Pendekar Mabuk 082 Kuil Perawan Ganas Bagian 1
Serial : Pendekar Mabuk
Judul : Kuil Perawan Ganas
Pengarang : "
Penerbit : "
E-book by : paulustjing
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
1 SUDAH tiga purnama Suto Sinting tidak jumpa
dengan calon istrinya: Dyah Sariningrum. Rasa rindu
ingin memeluk sang kekasih idaman hati memaksa
Pendekar Mabuk untuk menyewa sebuah perahu
berlayar tunggal. Perahu itu milik seorang nelayan yang
sedang menderita berbagai macam penyakit, antara lain:
sakit panas-dingin, sakit gigi, sakit encok, sakit perut,
sakit kepala... dan juga sakit hati.
Nelayan tua itu sakit hati kepada anaknya yang
perempuan. Karena si anak perempuan setelah menikah
selalu ikut suami dan tidak pernah mau menengok
ayahnya. Kebetulan waktu itu Suto Sinting si Pendekar
Mabuk membutuhkan tumpangan untuk bermalam.
Maka bertemulah ia dengan si nelayan tua itu. Suto
diberi tumpangan bermalam, tapi Suto juga sembuhkan
nelayan tua itu dengan cara meminumkan tuak dari
bumbung bambu yang ke mana-mana selalu dibawa oleh
sang Pendekar Mabuk.
"Sakit kok borongan sih, Pak Tua"!" ujar Suto setelah
mengobati. "Entahlah, Nak. Badanku ini kalau sedang gemar
sakit, penyakit apa saja diterimanya. Tidak ada yang
ditolak," jawab Pak Tua. "Biasanya para nelayan
menderita sakit macam-macam begini kalau pada jala
yang dipakai menangkap ikan terdapat seekor ikan mas
dewa." "Ikan mas dewa itu seperti apa?"
"Ya seperti ikan mas tapi memancarkan cahaya biru
bening. Empat hari yang lalu ikan mas dewa itu
tersangkut dalam jalaku. Tapi ikan itu sudah kubuang
kembali ke laut, kok ya masih saja aku panen penyakit.
Heran aku, Nak."
Percakapan menjadi akrab, sampai akhirnya tiba pada
pembicaraan sewa-menyewa perahu.
"Aku butuh perahu untuk menyeberang ke Pulau
Serindu, Pak Tua. Bolehkah aku menyewa perahumu?"
ujar pemuda tampan, gagah dan berbadan kekar itu.
"Mengapa harus menyewa" Kalau kau mau pakai,
pakailah saja. Aku punya empat perahu."
"Hebat...!"
"Tapi bocor semua!"
"Huuuuh... perahu bocor kok ditawarkan," pemuda
berbaju coklat tanpa lengan itu dan bercelana putih lusuh
itu bersungut-sungut.
"Tempo hari aku mencari ikan dengan meminjam
perahu temanku."
"Kalau begitu, carikanlah aku perahu sewaan untuk
kupakai selama empat atau lima hari, Pak Tua."
"Tak usah mencari ke mana-mana. Pakai saja
perahuku itu. Kau mau pakai satu atau dua atau bahkan
tiga perahu mau kau pakai menyeberang semua, silakan!
Aku tidak memungut biaya sewa."
"Iya, tapi kalau bocor semua buat apa"!"
"Lho, kan bisa ditambal dulu" Dalam waktu tak
sampai setengah hari aku bisa menambal perahu-perahu
itu sehingga dapat digunakan."
Pak Tua itu rupanya ingin balas budi kepada si
Pendekar Mabuk atas jasa sang pendekar yang berhasil
melenyapkan semua penyakitnya dalam waktu yang
bersamaan. Sebelum siang hari, keempat perahunya
sudah tertambal dengan rapi dan diberi tulisan: Anti
Bocor. Tetapi biar bagaimanapun Suto tak ingin
merepotkan nelayan tua itu. Agar hatinya tidak cemas
karena takut, perahunya tak kembali, Suto meninggalkan
sejumlah uang yang dikatakan sebagai uang sewa, tapi
sebenarnya uang garansi, bahwa perahu pasti akan
kembali. Menempuh pelayaran seorang diri memang
merupakan pekerjaan yang menjenuhkan. Kanan-kiri,
depan-belakang, yang ada hanya pemandangan biru
dengan warna putih di atas kepala. Sesekali gugusan
pulau dilewati, tak bisa dilihat kedalaman hutannya
karena terlalu jauh dari pandangan mata.
Tetapi demi cinta dan rindu kepada Dyah
Sariningrum, penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi di
alam nyata, Suto Sinting tetap jalankan pelayaran
tunggal itu dengan hati resah menahan kangen. Sesekali
ia berdiri di buritan untuk mengatur kemudi perahu.
Badannya tampak tegap dan gagah dengan rambut
panjang sepundak tanpa ikat kepala itu meriap-riap
tertiup angin samudera. Dalam benaknya tersimpan
banyak khayalan indah yang membuatnya selalu
tersenyum tipis menandakan walau resah tapi ia punya
kegembiraan tersendiri.
Namun matanya yang bening dan berbulu lentik
untuk ukuran seorang lelaki itu tiba-tiba agak menyipit
karena harus menangkap sesuatu yang dipandang terlalu
jauh. Bumbung tuak yang berisi tuak penuh itu
ditunggingkan hingga isinya mengucur di mulut. Setelah
itu ia memandang ke arah yang dianggap ganjil itu.
"Sepertinya di sana ada kapal yang terbakar" Ada
asap, tapi tak kelihatan api. Atau mungkin hanya
gundukan tanah dan rumput yang terbakar"!" hati si
murid sinting Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu
berkecamuk sendiri. Rasa penasaran mulai timbul dan
semakin menggelitik hati, sehingga perahu pun
diarahkan pada kepulan asap dan gugusan benda hitam
jauh di sebelah sana.
Semakin lama perahu semakin dekat dengan gugusan
hitam itu. Pandangan mata Suto dipersempit lagi.
"Oh, benar! Sebuah perahu terbakar! Oh, bukan
sebuah tapi dua buah..." Ya, dua buah perahu! Keduanya
sama-sama terbakar dan... dan oh, ada yang bertarung di
atas salah satu perahu yang terbakar itu"!"
Pendekar Mabuk kerahkan tenaga untuk gerakkan
dayung panjang. Perahunya semakin dekat, penglihatannya semakin jelas. Ternyata di atas salah satu
perahu berlayar putih yang sedang terbakar layarnya itu
tampak seorang pemuda sedang
mempertahankan nyawanya dari dua perempuan berjubah hitam dan abuabu.
Pemuda itu mengenakan celana dan baju tanpa lengan
warna ungu. Ia berwajah tampan, berkulit bersih,
rambutnya lurus dikuncir satu, ia menggunakan senjata
pedang bersarung perak. Di ujung gagangnya ada ronceronce benang ungu sebagai
penghias. Pemuda itu juga
mengenakan sepasang gelang kulit warna loreng hitamputih di kedua pergelangan
tangannya. Punggung
telapak tangannya ada tato bergambar seekor elang biru
mengepakkan sayapnya. Pendekar Mabuk kenal betul
ciri-ciri tersebut, yang tak lain adalah ciri-ciri dari
sahabatnya sendiri, yaitu Elang Samudera.
Pemuda itu adalah murid Pendeta Darah Api yang
menjadi pamannya Ratu Remaslega dari Pulau Sangon.
Sedangkan Pulau Sangon sendiri mempunyai perwira
muda yang cantik bernama Dewi Cintani. Dan Elang
Samudera adalah adik dari Dewi Cintani. Suto pernah
membantu mereka dalam sebuah peristiwa pencurian
Tongkat Guntur Bisu, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode : "Dendam Selir Malam").
Tetapi dua perempuan yang berusia tua, sekitar enam
puluh tahun ke atas itu, sama sekali belum pernah
dikenali oleh Suto. Kedua perempuan yang rambutnya
abu-abu karena bercampur uban itu tampak ganas dalam
menyerang Elang Samudera. Mereka berilmu tinggi,
sehingga mampu berdiri di atas permukaan air laut
dengan hanya berpijak pada sepotong papan sebesar
telapak tangan. Gerakan kedua nenek itu cukup lincah
dan mereka berkelebat loncat sana-sini sambil
menyambarkan tongkatnya untuk menghancurkan kepala
Elang Samudera. Lompatan-lompatan mereka seperti
sepasang burung camar yang getol menyambar
mangsanya. Wes, wes... wuuuut...!
Claaap...! Blegaaar... blegaar...!
Ledakan terjadi berkali-kali karena Elang Samudera
selalu mengadu kekuatan tenaga dalamnya jika
mendapat serangan dari kedua lawan, ia jarang mengelak
sinar yang datang padanya. Bahkan ketika kedua nenek
itu datang menerjang dari arah samping kanan-kiri
dengan hantaman tongkatnya, Elang Samudera
menangkis hantaman kedua tongkat dengan memukulkan tinjunya ke samping kanan-kiri. Proook...!
Blegaaarrr...! Ledakan pun kembali timbul karena tangan
Elang Samudera dialiri tenaga dalam tinggi dan tongkat
itu pun demikian juga. Namun keduanya segera berputar
cepat dan menyabetkan tongkatnya ke punggung Elang
Samudera. Breeeukh...! Tongkat itu menghantam bersamaan
dengan menggunakan sepasang jurus yang sama pula.
Elang Samudera terpekik dengan tubuh tersentak ke
depan, nyaris terjun ke laut. Sebelum tubuh itu terjun ke
laut, tendangan nenek berjubah hitam melayang cepat
dan kenai pinggang Elang Samudera.
Bet, buuukh...!
"Aaakh...!" Elang Samudera terlempar melayang ke
perahu yang sudah dipenuhi api itu. Pada saat kritis
seperti itulah, Pendekar Mabuk segera bertindak dari
atas perahunya. Dengan menggunakan jurus 'Gerak
Siluman' yang kecepatannya menyamai kecepatan
cahaya, Pendekar Mabuk menyambar tubuh Elang
Samudera yang nyaris terjun ke kobaran api tersebut.
Zlaaap...! Wuuut...!
Pendekar Mabuk berdiri di atas selembar kulit kayu
kering yang mengapung di permukaan air. Ia sudah
memanggul Elang Samudera di pundak kiri, sementara
pundak kanannya dipakai untuk menggantungkan
bumbung tuak saktinya.
Kedua nenek terkesiap melihat kemunculan anak
muda yang mempunyai ilmu peringan tubuh cukup
tinggi, terbukti dapat berdiri di atas selembar kulit kayu
yang mengapung di permukaan air. Lebih kagum lagi,
ternyata anak muda bersabuk merah itu mempunyai
gerakan yang mencengangkan mata kedua nenek
tersebut. Mereka tak melihat gerakan Suto, tahu-tahu
mereka sudah melihat kemunculan Suto yang telah
memanggul Elang Samudera. Sementara itu, Adhiyaksa
atau si Elang Samudera merintih pelan dan mulutnya
mengucurkan darah kental, ia terluka parah bagian
dalamnya. "Siapa kau, Begundal monyet"!" bentak nenek
berjubah abu-abu. "Apa maksudmu ikut campur dalam
urusan kami ini, nah"!"
"Aku hanya menyelamatkan seorang teman," kata
Suto dengan nada tegas.
"O, jadi kau mau cari mampus"!" sahut nenek
berjubah abu-abu.
"Budek!" sentak si jubah hitam pada jubah abu-abu.
"Dia hanya mau menyelamatkan seorang teman! Bukan
mau cari mampus!"
"Lha. iya...! Itu berarti dia mau cari mampus, Tolol!"
si jubah abu-abu mendorong kepala jubah hitam hingga
jubah hitam tersentak ke samping.
"Jangan main julek-julekan begitu! Aku tidak suka!"
bentak si jubah hitam. Jubah abu-abu hanya diam dan
tetap menampakkan kemarahannya kepada Pendekar
Mabuk. "Hei, Tikus cilik...!" katanya sambil menuding Suto.
"Biarkan murid si Pendeta Darah Api itu mati di tangan
kami, karena dulu murid kami pun mati dibunuh oleh
gurunya!" "Kurasa Eyang Pendeta Darah Api tidak akan
segegabah itu, membunuh orang seenaknya kalau tidak
ada alasan yang kuat. Jika Eyang Pendeta Darah Api
membunuh muridmu, berarti muridmu adalah manusia
sesat yang memang layak untuk dilenyapkan!"
"Eeeeh, eh, eh, eh...! Kurobek mulutmu sampai ke
tengkuk kalau berani mengatakan Juwanara adalah
murid sesat kami!" tuding si jubah abu-abu.
Jubah hitam menyahut, "Kurasa sekarang sudah
waktunya merobek mulutnya, Cakar Peri!"
"Kalau begitu, robeklah sendiri mulut anak itu,
Taring Peri!"
"Kita maju berdua saja! Hsaaaah...!"
Kedua nenek itu segera lakukan lompatan bagaikan
terbang dengan tongkat terarah ke depan.
Wuuut...! Suto Sinting tak mau menangkis,
melainkan menghindari serangan itu dengan berkelebat
cepat melebihi kecepatan anak panah yang lepas dari
Pendekar Mabuk 082 Kuil Perawan Ganas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
busurnya. Zlaaap...! Zlaaaap...!
Tahu-tahu ia sudah berpindah tempat di perahunya
sendiri. Elang Samudera diletakkan di perahunya itu.
Sementara kedua nenek tak bisa hentikan gerakan.
Ketika sodokan tongkatnya mengenai tempat kosong,
keduanya sama-sama terjerumus dan terjun ke laut.
Byuuurr...! Byuuur...!
"Anak jahanaaammm...!" geram si jubah hitam.
"Heeaaat...!"
Bruuuusss...! Cakar Peri yang berjubah abu-abu tersentak meluncur
ke atas, keluar dari permukaan air laut. Ia bagaikan ikan
terbang yang segera lepaskan pukulan bersinar merah
dari telapak tangan kirinya. Wuuuut...!
Sementara itu, Taring Peri yang berjubah hitam hanya
melompat keluar dari kedalaman air dan berdiri di atas
sepotong kayu papan. Tapi ia juga segera melepaskan
pukulan sinar merah berbentuk bola api dari tangan
kirinya. Claaap...!
Sinar merah panjang dari tangan Cakar Peri lebih
dulu menghantam tubuh Suto Sinting. Namun dengan
cepat. Suto Sinting menangkis sinar merah panjang itu
dengan bambu bumbung tuaknya. Trrak, slaaaps...!
Sinar merah panjang itu menjadi berbalik arah dalam
keadaan lebih besar dan lebih cepat. Sinar itu tidak tepat
membalik ke arah Cakar Peri, namun justru menghantam
sinar merah bola apinya si Taring Peri. Wuuub...!
Blegaaarrrr...!
Ledakan dahsyat terjadi sangat mengguncangkan
alam. Air laut menyibak ke atas bagai ingin merangkup
perahu-perahu mereka untuk ditenggelamkan ke dasar
laut. Pendekar Mabuk sendiri sempat terpental ke
belakang dan jatuh masih di dalam perahunya, menindih
tangan Elang Samudera yang masih merintih menderita
sakit itu. Sedangkan kedua nenek tadi terlempar ke atas
tanpa keseimbangan tubuh. Mereka melayang-layang
dan akhirnya jatuh di perahu yang penuh api.
Brrruus...! "Waaaaa...!" teriak mereka, kemudian sama-sama
melompat keluar dari kobaran api itu. Wuuurs...! Byur...!
Jooorrss...! Keduanya sama-sama seperti besi membara yang
dimasukkan dalam air. Tapi karena air laut mengandung
garam, maka luka bakar mereka terasa sangat perih dan
membuat mereka berteriak-teriak kesakitan dan
menghamburkan makian yang tak karuan.
"Aaaahhh...! Kunyuk bantaaaat...!"
"Jahanam laknat biadab, keparaaaatt...! Periiiihh...!"
teriak Cakar Peri.
Rupanya ledakan tadi bukan saja menghadirkan
gelombang sentakan sangat kuat, melainkan juga
mengandung hawa panas yang membuat kulit tubuh tua
para 'peri' itu menjadi terkelupas. Bahkan dada Suto
Sinting pun menjadi merah karena hawa panas tadi.
Untung ia buru-buru meneguk tuaknya, sehingga rasa
panas pun segera sirna dan badannya menjadi segar
kembali. "Kita lari saja dari sini!"
"Lari ke mana"! Perahu kita sudah terbakar habis
gara-gara serangannya si murid pendeta bego itu!"
"Aku tak kuat menahan rasa perih di sekujur tubuhku.
Bukitku terbakar!"
"Bukitku juga. Tapi biarlah, sudah peot ini, ngapain
susah-susah dipikirkan! Cuma, oouh... sekujur tulangku
bagaikan ikut terbakar dan sebentar lagi .. akan menjadi
lumer!" "Ini gara-gara kecerohohanmu, melepaskan pukulan
'Sangkar Api' bersama-sama terlepasnya jurus 'Inti
Lahar'-ku, akibatnya yang seperti ini jika berbenturan!"
"Jangan salahkan aku, salahkanlah si kunyuk muda
itu! Dia menangkis dengan bumbung tuaknya. Coba
kalau tidak ditangkis, pasti tidak membalik ke arah kita!"
"Oouh...! Aku tak kuat menahan rasa panas yang
makin lama semakin mengeringkan darahku ini!"
"Makanya kita cabut saja dari sini!"
"Iyalah... kita cabut saja dari... hei, itu ada dua potong
papan mengambang! Kita gunakan papan papan itu saja
untuk lari!"
"Pergunakan jurus 'Angin Pengecut' kita! Huuup...!"
Zrrub...! Plek...! Taring Peri lebih dulu melompat dari
kedalaman air, kakinya jatuh di atas sepotong papan.
Cakar Peri menyusul melakukan hal yang sama.
Wuuuut...! Mereka pun sama-sama pergi melesat dengan
kecepatan tinggi. Seakan mereka sepasang layar tua
yang dihembus oleh angin badai. Itulah jurus kabur
mereka yang dinamakan jurus 'Angin Pengecut'.
Pendekar Mabuk sengaja biarkan kedua nenek itu
kabur, ia segera menolong Elang Samudera yang terluka
parah bagian dalamnya itu. Beberapa teguk tuak
diminumkan ke mulut Elang Samudera. Dengan
meminum tuak sakti tersebut, maka luka parah baik yang
ada di dalam maupun yang di luar tubuh menjadi
sembuh tanpa bekas sedikit pun. Itulah kehebatan tuak
sakti dari bumbung bambu yang menjadi ciri khas si
Pendekar Mabuk.
"Siapa kedua nenek liar tadi?" tanya Suto kepada
Elang Samudera, setelah Elang Samudera menyatakan
rasa bersyukur dan berterima kasih atas kemunculan
Suto di tempat itu.
"Mereka orang-orang dari aliran hitam yang sakit hati
kepada guruku karena kematian murid kesayangan
mereka. Lalu, mereka ingin balas membunuh murid dari
guruku, yaitu aku sendiri!"
"Hmmm...," Suto Sinting manggut-manggut. "Lalu,
kau sendiri mau ke mana sebenarnya, Elang
Samudera"!"
"Aku mau ke Pulau Swaladipa. Aku diutus oleh Ratu
Remaslega menggantikan tugas kakakku; Cintani, untuk
menyelamatkan seorang bocah yang ada di Pulau
Swaladipa."
"Bocah..."! Hei, kenapa kau sekarang jadi tukang
momong"!"
Pendekar Mabuk menertawakan. Tapi Elang
Samudera hanya tersenyum-senyum sambil matanya
memandang jauh ke cakrawala dan suaranya terdengar
kembali. "Bocah itu adalah bocah emas yang kini sedang jadi
incaran para penguasa di berbagai tempat."
"Bocah emas"!" gumam Suto penuh keheranan.
"Seluruh kulitnya berwarna kuning emas. Bahkan
keringat atau air matanya jika membeku menjadi butiran
emas. Menurut kepercayaan para sesepuh, bocah emas
adalah bocah keberuntungan yang akan membuat sebuah
negeri atau sebuah wilayah akan menjadi makmur dan
kedudukan penguasanya tak akan bisa ditumbangkan
jika bocah emas itu berada dalam perawatannya!"
"Hebat! Baru sekarang kudengar ada bocah sekeramat
itu"!"
* * * E-book by: paulustjing
Email: paulustjing@yahoo.com
2 TIDAK ada perahu yang utuh dan bisa dipakai lagi,
baik perahu bawaan Elang Samudera maupun perahu
bawaan kedua nenek itu. Hanya perahu Suto yang masih
utuh dan tidak mengalami kerusakan apa pun. Maka mau
tak mau Suto mengantar Elang Samudera sampai ke
Pulau Swaladipa.
"Pulau Swaladipa adalah pulau kekuasaan Ratu
Lembah Girang," tutur Elang Samudera menjelaskan
selama dalam perjalanan di laut.
"Apakah bocah emas itu adalah anak Ratu Lembah
Girang"!"
"Bukan. Bocah emas itu keturunan dari pasangan
suami-istri yang menjadi sepasang pertapa di Gunung
Sambara. Sepasang pertapa itu adalah Eyang Winudaya
dan Eyang Sutimuning."
"Keduanya masih hidup?"
"Sudah tiada," jawab Elang Samudera. "Pasangan
pertapa sakti itu mati tanpa raga. Artinya tidak ada jasad
yang ditinggalkan kecuali hanya pakaian mereka berdua.
Dan menurut keterangan guruku, Eyang Winudaya dan
Eyang Sutimuning meninggal sekitar tujuh puluh tahun
yang lalu."
"Oh..."!" Suto agak kaget. "Kalau begitu sekarang
yang dinamakan Bocah Emas itu sudah besar, bahkan
mungkin sudah tua"!"
"Seharusnya begitu. Tapi kenyataannya bocah itu
tetap awet kecil, seperti bocah berusia lima tahun
kurang, ia tinggal di dalam gua pertapaan ayah-ibunya di
Gunung Sambara. Ia hidup bersama pelayan tua
pasangan pertapa sakti itu. Pelayan itu bernama Ki
Jurumomong. Tapi beberapa waktu yang lalu, Ratu
Remaslega dan beberapa tokoh tua dalam persilatan
mendengar kabar bahwa Ki Jurumomong telah tewas
juga. Maka si Bocah Emas itu hidup sendirian dan
sekarang sedang dijadikan bahan rebutan para tokoh baik
dari aliran hitam maupun dari aliran putih."
"Apa ada hubungannya dengan Ratu Lembah
Girang"!"
"Hubungannya adalah... Ratu Lembah Girang
menjaga ketat wilayah Gunung Sambara, karena ia
sendiri ingin merawat Bocah Emas itu untuk
memperkokoh kedudukannya dan mencari kejayaan dari
kekuasaannya."
"Ikut aliran mana ratu itu?"
"Aliran hitam!" jawab Elang Samudera dengan tegas
dan jelas. Lalu, ia menyambung penjelasannya tanpa
diminta oleh Pendekar Mabuk.
"Pada mulanya, Pulau Swaladipa diperintah oleh Nyi
Ageng Sangir, bibinya Ratu Remaslega. Tapi perempuan
sesat berjuluk Lembah Girang segera menggulingkan
kekuasaan Nyi Ageng Sangir. Maka pulau tersebut dan
wilayah jajahannya berada dalam genggaman Lembah
Girang, yang kemudian menobatkan diri sebagai ratu di
pulau itu."
Suto Sinting manggut-manggut. Ia tampak antusias
sekali mendengarkan cerita tersebut. Bahkan ia menjadi
penasaran, ingin tahu seperti apa wujud si Bocah Emas
dan Ratu Lembah Girang itu. Rasa penasarannya itu
sempat menyisihkan rasa rindunya kepada Dyah
Sariningrum, sehingga secara tak langsung Pendekar
Mabuk akan membantu usaha Elang Samudera untuk
dapatkan si Bocah Emas itu.
Rasa ingin tahunya membuat Suto kembali ajukan
tanya kepada Elang Samudera dengan lebih teliti lagi.
"Jadi siapa sebenarnya yang berhak memiliki Bocah
Emas itu?"
"Secara silsilah, Ratu Remaslega yang berhak
memiliki bocah tersebut karena Nyi Ageng Sangir,
bibinya Ratu Remaslega itu masih punya darah
keturunan dari Eyang Winudaya dan Eyang Sutimuning.
Bahkan kalau diurut-urutkan, Ratu Remaslega adalah
cucu canggah dari Eyang Sutimuning."
"Cucu canggah..."!" gumam Suto agak bingung.
"Cucu canggah adalah anak dari cucu buyut.
Misalnya kau menjadi buyutnya Gila tuak, maka kau
memanggil ayahnya Gila Tuak dengan sebutan Eyang
canggah." "Oooo.,.," Pendekar Mabuk manggut-manggut dalam
gumamnya yang lirih.
"Jika Bocah Emas itu berada dalam perawatan tokoh
sesat, maka tokoh itu akan menjadi semakin sesat dan
sukar ditumbangkan. Benar atau tidak, tapi guruku
sendiri pernah berkata, bahwa siapa pun yang merawat
Bocah Emas maka usianya akan panjang, seluruh anganangan dan gagasannya akan
menjadi kenyataan. Sebab
bocah itu dibayang-bayangi hawa keramat dari roh
kedua orangtuanya."
"Pantas kalau bocah itu dijadikan rebutan," ujar Suto
mirip orang menggumam, seakan bicara pada diri
sendiri. "Sebelum aku berangkat dari Pulau Sangari sebagai
utusan Ratu Remaslega, terlebih dulu aku pamit dan
mohon doa restu dari Guru. Lalu, guruku berpesan agar
aku harus mampu mempertahankan bocah itu agar
jangan sampai jatuh di tangan tokoh sesat seperti Ratu
Lembah Girang itu."
"Barangkali kalau aku pamit kepada guruku juga
akan diwanti-wanti begitu."
Tanpa terasa perahu pun akhirnya merapat di sebuah
pantai. Dan menurut Adhiyaksa alias Elang Samudera,
pantai tersebut adalah ujung kulon dari Pulau Swaladipa
lebarnya hampir sama dengan tanah Jawa. Elang
Samudera melompat dari perahu lebih dulu, memandang
keadaan sekeliling yang tampak sepi-sepi saja. Pendekar
Mabuk menyusulnya dengan menarik tambang perahu.
Perahu tersebut ditambatkan pada dua gugusan karang
yang membentuk celah persembunyian untuk sebuah
perahu, sehingga keadaan perahu tidak semata-mata
tampak dari berbagai arah.
"Kita harus mencari Gunung Sambara." Ujar Elang
Samudera yang usianya sekitar dua puluh tahun itu.
"Tahukah kau arah menuju Gunung Sambara"!"
Elang Samudera angkat bahu, "Kita tanyakan saja
pada penduduk sekitar pantai ini!"
"Hmmmm...," Suto menggumam pendek, matanya
memandang sekeliling. "Kulihat ada kepulan asap di
sebelah sana. Aku yakin di sana ada sebuah desa dan kita
Pendekar Mabuk 082 Kuil Perawan Ganas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bisa tanyakan pada penduduk di desa itu!"
Mereka pun segera melesat ke arah kepulan asap tipis
itu. Elang Samudera bergerak dengan lincah dan cepat,
namun jika Suto menggunakan jurus 'Gerak Siluman'
maka Elang Samudera akan tertinggal jauh oleh gerakan
Suto. Dalam keadaan seperti itu, Suto hanya
menyesuaikan gerakannya agar bisa tetap bersama-sama
Elang Samudera.
Ketika mereka mencapai sebuah kaki bukit yang
berpohon renggang, langkah mereka dihentikan oleh
kemunculan seorang perempuan cantik berkulit putih.
Perempuan itu mengenakan rompi panjang warna
merah dengan tepian berumbal-rumbai. Rompi itu tidak
mempunyai kancing pada bagian depannya. Ujung
kanan-kiri rompi itu saling terikat di atas pusar.
Sementara celananya yang juga merah berumbai-rumbai
itu sangat ketat dan pendek, kurang dari separuh paha.
Perempuan berambut keriting halus tapi panjang
sepunggung itu seakan memamerkan tubuhnya yang
putih mulus dalam dandanan yang merangsang. Belahan
dadanya tampak sebagian membusung kencang tanpa
kutang. Perutnya terlihat putih mulus tanpa cacat seperti
kedua pahanya, ia menenteng pedang bergagang kepala
burung garuda. Melihat sabuk hitam kecil yang melilit di
pinggangnya, tak salah lagi jika pedang itu sesekali
ditenteng sesekali diselipkan di pinggangnya. Sabuk
hitam itu terbuat dari kulit emas yang kepalanya berhias
kepala singa berambut panjang.
Pendekar Mabuk dan Elang Samudera saling lirik
sebentar. Keduanya tetap tenang dan bersikap waspada.
Perempuan cantik yang usianya sekitar dua puluh empat
tahun itu dipandangi mereka berdua tanpa sapaan
sepatah kata pun. Suto sempat menikmati gumpalan
belahan dada perempuan itu yang putih namun
mempunyai tato gambar setangkai mawar. Tato itu ada
pada gumpalan dada sebelah kanan.
"Sudah janda atau masih gadis perempuan ini?" bisik
Elang Samudera kepada Suto. Pendekar Mabuk
tersenyum geli mendengar bisikan itu.
"Melihat ketegasannya dalam berhadapan dengan
kita, aku yakin dia sudah bukan gadis lagi. Tapi kurasa
dia juga belum bersuami. Tahu maksudku, bukan?"
"Hmmm, ya, ya...," Elang Samudera manggutmanggut sambil tersenyum.
"Kira-kira apa maksudnya menghadang kita?" bisik
Elang Samudera lagi.
"Mungkin kita dianggap pamannya," jawab Suto
seenaknya. Lalu mereka sama-sama tertawa cekikikan
sambil buang pandangan ke arah lain biar tak terlalu
menyinggung gadis itu.
Tapi tiba-tiba gadis itu menyentakkan tangannya ke
depan dalam keadaan dua jarinya lurus dan mengeras.
Dari ujung dua jari itu keluar dua larik sinar kuning yang
menghantam ke arah Elang Samudera dan Suto Sinting.
Clap, claap...!
Sinar itu bergerak cepat dam nyaris tak terlihat. Tahutahu Elang Samudera seperti tertusuk jarum pada bagian
bawah pundaknya dan Suto Sinting merasa seperti
disengat lebah di tulang iganya.
"Aakh...!"
"Ouh...!"
Kedua pemuda itu sama-sama terpekik pendek dan
saling tersentak mundur satu langkah dengan tubuh
melengkung ke depan. Sinar kuning itu lenyap dari
kedua jari gadis berhidung mancung dan berbibir sensual
itu. Tangannya diturunkan, sikap berdirinya masih tetap
tegap dam menantang. Rambut keriting halus yang
terurai sepunggung itu meriap-riap dipermainkan oleh
angin. "Apa yang ia lakukan terhadap kita tadi?" tanya
Elang Samudera kepada Suto.
"Menyerang!" jawab Suto.
"Tapi kok kita tidak mati!"
"Mungkin sebentar lagi. Cepat minum tuakku!"
ujarnya, lalu Suto sendiri meminum tuaknya dan Elang
Samudera ikut meminumnya juga.
Tiba-tiba perempuan beralis tebal dan bermata indah
walau bukan berarti bundar bening, segera perdengarkan
suaranya sambil gerakkan bola mata yang tajam itu
berpindah-pindah antara Suto dan Elang Samudera.
"Kalian memasuki wilayah kami tanpa izin! Maka
sudah selayaknya kalian kuberi peringatan dengan
melumpuhkan seluruh urat dalam tubuh kalian!"
Elang Samudera dan Suto Sinting sama-sama
gerakkan tangan dan kaki.
"Kok tidak lumpuh, Nona"!" ujar Suto Sinting.
Gadis itu kerutkan dahi sebentar. Merasa heran
melihat kedua pemuda tampan itu masih berdiri di
depannya dengan tegar. Bahkan Suto Sinting bergerak
meliuk-liuk bagai mengejek dengan tarian.
"Apakah kau mau jadi orang lumpuh, Elang
Samudera?"
"O, tentu mau asal digendong oleh gadis secantik dia,
Suto!" jawab Elang Samudera mengimbangi sindiran
Pendekar Mabuk.
Gadis itu masih diam, bertampang tak ramah, namun
justru tampak semakin cantik.
Tiba-tiba Elang Samudera dan Suto Sinting tersentak
kaget karena mendapat tendangan dari arah belakang.
Tendangan itu membuat mereka terlempar ke depan dan
tersungkur bagai mau mencium kaki gadis bertato bunga
mawar itu. Rupanya tendangan tersebut bukan hanya sekadar
tendangan biasa, ia mempunyai jurus tertentu yang dapat
kenai saraf tulang punggung melumpuhkan sekaligus
membuat korbannya tak sadar. Terbukti setelah Elang
Samudera dan Suto jatuh tersungkur mereka tak
bergerak-gerak lagi dan tak mengerti apa yang terjadi
pada diri mereka selanjutnya.
"Bawa mereka dan buang bambu tuak itu!"
Hanya kata-kata itu yang masih tersisa di telinga
Pendekar Mabuk sebelum ia benar-benar tak sadarkan
diri. Suara yang keluar, jelas dari suara si tato bunga
mawar. Tapi entah siapa yang diperintahkan begitu dan
apa yang dilakukan orang yang menerima perintah
tersebut, Suto Sinting benar-benar tak bisa mengingat
apa-apa lagi. Ketika ia sadar, ia sudah berada di sebuah ruangan
berlantai marmer putih. Dindingnya juga berlapis
marmer putih dengan serat-serat kecoklatan. Ruangan itu
kosong, tanpa perabot apa pun. Lebarnya juga tak
sampai lima langkah. Ruangan itu menyerupai penjara
tapi sangat bersih dan tertutup rapat. Pintunya terbuat
dari besi dengan lubang pengintai sebesar biji salak.
Lubang itu mempunyai tutup sendiri di bagian luar,
sehingga bisa dibuka dan ditutup oleh orang yang ada di
luar kamar. "Ruangan apa ini"! Mengapa aku sendiri di sini"
Ooh... mana Elang Samudera"!" ujar Suto membatin
sambil berusaha bangkit berdiri, namun tak jadi karena
tiba-tiba ia roboh kembali. Bruuuk...!
"Aduuuh... tulang-tulangku terasa remuk semua.
Urat-uratku bagaikan putus. Uuufh...! Gila! Serangan
apa yang kuterima sehingga melumpuhkan sekujur
tubuhku begini. Oouh... aku seperti manusia tanpa tulang
dan tanpa otot lagi. Celaka kalau begini" Hmmm... mana
bumbung tuakku" Oh, benarkah sudah dibuang oleh si
cantik bertato mawar itu?"
Sekalipun Suto ingat bahwa bumbung tuaknya
dibuang oleh lawannya sebelum ia benar-benar tak
sadarkan diri, tapi hati Suto tidak merasa cemas sedikit
pun. Bumbung tuak itu bumbung bernyawa. Dibuang ke
manapun akan datang sendiri mengikuti Suto Sinting,
sebab bambu bumbung tuak itu adalah bambu jelmaan
tokoh sakti zaman dulu yang bernama Wijayasura, kakek
gurunya si Gila Tuak.
Suto yakin bumbung bambu tempat tuak itu datang
sendiri menghampirinya. Keyakinan itu ternyata terbukti
juga setelah beberapa saat Suto terkulai lemas di lantai
dingin itu. Bumbung tuak tersebut tiba-tiba muncul
dalam bayang-bayang di samping kanannya. Bayangbayang tersebut makin lama
semakin jelas, dan akhirnya
mewujud dalam bentuk nyata.
"Nah, datang juga akhirnya!" ucap Suto dengan hati
girang. Lalu, tangan kirinya meraih bumbung itu dan
dengan gemetar tuak pun ditenggaknya beberapa teguk.
Glek, glek, glek...!
Pandangan mata yang semula buram, kini menjadi
terang. Urat-urat yang tadinya lemas, kini menjadi
kencang kembali. Tulang-tulang yang terasa remuk, kini
mampu dipakai untuk duduk tegak. Bahkan Suto Sinting
berhasil bangkit berdiri dengan tegar dan kekar.
Badannya terasa lebih segar dari sebelumnya.
"O, rupanya dinding sebelah kiri itu dilapisi kaca
tembus"!" ucapnya rada kaget, ia segera dekati dinding
kiri yang memang dilapisi kaca tembus pandang ke
ruangan sebelahnya. Ternyata ruangan sebelah itu adalah
tempat memenjarakan Elang Samudera.
Ruangan sebelah juga dalam keadaan bersih dan
tanpa perabot. Dinding dan lantainya mempunyai warna
yang sama, bahkan ukuran luas ruangan juga sama
dengan yang ditempati Suto Sinting.
Hal yang membuat berbeda adalah keadaan kaca
tersebut. Suto melihat Elang Samudera sedang
menggeliat bangkit pelan-pelan dan mengerang
kesakitan. Pemuda berbaju ungu itu akhirnya berhasil
berdiri dengan berpegangan pada dinding kaca. Namun
matanya yang memandang ke arah kaca itu bagai tak
melihat Suto di balik kaca.
"Elang...! Elang, kau bisa bertahan"!" seru Suto
Sinting sambil melambai-lambaikan tangan. Tapi tak ada
reaksi apa-apa dari Elang Samudera. Pemuda berbaju
ungu itu justru memperhatikan wajahnya bagai orang
sedang bercermin.
"Ooo... sekarang aku tahu keadaan kaca ini. Dari
tempatku bisa dipakai untuk melihat ruang sebelah, tapi
dari tempat Elang Samudera tak bisa dipakai melihat
keadaanku di sini. Kurasa dari ruangan itu kaca ini
menjadi cermin untuk merias diri atau entah untuk apa.
Yang jelas, orang yang berdiri di depan cermin itu hanya
akan melihat bayangannya sendiri di dalam cermin, tak
bisa melihat keadaanku di sini."
Pendekar Mabuk manggut-manggut dan memandangi
sekelilingnya. Hati pun membatin kembali dalam nada
gumam. "Sebenarnya bisa saja kujebol kaca ini! Mudah sekali
menghancurkan dinding ini. Tapi aku ingin tahu dulu,
apa maksud gadis itu menangkapku dan Elang serta
menempatkan kami berbeda ruangan" Siapa sebenarnya
gadis cantik yang bibirnya menggemaskan itu" Apakah
mereka anak buah Ratu Lembah Girang"! Apakah
mereka mengetahui maksud dan rencana kedatanganku
dengan Elang yang ingin mengambil si Bocah Emas
itu?" Suto manggut-manggut kembali sambil bertolak
pinggang menggantungkan bumbung tuak di pundak
kanannya. Matanya memandang ke arah Elang
Samudera yang tampaknya tak bisa berbuat apa-apa lagi
itu. "Akan kuikuti dulu permainan gadis itu sampai
kutahu maksudnya menangkap kami. Dan...."
Ucapan batin Pendekar Mabuk terhenti, karena tibatiba ia melihat lubang pintu
terbuka. Ada mata yang
mengintai dari sana. Suto Sinting tetap berdiri di dekat
kaca dengan tangan kiri menopang di dinding dan tangan
kanan bertolak pinggang, mencantilkan jempolnya pada
tali bumbung tuak. Bola mata yang mengintai itu jelas
bola mata wanita, dan Suto ingat mata itu adalah milik
gadis bertato mawar.
Klak, klak, Klaaaaaang...!
Suara kunci pintu dibuka. Pendekar Mabuk tetap
tenang dalam posisi semula, ia membiarkan pintu itu
terbuka dan seraut wajah cantik bergigi indah
menggemaskan itu muncul dari balik pintu. Dugaannya
tak salah, gadis bertato mawar yang mengintai dari
lubang tersebut. Kini gadis itu mengunci pintu kembali
dan anak kuncinya diselipkan di sabuk hitam, ia berdiri
dengan tegar, pedangnya terselip di pinggang. Kakinya
sedikit merenggang, dan kedua jempol tangannya
menggantung di sabuk depan perut. Rambut keriting
halus yang terurai sepunggung meriap sebagian
menutupi pipi kirinya, ia tampak lebih cantik dan
menggairahkan dengan busana serba mini itu.
Mata tajam yang mempunyai kebeningan mengagumkan itu menatap ke arah bumbung tuak. Hati
gadis itu sempat membatin penuh keheranan melihat
bumbung tuak ada di pundak Suto lagi.
"Dari mana dia bisa memperoleh bumbung tuak itu"
Bukankah sudah dibuang jauh-jauh sebelum ia dibawa
kemari"!"
Pendekar Mabuk mencoba memberikan senyum
keramahan. Senyum itu bukan saja senyum keramahan,
namun mempunyai daya tarik yang dapat menggetarkan
hati perempuan mana saja. Walau kenyataannya, wajah
gadis itu tetap kaku dan dingin, seakan tak tertarik
dengan senyuman Suto Sinting. Namun sebenarnya hati
gadis itu berdesir-desir ketika senyuman itu terpampang
Pendekar Mabuk 082 Kuil Perawan Ganas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jelas di depan matanya dalam jarak empat langkah.
"Kaukah yang terkenal dengan nama Suto Sinting, si
Pendekar Mabuk itu"!" si gadis perdengarkan suaranya
yang serak-serak basah.
"Benar. Dari mana kau bisa mengenaliku?"
"Kalian sempat saling sebutkan nama ketika
menertawakan diriku!" jawabnya bernada ketus.
"O, rupanya kau punya otak cukup cerdas," sambil
Suto sunggingkan senyum berkesan meremehkan.
1 "Saat kudengar kau memanggil temanmu itu dengan
nama Elang Samudera, dan Elang Samudera
memanggilmu: Suto. Maka kucocokkan, nama itu
dengan ciri-ciri yang pernah kudengar dari beberapa
sahabatku yang ada di tanah Jawa. Ternyata ciri-ciri itu
sama dengan nama Suto Sinting. Maka kutahu, kaulah
Pendekar Mabuk yang kondang dengan kesaktian
gilanya itu!"
"Secara tak langsung kau mengakui keunggulanku,
bukan?" "Hmmm...!" gadis itu mencibir, melangkah ke
samping dua tindak, kemudian berhenti dan memandang
Suto kembali. "Kau boleh bangga punya kesaktian gila-gilaan di
tanah Jawa. Tapi di sini, di dalam Kuil Perawan Ganas
ini, kesaktianmu seperti daun kering yang menjadi
penghuni tempat sampah!"
"O, kalau begitu ruangan ini adalah tempat sampah"!"
"Hmmm...!" gadis itu mendengus kesal.
"Aku belum mengenalmu, Nona. Kalau aku sudah
mengenalmu, barangkali aku berani menyerangmu untuk
memperkenalkan kesaktianku di depan gadis seangkuh
dirimu, Nona."
"Aku yang bernama Dewi Kun!" jawab si gadis
dengan tegas dan ketus. "Aku yang tertua dari para
penghuni kuil ini!"'
"Dewi Kun...," gumam Suto bagai menghafalkan
nama itu. "Sekarang kau sudah tahu namaku. Kau ingin adu
kesaktian denganku"!"
Pendekar Mabuk sengaja nyengir konyol. "Ah, tadi
cuma pancingan saja. Biar aku tahu siapa nama gadis
cantik yang sejak tadi menggetarkan hatiku ini."
"Hmmm...!"
Dewi Kun mencibir, seakan meremehkan rayuan Suto.
"Lalu, mengapa kau menangkap kami, Dewi Kun?"
"Semula karena kesalahan langkahmu yang
memasuki wilayah Kuil Perawan Ganas tanpa izin lebih
dulu. Tapi setelah kutahu kau adalah Suto Sinting si
Pendekar Mabuk, maka segalanya menjadi berubah."
"Berubah bagaimana?"
"Kau harus tunduk padaku!" jawabnya pelan tapi
tegas dan pandangan mata tajam dan penuh wibawa.
Dewi Kun berkata lagi, "Jika kau tidak tunduk pada
perintahku, maka temanmu itu akan kehilangan
kepalanya!"
"Oh, jangan begitu, Dewi Kun!" sergah Suto, "Kalau
Elang Samudera kehilangan kepala, lantas dia mau pakai
kepala apa" Kepala bebek"!"
"Terserah mau pakai kepala apa bukan urusanku lagi
jika sudah begitu. Yang perlu kau ingat, kata-kataku ini
bukan sekadar ancaman! Tapi akan terbukti dengan
nyata jika kau tak mau tunduk dan patuh pada pihakku!
Sekarang pun akan kupotong jari tangan si Elang
Samudera sebagai bukti kesungguhan ancamanku!"
Dewi Kun bergegas ke pintu, Suto Sinting melompat
dan menghadang langkah gadis itu. Jleeg...!
"Jangan lakukan itu padanya! Lakukan saja padaku
jika kau ingin pamer kekejaman!" sambil Suto
mengulurkan tangan kirinya seakan mempersilakan
Dewi Kun untuk memotongnya.
Dewi Kun diam memandang tak berkedip, tanpa
senyum dan keramahan sedikit pun. Mereka saling
beradu pandang selama dua helaan napas. Kemudian
gadis itu berkata dengan nada kian tegas lagi.
"Tunduk dan patuhlah kepadaku, maka temanmu itu
akan selamat dan tidak cedera sedikit pun!"
Pendekar Mabuk menarik napas panjang dan
menghembuskannya.
"Baiklah! Tapi bagaimana dengan keadaan Elang
Samudera sekarang itu" Dapatkah kau memulihkan
kekuatannya kembali"!"
"Kita lihat saja...," sambil mata Dewi Kun
memandang ke arah kaca. Pendekar Mabuk ikut-ikutan
memandang ke sana. Tiba-tiba Dewi Kun meletakkan
jari telunjuknya di pelipis sambil pejamkan mata dan
kerutkan dahi. Suto menyangka gadis itu sedang berpikir
sesuatu. Tetapi kejap berikutnya Suto menjadi
terperangah penuh keheranan.
Dewi Kun tampak memasuki ruangan yang dipakai
menawan Elang Samudera. Dewi Kun juga tampak
sedang hampiri Elang Samudera dan menuding pemuda
itu dengan telunjuk tengah. Dari telunjuk tengah itu
keluar seberkas sinar merah. Claap...! Menghantam
tengah kening Elang Samudera.
Pemuda murid Pendeta Darah Api itu menggeragap
dan terengah-engah. Lalu, ia bergegas bangkit berdiri
dengan mata membelalak memandangi gadis di
depannya. Gadis itu segera keluar dan mengunci pintu
kembali. Tapi keadaan Elang Samudera sudah bisa
berdiri tegak dan kekuatannya tampak telah pulih
kembali seperti sediakala. Hanya saja ia masih tertegun
seperti baru menyadari keadaan sekelilingnya.
"Aneh! Rupanya kau punya ilmu cukup tinggi" Kau
ada di sini, tapi juga bisa ada di ruang sebelah sana"!
Hebat sekali ilmumu, Dewi Kun!" puji Suto Sinting
dengan wajah masih tampak terheran-heran, karena ia
tak menyangka gadis semuda Dewi Kun sudah
menguasai ilmu pindah raga seperti itu.
"Aku hanya bicara melalui batin."
"Maksudmu bagaimana"!"
"Carilah sendiri jawabannya dalam otakmu. Yang
jelas, begitulah keputusanku tadi! Sekali kau menentang
perintah maka akan kucederai sahabatmu itu!"
"Bagaimana kalau kita bertarung adu kesaktian"!"
tantang Suto. "Tak masalah bagiku. Tapi pada saat kau bergerak
menghantamku maka sahabatmu akan kehilangan satu
anggota badannya; mungkin jari tangan, mungkin
pergelangan, mungkin matanya atau mungkin juga
kepalanya!"
"Kau ini cantik-cantik kok menyeramkan sekali,
Dewi"!"
"Karena aku tak ingin disepelekan oleh kaum pria,
terutama pemuda mata keranjang sepertimu!" tegas
Dewi Kun dengan pandangan mata sedikit menyipit
menandakan kebenciannya sebagai perempuan yang tak
mau diremehkan oleh kaum lelaki.
"Baiklah. Lalu, apa yang harus kulakukan
sekarang"!" pancing Suto semakin ingin tahu maksud
gadis itu. "Berbaringlah...!"
"Apa..."!"
"Berbaringlah di lantai dan buka semua pakaianmu!"
"Gila! Yang benar saja kalau memberi perintah,
Dewi!" Suara Dewi Kun makin keras dan tegas.
"Berbaringlah di lantai dan buka semua pakaianmu!
Lekas!" "Gawat..."!" gumam Suto Sinting, kemudian melirik
ke arah kaca. Ia mencemaskan keadaan Elang Samudera
yang bisa celaka sewaktu-waktu jika ia tak mau turuti
perintah itu. Pendekar Mabuk melepaskan baju dan ikat pinggang
dari kain merah. Ketika mau melepaskan celananya,
tiba-tiba pintu digedor seseorang dari luar. Dewi Kun
terperanjat sekejap, kemudian bergegas ke arah pintu.
Lubang pintu ada yang membuka dari luar. Tampak bola
mata memandang ke dalam. Dewi Kun kerutkan kening,
pejamkan mata, tundukkan kepala, jari telunjuknya
menekan pelipis. Kejap berikutnya ia tegak kembali dan
berkata kepada Suto Sinting.
"Berbaringlah saja dulu! Aku akan datang
secepatnya!"
Dewi Kun keluar dari ruangan tersebut dengan
mengunci pintu besi itu. Pendekar Mabuk berbaring di
lantai dalam keadaan sudah tidak berbaju namun masih
bercelana. "Kenapa aku jadi seperti bayi yang menurut perintah
ibunya, ya"!" pikir Pendekar Mabuk dalam baringannya.
"Wah, jangan-jangan dia ingin memperkosaku"!
Bahaya! Bahaya jika aku tak mau berhenti diperkosa!"
* ** 3 KEPERGIAN Dewi Kun dari kamar membuat Suto
menjadi ingin menjebol kaca tembus pandang itu. Ia
segera melepaskan pukulan tenaga dalamnya dari jarak
tiga langkah. Beet, wuuut...! Brruuuk...!
Pendekar Mabuk terpental sendiri hingga membentur
dinding belakangnya.
"O, rupanya dinding ini dilapisi udara padat yang
dapat memantulkan pukulan tenaga dalam, dalam bentuk
apa pun"!" Suto Sinting diam termenung sambil garukgaruk kepala. "Agaknya
lapisan udara padat ini
mempunyai ketebalan yang berbahaya jika dihantam
dengan tenaga bersinar. Bisa-bisa memantul balik
mengenai diriku sendiri. Hmmm... cukup hebat juga.
Andai kuhantam pakai bumbung tuak bagaimana"!'
Pendekar Mabuk akhirnya mencoba menghantamkan
bumbung tuaknya ke kaca tembus pandang. Wuuut,
weees...! Bruuuuk...!
Ternyata bumbung tuak tak berhasil menyentuh kaca
tembus pandang. Bumbung itu bagai menghantam karet
tebal yang membuat tubuh Suto terlempar sendiri ke
belakang dan jatuh membentur dinding lagi.
Suto penasaran, ia mencoba menghantamkan bambu
tuaknya ke dinding tak berkaca. Ternyata hasilnya sama
saja. Bahkan sekarang kepala Suto menjadi sakit karena
membentur dinding kaca dengan keras. Kaca itu tidak
pecah, bahkan bergetar pun tidak.
"Luar biasa! Lapisan tenaga dalam apa ini, sehingga
sangat sukar ditembus dengan kekuatan sebesar tadi"!"
Baju masih belum dipakai. Pendekar Mabuk
terengah-engah. Dadanya yang kekar dan berotot itu
tampak bergerak naik turun.
Rupanya di kamar sebelah, Elang Samudera juga
melakukan percobaan seperti yang dilakukan Suto.
Pemuda itu terpental keras saat ingin menendang pintu
dan kepalanya membentur dinding hingga nyaris bocor.
Ia menyeringai kesakitan sambil mengusap-usap
kepalanya. Pendekar Mabuk tertawa melihat Elang Samudera
kesakitan. "Percuma saja! Lebih baik simpan saja tenagamu
untuk keperluan nanti setelah di luar kamar ini, Elang!"
serunya keras-keras, tapi Elang Samudera tampaknya tak
mendengar seruan itu sedikit pun.
Elang Samudera juga penasaran. Kini ia berdiri lagi
menghadap ke pintu dan ingin menjebol pintu itu dengan
kekuatan tenaga dalam. Dua jarinya mengeras dan
tangan pun berkelebat bagai melemparkan pisau.
Suuuut...! Elang Samudera kaget. Dari raut wajahnya terlihat
jelas ia tersentak kaget melihat ujung jarinya tidak
mengeluarkan sinar apa pun. Hai itu dicobanya sekali
lagi dengan otot lengan mengeras sebagai tanda
mengerahkan tenaga cukup besar. Tetapi ternyata ujung
kedua-jarinya itu tidak mengeluarkan sinar apa pun.
Bahkan ketika ia mencoba dengan menggunakan telapak
tangannya, telapak tangan itu juga tidak mengeluarkan
sinar apa pun. Elang Samudera menjadi sangat tegang sambil
memperhatikan tangannya sendiri.
"Oh, dia kehilangan tenaga dalamnya"!" Pendekar
Mabuk segera tanggap akan hal itu dan ikut tegang juga.
"Jangan-jangan aku juga begitu"!" pikir Suto dengan
cemas. Maka ia segera mencoba mengeluarkan tenaga
dalamnya walau bukan dalam bentuk tenaga bersinar.
Sentilan jari yang dinamakan jurus 'Jari Guntur'
segera dilepaskan ke arah dinding. Teees...! Wuuut,
brrruk...! "Oooukh...!" Suto Sinting mengerang kesakitan
memegangi perutnya. Ternyata tenaga dalamnya masih
ada dan sentilan yang mengeluarkan tenaga dalam itu
membalik arah mengenai perut sendiri. Suto terengahengah sambil merasa mual. Ia
buru-buru meminum
tuaknya untuk hilangkan rasa mual dan sakitnya.
"Tenaga dalamku masih ada. Tapi mengapa Elang
Samudera kehilangan tenaga dalamnya" Bukankah aku
dan dia diserang secara bersamaan" Mungkin juga
dengan jurus yang sama. Tapi mengapa tenaga dalamku
masih ada, sedangkan tenaga dalamnya Elang Samudera
menjadi hilang" Apakah karena sinar merah yang tadi
dipakai mengembalikan kekuatan Elang oleh Dewi Kun
itu telah menyerap atau melumpuhkan tenaga dalam
Pendekar Mabuk 082 Kuil Perawan Ganas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Elang Samudera" Hmmm... ya, kurasa begitu! Elang
menjadi sehat dan bisa berdiri lagi karena sinar merah
dari jari Dewi Kun, sedangkan aku menjadi sehat karena
minum tuak. Seandainya aku menjadi sehat karena sinar
merah tadi, mungkin kekuatan tenaga dalamku juga akan
lumpuh seperti Elang Samudera, dan yang tersisa hanya
kekuatan tenaga luar saja."
Kejap berikut, Dewi Kun muncul lagi. Suto segera
menyergah dengan nada protes.
"Kau telah lumpuhkan tenaga dalamnya Elang
Samudera, ya"!"
"Terpaksa kami lakukan supaya kau mau tunduk
dengan perintahku!" ketus Dewi Kun. "Dia hanya
mempunyai tenaga kasar, dan hal itu memudahkan kami
untuk memenggal kepalanya jika kau membangkang
perintah kami!"
"Kau curang!" geram Suto. "Aku ingin kau
kembalikan tenaga dalamnya Elang Samudera!"
"Semuanya akan kembali seperti semula, termasuk
kebebasannya juga, apabila kau sudah memenuhi syarat
yang harus kau lakukan."
Pendekar Mabuk mendengus kesal. Tapi tatapan mata
Dewi Kun membuat rasa kesal itu berangsur-angsur
luluh. Suto merasakan tatapan mata perempuan itu
bukan sekadar tatapan mata biasa.
Sorot pandangan mata perempuan itu mengandung
obat penjinak secara gaib yang dapat menenteramkan
hati yang gundah ataupun gusar.
"Syarat apa yang harus kulakukan?" tanya Suto.
"Kau harus bisa menyerahkan kepada kami seorang
bocah dari Gunung Sambara!"
"Bocah Emas, maksudmu"!"
"Benar!" jawab Dewi Kun tegas, tapi membuat Suto
tersengat oleh ketegangan dalam hati.
"Rupanya pihak Kuil Perawan Ganas ini juga
menghendaki Bocah Emas itu," gumam Suto dalam
hatinya. "Elang Samudera ditukar dengan Bocah Emas, maka
kalian akan bebas!"
Suto masih diam, tapi membatin dalam gerutu. :
"Elang Samudera sendiri ditugaskan membawa pulang si
Bocah Emas, kok sekarang justru nyawanya harus
ditukar dengan Bocah Emas"! Wah, kelewat berani
perempuan ini! Mungkin dia belum tahu kalau aku sudah
mengamuk, habis sudah bibir perawan secantik dia!"
Setelah sama-sama diam beberapa saat, setelah samasama beradu pandang dengan
hati saling berdebar,
Pendekar Mabuk segera ajukan tanya sebagai ungkapan
rasa ingin tahunya,
"Mengapa bukan kalian sendiri yang mengambil
Bocah Emas dari Gunung Sambara"! Bukankah kalian
lebih tahu di mana letak gunung itu daripada aku?"
"Kami tak sanggup hadapi kekuatan Ratu Lembah
Girang!" jawabnya secara jujur. "Kekuatan kami tidak
seimbang."
"Apalagi aku!" Suto bersungut-sungut. "Aku hanya
sendirian, mana mungkin bisa melawan kekuatan Ratu
Lembah Girang?"
"Bisa!" sahut Dewi Kun. "Semua bisa dilakukan
dengan siasat!"
"Siasat bagaimana"!"
"Aku akan berlagak menjual dirimu kepada Ratu
Lembah Girang. Setelah kau berada di dekatnya, kau
dapat membujuknya untuk meminta Bocah Emas
sebagai upah kerjamu melayani gairahnya. Lalu, Bocah
Emas kau bawa kemari dan Elang Samudera pun bebas
dari cengkeraman kami!"
"Gila! Jadi kau ingin menjualku kepada Ratu Lembah
Girang"!"
"Tepat sekali!"
"Hmmm...! Belum tentu usaha ini berhasil! Kau pikir
Ratu Lembah Girang tak mengerti siasatmu?"
Dewi Kun gelengkan kepala pelan. "Ratu Lembah
Girang menyukai pemuda kekar dan tampan sepertimu!"
Pendekar Mabuk diam termenung dalam keadaan
tetap berdiri bersandar dinding. Dewi Kun
memandanginya terus tanpa berkedip. Lama-lama gadis
itu mendekat hingga dalam jarak kurang dari satu
langkah. Mau tak mau Suto menatapnya karena ingin
tahu apa maksud pendekatan Dewi Kun itu.
Mata beradu pandang, mulut saling membungkam.
Bahasa mata mengisyaratkan bahwa Dewi Kun tergetar
batinya oleh ketampanan dan keperkasaan Pendekar
Mabuk. Sang pendekar sunggingkan senyum. Senyum
itu semakin menggetarkan hati Dewi Kun. Terpaksa
gadis itu berucap kata dalam nada membisik.
"Kau memang menawan, tapi belum tentu mampu
layani Ratu Lembah Girang."
"Bagaimana kau bisa berkesimpulan begitu?"
"Karena kau tidak tanggap terhadap pandangan
seorang perempuan. Bahasa matamu masih kurang peka,
Suto." "Jadi mestinya bagaimana?"
"Ciumlah Ratu Lembah Girang jika ia memandangmu
seperti aku memandangmu begini."
"Apakah pandanganmu ini punya arti minta di cium"
"Kau tak perlu tanyakan hal itu. Kau sebagai lelaki
harus lebih tanggap terhadap bahasa isyarat kaum
wanita." Senyum Suto ditebarkan. "Aku sebenarnya sudah
memahami maksud hatimu, tapi aku takut
melakukannya. Salah-salah habis menciummu aku akan
kena tampar tujuh kali. Memangnya enak, cium sekali
tampar tujuh kali?"
Dewi Kun tidak membalas senyum geli Pendekar
Mabuk, ia bahkan mendekatkan wajahnya dengan bibir
merekah seakan menantang untuk dikecup. Tapi Suto
Sinting tetap diam dengan senyuman lembutnya. Suto
tidak segera menerkam bibir itu, melainkan justru
memandanginya dengan pandangan menggoda.
Dewi Kun tidak sabar menunggu reaksi Suto, maka
bibir yang merekah itu kini ditempelkan pelan-pelan di
bibir Suto. Cuuup...!
Bibir Suto yang merah jambu itu dikecup oleh Dewi
Kun. Kecupan itu sangat pelan dan lembut, sehingga
kehangatan yang hadir terasa menjalar dari kepala
sampai ke ujung kaki. Suto tak tahan untuk berdiam diri,
akhirnya lidahnya menyapu bibir Dewi Kun, selanjutnya
lumatan lembut diberikan oleh Suto yang membuat
Dewi Kun menjadi ganas.
Dewi Kun seperti perawan kehausan cinta.
Ciumannya bersifat mencecar membuat Suto Sinting
gelagapan. Remasan tangannya pun menandakan luapan
gairah yang melonjak-lonjak dalam dada dan ingin
mendapatkan keindahan sepenuhnya.
Rompi panjang yang bagian depannya terikat itu kini
dilepaskan oleh pemakainya sendiri. Dengan lepasnya
ikatan tersebut, maka rompi pun terbuka lebar dan
sepasang bukit indah yang kencang tampak menonjol
penuh tantangan. Tangan Pendekar Mabuk merayap
sampai ke dada dan meremas lembut pada sepasang
bukit mulus itu.
"Ooh, Suto... tunjukkan kehebatanmu agar aku tak
sangsi akan kepiawaianmu dalam melayani Ratu
Lembah Girang nanti," bisik Dewi Kun yang segera
terputus oleh suara pekikan, karena sebelum ia selesai
bicara, Pendekar Mabuk sudah merayapkan ciumannya
ke leher. Kepala gadis berambut keriting lembut
sepanjang punggung itu terdongak memberikan
kesempatan pada ciuman Suto agar lebih leluasa. Tapi
ciuman Suto justru merayap ke bawah leher. Memagutmagut sebentar, lalu turun
lagi hingga ke dada. Maka
disapunya ujung-ujung dada itu dengan kehangatan lidah
Suto yang membuat Dewi pun memekik dengan suara
tertahan dan kedua tangan meremas pundak Suto.
Dewi Kun membiarkan sabuknya dilepas oleh Suto.
Ia hanya mendesah-desah sambil berdiri bersandar pada
dinding. Kepalanya menggeliat-geliat bersama erangan
dan desah yang menghambur tiada henti. Sesekali ia
memandang kepala Suto, matanya menjadi sangat sayu
kala pandangi mulut Suto yang memagut-magut tato
bunga mawar, lalu melahap pucuk-pucuk bukit daranya.
Kadang mata itu terbeliak sambil kepala mendongak lagi
bersama erangan yang melambangkan kenikmatan.
"Oouh... teruskan, Suto! Oouh, aku suka sekali. Aku
suka sekali, Suto... terus ke bawah, Sayang...."
Untuk sebuah kemesraan, Suto Sinting tak pernah
memperhitungkan gelar kependekarannya. Untuk sebuah
kenikmatan, Suto Sinting tak pernah keberatan
mengecup-ngecup paha dan lutut pasangannya. Akibat
pagutan pada lutut yang sesekali disapu oleh lidah itu,
Dewi Kun sempat memekik keras sambil melorotkan
kain penutup 'mahkotanya'-nya itu. Suto Sinting
memberi kebebasan pada wanita itu agar melepaskan
segalanya. Ketika segalanya telah terlepas, Dewi Kun
pun melebarkan diri dan menarik kepala Suto agar
merapat ke tepian 'mahkota'. Namun yang dilakukan
Suto justru merapat di pertengahan 'mahkota' dengan
lidah seperti seekor ular lapar. Tentu saja hal itu
membuat Dewi Kun menjerit kecil dan panjang sambil
kedua tangannya meremas rambut Suto karena menahan
rasa syur yang luar biasa.
"Ooouh... gila kau, Suto! Kau gila...! Oouh, aku suka
sekali gayamu, Suto! Teruskan... teruskan... ooooh,
indah sekali ini, Suto. Uuuh... uuhh... Sutooo...!" Dewi
Kun menjerit keras-keras ketika Suto mencecarkan
serangannya tanpa henti. Rupanya Dewi Kun berhasil
mencapai puncak keindahan pada saat itu, sehingga
jeritan keras dan remasan tangannya di luar kontrol
kesadaran. Daaar, daar, daar...!
Gedoran pintu terdengar mengagetkan mereka.
Asmara yang sudah mulai melambung tinggi kontan
jatuh hingga ke dasarnya lagi. Dewi Kun sempat berang
karena merasa kemesraannya terganggu oleh orang yang
menggedor pintu itu. Ia buru-buru mengenakan
celananya dan bergegas membukakan pintu dengan
langkah penuh emosi. Suto Sinting hanya nyengir sambil
duduk di lantai bersandar dinding, membersihkan
mulutnya yang basah dengan kain bajunya.
"Ada apa..."!" sentak Dewi Kun, kemudian tak
terdengar lagi karena-ia sudah berada di luar kamar dan
mengunci pintu itu kembali.
"Mampus kau kalau sudah kena jurus kemesraanku,"
ucap Suto pelan, seperti bicara sendiri. "Itu belum pakai
gigitan. Kalau sudah pakai gigitan, hmmm... biar
bangunan ini runtuh pun kau tetap tidak akan peduli
lagi." Pendekar Mabuk menenggak tuak tiga tegukan.
Selesai menenggak tuak, bumbung pun ditutupnya
kembali. Dan pada saat itulah Suto merasakan lantai
bergetar dengan suara gemuruh terdengar sayup-sayup.
Kotoran debu dari atap turun menghambur ke lantai.
Sepertinya tempat itu mulai dilanda gempa. Tapi Suto
yakin, getaran itu bukan karena gempa, melainkan
karena ada pertarungan dahsyat di sekitar Kuil Perawan
Ganas itu. "Setan! Aku tidak bisa keluar kalau begini. Padahal
aku yakin di sekitar sini ada pertarungan cukup seru!
Aduh, rugi sekali kalau aku tak melihat pertarungan itu!"
Pendekar Mabuk menjadi tegang dan jengkel sendiri
karena kegemarannya menyaksikan sebuah pertarungan
kali ini terpaksa tak tersampaikan, ia segera menendang
pintu besi tersebut. Namun sebelum kakinya menyentuh
pintu, tubuhnya telah terpental ke belakang dan
membentur dinding seperti tadi. Bruuuk...!
Bertepatan dengan itu, suara ledakan menggelegar
samar-samar dan lantai pun bergetar kembali. Keadaan
tersebut membuat Suto bertambah beringas dan
penasaran. "Monyet kudis! Buka pintunya, aku mau melihat
pertarungan itu!" teriaknya sendirian seperti orang gila.
* ** E-book by: paulustjing
Email: paulustjing@yahoo.com
4 PENJARA Kuil Perawan Ganas itu dilengkapi
dengan obor-obor dari logam putih anti karat. Obor-obor
itu menempel pada dinding marmer. Dalam satu ruangan
terdapat delapan obor, hingga ruangan tersebut menjadi
terang benderang.
Salah satu obor tersebut hampir saja jatuh karena
guncangan bumi yang tadi dirasakan oleh Suto dan
diduga karena adanya pertarungan di luar kuil. Tapi
nyala obor sekarang sudah kembali normal, berarti sudah
tidak ada guncangan atau getaran pada bumi lagi. Suto
hanya bertanya-tanya dalam hati, "Apakah pertarungan
itu sudah selesai" Lalu pihak mana yang unggul dalam
pertarungan tersebut?"
Rasa ingin mendapat jawaban menggelisahkan hati
Pendekar Mabuk, ia terpaksa menunggu kemunculan
Dewi Kun lagi untuk dapatkan jawaban tersebut. Tapi
yang ditunggu ternyata tak muncul-muncul hingga
beberapa saat lamanya. Pendekar Mabuk akhirnya
terkantuk-kantuk dalam duduknya yang melonjor dan
bersandar dinding sambil memeluk bumbung tuaknya.
Belum sampai kantuk itu menguasai Suto, tiba-tiba ia
terkejut kecil ketika mendengar suara pintu dibuka.
Dewi Kun muncul lagi dengan membawa nampan berisi
Pendekar Mabuk 082 Kuil Perawan Ganas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
makanan dan buah-buahan. Tak lupa pintu pun ditutup
dan dikunci lagi, tapi kuncinya dibiarkan tergantung
pada lubang kunci di pintu.
"Makanlah, seharian ini kau tidak makan apa-apa!"
kata Dewi Kun sambil meletakkan nampan berisi
makanan dan buah-buahan itu di lantai depan Suto.
Mata Suto sempat melirik ke arah kunci. Sebenarnya
ia bisa saja menyambar kunci itu dengan gerakan
cepatnya, lalu keluar dari ruangan tersebut. Tapi
pertimbangan otaknya mengatakan, bahwa hal itu akan
membuat Elang Samudera celaka jika ia melarikan diri.
Setidaknya Dewi Kun dan orang-orang Kuil Perawan
Ganas akan menyiksa Elang Samudera sebagai
pelampiasan atas murka mereka terhadap pelarian Suto
nanti. Maka, rencana dan niat itu pun dibuang jauh-jauh
oleh Pendekar Mabuk.
"Biarlah kuikuti dulu apa maunya orang-orang kuil
ini, yang penting Elang Samudera jangan teraniaya.
Kasihan. Dia sudah kehilangan tenaga dalamnya dan tak
bisa lakukan perlawanan apa-apa terhadap Dewi Kun
dan anak buahnya."
Begitu kata batin Suto saat memandangi makanan
tersebut. Dewi Kun menegur dengan tepukan pelan di
paha Suto. "Hei, jangan melamun saja! Makanlah, supaya kau
nantinya dapat melayani Ratu Lembah Girang dalam
keadaan kuat! Ratu akan sangat senang dan selalu
menuruti apa saja permintaan seorang pria yang mampu
membuat gairahnya terpuaskan. Kami mengandalkan
dirimu, karenanya... minum pula adonan jamu ini."
Pendekar Mabuk memandang ke arah cangkir perak
bertutup runcing. Cangkir itu yang tadi dituding oleh
Dewi Kun saat bicara tentang jamu. Suto penasaran dan
membuka tutup cangkir tersebut.
"Hmmmhh...! Baunya tak enak! Jamu apa ini"!"
"Jamu kuat!" jawab Dewi Kun tegas tanpa senyum.
"Ramuan ini bisa membuatmu selalu bergairah dan
mampu memuaskan asmara Ratu Lembah Girang."
Pendekar Mabuk tertawa geli bernada menyepelekan
khasiat jamu tersebut. Dewi Kun menambahkan
penjelasannya tentang jamu tersebut.
"Hanya tabib kami yang bisa membuat ramuan
pembakar gairah lelaki semujarab ini! Di tempat lain tak
ada ramuan setangguh ini,"
"Ah, bualanmu terlalu berlebihan!"
"Cobalah sendiri kalau tak percaya!"
Ketika Pendekar Mabuk mau meminum jamu itu,
tangannya segera ditahan oleh tangan Dewi Kun,
"Makan dulu, baru minum jamu itu! Jika perutmu
kosong tanpa makanan, dan kau meminum ramuan jamu
tersebut, maka kau akan mengalami kekecewaan besar
dalam bercumbu."
"Kekecewaan apa maksudmu"!"
"Siapa pun meminum jamu ini dalam keadaan perut
kosong, maka ia akan mengalami kesukaran dalam
mencapai puncak kemesraannya. Bisa empat hari empat
malam kau tak akan mencapai puncak kemesraan walau
semangat masih terus berkobar-kobar. Kau hanya akan
menemukan kejengkelan yang akhirnya akan
menyakitkan hati karena tak mencapai titik tertinggi dari
kencanmu nanti. Sementara itu, orang yang meminum
jamu ini tidak akan mau berhenti melakukan cumbuan
sebelum puncak kemesraannya tercapai."
Sambil tertawa pendek Suto berkomentar, "Wah,
hebat sekali!"
"Memang hanya tabib kami yang punya kehebatan
seperti itu."
"Maksudku, hebat sekali ngibulnya! Mana ada jamu
yang punya khasiat seperti itu"!" Suto bersungut-sungut
tak percaya. Bahkan ia tahu-tahu telah nekat meminum
jamu tersebut. "Heiii..."!" sentak Dewi Kun kaget. Ia menarik tangan
Suto yang memegangi cangkir, tapi terlambat. Isi
cangkir sudah ditelan habis oleh Suto, padahal Suto
belum makan apa-apa sejak di lautan sampai mendarat di
pantai Pulau Swaladipa tadi.
"Kau gila!" sentak Dewi Kun. "Kau sama saja akan
menyiksa dirimu sendiri dengan meminum jamu ini
tanpa makan lebih dulu!"
"Aku tak percaya dengan bualanmu tadi! Tanpa jamu
seperti ini, aku sudah mempunyai semangat yang tinggi
dan mampu bertahan diri untuk tidak mencapai puncak
kemesraan. Jadi, kuanggap jamu ini hanya celoteh tanpa
makna!" "Ak... aku tak mau bertanggung jawab jika kau
menjadi liar dan ganas. Kau sendiri yang melanggar
aturan minum jamu ini, Suto!"
Kecemasan itu justru ditertawakan oleh Pendekar
Mabuk. Dengan santainya ia menenggak tuak, setelah itu
baru melahap buah anggur berwarna hijau bening.
"Aku tak selera makan makanan seperti ini," ujar
Suto sambil mengunyah buah anggur. "Aku bosan
makan panggang ayam, burung bakar atau sejenisnya.
Aku malah kepingin makan peyek udang atau tempe
bacem." "Dasar pendekar norak!" umpat Dewi Kun dengan
cemberut. "O, ya... tadi kurasakan ada getaran dan kudengar ada
suara ledakan samar-samar. Apakah di luar telah terjadi
pertarungan?"
"Ya Biasa, orang-orang Bukit Sulang bikin onar di
wilayah kami! Mereka menyerang kami dan ingin
menguasai kuil ini."
"Lalu...?"
"Kami berhasil mengusir mereka!"
"Ada yang korban?"
"Delapan orang Bukit Sulang mati di tangan kami."
"Dari pihakmu ada yang tewas?"
"Tidak. Hanya dua orang yang tewas."
"Itu namanya ada yang tewas! Kok bilang tidak!"
Suto bersungut-sungut.
"Kurasa dalam waktu dekat orang Bukit Sulang akan
datang lagi dengan mengajukan Gembongsuro sebagai
orang terdepan yang diunggulkan."
"Gembongsuro itu sakti?" tanya Suto seperti
pertanyaan anak kecil yang diikuti lahapan buah
anggurnya. "Kudengar, Gembongsuro adalah orang terkuat di
Bukit Sulang, ia tidak akan turun tangan dalam suatu
penyerangan jika tidak dalam keadaan benar-benar
penting. Sekarang sudah dua kali orang Bukit Sulang
ingin merebut kuil ini. Tapi dua kali pula kami berhasil
menyingkirkan mereka dan menewaskan lebih dari lima
belas orang."
Pendekar Mabuk manggut-manggut
sambil menggumam kecil dan mengunyah buah anggurnya.
"Jika Gembongsuro muncul, kami pasti akan
terdesak, karena kesaktian Gembongsuro di atas
kesaktian kami."
"Apakah jarak Bukit Sulang dengan kuil ini termasuk
dekat?" "Ya, memang termasuk dekat. Kurang dari
seperempat hari untuk lakukan perjalanan dari sini ke
Bukit Sulang."
Pendekar Mabuk ingat tentang Elang Samudera. Ia
bergegas bangkit dan memandang Elang Samudera dari
kaca tembus, itu. Ternyata Elang Samudera juga
mendapat jatah makan seperti yang dikirimkan
kepadanya. Elang Samudera tampak makan sendirian
dengan lahap dan tidak merasa canggung lagi.
Tapi Pendekar Mabuk segera berkerut dahi ketika
melihat di nampan itu juga ada cangkir putih bertutup
runcing seperti cangkir tempat ramuan jamu yang
diminumnya tadi. Kecurigaan Suto mendesak hati untuk
ajukan tanya kepada Dewi Kun.
"Mengapa Elang Samudera juga mendapat cangkir
itu" Apakah cangkir itu juga berisi ramuan jamu seperti
yang kuminum tadi?"
Perempuan itu bangkit berdiri dan ikut memandang
melalui cermin tembus pandang.
"Ya, dia juga perlu meminum ramuan yang sama
dengan yang kau minum."
"Dengan maksud apa kau memberikan minuman itu
kepada Elang Samudera?"
"Supaya badannya merasa segar dan tidak loyo."
Tapi hati Suto mengatakan, bukan itu alasan yang
sebenarnya. Naluri Suto segera, mengatakan bahwa
Elang Samudera sengaja diberi ramuan jamu supaya
dapat dimanfaatkan oleh Dewi Kun atau perempuanperempuan Kuil Perawan Ganas
sebagai pasangan
bercumbu. Dalam keadaan tanpa ilmu tenaga dalam dan
kesaktian apa pun, tentu saja Elang Samudera akan
mudah terbujuk dan dirayu hingga hanyut dalam
permainan cinta.
"Kau mulai menampakkan kecurigaanmu lagi!"
sambil Suto menuding perempuan berhidung mancung
itu. "Kau pasti akan memanfaatkan kehangatan Elang
Samudera sebagai pemuas gairahmu, atau pemuas gairah
para anak buahmu! Sementara aku kau jual kepada Ratu
Lembah Girang, kalian bisa memanfaatkan Elang
Samudera sebagai hiburan tak senonoh!"
"Bagaimana kalau dugaanmu itu ternyata meleset"!"
"Tidak mungkin! Aku yakin kau... kau...." Pendekar
Mabuk terhenti dari ucapannya yang menggebu-gebu. Ia
merasakan debar-debar indah hatinya. Ketika matanya
menatap raut wajah cantik perempuan di depannya, hati
Suto merasa bagai dibuai oleh keindahan yang
menggembirakan, sehingga timbul rasa ingin memeluk
dan mencium perempuan itu.
"Celaka! Kenapa aku jadi begini bergairah
kepadanya?" ujar Suto dalam batinnya, ia mencoba
menahan hasrat ingin memeluk Dewi Kun, tapi usahanya
itu sepertinya akan menemui kegagalan. Napas Suto
sudah mulai terengah-engah dan batinnya mulai dibakar
oleh keinginan untuk bercinta.
"Kenapa aku ini"!" tanyanya kepada perempuan itu.
"Aku... aku suka sekali kepadamu. Aku... ingin
menciummu. Ooh... kenapa aku jadi ingin memeluk dan
menciummu"!"
"Jamu itu mulai bekerja dalam darahmu dan
membakar saraf kejantananmu!"'
"Tapi... tapi.... Oh, tidak! Aku tidak ingin lakukan!"
Suto Sinting menjauhi perempuan tersebut, ia berdiri di
sudut ruangan. Kedua tangan memeluk dirinya sendiri,
sementara bumbung tuaknya dibiarkan tergeletak di
dekat nampan berisi makanan itu. Ia terengah-engah
hingga keluarkan keringat dingin. Kedua kakinya
gemetar begitu merasakan hasrat untuk bercumbu
menyentak-nyentak makin kuat.
Perempuan itu mendekatinya dengan sorot pandangan
mata lain dari yang tadi. Kali ini sorot pandangan mata
itu mengandung ajakan untuk bercumbu. Seakan ia tidak
keberatan jika Suto ingin memeluk dan menciuminya.
"Pergi kau! Pergiii...!" bentak Suto. "Jangan
memancing gairahku semakin tinggi! Tinggalkan aku
sendirian. Aku tak mau lakukan hal itu. Pergi kau...!"
"Kau yakin tak ingin memperolehnya dariku?"
Suto tak menjawab, ia menggeram dengan gigi
menggeletuk. Tapi perempuan itu belum mau pergi dari hadapan
Pendekar Mabuk. Perempuan itu justru melepas pengikat
rompi merahnya, sehingga belahan depan rompi itu pun
tersingkap lebar. Gumpalan dadanya tampak jelas di
mata Pendekar Mabuk.
"Setan kau! Minggat dari hadapanku, lekas!" sentak
Suto walau tak mampu dengan suara keras, karena
napasnya sibuk meredam hasrat ingin bercumbu.
Sentakan itu tidak dihiraukan oleh si perempuan.
Justru perempuan itu meliuk-liukkan tubuhnya sambil
tangannya mengusap lembut bukit-bukit di dadanya.
Lidahnya sesekali menjilati bibirnya sendiri dengan
keadaan bibir telah merekah dan mata menjadi sayu
penuh tantangan bercumbu. Pendekar Mabuk semakin
dibakar oleh gairahnya. Dadanya terasa sesak karena
jantungnya berdetak kian keras. Perempuan itu juga
melepaskan sabuk dan kancing celana pendeknya. Pelanpelan sekali celana itu
diturunkan, sementara rompinya
telah dilepas sejak tadi hingga kemulusan tubuhnya
tampak jelas menantang Suto.
"Iblis kau! Kau meracuniku dengan minuman itu!
Kau... kau.... Aaah!" sentak Suto Sinting sambil
menghentakkan kakinya bagai orang dihinggapi
kejengkelan. Tapi perempuan itu justru memperhebat godaannya.
Kini ia sudah menjadi seperti bayi baru lahir, ia meliukliukkan tubuhnya dengan
kepala sesekali mendongak
bersama terlontarnya erangan dan desahan penuh gairah.
Perempuan itu bersandar pada dinding, tangannya
mengusap apa saja yang dapat menghadirkan
kenikmatan bagi dirinya. Napasnya menjadi terengahengah, sampai akhirnya ia
merosot ke bawah dan duduk
di lantai dengan posisi menantang.
"Oouh... aaah... oooohh...."
Desah-desah yang berhamburan masuk ke telinga
Suto dan membuat hasratnya kian terbakar lagi.
Akhirnya Suto Sinting tak mampu menahan diri ketika
dilihatnya mata perempuan itu memandangnya dengan
Pendekar Mabuk 082 Kuil Perawan Ganas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sangat sayu dan bibirnya merekah menunggu kecupan.
"Booo... bolehkah aku... aku mengusap betismu?"
ucap Suto dengan terbata-bata karena napas yang
menderu-deru. "Usaplah dengan bibirmu, Suto. Aku ingin rasakan
sentuhan kemesraanmu. Usaplah, Sayang...."
Pendekar Mabuk akhirnya merangkak, menempelkan
kecupan bibirnya di betis indah yang mulus itu. Kecupan
itu menjalar sampai ke betis. Si perempuan kian
melebarkan diri, bahkan tangan Suto dituntun untuk
menjamah 'mahkota' yang telah siap menerima
kedatangan sang tamu itu. Tangan Suto akhirnya menarinari di sana. Tapi pagutan
dan sapuan lidahnya masih
bermain di sekitar lutut serta paha, membuat perempuan
itu makin mengerang panjang dan terengah-engah.
Pendekar Mabuk tak mau buru-buru menyambar
'mahkota' itu. Kecupannya melewati sang 'mahkota',
merayap ke perut dan mencapai dada. Dua bukit di dada
itu tampak merentang penuh keberanian. Pendekar
Mabuk menyusuri dengan mulutnya di tepian bukit, ia
memagut tato yang ada di sana. Namun dalam hatinya
sempat terkejut melihat tato itu bukan bergambar bunga
mawar merah, melainkan bergambar kelabang merah.
"Secepat inikah ia mengubah tatonya" Atau... tato itu
akan berubah dengan sendirinya jika gairahnya mulai
terbakar" Oh, sayang aku tadi tidak memperhatikan
tatonya ketika ia mencapai puncak kemesraan, sebelum
keluar dari ruangan ini. Mungkin tato itu tato ajaib, yang
dapat berubah dari gambar bunga mawar menjadi
gambar kelabang merah. Letaknya pun berpindah di
Raja Silat 2 Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong Sukma Pedang 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama