Pendekar Naga Putih 28 Laba Laba Hitam Bagian 2
sambil membungkuk hormat. Jelas, mereka telah cukup mengenal kedelapan orang
berseragam hitam itu.
Terbukti, sikap mereka tampak sangat segan dan hormat kepada orang-orang
berseragam hitam itu.
Laju kedua pedati yang membelah jalan utama
Desa Pandan itu baru berhenti di dekat sebuah pasar
yang tampak mulai sepi oleh pengunjung. Maka, delapan orang berseragam hitam
yang berada di dalamnya
serentak berlompatan turun.
"Kalian mintalah keperluan seperti biasa kepada
Paman Janara. Aku ingin beristirahat dulu di kedai
makan itu. Kalau semuanya sudah selesai, susullah
aku di sana," perintah lelaki berhidung besar sambil
menunjuk sebuah kedai di seberang pasar itu.
Kemudian, dia terus melangkah sambil membusungkan dada. Melihat dari caranya
berjalan, jelas lelaki berhidung besar itu merupakan orang yang tinggi
hati dan memandang rendah orang lain.
"Baik, Kakang Kadungga...," sahut salah seorang
dari mereka yang berkumis tipis.
Setelah berkata demikian, ia lalu berbalik dan
mengajak kawannya untuk menemui orang yang bernama Paman Janara.
Ki Giri Tantra, Darpa, dan Sudira yang menyaksikan semua itu dari tempat agak
tersembunyi, saling
berpandangan satu sama lain.
"Kau kenal lelaki angkuh berhidung besar itu,
Darpa?" tanya Ki Giri Tantra dengan wajah membayangkan keheranan.
Memang selama Ki Giri Tantra memimpin Perguruan Pedang Sinar Pelangi, seingatnya
belum pernah mempunyai murid seperti orang itu. Tentu saja ketika
melihat lelaki berhidung besar itu bersama tujuh orang
yang dikenal sebagai murid-muridnya, orang tua itu
menjadi heran. "Tidak. Guru. Mungkin orang itu merupakan salah satu dari orang-orang berseragam
hitam yang menguasai perguruan kita," sahut Darpa sambil menggelengkan kepala. Memang ia
belum pernah melihat
orang itu sebelumnya.
"Hm.... Melihat cara melangkahnya, rasanya kepandaian orang itu masih berada di
bawah tingkat kepandaian Kinaya maupun Wiradesa. Jadi, tidak mungkin kalau kedua
orang pengkhianat itu berada di bawah pengaruhnya. Aku sendiri masih belum mengerti, mengapa kedua orang yang sangat kupercaya itu sampai bisa berkhianat?" desah Ki
Giri Tantra. Kembali hatinya menjadi geram ketika mengingat kedua orang
muridnya yang durhaka itu.
"Mengapa tidak kita ikuti saja orang itu" Kita
tangkap, lalu paksa untuk buka mulut," usul Sudira,
geram. Setelah berkata demikian, kaki Sudira melangkah
hendak menuju kedai tempat lelaki berhidung besar
yang dipanggil Kadungga tadi masuk.
"Tunggu, Sudira...!" panggil Ki Giri Tantra, perlahan. Langsung disambarnya
lengan Sudira, dan ditariknya ke belakang.
"Mengapa, Guru" Kalau memang kepandaian
orang itu masih berada di bawah kepandaian Kinaya
dan Wiradesa, tentu aku dapat meringkusnya," sahut
Sudira tak sabar.
"Hm.... Kau benar-benar ceroboh, Sudira. Kita tidak boleh menunjukkan diri
secara terang-terangan.
Kalau sampai ada yang mengenali kita, bukankah keadaan akan menjadi runyam"
Sebaiknya, wajah kita harus disembunyikan dari penglihatan orang. Sebab, siapa
tahu di desa ini banyak mata-mata mereka," jelas Ki
Giri Tantra kemudian.
"Lalu, bagaimana cara kita menyamar, Guru...?"
tanya Darpa, bingung. Dia juga telah mendengar ucapan gurunya.
Namun, Ki Giri Tantra sama sekali tidak menyahuti pertanyaan muridnya itu. Cepat
kakinya melangkah ke arah penjual tudung bambu yang biasa digunakan para petani
melindungi wajah dari sengatan matahari.
"Pakailah ini...," perintah Ki Giri Tantra setelah
membayar harga tudung bambu. Sedangkan ia sendiri
sudah mengenakan, lalu melangkah ke arah kedai.
Tanpa banyak bertanya lagi, Darpa dan Sudira
pun bergegas mengenakannya. Lalu mereka segera
mengikuti langkah kaki orang tua itu menuju kedai di
seberang. *** 4 Ki Giri Tantra menghentikan langkahnya beberapa tindak di depan pintu kedai.
Lalu, kepalanya menoleh ke arah Darpa dan Sudira yang berada di belakangnya.
"Sebaiknya kalian berdua ikuti tujuh murid yang
tengah membeli bahan makanan itu. Biar lelaki bernama Kadungga itu menjadi
bagianku. Dan kalau bisa,
bujuklah mereka. Usahakan jangan menggunakan kekerasan, kecuali terpaksa," pesan
Ki Giri Tantra.
Tanpa menunggu jawaban dari mereka, orang tua
itu sudah melangkah masuk ke dalam kedai.
Darpa dan Sudira sadar kalau perintah Ki Giri
Tantra tidak ingin dibantah. Maka, mereka bergegas
menyebrangi jalan dan langsung bergegas menuju
tempat masuknya ketujuh orang berseragam hitam tadi.
Sedangkan Ki Giri Tantra sendiri sudah duduk di
dalam kedai. Sengaja dipilihnya meja yang terpisah
cukup jauh di samping kanan lelaki bernama Kadungga itu. Dengan demikian, orang
tua itu dapat mengawasinya tanpa menimbulkan kecurigaan. Suasana kedai yang
cukup ramai, memudahkan niatnya terlaksana.
Sambil menunggu datangnya makanan yang telah dipesan dari seorang pelayan, Ki
Giri Tantra mengamati dengan teliti lelaki bernama Kadungga. Dan apa
yang kemudian didapat, membuat wajah orang tua itu
berubah gelap. Jelas, Raja Pedang Sinar Pelangi memendam rasa marah dalam
dadanya. "Hm.... Rasanya aku sudah mulai dapat mengenali orang yang bernama Kadungga
itu," desis Ki Giri
Tantra dalam hati. "Kalau tidak salah, orang itu adalah
tokoh sesat yang beberapa tahun terakhir ini tidak terdengar namanya. Ular Muka
Dua.... Hm... kurasa pasti
dialah orang yang bernama Kadungga itu."
Apa yang diduga Raja Pedang Sinar Pelangi memang tidak salah! Lelaki berhidung
besar yang bernama Kadungga itu memang berjuluk Ular Muka Dua.
Julukan yang diberikan kaum rimba persilatan, karena
Kadungga terkenal sangat licik dan pandai memanfaatkan keadaan. Tokoh itu dengan
mudah berbalik memusuhi rekannya apabila melihat keadaan tidak
menguntungkan. Dan ia pun tidak ragu-ragu menjilat
rekannya yang baru demi kepentingan diri pribadi. Karena sifatnya itulah,
sehingga orang-orang rimba persilatan menjulukinya sebagai Ular Muka Dua.
Setelah dapat mengenali orang itu, Ki Giri Tantra
pun segera dapat mengetahui sampai di mana kepandaian yang dimiliki orang sesat
itu. "Sobat! Kalau kau ingin menemukan tempat persembunyian Raja Pedang Sinar
Pelangi, ikutilah petunjuk ku...."
Lelaki berhidung besar yang ternyata berjuluk
Ular Muka Dua itu tentu saja menjadi terkejut ketika
mendengar bisikan yang sangat jelas terdengar di telinga-nya. Sebagai seorang
tokoh persilatan, disadari
betul ada orang yang membisikkannya dengan menggunakan ilmu 'Mengirimkan Suara
dari Jauh'. Ia pun
mengerti, pasti orang itu telah memiliki tenaga dalam
sangat tinggi. Sehingga, mau tidak mau hatinya menjadi terkejut karenanya.
Karena merasa penasaran dan ingin tahu siapa
orang yang mengirimkan petunjuk itu kepadanya, maka tokoh sesat itu pun
mengedarkan pandangannya.
Sepasang matanya tampak menyipit ketika memperhatikan para pengunjung kedai satu
persatu. "Jangan sekali-kali menoleh kalau memang menginginkan petunjuk dariku! Kalau
tidak, maka katakataku akan ku tarik kembali," ancam suara yang
memasuki telinga Ular Muka Dua.
Sejenak putaran kepala lelaki berhidung besar itu
terhenti karena ancaman bisikan itu. Ditundanya niat
mencari si pengirim suara. Meskipun kalau berusaha
mencari akan dapat menemukan si pengirim suara,
namun keraguan terlihat pada wajahnya. Memang,
hanya dengan memperhatikan mulut pengunjung satu
persatu, pasti si pengirim suara itu akan diketahuinya.
Rasa penasaran dengan apa yang akan disampaikan orang itu, maka Ular Muka Dua
kembali menundukkan wajahnya dalam-dalam. Sikap itu merupakan isyarat kalau ia
mau menerima petunjuk orang
yang jelas-jelas tak ingin kehadirannya di kedai itu diketahui.
"Kalau kau menginginkan petunjuk ku, datanglah ke sebuah gubuk di sebelah
Selatan desa ini. Ingat! Hanya kita berdua saja yang boleh mengetahui rahasia
ini. Kutunggu kau setelah selesai makan," kata
suara tanpa ujud yang kembali merasuki telinga Kadungga.
Ular Muka Dua yang masih menundukkan kepala segera mendongak ketika bisikan itu
lenyap. Tanpa ragu-ragu lagi, pandangan matanya kembali beredar di
sekeliling ruangan kedai. Namun, banyaknya pengunjung kedai siang itu
menyulitkannya untuk dapat
mengetahui si pengirim suara tadi. Tentu saja hatinya
menjadi gemas bukan main.
Sengaja Ular Muka Dua tidak beranjak dari mejanya walaupun hidangan di atas meja
telah tandas disantapnya. Ditunggunya beberapa saat lamanya,
sambil memperhatikan para pengunjung yang bergerak
meninggalkan kedai. Dugaannya, si pengirim suara
yang diketahuinya berada di dalam kedai, pasti akan
meninggalkan kedai lebih dahulu untuk menunggu
kedatangannya. Ketika pengunjung mulai sepi, Kadungga mengarahkan pandangannya kepada seorang
lelaki tua yang
kepalanya mengenakan tudung bambu. Keningnya
berkerut dalam ketika melihat orang tua itu masih saja
menikmati hidangannya perlahan-lahan. Gerakannya
pun terlihat pelan seperti orang tua jompo saja layaknya. Tapi, rasa penasaran
membuat kakinya melangkah menghampiri meja tempat Ki Giri Tantra duduk.
Kadungga tidak segera terburu-buru mendekat.
Sambil melangkah perlahan, dipandanginya wajah orang tua itu penuh selidik.
Setelah tiba di depan
meja Ki Giri Tantra, Ular Muka Dua berdiri angkuh
sambil menatap tajam wajah di balik tudung bambu
itu. "Hei! Orang Tua...!" bentak Kadungga sambil
mengibaskan tangannya sehingga tudung bambu yang
menyembunyikan wajah Ki Giri Tantra terlempar ke
belakang. Namun, kening Ular Muka Dua berkerut semakin
dalam ketika melihat tubuh orang tua itu terjengkang
bersama kursi yang didudukinya. Dari gerakan orang
tua itu, Kadungga menilai kalau orang tua berkumis
dan berjenggot putih itu sama sekali tidak memiliki
kepandaian silat. Sehingga, ia semakin marah karenanya.
"Bangsat! Tua bangka lemah...!" maki Ular Muka
Dua sambil melepaskan tamparan yang cukup keras
ke tubuh Ki Giri Tantra yang saat itu hendak bangkit
berdiri. Bukkk! "Aaakh...!"
Tamparan yang cukup keras itu telak menghajar
tubuh Ki Giri Tantra. Sehingga tanpa dapat dicegah lagi, tubuh orang tua itu pun
terpental ke belakang.
Melihat betapa hanya dengan tamparan sembangan tubuh orang tua itu terjungkal,
Ular Muka Dua mengeluarkan dengusan jengkel. Kemudian tanpa berkata sepatah pun, ia berlalu
meninggalkan tubuh Ki
Giri Tantra yang masih tergolek seperti orang lemah.
Sayang Kadungga terlalu sombong hingga tidak
sempat meneliti secara cermat. Kalau saja mau sedikit
membuka mata, tentu hatinya akan terkejut melihat
tubuh orang tua itu sama sekali tidak terluka akibat
tamparan tadi. Padahal, kalau orang tua biasa tentu
akan terbatuk-batuk.
Ki Giri Tantra pun bukanlah orang bodoh. Sadar
kalau Ular Muka Dua hanya berniat mengujinya, maka
ia pun berpura-pura tidak memiliki kepandaian silat.
Sengaja daya dorong pukulan Ular Muka Dua dibantunya sambil mengerahkan tenaga
dalam untuk melindungi tubuh agar tidak terluka. Sayang, Kadungga
tidak sempat memperhatikan kalau jatuhnya Ki Giri
Tantra itu bukan disebabkan kekuatan pukulannya.
Melainkan, karena kaki Ki Giri Tantra sengaja menjejak agar pukulan itu tidak
terlalu telak menghajar tubuhnya.
Setelah tubuh lelaki berhidung besar yang bengis
itu lenyap di balik pintu kedai, barulah Ki Giri Tantra
bangkit berdiri. Beberapa pengunjung kedai mencoba
membantu orang tua itu bangkit. Wajah-wajah mereka
memperlihatkan rasa iba terhadap orang yang sebenarnya merupakan jago pedang
nomor satu wilayah
Selatan! "Aki tidak apa-apa...?" tanya pelayan kedai yang
tadi menyediakan hidangan untuk orang tua itu.
"Terima kasih, Kisanak. Aku tidak apa-apa," sahut Ki Giri Tantra menyembunyikan
senyumnya. Diiringi pandang mata heran dari para pengunjung,
Ki Giri Tantra melangkah tenang meninggalkan
kedai makan itu.
*** Raja Pedang Sinar Pelangi menoleh ke kiri dan ke
kanan setelah melewati pintu kedai. Sesaat kemudian,
tubuhnya langsung melesat dengan kecepatan kilat
menuju ke arah Selatan Desa Pandan.
Sengaja Ki Giri Tantra berlari melalui perkebunan
agar tidak terlalu menarik perhatian orang. Selain itu,
ia bermaksud untuk tiba lebih dahulu daripada Ular
Muka Dua yang diduga pasti saat itu tengah menuju
ke tempat yang ditunjukkannya.
Keyakinan Ki Giri Tantra bukan tanpa alasan.
Sebab hatinya yakin kalau Kadungga pasti akan mendatangi gubuk terpencil yang
dimaksudkannya. Karena, memang dialah, orang yang telah mengirimkan suara kepada
Ular Muka Dua. Dan sebagai seorang tokoh
sesat yang selalu mengagungkan kepandaian sendiri,
Ular Muka Dua pasti akan datang untuk menemui
orang yang mengirimkan suara tanpa ujud itu. Keyakinan itulah yang membuat Ki
Giri Tantra mendatangi
Pendekar Naga Putih 28 Laba Laba Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tempat itu. Kecepatan ilmu lari yang dimiliki Ki Giri Tantra
memang sangat hebat dan jarang dimiliki tokoh persilatan lainnya. Sehingga dalam
waktu singkat tokoh
sakti itu telah tiba di tempat tujuannya.
Perhitungan Raja Pedang Sinar Pelangi sama sekali tidak meleset. Ia memang tiba
lebih dahulu daripada Ular Muka Dua. Sadar akan kelicikan tokoh sesat
itu, maka Ki Giri Tantra tidak menunggu di dalam gubuk yang sudah tidak terpakai
itu. Orang tua itu sengaja bersembunyi dalam jarak belasan tombak dari
gubuk. Dari tempat itulah gubuk tua itu dapat diperhatikan dengan leluasa.
Tidak lama menanti, terdengarlah langkah kaki
beberapa orang mendatangi tempat itu. Ki Giri Tantra
bergegas merunduk menyembunyikan diri di balik semak-semak. Hati jago pedang
wilayah Selatan itu sempat terkejut melihat kedatangan Ular Muka Dua yang
ditemani empat orang laki-laki berpakaian serba hitam.
Keterkejutan Ki Giri Tantra bukan disebabkan
datangnya Ular Muka Dua bersama teman-temannya.
Melainkan, karena mengenali dua orang teman lelaki
berhidung besar itu.
"Bukankah kedua orang itu Palingga dan Lugita..." Hm.... Kalau mereka yang telah
menjadi orang kepercayaan Kepala Desa Pandan itu sudah berada di
bawah kekuasaan orang-orang berseragam hitam, pastilah Desa Pandan sudah berada
dalam kekuasaan mereka. Lalu, ke mana perginya Kepala Desa Pandan"
Mungkinkah Ki Sora Gulawa telah dibunuh" Hm, aku
tahu pasti sifat Penguasa Desa Pandan itu. Tidak
mungkin rasanya kalau Ki Sora Gulawa sudi bersekongkol dengan orang-orang keji
itu! Satu-satunya
kemungkinan, orang tua itu pasti telah dibunuh mereka," desah hati Ki Giri
Tantra setelah mengenali dua
dari empat orang yang menemani Ular Muka Dua.
Setelah agak lama menanti dan memastikan kalau Ular Muka Dua hanya ditemani
empat orang, maka
Ki Giri Tantra pun bergegas keluar dari tempat persembunyiannya. Tentu saja hal
itu tidak dilakukannya
secara terang-terangan.
Raja Pedang Sinar Pelangi mengambil jalan memutar melalui belakang gubuk tanpa
sepengetahuan lima orang yang memang tengah menantinya itu. Hal
itu tidaklah terlalu sulit baginya. Dengan kepandaiannya yang tinggi, tubuhnya
dapat bergerak cepat tanpa
menimbulkan suara mencurigakan.
"Hm.... Kau ternyata seorang pengecut, Ular Muka Dua! Kau tidak berani datang ke
tempat ini seorang
diri, sehingga harus ditemani Palingga dan Lugita. Percuma saja menyandang nama
besar yang menyeramkan itu," tiba-tiba terdengar suara menggema, seperti
berasal dari sekeliling tempat itu.
Tentu saja Kadungga menjadi terkejut mendengar
suara yang telah membuat dadanya berdebar itu. Kekuatan tenaga dalam yang dipamerkan melalui pengerahan suara tadi, jelas
menandakan kalau si pengirim
suara merupakan tokoh berkepandaian tinggi. Kenyataan itu sempat pula membuat
hatinya gentar.
Keterkejutan Kadungga masih belum seberapa bila dibandingkan kekagetan Palingga
dan Lugita. Kedua
orang kepercayaan Kepala Desa Pandan itu tentu saja
menjadi pucat saat nama mereka telah dikenali si pengirim suara. Kenyataan itu
membuat hati mereka bertanya-tanya, siapa orang aneh yang mengirimkan suara
tanpa ujud tadi.
Kadungga bergegas mengerahkan tenaga dalam
untuk menahan pengaruh suara yang menggetarkan
isi dadanya. Pandangannya beredar ke sekeliling tempat itu untuk mencari sumber suara tanpa ujud itu.
Demikian pula halnya Palingga, Lugita, dan dua
orang berseragam hitam lainnya. Mereka pun segera
mengerahkan tenaga dalam untuk menahan guncangan dalam dada akibat suara yang
mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hei! Siapa pun kau adanya, kalau memang benar-benar lelaki sejati, tunjukkanlah
ujud dirimu! Kalau tidak, jangan salahkan apabila seluruh hutan kecil
ini ku bakar habis!" ancam Kadungga disertai pengerahan tenaga dalam agar
suaranya terdengar jauh. Sedang sepasang matanya tetap merayapi sekeliling
dengan pandangan tajam.
"Ha ha ha....! Kalau hutan ini kau bakar, lalu
apakah kau harus menyalahkan orang lain" Licik kau,
Ular Muka Dua. Tapi agar kau puas, baiklah. Aku
akan menunjukkan diriku di hadapan kalian berlima,"
terdengar jawaban yang kali ini bahkan lebih keras dari suara pertamanya.
Dan belum lagi gema suara itu lenyap, tiba-tiba
dari dalam gubuk menyambar angin keras yang membuat kelima orang berseragam hitam itu saling berlompatan mundur. Dan kini, di
tangan mereka telah tergenggam senjata terhunus.
Kadungga dan keempat orang kawannya serentak
menatap tajam sosok tinggi kurus berpakaian biru gelap. Sepasang mata tajam yang
tersembunyi di balik
tudung bambu itu tampak berkilat menggetarkan jantung.
"Kau..."!" sebut Kadungga.
Laki-laki berhidung besar itu langsung mengenali
sosok tinggi kurus berkerudung yang pernah dihajarnya di dalam kedai makan tadi.
Tentu saja hati tokoh
sesat itu menjadi terkejut, sekaligus heran.
Sedangkan Palingga dan Lugita hanya menatap
dengan kening berkerut ke arah sosok tinggi kurus itu.
Karena saat itu, Ki Giri Tantra tidak mengenakan pakaian seperti biasanya. Maka
kedua orang kepercayaan
Kepala Desa Pandan itu pun tidak dapat mengenali,
siapa adanya lelaki tinggi kurus itu. Padahal, mereka
telah mengenal Ki Giri Tantra cukup baik. Karena, Ketua Perguruan Pedang Sinar
Pelangi itu merupakan
sahabat kepala desa mereka. Bahkan sering berkunjung ke rumah majikan mereka
dulu. Tapi, karena
orang tua itu menyembunyikan wajah di balik tudung
bambu, maka mereka tidak menduga kalau orang itu
adalah Ki Giri Tantra.
Sedangkan Kadungga, jelas memang tidak pernah bertemu Raja Pedang Sinar Pelangi.
Karena selama ini malang-melintang di wilayah Barat, sehingga
belum pernah sekalipun berjumpa tokoh sakti wilayah
Selatan itu. Jadi, wajar saja kalau tidak mengenal Ki
Giri Tantra. Bibir di balik tudung bambu itu tampak menyunggingkan senyum tipis yang
menyimpan teka-teki.
Perlahan-lahan tangan orang tua itu bergerak melepas
tudung bambu yang menutupi kepala. Tampaklah wajah orang tua berusia sekitar
enam puluh tahun yang
wajahnya ditumbuhi kumis dan jenggot memutih.
Ular Muka Dua sama sekali tidak merasa terkejut
meski Raja Pedang Sinar Pelangi telah menampakkan
wajah aslinya. Sehingga, tokoh sesat itu hanya memandang dengan kening berkerut
Berbeda dengan Palingga dan Lugita. Wajah dua
orang kepercayaan Ki Sora Gulawa itu berubah pucat
ketika mengenali lelaki tinggi kurus itu sebenarnya.
"Ki Giri Tantra..."!" seru Palingga dan Lugita berbarengan. Tubuh kedua orang
lelaki bertubuh gagah
itu gemetar hebat karena rasa takut yang menyelimuti
hati. Mendengar disebutnya nama Ki Giri Tantra, barulah Kadungga terkejut. Memang,
nama besar orang
tua itu telah lama dikenalnya. Dan disadari betul,
meski mereka saat itu berlima, namun jelas bukan
tandingan Raja Pedang Sinar Pelangi. Tentu saja hal
itu membuat Ular Muka Dua menjadi salah tingkah.
*** 5 Raja Pedang Sinar Pelangi sengaja mengarahkan
tatapan matanya kepada Palingga dan Lugita. Sehingga, kedua orang itu menjadi
salah tingkah dibuatnya.
Apalagi, pandangan mata jago pedang itu jelas-jelas
mengandung teguran.
"Apa kabar, Palingga, Lugita..." Sudah cukup lama rasanya kita tidak berjumpa"
Bagaimana keadaan
Ki Sora Gulawa" Apakah sehat-sehat saja?" sapa Ki Giri Tantra. Tentu saja sapaan
itu mengandung maksud
mencari keterangan untuk memastikan dugaannya.
Mendengar sapaan yang jelas mengandung maksud-maksud tertentu, Palingga dan
Lugita semakin kikuk. Sejenak mereka saling berpandangan, seolah-olah
hendak meminta pendapat satu sama lain.
"Kami.... Kami... eh...!"
Palingga yang mendapat isyarat dari Lugita untuk
memberi keterangan kepada Ki Giri Tantra, tidak dapat
menyelesaikan ucapannya. Jawabannya pun terbatabata dan tidak selesai. Seolaholah, kerongkongan lelaki tegap itu terasa kekeringan.
Ular Muka Dua yang melihat mereka telah saling
mengenal, langsung melihat gelagat merugikan. Maka
sebelum terlambat, pembicaraan di antara ketiga orang
itu segera dipotongnya.
"Hm.... Sudah jelas orang tua itu sangat berbahaya bagi kita. Mengapa masih
harus meladeni omongannya yang tidak berguna itu" Ayo, kepung dan tangkap orang
tua gila itu! Atau bunuh saja sekaligus agar
dapat melayat ke akhirat!" perintah Kadungga sambil
mengibaskan tongkat hitamnya di depan dada.
Melihat Ular Muka Dua sudah siap bertarung,
dua orang berseragam hitam lainnya telah menghunus
senjata. Kemudian, mereka berlompatan ke kiri dan ke
kanan Ki Giri Tantra, bersikap mengancam;
"Palingga! Lugita! Apa lagi yang kalian tunggu"
Ayo, kepung dan tangkap orang tua itu! Atau kalian
hendak berpihak kepadanya?" sentak Kadungga. Lakilaki berhidung besar itu
bertindak cepat agar kedua
anak buahnya tidak terpengaruh ucapan-ucapan Ki
Giri Tantra. "Hm.... Rupanya kalian benar-benar telah bersekongkol dengan manusia sesat itu.
Bagus sekali sikap
yang kalian ambil. Tega benar kalian mengkhianati Ki
Sora Gulawa hanya karena takut menghadapi kematian" Lalu, ke mana kegagahan yang selama ini kalian
bangga-banggakan itu?" pancing Ki Giri Tantra mencoba menyadarkan Palingga dan
Lugita dari kesesatannya.
"Jangan dengarkan perkataan busuk itu! Ingat!
Kalian akan mendapat hukuman berat apabila kejadian ini sampai diketahui ketua!"
ancam Ular Muka
Dua. Dia semakin cemas ketika melihat sinar keraguan
di mata kedua orang itu.
Sadar jika dibiarkan berlarut-larut Palingga dan
Lugita bisa dipengaruhi Ki Giri Tantra, Ular Muka Dua
pun segera bertindak!
"Serang...!"
Sambil berseru keras, tubuh lelaki berhidung besar itu segera melompat disertai
kelebatan tongkat hitamnya.
Bett! Bettt! Bettt!
Sekali menerjang, Kadungga langsung mengirimkan serangkaian serangan cepat dan
kuat. Sadar akan
kepandaian lawan, rupanya Ular Muka Dua langsung
menggunakan tenaga dalam sepenuhnya dalam melancarkan serangan itu.
Hampir bersamaan dengan melesatnya Kadungga, dua orang berseragam hitam lain
segera menyusuri
dari kiri-kanan Ki Giri Tantra. Sehingga dalam gebrakan pertama saja, Raja
Pedang Sinar Pelangi harus
menghadapi serangan dari tiga jurusan sekaligus!
Namun, Ki Giri Tantra memang sudah memperhitungkan hal itu. Maka begitu serangan
Kadungga tiba, orang tua itu menggerakkan pedangnya sambil melompat ke kiri. Pedang di
tangannya sekaligus diputar
membentuk dinding pertahanan yang kuat dan sukar
ditembus lawan.
Trakkk! Trangngng...!
Terdengar suara berdentang nyaring ketika pedang di tangan Ki Giri Tantra
membentur pedang lawan di sebelah kiri. Sehingga senjata orang itu langsung
terpapas putus hingga separuh lebih. Papakan
itu sekaligus untuk mematahkan serangan Ular Muka
Dua. Sehingga, tubuh tokoh sesat itu terjajar mundur
akibat tangkisan yang dialiri tenaga dalam tinggi itu.
Sedangkan serangan dari sebelah kanan, berhasil
dielakkan Raja Pedang Sinar Pelangi dengan memiringkan tubuhnya. Dan begitu
tusukan pedang lawan
lewat di sampingnya, tubuh orang tua itu berputar
sambil mengirimkan tendangan kilat yang tak terduga!
Zebbb...! Plakkk! "Aaah...!"
Rupanya lawan yang berada di sebelah kanan
cukup gesit dan jeli. Sehingga, ketika tendangan Ki Giri Tantra meluncur ke arah
perutnya, tangan kirinya
cepat bergerak menangkis. Sayang kekuatan tenaga
dalam yang dimilikinya masih di bawah kekuatan Ki
Giri Tantra. Akibatnya, tangkisan itu membuatnya
menyeringai kesakitan. Bahkan tubuhnya pun terjajar
mundur hingga enam langkah dalam keadaan limbung.
Ki Giri Tantra rupanya tidak mau membuangbuang waktu, melihat tubuh lawan
terjajar limbung.
Maka cepat ia melompat disertai dorongan telapak tangan kirinya.
Wuuut..! Dorongan yang menimbulkan hembusan angin
berkesiutan itu jelas menandakan kehebatan tenaga
dalam yang terkandung di dalamnya. Sehingga, wajah
lawannya pucat seketika!
Sayang Ki Giri Tantra tidak bisa melanjutkan dorongan telapak tangannya, karena
saat itu dari kedua
sisinya menyambar suara berdesing nyaring!
Wuuut..! Bettt..!
"Hehhh...!"
Sambil membentak nyaring, Ki Giri Tantra menarik tubuhnya dengan sikap doyong ke
belakang. Lalu,
disusul oleh jejakan kakinya ke tanah. Maka, tubuh
orang tua itu langsung berjumpalitan beberapa kali di
udara menjauhi lawan-lawannya.
"Hm.... Rupanya kalian benar-benar telah tersesat. Pasti Ki Sora Gulawa pun
telah kalian bunuh bukan?" tegur Raja Pedang Sinar Pelangi, berwibawa. Sedangkan
tatapannya tajam, seperti menggiris jantung.
"Jangan dengarkan ocehannya...! Bunuh tua
bangka keparat itu!" teriak Ular Muka Dua, cepat mengingatkan Palingga dan
Lugita yang terpaku ketika
Pendekar Naga Putih 28 Laba Laba Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendengar ucapan Ki Giri Tantra.
"Heaaat..!"
Tanpa banyak cakap lagi, Palingga dan Lugita
pun kembali berteriak nyaring sambil memutar senjatanya. Jelas, mereka lebih
patuh terhadap Kadungga.
Sehingga, mereka pun kembali menerjang Ki Giri Tantra dengan hebatnya.
Ular Muka Dua dan kedua orang berseragam hitam lainnya pun kembali menerjang Ki
Giri Tantra. Mau tak mau, kembali jago pedang wilayah Selatan itu
harus menghadapi ancaman lima bilah senjata yang
berkelebatan di sekitar tubuhnya.
Meskipun harus menghadapi keroyokan lima
orang yang memiliki kepandaian tidak rendah, Ki Giri
Tantra tidak menjadi terdesak karenanya. Pedang di
tangannya bergerak menusuk dan melingkar diiringi
kelebatan sinar pelangi yang menyilaukan mata. Sehingga, pertarungan itu
terlihat indah dan sangat menarik!
"Hiaaat!"
Ketika pertarungan memasuki jurus yang kedua
puluh, Ki Giri Tantra berseru keras disertai lesatan tubuhnya yang cepat laksana
sambaran kilat di angkasa.
Pedang di tangannya berkelebatan menimbulkan gulungan sinar berpendar yang
mengejutkan! Kadungga yang menjadi sasaran utama serangan
itu menjadi kelabakan. Sebisa mungkin, serangan lawannya dielakkan dengan
melompat ke samping. Gerakan itu masih disusuli kelebatan tongkat hitamnya
yang menusuk lurus dada Ki Giri Tantra.
Namun, pedang di tangan orang tua itu berputar
cepat dengan perubahan mendadak dan tak terduga!
Senjata itu bergerak menyilang dengan kecepatan
menggetarkan! Trakkk...! Tanpa dapat dicegah lagi, mata pedang Ki Giri
Tantra langsung membabat putus tongkat hitam di
tangan Kadungga. Dan selagi tubuh tokoh sesat itu
terhuyung mundur, langsung dikirimkannya tendangan kilat ke dada Kadungga!
Buggg...! "Huakh...!"
Bagaikan layang-layang putus, tubuh lelaki berhidung besar itu terlempar keras
ketika telapak kaki Ki
Giri Tantra menghajar telak bagian dadanya. Darah
segar kontan terlompat mengiringi tubuh Kadungga
yang tengah melayang di udara!
Setelah menghajar Ular Muka Dua, Ki Giri Tantra
segera menarik pulang kakinya. Karena saat itu, dari
kiri-kanan meluncur dua bilah pedang ke arahnya.
Cepat kaki orang tua itu melangkah mundur dua tindak. Begitu tusukan pedang
lawan luput, senjatanya
langsung dikibaskan secara mendatar dengan gerakan
melingkar mengitari tubuhnya. Dan....
Brettt! Brettt!
"Aaargh...!"
Terdengar raung kematian yang berasal dari mulut kedua orang berseragam hitam
itu! Tubuh mereka
roboh dengan semburan darah segar dari luka menganga di perut. Setelah
berkelojotan sesaat, tubuh kedua orang itu pun diam tak bergerak. Mati!
"Haiiit..!"
Ki Giri Tantra berseru nyaring sambil melambung
ke udara. Karena saat itu, telinganya yang tajam menangkap datangnya serangan
yang mengincar tubuhnya.
Setelah berjumpalitan beberapa kali di udara, Ki
Giri Tantra mendaratkan kakinya di belakang kedua
orang penyerang yang tak lain dari Palingga dan Lugita.
"Sadarlah dari kesesatan kalian, Palingga, Lugita!
Tidak ada kata terlambat apabila hendak bertobat dan
kembali ke jalan benar," bujuk Ki Giri Tantra sambil
menodongkan ujung pedangnya kepada Palingga dan
Lugita yang saat itu masih membelakanginya.
Tentu saja Palingga dan Lugita menjadi terperanjat dengan wajah pucat! Memang
kalau saja orang tua
itu menginginkan kematian mereka, rasanya sudah
semenjak tadi mereka tergeletak tanpa nyawa. Tapi, Ki
Giri Tantra ternyata tidak melakukannya. Jelas, hal itu
menandakan niat baik orang tua itu terhadap mereka.
"Berbaliklah! Aku memang tidak berniat membunuh kalian. Biar bagaimanapun juga,
aku masih memandang kalian sebagai sahabat-sahabat baikku," bujuk Ki Giri Tantra
lagi, bernada bersahabat
Mendengar ucapan itu, Palingga dan Lugita pun
membalikkan tubuhnya perlahan-lahan. Melihat dari
bilah pedang yang tergantung lemas di tangan, Ki Giri
Tantra segera dapat memastikan kalau kedua orang
kepercayaan sahabatnya itu masih dapat disadarkan.
"Ki, awaaas...!"
Begitu membalikkan tubuhnya, Palingga berteriak memperingatkan orang tua itu.
Memang, pada saat itu Ular Muka Dua tengah melompat dengan serangan maut ke arah Ki Giri
Tantra! Sebenarnya hal itu sama sekali tidak perlu diperingatkan. Bagi tokoh kelas atas,
tentu saja Ki Giri
Tantra sudah mengetahui serangan dari belakangnya.
Tapi biar bagaimanapun, Raja Pedang Sinar Pelangi
harus berterima kasih kepada Palingga yang secara tak
langsung telah menunjukkan kesadaran dari kesesatannya.
"Haiiit...!"
Tanpa membalikkan tubuhnya, Ki Giri Tantra
pun tahu ketika serangan itu telah tiba di dekatnya.
Sambil berseru nyaring, tubuh orang tua itu melakukan lompatan pendek ke
samping. Lalu, tangannya
berkelebat cepat mengirimkan sabetan pedangnya.
Ular Muka Dua yang memang keadaannya sudah
tidak segesit dan sekuat semula tentu saja menjadi
terkejut melihat serangan balasan lawan. Dan untuk
menarik pulang senjatanya, jelas tidak mungkin. Maka, ia pun nekat meneruskan
serangannya. Hanya saja, gerakannya berubah menjadi tangkisan.
Ki Giri Tantra pun bukan tidak tahu akan kenekatan lawan. Sambaran pedang yang
semula akan menewaskan lawan, langsung dirubahnya dengan gerakan cepat menyambar
bahu kiri lawan!
Wuuut..! Grattt...!
"Aaakh...!"
Kadungga menjerit kesakitan ketika ujung pedang Ki Giri Tantra merobek bahunya.
Darah segar memercik mengiringi jatuhnya tubuh lelaki berhidung
besar itu ke atas tanah berumput kering.
"Uhhh...!"
Namun, Kadungga tidak melanjutkan niatnya untuk bangkit. Apalagi, saat itu juga
pedang lawan telah
berada di tenggorokannya.
"Hm.... Kau akan kubebaskan apabila bersedia
menceritakan tentang perkumpulanmu yang sesat itu!"
ancam Raja Pedang Sinar Pelangi sambil menekan
ujung pedangnya. "Katakan, siapa yang mendalangi
semua ini" Dan apa tujuan perkumpulanmu mengacau perguruan-perguruan jago-jago
pedang di empat
penjuru?" Tapi, apa yang dilakukan Ular Muka Dua benarbenar membuat hati Ki Giri Tantra
menjadi terkejut setengah mati! Ternyata lelaki berhidung besar itu lebih
suka menghunjamkan lehernya ke ujung pedang lawan.
"Ekhhh...!"
Darah segar langsung mengucur dari luka di leher yang tertembus ujung pedang Ki
Giri Tantra. Setelah
menegang sesaat, tubuh Ular Muka Dua pun diam tak
berkutik. Rupanya, ia lebih suka tewas daripada harus
menjawab pertanyaan Ki Giri Tantra.
"Gila! Entah sampai di mana kekejaman ketua
yang sangat ditakutinya itu" Sampai-sampai ia lebih
suka mati ketimbang berkhianat. Hhh...," desah Ki Giri
Tantra. Raja Pedang Sinar Pelangi menghela napas penuh
sesal melihat kematian Ular Muka Dua. Memang
hanya orang itulah yang diharapkan bisa memberikan
keterangan kepadanya mengenai peristiwa yang telah
menimpa perguruannya. Dengan tewasnya Kadungga,
maka lenyaplah harapan Ki Giri Tantra untuk dapat
mengetahui dalang komplotan orang-orang berseragam
hitam yang tengah merajalela saat itu.
"Ki...," panggil Palingga menyadarkan orang tua
itu dari rasa sesalnya.
"Ahhh.... Maaf, aku telah melupakan kalian. Syukurlah kalian telah sadar dari
kesesatan. Mmm... dapatkah kau menerangkan kejadian yang membuatmu
tersesat" Ke mana perginya Ki Sora Gulawa" Dan siapa
pula yang mendalangi semua ini?" tanya Ki Giri Tantra
kepada Palingga.
Mendengar pertanyaan Ki Giri Tantra, kedua
orang itu saling bertukar pandang sejenak. Beberapa
saat kemudian, terlihat keduanya mengangguk perlahan. Kemudian, Palingga maju
dua langkah mendekati
jago pedang itu.
"Beberapa waktu yang lalu, desa kami didatangi
serombongan penunggang kuda yang dipimpin seorang
lelaki bertubuh jangkung. Mereka langsung mengacau
desa, dan membunuhi belasan penduduk secara kejam. Ki Sora Gulawa yang mendengar
laporan seorang
penduduk, langsung mengajak kami berdua untuk
mencegah kekejaman orang itu. Tapi baru saja tiba di
halaman, lelaki jangkung dan beberapa orang berseragam hitam telah menghadang di
depan. Tanpa basabasi lagi, lelaki jangkung itu langsung menyatakan ingin
menguasai Desa Pandan. Sedangkan Ki Sora Gulawa diminta menjadi pembantunya.
Tentu saja kepala
desa kami menolak keinginan gila itu. Apalagi, lelaki
jangkung itu mengatakan akan memungut pajak kepada para penduduk."
Palingga menghentikan ceritanya sejenak. Terlihat tarikan nafasnya dalam,
seperti hendak mengumpulkan ingatannya tentang peristiwa itu.
"Karena lelaki jangkung itu memaksa, maka pertempuran pun tak dapat dihindari
lagi. Namun, kepandaian orang-orang berseragam hitam itu ternyata
cukup hebat. Hingga, aku dan Palingga tak mampu
berbuat banyak," sambung Lugita ketika melihat Palingga menghentikan ceritanya.
"Bahkan Ki Sora Gulawa tak mampu menghadapi lelaki jangkung itu lebih
dari tiga puluh jurus. Sehingga, beliau tewas menyedihkan. Sedangkan kami berdua
yang saat itu sudah
terdesak tanpa mampu membalas, diselamatkan lelaki
jangkung itu. Kemudian kami diminta agar tunduk
dan menjadi pengikutnya. Yahhh.... Terpaksa kehendak orang itu kami turuti.
Apalagi, untuk mati kami jelas belum siap. Karena, kami sadar bahwa untuk
melawan adalah perbuatan bodoh. Maka, terpaksa kami
berpura-pura tunduk kepada lelaki jangkung itu. Harapan kami, suatu saat kami
akan menyusun kekuatan dan membalas kekejaman lelaki jangkung itu sekaligus
merebut kembali Desa Pandan yang kami cintai.
Kesabaran itu ternyata membuahkan hasil seperti
yang selama ini kami harapkan. Kedatangan Ular Muka Dua yang mengajak kami
mengeroyok seseorang
yang ternyata Ki Giri Tantra, langsung kami sambut
baik. Cerita selanjutnya seperti yang Aki telah saksikan tadi...," jelas
Palingga menutup ceritanya.
"Hm.... Apakah lelaki jangkung itu mengenakan
libatan tali-temali pada pakaiannya...?" tanya Ki Giri
Tantra teringat akan pengalamannya ketika mendatangi rumah perguruannya, dan
kemudian terjebak.
(Baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode "Sengketa Jago-jago Pedang").
"Betul, Ki. Apakah Aki mengenal orang itu...?"
sahut Palingga cepat
"Sayang aku tidak mengenal manusia keji itu.
Hanya saja, kemungkinan orang itu pulalah yang telah
merampas perguruanku. Sebaiknya, marilah kita temui kedua orang muridku. Siapa
tahu mereka telah
berhasil membujuk murid-muridku yang datang bersama Ular Muka Dua," ajak Ki Giri
Tantra yang tanpa
menunggu jawaban lagi, langsung melesat menuju Desa Pandan.
Palingga dan Lugita pun tidak banyak tanya lagi.
Kedua lelaki gagah itu bergegas menyusul Ki Giri Tantra yang sudah beberapa
tombak di depan.
*** Pintu gerbang Perguruan Pedang Sinar Pelangi
berderit terbuka ketika dua buah pedati berhenti tepat
di depannya. Delapan orang lelaki berseragam hitam
berlompatan turun dan menarik pedati itu memasuki
halaman perguruan.
"Hei, Subara...!" panggil salah seorang penjaga
gerbang sambil mengulapkan tangannya ke arah salah
seorang anggota rombongan itu
Lelaki muda berusia sekitar dua puluh tahun
yang dipanggil Subara bergegas menghampiri.
Namun, langkah Subara terhenti ketika bahunya
ditepuk salah seorang kawannya yang mengenakan
caping bambu lebar.
Subara melangkah mundur ketika melihat isyarat
gelengan kepala lelaki bercaping bambu itu. Dibiarkannya orang itu melangkah
menghampiri penjaga
pintu gerbang "Mengapa pimpinan kita Ki Kadungga tidak terlihat kembali bersama kalian?" tanya
penjaga yang bercambang lebat itu dengan suara galak.
Sedangkan penjaga yang seorang hanya memandang dengan kening berkerut. Jelas, ia
tidak senang melihat lelaki bercaping itu datang menghampiri tanpa
dipanggil. Untuk beberapa saat lamanya, lelaki bercaping
itu tidak menjawab. Sebaliknya, pandangannya malah
beredar merayapi ke halaman yang tampak sepi dari
balik caping bambunya. Hanya ada tiga orang yang
tampak tengah membersihkan halaman depan perguruan itu. Mendadak, tiba-tiba saja lelaki bercaping bambu
itu bergerak cepat menotok ketiga orang penjaga pintu
gerbang. Sehingga, mereka hanya dapat berdiri kaku
dengan mata terbelalak. Sedangkan untuk bicara, mereka sama sekali tidak mampu.
Karena orang itu juga
telah menotok urat suara.
"Hm.... Apakah kalian masih mengenali aku...?"
tanya lelaki bercaping itu sambil menaikkan caping
bambunya sedikit. Sehingga, hanya ketiga orang penjaga itu saja yang dapat
Pendekar Naga Putih 28 Laba Laba Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengenalinya. Wajah ketiga orang penjaga itu langsung pucat
ketika melihat siapa sebenarnya lelaki bercaping itu.
Karena tidak dapat mengeluarkan suara, maka mata
mereka saja yang tampak terbelalak bagai melihat hantu di siang bolong.
Setelah mengetahui kalau dirinya masih mempunyai pengaruh terhadap ketiga orang
penjaga pintu gerbang itu, maka tangannya pun kembali bergerak
membebaskan totokan.
Lelaki bercaping bambu yang ternyata adalah Ki
Giri Tantra itu, cepat mencegah ketika melihat ketiga
orang penjaga itu hendak berlutut kepadanya.
"Aku mendapat keterangan dari Subara kalau di
dalam gedung utama hanya ada Kinaya dan Wiradesa.
Benarkah itu...?" tanya Ki Giri Tantra meminta jawaban pasti.
"Benar apa yang dikatakan Subara, Guru. Sudah
dua hari ini lelaki jangkung yang berjuluk Laba-laba
Hitam pergi entah ke mana. Sepertinya, ia sudah percaya penuh akan kesetiaan
Kakang Kinaya dan Wiradesa. Dan kalau guru ingin merebut kembali perguruan ini,
memang sekaranglah waktu yang paling tepat," jelas lelaki bercambang lebat yang
sudah kembali tenang seperti semula.
"Hm... bagus kalau begitu. Darpa, Sudira," panggil orang tua itu kepada dua di
antara empat lelaki
bercaping bambu yang masih berdiri di dekat pedati.
"Kumpulkan murid-murid yang saat ini mungkin tengah beristirahat. Katakan pada
mereka kalau aku sudah kembali. Dan kau, kau tetaplah berjaga di gerbang
ini. Yang lain boleh membawa sayur-mayur itu ke dalam. Bersikaplah seperti tidak
terjadi apa-apa...."
Ki Giri Tantra kemudian melangkah menuju gedung utama perguruan.
Sebagai orang yang pernah menghuni perguruan
itu, tentu saja tidak sulit bagi Ki Giri Tantra untuk
mencari kamar Kinaya maupun Wiradesa. Dan sudah
pasti, kedua orang bekas muridnya yang terpengaruh
Laba-laba Hitam itu berada dalam kamar yang pernah
ditempatinya sewaktu masih memimpin perguruan itu.
Beberapa orang berseragam hitam yang memergokinya, langsung ditotok roboh tanpa
mengalami kesulitan. Ki Giri Tantra tentu saja tidak membunuh para penjaga,
karena mereka adalah murid-muridnya juga. Sehingga, ia hanya menotok roboh tanpa
melukai. Dengan gerakan ringan dan tanpa suara, orang
tua itu melangkah mendekati kamar yang pernah ditempatinya dulu. Kemudian,
dibukanya pintu kamar
secara perlahan.
Ki Giri Tantra menahan napas, lalu melangkah
mendekati tubuh Kinaya yang tengah terbaring dengan
mata terpejam. Sambil tetap menahan napas, lelaki tua
itu berdiri di tepi pembaringan tempat Kinaya tertidur.
Sekali menggerakkan tangan saja, jago pedang itu
langsung dapat melumpuhkan muridnya yang tengah
terlelap. "Hm.... Untunglah ia tengah terlelap. Kalau tidak,
tentu cukup sulit menundukkannya. Memang, 'Racun
Perampas Sukma' yang dijejalkan Laba-laba Hitam ke
tubuh sanggup membuatnya bertarung dengan tenaga
yang tidak pernah habis," gumam orang tua itu sambil
memeriksa tubuh Kinaya.
Tapi, apa yang dihadapi Ki Giri Tantra membuatnya terkejut. Ternyata Kinaya
bukan tengah tertidur
secara wajar, melainkan tengah terpengaruh sejenis
obat yang dapat membuat orang terlelap untuk beberapa saat lamanya.
"Hm.... Pastilah Ular Muka Dua yang melakukan
perbuatan ini. Sepertinya sebelum meninggalkan perguruan, ia telah membius
Kinaya dan Wiradesa agar
tidak bertindak macam-macam. Kalau begitu, aku harus segera mencari Wiradesa.
Aku yakin, tidak lama
lagi daya kerja obat itu akan segera lenyap. Dan kalau
sampai ia terbangun, tentu akan lebih repot menghadapi," pikir Ki Giri Tantra
yang segera menyelinap masuk ke dalam kamar yang bersebelahan dengan kamar
Kinaya. Tepat pada saat Ki Giri Tantra memasuki kamar
Wiradesa, tubuh muridnya tampak baru mulai bergerak disertai sebuah keluhan
lirih. Persis seperti orang
yang baru tersadar dari pingsannya. Tanpa menunggu
lagi, tubuh Ki Giri Tantra langsung melesat dan melakukan totokan seperti yang
dilakukan terhadap Kinaya.
"Aaakh...!"
Wiradesa memekik kesakitan ketika jari-jari tangan orang tua itu menotok
beberapa bagian tubuhnya.
Sehingga, lelaki gagah itu kembali rebah dengan mata
terbelalak. "Hm.... Benar-benar keji manusia berjuluk Labalaba Hitam itu! Kedua orang
muridku ini sudah seperti
mayat hidup saja akibat pengaruh 'Racun Perampas
Sukma'nya," desis Ki Giri Tantra geram.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Ki Giri Tantra segera menjejalkan obat penawar yang telah diberi
Pendekar Naga Putih. Karena Wiradesa masih dapat
menggerakkan anggota tubuhnya, maka tidak sulit baginya untuk melolohkan obat
penawar ke dalam mulut
muridnya. "Guru...."
Empat orang lelaki gagah itu menjatuhkan diri,
berlutut di depan seorang kakek tua yang duduk di
atas kursi bergagang gading.
"Hm.... Bangkitlah...," sambut orang tua yang tak
lain Ki Giri Tantra sambil melebarkan senyumnya.
"Aku sengaja memanggil kalian sore ini karena ingin
membicarakan masalah yang sangat penting bagi ke
lanjutan perguruan kita."
Keempat orang yang tak lain dari Kinaya, Wiradesa, Darpa dan Sudira telah
bangkit, dan bersila di depan Ki Giri Tantra.
Sebelum mengutarakan keinginannya, Ki Giri
Tantra menceritakan segala sesuatu yang telah menimpa perguruan termasuk yang
telah dialami kedua
orang murid utamanya. Sehingga, baik Kinaya dan Wiradesa menjadi terkejut bukan
main ketika mendengarnya.
"Hukumlah kalau memang kami berdua dianggap
bersalah, Guru.... Tapi kalau Guru percaya, kami berdua sama sekali tidak
mengetahui semua itu," ujar Kinaya kembali berlutut bersama Wiradesa dengan
wajah pucat. "Jangan kalian merasa kecil hati. Aku telah mengetahui semua yang telah menimpa
diri kalian. Tapi
perlu kalian berdua ketahui. Apa yang hendak kusampaikan ini, bukanlah mengenai
kalian berdua. Justru
penyebab semua kejadian inilah yang hendak kubicarakan. Kinaya dan Wiradesa.
Kalian ku percayakan
untuk mengatur perguruan ini, karena aku akan pergi
bersama Darpa dan Sudira untuk menyelidiki dan sekaligus menangkap orang yang
berjuluk Laba-laba Hitam. Bagaimana" Apakah kalian sanggup memikul
tanggung jawab yang kuberikan?" tanya Ki Giri Tantra.
"Sanggup, Guru...," sahut keempat lelaki gagah
itu serempak. "Kalau begitu, pertemuan ini selesai. Darpa, Sudira, kalian berkemaslah!" ujar
Ki Giri Tantra yang segera beranjak dari kursinya.
"Baik, Guru...," sahut Darpa dan Sudira, segera
bangkit dan berpamit untuk berkemas.
"Kinaya, Wiradesa, berhati-hatilah. Usahakan
agar peristiwa kemarin jangan sampai terulang lagi,"
tegas Ki Giri Tantra sebelum meninggalkan ruang pertemuan itu.
"Kami akan mengingat segala pesan Guru...," sahut kedua orang lelaki gagah itu.
Rupanya mereka sudah kembali sadar seperti
semula. Semua itu berkat obat penawar racun yang telah menghilangkan pengaruh
'Racun Perampas Sukma'. Sehingga, baik Kinaya maupun Wiradesa telah
sembuh seperti sediakala.
Kinaya dan Wiradesa baru meninggalkan ruang
pertemuan setelah Ki Giri Tantra lenyap di balik pintu.
*** 6 "Kakang, lihat ini..!" ujar seorang dara jelita berpakaian serba hijau sambil
menunjuk rerumputan.
Pemuda tampan berjubah putih yang berjalan di
sebelah kirinya serentak mengikuti arah yang ditunjuk
gadis jelita itu Keningnya tampak berkerut ketika melihat cairan merah yang
melekat di rerumputan.
"Darah..."!" desah pemuda tampan itu setelah
memeriksanya dengan teliti. "Hm.... Kalau melihat dari
darah yang melekat di rumput ini, tampaknya ada
orang yang menderita luka melewati hutan ini. Rasanya, kejadian ini belum lama
lewat" "Tapi menilik keadaan sekitar tempat ini, rasanya
tidak terdapat tanda-tanda bekas orang bertarung"
Apakah mungkin pertarungan itu terjadi di tempat
lain" Lalu, apakah orang yang terluka itu berlari menyelamatkan diri ke hutan
ini" Bagaimana menurutmu, Kakang?" tanya dara jelita itu lagi sambil menatap
wajah pemuda tampan itu lekat-lekat
"Yah, bisa saja. Tapi supaya lebih jelas, sebaiknya
kita cari saja. Siapa tahu jejak ceceran darah ini masih
berkelanjutan," sahut pemuda tampan itu sambil melangkah perlahan-lahan.
Tanpa banyak cakap lagi, dara jelita berpakaian
serba hijau itu pun bergegas mengikuti langkah kekasihnya. Sepasang matanya yang
bulat dan jernih,
mengawasi rerumputan di bawah kakinya.
Namun sampai cukup jauh mereka memasuki
hutan, ceceran darah itu sama sekali tidak ditemukan
lagi. Sehingga, kedua anak muda itu pun menjadi heran dibuatnya.
"Aneh... mengapa ceceran darah itu tidak terlihat
lagi" Apakah Kakang yakin kalau itu darah manusia...?" tanya dara jelita mulai
meragukan pendapat
kekasihnya. Sepertinya, ia telah jenuh setelah sekian
jauh mencari tanpa hasil.
"Tentu saja aku yakin. Jangan mudah putus asa.
Lagi pula, jejak darah itu tidak hanya di atas rumput.
Bisa saja melekat di kulit-kulit pohon atau batu. Ayo,
kita cari lebih teliti," ajak pemuda tampan itu yang rupanya belum putus harapan untuk menemukan jejak
darah berikutnya.
Mendengar usul yang diajukan pemuda tampan
itu, dara berpakaian serba hijau ini pun kembali melangkah. Kali ini yang
diteliti tidak hanya rerumputan
di bawahnya. Batang-batang pohon dan bebatuan pun
diperiksanya. Setelah cukup lama menyusuri hutan, tibalah
pasangan muda itu di tepi sungai yang membelah hutan. Sejenak langkah keduanya
berhenti, langsung
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sesaat kemudian, mereka melepaskan
pandangan ke seberang sungai yang lebarnya sekitar tiga tombak lebih.
"Rasanya, tidak ada lagi yang bisa kita gunakan
sebagai petunjuk. Lebih baik, kita cari saja desa yang
terdekat dengan hutan ini. Siapa tahu di sana bisa diperoleh keterangan," ujar
dara jelita itu sambil menghembuskan napas kecewa.
"Sebentar...."
Tiba-tiba saja pemuda tampan itu melompat turun, dan mendaratkan kakinya di
tepian sungai. "Rasanya aku sudah dapat menemukan jejak itu, Kenanga...," kata
pemuda itu sambil meneliti bercak darah di
atas bebatuan di tepian sungai.
Dara jelita yang dipanggil Kenanga bergegas melompat turun dan mendaratkan
kakinya di sebelah
pemuda tampan yang tak lain adalah Panji. Atau, lebih
dikenal dengan Pendekar Naga Putih.
"Apa pendapatmu dengan adanya bercak-bercak
darah di batu-batu tepian sungai ini?" tanya Pendekar
Naga Putih seperti hendak menguji kekasihnya.
"Sudah jelas, orang yang terluka itu turun dan
bersandar di dinding tepi sungai ini. Lalu, dia menyeberang," sahut Kenanga
setelah berpikir sesaat.
Panji tidak segera menanggapi jawaban kekasihnya. Sepasang matanya memandang ke seberang sungai dengan kening berkerut.
Jelas, ia tengah berpikir
keras setelah mendengar jawaban Kenanga. Tak lama
kemudian, pemuda itu mengedarkan pandangan berkeliling.
*** "Apa yang dipikirkan, Kakang..?" tanya Kenanga
tak sabar ketika melihat Panji hanya memandang ke
sekeliling dengan kening berkerut
"Menurutmu, mengapa ia berlari ke dalam hutan
ini?" tanya Panji lagi. Sehingga, membuat Kenanga
kembali memutar otaknya mencari jawaban.
"Bisa jadi karena dikejar lawannya."
"Kalau kau yang terluka kemudian berlari ke dalam hutan dan menemukan sungai,
apakah kau akan
menyeberanginya" Sedangkan musuh-musuh berada
di belakang dan tengah mengejarmu?" tanya Panji semakin bersemangat
"Ah, Kakang ini ada-ada saja. Kau senang ya, kalau aku terluka dan dikejar-kejar
musuh?" sahut dara
jelita itu. Kenanga jadi sengit mendengar pertanyaan
kekasihnya. "Bukan begitu, Kenanga. Kalau hal itu terjadi pada dirimu, akan kucari jahanamjahanam keparat itu.
Dan akan kuhajar mereka sampai menangis-nangis
minta ampun," terpaksa Panji mengikuti arah pembicaraan kekasihnya ketika
melihat Kenanga cemberut
mendengar pertanyaannya.
"Betul...?" tanya Kenanga.
Sebenarnya gadis itu kurang yakin akan ucapan
kekasihnya. Namun dari tarikan bibirnya yang menyunggingkan senyum, jelas kalau
ia merasa senang
mendengar jawaban Panji.
Senyum di bibir Pendekar Naga Putih melebar
melihat keanehan sifat wanita yang sangat dicintainya.
Padahal apa yang ditanyakannya tadi hanya sekadar perumpamaan saja. Tapi,
Kenanga ternyata menanggapinya dengan pikiran berbeda. Tentu saja keanehan itu
membuatnya tersenyum.
"Betul," tegas Pendekar Naga Putih dengan wajah
sungguh-sungguh. "Apa kau belum percaya sepenuhnya kepadaku?"
"Tentu aku percaya sepenuhnya, Kakang Terima
kasih...," sahut Kenanga, segera memeluk dan mencium pipi Panji.
Tentu saja perbuatan gadis itu semakin membuat
Panji keheranan. Terus terang, pemuda tampan itu jadi
Pendekar Naga Putih 28 Laba Laba Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
semakin tidak mengerti akan sifat wanita. Semakin
merasa dekat dengan dara jelita itu, makin banyak ditemui sifat-sifat aneh yang
sulit dimengerti olehnya.
Wanita memang benar-benar makhluk aneh yang perasaannya sangat sulit dimengerti.
"Lalu, bagaimana dengan pertanyaanku tadi" Apa
yang akan kau lakukan?" tanya Panji setelah Kenanga
melepaskan pelukannya.
Kenanga tidak langsung menjawab Gadis itu termenung sejenak, seperti hendak
mengingat apa yang
ditanyakan pemuda pujaannya.
"Mmm.... Yah. Aku tidak akan menyeberangi
sungai. Dan paling tidak, musuh-musuh akan menduga aku menyeberanginya.
Sehingga, aku dapat meloloskan diri dari kejaran," jawab Kenanga kemudian.
"Bagus!" puji Pendekar Naga Putih tersenyum.
"Kalau begitu, ayo kita telusuri tepian sungai ini"
"Apa tidak mungkin kalau orang itu sudah meninggalkan hutan ini, Kakang?"
"Aku rasa tidak mungkin. Menurutku, orang yang
terluka itu pasti memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Kalau tidak, bagaimana mungkin dapat melarikan
diri dari lawan-lawannya. Dan lagi, luka-lukanya pasti
cukup parah," sahut Panji sambil melangkah menyusuri tepian sungai.
Tidak sulit bagi kedua orang pendekar muda itu
menyusuri tepian sungai. Meskipun permukaan batubatu yang bertonjolan itu sangat
licin, mereka enak saja berlompatan bagaikan dua ekor burung yang tengah
bercanda di alam bebas.
"Tunggu...!" cegah Panji sambil menghentikan
langkahnya. Melihat dari caranya, jelas kalau pemuda itu tengah mengerahkan indera
pendengarannya yang memang jauh lebih tajam daripada Kenanga.
"Kau mendengar sesuatu, Kakang..?" tanya gadis
jelita itu dengan dada berdebar tegang!
Panji tidak menyahuti pertanyaan kekasihnya,
dan malah mengedarkan pandangan ke sekitar tempat
itu. "Hm.... Mari kita periksa gua yang terdapat di
dinding sungai itu, Kenanga. Sepertinya aku mendengar rintihan lemah dari tempat
itu," ajak Pendekar Naga Putih yang segera melesat dan langsung mendaratkan
kakinya di dekat mulut gua.
"Gua sekecil ini, Kakang?" tanya Kenanga dengan
kening berkerut.
Sepertinya gadis itu tidak begitu yakin kalau ada
orang yang sudi memasuki lubang gua yang hanya sebesar dua kali tubuhnya itu.
Namun karena Panji telah
masuk ke dalamnya, maka terpaksa diikutinya.
Kisah Pedang Bersatu Padu 14 Walet Emas Perak Karya Khu Lung Pangeran Perkasa 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama