Ceritasilat Novel Online

Ajian Canda Birawa 2

Pendekar Gila 39 Ajian Canda Birawa Bagian 2


"Berhenti...!"
Dogol yang menoleh lebih dulu dan bergegas
membalikkan tubuh melihat sesosok bayangan putih mendarat sekitar enam tombak di
depannya. Pemuda berpakaian putih dengan rambut panjang
berkepang itu menatap tajam wajah Dogol. Pendekar Gila yang baru saja
membalikkan tubuh, cengengesan melihat pemuda itu.
Dogol yang mendapat tatapan tajam menjadi salah tingkah. Dengan tersenyum lucu
dia menoleh ke arah Sena yang juga tersenyum sambil
menggaruk-garuk kepala. Masih dengan cengengesan Sena membuang muka dari tatapan
tajam pemuda yang belum dikenalnya. Tatapan pemuda
itu begitu aneh dan mengandung suatu kekuatan.
Pendekar Gila segera menyadari pemuda di depannya ini bukan orang sembarangan.
Setelah cukup lama tidak terdengar ucapan
apa pun dari pemuda itu, Sena membuka suara.
"Aha... kita bertemu lagi, Sobat. Ke mana
saja kau" Sekian lama aku mencarimu ternyata kita bertemu di sini...." Sambil
mengucapkan katakata itu mulut Sena tak henti-hentinya tersenyum.
Tangannya menggaruk-garuk kepala seperti merasa gatal
"Jangan banyak bicara! Rupanya kalian begundal-begundal Kolo Mareksa!" bentak
pemuda berambut dikepang. Dengan mata tetap menatap
Pendekar Gila, dia mencabut kerisnya. "Dengar,
akulah yang akan menghabisi nyawa kalian. Juga
semua begundal Kolo Mareksa...!"
"Ah ah ah...! Tega nian hatimu menuduhku
seperti itu, Sobat. Baru berpisah beberapa bulan
saja kau telah berubah...," Sena memain-mainkan
matanya. Berkedip-kedip, lalu melotot lebar. Sedang mulutnya cengengesan.
Sebenarnya Pendekar Gila telah dapat menerka siapa pemuda itu. Sena yakin pemuda ini
bukan dari golongan sesat. Sikapnya yang lugu, jelas memperlihatkan kalau dia
belum banyak berpengalaman di dunia persilatan. Namun jelas pemuda ini bukan
pemuda sembarangan.
"Sudah tertangkap basah kau masih berusaha mungkir! Heaaatt...!"
Pemuda berpakaian putih membentak keras. Tubuhnya melesat hendak melakukan
serangan. Kerisnya yang panjang secepat kilat dicabut
dari warangkanya dan diputar memburu Pendekar
Gila. "Dogol, menyingkir kau!" teriak Sena seraya
melentingkan tubuh menghindari serangan pemuda berpakaian putih.
Dogol segera berlari menjauh. Sementara
Sena telah mendarat dengan ringan tiga tombak ke
belakang lawan. Namun, dengan cepat pemuda itu
bersalto ke belakang dan berdiri dengan kedua kaki terpentang menghadapi
Pendekar Gila. Melihat sikap Pendekar Gila yang malasmalasan, pemuda berpakaian putih semakin
naik darah. Tubuhnya melesat seraya membabatkan
kerisnya. "He he he...! Tidak kena, Sobat. Baru beberapa hari saja kau sudah lupa jurusjurus yang kuajarkan. Pendekar macam apa kau ini!" dengan
mudah Sena berhasil mengelakkan serangan itu.
Tubuhnya diliuk-liukkan ke kiri dan ke kanan
mengelakkan serangan keris.
"He he he.... Terlalu panjang kerismu, Sobat. Tampaknya kau keberatan dengan
kerismu. Ayo, kejar aku!"
Pemuda berpakaian putih merubah serangannya. Kerisnya yang panjang digenggam
dengan kedua tangan tepat di depan dada ketika tubuhnya
meluncur cepat memburu Sena.
Namun, Pendekar Gila meliukkan tubuhnya
ke kanan kemudian melenting ke atas dan bersalto
beberapa kali di udara. Mendapati serangannya
gagal, pemuda berambut dikepang tampak begitu
geram. "Hi hi hi... Mana ilmu andalanmu, Sobat"
Kalau cuma seperti ini anak ingusan juga bisa.
Hayo, keluarkan ajian pamungkasmu! "
Pendekar Gila tertawa sambil menggarukgaruk kepalanya.
"Chuih! Percuma mengeluarkan ilmu andalan hanya untuk menghadapi orang gila
sepertimu. Heh"!" selesai mengucapkan kata-kata itu pemuda
berpakaian putih membelalakkan mata, kaget. Ditatapnya wajah Sena lekat-lekat.
Lalu, matanya memperhatikan suling berkepala naga yang terselip di pinggang pemuda berpakaian
rompi kulit ular. Inikah pemuda yang berjuluk Pendekar Gila" tanyanya dalam hati. Ciri-ciri yang
dimiliki persisi seperti cerita Buyut. Tingkahnya pun seperti
orang kurang waras. Pakaian yang dikenakannya
berupa rompi dari kulit ular. Yang jelas, Pendekar
Gila memiliki Suling Naga Sakti yang berwarna
keemasan dan berkepala naga.
Perlahan pemuda berambut dikepang menyarungkan kerisnya ke dalam warangka.
Namun, betapa terkejutnya Suta Srengenge
ketika tiba-tiba Pendekar Gila menyambar tubuh
Dogol lalu dibawanya melesat pergi. Dengan mengerahkan ilmu 'Sapta Bayu' Sena
melesat begitu cepat. Dia ingin memburu para pelaku yang membunuh Ki Lurah Tantrayana.
Suta Srengenge tidak tinggal diam. Tubuhnya segera melesat mengejar Pendekar
Gila. *** Setelah cukup jauh berlari, Pendekar Gila
menghentikan larinya ketika menemui jalan buntu. Di depannya tampak hamparan
rumput ilalang setinggi dada. Padang ilalang itu mengering karena
musim kemarau. Sena merasa aneh tak dapat menemukan jejak para pembunuh. Lewat
jalan mana mereka" Tak mungkin mereka menembus hutan
ilalang ini, pikir Sena.
Dogol yang telah diturunkan dari pondongan Sena pun tampak keheranan. Bagaimana
mereka dapat begitu cepat menghilangkan jejak.
"Pasti ada jalan rahasia yang tidak diketahui orang...," gumam Sena. Belum
selesai Sena mengucapkan kata-katanya, muncul sesosok
bayangan putih yang tak lain Suta Srengenge.
"Tuan Pendekar!"
Sena dan Dogol menoleh ke belakang.
"Ampunkan saya yang bodoh ini, Tuan Pendekar. Sungguh tak kusangka yang kuhadapi
saat ini adalah seorang pendekar besar..."
"Eh eh eh.... Ada apa ini?" Sena tampak keheranan melihat perubahan sikap pemuda yang
tadi begitu memusuhinya. Seorang pendekar seharusnya tidak berbuat seperti ini,
Sobat. Jika benar
akulah yang kau maksud Pendekar Gila... kalau
bukan" Tak ada lagi ampunan bagimu. Kau akan
mati karena kecerobohanmu."
"Tidak! Justru karena aku yakin Tuanlah si
Pendekar Gila yang kesohor itu, aku berani bersikap demikian. Tak ada alasan
bagiku untuk meragukan Tuan. Ciri-ciri yang Tuan miliki adalah milik
Pendekar Gila. Ampunkan saya, Tuan."
"Sudahlah. Untung saja akulah orangnya
yang kau maksudkan," sahut Sena sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Memang
begitulah orang
menjuluki diriku..."
"Bagaimana Tuan bisa sampai ke daerah
ini" Bukankah sangat jauh perjalanan yang harus
Tuan tempuh. Yang aku dengar belum lama ini
Tuan berada di wilayah barat...?" tanya pemuda
berpakaian putih yang tak lain Suta Srengenge,
cucu Nyi Buyut Brintik. Banyak yang telah ia ketahui dari neneknya tentang
Pendekar Gila. "Kabar
tentang keberhasilan Tuan menumpas Naga Merah
Dari Merapi telah tersebar di daerah ini," lanjutnya.
"Sudahlah. Jangan kau panggil aku seperti
itu. Panggil saja Sena. Namaku Sena Manggala...,"
Sena tersenyum-senyum malu. "Kenapa kau kelihatan begitu dendam pada Kolo
Mareksa" O, ya.
Siapa namamu, kalau aku boleh tahu?"
"Suta, Suta Srengenge."
"Aha, matahari! Namamu berarti anak matahari, Suta!" Sena tertawa gembira.
Pemuda berpakaian putih mengangguk,
membenarkan ucapan Sena Manggala.
"Bagaimana aku tidak mendendam, Sena,"
Suta Srengenge ingin mengadukan persoalan yang tengah dihadapinya. "Kakekku,
ayahku, ibuku, pamanku, semua terbunuh oleh keganasan
Kolo Mareksa. Bahkan, nenekku kini hidup dengan kebutaan matanya akibat
kebengisan iblis
itu...!" Suta Srengenge kemudian menceritakan peristiwa tragis yang menimpa keluarganya.
Diceritakannya semua dari peristiwa terbunuhnya sang
kakek sampai kepada dirinya yang dididik dan dibesarkan neneknya di suatu tempat
terasing. "Begitu mengenaskan kisah kehidupan yang
dialami para pendekar. Tidak sedikit manusia bernasib seperti itu. Apalagi
mereka yang jelas-jelas
berpihak pada kebenaran. Mereka banyak mempunyai musuh. Banyak bahaya yang harus
dihadapi...," tutur Sena ketika dilihatnya Suta Srengenge terdiam.
"Ketahuilah, Suta," ujar Dogol yang sejak
tadi hanya membisu di samping Sena. "Kedatangan kami ke sini juga karena
mendengar keganasan sepak terjang Kolo Mareksa."
"Aha. Benar kata kawanku ini," sahut Sena,
"Seorang tokoh tua, em... yang tadi kau sebutkan
menjadi guru paman dan ayahmu, si Pendekar
Kembar itu, beberapa hari yang lalu menemuiku.
Siapa tadi namanya" Aku lupa." Sena menggarukgaruk kepala berusaha mengingatingat. "Resi Watuhumalang. Iya! Dia juga banyak bercerita tentang kebengisan anak buah Kolo
Mareksa. Kabarnya mereka tidak hanya membantai tokoh-tokoh
golongan putih. Banyak wanita desa diculik dan
dijadikan piaraannya...."
"Itulah yang sangat meresahkan para penduduk, Sena," timpal Suta Srengenge.
"Sebenarnya
aku dipesan oleh Buyut agar mencarimu. Ilmu
'Canda Birawa' yang dimiliki Kolo Mareksa menurut dugaan nenekku hanya ilmu
sihir yang sangat
kuat. Jadi, bukan 'Canda Birawa' sejati." Lalu Suta
Srengenge menjelaskan alasan Nyi Buyut Brintik
kalau Ilmu 'Canda Birawa' sejati tidak akan bisa
digunakan untuk kejahatan.
Pendekar Gila mengangguk-angguk mendengar keterangan itu. Kalau ternyata Kolo
Mareksa benar menggunakan ilmu sihir, Sena memiliki
ilmu penangkal ilmu sihir.
"Cukup banyak yang kudapat darimu, Suta.
Tampaknya kita harus segera menumpas kejahatan yang dilakukan Kolo Mareksa.
Tapi, bagaimana
kita bisa sampai ke sarangnya?" tanya Sena yang
masih merasa asing di tempat ini.
"Itulah.... Aku pun baru beberapa hari ini
keluar dari tempat pengasingan nenekku. Jadi, belum banyak mengenal tempat ini.
Meskipun sebenarnya aku orang sini, Sena."
"Ya, ya. Aku tahu itu," Sena menganggukangguk.
"Sementara tak satu pun orang desa yang
berani berbicara jika ditanya tentang Kolo Mareksa. Nyawa taruhannya kalau
mereka sampai berani membicarakan Kolo Mareksa. Apalagi menunjukkan di mana sarangnya," jelas Suta
Srengenge. "Kalau begitu, ayo kita lanjutkan pengejaran
ini. Siapa tahu kita masih bisa menemukan jejak
mereka...," ajak Pendekar Gila. Pemuda itu lalu
melesat ke arah timur. Diikuti Dogol dan Suta
Srengenge. Ketiga pemuda itu berlari cepat dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Sementara matahari telah mulai condong ke
arah barat. *** 5 Sebuah bangunan bertembok tinggi berdiri
megah di tengah tanah lapang tak jauh dari sebuah hutan jati. Bangunan rumah
beratap tinggi itu dikelilingi tembok tebal mirip sebuah benteng.
Di kanan kiri jalan tanah selebar dua tombak yang
menuju rumah itu ditumbuhi ilalang setinggi dada.
Dari jauh terdengar sayup-sayup suara gamelan yang menghentak-hentak. Sesekali
diselingi suara sorak dan tepuk tangan. Rupanya, tengah
berlangsung suatu pesta di dalam rumah besar
itu. Ternyata benar. Di dalam ruangan besar
yang terletak di tengah rumah tampak empat
orang wanita cantik melenggak-lenggok seiring
irama gamelan. Belasan lelaki berpakaian serba
merah duduk bersila di lantai mengelilingi keempat penari. Sambil tertawa-tawa gembira mereka
menikmati minuman tuak dan menyaksikan para
penari melenggak-lenggok. Di antara mereka duduk wanita-wanita cantik.
Dengan tertawa atau tersenyum manja mereka menyandarkan tubuh pada lelaki yang
menjadi pasangannya. Ada pula yang tengah asyik
bermesraan. Seorang lelaki setengah tua yang duduk di
dekat tiang bangkit dari duduknya. Langkahnya
sedikit gontai karena mabuk. Dia menghampiri
penari yang mengenakan penutup dada berwarna
hijau. Teman-teman lelaki itu memberinya tepukan tangan.
"Ayo, Kakang Rego! Kenapa mesti raguragu...!" teriak lelaki beralis tebal. "Bawa
saja dia...!" Lelaki setengah tua yang bernama Regosulung menjawil lengan penari berpenutup
dada hijau. Wanita cantik bertubuh sintal itu tersenyum.
Disambutnya Regosulung dengan uluran selendang. Ketika itu para penabuh gamelan
semakin mempercepat tabuhannya. Orang-orang pun bertepuk tangan memberi semangat.


Pendekar Gila 39 Ajian Canda Birawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Penari berdada mulus dan montok itu segera mengikuti Regosulung yang
menggiringnya keluar arena. Keduanya melangkah menuju sebuah
kamar yang terletak di sebelah kanan ruangan besar itu.
"He he he.... Berapa lama kau kuat melayaniku, Anak Manis?" tanya Regosulung
sambil terkekeh. Dicoleknya dada mulus penari muda berwajah cantik itu.
"Mestinya aku yang bertanya begitu, Ki,"
sahut wanita berusia dua puluh tahunan itu dengan senyum menggoda.
Sampai di dalam kamar Regosulung langsung mendekap tubuh wanita itu. Dicium dan
dijilatinya leher mulus si penari. Napas lelaki bertubuh tinggi itu terdengar
memburu. Si penari cantik memejamkan mata. Mulutnya mengeluarkan desahan-desahan nikmat.
Tangan Regosulung telah melepaskan kain kemben
yang menutupi dadanya.
"Aahh.... Tutup dulu pintunya, Kakang,"
ujar si penari dengan suara mendesah lirih di telinga Regosulung. Pintu kamar
memang masih terbuka sedikit.
Tanpa mempedulikan ucapan si penari, Regosulung terus menciumi dadanya.
Kemudian, tangannya beralih melepaskan kain wanita itu
hingga terlepaslah semua pakaiannya. Kini, tak
sehelai benang pun yang menutupi tubuh mulus
dan sintal itu.
Si penari menggeser langkahnya untuk menutup pintu. Begitu pintu kamar telah
tertutup, sambil mendesah dia melucuti pakaian Regosulung.
"Aku sudah tak kuat lagi. Ayolah...." Regosulung mengangkat tubuh wanita itu dan
dibawanya menuju ranjang.
Erangan-erangan lirih pun segera terdengar
dari mulut keduanya.
*** Sementara di ruangan lain seorang lelaki
berusia empat puluhan tengah berbaring di lantai.
Ia dikelilingi tujuh orang gadis berwajah cantik. Di
atas lantai beralaskan permadani indah itu mereka
bercengkerama. Gadis-gadis cantik yang hanya
mengenakan pakaian tipis tembus pandang itu
pun berbaring. Dengan mesra mereka membelaibelai tubuh lelaki berjubah hitam.
Seorang gadis membaringkan kepalanya di paha lelaki berwajah
kasar itu. Yang lain tampak mengelus-elus dada
lelaki itu yang dipenuhi bulu-bulu bulus.
Dari luar masih terdengar suara gamelan
dan ramai sorak-sorai.
Seorang gadis yang mengenakan penutup
dada berwarna merah jambu melepas jubah lelaki
berwajah kasar. "Kakang, hari ini giliranku...," desah gadis itu. Kepalanya
dibaringkan di dada bidang yang dipenuhi bulu-bulu hitam. "Aku... aku
tak tahan..."
"Ambilkan aku arak!" perintah lelaki berwajah kasar.
Wanita yang terbaring di pahanya bangkit
berdiri. Dia melangkah menuju meja kayu berukir
untuk mengambil arak. Dengan malas-malasan
wanita berpakaian putih itu memberikan arak
yang diambilnya.
"He he he.... Kenapa kau tampak lesu, Kedasih?" tanya lelaki berwajah kasar.
"Minumlah ramuan yang telah dibuatkan Nyi Ngadirah!"
"Berapa lama lagi aku berada di sini, Kakang Mareksa?" tanya gadis itu dengan kepala tertunduk.
Lelaki berjubah hitam yang ternyata Kolo
Mareksa bangkit dari terbaringnya. "Pulanglah sekarang! Perempuan tak tahu
diuntung!" bentaknya
dengan wajah memerah.
Mendengar kemarahan Kolo Mareksa, wanita-wanita yang dijadikan piaraannya
langsung terdiam. Tak satu pun yang berani membuka mulut.
Begitulah kalau Kolo Mareksa sedang marah,
meskipun mereka baru saja bercengkerama.
Suatu saat nanti mereka memang akan dikembalikan ke rumah masing-masing. Akan
berkumpul kembali dengan orang tua. Saat itulah mereka akan mengakhiri kehidupan
terkutuk ini. Kehidupan yang setiap saat diwarnai dengan suasana
penuh birahi. Para gadis cantik itu tak pernah mengetahui
mengapa mereka sampai terjerumus ke dalam
keadaan seperti ini. Yang mereka tahu hanya perpisahan secara paksa dari
orangtua karena kehendak Kolo Mareksa. Gadis-gadis itu tak tahu Kolo
Mareksa telah menggunakan ilmu sihirnya untuk
mempengaruhi mereka. Sehingga, tak mampu menolak ketika mereka diminta untuk
melayani keinginan Kolo Mareksa.
Kolo Mareksa melangkah ke pintu. Lelaki
bertubuh tinggi itu memanggil seorang anak
buahnya. Tak lama kemudian, seorang lelaki bertubuh gemuk datang menghadap.
"Antarkan dia pulang!" perintah Kolo Mareksa kepada anak buahnya itu.
"Baik, Ketua."
Lelaki bertubuh gemuk membawa Kedasih
keluar dari kamar pimpinannya. Sampai di luar
mereka segera mendapat sambutan dari kawankawan lelaki gemuk.
"Aiih! Beruntung sekali kau, Bardak!" seru
lelaki yang duduk di sudut ruangan bersama seorang wanita cantik. "Berikan
padaku saja gadis
itu...!" Namun, belum sampai Bardak turun dari
serambi rumah dilihatnya sebuah kereta kuda datang. Di belakang kereta itu
tampak tiga orang penunggang kuda mengiringnya. Bardak langsung
membalikkan tubuh dan berlari ke dalam. Dia menuju ruangan Kolo Mareksa.
"Ketua, Gajahsura dan anak buahnya berhasil!" lapor Bardak.
Kolo Mareksa melangkah keluar dari kamar.
Sementara orang-orang di ruangan depan yang
tengah asyik menyaksikan tarian bangkit berdiri
dan melangkah ke serambi.
Kusir kereta yang adalah Gajahsura melompat turun. Lelaki berambut keriting itu
bergegas menghadang sang ketua yang telah menunggu
di serambi. "Kami membawa Laras, putri Lurah Tantrayana, Ketua," ujar Gajahsura setelah
menjura memberi hormat "Hm. Bagaimana lurah keparat itu?" tanya
Kolo Mareksa. Matanya memperhatikan ketiga
anak buah Gajahsura yang tengah menyuruh Laras keluar dari kereta.
"Terpaksa kami bunuh...," jawab Gajahsura.
Ketiga anak buah Gajahsura menarik tangan Laras karena gadis itu tak mau turun
dari kereta. Gadis cantik berpakaian putih dan berambut
panjang tergerai itu meronta-ronta. Namun akhirnya, ketiga anak buah Gajahsura
berhasil memaksanya keluar.
Laras diseret sampai di depan tangga serambi. Matanya yang berlinang melihat
orangorang berwajah bengis tengah menatap dirinya.
Saat tatapannya beradu dengan tatapan Kolo Mareksa, tiba-tiba Laras merasakan
ada getaran hebat di hatinya. Sepasang mata lelaki bertubuh
tinggi dan berwajah kasar itu mengandung kekuatan aneh, Laras buru-buru membuang
muka. Ia tak tahan menerima tatapan tajam mengandung
kekuatan aneh itu. Belum pernah Laras merasakan keanehan seperti ini.
"Bawa dia masuk!" perintah Kolo Mareksa
kepada ketiga anak buah Gajahsura.
Bergegas mereka menarik tangan Laras dan
membawanya masuk. Gadis itu dibawa ke sebuah
ruangan khusus yang biasa digunakan untuk menempatkan wanita baru. Gadis cantik
itu berteriak-teriak. Namun, cekalan tangan ketiga lelaki
yang menggiringnya terlalu kuat. Ia tak mampu
melepaskan diri.
Kolo Mareksa kembali masuk ke ruangan
pribadinya, tempat wanita-wanita piaraannya tengah menanti. Suara gamelan pun
kembali terdengar. Para penari menari di tengah ruangan besar.
Orang-orang bertepuk tangan dan bergembira
sambil menikmati tuak dan arak. Mereka terus
bergembira. Hanyut dalam suasana pesta hingga
sore hari. *** 6 Matahari tenggelam di ufuk barat. Di langit
mega merah berarak terbias cahaya sang surya.
Angin kemarau yang kering bertiup semilir membelai rambut seorang pemuda
berpakaian rompi
kulit ular. Pemuda itu berjalan bersama dua orang
kawannya. Mereka tak lain Sena Manggala, Dogol,
dan Suta Srengenge. Saat itu ketiganya tengah melangkah memasuki sebuah desa.
"Kita harus bermalam dulu di desa ini, Suta," ujar Sena. Ditolehnya Suta
Srengenge yang berjalan di samping kanannya.
"Ya. Siapa tahu kita mendapat keterangan
tentang tempat kediaman Kolo Mareksa," timpal
Suta Srengenge.
Dogol yang hanya membisu tampak berjalan
dengan langkah berat. Perutnya yang buncit serta
tidak tertutup rompi bergoyang ke kanan dan ke
kiri. Sesekali lengannya yang besar dan gempal
mengusap pipi atau lehernya. Keringat mengalir
membasahi tubuhnya.
Ketiganya terus melangkah menyusuri jalan
utama desa yang lengang. Sepi sekali suasana desa kecil itu. Rumah-rumah
tertutup. Tak seorang
pun berada di luar.
Ketika mereka sampai di sebuah tikungan
jalan, tampak di tepi jalan ada sebuah kedai. Tapi,
kedai itu tertutup.
"Hei, sepi sekali desa ini. Ke mana para
penduduknya?" tanya Sena seraya melempar pandangan berkeliling. Tetapi, yang
dilihatnya hanya
tempat-tempat sepi.
"Tampaknya ada sesuatu yang telah terjadi
di sini, Kakang Sena," ujar Dogol dengan mengusapkan lengannya ke leher.
Ketiganya terus melangkah menyusuri jalan. Tak lama kemudian mereka melihat
sebuah rumah besar, Belasan orang berkumpul di sana.
Lampu-lampu minyak telah dinyalakan.
Sena mengajak Dogol dan Suta Srengenge
mendatangi rumah besar itu. Orang-orang yang
berada di serambi rumah berhalaman luas itu menoleh ketika melihat tiga orang
lelaki asing memasuki halaman.
Sena menganggukkan kepala memberi hormat. Perbuatannya diikuti oleh Suta
Srengenge dan Dogol. Lalu, seorang di antara yang berada di
rumah besar datang menyambut.
"Selamat datang, Tuan-tuan!" ucap orang
itu. Matanya menatap penuh selidik wajah Sena.
Lalu, pandangannya turun dan berhenti pada suling berkepala naga yang terselip
di pinggang pemuda berompi kulit ular itu.
"Boleh kami bertanya, Ki?" tanya Sena memecah keheningan. "Di mana rumah
penginapan di desa ini?"
"Wah, penginapan?" ujar orang itu. "Dulu
ada rumah penginapan di ujung selatan desa ini.
Tapi, semenjak pemiliknya dibunuh orang-orang
Kolo Mareksa, sekarang sudah tidak ada lagi.
Orang yang kemalaman biasanya menginap di sini,
Tuan." Lelaki setengah baya berpakaian hitam itu
menudingkan ibu jarinya ke arah rumah yang saat
itu tengah dipenuhi penduduk. "Inilah rumah kepala desa kami, Ki Lurah
Tantrayana. Tapi...."
"Apa yang terjadi, Ki?" potong Suta Srengenge.
"Siang tadi anak buah Kolo Mareksa mengobrak-abrik rumah Ki Tantrayana. Empat
orang anak buah Tantrayana terbunuh. Nasib Ki Lurah
sendiri dan anak buahnya belum kami ketahui.
Mari, silakan masuk dulu, Tuan."
Lelaki setengah baya itu mengajak Sena,
Suta Srengenge dan Dogol masuk. Setelah menoleh ke arah Suta Srengenge dan
Dogol, Sena akhirnya mengikuti ajakan lelaki itu.
Orang-orang yang berada di rumah kepala
desa memperhatikan ketiga pemuda asing itu. Di
antara mereka ada beberapa lelaki muda yang kalau dilihat dari perawakan tubuh
dan pakaiannya merupakan orang-orang persilatan. Mereka berdiri
ketika melihat pemuda berpakaian rompi kulit ular
memasuki serambi rumah.
"Tidak salahkah penglihatanku, Kakang
Soma" Bukankah pemuda itu..." salah seorang di
antara mereka, yang mengenakan pakaian biru
dengan golok di pinggang berbisik.
"Benar," sahut kawannya. "Ayo...."
Keempat lelaki yang tadi duduk di sudut
kanan serambi melangkah menyambuti Sena, Dogol dan Suta Srengenge.
"Selamat datang, Tuan Pendekar."
"Selamat datang di desa kami...."
Orang-orang terkesima melihat Sena Manggala. Ada yang tersenyum ketika melihat
Sena yang cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Di sudut lain terdengar bisikbisik tak jelas.
"Siapa pemuda gila itu?"
"Iya ya. Wajahnya tampan. Tapi, sayang kurang waras!" Sena, Dogol, dan Suta
Srengenge dipersilakan duduk di kursi yang terletak di tengah
serambi. Namun, ketiganya menolak lalu ikut duduk bersama para penduduk di
lantai. Keempat lelaki muda berpakaian silat itu
langsung mendekat dan duduk di dekat Sena.
"Ehm.... Benarkah Tuan yang berjuluk Pendekar Gila?" tanya lelaki muda
berpakaian biru.
Sena tidak segera menjawab. Mulutnya tertawa cekikikan sambil tangannya
menggarukgaruk kepala.
Melihat tingkah Sena yang persis orang gila
orang-orang keheranan. Namun bagi keempat lelaki muda itu justru membuat hati
mereka yakin. Orang yang tengah dihadapi ini jelas Pendekar Gila.
"Aha, apa kalian perlu tahu julukanku itu?"
tanya Sena. "Sudahlah. Aku memang dijuluki seperti itu...."
"Wah.... Beruntung Tuan datang! Kami tengah dilanda musibah, Tuah. Anak buah
Kolo Ma- reksa telah datang dan memaksa Ki Lurah Tantrayana agar menyerahkan putrinya....
Sampai kini kami belum mengetahui bagaimana nasib Ki Lurah


Pendekar Gila 39 Ajian Canda Birawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan putrinya. Kami semua tak berani melawan ketika mereka mengobrak-abrik rumah
ini siang tadi.
Empat orang kepercayaan Ki Tantrayana mati. Istri
Ki Tantrayana pun tidak luput dari kebengisan
mereka." Lelaki berpakaian biru menjelaskan.
"Apa Ki Lurah mengenakan pakaian kuning?" tanya Suta Srengenge beberapa saat
kemudian setelah dilihatnya Sena hanya cengengesan
sendiri. Rupanya, dia tak sabar ingin segera mengetahui.
"Benar... benar, Tuan. Di mana Tuan melihatnya?"
Jawaban seperti itu terdengar dari beberapa
orang. Suta Srengenge menghela napas panjang.
"Siang tadi kami menemukan mayat lelaki
berpakaian kuning dan seorang lagi mengenakan
pakaian lurik. Mereka tergeletak mati di tengah jalan dekat hutan jati."
Orang-orang terkejut. Mereka membelalakkan mata kaget, meskipun sebelumnya telah
menduga Ki Lurah Tantrayana akhirnya akan mati juga. Kebengisan anak buah Kolo
Mareksa sudah terkenal. Mereka tak akan memberi ampun kepada
orang yang membangkang atau menolak kemauannya.
Ramailah gumaman para penduduk desa.
Di antara mereka terdapat seorang wanita setengah baya yang menangis dengan
menyebut-nyebut
nama Subali. Rupanya wanita itu istri Subali, kusir kereta yang membawa Ki Lurah dan putrinya.
Orang-orang segera menolong istri Subali. Wanita
itu dibawa masuk ke rumah kepala desa.
"Tolonglah kami, Tuan Pendekar. Kalau dibiarkan berlarut-larut, orang-orang desa
akan semakin dicekam rasa takut...," ujar seorang lelaki
muda berpakaian coklat yang duduk di samping
Dogol. "Dengar, Saudara-saudara!" ujar Suta Srengenge sambil memandangi wajah orangorang itu. "Kedatangan Pendekar Gila ke sini memang untuk
menumpas kejahatan Kolo Mareksa!"
Sena hanya mengangguk-anggukkan kepala
mendengar penjelasan Suta Srengenge.
"Siapa di antara kalian yang mengetahui
markas Kolo Mareksa dan anak buahnya...?" tanya
Suta Srengenge.
Orang-orang terdiam mendengar pertanyaan Suta Srengenge. Selama ini mereka
memang tak mengetahui di mana sebenarnya tempat kediaman Kolo Mareksa.
"Kalau saja kami mengetahui, tentu akan
kami katakan kepada Tuan Pendekar. Mati pun
kami rela asalkan iblis itu dapat ditumpas...," jawab pemuda berpakaian biru.
"Apalagi kini Tuan
Pendekar Gila ada di sini. Sayang, tak satu pun di
antara kami yang mengetahui tempat persembunyiannya."
"Hh.... Bagaimana, Sena?" tanya Suta Srengenge meminta pendapat Sena.
"Perintahkan saja kepada para penduduk
agar kembali ke rumah masing-masing. Kalian
jangan khawatir. Malam ini aku dan kedua kawanku akan bermalam di sini," ujar
Sena kepada keempat pemuda yang duduk bersamanya.
Mereka pun segera memerintahkan para
penduduk yang berada di rumah kepala desa agar
pulang ke rumah. Para penduduk pun membubarkan diri. Tinggallah empat lelaki
muda dan lelaki
setengah baya yang tadi menyambut kedatangan
Pendekar Gila. Mereka tetap duduk di serambi rumah.
Pendekar Gila dan Suta Srengenge terlibat pembicaraan dengan keempat lelaki muda
itu. Sementara Dogol yang sejak sore tadi telah mengeluh kecapekan tertidur di
dekat kursi. Malam kian larut. Keenam pemuda itu masih berada di serambi rumah. Sementara
lelaki setengah baya yang tadi menyambut Pendekar Gila
tengah berada di dalam rumah untuk membuatkan air minum. Lelaki itu ternyata
pembantu Ki Lurah Tantrayana. Tanpa sepengetahuan mereka,
di balik pepohonan tak jauh dari rumah kepala desa ada beberapa sosok bayangan
tengah mengintai.
"Mana pemuda yang kau maksudkan itu,
Gopras?" bisik lelaki berpakaian merah dan berkumis melintang.
"Yang mengenakan pakaian putih, Kebo
Kluwuk," jawab lelaki berpakaian hitam yang ternyata Gopras.
"Baik. Barja, Gento, dan kau Kasan, semua
siap!" Kebo Kluwuk memperingatkan ketiga anak
buahnya. Sena yang tengah mendengarkan keterangan pemuda berpakaian biru, tiba-tiba
mengerutkan keningnya. Suta Srengenge melihat perubahan pada wajah Pendekar
Gila. "Ada apa, Sena?" tanya Suta Srengenge
dengan kening berkerut.
"Di luar sana ada kecoa-kecoa busuk yang
sedang mengintip kita. Ayo kita bermain-main sebentar, Suta!" Sena bangkit dari
duduknya. Dia melangkah masuk ke rumah kepala desa diikuti
Suta Srengenge. Keempat pemuda yang berbicara
bersamanya tadi kelihatan terkejut. Namun mereka berdiam diri dan tetap duduk.
Pendekar Gila ternyata keluar kembali lewat
pintu belakang.
"Mau ke mana, Tuan?" tanya pembantu ki
lurah yang tengah sibuk di dapur.
"Ssttt...! Jangan keluar dulu," sahut Sena.
Pendekar Gila melesat menuju samping kanan
rumah. Suasana gelap membuat tubuhnya tidak
kelihatan. Sebentar kemudian, pemuda berompi
kulit ular itu telah sampai di belakang Gopras dan
kawan-kawannya. Namun mereka tidak tahu sama
sekali. Gerakan Pendekar Gila yang begitu ringan
dan cepat membuat mereka tak mendengarnya.
"Hi hi hi...!" Tiba-tiba Sena tertawa cekikikan. Suara itu sangat mengejutkan
Gopras dan keempat kawannya.
"Siapa kau"!"
Keempat lelaki berwajah bengis itu membalikkan tubuh dengan mata membelalak. Di
depan mereka telah berdiri Pendekar Gila yang cengengesan. "Kecoa-kecoa busuk macam kalian beraninya hanya dalam gelap. Apa yang dicari di
sini?" "Kurang ajar! Mestinya aku yang bertanya
untuk apa kau mencampuri urusan kami"!" bentak Gopras.
"Siapa bilang urusan kalian bukan urusanku" Urusan kalian juga urusan semua
orang...."
"Kurang ajar kau, Bocah Edan. Tangkap
dia!" Kali ini yang membentak Kebo Kluwuk.
Gopras, Gento, Barja, dan Kasan langsung
merangsek maju menyerang Pendekar Gila. Seketika, bentakan-bentakan keras
memecah keheningan malam. Keempat pemuda yang masih duduk
di serambi rumah berlarian menuju tempat pertarungan. Begitu pula Suta Srengenge
yang melalui samping rumah. Mereka melihat Pendekar Gila tengah
menghadapi keroyokan empat lelaki bersenjata golok.
"Mau apa lagi begundal-begundal Kolo Mareksa itu?" gumam pemuda berpakaian biru.
Serangan keempat orang anak buah Kolo
Mareksa memaksa Pendekar Gila harus melompat
ke tengah halaman rumah Ki Lurah Tantrayana.
Kini tampak jelaslah keempat lelaki yang mengeroyok Pendekar Gila. Cahaya lampu
dari serambi rumah yang sampai ke tengah halaman menerangi
wajah mereka. Keempat pemuda berpakaian silat yang tadi
berbincang-bincang dengan Pendekar Gila tertegun
kagum melihat jurus-jurus yang diperagakan Pendekar Gila. Pemuda berpakaian rompi kulit ular itu
hanya meliuk-liukkan tubuh sambil sesekali melayangkan telapak tangannya.
Gerakannya lemah
seperti tak bertenaga. Tapi, sejak tadi tak satu pun
senjata lawan yang mengenai tubuhnya. Bahkan,
sambil cengengesan dan sesekali menggarukgaruk kepala, Sena menghadapi lawanlawannya. "Itukah jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'
yang aneh itu?" tanya pemuda berpakaian coklat
kepada kawannya. Namun mereka tak ada yang
menjawab. Rupanya, ketiganya juga tengah keheranan melihat sikap Pendekar Gila.
"Hi hi hi.... Tentu cecurut eh, kecoa-kecoa
ini suruhan Kolo Mareksa keparat itu," ejek Sena.
Di sela-sela kesibukannya menghindarkan
serangan lawan, Sena masih sempat menjulurkan
lidah meledek. Namun ketika Gopras yang bersenjata golok menyerangnya bertubitubi, Sena sempat kaget.
"Haits! He he he...! Hampir saja sabetanmu
kena, Ki. Sayang, kau tak mampu mempergunakan, golokmu!"
Sena kemudian melancarkan serangan dengan pukulan telapak tangan. Gerakannya
yang lemas dan tampak malas-malasan mengejutkan Gopras.
Plakkk! Gopras terpekik kaget. Tubuhnya terlontar
dua tombak ke belakang. Hampir dia tak percaya
merasakan pukulan Pendekar Gila. Pukulan yang
tampak lemah dan tak bertenaga itu ternyata
mendarat telak di dadanya. Lelaki bercambang
bauk itu meringis menahan sakit.
Ketiga kawannya tak luput dari keterkejutan itu. Mereka heran melihat jurus
lawan yang aneh. "Gila! Ilmu apa ini...?" gumam Gento.
"Hi hi hi.... Itulah jurus 'Tepukan Kecoa'!"
celetuk Sena. Belum lagi ketiga lelaki bengis itu sadar dari
rasa terkejutnya, tiba-tiba....
Plakk! Plakk! Bukk!
Gento, Kasan, Barja menjerit hampir bersamaan. Sebuah pukulan keras mendarat di
dada masing-masing. Tubuh mereka berpentalan, lalu
bergulingan di tanah. Erangan kesakitan keluar
dari mulut ketiga lelaki itu.
"Kurang ajar! Bocah Edan, Siapa kau sebenarnya"!" Kebo Kluwuk mengayunkan
langkah mendekat. "Aha ah ah...! Siapa yang edan! Kau yang
edan, Ki," sahut Sena sambil menggelenggelengkan kepala.
Tiba-tiba, Kebo Kluwuk melompat seraya
melancarkan satu tendangan keras. Melihat serangan cepat itu Sena meliukkan
tubuhnya ke samping. Tendangan keras Kebo Kluwuk lewat beberapa
jari dari tubuhnya. Begitu mendarat lelaki berpakaian merah ini langsung
membalikkan tubuh
dengan kedua tangan membentuk kuda-kuda. Dikiranya Sena akan melakukan serangan
balasan, namun ternyata tidak. Pemuda berpakaian rompi
kulit ular itu malah tertawa cengengesan.
"Hi hi hi...! Keluarkan senjatamu yang terselip di pinggang itu, Orang
Berkumis!" ujar Sena.
Ditatapnya sepasang gada kuning yang terselip diikat pinggang Kebo Kluwuk.
"Huh! Menghadapi orang gila sepertimu tak
perlu senjata ini dikeluarkan!"
"Hi hi hi.... Orang gila! Lebih baik gila tapi
menyadari kegilaannya, daripada waras tapi tak
tahu kalau dirinya waras. Kau orang waras tapi gila. Wueek!" Sena menjulurkan
lidahnya mengejek
Kebo Kluwuk. Mendengar ejekan itu, Kebo Kluwuk tak
mampu lagi menahan kemarahannya. Wajahnya
memerah dengan mata melotot lebar.
"Kunyuk! Kurobek mulutmu!"
Kebo Kluwuk merangsek maju dengan kedua tangan membentuk cakar.
"Hih!"
Plakk! Bukk! Tubuh Kebo Kluwuk terjungkal. Ketika dia
melancarkan serangan, tiba-tiba Sena mengelak
dengan meliukkan tubuhnya. Lalu, melancarkan
pukulan keras ke dada dan punggung lawan.
Namun dengan cepat lelaki berpakaian merah itu melompat bangkit. Mulutnya
menggeram murka. Dicabutnya sepasang gada yang terselip di
ikat pinggang. Wukkk! Wukk! Gada berwarna kuning itu berputar cepat di
depan dada Kebo Kluwuk ketika tubuhnya bergerak maju.
"Kuremukkan kepalamu, Bocah Edan!
Heaaa...!"
Gada kuning bergerak mengancam kepala
dan dada Sena. Namun dengan tenang Pendekar
Gila melompat ke samping. Ketika sabetan gada
terus memburu dan hampir mengenai punggungnya, Sena melenting ke atas. Tubuhnya
berputar dua kali di udara. Lalu, dengan jurus 'Si Gila Terbang Mencengkeram Mangsa',
Pendekar Gila merenggut kedua gada lawan.
Tubuh Sena kemudian berputar cepat bagai
gasing. Kebo Kluwuk pun turut berputar karena
tangannya tetap mempertahankan gada.
Kebo Kluwuk berteriak merasakan pusing di
kepalanya. Rasa itu membuat cekalannya pada
gada terlepas. Tubuhnya berputar sempoyongan,
lalu jatuh terguling di tanah.
Suta Srengenge dan keempat lelaki muda
yang menyaksikan kejadian lucu itu tertawa. Sedangkan keempat anak buah Kebo
Kluwuk kaget bukan main. Seketika hati mereka menjadi ciut.
Kalau pimpinan mereka yang sudah terbilang tokoh penting di markasnya mengalami
kekalahan, apalagi mereka. Ketika melihat Kebo Kluwuk
bangkit dan melesat pergi, mereka langsung mengambil langkah seribu.
"Hua ha ha...! Hoii..., Kecoa-kecoa Busuk!
Sampaikan pada Kolo Mareksa, aku akan datang
ke tempat kalian...!" Pendekar Gila berteriak sambil tertawa cekakakan.
Suta Srengenge melangkah mendekati Sena.
Begitu pula keempat lelaki muda yang berpakaian
silat. "Kenapa kau biarkan mereka pergi, Sena?"


Pendekar Gila 39 Ajian Canda Birawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanya Suta Srengenge.
"Iya. Mestinya mereka kita bunuh saja!"
timpal pemuda berpakaian coklat.
"Kalau mereka dibunuh, kita tak ada jalan
untuk bertemu Kolo Mareksa. Mereka pasti akan
mengadu. Lalu, Kolo Mareksa akan mengirim
kembali orang-orangnya mencariku," jawab Sena,
membuat. Suta Srengenge mengangguk-angguk
mengerti. Mereka kembali masuk ke serambi rumah
Ki Lurah Tantrayana. Sampai pagi menjelang tidak
ada lagi anak buah Kolo Mareksa yang datang.
Pendekar Gila dan Suta Srengenge sempat tidur
beberapa lama. Sementara keempat pemuda itu terus berjaga.
*** 7 Brrakkk! Meja besar terbuat dari kayu jati berukir itu
hancur berantakan dipukul Kolo Mareksa yang
marah. Kelima lelaki berpakaian merah yang tak
lain Kebo Kluwuk, Gento, Gopras, Kasan, dan Barja tak mampu menjawab bentakan
sang ketua. Kegagalan mereka menangkap pemuda berpakaian
putih yaitu Suta Srengenge merupakan kesalahan
besar yang pasti akan mendapat hukuman. Itu tak
dapat dipungkiri lagi.
Perasaan takut yang hebat melanda hati
Gopras. Ketiga kawannya yang gagal menarik upeti
dari pasar telah dihukum mati. Ia beruntung dibebaskan dari hukuman itu karena
harus memberi petunjuk kepada Kebo Kluwuk yang diperintahkan
menangkap Suta Srengenge. Namun, kini kegagalan kembali menimpa dirinya untuk
kedua kali. "Bodoh! Apa yang kalian lakukan"! Menghadapi bocah ingusan saja kalian tak
becus!" bentak Kolo Mareksa dengan mata melotot merah.
Dua hari ini kabar buruk telah didengarnya.
Seorang pemuda berpakaian putih telah menggagalkan anak buahnya menagih upeti di
pasar. Kini ada lagi pemuda bertingkah seperti orang gila yang
menggagalkan penangkapan terhadap pemuda
berpakaian putih.
"Haruskah aku sendiri yang turun tangan
untuk menghadapi kedua bocah ingusan itu"
Orang seperti kalian tak ada gunanya lagi di sini...!"
Tanpa diduga, Kolo Mareksa menarik golok
Gopras. Lalu....
Jrabs! "Aaakh...!"
Gopras menjerit, suaranya melengking tinggi ketika dadanya tertembus goloknya
sendiri. Sedangkan Barja tergeletak dengan kepala terbelah.
Kebo Kluwuk tersentak kaget. Tubuhnya
gemetaran melihat kedua kawannya tewas. Begitu
pula dengan Kasan dan Gento. Mereka menggigil
ketakutan. Namun, perasaan gentar itu tidak berlangsung lama. Kolo Mareksa telah
memutuskan nyawa ketiganya.
Pekikan kematian terdengar susulmenyusul. Ketiganya berkelojotan dengan tubuh
berlumuran darah. Sebentar kemudian, mereka
tewas. Darah segar membasahi lantai. Lima lelaki
berpakaian merah tergeletak tewas secara mengerikan.
"Regosulung, Bardak, dan kau Siung Warak! Kumpulkan semua anak buah. Bunuh kedua
pemuda itu!" terdengar perintah Kolo Mareksa kepada ketiga orang kepercayaannya
yang berada di ruang depan. "Laksanakan cepat, sebelum kedua
pemuda itu datang ke sini!"
Tanpa menunggu perintah dua kali, Regosulung, Siung Warak, dan Bardak segera
mengumpulkan semua anak buahnya. Mereka berangkat pagi itu juga menuju tempat
kediaman Ki Lurah Tantrayana.
Sepuluh orang anak buah Kolo Mareksa
menggebah kuda meninggalkan markasnya. Debu
mengepul di jalanan yang mereka lalui. Gemuruh
kaki-kaki kuda memecah keheningan pagi yang
dingin. *** Pendekar Gila, Dogol, dan Suta Srengenge
menuruni tangga berundak serambi rumah kepala
desa. Mereka diantar keempat lelaki muda dan
pembantu Ki Lurah Tantrayana.
"Bagaimana kalau sepeninggal Tuan Pendekar, anak buah Kolo Mareksa datang lagi
kemari?" tanya lelaki muda berpakaian biru yang berjalan di
samping Sena. "Kami jelas tak sanggup menghadapi mereka."
Sena menghentikan langkah. Ditolehnya
Suta Srengenge. Pemuda berpakaian putih mengangguk-angguk. Tampaknya dia
memaklumi kekhawatiran mereka.
"Kalau begitu, biarkan aku dan Dogol yang
pergi. Sementara kau tinggal di sini, Suta," ujar
Sena kepada Suta Srengenge.
Belum sempat Suta Srengenge menanggapi
usul itu, Pendekar Gila mendadak mengerutkan
kening. Telinganya ditelengkan hendak mendengar
suara yang belum jelas terdengar.
Suta Srengenge melakukan hal yang sama.
Tapi, sia-sia. Dia tidak menangkap ada suara yang
mencurigakan. Berbeda dengan Sena yang memiliki ilmu 'Sapta Pangrungu',
telinganya dapat menangkap suara yang masih jauh.
"Aha, mereka datang.... Benar juga dugaanmu, Sobat!" ujar Sena kepada pemuda
berpakaian biru. Tubuhnya segera melesat menuju jalan
utama desa. Melihat gerakan Sena yang begitu ringan,
keempat lelaki muda dan pembantu Ki Lurah Tantrayana mendesah kagum. Mereka
melihat Sena dalam sekejap telah melesat jauh.
Suta Srengenge segera mengikuti Pendekar
Gila. Dengan mengerahkan ilmu peringan tubuhnya pemuda berambut dikepang itu
melesat. "Kakang Garu, mudah-mudahan kedua
pendekar muda itu mampu menumpas mereka,"
kata pemuda berpakaian biru kepada lelaki pembantu Ki Lurah Tantrayana.
Mereka pun segera berlari menyusul Dogol
yang telah melesat di belakang Suta Srengenge.
*** Kesepuluh penunggang kuda berpakaian
serba merah tengah memasuki mulut desa. Tanpa
mengurangi kecepatan lari kuda, kesepuluh anak
buah Kolo Mareksa itu terus menggebahnya. Gemuruh kaki-kaki kuda memecah
keheningan pagi.
Ditingkahi bentakan-bentakan keras dari mulut
penunggangnya. Ketika sampai di tikungan jalan di mana
terletak sebuah kedai makan, mereka berhenti.
Orang-orang yang kebetulan berada di sana terkejut melihat kedatangan mereka.
Tak satu pun yang
berani keluar dari kedai.
"Hei, siapa di antara kalian yang mengetahui rumah Ki Lurah Tantrayana?"
bentakan keras itu dikeluarkan Regosulung.
Dengan gemetar ketakutan seorang lelaki
setengah baya keluar.
"Cepat katakan!" bentak lelaki berpakaian
merah yang lain. Di pinggangnya terselip sepasang
senjata gading kuning. Dialah Siung Warak, salah
satu orang kepercayaan Kolo Mareksa.
"Te... terus saja ke selatan, Tuan. Rumah
besar di kanan jalan itulah rumah Ki Lurah Tantrayana...."
"Hei, Orang Tua! Siapa dua pemuda yang
semalam menginap di rumah Ki Lurah Tantrayana"!" tanya Regosulung.
"A... ampun, Tuan. Saya tidak tahu...."
"Bodoh! Ada orang asing masuk ke desa ini
kamu tidak tahu!"
Crrakk! Regosulung melepas rantai baja yang melilit
perutnya. Lalu disabetkannya rantai yang mengikat senjata cakra itu.
Wuukkk! Brret! Jeritan menyayat langsung terdengar. Tubuh lelaki tua itu terpental hingga
membentur dinding kedai. Darah segar muncrat dari dadanya
yang remuk terhantam senjata cakra Regosulung.
Seketika tewaslah orangtua yang naas itu.
Dua orang lelaki keluar dari dalam kedai
dengan wajah menyiratkan ketakutan bercampur
rasa marah. "Biadab!" dengus lelaki berpakaian abu-abu
kumal seraya mendekati kawannya yang tergeletak
berlumuran darah. "Kalian iblis jahanam. Beraninya hanya pada orang-orang tidak
berdaya. Kalau berani, hadapi Pendekar Gila!"
"Ha ha ha...! Mana Pendekar Gendeng itu?"
Wukkk! Wuukk! Sambil tertawa terbahak-bahak Regosulung
memutar rantai bajanya hendak membabat kedua
penduduk desa itu. Namun....
"Hua ha ha...!"
Tawa menggelegar yang memekakkan telinga menyambuti suara tawa Regosulung.
Kesepuluh anak buah Kolo Mareksa terkejut. Mereka segera
menoleh ke arah asal suara. Sesosok bayangan
berkelebat dan mendarat di atas jalan yang tadi
mereka lalui. Sosok bayangan itu ternyata seorang pemuda berpakaian rompi kulit ular. Dengan
mulut cengengesan, pemuda yang tak lain Pendekar Gila
itu memandangi kesepuluh lelaki penunggang kuda di hadapannya.
"Ah ah ah.... Ternyata kecoa-kecoa busuk
seperti kalian hanya berani memeras dan menganiaya orang-orang kecil."
"Bocah Edan. Jangan coba-coba mencampuri urusan kami. Kalau kau sayang dengan
nyawamu, pergilah dari sini!" ujar Regosulung yang
tampaknya sudah mengetahui siapa pemuda berpakaian rompi kulit ular itu. Bagi
orang persilatan
sepertinya, nama Pendekar Gila tentu pernah didengarnya.
"Hi hi hi.... Urusan kalian adalah urusanku.
Juga urusan semua orang yang telah kalian buat
resah. Sadarkah apa yang kalian lakukan selama
ini?" "Orang gila ternyata pandai juga berbicara.
Terpaksa aku akan membunuhmu, Pendekar Gila.
Regosulung pantang mundur hanya menghadapi
bocah gila sepertimu!"
Sesosok bayangan putih berkelebat dan
mendarat di belakang kesepuluh anak buah Kolo
Mareksa. "Hei, Begundal-begundal Kolo Mareksa"
Siapa di antara kalian yang pernah membunuh
Pendekar Kembar?"
Dengan berkecak pinggang pemuda berpakaian putih yang tak lain Suta Srengenge,
berteriak lantang. Kontan kesepuluh penunggang kuda
itu menoleh ke belakang.
"Hmm. Ada lagi bocah ingusan yang berani
mati!" ejek Siung Warak seraya menatap tajam wajah Suta Srengenge. "Kaukah orang
yang usil di pasar beberapa hari lalu?"
"Iya! Aku akan menuntut balas atas kematian Pendekar Tanpa Nama dan kedua putra
kembarnya!"
"Kurang ajar! Tangkap dia...!" Mendengar
perintah Regosulung, para penunggang kuda langsung berlompatan turun. Sebagian
memburu Pendekar Gila. Sebagian lagi menghadapi Suta Srengenge.
"Hi hi hi.... Kita berpesta, Suta...!" teriak Sena. Tubuhnya melompat dua tombak
ke belakang, kemudian tertawa cekikikan. Tiga orang anak
buah Kolo Mareksa menyerang bersamaan. Pekikan bentakan penuh kegeraman seketika
terdengar. Pertarungan seru pun tak terelakkan lagi.
Ketiga lawan Sena itu ternyata tidak percuma menjadi orang-orang kepercayaan
Kolo Mareksa. Tendangan dan pukulan tangan kosong mereka
mengandung tenaga dalam tinggi, hingga menimbulkan suara angin menderu.
Mengetahui kemampuan lawan-lawannya,
Pendekar Gila tak ingin bermain dengan jurusjurus ringan. Namun, ketiga lelaki
berwajah bengis
itu sempat terkejut melihat gerakan Sena. Pukulan
dan tendangan cepat mereka dengan mudah dielakkan hanya dengan meliuk-liukkan tubuh dan
menggerakkan kedua tangannya seperti orang menari.
Ketika Pendekar Gila kembali meliukkan
tubuh menghindari pukulan lawan, sebuah tendangan keras melesat cepat ke arah
dada. Plakkk! Tendangan itu dapat ditangkisnya dengan
tangan kanan, meskipun sempat terkejut. Lawannya yang melancarkan serangan
tergetar mundur
beberapa langkah. Saat itulah kawannya melepaskan tendangan dengan gerak menyapu
ke arah kaki Sena. Brruukk! Sena terjatuh. Melihat kejadian itu, ketiga
lawannya langsung menghujani dengan tendangan
keras. Namun, Sena dengan cepat menggelinding
untuk menghindarinya. Lalu dengan bertumpu
pada kedua telapak tangan, pemuda berpakaian
rompi kulit ular itu berjumpalitan ke belakang.
Ketiga lelaki berpakaian serba merah tak ingin memberi kesempatan kepada
Pendekar Gila. Cepat ketiganya kembali merangsek maju. Pendekar Gila segera melentingkan
tubuhnya ke atas
dan berputaran beberapa kali di udara ketika salah seorang lawannya melancarkan
pukulan jarak jauh.

Pendekar Gila 39 Ajian Canda Birawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wuttt! Angin menderu kencang melesat ke arah
Pendekar Gila yang masih berada di udara. Merasakan ada hawa panas dari pukulan
lawan, Sena menghentakkan kedua tangannya ke depan.
Jrrass! Dua kekuatan tenaga dalam beradu di udara. Tubuh lelaki berpakaian merah
terdorong mundur dua langkah. Sementara Pendekar Gila
meluncur turun dan mendarat dengan ringan di
tanah. Namun, dua orang lawannya yang lain secara bersamaan telah mencabut pedang yang
tersampir di pundak mereka.
Wuukk! Satu babatan pedang hampir saja mengenai
kaki Sena. Cepat dia melompat ke belakang menghindarkannya. Kedua lelaki
bersenjata pedang itu
terus memburu Sena dengan sabetan dan tusukan. Serangan mereka mengarah pada
bagianbagian berbahaya di tubuh Pendekar Gila.
"Aha. Boleh juga ilmu pedang kalian...," puji
Sena sambil berjumpalitan ke belakang. Dia ingin
menjauhi ketiga lawannya untuk mencari kesempatan.
Begitu jarak antara Sena dengan ketiga lawannya berada sekitar empat tombak,
pemuda itu bergegas menyatukan kedua telapak tangannya.
Lalu, dengan gerakan mirip seekor kera melempar
batu, Pendekar Gila melancarkan serangan.
Angin kencang berlesatan menerjang ketiga
lelaki berpakaian merah. Sesaat kemudian, ketiganya berteriak kaget merasakan
seperti ada benda keras menghantam tubuh mereka. Ketiganya
terpental ke belakang. Saat itulah Pendekar Gila
melesat sambil melancarkan serangan.
Pukulan keras yang mengandung tenaga
dalam tinggi menghantam tubuh ketiga lelaki berpakaian merah. Tubuh mereka kini
terlontar beberapa tombak. Dari mulut mereka terdengar erangan kesakitan.
Melihat ketiga anak buahnya berjatuhan,
Regosulung segera memberi isyarat kepada anak
buahnya yang lain untuk melakukan serangan.
"Heaaa...!"
*** Dua orang anak buah Regosulung melompat dengan cepat seraya membabatkan
pedangnya, Pendekar Gila melenting ke atas. Lalu, meluncur
turun dengan kaki terpentang lebar hendak melancarkan serangan.
Kedua lawannya langsung terpental ke belakang terkena tendangan keras Sena.
Namun, keduanya berhasil mematahkan daya dorongan itu.
Dan, kembali melancarkan serangan.
Suta Srengenge yang juga menghadapi dua
orang lawan telah mengeluarkan senjata andalannya Keris Sakti Tanpa Wujud
warisan dari kakeknya diputar dengan cepat memapaki serangan lawan.
Prrraakkk! Kedua lelaki berpakaian merah tersentak
kaget mendapati pedang mereka patah menjadi
dua. Sementara keris panjang milik Suta Srengenge terus berputar cepat.
Jrrabs! Lengkingan kematian terdengar ketika salah
seorang lawannya terjungkal dengan dada berlubang tertusuk Keris Sakti Tanpa
Wujud. Crrass! Tanpa ampun lagi, keris panjang itu memangsa lawan yang lain. Tubuh lelaki
bercambang bauk itu sempoyongan dengan lengan hampir buntung. Suta Srengenge hanya
memandanginya dengan tersenyum sinis. Matanya yang tajam beralih
menatap Regosulung yang tengah memandangnya.
Lelaki bertubuh tinggi besar itu melompat
ke arah Suta Srengenge. Kedua kakinya mendarat
dua tombak ke depan pemuda berambut panjang
dikepang itu. Dengan kening berkerut diperhatikannya keris panjang di tangan
Suta Srengenge. Ia
merasa pernah melihat keris itu.
"Hai, siapa kau sebenarnya"!" tanya Regosulung kemudian seraya menatap wajah
Suta Srengenge. "Aku Suta Srengenge, anak Sunu Bagaskara, cucu Pendekar Tanpa Nama!"
"O... jadi, kau anak Nyi Roro Mintarsih?"
Regosulung mengerutkan kening. Ia tak percaya
mendengar pengakuan Suta Srengenge. Nyi Roro
Mintarsih dikiranya sudah mati terlempar ke dasar
jurang. "Dari mana kau tahu nama ibuku?" tanya
Suta Srengenge dingin.
"He he he.... Bagaimana tidak" Akulah yang
membunuh Sunu Bagaskara, Pratangga, dan Mintarsih!" sahut Regosulung dengan
terkekeh. Lelaki
setengah tua ini tak memandang sebelah mata pun
kepada Suta Srengenge. "Kalau ayahmu yang seorang pendekar besar saja bisa aku bantai, apa kau
mampu melawanku, Bocah Ingusan"!"
"Percuma aku berguru pada Walet Putih
Dari Selatan kalau untuk membabat lehermu saja
tak mampu!"
"Apa"!"
"Tentu kau tak menduga. Nenekkulah yang
menyelamatkan jiwaku...."
"He he he...! Taruhlah ucapanmu benar. Tapi, jangan berbangga hati dulu dengan
kerismu itu, Bocah. Jaga seranganku. Haa...!"
Regosulung membentak. Kedua tangannya
menghentak ke depan melancarkan serangan jarak
jauh. Namun, Suta Srengenge yang telah bersikap
waspada segera melihat serangan itu. Tubuhnya
bergegas dilempar ke samping. Kemudian, melompat bangkit dan siap menghadapi
serangan Regosulung berikutnya.
Regosulung telah melepaskan rantai baja
pengikat senjata cakra. Diputar-putarnya rantai
hingga menimbulkan suara menderu dan bergemeretakan. Kemudian, cepat dikibaskan
sehingga cakra yang berada di ujungnya melesat cepat menuju
kepala Suta Srengenge.
Suta Srengenge sendiri tampaknya sudah
tak sabar ingin segera membantai pembunuh
orangtuanya. Setelah bersalto beberapa kali di
udara menghindarkan serangan senjata lawan, dia
menggenggam erat-erat kerisnya. Diangkatnya keris panjang itu sampai di atas
kepala. "Aji 'Sirna Wujud'.... Heaaa...!"
"Heh"!"
Betapa terkejutnya Regosulung melihat pemuda berpakaian putih lenyap dari
pandangan. Perasaan serupa juga melanda orang-orang yang
menyaksikan jalannya pertarungan.
"Ilmu apa itu?" gumam Dogol yang menyaksikan pertarungan bersama keempat lelaki
yang menemani mereka semalam di rumah Ki Lurah
Tantrayana. Belum juga hilang keterkejutan mereka, tiba-tiba terdengar pekikan kaget dari
mulut Regosulung. Lelaki berwajah bengis itu membelalakkan
mata melihat tangan kanannya telah buntung. Darah segar mengucur deras. Rantai
baja yang digenggamnya jatuh bersama lengannya yang terlempar ke tanah.
"Heaaa...!"
*** Regosulung terjingkat mundur ketika didengarnya bentakan melengking. Suara itu
berasal dari arah depannya. Namun, bagaimana bisa bergerak menghindar kalau lawannya
tidak tampak"
Sssst...! Pekikan keras kembali dikeluarkan Regosulung. Ia terjatuh bergulingan di tanah.
Kini, kedua kakinya buntung. Darah mengalir deras. Sekujur
tubuhnya basah oleh darah yang bercampur debu
jalanan. "Ha ha ha...! Jangan harap kalian mampu
melawanku, Begundal-begundal Kolo Mareksa!
Akan kuhabisi nyawa kalian dengan Keris Sakti
Tanpa Wujud ini...!"
Suara Suta Srengenge berkumandang tanpa
terlihat sosok tubuhnya.
Regosulung masih menjerit-jerit kesakitan.
Tubuhnya yang sudah tanpa kaki menggeliat-geliat
di atas jalan berdebu. Pendekar Gila yang baru saja menyelesaikan pertarungan
melawan dua orang
anak buah Regosulung terkesima melihat kejadian
aneh itu. Bardak dan Siung Warak merasa putus asa.
Mereka tak dapat melihat pemuda berpakaian putih. Kemarahannya yang tak
tertahankan segera
dilampiaskan kepada Sena Manggala. Kedua lelaki
setengah tua itu menerjang Pendekar Gila.
"He he he... Lebih baik kalian tunjukkan di
mana tempat persembunyian Kolo Mareksa," ujar
Sena dengan terkekeh. Tubuhnya melenting
menghindarkan serangan gencar sepasang gading
kuning Siung Warak. Sepasang gading itu terus
melesat dari tangan Siung Warak, memburu tubuh
Pendekar Gila. Melihat sepasang gading melesat memburunya, Sena cepat-cepat menghentakkan kedua
tangan. Meluncurlah selarik sinar merah. Dan....
Glarrr! Glarrr!
Sinar merah dari pukulan jarak jauh Pendekar Gila menghantam sepasang gading
kuning. Ledakan keras terdengar memekakkan telinga.
Gading kuning itu hancur berkeping-keping.
Siung Warak sendiri terdorong beberapa
langkah, terkena pengaruh pukulan yang dikerahkan dengan tenaga dalam tinggi
itu. Bardak yang
menggenggam pedang langsung melompat hendak
memapaki tubuh Sena yang meluncur turun. Namun belum sempat dia membabat
pedangnya, tubuhnya mendadak terpental balik.
"Aaakh!"
Bardak terpekik pendek. Dadanya terkena
pukulan yang tak terlihat. Tubuh laki-laki itu terjengkang dan jatuh
bergulingan. Bardak segera
bangkit berdiri. Siung Warak yang berada di sampingnya memberi isyarat untuk
melancarkan serangan secara bersamaan.
Kedua lelaki setengah tua itu melesat menerjang Pendekar Gila. Namun di tengah
jalan keduanya menjerit setinggi langit. Tubuh mereka terbelah oleh babatan
keris Suta Srengenge yang tak
nampak. Siung Warak dan Bardak tewas dengan tubuh berlumuran darah.
Tiga orang yang pertama melawan Pendekar
Gila dan terlempar sampai depan kedai kelihatan
tegang. Mereka hendak kabur karena semua kawannya telah berjatuhan.
"Hoi! Mau ke mana kalian"!" suara besar
dan parau itu ternyata keluar dari mulut pemuda
bertubuh tambun dan berperut buncit.
Pemuda berkepala botak yang tak lain si
Dogol melangkah mendekati ketiga lelaki itu. Di
belakangnya empat lelaki muda yang datang bersama-sama dari rumah Ki Lurah
Tantrayana ikut
menghampiri. Ketiga lelaki berpakaian merah mau tak
mau harus menghadapi Dogol dan kawankawannya. Terjadilah pertarungan di depan kedai.
Dogol yang bertubuh tambun sibuk menghadapi
lawannya yang berkumis melintang. Tubuhnya
melompat ke sana kemari menghindari pukulan
lawan. Meskipun gendut, Dogol ternyata mampu
bergerak cepat. Bahkan, sesekali pukulan tangannya yang gempal mendarat di perut
lawan. Tidak percuma ia selalu mengikuti Pendekar Gila berkelana. Beberapa ilmu yang pernah
diajarkan Sena mampu digunakannya dengan baik.
Keempat lelaki muda kawan Dogol pun dengan penuh semangat terus merangsek kedua
lawan mereka. Meskipun anak buah Regosulung itu
telah terluka dalam, tapi mereka masih mampu
mengatasi serangan lawan. Bahkan tak lama kemudian, lelaki muda berpakaian
coklat terjungkal.
Ia terkena babatan golok lawan. Namun ketika pertarungan itu semakin seru, tibatiba.... Tukk! Tuukk! Tukkk!
Ketiga lelaki berpakaian merah terkulai lemas. Tubuh mereka jatuh bergeletakan
ke tanah. "Berhenti...!" teriak Suta Srengenge yang belum juga menampakkan diri. Pemuda
itu tadi yang bergerak cepat menotok ketiga anak buah Regosulung.
Pendekar Gila yang menyaksikan dari jarak
jauh tersentak kaget ketika tiba-tiba saja Suta
Srengenge telah berdiri di depannya. Pemuda berpakaian putih itu tersenyum
melihat Sena tercengang. Keris Sakti Tanpa Wujud telah dimasukkan
kembali ke warangkanya.
"Ah ah ah.... Hebat! Hebat sekali ilmumu,
Sobat," puji Sena seraya menggelengkan kepala.
"Belum seberapa dibandingkan dengan yang
kau miliki," sahut Suta Srengenge masih dengan
tersenyum. "Lihat! Kita paksa mereka menunjukkan tempat persembunyian Kolo
Mareksa." Pendekar Gila dan Suta Srengenge menghampiri ketiga orang anak buah Kolo
Mareksa. Mereka segera dinaikkan ke atas punggung kuda. Salah seorang dari
ketiga lelaki itu dibebaskan dari
totokan. Dialah yang kemudian menjalankan kudanya. Dua ekor kuda di belakang
yang membawa kawannya ditarik oleh kudanya.
"Dogol dan kalian bertiga, bantu para penduduk menguburkan mayat-mayat itu...,"
ujar Sena pada Dogol dan kawan-kawannya.
Sena dan Suta Srengenge kemudian melesat
mengikuti anak buah Kolo Mareksa.
*** 8 Pendekar Gila dan Suta Srengenge terus
menguntit dari kejauhan. Setelah melintasi hutan
jati yang sangat luas mereka menyeberangi sungai


Pendekar Gila 39 Ajian Canda Birawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

besar tapi kering airnya karena sedang musim kemarau.
Sepenanak nasi lamanya perjalanan mereka
setelah menyeberang sungai kini di hadapan mereka terbentang padang ilalang
kering. Sejauh mata memandang yang tampak hanya hamparan ilalang. Satu dua pohon jati yang meranggas tampak
di kejauhan. Lelaki berpakaian merah terus menjalankan
kudanya sambil menarik dua ekor kuda yang
membawa kawannya. Pendekar Gila dan Suta
Srengenge tak lagi bisa bersembunyi. Jalan tanah
selebar dua tombak membelah padang ilalang. Jalan inilah satu-satunya yang dapat
dilalui sampai di tempat kediaman Kolo Mareksa.
"Suta, hati-hati. Aku mendengar suara
langkah kaki tak jauh dari tempat ini...," bisik Sena.
Benar juga ucapan Sena. Baru selesai ia
berbicara sesosok bayangan hitam melesat di depan ketiga penunggang kuda. Begitu
cepat gerakan sosok bayangan itu. Dalam sekejap saja ketiga penunggang kuda telah berpentalan
ke dalam ilalang. Tak jelas apa yang dilakukan sosok bayangan
itu. Sesaat kemudian tubuhnya kembali melesat
dan menghilang dari pandangan Sena dan Suta
Srengenge. Pendekar Gila bergegas melesat, Suta Srengenge segera mengikuti. Tapi, pemuda
berpakaian putih ini tak mampu mengimbangi Pendekar Gila,
yang mengerahkan ilmu lari 'Sapta Bayu'. Bagaikan angin pemuda berpakaian rompi
kulit ular itu melesat melalui alang-alang.
Pendekar Gila dapat kembali melihat sosok
bayangan hitam. Puluhan tombak di depannya sosok bayangan itu melesat ke timur.
Pendekar Gila terus mengejarnya. Seluruh kemampuan ilmu
'Sapta Bayu' dikerahkan. Sehingga, beberapa saat
saja jarak antara dirinya dengan sosok bayangan
hitam tinggal beberapa tombak.
"Kepalang tanggung, Kolo Mareksa!" Sena
yang merasa yakin sosok bayangan itu adalah tokoh yang dicarinya berteriak
mengingatkan. "Hua
ha, ha...! Beginikah rupa tokoh sakti mandraguna
pemilik Ilmu Canda Birawa itu...!"
Sosok bayangan hitam yang memang Kolo
Mareksa menghentikan larinya. Cepat tubuhnya
dibalikkan menghadapi Sena Manggala. Secepat
itu pula dia menghentakkan kedua belah tangannya. Selarik cahaya keperakan
melesat dengan mengeluarkan bunyi berdecit nyaring. Cahaya keperakan yang ternyata puluhan
jarum beracun mengancam tubuh Pendekar Gila.
Sena bergegas melenting ke udara. Dari
atas, pemuda itu menghentakkan kedua tangannya. Seketika, melesatlah serangkum
angin kencang menghantam jarum-jarum beracun hingga
buyar berpentalan ke berbagai arah.
Belum sempat Pendekar Gila mendaratkan
kakinya di tanah, Kolo Mareksa telah kembali melancarkan serangan. Tubuhnya
melesat mengirimkan pukulan yang dikerahkan dengan tenaga dalam tinggi. Deru
angin yang ditimbulkannya membuat dedaunan ilalang tergetar. Sena yang berada
di udara segera bersalto menghindari pukulan itu.
Dia tahu jika pukulan Kolo Mareksa ditangkisnya
akan sangat berbahaya. Kekuatan pukulan lawan
tidak bisa dianggap remeh.
"He he he...! Boleh juga ilmumu, Anak Muda," ujar Kolo Mareksa. Ia menghentikan
seran- gannya sejenak. Tubuhnya tegak menghadapi
Pendekar Gila. "Kaukah yang berjuluk Pendekar
Gila...?" "Ah ah ah.... Mana ada orang gila mengaku
sepertimu, Kolo Mareksa," sahut Sena sambil cengengesan. "Ah, memang kau orang
gila!" Mendengar jawaban Sena yang tak karuan
marahlah Kolo Mareksa. "Bocah Edan. Jauh-jauh
kau datang hanya untuk menyerahkan nyawa kepadaku!"
"Hi hi hi... Nyawa" Mana Nyawamu, heh"!
Tikus busuk dan bau macam dirimu harus segera
enyah dari muka bumi ini, Kolo Mareksa. Jauhjauh aku datang ingin mengentuti
mulutmu yang bau!" "Kurang ajar! Heaaa...!" Dengan kemarahan
yang menggelegak Kolo Mareksa melesat. Kedua
tangan membentuk cakar.
Wrrret! Wrrret!
Sambaran tangan Kolo Mareksa bagai merobek udara. Cepat dia memburu tubuh Sena,
seperti seekor elang menyergap mangsa. Sementara
geraman dari mulutnya menambah kebengisannya.
Sena melesat ke atas, namun Kolo Mareksa
terus memburunya. Ia tak ingin memberi kesempatan pada Pendekar Gila untuk
melakukan serangan balasan. Dalam pertarungan jarak dekat
itu sebuah pukulan telak mendarat di pundak
Pendekar Gila. Pekikan tertahan pun terdengar. Hawa panas menyengat di pundaknya seketika
menjalar cepat ke sekujur tubuh. Ketika mendarat tubuh
Sena sedikit gontai.
Kolo Mareksa hendak melakukan serangan
susulan. Tapi, sesosok bayangan telah berkelebat.
Sosok pemuda berpakaian putih yang tak lain Suta Srengenge. Keris Sakti Tanpa
Wujud telah tergenggam di kedua tangan. Keris itu dibabatkan
untuk memapaki pukulan Kolo Mareksa yang
mengarah ke kepala Pendekar Gila.
Jrrats! Kolo Mareksa terkejut. Sebuah keris panjang telah membabat tangan kanannya.
Seketika darah segar mengalir dari lengannya yang terluka.
Anehnya, tak sedikit pun Kolo Mareksa mengeluarkan jeritan. Dia tak merasakan
apa-apa akibat babatan keris. Suta Srengenge yang menyaksikan kenyataan itu sempat terkejut. Begitu pula
dengan Pendekar Gila. Namun keduanya segera menyadari
siapa tokoh yang tengah mereka hadapi. Seorang
tokoh yang memiliki ilmu tinggi. Usia Kolo Mareksa
empat atau lima kali lipat dari usia mereka. Telah
berpuluh-puluh tahun tokoh pemilik Ilmu 'Canda
Birawa' itu malang-melintang di dunia persilatan.
Hampir tak satu pun tokoh-tokoh persilatan yang
tak mengenal dirinya.
"Suta, kita buktikan cerita nenekmu...," bisik Sena kepada Suta Srengenge yang
telah berdiri di sampingnya. "Heh"!"
Kedua pemuda itu membelalakkan mata.
Mereka tersentak kaget melihat perubahan yang
terjadi pada diri Kolo Mareksa. Lelaki berusia empat puluhan dan bertubuh tinggi
dan besar itu berubah menjadi dua. Sosok-sosok Kolo Mareksa
berdiri dengan gagahnya menghadapi Suta Srengenge dan Pendekar Gila.
"Itu akibat babatan pedangku, Sena," ujar
Suta Srengenge.
"Jangan sampai kita melukainya. Berbahaya kalau jumlahnya menjadi banyak," Sena
memperingatkan Suta Srengenge.
Kedua sosok Kolo Mareksa berteriak keras
dan melesat memburu Suta Srengenge dan Pendekar Gila. Kedua pemuda itu pun
kalang kabut menghindari serangan lawan. Serangan mereka
begitu tiba-tiba datangnya.
Sosok Kolo Mareksa yang mengejar Suta
Srengenge melancarkan serangan dengan pukulan
dan tendangan. Beberapa kali Suta Srengenge terpaksa menjatuhkan diri
mengelakkan serangan
itu. Ketika ia benar-benar terdesak dan tak sempat
menghindar, akhirnya kerisnya dibabatkan ke tubuh Kolo Mareksa.
Jrabs! Babatan kencang yang dikerahkan dengan
tenaga dalam membuat tubuh Kolo Mareksa tergetar mundur. Saat itulah Suta
Srengenge melompat
untuk mengambil jarak. Begitu dirinya berada tiga
tombak dari lawan cepat Keris Sakti Tanpa Wujud
ditarik ke atas kepala.
"Aji 'Sirna Wujud'. Heaaa...!"
Tubuh dan keris Suta Srengenge lenyap dari
pandangan. Sekejap kemudian...
Sssets! Tangan kanan lawan buntung sampai di
bawah pundak. Darah segar mengucur deras. Mulut Kolo Mareksa menggeram keras.
Berubahlah ia menjadi dua. Dua sosok Kolo Mareksa kini berhadapan dengan Suta Srengenge yang
tak terlihat. Dia dapat bergerak dengan leluasa ke mana saja ia
mau. Di tempat lain, Pendekar Gila terus berusaha mengatasi amukan lawannya. Beberapa
kali pukulannya mendarat di tubuh lawan. Tapi sosok
tinggi besar itu seperti tak terpengaruh. Sena kewalahan juga menghadapi
lawannya ini. Dia semakin kewalahan ketika melihat lawan Suta Srengenge telah
berubah menjadi empat orang.
Sena melenting ke atas ketika sebuah pukulan keras yang disertai tenaga dalam
tinggi hampir saja menghantam dadanya. Dengan bersalto Sena
berusaha menjauh dari lawan. Kedua kakinya
mendarat ringan di tengah padang alang-alang.
Begitu mendapat kesempatan Sena Manggala segera mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya untuk menggunakan ajian 'Inti Brahma'. Padahal, lawan
yang memiliki ilmu sihir atau siluman mestinya
dihadapi dengan Ilmu 'Tamparan Sukma'. Namun
saat itu Sena belum yakin mana Kolo Mareksa
yang asli. Wrrrsss! Serangkum api meluncur deras ketiga sosok
Kolo Mareksa melesat hendak melakukan serangan.
Glaarrr! *** Ledakan keras pun terdengar. Ajian 'Inti
Brahma' menghantam telak tubuh sosok Kolo Mareksa. Terdengar jeritan melolong
ketika tubuh Kolo Mareksa terbakar dan berguling-gulingan. Api
yang menyala membakar padang alang-alang kering yang dijadikan ajang
pertarungan. Sekejap saja
alang-alang telah terbakar. Angin kencang siang
itu menghembuskan api hingga terus meluas.
Pendekar Gila berada di seberang lautan
api. Sementara keempat sosok yang tadi menghadapi Suta Srengenge berada di
seberang lain. Kolo
Mareksa yang terbakar sudah tidak terdengar lagi
jeritannya. Rupanya, sudah lenyap nyawanya dari
raga. Asap hitam mengepul di udara. Pendekar
Gila berpikir keras bagaimana caranya memusnahkan ilmu sihir Kolo Mareksa. Ia
telah yakin kini kalau ilmu yang dimiliki Kolo Mareksa bukan
'Canda Birawa' sejati. Dari jelmaannya yang mirip
iblis, jelas bukan muncul dari kekuatan Ilmu
'Canda Birawa', melainkan sihir yang sangat kuat.
"Sena!" Tiba-tiba terdengar suara Suta
Srengenge di samping kanannya.
"Aha. Sudah kubilang jangan sampai kita
melukai iblis itu. Dia akan berubah menjadi banyak. Aku yakin dugaan nenekmu
benar, Suta. Ilmu itu bukan 'Canda Birawa' sejati. Ini ilmu iblis!
Sihir. Hanya dengan 'Tamparan Sukma' dia akan
takluk...," Sena menoleh ke samping kanan meskipun dia tak melihat tubuh Suta
Srengenge. "Tetaplah kau dalam keadaan seperti ini. Aku akan mencoba mengatasinya."
Baru saja Sena hendak melesat, seleret cahaya kekuningan telah melesat lebih
dulu ke arah Sena dan Suta Srengenge. Keduanya langsung
bergegas menghindar.
Suara tawa bergelak datang dari seberang
kobaran api. Hampir bersamaan dengan itu terdengar pula ledakan keras
dikejauhan. Ternyata
cahaya tadi menghantam sebatang pohon jati yang
berada jauh di belakang Sena dan Suta Srengenge.
Tanpa membuang-buang waktu, Pendekar
Gila melesat melalui tepi kobaran api. Tak lama
dia sudah sampai di dekat keempat sosok Kolo
Mareksa. "Kolo Mareksa...! Inilah saatnya kau harus
mengakhiri nafsu setan dan keangkaramurkaanmu!" teriak Sena lantang.
"Heaaa...!"
Slasst! Glarrr!
Sambutan dari Kolo Mareksa ternyata lesatan api berwarna kemerahan. Kalau saja
serangan itu menghantam tubuh manusia, pasti gosong terbakar. Pohon jati saja yang berada
seratus tombak dari Sena hangus terbakar. Untung Pendekar Gila
sempat melihat salah satu sosok Kolo Mareksa
menggerakkan tangan.
Justru karena serangan barusan Pendekar
Gila mempunyai dugaan kuat Kolo Mareksa yang
asli adalah sosok yang melakukan serangan.
Pendekar Gila pun melesat. Begitu dekat
dengan sosok Kolo Mareksa itu, tangannya dipukulkan dengan mengerahkan ilmu 'Tamparan
Sukma'. Seketika keluar jeritan menyayat dari mulut
Kolo Mareksa. Tubuhnya terlontar beberapa tombak ke belakang. Kulit tubuhnya
telah berubah hitam ketika terbanting di tengah alang-alang yang
tidak terbakar. Kolo Mareksa tidak kuat lagi untuk
berdiri. Tubuhnya lunglai. Sekejap kemudian, tubuh itu hancur menjadi debu!
Bersamaan dengan hancurnya tubuh Kolo
Mareksa, sosok-sosok tubuhnya yang lain lenyap
entah ke mana. Pendekar Gila menghela napas panjang.
Matanya dipejamkan sesaat. Begitu matanya terbuka di depannya telah berdiri Suta
Srengenge.

Pendekar Gila 39 Ajian Canda Birawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pemuda tampan itu tersenyum.
"Aku gembira iblis itu telah lenyap dari muka bumi ini...," ujar Suta Srengenge
dengan wajah berseri. Pendekar Gila hanya mengangguk-angguk
sambil tertawa. Mereka melangkah meninggalkan
tempat itu. "Sena, bagaimana nasib para gadis yang telah diculik anak buah Kolo Mareksa?"
tanya Suta Srengenge mengingatkan.
"Aha, ya. Aku sampai lupa, Suta. Ayo kita
cari tempat kediaman Kolo Mareksa. Kita harus
menyelamatkan mereka."
Pendekar Gila berlari ke arah timur dengan
diikuti Suta Srengenge. Baru saja sampai di jalan
tanah yang membelah hutan alang-alang mereka
mendengar teriakan minta tolong. Pendekar Gila
segera mempercepat larinya.
"Heh! Ada kobaran api di sana!" seru Suta
Srengenge. Kedua pemuda itu sampai di depan sebuah
bangunan besar dan megah yang sedang terbakar.
Kobaran api menyala-nyala tertiup angin. Dari
rumah besar itu berlarian belasan wanita cantik
yang hanya mengenakan kemben. Mereka berteriak-teriak ketakutan. Ada beberapa
wanita tergeletak pingsan di halaman rumah yang luas itu.
"Tolong! Tolong!"
Ketika melihat kedatangan Pendekar Gila
dan Suta Srengenge, mereka segera berlarian menyambut. Belum sempat Suta
Srengenge maupun
Sena menanyakan kejadiannya, seorang wanita
cantik langsung bercerita.
"Beberapa lama setelah kepergian Kolo Mareksa, tiba-tiba saja rumah ini
terbakar. Kami tidak ada yang tahu apa sebabnya. Waktu itu kami
semua berada di luar rumah. Karena, tak satu pun
anak buah Kolo Mareksa yang tinggal. Mereka semua ditugaskan mencari dua orang
pemuda yang telah mengganggu ketenangan Kolo Mareksa. "
Suta Srengenge dan Pendekar Gila tersenyum mendengar cerita itu. Sena hanya
membisu. Ia tak mau bercerita kepada wanita-wanita lain.
Padahal, ia tahu benar kalau terbakarnya rumah
Kolo Mareksa karena lenyapnya Kolo Mareksa dari
muka bumi ini. Pendekar Gila dan Suta Srengenge mengeluarkan beberapa ekor kuda dari kandang
yang terletak di samping rumah. Kereta kuda milik Ki
Lurah Tantrayana ternyata masih ada. Wanitawanita itu segera diperintahkan untuk
naik kuda. Sedang sisanya diangkut dengan kereta kuda.
Mereka segera meninggalkan rumah Kolo
Mareksa yang masih diamuk kobaran api.
*** Ketika kereta dan kuda-kuda yang membawa para wanita itu sampai di desa, orangorang segera menyambut dengan rasa haru. Mereka menangis karena gembira. Anak-anak
gadis yang menjadi wanita piaraan Kolo Mareksa kini kembali
ke rumah mereka. Bertemu orangtua dan keluarganya kembali.
Pendekar Gila, Dogol, dan Suta Srengenge
memperhatikan dari depan kedai. Tak habishabisnya orang mengucapkan terima
kasihnya kepada ketiga pemuda itu. Pendekar Gila segera
mengajak Dogol dan Suta Srengenge meninggalkan
desa itu. "Sena, rasanya aku ingin tinggal di desa ini
untuk beberapa hari lagi. Entahlah, aku tak tahu
kenapa. Perasaan ini muncul sejak kemarin kita
datang. Mungkin karena leluhurku berasal dari
sekitar daerah sini...."
Pendekar Gila mengangguk-angguk dengan
tersenyum. "Sampai jumpa lagi, Suta."
"Mudah-mudahan, kalau Yang Maha Kuasa
memberi kesempatan...," balas Suta Srengenge.
Pendekar Gila dan Dogol melangkah pergi
meninggalkan desa itu. Orang-orang mengantarnya sampai batas desa dengan wajah menyiratkan
rasa terima kasih.
SELESAI https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Kilas Balik Merah Salju 8 Bendera Maut Sam Goan Leng Hun Hoan Karya Kwee Oen Keng Rajawali Sakti Dari Langit Selatan 5

Cari Blog Ini