Ceritasilat Novel Online

Bunga Abadi Gunung Kembaran 2

Pendekar Naga Putih 10 Bunga Abadi Di Gunung Kembaran Bagian 2


tua masih berusaha mengingatkan kalau tindakannya si muka hitam bisa merugikan
mereka sendiri.
"Tapi, Kakang. Alangkah sayangnya kalau gadis secantik itu dibiarkan lewat
begitu saja?" si muka hitam masih mencoba membantah.
"Ayolah!" ujar kawannya jengkel.
Ditariknya lengan si muka hitam untuk segera melupakan nafsu bejatnya.
Ayuning hanya mengawasi tingkah
kedua orang itu tanpa beranjak dari persembunyiannya. Gadis berpakaian biru muda
itu sempat mencuri dengar
sedikit-sedikit apa yang sedang
diributkan kedua laki-laki itu.
"Hm... sepertnya di sini telah berkumpul tokoh-tokoh persilatan yang rupanya
juga berminat pada tumbuhan mukjizat Wah kalau begini bisa ramai nih!" gumam
gadis itu sambil tersenyum membayangkan seandainya dia bertemu dengan tokohtokoh persilatan yang memburu tumbuhan mukjizat itu.
Berpikir demikian, gadis itu pun
bergegas mempercepat langkahnya menuju Gunung
Kembaran. Karena menurut
selentingan yang gurunya pernah dengar, konon di Gunung Kembaran itulah adanya
tumbuhan mukjizat Tumbuhan Ajaib yang memiliki berbagai keistimewaan. Itulah
sebabnya mengapa guru Ayuning menyuruh gadis ini menyelidiki kebenaran berita
itu. Sekaligus juga, menimba pengalaman dalam dunia persilatan.
"Hm... mengapa kelihatannya
sepi-sepi saja" Apakah para tokoh itu belum datang?" gumam Ayuning keheranan
tatkala mendapati hutan itu masih sepi.
Menurut perhitungan gurunya, saat ini tokoh-tokoh persilatan pasti sudah
berkumpul di sana, tapi temyata tak seorang pun terlihat.
"Ah, mungkin karena waktunya masih dua hari lagi" Atau mungkin mereka masih
dalam perialanan?" gumam Ayuning menghibur dirinya sendiri.
Baru saja Ayuning hendak beranjak dari persembunyiannya, tiba-tiba
terdengar siulan panjang yang melengking tinggi. Belum lagi gema siulan itu
lenyap, mendadak berkelebat beberapa sosok bayangan menuruni lembah di bawah
tempat persembunyian Ayuning.
Ayuning menajamkan pandangannya
mengamatj keempat sosok berseragam hijau yang akhirnya berhenti tepat di
bawahnya. Jarak dataran yang memisahkan mereka sekitar enam atau tujuh tombak
tingginya Ayuning menarik napas lega ketika orang-orang itu tidak menyadari
kehadirannya di tempat itu.
"Hm... kalian sudah temukan tempat itu?" tanya sebuah suara yang sepertinya
berasal dari mulut seorang nenek tua.
"Sudah, Guru! Gua itu ada di lereng sebelah Selatan. Dan, ada beberapa tokoh
yang sudah berdatangan ke sana," lapor salah seorang di antara sosok berpakaian
serba hijau singkat Suaranya bening, mirip suara seorang gadis remaja.
Merasa penasaran, Ayuning
menjulurkan kepalanya, untuk memastikan kalau mereka itu terdiri dari para
wanita. Baru saja gadis itu menjengukkan kepalanya sedikit, tiba-tiba dikejutkan
oleh suara nenek berbaju hijau hingga terpaksa menarik kepalanya.
"Mari, kita pergi!" seru nenek yang juga berpakaian serba hijau. Hanya saja
pakaiannya terbuat dari bahan yang bagus dan mahal. Setelah berkata demikian,
nenek itu pun segera melesat.
Nenek itu kemudian meneruskan
perjalanan dikawal empat orang gadis manis berpakaian hijau. Perempuan tua ini
temyata guru mereka.
"Guru, mengapa Guru berkata terlalu keras" Bukankah pembicaraan kita bisa
didengar saingan-saingan kita?" ujar salah seorang gadis berpakaian hijau
mengingatkan gurunya agar tidak
berbicara terlalu keras.
"Hm... dengar, Murid Bodoh! Kita memang telah menemukan gua itu. Tapi apakah kau
tahu apa yang ada di
dalamnya?" sang Guru balas bertanya sambil menatap wajah muridnya tajam.
"Tidak, Guru. Kami belum memeriksa isi dalam gua," jawab gadis berpakaian hijau
itu gugup. "Bodoh! Tentu saja aku tidak segila itu menyuruh kalian masuk ke gua!" sahut
gurunya ketus sambil terus berlari mendaki Lereng Gunung Kembaran. Meskipun
Lereng Gunung Kembaran rata-rata curam dan licin, namun sepertinya semua itu
bukan rintangan yang berarti bagi kelima wanita tadi. Dari sini saja sudah dapat
diketahui betapa hebamya kepandaian wanita-wanita berpakaian hijau itu.
*** 4 "Maaf Guru, kami masih belum paham maksud Guru?" tanya seorang murid lainnya
karena memang belum mengerti maksud ucapan gurunya.
Meskipun kata-katanya terdengar
ketus dan galak, namun sesungguhnya nenek itu sangat menyayangi keempat
muridnya. Dan ketika mendengar
pertanyaan muridnya, sang Guru menoleh sambil tersenyum memandang mereka
bergantian. Wanita tua berpakaian serba hijau segera berhenti beriari. Keempat
muridnya pun melakukan hal yang sama sambil memandang wajah gurunya penuh tanda
tanya. "Dengarlah, Murid-Murid Bodoh!"
ujar nenek itu dengan nada suara yang lebih lunak. "Kalau aku menyuruh kalian
memasuki gua itu, sama artinya aku membunuh kalian. Kalian tahu, di dalam gua
itu banyak binatang-binatang
berbisa." Setelah berkata demikian, sang Guru pun kembali meneruskan larinya,
mendengar penjelasan sang Guru wajah keempat wanita itu berubah pucat.
Untunglah tempo hari mereka hanya menyelidiki di luar gua. Kalau saja waktu itu
mereka nekat masuk, pastilah mereka tidak akan kembali.
Setelah saling pandang sejenak,
keempat wanita berpakaian serba hijau menyusul guru mereka yang sudah melesat
beberapa tombak di depan.
"Sekarang aku baru tahu alasan guru berseru keras tadi," ujar seorang wanita
yang usianya paling tua di antara mereka berempat
"Mengapa?" tanya salah seorang temannya masih belum mengerti.
"Ah, bodoh kau!" sahut yang lainnya menimpali. "Guru ingin memancing orang yang
mendengar pembicaraan kita. Kalau guru tidak salah perhitungan, orang yang
mendengar pembicaraan kita pasti akan mengikuti kita."
"Lalu guru akan membiarkan orang lain lebih dahulu masuk ke gua. Nah, kalau
cerita tentang binatang-binatang berbisa itu benar, kita tahu binatang macam apa
yang ada di dalam itu dan sampai di mana kekuatan bisanya," ujar yang seorang
lagi ikut menerangkan.
"Ahhh, benar-benar cerdik sekali guru kita," sahut wanita yang bertanya tadi
tersenyum malu. Kini dia baru mengerti maksud guru mereka sebenarnya.
"Ayo, cepat kita susul guru! Kalau sampai terlam-at bisa-bisa kita kena
damprat!" ucap wanita yang paling tua mengajak teman-temannya segera pergi.
"Hm... di sanakah tempatnya?" tanya sang Guru sambil menunjuk tempat yang
dimaksud begitu keempat muridnya
berhasil menyusul.
"Benar, Guru!" jawab murid tertua.
"Ayo, kita cari tempat berlindung, biar kita intai dari jauh," ujar sang Gum
sambil mengedarkan pandangan mencari tempat berlindung.
Setelah beberapa saat mengintai di tempat persembunyian. Akhimya muncul tiga
sosok manusia mendekati lubang gua.
Dari gerakan ketiga pendatang itu, bisa ditebak
kalau mereka bukan tokoh
sembarangan. Gerakan mereka rata-rata begitu lincah dan ringan.
"Hm... tampaknya sudah ada yang kemari," kata nenek berpakaian hijau kepada
keempat muridnya.
"Siapakah ketiga orang itu, Guru?"
tanya murid termuda sekaligus paling cantik di antara saudara-saudara
seperguruannya.
"Entahlah! Tapi yang jelas
kepandaian mereka tidak di bawah
kepandaian kalian. Bahkan mungkin orang yang paling depan itu jauh lebih lihai,"
jawab sang Guru menerangkan.
Setibanya di depan gua, ketiga
laki-laki itu menghentikan langkahnya sejenak. Ketiganya memandang sekeliling
seolah ingin memastikan kalau di sekitar gua hanya ada mereka bertiga.
''Kakang, rasanya suasana di sini mencurigakan?" ujar orang termuda dari ketiga
laki-laki itu. Sorot matanya yang tajam berkeliling waspada. Nalurinya yang
tajam membaui sesuatu yang
mencurigakan. "Hm... apa alasanmu berpikiran demikian, Adi Tantra?" tanya salah seorang
berwajah bulat dan cacat mata kirinya.
"Sekarang coba kau pikir, Kakang!
Masakan kita yang belum lama mendengar selentingan tentang Bunga Abadi dapat
menemukan tempat ini. Ke mana
tokoh-tokoh yang memang sudah mengincar sejak dulu?" ucap orang termuda
mengemukakan alasan kecurigaannya.
"Alasanmu cukup masuk akal, Adi Tantra. Tapi bukankah tumbuhan ajaib itu baru
akan berbunga dua hari lagi" Bukan tidak mungkin orang-orang itu baru datang
pada hari yang tepat." Kali ini orang tertua yang angkat bicara.
Wajahnya yang penuh otot-otot, mengejang ketika mengutarakan pendapatnya. Di
tangan kanannya yang buntung terpasang kaitan dari baja putih yang ujungnya
runcing. Selain berfungsi sebagai pengganti tangan kanan, kaitan baja itu
sekaligus menjadi senjata andalannya.
"Nah! Rasanya aku lebih setuju dengan alasan, Kakang!" sahut orang kedua sambil
mengacungkan jempolnya dengan senyum terkembang.
"Ya! Tapi itu bukan berarti kita bisa berbuat seenaknya," ujar laki-laki termuda
yang rupanya masih tetap
mempertahankan kecurigaannya.
"Tentu saja! Aku sendiri berharap kita bertiga tetap waspada. Kurasa alasan
Kakang Banjaran tepat" tukas orang yang kedua tetap tak mau kalah.
"Sudahlah! Tidak usah ribut-ribut!"
sergah orang tertua yang bemama Banjaran sambil mengibaskan tangan. Rupanya
laki-laki itu agak kesal melihat kedua temannya bertengkar. "Yang penting kita
harus masuk ke gua ini sebelum orang lain melihat kita!"
Setelah berkata demikian, Banjaran menggerakkan tangannya agar kedua kawannya
mengikuti langkahnya.
Namun baru beberapa tombak mereka melangkah, tiba-tiba melesat beberapa sosok
bayangan yang langsung menghadang di mulut gua.
Banjaran memandang dengan mata
melotot kepada lima laki-laki yang menghadang di mulut gua. Gigi-giginya
bergemeletuk menahan kegeraman yang sudah naik ke ubun-ubun.
"Hmh! Lima Siluman Bukit Setan! Apa maksud kalian menghadang kami" Apakah kalian
sudah bosan hidup?" bentak Banjaran dengan wajah merah padam menahan amarah.
Banjaran memang
pemberang. Laki-laki berlengan buntung itu mudah menurunkan tangan kejam
meskipun hanya karena soal sepele.
"He he he.... Tiga Bajak Sungai Gandir! Apakah kalian pikir Bunga Abadi itu
milik nenek moyang kalian?" bentak orang tertua dari Lima Siluman Bukit Setan
tak kalah gertak. Rata-rata mereka bertopeng buruk Sehingga
suaranya terdengar agak bergema. Tak seorang pun tokoh-tokoh persilatan yang pernah
melihat wajah asli Penguasa Bukit Setan itu.
"Hm... kalau begitu, tahanlah senjataku ini! Hiaaah!" Banjaran yang sudah
meledak-ledak kemarahannya segera membentak sambil menyabetkan kait bajanya.
"Nah! Ini baru namanya laki-laki!
Jangan hanya pintar mengumbar bacot saja!" sahut orang tertua dari Siluman Bukit
Setan seraya meloloskan cambuk yang melilit pinggangnya.
Ctarrr! Ctarrr!
Ujung cambuk di tangan salah satu kawanan tokoh sesat itu meledak-ledak di
angkasa hingga menimbulkan suara
memekakkan telinga.
Wuttt! Kaitan baja Banjaran nyaris
menyambar leher. Tentu saja lawannya pun tidak tinggal diam. Lecutan ujung
cambuknya mematuk-matuk dahsyat ke berbagai titik kematian laki-laki berlengan
buntung itu. Banjaran yang semula maju menyerang, terpaksa
menghindar ke samping. Sambaran ujung cambuk yang disertai kepulan asap hanya
mengenai tempat kosong!
Banjaran temyata cukup cerdik!
Laki-laki berlengan buntung itu segera memutar badannya disertai sambaran kaitan
baja yang mengancam lambung lawan. Suara kaitan itu berdesing tajam menandakan
kuatnya tenaga dalam yang mendorong serangan.
Wuttt! "Hai, luput!" ejek Siluman Bukit Setan yang segera melompat mundur begitu
sambaran kait baja Banjaran hampir menyerempet perutnya. Hati Banjaran makin
panas, sambaran-sambaran kait bajanya makin diperhebat
Perang tanding kedua tokoh itu
berlangsung sengit! Keduanya saling serang menggunakan jurus-jurus maut untuk
saling menjatuhkan secepat
mungkin. Namun, sampai dua puluh tujuh jurus pertarungan masih berlangsung
imbang! Sementara itu, empat kawanan Siluman Bukit Setan lain sudah
mengeroyok dua adik seperguruan
Banjaran. Tentu saja pertempuran menjadi berat sebelah. Pertarungan dua lawan
empat itu segera dikuasai empat kawanan Siluman Bukit Setan!
Di tengah ramainya pertarungan itu, mendadak muncul seorang kakek berusia
sekitar enam puluh lima tahun yang dikawal dua orang pengikutnya.
"He he he... lihatlah, Guru! Delapan anjing buduk sedang bertempur
memperebutkan sepotong tulang!" ujar pengiring si laki-laki tua mengejek Orang
itu adalah laki-laki si bermuka hitam yang pernah berniat mengganggu Ayuning.
Mendengar ejekan yang menyakitkan itu, oran orang yang tengah bertempur segera
menghentikan serangan. Kedelapan orang itu serentak menoleh ke arah orang yang
melontarkan hinaan tadi.
Kakek itu tersentak kaget! Sungguh tak disangka kalau muridnya lancang menghina
orang yang sedang bertarung Sayang, semuanya sudah telanjur. Kini mau tak mau
dia harus ikut mempertanggungjawabkan kata-kata
muridnya. "Ah, kau keterlaluan, Adi. Nah, sekarang kau lihat akibat kecerobohanmu.
Mereka mengecam kita!" bentak kawannya yang merasa kesal dengan kecerobohan si
muka hitam. "Ah, mengapa kita harus takut"
Habisi saja tikus-tikus itu!" sahut orang si bermuka hitam seenaknya.
Kawannya hanya dapat mengurut dada dan tak mau melayani lagi.
"Kukira orang yang berani
menghinaku itu raja iblis yang memiliki dua belas tangan! Tak tahunya hanya kutu
busuk yang berteriak-teriak karena mukanya terbakar!" geram Banjaran sambil
menatap si muka hitam dengan sikap menghina.
"He he he... kau benar, Kisanak!
Rasanya kakiku sudah gatal ingin
meremukkan kepala kutu busuk kurang ajar itu!" ancam orang tertua dari Lima
Siluman Bukit Setan tak kalah geram. Dan begitu ucapannya selesai, siluman
bertopeng itu pun segera menerjang sambil mengirimkan dua tendangan ke arah
kepala si muka hitam. Tampaknya Siluman Bukit Setan ingin membuktikan
ancamannya. Namun sebelum tendangan siluman
bertopeng mengenai sasaran, mendadak berkelebat sesosok bayangan memapak
sambaran kaki itu dengan kekuatan tenaga dalam dahsyat!
Tahan...!"
Plakkk! Plakkk!
"Heiit..!"
Disertai teriakan keras kedua
telapak tangan bayangan itu dua kali berturut-turut menepis tangan orang


Pendekar Naga Putih 10 Bunga Abadi Di Gunung Kembaran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertopeng buruk Siluman Bukit Setan memekik tertahan. Penguasa Bukit Setan ini
sama sekali tidak menduga kalau serangan balik lawan demikian cepat.
Tubuh bayangan itu tergetar mundur akibat berbenturan dengan tendangan orang
bertopeng ini. Sejenak dia terdiam untuk mengatur napasnya yang agak memburu.
Kedua lengannya terasa
kesemutan sehabis menangkis tendangan yang hampir saja merenggut nyawa si muka
hitam. Sedangkan orang pertama dari Lima Siluman Bukit Setan juga tersentak ke
belakang akibat tangkisan bayangan itu, namun dengan sekali berkelebat, orang
bertopeng buruk ini sudah mendarat empuk di dekat keempat kawannya.
"Hm... rupanya kau, Setan Jari Seribu. Kau mau membela kutu busuk itu?"
tegur orang tertua dari Lima Siluman Bukit Setan.
"He he he... Siluman Bukit Setan!
Bagaimana aku bisa berpangku tangan melihat muridku dalam bahaya?" jawab sosok
yang temyata berjuluk Setan Jari Seribu tetap tenang meskipun tahu kalau lawan
yang dihadapi bukanlah orang sembarangan. Tokoh sakti ini sengaja memamerkan
kehebatannya agar tidak dipandang rendah Lima Siluman Bukit Setan.
"Ha ha ha... pantas saja si muka pantat kuali berani kurang ajar! Tak tahunya si
muka gosong murid maling tua hina dina ini!" ujar Banjaran tertawa terbahakbahak. Mendengar perkataan Banjaran, yang lainnya pun ikut tertawa bergelak sambil
memegang perut saking mulesnya.
"Diam!" bentak Setan Jari Seribu menggelegar. Wajahnya berubah semerah udang
rebus karena darahnya benar-benar sudah sampai ke ubun-ubun.
"Hei! Kau menghinaku maling hina dina, tapi kau tak sadar siapa kau sebenarnya"
Kau tak lebih dari buaya buruk pemakan bangkai!" teriak Setan Jari Seribu
membalas hinaan Banjaran yang juga menjadi Kepala Bajak Sungai Gandir.
"Hm... lalu apa maumu, Maling Tua?"
tantang Tantra orang termuda dari tiga Bajak Sungai Gandir sambil melangkah
maju. "He he he... kau tanya aku mau apa"
Dengariah! Aku ingin menggaruk mukamu yang seperti serabi sampai rata! Ha ha ha..." balas Setan Jari Seribu. Selesai berkata demikian kakek itu dan dua
orang muridnya tertawa terpingkal-pingkal sampai terbungkuk-bungkuk memegang
perutnya. "Bangsat! Kau makanlah golokku ini!
Hiaaat...!" Tantra yang sudah terbakar amarahnya segera melompat maju sambil
mengayunkan golok ke arah lambung Setan Jari Seribu yang masih
terpingkal-pingkal.
Wuttt! "Eit! Luput, Muka Serabi. Ha ha ha...!" sambil terus tertawa, Setan Jari Seribu
berkelit menghindari bacokan golok Tantra hingga mengenai tempat kosong!
Tentu saja Tantra yang terns diejek semakin mendidih darahnya. Dengan kalap
orang termuda dari Penguasa Sungai Gandir memperhebat sambaran-sambaran
goloknya. Setan Jari Seribu yang sudah
mendengar kelihaian Bajak Sungai Gandir tidak berani gegabah. Tubuhnya bergerak
lincah menghindari sambaran mata golok sambil sesekali tangannya berkelebat
bergantian melakukan serangan balasan.
Bettt! Bettt! "Uhhh...!"
Terdengar keluh tertahan ketika
tubuh Tantra nyaris tersambar dua pukulan Setan Jari Seribu. Cepat-cepat pemuda
itu melompat mundur sambil melintangkan goloknya dengan sikap waspada menjaga
serangan susulan lawan.
Tapi orang termuda dari Tiga Bajak Sungai Gandir ini kecele.Ternyata Setan Jari
Seribu hanya berdiri memandangnya penuh ejekan.
"Guru...!"
Setan Jari Seribu tersentak kaget mendengar teriakan muridnya. Laki-laki tua itu
bertambah kaget lagi melihat dua muridnya tengah berusaha mati-matian meloloskan
diri dari keroyokan Empat Siluman Bukit Setan.
Brettt! Crakkk! "Aaakh...!"
Terlambat! Saat itu juga dua golok pengeroyok menembus perut kedua murid Setan
Jari Seribu yang bernasib sial.
Keduanya langsung roboh bermandi darah!
Sesaat keduanya masih sempat mengerang sambil berkelojotan menahan rasa sakit
Namun akhirnya terkapar di tanah. Tewas!
"Biadab kau Lima Siluman Bukit Setan! Kalian harus menebus nyawa kedua muridku!
Aku belum puas kalau tidak menghirup darah kalian!" Setan Jari Seribu berteriakteriak penuh kemarahan. Sesekali dia mendengus dan menggeram. Rupanya orang tua itu
benar-benar terpukul atas kematian dua murid kesayangannya.
"Heaaa...!"
Wuttt! Wukkk! Entah dari mana asalnya tahu-tahu dua bilah belati sudah tergenggam di tangan
kanan dan kiri Setan Jari Seribu.
Senjata tajam itu berkilat-kilat
menyambar kerongkongan dua tokoh sesat yang tadi telah membunuh kedua muridnya,
menyadari kedahsyatan sambaran kakek yang sudah kalap itu, keduanya segera
bergulingan menjauh sambil melemparkan beberapa buah jarum beracun. Dan....
Trang! Trang! Jarum-jarum beracun rontok
tersampok sepasang belati Setan Jari Seribu. Sesaat kemudian kakek yang sudah
kalap itu kembali mengejar dua Siluman Bukit Setan yang sudah kembali berdiri
tegak Dan, secara tiba-tiba, orang tua itu merendahkan kuda kudanya sambil
menggerakkan sepasang senjatanya secara bersilangan.
Brettt! Brettt!
"Aaah...!"
Luar biasa kecepatan serangan Setan Jari Seribu Dua buah serangan yang sudah
diperhitungkan masak itu tidak sia-sia.
Mata belatinya berlumuran cairan darah milik korbannya.
Dua orang Siluman Bukit Setan
terperangah kaget Celana mereka robek di bagian bawah hingga menggores kulit.
Meskipun tidak terlalu dalam, namun goresan luka terasa sangat perih.
"Ha ha ha... sebentar lagi kalian akan menggelepar seperti ayam
disembelih, kalian telah terkena racun ganas dari mata belatiku! Tertawalah
sepuas kalian sebelum ajal datang menjemput! Ha ha ha!" Setan Jari Seribu
tertawa bergelak sambil menengadahkan kepalanya karena telah berhasil menebus
kematian muridnya yang terbunuh oleh kedua orang itu.
"Bangsat kau, Maling Tua! Cepat serahkan obat penawarnya! Kalau tidak, tubuhmu
akan kucincang dan kujadikan santapan anjing hutan!" bentak orang tertua dari
Lima Siluman Bukit Setan yang mengkhawatirkan keselamatan kawannya.
"He he he... kalian jangan bermimpi untuk mendapatkan obat penawar! Aku akan
menghancurkan obat penawar ini!" sahut Setan Jari Seribu sambil menunjukkan
botol sebesar ibu jari kaki orang dewasa yang digenggam tangan kanannya.
Tiba-tiba Setan Jari Seribu membanting botol itu ke tanah dan menginjak-nya
kuat-kuat. Krakkk! Seketika botol sebesar ibu jari itu hancur berantakan tak berbentuk lagi.
Tiga Siluman Bukit Setan yang masih segar bugar menjadi kalap. Dengan penuh
kemarahan meluap, serentak tiga
laki-laki bertopeng itu melompat sambil mengayunkan senjata.
Ctarrr! Ctarrr!
Cambuk kulit binatang milik orang pertama Penguasa Bukit Setan dilecutkan ke
udara. Suaranya meledak-ledak
memekakkan telinga disertai asap tipis yang mengepul setiap kali terdengar
lecutan keras! Dua orang kawannya tidak mau
ketinggalan. Pedang yang sejak tadi sudah diloloskan dari sarungnya
berkelebat mancecar titik kelemahan lawan. Rupa-rupanya Tiga Siluman Bukit Setan
ini benar-benar ingin membuktikan ucapannya untuk mencincang Setan Jari Seribu
yang telah melukai dua orang saudara mereka dengan senjata beracua Sehingga
kedua orang saudaranya tewas dengan tubuh menghitam. Mengerikan!
Tentu saja Setan Jari Seribu maklum kalau ancaman itu bukanlah sekadar gertak
kosong belaka. Kakek sakti ini memang sudah sering mendengar kekejaman Kelima
Siluman Bukit Setan yang tak pernah berkedip jika membunuh
musuh-musuhnya.
Di tengah sibuknya Setan Jari Seribu menghindarkan senjata ketiga lawan, tibatiba terdengar jerit kematian merobek udara.
"Aaa...!"
Berbarengan dengan teriakan itu,
sesosok tubuh muncul dari mulut gua dengan berlumur darah! Berpuluh-puluh lubang
besar kecil menghiasi sekujur tubuhnya.
"Hah...! Ke... kenapa kau?" seru keempat orang yang melihat tubuh orang tertua
dari Tiga Bajak Sungai Gandir berkelojotan dari mulut gua, serentak orang yang
tengah bertarung menghentikan gerakan mereka masing-masing. Wajah keempat orang
tokoh itu berubah pucat ketika akhirnya Banjaran terbunuh oleh binatang beracun
penghuni gua. Rupanya tiga Bajak Sungai Gandir yang sudah tidak sabar, mencuri
kesempatan masuk ke dalam gua ketika ketiga Siluman Bukit Setan bentrok dengan
Setan Jari Seribu. Dan inilah akibatnya!
"Gila!" teriak orang tertua dari ketiga Lima Siluman Bukit Setan sambil melompat
mundur dengan wajah pucat Jauhi tubuh mayat itu! Bau tubuhnya bisa membuat
kalian keracunan!" teriaknya.
memberi peringatan kepada kedua
saudaranya. Terlambat! Ketiga orang lainnya
terhuyung mundur dengan kedua kaki goyah! Wajah-wajah mereka teriihat pucat
bagai tak dialiri darah!
"Huaaak...!"
Keempat tokoh persilatan golongan hitam itu memuntahkan isi perutnya yang terasa
diaduk-aduk oleh bau busuk luar biasa. Napas mereka pun mulai mem-buru.
"Celaka! Kita keracunan!" teriak Setan Jari Seribu dengan wajah pucat ketika
menyadari kalau dirinya telah menghirup racun maut itu. Wajahnya yang pucat
mulai berubah kehijauan seperti halnya kulit mayat Banjaran. Beberapa saat
kemudian, tubuh Setan Jari Seribu pun tewas. Seluruh kulit tubuhnya berubah
kehijauan. "Aaah...!" Tiga orang Siluman Bukit Setan sangat terkejut melihat perubahan
kulit tubuh Setan Jari Seribu Mereka dicekam ketakutan. Tapi mereka agak
keheranan ketika dirasakan dirinya temyata tidak mengalami apa-apa.
"Hm... aku tahu sekarang. Kita tidak separah Setan Jari Seribu karena kita
memakai topeng karet. Racun yang kita hirup lebih sedikit, jika dibandingkan
dengan racun yang tersedot oleh Setan Jari Seribu!" ujar orang tertua di antara
mereka dengan perasaan lega.
"Hiiih... ayo kita tinggalkan tempat celaka ini! Bisa-bisa kita jadi bangkai di
sini!" ujar orang tertua dari Siluman Bukit Setan lagi sambil
berjalan. "Tapi bagaimana dengan mayat dua
teman kita?" tanya satunya sambil memandang mayat dua orang saudara mereka yang
telah keracunan.
"Tinggalkan! Tubuh merekapun telah keracunan." Jawab orang tertua sambil terus
melangkah meninggalkan tempat itu.
*** 5 Angin pegunungan bersilir lembut
menyejukkan tubuh. Pagi itu, seorang pemuda berjubah putih berdiri tegak menatap
Puncak Gunung Kembaran yang menjulang di hadapannya. Pemuda tampan itu adalah
Panji alias Pendekar Naga Putih yang baru saja tiba di Kaki Gunung Kembaran.
Tanpa mempedulikan keadaan di
sekeliling, Panji terus menatap puncak gunung yang selalu diselimuti kabut
tebal. Pemuda berjubah putih ini berdiri tegak di atas batu besar di tepi sungai
yang memisahkan gunung itu dengan dunia luar.
"Hm... inilah Gunung Kembaran yang dimaksud Raja Obat Menurut beliau, Bunga
Abadi ada di gua sebelah Selatan lereng gunung. Mudah-mudahan kedatanganku belum
terlambat! Karena menurut Raja Obat, sebentar lagi pasti banyak sekali tokohtokoh persilatan yang berkumpul di tempat ini," gumam Panji sambil terus
mengamati puncak gunung berkabut tebal di kejauhan.
Setelah agak lama memperhatikan, pemuda tampan itu pun segera melintasi sungai
di depannya. Tubuhnya bergerak lincah di antara tonjolan batu-batu yang banyak
tersebar di permukaan sungai. Tak lama kemudian, Panji sudah berada di seberang
sungai di Kaki Gunung Kembaran.
Panji mengedarkan pandangannya
berkeliling kererimbunan hutan di hadapannya. Pemuda itu menarik napas lega
melihat keadaan sekitar hutan itu tampak sunyi. Hanya desir angin dan gemercik
air sungai yang terdengar bagaikan nyanyian alam yang menemani Panji.
Sesaat kemudian, Pendekar Naga
Putih sudah melesat mendaki lereng gunung yang licin dan berbatu-batu.
Tanpa kesulitan sedikit pun pemuda berjubah putih itu berkelebat melintasi
lereng gunung. "Ah, ternyata tak begitu sulit untuk menemukan gua yang dimaksud Raja Obat!"
gumam Panji ketika dari kejauhan sudah melihat mulut gua yang dicarinya.
Pemuda itu berdiri di tanah darar yang agak tinggi, sehingga dengan mudah dapat
mengawasi sekitar daerah itu. Dahi Panji berkerut dalam ketika melihat puluhan
orang berkerumun di mulut gua.
"Hm... sudah banyak juga
tokoh-tokoh persilatan yang berkumpul di sini," desah Panji menghela napas berat
Panji pun bergegas melesat ke tempat di mana para tokoh itu berkumpul, karena
tidak ingin kedahuluan.
"Pendekar Naga Putih...!" beberapa orang tokoh yang berada di sekitar mulut gua
berseru serentak ketika melihat kehadiran seorang pemuda berjubah putih.
"Wah, rupanya pendekar muda yang tersohor itu pun menghendaki Bunga Abadi itu!"
gumam seorang laki-laki berkumis tebal menghela napas kecewa. Laki-laki itu agak
putus asa karena dengan
kehadiran Pendekar Naga Putih, akan memperkecil peluangnya untuk merebut Bunga
Abadi itu. "He he he... bakal ramai nih!" ujar laki-laki gemuk pendek sambil
mengelus-elus dagu dengan mata
berbinar-binar. Menurut perhitungannya sebentar lagi di sekitar gua akan ramai
dikunjungi orang.
Tanpa mempedulikan sorot mata
tokoh-tokoh persilatan yang mengarah kepadanya, Panji terus melangkah lesu ke
arah pohon besar yang tidak terlalu jauh dari mulut gua. Dengan tenang pemuda
itu menyandarkan badannya di bawah pohon.
"Kakang Panji..!"
Tiba-tiba terdengar dua orang gadis cantik yang serempak memanggil pemuda itu.
Setelah saling tatap, keduanya sama-sama tersentak kaget karena tidak saling
kenal. Kedua gadis cantik itu saling tatap penuh selidik untuk beberapa saat lamanya.
Siapa lagi kedua orang gadis itu kalau bukan Ayuning dan Sundari atau yang lebih
dikenal dengan julukan Dewi Tangan Merah. Rupa-rupanya mereka pun sudah berada
di tempat itu. Ayuning memasang muka cemberut
setelah tahu ada gadis lain yang juga mengenai pemuda itu. Sesaat kemudian,
gadis berpakaian biru itu pun bergegas mendekati Panji yang tengah mengawasi
dirinya. Sejenak Pendekar Naga Putih mengemtkan kening ketika mengenali gadis
yang memanggilnya.
"Ayuning...!" desah Panji menyebut nama gadis cantik murid Dewa Tanpa Bayangan
itu lirih. Sesaat setelah menatap Ayuning,
Sundari pun melangkah ke arah Panji.
Wajah gadis cantik berpakaian serba merah itu tampak berseri gembira karena
memang sudah lama tidak berjumpa dengan Pendekar Naga Putih.
"Ayuning, apakah gurumu menugaskan kau untuk mendapatkan Bunga Abadi" Atau kau
datang dengan keingjnanmu sendiri?"
tanya Panji begitu Ayuning telah berdiri di depannya.
Gadis cantik yang galak itu sama
sekali tidak menjawab pertanyaan Panji.
Ayuning hanya berdiri memandang wajah Panji sambil memperiihatkan senyum
manisnya. "Ah, kasihan. Rupanya gadis cantik ini sudah tuli hingga sama sekali tidak
mendengar pertanyaanku!" goda Panji sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.


Pendekar Naga Putih 10 Bunga Abadi Di Gunung Kembaran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kurang ajar kau, Kakang! Kau bilang aku sudah tuli!" bentak gadis itu sambil
mencibir. Tangan kanannya bergerak menampar bahu pemuda itu pelan.
"Habis aku sebal dengan sikapmu.
Ditanya malah melotot seperti orang hilang akal!" ujar Panji membiarkan bahunya
ditampar Ayuning. Pemuda ini tahu, kalau pukulan itu hanyalah tingkah manja
gadis yang telah merasa akrab dengan dirinya.
Panji yang tengah asyik berbicara dengan Ayuning, tidak memperhatikan lagi
ketika seorang gadis cantik berpakaian serba merah datang menghampirinya. Serta
merta gadis itu menegur dengan suaranya yang bening dan merdu.
"Apa kabar, Kakang Panji?"
"Adik Sundari...!" seru Panji ketika mengenali gadis berpakaian merah yang
menegumya. "Kau... kau juga kemari" Apakah kau bersama gurumu?"
Pendekar Naga Putih berseru gembira begitu melihat Sundari yang telah berdiri
sambil tersenyum di sebelah Ayuning.
"Aku datang bersama guruku!" Kau sendiri dengan siapa?" Sundari balas bertanya
sambil melirik ke arah Ayuning.
"Aku datang sendiri. Oh, ya, perkenalkan, ini Ayuning Temanku ini juga seperti
aku, datang sendiri ke sini!" sahut Panji seraya menoleh ke arah Ayuning.
Kedua gadis itu sama-sama tersenyum begitu tahu kalau mereka orang
segolongan. Kedua pendekar wanita itu cepat sekali akrab. Sepertinya mereka
memang cocok satu sama lain.
"Waaa...!"
Panji, Sundari dan Ayuning
sama-sama menoleh ke arah mulut gua. Dari situlah teriakan ngeri tadi berasal.
Dan tak lama kemudian tampak dua sosok tubuh yang berlumuran darah melangkah
keluar dengan gerakan limbung. Mereka adatah adik seperguruan Banjaran yang
bernasib sama dengan kakaknya.
"Hm... siapa mereka" Apakah mereka tidak tahu kalau gua itu penuh binatang
berbisa?" gumam Panji ketika melihat kejadian yang mengerikan itu.
"Entahlah! Tapi yang jelas keduanya pasti dari golongan hitam. Mereka nekat
masuk gua karena takut keduluan orang lain," jawab Sundari sambil menatap orang
yang tengah berkelojotan meregang nyawa itu.
Gadis berpakaian serba merah
bergidik menyaksikan kedua orang itu keluar dari mulut gua dalam keadaan
mengerikan. "Man kita lihat lebih dekat!" ajak Ayuning kepada Panji dan Sundari.
Setelah berkata demikian, gadis
berpakaian biru muda itu sudah
melangkahkan kaki mendekati mulut gua.
"Ayuning! Jangan!" seru Sundari sambil melompat dan Iangsung menangkap
pergelangan tangan gadis itu.
"Mayat itu beracun. Kita tidak boleh mendekat kalau tidak ingin menghirup racun
yang menyebar melalui uap mereka.
Bisa-bisa kau akan mengalami nasib yang sama seperti mereka kalau kau menghirup
racun itu!"
"Aaah...!" Ayuning terkejut mendengar keterangan Sundari. Wajahnya berubah pucat
seketika. "Terima kasih Sundari. Untunglah kau ingatkan aku.
Kalau tidak, mungkin aku bisa seperti mereka."
"Hm... lalu mengapa para tokoh lainnya belum juga bergerak" Apakah mereka juga
khawatir dengan
binatang-binatang berbisa itu?" tanya Panji kepada Sundari. Pendekar Naga Putih
berharap kalau gadis berpakaian serba merah yang telah banyak makan asam garam
dunia persilatan itu dapat
menjelaskannya.
"Entahlah! Sepertinya mereka saling menunggu!"
jawab Sundari. "Hm... kalau begitu biarlah aku coba masuk!" ucap Panji yang kontan membuat
kedua gadis itu serentak memandangnya pucat!
"Kakang, begitu pentingkah Bunga Abadi untukmu?" desak Sundari yang tidak tahu
persoalan yang dihadapi pemuda itu.
Sedangkan Ayuning yang lebih tahu daripada Sundari, hanya memandang pemuda itu
penuh kecemasan . (Baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode:
"Mencari Jejak Pembunuh").
"Sangat penting sekali, Adik Sundari! Nantilah kau akan kuceritakan karena
terlalu panjang kalau kuceritakan sekarang. Yang jelas saat ini aku sedang
mengidap penyakit yang hanya dapat disembuhkan dengan Bunga Abadi," jawab Panji
singkat tapi jelas.
"Ahhh... kalau begitu kau harus hati-hati, Kakang! Di dalam gua itu banyak
binatang berbisa!" ucap Sundari mengjngatkan.
"Terima kasih, Adik Sundari. Aku
sudah dibekali sebutir obat yang dapat membuat semua jenis binatang berbisa tak
akan berani menggangguku Tapi sayang, obat ini hanya sebutir. Jadi aku tidak
bisa mengajak kalian berdua," ucap Panji agak menyesal.
"Tidak apa, Kakang! Asal kau kembali dengan selamat, itu sudah lebih dari cukup
bagj kami! Bukankah begitu
Sundari?" kata Ayuning sambil memalingkan wajahnya ke arah Dewi Tangan Merah
yang mengangguk sambil tersenyum getir.
"Tentu, Ayuning'" sahut Sundari sambil menyentuh bahu gadis berbaju biru muda
yang juga tersenyum.
Meskipun tersenyum, namun hati
kedua gadis itu sebenarnya cemas luar biasa.
"Nah, aku pergi dulu, jagalah diri kalian baik-baik!" ujar Panji seraya
melangkahkan kakinya kearah mulut gua.
"Hati-hati Kakang!" seru keduanya serempak.
*** Panji melangkah perlahan mendekati mulut gua. Obat penangkal racun
pemberian Raja Obat ditelannya ketika ia mendekati
mulut gua. Tokoh-tokoh
persilatan yang berkerumun di mulut gua segera memberi Jalan kepada Pendekar
Naga Putih. Tokoh-tokoh itu kagum pada keberanian Panji.
"Hm... Pendekar Naga Putih. Rupanya pendekar tersohor ini pun sudah tak sabar
mendapatkan Bunga Abadi itu! Mungkinkah pemuda lihai ini berhasil?" ujar seorang
laki-laki tua berusia sekitar enam puluh lima tahun dan berambut putih
riap-riapan. Orang itu tidak lain adalah Tongkat Pencabut Nyawa yang rupanya
juga telah berada di tempat itu.
"Sulit untuk memastikannya! Biarpun pendekar muda itu memiliki kepandaian
setinggi langit belum tentu dia dapat lolos dari ancaman binatang-binatang
berbisa yang sangat ganas itu,"
laki-laki di sebelahnya menyahuti. Dia tidak lain adalah Ki Bagasti, ikut
mengawasi Pendekar Naga Putih yang sedang mendekati mulut gua.
Kira-kira dua tombak dari mulut gua, Panji menarik napasnya dalam-dalam.
Sesaat kemudian, selapis kabut bersinar putih keperakan mulai menyelimuti
sekujur tubuh Pendekar Naga Putih.
"Ck ck ck... hebat! Itu pasti ilmu Tenaga Sakti . Gerhana Bulan' yang terkenal!"
seru nenek berpakaian serba hijau yang dikawal empat wanita cantik yang samasama berpakaian serba hijau.
Kaki Panji mulai melangkahkan memasuki mulut gua yang sempit dan gelap.
Untunglah seluruh tubuhnya mengeluarkan sinar putih keperakan sehingga walaupun
remang-remang cahaya itu cukup menerangi jalannya. Baru saja lima tombak pemuda
itu melangkah, tiba-tiba terdengar suara bergemuruh di sekeliling gua.
Sambil terus melangkah, Pendekar
Naga Putih menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Panji berjaga-jaga atas
segala kemungkinan. Namun sampai sejauh ini pemuda itu masih belum menemukan
sesuatu yang membahayakan jiwanya. Panji pun terus menelusuri lorong gua dengan
hati-hati dan waspada.
Cittt! Cittt! Seluruh otot di tubuh Panji menegang ketika mendengar suara mencicit yang
bergemuruh disertai suara kepakan sayap ratusan kelelawar beracun. Sesaat
tubuhnya gemetar dan berkeringat ketika tenaga saktinya bergolak dari pusamya.
"Ingat, Cucuku! Jangan sekali-kali kau lepaskan pukulan selagi berada di dalam
gua! Yakinkan dirimu. Bila kau sudah menelan obatku niscaya tak seekor pun
binatang beracun yang akan mengganggumu!"
kata-kata Raja Obat
ketika melepas kepergiannya kembali terngiang-ngiang di telinga Pendekar Naga
Putih. Panji berusaha menekan tenaga saktinya agar tidak bergolak.
Ditariknya napas dalam-dalam untuk menenangkan pikirannya. Dan
periahan-lahan tenaga liar itu pun mereda dengan sendirinya.
Sambil terus berusaha untuk
meyakini kalau kelelawar-kelelawar beracun itu tak akan menyerangnya, Pendekar
Naga Putih terus menelusuri lorong gua. Dan apa yang dikatakan Raja Obat memang
menjadi kenyataan. Tak seekor pun dari ratusan kelelawar beracun yang menyerang
Panji. Malah sebaliknya, binatang-binatang
malam yang berbisa itu berusaha
menghindarinya. Seobh-olah ada sesuatu yang ditakuti penghuni gua itu dari dalam
diri Panji. Setelah menyaksikan sendiri
keampuhan obat pemberian Raja Obat, barulah Panji dapat sedikit menarik napas
lega. Kini kakinya dilangkahkan dengan mantap. Semakin jauh Pendekar Naga Putih
melangkah, gua itu pun tampak semakin lebar dan bertambah terang.
Setelah beberapa saat, akhirnya
Pendekar Naga Putih tiba di sebuah ruang lebar bercabang tujuh.
"Hm... menurut Raja Obat aku harus memilih lorong ketiga dari sebelah kiri,"
gumam Panji teringat pada ucapan kakek penolongnya.
Baru saja Panji hendak mengangkat kakinya, tiba-tiba terdengar desisan nyaring
yang disertai munculnya raturan ular dari berbagai jenis. Ular-ular beracun itu
merayap mendekatinya. Mata binatang-binatang melata itu
mengeluarkan cahaya kekuningan,
sehingga suasana gua menjadi terang benderang.
Ssszzz! Ssszzz!
Raturan ular itu mendesis seraya
menjulur-julurkan lidahnya yang merah ke arah pemuda itu. Namun beberapa tombak
sebelum menyentuh tubuh Panji, mendadak ular-ular itu berbalik dan langsung
menghilang di lubang-lubang kecil yang banyak terdapat di dalam gua itu.
Seketika suasana gua pun menjadi
remang-remang kembali.
Panji menarik napas lega ketika
melihat ular-ular beracun telah merayap pergi. Untunglah Panji bersikap tenang.
Kalau tidak, tentu tenaga liarnya akan kembali bergolak.
Begitu ular-ular itu pergi, Panji pun bergegas memasuki lorong ketiga dari
sebelah kirinya. Tapi hampir saja isi perut pemuda itu tumpah keluar ketika
mencium bau amis luar biasa yang keluar dari tubuh-tubuh ular itu. Dan ketika
melongok ke dalam, tampaklah seberkas sinar warna-warni.
"Ah, itulah pancaran Bunga Abadi seperti yang dikatakan Raja Obat!" gumam Panji
dengan wajah berseri-seri. Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda itu pun
bergegas melesat ke dalam.
Grrraurh! Baru saja Panji menjejakkan kakinya memasuki lorong, terdengar raungan yang
menggetarkan langit-langit gua. Pemuda itu terbelalak ketika tiba-tiba di
hadapannya terhampar lembah yang sangat indah.
"Hahhh!"
Panji berseru tertahan dengan wajah pucat ketika melihat apa yang disaksikan di
hadapannya. Pemuda itu
mengerjap-ngerjapkan matanya seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Di tengah-tengah lembah itu
terdapat tumbuhan yang sedang berbunga.
Dari setiap kelopak bunga berjumlah delapan helai itu memancarkan cahaya wamawarni. Bukan bunga itu saja yang membuat wajah Panji terpana! Ada sesuatu yang lain
membuat Pendekar Naga Putih
membelalak dengan mulut ternganga!
"Benarkah... itu... seekor
naga...!?" desis pemuda itu dengan suara gemetar karena terkejut dan tegang.
Sesungguhnya apa yang disaksikan
Panji saat ini memang benar-benar sebuah kenyataan. Naga raksasa yang berwama
putih keperakan tampak tengah melingkari Bunga Abadi yang dicarinya. Naga itu
sepertinya adalah penjaga Bunga Abadi itu. Dan raungan naga itulah yang tadi
didengar Panji.
"Ah, bagaimana mungkin!" Mengapa Raja Obat tidak menceritakan kalau Bunga Abadi
dijaga naga raksasa" Apakah beliau lupa?" pemuda itu tak habis mengerti.
Pendekar Naga Putih yang sudah
berada di dalam gua itu kembali melangkah mundur. Rupanya pemuda itu masih
berpikir dua kali untuk mengambil bunga yang dijaga naga raksasa yang mengerikan
itu. Baru suaranya saja sudah demikian menggetarkan apalagi tenaganya, pikir
Panji ragu. "Hm... kalau aku tidak mendapat Bunga Abadi berarti aku harus menunggu kematian.
Tapi kalau nekat mengambil bunga itu pun sama saja. Kedua-duanya sama menantang
maut!" Berpikir demikian, Panji segera mencabut Pedang Sinar Rembulan yang
selalu terselip di
pinggangnya. Rupa-rupanya pemuda itu memilih kematian yang lebih terhormat!
Kini periahan-lahan dihampirinya naga raksasa yang tampaknya tengah tertidur
nyenyak Graaaurh! "Aaah...!"
Tubuh Pendekar Naga Putih bergetar hebat ketika naga raksasa penjaga Bunga Abadi
kembali meraung dahsyat Namun alangkah terkejutnya hati pemuda itu ketika tibatiba saja tenaga liamya bergolak semakin kuat hingga raungan ular naga raksasa
tak lagi mengganggunya. Diam-diam Panji merasa bersyukur memiliki tenaga liar yang
mengeram di dalam tubuhnya.
"Hm... apakah tenaga liarku sanggup menghadapi naga raksasa itu?" pikir Panji
masih meragukan kekuatan yang tersembunyi dalam tubuhnya.
Tiba-tiba sang Naga terjaga dari
tidumya. Sepasang bola matanya yang berwarna merah menyala menatap Panji marah.
Rupanya kedatangan Pendekar Naga Putih telah tercium olehnya. Disertai raungan
hebat, ular naga raksasa
mengibaskan ekomya ke arah Panji.
Wukkk! Blarrr! "Aihhh...!"
Panji berseru tertahan sambil
melompat mundur menghindari sabetan ekor makhluk raksasa itu. Terdengar suara
benturan kerasa ketika ekor naga
meng-hantam mulut gua hingga batu-batu berguguran menutupinya. Dinding dan atap
gua pun berguguran akibat getaran suara itu.
Tenaga 'Inti Gerhana Bulan' yang
mengeram dalam tubuh Panji bergolak semakin kuat Seolah-olah tenaga liar itu
tahu kalau kali ini ditantang menghadapi kekuatan raksasa yang sukar diukur.
Tentu saja akibatnya pun mulai terasa oleh pemuda itu. Tangan dan kakinya mulai
bergerak-gerak tak terkendali.
"Kreeeaaa...!"
Mulut Panji mengeluarkan raungan
hebat Pedangnya bergulung-gulung
melindungi tubuhnya hingga menimbulkan deruan angin dingin. Sesaat kemudian,
pemuda itu meluncur ke arah naga raksasa sambil mengayunkan Pedang Sinar
Rembulannya. *** 6 Wukkk! Ayunan pedang Panji menimbulkan
suara mengaung seraya menebarkan hawa dingin menusuk tulang. Pedang Sinar
Rembulan cepat menghantam tubuh naga raksasa.
Trakkk! Kraghhh! "Aaah...!"
Mata pedang Panji telak menghantam tubuh naga raksasa. Tapi kulitnya yang kenyal
dan alot tidak tergores sedikit pun. Bahkan sebaliknya, tubuh Panji terpelanting
beberapa tombak ke
belakang! Setelah bersalto beberapa kali di udara, Panji mendaratkan kakinya
sepuluh tombak dari makhluk raksasa itu.


Pendekar Naga Putih 10 Bunga Abadi Di Gunung Kembaran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Naga raksasa meraung pendek Rupanya hantaman mata pedang Panji cukup
menyakitkan dirinya. Saat itu juga, ekornya dikibaskan kembali ke arah Pendekar
Naga Putih. Wuttt! Sambaran angin berbau amis yang
memuakkan menyertai tibanya kibasan ekor naga.
"Hmh!"
Kali ini Panji tidak berusaha
mengelak. Sambaran ekor naga raksasa disambutnya dengan dorongan sepasang
telapak tangan yang sudah dialiri seluruh kekuatan tenaga dalamnya.
Wusss! Angin dingin menderu-deru menyertai dorongan sepasang telapak tangan pemuda itu.
Dan.... Bresss! "Aaakh...!"
Hebat sekali akibat pertemuan dua gelombang tenaga dahsyat itu! Bumi di sekitar
lembah bagai digoyang gempa hebat Dinding-dinding batu di sekeliling lembah
berguguran akibat getaran
pertemuan dua tenaga raksasa itu.
Ekor makhluk raksasa membalik
ketika bertemu dengan serangkum angin kuat yang meluncur dari telapak tangan
Panji Sang Naga meraungraung karena rasa nyeri yang mendera ekornya. Sepasang
matanya semakin merah menyala menyiratkan kegusaran. Tubuh Panji sendiri
terpental lima tombak ke belakang. Dan belum lagi pemuda itu memperbaiki posisi
kuda-kudanya, tiba-tiba sabetan ekor penunggu Bunga Abadi sudah meluncur tiba.
Dan.... Wuuut! Derrr! "Hukh!"
Sabetan ekor naga menyebabkan tubuh Panji meluncur cepat Daya luncur itu baru
berhenti ketika membentur dinding batu cadas.
"Gila! Tenaga naga raksasa itu benar-benar luar biasa!" gumam Panji sambil
menyeka darah yang mengalir disela-sela bibir dengan ujung bajunya.
"Aku harus mencari titik kelemahannya."
Kini Panji tidak berani lagi
menyerang membabi buta. Pemuda sakti itu hanya berani menunggu serang an
binatang raksasa sambil mengamati titik kelemahan nya.
Sang Naga kembali meraung-raung
keras. Suaranya terpantul ke seluruh dinding gua. Sesaat kemudian, kepala naga
raksasa pun melesat dengan
kecepatan tinggi.
Derrr! Bumi bergoyang ketika
moncong binatang itu menghantam tanah tempat Pendekar Naga Putih berpijak. Untunglah
saat itu Panji sempat melenting
kesamping. Kalau tidak, tubuhnya pasti sudah lumat tertimpa kepala naga yang
sebesar gajah itu.
Pendekar Naga Putih berdiri tegak sambil melintangkan Pedang Sinar
Rembulan di depan dada. Sorot matanya menatap tajam, mengamati sekujur kepak
naga raksasa. Tiba-tiba pemuda itu menyipitkan kedua
matanya melihat
seberkas sinar keemasan yang me mancar di antara kedua bola mata binatang itu.
"Hm.... Aku harus mencecar matanya!
Siapa tahu sinar itu adalah titik kelemahannya," gumam Panj sambil memusatkan
perhatiannya ke arah sinar keemasan yang terpancar di antar kedua mata penuh
Bunga Abadi. "Heaaa...!"
Panji berteriak seraya melambung ke udara dan langsung meluncur dengan jurus
'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi'.
Wungngng! Wungngng!
Tubuh Panji meluncur sambil
memutar-mutar Pedang Sinar Rembulan melindungi tubuhnya.
Sang Naga meraung gusar sambil
memukulkan ekornya memapak luncuran tubuh pemuda itu.
Bukkk! "Aaaurgh!"
Kibasan ekor naga tepat menghantam tubuh Panji. Namun tenaga bar yang selama ini
mengeram dalam tubuh Pendekar Naga Putih kembali menunjukkan
kedahsyatannya. Ekor sang Naga terpental balik disertai dengan raungan kesakitan
yang menggelegar. Tenaga alam yang berasal dari Inti Tenaga Gerhana Bulan
temyata mampu membendung tenaga pukulan ekor makhluk raksasa itu.
Meskipun tubuh Panji teriempar
cukup jauh, namun hantaman ekor ular raksasa sama sekali tidak membuatnya
terluka. Setelah bersalto beberapa kali, tubuh pemuda itu kembali meluncur ke
arah kepala sang Naga.
Wingngng! Pedang Sinar Rembulan kembali
membentuk lingkaran hingga menimbulkan suara mengaung bagaikan ratusan ekor
lebah yang marah. Ujung pedangnya meluncur menuju bulatan yang memancarkan sinar
keemasan tepat di tengah kedua bola mata penunggu Bunga Abadi.
Grottt! "Graurrri"
Ujung pedang Panji menancap telak pada sasaran. Dan seketika darah
menyembur deras dari luka di tempat yang temyata merupakan titik kelemahan ular
raksasa. Rasa sakit yang
luar biasa menyebabkan sang Naga mengamuk dahsyat!
Debu dan batu-batu kerilkil beterbangan hingga membuat suasana di sekitar tempat
itu menjadi gelap!
Panji bergegas menyingkir dan
bersandar pada dinding gua. Beberapa saat kemudian di tengah-tengah kepulan debu
yang semakin menebal terdengar ledakan dahsyat yang mengguncangkan bumi! Ledakan
yang disertai dengan pancaran sinar yang menyilaukan!
Beberapa saat setelah ledakan,
kepulan debu yang membumbung pun mulai menipis. Bergegas Panji menurunkan tangan
yang semula digunakan untuk melindungi matanya dari sorotan sinar yang
menyilaukan itu.
"Eh, ke mana perginya naga raksasa itu?" desah Panji sambil merayapi selumh
pelosok gua. Ketika kepulan debu pun sudah
menipis, pemuda itu menjadi keheranan ketika tidak menemukan naga raksasa.
Setelah mengedarkan pandangan ke seluruh pelosok gua, periahan-lahan
dihampirinya pohon Bunga Abadi. Panji terpaksa menyipitkan matanya ketika
semakin dekat dengan Bunga Abadi yang memancarkan sinar warna-warni.
"Eh!?"
Pendekar Naga Putih menahan
langkahnya ketika di samping pohon Bunga Abadi tergeletak sebatang pedang Pemuda
itu menutupi sorot matanya dengan punggung tangan karena silau oleh sinar
keemasan yang berpendar dari pedang itu.
Untuk beberapa saat lamanya Panji hanya berdiri terpaku memandang pedang yang
satu setengah kali lebih besar dari Pedang Sinar Rembulannya.
Perlahan-lahan tangannya diulurkan meraih pedang itu. Keheranan di wajah
Pendekar Naga Putih semakin jelas ketika sinar keemasan mendadak lenyap saat
pedang telah digenggamnya.
Panji meneliti pedang yang
berukuran lebih besar dan lebih berat dari pedang biasa dan mempunyai sarung
ajaib yang mirip sisik ular naga tadi.
Namun sampai sedemikian jauh
memperhatikan, Pendekar Naga Putih sama sekali tidak berniat untuk mengeluarkan
pedang itu dari sarungnya.
"Hm... biarlah pedang ini
kuserahkan pada Raja Obat, mudah-mudahan dia tahu riwayat pedang ini," Berpikir
demikian, pemuda itu bergegas
menyampirkan pedang itu di punggungnya.
Pada saat tangannya terjulur hendak memetik Bunga Abadi, Panji teringat kembali
nasihat Raja Obat
"Ingat, Cucuku! Kau harus memetik Bunga Abadi tanpa merusak kelopak ataupun
daun-daun pohonnya. Kalau kau sampai merusaknya, kau pasti akan celaka!
Ketahuilah, sesungguhnya pohon maupun Bunga Abadi adalah racun yang tidak ada
obatnya. Apabila kau telah menemukan
Bunga Abadi, kau harus
memetiknya tanpa perlu menyentuhnya.
Pergunakanlah pedang dan seluruh tenaga dalammu untuk menebas tangkainya. Dan
kau pun harus membungkus bunga itu sebelum menyentuh permukaan tanah! Ingat itu,
Cucuku!" demikian pesan Raja Obat sebelum Panji meninggalkan Bukit Gua Harimau
mencari Bunga Abadi.
Teringat pesan Raja Obat, Panji
tidak jadi memetik dengan tangan.
Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya ketika teringat kehebatan racun yang
terkandung dalam Bunga Abadi itu.
Perlahan-lahan pemuda itu mundur
beberapa langkah.
Dengan memusatkan seluruh
pikirannya, Panji segera mencabut Pedang Sinar Rembulan dari sarungnya. Sesaat
kemudian.... "Haittt..!"
Wuttt! Tasss! Bunga Abadi melambung beberapa
tombak di atas permukaan tanah. Pada saat bersamaan, tubuh Panji pun melompat
sambil membuka kain pengikat kepalanya.
Dengan gerakan yang indah, kedua tangan pemuda itu melayang cepat, menangkap
Bunga Abadi dengan kain pengikat
kepalanya. Tappp! Sepasang kaki Pendekar Naga Putih mendarat ringan di atas permukaan tanah.
"Fuhhh...!"
Sambil menghela napas lega,
Pendekar Naga Putih mengusap keringat yang membasahi keningnya.
"Sungguh berbahaya...!" gumamnya sambil menggantungkan bunga yang telah
terbungkus rapi di pinggangnya. Setelah itu, dia pun bergegas meninggalkan
tempat itu. *** Puluhan pasang mata membelalak
takjub melihat Pendekar Naga Putih yang masih segar bugar melangkah keluar dari
mulut gua. " Apakah pemuda itu berhasil mendapatkan Bunga Abadi?" gumam laki-laki gendut
berkepala botak
Sepasang matanya liar menatap sekujur tubuh Panji.
"Hebat! Sepertinya anak muda itu memang telah mendapatkan Bunga Abadi itu, Adi
Jiwana. Kau lihat buntalan yang tergantung di pinggang kirinya?" ujar Ki Bagasti
menahan air liur yang hampir menitik. Diam-diam dia pun menginginkan Bunga Abadi
yang tergantung di pinggang Pendekar Naga Putih.
Panji berdiri tegak dengan wajah
tegang ketika puluhan tokoh persilatan bergerak mengepungnya.
"Hm... mau apa kalian?" geram Panji melihat ketamakan tokoh-tokoh
persilatan yang mengepungnya.
"He he he... tentu saja aku
menginginkan Bunga Abadi yang tergantung di pinggangmu, Pendekar Naga Putih!"
sahut seorang nenek tua berpakaian serba hijau yang diapit empat muridnya.
"Betul! Serahkan Bunga Abadi kepada kami! Dan kami berjanji tidak akan
mengganggumu asal kau serahkan Bunga Abadi itu!" ancam laki-laki gendut
berkepala botak menyeringai lebar.
Para pengepung Pendekar Naga Putih semakin merapat Dari mulut mereka terdengar
tuntutan-tuntutan yang sama.
Bahkan ada beberapa di antaranya yang sudah bersiap-siap bertempur.
Sepasang mata pendekar muda itu
berkilat menyiratkan kegusaran hatinya.
Pendekar Guntur 11 Suling Pualam Dan Rajawali Terbang Karya Peng An Pedang Kunang Kunang 4

Cari Blog Ini