Ceritasilat Novel Online

Bandar Hantu Malam 2

Pendekar Mabuk 028 Bandar Hantu Malam Bagian 2


menyimpan perasaan takut ketika
didatangi Suto.
"Baru menjelang petang kenapa sudah mau tutup, Pak Tua"!" tanya Suto sebagai
teguran ramah kepada lelaki berusia sekitar enam puluh tahun itu. Senyum Ki
Rosowelas menjadi kaku. Pandangan matanya penuh
selidik. Suto tahu ia dipandang dengan curiga, tapi Suto tidak merasa
tersinggung, hanya merasa heran dan
menjadi penasaran.
Ki Rosowelas mencoba bicara seramah mungkin,
"Anu... maaf, Nak. Saya tidak berani buka sampai
malam hari. Hmm... maklum, sedang tidak aman."
"Tidak aman bagaimana" Maukah kaujelaskan
padaku, Pak Tua?"
Ki Rosowelas tampak bimbang, membuat Suto perlu
yakinkan diri sebagai orang yang tak perlu dicurigai dan ditakuti.
"Aku hanya ingin beristirahat sebentar sambil
mengisi bumbung tuakku. Jangan takut, aku bukan orang
jahat seperti kecurigaanmu, Pak Tua."
Karena tutur katanya sopan dan wajah Suto tidak
kelihatan bengis, maka Ki Rosowelas
pun mempersilakan Suto untuk masuk ke kedainya. Kedai itu
tidak ditutup semua, melainkan disisakan satu pintu
untuk keluarnya Suto nanti. Selain mengisi bumbung
tuaknya, Suto juga memesan secangkir tuak untuk
diminumnya di situ. Dua potong ketan bakar dinikmati
pula sebagai pengisi perutnya. Ki Rosowelas menemani
Suto dengan ikut menikmati secangkir tuak pula.
Seorang gadis manis berkulit hitam segera bergegas
ke belakang setelah menyerahkan tuak untuk diisikan ke bumbung bambu itu oleh
Suto. Gadis manis berusia
sekitar dua puluh tahun itu adalah anak tunggal Ki
Rosowelas yang terlambat lahir. Gadis itu bernama
Sunari, yang lahir pada saat Ki Rosowelas sudah berusia empat puluh tahun.
Mulanya Ki Rosowelas dan
mendiang istrinya merasa tidak akan punya keturunan,
karena sudah bertahun-tahun hidup berumah tangga tapi
tidak pernah mempunyai anak. Ketika mereka sudah
berusia separo baya, sang istri justru hamil. Tapi sayang sang istri harus
meninggalkan bayi dan suaminya untuk
menghadap Yang Maha Kuasa saat melahirkan Sundari.
Ki Rosowelas tampak menyimpan keharuan saat
menceritakan hal itu kepada Suto Sinting. Suto pun tak tega melihat wajah tua
itu menyimpan duka karena
kenangan lama. Maka Suto segera alihkan pembicaraan
ke masalah lain.
"Ki Rosowelas belum ceritakan padaku apa yang
membuat Ki Rosowelas mengatakan keadaan di sini
sedang tidak aman tadi?"
"O, itu...?" Ki Rosowelas terkekeh lirih. "Biasa, Nak.
Di mana-mana selalu ada orang jahat. Tidak di kota,
tidak di desa, orang jahat bagaikan disebarkan oleh raja iblis untuk membuat
keonaran, membenci kedamaian,
mengacaukan ketenangan. Begitu pula dengan desa
Pucangan ini, Nak," kata Ki Rosowelas sambil melinting tembakau. Pada masa itu
masih jarang orang melinting
tembakau. Umumnya tembakau digunakan untuk
campuran sirih, baik lelaki maupun wanita. Orang
menggunakan tembakau sebagai rokok hanya apabila
mempunyai pipa cangklong, dan hal itu hanya dilakukan
oleh para bangsawan atau tokoh tua seperti Tabib Awan
Putih. Umumnya tembakau yang dihisap sebagai rokok
menggunakan campuran madat. Tapi Ki Rosowelas
tidak demikian, ia melinting tembakau untuk dijadikan
rokok yang bagi Suto merupakan pemandangan yang
aneh. Tak heran jika sejak tadi Suto mengikuti gerakan jari melinting tembakau,
dan tersenyum kagum melihat
Ki Rosowelas menghisap tembakau itu.
"Sudah dua hari ini desa kami dikacaukan oleh
kehadiran bayangan hitam yang menculik pemuda desa.
Ia melumpuhkan seorang pemuda yang tampak bertubuh
kekar, lalu membawanya lari entah ke mana. Dalam dua
hari ini, sudah dua pemuda yang hilang pada malam
hari. Beberapa keluarga mereka melihat sendiri pemuda
tersebut dilarikan oleh orang berpakaian serba hitam,
wajahnya tertutup kain hitam sampai hanya kelihatan
bagian matanya saja."
"Apakah tak ada yang berusaha mencegah atau
melawan bayangan hitam itu?"
Ki Rosowelas gelengkan kepala. "Tak ada yang
berani mencobanya, karena bayangan itu bergerak
dengan cepat bagaikan kilat."
"Apakah ada korban nyawa?"
"Tidak ada. Tapi penduduk desa menjadi selalu
ketakutan jika malam tiba. Tak ada kedai atau rumah
yang masih buka pintunya jika petang tiba. Itulah
sebabnya aku tadi buru-buru menutup kedai karena takut disambangi bayangan hitam
yang tak diketahui dari
mana asalnya."
Pendekar Mabuk meneguk tuak dalam cangkir
keramik kasar. Ki Rosowelas juga ikut meneguk
tuaknya. Setelah itu ia berkata dengan suara pelan
bagaikan takut didengar orang lain.
"Terus terang saja, ada beberapa orang yang curiga pada tokoh sakti yang
bermukim di Gunung Keong
Langit itu."
"Bandar Hantu Malam maksudmu, Ki?"
"Ya. Kau mengenalnya"!" Ki Rosowelas sedikit terperanjat dan cepat memandang
Pendekar Mabuk.
"Aku hanya mengenal namanya saja, belum pernah
jumpa orangnya."
"Para sesepuh di sini ada yang mengetahui riwayat hidup Bandar Hantu Malam
semasa orang itu masih
muda. Tapi menurut para sesepuh, Bandar Hantu Malam
sudah tidak seganas dulu. Sejak mempunyai istri, dia
menjadi orang bijak dan suka menolong kepada siapa
saja yang membutuhkan bantuannya. Para sesepuh pun
mempunyai praduga, barangkali karena tidak beristri lagi maka Bandar Hantu Malam
kembali ganas dan suka
membuat kekacauan. Tapi beberapa sesepuh juga
menyangsikan hal itu, karena Bandar Hantu Malam
sudah beberapa kali menyelamatkan desa ini dari
gangguan siapa saja."
"Lalu mengapa sekarang dia tidak menyelamatkan
desa ini dari gangguan yang kau sebut bayangan hitam
itu tadi, Ki?"
"Justru itulah yang dipertanyakan oleh para sesepuh di desa Pucangan ini, Suto.
Maka timbul dua pendapat,
mungkin Bandar Hantu Malam belum mendengar
peristiwa yang menakutkan penduduk desa ini, mungkin
juga dialah pelaku sebenarnya. Semuanya belum bisa
jelas." Pendekar Mabuk manggut-manggut. Hatinya berkata,
"Jika benar bayangan hitam itu adalah Bandar Hantu Malam, maka suatu hal yang
sangat kebetulan bagiku,
tak perlu harus mendaki ke lereng gunung itu. Ada
baiknya kalau malam ini aku bermalam di desa ini
sambil menunggu kemunculan bayangan hitam itu.
Tapi..., apakah Ki Rosowelas dan yang lainnya tidak
akan curiga kepadaku" Nanti jangan-jangan malah aku
sendiri yang disangka orang berpakaian serba hitam
itu?" Maka, pendekar tampan yang ternyata sejak tadi
diintip oleh Sundari dari celah pintu dapur itu, mencoba mengutarakan maksudnya
kepada Pak Tua pemilik kedai
tersebut. "Apakah kau menyediakan kamar untuk penginapan,
Ki?" "Tidak. Maksudmu bagaimana, Suto?"
"Kalau ada kamar, aku akan bermalam di sini. Aku ingin tahu siapa bayangan hitam
itu. Karena..., terus
terang saja, kedatanganku kemari adalah dalam
perjalanan menemui Bandar Hantu Malam."
"Hahh..."!" Ki Rosowelas terkejut. Suto memang tidak jelaskan pokok masalah
sebenarnya agar tak
mengundang perhatian terlalu besar bagi si pemilik
kedai itu. Suto hanya berkata,
"Aku punya sedikit urusan dengan Bandar Hantu
Malam dan harus segera kuselesaikan. Jika bayangan
hitam itu memang Bandar Hantu Malam, berarti aku tak
perlu susah-susah mendaki Gunung Keong Langit. Jika
memang bukan dia, maka kita semua akan tahu siapa
sebenarnya bayangan hitam itu."
"Tapi dia berbahaya, Suto. Bayangan hitam itu, baik dia adalah Bandar Hantu
Malam atau bukan, tapi dilihat dari gerakan cepatnya, jelas dia orang berilmu
tinggi. Kau bisa celaka jika melawannya."
"Kau tak perlu takut, Ki Rosowelas. Bukankah
bayangan hitam tidak mau membunuh, dan sejak dua
hari ini tidak ada korban nyawa?"
"Memang. Tapi hal itu dikarenakan tidak ada orang yang berani menghalanginya
Jika ada yang nekat
menghalanginya, tentunya dia tidak akan segan-segan
melenyapkan nyawa orang itu."
"Aku hanya ingin mengetahui siapa dia sebenarnya.
Mungkin tidak harus menghadapi dia. Aku bisa lakukan
dengan sembunyi-sembunyi," kata Suto dengan berbisik.
"Kalau kau punya kamar, aku akan menyewanya untuk satu malam saja."
Ki Rosowelas menatap Suto mencoba mempalajari
siapa diri anak muda itu. Lewat pancaran mata tajam tapi bersuasana lembut,
lewat kegagahan dan ketegapan
tubuh Suto, lewat cara meminum tuak dengan santai
tanpa mabuk, Ki Rosowelas mulai punya kesimpulan,
bahwa anak muda yang dihadapi setidaknya punya ilmu
yang lumayan tinggi. Setidaknya ilmu untuk melarikan
diri dari kejaran lawan dimiliki oleh Suto. Kecemasan Ki Rosowelas terhadap
bahaya yang akan mencelakakan
Suto mulai berkurang.
"Jika ia berani bertekad menemui Bandar Hantu
Malam sendirian seperti saat ini, tentunya ia punya
landasan ilmu cukup kuat. Orang berilmu ringan tak
akan berani punya tekad temui Bandar Hantu Malam di
puncak Gunung Keong Langit itu!" pikir Ki Rosowelas yang akhirnya memanggil
Sundari dan menyuruhnya
mempersiapkan kamar untuk Pendekar Mabuk.
"Kau tidur bersamaku saja," kata sang Ayah kapada putrinya. "Biar tamu kita ini
tidur di kamarmu untuk semalam."
"Terserah apa putusanmu, Pak. Aku ikut saja," jawab Sundari sambil tampak
tersipu dan tak berani terang-terangan pandangi Suto Sinting. Namun dalam hati
gadis itu sempat berkata, "Alangkah bangganya, alangkah senang hatiku jika
mempunyai kekasih seperti si tampan ini. Hmm... hatiku sejak tadi berdebar-debar
jika kebetulan beradu pandang dengannya. Daya tarik yang
dimilikinya sangat besar. Aku jadi tak sabar dan ingin bicara berduaan
dengannya."
Di dalam kamar yang disewanya itu, Suto Sinting
sengaja baringkan badan di atas dipan beralaskan kain
penutup kapas sebagai ganti kasur. Kedua tangannya
direntangkan, ditindih dengan kepala. Ia sengaja
menunggu malam kian kelam, setelah itu baru bergerak
memeriksa keadaan desa.
"Kuharap orang yang disebut-sebut sebagai bayangan hitam itu memang benar Bandar
Hantu Malam. Aku
harus segera bereskan orang itu dan cepat kembali
kepada Ratu Asmaradani. Jika orang itu bukan Bandar
Hantu Malam, akan kugunakan untuk memancing
Bandar Hantu Malam supaya turun gunung dan temui
aku di sini. Dengan begitu aku tak perlu susah payah
mendaki gunung."
Selagi asyik berkecamuk sendiri dalam hatinya, tibatiba Suto mendengar suara ketukan pintu kamarnya.
Ketukan itu pelan sekali. Suto sudah dapat menduga
siapa yang punya ketukan selembut itu. Maka ia sudah
siap dengan senyum ramah di bibirnya ketika bergegas
membukakan pintu kamar.
"Sundari?" sapanya pelan.
"Ssst...!" Sundari menempalkan jarinya di bibir, memberi isyarat agar Suto
mengurangi suaranya. "Bapak sedang tidur, jangan keras-keras bicaramu, nanti
Bapak tahu kalau aku kemari."
"Ada apa kau datang kemari?"
"Mengapa kau tanyakan hal itu" Apakah kau belum
tahu bahwa kamar ini sebenarnya kamarku?"
"Ya, aku tahu," jawab Suto yang akhirnya tak bisa mencegah gadis itu menyusup
masuk ke dalam. "Tapi apakah kau lupa bahwa kamar ini sedang disewa untuk
satu malam?"
"Aku tidak lupa. Tapi ketahuilah, bahwa aku tak bisa tidur jika tidak di dalam
kamarku sendiri."
"Kenapa begitu?"
"Jiwaku dengan kamar ini telah menyatu."
"Kalau begitu aku akan tidur di luar saja. Di bangku kedai."
"Kalau kau mau, siiakan ke sana. Uang sewa mu bisa kukembalikan. Tapi perlu kau
ketahui juga, aku datang kemari ada yang ingin kubicarakan denganmu Suto. Ini
menyangkut masalah keselamatanmu."
"Apa makaudmu?" Suto Sinting akhirnya duduk di tepian dipan.
Gadis berkulit hitam manis dengan senyum yang juga
manis itu, kini ikut duduk di tepian dipan. Jaraknya
kurang dari satu jangkauan dari Suto. Ia beranikan diri menatap Suto beberapa
saat, seakan memanfaatkan
waktu untuk menikmati ketampanan Suto dan menikmati
debar-debar indah di hatinya.
"Apa yang ingin kau katakan?" tegur Suto merasa tak enak dipandangi terusterusan, ia sempat meneguk tuak
dari cangkir yang dibawanya dari kedai ke kamar. Tuak
di cangkir itu adalah tuak yang kelima kalinya. Sundari menyimpan perasaan heran
melihat Suto kuat minum
sampai lima cangkir tanpa mabuk sedikit pun.
Gadis itu berkata pelan, "Kudengar kau mau hadapi bayangan hitam itu?"
"Dari siapa kau mendengarnya?"
"Cerita Bapak di kamar tadi."


Pendekar Mabuk 028 Bandar Hantu Malam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suto tersenyum tipis, "Tak salah pendengaranmu itu."
"Kalau boleh kuingatkan, jangan lakukan hal itu."
"Kenapa?"
'Sangat berbahaya. Kau bisa mati."
"O, ya?" Suto Sinting tertawa kecil, berkesan meremehkan peringatan itu. "Apakah
kau yakin aku akan mati jika berhadapan dengan bayangan hitam itu"'
"Ya. Sebab dia orang sakti, ilmunya tinggi dan keji.
Tak kenal ampun!"
"Dari mana kau tahu bahwa dia berilmu tinggi?"
"Karena akulah orang itu!"
Suto Sinting terkejut, tangannya melayang cepat
menampar wajah Sundari.
Plook...! "Ooh...!" Sundari tersentak dan jatuh ke dipan karena
tamparan itu. Ia menyeringai kesakitan sambil
mengusap-usap pipinya, wajahnya memerah, bibirnya
digigit menahan sakit yang membuatnya mau menangis.
Suto Sinting memandang dengan penuh sesal.
"Untung hanya sebuah tamparan," kata Suto dalam hati.
"Jika memang dia berilmu tinggi tentunya dia sangat mudah menangkis gerakan
tanganku dalam menampar
tadi. Jika ia berlimu tinggi, tak mungkin pipinya menjadi merah, karena
tamparanku tak begitu keras untuk ukuran orang berilmu tinggi. Aku tak percaya
kalau dia adalah bayangan hitam."
"Kau kasar sekali, Suto," ucapnya dengan suara bergetar karena menahan tangis.
Suto Sinting tarik napas panjang-panjang jauhi dipan.
"Untuk apa kau membohongiku, Sundari" Aku tahu
bukan kau orang yang disebut-sebut sebagai bayangan
hitam itu."
"Memang aku orangnya!" Sundari cemberut. "Karena itu, kuharap kau jangan hadapi
dia karena itu sama saja kau berhadapan denganku dan aku tak tega jika harus
membunuhmu."
Suto Sinting sunggingkan senyum tak percaya.
"Kalau memang kau bayangan hitam yang dikatakan
sakti dan mampu bergerak secepat kilat hingga seperti
bayangan lewat, maka kau pasti akan mampu menangkis
gerakan tanganku tadi. Ternyata kau tidak mampu
menangkisnya, itu berarti kau tidak punya gerak firasat, sebagaimana yang
dimiliki oleh para tokoh berilmu
tinggi. Pipimu tak akan merah, karena tamparanku tadi
belum apa-apa untuk ukuran orang berilmu tinggi,
Sundari." Gadis itu diam, masih cemberut dan mengusap-usap
pipi dengan memandang ke arah lain. Suto Sinting
kembali dekati Sundari, ia sedikit membungkuk ketika
berkata dengan nada suara pelan,
"Apa makaudmu menipuku, Sundari" Apa maksudmu
mengaku-aku sebagai bayangan hitam itu"!"
Sundari masih diam cemberut. Suto Sinting meraih
dagu gadis desa itu. Pelan-pelan sekali dagu itu diputar hingga matanya saling
pandang. Wajah manis itu sedikit mendongak dalam menatap Suto, dan Suto
mengulangi pertanyaannya tadi.
"Apa maksudnya, jelaskan!"
"Karena... karena aku takut kau celaka."
"Mengapa kau takut aku celaka?" desak Suto.
"Entahlah. Pokoknya aku takut kau celaka dan mati.
Aku tak ingin kau mengalami nasib seperti itu.
Karenanya aku mengaku sebagai bayangan hitam,
supaya kau tak jadi temui dia malam ini."
Suto tersenyum, kali ini berkesan ramah, ia mulai
tahu perasaan Sundari. Ada rasa suka yang disimpan di
hati gadis itu. Ada rasa cemas di sana. Sebab jika Suto sampai mati, sama saja
harapan untuk dapat lebih dekat dengan Suto ikut mati juga. Rupanya gadia itu
tak ingin kehilangan harapan.
"Apakah malam ini bayangan hitam akan muncul
lagi?" tanya Suto.
"Aku tak tahu. Tapi menurut dugaanku, juga dugaan
beberapa orang, ia akan muncui lagi untuk menculik
seorang pemuda. Aku sangat takut, karena di sini
sekarang ada seorang pemuda tampan yang
menggetarkan hatiku. Aku takut pemuda tamuku akan
diculiknya. Kuharap kau tidak keluar rumah, Suto."
"Baiklah," jawab Suto sambil hempaskan napas.
"Aku akan turuti kemauanmu. Sekarang cepatlah
kembali ke kamar bersama bapakmu, supaya
kehadiranmu di sini tidak dicurigai. Aku tak enak kalau dinilai buruk olehnya
karena dugaan yang bukan-bukan
terhadap diri kita berdua."
"Apakah... apakah kau tidak suka kalau aku
menemanimu di kamar ini?"
"Aku tidak akan bisa tidur jika ditemani seorang
gadis secantik dirimu," jawab Suto.
"Mengapa kau justru tak bisa tidur?"
"Hanya lelaki bodoh yang tidur dengan nyenyak jika ada teman wanita cantik di
sampingnya. Umumnya
lelaki akan sulit tidur jika ditemani wanita cantik, karena tangannya pasti akan
punya kesibukan sendiri sampai
pagi." Sundari tersenyum malu, karena gadis itu tahu
maksud Suto Sinting. Ia bahkan mengatakan,
"Kesibukan itu kutunggu sejak lama. Aku ingin
bersuami. Tapi tak pernah tertarik dengan lelaki mana pun. Sekarang aku punya
rasa tertarik. Kurasa jika
tanganmu sibuk lakukan pekerjaan aku tak akan
menolak." "Semudah itukah kau serahkan dirimu kepada orang
yang baru dikenal?"
Wajah Sundari cepat-cepat berubah menjadi merah
jambu karena menahan malu. Ia menyesal dalam hati,
"Seharusnya aku tidak berkata begitu. Seharusnya aku tidak boleh bersikap
mengejar. Aku pasti dinilai sebagai gadis desa yang murahan. Ah, tak enak
jadinya. Sebaiknya aku segera kembali ke kamar Bapak saja, biar penilaian buruknya
terhadapku hilang."
Sebenarnya kenyataan di hati Sundari memang
demikian, ingin punya pendamping hidup, tapi tidak
pernah tertarik dengan pemuda desanya, ia sering
menolak rayuan pemuda desanya, ia bahkan pernah
mengubur hasratnya untuk bersuami. Tapi ketika melihat Suto Sinting, hasrat itu
menjadi kambuh kembali.
Akhirnya ia beranikan diri untuk nekat temui Suto,
karena menurutnya kesempatan seperti itu belum tentu
datang lagi jika Suto sudah pergi dan ia terlambat
menjerat hati pemuda itu. Untunglah ia segera sadari
tindakannya tidak sesuai dengan sikap gadis desa pada
umumnya, sehingga ia pun segera kembali ke kamar
ayahnya. Kepergian Sundari membuat Suto lega. Lalu secara
pelan-pelan ia pun keluar dari kamarnya,
menghamburkan diri di tengah kegelapan malam,
menyusuri jalan-jalan sepi dengan gerakan yang
menyelinap dari tempat tersembunyi ke tempat aman
lainnya. Hampir seluruh desa diputari. Tapi Suto tidak
temukan hal-hal yang mencurigakan. Sementara itu
malam semakin kelam dan kesunyian amat mencekam.
Desa itu bagaikan kuburan yang tak berpenghuni
makhluk bernyawa lagi. Tak ada suara apa pun yang bisa didengar oleh Pendekar
Mabuk. "Barangkali bayangan hitam itu tidak muncul pada
malam ini. Ah, sayang sekali jika memang begitu. Mau
tak mau esok aku harus mendaki gunung dan mencari
kediaman Bandar Hantu Malam," pikir Suto yang sudah bertengger di salah satu
pohon tinggi. Sebab dari sana ia bisa memandang keadaan desa dalam keremangan
malam. Angin berhembus ke utara. Awan pun bergerak ke
arah yang sama. Ternyata di balik awan ada rembulan.
Sekalipun tidak penuh dan tampak jauh, tapi cahayanya
cukup membuat malam menjadi pucat. Batu dan
tanaman rumput mulai bisa terlihat. Keadaan remang
membuat Suto merasa senang, karena dengan begitu
matanya dapat memandang sekeliling dengan lebih jelas
lagi. "Hei, ada gerakan di sebelah barat sana" Hmmm...
apa itu" Oh, seseorang melesat menuju sela-sela rumah penduduk" Nah, itu dia!
Bayangan hitam itu akhirnya
datang juga. Aku harus segera mengejarnya ke sana!"
Zlaaap...! Suto pergunakan gerakan peringan tubuh
yang mampu melesat dengan cepat tanpa suara. Dalam
waktu singkat ia tiba di belakang sebuah rumah, tempat bayangan tadi menghilang
di sela-sela dua rumah. Suto
merunduk di balik tanaman singkong yang tingginya
baru sebatas dada manusia dewasa. Matanya
memandang dengan waspada ke berbagai arah.
Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari seberang.
Braaak...! "Aaaa...!" jerit suara wanita. "Lepaskan anakku!
Lepaskan anakku! Tolong...! Tolooong...!" suara wanita yang diperkirakan berusia
separo baya itu kian terdengar jelas. Suto pindah tempat persembunyian, dan di
sana ia melihat sekelebat bayangan yang memanggul sesosok
tubuh di pundaknya.
"Itu dia si bayangan hitam. Pakaiannya memang serba hitam dan... kurasa yang
dipanggul di pundaknya itu
adalah seorang pemuda yang sudah ditotoknya!"
Zlaaap...! Suto Sinting segera mengejar, tak
mempedulikan jeritan minta tolong yang membuat
penduduk desa menjadi bangun dan suasana pun kian
tegang. Bayangan hitam itu memang bergerak dengan
cepat, menandakan ia orang berilmu tinggi. Kecepatan
bayangan hitam itu hampir menyamai kecepatan gerak
Suto Sinting, ia tidak sadar ada orang yang berani
mengejarnya. Bahkan ia menjadi sangat kaget ketika
tahu-tahu bagian atas tubuhnya dilompati oleh seseorang dalam gerakan bersalto
ringan, lalu langkahnya pun
terhadang oleh orang yang melompatinya itu. Jleeg...!
Suto Sinting si Pendekar Mabuk itulah yang
menghadang langkahnya. Mau tak mau bayangan hitam
hentikan langkah. Ia mulai sadar datangnya bahaya. Tak mau menunda waktu lagi
karena takut kepergok
penduduk desa yang terbangun karena jeritan ibu si
pemuda yang dipanggulnya itu, maka tangannya segera
melemparkan sesuatu yang diambil dari balik baju
hitamnya. Slaaap...! Wuuut...! Suto Sinting cepat
hadangkan bumbung tuaknya. Benda yang dilemparkan
itu menghantam bumbung tuak. Traak...! Weesss...!
Benda itu ternyata sebuah pisau kecil yang memantul
balik ke arah pelempamya begitu kenai bumbung
keramat itu. Gerakan pisau yang dua kali lebih cepat dari lemparan pertama
membuat orang yang berpakaian serba
hitam menjadi terkejut, ia segera hindari pisaunya
sendiri. Tapi gerakannya sedikit terlambat. Pisau itu akhirnya menancap di
pinggang kanannya. Jruub...!
"Uuhg...!" ia terpekik dengan suara tertahan.
Melihat lawannya mengejang dengan pegangan pada
sosok di pundaknya melemah, maka Suto pun segera
berkelebat cepat dalam satu lompatan tinggi ke arah
orang berpakaian hitam. Wuuut...! Wees...!
Pemuda yang tertotok jalan darahnya kini sudah
berpindah tangan. Suto Sinting segera membawanya lari
ke jalanan desa menuju rumah penduduk. Di sana Suto
Sinting segera berhenti, meletakkan pemuda itu di tanah, dan menunggu kejaran
orang berpakaian serba hitam.
Dengan menahan sakit karena pisau beracun
menancap di pinggangnya, dan sampai saat itu belum
bisa dicabut karena terlalu menyakitkan, orang
berpakaian mirip ninja itu segera berhenti di depan
Pendekar Mabuk. Napasnya terangah-engah. Ia
bermaksud merebut pemuda yang berhasil diculiknya
itu. Tentunya ia harus merobohkan pemuda tampan yang
ada di depannya.
Maka orang itu pun segera menyerang Suto dengan
lepaskan pukulan tenaga dalam jarak jauh. Ia kibaskan tangannya bagai melempar
sesuatu, dan ternyata
gumpalan api sebesar genggaman tangan melesat cepat
menerjang Suto.
Wuuusss...! Suto menghajar bola api dengan jurus yang
dinamakan 'Pukulan Gegana' pemberian Bidadari Jalang,
Bibi Gurunya itu. Dari dua jari Suto melesat sinar patah-patah warna kuning.
Sinar itu menghantam bola api dan
menimbulkan ledakan yang lebih mengagetkan penduduk desa. Blaaarrr...! Glegeeerrr...!
Ledakan menggema itu hadirkan gelombang hawa
panas yang mampu mengeringkan sebuah pohon dalam
waktu satu helaan napas. Mestinya orang berkerudung
kain hitam itu akan mati kering jika terkena langsung
pukulan tersebut. Tetapi karena gelombang ledakan saja, maka orang itu
terjungkal ke belakang dan berguling-guling hingga tak sengaja kain penutup
kepalanya terlepas. Ketika bangkit dan mencoba berdiri lagi, sinar rembulan menampakkan
wajah cantiknya. Ternyata ia
seorang wanita bermata indah tapi punya kesan jalang.
Usianya diperkirakan sekitar dua puluh tujuh tahun. Dari hidungnya yang bangir
tampak ada cairan merah
mengalir, itulah darah dari luka dalamnya akibat ledakan tadi. Sementara Suto
Sinting sama sekali tidak
terpengaruh oleh ledakan tadi, ia hanya terdesak mundur dua tindak.
Beberapa orang datang membawa obor dari dua arah,
selatan dan timur. Perempuan cantik itu menjadi sangat tegang dan gusar, ia
hanya berkata kepada Pendekar
Mabuk,

Pendekar Mabuk 028 Bandar Hantu Malam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Suatu saat kita akan bertemu, dan akan kubalas
kekalahan ini!"
Beberapa penduduk desa yang sempat melihat raut
wajah wanita itu menjadi tercengang. Salah seorang
menyebut dengan nada heran sekali.
"Nyai Sedah..."!"
Begitu suara orang yang menyebutkan namanya itu
lenyap, Nyai Sedah cepat sentakkan kaki dan pergi
dalam keadaan luka. Ia masih mampu bergerak cepat.
Suto sengaja tidak mau mengejarnya, karena ia hanya
ingin tahu apakah orang itu Bandar Hantu Malam atau
bukan. Ternyata orang itu adalah Nyai Sedah.
"Siapa Nyai Sedah itu"' tanya Suto kepada Ki
Rosowelas yang ternyata ikut hadir dalam kerumunan
tersebut bersama Sundari, anaknya.
"Nyai Sedah adalah mantan istri lurah kami," jawab Ki Rosowelas.
Salah satu orang berambut putih yang usianya
diperkirakan sudah mencapai tujuh puluh tahun itu ikut menimpali jawaban Ki
Rosowelas. "Nyai Sedah adalah wanita yang tak pernah puas
dengan seribu lelaki. Dulu suaminya adalah mantan
lurah kami yang sudah tiada. Dia terusir dari desa ini karena sering mengganggu
para suami, membuat para
istri resah. Mungkin selama tujuh tahun dia menghilang
itu, dia pelajari beberapa ilmu dari seseorang, sehingga ia mampu lebih sakti
dari sebelumnya. Pantas jika ia
menculik para pemuda. Pasti di tempatnya sana
dijadikan pemuas gairahnya."
"Apakah ada hubungannya dengan Bandar Hantu
Malam?" tanya Suto. Tapi orang-orang itu hanya diam dan saling pandang. Lalu, Ki
Rosowelas pun menjawab,
"Bisa jadi... dia adalah murid Bandar Hantu Malam.
Karena di daerah ini hanya ada satu orang sakti, yaitu Bandar Hantu Malam.
Tapi... tapi apakah Bandar Hantu
Malam mau punya murid sesat seperti Nyai Sedah"!" Ki Rosowelas menyanggah
pendapatnya sendiri, sebab
segalanya memang belum jelas tentang keadaan Bandar
Hantu Malam. Bagi Suto, semua itu akan menjadi lebih
jelas jika ia sudah temui Bandar Hantu Malam di puncak Gunung Keong Langit.
* * * 5 SUARA ledakan yang disusul dengan rontoknya
dedaunan hutan membuat langkah Suto Sinting terhenti
di lereng gunung itu. Sebagian daun pohon sempat
merontoki kepala Suto. Sehelai daun diambilnya dari
atas kepala, diperhatikan beberapa saat, lalu dahinya pun berkerut tajam.
"Gila!" gumam Suto setelah mengetahui daun itu ternyata sudah menjadi debu namun
masih membentuk
warna dan serat aslinya. Daun itu hanya ditekan dengan dua jari sudah hancur
dengan sendirinya.
"Tenaga dalam siapa yang sehebat ini" Aku yakin tak jauh dari sini ada
pertarungan hebat. Hmmm...! Aku
mendengar detak jantung di sebelah barat. Aku ingin
tahu siapa pemilik ilmu tenaga dalam yang mampu
membuat daun-daun berubah menjadi debu!" Ia pun
segera melesat ke arah barat.
Alangkah terkejutnya Pendekar Mabuk ketika
mengetahui siapa orang yang bertarung pada saat itu.
Seorang kakek berjubah putih, rambut putih, kumis dan
jenggotnya putih, bertubuh kurus, mengenakan kalung
batu-batuan warna merah kecoklat-coklatan. Suto ingat
lelaki tua itu adalah orang yang dilihatnya melakukan pertarungan di seberang
jurang dengan lawan yang tak
diketahui letak kedudukannya.
"Dia lagi..."!" gumam Suto dalam keheranan.
"Sikapnya masih sama seperti tempo hari. Diam, tenang, berdiri tegak dengan kaki
sedikit renggang, kedua
tangannya terlipat di dada. Oh, benar-benar seorang
tokoh sakti tingkat tinggi yang baru kali ini kulihat begitu tenangnya
menghadapi lawan yang ganas."
Lawan si kakek berjubah putih itu adalah seorang
perempuan tua berusia sekitar tujuh puluh tahun, tapi
masih lincah dan gesit. Nenek itu berjubah merah, kurus, dan kempot. Rambutnya
yang putih digulung menjadi
konde di tengah kepala, ia menggenggam senjata logam
putih mengkilat berbentuk seperti kipas yang bagian
tangannya berlubang untuk tempat jari-jarinya. Piringan
itu punya bagian tepi yang tajam sekali. Lebarnya satu jengkal. Jika dipakai
untuk menebas leher bisa putus
seketika. Tapi agaknya senjata yang mirip kipas rata
pinggirnya itu tidak akan sampai digunakan menebas
seluruh bagian. Suto melihat jurus menggunakan senjata itu sangat sederhana.
Nenek tersebut mencoba menyerang sang kakek
berjubah putih dengan satu lompatan cepat. Tapi tahutahu sang kakek sudah ada di belakangnya tanpa
diketahui gerakannya. Keadaan sang kakek tetap diam
dan melipat tangan di dada. Sedangkan gerakan sang
nenek yang cepat itu menemui tempat kosong. Tapi
ketika ia mengibaskan senjatanya itu, sebuah pohon
besar segera tumbang bagai habis terpotong dengan
senjata amat tajam dan besar. Pohon itu tumbang dalam
keadaan terpotong rata bagian tengahnya. Padahal pohon itu hanya berjarak dua
langkah dari tempat sang nenek
mengibaskan senjatanya.
"Senjata itu tak sampai menyentuh pohon, tapi
kekuatan tenaga tebas yang terpancar dari tepian senjata itu sudah mampu
memotong batang pohon yang
lumayan besar," gumam Suto dalam hati. "Tentunya nenek itu punya ilmu tinggi
yang dapat disalurkan
melalui angin tebasan senjata aneh itu. Tapi gerakan
kakek berjubah putih itu juga sangat hebat. Tak tahu
kapan dan ke mana ia bergerak, tahu-tahu sudah ada di
belakang sang nenek."
Pendekar Mabuk masih tetap diam dari
persembunyiannya. Matanya memandang pertarungan
hebat itu tanpa mau berkedip. Lagi-lagi ia dibuat
tercengang melihat sang nenek lakukan serangan dengan
mengibas-ngibaskan tangannya yang bersenjata.
Gerakannya cepat dan sepertinya tak beraturan. Dari
gerakan tangan ke sana-sini itu memancarlah sinar hijau yang tiada putusnya
hingga menyerupai benang atau tali hijau yang awut-awutan. Tapi dalam sentakan
terakhir, sang nenek putarkan tubuhnya. Wuuusss...! Sinar hijau yang mirip tali
itu berkelebat menjerat tubuh kakek
berjubah putih. Zraab...!
Dalam sekejap tubuh kakek itu telah terjerat kuat oleh tali sinar hijau. Namun
orang berjenggot panjang itu
tetap diam, tetap melipat tangan di dada. Sedangkan
mata Suto memandang kian tegang, tali sinar hijau itu
makin lama makin menjerat kuat, seakan mulai masuk
ke daging tubuh sang kakek.
"Celaka! Kenapa dia diam saja"! Dia bisa terpotong oleh tali sinar itu!" pikir
Suto Sinting mulai tak sabar ingin segera turun ke pertarungan tersebut
Wajah sang kakek mulai merah kebiru-biruan. Seperti
orang tercekik kuat-kuat, sebab tali sinar hijau itu juga ada yang melilit di
lehernya. Agaknya ia sedang
mengimbangi kekuatan tali sinar hijau itu dengan tenaga dalam yang dikerahkan
sekuat tenaga, namun masih
belum berhasil memutuskan atau memecahkan tali sinar
hijau itu. "Hik, hik, hik, hik...!" nenek itu tertawa. "Tak akan mampu kau lakukan! Tak ada
orang yang bisa melawan
jurus 'Tambang Akhirat' milikku itu! Sekarang sudah
waktunya kau modar dengan tubuh terpotong-potong,
Manusia Bodoh! Hik, hik, hik, hik...!"
Hati Pendekar Mabuk menggerutu kesal. "Memang
bodoh kakek itu. Kenapa diam saja" Cepat lakukan
sesuatu"!" Suto Sinting menjadi gemas sendiri.
Sementara itu tali sinar hijau kian menjerat kuat,
sebagian mulai menembus daging tubuh sang kakek
yang kurus itu.
Tiba-tiba nenek berjubah merah itu melompat dengan
satu teriakan nafsu membunuh. "Hiaaaahhh...!"
Melihat keadaan seperti itu, Suto Sinting berani
pastikan sang kakek pasti akan tumbang di tangan sang
nenek, sebab keadaannya tak berdaya menghadapi tali
sinar hijau. Sedangkan sang nenek sudah jelas akan
mengibaskan senjatanya untuk mempercepat
terpotongnya tubuh sang kakek. Maka dengan gerakan
secepat anak panah, Suto Sinting segera melesat dari
persembunyiannya menerjang tubuh sang nenek dari
samping. Bambu bumbung tuak digunakan untuk
menyodok tubuh sang nenek. Wuuuttt...!
Buuuhg...! "Aaahg...!" nenek itu terpekik, terlempar keras dan membentur sebatang pohon
besar akibat terkena sodokan
bambu tuaknya Suto. Jika ia tidak punya ilmu tinggi,
maka ia akan mengalami patah tulang di sekujur
tubuhnya. Dan Suto berani lakukan hal itu karena ia
hanya ingin menahan serangan sang nenek kepada kakek
jubah putih yang sudah tak berdaya itu. Suto berani
lakukan hal itu karena ia tahu sodokan bambunya tidak
akan membuat sang nenek menjadi parah. Sodokan
bambu itu hanya akan membuat tubuh sang nenek
menjadi ngilu, mungkin juga memar biru pada bagian
yang terkena sodokan.
"Bocah ingusan!" sentak sang nenek. "Apa maksudmu ikut campur urusanku"! Apakah
kau ingin mati di tangan Nini Pancungsari, hah"!"
Suto Sinting tidak pedulikan keadaan sang nenek
yang berang itu. Ia segera bergegas untuk menolong
kakek berjubah putih yang diam-diam telah dikaguminya
sejak pertama dilihat di atas Puncak Karang. Tetapi
alangkah kagetnya Suto Sinting ketika mau bergerak,
ternyata tubuh sang kakek pecah terjerat tali sinar hijau.
Tubuh itu menjadi terpotong-potong dan berserakan di
tanah. Mata Suto Sinting sangat sulit dikedipkan bahkan kian lebar memandang
potongan-potongan tubuh sang
kakek. "Hik, hik, hik, hik...! Bocah ingusan terheran-heran.
Kasihan sekali kau, Nak. Kalau kau ingin tahu, itulah yang dinamakan jurus
'Tambang Akhirat'. Tak ada yang
punya selain diriku; Nini Pancungsari! Hik, hik, hik, hik...!"
Napas kedongkolan ditarik kuat-kuat oleh Pendekar
Mabuk, ia memandangi Nini Pancungsari dengan penuh
kegeraman. Tangan kirinya yang tidak menenteng
bumbung bambu itu menggenggam kuat-kuat pertanda ia
sedang menahan gejolak nafsu amarah terhadap nenek
sadis itu. Tetapi tiba-tiba Pendekar Mabuk dan Nini
Pancungsari dikejutkan oleh suara bernada penuh
wibawa. "Apa yang kau tertawakan, Pancungsari"!"
Suto dan nenek itu sama-sama memandang ke arah
selatan, ternyata kakek berjubah putih itu ada di sana, berdiri dengan tangan
terlipat di dada. Suto dan nenek itu kembali pandangi potongan tubuh yang
berserakan di tanah, dan mereka sama-sama terperanjat karena ternyata yang ada
di tanah bukan potongan tubuh manusia
melainkan potongan kayu jati yang masih bertahan tapi
sudah kering. Ternyata apa yang dijerat oleh tali sinar hijau tadi adalah
sebatang kayu jati yang sudah lama
tumbang. Tentu saja murka sang nenek kembali menyala-nyala.
"Kuhabisi kau sekarang juga, Manusia Bodoh!
Heaaah...!"
Nini Pancungsari lepaskan pukulan bersinar biru,
besar dan lurus, seperti sebuah kayu balok. Sinar biru itu keluar dari telapak
tangan kirinya. Wooss...! Sang kakek pun keluarkan pukulan penangkis. Kali ini
tangan kirinya juga menyodok ke depan dan dari telapak tangan itu keluar sinar besar,
sama ukurannya, beda warnanya.
Warna sinar besar lurus itu seperti warna merah batu
kalungnya. Sinar itu menghantam sinar biru di
pertengahan jarak. Gemuruh pertemuan dua sinar itu
bagaikan sesuatu yang siap meledak. Di pertengahan
jarak mereka memancar sinar ungu, perpaduan antara
sinar merah dengan biru. Sinar ungu itu berpijar-pijar lebar, bergerak maju
mundur, seakan mengikuti
kekuatan dorong yang dilakukan oleh kedua belah pihak.
Nini Pancungsari rendahkan kedua kakinya sambil
kerahkan tenaga pendorong agar sinar ungu itu bergerak mendekati tubuh lawannya,
kalau bisa menghantam
telak tubuh itu. Tapi kakek berjubah putih pun lakukan dorongan dengan sikap
tetap berdiri tegak, tak kentara keluarkan tenaga. Sedangkan Nini Pancungsari
tubuhnya sampai gemetaran karena kerahkan tenaganya habishabisan. Pertemuan dua sinar itu makin mendekati tubuh sang
kakek, itu tandanya sang kakek terdesak dan
kekuatannya berkurang. Suto Sinting menjadi cemas,
sebab ia tak rela jika kakek yang menjadi kebanggaan
hatinya itu hancur oleh sinar ungu tersebut. Maka
dengan cepat Suto Sinting segera sodokkan bambunya
ke depan. Suuut...! Dan memancarlah sinar kuning lurus yang menuju ke
pertengahan jarak kedua tokoh sakti itu.
Sinar kuning Suto bagaikan menyangga pertemuan
kedua sinar tersebut, lalu dengan perlahan-lahan
mengangkat pertemuan sinar yang memercikkan warna
ungu itu. Makin lama makin ke atas, sehingga dengan
kaki menghentak Suto dapat ledakkan kedua sinar itu di angkasa sana.
Blegaaarrrr...!
Jurus 'Naga Sontok' milik Pendekar Mabuk telah
selamatkan kedua tubuh tokoh tua tersebut. Tak ada
yang hancur karena ledakan sinar ungu itu. Tapi akibat dari ledakan tersebut,
delapan pohon tumbang dalam
keadaan rusak berat, belum yang mengalami patah dahan
di sana-sini. Tanah tempat mereka berpijak bagaikan
ditunggingbalikkan. Ketiganya sama-sama terpelanting
jatuh tak tentu arah. Sama-sama mengalami sesak napas
beberapa saat karena gelombang ledakan tadi bagaikan


Pendekar Mabuk 028 Bandar Hantu Malam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seekor banteng yang menerjang dada masing-masing.
Suto sendiri merasakan nyeri di ulu hatinya, seperti
ditusuk-tusuk oleh paku sebesar kelingking, ia buru-buru meneguk tuaknya, glek,
glek, glek. Kakek berjubah putih itu sempat terpuruk di bawah
kerimbunan semak ilalang. Tapi agaknya ia mampu
kendalikan diri, dalam waktu singkat sudah bisa berdiri walaupun wajahnya tampak
pucat, bibirnya membiru
pertanda mengalami luka dalam yang lumayan parah.
Berulang kali ia tarik napas untuk mengatasi luka di
dalam tubuhnya.
Sedangkan Nini Pancungsari dalam keadaan
berdarah. Lubang hidung dan mulutnya sempat lelehkan
darah segar. Wajahnya lebih pucat dari sang kakek.
Dadanya kepulkan asap tipis, ia lebih parah dari sang
kakek. Karenanya, ketika ia sudah mampu berdiri, ia
segera berkata dengan nada geram dan bergetar sambil
matanya tertuju pada sang kakek dan Suto Sinting secara bergantian.
"Baik. Sekarang kalian unggul! Tapi ingat, akan
kubalas kalian lebih kejam lagi. Dan kau, Manusia
Bodoh! Sampai kapan pun masih tetap akan kutuntut
nyawamu!" Wuuut...! Nini Pancungsari segera berkelebat pergi. Suto
Sinting bergegas mengejar, tapi sang kakek segera
berseru, "Tahan...!"
Pendekar Mabuk hentikan langkah, berpaling
memandang sang kakak yang sedang melangkah dekati
dirinya. Suaranya terdengar sedikit serak, mungkin
karena menahan luka di dalam dadanya.
"Jangan mengejar orang yang telah mengaku kalah
dan menyerah."
"Maaf, aku gemas sekali dengannya."
"Apakah kau punya urusan dengan Nini
Pancungsari?"
"Tidak, Kek. Tapi... entah mengapa aku gemas sekali dengannya, ia tadi nyaris
membunuhmu."
"Mengapa kau membelaku, Anak Muda?"
"Aku mengagumi ilmu kesaktianmu yang tenang
sekali itu, Kek," jawab Suto jujur, tak ada kesan memuji atau menyindir, tapi
lebih berkesan polos.
"Siapa namamu"' tanya kakek itu setelah tarik napas dengan berat
"Namaku Suto. Banyak yang memanggilku Suto
Sinting." "Hmmm...," kakek itu manggut-manggut dengan
mata menatap tajam namun tak menakutkan. Bersifat
tegas dan bersahabat. "Kalau tak salah dugaanku, kau adalah murid Ki Sabawana
yang berjuluk si Gila Tuak
itu!" Suto Sinting berkerut dahi. "Benar, Kek. Apakah kau kenal dengan beliau?"
"Ya. Kenal."
"Apakah...," Suto tak lanjutkan kata, karana saat itu
sang kakek terbatuk-batuk, lalu keluarkan darah dari mulutnya.
"Kek..."! Kau terluka dalam dan agaknya cukup
parah. Minumlah tuakku ini seteguk atau dua teguk."
Kakek itu terengah-engah, badannya jadi lemas, ia
berpegangan pada batang pohon. Suto Sinting segera
menolong, menopang tangannya, lalu dengan pelanpelan membawanya ke
tempat teduh dan
mendudukkannya di situ.
"Ledakan tadi menyebarkan racun, karena pukulanku dan pukulan Pancungsari samasama beracun tinggi.
Dalam waktu kurang dari setengah hari tempat ini akan
menjadi gersang, tanaman mati dan rumput tak bisa
tumbuh lagi," katanya sambil berusaha kendalikan napasnya yang berat dihela.
Untung Suto Sinting segera memberikan tuaknya,
sehingga luka dalam yang berbahaya itu sangat
menolong jiwa sang kakek. Beberapa saat setelah
meneguk tuak dari bumbung itu, napas sang kakek mulai
terasa ringan. Tidak seberat tadi. Rasa nyeri di dada
sampai ke perut pun terasa berangsur-angsur reda.
Tubuh sang kakek lebih enak dari sebelum meneguk
tuak Suto. "Terima kasih atas pertolonganmu, Suto Sinting,"
ucapnya setelah ia berdiri lagi, mencoba menggerakgerakkan tangan, kaki, dan badannya yang ternyata
terasa lebih enak dari sebelum itu.
"Tuakmu ini sangat mujarab dan kukatakan sebagai
tuak sakti. Aku yakin racun di dalam tubuhku akan
menjadi tawar setelah minum tuakmu."
Suto Sinting hanya tersenyum sedikit malu
mendengar pujian itu. Ia berkata dengan pandangan mata ke arah bumbung tuaknya.
"Tuak ini kubeli dari desa Pucangan. Kurasa tuak
biasa-biasa saja, Kek."
"Memang. Tapi bumbungnya jelas bukan dari
sembarang bambu."
"Guruku yang memberikan bumbung ini."
Kakek itu berkerut dahi. "Kalau begitu... kalau tak salah ingatanku...," ia
seperti ragu-ragu mengatakannya.
"Bumbung tuak ini pasti dari bambu ajaib."
"Mungkin begitu," jawab Suto merendahkan diri.
"Bukan mungkin saja, tapi pasti!" kata kakek itu.
"Jika memang ini bambu pemberian gurumu, berarti
bambu ini jenis bambu besi yang diperoleh Gila Tuak di dasar Gunung Karak Kato."
Suto kaget, "Dari mana kau mengetahuinya, Kek?"
"Semasa muda Sabawana, gurumu, adalah sahabat
dekatku. Memang dia lebih tua dariku, tapi dia dan aku bersahabat seperti orang
berusia sebaya. Sabawana
pernah cerita padaku, ia memperoleh bambu tempat
tuaknya dari dasar Gunung Karak Kato yang disebut
Penjara Bumi. Bambu itu jelmaan dari eyang gurunya
yang bernama Wijayasura...."
Blegaaarrr...! Terdengar suara petir menggelegar di angkasa tanpa
mendung tanpa hujan. Bahkan langit terang tiba-tiba
menjadi redup, kemudian mendung hitam datang
bersama badai di langit. Mendung hitam bergulunggulung membuat bumi makin temaram. Sinar matahari
tak mampu menembus kepekatan warna hitam sang
mendung. Angin bumi pun bertiup kencang. Jubah dan
rambut sang kakek berkelebat, demikian pula rambut
Pen-dekar Mabuk yang meriap-riap dihempas angin
kencang. Kakek itu tertegun sebentar, wajahnya berubah
menjadi penuh sesal, seperti punya perasaan bersalah.
Suto Sinting sudah tak heran lagi dengan keadaan alam yang tiba-tiba menjadi
seperti mau kiamat itu, karena
memang begitulah keadaan yang terjadi jika seseorang
menyebutkan nama Wijayasura, eyang gurunya Gila
Tuak, yang sebenarnya menjelma menjadi bumbung
tuaknya Suto itu.
"Maaf, aku telah menyebutkan namanya. Aku tak
berani bicara tentang beliau lagi," kata kakek itu. "Yang jelas, aku tahu betul
silsilah guru-gurumu sampai
kepadamu, tapi aku tak berani beberkan. Takut alam
menjadi murka." (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Pedang Guntur
Biru"). Dalam hati Suto merasa beruntung bisa bertemu
kakek itu. "Ilmunya pasti sedikit lebih rendah dari guruku. Aku bisa minta
bantuan padanya untuk
mengalahkan Bandar Hantu Malam. Kurasa dia pasti
mau membantuku, aku yakin dia orang sakti beraliran
putih." "Apa yang kau renungkan, Nak?" tanya kakek itu.
Suto menggeragap malu, lalu menjawab, "Aku
sedang memikirkan persoalan yang kau hadapi bersama
Nini Pancungsari itu, Kek. Aku tak habis pikir, mengapa Nini Pancungsari selalu
menyebutkan manusia bodoh
dan berkamauan keras untuk membunuhmu?"
"Itu persoalan lama. Aku pernah mengalahkan
suaminya, dan ia menyimpan dendam serta ingin
menebus kematian suaminya dengan nyawaku. Lupakan
tentang itu. Sekarang kalau boleh kutahu, ada urusan apa kau datang ke lereng
gunung ini" Apakah hanya
kebetulan lewat saja atau memang punya tujuan lain?"
"Aku ingin mencari Bandar Hantu Malam, Kek!"
Kakek beralis tebal dan putih itu berkerut dahi
dengan tajam, ia menggumam, "Bandar Hantu
Malam..."!"
"Benar. Apakah kau mengenalnya?"
Kakek itu manggut-manggut seperti ragu menjawab.
"Hmmm... yah, aku mengenalnya. Tapi untuk apa kau mencari Bandar Hantu Malam"
Apakah kau punya
urusan dengan Bandar Hantu Malam?"
"Benar!"
"Kau sudah pernah bertemu dengan Bandar Hantu
Malam?" "Belum. Justru itu aku ingin minta tolong padamu
untuk mempertemukan aku dengan Bandar Hantu
Malam jika kau tahu di mana pondoknya berada. Yang
kudengar, ia tinggal di puncak gunung ini, tapi di
sebelah mana aku kurang tahu secara pasti. Apakah kau
bersedia menolongku mempertemukan dengan Bandar
Hantu Malam?"
"Sangat bersedia, karena kebetulan kau sudah
berhadapan dengan Bandar Hantu Malam," jawab kakek itu membuat Suto menjadi
heran, sangsi, dan bingung.
"Maksudmu bagaimana. Kak?"
"Akulah yang bernama Bandar Hantu Malam!"
Deeg...! Jantung Suto bagaikan tersentak kuat dan
berhenti sekejap. Dipandanginya wajah tua kakek yang
membuat hatinya terkagum-kagum itu. Ia berharap salah
dengar, ia bagai tak mau percaya bahwa yang
dihadapinya itu adalah orang yang dicari-cari, yaitu
Bandar Hantu Malam.
* * * 6 PENDEKAR Mabuk dibawa oleh kakek yang
mengaku bernama Bandar Hantu Malam itu ke
pondoknya. Letak pondok itu hampir mendekati puncak
gunung. Suasana di sekitarnya berkabut dan berhawa
dingin. Pondok itu dibangun dari belahan kayu-kayu
pohon yang sangat sederhana tapi tampak kokoh.
Rupanya di situ sang kakek hidup seorang diri, konon ia mengasingkan diri dari
keramaian kehidupan di muka
bumi. "Julukan itu sudah lama melekat dalam
kehidupanku," kata sang kakek. "Namaku sebenarnya adalah Randu Papak. Ada yang
memanggilku dengan
sebutan Ki Randu Papak. Namun sejak hidupku sesat,
aku mendapat julukan dari para tokoh rimba persilatan
dengan nama Bandar Hantu Malam. Waktu itu, aku
memang seperti hantu yang bergentayangan
menyebarkan maut di malam hari. Pengaruh ilmu-ilmu
dari guruku; Ki Warok Guci Wangsit, membuat hidupku
menjadi sesat dan berpisah dengan gurumu; si Gila
Tuak. Aku pun sempat dibenci oleh Gila Tuak. Namun
sejak aku menikah dengan istriku tercinta, aku bisa
merubah sikap dan menyadari kesesatanku. Lalu, aku
berhenti menjadi manusia sesat demi istriku tercinta.
Sayang sekali dia lebih dulu pergi menghadap Yang
Maha Kuasa. Sekalipun begitu, aku tetap menjaga
sikapku untuk tetap menjadi orang baik, supaya roh
istriku tidak menangis di alam sana," tutur Ki Randu Papak dengan wajah murung
dicekam duka karena
terkenang istrinya.
Suto Sinting memperhatikan tak berkedip. Pikirannya
sempat dibuat kacau oleh pendapat dan kesimpulannya
sendiri. Tapi untuk sementara waktu ia sengaja tidak
banyak bicara, karena ia ingin dengar semua pengakuan
Ki Randu Papak.
"Sekalipun aku sudah menjadi orang baik, tapi
julukan itu sepertinya masih melekat pada diriku,
sehingga sampai sekarang masih banyak yang
memanggilku dengan julukan Bandar Hantu Malam.
Padahal aku lebih suka jika dipanggil dengan nama Ki
Randu Papak saja. Di sini aku mengasingkan diri,
sekadar untuk membuat mereka lupa dengan nama
Bandar Hantu Malam. Ternyata cara itu belum bisa
dikatakan berhasil, buktinya kau datang kemari dan
mencariku dengan nama Bandar Hantu Malam. Mau tak
mau aku harus mau menyandang julukan yang sudah tak
kusukai itu. Aku sengaja mengasingkan diri di sini untuk menebus tingkah lakuku
masa lalu dan menjauhi
pertikaian dengan siapa pun. Tapi nyatanya masih ada
yang mengusikku, seperti halnya Nini Pancungsari dan
yang lainnya."
"Aku pernah melihatmu bertarung di seberang
Puncak Karang, Ki."
"Ya. Beberapa waktu yang lalu aku memang terlibat pertikaian dengan seseorang di
sana. Aku mencoba
untuk tidak melawan, tapi aku hampir saja mati konyol, sehingga mau tak mau
memberikan balasan sekadar
mengusirnya."
Suto Sinting tarik napas dalam-dalam. Tak tega untuk
utarakan maksud sebenarnya. Tapi Ki Randu Papak
memaksanya bicara dengan ajukan pertanyaan,
"Apa perlumu mencari dan menemuiku, Suto?"
Dengan gelisah dan susah payah akhirnya Suto
menjawab, "Aku diutus oleh Ratu Asmaradani untuk...."
"Siapa itu Ratu Asmaradani?" potong Ki Randu Papak dengan dahi berkerut dan
wajah penuh keheranan.
"Ratu yang menguasai negeri Ringgit Kencana di
dasar laut. Apakah kau tidak pernah jumpa dengannya?"
pancing Suto. "Mendengar namanya saja baru sekarang," jawab Ki Randu Papak. "Apa tugas yang
kau emban dari ratu itu?"


Pendekar Mabuk 028 Bandar Hantu Malam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kembali Pendekar Mabuk dibuat bingung oleh
jawaban yang harus diberikan kepada Ki Randu Papak.
Hatinya segera membatin, "Jangan-jangan Asmaradani salah menyebutkan namanya"
Bandar Hantu Malam tak
punya tanda-tanda melakukan perbuatan sejahat itu.
Tutur katanya yang berwibawa dan berkesan ramah,
sikapnya yang tenang dan penuh kharisma, membuatku
tak yakin dengan penjelasan Ratu Asmaradani. Apa
benar orang sebijak ini memaksa Ratu Asmaradani
untuk menjadi istrinya dengan cara melukai sang Ratu
sekejam itu" Ah, batinku menjadi bimbang sekali. Tak
tega untuk menjelaskan kepada Ki Randu Papak."
Karena jawaban Suto yang ditunggu-tunggu tak
datang jua, maka Ki Randu Papak pun kembali
perdengarkan suaranya.
"Aku melihat kebimbangan di matamu, Suto. Ada
baiknya jika kau katakan saja terus terang padaku, apa yang menjadi tugasmu
sebagai utusan Ratu Asmaradani
itu" Setidaknya aku akan mempertimbangkan segala
sesuatunya, karena kau adalah murid sahabatku, aku
punya kewajiban membantumu. Apalagi kau tadi
kuanggap telah selamatkan jiwaku dengan tuakmu itu,
jadi aku juga harus balas kebaikanmu itu dengan
kebaikan pula. Katakanlah, Suto, jangan ragu!"
Tapi Pendekar Mabuk tetap tak tega mengatakan
yang sebenarnya, ia hanya bisa memancing dengan
pertanyaan-pertanyaan yang nanti akan bisa disimpulkan sendiri oleh
kecerdasannya. "Apakah... apakah Ki Randu Papak mempunyai jurus
'Racun Siluman'?"
Pertanyaan itu membuat Bandar Hantu Malam tarik
kepala sedikit ke belakang, ia terperanjat dan tak
menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu.
Karenanya, ia diam untuk sesaat, setelah itu baru
menjawab dengan suara pelan.
"Ya, memang aku mempunyai jurus 'Racun Siluman'
warisan dari guruku: Ki Warok Guci Wangsit. Tapi jurus itu tidak pernah
kugunakan sejak aku meninggalkan
kehidupan sesatku. Jurus itu juga tak bisa kuberikan
kepada siapa pun, Suto. Sebab aku takut orang itu akan menggunakan jurus 'Racun
Siluman' untuk perbuatan-perbuatan yang tercela."
Pendekar Mabuk membatin, "Dari kesimpulan
jawaban yang ini saja sudah bisa diketahui, bahwa Ki
Randu Papak tak ingin lakukan kejahatan dengan
menggunakan jurus itu. Tapi mengapa Ratu Asmaradani
mengatakan, bahwa orang yang mencelakainya dengan
'Racun Siluman' itu adalah Bandar Hantu Malam?"
Diamnya Pendekar Mabuk membuat Ki Randu Papak
punya dugaan lain, sehingga akhirnya ia bertanya,
"Apakah kau ingin memiliki jurus itu?"
Suto malahan punya gagasan untuk alihkan
pembicaraan agar tak ketahuan menaruh kecurigaan
kepada sang tokoh sakti itu.
"Seandainya aku ingin memiliki jurus itu,
bagaimana?"
"Perlu kutanyakan dulu untuk apa?"
"Hmmm...," Suto berpikir sejenak. "Untuk... untuk melawan seorang tokoh sesat,"
jawabnya hanya sekadar
mencari alasan yang sebenarnya tidak dimiliki oleh
hatinya. Tapi alasan itu ditanggapi oleh Bandar Hantu
Malam dengan kata-kata yang cukup jelas dan tenang.
'Tokoh sesat yang mana maksudmu" Setahuku, di
dunia ini banyak tokoh sesat. Tapi aku yakin ilmu
kesaktianmu cukup mampu kalahkan mereka. Tak perlu
gunakan jurus 'Racun Siluman'. Apakah kau punya
lawan yang tak bisa kau kalahkan?"
Tiba-tiba otak Suto segera teringat dengan lawan
yang sampai sekarang masih dalam pengejarannya.
Maka Suto pun menjawab dengan tegas,
"Ya. Ada lawan yang belum bisa kukalahkan karena licin seperti belut, dan dia
sangat tinggi ilmunya. Tokoh sesat itu adalah Siluman Tujuh Nyawai"
"Durmala Sanca, maksudmu?"
"Ki Randu Papak tahu nama asli tokoh itu rupanya?"
Bandar Hantu Malam manggut-manggut "Sudah
kukatakan, aku tahu silsilah guru-gurumu, sampai pada
anak-anak Purbapati dan Nini Galih, guru dari si Gila
Tuak dan Bidadari Jalang itu. Purbapati dan Nini Galih mempunyai tujuh anak,
tapi yang hidup hanya tiga
orang, yaitu Durmagati, Begawan Sangga Mega, dan
Raja Nujum. Durmagati mempunyai anak Wicara Sanca
dan Durmala Sanca. Tetapi Durmala Sanca menjadi
manusia sesat, dan berjuluk Siluman Tujuh Nyawa, ia
membunuh kakaknya sendiri, juga ayah ibunya
dibunuhnya pula. Durmala Sanca terkena kutuk dari
kakeknya menjadi orang sesat selama tiga ratus tahun, karena ia memperkosa
neneknya sendiri. Sekarang usia
Durmala Sanca atau Siluman Tujuh Nyawa baru
mencapai dua ratus lima belas tahun, jadi ia masih punya waktu menjadi orang
sesat selama delapan puluh lima
tahun lagi."
Suto manggut-manggut, membenarkan cerita itu,
karena ia pernah mendengar cerita tersebut dari mulut Hantu Laut yang tak sadar
akan segala apa yang
diucapkannya itu, (Baca serial pendekar Mabuk dalam
episode: "Cermin Pemburu Nyawa").
"Kalau kau ingin kalahkan Siluman Tujuh Nyawa,"
kata Ki Randu Papak alias Bandar Hantu Malam, "Kau harus gunakan sebuah senjata
khusus yang bernama
Pedang Kayu Petir."
"Pedang Kayu Petir?" ucap Suto mengingat-ingat nama pusaka itu.
"Pemilik pusaka Pedang Kayu Petir adalah Resi
Wulung Gading, anak dari adiknya Nini Galuh, istri
Purbapati yang diperkosa oleh Durmala Sanca itu!"
Suto Sinting kian tertegun bengong. Tapi semua katakata Bandar Hantu Malam itu dicatat dalam otaknya dan
diresapinya. Bahkan Bandar Hantu Malam tambahkan
kata, "Jika kau ingin dapatkan Pedang Kayu Petir, kau
harus temui Resi Wulung Gading dan meminjamnya.
Karena pedang itu mungkin tak akan diberikan atau
diturunkan oleh siapa pun. Resi Wulung Gading tinggal
di Lembah Sunyi, sebelah selatan gunung ini arahnya.
Kusarankan pergilah ke sana dan temui Resi Wulung
Gading lebih dulu sebelum kau hadapi Siluman Tujuh
Nyawa." Kejadian ini sungguh aneh bagi Suto Sinting. Orang
yang dicari dan dianggap sebagai lawannya, sekarang
justru memberikan jalan keluar untuk melawan musuh
utamanya. Semestinya Pendekar Mabuk memaksa
Bandar Hantu Malam
untuk mengobati Ratu
Asmaradani, jika tidak mau maka Suto Sinting harus
mengalahkannya dalam pertarungan. Tetapi kenyataan
itu ternyata sangat berat dilakukan oleh Suto Sinting, ia merasa seperti
diharuskan melawan orang baik dan
bijak. Kalau dia bukan seorang pendekar, maka hal itu sangat mudah dilakukan.
Tapi jiwa pendekar yang ada di dalam darah Suto itu membuat ia tak mampu
bertarung dan membunuh orang bijak seperti Ki Randu Papak.
"Kejahatan memang harus dibantai dan dihilangkan, tapi pelaku kejahatan tidak
harus dibumi-hanguskan.
Karena seseorang yang berbuat jahat, berjalan di jalur yang sesat, suatu saat
akan kembali sebagai manusia
sejati manakala kesadaran hati nuraninya telah timbul
kembali. Jadi kalau kau mau bertarung melawan siapa
saja, kalahkanlah kejahatannya tanpa harus mematikan
pelakunya."
Petuah Bandar Hantu Malam itulah yang membuat
Suto Sinting menilainya sebagai orang bijak. Bahkan
ketika Suto memancingnya dengan pertanyaan,
"Apakah Ki Randu Papak tidak ingin menikah lagi?"
Tokoh tua itu menjawab, "Usiaku tinggal beberapa
saat lagi. Kalau aku menikah lagi dan mempunyai istri, maka pada saat kutemui
ajalku aku sama saja
mengecewakan istriku. Jadi menurutku lebih baik
bersuci diri agar punya persiapan menyambut datangnya
kematian nanti."
"Tapi perkawinan dan kemesraan itu dibutuhkan
setiap orang sampai saat ia menjelang dimakamkan, Ki."
"Orang yang memburu perkawinan menjelang saat
dimakamkan adalah orang yang tidak sadar telah
melukai hati pasangannya," jawab Bandar Hantu Malam.
"Bukankah kematian itu sudah merupakan suatu
kepastian dalam perjalanan hidup kita. Seandainya toh kematian itu tiba pada
saat kita baru menikah dua
purnama, itu toh bukan kesalahan kita, Ki?"
"Itu kesalahan kita, sebab kita tidak punya
perhitungan ke masa depan, yaitu masa-masa setelah kita mati dan meninggalkan
istri." Suto Sinting mencoba lagi memancingnya dengan
pertanyaan, "Kurasa orang setua Ki Randu Papak masih bisa mencari wanita cantik
dan muda."
"Hanya perempuan bodoh yang mau menikah dengan
lelaki setua diriku dan semiskin aku ini."
"Bisa saja terjadi, kalau wanita itu terancam
keselamatannya, mau tak mau dia menerima lamaran si
lelaki." "Cinta yang hadir karena ancaman tidak pernah
punya nilai kehidupan dan kebahagiaan yang hakiki.
Sama saja kita memuaskan diri dengan diri sendiri. Cinta yang timbul karena
ancaman hanya akan menghadirkan
sejuta kecemasan dan kecurigaan. Pada akhirnya yang
diperoleh hanyalah kesia-siaan."
Lewat percakapan itulah Suto Sinting akhirnya
mempunyai kecurigaan terhadap Ratu Asmaradani.
Dalam hatinya Suto Sinting berkata,
"Jangan-jangan Ratu Asmaradani memfitnah Bandar
Hantu Malam karena suatu alasan yang tak kuketahui"
Jangan-jangan Ratu Asmaradani punya dendam kepada
Bandar Hantu Malam, tapi tak bisa mengalahkannya,
sehingga ia menggunakan tanganku untuk membalaskan
dendamnya itu" Sebab menurut hasil percakapanku tadi,
Bandar Hantu Malam bukan laki-laki yang gila wanita,
ia tak ingin melukai hati wanita, bahkan perkawinan di ambang kematian
dianggapnya suatu perbuatan keji,
yaitu mengecewakan dan melukai hati sang istri. Bandar Hantu Malam juga
menganggap cinta yang hadir karena
ancaman hanya akan menghadirkan penderitaan batin
yang terselubung senyum bagi keduanya. Jadi
menurutku, Bandar Hantu Malam sebenarnya tidak
melakukan apa-apa kepada Ratu Asmaradani. Dia bukan
orang jahat dan kejam seperti yang diceritakan Ratu
negeri Ringgit Kencana itu. Aku tak bisa melukai orang seperti dia."
Melihat kenyataan seperti itu, Suto Sinting merasa
perlu menemui Ratu Asmaradani dan mengungkapkan
isi hatinya. Tapi terlebih dulu ia ingin sempatkan
singgah ke Lembah Sunyi untuk temui Resi Wulung
Gading, ia ingin perkenalkan diri kepada tokoh sakti
yang termasuk keponakan Eyang Nini Galih, yaitu guru
dari Bidadari Jalang.
Menurut penjelasan Bandar Hantu Malam, padepokan
Resi Wulung Gading terletak di seberang sungai berair
kuning, alias sungai belerang. Sungai air kuning itu kini telah ditemukan
Pendekar Mabuk, tinggal mencari
jembatan untuk menyeberangi sungai tersebut dan
mencari padepokan itu.
Karena jembatan penyeberangan itu tidak ditemukan
oleh Pendekar Mabuk, maka ia terpaksa memetik
beberapa daun yang lebarnya seukuran telapak tangan.
Dengan melemparkan daun-daun itu ke permukaan
sungai, Suto melompat dari daun ke daun menggunakan
ilmu peringan tubuhnya. Sambil berpijak pada daun
yang satu, daun yang lain dilemparkan ke depan dan
menjadi pijakan berikutnya. Cara itulah yang membuat
Pendekar Mabuk tiba di seberang sungai.
"Ilmunya cukup tinggi" Siapa dia?" gumam hati seseorang yang berada di balik
kerimbunan pohon
bambu. Rupanya kehadiran Suto ke tanah Lembah Sunyi
sudah diperhatikan oleh seseorang sejak tadi. Orang
tersebut juga melihat kehebatan Suto menyeberang
sungai tanpa gunakan jembatan, dan hanya melompati
daun-daun selebar telapak tangan. Orang yang
bersembunyi itu menjadi kagum dan panasaran, lalu
mengikuti langkah Suto secara diam-diam.
Tetapi Pendekar Mabuk bukan orang bodoh, ia
mampu dengarkan suara detak jantung seseorang yang
ada dalam jarak dua puluh langkah lebih dalam kitaran sekelilingnya. Suara
jantung itu berdetak-detak cepat
bagaikan orang dalam ketegangan. Jika detak jantung itu cepat, maka Suto dapat
menyimpulkan orang yang
menguntitnya pasti punya maksud tak baik. Maksud tak
baik itulah yang menegangkan jiwanya dan memacu
jantung menjadi deg-degan. Karena itu, Pendekar Mabuk
sengaja hentikan langkah dan berpura-pura menenggak
tuak dalam bumbung bambunya. Tapi pada saat itu
sebenarnya mata Suto melirik ke arah datangnya suara
detak jantung. "Hmmm... dia ada di balik pohon berakar gantung
itu," pikir Suto dengan sikap masih tenang, seakan-akan tak merasa curiga apaapa. "Kulihat di sana ada
potongan pohon kering yang akarnya masih terpendam.
Aku harus manfaatkan batang pohon kering itu agar
orang tersebut terkecoh oleh tingkahnya sendiri."
Pendekar Mabuk tetap melangkah dengan kalem, tapi
arahnya membelok ke kumpulan bambu Wulung
lainnya. Di situ memang banyak tanaman bambu
Wulung yang menggerombol di sana-sini, hidup dengan
liar tanpa ada yang merawat.
Slaap..! Suto Sinting segera berlindung di balik kerimbunan


Pendekar Mabuk 028 Bandar Hantu Malam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pohon bambu itu. Orang yang mengikutinya sempat
dibuat bingung sesaat. Matanya mencari-cari Suto
dengan rasa penasaran. Tapi kejap berikutnya ia menjadi lega karena orang yang
diikutinya kembali terlihat oleh pandangan mata. Orang tersebut melihat Suto
sedang duduk merenungkan sesuatu di seberang serumpun
bambu. Orang itu menunggu tindakan Suto selanjutnya, ia
memperhatikan terus ke arah Suto dengan hati bertanyatanya karena tak mengenai siapa orang yang diikutinya
itu. "Jangan-jangan ia sedang memikirkan sesuatu yang
dapat membuat suasana lebih kacau lagi" Kurasa...
kurasa dia mata-mata yang bingung mencari jalan untuk
menyusup," pikir orang itu. ' Sebaiknya kuserang dulu orang itu, supaya ia panik
dan akhirnya mengaku apa
yang sedang dilakukannya dan siapa dirinya. Aku tak
mau kalah gerak dengannya."
Orang berpakaian hitam dengan rambut ikal sebatas
tengkuk dan berusia sekitar tiga puluh tahun itu segera mencabut senjatanya.
Sebuah golok bergagang hitam
telah tergenggam di tangannya sebagai persiapan
datangnya bahaya pada saat lakukan gertakan nanti.
Tetapi orang kurus itu tiba-tiba terkajut setelah
rasakan ada seseorang yang mencoleknya dari belakang.
Mulanya ia menyangka yang mencolek itu teman
sendiri, sehingga tanpa berpaling ia segera berkata lirih,
"Diam dulu! Aku sedang perhatikan orang itu. Kurasa dia mata-mata! Sergap saja
dia dan paksa supaya
mengaku. Setuju?"
Orang yang mencoleknya itu menjawab, "Tidak."
Jawaban tersebut membuatnya merasa aneh dan
akhirnya berpaling ke belakang. Maka seketika itulah
orang berpakaian hitam itu mendelik dan menjadi gagap
karena orang yang mencoleknya ternyata orang yang
sedang diintainya. Suto Sinting sudah berdiri di belakang orang itu dengan
senyum ramah dan sikap tenangnya.
Orang itu tidak tahu kalau Suto Sinting telah pergunakan
sebuah ilmu kesaktiannya yang bernama ilmu 'Seberang
Raga', yaitu sebuah ilmu yang mampu membuat benda
atau makhluk apa pun bisa menyerupai dirinya, ilmu itu sering digunakan untuk
menipu lawannya apabila Suto
merasa tidak ingin melayani orang tersebut.
Tetapi kali ini Suto pergunakan ilmu itu untuk
mengecoh penguntitnya, sekaligus suatu pernyataan
bahwa orang itu tak perlu menguntitnya, karena ia bisa saja berbuat tak baik
jika ia inginkan. Dengan mencolek orang tersebut Suto berharap bahwa orang itu
menyadari kekalahannya, dan mengakui keunggulan Suto yang
mampu mengecoh dirinya.
"Kampret! Orang ini sudah berada di belakangku?"
pikir si baju hitam. "Kalau dia tadi tahu-tahu
menyerangku, aku bisa mati sejak tadi. Tapi agaknya ia tak mau lakukan hal itu"
Lantas..." Lantas siapa yang
ada di seberang sana tadi?"
Orang itu berpaling memandang ke arah Suto yang
tadi dilihatnya duduk merenung, ia terkejut, karena
ternyata apa yang dilihatnya sebagai Suto adalah
sebatang kayu pohon kering yang tumbang dan tersisa
sebatas perut. Orang tersebut menjadi gemataran kaki
dan tangannya. Wajahnya pucat, napasnya tampak lebih
cepat dari biasanya.
"Mana mata-mata yang kau maksud tadi?" goda Suto Sinting.
"Hmmm... eh... anu... eh, ini!" jawabnya sambil memegang kedua matanya sendiri.
Orang itu takut,
malu, dan terheran-heran, sehingga tak mampu menjaga
ketenangan batinnya.
"Mengapa kau mengikutiku?"
"Hmm... anu... hanya... hanya sekadar... hanya
kebetulan saja."
"Tapi kudengar kau tadi menyangkaku sebagai matamata" Mata-mata dari mana maksudmu?"
"Dar... dari... yah, dari mana sajalah," jawabnya salah tingkah.
Suling Emas Dan Naga Siluman 20 Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Cumbuan Menjelang Ajal 2

Cari Blog Ini