Ceritasilat Novel Online

Bandar Hantu Malam 3

Pendekar Mabuk 028 Bandar Hantu Malam Bagian 3


Suto lebarkan senyum geii. Matanya melirik ke golok
yang digenggam orang itu. Suto pun bertanya, "Untuk apa golok itu?"
"Untuk... hmmm... yah... anu... untuk tebang-tebang bambu," jawabnya, lalu ia
menebang bambu yang ada di dekatnya. Tapi hanya anak bambu yang ditebanginya
sebagai tindakan salah tingkah pada diri sendiri. Suto Sinting akhirnya tertawa
geli walau tanpa suara.
"Siapa namamu, Sobat?" tanya Suto mengakrabkan diri.
"Dul," jawabnya singkat tanpa berani memandang.
"Dul siapa?"
"Dul ya Dul," jawabnya makin merasa terpojok, ia berhenti menebangi anak bambu
dan memasukkan goloknya. Lalu tanpa memandang lagi ia pergi
meninggalkan Suto Sinting, ia merasa lebih baik segera tinggalkan tempat itu
karena merasa cemas kalau-kalau
orang yang tadi dikuntitnya tiba-tiba menyerang ganas.
Dalam hatinya mengakui bahwa orang yang dikuntitnya
itu ilmunya sangat tinggi, tidak sebanding dengan
ilmunya sendiri.
Mulanya Dul melangkah pelan-pelan, berlagak santai.
Makin lama melirik ke belakang, melihat Suto masih di
tempat memandanginya. Langkahnya sedikit cepat, tapi
masih dibuat sesantai mungkin. Lama-lama, wuuut..! ia melarikan diri secepatcepatnya dan ingin
memberitahukan kehadiran Suto kepada seorang teman.
Zlaaap...! Suto pun cepat tinggalkan tempat, bergerak bagaikan
anak panah lepas dari busurnya. Dalam waktu singkat ia sudah bisa tiba di
jalanan yang sedang dituju oleh Dul tadi. Sedangkan Dul berlari sambil sesekali
memandang ke belakang, merasa aman dan lega karena ia tidak
dikejar oleh orang yang dianggapnya mata-mata itu.
Hanya saja, ketika ia kembali memandang ke depan, ia menjadi sangat terkejut
karena Suto Sinting ternyata
sudah berdiri di tengah jalan dalam jarak kurang dari lima langkah.
"Hahhh..."!" ia terpekik lirih tanpa sengaja. Hatinya membatin, "Orang itu tahutahu sudah ada di depanku"
Kurang ajar! Gerakannya sangat cepat. Jangan-jangan
dia bukan manusia?"
"Kau tak perlu melarikan diri, Sobat. Aku bukan
orang jahat seperti dugaanmu. Aku datang kemari untuk
mencari padepokannya Resi Wulung Gading."
Dul tampak terperanjat dan lebih tegang lagi. "Sssi...
siapa kau?"
"Namaku Suto Sinting. Kau boleh memanggilku Suto
saja." Wajah dan senyum Pendekar Mabuk dipamerkan seramah mungkin agar Dul tidak
merasa takut. "Untuk apa kau mencari padepokan kami?" tanya Dul. Suto sedikit berkerut dahi,
lalu segera bertanya,
"Apakah kau orangnya Resi Wulung Gading?"
"Hmmm... eeh... iya... eh, tidak! Eh... anu... iya...!"
Agaknya Dul serba salah dalam menjawab pertanyaan
itu. Ada kecemasan lain yang ditemukan Suto di balik
pancaran mata orang kurus itu. Ada niat berlindung demi keselamatan dari jawaban
tersebut. Suto Sinting menjadi curiga dan bertanya dengan mendekati si Dul,
sedangkan si Dul mundur dua langkah penuh kecemasan.
"Mengapa kau kelihatannya tegang sekali" Kau takut mengakui sebagai orangnya
Resi Wulung Gading. Ada
apa sebenarnya, Dul?"
"Hmm... eh... tidak ada apa-apa," jawab Dul masih serba bingung.
"Katakan saja terus terang. Sekali lagi kukatakan padamu, aku bukan orang jahat.
Aku datang ingin
bertamu kepada Resi Wulung Gading secara baik-baik.
Justru kalau kau punya kesulitan aku siap membantumu,
Dul. Karena ketahuilah, bahwa Resi Wulung Gading
adalah keponakan dari Eyang Guruku, yaitu Eyang Nini
Galih. Tentunya kau pernah mendengar nama Eyang
Nini Galih, bukan?"
Napas si Dul terhempas panjang menandakan rasa
lega. Wajahnya tidak setegang tadi. Berangsur-angsur ia menjadi tenang, karena
Suto menyebut-nyebut nama
Eyang Nini Galih yang dikenal oleh Dul melalui cerita Resi Wulung Gading, ia
mulai percaya bahwa Suto
bukan orang jahat.
"Maaf, aku terpaksa curiga padamu dan merasa takut.
Karena kami baru saja mengalami musibah."
"Musibah bagaimana, maksudmu?"
Dul diam sebentar, wajahnya mulai kelihatan sedih.
Akhirnya ia berkata sambil melangkah, "Ikutlah aku ke padepokan...."
Suto akhirnya mengikuti Dul dari belakang. Agaknya
Dul tak mau diajak bicara, karena ia berjalan dengan
cepat menuju padepokan dengan rona wajah dukanya.
Suto Sinting hanya bertanya-tanya dalam hati tanpa mau mencoba menanyakan
beberapa hal kepada Dul, sebab
tadi dua kali Suto bertanya tentang sesuatu, tapi Dul diam saja dan tetap
melangkah. Bau busuk sudah sejak tadi menyebar dan tercium
oleh Suto Sinting. Makin mendekati padepokan semakin
tajam baunya. Hati Pendekar Mabuk sudah menaruh
curiga sejak awal terciumnya bau busuk. Kecurigaannya
itu ternyata benar, bahwa di padepokan terdapat mayat
dalam jumlah banyak yang belum sempat dikubur. Ada
yang di luar gerbang padepokan, ada di depan pintu
gerbang, dan semakin masuk ke dalam halaman
padepokan semakin banyak mayat yang dilihat Suto
Sinting. Seorang lelaki seusia Dul datang dari samping
gerbang. Orang itu berlumur tanah liat dan napasnya
terengah-engah. Matanya memandang curiga pada Suto.
"Kita kedatangan tamu, Sukat. Tapi tamu kita ini
orang baik-baik," kata Dul kepada temannya yang
agaknya habis melakukan kerja keras itu. Sukat terpaksa
anggukkan kepala dan tersenyum ramah namun kaku.
Suto membalas dengan kaku pula, sebab hatinya masih
bertanya-tanya melihat keadaan di padepokan itu amat
berantakan. Tembok-tembok jebol, pagar ambrol, tiang
dan pohon tumbang. Keadaan padepokan seperti habis
mengalami kiamat. Mayat bergelimpangan di sana-sini,
membusuk dan menjijikkan.
"Beginilah keadaan padepokan kami," kata Dul dengan nada sedih.
"Siapa yang membantai mereka itu" Siapa yang
mengobrak-abrik tempat ini?"
"Entahlah," jawab Dul. "Tadi pagi kami tiba dari bepergian kami yang diutus Guru
Resi Wulung Gading
ke pesisir kidul untuk temui seseorang di sana. Kami
pergi selama lima hari. Ketika kami tiba di sini keadaan sudah seperti ini.
Teman kami mati semua. Sampai
sekarang kami belum selesai menguburkan mereka.
Kami capek dan terlalu sedih melihat kenyataan ini."
Sukat menimpali kata, "Waktu kami tiba, masih ada yang bertahan hidup dalam luka
parah. Dia sempat
memberi tahu bahwa musibah ini terjadi dua hari yang
lalu. Seseorang telah datang dan mengamuk ganas di
sini." "Mana temanmu yang terluka parah itu" Aku ingin
menanyainya."
"Tidak bisa," jawab Sukat dengan sedih.
"Hanya menanyakan sesuatu saja."
"Tetap tidak bisa."
"Kenapa?"
"Karena dia sudah pergi, nyawanya terbang sebelum siang tiba," jawab Sukat yang
berambut cepak dan
berwajah cengeng itu. Ia menangis walau tak terdengar
suara isakannya.
"Apakah dia tahu siapa orang yang membantai
teman-temanmu ini?"
Dul yang menjawab, "Menurut keterangannya, orang
itu berjuluk Bandar Hantu Malam. Datangnya pada
malam hari."
Seketika itu alis mata Suto beradu, dahi berkerut, dan mata menatap tajam, ia
sangat terkejut mendengar nama
itu disebutkan oleh si Dul. Ia hampir-hampir tidak
mempercayainya. Dengan segera napas pun ditarik dan
dihirup panjang-panjang. Suto menahan getaran hatinya
yang bergemuruh karena mendengar nama Bandar Hantu
Malam. "Resi Wulung Gading sendiri bagaimana?"
Dul geleng-geleng kepala. "Mungkin tewas di tempat lain, mungkin diculik oleh
Bandar Hantu Malam, atau
mungkin bersembunyi di suatu tempat yang tidak kami
ketahui." Sukat menambahkan kata, "Menurut cerita teman
kami yang sekarang sudah meninggal itu, Bandar Hantu
Malam menyerang sendirian, membantai siapa saja yang
ditemuinya. Tapi pada waktu itu, guru kami memang
tidak ada di tempat. Katanya sedang semadi di Gua
Getah Tumbal."
