Ceritasilat Novel Online

Penunggang Kuda Bertopeng 2

Pendekar Pulau Neraka 29 Misteri Penunggang Kuda Bertopeng Bagian 2


Sedangkan seluruh tubuhnya terasa begitu lemas, tak dapat digerakkan lagi Rara
Gawing sadar kalau dia sudah terkena totokan yang melumpuhkan
seluruh anggota tubuhnya.
"Bawa dia. Jangan sampai
terluka...!" perintah si Penunggang Kuda Bertopeng.
Setelah memberi perintah, si
Penunggang Kuda Bertopeng langsung melompat naik ke punggung kudanya.
Sementara dua orang laki-laki berbaju hitam sudah bergerak menggotong Rara
Gawing yang tertotok lemas tak berdaya lagi, lalu meletakkannya di punggung kuda
gadis itu sendiri. Sebentar
kemudian, gadis itu sudah digiring berpuluh-puluh orang berbaju serba hitam.
Rara Gawing tidak tahu, ke mana dibawa pergi. Dan dia tidak berdaya lagi untuk
memberontak, karena seluruh tubuhnya kini sudah lumpuh tertotok.
Teriebih lagi, kesadarannya semakin berkurang, hingga akhimya tidak bisa
mengingat apa-apa lagi.
* * * 5 Sementara itu di dalam penjara
Kerajaan Godaka, Tumenggung Pratala jadi terkejut bukan main. Ternyata di dalam
penjara ini bukan hanya dirinya sendiri yang dijebloskan. Tapi, hampir semua
tumenggung dan adipati ada di sini. Mereka semua juga tidak
mengerti, kenapa dimasukkan ke dalam penjara dengan tuduhan yang sama
sekali sulit dimengerti. Mereka semua jadi bertanya-tanya, apa sebenamya yang
sedang terjadi di kerajaan ini"
Tumenggung Pratala memperhatikan
kalau masih ada dua tumenggung dan seorang adipati yang tidak ada di dalam
penjara ini. Mereka adalah
Tumenggung Abiguna, Tumenggung Baliga, dan Adipati Mahesa. Tapi, itu bukan suatu
bukti kalau merekalah sebenarnya yang punya rencana memberontak. Dan
Tumenggung Pratala lebih percaya kalau semua ini tentu sudah direncanakan.
Bahkan bukannya tidak mungkin kalau salah satu dari mereka yang ada dalam
penjara ini termasuk ke dalam kelompok pemberontak itu. Hanya saja, terlalu
sulit untuk membuktikannya. Bahkan juga bukannya tidak mungkin kalau tidak ada
pemberontakan, tapi hanya sebuah permainan yang memang sudah diatur. Tapi, entah
apa maksudnya semua ini. Dan itu masih menjadi suatu pertanyaan besar benak
Tumenggung Pratala.
Seorang Adipati yang usianya
beberapa tahun lebih muda dari
Tumenggung Pratala menghampirinya. Dan memang sejak dijebloskan ke dalam penjara
ini, Tumenggung Pratala selalu menyendiri, tidak bergabung dengan yang lainnya.
Dia hanya memperhatikan saja wajah-wajah murung dengan
segudang pertanyaan dan
ketidakmengertian atas semua kejadian ini.
Tumenggung Pratala memandang
Adipati Balengka yang masih berusia sekitar tiga puluh lima tahun Adipati itu
menghenyakkan tubuh di sampingnya.
"Aku benar-benar tidak mengerti semua ini, Kakang Pratala," desah
Adipati Balengka setengah mengeluh.
Nada suaranya terdengar begitu
periahan. "Tidak ada seorang pun yang bisa
mengerti, Rayi Balengka," ujar Tumenggung Pratala juga perlahan
suaranya. "Apa kita semua akan terus
mendekam di sini tanpa ada kepastian, Kakang?" tanya Adipati Balengka, seperti
untuk diri sendiri.
"Entahlah...," sahut Tumenggung Pratala.
"Rasanya tidak sulit untuk keluar dari sini, Kakang. Penjagaan tidak ketat.
Hanya ada empat prajurit saja di depan," jelas Adipati Balengka lagi.
"Jangan berpikir begitu, Rayi.
Bisa-bisa malah memperburuk keadaan yang sudah tidak menentu ini. Itu sama saja
memberontak, Rayi."
"Sudah terlanjur, Kakang. Selama ini, tidak ada sedikit pun pikiran untuk
memberontak. Malah kita semua dituduh begitu. Dan sekarang..., harus meringkuk
di dalam penjara tanpa tuduhan dan kesalahan pasti," dengus Adipati Balengka seperti putus asa.
"Aku yakin, cepat atau lambat kita akan dihukum gantung sebagai pemberontak.
Padahal, kita tidak pernah melakukan
pemberontakan. Apalagi merencanakannya, Kakang.
Sekarang sudah telanjur. Rasanya aku tidak bisa tinggal diam begitu saja.
Dalang dari semua ini tidak mungkin bisa diketahui, jika
kita hanya mendekam saja di dalam penjara.
Kakang..., mereka semua sudah setuju untuk keluar dari dalam penjara ini Mereka
tinggal menunggu keputusanmu, karena kau yang tertua di antara kami, Kakang."
Tumenggung Pratala
terdiam. Pandangannya beredar berkeliling, merayapi semua orang yang ada dalam ruangan
tahanan ini. Memang di antara mereka, hanya Tumenggung Pratala yang paling tua.
Dan mereka semua juga memandanginya, seperti berharap
mendengar keputusannya untuk keluar dari dalam tahanan ini secara paksa.
Perlahan Tumenggung Pratala
menggelengkan kepalanya sambil
mendesah, dan menghembuskan napas panjang.
"Tidak.... Kalian jangan berbuat bodoh. Lari dari sini tidak akan
menyelesaikan masalah, dan malah akan memperburuk keadaan. Seharusnya,
kalian me nyadari hal itu. Kita semua sudah terjebak ke dabm keadaan yang sulit
dimengerti. Kita tidak tahu, rencana apa yang ada di balik semua ini...," kata
Tumenggung Pratala perlahan, dengan suara mendesah.
"Tapi kita tidak punya pilihan lain lagi, Kakang," desak Adipati Balengka.
"Apa kau pikir dengan lari dari sini kita akan bebas, dan semua
persoalan akan selesai..." Tidak, Rayi.... Hal itu malah akan bertambah buruk.
Aku tahu, memang itu yang
diinginkan mereka untuk menyingkirkan kita semua. Dan justru kita akan mati
sebagai pemberontak bila kalian tetap lakukan itu. Tidakkah kalian berpikir
kalau kita semua sudah terjebak...?"
agak tinggi nada suara Tumenggung Pratala.
Tidak ada seorang pun yang
membuka suara. Mereka saling melempar pandang,
mempertimbangkan kata-kata
yang diucapkan Tumenggung Pratala barusan. Sedangkan Adipati Balengka seperti
tidak puas terhadap jalan pikiran Tumenggung Pratala. Dia
kemudian bangkit dari duduknya di samping Tumenggung Pratala, dan
berdiri di tengah-tengah ruangan
tahanan ini. Pandangannya beredar
berkeliling, merayapi sekitamya.
"Aku akan melakukannya sendiri.
Dan tidak ada seorang pun yang bisa menghalangi Adipati Balengka. Tidak ada
seorang pun yang bisa memenjarakan Adipati Balengka...!" lantang sekali suara
Adipati Balengka. "Siapa di antara kalian yang ingin tetap tinggal di sini, dan
menunggu nasib seperti Kakang Tumenggung Pratala...?"
Seorang berusia tiga puluh tahun, melangkah maju mendekati Adipati
Balengka. Namanya, Tumenggung
Wirapati. Dia berdiri tegak di depan Adipati Balengka. Tatapan matanya begitu
tajam, menusuk langsung ke bola mata Adipati Balengka.
"Apa maksudmu mengajak kami
memberontak keluar dari sini, Kakang Balengka...?" terasa dingin sekali nada
suara Tumenggung Wirapati.
"Aku hanya ingin membebaskan kau dan kalian semua dari tempat kotor ini," sahut
Adipati Balengka.
"Dengan cara memberontak...?"
sinis sekali nada suara Tumenggung Wirapati.
"Hanya itu jalan satu-satunya.
Kita tidak bisa mencari, siapa dalang dari semua ini dengan hanya berdiam diri
saja menunggu di sini."
"Sudah kutemukan salah seorang dari perusuh itu, Adipati
Balengka...," semakin sinis nada suara Tumenggung Wirapati.
Adipati Balengka tampak terkejut
mendengar kata-kata bemada begitu sinis. Dan seketika itu juga, wajahnya
langsung memucat begitu melihat semua adipati dan tumenggung yang terkurung di
kamar tahanan ini bergerak
mendekatinya. Sinar mata mereka
menyorot tajam menusuk ke arahnya.
Adipati Balengka melangkah mundur mendekati pintu jeruji yang terbuat dari besi
baja berwarna hitam. Empat orang penjaga yang berada di depan pintu, hanya
memperhatikan saja tanpa berbuat sesuatu. Sementara Adipati Balengka sudah
merapat di pintu jeruji besi kamar tahanan ini.
Wajah adipati itu semakin pucat
pasi. Sementara semua adipati dan tumenggung yang ada di ruang tahanan
ini terus bergerak semakin mendekat saja dengan mata menyorot tajam. Tapi pada
saat jarak mereka sudah tinggal beberapa langkah lagi, tiba-tiba saja Tumenggung
Pratala yang sejak tadi hanya diam memperhatikan, melompat cepat bagai kilat.
Dan tahu-tahu saja dia sudah berdiri di tengah-tengah.
"Tahan...!" sentak Tumenggung Pratala lantang menggelegar.
*** Mereka semua langsung berhenti
melangkah. Tumenggung Pratala merayapi wajah mereka semua secara bergantian.
Lalu, tatapannya beralih pada Adipati Balengka yang tampak pucat pasi,
dengan seluruh wajah dan leher
bersimbah keringat. Sementara empat orang prajurit penjaga di depan pintu kamar
tahanan ini masih tetap diam, tak melakukan tindakan apa pun juga.
Mereka hanya memperhatikan saja dari jarak sekitar satu batang tombak di depan
pintu. "Ada apa ini...?" tanya Tumenggung Pratala meminta penjelasan.
"Tidak ada seorang pun yang ingin memberontak, Kakang Tumenggung
Pratala. Bahkan kami semua rela mati di sini, demi Gusti Prabu Bojananta.
Tapi si pengkhianat ini..., berani-beraninya menghasut untuk memberontak.
Jelas, dia salah seorang pengkhianat-pengkhianat itu, Kakang Tumenggung,"
sahut Tumenggung Wirapati.
"Benar...!" sambut yang lain serempak Tumenggung Pratala menatap tajam Adipati
Balengka yang masih kelihatan pucat wajahnya. Keringat sebesar butir-butir
jagung, menitik deras di seluruh wajah dan lehemya.
Tubuh adipati yang masih cukup muda usianya itu kelihatan gemetar seperti
terserang demam.
"Kenapa kau lakukan itu,
Rayi...?" tanya Tumenggung Pratala tidak mengerti sikap Adipati Balengka.
"Aku..., aku tidak mengerti.
Kenapa kalian menuduhku berkhianat"
Aku hanya ingin mengajak kalian bebas dari tempat ini...," jelas Adipati
Balengka. Suaranya bergetar dan
tergagap. "Mereka semua rela, meskipun harus mati di kamar tahanan ini.
Seharusnya, kau tidak perlu bersikap aneh seperti itu. Kau tahu, apa
jadinya dalam keadaan seperti sekarang
ini..." Tidak seorang pun yang bisa dipercaya lagi. Sedangkan sikapmu, bagi
mereka adalah sikap seorang
pengkhianat yang me-coba menjerumuskan mereka ke lembah neraka yang lebih dalam
lagi. Seharusnya kau bisa
menyadari itu, Rayi Balengka," ujar Tumenggung Pratala, yang menyesalkan sikap
Adipati Balengka.
"Tidak ada gunanya lagi banyak bicara, Kakang. Dia pasti salah
seorang dari mereka...!" sentak Tumenggung Wirapati lantang suaranya.
"Sebaiknya, kita gantung saja sekarang juga...!"
"Ya, benar...!"
"Gantung pengkhianat itu...!"
"Gantung sampai mati...!"
Ruangan yang berukuran tidak
begitu besar ini seakan-akan hendak runtuh oleh riuhnya sorak-sorai mereka yang
meminta agar Adipati Balengka digantung sekarang juga. Dan ini
membuat Adipati Balengka semakin pucat wajahnya. Seluruh tubuhnya bergetar
dahsyat, tidak sanggup membayangkan kalau sampai digantung di dalam rungan
tahanan yang kotor begini.
Mereka sudah bergerak hendak
meringkus Adipati Balengka. Untungnya,
Tumenggung Pratala yang lebih tua dan dihormati oleh para adipati dan
tumenggung itu segera bertindak. Dia mencegah tindakan brutal dari mereka yang
sudah dihinggapi perasaan marah, akibat tindakan gegabah yang dilakukan Adipati
Balengka. "Tahan...!" bentak Tumenggung Pratala.
Seketika itu juga, keributan yang terjadi di dalam kamar tahanan ini langsung
berhenti begitu terdengar bentakan keras menggelegar. Sementara Tumenggung
Pratala sudah berdiri tegak membelakangi Adipati Balengka yang berdiri dengan
punggung merapat di pintu jeruji besi ruangan tahanan ini.
"Sadarlah.... Kalian adalah para Adipati dan Tumenggung yang terhormat di negeri
ini. Kalian bukan gerombolan penjahat. Apakah kalian ingin berbuat seperti
gerombolan penjahat liar..."
Tidakkah kalian menyadari akan diri dan kedudukan kalian..?" lantang sekali
suara Tumenggung Pratala.
Tak ada seorang pun yang
berbicara lagj. Namun dari sinar mata mereka, masih menyimpan kemarahan pada
Adipati Balengka yang kini berada dalam lindungan Tumenggung Pratala.
Satu persatu laki-laki separuh baya itu merayapi para Tumenggung dan
Adipati yang berada di depannya.
Mereka semua langsung tertunduk,
seakan-akan tidak sanggup membalas sinar yang menyorot begitu tajam.
Sementara Adipati Balengka sedikit merasa lega, karena saat ini masih bisa
bemapas dalam lindungan
Tumenggung Pratala, yang dtketahuinya begitu ditakuti dan dihormati semua
Adipati dan Tumenggung Kerajaan Godaka ini.
Perlahah Tumenggung Pratala
memutar tubuhnya, berbalik menghadap Adipati Balengka lagi. Ditatapnya Adipati
muda itu dengan sinar mata penuh
selidik. Sedangkan Adipati
Balengka hanya tertunduk saja. Dengan punggung tangan, disekanya keringat yang
membanjiri wajah dan lehernya.
"Siapa yang menyuruhmu melakukan ini, Balengka?" tanya Tumenggung Pratala, tidak
lagi memanggil dengan sebutan rayi.
"Aku..., aku...," Adipati Balengka jadi tergagap.
"Jawab pertanyaanku dengan jujur, Balengka," desis Tumenggung Pratala dingin dan
menggetarkan. "Aku tidak tahu maksudmu,
Kakang...," sahut Adipati Balengka, semakin tergagap suaranya.
"Sudah, Kakang. Tidak periu
banyak tanya lagi..," selak Tumenggung Wirapati tidak sabar.
"Diam kau, Wirapati...!" sentak Tumenggung Pratala seraya mendelik.
Tumenggung Wirapati terdiam
mendapat bentakan dari Tumenggung Pratala. Kakinya bergeser dua tiridak ke
belakang. Sementara yang lain tidak ada lagi yang berani membuka suara.
Mereka semua tahu, jika Tumenggung Pratala sudah ikut turun tangan, tidak
mungkin dicampuri lagi Dan mereka juga tahu, tidak mungkin Tumenggung Pratala
bertindak berat sebelah. Siapa pun di antara mereka yang menyelusup sebagai


Pendekar Pulau Neraka 29 Misteri Penunggang Kuda Bertopeng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengkhianat, pasti akan ketahuan juga.
Dan mereka percaya dengan kecerdikan serta cara-cara yang dilakukan
Tumenggung Pratala dalam menghadapi persoalan seperti ini.
"Aku bisa menolongmu agar tidak digantung mereka. Itu kalau kau mau berkata
jujur padaku, Balengka," desak Tumenggung Pratala lagi Sorot matanya tampak
masih tetap tajam, menusuk
langsung ke bola mata Adipati
Balengka. "Apa lagi yang harus kukatakan, Kakang" Aku bukan pengkhianat.... Maaf kalau aku
tadi khilaf," sahut Adipati Balengka masih dengan suara bergetar.
"Kau berkata jujur, Balengka...?"
desak Tumenggung Pratala.
"Aku..., aku...," Adipati Balengka jadi tergagap.
"Siapa yang menyuruhmu,
Balengka?" Tumenggung Pratala terus mendesak.
"Tid..., tidak ada," sahut Adipati Balengka semakin tergagap.
"Kau begitu gugup, Balengka,"
kata Tumenggung Pratala terus menatap tajam ke bola mata Adipati muda ini.
Adipati Balengka kelihatan
semakin gelisah saja. Kepalanya
menoleh ke kanan dan ke kiri, menatap empat orang prajurit penjaga yang sama
sekali tidak bergeming. Sama sekali adipati itu tidak mampu membalas
tatapan mata Tumenggung Pratala yang begitu tajam menusuk.
*** Dan baru saja Tumenggung Pratala
ingin bertanya lagi, tiba-tiba saja empat orang
prajurit penjaga
membungkukkan tubuhnya. Kemudian, muncul empat orang berbaju serba merah dengan
wajah ditutupi kain berwarna merah pula. Hanya dua lubang kecil saja yang ada
untuk sepasang mata.
Salah seorang berbaju merah itu
berbicara pada empat orang prajurit penjaga. Kemudian, salah seorang
prajurit melangkah mendekati pintu
kamar tahanan itu. Lalu, dibukanya kunci pintu, dan ditariknya Adipati Balengka
keluar. Bergegas ditutupnya pintu tahanan itu kembali, dan
dikuncinya. "Kau ikut aku, Balengka," ujar salah seorang berbaju serba merah yang tadi
berbicara dengan prajurit
penjaga. Adipati Balengka menatap sebentar pada Tumenggung Pratala, kemudian melangkah
mengikuti dua orang berbaju serba merah. Kemudian, disusul dua orang lagi yang
juga mengenakan baju wama serba merah. Sedangkan empat orang prajurit kembali ke
tempatnya berjaga. Kepergian Balengka bersama empat orang berbaju serba merah
itu diiringi pandangan mata para Adipati dan Tumenggung yang berada dalam kamar
tahanan. Sementara Adipati Balengka yang
diapit dua orang berbaju merah di depan dan dua orang lagi di belakang, terus
berjalan menyusuri lorong
tahanan yang hanya diterangi beberapa obor terpancang di setiap kiri dan kanan
dindingnya. Mereka terus
berjalan tanpa berbicara sedikit pun, sampai tiba di depan pintu keluar. Dua
orang prajurit penjaga membungkuk
memberi hormat Salah seorang segera membuka pintu yang terbuat dari besi baja
berukuran tebal itu.
Mereka terus melangkah keluar
dari bangunan bawah tanah penjara ini.
Adipati Balengka segera menghirup udara segar dalam-dalam, begitu berada di luar
penjara. Matahari yang
bersinar terang, membuat matanya jadi menyipit silau. Dia terus digiring menuju
ke bangunan istana yang berdiri megah. Beberapa prajurit yang ada di sekitar
bangunan penjara dan istana hanya memandangi saja.
Belum ada yang mengeluarkan
suara, sampai mereka tiba di sebuah ruangan berukuran tidak begitu besar.
Hanya ada dua pintu di ruangan ini.
Satu pintu dilewati tadi, dan satu pintu lagi yang tertutup rapat
"Kau duduk di sini, Balengka,"
ujar salah seorang berbaju serba merah sambil menekan pundak Adipati
Balengka. Mau tak mau, adipati berusia muda itu terduduk di kursi yang
terbuat dari rotan.
Sedangkan empat orang berbaju
serba merah itu berdiri berjajar di belakangnya. Pada saat itu, pintu yang
langsung menghadap mereka terbuka perlahan-lahan. Maka empat orang
berbaju serba merah itu segera
membungkukkan tubuh, tepat di saat seorang laki-laki tua berjubah serba putih
yang cukup longgar melangkah masuk. Dia diiringi dua orang pemuda yang juga
mengenakan baju wama putih bersih dan cukup ketat, sehingga
membentuk tubuh yang tegap, padat, dan berisi.
"Gusti...."
Adipati Balengka jadi teriongong, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang
dilihatnya saat ini. Cepat-cepat dijatuhkan dirinya ke lantai, dan berkitut
Keningnya dirapatkan di
lantai. Seluruh tubuhnya jadi bergetar
hebat Sementara keringat dingin
sebesar butir jagung menitik deras membasahi seluruh tubuhnya. Sedangkan lakilaki tua yang masih kelihatan tegap dan berjubah putih longgar itu mendekati
Adipati Balengka. Ditepuk-tepuknya pundak adipati itu dengan lembut
"Bangunlah, Anakku Adipati
Balengka...," ujar laki-laki tua itu.
Lembut sekali nada suaranya.
"Ampunkan hamba, Gusti...," lirih sekali suara Adipati Balengka.
"Bangunlah, dan duduk di
kursimu," ujar laki-laki tua itu lagi, masih tetap lembut suaranya.
Perlahan Adipati Balengka
bangkit, kemudian duduk di kursi rotan yang tadi didudukinya. Sedangkan lakilaki tua berbaju putih longgar itu duduk tidak jauh di kursi kayu jati berukir,
berwarna kuning keemasan.
Alas kursi itu dari kain beludru
berwarna merah. Sementara empat orang berbaju serba merah yang berdiri di
belakang Adipati Balengka, segera berpindah ke belakang laki-laki tua itu.
Mereka melepaskan kain yang
menyelubungi seluruh kepalanya.
"Oh...?"
Adipati Balengka jadi semakin
terperangah, begitu empat orang
berbaju serba merah itu membuka kain selubungnya. Saat itu juga, kakinya terasa
seperti sudah tidak berpijak lagi pada bumi. Napasnya seakan-akan berhenti
bekerja, dan jantungnya
begitu cepat berdetak. Keringat
semakin banyak mengucur di seluruh tubuhnya. Sungguh.... Saat ini dia merasakan
seolah-olah sudah tidak lagi hidup.
* * * 6 Apa yang dirasakan Adipati
Balengka saat ini memang tidak
berlebihan. Karena mereka yang ada di depannya saat ini adalah orang-orang yang
patut dihormati. Memang, mereka adalah orang-orang utama di Kerajaan Godaka ini
Laki-laki tua berjubah serba putih itu adalah ayah kandung Prabu Bojananta, yang
sebelumnya menjadi raja di Kerajaan Godaka ini.
Sedangkan salah satu orang yang
mengenakan baju serba merah adalah Prabu Bojananta sendiri.
Sementara tiga orang yang
mendampingi adalah Tumenggung Abiguna, Tumenggung Baliga, dan Adipati Mahesa.
Yang paling lama menduduki jabatan adipati, selama Prabu Bojananta belum menjadi
raja di Kerajaan Godaka Ini, adalah Adipati Mahesa. Lalu, dua orang lagi yang
mengenakan baju berwarna putih juga adalah dua orang panglima kepercayaan Prabu
Podaralaga, ayah kandung dari Prabu Bojananta. Hal itulah yang membuat Adipati
Balengka benar-benar seperti terlepas nyawanya saat ini.
"Aku sudah tahu, apa yang terjadi di dalam kamar tahanan. Kenapa kau ingin
memberontak pada kerajaan ini, Balengka?" terdengar lembut suara Prabu
Podaralaga. Tapi, ada sedikit tekanan pada nada suaranya yang begitu dalam.
"Hamba.... Hamba tidak
memberontak, Gusti,"
sahut Adipati Balengka tergagap.
"Pikirkanlah dengan benar,
Balengka. Katakan, siapa-siapa saja temanmu yang ingin menggulingkan
takhta?" desak Prabu Bojananta tampak tidak sabar.
"Ampunkan hamba, Gusti. Hamba
benar-benar tidak ada maksud
memberontak. Memikirkan saja, hamba tidak berani, Hamba benar-benar tidak tahu
rencana itu, Gusti," rintih Adipati Balengka memelas.
"Hm...," gumam Prabu Podaralaga perlahan.
Ditatapnya dalam-dalam wajah
Adipati Balengka yang tertunduk
menekuri ujung jari kakinya. Sebentar kemudian wajahnya berpaling pada dua orang
berbaju putih yang berdiri tepat di belakangnya. Dua orang pemuda
berbaju serba putih itu langsung
membungkukkan tubuh, kemudian
melangkah menghampiri Adipati
Balengka. Salah seorang dari pemuda itu memang dikenali Adipati Balengka sebagai
adik kandung Panglima Gajah Pati yang juga seorang panglima perang kerajaan ini.
Namanya Panglima Gajah Sodra. Sedangkan yang satunya lagi adalah Panglima
Gotama. Dengan sikap hormat, mereka
membangunkan Adipati Balengka hingga berdiri, lalu membawanya keluar dari
ruangan ini. Tiga orang berbaju merah
yang tadi bersama-sama Prabu
Bojananta, segera keluar mengiringi Adipati Balengka yang dikawal dua orang
panglima berbaju serba putih itu. Kini di dalam ruangan yang
berukuran tidak begitu besar itu, tinggal Prabu Bojananta dan ayahnya saja.
"Mungkin berita itu tidak benar, Ayahanda Prabu. Aku khawatir terjadi sesuatu
terhadap mereka," duga Prabu Bojananta setelah tinggal mereka
berdua saja di ruangan ini. "Aku merasa tidak akan ada hasilnya dengan cara
seperti ini."
Sedangkan laki-laki tua berjubah
putih yang walaupun tidak menjabat sebagai raja lagi, tapi tetap
dipanggil dengan sebutan prabu, hanya diam saja. Dia bangkit berdiri dan
melangkah mendekati jendela yang
tertutup rapat. Perlahan-lahan
dibukanya jendela itu lebar-lebar.
Lalu, tubuhnya berbalik, menatap
putranya yang kini menggantikan
kedudukannya sebagai raja di Kerajaan Godaka ini.
"Barangkali bukan salah seorang dari mereka, Ayahanda Prabu. Mungkin salah
seorang patih, atau pembesarpembesar lainnya yang luput dari
perhatian kita," kata Prabu Bojananta lagi.
"Naluriku tidak pernah salah, Bojananta," ujar Prabu Podaralaga, agak dalam nada
suaranya. "Tapi siapa..." Desas-desus ini
sudah menyebar, dan membuat seluruh rakyat jadi resah. Aku tidak ingin berlarutlarut, Ayah. Yang jelas, secepatnya harus dicari penyelesaian agar tidak ada
penyesalan di belakang hari."
Prabu Podaralaga kembali terdiam.
"Selama ini aku tidak pernah mendengar adanya rencana itu, Ayah?"
tanya Prabu Bojananta.
"Percayalah, ada salah seorang Adipati atau Tumenggung yang akan melakukan
pemberontakan di Kerajaan Godaka!" tegas Prabu Podaralaga, agak dalam nada
suaranya. "Menahan mereka sama sekali tidak berguna, Ayah. Bahkan akan membuat kesulitan
baru lagi Aku benar-benar tidak mengerti semua ini. Tiba-tiba saja Ayah keluar
dari pertapaan, dan mengira kalau salah seorang dari
Adipati dan Tumenggung merencanakan suatu pemberontakan. Sedangkan selama
ini, aku tidak pernah mendengar adanya rencana seperti itu. Terlebih lagi dari
mereka, Ayah. Sebenamya, dari mana Ayah mendapat berita seperti itu...?"
"Kau sudah mulai meragukan
diriku, Bojananta," agak mendesis suara Prabu Podaralaga.
"Maaf, Ayahanda Prabu. Bukan maksudku untuk meragukan. Tapi keadaan ini rasanya
tidak bisa dibiarkan
terialu lama berlarut-larut. Harus ada satu penyelesaiannya. Akan semakin besar
pengaruhnya bila mereka tidak segera dibebaskan, Ayah."
"Berpikirlah secara jernih,
Bojananta."
Prabu Bojananta ingin bicara
lagi. Tapi sebelum sempat membuka mulutnya, laki-laki tua berbaju serba putih
itu sudah melangkah meninggalkan ruangan ini. Dia melalui pintu yang tadi
dilalui, saat masuk ke dalam ruangan ini. Kini tinggal Prabu
Bojananta sendbi di tempat itu. Dia duduk merenung memikirkan keadaan yang
semakin bertambah tidak menentu ini.
Sedangkan sampai sekarang, belum jelas kebenaran berita yang dibawa ayahnya,
hingga sampai keluar dari pertapaan.
"Aku yakin, ada sesuatu yang tidak beres. Hm..., aku harus
menyelidiki sendiri tanpa seorang pun boleh tahu. Tapi dari mana aku harus
memulai...?" gumam Prabu Bojananta berbicara sendiri dalam hati.
*** Malam sudah merayap cukup larut
menyelimuti seluruh wilayah Kerajaan Godaka. Prabu Bojananta menuntun
kudanya perlahan-lahan, keluar dari benteng istana melalui jalan rahasia yang
terietak di bagian Timur bangunan megah itu. Tak ada seorang pun yang
mengetahui, karena pintu rahasia itu berada di dalam taman kaputren yang hanya
keluarga istana saja yang boleh memasukinya.
"Heh..."!"
Prabu Bojananta jadi terkejut
begitu berada di luar. Kedua bola matanya terbeliak lebar, hampir tidak percaya
dengan apa yang sedang
dilihatnya. Belum lagi hilang rasa
keterkejutannya, tiba-tiba saja tiga orang berpakaian serba hitam
berlompatan menyerang. Golok-golok
mereka yang berkilatan, ber-kelebat mengincar tubuhnya. Cepat-cepat Prabu
Bojananta melentingkan tubuhnya ke udara, meninggalkan kudanya yang harus
menerima nasib terbabat sebilah golok yang tadi diarahkan untuknya. Kuda berbulu
putih bersih itu meringkik keras, lalu jatuh menggelepar dengan leher hampir
terbabat buntung. Darah mengucur deras dari leher yang hampir buntung terbabat
golok. "Keparat..! Kalian harus ganti nyawa kudaku...!" geram Prabu Bojananta, seketika
memuncak amarahnya. Sret! Kemarahan Prabu Bojananta memang
tidak dapat dikendalikan, tatkala melihat kuda kesayangannya sudah
tergeletak tak bemyawa lagi. Langsung pedangnya yang tersimpan di punggung
dicabut "Mampus kalian! Hiyaaat..!"


Pendekar Pulau Neraka 29 Misteri Penunggang Kuda Bertopeng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bet!!! Cepat sekali Prabu Bojananta
meluruk, sambil membabatkan pedang ke arah kepala salah seorang berbaju hitam
yang menyerangnya tadi. Begitu cepat gerakan tangannya saat
mengebutkan pedang, sehingga orang
berbaju hitam itu tidak sempat lagi berkelit. Dan....
Cras! "Aaa...!"
Jeritan panjang melengking tinggi terdengar begitu menyayat orang
berbaju serba hitam itu terhuyung-huyung sambil memegangi kepalanya yang
terbelah terbabat pedang Prabu
Bojananta. Raja yang masih berusia muda itu tidak puas begitu saja.
Dengan kecepatan bagai kilat, dia kembali melompat menyerang dua orang berbaju
serba hitam lainnya.
"Hiyaaat..!"
Bet! Trang! "Akh...!"
Satu orang yang mencoba menangkis tebasan pedang Prabu Bojananta jadi terpekik.
Goloknya yang terbang
melayang ke udara tidak bisa lagi diselamatkan. Sebelum orang itu sempat
menyadari apa yang terjadi, Prabu Bojananta sudah melepaskan satu ten dangan
menggeledek sambil memutar tubuhnya. Kembali orang berbaju serba hitam yang
sudah kehilangan goloknya itu terpekik keras, begitu tendangan Prabu Bojananta
mendarat telak di
dadanya. Seketika itu juga tubuhnya terpental deras ke belakang, sampai
menghantam sebatang pohon yang cukup besar hingga hancur berkeping-keping.
Pada saat yang bersamaan, Prabu
Bojananta juga mengebutkan pedangnya pada satu orang lagi yang berada dekat
dengannya. Tapi belum juga pedangnya sampai di dada orang itu, tiba-tiba saja
berkelebat sebuah bayangan hitam pekat Kelebatan bayangan itu masih dibarengi
kilatan cahaya keperakan, langsung menghantam pedang yang sudah hempir membelah
dada orang berbaju hitam itu.
Trang! "Ikh..."!"
Prabu Bojananta terkejut setengah mati, begitu pedangnya seperti
membentur sebongkah batu cadas yang teramat keras. Seluruh tangan kanannya
sampai bergetar. Raja muda itu cepat-cepat melompat mundur sebelum
pedangnya teriepas dari genggaman.
Bergegas pergelangan tangannya yang bergetar diurut Seakan-akan, seluruh aliran
darah di tangan kanannya jadi terbalik, saat pedangnya terbentur cahaya
keperakan yang muncul bersamaan dengan kelebatan bayangan hitam pekat
Dan kini tahu-tahu di depannya
sudah berdiri seseorang yang
mengenakan baju wama hitam pekat
Seluruh wajahnya tertutup topeng kayu berwama hitam juga. Sebuah gagang pedang
berwama keperakan yang berkilat tersilang di depan dada. Dan belum lagi
keterkejutan Prabu Bojananta hilang, tahu-tahu dari balik kegelapan malam
bermunculan orang-orang berbaju serba hitam yang menghunus golok
telanjang. Mereka langsung mengepung tempat itu tanpa diperintah lagi.
Prabu Bojananta mengebutkan pedangnya beberapa kali, kemudian disiiangkan di
depan dada. "Penunggang Kuda Bertopeng..."
desis Prabu Bojananta langsung
mengenali orang yang tiba-tiba muncul itu.
"Seharusnya kau tidak perlu
keluar dari istana, Prabu Bojananta,"
agak dalam nada suara laki-laki yang wajahnya terselubung topeng berwarna hitam.
Memang, dia adalah si
Penunggang Kuda Bertopeng.
"Aku keluar memang ingin
mencarimu, Kisanak. Kau telah
mengacaukan keadaan istana. Apa
maksudmu menyebarkan fitnah yang
begitu keji...?" tegas Prabu Bojananta langsung bertanya pada pokok
persoalannya. "Seharusnya kau tidak perlu marah padaku, Prabu Bojananta. Aku hanya
menjalankan, apa yang menjadi
kewajibanku untuk melindungi Kerajaan Godaka ini dari rongrongan musuh
terselubung. Bahkan bisa menikammu dari belakang," tenang sekali jawaban si
Penunggang Kuda Bertopeng.
"Terima kasih..., hhh!" dengus Prabu Bojananta sinis.
"Seharusnya kau sudah bisa
meringkus mereka, Prabu Bojananta.
Tapi sekarang, sudah terlambat Karena mereka sudah mulai bergerak, dan sudah ada
di perbatasan Utara. Besok pagi, mereka pasti sudah sampai, dan
langsung menyerang istana ini," jelas si Penunggang Kuda Bertopeng.
"Jangan coba-coba mempermainkan aku untuk yang kedua kali, Kisanak.
Siapa kau sebenarnya...?" masih terdengar dingin nada suara Prabu Bojananta.
"Belum saatnya kau tahu tentang diriku, Prabu Bojananta. Tapi jika kata-kataku
tidak dituruti, kau akan menyesal seumur hidup. Kedudukanmu
sebagai raja sedang terancam.
Sedangkan kau terlalu dibakar nafsu amarah."
"Huh! Jangan mengguruiku,
Kisanak...!"
"Hm.... Kau terlalu keras kepala, Prabu Bojananta. Kau memang masih terlalu muda
untuk menjadi raja.
Baiklah.... Mungkin aku memang harus turun tangan untuk menyelamatkan
Kerajaan Godaka. Aku tidak lagi bisa mengandalkanmu. Kau harus turun takhta
malam ini juga, karena kau benar-benar buta dan tidak bisa melihat keadaan
sekelilingmu. Kau masih terlalu
terbawa nafsu dan darah mudamu," kali ini nada suara si Penunggang Kuda
Bertopeng terdengar begitu dingin.
"Edan...! Rupanya kau sendiri yang ingin menjatuhkan takhtaku,
Keparat..!" geram Prabu Bojananta, langsung memuncak amarahnya.
"Wadyabala...! Kalian semua masuk ke istana. Kuasai seluruh istana.
Jaga, jangan sampai ada seorang pun yang keluar!" perintah si Penunggang Kuda
Bertopeng, lantang.
Tanpa menunggu perintah dua kali, semua orang yang mengenakan baju serba hitam
itu segera bergerak hendak masuk
ke dalam benteng istana dari pintu rahasia. Tapi Prabu Bojananta sudah lebih
dulu melompat cepat, dan berdiri tegak di depan pintu rahasia itu.
"Langkahi dulu mayatku jika
kalian ingin masuk!" tantang Prabu Bojananta dengan pedang terhunus di depan
dada. Semua orang yang mengenakan baju
hitam itu jadi berhenti bergerak, dan kelihatan ragu-ragu. Sedangkan si
Penunggang Kuda Bertopeng menggereng geram melihat sikap Prabu Bojananta yang
tidak mengindahkan peringatannya sama sekali.
"Tindakanmu sudah kelewat batas, Bojananta! Minggir kau...!" bentak si
Penunggang Kuda Bertopeng itu lantang.
"Heh...!?"
Prabu Bojananta jadi tersentak
kaget setengah mati mendengar bentakan yang begitu lantang menggelegar.
Tetiebih lagi, manusia penuh teka-teki yang selalu mengaku berjuluk si
Penunggang Kuda Bertopeng itu langsung menyebut namanya saja, tanpa ada
panggilan prabu di depan namanya.
"Hup...!"
Tapi belum juga hilang rasa
keterkejutannya, tiba-tiba saja si
Penunggang Kuda Bertopeng sudah
melompat cepat bagaikan kilat ke depan Prabu Bojananta. Secepat kilat pula,
dilepaskannya satu sodokan ke arah dada bagian kiri raja muda itu.
"Uts...!"
Tapi dengan gerakan manis sekali, Prabu Bojananta berhasil berkelit menghindari
sodokan tangan kanan si Prabu Bojananta. Cepat-cepat tubuhnya meliuk. Lalu
dengan bertumpu pada satu kaki, Prabu Bojananta segera memutar tubuhnya sambil
melepaskan satu
tendangan berputar yang begitu cepat luar biasa.
"Yeaaah...!"
"Hup!"
Namun si Penunggang Kuda
Bertopeng sudah melentingkan tubuhnya ke udara. Sehingga, sepakan kaki kanan
Prabu Bojananta tidak sampai mengenai tubuhnya. Bahkan begitu berhasil
menjejakkan kakinya kembali ke tanah, cepat sekali diberikannya satu pukulan
keras menggeledek yang disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaa...!"
"Haiti"
Prabu Bojananta tidak bisa lagi
berkelit Dengan cepat sekali pedangnya
dibabatkan, hendak mematahkan pukulan si Penunggang Kuda Bertopeng.
Wuk! "Uts...!"
Cepat-cepat si Penunggang Kuda
Bertopeng menarik tangannya pulang, sehingga terbebas dari tebasan pedang Prabu
Bojananta. Namun sebelum sempat berbuat lebih jauh lagi, Prabu
Bojananta sudah melakukan serangan kembali. Pedangnya berkelebat cepat bagai
kilat mengarah ke pinggang.
Begitu cepat serangannya, sehingga si Penunggang Kuda Bertopeng tidak sempat
lagi menghindar. Maka, pedangnya cepat diayunkan untuk menangkis tebasan pedang
raja muda itu. Bet! Trang! *** Percikan bunga api memijar, saat
dua pedang beradu keras di samping pinggang si Penunggang Kuda Bertopeng.
Cepat-cepat si Penunggang Kuda
Bertopeng melompat ke belakang, lalu membuat beberapa gerakan dengan
kebutan pedang di depan dada, begitu kakinya menjejak tanah kembali. Pada saat
itu, Prabu Bojananta jadi terpaku
begitu melihat pedang si Penunggang Kuda Bertopeng sudah melintang di atas
kepala. Padahal di saat itu dia juga seiesai melakukan gerakan gerakan yang
sama. Pedangnya juga sudah melintang di atas kepala. Saat itu juga Prabu
Bojananta langsung menyadari kalau jurus yang mereka miliki sama persis.
"Heh..."! Siapa kau sebenamya"!
Dari mana kau peroleh jurus 'Pedang Dewa'...?" tanya Prabu Bojananta terkejut
setengah mati. "Kau benar-benar buta, Bojananta.
Seharusnya kau sudah tahu sejak awal tadi. Hhh...! Kau benar-benar belum pantas
menduduki takhta Kerajaan Godaka...!" dengus si Penunggang Kuda Bertopeng, agak
dingin nada suaranya.
"Suaramu...?" tersedak suara Prabu Bojananta.
Dan memang, suara si Penunggang
Kuda Bertopeng kali ini terdengar lain di telinga Prabu Bojananta. Dan suara itu
seperti mengingatkannya pada seseorang yang sudah begitu lama tidak pernah
dijumpai setelah dia menduduki takhta, sebagai Raja di Kerajaan
Godaka ini Tapi....
"Mustahil.... Tidak mungkin...,"
desis Prabu Bojananta seraya
menggeleng-gelengkan kepala.
Saat itu, si Penunggang Kuda
Bertopeng sudah berdiri tegak kembali.
Dan pedangnya kini dimasukkan ke dalam sarungnya yang tergantung di pinggang.
Kemudian, sarung pedangnya dilepaskan dari pinggangnya, dan diberikannya pada
salah seorang yang berada dekat dengannya. Sementara Prabu Bojananta hanya
memperhatikan saja. Dia benar-benar tidak mengerti dengan semua kejadian yang
bru saja di alaminya.
Dan raja muda itu juga masih
belum yakin akan dugaannya sekarang ini. Sungguh dia tidak tahu, apa yang
terjadi. Sementara si Penunggang Kuda Bertopeng mengangkat tangan kanannya
keatas kepala, lalu perlahan-lahan melepaskan topeng kayu berwarna hitam pekat
yang salama ini menutupi wajah dan seluruh kepabnya. Sedangkan Prabu Bojananta
jadi menahan napas, menunggu untuk melihat wajah asli si Penunggang Kuda
Bertopeng itu. Dan begitu seluruh topeng terlepas dari kepala orang yang penuh
misteri itu....
"Kau..."!"
Kedua bola mata Prabu Bojananta
jadi terbeliak lebar. Sepertinya dia sedang bermimpi, dan hampir tidak percaya
dengan apa yang sedang
disaksikannya. Sungguh tidak disangka kalau orang yang berdiri di depannya ini
adalah paman, yang juga sekaligus gurunya. Guru yang segala hal, sejak masih
kecil hingga menduduki takhta Kerajaan Godaka ini.
"Paman Waragati...," desis Prabu Bojananta masih belum percaya dengan apa yang
dilihatnya. Sama sekali tidak disangka kalau
si Penunggang Kuda Bertopeng itu
sebenamya adalah Paman Waragati.
Memang sulit dipercaya! Tapi yang sekarang berdiri di depannya ini
memang benar Paman Waragati, orang yang sangat dihormari selain ayahnya.
Berkat bimbingan Paman Waragatilah, maka dia bisa menjadi pemuda yang tangguh
dan patut diperhitungkan.
Bahkan selama ini, dia selalu bersikap adil dan bijaksana selama menduduki
takhta menggantikan ayahnya.
Tapi memang benar apa yang
dikatakan Paman Waragati, kalau
terkadang darah mudanya masih terasa sukar dikendalikan. Hal itu memang
disadari. Sebagai seorang putra
tunggal seorang raja, kekerasan
kepalaannya memang sukar dihilangkan begitu saja. Padahal, dia sudah
berusaha keras untuk menghilangkannya.
Tapi semua itu akan selalu timbul bila menghadapi suatu persoalan yang begitu
menekan Seperti persoalan yang baru-baru ini dihadapinya.
"Maafkan aku, Paman...," ucap Prabu Bojananta seraya membungkuk memberi hormat
"Sudahlah, Ananda Prabu," ujar Paman Waragati yang selama ini
menggunakan julukan si Penunggang Kuda Bertopeng, seraya melangkah
menghampiri raja muda itu.
"Tapi, kenapa Paman muncul dengan cara seperti ini" Kenapa tidak terang-terangan
saja...?" tanya Prabu Bojananta langsung
"Itu tidak mungkin, Ananda Prabu.
Jika kemunculanku terang-terangan, pemberontak itu bisa cepat mengetahui.
Tapi dengan cara seperti ini, aku justru membuat mereka bingung."
"Tapi hal itu malah semakin
memperburuk keadaan, Paman."
"Tidak juga, karena sebagian pemberontak sudah kutumpas."
"Maksud, Paman...?"
Paman Waragati hanya tersenyum
saja. Dipanggilnya salah seorang yang mengenakan baju wama hitam pekat, yang
ternyata murid-murid laki-laki separuh baya ini.
"Panggil Pendekar Pulau Neraka ke sini," perintah Paman Waragati.
"Baik, Ki," sahut laki-laki yang masih berusia muda itu sambil
membungkukkan tubuh memberi hormat
"Pendekar Pulau Neraka...?" desis Prabu Bojananta seraya mengerutkan keningnya.
Sementara pemuda berbaju hitam
itu sudah berlalu, Prabu Bojananta menatap agak dalam pada Paman
Waragati. Dia teringat cerita
Tumenggung Pratala yang sempat
bertarung melawan si Penunggang Kuda Bertopeng ini, lalu diselamatkan
seorang pemuda asing yang mengaku berjuluk Pendekar Pulau Neraka. Dan sebelum


Pendekar Pulau Neraka 29 Misteri Penunggang Kuda Bertopeng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Prabu Bojananta selesai dengan semua pikiran yang berkecamuk di
kepalanya, pemuda berbaju serba hitam murid laki-laki separuh baya ini sudah
datang kembali bersama seorang pemuda tampan berbaju kulit harimau. Tampak
seekor monyet kecil berbulu hitam nangkring di pundak kanannya.
* * * 7 "Kau harus berterima kasih pada Pendekar Pulau Neraka, Ananda Prabu.
Karena dialah, maka negeri ini bisa terselamatkan," kata Paman Waragati.
"Aku.... Aku tidak mengerti
maksudmu, Paman?" Prabu Bojananta meminta penjelasan.
"Sebenamya aku sudah lama
mencurigai beberapa orang Tumenggung dan Adipati. Tapi aku tidak bisa
menyelidiki kebenarannya. Dan Pendekar Pulau Neraka kuminta bantuan untuk
menyelidiknya. Hanya saja, salah satu Tumenggung yang kucurigai temyata tidak
terbukti. Dialah Tumenggung Pratala yang benar-benar setia pada negeri ini.
Sedangkan yang benar-benar pengkhianat adalah Tumenggung Baliga, Tumenggung
Abiguna, dan Adipati
Mahesa. Semua ini terbukti, karena aku dan Pendekar Pulau Neraka telah
meringkus beberapa orang pengikutnya.
Dan sekarang mereka telah diamankan tidak jauh dari perbatasan kota
sebelah Utara," jelas Paman Waragati singkat
"Benar, Gusti. Sehabis aku
menyelamatkan Tumenggung Pratala, esoknya Paman Waragati menyuruhku untuk
menemuinya. Itu pun secara
sembunyi-sembunyi, yakni lewat
muridnya yang berseragam hitam. Hal itu dilakukan agar tidak tercium kaum
pemberontak. Dan ketika aku menemui di rumahnya, Paman Waragati langsung
menceritakan duduk persoalannya,"
jelas Bayu. "Lalu?" pinta Prabu Bojananta.
"Aku langsung menyelidikinya.
Dalam penyelidikanku, aku berpatokan pada Tumenggung Pratala yang kau
tangkap. Karena aku yakin, dia adalah orang setia. Dan begitu aku tahu kalau
para Tumenggung dan Adipati lain juga kau tangkap, maka dugaanku kian jelas
kalau mereka tak bersalah. Dengan demikian, kecurigaanku jatuh pada Tumenggung
Baliga, Tumenggung Abiguna, dan Adipati Mahesa yang justru tidak kau tangkap.
Orang-orang seperti ini biasanya memang lepas dari perhatian,"
tambah Bayu. "Para pemberontak tahu kalau aku merupakan penghalang tujuan mereka.
Dan ketika suatu malam gerombolan orang berbaju seragam prajurit
menyerang padepokanku, aku berhasil menaklukkannya. Yang masih hidup
langsung kupaksa untuk membuka suara.
Maka dari sinilah aku tahu, siapa dalang dari semua ini," jelas Paman Waragati,
menambahkan keterangan Bayu.
Prabu Bojananta benar-benar
terkejut Karena dia tidak menyangka kalau orang-orang yang selama ini
dipercayainya, justru berkhianat
Sedangkan mereka yang justru setia, kini harus meringkuk dalam penjara.
Dan semua itu karena menuruti kata-kata ayahnya, untuk menjebloskan semua
tumenggung dan adipati ke dalam
penjara. Kecuali, yang bertiga itu.
Sebenarnya, justru mereka bertigalah yang masuk ke dalam penjara.
"Memang tadi aku mengatakan kalau mereka akan menyerbu ke sini. Itu semua hanya
permainan kata-kataku saja, Ananda Prabu. Hal ini kulakukan karena permintaan
ayahmu." "Ayahanda Prabu...?"
"Benar, Ananda Prabu. Tanpa
ayahmu, semua ini tidak akan berakhir.
Bahkan bukannya tidak mungkin mereka benar-benar menggulingkan takhta."
"Oh...! Bagaimana ini bisa
terjadi, Paman...?"
"Sebaiknya kau tanyakan saja pada ayahmu, Ananda Prabu. Karena,
kecurigaanku sendiri bisa berkat
laporan ayahmu, yang memang sudah lama mencurigai mereka. Bahkan
kecurigaannya semakin mendalam saat kau mengangkat dan menempatkan mereka pada
kedudukan tinggi."
Prabu Bojananta terdiam merenung.
Sungguh belum bisa dipahami dengan semua ini. Dan dia juga tidak tahu, kenapa
hal ini harus terjadi. Mereka yang temyata pengkhianat, justru
orang-orang yang sangat dipercaya.
Bahkan ketika mereka meminta izin untuk mendirikan pasukan prajurit sendiri,
Prabu Bojananta tidak punya pertimbangan lagi. Usul itu langsung disetujuinya,
karena mereka menjanjikan akan selalu siap mengirim prajurit yang dibentuk bila diperlukan
untuk memperkuat
barisan prajurit
kerajaan. Tapi kenyataannya, justru
prajurit itu dibentuk untuk maksud memberontak. Hanya saja, pemberontakan
yang belum terlaksana ini membuatnya jadi tidak mengerti. Apa sebenarnya yang
mendorong mereka hendak melakukan pemberontakan..." Pertanyaan itu yang kini
mengganjal di hati Prabu
Bojananta. Tapi pertanyaan itu memang sukar dijawab. Dan belum juga Prabu
Bojananta menanyakannya pada Paman Waragati, tiba-tiba saja terdengar suara
ribut-ribut dari dalam istana.
"Ada apa di dalam sana...?" desah Paman Waragati bertanya pada diri sendiri.
"Kita lupa, Paman. Mereka telah menyusupkan orang-orangnya ke dalam istana,"
ujar Bayu yang sejak tadi diam saja.
"Oh..."!" Paman Waragati menepuk keningnya sendiri.
"Hup...!"
Pada saat itu juga, Bayu melompat tinggi ke udara. Begitu sempurnanya ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka, sehingga
lesatannya begitu cepat dan ringan.
Hanya sedikit saja ujung jari kakinya disentuhkan ke bibir tembok benteng yang
mengelilingi bangunan istana ini, lalu meluruk deras ke balik tembok benteng
itu. "Hup!"
"Yeaaah...!"
Paman Waragati dan Prabu
Bojananta bergegas berlompatan
melewati tembok benteng yang tingginya lebih dari dua batang tombak.
Sementara orang-orang berbaju serba hitam yang temyata murid-murid Paman
Waragati, bergegas berlarian masuk ke dalam bangunan benteng istana itu melalui
pintu rahasia yang masih
terbuka. Dan beberapa orang dari
mereka yang sudah memiliki ilmu
meringankan tubuh yang cukup tinggi, berlompatan melewati tembok benteng ini.
Sehingga sebentar saja, keadaan di luar benteng itu sudah sunyi. Kini, tak
terlihat seorang pun di sana. Semua orang tenggelam di dalam tembok benteng yang
tinggi dan kokoh.
*** Bukan hanya Prabu Bojananta dan
Paman Waragati yang terkejut melihat beberapa mayat prajurit bergelimpangan di
sekitar bangunan istana yang megah ini. Sementara suara-suara ribut yang
terdengar tadi, kini sudah tidak lagi terdengar. Keterkejutan mereka semakin
bertambah, karena tidak menemukan seorang prajurit pun di sekitar istana ini
"Penjara...," desis Prabu
Bojananta. Bergegas raja muda itu berlari
cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh ke bangunan penjara yang
terletak di belakang bangunan istana ini Paman Waragati dan Pendekar Pulau
Neraka mengikuti dari belakang.
Kembali mereka terkejut melihat pintu penjara sudah jebol. Sementara, enam orang
prajurit penjaga sudah
tergeletak tak bemyawa lagi.
"Di mana ayahmu, Bojananta...?"
tanya Paman Waragati yang jadi lupa terhadap segala rata aturan. Dia telah
memanggil Prabu Bojananta dengan
namanya saja. "Oh..."! Ayah...," desah Prabu Bojananta langsung teringat ayahnya.
"Ada di dalam istana, Paman...."
Tanpa membuang-buang waktu lagi,
mereka bergegas berlarian kembali menuju bangunan istana. Langsung
diterobosnya pintu belakang, dan terus menyusuri lorong yang di kanan dan
ldrinya terdapat pintu-pintu kamar yang tertutup rapat. Tampak beberapa
tubuh prajurit tergeletak di lorong ini, dan sudah tidak bemyawa lagi Mereka
sampai di sebuah ruangan
yang berukuran sangat luas. Namun, tak ada seorang pun di dalam ruangan ini.
Mereka terus melangkah cepat setengah berlari, melintasi ruangan itu. Prabu
Bojananta cepat membuka pintu yang terbuat dari kayu jati tebal berukir cukup
indah. "Ayah...!" pekik Prabu Bojananta begitu pintu terbuka lebar.
Tampak di satu ruangan yang tidak begitu besar ukurannya, tergeletak sesosok
tubuh berjubah putih
berlumuran darah. Sebllah pedang
tertanam dalam di dadanya yang sudah tak bergerak lagi. Tidak jauh dari situ,
teriihat dua orang pemuda
berbaju ketat serba putih. Mereka tampaknya juga sudah tidak bemyawa lagi. Darah
berceceran di seluruh bagian lantai ruangan ini Prabu
Bojananta cepat berlari, dan
menghambur memeluk ayahnya yang sudah tidak bernyawa lagi.
"Siapa yang melakukan ini,
Ayah..." Oh...! Akan kubunuh mereka semua...," desis Prabu Bojananta
seraya memeluk jasad laki-laki tua itu.
"Akan kuperiksa ke tempat lain, Paman," kata Bayu perlahan, dekat telinga Paman
Waragati. "Kita sama-sama, Bayu. Biarkan murid-muridku mengamankan tempat ini,"
sahut Paman Waragati.
Paman Waragati memerintahkan
murid-muridnya yang berkumpul di depan pintu ruangan itu untuk menjaga Prabu
Bojananta. Kemudian, dia bersama
Pendekar Pulau Neraka bergegas
meninggalkan ruangan itu. Mereka
melangkah cepat melintasi ruangan besar yang biasa disebut Balai Sema Agung,
tempat pertemuan seluruh
pembesar Kerajaan Godaka dengan
rajanya. Mereka terus melangkah ke luar
melalui pintu depan yang terbuka
lebar. Tampak empat orang prajurit tergeletak di depan pintu tak bernyawa lagi.
Tak ada seorang prajurit pun yang teriihat masih hidup. Dan mereka terpaksa
harus menahan napas begitu sampai di luar.
Di halaman depan istana yang luas ini, teriihat tubuh-tubuh tak bernyawa
bergelimpangan sating tumpang tindih.
Sungguh suatu pemandangan yang tidak sedap dinikmati. Rupanya, telah
terjadi pertempuran dahsyat di dalam istana ini Sehingga, tak ada
seorangpun yang teriihat hidup.
"Tidak kusangka kalau ini akan
terjadi...," desah Paman Waragati mengeluh.
"Semua bisa terjadi kalau aku yang menginginkan, Waragati...!"
"Heh..."!"
Paman Waragati tersentak kaget
begitu tiba-tiba terdengar suara keras menggema. Dan belum lagi hilang
keterkejutannya, tiba-tiba saja
berkelebat sebuah bayangan merah dari atas tembok benteng depan. Begitu cepat
dan ringan sekali gerakannya, dan tahu-tahu di depan Paman Waragati dan Pendekar
Pulau Neraka sudah
berdiri seorang laki-laki yang usianya sebaya dengan Paman Waragati. Dia
mengenakan baju merah menyala.
"Adipati Mahesa...," desis Paman Waragati langsung mengenali.
"Kau tentu terkejut kalau
kerajaan ini bisa kuruntuhkan dalam sekejap, Waragati... Aku bisa melakukan apa
saja di sini. Dan tak seorang pun bisa mencegah. Termasuk kau,
Waragati," terasa dingin sekali nada suara laki-laki separuh baya yang temyata
memang Adipati Mahesa.
Salah seorang adipati yang
dipercaya, tapi justru yang hendak meruntuhkan Kerajaan Godaka ini. Dan tentu
saja tidak ada yang bakal
menyangka kalau Adipati Mahesa yang menjadi biang keladi dari semua
kerusuhan ini. Dan sebelum Paman Waragati bisa
membuka suara, kembali teriihat dua sosok tubuh berbaju merah berkelebat Dan
tahu-tahu, di samping kin dan kanan Adipati Mahesa sudah berdiri lagi dua orang
laki-laki separuh baya.
Mereka adalah Tumenggung Abiguna dan Tumenggung Baliga. Kemudian, disusul
bermunculannya orang-orang berseragam prajurit yang berlainan corak dan
bentuknya. Mereka semua menyandang senjata lengkap, dan siap bertempur.
Dalam waktu sebentar saja, halaman depan istana yang luas dan sudah
dipenuhi mayat, kini dipenuhi orang-orang berseragam prajurit Mereka
tentunya bukan para prajurit Kerajaan Godaka.
"Seharusnya mereka tertahan di perbatasan Utara. Kenapa bisa sampai
ke sini...?" desah Paman Waragati, seperti bicara pada diri sendiri.
"Pasti murid-muridmu sudah mereka hancurkan, Paman," sahut Bayu.
"Hm.... Jumlah mereka memang terlalu banyak," gumam Paman Waragati.
Laki-laki setengah baya itu
menyadari, kalau murid-muridnya yang ditugaskan untuk menghentikan mereka di
perbatasan Utara, tentu tidak akan bisa menahan jumlah sebanyak ini.
"Paman! Apakah tidak ada lagi prajurit Godaka...?" tanya Bayu.
Pendekar Pulau Neraka memang
sejak tadi hanya melihat sejumiah kecil saja prajurit yang tewas, selama berada
di dalam lingkungan istana ini
"Entahlah... Mereka seperti
menghilang begitu saja," sahut Paman Waragati mendesah.
"Hm...," Bayu menggumam kecil.
Sementara itu, Paman Waragati
tengah memandang tiga orang berpakaian serba merah. Kecurigaannya memang tepat,
tapi sungguh tidak disangka kalau justru mereka yang punya rencana pemberontakan
ini. Paman Waragati tahu betul, siapa Adipati Mahesa. Dia
adalah adik tiri Prabu Podaralaga, sama seperti dirinya juga. Tapi selama
ini, seluruh kehidupannya diabdikan untuk kejayaan Kerajaan Godaka.
Sedangkan pengabdian yang diberikan Adipati Mahesa, ternyata hanya
pengabdian semu dan di balik semua itu, ternyata tersimpan maksud untuk
menguasai kerajaan ini. Dan saat yang tepat baginya adalah sekarang ini.
Kerajaan Godaka yang dipimpin seorang raja yang masih berusia muda ini
memang masih terlalu mudah
dipengaruhi. Hal ini yang sama sekali tidak
diduga siapa pun juga. Karena selama ini, sedikit pun tidak ada sikap
maupun tingkah laku Adipati Mahesa yang
mencurigakan. Dan diam-diam,
Paman Waragati mengagumi dalam hati.
Dia kagum, karena Adipati Mahesa
benar-benar bisa memerankan lakonnya sendiri, tanpa ada seorang pun yang
mencurigainya. *** "Sejak semula, aku memang sudah tahu kalau Penunggang Kuda Bertopeng itu adalah
kau, Waragati Aku sudah tahu saat kau muncul mengancamku, dan sempat bertarung
beberapa jurus.
Samaranmu tidak ada artinya di
depanku, Waragati. Aku sudah


Pendekar Pulau Neraka 29 Misteri Penunggang Kuda Bertopeng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengetahui betul jurus-jurusmu," kata Adipati Mahesa dengan suara begitu sinis.
"Kalau sudah tahu, kenapa aku tidak kau bunuh saja waktu itu?" tanya Paman
Waragati, agak terkejut juga.
"Untuk apa..." Permainan sudah kau buka bersama Kakang Podaralaga.
Dan aku ingin mengikuti alur
permainanmu. Tapi sayang, semua jalan per mainanmu bisa mudah kupatahkan.
Dan akhirnya, kau lihat sendiri
kenyataannya, Waragati."
"Aku akui, kau memang cukup
cerdik, Mahesa," puji Paman Waragati tulus.
"Ha ha ha...! Tapi sayang,
semuanya sudah terlambat untukmu. Aku harus menyingkirkan siapa saja yang
mencoba menghalangiku. Termasuk juga Kakang Podaralaga, yang coba-coba menentang
keinginanku."
"Hm.... Jadi kau yang membunuh Kakang Podaralaga...?" desis Paman Waragati.
"Sudah kukatakan, aku harus
menyingkirkan siapa pun yang mencoba menghalangiku, Waragati. Ha ha ha...!"
"Biadab...!" desis Paman Waragati, langsung bergetar seluruh tubuhnya menahan
amarah yang tiba-tiba saja meluap mendidih.
"Kubunuh kau, Pengkhianat!
Hiyaaat..!"
"Bojananta..."!" desis Paman Waragati terkejut, begitu tiba-tiba saja Prabu
Bojananta melompat melompat cepat bagai kilat dari dalam istana.
Bukan hanya Paman Waragati yang
terkejut, tapi juga Bayu, Adipati Mahesa, dan dua orang tumenggung yang
mendampingi adipati pengkhianat itu.
Mereka tidak menyangka kalau Prabu Bojananta akan menyerang begitu cepat dan
tiba-tiba, begitu muncul dari dalam bangunan istana megah itu.
Sret! Bet! Cepat sekali Prabu Bojananta
mengebutkan pedangnya, secepat
mencabut dari warangka di pinggang.
Kebutan pedangnya langsung diarahkan ke leher Adipati Mahesa yang saat itu masih
terperangah. Tapi sebelum
sabetan pedang Prabu Bojananta
membabat lehemya, Adipati Mahesa sudah bertindak cepat.
"Uts!"
Hanya menarik sedikit tubuhnya ke belakang, ujung pedang Prabu Bojananta lewat
sedikit saja di depan leher Adipati Mahesa. Dan sebelum Prabu Bojananta bisa
menarik pedangnya
kembali, tiba-tiba saja Tumenggung Abiguna sudah melompat cepat sambil
melepaskan satu pukulan keras
menggeledek, disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaa...!"
Begitu cepat serangan yang
dilakukan Tumenggung Abiguna, sehingga Prabu Bojananta tidak bisa lagi
berkelit menghindar. Dan....
Desss! "Akh...!"
Prabu Bojananta terpental sekitar dua batang tombak, begitu pukulan Tumenggung
Abiguna bersarang di
tubuhnya. Keras sekali tubuhnya jatuh berguling di tanah. Dan pada saat itu,
Tumenggung Baliga sudah melompat
sambil mencabut pedangnya yang
tergantung di pinggang.
"Hiyaaat..!"
Cepat sekali ujung pada pedangnya dihunjamkan ke arah dada Prabu
Bojananta yang tergeletak telentang di tanah. Tak ada lagi kesempatan bagi
Prabu Bojananta untuk bisa
menyelamatkan nyawa dari an caman pedang yang meluncur deras mengancam dadanya.
Tapi begitu ujung pedang hampir menembus dadanya, tiba-tiba saja....
Wusss! Tring! "Ikh..."!"
Tumenggung Baliga terperanjat
bukan main, begitu tiba-tiba saja sebuah benda berwama keperakan
meluncur cepat bagai kilat menghantam mata pedangnya. Buru-buru dia melompat
kebelakang, dan melakukan beberapa kali putaran. Kedua bola matanya jadi
terbeliak, begitu melihat pedangnya buntung. Dan lebih terkejut lagi, begitu
melihat pemuda tampan berbaju kulit harimau yang sejak tadi diam saja di samping
Paman Waragati, tengah mengangkat tangan kanannya ke atas kepala. Maka sebuah
benda keperakan berbentuk bintang bersegi enam melesat cepat, lalu melekat erat
di pergelangan tangan pemuda itu.
Dengan tenang sekali, pemuda
berbaju kulit harimau yang dikenal beijuluk Pendekar Pulau Neraka
melangkah menghampiri Prabu Bojananta
yang tengah berusaha bangkit berdiri.
Pemuda yang sebenamya bernama Bayu, segera membantu Prabu Bojananta begitu
berdiri terhuyung-huyung. Sedangkan monyet kecil berbulu hitam masih tetap
nangkring di pundak Pendekar Pulau Neraka.
"Bersemadilah. Kau terluka dalam cukup parah," ujar Bayu. "Biar aku yang akan
menghadapi mereka."
"Terima kasih,"
ucap Prabu Bojananta. "Hati-hatilah. Mereka orang-orang yang berkepandaian
tinggi." Bayu hanya tersenyum saja
mendapat peringatan itu. Pendekar Pulau Neraka memang tahu kalau mereka
berkepandaian tinggi. Tapi mereka juga curang dan licik, karena menyerang pada
saat lawan dalam keadaan tidak berdaya lagi. Pendekar Pulau Neraka melangkah
tenang menghampiri tiga orang yang mengenakan baju wama merah menyala. Tatapan
matanya begitu tajam menusuk. Diambilnya monyet kecil yang masih nangkring di
pundaknya, dan ditaruhnya di tanah.
"Kau menyingkirlah, Tiren. Ini bukan pertarunganmu," ujar Bayu sambil mengelus
kepala monyet kecil itu.
"Nguk!"
Monyet kecil yang dipanggil Tiren itu bergegas berlarian menyingkir, mendekati
Prabu Bojananta yang sudah duduk bersila di tangga istana. Raja muda itu sudah
duduk bersila, mengambil sikap bersemadi.
Pada saat itu, dari dalam istana
bermunculan murid-murid Paman Waragati yang semuanya mengenakan baju serba
hitam. Mereka langsung berdiri
berjajar di belakang gurunya.
Sementara, Bayu sudah berada sekitar tujuh langkah lagi di depan Adipati Mahesa
yang didampingi Tumenggung Abiguna dan Tumenggung Baliga.
*** 8 "Siapa kau, Anak Muda..."!" tanya Adipati Mahesa, lantang menggelegar.
"Rasanya itu tidak penting. Namun yang paling penting, aku paling tidak suka
melihat manusia-manusia bejat seperti kalian mengotori dunia ini!"
dingin sekali jawaban Bayu.
"Keparat..! Kau akan menyesal karena telah menghina kami, Bocah!"
geram Tumenggung Baliga, yang masih penasaran karena pedangnya buntung oleh
senjata maut pemuda berbaju kulit harimau itu.
Bayu hanya tersenyum sinis pada
Tumenggung Baliga.
"Mampus kau, Bocah Keparat!
Hiyaaat..!"
Tumenggung Baliga tidak bisa lagi menahan diri. Cepat sekali ia melompat sambil
melepaskan beberapa pukulan beruntun yang mengandung pengerahan tenaga dalam
tinggi. Tapi dengan
gerakan manis sekali, Bayu meliuk-liukkan tubuhnya. Dihindarinya
pukulan-pukulan yang dilepaskan
Tumenggung Baliga, sehingga tak satu pun yang berhasil mengenai sasaran.
"Paman Waragati, ini
bagianmu...!" teriak Bayu tiba-tiba.
"Yeaaah...!"
Bagaikan kilat, Pendekar Pulau
Neraka tiba-tiba
saja melakukan gerakan yang sukar diikuti pandangan mata biasa. Dan tahu-tahu, tangannya sudah
bergerak cepat menggedor dada Tumenggung Baliga. Begitu cepat
serangannya sehingga Tumenggung Baliga tidak sempat lagi menghindar.
Degkh! "Akh...!"
Seketika itu juga, tubuh
Tumenggung Baliga terpental deras ke arah Paman Waragati. Dan begitu dekat,
Paman Waragati langsung menghentakkan ke dua tangannya untuk menyambut tubuh
yang melayang deras ke arahnya.
"Yeaaah...!"
Desss! Tumenggung Baliga kembali
terpental ke udara, lalu keras sekali jatuh menghantam tanah. Darah pun kontan
muncrat dari mulutnya. Hanya sedikit saja tumenggung itu masih mampu menggeliat,
kemudian mengejang kaku dan diam tak bernyawa lagi.
"Keparat..!" geram Adipati Mahesa melihat Tumenggung Baliga tewas
seketika begitu cepat
Sementara Bayu sudah berdiri
tegak sambil tersenyum tipis.
Sedangkan di samping Prabu Bojananta, Tiren berjingkrakan sambil mencerecet
ribut menyambut kemenangan Pendekar Pulau Neraka.
"Kubunuh kau, Bocah Keparat, Hiyaaat..!"
Adipati Mahesa benar-benar meluap kemarahannya, begitu melihat
Tumenggung Baliga tewas ditangan
Pendekar Pulau Neraka. Bagaikan kilat, dia langsung melompat menyerang. Pada
saat yang bersamaan, Paman Waragati sudah melompat menghadang Tumenggung
Abiguna. Sret! Tumenggung Abiguna langsung
mencabut pedangnya. Dia tahu, siapa yang harus dihadapinya. Seorang tokoh utama
Kerajaan Godaka yang memiliki kepandaian tinggi sekali. Bahkan
tingkat kepandaian Adipati Mahesa sendiri hanya satu tingkat saja di atas
tingkat kepandaian Paman Waragati yang dulu menjabat panglima perang kerajaan
ini. Dan begitu Prabu
Podaralaga turun takhta dan digantikan putra tunggalnya, Paman Waragati
langsung mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai panglima. Kini dia mengkhususkan diri untuk mengurus
padepokannya. "Kau lawanku, Tumenggung
Abiguna," desis Paman Waragati.
"Phuih!" Tumenggung Abiguna menyemburkan ludahnya.
Mata Tumenggung Abiguna melirik
ke kanan dan ke kiri. Sementara itu, Adipati Mahesa sudah bertarung ketat
melawan Pendekar Pulau Neraka. Bahkan Adipati Mahesa sudah mengeluarkan senjata
andalannya, berupa pedang perak yang cahayanya berkilatan
menyilaukan mata.
"Kalian semua! Seraaang...!"
teriak Tumenggung Abiguna tiba-tiba, begitu keras dan menggelegar.
"Hancurkan semuanya...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Seketika itu juga, orang-orang
berpakaian seperti prajurit yang
memang sejak tadi sudah menunggu perintah, langsung berhamburan sambil
berteriak-teriak mengangkat senjata.
Melihat itu semua, Paman Waragati segera memerintahkan seluruh muridnya untuk
menghadang. Tapi belum juga semua orang berpakaian serba hitam itu bergerak,
tiba-tiba saja dari atas atap bangunan istana berhamburan
ratusan anak panah ke arah para
prajurit pembangkang.
"Setan keparat..!" desis Tumenggung Abiguna menggeram.
Tumenggung itu terkejut setengah
mati. Karena tiba-tiba saja, dari atap bangunan istana bermunculan para
prajurit yang,sejak tadi tidak
kelihatan. Bahkan langsung menghujani para prajurit pembangkang de ngan anakanak panah. Pada saat itu,
dinding kanan istana tiba-tiba saja bergerak menggeser ke samping. Maka dari
dalam dinding itu tiba-tiba
berhamburan para prajurit kerajaan yang selama ini seperti menghilang.
Rupanya, dinding itu merupakan
pintu rahasia dari sebuah lorong yang besar dan panjang. Dan rupanya pula, para
prajurit bersembunyi di sana.
Kini mereka keluar, dan langsung
berhamburan menyerbu prajurit-prajurit pembangkang yang kini malah jadi ciut
nyalinya. Melihat ini semua,
Tumenggung Abiguna jadi kelabakan.
Terlebih lagi, para prajuritnya jadi kacau tak terkendali. Jerit pekik
melengking tinggi dan menyayat
terdengar saling sambut membelah
angkasa yang terselimut kabut tebal.
Pada saat itu juga, semua murid Paman Waragati langsung berlarian, masuk ke
dalam kancah pertempuran tanpa
diperintah lagi. Dan ini membuat para
prajurit pembangkang semakin kelabakan tak terkendali lagi.
*** Pertempuran di alun-alun Istana
Godaka itu memang tidak dapat
dihindari lagi. Para prajurit kerajaan yang langsung dipimpin Panglima Gajah
Pati, bertarung penuh semangat Tubuh-tubuh berlumuran darah, bergelimpangan
diiringi jerit dan pekikan melengking tinggi yang saling susul tiada henti.
Dan Paman Waragati pun sudah menyerang Tumenggung Abiguna yang jadi kelabakan
melihat keadaan yang tidak diduga-duga ini.
Memang tidak ada yang menduga
kalau para prajurit kerajaan sejak tadi menunggu saat yang tepat untuk
menghadapi para pemberontak. Dan
mereka baru muncul setelah tokoh-tokoh kerajaan yang dibantu Pendekar Pulau
Neraka melakukan tindakan.
Sementara itu teriihat Panglima
Gajah Pati berlari-lari menghampiri Prabu Bojananta yang kini sudah
berdiri di anak rangga pertama istana, sambil memandangi pertempuran yang tidak
diduga sama sekali akan terjadi
seperti ini. Dan juga tidak disangka kalau para prajuritnya yang setia masih
ada. Bahkan menunggu saat yang tepat untuk menghancurkan para
pemberontak. "Gusti Prabu tidak apa-apa...?"
tanya Panglima Gajah Pati setelah dekat di depan Prabu Bojananta.
"Tidak. Tapi, aku tidak mungkin
bisa ikut berperang," sahut Prabu Bojananta.
"Para prajurit sudah mampu
mengatasinya, Gusti."
Prabu Bojananta menatap Panglima
Gajah Pati, Hanya Panglima Gajah Pati yang tetap setia. Bahkan mampu
memimpin para prajurit yahg masih berjumlah ratusan itu untuk menggempur para
pembangkang. "Bagaimana kau bisa tahu ada ruangan rahasia, Paman?" tanya Prabu Bojananta.
"Sebelum dibunuh, Gusti Ayahanda Prabu telah memberitahukan hamba, Gusti Prabu.


Pendekar Pulau Neraka 29 Misteri Penunggang Kuda Bertopeng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan ternyata, memang berguna dalam keadaan genting seperti ini. Hamba sengaja
memasukkan para prajurit ke sana sedikit demi sedikit, sehingga kelihatannya
jumlah prajurit semakin berkurang. Dan itu atas
perintah Gusti Ayahanda Prabu. Hamba hanya menjalankan perintah saja, Gusti
Prabu," jelas PangBma Gajah Pati.
Prabu Bojananta menghembuskan
napas panjang. "Lalu, bagaimana keadaan para Adipati dan Tumenggung yang berada di dalam
tahanan?" tanya Panglima Gajah Pati lagi.
"Mereka dalam keadaan selamat, Gusti Prabu. Mereka juga berada di ruangan
rahasia yang lain. Semua hamba lakukan pada saat yang tepat, ketika mereka
datang menyerang. Dan hanya ada satu regu prajurit saja yang belum hamba
selamatkan, hingga akhirnya harus bertempur."
"Hm...," Prabu Bojananta menggumam perlahan.
Entah apa yang ada dalam
pikirannya saat ini. Tapi yang jelas, rasa kagum pada ayahnya semakin
bertambah atas kejadian ini. Memang, Prabu Bojananta tidak tahu kalau
ayahnya sudah bisa mencium adanya pemberontakan ini, sehingga melakukan tindakan
sangat tepat untuk
menyelamatkan tahta dari kehancuran.
Sementara itu pertarungan terus
berlangsung. Dan sudah jelas kalau
para prajurit kerajaan benar-benar menguasai jalannya pertempuran. Sudah lebih
dari separuh jumlah pemberontak yang tewas. Dan mereka semakin tak mampu lagi
menahan gempuran para prajurit kerajaan yang begitu penuh
semangat dalam pertempuran ini
Sedangkan di lain tempat, tampak
Paman Waragati juga sudah berada di atas angin. Beberapa kali pukulan-pukulan
kerasnya yang bertenaga dalam tinggi berhasil disarangkan ketubuh Tumenggung
Abiguna. Tampak sekali
kalau Tumenggung itu tidak mampu lagi menahan serangan-serangannya. Hingga
akhirnya.... "Tamat riwayatmu, Abiguna!
Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras
menggelegar, Paman Waragati melompat cepat sambil mengebutkan pedangnya ke arah
dada Tumenggung Abiguna. Begitu cepat serangannya sehingga tidak ada lagi
kesempatan bagi Tumenggung
Abiguna untuk berkelit menghindar.
Dan... Bresss! "Aaakh...!" Tumenggung Abiguna menjerit keras melengking tinggi.
Tubuhnya terhuyung-huyung sambil
mendekap dadanya yang terbelah. Darah mengucur deras dari sela-sela jari tangan
yang mendekap dada. Sementara itu, Paman Waragati sudah mengangkat pedangnya di
atas kepala. Ujungnya tertuju lurus ke depan. Sedangkan sorot matanya tajam
menusuk. "Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat, Paman Waragati
melompat ke arah Tumenggung Abiguna.
Dan secepat kilat pula, pedangnya dibabatkan ke leher tumenggung
pembangkang itu.
Crasss! "Aaa...!" lagi-lagi Tumenggung Abiguna menjerit melengking tinggi.
Hanya sebentar saja dia masih
mampu bertahan berdiri, kemudian
tubuhnya limbung. Tumenggung Abiguna ambruk menggelepar di tanah dengan leher
terpenggal hampir buntung. Darah menyembur deras keluar dari dada dan lehemya.
Tak berapa lama kemudian, Tumenggung Abiguna sudah tak bergerak-gerak lagi. Saat
itu juga nyawanya melayang dari raga.
"Hhh...!" Paman Waragati menghembuskan napas berat
Laki-laki setengah baya itu
berdiri tegak menatap mayat Tumenggung Abiguna, kemudian berpaling menatap ke
arah pertarungan. Tampak Adipati
Mahesa dan Pendekar Pulau Neraka masih bertarung sengtt, menggunakan jurus-jurus
dahsyat tingkat tinggi Sementara, pertarungan antara prajurit sudah berhenti.
Para prajurit pembangkang yang
merasa tidak ada gunanya lagi melawan segera melemparkan senjata, langsung
berlutut menyerah. Panglima Gajah Pati segera mengambil alih.
Diperintahkannya para prajurit untuk melucuti senjata para pembangkang itu.
Kemudian, mereka dikumpulkan di tempat yang tidak dipenuhi mayat yang
bergelimpangan saling tumpang tindih.
*** Sementara itu Bayu masih terus
bertarung sengit melawan Adipati
Mahesa. Dan tampaknya, Pendekar Pulau Neraka memang sengaja memperlambat jalan
nya pertarungan hingga seluruh pertempuran benar-benar terhenti
"Hup...!"
Bayu segera melompat mundur,
keluar dari pertarungan begitu melihat seluruh pertarungan sudah berhentL
Beberapa kali Pendekar Pulau Neraka melakukan putaran di udara. Lalu, manis
sekali menjejakkan kakinya di tanah, sekitar dua batang tombak
jaraknya dari Adipati Mahesa.
"Tidak ada gunanya lagi melawan, Adipati Mahesa. Kau lihat sendiri, tidak ada
lagi yang mendukungmu," kata Bayu kalem.
Adipati Mahesa tampak terkejut
setengah mati begitu mengedarkan
pandangan ke sekeliling. Sungguh tidak disangka kalau para prajuritnya sudah
takluk. Dan sekarang, tinggal dia sendiri yang masih bertarung dengan Pendekar
Pulau Neraka. Yang lebih mengejutkan lagi adalah kemunculan para prajurit
kerajaan yang tidak diduga sama sekali. Bahkan dikira seluruh prajurit sudah
kabur begitu istana ini diserangnya. Tapi
kenyataannya, mereka muncul dan
berhasil menaklukkan prajuritnya yang sudah teriatih.
"Persetan dengan kalian semua!
Kalian harus mampus...!" geram Adipati Mahesa.
Seketika itu juga, Adipati Mahesa mengangkat pedangnya ke atas kepala.
Senjata itu diputar cepat, hingga bentuknya tak teriihat lagi. Hanya lingkaran
keperakan saja yang teriihat memayungi kepalanya.
"Gila...! Dia mengeluarkan aji
'Guntur Pembelah Bumi'...," desis Paman Waragati yang begitu mengenali jurusjurus dan aji kesaktian yang dimiliki Adipati Mahesa.
Dan Paman Waragati tahu kalau
ajian yang akan dikeluarkan Adipati Mahesa bisa membunuh siapa saja yang ada di
dekatnya. Bahkan dalam jarak dua puluh tombak darinya. Itu berarti, semua yang
ada di alun-alun depan istana ini akan mati. Bahkan juga bangunan istana ini
bisa hancur jadi puing. Dan selama ini, belum ada yang bisa mengalahkan aji
'Guntur Pembelah Bumi' yang begitu dahsyat.
Bayu yang mulai merasakan akan
adanya ajian dahsyat yang sangat
berbahaya, segera merentangkan kakinya lebar-lebar ke samping. Lalu tubuhnya
direndahkan hingga agak terbungkuk ke depan. Sementara tangan kanannya
disilangkan ke depan dada. Lalu....
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras
menggelegar, Pendekar Pulau Neraka menghentakkan tangan kanannya ke
depan. Seketika itu juga, Cakra Maut yang selalu menempel di pergelangan
tangannya melesat cepat bagai kilat ke arah pergelangan tangan Adipati Mahesa
yang berada di atas kepala. Pedangnya tampak cepat sekali di atas dada.
Wusss...! Cras! "Akh...!" Adipati Mahesa terpekik keras agak tertahan.
Sungguh tidak disangka kalau
pemuda berbaju kulit harimau itu akan menyerang begitu cepat luar biasa.
Sehingga, Cakra Maut yang melesat begitu cepat tidak bisa lagi teriihat Dan
senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu langsung menghantam pergelangan
tangannya. Begitu dahsyat senjata Cakra Maut itu, sehingga kedua pergelangan tangan Adipati
Mahesa terpenggal buntung.
Sementara, pedangnya langsung jatuh ke tanah. Darah kontan mengucur dari kedua
pergelangan tangan yang
terpenggal buntung oleh Cakra Maut yang dilemparkan Pendekar Pulau
Neraka. "Keparat..! Setan kau...!" desis Adipati Mahesa menggeram berang.
Darah semakin banyak keluar dari
kedua pergelangan tangan Adipati
Mahesa yang buntung. Tanpa tangan lagi, Adipati Mahesa memang tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan untuk
menghentikan darahnya saja, tidak mampu lagi. Dan dia hanya dapat menggeram,
memaki-maki Pendekar Pulau Neraka yang telah membuntungi kedua pergelangan
tangannya. Begitu banyak darah yang keluar, membuat pandangannya jadi berkunang-kunang, dan
tubuhnya terhuyung-huyung limbung. Sementara itu, Bayu sudah mengangkat tangan
kanannya ke atas kepala. Maka Cakra Maut kembali
menempel di pergelangan tangan
kanannya. "Setan...! Kubunuh kau, Bocah Keparat..!" geram Adipati Mahesa masih mencoba
bertahan. "Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja adipati itu
berbuat nekat, melompat cepat dengan sisa-sisa kekuatannya yang ada.
Meskipun kedua pergelangan tangannya buntung bercucuran darah, dia masih
berusaha melepaskan beberapa pukulan
beruntun. Tapi Bayu lebih cepat lagi bertindak Sambil membungkukkan
tubuhnya, kembali tangan kanannya dihentakkan ke depan dengan cepat
"Hiyaaa...!"
Wusss! Kembali Cakra Maut melesat cepat
dari pergelangan tangan kanannya, dan langsung menerjang dada Adipati Mahesa
yang kosong tak terlindung sama
sekali. Crab! "Aaakh...!"
Adipati Mahesa terpental ke
belakang diterjang Cakra Maut yang dilepaskan Bayu, disertai pengerahan tenaga
dalam yang sempurna sekali.
Keras sekali tubuh
adipati itu terbanting ke tanah. Dan begitu
Pendekar Pulau Neraka menghentakkan tangan kanannya ke atas kepala, Cakra Maut
yang tenggelam di dada Adipati Mahesa kembali melesat cepat Dan kini, senjata
itu kembali menempel di
pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.
Sementara Adipati Mahesa terus
menggelepar sambil menggerung-gerung meregang nyawa. Beberapa saat
kemudian, tubuhnya mengejang kaku,
lalu diam tak bergerak-gerak lagi Kini, nyawanya melayang dari raganya.
Bayu berdiri tegak memandangi seakan-akan ingin memastikan kalau lawannya benarbenar sudah tewas. Pendekar Pulau Neraka baru berpaling begitu mendengar cerecet
si Tiren yang berjingkrakan di tangga istana, tidak jauh di samping Prabu Bojananta.
SELESAI Scan/Convert/E-Book : ABU KEISEL
Tukang Edit : mybeno
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Badai Laut Selatan 12 Pedang Hati Suci Karya Jin Yong Jejak Di Balik Kabut 23

Cari Blog Ini