Pendekar Naga Putih 10 Bunga Abadi Di Gunung Kembaran Bagian 1
BUNGA ABADI DI GUNUNG KEMBARAN
Oleh T. Hidayat
Cetakan Pertama,
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Widarto
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini Tanpa
Izin Tertulis dari Penerbit T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
Dalam Episode 010 :
Bunga Abadi Di Gunung Kembaran
Di Edit oleh: mybenomybeyes
1 "Kakang Panji...!"
Panji yang baru saja hendak memasuki mulut Hutan Randu Apus menghentikan
langkahnya sejenak. Seketika urat-urat wajahnya menegang ketika mendengar suara
panggilan yang amat dikenalnya. Jantung pemuda itu berdebar keras karena telah
mengetahui secara pasti pemilik suara yang merdu dan lembut itu.
"Adik Kenanga...!" desis pemuda itu begitu melihat seorang gadis berpakaian
serba hijau tengah berlari
mendatanginya. Pemuda itu terpaksa berhenti sejenak, menunggu kedatangan gadis
itu. Gadis cantik berpakaian hijau terus beriari menghampiri Panji. Rambutnya yang
panjang bergoyang mengikuti
gerakannya. Anak rambutnya tampak berkibaran dipermainkan angin. Namun
pemandangan itu justru semakin menambah daya tarik tersendiri pada diri gadis
jelita yang laksana bidadari itu.
"Kakang...," desis Kenanga. Gadis berpakaian hijau itu segera menjatuhkan
kepalanya ke dada Panji. Dua butir air bening bergulir dari sepasang bola mata
indah melukiskan kebahagiaan dan
keharuan hatinya.
"Adik Kenanga, maafkan aku...,"
desah Panji serak. Pemuda itu pun hampir tak sanggup menahan keharuan yang
menyeruak dalam rongga dadanya.
Rambut gadis itu diusapnya mesra.
Sesaat kemudian didorongnya tubuh gadis jelita itu perlahan. Lalu dipandanginya
wajah Kenanga yang terlihat agak pucat.
"Ah, kau semakin kurus dan agak pucat, Adikku. Hhh... betapa berdosanya aku
telah membuatmu menderita," ujar Panji. Hatinya terenyuh ketika melihat keadaan
kekasihnya yang terlihat agak tak terurus.
"Kakang, mengapa kau begitu tega meninggalkan aku tanpa pesan" Apakah Kakang
sudah tidak mencintaiku lagi?"
tanya Kenanga sambil menengadahkan
kepalanya. Suaranya terdengar begitu lembut hingga menimbulkan rasa iba yang
semakin besar di hati Panji.
"Maafkan aku, Adikku. Bukan
maksudku membuatmu susah. Tapi keadaanku inilah yang membuatku harus mengambil
keputusan demi kebahagiaanmu. Usiaku mungkin tinggal delapan bulan lagi. Oleh
karena itulah aku terpaksa
meninggalkanmu dengan harapan agar kau dapat
melupakanku," ujar Panji
mengajukan alasan mengapa meninggalkan gadis itu begitu saja tanpa pamit ataupun
pesan. (Baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode: "Penjagal Alam Akherat").
"Aku mengerti keadaanmu, Kang. Dan aku pun tahu alasanmu pergi
meninggalkanku. Itu semua karena kau telah mendengar ucapan paman guruku, bukan"
Hhh... kau hanya tahu itu saja tapi tidak tahu yang lainnya," sahut Kenanga.
Melihat cibiran kekasihnya, Panji tak sanggup lagi menatap pesona yang perlahanlahan mulai menjeratnya.
Wajahnya ditundukkan. Lalu dikecupnya bibir yang merekah itu dengan lembut
Sesaat Kenanga terkejut karena sama sekali tidak menyangka kalau Panji akan
mengecupnya. Tubuh gadis itu bergetar dalam dekapan Panji sambil mengeluarkan
rintihan halus dari kerongkongannya.
Sesaat kemudian, Kenanga pun membalas kecupan kekasihnya tak kalah hangat
"Cukup.... Adikku... cukup...,"
ujar Panji dengan napas terengah-engah seraya melepaskan pelukan gadis itu.
"Bisa-bisa kita terperosok nanti. Aku takut gara-gara daya pesona mu, hubungan
kita melangkah terlalu jauh. Padahal kita belum resmi suami istri," desis Panji
berusaha mengusai dirinya dari cengkeraman nafsu darah mudanya.
Kenanga tersipu malu mendengar
ucapan tulus kekasihnya. Gadis itu sadar seandainya mereka telah terseret oleh
kenikmatan tadi, bukan tidak mungkin keduanya tidak dapat menguasai diri lagi.
"Kakang, jangan tinggalkan aku lagi. Aku akan menemanimu ke manapun kau pergi,"
ujar Kenanga lirih.
Panji hanya mengangguk mendengar ucapan kekasihnya. Diam-diam
hati Pendekar Naga Putih merasa bangga karena Kenanga bukan cantik lahiriah saja,
tapi juga punya kesetiaan yang sukar ditemui pada gadis-gadis lain.
"Adikku, apa maksud ucapanmu yang mengatakan kalau aku hanya tahu satu hal saja
tapi tidak tahu lainnya?" tanya Panji ketika teringat ucapan gadis itu ladi
kepadanya. "Hm... mengenai penyakitmu, Kang.
Paman Guruku mengatakan kalau masih ada seorang ahli pengobatan yang mungkin
dapat menyembuhkan penyakit, Kakang,"
jelas Kenanga menceritakan apa yang pemah dikatakan paman gurunya mengenai
penyakit Panji Penyakit yang diderita Pendekar Naga Putih disebabkan tenaga
dalamnya yang liar dan sulit
dikendalikan, akibat merasuknya 'Inti Tenaga Gerhana Bulan'. Dan hal ini sangat
membahayakan keselamatan Panji, bila tidak ditemukan penangkal untuk tenaga
liarnya! (Untuk mengetahui lebih jelas tentang penyakit yang diderita Panji,
silakan ikuti serial Pendekar Naga Putih dalam episode: "Raja Iblis dari
Utara"). "Hm.... Siapa orang itu dan di mana tinggalnya?" tanya Panji yang rupanya mulai
tertarik mendengar keterangan kekasihnya.
"Mmm... namanya, Raja Obat Tapi aku tidak tahu tempat tinggal beliau.
Menurut paman guruku, tabib itu tidak punya tempat tinggal tetap. Dia selalu
bepergian dan menolong orang-orang yang tengah mengalami kesulitan dalam
perjalanannya," sahut Kenanga agak menyesal karena tidak mengetahui tempat
tinggal Raja Obat itu.
"Wah, lalu ke mana kita harus mencarinya kalau kita sendiri tidak tahu tempat
tinggalnya?" desah Panji lesu.
Harapannya lenyap seketika begitu mendengar kalau Raja Obat itu tidak punya
tempat tinggal tetap.
"Tapi kita bisa telusuri jejak tabib itu dan bertanya kepada siapa saja yang
kita temui di perjalanan. Dan bukan tidak mungkin kalau suatu saat kita
menjumpai orang yang tahu di mana Raja Obat berada," hibur Kenanga. Gadis itu
mencoba membangkitkan semangat Panji agar tetap tabah.
"Ya! Tapi bagaimana kalau sampai batas usiaku, kita belum menemukan tabib itu?"
ujar Panji agak putus asa.
"Lalu apa rencana Kakang sekarang?"
akhirnya Kenanga menyerah.
"Kalau kau ingin ikut bersamaku, marilah kita pergi ke Bukit Gua Harimau.
Aku telah memutuskan untuk menghabiskan sisa-sisa umurku di sana. Apakah kau
bersedia, Adik Kenanga?" tanya Panji tersenyum.
"Aku bersedia ikut ke manapun, Kakang. Tapi kau harus berjanji tidak akan
meninggalkan aku lagi!" sahut Kenanga mantap.
"Baik, aku berjanji!" ujar Panji tak kalah mantap.
Lalu keduanya pun tertawa bahagia.
Kini kedua muda-mudi itu berjalan berdampingan dan mulai merambah Hutan Randu
Apus yang merupakan jalan
satu-satunya menuju Bukit Gua Harimau.
*** Hari masih pagi ketika sesosok tubuh mendaki Bukit Gua Harimau dengan langkah
tertatih-tatih. Meskipun langkahnya lamban, namun tubuhnya bergerak cepat
sehingga dalam waktu singkat sosok itu telah mencapai puncak bukit
"Hoiii..., Tirta Yasa, apakah kau masih hidup?" teriak sosok itu lantang
setibanya di depan sebuah pondok
sederhana yang terbuat dari susunan batang-batang kayu bulat.
Panji dan Kenanga yang tengah berada dekat makam Eyang Tirta Yasa menjadi
terkejut mendengar teriakan yang
mengandurig kekuatan tenaga sakti tinggi itu. Sejenak keduanya saling
berpandangan. Sesaat kemudian tubuh kedua muda-mudi itu melesat untuk menemui
orang yang baru datang.
Kedua orang pendekar muda tertegun menatap seorang kakek tua yang mungkin
usianya sudah mencapai sembilan puluh tahun. Namun, yang membuat Panji terpana
adalah tatapan kakek itu. Sinar matanya demikian lembut dan menyejukkan. Siapa
saja yang memandangnya akan betah berlama-lama berhadapan dengan orang tua itu.
"Siapakah Eyang" Dan ada keperluan apa Eyang mencari guruku?" tanya Panji halus
dan sopan. Melihat sorot matanya, Panji yakin kalau kakek itu tidak bermaksud
jahat "Hm... kau murid Tirta Yasa"
Bagus... bagus... siapa namamu, Anak Muda?" kakek itu balik bertanya kepada
Panji, seolah-olah tidak didengarnya pertanyaan pemuda itu.
"Namaku Panji, Eyang," jawab Panji tanpa berusaha untuk memperkenalkan Kenanga
kepada orang tua itu. Panji pun tidak lagi menanyakan keperluan kakek itu datang
ke tempatnya. Pemuda itu hanya diam menunggu pertanyaan selanjutnya.
Tapi meskipun telah menanti cukup lama, pertanyaan yang dinanti Panji tak
kunjung keluar dari muhit kakek itu.
Sebaliknya laki-laki tua renta itu malah menatapnya sungguh-sungguh. Sepasang
matanya menyipit, seolah tengah
memperhatikan dan memastikan sesuatu.
"He he he... bodoh sekali si Tirta Yasa! Apakah dia tidak tahu, kalau kau salah
menghimpun tenaga dalam?" desah si kakek sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Hei, siapa namamu tadi, Anak Muda" Hm... ya, Panji. Apakah kau benar-benar
murid Tirta Yasa yang berjuluk Malaikat Petir?"
"Benar, Kek! Mengapa kakek
meragukannya." kali ini giliran Kenanga yang menyahut Sepasang alis gadis jelita
itu berkerut, seolah-olah tengah
berusaha mengingat sesuatu. Dan ketika mendengar desahan kakek itu, barulah
Kenanga teringat siapa sebenamya
laki-laki yang berdiri di hadapannya.
"Benarkah kakek yang tersohor dengan julukan Raja Obat?" tanya Kenanga tibatiba. Sebelumnya ia pernah diberi tahu paman gurunya tentang ciri-ciri orang tua
yang berjuluk Raja Obat Itulah sebabnya mengapa sejak tadi gadis itu hanya
terdiam sambil terus menatap wajah kakek itu.
"He he he... siapa kau, Wanita Muda"
Dari mana kau tahu, namaku?" ujar kakek tua itu terkekeh mendengar ucapan gadis
jelita yang telah mengetahui siapa dia.
"Aku Kenanga, murid mendiang Raja Pedang Pemutus Urat!" jawab Kenanga cepat hati
Kenanga diliputi rasa tidak menentu dan tegang karena berhadapan dengan tokoh
yang dicari-carinya selama ini.
Ingin rasanya gadis itu segera
berlutut di depan orang tua itu untuk memohon kesediaan Raja Obat mengobati
Panji. "Mendiang" Jadi gurumu telah tiada?" tanya kakek tua itu dengan kening berkerut
"Ya! Guruku telah lama tiada sebagaimana juga Eyang Tirta Yasa,"
jelas Kenanga. "Eh, benarkah demikian.
Jangan-jangan kalian hanya
mempermainkan aku saja!" ucap Raja Obat sambil tertawa terkekeh. Tabib sakti ini
belum sepenuhnya mempercayai ucapan Kenanga.
"Kalau kakek tidak percaya, marilah kutunjukkan makam beliaul" ajak Kenanga yang
merasa tersinggung ketika kakek itu tidak mempercayai ucapannya.
"Hm... tidak perlu! Kalau hanya sekadar makam, akupun bisa membuatnya,"
ujar Raja Obat yang mau tidak mau membuat Kenanga menjadi panas hatinya.
"Hm... sekarang begini saja! Kalian boleh menyerangku sebanyak tiga jurus.
Tapi ingat kalian harus memainkan jurus-jurus andalan kalian! Nah, dari jurusjurus kalian baru aku tahu kalau kalian memang betul murid mereka atau bukan.
Bagaimana?" tantang Raja Obat sambil tersenyum gembira.
"Bagaimana, Kakang?" Kenanga tidak segera mengambil keputusan. Gadis Hu meminta
pendapat kekasihnya.
"Sebenarnya aku tidak terialu berminat ikut permainanmu, Eyang. Kalau Eyang mau
percaya, silakan! Tapi kalau tidak percaya, itu hak Eyang," tegas Panji yang
tidak berminat meributkan soal itu. Meskipun pemuda itu sadar kalau hanya kakek
inilah yang dapat
menyelamatkan hidupnya, tapi dia sudah tidak peduli.
Mendengar perkataan Panji, Raja
Obat tertegun sesaat Tapi tak lama kemudian terdengar kembali tawanya.
"He he he... kau benar-benar mewarisi sifat-sifat gurumu, Anak Muda!
Begitulah sifat Tirta Yasa waktu muda.
Keras tapi tegas! He he he...," ujar Raja Obat Itu seraya terus tertawa senang.
Pandangannya dialihkan pada Kenanga
"Sudahlah! Ayo, kita mulai Kau setuju kan?"
"Baik, Kek! Aku sudah siap!" sahut Kenanga sambil mencabut pedang hitamnya.
Tiba-tiba gadis itu telah melesat ke arah Raja Obat sambil berteriak nyaring,
"Lihat pedang!"
Singngng! "Hmm...."
Pedang hitam Kenanga meluncur cepat ke arah tenggorokan. Tapi aneh meskipun si
Raja Obat sama sekali tak kelihatan mengelak atau menangkis, serangan gadis itu
mengenai tempat kosong! Demikian pula dengan dua serangan berikutnya.
Kedua serangan itu pun kembali mengenai tempat kosong, meskipun Raja Obat itu
sama sekali tidak bergeser dari tempat dia berdiri. Tentu saja kejadian itu
membuat Kenanga terkejut!
"Serangan kedua!" teriak Kenanga sambil menyi-langkan pedang hitamnya di depan
dada Sesaat kemudian tubuhnya sudah berputar cepat seraya mengirimkan bacokan
pedang yang hebat dan
mengejutkan! "Hmm... ilmu pedang hebat!" puji Raja Obat tulus. Ilmu pedang yang dimainkan
gadis itu memang benar-benar hebat dan amat berbahaya!
Kali ini si kakek tidak berani
menganggap enteng jurus-jurus pedang Kenanga. Tubuh si Raja Obat itu bergerak ke
kiri menghindari sabetan pedang hitam yang menimbulkan hawa
mengerikan. Terdengar deru angin keras begitu pedang Kenanga mencecar Raja Obat
Wuttt! Wuttt! Kembali dua kali tebasan pedang
hitam berhasil dielakkan si Raja Obat meskipun agak kewalahan. Sampai pada jurus
yang kedua itu pun, temyata Kenanga masih harus mengakui kehebatan si Raja Obat
"Hmm... dua kali seranganku gagal, Kek! Tapi pada jurus ketiga ini aku mohon
kakek tidak hanya mengelak, tapi harus membalas, bagaimana?" usul Kenanga yang
merasa tidak enak karena harus menyerang terus-menerus tanpa sekali pun mendapat
balasan. "He he he... kalau memang itu maumu, baiklah!" sahut Raja Obat itu terkekeh
kegirangan. Rupanya sebagai seorang ahli obat Raja Obat pun tak terlepas dari
penyakit suka akan ilmu silat Dan meskipun usianya sudah lanjut, tapi semangat
bertempurnya masih tetap menyala.
"Lihat serangan!" sentak Kenanga sambil melompat dan memutar pedangnya hingga
membentuk sebuah sinar kehitaman yang bergulung-gulung. Kali ini gadis itu
benar-benar mengerahkan jurus-jurus puncak ilmu pedang hitam yang paling tinggi,
sehingga akibat yang dltimbulkan pun sangat dahsyat! Tubuh Kenanga telah
menghilang di balik gulungan sinar pedang hitamnya yang bergerak cepat
"Bagus...! Bagus...!" puji Raja Obat setiap kali mengelak serangan Kenanga yang
membuat jubahnya berkibaran tersambar angin pedang gadis itu.
"Haiiittt..!"
Suatu ketika Kenanga berteriak
Pendekar Naga Putih 10 Bunga Abadi Di Gunung Kembaran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nyaring dan langsung merubah gerakan pedang hitamnya. Dan tiba-tiba tubuh gadis
itu telah melambung, seraya mengirimkan tusukan pedang hitam dengan kecepatan
yang menggetarkan!
Singngng! Brettt! "Aaai...!"
Hebat sekali akibat tusukan pedang gadis itu! Nyaris tubuh Raja Obat dirobek
ujung pedang hitam, kalau saja dia tidak segera menggeser tubuhnya. Meskipun
begitu kakek ini kelabakan juga melihat bajunya sedikit robek dekat lambung.
"He he he... cukup... cukup...! Kau benar-benar murid Raja Pedang Pemutus Urat!"
sent Raja Obat sambil mundur kemudian mengatur pemapasannya.
"Haihhh, ternyata gerakanku sudah tidak selincah dulu lagi!"
"Kakek benar-benar tadinya hebat aku hampir tak percaya kalau orang setua kakek
dapat bergerak segesit tadi.
Bahkan melebihi kecepatan gerakku yang masih muda ini," puji Kenanga bersungguhsungguh, seraya
membungkukkan tubuhnya memberi hormat kepada Raja Obat
"He he he... kau pintar sekali memuji, Cucuku! Sudahlah, jangan kau teruskan!
Bisa-bisa kepalaku besar jadinya!" ujar Raja Obat itu terkekeh dengan wajah
berseri-seri tanpa
mempedulikan napasnya yang masih
tersengal-sengal selesai uji tarung dengan Kenanga.
"Nah, sekarang giliranmu, Anak Muda! Apakah kau sudah dap menyerangku barang
tiga jurus saja?" pinta Raja Obat kepada Panji yang kelihatan masih ragu-ragu.
Panji tidak segera menjawab
pennintaan kakek itu. Pemuda itu malah termenung memikirkan tantangan Raja Obat
atau tidak. Tiba-tiba saja temgiang kembali ucapan gurunya, Eyang Tirta Yasa.
"Panji, Cucuku. Kau tidak perlu heran kalau kau menemui tokoh-tokoh tua yang
tanpa sebab-sebab yang jelas tahu-tahu menantang bertarung.
Kebanyakkan tokoh-tokoh tua
senang menguji pendekar-pendekar muda yang tangguh. Karena pertempuran dengan jago-jago
muda, dapat menghidupkan kembali semangat hidup mereka dan seolah merasa muda
kembali," demikian salah satu wejangan si Malaikat Petir.
Teringat pada ucapan gurunya, Panji menatap Raja Obat itu yang berdiri lima
tombak di depannya dengan kening
berkerut Dan Panji melihat betapa berserinya wajah Raja Obat setelah melakukan
sedikit pertarungan dengan gadis jelita murid Raja Pedang Pemutus Urat
"Baiklah, Kek! Aku bersedia!"
akhirnya Panji menuruti juga permintaan Raja Obat
"Tapi perlu kuingatkan, kalau saat ini aku sedang mengidap penyakit aneh akibat
terlalu banyak tenaga liar yang tersimpan di tubuhku," tutur Panji mengingatkan,
karena biar bagaimanapun dia tidak ingin kakek itu menjadi korban.
Panji sadar setinggi apa pun tenaga dalam Raja Obat masih sepuluh kali lipat di
bawah tenaganya. Dan tenaga dalam di tubuhnya tak dapat dikendalikan, dan
berbahaya bila dipancing tenaga orang lain. Itulah yang dkemaskannya selama ini.
"Hmm...," Raja Obat hanya bergumam tak jelas. Meskipun telah menduga kalau Panji
menderita keracunan akibat
tenaganya sendiri, namun kakek itu sama sekali tidak menyangka kalau tenaga liar
itu justru datang dari sumber yang sesungguhnya. Dari gerhana bulan yang dahsyat
itu. Sayang Raja Obat itu tidak sempat memeriksanya terlebih dahulu.
"Jurus pertama...!" teriak Panji sambil melangkah maju dan langsung melancarkan
serangkaian jurus cakar naga andalannya sesuai dengan permintaan Raja Obat
Wuttt! Wuttt! Dua kali sambaran cakar naga Panji berhasil dielakkan dengan melakukan lompatan
jauh ke belakang. Hal itu dilakukan Raja Obat karena ingin
menghindari sambaran angin dingin
dahsyat yang menyertai serangan pemuda itu.
"Tunggu dulu, Anak Muda! Kau...
kau.... Pendekar Naga Putih...?" tanya Raja Obat terperanjat dan minta berhenti
sebentar. Rupa-rupanya Raja Obat itu tertarik dengan sambaran cakar naga Panji
yang selalu di iringi dengan sambaran angin dingin yang menusuk tulang.
"Benar, Kek! Orang-orang persilatan menjulukiku Pendekar Naga Putih!" jawab
Panji polos tanpa merasa bangga sedikit pun dengan julukan yang diberikan orang
kepadanya. "He he he... ini baru namanya jodoh!
Sudah berbulan-bulan aku berkeliling mencari Pendekar Naga Putih. Eh, tak
tahunya malah bertemu di sinl Bukankah ini namanya jodoh!" ujar Raja Obat
terkekeh senang.
"Apa... apa maksud Kakek
mencariku?" tanya Panji berdebar. Dalam hati kecilnya berharap kalau kakek sakti
itu mencarinya karena sudah mengetahui penyakitnya.
"Namamu telah mengguncangkan dunia persilatan, dan jadi buah bibir di mana-mana.
Bahkan orang setuaku ini dibuatnya jadi penasaran ingin menjajal sampai di mana
kepandaian .pendekar muda yang tersohor itu! He he he... akhimya kita ketemu
juga!" tandas Raja Obat itu tanpa mempedulikan perasaan Panji.
"Baiklah! Sekarang bersiap-siaplah melayani serangan keduaku!" ujar Panji sudah
tidak mau lagi meladeni ucapan kakek itu yang sepertinya memang sangat
keranjingan ilmu silat.
"He he he... silakan... silakan, Anak Muda! Kali ini aku memang harus lebih
berhan-hati karena yang kuhadapi bukanlah tokoh sembarangan, melainkan seorang
pendekar muda yang kesohor!"
ujar Raja Obat terkekeh seperti mengejek Panji.
"Baiklah, Kek! Jagalah seranganku yang kedua Ini!" ujar Panji sambil merendahkan
kuda-kudanya. *** 2 "Hiiiaaat..!"
Tubuh Panji melesat cepat dan
langsung melancarkan beberapa sambaran bertubi-tubi. Sepasang tangannya
membentuk cakar naga menyambar dahsyat disertai desiran hawa dingin yang mampu
membekukan pembuluh darah.
Bettt! Bettt! Bettt!
"Aiiih...!"
Raja Obat berseru tertahan ketika tiga kali sambaran cakar naga mencecar
tubuhnya. Kali ini Raja Obat benar-benar terkejut bukan main. Kecepatan tangan
pemuda itu sungguh luar biasa sekali.
Kalau saja dia tidak cepat mengelak, pastilah salah satu cakar pendekar muda itu
telah merenggut nyawanya. Bergegas kakek sakti itu melompat lima tombak ke
belakang dengan wajah berubah pucat Gerakan Panji pun tidak kalah cepat
Dikejarnya tubuh Raja Obat yang masih melambung ke belakang.
Wuttt! Wuttt! Dua kali sambaran cakar naga
menyambar cepat hingga menimbulkan suara mencicit tajam.
Bukan main! Raja Obat berdecak kagum menyaksikan kedahsyatan sambaran cakar naga
yang kecepatannya laksana kilat.
Sadar kalau tidak mungkin menghindar, Raja Obat segera menjulurkan kedua belah
tangannya. Kini seluruh urat-urat syarafnya menegang, menanti tibanya sambaran
cakar naga Panji.
"Hiaaah...!"
Piakkk! Plakkk!
"Uhhh...!"
Tangan-tangan kokoh dua pendekar
sakti itu beradu di udara hingga
menimbulkan suara menggelegar yang memekakkan telinga!
Tubuh Raja Obat terpental keras
seketika! Tangan kakek itu kalah kuat dengan tangan kekar Pendekar Naga Putih.
Tubuh renta itu terpelanting di tanah berumput disertai keluhan pendek. Darah
segar pun merembes dari sela-sela bibir Raja Obat yang memucat.
"Eyang..!"
"Kakek..!"
Panji dan Kenanga berteriak
serempak Keduanya segera memburu tubuh Raja Obat yang terduduk lemas sambil
mendekap dadanya. Kedua pendekar muda itu langsung bersimpuh di depan kakek yang
amat mereka segani.
"Eyang... maafkan aku! Aku... aku telah bertindak terlalu kasar kepada Eyang,"
ujar Panji terbata-bata penuh sesal.
"He he he... tidak ada yang perlu kumaafkan, Cucuku. Aku tidak apa-apa, cuma
dadaku terasa sedikit sesak Tidak kusangka, tenaga dalammu sangat hebat sekali
Cucuku. Rasa-rasanya sepuluh orang setingkat aku pun masih sulit menandingi
kekuatan tenaga dalammu,"
sahut Raja Obat tersenyum puas meskipun ada sedikit rasa heran mengusik
benaknya. "Yah, tapi tenaga dahsyat itu pulalah yang akan membawaku kepada kematian,
Eyang" ucap Panji menunduk sedih.
"Eh, mengapa begitu?" tanya Raja Obat seraya mengamati wajah Panji penuh
selidik. Dia sudah tidak merasakan lagi rasa sesak di dadanya.
"Meskipun sudah bisa kufihat dari wajah dan sinar matamu, namun aku tidak
menduga kalau kekuatan yang meracuni tubuhmu itu sampai sedemikian dahsyat!
Dapatkan kau ceritakan penyebabnya, Cucuku?" pinta Raja Obat dengan lemah-lembut
seperti layaknya seorang kakek kepada cucunya.
Pengalaman adu tanding dengan Panji telah menarik perhatian kakek sakti itu.
Kekuatan tenaga dalam
pemuda itu benar-benar di luar dugaannya. Kejadian langka inilah yang membuat Raja Obat
penasaran ingin mengetahui bagaimana Pendekar Naga Putih sampai
mendapatkannya. Selama berpuluh-puluh tahun mengembara, baru kali inilah Raja
Obat bertemu dengan manusia yang
memiliki tenaga dalam sehebat pemuda ini.
"Ceritanya cukup panjang, Eyang Sebaiknya kita masuk ke pondok dulu.
Nanti setelah Eyang sudah agak pulih, baru akan kuceritakan," jawab Panji seraya
memapah Raja Obat masuk ke pondok
*** "Jadi tenaga liar yang mengeram di tubuhmu adalah kekuatan alam dari tenaga
'Inti Gerhana Bulan'" Hmm... sebenarnya tenaga liar itu tidak akan berakibat
buruk seandainya saat itu keadaanmu tidak sedang terluka. Inti kekuatan gerhana
bulan yang merasuk ke dalam tubuhmu menjadi tidak terkendali hingga melebihi
daya tahan manusia biasa meskipun sudah beriatih selama seratus tahun," ulas
Raja Obat seusai mendengar penuturan Panji tentang asal mula mengendapnya tenaga
liar dalam tubuhnya.
"Apakah akibat buruk kekuatan liar ini bisa disembuhkan, Eyang?" tanya Kenanga
menyelak tak sabar.
"He he he.... Tuhan maha adil, Cucuku. Setiap penyakit pasti ada obatnya. Dan
kita sebagai manusia harus berusaha untuk mencari obat itu," jawab Raja Obat itu
sambil tersenyum.
Sebelumnya Raja Obat juga sudah diberi tahu kalau antara muda-mudi itu terjalin
hubungan batin yang erat.
"Tapi, ke mana kira harus mencari obatnya, Eyang?" sergah Panji balik bertanya.
Di wajah pemuda tampan itu tersirat suatu kebulatan tekad untuk mencari obat
yang dapat menyembuhkan penyakitnya. (Baca Pendekar Naga Putih dalam episode:
"Raja Iblis dari Utara").
"Hm.... Beberapa puluh tahun yang silam, Guru Eyang pernah bercerita tentang
adanya tumbuhan mukjizat yang amat banyak sekali khasiatnya. Tumbuhan itu dapat
menyembuhkan berbagai macam penyakit Memperpanjang usia, dan juga dapat melipat
gandakan kekuatan tenaga dalam. Tumbuhan itu berbunga sekali dalam setiap
seratus tahun. Nah, kalau tidak salah pada bulan ketujuh hari kedua nanti,
tumbuhan itu akan kembali
berbunga. Itulah satu-satunya
kesempatanmu, Cucuku," kata Raja Obat menutup ceritanya.
"Katakanlah tempat tumbuhan itu berada Eyang. Di manapun tumbuhan itu berada,
aku akan mencarinya sampai dapat!" desah Panji tidak sabar lagi.
"Hmm... tempat itu sangat jauh dan berbahaya. Aku khawatir di saat tumbuhan itu
berbunga, berbondong-bondong tokoh persilatan berdatangan ke sana, dan belum
lagi gangguan binatang-binatang buas yang banyak berkeliaran. Kurasa kau tidak
akan sanggup menghadapi
rintangan-rintangan itu Cucuku." ujar Raja Obat dengan sorot mata menerawang
jauh. "Betapapun sulit dan berbahanya tempat itu, aku akan tetap ke sana, Eyang!"
tandas Panji mantap.
"Baiklah, Cucuku!" sahut Raja Obat itu setelah menghela napas panjang. Lalu
dijelaskannya tempat tumbuhan itu berada.
"Kalau begitu, aku akan berangkat sekarang juga, Eyang. Biarlah Adik Kenanga
menemani Eyang di sini selama aku pergi," ucap Panji setelah mendapat petunjuk
tempat terdapatnya tumbuhan itu.
Hari itu juga Panji segera
mempersiapkan segala keperiuannya selama dalam perjalanan.
"Aku mau ikut, Kang...," pinta Kenanga serak karena keharuan yang memenuhi
rongga dadanya. Air mata bening bergulir perlahan membasahi pipi Kenanga yang
putih halus. "Jangan, Adikku. Percayalah, aku mampu menjaga diri. Dan begitu mendapat bunga
itu, aku akan kembali secepatnya.
Kau di sini saja menemani Eyang," ujar Panji berusaha menahan keharuan.
Sebenamya dia pun tidak mau berpisah dengan wanita yang dicintainya ini. Tapi
karena merasa lebih leluasa sendiri, Panji terpaksa meneguhkan keputusannya.
Setelah mengecup lembut kening
kekasihnya, Panji pun bergegas
meninggalkan Bukit Gua Harimau.
*** Gunung Kembaran berdiri kokoh
dengan angkernya di kejauhan. Puncaknya yang tinggi selalu diselimuti kabut
tebal. Lereng-lerengnya yang licin dan curam membuat Gunung Kembaran
hampir-hampir tidak pernah didatangi manusia.
Namun di pagi itu, tampak belasan sosok mulai berlarian mendekati ke sana.
Rata-rata mereka berilmu tinggi. Ini terlihat dari gerakan tubuh mereka yang
melenting ringan dan gesit merayapi lereng gunung.
Setibanya di tepi sebuah sungai yang mengalir dikaki gunung, orang terdepan
menghentikan larinya. Sepasang matanya yang tajam mengamati daerah sekitarnya
penuh waspada. "Hm... tampaknya kitalah orang pertama yang tiba di tempat ini, Adi Badil," ucap
orang itu kepada kawannya yang berdiri di sebelahnya.
"Kurasa juga begitu, Kang!" jawab orang yang dipanggil Badil. Sementara sepasang
matanya pun ikut diedarkan berkeliling mengawasi sekitarnya.
Dua betas orang yang termasuk dalam rombongan itu ikut pula menghentikan
larinya. Mereka berdiri berjajar di belakang dua laki-laki yang sepertirrya
menjadi pemimpin mereka.
"Kawan kawan! Kita istirahat di sini sebentar sambil menunggu kedatangan guru!"
kata orang yang pertama itu memberitahukan kepada dua belas
kawannya. "Baik, Kakang Kanjawa!" jawab mereka serempak.
"Badil! Bawa dua kawanmu dan periksa sekitar tempat ini!" orang yang bemama
Kanjawa kembali memberi perintah.
Sepertinya belum merasa yakin kalau keadaan di sekitar tempat itu aman.
"Baik, Kakang!" jawab Badil cepat.
Sesaat kemudian Badil segera pergi menyelidiki sekitar daerah itu bersama dua
orang kawannya.
Setelah ketiga orang itu pergi,
Kanjawa melangkahkan kaki menuruni tepian sungai. Seluruh wajahnya dibasuh
dengan air sungai yang sejuk dan jernih itu. Ketika Kanjawa bergerak hendak naik
kembali, tibatiba dikejutkan oleh suara jeritan yang membuat jantungnya berdebar
hebat. Secepat kilat Kanjawa melambung.
Alangkah kagetnya dia, begitu
mendapatkan sepuluh rekannya telah rebah bermandi darah!
"Bangsat! Siapa yang telah berbuat sekejam ini! Hayo keluar! Tunjukkan dirimu!"
teriak Kanjawa murka. Dengan pedang terhunus, matanya beredar liar merayapi
seluruh pelosok tempat itu.
Namun tak satupun makhluk yang
dilihatnya. Apalagi menjawab
Pendekar Naga Putih 10 Bunga Abadi Di Gunung Kembaran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tantangannya. Setelah beberapa saat menanti,
akhimya Kanjawa bergegas mendekati kesepuluh mayat kawannya Wajah pemuda itu
mendadak pucat menyaksikan sekujur kulit para korban berwama kehitaman. Dan yang
lebih mengherankan lagi, tak satu pun tampak luka senjata-senjata di tubuh
mereka. Kanjawa yang semula hendak
menyentuh tubuh salah seorang kawannya, cepat menarik tangannya ketika melihat
kulit kawannya semakin menghitam.
"Racun..!" desis Kanjawa. Seketika itu juga tubuhnya mencelat bangkit dan
bergegas menjauhi mayat kawannya.
Mengerikan! Tiba-tiba saja mayat-mayat itu menciut. Makin lama makin mengecil
dengan diiringi suara mendesis aneh.
"Kkk... kelabang... penghisap...
darah...!" seru Kanjawa terbata-bata.
Tanpa sadar kedua kakinya mundur
beberapa langkah. Keringat dingin mulai membasahi seluruh tubuhnya.
Berbarengan dengan ucapan yang
keluar dari mulut Kanjawa. Binatang yang disebutnya tadi mulai bersembulan dari
dalam mayat kawan-kawannya.
Binatang-binatang menjijikkan itu keluar dari lubang-lubang yang memenuhi
sekujur daging mayat-mayat itu.
Puluhan binatang berwarna merah
darah itu meninggalkan tubuh korbannya dengan menimbulkan suara gemerisik ribut.
Rupanya binatang-binatang itu sudah puas dengan pestanya di hari ini.
"He he he... kalian sudah puas, anak-anak manis," mendadak terdengar suara parau
dan mendirikan bulu roma.
Seiring dengan lenyapnya suara tadi, tahu-tahu sesosok tubuh melangkah perlahan
mendatangi tempat itu.
"Kelabang Merah...!" desis Kanjawa sambil menji-lati bibirnya yang kering
Wajahnya semakin pucat ba-gai tak dialiri darah. Sepasang matanya
membelalak ke arah sosok asing yang baru datang.
Sosok yang dijuluki Kelabang Merah itu benar-benar menyeramkan! Sekujur kulitnya
berwarna kemerahan mirip binatang-binatang peliharaannya.
Kepalanya gundul pelontos, berperawakan gemuk bulat dan hanya mengenakan cawat
hitam sebagai penutup auratnya. Di kiri kanan pinggangnya tersampir sebuah
bumbung bambu tempat menyimpan
kelabang-kelabang berbisa
peliharaannya. "He he he... yang mampus itu saudara-saudaramu, ya?" ucap Kelabang Merah tanpa
rasa berdosa sedikit pun!
Kanjawa diam membisu. Dia hanya
mampu mengangguk di hadapan Kelabang Merah itu. Rasa kagetnya masih belum hilang
seluruhnya. "Hei! Apakah kau tuli" Aku tanya apakah mereka saudara seperguruanmu?"
teriak Kelabang Merah mengulang
pertanyaannya. Rupanya lelaki berkepala pelontos ini tak melihat anggukan kepala
Kanjawa. "Bbb... benar!" dengan susah payah akhimya Kanjawa dapat juga mengeluarkan
suaranya. "He he he... anak-anakku tadi lapar sekali. Sengaja kulepaskan mereka, biar
mencari makan sendiri. Kau tentunya tidak keberatan, bukan?" tanya orang Itu
seenaknya. "Eh, ya... ya...! Aku tidak
keberatan!" sahut Kanjawa seperti membeo.
"He he he... sudah kuduga kalau kau pasti
orang baik! Eh... tapi,
anak-anakku yang lain masih belum dapat bagian, apakah kau mau memberi mereka
makan?" tanya Kelabang Merah lembut Meskipun begitu, suaranya tetap
terdengar kasar dan menyeramkan.
Mendengar permintaan Kelabang
Merah, wajah Kanjawa semakin pucat dan gemetar ketakutan. Ia memang pernah
mendengar dari gurunya, tentang seorang datuk sesat yang berjuluk Kelabang
Merah. Meskipun tergolong tokoh sesat tetapi memiliki sifat yang berlawanan
dengan penampilannya. Tokoh ini selalu bersikap lemah-Iembut kepada
orang-orang yang ditemuinya. Dan yang lebih aneh lagi, laki-laki berkulit merah
ini sama sekali tidak menganggap membunuh manusia untuk memberi makan binatangbinatang peliharaan sebagai perbuatan keji.
"Ah, tidak! Jangan! Aku... aku tidak mau!" ujar Kanjawa tersentak dari
lamunannya sambil melangkah mundur begitu mendengar permintaan aneh
Kelabang Merah. Karena yang dimaksud memberi makan oleh Kelabang Merah adalah
merelakan dirinya dimangsa
kelabang-kelabang merah penghisap darah. Karuan saja Kanjawa ketakutan.
"Eh, mengapa kau tidak mau" Kau senang ya kalau melihat anak-anakku mati
kelaparan" Mengapa kau pelit sekali?"
bentak Kelabang Merah gara-gara
permintaannya ditolak Tokoh aneh ini menuduh Kanjawa pelit karena dia tidak
bersedia dimangsa binatang piaraannya.
Rasa-rasanya hanya orang bosan hidup saja yang mau menuruti permintaan gila si
Kelabang Merah.
Selagi kedua orang itu bersikeras hendak memaksakan keingjnannya
masing-masing, mendadak tiga sosok tubuh beriari mendatangi mereka. Ketiga orang
yang tidak lain adalah Badil dan dua orang kawannya menjadi terkejut
mendapatkan teman-temannya telah
menjadi mayat Dan mereka semakin
terkejut melihat Kanjawa mundur
ketakutan dihampiri orang berkepala botak yang hanya mengenakan cawat hitam
saja. "Kakang Kanjawa...!" teriak Badil sambil berlari menghampiri Kanjawa.
Orang yang bernama Badil itu semakin terkejut ketika melihat wajah kakak
seperguruannya pucat pasi bagai tak dialiri darah.
"Siapa... siapa orang itu, Kakang?"
tanya Badil terheran-heran bercampur kaget melihat Kanjawa ketakutan
berhadapan dengan orang berkulit
kemerahan yang hanya memakai cawat hitam.
"Dia... Kelabang Merah...," sahut Kanjawa. Rupa-rupanya kedatangan Badil dan dua
orang kawannya membuat
keberanian Kanjawa timbul kembali.
"He he he... rupanya anak-anakku sedang bernasib mujur hari ini," ujar Kelabang
Merah begitu melihat kedatangan tiga orang lagi. "Hayo, anak-anak, makanan
kalian sudah tersedia."
Sambil berkata demikian, Kelabang Merah segera membuka tutup bumbung yang
tergantung di pinggang kirinya.
"Hahhh!"
Badil dan dua orang kawannya
serentak melompat mundur dengan wajah memucat. Sekilas saja mereka pun tahu
kalau binatang-binatang itu pastilah sangat beracun. Kini mereka mulai dapat
menduga penyebab kematian kawan-kawan mereka dan mengapa Kanjawa demikian
ketakutan kepada laki-laki gemuk
berkepala botak ini.
"Keparat! Jadi rupanya kau yang telah membunuh saudara-saudara kami, hah"
Kubunuh kau, Bangsat Gundul!"
bentak Badil marah. Sekejap saja
pedangnya telah teihunus di tangan.
"Hiaaat..!"
Tanpa mengenai rasa takut Badil yang tidak mengenai tokoh berkepala gundul itu
langsung saja membabatkan pedangnya ke arah Kelabang Merah.
Dua orang lainnya pun bergegas
mencabut senjata maang-masing. Dan tanpa dikomando lagi, keduanya segera
membantu Badil. Pedang di tangan mereka menderu tajam, mencecar titik kematian
laki-laki bercawat hitam itu.
"Adi, jangan...!" Kanjawa yang mengetahui kalau tokoh itu bukan
tandingan mereka berteriak mencegah.
Namun sayang, teriakan Kanjawa
terlambat! Pada seat itu juga
makhluk-makhluk sebesar ibu jari yang berwarna merah sudah melesat dari bumbung
bambu yang dipegang laki-laki berkulit kemerahan.
Sent! Sent! Sent!
Puluhan kelabang merah meluncur
deras menuju tiga orang adik seperguruan Kanjawa yang tengah melesat menerjang.
Gerakan puluhan binatang menjijikkan itu demikian cepat sehingga Badil dan kedua
orang lainnya tak sempat lagi
menghindar. Maka....
Crabbb! Crabbb!
"Aaa...!"
Sekejap saja puluhan kelabang merah telah lenyap ke dalam tubuh tiga laki-laki
itu. Cairan merah memercik ke mana-mana diiringi dengan robohnya tubuh mereka.
Badil dan dua orang lainnya berkelojotan meregang nyawa!
Gemetar seluruh tubuh Kanjawa
melihat ketika kawannya yang tengah sekarat itu. Rasa gentar dan kemarahan
bercampur menjadi satu. Terdengar keluhan lirih dari kerongkongan Kanjawa.
Sesaat kemudian, wajahnya merah padam!
Sepasang matanya berputar liar bagai orang hilang pikiran.
"Iblis laknat! Kubunuh kau...!"
rasa takut yang semula menguasai hati Kanjawa lenyap seketika. Disertai bentakan
menggeledek, tubuhnya mencelat sambil menyabetkan pedangnya ke leher Kelabang
Merah. Wukkk! Wukkk! Dua buah serangan beruntun yang
dilancarkan Kanjawa dengan mudah
dielakkan Kelabang Merah. Dan saat itu juga tangan lawan terulur ke arah
perutnya. Brettt! "Uhhh...!"
Jari-jari tangan datuk sesat yang berkuku panjang dan runcing itu tidak mengenai
sasaran ketika Kanjawa menarik kakinya mundur. Tapi tak urung bajunya sempat
tercabik kuku-kuku runcing itu.
"He he he... mengapa tergesa-gesa, Anak Muda" Tunggulah sebentar! Setelah anakanakku selesai mengeringkan darah kawanmu, kau pun akan kebagian giliran!"
ujar Kelabang Merah terkekeh kegirangan.
Kanjawa yang kemarahannya sudah
mencapai ubun-ubun, tak mampu menjawab ejekan lawannya. Bagaikan banteng
teriuka, lawannya kembali diteriang.
Kelabang Merah hanya tertawa cekakakan menantikan datangnya serangan Kanjawa.
*** 3 "Yiiaaat..."
Wukkk! Tubuh Kelabang Merah yang bulat
gemuk berlompatan lincah menghindari sabetan pedang Kanjawa. Sambil terus
berloncatan, lelaki berkulit kemerahan ini sengaja memperdengarkan tawanya untuk
membuat Kanjawa tak mampu
memusatkan perhatian pada permainan jurus-jurus pedangnya.
Memasuki jurus kesepuluh, dengan
penuh perhitungan tangan kanan Kelabang Merah dijulurkan ke atas. Datuk sesat
itu bermaksud memapak tusukan pedang lawan.
Pada saat yang bersamaan, tangan kirinya menusuk dengan jari-jari terbuka
mengarah ulu hati Kanjawa.
Plakkk! Crebbb!
"Aaakh...!"
Pedang di tangan Kanjawa terpental ketika lengan-nya tertangkis lengan Kelabang
Merah yang keras bagaikan baja.
Dan pada saat yang bersamaan, jari-jari yang berkuku runcing menembus perut.
Tubuh Kanjawa terhuyung ke
belakang! Darah segar menyembur dari luka menganga di perutnya. Dan dengan mata
membelalak, Kanjawa mendekap luka yang terus menyemburkan darah segar.
Sesaat kemudian tubuhnya pun roboh dan berkelojotan untuk kemudian diam tak
bergerak-gerak lagi. Sekujur kulit Kanjawa perlahan menghitam ketika racun yang
berada pada kuku-kuku jari lawannya mulai bekerja.
"He he he.... Ayo, Anak-anak. Kita pergi dari tempat ini!" ucap Kelabang Merah
sambil terkekeh seram.
Beberapa saat kemudian, dari mayat Badil dan dua orang kawannya mulai
bermunculan puluhan kelabang yang masih berlumuran darah! Dan bagai anak-anak
yang penurut, puluhan kelabang itu pun melesat ke dalam bumbung bambu yang telah
diletakkan di atas tanah oleh
majikannya. Sambil terus mengeluarkan tawanya yang seram, Kelabang Merah menutup bumbung dan
menggantungkan kembali di pinggangnya. Dan tanpa menoleh lagi, laki-laki
berkulit kemerahan itu
berlenggang begitu saja. Seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa di tempat itu.
"Berhenti!"
Kelabang Merah menahan langkah
kakinya ketika mendengar bentakan yang ditujukan kepadanya. Sesaat kemudian,
laki-laki aneh itu kembali meneruskan langkahnya tanpa mempedulikan teriakan
itu. Belum lagi kakinya melangkah jauh, sesosok bayangan yang berambut
riap-riapan berkelebat melewati
kepalanya. Dan dengan sebuah putaran yang indah, sosok itu mendaratkan beberapa
tombak di depan Kelabang Merah.
"He he he... mau apa kau menyuruhku berhenti" Apakah kau pun mau ikut-ikutan
menyumbang darah?" ujar Kelabang Merah terkekeh menyebalkan.
"Hm... apakah binatang-binatang peliharaanmu yang menjijikkan itu suka dengan
darah orang setua aku?" sahut orang berambut riap-riapan mengejek Meskipun nada
bicaranya terdengar lembut, namun sepasang mata laki-laki itu berkilat-kilat.
Jelas sekali kalau laki-laki yang berusia kurang lebih sekitar enam puluh lima
tahun itu tengah menahan luapan amarahnya.
"He he he... sebenarnya sih tidak suka. Apalagi dagingmu sudah alot dan berbau
busuk! Tapi kalau memang kau mau memberi anak-anakku makan, aku pun tak
keberatan," sahut Kelabang Merah sambil tetap tertawa terkekeh.
"Benar-benar rakus sekali
binatang-binatang peliharaanmu.
Sampai-sampai darah empat belas orang muridku pun masih belum cukup membuat
mereka kenyang!" ucap laki-laki berambut riap-riapan dengan nada yang semakin
meninggi. "Eh, jadi mereka murid-muridmu!
Wah... sungguh beruntung sekali kau, Kisanak. Murid-muridmu itu baik sekali
Mereka berlomba-lomba menyumbangkan darahnya pada anak-anakku!" Laki-laki aneh
itu sama sekali tidak merasa terkejut ataupun ketakutan. meskipun tahu kalau
yang menghadangnya itu adalah guru
dari orang-orang yang telah
dibunuhnya. Malah dia tertawa-tawa kegirangan. Seolah-olah sama sekali tidak
merasa bersalah kepada orang tua di hadapannya.
"Tentu saja aku sangat beruntung, Iblis Gundul! Eh, omong-omong aku merasa lapar
sekali sekarang! Sudikah kau berikan peliharaanmu untuk kujadikan pengisi
perut?" sadar kalau si gundul otaknya sudah tidak waras akibat
racun-racun yang dipelajarinya, maka kakek berambut riap-riapan itu pun mencoba
mengimbanginya.
"Apa" Kau ingjn menyantap
anak-anakku" Tidakkah kau sadar, Orang Tua Gila! Dengar baik-baik! Permintaan
gilamu itu sudah cukup menjadi alasanku untuk membunuhmu!" bentak Kelabang Merah
yang menjadi marah mendengar permintaan lawan bicaranya.
"Hm... apakah kau pun sadar gundul gila" Dengan memberikan darah-darah muridku
kepada binatang jelekmu telah membuatku ingin membunuhmu" Nah sekarang kau boleh
pilih! Serahkan binatang jelekmu atau kepalamu kuremukkan dengan tongkat ini!"
ancam kakek berambut riap-riapan dengan emosi yang
meledak-ledak. "Eh, oh... mengapa begitu" Tidak!
Kedua-duanya aku tidak mau!" teriak Kelabang Merah membentak marah.
"Kalau kau tidak mau, aku akan memaksanya! Hmh!" sambil mendengus kasar, kakek
Pendekar Naga Putih 10 Bunga Abadi Di Gunung Kembaran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berambut riap-riapan mengulurkan tangannya mencengkeram batok kepala Kelabang
Merah yang pelontos. Wuttt! "Eit, tidak kena!" ejek Kelabang Merah sambil menarik tubuhnya ke
belakang. "Huh! Jangan takabur dulu, Gundul!
Coba kau tahan ini! Heaaat...!" Disertai teriakan nyaring, kakek berambut
riap-riapan memutar tongkat baja
hitamnya hingga menimbulkan angin menderu-deru.
Werrr! Werrr! "Eh!"
Kelabang Merah berseru kaget ketika tahu-tahu saja ujung tongkat lawan telah
mencecar tenggorokan-nya! Cepat
laki-laki berkulit merah itu melesat ke belakang. Setelah bersalto beberapa kali
di udara, sesaat kemudian kakinya sudah mendaratkan beberapa tombak di depan
kakek berambut riap-riapan itu.
"Siapa kau sebenarnya, Orang Tua Gila! Sepertinya aku pemah mengenai jurus-jurus
tongkatmu?" tanya Kelabang Merah agak terkejut. Rupanya mata si gundul baru
teibuka begitu melihat kehebatan jurus-jurus tongkat baja lawan.
"Buka matamu lebar-Iebar, Gundul Tengikj Ketahuilah! Saat ini kau
berhadapan dengan Tongkat Pencabut Nyawa! Sekarang bersiaplah kau menerima
kematian!" bentak orang tua berambut riap-riapan.
"He he he... jangan takabur Tongkat Pemukul Anjing! Apa kau kira aku takut
melihat tongkat bututmu" Ayo majulah!"
seru Kelabang Merah berusaha menutupi rasa terkejutnya.
Setelah berkata demikian, laki-laki aneh itu pun segera melepaskan tutup bumbung
bambu yang menggantung di pinggang kirinya. Dari sini saja sudah dapat ditebak
kalau kali ini Kelabang Merah bukanlah tokoh sembarangan.
"Hm... kalau begitu tahanlah tongkat pemukul anjingku ini, Anjing Gundul!"
Begitu ucapannya selesai, orang tua yang berjuluk Tongkat Pencabut Nyawa segera
melejit ke udara. Tongkatnya berputaran di atas kepala, sehingga membuat daerah
sekitar tempat itu bagai dilanda angin topan dahsyat.
Puluhan kelabang penghisap darah
yang dilepaskan si gundul buyar tersapu angin putaran tongkat baja hitam!
Melihat binatang peliharaannya tak mampu menembus dinding angin yang diciptakan
Tongkat Pencabut Nyawa. Kelabang Merah segera berseru nyaring seraya
melontarkan pukulan beracunnya
bertubi-tubi. Pertempuran pun semakin seru dan
ramai! Dua tokoh sakti dari aliran yang bertolak belakang itu saling terjang
dengan ganasnya. Keduanya sudah
mengeluarkan ilmu andalan
masing-masing. Maka dapat dibayangkan kedahsyatan pertempuran kedua tokoh sakti
itu! Sampai lima puluh jurus, keduanya masih terlihat imbang Namun memasuki jurus
kelima puluh dua, Tongkat Pencabut Nyawa semakin memperhebat serangannya.
Batu-batu kerikil ikut beterbangan terbawa putaran angin dahsyat yang diciptakan
tongkat bajanya.
Wuttt! "Aaaih...!"
Kelabang Merah melompat ketika
tongkat baja hitam membabat pinggangnya.
Sabetan tongkat lawan memang berhasil dielakkan. Namun pada saat tubuh
Kelabang Merah masih mengambang di udara, tahu-tahu Tongkat Pencabut Nyawa
melompat sambil melakukan dua kali tendangan dengan menggunakan tongkatnya
sebagai penunjang!
Desss! Desss! "Huaaakh!"
Darah segar kontan bermuncratan
dari mulut laki-laki berkulit kemerahan hingga memercik ke pakaian lawannya.
Datuk aneh itu terpental jauh ketika dua tendangan beruntun Tongkat Pencabut
Nyawa bersarang telak di dada! Tubuh tambun itu mencium bumi hingga
menimbulkan suara berdebuk keras!
"Ha ha ha... bersiaplah kau menerima kematianmu, Kelabang Busuk!" bentak lakilaki berambut meriap terbahak.
Sesaat kemudian tongkat baja hitamnya terayun deras ke arah kepala gundul yang
tengah tertunduk itu.
Wuttt! Dapatlah dipastikan kalau sebentar lagi kepala gundul itu pastilah akan pecah
berhamburan terhantam tongkat baja yang berat itu. Namun pada saat yang
menegangkan, secepat kilat tangan kanan Kelabang Merah berkelebat melemparkan
bumbung bambu dari pinggang kanannya.
Berbarengan dengan itu, laki-laki berkulit kemerahan segera bergulingan
menghindari ancaman maut.
Tongkat Pencabut Nyawa sempat
terkejut melihat benda yang dilemparkan Kelabang Merah. Sekilas dilihatnya kalau
benda yang dilempar lawan adalah bumbung kelabang merah. Kakek berambut
riap-riapan tidak berani mengambil
risiko Apabila bumbung bambu itu pecah berantakan akibat hantaman tongkatnya,
bukan tidak mungkin akan ada beberapa kelabang penghisap darah yang terlontar ke
tubuhnya. Bumram! Debu mengepul tinggi ketika tongkat baja hitam menghantam batu sebesar kepala
gajah yang berada di samping kiri Kelabang Merah. Sedangkan bumbung bambu yang
tadi dilemparkan oleh Kelabang Merah, tergeletak di atas rerumputan dalam
keadaan masih tertutup rapat Tongkat Pencabut Nyawa menoleh ke arah lawannya
bergulingan. Namun temyata di tempat itu sudah tak terlihat bayangan Kelabang
Merah lagi. "Keparat gundul! Sampai ke ujung langit pun kau akan kukejar!" teriak Tongkat
Pencabut Nyawa ketika menyadari kalau lawan telah melarikan diri.
Tongkat Pencabut Nyawa memungut
bumbung bambu tempat penyimpanan
kelabang penghisap darah. Lalu
diletakkan ke atas batu yang
permukaannya datar.
"Hm... binatang pembawa celaka ini harus dimusnahkan agar tidak meminta korban
lagi," ujar Tongkat Pencabut Nyawa geram. Diambilnya batu sebesar kepala kerbau
dan ditimpakan tepat di atas bumbung. Dan....
Prakkk..! "Mampuslah kau binatang celaka!"
ucapnya tersenyum puas. Setelah
memusnahkan kelabang berbisa, Tongkat Pencabut Nyawa pun bergegas meninggalkan
tempat itu menuju Puncak Gunung
Kembaran. "Hm... kau berbicara dengan siapa, Kisanak?" tiba-tiba terdengar teguran yang
membuat Tongkat Pencabut Nyawa menghentikan langkahnya. Dan sebehim gema teguran
itu lenyap, dari kejauhan tampak sesosok tubuh berlari mendatangi.
"Ah, rupanya Ki Bagasti yang datang!" seru Tongkat Pencabut Nyawa dengan wajah
berseri. "Eh, bukankah itu mayat
murid-muridmu, Jiwana?" tanya orang yang baru datang agak terkejut
"Benar, Ki!" sahut Tongkat Pencabut Nyawa yang temyata bemama Ki Jiwana.
Dengan singkat, kakek berambut
riap-riapan menceritakan semua
peristiwa yang baru saja terjadi.
"Hhh... setelah bertahun-tahun menghilang, ternyata dia mulai
menebarkan bencana lagi. Tapi syukurlah kau telah membunuh semua binatangbinatang peliharaannya. Kalau tidak, bisa-bisa lebih ramai lagi keadaan di
sana," ujar Ki Bagasti menimpali ucapan Ki Jiwana.
"Ha ha ha... jadi kedatanganku kemari juga karena dongeng itu?" tanya Ki Jiwana
tersenyum. "Hm.... Bunga Abadi bukan hanya sekadar dongeng, Jiwana. Menurut guruku dulu
bunga itu benar-benar memang ada.
Kurasa, gurumu pun pasti sudah
menceritakannya padamu. Kalau tidak, mengapa kau berada di sini juga?" tebak Ki
Bagasti. "Yah, seperti juga kau, aku pun ingin melihat seperti apa sebenamya tumbuhan
itu?" sahut Ki Jiwana tertawa tergelak.
"Eh, jadi niatmu ke sini hanya sekadar ingin melihat tumbuhan itu" Apa kau tak
berniat memilikinya, Jiwana"
Ingat, khasiat tumbuhan mukjizat itu bukan hanya dapat menyembuhkan berbagai
penyakit ataupun sekadar penawar racun saja, apa kau tidak tahu?" desak Ki
Bagasti yang merasa heran ketika
mendengar Ki Jiwana hanya ingin melihat tumbuhan yang pada masa itu telah
membuat geger kaum persilatan.
"Aku tidak pernah bermimpi untuk mendapatkannya, Ki" Lagi pula
kepandaianku kalah jauh jika
dibandingkan dengan ilmumu?" ujar Ki Jiwana merendah.
"Hm... kau terlalu merendah, Jiwana. Tak seorang pun tokoh persilatan yang tidak
gentar mendengar kehebatan Tongkat Pencabut Nyawa. Dan siapa pula yang tidak
pernah mendengar berapa banyak tokoh persilatan yang bertekuk lutut di bawah
kesaktianmu," ucap Ki Bagasti sambil mengulap-ulapkan tangan bagaikan orang yang
tengah bersajak.
"Ha ha ha... katakanlah apa yang kau ucapkan itu benar. Tapi sehebat-hebatnya
Tongkat Pencabut Nyawa, mana mungkin dapat mengatasi kepandaian Ki Bagasti!"
Ki Jiwana balas memuji sambil tertawa lepas.
"Aaah sudahlah! Apakah kau tidak ingin cepat sampai ke tempat itu?" ucap Ki
Bagasti sambil mengibaskan tangannya pertanda tak ingin meneruskan
pembicaraan itu.
"Ayolah!" sahut Ki Jiwana sambil mengjkuti langkah sahabatnya. Lalu kedua tokoh
sakti itu pun melangkah beriringan menyeberangi sungai yang memisahkan Gunung
Kembaran dengan dunia luar.
*** Hembusan angin bersilir lembut
mengiringi lang-kah seorang gadis muda berwajah cantik. Gadis itu melangkah hang
sambil menoleh ke kiri-kanan jalan yang dilaluinya. Sepertinya dia begitu
menikmati pemandangan di sekelilingnya.
Rambutnya yang ikal berhiaskan pita biru muda pada bagjan tengah kepalanya.
Kalau melihat dari pakaian yang
dikenakannya yang berwana biru muda itu, sudah pasti kalau gadis cantik itu
Ayuninglah adanya. (Untuk jelasnya mengenai keberadaan gadis Ini silakan baca
serial Pendekar Naga Putih dalam episode: "Mencari Jejak Pembunuh").
Baru saja gadis itu hendak memasuki hutan kecil di sebelah Timur Lereng Gunung
Kembaran, tiba-tiba terdengar bentakan keras yang membuat langkahnya terhenti.
Seketika bergegas Ayuning bersembunyi di batik semak-semak
terdekat "He he he... rupanya hari ini kita benar-benar mujur. Lihat, Kang! Ada bidadari
cantik menghampiri kita," ujar seorang lelaki bermuka hitam seraya tertawa
terkekeh hingga memperlihatkan giginya yang kotor. Sepasang matanya jelalatan
melahap sekujur tubuh Ayuning mulai dari ujung rambut hingga ke ujung kaki.
"Hm... hati-hati, Adi! Saat ini, banyak orang sakti melintasi hutan ini.
Kurasa gadis cantik ini bukan mangsa empuk," bisik kawannya memperingatkan
"Ayo, lebih baik kita kembali ke tempat guru. Siapa
tahu beliau mencari-cari kita," lanjut kawannya lagi.
"Ah, Kakang, mengapa tergesa-gesa.
Bukanka guru sedang beristirahat Kupikir tak ada salahnya kalau kita mencari
hiburan barang sejenak," ucap si muka hitam membandel.
"Jangan gegabah, Adi! Bukankah tadi sudah ku katakan kalau di tempat ini banyak
berkumpul tokoh tokoh sakti berkepandaian tinggi. Lagi pula guru pur pernah
berpesan agar kita harus
membatasi semua tindakan agar tidak terjadi kesalahpahaman," kawannya yang lebih
Bentrok Rimba Persilatan 5 Dewi Ular 79 Pembalasan Selir Sesat Persekutuan Pedang Sakti 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama