Ceritasilat Novel Online

Titipan Berdarah 1

Dewa Arak 59 Titipan Berdarah Bagian 1


"Serial Dewa Arak 59
Titipan Berdarah
Aji Saka Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta Penyunting :Tuti S. Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
1 Ctarrr! Ctarrr!
Bunyi lecutan cambuk mengiringi gemeretaknya roda kereta yang menggilas jalan tanah berdebu, semakin menambah tidak nyamannya suasana di persada.
Siang itu matahari memancarkan sinarnya dengan garang.
Sementara, di angkasa tidak tampak awan sedikit pun. Ketidaknyamanan itu semakin lengkap dengan hembusan angin panas yang membawa debu.
Tapi, semua itu seperti tidak dirasakan oleh orang-orang yang berada di sebuah kereta sederhana. Seekor kuda berbulu coklat keputihputihan te-seok-seok menariknya.
"Cepatlah sedikit, Ki...! Aku khawatir mereka telah mengetahui kepergianku, dan sekarang tengah menyusul...!"
Seruan itu berasal dan dalam kereta. Nada suaranya yang lembut menunjukkan kalau pemiliknya seorang wanita.
"Jangan khawatir, Ni! Aku yakin dengan si Botak, kudaku, mereka tidak akan berhasil menyusul kita"!" jawab kusir kereta, yang diajak bicara oleh wanita itu. Terasa jelas keyakinan yang kuat dalam suaranya. Dia adalah seorang kakek berkulit kemerahan.
"Syukurlah kalau begitu, Ki," timpal wanita di dalam keret a.
"Maaf, mungkin aku terlalu menyusahkanmu. Tapi..., kepada siapa lagi aku harus meminta tolong kalau bukan kepadamu"!"
"Kumohon jangan kau sebut-sebut lagi hal itu, Ni! Asal kau tahu saja, untukmu... tidak ada yang berat!"
Suasana hening ketika kakek berkulit kemerahan menghentikan ucapannya, dan wanita yang berada di dalam keret a tidak menyambutinya.
Hingga yang terdengar hanya langkah kaki kuda dan derak roda kereta menggilas tanah.
Sekarang keret a itu mulai melalui jalan kecil yang berkelok-kelok.
Di bagian kanan jalan membentang dinding batu. Sedangkan jurang terjal yang tak tampak dasarnya menganga di sebelah kirinya.
Perjalanan kereta itu menjadi l ambat. Dan kakek berkulit kemerahan harus lebih memusatkan perhatiannya. Lengah sedikit saja, keretanya akan terperosok ke dalam jurang.
Mendadak wajah kakek berkulit kemerahan berubah. Telinganya menangkap bunyi bergemuruh. Secepat kilat kepalanya didongakkan ke arah dinding tebing yang hampir tegak lurus di sebelah kanannya. Seketika itu pula sepasang mata kakek itu membel alak lebar. Dilihatnya, beberapa tombak di depannya tampak menggelinding batu-batu besar dan kecil.
Kakek berkulit kemerahan tahu kalau perj alanannya diteruskan batu-batu itu akan menghantam keretanya.
Maka tanpa menunggu lebih lama, kakek itu menarik tali kekang.
Hingga, dengan diringi ringkikan keras kuda itu menghentikan ayunan langkahnya. Rupanya, keributan itu didengar wanita yang berada di dalam kereta. Sesaat kemudian....
"Apa yang terjadi, Ki"!"
Sebelum kakek berkulit kemerahan sempat memberikan jawaban, dari atas tebing berlompatan sosok-sosok tubuh. Kemudian dengan mantap sosok-sosok itu mendarat beberapa tombak di depan kereta. Wajah dan sikap mereka terlihat kasar.
Sekali pandang, kakek berkulit kemerahan dapat menduga kalau orang-orang kas ar yang berjumlah sepuluh orang itu tidak bermaksud baik.
Karena itu, dia segera bertindak cepat.
"Cepat lari, Nini Andiningsih! Biar kucoba untuk menghadang mereka!" seru kakek berkulit kemerahan. "Hih...!"
Dengan sebuah jejakan kaki, kakek berkulit kemerahan mel esat ke depan dan bers alto sekali di udara. Kemudian, mendarat di tanah dengan mantap. Gerakan itu membuktikan kalau kakek berkulit kemerahan bukan orang sembarangan.
Bertepatan dengan mendaratnya kedua kaki kakek itu, tirai yang membatasi bagian dalam kereta dengan kursi kusir terkuak. Sekejap kemudian, dari dalam keret a melesat sesosok bayangan hijau. Di udara, sosok bayangan ini berjungkir balik. Dan....
Jliggg! Tanpa menimbulkan bunyi berarti, sosok bayangan hijau itu mendaratkan kedua kakinya di tanah. Tepat di sebelah kakek berkulit kemerahan.
"Kita hadapi mereka bers ama-s ama, Ki!" ucap sosok bayangan hijau mantap dan penuh keyakinan.
Dia ternyat a seorang wanita yang berwajah cantik jelita.
Rambutnya yang hitam dan tebal digelung ke atas. Sedangkan tubuh rampingnya dibungkus pakaian hijau, membuat kecantikannya semakin menyolok.
"Kau.... Ahhh...! Mengapa ini kau lakukan, Nini Andiningsih"!
Cepat kabur! Percayalah, tidak ada gunanya melakukan perlawanan!" ujar kakek berkulit kemerahan tanpa menyembunyikan kecemasan dalam suaranya.
"Aku tidak takut, Ki!" tandas wanita berpakaian hijau tegas. "Aku
lebih suka mati, daripada melarikan diri seperti anjing hendak dipukul!"
Lalu, tanpa merasa takut sedikit pun, pandangannya diedarkan ke arah sosok-sosok yang berdiri sekitar dua tombak di hadapannya dan kakek berkulit kemerahan.
*** "Ha ha ha...! Luar bias a...! Betapa gagahnya...! Kalian dengar ucapannya"! Hebat! Dia benar-benar seekor kuda liar!" seru salah seorang penghadang Andiningsih dan kakek berkulit kemerahan.
Sosok itu terlihat paling angker. Tubuhnya tinggi besar dan berotot laksana seekor banteng. Kumis, jenggot, dan cambang bauk lebat menghiasi wajahnya. Hingga penampilannya kelihatan sangat menakutkan. Sambil berseru demikian, lelaki tinggi besar itu menoleh ke belakang ingin melihat tanggapan rekan-rekannya.
"Kami dengar, Kang," sambut seorang yang berwajah codet, seraya merayapi sekujur tubuh Andiningsih dengan sorot mata kurang ajar. "Tapi kami yakin, dia akan berhenti meringkik bila kau telah berhasil menjinakkannya!"
"Ha ha ha...!"
Seketika, semua lelaki kas ar itu tertawa bergel ak. Tak terkecuali lelaki tinggi besar dan l elaki berwajah codet. Nada tawa mereka menyiratkan kekurangajaran.
Wajah kakek berkulit kemerahan dan Andiningsih merah padam.
Hanya saja, kalau wajah kusir itu menyiratkan kekhawatiran, Andiningsih tampak marah bukan main. Mereka t ahu maksud ucapan lelaki berwajah codet. Tiba-tiba....
Srattt! Sinar terang langsung berkilau ketika kakek berkulit kemerahan mencabut pedang yang ters elip di pinggangnya.
"Lari, Nini Andiningsih! Selamatkan dirimu! Biar aku yang menghadang mereka!"
Belum juga gema ucapannya lenyap, kakek berkulit kemerahan telah melesat menerjang para penghadangnya. Pedang di tangannya dikelebatkan s ecara mendatar. Tampaknya kusir yang berjiwa gagah berani ini hendak memberi kesempatan pada Andiningsih untuk melarikan diri.
Buktinya, serangan yang dilancarkan tidak ditujukan pada salah seorang lawannya. Tapi karena lelaki tinggi besar berada paling depan, maka serangan kakek berkulit kemerahan mengancamnya lebih dulu.
"Ho ho ho...! Jangan harap dapat lolos dari tangan Talipaksa! Hih!"
Lelaki tinggi bes ar yang ternyata bernama Talipaksa menj ejakkan kaki. Tubuhnya melayang ke atas melewati kepala kakek berkulit kemerahan. Lalu, bersalto beberapa kali dan mendarat di hadapan Andiningsih yang masih berdiri di tempatnya.
"Bereskan tua bangka itu, Anak-anak! Aku akan mengurus kuda liar ini!" seru Talipaksa, penuh wibawa.
Tanpa menunggu perintah dua kali, sembilan orang anak buah Talipaksa mengeluarkan s enjata masing-masing. Dengan di awali teriakanteriakan keras membahana, mereka menerjang kusir kereta Andiningsih.
Pada saat itu, kakek berkulit kemerahan sebenarnya sudah bersiap membalikkan tubuh untuk menyerang Talipaksa yang telah berada di belakangnya. Tapi, serbuan anak buah Talipaksa membuat kakek itu mengurungkan maksudnya. Tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan nyawanya, kecuali menyambut serbuan mereka. Tindakan itulah yang dilakukan kusir kereta itu. Pertarungan pun tak dapat dielakkan lagi.
"Ha ha ha...!" Talipaksa tergelak melihat kakek berkulit kemerahan dikeroyok anak buahnya. "Biarkan kakek itu berurusan dengan mereka.
Sekarang mari selesaikan urusan kita, Kuda Liar! Ha ha ha...!"
"Keparat!" geram Andiningsih dengan raut wajah membesi.
Wanita itu marah bukan main mendengar kata-kata yang bernada kurang ajar itu. Kemudian".
"Hiyaaa"!"
Seraya mengeluarkan teriakan melengking nyaring, Andiningsih mulai melancarkan s erangan. Wanita berpakaian hijau itu melompat menerjang. Dan di saat tubuhnya berada di udara, kaki kanannya cepat dikibaskan. Gerakan itu dilakukannya sambil membalikkan tubuh.
Wusss! Gelombang hembusan angin keras bertiup seiring mengibasnya kaki wanita berpakaian hijau itu. Bukti kalau serangan itu mengandung tenaga dalam kuat!
Namun, Talipaksa bukan orang bodoh! Di a tahu serangan itu amat berbahaya. Sebatang pohon sebesar pelukan orang dewasa akan tumbang bila terkena kibasan kaki mungil berkulit halus itu. Maka, dia tidak berani bertindak gegabah!
Tanpa membuang-buang waktu, lelaki tinggi besar itu melompat mundur. Dengan sendirinya serangan Andiningsih kandas. Kakinya menghantam tempat kosong karena Talipaksa sudah tidak berada di tempatnya lagi.
"Hey!"
Talipaksa berseru kaget ketika melihat serangan susulan Andiningsih. Wanita berpakaian hijau itu mampu melancarkan serangan yang sama hanya dengan totokan ujung jari kakinya di tanah. Jelas, Andiningsih memiliki kepandaian yang tidak bisa diremehkan.
Kali ini, Talipaksa terpaksa bertindak nekat. Dipapakinya serangan Andiningsih dengan melakukan gerakan serupa.
Wuttt! Dukkk! Bunyi keras t erdengar ketika dua kaki yang sama-sama di aliri tenaga dalam berbenturan. Sesaat kemudian tubuh keduanya terpental balik ke belakang.
Jliggg! Hampir pada s aat yang bersamaan, Andiningsih dan Talipaksa hinggap di tanah. Tapi, Andiningsih lebih beruntung daripada l awannya.
Wanita itu mampu mendarat dengan mantap. Sedangkan Talipaksa agak terhuyung-huyung.
"Keparat!"
Seruan geram yang keluar dan mulut Talipaksa menandakan kemarahan tengah mel anda hatinya. Memang, lelaki tinggi besar itu marah bukan main. Dia kalah dalam bentrokan tadi. Tenaga dalam lawan ternyata lebih tinggi dari dugaannya.
Seketika itu pula keinginannya untuk bertindak tidak senonoh terhadap Andiningsih pupus. Yang ada di hatinya sekarang ingin memberi hajaran pada wanita berpakaian hijau itu atas rasa malu yang dideritanya.
Singgg! Bunyi nyaring yang mengiris gendang telinga terdegnar ketika Talipaksa menghunus pedangnya! Tapi, lelaki tinggi besar ini tidak segera mengirimkan serangan.
"Keluarkan senjatamu, Wanita Liar!" seru Talipaksa karena merasa malu menghadapi seorang wanita dengan senj ata andalan di tangan.
Tanpa banyak bicara, Andiningsih meloloskan cambuk yang membelit pinggangnya. Inilah senjata andalannya. Wanita itu menggunakannya bukan karena mematuhi seruan Talipaksa. Tapi karena tahu kalau lelaki tinggi besar itu merupakan lawan yang tangguh. Sangatlah berbahaya menghadapi Talipaksa hanya dengan bersenjatakan tangan kosong.
"Sekarang terimal ah kematianmu, Wanita Liar! Hiyaaa...!"
Talipaksa mengawali serangannya dengan sebuah tusukan lurus ke arah leher, yang dilakukannya sambil melompat. Tangan kanannya yang menggenggam pedang dijulurkan lurus ke depan.
Andiningsih tentu saja tidak menginginkan lehernya ditembus senjata lawan. Maka, wanita itu bertindak cepat. Cambuknya segera diluncurkan.
Wuttt! Laksana seekor ul ar t erbang, ujung cambuk meluncur ke arah Talipaksa. Karena jangkauan senjata Andiningsih lebih jauh, maka sebelum ujung pedang Talipaksa mencapai sasaran, cambuk Andi ningsih akan lebih dulu melecutnya.
Talipaksa rupanya sudah memperhitungkan hal itu. Karena itu, dipapakinya serangan Andiningsih dengan sarung pedang. Sedangkan serangannya terus dilanjutkan.
Trakkk! Ujung cambuk terpental balik ketika membentur sarung pedang Talipaksa. Sedangkan pedang l elaki tinggi besar itu terus meluncur menuju leher Andiningsih!
Andiningsih menyadari akan bahaya besar yang tengah mengancam kesel amatannya. Tidak ada kesempat an lagi baginya untuk melakukan tangkisan. Maka, buru-buru wanita itu membanting tubuhnya ke kiri dan bergulingan di tanah. Usaha penyelamatan yang dilakukan wanita berpakaian hijau itu memang tidak sia-sia. Serangan Talipaksa hanya mengenai tempat kosong.
Talipaksa menggertakkan gigi melihat lawannya berhasil melarikan diri. Rasa penasaran dan geram semakin bergelora di dalam dadanya. Maka begitu berhasil memperbaiki kedudukan, serangan susulannya segera dikirimkan. Tentu saja Andiningsih tidak berdiam diri. Wanita itu memberikan s ambutan hangat. Hingga, pert arungan pun kembali berlangsung.
Seru dan menarik jalannya pertarungan antara Talipaksa dan
Andiningsih. Kedua belah pihak memiliki kepandaian yang hampir
setingkat. Memang, Andiningsih lebih unggul dalam ilmu meringankan
tubuh dan tenaga dal am. Tapi, tetap saja bukan hal yang mudah untuk
mengalahkan Talipaksa. Lelaki tinggi besar itu mampu memberikan
perlawanan sengit!
Berbeda dengan pertarungan antara Andiningsih dan Talipaksa,
pertempuran kakek berkulit kemerahan dengan anak buah Talipaksa
berlangsung tidak s eimbang. Betapapun kakek berkulit kemerahan
melakukan perl awanan mati-matian, tapi karena jumlah lawan terlalu
banyak, dia terdesak hebat!
Kalau saja rombongan Talipaksa tidak melakukan pengeroyokan,
belum tentu kakek berkulit kemerahan itu dapat dikal ahkan. Tapi karena
mereka menyerang dengan cara mengepung, kusir kereta itu dengan mudah
dapat didesak. Pertarungan baru berlangsung beberapa gebrakan, kakek berkulit
kemerahan sudah tidak mampu menyerang lagi. Yang dapat dilakukannya
hanya bertahan, mengel ak dan menangkis. Itu pun dengan susah payah..
Tapi meskipun nyawanya terancam, kakek itu masih sempat memikirkan
keselamatan Andiningsih.
"Nini Andiningsih! Cepat lari...! Selamatkan dirimu...! Cepat...!
Jangan hiraukan lawanmu.... Akh!"
Kakek berkulit kemerahan itu memekik kesakitan ketika ujung
pedang lawan menyerempet pinggangnya. Cairan merah kental mengalir
dari bagian yang terluka. Kecemas annya akan nasib Andiningsih
membuatnya agak lengah, sehingga serangan lawan mengenai sasaran. Dan,
belum sempat kakek itu berbuat sesuatu, batang tombak pengeroyok lainnya
melayang ke arah bahunya.
2 Bukkk! "Akh!"
Telak dan keras s ekali serangan itu mendarat pada sasarannya,
sehingga kusir kereta yang sial itu terhuyung-huyung seraya menjerit
kesakitan. Di saat kakek berkulit kemerahan itu tengah terhuyung-huyung,
golok lawan l ainnya meluncur deras ke arah perut. Disusul dengan ayunan
gada berduri yang mengincar punggungnya. Dan....
Cappp! Bukkk! "Hukh!"
Kakek berkulit kemerahan mengeluh tertahan. Tubuhnya
terhuyung ke depan dan ke belakang. Sedangkan sepasang matanya
membelalak lebar. Tampaknya, kakek itu tengah meregang nyawa. Darah
mengalir deras dari mulut, hidung, dan telinganya. Saat itulah lelaki
berwaj ah codet membabatkan pedangnya secara mendatar ke arah leher!
Cappp! Kepala kakek yang malang itu langsung terpisah dari badan! Dia
tewas tanpa sempat merintih lagi. Bagai karung basah, tubuhnya ambruk ke
tanah. Sedangkan kepalanya menggelinding jatuh ke lurang.
"Ki...!"
Jeritan tertahan terlompat dari bibir mungil Andiningsih. Memang,
wanita itu sempat melihat nasib buruk yang menimpa kusir keretanya.
Kenyataan itu membuat perhatian Andiningsih lerpecah! Dan
kesempatan ini tidak disia-siakan Talipaksa. Segera dikirimkannya
tendangan miring ke arah dada!
Wuttt! Deru angin keras yang mengawali tibanya serangan itu
menyadarkan Andiningsih akan bahaya maut yang tengah mengancamnya.
Serangan itu meluncur demikian cepat. Apalagi dilakukan dalam
jarak dekat. Sementara perhatian Andiningsih masih tercurah pada nasib
kakek berkulit kemerahan.
Andiningsih langsung gugup! Meskipun demikian, wanita itu
masih mampu melakukan tindakan penyelamatan terakhir. Tubuhnya
dilempar ke belakang dengan cara menjejakkan kaki.
Bukkk! "Akh!"
Andiningsih memekik tertahan ketika kaki Talipaksa menghantam
paha kanannya. Agaknya, usaha penyelamatan yang dilakukan wanita
berpakaian hijau itu agak terl ambat. Akibatnya, bersamaan dengan
keluarnya pekikan itu tubuh Andiningsih melayang deras ke belakang dan
jatuh di tanah.
Tentu itu saja Talipaksa tidak mau menyia-nyiakan kesempatan
baik itu. Buru-buru dikej arnya Andiningsih dan dihujaninya dengan
serangan-serangan. Hingga, wanita itu harus susah-payah menyelamatkan
nyawanya. Sebab, sebelah kakinya lumpuh! Hingga akhirnya Andiningsih
terpojok. Dan....
Tukkk! Tubuh Andiningsih langsung ambruk ketika Talipaksa berhasil
menyarangkan totokan. Kini wanita berpakaian hijau itu terkulai l emas tak
berdaya. "Ha ha ha...!"
Talipaksa tertawa memandang tubuh yang tergol ek di bawah
kakinya. Kemudian, pandangannya dialihkan ke arah anak buahnya yang
sejak tadi menyaksikan jalannya pertarungan.
"Lihat, Anak-anak! Kuda liar ini telah lumpuh! Sekarang aku akan
menjinakkannya! Tapi, jangan khawatir. Aku akan menyisakannya untuk
kalian!" "Horeee...!" serempak terdengar teriakan gembira sembilan orang
lelaki kasar itu. Sudah terbayang di benaknya, bet apa mereka akan
menggeluti tubuh mulus Andiningsih.
"Hidup, Kakang Talipaksa...!" teriak lelaki berwajah codet seraya
mengangkat kepalan tangan kanannya ke at as.
"Hidup...!" sambut yang lainnya tak kalah keras.
Talipaksa tersenyum lebar.
"Kau dengar, Kuda Liar"! Kau tahu apa yang akan kami lakukan"!
Kami akan memperkosamu sampai kau mati kelelahan!" tandas lelaki tinggi
besar itu tanpa mengenal rasa kasihan.
Wajah Andiningsih yang memang sudah pucat kini tampak
semakin pias. "Kumohon jangan lakukan itu, Talipaksa! Lebih baik kau bunuh
aku!" ucap wanita itu dengan suara bergetar karena rasa t akut yang
melanda. "Ha ha ha...!"
Tawa Talipaksa semakin terdengar keras mendengar permintaan
Andiningsih. Orang kasar seperti dia mana mau mengabulkan permintaan
itu" Baginya, rintih kepedihan calon korbannya menambah besar geloranya.
Masih dengan tawa bergelak, Talipaksa mulai membuka
pakaiannya. Jelas, lelaki tinggi besar itu bermaksud memperkosa
Andiningsih di tempat itu juga. Keberadaan anak buahnya yang sudah pasti
akan menyaksikan perbuatannya, tidak membuatnya malu. Memang,
Talipaksa sudah tidak mempunyai rasa malu! Yang ada di benaknya adalah
menyalurkan hasratnya secepat mungkin!
"Jangan! Jangan lakukan itu...! Kumohon...! Bunuh saja aku...!"
teriak Andiningsih dengan cems dan kalap. Tarikan wajahnya menyi ratkan
rasa takut yang amat sangat.
Tanggapan Talipaksa adalah tubrukan pada tubuh Andiningsih,
yang tergol ek tanpa daya di tanah. Dengan beringas dan kasar, diciuminya
wajah Andiningsih. Talipaksa sedikit pun tidak mempedulikan rintihan
Andiningsih. Dalam cekaman rasa takut dan kengerian yang menggelegak,
tanpa sadar air mata Andiningsih menetes. Padahal, meskipun diancam
maut wanita berpakaian hijau itu tidak pernah menangis! Tapi sekarang
keadaannya lain.
Semua kejadian itu disaksikan dengan j elas oleh lel aki berwajah
codet dan del apan orang rekannya. Sepas ang mata mereka hampir tidak penah
berkedip, sedangkan jakun mereka turun naik.
Beberapa kali, dengan susah payah mereka menel an air liur
melihat pimpinan mereka menggeluti Andiningsih dengan buas. Sampai
akhirnya. "Akh...!"
"Oaaa...!"
Bertepatan dengan keluarnya pekikan dari mulut Andiningsih,
terdengar suara tangisan bayi! Keras dan nyaring. Tangisan itu berasal dari
dalam kereta. *** Dengan senyum puas tersungging di bibir, Talipaksa mengenakan
pakaiannya. Sekali lagi ditatapnya tubuh Andiningsih yang tergolek lemas
di tanah dengan air mata berurai.
"Siapa yang ingin mencicipi kuda liar ini"! Silakan maju...! Aku
akan menghabisi nyawa bayi sialan itu!"
Tanpa diperintah dua kali, sembilan lelaki kasar yang sejak tadi
sudah menunggu-nunggu kesempatan itu segera meluruk ke arah
Andiningsih. Kelakuan mereka tak ubahnya gerombolan serigala lapar yang
menemukan seekor anak domba gemuk!
Tapi Talipaksa tidak menyaksikan kejadian itu. Lelaki tinggi besar
itu menghampiri kereta. Tujuannya satu, membunuh bayi di dalam kereta.
Sementara itu kuda coklat yang menjadi saksi semua kejadi an di
tempat itu tetap berdiam diri di tempatnya. Jelas, dia tidak merasa terganggu
dengan keributan yang terjadi di hadapannya. Bahkan, ketika Talipaksa
lewat di depannya dia tetap tidak bergeming. Juga ketika lelaki tinggi besar
itu tiba di samping kiri kereta.
Brakkk! Dinding samping kiri kereta hancur berantakan ketika tangan
Talipaksa menghantamnya. Kepingan-kepingan kayu berhamburan.
Sebagian mengenai tubuh bayi yang t ergolek di dalam peraduan kecil.
Akibatnya, tangis bayi itu terdengar semakin keras!


Dewa Arak 59 Titipan Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi, hati Talipaksa sedikit pun tidak tersentuh mendengar tangis
makhluk Allah yang belum mengenal dosa itu. Dengan sorot mata bengis,
dicabutnya pedang yang tadi sudah disarungkan. Lalu, diayunkan ke arah
leher si bayi! Wuttt! Tappp! "Eh..."!"
Talipaksa berseru kaget ketika merasakan ayunan pedangnya
terhenti di udara. Sebagai orang yang berpengalaman, dia segera tahu ada
sesuatu yang tidak waj ar! Maka buru-buru kepalanya menengadah.
Ternyata batang pedangnya telah dibelit sebuah sabuk berwarna ungu!
Secepat kilat Talipaksa membalikkan tubuh.
Dalam jarak dua tombak darinya, berdiri seorang pemuda tampan
berpakaian ungu. Rambutnya yang putih keperakan mel ambai-lambai
tertiup angin. Rupanya, pemuda inilah yang tel ah menggagalkan
rencananya. Tangan kanan pemuda berambut putih keperakan itu
menggenggam ujung sabuk yang lain.
"Manusia berhati iblis!" maki pemuda berambut putih keperakan
yang tidak lain Arya Buana, yang lebih dikenal berjuluk Dewa Arak.
Arya kemudian menarik sabuknya secara tiba-tiba. Memang,
pemuda itu hanya mengerahkan sebagian tenaganya. Tapi, Dewa Arak
berhasil membuat pedang lelaki tinggi besar itu terlepas.
Tidak hanya itu tindakan yang dilakukan Dewa Arak. Begitu
berhasil melepaskan senjat a Talipaksa, Arya melepaskan pedang itu dari
belitan sabuknya. Lalu dengan gerakan sederhana, Dewa Arak meluncurkan
ujung sabuknya ke arah Talipaksa.
Ctarrr! "Hukh!"
Tubuh Talipaksa terlipat ke depan ketika ujung sabuk melecut
dadanya dengan telak. Seketika itu pula rasa sesak melanda dadanya.
Kejadiannya berl angsung demikian cepat dan tidak terduga-duga. Sehingga
lelaki tinggi besar itu tidak sempat berbuat apa-apa.
Dan lagi-lagi sebelum Talipaksa sempat berbuat sesuatu, sabuk
yang bagaikan hidup itu t elah membelit betisnya. Karuan saja lel aki tinggi
besar ini kelabakan. Meskipun dadanya masih terasa sesak, segera
dilakukannya upaya untuk membebaskan diri. Tangan kanannya diulurkan
menangkap ujung sabuk Dewa Arak.
Untuk kesekian kalinya Talipaksa menemui kegagalan. Sebelum
tangannya berhasil menjangkau sasaran, Dewa Arak telah lebih dulu
menyentakkan sabuknya.
"Aaa"!"
Talipaksa menjerit ketika meras akan tubuhnya melayang!
Sedangkan Dewa Arak tanpa membuang-buang waktu mel esat ke arah
kereta. Hanya dengan sekali lesatan di a telah berada di dekat peraduan bayi
itu. Kemudian, dengan hati-hati kedua tangannya diulurkan.
Ajaib! Begitu kedua tangan Arya menyentuh tubuhnya, tangis bayi
itu langsung terhenti. Agaknya, nalurinya membisikkan kalau dirinya telah
berada di tempat yang aman. Malah ketika Dewa Arak menggendongnya
dengan tangan kiri, bayi itu tersenyum manis. Tanpa sadar Arya ikut pula
tersenyum. Tapi Dewa Arak tidak bisa berlama-lama t enggelam dalam alun
kegembiraan bersama bayi itu. Masih ada orang yang membutuhkan
pertolongannya. Orang itu adalah Andiningsih, yang tengah mendapat
perlakuan tak senonoh dari anak buah Talipaksa!
"Biadab! Orang-orang seperti kalian tidak pantas dibiarkan hidup!"
Sambil berkata demikian, Dewa Arak melesat ke arah tempat
Andiningsih. Wanita itu tengah dikerubuti lelaki berwaj ah codet dan rekanrekannya.
Meskipun berdasarkan undian dan lelaki berwajah codet yang
mendapat giliran lebih dulu, rekan-rekannya tidak mau ketinggalan. Mereka
ikut mencicipi, walau hanya mencium atau meremas-remas bagian yang
tidak dinikmati lelaki berwajah codet!
Di saat tubuhnya telah berada di dekat kerumunan orang-orang
kasar itu, Dewa Arak segera mengibaskan tangan kanannya. Kelihatannya
sembarangan saja gerakan itu dilakukan. Tapi akibatnya sungguh luar biasa!
Dari kibasan tangan itu, muncul deruan angin dahsyat yang membuat tubuh
anak buah Talipaksa terlempar seperti daun-daun kering ditiup angin.
Untungnya, meskipun tengah dilanda kemarahan hebat, Dewa
Arak hanya mengerahkan pukulan jarak jauh yang tidak melukai lawan.
Sebab, di situ ada Andiningsih. Kalau tidak, mungkin sembilan orang itu
telah tewas dalam keadaan menyedihkan.
Jliggg! Begitu berhasil mendaratkan kedua kakinya di tanah, Dewa Arak
melemparkan kain yang diambil dari kereta untuk menutupi tubuh
Andiningsih. Meskipun demikian, sempat dilihatnya bercak-bercak darah di
tanah dekat bagian bawah tubuh wanita itu.
Kenyataan itu membuat wajah Dewa Arak merah padam. Giginya
bergemel etuk. Semua karena peras aan geram yang melanda. Pemuda
berambut putih keperakan itu tahu wanita berpakai an hijau itu telah
diperkosa.T api, siapa yang memperkosanya" Bukankah sembilan orang itu
belum sempat melakukannya"! Pakaian mereka masih melekat di tubuh.
Yang sudah setengah telanjang hanya lelaki berwajah codet.
Namun Dewa Arak tidak perlu menunggu terlalu lama. Pertanyaan
itu segera terjawab.
"Monyet-monyet goblok! Serbu pemuda keparat itu! Bunuh dia...!"
seru Talipaksa seraya meluruk ke arah Dewa Arak.
Lelaki tinggi besar itu telah menggenggam senjata andalannya.
Rupanya saat Dewa Arak sibuk menolong Andiningsih, Talipaksa
mengambil senjatanya. Setelah lebih dulu berhasil mematahkan kekuatan
yang membuat tubuhnya meluncur!
Tanpa diperintah dua kali, rombongan orang kasar itu meluruk ke
arah Dewa Arak dengan s enjata terhunus. Hujan senjat a tidak dapat
dielakkan lagi.
Tapi Dewa Arak tetap bersikap tenang. Pemuda itu berdiri tegak di
tempatnya dengan tangan kiri memondong bayi. Tak terlihat tanda-tanda
pemuda berambut putih keperakan itu akan mel akukan tindakan, baik
mengelak maupun menangkis.
Baru ketika s erangan-serangan menyambar dekat, Dewa Arak
bertindak. Dengan s atu tangan, dihadapinya serbuan para pengeroyoknya.
Pemuda itu mengeluarkan ilmu warisan ayahnya, 'Delapan Cara
Menaklukkan Harimau' dan 'Sepasang Tangan Penakluk Naga'.
Sebenarnya ilmu-ilmu itu memerlukan dua tangan. Tapi bagi orang
yang memiliki tingkat kepandaian s eperti Dewa Arak, bukan hal yang sulit
menerapkan ilmu-ilmu itu dengan sebelah tangan.
Rombongan orang kasar itu meluruk ke arah Dewa Arak dengan
senjata terhunus. Tapi Dewa Arak bersikap tenang. Pemuda itu berdiri
tegak di tempatnya dengan tangan kiri memondong bayi.
Baru ketika serangan-serangan menyambar dekat, Dewa Arak
bertindak. Dengan satu tangan, dihadapinya serbuan para pengeroyoknya!
Dewa Arak memulai perlawanannya dengan mengelak. Cepat
laksana bayangan tubuhnya berkelebatan di antara sambaran senjata lawan.
Talipaksa dan anak buahnya heran bercampur kaget melihat
gerakan lawan. Padahal, mereka telah merasa yakin pemuda berambut putih
keperakan itu tidak mampu meloloskan diri. Tapi, dugaan itu ternyata
meleset! Selama tiga jurus Dewa Arak hanya mengelak. Baru pada jurus
keempat, pemuda itu mulai unjuk gigi. Itu terjadi ketika lawan-lawannya
meluruk ke arahnya dengan kelebat an senjata masing-masing.
Sing, wung, wuttt!
Bunyi riuh rendah mengiringi luncuran senjata yang tergenggam di
tangan Talipaksa dan sembilan anak buahnya. Berbeda dengan sebelumnya,
kali ini Dewa Arak tidak menghindar. Pemuda itu berdiri tegak dengan bayi
tergendong di tangan kirinya.
Dan ketika serangan-s erangan itu menyambar dekat, tangan
kanannya digerakkan. Cepat bukan main, sehingga t angan itu tampak
berubah menjadi puluhan.
Trak, trak...! Bukkk, desss! "Aaakh...!"
"Aaa...!"
Kejadian itu berlangsung demikian cepat. Bahkan mungkin hanya
dalam sekejap mata. Tahu-tahu tubuh gerombolan orang kasar itu
berpental an ke belakang sambil mengeluarkan jeritan menyayat hati.
Brukkk! Terdengar bunyi berdebuk keras susul-menyusul ketika tubuhtubuh
itu berjatuhan di tanah. Sesaat mereka menggelepar sebelum akhirnya
diam untuk selama-lamanya. Mati!
Hanya Talipaksa yang s elamat dari maut. Itu terjadi secara
kebetulan. Karena serangan lelaki tinggi besar itu meluncur belakangan.
Meskipun demikian, Talipaksa tidak tahu apa yang terjadi dengan anak
buahnya. Yang diketahuinya, tubuh mereka melayang ke belakang dan jatuh
di tanah. Agaknya, gerakan Dewa Arak terl alu cepat untuk diikuti mata
mereka! Talipaksa tampak terkejut bukan main melihat kematian anak
buahnya. Dengan mata terbelalak, ditatapnya mayat-mayat itu. Perasaan
sedih, amrah, dan tidak percaya bergolak di dalam dada lelaki tinggi besar
itu. 3 Talipaksa tidak tahu kalau dengan kecepatan gerak yang
mengagumkan, Dewa Arak menangkis serangan-serangan yang meluncur
ke arahnya. Lalu, dengan secepat itu pula melancarkan serangan balasan.
Sebagian bes ar mengenai bagi an dada mereka. Hanya beberapa gelintir
yang menghantam perut
Meskipun Dewa Arak hanya mengerahkan sebagian kecil tenaga
dalamnya, tetap saja membuat bagian dalam tubuh anak buah Talipaksa
hancur! Akibatnya, seperti yang mereka alami. Tewas!
Karena Talipaksa berdiam diri, dengan sendirinya pertarungan
terhenti. Dewa Arak tidak mau mempergunakan kesempat an itu untuk
melancarkan serangan. Ditunggunya hingga lawan sadar dari terkesimanya.
Penantian Dewa Arak tidak membutuhkan waktu yang lama.
Sebentar kemudian Talipaksa telah sadar. Dan s eiring dengan itu, perasaan
dendam berkobar di dalam dadanya.
"Keparat jahanam! Kucincang tubuhmu, Anjing Kecil! Hiyaaat...!"
Belum lagi yema teriakan itu lenyap, Talipaksa telah melompat
menerjang Dewa Arak! Pedang yang tergenggam di tangannya diputar di
depan dada. Kemudian s etelah jarak ant ara mereka telah dekat, pedang itu
ditusukkan ke arah leher Dewa Arak
Tapi, Dewa Arak yang sudah dapat mengukur tingkat kemampuan
lawan tidak bergeming dari tempatnya. Bahkan, tangan kanannya diulurkan
untuk mencengkeram batang pedang lawan.
Kreppp! "Ah!"
Talipaksa menjerit kaget melihat pedangnya berhasil dicengkeram.
Sepasang matanya membel alak lebar. Tangan pemuda berambut putih keperakan
itu tidak t erluka s edikit pun. Tidak salahkah penglihatannya"
Benarkah orang semuda ini telah mempunyai kepandaian yang demikian
tinggi" Talipaksa tidak mau membiarkan dirinya terlibat pertanyaan yang
tak terjawab. Buru-buru pedangnya ditarik. Dia bermaksud melepaskan
senjata itu dari cengkeraman, sekaligus memutuskan tangan lawan.
Untuk yang kesekian kalinya Talipaksa terkejut. Jangankan
menarik pedangnya dan memutuskan t angan, senjata itu bergeming pun
tidak! Seakan pedang itu bukan dicengkeram jari-jari tangan manusia,
melainkan catok baja!
Di saat Talipaksa tengah bersitegang, Dewa Arak menekuk jari-jari
tangannya! Takkk! Batang pedang Talipaksa patah menjadi dua bagian! Akibatnya,
tubuh lelaki tinggi besar itu terj engkang ke bel akang terbawa tenaga
tarikannya sendiri.
Saat itulah, Dewa Arak mengibaskan tangan yang masih
mencengkeram patahan batang pedang Talipaksa!
Singgg! Cappp! "Aaakh...!"
Lolong menyayat hati dikeluarkan Talipaksa ketika patahan
pedang menancap di dahinya. Seketika itu pula nyawanya melayang ke
alam baka! "Hhh...!"
Dewa Arak menghembuskan napas berat. Ada rasa tidak nyaman
merayapi hatinya. Tapi bagaimana lagi" Kalau dibiarkan hidup, mereka
akan mencel akakan banyak orang! Hanya kematianlah yang dapat
menghentikan tindakan mereka. Mendadak....
Ceppp! "Hekh!"
Dewa Arak menoleh begitu mendengar jeritan tertahan. Betapa
terkejutnya pemuda itu melihat Andiningsih rebah telentang dengan pedang
menancap di perut hingga tembus ke punggung.
"Hih!"
Dengan s ekali les atan, Dewa Arak telah berada di dekat
Andiningsih, yang telah mengenakan pakaiannya. Meski banyak yang
koyak, tapi cukup untuk menutupi sebagian besar tubuhnya.
Dengan penuh rasa iba, Dewa Arak berjongkok di depan
Andiningsih. Sekali lihat saja, pemuda berambut putih keperakan itu tahu
kalau menancapnya pedang itu merupakan tindakan Andiningsih. Jelas,
wanita berpakai an hijau itu hendak membunuh diri. Dewa Arak tahu apa
sebabnya. Meskipun dalam hati tidak setuju, pemuda itu tidak dapat
menyalahkan tindakan Andiningsih.
"Aku mohon... selamatkan bayi itu.... Be... berikan pada Saudagar
Jayeng Kertacundraka di Desa Bonggol.... Katakan padanya... bayi itu anak
kandungnya.... Jangan berikan pada siapa pun. Apalagi, pada orang-orang
Perguruan Macan Kumbang...."
Sampai di sini Andiningsih menghentikan ucapannya. Keadaannya
yang sudah payah menyulitkannya untuk berbicara. Apalagi, darah terus
merembes keluar dari luka lebar di perutnya.
Dewa Arak bukan orang bodoh. Dia t ahu, keadaan Andiningsih
amat gawat. Luka-luka yang dideritanya terlampau parah, dan tidak
mungkin bisa disembuhkan lagi. Sewaktu-waktu nyawanya bisa melayang.
Padahal, ada sesuatu yang akan disampaikan. Melihat keadaannya, bukan
mustahil sebelum hal itu diutarakan malaikat maut telah lebih dulu
menjemputnya. Karena itu, Dewa Arak segera bertindak. Ditotok dan diurutnya
beberapa bagian tubuh Andi ningsih. Semua dilakukan dengan cepat dan
hanya sekejap s aja. Andiningsih meras akan ada t ambahan kekuat an.
Kesempatan itu pun dimanfaatkannya.
"Katakan pada Saudagar Jayeng Kertacundraka, ibu bayi ini adalah
Setyaning. Dia meninggal beberapa bulan setel ah kelahiran bayi ini. Namun
sebelum dia meninggal, aku diperintahkan untuk mengantarkan bayi ini
kepadanya. Maukah kau mengantarkannya, Kisanak?" tanya Andiningsih
penuh harap. Dewa Arak menganggukkan kepala. Khawatir kalau ucapan yang
dikeluarkannya gemetar karena terharu, pemuda berambut putih keperakan
itu menanggapi pertanyaan Andiningsih dengan gerak isyarat.
"Terima kasih, Kisanak. Aku yakin kau akan memenuhi
permintaanku," ucap Andiningsih. "Boleh kutahu namamu?"
"Arya Buana. Panggil saja Arya," jawab Dewa Arak. Suaranya
agak bergetar. Padahal, dia telah berusaha meredam gejolak perasaan
harunya. "Kau sendiri siapa, Nisanak"! Apa hubunganmu dengan ibu bayi
ini"!"
Andiningsih tersenyum. Tapi karena keadaannya, senyum itu lebih
mirip seringai kesakitan. Butir-butir keringat s ebesar jagung menghias
wajahnya. "Aku Andiningsih. Setyaning adalah kakak angkatku. Dia telah
mengangkatku dari seorang jembel cilik yang kotor sampai menjadi gadis


Dewa Arak 59 Titipan Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terhormat. Tidak hanya itu saja jasanya padaku. Masih banyak lagi. Karena
itu, aku berusaha melaksanakan pesan terakhirnya. Kalau tidak... arwahku
tidak akan t enang di alam baka...," urai Andiningsih dengan suara mulai
tersendat kembali.
Melihat hal ini Dewa Arak tahu kalau saat kepergian Andiningsih
sudah dekat. Arya tidak ingin wanita berpakaian hijau itu meninggal dengan
hati tak tenteram. Dia harus menghiburnya.
"Tenanglah, Andiningsih! Percayalah, bayi ini akan tiba di tangan
Saudagar Jayeng Kertacundraka dengan selamat. Aku, Dewa Arak, akan
berusaha semampuku. Bantulah aku dengan doamu...."
Sepasang mata Andiningsih mulai kehilangan sinarnya. Tapi, dia
masih mampu menangkap ucapan Dewa Arak.
"Kau..., Dewa Arak"! Pendekar besar yang terkenal itu"! Sekarang
hatiku lega. Aku dapat menemui Setyaning dengan hati lapang. Aku yakin
kau akan berhasil memenuhi tugas itu, Dewa Arak. Se... la... mat ting...
akh!" Sebelum Andiningsih berhasil menyelesaikan ucapannya, maut
telah datang menjemput. Kepalanya terkulai. Wanita berpakaian hijau itu
tewas dengan wajah berseri -seri dan senyum mengembang di bibir.
"Hhh...!"
Kembali Dewa Arak menghel a napas berat. Sepasang mata
Andiningsih yang masih membelalak dipejamkannya. Kemudian, dengan
perlahan-lahan pemuda itu bangkit berdiri. Pandangannya diedarkan untuk
mencari tempat yang baik sebagai tempat peristirahatan terakhir
Andiningsih. *** "Oa...! Oaaa...!"
Suara lengkingan tangis bayi memecah keheningan yang
melingkupi jalan tanah berdebu, yang di kanan dan kirinya ditumbuhi
rumput hijau segar.
Suara itu ternyata beras al dari mulut seorang bayi yang berada di
gendongan pemuda berambut putih keperakan dan berpakaian ungu. Siapa
lagi pemdua itu kalau bukan Dewa Arak"! Tangisan bayi membuatt
pendekar muda yang bi asanya mampu bersikap t enang itu, sekalipun
menghadapi ancaman maut, menjadi kebingungan.
Memang, semula tidak ada masalah bagi Arya karena bayi itu
tertidur. Tapi sekarang, setelah terbangun makhluk Allah yang kecil, dan
masih suci itu menangis dengan hebatnya. Keras, melengking nyaring, dan
tanpa henti. "Cep, cep...!"
Dengan s ebisanya Arya berusaha mendiamkan bayi itu. Diayunayunkannya
tubuh sang Bayi. Seorang bayi lelaki bertubuh montok dan
sehat serta berkulit putih.
Tapi usaha Arya sia-sia. Tangis bayi itu tidak berhenti. Bahkan,
bertambah keras. Karuan saja Arya semakin kelabakan. Benaknya diputar
untuk mencari cara mendiamkan tangis bayi itu.
Dan memang, pemuda berambut putih keperakan itu akhirnya
menemukannya. Digendongnya bayi itu dengan t angan kiri. Sedangkan
tangan kanannya ditekapkan ke wajah.
"Ciluuuk..!"
Kemudian seraya menurunkan tangan itu dari wajahnya, Arya
membarenginya dengan ucapan...
"Baaa...!"
Usaha Arya ternyat a manjur juga. Tangis bayi itu langsung
terhenti. Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Sesaat kemudian, bayi itu
kembali menangis. Bahkan dengan suara lebih keras dari sebelumnya.
Arya pun kembali mencoba cara itu. Tapi, kali ini tidak
memberikan hasil seperti yang diharapkan. Tak sedikit pun bayi itu
mempedulikannya. Pemuda berambut putih keperakan itu kelihatan putus
asa. "Oa...! Oaaa...!"
"Mengapa aku demikian pelupa"! Seharusnya tadi kutanyakan
pada Andiningsih cara mendi amkan bayi ini. Ah...! Sekarang apa yang
harus kulakukan?" gumam Arya pelan seraya terus mengayun-ayunkan
tubuh bayi itu dengan kedua tangannya. Hanya tindakan itu yang dapat
dilakukannya. Dewa Arak terus berlari. Tapi, dia tidak dapat berlari dengan cepat.
Wajah bayi itu kelihatan membiru ketika dia berlari agak cepat. Kedua
tangannya yang mungil mengejang.
"Mungkinkah dia merasa takut?" tanya Arya dalam hati.
Pertanyaan itu akhirnya terj awab juga. Bukan karena Arya, namun
tindakan bayi itu. Entah karena naluri, makhluk mungil itu membawa
tangan kanannya ke mulut. Dan ibu jarinya dimasukkan, lalu dihisaphisapnya.
Plakkk! Dewa Arak menepuk dahinya sendiri.
"Mengapa aku demikian bodoh"!" maki Arya dal am hati. "Pasti
bayi ini lapar dan haus."
Yakin akan kesimpulan yang didapat, Dewa Arak menolehkan
kepala ke sana kemari. Barangkali saja di s ekitar t empat itu ada sebuah
rumah yang dapat dimintai tolong untuk memberi makan bayi itu.
Harapan Dewa Arak terkabul. Beberapa belas tombak di depannya
tampak sebuah rumah. Rumah sederhana itu terpisah jauh dari rumah-rumah
lainnya. Ke sanalah pemuda berambut putih keperakan itu melangkah.
Beberapa saat kemudian Dewa Arak telah tiba. Daun pintu dan
jendela rumah itu tertutup rapat. Arya sekilas mengamati keadaan sekitar
rumah. Kemudian, tangannya diulurkan untuk mengetuk daun pintu.
Tapi gerakan tangan Dewa Arak terhenti di tengah jal an. Sebelum
kepalan tangannya mencapai sasaran, daun pintu telah bergerak membuka
diiringi bunyi berderit mengiris telinga. Sekejap kemudian, dari dalam
rumah muncul seraut wajah seorang wanita setengah baya.
"Ah...!" Belum sempat Dewa Arak membuka mulut, wanita
setengah baya itu bersuara.
"Ternyata telingaku memang tidak sal ah dengar. Ada seorang bayi
di sini. Apa yang terjadi dengannya, Anak Muda"! Mana ibunya"!"
Seraya mengeluarkan pert anyaan yang memberondong, wanita itu
melangkah ke luar. Sepasang matanya t erpaku pada sosok mungil yang
berada di gendongan Arya. Tampaknya, putra Saudagar Jayeng
Kertacundraka itu telah menarik perhatiannya.
Sekarang Dewa Arak baru mengerti, mengapa daun pintu itu telah
membuka sebelum tangannya sempat mengetuk. Ternyata tangis bayi itu
sudah terdengar sampai ke dalam. Arya kemudian buru-buru
mengembangkan s enyumnya. Dia tahu, wani ta pemilik rumah itru tengah
menunggu jawabannya.
"Ibunya telah meninggal, Nyi. Dan orang yang disuruh
mengantarkan bayi ini pada ayahnya tel ah dibunuh orang. Dia minta tolong
padaku untuk mengantarkan bayi ini pada ayahnya. Tapi, dia menangis tak
henti-hentinya. Aku tidak bisa mendiamkannya. Bisa kau bantu
mendiamkannya, Nyi" Mungkin dia lapar."
Wanita setengah baya itu tersenyum. Sorot matanya yang berbinarbinar
menandakan kegembiraan hatinya. Terlihat jelas rasa sukanya yang
besar pada putra Saudagar Jayeng Kertacundraka.
"Berikan dia padaku, Anak Muda. Percayalah, aku akan mampu
mendiamkannya. Dia hanya ingin menyusu, " jawab wanita setengah baya
itu, yakin.T anpa ragu-ragu Arya segera memberikan bayi dalam
gendongannya pada wanita itu. Dia percaya kalau wanita itu tidak
memendam maksud yang kurang baik. Setelah menerima bayi, wanita
setengah baya itu membawanya ke dalam. Sedangkan Dewa Arak berdiri di
luar, menunggu.
Keyakinan Dewa Arak memang tidak keiiru. Sesaat kemudian,
wanita pemilik rumah telah keluar. Di tangannya tergendong putra Saudagar
Jayeng Kertacundraka yang tertidur pulas. Kekenyangan dan kelelahan!
"Kalau boleh kutahu... siapakah ayah bayi ini, Anak Muda" Dan di
mana tinggalnya?" tanya wanita setengah baya itu, penuh rasa ingin tahu.
"Menurut orang yang mengantarkan bayi ini, ayahnya Saudagar
Jayeng Kertacundraka dan tinggal di Desa Bonggol," jawab Arya jujur.
"Desa Bonggol"! Perjalananmu masih cukup jauh, Anak Muda.
Kau harus mel alui dua buah desa l agi sebelum tiba di sana. Aku yakin,
selama perjalanan bayi itu akan kel aparan. Bagaimana kalau kau berikan
saja padaku. Di tanganku dia akan lebih terawat. Kebetulan suami dan
anakku yang baru berusia beberapa bulan meninggal beberapa hari yang
lalu. Bagaimana, Anak Muda"!" uj ar wanita pemilik rumah menawarkan
jasa. Dewa Arak tersenyum lebar. "Maafkan aku, Nyi. Bukannya
menolak. Tapi..., aku telah berjanji untuk mengantarkan bayi ini pada
Saudagar J ayeng Kertacundraka. Aku tidak bisa mengingkari amanat orang
yang telah meninggal dunia. Sekali lagi..., maafkan aku, Nyi," tolak pemuda
berambut putih keperakan itu dengan halus.
"Aku bisa mengerti, Anak Muda," jawab wanita setengah baya itu
dengan suara berdesah. "Kalau tidak kau temukan orang yang akan
menyusuinya... berikan saja susu kambing atau sapi."
"Akan kuperhatikan semua nasihatmu, Nyi."
Usai berkat a demikian, Dewa Arak mengangsurkan tangan untuk
menerima putra Saudagar Jayeng Kertacundraka. Lalu, setelah
mengucapkan terima kasih, pemuda itu berbalik. Kemudian, kakinya
terayun meninggalkan tempat itu. Tapi baru saja beberapa tindak....
"Tunggu, Anak Muda!"
"Ada apa, Nyi"!" tanya Arya seraya membalikkan tubuh.
"Aku mempunyai seekor kuda. Ambillah.... Gunakan agar
perjalananmu lebih cepat"
Dewa Arak tidak segera menjawab. Arya tercenung sejenak
memikirkan tawaran itu.
"Pakailah, Anak Muda," desak wanita setengah baya itu. "Di sini
kuda itu tidak berguna. Aku tidak bisa menungganginya. Dulu binatang itu
tunggangan suamiku. "
Kini tidak ada lagi alas an bagi Dewa Arak untuk menolak.
Perlahan-l ahan kepal anya dianggukkan.
4 Untuk pertama kalinya, Arya mel akukan perjalanan dengan
lambat. Itu terpaksa dilakukan Dewa Arak karena adanya bayi yang
digendongnya di tangan kiri. Sedang tangan kanannya digunakan untuk
memegang tali kekang kuda, yang melangkah pelan menyusuri jalan tanah
berdebu. Sesekali pandangan Dewa Arak yang tertuju lurus ke depan
dialihkan pada sang Bayi. Ada rasa nyaman dan senang yang sulit dikatakan
ketika memandang makhluk kecil yang tidak berdaya itu. Kesibukan Dewa
Arak membuat perhatiannya tidak beralih, sekalipun pendengarannya
menangkap bunyi derap kaki kuda di belakangnya. Dari bunyinya, Dewa
Arak tahu kuda itu tidak hanya berjumlah seekor.
Semakin lama bunyi derap kaki kuda t erdengar j elas. Pertanda
jarak antara Dewa Arak dengan kuda-kuda itu semakin dekat. Arya
memperkirakan jumlah binatang-binatang itu sekitar lima ekor. Dan tengah
berpacu dengan kecepatan tinggi. Karena khawatir binat ang-binatang yang
akan melewarinya itu menabraknya, Arya menepikan jalan kudanya.
Dugaan Dewa Arak tidak salah. Baru saja binatang tunggangannya
ditepikan, enam ekor kuda coklat putih berpacu cepat melaluinya. Debu
yang mengepul tinggi membuat Dewa Arak terpaksa mengibas -ngibaskan
tangan. Kelihatannya ringan saj a kibasan itu dilakukan Dewa Arak. Tapi,
akibatnya debu-debu yang hendak mengepul ke arahnya t ertolak jauh
seperti dihembus angin keras. Tampaknya, Dewa Arak mengerahkan tenaga
dalam. Sebenarnya kalau tidak ada putra Saudagar Jayeng Kertacundraka,
Dewa Arak tidak akan melakukan tindakan itu. Cukup hanya menutupi
wajahnya agar tidak terkena debu. Sementara itu, enam ekor kuda coklat
putih itu terus berpacu cepat diiringi bunyi bergemuruh yang menggetarkan
tanah. Dewa Arak hanya menggeleng-gelengkan kepala. Segumpal
pertanyaan bergayut di benaknya. Apakah yang akan dilakukan rombongan
berkuda itu, sehingga demikian terburu-buru" Sekilas pandangannya
diarahkan ke arah mereka. Sepasang alis Dewa Arak berkerut, ketika
melihat tindakan yang dilakukan rombongan berkuda itu.
Dewa Arak menjumpai adanya keanehan. Ketika telah berada
beberapa tombak di depannya, secara serempak enam orang itu menarik tali
kekang kudanya. Demikian mendadak, sehingga kuda-kuda itu
menghentikan larinya dengan tiba-tiba.
"Hieeeh...!"
Seraya meringkik nyaring, kuda-kuda itu mengangkat kedua kaki
depannya tinggi-tinggi.
Tapi, itu hanya berlangsung s esaat. Karena keenam
penunggangnya tel ah menarik tali kekang kuda mereka. Kuda-kuda itu tahu
maksud penunggangnya. Mereka segera berbalik. Sekarang, tanpa terburuburu
enam orang penunggang kuda itu mengarahkan binatang
tunggangannya menghampiri Dewa Arak.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghel a napas panjang. Sebagai seorang yang telah
lama berkecimpung di dunia persilatan, dia langsung tahu keenam
penunggang kuda itu mempunyai maksud yang tidak baik. Meskipun
demikian, Arya mampu bersikap seolah-olah tidak mengetahui maksud
mereka. Dengan tenang diusahakannya kuda hitamnya terus melangkah.
Kedua belah pihak mengarahkan kuda mereka ke arah yang
berlawanan, dan seperti tengah saling menghampiri. Maka, dalam sekejap
jarak mereka tinggal dua tombak. Mau tidak mau Dewa Arak menghentikan
langkah kudanya. Sebab, kalau diteruskan pun akan percuma. Enam orang
penunggang kuda itu telah menyusun diri s edemikian rupa. Sehingga tidak
ada celah untuk kuda Dewa Arak lewat. Binatang-binatang tunggangan itu
mereka atur berjajar.
Ternyata bukan hanya Dewa Arak yang menghentikan langkah
kudanya. Enam orang penghadang itu pun demikian. Kemudian, tatapan
mereka merayapi sekujur tubuh Dewa Arak penuh selidik.
Hal yang sama pun dilakukan Dewa Arak. Hanya kalau lawanlawannya
dengan cara terang-t erangan, Arya hanya memperhatikan sekilas
saja. Dalam kesempatan yang demikian singkat itu, dia bisa melihat cukup
jelas keenam penunggang kuda itu.
"Siapa kalian"! Mengapa menghadang perjalananku"!" tanya Arya
tenang. "Akulah yang seharusnya mengajukan pertanyaan itu, Bocah!"
bantah seorang di antara enam penunggang kuda, yang kudanya berada
agak di depan kuda-kuda lain.
Dia seorang pemuda berwaj ah tampan dan berpakaian indah.
Dalam usianya yang tak kurang dari tiga puluh lima tahun, lelaki itu jadi
terlihat pesolek.
Dewa Arak mengernyitkan alis karena merasa heran. Penampilan
lelaki berpakai an indah itulah penyebabnya. Meskipun demikian, dengan
pandainya perasaan itu disembunyikan, sehingga tidak terlihat pada
wajahnya. "Kalau demikian, baik kuperkenalkan diriku. Aku hanya seorang
pengelana. Namaku Arya. Cukup"! Sekarang, biarkan aku lewat," ujar Arya
memperkenalkan diri dengan sabar.
"Tidak!" lelaki berpakai an indah itu meng-gelengkan kepal a.
"Berikan bayi yang ada di gendonganmu. Baru kami akan membiarkanmu
lewat." "Semudah itu, Sukrasana"! Ingat! Dia harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya at as Andiningsih!" bantah orang
yang tepat berada di sebelah kiri lelaki berpakaian indah.
Lelaki itu berpakaian sederhana. Malah terl alu sederhana bila
dibandingkan dengan pakaian Sukras ana. Wajahnya yang buruk semakin
tampak jelas karena potongan rambutnya yang dikepang sampai ke
pinggang. "Benar, Sukrasana!" sambut yang lainnya. Seorang lelaki
berpakaian sederhana dan bermata picak. "Jangan begitu mudah dia
dilepaskan! Dia harus menerima ganjaran atas perbuatannya terhadap


Dewa Arak 59 Titipan Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Andiningsih!"
"Tahan amarah kalian. Ingat! Andiningsih tidak akan hidup
kembali. Sekalipun kita bunuh pemuda aneh ini. Yang penting adalah
keselamatan cucu ketua kita!" bantah Sukrasana sungguh-sungguh.
"Tapi, Sukrasana...," lelaki bermata picak masih mencoba
membantah. Sikap keras kepala lel aki bermata picak membuat kesabaran
Sukrasana pupus. Terbukti dengan tanggapan yang diberikannya.
"Tidak ada tapi-tapian!" sentak Sukrasana memotong ucapan lelaki
bermata picak. "Ingat! Akulah yang berhak memutuskan semua persoal an.
Buka kalian! Camkan itu!"
Seketika itu pula lelaki bermata picak dan lelaki berambut kepang
terdiam. Mereka tidak membuka suara l agi. Tapi dari tarikan wajah dan
sepasang mata mereka terlihat rasa penasaran yang dal am. Usai berkata
demikian, tanpa mempedulikan dua lelaki berpakaian sederhana itu,
Sukrasana mengalihkan perhatiannya ke arah Arya.
"Serahkan bayi itu, Kisanak. Percayal ah! Kau boleh pergi dari sini
tanpa mendapat gangguan!" janji Sukrasana sungguh-sungguh.
Dewa Arak tersenyum hambar. "Sayang sekali, Sukrasana," sahut
Arya menyebut nama lelaki berpakaian indah itu. "Aku tidak dapat
memenuhi permintaan kalian."
Wajah Sukrasana langsung berubah begitu mendengar tanggapan
Dewa Arak. "Rupanya kau l ebih suka dikas ari, Pembunuh Keji! Secara baikbaik
kuberikan jal an sel amat bagimu. Padahal, tindakan keji yang kau
lakukan pada dua rekan kami telah cukup menjadikan alasan untuk
membunuhmu! Tapi, kau malah menyia-nyiakan kesempat an yang
kuberikan!"
Sukrasana kemudian menoleh pada lima orang rekannya. Sesaat
kemudian, kepalanya dianggukkan sedikit. Tanpa menunggu lebih lama,
lelaki berambut kepang melangkah maju. Jelas, dia telah menunggu-nunggu
kesempatan ini sejak tadi.
*** "Tunggu, Kisanak!"
Sebelum lelaki berambut kepang mulai melancarkan serangan,
Dewa Arak telah menjulurkan tangannya berusaha mencegah.
Seketika lelaki berambut kepang mengurungkan maksudnya. Dan
kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Arya.
"Kalian salah paham! Aku bukan pembunuh Andiningsih!" tegas
Arya mantap. "Dia tewas oleh sekelompok orang kasar yang
menghadangnya."
Lalu, dengan singkat pemuda berambut putih keperakan itu
menceritakan semua kejadi annya. Sementara Sukrasana dan rekan-rekannya
mendengarkan dengan penuh perhatian hingga Dewa Arak menyel esaikan
ceritanya. "Sudah selesai"!" tanya lelaki berambut kepang mengejek.
"Benar," jawab Dewa Arak seraya menganggukkan kepala.
"Kalau demikian..., sekarang bersiaplah kau! "
Sambil menggertakkan gigi, lelaki berambut kepang melompat
menerjang Dewa Arak. Dan begitu berada di udara, tubuhnya
dijungkirbalikkan. Kemudian, meluruk turun seraya melancarkan serangan
ke arah pelipis dengan jari-jari tangan terkem-bang membentuk cakar.
Cit, cit, cit! Bunyi mencicit nyaring seperti tikus terjepit mengiringi tibanya
serangan. Bunyi ini menandakan kalau cengkeraman itu didukung
pengerahan tenaga dalam tinggi.
Dewa Arak mengenal serangan berbahaya. Dia tahu, jangankan
terkena secara telak, terserempet saj a sudah cukup untuk mengirim
nyawanya ke alam baka. Maka, pemuda itu tidak berani bertindak ceroboh.
Apalagi dengan keberadaan putra Saudagar Jayeng Kertacundraka di
tangannya. Ternyata Dewa Arak mengambil keputusan untuk menangkisnya.
Sebuah tindakan yang jarang dilakukannya terhadap serangan awal lawan.
Pemuda berambut putih keperakan itu menggerakkan tangan ke atas
memapaki. Prattt! "Akh!"
Jerit keterkejutan langsung keluar dari mulut lelaki berambut
kepang, begitu dua tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam
berbenturan. Akibatnya, tubuh lelaki iiu terpent al kembali ke atas seraya
menyeringai kesakitan.
Sementara Dewa Arak tidak bergeming. Sedikit pun tak ada
guncangan pada binatang tunggangannya. Tampaknya, tenaga dalam Dewa
Arak jauh lebih kuat dibandingkan lawannya.
Jliggg! Setelah bers alto sekali di udara, lelaki berambut kepang berhasil
mendarat di tanah dengan kedua kaki lebih dulu. Hampir pada saat yang
bersamaan, kedua kaki Dewa Arak menj ejak tanah. Pemuda itu
memutuskan untuk melompat dari atas punggung kuda. Disadari kalau tetap
berada di atas kuda, keselamat an putra Saudagar Jayeng Kert acundraka
terancam. "Kau tidak apa-apa, Limbong"!" tanya Sukrasana seraya
mendekati lelaki berambut kepang.
Lelaki yang ternyata bernama Limbong menggelengkan kepal a.
Lalu, tanpa memberi kesempat an pada Sukrasana untuk mengajukan
pertanyaan lebih lanjut, Limbong mengirimkan serangan susulan. Kali ini
Limbong tidak mempergunakan tangan. Dia mengirimkan tendangan kaki
kanan lurus ke arah dada Dewa Arak.
Wukkk! Serangan Limbong mengenai t empat kosong. Karena sewaktu
hampir mengenai sasaran, Dewa Arak telah mendoyongkan tubuh ke kiri.
Hasilnya serangan itu menyambar lewat beberapa jari di sebelah kanannya.
Tindakan Dewa Arak tidak berhenti sampai di situ. Tangan kanannya
diayunkan membacok pergelangan kaki Limbong.
Limbong terkejut bukan main melihat serangan ini. Memang, dia
sudah menduga akan terj adi serangan balasan. Namun sungguh tidak
menyangka akan secepat ini datangnya. Kecepatan gerak Dewa Arak benarbenar
hampir tidak terlihat mata.
Sungguhpun demikian, tentu saja Limbong tidak membiarkan
kakinya dihantam. Buru-buru kakinya ditarik.
Takkk! "Akh!"
Limbong memekik kesakitan. Bacokan sisi tangan kanan Dewa
Arak menghantam telak sasarannya. Usaha penyel amatan yang dilakukan
lelaki berambut kepang ternyata terlambat. Seketika itu pula tubuh Limbong
limbung. Serempak empat orang rekan Limbong, kecuali Sukrasana,
melompat turun dari punggung kuda. Wajah dan sorot mata mereka
menggambarkan kekagetan yang amat sangat. Mereka tahu betul tingkat
kepandai an yang dimiliki Limbong. Secara kasar, setingkat dengan mereka.
Kenyataan betapa dal am segebrakan Dewa Arak telah berhasil
menyarangkan serangan telah membuktikan ketinggian ilmu pemuda itu.
Karena itu, lelaki bermata pi cak dan tiga rekannya maju
berbarengan. Sekarang, mereka berdiri di s ebelah Limbong. Sudah dapat
diperkirakan pertarungan tak akan dapat dielakkan lagi.
Sukrasana menyadari hal itu. Maka, bergegas dia menjauhi tempat
itu. Hal yang sama pun dilakukan kuda mereka. Rupanya, binatang-binatang
itu pun menyadari bahaya yang tengah mengancam.
*** Dewa Arak sadar kal au kelima rekan Sukrasana akan melakukan
pengeroyokan. Namun, hal itu tidak membuatnya gentar. Pemuda itu tetap
tenang. Sepasang matanya berputaran ke sana kemari, mengawasi gerakgerik
pengeroyoknya. Dan memang, Limbong dan empat kawannya tel ah mulai bergerak
menyebar. Jelas, mereka bermaksud menyerang Dewa Arak dari berbagai
penjuru." Sing, wuk, wunggg!
Begitu berhasil mengurung Dewa Arak, kelima orang itu memutar
senjata mereka yang tel ah tergenggam di tangan. Sementara Dewa Arak
masih berrangan kosong.
"Haaat..!"
Didahului teriakan melengking nyaring yang menggetarkan tempat
itu, Limbong yang berada di depan Dewa Arak mulai membuka serangan.
Tombak yang berujung mat a golok dibolang-balingkan di depan dada
hingga lenyap bentuknya. Dan di saat senjata itu sudah tidak terlihat lagi,
secara tidak terduga-duga ditusukkan ke arah perut Dewa Arak.
Wukkk! Memang bagi mata Limbong dan rekan-rekannya tombak itu tidak
terlihat lagi. Tapi tidak demikian dengan Dewa Arak. Secara jel as sekali,
dia dapat melihat senjata itu. Bahkan, ketika ditusukkan ke arahnya.
Karena itu, Arya tidak mengalami kesulitan sedikit pun untuk
mengelakkannya. Hanya dengan mendoyongkan tubuh ke kiri, dia telah
membuat tombak itu meluncur lewat di sebelah kanan pinggangnya.
Namun belum sempat Dewa Arak melancarkan serangan balasan,
serangan dari lelaki bermata pi cak t elah meluncur. Rupanya, di saat
serangan Limbong datang, dia pun mengirimkan serangan pula. Akibatnya,
begitu serangan Limbong gagal serangannya meluncur datang.
Bahkan, bila diperbandingkan, serangan yang dikirimkan lelaki
bermata pi cak jauh l ebih berbahaya. Golok besar yang menj adi senjata
andalannya diayunkan deras ke arah leher Dewa Arak dengan mendatar.
Padahal, lelaki bermata picak itu melakukan serangan dari belakang! Bila
mengenai sas aran, sudah dapat dipastikan kepala Dewa Arak akan terpisah
dari tubuhnya. Tapi lagi-lagi Dewa Arak tidak mengalami kesulitan mengelakkan
serangan itu. Tubuhnya agak dibungkukkan ke depan sehingga babatan
lelaki bermata picak hanya menyabet angin, beberapa j ari di atas kepala
Dewa Arak. Dan kejadian sdanjutnya pun berulang. Sebelum Dewa Arak
sempat berbuat sesuatu, serangan lainnya datang bertubi-tubi bagai
gelombang lautan. Meskipun demikian, semua dapat dipunahkan Dewa
Arak. Memang, dengan tingkat ilmu meringankan tubuh yang berada jauh
di atas lawan, tidak sulit bagi Dewa Arak untuk mengel akkan serangan
lawan. Sampai sekian jauh hanya mengelak yang dapat dilakukan Dewa
Arak. Sebab, kelima lawannya tidak memberikan kesempatan sedikit pun
untuk melancarkan s erangan balasan. Mereka melancarkan serangan silih
berganti. Tapi sampai sepuluh jurus berl angsung tak satu pun dari serangan
itu yang mengenai sasaran. Karuan saja kenyataan itu semakin membuat
Libong dan kawan-kawannya penas aran! Sebagai akibatnya, serangan yang
mereka lancarkan semakin dahsyat. Namun, semua itu tet ap saja dapat
dipunahkan Dewa Arak.
Kejadian itu tidak lepas dari pengamatan Sukrasana. Diam-diam
dia terkejut bukan main. Lelaki itu tahu betul tingkat kepandaian Limbong
dan empat rekannya. Diakui kepandaian mereka di bawahnya. Tapi, untuk
menghadapi keroyokan mereka, dia tidak akan mampu. Apalagi dengan
menggendong bayi seperti yang dilakukan Dewa Arak.
Dari kenyat aan itu saja dia bisa memperkirakan kalau tingkat
kepandai an Dewa Arak berada di atasnya. Dan hal ini membuatnya
khawatir. Tapi meskipun demikian, Sukrasana tidak mau segera bertindak.
Dia mengambil keputusan untuk melihat perkembangan selanjutnya.
5 Di kancah pertarungan Dewa Arak mulai menyadari keadaannya
yang tidak menguntungkan. Dia tahu kalau keadaan terus seperti ini
akhirnya dia akan roboh di tangan lawan-l awannya. Untuk mencegah hal
itu, tentu saja Dewa Arak harus membebaskan diri dari kepungan lawan.
Dan hal itu yang akan dilakukannya.
Begitu menginjak jurus ketiga belas, Dewa Arak melaksanakan
rencananya. Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh yang berada
jauh di atas lawan-lawannya.
"Hih!"
Pemuda berambut putih keperakan itu menjejakkan kaki. Sesaat
kemudian tubuhnya melesat ke atas. Di udara dia bersalto beberapa kali
sebelum mendaratkan kedua kakinya di tanah.
"Mau lari ke mana, Keparat"! Jangan harap dapat lolos dari kami!"
seru Limbong keras ketika melihat Dewa Arak t elah berada di luar
kepungan. Seiring keluarnya ucapan itu, Limbong meluruk ke arah Dewa
Arak. Tindakan yang dilakukan Limbong segera diikuti rekan-rekannya.
Tapi kali ini Dewa Arak tidak tinggal diam. Meskipun hanya
menggunakan s ebelah t angan, pemuda itu tidak mengalami kesulitan untuk
mempergunakan ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga' dan ilmu 'Delapan
Cara Menaklukkan Harimau', yang diwarisi dari ayahnya (Untuk lebih
jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode perdananya, 'Pedang
Bintang').Memang, bagi orang yang memiliki tingkat kepandaian seperti
Dewa Arak, bukan hal yang sulit mengadakan perubahan sedikit pada
ilmunya sesuai dengan keadaan. Meski tidak dapat dipungkiri, dengan
penggunaan s ebelah tangan ada pengurangan dalam kedahsyatan ilmu-ilmu
itu. Limbong dan kawan-kawannya langsung tercekat melihat Arya
memberikan perlawanan. Mereka bagai tengah menggempur ombak sebesar
bukit. Ada dorongan yang amat keras ketika Arya menggerakkan tangan.
Dorongan yang mampu membuat tubuh mereka terlempar laksana terlanda
badai. Untungnya, Limbong dan rekan-rekannya bukan orang yang
memiliki tenaga dalam rendah. Kalau tidak, sejak tadi tubuh mereka sudah
terlempar. Kelima orang ini mampu bertahan.
Tak terasa empat puluh jurus telah berlalu. Dan sel ama itu,
Limbong dan kawan-kawannya belum mampu mendesak Dewa Arak.
Pemuda berambut putih keperakan itu terlalu tangguh untuk dapat didesak.
Meskipun demikian, mereka tidak putus as a. Kelima orang itu terus
berusaha keras.
Mereka tampaknya tidak tahu kalau Dewa Arak telah bersikap
mengalah. Di samping pemuda itu hanya menggunakan ilmu 'Sepasang
Tangan Penakluk Naga' dan 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau',
kemampuan kedua ilmu itu pun tidak sepenuhnya dikeluarkan. Sebab,
Dewa Arak yakin keenam orang ini tidak bermaksud jahat. Mereka hanya
salah paham saja.
Tapi ketika menginjak jurus kelima puluh, tidak ada tanda-tanda
lawannya menyadari sikapnya itu, Dewa Arak jadi kehilangan kesabaran.
Diputuskannya untuk memberi sedikit pelajaran agar mereka mengerti. Dan
tindakan itu segera dilakukan Dewa Arak pada jurus kelima puluh lima.
Limbong dan kawan-kawannya kel abakan ketika lawan yang mereka hadapi
tahu-tahu lenyap dari pandangan. Entah bagaimana terj adinya, mereka tidak
tahu. Sebelum rasa kaget itu sirna, tangan mereka yang menggenggam
senjata mendadak lemas. Mereka tidak tahu kalau dengan ilmu meringankan
tubuhnya Dewa Arak mengelakkan setiap s erangan, kemudian menotok
bagian bel akang sikut. Totokan inilah yang menjadikan tangan mereka
lumpuh sejenak!
Ketika akhirnya Dewa Arak berdiri di tengah-tengah kepungan
lagi, di tangan pemuda berambut putih keperakan itu tergenggam beraneka
ragam senjata. "Bagaimana"! Masih ingin melanjutkan pertarungan"!" tanya
Dewa Arak seraya mengacungkan senj ata-senj ata itu tinggi-tinggi.
Kemudian, dilemparkannya secara sembarangan di tanah.
Kenyataan ini mengejutkan Limbong dan kawan-kawannya. Tapi,
hal itu tidak membuat mereka mengerti dan menyerah. Bagai diberi
perintah, mereka menerjang Dewa Arak secara bersamaan.
Sekarang kes abaran Dewa Arak benar-benar habis. Tampaknya,
orang-orang seperti Limbong dan empat kawannya tidak dapat diperlakukan


Dewa Arak 59 Titipan Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan lembut. Mereka tidak akan pernah bisa mengerti. Hanya kekalahan
secara telak yang dapat menyadarkan mereka. Maka, Dewa Arak pun memutuskan
untuk melakukan hal itu.
*** Buk, buk, bukkk!
Pukulan-pukulan yang dilancarkan Limbong dan kawan-kawannya
mendarat dengan t elak di sas aran yang dituju. Keberhasilan ini membuat
hati mereka gembira. Sudah terbayang di benak kelima orang itu pemuda
berambut putih keperakan ini akan roboh ke tanah. Setidak-tidaknya akan
menjerit-jerit kesakitan.
Tapi kenyataan yang terj adi benar-benar mengejutkan mereka.
Tubuh Dewa Arak tidak bergeming sekalipun serangan-serangan itu
mendarat di berbagai bagian tubuhnya. Yang lebih mengejut kan, tangan
yang telah mengenai tubuh Dewa Arak menempel! Tidak bisa ditarik
kembali! Limbong dan kawan-kawannya t erkejut bukan main. Tapi mereka
tidak menyerah begitu saja. Seluruh tenaga yang dimiliki dikerahkan untuk
menarik tangan mereka dari tubuh Dewa Arak.
Tindakan kelima orang itu ternyata si a-sia. Tangan mereka seperti
berakar di tubuh Arya. Melekat erat! Limbong dan keempat kawannya
tampak kalap. Apalagi ketika menyadari tenaga mereka mulai tersedot,
seperti masuk ke dalam tubuh Dewa Arak!
Tapi, mereka bukan orang bodoh. Mereka tahu kal au dibiarkan
tenaga dalam mereka akan tersedot semua. Dengan sebisanya mereka
melakukan berbagai macam tindakan. Tanpa pikir panjang lagi, tangan yang
masih bebas dipukulkan ke berbagai bagi an tubuh Dewa Arak, terutama
pada tempat-tempat yang lemah. Pelipis, ulu hati, leher, dan ubun-ubun.
Tentu saja Arya tidak membiarkan bagian-bagian itu t erpukul.
Dengan mengegoskan tubuh, dia berhasil membuat serangan-serangan
lawan mendarat di sasaran yang salah.
Bukkk! Bukkk! "Akh, akh...!"
Limbong dan kawan-kawannya menjerit kaget. Tangan yang lain
pun melekat di tubuh Dewa Arak. Dan, kejadian yang menimpa tangan
sebelumnya berulang. Hingga, tenaga yang ters edot ke tubuh Dewa Arak
mengalir jauh lebih banyak
Hanya dalam waktu singkat wajah kelima rekan Sukrasana telah
memucat. Mereka terlihat l emah s ekali. Melihat hal itu, Dewa Arak
menghentikan tindakannya. Seketika itu pula tubuh Limbong dan t emantemannya
ambruk ke tanah.
Semua kejadian itu tidak lepas dari perhatian Sukrasana. Tanpa
mencoba lagi pun lel aki berpakaian indah itu tahu kalau Dewa Arak terlalu
tangguh untuk dihadapinya. Maka, dia tidak mau bertindak bodoh.
Melakukan tindak kekerasan terhadap pemuda itu merupakan perbuatan
bodoh. "Kuakui kami tidak dapat memenuhi perintah ketua. Kami telah
gagal. Kau menang, Kis anak. Tapi ingat, ini tidak berarti tindakan kami
berhenti sampai di sini. Sampai ke mana pun selama bayi itu berada di
tanganmu, pihak kami akan mengejarmu," ucap Sukrasana mengancam.
"Mungkin perlu kau tahu, Kisanak. Ketua kami adal ah kakek bayi itu.
Karena ibu bayi itu putrinya. Dia tinggal di perguruan kami!"
Tentu saja Sukrasana s alah kalau menganggap Dewa Arak merasa
gentar karena ancamannya. Bahkan, pemuda berambut putih keperakan itu
menyunggingkan senyum lebar.
"Bukannya bermaksud menyombongkan diri, Kisanak. Tapi
percayalah, selama nyawaku masih ada tak akan kuberikan bayi ini pada
siapa pun. Pantang bagiku mengingkari amanat orang yang telah meninggal.
Apa pun yang terjadi, bayi ini harus tiba di tangan orang yang berhak."
Usai berkata demikian, Dewa Arak menghentakkan tangan
kanannya ke depan.
Wusss! Brakkk! Bunyi riuh rendah seketika terdengar. Angin keras yang keluar dari
tangan Dewa Arak menghantam sebat ang pohon hingga hancur berantakan.
Tidak hanya sekali hal itu dilakukan, tapi berkali-kali.
Tindakan itu dilakukannya untuk membuang tenaga-t enaga yang
tadi masuk ke dalam tubuhnya. Tenaga-tenaga itu berkeliaran ke berbagai
bagian tubuh Arya. Kalau dibiarkan, tenaga liar itu akan berbahaya. Dewa
Arak kemudian memutuskan untuk membuangnya.
Tindakan Dewa Arak membuat Sukrasana terpaksa menunda
ucapannya. Dengan tidak sabar ditunggunya hingga pemuda berambut putih
keperakan itu rnenyelesaikan perbuat annya.
"Siapa yang kau maksud dengan orang yang berhak itu, Kisanak"!"
tanya Sukrasana penasaran.
"Ayah bayi ini," jawab Dewa Arak singkat.
"Ayah bayi itu"!" sepasang alis Sukrasana berkerut dal am. "Siapa
yang kau maksudkan"!"
"Jayeng Kertacundraka. Saudagar di Desa Bonggol," jawab Dewa
Arak mantap. "Gila! Apakah aku tidak salah dengar"! Kau ini orang pintar yang
berpura-pura bodoh. Atau memang kau telah diperalat orang-orang yang
tidak bermaksud baik"!"
"Apa maksudmu, Kisanak"!" tanya Dewa Arak ingin tahu.
Pernyataan Sukras ana membuat pikirannya agak terbuka.
Sekarang, berbagai pertanyaan bergayut di benak Dewa Arak.
Benarkah bayi yang dititipkan orang yang mengaku bernama Andiningsih
itu putra Jayeng Kertacundraka" Mungkinkah cerita Andi ningsih hanya
bualan belaka" Barangkali saja bayi ini hasil culikannya" Tapi, bukankah
telah jelas kalau Sukrasana dan rombongannya pengejar-pengejar
Andiningsih"
"Jadi kau masih belum mengerti, Kisanak"! Bayi itu adalah cucu
ketua perkumpulan kami. Andiningsih sengaja menculiknya untuk diberikan
Iblis Sungai Telaga 1 Gento Guyon 12 Ki Anjeng Laknat Pengelana Rimba Persilatan 14

Cari Blog Ini