"Di mana itu Gua Getah Tumbal?"
"Kami berdua tidak tahu. Makanya kami tidak bisa
mencari di mana Guru berada. Teman kami ini tidak
jelaskan di mana letak Gua Getah Tumbal, ia sudah
pergi meninggalkan dunia," jawab Sukat dengan nada sedih sekali.
Suto Sinting tertegun dengan hati iba bercampur
gusar. "Apa yang harus kulakukan kalau begini?"
pikirnya dalam kegusaran itu.
* * * 7 SANGAT wajar jika pikiran Pendekar Mabuk
menjadi kacau bagaikan benang-benang kusut. Di
matanya ia melihat Bandar Hantu Malam adalah orang
bijak yang bersikap tenang, berwibawa, namun tidak
angker. Di matanya, Bandar Hantu Malam adalah orang
yang mengagumkan. Tapi kini Suto harus menghadapi
kenyataan yang senada dengan cerita Ratu Asmaradani,
bahwa Bandar Hantu Malam orang kejam dan jahat.
"Berarti pada saat kemarin aku bertamu dengan
Bandar Hantu Malam, rupanya ia baru saja pulang dari
membantai semua murid Resi Wulung Gading. Pantas ia
mendesakku untuk mampir ke padepokan Resi Wulung
Gading, rupanya ia ingin unjuk gertakan terhadapku
tentang kekejamannya yang bagai orang tak kenal
ampun terhadap sesama."
Suto Sinting sengaja hentikan perjalanannya yang
sudah jauh dari padepokan Resi Wulung Gading, ia
sengaja duduk di bawah pohon rindangan dengan satu
kaki melonjor dan satu kaki ditekuk, memijak tanah, ia perlu merenungkan
kenyataan tersebut agar tak sampai salah langkah jika lakukan sesuatu.
"Kakek itu memang mengagumkan sekali. Bukan
hanya ilmunya, tapi juga kepura-puraannya. Hampir saja ia tampil sebagai tokoh
bijaksana yang baik hati dan
layak dihormati secara utuh. Kuakui, aku telah tertipu mentah-mentah oleh
kepura-puraannya. Jika Bandar
Hantu Malam atau Ki Randu Papak itu orang baik-baik,
tentunya ia tidak diserang oleh Nini Pancungsari, ia juga tidak lakukan
pertarungan di seberang Puncak Karang,
tempo hari. Tentunya rakyat desa Pucangan pun tidak
menaruh curiga padanya. Ah, bodohnya diriku ini.
Mengapa aku mudah mempercayai kata-katanya"
Mengapa aku tidak bisa melihat kepura-puraannya?"
Sebatang rumput dicabut, dihisap-hisap sarinya
sebagai keisengan dalam lakukan renungan tersebut.
Suto Sinting mengecam dirinya sendiri yang dianggap
bodoh dan mau saja dibodohi.
"Ratu Asmaradani tak mungkin menipuku jika
kekejian Bandar Hantu Malam tidak benar-benar terjadi.
Lalu, Dul dan Sukat..., apa urusannya, apa untungnya mereka berbohong padaku"
Kurasa mereka bicara yang
sebenarnya. O, ya... aku ingat ancaman Nini Pancungsari saat perempuan itu belum
pergi, ia berjanji untuk
membalas dendam kepada Bandar Hantu Malam dengan
nyawa, ia menganggap Bandar Hantu Malam berhutang
nyawa padanya. Apakah Nini Pancungsari punya
hubungan dengan pihak padepokan Resi Wulung
Gading" Apakah gara-gara pembantaian itu maka Nini
Pancungsari bersikeras menghabisi Bandar Hantu
Malam" Atau mungkin Nini Pancungsari ada di pihak
lain yang merasa dirugikan seperti kerugian yang
dialami Resi Wulung Gading?"
Siang dibiarkan kian tenggelam. Matahari semakin
condong ke cakrawala barat. Suto Sinting masih diam di tempatnya, sambil
sesekali meneguk tuak. Ia sempat
rasakan hatinya yang menyesal telah membantu Bandar
Hantu Malam dan membuat Nini Pancungsari menderita
luka dalam cukup parah, ia ingin temui Nini
Pancungsari, tapi tak tahu di mana perempuan itu
tinggal. "Ada baiknya kalau aku kembali ke pondok Bandar Hantu Malam. Aku akan desak dia
dan membongkar kepura-puraannya! Akan kubeberkan tanpa ragu-ragu
lagi kejahatannya yang sempat kudengar dan kulihat
kenyataannya. Aku tak peduli dia mengaku teman baik
guruku, aku tak mau terkecoh lagi olehnya. Kejahatan
memang harus ditumpas habis. Jika kejahatan itu
bermukim dalam jiwa seseorang, maka jiwa itu pun
harus disirnakan!"
Dengan gemuruh kemarahan mulai membakar darah
dan menyesakkan dada, Pendekar Mabuk segera
jejakkan kaki ke tanah dan melesat pergi menuju puncak Gunung Keong Langit itu.
ia harus bisa mencapai
pondok Bandar Hantu Malam sebelum bumi menjadi
gelap dan malam pun tiba.
"Tapi tunggu dulu," katanya sendiri. "Jika benar kata Dul, bahwa pembantaian itu
dilakukan pada malam hari,
maka ada baiknya aku justru mengintai di dekat
pondoknya, apakah ia keluar pada malam hari atau tetap di tempat?"
Sampai puncak gunung suasana telah gelap. Hawa
dingin begitu mencekam kuat. Namun Suto berusaha
tetap di balik kerimbunan semak, mengawasi pondok
Bandar Hantu Malam. Berulang kali ia meneguk tuak


Pendekar Mabuk 028 Bandar Hantu Malam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk menghalau hawa dingin yang hadir bersama kabut
putih. Untung saja Suto seorang peminum tuak.
Seandainya bukan, maka tubuhnya akan berubah
menjadi gumpalan salju dan darahnya akan membeku
dicekam hawa dingin yang amat tinggi itu. Tuak yang
ada di bambu keramat itu mampu hadirkan kehangatan
yang membuat Suto tak terlalu menggigil walaupun
pakaiannya mulai dilapisi busa salju.
Sampai sekian lama ditunggu, Bandar Hantu Malam
belum tampakkan diri. Suto agak sangsi dengan
dugaannya. "Jangan-jangan malam ini ia tidak
bermaksud keluar rumah?" pikirnya diliputi
kebimbangan yang menjengkelkan hati.
Pondok itu gelap. Tanpa penerangan di dalamnya.
Tak terlihat biasa lampu minyak yang mestinya terlihat dari celah-celah suasana
kayu dindingnya. Suto makin
punya kecurigaan yang bukan-bukan.
"Jangan-jangan Bandar Hantu Malam sedang berbuat
sesuatu dengan seorang perempuan di dalam
pondoknya"! Apakah sebaiknya kudobrak saja pondok
itu" Tapi... bisa jadi dia sudah keluar dari pondok sejak tadi, sebelum aku ada
di sini" Hmm...! Ya, mungkin dia sudah keluar sejak tadi dan tidak jumpa
denganku di kaki gunung. Sial! Lantas untuk apa kubiarkan diriku
dicekam salju sejak tadi" Ini pekerjaan yang sia-sia!
Sebaiknya kuperiksa dulu pondok itu, jika memang tak
ada tanda-tanda kehidupan, aku segera turun gunung!"
Dengan langkah tanpa suara, Suto Sinting dekati
pondok itu. Semakin dekat semakin dipasang baik-baik
telinganya. Bahkan pendengaran hati sanubarinya juga
digunakan. Ternyata di dalam pondok tidak ada tandatanda kehidupan. Tak ada denyut jantung yang terdengar dari dalam pondok. Suto
menggerutu dan jengkel
sendiri. "Sial! Pondok kosong ditunggui"! Aku harus segera turun gunung dan mencari orang
itu. Pasti dia lakukan
keganasan lagi pada malam ini di tempat lain. Mungkin
desa Pucangan juga sedang disambangi. Sebaiknya aku
ke sana dan bicara dengan para sesepuh desa yang tahu
tentang Bandar Hantu Malam!"
Malam itu rembulan mengintip di balik awan. Hanya
separo yang tampak dari permukaan bumi, namun
cahayanya cukup mampu membuat bumi menjadi
remang-remang. Rumput dan batu kerikil bisa terlihat
jelas. Suasana ini sungguh menguntungkan bagi
Pendekar Mabuk, sehingga ia bisa berjalan melalui jalan setapak yang tadi
dilewati, tanpa harus takut tergelincir ke jurang yang cukup dalam di tepi
lereng gunung itu.
Sebelum mencapai perbatasan desa Pucangan, kedua
kaki Suto Sinting terhenti serentak dan matanya
memandang penuh waspada, ia sempat melihat sekelebat
bayangan melintas jalanan di depannya. Gerakannya
cukup cepat, membuat Suto yakin bahwa sekelebatan
bayangan itu pasti milik orang berilmu tinggi. Siapa
orangnya, Suto tak bisa melihat dengan jelas. Tapi ia punya dua kemungkinan
dalam hatinya. "Nyai Sedah, atau Bandar Hantu Malam?" pikirnya dalam pertimbangan langkah.
"Mungkinkah Nyai Sedah sedang menuju desa Pucangan lagi" Ya, mungkin saja.
Barangkali dia tahu bahwa aku hanyalah seorang tamu di desa itu, sehingga ia
menduga desa itu aman bagi dirinya karena ia menganggap aku sudah pergi dari
desa tersebut. Tapi mungkin saja bayangan itu adalah Bandar Hantu Malam yang sedang
menuju ke tempat lain tanpa
mengetahui diriku di sini" Sebaiknya kukejar saja dia ke arah lenyapnya bayangan
tadi! Aku jadi penasaran
sekali!" Bayangan yang melintas dari barat ke timur segera
dikejar ke arah timur. Suto mengejarnya tidak melalui
jalan darat, melainkan melalui pohon demi pohon, ia
melesat bagaikan seekor burung yang mencari tempat
untuk tidur. Gerakannya tidak timbulkan bunyi sedikit
pun, sebab Suto gunakan ilmu peringan tubuhnya yang
membuat ranting pun tidak berbunyi saat diinjak
kakinya. "Sial! Ke mana bayangan tadi" Aku kehilangan
jejaknya!" gerutu Suto sambil memandang sekeliling dari atas pohon. Napasnya
terjaga hingga tak terlalu
ngos-ngosan. "Sebaiknya aku mengarah ke desa Pucangan saja
dengan jalan kaki," pikirnya. Lalu ia bergegas turun dari atas pohon. Tapi
alangkah terkejutnya Suto begitu
melihat ke bawah, ternyata di sana ada bayangan hitam yang dikejar-kejarnya.
Bayangan hitam itu adalah orang berkerudung kain hitam sekujur tubuhnya, dan
sedang berbicara bisik-bisik dengan seseorang.
"Siapa orang yang diajaknya bicara itu?" pikir Suto sambil kian hati-hati
lakukan gerakan, bahkan bernapas pun sangat hati-hati. Matanya memandang ke
bawah dengan sedikit disipitkan. Lalu ia temukan seraut wajah yang cukup dikenalinya.
"Sundari..."!" gumam Suto Sinting dalam hatinya dengan nada terkejut. "Ternyata
dia kenal dengan orang berselubung kain hitam itu" Hmm... apakah orang
berkain hitam itu masih sama seperti malam itu" Apakah dia Nyai Sedah" Kalau
begitu, Sundari punya hubungan
dengan Nyai Sedah" Sejauh mana hubungan mereka
sebenarnya?"
Tiba-tiba terdengar suara wajah ditampar. Plaaak...!
Suto Sinting terperanjat melihat Sundari ditampar orang berpakaian serba hitam
itu. Terdengar pula pekik kecil dari Sundari yang kesakitan, lalu suara tangis
pun terdengar samar-samar.
"Katakan!" sentak orang berkerudung hitam. Kini Suto yakin orang itu adalah Nyai
Sedah, sebab suara
yang terdengar menyentak adalah suara perempuan.
"Katakan, Sundari! Atau kau menerima upah maut
dariku, hah"!"
Suto Sinting masih belum bergerak dan tidak lakukan
apa-apa. Walaupun ia melihat rambut Sundari dijambak
dengan kasar oleh orang berpakaian hitam itu, tapi Suto masih tetap menahan diri
untuk tidak berbuat sesuatu, ia masih ingin tahu apa yang dilakukan oleh kedua
orang di bawahnya itu.
"Kesabaranku habis pada hitungan ketiga, Sundari!
Satu... dua...."
"Dia ke puncak! Carilah di puncak sana!" jawab Sundari dengan rasa marah yang
tak mampu dilampiaskan. Tangisnya kian terdengar jelas dari tempat Suto bersembunyi di
atas pohon. "Tidak mungkin, Sundari! Aku bukan orang bodoh
yang bisa kau bohongi! Kau ingin menjebakku di puncak
sana, bukan"!"
"Ttt... tidak!"
"Kau bohong! Aku jadi muak padamu!"
Sreeet...! Orang berkerudung hitam itu mencabut
pisau sepanjang dua jengkal dari balik baju hitamnya.
Pisau itu hendak ditikamkan ke dada Sundari. Tapi Suto Sinting segera lepaskan
pukulan 'Jari Guntur'-nya lewat sentilan tangan. Taaas...!
Tenaga dalam yang dilepaskan lewat sentilan
tangannya itu tepat kenai pelipis orang berpakaian hitam.
Dees...! Orang itu pun tersentak dan terpelanting ke
samping bagaikan terkena tendangan kuda binal. Ia
berguling-guling tiga kali, lalu cepat ambil sikap berdiri lagi.
Wuuut...! Jleeg...!
Suto Sinting turun dari atas pohon langsung
berhadapan dengan perempuan berkerudung hitam itu.
Sundari terkejut girang, sedangkan perempuan
berkerudung hitam menjadi cemas.
"Suto, syukurlah kau ada di sini!" Sundari segera hampiri Suto dan memeluknya
dari belakang. "Siapa dia, Sundari" Nyai Sedah?"
"Ya. Dia orang yang kemarin juga!" jawab Sundari dengan takut.
"Menjauhlah, biar kuhadapi orang itu."
Wuuul...! Tiba-tiba pisau di tangan Nyai Sedah dilemparkan ke
arah dada Suto. Tapi tangan Suto berkelebat cepat dan
berhasil tangkap pisau itu dengan jepitan dua jari
tangannya. Teeb...!
"Sudah kuduga kau bisa menangkapnya!" kata Nyai Sedah yang hanya kelihatan
bagian matanya saja.
"Apakah kau ingin aku berbuat lebih kejam dari
malam itu, Nyai Sedah?"
"Aku sengaja kembali untuk bikin perhitungan
denganmu!" geram Nyai Sedah, lalu ia lepaskan pukulan dari tangan kosongnya.
Slaap...! Sinar putih perak
melesat dari telapak tangan itu. Suto segera meraih
bumbung tuaknya dan menangkisnya. Sinar putih perak
itu menghantam bumbung tuak dengan kuat. Trak...!
Dan ternyata sinar itu membalik arah menjadi lebih
besar dan lebih cepat.
"Celaka!" geram Nyai Sedah. Ia segera sentakkan
kaki dan tubuhnya pun melenting di udara. Tetapi
gerakan itu terlambat. Akibatnya sinar perak itu kenai betis Nyai Sedah.
Jraaas...! Suaranya seperti bara masuk ke dalam air.
"Auh...!" Nyai Sedah memekik kesakitan. Kulit betis sampai telapak kakinya
menjadi hangus. Sayang cahaya
malam kurang kuat sehingga tak bisa dilihat dengan jelas oleh Suto dan Sundari.
Tubuh Nyai Sedah jatuh terpuruk tak mampu berdiri
lagi. Ia mengerang kecil sambil memperhatikan kakinya
yang berasap. Suto Sinting segera mendekatinya,
Sundari menjadi cemas melihat Suto mendekat.
"Awas, jangan dekati dia! Kukunya beracun!" seru Sundari.
Wuuut...! Nyai Sedah ternyata cepat menyambar kaki Suto
dengan cakarnya. Tapi tubuh Pendekar Mabuk segera
lompat ke atas dan cakaran itu mengenai tempat kosong.
Suto Sinting sempat bersalto mundur satu kali.
"Aku dapat menyembuhkanmu sekarang juga jika kau
bersedia tinggalkan segala perbuatan terkutukmu. Nyai
Sedah," kata Suto mencoba menawarkan kebaikan demi kesadaran perempuan itu.
"Persetan dengan tawaranmu! Hiaah...!"
Claap...! Selarik sinar hijau melesat dari telapak tangan Nyai
Sedah. Suto Sinting segera menangkisnya kembali
dengan bumbung tuaknya. Traak...! Sinar itu berubah
menjadi besar dan akhirnya menghantam balik tubuh
Nyai Sedah. Zraaabb..! Bluub..!
"Aahhg...! Aaahg...!"
Nyai Sedah tak mampu berteriak, tubuhnya segera
terbungkus api karena terkena sinar hijaunya sendiri, ia berguling-guling
mencoba memadamkan api itu, tapi
usahanya tak berhasil. Sundari sendiri sempat palingkan wajah tak tega memandang
Nyai Sedah. Suto Sinting
cepat meneguk tuaknya, sebagian disimpan pada mulut,
lalu ia semburkan tuak di mulutnya ke tubuh yang
terbungkus api itu.
Bwwrruss...! Blaaab...! Api padam seketika, tinggal kepulan
asapnya. Tapi tubuh Nyai Sedah telah tak bernyawa.
Rupanya sinar hijau tadi bukan membakar tubuh saja,
melainkan membakar bagian dalam tubuh, merusakkan
jantung, paru-paru, dan yang lainnya. Pertolongan Suto terlambat, tapi ia merasa
telah lakukan hal yang benar, yaitu memberikan tawaran baik sebelum ajal
merenggut nyawa. Tapi tawaran itu ditolak, bahkan dibalas dengan kemurkaan, akibatnya Nyai
Sedah menerima nasib yang
ditentukan oleh tindakannya sendiri.
Suto mendengar suara isak yang meratap. Ternyata
Sundari saat itu menangis di balik pohon melihat
kematian Nyai Sedah. Pendekar Mabuk heran dalam
hatinya, tapi ia tak berani tanyakan dulu sebab tangis Sundari. Ia membujuk
Sundari untuk diam dan segera
tinggalkan tempat itu untuk laporkan kepada pihak
kepala desa. "Mengapa dia kau bunuh?" Sundari bagaikan
menuntut Suto. "Dia yang membunuh dirinya sendiri dengan sinar
hijaunya tadi."
"Aku... aku jadi kehilangan calon guru!"
"Calon guru?"
"Dia calon guruku. Setelah aku bisa memberi kabar tentang pemuda-pemuda yang
aman diculiknya sebanyak
sepuluh orang, aku akan diangkatnya sebagai murid!
Tapi sekarang baru tiga pemuda dia sudah mati. Sia-sia saja aku mencarikan tiga
pamuda pemuas gairahnya
yang mungkin... mungkin sekarang sudah dibunuh
setelah diserap habis darah kejantanannya," tutur Sundari dalam tangisnya. Suto
Sinting jadi tertegun
beberapa saat mengetahui hal itu.
"Jadi... selama ini kaulah yang memberi kabar tentang pemuda-pemuda yang aman
diculiknya?"
"Ya. Karena itu syarat untuk menjadi muridnya."
"Kau salah, Sundari. Kau tidak boleh membantu
pihak yang sesat seperti Nyai Sedah itu."
"Tapi aku ingin memiliki ilmu seperti yang
dimilikinya!"
"Ada jalan lain, tanpa harus membantunya melakukan kejahatan."
Sundari kian menangis di sela malam bercahaya
rembulan. Suto mencoba memahami jalan pikiran lugu
gadis desa itu. Akhirnya ia bertanya,
"Lalu mengapa kau tadi mau dibunuhnya?"
"Sejak kemarin ia mencarimu, tapi aku tak mau kasih
tahu di mana dirimu! Aku takut kau dijadikan korban
seperti pemuda lainnya. Lalu, malam ini ia mendesakku
lagi, tapi tidak percaya kalau kukatakan bahwa kau ke
puncak. Rupanya dia bermaksud serahkan dirimu kepada
suaminya, yang juga sebagai gurunya, ia merelakan
diperistri oleh suaminya itu hanya untuk dapatkan ilmu-ilmu sakti seperti yang
dimilikinya sekarang ini. Tapi menurutnya, ia tak pernah mendapatkan kepuasan
cinta dengan suaminya, sehingga ia perlu mencari pemuda
yang masih perjaka untuk diajaknya bercinta di tempat


Pendekar Mabuk 028 Bandar Hantu Malam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

khusus di tengah hutan sebelah utara sana."
Suto Sinting manggut-manggut. Lalu setelah diam
beberapa saat ia pun ajukan tanya, "Siapa suaminya itu?"
"Seorang tokoh sakti berilmu tinggi. Namanya
Dampu Sabang."
Suto berkerut dahi. "Dambu Sabang?" ia
menggumam penuh tanda tanya. Lalu pikirannya segera
melayang pada peristiwa beberapa waktu yang lalu. Ia
ingat, Dambu Sabang adalah guru dari Wiratmoko, si
Iblis Naga Pamungkas, yang telah dikalahkan olehnya
dan dibuang ke Sumur Tembus Jagat, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Naga Pamungkas").
"Apakah kau tahu kenapa dia ingin serahkan diriku kepada Dampu Sabang?"
"Baru tadi kuketahui, katanya kau telah membunuh
murid tunggalnya yang bernama Iblis Naga Pamungkas."
"Ya, memang aku yang menghabisi Wiratmoko alias
si Iblis Naga Pamungkas," kata Suto Sinting dengan suara pelan. "Tapi hal itu
kulakukan demi kedamaian di
antara sesama. Hanya saja... bagaimana dia bisa
mengenaliku sebagai Suto Sinting?"
"Kemarin malam aku menceritakan siapa dirimu dan
apa tujuanmu. Maafkan aku, Suto. Semua kulakukan
karena aku ingin memiliki ilmunya," Sundari mengisak penuh sesal. "Aku tak
menyangka kalau dia juga
mengincarmu, lebih tak menyangka lagi setelah tadi dia bilang mau menangkapmu
dan menyerahkannya kepada
Dampu Sabang."
"Apakah kau tahu di mana Dampu Sabang berada
saat ini?"
Sundari menggeleng. Tangisnya ditahan sesaat, lalu
ia berkata, "Tadi sore kutemui Nyai Sedah di hutan sebelah utara. Dia sempat
bilang padaku, bahwa Dampu
Sabang pergi ke suatu tempat untuk lakukan pertarungan dengan Bandar Hantu
Malam. Dia merasa makin punya
banyak waktu jika suaminya sibuk mengejar musuhmusuhnya."
"Pertarungan"!" gumam Suto bagaikan bicara sendiri.
"Apakah malam ini Bandar Hantu Malam sedang
berhadapan dengan Dampu Sabang" Di mana mereka
mengadakan pertarungan itu" Aku ingin menyusulnya!"
* * * 8 URUSAN Suto bukan dengan Dampu Sabang,
melainkan dengan Bandar Hantu Malam. Karena itu,
yang dicari dalam pertarungan dua tokoh itu adalah
Bandar Hantu Malam. Apakah Bandar Hantu Malam
tumbang di tangan Dampu Sabang, atau unggul dalam
pertarungan ini" Jika Ki Randu Papak ternyata unggul
melawan Dampu Sabang, berarti Suto yang akan
menumbangkannya. Tapi jika Ki Randu Papak atau
Bandar Hantu Malam itu sudah roboh di tangan Dampu
Sabang, berarti Suto tidak perlu repot-repot lagi
kerahkan tenaga untuk melawan tokoh sakti itu.
Tentang dendam Dampu Sabang yang ingin
membalas kematian muridnya, Suto sudah siap
pertahankan diri dengan sebaris alasan. Jika ternyata
alasan itu tidak bisa diterima oleh Dampu Sabang, maka Suto pun siap dengan
pertarungan demi membela
kebenaran dan kedamaian di antara sesama. Bagi
Pendekar Mabuk, melawan Bandar Hantu Malam atau
Dampu Sabang sama saja. Tak ada yang ditakuti, tak ada yang dianggap ringan,
tapi tak ada pula yang harus
dikasihani. Kedua tokoh sakti itu sama-sama kejam,
ganas, dan jahat. Kejahatan itulah yang harus
ditumbangkan Suto dengan cara apa pun.
Tetapi ternyata cukup sulit mencari tempat
pertarungan bagi dua tokoh sakti itu. Sepanjang malam
hingga pagi Suto mencari, tapi tempat pertarungan
mereka tidak ditemukan. Untung Pendekar Mabuk tidak
membawa Sundari, walaupun gadis itu sangat ingin
menyertai Suto, tapi oleh Suto diantar pulang ke rumah Ki Rosowelas. Seandainya
ia membawa Sundari, maka
gadis itu akan mengeluh dan justru merepotkan Suto.
Sebab pencarian itu tidak hanya sampai pagi saja,
melainkan dilanjutkan hingga menuju siang hari. Rasa
kantuk dan lelah bisa diatasi Suto dengan menenggak
tuak agak banyak.
Mendekati pertengahan siang, Suto mendengar suara
ledakan menggelegar di sebelah barat. Ledakan itu juga membuat tanah tempat Suto
berpijak menjadi
berguncang bagai dilanda gempa kecil. Asap hitam
membubung naik dari sebuah bukit yang ada di barat.
Asap itu menggumpal dalam bentuk kelompok tersendiri
dan memercikkan bunga api beberapa kali.
"Dua pukulan tenaga dalam dahsyat telah beradu di sana. Pasti di bukit itulah
Dampu Sabang bertarung
melawan Bandar Hantu Malam. Aku harus segera
menuju bukit itu dan melihat keadaan mereka secara
sembunyi-sembunyi dulu."
Bukit itu tidak terlalu tinggi. Tanamannya tidak
begitu rimbun. Bagian puncak bukit termasuk datar dan
mempunyai tempat yang enak untuk sebuah pertarungan.
Rimbunan semaknya tumbuh secara berkelompokkelompok. Dan di salah satu rimbunan semak berdaun
lebar itulah Suto bersembunyi mengintai sebuah
pertarungan. Ternyata pertarungan itu adalah pertarungan yang
tidak disangka-sangka oleh Suto Sinting. Bukan
pertarungan Bandar Hantu Malam melawan Dampu
Sabang, melainkan pertarungan antara Sumbaruni
dengan orang berkerudung kain hitam dan membawa
senjata tombak El Maut yang ujungnya mirip sabit.
Orang itu adalah tokoh sesat yang diburu-buru oleh
Pendekar Mabuk selama ini. Dia tak lain adalah Siluman Tujuh Nyawa, yang
mempunyai wajah pucat dan dingin.
Tentu saja Pendekar Mabuk terkejut sekali melihat
tokoh sesat itu muncul di bukit tersebut dan lakukan
pertarungan dengan Sumbaruni. Apa persoalan mereka,
Suto tidak tahu secara pasti. Tetapi sebagai orang yang sudah beberapa kali
bertarung melawan Siluman Tujuh
Nyawa, Suto dapat mengukur ketinggian ilmu si wajah
pucat itu yang melebihi ketinggian ilmu Sumbaruni atau Pelangi Sutera. Tentu
saja hati Suto Sinting
mencemaskan keselamatan Sumbaruni, sehingga ia perlu
segera ikut campur membela Sumbaruni.
Pada saat Sumbaruni terjatuh karena pukulan sinar
merahnya Siluman Tujuh Nyawa, orang berkerudung
kain hitam dari kepala sampai kaki itu segera melompat dan mengibaskan tombak El
Mautnya untuk memancung
leher Sumbaruni. Namun Suto Sinting segera lepaskan
pukulan 'Pecah Raga' berupa sinar hijau yang melesat
dari telapak tangannya.
Claap...! Sinar hijau itu diarahkan ke tubuh Siluman Tujuh
Nyawa, tapi karena gerakan orang tersebut melesat
dengan cepat, akibatnya sinar itu justru menghantam
tombak yang hendak ditebaskan memancung leher
Sumbaruni. Trang!
Weeesss...! Tombak itu tidak pecah, melainkan tersentak kuatkuat ke arah samping kiri dari pemegangnya. Sentakan
yang amat kuat itu membuat tubuh Siluman Tujuh
Nyawa terbawa terbang dan terpelanting enam langkah
jauhnya dari tempat semula. Siluman Tujuh Nyawa
merasa diterjang badai yang amat kuat, sehingga ia tidak mampu pertahankan
keadaannya. Sumbaruni yang segera bangkit dalam keadaan mulut
melelehkan darah secepatnya memandang ke arah
datangnya sinar hijau. Tentunya ia ingin tahu siapa
orang yang telah selamatkan jiwanya dalam keadaan
kritis tadi. Dan pada saat itulah Pendekar Mabuk
melenting di udara, bersalto dua kali, lalu mendarat tepat di samping Sumbaruni,
menghadap ke arah Siluman
Tujuh Nyawa. Jleeg...!
Suto...!" desah Sumbaruni bernada lega. "Untung kau datang tepat pada waktunya!"
"Apa persoalanmu dengan setan itu?"
"Logo disembunyikan olehnya, aku harus merampas
anakku itu agar tidak dijadikan budak sesatnya!"
"Hmmm...!" Suto Sinting hanya menggumam, tapi matanya masih memandang ke arah
Siluman Tujuh Nyawa yang menggeram penuh luapan amarah. Orang
itu telah bangkit dan menatap Suto. Namun wajahnya
tetap dingin dan tidak berperasaan. Matanya sedikit
menyipit menandakan dadanya kian kuat menjerat jiwa.
"Kita bertemu lagi, Durmala Sanca!" kata Suto Sinting tampak bangga dan senang.
Tapi dalam hatinya
berkata, "Sayang aku belum bertemu Resi Wulung
Gading, sehingga tak sempat membawa Pedang Kayu
Petir. Tapi akan kucoba lagi melumpuhkannya dengan
kekuatan yang ada padaku!"
"Kali ini kau akan binasa di tanganku, Pendekar
Mabuk!" ucap Siluman Tujuh Nyawa dengan datar.
"Kita buktikan siapa yang unggul saat ini juga!
Jangan sampai kau lari dari pertarungan ini, Durmala
Sanca!" sambil Suto melangkah ke samping kiri dan Siluman Tujuh Nyawa melangkah
ke samping kanan.
Sumbaruni segera tarik diri, mundur ke bawah pohon,
karena ia merasa yakin bahwa Suto mampu menangani
tokoh sesat berilmu tinggi itu.
"Aku harus mencari kesempatan untuk
menghantamnya dari belakang," pikir Sumbaruni.
"Memang curang, tapi tak ada salahnya berbuat curang kepada orang sesat yang
termasuk raja curang itu. Akan kupukul dia dengan jurus 'Anak Rembulan' agar ia
lumpuh tak punya tenaga lagi!"
Durmala Sanca segera sabetkan tombak El Mautnya
dari kanan ke kiri, jaraknya dengan Suto sekitar tujuh langkah. Wuuung...! Dari
sabetan itu melesat sinar
bergelombang bagai spiral yang berwarna merah terang dan semakin mendekati lawan
semakin lebar bentuk
lingkarannya. Pendekar Mabuk tidak menghindari serangan itu,
melainkan mengadu dengan jurus 'Tapak Guntur', yaitu
sinar biru yang keluar dari telapak tangan kiri yang
disentakkan ke depan. Suuuut...! Duaarrr...!
Perpaduan dua sinar tersebut hasilkan satu ledakan
yang mengguncang bumi dengan hebat. Tiga pohon
segera tumbang, satu di antaranya nyaris menjatuhi
tubuh Sumbaruni. Tanah di sekitar tempat itu menjadi
retak-retak di beberapa bagian. Kulit-kulit pohon
terkelupas bagai dilanda angin lahar dari magma gunung berapi.
Sentakan daya ledak itu sangat besar. Tak heran jika
Suto Sinting sendiri terlempar jatuh ke belakang dalam jarak empat langkah dari
tempat semula. Sedangkan
Siluman Tujuh Nyawa terhempas ke belakang bagaikan
terbang. Tubuhnya membentur sebuah dahan pohon
seukuran paha manusia dewasa. Duhg! Kraak! Dahan itu
patah seketika karena ditabrak punggung Siluman Tujuh
Nyawa. Tentunya itu sebuah tanda bahwa tubuh Siluman
Tujuh Nyawa mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup
besar, sehingga apa pun yang disentuhnya dapat hancur
atau petah. Tubuh itu setelah membentur dahan segera
turun dengan keseimbangan yang terjaga. Kakinya
menapak di tanah dengan tegap dan sigap. Jleeg...!
Melihat Suto Sinting belum bangkit dari jatuhnya,
Siluman Tujuh Nyawa segera lepaskan pukulan mautnya
yang keluar dari lima jari kiri berkuku runcing itu.
Slaaap...! Lima larik sinar hijau seukuran bambu
seruling itu meluncur dengan cepat ke arah dada Suto
Sinting. Suto baru saja ingin menangkisnya dengan jurus lain,
tapi tiba-tiba dari arah belakangnya muncul sinar merah berbentuk lingkaran
besar. Wuuut...! Sinar berbentuk
lingkaran besar itu menghadang sinar hijau lima larik, dan ketika sinar itu
masuk ke dalam lingkaran, maka
sinar mereka segera mengecil dengan cepat, bagaikan
menjerat kuat, tapi gerakan sinar masih tetap maju.
Mendorong lima larik sinar yang kini telah menjadi satu ujungnya itu. Dan sinar
tersebut membalik arah
menghantam pemiliknya.
Blaaar...! Sinar hijau itu pecah menjadi lebar, lalu padam
seketika. Tubuh Siluman Tujuh Nyawa terpelanting
dalam keadaan mengepulkan asap. Kerudung kain
hitamnya hangus sebagian. Mulutnya keluarkan darah
kental. Matanya menjadi merah bagai digenangi cairan darah. Tongkat El Mautnya
menjadi putih bagaikan
dilapisi busa-busa salju.
"Keparat!" gumamnya lirih, lalu ia sentakkan kaki dan lari tinggalkan tempat itu
secepatnya. Suto Sinting pun bergegas mengejar, tetapi Sumbaruni segera berseru,
"Biar kubereskan dia!" dan perempuan cantik itu segera melesat dengan cepat
mengejar Siluman Tujuh
Nyawa. Sedangkan Suto segera berpaling ke belakang
untuk melihat siapa orang yang telah selamatkan
jiwanya dari serangan lima larik sinar hijau tadi.
"Oh, kau..."!" Suto Sinting terkejut bukan kepalang.
Ternyata orang yang melepaskan sinar merah berbentuk
lingkaran tadi adalah Bandar Hantu Malam, alias Ki
Randu Papak. "Kau terlambat sedikit, Suto! Sinar hijau itu harus dibarengi dengan pukulan
penangkis. Sedikit lambat tak akan mampu ditembus oleh pukulan penangkis apa
pun. Itu yang dinamakan jurus 'Lima Dewa Kilat'. Hanya dia
yang memiliki jurus berbahaya itu," kata Bandar Hantu
Malam dengan sikapnya yang tenang, penuh wibawa,
dan kharisma. Pendekar Mabuk menenangkan diri, hatinya yang
resah dan jiwanya yang guncang akibat kebimbangan
dalam benak membuat Suto terpaksa menenggak
tuaknya beberapa saat. Sambil menenggak tuak ia


Pendekar Mabuk 028 Bandar Hantu Malam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membatin, "Lagi-lagi aku dibuat bimbang oleh sikap dan
penampilannya yang tenang dan menyerupai seorang
berjiwa bijak. Lagi-lagi aku tak tega untuk lakukan
serangan terhadapnya. Ah, kenapa begini" Ia tampil
tanpa permusuhan, bahkan termasuk telah selamatkan
jiwaku. Lalu apa yang harus kulakukan jika begini?"
Bandar Hantu Malam masih melangkah ke arah
larinya Siluman Tujuh Nyawa, tapi segera berhenti
dalam jarak lima langkah dari tempat Suto berdiri.
Dengan memandang ke arah kepergian Siluman Tujuh
Nyawa, Ki Randu Papak yang melipat kedua tangan di
dada itu perdengarkan suaranya, seakan bicara pada
dirinya sendiri.
"Jika Sumbaruni berhasil kejar Durmala Sanca, pasti dia dapat kalahkan tokoh
sesat itu. Tapi Jika Durmala
Sanca berhasil lolos, lalu mereka bertemu kembali, maka Sumbaruni akan hancur di
tangan Durmala Sanca. Sebab
jika Siluman Tujuh Nyawa diserang dalam keadaan
sedang terluka seperti tadi, kekuatannya tak akan bisa menandingi kekuatan
Sumbaruni."
Suto segera ajukan tanya, "Apakah kau juga tahu
tentang Sumbaruni?"
"Pernah mendengar namanya, pernah melihat jurusjurusnya. Tapi jauh dari semua itu...," Bandar Hantu Msiam balikkan badan dengan
kalem, menatap Pendekar
Mabuk tanpa senyum, tapi tanpa keangkuhan sedikit
pun. "... pada umumnya para tokoh seusiaku mengetahui
bahwa Sumbaruni adalah pelayan seorang petapa sakti
yang mendapat titisan ilmu dan akhirnya kawin dengan jin yang bernama Jin
Kazmat. Dari perkawinan itu
lahirlah anak jin yang bernama Logo."
Mata si pendekar tampan terkesiap walau hatinya
membenarkan keterangan tersebut. Cara bicara yang
kalem membuat Suto Sinting kembali ragu-ragu untuk
melontarkan tuduhan kepada Bandar Hantu Malam.
Bahkan untuk lakukan serangan mendadak pun terasa
sulit, seakan bertentangan dengan hati kecilnya. Padahal sebelum bertemu Bandar
Hantu Malam, semangatnya
menggebu-gebu untuk lakukan penyerangan terhadap
tokoh tua itu. "Kurasa dia mempunyai ilmu penjinak kemarahan
orang," pikir Suto dalam kebungkaman mulutnya. "Siapa pun akan menjadi segan
bila berhadapan dengannya.
Amarah siapa pun akan menjadi reda jika sudah bertatap muka dengannya. Begitulah
keadaanku sekarang ini.
Tapi... tapi mengapa Nyai Pancungsari tidak mempunyai
keraguan saat ingin menghabisi nyawanya" Apakah ilmu
penjinak kemarahan orang tidak berlaku bagi Nyai
Pancungsari" Ah, membingungkan sekali keadaan ini.
Dia pintar sekali berpura-pura menjadi tokoh yang
tenang dan disegani. Rasa hormatku kepadanya masih
saja ada, padahal aku sudah melihat sendiri
keganasannya dalam membantai murid-murid Resi
Wulung Gading"!"
Bandar Hantu Malam dekati Suto, berdiri dalam jarak
satu tombak, ia segera ajukan tanya, "Mengapa kau tak meminjam Pedang Kayu Petir
kepada Resi Wulung
Gading" Bukankah sudah kukatakan padamu, jika iIngin
kalahkan Siluman Tujuh Nyawa, kau harus gunakan
Pedang Kayu Petir?"
Kesempatan itu digunakan oleh Suto untuk lontarkan
kekecewaannya terhadap keadaan yang ditemui di
padepokan Resi Wulung Gading.
"Kau menipuku, Ki Randu Papak." Suto bicara agak datar, menimbulkan perasaan
aneh dalam hati kakek
berjubah putih itu, sehingga dahi sang kakek pun tampak berkerut dalam
memandangi Suto.
"Apakah menurutmu aku punya niat jahat padamu?"
"Bisa saja begitu!" jawab Suto bernada ketus. "Yang jelas aku kecewa mengikuti
saranmu untuk pergi ke
Lembah Sunyi menemui Resi Wulung Gading."
"Apa yang membuatmu kecewa, Nak?" sambil Ki
Randu Papak dekati Suto yang menjauh tiga langkah.
Suto sengaja bicara tanpa memandang kakek itu.
"Apakah kau harus berpura-pura bijak selamanya, Ki Randu Papak?"
Kerutan dahi Bandar Hantu Malam tampak kian
tajam. "Aku semakin tak mengerti maksudmu."
Suto menatap dengan berani, "Padepokan di Lembah
Sunyi telah hancur. Dua hari sebelum aku sampai di
sana, seseorang telah datang dan membantai semua
murid Resi Wulung Gading."
Perubahan wajah yang ada pada Ki Randu Papak
tampak jelas sebagai ungkapan rasa kaget, namun juga
rasa tidak percaya. Suto Sinting sengaja diam untuk
menunggu kata-kata dari sang kakek itu.
"Apa maksudmu dengan mengatakan aku menipumu,
Pendekar Mabuk" Kata-katamu menyimpang dari watak
kependekaranmu yang harus bicara jujur."
"Aku bicara yang sebenarnya, Ki Randu Papak. Kau boleh buktikan sendiri ke
Lembah Sunyi. Hanya ada dua
murid yang selamat dari pembantaian sadis itu, karena mereka sedang diutus ke
pesisir selatan."
"Sepertinya kau bicara mengigau. Tapi baiklah,
kucoba untuk mempercayai kata-katamu. Lalu,
bagaimana dengan Resi Wulung Gading sendiri"
Apakah dia ikut menjadi korban?"
Suto menggeleng berkesan dingin, "Resi Wulung
Gading bertapa di Gua Getah Tumbal. Mungkin sampai
sekarang belum mengetahuinya."
"Kalau begitu aku harus ke Gua Getah Tumbal untuk memberitahukan hal itu kepada
Resi Wulung Gading!"
tegas Ki Randu Papak.
Tiba-tiba terbersit kecemasan dalam hati Suto. Ia pun
membatin, "Celaka! Aku telah sebutkan tempat itu. Pasti Ki Randu Papak mau ke
sana bukan untuk kabarkan
musibah tersebut, tapi untuk membunuh Resi Wulung
Gading yang kala itu tak ditemui di padepokan.
Tentunya kata-kataku tadi merupakan berita bagus
baginya. Oh, aku harus mencegahnya agar tidak pergi ke Gua Getah Tumbal!"
Maka ketika Bandar Hantu Malam hendak bergerak
pergi, Suto Sinting segera melompat dan menghadang di
depannya. Sikap itu sangat mengherankan bagi Bandar
Hantu Malam, ia memandang penuh perasaan ingin tahu.
"Mengapa kau menghadangku?"
"Tak kuizinkan siapa pun pergi ke Gua Getah
Tumbal!" "Kau pikir aku akan berbuat jahat kepada Resi
Wulung Gading?"
"Ya Pasti kau akan membunuhnya, Ki Randu Papak."
Mata tua itu terbelalak kaget mendengar ucapan Suto.
Ia mendekati Pendekar Mabuk dengan pandangan mata
tajam bagaikan menembus ke hati Suto.
"Tega-teganya kau mencurigaiku begitu, Pendekar
Mabuk"! Apa alasanmu menduga begitu padaku?"
"Karena menurut saksi dalam pembantaian di
padepokan itu, orang yang datang malam hari dan
menjagal semua murid Resi Wulung Gading itu bernama
Bandar Hantu Malam!" jawab Suto tegas dan jelas.
Ki Randu Papak kian tampakkan rasa kagetnya.
Dengan suara menggeram pertanda menahan kemarahan,
Ki Randu Papak berucap kata,
"Itu fitnah! Tak benar!"
"Itu benar, Ki. Karena Ratu Asmaradani pun
mengutusku membunuhmu sebab kau ingin
mengawininya, dan menggunakan ilmu 'Racun Siluman'
untuk memperdaya sang Ratu agar mau menjadi
istrimu!" Gemetaran sekujur tubuh Ki Randu Papak. Hawa
panas mulai naik ke dada dan bermukim di kepala.
Wajah tuanya tampak merah pertanda menahan murka.
Tapi Suto Sinting hanya memperhatikan dengan tenang,
penuh keisengan, ia melihat gigi tokoh tua itu
menggeletuk, bola matanya mengecil bagaikan
menyimpan dendam atau kemarahan yang tak jelas
arahnya. "Fitnaaah...!"
geramnya dengan napas mulai
memberat. Jari-jari tangannya tampak bergetar. Jari-jari tangan itu akhirnya
disentakkan ke samping dan
melesatlah sinar biru pecah, menyebar ke seluruh
penjuru. Praaass...!
Suto kaget dan melompat mundur, pasang kuda-kuda.
Tapi kuda-kudanya segera mengendur ketika melihat
enam pohon yang terkena percikan sinar biru itu lenyap tinggal debunya yang
menggunduk di tanah. Suto
Sinting tertegun takjub untuk beberapa saat. Bandar
Hantu Malam hembuskan napas panjang, tundukkan
kepala, kedua tangan menggenggam kuat-kuat, menahan
luapan murka yang hampir-hampir tak bisa
dikendalikan. Suto diam beberapa saat, memberi
kesempatan kepada tokoh tua itu untuk menenangkan
diri. Setelah merasa cukup tenang, Bandar Hantu Malam
segera angkat kepala pelan-pelan dan pandangi Suto
dalam keadaan menoleh ke samping.
"Aku tidak sejahat itu," katanya dengan suara gemetar. "Aku bukan orang sesat
seperti dulu, Suto!"
"Dua peristiwa kulihat sendiri, Ki Randu Papak. Dua orang menjadi saksi
keganasanmu. Ratu Asmaradani
hilang tubuh bagian perut ke bawah karena terkena Ilmu
'Racun Siluman'-mu, Ki Randu Papak."
"Aku tidak kenal dengan Asmaradani! Bawa aku ke
sana dan kubuktikan padamu apakah orang aku yang
menyerangnya!" sentak Bandar Hantu Malam dengan
nada jengkel dan gemas sekali. Suto jadi berkerut dahi, mulai bimbang lagi. Tapi
Ki Randu Papak memandang
bagai menuntut pembuktian.
* * * 9 SEBERKAS sinar merah terang melesat ke langit,
lalu melatup di angkasa. Letupannya memercikkan
bunga api berasap tebal. Ki Randu Papak segera
pandangi sinar merah itu, demikian pula Suto Sinting.
Pada saat Suto mendongak ke atas, Ki Randu Papak
tahu-tahu telah lenyap dari tempatnya, ia bergerak luar biasa cepatnya sehingga
seperti menghilang gaib. Suto
Sinting kaget dan menjadi tegang karena merasa
kehilangan buruannya.
Tapi pendengar batinnya masih mampu melacak
suara detak jantung yang kian menjauh. Suto Sinting
segera melesat bagaikan anak panah lepas dari busurnya,
ia berlari mengejar suara detak jantung milik Bandar Hantu Malam. Sambil berlari
hatinya menggeram penuh
gerutu, "Ke mana pun kau pergi akan kukejar, Bandar Hantu Malam. Tak akan kubiarkan kau
lolos begitu saja! Kau
harus pertanggungjawabkan perbuatanmu di depanku.
Setinggi apa pun ilmumu aku harus tetap melawanmu,
Bandar Hantu Malam!"
Rupanya Ki Randu Papak berlari menuju arah
datangnya sinar merah yang meletup di angkasa tadi.
Tetapi gerakannya mampu dipatahkan oleh Suto Sinting
yang tahu-tahu menghadang langkahnya. Jleeg...!
"Mau lari ke mana kau, Bandar Hantu Malam"!"
tegur Suto tak ramah lagi.
"Suto, minggirlah dulu. Aku punya urusan dengan
seseorang! Setelah kuselesaikan urusanku ini, kita bicara lagi mencari kebenaran
fitnah itu!"
"Tak kubiarkan kau lari tinggalkan tanggung
jawabmu. Bandar Hantu Malam!"
"Jangan paksa aku melukaimu, Suto!"
"Tidak. Aku hanya ingin paksa dirimu mengobati
Ratu Asmaradani yang terkena 'Racun Siluman' itu!"
"Itu bukan tanggung jawabku, Suto! Aku tidak
melakukannya!" sentak Ki Randu Papak. "Tapi kalau kau ingin aku membantumu, aku
sanggup membantumu.
Tapi nanti, setelah kuselesaikan urusanku dengan
Dampu Sabang!"
"Sekarang juga kau harus lakukan penyembuhan
terhadap Ratu Asmaradani!"
"Tidak bisa! Aku sudah punya janji untuk lakukan
pertarungan terakhir dengan adik seperguruanku: Dampu
Sabang!" "Aku akan memaksamu, Ki Randu Papak!"
"Bocah nekat!" geramnya dengan gusar. Tapi ia tidak lakukan penyerangan. Ia
justru melesat ke arah lain
untuk larikan diri.
Suto Sinting segera lepaskan pukulan 'Jari Guntur'
nya dengan sentilan tangan ke arah tubuh Ki Randu
Papak. Teess...! Sentilan tangan yang mengeluarkan
tenaga dalam besar itu menghantam punggung Ki Randu
Papak. Deeb...!
"Ahg...!" orang itu tersentak, tubuhnya segera tumbang ke tanah, namun ia segera
berdiri lagi dan
hendak lanjutkan pelariannya. Ia tidak memberikan
serangan balasan, membuat Suto semakin penasaran dan
beranggapan bahwa Bandar Hantu Malam sengaja ingin
menghindari tuntutannya.
Suto Sinting akhirnya melompat dan bersalto di udara
satu kali, lalu tiba di punggung Bandar Hantu Malam
dengan sebuah tendangan kuat bertenaga dalam cukup
tinggi. Duuhg...!
"Aaahg...!" kakek tua itu terlempar jauh dan terguling-guling di tanah.
Suto Sinting cepat-cepat menyergapnya, seakan tidak
berikan kesempatan kepada Bandar Hantu Malam untuk
lakukan serangan balik. Tetapi ketika Suto menerjang
mendekati tokoh tua yang baru saja bangkit dari


Pendekar Mabuk 028 Bandar Hantu Malam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jatuhnya, tiba-tiba tubuhnya terpental ke belakang
manakala kalung merah yang dikenakan Bandar Hantu
Malam itu menyala kuning seperti emas.
Gusraak...! "Edan! Dia punya lapisan tenaga dalam yang sangat besar membentengi dirinya.
Apakah dia tidak ingin
diserang lagi. Tapi kenapa ia tidak mau menyerangku?"
pikir Pendekar Mabuk sambil berusaha bangkit dari
jatuhnya. Ketika ia berdiri, ternyata Bandar Hantu Malam
sudah tidak ada di tempat. Suto Sinting sempat
kehilangan jejak. Tapi ia ingat arah datangnya sinar
merah yang tadi melesat ke langit itu. Pasti Bandar
Hantu Malam pergi ke arah sana. Sinar merah itu
sepertinya sebuah tanda bahwa Bandar Hantu Malam
ditunggu lawannya di sana.
Dugaan Suto tidak salah. Bandar Hantu Malam ada di
kaki bukit ia sedang berhadapan dengan seorang lelaki
berusia sekitar enam puluh tahun, berambut abu-abu,
wajahnya nyaris tertutup brewok lebat warna abu-abu
juga. Orang itu kenakan pakaian hitam dirangkap dengan baju jubah lengan panjang
warna hijau tua. Tubuhnya
agak gemuk, mengenakan gelang akar bahar hitam di
tangan kirinya. Matanya lebar dan tajam memandang,
berkesan bengis.
Suto Sinting bersembunyi di balik dua pohon yang
tumbuh merapat. Dari sana ia bukan saja bisa melihat
pertarungan itu melainkan juga bisa mendengar
percakapan kedua tokoh tua tersebut.
"Sejak semalam kucari kau di Bukit Cadas, tapi
ternyata kau tak hadir di sana, Dampu Sabang!" kata Bandar Hantu Malam.
Suto menggumam dalam hati, "Ooo... dia yang
bernama Dampu Sabang"!"
Terdengar suara Dampu Sabang terkekeh dalam tawa
besarnya, ia berkata dengan nada angkuh.
"Maaf, aku harus temui kekasihku yang baru, yang
tak bisa kutinggalkan walau sekejap saja. Sekaranglah saatnya kita bertemu dan
tentukan nasib kita, Bandar
Hantu Malam!"
"Sebenarnya aku enggan melakukannya, Dampu
Sabang. Tapi demi wasiat dari guru kita, Cambuk Getar
Bumi harus tetap di tanganku. Karena akulah yang
diwarisi pusaka itu!"
"Aku tetap ingin memiiiki pusaka Cambuk Getar
Bumi. Kita sama-sama murid Ki Warok Guci Wangsit,
kita mempunyai ilmu yang sama, tapi belum tentu kita
mempunyai kelicikan sama pula, Bandar Hantu Malam!
Jalanmu sudah membelok dari arah yang semestinya.
Mendiang Guru akan kecewa melihat kau menjadi orang
sok suci dan berlagak menjadi pahlawan kebenaran.
Kurasa pusaka Cambuk Getar Bumi tidak pantas lagi ada
di tanganmu."
"Apakah kita harus saling bunuh untuk perebutkan
pusaka itu, Dampu Sabang?"
"Kurasa itulah jalan yang terbaik bagi kita, Bandar Hantu Malam! Bersiaplah
menerima seranganku, Tua
Bangka! Heaaah...!"
Dampu Sabang menggerakkan tangannya ke atas,
mengembang lebar bagai sayap burung garuda, kakinya
yang kiri terangkat lurus hingga lututnya hampir dekati bagian dada. Lalu dengan
cepat kaki kanan mengayun
naik dan tubuhnya pun melayang cepat ke arah Bandar
Hantu Malam. Sementara orang yang diserangnya pun
menggunakan jurus seperti burung bangau, yang melesat
menuju sasaran dengan cepat Wuuut...!
Di udara mereka beradu kecepatan pukulan tangan.
Dahk, dahk, dahk...! Dan setiap benturan tangan dengan tangan menimbulkan
percikan bunga api berwarna
merah kebiru-biruan. Kecepatan itu sempat membuat
Bandar Hantu Malam kecolongan jurus, sehingga dada
di bawah pundak kirinya berhasil dihantam dengan
telapak tangan Dampu Sabang. Baaaahg...!
Wuuut..! Bandar Hantu Malam jatuh terpental dan bergulingguling, sedangkan Dampu Sabang berhasil mendarat
dengan kaki tegak dan kekar. Suto melihat Bandar Hantu Malam memuntahkan darah
kental dari mulutnya. Bekas
pukulan Dampu Sabang tampak hitam dan berasap. Kain
jubah bolong, kulit dada terlihat melepuh warna hitam
kebiru-biruan. "Saatnya kau menuju ke neraka menyusul guru kita, Randu Papak! Heaaat...!"
Dampu Sabang lepaskan pukulan dari telapak
tangannya yang bersinar biru melingkar-lingkar. Pada
saat itu Bandar Hantu Malam segera bangkit dan
kalungnya menyala kuning emas. Suto tahu jika kalung
menyala kuning emas menyilaukan itu berarti Bandar
Hantu Malam melapisi tubuhnya dengan perisai tenaga
dalam yang tak bisa ditembus serangan lawan.
Tetapi di luar dugaan, ternyata sinar biru melingkarlingkar itu berhasil menembus lapisan perisai tenaga
dalamnya. Praaak...! Terdengar seperti suara cermin
pecah. Lalu sinar biru itu menghantam tubuh Bandar
Hantu Malam. Zruub! Tepat mengenai iga kanan Bandar
Hantu Malam. "Aaahhhg...!" Bandar Hantu Malam mengejang
dengan kepala terdongak dan kedua kakinya menekuk ke
depan. Sekujur tubuhnya berasap, warna kulitnya
menjadi merah retak-retak.
Suto Sinting terbelalak melihat keadaan Bandar
Hantu Malam. Lukanya sangat parah, tapi agaknya ia
bertahan untuk tetap lakukan serangan ke arah Dampu
Sabang. Tapi serangannya sangat lunak dan mudah
dihindari Dampu Sabang yang tertawa terbahak-bahak
kegirangan. Suto dalam kebimbangan. Mau menolong, tapi yang
ditolong adalah yang menjadi musuhnya dan ingin
dibinasakan jika tak mau tawarkan racun yang mengenal
Ratu Asmaradani. Jika ia tidak menolong, ia tak tega
melihat orang yang pernah dikagumi itu menderita
siksaan begitu keji.
Dalam keadaan bimbang itu, tiba-tiba Suto Sinting
dikejutkan oleh gerakan halus yang datang dari arah
belakangnya. Suto cepat-cepat genggamkan tangan
untuk lepaskan pukulan kepada orang yang datang dari belakangnya dengan
mengendap-endap itu. Tetapi
pukulan itu segera dikendurkan, napas Pendekar Mabuk
segera dihembuskan dengan lega begitu tahu siapa yang
datang. "Kelana Cinta..."i"
"Ssst...!" Kelana Cinta, perwira negeri Ringgit Kencana justru menempelkan
telunjuk ke bibirnya yang
ranum itu. Ia mendekati Suto, sedikit merapatkan badan agar terhalang dua pohon
berjajar itu. "Kenapa kau kemari"' bisik Suto.
"Ratu menyuruhku menjagamu dari kejauhan."
"Kenapa justru mendekat?"
"Karena saatnya telah tiba."
Suto kembali memandang Bandar Hantu Malam
sebentar yang semakin menderita itu. Lalu ia
memandang Kelana Cinta dan berkata dalam nada bisik,
"Sejak kapan kau mengikutiku?"
"Sejak kau pergi dari Lembah Sunyi. Aku sempat
melihat mereka terbantai. Kupikir semula ingin temui
Resi Wulung Gading, sahabatku itu, tapi keadaannya
tidak memungkinkan. Lalu kulihat kau tinggalkan
tempat itu dan aku mengikutimu. Sekarang berbuatlah!"
"Apa yang harus kuperbuat"!"
"Hadapi Bandar Hantu Malam itu!"
"Untuk apa" Dia sudah hampir mati karena serangan adik seperguruannya."
"Kasihan Pak Tua yang sekarat itu kalau kau tidak segera turun tangan."
"Kenapa kasihan" Bukankah dia adalah Bandar Hantu Malam"!"
"Salah!" sentak Kelana Cinta dalam bisik. "Bandar Hantu Malam adalah lelaki
brewok itu!"
"Hahh..."!" Suto terkejut. "Apakah kau tak salah lihat?"
"Tidak. Aku melihat jelas ia bertingkah seenaknya di istana kami! Dia yang
mengaku Bandar Hantu Malam
dan melepaskan pukulan 'Racun Siluman' ke tubuh Ratu
Asmaradani."
"Tapi... tapi yang bernama Bandar Hantu Malam
adalah orang yang sedang sekarat itu!"
"Tapi yang datang ke istana adalah si brewok itu!"
bantah Kelana Cinta.
Suto bimbang sejenak. Tapi kebimbangan itu segera
temui kepastiannya setelah Dampu Sabang berkata
penuh kemenangan kepada Bandar Hantu Malam.
"Randu Papak... akan kupercepat ajalmu tiba dengan satu jurus pelebur ragamu!
Tapi sebelumnya perlu kau ketahui, seandainya kau hidup pun akan sia-sia, sebab
nama Bandar Hantu Malam telah kugunakan untuk
menyerang beberapa rekanmu, termasuk melukai ratu
dasar laut dengan 'Racun Siluman'. Seandainya kau
hidup, kau akan banyak musuh dan tak akan diakui
sebagai orang aliran putih lagi! Mereka tak akan percaya padamu, Randu Papak.
Ha, ha, ha, ha...!" Dampu Sabang tertawa lepas.
Suto Sinting menggeram. Tangannya mulai gemetar
penuh hasrat menyerang Dampu Sabeng. Napasnya
membuat tanah di bawahnya menjadi melesak ke dalam.
Karena napas yang keluar pada saat ia sedang marah
adalah napas tuak satan yang dapat hadirkan badai
dahsyat mengerikan.
"Sekarang terimalah
ajalmu, Randu Papak!
Hiaaat....!"
Sinar merah sebesar telapak tangan dihantamkan ke
arah tubuh Bandar Hantu Malam dalam jarak lima
langkah. Tapi sebelum sinar itu melesat jauh dari telapak tangan Dampu Sabang,
Suto Sinting lebih dulu lepaskan
pukulan 'Pecah Raga' dari tangannya. Sinar hijau itu
menghantam sinar merah dan terjadilah ledakan dahsyat
yang mengguncangkan tanah sekitarnya.
Blegaaar...! Burung-burung yang hinggap di pohon jauh dari
tempat itu berlarian. Beberapa pohon besar tumbang tak karuan. Tanah sempat
retak di beberapa tempat. Kelana
Cinta terjungkal sendiri ke belakang karena hentakan
daya ledak tadi. Sedangkan Suto Sinting hanya terdesak mundur satu tindak, tapi
Dampu Sabang terpental jauh
dan berguling-guling.
Dampu Sabang segera bangkit walau wajahnya
menghitam legam, mulutnya berdarah dan brewoknya
rontok dengan sendirinya. Dampu Sabang menjadi
sangat murka dan berteriak keras-keras.
"Bangsat! Siapa yang mau ikut campur urusanku ini, hah"!"
"Aku!" jawab Suto sambil lompat dari
persembunyiannya. "Aku, Suto Sinting yang kalahkan muridmu Wiratmoko dan telah
bunuh istrimu yang sesat
itu; Nyai Sedah!"
Mata Dampu Sabang merah dan menjadi liar, ia
menggeram sambil melangkah maju dengan penuh nafsu
membunuh. "Bangsat busuk! Kuleburkan ragamu menjadi satu
dengan tanah, murid Gila Tuak! Hiaaah...!"
Tapi Suto Sinting lebih dulu sentakkan tangannya ke
depan. Telapak tangannya dalam keadaan miring. Maka,
puluhan pisau kecil melesat dari telapak tangan itu.
Claaap...! Zrruubb...! Pisau-pisau kecil itu menancap tepat di dada sampai perut
Dampu Sabang. "Ahg...!" Dampu Sabang tersentak dan diam seketika dengan tangan masih mau
disentakkan. Lama sekali dia
tak bergerak. Kelana Cinta dan Bandar Hantu Malam
sempat merasa heran melihat Dampu Sabang bagaikan
menjadi patung. Tetapi ketika angin berhembus kencang, mereka terkejut melihat
tubuh Dampu Sabang
berhamburan ke mana-mana. Rupanya pada saat itu
Dampu Sabang sudah tak bernyawa lagi. Pisau-pisau
kecil itu telah membuat Dampu Sabang berubah menjadi
debu yang masih saling bergumpalan. Itulah kehebatan dan kedahsyatan jurus
'Manggala' milik Pendekar
Mabuk, pemberian dari Ratu Kartika Wangi, calon
mertuanya itu. Dengan terbunuhnya tubuh Dampu Sabang, maka
persoalan Bandar Hantu Malam palsu pun terselesaikan.
Ki Randu Papak segera ditolong olah Suto menggunakan
tuak saktinya, dan Suto meminta maaf kepada tokoh tua
yang bijak itu. Sedangkan Ratu Asmaradani tubuhnya
menjadi pulih seperti sediakala, terbebas dari pengaruh
'Racun Siluman' yang juga dimiliki oleh Dampu Sabang.
Hubungan Suto dengan Ratu Asmaradani semakin
akrab, namun hanya sebatas sahabat saja. Tak ada yang
berani jatuh cinta kepada Suto, sebab Suto sudah ada
yang punya. Dialah Dyah Sariningrum, Gusti Mahkota
Sejati. SELESAI PENDEKAR MABUK ikuti kisah selanjutnya:
CAMBUK GETAR BUMI
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Pedang Angin Berbisik 21 Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo Raja Silat 10

Cari Blog Ini