Ceritasilat Novel Online

Pendekar Baju Putih 2

Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


dalam. Kakek itu mengikutinya. Ketika tiga orang murid Thian-san-pang hendak
mencegahnya, hanya dengan mengebutkan ujung lengan bajunya, dia
membuat tiga orang itu terlempar ke kanan kiri dan dengan tenangnya dia
mengikuti Cin Po masuk. Di ruangan dalam, Cin Po melihat Ban Koan duduk di kursi yang biasa diduduki
su-kongnya. Ban Koan terbelalak kaget ketika melihat anak itu, seperti tidak
percaya pada penglihatannya sendiri, matanya terbelalak dan mulutnya
ternganga. "Kau?" kau......?" katanya tergagap.
"Susiok, di mana su-kong," tanya Cin Po seolah tidak pernah terjadi sesuatu
antara dia dan paman gurunya itu.
70 Mata Ban Koan kini tertuju kepada kakek tua yang berdiri di belakang Cin Po
dan tahulah dia bahwa Cin Po tentu ditolong oleh kakek itu. Maka dia segera
mengubah siasat dan sikapnya.
"Ah, kau terlambat, Cin Po. Tempat kita diserbu musuh, kakek dan duapuluh
orang lebih saudara kita tewas, itu kuburannya berada di luar perkampungan
kita!" "Su-kong.......!" Cin Po menjerit dan diapun berlari keluar, diikuti kakek yang
menjadi seperti bayangannya itu.
Setelah mereka pergi, Ban Koan cepat mempersiapkan anak buahnya untuk
berjaga-jaga karena dia mendapat firasat tidak enak dengan munculnya Cin
Po dan kakek tua itu. Cin Po menangis menggerung-gerung di depan makam Tiong Gi Cinjin. Dia
amat mencinta kakek ini karena kakek itulah satu-satunya orang yang
menyayangnya. Bahkan dari ibu kandungnya sendiri dia tidak pernah
merasakan kasih sayang seperti dari kakeknya ini.
Setelah puas menangis, dengan lunglai Cin Po menggeletak piagsan di depan
makam kakeknya. Pat-jiu Pak-sian menotoknya beberapa kali dan dia siuman
kembali. "Bocah tolol. Untuk apa bertangis-tangisan sampai pingsan, menangisi orang
mati" Perutmu lapar kau buat menangis seperti itu, tentu saja engkau tidak
tahan dan pingsan. Hayo kita kembali ke perkampungan mencari makanan
dan minuman!" 71 Sebetulnya Cin Po enggan kembali, akan tetapi dia ingat akan janjinya. "Suhu,
yang membunuh su-kong dan semua saudara ini adalah paman guru Ban Koan
tadi yang bersekutu dengan Tok-coa-pang:"
"Hemm, begitukah" Dia yang telah menendang sampai tulang igamu patahpatah?"
"Benar, Suhu." "Kalau begitu, hayo cepat ke sana untuk menghajarnya!"
Kini kakek itu yang berjalan di depan.
Cin Po tentu saja ragu-ragu. Bagaimana dia bisa membalas menghajar paman
gurunya" Akan tetapi dia harus patuh maka diapun mengikuti gurunya
kembali memasuki perkampungan.
Benar saja dugaannya. Baru saja tiba di depan rumah besar, mereka telah
dikepung oleh duapuluh orang lebih murid Thian-san-pang yang memegang
senjata pedang. "Para paman harap jangan menyerang kami. Aku datang hanya untuk bicara
dengan Ban-susiok!" kata Cin Po dengan tenang.
Pasukan itu terkuak dan muncullah Ban Koan dengan pedang di tangan. "Aku
Ban-pangcu berada di sini! Engkau mau bicara apa, anak setan?"
"Ban-pangcu, engkau pernah menendang aku sampai terlempar ke dalam
jurang, sekarang aku datang hendak menghajarmu!" kata Cin Po, teringat
akan ucapan gurunya tadi.
72 Ban Koan terbelalak, lalu tertawa bergelak dan menyimpan kembali
pedangnya. "Engkau" Hendak menghajar aku" Bocah setan, agaknya engkau
sudah menjadi gila! Bukan engkau yang menghajar aku, melainkan aku yang
harus menghajarmu karena sikapmu yang kurang ajar ini. Nah, rasakan
pukulanku!" Dia lalu memukul dengan sekuat tenaga ke arah kepala Cin Po. Anak ini
hendak mengelak, akan tetapi tidak jadi karena pukulan paman gurunya itu
tertahan di udara, tidak dilanjutkan seperti tertahan sesuatu.
"Cin Po, hayo kau pukul tulang-tulang iganya!" terdengar gurunya memerintah. Cin Po menaati perintah itu. Dia menerjang ke depan dan memukul ke arah
tulang iga lawan. Anehnya Ban Koan tidak mengelak dan menangkis sama
sekali. Terdengar suara "bak-bik-buk" dan tubuh Ban Koan terhuyung ke belakang.
Semua murid Thian-san-pang menjadi terkejut dan heran bukan main. Yang
lebih heran adalah Ban Koan karena setiap kali dia hendak menggerakkan
tubuh untuk mengelak atau menangkis, tubuhnya itu tidak mampu dia
gerakkan. Dia hanya melihat kakek itu mengibaskan lengan baju ke arahnya
dari jarak jauh. "Terus hantam tulang iganya sampai patah!" kata kakek itu kepada Cin Po.
Biarpun baru berusia sepuluh tahun, namun tubuh Cin Po kuat sekali karena
sudah terlatih maka pukulannya pun tidak dapat disamakan dengan pukulan
anak biasa. 73 "Anak bodoh, begini kalau memukul!!" Pat-jiu Pak-sian memegang lengan kiri
Cin Po lalu dipukulkan ke arah dada Ban Koan.
"Dessss?"!!" Tubuh Ban Koan terjengkang keras seperti dihantam kekuatan
yang amat besar dan dia muntah darah.
Barulah para anak buah Thian-san-pang membelanya. Akan tetapi begitu
kakek itu mengebutkan lengan bajunya ke kanan kiri, semua orang menjadi
terlempar seperti daun-daun kering diterbangkan angin.
Cin Po mendapat hati. Dia menghajar Ban Koan yang sudah roboh itu dan
memukuli dadanya sampai Ban Koan berteriak-teriak kesakitan.
"Sudah, jangan bunuh dia," kata kakek itu. "Minta saja disediakan makanan
dan minuman untuk kita."
Cin Po berdiri dan menginjak dada Ban Koan, lalu menghardik:
"Hayo cepat menyuruh orang menyediakan makanan dan minuman yang lezat
untuk Suhu dan aku!"
"Baik, baik?"" Cin Po melepaskan kakinya dan Ban Koan merangkak bangun.
Ada beberapa tulang iganya yang patah oleh pukulan terakhir tadi. Sambil
memegangi dadanya dia memerintahkan orang-orangnya yang menjadi jerih
untuk menyediakan makanan dan minuman yang diminta Cin Po.
Guru dan murid ini lalu makan minum dengan lahapnya. Setelah tiga hari tiga
malam hanya makan roti kering sepotong setiap hari, Cin Po merasa lapar
sekali. 74 "Sekarang kita pergi," kata kakek itu sambil mengusap mulutnya yang
berlepotan minyak. Akan tetapi Cin Po masih belum puas. Dia menghadapi Ban Koan yang berdiri
terbungkuk kesakitan dan mengancam.
"Ban Koan, agaknya sudah tercapai niat jahatmu dan engkau kini menjadi
ketua Thian-san-pang. Jadilah ketua yang baik, kalau tidak, kelak aku akan
datang lagi untuk mengambil nyawamu!"
Setelah berkata demikian barulah puas hatinya dan dia mengikuti gurunya
yang sudah lebih dulu meninggalkan tempat itu.
"Engkau salah," kata gurunya di tengah perjalanan.
"Salah bagaimana, Suhu?"
"Seharusnya tikus itu kaubunuh!"
"Teecu tidak berani membunuh orang, suhu. Dan siapa tahu dia akan
mengubah wataknya dan menjadi orang baik-baik yang memimpin Thian-sanpang ke arah jalan yang baik."
"Uuuh, percuma saja. Orang sesat tidak akan menjadi baik oleh ancaman.
Kebaikan harus datang dari hati nurani sendiri, kalau tidak, maka kebaikan
yang datang karena nasehat atau ancaman, tidak akan bertahan lama.
"Kemana kita sekarang" Apakah engkau masih mempunyai keperluan lain"
Kalau tidak, kita langsung pulang ke tempat tinggalku."
"Nanti dulu, Suhu. Kalau boleh, teecu ingin sekali berpamit kepda ibuku."
75 "Ibumu" Hemm, engkau masih mempunyai ibu" Di mana ia sekarang?"
"Teecu kira ia berada di kuil Ban-hok-si di kaki bukit sana, di kuil yang diketuai
nenek Liauw In Nikouw."
"Dan ayahmu?" "Ayahku telah meninggal dunia, terbunuh, orang jahat."
"Hemm, jadi untuk ayahmu itu, engkau berkabung, mengenakan pakaian
putih?" "Benar, Suhu. Ibu berpesan agar teecu selalu mengenakan pakaian putih,
berkabung, untuk ayah dan teecu baru boleh mengenakan pakaian berwarna
apabila teecu sudah berhasil membalas dendam atas kematian ayah."
"Wah, ibumu agaknya seorang yang berhati keras. Nah, mari kita ke sana!"
Kembali Cin Po menjadi petunjuk jalan, menuruni gunung dan menuju ke
dusun di mana berdiri Ban-hok-si, kuil yang diketuai oleh Liauw In Nikouw itu.
Ketika akhirnya Bi Li berhadapan dengan Cin Po, ibu itu menegur puteranya,
"Cin Po, engkau ke mana saja" Kemarin ketika aku berkunjung ke Thian-sanpang, engkau tidak berada di sana" Dan siapa pula kakek ini?"
"Ibu, agak panjang ceritanya, dan kakek ini adalah guruku, bernama Pat-jiu
Pak-sian." Bi Li mengerutkan alisnya. Ia hendak menggembleng puteranya agar kelak
dapat membalaskan dendam sakit hatinya. Ia tidak suka kalau ada orang lain
76 menjadi gurunya, apa lagi kalau ia belum yakin benar akan kepandaian orang
itu. Akan tetapi ia adalah seorang pendekar wanita yang mengenal sopan
santun, maka cepat ia memberi hormat kepada Pat-jiu Pak-sian.
"Terima kasih bahwa locianpwee sudi menerima puteraku menjadi murid.
Akan tetapi sebagai ibunya, aku berhak untuk menguji kepandaian orang yang
akan menjadi guru puteraku. Maukah locianpwe kuuji dalam adu silat?"
"Ha-ha-ha, benar dugaanku, engkau seorang yang keras hati. Aku paling
pantang untuk berkelahi dengan wanita, akan tetapi kalau hanya menguji ilmu
saja, bolehlah. Nah, engkau boleh menyerangku, kalau dalam sepuluh jurus
engkau mampu menyerangku, berarti aku kalah!"
Bi Li terkejut bukan main. Tingkat kepandaiannya sudah tinggi, dan di Thiansan-pang, selain mendiang gurunya, tidak ada yang dapat menandinginya.
Tetapi kakek ini dengan sombongnya memberi waktu hanya sepuluh jurus
kepadanya. Benarkah dalam sepuluh jurus ia akan kalah" Sungguh tidak
masuk diakal. "Sepuluh jurus, locianpwe" Baiklah, aku akan menggunakan pedang
menyerangmu selama sepuluh jurus! Nah, bersiaplah, locianpwe!"
Ia menghunus pedangnya dan kakek itu hanya tersenyum sambil berdiri biasa
saja. "Setiap saat aku sudah bersiap, nyonya muda."
"Lihat pedang!!" Bi Li membentak dan ia sudah menyerang dengan tusukan
pedangnya, menggunakan jurus Pek-hong-koan-jit (Bianglala Putih Tutup
Matahari), pedangnya membuat gulungan sinar seperti pelangi melengkung.
77 Namun tusukan yang mengarah tenggorokan kakek itu, diterima oleh Pat-jiu
Pak-sian dengan jari telunjuk dan jari tengahnya. Tahu-tahu ujung pedang itu
telah terjepit dua buah jari itu dan sekali sentakan ke belakang pedang itu
tidak dapat dipertahankan tangan Bi Li dan sudah berpindah tangan!
Bi Li terbelalak, akan tetapi kakek itu melemparkan pedang ke arah Bi Li.
"Engkau boleh menyerang lagi, akan tetapi harus lebih hati-hati, jangan
memandang rendah kepadaku seperti tadi!" katanya.
Maklumlah Bi Li bahwa kakek ini lihai bukan main. Diam-diam ia merasa
girang kalau Cin Po dapat menjadi murid orang sakti ini, akan tetapi iapun
masih penasaran dan kini ia menyerang dengan lebih dahsyat, menggunakan
jurus Hun-in-toan-san (Awan Melintang Putuskan Gunung), sabetan yang
amat kuat menuju ke arah leher.
Kakek itu kini menggerakkan tangannya dan lengan bajunya menangkis
pedang, lalu langsung melibat pedang dan untuk kedua kalinya pedang itu
terlepas dari tangan Bi Li.
"Terimalah pedangmu!" kata kakek itu dan melontarkan pedang dengan ujung
lengan bajunya. Ketika menerima pedang yang menyambar ke arahnya, Bi Li berhasil
menangkapnya akan tetapi ia terhuyung ke belakang. Maklumlah ia kini
bahwa ia sama sekali bukan tandingan kakek itu dan iapun memberi hormat
sampai dalam sekali. "Maafkan saya yang tidak melihat Gunung Thai-san menjulang tinggi di depan
mata. Ilmu kepandaian locianpwe hebat sekali dan saya merasa ikut bangga
78 dan bahagia kalau locianpwe sudi menerima puteraku Cin Po sebagai murid.
Cin Po, hayo mintakan maaf untukku kepada gurumu!"
Cin Po lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan gurunya dan berkata,
"Suhu, harap maafkan kelancangan ibu yang hendak menguji kepandaian
suhu." "Ha-ha, tidak apa, dan sekarang engkau boleh berbincang-bincang dengan
ibumu. Aku menanti di luar. Berada di dalam kuil membuat aku merasa
berdosa sekali." Sekali berkelebat kakek itu sudah lenyap dari situ dan Bi Li merasa benarbenar tunduk kepada kakek yang sakti itu.
"Cin Po, sekarang ceritakan apa yang telah terjadi denganmu, mengapa
engkau tidak nampak ketika Thian-san-pang diserbu musuh dan bagaimana
pula engkau dapat bertemu dengan gurumu itu."
"Ceritanya dimulai dua hari sebelum serangan itu, ibu. Pada siang hari itu
tanpa disengaja aku melihat pertemuan antara susiok Ban Koan dan seorang
anggauta Tok-coa-pang. Mereka membicarakan rencana mereka untuk
menyerbu Thian-san-pang."
"Ahh, Ban Koan?"." Sudah kuduga dia manusia yang jahat sekali!" seru Bi Li
dengan gemas. Pada saat itu Liauw In Nikouw masuk dan bertanya.
"Siapa yang jahat, Bi Li" Dan ini Cin Po sudah datang!" Bersama nenek ini
muncul pula Hui Ing yang segera mendekati Cin Po.
79 "Lama sekali engkau baru datang. Ke mana saja, Cin Po?" tanya Hui Ing,
seperti biasa bersikap manja kalau berhadapan dengan Cin Po yang dianggap
kakaknya sendiri. "Bibi, dan Hui Ing. duduklah dan dengarkan cerita Cin Po. Baru saja dia
menceritakan pengalamannya yang amat aneh. Cin Po, ulangi kembali
ceritamu tadi agar nenek dan Hui Ing ikut mendengarkan."
"Dua hari sebelum terjadi serangan di Thian-san-pang, aku melihat
pertemuan rahasia antara susiok Ban Koan dan seorang anggauta Tok-coapang. Mereka merencanakan penyerbuan ke Thian-san-pang pada malam hari
itu. Mendengar ini, tanpa mereka ketahui, aku lalu meninggalkan mereka dan
aku bercerita kepada su-kong tentang hal itu.
"Su-kong merasa ragu dan kurang percaya kepadaku. Akan tetapi tetap saja
Su-kong dan semua saudara melakukan persiapan dan penjagaan malam itu
untuk melawan kalau Thian-san-pang diserbu musuh.
"Akan tetapi, ternyata tidak terjadi apa-apa. Agaknya Ban Koan sudah
mengetahui bahwa rahasianya bocor maka dia menunda penyerangannya.
Karena tidak terjadi seperti yang saya laporkan, Su-kong marah-marah
kepadaku." Tiga orang itu mendengarkan dengan heran dan Bi Li merasa betapa sejak
dulu anak ini seringkali mendapatkan marah, baik dari ia sendiri atau dari
orang lain. Agaknya tidak ada yang suka kepada anak ini, kecuali mendiang
Suhunya. 80 Ia sendiri mengusahakan agar anak ini kelak berhadapan sebagai musuh
dengan ayah kandungnya, untuk membunuh atau dibunuh! Itulah pembalasan
dendamnya. "Lalu bagaimana?" ia mendesak.


Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Setelah mendapatkan marah dari su-kong, aku lalu pergi mencari kayu bakar
dan datang ke hutan yang kemarin. Dan benar saja, kembali aku melihat Ban
Koan mengadakan pertemuan dengan seorang anggauta Tok-coa-pang.
Akan tetapi kehadiran mereka di situ agaknya untuk memancingku. Mereka
mengetahui tempat persembunyianku dan mereka lalu memukuli aku dan
menendang aku jatuh ke dalam jurang yang sangat curam!"
"Ihhh, jahat sekali mereka! Kasihan engkau, Cin Po!" kata Hui Ing dan
agaknya kalau ada orang yang merasa sayang kepada Cin Po, satu-satunya
orang adalah gadis cilik ini. Hal ini adalah karena Cin Po juga sayang
kepadanya dan selalu menuruti permintaannya.
"Ketika aku terjatuh dalam keadaan tiga perempat mati, muncullah Suhu Patjiu Pak-sian?""
"Pat-jiu Pak-sian?" Tiba-tiba Liauw In Nikouw berseru, "Omitohud, dia itu
bukankah datuk dari Utara yang namanya disohorkan orang sejak puluhan
tahun yang lalu?" "Bibi, aku belum pernah mendengar nama julukan itu!"
"Mungkin saja karena selama beberapa tahun ini namanya tidak lagi muncul
di dunia kang-ouw. Akan tetapi puluhan tahun yang lalu, dia pernah
81 menggegerkan dunia kang-ouw. Biarpun aku tidak mempelajari ilmu silat,
karena sahabatku banyak dari kalangan kang-ouw, maka aku mendengar pula
namanya." "Pantas dia lihai bukan main!" kata Bi Li. "Lalu bagaimana, Cin Po?"
"Pat-jiu Pak-sian yang kemudian menerimaku sebagai murid itu lalu
mengobatiku sampai sembuh. Aku disuruh bersamadhi melatih napas selama
tiga hari tiga malam dan aku ternyata sembuh kembali.
"Kemudian aku mengajaknya ke Thian-san-pang untuk menengok keadaan di
sana. Dan tadi?" ketika kami ke Thian-san-pang, aku melihat kuburankuburan itu......."
Cin Po menghentikan suaranya yang gemetar dan dia mulai menangis,
demikian pula Hui Ing karena semua orang teringat akan malapetaka yang
menimpa Thian-san-pang dan mengakibatkan tewasnya Tiong Gi Cinjin pula.
"Omitohud, hentikan tangis-tangis itu, tidak ada gunanya ditangisi mereka
yang sudah meninggal dunia," kata Liauw In Nikouw.
"Teruskan ceritamu, Cin Po," kata Bi Li menghentikan tangisnya.
"Melihat aku, Ban Koan hendak memukulku. Akan tetapi suhu membela dan
aku bahkan oleh Suhu disuruh memukuli Ban Koan yang entah mengapa tidak
bisa melawan sama sekali.
"Akhirnya suhu menggunakan tanganku memukul patah-patah tulang iga Ban
Koan sebagai pembalasan ketika dia mematahkan tulang-tulang igaku dengan
82 tendangannya. Dan para anak buah Thian-san-pang hendak membela Ban
Koan, akan tetapi mereka semua dihajar oleh suhu."
Hui Ing bertepuk tangan. "Bagus sekali, kenapa engkau tidak mengajak aku,
Cin Po?" "Lalu bagaimana, Cin Po!" tanya ibunya.
"Aku lalu mengancam kepada Ban Koan bahwa kalau dia membawa Thiansan-pang menyeleweng, kelak aku akan membunuhnya."
"Bagus, apa yang kau lakukan itu sudah tepat sekali, anakku," kata Bi Li, pada
hal jarang ia menggunakan sebutan anakku seperti itu.
Tiba-tiba terdengar suara lirih namun jelas sekali seolah yang memanggil itu
berada di dekat mereka, "Cin Po, hayo kita berangkat!"
Mendengar ini, Cin Po lalu menjatuhkan diri berlutut di depan ibunya dan
neneknya. "Nenek, ibu, aku mohon pamit, hendak ikut dengan suhu."
"Baiklah, Cin Po. Belajarlah engkau baik-baik dan jangan engkau lupakan
pesanku dahulu tentang musuh-musuh kita."
"Jangan khawatir, ibu. Sampai mati aku tidak akan melupakannya."
Cin Po bangkit dan tiba-tiba Hui Ing memeluknya.
"Cin Po, aku ikut! Aku juga mau belajar kepada gurumu itu!"
83 "Hussh, Hui Ing, engkau belajar di sini saja bersama ibu," kata Bi Li.
"Benar, Hui Ing, suhuku tidak mau menerima murid lain. Kelak kalau aku
sudah pandai, aku akan mengajarimu!" kata Cin Po.
Hui Ing hendak merengek akan tetapi dibentak ibunya dan iapun bersungutsungut dan matanya menjadi basah.
Sekali lagi Cin Po memandang kepada mereka bertiga, lalu membalikkan
tubuhnya dan melangkah cepat meninggalkan tempat itu. Ternyata gurunya
telah menanti di tepi jalan dan mereka lalu pergi meninggalkan dusun itu.
"Y" Pada waktu itu Kerajaan Zaman Lima Wangsa (907-960) berakhir. Pada tahun
960 itu, seorang panglima dari Wangsa Ke Lima yang bernama Cao Kuang
Yin, memimpin pasukannya yang besar jumlahnya menundukkan penguasapenguasa lainnya dan diapun diangkat menjadi Kaisar oleh para pengikutnya.
Dia mendirikan wangsa Sung dan kemudian terkenal dengan julukan Sung
Thai Cu, kaisar pertama dari wangsa atau dinasti Sung. Sung Thai Cu (960976) mempersatukan semua daerah yang tadinya terpecah belah. Dia
menundukkan semua daerah itu dan dimasukkan ke dalam wilayah Kerajaan
Sung. Pusat kerajaan berada di tangan Kaisar dan pusat pemerintahan berada
di kota raja. Sung Thai Cu tidak membagi-bagikan propinsi kepada para jenderalnya,
melainkan mengangkat mereka sebagai pegawal tinggi. Tidak ada jenderal
yang diberi kekuasaan atas pasukan yang besar sehingga tidak ada
kemungkinan untuk berontak. Akan tetapi, bagaimanapun juga, kerajaan
84 Sung tidaklah sebesar kerajaan Tang dalam memulihkan wilayah di seluruh
Cina. Pada waktu itu daerah Timur Laut termasuk Mancuria selatan dan Ho-peh,
berada dalam kekuasaan bangsa Khi-tan. Di barat, daerah San-si terdapat
kerajaan Hou-han. Di sebelah Tenggara sepanjang pantai terdapat kerajaan
Wu-yeh, dan di selatan, yaitu di Yunan terdapat kerajaan Nan-cao.
Bukan saja kerajaan Sung tidak dapat menundukkan ke empat kerajaan yang
mengepungnya itu, bahkan ke empat kerajaan itu selalu berusaha untuk
menjatuhkan kerajaan Sung dan mereka tidak mau mengakui kekuasaan dan
kedaulatannya. Maka, sejak Kerajaan Sung berdiri, tiada henti-hentinya
terjadi perang dengan empat kerajaan itu.
Di antara empat kerajaan yang selalu merongrong kerajaan Sung itu, yang
terkuat adalah Kerajaan Khi-tan di utara dan timur laut. Bangsa Khi-tan
memang merupakan bangsa nomad yang pandai berperang dan tahan uji.
Mereka seringkali memindah-mindahkan perbentengan mereka sehingga
sukarlah bagi pasukan Sung untuk menggempur mereka. Mereka pandai
melakukan perang gerilya.
Pada suatu pagi, di perbatasan antara kerajaan Sung dan wilayah Khi-tan,
nampak Pat-jiu Pak-sian dan Cin Po. Memang datuk utara itu tinggal di Bukit
Merak, terletak di wilayah Tai-goan di Propinsi Ho-peh.
Selagi mereka berjalan memasuki wilayah Ho-peh melewati perbatasan, tibatiba dari sebuah tikungan muncul belasan orang penunggang kuda. Mereka
adalah para perajurit Khi-tan yang sedang mengadakan patroli dan melihat
seorang kakek dan seorang bocah berjalan di tempat sunyi itu, mereka
menjadi curiga dan cepat menghampiri.
85 "Hei, kakek. Siapa engkau dan mau apa memasuki wilayah kami?"
"Engkau mata-mata Sung, ya?"
"Tangkap mereka!"
Kakek itu terkekeh melihat tingkah para perajurit itu. "Aku adalah orang sini.
tinggal di bukit Merak. Kalian mau apa sih?"
"Kami tidak percaya!" teriak pemimpin perajurit Khi-tan itu.
"Geledah bawaan mereka!"
Dua orang perajurit meloncat turun dari kuda mereka dan dengan sikap kasar
hendak menggeledah pakaian Pat-jiu Pak-sian dan Cin Po. Akan tetapi kakek
itu mengibaskan tangannya dan dua orang itu terpelanting jatuh.
"Jangan kalian berbuat kurang ajar terhadap aku orang tua!" Bentak Pat-jiu
Pak-sian. "Kalian belum tahu siapa aku?"
"Engkau tentu mata-mata Sung, buktinya berani memukul dua orang
anggauta kami!" kata pemimpin itu dan diapun sudah mencabut goloknya dan
bersama semua anak buahnya lalu menerjang dengan senjata golok sambil
berlompatan turun dari atas kudanya.
Cin Po tidak tinggal diam, biarpun dia masih kanak-kanak berusia sepuluh
tahun, akan tetapi ketika ada yang membacokkan golok ke arahnya, dia dapat
mengelak dan meloncat ke depan mengirim tendangan dengan kakinya yang
mengenai bawah pusar orang itu sehingga dia berjingkrak kesakitan. Akan
86 tetapi yang hebat adalah gerakan kakek itu, dengan kibasan ujung lengan
bajunya saja dia membuat semua orang bergulingan.
"Pasukan yang buta matanya!" Kakek itu berseru. "Kalau kalian tidak
mengenal aku, tentu mengenal ini!" Dia mengeluarkan sehelai bendera dari
saku bajunya dan melambaikan bendera itu.
Ketika melihat bahwa bendera itu adalah sebuah leng-ki bendera kekuasaan
dari raja, serta merta mereka yang sudah bangkit kembali lalu menjatuhkan
diri berlutut. "Harap paduka memaafkan kami yang seperti buta tidak mengenal paduka!"
kata pemimpin pasukan tadi.
"Hemm, bangkit dan pergilah. Sampaikan saja hormatku kepada Sribaginda,
katakan bahwa yang memberi hormat adalah Pat-jiu Pak-sian dari Bukit
Merak." Mendengar disebutnya nama ini, semua orang menjadi semakin ketakutan.
Masih untung mereka tidak dibunuh, pada hal mereka mendengar bahwa
datuk ini biasanya suka sekali membunuh orang.
Datuk ini memang merupakan orang kepercayaan kaisar dan seringkali kalau
kaisar membutuhkan bantuannya, dia dipersilakan datang ke istana. Akan
tetapi datuk ini tidak mau memegang jabatan dan tidak suka pula tinggal di
istana memilih di Bukit Merak yang sunyi.
Pat-jiu Pak-sian tidak memperdulikan lagi mereka itu. Dia memegang tangan
muridnya dan dibawanya murid itu berlari cepat seperti terbang menuju ke
87 Bukit Merak. Dia harus cepat pulang untuk mengobati puteranya dengan daun
yang sudah dipetiknya jauh-jauh dari Thian-san.
Rumah di Bukit Merak yang terpencil itu nampak sunyi. Hal ini agaknya
merupakan pertanda buruk bagi Pat-jiu Pak-sian. Cepat dia melompat ke
dalam melalui pintu depan yang terbuka dan begitu dia masuk terdengarlah
jerit tangis orang di dalam rumah itu.
Cin Po ikut masuk dan ia berdiri tertegun. Di ruangan tengah terdapat sebuah
peti mati dan sedikitnya limabelas orang berada di situ, ada yang menangis
dan ada yang hanya berdiri dengan muka pucat memandang kepada Pat-jiu
Pak-sian yang berdiri sebagai sebuah patung di depan peti mati.
Wajahnya nampak menyeramkan dan pucat sekali, matanya terbelalak.
Semua orang yang berada di situ berlutut dan tidak ada yang berani bergerak,
hanya ada yang menangis terisak-isak bukan hanya karena duka melainkan
terutama sekali karena takut.
Melihat ini, Cin Po teringat akan sikap suhunya ketika dia menangis di depan
kuburan Su-kongnya. Maka, takut kalau Suhunya marah mendengar orang
menangis, dia pun berseru,
"Kalian menangis untuk apa" Mengapa mesti menangisi orang mati" Tidak ada
gunanya lagi. Hayo kalian diam dan jangan menangis!"
Suasana yang tadi sunyi itu membuat suara Cin Po terdengar lantang sekali
dan semua orang memandang heran, akan tetapi mereka yang menangis
segera menghentikan tangisnya.
88 Pat-jiu Pak-sian agaknya baru sadar bahwa sejak tadi dia hanya berdiri seperti
patung. "Dia benar, tidak perlu ditangisi lagi! Kapan dia meninggal?"
"Baru kemarin, locianpwe," jawab seorang diantara mereka. Mereka itu adalah
para pembantu Pat-jiu Pak-sian yang ditugaskan menjaga puteranya selagi
dia pergi mencari daun obat.
Mendengar bahwa kematian itu baru kemarin, kakek itu lalu membuka tutup
peti mati dan dia memanggil Cin Po mendekat. "Lihat, lihat baik-baik wajah
Hok Jin anakku ini. Pantas menjadi saudaramu, bukan?"
Cin Po mendekat dan dia melihat sebentuk wajah yang tampan akan tetapi
pucat bukan main. Dia hanya mengangguk, tidak
membantah atau membenarkan karena dia sendiri tidak hafal akan keadaan wajahnya sehingga
dia tidak tahu apakah wajah itu mirip wajahnya sendiri ataukah tidak.
Pat-jiu Pak-sian menutupkan kembali peti mati itu lalu diapun melakukan
sembahyang di depan meja sembahyang. "Hok Jin, mengasolah engkau
dengan tenang, nak." Demikian katanya dalam sembahyang itu.
Cin Po juga ikut sembahyang seperti orang lain.
Pemakaman dilakukan hari itu juga, di belakang rumah besar itu. Ternyata
rumah kakek itu cukup mewah. Hal ini adalah karena kaisar kerajaan Khi-tan
memberi banyak hadiah kepada kakek ini yang banyak sudah jasanya untuk
pemerintah Khi-tan. Sesudah itu, Pat-jiu Pak-sian menyuruh pulang semua pembantunya. Setelah
ada Cin Po dia tidak membutuhkan pembantu lagi.
89 "Mulai sekarang, engkau harus menjadi pengganti anakku, juga pengganti
pembantuku dan menjadi muridku sekaligus."
"Baik, Suhu. Sudah teecu katakan bahwa teecu akan melakukan apa saja yang
Suhu perintahkan," kata anak itu dengan sikap bersungguh-sungguh.
Demikianlah, sejak hari itu, Cin Po menjadi murid Pat-jiu Pak-sian dan tinggal
di rumah besar itu. Dia bekerja dengan rajin sekali, mengerjakan semua
kebutuhan gurunya. Dan diapun mulai dilatih ilmu silat tinggi oleh kakek itu,
terutama sekali latihan untuk menghimpun tenaga sin-kang tingkat tinggi.
Oleh karena Cin Po memang sudah memiliki dasar-dasar yang baik berkat
gemblengan ibunya dan kakek gurunya dan memiliki bakat yang luar biasa,
tulang kuat dan baik, maka dia dapat menyerap semua ilmu yang diajarkan
kepadanya dengan mudah. Melibat betapa bakat yang ada pada muridnya ini jauh melebihi bakat yang
terdapat pada mendiang puteranya, hati Pat-jiu Pak-sian segera terobati
setelah kematian puteranya. Apa lagi Cin Po anaknya penurut dan taat sekali
sehingga dia merasa semakin sayang kepadanya.
"Y" Sang waktu melesat lewat melebihi anak panah cepatnya. Kalau orang tidak
memperhatikan, maka waktu melesat dengan amat cepatnya sehingga tanpa
terasa lagi hari-hari, bulan-bulan, bahkan tahun demi tahun terlewat begitu
saja tanpa dirasakan lagi. Namun, apabila kita memperhatikan jalannya
waktu, misalnya kita sedang menanti datangnya seseorang yang kita harapharapkan, satu jam rasanya seperti sehari, sehari seperti sebulan dan sebulan
seperti setahun! 90 Kalau kita teringat masa lalu, betapa cepatnya semua peristiwa itu terjadi,
peristiwa puluhan tahun seolah hari kemarin saja terjadi. Tanpa merasa
orang- pun makin hari makin menjadi tua dimakan usia, seperti perjalanan
matahari, tanpa terasa. Dari pagi tahu-tahu sudah senja hari dan sebentar
lagi tenggelam. Maka, setiap orang perlu meneliti, dalam kurun waktu hidup yang tidak lama
ini, apa saja yang sudah dilakukan demi diri sendiri, demi keluarga, demi
orang lain, demi bangsa dan negara dan dunia" Ataukah kita hidup hanya
untuk sekedar hidup lalu mati, tiada bedanya dengan semua mahluk lain"
Lalu apa artinya manusia dianggap sebagai mahluk tertinggi martabat dan
harga dirinya kalau selama hidupnya sama sekali tidak ada manfaatnya bagi
kemanusiaan dan dunia, kalau hidupnya hanya menunggu mati saja,
sementara itu bahkan menyebar benih-benih kejahatan belaka"
Waktu terbang lalu dengan cepatnya dan empat-lima tahun telah lewat sejak
Cin Po tinggal bersama Pat-jiu Pak-sian di rumah kakek itu. Siang malam dia
digembleng oleh kakek itu yang amat menyayanginya karena Cin Po dianggap
sebagai pengganti puteranya yang telah meninggal dunia.
Dalam waktu lima tahun itu, Cin Po menerima pelajaran ilmu silat,
menghimpun tenaga sakti, dan sebagian besar ilmu Pat-jiu Pak-sian telah
diresapinya sehingga dalam usianya yang baru limabelas tahun, masih
perjaka remaja, Cin Po telah menjadi seorang ahli silat yang pandai bukan
main. Pat-jiu Pak-sian yang amat menyayang muridnya yang dianggap sebagai
pengganti puteranya ini telah mengajarkan ilmu pedang Hwi-sin-kiam-sut
(Ilmu Pedang Sakti Api), dan Pat-jiu Sin-kun (Silat Sakti Tangan Delapan).
91 Juga pemuda ini telah diajar menghimpun tenaga sin-kang sehingga dia
memiliki tenaga yang kuat sekali, dan gerakan lincah karena gin-kangnya juga
sudah mencapai tingkat tinggi. Pendeknya, sukar dicari seorang pemuda
limabelas tahun yang sehebat itu kepandaiannya.


Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan kini, dalam usia limabelas tahun Cin Po sudah kelihatan dewasa, bukan
saja dalam sikap dan pembawaan, juga tubuhnya sudah seperti seorang
dewasa. Tinggi tegap, dengan wajah yang sangat gagah.
Namun, sampai usia limabelas tahun dia masih setia kepada pesan ibunya,
selalu mengenakan pakaian putih sehingga dia kelihatan sederhana sekali.
Biarpun gurunya seorang yang dapat disebut tidak kekurangan sesuatu, dan
kalau dia menghendaki dia dapat minta dibelikan kain yang halus, namun Cin
Po tidak menghendaki demikian. Dia tetap sederhana dan pakaiannya yang
putih itu terbuat dari kain kasar saja dengan potongan sederhana.
Dan gurunya juga tidak perduli karena Pat-jiu Pak-sian sendiri seorang yang
sederhana dalam hal berpakaian. Pada hal dia seringkali menghadap Kaisar
Khi-tan! Bahkan di waktu menghadap sekalipun, pakaiannya juga biasa, jubah
yang longgar, hanya bersih akan tetapi sama sekali tidak mewah.
Pada suatu hari Pat-jiu Pak-sian memanggilnya menghadap, gurunya berkata,
"Cin Po, minggu depan Kaisar akan mengadakan pemilihan perwira-perwira
muda yang baru. Nah, engkau boleh memasuki pemilihan perwira itu."
"Akan tetapi suhu. Teecu tidak ingin menjadi perwira" Teecu ingin bebas
seperti Suhu." "Aku mengerti maksudmu. Akupun tidak sudi terikat menjadi pembesar atau
pejabat, akan tetapi ini hanya untuk menambah pengalamanmu saja. Kalau
92 engkau kebetulan terpilih, dan engkau merasa suka menjadi perwira, engkau
boleh mencari jasa dan siapa tahu engkau akan menjadi seorang panglima
besar. Berarti engkau akan mengangkat namaku, Cin Po."
Akhirnya Cin Po menurut nasihat gurunya dan ikut memasuki sayembara atau
ujian yang diadakan oleh Kaisar kerajaan Khi-tan untuk memilih perwiraperwira baru.
Ketika diadakan ujian kemahiran menunggang kuda dan memanah, kepandaian Cin Po biasa saja akan tetapi dia dapat lulus. Akan tetapi ketika
diadakan ujian kepandaian perkelahian adu ilmu silat, tidak ada peserta
sayembara yang dapat menandinginya, bahkan pengujinya sendiri kalah
olehnya! Tentu saja dia mendapatkan nilai tertinggi dalam ujian itu dan serta merta
diterima menjadi seorang perwira muda. Para panglima seolah berebutan
untuk menarik dia dalam pasukan mereka karena mempunyai seorang perwira
pembantu selihai pemuda itu amatlah menguntungkan.
Akhirnya, atas perkenan kaisar, Panglima Can berhasil memenangkan
perebutan itu dan Cin Po diperbantukan dalam pasukannya.
Akan tetapi, seminggu kemudian, Panglima Can mendapat tugas untuk
memerangi perbatasan barat dengan kerajaan Hou-han. Perbatasan ini
diperebutkan antara kerajaan Khi-tan dan kerajaan Hou-han, maka kaisar lalu
memerintahkan Panglima Can membawa pasukannya untuk melakukan
pembersihan di sekitar perbatasan barat itu.
Cin Po tentu saja terbawa. Sebelum berangkat dia menghadap Suhunya,
Suhunya memberi nasihat kepadanya,
93 "Nah sekaranglah saatnya engkau membuat jasa besar, Cin Po. Bunuh pihak
musuh sebanyak mungkin. Panglima Can tentu akan mencatat jasamu dan
engkau akan memperoleh kenaikan pangkat dengan cepat."
Di dalam hatinya Cin Po meragu. Mengapa dia harus bertempur membela
bangsa Khi-tan dan membunuhi orang Hou-han"
"Akan tetapi, Suhu. Teecu sama sekali tidak ada permusuhan dengan orangorang Hou-han. Bagaimana teecu harus membunuhi mereka?"
"Anak bodoh. Di dalam perang mana ada permusuhan pribadi" Yang
bermusuhan adalah pemerintah melawan pemerintah, kerajaan melawan
kerajaan. Adapun para perajuritnya hanya membela kerajaan masing-masing
di mana dia bekerja. Dalam perang, yang ada hanya dua hal, membunuh atau
dibunuh. Lebih baik membunuh dari pada dibunuh, bukan?"
Cin Po hanya mengangguk walaupun di dalam hatinya masih merasa bimbang
harus membunuhi orang yang sama sekali tidak mempunyai kesalahan
apapun terhadap dirinya. Kalau jasa dan kehormatan yang dicari maka berarti
dia membunuhi orang untuk mendapatkan jasa dan kedudukan! Betapa
bedanya ini dengan pelajaran yang dahulu diterimanya dari kakek gurunya,
ketua Thian-san-pang. Kakek gurunya selalu mengatakan bahwa mempelajari ilmu silat adalah untuk
menghadapi kejahatan, untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, sama
sekali bukan untuk membunuh orang yang tidak berdosa, apapun alasannya.
Namun, dia telah mengikuti ujian, dan telah diangkat menjadi perwira, maka
dia tidak dapat mengelak lagi.
94 Aksi pembersihan yang dilakukan Panglima Can di sepanjang perbatasan Houhan itu bagi Cin Po tidak lebih dari perampokan dan pembantaian rakyat
pedusunan yang tidak tahu apa-apa. Memang terjadi pertempuran kecil ketika
sepasukan Hou-han mempertahankan diri.
Dan dalam pertempuran ini diapun terpaksa ikut bertempur dan merobohkan
banyak perajurit Hou-han karena dia tahu bahwa yang ada hanya membunuh
atau dibunuh. Akan tetapi dia tidaklah haus darah, tidak sembarang
membunuh, hanya kalau dia diserang dia merobohkan penyerangnya.
Akan tetapi ketika dia memimpin seregu pasukan melakukan pengejaran,
regunya itu ketika tidak menemukan musuh, lalu menyerbu pedusunan dan
melakukan perampokan, pembunuhan dan bahkan perkosaan terhadap gadisgadis dusun. Hal itu membuat Cin Po marah bukan main.
Dengan pedangnya dia membunuhi mereka yang melakukan perkosaan itu
dan melihat ini, anak buahnya memberontak dan dia dikeroyok limapuluh
orang perajuritnya sendiri. Cin Po mengamuk dan para perajurit itu roboh satu
demi satu dan selebihnya melarikan diri.
Setelah mengamuk itu, barulah Cin Po menyadari bahwa dia telah melakukan
kesalahan besar terhadap pasukan Khi-tan. Seperti mimpi dia melihat betapa
ratusan penduduk dusun berlutut menghaturkan terima kasih kepadanya.
Dan dia membayangkan betapa dia kemudian ditangkap oleh pasukan
kerajaan Khi-tan dan tentu akan dijatuhi hukuman mati. Takkan ada yang
mampu menolongnya, bahkan gurunya sendiri juga tidak, karena gurunya
juga tentu akan ikut membantu kerajaan Khi-tan untuk menangkap dan
menghukumnya sebagai seorang pengkhianat!
95 Bayangan ini membuat dia menjadi ketakutan dan dia lalu melarikan diri,
bukan kembali ke timur melainkan terus lari ke barat, memasuki daerah
pedalaman kerajaan Hou-han!
"Y" Dari uang bekalnya, Cin Po membeli beberapa stel pakaian putih dan
membuang pakaian seragam perwiranya. Kemudian dia melanjutkan perjalanan dengan memggendong buntalan pakaian. Bahkan pedangnya jaga
dibuang, karena pedang itu merupakan ciri khas perwira Khi-tan, yang
bentuknya agak melengkung.
Kini dia nampak sebagai seorang pemuda sederhana, pemuda petani biasa.
Nampaknya sebagai seorang yang masih sangat muda, masih remaja dan
sederhana, dan tidak akan ada orang percaya bahwa baru saja dia telah
membunuh lebih dari tigapuluh orang perajurit Khi-tan yang melakukan
perkosaan dan perampokan.
Takkan ada yang menyangka bahwa pemuda remaja ini telah menguasai ilmu
silat sakti seperti Pat-jiu-sin-kun dan ilmu pedang Hwi-sin-kiam-sut,
menguasai pula tenaga sin-kang dan gin-kang yang tinggi.
Pada suatu hari tibalah dia di luar sebuah dusun di kaki Bukit Menjangan. Dari
jauh terdengar olehnya suara orang-orang menangis dan ketika dia
mempercepat langkahnya, ternyata yang menangis itu adalah serombongan
orang dusun yang sedang mengantar jenazah ke tanah kuburan. Yang
mengherankan adalah banyaknya peti mati yang mereka pikul!
Ada empat orang yang sekaligus tewas dan empat buah peti mati itu kelihatan
kecil-kecil, tanda bahwa yang tewas adalah anak-anak. Yang menangis adalah
96 keluarga empat orang anak yang mati itu dan suasananya sungguh
menyedihkan. Hal ini mengingatkan Cin Po akan kematian yang diderita oleh su-kongnya
dan para anggauta Thian-san-pang ketika dibantai oleh orang-orang Tok-coapai. Pada suatu hari dia akan membalas dendam kematian para anggauta
Thian-san-pang itu. Melihat iring-iringan itu, dia tertarik sekali dan dia mengikuti dari belakang,
melihat betapa empat orang anak yang berada dalam empat buah peti mati
itu dikubur. Ketika orang merubung penguburan itu, dia duduk menyendiri
dengan hati yang ikut bersedih.
Dan teringatlah dia akan keadaan perang. Baru saja dia meninggalkan
pasukan, meninggalkan perang di mana manusia saling bunuh membunuh.
Tak terhitung banyaknya manusia yang dibunuh atau membunuh, juga tidak
saling mengenal, bahkan tidak ada urusan pribadi antara mereka.
Betapa kejamnya perang dan dia membayangkan betapa keluarga yang
ditinggal si mati juga akan bertangisan seperti orang-orang yang menguburkan empat orang anak itu. Bahkan menangisi kematian yang
mayatnya saja tidak dapat mereka lihat dan rawat!
Seorang laki-laki tua yang ikut melayat melihat Cin Po dan dia merasa heran
karena tidak mengenal pemuda itu. Bukan orang sedusun. Maka dia
mendekati dengan heran. Cin Po juga cepat bangkit dan memberi hormat kepada laki-laki tua itu.
97 "Paman, apakah di dusun paman berjangkit penyakit menular maka sekaligus
jatuh korban empat orang anak?" tanya Cin Po.
Kakek itu menghela napas panjang dan duduk di atas batu, memberi isyarat
kepada Cin Po untuk duduk juga.
"Sudah kuduga," katanya, "Engkau tentu bukan orang dusun kami, sobat
muda. Maka engkau tidak tahu. Bukan penyakit yang berjangkit di kampung
kami, akan tetapi...... siluman"..."
Laki-laki tua itu menoleh ke kanan kiri dan kelihatan ngeri. "Dalam waktu
sebulan ini sudah ada tujuh orang anak-anak menjadi korban."
Tentu saja Cin Po terkejut bukan main. Dari hasil pendidikan ibunya dan sukongnya, dia tahu bahwa penduduk dusun amat percaya akan adanya
siluman-siluman. "Sebetulnya belum pernah ada yang melihat siluman," demikian kata
kakeknya, "akan tetapi manusia yang jahat memang kadang ada yang lebih
kejam dari pada siluman manapun yang terdapat di dalam dongeng."
Dari keterangan kakeknya itu dapat disimpulkan bahwa kalau toh ada siluman
maka siluman itu tentulah manusia yang amat jahat.
"Bagaimana ceritanya, paman" Apa yang terjadi dengan adik-adik kecil itu?"
Kembali orang itu memandang ke sekeliling, agaknya takut kalau ada yang
mendengar ceritanya. "Mereka semua menderita luka yang sama, di leher dan
di kepala berlubang!"
98 Kakek itu menggigil. "Mengerikan sekali! Dan selain yang tujuh orang anak
itu, sekarang masih ada dua lagi yang belum pulang."
"Bagaimana mereka bisa terjatuh ke tangan siluman?"
"Mereka diambil dari rumah masing-masing pada malam hari. Orang-orang
tidak melihat yang mengambilnya, hanya ada bayangan hitam berkelebat dan
terbang ke atas genteng dan anak itupun hilang."
"Dan mereka ditemukan di mana?"
"Di luar hutan, di lereng Bukit Menjangan."
Kakek itu lalu bangkit berdiri dan meninggalkan Cin Po. "Sudah, anak muda,
aku sudah terlalu banyak bicara."
Dan dia bergegas kembali ke kelompoknya. Di tengah kelompoknya barulah
dia merasa aman. Cin Po pergi dari situ. Dia mengambil keputusan pasti. Agaknya yang dianggap
siluman itu tentu orang jahat seperti yang diterangkan mendiang su-kongnya.
Akan tetapi kalau orang jahat, untuk apa membunuhi anak-anak kecil. Dan
luka-luka di leher dan kepala berlubang itu, untuk apa"
Dia teringat akan cerita guru pertamanya, yaitu Pat-jiu Pak-sian bahwa di
dunia kang-ouw terdapat banyak orang yang mempelajari ilmu-ilmu gaib,
ilmu-ilmu setan yang amat berbahaya, termasuk ilmu pukulan yang
mengandung hawa beracun. Dan untuk mempelajari ilmu ini, kadang orang
menggunakan cara yang aneh-aneh dan keji.
99 Pat-jiu Pak-sian biarpun seorang datuk pula, tidak pernah sudi menggunakan
cara-cara seperti itu, maka dia bercerita kepada muridnya dan mencela
perbuatan semacam itu. Dia harus menyelidiki peristiwa ini, dan kabarnya
masih ada dua orang anak lagi yang belum pulang. Siapa tahu dia akan dapat
menyelamatkan dua orang anak itu.
Bukit Menjangan menjulang di depannya. Dia lalu berangkat ke sana dan
setelah tiba di luar hutan dia terus menyusup memasuki hutan itu.
Setelah tiba di tengah hutan, dia melihat sebuah pondok dan tiba-tiba
terdengar tangis anak-anak dari belakang pondok. Cepat dia berlari ke sana
dan melihat seorang pemuda sedang mengempit tubuh dua orang anak kecil,
hendak dibawa masuk ke dalam pondok.
"Lepaskan anak-anak itu!" bentak Cin Po menghadang pemuda itu agar
jangan memasuki pondok. Dan dia terheran-heran melihat seorang pemuda berusia duapuluh tahunan
yang wajahnya tampan sekali dan gagah, pakaiannya juga pesolek dan rapi,
mengempit seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang usianya
kurang lebih tujuh tahun. Dua orang anak itu menangis ketakutan.
Melihat tiba-tiba muncul seorang pemuda remaja di depannya dan membentaknya, pemuda itu terkejut dan terheran, lalu tersenyum dan dia
melepaskan dua orang anak itu. Dua orang anak kecil itu agaknya menyadari
bahwa pemuda remaja itu hendak menolong mereka, maka mereka berdua
lalu berlari dan bersembunyi di belakang Cin Po.
"Mau kau apakan dua orang anak itu?" bentak Cin Po. "Hendak kaubunuh
seperti tujuh orang anak yang lain?"
100 Ditegur demikian, pemuda tampan itu mengerutkan alisnya dan sinar
matanya mencorong marah. "Apakah engkau seorang gila yang sudah bosan
hidup, mencampuri urusan kami?"
Mendengar ini, Cin Po menjadi waspada. Agaknya pemuda ini tidak sendirian,
dan tentu keadaan makin berbahaya.
Tadi melihat cara pemuda itu mengempit dua orang bocah sambil berlari
menunjukkan bahwa pemuda itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi
dan akan merupakan lawan tangguh, apa lagi kalau masih ada temannya.
"Aku tidak hendak mencampuri urusan siapapun juga. Akan tetapi kalau ada
siluman yang membunuhi anak-anak kecil entah untuk keperluan apa, aku
harus mencegahnya!" "Jahanam, sombong amat engkau. Siapakah engkau, jangan mati tanpa
nama!" Pemuda itu membusungkan dada. "Engkau agaknya tidak tahu dengan siapa


Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

engkau berhadapan. Aku adalah Kam Song Kui yang berjuluk Kang-siauw
Taihiap (Pendekar Besar Suling Baja). Hayo cepat pergi dan tinggalkan dua
orang anak itu kalau engkau belum bosan hidup!"
Manusia yang sombong, pikir Cin Po. Akan tetapi agaknya kesombongannya
bukan hanya bualan, melihat betapa tangan itu kini telah memegang sebatang
suling yang mengkilat, agaknya baja itu disepuh perak.
Sebatang suling yang panjangnya seperti pedang dan nampak indah. Sungguh
cocok dengan orangnya yang tampan. Sayang ketampanan dan kegagahan
pemuda ini agaknya palsu kalau benar dia yang membunuhi anak-anak itu.
101 "Kam Song Kui, namaku Sung Cin Po, dan aku tidak akan memusuhi siapapun
juga. Akan tetapi aku minta engkau membebaskan dua orang anak ini. Mereka
adalah anak-anak yang tidak berdosa, engkau mau apakan mereka" Dan
tujuh orang anak yang tewas dengan leher dan kepala berlubang itu, apakah
itu perbuatanmu?" "Sung Cin Po, agaknya engkau seorang pemuda kang-ouw juga. Engkau tentu
tahu bahwa tidak ada kematian tanpa sebab, dan tidak ada pembunuhan
tanpa sebab. Guruku sedang mempelajari ilmu, maka membutuhkan anakanak itu. Nah, aku sudah berterus terang, kalau engkau tetap menghalangiku,
berarti engkau akan mati di sini.
"Sudah jelas aku menghalangi. Selama aku masih ada di sini, jangan harap
engkau akan dapat membunuh dua orang bocah yang tidak berdosa ini!"
Pemuda tampan itu menjadi marah sekali. "Keparat, engkau memang sudah
bosan hidup!" Dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu menyerang dengan
hebatnya, menggunakan sulingnya yang mengkilap itu dipukulkan ke arah
kepala Cin Po. Namun, Cin Po yang sudah siap dan tidak berani memandang rendah lawan,
sudah mengelak dengan cepat ke samping dan kakinya mencuat dalam
sebuah tendangan ke arah lambung lawan. Kam Song Kui yang berjuluk Kangsiauw Taihiap itupun dapat mengelakkan diri dari tendangan itu dan
menyerang lagi. Karena maklum bahwa lawannya lihai, Cin Po segera memainkan jurus-jurus
dari ilmu silat Pat-jiu-sin-kun. Ilmu silat tangan kosong dari Pat-jiu Pak-sian
ini memang hebat sekali. Terutama gerakan kedua tangan itu sedemikian
102 cepatnya sehingga seolah tangan itu berubah menjadi delapan buah, sesuai
dengan nama ilmunya, Pat-jiu-sin-kun (Silat Sakti Tangan Delapan)!
Dan Kam Song Kui terkejut bukan main, dia menjadi bingung melihat
lawannya yang masih remaja itu bersilat sedemikian cepatnya sehingga tahutahu pundaknya terkena tamparan Cin Po, membuatnya terhuyung.
Pada saat itu dari dalam pondok keluar seorang kakek berusia enampuluh
tahun yang bertubuh tinggi besar, bermuka hitam dan kepalanya bersorban
seperti orang Sheik. "Ada apakah, Song Kui?" tanya orang tua ini kepada pemuda bersuling itu,
sambil memandang kepada Cin Po yang telah membuat lawannya terhuyung.
"Jahanam ini melarang teecu membawa dua orang anak itu, Suhu!" kata Song
Kui sambil menunjuk ke arah dua orang anak yang bersembunyi di belakang
Cin Po. Kiranya si sorban itu adalah guru Kam Song Kui, guru yang sedang
mempelajari ilmu aneh yang mengorbankan banyak anak kecil!
"Heh, bocah gila, kau berani menghalangi kami?" Berkata demikian, kakek itu
lalu mencengkeram dengan tangan kanannya ke arah kepala Cin Po.
Gerakan tangannya demikian cepatnya sehingga Cin Po terkejut dan cepat dia
melompat ke belakang. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tangan itu
mulur panjang dan tetap mengancam kepalanya dengan jari-jari tangan yang
panjang itu membentuk cakar setan. Kalau kepalanya kena dicengkeram jarijari itu, akan celakalah dia!
103 Akan tetapi karena dia tidak dapat melompat lagi maka dia miringkan
kepalanya dan mengangkat tangannya menangkis.
"Dukkk!" Tangannya terpental dan cengkeraman itu mengenai pundaknya!
Cin Po meronta akan tetapi sia-sia belaka, karena cengkeraman itu seperti
cengkeraman baja kuatnya, dan sebuah jari tangan menotoknya, membuatnya tak mampu bergerak lagi!
Akan tetapi tangan yang mencengkeram pundaknya itu kini lalu meraba-raba,
menekan sana sini dan kakek itu berseru, "Hebat! Anak ini memiliki tulang
yang hebat, tubuh yang sehat sekali. Mendapatkan tulang sumsumnya sama
dengan mendapatkan tulang sumsum selusin kanak-kanak!
"Ha, aku beruntung sekali mendapatkan dia. Song Kui, kini tidak perlu lagi
engkau mencari anak kecil. Pemuda remaja ini saja sudah mencukupi
kebutuhanku akan sumsum tulang yang baik dan kuat."
Dan kakek itu tertawa terbahak saking girangnya.
Tentu saja Cin Po terkejut sekali dan bergidik ngeri. Kiranya anak-anak yang
mati itu diambil tulang sumsumnya dan kini dia menjadi pengganti anak-anak
itu. Akan diambil semua sum-sum dari tulangnya dan mungkin disedot semua
darahnya! Dia benar-benar berhadapan dengan manusia yang lebih pantas disebut
siluman atau iblis! Dia hendak mengerahkan tenaganya, namun sia-sia.
Totokan itu sedemikian ampuhnya sehingga dia tidak mampu menggerakkan
tangan kaki sama sekali. 104 Tiba-tiba suara tawa itu berubah menjadi dual. Ada suara tawa lain yang
menggetarkan tempat itu, seolah menandingi suara tawa guru Song Kui. Si
sorban itu menjadi terkejut karena dari getaran suara tawa itu maklumlah dia
bahwa ada orang pandai tertawa dan sengaja mengisi suara tawanya dengan
khi-kang sehingga mengandung getaran yang sedemikian hebatnya.
Kakek bersorban itu adalah seorang datuk persilatan yang amat terkenal,
terutama di dunia barat. Dia berjuluk See-thian Tok-ong (Raja Racun Dunia
Barat), seorang datuk sesat yang ditakuti orang.
Kini dia terkejut mendengar suara tawa itu, maka jelaslah bahwa orang yang
tertawa itu juga bukan orang sembarangan. Dan tahu-tahu di tempat itu telah
muncul seorang kakek. Seorang kakek yang pendek kecil, nampaknya lemah
saja, berusia enampuluh tahunan dan pakaiannya kebesaran sehingga
kedodoran, seperti pakaian seorang pendeta dengan jubah berlengan lebar.
Memang kakek ini bukan orang biasa. Kalau See-thian Tok-ong merupakan
seorang datuk dari barat, maka kakek kecil ini adalah seorang datuk dari
selatan yang juga amat terkenal, berjuluk Nam-san Sianjin (Manusia Dewa
Pegunungan Selatan). Dan di sebelah kirinya berdiri seorang gadis berusia
kurang lebih delapanbelas tahun yang cantik manis dan gagah.
Gadis ini adalah seorang di antara murid-muridnya yang bernama Souw Mei
Ling. Dari cara kedua orang itu muncul di situ tanpa diketahui dan tahu-tahu
telah berada di situ saja sudah dapat dimengerti betapa lihainya guru dan
murid itu. Setidaknya mereka memiliki ginkang yang hebat sekali. Dan dari suara
tawanya, juga Nam-san Sianjin telah menunjukkan kekuatan sin-kangnya.
105 "Ha-ha-ha, kiranya Nam-san Sianjin si kecil yang muncul di sini. Angin apa
yang meniupmu dari selatan ke tempat kami ini, Sianjin!"
"Angin baik yang meniupku ke sini, karena aku dapat memperingatkanmu
akan tindakanmu yang keliru sama sekali dan akan membahayakan dirimu
sendiri." See-thian Tok-ong mengerutkan alisnya yang tebal hitam itu dan memandang
dengan mata mencorong. "Apa maksudmu!"
"Kumaksudkan pemuda remaja itu. Jangan jadikan dia sebagal korbanmu,
Tok-ong, kalau engkau ingin selamat."
"Kenapa" Apamukah pemuda ini?"
"Bukan apa-apaku."
"Kalau bukan apa-apamu, lalu kenapa engkau melarangku?"
"Tok-ong, apakah engkau tidak melihat ketika dia melawan muridmu tadi?"
"Tidak, mengapa?"
"Kalau engkau melihatnya, engkau akan tahu bahwa dia telah menggunakan
jurus-jurus ilmu silat Pat-jiu-sin-kun."
"Ahh?"" Kau mau bilang bahwa dia itu murid Pat-jiu Pak-sian?"
"Begitulah kenyataannya. Aku tidak salah lihat, pemuda itu tentu murid Patjiu Pak-sian!"
106 "Kalau begitu, kenapa" Aku tidak takut kepada Pat-jiu Pak-sian!"
"Ha-ha-ha, ho-ho! Engkau tidak takut kepada Pat-jiu Pak-sian, diapun tidak
takut kepadamu seperti juga aku tidak takut kepadamu.
"Ketahuilah, Pat-jiu Pak-sian adalah sahabatku. Kalau aku melihat engkau
hendak membunuh muridnya dan aku diam saja, sungguh aku merasa tidak
enak kepadanya. Karena itu Tok-ong, engkau boleh membunuh berapapun
orang anak aku tidak perduli karena itu urusanmu, akan tetapi kau lihatlah
mukaku, jangan bunuh murid Pat-jiu Pak-sian dan bebaskanlah dia."
"Enak saja kau bicara! Aku mau membebaskan dia. Kalau engkau sanggup
mengalahkan aku!" "He-he-ha-ha! Apa sukarnya mengalahkanmu?" Kakek kecil itu memainkan
tongkat butut yang tadi dibawanya.
"Majulah!" See-thian Tok-ong menantang dan raksasa hitam ini mengeluarkan
sebatang pedangnya yang melengkung, berwarna hitam agaknya mengandung racun berbahaya.
"Hati-hati menghadapi tongkat wasiatku!" Si kecil itu lalu mulai menyerang
dan gerakannya hebat sekali. Tubuhnya seperti tidak berpijak kepada tanah,
demikian tinggi ilmunya meringankan tubuh sehingga tahu-tahu seperti
terbang saja dia sudah melayang ke atas dan menyerang raksasa itu dengan
tong- katnya. Tongkat itu menusuk bertubi-tubi ke arah kedua mata See-thian Tok-ong
sehingga raksasa bersorban ini terkejut bukan main. Cepat dia memutar
107 pedangnya untuk menangkis, akan tetapi kakek itu sudah melayang ke
belakangnya dan menotok punggungnya.
Dia membalikkan tubuh dan pedangnya membuat gulungan sinar hitam untuk
melindungi seluruh tubuhnya. Harus diakui bahwa dalam hal kecepatan
gerakan dan keringanan tubuh, dia kalah jauh dibandingkan Datuk Selatan
ini. "Mei Ling, bebaskan anak itu!" kata Nam-san Sianjin sambil terus menghujankan tusukan dan totokan kepada tubuh lawannya.
Souw Mei Ling melompat ke dekat Cin Po. Melihat ini, Song Kui hendak
menghalangi akan tetapi Mei Ling sudah mencabut pedangnya dan menyerang
Song Kui. Song Kui terkejut. Serangan itu bukan main cepatnya dan pedang itu bagaikan
seekor burung walet saja, ketika hendak ditangkis dengan sulingnya, sudah
berubah arah membacok dari samping.
Diserang gencar dengan cepat, Song Kui terpaksa meloncat mundur dan
kesempatan itu dipergunakan oleh Mei Ling untuk menotok Cin Po. Harus
diketahui bahwa selain amat lihai dalam hal gin-kang, Datuk Selatan itupun
lihai dalam ilmu totok, maka muridnya pun lihai sehingga dalam dua kali
totokan saja Cin Po telah berhasil dibebaskan dari totokan See-thian Tok-ong.
Begitu dibebaskan, Cin Po membantu gadis itu mengeroyok Song Kui yang
menjadi kewalahan sekali. Menghadapi Song Kui, Cin Po kembali memainkan
Pat-jiu-sin-kun dan Song Kui sudah kewalahan, apa lagi di situ terdapat gadis
yang ilmu pedangnya amat cepat itu. Dia terdesak mundur.
108 "See-thian Tok-ong, hentikan perlawanan ini, kalau tidak muridmu tentu akan
celaka di tangan muridku dan pemuda murid Pat-jiu Pak-sian itu," kata Namsan Sianjin.
Agaknya See-thian Tok-ong tahu diri dan tahu akan bahaya yang mengancam
muridnya, maka diapun melompat mundur dan berseru, "Song Kui, lepaskan
dia!" Song Kui juga melompat mundur dan guru dan murid itu kini hanya melihat
saja ketika Nam-san Sian-jin bersama dua orang muda itu pergi dari situ
tanpa tergesa-gesa. Mereka maklum bahwa kalau pertandingan dilanjutkan,
pihak mereka yang akan menderita kerugian.
Biarpun See-thian Tok-ong belum tentu kalah oleh kakek kecil itu, akan tetapi
muridnya tentu akan menderita kekalahan dikeroyok dua orang muda yang
lihai itu. Pula, kalau sampai kelak Nam-san Sianjin bersatu dengan Pat-jiu
Pak-sian memusuhinya, See-thian Tok-ong merasa jerih juga.
"Y" "Locianpwe, saya Sung Cin Po menghaturkan terima kasih kepada locianpwe,
karena kalau tidak ditolong, saya tentu akan menderita kematian yang amat
mengerikan di tangan iblis-iblis itu."
"Ha-ha-ha, kau bilang mereka itu iblis" Mereka bukan iblis, melainkan rajanya
setan! See-thian Tok-ong itu adalah datuk barat yang kejamnya melebihi iblis.
"Dan engkau tidak usah berterima kasih kepadaku, orang muda. Katakan saja
kepada gurumu, si botak Pat-jiu Pak-sian itu bahwa perhitungan di antara
kami telah lunas. 109 "Dahulu pernah dia menolong seorang muridku yang akan terbunuh oleh
Tung-hai Mo-ong. Kini aku menolong muridnya yang akan terbunuh oleh Seethian Tok-ong. Jadi sudah lunas, tidak ada lagi hutang menghutang budi
antara dia dan aku. Bahkan melihat engkau terpilih oleh See-thian Tok-ong
untuk diambil sumsum tulangmu, aku menjadi tertarik. Ke sinilah mendekat
padaku!" Cin Po menurut dan dia mendekati kakek yaug tingginya hanya sepundaknya
itu. Kakek itu seperti yang dilakukan See-thian Tok-ong tadi, meraba-raba
dan memencet-mencet bagian tubuhnya dan mengeluarkan decakan kagum.
"Pantas engkau dipilih oleh See-thian Tok-ong. Aku juga suka memilihmu,
akan tetapi bukan untuk kuambil sumsum tulangmu, melainkan untuk
kuajarkan beberapa ilmu silat karena engkau bertulang baik dan berbakat
sekali. Begaimana?" Cin Po memang sudah tidak mempunyai harapan lagi untuk kembali kepada
gurunya, Pat-jiu Pak-sian. Dia sudah memberontak terhadap pasukan Khi-tan,
kalau gurunya mendengar tentu akan marah sekali dan mungkin tidak akan
mengampuninya. Maka, mendengar tawaran kakek kecil itu, yang memiliki
murid demikian cantik dan yang telah menolongnya, dia merasa girang dan
segera dia menjatuhkan diri berlutut.
"Kalau suhu berkenan mengambil murid teecu, tentu teecu merasa berterima
kasih dan berbahagia sekali," katanya.
"Ha-ha-ha-ho-ho, ingin kulihat bagaimana muka Pat-jiu Pak-sian kalau
melihat muridnya mengangkat guru kepadaku. Cin Po, mulai sekarang engkau
menjadi muridku, dan ini adalah Mei Ling suci mu."
110 "Suci!" Cin Po memberi hormat kepada gadis manis itu.
Mei Ling tersenyum manis. "Biarpun engkau menjadi suteku, akan tetapi aku
sendiri belum tentu akan dapat menandingimu, sute."
"Ah, suci terlalu memuji. Aku yang masih harus mendapatkan banyak
petunjuk dari suci!" kata Cin Po merendah dan gadis itu merasa senang sekali
dengan sikap sutenya itu.
Alangkah berbeda sikap anak ini dengan para saudara seperguruannya, yang
rata-rata karena mengandalkan nama besar guru mereka, bersikap sombong
dan seolah-olah tidak ada yang akan mampu menandingi mereka.
Demikianlah, mulai hari itu Cin Po menjadi murid Nam-san Sianjin. Berbeda
dengan Pat-jiu Pak-sian yang pro Khi-tan, dan See-thian Tok-ong yang tinggal
di daerah kerajaan Hou-han dan juga mempunyai kecondongan membela
Hou-han, sebaliknya Nam-san Sianjin yang tinggal di daerah kerajaan Nancao di selatan berpihak kepada kerajaan Nan-cao. Nam-san Sianjin tinggal di
pegunungan Tai-liang-san, yaitu di perbatasan antara kerajaan Nan-cao


Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan kerajaan Sung. Biarpun Nam-san Sianjin tinggal di daerah kerajaan Nan-cao dan di dalam
hatinya berpihak kepada kerajaan ini, namun dia tidak aktip seperti Pat-jiu
Pak-sian yang pro Khi-tan, atau See-thian Tok-ong yang pro Hou-han. Kakek
kecil ini seperti yang acuh saja, walaupun seringkali dia membantu pasukan
Nan-cao kalau bentrok dengan pasukan Sung di perbatasan, dan sudah
beberapa kali kakek ini membasmi bajak laut yang merajalela di pantai laut
selatan. 111 Kerajaan Nan-cao mengakuinya sebagai seorang tokoh kang-ouw yang baik,
dan bahkan beberapa kali Kaisar telah mengirim utusan untuk membujuknya
agar menduduki jabatan membantu pemerintah, namun selalu ditolak halus
oleh kakek ini. Juga tidak seperti para datuk lainnya yang membatasi diri dalam menerima
murid, Nam-san Sianjin mempunyai beberapa orang murid. Akan tetapi murid
utamanya hanya ada dua orang, yaitu Souw Mei Ling yang disayangnya
seperti anak sendiri, dan yang kedua adalah seorang suheng dari Mei Ling
bernama Kim Pak Hun. Hanya dua orang murid inilah yang tinggal bersama kakek itu di rumahnya
yang berada di satu di antara puncak-puncak bukit Tai-liang-san. Murid-murid
lain tinggal di luar dan sebagian besar sudah tamat belajar. Akan tetapi tidak
ada di antara mereka yang tingkat kepandaiannya dapat menyamai tingkat
kepandaian Souw Mei Ling atau Kim Pak Hun.
Cin Po diajak naik ke Tai-liang-san. Di sebuah puncak terdapat sebuah
bangunan yang menjadi tempat tinggal Nam-san Sianjin dan mereka bertiga
disambut oleh seorang pemuda tinggi besar berusia duapuluh tahun. Pemuda
itu adalah Kim Pak Hun, seorang pemuda yang berwajah, tampan dan gagah.
Ketika Pak Hun melihat betapa suhu dan sumoinya pulang bersama seorang
pemuda yang berperawakan gagah, dia mengerutkan alisnya karena tidak
mengenalnya. Suhunya setelah menerima penghormatannya langsung masuk
rumah, maka dia bertanya kepada Souw Mei Ling.
"Sumoi, siapakah sobat ini?"
112 "Dia bernama Sung Cin Po, murid suhu yang baru, jadi dia adalah sute kita,
suheng. Sute, ini adalah suheng Kim Pak Hun. Suhu tinggal di sini bersama
kami berdua, adapun para murid lain tinggal di luar. Perkenalkan, sute."
Cin Po segera memberi hormat kepada Pak Hun dan berkata, "Suheng, aku
mengharapkan banyak petunjukmu."
"Suheng, biarpun sute ini murid baru, akan tetapi dia lihai sekali. Dia pernah
menjadi murid Pat-jiu Pak-sian yang terkenal di utara itu. Kepandaiannya
tidak kalah dengan kita, setidaknya berimbang," puji Mei Ling.
Pak Hun mengerutkan alisnya.
"Ah, begitukah" Ingin sekali aku menguji kepandaianmu, sute."
Alisnya yang berkerut menunjukkan bahwa hatinya merasa tidak senang
mendengar pujian Mei Ling terhadap sute yang baru itu.
"Aku tidak berani, suheng."
"Kenapa tidak berani, aku hanya akan memberi petunjuk kepadamu.
Bukankah kau katakan tadi mengharapkan petunjuk dariku, sute?" Pak Hun
mendesak. Mei Ling melerai. "Suheng, sute belum pernah belajar sejuruspun ilmu silat
kita, bagaimana engkau akan mengujinya" Kalau engkau memukul sute, tentu
Suhu akan menjadi marah sekali kepadamu. Pula, sute masih remaja, usianya
baru limabelas tahun dan sudah sepantasnya kalau engkau memberi petunjuk
kepadanya, bukan menguji ilmunya yang sudah ada."
113 Mendengar bahwa Cin Po baru berusia limabelas tahun, kemarahan Pak Hun
mereda. Sebetulnya kemarahannya adalah terutama sekali karena cemburu.
Dia tidak senang Mei Ling memuji pemuda lain.
"Engkau baru berusia limabelas tahun sute" Akan tetapi tubuhmu seperti
seorang pemuda dewasa saja," katanya agak ramah karena dia tidak merasa
perlu cemburu kepada seorang berusia limabelas tahun, masih kanak-kanak!
Demikianlah, mulai hari itu Sung Cin Po mendapatkan guru baru. Memang
peruntungannya baik sekali. Pertama kali dia digembleng ibunya sendiri dan
kakek gurunya ketua Thian-san-pang, kemudian selama lima tahun kurang
dia menerima gemblengan Pat-jiu Pak-sian, dan kini dia menjadi murid Namsan Sianjin.
Dari Pat-jiu Pak-sian dia sudah menerima ilmu-ilmu silat yang tinggi, di
antaranya Pat-jiu-sin-kun dan ilmu pedang Hwi-sin-kiam-sut, dan sekarang
dia menerima gemblengan dalam ilmu gin-kang yang luar biasa dari kakek
kerdil itu. Nam-san Sianjin memang seorang ahli gin-kang yang sukar dicari
tandingnya di masa itu. Cin Po dilatih gin-kang sehingga kini dia dapat bergerak lebih cepat lagi.
Dengan penambahan tenaga gin-kang dengan sendirinya ilmu-ilmu silat yang
telah dia kuasai menjadi lebih ampuh lagi karena digerakkan dengan tubuhnya
yang ringan dan gerakan yang amat cepatnya.
Selain ilmu gin-kang, diapun diajari ilmu totokan maut yang biasanya
menggunakan tongkat atau jari tangan. Nama ilmu ini Tiam-hiat-tung
(Tongkat Penotok Jalan Darah) dapat dipergunakan dengan tongkat atau
hanya dengan jari tangan saja. Juga dia dilatih ilmu meringankan tubuh yang
disebut Coan-hong-hui (Terbang Menembus Angin).
114 Tiga tahun lamanya Cin Po berlatih dengan giat sekali sehingga kepandaian
silatnya meningkat dengan amat cepatnya. Memang dia bertulang baik dan
berbakat sekali sehingga apa yang orang lain pelajari selama sepuluh tahun,
dapat dikuasainya selama tiga tahun saja. Kini usianya sudah delapanbelas
tahun, sudah dewasa! Perubahan dirinya dari remaja menjadi dewasa agaknya mempengaruhi sikap
Mei Ling kepadanya. Mei Ling memang lebih tua darinya, usianya sudah dua
puluh satu tahun, akan tetapi karena tubuh Cin Po jauh lebih besar, maka
kalau tidak diperhatikan, Cin Po nampak lebih tua.
Dan kini terjadi perubahan dalam sikap Mei Ling. Ia tidak lagi memandang Cin
Po sebagai kanak-kanak dan sikapnya lebih akrab dengan sutenya ini karena
memang Cin Po pandai membawa diri.
Dan hanya Mei Ling lah yang suka menemani dia berlatih dan memberi
petunjuk-petunjuk. Kadang-kadang keduanya berlomba lari mempergunakan
ilmu Coan-hong-hui sehingga tubuh mereka melesat seperti kilat cepatnya
menembus angin. Biarpun selalu Cin Po masih kalah cepat, namun tidak
begitu jauh selisihnya. Juga dalam ilmu silat menotok jalan darah, selalu Cin Po masih terdesak dan
dia yang lebih banyak menerima totokan jari tangan gadis itu, yang tentu saja
tidak menotok terus, melainkan hanya mencolek atau meraba saja. Demikian
pula Cin Po, kalau sempat menyerang diapun hanya mencolek saja dengan
jarinya sehingga mereka berdua itu seolah saling colek dan saling raba!
Namun, kalau di pihak Mei Ling hal ini membuat mukanya kemerahan dan
terasa panas, bagi Cin Po biasa saja. Ketika mencolek atau meraba tubuh
gadis itu, dia tidak merasa sesuatu di dalam hatinya.
115 Pada hal dia tidak tahu bahwa colekkannya membuat Mei Ling berdebar-debar
dan salah tingkah sehingga permainan silatnya menjadi kacau. Dan ia seolah
membiarkan dirinya lebih sering diraba atau dicolek oleh jari tangan Cin Po.
Hubungan akrab kedua orang muda ini tidak terlepas dari pandang mata Kim
Pak Hun. Hatinya menjadi panas sekali. Sekarang Cin Po tidak boleh dibilang
kanak-kanak lagi, melainkan seorang pemuda dewasa yang sudah mulai
nampak membayang kumis melintang di bawah hidungnya!
Sore hari itu dia mendengar suara mereka berlatih di dalam taman bunga dan
kadang dia mendengar kekeh Mei Ling yang kegelian karena tubuhnya teraba.
Ketika Pak Hun mengintai, kedua telinganya terasa berdengung dan seluruh
wajahnya menjadi merah dan terus panas. Hatinya menjadi panas sekali
melihat kedua orang muda itu saling colek seperti itu!
Kenapa Mei Ling tidak pernah mau kalau dia yang mengajak berlatih Tiamhiat-tung" Kenapa sekarang dengan Cin Po saling colek, bahkan gadis itu lebih
banyak membiarkan dirinya diraba, dengan gerakan yang seolah sengaja
diperlambat" Dan kekeh tawa itu!
Pak Hun menjadi marah bukan main. Rasa cemburu meracuni hatinya,
menjadi api yang membakar hatinya sehingga dia tidak dapat menahan
dirinya lagi. Dia segera menghampiri mereka dan kemunculannya menghentikan Cin Po dan Mei Ling yang seolah-olah sedang bercanda dalam
latihan yang saling colek itu.
Melihat suhengnya, Cin Po bersikap biasa saja karena memang tadipun dia
tidak terpengaruh sekali akan colekan-colekan itu. Berbeda dengan Mei Ling
116 yang menjadi merah mukanya seolah tertangkap basah sedang bermesraan
dengan Cin Po. "Bagus!" kata Kim Pak Hun. "Ilmu yang kaupelajari dari Suhu sudah maju
pesat, sute. Sekarang ingin sekali aku berlatih, denganmu dalam ilmu Tiamhiat-tung dan agar lebih tepat, kita menggunakan tongkat, tidak main colek
dengan jari seperti itu!"
Dia mengejek akan tetapi Cin Po tidak merasa diejek, hanya Mei Ling yang
merasa. "Ladeni suheng, sute. Engkau belum tentu kalah!" kata Mei Ling yang menjadi
marah juga karena merasa malu.
"Ah, aku belum mahir benar, suheng!"
Akan tetapi Pak Hun sudah melompat ke atas, menyambar dahan pohon,
mematahkannya dan batang dahan itu patah menjadi dua potong, lalu
menghampiri Cin Po. "Pilihlah!" katanya.
Terpaksa Cin Po menerima sepotong.
"Awas, aku akan mulai menyerangmu. Lihat tongkat!" kata Pak Hun sambil
menotokkan ujung dahan ke arah dada Cin Po.
Pemuda ini cepat menangkis, akan tetapi serangan Pak Hun dilanjutkan secara
bertubi-tubi sehingga Cin Po main mundur. Bagaimanapun juga, dia masih
117 kalah matang dalam latihan dan gerakannya tidak dapat mengimbangi
kecepatan gerakan Pak Hun.
Setelah lewat tigapuluh jurus, Pak Hun berhasil menyarangkan ujung
tongkatnya menotok lutut Cin Po sehingga Cin Po jatuh berlutut!
"Bangkitlah!" seru Pak Hun dan dengan tongkatnya dia mencokel dan
memaksa Cin Po bangkit. Begitu Cin Po bangkit dia sudah diserang lagi,
tertotok di sana sini sampai jatuh bangun.
"Suheng, hentikan!" teriak Mei Ling yang melihat Cin Po jatuh bangun.
"Tidak, kami belum puas berlatih. Hayo, sute. Bangkitlah, atau engkau sudah
kehilangan keberanian?"
Diejek begitu, Cin Po bangkit kembali dan dia mulai membalas dengan
serangan jurus-jurus Tiam-hiat-tung. Akan tetapi bagi Pak Hun, gerakannya
masih kurang cepat sehingga mudah saja Pak Hun mengelak atau menangkis
dan membalas dengan totokan yang lebih kuat, membuat Cin Po jatuh
terjengkang! Dengan tangan kirinya Pak Hun menggapai Cin Po agar bangun
kembali. Lagaknya amat mengejek dan kini Cin Po mulai menjadi panas
hatinya. "Sekarang aku akan memukulmu, suheng!" katanya dan diapun menyerang
lebin ganas lagi, mengerahkan semua tenaganya, akan tetapi makin marah
dia, semakin kacau gerakannya dan kembali lututnya tercium ujung tongkat
Pak Hun sehingga kembali dia jatuh berlutut.
"Tidak perlu berlutut, sute, marilah keluarkan semua kepandaianmu! Ha-ha,
begini saja yang kaudapatkan selama tiga tahun" Agaknya engkau malas
118 berlatih, hanya bermain-main saja dengan sumoi! Aku akan melapor kepada
Suhu tentang kemalasanmu!"
"Keluarkan semua kepandaianmu" Baik, akan kukeluarkan!" Dan kini Cin Po
meloncat bangun lalu menyerang dengan tongkatnya.
Pak Hun terkejut bukan main. Kini ranting di tangan Cin Po itu bergerak
sedemikian aneh dan cepatnya, seolah ranting itu berubah menjadi delapan
dan mengandung hawa panas! Ini adalah karena Cin Po yang sudah marah itu
menggunakan Hwi-sin-kiam-sut yang mendatangkan hawa panas dicampur
dengan Pat-jiu-sin-kun yang membuat tongkatnya berubah menjadi delapan!
Pak Hun mencoba untuk membela diri, memutar tongkatnya dengan cepat.
Akan tetapi tetap saja, dia dihujani totokan dan pukulan tongkat oleh Cin Po
sehingga dia jatuh bangun, jatuh lagi dan setiap kali hendak bangun dipapaki
tongkat yang membuatnya jatuh lagi bergulingan sehingga bajunya kotor
semua. Sekali ini dia yang menjadi bulan-bulanan tongkat Cin Po dan menjadi
permainan seperti sebutir bola saja. Kalau dia jatuh, Cin Po mencokel dengan
tongkatnya sehingga dia bangkit lagi, lalu dirobohkan lagi dengan totokan
atau kemplangan dengan rantingnya.
Berulang kali begitu sehingga Pak Hun sudah tidak berdaya sama sekali, tidak
mampu membalas sekali seranganpun!
"Sute, cukup, sute!" Mei Ling menjerit. Tadinya gadis ini merasa senang
melihat sutenya kini membalas mempermainkan Pak Hun, ia lalu menjerit,
menghalangi Cin Po dengan kedua tangannya.
119 Cin Po berdiri dengan ranting di tangan, tubuhnya penuh keringat dan bajunya
yang putih menjadi kotor semua ketika tadi dia dibuat jatuh bangun oleh Pak
Hun. Melihat Pak Hun rebah dan tidak bangkit lagi, keduanya menjadi terkejut. Mei
Ling cepat berlutut memeriksa dan ternyata Pak Hun jatuh pingsan, dengan
pakaian kotor dan robek-robek.
"Celaka, sute. Kalau suhu tahu, tentu dia marah sekali. Apalagi engkau tadi
menggunakan jurus lain. Suheng pasti mengadu dan kalau Suhu mendengar
engkau menghajar suheng dengan jurus silat lain, pasti Suhu akan
menghukummu!" "Aku....... aku telah lupa diri. Sebaiknya aku pergi saja sebelum Suhu datang
dan membunuhku!" Mei Ling bangkit berdiri lalu merangkul sutenya. "Aku terpaksa membenarkan
engkau pergi, sute. Hatiku berat sekali untuk kau tinggal pergi, akan
tetapi...... betul kata-katamu, kalau Suhu tahu engkau merobohkan suheng
dengan jurus silat lain, mungkin Suhu akan membunuhmu."
"Kalau begitu, selamat tinggal, suci......"
"Selamat jalan, jagalah dirimu baik-baik, sute dan janganlah engkau
melupakan diriku." "Bagaimana mungkin melupakanmu, suci" Engkau begitu baik kepadaku.
Selama hidupku akan kuingat engkau dalam hatiku. Nah, aku pergi, suci!"
Cepat Cin Po meninggalkan tempat itu.
120 "Sute," gadis itu memanggilnya dan Cin Po segera berhenti. Gadis itu
menghampirinya sambil berlari. "Engkau jangan kembali ke rumah, takut
Suhu mengetahuinya."
"Aku hanya mengambil buntalan pakaianku."
"Tidak usah. Ini?" bawalah ini untuk bekal di jalan dan membeli pakaian."
Mei Ling melepaskan kalung dan gelangnya, menyerahkannya kepada Cin Po.
Cin Po merasa terharu sekali. Baru sekarang terasa olehnya betapa sucinya
itu amat sayang kepadanya dan juga betapa berat hatinya berpisah dari
sucinya yang selalu ramah dan baik kepadanya itu.
"Suci?" engkau baik sekali, aku".. tidak akan melupakanmu."
"Sudah, cepatlah pergi......." Mei Ling menyuruhnya pergi akan tetapi dalam
suaranya terkandung isak.
Cin Po hendak bicara lagi akan tetapi ia membalikkan tubuh, agar tidak
nampak beberapa butir air mata tergenang di matanya.
Cin Po mendengar suara Suhunya dari rumah, agaknya memanggil Mei Ling.
Maka diapun lalu berlari cepat meninggalkan rumah itu, meninggalkan semua
pakaiannya dan hanya membawa kalung dan gelang sucinya.
Dia berlari terus dengan cepatnya menuju ke utara, dengan niat untuk kembali
ke kerajaan Song. Akan tetapi karena kekurang tahuannya, dia malah menuju
ke timur! "Y" 121 Tanpa disadarinya sendiri, Cin Po memasuki daerah kerajaan Wu-yeh, sebuah


Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kerajaan lain di daerah Tenggara sepanjang pantai laut timur dan selatan.
Pada suatu hari, setelah melewati tapal batas dan memasuki kota Wu-couw
di tepi Sungai Mutiara, barulah dia mengetahui bahwa dia telah tersesat
masuk ke wilayah kerajaan Wu-yeh!
Dia memasuki sebuah toko perhiasan dan terpaksa menjual gelang pemberian
Mei Ling. Akan tetapi kalung pemberian gadis itu dia pakai di lehernya dan dia
berjanji kepada diri sendiri tidak akan pernah menjual kalung itu dan akan
disimpannya sebagai tanda mata atau tanda kenangan.
Ternyata gelang itu terbuat dari emas murni, maka ia menerima uang cukup
banyak untuk biaya hidup selama beberapa bulan! Dia membeli beberapa stel
pakaian putih dan membawanya dalam sebuah buntalan kain kuning. Lalu dia
melanjutkan perjalanannya.
Dalam usianya yang hampir sembilanbelas tahun, Cin Po sudah merupakan
seorang pemuda tinggi besar yang tampan dan gagah perkasa, pemuda yang
selalu berpakaian putih bersih seperti orang berkabung!
Dia berjalan terus menyusuri Sungai Mutiara. Ketika tiba di sebelah timur kota
Wu-couw, dia memasuki sebuah hutan dan pegunungan di mana air sungai
itu mengalir. Jalannya sungguh sukar dan selagi dia mengambil keputusan untuk kembali
ke barat dan menyeberangi sungai itu untuk melanjutkan perjalanan ke utara.
Tiba-tiba berlompatan duapuluh lebih orang berpakaian serba hitam, dipimpin
oleh seorang tinggi besar yang memegang sebatang golok besar. Orang tinggi
besar ini mukanya brewok dan sikapnya galak sekali.
122 "Ha-ha, pemuda yang lewat. Jangan engkau pergi sebelum meninggalkan
buntalan pakaianmu dan juga pakaian yang kaukenakan di tubuhmu harus
kautinggalkan di sini! Engkau boleh merangkak pergi seperti anjing tanpa
pakaian!" Mendengar hinaan ini, para anak buahnya tertawa bergelak-gelak, seolah
sudah melihat pemuda itu merangkak telanjang seperti anjing takut dipukul.
Cin Po mengerutkan alisnya. Dia sudah dapat menduga bahwa orang-orang
ini tentulah sebangsa perampok.
"Mengapa buntalan ini mesti kutinggalkan dan pakaian yang kupakai mesti
ditanggalkan" Ini buntalan dan pakaian adalah milikku sendiri!"
"Ha-ha-ha, milikmu tadi, akan tetapi sekarang harus diserahkan kepada
kami!" kata si brewok sambil tertawa lantang.
"Mengapa?" Cin Po bertanya penasaran walaupun dia tahu bahwa para
perampok itu tentu saja pekerjaannya merampas barang-barang milik orang
lain dengan kekerasan. "Mengapa" Engkau lewat di jalan ini, harus membayar pajak kepada kami."
"Ini jalan umum, milik pemerintah!"
"Ha-ha-ha, ini wilayah kami, milik kami. Hayo pilih saja, menyerahkan semua
milikmu atau menyerahkan nyawa kepada kami!"
"Kalian perampok jahat!" kata Cin Po.
123 "Jangan menghina! Kami bukan perampok. Kami adalah bajak-bajak yang
gagah perkasa. Seluruh lembah Sungai Mutiara ini termasuk kekuasaan kami.
Hayo cepat serahkan buntalan itu!"
"Takkan kuserahkan kepada siapapun. Ini hanya pengganti pakaian yang tidak
ada harganya. Harap kalian jangan mengganggu aku lagi. Sesungguhnya aku
tidak ingin bermusuhan, akan tetapi kalau kalian memaksa, akan kulawan."
Si brewok itu terbelalak heran. Baru sekarang dia bertemu seorang pemuda
dusun yang tidak takut kepada dia dan kawan-kawannya bahkan mengatakan
berani melawan mereka! "Engkau sudah bosan hidup!" bentak si brewok dan karena marah, dia sendiri
yang maju dan mengayun golok besarnya membacok ke arah leher Cin Po
dengan keyakinan bahwa sekali goloknya melayang, pemuda bandel ini tentu
akan terpenggal lehernya!
Akan tetapi dia kecelik. "Wuuuttt?"!" Golok besar itu menyambar lewat dan
luput dari sasaran. Dan sebelum si brewok dapat membalikkan goloknya,
sebuah tendangan keras mengenai perutnya.
"Bukk?"!" Biarpun tubuhnya kuat, tendangan kaki Cin Po itu membuat dia
terjengkang! Semua anggauta bajak itu menjadi marah sekali. Dan tanpa dikomando lagi
mereka segera menyerbu ke arah Cin Po dengan golok mereka. Duapuluh
empat orang kini mengeroyok Cin Po bagaikan serombongan semut
mengeroyok seekor jangkerik.
124 Dan Cin Po mengamuk! Kaki tangannya bergerak dan tubuhnya dapat
bergerak sedemikian cepatnya sehingga duapuluh empat orang itu tidak dapat
melihatnya, hanya melihat sebuah bayangan berkelebatan ke sana sini dan
tubuh mereka bergelimpangan!
Melihat ini, kepala bajak yang brewok dan yang kini sudah bangkit kembali,
lalu berseru. "Pergunakan jala!" dan anak buahnya lalu menaati perintah ini.
Setiap dua orang kini memegang jala yang lebar dan kuat, dan mereka lalu
menyerang Cin Po dengan jala atau jaring yang biasa mereka pergunakan
untuk menangkap ikan, juga kini dapat dipergunakan untuk berkelahi, sebagai
senjata yang ampuh. Biarpun memiliki gerakan gesit, karena di sana sini disambut tebaran jala,
beberapa kali Cin Po tertangkap dalam jala. Dia meronta dan dengan kedua
tangannya dapat merobek jala, akan tetapi sehelai jala lain sudah menutup
tubuhnya lagi, disusul jala-jala lain.
Karena banyak jala yang menutup dirinya, agak sukar bagi Cin Po untuk
melepaskan diri dan pada saat seperti itu, banyak golok menyambar ke arah
tubuhnya. Cin Po terpaksa menggunakan sin-kang melindungi kedua
lengannya yang dipakai untuk menangkis.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara tawa. "Ha-ha-ha, lagi-lagi sekawanan
perampok busuk yang melakukan kejahatan!"
Dan tiba-tiba seorang kakek tinggi kurus berusia enampuluhan tahun sudah
berada di situ. Sekali dia meraih, dia telah menangkap si brewok pada
tengkuknya dan golok besar di tangan si brewok itu tahu-tahu telah berpindah
tangan. 125 "Semua akan kubasmi!" kata kakek itu dan sekali tabas, golok itu memenggal
leher si kepala bajak sampai putus!
Semua penjahat terkejut dan ketakutan, akan tetapi kakek itu sudah
menggerakkan goloknya bertubi-tubi dan mayat-mayat jatuh bergelimpangan
bermandikan darah sendiri. Dalam waktu beberapa menit saja, lebih dari
sepuluh orang sudah roboh dan tewas, dengan leher atau tubuh terpotong!
Sisanya lalu melarikan diri cerai berai, ketakutan menghadapi kakek tinggi
kurus yang ganas itu. Sesosok bayangan lain melakukan pengejaran, akan
tetapi kakek tinggi kurus itu berkata,
"Ciok Hwa, jangan kejar!" Setelah berkata demikian, kakek itu melontarkan
golok rampasannya ke arah mereka yang berlari dan".. dengan jitu sekali
golok itu menyambar dan membikin putus leher dua orang sekaligus!
Cin Po melihat ini semua dari balik jala dan dia kini berusaha melepaskan
semua jala, akan tetapi menemui kesukaran.
"Ciok Hwa, bebaskan ikan itu dari dalam jala!" kata pula kakek tinggi kurus
dan gadis itu lalu meloncat ke dekat Cin Po.
Dari balik jala yang berlapis-lapis itu Cin Po tidak dapat melihat wajah gadis
itu dengan jelas, akan tetapi dia dapat melihat bentuk tubuh yang amat hebat.
Dada dan pinggul membusung, pinggang ramping sekali dan kulit tangan itu
putih kemerahan. Seorang gadis yang memiliki bentuk tubuh yang amat
menggairahkan dan jarang terdapat bentuk tubuh seperti itu.
Gadis itu menggerakkan pedangnya dan dengan hanya beberapa kali
sambaran sinar pedangnya saja, jala itu telah putus semua dan Cin Po keluar
126 dari jala- jala itu dengan bebas. Pertama-tama yang dipandangnya adalah
sepasang mata yang aduhai bening dan indahnya, seperti mata burung Hong.
Akan tetapi ketika matanya menjelajahi wajah itu, dia tertegun kaget. Wajah
itu! Bentuk-bentuk hidung dan mulutnya memang bagus, akan tetapi kulit
wajahnya itu penuh dengan cacat, seperti penyakit kudis yang tebal atau
penyakit kusta. Wajah itu penuh benjolan yang berwarna hitam kebiruan
membuat wajah itu nampak amat mengerikan, menakutkan dan bahkan
menjijikkan! Dia tidak mau memandang lebih lama lagi takut menyinggung perasaan yang
punya wajah jelek, dan cepat dia menoleh kepada kakek tinggi kurus dan
memandang penuh perhatian.
Kakek itu berusia kurang lebih enampuluh tahun, tubuhnya tinggi kurus dan
mukanya seperti orang berpenyakitan. Rambutnya jarang dan tipis sehingga
kepalanya nampak kulitnya, kulitnya banyak keriput. Kumisnya hanya lima
helai dan jenggotnya juga jarang. Karena kurusnya maka wajah itu nampak
meruncing mirip wajah tikus, seekor tikus yang berpenyakitan. Bajunya juga
sederhana dan lebar seperti jubah pendeta.
Setelah mengamati orang tua itu, Cin Po segera memberi hormat kepada
kakek itu dan berkata, "Terima kasih atas bantuan locianpwe dan nona. Kalau
ji-wi (kalian) tidak datang membantu, tentu aku sudah ditangkap seperti
seekor ikan oleh para bajak itu."
127 "Tidak perlu berterima kasih, orang muda. Para penjahat itu membikin
keadaan tidak aman dan mengacau di Wu-yeh, sudah menjadi kewajiban kami
untuk membasminya. "Akan tetapi kulihat tadi ilmu silatmu hebat. Mereka itu sama sekali bukan
lawanmu dan karena belum berpengalaman maka engkau dibikin kacau dan
bingung oleh jala-jala itu.
"Engkau bahkan berani menangkis senjata mereka dengan kedua lenganmu.
Apakah lenganmu tidak terluka" Coba aku memeriksanya."
Cin Po melangkah maju dan kakek itu lalu menyingkap lengan baju Cin Po
yang sudah robek-robek terkena senjata tajam. Akan tetapi kedua kulit lengan
itu masih utuh, sedikitpun tidak ada tanda goresan, apalagi terluka.
"Hebat?".! Semuda ini telah memiliki sin-kang yang demikian kuat. Heii,
nanti dulu......" kakek itu kini meraba-raba dan menekan-nekan tulang di
kedua lengan Cin Po. "Bukan main! Engkau memiliki tulang yang bersih dan berbakat sekali untuk
menjadi seorang pendekar besar dan pantas orang seperti engkau menerima
pelajaran ilmu-ilmu silat tertinggi. Siapa namamu?"
"Nama saya Sung Cin Po, locianpwe."
"Tadi ketika engkau dikeroyok, aku melihat engkau seperti menggunakan ilmu
silat Pat-jiu-sin-kun. Benarkah dugaanku?"
128 Cin Po diam-diam terkejut. Bukan orang sembarangan kalau dapat mengenal
Pat-jiu-sin-kun, setidaknya orang ini pasti sudah mengenal Pat-jiu Pak-sian
dan melihat ilmu silat itu.
"Dugaan locianpwe memang benar dan ini menunjukkan bahwa locianpwe
adalah seorang yang sakti."
"Ha-ha-ha, siapa tidak mengenal ilmu pukulan Delapan Tangan dari Pat-jiu
Pak-sian itu" Eh, Cin Po, kalau begitu engkau murid Pak-sian?"
"Saya pernah berguru kepada beliau, locianpwe."
"Akan tetapi gerakanmu yang seperti terbang tadi mengingatkan aku akan
gerakan ilmu ginkang Coan-hong-hui (Terbang Menembus Angin). Benarkah?"
Cin Po terbelalak. Bukan main kakek ini. Pengetahuannya tentang ilmu silat
demikian luas. "Bagaimana locianpwe bisa tahu" Memang benar saya tadi
menggunakan Coan-hong-hui."
"Luar biasa, luar biasa! Jangan katakan bahwa engkau pernah menjadi murid
Nam-san Sianjin pula!"
"Tidak salah, locianpwe. Memang pernah saya belajar ilmu silat kepada beliau
selama tiga-empat tahun!"
"Sekaligus menjadi murid Pat-jiu Pak-sian dan Nam-san Sianjin! Luar biasa
sekali. Akan tetapi kedua orang iblis tua itu sejak dahulu memang bersahabat.
Tapi engkau beruntung, Cin Po. Berapa usiamu sekarang?"
"Sembilanbelas tahun, locianpwe."
129 "Bagus! Dan engkau tentu belum menikah?"
"Belum." "Cocok! Anakku Ciok Hwa berusia delapanbelas tahun dan iapun belum
bertunangan. Engkau murid Pat-jiu Pak-sian dan Nam-san Sianjin, sedangkan
Ciok Hwa adalah puteriku, Tung-hai Mo-ong. Sudah cocok sekali. Cin Po,
engkau pantas menjadi mantuku, menjadi calon suami anakku Ciok Hwa! Haha-ha-ha!" kakek itu tertawa-tawa dengan riangnya.
Jantung Cin Po seolah berhenti berdetak. Menjadi mantunya" Tak terasa lagi
Cin Po menoleh ke arah Ciok Hwa dan kebetulan sekali gadis itupun
memandang kepadanya. Mata itu! Demikian lembut, demikian jeli. Akan tetapi pipi itu! Begitu buruk
dan mengerikan. Benjolan-benjolan hitam itu sungguh menjijikkan.
Bagaimana mungkin dia menikah dengan seorang yang cacat berat seperti
itu" Setiap orang anak menertawakannya. Kalau gadis itu lewat di depan
banyak orang, tentu menimbulkan perhatian dan semua orang akan merasa
ngeri dan jijik. Sejenak dua pasang mata itu bertemu dan bertaut, kemudian
Ciok Hwa lebih dulu menundukkan mukanya, seolah hendak menyembunyikan
wajah yang buruk sekali itu.
"Bagaimana pendapatmu, Cin Po" Ketahuilah bahwa Ciok Hwa seorang anak
yang baik. Engkau tidak akan bisa menemukan wanita kedua seperti anakku
ini. Ilmu silatnya sudah hampir menyusulku dan ia baik budi."
"Maaf, locianpwe. Pada waktu ini saya sama sekali belum memikirkan tentang
perjodohan." 130 Kakek itu membelalakkan matanya dan kini wajahnya yang seperti tikus itu
nampak menyeramkan dan menakutkan, sepasang mata itu seperti mencorong mengeluarkan api.
"Apa" Engkau berani menolak anakku?"
"Maaf, locianpwe. Saya sama sekali bukan menolak, hanya berkata terus
terang bahwa saya belum memikirkan soal pernikahan. Wanita manapun yang
hendak dijodohkan dengan saya, pasti tidak dapat saya menerimanya karena
memang belum ada niat untuk mengikatkan diri dalam pernikahan. Pula,
mengenai perjodohan saya tentu akan diatur oleh ibu saya."
"Hem, engkau masih mempunyai ibu" Di mana ibumu?"
"Ibu saya tinggal di Bi-ciu, di kaki gunung Thian-san, dalam kuil Ban-hok-si."
"Kalau begitu, aku akan ke sana mencari ibumu dan akan kuajak bicara
tentang perjodohanmu dengan anakku."
"Harap jangan lakukan itu, locianpwe. Biarpun yang mengurus perjodohanku
adalah ibuku, akan tetapi tentu baru dapat terlaksana kalau ada kemauan dari
saya. Pada waktu ini, saya belum mau menikah, locianpwe."
"Siapa bilang menikah sekarang" Asalkan engkau mau menerima dan sudah
bertunangan, soal pernikahan dapat dilangsungkan kemudian kalau engkau
sudah bersedia!" Sampai di situ, Ciok Hwa mencela ayahnya. "Ah, ayah?"!" dan iapun sekali
berkelebat lenyap dari tempat itu.
131 Tung-hai Mo-ong tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, engkau melihat sendiri, Cin
Po. Anakku pergi itu berarti ia malu, dan kalau ia malu itu berarti ia mau.
Kalau ia menolak, sudah sejak tadi ia membantah dan menolak."
"Maaf, locianpwe. Jawabanku tetap tidak. Saya tidak mau memenuhi
permintaan locianpwe. Saya belum mau terikat?""
"Keparat, engkau berani menolak permintaan Tung-hai Mo-ong" Berarti itu
penghinaan! Kalau perlu, aku akan menemui kedua orang gurumu itu, Paksian dan Sianjin, untuk mendapatkan perkenan mereka. Nah, kurang
bagaimana?" "Aku tidak dapat memenuhi permintaan itu."
"Engkau tetap membangkang?"
"Saya tidak ingin menikah."
"Kalau begitu aku akan memaksamu!"
"Locianpwe tidak akan

Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat memaksaku. Perjodohan tidak dapat dipaksakan!" "Aku akan menahanmu sampai engkau mau!" Dan tiba-tiba saja kakek ini
menubruk dan melakukan serangan menotok ke tujuh jalan darah di tubuh
Cin Po secara bertubi-tubi.
Cin Po sangat terkejut. Gerakan kakek ini memang luar biasa, akan tetapi
diapun cepat mengelak dan menangkis, mengerahkan seluruh tenaganya
karena maklum bahwa dia menghadapi seorang datuk sakti.
132 Karena tujuh kali totokannya dapat dielakkan dan ditangkis, Tung-hai Mo-ong
menjadi semakin marah dan dia mulai bersilat dengan ilmu yang amat
diandalkannya dan yang mengangkat namanya menjadi besar sebagai
seorang datuk. Ilmu silat tangan kosong ini bernama Toat-beng-sin-ciang
(Tangan Sakti Pencabut Nyawa) dan gerakannya dahsyat bukan main.
Cin Po harus bersikap hati-hati sekali dan diapun mengerahkan gin-kangnya
dan mengelak. Tubuhnya menjadi seperti bayangan saja yang sukar disentuh
lawan. Akan tetapi, dia berhadapan dengan seorang datuk. Selain tingkatnya
masih kalah, juga dia kalah pengalaman.
Setelah lewat limapuluh jurus, datuk itu menjadi marah dan penasaran sekali.
Masa dia tidak mampu merobohkan seorang pemuda, biar pemuda itu murid
Pat-jiu Pak-sian dan Nam-san Sianjin sekalipun"
"Hiaaaattt?"!!" Kini pukulannya mengandung hawa pukulan amat dahsyat,
pukulan jarak jauh yang mengandalkan khi-kang.
Cin Po mencoba untuk menahan, akan tetapi tetap saja dia terhuyung. Dan
selagi dia terhuyung, kakek itu kembali mengirim pukulan dengan tangan
kosong. Sekali ini Cin Po menangkis.
"Plakk!" Pukulan itu tertangkis akan tetapi tiba-tiba Cin Po mengeluh dan
terhuyung. Kiranya tangan Tung-hai Mo-ong yang memukul tadi, diam-diam mengeluarkan sebatang jarum ketika ditangkis yang sudah dipersiapkan di
antara jari-jarinya dan jarum itu tepat mengenai pundak Cin Po. Jarum itu
mengandung racun pembius dan Cin Po roboh pingsan!
133 "Ha-ha-ha, anak kecil mau melawan orang tua!" Lalu dia memondong tubuh
itu, dibawanya lari. Setelah tiba di rumahnya yang berada di tepi kota Wucouw, dia memasuki pekarangan rumahnya dan di depan pintu telah menanti
Kui Ciok Hwa. "Ayah, dia itu kenapa?" tanya gadis itu sambil menunjuk kepada tubuh Cin Po
yang dipanggul ayahnya. "Anak bandel ini perlu dihajar. Aku akan menahannya di sini sampai dia mau
menerima uluran tanganku agar dia menikah denganmu."
"Ah, ayah tidak boleh memaksa orang."
"Apa yang kukehendaki harus kudapatkan. Dia seorang pemuda yang hebat,
anakku. Dalam dunia ini sukar didapatkan keduanya.
"Semuda ini ilmu kepandaiannya sudah mengagumkan. Kalau dia lebih
berpengalaman, kukira aku sendiri tidak akan mudah untuk merobohkannya.
Dia akan menjadi suami dan mantu yang baik. Orang seperti ini kelak akan
mengangkat derajatku sebagai ayah mertua, Ciok Hwa.
"Sekarang engkau cepat mengambil obat penawar racun, dan engkaulah yang
harus merawat dan mengobatinya. Pundak kirinya terkena jarum beracunku."
Kakek itu membawa Cin Po ke sebuah kamar dan merebahkannya di tempat
tidur. "Agar aman dan dia tidak melarikan diri, biar kubelenggu lebih dulu kakinya.
Nah, sekarang engkau kuserahi dia, rawatlah baik-baik, tentu dia akan merasa
134 berterima kasih dan suka padamu. Aku hendak pergi, sore nanti baru akan
kembali." Ciok Hwa tidak membantah semua ucapan ayahnya. Ia sudah mengenal benar
watak ayahnya yang keras, makin dibantah semakin keraslah dia. Maka iapun
diam saja dan setelah ayahnya membelenggu kaki Cin Po dengan rantai dan
meninggalkannya, barulah dia menghampiri pemuda itu.
Ia duduk di tepi pembaringan dan mengamati wajah pemuda itu. Jantungnya
berdebar tegang. Ayahnya memang benar. Pemuda ini hebat dan begitu
melihatnya, hatinya telah jatuh cinta.
Ia segera memeriksa pundak yang terkena racun jarum. Tanpa ragu lagi
didekatkan mukanya pada pundak itu, lalu ditempelkan bibirnya pada luka
kecil itu dan sambil mengerahkan sin-kang, iapun menyedot.
Setelah jarum itu keluar sedikit, lalu digigitnya dan dicabutnya keluar.
Kemudian, tiga kali dihisapnya luka itu sampai banyak darah yang keluar.
Setelah itu baru ia menempelkan obat bubuk ke atas luka dan membalut
pundak itu. Tak lama kemudian Cin Po siuman. Dia mengeluh karena pundak kirinya
terasa panas dan nyeri. Dia membuka mata, melihat gadis buruk rupa itu
duduk di pembaringannya, membuatnya terkejut dan berkata, "Maafkan,
nona." Dan diapun bangkit duduk.
Ciok Hwa bangkit berdiri dan pindah duduk ke atas kursi tak jauh dari
pembaringan. 135 Ketika Cin Po hendak turun dari pembaringan, baru dia tahu bahwa kedua
kakinya dibelenggu dan diikatkan pada tiang rumah. Rantai untuk mengikat
kakinya itu besar dan kuat sekali sehingga tidak mungkin dia membikin putus
rantai seperti itu. "Nona, kenapa kakiku dibelenggu?" tanyanya sambil memandang kepada
gadis itu. Masih ngeri dia melihat wajah yang penuh benjolan itu dan diamdiam dia merasa kasihan kepada gadis itu.
Sebetulnya gadis itu tidak buruk, bahkan cantik dan bentuk tubuh yang amat
menggairahkan, kulitnya putih kemerahan pada lehernya. Akan tetapi
benjolan-benjolan pada muka itu. Mengerikan!
"Ayah menghendaki engkau tinggal di sini maka kakimu dibelenggu ayah."
Cin Po membuat gerakan akan berdiri dan merasa nyeri pada pundaknya. Dia
meraba dan baru tahu bahwa pundaknya dibalut, lalu dia teringat sebelum
pingsan bahwa pundaknya terasa nyeri ketika dia menangkis pukulan Tunghai Mo-ong.
"Siapa mengobati pundakku, nona?"
"Aku yang melakukannya. Engkau dibawa pulang ayah dalam keadaan
pingsan. Nih, minumlah dulu obat ini dan semua hawa beracun akan terusir
keluar dari tubuhmu."
Dan gadis itu menghampiri, menyerahkan semangkok obat yang masih
hangat. 136 Tanpa curiga dan ragu, Cin Po menerima mangkok itu dan minum isinya
sampai habis. Rasanya sedap dan nyaman dan khasiatnya sungguh hebat dan
cepat karena rasa nyeri di pundaknya itu seketika lenyap.
"Nona, ayahmu tidak berhak menahanku di sini. Nona, aku hendak bertanya
kepadamu. Apakah engkau akan suka kalau dipaksa menikah di luar
kehendakmu?" Gadis itu menunduk dan menggeleng kepalanya.
"Dan tentu saja akupun demikian. Aku tidak suka dipaksa menikah dan
biarpun ayahmu akan membunuhku, aku tetap menolak.
"Aku baru akan menikah kalau memang aku menghendakinya. Kalau aku
belum mau, biar dipaksa sampai matipun aku tidak akan mau. Heran sekali,
ayahmu seorang datuk yang berkedudukan tinggi, mengapa dapat melakukan
paksaan seperti ini?"
"Ayah adalah seorang datuk besar, segala keinginannya harus dipenuhi orang,
tidak ada yang boleh menolak kehendaknya. Dia menghendaki engkau
menjadi mantunya, tidak ada seorangpun di dunia ini yang boleh orang, nona! melarangnya." "Akan tetapi persoalan ini mengenai kehidupan dua Kehidupanmu dan kehidupanku" Kita yang akan dinikahkan dan kita berdua
yang akan menderita akibatnya, bukan dia!"
"Aku tahu".." kata gadis itu dengan nada sedih, "dan engkau menolak.
Engkau pasti membenciku, bukan" Engkau amat tidak suka kepadaku karena
wajahku yang buruk dan cacat ini, bukan?"
137 Tiba-tiba Cin Po merasa kasihan.
"Tidak sama sekali, nona. Aku tidak benci padamu, juga bukan tidak suka
kepadamu. Akan tetapi aku belum memikirkan tentang perjodohan, usiaku
baru sembilanbelas tahun.
"Aku masih ingin meluaskan pengetahuanku dan mencari pengalaman hidup,
bahkan aku masih mempunyai tugas-tugas penting yang belum ku laksanakan. Bagaimana aku dapat memikirkan pernikahan" Pula, andaikata
saatnya tiba, masih ada ibuku yang akan mengatur pernikahanku, bukan
orang lain." Ciok Hwa menghela napas panjang. "Aku mengerti, dan seandainya aku tidak
buruk rupa, tentu engkau akan bicara lain."
"Tidak! Sungguh mati tidak. Biarpun gadis yang cantik seperti bidadari
sekalipun, kalau aku dipaksa menikahinya seperti sekarang, aku akan
menolak." "Benar kata-katamu itu, Cin Po?" Gadis itu memandang dengan sepasang
matanya yang tajam, dan suaranya penuh harap.
"Aku berani bersumpah. Ucapanku itu keluar dari lubuk hatiku. Aku menolak
bukan karena wajah cantik atau tidak cantik, melainkan karena pendirianku
tadi. Terserah nona mau percaya kepadaku atau tidak."
"Namaku Ciok Hwa, dan tidak perlu menyebut nona. Setidaknya, engkau mau
bukan kalau bersahabat dengan aku?"
"Tentu saja aku mau, Ciok Hwa."
138 "Nah, kalau engkau sudah menjadi sahabatku, aku juga mau menolongmu,
Cin Po." Gadis itu mengambil kunci dan membuka belenggu kaki, yang dikunci
itu. Seketika kaki Cin Po bebas dari rantai yang kokoh kuat itu. Tentu saja dia
menjadi girang sekali. Tak disangkanya bahwa gadis yang buruk rupa ini tidak
marah karena ditolaknya, bahkan sebaliknya menolongnya bebas.
"Akan tetapi, ayahmu pasti akan marah sekali, Ciok Hwa."
"Itu adalah urusanku, engkau tidak perlu memusingkannya, Cin Po. Nah,
sekarang engkau boleh pergi dari sini sebelum ayah pulang."
Cin Po merasa terharu sekali. Gadis ini hanya buruk wajahnya, akan tetapi
hatinya sungguh berbeda sekali dengan ayahnya.
"Mengapa engkau menolongku dan berkorban diri dimarahi ayahmu, nona?"
Gadis itu memandang dengan Sepasang matanya yang jernih tajam, lalu
menunduk. "Aku juga tidak ingin ada orang menikahiku karena dipaksa.
Aku?" aku hanya ingin agar engkau mengenangku sebagai seorang sahabat,
bukan sebagai musuh."
"Tentu, tentu sekali, Ciok Hwa. Aku akan mengenangmu sebagai seorang
gadis yang paling baik hati dan aku telah berhutang budi kepadamu."
"Pergilah, Cin Po. Kalau ayah pulang, aku tidak akan mampu melindungi atau
membelamu lagi." "Selamat tinggal, Ciok Hwa. Semoga Tuhan memberkahimu."
139 Gadis itu menghela napas. "Tuhan sudah mengutukku dengan wajah seperti
ini?"" Melihat gadis itu nampak berduka sekali, Cin Po melangkah maju dan
meletakkan tangannya di kedua pundak gadis itu yang masih duduk.
"Kalau saja aku dapat membantumu, Ciok Hwa. Tentu ada obat yang akan
menyembuhkan penyakit di mukamu itu."
Ciok Hwa menggeleng kepala. "Ayah saja sudah berusaha ke mana-mana
akan tetapi tidak ada yang dapat menolongku. Tidak ada?"" dan gadis itu
lalu menutupi mukanya sambil menangis.
Cin Po semakin kasihan. "Ciok Hwa, aku berjanji, kelak aku akan ikut berusaha
mencarikan obat untuk mukamu itu."
Si Gadis itu mengangkat mukanya dari balik ke dua tangannya dan
memandang Cin Po dengan muka basah air mata. "Engkau mau, Cin Po......?"
Cin Po tersenyum, mengangguk. "Tentu saja, bukankah seperti katamu tadi,
kita sudah menjadi sahabat" Hari ini engkau menolongku, mungkin engkau
telah menyelamatkan nyawaku dari ancaman maut. Sudah sepatutnya kalau
akan kuusahakan sedapatku untuk mencarikan obat untukmu. Nah, selamat
tinggal, Ciok Hwa." "Selamat jalan, Cin Po. Harap jaga dirimu baik-baik."
"Engkau juga jaga dirimu baik-baik, Ciok Hwa."
140 Setelah memberi hormat, Cin Po lalu keluar dari rumah itu dan melarikan diri
Raden Banyak Sumba 2 Pengelana Rimba Persilatan Jiang Hu Lie Ren Karya Huang Yi Wanita Iblis 7

Cari Blog Ini