Gento Guyon 1 Tabib Setan Bagian 1
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
1 ENTO UYON GG Sang surya belum lagi menampakkan diri di ufuk timur. Udara dingin di pinggir
telaga masih terasa menusuk tulang. Tapi kakek tua berambut dan berjanggut putih
itu sudah terjaga dari tidurnya. Dia menggeliat
sedangkan mulutnya menguap lebar.
Seolah ingat akan sesuatu, begitu selesai menyampirkan kantong
perbekalannya yang butut dia pun bangkit berdiri. Sepasang mata si kakek
memandang liar kian ke mari.
Setelah itu si kakek pun
menyeringai ketika melihat benda yang dicari tergeletak tak jauh dari batu yang
dijadikan alas tidurnya. Benda yang dicari si kakek ternyata hanya sebatang
bambu sebesar lengan dengan panjang dua tombak di mana bagian ujungnya kecil.
Bambu ini tidak beda dengan bambu yang sering dipergunakan orang untuk
memancing. Dengan cepat si kakek menyambar bambu itu. Dari mulutnya terdengar
dia berkata. "Jika bambu ini sampai hilang urusan bisa jadi repot."
"Kau hendak menyiksaku dengan benda celaka itu tabib?" Tiba-tiba saja terdengar
suatu suara menyahuti,
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
membuat si kakek tertawa tergelak-gelak. Dia lalu memandang ke atas. Di atas
cabang pohon rendah, terlihat tergantung seorang bocah laki-laki berumur sekitar
enam tahun. Bagian kepala menghadap ke bawah. Sedangkan kedua kakinya yang
terikat di cantelkan ke cabang pohon. Sesekali tubuhnya tampak bergoyang-goyang bila bocah
ini meronta. Nampaknya si bocah sangat tersiksa sekali. Sehingga dia kembali
berkata dengan suara keras.
"Tabib... cepat lepaskan ikatan di kakiku ini. Aku ingin bebas. Aku tak mau
mengikutimu. Aku tak mau kau jadikan budak. Tabib, tabib gilaaa kau mendengar
suaraku bukan?"
Si kakek hentikan tawanya.
Matanya melotot memandang pada bocah gondrong yang tergantung. "Anak edan mana
mungkin aku melepaskanmu. Kalau ikatan kulepas kau pasti akan minggat jauh. Kau
harus ingat, hidupmu sudah ditakdirkan menjadi seorang budak.
Sejak dirimu masih menjadi angin tanda-tanda itu sudah ada. Di ubun-ubun, di
puser bahkan di sekujur tubuhmu tanda-tanda kesialan itu sudah ada. Kau tak akan
pernah menjadi orang besar. Tidak akan menjadi panglima atau patih, apalagi
raja. Kalau pun mungkin kau pasti menjadi raja edan, raja cacing tanah dan
paling tinggi raja para pengemis. Aku sudah melihat
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
semua itu. Hidup dan matimu sudah ditentukan oleh yang di atas. Dan kau tetap
menjadi seorang budak. Kau akan menjadi budakku dari kecil sampai ubanan. Ha ha
ha!" kata si tabib aneh disertai tawa panjang.
Bocah itu meronta. Dia kepalkan tangannya yang bebas bergerak. Matanya yang
jenaka namun tajam berkedip-kedip. "Tabib...!" kata si bocah.
Karena si tabib diam saja si bocah berteriak. "Tabib setaaan... kau memang
manusia setan. Lekas kau turunkan aku. Tubuhku terasa panas, aku ingin mandi!"
kata si bocah sambil melirik ke arah telaga yang bening.
Si kakek menimang-nimang batang bambu di tangannya. Dia menatap bocah itu
sebentar. Setelah itu tertawa lagi. "Bocah edan, muslihat apa lagi yang ada
dalam batok kepalamu" Aku tahu akal bulusmu" Jangan pernah mimpi aku
membebaskanmu. Ha ha ha!"
"Setan, aku bukan minta untuk dibebaskan. Buat apa aku mengharap belas kasihan
darimu. Aku hanya mengatakan harap kan turunkan aku. Aku mau mandi." jawab si bocah. Lalu dia pun
tiba-tiba ikut pula tertawa. Si kakek menjadi heran.
"Kau... anak edan, apa yang kau tertawakan?" bentak si kakek yang sebenarnya
memiliki nama asli Tabib Tapadara. Merasa heran tawa si bocah
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
makin menjadi-jadi. Beberapa saat kemudian ketika tawanya terhenti dia berkata.
"Kakek tabib kurasa dalam hidup kau hanya tahu ilmu pengobatan saja.
Kau urusi orang lain, tapi pada dirimu sendiri kau jadi kurang urus.
Menurutku sebaiknya kita mandi bersama dalam telaga." jawab si bocah sambil
tersenyum-senyum.
"Anak edan. Kau tak perlu
menggurui aku. Kemarin aku sudah mandi. Jika sekarang kau mau mandi, baik.
Permintaanmu kukabulkan.
Mandilah sepuasmu. Ha ha ha!" Sambil tertawa-tawa si kakek gerakkan ujung
bambunya ke arah celah kedua kaki si bocah yang terikat.
Wuut! Di lain saat si bocah kini
tergantung di bagian ujung bambu.
Karena ujung bambu itu sangat lentur maka tubuh si bocah terguncang keras
terombang-ambing kian kemari tak mau diam. Ini tentu merupakan siksaan
tersendiri bagi si bocah apalagi saat itu kepalanya menghadap ke bawah.
"Tabib Setaan... aku hendak kau bawa ke mana?" tanya si bocah kesal sekali.
Si kakek menyeringai. "Kau minta mandi, sekarang aku akan memandikanmu anak
edan." jawab orang tua itu. Enak saja dan seakan tidak punya rasa belas
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
kasihan sama sekali bagian pangkal bambu dipikulnya. Sampai di pinggir telaga
bambu diputar cepat hingga ujungnya yang diganduli si bocah berada di atas
telaga. Gerakan cepat yang dilakukan si kakek membuat si bocah laksana
dilontarkan, lalu berguncang keras ke kanan kiri dan gerakan bambu terhenti
dengan tiba-tiba di atas telaga.
"Orang tua, kepalaku pusing. Kau perlakukan diriku begini rupa, apakah kau kira
aku ini seekor ikan?" gerutu si bocah sambil memijiti kepalanya yang berdenyut
sakit. "Kau seorang budak. Tadi kau minta mandi, sekarang mandi sepuasmu!"
Dengan tidak terduga bambu yang dipegang si kakek digerakkan ke bawah.
Begitu ujung bambu meluncur maka tubuh si bocah yang tergantung di sana dengan
kaki di atas kepala menghadap ke permukaan air ikut pula meluncur.
Byuur! Bleep! Tubuh si bocah hingga ke bagian ujung bambu lenyap dalam kedalaman air. Air
telaga bergelombang, si bocah meronta. Beberapa saat lamanya si bocah tenggelam
dalam air, baru kemudian si kakek sentakkan bambu ke atas. Dengan begitu si
bocah yang dalam keadaan basah kuyup ikut pula terahgkat. Si bocah megap-megap.
"Tua GENTO GUYON T A B I B S E T A N
bangka edan, aku bisa mati jika kau perlakukan seperti ini!" makinya.
"Ha ha ha. Ini adalah cara mandi yang bagus dan sangat langka. Kau
kutenggelamkan, lalu kuangkat.
Tenggelam... diangkat... tenggelam di angkat lagi. Bagus bukan?" kata sang
Tabib. Baru saja bocah itu hendak
mengatakan sesuatu, bambu digerakkan ke bawah. Dengan begitu bocah ini pun ikut
meluncur dan tercebur lagi ke dalam telaga. Gerakan ini dilakukan berulang kali
oleh kakek tabib sampai akhirnya bocah itu menjadi lemas dan sulit bernafas.
Dengan nafas terengah-engah si
bocah berkata. "Kakek tabib, terima kasih kau telah memandikan aku...!"
"Untuk ucapan terima kasihmu itu sekarang kau layak duduk dengan kaki tetap
terikat!" ujar si kakek. Kemudian bambu digerakkannya. Kaki si bocah yang sengaja dicantolkan di sana
terlepas. Tak ayal lagi bocah itu melayang dan jatuh dengan punggung menyentuh
tanah di pinggiran telaga.
Si bocah menggeliat kesakitan. Tapi kemudian setelah duduk dengan kaki terikat
dia tersenyum. "Tabib Setan...!"
"Sekali lagi kau memanggilku Tabib Setan, kupecahkan kepalamu!"
desis si kakek merasa tidak senang.
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
"Tindakanmu sejahat setan.
Bagaimana aku tidak memanggilmu begitu?" rutuk si bocah.
Dengan sikap tak perduli dia
melanjutkan. "Tabib... setelah kau mandikan aku apakah kau tidak berniat mandi?"
"Eeh, kau hendak mengajari aku yang sudah tua bangka. Setiap saat badanku selalu
wangi karena kubaluri ramuan khusus. Lalu buat apa aku mandi"!" Si kakek
kemudian menyeringai, "Aku tahu kau pasti hendak mencari kesempatan untuk
melarikan diri."
Si bocah gelengkan kepala.
"Buat apa lagi. Semua itu percuma karena kau pasti menemukan aku juga.
Aku percaya tubuhmu bau wangi. Tapi rambutmu aku yakin bau pesing. Ha ha ha."
"Apa" Rambutku bau pesing?" desis si kakek. Kemudian cuping hidungnya kembang
kempis sedangkan kedua tangan mengusap-usap rambutnya sendiri.
Sebagian rambutnya ternyata memang basah. Ketika tangan yang memegang rambut
diciumnya...."
"Hemm, bau pesing!" kata si bocah sambil tertawa-tawa. Sang Tabib mendelik
garang, wajahnya yang
diwarnai keriput nampak merah padam.
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
"Bocah edan. Kau kencingi aku disaat aku sedang tidur?" teriak Tabib Tapadara
marah sekali. "Salahmu sendiri tabib. Aku kau gantung di atas ketiduranmu. Malam tadi aku
kedinginan. Karena kakiku kau ikat, terpaksa aku kencing begitu saja. Jika kau
tak tidur dibawahku, mana mungkin air kencingku mengguyur kepalamu. Apakah
engkau masih mau menyalahkan aku" Ha ha ha!" kata si bocah.
Tabib Tapadara sebenarnya sangat marah terhadap si bocah, namun setelah dia
berpikir sejenak akhirnya dia menyadari semua itu memang
kesalahannya sendiri.
"Bocah edan, gara-gara ulahmu sebagian ilmu yang kusimpan di
kepalaku luntur. Seharusnya aku membu-nuhmu saat ini juga. Tapi mengingat
tenagamu masih kubutuhkan, kematianmu bisa kutunda untuk beberapa purnama lagi."
Dengus si kakek.
Si bocah cibirkan mulutnya.
"Sejak dulu kau selalu mengancamku.
Tapi ancamanmu tak pernah kau
buktikan. Apa kau mengira aku takui mati, tabib... setan...!"
"Bocah kurang ajar. Awas kau, jangan berani pergi ke mana-mana aku terpaksa
membersihkan bau pesing di kepalaku." Tabib Tapadara tanpa menghiraukan ucapan
bocah itu langsung
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
menuju ke pinggir telaga yang dangkal.
Sebenarnya si bocah ingin
mempergunakan kesempatan itu untuk melarikan diri, namun karena kakinya terikat
dan tidak dapat dibukanya terpaksalah dia diam di situ. Akan tetapi kejahilan
muncul di dalam pikiran si bocah. Dia lalu beringsut mendekati bambu yang selama
ini selalu dipergunakan oleh si kakek untuk menggantungnya ke mana pun kakek ini
pergi. "Tabib edan. Bertahun-tahun aku berada dalam cengkeramanmu tanpa sedikit pun kau
beri aku kebebasan.
Sekali-kali kau harus tahu rasa"
dengus bocah itu dalam hati. Kemudian dengan menggunakan ujung bambu itu
didorongnya panggung Tabib Tapadara yang sedang mencuci rambut di pinggir
telaga. Byuur! "Ha ha ha. Basah sudah semuanya!"
seru bocah itu sambil tertawa
tergelak-gelak.
Sumpah serapah keluar dari mulut si kakek. Dia dalam keadaan basah kuyup
melompat ke darat. Sampai di sana si kakek berlari, tangannya berkelebat
menyambar tangan bocah itu.
Sekali angkat melayanglah tubuh bocah itu di udara.
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
"Tabib... kau hendak membunuhku.
Tabib Setan...!" teriak si bocah ketakutan.
"Ternyata kau takut mati. Hemm...
bocah menyebalkan!" gerutu si kakek.
Dengan gerakan cepat dia menyambar bambu, kemudian ujung bambu diputar dan
digerakkan sedemikian rupa. Di lain waktu celah kedua kaki si bocah yang dalam
keadaan terikat sudah tergantung di ujung tombak itu.
"Sekarang tidak ada waktu lagi bagi kita untuk bermain-main. Kita harus pergi ke
padang yang tak jauh dari lembah ini. Di sana kau harus mencari tetumbuhan untuk
kujadikan ramuan." kata Tabib Tapadara.
Setelah itu sang tabib berlari
secepat yang dapat dia lakukan. Karena larinya sesuka hati sendiri, tak ampun
lagi si bocah yang digantung di ujung bambu yang lentur itu nampak pontangpanting terlempar kian ke mari. Tidak dapat dibayangkan betapa tersiksanya bocah
ini. "Kakek tabib, jangan terlalu kencang kau berlari. Aku... aku mau muntah...!"
"Kalau mau muntah, muntah saja tidak ada yang melarang. Di ujung bambu itu kau
bebas berbuat apa saja, termasuk buang hajat jika kau mau!"
kata si kakek diiringi tawa panjang.
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
"Dasar setan. Kelak kau akan menerima, hukuman dariku." gerutu bocah ini dalam
hati. 2 ENTO UYON GG Apa yang diucapkan Tabib Tapadara memang benar tak jauh dari telaga terdapat
sebuah padang luas di mana beberapa jenis tetumbuhan yang biasa dapat
dipergunakan sebagai ramuan obat tumbuh subur di sana.
"He he he. Apa yang aku butuhkan tumbuh di sini. Aku tidak perlu bersusah payah,
biar bocah edan ini saja yang memetiknya." pikir sang tabib. Kemudian dengan
enak saja dia menggerakkan bambu yang dipanggulnya.
Wuut! Ujung bambu yang sangat lentur bergetar, dengan begitu si bocah yang
tergantung di bagian ujungnya
terpelanting di udara.
"Tabib Setan. Kau memang iblis edan. Ikut denganmu aku selalu
mendapatkan sialnya melulu." maki si bocah sambil melakukan gerakan
berjumpalitan. Sehingga ketika jatuh kedua tangannya yang terlebih dahulu
menyentuh tanah.
Si kakek tertawa terkekeh. Tanpa bicara dia menghampiri bocah itu. Tali
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
dadung yang mengikat kedua kaki si bocah dilepaskannya. Begitu terlepas dia
hendak melarikan diri. Tetapi sekali tangan si kakek berkelebat bocah ini jatuh
tersungkur. Dia delikkan matanya, sedang mulutnya berkomat-kamit seperti orang
bisu yang marah.
"Tidak ada gunanya kau melarikan diri. Semua jalan tertutup buatmu.
Budakku, sekarang tiba waktunya bagimu untuk mengumpulkan daun-daun untuk
kujadikan ramuan. Tapi sebelum itu seperti biasa kutotok dulu urat besar di
punggung dan lehermu. Ha ha ha."
Gento Guyon 1 Tabib Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Artinya aku tidak bisa melarikan diri lagi?"
"Ya, kalau pun itu kau lakukan hanya dalam waktu setengah hari kau segera
mampus. Wajahmu membiru, tubuhmu gosong. Sebelum mati kau akan mengalami
penderitaan yang sangat hebat." Baru saja kakek ini selesai bicara, tangannya
kiri kanan bergerak cepat. Tahu-tahu bocah ini mendapati tubuhnya sudah dalam
keadaan tertotok.
Dia menyeringai kesakitan. Bagian kepalanya seperti digigiti serangga sedangkan
punggung laksana diganduli batu besar. Sehingga ketika dia berjalan kepalanya
bergoyang-goyang seperti penderita penyakit ayan sedangkan bagian punggungnya
terus GENTO GUYON T A B I B S E T A N
menggeliat seperti seorang penari. Si kakek tertawa terbahak-bahak.
"Sekarang kau benar-benar mirip penari edan. Hayo tunggu apa lagi, lakukan
tugasmu!" perintah sang tabib.
Karena bocah itu tetap tegak di tempatnya dengan badan serta kepala terus
bergoyang tak mau diam akibat totokan, maka si kakek tabib jadi hilang rasa
sabarnya. Ditepuknya pantat si bocah, hingga membuatnya melesat ke arah semaksemak di mana daun tetumbuhan yang dibutuhkan tabib itu berada.
"Edan... tua edan... dasar tabib setan...!" pekik si bocah yang merasa
jantungnya laksana copot akibat tepukan menggunakan tenaga dalam yang dilakukan
orang tua itu. Makian bocah itu disambut dengan tawa si kakek. Dia sendiri lalu rebah
menelentang di bawah sengatan
matahari. Apa yang terjadi antara tabib itu dengan si bocah ternyata tak lepas dari
perhatian seorang kakek tua berbadan gemuk luar biasa berkening lebar bermuka
bulat. Sebenarnya orang tua ini sudah menguntit mereka sejak beberapa hari ini.
Tetapi si kakek gendut besar nampak agak segan
berhadapan dengan Tabib Tapadara.
Sehingga melihat ulah si tabib
yang dinilainya sewenang-wenang
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
terhadap si bocah membuat kakek gendut besar itu hanya mampu mengurut dada.
Kini setelah melihat si bocah
sedang memetik ramuan daun obat-obatan si kakek menyelinap di balik kelebatan
pohon. Dia mendekati bocah itu.
Setelah dekat, kerindangan pohon disibakkannya. Si bocah terperanjat.
Si kakek menyengir. Bocah itu kedip-kedipkan matanya.
"Kakek gendut... dut... dut....
Kau ini siapa?" tanya si bocah polos, sementara kedua tangannya tetap sibuk
memetik dedaunan dan memasukkannya ke dalam kantong besar.
"Aku... aku Gentong Ketawa!"
jawab kakek gendut itu. Sambil berkata mulutnya terbuka hendak tertawa. Namun
tangannya yang besar cepat tekap mulutnya sendiri. "Aku tak boleh tertawa, nanti
tabib itu melihatku!"
Bocah itu tersenyum. Sepasang
matanya yang bulat seperti kelereng berputar-putar jenaka.
"Namamu aneh juga lucu. Tapi...
badanmu memang bulat mirip gentong.
Lagipula perutmu gendut besar, kek apakah kau sedang bunting" Mana isterimu?"
tanya Si bocah polos.
Mendengar ucapan si bocah, sekali lagi si kakek gendut hampir tak kuasa menahan
tawanya. Tapi sebagaimana tadi, kali ini dia buru-buru mendekap mulutnya.
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
"Engkau sendiri siapa namamu?"
tanya Gentong Ketawa. Ketika bicara si kakek tak lupa melirik ke arah
lapangan di mana kakek tabib
terlentang di sana berjemur matahari.
"Aku... aku tak tahu namaku. Aku belum diberi nama. Tabib tua yang sering
kupanggil Tabib Setan suka memanggilku dengan nama bocah edan!"
jawab si bocah.
"Bocah edan itu bukan nama. Kalau pun sebuah panggilan pasti cara memanggil yang
jelek." "Terkadang dia juga sering menyebutku, budak"!"
"Budak... kedudukannya lebih buruk dari kacung atau pembantu.
Berarti dia orang jahat. Bagaimana kalau kau ikut denganku. Kau bisa menjadi
muridku!" bujuk si kakek.
"Kalau kakek berani bilang sama tabib gila itu mungkin aku mau. Tapi nanti di
sana aku kau suruh
mengerjakan apa?" tanya si bocah dengan lugu.
Si kakek usap-usap keningnya yang lebar. Kalau dia harus bicara dengan Tabib
Tapadara mana mungkin itu dilakukannya. Tabib tua itu selain sangat pandai dalam
hal ilmu obat-obatan juga memiliki kesaktian tinggi.
Bukan kesaktian dan ilmunya itu yang membuatnya agak segan, melainkan karena
sang tabib memiliki pukulan dan
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
beberapa jenis senjata rahasia
beracun. "Kau takut dengan tabib setan itu kek" Kulihat mukamu pucat, keringatmu
bercucuran."
"Hus sembarangan. Siapa bilang aku takut. Aku tidak takut padanya.
Hanya sekarang ini aku sedang malas saja berkelahi." kilah si kakek.
"Kalau takut ya sudah. Mungkin memang sudah jadi nasibku harus menjadi budaknya
seumur hidup." kata bocah itu sedih.
"Kau jangan...!" ucapan Gentong Ketawa mendadak terputus karena pada saat itu
terdengar suara Tabib
Tapadara. "Budakku, cepat ke mari. Aku dengar ada suara dari situ, kau bicara dengan
siapa?" "Aku bicara sama setan!" sahut si bocah dengan suara lantang.
Si kakek terlonjak kaget. Dia
bangkit berdiri dan memandang ke arah di mana si bocah saat itu pura-pura sibuk
mengumpulkan dedaunan.
"Apa kau bilang tadi?"
Bocah itu gelengkan kepala.
"Aku tidak bicara dengan
siapapun. Kau dengar?" rutuknya dengan mulut cemberut.
"Bocah edan. Aku yakin di sini banyak setannya. Sekarang setelah kau dapatkan
dedaunan itu cepat kemari.
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
Kita harus pergi. Aku merasa sejak beberapa hari ini kita telah dikuntit setan."
kata si kakek tabib.
Di tempat persembunyiannya
Gentong Ketawa memaki. "Sialan tabib gila itu. Aku dikatainya setan."
gerutu si kakek gendut besar.
Sementara si bocah sempat
melengak kaget ketika melihat ke balik kelebatan pohon ternyata si kakek tak
tampak lagi berada di situ. Dengan sikap tanpa menimbulkan rasa curiga bocah itu
akhinya kembali menjumpai Tabib Tapadara. Kantong berisi daun ramuan diambilnya.
Kemudian dari balik pinggang dia mengeluarkan tali.
"Celaka dia mau menggantungku lagi." Desis si bocah.
Belum lagi hilang rasa kagetnya.
Sreet! Sreet! Bluk! Si bocah jatuh terjerembab.
Kemudian Tabib Tapadara mengambil bambu. Ujung bamboo digerakkannya di celah
kedua kaki bocah ini. Sekali lagi si kakek menggerakkan bambu ke bahunya maka
tubuh si bocah yang tergantung itu terguncang keras. Si kakek kembali
melanjutkan perjalanannya. Belum lagi dia jauh mengayunkan langkah. Dari arah atas seakan datang dari
langit sosok tubuh besar luar
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
biasa melayang dan jatuh dalam keadaan bersila persis di hadapannya.
Tabib Tapadara hentikan
langkahnya. Dia pandangi orang tua berbaju hitam tidak terkancing ini dengan
perasaan kaget juga heran. Lalu dia dongakkan kepala memandang ke langit.
Mustahil kakek gendut besar itu jatuh dari langit.
Sementara itu si gendut Gentong Ketawa dengan sikap terkesan tidak perduli malah
tadahkan tangannya.
Dengan wajah memandang ke langit dan mata berkeriapan, mulutnya yang komat-kamit
mengeluarkan suara tak jelas.
Terkadang seperti suara dengung kumbang, lalu berubah seperti suara angin puyuh
dan di lain saat berubah seperti suara orang mengomel.
"Walah-walah... aku sedang berdoa. Doa apa saja, aku ingin punya murid. Aku
ingin punya budak yang dapat mewarisi ilmuku... aku ingin punya...!" ucapan si
kakek seakan terputus. Tapi aneh mulutnya tetap komat-kamit.
Dia nampak begitu bersemangat
dalam konsentrasinya, sehingga kedua matanya pun dipejamkan. Beberapa saat suara
Gentong Ketawa lenyap. Tapi kemudian terdengar lagi. "Aku melihat bocah
digantung. Kasihan. Padahal kalau diberikan padaku, aku pasti tidak menolak.
Kurasa tulangnya bagus,
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
kulitnya putih bersih. Kalau pun pantatnya burik tidak mengapa. Di bagian itu
tak pernah dilihat orang, lagipula bisa ditutupi celana."
"Kakek tolol ini dukun atau apa"
Kalau dia menghendaki aku jadi
muridnya mengapa tak mau bicara terus terang dengan Tabib Setan?" gerutu bocah
yang tergantung di ujung bambu bersungut-sungut.
Sementara itu kakek tabib yang memang sudah kaget melihat kehadiran Gentong
Ketawa nampaknya tidak mau ambil perduii. Dengan sikap acuh Tabib Tapadara
meninggalkan si kakek gendut besar ini begitu saja.
"Orang berdoa dan bertanya mengapa tak berjawab. Apa mungkin aku berhadapan
dengan setan gagu" Kalau setan mengapa tubuhnya kelihatan dan kedua kali
menginjak tanah" Kalau manusia mengapa tingkah lakunya seperti setan?" kata si
kakek gendut masih dengan mata terpejam. Tapi kemudian daun telinganya bergerakgerak. Dia tak mendengar suara apa-apa. Si kakek buka matanya. Ternyata si tabib
sudah tak ada lagi di situ.
"Dasar tabib kampret. Pergi tak mau bilang padaku. Bagaimana ya" Apakah bocah
itu sebaiknya kularikan saja?"
pikir si kakek. Dia bangkit dengan cepat. Lalu dengan tergesa-gesa pula dia
mengikuti Tabib Tapadara.
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
3 ENTO UYON GG Tiga bocah berpakaian serba putih dan berkepala gundul plontos itu masing-masing
sibuk memainkan toya, roda-roda terbang dan juga pedang hitam besar yang terbuat
dari kayu batu.
Melihat cara mereka memainkan
senjata, juga gerakan tubuh mereka yang indah mengagumkan jelas sekali kalau
mereka ini adalah bocah-bocah yang sudah sangat terlatih dan paling tidak murid
dari seorang guru yang memiliki kepandaian sangat tinggi.
Semua ini terlihat ketika bocah itu nampak saling menyerang satu sama lain
dengan senjata andalan masing-masing. Mula-mula si bocah ramping bermata bagus
menggerakkan salah satu roda terbangnya ke arah si bocah bersenjata toya. Begitu
roda bulat bergerigi tajam pada lingkaran luarnya menyambar ke arah dada. Maka
dengan bertumpu pada ujung toya tubuhnya melenting ke udara. Toya dengan cepat
digerakkannya ke arah roda terbang.
Tung! Benturan yang
terjadi membuat roda maut itu terpental membalik ke arah pemiliknya. Begitu
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
roda terbang pertama berbalik, maka roda terbang kedua melesat menghantam si
botak bertoya yang kini sedang berjumpalitan di udara.
"Wei, Taktu curang. Mana boleh menyerang dengan dua senjata berturut-turut!"
seru si botak yang ada pitaknya di bagian belakang kepala.
Bocah ini kemudian menggerakkan golok kayu batu di tangannya sambil
melompat. Tuing...! Benturan keras terjadi. Botak
bersenjata golok kayu batu yang sangat besar itu terhuyung-huyung, dia hampir
terpental terseret berat golok kayunya sendiri. Sedangkan roda terbang milik si
botak berbadan ramping jatuh berkerintangan di atas tanah berbatu.
Si bocah botak bersenjata toya
jejakkan kakinya di atas tanah. Dia menyeringai, lalu mengusap kepala botaknya
yang keringatan sebanyak tiga kali.
"Terima kasih Takwa. Kalau tidak kau tolong mungkin kepalaku sudah copot
menggelinding. Taktu sangat keterlaluan. Kita sedang latihan mengapa menyerang
sungguhan?"
Bocah yang dipanggil Takwa
tertawa senang. "Dia memang begitu.
Dari kecil liciknya sudah kelihatan."
kata Takwa. GENTO GUYON T A B I B S E T A N
Si bocah berbadan ramping yang
dipanggil Taktu tersenyum mencibir.
"Kata guru walau sedang latihan kita harus bersikap sungguh-sungguh. Kita
bertiga harus menjadi yang terbaik.
Agar kelak kita dapat membantu guru dalam membalas dendam pada musuhnya!"
tegas Taktu. "Hi hi hi. Kita bukan sedang latihan. Kita sedang bermain-main.
Lagipula jika guru sampai tahu kita berada di sini guru bisa marah.
Sebaiknya kita pulang saja." usul bocah botak bersenjata toya yang biasa
dipanggil Takga.
"Engkau benar, Takga." sahut bocah botak bertubuh ramping sambil memungut salah
satu roda terbangnya yang tergeletak. "Mari kita tinggalkan tempat ini."
Takwa dan Takga menganggukkan
kepala. Mereka kemudian berbalik langkah. Namun ketiga bocah berkepala botak ini
menjadi kaget begitu melihat di depan mereka berdiri tegak seorang laki-laki
berpakaian putih, berambut dan berjenggot putih. Yang membuat mereka jadi kecut,
kakek itu memanggul sebatang bambu yang lazim dipergunakan untuk memancing.
Sedangkan di ujung bambu tergantung seorang bocah
berambut gondrong dengan kaki ke atas dan kepala ke bawah.
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
"Takwa, siapa kakek ini"
Nampaknya dia jahat sekali." tanya Takga dengan suara pelan.
"Mungkin juga setan yang biasa menculik anak kecil. Sebaiknya kita jangan
hiraukan dia. Kita pergi secepatnya!" jawab Takwa.
"Sobat-sobatku... kalian bertiga anak tuyul apa anak setan" Mengapa kepala
dibotaki seperti itu?" kata si bocah yang tergantung begitu melihat ketiga bocah
itu. "Enak saja kau bilang kami anak setan." kata si botak bertubuh ramping sewot.
"Kau sendiri siapa" Keadaanmu sungguh menggenaskan."
"Betul. Seperti nelayan membawa ikan." menimpali si botak ketiga.
"Bukan nelayan yang membawa ikan.
Tapi seperti ayam bodoh yang hendak dipotong. Hi hi hi...!"ujar Takwa sambil
tertawa-tawa.
Gento Guyon 1 Tabib Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ha ha ha. Para bocah botak yang membawa senjata. Dibandingkan ilmu yang kalian
miliki. Tentu ilmu
simpananku lebih hebat. Aku digantung seperti ini karena sedang menjalani
latihan. Kau lihat kakek yang
memikulku itu" Sudah setua itu dia menjadi budakku. Kalau aku tak berilmu tinggi
mana mungkin ia mau kusuruh membawaku seperti ini."
Ketiga bocah berkepala botak ini melengak kaget. Menurut penglihatan
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
mereka kakek itu bukan orang tua bodoh. Paling tidak memiliki
kepandaian tinggi. Jika benar apa yang dikatakan bocah yang tergantung di ujung
bambu itu. Berarti bocah
gondrong itu memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Sebaliknya Tabib Tapadara menjadi geram sekali mendengar ucapan bocah yang
menjadi budaknya. Sambil
menggeram dia membentak. "Bocah edan.
Kalau benar ucapanmu sekarang aku ingin mengadu antara kau dengan salah seorang
diantaranya." kata si kakek tabib.
"Eeh, kau hendak berbuat apa tabib?" tanya si bocah.
"Ha ha ha. Kau takut berkelahi dengan mereka" Pengecut!" dengus Tabib Tapadara
disertai senyum mengejek.
"Huh, siapa takut" Coba turunkan aku, biar kuhajar salah satu dari botak-botak
itu biar tahu rasa!"
Tabib Tapadara menyeringai. Bambu di bahunya diguncang ke bawah baru kemudian
ditariknya ke depan. Dengan begitu kaki si bocah tidak tersangkut lagi di ujung
bambu hingga terus meluncur. Tapi si bocah tidak sampai jatuh dengan kepala
menghantam tanah lebih dulu karena dia menggerakkan tangannya saat meluncur tadi
sehingga kepalanya tidak hancur menghantam batu
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
sebagaimana yang diduga ketiga bocah berkepala botak ini.
Si kakek melepaskan tali yang
mengikat kaki si bocah. Dia tersenyum.
Namun bocah yang dijadikan pembantunya selama ini penuh rasa percaya diri.
Hingga begitu terlepas dari ikatan dia langsung berdiri.
"Eh kalian para botak gundul.
Apakah kalian ingin maju berbarengan melawanku atau satu persatu?" tanya bocah
itu sambil bertolak pinggang.
"Aku Taktu...!"
"Apa itu Taktu?" tanya si bocah heran begitu melihat si botak berbadan ramping
memperke-nalkan diri sambil menjura hormat.
"Taktu maksudnya botak ke satu.
Sedangkan di sebelahku Takwa dan yang di sebelah sana Takga...!"
Mendengar penjelasan Taktu si
bocah tak kuasa menahan tawanya.
"Nama kalian aneh amat. Mengapa di atas kepala kalian yang gundul itu tak diberi
nomor saja sekalian biar orang mudah mengenali! Ha ha ha!"
"Eh, kau ini siapakah" Kalau mau menguji kepandaian tidak boleh
menghina dan saling mencaci. Sekarang kau hanya tinggal mengatakan yang mana di
antara kami yang kau inginkan melayanimu?" tanya Takga alias botak nomor tiga.
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
Si bocah tersenyum, lagaknya
petentang-petenteng penuh rasa percaya diri. Sambil bertolak pinggang dia
berkata. "Mestinya kalian bertiga maju berbarengan. Dengan begitu aku tak
terlalu lama menguras tenaga. Tapi agar lebih adil bagaimana kalau kalian yang
menentukannya sendiri?"
Si botak nomor dua melangkah
maju. "Aku bersedia melayanimu, namun sebelum itu tolong sebutkan dulu siapa
namamu?" kata bocah berbadan lebih tegap dari dua kawannya ini sambil mehgusapusap kepalanya yang gundul plontos.
Ditanya nama si bocah jadi
bingung dan langsung menoleh pada si kakek tabib.
Seakan mengerti si tabib langsung menjawab. "Panggil saja bocah edan.
Aku tidak sempat memberinya nama dan pasti aku tidak akan memberinya nama
apapun." "Aku pun tidak membutuhkan nama darimu, Tabib Setan!" dengus si bocah jadi geram
sendiri. Ketiga bocah botak itu saling
pandang sesamanya.
"Kau bocah aneh. Nampaknya antara kau dan kakek setan itu memang tidak pernah
akur. Tapi baiklah, sekarang aku mewakili kedua saudaraku yang lain. Aku Taktu
ingin menunjukkan
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
sesuatu padamu, harap jangan memandang rendah padaku." kata bocah kesatu.
Si bocah gondrong tersenyumsenyum. Beberapa saat lamanya dia pandangi si botak bertubuh ramping beralis
lentik itu dari kepala sampai ke kaki. Lalu dia berucap. "Aku rasanya lebih
senang berhadapan denganmu. Tutur katamu lembut, gerakan badanmu lemah gemulai.
Aku yakin kau bocah banci. Ha ha ha!"
"Bocah gondrong lancang. Kau bertangan kosong akupun tanpa senjata.
Sekarang lihat serangan!" teriak botak ke satu. Sambil berteriak keras si botak
langsung menyerang. Tubuhnya dengan lincah berkelebat,
tinjunya yang terkepal mendera kepala sedangkan kakinya menendang bagian perut si bocah
gondrong. Karena pada dasarnya memang tidak mengerti dasar maupun jurus-jurus silat maka
si bocah menghindar
sekenanya. Gerakan melompat ke
belakang ini memang berhasil menghindari serangan Taktu alias si botak ke satu.
Namun begitu si botak mence-carnya dengan serangan yang lebih cepat dan mengarah
ke sekujur tubuhnya maka si bocah gondrong jadi kalang kabut. Dua tendangan
beruntun yang dilepaskan oleh Taktu membuat si bocah terjengkang. Tapi tanpa
menghiraukan GENTO GUYON T A B I B S E T A N
rasa sakit yang mendera dada dan perutnya dia bangkit lagi.
"Jurus silatmu membuat kepalaku pusing. Sekarang aku akan menyerangmu dengan
jurus Kacau!" dengus si bocah.
Kakek tabib cibirkan bibirnya.
"Jurus apa itu?" tanya Taktu heran.
"Entah aku pun tak tahu kok!"
sahut si bocah. Kemudian sebelum rasa heran di hati Taktu lenyap, maka si bocah
sudah melompat ke depan, kedua tangan melakukan gerakan mendorong sedangkan
kepala menyeruduk. Serangan yang sangat cepat ini tentu tak sempat dihindari
oleh Taktu. Dengan telak kepala si bocah menghantam perut Taktu. Botak ke satu
menyeringai, dia nampak terhuyung. Tapi ketika lawannya menyerang kembali maka
kedua tangannya tepat menepiskan kepala si bocah.
Plak! Plak! Gusraak! Si bocah gondrong jatuh
terpelanting. Kepalanya yang ditampar lawan terasa sakit berdenyut, namun dengan
masih penasaran dia merangkak bangkit.
"Eeh edan, kau sudah kalah. Buat apa diteruskan permainan kita?" ujar Taktu.
"Betul. Ternyata dia cuma ber-mulut besar." Takwa menimpali.
"Sebaiknya kita pergi!"
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
"Tapi... tapi...!" Si bocah jadi gugup, mukanya merah seperti habis kena
tamparan pulang balik. Dalam kesempatan itu pula terdengar suara suitan panjang.
Ketiga bocah berkepala botak ini mendadak berubah jadi ketakutan.
Mereka memutar badan, lalu lari berserabutan menghambur dalam semak belukar.
Tabib Tapadara tidak
mengejar, dia hanya berkacak pinggang sambil tertawa tergelak-gelak.
Melihat kakek tabib tertawa, maka si bocah pun ikut tertawa. Kakek itu
sekonyong-konyong hentikan tawanya.
Dia melangkah menghampiri si bocah.
"Bocah tolol, sudah kalah malah tertawa. Anak edan... biar kujitaki kepalamu!"
geram si kakek. Tangannya pun kemudian melayang ke kepala si bocah.
Tak! Tak! Tak! Jitakan pada bagian kepala itu
sakitnya bukan main. Sehingga sambil berguling-guling dengan kedua
tangannya si bocah lindungi kepalanya.
"Ampun Tabib Setan... ampun...!"
rintih si bocah.
"Dasar budak tidak berguna, hanya membikin malu! Sekarang biar
kupatahkan tangan dan kakimu!" berkata begitu si kakek melompat mendekati si
bocah gondrong, sedangkan tangannya berkelebat menyambar kaki bocah ini.
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
Walaupun si bocah sudah berusaha menghindar nampaknya dia tak mungkin dapat
menyelamatkan diri dari
kekejaman si kakek tabib. Akan tetapi pada waktu bersamaan dari balik kerimbunan
semak belukar melesat satu benda yang langsung menghantam tangan si tabib.
Pletak! "Akh...!"
Tabib Tapadara menjerit kesakitan sambil menarik tangan yang terasa seperti
dihantam palu godam. Belum lagi hilang rasa kagetnya dari arah semak-semak
melayang sosok besar yang kemudian jatuh di antara kakek tabib dan si bocah.
Bluuk! "Setan alas, kau lagi"!" maki Tabib Tapadara gusar. Seakan tidak menghiraukan
ucapan orang, si gendut besar yang jatuhkan diri sambil bersila ini kembali
keluarkan racauan seperti orang berdoa.
"Manusia terlahir tanpa dosa.
Mengapa hendak disakiti" Kalau kau tak berkenan mengurusnya biar aku yang
memeliharanya. Tuhan... Tuhan...
berikan dia padaku." kata si kakek gendut besar alias Gentong Ketawa dengan
mulut terus meracau.
"Kakek gendut, apakah bisamu cuma berdoa melulu" Kulihat kau begitu takut pada
Tabib Setan. Padahal dia
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
bukan orang yang pantas kau takuti.
Badanmu besar, sedangkan kakek itu kerempeng. Sekali kau memukulnya pasti
ampasnya mejret." celetuk si bocah yang kini sudah bangkit berdiri dan siap
mengambil langkah seribu.
Gerak-gerik si bocah ternyata
tidak lepas dari perhatian sang tabib.
Sekali dia bergerak maka si bocah sudah dalam keadaan kaku tertotok tak mampu
bergerak lagi. "Bocah edan. Kau diam di sini!
Biar kubereskan semua urusanku dengan setan gendut yang satu ini!" dengus Tabib
Tapadara. Dia lalu berbalik dan menghadap langsung ke arah Gentong Ketawa.
Mulutnya menyeringai ketika
melihat si kakek gendut masih juga meracau seperti orang berdoa sambil
mengangkat kedua tangannya.
4 ENTO UYON GG Gendut, mengapa kau selalu
mengikuti kami" Apa sebenarnya yang kau inginkan?" hardik Tapadara marah.
Dalam hati dia merasa yakin, pasti orang tua ini tadi yang telah
menggagalkan niatnya mematahkan tangan si bocah.
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
Gentong Ketawa pura-pura kaget, lalu buka matanya yang terpejam.
"Ee... apakah engkau bicara denganku, tabib?"
"Betul."
"Aku sengaja mengikutimu karena aku ingin meminta anak itu untuk kuangkat
sebagai muridku." sahut Gentong Ketawa sambil menyembunyikan rasa takutnya.
Sebenarnya dia sendiri belum pernah bentrok dengan Tabib Tapadara yang dikenal
dengan julukan Tabib Sesat Timur dan oleh si bocah sering disebut Tabib Setan.
Namun karena Gentong Ketawa sering mendengar sepak terjang dan keganasan tabib
ini tidak urung berhadapan dengannya membuat hati si kakek menjadi keder juga.
Mendengar keinginan Gentong
Ketawa, Tabib Tapadara dongakkan
kepala ke langit. Kemudian terdengar tawanya yang keras menyeramkan;
"Kau inginkan bocah edan itu?"
hardik sang tabib sesat setelah tawanya lenyap.
"Begitulah. Daripada kau gantung mubazir, bukankah lebih baik ikut denganku"'
ujar si kakek. "Huh, apa kau kira akan semudah itu. Terkecuali kau mau memenuhi syarat-syarat
yang kuajukan."
"Apa syaratmu" Jika aku sanggup pasti akan kupenuhi." jawab Gentong
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
Ketawa sambil kedipkan matanya ke arah si bocah. Bocah yang dikedipi malah
unjukkan wajah cemberut.
"Syaratnya mudah, Kau harus bertarung denganku sampai salah seorang di antara
kita ada yang kalah!" kata Tabib Sesat Timur.
"Seandainya aku yang menang?"
"Kau boleh membawanya. Dengan catatan kelak aku akan memberikan beberapa ilmu
penting padanya."
"Seandainya aku kalah?" tanya Gentong Ketawa.
"Ha ha ha. Seandainya kau kalah, berarti budakku bertambah satu lagi.
Aku akan memiliki dua budak yang harus patuh
dan mengerjakan seluruh
perintahku," tegas Tabib Tapadara.
Wajah si kakek sempat berubah
pucat, perasaannya jadi ciut. Namun di lain kejab dia ikutan tertawa. Si bocah
tentu saja menjadi sangat heran.
Sedangkan si kakek seketika itu juga hentikan tawanya.
"Apa yang kau tertawakan?"
"Rupanya kau manusia serakah tabib. Jika aku menjadi budakmu apakah engkau akan
mencantelkan aku di ujung bambu sebagaimana yang kau lakukan pada bocah itu"
Badanmu kalah besar dengan badanku. Kalau itu sampai terjadi, aku takut bahumu
miring dan punggungmu patah. Ha ha ha!" ejekan Gentong Ketawa membuat wajah
Tabib GENTO GUYON T A B I B S E T A N
Sesat Timur jadi memerah. Dia lalu melompat ke depan, sambil kirimkan satu
jotosan si tabib membentak. "Tua bangka calon budak. Sekarang terimalah
gebukanku!"
Walaupun saat itu yang diserang dalam keadaan duduk. Namun hanya dengan
menggulingkan tubuhnya ke samping kiri, serangan tabib Tapadara mengenai tempat
kosong. Melihat kejadian ini si bocah
yang dalam keadaan kaku tegak tertawa mengikik. "Dasar Tabib Setan, mulut saja
yang besar tapi tak punya
kebecusan apa-apa."
"Bocah setan, berani kau
mengejekku nanti aku cambuk
punggungmu!" seru si kakek tabib.
"Apa yang kau
katakan hanya terjadi jika kau memenangkan
pertarungan dengan si gendut itu bukan?" sahut si bocah hingga membuat telinga
Gento Guyon 1 Tabib Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tabib Sesat Timur jadi
memerah. Diam-diam dia salurkan tenaga dalamnya ke arah tangan. Dalam waktu
sekejab kedua telapak tangannya berubah menghitam sampai sebatas siku.
Kakek Gentong Ketawa melengak kaget melihat perubahan ini.
Tak mau kalah dia juga kerahkan tenaga saktinya siap melepaskan pukulan Raja
Dewa Ketawa. Laksana kilat si kakek memutar tangannya ke samping. Setelah itu
tangan digerakkan
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
ke depan. Bersamaan dengan itu pula dengan gerakan yang sangat ringan Gentong
Ketawa melesat ke udara. Hal yang sama pun dilakukan oleh lawannya, sehingga
bentrokan tenaga dalam pun tak dapat dihindari lagi.
Plaak! Dess! Dua sosok tubuh sama terpental ke belakang. Tabib Tapadara jatuh
terguling. Sedangkan Gentong Ketawa meskipun sempat terhuyung-huyung namun
sempat jejakkan kakinya. Si kakek menyeringai menahan sakit, kedua tangannya
seperti remuk. Namun dia masih dapat tertawa he-he-he-he.
"Tabib.. hayo tunggu apa lagi"
Jangan bermalas-malasan di situ.
Sekarang ini badanku sudah pegal-pegal!" kata si gendut besar.
"Jangan bangga dulu. Hiaa...!"
sambil berteriak Tabib Tapadara melompat ke depan. Kakinya menyambar deras ke
kaki Gentong Ketawa. Gerakan ini walaupun sulit namun masih dapat dihindari oleh
si gendut. Tapi tanpa disangka-sangka, sang tabib gerakkan tangan kirinya ke
bagian perut. Gentong Ketawa menangkis. Tabib Tapadara menarik serangan tangan kiri, di saat
yang bersamaan dia susupkan pula tangan kanan.
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
Melihat serangan ganas yang
datang demikian cepatnya, maka Gentong Ketawa busungkan perutnya.
Dheel! Hantaman yang mengenai perut
membuat kakek tabib terpental sampai sejauh tiga tombak. Dia jadi kaget karena
tangan yang dipergunakan untuk memukul tidak ubahnya seperti menghantam karung
karet. Tapi aneh tangan Tabib Sesat Timur jadi memar membiru.
"Edan, punya ilmu apa kadal bunting itu?" maki kakek tabib dalam hati.
Melihat kenyataan ini sekali lagi si bocah tertawa tergelak-gelak.
Sedangkan Gentong Ketawa kedipkan matanya pada si bocah. Melihat ulah si gendut
dan bocah itu makin mendidihlah darah Tabib Sesat Timur. Sekonyong-konyong dia
bangkit berdiri. Sambil mengusap dan memijit tangannya yang sakit bukan main,
mata sang tabib melotot jelalatan memandang ke arah Gentong Ketawa dan si bocah
silih berganti.
"Kadal gendut. Aku akan
mempesiangi tubuhmu. Kurasa tubuhmu cocok untuk dijadikan campuran ramuan
khusus!" geram Tabib Tapadara sengit.
"Ha ha ha. Kau dengar bocah!
Majikanmu hendak menjadikan diriku sebagai campuran ramuan. Tapi terus terang,
aku ini masih keturunan dewa.
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
Dagingku tidak enak. Bila dimasak malah jadi racun, apakah kau mau bunuh diri?"
ejek kakek Gentong Ketawa.
Ucapan orang tua itu paling tidak membuat kaget Tabib Sesat Timur. Dia memang
baru kali ini bertemu dengan Gentong Ketawa, namun sering mendengar orang tua
dari lereng Merbabu ini banyak disebut orang sebagai dewa penolong. Mengingat
kehadirannya selalu menjatuhkan diri dari atas, bisa saja gendut besar ini
memang dewa benaran.
Tapi rasa penasaran dan amarah
telah membuatnya lupa segala. Tanpa pernah terduga tiba-tiba dia menerjang ke
depan. Sambil melompat kedua tangannya meraup kantong perbekalan.
Setelah itu secara serentak kedua tangan langsung dihantamkan ke arah si kakek.
"Curang...! Kakek gendut
menghindar. Tabib Setan menyambitkan senjata rahasianya kepadamu!" teriak si
bocah. Tidak diberi peringatan sekalipun Gentong Ketawa memang sudah
melihatnya. Sambil kibaskan ujung bawah bajunya yang tidak terkancing enak saja
dia berkata. "Diam saja kau di situ bocah. Senjata rahasia yang disambitkan
padamu ini kecil-kecil.
Apakah kau pernah melihat kakek setan
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
ini menunjukkan senjata rahasianya yang lain" Ha ha ha!"
"Pernah tapi hanya sehari dua kali, itupun di saat dia sedang kencing. Hi hi
hi!" sahut si bocah.
Mendengar ucapan kedua orang ini amarah si kakek bagaikan air bah yang meluap.
Namun pada saat itu dia
mendengar dari bagian ujung jubah lawannya mengeluarkan
suara menggemuruh hebat. Angin laksana badai melabrak habis senjata rahasia yang
disambitkan oleh Tabib Sesat Timur, sebagian senjata rahasia rontok dan sebagian
lagi berbalik menyerang tuannya sendiri. Si kakek jadi
terkesiap, wajahnya pucat dan nyaris tak dapat menahan kencing saking kecutnya.
Namun dengan cepat dia bantingkan diri ke kanan cari selamat.
Senjata rahasia lewat di atasnya dan menancap di batang pohon. Pohon itu
langsung layu, daunnya berguguran.
Gentong Ketawa bergidik seram.
Tak terbayangkan jika tubuhnya yang terkena sambitan senjata, bukan nyawanya
saja yang rontok, tapi mungkin juga semua bulu yang tumbuh di sekujur tubuhnya
ikut rontok tak tersisa.
"Bagaimana Tabib, apakah kau mengaku kalah?" tanya Gentong Ketawa sambil
leletkan lidah.
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
"Ha ha ha! Tabib Sesat Timur kalah?" ejek si kakek tabib. Dari balik pakaiannya
dia mengeluarkan sebuah lonceng berwarna kuning terbuat dari bahan perunggu.
Melihat si tabib keluarkan senjata andalannya maka si bocah kembali keluarkan
seruan. "Kakek gendut jangan bengong seperti monyet pikun. Dia keluarkan Genta Kematian.
Jangankan kau, dulu ratusan gajah pun mati ketika Tabib Setan itu mengamuk!"
"Dia punya senjata aku juga punya. Tapi tidak ada gunanya
kukeluarkan sekarang. Saat ini aku ingin sekali mendengar suara
gemerincing biar aku bisa menari."
sahut Gentong Ketawa.
"Ha ha ha. Kau ingin menari"
Menarilah sambil berangkat ke
akherat!" seru si kakek. Detik itu juga dia gerakkan lonceng di
tangannya. Terdengar suara gemerincing aneh yang langsung terasa menusuk ke
dalam telinga. "Akhrrr... tabib edan. Hentikan suara lonceng celaka itu!" teriak si bocah
sambil mendekap kedua telinganya dengan jemari tangan. Sementara itu Gentong
Ketawa yang memang menutup indera pendengarannya nampak mulai menggoyangkan
pinggulnya dengan
gerakan seperti orang yang menari.
Namun dentrang suara lonceng semakin
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
lama semakin meninggi, si bocah nampak terhuyung-huyung akibat pengaruh suara
Genta Kematian yang terasa semakin menusuk-nusuk liang telinganya.
Si bocah akhirnya terkapar tak
sadarkan diri. Sementara itu gerakan tarian lucu si kakek kini nampak mulai
kacau. Tubuhnya bergetar, keringat bercucuran akibat pengaruh getaran suara yang
ditimbulkan lonceng itu.
Sampai akhirnya si kakek hentikan tariannya. Sambil salurkan tenaga dalam dia
membentak. "Bocah itu sudah kau buat
pingsan. Semua ini menandakan suara loncengmu tidak enak untuk didengar.
Aku sendiri sudah bosan menari.
Bagaimana jika sekarang lonceng kuhancurkan dan kau kuminta untuk menangis?"
"Ha ha ha! Mengapa harus berhenti menari" Hayo menarilah sampai tua!"
sahut Tabib Sesat Timur.
"Baik, aku yang menari kau yang menangis!" dengus Gentong Ketawa.
Bersamaan dengan ucapannya itu si kakek hantamkan kedua tangannya ke depan
melepaskan satu pukulan hebat yang dikenal dengan nama Iblis Ketawa Dewa
Menangis. Selarik sinar pelangi melesat laksana kilat menghantam lonceng di
tangan lawannya. Tidak mau kalah Tabib Tapadara juga kerontangkan lonceng maut
itu. Dari bagian dalam
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
lonceng membersit keluar cahaya kuning kemilau yang langsung memapas serangan
Gentong Ketawa.
Ledakan dahsyat pun menggema di udara. Gentong Ketawa jatuh terduduk sedangkan
Tabib Tapadara terpelanting.
Sebagian lingkaran bawah lonceng meleleh, dari mulut si tabib menyembur darah
segar. Tabib Sesat Timur seka darah yang meleleh di sudut bibirnya. Dia lalu mengambil
dua buah pil berwarna merah dan langsung menelannya. Dengan terhuyung-huyung dia
bangkit, setelah berdiri tegak si kakek berkata.
"Kadal gendut, aku mengaku kalah.
Tapi ingat kelak aku akan mencarimu dan juga bocah itu. Kuharap kau dapat
mendidiknya dengan baik." Sang tabib kemudian mengeluarkan tiga butir berwarna
merah, hitam dan biru. Dia menghampiri si bocah dan memasukkan tiga butir pil
warna-warni tadi ke dalam mulut si bocah.
"Heh, apa yang kau lakukan?"
tanya Gentong Ketawa curiga.
"Ha ha ha. Bisa jadi racun yang mematikan. Kau bawa saja dia. Jika kau berjodoh
dengannya tentu kau segera mempunyai murid, jika nasibmu sial paling tidak kau
harus membuatkan sebuah kubur untuknya!" sahut Tabib Tapadara sambil melangkah
pergi. GENTO GUYON T A B I B S E T A N
"Kurang ajar. Jika dia sampai tidak tertolong, kelak aku pasti akan mencarimu!"
teriak si kakek. Kemudian orang tua ini berlutut di samping si bocah. Telinganya
didekatkan ke dada searah dengan jantung bocah itu.
Terdengar suara degupan lemah.
Si kakek menyeringai. "Ha ha ha.
Ternyata dia masih hidup... ha ha ha... masih hidup!" katanya nampak girang
sekali. Si bocah lalu
dipanggulnya. Sambil tertawa-tawa dia membawa bocah itu pergi.
5 ENTO UYON GG Bagian halaman samping gedung
Senopati malam hari tiga tahun yang lalu. Ni Seroja gadis cantik
berpakaian serba putih memegang jemari tangan Sanjaya dengan erat, seakan dia
takut kehilangan pemuda tampan putera Tumenggung Ageng Tirtamaya yang sangat
dikasihinya. Beberapa saat berlalu, suasana dicekam kebisuan. Ketika Ni Seroja
tengadahkan wajahnya Sanjaya dapat melihat betapa sepasang mata Ni Seroja nampak
berkaca-kaca. "Tidak usah menangis. Pertemuan jodoh dan maut semuanya ada di tangan
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
Gusti Allah. Tak ada seorang pun manusia di dunia ini yang mampu melawan
kehendak sang takdir. Saat ini aku tak bisa berbuat apapun. Aku bukan dari
keluarga baik-baik. Ayahku baru saja meninggal di tiang gantungan. Di mata
saudaramu aku juga turut
menanggung akibatnya!" kata Sanjaya dengan wajah muram dan perasaan sedih.
"Kakang, apapun kata Senopati aku tak perduli. Aku sangat mencintaimu.
Aku tetap ingin hidup bersamamu!"
sergah Ni Seroja seakan tidak rela jika harus berpisah dengan Sanjaya.
"Siapa yang sanggup menentang kekuasaan saudaramu" Dia seorang Senopati yang
memiiiki kekuatan dan kekuasaan. Tak mungkin aku yang tidak mempunyai kekuatan
apa-apa menentang apa yang menjadi keputusannya. Walau tak jauh di lubuk hati
aku tahu rasanya tak sanggup berpisah
denganmu." jawab Sanjaya sedih.
"Kakang bagaimana kalau kita melarikan diri saja" Kita tak punya pilihan lain,
lagipula kita juga tak mungkin bisa melakukan pertemuan rahasia seperti ini
terus menerus. Lama kelamaan kakang Adipati bisa mengetahuinya. Jika hal itu sampai terjadi,
bukan hanya kakang Sanjaya tapi aku juga bisa dijatuhi hukuman berat!" ujar si
gadis. Apa yang dikatakan Ni Seroja memang benar.
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
Sejak Tumenggung Ageng Tirtamaya diketahui
menggelapkan upeti milik
kerajaan Senopati Lambak Renggono melarang keras adiknya bertemu dengan Sanjaya,
pemuda yang menjadi kekasih Ni Seroja. Apalagi sejak dulu Senopati memang tidak
menyukai pemuda itu dan keluarganya.
"Jadi aku harus bagaimana, adik.
Menentang larangan Senopati sama saja artinya dengan mencari mati. Aku sendiri
sebenarnya tidak takut dengan semua ancamannya. Tapi bagaimana dengan dirimu
sendiri?" tanya Sanjaya pelan.
"Bagiku menyeberangi lautan api pun asal
kita dapat bersama-sama
selalu rasanya tidak ada masalah."
tegas Ni Seroja.
"Kalau itu sudah menjadi tekadmu, kurasa jalan satu-satunya agar kita dapat
mewujudkan semua impian itu memang harus melarikan diri. Besok malam aku akan
menunggumu di luar benteng gedung Senopati."
"Tidak besok, kakang, tapi sekarang! Sekarang saatnya yang tepat untuk
mewujudkan semua impian kita!"
desah Ni Seroja tegas.
"Lebih baik hidup memeluk mimpi daripada harus menjalani kenyataan yang
kulaknat!" satu bentakan keras tiba-tiba mengumandang dalam kegelapan yang sunyi
disertai berkelebatnya satu
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
sosok bayangan ke arah mereka. Kejut kedua insan yang saling jatuh cinta itu
bukan kepalang. Apalagi ketika mereka memandang ke depan, ternyata di situ telah
berdiri tegak seorang laki-laki berusia tiga puluhan, berpakaian mewah bertopi
tinggi. Di belakang laki-laki yang bukan lain adalah Senopati Lambak Renggono,
saudara tua Ni Seroja. Di belakang Senopati hadir pula tiga perwira pembantu
Senopati. Beberapa saat lamanya Senopati menatap Sanjaya dan adiknya dengan penuh rasa
benci. "Ni Seroja, apa kau tak tahu siapa pemuda yang kau cintai" Ayahnya penghianat
kerajaan. Dia manusia yang tidak memiliki martabat sama sekali.
Kedudukannya sama rendah dengan hewan.
Dengan manusia seperti itu kau
menumpahkan segala harapan hidup"
Puah... malam ini kau tak akan pergi ke manapun!" hardik Senopati keras.
"Kakang, aku hanya ingin
menjalani hidup sesuai dengan
pilihanku. Jika kau tak suka atau merasa malu aku akan pergi jauh darimu. Kalau
pun ada yang bersalah dalam hal ini, semata-mata adalah kesalahan ayahnya. Dia
sama sekali tidak tahu menahu dalam urusan
pemerintahan!" tegas Ni Seroja tetap pada pendiriannya.
Gento Guyon 1 Tabib Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
Mendengar ucapan adiknya maka
gusarlah Senopati Lambak Renggono ini.
Dalam hidup dia adalah manusia yang tidak suka dibantah. Apalagi yang membantah
itu adalah adik kandungnya sendiri. Dengan penuh kemarahan dia berpaling pada ketiga perwiranya.
"Perwira seret dia! Masukkan dalam ruangan penyekapan dan pasung!"
perintah Senopati.
Dengan patuh ketiga perwira itu serentak menghampiri. Sanjaya tidak tinggal
diam. Sambil menghalangi Sanjaya berteriak. "Senopati manusia keji. Kau ingin
menghancurkan tali kasih yang dianugerahkan Gusti Allah pada manusia" Kelak kau
akan mendapat balasan dari Tuhan!"
Buuuk! Satu hantaman keras mendarat di wajah Sanjaya. Begitu kena dipukul wajah pemuda
yang tak pandai ilmu silat ini bengkak lebam membiru.
Melihat hal ini Ni Seroja berteriak histeris. "Kakang Lambak Renggono tega
sekali kau berbuat itu padanya!"
Tanpa menghiraukan ucapan
adiknya, Senopati memerintahkan ketiga perwira itu membawa Ni Seroja menuju ke
ruangan khusus. Si gadis meronta karena menyadari sesuatu yang mengerikan pasti
akan terjadi pada Sanjaya.
Sekuat apapun dia meronta, namun tenaga para perwira ini sangat tinggi
GENTO GUYON T A B I B S E T A N
sehingga apa yang di lakukannya hanya sia-sia saja.
Setelah Ni Seroja berlalu maka
Senopati Lambak Renggono maju ke depan menghampiri Sanjaya. "Karena ulahmu kini
adikku menjadi orang yang tidak mau menurut lagi dengan apa yang kukatakan. Kau
Sepak Terjang Hui Sing 2 Siluman Goa Tengkorak Karya Kho Ping Hoo Tiga Naga Sakti 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama