Gento Guyon 30 Bukit Kematian Bagian 2
"Kau benar."
"Siapa kakek yang tubuhnya digelayuti ularular hitam itu?" tanya Ki Betot
Segala. "Kalau tidak salah dialah orangnya yang
bergelar Iblis Ular Sembilan. Tokoh sesat dari Telaga Setan. Kakek itu sangat
berbahaya. Dengan
ular-ularnya yang sangat berbisa dia bisa membunuh siapa saja!" jelas Ki Sumpit
Prakoso. Ki Betot Segala terdiam sambil usap-usap
wajahnya yang terasa dingin dilanda ketegangan.
*** Sementara itu Iblis Ular Sembilan dan Pasadewa nampaknya terpaksa berjuang keras
menyelamatkan diri dari serangan puluhan akar gantung yang meliuk-liuk menyerang
mereka. "Kita tidak mungkin bisa bertahan dengan
cara seperti ini. Lakukan sesuatu atau kita tinggalkan bukit ini?" teriak Iblis
Ular Sembilan. "Apa" Tinggalkan bukit ini" Tidak! Aku yakin benda yang kita cari ada di sekitar
sini." Sahut
Pasadewa. "Pasadewa... seperti yang kau lihat. Puncak
bukit kosong melompong. Tidak ada apapun terkecuali pohon celaka itu!"
"Sengkala Angin Darah adalah benda yang
sangat berharga. Mana mungkin diletakkan di
sembarang tempat. Sudahlah, jangan banyak
membantah. Kita hancurkan dulu pohon keparat
itu. Baru kemudian kita lakukan pencaharian. Di
puncak bukit ini pasti ada jalan rahasia."
Iblis Ular Sembilan merasa tidak punya pilihan lain terkecuali menuruti
keinginan Pasadewa. Karena itu si kakek lalu silangkan kedua tangannya. Setelah
itu kedua tangan secara berturutturut lalu dihantamkan ke arah puluhan akar
gantung yang menggapai-gapai menyerang mereka. Tiga larik sinar menderu. Tiga
larik sinar itu langsung memecah menjadi beberapa bagian setelah
berada di udara. Tak lama terjadi ledakan berturut-turut. Puncak bukit bergetar
hebat. Belasan akar-akar gantung sebesar lengan orang dewasa
putus bergugusan. Dari setiap ujungnya yang
hancur nampak mengucurkan cairan berwarna
merah seperti darah.
"Pohon itu mempunyai darah seperti kita!"
seru Pasadewa kaget.
Iblis Ular Sembilan terkesima. Tapi kemudian dia cepat berseru ketika melihat di
belakang Pasadewa salah satu akar yang cukup besar menjulur dan berubah memanjang seperti
lintah yang bergerak di dalam air.
"Pasadewa awas...!" teriak Iblis Ular Sembilan. Tak usah diperingatkan sekalipun
Pasadewa sesungguhnya sudah merasakan adanya sesuatu
yang menyambar dari arah belakangnya. Karena
itu tanpa menoleh dia meloloskan pedang yang
tergantung di pinggang. Setelah itu dia babatkan
pedangnya ke belakang.
Singg! Taas! Buuum! Baru saja akar gantung pohon Kematian
terbabat putus oleh ketajaman pedang di tangan
Pasadewa. Tiba-tiba saja dari bagian batang pohon
yang akarnya putus terdengar suara ledakan dahsyat luar biasa. Debu, bebatuan
dan pasir berpelantingan di udara membuat udara menjadi gelap
gulita. Pasadewa melompat mundur untuk menghindari segala sesuatu yang tidak
diinginkan terjadi.
"Aneh... sungguh sulit dipercaya. Bagaimana pohon itu bisa mengeluarkan ledakan
padahal aku cuma membabat salah satu akarnya yang
liar!" seru pemuda itu.
"Banyak hal aneh yang tidak bisa ku mengerti terjadi di sini. Berhati-hatilah.
Pasang matamu baik-baik!" Pesan Iblis Ular Sembilan.
Tidak berselang lama kemudian, debu dan
pasir merah yang memenuhi udara lenyap. Untuk
yang kesekian kalinya Pasadewa kembali dibuat
kaget. "Ketiga pohon itu bagaimana bisa raib?" serunya.
"Aneh" Pohon-pohon itu raib tidak meninggalkan bekas. Aku hanya melihat satu
lubang di bekas tempat pohon itu berdiri!" ujar Iblis Ular
Sembilan tidak kalah kagetnya.
Belum lagi rasa kaget mereka lenyap, pada
saat hampir bersamaan mendadak puncak bukit
berguncang keras seperti dilanda gempa. Kedua
orang ini saling berpandangan.
"Tempat ini seperti mau runtuh. Cepat kita
turun melalui tangga-tangga itu!" teriak Iblis Ular
Sembilan panik.
Semula Pasadewa merasa ragu mengikuti
saran yang dikatakan oleh kakek itu, tapi karena
guncangan pada bagian puncak bukit makin bertambah menghebat dan disertai tiupan
angin kencang yang menerbangkan batu-batu besar. Akhirnya sambil menggerutu
Pasadewa terpaksa mengikuti kakek itu. Mereka bergerak cepat ke arah
tangga batu yang terdapat di puncak sampai ke
bagian kaki bukit. Tapi begitu kaki mereka menginjakkan undakan tangga batu
tersebut. Secara
tak terduga kedua kaki mereka terjeblos. Tangga
batu yang mereka pijak amblas ke bawah. Secepat
yang dapat mereka lakukan keduanyapun berusaha melompat ke atas. Tapi tiba-tiba
saja mereka merasakan ada satu kekuatan yang menyedot dan
menarik tubuh mereka dari bagian dalam. Satu
kekuatan yang membuat sekujur tubuh mereka
seolah kehilangan kekuatan.
"Paman apa yang terjadi?" teriak Pasadewa
panik. Kedua tangan pemuda ini menggapai-gapai
mencoba mencari selamat. Tapi usahanya hanya
sia-sia. Tanah di sekitar undakan anak tangga
yang amblas selalu longsor.
"Bukit ini mungkin memiliki satu tempat
rahasia. Aku... akh...!" suara si kakek mendadak
terputus karena tubuh orang tua itu mendadak lenyap. Apa yang terjadi pada Iblis
Ular Sembilan ternyata terjadi pula pada Pasadewa. Kedua orang
itu lenyap terjeblos ke suatu tempat yang penuh
misteri. Anehnya begitu Iblis Ular Sembilan dan
Pasadewa lenyap. Tangga batu yang tadinya amblas begitu terinjak kaki mereka
kini muncul lagi.
Seakan pada anak tangga itu tidak pernah terjadi
apa-apa. Apa yang terjadi tentu saja tidak lepas dari
perhatian Ki Sumpit dan Ki Betot Segala. Mereka
tercengang melihat apa yang terjadi.
"Apa kataku. Sebelas tangga batu yang terdapat di kaki sampai ke puncak bukit
benar-benar tangga jebakan. Untung kita tadi tidak naik ke
puncak sini melalui tangga itu. Kalau tidak kita bisa mati konyol!" ujar Ki
Sumpit sambil mengusap
tengkuknya yang terasa dingin.
"Kau benar. Pantas saja bukit merah ini diberi nama Puncak Sebelas Tangga
Kematian. Tapi apa yang terjadi dengan mereka?" tanya Ki Betot
Segala. "Aku tidak tahu. Mungkin saja mereka sekarang menuju ke gerbang maut. Tapi yang
jelas ada satu rahasia di dalam bukit ini."
"Kau hendak mengatakan di dalam bukit
merah ini ada satu kehidupan?" tanya Ki Betot lagi
penuh rasa ingin tahu.
"Aku kira begitu. Seperti yang kukatakan
padamu, Puncak Sebelas Tangga Kematian ini
adalah daerah kekuasaan Iblis Matahari."
"Apakah orang yang kau sebutkan itu masih
hidup?" "Tentu saja. Orang yang sudah mati mana
punya kekuasaan apa-apa, tolol." Kata Ki Sumpit
sambil unjukkan wajah cemberut.
Mendapat jawaban seperti itu Ki Betot Segala jadi jelalatan memperhatikan
suasana di sekelilingnya.
"Gila kau. Mengapa tidak bilang sejak tadi?"
"Ada apa rupanya?"
"Kalau Iblis Matahari masih hidup. Berarti
sebenarnya kita tidak aman berada di tempat seperti ini. Puncak bukit ini agak
terbuka. Iblis Dalam Matahari pasti dengan bebas dapat melihat kita." Kata Ki
Betot Segala cemas.
"Lalu apakah kau punya pendapat lain?"
tanya Ki Sumpit.
"Sebaiknya kita cari tempat persembunyian
dulu. Nanti bila hari telah berubah menjadi gelap
baru kita mulai melakukan penyelidikan."
"Ah, mengapa terburu-buru. Apakah kau
lupa dengan tiga pohon yang menyerang mereka
tadi" Pohon-pohon itu tiba-tiba saja lenyap. Tiga
pohon besar melenyapkan diri. Apakah ini tidak
aneh menurutmu?"
"Sama anehnya, mengapa akar-akar pohon
itu bisa menyerang. Ketika Pasadewa menebaskan
pedangnya. Akar pohon mengucurkan darah. Ini
juga merupakan suatu keanehan. Mungkin pohon
ini ada yang mengendalikan." Ujar Ki Betot Segala
menanggapi. "Itulah yang patut kita selidiki."
"Sudah kukatakan, kita harus menunggu
sampai hari gelap. Kuharap kau tidak berlaku ceroboh jika tidak ingin mendapat
kesulitan seperti
Pasadewa dan Iblis Ular Sembilan." Tegas Ki Betot
Segala. Ki Sumpit merasa tidak punya pilihan lain,
karena apa yang dikatakan oleh sahabatnya memang benar adanya. Tak ada yang
dapat mereka lakukan. Menunggu sampai matahari terbenam
mereka terpaksa mendekam di balik batu.
6 Laki-laki berpakaian warna ungu gemerlapan seperti bangsawan itu memegangi
kepalanya yang masih terasa sakit. Sesekali dia memijit-mijit
kepalanya yang mual bukan main. Setelah itu dia
kembali menyandarkan tubuhnya ke batu yang
terdapat di belakangnya.
"Pangeran Sobali. Apakah kau telah siap
melakukan perjalanan kembali?" satu suara tibatiba memecah keheningan. Si lakilaki berpakaian
mewah yang ternyata memang Pangeran Sobali
adanya memperhatikan ke depan di mana suara
tadi terdengar.
Di depan sana entah sejak kapan berdiri tegak seorang laki-laki tua berpakaian
hitam. Wajah kakek itu lonjong, gigi-giginya hitam runcing sedangkan di keningnya terdapat
sebuah lubang menganga tembus hingga ke batok kepala belakang.
Sesaat lamanya orang tua itu memandang
ke arah Pangeran Sobali dengan tatapan dingin.
Setelah itu dia melangkah mendekati sang pangeran. Berhenti di depan Pangeran
Sobali sambil berkata. "Kau masih merasakan kepalamu sakit
mendenyut?"
"Memang. Tapi sebenarnya bukan itu yang
menjadi ganjalan di hatiku." Ujar Pangeran Sobali.
"Kalau bukan lalu apa?"
"Iblis Awan Hitam. Aku merasa berhutang
nyawa padamu karena kau telah menyelamatkan
aku dari tangan kejam Pengemis Nyawa. Yang
membuatku heran mengapa kau menolongku" Padahal sebelumnya diantara kita satu
sama lain tidak saling kenal." Ujar sang pangeran.
Kakek angker berkening bolong menyeringai
sinis, kemudian dongakkan kepala, lalu tertawa
tergelak-gelak.
Setelah puas mengumbar tawa kemudian si
kakek berkata. "Pangeran Sobali bukankah sebelumnya aku sudah mengatakan punya
suatu kepentingan denganmu?" ujar si kakek.
"Memang... tapi kau tidak mengatakan apa
kepentinganmu!" ujar Pangeran Sobali.
"Hak hak hak! Rupanya kau terlalu penasaran pangeran. Baiklah, aku akan katakan
padamu apa sebenarnya yang aku inginkan!" kata si kakek.
Orang tua itu menarik nafas, berjalan mondarmandir di depan Pangeran Sobali,
membuat sang pangeran jadi gelisah juga tidak sabar.
"Pangeran, kau adalah seorang calon raja di
Kediri. Sebagai seorang raja kau bakal mempunyai
sebuah kekuasaan."
"Lalu apa hubungannya dengan dirimu?"
tanya Pangeran Sobali merasa tidak mengerti.
Iblis Awan Hitam tersenyum.
"Disinilah letak persoalannya, pangeran.
Sebagai seorang calon raja kau harus punya kekuatan. Tapi kekuatan itu sejauh
ini belum pernah
kulihat. Sengkala Angin Darah adalah salah satu
kekuatan besar luar biasa. Dalam upayamu mencari benda sakti itu, kau telah
kehilangan semua
prajurit dan para pembantumu yang lain. Padahal
jika kau mau hal itu tidak perlu terjadi."
"Aku sungguh tidak mengerti apa maksud
dari semua ucapanmu!" kata laki-laki itu.
Sekali lagi Iblis Awan Hitam yang setiap melakukan perjalanan selalu menggunakan
awan panas itu tersenyum penuh arti.
"Pangeran bukankah kau ingin memiliki
Sengkala Angin Darah?"
"Memang benar." Sahut pemuda itu.
"Jika kau ingin memilikinya, aku tahu dimana benda itu berada!" ujar Iblis Awan
Hitam. "Menurut yang kudengar benda itu berada
di tangan Gentong Ketawa!"
Gento Guyon 30 Bukit Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ha ha ha. Orang bisa saja bicara begitu.
Tapi akulah yang paling tahu di tangan siapa benda itu berada!" ujar Iblis Awan
Hitam. "Jika engkau mengetahuinya, apakah kau
dapat mengambilkannya untukku?" tanya Pangeran Sobali.
"Ha ha ha. Mengapa tidak" Tapi tentu saja
ada syaratnya." Jawab si kakek sambil mengumbar tawa.
Mendengar jawaban kakek itu Pangeran Sobali langsung terdiam. Sungguh apa yang
baru dikatakan Iblis Awan Hitam cukup mengejutkan dirinya. Dasar pangeran nekad,
masih saja dia bertanya. "Iblis Awan Hitam katakan apa syaratsyaratmu?"
"Syaratku cukup mudah. Kau boleh mendapatkan benda sakti itu asal kau mau
menyerahkan tahta kerajaan kepadaku!" sahut kakek itu.
Bukan main kagetnya Pangeran Sobali
mendengar permintaan si kakek berkening bolong.
Seandainya saja Awan Hitam meminta imbalan dalam bentuk lain, bukan kerajaan,
tentu bagi Pangeran Sobali tidak sulit memberikannya. Tapi syarat yang diajukan
oleh si kakek begitu berat, bagi
pemuda itu apa artinya memiliki Sengkala Angin
Darah jika dia harus kehilangan tahta"
Karena itu dengan tegas dia berkata. "Iblis
Awan Hitam. Jika itu syarat yang kau ajukan. Bagiku sangat berat untuk
memenuhinya. Tahta Kediri adalah warisan keluargaku secara turun temurun.
Mustahil aku bisa menukarnya dengan benda
yang lain."
"Pikirkanlah sekali lagi, pangeran. Barangkali kau berubah fikiran!" ujar si
kakek. Pangeran Sobali menggeleng tegas.
"Aku tidak pernah berubah fikiran jika menyangkut persoalan yang satu itu!"
tegas si pemuda.
Iblis Awan Hitam tersenyum sinis.
"Artinya apa yang kulakukan kepadamu
hanya merupakan suatu pekerjaan yang sia-sia?"
tanya Iblis Awan Hitam disertai seringai mengejek.
"Apa maksudmu?" tanya sang pangeran
bingung. Kakek itu melangkah maju dua tindak. Sehingga jarak di antara mereka kini hanya
tinggal sejauh satu tombak lagi. Tak lama setelah memperhatikan Pangeran Sobali dengan tatapan dingin
dan angker, Iblis Awan Hitam berkata. "Pangeran...
ketahuilah, manusia sepertiku tidak pernah melakukan pekerjaan sia-sia. Selama
hidupku, orang seperti aku selalu mengharapkan sebuah imbalan
bila menolong orang."
"Jad... jadi...?"
"Ha ha ha. Tidak ada jalan selamat bagimu
Pangeran Sobali. Kau tidak mau menyerahkan tahta kerajaan sebagai imbalan bagimu
untuk mendapatkan Sengkala Angin Darah. Maka kini sebagai gantinya dengan sangat
terpaksa kau harus
menyerahkan nyawamu!" dengus si kakek.
Mendengar kata-kata yang diucapkan Iblis
Awan Hitam berubahlah air muka sang pangeran.
Dia tahu mustahil dapat mengalahkan kakek itu.
Jika Pengemis Nyawa saja dapat dipecundanginya,
apalagi dirinya. Tapi bagi Pangeran Sobali lebih
baik melakukan perlawanan sampai titik darah
yang terakhir daripada berdiam diri menerima nasib konyol. Karena itu diapun
bangkit berdiri.
Tak kalah dinginnya Pangeran Sobali berucap. "Mungkin kau bisa membunuhku, Awan
Hitam. Namun kau juga harus ingat. Sekali kau
membunuhku maka selamanya kau akan menjadi
buronan kerajaan. Kau tak bakal bisa hidup dengan tenang!"
"Ha ha ha! Apa kau mengira aku takut dengan orang kerajaan" Kau boleh
mengerahkan seluruh ahli silat istana. Tapi Iblis Awan Hitam tak
bakal lari!"
"Kakek jahanam ini ternyata tidak kena digertak. Aku cuma bisa menggantung harapan pada
senjata andalanku Cundrik Tujuh Petaka!" geram
sang pangeran. "Iblis keparat. Jika kau tidak takut pada kerajaan, apakah kau mengira aku takut
menghadapi dirimu?" dengus laki-laki itu.
"Ha ha ha. Akupun selalu berharap begitu.
Karena jika kau merasa takut padaku itupun percuma saja karena aku tetap akan
membunuhmu!"
Selesai berkata begitu Iblis Awan Hitam langsung
berkelebat ke arah Pangeran Sobali. Laki-laki itu
jadi terkejut karena mendadak saja sosok lawannya lenyap. Di lain saat dia
merasakan ada sambaran angin menghantam dari arah depan melabrak
bagian wajah. Cepat sekali sang pangeran menghindar. Tapi baru saja dia bergerak
lawan tahutahu telah menghantam dada dan perutnya dua
kali berturut-turut.
Hantaman yang sangat keras membuat
sang pangeran menjerit dan jatuh terpelanting.
Bagian dada dan perut yang terkena hantaman seperti remuk. Selain itu dari sudut
bibirnya meneteskan darah kental. Pangeran Sobali mengerang
secepatnya dia bangkit berdiri. Belum sempat lakilaki ini berdiri tegak kembali
serangan Iblis Awan
Hitam melabraknya. Kali ini sang pangeran yang
telah mengetahui kehebatan tenaga sakti yang dimiliki lawan tidak mau bersikap
ayal. Cepat tangan menyambar Cundrik Tujuh Petaka yang terselip di balik
pakaiannya. Begitu lawan telah berada
dalam jangkauannya Cundrik Tujuh Petaka dihantamkannya menyambuti serangan
lawan. Sinar hitam disertai menebarnya hawa dingin menggidikkan menderu. Iblis Awan Hitam yang
tidak pernah menyangka Pangeran Sobali memiliki senjata andalan sempat keluarkan seruan
kaget. Dia batalkan serangannya dan segera melompat ke samping. Tapi tidak urung
ujung senjata lawan menyambar dadanya. Si kakek terluka. Dari bagian
luka mengucurkan darah. Anehnya jika tadi sambaran angin senjata menimbulkan
hawa dingin luar biasa, maka sebaliknya luka akibat terkena
senjata itu terasa panas seperti terbakar. Setelah
memperhatikan baju yang robek serta luka yang
terdapat di balik robekan baju. Iblis Awan Hitam
mendengus. Dia meludahi luka itu. Luka yang terkena semburan ludah mengepulkan
asap tipis seperti mendidih. Namun hanya beberapa saat saja
luka itu lenyap tidak meninggalkan bekas. Pangeran Sobali tercengang dengan
mulut ternganga.
Senjata di tangannya bukan senjata sembarangan.
Senjata itu mengandung tuah di samping mengandung racun ganas. Biasanya orang
yang terkena senjata itu, jangankan terluka seperti yang dialami
si kakek. Sedangkan tergores sedikit saja jiwanya
pasti tidak akan ketolongan. Tapi lawan yang satu
ini aneh, jangankan ambruk seperti yang diharapkannya. Malah luka sambaran
senjata dapat disembuhkannya dengan hanya meludahinya saja.
Sungguh ini suatu kenyataan yang sulit dipercaya.
"Pangeran tolol. Kau mengira dengan senjatamu itu dapat mengalahkan aku" Ha ha
ha. Kau akan segera tahu aku bukanlah manusia sembarangan. Sekarang bersiap-siaplah kau
untuk ma- ti!" teriak si kakek. Habis berkata begitu Iblis Awan
Hitam silangkan kedua tangannya di depan dada.
Dia lalu mengalirkan tenaga dalam dari bagian perut ke bagian kepala.
Tak berselang lama dari sekujur tubuh si
kakek yang bergetar hebat nampak mengepulkan
asap tipis. Dari bagian keningnya yang berlubang
besar tembus sampai ke batok kepala di bagian belakang juga mengepulkan asap.
Kening yang berlubang itu kemudian berubah memerah laksana
bara api. Setelah itu secara tak terduga dari bagian
lubang di kening menderu hawa panas luar biasa.
Hawa panas laksana muntahan lahar gunung itu
selanjutnya bergulung-gulung menghantam Pangeran Sobali.
Sang Pangeran terkejut. Tapi begitu merasakan ada hawa panas menyambar tubuhnya
dia langsung memutar senjata andalannya yaitu Cundrik Tujuh Petaka. Senjata yang
bentuknya mirip
keris namun mempunyai gagang terbuat dari tembaga itu mengeluarkan suara
mendengung mengiriskan.
Bumm! Buum! Dua ledakan keras mengguncang tempat itu
ketika senjata sang pangeran berbenturan dengan
serangan Iblis Awan Hitam. Akibatnya sungguh
luar biasa. Pangeran Sobali menjerit dan terpaksa
lepaskan cekalannya pada hulu senjata. Ketika
Pangeran Sobali melirik ke arah senjatanya yang
sebagian menancap di tanah diapun berseru kaget.
Senjata itu kini telah berubah menjadi bara sampai ke bagian hulunya.
Apabila pangeran memandang ke telapak
tangannya sendiri. Maka telapak tangan itu melepuh hangus mengepulkan asap
menebar bau daging terbakar.
"Jahanam! Kakek keparat itu tidak bisa dibuat main." Rutuk Pangeran Sobali dalam
hati. Belum lagi hilang rasa heran sang pangeran melihat
semua kenyataan ini. Tiba-tiba saja Iblis Awan Hitam berteriak keras. Kembali ia
melepaskan gelombang hawa panas yang bersumber dari lubang
yang terdapat di keningnya.
Wuus! Wuuus! Merasakan ada sambaran hawa panas
kembali menyambar tubuhnya, sang pangeran tidak punya pilihan lain terkecuali
menghindar. Buum! Buuum! Serangan yang dilancarkan Awan Hitam
hanya mengenai tempat kosong. Menimbulkan suara ledakan berdentum memekakkan
telinga. Selamat dari serangan pertama, Pangeran
Sobali cepat berdiri. Tapi baru saja bangsawan kerajaan ini berdiri tegak. Tiga
gelombang hawa panas yang melesat bersama deru angin yang sangat
cepat luar biasa menghantam dirinya.
Tak sempat menghindar, Pangeran Sobali
jatuh terpelanting terkena sambaran hawa panas
yang dilepaskan lawannya.
Laki-laki itu meraung setinggi langit. Pakaian dan tubuhnya hangus gosong.
Pangeran Sobali tewas seketika begitu terkena gelombang hawa
panas yang keluar dari kening Iblis Awan Hitam.
Si kakek tersenyum dingin. "Engkau mengira tahta kerajaan bisa diukur dengan nyawa. Jika
hidup tidak pandai memilih. Beginilah akibatnya.
Ha ha ha." Kata si kakek sambil tertawa.
Orang tua ini kemudian dongakkan kepalanya ke langit. Daun telinganya bergerakgerak. Rupanya pendengarannya menangkap sesuatu.
Dia yang tadinya siap meninggalkan tempat itu
untuk menjambangi sahabatnya di Puncak Sebelas
Tangga Kematian kini urungkan niatnya. Tak terduga si kakek balikkan badan. Mata
memandang ke arah mana suara mencurigakan tadi terdengar.
Kemudian dia berseru. "Orang yang bersembunyi
di balik semak belukar. Harap sudi memperlihatkan diri!" teriak si kakek.
Suara Iblis Awan Hitam lenyap. Sunyi! Tidak ada jawaban apa-apa. Kakek angker
berkening bolong adalah manusia yang paling tidak suka
menunggu segala sesuatunya lebih lama. Karena
itu sekali lagi dia berteriak. "Para pengintai tengik.
Harap tunjukkan diri jika tidak ingin celaka di
tanganku!"
Dari balik semak belukar salah satu pengintai mencium ketiaknya sendiri kiri
kanan. Setelah terdengar suara. "Ternyata bukan aku yang dimaksudkannya karena badanku sampai
ke bagian ketiak ternyata tidak tengik! Tapi untuk tidak mau
dianggap sebagai seorang pengecut aku akan keluar." Berkata begitu satu bayangan
melesat keluar dari tempat persembunyiannya. Di lain waktu
di depan Iblis Awan Hitam berdiri tegak seorang
pemuda gondrong bercelana biru bertelanjang dada.
Yang membuat kakek itu agak kaget, dia
merasa seperti pernah melihat si gondrong ini. Iblis
Awan Hitampun berusaha keras untuk mengingatingat. Ketika ia teringat akan
sesuatu, Iblis Awan
Hitampun manggut-manggut. "Beberapa hari yang
lalu ketika aku melintas di satu daerah tidak jauh
dari Kediri. Aku menyerang pemuda ini dengan sinar panas. Tubuhnya terlempar.
Ternyata dia tidak
mati. Mengapa tidak kulihat orang gendut yang
bersamanya saat itu?" batin si kakek.
"Kakek tengik. Aku telah keluar memenuhi
permintaanmu. Aku juga telah melihat korban hasil kejahatanmu. Seorang pangeran
tolol yang menginginkan sebuah benda sakti." Kata si gondrong yang bukan lain adalah
Pendekar Sakti 71
Gento Guyon. Iblis Awan Hitam mendengus sinis.
Dia melangkah maju dengan sikap mengancam. "Kau tidak datang sendiri bocah
gondrong. Jika kawan-kawanmu tidak mau keluar, aku terpaksa menghancurkan mereka!" ancam
si kakek. "Tunggu!" terdengar satu seruan. Lalu dari
balik semak belukar berturut-turut berkelebat keluar bayangan biru dan kuning.
Tidak begitu lama di samping Gento berdiri
tegak seorang kakek berdaster biru dan seorang
gadis berkepala botak.
Iblis Awan Hitam menatap ke arah si kakek
dan si gadis untuk beberapa saat lamanya. Setelah
itu dia ajukan pertanyaan. "Kalian berdua siapa?"
Kakek berdaster biru yang bukan lain adalah Ki Comot Jalulata dengan cepat
menjawab. "Aku dan gadis ini sahabatnya pemuda gondrong
itu. Namaku Ki Comot Jalulata, sedangkan gadis
yang botak itu bernama Taktu!"
"Gadis berkepala botak itu boleh jadi aku tidak pernah mengenalnya. Tapi orang
seperti dirimu kurasa penglihatanku tidak bisa ditipu. Bukankah kau orangnya
yang bergelar Raja Penyihir
Goa Es?" tanya Iblis Awan Hitam.
Mendengar ucapan kakek berkening bolong
itu tentu saja Ki Comot Jalulata sempat dibuat
terkejut. Biarpun begitu dengan tenang dia berkata. "Tak pernah kumenyangka
ternyata namaku
dikenal di delapan penjuru persilatan. Kakek jelek.
Apa yang terjadi dengan pangeran itu kami bertiga
sudah sama mendengar. Sekarang kami ingin bertanya apakah kau benar-benar tahu
Gento Guyon 30 Bukit Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di tangan siapa benda sakti itu berada?" tanya Ki Comot Jalulata.
"Kek, kau terlalu nekad!" desis Gento yang
sempat merasa terkejut mendengar ucapan Ki
Comot. Tapi orang tua itu bersikap tenang saja.
Malah dia sengaja mengedipkan matanya sebagai
isyarat agar sang pendekar tidak usah merisaukannya.
Lain lagi halnya dengan Iblis Awan Hitam.
Pertanyaan Ki Comot Jalulata sempat membuat si
kakek menjadi gusar sekali. Dengan mata mendelik dia berkata. "Perlu apa kau
bertanya tentang
segala benda sakti itu?"
"Iblis Awan Hitam. Benda sakti Sengkala
Angin Darah kurasa tidak akan menimbulkan malapetaka bila berada di tanganku."
Ujar Ki Comot. Iblis Awan Hitam sunggingkan seringai sinis. "Mulutmu terlalu manis orang tua
berpakaian seperti orang gila. Padahal hal yang sesungguhnya
kau ingin mengangkangi benda itu bukan" Ha ha
ha! Sungguhpun aku tahu di tangan siapa benda
sakti itu berada, mustahil kuberitahukan padamu." Dengus kakek berkening bolong
sinis. "Jangan salah sangka. Aku sama sekali tidak kemaruk dengan segala macam benda
sakti. Kalaupun aku meminta benda itu atau menanyakan keberadaan benda itu kepadamu.
Sematamata karena aku tidak ingin melihat lebih banyak
korban lagi yang berjatuhan!" ujar si kakek.
"Kakek sinting gila. Pertanyaanmu itu
hanya bakal menambah jumlah korban. Aku akan
mengirim arwahmu dan arwah kedua kawanmu ke
neraka." Kata Iblis Awan Hitam.
Gento yang sejak tadi mendengarkan sambil
memperhatikan Iblis Awan Hitam kini melangkah
maju. Setelah itu dia berkata. "Kakek berkening
bolong. Boleh jadi mungkin kau wakil malaikat,
biarpun cuma malaikat kesasar. Tapi sebelum kau
mengambil nyawa kami, apakah aku boleh ajukan
pertanyaan kepadamu?"
"Apa pertanyaanmu?" dengus Iblis Awan Hitam sengit.
Masih disertai dengan senyum Gento membuka mulut. "Kalau tidak salah beberapa
hari yang lalu ketika aku sedang istirahat bersama guruku
gendut juga sahabatku Anggagini. Kau melewati
kami. Kau lewat, melintas persis di atas kami bersama awan hitam yang sangat
panas luar biasa.
Kau menjahili aku. Membuat diriku terlempar jauh
dan terpisah dengan guruku. Apakah yang kukatakan ini benar?"
"Ha ha ha! Tidak keliru. Memang akulah
orangnya yang membuat istirahat kalian jadi tidak
nyaman. Sekarang kita bertemu lagi. Pertemuan
yang tidak sengaja dan membuat kita tidak bakal
bertemu lagi selamanya!"
"Mengapa begitu" Apakah kau muak melihat tampang gadis temanku yang berkepala
botak ini" Atau bosan melihat tampang sahabatku kakek
berdaster biru?" tanya Gento.
"Ha ha ha. Aku bukan saja muak, tapi benci
melihat tampang kalian semua! Karena itu kalian
bertiga harus kusingkirkan!" dengus Iblis Awan Hitam sinis.
"Itu berarti kau hendak memberangkatkan
kami bertiga ke akherat. Aku tentu saja tidak keberatan. Tapi sebelum kami
berangkat, apakah
kau tidak suka memberi tahu kami dimana Sengkala Angin Darah sesungguhnya, saat
ini berada?"
tanya Gento. "Hem, kalian orang yang mau mati. Kurasa
tidak ada salahnya jika kuberitahu bahwa Sengkala Angin Darah saat ini
kemungkinan besar berada
di satu tempat bernama Puncak Sebelas Tangga
Kematian!"
Jawaban Iblis Awan Hitam membuat Ki
Comot Jalulata terkejut. Hingga tanpa sadar dia
berseru. "Puncak Sebelas Tangga Kematian. Bukit
batu merah dimana manusia jahanam bergelar Iblis Dalam Matahari berdiam. Tidak
bakal ada orang yang sanggup mencapai tempat itu. Kalau
pun bisa dia pasti bakal menemui ajal di tangan
Iblis Dalam Matahari. Hemm... Awan Hitam. Apakah segala penjelasanmu itu dapat
dipercaya?"
tanya Ki Comot sambil memandang pada Iblis
Awan Hitam dengan tatapan penuh selidik.
Iblis Awan Hitam tertawa tergelak-gelak. Setelah itu dengan sinis dia berkata.
"Aku tidak percaya ucapan setiap orang. Lalu apa perlunya aku
meminta padamu agar mempercayai ucapanku"
Ha ha ha!"
"Apakah ini berarti kau telah bosan hidup,
Iblis Awan Hitam" Atau kau tidak takut kehilangan barang-barang milikmu?" tanya
Ki Comot dingin. Walaupun Iblis Awan Hitam sempat tercekat
mendengar ucapan Ki Comot. Tapi kakek itu sama
sekali tidak menunjukkan rasa kagetnya. Dengan
bertolak pinggang dia bahkan berkata. "Sungguhpun kau seorang penyihir. Kau tak
bakal sanggup menghadapi aku seorang diri. Karena itu kusarankan kalian bertiga hendaknya maju
sekaligus!"
"Sombong sekali bicaramu, membuat aku
muak dan ingin menjajal sampai dimana kehebatan yang kau miliki!" berkata begitu
dengan satu gerakan yang sangat luar biasa cepatnya Taktu
alias Botak Ke Satu langsung melakukan satu gebrakan dengan melepaskan satu
pukulan dan dua
tendangan beruntun. Melihat ini Gento yang sudah
mengetahui kehebatan yang dimiliki si kakek segera berseru.
"Taktu dia bukan tandinganmu!"
Teriakan itu sama sekali tidak didengar oleh
Taktu. Iblis Awan Hitam tersenyum sinis. Dengan
menggunakan lengan jubahnya, dia menghalau serangan Taktu. Sekali tangannya
dilambaikan. Dari
balik lengan jubah berderu segulung angin berhawa panas luar biasa melabrak
Taktu. Taktu melipat gandakan tenaga dalam yang
dia miliki. Dia terus merangsak ke depan. Sedangkan kaki tangannya menghantam
bagian perut orang tua itu. Buuk! Buuum! Tendangan yang dilancarkan gadis itu
hanya membuat Iblis Awan Hitam terhuyung beberapa tindak. Tapi sambaran ujung
lengan jubah membuat gadis itu tersapu mental, terpelanting
beberapa tombak lalu jatuh bergedebukan seperti
ilalang disapu badai.
Taktu mencoba bangkit berdiri. Tapi pandangannya jadi berkunang-kunang.
Sedangkan Gento sendiri begitu melihat kawannya jatuh dia
segera menerjang ke depan. Serangkaian serangan
dengan menggunakan jurus Congcorang dan Belalang Mabuk dilancarkannya.
Iblis Awan Hitam terkejut bukan main melihat serangan ganas yang datangnya tidak
dapat diduga ini. Diapun melompat mundur. Dengan
menggunakan kecepatan gerak yang sangat luar
biasa kakek ini mencoba menangkis serangan sang
pendekar. Tapi lagi-lagi dia dibuat kaget karena setiap tangkisan maupun
serangan balasan yang dilakukannya selalu mengenai tempat kosong.
Malah dua kali tendangan yang dilancarkan
pemuda itu mengenai perut dan dagunya.
Sambil mengusap perut dan dagunya Iblis
Awan Hitam secara tak terduga melesat ke udara.
Selagi tubuhnya mengambang dalam ketinggian
dia meluncur deras ke bawah. Kemudian laksana
kilat tubuhnya berputar, sedangkan kaki melesat
dan menendang sang pendekar. Tendangan yang
sangat keras dan terarah di bagian dada dapat dielakkan oleh Gento. Tapi
tendangan susulan yang
mengarah ke bagian dagu pemuda ini jelas sangat
sulit untuk dihindari.
Plaak! Tendangan itu membuat Gento jatuh berputar lalu jatuh bergedebukan tak jauh dari
mayat Pangeran Sobali. Iblis Awan Hitam tertawa membahak. Namun tawa si kakek mendadak
lenyap begitu melihat sesuatu yang sulit dipercaya terjadi
di depannya. Tak percaya melihat apa yang terjadi di depannya Iblis Awan Hitam mengusap kedua
matanya berulang-ulang. Tapi sosok Ki Comot Jalulata yang kini telah berubah
menjadi dirinya tidak
juga lenyap. "Jahanam tengik. Kakek keparat itu kini
benar-benar telah menggunakan ilmu sihirnya!"
batin kakek itu. Laksana kilat Iblis Awan Hitam
hantamkan tangan kanannya ke dada Ki Comot.
Melihat kakek ini menghantam ke arah dada, tak
mau ketinggalan Ki Comot Jalulata sambil tertawa
tergelak-gelak juga melepaskan pukulan yang
mengarah ke bagian dada.
Iblis Awan Hitam tentu tidak mau bentrok
pukulan dengan lawan. Karena itu dia menarik balik pukulannya, kemudian sebagai
gantinya dia lepaskan tendangan ke bagian perut lawan.
Ki Comot Jalulata ternyata bukan manusia
bodoh. Begitu melihat lawan menghantam di bagian perut. Ki Comot terus julurkan
tangannya. Tangan si kakek mendadak sontak merubah memanjang. Tangan kiri bergerak
menjambret ke bagian selangkangan sedangkan tangan kanan menangkis serangan
lawan yang mengarah ke bagian
perut. "Aih... keparat!" maki Iblis Awan Hitam
sambil menarik balik tendangan yang dilepaskannya, lalu melompat mundur lindungi
selangkangannya. Tangkisan maupun tendangan yang dilakukan Ki Comot Jalulata
tidak mengenai sasaran
seperti yang dia harapkan. Malah kini sambil mengerung marah Iblis Awan Hitam
melesat ke udara.
Dalam kecepatan gerak yang sangat luar biasa kakek itu meluruk deras ke arah Ki
Comot. Orang tua ini terkesiap, dia melompat mundur, tapi gerakannya itu kalah cepat dengan
gerakan lawan. Desss! Tak dapat dihindari lagi satu tendangan keras luar biasa menghantam bahu Ki
Comot. Membuat tubuh orang tua ini jatuh terpelintir. Begitu
jatuh sosoknya yang tadi berubah menjadi Iblis
Awan Hitam kini kembali dalam ujud yang sebenarnya yaitu sosok dirinya sendiri.
"Ki Comot!" seru Gento yang membantu.
"Apa gunanya kau merubah dirimu menjadi dia.
Orang jelek seperti Iblis Awan Hitam tidak perlu
kau tiru. Masih lebih cakep lagi kau menjadi dirimu sendiri. Kau tidak usah
cemas. Aku akan
membantu dirimu!"
"Jangan! Tak usah kau bantu!" sergah Ki
Comot Jalulata yang sudah bangkit lagi dengan
tubuh termiring-miring. "Jangan kau berani mencampuri urusan ini. Aku ingin
tahu, aku ingin
menjajal kehebatan Iblis Awan Hitam. Dia boleh
saja memiliki kepandaian tinggi. Mungkin saja dia
bisa membunuhku. Tapi aku bersumpah akan
mencopoti perabotan yang dia miliki dengan kekuatan ilmu sihirku!" ujar si
kakek. Mendengar ucapan Ki Comot terkejutlah Iblis Awan Hitam dibuatnya. Jika lawan
benar-benar membuktikan ancamannya. Alamat celakalah dirinya. Dia tentu pernah mendengar
keisengan Ki Comot selama ini. Konon Ki Comot mempunyai kegemaran mencopoti perabotan milik
lawannya. Iblis Awan Hitam tidak mau hal itu terjadi pada dirinya. Karena itu si
kakek tidak mau bersikap ayal.
Dia pun akhirnya menggunakan ilmu andalan
yang dia miliki. Yaitu selubung awan hitam yang
memancarkan hawa panas luar biasa.
"Iblis Awan Hitam. Serahkan semua barang
yang kau miliki. Atau kau mungkin berubah fikiran mau mengantar kami ke Puncak
Sebelas Tangga Kematian!" teriak Ki Comot Jalulata.
"Aku lebih suka mengantarmu ke neraka!"
dengus Iblis Awan Hitam menyahuti. Sementara
itu Gento dan Taktu terus mengawasi tidak jauh
dari tempat terjadinya perkelahian.
Ki Comot Jalulata tertawa mengekeh mendengar jawaban lawan. Tidak mau menunggu lebih
lama. Sambil katubkan mulutnya si kakek kepalkan kedua tangannya. Tangan itu
kemudian diputar sebat hingga mengepulkan kabut tipis berwarna putih seperti uap
es. Tetapi lawannya sendiri pada saat yang sama sudah berputar sebat laksana
titiran. Begitu
sosok si kakek berputar seperti gasing, terdengarlah suara menderu disertai hawa
panas luar biasa.
Hawa panas dan hembusan angin kencang
yang keluar dari sekujur tubuh Iblis Awan Hitam
membuat Ki Comot Jalulata nyaris terpelanting.
Tubuhnya bahkan seperti mau dipanggang. Tapi
kemudian Ki Comot Jalulata acungkan kedua tangannya ke arah Iblis Awan Hitam
yang pada saat itu telah melesat di udara dan menghujani dirinya
dengan serangan angin apinya yang membakar.
"Celaka! Ilmu serangan yang dipergunakan
kakek itu beberapa waktu yang lalu hampir saja
membuat diriku celaka. Jika Ki Comot tidak bertindak cepat. Dia sendiri bisa
celaka!" ujar Gento.
"Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya
Taktu yang juga merasa cemas melihat Ki Comot
mendapat hujan serangan hawa panas bertubitubi.
"Kau tunggulah di sini. Kalau Ki Comot benar-benar tidak sanggup menghadapi
Iblis Awan Hitam. Aku akan segera mengambil tindakan!" kata Gento.
Sementara itu serangan-serangan gencar
yang dilancarkan Iblis Awan Hitam nampaknya
Gento Guyon 30 Bukit Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
benar-benar membuat Ki Comot benar-benar terdesak. Orang tua ini begitu mendapat serangan
bertubi-tubi tentu saja tidak dapat mempergunakan ilmu sihirnya karena penerapan
ilmu sihir membutuhkan konsentrasi penuh. Malah dalam
gebrakan selanjutnya bagian bahu Ki Comot kena
dihantam serangan berhawa panas yang dilancarkan lawan. Pakaian dan kulit kakek
ini terbakar. Setelah bersusah payah memadamkan api
yang membakar bahunya. Sambil menggeram penuh kemarahan dia jejakkan kakinya di
atas tanah. Setelah itu laksana kilat si kakek melesat di
udara. Iblis Awan Hitam tercengang melihat apa
yang dilakukan lawan. Sungguhpun si kakek masih sempat semburkan api dari lubang
yang menganga di bagian kening.
Wuus! Wuus! Serangan api yang disemburkan Iblis Awan
Hitam masih dapat dihindari oleh Ki Comot Jalulata. Tapi begitu dia lolos dari
serangan api lawan
secara tak terduga salah satu tangan si kakek tibatiba terjulur dan menghantam
dada kiri Ki Comot.
Kakek itu sempat terpental, tapi hantaman itu tidak membuatnya jatuh
terpelanting. Malah kini
dengan sikap seolah tidak menghiraukan rasa sakit yang mendera dadanya, Ki Comot
Jalulata lentingkan tubuhnya lebih tinggi ke udara. Sedangkan jari telunjuk
tangan kanan meluncur ke lubang di kening depan, sedangkan telunjuk kiri melesat
ke bagian belakang kepala Iblis Awan Hitam.
Melihat lawan siap menyumbat lubang di
kening dan bagian belakang kepalanya, Iblis Awan
Hitam jadi terkesiap. "Jahanam... bagaimana dia
bisa mengetahui bagian titik kelemahanku!" batin
Iblis Awan Hitam kaget.
Dia miringkan kepalanya. Tapi gerakan
yang dilakukannya ini kalah cepat dengan kedua
jemari tangan Ki Comot Jalulata.
Bleb! Cep! "Uarkh...!"
Iblis Awan Hitam menjerit keras begitu lubang yang terdapat di kening dan
belakang kepalanya disumbat orang. Kakek inipun merontaronta. Kepalanya laksana
mau meledak. "Lepaskan...!" teriak si kakek. Dua tangannya menghantam dada dan perut Ki
Comot. Wuuut! Hantaman pertama dapat dihindari oleh
orang tua itu. Tapi hantaman kedua dengan telak
mendera bagian perut.
Buuuk! "Huak!" tak pelak lagi si kakek jatuh terpelanting. Kedua jemari telunjuk yang
menancap di dalam lubang terlepas. Ki Comot Jalulata jatuh
terduduk. Sedangkan Iblis Awan Hitam yang merasa kehilangan udara yang mengalir
ke bagian otak nampak terhuyung-huyung. Selagi tubuhnya
belum sampai terjatuh. Si kakek yang sangat
menderita akibat lubang di kepalanya disumbat
orang langsung berbalik. Lalu berkelebat tinggalkan tempat itu. Melihat ini
Gento Guyon tentu saja
tidak mau membiarkan lawan lolos begitu saja. Diapun melepaskan satu pukulan
jarak jauh ke arah
Iblis Awan Hitam.
Wuut! Buum! Percuma saja pukulan itu dilepaskannya
karena lawan hanya dalam waktu sekejap saja telah lenyap dari pandangan mata.
"Tak usah dikejar!" seru Ki Comot Jalulata
ketika melihat Taktu bermaksud melakukan pengejaran.
"Tapi dia bisa menjadi batu penghalang di
kemudian hari!" ujar Taktu.
Si kakek gelengkan kepala.
Sambil mengatur jalan nafasnya yang agak
memburu dia berkata. "Jika apa yang dikatakannya tentang benda itu memang benar
adanya. Bagaimanapun dia pasti akan pergi ke Puncak Sebelas Tangga Kematian.
Kita bisa menyusulnya ke
sana!" ujar Ki Comot Jalulata.
"Apakah kau tahu dimana letak tempat itu
Ki?" tanya Gento.
"Ha ha ha. Tempat itu tidak jauh dari Kertosuro. Dari tempat ini untuk mencapai
Puncak Sebelas Tangga Kematian membutuhkan waktu dua
hari perjalanan!"
"Cukup jauh juga. Mudah-mudahan kita bisa mendapatkan kuda dalam perjalanan
nanti. Tapi Ki, bagaimana kau bisa mengetahui kelemahan
Iblis Awan Hitam?" tanya sang pendekar lagi.
Si kakek tersenyum. Dengan tenang dia
menjawab. "Untuk mengetahui kelemahan ilmu
simpanan seseorang memang tidak mudah. Apa
yang kulihat kening Iblis Awan Hitam merupakan
sumber pembangkit kekuatannya. Semula aku
menjadi heran mengapa kepala kakek itu berlubang di bagian belakang dan juga depan. Kemudian aku berfikir. Setiap ilmu yang
bersumber pada api pasti membutuhkan udara. Jika Iblis Awan
Hitam yang bolong cuma di bagian depan, tak
mungkin keningnya dapat mencetuskan api. Lalu
aku berfikir lagi, jika kusumbat kedua lubang di
kepalanya. Selain dia tak bakal menggunakan ilmunya pasti juga bagian otaknya
kekurangan udara. Dugaanku ternyata tidak meleset!" ujar Ki
Comot. Dia lalu melanjutkan. "Sayangnya aku tidak punya kesempatan ilmu sihirku
untuk mengerjainya."
Gento tersenyum. "Sudahlah, Ki. Kau tidak
perlu bersedih. Di lain waktu kau pasti punya kesempatan mengambil apa saja yang
dia miliki. Sekarang selagi matahari belum tenggelam ada baiknya kalau kita
lanjutkan perjalan ini!" kata Gento.
"Ha ha ha. Aku setuju saja. Semakin cepat
sampai di tempat itu akan semakin bertambah
baik!" ujar Ki Comot Jalulata.
Akhirnya tanpa menunggu lebih lama lagi
ketiga orang itu segera berkelebat pergi menuju ke
bukit merah. 9 Kakek berpakaian serba putih berambut
putih dan berjenggot putih panjang menjela itu tiba-tiba hentikan langkah.
Sejenak dia memandang
ke belakang. Setelah itu mulutnya yang tertutup
kumis lebat menyeringai. Sekali dia gerakkan kakinya, laksana kilat sosok si kakek melesat ke satu
cabang pohon, lalu dalam sekejap saja sosoknya
lenyap di antara kelebatan daun dan pepohonan
rindang. Dari balik kelebatan daun pohon kakek
berpakaian serba putih memandang ke jurusan
mana tadi dia datang. Dan kakek itu agaknya tak
perlu terlalu lama menunggu. Sebentar saja di
tempat mana tadi dia berdiri muncul seorang kakek berpakaian sutera warna
kuning. Di kening
kakek itu berhiaskan tato gambar tengkorak dalam
bentuk sulaman.
Selain itu di tangan si kakek juga tergenggam sebuah tongkat buntung berwarna
hitam. Setelah memperhatikan penampilan kakek
berpakaian penuh tambalan-tambalan itu kakek
yang mendekam di atas pohon menarik nafas lega.
"Dia rupanya" Kufikir dia orang yang kucari-cari selama ini!" batin kakek
berpakaian putih
itu dalam hati.
Sebaliknya kakek berpakaian sutera kuning
dengan mata jelalatan kini memandang segenap
penjuru sudut. Kemudian dia berkata seorang diri.
"Aneh aku tadi sempat melihatnya. Mengapa dia
begitu cepat menghilang" Apakah mungkin ilmunya semakin bertambah hebat" Apakah
memang benar yang dikatakan orang bahwa benda
itu kini telah menjadi miliknya?"
"Ha ha ha! Pengemis Nyawa... apa yang kau
cari di tempat ini" Apakah engkau mencari diriku?" Kakek di atas pohon tiba-tiba
membuka mulut berucap. Kakek bertongkat buntung melengak
kaget. Cepat dia dongakkan kepala memandang ke
atas pohon. Setelah itu dengan kecepatan laksana
kilat dan gerakan tidak terduga dia menghantamkan tangan kirinya ke atas.
Wuuut! Segulung angin menderu, lalu menghantam
putus cabang pohon yang dipergunakan untuk
bersembunyi oleh kakek berpakaian serba putih.
Terdengar suara berderak putusnya cabang pohon.
Begitu cabang runtuh satu bayangan berkelebat
dan jejakkan kakinya di depan kakek berpakaian
kuning. Cabang pohon yang runtuh menimbulkan
suara angin bergemuruh. Kedua kakek itu saling
berpandangan untuk beberapa jenak lamanya. Setelah itu keduanya sama mengumbar
tawa. "Pengemis Nyawa! Sudah lama kita tidak
bertemu. Apa yang kau cari di tempat ini"'" tanya
kakek berpakaian putih.
"Empu Barada Sukma. Semula aku mencarimu di Lembah Sesat. Karena kau tidak ada
di sana maka aku menyusulmu kemari." Ujar Pengemis Nyawa.
"Lembah Sesat bagiku untuk waktu yang
akan datang mungkin hanya tinggal kenangan saja. Sekarang memang sudah waktunya
bagiku untuk mewujudkan segala apa yang menjadi citacitaku!"
"Empu Barada, apa yang dapat kau andalkan untuk mewujudkan cita-citamu yang dulu
itu?" tanya Pengemis Nyawa.
"Bekal yang kumiliki tidak kurang. Salah
satu diantaranya adalah benda sakti yang selama
ini menjadi incaran kaum rimba persilatan."
Mendengar ucapan Empu Barada Sukma
tentu saja Pengemis Nyawa tidak dapat menutupi
rasa kagetnya. "Jadi... jadi Sengkala Angin Darah saat ini
telah berada di tanganmu?" desis Pengemis Nyawa.
"Ssst...! Jangan keras-keras kau bicara. Aku
khawatir ada orang yang mencuri dengar pembicaraan kita!" ujar Empu Barada Sukma dengan suara lirih.
"Kau tak usah cemas. Ketika aku mencari
dirimu tadi aku sudah meneliti daerah ini. Tidak
ada siapa-siapa di sini selain kita. Cuma kuminta
kau agar lebih berhati-hati. Karena begitu banyak
orang yang menginginkan Sengkala Angin Darah.
Salah satu diantaranya adalah Penyair Halilintar.
Selain dia, Pangeran Sobali dari Kediri juga menghendaki benda yang ada di
tanganmu. Hanya untuk orang yang kusebutkan terakhir itu kau tidak
usah merisaukannya. Dia telah banyak kehilangan
prajurit. Sayang seseorang telah menyelamatkannya. Jika tidak mungkin aku sudah
membunuhnya!" ujar Pengemis Nyawa.
Empu Barada Sukma, kakek keji yang tidak
pernah gentar menghadapi siapapun tiba-tiba
dongakkan kepala. Kemudian dia tertawa tergelakgelak. Beberapa saat kemudian
setelah tawanya
lenyap Empu Barada Sukma berkata. "Mengapa
aku harus takut pada orang-orang yang kau sebutkan itu" Penyair Halilintar
kuketahui sebagai
orang yang sangat berbahaya. Apalagi konon kudengar dia mempunyai binatang piaraan bernama
mahluk Semera Darah."
"Apa yang kau katakan itu benar. Penyair
Halilintar bukan manusia sembarangan. Aku sendiri sempat bentrok dengannya.
Beruntung aku cepat berlalu ketika mahluk Semera Darah muncul
di gunung Kawi. Jika tidak aku pasti sudah binasa!"
"Cukup, Pengemis Nyawa. Jangan pernah
lagi kau memuji orang lain secara berlebihan di
depanku. Aku tidak suka!" hardik Empu Barada
Sukma ketus. Pengemis Nyawa jadi terdiam mendengar
bentakan sahabatnya. Kini dia hanya memandang
pada sang sahabat dengan tatapan penuh selidik.
Dengan sikap acuh tak acuh Empu Barada
Sukma berkata lagi. "Kau tahu, kalaupun ada
orang yang ingin kubunuh sampai seribu kali.
Orang itu adalah Gentong Ketawa."
"Gentong Ketawa. Manusia gendut dari gunung Merbabu itu" Agaknya kau masih punya
ganjalan pada orang yang satu itu?"
"Benar. Sebelum aku membalaskan segala
dendam dan sakit hatiku padanya, agaknya hidup
ini bagiku tidak bakal mendapat ketenteraman."
"Lalu apa yang telah kau lakukan?"
Dengan mata menerawang memancarkan
dendam Empu Barada Sukma berkata. "Beberapa
bulan yang lalu aku telah mengirim utusan untuk
mencari dan membunuh gendut yang satu itu. Tapi utusanku tidak pernah kembali!"
ujar si kakek sambil mengelus-elus jenggotnya yang panjang.
"Mungkin utusanmu dapat dibunuhnya!'
ujar Pengemis Nyawa mengemukakan pendapatnya.
"Mungkin juga begitu. Kemudian belum lama ini setelah Sengkala Angin Darah
berhasil kudapatkan. Aku sengaja menyebar berita di luaran
sana bahwa Sengkala Angin Darah ada di tangan
Gentong Ketawa. Lalu kudengar gendut terkutuk
itu menjadi buronan banyak fihak. Tapi setelah itu
aku tidak mendengar berita apa-apa lagi. Mungkin
umpan yang kutabur tidak mengenai sasaran secara tepat. Aku tidak tahu, yang
jelas belum lama
ini aku juga mengirim kaum cacat dari lembah sesat untuk mencari tahu dimana
Gentong Ketawa berada. Aku juga sudah menegaskan kepada mereka agar jika bertemu dengan Gentong
Ketawa mereka segera membunuhnya."
"Lalu orang-orangmu tidak pernah kembali?" potong Pengemis Nyawa.
Dengan wajah muram Empu Barada Sukma
anggukkan kepala.
"Entah ilmu apa yang dimiliki oleh tua
bangka keparat itu. Yang pasti orang-orangku seperti tidak berdaya
menghadapinya!" geram si kakek.
"Agaknya kau harus turun tangan sendiri
untuk menuntaskan segala hutang piutang dan
Gento Guyon 30 Bukit Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dendam kesumatmu."
"Aku fikir begitu. Tapi aku tidak tahu dimana dia sekarang berada."
"Jika kau mau, aku bersedia membantumu
menemukan gendut yang satu itu. Secara pribadi
aku memang tidak punya silang sengketa dengannya. Tapi aku berprinsip, apapun
yang menjadi persoalan sahabatku. Susah senangnya juga menjadi persoalanku juga."
"Kau benar. Tapi kemana kita harus mencari?" tanya Empu Barada Sukma.
"Satu-satunya tempat yang mungkin didatangi setiap orang hanya Puncak Sebelas
Tangga Kematian. Sekarang ini kudengar banyak tokohtokoh dunia persilatan yang pergi ke
sana." "Buat apa mereka ke sana?" tanya Empu
Barada Sukma tidak mengerti.
"Tentu saja mereka menginginkan benda
sakti itu. Entah siapa yang menyebarkan kabar
baru itu. Yang jelas kini mereka lebih tertarik pergi
ke Puncak Sebelas Tangga Kematian!"
Empu Barada Sukma menyeringai sinis.
"Ha ha ha. Orang-orang dunia persilatan
itu. Mengapa kini tiba-tiba saja menjadi orang
pandir lagi tolol. Mereka tidak tahu bahwa Sengkala Angin Darah yang
sesungguhnya berada di tanganku!"
"Hak hak hak! Jika benar benda sakti itu
memang ada di tanganmu sungguh sangat kebetulan sekali. Aku jadi tidak usah
bersusah payah menyambung nyawa dengan pergi ke Puncak Sebelas Tangga Kematian!" satu suara
disertai gelak tawa tiba-tiba mengumandang di udara.
Baik Empu Barada maupun Pengemis Nyawa tentu saja melengak kaget. Cepat sekali
mereka memandang ke arah mana suara tadi datang. Belum lagi lenyap rasa kaget di hati
mereka menda- dak sontak satu sosok bayangan ungu berkelebat
ke arah mereka. Di lain saat seorang kakek tua
berbadan bongkok berpakaian serba ungu berdiri
tegak di depan mereka.
Penampilan kakek yang satu ini sungguh
kacau. Daun telinga kanan lenyap entah kemana.
Sedangkan daun telinga kiri berada dalam genggamannya. Hidungnya berlubang
gerowok mengerikan. Bukit hidung lenyap entah kemana. Melihat
kemunculan kakek itu Empu Barada Sukma langsung semburkan ludah merasa jijik.
Setelah itu dia
membentak. "Manusia salah kaprah! Siapa dirimu?"
"Aku Setan Santet Delapan Penjuru!" jawab
kakek berpakaian ungu yang memang Setan Santet Delapan Penjuru adanya. Seperti
yang telah diceritakan pada episode sebelumnya. Kakek ini kehilangan kedua daun
telinga dan bukit hidungnya
karena perbuatan jahil Ki Comot Jalulata.
Sebaliknya begitu mendengar jawaban kakek itu baik Pengemis Nyawa maupun Empu
Barada Sukma jadi tertawa tergelak-gelak.
Begitu tawa mereka lenyap. Pengemis Nyawa berkata. "Selama hidup, belum pernah
aku melihat orang tolol yang gilanya sehebat dirimu. Yang
aku tahu dan yang pernah kudengar Setan Santet
Delapan Penjuru penampilan dan ciri-cirinya tidak
seperti dirimu. Tapi kau... hidung lenyap tak karuan. Daun telinga bertanggalan.
Datang mengemis minta Sengkala Angin Darah dan mengaku sebagai Setan Santet" Ha
ha ha!" kata Pengemis
Nyawa disertai senyum mencibir.
10 Wajah Setan Santet Delapan Penjuru sempat berubah merah padam. Belum lagi dia
sempat berbicara Empu Barada Sukma sudah menyela.
"Orang gila tak karuan juntrung. Lebih baik kau
menyingkir dari hadapanku, sebelum aku benarbenar berubah fikiran!"
"Tak seorangpun yang bisa memerintahku
sesuka hatinya sendiri. Cepat serahkan Sengkala
Angin Darah kepadaku. Baru setelah itu aku akan
pergi dari sini!" dengus Setan Santet tetap ngotot.
Jawaban kakek itu tentu membuat gusar
kedua orang lawannya. Dengan geram Empu Barada Sukma berkata. "Kakek gila.
Siapapun dirimu
aku tidak perduli. Tapi jika kau tetap keras kepala
tidak mau menuruti perintah, jangan salahkan
kami jika aku dan temanku ini terpaksa membunuhmu!" ancam Empu Barada.
Setan Santet Delapan Penjuru tersenyum.
"Ilmu yang kau miliki boleh saja tinggi, Empu Barada. Tapi jangan kira kau dapat
menakut-nakuti diriku!" jawab Setan Santet.
Empu Barada Sukma diam-diam menjadi
kaget. "Kakek keparat ini. Apakah benar-benar Setan Santet Delapan Penjuru"
Kalau betul, kemana
lenyapnya daun telinga dan hidungnya" Apakah
mungkin telah terjadi sesuatu yang hebat pada dirinya" Selain hidung dan
telinga, penampilan kakek ini memang sangat mirip dengan Setan Santet.
Tapi perduli apa" Jika dia datang dengan maksud
merampas barang milikku. Aku harus menyingkirkannya!" ujar Empu Barada Sukma.
Kakek berjanggut putih itu tiba-tiba saja
dongakkan kepala, lalu tertawa tergelak-gelak.
Puas dia tertawa selanjutnya dia berkata ditujukan pada sahabatnya Pengemis
Nyawa. "Sahabatku! Jika dia datang kepada kita untuk mengemis benda yang ada
padaku. Sekarang tindakan
apa yang patut kita lakukan terhadapnya?"
Sambil bertolak pinggang kawannya menjawab. "Jika dia datang ingin mengemis
benda sakti yang ada padamu. Kurasa tidak ada salahnya jika
kita mengemis nyawanya terlebih dulu. Empu Barada Sukma... kau adalah sahabatku.
Sudah sepatutnya sebagai sahabat aku membantumu. Duduklah kau dimana saja kau
suka. Biarkan aku
yang mengambil nyawa tua bangka tak berwujud
ini!" kata Pengemis Nyawa.
Empu Barada Sukma yang sudah tahu kehebatan yang dimiliki Pengemis Nyawa tertawa
mengekeh. Dengan sikap seenaknya dia kemudian
duduk di batang pohon tumbang. Memandang sejurus ke arah Setan Santet Delapan
Penjuru, lalu gelengkan kepala.
"Pengemis Nyawa. Buatlah kematiannya
seenak mungkin. Bukannya apa, aku tidak tega
melihat wajahnya yang mengenaskan itu!" kata
Empu Barada Sukma berseru.
"Tak usah khawatir. Serahkan semua itu
padaku!" jawab Pengemis Nyawa
Melihat sikap orang yang terlalu meremehkan dirinya, Setan Santet Delapan
Penjuru meng- geram marah. Tangan kanannya tiba-tiba dilambaikan ke arah Pengemis Nyawa.
Meskipun gerakan yang dilakukannya hanya berubah lambaian
saja. Tapi akibatnya sungguh sangat luar biasa sekali. Pengemis Nyawa tiba-tiba
merasa ada hembusan angin yang datang menyergap. Berputarputar lalu mencekik
leher dan melilit dadanya.
Si kakek merasa sulit bernafas. Baru saja
Pengemis Nyawa meronta dan berusaha membebaskan diri dari pengaruh serangan
lawan yang terasa aneh luar biasa. Di depan sana, Setan Santet
Delapan Penjuru tiba-tiba gerakkan tangannya
dengan satu bantingan keras.
Hebatnya lagi, tubuh Pengemis Nyawa tibatiba terangkat tinggi. Lalu meluncur
deras ke bawah dan...
Brukk! Pengemis Nyawa jatuh terbanting. Masih
beruntung dia dapat jatuhkan diri dengan kedua
kaki terlebih dulu menyentuh tanah.
Melihat kenyataan ini Empu Barada Sukma
yang duduk di atas batang pohon jadi tercengang.
"Kakek keparat itu! Dia menyerang tidak secara
langsung ke arah sasaran. Tetapi akibatnya sungguh berbahaya bagi Pengemis
Nyawa. Sekarang
kau baru percaya kalau orang yang dihadapi sahabatku itu memang benar-benar
Setan Santet Delapan Penjuru! Jelas telah terjadi suatu kejadian
besar pada tukang santet ini sebelumnya. Aku harus bersikap waspada. Setan
Santet memang berbahaya. Tapi lebih berbahaya lagi jika dia sampai
menggunakan Jin Sesat yang menjadi piaraannya."
Batin Empu Barada Sukma.
Sementara itu begitu jatuh terbanting Pengemis Nyawa tidak segera bangkit
berdiri. Sebaliknya dia langsung bergulingan ke arah lawan. Begitu lawan telah
berada dalam jangkauannya. Laksana kilat tongkat sakti yang telah buntung pada
bagian ujungnya segera dibabatkan ke arah bagian
kaki Setan Santet.
Angin keras berhawa panas luar biasa segera berkelebat menyambar ke arah kaki
Setan Santet. Orang tua itu merasa kedua kakinya seperti ditebas pedang panas
membara. Namun dengan cepat dia melompat ke udara. Babatan pertama luput dari
sasaran. Namun babatan kedua yang dilancarkan Pengemis Nyawa sempat menghantam
kaki kiri Setan Santet. Membuat robek ujung celananya dan melukai bagian kaki.
Setan Santet keluarkan suara menggerung
hebat. Dalam keadaan berjumpalitan di udara, tiba-tiba dia lakukan gerakan
mencengkeram ke bagian kepala. Walaupun cengkeraman itu sebenarnya tidak sampai
mengenai kepala Pengemis Nyawa. Tapi si kakek tiba-tiba merasakan rambutnya
kena dibetot lawannya. Ini dapat dimaklumi karena Setan Santet dalam setiap
melakukan serangan
menggunakan kekuatan gaibnya. Sehingga walaupun anggota badannya tidak pernah
menyentuh tubuh lawan. Tapi akibatnya sama hebat dengan
gerakan tangan yang sesungguhnya.
Melihat kenyataan seperti ini, Empu Barada
Sukma yang lebih berpengalaman dari temannya
langsung berteriak. "Pengemis Nyawa. Dia menggunakan ilmu iblisnya. Karena itu kerahkanlah seluruh tenaga dalam yang kau
miliki!" Mendengar teriakan Empu Barada Sukma.
Pengemis Nyawa tiba-tiba dengan gerakan yang tidak terduga langsung babatkan
tongkat saktinya
ke bagian atas kepala.
Tak! Pukulan yang dilakukan Pengemis Nyawa
sesungguhnya tidak sampai mengenai tangan lawan. Tapi tongkat itu seolah
membentur pergelangan tangan lawannya.
Setan Santet Delapan Penjuru meraung hebat sambil memegangi lengan tangan
kanannya. Tapi dengan cepat dia jejakkan kakinya di atas tanah. Setelah itu tanpa
menghiraukan rasa sakit
yang dideritanya Setan Santet hantamkan kedua
tangannya ke arah dada dan kepala Pengemis
Nyawa. Melihat serangan ini, Pengemis Nyawa tidak mau terlibat perkelahian dalam
jarak jauh. Laksana kilat Pengemis Nyawa melompat ke depan. Dengan tangan kiri dia menyambut
serangan lawan, sedangkan tongkat di tangan kanan dihantamkannya ke bagian kepala.
Jika sampai tongkat itu menghantam kepala Setan Santet, dapat dipastikan kepala
lawan hancur berantakan. Setan Santet agaknya menyadari akan hal itu. Karenanya dia
melompat mundur sejauh tiga tombak. Mulut kakek ini berkemak-kemik.
Setelah itu tiba-tiba saja dia berseru.
"Naik...!"
"Wuaakh...!"
Dan tubuh Pengemis Nyawa tiba-tiba tanpa
dicegah lagi langsung melesat ke udara seiring
dengan ucapan lawannya.
"Bantingkan dirimu!" teriak Setan Santet lagi. Tak dapat dicegah tubuh Pengemis
Nyawa meluncur deras ke bawah. Melihat kenyataan ini Empu Barada Sukma tentu
tidak tinggal diam.
"Tua bangka keparat itu. Berani dia mengerjai kawanku. Akan tahu rasa dia!" maki
sang empu. Laksana kilat dia berkelebat mendekati
Pengemis Nyawa. Dua tangan ditadahkan sehingga
Pengemis Nyawa terjatuh dalam pelukannya.
"Menyingkirlah kau! Aku paling tidak suka
melihat kawanku dipermainkan orang!" geram si
kakek. Lalu diam-diam dia kerahkan tenaga dalamnya ke sekujur tubuh.
Belum lagi Empu Barada Sukma beranjak
dari tempatnya berdiri. Pada waktu itu pula Setan
Santet telah melancarkan serangkaian serangan
hebat yang menimbulkan deru angin panas dan
dingin silih berganti. Empu Barada Sukma yang
mendapat gelombang serangan demikian hebatnya
diam tidak bergeming. Tapi begitu lawan telah berada dalam jangkauannya. Tibatiba orang tua itu
gerakkan perutnya.
Wuus! Wuuus! Dari bagian perut si kakek angin dan hawa
panas membakar menderu dahsyat. Gelombang
angin yang sangat membakar itu menghantam sekujur tubuh Setan Santet Delapan
Penjuru. Setan Santet tentu saja tidak ingin dirinya celaka dihantam gelombang angin dan sinar merah yang memancar dari benda di balik pakaian
lawan yang belum jelas apa adanya. Karena itu dia melompat ke
samping selamatkan diri.
Tapi apa yang dilakukan Setan Santet nampaknya sia-sia saja. Karena begitu dia
menghindar dari balik pakaian di bagian perut sang empu
kembali sinar merah disertai gelombang angin panas mencuat dan melabrak Setan
Santet. Si kakek menggerung, mencoba kerahkan
ilmu hitam yang dia miliki untuk menangkis serangan aneh yang menyeruak dari
perut Empu Barada Sukma. Tapi apa yang dilakukannya itu
nampaknya tidak dapat berfungsi sebagaimana
yang dia harapkan.
Tak ayal lagi, tubuh Setan Santet mencelat
mental terhantam gelombang angin berhawa panas
membakar yang keluar dari balik baju Empu Barada Sukma. Melihat kenyataan yang
terjadi Pengemis Nyawa tentu saja jadi tercengang. Tapi dia
tidak yakin kekuatan itu keluar dari diri Empu Barada Sukma. Mustahil sang empu
memiliki kesaktian sehebat itu.
Sementara itu di depan sana, dalam keadaan tubuh setengah hangus Setan Santet
Delapan Penjuru mencoba bangkit dan duduk bersila.
Tapi hal ini tidak mudah dilakukannya karena sekujur tubuhnya nyaris hangus dan
sulit digerakkan. Dengan bersusah payah, Setan Santet akhirnya dapat melakukan
apa yang dia inginkan.
Setelah dapat duduk bersila. Bibirnya yang
kaku berkemak-kemik. Lalu lubang telinga kiri digosok-gosoknya.
Tak lama kemudian dari lubang telinga
Gento Guyon 30 Bukit Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengepul asap tipis berwarna biru. Asap itu bergulung-gulung di atas kepala
membentuk satu sosok tinggi berwajah angker menyeramkan.
"Empu Barada, dia menggunakan Jin Sesat.
Hati-hatilah!" seru Pengemis Nyawa.
Empu Barada Sukma menyeringai dingin.
Kembali dia kerahkan tenaga ke bagian perut. Hawa panas kembali memancar dari
benda yang tersimpan di situ. Sementara pada waktu bersamaan
Setan Santet berseru pada mahluk raksasa yang
keluar dari liang telinganya.
"Jin Sesat! Bunuh kakek berpakaian putih
dan rampas benda sakti yang ada padanya!"
Mahluk besar angker yang keluar dari lubang telinganya keluarkan suara
menggerung. Setelah itu dengan cepat mahluk hitam itu berbalik
lalu melayang ke arah sang Empu.
Akan tetapi baru saja setengah jalan Jin Sesat bergerak, melayang. Mendadak
sontak gerakannya jadi tertahan begitu dari perut Empu Barada Sukma mencuat
sinar merah dan biru disertai gelombang angin hebat. Sinar maut dan pusaran
angin itu langsung melabrak sosok Jin Sesat
hingga membuat mahluk itu hancur berkepingkeping.
Melihat mahluk piaraannya hancur terhantam gelombang hawa panas yang dahsyat
luar biasa. Setan Santet meraung hebat. Bersusah payah
dia bangkit berdiri.
"Kakek Jahanam! Kau bunuh mahluk piaraanku. Sekarang aku akan membunuhmu!" Berkata begitu sosoknya tiba-tiba melesat
ke depan. Tapi secara tak terduga dari arah samping ada angin menyambar ke arahnya.
Terkejut Setan Santet
berpaling. Justru pada saat itu, sebuah benda hitam melayang menghantam bagian
kepalanya dengan telak sekali.
Praak! Terdengar suara tengkorak kepala berderak
hancur. Setan Santet Delapan Penjuru menjerit setinggi langit. Tubuhnya
terpelanting, darah menyembur dari bagian kepalanya yang pecah.
Tak lama kemudian kakek itu pun terkapar
dan tidak dapat bergerak-gerak lagi.
Di samping Setan Santet, Pengemis Nyawa
menyeringai sambil usap-usap tongkat hitamnya
yang berlumuran darah. Sementara itu sepasang
matanya terus memandang ke arah perut Empu
Barada Sukma yang seperti menggembol sesuatu.
"Terima kasih karena kau telah membantu"
Ujar sang empu.
"Benda yang memancarkan cahaya merah
tadi. Apakah itu benda sakti Sengkala Angin Darah?" tanya Pengemis Nyawa.
"Kau benar. Benda ini memang sangat luar
biasa. Dengan adanya Sengkala Angin Darah aku
yakin tak ada seorangpun yang dapat menghadapi
aku." Ujar sang Empu disertai senyum.
"Apakah kau yakin benda itu memang benda yang asli?" tanya Pengemis Nyawa.
Empu Barada Sukma unjukkan wajah kaget
juga heran. da. "Eeh... apa maksudmu?" tanya Empu BaraPengemis Nyawa menarik nafas, sambil gelengkan kepala.
"Tidak. Tidak apa-apa. Aku hanya curiga saja" Sahut si kakek. Dalam hati dia
berkata. "Menurut yang kudengar. Sengkala Angin Darah adalah
sebuah benda sakti yang dapat menghancurkan
apa saja. Bahkan konon benda itu sulit disentuh
manusia. Tapi aneh, sahabatku itu malah menggembolnya. Lebih heran lagi tubuhnya
tidak cidera. Tidak hangus, atau hancur berkeping-keping.
Ada yang tidak beres! Ada yang tidak wajar!" batin
si kakek curiga. Tapi dia tidak mengatakan kecurigaannya ini pada Empu Barada
Sukma. Malah ketika Empu Barada pergi, Pengemis
Nyawa hanya mengikut saja tanpa berani bicara
apa-apa. -TamatGento Guyon berikutnya:
JEJAK SERIBU PETAKA
https://www.facebook.com/DuniaAbuKeisel
Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pendekar Baju Putih 2 Pendekar Patung Emas Pendekar Bersinar Kuning Karya Qing Hong Pendekar Pengejar Nyawa 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama