Ceritasilat Novel Online

Dewi Penyebar Maut I I 2

Candika Dewi Penyebar Maut I I Bagian 2


Anengah. Dengan tenang Anengah menggeser kaki. Dan
ketika ia memutar tubuh maka dua-tiga penyerang
tunggang-langgang kena sambaran tinju dan kakinya.
Tari segera meletakkan buntalannya dan dengan tongkat si Galihnya ia menghantam roboh tiga orang penyerang. "Tantri, minggir kau!" teriak Tari sambil merobohkan lawannya yang keempat.
"Uupps!" Kala Modot terkejut. Enam orang kawannya
telah roboh dalam gebrakan pertama! Mereka langsung
bangkit dan mengepung Anengah, Tari, dan Tantri.
"Cincang mereka!" teriak Kala Modot. Ia pun menghunus sebilah pedang panjang. Udara pun langsung terisi oleh kilatan berbagai senjata lainnya. Parang. Pedang. Tombak. Gada besi. Keris. Dan mereka langsung
menyerbu Anengah.
"Minggir, Tantri." Dengan lembut Tari menendang
Tantri hingga anak itu terlempar ke pinggir, sementara
ia langsung melompat menghadang. Gerak kaki Suracaya yang dipakainya begitu lembut. Ia bagaikan menari. Ke kiri. Ke kanan. Maju.
Mundur. Dan setiap gerakan berarti satu serangan lawan digagalkan. Anengah
menggunakan tata gerak yang sama. Tetapi gerakannya
begitu mantap dan gagah. Dan tak segan-segan ia melontarkan tendangan yang pasti disusul oleh jeritan seram. Juga derakan patah berbagai senjata tadi. Bahkan
gada besi yang pemiliknya sudah gembira karena gada
tersebut berhasil menyentuh bahu Anengah, tiba-tiba
meledak patah oleh gerakan bahu itu.
Orang-orang itu kemudian bergelimpangan di tanah.
Masing-masing paling sedikit meringis kesakitan. Ada
yang pingsan. Ada yang berputar-putar dengan kaki patah. Kala Modot tak bisa berbuat apa-apa. Perutnya diinjak oleh Anengah.
"Jika aku tekan sedikit lagi, perutmu akan meletus,
kau tahu itu?" kata Anengah geram. Wajahnya sangat
seram karena terkena percikan darah dan mengkilap
oleh keringat, matanya memancarkan amarah. "Siapa
yang menyuruh kalian berada di sini?"
"Aku... akhhhh... jangan! Jangan!" agaknya Kala
Modot akan berdusta tetapi Anengah memperkeras tekanannya. "Hi hi hi hi... banyak mainan nih...." Tantri berlompatan ke sana kemari mengambil berbagai potongan
senjata yang berserakan di tanah. "Lumayan... lain kali cari yang banyak
tombaknya, ya, bisa buat lemparlemparan lho," katanya pada Tari.
Tari tak memperhatikan dia. Baru kali ini ia bertarung melawan orang yang tak dikenalnya, dan dengan
semangat untuk betul-betul membela diri atau terbunuh. Dadanya berdebar keras. Matanya jalang melirik
ke mana-mana. Beberapa orang masih tergeletak. Beberapa orang mencoba bangkit. Seseorang sedang terhuyung-huyung berdiri dan jatuh menimpa temannya.
Mereka saling memaki.
Heran. Kuda-kuda itu begitu tenang.
Dan Tari melihat seorang lelaki gemuk pendek di antara kuda-kuda tersebut. Menenangkan mereka. Lelaki
itu tak keruan mukanya, badannya, dan pakaiannya.
Serba kumal dan dekil.
"Kau masih belum mau berbicara?" bentak Anengah
lagi. "Aku... aku... aku disuruh oleh..."
Dari sudut matanya Tari melihat sesuatu melesat cepat ke arah Anengah. "Awas!" ia berteriak dan melompat
tinggi. Benda itu datang dari si Gendut yang berada di
antara kuda-kuda tadi. Di udara Tari berputar dan kakinya menendang benda tadi. Ia menjerit. Kakinya terasa panas. Tetapi benda itu berhasil ditendangnya jatuh.
Menancap di tanah. Sebilah keris pendek! Tari mendarat di tanah dan terpaksa langsung berkelit karena ternyata orang gendut itu telah melayang ke arahnya! Tinju Tari beradu dengan tubuh si Gendut. Kembali ia
menjerit. Serasa meninju batu! Tari berputar. Melangkah mundur untuk mengambil kuda-kuda berikutnya.
Si Gendut menginjak tanah langsung mengirimkan tendangan terbang ke arah Anengah. Anengah membentak
keras. Menginjak Kala Modot dan menerima tendangan
si Gendut di udara. Terdengar Anengah menjerit. Dia
terbanting ke samping namun cepat melompat berdiri.
Mereka berdiri bagaikan patung-patung kaku. Si
Gendut tegar diam, tak memandang pada siapa pun.
Anengah dengan kuda-kuda menyerangnya, memandang Si Gendut heran. Tari masih dalam kedudukan setengah menarinya, melirik pada Anengah. Ada yang
aneh. Kenapa orang itu tidak maju lebih dahulu, dan
malah menjaga kuda. Lemparannya tadi membuat kaki
Tari kesakitan. Apalagi benturannya. Jelas orang ini lebih berilmu dari Kala
Modot. Dan kini Kala Modot juga mengguling minggir.
"Siapa kau?" tanya Anengah.
"Tak ada gunanya kujawab. Toh kau akan mampus!"
si Gendut langsung menerjang.
Anengah sudah bersiaga. Ia memutar tubuh ke kiri.
Mestinya serangan si Gendut, betapapun cepatnya,
akan membentur angin dan Anengah akan punya kesempatan menabas pinggangnya. Tetapi si Gendut seakan tahu gelagat. Ia memberatkan tubuh hingga dirinya
menyentuh tanah sebelum waktunya dan sambil berteriak nyaring tangannya menusuk ke depan. Anengah
dalam keadaan genting. Namun ia sempat membuang
diri, berguling menjauh. Si Gendut seakan terpental
sendiri... ke arah Tari. Gugup Tari melompat mundur,
namun terlambat. Sebuah tamparan keras mengenai
pipinya. Tari menjerit. Pipi itu serasa terbakar. Tubuhnya berputar bagai gasing
dan roboh. Ia terpaksa bergulingan tiga-empat kali. Dadanya begitu sesak. Dan cepat ia bersila untuk
mengatur kembali napasnya - sesuatu
yang biasa dilakukannya dalam latihan. Tetapi ini bukan latihan. Kala Modot yang sudah bangkit sambil menyeringai mendekatinya dengan pedang terhunus - Kala
Modot pun tak sadar bahwa pedangnya itu sudah patah. "Tari!" jerit Anengah memperingatkan. Ia melesatkan
tubuhnya untuk menghadang. Tapi si Gendut lebih dahulu menghadangnya, memasang kaki hingga perut
Anengah terancam jebol. Putus asa Anengah memaksakan kakinya menyambut kaki si Gendut sementara tangannya gesit melemparkan keris pendek ke arah Kala
Modot. Tiga jeritan terdengar sekaligus. Anengah yang menyalurkan tenaga Birawadana pada kakinya menjerit karena dirasakannya kaki itu
bagaikan masuk ke dalam
kobaran api - padahal, mestinya tendangannyalah yang
memancarkan wibawa panas. Kala Modot menjerit karena punggungnya terhajar keris terbang Anengah. Dan
Tantri menjerit karena pedang buntung Kala Modot
menghajar kepalanya - agaknya Tantri ingin menolong
Tari, ia lari ke antara Tari dan Kala Modot, dan saat pedang Kala Modot terlepas
karena pemiliknya terhajar
keris terbang Anengah, maka kepala Tantri terlempar
pedang buntung itu.
Anengah jatuh terguling-guling. Si Gendut tertawa
terbahak-bahak. "Hua ha ha ha ha... hanya sedemikian
saja kesaktian anak Rahtawu, hah" Hua ha ha ha ha..."
Tari sudah terlanjur menjalankan ilmu pernapasannya. Ia hanya bisa semakin memusatkan perhatian agar
pemusatan pikirannya tak terpecah.
Kala Modot berguling-guling di tanah, memegang bahunya yang bersimbah darah.
Tantri terlihat kebingungan membawa kumpulan potongan senjata yang tadi dipungutinya.
Si Gendut sesaat memperhatikan Anengah. Anengah
rasanya tak akan berbahaya baginya. Saat itu juga terlihat kaki Anengah melepuh bengkak. Sambil tertawa si
Gendut berpaling pada Tari. Terus tertawa terpingkalpingkal ia mendekati gadis itu. "Hua ha ha ha... kalau
gadis seperti engkau dikumpulkan... hua ha ha ha... rasanya masih cukup indah buat pajangan, hua ha ha..."
Melihat si Gendut mendekat, Tantri mengkeret ketakutan. "Hei, jangan ribut saja!" serunya gugup, tangannya memeluk berbagai potongan senjata. "Kalau sudah
menang ya sudah. Tidak ada acara untuk tertawa kenapa sih!" Diam! Saudaraku ini sedang tidur!"
Si Gendut seolah tak acuh menendang Tantri. Tantri
terpental tinggi. Potongan senjata yang dipegangnya
terhambur berantakan, meluncur ke arah si Gendut.
Potongan-potongan senjata itu memang tak terarah. Gerakannya pun pelan tak bertenaga. Jadi si Gendut tak
menghiraukannya, tetap melangkah ke arah Tari.
Tiba-tiba si Gendut tertegun. Sebilah potongan tombak menimpa tengkuknya. Tidak keras. Tapi terasa sakit sekali. Dan ini aneh, sebab si Gendut merasa dirinya sudah kebal. Belum
selesai terkejut, sekeping potongan
pedang mental ke arah kakinya, sekitar tiga jari di bawah tempurung lutut. Disusul oleh pegangan pedang
yang menimpa dada sebelah kirinya. Hanya menyerempet memang. Tapi hampir saja ia menjerit. Dan ia roboh.
Kakinya serasa tak bertulang.
Sementara itu, Tantri yang terlempar ke atas, jatuh
tepat menimpa Tari. Entah bagaimana Tari terguncang
tersadar dari semadinya. Terkejut dilihatnya dirinya di-peluk rapat oleh Tantri.
"Kurang ajar!" desisnya. Gemas ia melemparkan Tantri ke samping. Dan sadarlah ia bahwa Tantri sesungguhnya sudah tak sadarkan diri! Dirabanya nadi di leher Tantri. Masih hidup, walaupun terlihat anak itu seolah-olah sudah tak bernapas lagi. Cepat berpaling, Tari melihat si Gendut sedang
bangkit dengan heran. Sesaat
ia memandang potongan-potongan senjata yang bertebaran di tanah sekelilingnya, sesaat ia memandang Tantri yang tertelungkup di tanah tak sadarkan diri. Dan di
sana, Anengah terengah-engah mencoba mencegah hawa panas yang merambat naik dari kakinya yang melepuh. Si Gendut menggeleng. Pasti tadi tempat-tempat terpeka di tubuhnya itu kena secara tak sengaja. Sekarang
yang penting si gadis itu harus diringkus. Sial. Kala
Modot ternyata tak berguna sama sekali. Bajingan itu
beserta anak buahnya masih terguling-guling menahan
kesakitan di tanah.
Tari juga mengguncangkan kepalanya. Pusing sekali.
Tetapi lebih dari itu ia mendengar sebuah suara lembut
di telinganya, "Awas, si Gendut itu memiliki ilmu Sasra-dahana yang sangat mirip
dengan Birawadana- mu. Kelemahannya ada di bawah ketiak kirinya. Saat dia akan
melontarkan ajiannya, tempat itu tak terjaga. Kaugunakan langkah ke-39 Sura-caya untuk memancing dia berpaling ke arah kananmu.
Kemudian kau serang
ubun-ubunnya dengan pukulan Bantala Liwung. Dia akan merasa mendapat lowongan.
Dan dia akan mengangkat tangan kirinya. Saat itu gunakan tendangan
Bantala Liwung ke-12."
Siapa yang berbisik" Atau... betulkah itu bisikan"
Heran Tari melihat ke kanan dan ke kiri. Tak ada orang
yang mungkin bisa dicurigai. Tantri pingsan. Anengah
jauh di sana. Lalu siapa" Tak mungkin si Gendut itu.
Tapi... betulkah itu tadi suara" Bukan hanya khayalannya belaka"
Ia tak sempat berpikir. Sekilas dilihatnya si Gendut
telah meloncat menerjangnya. Tari berguling ke kiri. Melompat berdiri dan
berputar ke kanan. Sebuah pukulan
dilancarkannya sambil menjerit keras. Si Gendut menerimanya dengan tersenyum mengejek. Tari cepat menarik tangannya. Ia pernah mendengar tentang ilmu Sa-sradahana. Sungguh
berbahaya kalau memang itu yang
dihadapinya. Ia berputar mundur. Cepat kedudukan
kakinya berubah. Kaki kirinya melecut ke udara dan
tubuhnya berputar. Itulah langkah ke-39. Dan benar
juga. Si Gendut terpaksa berpaling ke kanan, karena serangan berikutnya mungkin adalah tendangan lurus ke
lambungnya. Tapi Tari tidak melanjutkan gerakan kakinya. Tangannya tertekuk. Jari-jarinya berkumpul rapat mengancam kepala si Gendut. Si Gendut berteriak
menggelegar mengangkat tangan kiri untuk menghantam kepala Tari.
Tapi tendangan kilat Bantala Liwung ke-12 telah mendahuluinya.
4. CANDIKA TERIAKAN si Gendut begitu keras. Hingga daun-daun
kering di hutan itu serasa rontok. Dan ia melompat
tinggi, badannya melengkung menahan sakit. Ia jatuh
bergedebum di tanah, masih menjerit panjang, kemudian berguling-guling cepat sekali.
Tari sendiri ternganga melihat hasil serangannya.
Rasanya mudah sekali. Dan ia juga merasa bahwa tendangannya telak mengena. Tapi kenapa begitu mudah"
Apakah itu karena bisikan lembut tadi" Tapi... bisikankah itu" Atau mungkin hanya hubungan batin" Jika bisikan mestinya ia mengenal suaranya. Lagi pula... siapa yang berbisik"
"Tolol! Cepat habisi dia!" ia serasa mendengar. Sekali
lagi ia celingukan. Siapa yang berbicara" "Cepat, habisi dia!" seru suara itu
lagi. Tak terasa Tari mencabut kerisnya. Tapi ia tertegun. Tidak. Ia tak akan
membunuh orang! Walaupun si Gendut itu musuh... ah. Membunuh" "Tolol, mengapa ragu-ragu?"
Sial! Siapa sih yang berbicara" Tari berpaling.
"Sudah. Kesempatanmu sudah lewat!" terdengar suara itu lagi. Tari berpaling. Dan terkejut. Si Gendut telah lenyap!
"Tari... tangkap pemimpinnya!" keluh Anengah memaksa diri. Tangannya sibuk mencoba menghentikan
rambatan panas. "Cepat!"


Candika Dewi Penyebar Maut I I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ini perintah jelas. Jelas pula siapa yang bersuara.
Cepat Tari melompat pada Kala Modot. Diinjaknya leher
orang itu. "Cepat katakan, siapa yang menyuruhmu!" geram
Tari. Sebutir batu melesat cepat dari dalam hutan menuju
Tari. Tari terkesiap. Belum sempat ia memutuskan akan
berbuat apa, terlihat sebuah titik hitam lagi meluncur.
Anengah pun melihat ini. "Awas, Tari!"
Pada saat kritis itu Tari tiba-tiba teringat gerakannya tadi sewaktu ia
"mengalahkan" si Gendut. Cepat tubuhnya berputar, melesat ke atas hingga
terhindar dari serangan batu yang tertuju ke arahnya. Dan dalam gerakan hampir tak terlihat tangannya tertekuk turun.
Ujung kerisnya tepat menerima batu yang tertuju pada
Kala Modot. Tari berteriak terkejut. Getaran pada kerisnya begitu kuat hingga
sewaktu jatuh ia limbung. Agak
gugup ia berdiri menghadap ke hutan, berseru. "Hai,
orang gagah! Keluarlah!" Saat itu juga, walaupun sedang terancam maut, Tari malu sendiri. Ucapan seperti
itu belum pernah diucapkannya, dan hanya didengarnya dari dongeng-dongeng kepahlawanan yang diceritakan oleh Bibi Madraka.
Bibi Madraka! Hei, mungkinkah gurunya itu yang
memberinya petunjuk tadi" Dari mana" Apakah dengan
hubungan batin"
"Tari, aku jaga dia...." Anengah berhasil merayap dan
kini telah mencengkeram leher Kala Modot. "Kauawasi
hutan itu... agaknya itu tadi si Gendut. Ia sudah lumpuh, takkan berani ia memunculkan diri di sini. Hh.
Baru tahu rasa dia, dikiranya murid Rahtawu mudah
ditakuti begitu saja?" Anengah berbicara gagah. Tetapi
Tari tahu bahwa sebetulnya itu hanya untuk menutupi
kelemahannya. Tari mengangguk. "Ya, kukira ia takkan berani keluar lagi," katanya keras-keras. "Apa unggulnya Sasradahana sih kalau
dibandingkan Birawadana" Tak ada seujung kuku hitam!"
Dengan gaya gagah Tari menghampiri Anengah. Diam-diam diulurkannya dua butir obat penawar luka pada saudara seperguruannya itu. Beberapa anak buah
Kala Modot mulai bangun. Tapi dengan sekilas pandang
saja Tari melihat bahwa mereka takkan berani maju lagi. Anengah mencengkeram buah jakun di leher Kala
Modot. "Jika kau kubunuh, maka itu terlalu enak bagimu,"
bisik Anengah. "Aku yakin majikanmu akan lebih senang jika kau mampus. Sebaliknya, aku ingin kau tetap
hidup dan menderita. Kau tahu, murid Rahtawu diajari
seribu dua ratus empat puluh dua cara untuk menyiksa
orang. Masing-masing cara sanggup membuat rambutmu rontok ketakutan. Sebelum itu kulakukan, cepat
kaukatakan siapa yang menyuruhmu!"
Tari sedikit ternganga. Betulkah Bapa Gurunya mengajar cara menyiksa orang" Ia tak percaya. Tetapi Anengah tampak bersungguh-sungguh.
"Aku... aku..." Kala Modot megap-megap. Tapi kembali Tari terkejut. Tiga butir batu kini meluncur cepat ke arahnya. "Awas,
Kakang!" teriak Tari. Ia sudah tahu
bahwa batu-batu itu dilempar dengan kekuatan tinggi
maka kini ia memasang kuda-kuda kokoh serta menggunakan kerisnya hanya untuk membuat batu-batu tadi terserempet dan berganti arah, tidak untuk menghancurkannya. Usaha pertamanya berhasil, walaupun tangannya terasa ngilu. "Kakang Anengah, apakah kukejar saja dia?" bisik
Tari. Kedudukannya sulit. Anengah jelas tak bisa banyak bergerak dengan kaki yang melepuh bengkak itu.
Tari sendiri jika harus melayani serangan jarak jauh itu pasti akan kecipuhan.
"Hei, kok sepi sekali... yang berkelahi sudah selesai
ya?" tiba-tiba Tantri menggeliat bangun, meraba-raba
seluruh tubuhnya. "Sialan si Gendut tadi. Dikiranya
aku ini bola Cayitra apa, enak saja ditendangi. Mana dia, biar aku hajar
nanti... hayo... mana dia...?" Tantri memunguti lagi potongan-potongan senjata
yang tadi berantakan. "Habis mainanku... mana dia, Kak Tari?"
"Awas, Tantri!" Tari berseru. Beberapa butir batu kini
melesat dari hutan. Arahnya tak keruan. Ada yang ke
Tari, ada yang ke Anengah, ada yang ke Kala Modot, ada
yang ke Tantri. Dan ke beberapa anak buah Kala Modot
yang kebetulan sudah berdiri.
Anengah berguling ke tanah sambil menyeret Kala
Modot. Tari tidak berani lagi berbenturan dengan kekuatan dahsyat itu. Ia pun bergeser menghindar. Anak
buah Kala Modot ada yang sempat melihat luncuran batu-batu tadi. Tapi mereka tak terlalu gesit dalam menghindar. Seorang menjerit dengan lengan patah. Tiga
orang tak sempat lagi menjerit. Langsung roboh tak bergerak. Tewas. Adalah Tantri yang paling ribut. Batu yang tertuju
padanya agaknya tidak bertenaga. Sekilas Tari melihat
batu itu hanya membentur punggungnya. Dan jatuh.
Tapi Tantri menjerit-jerit seolah-olah tubuhnya terluka parah. Ia berteriakteriak kalang-kabut, "Kurang ajar!
Kura-kura! Kadal! Kutu kepala! Siapa yang melemparlempar, ya! Tak punya adat! Kurang tata susila! Melempar tanpa bilang-bilang lebih dahulu! Pengin tahu rasanya dilempar tak diberi tahu dulu, ya" Nggak enak, lho
rasanya, nggak enak! Pengin tahu, ya" Pengin tahu, ya!"
Dan dengan gemas ia serabutan melemparkan apa saja
yang dibawanya ke arah hutan. Lemparannya memang
lemparan ngawur, sama sekali tidak memakai ilmu melempar. Berbagai potongan senjata itu meluncur seenaknya, sesuai sifat masing-masing. Potongan pedang
terlempar miring dan bagaikan melayang melengkung
menyisir udara. Ujung tombak bukannya meluncur tetapi berputar-putar bagaikan sepotong ranting tua saja.
Gagang pedang melambung tinggi sekali. Bahkan ada
potongan tangkai tombak yang hanya melesat ke atas
dan kembali menimpa punggung Tantri sendiri yang
tentunya makin kalang-kabut memaki-maki. Ia makin
beringas melemparkan apa saja yang bisa dipegangnya
ke hutan. Sesuatu membuat Tari tertegun. Lemparan-lemparan
Tantri jelas tanpa aturan. Dan tak bertenaga. Apakah
memang kebetulan bahwa semua benda yang dilemparnya ternyata bisa meluncur jauh hingga masuk ke hutan" Seperti bilah pedang tadi. Karena pipih dan berpermukaan lebar, mungkin secara wajar bisa melayang
hingga mencapai jarak jauh melebihi tenaga lemparannya. Kemudian potongan tombak. Karena berputarputar berhasil mencapai jarak jauh juga. Ah, ya. Pasti
hanya kebetulan saja.
"Hayo, lempar lagi kalau berani!" tantang Tantri.
Tak ada jawaban tentunya. Dan mereka pun menunggu. Yang terdengar hanyalah teriakan anak buah
Kala Modot yang kesakitan. Sementara beberapa yang
mulai sadarkan diri lagi agaknya tak berani bangkit.
"Hei, gandarwa jelek! Hayo lempar aku!" teriak Tantri
lagi. Suaranya sampai bergema. Tak ada jawaban. Tantri mengangkat bahu, tertawa berpaling pada Tari, "Hah, siapa pun si jahat itu,
Kak, dia sudah ketakutan. Jadi
tak usah khawatir lagi. Orang ini mau diapakan" Disembelih" Wah, sayang, pedangku habis. Barangkali
orang ini masih enak ya disate, he he he... atau dimakan mentah-mentah, kulitnya diiris kecil-kecil terus diberi jeruk nipis... ihhh,
sedap! Kita coba, yuk!" Ia betul-betul menunduk mencengkeram kumis Kala Modot
yang memang sangat tebal dan merenggutnya keraskeras. Dan Kala Modot yang punya tampang kebal segala siksaan itu ternyata menjerit-jerit bagaikan anak kecil! "Wadauuuuu!
Wadauuuuu! Ampuuun! Ampuuun...,
hu hu..." "He he he... ini baru kutarik kumisnya, lho! Kadangkadang agar orang mengaku harus ditarik lidahnya, terus diulur dan dibelitkan di pohon klampis yang penuh
duri. Wuuuuih! Pasti langsung mengaku!" kata Tantri
bangga. "Kak Tari, kita mau tanya apa?"
Tari masih memperhatikan hutan dari mana tadi serangan datang beruntun. Ia tak mau lengah. "Kakang
Anengah, bagaimana?" bisiknya.
Anengah memasang telinga beberapa saat. Perlahan
ia mengangguk. "Agaknya musuh yang tak kelihatan itu
memang sudah tidak ada, Tari. Tapi jangan lepas kewaspadaan. Sementara aku..." Anengah lemah memandang kedua kakinya. Sulit untuk digunakan.
"Setengah hari perjalanan dari sini ada sebuah desa
- Mirejo. Aku kenal buyut- nya. Bibi Madraka..." agak tersedak Tari mengucapkan
nama itu, "sering bermalam
di rumahnya dalam perjalanan ke Rahtawu. Kami biasa
disambut dengan baik. Barangkali lebih baik bila kita
melanjutkan perjalanan. Orang ini kita bawa. Dan bisa
kita tanyai di sana. Bagaimana?"
"Bagus, bagus!" sahut Tantri. "Lebih bagus lagi jika
kita naik kuda. Kan bisa lebih cepat!" Matanya cemerlang bangga memberi usulan yang dianggapnya cemerlang. "Ya, benar," kata Anengah mengangguk. Kepada Kala
Modot ia berkata, "Cepat perintahkan anak buahmu
membawa semua kuda itu kemari. Kau ikut kami. Yang
lain bisa kami ampuni."
"Tentunya yang belum mati lho, he he he he..." kata
Tantri. Tak berapa lama, mereka telah melanjutkan perjalanan. Tari, Tantri, dan Anengah. Ketiganya di punggung kuda. Anengah memang agak sulit, tetapi dapat
dipaksakannya. Kala Modot diikat di pelana kuda. Didampingi oleh Tari yang selalu siap dengan si Galih-nya.
Ada tiga ekor kuda lagi yang mereka bawa. Menurut pikiran Tari ini untuk oleh-oleh si buyut, atau kepala de-sa, Mirejo itu.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya Tantri mengoceh. Sedikit terhibur rasanya perasaan hati Tari.
Pengetahuan Tantri sangat luas. Berbicara tentang apa
pun bisa. Sayang bahwa berbicara apa pun ia selalu
menyelipkan hal-hal yang dianggapnya lucu.
Menjelang sore daerah semak belukar telah mereka
tinggalkan. Ladang-ladang luas terhampar. Dan di bawah mereka tampak sebuah desa.
"Itu Mirejo," kata Tari. Jelas terdengar nada lega di
suaranya. Sepanjang perjalanan tadi ia merasa begitu
tegang. "Belum tentu kita aman," bisik Anengah. "Yang penting, kakiku harus segera sembuh. Setelah itu barulah
aku merasa lega."
"Tentu saja, siapa bisa merasa lega kalau kakinya
sakit!" sela Tantri, tertawa.
Ketika rombongan itu mulai memasuki desa, maka
orang pun geger. Anak-anak kecil berhamburan datang
menonton. Orang-orang dewasa tadinya berhamburan
datang, namun melihat si Kala Modot mereka tertegun
dan cepat bubar. Sebagian berlari mendahului pergi ke
rumah buyut. Rumah buyut halamannya luas. Dipagari dinding tanah yang tinggi. Dan tampak
dikawal oleh beberapa
orang penduduk desa bersenjatakan tombak. Mereka
langsung mengelilingi Tari dan kawan-kawan.
"Paman Wirot, Paman masih ingat aku?" Tari melompat turun dari kudanya, berbicara pada salah seorang pengawal itu. "Aku ingin bertemu dengan Sang Wirak." Lama Wirot tak menjawab. Ia memperhatikan Kala
Modot yang melotot padanya.
"Hei, rambut api, kau ditanya dengar tidak?" teriak
Tantri kurang ajar. Rambut Wirot memang kemerahmerahan. "Tantri!" cegah Tari.
Tapi Wirot juga tak memperhatikan Tantri.
"Buyut Wirak tak bisa menemui siapa pun," katanya
kemudian. "Sarika sedang bersiap untuk menghadap Akuwu."
Tari tertegun. Belum pernah sambutan terhadapnya
begitu dingin. Tapi Tantri telah menyahut, "Kebetulan
kalau buyut itu pergi. Kita hanya mau pinjam tempatnya kok, untuk menyiksa orang
ini!" "Kalau begitu, silakan melanjutkan perjalanan," kata
Wirot. "Kurang ajar!" bentak Tantri. "Kau tak kenal para
orang besar dari Rahtawu ya" Tadi si gandarwa Kala
Modot ini menghadang kami dengan empat puluh delapan orang pengikut. Toh sarika berdua ini sanggup menghancurkan mereka, dan
bahkan menawan pemimpinnya! Hayo. Apa kalian bisa menirukan kemampuan
itu" Tak mungkin, kan" Nah, kalau kau melarang, apa
sulitnya sih merobohkan rumah ini!"
Wajah Wirot makin muram. Ia merenungi kaki Anengah yang terjuntai dari kuda. Hampir menggumam ia
berkata, "Para murid Rahtawu memang sangat kami
hormati, tetapi janganlah menyulitkan kami yang kecil
ini. Kami silakan melanjutkan perjalanan."
"Gila! Itukah keputusan buyut-mu yang tak keruan rupanya itu?" teriak Tantri.
"Wah ini keterlaluan.
BUYUT WIRAAAAK!" tiba-tiba Tantri berteriak keras sekali. "BUYUT WIRAAAK! KELUAR KAUUU!"
"Tantri!" Tari berseru terkejut, bahkan langsung menarik anak itu turun dari kudanya. "Kau gila! Jangan
begitu tidak sopan!"
Tetapi Tantri tak peduli. Ia masih berteriak, "BUYUT
WIRAAAK! DESAMU INI BUKAN KUDADU, TAK SULIT
BAGI KAMI UNTUK MERATAKANNYA DENGAN TANAH!"
"Oh, maafkan kami, Paman Wirot," gugup Tari menyusun tangan menghadap Wirot. "Ampuni kesalahan
saudara kecil ini, Paman...."
"Tidak, dia benar, ini bukan Kudadu, tapi kami wajib


Candika Dewi Penyebar Maut I I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberi perlindungan bagi siapa pun yang memerlukannya," tiba-tiba terdengar suara dari dalam rumah.
Dan di pintu berdiri Buyut Wirak, seorang tua yang masih gagah dan tegap.
"Mereka betul-betul membawa Kala Modot, Buyut,"
kata Wirot. "Yang sudah terjadi, terjadilah. Suruh anak buahmu
memperkuat penjagaan desa, Wirot. Suruh semua orang
berada di dalam desa sebelum matahari terbenam. Kemudian kau masuk ke dalam untuk berbicara dengan
tuan-tuan ini...."
Bagian dalam rumah buyut itu luas. Dingin. Tinggi
langit-langitnya. Mereka duduk di lantai, masingmasing menghadapi semangkuk minuman panas. Anengah masih harus bersandar ke tiang agung. Kala Modot diikat pada sebuah tiang dijaga oleh Tantri yang suka menggodanya dengan,
misalnya saja, mencabuti bulu di
bawah ketiaknya.
"Maafkan kami, murid-murid Rahtawu," kata Buyut
Wirak. "Jika kami tidak terlalu bersahabat, maka itu karena kami mencoba
melindungi penduduk desa ini."
"Dalam hal apa, Buyut?" tanya Tari.
"Yang Tuan-tuan bawa ini adalah kepala perampok
yang terkenal di daerah ini. Terkenal jahatnya. Terkenal kejamnya. Terkenal
saktinya. Terkenal sangat banyak
anak buahnya. Aku tidak takut, tetapi penduduk sangat
ngeri memikirkan pembalasan yang akan dilakukan
anak buahnya pada desa ini. Kita tentunya maklum, bukan?"
"Kami... tidak tahu siapa Kala Modot ini," kata Anengah sambil meringis menahan sakit. "Kami ingin tahu.
Dia telah menutup pintu masuk ke Rahtawu. Bahkan
kami pun ingin dihalanginya. Kami... tentu saja... ingin tahu kenapa...." Ia
memandang pada Kala Modot.
"Jika Buyut takut pembalasan anak buah monyet
rambut berantakan ini, tenang sajalah." Tantri mengilik-ilik hidung Kala Modot
dengan sebatang lidi. "Dedengkotnya saja berhasil kami tawan kok... apalagi para cecunguknya! Hei, Kala Modot. Kau mau mengaku kan
kini" Kau mungkin kebal, tapi kalau lidi ini kudorong
terus, teruus, teruuus ke dalam hidungmu... apa tidak
muncul di telinga?"
"Yang kupikirkan... Kala Modot memang perampok
besar. Tapi sampai dia berani menentang Rahtawu, maka mestinya ia punya tulang punggung sangat kuat,"
kata Buyut Wirak perlahan. Mata tuanya kemudian terangkat. Dari bawah alisnya yang putih dan lebat hingga hampir menutup mata ia memperhatikan Kala Modot. "Aku sudah tua. Apa pun balasanmu, Kala Modot,
aku tidak peduli. Aku hanya tak ingin desaku ini mendapat kesulitan. Kuharap kau bisa mengaku tanpa harus disiksa. Agar dendammu tak terlalu tertuju pada
desa ini. Agar sukmamu memperoleh jalan lurus dan
lapang." "Sudah! Jangan banyak bicara lagi. Biar aku yang
menanggung dosa jika si Kala Modot ini mendendam!"
Tantri mencengkeram leher Kala Modot dan bersiap untuk menghunjamkan lidinya ke lubang hidung orang
itu. "Tantri! Jangan!" cegah Tari.
Tapi Kala Modot telah menjerit keras, "Ampun! Jangan! Ampun!" Dan ia menangis tersedu-sedu ketika
Tantri melepaskan cengkeramannya. Betul-betul menangis dengan air mata bercucuran!
"Hi hi hi... kau cengeng juga ya?" ejek Tantri. "Hayo,
sekarang ngaku!" Main-main Tantri melecutkan lidinya
pada leher Kala Modot. Sekali lagi Kala Modot menjerit
keras. "Jangan... jangaaan..." Ia sampai terengah-engah ketakutan. Tantri
berdiri. Berkacak pinggang. Tersenyum.
Saat itu hari telah gelap. Beberapa pembantu rumah
tangga telah menyalakan lampu-lampu biji-bijian. Lidah
api lampu itu bergoyang-goyang. Sinarnya kemerahan.
Dan itu membuat Tantri yang kini bertelanjang dada bagaikan patung tembaga. Wajahnya tampak manis. Matanya bersinar nakal. Tari yang memperhatikan anak
itu mau tak mau merasa sedikit kagum. Ulah api lampu
membuat Tantri bagaikan patung Sri Kameswara waktu
muda. Matanya pun bagai memancarkan api. Berwibawa. Kejam. Agaknya Kala Modot juga merasakan hal itu. Ia tunduk. Wajahnya yang seram kini luruh dan kuyu.
"Aku akan bercerita," katanya lemah.
"Terserah," goda Tantri. "Asal jangan cerita tentang
Binatang Yang Lima saja." Ia tertawa membicarakan sebuah dongeng yang sering diceritakan para ibu kepada
anak-anak menjelang tidur. "Dan ingat, kalau kau berdusta sedikiiiit saja, lidiku ini akan tahu."
Kala Modot menghela napas panjang. Kemudian ia
mulai bercerita.
Beberapa bulan yang lalu, hidupnya begitu tenang.
Tenang dalam dunianya, tentu. Penuh hiruk-pikuk perampokan, penuh hura-hura kenikmatan merasakan
hasil rampokan, gegap-gempita dengan pertarunganpertarungan yang baginya begitu memuaskan.
Kemudian ia mendengar sahabat karibnya, Begal
Singandaka dari Gunung Lejar mendapat musibah. Sarang Singandaka telah diobrak-abrik oleh sepasukan
bhayangkara dari Daha. Bahkan istrinya, Ken Lumbang, ditawan oleh pasukan tersebut untuk dibawa ke
kotaraja. Kala Modot langsung mengerahkan anak
buahnya mengejar. Dalam gerebekan di tepi Bengawan,
Kala Modot berhasil merebut kembali Ken Lumbang.
"Huh, apa susahnya sih mengalahkan pasukan
bhayangkara dari Daha" Jangan kau begitu bangga!"
tukas Tantri menendang paha Kala Modot. Kembali Kala
Modot menjerit kesakitan. "Aku yakin dengan satu tangan terikat pun Kak Tari sanggup menghancurkan sepuluh pasukan. Jangan kata hanya satu! Jadi tidak
usah bangga ya!" bentaknya.
"Ba... baik... baik...," kata Kala Modot setengah mengeluh. Ken Lumbang dan dua orang pengikutnya segera dilarikannya ke Selagung. Salah seorang pengikut Ken
Lumbang itu selalu berkerudung penutup muka. Dan
baru kemudian Kala Modot tahu bahwa sesungguhnya
Ken Lumbang juga tak kenal wanita yang tak tampak
mukanya itu. Menurut Ken Lumbang, suaminyalah
yang membawa wanita tersebut. Dianggapnya sebagai
rampasan saja. Hanya... sering kali wanita itu tak mau
melakukan tugasnya sebagai budak.
Tapi saat itu keanehan tersebut tak terpikirkan oleh
Kala Modot. Ia begitu gembira bisa selalu dekat dengan
Ken Lumbang. Dan agaknya Ken Lumbang pun membalas perasaan hatinya.
"Dasar binatang terendah martabatmu!" dengus Tantri. Istri Kala Modot sendiri, Ken Hangi, tentu saja merasa tak senang. Tapi
Kala Modot tak peduli. Ken Lumbang begitu cantik dan begitu pandai memuaskan hatinya. Sampai suatu malam...
Ken Hangi memergoki Kala Modot sedang bermesraan dengan Ken Lumbang. Ken Hangi meluap dan
menyerang Ken Lumbang. Kala Modot tak tahan dan
menghajar Ken Hangi habis-habisan.
Ken Hangi malam itu lari dari Selagung. Dengan ancaman akan membalas dendam. Kala Modot tak peduli.
Ia tahu siapa Ken Hangi. Dan keluarganya. Ia juga yakin akan ketenarannya sebagai tokoh berandal di Selatan. Kepada siapa pun Ken Hangi minta bantuan, rasanya Kala Modot akan bisa menyambutnya dengan tertawa. Tapi akhirnya ia tidak tertawa. Ken Hangi tak berapa lama datang lagi. Bersama wanita yang selalu menutup muka itu. Diikuti seseorang yang bertubuh gendut. Mula-mula Kala Modot juga masih tertawa. Kemudian wanita asing itu membuka tutup mukanya. Kala
Modot terpesona. Wanita itu begitu cantik.
"Seperti bidadari?" sela Tari tak sengaja. Ia teringat
akan cerita Tara. Tapi tadi tempat itu begitu sunyi oleh cerita Kala Modot
hingga Tari sendiri terkejut oleh suaranya. Kemalu-maluan ia memandang Anengah.
Ter- nyata Anengah juga sedang memandang padanya.
Agaknya Anengah pun berpikir serupa. Pastilah wanita
itu adalah wanita yang telah membawa pralaya di Rahtawu. "Seperti bidadari," kata Kala Modot lemah.
"Enak saja!" dengus Tantri. Dan sekali lagi leher Kala
Modot menjadi korban cambukan lidi anak itu. Tari
kembali heran. Orang segalak Kala Modot toh terpaksa
menjerit-jerit hanya karena cambukan sebatang lidi di
tangan seorang anak kecil! "Tak ada yang secantik bidadari kecuali Kak Tari! Ya toh" Ayo, jawab, iya nggak?"
Tantri mengacungkan lidinya.
"Iya! Iya!" jerit Kala Modot ketakutan. Tantri tertawa
terkekeh-kekeh. Kini Buyut Wirak juga memperhatikan
Tantri dari balik alis matanya yang putih dan gondrong
itu. Dan orang tua itu pun memandang Anengah. Tari
bisa melihat pertanyaan di mata tua itu. Betulkah Tantri juga murid Rahtawu" Tampaknya kok terlalu... kurang ajar. Tari mencoba menghindari pandangan mata orang
tua itu. "Lalu?" akhirnya ia bertanya.
Kala Modot kemudian semakin tercengang. Si Gendut yang tadinya dikiranya takkan lebih gesit dari seekor kerbau tambun itu ternyata sanggup membuat semua anak buah Kala Modot tunggang-langgang. Bahkan Kala Modot pun ternyata tak sanggup berbuat apa
pun. "Puih! Begitu kau berani melawan Kak Tari! Dengar,
Kek Buyut, dengan mata tertutup saja si Gendut itu
menggelinding ditangani Kak Tari! Apalagi dia ini!" kata Tantri.
"Tantri!" desis Tari.
"Kenapa" Kan memang begitu tadi. Tanya saja si Kala Modot ini. Iya kan, Dot?" Tantri tertawa pada Kala
Modot. "Iya! Iya!" Kala Modot cepat-cepat mengangguk. Tantri tersenyum puas.
Kala Modot melanjutkan ceritanya.
Para berandal Selagung mencoba mengeroyok kedua
orang itu. Dua puluh tiga orang. Mereka adalah para
dedengkot rampok yang bahkan ditakuti oleh pasukan
bhayangkara. Tapi mereka dipermainkan dengan mudah oleh si Gendut dan wanita itu. Terutama wanita itu.
Senyumnya saja sudah sanggup untuk membuat orang
tertegun. Harum badannya membuat orang pusing. Dan
sambaran selendangnya bahkan dapat membuat pohon
roboh! "Sudah! Jangan terlalu memuji! Bisa kupuntir kepalamu agar kau hanya bisa memandang Kak Tari saja
seumur hidup!" tukas Tantri.
"Siapa namanya?" tanya Anengah lemah.
"Dia... dia tak menyebutkan namanya, tapi... tapi
wanita itu tanpa berkedip telah membunuh sembilan
belas orang anak buahku, dan sepak terjangnya kemudian... Jika kau salah menoleh saja, jika ada sedikit saja gerakanmu yang tak
disukainya, maka ia akan langsung mencabut nyawamu...." Kala Modot termenung.
"Ken Lumbang dipukul pecah kepalanya hanya karena
berani minum sebelum wanita itu minum! Padahal mereka berada di tempat yang sangat berjauhan!"
"He, kau menyesali kematian wanita itu?" tanya Tantri. "Tidak. Sekadar gambaran mengapa kemudian diamdiam ia diberi julukan... Candika... Dewi Pencabut Nyawa!" Kala Modot menundukkan kepala.
Beberapa saat tempat itu sunyi. Tari yang tak tegaan
mengambil tempurung tempat air dan memberi minum
Kala Modot. Kala Modot melirik Tantri.
"Untuk apa lihat-lihat segala?" dengus Tantri. "Mau
menolak pemberian Kak Tari" Bisa kulubangi lehermu,
tahu?" Tergopoh-gopoh Kala Modot minum air yang disodorkan Tari ke mulutnya.
Kala Modot melanjutkan ceritanya.
Dewi Candika - nama itu kemudian menjadi semacam nama rahasia yang dipakai oleh kalangan hitam ternyata tidak hanya menghukum Kala Modot untuk
perbuatannya pada Ken Hangi. Bahkan Ken Hangi pun
akhirnya tewas di tangannya. Maksud utamanya ternyata adalah mengumpulkan semua jago-jago kalangan
hitam. Dan hanya yang betul-betul jago saja yang dikumpulkannya. Mereka yang dianggap lemah langsung
dihabisi. "Si Gendut... siapa namanya?" tanya Tari. Ia teringat
pada peristiwa di Telaga Biru dulu. Mungkinkah si Gendut ini sama orangnya dengan si Buruk Muka yang ditemuinya di sana itu" Tari memalingkan muka. Memandang ke luar. Dari Jendela terlihat di luar gelap.
Hanya agak jauh di sana, beberapa orang tampak mondar-mandir dengan membawa obor. Dari sini pun terlihat bahwa orang-orang itu bersenjata. Sesuatu yang tak
biasa terjadi di desa Mirejo ini.
"Kami tak pernah tahu namanya," kata Kala Modot.
"Mereka tak pernah berbicara. Hanya saling pandang
dan masing-masing tahu apa yang harus dilakukan.
Dan yang mereka lakukan biasanya sungguh mengerikan," Kala Modot berhenti sesaat. Dipandangnya Tari
yang kini semakin tertarik melihat ke luar jendela. "Aku pun biasa membunuh
tanpa berkedip. Tapi aku masih
pilih-pilih. Sarika tidak. Seakan-akan tak ada maksud sama sekali. Asal ia ingin
membunuh, dibunuhlah."
"Lalu... apa hubungannya dengan Rahtawu?" tanya
Tari yang kini telah berdiri di depan jendela, membelakangi yang lain.
"Itulah. Semua gerombolan yang dikumpulkannya
diberi tugas satu. Kepung Gunung Rahtawu. Jangan


Candika Dewi Penyebar Maut I I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampai ada yang berhasil lolos turun gunung dalam
keadaan hidup," kata Kala Modot lemah.
"Dan kau mau saja menerima perintah gila seperti
itu?" tanya Tari dari jendela. "Kau toh tahu orang-orang bagaimana yang tinggal
di Rahtawu. Harta kami tak punya. Dendam rasanya tiada. Dan kau memusuhi kami?"
"Aku... kami terpaksa. Semua yang berada di bawah
kekuasaannya memiliki sesuatu kelemahan. Dan justru
kelemahan-kelemahan kami itulah yang dikuasainya.
Dan kami tak bisa berbuat apa-apa kecuali melakukan
apa perintahnya," kata Kala Modot menunduk.
"Dan kelemahanmu apa, Kala Modot, hingga kau berani memusuhi Rahtawu?" tanya Anengah.
"Awas!" tiba-tiba Tari berseru. Semua terkejut, tetapi
terlalu terkejut untuk bergerak. Tari sendiri menjatuhkan diri ke belakang dan berguling ke kiri.
Tari merasakan sambaran panas. Dan sebilah tombak menancap di dada Kala Modot. Melesat menderu
lewat tempat tadi Tari berdiri.
5. PERJALANAN TIBA-TIBA saja di situ telah berdiri seseorang. Seorang wanita yang berpakaian
pria dengan memakai jubah
berwarna biru laut yang mengkilap serta menutupi seluruh tubuhnya. Ikat kepalanya berkilauan terkena sinar kemerahan lampu yang ada. Wajahnya tak jelas. Tetapi dalam pandangan sekilas Tari melihat bahwa tak
mungkin orang ini yang dijuluki "bidadari" baik oleh
Tara ataupun Kala Modot. Wajahnya memang tidak buruk, tetapi jelas sudah tua.
"Kelemahannya adalah... ia terlalu sayang pada nyawanya," kata orang itu serak. "Kalau nyawanya terancam, maka ia akan lebih suka melakukan apa saja. Asal
ia selamat. Sekarang, ia terpaksa melepaskan apa yang
paling disayanginya itu. Seperti semua yang ada di sini."
Matanya menyapu orang-orang yang ada. "Kalian semua
jelas harus mati. Kalian anak-anak Rahtawu, memang
sudah digariskan untuk hanya bernapas sampai saat
ini. Buyut Wirak, kau orang tua tak tahu diri. Berani
menerima orang yang jelas tidak kami sukai. Kau dan
semua penduduk desa ini, harus menanggung hukumannya." "He, aku bagaimana?" Tantri tertawa mendekat,
mengayun-ngayunkan lidinya. "Aku bukan orang Rahtawu. Juga bukan orang Mirejo. Nah, lalu apa salahku,
apa hukumanku, siapa pembelaku, siapa yang berani
menghukumku, dan bagaimana kalau aku lalu..." sementara bicara dan tertawa serta mendekat tadi Tantri
seolah tak acuh mengeluarkan seruling yang selama ini
diselipkannya di pinggangnya, "...melarikan diri?" Dan
tiba-tiba saja Tantri mematahkan seruling itu menjadi
dua. Dari patahan seruling tadi terlontar dua butir bulatan putih, yang melesat cepat - sebutir terbanting membentur lantai, sebutir lagi melesat ke arah wanita tua
itu. Tari yang saat itu masih terbaring di lantai tak sempat menjerit. Terdengar
ledakan keras saat butiran pertama membentur lantai. Asap tebal pun langsung menggumpal. Tebal. Besar. Berkembang cepat. Butir yang
sebuah lagi telah ditampar oleh si wanita tua. Menyusul ledakan kedua yang
terjadi karenanya. Menggelegar.
Dan menyemburkan api.
Suatu bau yang menusuk hidung menyesakkan dada. Pandangan pun terhalang oleh asap yang tebal pekat. Kegelapan yang ditingkah semburan api. Menyambar dan mengobar.
Tari mencoba melompat berdiri. Seseorang tiba-tiba
memegang tangannya. Serta-merta Tari memutar tubuhnya untuk melancarkan tendangan Bantala Liwungnya. Tetapi orang itu agaknya mengenal sekali gerakan
tersebut, walaupun sama sekali tak terlihat.
"Ayo lari!" didengarnya seseorang berbisik tergesagesa. Suara Tantri. Dan tangannya pun ditarik. Hampir
saja Tari memutar tangan serta membanting tangan
yang memegangnya. Tapi entah kenapa puntirannya
punah dengan sendirinya. Dan serasa tak bertenaga ia
melompat bersama Tantri. Keadaan begitu gelap, hingga
batang hidung sendiri pun tak terlihat. Dan bau asap
itu begitu tajam hingga Tari tak berani bernapas. Tapi
dengan mudah Tantri menemukan jendela itu. Sesaat
Tari ingin meronta melepaskan diri. Namun pegangan
tangan kecil Tantri begitu aneh. Tidak keras, tetapi juga tidak mudah dilepas.
"Cepat," bisik Tantri lagi, hanya terdengar suaranya
dan terasa pegangan tangannya. Sementara itu di belakang terdengar jeritan dan makian. Hiruk-pikuk yang
semakin ramai karena beberapa belas orang berlompatan. Agaknya mereka ingin masuk ke dalam, tapi karena
begitu gelap tak urung dinding dan tiang terhajar oleh
mereka. Dan barang-barang pun berantakan. Disusul
oleh api yang tiba-tiba berkobar merajalela. Tari sudah melompati pagar rumah
Buyut Wirak saat rumah besar
itu roboh. "Kakang Anengah!" seru Tari sesaat waktu mereka
berdua bertengger di atas pagar yang dibuat dari tanah
kering. "Jangan dipikirkan," desis Tantri sambil terus menyeret Tari. "Bahaya jika kita menunggu. Kakakmu kan
sudah cukup besar. Pasti ia bisa menolong dirinya sendiri. Kita yang kecil-kecil ini harus saling tolong. Dan kalau merasa tak kuat,
harus lari. Ayo!"
Tantri menariknya. Mau tak mau Tari pun terpaksa
ikut meloncat turun. Dan dirinya terus diseret berlari.
Desa itu kalang-kabut. Orang-orang berlarian. Besarkecil berhamburan. Semuanya saling teriak. Semuanya
menjerit-jerit. Di belakang mereka rumah Buyut Wirak
tampak berkobar. Api menggunung membesar. Suara
tong-tong pun membuat suasana makin mencekam.
Beberapa lelaki bersenjata meneriakkan perintah-perintah untuk mengatur orang-orang lain. Tapi terdengar
juga hardikan-hardikan keras. Dari sudut matanya Tari
melihat ada serombongan orang lagi muncul. Yang ini
membuat kacau suasana. Mereka bukan saja menghalangi orang-orang yang mencoba memadamkan api, tetapi juga malah secara membabi-buta menerjang orangorang Mirejo. Mereka pun tidak pilih-pilih. Asal ada
makhluk yang bisa bergerak, mereka labrak. Dan memang bukan manusia saja yang kini berada di jalanjalan desa Mirejo. Ternak peliharaan juga ikut-ikut
membuat ramai. Ternak-ternak ini pun menyumbangkan suara-suara mereka yang hiruk-pikuk.
Tari ditarik Tantri berlari menjauhi jalan utama. Mereka memasuki lorong-lorong kecil dan gelap di antara
rumah-rumah. Beberapa kali Tantri harus menggunakan si Galih untuk menyelamatkan diri dari benturan
melawan orang-orang yang datang dari depan. Tari sendiri sudah lupa akan tongkat itu. Rupanya Tantri sempat menyambarnya dan kini menghantam siapa saja
yang mencoba mendekati mereka.
Ini tidak benar, pikir Tari sambil berlari. Mengapa ia
melabrak orang-orang desa ini" Mengapa ia lari tanpa
tahu mengapa" Lebih buruk lagi: mengapa ia lari meninggalkan saudara seperguruannya dalam keadaan
bahaya" Tari menghentikan langkah. Tantri yang beberapa
saat yang lalu telah melepaskan pegangannya untuk lebih leluasa membuka jalan di depan terpaksa berhenti
tiba-tiba di ujung sebuah gang.
"Ayo!" teriak Tantri, melompat ke kiri dan merapatkan diri ke sudut sebuah rumah untuk menghindar
dari sebuah keluarga yang menghambur masuk ke gang
itu. "Tidak, aku harus menolong Kakang Anengah!" jerit
Tari dan berbalik serta mencoba berlari ke ujung gang.
"Tunggu!" teriak Tantri. Kakinya terulur. Dan Tari jatuh tersungkur. Keras. Mukanya terbanting ke dalam
sebuah kubangan kecil berlumpur. "Maaf," Tantri cepat
membangunkannya. "Jika kita kembali ke sana, kita tak
akan bisa kembali lagi ke mana pun!"
"Tapi aku harus menolongnya!" Tari mengibaskan
tangan Tantri, sambil mencoba mengusap lumpur yang
ada di mukanya.
"Itu tindakan sia-sia," kata Tantri menghadang di
depan Tari. "Dan melakukan tindakan yang kau tahu
hasilnya sia-sia adalah... sia-sia!" kata Tantri lagi.
"Tapi aku harus tahu apa yang terjadi padanya," tiba-tiba ada suatu perasaan yang begitu mencekam. Kalau terjadi sesuatu dengan Anengah, sesuatu yang...
yang... Tari tak berani memikirkan lebih lanjut. Mungkin ia dan Anengah saja yang selamat turun dari Rahtawu. Dan jika Anengah tiada...
"Aku harus melihatnya!" teriak Tari, langsung lari.
"Tunggu," Tantri mencoba menghadang lagi. Tapi dengan gerakan Sura-caya Tari berhasil menghindar ke ki-ri. Tantri tidak gugup.
Cepat ia menyodorkan si Galih ke kanan, sementara tubuhnya melesat ke depan dan
tangannya terentang lebar. Tari tak menghentikan langkahnya. Akibatnya Tantri harus menjerit keras. Langkah kaki Tari secara tak sengaja telah membentur dada
Tantri. Tari melompat lagi ke depan, sementara Tantri
berputar untuk melenyapkan dampak benturan kaki
Tari tadi. Ia pun menjatuhkan diri dan tangannya terulur menyambar ujung kain Tari.
Tari terpaksa berhenti. Jika ia meneruskan langkahnya, akibatnya jelas. Tantri tak akan melepaskan ujung
kainnya. Dan pasti kain itu akan terenggut lepas dari
tubuh Tari. Dalam sesaat itu pertimbangan rasa malu
muncul secara wajar. Dan Tari berhenti. Yang membuat
ia heran adalah... bagaimana Tantri bisa mengulurkan
tangan pada saat yang tepat hingga sanggup menyambar kain Tari" Pada galibnya gerakan Sura-caya tak ter-duga dan tak bisa
dihadang. Kecuali oleh seseorang dengan kemampuan tinggi. Kini baru Tari sadar. Kemungkinan Tantri ini orang yang berkemampuan tinggi!
"Hei, jangan memandangku seperti itu!" kata Tantri,
dan memang, beberapa saat tadi Tari memandangnya
bagaikan baru kali itu ia melihat Tantri. Ia mengulurkan tangan, menarik Tari ke
pinggir agar terhindar dari tubrukan dengan orang-orang yang bagaikan mengalir di
gang itu. "Aku... aku ingin tahu nasib Kakang Anengah," kata
Tari lemah. Sesaat Tantri tampak berpikir. Kira-kira begitulah.
Sebab tempat itu begitu gelap. "Baiklah," akhirnya Tantri berkata. "Ayo ikut aku." Tantri berlari ke ujung gang.
Kini tanpa ditarik pun Tari mengikuti anak itu. Mereka
merambat di dinding-dinding rumah, menghindari orang-orang yang berlarian lintang-pukang. Di jalan
utama terlihat suatu pertempuran kecil. Beberapa pria
desa bertarung melawan orang-orang yang tampaknya
memang ahli bertarung. Senjata mereka sekali-sekali
tampak berkilau di sinar api yang kini telah melahap
dua buah rumah di samping rumah Buyut Wirak. Sesaat Tari berhenti.
"Kita tak bisa membantu mereka," kata Tantri. "Ayo!"
Tantri melompat ke beranda sebuah rumah. Berdiri
di pagar beranda itu. Dan melompat ke atap. Tari menyusulnya. Mereka berlompatan dari atap ke atap. Atapatap ijuk itu sering membuat Tari hampir terjerumus.
Tetapi ia lebih memperhatikan gerakan-gerakan Tantri.
Dengan mengingat cerita Bibi Madraka, mungkin ia bisa
mengira-ngira apakah Tantri memang orang yang berkemampuan tinggi.
Tetapi ia tak melihat hal yang luar biasa dari gerakan
Tantri. Gerakannya bahkan mirip gerakan orang yang
tidak menguasai tata gerak kewiraan. Beberapa kali
tampak ia terpeleset. Beberapa kali hampir terjerumus.
Beberapa kali lompatannya ke atap rumah yang lain
hampir tidak sampai.
Tantri mendekam di puncak atap rumah di seberang
rumah Buyut Wirak. Tari pun berjongkok di sebelahnya.
Ia harus berusaha keras menindih perasaannya.
Halaman rumah Buyut Wirak terang-benderang. Belasan orang mencoba memadamkan api. Beberapa
orang lagi mencoba menghalangi mereka yang ingin
memadamkan api. Dan orang-orang ini, walaupun penduduk desa, agaknya tahu apa yang mereka lakukan.
Kelompok pendatang agak kesulitan menghadapi mereka. "Mereka takkan bertahan lama," bisik Tantri. "Tapi
lumayan juga anak buah Wirot itu. Yang mereka hadapi
adalah gerombolan perampok-perampok dari Hutan
Kumbina." "Bagaimana kau tahu?" tanya Tari, matanya nyalang
mencari-cari kalau-kalau terlihat Anengah. Ada suatu
rasa sakit dalam perutnya. Memikirkan apa yang terjadi, apa yang mungkin terjadi dengan Anengah.
"Itu Ula Bandotan," kata Tantri, menunjuk pada seorang lelaki bertubuh pendek yang dengan gesit menabas
siapa saja yang berada di dekatnya. Dia pimpinan para
perampok di hutan itu.
"Dan orang berbaju biru itu" Siapa dia?"
"Wuah! Dia berita buruk! Aku kenal dia... lebih baik
lari saja kalau kau seorang lelaki. Dewasa ataupun
anak kecil baginya sama saja. Asal lelaki dan dia suka...
hhh... Dia tak akan mau melepaskanmu!" Tantri tak terasa memperendah suaranya.
"Kau takut padanya?"
"Tentu! Kaukira aku ini apa, huh" Mana aku berani
menghadapi orang sesakti dia... aku toh bukan murid
Rahtawu!" Tari melirik Tantri. Apakah anak ini mengejek"
"Aku harus turun. Aku harus tahu nasib Kakang
Anengah," kata Tari.
"Celaka!" tiba-tiba Tantri mengeluh. "Ilmu pendengarannya sungguh tajam!"


Candika Dewi Penyebar Maut I I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa?" bisik Tari.
Tantri tidak menjawab. Tari pun lupa menunggu jawaban. Di bawah sana terjadi sesuatu.
Dari balik kepulan asap, Tari melihat tiba-tiba saja
muncul cahaya kebiru-biruan di beranda rumah Buyut
Wirak yang seluruhnya sudah diliputi api itu. Si Jubah
Biru muncul! Berdiri tegak. Tak peduli. Si Jubah Biru seolah memandang ke arah mereka yang bersembunyi di atas
atap. Jubah birunya melambai-lambai mengikuti kobaran api di sekelilingnya. Bagaikan kena angin. Birunya
kemilau bermain di cahaya kobaran api yang merahkuning. Dan baik si jubah maupun pemiliknya sama
sekali tak terganggu oleh api. Ada hal lain yang lebih
menarik perhatian Tari. Orang itu menyeret seseorang Anengah! Ya. Anengah. Dari kejauhan memang tampak kain
Anengah terbakar di sana-sini. Juga terlihat luka bakar di tubuhnya. Tapi jelas
pemuda itu masih hidup. Dan
masih bersemangat. Sekilas terlihat betapa Anengah
mencoba melancarkan salah satu pukulan melengkung
Bantala Liwung ke arah pinggang si Jubah Biru. Tapi jelas Anengah tak memiliki kuda-kuda yang kuat sebagai
landasan. Dan dalam keadaan seperti itu tak mungkin
ia bisa mengerahkan tenaga. Si Jubah Biru menoleh
pun tidak. "Kakang Anengah!" tak terasa Tari berdesis.
"Jangan!" Tantri tergesa mencegah. Tapi terlambat.
Bahkan dari jarak sejauh itu, dari balik kepulan asap
dan di tengah hiruk-pikuk memekakkan telinga itu si
Jubah Biru kini seakan tahu lebih persis lagi dari mana asal bisikan tadi. Dan
ia tertawa. Suaranya serasa pecah. Serak. Tidak keras namun terdengar jelas.
"He he he... agaknya kau masih di situ, anak manis?"
katanya serak, melemparkan Anengah kepada salah
seorang anak buahnya dan turun ke halaman. Berjalan
perlahan ke arah rumah tempat Tari dan Tantri bersembunyi di atapnya. "Jangan-jangan kau memang
sayang padaku, anak manis, walaupun kau berulang
kali lari dariku. Kau tadi sudah kuberi kesempatan untuk lari... eh, masih juga kau kembali. Sekarang... yah, apa boleh buat... tak
bisa aku berbuat pura-pura tak
kenal padamu, anak manis!"
Tantri menepuk punggung Tari, dan mendahului meloncat turun ke bagian belakang rumah. Tari heran, tapi ia segera menyusul.
Tantri begitu bersungguh-sungguh. Dan ketakutan.
Ia menggamit Tari untuk bersembunyi di balik tumpukan kayu kering di kandang. "Dengar baik-baik. Kita
harus berpisah," bisik Tantri. "Aku yakin aku akan berhasil ditangkapnya. Aku tak ingin kau ikut tertangkap
bersamaku. Tapi aku pasti lolos. Kau pergilah ke arah
barat. Mungkin sebelum mencapai Kotaraja, aku akan
berhasil menyusulmu. Kalau tidak, teruslah ke Kapanjian. Dekat Desa Pakisaji ada sebatang pohon beringin
putih. Tunggu aku di sana. Jangan khawatir tentang
Kakang Anengah. Aku akan menolongnya. Pergilah cepat!" Tiba-tiba Tantri mengulurkan tangan. Ujung jarinya
seolah tak sengaja menyinggung sebuah titik di pinggang kiri Tari. Terasa suatu getaran yang tajam dan menyengat. Mau tak mau Tari terpaksa meloncat. Meloncat
dengan sepenuh tenaga!
Bahkan sebelum Tari menyentuh tanah kembali, terdengar suara gedubrakan hebat. Rumah yang tadi mereka naiki terguncang hebat. Bagian depan rumah itu
roboh berantakan! Dan di antara ributnya suara gemuruh rumah rubuh itu suara serak tadi terdengar jelas,
"Hei, anak manis, kau masih ingin main sembunyisembunyian?"
"Aku di sini, Betari!" Tantri berteriak meloncat meninggalkan kandang dan menghantam sudut belakang
rumah itu. Dengan suara gemuruh robohlah rumah tersebut. Tari tak sempat berpikir lagi. Ia jatuh di luar pagar, dekat sebuah
lumbung. Belum kokoh berdirinya,
tiga orang lelaki bersenjata berloncatan menerjang. Gelap memang, tapi Tari bisa melihat bahwa salah seorang
di antaranya adalah orang yang tadi ditunjukkan Tantri
sebagai si Ula Bandotan. Dalam gelap senjata rantai besi hitamnya tak terlihat. Tetapi Tari mendengar desir
senjata itu lebih dahulu dari desir pedang dan tombak
yang tertuju juga padanya. Tari menekuk kaki kiri. Badannya melengkung dan berputar. Tangan kanan cepat
menabas sementara tangan kiri turun untuk bersiapsiap menjadi tumpuan. Jurus ke-11 Bantala Liwung ini memang ampuh untuk kepungan
dari tiga penjuru. Ula
Bandotan cekatan menggulingkan diri ke kiri dan ke belakang. Tak urung kaki kanan Tari berhasil mengganjal
lompatan mundur Ula Bandotan hingga benggolan perampok itu sesaat agak terhuyung berdirinya. Saat yang
hanya sekejapan mata itu digunakan Tari untuk memutar dirinya bagaikan baling-baling. Kini dada Ula Bandotan terkena dengan telak.
Kedua temannya lebih dahulu
telah tersungkur dan terpental menubruk tiang kandang. Tangan kiri Tari yang menyangga tubuhnya kini
telah melancarkan sambaran langsung. Tinju kecilnya
berhasil membuat tombak lawan yang diangkat untuk
menangkis patah menjadi dua. Tangan kanannya menyambar ujung tombak yang langsung digunakannya
untuk menyerang Ula Bandotan. Ula Bandotan gesit sekali berputar-putar dekat tanah. Namun gerakan dara
Rahtawu ini lebih cepat. Sekali tombak yang sangat
pendek di tangan Tari berhasil mengikat rantai Ula
Bandotan. Sesaat Ula Bandotan menyeringai riang di
kegelapan. Anak tak tahu diuntung ini ingin mengadu
tenaga dengannya" Boleh coba!
Namun Ula Bandotan terkejut. Ternyata Tari tidak
mengadu kekuatan, tetapi malah meminjam tenaga Ula
Bandotan! Tubuh kecil Tari bagaikan terbang melewati
kepala Ula Bandotan dan melesat ke atas kandang. Dengan kegemasan luar biasa dari atas kandang Tari
membantingkan tombak buntungnya pada Ula Bandotan yang masih bergulingan di tanah.
"Ampun!" terkesiap Ula Bandotan. Rasanya takkan
mungkin ia menghindari serangan itu. Tapi ia biasa
berpikir cepat. Kakinya menendang. Temannya yang sedang mendekat untuk mengejar Tari terbanting. Tepat
menerima ujung tombak yang dilemparkan Tari.
*** Hari pasaran di Angkusa. Tari duduk di bawah sebatang
pohon di pinggir pasar. Ramai sekali pasar itu. Para petani dari daerah sekitar
kota kecil tersebut seakan tumpah ke sana. Membawa apa saja yang mereka anggap
bisa dijual. Hasil pertanian. Hasil peternakan. Hasil ke-rajinan. Ah, alangkah
senangnya kalau ia masih berada
bersama saudara-saudara seperguruannya.
Tari sangat rindu pada mereka. Tari sangat rindu
pada gurunya, Bibi Madraka. Bibi Madraka selalu keras
dalam mengajar. Tetapi dalam perjalanan maka ia sangat berubah. Ia bagaikan seorang ibu yang sangat
memanjakan anak-anaknya. Tari dan lainnya selalu dibiarkan berbuat apa saja. Dengan batasan: mereka harus bisa bertanggung jawab akan apa yang terjadi. Diam-diam Tari tersenyum. Ia ingat dulu, tepat di hari pasaran seperti ini, Lati
yang bertubuh tinggi besar tertawa lucu melihat tingkah laku seekor anak kambing.
Seorang pemuda tani salah mengartikan tawa ini. Pemuda itu mengira Lati tertawa padanya. Dan ia tak mau
melepaskan Lati lagi. Mengikuti terus ke mana rombongan Bibi Madraka itu pergi. Dengan tekun ia terus
mencoba menjalin hubungan dengan Lati, mengajaknya
bicara. Membelikannya makanan. Memberinya pakaian.
Mula-mula Lati memang senang juga mendapat perhatian begitu besar. Tapi kemudian ia menjadi sebal. Apalagi saudara-saudara seperguruannya tak habishabisnya menggodanya. Apalagi karena Lati memang
tak menaruh perhatian pada pemuda itu. Apalagi si
pemuda makin lama makin mendesak. Mula-mula Lati
menolak secara halus. Kemudian menghardiknya. Bahkan akhirnya terpaksa memukulnya. Si pemuda tak peduli. Terus mengikutinya hingga sampai ke Kambang
Putih. Lati saat itu sudah sangat putus asa. Semua saudara seperguruannya tak mau membantu. Bibi Madraka
tak mau membantu. Bibi Sodrakara juga tak mau membantu. Akhirnya terpaksa Lati menegakan hatinya untuk menipunya. Ia naik ke sebuah kapal layar di Kambang Putih. Kapal itu akan berlayar ke Melayu. Dan di
tengah laut Lati terjun ke laut. Berenang semalaman
hingga mencapai daratan kembali. Untuk berenang sejauh itu memang Lati sanggup. Dan ia tahu si pemuda
tak bisa berenang.
Lati memang keji, tak terasa Tari tersenyum. Tapi
senyum itu langsung lenyap. Dan ia mengerutkan kening. Lati begitu berkepribadian. Sementara dia sendiri"
Tari menghela napas panjang. Apa yang telah dilakukannya beberapa hari terakhir ini" Perguruannya tertimpa bencana. Dan ia tak berbuat apa pun. Bahkan ia
tak tahu ke mana yang lain pergi. Bahkan ia merasa
menyayangkan seseorang yang sudah berat disangka
sebagai berkhianat pada perguruannya. Dalam hal ini
mungkin ia bisa dianggap benar, sebab Tara belum terbukti bersalah. Tetapi kemudian... ia telah begitu saja meninggalkan saudara
seperguruannya dalam keadaan
menderita di tangan pihak yang bermusuhan... dia telah
percaya saja pada seseorang yang baru saja dikenalnya... ya bahkan orang itu adalah seorang anak. Ya.
Mengapa ia bahkan mengikuti permintaan Tantri sepenuhnya" Tiga hari ini ia telah berjalan ke arah barat. Ti-ga hari ini ia
sesungguhnya melarikan diri. Tanpa keluar pikiran untuk, misalnya, mencari berita tentang
Anengah. Atau mendengar-dengarkan kabar tentang
adanya orang-orang Rahtawu. Aneh juga. Sepanjang
perjalanan ia tak mendengar berita apa pun tentang
Rahtawu. Juga tidak tentang Candika. Hanya... ya. Ada
berita tentang kematian-kematian aneh di sana-sini.
Serta berita kejahatan yang meningkat. Bahkan selalu
kehadirannya di sebuah desa disambut dengan kecurigaan. Untung juga bekal yang dibawanya cukup. Ia belum perlu meminta derma seperti yang dilakukannya bila mengadakan perjalanan dengan Bibi Madraka.
"Hai, anak manis, kanyu tentunya sedang memimpikan betapa senangnya jika semua
ternak nyu terjual habis, ya?" tiba-tiba sebuah suara menembus lamunan
Tari. Tari tergagap sadar. Dan terkejut. Di depannya berdiri tiga orang lelaki. Seorang pemuda berwajah tampan, berkulit kekuningan,
dengan badan penuh perhiasan.
Dialah yang tadi bicara. Senyumnya masih terpaku di
bibir yang berkumis tipis itu. Dan matanya cemerlang
bersenyum nakal.
Agak di belakang si pemuda, berdiri dua orang yang
bertampang lucu. Seorang bertubuh bulat bundar. Mukanya juga bundar. Matanya bundar terbuka lebar. Mulutnya terbuka membentuk suatu kebundaran. Melongo
terus. Yang satu kurus tinggi. Segalanya kurus. Mukanya kurus, giginya menongol ke depan, bibirnya seakan
terus tersenyum.
"Ah, Raden, memang cukup manis, tetapi anak ini
tampaknya begini tolol. Apakah Raden masih ingin bercengkerama dengannya?" si Bulat tertawa terkekehkekeh sambil terus memperhatikan wajah Tari.
"Bagi junjungan kita, yang penting kan bukan tololnya, Yoni," sahut si Kurus. "Malah semakin tolol, semakin gembira, bukan, Raden" Hi hi hi hi...."
"Wuah, tapi kalau terlalu tolol ya kita juga yang jadi
korban, Lingga," si Gendut makin membundarkan mulutnya. "Harus jadi percobaan! Lagi pula ini pasti anak petani bawang dari Ara
Plasa. Waduh. Baunya sungguh
menusuk hidung!"
Ketiga orang itu tertawa. Tari terkesiap mendengar
nama panggilan kedua orang itu. Dan sikap si pemuda
juga terlalu... genit! Kalau ada Lati, mungkin pemuda
itu akan langsung kena tendang. Tapi Tari tak mau
mencari gara-gara. Diangkatnya buntalan bekalnya dan
ia berdiri. Tapi begitu ia berpaling, si pemuda melompat ke depannya.
Menghadang. "Hei, mau ke mana, anak manis" Ikut aku saja ke
Tumenggungan. Ayo. Bawalah ternakmu. Kubeli semuanya!" kata si pemuda. "Ayolah!"
"Wah, ikut saja," kata orang yang dipanggil Lingga.
"Tak sembarang orang bisa memperoleh anugerah kenikmatan dari Tumenggungan lho!"
Tari tertegun. Lingga dan Yoni nampaknya ingin
menghalanginya melangkah dari situ. Ke mana pun.
Bersambung ke jilid 3.
Document Outline
CANDIKA: DEWI PENYEBAR MAUT-2
1. HUKUMAN 2. PENGEMBARA 3. TANTRI 4. CANDIKA 5. PERJALANAN *** Pedang 3 Dimensi 6 Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo Wanita Iblis 18

Cari Blog Ini