Candika Dewi Penyebar Maut V I I I Bagian 1
CANDIKA: DEWI PENYEBAR MAUT-8 Oleh Djokolelono
? Penerbit PT Gramedia,
Jl. Palmerah Selatan 22, Jakarta 10270
Desain dan gambar sampul oleh Djokolelono
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia,
anggota IKAPI, Jakarta, Agustus 1989
Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
1. GADIS DI PUNCAK BUKIT
UDARA sejuk pegunungan semakin sejuk terasa pada
diri Ahireng yang panas karena baru menggunakan ilmu larinya itu. Ada beberapa hal yang membuatnya
berlari. Dan berlari sepenuh tenaga. Berlari sepenuh ke-cepatan.
Untuk pertama kali dalam hidupnya ia mencuri lihat
seorang wanita yang sedang mandi. Memang tak sengaja. Dan ia tak tahu siapa orang itu. Ia hanya melihat punggungnya. Dan
sekilas mata bening di antara semak-semak. Serta sekilas tumpukan kain kelabu.
Ha- nya itu. Namun jantungnya sudah merasa akan copot.
Ia makin heran apa yang terjadi pada dirinya. Tibatiba saja ia tertarik pada lawan jenisnya. Bukan hanya lawan jenis semata-mata,
tetapi ia justru tertarik pada si Buyut. Orang yang membesarkannya sejak ia
bayi. Orang yang mengajarinya segala ilmu. Orang yang selalu dan selalu menekannya dengan berbagai tugas dan
keharusan. Orang yang tak pernah dilihatnya mukanya.
Atau bentuk tubuhnya.
Bahkan waktu ia mencuri lihat wanita muda yang
sedang mandi itu, tak timbul pikiran apa pun. Kecuali
heran. Siapa orang itu.
Sebab kedua ia lari begitu kencang juga karena ia
tak ingin dipergoki oleh wanita tadi. Siapa pun dia. Dan di mana pun dia
sekarang. Dan sebab berikutnya adalah, ia tak ingin dipergoki
oleh Ki Prutung, pelayan merangkap pengawal pesanggrahan si Buyut yang berada di tempat terpencil
itu. Ahireng dibawa ke pesanggrahan itu oleh si Buyut, untuk menghindari
kemungkinan pertemuan dengan
khalayak ramai di persembunyian mereka di Bengawan.
Dan mereka meninggalkan tempat itu karena kini tak
ada Ki Gong, si ular raksasa, untuk disadap darahnya.
Dan karena mereka telah membawa lari Turi, anak
buah Emban Layarmega yang cantik dan muda itu.
Sesungguhnya Ahireng merasa sedikit lega. Kini ia
tak usah menahan diri dan berbuat sebagai orang tak
bermartabat, sebagai penjaga Sumur Hitam. Kini ia bebas berlatih tanpa takut diketahui orang banyak. Tapi
agaknya kini si Buyut akan lebih ketat dan lebih dekat mengawasinya. Memang
berat. Tapi cukup menyenangkan bagaimana ia bisa berada dekat si Buyut selalu.
Sedang Turi" Entah bagaimana nasib anak itu kelak.
Sewaktu Ahireng masih menjadi penjaga Sumur Hitam,
Turi adalah gadis yang tidak terlalu cantik. Tetapi menarik dan selalu bersikap
bersahabat padanya, walaupun sesungguhnya gadis itu sering hanya termenungmenung sementara ia berceloteh tak keruan. Saat itu
pun, ia tak tertarik oleh wajah atau bentuk tubuh Turi, yang dikatakan orang
sebagai kembangnya rumah suka
Nyai Emban Layarmega. Dan kini, Turi masih berbentuk wajah dan tubuh yang sama. Namun kini kulitnya
merah kehitaman. Begitu mengerikan.
Ahireng pun sesungguhnya tak ngeri melihat Turi
saat ini. Sebab ia tahu mengapa Turi jadi seperti itu. Ia sendiri, kulitnya
hitam-legam karena pada saat-saat ter-tentu ia harus diusapi darah Ki Gong.
Sementara Turi...
agaknya gadis itu pun tak peduli pada keadaannya.
Bahkan agaknya tak peduli pada apa pun. Walaupun
tiap saat ia dihajar oleh si Buyut dengan berbagai pukulan maut dari
Wajraprayaga. Dan agaknya, anehnya, berbagai pukulan itu serasa tak berbekas
pada Turi. Turi lebih banyak diam. Termenung. Dan sesekali
menjerit. "Dari mana kau?" tiba-tiba sebuah suara membentak. Ahireng terperanjat. Ia baru saja melompati pagar
pesanggrahan yang tinggi itu, masuk ke halaman dalam. Di kegelapan bayang-bayang pendapa, si Buyut berdiri. Seperti biasa dengan seluruh tubuh tertutup oleh kain berkerombongan.
Ahireng masih terperangah. Mungkin otaknya mempermainkan dia. Seolah si Buyut memancarkan bau harum segar. Dan kain yang dipakai sebagai jubah itu...
serasa pernah dilihatnya. Ah. Mungkin kali ini si Buyut kebetulan mengganti
jubahnya, karena di sini banyak
pelayan, tidak seperti di tepi Bengawan sana.
"Kau makin hari makin tolol, Ahireng," dengus si
Buyut. "Ampun, Buyut... hamba baru saja berlatih di luar,
dengan Ki Prutung," sembah Ahireng. Dan pada saat
yang sama terdengar suara seseorang menjejakkan kaki
di belakangnya. Ki Prutung. Terengah-engah.
Agaknya si Buyut tak perlu menanyai Ahireng lebih
lanjut. "Kau ke sanggar. Aku berpikir kau cukup kuat untuk
menerima Wejangan Wajraprayaga sekarang," kata si Buyut, dan entah kenapa suara
itu terdengar seakan
sedih. "Buyut... apakah... aku... mampu...?" terbata-bata
Ahireng berkata.
"Mampu atau tidak, baru bisa kautentukan setelah
kaulakukan. Siapkan dirimu...." Si Buyut akan berpaling. Tetapi ia tertegun. Seorang pelayan muncul membawa seekor burung merpati.
"Ada apa, Pradwa?" tanya si Buyut.
"Ampun, Junjungan... ini baru saja datang." Ki
Pradwa mengangsurkan merpati itu pada si Buyut.
"Hmmm..." Si Buyut tertegun membaca surat yang
ada pada kaki merpati itu. "Baik, Pradwa, Prutung. Kalian boleh pergi. Tunggu aku di halaman belakang nanti sebelum matahari
terbenam. Bawa juga Ki Pragota."
Tak memperhatikan mereka lagi, si Buyut berpaling,
dan berjalan menuju ruang dalam, memberi isyarat pada Ahireng untuk ikut.
Ahireng mula-mula berjalan menunduk agak jauh di
belakang si Buyut lewat gang-gang panjang di pesanggrahan besar itu. Kemudian matanya menangkap
sesuatu yang agak aneh di lantai batu tempat mereka
berjalan. Mungkin biasa. Mungkin juga luar biasa.
Ada tetes-tetes air. Sangat kecil. Di ujung jubah bagian belakang si Buyut. Dan. Ya. Kerudung yang menutupi kepala itu juga sedikit basah saat mereka melewati bagian lorong di mana
cahaya matahari bisa masuk.
Ah, kenapa ia memperhatikan itu. Tentu saja si
Buyut sekali waktu harus mandi.
Tapi, benarkah itu memang tak berarti"
Wanita muda yang tadi mandi di atas puncak gunung itu. Ahireng makin ingat. Kain yang dilihatnya.
Mirip jubah itu. Tapi... yang di sana tadi seorang wanita muda. Sedang si
Buyut.... si Buyut pastilah sudah tua.
Jika ia punya ibu, maka pastilah ibunya setua si Buyut.
O, ya. Bagaimana adiknya"
Mereka menaiki tangga batu menuju menara sanggar. Dan tak sekali pun Ahireng berhasil melihat kilasan kaki si Buyut. Walaupun
dari bekas di batu, memang
tampak kaki itu basah. Kalaupun si Buyut tadi mandi
di puncak gunung itu, betapa cepatkah ia harus berlari agar tiba di sini dalam
keadaan masih basah" Tapi
mungkin itu bukan hal yang sulit bagi si Buyut.
Mereka berhenti sejenak di serambi pertama. Si
Buyut bersandar ke pagar batu serambi, mengamati
alam sekelilingnya. Ahireng menunggu dari jarak jauh.
"Mm... sungguh, tak kukira. Orang yang tadi malam
bertarung denganku ternyata Rakryan Mapatih!" gumam si Buyut seolah pada dirinya sendiri.
"Hamba tak mengerti, Buyut," ucap Ahireng raguragu. Si Buyut melemparkan padanya gulungan lontar
yang tadi ada di kaki merpati. "Baca sendiri."
Surat itu cukup panjang.
Buyut, Tadi malam Rakryan Mapatih Kuripan bertarung dengan seseorang yang selama ini dikenal sebagai wanita gelap dengan julukan
Candika, di tikungan Bengawan dekat Gelagah dan Jurang Telu. Rakryan Mapatih
luka berat. Mungkin kesempatan baik untuk memperkuat
Dharmaputra kita. Rakryan Kanuruhan akan menggempur tempat tersebut. Hamba sendiri akan pergi ke Wilwatikta untuk minta bantuan
dan menjemput Ra Sindura.
Hamba sangat yakin Ra Sindura akan menghalangi gerakan kita. Mohon petunjuk agar dalam perjalanan kembali ke Kuripan ia menemui
kecelakaan. Tentang Candika itu, tak ada keterangan yang dapat diandalkan tentangnya.
Agaknya ia pun memusuhi Wilwatikta. Mungkin bisa menjadi saingan berat kita
nanti. Hamba rasa, kita bisa meniru siasat Ra Wijaya zaman dahulu. Mengajaknya
bergabung, untuk kemudian di-singkirkan. Untuk itu hamba akan berusaha
berhubung-an dengannya. Atau mungkin Buyut sendiri dapat melakukannya. Mpu Gagarang. "Tapi... tempat itu adalah..." Ahireng heran.
"Tepat. Agaknya Rakryan Mapatih mengira ia berhadapan dengan Candika.... Entah siapa orang itu, namun yang pasti ia ditakuti sampai-sampai Kuripan harus minta bantuan Wilwatikta. Untung kita sudah pergi
dari tempat itu. Rakryan Kanuruhan Kuripan sudah
lama tak memegang pasukan, namun ia patut dikagumi
ketelitiannya. Mpu Gagarang pun benar. Saat inilah paling tepat untuk menancapkan kuku Dharmaputra. Hari ini di Kuripan. Besok di Wilwatikta. Dan lusa di dunia!"
Ahireng merasakan suara itu gemetar. Kemudian
muka berkerudung itu berpaling padanya. "Dan semua
itu hanya untukmu, Tolol. Jangan sampai kau mengecewakan aku!" si Buyut berdesis lemah.
"Hamba mengerti, Buyut," gemetar Ahireng menyahut. "Kau terpaksa menghafalkan Wejangan nanti sendiri.
Besok pagi aku harus ke Wilwatikta. Ada beberapa urusan. Mencari tahu tentang Candika itu, jika ia belum
tertangkap oleh pasukan Kuripan. Menghubungi beberapa tokoh Dharmaputra kita. Serta permintaan Mpu
Gagarang tentang Sindura. Sungguh sayang sebetulnya.
Anak muda itu sungguh berbakat."
Dalam hati Ahireng mengetahui bahwa di dalam hatinya si Buyut mungkin mencerca dirinya. Tapi pandangan matanya malahan tertuju pada titik-titik air dekat ujung jubah si Buyut.
Dalam hati pula ia berkata, gadis di puncak gunung
tadi terpaksa meninggalkan mandinya dengan sangat
tergesa-gesa. "Ada yang ingin kupesankan padamu, tentang gadis
merah itu... Turi. Turi namanya, bukan?" kata si Buyut.
"Anak itu memang luar biasa. Ia memang terpengaruh
oleh suatu kekuatan rahasia, entah obat, entah ilmu
mengubah sukma. Ia tak tahu siapa dirinya, ia tak tahu apa kemampuannya. Dan
sesungguhnya aku curiga ia
punya kemampuan besar. Sesekali seakan terlihat gerak ilmu Sura-Caya. Sesekali muncul hawa pukulan
Bhirawadana. Juga tendangan berbobot Bantala Liwung. Itu semua adalah ilmu-ilmu
yang diturunkan oleh Sang Singa Bramantya Megatruh. Apakah orang sakti ini juga
telah menurunkan murid-muridnya untuk
mencari pengaruh" Dan lebih penting lagi, apakah Turi
ini salah seorang muridnya?"
"Dia dibawa ke Emban Layarmega oleh Ra Wirada,
putra Mpu Gagarang. Mungkin Buyut bisa menyelidiki
pada beliau," usul Ahireng.
"Benar." Mereka berhenti lagi di serambi dua. "Tapi
sementara itu, ketahuilah... tubuh Turi telah diresapi darah sakti Ki Gong. Dan
kita tak bisa mencabutnya
kembali. Sesungguhnya lebih baik bila ia dimatikan saja. Namun, aku merasakan, jika kita gempur dia, maka
badannya memancarkan hawa penolak. Secara sertamerta. Dan hawa penolak inilah yang harus kita sadap.
Untuk itulah, walaupun kau belum siap, terpaksa kuajarkan Wejangan padamu. Tugasmu kemudian, di samping menghafalkan Wejangan itu,
setiap saat kau harus menghajar Turi. Dan kau akan memperoleh manfaat yang tak
ternilai."
"Sungguh petunjuk Buyut akan hamba laksanakan,"
sembah Ahireng.
"Bagus. Hitung-hitung kau berlatih. Kau harus mengeluarkan segenap kekuatan dan ilmumu. Tak usah
khawatir. Darah sakti Ki Gong melindunginya."
Mereka telah tiba di puncak menara sanggar, di depan ruang semadi. Si Buyut berhenti sejenak dan mengucapkan mantra pembukaan di depan meja semadi
yang terbuat dari batu. Mata Ahireng terbelalak. Di meja itu tergeletak sekuntum
bunga. Merah darah. Yang juga
tumbuh di sumber air panas di puncak gunung itu.
Kembali diam-diam Ahireng memperhatikan si
Buyut. Siapa gerangan dia"
"Ada yang kaupikirkan?" tiba-tiba si Buyut bertanya
tanpa menoleh kepadanya.
"Oh... eh... anu... tidak...." Ahireng begitu gugup.
"Kau tak bisa berdusta," desis si Buyut, masuk ke
dalam kelamnya ruang semadi. "Dan kau harus mengosongkan pikiranmu dari apa pun jika kau ingin we
Candika Dewi Penyebar Maut V I I I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jangan ini masuk dalam dirimu."
"Hamba memikirkan... adik hamba. Jika dia memang
adik hamba... mengapa ia tidak muncul?" tanya Ahireng
mencari-cari. "Ia memang adikmu. Dan ia lebih cerdas darimu. Jadi kau tak usah mengkhawatirkan dia. Sudah. Tanggalkan semuanya." Suara itu bergema di ruangan kecil dan
gelap itu. Sangat gelap. Ahireng tak bisa melihat apa
pun. Tak urung ia toh merasa malu saat mencopot
kainnya. *** Ahireng mengusap keringatnya. Mengisap-isap napas.
Meregang-regangkan tangan.
Di depannya, Turi bagai teronggok. Ketakutan. Ngeri
memandangnya. Dengan kedua tangan bersilang di depan mukanya. Melindungi mukanya.
Rambutnya berantakan. Kain yang membalut badannya pun tak keruan. Dan terlihat jelas kulitnya yang
kemerah-merahan. Bukan warna takut. Atau marah.
Memang itu warna kulitnya kini.
Ahireng memperhatikannya. Dan matanya bentrok
dengan mata yang bening, walaupun ketakutan.
Dada Ahireng berdebar keras. Dan dia-lah yang ketakutan kini. Mata itu tajam.
Mata itu menusuk. Bertenaga. Tak pelak Turi memang sangat bertenaga luar biasa.
Sesuai petunjuk si Buyut, maka lima hari berturutturut ia menggempur gadis itu dengan berbagai ilmunya. Mula-mula tak tega memang. Tetapi ternyata hantaman yang berapa pun dahsyatnya tak bisa menghancurkan Turi. Gadis itu mungkin tertendang hingga
membentur tembok. Terbanting hingga lantai batu pecah. Tertinju hingga badannya meliuk-liuk. Tersiksa
memang. Tetapi tubuh Turi tetap utuh.
Dan sesuai dengan ajaran si Buyut, tiap saat suatu
tenaga baru serasa mengalir merasuki tubuh Ahireng.
Membuatnya semakin mantap menghajar Turi. Dan hajaran itu membuatnya semakin bertenaga lagi. Dan bertenaga lagi. Sudah lima hari sepeninggal si Buyut. Dan Turi tetap
juga seakan tak terpengaruh oleh dahsyatnya hantaman-hantaman Ahireng. Bahkan para pelayan pun kini
tak tahan melihat adegan penyiksaan yang aneh itu.
Mereka selalu menghindari lapangan tengah pesanggrahan saat matahari mulai muncul di atas punggung gunung sampai nanti tengah hari. Mereka memilih bekerja
di bagian rumah lainnya. Kecuali Pradwa, Prutung, dan
Pragota yang bertugas menemani perjalanan si Buyut.
"Tak usah kau begitu ketakutan, Turi," akhirnya Ahireng berkata, tak betah menerima pandangan tajam gadis itu. "Kau toh tak cedera sedikit pun!"
Seperti hari-hari sebelumnya, Turi hanya memandang curiga pada Ahireng.
"Ah." Ahireng terpaksa berpaling, berjalan ke tepi lapangan untuk mengambil kendi. Diminumnya air kendi
berteguk-teguk. "Aaaah!" Ia mengusap mulutnya yang
basah. Di seberang halaman Turi terus memperhatikannya. "Hei, kau mau?" teriak Ahireng.
Turi hanya memperhatikannya.
"Gila!" desis Ahireng. Dan tiba-tiba dilemparkannya
kendi itu ke arah Turi. Tidak secara tepat ke Turi. Sesungguhnya ia ingin
memancing agar setidak-tidaknya
sesaat dua saat mata Turi akan beralih darinya.
Yang dilihatnya cukup mengejutkan.
Entah bagaimana tubuh Turi begitu saja melesat di
tanah. Berputar sesaat. Dan tangannya dengan tepat
dan cepat, hampir tak terlihat, menyambar kendi itu.
Langsung meminumnya.
Ini bukan sesuatu yang aneh jika Turi minum. Tetapi
gerakan itu tadilah yang membuat Ahireng membelalakkan mata. Pertama, gerak tadi dilakukan oleh beberapa jari kaki saja. Kedua, beberapa kedudukan gerakan jelas adalah kedudukan suatu siasat lari rahasia. Ketiga, gerak tangan Turi
sendiri sangat aneh. Sesaat ken-di itu seakan ditahan oleh tebasan telapak
tangan hing-ga bagai tergantung di udara. Kemudian suatu tekukan
jari telunjuk membuat kendi tersebut melonjak dan jatuh. Suatu permainan tenaga tak terlihat yang begitu
mantap! "He, kau punya ilmu lari?" tak terasa Ahireng bertanya. Bahwa kemungkinan Turi memiliki ilmu kesaktian, Ahireng bisa menduga kemungkinan ini karena
rendaman darah Ki Gong. Tetapi yang pasti tak ada ilmu lari di darah itu.
"Ayo main kejar-kejaran," ajak Ahireng. Ia memang
sudah mulai bosan akan acaranya setiap hari. Dan
mendadak saja ia merasa rindu pada si Buyut. Entah
apa yang membuatnya rindu.
Dengan pedang hitamnya Ahireng membuat beberapa garis di tanah hingga terbentuklah petak-petak
mainan yang biasa dimainkan oleh anak-anak. Dan dari
sudut matanya Ahireng melihat bahwa mata Turi pun
bersinar, mengenali permainan ini.
"Nah, kau jaga di sini...." Ahireng menuding ke garis
jaga. "Dan aku akan lari menyeberang. Kau mengerti?"
Kali ini Turi tidak memandangnya. Dia langsung
bangkit. Dan berjalan ke arah yang ditunjuk Ahireng.
"Bagus. Yuk mulai main, yuk!" Ahireng jadi begitu lega. Tak lama, mereka berdua telah asyik bermain.
2. TAMU SANG TUMENGGUNG
DI ALUN-ALUN Wilwatikta.
Tandu itu berhenti di sudut jalan. Sebuah iring-iringan panjang telah membuat jalan di depannya tertutup.
Terutama oleh beberapa orang prajurit pengawal yang
tak segan-segan menggunakan tangkai tombak mereka
untuk menghalau orang-orang yang datang mendekat.
Serta beberapa ekor gajah yang membuat orang banyak
bergerombol menonton.
Di sekeliling tandu itu adalah Ki Prada, Ki Prutung,
dan Ki Pragota. Mereka melihat getaran di layar depan
tandu dan segera mendekat.
"Ada apa?" tanya Buyut dari dalam tandu.
"Hamba dengar itu rombongan dari Palembang... terutama melihat adanya gajah-gajah itu," bisik Ki Prutung. "Hhh... apakah Arya Damar sendiri yang datang kemari?" tanya si Buyut.
"Menurut keterangan yang hamba peroleh... Sang
Adipati tidak ada dalam rombongan. Yang ada adalah
kedua putra beliau," sembah Ki Prutung.
"Ah. Arya Damar sudah punya anak" Dua?" Suara si
Buyut terdengar sungguh heran. "Wah... gembala hutan
itu pastilah mencoba mengambil hati Sang Raja. Dan...
kukira ia akan berhasil pula, Prutung. Tak adakah jalan lain ke Tumenggungan?"
"Kita bisa melewati pasar... tetapi Paduka tahu betapa baunya tempat itu."
"Tak apa. Bawa aku lewat sana. Bau anak-anak hutan itu, jauh lebih kubenci. Ayo berangkat!"
Ki Prutung memberi isyarat agar para pengusung
tandu berdiri. Berbarengan dengan bergeraknya tandu si Buyut
yang berputar dan berjalan meninggalkan tempat itu,
seorang wanita tua berlengan satu juga tiba-tiba berdiri.
Ia berkain compang-camping. Badan dan kainnya menunjukkan ia dari kalangan miskin. Mukanya tak menunjukkan tanda-tanda kasta. Seorang wanita lain yang
tak kalah kotor dan compang-camping dari wanita tua
itu juga berdiri, dan bergegas mengikuti si wanita tua.
Si wanita tua dengan muka menunduk, berjalan cepat pula mengikuti langkah cepat para pengusung tandu, berusaha menjauhi orang-orang yang kebetulan berada di dekatnya.
Wilwatikta memang ramai. Jalan-jalan besar diisi
dengan berbagai orang lalu-lalang. Berbagai bangsa.
Berbagai kasta. Kendaraan dan hewan tunggangan pun
hilir-mudik, disela oleh tukang-tukang teriak yang meneriakkan dagangan warung majikan mereka.
Tandu yang dinaiki si Buyut bisa bergerak cepat di
antara keramaian ini. Terutama karena Ki Prutung serta Ki Pragota yang berjalan
di depan tak pandang bulu barang-siapa yang berani berada di depan tandu mereka labrak hingga tunggang-langgang. Beberapa orang
pun mencoba untuk marah dan melawan. Namun Ki
Pradwa kemudian turun tangan, menghantam siapa
pun yang melawan dengan pukulan tunggal yang selalu
membuat orang pingsan seketika.
Ini semua tak luput dari perhatian wanita berkerudung compang-camping dan bertangan satu yang berjalan agak jauh di belakang tandu itu. Wanita tua ini
juga mengherankan. Terlihat tua jika sekilas kain kerudungnya tersingkap, terlihat cukup 'subur' badannya
walaupun compang-camping. Ia bisa bergerak gesit namun seolah tanpa banyak bergerak. Demikian juga wanita yang sama gembelnya, yang tak pernah terlalu
jauh, tapi juga tak pernah terlalu dekat, di belakangnya.
Mereka bergerak bagaikan bayang-bayang tak berwujud. Menyelinap di antara manusia dan benda. Seolah
tanpa tenaga dan usaha.
Dan mereka baru berhenti, saat di kejauhan tandu
yang membawa si Buyut berhenti di depan pintu besar
ketumenggungan Wilwatikta.
Seorang dari dua orang pengawal pintu besar itu maju dan menemui Ki Prutung yang berada di depan.
"Semoga Dewata melindungimu,... Ki Sanak, dari
mana dan apakah akan berkunjung ke junjunganku
Sang Tumenggung?" tanya orang itu.
"Kami dari Marawas, dan tuanku ini memang ingin
berkunjung pada Sang Tumeng gung, maka tolong bukakan pintu," sahut Ki Prutung.
"Junjunganku tak banyak mempunyai waktu untuk
para tamu. Seingatku beliau tak punya sahabat yang
tinggal di Marawas. Apalagi seorang wanita...." Tadi saat mengatakan 'tuanku
ini' memang Ki Prutung menggunakan kata yang menunjukkan jenis wanita. Orang
tadi pun berhenti sesaat seolah ingin agar kata-katanya dimengerti oleh Ki Prutung. Bisa dimengerti, mungkin. Ki Prutung berpakaian bagai
orang desa. Dan Marawas
adalah sebuah tempat yang sama sekali tak dikenal.
Tetapi Ki Prutung agaknya tak mengerti kata-kata
orang itu. Ia mengulurkan tangan dan menepuk bahu si
pengawal. "Ki Sanak, sekarang tugasmu hanya satu. Buka pintu itu." "Eh..." Si pengawal menggoyangkan bahu dan tangan
Ki Prutung yang berat meleset ke samping. Dengan sebelah tangan ia memberi isyarat pada temannya, dengan tangan yang lain ia memutar batang tombak hingga tombak panjang tersebut kini melintang menjadi batas antara dirinya dan Ki Prutung.
Beberapa orang yang tadi duduk-duduk di bawah
pohon di seberang jalan kini berdiri. Dan mereka pun
bersenjata. Mendekat. Mengepung.
"Maaf, Ki Sanak... mungkin memang begitu adat Ki
Sanak di... di Mawaras, eh... di mana tadi... ya di tempat yang Ki Sanak
sebutkan tadi.... Tetapi di sini, di kota besar yang segalanya diatur oleh
peradaban tata sopan
santun ini tidak begitu.... Pertama, seorang tamu harus dikenal oleh tuan
rumahnya... kedua, seorang tamu harus mengenal tuan rumahnya... ketiga, seorang
tamu harus memperkenalkan diri terlebih dahulu pada tuan
rumahnya, keempat..."
"Adatku hanya satu," tukas Ki Prutung. "Aku hormat
pada tuan rumah, tapi pada anjing penjaganya tanda
pengenalku hanya ini!" Ki Prutung mengacungkan tinjunya yang nyaris sebesar kelapa cengkir ke depan hidung pengawal itu.
Dan pengawal tersebut betul-betul mencium tinju itu
serta berkata, "Wah, bagus juga tanda pengenalmu, Ki
Sanak. Tetapi orang bisa bingung, namamu 'si Tinju
Bau', ataukah 'si Kepalan Penuh Kudis' atau apa..."
Orang itu tertawa. Dan orang-orang di sekeliling mereka juga tertawa. Seseorang
malah menambahkan, "...si Sekepal Kudis Penuh Bau!" Dan tawa pun semakin berderai-derai. Seperti biasa Ki Pradwa langsung maju dan mengayun tinju. Tetapi si pengawal dengan gerak aneh menjatuhkan diri sampai terduduk di tanah dan memutar
tombaknya datar dengan tanah. Gerakannya cepat dan
beruntun. Beberapa saat Ki Pradwa memang kehilangan kesempatan menyerang. Ia jadi sibuk menghindar, berloncat-loncat cepat, sementara ujung tombak si pengawal
seakan terus mengejar. Dari kejauhan Ki Pradwa jadi
seperti seorang anak yang bermain lompat tali. Dan kawan-kawan si pengawal agaknya melihat ini pula dan
mereka, orang-orang yang cukup berumur, berteriakteriak menyanyikan sebuah lagu anak-anak yang biasa
untuk mengiringi permainan itu:
"Satu dua tiga,
lompat-lompat kuda,
kudanya kuda Sumba,
yang naik orang gila,
lah lah lah lah lah lah
bikin tertawa bocah-bocah!"
Ki Pradwa berusaha melompat lepas. Ketika belum
juga berhasil, Ki Prutung jadi tak sabar. Dengan gusar ia menendang Ki Pradwa,
dan langsung menerjang si
pengawal. Si pengawal yang sedang asyik melayani Ki
Pradwa jadi berantakan geraknya. Namun sigap ia
mengubah kedudukan, dan sambil terus berjongkok
tombaknya kini menghalangi majunya Ki Prutung. Ki
Candika Dewi Penyebar Maut V I I I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pradwa sendiri telah terpental oleh tendangan Ki Prutung, jatuh di antara gerombolan kawan si pengawal
dan langsung mengamuk.
"Hentikan!" Tiba-tiba terdengar bentakan dari pintu
gerbang. Perlahan. Namun sangat berwibawa.
Di pintu berdiri seorang pria setengah umur. Gagah.
Bangsawan. Para pengawal langsung berhenti dan mencoba menyingkir, dengan akibat beberapa orang dari mereka harus menerima tendangan dan tinju Ki Prutung dan Ki
Pradwa yang tak mau berhenti. Lawan Ki Prutung sendiri dengan tangkas telah berguling cepat di tanah dan melompat ke samping
bangsawan itu. Ki Prutung sendiri cepat bersimpuh melihat si bangsawan. "Maafkan hamba, Sang Tumenggung, hamba... hamba hanya ingin mencoba orang-orang baru ini," sembah
Ki Prutung. Bangsawan itu tertawa tak bersuara. "Nah. Kalian
agaknya sudah saling kenal kalau begitu. Prutung, ini
memang Kepala Pengawal Luarku yang baru. Ki Bete
namanya. Dia pernah menaklukkan gunung menjajah
lembah untukku. Jadi kau harus hati-hati padanya.
Bete, kauingat-ingat muka orang ini. Mungkin kau bisa
mengalahkannya, tetapi wibawa junjungannya sanggup
melumatkanmu. Kau mengerti" Sudah. Minggir semua!"
Dengan langkah tegap sang bangsawan berjalan
mendekati tandu yang sementara itu masih berada di
atas bahu pemikulnya.
"Apakah Dinda Dewi yang mengunjungiku hari ini?"
bisik Sang Bangsawan dekat-dekat dengan tirai penutup tandu. "Benar, Kakang... mestinya Kakang lebih banyak
mengajarkan sopan santun pada para pengawalmu itu,"
dari dalam tandu terdengar bisikan lembut.
"Mereka orang baru. Dan orangmu pun kasar sekali.
Tetapi mengapa kita pertengkarkan itu. Dinda Dewi tentunya ingin segera beristirahat di dalam?" bisik sang
bangsawan lagi. "Mari. Silakan...." sang bangsawan berpaling pada para pengawalnya. "Gantikan para pemikul
tandu ini. Bawa junjunganmu ke dalam."
Dari kejauhan kedua wanita compang-camping tadi
memperhatikan tandu si Buyut dibawa masuk. Dan
kembali depan pintu gerbang itu sepi. Para pengawal
pun kembali berkumpul-kumpul di bawah pohon.
"Itu Rakryan Tumenggung Wilwatikta, Mpu Gagak
Sagara," si wanita lengan buntung berbisik pada rekannya. "Siapa tamunya, aku sungguh ingin tahu."
"Melihat terjadinya salah paham tadi, mungkin para
pengawal itu belum tahu siapa tamu mereka," sahut rekannya. "Yah. Aku hanya curiga, orang di tandu itu pastilah
seorang wanita muda yang perkasa dan cantik. Kucium
wangi tubuhnya, kulihat keperkasaan para pengawalnya... dan rasanya sulit mencari wanita cantik yang
perkasa... kecuali Dewi Candika...."
"Jadi jun... eh... maksud hamba... eh, maksudku...
anu... Kakang Kara, itukah Dewi Candika?"
"Sodra... kau mestinya kuhukum mengisi sumur,"
kata si Lengan Tunggal. "Penyamaranku kukira cukup
sempurna. Beberapa kenalanku tak mengenaliku lagi."
"Biasa, Kakang... begitu kita jadi pengemis, siapa
mau kenal dengan kita lagi. Kecuali kalau Gus... eh, kecuali kalau Kkk... Kakang
Rhaga memergoki kita....
Nah. Bukan saja kita ketahuan, kita juga akan kena
murka...."
Si Lengan Tunggal menghela napas, diam-diam
memperhatikan lengannya yang buntung.
"Aku memang tak sabaran. Aku harus segera mengetahui siapa Dewi Candika ini. Apa maunya memusuhi
keluargaku. Sampai murid-muridku. Sungguh sayang
bahwa guru kami yang begitu berbudi, Panembahan
Megatruh, telah tak ada di tempatnya. Kalau saja kita
bertemu beliau, kita takkan usah menyamar sehina ini.
Tapi... ya, mungkin dahulu kami berbuat suatu dosa
hingga harus sedemikian papa...."
"Rencana Kk... Kakang kini?" Wanita yang satunya
agaknya tak mau mengungkit-ungkit masa lalu lebih
jauh lagi. "Kita kembali ke penginapan. Nanti malam, akan kutengok wanita itu."
"Tapi kalau wanita itu memang Dewi Candika... dia
toh bukan tandingan Kakang...."
"Mungkin. Tapi setidak-tidaknya sudah kuketahui
dia. Dan kita bisa cari bantuan nanti."
*** Di dalam rumah Tumenggung Gagak Sagara.
Ada sebuah bilik kecil. Di atas menara pemujaan.
Tertutup rapat.
Si Buyut mencopot satu per satu kain yang membungkus dirinya. Dan tampillah seorang wanita. Dengan
kulit kuning langsat. Tubuh indah semampai. Rambut
hitam-legam kemilau tergerai lembut.
Dan wajah cantik bermata tajam berkilauan.
Sulit untuk memperkirakan usianya. Ia mungkin sangat muda. Kemudian ia mendeham.
Pintu pun bergeser terbuka. Dan Mpu Gagak Sagara
masuk. Duduk tunduk menghaturkan sembah. Walaupun
setelah itu pembicaraan lebih akrab. Dengan bahasa
kasar dan nyaris tanpa basa-basi.
"Dinda Dewi, sungguh mengejutkan kehadiranmu.
Apakah ada hubungannya dengan para putra Arya Damar itu?" tanya Mpu Gagak Sagara.
"Tidak dan ya. Aku datang kemari untuk suatu urusan lain. Baru tadi di alun-alun kulihat rombongan yang kata orang adalah
rombongan para putra Arya Damar."
"Dinda Dewi tak bertamu kukira belum ada setahun.
Dan kulihat... sudah terlihat begitu muda! Apakah ini
akibat Ilmu Wajraprayaga itu?"
Yang disebut 'Dinda Dewi' menghela napas panjang.
"Dari semula, guruku yang bagaikan dewa itu memang
berpesan... ilmu Wajraprayaga yang murni adalah ilmu sesat. Itu pulalah
sebabnya, dalam perjalanan ilmu tersebut orang lebih suka mengambil sebagian
dari ilmu itu saja. Atau mencoba mencampurnya dengan ilmu asli
Tanah Jawa."
"Kalau akibat ilmu sesat itu membuat kita makin
muda, aku pun tak menolak!"
"Itu hanya terjadi pada si pengajar Wajraprayaga.
Bukan pada semua orang yang menganutnya. Dan ini
pun akibat kutukan bahwa seorang murid Wajraprayaga harus membunuh gurunya untuk menyempurnakan ilmunya. Sang Wajraprayaga sendiri membunuh
gurunya. Dan karena kutukan sang guru yang mengatakan bahwa hal itu akan terulang dan terulang lagi...
maka ia menyisipkan ilmu yang membuat seorang pengajar Wajraprayaga makin lama makin muda agar jika kemudian sang murid berusaha
membunuh sang guru
maka sang guru sudah siap sedia."
"Apakah... muridmu sudah siap melakukan itu?" tanya Mpu Gagak Sagara perlahan ketika melihat Sang
Dewi terdiam beberapa saat.
"Itu akan terjadi, kalau sang murid mencapai tingkat
ilmu sembilan persepuluh. Dan muridku saat ini sungguh tak berbakat... walaupun dibantu darah ular Kapila.... Lagi pula itu hanya terjadi pada guru pria dan murid pria. Belum pernah
ada murid wanita atau guru wanita sebelum aku. Hanya... susutnya umurku agak
mengganggu juga. Masih untung Kakang Rangga sudah
tiada... dia pasti tahu perubahan diriku, walaupun aku selalu mengeram diri
dalam kegelapan...."
"Ya, tewasnya Dinda Rangga cukup banyak membantu kita... walaupun tentu saja aku ikut berdukacita untuk itu, Dinda Dewi," Mpu
Gagak Sagara cepat-cepat
menambahkan saat tiba-tiba terlihat mata si Buyut
yang dipanggilnya 'Dinda Dewi' itu sesaat memancar tajam. "Mungkin kehendak Dewata sudah begitu." Si Buyut
yang ternyata cantik itu menundukkan muka. "Aku
sungguh mencintainya. Memang... dalam satu hal hidupku sungguh tersiksa. Sebagai penerus darah Sang
Rajasa, aku terpaksa teguh menentang Sang Raja yang
teguh didukungnya. Suatu hal yang sangat-sangat sulit, Kakang. Aku hanya dapat
penghiburan bahwa jika kelak terjadi bentrokan, maka aku tak usah turun tangan
melawannya. Adalah si Angragani nanti yang harus turun tangan. Aku tak mengerti. Kenapa justru anak itu
yang terpilih...." Si Buyut tampak melamun. "Bisa kaubayangkan pengorbananku.... Setiap saat aku harus
pergi meninggalkan keluargaku, dan merawat anak itu
dari bayi... harus membiasakannya hidup sengsara,
yang berarti aku harus ikut hidup sengsara. Betapa sulitnya untuk setiap saat harus berubah.... Sekali jadi tokoh Dharmaputra yang
sedang menghimpun kekuatan,
sekali harus menjadi istri seorang yang sangat membenci Dharmaputra itu sendiri. Dan aku harus menekan semua yang ada pada diriku... ilmuku, kesaktianku, dari pandang mata sakti suamiku. Dan kemudian,
kemungkinan kelak aku harus berhadapan dengan mereka...." Kembali si Buyut yang cantik itu berdiam agak lama. "Mereka yang
kucintai akan jadi musuhku. Suamiku. Kedua anakku."
"Itulah yang dihadapi Sang Arjuna menjelang Bharata Yudha, Dinda Dewi," Sang Tumenggung mencoba
menghibur. "Aku tahu. Aku hanya berharap di penitisan berikutnya aku bisa menebus dosaku pada mereka...." Mata
indah itu tampak mulai berkaca-kaca. "Dalam kehidupan ini biarlah kubayarkan utang nenek moyang kita...
justru karena hanya akulah yang mampu berbuat untuk itu...."
"Semua perjuangan mengharapkan pengorbanan,"
Sang Tumenggung mencoba menghibur. "Dan sungguh
menyesal aku hanya bisa membantumu dengan doa
restu saja. Sampai sejauh manakah kemajuan Angragani saat ini?"
"Kalau aku mengukur kemajuannya, aku bisa putus
asa." Si Buyut menengadahkan kepala, menekuri langitlangit. "Kurasa, wahyu kerajaan mungkin turun bukan
berdasarkan keturunan. Angragani memang keturunan
langsung Sang Rajasa. Tapi... kadang-kadang aku punya perasaan, ia takkan punya kekuatan untuk memikul tanggung jawab sebagai penguasa jagat. Aku telah
berusaha menggemblengnya. Mengisinya. Tapi..."
Kedua orang itu lama terdiam.
"Kudengar..."
"Dinda Dewi..."
Mereka berbicara bersamaan dan berhenti bersamaan. Kemudian si Buyut memberi isyarat agar Tumenggung Gagak Sagara melanjutkan kata-katanya.
"Dinda Dewi... ada berita yang harus kusampaikan.
Mungkin kurang enak didengar."
"Ya?"
"Kalau berbicara tentang wahyu kerajaan... makin
santer desas-desus bahwa Wilwatikta akan kehilangan
wahyu itu... dan pamor Wilwatikta akan hilang lenyap
tertelan bumi.... Aku... aku menghubungkan ini dengan
kedatangan agama baru di pesisir. Pengikutnya makin
banyak. Dan mereka mulai banyak menguasai kendali
perdagangan. Dan... mereka dibiarkan saja."
"Apakah mereka punya kekuatan?"
"Para bangsawan pesisir mulai mendukungnya. Dan
..." sesaat Tumenggung Gagak Sagara tertunduk, "bahkan beberapa bupati dan pangeran. Di antaranya, kedua putra Arya Damar itu...."
"Hm. Jelas. Mereka pasti akan mencoba memperoleh
lebih banyak."
"Dinda Dewi tadi berkata bahwa maksud Dinda datang ke Wilwatikta ini bukanlah urusan mereka?"
"Memang. Aku juga bukan datang untuk berkeluhkesah pada Kakang."
"Aku tahu. Di antara kita, Dinda Dewi memikul beban terberat, yaitu mendidik Angragani. Kalaupun berkeluh-kesah, maka kukira itu pun wajar."
"Aku ingin mengadakan pertemuan di antara para
tokoh Dharmaputra kita. Aku merasa, keadaan sedemikian rupa, bahwa bukan kita saja yang bersiap-siap
merebut wahyu kerajaan. Ada aliran kepercayaan baru
itu. Kemudian apa yang dinamakan Dewi Candika. Dan
yang pasti, Wilwatikta sendiri tak akan tinggal diam."
"Jika Dinda Dewi menghendaki, dalam lima hari ini
bisa kukumpulkan semua tokoh dari Daha, Jenggala,
Tuban, Lamongan, Galijao. Itu adalah tokoh-tokoh yang
mampu menggerakkan lebih dari seribu orang dari masing-masing daerah. Tapi kukira mereka belum siap untuk bergerak."
"Aku tahu. Namun... aku tak mau mengulur waktu
lagi. Sebelum Pesta Sradda Besar, kita harus sudah bergerak. Tak peduli
Angragani siap atau belum. Itu terpaksa kita lakukan. Kalau tidak kita akan kedahuluan."
"Baiklah. Akan kukumpulkan mereka. Di Pesanggrahan Sanggan?"
"Ya. Yang kedua sungguh berat."
"Kalau boleh aku bertanya?"
"Kuripan merupakan salah satu pokok kekuatan kita. Saat ini hampir kita kuasai. Tadinya penghalang
utama adalah Sang Mapatih. Dan Kakang Rangga. Kakang Rangga tiada. Rakryan Mapatih secara tak sengaja
kulumpuhkan. Tetapi sebelumnya ia masih punya wibawa untuk minta bantuan ke Wilwatikta. Dan me
Candika Dewi Penyebar Maut V I I I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
manggil seseorang yang sangat kutakuti jika harus jadi musuhku."
"Tak kukira kau takut seseorang?" Tumenggung Gagak Sagara benar-benar heran.
"Ra Sindura. Anakku sendiri." Si Buyut tunduk dalam-dalam. "Aku bisa memusnahkannya dengan sekali
menjentikkan jari. Tapi ia anakku!"
Mereka pun hening lagi.
"Rakryan Mapatih berhasil meyakinkan Panca Ring
Kuripan bahwa Ra Sindura tak bersalah. Bukan saja
bebas, ia dipanggil untuk mengamankan Kuripan. Memang kepercayaan Raja yang lima tinggal Mapatih, Rakryan Demung, Rakryan Kanuruhan, dan Rakryan Tumenggung. Dan Rakryan Mapatih mungkin lumpuh.
Namun aku yakin Sindura akan sanggup membuat gerakan kita sulit."
"Dan Dinda Dewi tak mau membuatnya cedera?"
"Sedikit pun tidak."
"Susah memang. Siapa yang akan mengabarkan tentang itu ke Wilwatikta?"
"Rakryan Tumenggung. Ia harus menyampaikannya,
kalau tidak, Rakryan Mapatih akan curiga."
"Kita tidak bisa membuat Adhijaksa tak melepaskan
Ra Sindura?"
"Kaupikir Adhijaksa bisa kaupengaruhi?"
"Aria Dewaraja Mpu Aditya memang sulit dipengaruhi dengan ancaman ataupun harta benda. Tetapi... dengan... rupa cantik... mungkin...."
"Dan... Kakang pikir... tak ada wajah lebih cantik dari wajahku yang tua ini?" Tiba-tiba si Buyut tersenyum.
"Semua orang akan mengira usia Dinda Dewi tak lebih dari dua puluh tahun."
Tiba-tiba tertawa si Buyut berderai-derai.
Kemudian hening lagi.
"Tapi pikiranmu menarik juga, Kakang. Tak ada
orang lain yang mengetahui wajahku sebenarnya. Tapi...
apakah lalu aku harus menjadi miliknya?"
"Itulah halangannya. Mungkin lebih baik kita menculik Ra Sindura dalam perjalanan pulang ke Kuripan. Dengan demikian, orang-orang Kuripan akan makin mantap dengan keterlibatan suatu kekuasaan yang membantu mereka."
Kembali si Buyut termenung. Dan akhirnya mengangguk. "Ya. Kukira itu jalan terbaik," katanya.
"Ada apa lagi, Dinda Dewi?"
"Aku memikirkan anakku yang satunya." Si Buyut
cantik menundukkan muka. "Sindura bisa kita tahan
dan sembunyikan. Mungkin dia akan bisa menahan derita itu. Atau kita kirim dia ke Tumasik. Dan hidup ba-hagia di sana.
Mungkin..." Pandangannya menerawang.
"Tetapi Rara Sindu... Ah, kau tak mengerti, Kakang, betapa keras hati anak itu,
dan jika dia hancur, maka dia akan hancur berantakan."
"Ah. Anak perempuan toh mudah diatur."
"Rara Sindu tidak. Bahkan sekarang pun aku tak tahu ia ada di mana. Terakhir kali ia memotong rambutnya dan bersumpah untuk membebaskan kakaknya
serta membalas dendam kematian ayahnya. Terakhir
kali ia pergi dengan Rakryan Mapatih. Mungkin Mapatih
tahu di mana dia. Aku harus menemukannya...." Dan
dari mata yang indah itu mengalir dua butir air mata
cemerlang. "Aku akan menyebar orang untuk mencari kabar
tentang dirinya, Dinda Dewi," kata Tumenggung Gagak
Sagara. "Yah. Yang ketiga, putra-putra Arya Damar itu. Kita
harus menghentikan pengaruhnya. Dan ini tugasmu.
Kau harus bisa masuk ke kedaton, Kakang."
3. SERANGAN GELAP
PURI itu gelap.
Dan malam memang telah larut.
Halaman luasnya seakan penuh bayang-bayang pohon besar yang makin membuat gelap suasana.
Hanya ada penerangan lemah di pendapa. Dan beberapa orang sedang duduk menghadap sang menteri
wredda, Sang Dewaraja Mpu Aditya.
Di hadapannya duduk Tumenggung Kuripan, Mpu
Gagarang, dan beberapa orang ksatria muda.
"Gagarang, ini terakhir kali kau bisa memaksaku
menghadap Sang Maharaja di saat yang sudah begini
larut," kata Mpu Aditya di antara kunyahan sirihnya.
"Kalau kau tak menggunakan nama besar Bhre Kuripan, sudah kupenggal langsung kepalamu."
"Mohon ampun, Dewaraja, tetapi pesan yang hamba
bawa memang sangat penting," sembah Rakryan Tumenggung dari Kuripan.
"Tak usah kauingatkan itu. Aku tahu!" Mpu Aditya
meludah. "Dan kau harus tahu bahwa aku juga dimurkai Sang Raja! Mengerti kau?"
"Mohon ampun, Dewaraja!"
"Sang Raja untung sekali sangat tertarik pada keadaan saudara beliau di Kuripan. Maka akan dikirimkan
segera putra Sang Raja sendiri, Pangeran Jimbun."
Mpu Aditya mengangguk pada anak muda di samping Mpu Gagarang.
Dalam suasana remang-remang tampak pemuda itu
berkulit kuning langsat. Wajahnya tampan. Dan pada
badannya nyaris tak ada perhiasan.
Mpu Gagarang melirik pemuda itu. Boleh dikata kurus. Menginjak tanah pun mungkin tak berbekas. Dan
ia akan diutus mengamankan Kuripan dari gangguan
Dewi Candika"
"Bukannya hamba sok pintar, Junjungan... namun
apakah tidak lebih baik jika Pangeran Jimbun diiringi
oleh seorang panglima lain" Maksud hamba... apakah
tidak terlalu berlebihan jika seorang pangeran turun
tangan untuk persoalan sekecil ini?"
"Jangan banyak omong!" tukas Mpu Aditya setengah
membentak. "Kalau kau meragukan ketangguhan Sang
Pangeran, bilang saja, biar kau mencobanya di luar. Berani kau?"
"Mohon ampun, Junjungan, tentu saja tidak," sembah Mpu Gagarang dalam-dalam.
"Bagus. Layani beliau baik-baik selama perjalanan ke
sana. Aku juga sudah mendengar tentang Dewi Candika
ini. Sungguh kurang ajar. Apa maunya, huh" Apa maunya" Menurut laporan sudah 436 jiwa tewas di tangannya. Benar itu, huh" Benar itu, huh" Bagaimana, Mantri?" "Sudah 450 orang, Gusti," seorang punggawa tua
yang duduk di belakang Mpu Aditya berkata. "Tapi itu
hanya desas-desus. Hamba tak yakin itu semua korban
dari orang yang dinamakan Dewi Candika itu. Di Angkusa, misalnya, 30 orang tewas bersamaan karena makan rujak kecubung. Terus... didesas-desuskan itu perbuatan Dewi Candika. Lalu..."
"Jika kau tidak kusuruh bercerita, lebih baik kau diam! Mengerti" Atau kau memang mau kugantung?" tukas Mpu Aditya garang.
"Mohon ampun, Gusti!" orang tua itu gugup menyembah. "Pokoknya banyak. Dan tak ketahuan ia berpusat di
mana. Kalau kalian di Kuripan tidak goblok, mungkin
juga ia bisa kita tangkap di sana."
"Kami mohon petunjuk, Dewaraja," sembah Mpu Gagarang. "Ikuti saja petunjuk Pangeran Jimbun. Begitu juga
kau, Sindura!" bentak Mpu Aditya pada pemuda di samping Pangeran Jimbun.
Pemuda ini memang Ra Sindura.
"Daulat, Gusti."
"Kau dibebaskan karena permintaan Mapatih tolol
itu. Mestinya... huh. Kalau menurut aku sih... langsung saja digantung. Bukankah
begitu, Gagarang?"
"Kalau mengikuti perasaan hati hamba, begitulah,
Junjungan...."
"Pah! Kalau kau berani mengikuti perasaan hatimu,
kau yang akan kuperintahkan digantung, mengerti?"
tukas Mpu Aditya geram. "Kau, Sindura. Dan Pangeran.
Besok pagi segera saja berangkat. Pangeran, Tuan boleh membawa dua puluh orang
prajuritku. Selebihnya ter-serah kalau Tuan akan membawa orang Palembang.
Sudah. Semua pergi sana. Ini waktunya tidur, tahu!"
Dan tanpa basa-basi lagi Mpu Aditya bangkit, berjalan tertatih-tatih meninggalkan tempat itu, diikuti oleh para pengiringnya.
Di tempat itu kini tinggal beberapa orang. Tumenggung Kuripan, Mpu Gagarang. Pangeran Jimbun. Dan
Ra Sindura. Serta beberapa orang pengiring Pangeran
Jimbun. Sesaat hening. Kemudian Mpu Gagarang mengorak sila dan berjalan
jongkok duduk di tempat Mpu Aditya tadi.
"Hamba kira jelas, Pangeran," katanya pada Pangeran Jimbun. "Kita harus segera berangkat."
"Tunggu, Paman," nada suara Pangeran Jimbun kini
jelas terdengar. Dan jelas agak aneh, seakan sangat sulit mengucapkan kata-kata
dalam bahasa Jawa. "Hari
telah larut. Tapi belum pagi. Anak buahku sangat lelah.
Biar mereka istirahat agak lama. Mungkin sehabis...
mmmhh, sehabis subuh kita berangkat. Mereka bisa
bergerak cepat. Kalau Paman setuju, kita bisa berangkat sekarang. Bertiga. Dengan Dinda Sindura. Anak buahku bisa menyusul kemudian. Bisa dipimpin oleh
adikku, Pangeran Kusen. Bagaimana?"
Lucunya nama-nama orang seberang ini, pikir Tumenggung Kuripan. Tapi di mulut ia berkata, "Hamba
kira itu sudah lebih dari cukup, Pangeran, kalau melihat betapa kepercayaan Sang Dewaraja pada Pangeran."
Dan dalam hati ia menyatakan biar anak muda ini tahu
rasa nanti. Pangeran Jimbun berpaling pada Ra Sindura. "Aku
sendiri tak yakin bahwa aku bisa menaklukkan Dewi
Candika. Dan aku hanya memulangkan semua persoalan ini kepada Gusti Yang Maha Tinggi. Kita hanya manusia. Mungkin Allah subhanahu wa taala telah mengirim bencana ini untuk memberi peringatan pada kita.
Kalau aku bertemu dengan Dewi Candika, kemungkinan aku akan ajak berunding dia, dan kutanyakan mengapa ia berbuat ini semua. Sementara ini, hanya kau
yang pernah bertemu dewi itu, bukan" Kalau keterangan yang kudengar benar. Bagaimana pendapatmu
tentang dia?"
"Yang jelas tampaknya Dewi Candika sangat sakti,
Pangeran," sembah Ra Sindura. "Kulihat ia menggunakan ilmuku. Rasanya ia paling tidak setara dengan guruku yang mulia."
"Kesaktian dan ilmu hanyalah anugerah Tuhan. Tergantung bagaimana kita memanfaatkan anugerah itu.
Jika keliru, pasti hukuman Tuhan pun akan menimpanya," kata Pangeran Jimbun. Tumenggung Kuripan
mengerutkan kening. Banyak sekali kata-kata pangeran
ini yang tak bisa dimengertinya. Apakah ini kata-kata
Tanah Seberang" Atau zaman ini semua pangeran berbicara seperti itu" Mungkin patut disimak untuk menyombongkan diri nanti. "Dan kau tak bisa memperkirakan apa yang mendorongnya bertindak seperti itu?"
"Tidak, Pangeran. Hanya agaknya dia memusuhi keluarga istana Wilwatikta. Jadi... kemungkinan hanyalah keinginan untuk berkuasa
saja." "Baik. Kudengar juga kau merupakan tokoh muda
Kuripan. Jadi kau pastilah 'punya isi'?"
"Hamba tak berani membicarakan hal itu, Pangeran.
Apa pun ilmu yang hamba miliki, pastilah hanya setipis debu yang ada di kaki
Tuan," sembah Ra Sindura.
"Ayahanda Dipati mengajariku beberapa ilmu dari
Jawa. Tetapi segalanya aku kira hanya bisa berjalan jika dilandasi ilmu dari
Allah. KepadaNya-lah kita mengharapkan perlindungan, lebih dari segala ilmu yang
ada di dunia ini. Paman Tumenggung, apakah Paman masih
ingin berangkat sekarang juga?"
"Hamba rasa ada baiknya, Pangeran," Tumenggung
Kuripan mengorak sila.
Mereka meninggalkan puri gelap itu. Dua orang prajurit Kuripan berjalan terkantuk-kantuk membawa obor
di depan. Kemudian Pangeran Jimbun yang diapit oleh
Mpu Gagarang dan Ra Sindura. Dan di belakang mereka berjalan beberapa orang pengawal, anak buah Tumenggung Kuripan dan Pangeran Jimbun.
Kota besar itu gelap. Sunyi. Di kejauhan terdengar
suara angklung pengiring tarian dari daerah selatan.
Mungkin dari lapangan di Pasar Besar. Juga terdengar
salakan serta ramainya anjing berkelahi. Entah di mana. Rombongan kecil itu bergerak dari lorong ke lorong menuju tempat
peristirahatan para tamu negara. Tiba-tiba saja Pangeran Jimbun yang memegang
untaian tas- bih mendadak memecahkan salah satu biji tasbih itu
dan melemparkannya ke depan.
Hanya Ra Sindura melihat gerakan itu. Dan melihat
akibatnya. Dari kegelapan tadi telah melesat sebilah tombak
pendek ke arah si pembawa obor. Cepat. Dan hampir
tak terlihat. Tapi lebih cepat lagi gerakan tangan Pangeran Jimbun. Dan butiran
tasbihnya. Yang tepat mengenai tombak pendek tadi. Hingga melesat menancap
ke tanah. "Awas!" Ra Sindura serta-merta melompat maju.
Sesaat hening. Kemudian, tahu-tahu mereka telah
dikepung oleh segerombolan orang dengan kepala dibebat kain hitam. Semuanya bersenjata tajam mengkilat.
"Kurang ajar!" bentak Tumenggung Kuripan. "Di sarang harimau kalian berani berlagak" Bunuh diri sajalah!" "Hhah, hhah!" Seorang bertubuh tinggi besar agaknya adalah pemimpin orang-orang itu. Dan ia memberi
Candika Dewi Penyebar Maut V I I I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
isyarat. Sambil menjerit keras, mereka menerjang. Tak tanggung-tanggung, dua prajurit pengawal langsung roboh.
Tumenggung Kuripan yang tua itu ternyata sangat gesit.
Sambaran sebilah pedang diloncatinya dan kakinya
langsung menendang kepala si penyerang hingga berderak pecah. "Oh, terlalu keji," Pangeran Jimbun sempat berkata
sebelum menundukkan badan menghindari sambaran
sebentuk gada rantai besi. Gerakan yang tiba-tiba itu
seakan menimbulkan gaya tarik hingga si penyerang
seakan tanpa sebab tersungkur menyodorkan kepalanya ke depan Pangeran Jimbun. Sekali tepuk dengan telapak tangan yang menggenggam tasbih membuat si
penyerang langsung roboh tak bersuara.
Yang aneh, sebagian besar penyerang langsung mengepung Ra Sindura dan menyerangnya dengan gerakan-gerakan terpadu. Dan jelas gerakan-gerakan tersebut terukur, teratur, dan terlatih.
Beberapa saat Ra Sindura terdesak. Terutama oleh si
Tinggi Besar yang setiap pukulannya membawa perbawa angin dahsyat. Bahkan Sura-Caya-nya serasa hampir punah, seolah orang itu
tahu ke mana ia akan mengubah langkah. Ra Sindura agak terkesiap. Berapa lamakah ia ditahan, meringkuk di dalam sumur tahanan, maka ia sudah sedemikian kaku dalam bergerak"
Sesungguhnya bukan demikian. Gerakan para pengepungnya memang sangat terencana. Dan dalam kegugupan sesaat, Ra Sindura yang berpengalaman dalam
pertempuran segera melihat bahwa ada seseorang yang
mengendalikan para pengepungnya itu. Bukan si Tinggi
Besar. Seseorang yang sesungguhnya sangat mencolok. Ia
memakai kain yang membelit seluruh tubuhnya. Longgar, tapi rapat. Tubuhnya lebih kecil dari orang-orang lain yang bertelanjang
dada. Dan ia tak pernah mendekat. Hanya sekali-sekali bertepuk dan menjentikkan
jari. Suara inilah yang kemudian membuat si Tinggi Besar mengubah gerakan, menghadang Sindura. Dan ini
membuat orang lain mengubah gerakan pula.
Melihat itulah, cepat Ra Sindura mengubah siasat. Ia
hampir tak menghiraukan para penyerang yang dekat
dengannya. Beberapa kali ia berguling di tanah. Bukan
hanya untuk menghindar, tetapi untuk meraup kerikil
yang ada di tanah, menggenggamnya dan kemudian dalam berbagai kesempatan melontarkannya dengan kecepatan dan tenaga kuat ke arah si Hitam.
Pada awalnya Sindura seakan mendengar suara seruan kaget seorang wanita. Tapi kemudian ia tak bisa
memikirkan hal itu lagi. Si Tinggi Besar agaknya khawatir akan serangan terhadap
si Hitam itu, hingga seolah tanpa rencana ia mengerahkan yang lain untuk
menggempur Sindura lebih hebat.
Dan ini makanan empuk bagi Sindura. Begitu gerakan teratur lawannya ditinggalkan, ia mengubah Sura-Caya dengan langkah-langkah
Bantala Liwung yang ganas. Langsung terdengar beberapa jeritan saat tendangan dan hantaman Sindura telak mengenai sasaran.
Dari sudut matanya Sindura pun melihat Pangeran
Jimbun berhasil merobohkan beberapa penyerangnya
dengan gerakan yang tampaknya hanya mengandalkan
ketangkasan saja.
"Pilihan sasaranmu sungguh tepat, Dinda Sindura!"
terdengar pangeran itu berseru dengan lagu bahasanya
yang aneh. Dan sambil merobohkan seorang penyerang
lagi ia cepat memungut beberapa senjata yang terlempar di tanah, serta
melemparkannya pada si Hitam.
Si Tinggi Besar jadi tambah kalut. Dan barisannya
pun nyaris rusak. Sindura berhasil menyerbu keluar
dari kepungan dan kini melompat untuk menerjang si
Hitam yang mulai kecipuhan oleh gangguan lemparan
Pangeran jimbun.
Agaknya si Hitam pun melihat Sindura mencoba
mendekat. Dan ia mengubah gerakannya. Mendadak
saja ia melompat mundur dan menerjang Pangeran Jimbun! Hantaman yang dilontarkan si Hitam ternyata dilambari sebuah tenaga dahsyat. Pangeran Jimbun terpaksa
menjerit saat dadanya bagaikan dihantam palu godam
dahsyat. "Pangeran!" jerit Sindura. Sesaat ia lengah. Hantaman seorang pengepungnya membuat pelipisnya retak.
Dengan geram Sindura menendang orang itu sekuat tenaga. Jeritan kerasnya menutupi pekikan mundur dari
si Hitam. Dan sesaat kemudian tempat itu sunyi.
"Pangeran!" Sindura cepat menghampiri Pangeran
Jimbun yang terengah-engah bersandar di bawah sebatang pohon. "Aku tak apa-apa," kata pangeran itu meringis. "Dadaku serasa terbakar. Tapi insya Allah takkan apa-apa
... periksa orang-orang kita...."
Mereka dikejutkan oleh beberapa teriakan pendek.
Dan ketika mereka menoleh terlihat Mpu Gagarang sedang menginjak hancur leher salah seorang penyerang
yang tadi pingsan.
"He! Paman Tumenggung! Hentikan!" teriak Pangeran
Jimbun mencoba bangkit. "Jangan bunuh mereka!"
"Ah, kotoran dunia seperti mereka ini untuk apa!"
kata Tumenggung Kuripan geram. "Dua orang kita terbunuh. Dan mereka berani menyerang seorang pangeran Wilwatikta! Di Wilwatikta! Sungguh berani mati! Ji-ka mereka tidak dibunuh,
akan makin banyak orang
yang sekurang ajar ini!"
"Tapi, Paman..." Pangeran Jimbun dengan bantuan
Sindura kini berdiri. "Kita bisa menanyai mereka...."
"Tetapi untuk apa, Pangeran" Jelas mereka berontak. Habis perkara," sahut Tumenggung Kuripan.
Pangeran Jimbun menghela napas panjang. "Baiklah. Dasar takdir mereka. Tapi ingat, Paman, kata-kata Paman Mantri Wredda tadi.
Tak boleh ada yang bertindak sebelum minta izin padaku. Dinda Sindura, siapa
kira-kira mereka?"
Sindura dibantu beberapa prajurit memeriksa mayat
para pengepung yang tertinggal. Tak ada tanda-tanda
apa pun di badan ataupun pakaian mereka.
"Agaknya mereka orang Wilwatikta sini, Pangeran,"
kata Sindura kemudian. "Tak ada tanda-tanda khusus.
Tapi kain mereka kukira batikan setempat."
"Mereka pasti bukan perampok. Tak mungkin perampok begitu berani bertindak di Wilwatikta. Dan...
pukulan orang itu tadi... kurasa itu sangat mirip dengan ilmu pukulan yang
pernah diperlihatkan oleh Ayahanda
Dipati. Ayahanda tidak menguasainya dengan baik, tetapi gerakannya tepat. Jadi... aku tak percaya, tetapi agaknya penyerang kita
adalah keluarga istana."
Suasana terasa makin hening. Di kejauhan terdengar
suara orang berlari. Para pengawal yang tidak cedera
segera bersiap-siap. Tetapi Pangeran Jimbun tenang saja. "Itu langkah lari prajurit," katanya. "Pasti pasukan ronda."
"Keluarga istana" Dan mereka agaknya mengarah
aku?" Ra Sindura bertanya-tanya.
"Itu juga aneh. Aku tak begitu disukai di kalangan istana. Mungkin juga, karena kau tampak lebih tampan
dariku, kau dikira aku...." Pangeran Jimbun tertawa.
"Wah, mungkin juga." Sindura mengernyitkan kening. Siapa yang punya niat jahat terhadapnya"
Gajahmada 9 Rumah Judi Pancing Perak Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung Badai Awan Angin 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama