Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen Bagian 26
membalik memukul genta emas, begitu pipa tembakau
besinya menyambar, maka terdengarlah suara "plok" yang
keras, tanpa ampun lagi batok kepala Liong Bok-kong remuk
terpukul. "Haha, Pang-cinkeh, hari ini Siaute telah membalaskan sakit
hatimu!" demikian Khong Liang berseru sambil tertawa
panjang. Sesaat itu juga, di jurusan sana Hay-hun Hwesio sedang
mendatangi secepat terbang,
"Siapa yang berani mencelakai muridku?" ia membentak
gusar demi melihat Liong Bok-kong telah menggeletak di
tanah tanpa berkutik. Sementara itu keempat pengikut Khong Liang (yang
seorang luka ringan) yang tidak kenal lihainya orang, beramai
memapaki Hay-hun Hwesio dengan garang.
Setelah membinasakan Liong Bok-kong, sebenarnya Khong
Liang sendiri lantas hendak menyambut kedatangan Hay-hun
Hwesio, di luar dugaan keempat kawannya sudah merangsek
maju lebih dulu, hendak mencegah pun sudah terlambat,
keruan hanya dalam sekejap saja segera terdengar suara
ngeri saling susul, di antara sambaran sinar pedang si Hwesio
yang memutih perak dan bercipratnya darah, hanya sebentar
saja keempat pengikut Khong Liang sudah terbinasa di bawah
senjata Hay-hun Hwesio. Tidak kepalang gusar Khong Liang, dengan cepat
Huncwenya menutuk, akan tetapi Hay-hun sudah menerjang
maju secepat kilat, pedangnya menabas pergelangan tangan
lawan, lekas Khong Liang menangkis. Namun Hay-hun Hwesio
ternyata sangat gesit dan cepat, pedangnya menyambar
dengan hebat dan mendadak menusuk ke depan, syukur
sedikit mengerutkan pundak, Khong Liang telah
menghindarkan tusukan ini, berbareng ia balas menghantam
'Pwe-liang-hiat' di punggung Hay-hun.
Terpaksa Hay-hun melangkah pergi, pedangnya yang
menusuk tadipun menjadi melenceng, hanya menyambar
lewat di samping bahu Khong Liang.
Diam-diam Khong Liang bersyukur bisa menghindarkan dari
bahaya serangan musuh ini, maka lekas ia melompat mundur
dahulu untuk kemudian berputar balik buat menggempur
musuh lagi. Tetapi meski Khong Liang sudah melatih diri selama 17-18
tahun, namun kalau dibandingkan Hay-hun Hwesio, apapun
juga kepandaiannya masih kalah setingkat, untung ilmu silat
Thian-tay-pay banyak tipu serangan yang baru dan aneh, pula
senjata Huncwe besi bisa dibuat menutuk Hiat-to musuh,
dapat pula dipakai sebagai pedang; bila ada kesempatan ia
segera balas menyerang, dengan cara demikian ternyata ia
sanggup melawan musuh sampai ratusan jurus.
Waktu itu hari sudah mulai gelap, suasana tambah seram,
suara burung gagak riuh-ramai di dalam hutan, angin meniup
santar, lama-kelamaan Khong Liang mulai kewalahan.
Tetapi ia tidak menyerah mentah-mentah, dengan nekat ia
balas merangsek. Waktu itu Hay-hun sedang menggunakan
tipu serangan 'Sian-jin-hoan-eng* atau sang dewa mengganti
bayangan, sekali gerakan dua macam serangan, pura-pura
mengarah ke muka orang, tetapi tahu-tahu menusuk ke
jurusan dada. Dengan tipu serangan ini ia mengira Khong Liang akan
menangkis dan segera ia bisa melancarkan serangan
mendadak lagi, dengan demikian musuh pasti tak mampu
menghindarkan diri. Di luar dugaan, Khong Liang ternyata sudah bertekad
mengadu jiwa, mend. dak orang tua ini menubruk maju terus
menghantam sepenuh tenaga, maka terdengarlah suara "krak"
yang keras, kiranya dua tulang dada Khong Liang telah
ditusuk patah oleh ujung pedang Hay-hun Hwesio, sebaliknya
dada padri itupun tidak terluput disodok sekali oleh Huncwe
besi dengan keras sekali!
Lwekang Hay-hun Hwesio sangat tinggi, meski kena
disodok sekali, ia masih bisa bertahan, cuma dadanya terasa
sakit, ia menjadi murka, sekonyong-konyong sebelah kakinya
melayang, sekali tendang ia bikin Khong Liang terjungkal, luka
tusukan pedang yang diderita Khong Liang sangat berat,
apalagi ditambahi dengan tendangan ini, tentu saja seketika ia
kelengar tak ingat diri lagi.
Hay-hun Hwesio tertawa demi nampak musuh sudah
dirobohkan, dengan tangan memegangi dada karena masih
kesakitan, segera ia hendak mendekati untuk memenggal
kepala musuh. Akan tetapi sebelum ia melangkah, mendadak terdengar
dari atas bukit ada suara bentakan orang yang keras, "Hayo,
bangsat gundul Hay-hun, jangan kau coba lari lagi!"
Tidak kepalang kejut Hay-hun demi mengenali suara
bentakan orang ini, saking kaget dan takutnya sampai
semangat seakan melayang meninggalkan raganya.
"Tampaknya musuh yang menggeletak ini tak bakal hidup
lagi, sebaliknya lawan yang datang ini terlalu kuat, lebih
penting selamatkan diri dulu," demikian Hay-hun berpikir.
Maka dengan menahan rasa sakit di dadanya, segera ia
angkat langkah seribu. Siapakah orangnya yang membentak tadi hingga membikin
Hay-hun Hwesio lari ketakutan, ia bukan lain adalah Li Ti.
Malam itu sesudah Li Ti bersama Pang Lin melarikan diri
keluar rumah keluarga Lian, Li Ti lantas tahu bahwa si nona
bukan Pang Ing yang selama ini dia sangka, akan tetapi
mereka sudah berkumpul sekian lama, benih-benih asmara
dalam hati mereka sudah mulai tumbuh, meski Li Ti tahu
orang bukan Pang Ing, akan tetapi baik dia Pang Ing atau
bukan, kini ia merasa berat buat berpisah.
Pada waktu Pang Lin lari keluar dari rumah orang she Lian,
pada saat itu juga ia kepergok Pang Ing yang memasuki
rumah keluarga tersebut, meski gadis ini hanya melihat sekilas
saja, tapi hal ini tidak bisa dia lupakan. Baru sekaranglah Pang
Lin mau percaya bahwa di bumi ini memang betul-betul ada
seorang yang rupanya mirip dengan dirinya!
Sungguhpun demikian, ia masih belum tahu bahwa gadis
yang serupa dengan dirinya itu adalah kakak perempuannya
sendiri. Mengenai kejadian di masa kecilnya, hakikatnya tiada yang
bisa diingat oleh Pang Lin. Walaupun Li Ti berusaha sebisa
mungkin memancing daya ingat orang, namun sia-sia belaka.
Yang masih bisa teringat oleh Pang Lin hanya kejadian
sesudah ia berada di istana pangeran saja.
Meski Li Ti sendiri tidak tahu bahwa Pang Ing adalah Taci si
gadis yang sekarang berdampingan dengan dirinya, tapi pada
waktu kecilnya pernah ia dengar dari ibunya bahwa Pang Ing
diperoleh le Lan-cu dari istana pangeran, karenanya ia
membatin, "Mana mungkin di dunia ini ada hal yang begini
kebetulan" Rupa kedua orang sangat mirip, pula pernah
melewati masa anak-anak dalam istana Pangeran keempat"
Urusan yang begini aneh ini tidak boleh tidak harus kuselidiki
hingga sejelas-jelasnya!"
Sifat Li Ti memang sederhana dan jujur, ia paling
mengutamakan persahabatan. Dengan Pang Ing mereka
adalah kav an bermain sejak anak-anak, meski masih kecil
waktu itu dan tidak mengerti urusan lelaki dan perempuan,
tetapi dalam hati mereka sudah saling menganggap pihak lain
sebagai kawan baik. Kini meski Li Ti jatuh cinta pada Pang Lin, tapi terhadap
Pang Ing, ia pun belum lupa. Dalam hati ia berpikir, "Kalau
adik Ing sudah turun gunung, bagaimanapun juga aku harus
menjumpainya, pertama aku ingin menceritakan
pengalamanku dan akan aku perkenalkan dia pada adik Lin,
agar diketahui olehnya bahwa di dunia ini masih ada seorang
lain yang sangat mirip dengan dia. Sesungguhnya mereka
berdua ini harus terikat sebagai saudara angkat."
Begitulah karena pikiran itu, keinginannya hendak
menjumpai Pang Ing menjadi semakin kuat, seperti juga
pikiran Pang Lin, mereka menyangka Pang Ing tentu telah
ditangkap ke dalam istana.
Pang Lin mengira Pang Ing tentu tersiksa, maka hatinya
merasa tak enak sekali, karena itu juga ia bersedia
menghadapi bahaya untuk secara diam-diam memasuki
kotaraja dengan harapan bisa memperoleh sedikit kabar
tentang Pang Ing. Akan tetapi Pang Lin sendiri adalah buronan yang hendak
ditangkap kaisar, maka mereka berdua tak berani secara
terang-terangan unjuk diri di jalan besar, mereka mengambil
jalan kecil melalui dusun-dusun pegunungan yang melingkar
dan berliku-liku, setelah lebih setahun mereka dalam
perjalanan, akhirnya mereka sampai di luar kota Pakkhia, di
sekitar Hoay-yang. Selama setahun dalam perjalanan ini, bila ada waktu
senggang Li Ti lantas membaca dan memahami kitab ilmu
ketabiban tinggalan Pho Jing-cu hingga semua isi kitab itu
boleh dikata sudah dia hapalkan huruf demi huruf. Terhadap
konsep untuk menyembuhkan penyakit 'Li-hun-cin', penyakit
hilang ingatan, ia lebih giat mempelajarinya, cuma saja
sebelum merasa yakin betul ia masih belum berani
sembarangan membikin percobaan atas diri Pang Lin.
Di lain pihak selama setahun ini Pang Lin pun sudah
membaca beberapa kali dan mempelajari kitab ilmu silat dan
ilmu pedang tinggalan Pho Jing-cu.
Gadis ini sudah paham ilmu silat dari beberapa cabang, kini
setelah memperoleh pelajaran dari aliran baik, apa yang
dahulu ia kurang paham, kini sekaligus telah dia pecahkan,
dengan sendirinya kepandaian silatnya kini tidak bisa
dibandingkan dulu lagi. Pada hari itu mereka tengah melanjutkan perjalanan di
antara sawah ladang pedusunan sekitar Hoay-yu-koan, di sini
mereka bertemu dengan Khong Liang yang mencegat Pang Lin
dan hendak meminta kitab tinggalan Pho Jing-cu.
Tapi begitu turun tangan Pang Lin lantas melukai tiga anak
buah Khong Liang, lalu bersama Li Ti menyingkir ke atas bukit.
"Celaka!" kata Li Ti tiba-tiba ketika teringat sesuatu.
"Engkoh bodoh, kita menang bertempur, kenapa bilang
celaka?" ujar Pang Lin dengan tertawa geli.
Akan tetapi ia lihat Li Ti mengerut kening dan buka suara
lagi. "Kini aku ingat, kiranya kau bukan ahli waris Bu-kek-pay!"
"Memang aku sengaja mendustai kau, seharusnya kau
mengetahuinya dulu-dulu, kenapa sekarang kau baru ingat?"
sahut Pang Lin. "Soalnya aku asyik mempelajari ilmu ketabiban hingga lupa
daratan, apa yang kau katakan dahulu pun terlalu banyak,
maka tiada tempo buat aku pikirkan kata-katamu yang mana
dusta dan yang mana tidak berdusta," kata Li Ti dengan
tertawa getir. "Sebenarnya kitab tinggalan Pho Jing-cu, kecuali
ahli waris Bu-kek-pay yang tulen, orang lain seharusnya tidak
boleh mencuri belajar."
Mendengar kata-kata ini, Pang Lin rada tercengang.
"Kalau begitu apa kau hendak menyerahkan kembali kitab
ini kepada Lian Keng-hiau?" tanyanya kemudian.
"Sudah tentu tidak," sahut Li Ti. "Lian Keng-hiau tidak ada
harganya buat memiliki kitab pusaka ini, namun kita pun tidak
pantas mengangkanginya menjadi milik sendiri."
"Sudahlah, toh benda ini sudah tak bertuan lagi, apa
halangannya kalau kita yang memilikinya?" ujar Pang Lin.
"Bukan milik sendiri, janganlah mengambil," demikian kata
Li Ti lagi. Keruan Pang Lin menjadi dongkol, katanya, "Ya, tapi apa
yang tertulis dalam kitab tabib itu sudah kau hapalkan, pula
aku sudah mempelajari semua ilmu silatnya, apa perlu kita
mengorek keluar semua isinya dari hati kita?"
"Ya, kalau tahu sebelumnya tidak pantas aku
membacanya," ujar Li Ti lagi dengan menyesal.
"Tetapi bukankah kau bilang punya le-pekbo yang berhak
mengangkat ahli waris bagi Bu-kek-pay?" tanya Pang Lin.
"Nah, suruh dia angkat aku saja, tidakkah menjadi beres
semuanya!" "Huh, ada hubungan apa dirimu dengan Bu-kek-pay, kau
toh bukan anak murid Ciong Ban-tong?" sahut Li Ti mengolok.
"He," kata Pang Lin cepat demi mendengar orang
menyebut nama Ciong Ban-tong, "entah mengapa, pada
waktu pertama kali aku mendengar orang menyebut nama
Ciong Ban-tong, aku lantas merasa seperti sudah kenal nama
itu, apakah sebabnya" Siapa tahu aku dengan Bu-kek-pay
memang mempunyai hubungan yang erat?"
"Haha, kembali kau mendustai aku lagi!" ujar Li Ti dengan
tertawa. Meski Pang Lin menghiburnya dengan macam-macam
daya, namun Li Ti masih tetap merasa tak enak, sampai
akhirnya Pang Lin jadi mendongkol dan tidak bicara lagi.
Dekat petang hari, mereka berdua telah sampai di Pat-tatnia.
Tiba-tiba mereka mendengar suara genta kelenteng yang
ditabuh di tengah hutan di atas bukit sana.
"Hayo, kita numpang menginap di sana," Li Ti mengajak.
"Ya, sekalian kita bersembahyang untuk minta berkah."
kata Pang Lin. Mereka lantas menuju ke tempat datangnya suara genta
tadi, akhirnya mereka dapatkan sebuah kelenteng kuno yang
terpencil di atas bukit, suara genta tadi berkumandang keluar
dari kelenteng ini. Segera Li Ti mengetuk pintu, maka suara orang membaca
kitab di dalam kelenteng mendadak berhenti, sejenak
kemudian pintu dibuka dan tertampaklah seorang Nikoh (padri
wanita) menongol keluar. "Tidak jauh di bawah bukit sana ada keluarga petani, aku
adalah Nikoh yang tinggal seorang diri, maka tidak leluasa
buat terima tamu," demikian padri itu berkata sambil
memegang biji tasbihnya. Di antara sela-sela pintu yang dibuka itu menembus keluar
sinar pelita, waktu Pang Lin mengerling ke sana, tiba-tiba ia
merasa muka Nikoh ini seperti sudah pernah dilihatnya, tetapi
entah dimana lak teringat lagi, karena itu seketika hatinya
terguncang, pandangan matanya pun terpaku pada tubuh
orang. Sebaliknya ketika mendadak nampak wajah Pang Lin, air
mu-!.a padri itupun berubah, bahkan tubuhnya kelihatan rada
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gemetar. "Ah, kiranya masih ada seorang Likisu (wanita budiman),
marilah masuk, silakan masuk!" tiba-tiba ia ganti nada
penolakannya tadi. Li Ti menjadi heran mengapa sikap orang bisa berubah
sedemikian cepatnya, dalam pada itu ia lihat Pang Lin sudah
ikut di belakang padri itu dan bertindak ke dalam, karenanya
sambil mengucapkan terima kasih ia pun ikut masuk
Meski kelenteng ini berada di tempat terpencil, tetapi
keadaan dalam rumah berhala ini terawat bersih.
"Kedua tuan tamu ini apakah sudi memberitahukan nama
kalian?" sekonyong-konyong Nikoh itu bertanya sambil
menarik napas panjang. Sepanjang jalan Li Ti dan Pang Lin selalu memakai nama
sa-maran, maka atas pertanyaan Nikoh ini, mereka pun
memberitahukan nama mereka yang palsu. Setelah
mendengar nama orang, wajah Nikoh itu kelihatan mengunjuk
rasa kecewa. Li Ti menjadi heran oleh sikap orang, sedang Pang Lin
merasa dirinya seperti dalam mimpi saja, apa yang dirasakan
persis dahulu waktu ia mengunjungi rumah Lian Keng-hiau,
selalu seperti ada sesuatu yang ada hubungan dengan dirinya,
padahal ia sendiri tidak mengerti dalam mimpi yang manakah
pernah melihat Nikoh ini.
"Numpang tanya, Likisu kini berusia berapa?" tiba-tiba
Nikoh itu bertanya lagi setelah menyilakan kedua orang
duduk. "Delapan belas tahun!" sahut Pang Lin.
Kembali Li Ti heran dan mendongkol, ia pikir, "Kenapa
Nikoh ini begini tak sopan, baru ketemu sudah tanya umur
orang, apa ia ingin meminang?"
Akan tetapi aneh juga, Pang Lin yang biasanya suka nakal,
menghadapi Nikoh ini ternyata sangat penurut dan tunduk,
apa yang orang tanya ia lantas jawab, sedikitpun tidak gusar
dan tak berani sembarang berkelakar.
Sebaliknya Li Ti kuatir kalau anak dara ini menceritakan
rahasia keadaan istana dimana waktu kecilnya nona ini pernah
tinggal, sebab hal ini akan menjelaskan bahwa mereka adalah
buronan, maka kadang ia sengaja menyela percakapan orang.
Tetapi meski selang beberapa lama, masih terus saja Nikoh itu
mengajak Pang Lin berbicara tiada hentinya. Keruan Li Ti
menjadi dongkol. "Kami dalam perjalanan sehari, perut kami sudah lapar dan
haus, dapatkah kami mohon sedikit daharan"'" tanpa sungkan
lagi ia lantas menyela pula.
Karena kata-kata ini, barulah mendadak Nikoh itu tersadar.
"Ya, ya, harap maafkan, sampai aku lupa," katanya.
Lalu ia menuju ke dapur mengambil makanan.
"Hendaklah kau jangan sembarang omong!" dengan
berbisik Li Ti berpesan pada Pang Lin. "Ingat, sekali-kali
jangan ceritakan pengalaman di istana pangeran. Di sini dekat
kotaraja, siapa tahu orang macam apakah Nikoh ini?"
"Nikoh ini sangat alim, orangnya sampatik dan welas-asih
lagi seperti familiku sendiri saja," demikian anak dara itu
menjawab. Tetapi demi nampak air muka Li Ti tidak senang,
terpaksa dengan tertawa ia menambahkan lagi, "Baiklah,
jangan kau kuatir, tentu aku tidak sembarang omong."
Sejenak kemudian nampak Nikoh itu keluar, tangannya
membawa satu bakul nasi yang isinya tinggal sedikit.
"Sungguh sangat kebetulan, hanya tinggal sedikit ini saja,"
demikian kata Nikoh itu dengan tertawa sambil unjuk bakul
yang dibawanya. "Sedang persediaan beras dan sayur-mayur
pun habis, mumpung hari masih belum gelap, sekiranya tuan
ini suka mewakilkan aku turun gunung buat mintakan sedikit
sedekah?" Permintaan ini betul-betul kurang sopan dan tidak
semestinya, tapi karena Li Ti memang orang polos seketika ia
pun tidak punya alasan untuk menolak, maka ia tertegun.
'"Ya, ya, lekas kau berangkat," Pang Lin ikut menyokong
permintaan si Nikoh tadi, "tetapi kau bukan Hwesio, maka
tidak perlu minta sedekah, beli saja dengan uang."
"Tetapi bukankah lebih baik kita cari pondokan di bawah
gunung saja, supaya tidak bikin repot Suthay (panggilan pada
padri wanita)," ujar Li Ti.
"Tidak apa, tidak apa, justru aku suka kalau kalian mau
bermalam di sini," sahut Nikoh itu.
"Ya, aku pun senang tinggal di sini, lekaslah kau berangkat
saja!" kata Pang Lin pula.
. Terpaksa Li Ti menurut, ia bawa sebuah wadah dan
meninggalkan kelenteng itu. Waktu sampai di tengah bukit,
cuaca sudah remang-remang, mau tidak mau Li Ti
menggerundel, mana ada di jagat ini orang seperti si Nikoh
tadi yang tak kenal sopan-santun, baru saja kenal sudah minta
orang cari sedekah untuknya. Demikian pikirnya.
Selagi ia bingung karena tidak tahu kemana harus mencari
beras, sekonyong-konyong ia dengar di bawah bukit sana,
berkumandang suara ribut orang yang sedang bertempur,
bahkan satu suara di antaranya dikenalinya adalah suara Hayhun
Hwesio. Tanpa pikir lagi dengan sekali menggertak segera Li Ti
berlari menerjang turun ke bawah gunung.
Tetapi sesudah sampai di bawah, Hay-hun Hwesio lebih
dulu sudah melarikan diri, ia lihat mayat menggeletak
bergelimpangan, hanya seorang saja yang masih bergerak
meronta-ronta. Lekas Li Ti mendekati dan membalik tubuhnya,
ia lihat muka orang ini kotor berlepotan darah, tapi pada saat
itu juga orang ini mendadak mementang lebar kedua matanya
sambil berteriak, "Haya, kiranya kau! Nah, baiknya lekas kau
berikan sekali tusukan padaku saja!"
Karena kata-kata ini, semula Li Ti bingung, sesudah diingatingat,
kemudian baru ia kenal bahwa orang ini adalah orang
yang siang tadi hendak merebut kitabnya itu.
"Kita tidak pernah bermusuhan, untuk apa aku harus
membunuh kau!" sahutnya kemudian.
"Kau tidak bunuh aku, toh aku tak akan hidup juga,
tidakkah lebih baik kau tambahi aku sekali tusukan, aku malah
berterima kasih padamu," kata Khong Liang.
"Jangan kuatir, aku nanti sembuhkan kau," ujar Li Ti
setelah memegang orang perlahan-lahan.
Tangan Li Ti meraba tubuhnya, segera Khong Liang merasa
rada enakan. "Tetapi aku punya Sute hendak merebut kitabmu, harap
kalian jangan bermusuhan dengan dia, kalau ketemu, lebih
baik hindari dia saja!" kata Khong Liang kemudian.
Hati Li Ti memang tidak tenteram karena urusan kitab Pho
Jing-cu, maka ia jadi tertarik oleh kata-kata orang tua ini.
"Siapakah gerangan Sutemu itu?" ia bertanya.
"Ciangbun dari Thian-tay-pay, namanya Thio Thian-ti,"
sahut Khong Liang. Tetapi karena terlalu banyak bicara, tenaganya kurang
kuat, napasnya lantas memburu dan suaranya lemah.
Segera Li Ti membuat api dengan bani api, ia memeriksa
keadaan Khong Liang, ia lihat luka orang cukup berat, tetapi ia
taksir dirinya masih sanggup menyembuhkannya.
"Jangan kau bicara lagi, biar aku gendong kau ke tempat
yang berdekatan, ke sebuah kelenteng untuk mengobati kau,"
demikian ia berkata. "Mengenai kitab itu, kami memang tidak
seharusnya memilikinya, biarlah kami berdamai saja dengan
Sutemu." "Tak usahlah kau menghibur aku,"sahut Khong Liang
sambil menarik napas panjang, "Tulang dadaku patah dan
terluka dalam pula, sekalipun mendapatkan tabib paling
pandai pun sukar disembuhkan. Kau telah membalas dendam
dengan budi, sungguh kau seorang ksatria sejati. Maka pada
sebelum ajalku, aku ingin memohon dua hal padamu."
"Kau tidak akan meninggal!" sahut Li Ti untuk membikin
besar hati orang. Akan tetapi Khong Liang tetap yakin bahwa dirinya pasti
akan mati. "Jika kau tidak mau menyanggupi permintaanku, mati pun
aku tidak bisa tenteram," katanya lagi.
Li Ti sangat paham ilmu pertabiban, ia mengerti kalau
orang sakit mempunyai sesuatu yang tersimpan dalam hati,
maka sedapat mungkin biarkan dia mengeluarkan isi hatinya
itu. Karenanya ia lantas menyahut, "Baiklah boleh kau
katakan." "Setelah aku meninggal, harap kau serahkan jenazahku
kepada Suteku," demikian Khong Liang mulai menutur.
"Malam ini kalau dia tahu aku tak kembali, besok pagi tentu ia
akan mencari aku dan melalui bawah gunung ini, kalau kau
berjumpa dengan dia, suruhlah dia lekas membubarkan
pengikutnya dan mengasingkan diri saja."
"Tetapi tadi kau bilang aku harus menghindari dia," kata Li
Ti. "Baiklah, kalau begitu biar aku tinggalkan surat untukmu,"
kata Khong Liang. Lalu dengan jari tangannya ia tutul darah sendiri untuk
menulis surat deng"n sobekan kain bajunya, surat itu berisi
beberapa puluh huruf, habis menulis, tenaganya sudah habis;
ia hanya sempat berkata pula, "Aku masih punya dua cucu
perempuan luar ...."
Tetapi sebelum selesai mengucapkan perkataannya, ia
sudah jatuh pingsan. Lekas Li Ti memeriksa nadi orang, ia lihat meski denyutan
nadinya sangat lemah, tetapi tidak menunjukkan tanda
kematian. Karenanya ia lantas mengasah sebilah kayu kecil
hingga lancip sebagai jarum, ia tusuk jalan darah di tubuh
orang, dengan demikian ia bikin darah orang tua ini mengalir
lebih lancar, lalu ia keluarkan obat penyembuh luka untuk
menghentikan perdarahan orang.
"Luka terang sangat berat dan tidak bisa bergerak,"
demikian Li Ti pikir. "Tetapi orang yang terluka dalam, cara
penyembuhan yang paling baik ialah beristirahat, kalau dia
bisa tidur tenang, hal ini akan banyak bermanfaat bagi
keadaan sakitnya." Maka ia lantas jongkok memijat tubuh orang tua ini, ia bikin
Khong Liang bisa tidur dengan nyenyak.
Selang sejenak setelah selesai Li Ti mengurut orang,
akhirnya ia merasa diri sendiri sangat kelaparan, syukur pada
Khong Liang masih bisa didapatkan kantong rangsum, maka ia
lantas makan se-adanya untuk tangsal perut. Sesudah makan,
ia pun bersandar pada sebatang pohon untuk mengaso, tanpa
terasa akhirnya ia pun tertidur juga.
Begitulah ia tertidur entah berapa lama, sampai akhirnya ia
merasa ada orang membangunkan dengan mendadak, waktu
ia pentang mata, ia dengar Pang Lin sedang mengomel
padanya. "He, kenapa kau tidur bersama orang mati?" demikian Pang
Lin mengomel. Li Ti melompat bangun sambil bertanya, "Waktu apa
sekarang ini?" "Waktu apa" Sudah hampir pagi!" sahut Pang Lin. "Bikin
kuatir saja, aku kira kau mengalami sesuatu kejadian. Suthay
itu juga sangat kuatir, sebenarnya ia akan menemani aku
kemari buat mencari kau, tetapi mengingat dia tak bisa ilmu
silat, maka aku cegah dia dan seorang diri aku lantas turun
gunung mencari kau."
"Sesudah aku berangkat, apalagi yang kau percakapkan
dengan dia?" tanya Li Ti tiba-tiba.
"Ia bertanya keadaan waktu kecilku, tapi aku sudah lupa,
apa yang bisa kntuturkan padanya?" sahut Pang Lin. "Namun,
aku telah beritahu dia bahwa aku pandai ilmu silat, hal ini
rupanya membikin dia sangat senang."
"Apa gunanya kau beritahukan hal ini?" ujar Li Ti.
"Kau pun terlalu, ini tak boleh, itupun tak boleh dikata, toh
Nikoh itu bukan orang jahat!" sahut Pang Lin dengan mulut
men-jengkit. Li Ti tidak suka ribut mulut lebih jauh dengan anak dara ini,
ia lantas bangkit untuk memeriksa keadaan Khong Liang, ia
lihat denyut nadi orang tua ini rada baikan dan dapat
digendong ke kelenteng itu untuk diobati.
Akan tetapi ketika teringat sesuatu olehnya, ia ragu-ragu
sejenak. "Harap, kau wakilkan aku menyelesaikan sesuatu urusan di
sini," katanya kemudian pada Pang Lin. "Siapakah dia ini?"
tanya Pang Lim "Ialah orang yang siang tadi hendak merampas kitab kita
itu," sahut Li Ti. "Jika begitu, mengapa kau malah mengobati dia?" ujar
Pang Lin. "Sudahlah, biar nanti kuterangkan padamu, sekarang
hendaklah kau menurut perkataanku," kata Li Ti.
"Baik, baik, lekas katakan!" jawab si nona dengan dongkol.
"Tetapi kau tak boleh bikin onar, kau harus lakukan
menurut kata-kataku!"
"Baik, pendeknya aku menurut saja," sahut Pang Lin.
"Sekalipun kau mengharuskan aku membawa pulang begal ini
untuk dirawat sebagai Engkohku, aku pun akan menurut
juga!" "Tapi kau masih ngambek," ujar Li Ti dengan tertawa.
"Begini, aku ingin kau menantikan seorang penjahat besar di
sini." "Tunggu ya tunggu, aku memang dibesarkan di sarang
penjahat, masakah aku takut dimakan mentah-mentah
olehnya," sahut Pang Lin.
"Begini," kata Li Ti lagi, "penjahat itu bernama Thio Thianti,
ia adalah Sute kakek ini, kalau kau ketemu dia, serahkan
saja surat darah ini padanya dan suruh dia menemui aku di
kelenteng sana, Ada lagi, jika umpamanya dia bergebrak
dengan kau sekali-kali jangan kau lukai dia. Tetapi lekas kau
terangkan semua kejadian ini."
"Baiklah, tentu inilah filsafatmu, mengubah musuh menjadi
kawan," sahut Pang Lin. "Apakah Thio Thian-ti itu orang baikbaik
atau bukan, aku sendiri belum tahu. Jika kau ingin akur
dengan mereka, aku akan bantu dia sebisanya."
Karena jawaban ini, Li Ti tertawa, ia gendong Khong Liang
ke atas gunung lagi, sementara itu hari sudah terang
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
benderang. Kembali bercerita mengenai Pang Ing. Setelah gadis ini
mendapatkan bungkusan obat dari Boat-wan Lojin, sepanjang
jalan ia merasa tegang sekali dan ingin bisa lekas tiba di
hadapan Teng Hiau-lan. Ia genggam kencang bungkusan obat
itu, kuatir kalau hilang di tengah jalan.
Pada esok harinya, ia melalui bawah bukit Pat-tat-nia, tibatiba
dari depan menerjang datang belasan penunggang kuda
dengan cepat, di antaranya ada yang berteriak, "Nah, inilah
orangnya! Yang melukai saudara-saudara kita bukan lain
adalah budak liar ini!"
Kawanan pendatang ini bukan lain adalah Thio Thian-ti
bersama begundalnya. Ketika Thio Thian-ti tidak nampak Khong Liang kembali, ia
menduga tentu terjadi sesuatu, sedang ketiga orangnya yang
terluka sudah semakin payah mendekati pintu kematian,
karena itu terpaksa ia angkat anak buah yang terluka itu ke
atas kuda dan keluar mencari Khong Liang. Akan tetapi baru
saja sampai di kaki gunung, segera memergoki Pang Ing.
Demi mendengar gadis inilah orang yang melukai
bawahannya, tentu saja Thio Thian-ti menjadi gusar, begitu ia
angkat senjatanya, Boan-koan-pit, senjata berbentuk potlot,
segera ia papaki orang, tanpa bicara ia lantas merangsek
dengan tipu serangan yang mematikan.
Keruan kejadian ini sama sekali di luar dugaan Pang Ing,
sebelum ia sempat minta keterangan tahu-tahu musuh sudah
menerjang datang, lekas ia angkat pedangnya buat
menangkis. Ilmu silat Thio Thian-ti ternyata sangat tinggi, begitu kedua
senjata potlotnya bergerak, yang kiri segera menutuk 'Kiok-tihiat'
dan potlot yang lain mengarah 'Hian-ki-hiat'.
Di bawah serangan yang lihai ini, Pang Ing terpaksa
melawan dengan penuh perhatian, karena itu juga ia menjadi
lupa pada bungkusan obat yang dia genggam di tangan kiri,
ketika tangan kanan dengan pedang menangkis senjata
musuh, tangan kiri diulur, dengan jarinya balas menutuk jalan
darah orang. Thian-ti hampir saja kena tertutuk, ia dipaksa
melompat mundur ke belakang.
Akan tetapi pada saat itu juga, sekonyong-konyong
terdengar jeritan kaget Pang Ing, kiranya bungkusan obat
yang tadinya digenggamnya telah jatuh, dalam keadaan
gugup lekas ia hendak menjemputnya kembali.
Namun pertandingan di antara dua jago, soal kalahmenang
hanya terjadi dalam sekejap saja, sudah tentu tidak
mungkin lagi Pang Ing menggunakan kesempatan itu. Waktu
itu Thian-ti merasa kececar dan sedang kuatir, tiba-tiba ia
dengar jeritan Pang Ing, ia malah mengira gadis ini terkena
senjata rahasia yang dilepaskan bawahannya, maka ia tidak
membuang kesempatan baik ini, segera ia putar potlot buat
menikam punggung Pang Ing yang waktu itu sedang
berjongkok hendak mengambil bungkusan obat.
Dalam keadaan terancam, Pang Ing harus memilih, tetap
menjemput obat atau membiarkan dirinya tertikam. Ia coba
baliki senjatanya buat menangkis, berbareng ia potong pundak
kanan orang. "Kita selamanya tidak pernah bermusuhan, kenapa kau
desak aku sedemikian rupa, biarkan aku jemput obatku ini dan
pergi, aku lidak akan mencelakai kau!" dalam keadaan
kehabisan akal Pang I ng berseru.
"Ha, kau masih ingin kabur?" jengek Thio Thian-ti yang
sudah tentu tidak mau melepaskan orang. Sebaliknya
senjatanya dimainkan semakin kencang, ia paksa Pang Ing
tidak sempat meraih bungkusan obatnya.
Sementara itu demi mendengar jeritan Pang Ing tadi, di
antara anak buah Thian-ti lantas ada yang menyambar obat
itu dan diperiksa. "Haha, obat apakah ini sehingga kau sangat sayang?"
demikian terdengar ada yang berkata dengan tertawa.
Sambil berkata orang itu lantas merobek bungkusan obat
itu, beberapa macam racikan obat itu lantas terserak di tangan
orang itu. "Haha, sungguh lucu, sampai daun pohon dan jangkrik saja
dibuat obat, yang minum obat ini tentunya adalah siluman!"
orang itu berkata lagi. Habis berkata bungkusan obat itu terus dia lemparkan
seke-nanya ke jurang, bungkusan obat yang diperoleh Pang
Ing dengan susah-payah itu akhirnya dilemparkan begitu saja
dan lenyap terhanyut air kali di bawah jurang.
Keruan tidak kepalang rasa sakit hati Pang Ing, lebih-lebih
kalau dia ingat bahwa jiwa Teng Hiau-lan hanya tinggal tiga
hari saja, bungkusan obat tadi terang tidak bisa diperoleh lagi,
Boat-wan Lojin sudah meninggal dunia pula, lalu kemana
harus berdaya" Sungguh hancur-luluh hatinya, ia menjadi
putus-asa! Seketika ia merasakan pandangannya menjadi gelap,
hampir saja ia kena dilukai potlot baja Thio Thian-ti.
"Haha, gadis siluman ini terang bukan tandingan Cecu kita,
sebentar lagi kita suruh semua orang membacok dia satu kali
untuk membalas sakit hati ketiga kawan kita!" kembali
terdengar suara gelak tertawa begundal Thio Thian-ti.
Saking pedih hatinya, akhirnya Pang Ing menjadi murka
dan kalap. "Kalau hari ini aku tidak membunuh kau, aku
bersumpah tidak menjadi manusia!" teriaknya sengit.
Habis itu ilmu pedangnya berubah dengan cepat luar biasa,
meski ilmu silat Thio Thian-ti sangat tinggi, mana dia mampu
menandingi Thian-san-kiam-hoat yang tiada bandingannya di
kolong langit, apalagi sekali ini Pang Ing menyerang tanpa
menghiraukan jiwa sendiri, tipu serangannya yang dilontarkan
adalah tipu yang mematikan dan sangat lihai.
Di lain pihak demi nampak sinar pedang gemerlapan
menyambar kian-kemari sampai bayangan orang pun sukar
dibedakan, mana ada begundal Thio Thian-ti yang berani ikut
maju" Sama sekali tidak diduga Thio Thian-ti bahwa Pang Ing bisa
begitu lihai, ia menjadi kerepotan dan kalang-kabut oleh
rangsekan anak dara yang sudah kalap ini, hatinya menjadi
dingin dan nyalinya mengkeret.
"He, ada seorang gadis siluman datang lagi. Ha! Barangkali
ada setan di siang hari bolong, lekas lari! Lekas lari!" tiba-tiba
terdengar anak buah Thio Thian-ti berteriak kaget dan
ketakutan. Sementara itu Thio Thian-ti sendiri sedang menahan
serangan Pang Ing sekuat tenaga, dengan sendirinya ia tidak
sempat memandang ke jurusan lain, ia hanya mendengar
suara orang berteriak padanya.
"Hai, apa kau ini Ciangbun dari Thian-tay-pay yang
bernama Thio Thian-ti, Thio-cecu?" tanya suara itu.
"Ya, betul, tentunya Lihiap adalah kawan dari gadis yang
sama bukan?" cepat Thian-ti menyahut.
"Jangan kuatir, aku akan membantu kau!" kata suara itu
pula. Cepat sekali datangnya suara itu, menyusul orangnya pun
sudah tiba, maka kelihatanlah sinar putih kehijauan telah
menyambar datang secepat kilat.
Gemas rasa hati Pang Ing, sekonyong-konyong ia putar
senjatanya, dengan sengit ia menyerang dengan tipu
mematikan, tanpa ampun lagi miang pundak Thio Thian-ti
kena tertusuk tembus, habis itu Pang Ing masih sempat
menarik kembali senjatanya untuk menangkis serangan orang,
akan tetapi begitu pedang beradu pedang dan muka
berhadapan muka, seketika ia ternganga.
"Siapa kau?" 'tegurnya kemudian.
"Dan kau sendiri siapa?" sahut Pang Lin.
Di lain pihak Thio Thian-ti merasa kesakitan, lengan
sebelah kanan lumpuh karena pundaknya tertusuk tadi, ia tak
kuat mengangkat tangannya lagi, ketika mendongak, ia
menjadi tercengang juga, ia lihat kedua anak dara ini ternyata
mirip sekali seperti pinang di-belah dua, kedua pedang mereka
sedang beradu dan saling memandang dengan terkesima.
Keruan tidak kepalang rasa kaget Thio Thian-ti, tanpa
tertahan ia berseru, "Ada setan, betul-betul ada setan!"
Gadis yang datang belakangan ini memang Pang Lin
adanya. Ia pun tidak menduga bahwa tanpa sengaja bisa
bertemu dengan orang yang dia sedang cari dengan susahpayah
selama ini. Kalau Pang Lin tidak tahu bahwa Pang Ing adalah kakak
perempuannya, sebaliknya Pang Ing sudah tahu Pang Lin
adalah adiknya, maka sebenarnya ia hendak menyapa dan
mengakui adiknya ini, namun terpaksa ia tunda lagi ketika
mendadak dilihatnya 'Iriio Thian-ti telah kabur dengan
ketakutan, Pang Ing sudah kadung gemas karena hilangnya
obat yang dicari untuk Teng Hiau-lan itu, maka ia jadi tambah
murka melihat orang hendak merat, ia ingin membunuh dulu
orang ini, segera ia mengejar, bagaikan elang menyambar
kelinci, begitu pedangnya berputar, dari belakang segera ia
menikam punggung Thio Thian-ti.
"Tahan dulu!" mendadak terdengar Pang Lin berseru.
Pang Ing menjadi heran, ia merandek sejenak, saat itulah
ia lihat Pang Lin telah melayang datang dan menggempurnya
dari atas, waktu itu ujung senjata Pang Ing baru disodorkan,
karena tangkisan Pang Lin yang menahan ke bawah, maka
terdengarlah suara nyaring beradunya senjata, kedua kakakberadik
ini melompat ke samping, sedang Thio Thian-ti
kembali lari ke depan lagi.
Pang Lin tadi harus melakukan tugas yang diberikan oleh Li
Ti, yakni agar dia menolong Thio Thian-ti, tapi waktu nampak
gerak tubuh Pang Ing terlalu cepat, tiada jalan lain, tiba-tiba ia
keluarkan gerak menubruk dari atas ajaran Pat-pi Sin-mo Sat
Thian-ji, dengan tipu serangan ini ia berhasil menolong Thio
Thian-ti terhindar dari kematian, tetapi sebaliknya telah
menimbulkan rasa curiga Pang Ing.
Pang Ing pernah bergebrak dengan Pat-pi Sin-mo di pulau
karang tempo hari, maka terhadap tipu serangannya yang
menirukan elang itu ia cukup mempunyai kesan yang
mendalam. Kini nampak gerak tubuh Pang Lin justru sama
seperti cara Pat-pi Sin-mo, tanpa terasa ia menjadi terkesima.
"Ia telah membantu bangsat ini dan tipu gerakan yang
dipakai adalah tipu keji Pat-pi Sin-mo, apa mungkin dia pun
komplotan orang-orang jahat ini?" demikian Pang Ing
bertanya dalam hati. Karena pikirannya ini, tanpa terasa ia menjadi pedih sekali,
hatinya seperti teriris-iris, ia memandang Pang Lin dengan
mata terbelalak. Perlu diketahui bahwa sejak kecil Pang Ing banyak
mendapat pelajaran dari Ie Lan-cu, ia sangat teliti
membedakan antara yang baik dan yang jahat, kini mendadak
mengetahui adik sendiri yang dia cari dengan susah-payah
selama ini ternyata adalah orang busuk, seketika itu, rasa
menyesal, berduka dan gusar bercampur-aduk, ia terpaku
melenggong dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Justru Pang Lin memang anak nakal, ketika melihat Pang
Ing dengan mata terbelalak memandang padanya, ia sengaja
menertawai orang. Pikirnya, "Mukanya begini mirip dengan
mukaku, tapi entah sampai dimana kepandaian silatnya?"
Karena pikiran ini, segera timbul keinginannya hendak
menjajal kepandaian orang.
"He, kau ini anak liar darimana, kenapa kau melongo saja,"
dengan tertawa ia menegur, pedang lantas menusuk cepat,
sebelah kakinya melayang pula menendang lutut orang. Kedua
tipu serangan ini, yang satu adalah Lam-thian-kiam-hoat
ajaran Hay-hun Hwesio, dan yang lain adalah tipu Ling-sanpay
dari Tang Ki-joan, cara menggunakannya sangat keji pula.
' Sudah tentu Pang Ing tidak tahu bahwa Pang Lin hanya
bertujuan menjajal padanya, terpaksa ia harus menjaga diri,
dengan gerak tipu 'Koay-bong-hoan-sin' (ular sawah membalik
tubuh) yang lihai, susul-menyusul dengan dua kali
menggerakkan pedangnya ia patahkan serangan Pang Lin.
"Kiam-hoat yang bagus," seru Pang Lin dengan tertawa.
Habis itu dengan tipu 'Jay-hong-soan-ho' atau burung hong
kembali ke sarang, menyusul 'Hun-liong-tiau-siu' atau naga di
awan membalik kepala, segera ia menyerang pula.
"Kenapa kau terima menjadi begundal orang jahat, apa kau
tidak takut menodai nama baik orang tuamu?" demikian Pang
Ing mendamprat. Lalu ia balas menghantam serangan tadi, ia pikir memukul
jatuh senjata Pang Lin, kemudian baru akan memberi hajaran
yang setimpal. Tak terduga, gerak tipu Pang Lin ternyata sangat licin,
setelah beberapa jurus, sementara itu Thio Thian-ti sudah
kabur pergi sejauh lebih setengah li.
Sebab itulah Pang Ing akhirnya naik darah juga.
"Kalau kau merintangi aku lagi, segera aku tampar kau!" ia
mengancam. "Kalau kau mampu, boleh coba!" demikian Pang Lin malah
menggoda dengan tertawa. Tentu saja Pang Ing semakin sengit, begitu bergerak,
tertampaklah sinar perak gemerlapan menyilaukan mata.
"Celaka!" seru Pang Lin.
Dalam pada itu di antara menyambarnya sinar pedang,
bayangan orang pun menerobos maju, tahu-tahu tamparan
Pang Ing sudah tiba, akan tetapi demi melihat Pang Lin
berkelit dengan gugup dan berseru kaget, tiba-tiba Pang Ing
jadi tak tega memukul adiknya sendiri, ia miringkan tangannya
sehingga menyerempet lewat di pipi orang.
Karena itu, dengan gerak 'Boan-liong-jiau-poh' atau naga
melilit memutar langkah, Pang Lin sempat mengegos pergi.
"Nah, apa kataku, sudah kubilang kau tidak bisa pukul aku,
dan luput bukan tamparanmu tadi?" demikian dengan tertawa
Pang Lin masih menggoda. Tentu saja dongkol sekali Pang Ing, dengan muka dingin ia
menjengek, habis itu tubuhnya bagaikan anak panah terlepas
dari busurnya, dengan cepat ia mengudak ke jurusan Thio
Thian-ti. "Dia sudah luka terkena pedangmu, kenapa kau masih
terus menguber dia?" demikian dari belakang Pang Lin
berseru. "Apa kau tidak mau tahu tentang peraturan Kangouw
lagi?" Habis itu kembali ia keluarkan kepandaian meloncat dan
menubruk seperti elang kucing, ia menghantam pula dari atas
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terus menghalangi majunya Pang Ing, berbareng ia berseru
pada Thio Thian-ti, "Thio-cecu, lekas kau lari ke atas bukit, di
atas sana ada kelenteng kecil, di dalam kelenteng itu ada
orang yang akan menolong kau!"
Karena seruan ini, rasa takut Thio Thian-ti rada hilang,
semangatnya pun sedikit tenang. "Terima kasih!" demikian ia
menoleh sambil berlari c^pat ke atas bukit dengan menahan
rasa sakit lukanya. "Budak liar, memang kau harus dihajar adat sedikit!" Pang
Ing mendamprat dengan gusar. Ia mainkan Thian-san-kiamhoat,
susul-menyusul ia menyerang dengan cepat, ia incar
pcrgelangan tangan Pang Lin dengan maksud memaksa anak
dara ini membuang senjatanya dan minta ampun. Karena itu
Pang Lin menjadi terdesak, ia melompat kian-kemari buat
menghindar, beruntun ia gunakan tipu gerakan dari berbagai
cabang silat, namun tetap hanya bisa bertahan saja dan tak
mampu balas menyerang. "Lepas senjata!" tiba-tiba Pang Ing membentak, begitu
ujung pedangnya bergerak, dengan cepat dan jitu sekali ia
menutul tangan orang. "Belum tenUi bisa!" tiba-tiba Pang Lin menyahut dengan
tertawa. Berbareng ia menangkis ke samping dengan pedangnya,
gerakannya sangat lambat, akan tetapi Pang Ing merasa ada
satu tenaga yang besar mendorong balik, tanpa tertahan ia
bersuara heran. Dalam pada itu ia lihat Kiam-hoat Pang Lin
sudah berubah lagi, kelihatan tubuhnya terguncang seperti
bergoyangnya tangkai bunga, gerak pedangnya yang lambat
ternyata membawa kekuatan yang besar.
Kiranya sesudah Pang Lin belajar Bu-kek-kiam-hoat
tinggalan Pho Jing-cu, untuk pertama kalinya dia gunakan
untuk menghalau serangan Pang Ing tadi. Meski Bu-kek-kiamhoat
tidak sebagus dan selihai Thian-san-kiam-hoat, tetapi Bukekkiam-hoat mempunyai cara tersendiri yang
mengutamakan lemas melawan keras, oleh karena itulah,
seketika Pang Ing tak mampu menyenggol lawannya.
Lewat beberapa puluh jurus, akhirnya Pang Ing menjadi
naik darah, ia keluarkan Si-mi-kiam-hoat yang lihai dari Thiansanpay, maka tertampaklah gulungan sinar putih tiba-tiba
mengurung dan menindih ke atas kepala Pang Lin, apapun
juga memang keuletan Pang Lin masih di bawah Pang Ing,
oleh karenanya gerak pedangnya lambat-laun tidak leluasa
lagi. Nampak lawannya mulai tidak berdaya, diam-diam Pang
Ing kumpulkan tenaganya lebih kuat.
"Tidak kau lepaskan senjatamu?" kembali ia membentak.
Berbareng ujung senjatanya terus menusuk.
Di luar perhitungannya mendadak Pang Lin dapat mundur
dengan cepat, maka terdengarlah suara nyaring beradunya
pedang, sedang tubuh Pang Lin lantas mencelat ke belakang.
"Hampir saja!" demikian seru anak dara itu.
Secara Jenaka dia masih menoleh memberi muka badut
dengan mencibir, lalu secepat terbang ia berlari mendaki
bukit. Gerakan Pang Lin tadi sebenarnya adalah suatu tipu hebat
dari Bu-kek-kiam-hoat, cuma ilmu pedang Pang Ing memang
luar biasa, Pang Lin mengerti bila pertandingan ini diteruskan,
dirinya pasti akan kecundang, maka ia tidak melancarkan
serangan balasan, melainkan terus menarik diri dan mundur
dengan cepat, karena gerakan itu lebih gampang baginya
untuk melepaskan diri dari kurungan sinar pedang Pang Ing.
Di lain pihak, Pang Ing pun terkejut ketika nampak Si-mikiamhoat yang dia keluarkan tetap tidak mampu merebut
senjata orang, diam-diam ia pun berpikir, "Kepandaiannya
ternyata begini hebat, betapapun dia tak boleh tersesat lebih
jauh sehingga sempat membantu yang jahat bertambah lebih
jahat." Oleh karena itu, dengan pedang terhunus segera ia
mengudak. Meski Ginkang Pang Lin tidak setinggi Pang Ing, tapi tiap
kali Pang Ing mengejar dekat, tiba-tiba ia lantas putar balik
pedangnya dan menusuk, ia gunakan tipu serangan yang
paling lihai dari Bu-kek-kiam-hoat untuk membela diri, kalau
hanya beberapa gebrakan saja jelas Pang Ing belum sanggup
mengalahkan Pang Lin, terpaksa ia hanya mengudak terus
dari belakang. Tak lama kelenteng di atas gunung itu sudah kelihatan
berada di depan mereka, suara genta sayup-sayup terdengar
juga, tiba-tiba Pang Lin bersuit, tujuannya ialah hendak
memancing supaya Li Ti lekas keluar, dengan demikian
pemuda ini tentu akan kaget dan girang karena Pang Ing asli
yang dia cari kini betul-betul sudah datang. Sebaliknya karena
perbuatan Pang Lin ini, Pang Ing mengira lawan sedang
memanggil bala bantuan, maka ia mengejar semakin kencang.
Bercerita tentang Li Ti, setelah dia gendong Khong Liang
kembali ke kelenteng, waktu itu hari sudah terang, ia lihat si
Nikoh setengah umur itu bersemadi di ruang sembahyang.
Oleh karena kejadian semalam, maka perasaan Li Ti masih
mendongkol terhadap Nikoh itu.
"Menolong jiwa orang adalah perbuatan yang mulia,
Suthay, maafkan aku harus membikin repot kau lagi!"
demikian ia menyapa. "Menolong jiwa orang memang seharusnya," sahut Nikoh
itu sambil berbangkit. "Dan dimanakah nona cilik itu?"
"Dia masih menunggu seorang sobat, pulangnya akan
sedikit terlambat," sahut Li Ti.
Sementara itu Khong Liang sudah sadar dari pingsannya,
ketika mendengar suara orang, tiba-tiba ia bertanya,
"Siapakah yang bicara" Apakah Lian-he adanya?"
Walau suara Khong Liang sangat perlahan dan lemah, akan
tetapi dalam pendengaran si Nikoh itu seperti bunyi guntur di
siang hari bolong, dengan cepat ia memburu maju, ia
memayang Khong I iang yang masih menggemblok di atas
punggung Li Ti, air matanya tanpa tertahan bercucuran.
, "Ah, Tiatia. betul-betul engkau yang datang!" lama sekali
baru terdengar Nikoh itu buka suara.
Li Ti sendiri menjadi bingung demi nampak kedua orang ini
saling menyapa, ia letakkan Khong Liang dan baru hendak
tanya, namun sudah terlihat kedua orang itu saling rangkul,
tubuh Khong I iang berguncang karena gemetar, tiba-tiba
terdengar orang tua itu menjerit sekali, lalu jatuh pingsan lagi.
"O, ayah, jangan kau tinggalkan aku!" Nikoh itu meratap
dengan menangis. Segera Li Ti memeriksa nadi orang tua itu.
"Jangan kuatir, ia hanya kegirangan hingga seketika jatuh
pingsan, tapi tidak berbahaya." demikian ia menghibur.
Akan tetapi waktu melihat baju Khong Liang kotor
berlepotan darah, mukanya pucat seperti kertas, Nikoh itu
masih merasa kuatir. "Meski dia terluka parah, tapi tidak membahayakan
jiwanya," Li Ti menghibur lagi. "Aku tanggung tiga hari lagi dia
bisa bangun dan sebulan kemudian dia akan pulih
seluruhnya!" Karena itu si Nikoh mengesut air mata dan berhenti
menangis, ia bantu Li Ti menggotong Khong Liang ke kamar.
"Biarlah aku pijat dia untuk menjalankan darahnya, supaya
dia bisa tidur nyenyak lagi barang satu jam," kata Li Ti.
Tetapi sambil menunggu di samping, Nikoh itu masih
tersedu-sedan. Lewat tak lama, betul juga terdengar suara
mengoroknya Khong Liang, rupanya orang tua ini telah tidur
nyenyak. "Marilah kita keluar saja!" ajak Li Ti kemudian.
Nikoh itu menurut, dengan mata masih mengembeng air, ia
menuju ke ruang sembahyang, tiba-tiba ia menyulut dupa dan
sembahyang di hadapan patung Buddha sambil berdoa.
Dengan berdiri di samping, lapat-lapal Li Ti mendengar
Nikoh itu berkata, "Aku Khong Lian-he, dengan ini menyatakan
banyak terima kasih kepada Po-sat (Buddha) yang memberkati
pertemuan kembali kami ayah dan anak. Maka diharap pulaatas
kemurahan Po-sat yang sakti suka melindungi anak Ing
dan anak Lin dalam keadaan selamat dan selekasnya bisa
kembali ke sampingku."
Mendengar doa orang,, hati Li Ti tergerak, "Apa kau masih
mempunyai dua anak perempuan?" tanyanya cepat.
Sebelum Nikoh itu menjawab, terdengar berkumandangnya
suara teriakan orang lagi bertempur di luar kelenteng,
perlahan Nikoh itu berbangkit, ia tabuh beberapa kali
gentanya, setindak demi setindak lalu ia melangkah keluar
kuil. Sekejap itu dalam pandangan Li Ti merasa sinar mata si
Nikoh penuh mengandung rasa kasih-sayang yang tak
terhingga, sikap kasih-sayang seorang ibu.
Tanpa terasa Li Ti ikut keluar di belakang orang.
Waktu itu suara kejar-mengejar pertarungan orang sudah
semakin jelas berkumandang dari lembah gunung sana.
"Jangan-jangan Lin-moay menemukan musuh kuat?" diamdiam
Li Ti berpikir. Ketika ia memandang jauh ke bawah, tiba-tiba ia lihat ada
seorang lelaki berperawakan tegap, bajunya penuh darah,
semangatnya lesu, tenaga kelihatan sudah habis, dengan
sempoyongan sedang berlari mendat ingi.
"Siapa kau?" segera Li Ti menegur.
"Thio Thian-ti. Ciangbun dari Thian-tay-pay!" sahut orang
itu lemah. "O. kalau begitu kau sedang ditunggu kawanmu di dalam,"
kata Li Ti. Habis itu Li Ti lantas menyerahkan surat darah yang ditulis
Khong Liang itu padanya, air muka Thio Thian-ti berubah
hebat sesudah melihat surat darah itu.
"Apa Khong Liang telah mengalami nasib malang" Siapakah
kau" Darimana kau mendapatkan surat darahnya ini?"
demikian ia bertanya. "Ya. Khong-losiansing telah mengalami sedikit luka, cuma
tidak berbahaya, dia yang menyuruh aku menolong kau,"
sahut Li Ti. '"Dan apakah kau temukan seorang nona cilik?"
"Tidak hanya satu, tetapi dua," kata Thio Thian-ti cepat.
"Jika yang satu hendak membunuh aku, sebaliknya yang lain
akan menolong aku. rupa mereka mirip sekali seperti pinang
dibelah dua Belum habis ia berkata, sekonyong-konyong ia roboh ke
tanah. Kiranya setelah terluka dan kemudian berlari
menyelamatkan diri sekuat tenaga, kini ia tak tahan lagi, maka
terus ambruk. Sejak tadi si Nikoh setengah umur itu diam saja, tetapi
sekarang tiba-tiba ia bergumam seorang diri, "Ehm, mirip
sekali seperti pinang dibelah dua, apa mungkin di dunia ini
bisa terjadi hal yang begini kebetulan!"
Kembali perasaan Li Ti terguncang oleh kata-kata orang,
dalam pada itu ia dengar Nikoh itu berkata pula. "Eh, dia
punya Pi-pekut (tulang pundak) tembus tertusuk orang, kau
paham ilmu tabib, lekas kau tolong dia, dia adalah sahabat
ayahku, tentunya bukan orang jahat!"
Lagi-lagi Li Ti tergetar hatinya, ia terkejut. "Eh, kiranya
Nikoh inipun paham ilmu silat!" demikian ia berpikir.
Perlu diketahui bahwa Pi-pe-kut adalah ruas tulang penting,
kalau sampai putus dan tidak lekas diobati, maka betapa
tinggi ilmu silatnya pasti akan cacat juga.
"Kalau begitu, harap Suthay menunggu di sini, setelah
kuberikan pertolongan padanya, segera aku keluar lagi," sabut
Li Ti. "Aku tahu, aku pasti akan menunggu, sudah tujuh belas
tahun lamanya aku menunggu," kata Nikoh itu perlahan
sambil menatap ke tempat jauh. Suaranya penuh
mengandung rasa pilu yang tak terhingga.
Li Ti terguncang lagi hatinya, lekas ia gendong Thio Thian-ti
ke kamar dalam kelenteng, ia merasa aneh atas sikap orang,
ia menduga ada peristiwa luar biasa yang segera akan terjadi.
Kembali pada kedua dara kembar itu, sepanjang jalan Pang
Ing mengudak Pang Lin dengan kencang, tanpa terasa mereka
sudah sampai di depan kelenteng itu.
"Berhenti!" sekonyong-konyong suara seorang yang kereng
dan penuh kasih-sayang membentak mereka. Suara ini seperti
membawa semacam kekuatan yang tidak bisa dibantah,
seketika kedua kakak-beradik kembar ini berhenti di tempat
masing-masing sambil memandang dengan terkesima.
Maka tertampaklah oleh mereka di depan kelenteng itu
berdiri seorang Nikoh setengah umur dengan mata kelihatan
basah berkaca sedang menatap mereka.
"Ai, pertemuan darah daging sendiri ternyata tidak disadari,
bahkan saling labrak-melabrak, sungguh kasihan!" demikian
terdengar Nikoh itu berkata dengan menarik napas panjang.
Kiranya Nikoh setengah umur ini bukan lain adalah ibu
kedua dara kembar itu sendiri, yakni Khong Lian-he.
Ketika ia bertemu dengan Pang Lin, ia memang sudah
curiga apakah anak dara ini bukan putrinya sendiri, tetapi
waktu ia mendapatkan nama orang yang berlainan, maka ia
tak berani mengenalinya. Kini demi nampak rupa kedua anak dara yang mirip
bagaikan pinang dibelah dua, ia yakin di jagat ini kecuali
sepasang putri kembarnya tentu tiada lagi yang bisa begini
mirip. Di lain pihak, baik Pang Ing maupun Pang Lin sama
terguncang juga hatinya. "Kau ini siapa" Darimana kau tahu dia adalah saudaraku?"
dengan mendongak Pang Ing bertanya.
"Ya, Suthay, apa kau tahu asal-usul diriku" Kenapa tidak
kau katakan semalam" Apa betul dia Taciku?" demikian Pang
Lin pun berseru. Dalam keadaan demikian sungguh tak keruan rasa hati
Khong Liang-he, ia bergirang dan juga terharu, tiba-tiba ia
berlari mendekati kedua anak dara itu, dengan tangan kiri ia
tarik Pang Ing dan tangan lainnya memegang Pang Lin,
dengan perasaan terharu ia mengamati kedua anak kembar ini
agak lama. "Coba kalian berdua perlihatkan padaku tertawamu, biar
kulihat siapa Taci dan yang mana Adik," katanya dengan
tersenyum dan mengembeng air mata.
Pang Ing memandangi ibunya dengan terkesima, seketika
ia tidak bisa tertawa, sedang Pang Lin telah tertawa cekikikan,
bahkan si nakal ini mendadak mengulur jari mengkili-kili ketiak
Pang Ing.
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Suthay minta kau tertawa, kenapa kau tidak mau
tertawa?" demikian ia menggoda pula.
Oleh karena ketiaknya dikili-kili, dengan sendirinya Pang
Ing merasa geli, tanpa tertahan ia pun tertawa.
Maka terdengarlah Nikoh setengah umur itu berkata lagi,
"Lin-ji, tak boleh kau nakal, kau adalah adik, selanjutnya kau
harus tunduk pada Tacimu!"
Kedua dara kembar Pang Ing dan Pang Lin ini memang
adalah nona yang punya pikiran tajam, setelah menyaksikan
kejadian ini tanpa dijelaskan lagi mereka lantas berseru, "O,
Ibu!" Maka tertampaklah kemudian ketiga orang saling rangkul
menjadi satu, air mata kegirangan tanpa terasa bercucuran.
Ibu dan anak saling bertemu kembali, oleh Khong Lian-he
dirasa seperti dalam khayalan belaka, saking girangnya ia
menangis bercampur tertawa, ia merangkul kencang kedua
putrinya dengan mesra. Entah sudah berapa lama ketika mendadak mereka
dikejutkan oleh suara panggilan, "Ing-moay."
Kiranya Li Ti keluar dari dalam kelenteng, demi nampak
kejadian itu, Li Ti menjadi bingung, tapi kemudian ia pun ikut
girang. "Mari sini, coba kau lihat kedua putriku ini, aku berterima
kasih padamu yang telah menolong ayahku dan telah
membawa pula Lin-ji padaku, hingga kami sekeluarga kini
telah berkumpul kembali," dengan tertawa Khong Lian-he
berkata kepada Li Ti. "Li-koko!" demikian kedua anak dara itu memanggil
berbareng sesudah mengesut air mata masing-masing.
Lalu mereka berlari maju beberapa tindak, tapi tanpa
berjanji pula lantas berhenti.
Keruan Li Ti menjadi bingung, pandangannya menjadi
kacau, ia tidak bisa membedakan mana yang Taci dan yang
mana Adik, ia coba ingat-ingat baju warna apa yang pagi tadi
dipakai Pang Lin. Akan tetapi sebelum ia buka suara, ia dengar Khong Lianhe
berkata lagi, "Ing-ji dan Lin-ji, coba kalian tertawa lagi!"
Sekali ini baik Pang Ing maupun Pang Lin lantas tertawa
berbareng. "Nah, lihat yang jelas itu," kata Khong Lian-he sambil
menunjuk kedua anak dara ini, "pada waktu kecilnya, karena
rupa mereka mirip sekali, sampai aku sendiri pun tak bisa
membedakan. Hanya saja bila mereka tertawa, pada sebelah
pipi mereka, masing-masing terdapat sebuah dekik, dekik si
kakak di pipi kiri, sedang dekik si adik di pipi kanan, kau boleh
lihat yang jelas, selanjutnya t;ntu kau tak akan keliru lagi."
Sementara Pang Lin kembali tertawa lagi sambil maju
mendekati Li Ti dan menarik tangan pemuda itu.
"Bu, tak lama lagi tentu kau dapat membedakannya,
bukankah aku jauh lebih nakal daripada Cici!" kata anak dara
itu. Dalam pada itu Khong Lian-he jadi teringat pada waktu
perayaan ulang tahun pertama mereka, waktu itu perbedaan
watak mereka memang sudah kentara.
"Apa kalian sudah pernah bertemu" Darimana kau
mengetahui watak Tacimu?" dengan tertawa ia bertanya.
Karena itu, Pang Lin melelet lidah, ia membuat muka
Jenaka lagi. "Bu, kau tidak tahu bahwa Taci bengis sekali padaku, baru
pertama kali bertemu tadi ia sudah hendak memukul aku!"
demikian ia menutur dengan lagak lucu. "Li-koko, lekas kau
jelaskan pada Cici, bukankah itu Thio-cecu kaulah yang suruh
aku menolongnya, tapi Cici marah-marah padaku, katanya aku
bergaul dengan orang jahat dan dia hendak memukul aku!"
Pang Ing geli karena kenakalan adiknya ini, tapi hatinya
seperti merasakan sesuatu juga ketika melihat Pang Lin
berlaku begitu rapat dengan Li Ti, ia pikir, "Melihat
gelagatnya, mereka tentu adalah kekasih. Tabiat Li Ti jujur,
hidup adik kelak tentu akan bahagia. Tetapi aku sendiri
sebaliknya entah akan bagaimana jadinya kelak?"
Dalam pada itu ia dengar Pang Lin menyebut Thio-cecu,
yaitu orang yang telah membikin hilang obat yang
diperolehnya dengan susah-payah itu.
Tiba-tiba ia teringat pula pada jiwa Teng Hiau-lan yang
tinggal sehari dua hari ini, ia jadi sedih hingga mengalirkan air
mata. Melihat itu hati Li Ti terguncang juga, ia pikir, "Ing-moay
dan aku adalah kawan bermain sejak anak-anak, meski tiada
sumpah setia di antara kami, tetapi batin anak perempuan
memang sukar diraba. Tidak sampai tiga tahun aku turun
gunung aku sudah jatuh cinta pada orang lain, jangan-jangan
lantaran inilah dia menyesali diriku."
Demikianlah ia berpikir dengan tak tenteram, dengan
terkesima ia memandangi Pang Ing.
Di sebelah sana baik Khong Lian-he maupun Pang Lin pun
merasa heran dan kaget. "O, Taci yang baik, kalau kau inginkan dia (maksudnya Li
Ti), berkatalah terus-terang, kenapa harus menangis?"
demikian Pang Lin membatin, dalam hati ia sudah mengambil
keputusan apabila di antara mereka berdua memang sudah
tertanam bibit percintaan, maka ia rela menyerahkan Li Ti
kepada sang Taci. Sunggguhpun begitu pikirannya, tapi berat
dan pilu juga dirasakannya.
"Li-koko, siapakah Thio-cecu" Kenapa kau melindungi dia?"
tanya Pang Ing kemudian sesudah mengusap air matanya.
"Biarkan dia keluar sini, kalau aku tidak menabas kutung
kedua tangannya, rasa hatiku tidak puas!"
"Ada sakit hati apakah antara kau dan Thio Thian-ti,"
dengan terheran-heran Li Ti bertanya. "Kenapa kau begitu
gemas padanya" Dia adalah Ciangbun Thian-tay-pay,
walaupun tidak terlalu baik, tapi juga tidak terlalu busuk,
apalagi dia adalah kawan baik kau punya Gwakong (kakek
luar), jika ada sesuatu dendam antara kau dengan dia,
hendaklah kau ingat pada Gwakong dan ampuni dia!"
Mendengar ini kembali Pang Ing tercengang.
"Memang tidak salah perkataannya, nak," sela Khong Lianhe.
"Kau punya Gwakong terluka dan berada di dalam,
sebentar lagi kalian boleh masuk menemuinya."
Sudah tentu sama sekali tidak diduga Khong Lian-he bahwa
kedua anak kembar ini bukan saja sudah pernah berjumpa
dengan Gwakong mereka, bahkan sudah pernah bergebrak
dengan kakek luarnya ini.
Akan tetapi sesudah mendengar penuturan orang tadi,
kembali Pang Ing mencucurkan air mata dengan sedih.
Dengan sendirinya Khong Lian-he sangat heran. "Ing-ji,
sebenarnya ada urusan apakah kau dengan dia?" tanyanya.
"Orang she Thio ini bukan orang baik-baik, dia telah
memusnahkan obatku," sahut Pang Ing.
"Obat apakah maksudmu?" tanya Lian-he.
"Sebenarnya obat itu akan kugunakan untuk menolong jiwa
seorang kawan," demikian Pang Ing menerangkan dengan
suara kurang lancar. "Tanpa sebab Thio Thian-ti datang
melabrak aku dan bungkusan obat itu dilempar ke sungai di
bawah jurang, untuk mencarinya sudah tiada harapan lagi."
"Siapakah kau punya kawan itu, lelaki atau perempuan?"
sekonyong-konyong Pang Lin bertanya.
Seketika muka Pang Ing menjadi merah.
"Tentang orang ini, dia kenal baik juga dengan kau, Likoko,"
sahutnya kemudian. "Masih ingatkah kau pada Tengsioksiok
kita itu" Dahulu dia pun tinggal di Thian-san selama
tiga tahun." "O, kiranya Teng Hiau-lan," ujar Li Ti.
Tetapi demi nampak Pang Ing begitu kuatir atas diri Teng
Hiau-lan, diam-diam ia mengomeli diri sendiri atas sangkaan
tadi, ia menjadi malu sendiri.
Dalam pada itu, setelah mendengar cerita Pang Ing tadi,
Pang Lin tertawa geli. "Cici, aku lagi yang bikin gara-gara hingga mereka keliru
menyangka dirimu," ia menjelaskan, "Thio Thian-ti itu
sebenarnya bertujuan mencari aku untuk menuntut balas,
sebab anak buahnya hendak merebut sebuah kitab kami, tapi
aku telah melukai tiga orang mereka dengan pisauku yang
berbisa, makanya dia hendak mencari aku buat bikin
perhitungan." Tentu saja penjelasan ini membikin Pang Ing heran pula.
"Dan kenapa kau malah menolong dia?" tanyanya.
"Ya, perselisihan lebih baik dihindarkan," ujar Li Ti.
"Padahal kitab itupun bukan milik kita, barang yang tak
bertuan tak bisa disalahkan kalau mereka mengincarnya."
Sementara itu rasa marah dan gemas Pang Ing kepada
Thio Thian-ti perlahan lenyap, tapi bila teringat jiwa Teng
Hiau-lan sukar ditolong lagi, ia menjadi sangat berduka.
"Penyakit apakah yang diderita Teng-toako, dia terkena
sesuatu Am-gi musuh yang berbisa?" tanya Li Ti. "Coba kau
terangkan, barangkali aku dapat mengobati dia."
Tingkatan antara Li Ti, Teng Hiau-lan dan Pang Ing
sebenarnya sama, tapi karena dahulu Teng Hiau-lan pernah
ikut belajar silat pada Engkongnya, maka Pang Ing memanggil
Hiau-lan "Encek" atau paman, sebaliknya Li Ti hanya
memanggil "Toako" atau saudara tua padanya.
Dalam pada itu Pang Lin menyeletuk atas percakapan
orang tadi, "Kitab yang aku bilang tadi bukan lain adalah kitab
tinggalan Pho Jing-cu, katanya kitab rahasia ilmu tabib yang
paling mujizat." Mendengar ini, Pang Ing menjadi girang, tiba-tiba ia
mendapatkan sinar harapan lagi.
"Ah, kalau begitu lekaslah kau periksa kitab itu," katanya
cepat. "Tetapi bagaimana dengan itu daun waru musim rontok
dan sepasang jangkrik jantan-betina, kemana harus
mencarinya pada musim seperti ini?"
"Kenapa harus pakai kedua macam bahan itu?" tanya Li Ti.
"Itulah resep yang dibuka Boat-wan Lojin," sahut Pang Ing.
"Boat-wan Lojin adalah anak murid Pho Jing-cu, dia bilang
harus pakai kedua bahan obat ini baru dapat menunjukkan
kemujarabannya." "Boat-wan Lojin" O, barangkali yang bernama Yap Siusiang
itu?" tanya Li Ti. "Ya, di dalam kitab Pho Jing-cu pernah
disebut namanya, katanya dia pakai nama alias Boat-wan dan
menjadi murid tidak resmi, di dalam kitab malah terdapat pula
sebuah catatan kejadian penyakit yang disembuhkan mereka
bersama, agaknya kejadian ini sudah setengah abad yang lalu.
Ing-moay, dalam hal mengobati orang sakit tidak boleh
menyembunyikan sesuatu apapun, hendaklah kau suka
menjelaskan padaku tentang pengalaman dan keadaan
penyakitnya." Maka berceritalah Pang Ing apa yang dialami Teng Hiau-lan
dengan minum arak beracun Yong Ceng dan bagaimana
keadaan paling akhir ini. Habis mendengarkan penuturan ini,
Li Ti mengerut dahi, ia merasa dirinya sedikitpun tak punya
pegangan untuk bisa menyembuhkan orang.
Perlu diketahui bahwa meski Li Ti sudah mempelajari kitab
ketabiban dan pandai teori pengobatan, tetapi dalam hal
pengalaman sedikit saja belum ada, lebih-lebih penyakit aneh
seperti yang diderita Teng Hiau-lan ini, bukan saja tidak
pernah dia baca dalam kitab, balikan secara teori ia pun tidak
mengerti. Sungguhpun demikian, supaya bisa membesarkan hati
Pang Ing, ia sengaja tersenyum.
"Baiklah, besok aku berangkat bersama kau untuk
mengobati dia," katanya kemudian.
"Kenapa tidak sekarang saja," ajak Pang Ing tak sabar.
"Buat apa harus buru-buru?" ujar Li Ti.
Karena jawaban ini, tanpa tertahan air mata Pang Ing
bercucuran lagi. "Tentu kau tidak tahu bahwa umurnya hanya
bertahan sampai besok siang saja, bila dalam waktu sesingkat
ini tidak tertolong, terang tiada harapan lagi," katanya dengan
tersedu-sedan. "Berapa jauh tempat tinggalmu dari sini?" tanya Li Ti.
"Sebelum lohor kita tentu sudah sampai di sana. Sekarang
tulang pundak Thio Thian-ti patah tertusuk, kalau tidak diobati
tepat pada waktunya, dia tentu akan cacat untuk selamanya
dan tak berguna lagi ilmu silatnya. Baik atau jelek, setidaktidaknya
dia masih seorang Ciangbun dari suatu cabang
persilatan, kita tidak bisa membiarkan ilmu silat Thian-tay-pay
termusnah begitu saja."
Pang Ing pikir luka Thio Thian-ti adalah dia sendiri yang
menusuknya, teringat pula olehnya kejadian di Coa-to tempo
hari cara bagaimana Lu Si-nio membalas dendam orang
dengan budi pada Tok-liong Cuncia, teringat juga pada
pertemuan pertama dengan ibu dan adiknya, rasanya banyak
sekali hal-hal yang perlu dibicarakan, lagi pula ia harus
menjenguk Engkong luarnya yang terluka.
"Baiklah, terpaksa mati-hidup Teng-sioksiok tergantung
pada takdir juga, kita kan sudah berusaha sepenuh tenaga,"
katanya kemudian dengan rela.
Tengah bicara, tiba-tiba tertampak ada belasan orang naik
ke atas gunung. "Nah, Lin-moay, langgananmu telah datang lagi," dengan
tertawa Li Ti menggoda Pang Lin. "Orang-orang ini terluka
oleh pisaumu yang berbisa, kau harus menyembuhkan
mereka." Pang Lin lantas memapak orang, sebaliknya demi nampak
anak dara ini, orang-orang itu segera putar tubuh terus lari
sipat-kuping sembari menjerit ketakutan.
Keruan Pang Lin menjadi geli dan tertawa terbahak-bahak.
"Hai, Cecu kalian ada di sini, mari sini, tak perlu lari, biar
aku mengobati kalian," demikian ia teriaki orang-orang itu.
Anak buah Thio Thian-ti memang pernah melihat anak dara
ini menolong Cecu mereka, tapi mereka menjadi bingung
karena tak bisa membedakan mana nona yang menolong Cecu
mereka dan mana pula nona yang melukai Cecu mereka. Soal
lawan kemudian berubah menjadi kawan dalam kalangan
Kangouw adalah kejadian biasa, pula kedatangan mereka
kemari tujuannya hendak mencari Cecu, oleh karenanya atas
teriakan Pang Lin tadi mereka lantas berhenti lari, mereka
putar balik, kawan-kawan mereka yang luka dibawa masuk ke
dalam kelenteng, kepada mereka ini Pang Lin memberikan
obat pemunah racunnya. "Kelentengmu ini sudah berubah menjadi rumah sakit
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
darurat, Ibu." dengan tertawa ia berkata pada ibunya.
"Marilah sekarang kita berbicara di luar."
Setelah Khong Lian-he menjenguk Khong Liang di kamar
belakang dan mendapatkan keadaan sang ayah tidak
berbahaya dan masih tidur nyenyak, ia lantas keluar buat
bercakap-cakap dengan kedua putri kesayangannya. Sedang
Li Ti sendiri mengobati luka Thio Thian-ti.
Di luar kelenteng sana Khong Lian-he sedang
menggandeng putrinya, di bawah cahaya sang surya yang
terang ia mendengarkan penuturan kedua putrinya yang
menerocos tiada hentinya. Kecuali kejadian semasa kecilnya,
Pang Lin sudah lupa, maka kedua dara kembar ini
menceritakan pengalaman masing-masing pada sang ibu.
Lian-he girang sekali setelah mengetahui bahwa Pang Ing
adalah murid le Lan-cu, 'dewi pedang' dari Thian-san. Sedang
Pang Lin meski banyak kisah deritanya dan terkurung di istana
pangeran hampir tujuh tahun, namun anak dara ini telah
mendapat juga pelajaran ilmu silat yang beraneka-ragam,
lebih-lebih paling belakang ini telah mendapat ajaran
kepandaian dari Bu-kek-pay, semuanya itu cukup
menggembirakan bagi sang ibu.
Sesudah kedua putrinya menutur, kemudian berganti
Khong Lian-he sendiri yang menceritakan pengalamannya.
Terhadap asal-usul diri mereka, Pang Ing sudah pernah
mendengar dari Teng Hiau-lan, sebaliknya Pang Lin baru
untuk pertama kalinya mengetahui, setelah mendengar, tidak
kepalang rasa gemasnya kepada Kaisar Yong Ceng.
"Kiranya dia sendirilah biang keladi yang mengirim Hiat-ticu
untuk membunuh Engkong dan ayah hingga
mengakibatkan keluarga kita hancur bcrantakan dan terpisah
selama ini, kalau aku tidak membunuh dia dengan tanganku
sendiri, rasa gemasku tentu takkan terlampias," demikian
katanya sambil mengepal tangannya.
"Sudah belasan tahun sejak aku menyingkir ke tempat ini,
belum pernah aku turun gunung," kemudian Lian-he berkata
lagi, "berkat Thian, akhirnya aku bisa bertemu kembali dengan
kalian, kelak aku tentu akan membawa kalian menyambangi
kampung halaman kita."
Ia 'jerhenti sejenak, lalu menyambung pula, "Lin-ji, anak
muda yang datang bersama kau itu tidak jelek, siapakah
namanya?" "Dia bernama Li Ti, putra Bu Ging-yao dari Thian-san-chitkiam,"
Pang Lin menerangkan. '"Pilihanmu sungguh tepat, anak Lin," kata Lian-he pula
dengan tersenyum. "Tidak dinyana kedua putriku ternyata
bersatu keluarga dengan dua ahli pedang wanita yang paling
tinggi di zaman ini."
"Tetapi, dia masih belum meminang aku, ibu!" sahut Pang
Lin '.rus-terang. Keruan Khong Lian-he bergelak tertawa mendengar katakata
putrinya yang polos ini. "Bocah yang tak malu, kenapa buru-buru?" ujarnya
tertawa. Tunggu saja, lambat atau cepat dia toh akan
mengajukan lamaran padaku." Habis itu, ia berpaling dan
bertanya pada Pang Ing, "Dan bagaimana dengan kau, Ingji?"
Pang Ing ternyata lebih prihatin, ia menunduk dan
bungkam. Di luar dugaan, sekonyong-konyong Pang Lin mencolek pipi
lacinya ini. "Hihi, Cici merasa malu! Bukankah kau juga punya
I eng-sioksiok?" ia menggoda.
"O, apakah dia Teng Hiau-lan?" kata Lian-he dengan
tertawa. "Dahulu aku malah menyebutnya sebagai adik cilik,
ketika keluarga kita mengalami bencana, dia pernah
melindungi aku dan kau dengan mati-matian, belakangan baru
berpencar setelah sampai di Thay-lung-san. Meski umurnya
belasan tahun lebih banyak dari kau, te-lapi orangnya
memang sangat baik, dia boleh dikata mempunyai |iwa patriot
dan budi yang luhur. Belasan tahun ini aku pun selalu
terkenang padanya. Encek berlainan she, tiada halangannya
buat kalian berdua."
Pang Ing menjadi terharu oleh ujar ibunya ini, ia menjadi
sedih bila ingat umur Teng Hiau-lan tinggal sehari dua hari ini
saja bila tak tertolong. "Sudahlah, jangan menyebutnya lagi, Bu!" katanya
kemudian dengan air mata berlinang.
"Jangan kuatir, Cici, penyakit Teng-sioksiok itu asal Li Ti
pergi mengobati, tentu dia akan sembuh kembali," demikian
Pang Lin menghiburnya. Pang Ing berpaling ke jurusan lain dan meneteskan air
mata lagi. Melihat kelakuan putrinya ini, Khong Lian-he
mengira anak dara ini menangis karena kuatir atas
keselamatan Teng Hiau-lan, maka ia pun ikut menghiburnya.
"Ya, ilmu pengobatan Li Ti memang tinggi, lihat saja luka
Gwakongmu yang begitu berat, dia pun dapat
menyembuhkannya, aku kira dia pun pasti bisa
menyembuhkan Hiau-lan," ujarnya.
Di lain pihak diam-diam Pang Lin melirik Encinya, ia lihat di
antara cucuran air mata Pang Ing itu, tampaknya
mengandung rasa penyesalan yang tak terhingga. Pang Lin
adalah setan cerdik, ia pun pernah merasakan pahit-getirnya
cinta (ia pernah mencintai Lian Keng-hiau), karenanya, melihat
kelakuan Encinya ini ia menduga tentu ada hal-hal lain yang
susah diutarakan, tetapi ia pun tidak bertanya lagi.
Demikianlah ibu dan anak bertiga saling menceritakan kisah
masing-masing, tanpa terasa sang surya sudah menggeser ke
barat, sampai perut lapar pun tidak mereka rasakan, mereka
bertiga tenggelam dalam suasana bahagia yang bercampuraduk
antara suka dan duka, sedang pada diri kedua anak dara
terdapat pula perasaan yang berbeda.
Keadaan ini entah sudah berlangsung berapa lama ketika
mendadak terlihat Li Ti berlari mendatangi dari jauh.
"Apa kalian masih belum selesai bercakap-cakap?" dengan
tersenyum pemuda itu menegur.
Waktu Pang Lin memandang, ia lihat sebelah tangan Li Ti
membawa seekor ayam alas dan tangan yang lain memegang
setangkai dahan pohon liu dengan muka berseri-seri.
"Kau ini sungguh terlalu, kau tidak tinggal bersama kami,
pula bukannya pergi menjadi dukun, sebaliknya kau masih
sempat pergi berburu ayam alas!" demikian Pang Lin
mengomel. "Kau tidak tahu, justru jiwa Thio Thian-ti bergantung pada
ayam alas ini," sahut Li Ti. "Suthay, maaf, terpaksa aku harus
melanggar pantanganmu."
"Suthay apalagi, kenapa tidak panggil saja Pek-bo (bibi),"
Pang Lin menyela cepat. "Pantangan, kau bilang pantangan
apa?" "Ya, bibi, terpaksa aku harus membunuh di dalam
kelentengmu, untuk menyambung miang tidak boleh tanpa
darah ayam yang segar," kata Li Ti.
"Ibu menjadi Nikoh lantaran dukanya tetapi sekarang kami
sekeluarga sudah berkumpul kembali, perlu apa menjadi Nikoh
lagi?" kembali Pang Lin membuka suara. "Betul tidak kataku,
Bu?" Khong Lian-he tertawa melihat gadisnya menerocos
terus. "Ya, kau si nakal ini ternyata dapat menyelami
pikiranku," sahutnya kemudian. "Baiklah, ibu turuti kau, besok
juga ibu kembali pada pergaulan umum lagi."
Sementara itu Li Ti lantas masuk ke dalam kelenteng dan
diikuti Khong Lian-he untuk memeriksa keadaan ayahnya,
sebaliknya Pang Lin tidak menyusul.
"Biarlah aku omong-omong dengan Cici, ibu, sebentar kalau
(iwakong sudah mendusin, panggil saja kami," demikian
serunya. Kemudian ia menarik tangan Pang Ing, kedua anak dara ini
lantas pasang omong perlahan, melihat kasih-sayang antara
kedua laci-adik ini, sudah tentu Khong Lian-he sangat senang.
Waktu ia masuk ke dalam didengarnya suara tertawa kakakberadik
itu. Pang Ing mengetahui pengalaman adiknya jauh lebih
menderita daripada dirinya, tadi ia pun salah sangka dan
hendak menghajarnya, maka sekarang ia merasa sayang
sekali pada adiknya ini. "Cici, ada ganjalan hati apakah yang terkandung dalam
pikiranmu, dapatkah kau katakan padaku?" demikian tanya
Pang Lin selelah menarik sang Taci duduk di bawah pohon
yang rindang. "Ganjalan hatiku ialah ingin mencari kau," sahut Pang Ing.
"Tidak, aku tahu masih ada soal lain lagi!" ujar Pang Lin.
Tetapi Pang Ing bungkam, ia hanya menghela napas.
"Cici," kata Pang Lin lagi, "pada waktu aku masih kecil, aku
pun mengira bahwa diriku memang tak punya bapak-ibu,
tatkala tinggal dalam istana, banyak orang yang suka padaku,
mereka panggil aku "keke" (bahasa Boanciu, panggilan
terhadap putri bangsawan) tetapi ada juga yang benci padaku,
mereka memaki aku sebagai "budak liar", tetapi aku tidak
peduli, mereka boleh suka padaku atau boleh juga benci,
dalam suasana demikian itulah aku dibesarkan. Watakku
memang aneh, kalau aku tidak senang, sekalipun kaisar
sendiri bersama kakek-moyangnya juga tak bisa menundukkan
aku, sebaliknya apa yang aku inginkan, bagaimana pun juga
pasti akan kulakukan."
Kemudian Pang Lin bertanya ganjalan hati apa yang
menjadi pikiran sang Taci. Dengan menghela napas lalu Pang
Ing menuturkan pengalamannya, terutama mengenai
kesalahan-pahaman Nyo Liu-jing terhadap dirinya dan
keadaan Teng Hiau-lan sekarang yang sudah dekat ajalnya
itu. Pang Lin ikut terharu atas cerita kakaknya itu, tapi ia lantas
menghiburnya agar tidak perlu memikirkan soal Nyo Liu-jing
lagi, tentang Teng Hiau-lan tentu akan dapat disembuhkan
oleh Li Ti nanti. Begitulah kedua nona kembar itu berbicara dengan
asyiknya, dalam pada itu Li Ti dan Khong Lian-he di ruangan
dalam sedang mengobati luka Thio Thian-ti.
Li Ti mendapatkan sebatang ranting kayu Yang-liu, ranting
kayu itu dipapasnya menjadi gepeng lurus dalam bentuk
seperti tulang tangan, pada bagian tengah kayu itu dibikin
tembus berlubang seperti tulang sesungguhnya, lalu ditaruh
pada kedua tulang yang remuk untuk menggantikan bagian
tulang yang dipotong dan diambil, pada waktu kayu ini
dimasukkan, kedua ujung kayu dan kedua belah tulang yang
akan disambung dipoles dengan darah ayam yang masih
hangat segar, dan dibubuhi pula 'ciok-jing-san' (semacam obat
bubuk) yang bisa membantu tumbuhnya daging baru,
akhirnya kulit daging yang pecah itu dijahit, di luar sambungan
miang yang luka ini dipoles pula salep untuk melancarkan
darah, akhirnya digapit dengan papan kayu untuk
mengencangkan tempat sambungan.
Cara pengobatan ini disebut Liu-ki-ciap-kut-hoat (ilmu menyambungan
miang dengan kayu Liu), ilmu ini adalah salah
satu ilmu ketabiban Tiongkok kuno yang tiada bandingannya,
cara penyembuhan begini hanya memakan waktu tujuh hari
saja, miang dan kayu Liu yang berada di dalam akan
tersambung dan tumbuh tulang baru seperti sediakala.
Keruan Thio Thian-ti sangat berterima-kasih, berulangulang
ia meminta maaf atas kesembronoannya tempo hari.
Sesudah menyembuhkan Thio Thian-ti, kemudian mereka
pergi memeriksa Khong Liang, orang tua ini ternyata sudah
sadar dan tampak segar. Khong Liang menjadi girang sekali ketika kemudian Khong
Liang-he memberitahukan kabar gembira bahwa kedua anak
daranya yang kembar sudah berkumpul semua.
Senja sunyi di pegunungan dengan pemandangan yang
indah, di bawah gunung kelihatan asap mengepal di antara
rumah penduduk, suatu tanda kaum petani sedang menanak
nasi. Waktu itulah Pang Ing dan Pang Lin baru berjalan
kembali ke kelenteng, mereka sudah ditunggu sang ibu di
depan rumah berhala itu. "Apa Gwakong sudah mendusin?" segera Pang Ingbertanya.
"Sudah, beliau sedang menantikan kalian," sahut sang ibu.
Maka Lian-he lantas membawa kedua putrinya masuk ke
kamar, tetapi waktu melihat rupa kedua anak ini, tanpa
tertahan Khong Liang berseru kaget, sebaliknya kedua dara
kembar inipun tertegun seketika.
"Coba lihat, ayah, mereka sudah tumbuh begini tinggi!"
segera Khong Lian-he membuka suara. "Yang sebelah kanan
ini adalah Ing-ji yang kiri ialah Lin-ji. Kalau aku tidak
menjelaskan, pasti ayah tak bisa membedakan mereka."
"Harap Gwakong suka memaafkan," segera juga Pang Ing
berkata. Di lain pihak Pang Lin hanya tertawa menyengir saja.
"Untung aku belum melukai engkau dengan Hui-to berbisa,"
katanya kemudian. Setelah Khong Liang kaget dan bingung sejenak, segera ia
bergelak tertawa. "He, apa kalian sudah pernah bergebrak dengan
Gwakong?" dengan heran Khong Lian-he bertanya pada kedua
putrinya. "Ya, tidak apalah, yang tidak tahu tidak berdosa," ujar
Khong Liang. "Kepandaian kalian berdua sungguh luar biasa,
sudah jauh lebih kuat daripada orang tua semacam kami ini!"
Sesudah berhenti sebentar, lalu ia menyambung lagi,
"Memang aku ini sudah pikun, mereka itu terkena Hui-to milik
Ciong Ban-tong, aku sangat heran, tapi kenapa tidak teringat
padamu!" Pikiran Pang Lin tergerak oleh penuturan terakhir ini.
"Kenapa harus teringat pada diriku?" cepat ia bertanya.
"Bukankah kau punya Toat-beng-sin-to itu ajaran Ciong
Ban-tong?" tanya Khong Liang tiba-tiba.
"Ya, aku jadi teringat juga, pada waktu kau genap setahun,
kau sudah lantas penujui dia punya Hui-to, waktu itu malahan
kakek merasa kurang senang," sela Khong Lian-he.
"He, pantas pada waktu pertama kalinya aku mendengar
nama Ciong Ban-tong disebut, aku lantas merasa pernah
kenal," kata Pang Lin dengan heran. "Kalau begitu, janganjangan
aku memang betul adalah muridnya?"
"Apa katamu" Masakah kau sendiri pun tidak mengetahui?"
tanya Khong Liang heran. "Apa Ciong Ban-tong tidak pernah
memberitahukan padamu dia punya nama yang sebenarnya?"
"Lin-ji bilang semua kejadian di masa kecilnya sudah
terlupa seluruhnya," kata Lian-he dengan menghela napas.
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaimana bisa jadi begitu?" ujar Khong Liang heran. Lalu
berceritalah dia kejadian yang lampau, dimulai pada malam
yang malang itu sampai akhirnya Pang Lin dibawa pulang ke
rumah keluarga Lian oleh Ciong Ban-tong setelah berhasil lari
keluar dari kepungan musuh.
Kisah ini Khong Lian-he sendiri belum mengetahui, sudah
tentu ia pun mendengarkan dengan ternganga.
"Dan belakangan waktu aku mengkirim orang mencari tahu
dirimu, barulah aku mengetahui kau sudah tidak berada di
rumah keluarga Lian lagi, Ciong Ban-tong pun telah tewas
tanpa diketahui sebabnya," demikian Khong Liang
menyambung lagi. "Sejak itulah lantas tidak pernah diperoleh
berita tentang dirimu, tidak dinyana kini bisa bertemu di sini
sesudah sekian lama"
Dalam pada itu Pang Lin ternyata terkesima oleh cerita ini,
semua melihat nona ir' mengawasi dinding dan termangumangu
tanpa berkata, dengan perlahan-lahan Khong Lian-he
membelai rambutnya, tetapi sedikitpun tiada sesuatu gerakan
balasan dari anak dara ini, ia kaku seperti patung yang
bersandar pada dinding. Nampak keadaan anak dara ini, Khong Liang menjadi
kuatir, ia berhenti tidak menutur lagi.
"Lin-ji, Lin-ji!" Lian-he coba memanggil di tepi telinga
putrinya ini. Akan tetapi Pang Lin tetap tidak bergerak, juga
tidak menjawab. Karena itu segera Li Ti mendekatinya. "Pek-bo, dia sedang
mengenangkan kejadian masa dulu, jangan engkau tanya
padanya, biarlah aku membawa dia keluar saja," dengan
perlahan pemuda ini membisiki Khong Lian-he.
Perlahan Li Ti memayang Pang Lin berjalan keluar
kelenteng, dengan terkesima anak dara ini berjalan
mengikutinya sampai di bawah sebatang pohon, Li Ti menarik
anak dara ini berduduk, lalu ia pandang tajam mata Pang Lin,
selang tak lama, kelihatan gadis ini menunduk dengan lemas.
"Marilah kubawa kau ke rumah keluarga Lian," tiba-tiba Li
Ti membisiki si nona. "Tidak, tak mau, aku tak mau!" teriak Pang Lin mendadak.
"Ah, sudah sampai di tempatnya! Taman ini sungguh besar
sekali, kenapa tiada penghuninya?" kata Li Ti pula. "He, nona
cilik, berapa umurmu tahun ini, enam atau tujuh" Sudah bisa
membaca?" Mendadak Pang Lin menjawab dengan lagu suara yang
masih anak-anak. "Umurku tujuh tahun, dua tahun yang lalu
Ciong-lausu (guru, maksudnya Ciong Ban-tong) mulai
mengajar aku membaca!"
Kiranya apa yang sedang dilakukan Li Ti ialah
menggunakan ilmu 'Hoan-hun-sut' yang dia dapat belajar dari
kitab pusaka Pho Jing-cu untuk menyembuhkan penyakit
hilang ingatan. Ilmu 'Hoan-hun-sut' ini adalah semacam ilmu
hipnotis zaman dahulu, meski tidak begitu manjur seperti ilmu
hipnotis zaman sekarang, tapi bisa juga mengatasi jiwa si
penderita sakit, tetapi terhadap penderita seperti Pang Lin,
harus dimulai mengingatkan asal-usul dirinya sedikit demi
sedikit, supaya anak dara ini dapat kembali daya ingatannya
yang sudah hilang itu. Begitulah demi nampak usahanya mulai berhasil, setelah
berhenti sejenak dan membiarkan Pang Lin pusatkan
pikirannya lagi, baru Li Ti perlahan-lahan mengambil kotak
yang berisi Hui-to dari pinggang anak dara itu.
"Apakah ini?" ia bertanya lagi.
"He, jangan kau sembarangan menyentuh aku punya Huito,"
demikian Pang Lin menjawab lagi, tetap dengan lagu
suara anak kecil. "Ini adalah Toat-beng-sin-to pemberian
Ciong-lausu, pada ujung pisau ada racunnya!"
"Bukankah kau sering bermain Hui-to bersama Lian Kenghiau?"
"Ya, Lian-koko juga punya satu kotak Hui-to, kemarin ia
masih memberi petunjuk cara menggunakannya padaku!"
"Baik tidak Lian Keng-hiau terhadap kau?" "Baik, sangat baik!"
"Apa betul" ... Nah, sekarang kau sudah menjadi nona
yang berumur enambelas tahun, Hong-te hendak memaksa
kau menjadi selirnya, Lian Keng-hiau pun telah datang, apa
dia datang untuk menolong kau?"
Apa yang Li Ti sebut ini hanya kejadian dalam dua tahun
paling akhir ini, dengan sendirinya secara cepat teringat oleh
Pang Lin maka mendadak ia berpekik menangis.
"Lian Keng-hiau pun bukan orang baik-baik, ia malah
membantu kaisar memaksa dan menipu aku!" demikian ia
berteriak. Suaranya sekarang sudah berubah menjadi suara
anak gadis. "Cara bagaimanakah kau bisa kenal Hongte" Hongte adalah
Si-pwelek, tahukah kau?" kembali Li Ti bertanya lagi.
Lalu tertampak Pang Lin mengangguk-angguk.
"Kenapa Ciong-lausu membiarkan kau dihina Hongte?"
Karena pertanyaan ini, tiba-tiba Pang Lin terdiam, rupanya
ia lagi memeras otaknya, wajahnya kelihatan bingung.
"O, ya, pada satu hari, selagi kau berada bersama Cionglausu,
maka datanglah menerjang seseorang bukan?" dengan
perlahan Li Ti coba mengingatkan lagi dengan sinar mata yang
menatap tajam. Pemuda ini menduga tentu ada orang menggondol gadis ini
dari rumah keluarga Lian, maka sengaja ia gunakan ilmunya ia
untuk memancing lebih jauh. Dan betul juga, sekonyongkonyong
Pang Lin menangis lagi, tiba-tiba suaranya berganti
pula menjadi lagu suara anak kecil.
"Ah, aku takut, aku takut! Hiii, dua orang pakai baju kasar
itu, aneh sekali, menakutkan! Mereka telah memukul mati
Ciong-lausu, lalu aku dibawanya pergi!"
Mendengar jawaban ini, Li Ti tahu usahanya berhasil lagi,
segera ia melanjutkan, "Eh, tempat ini bagus sekali, mereka
bawa kau ke sana, kau sangat senang bukan?"
"Itulah istana pangeran. Ehm, mereka berdua itu tinggal di
sini juga," sahut Pang Lin.
"Siapakah mereka itu?"
"Sat-pepek! Orang lain menyebut mereka Siang-mo. Ehm,
aku tidak suka mereka. Mereka tidak suka sungguh-sungguh
padaku, Si-pwelek memaksa aku, mereka pun bantu dia
memaksa aku." Diam-diam Li Ti bergirang melihat kemajuan usahanya, ia
yakin Pang Lin sudah ingat semua kejadian masa silam. Maka
setelah berpikir sejenak, segera ia bertanya lagi.
Karena pertanyaan ini, air muka Pang Lin kelihatan
mengunjuk cahaya terang. "Li Ti-koko! Li Ti-koko!" demikian serunya.
Li Ti tertawa oleh sahutan ini, dengan perasaan hangat ia
membisiki telinga si gadis. "Lin-moay, coba buka matamu,
lihatlah siapa yang berada di hadapanmu ini?"
Terlihat Pang Lin membuka matanya dengan perlahan
seperti tersadar dari impian. Sementara itu hari sudah sore,
sinar matahari senja membikin pemandangan pegunungan
makin indah, tahu-tahu Pang Lin melihat orang yang dia
kenangkan berada di depannya.
"Apa aku bukan dalam mimpi?" katanya kemudian setelah
menenangkan diri. "Ya, kau sudah sadar dari impianmu!" sahut Li Ti. "Coba
sekarang kau ingat-ingat semua kejadian di masa kecilmu!"
Pang Ing menurut, ia kumpulkan semangat dan
mengenangkan apa-apa yang pernah terjadi hingga semua
terbayang kembali dalam benaknya, semua kejadian seperti
baru saja dialaminya. "Ya, sekarang aku sudah terang semuanya!" ujarnya
kemudian dengan terharu. "Kalau begitu kita kembali dulu ke kelenteng, Ibu dan Cici
tentu sedang menantikan kau dengan tak sabar," kata Li Ti.
Memang tidak salah mereka sedang dinantikan dengan tak
sabar, lebih-lebih Pang Ing, dilihatnya senja hampir silam dan
bunyi burung ramai-riuh kembali ke sarangnya, teringat
olehnya besok lo-hor akan sampai detik terakhir batas hidup
Teng Hiau-lan, tidak keruan rasa hancur hatinya. Ia gegetun
kenapa tak bisa segera berangkat dengan Li Ti.
Li Ti mengerti juga perasaan orang tentu sangat tidak
sabar, maka sekembalinya bersama Pang Lin, ia makan
sekadarnya terus pergi tidur, belum sampai tengah malam ia
sudah bangun untuk berangkat bersama Pang Ing. Sedang
Pang Lin ditingggalkan di kelenteng ini untuk membantu
ibunya merawat Engkong luarnya.
Dengan perasaan berat Khong Lian-he dan Pang Lin
mengantar kedua muda-mudi itu turun gunung, berulang kali
Khong Lian-he memberi pesan, "Jangan lupa, begitu Hiau-lan
sembuh, bawalah menemui aku!"
Pang Lin menjadi geli oleh pesan ibunya ini.
"Hal ini tentu saja tidak perlu kau pesan lagi, bu?" godanya
dengan tertawa. Pang Ing tersenyum juga, bersama Li Ti lantas berangkat,
di bawah sinar bulan remang-remang dan bintang yang
berkelap-kelip, mereka menggunakan Ginkang yang tinggi
melanjutkan perjalanan, sebelum terang tanah, mereka sudah
turun sampai di bawah Pat-tat-nia dan tiba sampai di benteng
Ki-yong-koan. Sampai di sini tiba-tiba Li Ti melambatkan langkahnya,
dengan teliti ia bertanya cara bagaimana Boat-wan Lojin
menentukan penyakit Teng Hiau-lan, maka oleh Pang Ing
lantas menceritakan pengalamannya, malahan ia sodorkan
sekalian resep yang diterimanya dari Boat-wan Lojin.
"Aneh," demikian Li Ti membatin setelah membaca resep
itu. "Sebagai obat pengantar digunakan daun waru dan
sepasang jangkrik, tentunya bertujuan membikin perasaan
orang itu bisa tenang dan tenteram. Beberapa macam obat
resep inipun adalah obat yang membikin tenang pikiran dan
bukan obat yang bisa menyembuhkan racun, entah apakah
sebabnya?" Begitulah Li Ti berpikir dengan memeras otak, karena itu
juga langkahnya makin lama semakin lambat, sebaliknya Pang
Ing jadi semakin gelisah dan tidak kepalang cemasnya, tetapi
ia tahu orang lagi berpikir, ia pun tidak enak buat mendesak.
" Dalam pada itu, sudah lama sekali Li Ti berpikir, tapi ia
masih belum memperoleh sesuatu, ketika kemudian ia
mendongak, ia lihat cahaya merah remang-remang sudah
kelihatan di ufuk timur di balik gunung sana.
"Sudahkah kau temukan?" tanya Pang Ing cepat begitu
nampak orang mendongak. "Hayo, lekaslah sedikit, kalau
tidak, mungkin waktu lohor kita belum bisa sampai di sana!"
Pada saat itu juga, di atas lereng gunung sana tiba-tiba ada
orang menyambung perkataannya, "Ha, Lin-kuijin, perlu apa
kau buru-buru" Hongsiang memang lagi menunggu kau!"
Habis itu terdengar pula suara seorang lain membentak.
"Ha, bocah, kau menculik Lin-kuijin dan berani pula melukai
Hud-ya, syukur meski jalannya regang, tetapi tidak sampai
bodol, maka sekarang kupergoki kau lagi! Nah, kemana kau
hendak lari kini, tidak lekas kau lolos senjata?"
Keruan Li Ti dan Pang Ing kaget, ketika mereka berpaling,
kiranya dua orang yang datang ini adalah Han Tiong-san dan
Hay-hun Hwesio. Malam itu sesudah Hay-hun Hwesio dilukai oleh Huncwe
Khong Liang dan kena digertak lari oleh suara Li Ti. Berkat
Lwe-kangnya yang sudah terlatih tinggi, sesudah merawat diri,
ternyata luka yang dideritanya tidak berbahaya, maka ia telah
kabur pulang buat minta bala-bantuan.
Kebetulan waktu itu Lian Keng-hiau lagi mengerahkan
pasukannya ke daerah Jinghay, ia mengirim Thian-yap Sanjin
dan Han Tiong-san berdua kembali ke kotaraja buat
melaporkan situasi militer di medan perang, ketika Kaisar
Yong Ceng mendapat kabar bahwa Pang Lin yang selalu
dikenang olehnya itu ditemukan jejaknya di Pat-tat-nia
bersama Li Ti yang pernah dia temukan di Ko-san dahulu,
segera ia memberi perintah penguberan, akan tetapi waktu itu
Emopu yang kena dilukai oleh pukulan Pang Ing sedang
merawat diri dan perlu dua belas jam lagi baru bisa pulih,
Yong Ceng lantas memerintahkan Han Tiong-san pergi
bersama Hay-hun Hwesio. Dahulu ketika di Ko-san, pernah Hay-hun Hwesio
merasakan pedang Li Ti, sakit hati ini sudah lama hendak ia
balas, kini didampingi Han Tiong-san, sudah tentu ia tidak
takut lagi, ia menduga kedua bocah di hadapannya ini terang
seperti 'ikan di dalam jala', maka lagaknya sangat jumawa dan
mengejek. Tak terduga, saat itu hati Pang Ing lagi gelisah, terburuburu
supaya bisa segera tiba di hadapan Teng Hiau-lan, ia
sedang keru-pukan seperti kebakaran jenggot, kini mendadak
ada orang hendak merintanginya, keruan tanpa bicara lagi,
sebelum Hay-hun Hwesio selesai berkata, secepat kilat Pang
Ing sudah melolos pedang, dengan sekali bentakan nyaring,
orang berikut senjatanya berwujud satu sinar kilat lantas
menyambar tenggorokan Hay-hun Hwesio
Di lain pihak Hay-hun Hwesio menyangka gadis ini sebagai
Pang Lin, maka ia tidak begitu memandang berat padanya. Di
luar dugaan, tipu tusukan Pang Ing ternyata sangat cepat lagi
jitu, ketika Hay-hun membaliki pedangnya buat menangkis,
sedikitpun ternyata tak bisa menyampuk pergi senjata orang,
keruan ia kaget, lekas ia mengegos, tapi sudah terlambat,
pundaknya kena tertusuk, saking sakitnya sampai Hay-hun
Hwesio berteriak. Di sebelah sana, Li Ti dan Han Tiong-san pun sudah
melolos senjata dan saling gebrak juga.
Hay-hun menjadi gugar, ia, merangsek orang dengan
hebat, tetapi Pang Ing lagi tak sabar hendak pulang buat
menolong kekasihnya, ia lebih kalap daripada lawannya, ia
pun menyerang mati-matian, serangan orang ia balas dengan
serangan juga, keras lawan keras, sedikitpun ia tidak mau
mengalah. Meski Lwekang Pang Ing sedikit di bawah Hay-hun Hwesio,
tetapi ia punya Kiam-hoat jauh lebih bagus, serangannya
membanjir tanpa berhenti, sinar peuangnya bergulung-gulung
seperti naga yang menari. Dalam dua hari ini beruntun Hayhun
Hwesio harus merasakan dua kali luka, meski tidak
membahayakan jiwanya, tapi dengan sendirinya banyak
berkurang tenaganya. Sebab itu, mula-mula ia masih bisa
balas menyerang tapi lambat-laun menjadi kewalahan dan
hanya mampu menangkis saja.
Di pihak sana Li Ti ternyata bukan tandingan Han Tiongsan.
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kepandaian Han Tiong-san boleh dibilang setingkat
dengan Liau-in, senjatanya 'Pi-hun-tuh', pacul yang berbentuk
garuk, berputar dan menyambar dengan lihai. Meski ilmu
pedang ciptaan Pek-hoat Mo-li yang dimainkan Li Ti tidak
kurang berbahayanya, akan tetapi ia pun mengeluh karena
sama sekali tak bisa mendekati lawan.
Sebaliknya kerena melihat Kiam-hoat orang yang aneh dan
hebat, Han Tiong-san tak berani memandang enteng pada Li
Ti, tapi ia lebih tua, dengan sendirinya lebih sabar, ketika
mengetahui dirinya pasti akan menang, ia pun tidak terburuburu
merangsek musuh, ia pikir asal pemuda ini sudah letih,
dengan sendirinya akan menyerah tanpa berkutik, kala itu
baru ia gunakan tipu serangan yang mematikan.
Tak tahunya, perhitungannya ternyata meleset karena di
sebelah sana Hay-hun Hwesio tak unggulan melawan Pang
Ing, dalam pertarungan sengit itu tiba-tiba Hay-hun kena
dilukai pedang Pang Ing lagi, sekali ini lukanya lebih berat,
karena dadanya tergores oleh ujung senjata hingga berupa
luka panjang. Karena itu, Hay-hun menjadi jeri, lekas ia berusaha
menggeser dan mendekati Han Tiong-san. Tentu saja Han
Tiong-san marah-marah melihat kawannya yang tak becus ini.
"Kau boleh pulang dulu!" segera ia membentak kawannya
ini. Habis itu, senjata garuknya berputar, sekaligus ia tandingi
Pang Ing bersama Li Ti berdua.
Kesempatan itu segera digunakan Hay-hun Hwesio dengan
baik, memangnya ia merasa kesakitan luar biasa, dengan
cepat segera ia angkat kaki alias kabur.
Keadaan pertempuran lantas berubah juga, dengan
perpaduan sepasang pedang Li Ti dan Pang Ing, mereka
menggempur dengan hebat, meski kepandaian Han Tiong-san
sangat tinggi, tetapi untuk melawan dua musuh tangguh,
melayani yang sini, yang sana me-rangsek maju, yang sana
digempur, yang sini lantas menyerang, berulang kali ia sendiri
malah hampir diselomoti, mau tak mau ia menjadi kuatir juga.
"Kau mau minggir tidak?" mendadak Pang Ing membentak.
Berbareng pedangnya menusuk dengan Thian-san-kiamhoat
yang hebat. Tetapi Han Tiong-san bisa mengegos dengan cepat ke
samping, lalu dengan tipu 'Hing-hun-toan-hong' atau mega
mengapung memotong pucuk gunung, senjata garuknya
menangkis terus memotong ke pinggang lawan, tak terduga Li
Ti sudah menyelonong tiba juga secara di luar perhitungan,
keruan hampir Han Tiong-san kena tertusuk, dalam keadaan
gugup ia coba menghindarkan diri dengan cepat, namun tidak
urung lengan bajunya terkupas sebagian oleh pedang Li Ti.
Menyusul Pang Ing dan Li Ti lantas menerjang maju
secepat kilat, sekuat tenaga Han Tiong-san menangkis sekali,
lalu dengan cepat pula ia melompat pergi, ketika mengayun
tangan, maka menyambarlah dua macam Am-gi berbentuk
aneh mengarah pada kedua muda-mudi itu.
Senjata rahasia ini bukan lain adalah Am-gi tunggal ciptaan
Han Tiong-san yang disebut 'Hwe-goan-kau', semacam kait
setengah bundar bentuknya dan bisa berputar pulang pergi
serta menikung cepat seperti terbang, senjata gelap ini luar
biasa lihainya. Li Ti pernah mendengar cerita le Lan-cu tentang senjata
rahasia ini, maka ia tak berani menggunakan pedangnya
untuk menangkis, ia andalkan kegesitannya untuk
menghindarkan diri dengan berbagai macam gerakan.
Di samping lain Pang Ing tercengang juga demi nampak
ilmu silat Han Tiong-san yang tinggi ditambah mempunyai
Am-gi yang lihai, diam-diam anak dara ini berpikir, "Dengan
kekuatan kami berdua memang dapat mengalahkan dia, tapi
akan banyak membuang waktu, lebih baik aku membikin dia
takut dan lari saja."
Setelah mengambil keputusan ini, ia menunggu ketika
'Hwe-goan-kau' mu.uih menyambar datang dari samping
dengan membawa suara mengaung, tiba-tiba Pang Ing
gunakan pedangnya untuk menyampuk, karena benturan ini,
kaitan itu mendadak menurun ke bawah tetapi segera pula
membal balik ke atas terus menyambar ke dada Pang Ing,
tampak anak dara ini tidak sempat menghindari diri lagi.
Melihat itu, Han Tiong-san berbalik menjadi kaget dan
berteriak, "Celaka!"
Kiranya ia hanya bertujuan akan melukai Pang Ing saja,
untuk kemudian menawannya hidup-hidup, siapa tahu tibatiba
Pang Ing menyampuk dengan pedangnya hingga dengan
tepat senjata rahasia kaitannya menyambar ke dada anak
dara ini dengan tepat. Hendaklah diketahui bahwa Pang Ing ini disangka oleh Han
Tiong-san sebagai Pang Lin, sedang Pang Lin bukan orang
yang dikehendaki Kaisar, karena terpaksa Han Tiong-san
menggunakan senjata rahasianya yang keji, ia pikir kalau
cuma melukai anak dara ini masih tidak jadi soal, tetapi kalau
sampai menewaskannya, inilah suatu dosa besar dan pasti
akan dihukum berat oleh Hongsiang.
Sementara senjata rahasianya menyambar dengan cepat,
tanpa ampun lagi segera terdengar suara "plak" yang keras,
kaitannya tepat mengenai dada Pang Ing, bahkan senjata ini
masih menyantel di atas baju anak dara ini dan
menggelantung di dada, kelihatan Pang Ing mengambil kaitan
ini dengan kedua jarinya, sikapnya ternyata wajar saja,
sedikitpun tidak tampak terluka.
"Hm, hanya Am-gi semacam ini bisa melukai aku?"
demikian ia menjengek dengan tertawa dingin.
Habis berkata, Hwe-goan-kau itu dibuang ke tanah dan
menggelinding ke bawah kaki Han Tiong-san.
Sudah tentu Han Tiong-san tidak tahu bahwa anak dara ini
memakai benda mestika 'Kim-si-nui-ka' atau kaos kutang
lemas dari benang emas pemberian Ciong Ban-tong dahulu,
kaos ini tidak mempan oleh senjata biasa, apalagi hanya Am-gi
yang digunakan Han Tiong-san"
Keruan tidak kepalang terkejut Han Tiong-san, belum
pernah ia saksikan orang kebal oleh serangan senjatanya.
Dalam pada itu Pang Ing dan Li Ti yang satu mengejek dan
yang lain mencaci-maki, segera mereka merangsek maju lagi
dengan pedang mereka. Han Tiong-san termasuk tokoh terkemuka dari sesuatu
cabang persilatan tersendiri, ia pikir dengan Am-gi saja tak
bisa melukai orang, sekalipun pertempuran ini diteruskan juga
sukar baginya untuk menang, jika sampai dirinya roboh di
bawah dua anak muda yang masih hijau ini, maka dirinya
akan kehilangan pamor. Karena pikiran inilah, segera dia pura-pura menangkis
sekali dan balas menyerang, lalu menarik diri terus angkat
langkah seribu. Melihat musuh telah kabur, diam-diam Pang Ing bersyukur
sambil mengesut keringat di jidatnya.
"Kita tak bisa melanjutkan perjalanan melalui jalan raya
lagi," demikian kata Li Ti pada Pang Ing demi nampak arah
larinya Han Tiong-san. "Sebaiknya kita mengambil jalan kecil
saja." "Jalan kecil lebih dekat atau lebih jauh?" tanya Pang Ing.
"Mungkin selisih tidak banyak, hanya sedikit lebih susah
ditempuh saja," sahut Li Ti. "Akan tetapi pasti akan jauh lebih
aman daripada nanti kepergok musuh lagi."
Pang Ing pikir memang tiada jalan lain, tanpa berkata lagi
segera ia mengikuti Li Ti.
Dengan Ginkang mereka, kalau sepanjang jalan tidak
terjadi apa-apa, sebenarnya setengah jam sebelum lohor
mereka bisa sampai di tempat tujuan tetapi justru kena
diganggu oleh Han Tiong-san tadi, kini sang surya sudah
tinggi di tengah langit, tentu saja Pang. Ing sangat gelisah, ia
tidak menghiraukan jalanan pegunungan yang berliku-liku dan
banyak aral-rintangnya, ia melompat dan melayang secepat
terbang berpacu dengan Li Ti. Sebenarnya Ginkang Li Ti sudah
mewarisi aliran Pek-hoat Mo-li dan jarang ada bandingannya
di kolong langit ini, tetapi karena Pang Ing berlari seperti
kesetanan, hampir saja ia tak bisa menyusul.
Setelah agak lama, matahari perlahan-lahan sudah
bergeser ke tengah cakrawala.
"Masih berapa jauh?" Pang Ing bertanya dengan tak sabar.
"Kira-kira empat puluh li," sahut Li Ti.
Mendengar masih cukup jauh, perasaan Pang Ing jadi
seperti dibakar, ia serrakin gopoh, padahal sang surya
kelihatan sudah lewat lohor, untuk menempuh 40 li sedikitnya
akan makan waktu setengah jam. Ia menjadi bingung dan
bimbang, pada pikirannya terbayang pemandangan Teng
Hiau-lan yang lagi bergulat dengan malaikat elmaut pada
sebelum ajalnya, hatinya menjadi seperti diiris-iris.
"Jika dia tidak melihat aku untuk penghabisan kalinya,
mungkin mati pun dia tak akan tenteram!" demikian terpikir
olehnya. Dalam keadaan begini ia sudah tak berani menaruh
harapan bisa menolong jiwa Teng Hiau-lan, yang dia harap
hanya supaya bisa melihat pemuda itu sekali lagi sebelum
menghembuskan napas yang terakhir.
Karena itulah Pang Ing semakin cepat larinya hingga
seperti segulungan bayangan putih yang melayang di antara
sawah ladang pegunungan. Melihat kawannya lari secara edan-edanan, Li Ti menjadi
kuatir, mau tak mau ia menyusul kencang di belakangnya,
sembari memberi petunjuk jalan pada Pang Ing, berbareng ia
mengumpulkan tenaga dalamnya untuk menguatkan diri,
perjalanan sejauh 40 li itu dalam sekejap saja sudah berlalu,
saat itu mereka sudah sampai di Se-san, pegunungan sebelah
barat kotaraja. Kelenteng kediaman Ling-sian dan juga
menjadi pondokan Teng Hiau-lan dari jauh sudah kelihatan.
Pada saat itu juga sekonyong-konyong Pang Ing berteriak,
waktu Li Ti mendongak, ia lihat matahari persis berada di atas
kepala mereka atau di tengah langit, menyusul terdengar pula
suara keras bergemuruh, suara ini adalah 'Ngo-bau' atau bunyi
meriam siang di Tiangleng (makam kaisar Beng Seng Co) yang
dibunyikan tiap hari pada waktu lohor tepat, suara meriam
berkumandang jauh sampai di Se-san.
"Sudah sampai, sudah sampai!" Li Ti berkata.
Akan tetapi muka Pang Ing sebaliknya pucat lesi, ia tidak
berkata, hanya semakin memperkencang langkahnya, dalam
hati ia berkata, "Apa gunanya biarpun sudah sampai! Toh
sudah terlambat!" Begitulah dengan hati berdebar dan jantung memukul
keras, sekejap saja mereka sudah sampai di depan kuil,
kebetulan mereka lihat Ling-sian Hwesio sedang memandang
jauh di depan kuil. "Bagaimana keadaan Teng-sioksiok?" inilah pertanyaan
Pang Ing yang pertama. "Dia ada di dalam," sahut Ling-sian dengan suara lemah,
pada matanya kelihatan mengembeng air.
Melihat air muka padri ini, segera Pang Ing mengerti
gelagat tidak menyenangkan, hatinya seketika dingin sebagian
dan keringat mengucur bagaikan hujan, tubuh pun gemetar
menggigil seperti kedinginan.
"Jangan kuatir, Ing-moay, napasnya masih belum putus,
masih bisa ditolong," demikian Li Ti coba menguatkan hati si
nona. Pang Ing tidak buka suara, hanya dengan cepat ia
membawa Li Ti masuk ke dalam, segera pula kelihatan Kam
Hong-ti memapaknya. "Sudah terlambat kedatanganmu, tak usahlah kau masuk!"
tiba-tiba Kam Hong-ti berkata pada Pang Ing.
Karena kata-kata orang yang mendadak ini, seketika Pang
Ing merasa seperti disambar geledek, hancur-luluh hatinya, ia
ingin menangis, tetapi tak bersuara, dengan sempoyongan ia
menerjang masuk ke dalam kamar dimana Teng Hiau-lan
rebah. Kuatir anak dara ini akan berduka, sebenarnya Kam Hong-ti
hendak mencegah, tapi demi nampak keadaan yang
mengharukan itu terpaksa ia hanya menarik napas panjang
dan memberi jalan pada Pang Ing.
Setelah menerobos masuk ke dalam kamar, Pang Ing lihat
di depan ranjang Teng Hiau-lan dirubung oleh Hi Kak, Pek
Thaykoan, Hi Yang, Loh Bin-ciam dan lain-lain, mereka sama
berdiam tanpa sepatah kata pun, demi nampak datangnya
Pang Ing, tanpa disuruh mereka lantas minggir memberi jalan
pada anak dara ini. "O, Teng-sioksiok, aku telah datang, dengarkah kau?"
teriak Pang Ing sambil menjerit, baru sekarang ia dapat
mengeluarkan suara tangis.
Mendadak Teng Hiau-lan sedikit membuka matanya di atas
pembaringannya, badannya sedikit bergerak seperti kejang,
tapi sama sekali tidak berkata.
Sementara itu Li Ti telah menyusul masuk, ia dengar
perkataan Pek Thay-koan yang diucapkan perlahan, "Kalian
datang terlambat, ia baru saja menghembuskan napasnya
yang penghabisan!" Pada saat begini mau tak mau Li Ti sangat terperanjat juga.
"Tidak mungkin, tidak mungkin!" teriaknya tidak percaya.
Berbareng ia lantas maju ke depan, ia lihat Pang Ing
menangis dengan sedih sekali, Hi Yang dan Li Beng-cu berdua
sedang menahan supaya anak dara ini tidak menubruk ke atas
tubuh Teng Hiau-lan. Lekas Li Ti pegang nadi Teng Hiau-lan, ia rasa denyutan
nadi orang memang sangat lemah sekali, waktu ia
mendengarkan pula dengan menempelkan kuping ke atas
dada Hiau-lan, ia merasa dada orang masih hangat dan
jantung pun masih berdenyut perlahan. Ketika ia
mendengarkan denyutan nadi secara lebih teliti, jalan nadi
orang sedikitpun ternyata tidak ada tanda-tanda menderita
sakit, hanya denyutnya sangat perlahan, napasnya pun
sedemikian lemahnya sampai hampir tidak terdengar, sungguh
semacam penyakit yang sukar dimengerti.
Sesaat itu, tiba-tiba Li Ti ingat pada cerita Pang Ing tentang
cara bagaimana Boat-wan Lojin menentukan penyakit orang,
pula teringat pada alasan menggunakan bahan obat daun
waru, jangkrik jantan-betina, obat penenteram pikiran dan
lainnya lagi, sekonyong-konyong Li Ti melonjak.
"Jangan kau menangis, lekas susut air matamu, jika kau
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menangis segera ia tak bisa tertolong lagi!" demikian
mendadak ia berseru pada Pang Ing.
"Apa ia masih bisa tertolong?" tanya Pang Ing cepat
dengan sangsi. Li Ti mengangguk, suatu tanda yakin bisa menyembuhkan
Golok Bulan Sabit 9 Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja Misteri Pulau Neraka 13
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama