangasan, kini pemuda gagah
dengan menunggang
kuda..." Akan tetapi si kacung ini tak dapat lamalama berdiri disitu, karena si laki-laki
gemuk telah memberi isyarat dengan kedipan matanya. Bergegas dia kembali memasuki pintu
kedai untuk membersihkan meja tamu. Ketika lewat dibelakang
pemuda gagah itu tiba-tiba entah sengaja entah tidak pemuda gagah baju biru itu
membalikkan tubuh. Akibatnya sungguh diluar dugaan, karena
tahu- tahu kacung itu perdengarkan seruan kaget,
dan ... Bruk! Dia jatuh terjerembab mencium tanah.
"Kau... kau... apa-apan, kacung" Mengapa
kau berjalan tak pakai mata?" bentak si laki-laki
gemuk sambil melompat memburu ke arah pemuda pembantunya.
"Aku ... ah, kakiku tersandung batu...!" sahut si kacung sambil menyeringai
kesakitan memegangi dadanya yang terbanting terlebih dahulu
ketanah. Takut dimarahi lagi, cepat-cepat dia bangun berdiri dan beranjak terbungkuk-bungkuk
masuk kedalam kedai.
"Oh... maafkan ketololan kacungku, Gusti
Anom..." kata si laki-laki gemuk sambil menjura di
hadapan tamunya. Sementara sang tamu cuma
tersenyum masam. Namun hatinya agak mendongkol karena percikan tanah becek telah
mengotori pakaiannya.
"Sudahlah! Tak mengapa! Hm, apakah dia
kacung baru?" berkata si pemuda gagah sambil
menjentik-jentikkan jarinya membuang tanah yang
melekat mengotori bajunya.
"Benar, Gusti Anom! Baru dua hari dia bekerja disini. Pembantu yang lama sedang
sakit...!"
sahut si laki-laki gemuk.
Beberapa tetamu yang sedang makan sama
menjulurkan kepala dari dalam kedai. Walau hatinya geli, tapi mereka tak berani
tertawa melihat
pakaian si pemuda gagah yang kotor terkena cepretan tanah becek. Ketika pemuda
gagah itu melangkah masuk, semua yang berada diruangan kedai tak satupun ada
yang berani mengangkat kepala untuk memandang laki-laki itu.
Kacung muda itu terbungkuk-bungkuk meninggalkan meja yang baru saja dibersihkan
dan diganti dengan taplak meja baru.
Ketika tiba didapur, habislah dia dicaci maki oleh si laki-laki gemuk yang
memarahinya dengan berbisik-bisik dengan mata melotot dan wajah
merah padam. "Bodoh! Kau jalan tak hati-hati. Untung saja
nasibmu bagus, Walau Gusti Anom SURA BANGA
tak memberimu hukuman, tapi kau telah membuat malu aku! Haih! Bajumupun kotor!
Cepat kau ganti pakaian. Biar aku sendiri yang menyuguhi
makanan...!" bentak laki-laki gemuk ini dengan
berdesis. Tanpa berkata apa-apa si kacung bergegas kebelakang....
"Sekali lagi harap Gusti Anom memaafkan
kacungku..." kata si laki-laki gemuk dengan menjura didepan pemuda gagah itu
yang masih berdiri
dekat mejanya. "Oh ya! Si....silahkan duduk, Gusti
Anom! Ah, maafkan aku. Pembantu baruku itu
kusuruh berganti pakaian. Biarlah aku melayani
Gusti Anom. Oh, eh... Gusti Anom mau pesan minuman atau makanan apa...?"
"Berilah aku air putih saja. Dan suruh kacungmu menghadapku!" sahut pemuda gagah
ini. "Baik... Gusti Anom!" sahut laki-laki gemuk
dengan sikap kaku. Tampak wajahnya sedikit berubah. "Celakalah kau kacung
tolol..." katanya dalam hati. Tapi baru saja dia balikkan tubuh untuk
beranjak pergi, mendadak terdengar suara bergedubrakan.
Alangkah terperanjatnya si laki-laki gemuk
ini melihat bangku yang diduduki pemuda itu tibatiba pecah berantakan, dan yang
lebih terkejut adalah pemuda gagah tetamunya itu dalam keadaan jatuh terjengkang. Belum lenyap
terkejutnya tahu-tahu meja tamu doyong ke kiri.... Dan Brakkk! Meja itupun pecah
berhamburan. Potonganpotongan kakinya ternyata telah terlepas.
Tentu saja wajah si pemuda gagah seketika
berubah merah padam. Sekali enjot tubuh dia telah melompat berdiri, dan... tahu-tahu lengannya
telah terjulur mencengkeram leher baju si laki-laki
gemuk.
Dewa Linglung 24 Jeratan Ilmu Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Keparat! Gombloh! kau mau mempermainkan aku?" bentak pemuda ini.
"Ampun, Gusti Anom... sekali-kali tidak,
Gusti Anom ! Tapi..."
PLAK! Satu tamparan keras telah membuat lakilaki gemuk ini mengaduh kesakitan dan
terjungkal ke lantai. Melihat demikian para pengunjung kedai
yang sedang makan jadi tersentak kaget. Merekapun sama terheran mengapa kaki
kursi dan meja bisa berlepasan demikian"
"Cepat panggil kacungmu!" bentak pemuda
ini dengan urat-urat leher menggembung menahan
kemarahan yang luar biasa. Sementara itu paria
pengunjung diam-diam angkat kaki dari pintu
samping kedai. Mereka tahu pemuda gagah itu
adalah putera Adipati KAYOMAN yang bernama
Raden Anom Sura Banga. Pemuda gagah ini baru
pulang dari tenggara setelah berguru disana selama empat tahun lebih, dan baru
beberapa pekan berada diwilayah Kota Raja. Kedai disudut kota itu
adalah tempat persinggahannya. Agaknya dia telah
kenal baik dengan si pemilik kedai yang bernama
GOMBLOH. Tanpa harus dibentak untuk kedua kali, laki-laki gemuk itu merangkak pergi
sambil memegangi pipinya yang merah sembab. Tiba dibelakang
seorang pembantu wanita juru masaknya berlari
keluar. Hampir saja bertubrukan dengan laki-laki
gemuk ini. "Ada apa, juragan" Kunaon eta pipi meuni
barium tepi kakitu?" "Ada apa, juragan" Kena apa
itu pipi sampai bengkak begitu?"
"Diam kau! Cepat cari sikacung tolol itu!
Cepat...!" bentak Gombloh dengan mata mendelik
dan mulut meringis menahan sakit.
"Dimana nyarinya, gan?" pembantu asal
Majalengka ini justru panik dan ketakutan dibentak-bentak demikian rupa.
"Dimana, dimana ... dikamarnya, tolol, goblok! Dia disuruh menghadap Gusti Anom
SURA BANGA!" teriak Gombloh.
"Ka... kamarnya lupa lagi, gan" Apa ... di
kamar bekas pembantu yang lama?" tanya wanita
pembantu ini dengan bingung sambil menahan
langkah. Sementara kedua lengannya mengangkat
kain tak terasa terlalu tinggi, hingga kelihatan kulit pahanya.
"Sudah! Sudah! pergi sana kau ke belakang!" bentak si laki-laki gemuk dengan
berang. Setengah berlari dia menuju kamar si kacung yang
berada disamping tempat penampungan ampas isi
perut. BRAK! Pintu kamar ditendang hingga menjeblak
terbuka. Tapi kamar itu kosong. Si kacung tak berada didalam. Dan jendela kamar
tampak menjeblak terbuka. Mata Gombloh melotot besar melihat
ke atas meja. Tampak terdapat guratan pada papan meja yang bertulisan:
"PAMAN GOMBLOH, TERIMA KASIH ATAS KESEDIAANMU MEMBERIKAN AKU MENUMPANG MAKAN DAN MENGINAP SELAMA
DUA HARI. AKU MINTA BERHENTI!"
Selesai membaca, lengan Gombloh meraba
papan meja yang menampakkan bekas guratan
tangan. Keringat dingin mendadak mengembun ditengkuknya. Guratan aneh, dan
seperti tak masuk
akal. Karena papan meja tampak seperti hangus
pada setiap bekas guratan itu.
"Edan! Apakah dia bukan manusia" Hah!
Jangan-jangan dia seorang yang berkepandaian
tinggi yang menyamar. Celaka! Aku telah menghukumnya untuk bekerja dikedaiku
selama satu pekan, karena dia tak mampu membayar makanan
yang telah dimakannya..." desis Gombloh dengan
mata membelalak. Seketika tubuhnya menggigil
bagai diserang demam. Dan... detik itu juga dia
menghambur keluar dari kamar.
Akan tetapi dia mendapatkan pemuda gagah putera Adipati Kayoman sudah berangkat
pergi. Masih terdengar suara derap kaki-kaki kuda ditelinganya. Ketika dia
memburu keluar, laki-laki
gemuk ini sempat melihat punggung Raden SURA
BANGA di atas punggung kuda hitam mencongklang cepat ke arah timur.
"Walah, walah... celaka besar aku hari ini.
Persoalan ini pasti akan berbuntut panjang. Karena aku pasti dituduh telah
menyembunyikan seorang perusuh yang telah membuat malu besar pada putera Adipati
Kayoman! Tapi... aku akan berterus terang, bahwa aku benar-benar tak mengetahui
sama sekali tentang anak muda itu..." berkata Gombloh dalam hati. Kemudian balikkan tubuh
untuk membenahi ruangan kedainya yang porak
poranda. EMPAT BERHENTI...! Bentakan menggeledek merobek udara. Dan sosok tubuh laki-laki gagah
berpakaian serba biru itu melayang dari atas kuda hitam tunggangannya. Sekejap
dia telah tegak berdiri didepan pemuda berbaju putih gondrong yang
pada sebelah lengannya membawa sebuah kain
buntalan bertambal.
Pemuda gondrong kacung laki-laki gemuk
pemilik kedai bernama Gombloh itu tenang-tenang
berdiri menatap pemuda gagah dihadapannya.
Tampak baju gombrongnya pada bagian dada masih terlihat kotor bekas tadi
terjatuh terjerembab
ditanah becek. "Kacung keparat! Kau harus menerima akibatnya atas perbuatanmu membuat malu
aku!" bentak Raden Sura Banga.
"Lho" apa salahku?" tanya pemuda ini sambil menggaruk-garuk tengkuknya.
"Apa salahmu" Hm, perlu kuceritakan lagi.
Katakan siapa kau sebenarnya. Kau akan menyesal dengan perbuatanmu! Kau kira
semudah itu meloloskan diri"!" bentak pemuda ini seraya maju
dua langkah. Kedua lengannya terkepal.
Akan tetapi dengan sikap tenang, pemuda
kacung itu menyahut sambil tertawa.
"Haha... kalau aku terjatuh karena tersandung batu itu tidak aneh. Tapi kalau
tak hujan tak angin ada orang jatuh terjengkang, itulah yang lucu! Haha...haha..."
Merah seketika wajah Raden Sura Banga
seperti kepiting direbus. Dan detik itu juga lengannya telah mengirim tinju yang
meluncur deras ke arah dada pemuda gondrong itu. Pukulan bertenaga dalam ini tidaklah seperti
waktu dia menampar pipi si laki-laki gemuk Gombloh. Karena
pukulan ini bisa meremukkan tulang dan menghancurkan isi dada orang yang terkena
pukulannya. Akan tetapi ketika tinjunya mengenai dada
pemuda kacung itu, tiba-tiba pemuda gagah itu
menjerit kesakitan. Tubuhnya terhuyung ke belakang beberapa langkah, Wajahnya
menyeringai menahan sakit. Pucatlah seketika wajah Raden
Sura Banga karena terkejut. Dia merasakan lengannya seperti menghantam besi
panas. Bahkan ada suatu tenaga yang sangat kuat mendorong tubuhnya hingga terhuyung ke
belakang beberapa
langkah. "Heh!" Katakan siapa kau sebenarnya?"
sentak pemuda ini dengan terkesiap, dan wajah
masih menyeringai kesakitan. Tak terasa kakinya
kembali menyurut mundur setindak.
"Namaku NANJAR! Jangan khawatir, aku
tak ada hubungannya dengan manusia yang
membuat kerusuhan di Kadipaten seperti yang
kudengar dari tiga manusia berangasan yang berkunjung ke kedai pak Gombloh itu!" sahut pemuda
ini yang tiada lain dari si Dewa Linglung adanya.
Selesai berkata, Nanjar segera balikkan tubuh dan
melangkah pergi tanpa menoleh lagi.
Raden Sura Banga menatap dengan mata
mendelong pada pemuda kacung itu. Diam-diam
dia merasa penasaran. Sikap pemuda kumal itu
seperti tak memandang mata padanya. Walaupun
pemuda kumal itu mengatakan bahwa dirinya bukanlah orang yang ada hubungannya
dengan kerusuhan di Kadipaten, tapi rasa kepanasaran hatinya tetap menyelinap
didalam hati. Dia baru saja
turun gunung setelah belajar ilmu kedigjayaan.
Hal itupun karena dia dipanggil oleh ayahnya Adipati Kayoman untuk datang ke
Kota Raja berkenaan dengan kejadian dan kerusuhan dibeberapa
tempat di Kota Raja termasuk digedung Kadipaten.
Pertama dua orang prajurit penjaga tewas tanpa
ketahuan siapa yang membunuhnya. Dan kedua
adalah lenyapnya perhiasan milik ibunya didalam
lemari dalam kamar yang terkunci rapat, tanpa ketahuan siapa yang telah
mencurinya. Tentu saja kemunculan dia diwilayah Kota
Raja adalah untuk mencari jejak si perusuh dan
menangkapnya. GOMBLOH adalah bekas seorang juru masak di kadipaten, yang telah berhenti dari
pekerjaannya, kemudian membuka kedai didesanya.
Tentu saja Raden Sura Banga mengenalnya, karena laki-laki itu sudah membuka
kedai sebelum kepergiannya menuntut ilmu empat tahun yang lalu.
Selama dua pekan diwilayah Kota Raja, Raden Sura Banga telah tiga kali berkunjung ke kedai Gombloh. Disamping itu
Gombloh juga diperintahkan untuk diam-diam mengawasi para pengunjung kedai,
siapa tahu ada tanda-tanda atau berita
mengenai siapa yang membuat kerusuhan digedung Kadipaten itu. "TUNGGU...!"
Pemuda gagah putera Adipati Kayoman ini
berkelebat melompat mengejar pemuda gondrong
bertampang kumal itu.
"Apakah maksudmu menahanku, sobat?"
Tanya Nanjar sambil menahan langkah. Tatapan
matanya beradu dengan tatapan Raden Sura Banga yang menatap tajam.
"Apakah kau telah mengetahui siapa
adanya aku?" berkata pemuda ini.
Nanjar mengangguk sambil tersenyum. "Ya,
aku mengetahui, kau adalah anak adipati Kayoman, namamu Sura Banga!" sahut
Nanjar. "Bagus! Tadi kau mengatakan bahwa kau
tak terlibat dengan yang membuat kerusuhan digedung Kadipaten! Bagaimana aku
bisa membuktikannya?" Raden Sura Banga mencari-cari alasan.
"Hm, apakah kaupun bisa membuktikan
bahwa aku memang orang yang membuat kerusuhan, atau aku ada hubungan dengan
orang yang membuat kerusuhan itu?" balik bertanya si Dewa
Linglung. Sejenak pemuda ini tak bisa menjawab. Tapi segera berkata.
"Kau memiliki ilmu tenaga dalam yang hebat, sobat Nanjar! Aku tak mencurigaimu,
tapi aku bisa bertanya, mengapa kau sembunyi dikedai pak
Gombloh, dan berpura-pura menjadi seorang kacung?"
"Pertanyaan yang bagus!" menyahut si Dewa
Linglung. "Secara kebetulan dua hari yang lalu perutku lapar, dan aku singgah dikedai
paman gemuk itu. Karena aku tak punya uang untuk membayar makanan, aku
diharuskan menjadi kacungnya selama satu pekan. Karena aku merasa bersalah, aku
tak menolak, disamping aku merasa kasihan padanya karena kacungnya yang biasa
membantu sedang sakit...!" kata Nanjar menceritakan
sejujurnya. Raden Sura Banga tersenyum manggut-manggut.
"Baik! Aku percaya pada ceritamu. Lalu siapakah tiga laki-laki berangasan yang
membawa berita kerusuhan di Kadipaten itu?" tanya Sura
Banga. "Hm, tampaknya kau ingin mendapatkan
penjelasan yang sejelas-jelasnya dalam usahamu
melacak si pembuat kerusuhan. Mengapa tak kau
tanyakan pada si gemuk paman Gombloh" Bukankah dia orangmu?" kata Nanjar.
"Benar! Dia memang kutugaskan untuk
mengawasi setiap pengunjung kedainya untuk
maksudku itu. Kalau kau bisa memberi keterangan, aku tak perlu lagi menanyakan
pada si gemuk pemilik kedai itu!" sahut pemuda ini.
"Mereka ketiga laki-laki berangasan itu menamakan dirinya si Tiga Harimau dari
Selatan!" sahut Nanjar yang sambil melayani tetamu memang memasang telinga mendengarkan
pembica- raan pengunjung kedai.
"Bagus! Mereka adalah orang-orang yang
dipanggil ayah untuk melacak jejak si perusuh!
Apakah kau melihat mereka menuju kejurusan
mana, atau kau mengetahui mereka akan berangkat kemana?" tanya Sura Banga.
"Sayang aku tak begitu memperhatikan kemana mereka pergi, dan aku hanya
kebetulan saja melewati wilayah ini. Aku tak tahu urusan segala
kerusuhan di Kadipaten!" sahut Nanjar sambil beranjak melangkah lagi.
"Tunggu, sobat Nanjar!" berkata pemuda baju biru ini sambil menghadang.
"Apa lagi maumu" Aku sudah memberikan
segala keterangan. Mengapa kau masih juga menahanku?" tanya si Dewa Linglung.
"Hm, setidak-tidaknya kau telah mendengar
kerusuhan itu, dan kau pun memiliki ilmu kepandaian. Mengapa kau tak mau
membantu kami?"
"Haha... hal itu bukan urusanku. Sudah
kukatakan aku seorang yang kebetulan lewat diwilayah ini. Mengenai segala
kerusuhan di Kadipaten
dalam wilayah ini bukanlah urusanku!" Dewa Linglung menyahut seenaknya.
Berubahlah seketika
wajah pemuda ini. Mendadak dia tersenyum sinis.
"Heh! Apakah kau sudah merasa cukup
memberikan keterangan, dan memamerkan kehebatan tenaga dalammu, juga setelah
membuat malu aku didalam kedai lalu seenaknya saja bisa berlalu begitu saja?"
kata Sura Banga.
"Apa maksudmu, sobat"'
"Ham, kau hadapilah beberapa jurus puku
Dewa Linglung 24 Jeratan Ilmu Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lanku. Ingin sekali aku mengetahui kehebatanmu!"
Sura Banga berkata dengan suara dingin.
"Haih! Mana mampu aku menghadapinya"
Kalau aku punya ilmu kepandaian tak nantinya
aku jatuh tersungkur ketika kau mengait kakiku..."
Akan tetapi Sura Banga yang memang penasaran untuk menguji kehebatan pemuda
bertampang tolol itu, telah membentak keras sambil
mendahului menyerang. Sepasang lengannya bergerak saling susul melakukan
hantaman. Satu ke arah dada dan satu ke arah perut.
Akan tetapi serangan itu adalah serangan pancingan belaka. Dia hanya ingin tahu
apakah Nanjar akan mengelak atau membiarkan dada dan perutnya terkena pukulan.
Ternyata si Dewa Linglung terhuyung ke
arah kiri. Jelas kalau dia tak menahan serangan
seperti tadi. Tapi itulah yang ditunggunya. Mendadak dia menahan serangan, dan
kakinya menendang ke arah lambung pemuda gondrong itu. Jurus tendangan yang
telah dipersiapkan ini telah diisi oleh kekuatan tenaga dalam tiga kali lipat
dari serangan pukulan tangan seperti yang pertama
kali dilakukan ketika menghantam dada Nanjar.
Aneh! Tendangan yang disangka bakal menemui sasaran ternyata lolos, karena
mendadak tubuh si pemuda lawannya terhuyung ke belakang
seperti mau jatuh.
WHUK!WHUK! Dia memburu dengan serangan susulan kedua tinju, dan serangkaian serangan telah
diper- siapkan lagi. Namun beberapa kali serangannya
tak satu pun mengenai sasaran. Pemuda kumal itu
cuma terhuyung kesana-kemari seperti orang mabuk karena kebanyakan minum tuak.
Namun setiap kali terhuyung serangannya selalu luput. Merahlah seketika wajah
Sura Banga. Mendadak dia
berseru keras. Tubuhnya membuat gerakan memutar. Tahu-tahu uap biru meluncur ke
arah Nanjar susul-menyusul. Ternyata Sura Banga mulai
merobah serangan, dan menggunakan jurusjurusnya yang berbahaya.
Serangan uap biru itu tak dapat dielakkan
dengan cuma melangkah dengan terhuyung saja.
Nanjar tahu jurus langkah Dewa Mabuk cuma untuk menghindari serangan pukulan
biasa. Uap biru yang mengandung kekuatan dahsyat itu tak
dapat dianggap enteng.
Bhlar! Bhalar! Dess!
Udara membiaskan cahaya biru yang menimbulkan asap panas, dan membuat tiga buah
lubang ditanah. Namun serangan itupun tak mengenai sasaran, karena si Dewa
Linglung telah gunakan lompatan Kera Sakti untuk menghindari serangan lawan.
Semakin menggebu Sura Banga melancarkan serangan-serangan mengurung Nanjar.
Hatinya semakin penasaran untuk menjatuhkan lawannya.
Belasan jurus telah berlalu. Dijurus kedua
puluh Sura Banga tak dapat menahan kesabarannya untuk mencabut pedangnya.
"Sobat Nanjar! Hadapilah pedangku!" bentak pemuda ini sambil menukik dari udara, lengannya menghantam dengan pukulan
terakhir. Uap biru menyambar dahsyat ke arah di Dewa
Linglung. Lagi-lagi tubuh si pemuda kumal melesat berjumpalitan dengan gerakan
seekor kera. Dan serangan itupun lolos. Di saat dia mencabut pedangnya dari pinggang, dan
siap melancarkan serangan ke arah lawannya yang membuat
hati mendongkol, mendadak dia terkejut karena
tak melihat sosok tubuh pemuda gondrong itu.
"Edan! Kemana perginya monyet itu?" sentak Sura Banga.
Ketika itulah dia mendengar suara ringkikan kuda. Pemuda ini tersentak, segera
tubuhnya berkelebat memburu ke arah suara itu. Hatinya
mencelos karena memikir pemuda konyol itu main
gila. Benar saja! Tampak kuda hitamnya berlari
cepat ke arah timur. Dipunggung kuda hitam itu
menggemblok tubuh si pemuda gondrong.
"Hai! Tunggu...!" teriaknya sambil berkelebatan mengejar. Tapi sudah tak keburu
lagi, karena kuda yang ditunggangi si pemuda kumal itu telah membedal cepat.
Terlalu jauh untuk bisa menyusulnya.
Sura Banga cuma bisa melotot lebar dengan
hati mengkal. Lapat- lapat telinganya mendengar
suara yang dikirim dari kejauhan.
"Haha... kudamu kupinjam dulu, sobat Sura Banga. Sudah lama aku tak naik kuda!"
Lama pemuda putera Adipati Kayoman ini berdiri terpaku ditempatnya. Terdengar suara
helaan napas- nya. "Pemuda itu sangat tinggi ilmunya. Tentu
dia bukan seorang tokoh persilatan dikalangan biasa... Eh, apakah dia... "
Sesaat Sura Banga tertegun. Hatinya tersentak ketika terpikir akan sesuatu. "Aku
melihat keanehan pada pemuda itu, apakah dia bukan si Dewa Linglung, si Pendekar
Naga Merah?" Suara Banga sekilas melihat ada guratan
bergambar seekor Naga pada bagian dada pemuda
itu ketika bajunya tersingkap.
Dengan hati masih diliputi pertanyaan, Sura Banga berkelebat dari tempat itu.
Dia memutuskan untuk kembali ke Kadipaten. Namun dia
tak akan menceritakan kejadian yang memalukan
itu pada siapapun termasuk ayahnya....
LIMA RESMINI tertegun menatap gadis dihadapannya bagai tak percaya dengan apa yang
dilihatnya. "Anakku....
benarkah kau anakku MANISARI...?" sentak wanita ini dengan suara
menggeletar dan mata setengah membelalak. Yang
ditatap maju selangkah seraya berkata.
"Benar ibu, aku Manisari! Hihi... mengapa
ibu tak percaya. Aku anakmu yang hilang itu. Aku
masih hidup. Kau dapat melihat kedua kakiku,
bukankah menginjak tanah" Aku bukan hantu,
ibu..." Sesaat wanita ini memperhatikan dari ujung
rambut sampai ke ujung kaki. Dan menghamburlah wanita ini memeluk gadis itu
dengan isak terharu.
"Anakku Manisari... Oh, kau datang nak"
Kau berjanjilah tak akan meninggalkan ibu lagi..."
kata wanita ini dalam tangis kebahagiaannya dan
memeluk gadis itu erat-erat.
Manisari membiarkan ibunya memeluk dan
menciuminya sepuas-puasnya. Barulah kemudian
dia melepaskan sambil berkata.
"Sudahlah ibu...! Maafkan kesalahanku
yang pergi meninggalkanmu tanpa pamit. Tapi semua itu adalah untuk kebahagiaan
ibu," dan Manisari menghentikan kata-katanya. Dia menatap
wanita itu dengan mata menyorotkan perasaan kasih sayang, namun dibalik itu ada
satu hal yang membuat dia mengalihkan tatapannya memandang ke luar jendela.
"Dan apa anakku" tanya sang ibu. "Dan untuk kesejahteraan kita bersama, ibu!"
sahut Manisari cepat mengalihkan kata-kata yang semula sudah siap dimuntahkan
dari mulutnya. "Tidak! aku
tak akan mengatakan pada ibu bahwa aku mendendam pada Adipati Kayoman, karena
hanya akan menghambat langkahku saja seperti nasihat
Uwa BALAWA...!" berkata Manisari dalam hati.
"Aku tak mengerti maksud kata-katamu,
anakku..." kata wanita ini menatap gadis itu. Manisari tersenyum, lalu
mengeluarkan sebuah buntalan sebesar dua genggaman tangan dari balik bajunya.
"Lihatlah ibu. Aku bawakan sesuatu untukmu...!" katanya seraya menyerahkan
buntalan itu pada Resmini.
"Apa ini anakku?" tanya wanita ini dengan
heran. "Kau buka sajalah, ibu..." sahut Manisari.
Membelalak lebar mata wanita ini ketika
membuka buntalan kain itu, ternyata penuh dengan perhiasan dari emas dan perak,
serta mutu manikam yang tak ternilai harganya.
"Dari mana kau mendapatkannya, anakku?"
tanyanya dengan suara gemetar. Seperti tak percaya dia menatap tajam-tajam wajah
anak gadisnya. "Tak usah ibu menanyakan dari mana aku
mendapatkannya. Simpanlah benda-benda itu untuk keperluan ibu. Aku ingin
membahagiakan ibu!
Bukankah selama ini kita hidup menderita, sejak
Adipati Kayoman menceraikan ibu" Nah! aku harus pergi lagi, ibu... Dan ibu
tinggal menunggu kedatanganku menjemput ibu untuk pindah dari wilayah ini!" kata
Manisari lalu beranjak bangun
berdiri. Sebelum sempat wanita ini mengeluarkan
kata-kata, gadis itu telah berkelebat keluar dari
ruangan kamar. Resmini tertegun seperti patung
dengan mata membelalak dan lengan gemetar
memegangi buntalan berisi perhiasan itu. Namun
dia cepat bangkit berdiri, lalu mengejar keluar kamar. "Manisari, anakku ...
tunggu!" Akan tetapi dia
tak melihat lagi gadis itu. Sesaat wanita ini jadi
berdiri terpaku. Hatinya berdebar tak menentu.
Apakah gerangan yang telah terjadi pada anaknya"
Dan dari mana perhiasan sebanyak itu"
Sementara itu disebuah pondok ditepi sungai disebelah timur perbatasan Kota Raja
seorang laki-laki berbaju hitam dengan ikat kepala lebar
yang juga berwarna hitam, duduk di atas tikar
pandan dengan sebentar-sebentar menoleh ke
arah pintu depan. Orang ini adalah BALAWA.
Tampaknya dia seperti tengah menunggu
seseorang. Yang ditunggu-tunggupun tak lama
muncul. Terdengar suara tertawa terkekeh dari
arah luar pondok. Ketika Balawa menoleh tampak
seorang kakek berjubah abu-abu telah berdiri dimuka pintu entah dari mana
munculnya. "Ah, selamat datang Wiku..." kata laki-laki
ini seraya bangkit berdiri menyambut kedatangan
laki-laki tua. "Heheh...heh... sudah lama kau menanti,
Balawa?" tanya kakek ini sambil melangkah masuk. Balawa tersenyum mempersilahkan
laki-laki tua itu duduk. "Sejak pagi tadi. Guru..."
"Kemanakah Manisari?" tanya Wiku Ampyang.
"Dia pergi mengantarkan perhiasan untuk
ibunya, Guru...! Mungkin sebentar lagi kembali."
sahut Balawa. Kakek ini manggut-manggut. Lengannya mengelus jenggotnya yang cuma
sejumput itu. Kemudian berkata.
"Keponakanmu itu sangat menyayangi
ibunya... Akan tetapi kau harus waspada. Balawa!
Walaupun dia telah dibekali ilmu keghaiban bukan
mustahil kalau jejaknya bisa tercium orang-orang
kerajaan. Dan bukan mustahil kalau ada orang
yang juga memiliki ilmu ghaib yang bisa mengetahui dan menghancurkan citacitamu...!"
Balawa manggut-manggutkan kepala.
"Aku mengerti, Guru...! Aku akan berusaha
untuk bertindak hati- hati!" sahut laki-laki ini.
"Aku telah mengabulkan keinginanmu untuk menguasai gadis keponakamu itu. Namun
satu hal yang harus kau penuhi setelah kau berhasil
menyingkirkan Adipati Kayoman, kau harus penuhi janjimu untuk menyetorkan
seorang gadis setiap satu bulan sekali ke Sumur Jalatunda!"
"Tentu, Guru...! Aku tak akan melupakan
itu!" sahut Balawa.
"Karena aku telah mewakilkan kau, pada
setiap malam yang diperlukan itu untuk melayani
kehendaknya...! Kau paham, bukan?"
"Aku mengerti. Guru...! Dan terima kasih
atas bantuamu selama ini." Si kakek manggutmanggut sambil tertawa terkekeh.
"Bagus! Untuk berhasilnya tujuanmu, kau
telah kubekali dua makhluk jejadian yang berasal
dari kedua orang murid perempuanku, SARITI dan
LELANI!" kata Wiku Ampyang sambil mengangkat
tangannya. Tampak mulutnya membaca manteramantera. Tak lama terjadi sesuatu
keghaiban yang luar biasa. Dua gumpal asap tampak mengepul dikiri dan kanan tubuh sikakek. Asap
putih itu menjelma menjadi dua sosok makhluk aneh. Dialah
dua orang gadis cantik berkepala manusia bertubuh ular.
Tentu saja Balawa terkejut tak terhingga,
hingga dia beringsut mundur dengan mata membelalak.
"Heheh...heh... jangan takut, Balawa! Keduanya akan menjadi pembantumu...!" kata
Wiku Ampyang dengan tertawa terkekeh-kekeh.
Wiku Ampyang memberi isyarat menyuruh
dua makhluk itu duduk disudut ruangan. Dengan
patuh dua makhluk itu menggelosor ke tempat
yang ditunjuk kakek itu. Lalu keduanya duduk
melingkar. "Guru...apakah mereka tak dapat menjadi
manusia biasa lagi?" tanya Balawa dengan menelan ludah.
"Hehe...heh ... kekuatan ilmu ghaibnya berada disumur JALATUNDA! Mereka dapat
menjadi manusia lagi bila cukup syarat-syarat yang diperlukan untuk itu!" sahut Wiku
Ampyang. "Tapi satu hal lagi yang harus kau ingat!
Kau tak boleh mencintai salah seorang dari mereka! Dan kau harus menghindari
diri dari perempuan!" sambung Wiku Ampyang.
"Aku... aku mengerti. Guru...!" sahut Balawa dengan keringat menetes didahinya.
Syarat itu cukup berat, tapi dia akan berusaha untuk mematuhinya.
"Nah! Kuserahkan dua makhluk ini padamu. Kau ingat nama-nama mereka?" tanya Wiku
Ampyang. Balawa mengangguk.
"Sariti dan Lelani!"
"Hehe... he... benar!" kata Wiku Ampyang
sambil tertawa mengekeh.
ENAM KUDA HITAM BERPENUNGGANG PEMUDA
GONDRONG itu mendadak berhenti ketika berpapasan dengan seorang gadis berbaju
kembangkembang warna putih dijalan kecil yang dilaluinya.
Dewa Linglung 24 Jeratan Ilmu Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Eh, gadis manis jalan sendiri tak ada yang
mengawal. Siapa dia?" bergumam Nanjar sambil
menyengir sendiri. Mendadak dia putar kudanya
lalu kembali ke arah belakang, dan membedalnya
dengan cepat memburu ke arah gadis itu.
Gadis yang tengah melangkah cepat ini menepi ketika mendengar suara derap kaki
kuda dibelakangnya.
"Eh, adik manis! Boleh aku tahu kemana
tujuanmu" Tampaknya kau begitu tergesa-gesa
sekali, tentu ada suatu urusan yang sangat penting..." bertanya Nanjar, sambil
merendengi dara itu
dengan langkah kuda diperlambat. Gadis ini menoleh. Siapa adanya dara ini tak
lain dari Manisari.
Dara ini tak menjawab, tapi hanya mengerling sipenanya yang duduk di atas kuda.
Nanjar garuk tengkuknya yang tidak gatal.
Entah mengapa dia merasa penasaran ingin mengetahui siapa adanya gadis cantik
itu. Mendadak dia melompat dari punggung kuda. Sekejap telah
berdiri didepan gadis itu.
"Hm, siapa kau" Mengapa mengganggu
orang sedang berjalan?" berkata Manisari. Mau tak
mau dia terpaksa menahan langkahnya.
"Ah, jangan marah, adik! Aku tak mengganggumu. Tapi cuma mau bertanya saja.
Maksudku... kalau kau tak keberatan aku bisa mengantarmu ke tempat tujuan!"
sahut Nanjar sambil
tersenyum. "Terima kasih atas kebaikan hati anda! Biarlah aku berjalan kaki saja!" menyahut
Manisari. "Tapi..." kata Nanjar.
"Minggirlah! Jangan menghalangi jalan!" kata Manisari memotong.
"Tunggu! Oh, ya! Boleh aku mengetahui
namamu" Dan akan kemanakah tujuan nona?"
tanya Nanjar tanpa menggeser tubuhnya. Dia memang masih penasaran untuk
mengetahui siapa
dara itu. Manisari sejenak menatap pemuda dihadapannya. Seperti meneliti wajah pemuda itu.
Hatinya berkata. "Hm, tak mengapa kalau aku memberitahukan namaku. Tampaknya dia
pemuda baik-baik... Dan aku tak boleh terlalu curiga pada
setiap orang!" Setelah terdiam sesaat, dia menyahut.
"Namaku Manisari...! Aku... aku hendak kerumah saudaraku dibalik hutan itu!"
Nanjar tercenung sesaat seperti memikir.
"Dibalik hutan itu" Hm, apakah yang kau
tuju adalah sebuah rumah disisi sungai?" tanya
Nanjar., Pertanyaan itu diajukan karena dia memang barusan melewati jalan
dibalik hutan sebelah timur tersebut, dan melihat ada sebuah pondok disisi
sungai berbatu-batu.
Manisari sejenak tertegun. Rumah yang dimaksudkan Nanjar memang benar rumah itu
yang ditujunya. Dia memikir untuk tak memberitahu,
tapi sudah terlanjur mengangguk.
"Benar! Itu... itu rumah saudaraku..." sahutnya pendek dan agak tergagap. Nanjar
kembali tersenyum. "Jalan kesana cukup jauh, adik Manisari!
Lagi pula harus menyeberangi sungai berair deras.
Sebaiknya aku mengantarmu! Jangan khawatir
aku bukan pemuda hidung belang yang suka
mempermainkan perempuan cantik!" kata si Dewa
Linglung. "Tidak! terima kasih! Biarlah aku berjalan
kaki saja!" sahut Manisari menolak. Nanjar jadi geleng-geleng kepala.
"Kalau begitu baiklah! Nah, silahkan lewat
adik manis!" kata Nanjar sambil menghela napas
dan melangkah ke sisi jalan.
Gadis itu melangkah cepat, dan tanpa menoleh lagi terus berjalan menyusup masuk
ke jalan setapak dengan mengambil jalan membelok dari
jalan besar. Nanjar sejenak memandang ke arah
punggung gadis itu. Pada saat itu dikejauhan terdengar derap suara kaki-kaki
kuda mendatangi.
Dewa Linglung kerutkan keningnya memikir. "Hm,
siapa mereka?"
Tadinya dia mau melompat ke punggung
kuda tanpa memikirkan gadis itu lagi. Tapi menampak beberapa penunggang kuda
dikejauhan mendatangi yang tampaknya seperti lasykar Kerajaan, dia melompat ke dalam semak,
dan menghi- lang... Diantara tujuh penunggang kuda itu, tiga
orang adalah tiga laki-laki berangasan yang pernah
dilihat Nanjar dikedai Gombloh si laki-laki gemuk
itu. Sedangkan empat penunggang kuda lainnya
adalah lasykar Kadipaten.
"Eh! bukankah itu kuda Raden Anom Sura
Banga?" teriak salah seorang prajurit. Serentak para penunggang kuda itu
menghentikan kudanya
masing-masing. "Benar! Ini kuda Raden Anom Sura Banga!"
sahut prajurit kawannya.
"Mengapa ditinggal ditempat ini?" sela kawan lainnya.
"Hm kukira telah terjadi sesuatu, karena ketika aku tadi melihat Raden Anom Sura
Banga memasuki pintu gerbang Kadipaten tanpa menunggang kuda. Sedang kepergiannya tadi
pagi mengendarai kuda..." Prajurit pertama memberi
penjelasan. Tiga prajurit kawannya manggutmanggut.
"Bagaimana baiknya kalau kita bawa saja
kuda ini ke Kadipaten?" tanya salah seorang.
"Tapi, kita sedang mengantar utusan Kangjeng Gusti Adipati ke Baluran...!"
menyahut seorang prajurit sambil menatap pada ketiga laki-laki
Naga Beracun 6 Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Pendekar Penyebar Maut 28
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama