Ceritasilat Novel Online

Rahasia Sendang Bangkai 2

Pendekar Cambuk Naga 2 Rahasia Sendang Bangkai Bagian 2


Andini akan bicara lagi, tapi
tangannya dicengkeram oleh Gopo dengan gemas, sehingga ia terpekik tertahan.
Sumo Barong berkata kepada Andini, "Aku pimpinan begal Gunung Carakan! Kalian
telah memasuki wilayah kami, berarti kalian siap kami rampok."
Andini masih menyahut dengan gaya manjanya, "Kami tidak punya barang berharga
apa-apa" Kamu mau merampok apa?"
Sumo Barong terkekeh. "Memang kamu tidak membawa barang yang
berharga,.namun tubuhmu... dan tubuh teman perempuanmu yang satu itu..." Sumo
Barong ketawa sejenak. "Itu sudah bisa dijadikan barang rampokan kami, tahu?"
"Tubuhku sudah ada yang punya. Aku punya kekasih. Aku tak mau tubuhku kau
sentuh. Aku jijik sama kamu, Barong!"
"Jijik...". Jijik.." Ha, ha, haa..." teman-teman Sumo Barong ikut tertawa.
"Jijik itu kelihatannya, Nona manis. Tapi jangan hanya dilihat, rasakan dulu,
baru kau akan ketagihan."
Kemudian mereka tertawa lagi.
"Ah, kamu bohong!" ujar Andini polos. Sumo Barong nekad mendekat.
Ludiro ingin bertindak, tapi tangan Sekar Pamikat memberi isyarat agar Ludiro
diam dulu. "Jangan sentuh tubuhku..." ujar Andini. Tapi Sumo Barong nekad menyentuh pipi
Andini. Sayang, belum sampai tangan Sumo Barong menempel di pipi, rambut Andini
yang panjang dan saat itu
terkumpul ke depan segera disabetkan ke tangan Sumo Barong seraya Andini
berkata, "Nakal...!"
Di luar dugaan yang lainnya, Sumo Barong menjerit sekuat tenaga. Tangannya yang
terkena sabetan rambut Andini itu menjadi biru, kaku dan membengkak dalam tempo
singkat. Sumo Barong
jingkrak-jingkrak karena kesakitan.
Teman-temannya bersiaga, sementara itu Gopo terbengong melihat kejadian itu.
Hatinya sedikit gemetar melihat
kenyataan, bahwa rambut panjang Andini ternyata mempunyai kekuatan yang cukup
dahsyat. Hanya disabetkan dengan ringan, tangan Sumo Barong bisa menjadi separah
itu, seakan habis ditimpa pohon besar.
Andini sempat tersenyum kepada Gopo.
Gopo melengos, merasa terejek. Sedangkan Sekar Pamikat dan Ludiro tetap
berjaga-jaga menunggu datangnya
serangan. "Kamu nakal, Barong! Itulah
akibatnya kalau anak nakal!" kata Andini polos sekali. Gopo hanya mendengus
kesal. "Jangan diam saja!" bentak Barong kepada anak buahnya. "Serang mereka, bunuh!
Tapi perempuannya jangan!"
Sebelum anak buang Sumo Barong
bergerak, Gopo sempat berseru kepada kawan-kawannya.
"Tutup telinga kalian!"
Tapi Sekar Pamikat dan yang lainnya tidak menghiraukan kata-kata Gopo.
Mungkin karena anak buah Sumo Barong telah lebih dulu menyerang, sehingga mereka
sibuk mempertahankan diri. Ludiro meloncat-loncat menghindari kibasan golok dan
tombak. Demikian juga Sekar Pamikat, sibuk menangkis serangan lawan dengan
pedang Jalak Patinya. Denting bunyi senjata beradu terdengar tak begitu seru,
karena hanya Sekar Pamikat saja yang menggunakan senjata untuk menangkis
serangan musuh. Sedangkan yang lainnya, meloncat, menghindar, dan begitu
seterusnya. Sementara itu, Andini kelihatan tak begitu serius menghadapi mereka.
Ia berlari ke sana ke mari, menghindari tangkapan lawannya. Gopo sibuk mengadu
lengannya dengan
tombak-tombak besi, sehingga lama-lama tangkisan lengannya terasa sakit juga.
"Ini akan melelahkan kita, Putri Sekar..." kata Gopo dalam kesempatan berdekatan
dengan Sekar Pamikat. "Tak mungkin kita harus membunuh sekian banyak."
"Heaaat...!" Sekar Pamikat menangkis kilasan pedang yang nyaris membabat kepala
Gopo. Ia berkata kepada Gopo sambil menghadapi serangan lawan,
"Apa gagasanmu, Gopo...?"
"Kabur! Kita harus lari menghindari mereka!" bisik Gopo.
"Pertahanan mereka cukup rapat...!"
"Tutup semua telinga, kataku! Ikuti sajalah...!" Gopo merunduk, lalu melancarkan
tendangan ke kaki lawan.
Goloknya yang terselip di pinggang sengaja dibiarkan mendekam di sarungnya.
Ia belum perlu menggunakan. Sia-sia saja, pikirnya. Musuh begitu banyak dan akan
melelehkan. "Aku akan membuat jalan untuk lari, tutup semua telinga!" sekali lagi Gopo
bicara pada saat ia berdampingan dengan Ludiro dan Sekar Pamikat. Saat itu,
Andini berlari lincah bagai kelinci yang sukar ditangkap.
"Sekarang...!" kata Gopo. Dengan cepat Ludiro dan Sekar Pamikat menutup telinga
mereka menggunakan tangan.
Mereka tak tahu apa yang akan dilakukan Gopo, tapi yang jelas, pada saat itu
Gopo berteriak keras sekali:
"Hooooaaaaaaa...!!!"
Teriakan itu cukup panjang dan
keras. Da-undaun bergoyang kencang bagai ada hembusan angin puyuh. Sumo Barong
dan kawanannya menjadi kejang, mereka memekik kesakitan. Mereka mencoba menutup
telinga, tapi tak berhasil. Dari telinga mereka masing-masing keluar darah
segar. Lalu beberapa orang ada yang sudah menggelepar, berjatuhan. Tombak dan
pedang banyak yang patah. Dahan pohon pun retak, bahkan ada yang sempat
menjatuhi kepala anak buah Sumo Barong.
Bumi tempat mereka berpijak menjadi goncang bagai ada gempa mendadak.
Sementara itu, nyala api kian mengecil.
Dan di suatu tempat, Andini yang tak sempat menutup telinga hanya diam.
Berhenti bergerak, berdiri menunduk, bagai sedang memusatkan konsentrasi untuk
menanggulangi suara Gopo yang punya kekuatan dahsyat itu.
Sumo Barong roboh menggelepar dan men jerit-jerit. Gopo memperpanjang suaranya.
Anak buah Sumo Barong semakin berjatuhan. Pada saat itu, Gopo berseru kepada
kawan-kawannya.
"Lekas, lari...!"
Memang, ada jalan untuk lari.
Barisan anak buah Sumo Barong tidak serapat tadi. Mereka berjatuhan sambil
menggelepar menahan sakit pada telinga mereka. Bahkan ada yang sekarat
sebentar, lalu mati. Saat itulah Sekar Pamikat melesat masuk ke semak
kegelapan. Diikuti oleh Ludiro dan Gopo.
Mendadak Gopo teringat sesuatu, ia kembali lagi dan dengan kasar menyeret Andini
untuk kabur. "Cepat lari...! Tinggalkan tempat ini...!"
"Aku capek. Kakiku lelah
berlari-larian...!" Andini memanjakan diri. Gopo jengkel, namun segera
menggendong Andini dan ia pun melesat lari menyusul Sekar Pamikat dan Ludiro.
Andini yang berada di pundak Gopo masih rewel.
"Pelan-pelan, Gopo! Pinggangku sakit nih...!"
Gopo tidak peduli, ia berlari dengan langkah lebar. Hentakan kakinya
menggetarkan tiap jengkal tanah yang diinjaknya. Dalam waktu singkat ia berhasil
menyusul Ludiro dan Sekar Pamikat.
Malam yang gelap, hutan yang lebat, membuat mereka saling bertabrakan.
Ludiro nyaris terinjak Gopo sewaktu ia tersandung agar pohon. Sekar Pamikat
selalu berada di depan.
Untuk memberi tanda kawan-kawannya ia selalu berkata, "Cepat... cepat...!
Belok ke kiri...! Terus...!" Sementara itu Andini seperti naik kuda binal yang
susah diatur. Perutnya terasa mual, dia minta diturunkan. Tapi ketika diturunkan
oleh Gopo, ia malah minta beristirahat.
"Setan bawel...!" Geram Gopo yang kemudian tanpa peduli omelan Andini ia
mengangkat tubuh ramping itu. Ia berlari menyusul Sekar Pamikat. Andini merasa
dirontokkan isi perutnya oleh langkah-langkah Gopo.
"Sekar, berhenti dulu..." Kata Gopo, dan Ludiro pun berhenti lebih dulu, lalu
Sekar mengikuti.
"Ada apa?"
"Kalau tak salah, di samping kiri kita ini ada goa. Aku mendengar gema langkah
kita..." ujar Gopo seraya ia mendekat arah yang dimaksud.
Gelap sekali. Mereka tak dapat
melihat ada lobang dalam jarak tertentu.
Tetapi terdengar suara Gopo dari tempat yang gelap berkata, "Benar, ini ada
sebuah Goa."
Mereka mendekat. Andini minta
dituntun Ludiro.
"Sayang mulut goa ini terlalu kecil," kata Sekar Pamikat setelah merabahya
beberapa saat. "Ada batu penghalang yang. menutup goa ini....
Mendadak mereka mendengar derap
kaki para pengejar. Obor-obor bergerak di kejauhan mendekati arah mereka.
Rupanya anak buah Sumo Barong yang belum sempat mati, menjadi penasaran dan
mengadakan pengejaran.
"Mereka mengejar kita, Putri," kata Ludiro tegang.
"Ada obor... Aku akan pinjam obor mereka," kata Andini.
Dengan kasar Gopo meraih baju Andini dan menariknya.
"Jangan bodoh kelewat
batas, Andini! Kembali!"
"Ihh...! Robek bajuku, tolol!"
teriak Andini. Ada suara di kejauhan,
"Itu dia...! Suaranya di sana!"
"Dengar, mereka mendengar suaramu,"
bentak Ludiro kepada Andini. Andini hendak membantah, tapi Sekar Pamikat segera
menutup mulut Andini. Sekar berkata kepada Gopo dengan suara pelan:
"Geser batu penutupnya. Kita masuk goa, dan tutup kembali. Kau sanggup, Gopo?"
"Tentu, Putri Sekar...!" jawab Gopo. Kemudian ia segera mengerahkan tenaganya,
mendorong batu itu. Dan ternyata batu itu pun bergerak lamban.
Mulut Goa terbuka sedikit.
"Cukup untuk masuk satu persatu,"
ujar Sekar Pamikat. Kemudian Sekar masuk lebih dulu. Disusul Ludiro, dan Andini.
Tapi Andini keluar lagi.
"Ada apa?" bentak Gopo.
"Seram. Dalamnya juga gelap..."
"Masuk!" seraya Gopo mendorong tubuh Andini ke dalam. Ludiro menarik Andini.
Sementara itu, Gopo masih tertinggal di luar, tubuhnya sukar masuk karena
besarnya. Ia mendorong batu penutup sekali lagi, saat itu anak buah Sumo Barong
semakin dekat. * * * 5 KETEGANGAN mulai mereda sejak Gopo menutup kembali pintu goa tersebut. Batu
besar itu telah rapat dengan pintu goa, sehingga setidaknya mereka merasa aman
untuk sementara waktu.
"Di sini juga gelap," suara Andini yang manja bergenia. Tapi tak satu pun dari
mereka berempat yang menanggapi kata-kata Andini.
"Paman, jangan jauh-jauh dari kita," bisik Sekar Pamikat yang juga terdengar
menggema. Mereka saling tak menatap muka. Gelap lebih dari pekat.
Gopo sendiri tak tahu kalau Andini sudah bergeser menjadi di depannya, sehingga
ketika ia hendak melangkah, Andini menjerit:
"Aaoww...!"
"Sssttt...!" Ludiro mendesis.
"Gopo menginjak kakiku!"
"Brengsek," gerutu Gopo. "Hanya tersentuh jempol kakiku saja bilang menginjak!"
"Tapi sakit, tolol!" geram Andini.
"Berhentilah menjadi anak ingusan, Andini," kata Sekar Pamikat dengan tenang.
"Ada yang perlu kita kerjakan lebih daripada sekedar cekcok dan ribut-ribut."
Andini diam. Mungkin cemberut atau bersungut-sungut, tak jelas. Tak ada yang
dapat saling memandang wajah. Namun mendadak Gopo bicara dengan penuh semangat,
"Putri Sekar... aku yakin, goa ini cukup dalam dan lebar."
"Darimana kau tahu?" gumam Ludiro.
"Gema. Gemanya dapat menjadi ukuran lebar dan dalamnya goa ini."
Andini menyahut dengan ketus,
"Semua goa juga menggema. Kau pikir kami ini orang bodoh."
"Kami memang bukan orang bodoh, selain kamu!" balas Gopo dengan ketus pula.
Lalu terdengar suara Sekar Pamikat yang ternyata sudah berada dalam jarak lebih
jauh dari mereka. "Paman Ludiro!"
"Sekar..." Gopo yang menjawab dengan cemas, sebab ia tahu suara Sekar menjauh,
berarti Sekar telah merayap masuk ke daerah dalam goa.
Kemarilah kalian. Pelan-pelan,"
kata Sekar Pamikat. "Aku menemukan seberkas sinar di sana...."
Kemudian mereka saling tergesa-gesa menuju ke arah Sekar Pamikat. Ludiro
terjatuh, suara tubuhnya berdebam menimbulkan gema. Sekar Pamikat bersuara
cemas, "Siapa itu yang jatuh?" Tetapi Andini yang menyahut:
"Aku. Habis tak ada yang
menuntunku."
"Gopo, tuntun Andini," perintah Sekar Pamikat.
Gopo menggerutu dan sengaja tak mau menuntun Andini. "Setan bawel! Yang jatuh
Ludiro, dia yang mengaku!"
Kemudian mereka sampai di tempat
Sekar Pamikat berdiri. Agaknya mereka berdiri di suatu tikungan jalan goa.
"Lihat," Sekar berbisik. "Di sana ada seberkas cahaya sinar. Pasti ada jalan ke
sana." "O, ya. Benar," kata Gopo. "Kurasa di sana ada orang. Tapi, siapakah sebenarnya
penghuni goa ini?"
Andini menggumam pendek, kemudian melangkah mendahului mereka. Sekar Pamikat
segera menggaet baju Andini dan berkata, "Jangan gegabah. Matilah nanti setelah
bertemu dengan kekasihmu yang tampan itu!"
"Aku akan mencari tempat terang. Aku ingin melihat betisku apakah lecet atau
tidak. Tadi kurasakan ada benda tajam menggores betisku."
"Lepaskan dia, Putri Sekar," ujar Gopo. "Biarlah kalau memang ia ingin mati
lebih dulu, silakan saja."
Ludiro bagai menggumam.
"Bertindaklah penuh perhitungan.
Siapa tahu di dalam goa ini banyak jebakan."
"Jebakan?" Andini bernada was-was, lalu ia melangkah mundur sampai
menyentuh tubuh Gopo. Dengan kasar Gopo sengaja mendorong kepala Andini dengan
satu hentakan: "Bandel!"
"Kurang ajar kau...!" Andini sewot.
Ia menampar Gopo. Tapi ia tidak tahu kalau Gopo telah bergeser ke samping,
sehingga tamparan tangannya mengenai wajah Ludiro.
"Plok...!"
"Aduh," pekik Ludiro. "Kok yang ditampar aku"!"
"Oh, kau Ludiro" Maaf kukira Gopo..." terdengar pula Gopo terkekeh tertahan
menertawakan kesalahan Andini.
Agaknya mereka tak tahu kalau Sekar Pemikat sudah berhasil maju ke depan,
menjauhi mereka. Suaranya terdengar di sebelah sana, "Aman. Kemarilah...!"
Setapak demi setapak mereka
melangkah. Terus menyelusup ke dalam goa. Sekar Pamikat paling depan, sebab
dialah yang mempunyai keyakinan lebih waspada ketimbang yang lain. Dia berani
menghadang bahaya jika datang dari depan.
"Perutku lapar lagi," gerutu Andini. Dan tak satu pun yang memberi komentar atas
kata-kata itu. Semakin jauh mereka menyerusuk ke dalam goa, semakin dekat mereka dengan cahaya.
Sejauh itu, memang tak ada halangan apa-apa. Jebakan pun tak ada.
Qopo menyimpulkan, goa itu memang masih perawan, belum pernah ada yang
menjamahnya. Tentu saja ia berkesimpulan begitu, sebab ia tidak menemukan
sesuatu yang ganjil dan membahayakan. Dinding goa yang lembab, dan lantai yang
dingin, membuat pikiran Gopo jadi berjalan serta berkeyakinan, bahwa Goa
tersebut pasti mempunyai lobang lain di suatu tempat.
Cahaya sinar semakin dekat, sampai akhirnya mereka berhenti dalam jarak beberapa
langkah lagi sebelum memasuki lorong bercahaya.
"Sepi," bisik Sekar kepada Ludiro.
"Ya. Tapi siapa yang menyalakan obor di dalam goa ini" Siapa yang ada di dalam
cahaya terang itu?"
"Setan, mungkin," bisik Andini.
"Ssstt..." Sekar Pamikat mendesis.


Pendekar Cambuk Naga 2 Rahasia Sendang Bangkai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Diamlah di sini dulu, biar aku yang menyelidiki ke sana."
Sekar Pamikat melangkah dengan
hati-hati, berusaha mengurangi bunyi langkahnya. Semakin dekat semakin jelas apa
yang bersinar di lorong itu. Ternyata lorong tersebut dipenuhi dengan tumbuhan
lumut. Dinding lorong yang lembab penuh dengan tanaman lumut yang mengeluarkan
cahaya. Karena waktu itu belum ada dan belum dikenal istilah fosfor, maka mereka
menamakan tanaman itu sebagai
'lumut bercahaya'.
Mereka datang mendekat setelah
Sekar Pamikat memberi perintah. Mereka memandang penuh kekaguman, Tak satupun
yang berbicara selama beberapa saat.
Mata mereka melebar, memandangi tiap lumut bercahaya dengan kagum. Mereka dapat
mehhat kalau lorong itu cukup panjang. Memang sedikit sempit dari mulut goa,
namun jelas mempunyai alur yang dalam.
Andini ingin memegang lumut itu,
tapi tangan Gopo menepaknya seraya berkata, "Jangan sembrono. Siapa tahu tanaman
ini beracun!"
"Tapi tidak perlu sekasar itu! Sakit kan"!" Andini cemberut manja sambil
mengusap-usap tangannya.
Lorong yang terang menampakkan
dinding yang basah dan lantai yang lembab. Sekar Pamikat melangkah setapak demi
setapak dengan hati- hati dan penuh kewaspadaan, demikian juga Ludiro. Hanya
saja Gopo dan Andini agak kurang
berwaspada, sehingga pada suatu saat, mereka terpeleset dan jatuh
terpelanting. Keduanya sama-sama
terpekik, dan Ludiro menggerutu tak jelas.
"Selamat... selamat..." kata Andini." Untung tubuhmu yang sebesar gajah tidak
menindihku."
Gopo menggeram, menahan dongkol
dikatakan sebesar gajah. Kalau tak memandang Sekar Pamikat, mungkin gadis itu
sudah ditamparnya sejak tadi.
"Apakah kita harus melangkah terus?" kata Ludiro entah ditujukan kepada siapa
saja Dan kali ini, Gopo yang menyahut.
"Kurasa begitu. Aku yakin ada jalan keluar di ujung lorong ini. Entah tembus ke
mana. Tapi pasti ada jalan menuju luar."
"Kita kembali saja ke mulut goa yang tadi. Keluar lewat sana," usul Andini.
"Kalau ingin terkena sengatan Sumo Barong, silakan!" jawab Gopo dengan ketus,
dan lagi-lagi Andini cemberut kesal. Namun mereka tetap melangkah dengan hatihati mengikuti tapak kaki Sekar Pamikat. Mereka berusaha untuk tidak menyentuh
tanaman lumut bercahaya itu. Mereka takut terkena racun yang mungkin lebih ganas
serta lebih jahat dari racun yang pernah membusukkan daging tubuh Ludiro itu.
Entah berapa lama mereka melangkah menyusuri lorong berdinding lumut terang.
Tanah yang mereka pijak sudah tak sebasah tadi. Memang masih lembab, namun tak
membuat basah pada kaki. Sementara udara yang ada di sana adalah udara dingin.
Dingin yang mencekam tulang belulang mereka. Andini sejak tadi memeluk
dirinya sendiri, tangannya
terlipat di depan dada. Ia sempat berkata,
"Kalau tahu akan begini, aku pasti membawa jubah penghangat tubuhku." Dan katakata itupun tak ada yang
menyambutnya. Agaknya perjalanan mereka sudah
cukup jauh. Mata Andini telah sayu, terkantuk-kantuk. Tapi lorong bercahaya itu
masih panjang. Entah berapa lama lagi mereka akan menemukan jalan keluar dari
goa tersebut. "Kita beristirahat dulu, sambil memikirkan jalan keluar dari goa ini,"
usul Ludiro kepada Sekar Pamikat.
Sekar Pamikat menggumam. "Jalan keluar jelas ada di ujung lorong. Tapi seberapa
jauh ujung lorong ini, kita tidak tahu. Dan kita sendiri telah masuk ke dalam
goa terlalu jauh dari mulutnya yang tadi."
Sekar Pamikat berhenti, kemudian
melepas pedang dan sarungnya. Ia duduk di tanah yang sedikit lembab. Lalu yang
lainnya mengikuti. Tanpa perduli keadaan kotor dan dingin, mereka beristirahat
melepas lelah. Pada saat itu Andini mulai terkantuk-kantuk. Akhirnya dengan tak
perduli apa-apa lagi, ia berbaring di tanah dan menggunakan betis Gopo sebagai
bantalan. Ia tertidur dengan pulas.
Sementara itu, Gopo pun mencari tempat untuk bersandar, yaitu suatu dinding
lorong yang tidak ditumbuhi lumut.
"Putri Ayu... silakan tidur
beberapa saat. Biar saya yang
berjaga-jaga," kata Ludiro dengan penuh kesetiaan.
"Tak usah, Paman. Cukup dengan duduk begini saja aku sudah bisa melepaskan
lelah," kata Sekar Pamikat. Tapi nyatanya, ia tertidur juga dalam keadaan duduk
tegak. Dan Ludiro membiarkan Dewi Cambuk Naga lelap tertidur. Ia berusaha
menahan diri dari kantuk, dan tetap berwaspada menjaga kemungkinan
kemungkinan yang tak diinginkan.
Cukup lama juga mereka tertidur.
Cukup lama juga Gopo mendengkur. Bahkan setelah beberapa saat Gopo mendengkur,
ada beberapa lumut yang berjatuhan karena getaran dengkur Gopo.
Ketika Sekar Pamikat terbangun, ia menemukan Ludiro sedang memakan lumut
tersebut. Sekar Pamikat terkejut dan sangat cemas.
"Paman" Kau telah memakan tanaman itu"!"
"Ya, Putri Ayu. Saya tak tahan kantuk, lalu saya coba-coba memakan lumut-lumut
ini. Ternyata tidak beracun.
Dan... yang jelas rasa kantuk saya menjadi hilang sehingga saya dapat berjagajaga selama ini."
Sekar Pamikat memandang bengong
pada lumut-lumut bercahaya yang sedang dimakan Ludiro.
"Putri mau memakannya?"
Sekar Pamikat menggeleng dengan
masih tampak tegang. "Siapa tahu racun tanaman itu bekerja di kemudian hari."
Kini Ludiro yang menjadi tegang. Ia buru-buru membuang beberapa genggam lumut
bercahaya yang masih di tangannya.
Ia menjadi menyesal. "Benar. Siapa tahu racun itu bekerja di kemudian hari
dan... dan sangat berbahaya...?" pikirnya.
Tapi... benarkah begitu" Ludiro
masih terbengong pada saat Andini terbangun dan menggeliat sambil menguap.
Tak lama kemudian Gopo ikut terbangun dan menguap. Hembusan nafasnya sempat
merontokkan beberapa lumut sehingga Andini ketakutan tersentuh lumut
tersebut. Badan mereka terasa segar. Semangat mereka seakan kembali membara. Ketika Sekar
memerintahkan untuk bergerak lagi, mereka bangkit serentak dan berjalan
menyusuri lorong itu. Tetapi dalam perjalanan kali ini, Ludiro kelihatan banyak
termenung. Kegelisahan mewarnai wajahnya, dan hal itu diketahui oleh Andini.
"Kenapa gelisah. Ludiro?"
"O, tidak..." Ludiro menggeragap.
"Tidak apa-apa. Aku hanya..."
"Melamun?" sahut Andini.
"Hemm... ya. Melamunkan orang-orang yang akan kita hadapi di Sendang Bangkai
nanti." "Ah, lupakan saja dulu," ujar Andini. "Kita tadi toh sudah mengadakan pemanasan
dengan Sumo Barong dan anak buahnya. Dari situ seharusnya kita bisa mempelajari,
berapa besar kekuatan kita berempat dan taktik apa yang harus kita gunakan untuk
menyerang orang-orang Sendang Bangkai."
"Apa mereka berbahaya sekali?" Gopo ikut angkat bicara.
"Menurut keterangan yang kuperoleh dari Penghulu Badra, memang berbahaya sekali.
Buktinya, dua anak buah Peri Sendang Bangkai yang bertarung melawanku itu, cukup
berilmu tinggi. Gerakannya gesit, dan pedangnya mengandung racun yang
membahayakan. Tentunya,
orang-orang Sendang Bangkai juga mempunyai pedang semacam itu."
Sambil melangkah terus, Gopo
menggumam. Sekar Pamikat berjalan dengan kebisuan, namun sebenarnya ia menyimak
pembicaraan Ludiro tadi. Ada sedikit kekhawatiran pada Sekar Pamikat tentang
Ludiro yang telah memakan lumut
bercahaya tadi, tapi ia buru-buru mengatakan, "Ah, tak apa," di dalam hatinya.
Ia ingin memusatkan perhatian hanya pada Lanangseta.
Mereka berhenti melangkah, karena sekarang lorong itu terbelah menjadi dua arah:
ke kiri dan ke kanan. Yang ke kiri dindingnya tidak berlumut dan gelap.
Yang ke kanan, dindingnya masih berlumut dan terang. Mereka sedikit bi-ngung
untuk menentukan langkah ke mana mereka harus berjalan: ke kiri, atau ke kanan"
"Ke kiri saja," usul Gopo.
"Gelap, ah..." Andini bermanja lagi.
"Lihat, ada cahaya sebesar titik di ujung lorong yang gelap itu. Siapa tahu itu
mulut goa, tempat kita bisa keluar dari goa ini," tutur Gopo dengan pelan,
sedikit ragu. "Ya, kita ke kiri saja!" kata Sekar Pamikat sambil meneruskan langkah, yang lain
mengikutinya dengan hati-hati, sebab lorong itu gelap, seperti semula.
Makin lama mereka melangkah makin lebarlah titik bercahaya itu. Ternyata memang
benar, itu adalah mulut goa.
Ternyata di luar goa hari sudah siang.
Oh, berarti cukup lama mereka berada di dalam goa tadi.
Udara terasa segar setelah mereka berempat berada di luar goa. Tapi.di mana
mereka" Tak ada yang tahu. Yang mereka tahu, mereka berada di lereng bukit.
Banyak semak belukar yang menghalangi langkah mereka. Mulut goa itu kecil, dan
tak akan terlihat dari beberapa langkah, sebab rimbun tanaman liar nyaris
menutupnya. Matahari tepat di ubun-ubun
manusia. Panasnya begitu menyengat kulit. Mereka menuruni lereng sejak tadi.
Beberapa kali Gopo terpeleset jatuh, juga Andini. Namun mereka tak hentihentinya berusaha mencari jalan untuk dapat menuruni lereng
bukit..Sehingga pada suatu saat, ketika matahari mulai condong, mereka telah
mencapai kaki bukit dan tanah datar.
"Lihat, ada genangan air...!" kata Ludiro sambil menunjuk ke suatu arah.
"Ya. Kita harus ke sana, aku ingin minum," ujar Andini dengan bersemangat.
Lalu dia berlari lebih dulu. Yang lain terpaksa mengikutinya. Namun tiba-tiba,
tiga orang perempuan menghadang langkah Andini. Bukan hanya Andini yang terkejut
dan berhenti, melainkan ketika temannya juga ikut berhenti dan mulai menjaga
kewaspadaan. Ketiga perempuan itu mengenakan penutup dada serta celana dalam.
Itu saja. Masing-masing memegang pedang yang sama bentuknya dengan pedang yang
pernah melukai Ludiro sehingga nyaris busuk sekujur tubuhnya itu.
"Mereka orang-orang Sendang
Bangkai!" seru Ludiro biar didengar Andini.
Salah seorang dari ketiga perempuan Sendang Bangkai itu menyahut, "Benar.
Oh, rupanya kalian mengenali ciri kami, ya" Bagus! Dan tentunya kalian tahu,
siapa yang memasuki wilayah kami harus tunduk kepada kami. Yang perempuan boleh
menjadi anggota Sendang Bangkai dengan satu syarat, mau mengabdi sepenuh hati.
Jika tidak, boleh mati. Sedangkan yang lelaki, harus tunduk juga kepada kami
untuk menjadi kaum pejantan kami. Jika tidak, harus disiksa sampai mau.
Kematian itu jalan akhir!"
Andini melangkah mundur
perlahan-lahan. Tubuhnya menyentuh Gopo, dan ia berpaling kepada lelaki tinggi
besar itu. Ia berkata dengan nada manja, "Mereka jahat, Gopo...!"
"Kalau kau takut, minggirlah, biar aku yang menghadapi."
Tapi Ludiro segera mencegah,
"Jangan! Pedang mereka cukup berbahaya, Gopo. Kulitmu bisa busuk dalam waktu
singkat dengan hanya tergores sedikit saja."
"Biarkan aku dan paman Ludiro yang menghadapi mereka," bisik Sekar Pamikat.
Gopo tak bisa berbuat apa-apa,
karena Sekar Pamikat dan Ludiro segera maju menghadang ketiga perempuan genit
itu. Andini menggeret Gopo sambil berkata, "Beri kesempatan kepada Ludiro dan
Sekar Pamikat. Mereka memang
berbahaya." Kemudian Gopo dan Andini berlindung di bawah pohon, sementara Sekar
Pamikat dan Ludiro berdiri tegar dihadapan ketiga perempuan
berpedang itu. "Kurasa kita tak perlu
membuang-buang waktu dan tenaga. Bawalah kami segera menghadap Peri Sendang
Bangkai!" kata Sekar Pamikat dengan tegas.
"Oh, kau ingin menghadap pimpinan kami, ya" Hemm... ada urusan apa kalau boleh
aku tahu?" tanya salah seorang dari mereka.
"Dia telah menculik calon suamiku Pendekar Pusar Bumi!"
"Calon suamimu" Ih, pendekar ganteng yang muda perkasa itu mau menjadi suamimu.
Uhh... omong kosong!"
Andini menyahut, "Iya. Kekasihku, Pendekar Maha Pedang, juga diculiknya!
Mana, pulangkan kekasihku!"
Gopo menarik tangan Andini.
"Diamlah, biar diurus Putri Sekar dan Ludiro...!"
"Kalau itu yang menjadi tujuan kalian, berarti kalian mencari
mampus...!" kata salah seorang, lalu ia menyerang Ludiro dan Sekar Pamikat.
Tubuhnya melayang dengan ringan,
menyodorkan pedangnya ke depan. Psida saat itu Sekar Pamikat melompat ke kiri,
dan Ludiro melompat ke kanan. Namun Ludiro sempat melancarkan tendangannya
dengan cepat, dan mengenai punggung orang itu. Orang yang terkena tendangan
Ludiro hanya oleng sedikit, dan ia kembali sigap. Sementara itu, kedua temannya
memekikkan semangat perang sambil masing-masing mengibaskan
pedangnya ke arah Sekar Pamikat dan Ludiro.
Sekar Pamikat menangkis serangan musuhnya, tangannya beradu dengan lengan lawan.
Begitu kuat dan keras sehingga lawan merasa kesemutan lengannya. Sekar
memiringkan badan, lalu kakinya
menjangkau leher lawan dengan suatu tendangan kuat.
"Digg...!" Ia terhuyung. Namun pedangnya berkelebat cepat, nyaris merobek
pinggang Sekar Pamikat. Sekar segera mencabut pedang Jalak Pati.
"Sreet...!" Lalu kedua pedang itu beradu,
"Traang...! Trang...!" Sekar Pamikat melompat ke belakang, karena serangan lawan
begitu cepat dan
bertuhi-tubi. Demikian juga dengan Ludiro yang
hanya bertangan kosong
ia melompat-lompat dan menggunakan jurus Tendangan Dewa. Sekali jurus itu
dilancarkan, kedua musuhnya yang
menyerang serempak terjungkal, sebab sekali Ludiro merentangkan kedua kakinya
sambil melayangj keduanya mengenai kepala dan punggung lawan
Salah satu lawan Ludiro melesat
tinggi, bersalto di udara. Pada saat itu, lawan yang bertarung dengan Sekar
Pamikat juga melesat tinggi, bersalto di udara. Rupanya mereka berpindah tempat.
Lawan Sekar Pamikat ganti menyerang Ludiro dan lawan Ludiro ganti menyerang
Sekar Pamikat. Hal itu sempat membuat Sekar maupun Ludiro terkesima bingung.
Lalu tiba-tiba pedang mereka terayun cepat.
Sekar Pamikat menundukkan kepala
sambil menusukkan pedang Jalak Pati ke arah perut lawannya.
"Breet...!" Perut itu bukan tertusuk, melainkan tergores pedang Jalak Pati.
Lawan sempat memekik menahan sakit. Darah merembas dari perut yang mulus dan
hanya mengenakan celana dalam berlapis benang emas itu. Agaknya musuh Sekar
Pamikat masih bertahan.
Ludiro agak keteter dengan serangan ganda dari kedua musuhnya. Ia
melemparkansenjata rahasianya satu kali, tapi pedang musuh mampu
menghalaunya. "Tring...!" Senjata pisau kecil itu melesat entah ke mana. Kedua perempuan yang
menyerang Ludiro itu sama-sama mempunyai ilmu pedang yang cukup hebat.
Gerakannya cepat dan gesit. Beberapa kali Ludiro hendak terpotong lengannya,
namun berhasil dielakkan dengan gerakan berguling ke rerumputan. Pada saat
berguling itulah, jurus Tendangan Dewa Mimpinya dilancarkan Tendangan itu begitu
tepat mengenai bagian kemaluan salah seorang lawannya, sehingga orang itu
menyeringai kesakitan. Jurus
Tendangan Dewa Mimpi dilancarkan lagi oleh Ludiro sambil berguling ia
menendang ke atas, namun kali ini lawannya lebih tahu. Ia menghindar ke samping
dan membabat kaki Ludiro dengan pedangnya.
"Beet...!"


Pendekar Cambuk Naga 2 Rahasia Sendang Bangkai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Andini sempat berteriak.ketika kaki kanan Ludiro dibabat pedang musuhnya.
Namun Andini dan Gopo menjadi tertegun dan tercengang melihat kaki Ludiro masih
utuh, tanpa luka sedikit pun. Ludiro sendiri kebingungan melihat kenyataan itu.
Ia terpana memandang kakinya yang tak terluka sedikit pun itu. Pada saat ia
terpana begitu, salah satu lawannya melambungkan badan dan menebas kepala Ludiro
dengan keras. "Bett...!" Ludiro masih berdiri tegak.
"Bett...! Bett...!"
Ludiro jadi kebingungan. Ia tidak mengeluarkan darah. Kepalanya masih utuh tanpa
luka. Bahkan kali ini musuh yang satunya lagi nyata-nyata merobek perut Ludiro
dengan pedangnya.
"Seeet...!" Tapi, perut itu tetap utuh, sedikit goresan pun tak ada Ludiro masih
terbengong memperhatikan
perutnya. Aneh, pikir-nya. Kenapa ia bisa menjadi kebal" Bahkan kini ia diam
saja saat kedua musuhnya membabat tubuhnya berulangkali dengan
membabi-buta. Tapi, tak ada luka!
Malahan salah satu pedang lawan ada yang patah karenanya.
Andini dan Gopo masih tercengang.
Namun mereka segera dikejutkan oleh gerakan kedua musuh Ludiro yang
tiba-tiba berpindah menyerang Andini dan Gopo. Mereka melayang bersamaan sambil
berteriak dan mengacungkan pedang ke arah Andini. Dengan cepat Andini
mengambil daun-daun pada tumbuhan semak belukar di sampingnya. Daun-daun itu
ditebarkan ke arah musuh, lalu tiba-tiba musuh kedua-duanya menjerit kesakitan.
Daun-daun yang berisi tenaga dalam itu telah menembus mereka ke beberapa tempat,
sehingga mereka pun rubuh, mengejang. Lalu mati. Andini tersenyum ke pada Gopo
yang kaget. "Hebat...! Ajaib sekali...!" kata Gopo seraya memungut salah satu daun kecil
yang tadi ditebarkan. Ia merobek daun itu, dan memang bisa robek. Tapi mengapa
kedua perempuan itu tadi hanya sekali gebrak oleh lemparan Andini bisa roboh.
Malah pakai mati segala! Aneh.
Pikir Gopo yang masih terbengong-bengong memandang mayat itu.
"Kok bisa mati, ya?" ujar Andini dengan lagak polosnya. Ia tersenyum lagi,
"Berarti aku hebat, bukan?" Gopo tak menjawab sepatah kata pun. Sementara itu ia
mengalihkan pandangan kepada Ludiro yang masih kebingungan memeriksa tubuhnya
"Ada yang luka, Ludiro?" Gopo menghampirinya.
"Tidak tuh..." jawab Ludiro terheran-heran. "Kok bisa kebal, ya"
Aneh. Sejak kapan aku mempunyai ilmu kebal senjata tajam?"
"Mana aku tahu," jawab Gopo. "Kau yang punya tubuh kebal senjata, mengapa kau
tanyakan padaku?"
Ludiro masih seperti orang bloon.
Sementara itu, di lain tempat suara pedang beradu masih terdengar: Sekar Pamikat
masih asyik melayani musuhnya yang sebenarnya dapat dikalahkan dalam waktu
singkat. Namun agaknya Sekar Pamikat tak mau membunuh musuhnya itu.
Dengan satu gerakan tangan dan jurus tertentu yang amat tinggi kecepatannya,
pedang Jalak Pati berhasil memotong tangan lawannya. Orang itu menjerit,
meraung-raung. Tangannya
menjadi buntung. Pedangnya terlepas bersama pergelangan tangannya. Jeritan itu amat
menyayat, sehingga Sekar Pamikat
berhenti menyerang.
"Ampun...! Ampunilah aku...!" orang itu meratap kesakitan. Sekar Pamikat segera
menyarungkan pedangnya. Gopo turun tangan. Ia menginjak perut
perempuan itu seraya berkata.
"Ke mana jalan menuju tempat pimpinanmu berada, ha?"
"Aku... aku tak tahu..." orang itu sukar bicara karena perutnya tertekan kaki
Gopo yang besar.
"Gopo... jangan, kasihan dia tidak bisa bernapas!" seru Andini dengan lugu.
Sekar mencegah Andini yang hendak menarik Gopo.
"Biar dia memaksa orang itu
menunjukkan tempat kekasih kita
disekap," ujar Sekar Pamikat, barulah Andini mengangguk
"Cepat katakan, atau kuinjak perutmu sampai jebol"!" bentak Gopo.
Agaknya makin lama orang itu tidak tahan dengan siksaan Gopo. Ia menjawab dengan
suara pelan: "Di... di dasarsendang...! Di sana istana
Peri Sendang Bangkai...
aaakkh...!" Dan orang itu pun meregang, lalu mati. Gopo menginjaknya sangat
kuat. *** 6 Genangan air yang terlihat dari kaki bukit, ternyata adalah sebuah sendang,
sejenis telaga, yang berukuran kecil.
Berbentuk ling-karan tak beraturan, bergaris tengah kira-kira 200 meter.
Airnya cukup bening, menyegarkan. Ada banyak pohon yang merindang di
sekeliling sendang itu, tapi berjarak beberapa meter dari tepian sendang.
Melihat kebeningan air sendang,
tenggorokan Gopo terasa merongrong, haus. Demikian juga halnya dengan Andini,
dan Sekar Pamikat. Hanya Ludiro yang tidak merasa tertarik untuk meminum air
sendang itu. Ia tidak haus sama sekali.
"Aku ingin meminumnya. Aku
haus...!" Andini sangat girang. Namun ketika ia hendak merunduk mengambil air,
Gopo menarik baju Andini seraya berseru:
"Jangan sembrono!"
"Aku haus!" bentak Andini.
Tapi aku masih bisa berpikir!"
Andini bersungut-sungut. "Aku sudah bosan berpikir. Otakku sudah sering kupakai
berpikir, kalau otakmu kan jarang untuk berpikir, karenanya kau belum bosan
berpikir."
"Jadi kau menganggap selama ini aku tidak pernah memakai otak" Iya"! Iya"!"
geram Gopo dengan mata melotot. Andini melirik dengan pandangan takut. Waktu
Gopo melotot sambil mendekatinya, Andini bergeser mendekati Sekar Pamikat, lalu
berlindung di balik Sekar Pamikat. Gopo berhenti, namun masih menggeram:
"Celeng!"
"Kamu juga celeng!" balas Andini dari balik pundak Sekar Pamikat.
"Setan!"
"Kamu juga setan!" balas Andini.
Gopo semakin geram.
Ludiro menyahut, "Sudahlah,
sama-sama setan celeng masih saja bertengkar. Uhh... payah kalian itu."
Sekar tertawa tertahan. Ludiro cemberut dan bersungut-sungut.
Matahari semakin bergeser ke arah barat. Mereka masih berada di pinggir sendang.
Ludiro mengambil air sendang dengan tangannya, lalu mencium air itu, dan
membuangnya lagi sambil menyeringai.
"Bau bangkai," katanya kepada yang lain. Mereka sempat tersendat kaget.
Gopo membuktikan sendiri, mencium air itu seakan ingin diminumnya. Lalu ia pun
menyeringai, wajahnya yang brewok dan kasar semakin jelek saja kelihatannya.
Ia berkata kepada Sekar Pamikat:
"Iya. Bau bangkai!"
"Berarti inilah yang dimaksud Sendang Bangkai," gumam Sekar Pamikat bicara pada
diri sendiri. Gopo sempat muntah, perutnya merasa mual setelah mencium bau air
itu. Andini berbisik kepada Sekar.
"Jangan-jangan dia hamil!"
"Ssst...!"
"Iya. Kata ibuku, perempuan kalau mau hamil pasti pakai muntah-muntah dulu."
"Tapi Gopo kan bukan perempuan,"
bisik Sekar Pamikat.
"Ah, apa itu pasti" Aku belum pernah memeriksanya."
Sekar Pamikat sempat mencolek pipi Andini yang manja seraya menahan senyum
dikulum. "Sudah, jangan pikirkan, Gopo perempuan atau lelaki, itu urusan dia.
Yang perlu kita pikirkan adalah
bagaimana caranya masuk ke dasar sendang ini."
"Biar saya saja yang masuk menyelam ke dasar," ujar Ludiro. Sekar Pamikat
memandangnya sambil menimbang-nimbang.
Andini diam, memandangi permukaan air sendang.
"Bahaya, Paman. Kurasa di dalam sendang mereka sedang menunggu kita."
"Tapi...." tiba-tiba Ludiro teringat sesuatu. "Tapi saya tadi menjadi orang
kebal, Putri Ayu. Saya tadi tidak mempan dibacok pedang mereka.
Malah ada yang patah salah satu
pedangnya."
Gopo menyahut dengan lemas akibat habis muntah banyak:
"Benar. Ludiro kebal senjata. Aneh dan ajaib. Aku sendiri hampir tidak
mempercayai kalau dia tak dapat digores sedikit pun dengan pedang beracun mereka
itu." Dan tiba-tiba, dengan sangat berani Gopo mencabut goloknya, lalu
membacokkan ke punggung Ludiro. Ludiro hanya terkejut dan siap melawan Gopo.
Tapi Gopo segera terkekeh, memasukkan goloknya ke sarungnya kembali. "Hanya
mencoba kekebalannya," katanya.
Ludiro menggumam kesal, lalu
bersungut-sungut. Sekar Pamikat
memeriksa punggung Ludiro, dan ternyata memang tak ada luka sedikit pun. Bekas
membilur pun tidak. Sekar Pamikat heran, lalu tertawa sendiri.
"Sakti juga kau, Paman! Dapat ilmu dari mana?"
"Saya sendiri bingung, Putri.
Padahal beberapa hari yang lalu saya hampir membusuk karena tergores pedang
orang sendang ini."
Sekar Pamikat menggumam panjang,
berpikir beberapa saat, lalu berbisik kepada Ludiro:
"Barangkali akibat kau makan lumut bercahaya di dalam goa tadi."
Ludiro berkerut dahi, Gopo pun ikut berkerut dahi karena mendengar apa kata
Sekar Pamikat. "Lumut itu?"
Sekar Pamikat mengangguk. "Itu kemungkinan saja. Sebab, tanaman itu kan cukup
aneh dan ganjil. Dan kau telah memakannya. Kita salah duga, mengira beracun,
ternyata malah sebaliknya."
"Brengsek! Kenapa tadi kau tidak bilang padaku"!" kata Gopo yang agaknya
menyesal tidak ikut memakan lumut itu.
"Hei, Andini..."!" Ludiro terkejut, semua memandang Andini. Gadis manja itu
dengan tenang minum air sendang
menggunakan cawukan tangannya. Beberapa kali ia meminumnya dengan perasaan lega.
Gopo segera menggeret tangan Andini dari membentak:
"Tolol! Rakus! Air itu mengandung racun bangkai! Baunya saja bisa bikin perut
mual, masa kau meminumnya."
"Aku haus! Orang haus itu obatnya minum. Kalau orang lapar itu obatnya makan.
Kalau orang bodoh itu... kamu!"
Gopo menggeram jengkel dikatakan
bodoh. "Jangan nekad, Andini. Jaga
keselamatan dirimu sendiri. Kita tidak bisa mengandalkan siapapun selain
mengandalkan diri sendiri. Itu yang utama. Karena keselamatan kita, terletak
pada bagaimana kita bisa mengendalikan diri sendiri. Setelah itu, baru
ketergantungan kepada orang lain." Sekar menasehati Andini. Tapi kali ini Andini
membantah. "Aku tak tahan haus, Sekar. Aku melihat hanya air itu yang ada di sini.
Maka aku meminumnya."
Gopo menyahut, "Tapi air itu bau bangkai, dan pasti...."
"Siapa bilang bau bangkai"!" sahut Andini.
Ketiga temannya tercengang
seketika. Terutama Gopo, ia buru-buru mengambil air sendang itu, lalu
menciumnya. Dan matanya jadi membelalak lebar memandang Andini. Sekar Pamikat
dan Ludiro menatap Gopo dengan tegang.
Ludiro bertanya dalam keraguan,
"Bagaimana...?"
"Edan!"
geram Gopo. Andini
tersenyum genit. Gopo melanjutkan kata-katanya, "Air ini telah berubah menjadi
harum, sewangi pandan!"
Sekar Pamikat dan Ludiro memandang tajam pada Andini. Gopo mencoba
mencicipi air itu, lalu mendongak, memandang Sekar Pamikat. Ia berseru,
"Rasanya seperti manis...! Manis-manis segar. Mirip air perasan buah
bangkuang...! Gila!"
Gopo mendekati Andini dengan mata masih membelalak, Andini berlindung di balik
punggung Sekar Pamikat. Gopo menggeram bagai sedang marah:
"Kau gila! Kau telah merubah air itu dengan kesaktianmu, ya" Kau tunjukkan
sekali lagi padaku bahwa kau punya ilmu tinggi" Kau menghinaku, ha?"
"Biar kau tahu berterimakasih padaku," jawab Andani sambil cemberut manja.
"Ya. Terimakasih!" kata Gopo tegas dengan mata masih melotot dan kepala
membungkuk karena tingginya.
"Terima kasih kok melotot begitu!"
"Memangnya tak boleh"''
"Aku takut!" rengek Andini.
Gopo berpaling, meninggalkan Andini dan Sekar yang dari tadi memandangnya dengan
senyum dikulum. Sambil menjauh Gopo menggerutu, " Jangankan kau, aku sendiri
sering takut pada diriku jika kulihat bayangan wajahku ada di air."
Ludiro yang sejak tadi diam saja
sambil mengikuti perdebatan Gopo dengan Andini, kali ini segera mengalihkan
perhatian. Ia berseru kepada Sekar Pamikat:
"Saya akan menyelam lebih dulu dan menjajaki kekuatan mereka, Putri Ayu."
Sekar Pamikat berpikir sejenak,
lalu mengangguk dan berkata, "Silakan, Paman. Tapi hati-hati... mereka pasti
lebih jago bertarung di kedalaman air."
Tiba-tiba terdengar Andini berseru,
"Jangan! Tak perlu begitu!"
Ludiro berkerut dahi lagi memandang Andini. "Jadi...?"
"Kali ini, giliran aku bertindak.
Beri aku waktu beberapa saat...."
Gopo menyahut sambil mendekati
Andini, "Hei, mau unjuk kesaktian lagi ya" Mau pamer ilmu, ya"!"
"Gopo..." hanya itu yang keluar dari mulut Sekar Pamikat, lalu Gopo berpaling
memandang Sekar Pamikat. Tiba-tiba kegarangannya lumer begitu memandang mata
Sekar Pamikat, yang menurutnya begitu bening dan indah itu. Lalu Gopo melangkah
mundur perlahan-lahan,
membiarkan Andini berdiri di tepi sendang berisi air jernih itu. Gopo sempat
berbisik kepada Sekar Pamikat dengan hati-hati:
"Aku penguasa telaga keruh. Aku tahu persis bagaimana cara bertarung di dalam
air. Izinkan aku untuk...."
"Beri kesempatan kepada dia,"
potong Sekar Pamikat. Dan Gopo hanya menghempaskan nafas, bernada kecewa.
"Edan!" seru Ludiro mengagetkan Gopo dan Sekar Pamikat. Mata mereka pun
membelalak lagi. Andini kembali pamer ilmu. Air sendang itu menyusut sedikit
demi sedikit. Andini masih diam di tepian sendang. Matanya tak berkedip menatap
air sendang yang kian menyusut bagai tersedot dari bawah, atau menguap ke udara.
"Bocah sinting...!" gerutu Gopo dengan mata tidak berkedip.
"Menggemaskan, menjengkelkan, tapi mengagumkan! Baru sekarang kulihat ada gadis
sesinting dia!"
Mereka mulai mendekat ke tepi
sendang setelah Sekar Pamikat berjalan lebih dulu. Mereka berjajar ke samping
kiri Andini, yang masih seperti bocah lugu, berdiri melihat kemilau air sendang.
Dan air itu sekarang semakin dalam, menyusut terus tiada hentinya.
Kemudian terdengarlah suara gemuruh.
Mereka menggelengkan kepala, menyimak suara apa kiranya yang bergemuruh itu.
Lalu mereka serempak sepakat, itu suara riuhnya manusia. Manusia dalam suatu
kelompok yang saling kebingungan dan saling kelabakan. Mereka semakin jelas
mendengar suara riuh, itu ternyata datang dari dasar sendang.
Mata mereka masih membelalak,
antara kagum, heran dan terkesima.
Mereka melihat tepian sendang menjadi kering. Benar-benar kering kerontang,
bagai lereng sebuah jurang. Dan air sendang itu pun surut semua. Tuntas.
Tanpa tertinggal setetes pun air yang ada.
Bukan hanya Gopo dan Ludiro, tetapi Sekar Pamikat sendiri hampir tidak
mempercayai penglihatannya. Terlalu khayal, menurut Gopo. Tapi mau tak mau ia
harus menerima kenyataan itu. Mereka melihat air sendang yang tuntas, kering.


Pendekar Cambuk Naga 2 Rahasia Sendang Bangkai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan di dasar sendang mereka melihat bangunan semacam istana berlapis kaca.
Lapisan kaca itu berbentuk parabola.
Bagai sebuah bola kaca yang dipotong menjadi dua bagian, lalu diletakkan
menelungkup, menaungi istana di
dalamnya. Sementara itu, di sekeliling bola kaca itu banyak manusia yang hilir
mudik kebingungan. Mereka pada umumnya perempuan muda berpakaian menutup dada
dan celana dalam. Tubuh mereka
langsing-langsing, sexy-sexy, dan benar-benar menggairahkan lelaki, terlebih
lelaki hidung belang.
"Masyarakat dan peradaban di dasar sendang..." gumam Sekar Pamikat. Ia masih
tertegun memandang sesuatu yang di luar khayalannya.
"Suatu kehidupan di dasar sendang, sungguh merupakan pengalaman baru bagi hidup
mereka berempat. Antara dasar sendang dengan permukaan sendang tempat mereka
berdiri, tidak terlalu dalam.
Mereka dapat pergi ke dasar sedang seperti halnya mereka menuruni sebuah lereng
jurang. Batu dan tanah keras saling bertonjolan, dapat dipakai sebagai tangga
menuju bawah. Hanya saja, agaknya pasukan Sendang Bangkai sendang menghadang
kedatangan mereka di bawah sana. Ada yang mencoba memanjat tebing dengan pedang
di tangan, ada yang sibuk mempersiapkan peralatan perang, ada yang sibuk
mengatur per-tahanan agar tak seorang pun dapat masuk ke bola kaca itu.
"Apa yang harus. kita lakukan sekarang?" tanya Ludiro. "Menyerang, atau menunggu
mereka naik ke atas?"
"Untuk sementara kita bisa menunggu mereka di sini. Nanti setelah...."
"Hei, itu Andini! Sinting!" seru Gopo sambil menuding ke arah Andini yang
ternyata telah berada di pertengahan tebing. Ia meloncat dengan gesit
berulang kali bagai seekor kupu-kupu terbang. Gerakannya begitu cepat dan
mengagumkan. Bahkan dalam satu gerakan, ia dapat merobohkan seorang pembawa
pedang yang menyongsongnya. Agaknya saat ini tiba giliran Andini untuk bertindak
dengan serius. Ia tak tanggung-tanggung bergerak dan menyerang. Sesekali
terdengar seruannya memanggil nama
kekasihnya: "Ekayanaaa..!"
Sekar Pamikat mencabut pedang Jalak Pati.
"Sreet...!"
"Seraaang...!!" teriaknya sambil meloncat dan bersalto ke bawah. Ludiro bergerak
serupa, meloncat dan bersalto, tetapi Gopo hanya berlari dengan
langkahnya yang menggetarkan seluruh permukaan tebing. Sesekali Gopo hampir
terjatuh, karena kemiringan tebing.
Namun segera ia menjaga keseimbangan tubuh dan melangkah kembali dengan
langkahnya yang lebar-lebar.
Dua orang menghadang Sekar Pamikat.
Mereka berseragam sama dan mengguhnakan pedang yang sama Kedua pedang bersamaan
menghantam wajah Sekar Pamikat, namun dengan gerakan gesit, Sekar Pamikat
melintangkan pedangnya kemuka, dan kedua pedang lawan beradu dengan pedang Jalak
Pati. "Trang...!"
Ludiro mengandalkan kekebalan
tubuhnya yang diperoleh secara tak sengaja itu. Ia membiarkan pedang lawan
membabat lehernya berulangkali. Tapi pada satu kesempatan ia menggunakan jurus
Tendangan Dewa yang amat mematikan itu. Ludiro tak mau membuang-buang waktu
dalam menghadapi para keroco-keroco Sendang Bangkai. Ia bergerak cepat, gesit
dan menggunakan jurus-jurus andalannya yang dapat langsung
mematikan, di antaranya Pukulan Malaikat Mabok, yang sekali menghantam kepala
dapat membuat kepala itu hancur tak berbentuk lagi. Hal itu membuat jerit dan
teriakan histeris berkumandang ke mana-mana. Para keroco Sendang Bangkai
bergeleparan akibat pukulan dan
tendangan Ludiro. Sesekali ia membuang senjata rahasianya ke arah orang yang
akan membokong Sekar Pamikat.
Di tempat lain, Gopo menendang kian kemari dan menginjak musuh-musuhnya tanpa
ampun lagi. Ia tahu, ia harus menghindari goresan pedang lawan. Sebab itu ia
bertarung dengan meloncat-loncat bagai orang menginjak puntung rokok.
Sedangkan Sekar Pamikat masih
bertahan dengan Jalak Patinya. Memenggal lawan berulangkali kendati ia terpaksa
harus menghadapi lima orang sekaligus.
Gerakannya yang lincah dalam
berjumpalitan di udara membuat lawan kewalahan. Sekali ia menebaskan
pedangnya, dua kepala dapat
menggelinding sekaligus. Tak ada ampun agaknya bagi mereka. Dengan gerakan
merendah Sekar Pamikat mampu menyabetkan pedang ke arah perut-perut lawannya,
sehingga mereka terjungkal untuk
meregang nyawa, dan mati tak terurus lagi.
Lain halnya dengan Andini yang bagai menari di awang-awang. Gerakannya begitu
luwes, indah. Lambaian tangannya yang berlengan baju panjang itu seperti kibasan
sayap kupu-kupu yang mematikan.
Jangankan terkena pukulan Andini, yang terkena kibasan kain bajunya saja dapat
menjerit dan sekarat akibat robek lehernya, robek dadanya, pinggangnya, atau
apanya saja yang tersentuh kibasan kain Andini. Sehingga dalam tempo singkat, ia
dapat menjatuhkan banyak lawan. Dan dalam tempo singkat pula ia mampu menerobos
barisan musuh untuk mendekati istana yang berlapis kaca itu.
Mayat orang-orang Sendang Bangkai yang terdiri dari perempuan- perempuan seksi
itu bergelimpangan di sepanjang tebing. Darah merubah warna tebing yang
kecoklat-coklatan menjadi merah
membara. Tak satu pun yang tersisa dari pasukan di luar istana berlapis kaca.
Kini, mereka berempat berkumpul di depan pintu masuk dinding berkaca itu.
"Gopo...!" kata Sekar Pamikat.
"Buka pintu dengan paksa!"
Ada beberapa orang yang memandang tegang, menanti dengan gelisah di dalam
dinding kaca. Mereka seperti ikan dalam akuarium. Dan mereka semakin tegang
mehhat Gopo mendobrak pintu utama dengan kekuatannya yang maha hebat itu. Sayang dinding kaca hanya bergoyang seluruhnya.
Bergetar sedikit, dan pintunya tak dapat pecah. Berulangkali Gopo mencoba, tapi
tak pernah berhasil.
Andini diam saja. Duduk seenaknya di suatu permukaan batu yang halus. Matanya
mempelajari keadaan di dalam dinding kaca. Sementara itu, Sekar Pamikat menyuruh
Gopo menyingkir. Gopo mulanya tidak mau, masih ingin mencoba. Tetapi ketika
Cambuk Naga dicabut dari punggung Sekar Pamikat, Gopo mulai m-ndur dengan
perasaan ngeri. Sekar Pamikat segera memusatkan pikiran dan tenaga, ia
menggunakan jurus simpanannya yang bernama: Naga Pembelah Langit.
Cambuk naga diayunkan dengan cepat, ujungnya menghantam pintu utama. Suara
guntur menggetarkan sukma. Suara itu melebih 10 kali guntur menggelegar. Dan
sekali cambuk, pintu utama itu retak, lalu pecah berkeping-keping. Segera Ludiro
masuk lebih dulu. Menghadang menyerang bersenjata tombak trisula Tombak
ditancapkan di dada Ludiro, dan tanpa sedikit tangkisan, tombak itu patah
sendiri. Tendangan Dewa meluncur cepat ke rahang orang tersebut,
mengakibatkan orang itu menjerit
tertahan. Rahang pecah dan mulut
berdarah. Sekar Pamikat tidak lagi
menggunakan pedang Jalak Pati. Cambuk Naga mulai beraksi, melecut ke sana kemari
bagai lidah naga menjilat mangsa.
Kepala yang terkena cambuk itu pecah, dan leher maupun tangan yang terkena
lecutan cambuk pun menjadi buntung seketika.
Perempuan-perempuan berseragam
rompi merah menyerang terus, keluar dari dalam istana. Salah seorang ada yang
sempoyongan terkena angin kibasan cambuk naga Orang yang sempoyongan segera
dipegang kepalanya oleh Gopo, lalu dipuntirnya kepala itu sehingga
terdengar bunyi tulang berderak.
"Ini balasan buat arwah anak istriku, Setan!" Gopo bergerak lebih sacks. Kakinya
yang besar menendang tameng lawan, hingga perempuan itu terjatuh, lalu ia
meloncat dan kedua kakinya menghentak jatuh di perut orang itu. Jebol!
Andini menyelusup masuk ke dalam
istana, setelah terlebih dulu menewaskan lawan-lawannya dengan gerakan tangan
bagai kupu-kupu sedang menari. Ia sempat mengambil sebuah tameng yang terjatuh.
Tameng itu dilemparkan ke arah beberapa lawannya, dan dengan tameng itu ia
berhasil memotong tubuh lawannya dengan sangat mengerikan. Tameng itu dialiri
tenaga dalam yang cukup sempurna, sehingga dapat berputar-putar sendiri mencari
lawannya. "Ekayanaaa...!" teriak Andini.
Suaranya menggema Dari sebuah koridor muncul serombongan orang perempuan
bersenjata tombak dan pedang. Mereka melemparkan senjata itu ke arah Andini.
Cukup kelabakan juga Andini meloncat dan berjumpalitan menghindari
senjata-senjata itu. Salah satu tombak terpegang oleh tangannya, lalu dengan
gerakan melingkar bagai seorang penari balet tombak itu dikem-balikan. Dua tubuh
tertusuk, tembus seketika. Andini bergerak ke arah lain, mencari tempat
kekasihnya ditawan, sementara tombak yang tadi dilemparkan mencari sasaran
sendiri dan berhasil menembus perut beberapa musuhnya, bagai sebuah jarum jahit
sedang beraksi.
"Ekayana..."! Di mana kau..."!"
teriak Andini dengan semakin garang.
Beberapa kamar dan pintu dijebolnya Jika ada orang di dalamnya, langsung
diserang dengan serpihan pasir tembok yang dialiri tenaga dalam dan mematikan.
Sampai akhirnya ia tiba di sebuah ruangan yang menyerupai balairung. Lega, luas,
berlantai licin bening. Ia berdiri di tengah ruangan tersebut. Tiba-tiba ada
sejumlah tombak menjatuhi kepalanya dari atas. Jumlah tombak itu lebih dari lima
puluh batang. Namun Andini mampu menahannya dengan pandangan mata, sebelum
tobak-tombak menyentuh kepala.
Sekelompok tombak berhenti di udara Saat itu seorang berpakaian rompi besi
menyerang dari belakang Andini. Dengan gesit Andini melompat ke depan.
Penyerang itu sampai di tengah ruangan, tempat Andini tadi berlari. Dan pada
saat itu sekelompok tombak itu jatuh dengan cepat, menghunjam kepala dan tubuh
penyerang tersebut. Orang itu sempat memekik tertahan, lalu tak pernah terdengar
dengus nafasnya lagi.
Ludiro muncul di ruangan tersebut.
Nafasnya terengah-engah, tubuhnya basah oleh keringat dan percikan darah
lawannya. "Kau tidak apa-apa Andini?"
"Sehat-sehat saja," jawab Andini bagai acuh tak acuh.
Kemudian Sekar Pamikat pun tiba di ruangan tersebut. Ia masih menggenggam cambuk
naganya dengan mata nanar yang penuh kemarahan. Lantai bergoyang, bergetar.
Bagai ada gempa menghampiri mereka. Pada saat itu, muncullah Gopo dengan tangan
berlumur darah lawan.
Matanya semakin ganas, dan tubuhnya yang besar bagai raksasa itu juga berlumur
keringat dan percikan darah lawannya
"Sepi," ucap Gopo. "Aku telah memeriksa seluruh ruangan, tak ada manusia yang
hidup. Yang mati banyak!"
"Pasti ada ruangan rahasia untuk menyimpan tawanan mereka," kata Sekar Pamikat.
Baru saja ia selesai bicara, tiba-tiba lantai ruangan itu bergerak turun. Mereka
terkejut. Gopo hampir saja melompat, tapi Sekar Pamikat segera berseru, "Biarkan
saja Mereka membawa kita ke sarangnya!"
Lantai bergerak makin ke bawah,
seperti ada yang menyedotnya Mereka berempat sengaja membiarkan diri mereka
dibawa ke bawah. Sampai akhirnya mereka tiba di suatu ruangan luas, penuh dengan
perabot terbuat dari emas permata.
Agaknya mereka telah ditunggu- tunggu, dan tim penyambutan itu terdiri dari
perempuan-perempuan bertubuh kekar dan berotot. Ada seorang perempuan yang duduk
di kursi kencana, mengenakan mahkota dari batu permata. Perempuan itu yang
pertama kali menyapa Sekar Pamikat dengan ucapan,
"Selamat datang di Sendang Bangkai, orang-orang laknat!"
"Kau yang laknat, Setan!" Gopo emosi, menerjang ke arah perempuan itu"
tapi tubuhnya yang tinggi besar bagai raksasa itu terpental kembali dan
berdentam di lantai.
Gopo bangkit menyeringai kesakitan.
Pinggangnya bagai mau patah rasanya Andini berbisik dengan serius, "Kita telah
terkurung. Di depan kita ada pagar pelipis yang tak dapat terhhat oleh mata
kepala kita. Pagar itu terbuat dari tenaga dalam yang cukup hebat dan dahsyat.
Mungkin kita tak akan mampu menembusnya ke sana"
Tawa perempuan yang duduk di kursi singgasana itu terdengar nyaring. Dari
belakang kursi muncul seorang perempuan bertubuh kurus, layu dan terdapat codet
bekas luka di sekitar matanya Sekar Pamikat dan Ludiro terperanjat. Mereka samasama berseru tak sengaja:
"Nawang Puri..."!"
Tegang wajah mereka, namun
tersenyum sinis wajah Nawang Puri. Ia memberi hormat kepada perempuan
bermahkota seraya berkata, "Apakah mereka harus kami musnahkah sekarang juga,
Peri Cantik Sendang Bangkai"!"
Perempuan yang duduk di kursi
kencana itu tersenyum, mengusap rambut Nawang Puri dengan lembut. "Jangan
sekarang, Manis... mereka masih perlu menyaksikan suatu pemandangan yang
menggairahkan. Dan mungkin akan membuat kemarahan mereka mereda lalu mencintai
kita...." "Perempuan itu yang membawa kabur Nawang Puri, ketika di perbatasan Kadipaten
Nilakencana dulu," bisik Sekar Pamikat kepada Ludiro. (dalam kisah Racun Puri
Iblis). Ludiro hanya menggumam. Sedangkan Andini diam saja dengan mata
berkedip-kedip bagai orang bego. Gopo tak sanggup bergerak lebih nekad, namun
otaknya berputar, bagaimana caranya supaya bisa menembus pagar tenaga dalam itu.
Selain dikelilingi prajurit
perempuan berbadan kekar dan hanya mengenakan celana dalam dan rompi, tanpa
penutup dada, mereka juga dipagari tenaga dalam yang dahsyat. Di depan mereka
terdapat dinding berkain gordin dari sutra putih bersih. Waktu Peri Sendang
Bangkai memberi isyarat kepada salah seorang anak buahnya, orang itu segera
bergerak menyeret gordin putih ke tepian. Maka terlihatlah oleh mereka, bahwa
yang ditutup gorden itu bukan berupa dinding, namun berupa kamar panjang
berlantai kasur empuk.
Mata mereka terbelalak lebar-lebar.
Di kamar panjang itu terdapat
manusia-manusia tanpa busana, lelaki dan perempuan. Mereka berjumlah lebih
kurang 10 lelaki, dan perempuannya lebih dari 15
orang. Gemetar lutut Sekar Pamikat melihat mereka melakukan perzinahan dengan
bebas dan sepertinya tanpa rasa canggung walau ditonton banyak orang.
Mereka, yang berada di kamar panjang itu, bagai mendapat perintah setelah gorden
terbuka. Mereka segera melakukan hubungan badan dengan gairah yang menyalanyala. Sekar Pamikat dan Andini sama gemetarnya menyaksikan hal itu.
Mereka berpaling ke belakang, ternyata di bagian belakang mereka juga terdapat
pemandangan serupa, hanya saja jumlah lelakinya lebih sedikit dibanding jumlah
perempuannya. Debar-debar di dalam dada Sekar Pamikat sama persis dengan
debar-debar dalam dada Andini. Terlebih Andini, kelihatan lebih pucat daripada
Sekar Pamikat. Nafas-nafas mereka berpacu, yang di ranjang dengan yang tertawan sama cepatnya.
Sementara itu, Peri Cantik Sendang bening tertawa terkikik-kikik bersama Nawang
Puri dan para pengawal lainnya. Bahkan ada pengawal yang mendesah-desah sendiri
diremat khayalannya. "Biadab! Hentikan perbuatan itu!"
bentak Sekar Pamikat. Peri Cantik dan Nawang Puri semakin tertawa melihat
kemarahan Sekar Pamikat.
Ludiro dan Gopo saling berpacu
keringat. Basah kuyup tubuh mereka oleh keringat. Mereka tak ingin melihat.
Mereka menunduk, sama seperti Andini, namun berkali-kali selalu ada saja yang
memekik, bikin kejutan, dan membuat mereka terperangah memandang kembali.
Ternyata hanya suatu permainan dari orang-orang ranjang yang maniak.
"Terkutuk kau, Peri Bangkai!"
teriak Sekar Pamikat.
Peri Cantik Sendang Bangkai
menghentikan tawanya, kini berganti seringai yang menjijikkan. Ia berseru kepada
tawanannya: "Tak seorang pun mau dan bisa menghentikan hal itu! Mereka sedang melakukan
pengabdian setia yang luhur, yaitu pembuahan! Mereka memikirkan masa depan, di
mana soal keturunan menjadi sarana utama bagi kelanjutan hidup generasi kita.
Apa salahnya jika kalian bergabung dengan kami, membentuk suatu generasi atau
keturunan yang dapat bertahan hidup di bumi ini."


Pendekar Cambuk Naga 2 Rahasia Sendang Bangkai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Persetan dengan kata-katamu, Iblis!" bentak Sekar Pamikat. "Hentikan hal itu,
atau kuobrak-abrik tempat ini menjadi reruntuhan tempat maksiat"!
Nawang Puri tertawa menjijikkan.
"Sekar, Sekar.... Apa yang bisa kau andalkan di tempat ini, hah" Apa" Ilmumu
hanya sekuku hitam dibandingkan Peri Cantik."
Sekar Pamikat melecutkan cambuk
naganya, mencoba menembus pagar tenaga dalam yang melingkari mereka. Namun ia
terpental dan nyaris membentur permukaan lantai. Andini menggerakkan tangannya
bagai sedang menari, kemudian sebuah tenaga dalam yang dimilikinya
dilancarkan ke arah Nawang Puri, tetapi Andini pun bahkan terlempar tinggi dan
jatuh di pundak Gopo.
"Brengsek!" gerutu Gopo sambil menghalau kaki Andini yang jatuh di pundaknya:
Andini tak mampu melawan pagar dahsyat yang tak terlihat mata itu.
Sementara itu, Peri Cantik
berpakaian hanya celana dalam tipis terbuat dari lempengan emas itu berkata
kepada Nawang Puri:
"Sekarang perlu kita tunjukkan bibit unggul kita, Puri. Panggil dia dan
kerjakanlah dengan baik...."
"Sendiko, Gusti Peri Cantik....!"
Nawang Puri membungkuk, kemudian
bertepuk tangan dua kali. Dan seorang perempuan penjaga sebuah pintu membuka
pintu berukir dan berlapis lempengan emas itu.
Dari pintu tersebut keluarlah
seorang pemuda gagah, berambut panjang, berikat kepala dari kulit macan tutul,
berbadan tegap dan berwajah tampan, mempesona. Pemuda itu datang menghampiri
Nawang Puri dengan tanpa mengenakan pakaian selembar pun. Ia berwajah sayu,
sorot matanya bagai mengantuk, namun ketegaran badannya masih terlihat jelas dan
menggairahkan. Pada saat itu juga, Sekar Pamikat dan Andini sama-sama menjerit dan berseru:
"Lanangseta..."!"
"Ekayana...!"
Sekar Pamikat tergagap sejenak. Ia memandang Andini.
"Dia Lanangseta...!"
"Bukan! Dia kekasihku, Ekayana...!"
"Ooh..."!" Sekar Pamikat kebingungan. Matanya membelalak dan berair, sama
seperti mata Andini.
Sementara itu Ludiro dan Gopo sama-sama terbengong melompong, bagai patung yang
hanya bisa berkedip-kedip saja.
Peri Cantik Sendang Bangkai tertawa g-rang. Ia berkata, "Pendekar sesakti
apapun, tak akan bisa berkutik jika peredaran darah yang menuju pusarnya
berhenti. Tali pusar adalah bagian dari kehidupan manusia, dan jika ia ditotok,
maka ia mudah dipengaruhi karena tak dapat berbuat apa-apa!"
"Hentikan...! Hentikan dia...!"
"Jangan sentuh dia Dia kekasihku!"
seru Andini bersahut-sahutan. Sekar Pamikat melancarkan jurus Naga Pembelah
Langit. Namun cambuk itu bagai tak berfungsi lagi. Ia terpental sendiri.
Demikian juga Andini, berulangkah ia mengerahkan tenaga dalam simpanannya, namun
ia selalu terpental dan terpental lagi. Sementara itu, pemuda gagah yang tampan
itu telah mulai meremas dada Nawang Puri. Nawang Puri sendiri hanya tersenyumsenyum saat pakaiannya
dilucuti satu persatu sambil menerima dengus ciuman pemuda itu.
"Jangaaan...! Jangan
lakukaaan...!" teriak Sekar Pamikat "
Andini juga berseru, "Itu
kekasihku! Jangan suruh dia berbuat cabul dengan perempuan lain!"
"Paman! Berbuatlah sesuatu!" bentak sekar Pamikat kepada Ludiro. Ludiro
menggeragap dan kebingungan. Ia hanya mondar-mandir tak tahu apa yang harus
dilakukan. Ia bagai kehilangan akal sehatnya
Permainan cinta Nawang Puri dengan pemuda tampan itu semakin panas. Mereka
bergumul di lantai, tidak di ranjang kamar panjang. Mendadak Peri Sendang
Bangkai berseru:
"Tahan, Puri...! Tahan sebentar.
Agaknya penonton kita ini akan semakin bertekuk lutut jika aku turut serta dalam
permainan itu." Kemudian ia berseru kepada salah seorang pengawal yang berjaga
di pintu tempat pemuda tadi keluar.
"Bibit unggul untukku,
keluarkan...!"
Pengawal membuka pintu, dan seorang pemuda muncul dengan jalan seperti robot.
Pemuda itu berambut panjang, mengenakan ikat kepala dari kulit macan tutul, tapi
tubuhnya tanpa selembar benang pun. Ia bertubuh tegap, gempal, menggairahkan
perempuan yang memandangnya. Ia berwajah bersih, halus, dan bibirnya bagai setetes madu di
padang gersang, sangat menggairahkan. Dan pada saat itu pula, Sekar Pamikat dan
Andini sama-sama terpekik kaget. Mata mereka terbelalak lebar dengan mulut
ternganga. Andini yang lebih dulu berseru:
"Nah, dia..! Dia kekasihku.
Ekayanaaa...!"
"Bukan! Itulah calon suamiku, Lanangseta! Lanaaang...!"
Pemuda yang baru muncul itu
mendekati Peri Cantik, dan mulai meraba bagian-bagian yang sensitif. Peri Cantik
mengikik kegelian, sedangkan Nawang Puri pun melanjutkan permainannya. Saat itu,
Sekar dan Andini sama-sama bingung untuk membedakan yang mana kekasih mereka
sebenarnya. Kedua pemuda itu sama tampannya, sama gagahnya dan memiliki ikat
kepala yang sama pula Sekar dan Andini benar-benar bingung.
Sekar Pamikat segera menampar
Ludiro yang bagai orang linglung itu.
"Plaak...!!"
"Paman! Ingat lumut yang kau makan...!"
Ludiro bagai tergugah dari mimpi
yang membingungkan. Matanya terbelalak dan giginya menggeletuk. Sementara itu,
Andini membentak Gopo yang duduk dengan lemas,
"Gopo...!"
Dengan cepat Gopo yang
terengah-engah berkata, "Jangan! Jangan suruh aku bertindak! Sudah 7 tahun lebih
aku tak bertemu dengan istriku dan...
dan... menjadi gila!" Gopo menangis sendiri. Andini tak mau menghiraukan Gopo
lagi. Tetapi pada saat itu, Ludiro
menerobos keluar dari lingkaran tenaga dalam yang tak tampak mata itu. Ternyata
tubuhnya tidak mental seperti yang lainnya. Ia berhasil menerobos lingkaran
tenaga dalam, tepat pada saat itu kedua pemuda tersebut hendak menindih tubuh
Nawang Puri dan Peri Sendang Bangkai.
Dengan gesit Ludiro meloncat,
melancarkan tendangan dua kali, yang satu mengenai lengan pemuda di atas Nawang
Puri, yang satu lagi mengenai kepala pemuda di atas Peri Sendang Bangkai.
Gerakan Ludiro berhasil membuat
kedua pemuda itu terpental bagai kapas tertiup angin. Sementara itu, Peri Cantik
Sendang bangkai dan Nawang Puri terkesima melihat Ludiro berhasil menembus
lingkaran tenaga dalam yang mengurungnya. Ludiro menyempatkan melempar senjata
rahasianya ke arah Nawang Puri.
"Juubb...!" Mata pisau beracun menancap di pangkal bahu Nawang Puri.
Nawang Puri rubuh ke belakang, menindih Peri Cantik yang sudah tak berbusana
sama sekali itu. Para pengawal menyerbu Ludiro, namun Ludiro belum inau melayani
mereka. Pedang membabat lehernya, punggungnya dan seluruh tubuhnya
berulangkali, tapi tak satu pun yang menggores kulit. Ludiro melihat kedua
pemuda itu berdiri seperti mayat hidup.
Jaraknya ada satu langkah antara pemuda yang satu dengan pemuda yang lain.
Dengan cepat Ludiro berguling ke arah mereka.
Posisinya jatuh tepat di antara kedua pemuda itu. Tangannya segera mengembang
keduanya, dan dengan masing-masing kedua jarinya Ludiro menotok puser kedua
pemuda itu bersamaan. Begitu keras totokan kedua tangan Ludiro sehingga pemuda
itu terpekik keduanya, dan segera menyerang Ludiro. Mereka telah sadar, tapi
mengira mendapat serangan dari Ludiro. Sebab itu Sekar Pamikat berseru,
"Lanaaang...! Aku tertawan!"
Salah seorang dari pemuda itu
berpaling. "Sekar..."!"
"Itu Lanang. Lanangseta calon suamiku...!'" teriak Sekar Pamikat kegirangan
kepada Andini. "Ekayanaaa...! Aku di sini,
ditawan!" Pemuda yang satu berpaling dan
berseru, Andiniii...!"
Sekarang jelas sudah siapa kekasih mereka. Tapi mereka tak dapat keluar dari
kurungan pagar tenaga dalam. Hanya Ludiro yang berhasil keluar, karena tubuhnya
ternyata tak mempan senjata apapun, sekalipun berupa tenaga dalam yang dahsyat.
Kali ini Ludiro sedang memburu Peri Sendang Bangkai yang mulai ketakutan. Tetapi
banyak pengawalnyayang rapat memagari sehingga sukar ditembus Ludiro. Pada saat itu,
tak ada jalan lain bagi Ludiro untuk tidak menggunakan senjata rahasianya. Tak
ada pilihan lain, kecuali berdesing
berulangkali sebuah senjata dari balik ikat pinggangnya.
"Aaakhh...!" Beberapa pekikan histeris terdengar keras. Pengawal-pengawal itu
rubuh terkena senjata rahasia Ludiro. Tapi Peri Sendang Bangkai segera
menyingkir. Ia naik ke atas sebuah tempat seperti silinder kayu, mirip panggung
berbentuk lingkaran. Ludiro melancarkan
serangannya dengan melemparkan senjata lagi, namun senjata itu molos begitu
saja. Kelihatannya mengenai leher Peri Sendang Bangkai, namun sesungguhnya hanya
lolos ber gitu saja seperti menembus udara tanpa isi.
Pada saat itu, Lanangseta dan
Ekayana bergerak me lawan para pengawal bersenjata pedang.. Keduanya sama-sama
telanjang dan berguling menghindari serangan, melayang melancarkan pukulan
mautnya. Saat itu, yang beraksi di atas ranjang masih terus beraksi bagai tanpa
mengenal lelah. Mereka yang tengah bergumul memburu kenikmatan sepertinya telah
terkena suatu pengaruh mutlak yang membuat mereka tak peduli lagi dengan keadaan
kacau di sekitarnya.
"Dengar...! Dengar semua...!" seru Peri Sendang Bangkai yang kini seperti dalam
bayangan saja. "Kalian tak akan berhasil mengalahkan aku! Senjata kalian akan
sia-sia, hanya akan menembus segumpal kabut. Tak ada yang bisa membunuhku,
kecuali Penghulu Badra, bekas suamiku itu. Tapi dia sekarang toh sudah mati.
hanya dia yang tahu
rahasiaku. Dan kalian... tak akan memperoleh keterangan darinya. Sebab itu,
jangan menyerang, bergabunglah denganku...!"
Ekayana berseru kepada Andini,
"Satukan hawa murni kalian, arahkan ke satu arah dan lingkaran yang mengurung
kalian akan sirna..."
"Breet...!" Sebuah pedang pengawal berhasil melukai punggung Ekayana.
Sementara itu, Ludiro terus menyerang Peri Sendang Bangkai, namun benar apa
katanya, ia bagai menyerang udara kosong. Sosok Peri Sendang Bangkai hanya
seperti bayangan belaka. Saat itu, Andini mengerahkan tenaga dalamnya yang
dikatakan sebagai jurus Kupu Penabur Racun. Sekar Pamikat mengerahkan jurus Kupu
Penabur Racun. Sekar Pamikat mengerahkan jurus Naga Pembelah Langit dengan
lecutan cambuknya dan Gopo berteriak kuat-kuat, mengerahkan ilmu Guntur Tertawa.
Ketika tenaga inti mereka disatukan, dan akibatnya timbullah suatu ledakan yang
maha dahsyat. Mereka berhamburan keluar dari lingkaran tenaga dalam yang
mengurung mereka sejak tadi.
Pada saat itu, wajah Peri Sendang Bangkai yang bagai dalam bayangan itu
kelihatan terkejut cemas. Kemudian Sekar Pamikat melepas cambuknya, memberi
isyarat kepada Pendekar Pusar Bumi, dan keduanya mengeraskan tangan dalam posisi
setengah berdiri. Mereka berteriak bersamaan:
"Wiwaha Moksa...!!"
Tepat pada waktu itu Andini juga
melancarkan pukulan tenaga intinya: Kupu Penabur
Racun. Sehingga timbullah
ledakan yang lebih dahsyat dari yang pertama. Tiga sinar hijau muda dan merah
membara meluncur ke arah Peri Sendang Bangkai. Ledakan itu membuat tempat
berdiri Peri Sendang Bangkai hancur seketika, sedangkan bayangan Peri tanpa
busana itu lenyap begitu saja. Yang ada hanya tawa yang mengikik panjang dan
kata-kata, "Tunggu pembalasan untuk kalian...!
Sekar Pamikat mengambil cambuk
naganya lagi, dan mencambuk ke mana-mana bagai orang kesetanan. Tempat itu jadi
hancur tak karuan. Gopo sibuk menginjak dan memuntir leher para pengawal yang
terdiri dari perempuan semua. Dengan gemas, Gopo mematah-matahkan tulang mereka
sambil berseru, "Istriku...
anakku...! Lihat, kupatahkan mereka!
Kupatahkan...! Kurangajar...!
Bangsat...!"
"Ekayana..." Kau terluka parah"!"
Andini segera mengangkat kepala
kekasihnya yang terkulai. Pada saat itu, Ludiro muncul sambil membawa pakaian
dan senjata kedua pemuda itu.
"Pilih masing-masing pakaian. Cepat kita tinggalkan tempat ini dan ledakkan
semuanya!" teriak Ludiro.
"Ekayana..."!" Lanangseta bagai terkesima dalam duka melihat Ekayana terluka
punggungnya. Andini mulai menangis, karena ia melihat punggung itu mulai
memborok. "Hei, di sini ada jalan tembus, sebuah lorong! Mari keluar lewat sini!"
seru Ludiro dari suatu tempat.
Orang-orang yang beraksi di atas
ranjang masih tidak peduli dengan keadaan sekehling. Mereka seolah tak sadar apa
yang sedang terjadi.
Tetapi Gopo segera mengangkat tubuh Ekayana yang mulai melemas dan memborok
bagian punggungnya.
"Lekas tinggalkan tempat ini, Lanang..." ajak Sekar Pamikat setelah memeluk
calon suaminya sejenak.
Lanangseta gelisah.
"Adikku..." Ekayana terluka.
Bagaimana dia?"
"Oh, dia adikmu" Adik kembarmu, maksudnya?" Sekar Pamikat menatap Lanangseta.
"Ya. Dia, Ekayana... adik kembarku yang bergelar Pendekar Maha Pedang...."
"Oooh... pantas... Pantas Andini menceritakan ciri yang sama kukira...."
"Sekar Putri...!" teriak Gopo yang sudah menggendong Ekayana di mulut pintu
keluar. "Lekas keluar. Berembuk nanti saja! Yang penting selamatkan dulu orang
ini...!" "Gopo, hati-hati membawanya. Dia sakit," seru Andini dalam kemanjaan.
"Peduli amat dengan omonganmu, Sapi!" bentak Gopo.
Sekar Pamikat berlari bersama
Pendekar Pusar Bumi. Ruangan itu menjadi sepi, tinggal orang-orang yang beraksi
di ranjang dengan seenaknya itu. Gopo menggerutu sejenak, "Manusia-manusia
terkutuk..!" Lalu, dia berseru sendirian, "Untuk pembalasan sakit hati istri dan
anakku, terimalah aji Guntur Pemusnah ini..." Gopo menghentakkan suaranya dengan
keras, "Hoaaaa...!!"
"Glegaaar...!" Ruangan itu meledak.
Api berkobar ke mana-mana, Gopo segera berlari menyusuri ruangan yang mirip
lorong sambil menggendong Ekayana. Di depannya, Sekar Pamikat dan Lanangseta
berlari cepat. Kemudian Ludiro di belakang mereka, dan Andini
sebentar-sebentar berhenti, berpaling ke belakang dan berkata, "Hati-hati ya,
Gopo... itu barang berharga bagiku...!"
"Setan cerewet! Lekas lari, api mengejar di belakang kita!" bentak Gopo dengan
jengkel. Api terus mengejar membakar seluruh bangunan itu. Mereka semakin mempercepat
langkah. Lorong itu tak habis-habisnya, seperti tak berujung. Semakin dalam,
semakin tidak rata, melebar sedikit, dan mulai lembab.
"Ini sebuah goa...!" teriak Ludiro sambil berlari.
"Ya. Tapi akankah tembus ke goa lumut bercahaya itu?" kata gopo. "Jika benar,
aku akan memakan semua lumut yang ada di sana...!"
"Jangan pikirkan soal lumut, pikirkan soal luka Ekayana itu!" bentak Andini.
"Bagaimana dengan lukanya" Dia dapat busuk jika tidak segera


Pendekar Cambuk Naga 2 Rahasia Sendang Bangkai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diobati...!"
"Andini...!" seru Sekar Pamikat di depan sana. "Kami akan berusaha. Mungkin
Paman Ludiro bisa, tapi cari tempat yang baik! Jangan membentak-bentak Gopo...!"
Pendekar Pusar Bumi berbisik kepada Pendekar Cambuk Naga, "Siapa dia, Gopo itu"
Kekasihmu yang baru?"
"Ah, apa pantas kau cemburu kepada Gopo" Apa mungkin aku bermain serong dengan
Gopo, atau dengan lelaki lain?"
Sekar sempat memberi cubitan kecil di sela larinya.
"Habis, siapa dia?"
"Nanti akan kuceritakan. Jangan sambil lari begini, aku takut rinduku akan
terjatuh dan tercecer di sepanjang lorong goa ini."
"Apa kau rindu?"
"Apa kau tidak?"
Lanangseta, alias Pendekar Pusar
Bumi hanya tertawa Pendek. Namun ia menggumam lirih,
"Aku khawatir dengan keselamatan Ekayana. Ia parah. Mungkinkah ia dapat
tertolong dari luka-lukanya yang
kelihatannya cepat membusuk itu?"
Ya, akan tertolongkah Ekayana"
Dan bagaimana percintaan mereka
selanjutnya"
TAMAT Scan/Convert/E-Book: Abu Keisel
Tukang Edit: mybenomybeyes
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Disponsori oleh:
Warung Mbok Tukijem Pendekar Kidal 23 Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long Dewa Cadas Pangeran 3

Cari Blog Ini