Ceritasilat Novel Online

Tumbal Asmara Buta 2

Pendekar Kembar 13 Tumbal Asmara Buta Bagian 2


bat menendang wajah Raka Pura. Wwees...!
Raka sedikit miringkan badan dan menahan
kaki lawan dengan telapak tangannya. Plaak...! Kini gi-liran kaki Raka yang
berkelebat menendang ke depan.
Wees, buuhk...!
Kunto Aji gagal menangkis kaki Raka, akibatnya tendangan itu kenai ulu hati Kunto Aji. Pemuda
itu terpental ke belakang dengan wajah menahan rasa
sakit dan sulit bernapas. Bahkan mau berteriak pun
tak bisa, sebab tendangan Raka tadi menghadang kekuatan tenaga dalam yang disalurkan ke kaki. Biasanya bisa membuat batu sebesar kepala kerbau pecah menjadi beberapa bagian jika terkena tendangan
tadi. Melihat Kunto Aji terlempar ke belakang, Reksada segera menyerang Raka dengan mengibaskan goloknya ke arah punggung Raka Pura. Tetapi tiba-tiba
terdengar suara lecutan cambuk. Ctaarr...!
"Aaow...!" Reksada memekik dan tersentak
mundur. Pergelangan tangannya terkena kibasan cambuk Kirana, sehingga goloknya terlepas dari genggaman. Lecutan cambuk itu belum disertai tenaga dalam,
karena Kirana bermaksud memberi peringatan kepada
Reksada. Pemuda itu pun segera menjauhi Raka tanpa
berani memungut goloknya lagi.
"Heaaaat...!!" Kunto Aji melompat dengan kedua telapak tangan siap disodokkan ke
depan. Raka Pura
pun segera melompat maju menyongsong terjangan lawan. Tapi kedua tangan Raka menggenggam dan diarahkan ke depan.
Ketika mereka bertemu di udara, Kunto Aji sentakkan kedua telapak tangannya yang sudah bermuatan tenaga dalam besar itu, Pendekar Kembar sulung
juga sodokkan kedua genggaman tangannya, sehingga
beradu dengan telapak tangan Kunto Aji.
Biaaammm...! Letupan besar terjadi ketika kedua tenaga dalam itu beradu. Kunto Aji tidak tahu bahwa Raka Pura
mempunyai jurus 'Tangan Batu' yang mampu menumbangkan pohon dari jarak jauh. Kekuatan tenaga dalam yang keluar dari jurus 'Tangan Batu' sangat besar, sehingga Kunto Aji
terlempar jauh ke belakang dan jatuh terguling-guling dengan sangat menyedihkan.
Brruk...! "Aaaahhk...!" Kunto Aji mengerang kesakitan.
Kedua tangannya bagaikan patah, tak bisa digerakkan
lagi. Persendian di bagian kedua sikunya seakan terlepas dan sakitnya bukan kepalang tanggung. Bahkan
tulang lengan di pangkal pundaknya bagaikan meleset
dari engsel, juga menimbulkan rasa sakit yang tidak
kenal ampun lagi.
"Aaaahk...! Huuuaak...!" Kunto Aji paksakan di-ri untuk mengangkat kedua
tangannya, namun kedua
tangan itu tetap tak bisa terangkat, seakan tak punya
saluran saraf lagi ke bagian lain.
* * * 4 UNTUK membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah dalam kasus kematian Prayoga, Raka Pura tetap
ingin menghadap Eyang Wirata alias si Mulut Guntur.
Diam-diam Kirana sempat ragu, terutama setelah melihat permainan jurus Raka dalam menghadapi Kunto
Aji. "Jika si Bocah Loreng saja bisa dilumpuhkan
dalam waktu sesingkat itu, tentu saja Prayoga lawan
yang sebanding. Ia dapat membunuh Prayoga dalam
waktu sangat singkat, kemudian pergi menemuiku,"
pikir Kirana. "Tapi, ah... kelihatannya itu tak mungkin dilakukan Raka. Pembunuh
itu terjadi ketika matahari
di pertengahan langit, sedangkan dia menyembuhkan
diriku ketika matahari belum sampai di pertengahan
langit. Tapi... tapi jaraknya tak terlalu jauh" Barangkali si Danu Paksi salah
memperhitungkan waktu"! Bisa
saja!" Sekalipun Kirana mempunyai perhitungan sendiri, tapi hati nuraninya
selalu menolak perhitungan
itu dan mengatakan bahwa Raka Pura bukan pembunuh Prayoga. Karenanya, Kirana tetap tampakkan sikap memihak Raka Pura. Hati kecilnya sendiri berharap agar bukan Raka orang yang melakukan pembunuhan itu. Kunto Aji memendam rasa malu sekali, terlebih
di depan Kirana, tangannya tak berfungsi sama sekali.
Ia benar-benar dibuat tak berkutik oleh orang yang dicurigainya sebagai pembunuh itu. Sementara si Reksada juga serba salah. Ia semakin ketakutan setelah
melihat Kunto Aji yang ilmunya lebih tinggi darinya
dapat dilumpuhkan semudah itu oleh Raka Pura.
"Kita menghadap Guru kalian bersama-sama!
Akan kubuktikan bahwa aku bukan pembunuh dan tidak pernah melarikan diri untuk hindari kalian!" ujar Raka Pura.
"Bagaimana dengan Kunto Aji?" bisik Kirana.
"Dia harus ikut juga!"
"Tentang cederanya"!"
"Itu tanggung jawabnya sebagai orang yang bertindak gegabah."
"Kau tak bisa mengobati lukanya?" "Tergantung permintaan gurumu nanti; harus ku
sembuhkan atau kubuat buntung sekalian! Keputusannya ada di mulut
gurumu!" ujar Raka yang sudah mulai diwarnai kemarahan samar-samar. Kirana hanya
diam saja, tak berani membujuk lagi. Akhirnya mereka berempat berangkat ke padepokan. Kunto Aji melangkah dengan
dipapah Reksada sambil wajahnya menyeringai kesakitan. Tetapi dalam hati Raka Pura, ia sudah menduga bahwa adiknya; si Pendekar Kembar bungsu, pasti
terlibat persoalan itu. Raka Pura mulai dapat menyimpulkan bahwa tuduhan tersebut pasti ditujukan kepada Soka. Namun entah bagaimana, Soka pergi dan mereka memburunya. Karena kesamaan rupa dan penampilan, Kunto Aji menyangka Raka adalah Soka Pura. "Tapi benarkah Soka membunuh Prayoga"!
Hmmm... kurasa kalau bukan karena ada persoalan
yang sangat penting dan berbahaya, Soka tak mungkin
mencabut nyawa orang seenaknya begitu. Kurasa mereka juga salah paham terhadap Soka," ujar Raka
membatin. Kirana hanya tahu bahwa Raka bersama seorang adiknya dalam mencari 'Bambu Gading Mandul'
itu. Tapi Raka tidak jelaskan tentang persamaan rupa
mereka. Raka selalu merasa hal itu tidak penting dikatakan kepada setiap orang yang dijumpainya, kecuali
dalam keadaan memaksa. Apalagi dia harus mengatakan bahwa ia mempunyai gelar Pendekar Kembar, hal
itu jarang sekali dilontarkan di depan orang yang baru dikenal. Kecuali jika
orang tersebut menanyakan tentang Pendekar Kembar, baru Raka akan bicara yang
sebenarnya. Sebab, jika ia mengaku Pendekar Kembar
kepada orang yang baru dikenal, belum tentu orang itu
percaya. Bisa jadi dia hanya akan ditertawakan dan
dianggap mengaku-ngaku kebesaran nama Pendekar
Kembar. Karenanya, Kirana berusaha ngotot di depan
gurunya pada waktu mereka sudah tiba di padepokan.
Raka Pura belum bicara, dan sang Guru: si Mulut
Guntur, sudah lebih dulu jelaskan perkara tersebut.
Kirana berani ngotot dengan sumpahnya.
"Aku berani bersumpah, Guru. Dia bersamaku
sebelum matahari mencapai pertengahan langit. Dia
sedang bertarung dengan Bomapati karena ingin menyelamatkan nyawaku, Guru! Sumpah mati pun aku
berani, Guru!"
Si Mulut Guntur diam sesaat, merenungkan
keberanian Kirana dalam bersumpah. Ia tau persis,
bahwa Kirana tak pernah berani lontarkan sumpah
palsu. Ia lebih baik mencari alasan lain untuk membela kesalahannya daripada harus bersumpah palsu.
Raka Pura masih berdiri tenang di depan si Mulut Guntur yang menyambut kedatangannya di depan
pendopo pertemuan. Hal itu dilakukan oleh si Mulut
Guntur, karena ketika Raka Pura memasuki pintu gerbang perguruan, para murid segera mengepung Raka
dengan senjata terhunus, siap menyerang bersama.
Bentakan Kirana membuat mereka tak berani menyerang langsung ke arah Raka Pura. Tetapi mereka belum mau bubar. Setelah Mulut Guntur muncul, mereka mulai merenggangkan kepungan. Namun masingmasing tetap memancarkan permusuhan serta menyimpan dendam atas kematian saudara seperguruannya itu. Rasa dendam itu muncul di hati masing-masing
murid Perguruan Tapak Syiwa, karena selama hidupnya Prayoga dikenal sebagai murid yang baik, ramah,
dan gemar menolong terhadap sesama. Prayoga tak
pernah berselisih dengan saudara seperguruan sendiri.
Bahkan ia cenderung mengalah jika terjadi pertentangan dl antara mereka.
Tetapi dalam membela martabat perguruan,
Prayoga selalu tampil terdepan. Seperti halnya ketika
harus berhadapan dengan orang-orang dari Perguruan
Cakar Hantu, Prayoga menerjang lebih dulu orangorang yang hendak membakar padepokannya itu. Dengan bersenjatakan Keris Naga Sukma, Prayoga nyaris
melukai separo dari jumlah orang-orang Cakar Hantu
yang menyerang kala itu.
Oleh sebab itulah, kematian Prayoga sangat
disesalkan oleh para murid Perguruan Tapak Syiwa.
Rasa berkabung mereka diwarnai dengan dendam, sehingga yang tampak pada wajah-wajah mereka adalah
amarah yang berapi-api, bukan kesedihan yang mendalam. Hanya si Mulut Guntur yang akhirnya mampu
memendam kemarahannya dan bersikap tenang di depan Raka Pura. Dengan kedua tangan bersidekap di
dada, Mulut Guntur bicara kepada Raka Pura tentang
urusan kejadian tersebut.
"Seandainya kau mau mengaku perbuatanmu,
dan mengajukan alasan yang kuat, barangkali aku
akan mempertimbangkan keputusanmu dalam menjatuhkan hukuman padamu, Nak!"
"Eyang Wirata," ujar Raka Pura dengan nada
menghormat. "Kurasa kali ini Eyang salah duga untuk yang kedua kalinya!"
Si Mulut Guntur berkerut dahi menatap Raka.
"Pertama, salah tuduh itu telah membuat keadaan menjadi kacau, terutama bagi para murid di sini.
Kedua, saya bukan orang yang Eyang lihat tadi di tempat mayat Prayoga ditemukan."
"Aku masih kurang Jelas dengan maksudmu,
Nak." "Saya adalah Raka Pura, Eyang. Bukan Soka Pura!" "Lho..."!" si Mulut
Guntur semakin kaget. Beberapa murid memandang dengan dahi berkerut, termasuk Kirana. "Soka Pura adalah adik kembar saya. Ia juga
berpedang kristal seperti ini, tapi ia bertangan kidal.
Pakaiannya, wajahnya, potongan tubuhnya, sama persis dengan saya, Eyang!"
"Jadi... kalian anak kembar"!"
"Benar, Eyang! Kami anak kembar dari Gunung
Merana, murid mendiang Eyang Dewa Kencan yang diasuh oleh seorang ayah angkat kami, bernama: Pawang Badai!"
"Astaga..."!" sentak si Mulut Guntur. "Kalau begitu kalian adalah Pendekar
Kembar"!"
"Benar sekali, Eyang!" tegas Raka Pura. Hal itu membuat semua mata semakin
tertuju kepadanya. Mereka menatap dengan mulut ternganga namun tanpa
suara. Mereka bagaikan terpaku di tempat selama dua
helaan napas. Rupanya nama Pendekar Kembar sudah dikenal oleh mereka dari percakapan yang mereka dengar di
rimba persilatan. Tetapi tak satu pun merasa pernah
bertemu dengan Pendekar Kembar. Maka ketika Raka
Pura mengaku dirinya sebagai Pendekar Kembar sulung, mereka terkesima. Namun sebagian ada pula
yang terbengong karena keragu-raguannya.
Kirana menatap Raka tak berkedip dengan hati
berdebar-debar. Ia sendiri tak menyangka kalau pemuda yang bersamanya adalah Pendekar Kembar yang
namanya sedang menjadi buah pembicaraan oleh para
tokoh di dunia persilatan. Namun di sudut hatinya, ia
masih tetap menyimpan kesangsian sebelum bertemu
dengan Soka Pura dan mendapat kepastian dari gurunya. "Eyang Mangkuranda alias si Dewa Kencan,
memang kukenal. Tapi lebih kukenal lagi nama si Pawang Badai. Sebab dia adalah sahabatku semasa kami
sama-sama masih muda."
"Bagaimana kami bisa mempercayainya.
Guru"!" ujar salah seorang murid. "Barangkali memang Guru mengenal tokoh yang
bernama Pawang Badai. Tapi siapa pun bisa mengaku-ngaku sebagai
anak angkatnya dan mengaku sebagai Pendekar Kembar, Guru!"
Raka Pura menatap pemuda itu yang tampak
menyangsikan pengakuannya. Ia tetap bersabar, tenang, dan kalem. Ia tampakkan sikap ingin ngotot di
depan pemuda tersebut. Hal itu membuat si Mulut
Guntur segera berkata kepada murid-muridnya.
"Seingatku, Pawang Badai mempunyai jurus
penyembuhan yang sangat dahsyat dan ajaib sekali,
jurus itu bernama jurus 'Sambung Nyawa'. Jika kalian
ingin bukti kebenaran pengakuan pemuda ini sebagai
Pendekar Kembar, tentunya ia mempunyai jurus
'Sambung Nyawa' itu. Sebab semua murid Dewa Kencan menguasai jurus tersebut."


Pendekar Kembar 13 Tumbal Asmara Buta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah berkata begitu, si Mulut Guntur berpaling menatap Raka Pura. Pandangan matanya membuat
Raka Pura mengerti maksud sang Guru itu. Ia harus
lakukan pembuktian sebagai Pendekar Kembar melalui
jurus 'Sambung Nyawa'.
Raka Pura pun tersenyum, ia melirik ke arah
Kirana. Ternyata gadis itu sedang memandangnya,
seakan penuh harap agar Raka melakukan pembuktian. Pandangan mata Kirana berpindah kepada Kunto
Aji. Raka pun paham maksudnya, agar ia lakukan penyembuhan terhadap diri Kunto Aji yang kedua tangannya masih tak bisa digunakan sama sekali itu.
Maka si pemuda tampan itu pun segera dekati
Kunto Aji. Penyembuhan yang dilakukan kepada Kirana, kembali dipergunakan Raka Pura untuk sembuhkan cedera di kedua tangan Kunto Aji. Proses penyembuhannya sama, dan memukau para murid di Perguruan Tapak Syiwa.
Dalam beberapa kejap saja, Kunto Aji segera
pulih. Tangannya bisa digunakan seperti sediakala.
Rasa sakit tak tersisa sedikit pun. Bahkan badannya
terasa lebih segar dibandingkan hari-hari kemarin.
"Tidak ada orang yang bisa lakukan penyembuhan seperti itu, kecuali orang-orang yang menganut
aliran silat si Dewa Kencan," ujar Eyang Wirata kepada
murid-muridnya. Para murid itu akhirnya percaya
bahwa Raka Pura adalah Pendekar Kembar sulung
yang sedang jadi buah bibir orang-orang persilatan.
Sebelum matahari tenggelam, mereka menguburkan Jenazah Prayoga di pemakaman khusus para
murid Perguruan Tapak Syiwa. Beberapa murid yang
ditugaskan mencari Soka Pura tadi, sebagian sudah
pulang tanpa membawa hasil. Tapi beberapa lainnya
masih berusaha mencari dan tidak hadir dalam pemakaman Prayoga, termasuk si Danu Paksi.
Sedangkan Raka Pura ikut dalam pemakaman
tersebut didampingi oleh Kirana. Tampaknya Kirana
semakin dekat dengan Raka Pura, lebih-lebih setelah
ia tahu Raka adalah Pendekar Kembar sulung.
Sepulangnya dari pemakaman itu, Mulut Guntur dan beberapa murid pilihannya berkumpul membicarakan tentang kematian Prayoga yang misterius itu.
Persoalan yang berbelit-belit terletak pada Keris Naga Sukma milik Prayoga.
"Keris itu adalah keris pusaka peninggalan
mendiang ayah Prayoga yang pernah menjabat sebagai
patih di sebuah kerajaan," ujar si Mulut Guntur. "Setiap orang yang tahu, pasti
akan mengincar keris tersebut. Bukan saja kesaktian keris itu yang akan menguntungkan pencurinya, tapi harga jual keris itu sendiri dapat dipakai untuk hidup selama beranak cucu."
Kunto Aji segera angkat bicara setelah gurunya
tampak berhenti agak lama.
"Jika pembunuh itu bukan Soka Pura, kemungkinan lain hanya ada orang-orang Perguruan Cakar Hantu."
"Benar! Tapi menurutku," ujar murid yang lain.
"Orang-orang Cakar Hantu tak ada yang berani sampai berada di wilayah kekuasaan
kita." "Anehnya, keris itu tidak diambil oleh pembunuhnya," timpal Kunto Aji lagi. "Berarti pembunuhnya mempunyai tujuan lain dalam
menghabisi nyawa
Prayoga!" Raka Pura pun segera ikut bicara. "Yang jelas
adikku tidak mungkin melakukannya, karena kami
memang tidak mengenal Prayoga. Tak ada permusuhan dan kebencian di antara kami dengan Prayoga.
Kami hanya akan melakukan pembunuhan jika hal itu
sangat mendesak dan sangat beralasan."
"Lalu bagaimana dengan Keris Naga Sukma
yang ada di tangan adikmu itu?" tanya Kunto Aji yang bernada masih curiga pada
Soka Pura. "Kurasa Soka bisa jelaskan seluruhnya dengan
benar. Tapi... sebaiknya sekarang juga aku mohon
pamit dulu untuk mencari adikku. Akan kubawa kemari dia untuk selesaikan persoalan ini, agar di antara kita tidak terjadi
ganjalan batin yang akan merusak
persahabatan."
"Guru, boleh aku mendampingi Raka mencari
adiknya?" tanya Kirana meminta izin lebih dulu.
"Sejauh Raka bertanggung jawab atas keselamatanmu, kuizinkan kau mendampinginya!" ujar si
Mulut Guntur. Salah seorang murid segera acungkan jarinya
dan berkata, "Bagaimana jika dia tidak kembali lagi alias kabur"! Apa
jaminannya, Guru"!'
Kirana yang menyahut, "Nyawaku yang menjadi
jaminannya! Kau boleh bunuh aku jika Raka tidak
kembali lagi kemari!"
Kata-kata tegas Kirana bernada marah kepada
temannya itu. Mereka diam semua. Kirana memandangi mereka satu persatu. Akhirnya si Mulut Guntur
berkata kepada Kirana.
"Berangkatlah! Kami percaya Raka akan kembali bersamamu dalam keadaan selamat dan membawa
Soka Pura!"
Kepergian Raka dan Kirana ternyata tidak dilepas begitu saja. Kunto Aji ditugaskan mengikuti mereka secara sembunyi-sembunyi. Dengan begitu, para
murid yang masih menyangsikan kejujuran Raka Pura
menjadi lega dan menganggap sang Guru memperhatikan kecemasan mereka.
Namun perjalanan senja itu ternyata tidak cukup untuk mencari Soka Pura. Raka sudah pergi ke
tempat mereka berpisah saat mendengar suara jeritan
memilukan yang ternyata adalah jerit kematian Prayoga itu. Tapi ternyata Soka Pura tidak ada di tempat
tersebut. Mereka mencari di sekitar tempat itu, juga tetap tak menemukan jejak
Soka Pura. Diam-diam Raka menyimpan kecemasan tersendiri. Ia tak ingin kehilangan adiknya. Ia juga tak ingin sang adik cedera
atau mengalami bencana apa
pun. Karenanya, meski hari mulai meremang petang,
Raka Pura masih berusaha mencari adiknya sambil didampingi Kirana yang mengetahui seluk beluk daerah
di sekitar kaki Gunung Mercapada itu.
"Petang sudah tiba, Raka. Apakah kita masih
mau melanjutkan pencarian ini?"
"Kurasa begitu."
"Gelap malam akan membuat kita semakin sulit
mencari adikmu!"
"Apakah kau punya saran?"
"Sebaiknya... pulang dulu ke padepokanku.
Esok kita lanjutkan lagi pencarian ini."
"Apa kata teman-teman dan gurumu jika kita
kembali tanpa membawa Soka Pura" Pasti mereka
akan mengecam ku dan mempunyai dugaan yang bukan-bukan."
"Kalau begitu...," gadis 'gingsul' itu diam sesaat.
Kemudian ia berkata seperti mendapat gagasan
secara tiba-tiba.
"Di lereng sebelah sana ada gua. Bagaimana jika kita beristirahat di dalam gua saja. Aku capek seka-li, Raka."
Kata-kata Kirana yang terakhir itu bernada
manja. Raka Pura tersenyum, tapi ia menjadi bingung
dengan debar-debar yang muncul kembali dalam hatinya itu. Debar-debar yang membawa perasaan indah
dan senang itu hadir ketika Kirana bernada manja
sambil bergelayut di pundak Raka Pura.
"Sial betul! Kenapa perasaanku jadi seperti ini"
Padahal biasanya aku tak suka dengan gadis yang berani memegang ku, apalagi bernada merengek manja
begitu. Aku paling tak suka. Tapi sekarang, kenapa
aku tak punya perasaan seperti itu" Yang ku rasakan
hanya debar-debar keindahan dan... hawanya kepingin
tersenyum senang terus. Ada apa sebenarnya pada diriku ini"!"
Raka Pura pun akhirnya turuti rengekan Kirana. Sebuah gua yang mempunyai lorong panjang dan
berliku-liku menjadi tempat peristirahatan mereka malam itu. Raka Pura menyalakan api unggun sebagai
penghangat dan penerang suasana.
Gua itu mempunyai ruangan lebar dan bergelombang seperti tangga alam. Banyak bebatuan yang
berserakan di sana-sini, tapi ukurannya tak ada yang
melebihi ukuran tinggi perut orang dewasa.
"Kau sering ke gua ini?" tanya Raka Pura sambil membetulkan susunan kayu bakar.
"Dulu aku pernah bersembunyi di gua ini ketika dikejar lawanku yang ilmunya lebih tinggi dariku.
Aku juga pernah sembunyi di sini ketika bercanda
dengan Prayoga."
"Dia kekasihmu?" potong Raka.
"Bukan! Sudah kukatakan, dia sangat baik padaku, dan dia punya kekasih sendiri di Lembah Gadai.
Aku juga pernah beristirahat di sini bersama Prayoga
dan Utami, kekasihnya itu."
Kirana hentikan ucapannya sebentar, lalu segera berkata lagi, "O, ya... aku belum kabari Utami tentang kematian Prayoga.
Kasihan dia...," wajah cantik itu mulai tampak membendung duka.
Raka Pura ingat saat Kirana menangis di pemakaman Prayoga. Gadis itu tidak memeluk gurunya
atau Kunto Aji, tapi menjatuhkan pelukannya ke dada
Raka. Mau tak mau tangan Raka menyambut dalam
pelukan walau ia merasa janggal sekali melakukannya.
Tangis Kirana tak bisa dihentikan ketika jenazah
Prayoga di masukkan ke liang kubur lalu ditimbun tanah. Hanya Raka Pura yang berhasil meredakan tangis
itu, dan si gadis merasa terhibur oleh ucapan-ucapan
lembut Raka yang menyarankan agar ia harus tetap
tabah menghadapi kenyataan apa pun.
Sekarang, di dalam gua itu, wajah cantik itu
mulai diselimuti duka. Sebenarnya Raka Pura ingin
cuek saja, berlagak tak peduli dengan lapisan duka
yang membayang dl wajah cantik itu. Tapi ternyata hati kecilnya tak tega.
"Kasihan"! Aneh sekali. Mengapa aku kasihan
kepada gadis itu jika berwajah duka" Biasanya aku tak
peduli seorang gadis berwajah duka atau berwajah
angker! Mengapa sekarang aku merasa iba jika melihat
dia murung dan berduka"! Ah, setan belang dari mana
yang mengubah perasaanku jadi begin! ini?" gerutu Raka dalam hatinya sambil
tetap berlagak sibuk dengan kayu-kayu bakar.
Kirana ada di samping kanannya, sedikit agak
ke depan, sehingga wajah mereka mudah saling beradu pandang. Cahaya api unggun memperjelas rona wajah si cantik, walau ia tertunduk.
Niat untuk cuek ternyata tak mampu dipertahankan Raka Pura setelah Kirana tampak hanyut dalam lamunan duka atas kematian Prayoga. Raka pun
segera berkata dengan suara lembutnya.
"Jangan melantur dalam duka, nanti batinmu
terlalu lama menderita."
Si gadis masih diam, walau ia mulai menarik
napas dalam-dalam bagai ingin sembunyikan duka ke
dasar hatinya. Tapi setelah itu ia masih tak bersuara.
Matanya memandang ke arah nyala api unggun kecil
itu. Bahkan tangannya memungut sebatang kayu dan
bermain api dengan kayu tersebut. Sorot pandangan
matanya masih menerawang dicekam kesedihan.
"Biasanya kalau orang menderita, batinnya tersiksa. Dan orang yang batinnya terlalu lama tersiksa,
ia akan lekas tua. Jika kau lekas tua, maka kecantikanmu pun akan sirna. Itu adalah kerugian besar bagimu, Kirana."
"Biar saja cepat tua," ujar si gadis dengan ke-murungannya dipertajam.
"Kalau hanya cepat tua, mungkin bisa kau biarkan. Tapi kalau sampai kau sakit, bagaimana?"
"Biar saja sakit! Tak ada yang rugi kalau aku
sakit." Raka Pura tersenyum tipis. Senyumnya itu sebenarnya senyum salah tingkah
dengan perasaannya
sendiri. Tiba-tiba ia berucap pelan tanpa memandang
orang yang diajak bicara.
"Aku tak ingin kau sakit."
Kirana menatap, Raka Pura masih berlagak tak
mengetahui kalau sedang ditatap. Tapi dalam hati pemuda itu sebenarnya bergemuruh keras. Gemuruh itu
timbul akibat pertentangan rasa dalam batinnya. Sebagian batinnya ingin agar tidak peduli dengan apa
pun yang terjadi pada gadis itu, sebagian batin lagi
menghendaki agar gadis itu dalam keadaan baik, sehat, ceria, dan sebagainya.
"Apa rugimu kalau aku sakit?" tanya Kirana
dengan suara lirih. Rambutnya tergerak ke depan, dan
ia menyingkapkan sampai ke belakang telinga. Matanya memandang lurus pada Raka. Wajah itu tampak
semakin cantik lagi ketika separo rambutnya tersingkap sampai belakang telinga. Raka Pura memandangnya, namun detak jantung bagai menyentak-nyentak
ketika melihat wajah menjadi secantik itu. Ia buruburu buang pandangan untuk kurangi detak jantungnya. Ia takut urat jantungnya putus karena menyentak
terlalu keras. Rupanya si gadis ingin mendengar jawaban dari
pemuda kalem itu. sehingga ia mengulang pertanyaannya tadi. "Apa rugi mu..."!"
"Hmmm... tak ada," Raka Pura menggeleng.
"Tak ada ruginya kalau kau sakit, karena yang sakit adalah dirimu, bukan
diriku." Kata-kata itu sangat berat sekali diucapkan
Raka, karena bertentangan dengan hati kecilnya. Ter

Pendekar Kembar 13 Tumbal Asmara Buta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukti setelah berkata begitu, Raka menghembuskan
napas panjang seperti menyingkapkan sesuatu yang
mengganjal dalam hatinya.
"Lalu, mengapa kau tak inginkan aku sakit?"
desak Kirana lagi.
"Karena... karena aku malas mengobatimu lagi," jawab Raka sebisa-bisanya.
"Kalau begitu biarkan saja aku sakit sampai
mati." "Itu tidak baik, Kirana. Sebab...." Raka diam seketika, karena ia merasa
kehilangan seluruh kata yang
akan diucapkan. Ia menjadi bingung, harus berkata
apa kepada gadis itu.
"Sebab apa"!" desak si gadis.
"Sebab... sebab aku malas menguburkan mayat
mu!" jawaban itu bernada jengkel. Bukan kepada Kirana ia menjadi jengkel, tapi
kepada dirinya sendiri yang tak mampu kuasai debar-debar aneh dalam hatinya
itu. "Kalau kau malas menguburkan mayatku, aku
akan menguburkan diri sendiri."
"Mana ada mayat gali kuburan dan ngubur diri
sendiri"!" Raka Pura bersungut-sungut. Kirana tersenyum geli. Senyum itu
bercampur tawa lirih. Tawa lirih itu membuat keresahan dalam hati Raka menjadi
berkurang. Setidaknya ia merasa tidak seka ku tadi, namun sedikit lebih santai.
"Mungkin karena dia sudah mau tertawa," pikir Raka. "Mungkin karena wajahnya tak
menyimpan kesedihan dan kemurungan lagi, maka hatiku merasa lega. Ah, kok aneh sekali hatiku ini?"
Setelah mereka saling diam beberapa saat, Kirana mengawali percakapan lagi dengan suaranya yang
pelan, bening, dan berkesan lembut.
"Kau pernah punya kekasih, Raka?"
"Belum," jawab Raka agak parau, karena raguragu mengucapkannya.
"Aku sudah pernah," ujar Kirana tanpa malumalu. Bahkan ia bergeser dari tempat duduknya, menjadi lebih dekat lagi dengan Raka. Kurang dari dua
jengkal. Batu yang didudukinya lebih rendah dari yang
diduduki Raka, membuat kepala Kirana bisa jatuh ke
pundak Raka sewaktu-waktu.
"Hubungan kasihku itu hanya sekejap mata,"
lanjut Kirana. "Baru berjalan kurang dari dua bulan sudah putus."
"Kenapa putus?"......
"Yang diharapkan darinya bukan ketulusan hatiku, tapi kehangatan tubuhku. Aku tak mau punya
kekasih yang hanya membutuhkan kehangatan tubuhku! Aku tak mau jadi pemuas gairahnya. Aku ingin
menjadi teman hidup sampai kami sama-sama masuk
liang kubur."
"Memang seharusnya begitu," ujar Raka seperti tak punya kalimat lain.
"Sampai sekarang aku hanya senang bersahabat saja dengan seorang pemuda. Ku rasakan persahabatan itu akan lebih langgeng daripada dibumbui
dengan rayuan kasih dan tetek bengeknya."
"Benar, aku juga sependapat begitu!" Raka
tampak bersemangat karena ia lebih suka bicara tentang persahabatan.
"Tapi sebagai manusia sehat, kadang aku merindukan seorang kekasih yang mampu memeluk hatiku, menghibur ku, memberi kedamaian dan menjadi
tumpuan kasih sayang. Apakah kau juga begitu?"
Raka Pura hanya tersenyum kikuk. Kali ini ia
tak tahu harus menjawab apa kepada Kirana. Detak
jantungnya bertambah keras. Debar-debar keindahan
terasa menjalar sampai ke ujung kaki. Terlebih setelah tangan Kirana jatuh di
pangkuannya, dan gadis itu
menatap dengan senyum lesung pipit yang begitu lembut, Raka Pura benar-benar seperti dihujani keindahan yang tak dimengerti dari mana datangnya.
"Apakah kau juga sesekali punya harapan seperti itu, Raka?"
"Hmm, hmmm... iya, sesekali saja," Jawab Raka tampak gugup. Kemudian sebelum
Kirana bicara lagi,
ia sudah mendahului berkata sambil melepaskan kayu
yang dipakai meratakan api unggun itu.
"Aku lelah sekali hari ini. Aku mau tidur dulu."
Raka bergeser agak ke belakang. Ia bersandar
pada dinding gua. Duduknya melonjor, matanya sengaja buru-buru dipejamkan. Kirana memandang dengan senyum kecil.
"Aku akan keluar sebentar, Raka."
"Hei, mau ke mana kau?" Raka Pura buru-buru
bangkit dan berwajah tegang.
"Aku mau cari makanan untuk santap malam.
Aku lapar."
"Tak usah! Biar aku saja yang cari makanan!
Kau di sini, Jangan ke mana-mana!"
"Ah, biarlah aku saja!"
Raka bergegas menyelipkan pedangnya yang
tadi digeletakkan di tanah samping kirinya. Kemudian
ia melangkah hendak keluar.
"Tetaplah di sini! Tak lama aku akan kembali!"
"Raka...!" Kirana menahan langkah Raka Pura
dengan mencekal lengan pemuda itu.
"Mau ke mana kau?"
"Katamu kau lapar dan butuh makanan" Aku
akan mencari makanan untukmu!"
Kirana tersenyum, menampakkan kemanisan
gigi 'gingsul'-nya dan lesung pipitnya.
"Aku hanya bercanda. Aku tidak lapar kok."
"Harus lapar!" ujar Raka demi menutupi rasa
malunya. "Aku tidak lapar kok diharuskan lapar?" Kirana sedikit bernada merengek. "Kalau
kau keluar aku akan ikut keluar!"
Raka Pura hembuskan napas. "Ya, sudah... kita
di dalam saja."
Raka Pura duduk di tempat semula, Kirana
mengikutinya dan ikut pula duduk di samping Raka.
Tapi jantung Raka merasa seperti mau copot, karena ia
belum pernah merasakan debar-debar semakin indah
ketika Kirana menyandarkan kepala di pundaknya.
"Aneh sekali, ya" Sejak aku bersamamu, rasa
lapar ku hilang. Tak ada minat untuk makan," ujar Kirana, "Aku juga," jawab Raka lirih, sepertinya hanya untuk basa-basi saja.
"Aku ingin tertidur dalam keadaan dekat denganmu begini. Bolehkah?" Kirana menatap, Raka tak bisa menghindari pandangan
mata itu. Hatinya pun
sulit menolak. Ia paksakan untuk menggelengkan kepala, tapi yang terjadi adalah menganggukkan kepala.
Maka Kirana pun semakin merebahkan kepala
di dada Raka. Tangan Raka segera merangkulnya. Pada saat itu, debar-debar keindahan melonjak kuat,
seakan ingin bersorak.
"Raka... maukah kau menciumku biar aku
bermimpi indah dalam tidurku nanti?"
Sekali lagi Raka ingin menggeleng, tapi yang
terjadi justru mengangguk. Maka dengan gemetar dan
jantung menyentak-nyentak lebih kuat lagi, Raka pun
mencium kening Kirana. Cup...! Pelan dan lembut sekali. Setelah itu napas Raka merasa sesak, karena ada
sesuatu yang mekar di dalam dadanya. Sesuatu yang
mekar itu adalah sebentuk keindahan yang belum
pernah dirasakan dan baru kali itu dialaminya.
Sang gadis pun tersenyum tipis dan berucap
pelan, "Terima kasih, Raka...."
"Tidurlah yang tenang," ujar Raka Pura nyaris tak terdengar. Si gadis pun
merebah kembali di dada
Raka, kemudian segera tertidur dengan nyenyak,
membiarkan Raka Pura tertegun dalam lamunan indah
yang membingungkan pikirannya.
"Seumur hidup baru sekarang aku mencium,
seorang gadis. Kenapa aku jadi begini, ya" Janganjangan terkena ilmu pelet dari gadis ini" Tapi... tapi gadis ini tidak banyak
menuntut dariku. Rasa-rasanya
ia akan sia-sia jika hanya begini saja harus menggunakan ilmu pelet. Ah... tak tahulah kenapa aku ini"
Kurasa... kurasa kali ini aku kena batunya; tak bisa
hindari daya tarik Kirana yang punya kecantikan
mampu mengacak-acak hati dan pikiranku...."
Raka Pura masih diam terbengong. Ia justru tak
bisa tidur karena harus menopang kepala Kirana yang
terkulai nyenyak dalam pelukannya.
* * * 5 MIMPI indah benar-benar dialami oleh Kirana.
Ia bermimpi sedang bercanda di sebuah taman bunga
bersama Raka Pura. Mereka berlari-larian sambil
hamburkan tawa, saling kejar sambil jeritkan suara
kebahagiaan. Kemudian Raka menangkapnya dari belakang, Kirana tertawa kegelian. Akhirnya mereka saling beradu pandang, lalu Kirana memejamkan mata,
dan Raka mengecup bibir Kirana dengan lembut.
Sayangnya keindahan itu hanya terjadi dalam
mimpi Kirana. Ketika ia bangun, api unggun telah padam, cahaya matahari pagi telah menerobos masuk
melalui mulut gua yang tak berpintu itu. Hadirnya
sang matahari tidak membuat Kirana terkejut. Tapi ketiadaan Raka Pura membuat Kirana yang nyaris terpekik. "Rakaaa..."!" serunya dalam mencari Raka di
kedalaman gua. "Rakaaa...! Di mana kau...?"
Sepi, tak ada jawaban. Yang ada hanya gema
suaranya sendiri. Gema itu bagai mempermainkan perasaan Kirana yang sedih dan menjadi tegang. Maka ia
pun segera lari keluar gua.
"Rakaaa...!" panggilnya dengan suara tak sampai menjerit. Tapi tetap tak ada
jawaban. Hati pun
menjadi sedih. Kirana menjadi berang karena hatinya
dibuat sedih oleh pemuda yang meninggalkan kesan
indah di dalam hatinya. Kirana segera mencari keindahan itu. Mencari Raka Pura yang telah berhasil menjerat hatinya dengan kepolosan dan kekakuannya mencium kening. Dahi Kirana seperti masih menghangat. Bekas
kecupan lembut Raka Pura sulit dihilangkan, membuat hati semakin jengkel dan berang.
"Raka aku tak mau kau tinggalkan! Di mana
kau, Raka"! Brengsek kau, Raka! Di mana kau, aku
tak mau kau tinggalkan!" ucap Kirana dalam tiap langkahnya. Ucapan itu seperti
orang menggerutu, namun
sangat keras dan menggema dalam relung hatinya.
"Apakah ia sengaja melarikan diri karena ingin
hindari persoalan tewasnya Prayoga"!" pikir Kirana.
"Celaka kalau benar dia begitu! Nyawaku benar-benar bisa dituntut oleh pihak
perguruan jika aku pulang
tanpa Raka Pura! Dasar gila pemuda itu! Apakah dia
tak tahu bahwa nyawaku sebagai jaminan jika ia sampai melarikan diri"!"
Raka Pura sebenarnya tidak kabur atau larikan
diri hindari kasus kematian Prayoga yang belum tuntas itu. Bukan karena niat seperti itu Raka tinggalkan gua saat fajar tiba. Ia
meletakkan tubuh Kirana pelan-pelan dan keluar dari gua karena mendengar suara
se- ruan yang menggema memanggil namanya.
"Rakaaaaaa...!! Rakaaaaaaaa...!"
"Itu suara Soka"!" gumam Raka dengan terkejut dan menjadi tegang. Tak mungkin ia
membalas seruan
itu, karena Kirana masih tertidur dengan nyenyak. Ia
tak ingin mengganggu kenyenyakan tidur gadis cantik
tersebut. Maka ia pun segera berlari ke arah datangnya
suara Soka. Berkelebatnya Raka dari dalam gua, ternyata masih tetap diikuti oleh Kunto Aji dari kejauhan.
Dan seruan Soka bukan saja memanggil kedatangan
Raka, namun Juga memanggil kedatangan tokoh lain.
Rupanya si Pendekar Kembar bungsu sejak
kemarin menjadi jengkel sendiri karena mencari kakaknya yang tak bisa ditemukan. Pada saat Soka tiba
di tempat pertarungan Kirana dengan Bomapati, Raka
dan Kirana sudah tak ada. Tentunya Soka juga tak tahu bahwa kakaknya habis bertarung melawan Bomapati di tempat itu. Ketika menjelang petang Soka kembali ke tempat mereka berpisah pertama kali, Raka sudah sejak tadi mencari di sana dan akhirnya pergi ke arah lain bersama Kirana,
yang akhirnya mereka masuk ke dalam gua. Tentu saja Soka tak bisa temukan
kakaknya. Sampai tengah malam ia masih berkeliaran
mencari kakaknya di sekitar tempat itu. ia juga melihat Danu Paksi yang berlarilari dengan wajah berang,
tampak jika sedang mencari seorang buronan. Tetapi
Soka Pura sengaja membiarkan dan tak mau temui
pemuda itu. Pikirnya, Danu Paksi hanya akan menghambat langkahnya dalam mencari Raka Pura. Sebab
itu, Danu Paksi dibiarkan berkelebat mencarinya di
tempat lain. Maka di ujung fajar, setelah Soka beristirahat
di atas pohon, kejengkelannya dilampiaskan dengan
berteriak sekeras-kerasnya. Dengan dua kali teriakan,
Soka berhasil meredam kedongkolannya yang mengganjal di ulu hati. Tapi ia pun berharap kakaknya segera datang. Namun ternyata yang datang lebih dulu
bukan kakaknya, melainkan orang lain.
Kunto Aji segera memotong jalan, karena ia
mulai dapat menduga bahwa Raka Pura akan menuju
ke tempat datangnya suara tersebut. Kunto Aji penasaran dengan pengakuan Raka tentang adik kembarnya.
Si Bocah Loreng itu segera menduga bahwa yang memanggil Raka itu adalah adik kembarnya. Maka ia bergegas menuju ke tempat datangnya seruan tersebut. Ia
berhasil tiba di tempat itu lebih dulu daripada Raka,


Pendekar Kembar 13 Tumbal Asmara Buta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena ia memang mengetahui jalan pintas terdekat ke
arah di mana Soka berada.
ia segera naik di atas pohon cemara liar yang
bercabang tiga itu, karena posisi Soka Pura saat itu
ada di hutan cemara. Kerimbunan daun-daun cemara
liar itu membuat Kunto Aji tersembunyi rapat-rapat
dan sukar dilihat dari bawah. Namun ia bisa memandang jelas ke arah seorang pemuda berpedang kristal
di pinggang kanan.
"Ooo... itu si adik kembar Raka Pura" Hmm...
benar-benar serupa sekali dengan Raka Pura. Sulit dibedakan mana kakak dan mana adiknya," ujar Kunto
Aji dalam hatinya.
Soka Pura terkejut ketika rasakan hawa panas
mendekati punggungnya. Dengan cepat ia berbalik
arah dan tangannya menyentak secara reflek. Claap...!
Seberkas sinar merah berbentuk seperti piringan bergerigi melesat dari tangan kiri Soka Pura. Sinar merah itu membentur seberkas
sinar kuning yang berbentuk
seperti bintang. Kedua sinar itu saling berbenturan dalam jarak lima langkah
dari Soka Pura.
Bluuub...! Tak ada bunyi ledakan yang menggelegar. Suara ledakan itu bagaikan teredam kuat. Tapi gelombang
ledakannya menyentak sangat kuat, bagai tenaga yang
amat besar menghempas lebih banyak ke arah Soka
Pura. Buuubb...!
Soka Pura terhempas dan jatuh terbanting dengan keras setelah membentur sebatang pohon cemara
liar yang cukup besar. Bruuus...! Bruuk...!
"Edan! Jurus apa tadi yang mengenai ku"!" pikir Soka Pura dengan menyeringai
menahan rasa sakit. Sekujur tubuhnya bagaikan tersayat-sayat. Tulang-tulangnya terasa remuk semua. Jalan pernapasan
bagaikan disumbat oleh udara padat yang menggumpal di dada. Pendekar Kembar bungsu merasa diserang dalam keadaan belum siaga sama sekali. Karena kemunculan sinar kuning itu sangat di luar dugaannya. Tapi
ia merasa beruntung dapat lepaskan jurus 'Mata Bumi'
nya yang bersinar merah seperti piringan bergerigi tadi. Jika tidak, sinar kuning itu akan kenai punggungnya dan ia pasti akan hancur menjadi debu dalam sekejap. "Gelombang ledakannya saja membuat tulang-ku terasa remuk semua begini,
apalagi jika sinar kuning itu menghantam telak punggungku. Ooh... bisabisa aku tak bisa menggerutu dalam hati lagi seperti
saat ini! Monyet betul orang itu!"
Soka segera salurkan hawa murninya yang dipadu dengan kekuatan inti gaibnya. Namun pengobatan untuk atasi luka dalamnya belum selesai, orang
yang tiba-tiba muncul itu segera lepaskan Jurus
mautnya lagi. Claap...! Sinar kuning berbentuk bintang melesat lagi. Sasarannya jelas-jelas dada Pendekar Kembar
bungsu. Melihat sinar itu datang menghampirinya dengan cepat, Soka Pura kerahkan tenaga yang tersisa untuk berguling ke samping. Wuuurs, wuuurs...!
Bluuub...! Sinar kuning itu tak berhasil kenai
tubuh Soka Pura, tetapi mengenai pohon yang tadi
berbenturan dengan tubuh Soka. Pohon itu langsung
menjadi serbuk coklat kehijauan dan menyebar ke
mana-mana. Namun tubuh Soka justru tak terkena
serbuk tersebut, karena gelombang ledakan tadi melemparkan tubuhnya kembali. Wuuurss...! Tubuh Soka
Pura melayang bagaikan daun kering terhempas badai
dan jatuh setelah membentur pohon seperti tadi.
Bruuuk...! "Aaaahhk...!" Soka Pura mengerang dengan tubuh menggeliat. Ia terlempar sejauh sepuluh langkah
lebih dari tempatnya tadi, karena posisinya sangat dekat dengan ledakan tanpa suara itu.
Tentu saja tubuh Soka Pura terasa semakin
remuk. Kulitnya menjadi perih bagai disayat-sayat ribuan silet. Dadanya teramat sakit untuk bernapas, walaupun mau tak mau Soka paksakan diri agar tetap bisa bernapas. Pemilik jurus maut bersinar kuning itu pandangi Soka Pura dengan ketajaman matanya. Hatinya
sempat merasa heran melihat pemuda yang diserangnya bisa lolos sampai dua kali. Padahal ia merasa tak
pernah gagal menghancurkan lawan jika menyerang
dengan jurus andalan yang bersinar kuning itu.
Orang itu bertubuh kurus, bermata cekung,
rambutnya yang sebahu sudah memutih tapi tidak merata, mengenakan jubah merah lusuh dan menyelipkan sebilah rencong di depan perutnya. Soka Pura
sama sekali tidak mengenal orang tersebut. Tetapi
Kunto Aji mengenalnya dan sempat kaget melihat
orang berkumis tipis melengkung ke bawah itu menyerang Soka Pura.
"Setan Gempur"! Ada urusan apa si Setan
Gempur sehingga menyerang Soka Pura"!" gumam hati Kunto "Gawat! Kalau si Setan
Gempur turun tangan, kemungkinan besar Soka Pura atau Pendekar Kembar
akan hancur melawannya. Apakah Soka tak tahu kalau Setan Gempur itu rajanya dari para pembunuh
bayaran" ilmunya tidak mudah dipatahkan oleh lawan.
Dan... kurasa pasti ada urusan yang sangat penting,
sehingga Setan Gempur melabrak Soka kemari!"
Kunto Aji tegang juga melihat Setan Gempur
mau lepaskan sinar kuningnya lagi. Menurut Kunto
Aji, kali ini Soka pasti akan hancur menjadi abu atau
menjadi serbuk seperti pohon yang terkena sinar kuningnya tadi. Namun pada saat Setan Gempur ingin lepaskan
pukulan mautnya yang ketiga kalinya, saat itulah Raka Pura tiba di tempat itu dan langsung menerjang Setan Gempur. Bruuuss...! Tubuh kurus si Setan Gempur terlempar sejauh sepuluh langkah. Jurus 'Jalur
Badai' telah dipakai Raka Pura menerjang Setan Gempur yang tampak ingin menghabisi nyawa Soka itu.
Si Setan Gempur sempat terbanting dengan
kuat sekali, sehingga suara pekiknya sampai tak terdengar. Tendangan kaki Raka Pura ke leher samping si
Setan Gempur saat menerjang tadi bukan sekadar
tendangan kosong, namun juga berisi tenaga dalam
cukup besar. Beruntung sekali tulang leher si Setan
Gempur tidak sampai patah. Jika sampai patah,
mungkin ia tewas seketika itu juga. Setan Gempur
hanya memuntahkan darah kental kehitaman dari mulutnya. Darah si Pendekar Kembar sulung mendidih
seketika itu setelah mengetahui keadaan adiknya terluka parah bagian dalamnya. Dengan cepat Raka Pura
hampiri Soka yang terkapar dengan suara rintihan lirih sekali itu.
"Kurang ajar! Siapa orang berjubah merah
itu"!" geram Raka Pura. "Persetan! Tak peduli siapa dia, tapi dia telah membuat
adikku celaka begini!"
Raka Pura segera berteriak, "Kubalas kekejian
mu, jahanam! Hiaaah...!"
Raka Pura lepaskan jurus 'Cakar Matahari'. Sinar putih seperti pisau keluar dari tangannya, melesat cepat ke arah Setan
Gempur yang baru mau bangkit
berdiri. Claaap...!
Melihat kedatangan sinar putih itu, Setan
Gempur tak punya kesempatan untuk menghindar,
mau tak mau ia menangkisnya dengan melepaskan sinar kuning seperti tadi. Claaap...!
Bluuub...! Slaap...! Ternyata sinar putih masih
mampu menembus sinar kuning walau sudah bertabrakan dan meledak tanpa suara itu. Cuuurrb...!
"Ahk...!" Setan Gempur tersentak kaget, dada kirinya berhasil ditembus oleh
sinar putihnya Pendekar Kembar sulung. Ia hanya terpekik pelan, lalu jatuh
berlutut sambil pegangi luka di dada kiri yang kepul-kan asap tipis itu. Ia
tampak masih bertahan walau
nafasnya telah merasa semakin berat dihela.
Raka Pura memandang heran kepada lawannya. Kali ini lawannya yang terkena Jurus 'Cakar Matahari' itu tidak menjadi hangus dan kering seperti biasanya. Rupanya sang lawan
mempunyai lapisan tenaga dalam yang menjadi perisai tubuhnya, sehingga ia
tidak menjadi kering seperti kayu.
Melihat keadaan sudah seperti itu, sementara
Soka Pura tampak semakin parah, dilihat dari sentakan-sentakan nafasnya yang tersendat-sendat, maka
Raka Pura segera angkat tubuh Soka dan membawanya lari ke dalam gua tempatnya bermalam itu.
Wuut, wuuuuzzz...! Raka tak peduli lagi dengan nasib
lawannya; hidup atau mati, yang penting ia harus selamatkan adiknya lebih dulu.
Pada saat Raka pergi membawa adiknya, Kunto
Aji ingin mengikutinya. Tapi ia tertarik untuk melihat nasib si Setan Gempur
itu. Ia ingin tahu seberapa tinggi kekuatan Setan Gempur dalam hadapi jurus maut
dari Pendekar Kembar.
Tapi ternyata ada yang lebih menarik lagi bagi
Kunto Aji selain melihat nasib si Setan Gempur. Seseorang telah datang, agaknya ia terlambat datang ke
tempat itu. Ia segera temui si Setan Gempur dengan
wajah menjadi tegang.
"Di... dia... berhasil melukai ku... oouhk...!" Setan Gempur berusaha bangkit,
namun segera terkulai
jatuh lagi. "Kubilang jangan sampai dibunuh! Lumpuhkan
saja orang itu! Seterusnya biar ku tangani sendiri. Tapi mengapa tadi dari
kejauhan kulihat kau melepaskan
jurus sinar kuning mu yang dapat membuat lawanmu
menjadi serbuk"! Untung kau tak mengenainya. Kalau
sampai ia terkena jurusmu itu, habislah harapanku
untuk mengalihkan perhatian orang kepadanya. Dasar
tolol kau, Setan Gempur!"
Setan Gempur diam saja. Ia hanya berusaha
memandang ke arah kepergian Raka Pura. Tapi ia tak
tahu ke mana si Pendekar Kembar sulung membawa
adiknya yang terluka parah itu.
Setan Gempur tak sangka kalau di sekitar tempat itu ada sebuah gua. Letaknya tak seberapa jauh
dari tempatnya terkapar menahan luka itu.
Di dalam gua tersebut, Raka Pura segera salurkan hawa murni dan kekuatan inti gaibnya ke dalam
tubuh Soka Pura. Tubuh sang adik memancarkan cahaya ungu pendar-pendar. Kemudian Raka membiarkannya beberapa saat. Hatinya merasa lega karena jurus 'Sambung Nyawa' dapat disalurkan ke tubuh Soka
sebelum Soka kehabisan napas dan tak bernyawa lagi.
Namun ketegangan Raka yang mulai mereda itu
kambuh kembali setelah ia ingat bahwa di gua itu ternyata sudah tak ada Kirana. ia mencarinya sesaat di
dalam gua tersebut, bahkan sempat memanggil Kirana
beberapa kali, tapi gadis itu tak ditemukannya. Rasa
cemas timbul di hati Raka, sehingga akhirnya Pendekar Kembar sulung itu mencari si gadis keluar gua.
"Setan belang! Ke mana dia"!" geram Raka Pura dengan hati jengkel sekali.
Tanpa peduli akan terhadang oleh lawannya tadi, Raka Pura melesat mencari Kirana. Karena di dalam batinnya ada tuntutan kuat di mana ia harus menemukan Kirana dan pulang ke padepokan si Mulut
Guntur bersama gadis itu. Ia merasa khawatir juga jika Kirana bertemu dengan orang yang belum dikenalnya tadi. ia tak ingin Kirana mengalami nasib seperti
Soka Pura. Bisa-bisa orang yang tadi menyerang Soka
dihancurkan jelas-jelas di depan matanya.
"Benar-benar aneh aku ini! Mengapa aku jadi
peduli sekali dengannya dan kemarahanku sangat besar jika ia terluka oleh lawanku tadi"!" pikir Raka Pura masih belum mau
mengakui bahwa hatinya telah terpikat oleh Kirana. Rasa terpikatnya itu membuat
ia menjadi marah jika sampai Kirana diganggu oleh siapa
pun. Sampai akhirnya Raka bertanya pada dirinya
sendiri, "Apakah ini namanya aku jatuh cinta pada seorang gadis"! Oh, tidak! itu
tidak mungkin!" batin Raka menyanggah sendiri. Namun separo hatinya telah
membenarkan kesimpulan itu, sehingga terjadilah perdebatan dalam hati yang cukup sengit, membuat Raka
Pura semakin tambah kacau.
* * * 6 KALAU saja Raka Pura mencari Kirana melalui
jalan sisi kanan gua, maka ia akan berpapasan dengan
gadis itu. Tapi karena ia mencari melalui jalan sisi kiri gua, maka ia tak jumpa
dengan Kirana. Ia tak tahu
bahwa tak lama setelah ia keluar gua, Kirana kembali
masuk ke dalam gua.
"Mungkin dia sudah kembali ke gua!" pikir Kirana setelah gagal mencari Raka ke
mana-mana. Hati gadis itu pun menjadi lega setelah berada
di dalam gua. Ternyata orang yang dicari sudah ada di
dalam gua tersebut. Senyum berlesung pipit pun mekar di bibir mungil Kirana saat menatap pemuda tampan itu. Kirana tak tahu bahwa pemuda yang ditatapnya adalah Soka Pura, adik dari Raka Pura. Saat ia
masuk, Soka sudah menjadi sehat seperti sediakala.
Tak ada rasa sakit dan luka yang tertinggal pada dirinya. Ia hanya merasa heran, sejak kapan ia dibawa
ke dalam gua tersebut. Dan menjadi lebih heran lagi
setelah melihat kemunculan seorang gadis bergigi
'gingsul' dan berlesung pipit. Soka sampai tak bisa
berkedip ketika terperangah memandangi kedatangan
Kirana. "Siapa gadis ini"!" tanyanya dalam ha-ti.?"Mengapa ia langsung tersenyum
manis padaku"!


Pendekar Kembar 13 Tumbal Asmara Buta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gila! Jangan-jangan aku sudah mati dan sekarang sedang bertemu dengan seorang bidadari yang menjemput nyawaku"!"
Kirana pun segera hampiri Soka Pura, ia langsung memeluk Soka tanpa ragu-ragu lagi. Hatinya
yang merasa girang menyangka Raka sudah kembali,
membuatnya ingin melampiaskan kegembiraan itu dalam pelukan. "Kenapa kau pergi tak membangunkan diriku
dulu, Raka! Aku mencarimu ke mana-mana!"
Soka Pura ingin tertawa mendengar nama rengekan manja yang sangat mendebarkan hati itu. Ia
mulai paham, bahwa dirinya dianggap Raka Pura. Tapi
ia nyaris tak percaya kalau Raka Pura mendapat gadis
secantik itu. "Aku bukan Raka, aku Soka Pura."
"Bohong! Kau pasti Raka. Aku hafal sorot matamu yang teduh itu."
"Kami memang anak kembar segalanya sama."
"Tapi aku bisa bedakan, kau pasti Raka!"
"Terserahlah kalau kau masih dapat menganggap ku Raka," ujar Soka, pasrah.
"Dari mana kau, Raka"! Dari mana"!"
Soka Pura segera bersikap seperti kakaknya.
Tenang, kalem, senyumnya berkharisma, suaranya
pun dibuat lembut, namun punya ketegasan tersendiri. "Aku hanya jalan-jalan sebentar. Kau tak perlu
cemaskan diriku...," sambil Soka membalas pelukan si gadis. Pelukan mereka
berlangsung cukup lama. Mereka saling meresapi kehangatan dalam pelukan tersebut. Walau sebenarnya Soka Pura ingin lebih dari sekadar pelukan, tapi ia harus menjaga emosinya agar
tidak berlebihan dalam memberi kemesraan.
Namun di luar dugaan, tiba-tiba muncul seraut
wajah di ambang mulut gua. Kemunculan tersebut
menimbulkan suara sentakan kaget.
"Hahh..."!"
Tentu saja Soka dan Kirana sama-sama terperanjat dan terpekik di luar kesadaran.
"Oohh..."!!"
Mereka buru-buru lepaskan pelukan dan saling
merenggang jarak. Kirana menjadi bingung karena wajah yang muncul adalah wajah Raka Pura juga. Wajah
yang tadi dipeluknya juga wajah Raka Pura. Lalu mana
yang benar, pikir Kirana. Si gadis benar-benar menggeragap dan serba salah. Wajah si gadis menjadi merah
karena malu dan bingung.
"Siapa... siapa yang sebenarnya bernama Raka
Pura"!" tanya Kirana dengan nada ingin menangis karena malu. Tapi kedua pemuda
itu segera menjawab
secara bersamaan dengan jari tangan teracung tanggung. "Aku...."
Kirana semakin bingung, ia jadi jengkel, dan
tangisnya pun tak bisa ditahan lagi.
"Kalian mempermainkan aku! Oooh...!"
Kirana menerabas keluar gua dan berlari secepat-cepatnya. "Kiranaaaa...!!" teriak Raka Pura yang juga
menjadi gusar serta bingung sendiri. Ia segera berpaling memandang adiknya.
"Kau...! Lagi-lagi kau bikin perkara saja!" bentak Raka.
Soka Pura bersungut-sungut.
"Aku tak minta dipeluk. Dia sendiri yang memeluk ku." "Tapi mestinya kau beri tahu bahwa kau bukan aku!" "Mana mungkin dia
percaya"! Kita punya wajah dan penampilan yang serupa!" ujar sang adik dengan
wajah takut kepada sang kakak.
"Aaaah...! Brengsek! Kau memang brengsek!"
bentak Raka dengan berang.
Raka Pura segera berlari mengejar Kirana. Melihat kakaknya pergi, Soka pun ikut pergi menyusul
sang kakak. Kirana sendiri semakin percepat pelariannya karena ia melihat kedua pemuda kembar itu sedang mengejarnya. Dengan melalui jalanan yang berliku-liku, Kirana berhasil hilangkan jejak, sehingga Pendekar Kembar tak bisa
mengikutinya. "Ke mana dia tadi"!" tanya Raka dengan mata
membelalak tegang.
"Entah!! Kau dapatkan dari mana dia tadinya?"
"Dia murid perguruan itu." "Perguruan yang mana?"
"Tolol! Dia muridnya Eyang Wirata, si Mulut
Guntur, saudara seperguruan dengan Prayoga, yang
tewas terbunuh dan kau yang dituduh sebagai pembunuhnya!"
"Tapi aku tidak membunuhnya!" bantah Soka
Pura. "Untuk apa aku membunuh orang itu" Aku tiba di tempat saat ia sudah tak
bernyawa!"
"Tapi mengapa kau mesti lari, sehingga mereka
semakin menuduh mu sebagai pelakunya"!"
"Ini semua gara-garamu juga!" ujar Soka dengan cemberut. "Aku takut kau anggap melantur, kare-na terlalu lama ku tinggalkan
dirimu di tempat kita
berpisah kemarin! Maka...."
"Ah, sudah, sudah...! Sekarang kita langsung
ke padepokan saja! Kita bicara dengan si Mulut Guntur, termasuk tentang Kirana itu!"
Raka Pura berkelebat lari lebih dulu, sang adik
menyusul lagi. Tapi di perjalanan Soka sempat bertanya kepada kakaknya yang cemberut.
"Apakah dia benar-benar murid perguruan itu?"
"Iya. Kau apa"!" ketus Raka.
"Kalau tahu si Pak Tua berjubah putih itu
punya murid secantik dia, aku tak akan lari. Sumpah
mampus, tak akan lari mencarimu!"
"Dia yang membelaku saat aku disangka dirimu
dan disangka membunuh Prayoga."
"Apakah... apakah kau ada hati dengannya?"
"Mungkin tidak."
"Kenapa tidak?"
"Kau sudah menjelajahinya tadi!" ketus Raka
dengan tetap memandang ke arah depan.
"Aku... aku hanya sekadar mengukur suhu badannya saja. Maafkan aku, Raka...!" ujar si adik. "Kalau tahu kau ada minat
dengannya, aku tak berani
mengukur suhu badannya dan mengukur...."
"Ku lihat kau meremas punggungnya!" sentak
Raka sambil tetap berlari.
"Maksudku... maksudku tadi aku hanya menahan rasa mual di perutku, sehingga tak sadar meremas
punggung gadis itu," Soka Pura sengaja membual demi menjaga perasaan sang kakak
agar tidak kecewa terlalu berat. Tapi Raka Pura tahu akal bulus adiknya. Ia
hanya diam saja, tak tahu harus berkata apa kepada
adiknya maupun kepada Kirana.
Rupanya orang-orang Perguruan Tapak Syiwa
mencemaskan kepergian Kirana bersama Raka Pura.
Keresahan yang timbul di antara sesama murid si Mulut Guntur membuat mereka mendesak sang Guru
agar lakukan tindakan pencarian. Maka sang Guru
pun kumpulkan murid-muridnya di depan pintu gerbang. "Cari mereka ke berbagai arah! Selamatkan Kirana lebih dulu!" perintah
sang Guru. Pada saat itu, Danu Paksi sudah ada di tempat.
Danu Paksi baru saja tiba dan melaporkan bahwa ia
gagal menangkap Soka Pura. Tapi begitu mendengar
Kirana bersama Raka Pura, Danu Paksi mempunyai
pendapat lebih menegangkan lagi.
"Pasti yang bernama Raka Pura itu sama dengan orang yang mengaku bernama Soka Pura! Pemuda
itu sekarang punya dua kemenangan. Pertama telah
berhasil membunuh Prayoga, walau gagal mencuri keris pusakanya. Kedua, dia berhasil membawa lari Kirana! Pasti Kirana dinodai oleh pemuda jalang itu!"
"Kalau begitu kita cari dan kita hancurkan saja
pemuda itu!" seru salah seorang temannya. Kemarahan mereka pun terpancing oleh kata-kata Danu Paksi, sehingga mereka mendesak sang Guru untuk keluarkan perintah pencarian.
Tapi sebelum mereka bergegas menyebar arah,
Kirana sudah muncul lebih dulu. Salah seorang melihatnya dan berseru mengagetkan yang lain.
"Itu dia Kirana...!!"
Gadis itu langsung menangis memeluk kaki
sang Guru, ia berlutut di depan sang Guru tanpa bisa
mengatakan sesuatu yang ada dalam hatinya. Padahal
ia ingin mengadukan bahwa dirinya telah terpikat oleh
Raka Pura, tapi ia merasa dipermainkan oleh persamaan wajah kedua pemuda kembar itu.
"Kirana, apa yang terjadi sebenarnya" Katakan,
di mana si Raka Pura itu?" tanya si Mulut Guntur. Kirana terisak-isak tak bisa
menjawab. Danu Paksi menampakkan kemarahannya. Ia
mondar-mandir dengan gusar sekali.
"Guru, kurasa dia telah dinodai oleh pemuda
itu!" Danu Paksi segera membungkuk memandang
Kirana. "Benar, kau telah dinodai oleh pemuda itu, bukan"! Kau telah
dipermainkan seenak udelnya sendiri,
bukan"!- Tiba-tiba salah seorang berseru lagi, "Hei, hei...
itu dia si Raka Pura! Tapi... tapi, Lho... kok ada dua, ya" Yang mana yang
bernama Raka Pura"!"
Para murid segera mengurung Pendekar Kembar yang menghadap sang Guru. Gerakan tangan Danu Paksi merupakan isyarat agar mereka segera membentuk lingkaran pengepungan.
"Maaf, kami baru bisa pulang sekarang, Eyang,"
ujar Raka Pura dengan memberi hormat yang di ikuti
oleh Soka Pura.
"Persoalan kematian Prayoga belum selesai,
mengapa sekarang timbul lagi persoalan Kirana," ujar Eyang Wirata. "Ada apa
sebenarnya dengan Kirana
muridku, sehingga ia pulang menangis"!"
"Hmmm... begini, Eyang...," Raka dan Soka tak sengaja mengucapkan kata yang sama
secara serem-pak. Akhirnya keduanya saling bungkam, saling pandang dan saling salah tingkah.
Danu Paksi berseru dari tempatnya.
"Tak perlu berbasa-basi lagi, Guru! Mereka adalah orang-orang yang patut dihukum mati! Salah satu
dari mereka telah membunuh Prayoga! Sekarang salah
satu dari mereka juga telah nodai Kirana! Mengapa harus berbasa-basi kepada mereka, Guru"!"
Kirana bangkit dan berseru, "Aku tidak dinodai!! Jaga bicaramu, Danu Paksi!"
Danu Paksi tersenyum sinis. "Tentu saja kau
tidak mengakuinya, sebab itu merupakan aib bagi diri
pribadimu!"
"Jahanam kau, Danu Paksi!!" geram Kirana
sambil ingin lepaskan pukulan bertenaga dalam tinggi,
tapi tangannya segera dicekal oleh sang Guru.
Danu Paksi berseru, "Guru! Aku lebih baik keluar dari perguruan ini jika pembunuh Prayoga masih
dibiarkan hidup seenaknya di depan mata kita!"
Raka Pura segera berkata kepada Danu Paksi,
"Hei, jangan menyudutkan adikku terus! Dia
belum tentu bersalah!"
"Buktikan kalau dia memang tidak bersalah!"
seru Danu Paksi. "Ku lihat sendiri dia sedang menyarungkan pedangnya saat aku tiba di tempat mayat
Prayoga tergeletak berlumur darah. Pasti dia habis
membunuh Prayoga dengan pedangnya itu!" "Bohong!"
seru sebuah suara, bukan dari mulut Raka maupun
Soka. Suara orang berseru itu segera menjadi pusat
perhatian mereka. Orang tersebut segera menerobos
barisan pengepungan. Ia tampil di tengah lingkaran,
tak jauh dari Danu Paksi. Ia bicara menghadap sang
Guru yang memandangnya dengan heran.
"Apa maksudmu berkata 'bohong' tadi, Kunto
Aji"!" tanya sang Guru kepada si Bocah Loreng yang ditugaskan memata-matai Raka
dan Kirana. Ia baru
saja datang, karena sempat kebingungan mencari Pendekar Kembar dan Kirana di sekitar gua tersebut.
"Guru," ujar Kunto Aji dengan tegas dan bersuara lantang. "Aku melihat sendiri
pertarungan antara Soka Pura melawan Setan Gempur, dan Raka Pura datang menolong
adiknya, melukai Setan Gempur! Kini
Setan Gempur tewas di tepi hutan cemara."
"Raka Pura yang menewaskannya"!"
"Bukan, Guru! Luka yang diderita Setan Gempur dari Raka Pura masih bisa membuatnya bernyawa
selama dua-tiga hari. Tapi seseorang telah membunuhnya dengan memenggal kepala Setan Gempur yang
sedang tak berdaya itu."
"Siapa yang membunuh Setan Gempur"!"
"Danu Paksi!" jawab Kunto Aji dengan tegas
sambil menunjuk orang di samping kanannya. Semua
orang bergumam kaget. Danu Paksi sempat salah tingkah. "Hmmm, ya... aku memang membunuh Setan
Gempur, karena dia terlalu ikut campur dalam masalah kematian Prayoga! Dia hampir mencelakai Soka
Pura, sehingga...."
Ucapan Danu Paksi dipotong oleh seruan Kunto
Aji. "Sehingga kau menyewanya untuk melumpuhkan Soka Pura, bukan"!"
"Ooh..."!" beberapa mulut menggumam melongo
menatap Danu Paksi.
"Guru," kata Kunto Aji lagi. "Sebelum si Setan Gempur tewas, aku sempat menyadap
percakapan Da-nu Paksi dengan Setan Gempur dari atas pohon! Kesimpulannya, Setan Gempur gagal melumpuhkan Soka
Pura, padahal ia sudah dibayar oleh Danu Paksi. Rencananya, Danu Paksi akan membawa pulang Soka Pura setelah dilumpuhkan oleh Setan Gempur, dan akan
menunjukkan bahwa dialah yang bisa menangkap


Pendekar Kembar 13 Tumbal Asmara Buta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pembunuh Prayoga. Padahal pembunuhnya adalah
Danu Paksi sendiri!"
"Hahh..."!" hampir semua mulut terperangah
keluarkan nada menyentak kaget. Danu Paksi tampak
pucat dan semakin gusar.
"Itu tidak benar. Guru!"
"Biarkan si Bocah Loreng bicara dulu!" ujar
sang Guru. "Rupanya Danu Paksi merasa iri melihat keakraban Kirana dengan Prayoga. Ia menyangka Kirana
akan jatuh cinta pada Prayoga. Padahal Danu Paksi
memendam cinta kepada Kirana. Maka secara diamdiam ia menyingkirkan Prayoga dengan Soka Pura sebagai kambing hitamnya! Tapi malang baginya, orang
yang dijadikan kambing hitam itu ilmunya lebih tinggi, sehingga ia tak bisa
membunuh Soka untuk member-sihkan tangannya dari darah Prayoga! Jelasnya, Prayoga menjadi tumbal asmara butanya Danu Paksi,
Guru!" Gemuruh suara mereka saling berkasak-kusuk dalam ketegangan. Danu Paksi
tundukkan kepala,
sampai akhirnya, ia mendengar suara sang Guru berseru padanya. "Benarkah itu, Danu Paksi"!"
"Be... benar. Guru! Mohon ampun, Guru!"
Danu Paksi sengaja mengakui perbuatannya
agar dapat pengampunan dari sang Guru, karena ia
sudah berani berkata jujur dan mengakui perbuatannya secara ksatria. Tapi ternyata sang Guru mempunyai keputusan lain.
"Kau layak dihukum mati, Danu Paksi!"
Suara gemuruh kembali terdengar bagaikan ratusan lebah terbang. Tampaknya mereka membenarkan putusan sang Guru, padahal sang Guru hanya
mengatakan apa yang selayaknya dialami Danu Paksi,
bukan menjatuhkan hukuman mati secara pasti. Namun Danu Paksi sudah merasa hidupnya tinggal sesaat lagi. Maka mengamuklah dia kepada Kunto Aji
yang dianggap menjadi pembongkar rahasianya.
"Kau layak mati lebih dulu, Kunto Aji!
Hiaaaat...!!"
Sriing...! Danu Paksi mencabut samurai, langsung ditebaskan ke leher Kunto Aji. Wiiz...!
Soka Pura bergerak cepat. Kakinya menendang
perut Kunto Aji. Buuhk...! Kunto Aji terpental ke belakang, tapi lehernya
selamat dari tebasan samurai Danu Paksi, hanya lengannya yang tersabet samurai dan
luka koyak dialami oleh Kunto Aji.
Melihat Soka Pura menyelamatkan Kunto Aji,
Danu Paksi menjadi tambah murka ia segera menyerang Soka Pura dengan tebasan samurainya. Wiz, wiz,
wiz...! "Heeeaaat...!"
Srring...! Soka Pura bergerak sangat cepat. Tak
seorang pun melihat tangan kirinya mencabut pedang
kristal dari pinggang kanan, kemudian pedang itu berkelebat menyabet ke depan sambil Soka miring ke kanan hindari tebasan samurai lawan.
Craaas...! Pedang Tangan Malaikat yang berbentuk kristal bening itu merobek lambung Danu Paksi hingga dada. Mereka tercengang melihat Danu Paksi
diam seketika namun perutnya terbelah lebar. Kehebatan pedang kristal itu adalah, lawan yang terkena telak sabetan pedang tersebut
tidak akan keluarkan darah
sedikit pun, sepertinya masih hidup, namun kejap berikutnya ambruk dan tak bernyawa.
Hal itu dialami oleh Danu Paksi yang segera
tumbang tak bernyawa, namun tak keluarkan darah
seperti yang terjadi pada mayat Prayoga. Orang-orang
terbengong melompong memandangi mayat Danu Paksi. Soka Pura segera menghadap sang Guru dan
membungkukkan badan sebagai tanda menghormat.
Lalu tegak kembali dan berkata dengan tegas.
"Itulah bukti bahwa aku bukan orang yang
membunuh Prayoga. Jika Prayoga kubunuh dengan
pedangku, ia tidak akan keluarkan darah seperti yang
dialami Danu Paksi ini, Eyang! Mohon ampun, Eyang
Wirata!" Sang Guru tarik napas dalam-dalam, memandang jauh bagai menerawang.
Akhirnya berkata dengan nada datar.
"Kuburkan dia bersebelahan dengan makam
Prayoga!" Alam menjadi hening dan sepi. Angin bertiup
bagai mengiringi pemakaman jenazah Danu Paksi. Di
balik masa berkabung itu, si Mulut Guntur masih
mengharap Pendekar Kembar menginap beberapa waktu di padepokannya. Tentu saja Kirana girang mendengar saran sang Guru itu. Dan tentu saja Pendekar
Kembar tak keberatan, karena mereka akan mengorek
keterangan dari si Mulut Guntur tentang rahasia
'Bambu Gading Mandul' yang harus segera didapatkan
oleh mereka untuk kalahkan si anak iblis: Darah Kula.
SELESAI Segera menyusul:
RAHASIA DEDENGKOT IBLIS
E-Book by Abu Keisel https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978 - Pendekar Kembar di http://cerita-silat.mwapblog.com
- Pendekar Kembar di http://cerita-silat.mwapblog.com
Split-pdf by Saiful Bahri - Situbondo Bidadari Pendekar Naga Sakti
- Pendekar Kembar di http://cerita-silat.mwapblog.com
- Pendekar Kembar
Serial Pendekar Kembar I
01. Pendekar Kembar 1 Dendam Asmara Liar
02. Pendekar Kembar 2 Kencan Di Ujung Maut
03. Pendekar Kembar 3 Goa Mulut Naga
04. Pendekar Kembar 4 Setan Cabul
05. Pendekar Kembar 5 Gairah Sang Pembantai
06. Pendekar Kembar 6 Cumbuan Menjelang Ajal
07. Pendekar Kembar 7 Gadis Penyebar Cinta
08. Pendekar Kembar Iblis Pemburu Wanita
09. Pendekar Kembar 9 Perawan Bukit Jalang
10. Pendekar Kembar 10 Korban Kitab Leluhur
11. Pendekar Kembar 11 Pedang Bulan Madu
12. Pendekar Kembar 12 Pemburu Mahkota Dara
13. Pendekar Kembar 13 Tumbal Asmara Buta
14. Pendekar Kembar 14 Rahasia Dedengkot Iblis
15. Pendekar Kembar 15 Tantangan Mesra
16. Pendekar Kembar 16 Geger Pantai Rangsang
17. Pendekar Kembar 17 Penghianat Budiman
Riwayat Lie Bouw Pek 2 Pendekar Seribu Diri Karya Aone Pukulan Naga Sakti 16

Cari Blog Ini