Pendekar Cambuk Naga 8 Kutukan Jaka Bego Bagian 2
ngosan. Huang Pai berkerut dahi, matanya memancar tajam. Curiga. Jaka Bego berkata lagi:
"Aku ingin membisikkan kata padamu. Sebuah rahasia. Dan aku percaya, kau pasti bisa menyimpan rahasia ini...."
"Baik bicaralah...." kata Huang Pai yang berhidung besar itu.
"Mendekatlah ke mari, Huang Pai...."
"O, tidak. Aku tidak akan memberi peluang padamu untuk menggigit telingaku, he... he... he...."
"Kau memang waspada sekali, Huang Pai."
"Tentu, karena dulu ada seorang tawanan yang
berbuat seperti rencanamu, dan daun telingaku cuil
sedikit karena gigitannya." Waktu itu Jaka Bego meli-rik daun telinga Huang Pai
yang kiri, dan ia tertawa
pelan melihat daun telinga itu geripis sedikit.
Kemudian Jaka Bego berkata lagi di sela nafasnya
yang masih terengah-engah:
"Tapi kali ini kau harus beruntung, Huang Pai...."
"Kenapa?"
"Kau mendapatkan tawanan seorang kesatria," jawab Jaka Bego seperti bicara
bersungguh-sungguh,
dan hal itu membuat Huang Pai tertawa terkekehkekeh. "Betul, Huang Pai. Aku bukan tawanan pengecut
yang beraninya menggigit daun telinga. Kalau aku
mau, aku bisa menggigit urat lehermu sampai putus."
Huang Pai terperanjat kaget dan siap mencambuk
lagi. Jaka Bego segera berkata untuk menahan cambuk agar tak melecut lagi:
"Huang Pai, dengar... mendekatlah sedikit... Ini rahasia betul. Aku tidak
bohong...."
Huang Pai ragu sebentar, kemudian mendekati Jaka Bego pelan-pelan, penuh kewaspadaan dan kecurigaan. "Kau mau bicara apa, lekas bicaralah selagi cambuk ku belum mencabik badanmu yang kerempeng
itu." "Huang Pai, dengar... tapi, tapi kau tidak akan bilang pada siapa pun,
kan" Kau janji?"
"Akan ku usahakan berjanji...! Ayo, katakan!"
"Huang Pai, sebenarnya... sebenarnya aku ini orang sakti...."
"O, ya..."!" Huang Pai tersenyum sinis dan dongkol.
Kata-kata itu seperti ejekan, ia merasa terkecoh. Tapi karena Jaka Bego bicara
lagi, Huang Pai terpaksa menyimak lagi.
"Sungguh, Huang Pai. Aku ini orang sakti. Hanya
saja, tak banyak orang yang mengetahui kesaktianku.
Jadi, kalau kau menyiksaku, kau akan celaka. Kau
akan terkutuk, seperti yang kukatakan tadi, bahwa gigimu akan rontok dalam waktu dekat. Sebab...."
"Setan...! Kau menakut-nakutiku saja, hah"!"
Huang Pai hendak melancarkan lecutan cambuk, tapi
Jaka Bego segera berkata dengan serius:
"Tunggu, dengar dulu...! Kau boleh mencambuk ku
lagi, tapi kau harus melihat kesaktianku dulu."
Huang Pai menggumam jelas. Lalu berkata:
"Tunjukkan kesaktianmu...!"
"O, tidak. Itu namanya aku menyombongkan diri,"
kilah Jaka Bego.
"Kalau begitu, sekarang sudah saatnya aku mencambuk mu lagi...." kata Huang Pai sambil mengibaskan cambuknya satu kali. Jaka Bego berteriak
sambil berkelejot kesakitan:
"Baik, baik akan kutunjukkan padamu...."
Huang Pai berhenti mencambuk. "Lekas...."
Jaka Bego seperti kebingungan. Lalu ia berkata pelan, "Carikan aku madu tawon...."
"Apa"!"
"Madu! Aku butuh madu lebah hutan untuk membuat aku menjadi sakti...."
Huang Pai mencibir sinis, Menertawakan kata-kata
itu. Ia tampak ingin melecutkan cambuk lagi, namun
Jaka Bego buru-buru berkata:
"Lekaslah, tak ada waktu lagi untuk menunjukkan
kesaktianku. Nanti akan kuajarkan kepadamu. Ayo,
carikan aku madu, walau hanya setetes saja."
"Kau bohong! Kau mau menipuku dan mengulur
waktu supaya aku tidak mencambuk mu!"
"Tidak. Aku tidak bohong. Penggallah kepalaku kalau aku berani berbohong kepadamu. Aku ini orang
yang tak pernah berbohong kepada siapa pun, kecuali
keadaan terdesak."
Sejenak Huang Pai berpikir, menimbang-nimbang.
"Agaknya kata-kata tawanan ini bersungguh-sungguh,"
pikir Huang Pai. Ia menjadi penasaran. Ia ingat di dapur ada madu khusus untuk hidangan keluarga Laksamana Chou. Maka ia bergegas ke dapur, dengan tak
lupa mengunci pintu ruang tahanan di dalam kapal
itu. Tak lama kemudian ia kembali lagi dengan mulut
berdarah. Ia segera mengunci pintu dari dalam. Jaka
Bego heran melihat mulut Huang Pai berdarah.
"Kenapa mulutmu, Kawan?"
"Kepala juru masak marah padaku sewaktu aku
ketahuan mencuri madu. Lalu aku ditamparnya pakai
penggorengan. Keras sekali tamparannya sampai gigiku ada yang patah tiga biji. Uuuh... sialan kamu!"
"Nah, kutukan sudah terjadi bukan" Padahal aku
belum minum madu, apalagi kalau sampai meminum
madu. Pasti lebih mujarab," kata Jaka Bego, tersenyum geli.
"Tapi aku berhasil membawa madu dalam kain
serbet ini. Nah, minumlah setetes, tapi awas... kau bohong kupenggal tanpa
persetujuan dari Laksamana.
Mengerti?"
4 UNTUK mencapai Pulau Kramat, harus menyeberangi lautan bergelombang. Ombak yang besar dan karang-karang menjulang runcing merupakan penghalang pertama bagi orang yang ingin menyeberang ke
Pulau Kramat. Dari atas perbukitan karang, Lanangseta berdiri tegak memandang pulau tersebut. Andini duduk pada
sebuah batu karang yang tidak terlalu tajam. Matanya
yang jeli itu ikut memandang ke lautan lepas. Di sana
ada pulau kecil, namun sesungguhnya cukup besar.
Karena terlihat dari jarak yang cukup jauh, maka pulau tersebut kelihatan sebesar jambu monyet.
"Kau yakin itu yang bernama Pulau Kramat?" tanya Lanang kepada Andini.
Rambut Andini yang meriap sebagian itu dibiarkan
dihempas angin, menari-nari di permukaan wajahnya.
"Setahuku, memang itulah Pulau Kramat. Sebab
dulu ada seorang pemberontak di negeri ku, dan tertangkap. Lalu ayahku diberi tugas untuk membuang
pemberontak itu ke Pulau Kramat. Waktu itu, aku masih kecil. Aku ikut di kapal ayahku dan melihat Pulau
Kramat dari jarak cukup jauh."
Lanang menggumam panjang. Rambutnya yang lebat sebatas punggung itu juga dipermainkan oleh angin. Matanya masih memandang tajam dan sedikit menyipit, terlempar jauh ke pulau itu. Seakan pandangannya mengandung tanya: Ada apa di sana"
"Kau ingat siapa pemberontak yang dibuang di pulau itu?" "Aku sudah lupa. Tapi kabarnya orang itu sudah
mati." "Dari mana kau tahu kalau orang itu sudah mati"
Siapa tahu dia masih hidup, lalu bisa menyusun kekuatan dan membuat onar di wilayah ku, kemarin?"
"Tidak. Orang itu sudah mati," jawab Andini. "Sebab, pada suatu hari ulang tahun
negeri ku, raja bermaksud memberi kebebasan dan pengampunan kepada semua tahanan, asal mereka mau mendukung pemerintahan selanjutnya. Ayahku bertugas menawarkan pengampunan itu kepada orang yang dibuang di
pulau itu beberapa tahun yang lalu. Tetapi, menurut
cerita ayahku, orang itu sudah mati. Mati tak terawat, dan tulang belulangnya
tergeletak di pinggir pantai
dengan pakaian yang dikenakan masa pembuangan
itu. Memang pakaian itu sudah tinggal serpihan saja,
tapi ayahku yakin bahwa dialah orang yang dibuang
beberapa tahun yang lalu. Dan... kau tahu, Lanang?"
Andini berpaling memandang Lanangseta.
"Apa...?"
"Pulau itu kosong. Tanpa penghuni. Tapi kalau malam, atau pada saat menjelang matahari terbenam, katanya sering terdengar orang memanggil-manggil perahu yang lewat di sekitar perairan sana. Bahkan, seorang nelayan dari daerah ku pernah tersesat ke pulau
itu, lalu ketika dia bisa lolos dari amukan badai dan
bisa kembali ke rumahnya, ia menceritakan banyak
kengerian yang tak masuk akal." Andini bergidik sendiri membayangkan cerita itu.
"Cerita apa?"
"Ia melihat banyak orang berjalan di sepanjang
pantai tanpa kepala. Dan ia melihat orang-orang berbulu, seperti orang hutan, yang selalu menyeret-nyeret kepala manusia dengan
wajah yang menyeramkan.
Ada yang bilang, itu manusia purba. Tapi ada yang bilang lagi, itu sebuah gangguan roh halus. Mana yang
benar, aku tidak tahu. Tapi yang jelas, pulau itu memang kosong. Dalam setengah hari berjalan kaki, kamu bisa mengelilingi pulau itu melalui pantainya. Berarti tidak begitu luas, kan?"
Sekali lagi Lanangseta memandang jauh ke pulau
tersebut. Ada rasa merinding waktu mendengar cerita
Andini, namun hati kecilnya tidak mau percaya penuh.
Lalu ia membuang perasaan itu. Yang ada dalam pikirannya hanyalah: bagaimana caranya untuk mencapai
perjalanan ke sana. Ombak begitu besar. Banyak karang menonjol di sana-sini. Kalau tidak seorang pelaut sejati, sulit menghindari
karang-karang itu. Sebab karang-karang tajam meruncing itu ibarat pagar yang
mengelilingi Pulau Kramat.
Kalau saja ada Jaka Bego, mungkin ia bisa mencari
jalan menuju ke sana, pikir Lanangseta. Jaka Bego
memang kadang menyebalkan, tapi segala tindakannya
seakan mempunyai arti yang di luar dugaan. Mungkin
saja Jaka Bego bisa berbuat tolol di saat itu, di saat Lanang membutuhkan cara
untuk mencapai pulau
tersebut. Tapi siapa tahu ketololannya itu justru membawa Lanang bisa sampai ke Pulau Kramat itu. Ah,
sayang tak ada Jaka Bego. Ah, sayang orang bego itu
dalam tawanan orang-orang Cina. Ah... ah.... Mampukah ia membebaskan diri sendiri dari tangan orangorang Cina itu"
Lanangseta tak tahu kalau di dalam kamar tahanan Jaka Bego telah terjadi sesuatu yang mengejutkan. Huang Pai, si Algojo bertubuh besar dan berkepala gundul itu telah memberikan apa yang diminta
Jaka Bego: yaitu setetes madu. Huang Pai sempat
mencelupkan ujung serbet ke dalam madu, kendati
untuk itu ia terpaksa ditampar oleh kepala juru masak
dan mengakibatkan giginya rontok tiga biji.
Ujung serbet itu diperaskan ke mulut Jaka Bego
yang menganga dengan lidah terjulur keluar. Huang
Pai mengingatkan sekali lagi:
"Kalau kau bohong, tidak ada kesaktian apa-apa,
akan kupenggal sekarang juga kepalamu! Ingat itu,
ya?" Jaka Bego sedikit mengangguk, karena mulut dan lidahnya sibuk menunggu
tetesan madu dari ujung
serbet. Dan setelah akhirnya ada madu menetes satu
kali ke lidahnya, Jaka Bego segera menelannya dengan
mata berkedip-kedip seperti orang minum jamu kepahitan. "Nah, sekarang tunjukkan kesaktianmu...!" ujar Huang Pai seraya bertolak
pinggang di hadapan Jaka
Bego. Mata Huang Pai yang bulat lebar bagai tanpa kelopak mata itu memandang tajam, seakan siap menunggu saat pelaksanaan menghukum Jaka Bego.
Jaka Bego diam saja. Kedua tangannya masih terentang dalam ikatan tali yang kuat. Kakinya sedikit
ditekuk karena merasa pegal dan nyeri akibat cambukan tadi. Ia menundukkan wajah sambil memejamkan
mata. "Hemm... dia sedang membaca mantera khusus
untuk kesaktiannya," kata Huang Pai di dalam hati.
Huang Pai tetap berdiri dan menunggu kesaktian apa
yang akan di keluarkan oleh tawanannya. Lama sekali
Jaka Bego menunduk dengan mata terpejam. Huang
Pai jadi berdebar-debar, mulai tegang.
"Brengsek...!" cacinya dalam bahasa Cina. "Dia malah tidur...!"
Huang Pai merasa ditipu mentah-mentah, karena
lama-lama ia mendengar suara dengkuran halus.
Dengkuran itu ternyata keluar dari mulut Jaka Bego.
Geram dan dongkol sekali hati Huang Pai dipermainkan begitu. Ia sama saja disuruh menunggui dengan
setia seorang tawanan yang akan berangkat tidur.
Kedongkolan pertama dilampiaskan dalam bentuk
tamparan dua kali. "Plak...! Plak...!"
Jaka Bego masih mendengkur, bahkan semakin
kencang. Kedongkolan ketiga dilampiaskan dalam bentuk
cambukan pada tangan kiri Jaka Bego satu kali.
"Taar...!"
Eh, masih tidur juga. Gemas dan marah tak dapat
ditahan oleh Huang Pai. Ia bermaksud menghajar wajah Jaka Bego dengan suatu pukulan keras. Sekeraskerasnya biar tawanannya terjengkang kaget lalu bangun dari tidurnya. Namun pada saat ia mengangkat
wajah Jaka Bego yang ingin dipukulnya dengan keras
itu, tiba-tiba kaki Jaka Bego bergerak ke depan, keduanya menjejak perut Huang Pai dengan hentakan sangat keras.
Pendekar Cambuk Naga 8 Kutukan Jaka Bego di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Uugh...!" Huang Pai mendelik, nafasnya bagai berhenti beberapa helaan. Ia
terlempar ke belakang dengan kedua kaki melengkung ke depan, nyaris bertemu
dengan kepalanya yang ikut melengkung ke depan.
Akibatnya, punggung Huang Pai beradu dengan dinding, kapal. "Breaak...!" Huang Pai menyeringai kesakitan, ya perut, ya punggung.
Belum lagi kepalanya yang
waktu itu kejatuhan palang pintu darurat yang disandarkan pada dinding itu. "Pletook...!"
"Iyaauww...!" pekik Huang Pai kesakitan. Ia bagai melihat banyak bintang
berputar-putar mengelilingi
batok kepalanya.
Namun pada saat itu, ia masih mendengar suara
orang mendengkur. Ia mencoba memandang tawanannya, dan ternyata tawanannya itu masih tertidur dengan pulas dan mendengkur. Ada beberapa iler yang
sempat menetes karena asyiknya tertidur dengan mulut ternganga sedikit.
Aneh! Huang Pai mencoba memperhatikan dari jarak dekat, dan ia yakin bahwa Jaka Bego memang masih tertidur. Rasa-rasanya tak mungkin orang ini bisa menghindari pukulan, atau bahkan menyerang sekeras tadi,
pikir Huang Pai. Lalu ia melangkah mundur, mengambil jarak untuk menendang Jaka Bego, setidaknya
membalas tendangan yang tadi.
Dengan gerakan cepat kaki kanan Huang Pai meluncur ke dada kerempeng Jaka Bego. Tapi pada detik
yang tak diduga sama sekali, tubuh Jaka Bego terayun
ke belakang. Kedua kakinya merapat dan bergerak ke
belakang, membentuk garis lurus dengan badannya,
sehingga keadaan Jaka Bego seperti burung Elang
yang hendak menukik. Tangannya yang masih diikat
tali itu terentang semua itu seperti sayap burung Elang yang perkasa.
Akibat gerakan tak terduga dari Jaka Bego itu, maka tendangan kaki kanan Huang Pai menembus udara
kosong. Yang lebih mencengangkan lagi, kaki Jaka Bego itu tidak turun-turun. Diam kaku, bagai ada sesuatu yang menopang kaki yang merapat itu. Tapi keadaan Jaka Bego masih tertidur. Melirik sedikit pun tidak. Nafasnya sangat teratur. Dengkurnya masih terdengar jelas. Ia bagai tidur menelungkup di awangawang. Huang Pai terheran-heran, dan mencoba mendekatkan wajah untuk memastikan apakah kedua mata
Jaka Bego benar dalam keadaan terpejam. Tapi pada
saat Huang Pai hendak melihat dari dekat, tiba-tiba
kedua kaki yang merapat itu turun dengan cepat dan
menendang dagu Huang Pai dengan keras.
"Aaoouu...!" Huang Pai mengerang panjang, kesakitan. Tubuhnya kembali terpental
dan membentur dinding kapal. Bibirnya terluka akibat gigi bawah yang tidak ikut patah pada waktu ditampar kepala juru masak itu telah membentur bibir atas. Bibir itu berdarah, dan Huang Pai semakin
dongkol saja rasanya.
Tubuhnya yang besar dan tanpa baju itu segera
bergegas bangkit. Ia hendak menyerang Jaka Bego
dengan jurus andalannya. Tetap ia dibuat tercengang
lagi karena tali yang mengikat kedua tangan Jaka Bego
itu telah lepas. Putus dalam satu hentakan kuat. Jaka
Bego mulai melepaskan sisa tali yang masih melingkar
di kedua pergelangan tangannya. Namun ia masih dalam posisi tertidur pulas: Kepalanya tertunduk lemas,
matanya terpejam, dan kakinya berdiri bagai tidak
seimbang. Sebentar-sebentar ingin jatuh.
Waktu Huang Pai nekad hendak menyerang, tibatiba Jaka Bego bicara seperti orang mengigau.
"Jangan menyerang, Huang... Pai! Kau akan mati
kalau menyerang aku. Tapi kalau kau tidak menyerangku dan mau membantuku keluar dari kapal ini,
kau akan menjadi saudagar kaya di bumi Nusantara
ini." Huang Pai ragu sesaat, karena ia mengira ucapan itu adalah ucapan orang
mengigau. Tetapi sebelum
Huang Pai berbuat sesuatu, Jaka Bego telah bicara dalam tidurnya. "Lihat, pintu itu akan terbuka sendiri...."
"Klik...!" Pintu itu kuncinya bergerak sendiri dan terbuka, namun belum menganga
lebar. Jaka Bego tertawa pelan bagai orang sedang bermimpi.
"Ini adalah kesaktianku, Huang Pai. Aku telah memenuhi janji ku, bukan...." kata-kata Jaka Bego selalu datar. "Dan aku akan
memenuhi janji ku yang tadi, tentang kau akan menjadi saudagar kaya jika tidak
menyerangku. Kau akan kukutuk menjadi orang kaya,
jika kau mau membantuku melarikan diri dari kapal
ini. Kau mengerti...?"
"Hem... ah... an... iya. Mengerti.... Mengerti sekali, Jaka...."
"Hei, hei... dalam keadaanku begini, namaku bukan Jaka Bego. Jangan panggil begitu lagi."
"Hab... hab... habis, har... harus panggil apa?"
"Dewa...."
"Hah..."! Ded... de... dew...."
"Dewa!" bentak Jaka Bego. "Bilang begitu saja susah!" rupanya dalam tidur pun ia
masih sempat menggerutu. Aneh!
"Iyyy... iya. Hemm... Dewa. Ya, Dewa... Dewa Bego?" "Husy! Sembarangan saja!" bentak Jaka Bego lirih, tapi dengan nada suara
yang datar. Aneh. "Bukan De-wa Bego. Tapi... panggil aku Dewa Seribu Mimpi...."
"Banyak amat"!" Huang Pai terperanjat. "Seribu...?"
"Itu hanya nama, Huang Pai. Bukan jumlah uang
atau jumlah kutu busuk di kamar ini."
"Baik, baik...." Huang Pai mengangguk-angguk, membungkuk-bungkuk, memberi hormat
dengan rasa takut. Tangannya saling berdekap erat dan teracungacung di depan wajahnya jika ia menghormat, sekalipun ia tahu bahwa Jaka Bego sebenarnya tak pantas
di panggil Dewa.
Jaka Bego yang masih tertidur seperti orang mengigau itu berjalan limbung menuju pintu yang telah
terbuka kuncinya. Kemudian ia membuka sendiri pintu itu, dan berkata kepada Huang Pai:
"Jalanlah di depanku, Huang Pai. Tunjukkan jalan
yang aman dan bisa untuk meloloskan diri."
"Tap... tapi...."
"Tapi!" sahut Jaka Bego.
"Iya, saya mau bicara soal tapi, hanya saja... gugup."
"Jangan gugup. Jangan takut. Kau ku lindungi.
Kalau kau gugup, tidur saja seperti aku ini...."
"Bisa tidak gugup, ya?"
"Bisa kecebur laut!" jawab Jaka Bego. "Nah, ayo jalan lebih dulu."
"Dewa...." kata Huang pai dengan takut-takut.
"Dewa Seribu Mimpi... Anda tidak akan bisa lolos dari kapal ini!"
Jaka Bego membentak, "Harus bisa! Kenapa tidak
bisa"!"
Huang Pai benar-benar kaget dan sampai terlonjak
tubuhnya. Kegugupannya semakin bertambah. Jaka
Bego membentaknya lagi:
"Kenapa tidak bisa, hah"!"
"Sebab.... sebab di laut... di laut ada airnya... eh, ah... maksud saya...."
"Yang namanya laut pasti ada airnya, Tolol!"
"Maksud saya, di... di tolol, eh... di laut. Ya, di laut."
"Ngomong apa kamu ini, hah" Ngomong apa"!" bentak Jaka Bego lagi. "Yang
jelas...!"
Huang Pai berkeringat, wajahnya pucat. Nafasnya
pun tidak teratur, kadang dihela, kadang ditahan. Tubuhnya gemetar sehingga seakan apa yang dilakukan
serba salah. "Dewa tidak akan bisa lolos, sebab... kapal ini berada di tengah lautan, bukan
merapat ke dermaga.
Kapal ini sedang turun jangkar di tengah lautan. Jarak dari kapal dengan lautan
cukup jauh."
"Jarak kapal dengan lautan cukup jauh..." Lho, ja-di kapal ini ada di mana"
Bukankah ada di tengah lautan?" "Eh, iya... maksud saya...." Huang Pai menyadari kekeliruannya dalam bicara.
"Maksud saya, jarak kapal dengan daratan cukup jauh. Harus ditempuh dengan sampan atau perahu kecil. Hal ini sengaja dilakukan oleh Laksamana, supaya tawanannya, yaitu Anda
sendiri, tidak dapat melarikan diri sebelum menjelaskan di mana letak rumah, atau tempat persembunyian nona Yin Yin dan pemuda yang melarikan nona
Yin Yin itu."
"Ah... itu soal gampang. Mumpung aku masih menjadi dewa, aku bisa merubah lautan menjadi daratan
tandus." "Hah..."!" Huang Pai mendelik. "Hebat sekali, ya?"
"Itu sudah peraturan: Dewa harus hebat. Jangan
heran." Huang Pai manggut-manggut saja dalam kese-riusan. Lalu Jaka Bego
menyuruh Huang Pai keluar
lebih dulu. Menaiki tangga menuju geladak kapal. Pada saat Huang Pai muncul ke geladak, Liu melihatnya,
Liu langsung berseru:
"Hei... Huang Pai, bagaimana dengan tawanan itu"
Sudah mau mengaku?"
Huang Pai kebingungan, sementara itu Jaka Bego
sedang menaiki anak tangga menuju geladak dengan
keadaan tertidur. Dengkurnya terdengar jelas di telinga Huang Pai.
"Sudah kau siksa supaya ia mengaku?" ulang Liu.
"Sudah. Dan... dan dia sudah mengaku...." jawab Hung Pai dalam keadaan bingung.
"Bagus! Mari kita melaporkan pengakuannya kepada Laksamana Chou! Kau hapal dengan pengakuannya
itu, kan?"
"Ya, hapal. Ia mengaku bahwa dirinya adalah dewa
yang sakti...."
"Tolol! Itu bukan pengakuan, tapi penghinaan terhadap kita. Ia menganggap kita ini lebih rendah dari
dia! Mana tawanan itu, aku mau menampar mulutnya." "Tak perlu...! Kau tak perlu ikut masuk, dia sedang... sedang tidur."
"Tidur..."! Tidur bagaimana?" Liu semakin mendekat dan pada saat itu Jaka Bego
muncul dengan kepala terkantuk-kantuk dan mata terpejam lemas. Dengkurnya membuat Liu tersenyum sinis, mengira ia sedang ditipu oleh Jaka Bego. Sebab itu, Liu segera mengambil sikap menyerang Jaka Bego dengan tangan kosong. "Jangan menyerang!" hardik Jaka Bego kurang se-ram. Ia berkata lagi, "Kalau kau
menyerangku, kau akan patah tulang. Tapi kalau kau membantu melarikan diri dari
kapal ini, kau akan diangkat menjadi
nakhoda kapal!"
"Setan! Kau pikir aku bisa tertipu oleh permainan-mu"! Hiaaat...!"
Liu melompat dalam gerak kaki kanan menerjang
Jaka Bego dan kaki kirinya terlipat ke selangkangan.
Tendangan itu dibiarkan meluncur ke arah wajah Jaka
Bego. Kemudian dengan gerak seperti hendak terkulai
jatuh, Jaka Bego miring ke kiri. Kaki Liu nyelonong ke tempat kosong, dan
sebelum pukulan Liu melesat ke
wajah Jaka Bego, ternyata Jaka Bego lebih dulu berhasil menghantam kuat-kuat rusuk lawannya. Bukan
hanya satu kali hantaman, tapi sempat tiga kali hantam dalam satu gerakan cepat yang tak dapat dilihat
mata manusia. "Aaahhk...!" Liu menjerit kesakitan. Ia mengerang sambil memegangi tulang
rusuknya yang tadi waktu
dipukul mengeluarkan bunyi berderak. Patah. Teriakan Liu itu membuat orang kapal bergegas ke tempat
kejadian. Mereka hanya menemukan Liu sendirian
mengerang dan mengaduh sambil telentang di geladak.
"Kenapa Liu...?" tanya mereka yang mendekat.
"Tulang rusuk ku ada yang patah, aauhh... sakitnya...!"
"Kenapa dipatahkan" Kau sudah bosan punya tulang rusuk?"
"Tawanan kita yang mematahkannya, Tolol!" bentak Liu dalam teriakan.
"Tawanan yang mana"! Bukankah dia ada di dalam
kamar tahanan kita bersama Huang Pai" Ah, ngaco saja omongan mu!"
Liu sendiri heran, ke mana Jaka Bego dan Huang
Pai. Mereka tidak kelihatan di ujung tangga seperti ta-di. Ke mana ya"
* * * 5 PARA awak kapal dikerahkan untuk mencari hilangnya Jaka Bego, tawanan mereka. Kesibukan terjadi
di sana-sini. Mereka menggeledah tiap kabin, tiap kamar, dan semua tempat digeledah. Diperiksa dengan
teliti, namun hasilnya nihil. Jaka Bego dan algojo mereka yang bertugas menghukum dan menyiksa tawanan itu telah lenyap. Laksamana Chou menjadi berang. "Buta semua mata kalian!" bentak Laksamana
Chou. "Masa' mencari dua orang dalam kapal ini saja sampai tidak bisa" Mereka
kan tidak mungkin bere-nang ke daratan!"
Tak satu pun ada yang berani membantah atau
pun menyanggah kata-kata Laksamana Chou. Mereka
masih sibuk memeriksa sampai di bagian ruang bawah
kapal, di gudang makanan dan gudang persenjataan.
Tapi tetap saja mereka tidak menemukan Jaka Bego.
"Penghianat! Huang Pai juga penghianat! Penggal
kepalanya kalau dia tertangkap nanti!" teriak Laksamana Chou yang amat marah. Ia
merasa dipermainkan
oleh orang gila semacam Jaka Bego. Sementara itu,
Laksamana segera bicara kepada kepala keamanan
kapal: Chang Hu.
"Cari mereka sampai dapat, lalu pancung kedua
kepala mereka. Tapi kalau sampai besok mereka tidak
tertangkap, kepalamu yang akan kupancung sendiri!
Jelas"!"
"Jelas, Laksamana...!" jawab Chang Hu dengan suara lemah dan gemetar
Chang Hu menggerutu tak habis-habisnya sambil
mencari tawanannya. Bahkan ia sempat berteriak ketika hari sudah menjadi sore: "Jaka Bego...! Di mana kamu! Keluarlah! Kasihanilah
Pendekar Cambuk Naga 8 Kutukan Jaka Bego di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku sedikit, jangan
sampai aku yang dipancung!"
Sebelum gelap menguasai alam jagad raya ini, telah
dikerahkan dua regu pencari memakai sekoci. Kedua
regu itu menjelajah di perairan dengan mendayung
perlahan-lahan. Salah satu regu dalam sebuah sekoci
dipimpin oleh Chang Hu sendiri. Gerutu dan omelannya tak kunjung reda dari tadi.
"Huang Pai benar-benar jahanam...!" katanya sambil memandang di permukaan air,
kalau-kalau ada sesuatu yang mencurigakan. "Dia sudah bekerja dengan kita lebih dari sepuluh
tahun, eeh... sekarang dia mau jadi penghianat, membantu menyembunyikan Jaka
Bego. Uhh...! Apa sebenarnya yang akan ia dapatkan
dengan memihak kepada Jaka Bego"!"
Salah seorang dalam sekoci itu menyahut, "Mungkin bahkan Huang Pai sendiri dalam bahaya. Ia dijadikan jaminan atas keselamatan tawanan kita."
"Hemm... apa mungkin begitu?" pikir Chang Hu.
Namun bagaimana pun geram dan marahnya dia saat
itu, guratan rasa takut dan kecemasan terbayang jelas
di permukaan wajahnya yang gemuk bagai bakpau itu.
Jelas ia sangat khawatir kalau-kalau sampai besok pagi Jaka Bego belum ditemukan. Itu pertanda riwayatnya akan habis! Dipancung Laksamana sendiri.
Sampai menjelang tengah malam, mereka masih
mencari ke mana saja. Mereka belum menemukan
tanda-tanda berhasil. Sampai akhirnya mereka lemas,
terlalu lelah mencari seharian sibuk mencari tawanan
yang seperti mencari setan saja itu. Lalu, mereka tertidur dalam kepenatan.
Hanya beberapa orang yang bertugas menjaga keamanan kapal, termasuk keamanan
barang-barang dagangan mereka berupa... candu dan
rempah-rempah lainnya.
Dalam kesepian malam itu, Chang Hu tidak dapat
tidur. Sebentar-sebentar ia terbangun dan memeriksa
keliling kapal sendiri. Lalu berusaha untuk tidur lagi, kendati otaknya tak
pernah berhenti berpikir. Chang
Hu dan yang lainnya tak tahu, bahwa Jaka Bego dan
Huang Pai bersembunyi dalam gulungan layar kapal.
Mereka membuat diri mereka bagai menyatu dengan
gulungan layar kapal, dan berusaha menahan segala
kepengapan, kegerahan, kehausan atau apa saja. Bahkan ia mulai irit nafas, sebab pergantian udara di situ cukup susah. Mereka
berada dalam satu gulungan
layar besar yang tak sampai dicurigai para awak kapal.
Namun ketika hari sudah menjadi sepi, Huang Pai
jadi sangat cemas, karena dengkuran Jaka Bego yang
masih tertidur terus itu terdengar jelas. Huang Pai takut kalau dengkuran itu
didengar penjaga, dan mereka
bisa ketahuan kalau bersembunyi dalam gulungan
layar. Rupanya kegelisahan dan kecemasan Huang Pai
itu tetap diketahui Jaka Bego, kendati dalam keadaan
tidur. Jaka Bego berbisik di sela dengkurnya:
"Huang Pai, kau sanggup berlari sampai ke daratan?" "Berlari"!" Huang Pai juga berbisik. "Kalau saja kita berada di suatu lembah
atau dataran kering, mungkin
saya sanggup berlari mencapai tempat aman. Tapi, kita
ini kan ada di atas permukaan laut, Dewa."
Jaka Bego mendengkur, sepertinya tidak mendengarkan ucapan Huang pai. Tapi beberapa saat kemudian ternyata Jaka Bego berkata lagi:
"Kalau begitu, mari kita keluar sekarang. Keadaan sudah sepi."
"Bagaimana dengan penjaga" Biasanya kapal ini
biar pun malam dan di tengah lautan, tetap ada orang
yang mendapat tugas jaga. Dan... dan kalau tak salah
malam ini saya juga kena giliran jaga."
"Kalau begitu berjagalah dulu, nanti kita melarikan diri bersama-sama." kata
Jaka Bego seperti orang
mengigau. "Tadi Dewa mendengar sendiri, bukan" Bahwa saya
pun akan dipenggal kepalanya oleh Laksamana. Jadi,
saya rasa saya tak perlu ikut tugas jaga malam. Nanti
malah saya kehilangan kepala."
"Ya, ya... tapi kau bicara jangan terlalu keras. Lu-dahmu menyembur semua ke
wajahku...." bisik Jaka
Bego, lalu mendengkur lagi. Tidak keras, tapi pasti.
Pasti tidur. Malam semakin larut. Rembulan memercikkan sinarnya sedikit saja. Cukup untuk menerangi malam
hingga jadi remang-remang. Perlahan sekali Huang Pai
membuka gulungan layar untuk meloloskan diri. Dan
beberapa saat berikutnya mereka memang berhasil keluar dari gulungan layar.. Jaka belum bangun dari tidurnya. Ia berjalan seperti mayat hidup yang kekurangan nafas. Huang Pai mengendap-endap mendekati
pagar kapal. Ia melongok ke bawah, lalu berbisik:
"Tuan Dewa... di bawah kita ada sekoci ditambatkan...."
"Hah" Kuaci" Untuk apa kuaci itu?"
"Bukan kuaci, tapi sekoci. Perahu kecil. Kita bisa
mendayungnya sampai ke daratan."
"Ide yang bagus. Tapi kau tidak lupa bagaimana
cara mendayung, bukan?"
"O, tidak, Tuan Dewa...! Saya dulu juara mendayung sekapal ini. Dan... oh, berarti nanti saya yang harus mendayung terus
sampai di darat, ya?" Huang Pai seakan baru menyadari tugas yang akan dilaksanakan. Jaka Bego mengangguk samar-samar, seperti
kepala yang sedang terkantuk-kantuk.
"Cepat kau turun lebih dulu, siapkan dayung, pegang kuat-kuat dan...."
"Hei, siapa itu di pinggiran kapal"!" teriak seorang penjaga.
"Gawat, kita ketahuan penjaga, Tuan Dewa," bisik Huang Pai dengan tegang. Lalu
ia buru-buru menuruni
tangga terbuat dari tali yang menuju ke sekoci. Penjaga berpakaian serba hitam
dengan ikat kepala kain merah
itu berjalan mendekati Jaka Bego, sementara Huang
Pai telah turun. Jaka Bego masih tertidur dengan pulas. Penjaga itu mengamat-amati keadaan Jaka Bego.
Ia terbengong tegang.
"Astaga...! Kau..." Kau tawanan yang lepas itu,
kan"!"
Jaka Bego bersandar pada pagar kapal. Penjaga
heran, lalu mendekatkan wajah untuk memastikan
apakah orang yang dihadapi itu benar-benar dalam
keadaan tidur, atau hanya tipuan belaka. Sesaat dalam penyelidikannya, ia yakin bahwa tawanan itu tidur. Tapi tiba-tiba sebuah pukulan keras menghantam
rahangnya, sehingga ia terpekik tertahan dan roboh di
geladak. Jatuhnya tubuh ke lantai papan menimbulkan bunyi cukup keras. Jaka Bego tak mau yang lainnya terbangun karena keributan tersebut. Dengan cepat ia menggerakkan kakinya dan menghentak ke ulu
hati penjaga. Orang tersebut mengerang tertahan, lalu
pingsan. Dengan masih tetap dalam posisi tidur, Jaka
Bego mencoba menuruni tangga menuju sekoci. Di
bawahnya ada dua sekoci. Dalam salah satu sekoci
terdapat Huang Pai yang sudah siap memegangi
dayung dan sudah melepas tali pengikat sekoci. Ia siap jalan.
Ada suara langkah orang di geladak. Huang Pai
menjadi sangat tegang. Ia berbisik keras, "Tuan De-wa... lekas! Ada orang yang
berjalan menuju ke atas ki-ta...!"
Memang. Jaka Bego juga mengetahui adanya bahaya yang mendekat, sebab itu ia segera turun dengan
satu lompatan halus, di mana pada waktu mendarat di
dalam sekoci, tak ada suara yang terdengar sedikit
pun. Lembut dan ketahuan kalau diimbangi dengan
ilmu peringan tubuh yang cukup sempurna.
"Lekas dayung...!" bisik Jaka Bego kepada Huang Pai. "Lekas...! Tunggu apa
lagi"!"
"Tuan Dewa... tuan salah naik. Bukan sekoci itu
yang akan bergerak, tapi sekoci yang saya naiki ini...."
kata Huang Pai dengan gugup.
Jaka Bego mendengkur sebentar. Kemudian berkata, "Sial. Aku salah naik sekoci...!" Ia segera melompat ke sekoci yang di
dalamnya sudah siap Huang Pai
hendak mendayung.
Begitu dayung bergerak beberapa kali, terdengar
suara Chang Hu berteriak keras, "Hoii...! Lihat, itu tawanan kita melarikan diri
dengan sekoci...!"
Semua orang kapal menjadi terbangun dan ikut
memandang ke laut. Mereka berduyun-duyun bahkan
saling berdesak untuk mendapat tempat berdiri paling
pinggir. Mereka melihat gerakan payung Huang Pai begitu cepat, membuat perahu kecil itu melaju dengan
pesat. "Tolol...! Kenapa hanya menjadi penonton! Kejar
mereka...! Kejaaar...!" teriak Hu dengan keras, seperti orang kesetanan.
Jumlah awak kapal begitu banyak, dan mereka berebut turun ke sekoci, bahkan kini ada dua sekoci lagi yang diturunkan dan
dipersiapkan untuk pengejaran
laut. "Cepat...! Cepat...!" teriak Chang Hu yang panik.
"Nyawaku ada pada mereka! Cepat turun dan kejar.
Jangan... aaaaahh...!" Chang Hu terdesak anak buahnya dan akhirnya jatuh
melampaui pagar kapal. Tubuhnya melayang, dan jatuh tepat di pinggiran sekoci
baru. Kakinya menghantam tepian sekoci sehingga
persendian lututnya patah total, sedangkan tubuhnya
terguling masuk ke air laut. Ia berteriak-teriak antara ketakutan dan kesakitan.
Huang Pai mendayung dengan gerakan cepat. Tiga
kapal sekoci lainnya mengejar dengan semangat dan
gerak yang sama cepatnya. Sementara itu, Jaka Bego
tetap tertidur dengan enaknya. Ia bagai tidak menghiraukan ketegangan saat itu.
"Seraaang...!" ada suara lengking yang terdengar.
Huang Pai tahu, itu suara Laksamana Chou. Dan itu
adalah aba-aba untuk perang. Maka tak heran kalau
Huang Pai segera dihujani anak panah yang berhamburan melintasi kepala dan sekitar badannya. Posisi
Jaka Bego sedikit menguntungkan, karena ia sedikit
merebah sehingga kemungkinan terkena anak panah
cukup sedikit. Tetapi Huang Pai, sungguh dalam bahaya. Ia tetap harus mengayuh dayung sambil dihujani
anak panah yang beterbangan bagai lalat di waktu malam. Gemas dan ketakutannya bercampur jadi satu,
malam membuat semangatnya bertambah besar, demikian juga tenaganya.
"Berikan dayung yang satunya padaku...." kata Ja-ka Bego dalam nada datar, mirip
orang mabok. Huang Pai memberikan salah satu dayung kepada
Jaka Bego. Lalu, dengan terhuyung-huyung dan sebentar-sebentar jatuh terduduk, Jaka Bego mengibaskan dayung kian ke mari. Kibasan anginnya membuat anak panah melesat tak beraturan, seakan anak
panah itu terpental sebelum memasuki pusaran angin.
"Hujani panah terus...!" seru seseorang yang ter-baring di dalam sekoci. Rupanya
ia adalah Chang Hu,
yang dalam keadaan sakit, patah tulang lututnya, namun masih ikut serta dalam pengejaran. Jelas hal itu
dilakukan hanya semata-mata ingin menghindari hukuman pancung, seandainya ia gagal menangkap Jaka
Bego dan Huang Pai.
Anak panah terus menghujani sekoci warna coklat
tua. Agaknya sekoci itu sudah cukup lama. Kayu-kayu
papannya mampu ditembus anak panah, dan kini
anak panah itu menghunjam ke badan sekoci beberapa kali. Itu akibat kibasan angin yang timbul dari gerakan dayung Jaka Bego. Berputar dalam satu tangan
bagai kitiran. "Astaga...!" Huang Pai terpekik. "Sekoci kita bocor.
Air mulai masuk...!"
Yang lebih parah lagi, ayunan ombak laut terasa
semakin menghebat. Memang bukan berupa gelombang besar, tapi mampu menggulingkan sekoci kalau
saja hal itu terjadi.
"Tinggalkan sekoci ini, Huang Pai...." ucap Jaka Bego dengan suara sedikit
serak. "Tinggalkan bagaimana, Tuan Dewa?"
"Lari, Tolol! Jangan pakai sekoci ini lagi...!"
Kemudian, sambil tetap memutar dayung di udara
untuk menghalau anak panah, Jaka Bego turun dari
sekoci. Kedua kakinya menapak di air dan terayunayun mengikuti gelombang lautan.
"Ayo, turun dari sekoci...!" perintahnya kepada
Huang Pai, tetapi Huang Pai masih mendelik dan tertegun heran. Ia sangat heran melihat Jaka Bego dapat
berdiri di atas permukaan air laut tanpa tenggelam sedikit pun. Jaka Bego bagai berdiri di tanah yang bergelombang, namun ia masih
dalam posisi tidur dengan
kepala terkantuk-kantuk.
"Turun, jangan bengong saja!"
"Turun bagaimana" Saya mana bisa berjalan di
atas air seperti Tuan Dewa"!" Huang Pai kebingungan dan ngeri.
"Pegang tanganku dan kita lari bersama," kata Ja-ka Bego sambil mengulurkan
tangannya yang lemas
lunglai itu. Sementara tangan yang memutar dayung
sudah berhenti. Huang Pai berdiri, memegangi tangan
Jaka Bego, namun ia belum turun ke permukaan air.
Ia masih dalam sekoci yang mulai memberat karena air
banyak masuk di dasarnya.
"Ayo, lekas...!" desak Jaka Bego. Huang Pai masih kebingungan sebab ia tahu
betul bahwa dirinya tidak
mampu mempunyai ilmu sehebat Jaka Bego. Ia tidak
mampu berdiri di permukaan air seperti itu.
"Aku... aku tak bisa seperti itu, Tuan Dewa...."
"Harus bisa. Ayo, ikuti langkahku...!"
Dengan perasaan bimbing. Huang Pai melangkah
ke permukaan air yang bergolak itu. Byuur...! Huang
Pai tercebur dan gelagepan sesaat. Jaka Bego berseru
Pendekar Cambuk Naga 8 Kutukan Jaka Bego di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lemas: "Jangan bimbang, Tolol! Jika kau bimbang, kau tak akan berhasil melakukan
sesuatu yang di luar dugaan.
Ayo, bangkit dan jangan bimbang...!"
Mereka yang mengejar bertambah dua sekoci, jadi
ada lima sekoci di belakang Jaka Bego dan Huang Pai.
Masing-masing sekoci ada sekitar enam atau tujuh
orang. Kapal layar besar yang sering disebut kapal
layar raksasa itu masih berlabuh pada tempatnya. Tetapi sayup-sayup terdengar teriakan yang tak jelas artinya. Pasti itu teriakan Laksamana Chou yang gemas
sendiri terhadap anak buahnya.
Sementara mereka menghujani panah, Huang Pai
sendiri berulangkali mencoba untuk bisa berjalan di
atas air. Ia masih gagal terus. Namun akhirnya, entah
dengan suatu kekuatan apa, Jaka Bego membentak di
tengah tidurnya: "Berdiri!"
Bentakan itu cukup kuat, mengagetkan Huang Pai.
Dan seakan karena bentakan itu tubuh Huang Pai terlonjak, kemudian di luar kesadarannya ia telah mampu berdiri di samping Jaka Bego. Tangan Jaka Bego
yang lemas lunglai itu masih dipegangi terus dengan
perasaan ngeri masih ada. Tetapi ketika Jaka Bego
memberi perintah dengan bentakan orang yang sedang
tidur: "Lari...!"
Maka, Huang Pai pun dapat lari di atas permukaan
air laut yang bergolak. Laju lari mereka begitu cepat, melebihi kecepatan
sekoci. Bahkan mereka tidak di-ombang-ambingkan ombak seperti sekocinya tadi.
Huang Pai merasa heran, mengapa telapak kakinya
bagaikan berjalan di atas gumpalan es keras. Dingin
tapi keras. Ia sendiri tak pernah menyangka kalau dirinya akan mampu berjalan di atas permukaan air
laut. "Aahk...!" Huang Pai terpekik tertahan. "Saya... ke-na panah, Tuan Dewa...!"
Ada anak panah yang sempat melesat dan mengenai punggung Huang Pai, tapi untung tidak terlalu dalam, sehingga dengan mudah Jaka Bego yang tertidur
itu menarik serta melepaskan anak panah tersebut.
"Ayo, bertahan... daratan sudah kelihatan," kata Jaka Bego seperti orang sok
tahu. Padahal ia terpejam, dan di depan cukup gelap, tapi ia tahu kalau daratan
sudah dekat. Sedangkan Huang Pai yang masih membuka mata dan bahkan membelalak lebar itu, tidak
mengetahui kalau daratan sudah dekat. Karenanya,
Huang Pai terus berlari mengikuti perintah bekas tawanannya. "Aaahk...! Kena lagii...." Huang Pai mengerang dalam pekikan yang tertahan. Kini
pahanya yang terkena
anak panah yang masih menghujani mereka itu.
Jaka Bego berhenti dan mencabut anak panah itu
dengan gerakan cepat, nyaris tidak terasa oleh Huang
Pai. Sambil tertidur dalam keadaan berdiri, Jaka Bego
menggerutu, dan kini ia menghadap ke arah lawanlawannya. Ia berkata seperti hendak berseru, namun
tak mampu berseru karena rasa kantuknya amat berat. "Orang-orang terkutuk...! Lihat saja, tak lama lagi kapal itu akan hancur
disapu badai...!"
Kemudian ia meneruskan pelarian dengan agak
lamban karena kaki Huang Pai membutuhkan topangan tubuh Jaka Bego. Sampai akhirnya, mereka pun
tiba di pantai dalam keadaan basah kuyup. Huang Pai
langsung terjatuh sampai mengerang kesakitan: Punggung dan pahanya terluka akibat tusukan panah pengejarnya. "Bertahan, Huang Pai.... Bertahanlah sebentar, kita harus mencari tempat
perlindungan...." Jaka Bego menyeret-nyeret Huang Pai. Sedangkan Huang Pai
sendiri sudah tak dapat bicara apa-apa, kecuali nafasnya terengah-engah sambil mengerang kesakitan.
Agaknya tak ada pilihan lain bagi Jaka Bego kecuali mengangkat Huang Pai ke suatu tempat. Huang Pai
masih sadar ketika ia merasa diangkat oleh kedua tangan Jaka Bego dengan ringan sekali. Jaka Bego yang
kurus kerempeng itu bagaikan tak merasa keberatan
sedikit pun mengangkat tubuh Huang Pai yang besar
itu. Bahkan dengan satu kekuatan khusus, Huang Pai
sadar kalau tubuhnya dibawa melayang ke atas. Tiga
kali kaki Jaka Bego menghentak ke batang pohon kelapa, dan sampailah mereka di atas pohon kelapa yang
berdaun lebat. Huang Pai sempat berteriak ketakutan
waktu ia menyadari bahwa kini dirinya ada di puncak
pohon kelapa. Ia disandarkan pada pelepah daun kelapa itu. Jaka Bego segera menutup mulut Huang Pai
yang berteriak-teriak kengerian.
"Di sini kita akan aman sementara waktu, asal mulutmu tidak jeplak seenaknya begitu, Huang Pai," kata Jaka Bego.
"Ak... aku.... Sa.... Sssaya... saya takut pada tempat yang ting... tinggi...."
ucap Huang Pai dalam ketakutan yang lebih mencekam jiwanya. "Sayaa...
sssaya... memang tidak berani berada di tempat tinggi...." "Badan gede, muka kasar begitu kok takut di tempat tinggi... Uhh, payah!" Jaka Bego sempat mengomel dan menggerutu dalam
tidurnya. "Kalau begitu, pe-jamkan mata dan jangan sekali-kali memandang ke
bawah!" Huang Pai benar-benar memejamkan mata kuatkuat. Hal itu dilakukan setelah ia berbalik menelungkupkan badan di atas sehelai pelepah daun kelapa. Pelepah itu cukup kuat, dan Jaka Bego ternyata pintar
memilih mana pelepah yang kuat untuk menyangga
tubuh, mana yang tidak kuat.
Masih dalam keadaan tidur, Jaka Bego berusaha
kelapa muda yang ada di bawah kakinya. Dengan
menggunakan gigi dan terkantuk-kantuk Jaka Bego
mengupas sebutir kelapa muda. Ia mengupasnya dengan menggunakan gigi saja. Membesot serat demi serat
sabut kelapa yang ada.
Sementara itu, para pengejar yang menggunakan
sekoci itu mulai mendekati pantai, siap melakukan
pendaratan. Terdengar dari atas pohon suara Chang
Hu berseru dalam suara tertahan:
"Cari mereka sampai ketemu, dan bilamana perlu
bunuh di tempat. Penggal kepalanya lalu kita serahkan
Laksamana! Uuhh...! Sial! Kalau kakiku tidak patah
karena jatuh tadi, kedua monyet itu pasti sudah kudapatkan!" "Chang Hu kakinya patah," bisik Huang Pai sambil memejamkan mata. Jaka Bego
sibuk menyesat serabut
kelapa. "Kalau tak salah, kau pernah mengutuknya di kamar tahanan. Tuan Dewa. Kau pernah mengutuk
Chang Hu, yaitu ketika ia menendang tulang kering
kakimu, Tuan Dewa...."
"Lupakan kutukan itu, toh sekarang sudah terjadi."
Jaka Bego bicara dengan pelan.
Gelap malam membuat para pencari tak melihat
tempat persembunyian Jaka Bego. Apalagi sudah gelap, daun kelapa itu amat rimbun dan banyak buahnya, sudah tentu tempat persembunyian semacam itu
cukup aman. Para pencari itu mulai gaduh dan menyisir daerah pantai dengan barisan pemeriksa dan penggeledah yang bergerak dengan teratur. Mereka berbaris
dalam jarak lima langkah, berjajaran dan serempak
maju ke kedalaman semak belukar tanaman pantai.
Jaka Bego sudah berhasil mengupas kelapa, ia juga berhasil membolongi batok kelapa yang keras itu
dengan salah satu jarinya. Ia segera meminum air kelapa muda beberapa teguk, lalu diminumkan pula kepada Huang Pai. Kemudian ia minum lagi beberapa teguk, tapi tidak benar-benar diteguk habis. Ia menyisakan air itu di dalam mulutnya, lalu dipakai untuk berkumur beberapa saat. Di luar dugaan Huang Pai ternyata Jaka Bego sedang bersiap untuk menyembuhkan luka pada tubuh Huang Pai yaitu dengan cara
menyemburkan air kelapa muda itu dengan pelan dan
setiap luka disemburkan tiga kali. Perih. Memang perih. Huang Pai hampir saja menjerit karena sakit.
"Usahakan untuk tidur, supaya besok kau mendapatkan lukamu sudah sembuh."
"Se... secepat itukah lukaku akan sembuh, Tuan
Dewa?" "Iya, tapi jangan keras-keras bicaramu!"
"Saya terkejut mendengar luka saya akan sembuh."
"Saya juga," kata Jaka Bego.
"Ah, masa Anda juga terkejut, Tuan Dewa?"
"Yaah... sekedar rasa setia kawanku saja kepadamu, kalau kau sengsara akan kubantu untuk ikut merasakan kesengsaraanmu. Kalau kau terkejut, akan
kubantu untuk lebih terkejut lagi. Biasa, itu sikapku.
Sikap saling menolong."
"Sungguh baik hati Anda ini sebenarnya, Tuan Dewa." "O, iya! Kan sudah kukatakan sejak semula, bahwa aku tak pernah berbuat
jahat kepada siapa pun, kecuali benar-benar terdesak."
"Jadi, kalau Tuan Dewa bilang, tidak, kenyataannya juga tidak, begitu" Maksud saya soal kejujuran,
Tuan Dewa."
Sambil terkantuk-kantuk dan bagai malas bicara,
Jaka Bego menjawab. "Itu juga pernah kukatakan kepadamu, bukan, bahwa aku tidak
pernah berbohong,
kalau tidak terdesak."
"Juga tentang nona Yin Yin, apakah Tuan Dewa tidak berbohong?"
"Tidak. Aku tidak bohong. Aku memang tidak kenal
nona Yin Yin. Bahkan... melihatnya pun belum pernah...." "Tapi bagaimana dengan pemuda yang bernama
Ekayana itu" Apakah Tuan Dewa benar-benar tidak
mengenalnya?"
"Benar. Aku berani... eh, kamu masih terus mengorek keterangan dariku, ya" Ingat kita sudah jauh dari
kapal. Kau bukan lagi algojo dan tukang siksa, aku
sudah bukan lagi tawanan mu...!"
"Ma... maaf, Tuan...." Huang Pai menyadari tindakannya.
Dengkuran Jaka Bego semakin keras, bagai berlomba dengan deru deburan ombak di pantai. Huang
Pai tidak tahu, apakah Jaka Bego tidur sungguh, atau
tetap memperhatikan keadaan sekitarnya. Kali ini
Huang Pai merasa hidup di samping pendekar aneh.
Orang sakti yang unik. "Siapa sebenarnya Jaka Bego itu?" pikir Huang Pai sambil
tetap menelungkup di atas pelepah daun kelapa. Lukanya sudah tak seperih tadi.
Ia sedikit tenang. Namun ia tetap tak berani membuka
mata, sebab ia takut melihat bawah. Karena asyik bertanya-tanya dalam hati dengan keadaan mata terpejam, maka tak ayal lagi Huang Pai pun tertidur.
Ketika ia terbangun, ia telah merasakan panasnya
matahari menyengat kulit. Tubuh Huang Pai berkeringat segar. Ia hampir saja berteriak karena membuka
mata, dan begitu mata terbuka ia dalam posisi memandang ke bawah dari suatu ketinggian.
"Tuan Dewa...." sapanya gemetar. Huang Pai tetap memejamkan mata kembali.
"Ssst... bergerak pelan-pelan, jangan bersuara," bisik Jaka Bego. Lalu ia
membantu Huang Pai duduk
dan bersandar pada pelepah daun kelapa itu. Keadaan
Huang Pai sudah menghadap ke Jaka Bego, jadi ia berani membuka matanya sedikit demi sedikit.
Oh, ternyata Jaka Bego sudah tidak tertidur lagi.
Jaka Bego dalam keadaan terbengong memandang ke
bawah. "Tuan Dewa... Anda sudah tidak tidur lagi?"
"Tidur" Hemm.... O, ya... tidak. Eh, apa aku tadi tertidur?" tanya Jaka Bego
dengan heran. "Lho, Tuan Dewa tidak sadar?"
Jaka Bego menggeleng. "Aku malah sedang berpikir
bagaimana caranya turun ke bawah."
"Aneh...!"
"Kamu keterlaluan Huang Pai, membawa kabur
aku saja sampai di tempat setinggi ini."
"Hemm... bukankah, bukankah Anda sendiri yang
membawa saya bersembunyi dari kejaran mereka di
tempat setinggi ini" Mengapa Tuan Dewa jadi bingung
sendiri?" "Tuan Dewa..."!" Jaka Bego bingung. Ia garuk-garuk kepala.
"Bukankah Anda mengaku sebagai Dewa Seribu
Mimpi?" "Dewa Seribu Mimpi" Ah, persetan dengan dewadewaan." "Nah, yang benar yang mana ini?" Huang Pai semakin kebingungan. Ia memberanikan
diri melihat ke
bawah sambil berpegangan lengan Jaka Bego. "Hah..."
Banyak mayat bergelimpangan"!"
"Iya. Aku juga heran tadinya. Tapi setelah kuperhatikan, mereka mayat orangorang kapal, temantemanmu juga."
"Ooh..."!" Huang Pai tegang. "Jadi, siapa yang membunuh mereka" Siapa yang
membantai para pengejar kita?"
"Jangan tanyakan aku! Aku. sendiri sedang berpikir tentang bagaimana cara kematian mereka!" Jaka Bego bersungut-sungut.
Samar-samar Jaka Bego mendengar suara letusanletusan kecil. Arahnya di balik rimbun dedaunan, di
bawah sebarisan pohon kelapa lainnya. Lalu teriakanteriakan kecil terdengar pula, ada yang berteriak karena direnggut maut, ada yang berteriak karena kemarahan. Lalu, Jaka Bego mencoba berdiri untuk melihat
ke arah lain, arah datangnya letusan-letusan kecil dan teriakan-teriakan itu.
"Astaga... ada yang bertarung di sana...." ujar Jaka Bego. Tapi Huang Pai tidak
mendengar ucapan itu. Pikirannya masih dililiti keheranan karena melihat lukalukanya telah sembuh sama sekali. Bahkan tidak meninggalkan bekas sedikit pun. Luka di paha itu, sepertinya tak pernah terjadi luka. Begitu pula sewaktu
Huang Pai meraba punggungnya yang terkena anak
panah tadi malam, ternyata juga tak ada bekasnya sedikit pun. Aneh. Seingatnya, semalam ia disembur
Pendekar Cambuk Naga 8 Kutukan Jaka Bego di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memakai air kelapa oleh Jaka Bego. Tapi secepat itukah lukanya dapat sembuh"
"Oh, ya, ya... aku tahu," kata Jaka Bego.
"Tahu" Tahu tentang apa maksud, Tuan Dewa?"
"Tahu suara letusan itu. Kau dengar letusan itu?"
"Ya.... Saya dengar seperti letusan... itu bukan letusan. Itu lecutan cambuk,
Tuan Dewa. Saya hapal
dengan lecutan cambuk...."
"Benar. Itu lecutan cambuk. Dan pasti lecutan
Cambuk Naga."
"Cambuk Naga"! Cambuk pusaka siapa?"
"Cambuk pusaka milik paman Ludiro. Aku kenal
baik dengan paman Ludiro. Dan, kurasa dialah yang
bertarung melawan orang-orang kapal yang mati di
bawah kita ini...."
Jaka Bego berdiri lagi, Huang Pai tidak berani.
Dengan berdiri pandangan mata tidak terganggu rimbunan daun di sebelah sana. Dengan berdiri Jaka Bego
bisa melihat gerakan silat Ludiro yang menyambar lawannya dengan lecutan Cambuk Naga.
"Eh, itu dia Chang Hu. Ia memberi aba-aba dari perahu kecil. Agaknya kaki Chang
Hu terluka dan tak
dapat dipakai untuk berdiri."
"Seingat saya," kata Huang Pai. "Kaki Chang Hu memang terkena kutukan Tuan Dewa
sehingga benar-benar patah."
"Hah..." Aku mengutuk begitu kepadanya?"
"Iya! Bahkan saya pun pernah Anda kutuk. Satu di
antaranya tentang kerontokan gigi saya ini, Tuan Dewa...." "Astaga...! Aku tidak ingat lagi kok, ya?" Jaka Bego terbengong memandang tiga
gigi atas Huang Pai patah
semua. Tiba-tiba ia harus merunduk, karena angin bertiup
cukup kencang. Makin lama semakin kencang dan
bunyi desau angin menggaung mirip suara lebah sejuta. Ada apa ini" Semakin lama semakin jelas hembusan angin menjadi badai yang mengamuk. Tapi suara
letusan dari Cambuk Naga masih terdengar samarsamar. Suara teriakan semakin banyak dan gaduh.
Ombak bergolak sangat ganas. Jaka Bego berusaha
berdiri lagi memandang ke tempat pertempuran Ludiro. Oh, ternyata pada saat itu Ludiro sedang memutarmutarkan cambuknya di udara. Sementara itu, orangorang kapal berusaha melarikan diri dengan sekoci
menuju kapal induk yang dari pucuk pohon kelapa terlihat kecil itu.
"Huang Pai... teman-temanmu melarikan diri menuju kapal induk, dan menggunakan kapal kecil untuk
ke sana." "Itu siasat tempur Chang Hu. Jika keadaan tidak
memungkinkan lebih baik mundur untuk menyerang
kembali di lain waktu dan kesempatan yang berbeda."
"Uaah...! Mereka berjumpalitan. Lihat, ombak melemparkan perahu kecil yang mereka naiki. Iih... ombak begitu ganasnya mengamuk. Lihat, Huang Pai...
air laut bagai dituangkan ke sana-sini dan... dan... astaga kapal induk itu terbalik!"
"Hah..."! Kapal induk terbalik" Maksudnya kapal
yang dipakai buat menawan Anda kemarin?"
"Iya...! Sini berdirilah... biar kelihatan jelas...."
Huang Pai takut, namun penasaran. Akhirnya ia
nekad berdiri dengan berpegangan pada tubuh Jaka
Bego. Dan ia pun terbengong melihat lautan bergelora,
badai mengamuk, membuat ombak lautan seperti lidah-lidah raksasa hendak menelan bumi. Deburannya
sangat keras mengerikan. Kapal yang dikuasai oleh
Laksamana Chou itu terbalik, kemudian kembali seperti posisi semula, dan... malahan kini terlempar ke
belakang, lalu diam tengkurap bagai bangkai kapal
yang naas. "Gila! Bisa segini hebat kekuatan Cambuk Naga"!"
gumam Jaka Bego. "Dengan hanya diputar-putar saja sudah mendatangkan badai
sebegini hebatnya, apalagi
kalau sampai mengenai benda apapun, pasti benda itu
akan hancur menjadi serbuk yang halus.... Wah, jurus
apa itu yang dipakai paman Ludiro, ya" Pintar juga
dia. Kuakui sungguh pintar paman Ludiro itu. Kapal
sebegitu besar bisa ditunggang-balikkan dengan tanpa
menyentuh sedikit pun...."
"Jelasnya," sambung Huang Pai. "Kapal itu telah termakan kutukan Anda, Tuan
Dewa. Ia benar-benar
disapu badai, seperti yang anda lontarkan tadi malam
dalam sebuah kutukan, yaitu pada saat saya terkena
anak panah dua kali."
"Oh, jadi aku juga mengutuk begitu"!"
Huang Pai mengangguk sekali pun dalam hatinya
heran, mengapa hal itu sampai tidak disadari Jaka Bego. Mungkinkah Jaka Bego pendekar yang lupa ingatan" Mungkinkah karena ia bertarung dalam keadaan
tidur sehingga tidak tahu apa yang ia lakukan"
Memang, aneh sosok pemuda kurus kering dan kerempeng itu. Bahkan sewaktu ia turun dari pohon perlahan-lahan, ia tidak sanggup membantu Huang Pai
untuk turun ke bawah, padahal semalam ia yang mengangkat tubuh Huang Pai dan membawanya loncat tiga
kali hingga sampai di pucuk pohon.
"Paman Ludiro...!" teriaknya ketika ia melihat Ludiro memandang orang-orang
kapal yang berserakan di
lautan lepas. Badai telah reda, dan banyak mayat
mengapung di permukaan air laut. Kayu-kayu pun
mengapung, pertanda kapal maupun sekoci itu pecah
disabet ombak besar tadi.
"Hei, Jaka Begooo...!" seru Ludiro yang tampak tercengang dalam senyum
kegembiraan. Ludiro segera
berlari menemui Jaka Bego. Ia menggenggam erat kedua pundak Jaka Bego seraya berkata:
"Kupikir kau telah dibunuh oleh mereka di kapal
itu!" "Belum sempat, Paman. Aku bahkan sempat melarikan diri dengan bantuan
salah satu dari orang mereka." "Ooh... syukur, syukur.... Kalau tahu begitu seha-rusnya aku tak semarah
tadi. Eh, kau di mana tadi"
Kau melihat aku bertarung dengan mereka?"
Jaka Bego mengangguk. "Aku bersembunyi, Paman. Sejak semalam, aku bersembunyi di pucuk pohon kelapa itu...." jawab Jaka Bego menuding pohon tempat persembunyiannya.
"Malahan orang yang menolongku melarikan diri masih di pucuk sana, ia tak
berani turun. Takut...."
Ludiro menertawakan kata-kata Jaka Bego. "Kalau
begitu, mari kita bantu menurunkan dia...." kata Ludiro. Sambil berjalan ke arah
pohon kelapa yang masih
dihuni Huang Pai, Ludiro berkata kepada Jaka Bego:
"Habis ini kita ke Pulau Kramat."
"Pulau Kramat"!" Jaka Bego merasa heran dan masih asing nama itu bagi telinganya. "Kenapa harus ke sana?"
"Bunga Teratai Wingit dicuri orang."
"Hah..."! Dicuri orang"! Siapa yang mencurinya?"
"Itu yang sedang diselidiki Lanangseta. Ada kabar yang mengatakan bahwa bunga
itu dibawa pencurinya
ke Pulau Kramat."
"Jadi..." Jadi Lanangseta sampai sekarang belum
menikah dengan putri Bukit Badai?"
"Pernikahannya terpaksa tertunda, karena ia harus mendapatkan bunga teratai
itu." "Pernikahan yang tertunda...?" Jaka Bego seperti sedang bicara pada dirinya
sendiri. Lalu ia berkata dalam hati, "Mungkinkah itu akibat kutukan ku sewaktu
aku diseret-seret Chang Hu dan anak buahnya" Tapi...
tapi waktu itu aku melihat Lanang memperhatikan aku
dari tempat persembunyian." Jaka Bego terbengong, ia belum tahu bahwa yang
memperhatikan dia itu bukan
Lanangseta, melainkan adik kembarnya yang bernama
Ekayana. Pemuda itu pula yang dicari-cari oleh Laksamana Chou atas tuduhan melarikan putrinya yang
bernama Yin Yin.
Kalau begitu, bagaimana nasib putri Laksamana
Chou yang bernama Yin Yin itu" Apakah Ekayana yang
bergelar Pendekar Maha Pedang itu benar-benar jatuh
cinta Kepada Yin Yin" Jadi, bagaimana nasib Andini jika Ekayana bercinta dengan Yin Yin" Dan yang utama
lagi... apakah Lanang akan berhasil merebut kembali
bunga Teratai Wingit dari Pulau Kramat" Bukankah
kata Andini pulau itu kosong. Kalau begitu, siapa
orang yang mencuri bunga teratai Wingit itu" Orang
yang dibuang oleh pemerintah negeri asal Andini" Bukankah orang itu sudah mati"!
Banyak yang belum terungkap. Namun kutukan
Jaka Bego telah banyak yang menjadi kenyataan. Kapal Laksamana Chou disapu badai, kaki Chang Hu patah, perkawinan Lanangseta tertunda, dan apakah
Huang Pai akan menjadi saudagar kaya seperti kutukan aneh yang terlontar dari mulut Jaka Bego"
TAMAT Scan by Clickers
Juru Edit: Lovely Peace
PDF: Abu Keisel
Document Outline
* * * 2 * * * 3 4 * * * 5 TAMAT Kisah Pedang Bersatu Padu 4 Asmara Berdarah karya Kho Ping Hoo Bangau Sakti 25
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama