Ceritasilat Novel Online

Cinta Pembawa Maut 1

Pendekar Gila 35 Cinta Pembawa Maut Bagian 1


CINTA PEMBAWA MAUT Oleh Firman Raharja Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit
Firman Raharja Serial Pendekar Gila
dalam episode: Cinta Pembawa Maut
128 hal ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
1 Di halaman sebuah rumah besar yang mirip dengan bangunan padepokan, sore itu tampak
ramai sekali. Rumah besar milik seorang saudagar kaya raya bernama Bronto Widura itu memiliki halaman yang sangat luas berupa tanah berpasir. Di sekelilingnya tampak terpancang bendera
dan umbul-umbul berwarna-warni sebagai penghias. Sehingga suasana di bawah sinar matahari
yang sudah mulai condong ke barat itu tampak
semarak sekali.
Saat itu rupanya sedang ada pertandingan
silat untuk mencoba ilmu serta kepandaian murid-murid Bronto Widura. Saudagar kaya yang juga seorang guru silat itu kedatangan tamu dari
Pulau Dewata, yaitu I Gusti Kumala dan I Gusti
Kastasudra. Pada saat itu mereka sedang menyaksikan
kehebatan I Gusti Kastasudra yang sedang menghadapi lima orang murid pilihan dari Perguruan
Kumbang Merah. Nampak I Gusti Kastasudra yang bertubuh
agak pendek dan gemuk melenting menghindari
serangan lima murid pilihan Perguruan Kumbang
Merah. I Gusti Kastasudra yang memiliki ilmu lebih tinggi tampaknya terlalu tangguh untuk dihadapi kelima lawannya. Padahal kelima orang berseragam merah itu sudah termasuk murid tingkat
atas dalam perguruan mereka.
Pimpinan Perguruan Kumbang Merah, Barong Porwa nampak cemas dan geram melihat kelima murid pilihannya tak mampu menaklukkan I
Gusti Kastasudra yang bertubuh pendek itu.
Beberapa kali terdengar Barong Porwa
mendengus kesal sambil memukul-mukul telapak
tangannya sendiri. Sementara I Gusti Kumala
yang duduk di sisi kirinya tampak tenang tanpa
memberi tanggapan apa pun. I Gusti Kumala
memang lebih gagah dan tenang daripada I Gusti
Kastasudra yang bermuka beringas dan mcnyeramkan. Pertarungan tampak semakin seru. Beberapa kali gebrakan pada murid dari Perguruan
Kumbang Merah dapat diatasi dengan baik oleh
pendekar dari Pulau Dewata itu. Bahkan kemudian, ketika secara mendadak I Gusti Kastasudra
melancarkan serangan cepat kelima lawannya
berpentalan dan jatuh ke tanah.
Begitu kelima orang itu roboh, mendadak
sesosok bayangan melompat dan bersalto di udara lalu langsung menyerang I Gusti Kastasudra.
Lelaki pendek gemuk itu cepat mengelak dengan
hanya meliukkan tubuhnya dengan lentur bagai
karet, sambil melancarkan serangan balik yang
dahsyat. Terjadi lagi pertarungan yang lebih seru.
Karena lawan I Gusti Kastasudra sekarang, Barong Porwa sendiri. Pimpinan Perguruan Kumbang Merah. "Heaaa...! Kusobek perutmu...!" seru Barong Porwa dengan menghantamkan telapak
tan- gannya yang nampak bergetar dan berasap. Sebatas pergelangan tangannya menyala bagai bara
api. I Gusti Kastasudra dengan tenang terus mengelak dari serangan Barong Porwa yang ganas dan
berbahaya itu. Dia kembali berkelit seperti belut, bahkan terkadang dengan cepat
melancarkan serangan tiba-tiba. Hal itu membuat Barong Porwa
yang memiliki ajian 'Tapak Geni' itu tampak penasaran bukan main.
"Hem! Mampus kau Sudra. Heaaa...!"
Kembali Barong Porwa menghantarkan serangan cepat. Kini kedua telapak tangannya telah
menyala dan mengeluarkan hawa panas. Pada
kesempatan berikutnya, hampir saja dada I Gusti
Kastasudra remuk dan terbakar oleh sambaran
tangan Barong Porwa, kalau tidak cepat bergerak
ke samping kiri.
I Gusti Kastasudra lalu melenting ke udara
dengan tubuh lurus dan kedua kakinya ditekuk,
menghindari serangan susulan lawan yang melesat begitu cepat. Lalu dia mendarat di atas tiang umbul-umbul yang terpajang di
halaman itu. Barong Porwa yang melihat itu segera melejit memburu sambil melancarkan serangan cepat. Saling
tangkis dan pukul ketika keduanya berada di
udara. Lalu sama-sama meluncur turun sambil
mengeluarkan teriakan-teriakan nyaring.
"Benar-benar luar biasa...!" gumam Bronto Widura sambil bergeleng kepala
berulang kali. Begitupun semua yang menyaksikan pertarungan
hebat itu. Semua penonton berdecak kagum dengan mata tak berkedip. Seolah mereka tak ingin
kehilangan barang satu jurus pun dari tontonan
menakjubkan itu.
Kaki-kaki keduanya mendarat di tanah
hanya sekejap, lalu melompat lagi dan kembali
bertarung di udara.
Wuuut! Buk!" Barong Porwa memekik, sambil memegangi
dadanya. Lalu berbalik. Sementara itu I Gusti
Kastasudra tetap nampak tenang menatap tajam
lawannya yang terluka di bagian dada. Sementara
I Gusti Kastasudra pun tak luput dari serangan
lawan. Bahu kirinya tadi sempat terserempet tangan Barong Porwa, hingga terasa bagai terbakar,
karena tampak hangus. Namun dengan tiga kali
usap saja, luka hangus itu pun hilang. Barong
Porwa kaget. "Edan...! Ajian pamungkasku bisa dilenyapkan!" gumam Barong Porwa dengan mata
membelalak seakan tak percaya.
Tiba-tiba saja Barong Porwa kembali menyerang dengan melompat bagai harimau hendak
menerkam mangsa. Itulah jurus 'Harimau Belang'. Namun I Gusti Kastasudra rupanya sudah
mengetahui jurus yang dipakai Barong Porwa.
Maka dengan kecepatan yang sulit dilihat semua
orang yang ada di situ. Tiba-tiba tubuh Barong
Porwa terpelanting. Dan sebelum lelaki berjubah
merah itu terhempas di tanah, I Gusti Kastasudra
menarik kain putih yang melilit di tubuhnya. Kemudian dengan cepat dia menghentakkan kain itu
sehingga terhampar. Tubuh Barong Porwa pun
terhempas di atasnya, membuat kain putih itu
sesaat menggelombang.
I Gusti Kastasudra sempat membuat para
penonton berdecak kagum. Dengan cepat dihentakkan lalu diputarnya kain putih itu, sehingga
menggulung tubuh lawan. Kemudian mendadak
kain yang telah menggulung tubuh Barong Porwa
itu terangkat ke atas ketika dengan cepat I Gusti Kastasudra menghentakkannya
kembali. Dan yang membuat para penonton lebih tercengang
ketika melihat kain itu ditancapkan ke tanah, bagaikan kayu saja. Tampaklah Barong Porwa yang
telah terbalut kain putih itu tergantung di udara.
Tubuhnya menggeliat-geliat, membuat sebagian
penonton ada yang tertawa.
"Edan...! Edan! Benar-benar edan!" gumam Bronto Widura terkagum-kagum untuk
kesekian kalinya. Lalu tertawa-tawa pada I Gusti Kumala
yang duduk di sisi kanannya. Namun I Gusti Kumala tenang-tenang saja, memperlihatkan senyumnya yang dingin kepada tuan rumah itu.
I Gusti Kastasudra menyalurkan aji 'Angin
Topan Sejati'! Tangannya menghentak, dan angin
topan pun bertiup sangat kencang menerbangkan
debu dan dedaunan kering. Kain yang membentuk seperti tiang itu berputar terkena tiupan angin kencang yang berputar bagai gangsingan.
Terdengar Barong Porwa menjerit-jerit terus, dalam keadaan tubuhnya berputar kencang.
Tiba-tiba sekali lagi I Gusti Kastasudra
menyentakkan tangannya. Namun kali ini diarahkan ke pedang salah seorang murid Bronto Widura. Seketika sebilah pedang melesat lepas dari sa-rungnya dan terbang ke udara.
Secepat kilat I
Gusti Kastasudra melenting memburu pedang
yang masih melayang di udara, dengan sigap tangannya menyambar pedang itu. Lalu dengan pedang tergenggam di tangannya, I Gusti Kastasudra langsung membabat tubuh Barong Porwa
yang terbelit kain putih dan masih berputar karena tiupan angin topan sejati. Dengan gerakan
yang tak bisa diikuti mata, pedang itu menyabet
ke tubuh Barong Porwa yang masih terbungkus
kain. Namun dengan ketinggian ilmu dan kecermatan yang luar biasa, pedang hanya mengenai
kain putih yang membelit Barong Porwa. Tanpa
menggores sedikit pun kulit Pimpinan Perguruan
Kumbang Merah itu. Dengan sekali hentak, pedang yang ada di tangan I Gusti Kastasudra melesat kembali masuk ke sarung kerangka yang tersampir di punggung pemiliknya.
Para penonton bertepuk tangan dengan
riuh, memberikan pujian pada kehebatan I Gusti
Kastasudra. Beberapa kali terdengar siutan dari
beberapa orang penonton yang bergerombol di
sudut barat. Sementara I Gusti Kumala tampak
hanya tersenyum-senyum getir. Sebab, sebenarnya dia tak suka melihat saudara seperguruannya
memamerkan kebolehannya di depan umum. Sesungguhnya kedatangan kedua tokoh dari Pulau
Dewata itu ke tanah Jawa Dwipa karena ingin
menemui Pendekar Gila. Keduanya ingin menguji
ilmu dengan pendekar kesohor itu, sekaligus menyelidiki sampai di mana kemajuan perguruanperguruan silat di Jawa Dwipa. Karena terutama I
Gusti Kumala yang berasal dari bagian utara Pulau Dewata itu berhasrat sekali untuk mempelajari ilmu silat di Jawa Dwipa.
Sementara itu di tengah halaman nampak
Barong Porwa dengan muka sinis menatap ke
arah I Gusti Kastasudra. Lalu dengan langkah lebar dia meninggalkan tempat itu seraya memerintahkan pada murid-murid andalannya agar segera
pergi, tanpa berpamitan dengan tuan rumah yang
mempunyai hajat. Bronto Widura nampak terkejut dengan sikap Barong Porwa, tapi akhirnya bisa mengerti. Pemimpin Perguruan Kumbang Merah itu merasa malu atas kekalahannya. Padahal
sebelumnya Barong Porwa merasa sangat yakin,
kalau dia akan bisa mengalahkan I Gusti Kastasudra dari Pulau Dewata itu.
Tiba-tiba I Gusti Kastasudra berteriak
sambil melompat ke udara. Setelah bersalto tiga
kali mendaratkan kakinya dengan ringan sekali,
tepat di hadapan I Gusti Kumala yang kelihatan
sangat tenang tetapi penuh wibawa.
Sementara itu suara riuh tepuk tangan dari para penonton masih terdengar, mengeluelukan I Gusti Kastasudra. Namun di antara mereka ada pula yang kurang suka terhadap kemenangan I Gusti Kastasudra. Terutama mereka
yang menganggap tokoh dari Pulau Dewata itu
memamerkan ilmu dan melecehkan tokoh-tokoh
dari tanah Jawa Dwipa.
Tanpa terasa hari pun mulai gelap dan sebentar lagi akan datang malam. Para pengunjung
dari berbagai perguruan yang diundang masih berada di tempat. Mereka kini menikmati makanan
dan minuman sambil menyaksikan tarian yang
disuguhkan oleh para penari ledek.
*** Bronto Widura mengajak para tamu yang
terdiri dari para pemimpin perguruan, menuju
ruang pertemuan di dalam rumahnya. Sebuah
ruangan besar yang terkesan indah, diterangi cahaya dari lampu-lampu minyak yang berpendar
dengan lembutnya. Semua itu disediakan untuk
menghormati I Gusti Kumala dan I Gusti Kastasudra yang datang dari jauh dan menyempatkan


Pendekar Gila 35 Cinta Pembawa Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

singgah di padepokannya. Bronto Widura belum
tahu persis maksud kedatangan kedua tokoh
yang berilmu tinggi itu.
Di antara mereka juga terlihat beberapa
murid pilihan Bronto Widura. Sementara itu saudagar kaya yang juga seorang guru itu tampak
duduk dengan tenang di sebuah kursi tersendiri.
Suasana saat itu terkesan hikmat
"Sungguh luar biasa! Aku kagum setelah
dapat menyaksikan sendiri ketinggian ilmu Gusti.
Ilmu yang tak ada duanya...," puji Bronto Widura
pada I Gusti Kastasudra yang tampak hanya tersenyum-senyum. "Ah...! Itu belum seberapa, Sobat. Ilmuku
tidak ada apa-apanya jika dibandingkan ilmu
saudara seperguruan Kumala. Apalagi ilmu 'Salju
Sejati' yang dia miliki...," ujar I Gusti Kastasudra sambil menoleh ke arah I
Gusti Kumala yang
nampak kurang senang mendengar ucapan I Gusti Kastasudra. Namun I Gusti Kumala berusaha
untuk tersenyum, agar tidak membuat suasana
menjadi berubah.
Bronto Widura langsung menoleh ke arah I
Gusti Kumala yang duduk dengan tenang di sisi
kanannya. "Aku belum pernah mendengar ilmu 'Salju
Sejati'. Sudilah kiranya I Gusti Kumala memperlihatkannya pada kami...!" kata Bronto Widura penuh harapan.
I Gusti Kumala tak langsung menjawab,
matanya yang tajam dan bening sejenak menatap
I Gusti Kastasudra yang tersenyum-senyum sambil mengangkat kedua bahunya. Tingkahnya sangat berbeda sekali dengan I Gusti Kumala yang
tenang dan berwibawa.
"Ah, jangan percaya omongan Kakak I Gusti Kastasudra. Hm.... tapi apakah ada manfaatnya?" kilah I Gusti Kumala kemudian dengan suaranya yang berwibawa agak berat.
"Tentu saja. Terutama bagi murid-muridku,
karena akan memupus rasa sombong dan puas
diri mereka. Selain itu dapat menyadarkan hati
mereka, bahwa di muka bumi ini ilmu tak terbatas sifatnya," tutur Bronto Widura menjelaskan pada I Gusti Kumala.
Nampak I Gusti Kastasudra manggutmanggut saja. Sedangkan I Gusti Kumala hanya
bisa menghela napas panjang, dan kembali melirik ke arah I Gusti Kastasudra dengan kesal.
Suasana kemudian jadi hening. Seluruh
yang hadir di ruangan pertemuan itu penuh harap, menunggu ilmu 'Salju Sejati'. Dengan sikap
yang sangat tenang, I Gusti Kumala meletakkan
tangan kirinya di atas cawan berisi air minum.
Sesaat kemudian udara di sekitar tempat itu berubah dingin dengan munculnya butir-butir air.
"Hah..."!" gumam Bronto Widura kaget
dengan mengerutkan kening. Demikian juga dengan yang lain. Namun mereka tak berani berbicara. Hanya bisa menunggu dan diam. Ingin tahu
apa yang akan terjadi selanjutnya.
Kini nampak dari sela-sela jari I Gusti Kumala mengepul kabut dingin yang tipis. Tangannya yang lain menarik cawan. Air di dalam cawan
itu langsung berubah menjadi pedang es kristal.
Suatu ilmu yang membuat semua orang di situ
terkagum-kagum.
"Edan...! Edan! Ini baru benar-benar menakjubkan dan hebat," gumam Dursa Kumbara,
tokoh aliran hitam yang terkenal licik dan penuh
tipu muslihat "Aku akan membuat rencana, agar bisa memperdaya orang ini...."
Matanya yang terlihat jahat melirik, memperhatikan peragaan ilmu
'Salju Sejati' itu.
Kembali pada I Gusti Kumala yang kini
nampak melemparkan pedang es itu. Pedang es
melesat dan menancap di sebuah tiang kayu
ruangan menimbulkan suara berdentang yang
menggema. Terlihat lelehan air menetes-netes dari pedang es yang menancap itu.
Semua yang hadir terpana oleh ketinggian
ilmu I Gusti Kumala. Bahkan Bronto Widura
mendesis tanpa sadar melihat pedang es yang
menancap di tiang.
"Luar biasa...!" gumamnya dengan mata
membelalak penuh takjub.
Pada saat itulah muncul Murti, diiringi oleh
beberapa wanita tua yang membawa aneka hidangan. Semua mata lalu menoleh ke arah Murti
yang berparas cantik, namun matanya agak galak
dan nakal. Semua yang hadir terpesona dengan
kemolekan bentuk tubuh Murti yang padat. Dadanya yang indah tersembul ke depan, menantang siapa saja yang memandangnya. Bibirnya
yang merah delima membuat para hadirin terkesima sambil menelan ludah. Apalagi jika melihat
pinggulnya yang padat dan indah.
I Gusti Kastasudra yang agak bringas tak
habis-habisnya tersenyum-senyum penuh arti,
ketika Murti berada di depannya mengantarkan
beberapa hidangan. Hanya I Gusti Kumala yang
nampak acuh dan kelihatan kurang senang melihat I Gusti Kastasudra. Menurutnya sikap I Gusti
Kastasudra tidak sopan, mengingat mereka merupakan tamu di tempat itu.
"Oooh..., kenalkan istriku, Murti...!" kata Bronto Widura setelah sadar kalau
Murti ada di hadapannya. Lalu memperkenalkan pada I Gusti
Kumala dan I Gusti Kastasudra.
Bersamaan dengan kata-kata Bronto Widura, Murti memberikan penghormatan dan tersenyum ramah, lalu melirik ke arah I Gusti Kastasudra, sambil mengulum bibirnya. Bronto Widura
terus tersenyum-senyum, sambil mempersilakan
pada tamu lainnya.
Sementara itu wanita dayang-dayang
menghidangkan berbagai hidangan kepada para
tamu. "Sungguh tak terduga, kami dapat kunjungan sepasang pendekar dari Pulau
Dewata. Sela- ma ini kami hanya bisa dengar saja nama I Gusti
Kumala dan I Gusti Kastasudra...," ujar Bronto Widura lagi.
"Jangan terlalu berlebih-lebihan, Saudara
Bronto. Justru sekarang kami mengembara dalam
rangka terus mencari ilmu dari setiap kepulauan
dan daerah yang kami singgahi," sahut I Gusti Kumala dengan kalem.
"Tetapi di tanah Jawa Dwipa ini, hanya
seorang yang mungkin bisa disejajarkan dengan
Kisanak berdua. Seorang pendekar muda yang dijuluki...," belum sempat Bronto Widura meneruskan kata-katanya, I Gusti Kumala cepat menyambar. "Pendekar Gila, maksud Saudara Bronto..."!" Terkejut Bronto Widura dan semua yang ada di situ. Terutama Murti yang
memberikan sa-tu gerakan, meskipun hanya kecil, tapi mengejutkan. Bagaikan tersengat kalajengking, matanya
terbelalak lebar. Jantungnya mendadak berdebar
tenang. Murti masih mempunyai rasa cinta bercampur dendam pada Pendekar Gila. Selain cintanya tak pernah ditanggapi oleh Pendekar Gila,
Murti juga sangat benci dan cemburu pada Mei
Lie. Gadis yang kini menjadi kekasih Sena Manggala atau Pendekar Gila. Murti mendadak melangkah masuk ke ruangan tadi, tempat dia tadi
keluar bersama dayang-dayangnya.
I Gusti Kumala melihat raut muka Murti
yang menunjukkan kurang senang mendengar
nama Pendekar Gila. Sedangkan I Gusti Kastasudra hanya tersenyum-senyum sambil menikmati
hidangan lezat yang dihidangkan para dayang tadi. Bronto Widura yang nampak tak acuh dengan istrinya itu, terus nampak ramah, menyilakan
para tamu agar segera menyantap hidangan yang
masih hangat "Mari... mari...! Silakan, ayo Kisanak santap saja, mari...!" kata Bronto Widura sambil mengangkat tangannya menyilakan
para tamu. Di luar suara gamelan masih terus mengalun. Para sinden terus mendendangkan lagu yang
merdu. Malam semakin larut, di ruangan perjamuan itu suasana masih ramai. Mereka bergembira sambil menikmati hidangan.
Sementara itu Murti sudah berada di kamarnya. Berdiri di dekat jendela, memandang
jauh keluar rumah. Rupanya Murti sedang melamunkan wajah Pendekar Gila yang tampan dan
pernah dikenalnya. Mulailah terbayang kejadian
yang pernah dialaminya waktu itu....
*** Siang itu baru saja pulang dari menuntut
ilmu. Murti berjalan dengan langkah lebar, karena ingin segera menemui bibinya, Nyi Gendis
Awit. (Tentang Nyi Gendis Awit, silakan baca seri-al Pendekar Gila dalam episode
: "Mawar Maut Perawan Tua").
Pesan dari gurunya, Murti harus segera
mencari Nyi Gendis Awit. Namun ketika mendapatkan berita bahwa Nyi Gendis Awit mati dibunuh oleh Pendekar Gila, terbakarlah hati Murti.
Dia lalu mencari Pendekar Gila dengan cara seperti Nyi Gendis Awit. Murti memakai cadar merah seperti yang dikenakan Nyi Gendis Awit dalam
sepak terjangnya membalas dendam.
Siang itu di sebuah lembah, Sena Manggala
atau Pendekar Gila berjalan bersama Mei Lie,
hendak kembali ke pondoknya. Di tengah jalan
keduanya bertemu dengan seorang wanita muda
yang memakai cadar.
Pendekar Gila berhenti melihat kemunculan wanita bercadar itu, lalu menoleh ke arah kekasihnya. Melihat wanita bercadar merah menghunus pedangnya, Mei Lie segera melangkah setindak. "Hei, kau mau cari gara-gara atau meram-pok..."!" bentak Mei Lie sambil
menuding wanita di depannya. Namun wanita bercadar itu tak
menjawab, malah dia menggerakkan pedangnya,
mulai membuka jurus silat
"Huh...! Rupanya orang ini mau cari garagara, Kakang Sena. Biarlah aku yang menghadapi
orang aneh ini!" seru Mei Lie seraya mencabut Pedang Bidadari-nya.
Wanita bercadar langsung melesat cepat
menyerang Mei Lie dengan ganas. Sabetan pedangnya begitu cepat
Trang! Dentangan keras terdengar dari benturan
dua pedang yang berbenturan. Jurus-jurus yang
mereka keluarkan nampaknya bukan jurus biasa.
Jurus tingkat tinggi yang mengandalkan tenaga
dalam dan ilmu meringankan tubuh. Sehingga
tubuh keduanya bagai menghilang.
Sena yang mengamati jalannya pertarungan Mei Lie dengan wanita bercadar itu hanya
menggaruk-garuk kepala. Pemuda berambut panjang dan berpakaian dari kulit ular itu sepertinya tengah mengingat-ingat
sesuatu. "Aha..., aku ingat sekarang! Itu jurus yang
dimiliki Nyi Gendis Awit! Siapa wanita ini sebenarnya..." Mungkin dia akan membalas dendam!"
gumam Sena sambil menggeleng-geleng kepala.
Nampak Mei Lie merangsek dengan tusukan Pedang Bidadari-nya yang terkenal sangat
berbahaya. Sedangkan lawan tampak tak ingin
kalah. Pedangnya dengan cepat berkelebat membabat dan menusuk ke arah tubuh Mei Lie.
Wuttt! Trang! Keduanya terus bergerak cepat saling menyerang dan menangkis. Kini bukan hanya senjata mereka yang bertemu, tapi kaki mereka pun
saling berusaha menyapu dan menendang lawan.
Entah sudah berapa jurus yang mereka keluarkan. Kelihatannya kedua wanita itu samasama kuat. Mereka terus bertarung bagai kesetanan. "Mampus kau...!" bentak wanita bercadar merah sambil membabatkan pedangnya
dengan cepat kedua arah.
Namun Mei Lie dengan cepat pula menangkis dan melenting ke udara. Sambil bersalto beberapa kali dia langsung menendang dengan keras
ke arah lawannya yang masih menunduk.
Degkh! Wanita bercadar memekik, ketika tendangan Mei Lie mendarat di pundaknya. Tubuhnya
terhuyung-huyung, tapi kemudian mampu menguasai keseimbangan. Dengan cepat dia berbalik,
siap menghadapi Mei Lie lagi.
Pedang di tangan wanita misterius itu bergerak cepat ke arah tubuh lawan. Melihat serangan lawan, Mei Lie yang juga mendapat julukan
sebagai Bidadari Pencabut Nyawa itu mengegos ke
samping, lalu menghantamkan gagang pedangnya
ke dada lawan yang terbuka.
Dukh! "Hukh!"
Tubuh wanita bercadar itu terhuyunghuyung ke belakang. Darah tampak meleleh


Pendekar Gila 35 Cinta Pembawa Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membasahi kain penutup wajahnya. Melihat itu,
Pendekar Gila segera melompat menahan Mei Lie
yang hendak kembali menghajar lawannya.
"Mei Lie...! Tunggu...!" seru Sena sambil menahan tangan Mei Lie. Gadis itu
tampak cemberut dan kesal.
Sena lalu berjongkok untuk menolong wanita itu. Dibukanya cadar merah itu, lalu terlihat wajah seorang wanita muda
yang cukup cantik,
tapi bermata galak dan bengis. Napasnya terengah-engah. "Bunuh saja aku..., bunuh...!" kata wanita itu. Melihat keadaan wanita cantik
yang belum dikenalnya itu, Sena segera berusaha menyembuhkan luka dalamnya yang parah. Pendekar Gila
memberikan obat berbentuk bulat warna hitam
pada wanita itu agar dimakan.
"Cepat makan obat itu! Mudah-mudahan
lukamu akan segera sembuh...," ujarnya sambil menyodorkan obat itu.
Sementara itu Mei Lie melengos dan melangkah menjauhi mereka. Hatinya mungkin merasa cemburu dan kesal pada Pendekar Gila.
"Dasar lelaki...!" gumam Mei Lie dengan wajah cemberut.
"Ter... terima kasih...!" Terdengar suara wanita itu serak dan lemah. Namun
wajahnya mulai nampak segar. Tidak sepucat tadi.
"Sudahlah...! Siapa kau sebenarnya...?"
tanya Sena kemudian.
"Aaaku..., Murti.... Kau tentunya masih ingat perawan tua yang bernama Nyi Gendis Awit...,
bukan...?" kata Murti dengan nada lemah.
"Hah..."! Sudah kuduga sejak melihat gerakan silat wanita ini. Ada kemiripan dengan Nyi
Gendis Awit...," gumam Sena di hatinya.
"Dia..., bibiku.... Tadinya aku bermaksud
untuk menuntut balas atas kematiannya. Dan
menurut kabar, kaulah yang membunuh bibiku
itu... Tapi..., kini aku sadar. Balas dendam tak
membawa keberuntungan pada diriku yang sudah
yatim piatu ini." Suaranya terdengar memelas.
Saat itu Mei Lie melangkah mendekati mereka. Ditatapnya Murti dengan tajam. Murti pun
menengok ke arah Mei Lie yang berdiri di sisi
Pendekar Gila. "Maafkan aku Nisanak, aku bersalah. Aku
tadi terdorong rasa dendamku untuk menuntut
balas atas kematian bibiku Nyi Gendis Awit.... Sekali lagi maafkan aku...!" kata
Murti pada Mei Lie.
Mendengar dan menyaksikan keadaan
Murti yang masih lemah dan memelas itu, hati
Mei Lie tersentuh. Dia mulai iba melihat keadaan
Murti. Kemudian berjongkok di sisi Sena.
"Aku pun minta maaf. Kita sama-sama terdorong nafsu dan amarah tadi.... Tapi sudahlah,
aku dapat mengerti," kata Mei Lie dengan ramah.
Melihat Murti tersenyum, Mei Lie mengulurkan tangan yang disambut oleh Murti. Keduanya berjabat tangan, mengungkapkan rasa persahabatan mereka.
Setelah mereka tinggal bersama, di pondok
Sena yang jauh dari keramaian, timbul rasa cinta
Murti pada Pendekar Gila itu. Namun dengan halus Sena selalu menghindar.
Murti ternyata tergolong wanita yang memiliki gairah tinggi terhadap lelaki. Tanpa mempedulikan Sena yang rikuh dan serba salah, dia terus mengejar pemuda itu.
Pada suatu sore, ketika Mei Lie sedang pergi ke desa, Murti mengambil kesempatan. Saat itu
Sena sedang berbaring untuk beristirahat. Tibatiba.... "Aaakh... tolooong...!"
Terdengar teriakan Murti di luar pondok.
Sena yang mendengar teriakan itu segera melompat dari balai-balai dan mencari Murti. Namun
tak nampak. "Murtiii...!" seru Sena.
"Aaa...! Tolooong...!"
Sena segera melompat cepat ke tempat asal
suara Murti. "Murti...!" seru Sena yang melihat Murti tengah tergeletak di tanah dekat danau,
tak jauh dari pondok tempat mereka tinggal.
"Aduh...! Akh...!"
Sena segera berjongkok. Dan pada saat itulah tiba-tiba Murti memeluk erat Sena. Sena terkejut dan berusaha melepas pelukan Murti dengan halus. "Murti.... Murti... jangan... tidak baik, Murti!" Sena coba melepas
rangkulan Murti. Namun Murti semakin berani. Dia tiba-tiba mengangkat kainnya ke atas, sampai ke pangkal paha. Sena yang melihat itu segera membuang muka dan hendak meninggalkan Murti. Namun wanita muda yang sudah kerasukan nafsu birahi itu
semakin gila. Ditariknya lengan Sena kuat-kuat
sambil tertawa-tawa genit.
Pada saat itu Mei Lie sedang menyusuri
pinggiran danau. Ketika dia mendengar suara tawa di balik pepohonan rindang tak jauh dari tempatnya, segera Mei Lie melompat menghampiri.
Dan... bukan main terkejut dan marahnya Mei Lie
melihat Murti dengan berani membuka pakaiannya. "Murti..., jangan! Kau ini manusia atau iblis...!" bentak Sena mulai marah.
Namun Murti malah tertawa-tawa dan kini
Murti tinggal memakai kutang saja. Dadanya yang
memang sekal dan membusung, padat itu nampak tersembul. Kulitnya putih dan mulus.
Dengan perasaan tidak enak, Sena menghentakkannya, lalu pergi. Pada saat itu Mei Lie
yang sudah tak tahan melompat dan langsung
menghajar Murti dengan tendangan serta tamparan tangan kanan kirinya.
Murti tak menduga akan kehadiran Mei Lie
yang begitu cepat, tapi segera berusaha menangkis. Kemudian buru-buru mengenakan kembali
pakaiannya. "Kau perempuan jalang...! Pergi... pergi kau dari sini...! Dikasih hati malah
kurang ajar.... Pergi...!" teriak Mei Lie dengan keras.
"Mei Lie...! Sabar, Mei Lie...!" Sena berusaha menenangkan kekasihnya yang sudah
kalap itu. Mei Lie berontak ketika Sena memeganginya
bahkan menampar muka pemuda itu. Lalu sambil
menangis dia berlari ke pondok. Saat itu Murti
sudah tak kelihatan lagi, entah pergi ke mana.
*** "Murti...!"
Murti sadar dari lamunannya, ketika terdengar suara teguran dari seseorang. Murti kaget, dan menoleh.
"Oh, kau..."! Ada apa...?" tanya Murti dengan gagap, ketika melihat Dursa
Kumbara yang berdiri di ambang pintu kamarnya.
"Ssst...!"
Dursa Kumbara langsung mendekati Murti
yang malam itu nampak cantik dan menggiurkan,
dengan pakaian yang seperti wanita India. Dursa
Kumbara yang memang sudah sering tidur dengan Murti, memeluk erat tubuh lalu menciumi
tubuh wanita itu dengan rakus. Murti yang memang tidak pernah puas dengan satu lelaki saja,
tampak diam, tidak menolak sama sekali. Terdengar suara lirih dari mulut wanita cantik itu.
"Murti.... I Gusti Kastasudra kulihat ada
hati denganmu. Permainkan dia. Ambil kitab ilmu
silat orang seberang itu agar kekuatan dan ilmu
kita bertambah. Baru kita singkirkan kedua orang
itu...," kata Dursa Kumbara dengan suara bergetar, karena menahan nafsu
birahinya. Dursa Kumbara lalu menutup pintu kamar
itu dengan tendangan kakinya. Kemudian membopong tubuh Murti ke ranjang dan merebahkannya dalam keadaan telentang.
"Murti..., aku mendengar kedua tokoh dari
Pulau Dewata itu hendak menemui Pendekar Gila...!" Suara Dursa Kumbara mendesah dan sedikit bergetar. Murti tidak segera
menjawab ucapan
lelaki bertubuh gagah itu, hanya terdengar desahan perlahan dari mulutnya.
"Untuk apa mereka ingin menemui Pendekar Gila..."!" tanya Murti dengan suara sedikit tertahan, karena tertindih tubuh
Dursa Kumbara yang besar itu.
"Mereka ingin saling tukar ilmu dan memberikan kitab ilmu silat milik mereka pada Pendekar Gila...," tutur Dursa Kumbara, lalu kembali menciumi leher dan dada Murti.
Murti nampak tertegun sejenak. Pandangannya menatap langit-langit kamar.
"Kita harus mencegahnya, Murti. Kalau tidak, orang-orang aliran putih semakin sukar ditaklukkan. Apalagi Pendekar Gila itu...! Aku kuatir kita akan sulit menguasai tanah Jawa Dwipa
ini." Kembali Dursa Kumbara berkata dengan
suara mendesah. Napasnya naik turun dengan
cepat. Keringat mulai membasahi tubuhnya yang
kekar dan berotot. Lelaki itu dengan buas menggeluti tubuh Murti yang sudah polos. Murti pun
mulai mendesah dan merintih merasakan kenikmatan yang selalu didambakan. Namun tibatiba.... "Huh...!"
Bug! Brak! Dursa Kumbara terpental jatuh dari tempat
tidur. Kemudian buru-buru dia mengenakan celana dan pakaiannya. Dursa Kumbara telah hafal
akan sifat Murti yang memang suka aneh. Lelaki
berwajah lebar itu tahu, kalau Murti sedang gusar, pikirannya tak tenang. Maka hatinya tidak
marah meskipun Murti telah menendangnya dengan keras. "Aku tahu kau sedang memikirkan Pendekar Gila dan kekasihnya itu, bukan...?" kata Dursa Kumbara langsung dapat
menebaknya. "Ini
saatnya kau dapat membalas sakit hatimu, Murti.
Dan... mungkin kau malah bisa merebut pendekar sakti itu menjadi pendampingmu. Karenanya
kita harus punya rencana, untuk mencapai semua itu...! Aku yakin kau telah memikirkannya."
Dursa Kumbara yang memang pintar membaca
hati dan pikiran seseorang, mulai memanasmanasi Murti. "Mei Lie...!" Terdengar suara Murti bergetar.
Giginya gemeretak, seolah-olah menahan geram
dan rasa dendam pada Mei Lie. "Kau benar, Dur-sa Kumbara..., aku akan membuat
perhitungan dengan gadis itu...! Aku punya cara sendiri untuk itu!" Murti lalu kembali
merebahkan diri sambil berucap. "Kemarilah Dursa Kumbara, puaskan
aku malam ini...!"
Kontan saja Dursa Kumbara kembali
membuka pakaiannya dan cepat naik ke ranjang.
Namun, tiba-tiba saja Dursa Kumbara terpekik
kaget dengan mata melotot. Darah segar membasahi perutnya, ketika tubuhnya perlahan jatuh ditendang oleh Murti. Murti si Wanita yang selalu
haus terhadap lelaki itu tersenyum sinis. Tangan
kanannya sudah penuh dengan darah. Rupanya
Dursa Kumbara dibunuh dengan ilmu 'Tangan Iblis'-nya yang dapat membelah dan menembus perut manusia. Dipandanginya mayat Dursa Kumbara
yang terkapar di lantai kamar. Perut lelaki itu berlubang dengan usus terburai,
sedang matanya melotot "Huh...! Orang macam kau harus kubunuh, Kumbara! Kalau tidak, rencanaku akan gagal. Aku bukan orang bodoh, Kumbara...! Kini aku
bisa bebas melakukan rencanaku...," ujar Murti seperti bicara pada diri sendiri.
Wanita cantik itu segera memakai kain. Kemudian sambil berteriakteriak dia lari keluar.
"Kurang ajar...! Biadab...! Kakang Bronto....!" Teriakan Murti begitu keras. Hal itu dilakukan dengan sengaja agar
terdengar ke ruang
perjamuan. Bronto Widura terkejut, demikian juga para
tamu, termasuk I Gusti Kumala dan I Gusti Kastasudra serta beberapa tokoh aliran hitam lainnya. Mereka segera berdiri dan melangkah menuju ruangan dalam. Sampai di ruangan itu tampak
Murti tengah marah-marah menghampiri mereka.
"Dursa Kumbara mau berbuat kurang ajar
terhadapku, Kakang Bronto. Aku... aku terpaksa
membunuhnya...!"
Murti menunjukkan tangan kanannya yang
berlumuran darah. Mereka yang melihatnya sangat terkejut dan merasa ngeri juga pada wanita
satu ini. I Gusti Kastasudra yang memang menaruh hati pada Murti, segera maju menghampiri
wanita itu, lalu coba menenangkannya. Namun I
Gusti Kumala yang berpembawaan tenang, merasakan sesuatu yang tidak beres pada diri Murti.
Matanya terus menatap tajam istri juragan Bronto
Widura. Seakan tatapan mata pendekar dari Pulau Dewata itu menusuk ke dalam pikiran dan jiwa Murti. I Gusti Kumala mengerutkan kening,
kemudian melangkah meninggalkan ruangan itu.
Sementara para tamu lain tampak saling


Pendekar Gila 35 Cinta Pembawa Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisik dan menyalahkan Dursa Kumbara yang sudah jadi mayat.
"Koneng, Mitro...! Cepat kubur mayat Dursa Kumbara malam ini juga...!" perintah Bronto Widura pada anak buahnya.
Kedua pemuda itu segera melangkah menuju kamar untuk membawa mayat Dursa Kumbara. I Gusti Kastasudra tampak berdiri di samping Murti. "Sudahlah, tenangkan hati dan pikiranmu!
Orang macam dia memang harus mendapatkan
ganjaran. Kau tidak salah,..," tutur I Gusti Kastasudra. Lalu Murti yang
berpura-pura sedih dengan air mata sudah membasahi pipinya berlari ke
arah Bronto Widura dan memeluknya dan menangis tersedu-sedu.
Namun Bronto Widura seperti sudah mengerti akan kebohongan istrinya. Karena selama ini dia sebenarnya sudah tahu akan
penyakit dan kebiasaan Murti. Namun karena juragan kaya
raya itu sangat mencintai dan menyayangi Murti,
maka semua yang diketahui dipendamnya. Dia
tak ingin kebiasaan buruk istrinya dapat tercium
orang lain. Sehingga terpaksa lelaki bijak itu selalu menutupi keburukan Murti.
Dahulu, Bronto Widura pernah bersumpah, bahwa jika Murti bersedia menjadi istrinya,
sebagai pengganti istri pertama yang telah mati, ia ingin hidup sepanjang masa
bersama wanita itu.
Murti yang cerdik menerima maksud baik juragan
yang kaya raya itu. Namun, Murti memberikan
syarat tertentu. Yang utama, Bronto Widura harus memberikannya kebebasan dan berjanji tidak
marah kalau dia berhubungan dengan lelaki lain.
Karena Murti berterus terang bahwa dirinya tak
pernah puas dengan satu lelaki.
"Sudahlah... jangan kau menangis terus,
Murti...! Semuanya sudah berlalu...," bujuk Bronto Widura.
Dengan sabar dan tenang dia membawa
Murti ke ruangan lain. Sementara orang-orang
mulai kembali ke ruangan perjamuan. Begitu juga
I Gusti Kastasudra. Sejenak lelaki gemuk itu memandangi mereka. Pada kesempatan itu, Murti
sempat menoleh ke belakang, matanya tertuju ke
arah I Gusti Kastasudra dengan pandangan aneh
dan nakal. I Gusti Kastasudra membalas dengan senyuman penuh arti pula, lalu dia membalikkan
badan dan pergi.
*** 2 Malam kian larut. Suasana di depan rumah
juragan Bronto Widura masih terdengar sayupsayup gamelan ledek. Sementara itu di kamarnya,
Bronto Widura tengah duduk di tepi ranjang bersama Murti. Keduanya terpekur diam, larut dalam
pikiran masing-masing, setelah melihat dalam
pembicaraan. Cahaya bulan setengah lingkaran menyusup lewat jendela kamar yang terhalang kain
warna putih. Angin yang bertiup membuat gordennya bergoyang-goyang. Suami istri itu seakan
tidak memperhatikan suasana di luar.
"Aku selalu berharap, kau menemukan kebahagiaan bersamaku, Murti. Sejak kutemukan
kau terapung di laut dengan luka parah, aku telah bertekad untuk membahagiakanmu...," tutur Bronto Widura memecah kesenyapan
dengan suaranya yang berat. Penuh perasaan.
"Aku mengerti, Kakang. Hatiku berbahagia
tinggal di rumah ini, punya suami sebaik Kakang.... Maafkan aku. Aku harus melakukan sesuatu, Kakang. Dengan adanya kedua tokoh dari
Pulau Dewata yang berilmu tinggi itu aku akan
memanfaatkan mereka untuk mengalahkan Pendekar Gila, sekaligus mencincang gadis yang
sombong itu...!" tutur Murti dengan nada penuh dendam.
"Hah..."! Kau...." Bronto Widura sangat terkejut mendengar tutur kata Murti.
"Murti..." Apakah aku tidak salah dengar...?" tanyanya kemudian dengan mata
terbelalak. "Tidak, Kakang.... Inilah saat yang sudah
lama kunantikan. Kakang tidak sudah khawatirkan diriku. Aku harus ikut dengan kedua tokoh
itu," ujar Murti dengan tegas seraya menatap tajam suaminya.
Bronto Widura menundukkan kepala. Lelaki itu tampak cemas dan benar-benar tak bisa
berpikir lebih jernih lagi. Dirinya tidak ingin Murti kecewa dan terluka jika
dia melarang maksudnya.
Mungkin ini sudah nasibku. Aku tak bisa
melarang atau memberikan pendapat. Aku sudah
bersumpah tak akan melukai hatinya. Aku sangat
menyayangi dan mengasihinya, selain itu aku juga tak ingin kehilangan Murti.... Semoga Tuhan
memberikan keselamatan untuknya, jika niatnya
tak bisa dirubah lagi. Aku pasrah.
Bronto Widura hanya bisa menggumam dalam hati. Diangkat kepalanya, menatap Murti
agak lama, lelaki setengah baya itu mendekat dan
memeluknya. "Aku tak bisa melarangmu, Murti.... Tapi,
pesanku jika itu telah menjadi tekadmu, berhatihatilah...," kata Bronto Widura dengan suara lemah. Lalu mendesah.
"Kakang Bronto Widura, aku hargai ketulusan hatimu. Tapi, aku tak bisa menunda lagi
sudah bulat tekadku. Aku akan kembali untukmu, Kakang," ujar Murti lemah lembut. Lalu
mendorong tubuh suaminya hingga rebah di ranjang. Murti pun merebahkan tubuhnya di sisi
Bronto Widura. Di luar gamelan ledek masih terdengar.
Malam kian larut suasana semakin hangat. Rembulan masih bersinar terang. Ketika Bronto Widura tertidur lelap, Murti segera mengenakan pakaiannya. Sehelai kain lebar dilibatkan di tubuhnya, diikat dengan selendang merah jambu. Sedangkan pakaian atasnya warna hitam seperti
layaknya pendekar-pendekar wanita tanah Jawa
Dwipa. Murti segera keluar lewat jendela kamarnya. Wanita ini memang tidak pernah tinggal di
rumahnya bila malam hari. Dia selalu bermalam
di padepokannya, setelah memberikan hubungan
batin pada Bronto Widura. Itu sudah perjanjian
mereka. Dalam kegelapan malam Murti melesat cepat meninggalkan rumah juragan Bronto Widura.
Pada saat itu I Gusti Kumala sedang berjalan bersama I Gusti Kastasudra. Kedua orang berilmu tinggi itu sibuk membicarakan sesuatu
sambil terus melangkah ke arah sebuah hutan.
Karena rembulan bersinar terang suasana sekitarnya tak begitu gelap.
"Kau harus percaya apa yang dapat kutangkap dari raut wajah dan tingkah istri Bronto
Widura itu, Kastasudra. Kau harus berhati-hati.
Sepertinya ada yang tidak beres dalam perguruan
itu." "Ah...! Itu hanya perasaanmu saja Kumala.
Kau selalu bicara begitu padaku. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Murti bukan wanita buruk seperti dugaanmu, Saudaraku!" jawab I Gusti Kastasudra dengan nada agak tinggi.
"Terserah kamu. Aku sebagai saudara seperguruan, hanya mengingatkan. Kau terima
baik, tak kau terima aku juga tidak apa-apa. Tapi, sekali lagi, kuingatkan,
jangan dekati Murti...!"
Kalimat terakhir itulah yang membuat I
Gusti Kastasudra malah salah duga. Lelaki gemuk ini berpikiran bahwa I Gusti Kumala merasa
iri, karena Murti nampak lebih dekat dengannya.
Walaupun pertemuannya dengan wanita bertubuh sintal dan memiliki bibir indah itu baru seha-ri.
Tanpa terasa keduanya telah memasuki
sebuah hutan. Keduanya terus menyusuri hutan
itu di bawah cahaya bulan yang terhalang pepohonan. "Aku bukan kau, Saudara Kumala. Aku
adalah aku. Jadi sebaiknya mulai saat ini kau tak usah menasihatiku lagi!" kata
I Gusti Kastasudra yang mulai sedikit marah, karena terdorong dugaan dan
perasaannya yang keliru itu. Hal itumembuat I Gusti Kumala mengerutkan kening.
"Jangan kau salah duga, apalagi berprasangka buruk terhadapku, Kastasudra!" sahut I Gusti Kumala dengan nada tinggi.
Dia rupanya tak suka dengan ucapan I Gusti Kastasudra yang
dianggapnya tak tepat dan kurang sopan.
I Gusti Kastasudra tak menghiraukan.
Bahkan mendadak dengan bersungut-sungut dia
berbalik, hendak kembali ke arah semula. Namun
baru saja selangkah lelaki gemuk itu mengayunkan kakinya, tiba-tiba saja terdengar suara berdesingan, seperti luncuran senjata tajam menuju
ke arahnya. Dengan gerakan yang sulit ditangkap
oleh mata I Gusti Kumala melenting ke udara
sambil menjulurkan kedua tangannya. I Gusti
Kastasudra hanya bisa tersentak. Baru bisa melenting ketika serangan kedua muncul kembali ke
arahnya. Wut! Wut! I Gusti Kastasudra bahkan mampu melancarkan serangan balasan dalam keadaan tubuh
melenting di udara. Pertempuran jarak jauh terjadi di malam yang diterangi oleh cahaya bulan.
Suatu pukulan dahsyat jarak jauh dilancarkan
oleh sesosok tubuh bercaping lebar, dengan muka
tertutup cadar hitam. Sehingga sulit dikenali.
Wut! Wut! Jglarrr! Akibat pukulan dahsyat orang bercaping
itu beberapa pohon di sekitar tempat itu roboh.
I Gusti Kumala dan I Gusti Kastasudra melompat dan hinggap di batang pohon yang roboh
ke arahnya. Namun dalam waktu bersamaan
orang bercaping lebar dan bercadar itu telah melontarkan beberapa lembar daun. Anehnya, daundaun itu melesat begitu cepat bagaikan pisaupisau terbang, meluncur ke arah I Gusti Kastasudra dan I Gusti Kumala. Serangan itu melesat susul-menyusul bagaikan hujan daun. Sebagian besar menancap di batang pepohonan.
Kedua pendekar dari Pulau Dewata dengan
cepat melompat dan melenting ke sana kemari
menghindarkan serangan aneh itu. Keduanya beberapa kali mengibaskan tangan menangkis serangan dedaunan itu. Sebagian dari dedaunan
berpentalan balik ke arah sesosok bercaping lebar. Pertarungan baru berlangsung beberapa
saat, tapi orang bercaping sudah terdesak, tanpa
daya menghadapi daun-daun yang melesat balik
ke arahnya. Menyadari keadaannya yang
mengkhawatirkan orang bercaping itu mencelat
mundur dan langsung meninggalkan tempat pertarungan. Ilmu meringankan tubuhnya yang sangat tinggi membuat orang bercaping itu seakan
terbang di udara. Saat terbang, cadarnya tertiup angin, sehingga tampaklah
wajahnya karena terkena bias cahaya rembulan. Sosok bercaping itu
ter-nyata seorang wanita berwajah cantik.
I Gusti Kastasudra berniat mengejar, tapi
ditahan oleh I Gusti Kumala. Sehingga mereka
membiarkan wanita itu menghilang.
"Siapa orang bercaping itu..."!" gumam. I Gusti Kastasudra seperti bertanya pada
diri sendiri. I Gusti Kumala menghela napas sejenak.
Pandangannya terarah ke tempat menghilangnya
sosok bercaping. Lalu menoleh pada I Gusti Kastasudra yang nampak kesal.
"Nanti kita akan tahu siapa orang bercaping itu, Kastasudra," kata I Gusti Kumala dengan suara menggumam.
*** Murti telah sampai di padepokannya yang
letaknya tersembunyi, jauh dari rumah Bronto
Widura. Hanya Bronto Widura yang tahu padepokan itu selain beberapa orang kepercayaan Murti.
Murti langsung masuk ke padepokan, disambut oleh dua orang wanita muda berpakaian
silat ringkas seperti dirinya. Namun keduanya tidak memakai celana panjang, hanya kain dilibatkan di tubuhnya, diikat dengan selendang
yang warnanya sama hijau.
Begitu masuk, di dalam nampak beberapa
anak buahnya. Semua wanita. Sebagian memegang tombak, yang lainnya bersenjata golok.
Pada dinding-dinding ruangan yang terbuat
dari pohon, nampak tergantung senjata-senjata
serta sehelai kain berlambang perguruan silat
Murti. Berupa Mawar Merah. Lampu-lampu minyak yang menempel di dinding menerangi ruangan itu. Murti langsung membuka caping lebar
yang menutup kepalanya. Kemudian duduk di sebuah batu besar yang merupakan singgasananya.
Sejenak dia menghela napas dalam-dalam.
Kedua wanita yang menyambutnya saling
pandang sebentar.
"Bagaimana Nyi Mawar..." Nampaknya Nyi
Mawar tak berhasil...." Suara wanita berwajah lonjong itu terdengar datar. Nyi
Mawar ternyata

Pendekar Gila 35 Cinta Pembawa Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

panggilan Murti yang akrab dari anak buahnya.
Itu adalah panggilan murid terhadap gurunya.
"Ilmu mereka terlalu tinggi, Rukmini. Tak
bisa dianggap remeh," jawab Murti geram.
"Jika kita bergabung, kurasa kita bisa
mengatasinya, Nyi Mawar...," sahut wanita yang
satu lagi, penuh semangat.
"Aku sependapat dengan Lastri. Kekuatan
kita toh sangat tangguh kalau sekadar untuk menahan dua tokoh dari Pulau Dewata itu...!" Kembali Rukmini berkata dengan
semangat pula. "Tidak. Kalian tidak akan mampu melawan
seorang saja dari mereka. Sekalipun mata mereka
ditutup rapat..!" sambar Murti tegas.
"Sedemikian tinggikah ilmu mereka...?"
tanya Lastri ingin tahu.
"Jika demikian, kita taklukkan dengan cara
kita!" sambung Rukmini yang bertubuh lebih
tinggi dari Lastri. Dadanya pun lebih menonjol
dan lebih besar.
"Maksudmu...?" tanya Lastri sambil mengerutkan kening.
"Jangan lupa, mereka laki-laki, sedang kita
wanita.... Persoalannya cukup sederhana, kan?"
jawab Rukmini, lalu tersenyum genit dan mengerlingkan mata. "Itu bisa dicoba. Tapi aku ragu. Soalnya
mereka menurut Nyi Mawar seperti pendeta...!"
kata Lastri dengan nada mengejek, lalu tertawatawa genit "Aku justru penasaran, ingin tahu bagaimana seorang pendeta atau resi memperlakukan
perempuan. Ha ha ha... hi hi hi...!" sahut Rukmini diiringi tawa genit
"Cukup! Kita harus mengambil langkah
terbaik. Menyebarlah kalian! Carilah jago-jago pilihan, manfaatkan untuk menahan
keduanya. Ka- laupun mereka tidak berhasil membunuh kedua
resi itu, setidaknya akan membuat keduanya
menguras tenaga, sehingga melemahkan daya tahan. Kalian tentu sudah lihai cara merayu para
jago bayaran itu.... Ingat jika tertangkap, jangan kalian sekali-sekali menyebut
namaku. Nyawa kalian gantinya...!" perintah Murti dengan tegas dan penuh wibawa.
Habis berkata begitu, Murti mengambil
kantong uang dan dilemparkannya. Kantong uang
itu jatuh di hadapan murid-muridnya. Segera
Rukmini dan Lastri mengambilnya. Keduanya tersenyum-senyum memandang kantong berisi uang
itu. *** 3 Matahari baru saja terbit di ufuk timur.
Cahayanya yang kemerahan menembus kabut
pagi. Sepagi itu kesibukan telah terlihat di halaman rumah Bronto Widura. Para
murid dan anak buah juragan kaya raya yang juga seorang guru
silat itu tengah berkumpul di halaman rumah.
Sebagian yang lain tampak sibuk dengan kegiatan
keseharian mereka.
Bronto Widura dan Murti berdiri di beranda, melepas kepergian tamunya, dua orang pendekar dari Pulau Dewata. Tampak I Gusti Kastasudra sudah berjalan lebih dulu meninggalkan
halaman, berpapasan dengan beberapa murid
Bronto Widura yang membawa air.
"Saya sendiri belum pernah bertemu Pendekar Gila itu. Namun hati-hatilah, Saudara Kumala. Ketinggian ilmu Pendekar Gila telah jadi
pembicaraan di mana-mana," tutur Bronto Widu-ra pada I Gusti Kumala sambil
berjalan beriringan ke halaman rumah.
"Terima kasih. Tapi kedatangan kami bukan untuk mencari musuh. Kami berdua hanya
ingin menjalin persahabatan," ujar I Gusti Kumala dengan ramah. Sekilas lelaki
bertubuh besar itu melirik ke arah, Murti yang berdiri di sisi
Bronto Widura. Murti coba tersenyum pada I Gusti Kumala. Namun senyumnya nampak hambar
dan seperti dipaksakan.
"Kalau memang itu maksud I Gusti Kumala, saya sangat senang," ucap Bronto-Widura, lalu menoleh kepada istrinya.
"Benar begitu kan Murti...?" "Ya...," sahut Murti singkat diiringi senyum
hambar. I Gusti Kumala menyambutnya dengan
anggukan kepala, lalu mohon diri. Lelaki berjubah putih itu melangkah menyusul I Gusti Kastasudra yang tadi sudah berjalan sampai di pintu
pagar halaman. Bronto Widura dan Murti menatap kepergian kedua tamunya. Pandangan Murti menerawang penuh arti. Ada sesuatu yang begitu mengganggu pikirannya. Sambil masih menatap langkah-langkah I Gusti Kumala dan I Gusti Kastasudra, wanita muda itu berucap.
"Beberapa hari lagi mereka akan sampai ke
Jawa Dwipa...." Suara Murti terdengar datar mengandung arti.
"Ya. Dan Pendekar Gila akan kedatangan
lawan yang sebanding. Tapi, kenapa kau urungkan niatmu untuk ikut dengan mereka, Murti?"
tanya Bronto Widura dengan mengerutkan kening, sepertinya menyelidik.
Murti tak langsung menjawab. Dia sejenak
hanya menatap Bronto Widura dan tersenyum.
Lalu kembali memandang ke depan.
"Entahlah.... Tiba-tiba aku punya rencana
yang lebih baik dari rencana semula," jawab Murti, kemudian melangkah pergi dari
beranda itu. Bronto Widura hanya dapat memandangi
istrinya yang lebih berkuasa itu dengan perasaan
pedih. Nampak tersirat di wajah lelaki setengah
baya adanya sejuta rasa penyesalan. Namun semuanya sudah terambat dan dia sendiri telah terikat perjanjian.
*** I Gusti Kumala dan I Gusti Kastasudra sudah berada di Desa Banjaran, Keduanya nampak
senang melihat keramaian desa itu. Apalagi pagi
itu, seperti biasa di Desa Banjaran selalu ada pertunjukan.
I Gusti Kastasudra yang sedikit bersifat
ugal-ugalan dengan langkah lebar segera menuju
tempat pertunjukan debus. Semacam tarian yang
menggunakan ilmu hitam. Melihat saudara seperguruannya itu I Gusti Kumala hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, lalu melangkah ke arah
lain. Sementara itu, di antara penonton yang
berjubel nampak seorang wanita cantik bertubuh
sintal. Matanya yang tajam memperhatikan
orang-orang di tempat itu. Dilihat dari wanita itu tentu berasal dari kalangan
persilatan. Sesaat
kemudian tampak dia berbisik-bisik pada seorang
lelaki bertampang bengis yang tadi berdiri di
sampingnya. Lelaki gagah dengan wajah dipenuhi
cambang bauk itu tersenyum. Sambil mengangguk-angguk kepala, ketika wanita cantik yang
ternyata Rukmini, memberikan sekantong uang
keping. Lelaki codet itu lalu melangkah pergi.
Rukmini yang berpakaian sangat menyolok
dan nampak sengaja memperlihatkan keindahan
tubuhnya, sesaat kelihatan agak gelisah. Sesekali menengok ke kiri dan kanan,
seperti sedang ada
yang ditunggu. Lalu orang kepercayaan Murti itu
beranjak pergi. Dia menuju sebuah rumah makan
yang ada di dekat tempat pertunjukan. Rukmini
duduk di sebuah kursi menghadap ke arah pertunjukan yang berada di depan rumah makan.
Karena bangunan rumah makan itu lebih tinggi
dari tempat pertunjukan, Rukmini bisa menyaksikan dengan lebih jelas.
Seorang pelayan lelaki datang menawarkan
makanan. "Beri aku tuak dua mangkok...!" pinta
Rukmini pada pelayan itu. Namun matanya terus
tertuju pada arena pertunjukan.
Mendengar itu, pelayan kaget karena merasa heran. Sepagi ini seorang wanita-minta minuman tuak. Dua mangkok lagi.
"Pesan apa tadi...?" tanyanya ragu sambil membungkukkan badan.
"Kamu tuli..."! Tuak dua mangkok...! Cepat...! Bodoh...!" bentak Rukmini, kesal. Lalu pandangannya kembali ke tempat
pertunjukan. Sementara itu, I Gusti Kastasudra sudah
berada di antara penonton yang berjubel melingkari arena pertunjukan.
Para penari tengah memperlihatkan sebuah tarian secara bersama. Penabuh gamelan
dengan semangat mengiringi para penarinya. Sementara para penonton, tampak mulai merasa tegang menyaksikan tarian yang menggunakan ilmu hitam itu. Seorang penari lelaki bertelanjang
dada tengah menusuk-nusuk keris tajam ke dadanya. Rupanya lelaki itu kepala dari penari lainnya, yang juga melakukan hal
serupa. Kemudian
lelaki itu menusukkan keris ke perutnya. Setelah
itu menjulurkan lidah dan mengirisnya dengan
keris di tangan kanannya.
Para penonton bertepuk tangan dan merasa kagum akan pertunjukan itu. I Gusti Kastasudra hanya tersenyum-senyum, sambil mengusapusap dagunya. Pakaiannya yang kuning berlengan
panjang, berselempang kain putih di dadanya.
Penampilannya yang cukup menyolok, dengan
kepala botak plontos dan alis tebal serta hidung
mancung membuat para penonton di dekatnya
sebentar-sebentar melirik. Mereka mcmandanginya sambil berbisik-bisik, karena merasa aneh
melihat penampilan I Gusti Kastasudra.
Sementara itu Rukmini yang sejak tadi gelisah, kini mulai tersenyum ketika matanya melihat I Gusti Kastasudra ada di antara para penonton. Wanita cantik namun berwajah agak keras
itu mulai mabok karena dua mangkok arak tadi.
Matanya yang tadi jalang dan liar mulai berubah
sayu. Tanpa sengaja I Gusti Kastasudra sempat
melihat Rukmini yang juga tengah menatap ke
arahnya. Wanita bertubuh menggairahkan itu tersenyum genit, lalu memalingkan kepalanya. Pada
saat itulah I Gusti Kastasudra langsung menyelinap dan menghilang di antara kerumunan penonton. Rukmini kaget ketika berpaling lagi ke arah
semula. Dengan kening berkernyit dia mencaricari I Gusti Kastasudra, tapi tidak menemukannya. Rukmini dengan kesal bangkit, lalu menyibak orang-orang yang berdiri di bawah tangga
rumah makan itu.
"Sial...! Ke mana perginya pendekar botak
itu..."!" sungut Rukmini sambil setengah berlari keluar dari rumah makan.
Matanya jelalatan
mencari-cari I Gusti Kastasudra. Hatinya merasa
heran kenapa tiba-tiba pendekar botak itu menghilang entah ke mana.
Gamelan semakin keras dan menghentakhentak. Para penari pun semakin bersemangat
mempertujukkan kebolehan mereka. Menusuk
perut, leher, atau mengiris kuping serta lidah mereka. Sebuah tontonan yang
menegangkan dan
menggiriskan hati para penontonnya. Mereka terpaku keheranan menyaksikan lidah atau kuping
para penari yang dapat menyatu kembali setelah
terputus karena diiris.
Kalau waktu itu Rukmini sedang kesal karena kehilangan orang yang dinantikannya. Di
lain tempat murid Murti yang satu lagi, Lastri sedang asyik bercumbu dengan
seorang lelaki berumur tiga puluhan di sebuah kamar belakang
rumah makan itu.
Rupanya sejak tadi dari balik jendela ada
sepasang mata yang mengintip mereka. Dan benar, ternyata seorang wanita berumur kira-kira
dua puluh delapan tahun. Dengan geram wanita
itu mendobrak pintu kamar yang mirip gudang
itu. Brak! Wanita berbadan agak gemuk itu pun melangkah masuk "Kurang ajar...! Suami bejad...! Biadab...!
Kubunuh kalian!" teriakan wanita itu. Matanya melihat ke sana kemari mencari
sesuatu. Dan, begitu melihat sebuah golok yang tersangkut di
dinding kamar, dengan cepat wanita itu mencabutnya. Tanpa basa-basi diserangnya Lastri dan
lelaki yang masih kaget dan duduk di atas balaibalai bambu tua. Lastri yang sudah tak berpakaian secuil pun, dengan cepat bergerak menghindar lalu mengenakan pakaian sambil tersenyum-senyum, melihat lelaki itu sedang mencoba
menenangkan istrinya.
Lastri lalu menyelinap pergi sambil tertawa-tawa. Sementara lelaki itu masih saja sibuk
menenangkan istrinya yang memegang golok.
"Sabar... sabar... tenang Jinten...! Aku
akan jelaskan...," kata lelaki tampan itu sambil mengelak dari sabetan golok
istrinya. Dengan cepat dia menangkap tangan Jinten yang memegang golok. Namun ketika hendak


Pendekar Gila 35 Cinta Pembawa Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengambil golok yang jatuh di lantai, Jinten yang sudah naik pitam segera
menendang kepala suaminya keras sekali. Lelaki itu memekik kesakitan.
Tak sampai di situ. Jinten yang merasa telah disakiti, dengan geram menendang rusuk suaminya
secara bertubi-tubi.
Lelaki itu terkapar di atas lantai kamar itu.
Jinten menyeringai dengan kedua mata terbelalak
lebar. Sementara itu, di depan rumah makan pertunjukan bertambah semarak. Gamelan terdengar
semakin keras dan cepat. Penari pun semakin
menggila dan berani, membuat orang-orang kagum dan bertepuk tangan sambil berteriak memberi pujian. Rukmini yang kehilangan jejak I Gusti Kastasudra nampak sudah duduk kembali di tempat
semula di rumah makan itu. Wajahnya nampak
penuh kekecewaan.
Tiba-tiba Lastri muncul dari belakang.
Dengan tersenyum-senyum dia duduk di samping
Rukmini yang tengah memandang keluar, ke arah
tempat pertunjukan.
"Masih sempat-sempatnya kau main gila!
Kita saat ini bukan untuk bersenang-senang, Lastri. Kalau Nyi Mawar tahu, kau bisa celaka...!"
ucap Rukmini ketus pada Lastri. Sejenak matanya melirik ke arah Lastri yang mendadak wajahnya berubah merah.
Rukmini kembali memandang ke depan,
kedua matanya terus menyapu seluruh tempat
itu. "Maafkan aku! Dan, kuminta kau tak perlu menyampaikan hal ini pada Nyi
Mawar. Aku berjanji tak akan mengulangi lagi...," kata Lastri coba menghilangkan
kekesalan Rukmini padanya.
Belum sempat Rukrnini memberikan jawaban, tiba-tiba saja suasana tontonan yang semula
semarak menjadi kacau. Hal itu karena Jinten
yang sudah mata gelap dengan golok di tangan
kanannya berjalan bergegas ke arah Lastri.
Orang-orang yang berada di situ tampak bingung.
Perhatian mereka pun beralih kepada Jinten yang
tanpa peduli melabrak Lastri.
"Kubunuh kau perempuan kotor...!" teriak Jinten sambil mengacungkan goloknya dan
terus melangkah lebar.
Namun para penari tampak masih terus
menari dengan gamelan yang terus mengalun.
Sementara Lastri nampak tenang-tenang
saja, bahkan pura-pura tak peduli. Rumini yang
duduk di sebelahnya tersentak dan menoleh ke
arah Lastri. "Huh, Perempuan Sial, membuat ma-lu saja!" umpat Rukmini dalam
hati. Wajahnya sinis menatap Lastri.
Pada saat itu Jinten sudah berada di dekat
Lastri. Tanpa basa-basi lagi, wanita gemuk itu
langsung mengayunkan goloknya ke arah Lastri
yang masih duduk dengan tenang. Namun dengan gerak cepat Lastri melompat menghindar, sehingga ayunan golok Jinten menggebrak meja.
Suasana berubah menjadi semakin kacau-balau
Perhatian beralih pada Jinten yang mengamuk.
Dan penari-penari pun mcnghentikan tariannya.
"Kubunuh kau, Perempuan Sundal...!
Heh...!" bentak Jinten sambil terus menebas dan menusuk ke arah Lastri.
Namun, karena Jinten sama sekali tidak
memiliki ilmu silat, serangannya tak berarti apaapa bagi Lastri yang memiliki ilmu silat cukup
handal itu. Suasana menjadi riuh.
Sementara itu I Gusti Kumala yang berada
jauh dari kejadian itu, nampak tenang-tenang saja. Dia duduk di sebuah kedai kecil. Menikmati
minumannya. Lelaki gagah berjubah putih itu
memang tak ingin ikut campur dengan urusan
orang lain, kalau tak terpaksa.
Lastri nampak terus melompat-lompat
menghindari serangan Jinten. Wanita itu kelihatan tak begitu melayani amukan lawan. Hal ini
menyebabkan Jinten membabibuta, tapi justru
membuat Lastri kian tenang.
Lastri mempermainkan Jinten. Karena kemarahan yang telah meluap dan mata gelap, ayunan dan tusukan golok Jinten kain ngawur, tak
karuan. Sementara Rukmini nampak masih tenang di tempatnya. Dia tak ingin ikut campur.
Apalagi dia tadi sempat kesal dengan Lastri yang
dianggapnya ceroboh. Rukmini memperhatikan
kejadian itu dengan mata tak berkedip.
Jinten semakin tak karuan. Mengamuk tak
menentu, tanpa ada seorang pun yang mau
menghentikannya. Semua orang malah menonton
sambil tertawa-tawa. Jinten kian kalut, membabat ke sana kemari tak menentu. Tiba-tiba terdengar suara erangan kesakitan, ketika seseorang
terkena sasaran golok Jinten hingga berdarah.
Penonton pun ribut karena Jinten sudah
seperti kemasukan setan, kalap. Seorang penari
yang paling kebal maju, bermaksud ingin menghentikan Jinten yang semakin kalap itu. Namun
belum sempat dia mencegahnya, tahu-tahu golok
Jinten sudah menggores lengan kanannya. Ternyata berdarah! Penari kebal itu kaget. Cepatcepat dia menutupi lengannya yang terluka akibat
goresan golok Jinten. Takut kalau ada yang melihatnya, dia pasti dicemooh dan dipermalukan.
Penari kebal itu memekik pendek, lalu segera pergi karena malu.
Sesaat kemudian tampak tubuh Jinten
mulai lelah. Perempuan gemuk itu sempoyongan,
lalu jatuh tersungkur ke tanah. Dia menangis tersedu-sedu memilukan. Lastri tertawa-tawa senang sambil memandang Jinten yang menangis.
Sungguh memuakkan lagak Lastri saat itu.
Tepat pada saat itulah, I Gusti Kastasudra
tiba-tiba muncul dan melemparkan sebutir buah
ceri. Buah itu melesat dan mengenai betis Lastri.
Perempuan itu terhempas ke belakang, terjatuh
ke tanah. "Hah..."!"
Rukmini kaget melihat I Gusti Kastasudra
dari tempatnya yang tak begitu jauh. Namun dia
tak ingin bertindak. Dibiarkannya Lastri menghadapi I Gusti Kastasudra.
Ketika mengetahui bahwa yang menyerangnya adalah I Gusti Kastasudra, Lastri justru
pura-pura kesakitan dan melirik penuh arti pada
lelaki botak berjubah kuning itu. I Gusti Kastasudra berjalan tenang mendekat,
lalu menolong Lastri dengan mengurut-urut paha dan betis wanita
itu. Lastri menikmati urutan telapak tangan pendekar dari Pulau Dewata itu. Namun hanya sebentar, karena di luar dugaan, I Gusti Kastasudra menyentakkan kaki Lastri,
hingga tubuhnya terlontar ke udara. Untunglah ia masih bisa mempertahankan keseimbangan.
Lastri melayang lalu secepat itu pula langsung kembali mendarat dan berdiri tegak keadaan
siap siaga. Kejadian ini mengejutkan Lastri. Sementara I Gusti Kastasudra tenang-tenang saja,
berdiri acuh tak acuh sambil makan buah ceri.
Lastri langsung menghentak dan melesat
melakukan serangan-serangan terhadap pendekar
dari Pulau Dewata itu.
Kaki dan tangan Lastri menghajar I Gusti
Kastasudra silih berganti. Namun dengan mudahnya lelaki gemuk berpakaian kuning itu mengelak dengan lompatan cepat ke kanan dan kiri.
Lastri jadi geram menyaksikan lawan dengan mudah menggagalkan serangan yang dilancarkannya. Namun usahanya tetap sia-sia ketika dia melakukan serangan susulan yang tak kalah dahsyatnya. I Gusti Kastasudra sambil tertawa-tawa
mengejek terus mengelakkan serangan Lastri.
"Ha ha ha...! Kau masih perlu belajar ilmu
sialat yang benar, Perempuan Genit...!" seru I Gusti Kastasudra.
Suasana kian ricuh. Lastri merasa seolaholah tindakan I Gusti Kastasudra merupakan balasan dari perlakuan Lastri terhadap Jinten. Padahal, serangan-serangan Lastri disertai pengerahan tenaga dalam. Sehingga akibat-akibatnya pun
sering mencengangkan. Gebrakan-gebrakannya
memecahkan meja dan kursi di kedai itu. Kadang
ia melenting tinggi. Tapi semuanya itu tak berarti bagi I Gusti Kastasudra, yang
dengan ilmunya yang di atas Lastri terus dapat mementahkan serangan Lastri. "Yeaaa...! Kali ini mampus kau...!" seru Lastri.
Tangan mereka beradu. Dengan cepat Lastri melontarkan senjata rahasia khas perguruan
Murti! Bunga Mawar Merah. Bunga itu melesat
begitu cepat dari tangannya.
Blast! Serangan ini tentunya tak diduga sama sekali oleh I Gusti Kastasudra, yang langsung menepiskan dengan jubahnya. Belum lagi habis keterkejutannya, setangkai Mawar Merah yang lain
melesat lagi dengan cepat ke arah pendekar dari
Pulau Dewata itu.
"Hop...!"
I Gusti Kastasudra meloncat menghindar.
Namun anehnya, tiba-tiba Lastri memekik keras
menyayat hati. Orang-orang yang menyaksikan
kejadian itu tercengang kaget. Tubuh Lastri terhempas ke belakang dan terbanting ke tanah lalu
tak berkutik lagi. Mati!
Rupanya, ketika melenting menghindar serangan, I Gusti Kastasudra dengan gerakan yang
sulit diikuti mata biasa, berhasil menepiskan Mawar Merah itu hingga berbalik ke pemiliknya.
Pada saat itu muncul I Gusti Kumala di antara orang-orang yang panik dan ribut. Lelaki gagah itu menatap Lastri yang telah menjadi mayat.
Rukmini mulai memberikan isyarat pada
orang-orang bayarannya. Seketika suasana semakin kacau dan ramai, ketika delapan orang bayaran yang memiliki ilmu cukup tinggi serentak
menyerbu I Gusti Kastasudra. Sementara Rukmini menyerang I Gusti Kumala.
Pertempuran pecah. Sebagian bergerak keluar dari rumah makan itu. Suasana ruangan
rumah makan porak poranda. Para penari berhamburan menghindar. Para penonton pun tak
ingin ikut terkena sasaran pertarungan keroyokan
itu. Mereka hiruk pikuk dan berlarian.
Rupanya delapan orang bayaran itu tak
bertahan lama menghadapi I Gusti Kastasudra,
yang berilmu jauh di atas mereka. Dalam waktu
singkat dua kali gebrakan mereka berjatuhan dan
tak berkutik lagi. Hanya ada seorang yang masih
bertahan. Seorang lelaki berbadan besar yang
ditumbuhi bulu-bulu halus. Tampangnya yang
bengis dihiasi brewok hitam dan lebat. Matanya
picek sebelah dengan alis yang juga hanya satu.
Lelaki mata satu itu dengan geram dan ganas
mengayunkan goloknya membabat I Gusti Kastasudra sambil menggerang keras.
Wut! Wut! Angin dari tebasan goloknya menderu keras di atas kepala I Gusti Kastasudra. Dan secepat kilat pendekar dari Pulau Dewata itu melancarkan serangan balik yang dahsyat dengan pukulan tangan kanannya. Kontan lelaki mata satu
itu menjerit. Mulutnya memuntahkan darah segar, ketika pukulan menggeledek I Gusti Kastasudra mendarat telak di rusuk kanannya. Tubuhnya yang besar ambruk dan tak berkutik lagi.
Sementara itu Rukmini yang menghadapi I
Gusti Kumala melenting menghindar dari serangan tusukan kedua jari lelaki berpakaian pendekar itu. Wajah Rukmini nampak pucat. Lengan kirinya sudah terluka, akibat terkena tepukan tangan kanan I Gusti Kumala yang mengandung ra-cun. Siapa pun musuh I Gusti Kumala akan terluka atau hangus, bila kena tepuk atau cengkeraman telapak tangannya. Itulah ajian 'Tapak
Dewa' yang sangat berbahaya. Ajian itu tak dimiliki deh I Gusti Kastasudra. Sebuah ajian dahsyat yang hanya dapat digunakan
atau bisa hadir, jika
pemiliknya telah mencapai amarah yang memuncak. Rukmini tiba-tiba melancarkan serangan
cepat dengan melontarkan senjata rahasianya berupa Mawar Merah ke arah I Gusti Kumala. Namun dengan sigap pendekar berjubah putih itu
menangkap Mawar Merah yang meluncur ke
arahnya menggunakan jari tangan. Lalu dengan
cepat melontarkan kembali ke arah Rukmini. Wanita itu terbeliak kaget melihat serangan kilat lawannya.
Slats! Rukmini menjerit keras. Tubuhnya melintir
Eng Djiauw Ong 12 Pedang Kunang Kunang Karya S D. Liong Tumbal Cemburu Buta 1

Cari Blog Ini