Ceritasilat Novel Online

Pendekar Empat Serangkai 1

Pendekar Naga Geni 24 Pendekar Empat Serangkai Bagian 1


BAGIAN I HUTAN YANG BIASANYA sunyi senyap itu telah dipenuhi oleh benturan-benturan senjata diseling teriakan-teriakan marah ataupun
kesakitan yang meluncur
dari mulut orang-orang itu. Dipandang dari kejauhan, tampaklah bayangan-bayangan
tubuh yang berloncatan, berputar-putar dan berjumpalitan mengadu tenaga. Kini matahari telah berangsur-angsur merayap lebih tinggi dari tepi langit
sebelah timur, dan seirama dengan itu pertempuran di tengah hutan itupun menjadi
kian dahsyat. Si tokoh berwajah sekeras batu karang yang bergelar Doyotan, sekarang dapat lebih menguasai dirinya.
Tombak pendeknya yang bermata kembar senantiasa
berputar bagaikan kitiran menyambar ke sana kemari,
disertai desingan angin yang menyayat-nyayat telinga, bagaikan merintih-rintih
untuk minta korban.
Tak jauh dari tempat itu, terlihatlah kilatan-kilatan cahaya yang berasal dari
sabit berantai di tangan Growong. Sambaran-sambaran maut semakin gencar
mengurung gerakan-gerakan Gagak Cemani.
Sedang di tempat lain, Palumpang dan Tungkoro
sekaligus menghadapi masing-masing dua orang lawan
yang mengurungnya dengan serangan-serangan dahsyat pula. Di saat pertempuran menjadi semakin dahsyat, maka sadarlah Mahesa Wulung bahwa keenam lawan
yang mengurung mereka ini adalah orang-orang pilihan dari gerombolan Tangan Iblis. Karenanya tidak terlalu mengherankan bila
sampai sejauh itu mereka masih tangguh menyerang Mahesa Wulung dan ketiga
kawannya. Hampir dua puluh lima jurus lebih mereka
bertarung, namun toh masih belum ada korban yang
jatuh. Mahesa Wulung yang telah menggenggam pedangnya segera cepat-cepat menggerakkannya dengan hebat. Kalau semula ia lebih banyak menangkis gerakan
senjata lawan dan hanya sekali-sekali saja ia melancarkan serangan, maka sekarang ini benar-benar berlainan. Tanpa sungkan-sungkan Mahesa Wulung mulai menyalurkan hawa sakti dan ilmu pedangnya yang
bernama Sigar Maruta, hasil gemblengan dari mendiang Ki Camar Seta.
Karuan saja Doyotan menjadi terperanjat, sebab ia
dapat merasakan gerak perubahan dari ilmu pedang
lawannya. Tampak olehnya bahwa pedang Mahesa Wulung menjadi lebih santer bergerak. Yang tampak kemudian adalah kilatan-kilatan sinar putih yang menyambar-nyambar bagaikan halilintar. Bahkan seolaholah pedang tersebut telah menari-nari dengan lincahnya sambil setiap kali
mematuk ke arah Doyotan dalam gerakan yang tak terduga.
Masih lebih beruntung bila Doyotan dapat menangkis pedang tersebut dengan tombak pendeknya yang
bermata kembar meskipun untuk itu ia harus menggerakkan tenaga sepenuh mungkin. Jika tidak, jangan
harap ia sanggup bertahan lebih lama.
"Keparat! Sukar juga untuk merobohkan orang ini!"
gumam Doyotan penuh kejengkelan. "Biarlah. Akupun
tak sudi untuk dipameri ilmu pedangnya. Akupun
punya permainan menarik dengan senjataku ini!"
Tetapi... tiba-tiba....
Weesss...! "Hiaattt!"
Clangng! Tubuh Doyotan terpental ke belakang ketika sebuah
tebasan pedang Mahesa Wulung membentur tombak
Doyotan dengan kerasnya, sehebat runtuhan gunung
karang yang meledak.
Disertai napas yang mendengus, Doyotan cepatcepat berdiri sesudah beberapa langkah ia bergulingan dan terpental. Matanya
semakin tampak merah karena
diluapi oleh rasa amarah, sementara ia memegang lurus-lurus tombak pendeknya itu ke arah Mahesa Wulung. Sudah barang tentu si pendekar Demak inipun tidak tinggal diam. Pedang di tangannya segera melintang di depan dada dengan mata pedang menghadap
ke luar. "Mahesa Wulung. Ternyata engkau seorang lawan
yang tangguh. Karenanya aku terpaksa mengeluarkan
ilmu tombakku ini, dan jangan menyesal bila engkau
roboh olehnya!" demikian ujar Doyotan dengan lantang. "Hmm, tak perlu kau berbasa-basi demikian," seru
Mahesa Wulung. "Pakailah ilmumu supaya engkau
puas!" "Bagus. Aku ingin tahu apakah engkau sanggup
mempertahankan dirimu lebih lanjut!" teriak Doyotan
sambil tangan kirinya menggeprak batang tombak
pendeknya dan entah bagaimana asal mulanya, karena
tahu-tahu tombaknya itu terbelah menjadi dua bagian, sehingga masing-masing
tangan Doyotan kini telah
bersenjata tombak.
"Hahhh?" desah Mahesa Wulung kaget. Ternyata ia
tidak mengira bahwa tombak pendek Doyotan itu terdiri dari dua bagian tombak pipih yang melengket satu
sama lain, dan kini tombak tersebut telah terpisah
menjadi dua bagian.
"Ha, ha, ha. Kau terkejut bukan" Sambutlah ini!
Hyaattt!" teriak melengking terlontar dari mulut Doyotan disusul tubuhnya
meluncur ke depan, sementara
kedua tombak pendeknya menikam hebat.
Mahesa Wulung telah bersiaga pula agaknya, sebab
begitu serangan Doyotan mendatang, pedang di tangannya segera menyambut. Maka keduanyapun bertempur hebat. Di sebelah lain, Gagak Cemani masih gigih membendung serangan sabit berantai dari Growong. Kalau
semula ia merasa kerepotan menghadapi senjata aneh
tersebut, kini tidak lagi demikian. Naga-naganya ia telah mengetrapkan semua
ilmu ajaran gurunya, Ki Bujanggiri* yang maha ampuh itu. Maka tubuhnya mencutat ke sana-kemari, lolos dari sambaran sabit berantai dari Growong, tak
ubahnya gerakan seekor burung
gagak yang lagi bergurau. (*Lihatlah seri Naga Geni 15: Pendekar Gagak Cemani)
Bahkan tidak sampai di situ saja. Setiap kali, golok hitam di tangan Gagak
Cemani selalu menerobos pertahanan Growong dan menyambar dalam kecepatan
yang menakjubkan. Beberapa luka-luka kecil telah
menghiasi tubuhnya, tak ubahnya seekor jago aduan
yang telah tergores oleh taji lawannya. Namun hal ini rupanya malah membuat hati
Growong semakin panas, tak ubahnya seonggok bara api yang terhembus
angin dan menyala semakin hebat.
Serangan sabit berantai di tangan Growong bertambah ketat juga. Hanya saja Gagak Cemani kini telah
mengetrapkan ilmunya, sehingga serangan-serangan
Growong itu tidak banyak artinya, kecuali hanya untuk memperpanjang waktu saja.
"Celaka jika terus-terusan begini!" kata Growong di
dalam hatinya. "Pendekar berkumis melintang ini memiliki ilmu dan tenaga yang berlipat-lipat. Aku dapat menduga bahwa duapuluh
lima jurus lagi pastilah aku
bakal kehabisan tenaga untuk melawannya!"
Sambil bertempur itu Growong sibuk berpikir pula
untuk menahan serangan-serangan Gagak Cemani
yang semakin garang datangnya. "Hmm, aku harus
menggeser lingkaran pertempuran ini ke arah Bungkil
dan kawan-kawannya. Aku harus minta bantuan salah
seorang di antara mereka!"
Dengan begitu, maka sedikit demi sedikit Growong
berusaha mendekati ke arah Bungkil dan kawankawannya yang saat itu lagi bertempur melawan Palumpang dan Tungkoro.
Tampaknya pula, pertempuran mereka itupun tengah berada di dalam puncak ketenangan. Seperti Palumpang yang bersenjata Akar Bahar Merah, senantiasa melancarkan serangan-serangan dahsyat ke arah
lawannya. Gerakan pendekar laut ini benar-benar selincah ombak lautan yang menghempas tak hentihentinya, sehingga tak mengherankan bila Bungkil dan kawannya yang seorang itu
senantiasa dibuat kalang
kabut. Mereka berdua menjadi ngeri melihat senjata
akar laut milik Palumpang yang ganas memburu-buru
ke segenap arah. Ke manapun mereka bergerak, senjata aneh itupun senantiasa memburunya.
Bungkil berdua telah mengucurkan peluh akibat
pertempuran yang seru itu. Mereka mulai dijalari oleh perasaan jerih, sebab
lawannya yang bergelar Palumpang itu, benar-benar setangguh batu karang.
Bagi Bungkil, ini sudah merupakan satu kelebihan
bahwa seorang lawannya masih sanggup bertahan. Sedangkan bagi lawan-lawan yang telah dirobohkannya
pada saat-saat lewat, tidaklah setangguh Palumpang.
Sambil terus bertempur, Bungkil diam-diam mengharap bahwa Doyotan akan memberi sesuatu aba-aba
untuk mengundurkan diri ataupun mengambil langkah-langkah yang perlu. Yah, bukankah Doyotan menjadi pimpinan dalam penyergapan ini" Sudah seharusnya ia dapat melihat suasana yang tengah terjadi. Namun rupa-rupanya Doyotan tak
sempat memikirkan
hal itu karena ia sendiri tengah mati-matian membendung serangan pedang Mahesa Wulung.
Tiba-tiba ia melihat bahwa gerakan Growong makin
bergeser dan mendekat ke arah dirinya, membuat hati
Bungkil agak tenang sedikit, sebab ia berharap akan
mendapat bantuan dari Growong yang bersenjata sabit
berantai. Hampir saja Bungkil berseru kepada Growong agar
ia mendapat bantuan dari tokoh tersebut. Namun
alangkah kagetnya bila sahabatnya itu justru berseru dengan tajam ke arahnya,
"Bungkil! Bantu aku melawan pendekar berjubah ini! Ia terlalu alot untuk dilawan
sendiri!" "Hah!" Kamipun tengah kesukaran untuk merobohkan orang gendeng yang bersenjata akar ini!"
"Jadi...?" Bungkil tak melanjutkan kata-katanya,
sebab sudah cukup jelas baginya bahwa justru kedudukan dirinya bersama kawan-kawannya, berada dalam bahaya. Orang seperti Growong justru berilmu sedikit lebih
tinggi daripada dirinya. Maka jika Growong merasa kerepotan menghadapi lawannya
tersebut, lalu apalagi
dengan dirinya"
Dalam pada itu Doyotanpun agaknya telah menyadari akan kerepotan pada rekan-rekannya. Ia melihat, betapa Bungkil berdua mulai
terdesak oleh Palumpang. Begitu pula dengan Growong yang menghadapi
Gagak Cemani. Hanya kedua rekan lainnya yang kini
sibuk melawan Tungkoro kelihatan agak seimbang.
Namun iapun ragu, apakah hal itu akan bertahan lama" Sedang dia sendiri" Doyotan tak habis mengumpat sebab senjata tombak pendeknya yang sepasang
itu masih belum sanggup merobohkan Mahesa Wulung. Telah berkali-kali Doyotan melancarkan seranganserangan mautnya, tapi setiap kali pula tubuh Mahesa Wulung lolos bagai asap
dari ancaman senjatanya!
"Apakah terpaksa mengundurkan diri?" gumam
Doyotan dengan jengkel. "Mereka terlalu kuat jika dihadapi oleh enam orang saja.
Seharusnya lima belas
atau dua puluh orang, baru memadai untuk mengeroyok mereka! Hmm, sayang ketua Tangan Iblis belum
memperhitungkan kekuatan mereka!"
Rerasan Doyotan tersebut belum segera dilaksanakan, sebab saat itupun hatinya masih diliputi oleh ke-ragu-raguan. Sementara
ini, sepasang tombak pendeknya berkali-kali menangkis tebasan pedang Mahesa
Wulung yang berjurus Sigar Maruta.
Seperti diketahui, ilmu Pedang Sigar Maruta ini
mempunyai banyak ragam jurus dan siasat. Tidak kurang dari tujuh puluh lima jurus Sigar Maruta telah
diwarisinya dari pendekar Camar Seta, dan sesungguhnya telah mendarah daging serta berurat akar di
dalam diri Mahesa Wulung.
Dua puluh lima jurus awal dari Sigar Maruta ialah
berlandaskan kelincahan gerak semata-mata, dan ini
sering membuat pedang Mahesa Wulung seperti menari-nari ataupun bergulungan seperti angin. Sedang dua puluh lima jurus yang
kedua atau madya, adalah berisi serangan maut dan mematikan. Pada dua puluh lima jurus yang ketiga atau inti telah diolah lebih dalam oleh Mahesa Wulung dan
ini merupakan puncak dari
ilmu Pedang Sigar Maruta yang dahsyat itu. Pada jurus-jurus inti inilah Mahesa Wulung telah memadukan
ilmu pukulan Lebur Wajanya, sehingga dapat dibayangkan betapa hebatnya seandainya Mahesa Wulung telah menggunakan jurus intinya.
Apa yang kini tengah digunakan untuk menghadapi
Doyotan, adalah jurus-jurus kedua puluh enam dan
dua puluh tujuh, yakni awal dari jurus Madya. Walaupun begitu, toh sudah cukup menggetarkan dada
Doyotan dan lebih celaka bagi Doyotan, karena ia
mengira bahwa jurus-jurus tersebut adalah jurus puncak dari ilmu pedang Mahesa Wulung.
Wesss... wess... wesss.... Begitulah Doyotan dengan
nekadnya menerjang Mahesa Wulung dengan sepasang
tombak pendeknya yang bergerak laksana dua cakar
elang lagi kelaparan.
Bertepatan saatnya juga, tiba-tiba Mahesa Wulung
melesat ke depan sementara pedangnya bergulungan
menyambar dan menyambut serangan lawan.
Sriingngng.... Bet!
"Haahhh"!" Mahesa Wulung terperanjat kagum sebab dalam saat-saat gawat, Doyotan masih sanggup
menyelamatkan diri, meski akhirnya iapun mengeluh
kaget, sebab ikat kepalanya telah tanggal dan kini berada di ujung pedang Mahesa


Pendekar Naga Geni 24 Pendekar Empat Serangkai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wulung! "Ses... setan... kau!" desis Doyotan jengkel bercampur rasa jerih yang bercampur aduk di dalam hatinya.
Maka segeralah ia berusaha memberi perintah untuk
mengundurkan diri kepada kelima orang pengikutnya.
Akan tetapi, belum lagi perintah tersebut keluar dari mulutnya mendadak saja terdengarlah satu jeritan
maut dari arah lingkaran pertempuran si Palumpang.
Doyotan sempat juga melirik dan terlihatlah dengan jelas betapa senjata aneh
akar bahar di tangan Palumpang telah menembus dada salah seorang lawan, sedang Bungkil sangat kaget melihat temannya roboh!
Rekan si Bungkil tadi menggelosor di tanah dengan
menebah dadanya yang terluka berlobang-lobang, akibat tikaman senjata akar bahar dari Palumpang. Darah segar pun menyembur ke luar
dari lobang-lobang tersebut, tak ubahnya beberapa mata air yang menyemburkan airnya bersama-sama.
Kejadian itu mengagetkan pihak Doyotan, lebihlebih bagi Growong sendiri. Sama sekali ia tidak mengira bahwa salah seorang
rekannya telah roboh lebih
cepat dari apa yang diperkirakan. Dengan demikian,
tipislah harapannya untuk mendapat bantuan dari
mereka dan ini berarti pula bahwa Growong harus bertempur mati-matian seorang diri melawan Gagak Cemani! Ternyata sabit berantai dari Growong sudah tidak
ada artinya bagi Gagak Cemani. Meskipun senjata tersebut menyambar-nyambar ganas ke arah si pendekar
berjubah, namun selalu saja dapat dihindari oleh lawannya. "Celaka! Kakang Doyotan belum memberi aba-aba
mengundurkan diri! Tapi... memang... seandainya abaaba tersebut diberikan, tentu kami mudah melepaskan
diri dari keempat orang lawan ini!" demikian pikir
Growong yang mulai kecemasan.
"Waarrghh!" seru jeritan lagi menyusul dari arah
lingkaran pertempuran Tungkoro dan tampaklah salah
seorang dari pengeroyoknya terjerembab ke atas tanah dengan darah berhamburan
dari lehernya yang terso-bek oleh pedang Tungkoro. Sedang yang seorang lagi,
beberapa saat masih terbengong-bengong menyaksikan
temannya roboh bermandi darah. Ia sendiri telah menderita luka-luka kecil di tubuhnya.
Suasana benar-benar menjadi tegang di saat itu.
Dengan robohnya dua orang rekan, maka Doyotan
tinggal mempunyai tiga orang pengikut dan sebentar
lagi dapat dibayangkan bahwa mereka berempat pun
akan segera binasa di tangan keempat pendekar lawannya. Yah,. Doyotan seolah-olah telah melibat
bayangan maut di depannya, secepat berkelebatnya
pedang Mahesa Wulung yang ganas dan gesit. Agaknya, kata-kata 'lari' adalah satu-satunya jalan guna menyelamatkan nyawanya dari
ancaman senjata
keempat pendekar itu.
Namun nasib manusia kadang-kadang berjalan di
luar dugaan si manusia itu sendiri dan sesungguhnya, semua itu tergantung kepada
Tuhan Yang Maha Besar.
Seperti apa yang dicemaskan oleh Doyotan berempat,
ternyata tidak setepat dugaan mereka, sebab mendadak saja terjadilah sesuatu yang memecahkan suasana
ketegangan tadi.
Entah dari mana asal juntrungnya, tahu-tahu udara siang di sekitar mereka telah dirambati oleh bunyi berdenting-denting aneh,
yang meskipun tidak terlalu keras tetapi cukup menjentik-jentik telinga dan
jantung. Sungguh menakjubkan! Rasa nyeri timbul sedikit demi sedikit berbareng
alunan denting-denting yang
sukar diketahui sumbernya.
Ting, ting, ting..., ting..., ting.... Begitulah bunyi dentingan aneh tersebut
mengalir di udara dan tanpa
disadari suasana pertempuran itupun menjadi terpengaruh! Baik rombongan Mahesa Wulung maupun rombongan Doyotan seolah-olah lebih tertarik oleh suara dentingan tadi daripada
lawan-lawan yang harus mereka hadapi.
Dalam hal ini, tak seorangpun bisa menyangkal
bahwa suara dentingan tersebut tidak penting bagi mereka sebab dentingan tadi cukup membuat dada-dada
mereka bergetar bagaikan disodok-sodok oleh sebatang galah runcing.
Maka seketika itu pula kedelapan orang yang berada di situ seolah-olah terpukau di tempat, bagaikan
patung-patung bisu yang masih bernafas. Mereka menebar pandangan ke segala arah dengan maksud untuk mengetahui sumber suara yang aneh tadi. Namun
itu hanyalah usaha yang sia-sia belaka sebab suara
berdenting-denting tadi seperti mengalir dari beberapa penjuru dengan bergantiganti. Mengalami kejadian yang aneh tadi, Mahesa Wulung tidak mau menyia-nyiakan waktu. Segeralah ia
melipat kedua sisi telapak tangan di depan dada, guna melapisi dirinya dengan
tenaga dalam yang tersalur
rapi. Begitu pula Gagak Cemani cepat-cepat bersedekap tangan sesudah ia menyarungkan golok hitamnya
terlebih dahulu.
Di dekat mereka, Tungkoro berusaha pula mengatasi suara aneh tadi dengan cara berdiri kokoh bagaikan patung batu. Sedang
Palumpang punya cara sendiri. Ia segera duduk bersila di atas tanah dan kedua
telapak tangannya menempel pada kedua lutut.
Sementara itu, Doyotan, Growong, Bungkil dan seorang lagi, rupa-rupanya telah menyadari akan pengaruh suara yang berdenting-denting dan kini melanda
mereka. "Kawan-kawan. Jagalah dirimu, terutama inderaindera yang penting!" begitu seru Doyotan memperingatkan. Growong bertiga segera dapat memahami peringatan itu kemudian bersama-sama Doyotan, mereka duduk berjongkok di atas tanah. Agaknya mereka punya
jurus-jurus tertentu untuk mempertahankan diri dari
serangan suara aneh ini. Memang sebenarnya mereka
berusaha mengurangi getaran suara tersebut dengan
cara merendahkan tubuh seperti di atas.
Jika dilihat sepintas, agaknya memang tampak lucu
sikap Doyotan beserta ketiga rekannya. Wajah-wajah
mereka menjadi tegang dengan mata tak berkedip sementara napas mereka terdengar mengalir sangat tenang. Sungguh merupakan peristiwa yang ganjil. Kedelapan manusia yang berada di situ mengalami satu ketegangan yang tidak dapat dipecahkan begitu saja. Di
sekitar mereka tidak terlihat sesuatu gerak apapun
yang dapat diduga sebagai sumber suara.
"Celaka! Siapa yang melancarkan suara ganjil ini?"
ujar Mahesa Wulung di dalam hati. "Apa pula maksudnya!" Hemmm, benar-benar mengagumkan!"
Gagak Cemani mengerutkan keningnya dan ia berkata menggumam seperti berkata untuk dirinya sendiri, "Ternyata pengalamanku kian bertambah. Belum
pernah aku menjumpai ilmu seaneh ini...."
Saat itu pula Palumpang duduk bersila sangat tenangnya, seolah-olah seperti ia biasa bersila di atas rakit di tengah lautan.
Gempuran-gempuran ombak
dan angin telah biasa dihadapinya, begitu juga desau angin ataupun ledakan
petir, sehingga menghadapi
suara dentingan aneh ini, Palumpang tetap bersikap
tenang. Namun apakah kiranya ia bakal terus-menerus
tahan menghadapinya"!
Suara dentingan aneh tadi memang semula sangat
lembutnya dan kemudian meningkat lebih tinggi dan
semakin meninggi sampai menimbulkan akibat yang
sukar diduga sebelumnya. Hampir-hampir sukar dipercaya! Doyotan bersama keempat pengikutnya sangat gigih
berusaha mengatasi diri. Wajah-wajah mereka menjadi
lebih tegang dan tersaput warna merah, sementara
bintik-bintik keringat telah memenuhi dahi yang semakin lama bertambah mengalir deras dari lobanglobang kulit. Ketika waktu makin berjalan Doyotan dan Growong masih tetap
berjongkok dengan kokohnya,
sedang Bungkil dan seorang rekannya tidak lagi sekokoh itu. Keduanya mulai bergetaran seperti orang yang menderita sakit demam.
Di sebelah lain, Mahesa Wulung, Gagak Cemani, Palumpang dan Tungkoro menderita pula akan getaran
yang aneh dan menakjubkan. Tidak berbeda dengan
pihak Doyotan, mereka berempat mati-matian menanggulangi serangan udara bergetar yang makin lama
semakin hebat. Wajah-wajah mereka mulai dialiri peluh, menetesnetes seirama degupan jantung yang menghentakhentak tanpa henti. Mahesa Wulung masih berdiri
dengan tenangnya, sedang Palumpang terus saja duduk bersila tanpa bergerak, sehingga mirip sebuah patung batu. Apa lagi kedua
matanya setengah memejam, tak ubahnya orang yang lagi mengantuk atau seorang yang tengah menikmati sesuatu kenikmatan!
Sungguh menarik. Mereka mempunyai sikap yang
aneh-aneh. Lebih lagi dengan Gagak Cemani yang berdiri dengan kokoh, kedua belah kakinya seakan-akan
telah mencengkeram bumi di bawah. Ia bersikap mengangakan sedikit mulutnya dan inilah cara Gagak Cemani menyambut serangan udara bergetar.
Rupanya saja, Gagak Cemani berusaha mengimbangi getaran udara yang menerobos lobang telinga
dengan membuang dan menyalurkannya lewat mulut
yang terbuka. Dengan demikian, si telinga tidak bakal terlalu menderita ataupun
sampai pecah barangkali!
Sayang, tidak semuanya dapat bertahan begitu gigih dan hebatnya. Tungkoro mulai menampakkan wajah yang merah disertai tubuh yang sebentar-sebentar menggetar. Meskipun ia
telah berusaha mengusir pengaruh ini, namun hasilnya nihil saja. Bahkan ia malah
mengaku gagal. Tubuhnya sebentar tetap menggetar
dan Tungkoro sangat mencemaskan nasib selanjutnya.
Hampir boleh ia memastikan, bahwa sebentar waktu
lagi ia bakal tidak mampu melindungi dirinya.
"Ooh, benar-benar gawat!" pikir Tungkoro kegelisahan. "Seseorang di antara kami harus berbuat sesuatu untuk mengatasi keadaan
yang segawat ini! Aah, tetapi mereka masih berdiam diri! Tambahan lagi, apakah
yang dapat kami perbuat?"
Demikianlah Tungkoro berpikir dan sesungguhnya
siapapun yang berada di tempat itu hampir rata-rata
mengajukan pertanyaan yang sama!
"Celaka! Aku tak dapat membayangkan, bila kejadian ini berlangsung terus-menerus!" gumam Mahesa
Wulung seraya menebarkan pandangan ke arah sekeliling. Ia melihat bahwa Gagak Cemani tetap gigih bertahan seperti halnya
Palumpang. Tetapi ia menjadi
sangat terkejut sewaktu pandangannya tiba pada
Tungkoro. Rekan tamtama ini telah mulai terserang
oleh getaran aneh yang berdenting-denting tak berkeputusan. Kendati demikian, Tungkoro masih jauh lebih untung, sebab kelompok Doyotan lebih menderita lagi.
Bungkil dan rekannya yang bernama Delok telah bertahan pada titik akhir. Selain tubuhnya bergemetaran sangat keras, juga wajah
mereka merah padam berse-lang-seling dengan warna kepucatan berbareng air mata mereka bercucuran seperti anak kecil.
Ting... ting... ting... ting.... Suara dentingan senada
itu masih terus bergetar di udara dan semakin meningkat lebih tinggi dan kini seolah-olah udara bergetar sepenuhnya.
Baik Bungkil maupun Delok sudah sampai pada titik pertahanannya. Keduanya lalu jatuh terguling di
tanah dengan tubuh yang masih bergemetaran diikuti
suara rintihan mengalir dari mulut mereka, tak ubahnya nasib dua orang yang mabuk! Keruan saja Doyotan dan Growong menjadi sangat kaget begitu menyaksikan tubuh kedua rekannya terguling tanpa daya
apapun. Keadaan di situ sangat gawat dan suasana
misterius meliputi daerah itu, mencekam dan menyeret apa saja yang berada di
dalam jangkauannya!
*** BAGIAN II MENYERAHKAH MAHESA WULUNG dengan serangan yang aneh itu" Dan bagaimana pula dengan Gagak
Cemani serta rekan-rekan lainnya" Kalau seandainya
mereka tahu akan si penyerang ini, pastilah sejak se-pagi mungkin akan menerjang
habis-habisan ke arah
orang tersebut.
"Haai! Siapakah Anda, yang telah mengaduk-aduk
udara sesegar ini?" tiba-tiba Gagak Cemani berteriak lantang. "Apakah Anda
sebangsa dedemit iblis yang tak berujud" Jika tidak, maka lekas-lekaslah
menunjukkan diri supaya kita dapat membuat perhitungan lebih matang!"
Suara lantang Gagak Cemani berkumandang ke segenap arah, namun beberapa saat kemudian tidak sesuatu jawaban pun yang muncul, selain suara berdenting-denting menjadi semakin keras.
"Haai! Apakah kami berhadapan dengan sesuatu
yang berjiwa pengecut?" kembali teriakan meluncur.
"Mengapa tidak lekas-lekas menampakkan diri"!"
Sesaat masih belum ada jawaban....
Tiba-tiba terdengarlah satu rentetan ketawa yang
meringkik, bergetar membaur bersama suara yang
berdenting-denting di udara. Biarpun peristiwa ini terjadi pada siang hari,
tidak urung sempat pula mendirikan bulu roma bagi orang-orang yang berada di
tempat itu. "Hih, hi, hi, hi. Bagus! Bagus! Kalian berani men-gomel-ngomel,
sedangkan kalianlah yang membuat kesalahan terlebih dahulu!" demikianlah suara lantang
terdengar sebagai jawaban bagi Gagak Cemani.
"Apa kesalahan kami?"
"Hi, hi, hi, pura-pura berlagak pilon, haa! Apa kalian tak menyadari bahwa kalian telah mengobrakabrik tempat ini" Hutan yang semula tenang dan
aman, sekarang telah porak-poranda. Pohon-pohon
pada rusak, dan tanah di sini telah kalian kotori dengan darah!"


Pendekar Naga Geni 24 Pendekar Empat Serangkai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jadi itu yang Anda sebutkan sebagai kesalahan
kami" Apakah Anda tidak tahu bahwa kami tengah
bertempur, dan orang bertempur terkadang tidak
memperhitungkan tempat. Di manapun saja jadilah,
bila masing-masing menghendaki bertempur. Dan tentang tempat ini hanya secara kebetulan kami gunakan, sebab tidak ada tempat lain
lagi yang lebih cocok...!"
begitu jawaban Gagak Cemani sangat lancar dan tepatnya. "Hih, hi, hi, hi. Lidahmu memang hidup, bocah! Kau
memang pintar ngomong. Pantasnya engkau menjadi
seorang dalang. Baiklah, kalau soal tempat engkau tidak sudi dikatakan salah. Tapi ada satu hal lagi, yang kalian tidak bisa
berdalih lagi! Hi, hi, hi, hi...."
Gagak Cemani tertegun sejenak oleh jawaban tanpa
rupa ini. Hatinya serasa berdebaran lebih keras, sebab selain ia masih harus
menanggulangi suara dentingan
yang belum putus itu, iapun menunggu alasan terakhir dari si suara tanpa rupa. Maka Gagak Cemani segera berseru pula, "Nah, sekarang katakanlah hal itu, biar kami menjadi
gamblang!"
"Hih, hi, hi, hi. Bagus! Ketika itu aku tengah bersemadi di daerah ini dan
karena kedatangan kalian dengan perkelahian yang tak bermutu itu, pekerjaanku
menjadi rusak berantakan! Nah, karenanya tak ada lagi alasan untuk mengelak dari tuduhanku ini! Kalianlah yang bersalah dan bertanggung jawab atas kesemuanya!" "Hemmm, bukankah tak sengaja kami mengganggu
semedi Anda!?" seru Gagak Cemani. "Anda telah mengenal semadi, maka setidak-tidaknya Anda telah menguasai perihal kebijaksanaan! Orang yang bijaksana
seperti Anda pastilah bisa membedakan mana yang
buruk dan mana yang baik. Mana perbuatan yang
sengaja dan mana yang tidak sengaja!"
"Eeeh" Hemmm, hi, hi, hi, hi. Kau memang lincah
bersilat lidah, bocah! Hal itu bisa kupahami, namun
itu bukan berarti bahwa kalian bebas dari kesalahan
yang tidak tersengaja, bukan!" Oleh sebab itu kalian akan kucoba, sampai di mana
ketinggian ilmu yang kalian miliki. Bila lulus, kalian lolos dari tempat ini
dengan selamat. Tetapi bila tidak, kalian akan mendapat sedikit pelajaran dari
Ki Gagang Aking atas kelancan-gan kalian mengganggu hutan ini!"
"Jadi Anda bergelar Ki Gagang Aking?" Gagak Cemani sedikit kaget. Nama tersebut memang belum jelas
dikenalnya. Hanya saja ia pernah sekali mendengar
tentang nama tersebut dari gurunya, Ki Bujanggiri beberapa tahun yang lalu. Nama
Gagang Aking pernah
diceritakan oleh gurunya sebagai seorang tokoh pendekar yang suka berpindah-pindah tempat serta mengembara menuruti gejolak hatinya. Gagak Cemani
kembali memberanikan diri dan berseru kembali, "Jika demikian, mengapa Anda
tidak menampakkan diri dan
langsung berhadapan muka dengan muka!?"
"Bagus! Bersiap-siaplah untuk menghadapi kedatanganku!" kembali terdengar teriakan lantang dan beberapa saat kemudian, satu
batang pohon randu alas
tua yang telah kering, meletup keras disusul serpihan kayu berhamburan pecah ke
segenap arah! Meskipun
batang tua tersebut cukup jauh jaraknya, namun ledakan tadi mampu menggoncangkan dada mereka.
Tak seorangpun terhindar dari rasa kagetnya. Mahesa Wulung, Gagak Cemani, Palumpang, Tungkoro
serta segenap rombongan Doyotan sempat melihat batang pohon yang pecah berserakan lalu disusul munculnya satu bayangan manusia tepat di tengah-tengah
bekas pohon tersebut.
Yah, tepat di tempat itu terlihatlah seorang kakek
tua bertubuh kurus kering dengan tertawa-tawa mengikik, sementara kedua belah tangannya memukulmukulkan dua buah lempengan logam hitam dan dari
situlah sumber suara berdenting-denting tadi berasal.
"Hik, hi, hi, hi. Sekarang kalian telah melihat tampangku dan karenanya bersiap-siaplah menghadapi
beberapa percobaan dari ilmuku! Nah, bersiaplah," begitu ujar si kakek kurus
Gagang Aking sambil meningkatkan kerasnya suara kedua batang logam yang senantiasa dipukulkan terus-menerus.
Akibatnya memang hebat! Suara berdenting-denting
itu semakin keras menggetarkan udara dan menyerang
setiap panca indera orang-orang yang bercokol di situ.
Doyotan dan Growong tetap berusaha menguasai
keadaan tidak seperti Bungkil dan Delok yang kini telah bergulingan di tanah
merintih-rintih serta menggeliat-geliat tak ubahnya dua ekor ayam yang
disembelih. Bagi Doyotan, peristiwa ini benar-benar terasa sebagai satu penderitaan yang
berat. Baginya, lebih baik harus bertempur sampai mati daripada diserang dengan
suara yang aneh itu. Peluh dan air mata Doyotan mulai
mengucur keluar, tak berbeda dengan rekannya, si
Growong. Mereka berdua berusaha mati-matian menolak pengaruh suara yang ditimbulkan oleh Ki Gagang
Aking dan keduanya tak berdaya untuk menolong
Bungkil maupun Delok.
Ketika bunyi berdenting-denting itu kian menghebat, terlihatlah satu kejadian yang hampir sukar dipercaya oleh Doyotan maupun
Growong. Tiba-tiba saja
darah segar telah menetes dari hidung Bungkil dan Delok yang masih menggelosor
di tanah. Sementara itu Ki Gagang Aking, si kakek tua yang
bertubuh kurus dan berpakaian kulit, menjadi kian
gembira ketika ia melihat bahwa kedelapan manusia
yang berada di depannya telah terkena serangannya.
Bahkan tak lama kemudian si kakek ini seperti kian
menggila dengan pukulan-pukulan sepasang lempengan batang logam yang berada di tangannya.
Dengan lincahnya pula Ki Gagang Aking berloncatan di atas ujung-ujung daun rerumputan, persis seekor capung yang lagi bermain-main dan ini merupakan
satu pameran ilmu peringan tubuh yang tinggi tiada
taranya. "Ha, ha, ha. Aku sudah dapat menebak bahwa kalian tak sekuat yang aku duga. Paling-paling hanya tiga orang yang dapat bertahan lama menghadapi seranganku ini. Hi, hi, hi, hi." Ki Gagang Aking berseru mengumbar suara membuat
hati siapa yang mendengarnya berdebaran lebih keras. "Hi, hi, hi, sekarang
kalian tengah berkenalan dengan jurus permulaan dari
irama Pemecah Sukma. Hadapilah dengan segala ilmu
yang kalian miliki. Jika tidak, boleh diharap bahwa darah segar akan mengalir ke
luar dari urat darah dan
panca indera kalian. Hi, hi, hi, lihatlah kepada kedua orang itu! Ia telah mulai
tertembus oleh jurus perta-maku!"
"Irama Pemecah Sukma"!" desis Gagak Cemani seraya mengerutkan kening. "Celaka! Aku harus menanggulangi ilmu tersebut, jika tidak menghendaki di-riku berempat akan binasa
secara nista!"
Dan Mahesa Wulungpun sibuk berpikir pula menghadapi serangan Ki Gagang Aking yang kelewat berbahaya. Dalam jurus pertama saja, dua orang rekan
Doyotan telah menderita sangat beratnya. Maka dapatlah dibayangkan seandainya Ki Gagang Aking telah
menggunakan jurus-jurusnya yang lebih lanjut. Barangkali jantung mereka akan pecah disusul kematian
yang mengerikan!
Satu hal yang membuat Mahesa Wulung lebih cemas adalah keadaan Tungkoro. Tamtama Demak ini
telah mendeprok dengan tubuhnya bergemetaran, sementara peluh dan air mata bertetesan tanpa henti.
Karenanya Mahesa Wulung lalu beringsut mendekati
Tungkoro seraya berkata lembut setengah berbisik,
"Adik Tungkoro, sebaiknya engkau kubuat tertidur
dengan totokan jariku. Dengan begitu, untuk sementara waktu adik akan terbebas dari serangan Irama Pemecah Sukma! Nah, bagaimana, adik Tungkoro" Anda
setuju?" Tungkoro mengangguk pasti, ujarnya pula, "Ya! Aku
tak keberatan, Kakang Wulung! Lakukanlah segera!"
Dengan persetujuan tadi, Mahesa Wulung segera
menotok tengkuk Tungkoro tanpa sungkan ataupun
ragu dan sesaat kemudian, Tungkoro rebah tertidur
dengan pulas. Gagak Cemani mengangguk setuju atas tindakan bijaksana dari sahabatnya itu. Kini ia lebih berusaha melawan pengaruh serangan Ki
Gagang Aking dengan
seksama. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Gagak Cemani tiba-tiba saja tertawa terbahak-bahak. Mulamula amat perlahan, tapi kemudian meningkat lebih
keras dan bernada tinggi. Suaranya benar-benar menyerupai teriakan burung gagak. Gak, krak, kak, kak, kak... kak, kak, kak....
Sungguh menakjubkan pula ilmu ketawa Gagak
Cemani ini. Udarapun kini mulai digetarkan oleh dua
buah suara yang saling melibat kejar-mengejar dengan hebatnya. Peristiwa ini
berjalan beberapa saat dengan mendebarkan setiap dada orang yang tinggal di
situ. Namun agaknya suara dentingan logam Ki Gagang
Aking menjadi lebih meningkat dan setahap demi setahap mengatasi suara ketawa Gagak Cemani. Karuan
saja si pendekar berkumis melintang ini merasa takjub pula.
Melihat kenyataan tadi, Mahesa Wulung tidak begitu saja tinggal diam. Ia masih ingat betul kalau membawa sebatang seruling yang
diselipkan bersama sarung pedangnya. Maka segera dicabutnya seruling itu, dan bertiuplah satu irama
merdu mengalun di dalam
udara, melenggok-lenggok bagaikan seekor naga yang
lagi berenang. Si kakek kurus Gagang Aking terpaksa menyeringai
dan jidatnya berkerut saking kagetnya. Gerundalnya
pula, "Eh, bocah-bocah ini ternyata berilmu pula. Hi, hi, hi, biarlah tak
mengapa! Justru aku merasa lebih senang menjumpai tokoh-tokoh muda yang berilmu
tinggi. Hi, hi, hi, keparat! Tapi sampai seberapa jauh mereka sanggup bertahan?"
Apa yang digerundalkan Ki Gagang Aking, ternyata
tengah pula dipikirkan oleh Mahesa Wulung. Irama serulingnya kian mantap dan gigih membantu getaran
ketawa Gagak Cemani untuk kemudian bersama-sama
melawan getaran logam sepasang di tangan si kakek
kurus kering. Seketika pula berlangsunglah adu suara dan getaran yang hebat.
Beberapa daun tua yang masih belum tanggal dari tangkainya segera bergetaran
hebat lalu rontok ke bawah melayang-layang di udara.
"Gila! Mereka bersama-sama bertahan dari seranganku!" gumam Ki Gagang Aking dan kemudian ia berteriak keras, "Hai, kalian bekerja cukup baik... tapi selanjutnya terimalah
seranganku ini. Haiittt!"
Berbareng kata-katanya, si kakek kurus kering telah meluncur dalam gerakan sebat. Kedua lempengan
batang logam di tangannya menyambar hebat ke arah
Mahesa Wulung, Gagak Cemani dan Palumpang.
Serangan tiba-tiba Gagang Aking merupakan satu
serangan hebat yang tidak terduga, sehingga usaha te-rakhir bagi Mahesa Wulung
bersama rekannya adalah
membuang diri ke samping secepat itu pula sehingga
sepintas lalu ketiga pendekar ini tampak bagaikan tiga ekor belalang yang
mencutat sangat gesitnya....
Hal ini membuat Ki Gagang Aking menjadi lebih beringas, meski rasa kagum terselip pula di dalam hatinya. Si kakek tua inipun secepat kilat memutar tubuh dan kembali ia melancarkan serangan-serangan
kilat ke arah lawan-lawannya.
Wesssss... wesss... trang... trangng!
Mahesa Wulung menyambut serangan si kakek
dengan tebasan serulingnya, sedang Gagak Cemani telah menangkiskan golok hitamnya sekuat mungkin.
Sementara itu pula, Palumpang beraksi dengan senjata Akar Bahar Merah yang ampuh
dan berbisa. Ketika benturan senjata-senjata terjadi, maka Mahesa Wulung serta kedua rekannya masing-masing
terdorong surut ke belakang sehingga mereka bertiga
terpaksalah terbengong kagum, tidak ubahnya orangorang yang melihat hantu.
"Bukan main!" desis Mahesa Wulung. "Dengan benturan kecil saja, tubuhnya hampir terlontar. Si kakek kurus ini ternyata bukan
tokoh sembarangan."
Dengan terjadinya pertempuran ini, berarti pula
dentingan sepasang logam di tangan Ki Gagang Aking
berhenti untuk beberapa saat. Rupanya, kakek kurus
itu sengaja memberi kelonggaran kepada Mahesa Wulung dan ketiga rekannya, demikian pula kepada Doyotan bersama rekan-rekannya.
Bila Mahesa Wulung telah bersiaga kembali, Gagak
Cemani dan Palumpang tidak ketinggalan mengambil
ancang-ancang untuk menghadapi si kakek Gagang
Aking. "Hi, hi, hi. Kalian terkejut, bukan" Bersiaplah kembali sebaik mungkin, supaya kalian tidak terlalu lekas roboh. Hi, hi, hi!"
kembali Ki Gagang Aking berseru
dan sesaat kemudian ia telah bersiap melancarkan serangannya. Tapi... Hyaat! Gagak Cemani terlebih dahulu melesat laksana seekor rajawali dengan golok hitamnya
menyambar ke arah si kakek tua.
"Uhh!" Ki Gagang Aking terkejut dan tiba-tiba satu
bayangan lain telah pula menerjang pula ke arahnya.
Sekilas ia melihat sebuah seruling tergenggam di tangan si penyerang. Itulah Mahesa Wulung! Dan sesaat
itu juga, bayangan ketiga melenting dengan kecepatan kilat dan sebuah senjata
akar bahar mengancam tubuh Ki Gagang Aking. Dan tidak lain adalah Palumpang si Pendekar Lautan!
Demikianlah, Mahesa Wulung bersama Gagak Cemani dan Palumpang meluruk ke arah si kakek tua
yang bersenjatakan dua buah lempengan logam di tangannya. Keruan saja si kakek tua ini tercengang kaget dan kagum sampai-sampai ia
mendesis. Benar-benar Ki Gagang Aking merasa terancam oleh


Pendekar Naga Geni 24 Pendekar Empat Serangkai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahaya yang datangnya dari ketiga penyerangnya sekaligus. Ia sadar bahwa ketiga pendekar muda yang menyerang itu memiliki masing-masing kekuatan yang
dahsyat, karenanya pula si kakek telah mempersiapkan diri sepenuhnya.
"Heeittt!" teriak menggeledek terlontar dari mulut
kakek Gagang Aking bersamaan kedua belah tangannya berkelebat mengayunkan sepasang lempengan logam hitam. Daaarr... daarr... daaarrr! Letupan tiga kali beruntun terdengar memenuhi udara manakala ketiga senjata pendekar muda telah berbenturan dengan senjata si kakek Gagang Aking. Bunga
api dan asap tipis menge-pul di udara ketika benturan senjata itu berlangsung,
membuat Mahesa Wulung bertiga tercengang dan saat
itu pula mereka terlontar ke belakang bagaikan tiga
daun kering. "Hi, hi, hi, sekarang aku ingin mencoba kelompok
yang lain!" ujar kakek Gagang Aking seraya melesat di atas rerumputan ke arah
Doyotan beserta rekan-rekannya.
Saat itu, Doyotan dan Growong lagi menolong si
Bungkil serta Delok yang masih kempis-kempis akibat
serangan ilmu Pemecah Sukma kakek Gagang Aking.
Mereka jadi kalang-kabut begitu melihat si kakek kurus itu melesat dan menyambar ke arah mereka.
Buru-buru Doyotan memutar sepasang tombak
pendek, sementara Growong telah menggerakkan sabit
berantainya ke arah si kakek. Sedang Bungkil dan Delok masih terhuyung-huyung meskipun keduanya telah menggenggam senjata goloknya.
Wesst! Sring... sring... blaarrr! Begitulah si kakek tua gesit menyelinap di
antara libatan senjata dan ketika ia menyampokkan kedua belah senjatanya, Doyotan dan ketiga rekannya terpental nyungsep ke tanah
diiringi jerit kesakitan. Tampaklah bahwa Bungkil dan Delok menggerung-gerung
melontarkan darah segar
dari mulut. Jelaslah bahwa mereka berdua telah terlanda benturan yang menimbulkan luka dalam cukup
parah. Beruntung bagi Growong dan Doyotan. Mereka cuma terpental saja meski dada mereka serasa terbakar
panas oleh bara api. Dengan susah-payah merekapun
bersiaga kembali, sebab mereka yakin bahwa si kakek
kurus itu bakal menyerang kembali.
Sementara itu, Mahesa Wulung telah membebaskan
kembali Tungkoro dari totokan penidur, sehingga tamtama ini terbangun dengan segar-bugarnya.
"Bersiaplah adik Tungkoro!" ujar Mahesa Wulung,
kepada rekannya. "Kakek Gagang Aking itu memang
luar biasa. Lihatlah, ia tengah menghajar rombongan
Doyotan!" Tungkoro terbeliak begitu menyaksikan bahwa kakek kurus kering itu tengah bertempur sengit melawan Doyotan dan ketiga
rekannya. Ia bergerak bagaikan
bayangan cepatnya, melenting di antara hujan senjata tanpa mendapat cedera
apapun. Doyotan berempat
menjadi semakin jerih pula.
"Siapakah orang itu sebenarnya?" gumam Mahesa
Wulung kagum. Tak henti-hentinya ia mengawasi gerakan si kakek.
"Dia adalah seorang pendekar pengelana!" sahut
Gagak Cemani. "Hal itu pernah diceritakan oleh guruku. Kata beliau, si kakek Gagang Aking itu suka muncul dan pergi tanpa juntrung! Ilmunya memang setingkat dengan ilmu guruku."
"Kemunculannya di tempat ini pasti mempunyai
maksud-maksud tertentu, Kakang Cemani," sambung
Mahesa Wulung dengan penuh perhatian. "Ilmunya
luar biasa!"
"Kita harus melawannya dengan bersungguhsungguh, Adik Wulung. Sebab iapun menyerang kita
tanpa tanggung-tanggung. Beruntunglah bahwa kita
tidak muntah darah akibat benturan senjatanya!"
"Benar, Kakang. Ia ternyata sanggup menghadapi
delapan lawan sekaligus! Kita berempat di sebelah sini dan Doyotan berempat di
sebelah sana!" ujar Mahesa
Wulung. "Kita seperti barang-barang mainan bagi kakek Gagang Aking itu!" sahut Palumpang pula. "Awas, ia telah melirik ke arah kita!"
Peringatan Palumpang tadi ternyata tidak kosong,
sebab meskipun jarak antara rombongan Doyotan dan
Mahesa Wulung berempat cukup jauh, Palumpang dapat mengawasinya dengan baik.
Dan sesungguhnya si kakek Gagang Aking sungguh-sungguh melesat ke arah Mahesa Wulung berempat dalam kecepatan yang sukar diukur.
"Hi, hi, hi, kalian berempat telah lama menanti"
Maafkan bocah-bocah. Nih, sekarang aku telah datang
kembali ke sebelah ini! Terimalah seranganku.
Hyaattt!" Si kakek Gagang Aking menggebrak dengan
gesitnya ke arah empat pendekar muda. Gerakannya
benar-benar mengerikan hati bagi setiap lawan yang
berada di hadapannya.
Apapun gerakan si kakek Gagang Aking, Mahesa
Wulung tidak tinggal diam. Dengan mengandalkan ilmu peringan tubuh, ia mencecar ke arah si kakek sementara seruling di tangannya bersuit-suit menjadi sasaran.
Kakek tua itu terkejut oleh serangan Mahesa Wulung, lalu ia mencutat ke atas menghindar. Tak tahunya, Gagak Cemani telah mencegat dengan tebasan
golok hitamnya yang menerkam dari atas!
"Haitt!" si kakek Gagang Aking membuang diri ke
samping dan tanpa terduga ia menyampokkan kedua
lempengan tembaga di tangannya ke samping, disusul
dan benturan keras terjadi dan begitulah, senjata Mahesa Wulung dan Gagak Cemani
masing-masing membentur senjata si kakek Gagang Aking.
Dengan terbeliak, Mahesa Wulung mencutat ke atas
ketika terasa bahwa pedangnya bagaikan membentur
sebongkah batu karang sehingga tergoncang hampir
terlepas. Gagak Cemani ikut keheranan oleh ketangguhan ilmu si kakek kurus yang tidak dinyananya
memiliki tenaga dalam sehebat itu. Akan tetapi, keka-getan terjadi pula pada Ki
Gagang Aking. Ketika berbenturan tadi terasalah hawa panas menyentuh ke dirinya lewat senjata Mahesa Wulung dan Gagak Cemani. "Luar biasa!" menggumam si kakek tua seraya berjumpalitan di atas udara. "Mereka masih muda-muda
tapi tenaga dan ilmunya telah hebat. Hemm, aku harus hati-hati
menghadapinya...."
Manakala Palumpang dan Tungkoro menerjang
kembali ke arah si kakek, pertempuranpun menjadi
bertambah seru. Sebentar saja, kelima manusia itu telah bergerak kelewat cepat,
sampai-sampai sukar diikuti oleh pandangan mata si Doyotan bersama ketiga
rekannya. "Cepatlah, kita menyingkir dari tempat ini...." desah Doyotan seraya mengatur
napasnya yang sesak. "Jika
sekali lagi kita terbentur oleh tenaga pukulan kakek bangkotan itu, pastilah
kita akan muntah darah. Tambahan lagi kita harus cepat-cepat menyelamatkan sobat Bungkil dan Delok. Mereka telah terluka dalam cukup parahnya."
Growong mengangguk lemah. Kiranya pendapat
Doyotan itu cukup baik, sebab tubuhnya sendiri sekarang ini seperti kehilangan daya dan kiranya untuk
memutar senjata sabit berantai, ia tak akan sehebat
dan setangguh saat-saat yang lalu. Hal ini sama artinya tidak perlu melanjutkan pertempuran melawan si kakek Gagang Aking maupun
rombongan Mahesa Wulung.
"Bagaimana sobat Bungkil dan Delok" Apakah kalian masih sanggup untuk berjalan?" bertanyalah si
Growong kepada kedua sahabatnya yang masih saja
mendeprok di tanah seraya menyapu bekas-bekas darah di sudut mulutnya.
"Hehh..., masih sanggup... asal kami dipapah...."
jawab Bungkil sangat lemahnya. Sekali lagi ia melayangkan pandangannya ke arah lingkaran pertempuran di sebelah timur, dan mulutnya menggumam, "Kakek tua itu mungkin bukan manusia. Dikeroyok oleh
empat orang lawan sehebat itu, toh ia masih enakenak tanpa khawatir sedikitpun...."
"Tapi bukankah ia setengah membantu kita?" Delok
ikut berkata. "Husss, bukan begitu, Sobat. Ia tengah terlibat dengan rombongan Mahesa Wulung dari Demak, dan beberapa saat yang lalu ia telah mengobrak-abrik kita.
Jadi terangnya ia tidak memihak siapa-siapa. Karenanya kita harus secepat mungkin meninggalkan tempat ini, sebelum si kakek itu melabrak kita buat kedua kalinya!" begitu Doyotan
berkata seraya membantu si
Bungkil berdiri dengan susahnya.
"Kalau demikian, akupun ingin cepat-cepat meninggalkan tempat terkutuk ini!" sambung Growong serentak pula memapah Delok pada bahunya.
"Yah. Biarkan Mahesa Wulung dan rombongannya
terbinasa oleh si kakek bangkotan. Kalau kita gagal
membunuhnya, toh akhirnya orang tua itulah yang
menggantikan tugas kita...." ujar Doyotan serta mulai bergerak ke utara sambil
memapah Bungkil, sedang
Growong dan Delok mengikutinya dengan berjalan terseok-seok. Mereka menerobos rerumputan, semak ilalang dengan sangat hati-hatinya agar tidak sampai diketahui
oleh si kakek Gagang Aking maupun Mahesa Wulung
serta rekan-rekannya. Dan sebentar saja, keempat
pengikut Tangan Iblis itu telah meninggalkan tempat
tersebut secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi
tak ubahnya musang-musang yang ngacir ketakutan
melihat harimau.
Dengan demikian maka yang tertinggal di tempat itu
adalah rombongan Mahesa Wulung beserta si kakek
Gagang Aking. Mereka terus bertempur dengan gigihnya, tanpa mengukur bahwa puluhan jurus telah mereka lewati. Bagi Mahesa Wulung berempat, pertempuran kali
ini jauh lebih dahsyat dan sengitnya dibanding saatsaat ketika mereka melawan rombongan Doyotan.
Beruntung bagi Mahesa Wulung dan rekanrekannya. Walaupun pertempuran-pertempuran yang
mereka lakukan ini banyak menghabiskan tenaga,
namun mereka adalah terbilang pendekar-pendekar
gemblengan dan soal kelelahan belum begitu sangat
mengganggu terhadap gerakan-gerakan mereka.
Bahkan makin hebat gerakan yang dilakukan, tenaga mereka seperti kian menjadi berlipat-lipat. Apalagi mereka berempat selalu
bertempur dengan jurus-jurus
yang berpasangan, saling mengisi dan saling melengkapi. Hanya saja satu keheranan yang hampir berbareng
muncul di tengah-tengah mereka adalah tentang si kakek bangkotan Gagang Aking. Si tua ini selalu saja gesit meloloskan diri dari
sentuhan-sentuhan senjata
keempat lawan yang selalu mengancamnya sehingga
tidak berlebih-lebihan bila gerakannya boleh dimiripkan dengan gerakan seekor burung seriti. Malahan
Doyotan sejak semula telah menganggap bahwa kakek
tua tersebut bukanlah sebangsa manusia lumrah, tapi
adalah penjelmaan setan atau jadi-jadian.
Yang lebih menjengkelkan Mahesa Wulung berempat adalah sikap si kakek tua ini. Sambil bertempur
begitu, ia selingi dengan ketawa-tawa yang mengikik
bernada mengejek kepada keempat lawannya.
Selama ini hampir kedua senjata lempengan logam
di tangan si kakek belum juga mampu menyentuh tubuh lawan-lawannya, merupakan satu hal yang penuh
pertanyaan dan teka-teki. Mahesa Wulung sendiri
menduga bahwa si kakek itu belumlah sungguhsungguh menumpahkan tenaganya, sehingga satu perasaan cemas muncul dalam relung hatinya.
"Celakalah bila ini merupakan siasat si kakek Gagang Aking. Mungkin ia belum benar-benar turun tangan dengan senjata, karena ia lagi meneliti semua jurus-jurus yang ada pada
kami. Dan jika ia telah mengetahui segala kelemahan-kelemahan yang ada pada
kami... barulah ia melancarkan serangan mautnya!"
demikian pikir Mahesa Wulung diam-diam. "Jadi aku
tidak boleh berlengah-lengah menganggap enteng kepada si kakek ini! Akan kugunakan lagi pedangku ini!"
Mahesa Wulung dengan cekatan mengoper memindahkan serulingnya ke tangan kiri dan tangan kanannya melolos pedang di pinggang kiri.
Triingng! Wesst... wesst... wesst....
Begitulah maka Mahesa Wulung telah memindahkan dua buah senjatanya. Seruling di tangan kiri dan pedang di tangan kanan.
Kedua senjata tadi serentak
menebas, menyambar bergulung-gulung ke arah si kakek Gagang Aking yang seketika menjadi terkejut.
"Hei, bocah! Kau bertambah nekad"!" seru si Gagang Aking seraya menggerakkan senjatanya, sepasang
lempengan logam.
"Bukan urusanmu kakek! Bukankah Anda betulbetul ingin mencoba kepandaian kami" Nah, bermacam-macam ilmu yang belum sempat kami keluarkan.
Semoga Anda cukup sabar menantinya!" sahut Mahesa
Wulung. "Baah! Anak muda sekarang, rata-rata pandai berbicara! Keluarkanlah semua ilmumu, anak muda. Hal
itu sudah kukatakan sejak awal tadi, bukan" Ayo,
tunggu apa lagi, hah" Apa kau ingin lebih dulu kurobohkan?" "Bagus! Sejak detik ini aku akan menuruti keinginanmu, kakek! Dan maafkan jika Anda akan kerepotan
nanti!" sahut Mahesa Wulung seraya mengetrapkan ju

Pendekar Naga Geni 24 Pendekar Empat Serangkai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rus-jurus Madya dari ilmu pedangnya Sigar Maruta.
"Hi, hi, hi. Ayo jangan sungkan-sungkan, anak muda! Ehh, siapa namamu haa?"
"Mahesa Wulung! Hyaaatt!" sambil berseru hebat
Mahesa Wulungpun mulai menyerang dengan jurus
yang terbaru. Sementara itupun Gagak Cemani, Palumpang dan Tungkoro memperhebat tekanan serangannya kepada si kakek Gagang Aking. Dipandang sepintas lalu, memang kurang pantas serta tak berperikemanusiaan bila empat orang pendekar muda berilmu tinggi telah mengeroyok seorang kakek tua. Namun
dalam dunia persilatan hal ini tidak mustahil terjadi bahwa seseorang yang makin
tua, makin pula bertambah tinggi ilmunya sampai-sampai ia ditakuti oleh golongan muda. *** BAGIAN III KAKEK TUA berpakaian kulit ini terkesiap beberapa
saat ketika Mahesa Wulung mulai menyerang dengan
jurus-jurus barunya. Ia merasakan sambaransambaran angin tajam yang terpancar dari pedang si
pendekar muda itu, karenanya cepat-cepatlah ia
menghindar dari jangkauan pedang yang selalu melibat ke arahnya.
Ketika Ki Gagang Aking lolos dari pedang Mahesa
Wulung, mendadak saja golok hitam Gagak Cemani telah menyambutnya dengan satu tebasan mendatar,
sementara Palumpang telah menyampokkan akar baharnya ke arah kepala si kakek.
"Uhh," desah Ki Gagang Aking seraya cepat-cepat
menyabetkan sepasang senjatanya menyambut dua serangan beruntun tadi, sehingga tanpa terhindar lagi,
terjadilah dua benturan seru berbareng dengan letupan asap panas. Dar... daarrr....
Di saat itu, Gagak Cemani maupun Palumpang terdorong surut dengan satu perasaan kagum yang tak
habis-habisnya, sebab senjata-senjata mereka tadi seolah-olah menembus air dan
tenaganya lenyap begitu
saja tanpa bekas.
Adapun Mahesa Wulung tidak tinggal diam melihat
si kakek telah melesat kembali ke udara. Sesudah benturan tadi Ki Gagang Aking
menggunakan ilmu peringan tubuh dan mental ke atas bagai belalang sentanu.
Maka cepat-cepat Mahesa Wulung mengejarnya dalam
satu loncatan gesit.
Wusss! Kembali pedang Mahesa Wulung menyabet
ke arah si kakek dalam jurus-jurus Madya Sigar Maruta yang kedua puluh tujuh dan dua puluh delapan diikuti oleh pukulan seruling dari tangan kirinya ke arah ulu hati lawan.
"Celaka!" desis kakek Gagang Aking. "Aku harus lebih berhati-hati sekarang. Pemuda ini mempunyai
simpanan-simpanan ilmu yang hebat. Hiaatt!" Sambil
mengeluarkan teriakan tinggi, ia mengibaskan sepasang lempengan baja di tangan ke arah kiri dan kanan.
Claangng... prashh!
Benturan hebat terjadi lagi.
Pedang di tangan kanan Mahesa Wulung bergetaran
sedang seruling di tangan kirinya seketika pecah berkeping, seiring terlepasnya
lempeng logam dari tangan kiri si kakek Gagang Aking menandakan bahwa tenaga
mereka hampir seimbang.
"Heett, kau tak selemah yang aku duga bocah!" seru
si kakek seraya mencelat dan menyambar senjatanya
kembali. Gerakan ini sungguh mengagumkan bagi
keempat lawan di sekitarnya. Malahan tiba-tiba saja si
kakek tahu-tahu telah meniup kembali ke arah Mahesa Wulung. "Kalau begitu aku tak perlu ragu-ragu lagi bocah!"
seru si kakek serentak menebaskan kedua senjatanya
berbareng. Bagi Mahesa Wulung serangan ini membuatnya kaget, karena di samping ia masih memikirkan senjata serulingnya yang pecah, serangan itu sendiri datang kelewat cepat
tak ubahnya satu tiupan angin santer yang tahu-tahu telah menampar mukanya.
Secepat kilat Mahesa Wulung menggunakan jurus
Madya kedua puluh sembilan dan tiga puluh beruntun. Pedang di tangannya berguling ke kiri dan kanan laksana angin lesus membuat
si kakek tercengang sesaat, tapi lebih kaget lagi sewaktu ujung pedang Mahe-sa
Wulung muncul begitu saja di arah lehernya.
"Husss!" lenguh si kakek seraya menggerakkan dua
lempeng logamnya ke arah dalam dengan gerakan
mengunci, sehingga dapat dibayangkan bila pedang
Mahesa Wulung bakal terjepit mati. Namun si kakek
sakti ini tak habis mengerti karena tiba-tiba saja pedang Mahesa Wulung lenyap
seperti gulungan asap,
bahkan terasa pula bahwa beberapa lembar jenggotnya
yang kelabu terpagas putus serta melayang runtuh di
udara. "Asem kecut. Bocah ugal-ugalan! Jenggot dirawat
bertahun-tahun, tak tahunya untuk permainan pedang
saja. Awas kau, jangan lekas-lekas menepuk dada, bocah," teriak si kakek Gagang Aking sambil bersungutsungut mangkel.
Peringatan si kakek tadi disadari pula oleh Mahesa
Wulung, karenanya iapun cepat menggunakan jurus
berikutnya, tiga puluh satu, tiga puluh dua, tiga tiga dan berikutnya.
Serentetan sambaran-sambaran angin
pedang terdengar mengaung sampai mengagetkan,
baik si kakek Gagang Aking maupun ketiga rekan Mahesa Wulung. "Haahh"! Kau menggunakan jurus-jurus Sigar Maruta"!" seru si kakek seraya berjumpalitan mundur.
"Ooo, jadi Andapun tahu, kakek!" Dari mana Anda
mengetahui hal itu"!" ujar Mahesa Wulung setengah
heran. "Hihh, hi, hi. Aku tak bisa mengatakan hal itu sekarang, bocah. Baiklah jika kau memiliki ilmu itu, akupun tak ragu-ragu lagi untuk
memperkenalkan ilmu
'Latu Sewu'... nah inilah dia! Sambutlah!" begitu si kakek berkata, disusul
kedua lempengan logam hitam di
tangannya diadu dan terjadilah satu ledakan nyaring
berbareng menyambarnya kilatan-kilatan bunga api ke
arah Mahesa Wulung.
Duaarr! "Wuaahh! Ini berbahaya...!" desis Mahesa Wulung
seraya berkelit ke samping untuk menghindari sambaran bunga-bunga api tadi. Beruntung bahwa ia berhasil, tetapi Mahesa Wulung terpaksa kaget sewaktu ia
melihat bunga-bunga api tadi menabrak semak-semak
belukar, yang seketika mengering dan menghanguskan! Melihat ini mau tak mau hati Mahesa Wulung
menjadi bergidik ngeri melihat nasib semak belukar
itu. Dapat dibayangkan seandainya bunga-bunga api
tadi sempat mengenai tubuh manusia. Barangkali
akan hangus pula, tak ubah daging satai bakar. Hal ini selintas mengingatkan
Mahesa Wulung akan musuh
besarnya. Ki Topeng Reges yang kini telah mati. Seperti diketahui bahwa Ki
Topeng Reges pun mampu membi-nasakan lawan, cukup dengan kilatan sinar matanya
yang memancarkan api maut.
Kini Mahesa Wulung menjumpai pula seorang lawan yang memiliki ilmu dahsyat, yang membunuh lawannya cukup dengan percikan bunga api dari benturan senjatanya. Nama "Latu Sewu" bukanlah nama kosong untuk sekedar gagah-gagahan, ataupun gertakan,
tapi adalah nama yang pernah menggemparkan dunia
persilatan. Hal ini pernah didengarnya dari mendiang Ki Camar Seta. Kata beliau,
ilmu tersebut muncul kira-kira tigapuluhan tahun yang lalu, jadi boleh
disimpulkan bahwa si kakek Gagang Aking ini hampir seangkatan dengan bapak gurunya. Panembahan Tanah Putih
atau Panembahan Bayu Sekti dari selatan Asemarang.
Yang lebih menarik hati Mahesa Wulung adalah
pengetahuan si kakek Gagang Aking yang dapat mengenal jurus ilmu pedangnya, Sigar Maruta. Bukankah
cukup mengherankan pula dan karenanya Mahesa
Wulung kembali menduga-duga tentang hubungan kakek Gagang Aking dengan mendiang Ki Camar Seta"
Sayang bahwa Mahesa Wulung tak sempat berpikir
lebih lanjut karena ia harus menghadapi si kakek tua ini dengan sungguh-sungguh.
Dalam saat itu pula, Gagak Cemani, Palumpang dan
Tungkoro tak mau tinggal diam, begitu mereka melihat bahwa serangan-serangan
bunga api si kakek terus-menerus mengancam keselamatan rekannya.
Bagi mereka, Mahesa Wulung telah mereka anggap
sebagai saudaranya sendiri, hingga tak berlebihan kalau mereka disebut pendekar
empat serangkai yang selalu berjuang dan bertindak bahu-membahu, seia sekata dan sehidup semati.
Ketiga pendekar itu serentak melesat dan menerjang
si kakek Gagang Aking. Senjata-senjata mereka bersiutan menerjang dengan hebatnya, masing-masing dalam jurus yang berbeda-beda namun saling melengkapi. Tentu saja empat serangkai yang terhimpun itu tak
bisa dianggap enteng oleh si kakek. Lebih-lebih ia menyadari bahwa Mahesa Wulung
dan Gagak Cemani, si
pendekar berselimut itu memiliki himpunan tenaga
sakti dalam tataran tinggi.
Tanpa banyak membuang waktu, Ki Gagang Aking
mengerahkan pemusatan tenaga saktinya lalu tubuhnya melesat berjumpalitan ke sana kemari dari hujan
sambaran senjata keempat lawannya, tak ubahnya
seekor burung walet yang lolos dari terkaman air hujan. Mereka lalu terlibat dalam satu pusaran yang seru,
hingga angin dan dedaunan semak di situ dibuat kalang-kabut beterbangan, menambah suasana keseraman dari pertempuran itu. Beberapa ekor burung dan
binatang-binatang liar di sekitar tempat itu segera berlarian menjauh dari
lingkaran pertempuran tersebut,
sebab selain terganggu oleh keramaian tadi, merekapun ketakutan oleh sambaran-sambaran bunga api
dari si kakek Gagang Aking ditambah ledakan-ledakan
nyaring. Memang, si kakek ini berkali-kali melontarkan percikan bunga apinya ke arah empat pendekar lawannya,
namun keempat lawannya tadi tidak kurang waspadanya menjaga diri. Dengan mengandalkan kelincahannya, mereka menyerang berganti-ganti dari arah
yang berlainan dan ini sungguh membuat repot bagi si kakek Gagang Aking.
Karenanya si kakek bergerundelan di dalam hati
menaksirkan keempat lawannya. "Luar biasa! Belum
pernah ada seorang lawan yang sanggup menghadapiku lebih dari duapuluh jurus. Itupun untuk ukuran
orang-orang yang berilmu. Tak tahunya keempat orang
muda ini masih sanggup bertahan lebih dari empat puluh jurusku!"
Dalam perkara tenaga sakti, lebih jelas bahwa si
kakek Gagang Aking memang lebih tinggi dibanding
dengan keempat lawannya yang masih muda. Tetapi
dari perhitungan kelincahan dan ketahanan napas,
agaknya merupakan satu segi yang patut diperhatikan
oleh si kakek Gagang Aking.
Meskipun seandainya kakek ini sanggup bertempur
sampai ratusan jurus jumlahnya, namun napasnya
mungkin akan berebutan tak teratur sedang kelincahannya tidak lebih baik dari seekor kambing.
"Jika aku tingkatkan jurus-jurus seranganku, rasarasanya aku sanggup membuat roboh keempat lawanku yang masih muda-muda ini. Akan tetapi aku tak
menghendaki hal itu, justru aku malah tertarik kepada mereka berempat, terutama
kepada si pendekar muda
Mahesa Wulung yang telah menggunakan jurus-jurus
ilmu pedang 'Sigar Maruta'. Satu saat, ingin sekali aku mengajak ngomong-ngomong
lebih lanjut tentang dirinya dan juga tentang ilmu pedang Sigar Maruta," begitu
kata si kakek di dalam hati. "Dan ini berarti bahwa aku tak boleh mencederai
mereka dalam pertempuran ini. Hmm, harus kucari jalan yang paling tepat!
Tambahan lagi aku musti menjaga napas tuaku."
Mahesa Wulung bersama ketiga rekannya tak memberi kesempatan sedikitpun kepada Ki Gagang Aking
untuk sejenak menarik napas ataupun beristirahat.
Mereka meluruk dan menerjang si kakek bagaikan harimau-harimau kelaparan mencercah korbannya.
Tiba-tiba saja si kakek meloncat ke belakang dan
kedua belah tangannya yang menggenggam lempengan
logam segera diadunya seperti dahulu dan seketika
terdengarlah suara-suara dentingan bertubi-tubi
menggoncang udara. Kali ini lebih keras daripada yang
sudah-sudah, sampai-sampai suara tersebut seperti
langsung menusuk jantung keempat pendekar muda
serangkai itu. Keruan saja gerakan Mahesa Wulung berempat seperti dihentikan di tengah jalan oleh satu tenaga gaib yang sebenarnya berasal
dari sentuhan nada dentingan si kakek Gagang Aking.
Mereka berempat cepat-cepat mengerahkan tenaga
saktinya untuk menolak pengaruh suara tadi.
Melihat hal ini, si kakek Gagang Aking tertawa terbahak dan terkekeh-kekeh sebab ia merasakan betapa
lucunya pemandangan yang terjadi di depan matanya.
Keempat lawan yang semula berloncatan garang ke
arah dirinya, tiba-tiba saja terhenti dan berdiam diri tak ubahnya patung-patung
bisu. Mereka ini sebenarnya tengah berkutat mengerahkan tenaga saktinya,
sedang si kakek terus saja mengadu dan memukulmukulkan kedua senjatanya seraya berjingkrakan berkeliling tak ubahnya seorang anak yang mengelilingi
empat boneka mainannya. Ting... ting... ting... tingng...
"Hi, hi, hi..., kalian tampak lucu... lucu sekali... hi, hi, hi, hi."
Begitulah si kakek menggoda keempat lawannya
yang kini tengah mengerahkan tenaga penolak. Di dalam hati, Mahesa Wulung merasa jengkel, tapi juga kagum. Jengkel karena ia
bersama rekan-rekannya kena
dibuat mainan oleh si kakek Gagang Aking, dan kagum
lantaran si kakek itu banyak mempunyai siasat untuk
mematahkan serangan dari lawan-lawannya.


Pendekar Naga Geni 24 Pendekar Empat Serangkai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi ada satu hal yang dapat dirasakan oleh Mahesa Wulung bahwa pada saat ini, ia bersama ketiga rekannya merasa seolah-olah tengah diuji oleh si kakek Gagang Aking. Sekarang ia
tak dapat lagi menghadapi
serangan si kakek dengan serulingnya karena telah pecah berkeping beberapa saat yang lalu lantaran beradu dengan senjata si kakek
itu, selain dengan pengerahan tenaga penolak.
Kakek Gagang Aking agaknya telah merasa puas
dengan permainan tadi, lalu secepat kilat ia memutar kedua tangannya seperti
gerakan baling-baling beberapa kali dibarengi satu teriakan menggeledek,
"Hiaattt... robohlah kalian! Hi, hi, hi, hi, hi!"
Mahesa Wulung berusaha mati-matian mempertahankan diri, begitu pula ketiga sahabatnya. Di luar
dugaan, himpunan tenaga sakti si kakek tadi sangat
hebatnya dan itu dapat dirasakan oleh mereka berempat ketika satu tenaga dorongan yang sedahsyat prahara telah menerjang mereka.
Betapapun keempat pendekar tadi telah mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya, tak urung
pula terlanggarlah oleh serangan tadi. Tungkoro terpental dan jatuh bergulingan di tanah hampir sejauh
lima atau enam tombak.
Tak jauh dari Tungkoro, Palumpang terhuyung Pendekar Riang 13 Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Pukulan Naga Sakti 24

Cari Blog Ini